ALSA Indonesia Legal Opinion Periode 3

Page 1


DAFTAR ALSA INDONESIA LEGAL OPINION PERIODE 3 Tema: Hukum Adat

No.

1.

Local Chapter

Universitas Airlangga

Judul Eksistensi Peradilan Adat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia Pelaksanaan Sanksi Tradisi Hukum Adat Petek’an

2.

Universitas Brawijaya

Berupa Perkawinan dalam Perspektif Hukum Nasional Penerapan Peradilan Adat Masyarakat Dayak Dalam Penyelesaian Konflik Untuk Mewujudkan Keadilan

3.

Universitas Diponegoro

Dan Kedamaian Tinjauan Kasus Perusakan Situs Adat Dayak dan Rumah Warga Oleh Pihak PT Mustika Sembuluh

4.

Universitas Jenderal

Kesakralan Pendopo Si Panji yang Tergerus oleh

Soedirman

Zaman Analisis Yuridis Pemindahan Ibu Kota Negara

5.

Universitas Sriwijaya

terhadap Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Paser di Kalimantan Timur


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS AIRLANGGA


LEGAL OPINION EKSISTENSI PERADILAN ADAT DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh: Dania Shofi Maziyah, Ulfa Septian Dika dan Atiqoh Farhah ALSA Local Chapter Universitas Airlangga

I.

KASUS POSISI LATAR BELAKANG : Kasus ini dimulai pada tahun 2012, antara suku Talang Mamak dengan PT Quest

Geophysical Asia (QSA) dimana PT QSA memulai pembukaan aktivitas eksplorasi migas di Kabupaten Indragiri Hulu. Aktivitas perusahaan ini mendapat penolakan keras dari masyarakat setempat karena dianggap juga telah melanggar hukum adat, diantaranya; masuk ke tanah adat tanpa permisi, melakukan pemancangan di tanah adat tanpa izin, membuka lahan tanpa izin, hingga merusak dan membinasakan ladang dan tanaman diatasnya hingga akar-akaran. Atas dasar tersebut, pada 4 Februari 2013 dilaksanakan pertemuan antara masyarakat adat Talang Mamak dengan perwakilan perusahaan. Berdasarkan pertemuan ini dihasilkan kesepakatan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh PT QSA akan diberhentikan sementara dan dilakukan pengakajian terhadap pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh PT QSA. Kemudian pada 16 Februari 2013 dilakukan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat Talang Mamak menetapkan hukuman adat terhadap PT QSA, yakni dengan denda sebesar 3 Taheil (Rp 50.000.000) selain denda adat tanam tumbuh yang harus dibayar perusahaan serta perusahaan dituntut memperbaiki jalan yang rusak.

II.

ISU HUKUM

1.

Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan di Indonesia.

2.

Keberlakuan Putusan Peradilan Adat Talang Mamak terhadap PT. Quest Geophysical Asia.

III. DASAR HUKUM 1.

UUD NRI 1945

2.

UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3.

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa


4.

Putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012

5.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011

IV.

ANALISIS

1.

Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan di Indonesia “Dimana ada masyarakat adat, di situ ada Peradilan Adat” – Hedar Laudjeng Informal justice atau non state administered formal justice merupakan sebuah bentuk

penyelesaian sengketa yang dibedakan dari state administered formal justice system.1 Peradilan adat, baik dalam bentuk sederhana maupun terlembaga secara solid merupakan sarana penyelesaian sengketa atas pelanggaran terhadap tata perilaku, baik antara sesama masyarakat maupun dengan alam dan lingkungan sekitarnya. 2 Keberadaan peradilan adat tersebut telah diakui sejak masa kolonial Hindia Belanda berdasarkan pasal 130 Indische Staatsregeling.3 Pengakuan atas Peradilan Adat ini selanjutnya dihapus melalui UU No 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa peradilan di wilayah RI adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang. Selanjutnya, diundangkannya UU No 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU No 19 Tahun 1964 juga mengamini ketentuan sebelumnya serta menghapus keberadaan peradilan adat dan swapraja. 4 Sementara itu, amandemen konstitusi kembali memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara. Selain UU Desa, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ini juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum tidak tertulis bagi hakim dalam mengambil keputusan. Hal ini sesesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun diakui sebagai sumber hukum, secara struktural Pengadilan Adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan peradilan formal di Indonesia. Pasal 18 UU 48/2009

Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, ‘Kajian Tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem Peradilan Perdata di Indonesia’ (2015) 27 Mimbar Hukum [62]. 2 Yance Arizona, ‘Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional’ <https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Hukum_Nasional> accessed 6 November 2019. 3 Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar 1989) dalam Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia, Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, (2013) [11]. 4 Yance Arizona, Loc. Cit. 1


membatasi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena tidak memiliki hubungan struktural, maka tidak ada kewajiban bagi hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat.5 Meskipun keberadaan Pengadilan Adat tidak secara ekplisit diakui, namun keberadaan masyarakat hukum adat telah diakui oleh Negara, baik berdasarkan konstitusi maupun peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Salah satunya adalah putusan MK, yang mengakui hak masyarakat adat juga hutan adat. Namun, ada atau tiadanya pengakuan (negara atau hukum nasional), sesungguhnya eksistensi peradilan adat di Indonesia telah berlangsung lama, dipertahankan secara turun temurun oleh komunitas lokal dan atau masyarakat adat.6 Bagi masyarakat adat, peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali lebik baik dari peradilan formal. Tujuan dari peradilan adat untuk menyeimbangkan situasi sosial yang terganggu karena adanya tindakan yang melanggar hukum adat. Sehingga, pada umumnya sanksi adat bukanlah bertujuan sebagai bentuk pembalasan. Karena kebutuhan akan peradilan adat tersebut, Negara seyogyanya melakukan penguatan akan keberadaan peradilan adat. Cara penguatan peradilan adat yang saat ini menjadi pilihan adalah penguatan institusional. Melalui cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan negara dalam hal penanganan perkara. Namun, formalisasi ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata cara dalam melaksanakan peradilan adat, sebab telah mulai mengadopsi nilai dan tata cara peradilan formal.

7

Sementara itu, legalisasi terhadap

putusan Pengadilan Adat dapat mencerminkan penundukan terhadap kekuasaan negara. Bentuk formalisasi yang diupayakan untuk memperkuat keadilan sosial dalam sistem peradilan adat bukanlah menempatkannya dalam atau di bawah sistem peradilan nasional, yang berkonsekuensi atas mekanisme formal dan prosedural berbasis hukum acara tertentu yang baku, melainkan menempatkannya dalam sistem hukum nasional serta mendorong pada pemajuan dan perlindungan hak-hak para pihak yang bersengketa atau berkonflik

5

Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, Op.Cit. [65]. Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, ‘Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2013) Pengkajian Hukum BPHN [6] 7 Yance Arizona, Loc.Cit. 6


(substansialisasi) dengan memperhatikan prinsip-prinsip terselenggaranya peradilan adat, yakni prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan HAM. Peradilan adat haruslah tetap sebagai mekanisme yang dipandang relatif lebih dinamis, serta memiliki makna penting secara sosiologis. Keberlakuannya harus dilihat sebagai upaya merawat secara lebih maju atas situasi “social significance” (kebermaknaan sosial).

2.

Keberlakuan Putusan Peradilan Adat Talang Mamak terhadap PT Quest Geophysical Asia. Terhadap suatu putusan yang lahir dari sengketa yang terjadi antara masyarakat Talang

Mamak dengan PT QGA, dimungkinkan adanya dua sikap yang diambil oleh PT QGA, yaitu ; menjalankan putusan tersebut atau tidak menjalankan putusan yang telah di keluarkan oleh peradilan adat. Ditaatinya putusan peradilan adat oleh pihak luar menandakan adanya eksistensi peradilan adat. Kondisi demikian dalam suatu sistem hukum disebut dengan “strong legal pluralism” sebagaimana dicetuskan oleh John Griffiths yang bermakna bahwa tidak semua hukum adalah hukum yang diatur oleh lembaga negara.8 Yang dimaksud dengan hal ini adalah tidak semua aturan yang diberlakukan dalam suatu negara merupakan hukum formal, namun juga berlaku hukum yang berlaku di tengah pluralisme masyarakat yaitu hukum adat. Sehingga konsep “strong legal pluralism” dapat dimaknai kehadiran hukum adat lebih kuat daripada hukum formal. Berbeda dengan hal tersebut, apabila dalam kasus ini putusan peradilan adat tidak dijalankan oleh pihak luar, maka hal ini menandakan bahwa pihak luar tersebut tidak mengakui eksistensi dari peradilan adat itu sendiri. Karena eksistensi suatu peradilan adat tersebut dapat diukur dengan parameter; Pertama, pihak luar menyetujui penyelesaian sengketa melalui mekanisme peradilan adat dan Kedua, putusan peradilan adat tersebut dijalankan oleh pihak luar yang dalam sengketa ini adalah PT QGA. Eksistensi dari peradilan adat dapat dilihat dari keberlakuan putusannya, dan keberlakuan putusan peradilan adat adalah sepanjang para pihak mengakui dan mentaati. Tidak dijalankannya putusan peradilan adat menandakan bahwa pihak luar tersebut tidak mengakui peradilan adat, sehingga tidak mengakui eksistensi dari masyarakat adat. Efektif dan relasi

8

John Griffiths, ‘What is Legal Pluralism?’ (1986) 32 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.[5].


pihak luar terhadap pemberlakuaan peradilan adat adalah tergantung dari posisi tawar masyarakat adat terhadap pihak luar tersebut, semakin tinggi daya tawar masyarakat adat maka semakin tinggi pula kemungkinannnya peradilan adat tersebut berlaku efektif.9 Merujuk pada konsep pluralisme hukum yang dikemukaan oleh John Griffiths yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) , tidak dijalankan nya putusan peradilan adat menandakan adanya Weak Legal Pluralism, Karena pihak luar lebih mengedepankan sistem hukum negara daripada hukum adat. Weak Legal Pluralism merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistemsistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara. 10 Ketika putusan peradilan adat tidak dijalankan oleh pihak luar yang dihukum oleh putusan itu, maka upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat yaitu dengan bertahan menggunakan hukumnya untuk melindungi ruang kehidupannya . Sehingga diupayakan sebaiknya masyarakat adat tidak menggunakan mekanisme peradilan nasional karena hal tersebut justru akan menciderai eksistensi dari peradilan adat itu sendiri. Karena peradilan adat memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem peradilan nasional, logika berpikir yang tidak sama antara sistem hukum nasional dengan sistem hukum adat. Dimana sistem hukum nasional lebih mengedepankan pada legitimasi hukum, sedangkan sistem hukum adat lebih pada proses sosial yang ada dalam masyarakat adat.

V.

KESIMPULAN Pengakuan terhadap hukum adat telah disebutkan dalam konstitusi. Namun keberadaan

peradilan adat tidak termasuk dalam sistem peradilan nasional berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009. Sehingga, seringkali terjadi pengabaian terhadap putusan yang dihasilkan oleh peradilan adat. Dalam menyikapi putusan peradilan adat ada dua sikap yang diambil oleh pihak yang bersengketa, yaitu ; menjalankan putusan tersebut atau tidak menjalankan putusan yang telah di keluarkan oleh peradilan adat. Ditaatinya putusan peradilan adat menandakan kondisi sistem

Muhar Junef, ‘Penerapan Sanksi Adat Kepada Perusahaan dan Pihak Lain dalam Peradilan Adat’, E(2015), 1, Journal WIDYA Yustitia, [105]. 10 John Griffiths, Op.Cit. [8]. 9


hukum yang mencerminkan strong legal pluralism. Sebaliknya, tidak ditaatinya putusan peradilan adat menandakan kondisi sistem hukum yang mencerminkan weak legal pluralism.

VI.

SARAN Pemerintah harus melakukan pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat sebagai

bagian dari sistem hukum di Indonesia, namun tidak harus diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk formalisasi yang diupayakan untuk memperkuat keadilan sosial dalam sistem peradilan adat bukanlah menempatkannya dalam atau di bawah sistem peradilan nasional, yang berkonsekuensi atas mekanisme formal dan prosedural berbasis hukum acara tertentu yang baku, melainkan menempatkannya dalam sistem hukum nasional serta mendorong pada pemajuan dan perlindungan hak-hak para pihak yang bersengketa atau berkonflik (substansialisasi) dengan memperhatikan prinsip-prinsip terselenggaranya peradilan adat, yakni prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan HAM.


DAFTAR PUSTAKA Buku Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia (Miswar 1989) dalam Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia, Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, (2013). Tim Badan Pembinaan Hukum Nasional, ‘Peluang dan Tantangan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2013) Pengkajian Hukum BPHN.

Jurnal John Griffiths, ‘What is Legal Pluralism?’ (1986) 32 Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. Muhar Junef, ‘Penerapan Sanksi Adat Kepada Perusahaan dan Pihak Lain dalam Peradilan Adat’, E-(2015), 1, Journal WIDYA Yustitia. Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya, ‘Kajian Tentang Relevansi Peradilan Adat Terhadap Sistem Peradilan Perdata di Indonesia’ (2015) 27 Mimbar Hukum.

Laman Yance Arizona, ‘Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional’ <https://www.academia.edu/3723907/Kedudukan_Peradilan_Adat_dalam_Sistem_Huk um_Nasional> accessed 6 November 2019.


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS BRAWIJAYA


LEGAL OPINION PELAKSANAAN SANKSI TRADISI HUKUM ADAT PETEK’AN BERUPA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL Oleh: Arinta Permata Anita, Aufa Sabila Bawi, Rezzy Akbar Yudoprakoso ALSA Lcoal Chapter Universitas Brawijaya A. Latar Belakang Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan berlakunya hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia, namun eksistensinya diakui karena hidup dan tumbuh bersama masyarakat. Karena pada dasarnya Indonesia menganut tiga sistem hukum sekaligus yang hidup dan berkembang di masyarakat yakni sistem hukum civil law, sistem hukum adat, dan sistem hukum islam. Salah satunya hukum adat ini sebagai hukum yang asli tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mempengaruhi proses berlakunya hukum di Indonesia. Sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis serta memiliki sifat fleksibel karena berkembang bersama masyarakat sehingga menjadi penyeimbang dengan hukum civil yang bersifat kaku. Apabila ada suatu hukum tentu ada namanya masyarakat. Hidupnya hukum adat ini pun berbanding lurus dengan pengakuan adanya keberadaan masyarakat hukum adat. Di Indonesia sendiri pun sudah diatur didalam pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.� dari rumusan pasal tersebut negara mengakui adanya masyarakat hukum adat ada sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan dan UUD 1945 disahkan. Namun kini eksistensinya mulai pudar yang awalnya hidup dan menjadi solusi dalam permasalahan sosial di masyarakat kini dalam kenyataan seringkali masalah yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat ketika


berhadapan dengan hukum positif. Seperti hak-hak tradisional hukum adat yang dihadapkan dengan kepentingan investor melalui sarana hukum negara. 1 Suku Tengger berasal dari masyarakat Jawa yang memelihara tradisi keagamaan dari zaman kerajaan Majapahit. Suku Tengger memiliki berbagai macam tradisi, salah satunya adalah tradisi Petek’an yang telah dilestarikan. Tradisi Petek’an mempunyai arti yaitu menekan atau mengurut, salah satu tradisi yang dilakukan dengan cara menekan perut seorang gadis dan janda untuk memeriksa keperawanan dan kehamilan. Tradisi Petek’an diberlakukan sejak tahun 1955 yang dipimpin oleh tetua adat salah satunya di Desa Ngadas. Awalnya telah ditemukan salah satu warga yang melakukan hubungan seks diluar nikah, akhirnya hal ini diyakini sebagai penyebab terjadinya kejadian – kejadian aneh di Desa Ngadas. Untuk menghindari murkanya alam kepada masyarakat desa, maka diberlakukannya tradisi Petek’an. Dalam penerapannya, hukum adat ini memiliki tiga konsekuensi diantaranya jika salah satu gadis atau janda terbukti hamil diluar perkawinan maka akan dikenakan hukuman adat dan tentunya akan dicari tahu siapa yang menghamili perempuan tersebut, jika seorang laki – laki yang masih lajang atau belum menikah telah menghamili perempuan lain maka mereka akan langsung dinikahkan secara adat tanpa mendaftarkan kepada KUA, tetapi jika laki – laki yang telah menikah lalu menghamili perempuan lain maka keduanya akan dipermalukan di desa dan akan dikenakan denda berupa semen. B. Isu Hukum Legalitas perkawinan secara adat tanpa pencatatan melalui Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. C. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

1

M. Syamsudin, “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara”, Jurnal Hukum, Vol 15 No. 3 Juli 2008, hlm. 338-351, di download dari http://journal.uii.ac.id/


3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Perkawinan D. Analisis Perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam tataran konsep telah dijamin oleh konstitusi. Keberadaan pasal 18 B ayat (2) dan 28I (3) UUD 1945 serta Undang-Undang sektoral (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan UU terkait lainnya) telah berupaya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap Kesatuan MHA. 2 Secara das sollen pemerintah pusat telah menjamin secara yuridis dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan mensejahterakan, yaitu dengan memperjuangkan tercapainya pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak tradisional. Hak-hak Konstitusional yang dimaksud adalah hak-hak dasar dan hak kebebasan dasar setiap warga negara, terkait dengan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan didepan hukum, hak sosial ekonomi, kebebasan berpendapat, hak untuk hidup dan bertempat tinggal yang dijamin oleh UUD. Sedangkan hak-hak tradisional yaitu hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul (geneologis), kesamaan wilayah, dan objek-objek adat lainnya, hak atas tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekkan dalam masyarakatnya.3 Tentunya untuk menikah membutuhkan syarat-syarat terlebih dahulu agar tidak menyalahi Undang-Undang yang berlaku. Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan bathin dengan dasar iman.4

2

Jawahir Thontowi. Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-Hak Tradisionalnya. 2015. Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Hal. 1 3

Ibid.

4

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 7-8.


Syarat sah suatu perkawinan secara jelas diatur pada Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasar ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan yang apabila bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif Indonesia5. Tradisi Petek’an dilakukan oleh penduduk asli warga Desa Ngadas yang berusia sekitar 15 tahun (akil baligh) sampai usia produktif, baik mereka yang masih gadis maupun sudah janda. Dalam tradisi ini, jika mereka diketahui sudah tidak perawan sebelum menikah atau sedang hamil di luar nikah, maka akan dilaporkan kepada tetua adat dan akan disidang yang dihadiri oleh keluarga dari pihak perempuan. Setelahnya, jika sudah diketahui pasangan perempuan tersebut maka pihak pria dan keluarganya akan dipanggil yang kemudian akan dikenakan sanksi. Pasangan yang melakukan perzinahan tentunya akan dikenakan sanksi materiil dan sanksi sosial. Adapun untuk sanksi materiil akan dikenakan denda sejumlah 50 sak semen bagi yang belum berkeluarga, sementara bagi pria yang sudah menikah atau berkeluarga dikenakan 100 sak semen. Setelah itu mereka akan dikawinkan secara adat sampai jabang bayi lahir, dan setelahnya mereka harus bercerai karena perkawinan ini tidak didaftarkan ke KUA maupun catatan sipil. Dalam pelaksanaannya, perkawinan secara adat yang dilakukan oleh para pelaku juga tidak dicatatkan ke dalam KUA dan catatan sipil yang berarti perkawinan tersebut tidak mempunyai legalitas yang diakui oleh negara dan agama. Maka dari itu, perkawinan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan,

5

Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia” (2013), Vol. VII No. 13 Januari Juni 2015 hlm. 24-25, di download dari https://ojs.uniskabjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/208/201


perkawinan tersebut pun harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan catatan sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. E. Kesimpulan Tradisi Petek’an yang masih berlaku hingga saat ini bagi kaum perempuan merupakan suatu bentuk eksistensi dari tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang yang telah menjadi suatu hukum adat dan wajib untuk dipatuhi oleh masyarakat, jika dilanggar maka akan menimbulkan sanksi. Bagi yang melanggar, maka pasangan tersebut harus dikawinkan secara adat tanpa mendaftarkan perkawinan tersebut ke Kantor Urusan Agama dan catatan sipil. Sehingga perkawinan yang telah dilakukan secara adat dapat dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

F. Saran Bahwa dalam penerapan tradisi petek’an ini, pasangan yang melakukan perkawinan seharusnya segera dicatatatkan ke dalam catatan negara. Tradisi ini seharusnya lebih diperlihatkan ke masyarakat agar tidak terjadi kesalah pahaman.


DAFTAR PUSTAKA Buku Jawahir Thontowi, Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-Hak Tradisionalnya (Yogyakarta,2015) Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, 1981)

Jurnal M. Syamsudin, Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara, Jurnal Hukum, Vol. 15 No. 3 hal. 338-351 (2008) Munawar, Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia, Vol. VII (2015)

Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Perkawinan


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS DIPONEGORO


LEGAL OPINION PENERAPAN PERADILAN ADAT MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KEDAMAIAN TINJAUAN KASUSU PERUSAKAN SITUS ADAT DAYAK DAN RUMAH WARGA OLEH PIHAK PT MUSTIKA SEMBULUH Oleh: Achmad Fauzi, Faishal Akbar, dan Ridho Al Faiz ALSA Local Chapter Universitas Diponegoro Kasus Posisi Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat), hal ini dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hukum memiliki peranan yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu sebagai alat untuk mewujudkan ketertiban umum. Berdasarkan bentuknya, hukum terdiri atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis merupakan hukum yang tersebar dalam peraturan nasional, sedangkan hukum tidak tertulis merupakan hukum yang pembentukannya tidak melalui proses formal, akan tetapi hukum itu tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu hukum tidak tertulis adalah hukum adat. Menurut Prof. Dr. Soepomo, S.H. hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh peraturan-peraturan tersebut.1 Keberadaan hukum adat dan hukum nasional pada saat yang bersamaan di suatu wilayah menibulkan suatu dualisme hukum. Dualisme ini yang menyebabkan suatu problematika, peraturan mana yang hendak digunakan, karena hukum adat sendiri merupakan hukum yang berlaku hanya untuk di suatu daerah saja sehingga penerapannya tidak banyak diketahui oleh banyak orang. Salah satu permasalahan yang belum lama terjadi berkenaan dengan kasus Perusakkan situs adat masyarakat Dayak oleh PT. Mustika Sembuluh.. Kasus dikarenakan adanya penyerangan sekelompok satpam PT Mustika Sembuluh terhadap warga atas tuduhan pencurian buah sawit. Rumah warga serta situs budaya adat Dayak (Patung Sapundu) juga menjadi korban perusakan. Kejadian penyerangan sekelompok satpam perusahaan sawit itu 1

Soepomo. 1967. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: PT PN


terjadi pada Februari tahun 2018. Insiden ini dilatarbelakangi sengketa lahan antara pihak perusahaan dan warga yang tidak kunjung selesai. Sebelumnya, perusahaan PT Mustika Sembuluh sering kehilangan buah sawit sehingga pada Rabu (3/2/2018) lalu sekelompok satpam perusahaan menduga bahwa pelaku pencurian berlari dan ada di sekitar pemukiman warga. Lantaran tidak mendapatkan yang dicari, sekelompok satpam perusahaan merusak rumah warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, KotawaringinTimur, Kalimantan Tengah. Tidak hanya rumah warga yang menjadi korban, salah satu situs budaya adat Dayak (Patung Sapungu) juga dirusak sehingga memicu kemarahan Dewan Adat Dayak. Atas kejadian tersebut dilakukanlah proses investigasi yang dilakukan oleh Tim Khusus yang dibentuk oleh Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah hingga akhirnya digelarlah sidang adat terhadap PT Mustika Sembuluh oleh Dewan Adat Dayak yang bertajuk Sidang Perdamaian Adat Dayak pada Mei 2018. Dalam sidang tersebut dihadiri oleh dua petinggi PT Mustika Sembuluh yakni Darwin Indigo dan J Antono, lalu ada Majelis Mantir Basara Hai (Majelis Hakim Sidang Perdamaian Adat) sebanyak lima orang hakim, Pendawa (Penuntut Umum) sebanyak 4 orang, serta Ketua Dewan Adat Dayak Kalteng yang datang untuk menyaksikan jalannya persidangan tersebut. Dari sidang tersebut didapati putusan oleh majelis hakim adalahj penjatuhan sanksi denda adat atau Singer, yaitu membayar sebesar 120 katimaru, kemudian membangun biaya pemugaran situs adat (sandung) sebesar 800 katimaru dan tanggung jawab moral 1.479 katimaru, yang bila ditotal dalam rupiah jumlah semua denda ialah Rp577.777.777,00. (Untuk diketahui, 1 katimaru sama dengan seharga 1 gram emas yang nilai per gramnya tergantung masing-masing daerah aliran sungai (DAS) di Kalteng yang jumlahnya hingga 11 DAS).

Isu Hukum 1. Apakah eksistensi penerapan hukum adat masih diakui di tengah pembaharuan hukum nasional saat ini? 2. Apa saja makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah yang juga mencakup aspek posisi, peran, dan fungsi?


3. Bagaimana peran dan pengaruh pranata adat terutama dalam pencegahan dan penghentian konflik/sengketa di masyarakat?

Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951 (Lembaran Negara 1951 No. 9 tentang Unifikasi Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Sipil) 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial 5. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah

Analisis Keberadaan aturan–aturan hukum adat banyak terdapat di daerah-daerah tertentu, misalnya suku adat Dayak yang terdapat di daerah Kalimantan Tengah. Apabila menilik pranata adat di Kalimantan Tengh, keberadaan Lembaga Adat Dayak telah akui sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa Adat Istiadat Dayak adalah seperangkat nilai dan norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat adat Dayak serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat terwujud dalam berbagai pola nilai perilaku kehidpan sosial masyarakat setempat. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 18 menyebutkan Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan dengan mengacu kepada adat-istiaat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak. Aktifasi pranata adat di Kalimantan Tengah saat ini dicakup dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 008 khususnya Bab X (Pasal 27-32) tentang


penyelesaian Sengketa; dan Bab XI tentang Jenis Sanksi. Sengketa yang dimaksudkan dalam hal ini berkaitan dengan sengketa adat, di mana dapat diajukan pada Kerapatan Mantir (pembantu Damang Adat) yang terletak di wilayah Desa/Kelurahan maupun Kecamatan. Pengaduan terhadap kasus adat ini juga mencakup aspek yang terkait dengan perselisihan di wilayah rumah tangga yang harus diselesaikan dengan membayar denda adat atau bentukbentuk sanksi adat lainnya. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa ini juga berpijak pada metode musyawarah adat. Dengan model penyelesaian konflik yang berjenjang, suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan di tingkat Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di Desa atau Kelurahan makan akan dibawa untuk diselesaikan di tingkat Kerapatan mantir/Let Perdamaian Adat tingkat Kecamatan. Sanksi yang diberikanpun melalui pengambilan keputusan Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di tingkat kecamatan dan sifatnya mengikat. Ada pula mekanisme Sumpah Adat yang diberlakukan jika ada suatu kasus yang sulit untuk dibuktikan. Dalam suatu kasus, maka pemberian keputusan adat pada pihak yang bersengketa akan menjadi pertimbangan bagi aparat hukum yang memang terlibat dalam penyelesaian perkara.

Kesimpulan 1. Bahwa keberadaan Peradilan Adat sudah diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan nasional, walaupun sebelumnya melalui Pasal 1 ayat (2) hurf b UU Darurat No 1951; dilanjutkan dengan penghapusan secara tidak langsung peradilan desa melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Bahwa Peradilan Adat dalam konflik sosial tersebut digunakan oleh masyarakat adat untuk menjaga ruang hidup kemanusiaannya, hukum adat (termasuk pengadilan adat) berlaku pula terhadap baik ndividu, komunitas, maupun perusahaan yang dinilai melanggar hakhak masyarakat adat atas kekayaan budayanya. 3. Bahwa sanksi yang dijatuhkan pada perusahaan/pihak lain adalah berupa denda adat; perusahaan dihukum untuk menyediakan kebutuhan adat dan sebagainya.


4. Bahwa putusan pengadilan adat perlu diakui dan dijalankan agar mengembalikan stabilitas masyarakat adat/daerah tertentu.

Saran Seluruh elemen masyarakat terutama pemerintah maupun pihak luar dari masyarakat adat perlu selalu memberikan penghormatan dan memperkuat putusan-putusan peradilan adat terkait sanksi adat terhadap pihak luar yang mengancam ruang hidup dan kemanusiaan masyarakat adat.


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


LEGAL OPINION KESAKRALAN PENDOPO SI PANJI YANG TERGERUS OLEH ZAMAN Oleh: Fadhilah Nuraini Rustam, Aranty Fahira Ardiva, Rio Prathama Putra ALSA Local Chapter Universitas Jenderal Soedirman Kasus Posisi Pada tahun 2008 lalu puluhan seniman Banyumas mengadakan demonstrasi di AlunAlun Purwokerto, Jawa Tengah. Mereka menuntut untuk alun-alun tidak dirombak lantaran memiliki nilai filosofis yang tinggu dan kuat dengan alam. Sebelum dirombak seperti sekarang, Alun-Alun Purwokerto memiliki dua wringin kurung atau pohon beringin yang berada tepat di tengah sudut alun-alun. yang biasa disebut Wringin Kurung yang berada tepat di tengah sudut alun-alun. Jalan tengah diantara kedua pohon itu digunakan sebagai tempat para rakyat yang sedang menunggu untuk bertemu penguasa kala itu. Namun, kepala pemerintah Banyumas kala itu memutuskan agar Alun-Alun Purwokerto disatukan dengan menghilangkan jalan tengah. Digunakan. Hal ini tentu merubah fungsi alun-alun sebagai bagian dari kearifan lokal sekaligus identitas budaya Jawa Tengah. Sebagai kesatuan yang tak terpisahkan secara simbol tradisi, kini Alun-Alun Purwokerto seolah berdiri sendiri dengan simbol pemerintahan yang memiliki tatanan filosofinya. Pun saat ini, simbol kebudayaan Jawa di Purwokerto juga semakin tergilas zaman. Gedung tinggi tumbuh menjelang di depan pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas. Sebuah mall megah kini berdiri kokoh persis di depan Alun-alun Purwokerto, mall tersebut berada satu Kawasan dengan Swiss Bel Hotel yang berdiri dengan 18 lantai. Sejak pembangunannya pada tahun 2012 lalu, mall tersebut menuai banyak kontra karena dianggap melanggar Perda Nomor 6 Tahun 2002 pasal 30-31 tentang aturan pendirian bangunan di komplek alun-alun yang tidak boleh melebihi 3 lantai atau 12 meter di atas permukaan tanah. Aturan itu didasarkan dari tinggi menara Pendopo Si Panji. Pendopo Si Panji adalah sebuah bangunan yang didirikan oleh Bupati Kabupaten Banyumas Ketujuh, R. Tumenggung Yudanegara II.


Memang dulu ada aturan tidak tertulis yang mengatur kalau tinggi bangunan yang berada di sekitar alun-alun tidak boleh melebihi tinggi dari Pendopo Si Panji. Namun sepertinya peraturan itu sudah tidak berlaku lagi dengan munculnya bangunan tinggi di depan alun-alun.

Isu Hukum -

Apakah pembangunan mall yang tingginya melebihi tinggi Pendopo Si Panji itu dapat dinyatakan sah?

-

Bagaimana keabsahan hukum adat yang disahkan menjadi suatu Peraturan Daerah?

Dasar Hukum 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Purwokerto

Analisis Dengan dasar hukum Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Purwokerto ini terlihat bahwa memang sebuah aturan tentang larangan bangunan yang melebihi pendopo si Panji dikawasan kompleks alun-alun memiliki hukum yang positif. Sesuai dengan PERDA yang ada bahwa Perda Nomor 6 Tahun 2002 pasal 30-31 tentang aturan pendirian bangunan di komplek alun-alun yang tidak boleh melebihi 3 lantai atau 12 meter di atas permukaan tanah, sementara RITA Supermall dan Swiss Bel Hotel memiliki tinggi 18 lantai yang sudah jelas melebihi tinggi minimal yang di tetapkan oleh Perda Kabupaten Banyumas.


Sesuai dengan asas – asas hukum adat yang kita ketahui, bahwa terdapat asas hukum perorangan, asas hukum kekeluargaan, asas hukum perkawinan, asas hukum adat waris, asas hukum tanah, asas hukum hutang piutang dan asas hukum adat delik.1 Memang kita adalah orang Indonesia yang hidup dengan suasan adat kita sendiri, akan tetapi adat ini harus diungkapkan, diketahu dan dimengerti untuk menyadari bahwa hukum adat kita adalah hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Hukum ini harus ditemukan supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita sendiri tetapi juga bangsa lain. 2 Lalu mengapa RITA Mall Tetap diizinkan untuk didirikan di depan alun-alun? Karena dianggap memberikan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Purwokerto. Semakin menjelaskan dalam khasanah budaya tradisi sebagai melemahnya pemerintahan yang ada saat ini. Sunardi menganggap, pelemahan tersebut sudah mulai dirasakan bersamaan dengan perubahan tatanan perubahan politik. kalau dahulu penguasanya adalah pemimpin, namun sekarang penguasa ada di tangan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Purwokerto berasal dari hukum tidak tertulis yang sebelumnya hanya diyakini oleh masyarakat bahwa Pendopo Si Panji memiliki nilai sebagai simbol pemerintahan di Banyumas memiliki sejarah panjang. Mengutip buku "Banyumas; Antara Jawa dan Sunda" yang ditulis sejarawan Banyumas, Sugeng Priyadi terungkap kisah yang membuat bangunan tersebut dikeramatkan akibat peristiwa banjir besar di tahun 1861 di Kota Banyumas. Dalam buku tersebut, dikutip satu kisah pada 21-23 Februari 1861 Kota Banyumas tertutup air setinggi pohon kelapa. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang sudah dipaparkan diatas, Kisah pendopo si Panji ini merupakan salah satu artefak dalam bentuk bangunan yang dianggap bersejarah dalam terbentuknya Kota Purwokerto sebagai bagian utama wilayah Kabupaten Banyumas. Dengan menggunakan dasar hukum Undang – Undang Dasar 1945 serta Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor

1 2

H.A.M Effendy, Pengantar Hukum Adat. (Semarang; CV Tradan Jaya,1994) hlm. 18 Prof. MR.DR.Soekanto: Meninjau Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta, 1981, hal 20


6 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Purwokerto ini tetap mengizinkan RITA Supermall Purwokerto dikarenakan dapat memberikan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat Purwokerto. Selain itu, Memang dulu ada aturan tidak tertulis yang mengatur kalau tinggi bangunan yang berada di sekitar alun-alun tidak boleh melebihi tinggi dari Pendopo Si Panji. Namun sekarang, Sepertinya peraturan itu sudah tidak berlaku lagi dengan munculnya bangunan tinggi di depan alun-alun yang dapat menimbulkan terbukanya lapangan pekerjaan untuk masyarakat Purwokerto. Sehingga, itu sebabnya RITA Supermall Purwokerto dapat dikatakan sah walaupun tinggi RITA Supermall Purwokerto melebihi dan tinggi Pendopo si Panji disinih lah peran pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang sepopuler mungkin apakah tetap menjalankan peraturan yang ada? Atau dinamis dengan tetap mebolehkan bangunan disekitaran kompelks alun-alun berdiri kokoh, seperti apa teori yang dikemukakan Gustavradbruch dengan demikian akan terciptalah tujuan hukum yang sebenarnya dimana rasa kepastian hukum tercipta, rasa keadilan akan dijunjung tinggi dan juga kemanfaatan hukum akan terlaksanakan dengan demikian tujuan akhir kita semua akan terlaksanakan yaitu masyarakat Banyumas


DAFTAR PUSTAKA Effendy, H.A.M. 1994. Pengantar Hukum Adat. Semarang: CV Tradan Jaya. Soekanto. 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.


LEGAL OPINION ALSA LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS SRIWIJAYA


LEGAL OPINION ANALISIS YURIDIS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA TERHADAP KESATUAN-KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PASER DI KALIMANTAN TIMUR Oleh: Muhammad Harits, Kholilah Apriliani, dan A Muflih El Zuhdi. ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya I.

Kasus Posisi Pengaturan Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat ditempatkan pada Pasal 18B Amandemen Kedua UUD 1945. Pengaturan tersebut telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat juga terdapat pada Pasal 28i angka (3), di mana disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berangkat dari ketentuan-ketentuan tersebut, terlihat bahwa pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat akan terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. Konsekuensi dari ketentuan ini adalah semua aturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah batal. Pembatalan ini dapat dilakukan melalui mekanisme permohonan pembatalan.1 Meskipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan, perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari pernyataan, “Sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat, selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undangundang”. Lalu bagaimana nasib dari Masyarakat Hukum Adat Paser yang rencananya di wilayahnya akan dipindahkan Ibukota Negara Indonesia yang baru. 2 Wilayah Penajam Paser Utara dulunya merupakan kawasan yang dihuni oleh Suku Paser Tunan dan Suku Paser Balik. Kedua suku tersebut berinduk dari Suku Paser yang saat ini tinggal di Kabupaten Paser. Di lansir dari situs resmi Kebudayaan Kementerian 1 Lalu Sabardi, ‘konstruksi makna yuridis masyarakat hukum adat dalam pasal 18B UUDN RI tahun 1945 untuk identifikasi adanya masyarakat hukum adat’ (2013) 43 Jurnal Hukum dan Pembangunan. [184] 2

Ibid, Lalu sabardi


Pendidikan dan Budaya, kehidupan di Penajam Paser Utara terdiri dari kelompokkelompok suku yang hidup dengan berpencar. Mereka kemudian mendirikan kerajaankerajaan kecil yang kemudian disebut Kerajaan Adat. Ketika itu, mata pencaharian masyarakatnya secara turun temurun adalah sebagai nelayan dan petani. Adapun Kerajaan adat yang mereka bangun berada di sekitar sungai dan teluk di kawasan Penajam. Sebelum Dipilih Jadi Ibu Kota, Penajam Paser Utara disebut Tertinggal oleh beberapa Kerajaan Adat di lokasi Penajam pada zaman dahulu di antaranya: Pemerintah Adat Suku Adang yang tinggal di Teluk Adang (Paser) Pemerintah Adat Suku Lolo yang tinggal di Muara Sungai Lolo (Paser) Pemerintah Adat Suku Kali yang tinggal di Long Kali (Paser) Pemerintah Adat Suku Tunan yang tinggal di Muara Sungai Tunan (Penajam) Pemerintah Adat Suku Balik yang tinggal di sekitar Teluk Balikpapan. Di antara Kerajaan Adat tersebut, hanya Pemerintah Adat Suku Balik yang menjadi bagian kerajaan besar Kutai Kartanegara.3 Dan seperti yang kita ketahui bahwa wilayah dari masyarakat Hukum adat Paser nantinya menjadi salah satu proyek pembangunan Ibukota Negara Republik Indonesia yang baru menggantikan DKI Jakarta. Serta status perencanaan pembangunan pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur, khususnya Kabupaten Penajam Paser Utara menjadi ancaman bagi masyarakat adat Dayak Paser. Pemindahan Ibu Kota Negara ke wilayah adat tak beda dengan alih fungsi hutan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit dan pengolahan kayu, sehingga warga Dayak Paser kembali berpotensi kehilangan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, dari pangan, papan, hingga persembahan untuk ritual sakral adat, dan lahan yang mereka tinggali secara turuntemurun bakal tergusur ibu kota baru yang ditargetkan menampung 1,5 juta penduduk, Kecemasan Sabukdin ini disampaikan secara eksklusif pada BBC Indonesia pada Kamis (05/09/2019). Katanya, "kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, hanya menonton,". "Pendatang sudah hidup di tanah kami, kami tidak menikmati kemakmuran, tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau Ibu Kota ada di sini," tutur Sabukdin Kepala Adat Paser di Sepaku. Pengalaman berbicara, sengketa lahan

3

Nur Rohmi Aida, ‘Sejarah Masa Lalu Penajam Paser Utara, dari Kisah Dua Suku Paser hingga

Kerajaan Adat’ ,(Kompas,2019) <https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/27/090729465/sejarah-masa-lalupenajam-paser-utara-dari-kisah-dua-suku-paser-hingga?page=all> accessed 7 November 2019


menahun terjadi di perkampungan mereka karena saling klaim lahan adat, transmigrasi, dan sawit. Tanah yang diklaim Sabukdin telah dimiliki secara turun-temurun kini semakin sempit dan terkepung desa transmigrasi serta lahan berlabel hak guna usaha (HGU). "Lahan kami diambil padahal di situ ada makam nenek moyang kami," kata Sabukdin. Semenjak hutan dan lahan menyempit, masyarakat adat Paser tak lagi semerdeka di masa lalu secara adat termasuk soal aktifitas ekonominya. 4 Penguasaan hukum tanah yang lemah di kalangan warga Dayak Paser berpotensi rawan dimanfaatkan kelompok tertentu. Dan faktanya masyarakat adat di pedalaman hampir 90% tidak punya surat kuat atau sertifikat karena keterbatasan masyarakat adat dalam mengurus surat dan sertifikat. Presiden Indonesia, Joko Widodo berjanji pemerintah akan menjual sebagian lahan di ibu kota baru kepada publik. Wilayah sebesar 30 ribu hektare di pusat pemerintahan baru itu, kata Jokowi, akan dijadikan permukiman. Bappenas saat ini tengah merancang rencana induk pembangungan ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. Dokumen itu ditargetkan selesai tahun 2020. Ibu kota baru diklaim akan dibangun bertahap hingga 10 tahun ke depan, begitu pula pemindahan sekitar 900 ribu pegawai badan pemerintah pusat beserta keluarga mereka.5

II.

Isu Hukum 1. Bagaimana Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara terhadap Masyarakat Adat Dayak Paser dan Bentuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Paser terhadap Pemindahan Ibu Kota Negara?

III.

Dasar Hukum

4

Abraham Utama, ’Ibu kota baru Indonesia: Warga Dayak Paser khawatir 'makin tersingkir' dari wilayah adat, 'tidak mau tambah melarat‘, (BBC Indonesia,2019) <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia49591240> accessed 6 November 2019 5

Wisnu Nugroho, ‘ Jokowi Sebut Masyarakat Bisa Beli Lahan di Ibu Kota Baru, Harganya?’, (Kompas,2019) <https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/18355701/jokowi-sebut-masyarakat-bisa-belilahan-di-ibu-kota-baru-harganya> accessed 6 November 2019


1.

Undang-Undang Dasar 1945

2.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

5.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

6.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup

7.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

8.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

9.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

10.

Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

IV.

Analisis 4.1. Analisis Teori Untuk menjawab isu hukum di atas maka kami menyajikan beberapa teori sebagai acuan untuk dapat menarik suatu kesimpulan. Teori-teori dimaksud akan disajikan sebagai berikut : 1.

Teori Receptio a Contario Hukum Adat adalah sesuatu yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan Hukum Agama (Islam) sehingga keduanya mesti tetap terpisah. Hukum Adat timbul semata-mata dari kepentingan hidup kemasyarakatan yang ditaati oleh anggota masyarakat itu, yang apabila ada pertikaian atau konflik maka diselesaikan oleh penguasa adat dan hakim pada pengadilan negeri. (Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, 1981: 62)6

Nada Siti Salsabila , ‘Implementasi teori-teori HAM di Indonesia’ Studi kasus : problematika industrialisasi pabrik semen di kabupaten rembang , (Academia), [20]. 6


2.

Teori Positivisme Pada teori ini, Positivisme berpandangan bahwa hak harus tertulis secara jelas dalam hukum riil, dan sebegai bentuk jaminan hak melalui konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori positivisme ini memperjelas penolakan kalangan utilitarian, yang dikembangkan secara spesifik dan sistematis oleh John Austin. Warga negara sebagai subjek hukum akan mendapatkan hak apabila terdapat aturan yang jelas dan tertulis yang menjelaskan tentang hak dari warga negara tersebut. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara maka dapat dipertimbangkan untuk gugatan. Dalam teori ini, secara eksplisit dijelaskan bahwa segala hak dapat dibatasi dan dikurangi selama tertulis secara jelas dalam hukum riil.

3.

Teori Relativisme Budaya Relativisme budaya berpandangan bahwa kebudayaan merupakan salah satu sumber legitimasi hak dan keabsahan moral. Menurut teori ini, hak asasi pada dasarnya perlu dikaji dan dipahami dari kebudayaan dan kearifan lokal setiap negara. Manusia adalah interaksi sosial dan kultural serta perbedaan budaya dan peradaban kekuatan akal budi mengenai kemanusiaan, dalam teori ini melahirkan beberapa karya hak asasi antara lain.7

4.2. Analisis Kasus Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa, "Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. dan Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman." oleh sebab itu Masyarakat Hukum adat Paser yang sudah lama menduduki wilayah calon

7

Ibid, Nada Siti Salsabila


tempat Ibukota Negara yang baru, Pemerintah harus mengakui adanya masyarakat Hukum adat Paser.8 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memastikan pemindahan ibu kota tak akan merusak hutan. “Tidak akan ganggu luas hutan lindung. Desain kota akan mengarah ke forest city, aspek hijau dan hutan tetap terjaga,” ujar Bambang di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Tak hanya hutan, lanjut Bambang, adat istiadat yang sebelumnya berlaku di lokasi ibu kota baru itu pun akan tetap dijaga. “Kita tidak akan gusur masyarakat adat dan kebudayaan. Kita bangun di tanah kosong, jadi tidak ganti atau menempati wilayah yang ada penduduknya,” kata Bambang. Ditahap awal ibukota baru akan menampung 1,5 juta penduduk. Perhitungan tersebut sudah termasuk perkiraan jumlah PNS pusat, pegawai legislatif, yudikatif, legislatif yang diperkirakan sebanyak 200.000 jiwa. Sementara untuk aparat Polri dan TNI sekitar 25.000 jiwa. Setidaknya, untuk membangun ibu kota baru yang rencananya akan seluas 40.000 hektar, pemerintah memerlukan dana hingga 33 miliar dollar AS atau Rp 446 triliun. Akan tetapi, Masyarakat Suku Dayak justru menganggap bahwa perencanaan pemindahan ibu kota justru mengancam eksistensi kehidupan masyarakat adat. Masyarakat Suku Adat Dayak meminta kepada pemerintah untuk memenuhi Masyarakat Suku Dayak meminta kepada pemerintah untuk memenuhi haknya memperoleh tanah tersertifikasi sebelum Ibu Kota Negara baru dipindahkan ke Kalimantan Timur. Sebab, mereka mengaku tidak lagi memiliki tanah pribadi maupun tanah adat.9 Wakil Bendahara Umum Majelis Adat Dayak Nasional, Dagut H. Djunas mengatakan, sejak maraknya penggunaan lahan untuk kepentingan perkebunan sawit di Kalimantan pada 2014, masyarakat dayak tidak lagi memiliki tanah dan hutan adat yang dilindungi hukum untuk digarap sebagai sumber mata pencaharian. "Masyarakat kita

8

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043). 9

Akhdi Martin Pratama, ‘Bappenas: Pemindahan Ibu Kota Tak Akan Rusak Hutan’, (Kompas, 2019) <https://money.kompas.com/read/2019/07/10/150844626/bappenas-pemindahan-ibu-kota-tak-akan-rusak-hutan >, accessed 8 November 2019


makin terjepit, makin tidak ada tempat tentang lahan dan hutan adat. Akibat itu masyarakat kita menurut data, 285 desa yang tinggal hanya desanya saja semuanya perkebunan sawit," kata dia di Gedung Bappenas, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.10 Oleh karena itu, dia meminta, sebelum Ibu Kota Negara baru dibangun di tanah Kalimantan, tepatnya di sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, maka pemerintah harus memenuhi hak masyarakat dayak untuk memperoleh tanah yang dilindungi oleh kekuatan hukum atau disertifikasi gratis oleh pemerintah.11 Akan tetapi terlepas Pemerintah Pusat akan menjamin bahwa akan membuat Ibukota Negara yang bernuasa Forest city. Masyarakat Hukum adat Paser dapat menolak dan menuntut Pemerintah Pusat apabila pada saat pembangunan tidak memperhatikan lagi wilayah Hutan Adat yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat Paser Karena sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Dan Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hĂźkĂźm adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.12 Dan sejalan dengan ketentuan lebih lanjut di dalam Pasal 67 tersebut Pemerintah daerah Kabupaten Paser sudah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor

Dusep Malik, ‘Jadi Ibu Kota Baru, Suku Dayak Minta Hak Tanah Lima Hektare Per KK’, (VIVAnews, 2019) 11 Ibid, Dusep Malik. 10

12

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).


4 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang bertujuan memberikan Kepastian Hukum untuk Masyarakat Hukum Adat Paser. Serta Pemerintah Pusat dalam proses memindahkan Ibukota Negara yang baru, Pemerintah Pusat haruslah juga menjamin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah di jaga dan dikelola Masyarakat Hukum Adat Paser karena sesuai dengan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.13 Rencana pemindahan ibukota negara berimplikasi terhadap seluruh aspek ekonomi, sosial, budaya maupun hukum di Indonesia. Pemindahan ibukota justru menimbulkan ancaman terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat Paser Secara yuridis, implikasi pemindahan Ibukota menyebabkan perubahan terhadap hukum positif atau undang-undang yang berlaku, apabila hukum positif disesuaikan dengan rencana pemindahan ibu kota maka seluruh kelembagaan negara harus ikut berpindah ke ibukota baru dan menyandang status kekhususan sebagai Ibu kota negara yang secara tidak langsung mengancam hak ulayat masyarakat adat dalam status kepemilikan tanah bahkan kesenjangan sosial. Eksistensi hukum adat di Indonesia pada dasarnya telah mendapat pengakuan secara deklaratif dalam konstitusi pada pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik terbukti memiliki multi budaya dan multi etnis. Hukum adat lahir dan berkembang mengikuti arah ombak inovasi paradigma sosiologi hukum, dan perkembangan sejarah hukum adat di Indonesia. Secara khusus, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Paser Nomor 4 Tahun 2019 tentang

13

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).


Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat secara jelas eksistensi masyarakat adat dayak paser dijamin dan dilindungi oleh pemerintahan melalui prosedur yang berlaku, Oleh karena itu, perencanaan terhadap pemindahan ibukota justru memerlukan inovasi yuridis terhadap undang-undang yang menjamin eksistensi dan hak masyarakat hukum adat. Apabila Undang-Undang terbaru tidak dapat menjamin perlindungan terhadap eksistensi hukum adat, hukum positif yang dianggap tidak mampu mengatur kaidah perilaku masyarakat, terdapat ecenderungan menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam Hukum Adat dan hal ini juga didukung oleh UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam Proses Pembuatan suatu peraturan perundang-undangan harus melibatkan Masyarakat apalagi Masyarakat Hukum Adat yang sudah di atur dalam Konstitusi dan Undang-Undang lainnya. Dapat disimpulkan dari Paragraf di atas apabila Lembaga Legislatif yaitu DPR RI dan dibantu oleh Lembaga Eksekutif, Undang-Undang yang berkaitan dengan Ibukota Negara yang baru wajib menjamin Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Paser. Pada dasarnya, setiap warga negara dijamin dan dilindungi untuk berkedudukan sama di dalam hukum sesuai dengan teori Positivisme Hak Asasi Manusia, dalam menafsirkan hukum secara gramatikal maka subjek setiap warga negara juga mencakup masyarakat hukum adat. Namun, pada perkembangannya masyarakat hukum adat justru menjadi pihak yang terpinggirkan, terasingkan, dan tersingkirkan dan apabila pada saat Pemerintah Pusat melakukan pemindahan Ibukota Negara Indonesia berimplikasi seperti merusak kawasan Hutan Adat dan mengganggu Masyarakat hukum adat Paser dalam menjalankan Kehidupan sehari-hari serta pengelolaan pembangunan yang mengancam eksistensi masyarakat hukum adat. Maka Masyarakat Hukum Adat Paser memiliki Hak untuk menuntut Keadilan karena Hak mereka diatur secara eksplisit di dalam Konstitusi dan Undang-Undang terkait seperti Kehutanan, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup Masyarakat Hukum Adat Paser dapat melalui Proses Litigasi yang dapat dilakukan masyarakat, termasuk


masyarakat hukum adat dengan merujuk Pasal 91 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan dengan cara melakukan hak gugat masyarakat adat Hak gugat masyarakat yang ada dalam UU PPLH, salah satu pilihan dapat digunakan masyarakat hukum adat dalam lingkungan hidup. Hak Gugat Masyarakat yang diatur pasal di atas, belum mengakomodir secara penuh kepentingan masyarakat hukum yang mempunyai karekteristik yang khusus, yang menjadi pembeda atas keberadaan mereka. Hak gugat masyarakat memberi upaya hukum represif untuk masyarakat secara umum, sedang masyarakat hukum adat bersifat khusus. Hak gugat masyarakat mengacu pada mekanisme/prosedur class action, yang jelas berbeda sifatnya dengan masyarakat hukum adat. Perbedaan ini sama dengan masyarakat hukum adat, karena keterbatasan, kemampuan untuk bertahan hidup, pendidikan diberi perkecualian oleh hukum dan dijamin UUD 1945. Selain Hak Gugat di atas, Masyarakat Hukum Adat Paser dapat melakukan permohonan Gugatan kepada Mahkamah Konstitusi apabila Undang-Undang yang berkaitan tentang Daerah Khusus Ibukota yang baru tidak ada yang mengakui, menjamin, dan melindungi Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Paser. V.

Kesimpulan Perlindungan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dianggap masih memiliki kelemahan dan perlu adanya regulasi yang mengatur secara jelas dalam perlindungan masyarakat hukum adat. Penguasaan hukum tanah adat yang lemah di kalangan Masyarakat Hukum Adat Paser berpotensi rawan dimanfaatkan kelompok tertentu dan faktanya masyarakat adat di pedalaman dominan tidak punya surat kuat atau sertifikat karena keterbatasan masyarakat adat. Lantas Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mengakui bahwa Masyarakat Hukum Adat Paser masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.


VI.

Saran Harapannya apabila Pemerintah tetap konsisten dengan janji yang sudah diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat Paser dalam memindahkan Ibukota, meminta DPR dan Pemerintah Pusat merancang dan membuat Peraturan Perundang-undangan tentang tata cara pengakuan keberadaan masyarakat adat serta menjamin perlindungan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Tak sebatas hanya pada itu, pemerintah diharapkan melibatkan masyarakat hukum adat dalam pembangunan ibu kota dengan memberikan lapangan pekerjaan sebagai bentuk kompensasi hilangnya mata pencaharian masyarakat adat. Konkret nya Pemerintah membentuk Peraturan Perundang-Undangan tentang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini hanya menjadi wacana dan asumsi belaka.


DAFTAR PUSTAKA Lalu Sabardi, ‘Konstruksi Makna Yuridis Masyarakat Hukum Adat dalam Pasal 18B UUDN RI tahun 1945 untuk Identifikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat’ (2013) 43 Jurnal Hukum dan Pembangunan. [184]

Nur Rohmi Aida, ‘Sejarah Masa Lalu Penajam Paser Utara, dari Kisah Dua Suku Paser hingga Kerajaan

Adat’,

(Kompas,

2019)

<https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/27/090729465/sejarah-masa-lalu-penajampaser-utara-dari-kisah-dua-suku-paser-hingga?page=all>

Abraham Utama, ’Ibu kota baru Indonesia: Warga Dayak Paser khawatir 'makin tersingkir' dari wilayah

adat,

'tidak

mau

tambah

melarat‘,

(BBC

Indonesia,

2019)

<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49591240>

Wisnu Nugroho, ‘ Jokowi Sebut Masyarakat Bisa Beli Lahan di Ibu Kota Baru, Harganya?’, (Kompas,2019)

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/03/18355701/jokowi-sebut-

masyarakat-bisa-beli-lahan-di-ibu-kota-baru-harganya

Nada Siti Salsabila , ‘Implementasi teori-teori HAM di Indonesia’ Studi kasus : problematika industrialisasi pabrik semen di kabupaten rembang , (Academia, [20]. Akhdi Martin Pratama, ‘Bappenas: Pemindahan Ibu Kota Tak Akan Rusak Hutan’, (Kompas, 2019)

<https://money.kompas.com/read/2019/07/10/150844626/bappenas-pemindahan-ibu-

kota-tak-akan-rusak-hutan >, accessed 8 November 2019

Dusep Malik, ‘Jadi Ibu Kota Baru, Suku Dayak Minta Hak Tanah Lima Hektare Per KK’, (VIVAnews, 2019)


Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pegelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888).



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.