POLEMIK GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2019 Oleh : Gregorius Alisander Ponglapik ALSA Local Chapter Universitas Diponegoro
Kontestasi politik sekaligus pesta demokrasi terbesar di Indonesia yang berlangsung setiap lima tahun sekali tersebut telah usai, kendati demikian perhelatan Pemilu 2019 ternyata sampai sekarang masih menimbulkan perdebatan, salah satunya adalah terkait diajukannya gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pada tanggal 21 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang berwenang dalam melaksanakan Pemilu akhirnya merampungkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dalam Pilpres 2019 yang berasal dari 34 provinsi dan wilayah pemilihan luar negeri, yang mana berdasarkan rekapitulasi penghitungan suara KPU menunjukkan paslon nomor urut 01, yaitu Joko Widodo dan Ma’ruf Amin keluar sebagai pemenang dengan raihan 85.607.362 suara atau 55,50%. Dari hasil rekapitulasi penghitungan suara ini yang kemudian menghasilkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019, yang kemudian oleh BPN paslon nomor urut 02 digugat batal dan tidak sah kepada Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya karena disinyalir telah terjadinya kecurangan melalui penggelembungan dan pencurian suara secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) oleh paslon nomor urut 01 dalam kontestasi Pilpres 2019.
Pemilihan Umum atau yang biasa disebut sebagai Pemilu pada hakikatnya merupakan sarana bagi warga negara Indonesia untuk dapat memilih anggota legislatif yang antara lain adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta sebagai sarana untuk memilih kepala negara dan pemerintahan yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu sendiri diartikan sebagai : “sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.�1
Namun dalam proses penyelenggaraannya, Pemilu 2019 bukanlah pemilihan umum pertama yang mengalami permasalahan hukum. Dalam beberapa penyelenggaraan sebelumnya di Indonesia, telah ada beberapa pemilu yang mengalami masalah hukum Pemilu. Menurut Uu Nurul Huda dalam bukunya yang berjudul Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, dalan UU Pemilu membedakan 4 (empat) jenis masalah hukum Pemilu, yaitu antara lain: 1.) Pelanggaran, 2.) Sengketa proses, 3.) Perselisihan hasil pemilu, dan 4.) Tindak pidana pemilu.2 Menilik dari adanya pengajuan permohonan perselisihan hasil Pemilu yang diajukan oleh paslon 02 ke Mahkamah Konstitusi, apa yang dimaksud sebagai sengketa hasil Pemilu? Terkait pengertian dari perselisihan hasil Pemilu, dalam Pasal 473 ayat (1) UU Pemilu diartikan sebagai perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan hasil perolehan hasil suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional. 3 Sehingga, adanya perselisihan hasil pemilu berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pengaturan terkait Pemilu itu sendiri pada dasarnya telah diatur dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mana secara jelas disebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.4 Adanya ketentuan ini menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu agar dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta jujur, dan adil (jurdil). Selain itu, dengan diaturnya Pemilu dalam Konstitusi merupakan bukti nyata adanya landasan hukum yang kuat bahwasannya Pemilu merupakan wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) yang
1
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum UU Nurul Huda. 2018. Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Bandung: Fokusmedia. Hlm 273. 3 Pasal 473 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 4 Pasal 22E UUD NRI 1945 2
menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.5
Permohonan gugatan yang diajukan oleh tim kuasa hukum BPN kepada Mahkamah Konstitusi yang terdaftar dengan nomor perkara No. 01/ PHPU-PRES/XVII/2019, yang mana tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga sebagai pihak pemohon, KPU sebagai pihak termohon, serta paslon nomor urut 01, yaitu Jokowi - Ma’ ruf sebagai pihak terkait dalam perkara ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf B Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018. 6 Dalam Pasal 475 UU Pemilu, dikatakan bahwa paslon peserta Pemilu dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU, dalam hal terjadi perselisihan hasil Pemilu.7
Dalam permohonan perselisihan hasil Pemilu yang diajukan oleh BPN paslon 02 melalui tim kuasa hukumnya kepada Mahkamah Konstitusi, terdapat lima bentuk kecurangan yang diduga dilakukan oleh paslon nomor urut 01 selama tahun politik menuju Pilpres 2019. Lima bentuk kecurangan yang diduga dilakukan oleh paslon nomor urut 01 ini dinilai oleh Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum BPN bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Ragam kecurangan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap dasar-dasar pemilihan umum jujur dan adil serta bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI 1945. Lima bentuk kecurangan yang dianggap oleh BPN dilakukan oleh paslon nomor urut 01 antara lain, adalah : 1. Terjadi penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan program-program pemerintah untuk kepentingan politik pasangan pejawat. 2. Penyalahgunaan birokrasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kepentingan politik Jokowi - Ma’ruf. 3. Aparatur sipil negara (ASN) yang dianggap tidak netral, termasuk penggunaan peran kepolisian dan intelijen untuk kepentingan politik paslon nomor urut 01. 4. Pembungkaman dan pembatasan media dan pers pemberitaan yang dilakukan oleh pejawat.
5
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 Pasal 2 huruf B PMK RI No 4 Tahun 2018 7 Pasal 475 UU Nomor 7 Tahun 2017 6
5. Sikap diskriminasi dan perlakuan juga penyalahgunaan perangkat penegakan hukum oleh pejawat, untuk kepentingan politik dalam kontestasi Pilpres 2019.
Selain adanya dugaan lima bentuk kecurangan yang dianggap dilakukan oleh paslon nomor urut 01, gugatan perselisihan hasil Pemilu ini juga dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi karena BPN merasa menemukan bukti adanya praktik manipulasi dokumen formulir rekapitulasi pemilihan dari tempat-tempat pemungutan suara atau yang biasa disebut sebagai C-1. Selain itu, KPU juga dianggap oleh BPN telah melakukan manipulasi pencatatan suara dalam situs penghitungan (situng) yang dimilikinya.
Berdasarkan penjabaran dari beberapa poin gugatan di atas, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud sebagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurut Maruarar Siahaan, seorang mantan hakim konstitusi, yang dimaksud sebagai terstruktur adalah kecurangan dilakukan penyelenggara pemilu atau pejabat dalam struktur pemerintahan untuk memenangkan salah satu calon. Kemudian yang dimaksud sebagai sistematis artinya pelanggaran tersebut sudah dilakukan dengan perencanaan dan pengkoordinasian dengan matang. Sedangkan masif, diartikan bahwa pelanggaran terjadi secara besar-besaran di seluruh tempat pemungutan suara.
Proses pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi telah berlangsung. Pemeriksaan terhadap permohonan perselisihan Pemilu yang dilakukan telah dilakukan mulai dari pemeriksaan dokumen dan surat, keterangan saksi, serta keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon, Tergugat, Bawaslu, dan Pihak Terkait (TKN paslon 01). Berdasarkan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 10/PHP.MKVI/2019 menyimpulkan bahwa semua dalil permohonan Pemohon (BPN paslon 02) tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya karena bukti-bukti yang diajukan Pemohon tidak valid (sah) dan tidak berdasar. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan dalil permohonan kecurangan pilpres (electoral fraud) yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis, yang diantaranya terkait dugaan kecurangan oleh paslon 01 dalam penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, ketidaknetralan aparatur negara seperti polisi dan BIN, penghitungan perolehan suara versi Pemohon, TPS siluman, Situng KPU, DPT Siluman, dan status anak usaha BUMN.
Berdasarkan pemeriksaan perkara dalam sidang perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bulat menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang diajukan oleh paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Mahkamah Konstitusi menuturkan bahwa tidak ditemukan bukti meyakinkan tentang ketidaknetralan aparat Polri yang didalilkan oleh Pemohon dalam menggalang dukungan untuk paslon 01. Selain itu, Mahkamah tidak menerima klaim Pemohon terkait perolehan suara paslon 02 yang memperoleh 52 persen suara, sementara paslon 01 memperoleh 48 persen suara, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pemohon tidak dapat melampirkan bukti hasil rekapitulasi perolehan suara yang lengkap untuk 34 provinsi. Bukti yang dilampirkan Pemohon tidak lengkap untuk seluruh TPS, karena sebagian besar model form C-1 merupakan hasil foto atau scan C-1 yang tidak diuraikan dengan jelas mengenai sumbernya dan bukan merupakan salinan C-1 yang resmi diserahkan kepada saksi Pemohon di TPS. Sedangkan terkait tudingan TPS siluman, Mahkamah menyimpulkan bahwa dalil tersebut tidak beralasan secara hukum, karena laman web situng bukanlah data yang dapat digunakan menilai keabsahan perolehan suara yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan TPS. 8
Salah satu ahli yang dihadirkan dalam proses pemeriksaan perkara, Prof. Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa pemeriksaan perkara dalam perselisihan hasil Pemilu bertujuan untuk mencari kebenaran formil, bukan hanya kebenaran materiil. Sehingga dibutuhkan kelengkapan dan kejelasan alat bukti, khususnya dalam hal penghadiran alat bukti utama yang berbentuk dokumen dan surat untuk membuktikan benar adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilu 2019. Polemik perselisihan hasil Pilpres 2019 telah berakhir dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 10/PHP.MK-VI/2019 yang bersifat akhir dan mengikat (final and binding).
Esensi utama dari Pemilu 2019
khususnya Pilpres seharusnya menjadi pesta demokrasi bagi warga negara Indonesia yang terwujud melalui kebebasan warga negara untuk dapat memilih para wakil dan pemimpin bangsanya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang menjadi bukti nyata dari kedaulatan rakyat. Terlepas pasangan calon mana yang memenangkan Pemilu maupun diterima ataupun ditolaknya permohonan perselisihan hasil Pemilu yang telah dilayangkan, solidaritas kebangsaan dalam membangun dan mengupayakan kesejahteraan umum harus
8
https://hukumonline.com/berita/baca/lt5d14d14fb3a9d/bukti-tak-valid--mk-tolak-gugatan-prabowo-sandi/, diakses pada tanggal 17 Juli 2019
tetap diutamakan oleh para pihak yang berkepentingan sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.