Local Chapter Legal Writing - ALSA LC UGM

Page 1

LOCAL CHAPTER LEGAL WRITINGS

alsa-indonesia.org


ALSA LEGAL ASSISTANCE #5: LEGALITAS TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Anistya Pratista Rahma (Multimedia, 2019) & Nabila Asysyifa Nur (English Development, 2019)

Pertanyaan: Bagaimana legalitas tanda tangan elektronik dalam transaksi di e-commerce?

Jawaban: Terimakasih AK atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai legalitas tanda tangan elektronik dalam transaksi e-commerce. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, banyak hal yang saat ini beradaptasi agar sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi tersebut, salah satunya adalah munculnya berbagai transaksi elektronik. Transaksi elektronik didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.[1] Salah satu contoh bentuk transaksi elektronik adalah transaksi ecommerce, yakni suatu transaksi jual-beli dengan menggunakan media elektronik. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai platform e-commerce, beberapa diantaranya adalah Shopee, Lazada, Tokopedia, JD.id, dan lain-lain. Sebagai sebuah perbuatan hukum, sebuah transaksi elektronik, atau dalam hal ini adalah transaksi e-commerce, dituangkan ke dalam suatu kontrak elektronik yang mengikat penjual dan pembeli.[2] Berbeda dengan kontrak atas transaksi secara langsung (bukan transaksi elektronik) yang disahkan dengan suatu tanda tangan konvensional, suatu kontrak elektronik dilegitimasikan dengan Tanda Tangan Elektronik (“TTE�). Meski jumlah transaksi e-commerce yang dilakukan oleh masyarakat semakin hari semakin meningkat, namun masih banyak aspek dalam transaksi tersebut yang belum cukup dipahami oleh masyarakat umum, salah satunya adalah aspek legal. Salah satu aspek legal yang dimaksud


terkait dengan legalitas dari tanda tangan elektronik itu sendiri dalam transaksi e-commerce. Hal tersebut penting untuk diketahui guna memastikan bahwa transaksi yang dilakukan adalah transaksi yang sah dan memiliki akibat hukum. Selain itu, legalitas tanda tangan tersebut juga penting apabila suatu saat terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak, sehingga isi transaksi yang ada dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebelum membahas topik lebih lanjut, penting halnya bagi kita untuk membahas mengenai tanda tangan terlebih dahulu. Perihal tanda tangan dijelaskan keabsahannya dalam Pasal 1875 KUHPerdata yaitu bahwa perjanjian bawah tangan yang mana biasanya diakui oleh para pihak dalam bentuk tanda tangan yang mereka bubuhkan di atas perjanjian tersebut, dapat dijadikan bukti yang sempurna di depan pengadilan.[3]

Dapat disimpulkan bahwa tanda tangan merupakan salah satu bentuk persetujuan. Persetujuan ini sangatlah penting dalam sebuah transaksi atau perjanjian, mengingat adanya konsensus/kesepakatan dari pihak-pihak dalam perjanjian merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian.[4] Oleh karena itu, ketika sebuah perjanjian ditandatangani, maka penandatangan dianggap sudah memberikan persetujuannya atas isi dari perjanjian tersebut, sehingga perjanjian tersebut memiliki akibat hukum bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya.

Lain halnya dengan tanda tangan konvensional yang dasar hukumnya terdapat dalam KUHPerdata, dasar hukum terhadap TTE diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE�) dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE�).

TTE adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.[5] Lebih lanjut, TTE akan memverifikasi dan mengautentikasikan identitas penandatangan serta keutuhan dan keautentikan Informasi Elektronik meliputi data-data elektronik termasuk suara, foto, surat elektronik, dan data-data elektronik lainnya.[6] Berbeda dengan tanda tangan konvensional yang dibuat pada dokumen kertas, TTE dibuat dengan


sistem kriptografi yang menggunakan kunci publik dan kunci privat.[7] Kunci publik ditanam dalam sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.[8] Nantinya, kunci publik tersebut dapat diberikan dan diakses oleh pihak yang ingin melakukan verifikasi terhadap TTE yang telah dibuat.[9] Sedangkan kunci privat harus dijaga kerahasiaannya, dimana hanya pemilik kunci saja yang dibolehkan mengetahui dan mengakses kunci tersebut.[10] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa informasi yang bersifat publik seperti kunci publik dan informasi Penyelenggara Sertifikat Elektronik terdapat pada Sertifikat Elektronik, sedangkan informasi yang bersifat privat seperti kunci privat bersifat rahasia dan hanya dimiliki oleh penandatangan itu sendiri.

Keberadaan kedua kunci tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan antara fungsi verifikasi dan autentikasi dari TTE. Fungsi verifikasi ditunjukkan dengan keberadaan kunci publik, yang dilakukan oleh pihak selain penandatangan untuk memastikan keotentikan TTE dan informasi elektronik yang terasosiasi dengannya. Sementara itu, fungsi autentikasi ditunjukkan dengan keberadaan kunci privat, yang dilakukan oleh penandatangan untuk menyatakan Informasi Elektronik terkait adalah benar terasosiasi dengan diri penandatangan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kunci publik memiliki fungsi verifikasi, sedangkan kunci privat memiliki fungsi autentikasi.

Lebih lanjut, terdapat 2 (dua) bentuk TTE yaitu TTE Tersertifikasi dan TTE Tidak Tersertifikasi yang keduanya diatur dalam UU ITE.[11]

TTE Tersertifikasi adalah tanda tangan elektronik yang dibuktikan dengan Sertifikat Elektronik. Sertifikat Elektronik memuat tanda tangan elektronik dan identitas penandatangan TTE, yang mana akan memberikan kekuatan hukum yang sempurna terhadap TTE dan identitas yang terasosiasi dengannya.[12] Sertifikat Elektronik dibuat oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang merupakan sebuah badan hukum yang berwenang untuk mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat Elektronik.[13] Penyelenggara Sertifikat Elektronik terbagi menjadi Penyelenggara Sertifikat Elektronik Indonesia dan Penyelenggara Sertifikat asing yang terdaftar di Indonesia.[14] Penyelenggara Sertifikasi Elektronik secara langsung dikelola oleh Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (“Kominfo�).[15] Saat ini telah ada 6 (enam) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang terdaftar di Indonesia, yang terdiri dari 2 (dua) instansi penyelenggara negara yaitu Balai


Sertifikasi Elektronik Badan Siber dan Sandi Negara (BSre BSSN) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (iOTENTIK) dan 4 (empat) non instansi penyelenggara negara yaitu PrivyID, VIDA, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), dan Digisign.[16] Adapun syarat-syarat sebuah TTE dapat dikatakan sebagai TTE Tersertifikasi adalah:[17] 

Memenuhi keabsahan kekuatan hukum dan akibat hukum tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3);



Menggunakan Sertifikat Elektronik yang dibuat oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; dan



Dibuat dengan menggunakan perangkat pembuat tanda tangan elektronik tersertifikasi.

Pasal 59 ayat (3) yang dimaksud dalam PP PSTE mengatur mengenai syarat terpenuhinya keabsahan kekuatan hukum dan akibat hukum dari TTE, yaitu: [18] 1. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; 2. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan; 3. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; 4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; 5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penanda Tangannya; dan 6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait Sementara itu, TTE Tidak Tersertifikasi adalah TTE yang dibuat tanpa menggunakan Jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia maupun Jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang terdaftar di Indonesia.[19] TTE Tidak Tersertifikasi mencakup QR code, Barcode, gambar/pindaian dari gambar tanda tangan basah, pen scanner, dan berbagai bentuk tanda tangan lainnya yang tidak dibuat dengan Sertifikat Elektronik yang dikeluarkan oleh Jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia.[20]


Penggunaan TTE Tersertifikasi atau TTE Tidak Tersertifikasi memiliki akibat hukum yang berpengaruh terhadap kekuatan nilai pembuktian apabila di kemudian hari dijadikan alat bukti dalam persidangan.[21] TTE Tersertifikasi memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap atau sempurna. Hal tersebut dikarenakan TTE Tersertifikasi dibuat dengan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik terdaftar pada Kominfo yang dalam hal ini bertindak sebagai pejabat umum.[22] Selain itu, hal tersebut juga dikarenakan TTE Tersertifikasi sangat sulit diduplikasi karena proses pembuatannya menggunakan teknologi yang mengenkripsi setiap bit dari sebuah tanda tangan elektronik, dengan metode kriptografi simetris maupun asimetris.[23] Di lain sisi, TTE Tidak Tersertifikasi tidak dibuat dengan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik sebagaimana terdaftar pada Kominfo sehingga tidak dikeluarkan oleh pejabat umum, serta tidak pula menggunakan teknologi kriptografi sebagaimana TTE Tersertifikasi sehingga hal ini dapat menyebabkan TTE Tidak Tersertifikasi lebih rentan diduplikasi.[24] Oleh karena itu, TTE Tidak Tersertifikasi tidak dapat secara langsung menjadi alat bukti di persidangan melainkan harus melalui uji digital forensik terlebih dahulu, kemudian hasil uji digital forensik tersebutlah yang menjadi alat bukti.[25] Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kekuatan pembuktian lebih kuat dibandingkan TTE Tidak Tersertifikasi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanda tangan elektronik dalam transaksi e-commerce di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang komprehensif sebagaimana diatur dalam UU ITE dan PP PSTE, lebih tepatnya dalam rangka melegitimasi kontrak elektronik yang menyertai transaksi elektronik yang dilakukan, dan oleh karena itu legalitasnya tidak lagi diragukan. Transaksi yang dilakukan dengan adanya persetujuan menggunakan TTE, baik TTE Tersertifikasi maupun TTE Tidak Tersertifikasi, tetap mengikat para pihak secara sah sebagaimana tanda tangan konvensional. Namun, dalam proses pembuktian di hadapan pengadilan, TTE Tersertifikasi lah yang memiliki kedudukan lebih kuat dan setara dengan akta otentik, yaitu kekuatan pembuktian yang sempurna sedangkan TTE Tersertifikasi masih memerlukan pengujian digital forensik untuk memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan.


*Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan unutk menghubungi professional yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut.

Dasar Hukum: [1] Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik [“PP PSTE”], Pasal 1(2). [2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [“UU ITE”], Pasal 18 Ayat 1. [3] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1875. [4] Ibid. Pasal 1320. [5] UU ITE, Pasal 1(12). [6] PP PSTE, Pasal 60 Ayat 1, Pasal 1(8). [7]Balai

Sertifikasi

Elektronik.

Tanda

Tangan

Elektronik.

Diunduh

dari:

https://bsre.bssn.go.id/index.php/tte/ [8] Ibid. [9] Ibid. [10] Ibid. [11]PP PSTE, Pasal 60 Ayat 2. [12] Joan Venzka T. 2011. ‘Keabsahan Tanda Tangan Elektronik sebagai Alat Bukti Yang Sah Ditinjau dalam Hukum Acara Perdata’. Master’s Thesis. Universitas Indonesia. Depok. Hal. 25, dan Pasal 1 Ayat 9 UU ITE. [13] UU ITE, Pasal 1 Ayat 10. [14] PP PSTE, Pasal 53 Ayat 1 [15]Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Penyelenggara Sertifikasi elektronik, Sebuah Perkenalan. Diunduh dari https://tte.kominfo.go.id/apaitu [16] Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia. Status Pengakuan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik. Diunduh dari https://tte.kominfo.go.id/listPSrE/_ [17] PP PSTE, Pasal 60 Ayat 3. [18] Ibid. Pasal 59 Ayat 3. [19] Ibid. Pasal 60 Ayat 4. [20] Balai Sertifikasi Elektronik. Jenis Tanda Tangan Elektronik. Diunduh dari https://bsre.bssn.go.id/index.php/2020/06/15/jenis-tanda-tangan-elektronik/


[21] Penjelasan PP PSTE Pasal 60 Ayat 2. [22] Joan, op.cit. Hal. 4 [23] Affan Muhammad A. (2019). ‘Kedudukan Tanda Tangan Elektronik dalam Transaksi Teknologi

Finansial’.

Juris-Diction,

journal.unair.ac.id/JD/article/view/15921 [24] Ibid. [25] Ibid.

2(6).

Hal.

1939.

Diunduh

dari

https://e-


ALSA LEGAL ASSISTANCE #6: MARITIME LAW CONVENTION: BELUM DITERIMANYA AMANDEMEN 2016 OLEH INDONESIA ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Ditulis oleh: Anistya Pratista Rahma (Multimedia, 2019) & Nabila Asysyifa Nur (English Development, 2019)

Pertanyaan: Hello, fellow writers, I’d like to ask a question. Recently, I’ve noticed within the webiste of ILO that Indonesia is not in force towards the amendments of 2016 to the MLC, 2006. It was stated that we are still awaiting declaration of acceptance. Why is that so? Are there any national laws or policies that may have intervened with Indonesia’s possible acceptance towards the amendment? Thank you!

Jawaban: Terimakasih RR atas pertanyaannya! Berikut hasil pembahasan dan analisis Kami mengenai mengapa Indonesia belum meratifikasi Amandemen 2016 MLC 2006 yang ditetapkan oleh ILO pada tahun 2016. Sebelum membahas topik lebih lanjut, alangkah baiknya kita mengetahui definisi International Labour Organization (“ILO”) dan Maritime Labour Convention (“MLC”) terlebih dahulu. ILO atau Organisasi Perburuhan Internasional merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk untuk menetapkan standar ketenagakerjaan, mengembangkan kebijakan, dan merancang program yang berkaitan dengan ketenagakerjaan untuk mendukung dan mempromosikan standar pekerjaan yang layak untuk semua kalangan pekerja.[1] ILO didirikan sejak tahun 1919. Hingga saat ini, ILO tercatat telah menjalin kerjasama dengan 187 negara anggota di mana Indonesia merupakan salah satu di antaranya.[2] Salah satu standar ketenagakerjaan internasional yang telah ditetapkan oleh ILO adalah MLC. MLC merupakan konvensi Internasional yang ditetapkan dalam Konferensi Umum ILO pada tahun 2006 di Jenewa, Swiss.[3] Pemikiran untuk menetapkan konvensi ini dilatarbelakangi oleh kesadaran ILO bahwa pelaut adalah pekerja yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda dengan pekerja lainnya.[4] Karakter dan sifat yang berbeda tersebut ditunjukkan dengan sifat lintas negara yang melekat pada pelaut, sehingga dibutuhkan sebuah standar yang bersifat


internasional untuk mengakomodasi hak-hak pelaut sebagai pekerja. Secara garis besar, MLC 2006 mengatur mengenai hak-hak dasar pelaut di seluruh dunia yang meliputi upah, syarat kerja (termasuk waktu kerja dan waktu istirahat), perawatan medis, jaminan kesehatan, perekrutan dan penempatan, pelatihan dan pengawasan untuk dilindungi dan dipenuhi dan memberikan standar serta pedoman dalam pemenuhan hak-hak pelaut.[5]

Adapun MLC terdiri dari 5 (lima) bab dengan rincian sebagai berikut:[6] Bab 1: Syarat minimum bagi para pelaut untuk bekerja di kapal Bab 2: Kondisi kerja (condition of employment) Bab 3: Akomodasi, fasilitas-fasilitas rekreasi, makanan, dan katering Bab 4: Perlindungan kesehatan, perawatan medis, perlindungan keamanan dan kesejahteraan sosial Bab 5: Penerapan dan penegakkan hukum Sejak MLC 2006 ditetapkan hingga saat ini, telah terdapat 97 negara yang meratifikasi konvensi tersebut.[7] Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi MLC 2006 pada tahun 2016 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 (“UU No. 15 Tahun 2016�) tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Ratifikasi MLC 2006 oleh Indonesia baru dapat dilaksanakan pada tahun 2016 dimana ratifikasi ini membawa konsekuensi yakni Indonesia resmi mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan dalam MLC 2006 dan secara otomatis menunjukkan bahwa Indonesia menyatakan persetujuannya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam MLC 2006, tidak terkecuali mendukung dan melindungi hak-hak dasar pelaut yang telah diatur secara komprehensif dalam MLC 2006.[8] Begitu pula ketika terdapat perubahan/amandemen dalam MLC 2006, negaranegara pihak dapat melakukan proses penerimaan (acceptance and approval) yang merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan dalam suatu Perjanjian Internasional, yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut juga menerima, menyetujui, dan memberlakukan amandemen tersebut.[9] Sejauh ini, MLC 2006 telah mengalami 3 (tiga) kali amandemen, yakni Amandemen 2014 MLC 2006, Amandemen 2016 MLC 2006, dan Amandemen 2018 MLC 2006. Amandemen 2014 MLC 2006 telah diberlakukan oleh Indonesia pada tahun 2017. Terhadap Amandemen 2018 MLC 2006, Indonesia telah menyatakan menerima dan menyetujui amandemen tersebut


dan akan mulai diberlakukan pada tanggal 26 Desember 2020 mendatang.[10] Sementara terhadap Amandemen 2016 MLC 2006, status dari amandemen tersebut untuk Indonesia adalah “not in force” atau belum diberlakukan dengan keterangan “awaiting declaration of acceptance” atau menunggu deklarasi penerimaan dari Indonesia.[11] Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan terkait mengapa hingga saat ini Indonesia belum memberlakukan Amandemen 2016 MLC 2006. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa dasar hukum yang dapat kita rujuk adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 (“UU No. 24 Tahun 2000”) tentang Perjanjian Internasional dan UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Sebelumnya, penting bagi kita untuk membahas mengenai Perjanjian Internasional dan pengesahannya oleh negara anggota berdasarkan ilmu hukum internasional. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang dibuat diantara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, yang diwujudkan baik yang terkandung dalam satu instrumen atau dalam dua atau lebih instrumen terkait dan apapun sebutan khusus nya.[12] Bentuk dan nama Perjanjian Internasional dalam prakteknya sangat beragam, seperti traktat, konvensi, dan sebagainya.[13] Dalam hal ini, MLC merupakan salah satu contoh dari Perjanjian internasional yang berbentuk konvensi, yang berarti kesepakatan antara berbagai negara yang mengikat secara hukum terhadap negara-negara penandatanganan[14]. Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa jenis konvensi yakni konvensi antara dua negara atau yang disebut dengan perjanjian bilateral, konvensi antara sejumlah kecil negara (tetapi lebih dari dua) atau yang disebut dengan perjanjian plurilateral, dan konvensi antara sejumlah besar negara atau yang disebut dengan perjanjian multilateral sebagaimana MLC 2006 ini.[15] Untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional, negara wajib melakukan suatu upaya berupa pengesahan Perjanjian Internasional.[16] Pengesahan suatu Perjanjian Internasional oleh suatu negara merupakan tahap yang penting sebab pada saat itu suatu negara secara resmi mengikatkan diri pada suatu perjanjian.[17] Dalam mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, terdapat 2 (dua) landasan teori yang dapat digunakan yaitu teori kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri. Teori kepentingan nasional adalah teori yang menggunakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan sebagai landasan suatu negara melakukan


pengesahan Perjanjian Internasional.[18] Kepentingan nasional yang dimaksud meliputi unsurunsur yang membentuk kebutuhan secara vital, seperti pertahanan, keamanan, militer, politik, dan kesejahteraan ekonomi.[19] Apabila dikaitkan dengan MLC 2006 dan amandemenamandemennya, tiap negara tidak terkecuali Indonesia pasti juga membawa kepentingan nasionalnya masing-masing sebagai sesuatu yang hendak diperjuangkan untuk dipenuhi. Sementara itu, teori kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik dalam kepentingan nasional.[20] Sebagai suatu sistem, rangsangan dari lingkungan eksternal dan domestik menjadi suatu input yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.[21] Hal ini kemudian dipersepsikan oleh para pembuat keputusan dalam suatu proses konversi menjadi sebuah output.[22] Selama proses konversi dalam merumuskan kebijakan luar negeri, suatu negara mengacu pada situasi eksternal maupun internal serta mempertimbangkan tujuan dan kepentingan nasional yang dimiliki.[23] Apabila dikaitkan dengan MLC 2006 dan amandemen-amandemennya, Indonesia memperhatikan situasi eksternal maupun internal serta kepentingan nasional yang dimilikinya untuk menentukan kebijakan luar negeri atas pengesahan ketentuan-ketentuan tersebut. Pengesahan suatu Perjanjian Internasional dapat dilakukan melalui 4 (empat) cara, yakni ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval). Dikarenakan dalam tulisan ini yang dibahas adalah penerimaan dan persetujuan terhadap Amandemen 2016 MLC 2006 sebagai suatu Perjanjian Internasional, maka pembahasan akan kami fokuskan pada penerimaan dan persetujuan. Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) merupakan pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu Perjanjian Internasional atas perubahan Perjanjian Internasional.[24] Untuk menyatakan penerimaan dan persetujuan atas perubahan Perjanjian Internasional, suatu negara yang diwakili oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan/Menteri Luar Negeri harus menandatangani instrument of acceptance or approval.[25] Instrumen penerimaan atau persetujuan dari suatu Perjanjian Internasional ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan ratifikasi.[26] Hal ini berarti negara tersebut telah menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh Perjanjian Internasional tersebut.[27] Dalam


praktik di beberapa negara, penerimaan dan persetujuan telah digunakan sebagai pengganti ratifikasi ketika, di tingkat nasional, undang-undang konstitusional negara tersebut tidak mewajibkan perjanjian untuk diratifikasi oleh kepala negara.[28] Akan tetapi di Indonesia sendiri perubahan atas suatu Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundangan yang setingkat.[29] Untuk melakukan pengesahan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia perlu mencermati 2 (dua) konsekuensi penting, yaitu transformasi ke dalam hukum nasional dan kewajiban Indonesia memberikan laporan kepada lembaga yang ditentukan dalam Perjanjian Internasional tersebut.[30] Pertama, transformasi ke dalam hukum nasional dilakukan dengan menerjemahkan kewajiban dalam Perjanjian Internasional kedalam hukum nasional.[31] Transformasi tersebut akan menyebabkan penyesuaian dalam hukum nasional, yang membawa konsekuensi lebih lanjut, yakni keharusan untuk segera mengamandemen hukum nasional yang bertentangan dengan ketentuan Perjanjian Internasional yang akan disahkan menurut hukum nasional.[32] Kedua, munculnya kewajiban melaporkan progress kepada lembaga yang ditentukan oleh Perjanjian Internasional harus dipertimbangkan dengan kapasitas aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan dalam Perjanjian Internasional tersebut.[33] Ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menegakkan ketentuan dalam Perjanjian Internasional yang sudah diratifikasi hanya akan menimbulkan citra bahwa Indonesia tidak bisa memenuhi komitmen. Oleh karena itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengesahan terhadap suatu Perjanjian Internasional berimplikasi pada banyaknya penyesuaian yang harus dilakukan suatu negara untuk menyelaraskan hukum internasional dan hukum nasional. Hal ini juga terkait dengan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Internasional yang sudah disahkan oleh suatu negara dimana implementasi ketentuan tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum nasional sehingga harmonisasi antara hukum internasional dengan hukum nasional negara tersebut sangat diperlukan. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pengesahan suatu Perjanjian Internasional bukanlah suatu hal yang sederhana, tidak terkecuali mengesahkan amandemen dari sebuah Perjanjian Internasional yang dalam hal ini adalah pengesahan Amandemen 2016 MLC 2006 oleh Indonesia. Amandemen 2016 MLC 2006 yang belum dinyatakan penerimaannya oleh Indonesia berfokus pada dua poin, yaitu konsiderasi terhadap pelecehan dan perundungan serta perpanjangan terhadap Sertifikat Tenaga Kerja Maritim (Maritime Labour Certificate).[34]


Amandemen ini menambahkan poin pelecehan dan perundungan sebagai salah satu hal yang harus dikonsiderasikan dalam poin perlindungan keselamatan dan kesehatan, serta dalam poin investigasi dalam hal terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kematian, luka yang serius, maupun kasus lainnya yang dapat diatur lebih rinci dalam hukum nasional.[35] Selain itu, amandemen ini juga memungkinkan perpanjangan sementara Sertifikat Tenaga Kerja Maritim setelah dilakukan inspeksi pembaruan (renewal inspection) dan berlaku selama tidak lebih dari lima bulan sejak tanggal kadaluarsa sertifikat tersebut.[36] Indonesia sendiri belum memiliki ketentuan hukum yang berkaitan dengan pelecehan dan perundungan sebagaimana yang telah diatur dalam Amandemen MLC 2016. Padahal, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, harmonisasi antara hukum internasional dengan hukum nasional dalam pengesahan Perjanjian Internasional merupakan hal yang sangat penting terutama berkenaan dengan implementasi ketentuan dari Perjanjian Internasional tersebut nantinya. Tanpa adanya payung hukum nasional yang jelas mengenai ketentuan yang hendak disahkan hal ini akan menimbulkan kecenderungan adanya kesulitan pengimplementasian ketentuan dalam Amandemen 2016 MLC 2006. Jika dikaitkan dengan teori kepentingan nasional, maka dapat dikatakan belum diterimanya Amandemen 2016 MLC 2006 oleh Indonesia adalah karena sulitnya pengimplementasian amandemen tersebut akan menghambat tercapainya tujuan nasional. Hal ini dikarenakan pengimplementasian instrumen hukum internasional tanpa dasar hukum nasional yang jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan kemudian akan menyebabkan kerugian dalam banyak aspek. Oleh karena itu, Indonesia masih belum dapat memberikan deklarasi penerimaan terhadap Amandemen 2016 MLC 2006. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengesahkan atau menerima sebuah amandemen diperlukan dasar hukum nasional yang jelas. Pengesahan terhadap amandemen dari suatu konvensi akan memerlukan penyesuaian dengan hukum nasional agar tidak terjadi tumpang tindih atau pertentangan dengan hukum nasional serta hukum nasional yang selaras diperlukan untuk untuk implementasi lebih lanjut dari ketentuan konvensi tersebut. Amandemen 2016 MLC 2006 yang menekankan pada poin perundungan dan pelecehan hingga kini belum dinyatakan penerimaannya oleh Indonesia dikarenakan Indonesia belum memiliki instrumen hukum yang mengatur secara khusus mengenai pelecehan dan perundungan sebagaimana dimaksud dalam Amandemen 2016 MLC 2006. Tanpa adanya payung hukum nasional, implementasi poin amandemen tersebut akan sulit dilakukan. Hal ini


karena konvensi hanya mengatur secara umum dan masih membutuhkan hukum nasional untuk pengimplementasiannya. Demikian hasil pembahasan dan analisis dari Kami, semoga dapat mencerahkan. *Untuk pendapat hukum lebih lanjut, disarankan unutk menghubungi professional yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum tersebut.

Dasar Hukum: [1]

International

Labour

Organization.

About

The

ILO.

Diunduh

dari

https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/lang--en/index.htm [2] Ibid. [3] Millati Azka. 2019. ‘Penerapan Kualifikasi Kesehatan Awak Kapal Berdasarkan Maritime Labour Convention (MLC) 2006 di PT. Berlian Laju Tanker TBK, Jakarta’. Skripsi. Politeknik Ilmu

Pelayaran

Semarang.

Semarang.

Diunduh

dari

http://repository.pip-

semarang.ac.id/2148/1/51145515.%20K_open_access.pdf [4] Ibid. [5] Nina Farah A. (2018). ‘Perlindungan Pelaut Indonesia di Luar Negeri Melalui Ratifikasi Maritime Labour Convention, 2006’. Juris-Diction. 2(6). Diunduh dari https://ejournal.unair.ac.id/JD/article/view/11015/6240 [6] Ibid. [7] International Labour Organizations. Ratifications of MLC, 2006- Maritime Labour Convention, 2006 (MLC,2006). Diunduh dari https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:11300:0::NO::P11300_INSTRU MENT_ID:312331 [8] Salmah Wati. (2014) ‘Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Maritime Labour Convention

(MLC)

Tahun

2006-2014’.

Join

FISIP.

1(2).

Diunduh

dari

https://media.neliti.com/media/publications/31795-ID-kepentingan-indonesia-tidakmeratifikasi-maritime-labour-convention-mlc-tahun-20.pdf [9] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 (“UU No. 24 Tahun 2000”) tentang Perjanjian Internasional [10] International Labour Organizations. Acceptance of amendments of 2016 to the MLC, 2006. Diunduh

dari


https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:11301:::NO:RP,11301:P11301_INSTRUMEN T_AMENDMENT_ID,P11301_INSTRUMENT_ID:3303970,312331 [11] Ibid. [12] Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Article 2(1)(a). [13] Penjelasan UU No. 24 Tahun 2000 [14]

United

Nations.

Frequently

Asked

Questions.

Diunduh

melalui

https://www.un.org/esa/socdev/enable/convinfofaq.htm#q1/ [15]

Cornell

Law

School.

International

Conventions.

Diunduh

dari

https://www.law.cornell.edu/wex/international_conventions [16] UU No. 24 Tahun 2000, Pasal 1(2). [17] Ibid. [18] T.May Rudy. (2002). Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: Refika Aditama. [19] Salmah, op.cit. [20] Jack C. Plano dan Roy Olton. (1999). Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin. [21] Salmah, op.cit. [22] Ibid. [23] Ibid. [24] Penjelasan UU No. 24 Tahun 2000. [25]

United

Nations.

2012.

Treaty

Handbook.

Diunduh

melalui

https://treaties.un.org/doc/source/publications/THB/English.pdf [26] Ibid. [27] Ibid. [28] Ibid. [29] UU No. 24 Tahun 2000, Pasal 16 Ayat (3). [30] Ananda K. Sukarmaji. Makalah Perjanjian Internasional (Ratifikasi, Aksesi, dan Reservasi).

Diunduh

dari

https://www.academia.edu/25599402/Makalah_Perjanjian_Internasional_Ratifikasi_Aksesi_d an_Reservasi_ [31] Ibid. [32] Ibid. [33] Ibid.


[34] International Labour Organizations. Amendments of 2016 to the Maritime Labour Convention,

2006.

Diunduh

melalui

https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:91:0::NO::P91_ILO_CODE:C186 [35] Ibid. [36] Ibid.


KNOW YOUR RIGHTS VOL. 7: CONSUMER RIGHTS FOR INTERNET SERVICES: WHAT CAN YOU DO WHEN YOUR INTERNET CONNECTION DOESN’T WORK AS PROMISED? ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Written by: Muh. Afif Siduppa (Law Development, 2019)

With COVID-19 Pandemic still happening with no end in sight, we are all forced to stay at home in order to contain the spread of the virus. Consequently, most of our productive activities such as working, having meetings, and attending classes have to be done online. This means that having a stable and reliable internet connection is now more important than ever. Unfortunately, it’s not uncommon to see people today complain about having slow internet connection that might even go down on a regular basis. As a consumer, what can we do if we face such problems? The relationship between Internet Service Provider (ISP) and its users is a legal relationship that is subject to the Law Number 8 of 1999 regarding Consumer Protection (Consumer Protection Law). According to Article 4 letter b and h of Consumer Protection Law, it is stated that consumers have the right to choose goods and/or services and receive the said goods and/or services in accordance with the promised conversion value, condition, and warranty. They also have the right to obtain compensation, redress, and/or substitution if the goods and/or services received are not in accordance with the agreement or not received as requested. Meanwhile, Article 7 letter b, f, and g of the Consumer Protection Law stated that entrepreneurs have the obligations to: 1. Provide correct, clear, and honest information with regard to the condition and warranty of the goods and/or services and provide explanation on the use, repair, and maintenance; 2. Provide compensation, redress, and/or substitution for the damages caused by the use, consumption, and application of the goods and/or services; and 3. Provide compensation, redress, and/or substitution if the goods and/or services received or used do not accord with the agreement.


Sadly, the rights and obligations mentioned above are often violated. Many internet users in Indonesia find that the internet package they purchased does not work as promised. On the other hand, ISPs rarely give notification to their customers in the occurrence of any network disturbance or maintenance. In regards to the Internet users right of compensation, it is further regulated under Law Number 36 of 1999 regarding Telecommunications. Article 15(1) of the regulation stated that for the errors and/or negligence of telecommunications operators (e.g. ISP) which create losses, you as a consumer have the right to submit compensation claims, and the telecommunication operators have to fulfill your claim unless they could prove that the losses are not caused by their fault and/or negligence. Furthermore, the settlement of the compensation can either be conducted inside our outside of court (through conciliation, mediation, arbitration). Keep in mind that even when the consumers have been compensated, it should not exclude the possibility of a criminal charge based on further evidence of the existence of a fault by the telecommunication operators. Referring to Article 8(1) letter f of Consumer Protection Law, entrepreneurs are prohibited from producing and/or trading goods and/or services which are not in accordance with the promised label information, advertisements, or sales promotion of the goods and/or services. Article 62(1) of the Consumer Protection Law stated that entrepreneurs who violate the provisions as provided by Article 8 can be sentenced to a maximum of 5 years in prison or a maximum fine of IDR 2 billion. So if your internet connection is performing worse than what was stated/promised, you may notify your local police department so they can investigate whether your ISP has done a criminal conduct or not.


November 2020

POLICY PAPER ALSA CARE AND LEGAL COACHING CLINIC 2020 “Membumikan Yogyakarta Bebas Klitih: Kajian Kritis terhadap Isu Klitih berdasarkan Perspektif Ilmu Sosiologi, Psikologi, dan Hukum”


SAMBUTAN Assalamualaikum Wr. Wb., Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam kebajikan. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kita selalu diberikan kesehatan dan berkat yang tak pernah berkesudahan. Hendaklah kita juga bersyukur karena pada tahun ini, Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Gadjah Mada (ALSA LC UGM) kembali berkesempatan mengadakan acara ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2020 (ALSA CLCC 2020). ALSA CLCC sendiri dilaksanakan guna mewujudkan dua pilar ALSA yaitu Legally Skilled dan Socially Responsible. Anastasia Hilda Mayora Project OfďŹ cer ALSA CLCC 2020 LC UGM

Dengan bangga kami mempersembahkan buah karya pemikiran dan penelitian dari tim redaksi Research Collaboration ALSA CLCC 2020 LC UGM yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang tercipta sebagai respon dari keinginan untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui penelitian lintas bidang terhadap permasalahan yang ada di masyarakat khususnya Fenomena "klitih" di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2020


Kami sangat berterima kasih atas dukungan dan partisipasi dari teman – teman panitia, tim redaksi Research Collaboration, dan para Narasumber yang sudah berkenan untuk diajak bertukar pikiran serta memberikan data aktual, sehingga dapat membantu mensukseskan berjalannya tim ini dalam melakukan penelitian. Akhir kata, semoga kajian dan analisis ini dapat berperan serta dalam memperbaiki tatanan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan menjadi salah satu bentuk tanggung jawab yang harus diemban oleh mahasiswa, tak hanya sebagai intelektual akademik namun mahasiswa yang juga punya tanggung jawab sebagai intelektual sosial. Wassalamualaikum Wr. Wb., Shalom, Om Shanti Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya, Salam kebajikan bagi kita semua. Aligned for Excellence ALSA, Always be One!

ALSA Care and Legal Coaching Clinic 2020


DewanLaks amana Put r a LembagaMahasi swa Psi kol ogiUGM ( Resear cher )

Ar i di vaFi r dhar i zki ALSA LCUGM ( Resear cher )

Mar i oJonJor di Coor .ofTal kshow Event ALSA CLCC2020LCUGM ( Super vi sor )

I s madaFi r daus Mandal aPut r a Kel uar gaMahasi swa Sosi ol ogiUGM ( Resear cher )

Ci nt yaSekar Vi cePr oj ectOf ďŹ cer1 ALSA CLCC2020LCUGM ( Super vi sor )

MI TRA BESTARI

Pr of .Dr .Sunyot oUsman ( Dos enSos i ol ogiFi s i polUGM) Si gi dRi yant o,S. H. ,M. Si . ( Dos enHukum Pi danaFH UGM) Dr .Ar um Febr i ani ,S. Psi ,M. A. ( Dos enFakul t asPs i kol ogiUGM)

NARASUMBER

Dr s.Supr apt o,S. U. ( Dos enSos i ol ogiFi s i polUGM) NurKhol i daDwi wat i ,S. H. ,M. H. ( Haki m PN Magel ang) Dr .Ai sahI ndat i ,M. S. ( Dos enFakul t asPs i kol ogiUGM)

Kor espondensi :+6282220944296( Jor di ) Kor espondensi :+6282133003886( Dewi )


Membumikan Yogyakarta Bebas Klitih: Kajian Kritis terhadap Fenomena Klitih berdasarkan Perspektif Ilmu Sosiologi, Psikologi, dan Hukum Tim Peneliti Research Collaboration ALSA CLCC 2020 LC UGM

I.

RINGKASAN EKSEKUTIF Policy paper ini menganalisis fenomena "klitih" berdasarkan perspektif ilmu sosiologi, psikologi, dan hukum. Analisis ilmu sosiologi menjelaskan bagaimana kemunculan dan perkembangan aksi "klitih" di lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Analisis ilmu psikologi membahas bagaimana faktor psikologis internal dan lingkungan mendorong para pelaku melakukan "klitih". Analisis hukum membahas tentang hak anak pelaku "klitih" yang berhadapan dengan hukum, hukum positif yang mengatur tentang "klitih", dan peran hukum dalam penanganan kasus "klitih" itu sendiri. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga serta Sekolah Menengah Atas (SMA) di DIY diharapkan mampu menjadi agen preventif dan represif dengan menyediakan wadah kepada para anak dan remaja dalam mewadahi apapun bentuk minat, kemampuan, dan bakatnya.

II.

PENDAHULUAN Pendidikan memiliki peran yang sangat krusial bagi perkembangan generasi muda seperti remaja. Tindakan para pelajar harus diarahkan sebaik mungkin sehingga mereka tidak melakukan hal-hal di luar batas kewajaran. Salah satu contoh tindakan pelajar di daerah DIY yang telah melewati batas adalah aksi kekerasan jalanan. Aksi ini lebih dikenal dengan sebutan “klitih”. Dinas pendidikan dan sekolah-sekolah khususnya di tingkat menengah pertama dan menengah atas perlu memberikan perhatian lebih terhadap fenomena “klitih” agar para pelajar tidak terlibat dengan “klitih”. Di Daerah Istimewa DIY (DIY), "klitih" bukanlah sebuah fenomena baru. Berakar dari bahasa Jawa, "klitih" diartikan sebagai suatu aktivitas mencari angin di


Â

luar rumah atau keluyuran. Namun, saat ini pemaknaan "klitih" telah bergeser. Bukan lagi diartikan sebagai suatu kegiatan positif, "klitih" justru dimaknai sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan perorangan atau berkelompok. Berbeda dengan aksi kejahatan jalanan pada umumnya, pelaku "klitih" memiliki ciri khusus, yakni berasal dari golongan pelajar atau remaja. Meski bukan merupakan fenomena baru di DIY, nyatanya aksi "klitih" justru semakin meresahkan masyarakat alih-alih mereda. Sepanjang tahun 2016, kasus "klitih" yang berasal dari seluruh wilayah Polres DIY tercatat sebanyak 43 (empat puluh tiga) puluh kali (Febriani, 2018). Hingga kini, kasus baru pun masih terus bermunculan. Padahal, langgengnya aksi "klitih" bukan hanya merugikan masyarakat, melainkan juga aktor yang terlibat, yaitu anak. Berangkat dari permasalahan tersebut, policy paper ini bermaksud memberikan catatan kritis mengenai fenomena "klitih" di DIY ditinjau dari 3 (tiga) bidang ilmu, yaitu sosiologi, psikologi, dan hukum. Selain itu, policy paper ini juga menyuguhkan beberapa saran kebijakan bagi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY dan SMA di DIY.

III.

METODOLOGI PENELITIAN Policy paper ini dibuat berdasarkan hasil kolaborasi riset antara 3 (tiga) orang mahasiswa yang masing-masing berasal dari program studi sosiologi, psikologi, dan hukum. John Wanna (Wanna & O’Flynn, 2008) mengartikan kolaborasi sebagai bekerja sama dengan orang lain, kolaborasi menyiratkan aktor yaitu individu, kelompok, atau organisasi yang bekerja keras bersama dengan syarat dan kondisi yang bervariasi. Tujuan kolaborasi pada policy paper ini adalah untuk menganalisis fenomena "klitih" secara komprehensif, mulai dari pola kasus "klitih" yang terjadi hampir setiap tahun (sosiologi), faktor-faktor eksternal dan internal yang mendorong anak melakukan "klitih" (psikologi), hingga pembahasan mengenai hak-hak anak, aspek penegakan hukum, dan upaya reintegrasi sosial pada anak pelaku "klitih" (hukum).

Â


Metode penelitian pada pembuatan policy paper ini adalah kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka dilakukan dengan pencarian data dan informasi melalui berbagai literatur, baik pada media cetak maupun elektronik. Sedangkan wawancara dilakukan secara bebas terpimpin kepada praktisi maupun akademisi yang sesuai dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang telah disebutkan di muka.

IV.

ANALISIS 4.1. ISU SOSIOLOGI 4.1.1 Pendahuluan Fenomena "klitih" bukanlah fenomena tunggal yang sederhana karena di dalam dunia "klitih" terdapat struktur sosial yang cukup rumit. Banyak hal yang tersembunyi di balik aksi kekerasan jalanan remaja ini. Di bawah akan diuraikan hasil analisis secara sosiologis yang menjelaskan tentang perkembangan, faktor penyebab, dan respon masyarakat terkait dengan fenomena “Klitih”. Dampak sanksi sosial terhadap pelaku “klitih” dan upaya yang bisa dilakukan masyarakat untuk menanggulangi adanya aksi kekerasan jalanan remaja ini juga akan dipaparkan.

4.1.1 Perkembangan Fenomena "Klitih" "Klitih" merupakan istilah lokal di DIY yang merujuk kepada sebuah aksi kekerasan jalanan. Pada mulanya, "klitih" sangat jauh dari kesan kriminal karena sebelumnya bermakna berkeliling menggunakan kendaraan untuk mencari angin atau hanya sekadar berjalan-jalan saja (Fuadi, Muti’ah, & Hartosujono, 2019). Namun, istilah "klitih" kemudian mengalami pergeseran makna menjadi aksi kekerasan jalanan yang dilakukan oleh para remaja yang menurut Widayanti (2019) aksi kekerasan ini bahkan dapat berujung pada pembunuhan.


Â

Berdasarkan hasil wawancara, narasumber menjelaskan bahwa awalnya para pelaku tindak kekerasan jalanan tersebut adalah para pelaku tawuran antarpelajar. Namun, beberapa tahun terakhir ini, ada banyak sekolah yang memberikan sanksi berat terhadap siswanya jika terbukti terlibat dalam aksi tawuran. Hal ini sesuai dengan Eflaningrum (2016) yang menyatakan bahwa intensitas aksi tawuran di DIY terus mengalami penurunan karena aturan sekolah yang semakin dipertegas. Aturan tersebut menetapkan bahwa para pelajar akan dikeluarkan dari sekolah jika mereka terbukti terlibat dalam aksi tawuran. Hal ini lantas membuat sebagian pelajar berhenti melakukan tawuran karena mereka tidak mau dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan pada orang tua masing-masing. Namun, ada sebagian pelajar yang masih berkeinginan untuk melakukan tawuran dan di saat yang sama harus menghindari sanksi sekolah yang ada. Keinginan tersebut tumbuh subur karena rantai permusuhan akibat konflik antar sekolah yang berkepanjangan belum sirna. Berdasarkan penjelasan narasumber, mereka akan mencari musuh dengan berkeliling kota di malam hari untuk menyerang target yang sedang tidak bersama kelompoknya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menuangkan rasa dendam yang tak tersalurkan karena tawuran semakin sulit dilakukan. Oleh sebab itu, aksi kekerasan jalanan yang dilakukan oleh para pelajar tersebut dapat juga dikatakan sebagai transformasi dari aksi tawuran yang selama ini terjadi di DIY. Sebagai transformasi dari aksi tawuran, aksi kekerasan jalanan oleh pelajar ini dilakukan dengan lebih sistematis dan tertutup. Narasumber menjelaskan bahwa biasanya para pelajar yang akan melakukan aksi kekerasan jalanan ini berkumpul di suatu tempat seperti angkringan atau warung makan untuk melakukan koordinasi. Setelah itu, tidak jarang mereka akan berteriak “yuh nglitih� seraya meninggalkan tempat koordinasi untuk segera melancarkan aksi mereka di jalanan. “yuh nglitih� sendiri memiliki arti sebagai sebuah ajakan untuk melakukan "klitih" atau jalan-jalan mencari angin

Â


Â

menggunakan kendaraan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tetapi, maraknya penggunaan kalimat “yuh nglitih� oleh sekelompok pelajar tersebut ternyata juga dibarengi dengan serangkaian terjadinya peristiwa kekerasan jalanan. Sejak saat itulah, masyarakat mulai berasumsi bahwa "klitih" merupakan sebuah aksi kekerasan jalanan. Asumsi ini kemudian mengakar kuat di benak masyarakat sehingga terjadilah pergeseran makna "klitih" yang semula berkonotasi positif menjadi negatif. Hingga pada akhirnya, "klitih" hari ini bermakna sebagai aksi kekerasan jalanan dan bukan merupakan sebuah kegiatan jalan-jalan menggunakan kendaraan.

4.1.2

Faktor Penyebab Fenomena "Klitih" Peneliti mencoba untuk menguraikan faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi terjadinya "klitih" di DIY secara singkat dan jelas. Peneliti akan berusaha membedah dan membongkar fenomena ini dengan menggunakan beberapa konsep yang dicetuskan oleh Emile Durkheim. Konsep tersebut antara lain seperti fakta sosial, nilai sosial, norma sosial, dan solidaritas sosial. Fakta sosial adalah sistem nilai-norma sosial yang secara eksternal membimbing, mengatur, dan bahkan memaksa individu yang berada di dalam struktur sosial untuk melakukan sesuatu (Durkheim, 1982). Sementara itu, nilai sosial adalah sesuatu yang dianggap berharga dan harus dijunjung tinggi sehingga nilai yang berlaku ini akan menjadi preferensi para penganutnya dalam bertindak. Sehubungan dengan hal ini, seperangkat aturan yang dibuat untuk memastikan agar setiap anggota suatu kelompok masyarakat benar-benar bertindak sesuai dengan nilai sosial yang ada disebut dengan norma sosial. Dalam kasus "klitih", nilai yang dianut oleh sekelompok geng "klitih" adalah bahwa barang siapa yang memiliki keberanian untuk melukai seseorang yang telah ditetapkan menjadi target, ia akan dianggap sebagai pemberani. Menurut keterangan narasumber, keberhasilan anggota geng "klitih" dalam

Â


Â

melaksanakan aksinya juga berpeluang mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi berupa pengangkatan sebagai pemimpin geng. Pengakuan-pengakuan semacam inilah yang mengobarkan semangat para anggota geng "klitih" untuk terus melakukan aksi kekerasan jalanan. Dengan kata lain, melukai target adalah sesuatu yang mereka anggap sebagai nilai sosial dalam kelompok mereka. Oleh sebab itu, pelaku "klitih" tidak akan ragu untuk menghabisi target karena itulah tindakan yang menurut mereka benar dan memang pantas dilakukan. Adanya nilai sosial tersendiri dalam geng "klitih" kemudian membentuk norma sosial yang berlaku bagi seluruh anggota geng. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, norma sosial ini tercipta untuk menjamin bahwa nilai sosial versi mereka sudah menjadi rujukan dalam bertindak. Dengan demikian, tidak ada anggota yang melanggar dengan tidak menganut nilai tersebut. Menurut pandangan peneliti, norma sosial yang berlaku dalam geng "klitih" direpresentasikan oleh ‘aturan main’ yang menurut penjelasan narasumber berlaku di semua geng "klitih" di DIY. Aturan tersebut menetapkan bahwa aksi "klitih" dilakukan di malam hari dan tidak boleh menyerang orang dewasa, perempuan, dan orang yang sedang berboncengan. Perlu diperhatikan bahwa adanya aturan main sebagai norma sosial di dunia “klitih� tentunya tidak lepas dari faktor historis mengenai perkembangan “klitih� itu sendiri. Pada sub pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa “klitih� sebagai aktivitas mencari musuh di malam hari dilakukan karena kesempatan untuk melakukan tawuran semakin tipis. Alih-alih menyerang musuh di siang hari melalui aksi tawuran, mereka lebih memilih untuk mencari musuh tersebut di malam hari. Hal inilah yang menurut pandangan peneliti menjadi alasan mengapa ada kriteria tertentu dalam menentukan target yang tertuang dalam aturan main mereka dan secara tidak langsung menjadi norma sosial di dunia “klitih�. Narasumber juga menyampaikan bahwa musuh yang dicari oleh geng “klitih� bukanlah sembarang orang. Bahkan, larangan untuk menyerang orang dewasa, perempuan, dan orang yang sedang berboncengan

Â


Â

seolah memberi sinyal bahwa geng “klitih� hanya akan menargetkan remaja laki-laki yang sedang keluar malam dan seumuran dengan mereka. Narasumber menyampaikan bahwa kriteria penargetan tersebut dilakukan karena pelaku “klitih� berasumsi bahwa remaja laki-laki yang keluar malam juga memiliki afiliasi dengan geng “klitih� lain. Selain itu, geng “klitih� beranggapan bahwa anak seusia mereka yang tidak memiliki kaitan dengan dunia klitih tidak akan berani keluar sendirian malam-malam. Maka dari itu, remaja laki-laki yang keluar malam sendirian akan dicurigai sebagai anggota dari geng “klitih� lain. Remaja ini juga kemudian akan menjadi target karena ia dianggap menjadi tujuan dari pencarian musuh yang sedang dilakukan oleh geng “klitih� tersebut. Kembali ke konsep fakta sosial, adanya nilai dan norma sosial yang mengakar kuat di dunia "klitih" lantas berkembang menjadi sebuah fakta sosial. Jika nilai adalah preferensi tindakan dan norma adalah aturan untuk menegaskan bahwa preferensi tersebut pantas dilakukan, maka kombinasi antara nilai-norma yang mengakar kuat di setiap geng "klitih" melahirkan sebuah fakta sosial. Jika diperdalam, fakta sosial merupakan aturan yang sangat kuat dan bersifat koersif, eksternal, dan umum. Dalam kasus "klitih" ini, mencari target dan menyerangnya tidak lagi menjadi nilai yang mana pelaku "klitih" hanya akan dianggap baik oleh kelompoknya. Hal itu juga tidak lagi menjadi sekadar norma atau aturan main yang harus dipatuhi. Namun, mencari dan menyerang musuh di malam hari sebagai inti dari kegiatan geng "klitih" telah menjadi fakta sosial yang secara tidak langsung memaksa setiap anggota "klitih" untuk melakukan aksi kekerasan jalanan tersebut. Pihak yang menuntut mereka untuk bertindak seperti itu bukanlah pimpinan geng atau pihak tertentu, melainkan lingkungan di dunia "klitih" yang bersifat eksternal karena berada di luar individu. Adanya paksaan dari luar ini juga berlaku secara umum di geng yang bertendensi untuk melakukan “klitih�. Meskipun fakta sosial yang berasal dari luar diri individu bersifat memaksa dan berlaku secara umum, namun terkadang individu tidak merasa

Â


terpaksa sama sekali dan justru fakta sosial inilah yang membentuk solidaritas sosial. Konsep mengenai solidaritas sosial akan menjadi konsep selanjutnya yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji fenomena "klitih". Solidaritas sosial itu sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik memiliki ciri utama berupa adanya keseragaman kerja dan terkesan sederhana sedangkan solidaritas organik lebih kompleks karena adanya sistem pembagian kerja yang sistematis dan terorganisasi (Durkheim, 1966). Menurut analisis peneliti, salah satu alasan mendasar mengapa “klitih” tidak mudah diprediksi dan diatasi adalah karena adanya pembagian kerja yang terstruktur dalam geng “klitih”. Menurut interpretasi peneliti terhadap penjelasan narasumber, “klitih” adalah sebuah sistem yang setiap sub-sistem di dalamnya memiliki fungsi tertentu. Pertama, geng “klitih” inti terdiri dari pimpinan dan anggota. Mereka berfungsi sebagai eksekutor target di jalanan. Kedua, jaringan alumni sekolah tertentu yang berperan sebagai ‘mentor’ dari setiap geng “klitih”. Mereka adalah kakak kelas para remaja pelaku “klitih” yang sudah lulus atau dikeluarkan dari sekolah dan sebelumnya juga berada dalam geng “klitih” inti. Peran mereka adalah melakukan rekrutmen rutin melalui acara sekolah yang biasanya melibatkan alumni sebagai pengisi acara. Di momen inilah mereka menyebarkan seluk beluk dunia “klitih” untuk mencari anggota baru dari adik kelas mereka. Ketiga, orang yang menyewa jasa keamanan seperti pedagang kaki lima maupun angkringan. Mereka adalah ‘mitra kerja’ dari jaringan alumni yang biasanya akan dijaga oleh geng “klitih” inti sehingga lapak mereka aman dari gangguan pencuri maupun rampok bahkan ketika lapak mereka ditinggal sekalipun. Sebagai kompensasi, pedagang tersebut akan memberikan imbalan berupa uang maupun minuman keras. Mereka juga menjadi pemicu terjadinya rekrutmen insidental selain rekrutmen acara sekolah jika anggota geng “klitih” inti yang baru tidak mencukupi jumlah permintaan mereka untuk menjadi penjaga keamanan.


Berdasarkan analisis mengenai sistem kerja geng “klitih” di atas, dapat disimpulkan bahwa ternyata ada pihak lain yang terlibat di balik aksi “klitih” di jalanan. Jaringan alumni menjadi pihak penanggung jawab terhadap penyebaran ideologi “klitih” di almamater mereka untuk kemudian merekrut anggota baru dari adik kelasnya. Sedangkan pedagang yang menyewa jasa keamanan bertanggung jawab mengenai perekrutan insidental. Kedua tipe perekrutan ini ternyata membawa dampak yang berbeda. Para pelajar yang kondisi psikisnya kurang baik bisa saja terhasut alumni sebagai senior mereka untuk bergabung bersama geng “klitih” inti. Dampaknya adalah adanya regenerasi anggota “klitih” secara terus menerus yang menyebabkan fenomena “klitih” tidak mudah diberantas. Sementara itu, menyerang target dengan disertai bukti berupa senjata tajam yang berlumuran darah korban menjadi syarat utama perekrutan insidental. Karena nantinya mereka akan menjadi anggota geng inti tambahan untuk mengawal penyewa jasa keamanan. Bukti tersebut diperlukan sebagai bentuk keberanian calon pengawal dari geng klitih inti sebelum nantinya dinyatakan lolos rekrutmen. Berangkat dari pemaparan diatas, Penulis menyimpulkan bahwa terdapat 4 faktor penyebab “klitih”. Pertama, terjadi pergeseran nilai yang dianut pelajar dari nilai yang berlaku di masyarakat menjadi nilai yang berlaku di kalangan geng “klitih”. Kedua, nilai tersebut berkembang menjadi norma yang juga bergeser dari norma masyarakat menjadi norma “klitih”. Ketiga, sistem nilai-norma berkembang menjadi fakta sosial yang baru dalam dunia “klitih” yang tentunya juga berbeda dengan fakta sosial masyarakat pada umumnya. Terakhir, fakta sosial “klitih” melahirkan solidaritas organik yang mengatur pergerakan geng “klitih” inti, jaringan alumni, dan orang yang menyewa jasa keamanan secara terstruktur.

4.1.3 Respon Masyarakat terhadap Fenomena "Klitih"


Fenomena “klitih” tentunya membuat masyarakat asli DIY maupun luar DIY merasa was-was. Narasumber bahkan mengatakan bahwa dulu sempat terjadi ketakutan di kalangan orang tua yang anaknya akan menuntut ilmu di DIY karena adanya ancaman “klitih” tersebut. Ketakutan ini juga merambat bahkan di masyarakat asli DIY itu sendiri. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa pelaku “klitih” mengincar korban secara acak padahal kenyataannya tidak demikian. Ketakutan ini kemudian membuat respon masyarakat terhadap “klitih” menjadi pasif. Mereka hanya akan bertindak untuk melapor pada pihak berwajib saat terjadi aksi “klitih” yang menimbulkan korban. Kepasifan masyarakat dalam merespon “klitih” sebagai sesuatu yang genting juga ditunjukkan dengan kurangnya pengawasan terhadap remaja yang mencurigakan. Pembinaan remaja yang terlanjur bergabung geng “klitih” dan pelaporan pelaku “klitih” yang lolos dari kejaran aparat juga masih belum optimal. Namun demikian, masyarakat memiliki respon yang cepat tanggap di dunia maya terhadap fenomena “klitih”. Salah satu respon unik masyarakat DIY dalam menghadapi fenomena "klitih" adalah dengan memanfaatkan teknologi digital seperti media sosial. Terdapat sebuah grup publik facebook bernama “Info Cegatan Jogja” yang digunakan sebagai sarana berbagi informasi mengenai isu-isu sosial di DIY (Surwandono & Bahari, 2020). Segala informasi yang berkaitan dengan "klitih" juga ternyata dapat disebarluaskan melalui grup ini. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat terhadap fenomena "klitih" di dunia maya bisa dikatakan sudah cukup baik.

4.1.4 Dampak Sanksi Sosial terhadap Pelaku "Klitih" "klitih" sebagai aksi kekerasan jalanan remaja bisa dikategorikan sebagai penyimpangan atas nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini kemudian berimplikasi pada timbulnya sanksi sosial bagi para pelakunya. Salah


Â

satu bentuk sanksi sosial yang ada yaitu penolakan (Winarno, 2020). Pelaku "klitih" cenderung tidak disukai dan diterima oleh lingkungan masyarakat umum karena mereka dianggap tidak mematuhi nilai-norma sosial yang ada. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa sanksi sosial yang dialami oleh pelaku "klitih" adalah ditolak oleh masyarakat sekitar. Namun, dampak sanksi sosial yang diberikan masyarakat terkadang tidak menyelesaikan persoalan sampai tuntas dan justru memperkeruh keadaan meskipun secara tidak langsung. Karena, pelaku "klitih" yang ditolak oleh lingkungan masyarakat tidak akan memiliki tempat di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga, pelaku "klitih" tersebut akan tetap melekat dengan lingkungannya sendiri karena mereka tidak punya tempat untuk pulang selain lingkungan yang bisa menerima keberadaan mereka. Padahal, lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan perilaku remaja yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan (Putra & Suryadinata, 2020). Dengan kata lain, penolakan masyarakat sebagai sanksi sosial berdampak pada bertahannya para pelaku "klitih" di lingkungannya sendiri.

4.1.5 Upaya yang Dapat Dilakukan Masyarakat dalam Menanggulangi Klitih Ada beberapa upaya penanggulangan "klitih" yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Menurut narasumber, salah satu cara yang cukup efektif adalah dengan bekerja sama untuk berani melaporkan remaja di sekitar lingkungan mereka yang terbukti memiliki kaitan dengan geng "klitih". Beberapa karakteristik para remaja yang patut dicurigai diantaranya seperti sering keluar malam dan nongkrong dengan alasan yang kurang jelas. Singkatnya, masyarakat diharapkan dapat bersama-sama untuk mengawasi dan melaporkan remaja yang terlibat "klitih" langsung ke pihak yang berwajib atau melalui pemerintah desa setempat terlebih dahulu.

Â


Cara selanjutnya yang bisa diterapkan adalah menciptakan ruang yang nyaman sebagai tempat belajar bagi para remaja di lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan ketersediaan tempat yang bisa membangun lingkungan positif dapat mencegah berkembangnya perilaku menyimpang (Bhakti dkk., 2017). Taman baca masyarakat, sanggar kesenian, serta sarana dan prasarana olahraga dapat dibangun oleh masyarakat untuk membuat lingkungan sosial yang positif. Tempat-tempat tersebut dapat dimanfaatkan oleh para remaja untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat guna menjauhi perilaku menyimpang seperti aksi kekerasan jalanan. Peneliti juga memiliki pendapat bahwa sistem keamanan lingkungan atau ronda malam di setiap RT perlu ditingkatkan sebagai upaya penanggulangan aksi “klitih”. Adanya sistem keamanan semacam ini dapat dilakukan untuk mengawasi para remaja yang sedang berpergian tengah malam dan berpotensi menjadi pelaku “klitih”. Selain itu, kerja sama di setiap RT yang bisa menjangkau daerah sepi dalam melaksanakan kegiatan ronda malam akan sangat menentukan keberhasilan untuk memproteksi warga di wilayah yang mereka jaga maupun orang lain yang sedang melintas dari bahaya serangan “klitih”.


Â

4.2. ISU PSIKOLOGI 4.2.1. Pendahuluan "Klitih" dapat dikategorikan sebagai kenakalan remaja atau juvenile delinquency karena "klitih" termasuk aksi atau perilaku melanggar hukum yang dilakukan oleh remaja yang terlibat dalam aksi yang dikategorikan ilegal (Santrock, 2018). Pelaku "klitih" didominasi oleh para remaja. Psikologi perkembangan mengkategorikan remaja sebagai anak yang berusia lebih dari 12 (dua belas) tahun (Santrock, 2018). Penelitian Febriani (2018) menggunakan data 31 (tiga puluh satu) partisipan dengan rentang usia rata-rata 16 (enam belas) tahun untuk menguraikan faktor apa saja yang berpotensi mengarahkan pelaku ke dalam aksi "klitih". Penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat tiga faktor utama yang dapat menyebabkan perilaku "klitih" muncul di kalangan remaja, yaitu: (1) Buruknya relasi dengan orang tua; (2) Tingginya komitmen pada kelompok sebaya; dan (3) Rendahnya motivasi akademik. Di bawah ini, peneliti membedah berbagai faktor tersebut, menjelaskan faktor lain yang berhubungan, dan mengarahkan para anak ini untuk terlibat dalam perilaku "klitih". Teori dalam psikologi perkembangan manusia pun akan dibahas untuk memberi landasan mengapa tiap faktor tersebut saling memengaruhi.

4.2.2. Faktor Internal: Bagaimana Lingkungan Memainkan Peran sebagai Pendorong Perilaku “Klitih� a. Perkembangan Psikologis Remaja Teori Psikososial Erikson (1968) menjelaskan bahwa manusia berkembang dalam tahapan psikososial. Manusia berkembang oleh dorongan psikologis dan dorongan sosial. Selama hidup, kepribadian seorang manusia akan selalu berubah berdasarkan dua faktor tersebut. Erikson menekankan pada pentingnya setiap pengalaman hidup pada proses perkembangan manusia. Erikson membagi perkembangan

Â


Â

manusia menjadi delapan tahap perkembangan, setiap tahap memiliki ciri dan krisisnya sendiri. Jika mereka dapat menyelesaikan krisis ini, individu cenderung berkembang secara sehat. Para pelaku "klitih" ini didominasi oleh remaja. Erikson mengkategorikan remaja atau adolescence sebagai manusia yang memiliki rentang usia 10 (sepuluh) sampai 20 (dua puluh) tahun. Remaja memiliki krisis yang disebut identity versus identity confusion. Pada masa ini, remaja mengalami peningkatan keingintahuan untuk mengetahui jati dirinya dan dimanakah tempat seharusnya ia berada. Dorongan untuk mengetahui identitas muncul sepanjang masa hidup, tetapi menguat ketika pada masa remaja. Masa remaja juga merupakan masa peralihan. Erikson (1968) menyebutkan bahwa terdapat psychosocial moratorium dalam tahapan ini, yaitu peralihan masa kanak-kanak yang cenderung “aman� dan masa dewasa dengan otonomi penuh. Peralihan ini membuat remaja mencoba berbagai identitas untuk berusaha mencari berbagai peran, tempat, dan tanggung jawab sebagai sarana mencari jati dirinya. Remaja yang berhasil melewati krisis identitas di periode ini akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat secara psikologis. Bagi remaja yang gagal, mereka cenderung jatuh dalam identity confusion, yaitu bentuk kehilangan identitas yang membuat mereka cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Dalam periode ini, remaja juga mengalami penurunan interaksi dengan orang tua dan peningkatan interaksi dengan teman sebaya. Perubahan hormonal pada masa remaja juga memengaruhi bagaimana mereka berperilaku. Jaworska & MacQueen (2015) menyatakan bahwa perubahan hormonal ini dihubungkan dengan peningkatan risk-taking behaviors dan reaktivitas emosional. Jadi, ini

Â


Â

dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung berani untuk melakukan tindakan berisiko tinggi seperti "klitih".

b. Kelompok "Klitih" sebagai Sarana Penunjang Self-Esteem Febriani (2018) menemukan

bahwa 100% (seratus persen)

pelaku “klitih� dan anggota geng yang merupakan partisipan penelitian memiliki konsep diri yang buruk. Konsep diri atau self-concept merupakan istilah yang digunakan yang mengacu pada bagaimana seseorang berpikir tentang, mengevaluasi, dan menerima diri sendiri. Braumeister (1999) menyatakan bahwa self-concept merupakan keyakinan individu tentang diri mereka sendiri, termasuk atributnya, siapa, dan apa diri mereka itu. Self-concept ini berkaitan erat dengan self-esteem atau self-worth yang nilainya kurang lebih sejajar. Selfesteem mengacu pada sejauh mana kita menyukai, menerima, atau menyetujui diri kita sendiri atau seberapa besar kita menghargai diri kita sendiri. Self-esteem selalu mencakup derajat evaluasi dan memiliki nilai yang memandang diri negatif atau positif. Dengan singkat, self-esteem merupakan cara individu menilai diri sendiri, apakah berharga atau tidak. Perkembangan self-esteem dipandang sebagai salah satu proses yang paling penting dalam proses perkembangan remaja (Sirin & Rogers-Sirin, 2004) karena self-esteem dapat mendorong ke arah mana remaja akan mencari identitasnya. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki satu kebutuhan psikologis dasar, yaitu kebutuhan untuk dipandang atau memandang diri secara baik, tak terkecuali para pelaku "klitih". Sesuai dengan apa yang telah dikemukakan sebelumnya, para pelaku ini memiliki kemungkinan memandang diri mereka tidak berharga karena berkaitan dengan selfconcept dan self-esteem yang buruk. Sejalan dengan hal tersebut, para pelaku mencari sebuah lingkungan yang dapat mengkompensasi

Â


Â

rendahnya self-esteem mereka. Mereka pun menemukan sebuah kelompok yang memiliki nilai sesuai dengan para pelaku dan tidak membuat self-esteem menjadi menurun. Rasa inilah yang membuat mereka merasa nyaman dan terikat dalam kelompok tersebut. Febriani (2018) juga menemukan bahwa rendahnya prestasi dan motivasi belajar akademik merupakan salah satu faktor yang kuat dalam mendorong terjadinya aksi “klitih�. Prestasi yang rendah dapat diasosiasikan dengan self-esteem yang rendah karena mereka mungkin merasa tidak dapat memenuhi tuntutan akademik yang ada. Di dalam lingkungan sekolah, tuntutan akademik tidak dapat dijalankan dengan baik oleh para pelaku ini. 6 (enam) partisipan memiliki riwayat drop-out dari sekolah karena buruknya nilai akademik dan buruknya perilaku mereka di sekolah. Faktor ini juga dapat menjadi pendorong para pelaku untuk mencari lingkungan lain yang tidak membuat mereka merasa rendah diri. Rendahnya self-esteem ini juga berdampak pada rendahnya rasa tanggung jawab sosial dan personal (Redenbach, 1991). Remaja yang lingkungannya membuat para remaja tersebut merasa tidak dapat memenuhi tuntutan yang diberikan, akhirnya memilih identitas yang negatif (Erikson, 1968). Remaja yang memiliki sebuah identitas yang negatif pun cenderung mencari kelompok yang beridentitas negatif. Pada akhirnya, inilah yang menguatkan identitas negatif pada remaja tersebut. Kelompok "klitih" digunakan para remaja sebagai sarana aktualisasi diri. Kebanyakan para pelaku ini memiliki latar belakang yang kurang lebih sama, yaitu tidak berprestasi secara akademik. Karena kelompok ini tidak memiliki tuntutan untuk berprestasi seperti di lingkungan sekolah, para pelaku ini memiliki akhirnya menemukan kenyamanan sebagai sebuah kelompok. Faktor inilah yang menjadi dasar mengapa mereka dapat bergabung ke dalam sebuah kelompok

Â


Â

tersebut. Kelompok yang pada akhirnya membuat mereka melakukan tindakan "klitih". Jika disimpulkan, kelompok "klitih" ini merupakan sarana para remaja untuk meningkatkan rendahnya self-esteem yang mereka miliki. Di dalam kelompok ini, para remaja merasa diterima dan dengan begitu, mereka merasa nilai dirinya menjadi naik. Secara psikologis, sesuatu yang membuat kita merasa senang akan cenderung kita pertahankan.

4.2.3. Faktor Eksternal: Bagaimana Lingkungan Memainkan Peran sebagai Pendorong Perilaku "Klitih� a. Konformitas Kelompok Sudah lama diketahui bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok berarti mengikuti norma kelompok tersebut. Hal ini juga berlaku pada kelompok "klitih" tersebut. Kelompok "klitih" merupakan kelompok yang memiliki nilai cenderung negatif sehingga pasti memiliki negatif. Solechatun (2004) menyatakan bahwa remaja yang bergabung dengan kelompok teman sebaya merupakan bentuk dari penyelesaian konflik yang dialami remaja tersebut dengan orang tua atau lingkungannya. Sosialisasi yang dilakukan remaja dengan kelompok teman sebayanya mengarahkan remaja untuk melakukan respon adaptif atas konflik yang dihadapi remaja tersebut. Kelompok remaja tersebut memiliki aturan dan norma tersendiri. Kadang, nilai dan norma tersebut bertentangan dengan norma sosial yang berlaku masyarakat. Begitupun dengan kelompok "klitih", mereka memiliki nilai yang bertentangan dengan masyarakat. Hal ini membuat remaja kemudian terlibat dalam perilaku berisiko seperti kenakalan remaja.

Â


Â

b. Relasi Buruk dengan Orang Tua Febriani (2018) menemukan bahwa relasi yang buruk dengan orang tua merupakan salah satu pendorong kuat aksi "klitih". Hubungan anak dengan orang tua pada masa perkembangan awal memiliki faktor yang sangat krusial bagi masa perkembangan selanjutnya. Hal ini dikarenakan interaksi awal anak merupakan pondasi kepribadian tentang bagaimana anak akan berkembangan. Data dari penelitian Febriani (2018) menemukan bahwa 100% (seratus persen) partisipan melaporkan kurangnya kehangatan hubungan dengan ayah, dan 90% (sembilan puluh persen) melaporkan hubungan yang kurang hangat dengan ibu. Penelitian tersebut juga memaparkan pelaku yang mendapatkan pola asuh yang buruk

dengan adanya

kekerasan fisik sebagai sarana pengasuhan. Perilaku kenakalan remaja disebabkan oleh beberapa faktor seperti keluarga, sekolah, dan teman sebaya (Nindya & Margaretha, 2012). Siegel dan Welsh (2011) menyatakan bawah salah satu penyebab utama dalam masalah pembentukan emosional anak adalah keluarga yang bermasalah. Masalah emosional ini dapat mengarahkan anak tersebut dalam masalah sosial jangka panjang. Risiko remaja melakukan perilaku sosial yang tidak dapat diterima seperti agresi dan masalah perilaku eksternal lain meningkat ketika orang tua tidak dapat memenuhi kebutuhan anak dengan baik ataupun mengacuhkannya (Verlaan & Schwartzman, 2002). Orang tua yang anaknya terlibat dalam kenakalan remaja biasanya gagal dalam memberi penguatan perilaku positif pada anak usia dini (Nindya & Margaretha, 2012). Seterusnya, orang tua biasanya tidak terlibat secara positif terhadap masa perkembangan anak hingga remaja. Tak jarang, anak justru mendapat kekerasan di dalam rumah.

Â


Â

Penelitian Febriani (2018) juga menemukan bahwa kekerasan fisik juga menjadi bagian dari cara pengasuhan orang tua para pelaku "klitih" ini. Jessor & Jessor (1977) menyatakan bahwa anak yang tinggal dengan orang tua yang melakukan tindakan kekerasan akan belajar bagaimana cara untuk berinteraksi dan bersosialisasi dari sikap tersebut. Selanjutnya, anak yang memiliki orang tua yang terbiasa berteriak, mengancam, atau tindakan menyimpang lainnya akan mencoba meniru perilaku tersebut ketika berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Tindakan ini mendorong anak untuk melakukan perilaku menyimpang dan ketika remaja, perilaku ini dapat menjadi kenakalan remaja (Nindya & Margaretha, 2012). Patterson, Reid, & Dishion (1992) menemukan bahwa remaja yang bertindak agresi merupakan remaja yang tinggal di lingkungan keluarga yang mengalami tingkat kekerasan tinggi antara orang tua dan anak. Anak yang mengalami tindakan kekerasan dari orang tua akan melakukan tindakan kekerasan untuk melawan dan menjauhkan diri dari kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Patterson, Reid, & Dishion (1992) menyatakan bahwa perilaku kekerasan meliputi perilaku yang tidak layak dari orang orang tua seperti membentak, mencaci, serta kurangnya pemberian penguatan positif pada anak. Adanya tindakan kekerasan dari orang tua akan meningkatkan risiko anak terlibat dalam permasalahan perilaku, termasuk kenakalan remaja (Nindya & Margaretha, 2012). Proses modeling dari anak yang menerima kekerasan dari orang tua menyebabkan tingginya tingkat risiko kenakalan pada anak tersebut. Proses ini terjadi ketika anak mengamati cara orang tua dalam bersikap sehingga ia terbiasa melihat orang tuanya menyelesaikan masalah dengan tindakan agresi, maka ia pun cenderung meniru cara tersebut ketika bersikap (Nindya & Margaretha, 2012).

Â


Â

Akhirnya, remaja korban kekerasan emosional yang bersikap agresif akan lebih sering bersosialisasi dengan remaja lain yang memiliki karakteristik sama (Patterson, Reid, & Dishion, 1992). Dengan begitu, risiko untuk melakukan tindakan kenakalan remaja semakin besar. Proses learning inilah yang membuat remaja cenderung terlibat dalam kenakalan remaja. Dalam hal ini, remaja terlibat dalam perilaku "klitih".

c. Provokasi dan Pengaruh Alkohol Provokasi mungkin menjadi salah satu penyebab pelaku berani melakukan tindakan "klitih". Provokasi yang dimaksud adalah provokasi dari internal kelompok tersebut. Diduga ada sebuah motif pembuktian diri mengenai siapa yang memiliki keberanian yang cukup untuk melakukan "klitih". Pada pembahasan mengenai self-esteem, kita telah membahas mengenai motivasi peningkatan self-esteem. Anggota kelompok akan termotivasi secara psikologis untuk melakukannya karena tindakan ini akan menaikan self-esteem dan menaikan cara mereka dipandang dalam kelompok tersebut. Selain itu, pengaruh alkohol juga mendapat pertimbangan sebagai pendorong aksi "klitih". Sudah lama diketahui bahwa individu yang berada di bawah pengaruh alkohol cenderung bertindak lebih agresif. Alkohol terbukti menurunkan kemampuan individu dalam menahan diri untuk tidak bertindak secara agresif. Pengaruh alkohol membuat individu lebih sensitif terhadap provokasi juga menurunkan kemampuan tindakan agresif dapat dijelaskan sebagai berikut. Baron & Branscombe (2012) menyatakan bahwa agresi dapat dipengaruhi oleh penggunaan alkohol karena menurunnya fungsi kognitif individu yang berakibat pada menurunnya persepsi sosial. Temuan dari Bartholow, Pearson, Gratton, & Fabian (2003) mendukung

Â


pernyataan ini. Mereka menemukan bahwa alkohol menurunkan fungsi kognitif individu terhadap stimulus, seperti konsekuensi dari suatu tindakan. Ini berpengaruh pada ketidakmampuan untuk merespon, menilai, dan mengevaluasi dari stimulus seperti provokasi. Ini dapat menjelaskan mengapa pelaku "klitih" ini cenderung bertindak “nekat” dan tidak dapat berpikir secara jernih akibat dari tindakan "klitih" yang mereka lakukan. Maka dari itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah adanya pengaruh alkohol dan provokasi membuat para remaja ini berani untuk melakukan "klitih". Motivasi pembuktian diri dan penggunaan alkohol sebagai sarana untuk memperoleh keberanian membuat mereka berani untuk melakukan tindakan ini

4.2.4. Dampak Aksi "Klitih" terhadap Kondisi Psikologi Pelaku "klitih" Para pelaku “klitih” merupakan remaja yang sedang berada dalam tahap pencarian identitas. Pada tahap ini, pelaku sebagai remaja memandang “status” sebagai sesuatu yang penting. “Klitih” tidak hanya dilakukan sebagai manifestasi kesehatan mental yang buruk, tetapi dapat dilakukan sebagai sarana mencapai sebuah status (Ennet & Faris, 2012). Secara umum, remaja yang peduli dan berorientasi pada status cenderung berani untuk bertindak agresif. Dalam kelompok “klitih”, mereka yang berani melakukan tindakan “klitih” dianggap memiliki status yang lebih tinggi daripada anggota yang lain. Dorongan motivasi eksternal ini membuat para pelaku yang berorientasi status berani melakukannya. Selain itu, keberhasilan yang dicapai ketika para pelaku berhasil melakukan tindakan “klitih” membuat status sosial yang naik di dalam kelompok tersebut. Naiknya status sosial di dalam kelompok dapat menyebabkan self-esteem dari para pelaku naik. Ini dapat menguatkan kecenderungan perilaku yang sama terulang.


Â

Dengan alasan, mereka ingin memperoleh kembali popularitas dan ingin kembali meningkatkan self-esteem mereka sendiri.

4.2.5. Langkah Preventif dan Represif untuk Menekan Tindakan "Klitih" a. Preventif Tindakan preventif dari perilaku "klitih" dapat dimulai dari lingkungan primer anak, yaitu keluarga. Keluarga diharapkan menjadi role model anak dalam berperilaku. Anak yang berasal dari keluarga yang mengajarkan perilaku sosial cenderung memiliki kecenderungan untuk berperilaku sosial juga. Keluarga juga merupakan pemeran penting sebagai sarana peningkatan self-esteem pada anak. Ketika sang anak memiliki self-esteem yang baik, anak tidak akan memiliki kecenderungan mencari self-esteem ke kelompok negatif, seperti kelompok "klitih". Keluarga diharapkan membangun karakter anak sebagai anak dan remaja yang memiliki perilaku prososial. Tindakan preventif dari lingkungan pendidikan pun dapat dilakukan oleh instansi terkait. Dalam dunia akademik, instansi yang berwenang diharapkan membuat sebuah kurikulum yang menekankan pada penting dan berharganya setiap bakat dan minat siswa. Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa para pelaku "klitih" merupakan siswa yang tidak berprestasi secara akademik. Para pihak berwenang diharapkan memberikan kesempatan pada tiap bakat dan minat siswa, baik akademik dan non-akademik. Dengan begitu, para anak dan remaja tidak memiliki self-esteem yang rendah dikarenakan ketidakmampuan akademik mereka, mereka pun tidak perlu mencari kelompok lain, seperti kelompok "klitih", sebagai sarana mencari dan meningkatkan self-esteem yang tidak mereka dapatkan di lingkungan sekolah. Poin yang ingin ditegakkan adalah lingkungan perkembangan anak seperti keluarga dan sekolah diharapkan menjadi role model dan

Â


Â

sarana mencari self-esteem dengan cara positif. Keluarga diharapkan menjadi role model yang utama sebagai tempat anak untuk berkembang secara positif secara psikologis. Sekolah dan instansi pendidikan lainnya diharapkan menemukan kebijakan yang tidak perlu membandingkan kemampuan satu siswa dengan siswa yang lain. Perbandingan antara siswa ditakutkan dapat membuat mereka yang tidak berprestasi secara akademik mencari kompensasi self-esteem di lingkungan lain, seperti kelompok "klitih". Adanya sebuah kebijakan yang mendukung tiap bakat dan minat anak sebagai sarana penunjang self-esteem para siswa juga diperlukan agar anak memiliki self-esteem yang baik, dan merasa nyaman berada di sekolah karena minat dan bakatnya tersalurkan. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah akar dari perilaku "klitih" dengan membantu para anak berkembang baik secara psikologis.

b. Represif Tindakan represif dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka "klitih" di DIY. Selama ini, tindakan represif dilakukan dengan memberikan hukuman dan pembinaan kepada para pelaku "klitih". Informasi dari ahli hukum dan ahli psikologi menegaskan bahwa langkah ini sudah efektif untuk menekan tindakan atau aksi "klitih" di kalangan remaja. Remaja yang telah dihukum juga mengalami tekanan psikologis yang membuat mereka malu karena mendapatkan label sebagai kriminal. Tekanan ini secara langsung mendorong para pelaku untuk merubah perilakunya agar kembali diterima di lingkungan masyarakat dengan baik. Selain itu, lembaga pemberdayaan pelaku ini juga dipandang cukup efektif untuk menurunkan kecenderungan perilaku yang sama untuk terulang. Lembaga pemberdayaan ini memberikan bimbingan dan

Â


Â

pengarahan yang baik sehingga pelaku menjadi tersadarkan tentang tindakannya yang salah. Tentunya, penguatan dan fasilitas lembaga seperti ini dapat ditingkatkan agar pelayanan dan bimbingan kepada pelaku semakin baik dan dapat mengubah perilakunya menjadi lebih diterima di lingkungan masyarakat.

c. Tindakan Preventif dan Represif harus menjadi Satu Kesatuan Tindakan preventif dan represif terus dilakukan secara simultan untuk mencegah perilaku yang sama terulang. Jika tindakan represif seperti pemberian hukuman secara formal, pemberdayaan, dan pengembangan telah dilakukan dengan baik, maka lingkungan seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat harus menjadi sarana tindakan tersebut agar tidak terulang. Pemberian hukuman dan pemberdayaan yang kuat akan memberikan dorongan kepada remaja untuk dapat bertindak secara positif. Lingkungan, keluarga, dan sekolah diharapkan menguatkan dan mempertahankan dorongan anak untuk terus bertindak secara positif. Keluarga dan sekolah diharapkan dapat memberikan dan menaikan selfesteem siswa dengan cara yang positif sehingga kecenderungan untuk bertindak agresif dan mencari lingkungan pendukung lain, seperti "klitih", dapat berkurang.

Â


Â

4.3. ISU HUKUM 4.3.1. Pendahuluan Selain ditinjau dari aspek sosiologi dan psikologi, fenomena aksi "klitih" juga dapat dianalisis melalui perspektif hukum. Dalam bidang hukum, aksi "klitih" memiliki kaitan erat dengan hak-hak anak khususnya Anak yang Berhadapan dengan Hukum, hukum positif yang mengatur tentang "klitih", dan peran hukum dalam penanganan kasus "klitih" itu sendiri.

4.3.2 Pengaturan Hukum terhadap Aksi "klitih" "Klitih" dimaknai sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan perorangan atau berkelompok. Aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana. Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan hakim anak, bentuk kejahatan jalanan dalam konteks "klitih" biasanya berupa penganiayaan, pengeroyokan, dan pencurian dengan kekerasan. Penganiayaan merupakan bentuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sementara itu pencurian dengan kekerasan diatur dalam 365 KUHP. Di sisi lain, karena dilakukan secara bersama-sama, maka yang turut serta dalam kejahatan tersebut dapat dijerat Pasal 55 KUHP. Berangkat dari kedua hal penting mengenai "klitih" yang telah dijelaskan sebelumnya—anak sebagai pelaku dan tindak pidana—, maka dapat disimpulkan bahwa pembicaraan tentang pengaturan hukum terhadap aksi "klitih" akan sedikit banyak menyinggung tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berbeda dengan orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana akan berhadapan dengan sistem peradilan yang berbeda. UU SPPA menyatakan bahwa pada proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di

Â


Â

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Menurut UU SPPA, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana diproses di luar peradilan pidana. Pada dasarnya, diversi bertujuan untuk memberikan perlindungan lebih terhadap anak itu sendiri. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Di samping itu, hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: (1) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; (2) penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; (3) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau (4) pelayanan masyarakat.

4.3.3 Peran Penting Regulasi dan Sistem Hukum dalam Mengendalikan Fenomena "Klitih" Pada dasarnya, peran utama regulasi dan sistem hukum dalam penanganan kasus kenakalan remaja adalah untuk memastikan terjaminnya hak konstitusional dan hak hukum yang disandang oleh anak (Smith & Dabiri, 1995). Berkaitan dengan fenomena "klitih", regulasi dan sistem hukum telah memiliki peran dari hulu hingga hilir dalam upaya pemenuhan hak anak. Peran penting tersebut dapat dibagi melalui 3 (tiga) aspek, diantaranya: (1) preventif; (2) represif; dan (3) kuratif. Dari hulu, regulasi dan sistem hukum Indonesia memainkan peran preventif. Hal tersebut terbukti dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Anak yang telah diuraikan dalam poin sebelumnya. Kata “preventif� sendiri diartikan secara harfiah sebagai aksi mencegah. Oleh

Â


karena itu, pengaturan hak-hak anak ini dapat dikatakan bertujuan untuk mencegah adanya pelanggaran terhadapnya. Di samping itu, regulasi dan sistem hukum juga memegang peran penting secara represif. Artinya, hukum berperan sebagai alat penyelesaian sengketa dengan melakukan penjatuhan hukuman atau sanksi pada pelaku (Hadjon, 1987). Dalam penanganan fenomena "klitih", KUHP dan UU SPPA sebagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bagaimana pelaku "klitih" dijatuhi hukuman kemudian menjadi pemeran utama. Gunarsa & Gunarsa (1990) menyatakan bahwa represif merupakan suatu usaha atau tindakan untuk menindas dan menahan kenakalan remaja sesering mungkin atau menghalangi timbulnya peristiwa yang lebih kuat. Oleh karena itu, penjatuhan hukuman dalam aspek represif disini tentu bukan semata-mata agar pelaku menjadi jera melainkan juga menjadi pertimbangan bagi anak-anak lain agar berpikir ulang sebelum melakukan kejahatan. Selain preventif dan represif, hukum juga memiliki peran penting di hilir upaya penanganan "klitih", yaitu secara kuratif. Menurut Mumtahanah (2015), kuratif diartikan sebagai usaha untuk memulihkan kembali (menolong) anak yang terlibat kenakalan agar kembali dalam perkembangan yang normal atau sesuai dengan aturan-aturan/norma-norma hukum yang berlaku. Dalam konteks "klitih", peran kuratif dalam hukum tercermin oleh pemberian rehabilitasi bagi pelaku. Dalam UU SPPA, Anak yang Berhadapan dengan Hukum — baik anak yang ditahan, anak yang dijatuhi pidana, Klien Anak, Anak Korban, maupun Anak Saksi — berhak mendapatkan pembimbingan dan pembinaan, serta dijamin pemenuhan hak-hak lainnya.

4.3.4 Korelasi antara Hak Anak dan Aksi "Klitih" Sehubungan dengan pengertian dari aksi “klitih”, aksi "klitih" juga memiliki ciri khusus, yakni pelakunya sebagian besar berasal dari kalangan pelajar atau remaja. Berdasarkan data anak pelaku “klitih” yang masuk di LPKA


Â

Kelas II Yogyakarta selama periode tahun 2017-2020, rentang usia pelaku pada saat melakukan aksi “klitih� adalah 15-18 tahun. Rentang usia tersebut berada dalam kategori anak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Oleh karena itu, penanganan pelaku maupun korban "klitih" harus memperhatikan hak asasi yang disandangnya, yaitu hak anak. Bagi anak yang terlibat dalam aksi "klitih", setidaknya terdapat beberapa hak anak sebagai korban direnggut oleh aksi ini dan hak anak sebagai pelaku yang rentan terlanggar selama masa penanganannya, di antaranya: a. hak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; b. hak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari Kekerasan yang dilakukan oleh sesama peserta didik, dan/atau pihak lain; c. hak untuk terbebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya; d. hak untuk terhindar dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup; e. hak untuk terhindar dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; f. hak untuk memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; g. hak untuk terhindar dari publikasi atas identitasnya; h. hak atas kehidupan pribadi; i. hak untuk memperoleh pendidikan;

Â


Â

j. hak atas pelayanan kesehatan; dan k. hak-hak lainnya.

4.3.5 Hak Anak dan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut UU No. 35 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada dasarnya, anak masih harus bergantung pada orang dewasa untuk tumbuh menuju kemandirian. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan berupa hak-hak dasar yang wajib dipenuhi. Di Indonesia, hak-hak dasar anak tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam UU Perlindungan Anak, peraturan yang secara khusus bertujuan untuk menguatkan perlindungan anak di Indonesia, terdapat beberapa hak-hak anak antara lain: 1. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran; 2. Hak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain; 3. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi Anak Penyandang Disabilitas dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi Anak yang memiliki keunggulan; 4. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi Anak Penyandang Disabilitas; 5. Hak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir; dan

Â


Â

6. Hak untuk memperoleh perlindungan dari: (1) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (2) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (3) pelibatan dalam kerusuhan sosial; (4) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; (5) pelibatan dalam peperangan; dan (6) kejahatan seksual. Bukan hanya anak secara umum, peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengenal istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Secara harfiah, telah dapat ditafsirkan bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum merupakan bentuk yang lebih khusus dari anak itu sendiri. Menurut UU SPPA, Anak yang Berhadapan dengan Hukum didefinisikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sama seperti anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga memiliki hak-hak dasar yang bersifat lebih khusus daripada hak anak. Dalam UU Perlindungan Anak tercantum pula pernyataan bahwa ABH berhak diberikan Perlindungan Khusus. Pernyataan tersebut seolah mengamini keberadaan hak bagi ABH. Pada Pasal 64 peraturan yang sama, dijelaskan lebih rinci bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum berhak mendapatkan beberapa hal sebagai berikut: a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. Pemisahan dari orang dewasa; c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional; e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya; f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;

Â


Â

g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; h. Pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya; j. Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. Pemberian advokasi sosial; l. Pemberian kehidupan pribadi; m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas; n. Pemberian pendidikan; o. Pemberian pelayanan kesehatan; dan p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4.3.6 Upaya Reintegrasi Sosial Terhadap ABH Melalui Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Secara harfiah, reintegrasi dapat diartikan sebagai penyatuan kembali. Dalam konteks hukum, reintegrasi sosial berkaitan dengan fungsi kuratif. Artinya, pelaku kejahatan harus menjalani upaya pemulihan agar dapat kembali menjalani hidup sesuai dengan norma hukum yang berlaku sehingga kehadiran mereka mudah diterima kembali oleh masyarakat. Di Indonesia, upaya reintegrasi sosial ini tercermin melalui sistem pemasyarakatan yang ada. Sehubungan

dengan

ABH

dalam

kasus

"klitih"

dan

sistem

pemasyarakatan yang ada di Indonesia, upaya reintegrasi sosial dijalankan melalui sebuah lembaga yang disebut LPKA. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pembinaan Khusus Anak, LPKA merupakan lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya.

Â


Â

Menurut Pasal 4 ketentuan yang sama, LPKA mempunyai tugas melaksanakan pembinaan anak didik pemasyarakatan. Hal tersebut berkaitan dengan upaya pemenuhan salah satu hak anak yang ada di dalam UU SPPA, yaitu hak untuk memperoleh

memperoleh

pembinaan,

pembimbingan,

pengawasan,

pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan hakim anak, upaya LPKA dalam memenuhi hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum juga telah cukup baik. Pemenuhan hak-hak tersebut tentu akan bermuara pada keberhasilan upaya reintegrasi sosial yang dicitacitakan sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Â


Â

V.

Rekomendasi Kebijakan a.

Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY 1. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY melakukan upaya penguatan kurikulum yang tidak hanya berfokus pada kegiatan akademik, tetapi juga penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi dengan pengembangan softskill dan hardskill siswa di luar akademik melalui standardisasi program kegiatan ekstrakurikuler dan kurikuler yang lebih apresiatif terhadap seluruh siswa. Hal ini penting dilakukan mengingat salah satu penyebab siswa terlibat dalam aksi klitih karena mereka tidak menemukan tempat menyalurkan minat dan bakatnya di lingkungan

sekolah.

Terlebih

lagi,

ketidakmampuan

mereka

berkompetisi di bidang ekstrakurikuler dan kurikuler yang ada di sekolah membuat mereka mencari sarana lain untuk memperoleh pembuktian dan perhatian; 2. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY diharapkan mendorong stakeholder setiap sekolah untuk bersikap proaktif dalam mengawasi siswa yang terlibat menjadi pelaku "klitih" dengan membuat master plan mekanisme pelaporan indikasi terjadinya "klitih". Semua pihak harus bekerja sama dalam upaya preventif dan represif ketika menangani kasus klitih. 3. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY diharapkan dapat membangun sistem database yang memadai, di mana setiap tahunnya setiap sekolah harus melaporkan jumlah siswanya yang terlibat dalam aksi "klitih". Database ini akan berguna untuk menjadi pijakan bagi pemerintah DIY dalam melakukan bimbingan secara khusus terhadap sekolah-sekolah yang siswanya banyak terlibat dalam aksi "klitih"; 4. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY diharapkan dapat mengadakan pelatihan tematik yang berkelanjutan bagi guru Bimbingan

Â


Konseling sehingga guru Bimbingan Konseling semakin memahami cara yang tepat untuk menangani anak-anak yang memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam aksi "klitih". Para guru Bimbingan Konseling diharapkan dapat menjadi pendamping bagi para siswa dalam mengenali dan menyalurkan minat dan bakatnya secara positif; 5. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY diharapkan dapat membuat standar umum kualitas kinerja layanan Bimbingan Konseling di setiap sekola. Penetapan standar umum tersebut harus diikuti dengan pengawasan dan pengarahan dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY secara berkala. Layanan Bimbingan Konseling diharapkan menjadi salah satu fasilitas yang dapat dimaksimalkan fungsinya berkaitan dengan upaya preventif meningkatkan siswa yang terlibat dalam aksi klitih; 6. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY diharapkan dapat memfasilitasi sebuah forum koordinasi antar sekolah di DIY dengan bahasan spesifik mengenai aksi "klitih" yang dilaksanakan secara berkala. Hal ini mengingat “klitih” biasanya terjadi karena perkelahian geng antarsekolah, sehingga koordinasi sangat diperlukan untuk membangun kerja sama yg positif antarsekolah; 7. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY menyediakan platform online yang berisi informasi komunitas di DIY untuk mewadahi minat, bakat, dan kemampuan siswa di luar ekstrakurikuler dan komunitas intrasekolah bagi seluruh siswa di DIY, apapun bentuk minat, bakat, dan kemampuan siswa. Bentuk apresiasi terhadap apa pun bentuk minat dan bakat dari para siswa dapat mengurangi risiko para siswa untuk mencari kelompok lain yang negatif sebagai sarana kompensasi pemenuhan kebutuhan psikologis, seperti kelompok “klitih”.


B. SMA 1. Pengadaan program edukasi dan sosialisasi secara berkala yang dikhususkan untuk memberikan informasi tentang fenomena "klitih". Dalam pelaksanaannya, pihak sekolah dapat menggunakan substansi pada policy paper ini sebagai rujukan. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran para siswa terhadap aksi “klitih”; 2. Sekolah diharapkan dapat membangun hubungan erat dengan alumni melalui pembuatan forum alumni yang dapat menjadi wadah resmi untuk berkomunikasi dengan guru maupun siswa di sekolah dan perumusan kebijakan sekolah yang mengatur bahwa pelibatan dan pengundangan alumni dalam kegiatan organisasi harus mendapat persetujuan dari sekolah. Berdasarkan pada penjabaran isu sosiologi, diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara alumni dengan proses penyebaran paham “klitih” dan proses rekrutmen geng “klitih”. Oleh karena itu, pembuatan forum alumni dan perumusan kebijakan sekolah mengenai pengundangan alumni dalam kegiatan organisasi diharapkan dapat mencegah penyebaran paham "klitih" dan perekrutan anggota "klitih" oleh alumni yang berafiliasi dengan geng "klitih"; 3. Pihak sekolah perlu mengadakan pertemuan secara berkala dengan orang tua/wali siswa untuk menjalin komunikasi yang intensif terutama berkaitan dengan perkembangan siswa. Melalui pertemuan secara berkala tersebut diharapkan guru dapat mengetahui perkembangan anak di lingkungan keluarga dan sebaliknya orang tua/wali siswa juga dapat mengetahui keadaan lingkungan sosial anak di sekolah. Dengan hal tersebut baik guru dan orang tua/wali siswa dapat lebih memahami hal yang dibutuhkan oleh anak/muridnya sesuai dengan kondisi yang dialami oleh anak/murid;


4. Sekolah melakukan pemetaan terhadap minat dan bakat siswa secara berkala. Pemetaan tersebut akan dijadikan dasar bagi pihak sekolah dalam menciptakan kegiatan ekstrakurikuler dan kulikuler yang lebih variatif dan kontekstual dengan kebutuhan siswa. Ketika sekolah dapat memenuhi kebutuhan psikologis dari siswa dengan menyediakan wadah mengekspresikan

diri

secara

positif

dalam

bentuk

kegiatan

ekstrakurikuler dan kurikuler bagi setiap siswanya, siswa diharapkan tidak akan mencari sarana lain seperti kelompok “klitih” sebagai sarana pemenuhan kebutuhannya; 5. Sekolah menjadi tokoh utama dalam mencegah terjadinya aksi klitih. Setiap warga sekolah (guru, siswa, dan anggota sekolah lainnya) dan masyarakat sekitarnya dapat bersikap proaktif dalam mengawasi tendensi seorang siswa terlibat dalam aksi "klitih". Masyarakat sekitar sekolah dapat melaporkan ke pihak berwenang sekolah yang bersangkutan jika terdapat indikasi pelaku "klitih" yang berasal dari sekolah terkait. Dalam pelaksanaanya, setiap pihak wajib mendapat perlindungan identitas ketika melakukan pelaporan atas indikasi ini. Pihak berwenang sekolah akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan melakukan pendekatan terhadap anak dan pemberitahuan kepada pihak keluarga. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai upaya preventif agar ketika ada indikasi “klitih” akan dilakukan, perilaku itu dapat dicegah sedini mungkin.


DAFTAR PUSTAKA

Acquaviva, E., Ellul, P., & Benarous, X. (2018). Variations in Pathways Into and Out of Antisocial Behavior From the Perspective of Developmental Psychopathology. Understanding Uniqueness and Diversity in Child and Adolescent Mental Health, 3-23. doi:10.1016/b978-0-12-815310-9.00001-0 Bhakti, C. P., Kumara, A. R., & Nugraha, A. (2017). Implementasi pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan untuk mengurangi kenakalan remaja. Peran Bimbingan Dan Konseling Dalam Penguatan Pendidikan Karakter, 64– 72. Bartholow, B. D., Pearson, M. A., Gratton, G., & Fabiani, M. (2003). Effects of alcohol on person perception: A social cognitive neuroscience approach. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 627–638 Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2012). Social Psychology (13 Ed.). Pearson Education: New Jersey Baumeister, R. F. (Ed.) (1999). The self in social psychology. Philadelphia, PA: Psychology Press (Taylor & Francis). Dawson-McClure, S. (2015). A population-level approach to promoting healthy child development and school success in lowincome, urban neighborhoods: Impact of parenting and child conduct problems. Prevention Science, 16, 279–290. Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and crisis. New York: Norton Durkheim, E. (1966). The Division of Labour in Society. The Free Press. Durkheim, E. (1982). The Rules of Sociological Method. The Free Press. Eflaningrum, A. (2016). Realitas Kekerasan Pelajar SMA di Kota DIY. Meneguhkan Peran Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam Memuliakan Martabat Manusia, 535–545. Ennet, S., & Faris, R. (2012). Adolescent aggression: The role of peer group status motives, peer aggression, and group characteristics. Social Network, 34, 371-378.


Fuadi, A., Muti’ah, T., & Hartosujono, H. (2019). Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih. JURNAL SPIRITS, 9(2), 88. https://doi.org/10.30738/spirits.v9i2.6324 Gunarsa, Y. Singgih D. & Gunarsa, Singgih D. (1990). Psikologi Remaja. BPK Gunung Mulia. Hadjon, Phillipus M. (1987). Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. PT. Bina Ilmu Jessor, R., & Jessor, S. L. (1977). Problem behavior and psychosocial development: A longitudinal study of youth. NewYork: Academic Press Nindya, P. N., & Margaretha, R. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak Terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Menta, 1(2), 1-9. Patterson, G. R., Reid, J. B., & Dishion, T. J. (1992). Antisocial Boys. Eugene, OR: Castalia Putra, A., & Suryadinata, S. (2020). Menelaah Fenomena Klitih di DIY dalam Perspektif Tindakan Sosial dan Perubahan Sosial Max Weber. Jurnal Asketik: Agama Dan Perubahan Sosial, 4(1), 1–21. Redenbach, S. (1991). Self-Esteem, the Necessary Ingredient for Success. Esteem Seminar Programs and Publications, USA. Rodkin, P., Berger, C., 2008. Who bullies whom? Social Status asymmetries by victim gender. International Journal of Behavioral Development 32 (6), 473–485. Santrock, J. W. (2018). A Topical Approach to Life-Span Development (9th Ed.). McGraw-Hill Education: New York, NY. Siegel, J. & Welsh, B. (2011). Juvenile Delinquency The Core. California: Wadsworth Sirin, S.R. and L. Rogers-Sirin. (2004). Exploring school engagement of middle-class African American adolescents. Youth Soc., 35, 323-340. Surwandono, S., & Bahari, D. M. (2020). The Advocay of Facebook Public Group “Info Cegatan Jogja” to Prevent Gangsterism Action “Klitih” in DIY, Indonesia. Society, 8(2), 364–380. https://doi.org/10.33019/society.v8i2.188


Verlaan, P., & Schwartzman, A. E. (2002). Mother's and Father's Parental Adjustment: Links to Externalizing Behavior Problem in Sons and Daughters. The International Journal of Behavioral Development, 26, 214-224. Loken, G. A., & Rosettenstein, D. (1998). The Juvenile Justice Counter-Reformation: Children and Adolescents as Adult Criminals: Introduction. QLR, 18, 351. Mumtahanah, Nurotun. (2015). Upaya Menanggulangi Kenakalan Remaja Secara Preventif, Represif, Kuratif, dan Rehabilitasi. AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, (Vol. 5, No. 2). Widayanti, W. (2019). Menciptakan Kondusifitas Keluarga sebagai Benteng Fenomena Klitih di DIY. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 43(1), 89–96. Winarno, E. (2020). Klithih : Manifestasi Penyimpangan Agresivitas Remaja Klithih. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 44(1), 21–38.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.


DewanLaks amana Put r a LembagaMahasi swa Psi kol ogiUGM ( Resear cher )

Ar i di vaFi r dhar i zki ALSA LCUGM ( Resear cher )

Mar i oJonJor di Coor .ofTal kshow Event ALSA CLCC2020LCUGM ( Super vi sor )

I s madaFi r daus Mandal aPut r a Kel uar gaMahasi swa Sosi ol ogiUGM ( Resear cher )

Ci nt yaSekar Vi cePr oj ectOf ďŹ cer1 ALSA CLCC2020LCUGM ( Super vi sor )

ALSA LOCALCHAPTER UNI VERSI TASGADJAH MADA MI TRA BESTARI

Pr of .Dr .Sunyot oUsman ( Dos enSos i ol ogiFi s i polUGM) Si gi dRi yant o,S. H. ,M. Si . ( Dos enHukum Pi danaFH UGM) Dr .Ar um Febr i ani ,S. Psi ,M. A. ( Dos enFakul t asPs i kol ogiUGM) Sr iW i yant iEddyono,S. H. ,LL. M.( HR) ,Ph. D. ( Dos enHukum Pi danaFH UGM)

NARASUMBER

Dr s.Supr apt o,S. U. ( Dos enSos i ol ogiFi s i polUGM) NurKhol i daDwi wat i ,S. H. ,M. H. ( Haki m PN Magel ang) Dr .Ai sahI ndat i ,M. S. ( Dos enFakul t asPs i kol ogiUGM)

Kor espondensi :+6282220944296( Jor di ) Kor espondensi :+6282133003886( Dewi )


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.