Unair 17/18: Tinjauan yuridis sifat dan keberlakuaan putusan judicial review mahkamah konstitusi

Page 1

TINJAUAN YURIDIS SIFAT DAN KEBERLAKUAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh: Firdaus Faisal Merdekawan Susanto Yesika Retno Berdikarini Fakultas Hukum Universitas Airlangga Firdaus.faisal55@gmail.com

ABSTRAK Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Kewenangan khusus yang hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu putusan yang bersifat final dan tidak ada upaya hokum lainnya. Hal ini jelas berbeda dengan sifat lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang menyediakan mekanisme upaya hokum lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Namun dalam praktik perjalanannya, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final dan mengikat akan tetapi tidak dijalankan oleh lembaga peradilan biasa dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuan yang mengatur daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi bagi setiap orang, dan tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Terlebih dalam SEMA No 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, dalam bagian “Tindak Pidana Khusus� nomor 11 dan 15, dinyatakan bahwa hakim tidak terikat pada putusan Mahmakah Konstitusi. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan dan dilaksanakan bagi setiap orang. Maka berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini mengemukakan tinjauan yuridis terhadap sifat dan keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi. Kata kunci: Mahkamah konstitusi, putusan, final


The Constitutional Court is the executing institution of the judicial authority as regulated in Article 24 C Paragraph (1) and (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Special powers that only possessed by the Constitutional Court are final and have no other legal measures. This is clearly different from the nature of the judiciary within the Supreme Court, which provides other legal mechanisms, including through the mechanism of Judicial Review (Peninjauan Kembali). However, in practice, there are several decisions of the Constitutional Court that has been final and binding but not executed by the ordinary judicial institution because in the legislation there is no provision that regulates the Constitutional Court's decision-making power for each person, and there is no mandatory requirement the Supreme Court and the lower courts to comply with the decision of the Constitutional Court. Especially in SEMA Number 7 Year 2012 on Legal Formulation of the result of the Plenary Meeting of the Supreme Court Chamber as the Guideline for the Implementation of Tasks for the Court, in the section "Special Crimes" number 11 and 15, it is stated that the judge is not bounded by the Contitutional Court’s decisio. It becomes a separate issue if the decision of the Constitutional Court is not executed and implemented for everyone. Therefore, based on this description, this paper presents juridical explanation on the nature and validity of the Constitutional Court’s decision. Keywords: Constitutional Court, verdict, final


PENDAHULUAN Pasca dimulainya genderang reformasi pada pertengahan tahun 1998, Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dalam berbagai sektor mulai dari politik, hingga konstitusi (Constitusional Reform). Salah satu perubahan mendasar dalam ketatanegaran Indonesia adalah dianutnya prinsip negara hukum (rechtstaat) yang tertuang secara tegas pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum�. Konsep negara hukum ini mengartikan bahwa setiap tindakan organ-organ negara harus di dasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Keberlakuan ini, tidak lain untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan Indonesia yang terselenggara secara demokratis dan konstitusional. Tidak hanya itu, susunan lembaga negara juga mengalami perombakan yang signifikan. Termasuk terbangunnya paradigma supremasi konstitusi (supremacy of the constitution) yang disepakati untuk menggantikan supremasi parlemen (supremacy of parliament).1 Hal tersebut terbukti dengan tidak adanya Lembaga Tertinggi Negara lagi yang sebelumnya dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) serta bertambahnya lembaga-lembaga negara yang baru, di samping juga terdapat lembaga negara yang dihilangkan. Salah satu lembaga yang lahir dari hasil amandemen konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (constitutional court) Kelahiran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertuang secara tersurat dalam teks UUD NRI 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi" 1

Mariyadi Faqih. Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, hlm. 98.


Rumusan ketentuan tersebut memuat bentuk pengakuan serta legitimasi terhadap eksistensi Mahkamah Konstitusi, sehingga mengartikan Mahkamah Konstitusi berbeda dan terpisah di luar bagian Mahkamah Agung dan menjadikan keduanya

sebagai

lembaga

pelaksana

dari

kekuasaan

kehakiman

dan

kedudukannya setara sebagai lembaga negara yang independen. Dengan diakuinya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara pelaksana kekuasaan kehakiman maka Indonesia telah menganut sistem bifurkasi (bifurcation system) dimana kekuasaan kehakiman terbagi menjadi 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.2 Sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang tertuang pada Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan sebagai berikut : (1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu�. (2) “Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengani dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar�. Dari ketentuan tersebut terdapat kewenangan khas yang hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya. Hal ini jelas berbeda dengan sifat lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali 2

Nur Syamsiati, 2009, Legal Standing Pemohon Dalam Beracara di Mahkamah Konstitusi, Skripsi: FH-UI, Jakarta, hlm. 19.


(PK). Untuk mempertegas kententuan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian diturunkan ke dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut : “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,

yakni putusan

Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam UndangUndang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat.� Fajar Laksono dalam Jurnalnya menyatakan bahwa Sifat final putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menunjukkan sekurang-kurangnya tiga hal3, yaitu : (1) Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) Karena telah memperoleh kekuatan hukum maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan

putusan serta

wajib untuk mematuhi

dan

melaksanakan putusan. (3) Karena merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh maka telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicate pro veritate habetu).

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari asas erga omnes yang berarti pada saaat putusan itu dibacakan maka dengan serta merta mengikat secara umum disamping mengikat obyek sengketa dalam permohonan pihal atau para pihak4. S.F. Marbun juga menyebutkan bahwa 3

Fajar Laksono Soeroso, 2014, Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Pusat Penelitian Perkara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm 2-3. 4 R. Nurman Ardian A.K, et.AL, 2016 Rekonstruksi terhadap Sifat Final dan Mengikat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Fiat Justisia, Universitas Lampung, hlm 4


apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang, dengan demikian setiap warga negara, termasuk pemerintahan negara terikat secara hukum oleh Putusan Mahkamah termasuk obyek yang dipersengketakan.5 Namun dalam praktik perjalanannya, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final dan mengikat akan tetapi tidak dijalankan oleh lembaga peradilan biasa dikarenakan dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuan yang mengatur daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi bagi setiap orang, dan tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Terlebih dalam SEMA No 7 tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, dalam bagian “Tindak Pidana Khusus� nomor 11 dan 15, dinyatakan bahwa hakim tidak terikat pada putusan Mahmakah Konstitusi. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan dan dilaksanakan bagi setiap orang. Maka berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini mengemukakan tinjauan yuridis terhadap sifat dan keberlakuan putusan Mahkamah Konstitusi. PEMBAHASAN Mengingat bahwa obyek pembahasan ini mengenai putusan Mahkamah Konstitusi maka perlu kiranya mengawali analisis dengan menyoal sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman. 1. Sejarah Berdirinya Mahkamah Konstitusi Sejatinya, berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal yang terpisah dari Mahkamah Agung, tidak terlepas dari yang namanya konsep judicial review terhadap undang-undang. Sejarah judicial 5

S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm 211


review dimulai dalam praktik peradilan Amerika Serikat pada tahun 1803 dalam kasus Marbury melawan Madison. William Marbury sendiri pada masa itu tepatnya pada saat akhir pemerintahan Presiden Quincy Adams adalah seorang Secretary of State, dikarenakan telah kalah dalam proses pemilu, Presiden Quincy Adams dalam masa peralihan jabatannya membuat keputusan-keputusan penting, termasuk mengangkat William Marbury sebagai hakim agung. Begitu masa peralihan telah terjadi, salinan surat pengangkatan Marbury belum sempat diserahterimakan. James Madison, Secretary of State, yang baru di bawah pemerintahan Presiden Jefferson menahan surat tersebut. Tindakan Madison menahan surat-surat pengangkatan pejabat itulah yang kemudian diperkarakan Marbury ke Mahkamah Agung.6 Marbury

menggugat

berdasar

undang-undang

Kekuasaan

Kehakiman (Judiciary Act) tahun 1789, Supreme Court sesungguhnya berhak mengeluarkan Writ of Mandamus yang memberi wewenang untuk memerintahkan agar surat keputusan pengangkatan tersebut diserahkan.7 John Marshal sebagai hakim ketua berserta empat orang hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi Amerika Serikat sendiri tidak mencantumkan judicial review. Adapun keputusan tersebut merupakan keputusan yang penting untuk dicatat dalam sejarah peradilan di Amerika dan di dunia. Pasca putusan tersebut banyak undangundang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.8 Disamping itu judicial review juga tidak terlepas dari teori jenjang norma

6

hukum

dari

Hans

Nawiasky

yang

menyatakan

bahwa

Hukum Online, Pertanyaan Prof Harun tentang Marburi vs Madison http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53f2c0c442681/pertanyaan-prof-harun-tentangmarbury-ivs-i-madison diakses pada 24 Januari 2018 7 Siahaan, Maruarar. 2010. Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hlm 28 8 Gaffar, Janedjri M. 2009. Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkmah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hlm 3


staatsfundamentalnorm sebagai norma tertinggi yang harus menjadi acuan bagi norma-norma hukum yang berada di bawahnya. Permasalahan yang timbul adalah apabila norma atau undang-undang di bawah norma dasar bertentangan dengan staatsfundamentalnorm tersebut, sehingga harus dibentuk sebuah mekanisme tersendiri agar penyimpangan yang terjadi dapat diluruskan.9 Fungsi dari judicial review juga sebagai alat untuk mengoreksi produk hukum dibawah staatfundamentalnorm, produk perundangundangan di bawah undang-undang dasar dan untuk mempertahannya objektivitas.10 Maka dari itu Hans Kelsen berpendapat perlunya dibentuk sebuah organ pengadilan khusus berupa constitutional court. Pemikiran Kelsen ini mendorong lahirnya Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Verfassungsgerichtshoft di Austria merupakan Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Di Indonesia sendiri kelahiran Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari buah pemikiran dari Mohammad Yamin dalam salah satu rapat BPUPKI pada waktu itu. Menurut Yamin diperlukan sebuah lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, yang lazimnya disebut dengan constitutioneele geschilatau constitutional disputes. Akan tetapi ide M. Yamin tersebut belum dapat diterima. Salah satu orang yang paling menentangnya adalah Prof. Soepmo yang membantah diadakannya wewenang pengujian undang-undang dengan dua alasan sebagai berikut. Pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menggunakan teori trias politica. Menurut Soepomo kewenangan semacam ini hanya terdapat pada negara-negara yang memberlakukan trias politica. Kedua, Kondisi para

9

Siahaan, opcit 14 Siahaan, opcit14

10


ahli hukum Indonesia yang saat itu tidak memiliki pengalaman mengenai hal tersebut sehingga ditakutkan tidak akan berjalan dengan efektif.11 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian mengemuka pada saat Reformasi yang salah satu agendanya adalah mewujudkan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis tepatnya sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR) di bulan Maret hingga April tahun 2000. Terjadi perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan

Mahkamah

Konstitusi

kemudian

diakomodir

dalam

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi. Prof. Jimly mengatakan bahwa dalam perubahan pertama sampai dengan keempat, bangsa Indonesia

telah

ketatanegaraan.

mengadopsi Antara

lain

prinsip-prinsip prinsip

baru

pemisahan

dalam kekuasaan

sistem yang

mengandalkan prinsip check and balance sebagai pengganti sistem supremasi MPR yang berlaku sebelumnya. 2. Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan khusus yaitu putusan yang lansung bersifat final dan mengikat menarik untuk dianalisis secara cermat. Frasa “final� sendiri mempunyai arti tahapan (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan (pekerjaan,

pertandingan,

tahap

penyelesaian),

sedangkan

frasa

“mengikat� mempunyai arti mengeratkan, menguatkan. Berdasar arti kedua frasa tersebut, makna final dan mengikat memeliki arti yang salit terkait, yaitu akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan

11

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, , 2006 Mahkamah Konstitusi : Memahami Keberadaanya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : PT. Rieneka Cipta, hlm 25


mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Jika ditarik dalam konteks sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, maka mempunyai makna telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap pasca dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam setiap persidangananya. Hal ini juga mengartikan tidak terakomodirnya lagi upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan (justiciable). Maka dari itu sifat daya ikat putusan Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa makna hukum yang terkandung di dalamnya. a. Kepastian Hukum Sifat final terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengacu kepada keinginan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi pencari keadilan terhadap konstitusi. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi, yang menyatakan : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final....� Dengan demikian, sejak diucapkannya putusan oleh Hakim Konstitusi maka saat itu pula putusan tersebut telah memiliki kekuataan hukum tetap (in kracht), sehingga menutup pintu akses bagi para pihak yang merasa tidak puas untuk menempuh upaya hukum lainnya. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstitusional (constitutional

court).

Sebab,

jika

Mahkamah

Konstitusi

mengakomodir adanya upaya hukum, maka hal tersebut tidak ada ubahnya seperti peradilan umum (ordinary court) sehingga perkara yang ditangani yang telah diputus dapat diajukan upaya hukum tingkat lanjut serta memakan waktu yang panjang sampai kasus


tersebut selesai. Konsekuensinya, para pihak akan dirugikan baik secara waktu, tenaga maupun biaya. Padahal para pihak merupakan orang merasa dirugikan haknya atas adanya suatu undang-undang. Tentunya ini sangat bertentangan dengan asas yang dianut di peradilan konstitusional yaitu sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Maka dari itu, kepastian hukum menjadi basis perlindungan bagi para pencari keadilan (justiceable). Sehingga dengan adanya kepastian hukum, diharapkan Mahkmah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat khususnya dalam menyangkut pengontrolan undang-undang sebagai produk politik terhadap Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi.

b. Mahkamah

Konstitusi

sebagai

Pengadilan

Tunggal

Konstitusional Mahkamah Konstitusi didesain khusus sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal. Tidak ada lembaga lain yang mempunyai kewenangan sama seperti Mahkamah Konstitusi serta tidak ada peradilan lain dibawahnya dan tidak pula merupakan bawahan dari lembaga lain. Inilah yang membedakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan peradilan lainnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kewenangan yang menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah pengadilan

konstitusional

yang

hanya

mengadili

sengketa

ketatanegaraan dan berdasarkan konstitusi. Apabila di ranah Mahkamah Konstitusi juga dibuka akses upaya hukum selanjutnya, maka bisa jadi putusan Mahkamah Konstitusi akan terus dipersoalkan,

hingga

berlarut-larut.

Sedangkan

Mahkamah


Konstitusi sendiri menangani persoalan ketatanegaraan dan bermuatan konstitusi, sehingga dibutuhkan kepastian hukum. c. Penjaga dan Penafsir Tunggal Konstitusi Sebagai

hasil

amandemen

Undang-Undang

Dasar,

Mahkamah Konstitusi juga didesain sebagai lembaga penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Hal ini dapat terlihat dalam penjelasan resmi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dengan tegas bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka dan upaya menjaga kewibawaan konstitusi agar dapat diimplemnatasikan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan prinsip demokrasi.12 Maka dari itu, eksistensi dari Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata dalam sistem ketatanegaraan yang tidak lain berperan sebagai pengawal serta penafsir tunggal konstitusi (The Guardian and The Interpreter of Consitution) yang kemudian akan direfleksikan dengan putusan-putusan sesuai perkara. Sehingga konstitusi dijadikan sebagai landasan dan dapat dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Abdul

Mukhtie

Fadjar,

Mantan

Hakim

Konstitusi,

menyatakan bahwa Penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 dalam penjelasan umumnya menegaskan beberapa butir penting ikhwal Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga dan penafsir tunggal konstitusi, yakni:13

12

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 13 Malik, Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1 April 2009


a. Agar

konstitusi

dilaksanakan

secara

bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi; b. Menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil; c. Merupakan

koreksi

terhadap

pengalaman

kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh

tafsir

ganda

terhadap

konstitusi. Dalam kaitannya pembahasan kali ini, putusan-putusan yang final dan mengikat ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi (gronwet), dimana pelaksanaanya harus dilakukan secara bertanggung jawab. Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan-putusannya, melainkan juga sebagai korektor terhadap produk lembaga legislatif dengan batu ujinya konstitusi melalui interpretasinya yang kritis dan dinamis.14 Oleh sebab itu, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah refleksi sekaligus berfungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi,

serta

memastikan

bahwa

undang-undang

yang

dihasilkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh konstitusi. 3. Dasar Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat Filsafat hukum menurut Satjipto Raharjo, membahas dan mempersoalkan tentang pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasardasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu.15 Filsafat hukum juga membahas tentang hal-hal konkret mengenai hubungan antara hukum dan moral 14 15

Ibid Fajar Leksono Suroso, Opcit hlm 16


(etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Dalam kaitannya pembahasan kali ini, bahwa hukum ditinjau menggunakan teori apapun tetaplah menjadi entitas yang harus ditaati, baik karena hukum merupakan kesepakatan, kesadaran, maupun sebagai perintah yang memaksa untuk mengatur dan menciptakan ketertiban. Sejalan dengan hal itu, putusan pengadilan juga telah menjelma menjadi hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan perkaranya pada pengadilan berarti menyerahkan dan mempercayakan sengketa kepada pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus. Konsekuensi yang timbul adalah pihak-pihak yang bersangkutan harus tunduk dan patuh pada putusan pengadilan. Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. 16 Alhasil, dengan kata lain, kekuatan mengikat putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya. Apabila para pihak yang bersangkutan telah menyerahkan dan mempercayakan sengketa kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal tersebut mengandung arti dari konsekuensi bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Atas dasar tersebut putusan pengadilah yang telah dijatuhkan tersebut wajib untuk dihormati para pihak serta tidak boleh ada pihak yang kemudian bertindak bertentangan dengan putusan. 17 KESIMPULAN Untuk mengakhiri pembahasan kali ini, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Lahirnya Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari praktik Judicial Review terhadap undang-undang dalam hal ini bermula dalam kasus Marbury melawan Madison, di Amerika Serikat yang kemudian dalam sejarah Indonesia juga tidak lepas dari ide M. Yamin, meski belum 16 17

Ibid ibid


dapat diterima sepenuhnya hingga kemudian diakomodir dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut, mengandung 3 (tiga) makna hukum, yaitu: Pertama, untuk mewujudkan dan menghadirkan kepastian hukum sesegeran mungkin bagi para pihak yang bersengketa terutamanya bagi para pencari keadilan (justiceable). Kedua, Kehadiran dari Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tunggal konstitusional.

Ketiga, Mahkamah

Konstitusi juga bermakna sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi 3. Secara filosofi, putusan pengadilan telah menjelma menjadi sebuah produk hukum, menjadi entitas yang harus ditaati baik karena hukum merupakan kesepakatan, kesadaran, maupun sebagai perintah yang memaksa untuk mengatur dan menciptakan ketertiban. Sehingga menciptakan kekuatan mengikat putusan pengadilan dimaksudkan untuk

menyelesaikan

suatu

persoalan

atau

sengketa

dengan

menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak wajib untuk mentaati hukum tersebut.


DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis

&

Sosiologis).PT. Toko Buku Agung: Jakarta. Asshididdiqie, Jimly. 2008. Menegakkan Tiang Konstitusi, Memoar Lima Tahun Kepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., di Mahkamah Konstitusi

2003-2008,

Jakarta:

Sekretariat

Jenderal

dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Asshididdiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta Fajar Laksono Soeroso, 2014, Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Pusat Penelitian Perkara Mahkamah Konstitusi, Jakarta Faqih, Maryadi. Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3, Juni 2010. Admin. Hukum online, Pertanyaan Prof. Harun tentang Marbury vs Madisonn diakses 24 Januari 2018. Alamatsitus : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53f2c0c442681/pertany aan-prof-harun-tentang-marbury-ivs-i-madison Malik, 2009, Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan Mengikat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1 April 2009. Rahardjo, Satjipto, Tidak Menjadi Tawanan Undang-Undang, Kompas 24 Mei 2000 Yunus, Ahsan.2011. Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Universitas Hasanuddin: Makassar


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.