PENGAJUAN DISKRESI OLEH PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI LANGKAH AWAL DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI ALSA INDONESIA LEGAL REVIEW COMPETITION
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM 2016
PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Pejabat pemerintahan daerah sering dihadapkan pada kondisi dilematis ketika hendak mengambil keputusan, terlebih keputusan menyangkut pengelolaan keuangan daerah. Kondisi dilematis tersebut berupa ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur, adanya ketidakharmonisan antarperaturan perundang-undangan yang berlaku, ketidaklengkapan aturan pelaksanaan, ketidakjelasan aturan atau multitafsir atas suatu aturan. Padahal pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya selalu mendasarkan pada azas legalitas, yaitu suatu azas yang mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintahan. Sementara itu, di sisi lainnya, mereka dihadapkan pada keharusan untuk mengambil keputusan agar hambatan dalam pelayanan masyarakat dapat diatasi secara baik. Sayangnya, keputusan-keputusan yang dibuat dalam kondisi dilematis tersebut berpotensi menyeret para pejabat pemerintahan ke dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi. Para pejabat tersebut berharap bahwa keputusan yang mereka ambil dapat mengatasi masalah dengan cepat namun kenyataannya justru tidak membuat aman mereka. Keputusan-keputusan seperti itu dikenal dengan istilah diskresi. Dimensi diskresi sangat luas, bisa dihadapi oleh pejabat pemerintahan di level tertinggi hingga pejabat pemerintahan level terendah. Di sisi lain peraturan perundang-undangan yang mengatur, memberi batasan dan ‘melindungi’ pejabat pemerintahan untuk menggunakan diskresi secara aman baru saja diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Lebih lanjut, penggunaan diskresi wajib memperhatikan tujuan diskresi, ketentuan peraturan perundang-undangan, azas umum pemerintahan yang baik, berdasarkan alasanalasan yang obyektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik. Bagaimana prosedur untuk melakukan tindakan diskresi? Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 20014 Tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang akan melakukan tindakan diskresi harus melaporkan kepada atasannya sebelum tindakan diskresi dilakukan apabila penggunaan diskresi berpotensi mengubah alokasi anggaran atau menimbulkan realokasi anggaran. Persetujuan oleh atasan pejabat dapat diambil apabila penggunaan diskresi didasarkan pada pengambilan keputusan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan, karena peraturan perundangundangan tidak ada, karena peraturan perundang-undangan tidak jelas, dan menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara. Pelaporan tindakan diskresi oleh pejabat boleh dilakukan setelah tindakan diskresi diambil apabila penggunaan diskresi berpotensi menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan atau terjadinya bencana alam. Persetujuan tersebut dilakukan apabila penggunaan diskresi didasarkan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Penggunaan diskresi dikategorikan sebagai melampaui wewenang apabila bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundangundangan, bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, menggunakan prosedur yang keliru dalam penggunaan diskresi. Akibat hukum atas tindakan melampaui wewenang tersebut adalah tindakan diskresi tersebut tidak sah. Penggunaan diksresi dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang apabila keliru menggunakan prosedur dalam proses penggunaan diskresi dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Akibat hukum atas tindakan mencampuradukkan wewenang tersebut adalah bahwa keputusan diskresi tersebut harus dibatalkan. Penggunaan diksresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang dan akibat hukum dari tindakan sewenangwenang tersebut adalah tidak sah. Pejabat pengelola keuangan daerah dalam berbagai level sering menghadapi kondisi dilematis yang mengakibatkan mereka harus melakukan tindakan diskresi. Banyak pejabat dihadapkan pada keharusan untuk mengambil keputusan agar hambatan dalam pelayanan masyarakat dapat diatasi secara baik. Sayangnya, keputusan-keputusan yang dibuat dalam kondisi dilematis tersebut berpotensi menyeret para pejabat pemerintahan ke dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi. Para pejabat tersebut berharap bahwa keputusan yang mereka ambil dapat mengatasi masalah dengan cepat namun kenyataannya justru tidak membuat aman mereka. Selama diskresi tersebut dilakukan dengan tujuan kepentingan umum, tidak ada kepentingan pribadi untuk memperkaya diri atau pihak lain secara melawan hukum, diskresi pejabat harus dilindungi dari ikhtiar kriminalisasi. Lalu, dalam tataran praksis, pemerintah harus mengambil politik hukum yang berisi bahwa pejabat yang mengambil diskresi demi
kepentingan umum, sebelum dinyatakan tersangka, BPK dan BPKP harus terlebih dahulu melakukan audit yang akurat. Aparat penegak hukum seyogianya mendasari penyidikannya pada hasil audit BPK dan BPKP sebab kedua lembaga tersebut ditugasi oleh negara, secara profesional melakukan audit. Langkah berikut, penegak hukum sebaiknya juga menggunakan instrumen UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai dasar untuk memeriksa dan menersangkakan para pejabat negara yang mengambil tindakan diskresi bukan untuk kemanfaatan dan kepentingan umum. Melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan pemerintah yang membuat diskresi itu sendiri. Hal ini tentunya telah memberikan banyak dampak negatif berupa kerugian bagi banyak pihak. Baik negara maupun masyarakat.
II. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan diskresi dan apa saja syarat-syarat pengajuan diskresi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? 2. Apa saja faktor penyebab munculnya dugaan tindak pidana korupsi sebagai dampak dari pengajuan diskresi oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat?
PEMBAHASAN 1. Apa yang dimaksud dengan diskresi dan apa saja syarat-syarat pengajuan diskresi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Diskresi merupakan salah satu tindakan pemerintahan. Diskresi hanya bisa dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Secara legal perundang-
undangan, Tindakan Diskresi sudah di atur dalam dalam Pasal 1 butir 9 UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dengan defenisi tersebut maka unsur-unsur formil “DISKRESI� adalah sebagai berikut: Keputusan dan/atau tindakan
harus merupakan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, diskresi tidak bisa dilakukan secara lisan. Ketetapan tertulis diterbitkan oleh Pejabat Pemerintahan yang melaksanakan
fungsi
pemerintahan,
baik
di
lingkungan
Pemerintah
maupun
Penyelenggara Negara lainnya. Yang dimaksud “mengatasi persoalan kongkrit” adalah sebagaimana yang dimaksud Pasal 22 Ayat (2) UU No.30/2014, yaitu: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan yang memberikan “Pilihan”. Ciri-ciri atau istilah kongkrit sebuah peraturan perundang-undangan memberikan “Pilihan” kepada Pejabat Pemerintah misalnya istilah “dapat”, “boleh”, “diberi kewenangan”, “berhak”, “seharusnya”, “diharapkan”, dan kata-kata lain sejenis. Dengan ciri-ciri khas tersebut maka pengertian “Peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan” adalah respon atau sikap Pejabat Pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan tidak mengatur” adalah ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman. Yang dimaksud “peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas” apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat. Yang dimaksud “stagnasi pemerintahan” berhubungan dengan kepentingan umum yang lebih luas, yaitu menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain: bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa. Berdasarkan UU No.39 Tahun 2014, Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; f. dilakukan dengan iktikad baik. Penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf a, huruf b, dan huruf c serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara. Dalam hal penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pemberitahuan sebelum penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pelaporan setelah penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 huruf d yang terjadi dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU No.30 Tahun 2014, Pejabat yang menggunakan Diskresi wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat yang menggunakan Diskresi wajib menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Atasan Pejabat. Dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah berkas permohonan diterima, Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Apabila Atasan Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus memberikan alasan penolakan secara tertulis. Penggunaan Diskresi dikategorikan melampaui Wewenang apabila
bertindak
melampaui batas waktu berlakunya Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; bertindak melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang yang
diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi yang melampaui wewenang menjadikan keputusan Diskresi tidak sah. Penggunaan
Diskresi
dikategorikan
mencampuradukkan
Wewenang
apabila
menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan tujuan Wewenang yang diberikan; tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28; dan/atau bertentangan dengan AUPB. Penggunaan Diskresi yang mencampuradukan wewenang menjadikan keputusan diskresi dapat dibatalkan. Jika penggunaan Diskresi dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila keputusan diskresi dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang. Sehingga akibat hukum dari penggunaan Diskresi yang mencampuradukan wewenang menjadikan keputusan diskresi tidak sah. Dengan gambaran hukum tersebut di atas, tindakan diskresi boleh dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang sepanjang sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 dan tidak menimbulkan potensi merugikan keuangan negara. HAKEKAT FUNGSI PEMERINTAHAN Pemerintah dituntut untuk memenuhi kepentingan masyarakat terutama berbagai kebutuhan dasar. Tuntutan ini sebagai bagian dari tugas penyelenggaraan negara dalam negara hukum yang tidak saja sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat) untuk menjaga ketertiban dan ketentraman. Adanya tuntutan terpenuhinya kesejahteraan masyarakat merupakan conditio sine quo non yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat krisis ekonomi pasca Perang Dunia II terutama yang terjadi pada negara-negara di Eropa. Negara hukum dengan tujuan pemenuhan kesejahteraan masyarakat ini sering dikenal dengan istilah welfare state atau welvaartsstaat. Namun penggunaan istilah ini tidak dapat dimaknai dalam ranah hukum sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa: ”Didorong oleh krisis ekonomi setelah Perang Dunia II, lahirlah konsep ”welvaartsstaat” yang kemudian lebih dikenal dengan nama ”verzorgingsstaat”. Welvaartsstaat
dan
verzorgingsstaat
merupakan
konsep-konsep
sosiologi
dan
politikologi”.1
1
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dan Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Edisi Khusus, Penerbit Peradaban, Cet. Pertama, 2007, h. 72.
Dalam sociale rechtsstaat pemerintah memiliki 2 (dua) kedudukan yang lebih mengarah pada fungsi utama pemerintahan. Pertama, pemerintah berkedudukan sebagai penguasa yang berwenang membuat aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat supaya tercipta ketertiban dan ketentraman masyarakat. Kedua, pemerintah berkedudukan sebagai pelayan masyarakat (public servant) pun dituntut untuk melakukan pelayanan publik (public service). Dalam kedudukan yang demikian, sociale rechtsstaat lebih mengedepankan perlindungan hukum bagi masyarakat karena hakekat sociale rechtsstaat bahwa pemerintah harus memperhatikan “theright to receive”. Di sinilah kedudukan pemerintah sebagai pelayan dan masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Keberadaan pemerintah tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap masyarakat dan memaksakan keinginan bagi masyarakat. Dalam sociale rechtsstaat (negara hukum kemasyarakatan), pelayanan prima adalah tugas pemerintah untuk mewujudkan social rights dan bukan kekuasaan serta pemaksaan kehendak bagi masyarakat. Social rights ini merupakan the rights to receive, dimana masyarakat berhak menerima dari Pemerintah dan bagi Pemerintah the rights to receive merupakan suatu kewajiban hukum untuk memberikan pelayanan terbaik. Selama ini pemerintah seringkali berlindung pada ungkapan semangat patriotisme yang digugah oleh John F. Kennedy bagi warga Amerika pada Inaugurasi sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 tahun 1961 : “....... And so, my fellow Americans : ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country. Ungkapan ini tidak sesuai dengan konsep pelayanan publik yang saat ini menjadi tugas utama pemerintah yang didasarkan pada prinsip good governance. Konsep pelayanan publik mulai dikembangkan di Inggris pada tahun 1991 yang didasarkan pada citizen’s chartersebagai kristalisasi tentang proses transformasi Negara dalam hubungan dengan warga negara yang sesuai dengan konsep negara hukum kemasyarakatan untuk pencapaian kesejahteraan bersama. Citizen’s charter2. Hal ini menegaskan prinsip-prinsip tentang Public Service, antara lain :
2
Rodney Austin dalam Peter Leyland and Terry Woods, Administrative Law Facing the Future : Old Constraints and New Horizons, Blackstone Press Limited, London, 1997, h. 20-21
a. The setting and improvement standards (perumusan dan perbaikan standar pelayanan); b. The creation of greater openness and the provision of public information (pembentukan keterbukaan yang luas dan peraturan tentang informasi publik); c. The provision of choice by the public sector whenever practicable (pilihan aturan hukum yang dapat diterapkan); d. The Observance of the non discrimination principle (prinsip ketaatan pada asas tanpa ada diskriminasi); e. Accessibility of services (akses pelayanan); f. The charter requires public service providers to give a good explanation, or an apology when things go wrong¸ad to have a well publicised and readily available complaints procedure (piagam tersebut mengharuskan untuk memberikan penjelasan atau meminta maaf apabila ada kekeliruan, dan menyediakan publikasi yang baik dan suatu prosedur pengaduan yang mudah).
WEWENANG PEMERINTAHAN Secara yuridis, pemerintah (eksekutif) maupun struktur pemerintahan negara lainnya tidak lagi memiliki kekuasaan apapun dalam negara hukum. Kekuasaan yang sebelumnya terjelma sebagai kedaulatan rakyat telah termanifestasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yang menyebutkan bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar”dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kekuasaan dalam negara sejatinya adalah kekuasaan hukum terutama pada Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi yang memberikan wewenang kepada pemerintah (eksekutif) dan struktur pemerintahan negara lainnya untuk bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh hukum. Wewenang pemerintahan ini sekaligus menjadi fungsi kontrol rakyat terhadap pemerintah dalam bertindak. Dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, tindakan pemerintahan harus didasarkan pada wewenang yang dimiliki dan bukan pada kekuasaan. Tentunya penggunaan diskresi pun tidak harus didasarkan pada wewenang yang memberikan kebebasan bertindak bagi aparatur
pemerintahan untuk menggunakan diskresi dan bukan kekuasaan pemerintahan. Penggunaan diskresi harus didasarkan pada wewenang yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Wewenang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah bevoegdheid yang senantiasa berada dalam konsep hukum publik terutama Hukum Administrasi yang melahirkan wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Dalam Black Law Dictionary, ”authority” diartikan sebagai ”Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties”.3 Istilah wewenang sebagaimana didefinisikan di atas, merupakan kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik bagi pemerintah. Hal ini sesuai dengan pendapat P. Nicolai sebagaimana disitir oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa: ”Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of na te laten, of the (rechtens gegeven) aanspraak op het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht empliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na te laten”4 Sumber wewenang pemerintahan dapat berupa atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi dalam bahasa Latin berasal dari kata ad tribuere artinya memberikan kepada. Wewenang atribusi berarti wewenang yang diberikan atau ditetapkan untuk jabatan tertentu yang bersumber baik dari Undang-Undang Dasar maupun undang-undang. Delegasi berasal dari bahasa Latin delegare yang artinya melimpahkan. Dengan demikian konsep wewenang delegasi berarti wewenang pelimpahan. Mandat berasal dari bahasa Latin mandare yang artinya memerintahkan. Mandat mengandung makna penugasan, bukan pelimpahan wewenang. Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, dan mandat, J.G. Brouwer and A.E. Schilder, yang menyatakan bahwa:
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing, l990, h. 133. F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1985, h.26 3 4
1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is intial (originair), which is to say that is not derived from a previously non existent powers and assigns them to an authority. 2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name. 3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name.5
HAKEKAT DAN TUJUAN DISKRESI Diskresi sebagai wewenang pemerintahan merupakan wewenang bebas yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan sekaligus sebagai lawan dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid). Sifat dan karakter hukum tindakan pemerintah ini mengharuskan kekuasaan pemerintah tidaklah sekedar melaksanakan undang-undang (asas wetmatigheid van bestuur), tetapi harus lebih mengedepankan “doelstelling” (penetapan tujuan) dan beleid (kebijakan). Tindakan pemerintah yang mengedepankan “doelstelling” dan “beleid” merupakan kekuasaan yang aktif. Sifat aktif ini menurut Philipus M. Hadjon6 dalam konsep hukum administrasi secara intrinsik merupakan unsur-unsur utama dari “Sturen” (besturen). Dalam konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan tidaklah semata-mata sebagai suatu wewenang terikat sebagaimana tertuang dalam aturan hukum, tetapi juga merupakan suatu wewenang bebas atau diskresi. Dalam Black Law Dictionary, istilah “discretion” berarti “A public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and conscience”.7 Penekanan pada pengertian diskresi sebagai kekuasaan pejabat publik untuk bertindak menurut keputusan dan
5
Brouwer J.G dan Schilder, A Survey of Ductch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, l998, h. 16-18. Philipus M. Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), h. 2-3. 7 Henry Campbell Black, Black’s......., h. 479. 6
hati nurani sendiri. Diskresi adalah wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum. Istilah diskresi dalam perbandingan pada beberapa negara dikenal dengan istilah “discretionary power” (Inggris), “ermessen” (Jerman), dan “vrij bevoegdheid” (Belanda). Diskresi dalam pengertian discretionary power dalam common law system di Inggris adalah “the power of judge, public official or a private party (under authority given by contract, trust or will) to make decisions on various matters based on his/her opinion within general legal guidelines). Diskresi dalam pendekatan ini diartikan sebagai kewenangan dari seorang hakim, pejabat publik atau pihak swasta (yang bertindak berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh suatu perjanjian) untuk membuat keputusan dalam berbagai hal berdasarkan pendapatnya sendiri dengan mengacu kepada aturan hukum normatif. Konsep diskresi dalam pendekatan discretionary power merupakan kewenangan yang dimiliki baik oleh hakim, pejabat publik dan pihak swasta. Dalam hal ini, diskresi berada dalam ranah hukum publik maupun hukum perdata. Konsep discretionary power yang berlaku di Inggris ini berbeda dengan konsep vrij bevogdheid di Belanda yang lebih diarahkan pada ranah hukum publik, karena istilah bevogdheid lebih didekatkan pada ranah hukum publik dalam kaitan dengan vrijbestuur (kebebasan pemerintahan) dalam melaksanakan tindakan pemerintahan. N.M. Spelt – J.B.J.M. ten Bergedalam tulisannya yang berjudul “Inleiding Vergunningenrecht” sebagaimana disitir oleh Philipus M. Hadjon, membedakan 2 (dua) macam kebebasan pemerintahan (vrij bestuur) yaitu beleidvrijheid (kebebasan kebijaksanaan) dan beoordelijngsvrijheid (kebebasan penilaian). Lebih lanjut tentang kebebasan kebijaksanaan (beleidvrijheid) diuraikan bahwa : ” Er us beleidsvrijheid (ook wel discretionare bevoegdheid in enge zin) indien een wettelijke regeling een bestuursorgaan een bepaalde bevoegdheid verleent, terwijl het aan het orgaan vrij staat van het gebruik van die bevoegdheid af te zien, ook al zijn de voorwaarden voor rechtmatige uitoerening daarvan vervult” (ada kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syaratsyarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi).8
8
Ibid
Mengenai
kebebasan
penilaian
(beoordelingsvrijheid)
dikatakan
bahwa:
”Beoordelingsvrijheid (ook wel discretionare bevoegdheid in oneigenlijke zin) bestaat voorzover het rechtens ann het bestuursorgaan in overgelaten om zeltrstanding en exclusier te beoordelen or de voorwaarden voor een rechtmatige uitoepening van een bevoegdheid rijn vervuld” (kebebasan penilain (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi). Diskresi sebagai vrij bevoegdheid dapat berarti kebebasan kebijaksanaan (beleidvrijheid) sebagai diskresi dalam arti sempit yang memberikan kewenangan bagi aparatur pemerintahan untuk memutus secara mandiri, sedangkan dalam arti kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid) sebagai diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya, memberikan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen atau blanket norms). Sebagai lawan dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid), diskresi dalam wewenang bebas (vrij bevogdheid) merupakan pilihan untuk melakukantindakan pemerintahan yang berkaitan dengan rumusan norma yang mengandung vage norm maupun kondisi faktual seperti keadaan darurat, bencana dan lain-lain. Diskresi tidak dapat dilakukan tanpa adanya conditio sine quo non yang mendasari esensi diskresi itu sendiri. Tentunya diskresi sebagai suatu tindakan untuk melakukan pilihan terhadap aspek rumusan norma dan kondisi faktual tidak berarti sebebas-bebasnya, namun parameter pengujiannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam kaitan dengan diskresi dalam arti “Ermessen” di Jerman bukan dalam arti “freies ermessen” seperti yang selama ini diterapkan dalam hukum di Indonesia. Adanya ermessen yang freies oleh para pakar hukum sebelumnya lebih didekatkan pada konsep vrij bevoegdheid yang berlaku di Belanda sebagai kewenangan bebas. Padahal esensi vrij bevoegdheid berbeda dengan ermessen. Konsep ermessen diartikan sebagai “Ist die Behőrde ermächtigt, nach ihrem Ermessen zu handeln, hat sie ihr Ermessen entsprechend dem Zweck der Ermächtigung auszuüben und die gesetzlichen Grenzen des Ermessens einzuhalten” (jika setiap lembaga Negara/publik memiliki kewenangan buat ber”ermessen” (pertimbangan), maka lembaga Negara/publik haruslah
menggunakan “ermessen� itu sesuai dengan kegunaan kewenangan tersebut dan batas-batas hukum yang berlaku bagi diskresi tersebut).9 Dalam konsep ermessen (pertimbangan), maka tindakan aparatur pemerintahan tidak bebas tetapi harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku terhadap kewenangan yang dimiliki. Dalam pengertian ermessen di atas, maka dapat dikatakan tidak ada ermessen (pertimbangan) yang bersifat freies (bebas), namun harus secara jelas ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Penggunaan konsep diskresi sebagai perbandingan yang dikemukakan di atas menjadi sumber hukum dalam penerapan diskresi di Indonesia. Selama ini, diskresi sering disamakan dengan kebijakan yang berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pemerintah untuk bertindak. Pada Era Orde Lama dan Orde Baru, diskresi yang disamakan dengan kebijakan itu sering berlindung pada norma yang tidak jelas batasan dan syarat-syaratnya. Norma-norma itu antara lain, kepentingan umum, ketertiban umum, dan lain-lain. Pemerintah sering berlindung pada kondisi abstrak untuk menjustifikasi keabsahan tindakan pemerintahan yang nyatanya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat. Diskresi sebagai wewenang bebas tidak berarti sebebas-bebasnya. Setiap kewenangan dalam negara hukum tidak dikenal adanya wewenang yang sebebas-bebasnya. Wewenang (termasuk wewenang terikat dan wewenang bebas) selalu memiliki batasan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Diskresi sebagai wewenang bebas pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) menjadi norma tidak tertulis sekaligus sebagai norma perilaku bagi aparatur dalam melakukan tindakan pemerintahan. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan yang diprakarsai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, merupakan upaya kodifikasi di bidang Hukum Administrasi sekaligus sebagai sumber normatif tindakan pemerintahan. Dalam RUU dimaksud, diskresi didefinisikan sebagai “wewenang Badan atau Pejabat Pemerintahan yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan� (Pasal 1 angka 5). Adanya RUU ini sekaligus 9
Pipit Kartawidjaya, Kritik Terhadap RUU Administrasi Pemerintahan, h. 11.
memperjelas diskresi dan penggunaannya yang merupakan suatu pilihan dan bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dalam Pasal 6 menyangkut diskresi dalam RUU Administrasi Pemerintahan, diatur kriteria dan persyaratan apabila Pejabat Pemerintahan menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan wajib mempertimbangkan tujuan diskresi, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar diskresi, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (ayat 1). Tujuan diskresi pada hakekatnya merupakan tujuan dari wewenang itu sendiri. Pembentuk hukum tentunya dalam memberikan wewenang pemerintahan didasari pada tujuan yang diharapkan dari wewenang dimaksud. Hal ini merupakan prinsip hukum yang spesifik dari asas legalitas (legaliteit beginsel). Prinsip legalitas memberikan dasar pemikiran bahwa setiap wewenang pemerintahan harus memiliki dasar legalitas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Asas legalitas ini digunakan dalam hukum administrasi yang memiliki makna �Dat het bestuur aan de wet is onderworpen�10 (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau �Het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten� (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang). Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat. Spesifikasi dari asas legalitas ini adalah asas tujuan (specialiteit beginsel) bahwa setiap kewenangan mengandung tujuan tertentu. Asas ini menjadi landasan bagi kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan dikaitkan pada suatu tujuan. Setiap kewenangan pemerintah (bestuurs bevoegdheid) diatur oleh peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu. Dari sudut pandang ini Hukum Administrasi merupakan rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum tertentu.11
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Diskresi sebagai wewenang bebas (vrij bevoegdheid) memiliki kriteria dengan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). 10 11
H. D. Stout, De Betekenissen van de Wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, p. 28. Mariette Kobussen,De Vrijheid van de Overheid, W.E.J., Tjeenk Willink Zwolle, 1991, p. 103.
Walaupun secara wetmatigheid, peraturan perundang-undangan memberikan wewenang bebas bagi aparatur pemerintahan, namun kriteria hukum (jurisdiche criteria) untuk menilai segi rechtmatigheid wewenang bebas. Kriteria hukum yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang dikenal di Belanda dengan sebutan “algemene beginselen behoorlijk bestuur�. Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini pertama kali disajikan oleh Kuntjoro Purbopranoto yang menyebutkan adanya 13 (tiga belas) asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain : a. Asas kepastian b. Asas keseimbangan c. Asas kesamaan d. Asas bertindak cermat e. Asas motivasi f. Asas jangan mencampuradukan kewenangan g. Asas fair play h. Asas keadilan atau kewajaran i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal k. Asas perlindungan atas pandangan hidup l. Asas kebijaksanaan m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini secara yuridis normatif diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan kriteria juridis (juridische criteria) baik oleh hakim dalam
mengadili
maupun
oleh
aparatur
pemerintahan
sebagai
landasan
dalam
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan alasan mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b disebutkan bahwa : Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik� adalah meliputi asas:
- kepastian hukum; - tertib penyelenggaraan negara; - keterbukaan; - proporsionalitas; - profesionalitas; - akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Adanya pengaturan dalam penjelasan ini menimbulkan kesesatan hukum oleh pembentuk undang-undang dengan menyamakan asas-asas umum pemerintahan yang baik dengan asas-asas penyelenggaraan negara. Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan asas-asas yang melandasi tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan (khususnya eksekutif dalam pendekatan bestuur) dan pada hakekatnya berbeda dengan asas-asas penyelenggaraan negara yang ditujukan bagi aparatur penyelenggaraan negara secara keseluruhan (baik legislatif, eksekutif maupun judisial). Asas-asas
umum
pemerintahan
yang
baik
dalam
pendekatan
ius
constituendumsebagaimana diatur dalam RUU Administrasi Pemerintahan antara lain, asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak melampaui, tidak menyalahgunakan dan/atau mencampuradukan kewenangan, asas keterbukaan dan asas kepentingan umum. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Asas keseimbangan adalah asas yang mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, antara: (1) kepentingan antar individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) keseimbangan antar individu dengan masyarakat; (3) antar kepentingan warga negara dan masyarakat asing; (4) antar kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan
warga negara; (6) keseimbangan antara generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya; (8) antara kepentingan pria dan wanita. Asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan. Asas tidak melampaui, tidak menyalahgunakan dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Badan atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut. Asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif dalam penyelenggaraan Pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif. Penggunaan diskresi oleh aparatur pemerintahan akhir-akhir ini diperdebatkan oleh berbagai kalangan terkait dengan adanya rencana pemerintah terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Alotnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU APBN-P) untuk menggantikan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012 merupakan bagian dari adu argumentasi hukum dan politik. Terlepas dari persoalan argumentasi hukum dan politik dimaksud, adanya kesepakatan politik dengan disahkannya RUU APBN-P menjadi UU APBN-P telah menimbulkan reaksi judicial review di Mahkamah
Konstitusi terhadap rumusan norma Pasal 7 ayat (6) huruf a yang merupakan ranah Hukum Tata Negara. Namun, hal yang mendasarinya adalah rumusan norma hukum dalam Pasal 7 ayat (6) huruf a oleh pemerintah dan pendukungnya seringkali dikaitkan dengan diskresi pemerintah sebagai ranah Hukum Administrasi. Rumusan norma hukum Pasal 7 ayat (6) huruf a menyebutkan bahwa : “Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% (lima belas persen) dalam 6 (enam) bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya�. Rumusan norma hukum ini dianggap sebagai norma diskresi pemerintah untuk melakukan tindakan pemerintahan. Rumusan norma hukum dimaksud dapat dikategorikan sebagai diskresi pemerintah. Dikatakan demikian, karena merupakan wewenang bebas bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dengan kriteria hukum ICP dalam kurun waktu berjalan dalam 6 (enam) bulan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15% (lima belas persen).
Walaupun
berdasarkan
undang-undang,
pembentuk
undang-undang
telah
memberikan wewenang bebas (diskresi) bagi pemerintah, namun hakekat diskresi sebagai pilihan terhadap rumusan norma hukum tersebut dan memperhitungkan keadaan faktual, maka pemerintah memiliki wewenang bebas untuk melakukan atau tidak melakukannya. Adanya kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan wewenang itu tentunya harus merupakan pemikiran rasional dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait dengan kenaikan harga BBM. Diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (6) huruf a bukan suatu kebebasan bertindak yang sebebas-bebasnya dan bersifat memaksakan kehendak dari pemerintah. Fungsi utama pemerintah dalam kaitan hubungan dengan masyarakat didasarkan pada �the right to receive� yang harus diterima oleh masyarakat. Keadaan faktual harusnya menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah, karena sudah tentu ini merupakan tugas utamanya dengan memperhatikan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterbukaan dan peran serta masyarakat. Tujuan pemberian diskresi bagi pemerintah oleh pembentuk undang-undang mengandung makna yang tidak jelas atas suatu diskresi pemerintahan. Rasionalitas dan
pertimbangan dengan memperhatikan kondisi faktual merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan senantiasa memperhatikan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demikian juga dengan kebijakan pendukungnya yang akan dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan pembatasan BBM bersubsidi bagi kendaraan tertentu. Pembatasan ini pada hakekatnya tidak memiliki kaitan dengan kebijakan pendukung, karena tidak terkait dengan naiknya harga BBM. Itu berarti pemerintah dituntut untuk mengedepankan “the right to receive� dan tujuan diskresi dimaksud. Konsekuensi yuridis dengan adanya penggunaan diskresi yang tidak didasarkan pada tujuan, peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik akan berakibat diskresi tersebut akan bernuansa terjadinya tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang. Tindakan sewenang-wenang dapat terjadi karena pemerintah tidak memiliki cukup rasionalitas sebagai parameter terhadap perlunya kenaikan harga BBM dan pembatasan BBM bersubsidi. Pada sisi lain, tindakan ini dapat berakibat penyalahgunaan wewenang
yang
didasarkan
pada
parameter
tujuan
pemberian
wewenang
yang
disalahgunakan. Bangsa ini diperhadapkan pada tuntutan kesejahteraan bersama dalam pendekatan “the right to receive�. Olehnya itu, setiap diskresi pemerintah harus didasarkan pada asas legalitas, asas demokrasi, asas tujuan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai meta-norm yang melandasi tindakan pemerintahan. Apabila semua penyelenggara pemerintahandi Negara ini, melaksanakan diskresi pemerintah dengan berdasar atas hal-hal tersebut, kesejahteraan bersama dapat kita raih, dan rakyat tidak disengsarakan oleh tindakan pemerintah.
2. Apa saja faktor penyebab munculnya dugaan tindak pidana korupsi sebagai dampak dari pengajuan diskresi oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat? Seiring telah diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 yang lalu juga memancing diskursus tentang
gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu. Apakah benar demikian adanya? Setidaknya orang-orang yang berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut : Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Frasa menyalahgunakan kewenangan/ penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur “menyalahgunakan kewenangan� sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan� sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara. Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan
hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukan perbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara. Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri : a. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan; b. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas; c. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikan instrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Pada kenyataannya, tanpa bermaksud untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility� yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu� dalam peririsan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam
hukum
pidana
berlaku
prinsip
pertanggungjawaban
pribadi
(personal
responsibility). Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur
negara dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana. Untuk memberi kesimpulan yang jelas bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004 yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut : Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat
dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan� tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya; Diskresi sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang pada suatu jabatan yang berpotensi menimbulkan keuangan negara. Isu dugaan terjadinya tindak pidana korupsi saat ini menempati posisi yang sangat luar biasa, ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan kasus korupsi bak ditingkat pusat maupun daerah. Dalam setiap kewenangan memiliki potensi penyalahgunaan, baik karena jabatan atau karena kedudukannya. Undang-Undang tidak memberikan jenis jabatan atau kedudukan yang dimaksud. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang tersebut diatas merupakan jenis tindak pidana yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan yang berkaitan dengan keuangan negara atau perekonomian negara pada umumnya adalah kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap pejabat publik termasuk pegawai negeri.12 Unsur penyalahgunaan kewenangn dalam hal ini diterapkan kepada pejabat negara/pegawai negeri, karena hanya pada pegawai negerilah yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan dan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya. Tindakan penyalahgunaan kewenangan yang berhubungan dengan tindakan diskresi pemerintah haruslah dinilai itu bertentangan dengan tujuan kewenangan, atau sudah tepatkah tujuan yang dicapai. Hal ini haruslah dilihat dari asa efisiensi dan efektivitas tindakan diskresi pemerintah, yang penekanannya terdapat pada aspek kebutuhan dan kemanfaatannya. Dengan demikian yang diperhatikan adalah dampak dari tindakan diskresi itu sendiri, yang mana oleh Krishna D. Darumurti dampak dari tindakan itu tidak hanya berlaku pada waktu tindakan terjadi, tetapi juga jangka waktu tertentu, yaitu jangka pendek, menengah, jangka panjang. Pengujian yang demikian ratione temporis disebut dengan pengujian ex nunc.13
12
D.Y. Witanto, 2012, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar Maju, Bandung, h.64 13 Ibid. h.186
PENUTUP I. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan terkait Pengajuan Diskresi Oleh Pemerintah Daerah Sebagai Langkah Awal Dugaan Tindak Pidana Korupsi, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Diskresi merupakan salah satu tindakan pemerintahan. Diskresi hanya bisa dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan yang berwenang. Secara legal perundang-undangan,
Tindakan Diskresi sudah di atur dalam dalam Pasal 1 butir 9 UU No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. 2. Keberadaan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik merupakan rambu-rambu dalam melakukan pengajuan diskresi, baik dari aspek prosedural maupun aspek substansial, untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. 3. Bahwa faktor utama adanya korelasi antara pengajuan diskresi dengan dugaan tindak pidana korupsi adalah adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara/pegawai negeri yang melakukan pengajuan diskresi. Bahwa dengan sewenangwenang telah mengakibatkan kerugian bagi negara dan tidak terlaksananya kesejahteraan bagi masyarakat. 4. Unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
II. SARAN 1. Penegakan dan penyadaran kembali terhadap fungsi pengajuan diskresi, yaitu guna kepentingan masyarakat secara umum. Bukan semata-mata untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain. 2. Peningkatan fungsi controlling untuk meminimalisir adanya pengajuan diskresi yang berujung pada upaya untuk melakukan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing, l990. Brouwer J.G dan Schilder, A Survey of Ductch Administrative Law, Ars Aequi Libri, Nijmegen, l998. Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dan Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Edisi Khusus, Penerbit Peradaban, Cet. Pertama, 2007. _________________, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Kartawidjaya, Pipit, Kritik Terhadap RUU Administrasi Pemerintahan. Kobussen, Mariette,De Vrijheid van de Overheid, W.E.J., Tjeenk Willink Zwolle, 1991. Leyland, Peter and Woods, Terry, Administrative Law Facing the Future : Old Constraints and New Horizons, Blackstone Press Limited, London, 1997. Stroink, F.A.M. en Steenbeek, J.G., Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1985. Stout, H.D., De Betekenissen van de Wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994. D.Y. Witanto, 2012, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Resiko Kontrrak dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah), Mandar Maju, Bandung http://www.kemendagri.go.id/article/2013/12/23/kebijakan-pengelolaan-keuangan-dakdalam-apbd