"Aturan Hukum Khusus Atas Pengelolaan Perpajakan Hulu Migas"

Page 1

ATURAN HUKUM KHUSUS ATAS PENGELOLAAN PERPAJAKAN INDUSTRI HULU MIGAS

ALSA Local Chapter Universitas Gadjah Mada Raka Mahardika Rusdianto Rovan Gamaldi M. Arief Nasution

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016


Membesarkan suatu bangsa bukanlah hal yang mudah, namun bukan pula merupakan hal yang mustahil untuk dilakukan. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya dari banyak bangsa untuk membesarkan dirinya selalu menghadapi kemungkinan untuk berhasil ataupun gagal. Keberhasilan atau kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang kompleks dan saling terkait antara satu dengan lainnya. Berbagai macam faktor itupun bersifat unik antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Hal itu berarti keberhasilan atau kegagalan yang dialami oleh suatu bangsa dalam upaya membesarkan dirinya tersebut tidak bisa dibandingkan antara apple to apple dengan bangsa lainnya, karena memang adanya perbedaan karakteristik antara satu bangsa dengan yang lainnya. Begitupula dengan upaya Bangsa Indonesia dalam membesarkan dirinya. Bangsa Indonesia memiliki karakternya sendiri yang unik dan tidak bisa selalu dibandingkan secara apple to apple dengan bangsa lain. Sehingga dalam upaya untuk membesarkan diri, Bangsa Indonesia harus berani dalam mengambil langkah yang memang dirasa sesuai dengan karakternya. Secara konkret, upaya tersebut harus berupa pengembangan potensi yang ada disertai dengan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi. Diantara berbagai macam potensi dan masalah tersebut, sektor energi termasuk dalam satu diantara sekian sektor vital yang perlu diprioritaskan. Karena sektor energi memegang peranan penting dan terkait dengan sektor lainnya, diantaranya yang memang sudah nyata terbukti adalah bahwa sektor energi terkait erat dengan sektor ekonomi. Sektor energi menjadi salah satu kunci dalam baik atau buruknya perkembangan sektor ekonomi, yang pada akhirnya pula menentukan berhasil atau gagalnya upaya Indonesia dalam membesarkan dirinya. Industri minyak dan gas (migas) menjadi penopang utama dalam sektor energi. Namun sayang, saat ini industri migas saat ini belum bisa mengantisipasi krisis energi yang berpotensi terjadi pada Indonesia. Potensi krisis tersebut tergambar dari bukti bahwa terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi minyak di Indonesia. Konsumsi minyak Indonesia tahun 2016 mencapai 1,8 juta barel per hari (bph), sedangkan produksi minyak bumi tahun 2016 diperkirakan 820 ribu bph dan yang masuk ke kilang domestik hanya sekitar 58% atau sekitar 476 ribu barel.1 Produksi tersebut pun diprediksi akan terus terun di tahuntahun berikutnya, namun konsumsi justru akan meningkat sebesar 5,4% per tahun. 2 Industri 1 A. Rinto Pudyantoro, “Mengatasi Bahaya Defisit Migas Berkepanjangan�, diakses dari http://katadata.co.id/opini/2016/11/21/mengatasi-bahaya-defisit-migas-berkepanjangan, diakses pada 25/11/2016 pukul 21.07 WIB. 2 Ibid.


migas yang cenderung menjadi lesu tersebut tidak hanya akan berdampak langsung pada krisis energi, namun akan memunculkan efek domino terhadap sektor ekonomi. Salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam mengantisipasi masalah ketimpangan tersebut adalah dengan memerhatikan industri hulu migas yang menjadi bagian dari industri migas. Karena industri hulu migas merupakan jalur satu-satunya menuju solusi yang ada, yakni penemuan cadangan migas baru. Dengan penemuan cadangan baru, tentu potensi ketimpangan dapat ditekan sedemikian rupa. Namun tentu pengembangan industri hulu migas itu sediri tidak terlepas dari tantangan dan masalah. Masalah terkait dengan industri hulu migas, baik itu secara global maupun khusus secara nasional, tentu ada berbagai macamnya. Secara nasional, salah satu masalah terkait hal itu adalah masalah terkait dengan pajak. Pelaku usaha sektor migas kerap kali mempermasalahkan hal terkait perpajakan yang sampai saat ini belum terselesaikan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) offshore, dan pajak untuk penggunaan fasilitas bersama antar KKKS.3 Di Indonesia, sampai saat ini pajak menjadi sumber penerimaan yang mendominasi. Dominasi tersebut merupakan hal wajar karena pajak memiliki umur yang tidak terbatas dan dapat diandalkan untuk kepentingan pembangunan serta pengeluaran pemerintah. 4 Namun bukan berarti pemerintah (sebagai kepanjangan tangan negara) bisa memungut pajak dengan tanpa aturan, hanya demi memenuhi kebutuhannya. Dalam mengelola perpajakan, harus ada asas-asas yang ditaati oleh pemerintah (dan pihak-pihak lain yang terkait). Asas-asas tersebut antara lain: Equality (Persamaan) ; Certainty (Kepastian); Convenience (Kenyamanan); dan Economy (Ekonomi).5 Asas-asas itu juga harus dilihat dan digunakan secara holistik dan tidak boleh parsial. Apabila asas-asas itu dilihat dan digunakan secara parsial, maka akan ada pihak yang dirugikan dalam pengelolaan perpajakan tersebut. Dalam konteks permasalahan yang dihadapi industri hulu migas terkait perpajakan, salah satu asas yang perlu diperhatikan adalah asas economy. Dimana maksud dari asas economy tersebut adalah memastikan pajak yang dipungut negara (melalui pemerintah) tidak boleh mengakibatkan terhambatnya kelancaran produksi dan perdagangan. Namun dalam 3 Situs hukumonline.com, “Ini 5 Permasalahan Sektor Hulu Migas yang Layak Anda Waspadai”, diakses dari http://www.hukumonline.com/talks/baca/lt54e6d9f592a45/ini-5-permasalahan-sektor-hulu-migas-yang-layakanda-waspadai, diakses pada Jumat 4 Novemver 2016 pukul 19.15 WIB. 4 Pancawati Hardiningsih dan Nila Yulianawati, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak”, dalam jurnal Dinamika Keuangan dan Perbankan, Vol.3 No.1, Nopember 2011, hlm.127. 5 Agus S. Suryadi, “Hukum Pajak Menghendaki Pemungutan Pajak yang Adil dan Mempunyai Kepastian Hukum”, dalam jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol.V No.1, Juli 2005, hlm.344345.


kenyataan di lapangan, pemerintah tidak menerapkan asas economy ini secara tepat terhadap pemungutan pajak atas industri hulu migas. Pemerintah kerap kali melakukan pemungutan pajak terhadap pelaku industri hulu migas sebelum industri tersebut dapat meghasilkan keuntungan (masih dalam tahap eksplorasi), sehingga kelancaran perdagangan dalam industri hulu migas terhambat. Gambaran sederhana terkait hal ini, sesuai dengan yang diutarakan oleh A. Rinto Pudyantoro:6 “Tidak perlu mengabil pajak dari ‘telur ayam’ dengan membuat ‘ayam’ kurus dan sakit-sakitan. Ayam harus dipelihara, dibiarkan gemuk, dan bertelur banyak sehingga penerimaan pajak dari ‘telur ayam’ semakin meningkat. Apabila industri hulu migas ‘bertelur’ terus-menerus, berkembang, dan sehat yang terlihat dari semakin meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, maka secara otomatis pajak migas akan meningkat.” Aturan hukum terkait pengelolaan perpajakan terhadap industri hulu migas ini seyogyanya dibuat secara khusus. Yang dimaksud secara khusus dalam konteks ini adalah menyadari bahwa aturan pajak terkait industri hulu migas harus dibuat dengan memerhatikan perbedaan serta ciri khas industri hulu migas dengan industri lain pada umumnya. Industri hulu migas merupakan industri dengan resiko tinggi, dan resiko itulah yang membedakannya dari industri lain secara umum. Apabila dalam mengembangkan industri hulu migas tidak disertai dengan aturan-aturan hukum yang sesuai, maka perkembangan yang diharapkan akan sulit untuk tercapai. Disisi lain, walaupun resiko industri hulu migas termasuk tinggi, namun potensi keuntungan yang didapat-pun besar. Sehingga apabila industri ini dapat berkembang dengan baik dan benar, maka negara pun jelas dapat menikmati potensi keuntungan tersebut. Bila ada pernyataan ketidak-setujuan yang menyebutkan bahwa atuan khusus itu merupakan suatu bentuk diskriminasi dan ketidakpastian hukum, maka ada beberapa argumen yang dapat menjadi jawabannya. Pertama, aturan khusus terkait perpajakan atas industri hulu migas tersebut sejatinya merupakan manifestasi atas asas economy dalam perpajakan itu sendiri. Kedua, aturan hukum tersebut juga menjadi lex specialis, sehingga pada dasarnya tidak terjadi diskriminasi hukum karena memang adanya lex specialis terhadap lex generali tersebut dimungkinkan dalam suatu aturan hukum. Ketiga, aturan khusus tersebut merupakan suatu bentuk dari hukum progresif yang menjadikan instrumen hukum menjadi faktor pendorong pembangunan, bukannya sebagai faktor penghambat.

6 A. Rinto Pudyantoro, “Akar Masalah dan Solusi Pajak Migas”, dalam Buletin Bumi No.22, November 2014, hlm.7


Pada akhirnya, harapan yang hendak dicapai dari adanya aturan hukum perpajakan yang khusus atas industri hulu migas tersebut adalah membesarkan bangsa dan negara bersama industri hulu migas. Disamping itu, adanya aturan hukum khusus tersebut menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia merupakan hukum yang bersifat membangun dan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada, bukan malah menjadi hukum yang menghalangi perkembangan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA Jurnal Hardiningsih, Pancawati dan Yulianawati, Nila, 2011”, Dinamika Keuangan dan Perbankan, Vol.3 No.1. Suryadi, Agus S., 2005, Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol.V No.1. Majalah Pudyantoro, A. Rinto, 2014, “Akar Masalah dan Solusi Pajak Migas”, Buletin Bumi No.22 edisi November 2014. Website Pudyantoro, A. Rinto, “Mengatasi Bahaya Defisit Migas Berkepanjangan”, diakses pada 25/11/2016 pukul 21.07 WIB, http://katadata.co.id/opini/2016/11/21/mengatasi-bahayadefisit-migas-berkepanjangan,. Situs hukumonline.com, “Ini 5 Permasalahan Sektor Hulu Migas yang Layak Anda Waspadai”,

diakses

pada

Jumat

4

Novemver

2016

pukul

19.15

WIB,

http://www.hukumonline.com/talks/baca/lt54e6d9f592a45/ini-5-permasalahan-sektorhulu-migas-yang-layak-anda-waspadai,.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.