ALSA LC Unsri 17/18: Mahkamah konstitusi, “darurat korupsi”

Page 1

ALSA LC UNSRI LEGAL OPINION TEMA: ANTARA HUKUM DAN KEKUASAAN DI INDONESIA Mahkamah Konstitusi, “Darurat Korupsi� OLEH: MUHAMMAD RIZKY APANSYAH

A. PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pada pengertian lebih luas, dapat merujuk secara kolektif pada tiga cabang kekuasaan pemerintah yakni cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif1. Pemisahan kekuasaan di Indonesia terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini didasarkan pada prinsip Trias Politica. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang. Dengan Terpisahnya 3 Wewenang dengan 3 Lembaga yang berbeda, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances. Salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945 2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah 1 https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia Diakses 10 Desember 2017 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia Diakses 10 Desember 2017


Konstitusi3. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan banyak pihak yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah Wakil Tuhan di Dunia karena segala keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Mutlak dan tidak dapat di ganggu gugat. Jika Mahkamah Konstitusi Adalah Wakil Tuhan karena dianggap bahwa segala keputusan yang dihasilkan oleh MK adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat, Lalu Bagaimana dengan Keputusan MK yang dihasilkan tidak pure dari putusan yang berdasarkan hukum dan undang undang yang berlaku? Tetapi dihasilkan dari putusan yang berdasarkan suap dan kepentingan sekelompok oknum? Fenomena Kasus Suap menyuap tentang sengketa pilkada yang melibatkan Pimpinan Mahkamah Konstitusi, Khususnya Ketua MK yaitu Akil Mochtar terjadi di beberapa kasus sengketa di berbagai daerah. Contoh di Sumatera Selatan yaitu dalam Kasus sengketa Pilkada Kota Palembang yang sejatinya dimenangkan oleh Pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania yang menang 8 suara atas Romi-Harno, Namun MK Memenangkan Pasangan (alm) Romi Herton-Harno Joyo4. Dan dalam kasus tersebut menyeret 2 tersangka yaitu Romi Herton beserta Istri yang sebelumnya memberikan suap kepada Akil Mochtar Sebesar Rp 14,145 Miliar. Fakta lain menyebutkan bahwa terjadinya kasus suap kepada Akil Mochtar terjadi di Kabupaten Empat Lawang Sumsel yang melibatkan Mantan Bupati Empat Lawang, H Budi Antoni Aljufri dan Istri,Suzana dalam kasus suap Ketua MK sebanyak Rp 15 Miliar untuk memenangkan pilkada empat lawang yang seharusnya dimenangkan oleh Joncik Muhammad dan Ali Halimi5.

3 Lihat Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 4http://nasional.kompas.com/read/2015/02/12/22015251/Suap.Akil.Mochtar.Wali.Kota.Palembang.dan.Istrinya.Di tuntut.9.dan.6.Tahun.Penjara Diakses 10 desember 2017 5 https://nasional.tempo.co/read/736388/bupati-empat-lawang-dan-istrinya-masuk-penjara-bersama Diakses 10 Desember 2017


Fakta lain juga menyeret salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Patrialis Akbar. Patrialis Akbar terlibat dalam korupsi untuk mempengaruhi perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait permohonan uji materi UU no 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan6. Tentu Kasus ini telah mencoreng nama baik Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan. B. DASAR HUKUM 1. UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 2. UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 3. UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 4. Pasal 12 c atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). C. PEMBAHASAN Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 pada pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa�7. Di dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 pada pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19458. Dan pada pasal 5 Ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur ,adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum9. 6 https://news.detik.com/berita/3598672/kasus-suap-di-mk-patrialis-akbar-dituntut-125-tahun-bui Diakses pada 18 Desember 2017 7 Pasal 21 ayat (1) Undang Undang nomor 24 tahun 2003 8 Pasal 1 ayat (3) Undang Undang nomor 48 tahun 2009 9 Pasal 5 ayat (2) Undang Undang nomor 48 tahun 2009


Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tentu harus menjalankan fungsi peradilan dengan sebaik baiknya dan seadil adilnya sesuai dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 serta menjalankan segala peraturan perundang undangan yang berlaku. Serta Mahkamah Konstitusi juga sebagai Lembaga Peradilan harus berintegritas dan menjadi lembaga yang independen/tidak terikat satu sama lain. Namun pada fakta yang terjadi di lapangan saat ini, banyak sekali terjadi kasus suap menyuap di lingkungan Mahkamah Konstitusi khusus terhadap kasus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Apalagi pada tahun 2013-2015 terdapat sekitar 10 kasus sengketa pilkada yang menyeret Akil Mochtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi untuk berurusan dengan hukum. Sama Halnya ketika terjadi dengan Salah Satu Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar yang terlibat dalam kasus korupsi untuk mempengaruhi perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait permohonan uji materi UU no 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kasus yang menjerat Patrialis Akbar ini melanggar Pasal 12 c atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Karena menurut Pasal 12 c berbunyi “hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya “untuk diadili�10. Hal ini tentu bertentangan dan bertolak belakang dengan Tujuan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang independen dan berintegritas serta tidak mendukung program pemerintah memberantas korupsi. Sejatinya lembaga Peradilan seperti Mahkamah

Konstitusi

harus

berintegritas,independen dan tidak bisa dipengaruhi keputusannya oleh siapa pun.karena apapun keputusan yang dihasilkan dari Mahkamah Konstitusi bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun

D. KESIMPULAN Kasus yang terjadi di Mahkamah Konstitusi telah mencoreng nama baik Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berintegritas, individual dan 10 Pasal 12c UU Nomor 20 Tahun 2001


professional dalam penegakan keadilan dan fenomena yang terjadi telah termasuk dalam tindak pidana korupsi karena Berdasarkan Pasal 12 c UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) berbunyi “hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya “untuk diadili”. Kendati demikian, kita berharap sebagai masyarakat supaya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan dapat menegakkan keadilan seadil adilnya menurut Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang yang berlaku dibawahnya.

DAFTAR PUSTAKA: -

UNDANG UNDANG DASAR TAHUN 1945 https://kpk.go.id/gratifikasi/BP/uu_31_1999.pdf https://konsultanhukum.web.id/menganalisa-pasal-korupsi-suap-yang-dikenakan-kepada-

-

patrialis-akbar/ https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/undang-undang-pendukung https://news.detik.com/berita/3598672/kasus-suap-di-mk-patrialis-akbar-dituntut-125tahun-bui

-

http://nasional.kompas.com/read/2015/02/12/22015251/Suap.Akil.Mochtar.Wali.Kota.Palemba

-

ng.dan.Istrinya.Dituntut.9.dan.6.Tahun.Penjara https://nasional.tempo.co/read/736388/bupati-empat-lawang-dan-istrinya-masuk-penjarabersama

-

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 12 c atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

-

https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.