Naskah Akademik ALSA Indonesia Community Research 2020 - Kabupaten Ponorogo

Page 1

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO TENTANG PENCEGAHAN PERKAWINAN DINI

TAHUN 2020


BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Ponorogo, kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur dan sering

dijuluki Bumi Reog, merupakan sebuah daerah yang keunggulannya berada pada sektor perkebunan dan agraria. Sebagai bentuk dari pelaksanaan amanat Undang-Undang

Nomor

25

Tahun

2004

tentang

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka Ponorogo membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk rencana pembangunan selama lima tahun yang didalamnya menjabarkan mengenai visi, misi, serta program kepala daerah terpilih selama lima tahun yang akan datang dimana prosesnya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk persetujuannya yang berbentuk Peraturan Daerah (PERDA). Untuk saat ini, RPJMD yang berlaku merupakan PERDA Kabupaten Ponorogo Nomor 4 Tahun 2016, yang mana RPJMD ini berlaku sampai tahun 2021. Dalam pembentukan RPJMD ini, terdapat berkas-berkas yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya agar terdapat

acuan

Pembangunan

yang jelas.

Jangka

Untuk berkas-berkas ini adalah

Panjang

Nasional

(RPJPN)

2005-2025,

Rencana Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan RPJMD Provinsi Jawa Timur 2014-2019. Apabila diperhatikan dengan seksama, terdapat beberapa hal ingin dicapai dalam visi dan misinya yang berhubungan dengan Pengarusutamaan Gender atau pro-gender. Perkawinan sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1/1974) merupakan ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia, dalam melakukan perkawinan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1/1974 mengatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria


sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun, itu pun tidak menutup kemungkinan untuk dapat dilakukan meskipun umur salah satu atau kedua pihak umurnya masih dibawah itu yang diperjelas dalam Pasal 7 ayat 2 UU No. 1/1974. Perkawinan yang dilakukan oleh anak dibawah umur seringkali disebut perkawinan dini. Begitu banyak penyebab mengapa sampai terjadi perkawinan dini, menurut studi literasi UNICEF penyebab terjadinya perkawinan dini berkaitan dengan tradisi, budaya, dan agama yang sulit untuk diubah demi menjaga martabat keluarga dan kesucian anak.1 Selain itu, desakan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang cukup serius karena seringkali orang tua mendesak

atau

menyetujui

anak

terutama

anak

perempuan

untuk

melaksanakan perkawinan dini demi terciptanya keamanan sosial dan finansial.2 Ditambah kurangnya pendidikan baik orang tua maupun anak tersebut menjadi salah satu faktor serius setelah faktor ekonomi yang mendorong terjadinya perkawinan dini.3 Kurangnya pendidikan yang dimaksud tidak hanya sebatas tidak mendapat akses pendidikan, tetapi ketika anak tersebut memutuskan untuk menikah maka secara otomatis anak tersebut kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah karena dikeluarkan. Ketika anak tersebut dikeluarkan, maka akan sangat sulit bagi mereka untuk dapat kembali bersekolah dan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan mengasah keterampilan maupun bakat yang mana justru berguna untuk menghidupi keluarga serta untuk mengubah nasib anak hasil dari perkawinan dini agar keluar dari lingkaran tersebut. 4 Dengan terus terjadinya perkawinan dini, justru membuat keluarga, masyarakat, bahkan

1UNICEF,”Child

Protection Information Sheet: Child Marriage”, http://www.unicef.org. “Breaking the Vows: Early and Forced Marriage and Girlsʼ Education”, http://www.planuk.org/resources/documents/Breaking-Vows-Early-and-Forced-Marriageand-Girls-Educat ion. 3United Nations, “Secretary Generalʼs Report on the Girl Child (A/66/257)”,http://www.un.org/ga/search/v iewdoc.asp?symbol=A%2F66%2F257&Submit=Search&Lang=E. 4Girls Not Brides, “The Global Partnership to End Child Marriage”, http://girlsnotbrides.org 2Plan,


negara mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal ini tentunya menyebabkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik untuk anak maupun keluarga dan lingkungannya. 5 Perkawinan dini menimbulkan banyak permasalahan terutama dari sisi perempuan dibawah umur yang melakukan perkawinan dini, baik dalam sisi kesehatan maupun sisi psikologis. Secara garis besar beberapa hal yang harus ditanggung oleh perempuan dibawah umur yang menghadapi perkawinan dini, antara lain: ● Pasangan perkawinan dini memiliki tingkat penularan yang tinggi terhadap HIV dan infeksi penyakit seksual karena kerentanan biologis dan ketimpangan sosial;6 ● Perkawinan

anak

berpotensi

mengakibatkan

perempuan

untuk

melahirkan di usia muda, yang mana sesungguhnya alat reproduksinya belum seutuhnya sempurna dan “siap”;7 ● Anak perempuan dibawah umur, 15 (lima belas) kali beresiko untuk meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan yang umurnya diatas 20 tahun;8 ● Anak perempuan yang berumur 15-19 tahun, 2 (dua) kali lebih beresiko meninggal saat melahirkan dibandingkan perempuan yang umurnya diatas 20 tahun;9 ● Anak perempuan dibawah 18 (delapan belas) tahun menghadapi resiko lebih tinggi untuk cedera terkait kehamilan, seperti fistula; 10 ● Anak yang dilahirkan oleh perempuan dibawah umur memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk meninggal sebelum usia 1 (satu) tahun

5UNICEF.

Early Marriage: a Harmful Traditional Practice, a Statistical Exploration.”, http://www.unicef.org 6United Nations, Op.Cit 7Save the Children, State of the World's Mothers: Nutrition in the First 1000 Days", www.savethechildren .org/atf/cf/%7B9def2ebe-10ae-432c-9bd0-. 2012. 8United Nations, Op.Cit. 9Ibid. 10Ibid.


dibandingkan dengan anak seorang perempuan berusia diatas 20 tahun;11 ● Perempuan dibawah umur cenderung dikeluarkan dari sekolah karena sudah menikah, hal ini dikarenakan aturan sekolah sangat ketat dalam status perkawinan siswa/i nya; ● Ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi dari masing-masing individu serta menonjolkan egonya sendiri-sendiri karena masih terlampau muda, memicu timbulnya Kekerasan Terhadap Rumah Tangga (KDRT) seperti penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, ancaman untuk melakukan perbuatan, dan pemaksaan terhadap istri sehingga hal-hal seperti menjadi akar dari ketidakharmonisan dan berujung pada perceraian;12 dan ● Perempuan dibawah umur yang mana jauh lebih muda dibanding pasangan laki-lakinya dan memiliki sedikit pengalaman hidup dan pendidikan, justru memiliki hubungan dan peran subordinat yang menyebabkan hanya memiliki sedikit kontrol terhadap hidup mereka. Selain itu, dikarenakan hubungan subordinat tersebut menyebabkan perempuan ini beresiko mendapatkan kekerasan secara verbal maupun fisik oleh suaminya bahkan keluarga dari suaminya. Sehingga dapat dikatakan hubungan pernikahannya tidak stabil. 13 Apabila disimpulkan, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan dini mengakibatkan ketidakstabilannya perkawinan, status kesehatan rendah baik untuk ibu dan anaknya, rendahnya pendidikan dan dikeluarkan dari sekolah, serta ketidaksetaraan status perempuan dan kesejahteraan anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan dini membawa dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

116

Phipps MG et al. Young maternal age associated with increased risk of neonatal death. Obstetrics & Gynecology, 2002; 100:481-486. 12IPPF, “Ending child marriage: a guide for global policy action”,www. ippf.org., diunduh 20 Juli 2019. 13International Center for Research on Women, “Child Marriage and Domestic Violence”, http://www.icrw .org/files/images/Child-Marriage-Fact-Sheet-Domestic-Violence.pdf.


Alasan mengapa Ponorogo mendapatkan perhatian lebih perumus naskah akademik dikarenakan dalam empat tahun terakhir ini, kasus perkawinan dini di Ponorogo terus meningkat. Perkawinan dini ini seringkali menimpa anakanak yang ditinggal ibunya bekerja di luar negeri atau TKI, yang mana pengawasan dari orang tuanya menjadi tidak maksimal. Sehingga menurut Pejabat Humas Pengadilan Agama Ponorogo, Abdullah Shofwandi, 90% orang tua mengajukan permohonan anak menikah di bawah umur ke Pengadilan Agama dikarenakan anaknya sudah hamil duluan.14 Ironisnya, seiring tingginya angka perkawinan dini dibarengi dengan tingginya angka perceraian dari perkawinan dini itu sendiri.15 Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2019, Pasal 7 ayat (1) yang mengatur mengenai batas minimal umur perkawinan baik pria dan wanita telah diubah menjadi 19 (sembilan belas) tahun, akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan masih justru masih tinggi dan masih banyak pasangan yang meminta dispensasi perkawinan ke pengadilan. Daripada itu, pencegahan perkawinan dini sangatlah penting karena pencegahan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan yang lebih berkelanjutan, yang mana dapat mempertahankan anak untuk dapat bersekolah lebih lama sehingga membuka banyak pilihan hidup yang justru mensejahterakan anak-anak tersebut, terlebih perempuan. Dalam RPJMD Kabupaten Ponorogo Tahun 2016-2021 hanya membahas mengenai KDRT dan pemberdayaan serta perlindungan perempuan dalam bagian pengarasutamaan gendernya, padahal perkawinan dini merupakan salah satu masalah pengarasutamaan gender yang harus lebih diangkat dan dikerucutkan karena berhubungan dengan kedua hal tersebut, terlebih masalah ini merupakan masalah yang serius di Ponorogo. Perkawinan 14Muhlis

Al Alawi, “Anak TKW asal Ponorogo Banyak Menikah di Bawah Umur�, https://regi onal.kompas.com/read/2016/10/27/14094321/anak.tkw.asal.ponorogo.banyak.menikah.di.b awah.umur diunduh 20 Juli 2019. 15Edhie Baskoro Yudhoyono,“Hamil Duluan Penyebab Maraknya Perkawinan Dini�,https://edhiebaskoro.com/hamil-duluan-penyebab-maraknya-perkawinan-dini, diunduh 20 Juli 2019.


dini seharusnya menjadi isu pembangunan untuk dicegah serta ditangani dengan memperhatikan kajian masalah kesehatan reproduksi dan situasi perempuan dari sudut pandang relasi. Daripada itu, perlu adanya langkah konkrit untuk menanggulangi masalah ini yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pencegahan melalui Peraturan Daerah mengenai perkawinan dini yang selanjutnya pelaksanaannya dapat diatur dalam rancangan peraturan ini.

B.

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat permasalahan

yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu: 1. Bagaimana upaya pencegahan perkawinan dini di Ponorogo melalui PERDA? 2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pencegahan perkawinan dini? 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RAPERDA Pencegahan Perkawinan Dini? 4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah peraturan, dan materi muatan yang perlu diatur dalam RAPERDA Pencegahan Perkawinan Dini?

C.

Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan

penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis

penyebab

perkawinan

dini

di

Ponorogo

dan

mengidentifikasi solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan perkawinan dini di Ponoroo; 2. Menganalisis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan perkawinan dini saat ini;


3. Menganalisis pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan RAPERDA Pencegahan Perkawinan Dini; 4. Menganalisis sasaran, ruang lingkup peraturan, jangkauan, arah peraturan, dan materi muatan dalam RAPERDA Pencegahan Perkawinan Dini. Naskah Akademik RAPERDA Kabupaten Ponorogo tentang Pencegahan Perkawinan Dini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bagi penyusunan draf RAPERDA Kabupaten Ponorogo Pencegahan Perkawinan Dini sebagai peraturan pelaksana untuk Daerah Kabupaten Ponorogo. D.

Metode Penyusunan Naskah Akademik Metode Penyusunan Naskah Akademik RAPERDA Kabupaten Ponorogo

tentang Pencegahan Perkawinan Dini adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi dokumen atau literatur, dengan cara mengumpulkan informasi melalui peraturan perundangundangan, buku-buku, hasil kajian atau referensi lainnya, dan penelusuran data serta informasi melalui laman yang berkaitan dengan perkawinan dini. Untuk metode yuridis empiris, dilakukan dengan mengkaji dan menelaah data primer yang diperoleh secara langsung dari para narasumber atau pakar, para pemangku kepentingan, ataupun masyarakat. Hal tersebut turut dilakukan melalui cara sebagai berikut: 1. Memetakan dan menganalisis faktor-faktor penyebab dari perkawinan dini dengan meneliti beberapa data yang didapatkan baik dari institusiinstitusi pemerintah maupun swasta, ataupun hasil yang didapatkan di lapangan; 2. Melakukan penelusuran hukum dari berbagai peraturan Indonesia sesuai dengan hierarki perundang-undangan serta dari berbagai peraturan Internasional; 3. Memperhatikan nilai-nilai, prinsip, serta tingkah laku sebagai bentuk pertimbangan dalam menuliskan naskah akademik. 4. Demi mencari solusi atau alternatif dari permasalahan ini secara menyeluruh dan mendalam, maka dalam mengidentifikasi masalah akan


menggunakan

metode

ROCCIPI

(Rule,

Communication, Interest, Process, dan Ideology).

Opportunity,

Capacity,


BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A.

Kajian Teoritis 1. Karakteristik

Peraturan

Daerah

Dalam

Hierarki

Peraturan

Perundang-Undangan Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan, dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan

hukum.16Indonesia

sebagai

negara

hukum

dalam

pengimplementasian hukum dilakukan secara berjenjang (hierarki) dimana hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).17 Sehingga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab III Pasal 7 Ayat (1) dimana jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:18 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah

Pengganti

Undang-

Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

16Undang-Undang 17Wikipedia,

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (3). “Lex Superior Derogat Legi Inferior�,

https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_superior_derogat_legi_inferior. Diunduh 23 Juli 2019. 18Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5234), Bab III Pasal 7 Ayat (1).


Dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bab I Pasal 1 Ayat (8) bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota

dengan

persetujuan

bersama

Bupati/Walikota.19 Sementara dalam Bab III Pasal 14 disebutkan bahwa muatan

Peraturan

Daerah

Provinsi

dan

Peraturan

materi Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.20 Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UndangUndang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur

aspirasi

masyarakat

di

daerah,

namun

dalam

pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

19Ibid., 20Ibid.,

Bab I Pasal 1 Ayat (8) Bab III Pasal 14


d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.21 2. Pengertian Perkawinan dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22 Keluarga dalam hal ini yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri mental sehat: sakinah (perasaan tenang), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Antar anggota seharusnya ada rasa saling mencintai dan menyayangi. Dengan demikian di antara keluarga terdapat kesatuan (unity) satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia adalah kesatuan dengan Sang Pencipta, kesatuan dengan alam semesta, komitmen, saling berkonsultasi, kerjasama dan saling percaya, toleransi, tenggang rasa. 23 Sementara dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, 24 diubah sehingga berbunyi Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita

21Alfa.

“Kedudukan, Fungsi, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Daerah�.(Online). http://ww w.sangkoeno.com/2014/07/kedudukan-fungsi-hierarki-dan-materi.html. Diunduh 23 Juli 2019 22Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3019), Bab I Pasal 1. 23N.

Fuad, Profil orang tua anak-anak berprestasi. Yogyakarta : Insania Citra Press,

2005. 24Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3019), Op.cit., Bab II Pasal 7 Ayat (1)


sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.25 Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.26 Sehingga apabila dikaitkan dengan ketentuan di atas, maka perkawinan yang terjadi terhadap anak di bawah umur yang dalam hal ini anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun disebut sebagai Perkawinan Dini. Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bagian keempat Pasal 26 Ayat (1) huruf c, bahwa orang

tua

berkewajiban

dan

bertangungjawab

untuk

mencegah

terjadinya perkawinan pada anak di bawah umur. Dan dalam Pasal 26 Ayat (2) disebutkan dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih pada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.27 Sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang No.16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 1 Angka 1 tentang Perubahan atas Pasal 7 Ayat (2) dan (3), dalam hal terjadi penyimpangan umur dimana kedua calon mempelai berumur kurang dari 18 (delapan belas) sehingga masih bertatus sebagai anak, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak

25Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembar Negara Republik Inonesia Tahun 2019 Nomor 186, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 6401), Pasal 1 Angka 1. 26Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembar Negara Nomor 5606), Bagian Keempat Pasal 26 Ayat (1) huruf c 27Ibid., Pasal 26 Ayat (2)


wanita dapat meminta dispensasi ke Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti pendukung, dan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Sehingga, sesuai dengan ketentuan di atas, untuk dapat melakukan perkawinan di bawah umur, ada beberapa prosedur yang harus dilalui sebelumnya yaitu dengan pihak orang tua yang mengajukan pemberian dispensasi ke Pengadilan disertai pendapat dari kedua calon mempelai. Dapat dilihat bahwa, dalam melakukan suatu perkawinan masih harus melibatkan campur tangan dari orang tua. 3. Hak Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-Hak Anak.

Dari sisi kehidupan berbangsa dan

bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus citacita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan

berkembang,

berpartisipasi

serta

berhak

atas

perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.28 Sejalan dengan itu, menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab I Pasal 1 Angka 12, bahwa yang dimaksud dengan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Oleh karena itu, dapat dijabarkan

28Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109), Penjelasan Umum Alinea Pertama.


beberapa hak anak seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain: a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang

lain

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku. e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Khusus bagi anak yang

menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.


g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. i. Setiap

anak

yang

menyandang

cacat

berhak

memperoleh

rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. j. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik

ekonomi

maupun

seksual;

penelantaran;

kekejaman,

kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. l. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. m.Setiap

anak

berhak

untuk

memperoleh

perlindungan

dari:

penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa


bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan. n. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. o. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Untuk hal penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. p. Setiap

anak

yang

dirampas

kebebasannya

berhak

untuk:

mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. q. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. r. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. B.

Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Penyusunan RAPERDA Kabupaten Ponorogo tentang Pencegahan Perkawinan Dini Seperti yang telah dipaparkan di atas,

dalam melaksanakan suatu

perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, bahwa dalam melakukan perkawinan harus berlandaskan asas-asas sebagai berikut:29 a. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974) Dalam melaksanakan perkawinan harus ada kata sepakat antara calon suami dan istri, sehingga dalam hal ini perkawinan tidak dapat didasarkan atas suatu paksaan. b. Asas Monogami (Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974) Pada asasnya, dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami, namun dalam hal ini terdapat pengecualian dengan syarat-syarat yang telah diatur sebelumnya. c. Asas kepercayaan Selain syarat sahnya suatu perkawinan adalah harus berdasarkan peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku,

sahnya

suatu

perkawinan juga harus dilaksanakan menurut kepercayaan masingmasing pihak yang menyelenggarakan, karena perkawinan bukan saja ikatan antara suami-istri melainkan juga hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. d. Asas Kebermanfaatan Mengingat tujuan dilaksanakannya suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, serta untuk mendapatkan suatu keturunan, maka sebaiknya perkawinan dilaksanakan pada usia

29Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3019), Op.cit. Pasal 1 Ayat (1)


yang telah cukup agar tujuan mendapat keturunan dapat terlaksana, dan baik pribadi istri-suami juga telah siap secara psikologis dan fisik. C.

Kajian

terhadap

Praktik

Penyelenggaraan,

Kondisi

yang

Ada,

Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat, dan Perbandingan dengan Daerah Lain Di daerah Ponorogo sendiri belum ada PERDA yang mengatur mengenai pencegahan perkawinan dini. Padahal sudah banyak kasus perkawinan dini yang terjadi pada anak-anak di Ponorogo, yang disebabkan karena hamil duluan dan banyak yang dikarenakan kurangnya pengawasan dari orang tua sebab mereka bekerja sebagai TKI/TKW di luar negeri, sehingga kontrol terhadap pergaulan anak berkurang. Dalam hal mengirim TKI/TKW memang daerah Jawa Timur termasuk salah satu penyumbang terbesar di Indonesia, dimana di daerah Ponorogo juga banyak mengirimkan TKI/TKW – nya. Hal ini tentu sangat baik

mengingat

dapat

membantu

perekenomian

daerah

dan

sebagai

penyumbang devisa bagi negara, namun ironisnya hal ini justru berdampak buruk bagi anak-anak yang sebagian besar orang tuanya bekerja sebagai TKI/TKW, sebab mereka cenderung salah dalam pergaulan dan kurangnya pengawasan dari orang tua. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Ponorogo tentang laporan perkara yang diterima dalam hal ini terkait dispensasi perkawinan, dimana diberikan izin untuk melaksanakan perkawinan bagi kedua calon mempelai yang belum cukup umur atau masih berstatus sebagai anak , dari tahun 2012 – November 2019, dapat dilihat sebagai berikut: Tabel: Data Dispensasi Perkawinan yang Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Ponorogo 2012- November 2019

No.

Tahun

Perkara Diterima

Perkara Diputus

1.

2012

113

101


2.

2013

123

124

3.

2014

128

124

4.

2015

94

92

5.

2016

76

78

6.

2017

75

69

7.

2018

75

72

8.

Jan-Des 2019

-

73

Dari data di atas, terlihat bahwa jumlah pengajuan dan pemutusan perkara dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama daerah Ponorogo terus mengalami pasang-surut seiring bergantinya tahun. Perkawinan dini sendiri cenderung membawa dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak yang seharusnya masih belajar dan bermain, diharuskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai suami-istri. Dalam hal mental maupun fisik jelas anak belum siap untuk membentuk suatu ikatan rumah tangga. Perkawinan dini memiliki beberapa dampak, sebagai berikut: 30 a. Dampak terhadap pasangan suami istri Terkadang anak yang menikah di usia dini tidak bisa memenuhi atau bahkan tidak tahu sebenarnya apa saja hak dan kewajibannya sebagai suami istri itu. Ketidaktahuan ini disebabkan karena mental dan fisik yang belum matang dan belum benar-benar siap untuk menghadapi kehidupan setelah perkawinan, akibatnya masing-masing pihak ingin menang sendiri dan pertengkaran pun tidak dapat dihindari.

30Vina

Aenul Ummah, “Faktor dan Dampak Perkawinan Dini, Apa sajakah itu?�, https://www.ko mpasiana.com/05vina/5a2bb854caf7db283f41e2d4/faktor-dandampak-perkawinan-dini-apa-sajakah-itu?page=all. Diunduh 23 Juli 2019.


b. Dampak terhadap masing-masing keluarganya Perkawinan yang dilakukan anak-anak yang masih di bawah umur, mereka masih mempunyai sifat kekanak-kanakan dimana mereka belum bisa mandiri dalam mengurusi kehidupan keluarganya. Biasanya mereka yang melakukan perkawinan dini itu masih ikut dengan orang tua, masih tinggal dengan orang tuanya sehingga mereka tidak bisa mandiri dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Ketika terjadi pertengkaran dalam rumah tangga mereka, maka orang tua

masing-masing

akan

ikut

campur

dalam

menyelesaikan

masalahnya. c. Dampak terhadap anak-anaknya Tidaklah mudah untuk menjalankan perkawinan di usia muda, terutama bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun apabila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya, selain itu rentan perceraian di dalam perkawinan dini. Hal ini, karena seringkali pertengkaran ataupun perselisihan itu berujung perceraian. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan tegas yang diambil oleh pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo guna pencegahan perkawinan dini, mengingat dampak yang ditimbulkan dapat merusak generasi bangsa. Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo dapat untuk mengikuti jejak Bupati Katingan Provinsi Kalimantan Tengah yang telah membuat Perda Kabupaten Katingan No. 9 tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, dengan pertimbangan bahwa anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan dan pada dirinya


melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang utuh untuk mewujudkan Kabupaten Katingan sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA).31 D.

Kajian terhadap Implikasi Penerapan Pencegahan Perkawinan Dini yang akan Diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ponorogo terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat Dengan

adanya

Peraturan

Daerah

Kabupaten

Ponorogo

tentang

pencegahan Perkawinan Dini, diharapkan dapat berfungsi sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan perkawinan pada anak usia dini, dimana apabila rancangan peraturan daerah ini nantinya tidak dapat diterapkan, dikhawatirkan akan menimbulkan semakin banyak kasus perkawinan anak usia dini yang disebabkan karena hamil duluan, orang tuanya yang bekerja sebagai TKI/TKW, ataupun alasan lainnya. Sehingga nantinya Kabupaten Ponorogo dapat menjadi Kabupaten Layak Anak (KLA) dan visi serta misi yang hendak dicapai dalam RPJMD Kabupaten Ponorogo periode 2016-2021 dapat terlaksana terutama dalam hal mewujudkan pemberdayaan perempuan, pemuda, dan perlindungan anak dan manula serta pemantapan KB.

31Peraturan

Daerah Kabupaten Katingan Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak (Lembar Daerah Kabupaten Katingan tahun 2018 Nomor 80, Tambahan Lembar Daerah Kabupaten Katingan Nomor 49).


BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Sebagai bagian dari produk peraturan perundang-undangan, peraturan daerah haruslah mendasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Landasan yuridis merupakan landasan hukum yang mendasari kewenangan perbuatan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam naskah akademik ini akan dipaparkan evaluasi dan analisis terhadap beberapa peraturan perundang-undangan terkait, baik secara vertikal maupun horizontal. Kajian ini akan memberikan gambaran secara komprehensif mengenai pengaturan Pencegahan Perkawinan Dini yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dari hasil kajian ini dapat diketahui apakah sudah cukup memadai atau belum cukup memadai pengaturan tentang Pencegahan Perkawinan Dini dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dan oleh karenanya menjadi perlu atau tidak kelahiran Peraturan Daerah Kabupaten Ponorogo Tentang Pencegahan Perkawinan Dini. Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang perlu dievaluasi terkait dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Ponorogo Tentang Pencegahan Perkawinan Dini yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hak dasar anak telah diatur dalam konstitusi. Negara berkewajiban untuk menjamin penuh terlaksananya perlindungan terhadap hak anak tersebut. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi: Pasal 28 B Ayat (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi�


Tingginya

angka

perkawinan

usia

anak,

menunjukkan

bahwa

pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah.32 Perkawinan pada usia dini berpotensi kuat melanggar hak-hak anak.33 Perkawinan anak akan menimbulkan sejumlah permasalahan yang berdampak pada

tingkat

pendidikan,

kekerasan

dalam

rumah

tangga,

kesehatan

reproduksi, dan psikologi anak. Pendidikan menjadi suatu hal yang penting yang harus diterima oleh anak. Sebagaimana diamanatkan dalam Mukadimah UUD NRI 1945, bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: Pasal 31 Ayat (2) “Setiap warga negara

wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.” Dalam konteks ini, semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh sang anak. Hal ini akan berdampak pada hilangnya kewajiban bagi si anak, terutama anak perempuan, untuk menjalankan program wajib belajar 12 tahun, yang kemudian akan berimbas pada masa depannya yang suram, tidak memiliki keterampilan hidup dan kesulitan untuk mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Perkawinan dini seringkali menyebabkan anak tidak lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggung jawab baru, yaitu sebagai istri dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah.34 Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang tak terjangkau, anak 32Baidhowi Suhadi dan Cahya Wulandari, “Pencegahan Meningkatnya Angka Perkawinan Dini dengan Inisiasi Pembentukan Kadarkum di Dusun Cemanggal Desa Munding Kecamatan Bergas”, Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia (Indonesian Journal of Legal Community Engagement, JPHI, 01(1), 2018, hlm. 31. 33Anisa Widiarini dan Bimo Aria, https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/kpaiperkawinan-dini-sangat-melanggar-hak-anak/ar-BBR73BA#page=2, Diunduh 22 Juli 2019, pukul 10.40 34UNICEF, “Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical exploration”, www.unicef.org, Diunduh 22 Juli 2019.


berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk mengalihkan beban tanggung jawab orang tua menghidupi anak tersebut kepada pasangannya. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan untuk dapat menikah, laki-laki harus mencapai usia 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun. Meski demikian, penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi jika ada dispensasi yang diberikan pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun wanita.35 Rendahnya usia kawin lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 4 UndangUndang Perkawinan menjelaskan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya.[6] 36 Undang-Undang ini sejak diundangkan telah tercatat dua kali diajukan pengujiannya di Mahkamah Konstitusi yaitu sebagai berikut: 1. Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada sidang terbuka Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Juni 2015 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan termasuk penambahan usia nikah perempuan dengan alasan di masa depan, kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal. 2. Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 yang dibacakan pada tanggal 13 Desember

2018

bahwa

Mahkamah

Konstitusi

mengabulkan

permohonan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang memperbolehkan wanita 35Lukman Nur Hakim, “Rekonstruksi Batas Minimal Usia Nikah Berdasarkan Pendapat Para Ahli dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014�, https://core.ac.uk/download/pdf/159171064.pdf

http://eprints.walisongo.ac.id/4268/1/082111022.pdf, Diunduh 23 Juni 2019, pukul 13.50.

36


berumur 16 tahun melakukan perkawinan melanggar UUD 1945. Mahkamah menyatakan pasal a quo diskriminatif dan inkonstitusional karena membedakan batas usia minimum perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian menyebabkan perempuan mengalami tindakan diskriminatif dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya. Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah juga menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang 1/1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perubahan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan tersebut yaitu paling lama tiga tahun setelah putusan diucapkan. 3.Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan mengamanatkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. 4.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam

kandungan.

Dalam

hal

menjamin

seorang

anak

agar

kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.37 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai efektif berlaku pertanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan "paradigma hukum", diantaranya

sebagaimana

diutarakan

dalam

Pasal

20

bahwa:

Negara,

Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali

berkewajiban

dan

bertanggung

jawab

terhadap

penyelenggaraan

Perlindungan Anak. Bunyi pasal tersebut semakin dikonkretkan dengan Pasal 21, yaitu: (1)Negara,

Pemerintah,

bertanggung

jawab

dan

Pemerintah

menghormati

Daerah

pemenuhan

berkewajiban Hak

Anak

dan tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental. (2)Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak. (3)Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak. (4)Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. (5)Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak Anak.

37http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-

perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak, Diunduh 23 Juni 2019, pukul 14.29.


(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/kota layak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden. Selain kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di atas negara, pemerintah,

dan

pemerintah

daerah

juga

menjamin

perlindungan,

pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak, mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak, menjamin

anak

untuk

mempergunakan

haknya

dalam

menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c disebutkan: Pasal 26 Ayat (1) huruf c “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.� Kewajiban tersebut tidak hanya menjadi kewajiban orang tua semata, namun semua pihak, termasuk negara, pemerintah, dan pemerintah daerah dapat melakukan tugas pengaturan agar penyelenggaraan perlindungan anak tercapai. 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Sesuai dengan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, kesehatan reproduksi terbagi menjadi tiga, Pertama saat sebelum hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan. Kedua pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual. Ketiga kesehatan sistem reproduksi. Kesehatan reproduksi sangat berkaitan erat dengan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Apabila kesehatan reproduksi perempuan terganggu maka dalam

jangka

panjangnya

akan

mengganggu

kualitas

hidup

secara

keseluruhan. Dalam perkawinan dini terdapat risiko yang harus diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Pada usia anak, perempuan belum memiliki kesiapan organ tubuh untuk mengandung dan melahirkan, sehingga bisa menyebabkan kesakitan, trauma


seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan sampai yang fatal, kematian ibu saat melahirkan.38 Pasal 131 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 tahun. Pemerintah daerah berdasarkan Pasal 49 bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan, salah satunya kesehatan reproduksi. Pasal 50 Undang-Undang Kesehatan juga mengamanatkan pemerintah daerah untuk meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam konsiderans Undang-Undang PKDRT, dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Perkawinan anak didefinisikan sebagai perkawinan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap perkawinan dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.39 Perkawinan di usia anak juga seringkali memicu munculnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 40 Pasal 1 angka (1) menyebutkan definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, 38Jurnal

Pengabdian Hukum Indonesia (Indonesian Journal of Legal Community Engagement) JPHI, 01(1) (2018): 31-40 39IPPF, “Ending child marriage: a guide for global policy action”, www. ippf.org. 40Aristiana Prihatining Rahayu dan Waode Hamsia, “Resiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Pada Perkawinan Usia Anak Di Kawasan Marginal Surabaya”, Pedagogi: Jurnal Anak Usia Dini dan Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 4 Nomor 2 Agustus 2018.


pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Masa remaja, merupakan fase dimana emosi mengalami perkembangan puncak. Pada usia ini, sangat mudah sekali seorang individu mengalami sifat sensitif, emosional, reaktif, temperamental. Maka ketika pada usia ini, remaja sudah melakukan perkawinan, akan sangat rentan sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Di usia ini, mereka sangat rentan sekali menjadi pelaku maupun korban kekerasan.41 7.

Undang-Undang

Nomor

52

Tahun

2009

Tentang

Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana. Pasal 21 menyatakan kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud Pasal 20 dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang: a. usia ideal perkawinan; b. usia ideal untuk melahirkan; c. jumlah ideal anak; d. jarak ideal kelahiran anak; dan e. penyuluhan kesehatan reproduksi. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Wanita Pasal 1 angka (2) mengartikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Pasal 4 menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah bersamasama menjamin terwujudnya kesehatan reproduksi.

41Ibid.


Pasal 7

mengamanatkan

agar

pemerintah

daerah

kabupaten/kota

bertanggung jawab terhadap: a.Penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan kesehatan reproduksi di fasilitas

pelayanan

kesehatan

dasar

dan

rujukan

lingkup

kabupaten/kota; b.Penyelenggaraan manajemen Kesehatan Reproduksi yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sesuai standar dalam lingkup kabupaten/kota; c.Penyelenggaraan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans Kesehatan Reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota termasuk fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan milik pemerintah dan swasta; d.Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan di rumah sakit lingkup kabupaten/kota; e. Pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan perawat di seluruh Puskesmas di kabupaten/kota; f.Pemetaan

dan

penyediaan

tenaga

bidan

di

desa

bagi

seluruh

desa/kelurahan di kabupaten/kota, termasuk penyediaan rumah dinas atau tempat tinggal yang layak bagi bidan di desa; g.Penyediaan obat essensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program kesehatan reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota; h.Penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan penyelenggaraan

upaya

kesehatan

reproduksi

dalam

lingkup

kabupaten/kota; dan i.Penyelenggaraan audit maternal perinatal lingkup kabupaten/kota. 9. Peraturan Bupati Kulonprogo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak Sebagai Yogyakarta,

perbandingan, telah

memiliki

Pemerintah peraturan

Daerah khusus

Kabupaten untuk

Kulonprogo,

menekan

angka

perkawinan dini, yaitu Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak. Dalam Pasal 1 angka (7) mengartikan perkawinan pada usia anak adalah perkawinan yang dilakukan


antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya belum berusia 18 tahun. Dalam peraturan ini, anak dikategorikan di bawah 18 tahun. Peraturan itu mewajibkan semua lembaga, institusi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, hingga keluarga mendukung upaya pencegahan perkawinan usia anak.42 Pada Pasal 2 ayat (2) menjelaskan tujuan pencegahan perkawinan pada usia anak yaitu untuk: a. mewujudkan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan; b. mewujudkan peran serta Pemerintah, masyarakat, orang tua, anak dan pihak yang berkepentingan dalam mencegah perkawinan pada usia anak; c. mewujudkan keluarga yang harmonis; d. meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup ibu dan anak; e. mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak termasuk perdagangan anak; f. mencegah terjadinya tindakan KDRT; g. mencegah putus sekolah; h. menurunkan angka kemiskinan; dan i. menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Kewajiban Pemerintah Daerah untuk mendorong pencegahan perkawinan usia dini juga terdapat dalam Pasal 4, yaitu: (1) Pemerintah Daerah berkewajiban merumuskan dan melaksanakan kebijakan dalam upaya pencegahan perkawinan pada usia anak dengan menyinergikan kebijakan mewujudkan KLA dengan mempertimbangkan kearifan lokal serta mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

42Dani

Julius Zebua,�Cegah Penikahan Dini, Pemkab Kulon Progo Punya Peraturan Khusus�, https://regional.kompas.com/read/2018/03/03/16595211/cegah-perkawinan-dinipem kab-kulon-progo-punya-peraturan-khusus, Diunduh 24 Juli 2019, pukul 08.35.


(2) Kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan

kemampuan

keuangan

Daerah,

sumber

daya

dan

kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah, serta bersifat terpadu dan berkelanjutan. 10.Peraturan Bupati Kabupaten Katingan Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak Sebagai perbandingan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah juga telah memiliki regulasi khusus untuk mencegah kian meningkatnya perkawinan pada usia anak. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bupati Kabupaten Katingan Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak. Perkawinan pada usia anak menurut peraturan ini adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya masih berusia anak. Anak menurut Pasal 1 angka (9) adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan Pasal 2 ayat (2) menjelaskan tujuan dari pencegahan perkawinan pada usia anak adalah: a. Mewujudkan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; b. Mewujudkan anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera; c. Mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak; d. Mencegah terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); e. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak; f. Mencegah putus sekolah; g. Menurunkan angka kematian. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, perlu andil dari Pemerintah Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 5, Pemerintah Daerah berkewajiban untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan dalam upaya Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak dengan mensinergikan kebijakan mewujudkan


kabupaten layak anak dan mempertimbangkan kearifan lokal. Kebijakan tersebut disesuaikan dengan kemampuan keuangan, sumber daya dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah, terpadu, berkelanjutan, serta mengedepankan kepentingan anak. Namun mengingat berbagai konsekuensi yang dihadapi anak terkait dengan perkawinan dini sebagaimana telah dibahas, maka perkawinan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak.43 Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Bab IV pasal 18 ayat (7) dinyatakan bahwa tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam Undang-undang. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun yang dimaksud dengan otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (6) adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Daerah dalam merealisasikan otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut diberi kewenangan untuk menetapkan berbagai peraturan daerah. Dalam pasal 22 ayat 1 dan 2 UndangUndang No. 23/ 2014 dinyatakan bahwa Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah dalam melaksanakan tugas pembantuan di daerahnya. Kemudian pada BAB IX Pasal 236 ayat (2) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan pada pasal 237

43UNICEF,

“Child protection information sheet: child marriage”, www.unicef.org.


ayat (1) disebutkan asas pembentukan dan materi Perda berpedoman pada peraturan

perundang-undangan

dan

asas

hukum

yang

tumbuh

dan

berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang nyata untuk membuat berbagai peraturan daerah. Peraturan Daerah dibuat dalam rangka menjabarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukanya yang memerlukan jabaran teknis untuk mendekatkan pada upaya


BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A.

Landasan Filosofis Pasal 28D UUD NRI 1945 telah menjamin setiap orang, tak terkecuali

anak, laki-laki, maupun perempuan untuk berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal tersebut sebagaimana juga disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kalimat ini memiliki makna bahwa Negara menjamin hak setiap orang dan berkewajiban untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak tersebut dari perlakuan diskriminatif. Selain itu, Negara juga turut menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia melalui batang tubuh UUD NRI 1945 yang terangkum dalam 40 hak konstitusional dalam 14 rumpun.44 Jaminan terhadap hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif itu tertuang dalam 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Adanya jaminan ini menunjukan komitmen Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari perlakuan diskriminatif termasuk dalam batasan usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki, serta perlindungan dari tindakan

44Komisi

Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan), “Hak Konstitusi”, hhtps://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/40%20HAK%20KONSTIT USI.pdf, Diunduh 9 Januari 2020 pada pukul 02.10 WIB


kekerasan dan eksploitasi. Komitmen Negara Republik Indonesia untuk menjamin kehidupan masyarakat yang berkeadilan tanpa ada diskriminasi telah dipertegas dengan peratifikasian beberapa Konvensi Internasional yang meletakkan prinsip kesetaraan dan keadilan dan prinsip non-diskriminasi sebagai dasar dari penjaminan hak-hak asasi manusia, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Hak Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak Anak.

B.

Landasan Sosiologis Praktik perkawinan anak di Indonesia merupakan persoalan yang secara

persisten muncul dari waktu ke waktu, sejak era penjajahan kolonial hingga saat ini. Pada masa kolonial ditemukan kasus-kasus dimana anak perempuan dikawinkan dalam usia yang cukup muda, seperti delapan atau sepuluh tahun.45 Pengabaian terhadap praktek perkawinan anak yang menimbulkan kekerasan dan eksploitasi seksual juga telah berlangsung cukup lama.46 Respon Negara kolonial baru muncul pada sekitar tahun 1890 ditandai dengan adanya dorongan agar persetubuhan terhadap anak termasuk di dalam perkawinan dianggap sebagai perbuatan perkosaan dan diadili di pengadilan.47 Selain itu muncul kebijakan larangan persetubuhan dengan anak di bawah umur yang diatur dalam KUHP tahun 1915 untuk memerangi perkawinan anak. Pada tahun 1925, Gubernur Jenderal Belanda membuat Surat Edaran (No. 403) kepada semua residen di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memerangi perkawinan anak, akan tetapi kebijakan ini tidak berjalan efektif karena penolakan tokoh agama di Indonesia. Lalu pada tahun 1937 pemerintah kolonial

Belanda

kembali

mengusulkan

adanya

ordonansi

pencatatan

perkawinan dengan menyebutkan batas usia kawin perempuan adalah 15

45Sita

T, van Bemellen dan Mies Grins, “Perdebatan tentang Perkawinan Anak, Mulai dari Zaman Kolonial Hingga ke Kurun Jawa Masa Kini: Adat, Agama, dan Negara� dalam Horii, Grinjs, Irianto, dan Saptandari, “Menikah Muda di Indonesia, Suara, Hukum, dan Praktek�, Jakarta: Yayasan Pustaka Buku Obor, 2018. 46Susan Blackburn dan Bessel Sharon, Loc.cit. 47Sita T, van Bemellen dan Mies Grinjs, Op. cit.


tahun, namun Ordonasi ini juga ditolak oleh tokoh-tokoh dan pemimpin agama di Indonesia.48 Paska kemerdekaan, keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Perkawinan (“UU No. 1/1974�) cenderung mengubah politik hukum terkait dengan perkawinan anak. Gerakan perempuan pada saat itu mendesak adanya usia minimum perkawinan dan pembentuk kebijakan sepakat untuk membuat usia minimum 16 tahun untuk perempuan. Sehingga keberadaan UU No. 1/1974 pada jamannya merupakan lompatan dari yang sebelumnya tidak ada minimum usia kawin.49 Bersamaan dengan adanya UU tersebut, pemerintah Orde Baru menggalakan program Keluarga Berencana (KB) yang mendorong perkawinan anak tidak dilakukan sebelum usia 20 tahun dan dorongan kepada orang tua untuk menghindari anak menikah di bawah 20 tahun. Program penyuluhan KB ini lebih dianggap efektif untuk mencegah perkawinan anak pada masa itu.50 Lalu dikarenakan sudah tidak relevan pada masa kini dan masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 1/1974, akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 16/2019�). Aturan dalam UU No. 1/1974 yang diubah dalam UU No. 16/2019 merupakan upaya Negara Republik Indonesia untuk melindungi institusi perkawinan dari penyalahgunaan perkawinan yang dapat merusak institusi keluarga. Akan tetapi dalam implementasinya, aturan ini menghadapi kendala serius di lapangan. Perkawinan pada usia di bawah batas minimum dalam UU No. 16/2019 masih terjadi karena berbagai alasan, terutama terkait pengaruh dari faktor sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta pemahaman agama. Faktor-faktor di atas sangat berpengaruh terhadap munculnya praktek perkawinan anak.51 Untuk di Ponorogo sendiri, praktek perkawinan anak tidak

48Ibid. 49Susan

Blackburn dan Bessel Sharon, Op. cit.

50Ibid. 51Sulistyowati

Irianto, Loc.cit.


hanya karena faktor ekonomi semata. Praktek ini juga didominasi kasus kurangnya pengawasan dalam pergaulan dari orang tua sebab kebanyakan merupakan TKI di Luar Negeri, yang akhirnya menyebabkan hamil diluar nikah. Pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 16/2019 memberi peluang adanya permohonan dispensasi dan tidak ada batasan yang jelas pada saat kapan dan dalam situasi apa pemberian dispensasi oleh pengadilan dan instansi berwenang diberikan. Pencegahan terhadap kehamilan sesungguhnya dapat di dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui tindakan perluasan informasi dan menghilangkan ketabuan dan terus meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi kepada kaum remaja dan orang tua serta dampak dari kehamilan dini.

C.

Landasan Yuridis Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4 menjadikan landasan

konstitusional bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan hukum dijadikan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (supremacy of law). Pada era reformasi, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU No. 23/2002�) yang juga telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU No. 35/2014�). Pada Pasal 26 ayat (1) huruf (c) UU No. 35/2014 menyatakan bahwa orang tua berkewajiban serta bertanggung jawab dalam mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, tetapi pasal ini, sebagaimana dalam UU No. 1/1974, tidak disertai dengan ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tidak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan usia anak. Pada 16 September 2019, DPR mengesahkan revisi terbatas dalam UU No. 16/2019 sesuai amanat Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 tertanggal 13 Desember 2018 untuk merubah Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwa


“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun”. Pada ayat (2), menyebutkan “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”. Hal inilah yang membuat peran Peraturan Daerah—yang secara langsung terintegrasi dari peraturan perundang-undangan di atasnya dan memiliki daya sentuh yang kuat dalam kehidupan masyarakat—sangat berperan penting, sebab penyimpangan terhadap ketentuan umur sangat mungkin untuk terus terjadi. Sebagaimana dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU No. 12/2011”), Peraturan Daerah memuat dan mengatur mengenai penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, pembuatan Peraturan Daerah menjadi strategis dan penting karena faktor kekhususan daerah dan penjabatan peraturan yang lebih tinggi, seperti halnya tingkat perkawinan dini yang cukup tinggi di Ponorogo. Dengan faktor kekhususan daerah tersebut, regulasi untuk pencegahan perkawinan dini di tingkat daerah menjadi satu harapan tersendiri. Seperti halnya mengatur mengenai pengetatan persyaratan dispensasi perkawinan, serta sanksi apabila terjadi pelanggaran batasan usia perkawinan bila tidak ada faktor-faktor yang sifatnya mendesak untuk dilangsungkan perkawinan. Selain itu juga perlu adanya pengaturan mengenai langkah preventif dari Pemerintah Daerah untuk mencegah perkawinan dini, sehingga pendekatannya tepat dan sesuai dengan kondisi khusus daerah Ponorogo.


BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan, yang mencakup: Sasaran yang akan Diwujudkan Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan respon, tindakan, dan kebijakan dalam rangka mencegah dan menanggulangi maraknya perkawinan dini yang terjadi di Ponorogo. Sasaran penyusunan Raperda Kabupaten Ponorogo tentang Pencegahan Perkawinan Dini adalah: 1. Memberikan landasan hukum pelaksanaan undang-undang yang sudah ada. 2. Mencegah munculnya perkawinan pada usia anak. 3. Melindungi dan membantu korban perkawinan dini khususnya anak perempuan, berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi perempuan. 4. Memberikan mandat dan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan tindakan dalam rangka mendorong pencegahan perkawinan usia dini. 5. Menciptakan lingkungan Kabupaten Ponorogo yang Layak Anak dengan mempertimbangkan kearifan lokal.


Jangkauan dan Arah Pengaturan RAPERDA Kabupaten Ponorogo tentang Pencegahan Perkawinan Dini Terjadinya perkawinan anak di bawah umur disebabkan karena berbagai faktor ekonomi (kemiskinan), pendidikan, budaya, penafsiran agama dan termasuk dampak negative dari teknologi. Ada anggapan yang berkembang di dalam masyarakat bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun negatif terjadinya perkawinan anaknya yang masih di bawah umur. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan� atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah aset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan. Perkawinana Anak juga dianggap sebagai solusi untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Kondisi masyarakat dengan pola relasi gender yang timpang, mengakibatkan perempuan mengalami dampak yang lebih rentan dari praktek perkawinan usia anak. Berbagai dampak muncul akibat praktek perkawinan usia anak baik dampak terhadap angka kematian ibu yang tinggi, hilangnya akses pendidikan termasuk berkontribusi pada rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan dan kerentanan lain dalam aspek psikososial, maupun kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, penghapusan perkawinan anak diharapkan dapat, mengurangi

angka

kematian

peningkatan

kesejahteraan

ibu,

meningkatkan

masyarakat

dan

angka

aspek-aspek

pendidikan, lain

terkait

peningkatan taraf kehidupan. Pencegahan dan penghapusan perkawinan anak sejak dari tingkat daerah akan berkontribusi dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.


Cakupan Pengaturan Berdasarkan sasaran dan arah kebijakan yang telah dipaparkan di atas, maka kami mengusulkan untuk: 1. Dibuatnya suatu produk legislasi daerah Kabupaten Ponorogo yang mengatur usia minimum perkawinan anak yaitu 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki, sejalan dengan Undang-Undang Perkawinan yang telah ada. 2. Penegasan perlunya pencegahan dan pengawasan yang berkelanjutan terkait dengan praktek perkawinan anak. 3. Kewajiban

Pemerintah

Daerah

Kabupaten

Ponorogo

untuk

ikut

menanggulangi praktik perkawinan dini dengan berbagai program yang mendukung. Suatu

peraturan

dibentuk,

termasuk

Peraturan

Daerah,

untuk

memberikan pedoman bagi pengguna dalam melaksanakan suatu kegiatan tertentu, termasuk penanggulangan perkawinan usia dini. Dengan disahkanya Perda ini, maka Pemerintah Kabupaten Ponorogo memiliki landasan yuridis dalam hal penanggulangan perkawinan usia dini. Peraturan Daerah ini memuat hal-hal pokok tentang penanggulangan usia dini. Oleh karena itu, secara substansi, ruang lingkup Peraturan daerah ini mengatur hal-hal sebagai berikut: A. Ketentuan Umum 1. Daerah adalah Kabupaten Ponorogo; 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Ponorogo; 3. Bupati adalah Bupati Ponorogo;


4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah; 5. Pencegahan adalah proses, cara, perbuatan untuk melarang dan mencegah dalam hal ini adalah agar tidak terjadi perkawinan pada usia anak; 6. Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak adalah upaya – upaya yang berupa kebijakan, program, kegiatan, aksi sosial, serta upaya – upaya lainnya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, orang tua, anak, masyarakat dan semua pemangku kepentingan dalam rangka melarang dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan menurunkan angka perkawinan pada usia anak di Kabupaten Katingan; 7. Perkawinan pada usia anak adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya masih berusia anak; 8. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; 9. Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan; 10. Dispensasi kawin adalah penetapan yang diberikan oleh hakim umum untuk memberikan ijin bagi pria yang belum berusia 19 tahun dan wanita yang belum berusia 16 tahun untuk melangsungkan perkawinan;


11. Psikolog anak adalah seorang ahli dalam bidang praktek psikolog, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental anak sehingga dapat melayani konsultasi psikolog bagi anak dan memberikan keterangan atau pendapatnya terkait dengan psikolog anak; 12.Konselor atau pembimbing adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam melakukan konseling atau penyuluhan; 13.Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi; 14. Pemberdayaan adalah proses, cara, upaya memberikan kemampuan atau keberadaan kepada seseorang agar menjadi lebih berdaya; 15. Orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan ibu tiri, atau ayah dan ibu angkat; 16.Masyarakat

adalah

perseorangan,

keluarga,

kelompok,

dan

organisasi sosial dan atau organisasi kemasyarakat; 17.Pemangku Kepentingan adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dunia usaha serta semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung melaksanakan kebijakan program, kegiatan dalam rangka mencegah perkawinan pada usia anak; 18.Kabupaten Layak Anak yang selanjutnya disingkat KLA adalah sistem pembangunan suatu wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha


yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak; 19.Desa Ramah Anak yang selanjutnya disebut dengan DRA adalah sistem pembangunan di wilayah Desa yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya Pemerintah Desa, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak; 20.Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KLA adalah lembaga koordinasi di tingkat kabupaten yang mengkoordinasikan upaya kebijakan, program dan kegiatan untuk mewujudkan KLA; 21.Gugus Tugas Kecamatan Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas KRA adalah lembaga koordinatif di tingkat Kecamatan yang mengkoordinasikan upaya kebijakan, program dan kegiatan untuk mewujudkan KRA; 22.Gugus Tugas Desa Ramah Anak yang selanjutnya disebut Gugus Tugas DRA adalah lembaga koordinatif di tingkat desa yang mengkoordinasikan upaya kebijakan, program dan kegiatan untuk mewujudkan DRA; 23.Forum Anak adalah wadah partisipasi anak dalam pembangunan yang anggotanya adalah perwakilan anak dari lembaga atau kelompok kegiatan anak dan organisasi anak sesuai jenjang administrasi pemerintah, yang dibina oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk mengkomunikasikan pemenuhan hak dan kewajiban anak, media komunikasi organisasi anak, menjembatani pemenuhan hak partisipasi

anak,

sarana

pengembangan

bakat,

minat

dan

kemampuan anak dan media kompetisi prestasi anak mewujudkan


terpenuhinya hak – hak anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa; 24. Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak yang selanjutnya disebut RAD PPUA adalah dokumen rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan perkawinan pada usia anak, pendampingan, rehabilitasi dan pemberdayaan. B. Materi yang akan diatur BAB I

: KETENTUAN UMUM

BAB II

: ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN

BAB III

: SASARAN DAN RUANG LINGKUP

BAB IV

: UPAYA PENCEGAHAN PERKAWINAN PADA USIA

ANAK BAB V

: PENGUATAN KELEMBAGAAN

BAB VI

: UPAYA PENDAMPINGAN DAN PEMBERDAYAAN

BAB VII

: PENGADUAN

BAB VIII

: KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

BAB IX

: MONITORING DAN EVALUASI

BAB X

: PEMBIAYAAN

BAB IX

: KETENTUAN PENUTUP


BAB VI PENUTUP A.

Kesimpulan Berdasarkan uraian ada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan

sebagai berikut: 1) Saat ini di Ponorogo belum ada langkah preventif normatif yang diambil oleh pemerintah setempat untuk mencegah terjadinya perkawinan dini. Hal ini ditandai dengan masih terdapat banyak sekali pemberian izin menikah atau dispensasi perkawinan yang diberikan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo. 2)Pemerintah

pusat

sendiri

sekarang

sudah

mulai

berbenah

dan

mengantisipasi semakin maraknya perkawinan dini yang terjadi, salah satunya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana terdapat beberapa perubahan mendasar, salah satunya mengenai batas usia kawin yang semula untuk perempuan berusia 16 tahun sementara laki-laki berusia 19 tahun, diubah menjadi 19 tahun. Dengan batas usia kawin yang baru ini, diharapkan bahwa semua anak di Indonesia dapat terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai anak, seperti telah menyelesaikan pendidikannya dan telah dewasa secara psikologi maupun fisik. Sehingga perkawinan tidak akan membawa dampak negatif bagi anak-anak. 3)Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Naskah Akademik tentang pencegahan perkawinan dini, adalah sebagai berikut: a.

Landasan Filosofis


Dalam Pasal 28D Ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum�, serta dalam alinea keempat

Pembukaan

Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia tahun 1945 tertuang tujuan negara Indonesia yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial�. Hal ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi dan menjamin penegakan hak-hak warga negaranya. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan membuat suatu peraturan guna mencegah terjadinya perikahan dini. b. Landasan Sosiologis Kasus perkawinan dini yang secara terus-menerus ada dari waktu ke waktu. Bahkan pada waktu penjajahan kolonial sendiri ditemukan kasus-kasus dimana perempuan dikawinkan pada usia yang masih sangat muda yakni 8-10 tahun. Seiring berjalannya waktu, dengan peraturan yang ada mengenai batas usia kawin, serta program pemerintah melalui Keluarga Berencana (KB) untuk mengantisipasi perkawinan dini, ternyata tidak membawa energi positif, bahkan kasus perkawinan dini masih terus terjadi di beberapa daerah, seperti Ponorogo khususnya. c. Landasan Yuridis Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan dalam Pasal 26 Ayat (1) huruf c, bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak,


tetapi dalam Undang-Undang terkait bahkan tidak disebutkan sanksi pidana apa yang akan didapat apabila hal itu dilanggar, hal ini menyatakan seolah-olah bahwa perlindungan anak dari perkawinan dini tidak ada artinya, 4) Sasaran, Jangkauan, Arah Peraturan, dan Materi Muatan yang perlu diatur dalam Naskah Akademik tentang Pencegahan Perkawinan Dini di Kabupaten Ponorogo, adalah sebagai berikut: a. Sasaran dari penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai landasan hukum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan respon, tindakan, dan kebijakan dalam rangka mencegah dan menanggulangi maraknya perkawinan dini yang terjadi di daerah Ponorogo. b. Jangkauan dan Arah Peraturan dari Penyusunan Naskah Akademik ini adalah diharapkaan dapat terjadinya penghapusan perkawinan pada usia anak, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat,

serta

dapat

berkontribusi

dalam

pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. c. Materi Muatan dari Naskah Akademik Pencegahan Perkawinan dini di Ponorogo terdiri dari XI Bab, sebagai berikut Bab I: Ketentuan Umum, Bab II: Asas, Maksud, dan Tujuan, Bab III: Sasaran dan Ruang Lingkup, Bab IV: Upaya Pencegahan Peerkawinan Pada Usia Anak, Bab V: Penguatan Kelembagaan, Bab VI: Upaya Pendampingan dan Pemberdayaan, Bab VII: Pengaduan, Bab VIII: Kebijakan, Strategis dan Program, Bab IX: Monitoring dan Evaluasi, Bab X: Pembiayaan, dan Bab XI: Ketentuan Penutup.


B.

Saran Atas beberapa kesimpulan di atas, dapat disampaikan saran, sebagai

berikut: Dengan adanya Naskah Akademik ini diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah Kabuapaten Ponorogo untuk segera mengambil tindakan dengan mengembangkaan beberapa program pendukung serta menghasilkan suatu peraturan daerah yang tegas, kuat, dan jelas, untuk memberikan kejelasan tentang batas usia kawin sekaligus mencegah dan menanggulangi terjadinya perkawinan dini.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.