DILEMA APBD: ANTARA OTONOMI DAN KORUPSI LEGAL REVIEW Disusun dalam rangka mengikuti ALSA Legal Review Competition (ALRC) 2016
Oleh : 1. Fidelia Yemima Jabanto 15/376843/HK/214929 2. Hans Thioso 15/379430/HK/20428 3. Jonathan H. Passagi 15/381767/HK/20483 4. Syarif Noor Hidayat 15/385629/HK/20694 5. Tiuruli Sitous 14/362918/HK/19853
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2015
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
2
Daftar Isi PENDAHULUAN ..................................................................................................... 3
I. A.
Latar Belakang ...................................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................ 4 PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
II. A.
Potret Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD ...................................... 5
B.
Macam-macam Modus Korupsi APBD .............................................................. 6
C.
Penanggulangan Korupsi ..................................................................................... 8
III.
1.
REGULASI ......................................................................................................... 8
2.
TRANSPARANSI ............................................................................................ 10
3.
PENGAWASAN............................................................................................... 11 PENUTUP ............................................................................................................ 15
A.
Kesimpulan .......................................................................................................... 15
B.
Saran .................................................................................................................... 15
IV.
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
I.
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setelah Indonesia kembali menganut negara kesatuan sebagai bentuk negara yang dikenal luas dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Indonesia seolah-olah merupakan negara yang utuh dan solid. Hal ini semakin terlihat pada zaman orde baru, di bawah naungan pemerintahan Soeharto, Indonesia menjadi negara yang satu secara geografis, kemanan, dan politik. Seluruh urusan negara dari yang sederhana sampai rumit dipegang oleh pemerintah pusat. Akibatnya pemerintah pusat memiliki kekuasaan yang terlalu besar dan cederung untuk bertindak sewenang-wenang Pembangunan nasional yang harusnya merata di setiap daerah pun menjadi hanya terpusat di ibu kota. Daerah-daerah di pelosok Indonesia pun menjadi terabaikan. Luasnya wewenang yang diterima para pejabat pemerintah pusat, menjadi titik rawan penyalahgunaan wewenang. Hasilnya, praktik korupsi pun tak terelakan. Berjamurnya praktik korupsi oleh pejabat pemerintah pusat, membuat rakyat semakin melarat. Berbagai pergulatan telah dilalui sampai dirumuskannya konsep otonomi daerah. Legitimasinya pun semakin kuat dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan1. Otonomi daerah yang memberikan kekuasaan kepada daerah pun tak luput dari penyalahgunaan wewenang. Seperti kata Lord Acton, "Power tends to corrupt,
1
Pasal 1 ayat 6 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
4
absolute power corrupts absolutely�2, kekuasaan pejabat daerah pun menjadi model baru dalam penyalagunaan anggaran pemerintah daerah. Anggaran pemerintah daerah yang digunakan untuk pembangunan daearah pun tak berakhir menjadi korban praktik korupsi. Menurut cacatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari dua puluh gubernur, satu wakil gubernur, tujuh belas walikota, delapan wakil walikota, 84 bupati, dan sembilan belas wakil bupati3. Biasanya, para pejabat itu pun tidak menjalankan aksinya sendirian melainkan berkolaborasi dengan DPRD maupun perangkat pemerintah daerah lainnya. Otonomi pengelolaan APBD pun bisa terjebak dalam negosiasi kepentingan politik para pejabat daerah yang berujung pada korupsi. Banyaknya pejabat yang korupsi, menambah catatan buruk bagi perjalanan sejarah bangsa ini.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana potret pemerintah daerah dalam penyusunan APBD? 2. Apa modus-modus korupsi yang sering digunakan dalam APBD? 3. Bagaimana upaya penanggulangan korupsi di tingkat pemerintah daerah?
Albert Hasibuan, Titik Pandang Untuk Orde Baru (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997) hlm. 328 Fathiyah Wardah, http://www.voaindonesia.com/content/icw-otonomi-daerah-picukorupsi-kepala-daerah/1690178.html, diakses 13 Januari 2016. 2 3
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
II.
5
PEMBAHASAN
A. Potret Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD Sebelum kita membahas lebih lanjut peran pemerintah daerah dalam menyusun Anggaran Pembelian dan Belanja Daerah atau disingkat APBD, ada baiknya kita memahami definisi dan tujuan dari APBD. Menurut UU No. 17/2003 Pasal 1 ayat 8, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun fungsi APBD menurut Peraturan Menteri dalam Negeri UU No. 13/2006 adalah
Otorisasi, Perencanaan,
Pengawasan, Alokasi, Distribusi dan Stabilisasi. Tujuan dari diadakannya APBD adalah sebagai instrumen pendapatan daerah agar tercapai keseimbangan dan pertumbuhan ekonomi merata pada daerah sehingga tercipta masyarakat yang makmur dan sejahtera. Proses perancangan APBD membutuhkan waktu yang cukup lama namun harus dipastikan efisien dikarenakan APBD setiap tahun selalu berubah. Untuk membuat APBD ada beberapa tahap yang harus dilalui, mengacu pada PP No. 58/2005 tentang Pengolaan Keuangan Daerah: penyusunan rencana kerja pemerintah daerah, penyusunan rancangan kebijakan umum anggaran, penetapan prioritas dan plafon anggaran sementara, penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), penyusunan rancangan Perda APBD, penetapan APBD. Proses penyusunan APBD dilaksanakan pada tingkat lembaga eksekutif dan legislatif, sehingga kefisienan dan keberhasilan APBD sangat ditentukan dari keputusan yang dibuat oleh kedua lembaga tersebut. Pemerintah Daerah akan menyusun RAPBD yang nantinya akan diajukan ke DPRD untuk di diskusikan bersama. Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif akan diwakili oleh Tim Anggaran Eksekutif yang beranggotakan Sekretaris Daerah dan juga BAPPEDA.
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
6
Sekretaris Daerah bertanggung jawab untuk mengkoordinasi seluruh kegiatan penyusunan APBD, sedangkan untuk penyusunan belanja rutin disusun oleh bagian keuangan PEMDA. Proses penyusunan penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan disusun oleh BAPPEDA, bagian program dan keuangan. DPRD dalam diskusi bersama PEMDA akan diwakili oleh Panitia Anggaran yang anggotanya terdiri atas tiap fraksi-fraksi. Penetapan APBD dilaksanakan secara bertahap, pertama diadakan pembahasan untuk RAPERDA terkait APBD, yang menurut Permendagri No. 13/2006 Pasal 108, lampiran RAPERDA sudah disosialisasikan ke masyarakat sebelum diserahkan ke DPRD. Apabila disetujui, Kepala Daerah akan memvalidasi RAPERDA terkait APBD disertai nota keuangan yang memuat rencana pengeluaran. RAPERDA APBD dapat dilaksanakan pemerintah kota/kabupaten setelah disetujui oleh Gubernur. Gubernur akan mengevaluasi dalam kurun waktu 3 hari kerja dengan tujuan tercapai keserasian kepentingan daerah dan nasional dan sejauh mana APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Hasil evaluasi nantinya disampaikan ke Bupati/Walikota. APBD sudah seharusnya dibuat untuk kepentingan masyarakat umum. Tujuan akhirnya tentulah itu meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
B. Macam-macam Modus Korupsi APBD APBD memang diciptakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kata korupsi belum bisa pergi jauh-jauh dari pengelolaan APBD. Sebenarnya, Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
7
bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indoneisa disebut Korupsi.4 Maraknya kasus korupsi APBD, membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan sebuah penelitian terkait modus-modus kejahatan korupsi APBD. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan sebagai berikut: 1. Modus penipuan terhadap anggaran. Modus ini dilakukan dengan mengambil pos anggaran yang bukan menjadi bagiannya. 2. Modus menciptakan anggaran baru. Modus ini dilakukan dengan cara menciptakan anggaran baru yang tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan lainnya. Misalnya dana stimulan dan dana pesangon anggota DPRD yang sering terjadi di daerah. 3. Modus mark up anggaran. Modus ini dilakukan dengan cara melebih-lebihkan anggaran berbagai tunjangan dewan. 4. Modus pengalokasian anggaran yang sebetulnya sama dengan anggaran lainnya. Modus ini dilakukan dengan cara membagi-bagi suatu anggaran kebagian yang lebih kecil sehingga bagain yang lebih kecil memiliki anggarannya sendiri. 5. Modus pembuatan anggaran tanpa rinciran Modus ini dilakukan dengan cara membuat suatu mata anggaran yang tidak dirincikan lagi., sehinggaanggaran dana berjalan dengan tidak jelas. 6. Modus menghilangkan pos anggaran.
4
Syed Hussein Alatas, "Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungs� (Jakarta: LP3ES, 1987) hlm. Viii.
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
8
Modus ini dilakukan dengan cara menghapus pos anggaran yang ditetapkan. 7. Modus pengalihan anggaran. Modus ini dilakukan dengan cara mengalihkan anggaran yang seharusnya untuk dialihkan ke anggaran lain yang tidak jelas. (Priyanto, 2003)
C. Penanggulangan Korupsi Tujuh Modus yang telah disebutkan tadi hanyalah generalisasi dai kasus-kasus yang ada di lapangan. Modus-modus itu sangatlah kreatif dan cerdas, tetapi tidak indah. Selanjutnya, jika ditanya megapa pemerintah daerah dapat terjerat kasus korupsi? Apakah pemerintahan yang korup adalah nasib yang harus diterima oleh rakayat yang tak berdaya? Atau mungkin korupsi hanya ujian kesabaran tiada akhir? Belum ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sempurna. Unik memang ketika orang bisa dengan mudahnya menentang korupsi, tetapi ketika memiliki kekuasaan ia malah terjerembab juga ke dalam kasus korupsi. Hal ini lah yang terjadi dengan sistem desentralisasi yang diharapkan mengurangi kekuasaan pemerintah pusat, tetapi malah melahirkan koruptorkoruptor baru ditingkat daerah. Lalu, apakah kita hanya perlu diam saja dengan kasus-kasus korups yang terjadi? Tidak, ada beberapa hal yang perlu ditilik, diperhatikan, dan dibenahi.
1. REGULASI Menurut Petter Langseth, ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk memberantas korupsi di daerah yaitu merampingkan proses birokrasi yang bersifat primordial, menerapkan sanksi pidana yang tegas dan kosekuen, para penentu kebijakan harus memiliki visi yang serupa, dan memperjelas mekanisme
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
9
perlindungan saksi.5 Walaupun berbagai upaya-upaya sudah digalakkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, namun upaya tesebut belum berhasil untuk memberantas korupsi secara menyeluruh. Regulasi mengenai tindakan pidana korupsi bukan hal yang baru dalam ranah perundang-undangan. Setelah melewati sejarah panjang dan melelahkan, UndangUndang nomor 20 tahun 2001 hadir sebagai revisi terbaru dari Undang-Undang nomor 31 tahun 1999. Maka, tak heran bila kedua undang-undang itu saling melengkapi satu sama lain. Walaupun revisi telah dilakukan, masih banyak celah hukum yang dapat melemahkan tindak pemberantasan korupsi. Berikut ini pemaparan dari segelintir kelemahan Undang-Undang nomor 31 tahun 2001. a. Sanksi yang dijatuhkan seharusnya diperberat untuk meningkatkan efek jera. Berbagai sanksi tambahan juga dapat diberikan seperti pencabutan izin usaha, pembubaran, dan pengambil alih korporasi. Aliran harta hasil korupsi juga harus dirampas secara tegas. Hak politik terdakwa korupsi juga harus dicabut sehingga mereka tidak lagi memiliki kapabilitas untuk duduk di jabatan struktural. b. Perlu ada perluasan makna unsur kerugian negara atau daerah. Karena kerugian yang disebabkan dari korupsi tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi negara. Namun juga aspek sosial, budaya, moral, dan ekologis.6
Di lingkup pemerintahan daerah, Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 turut memberikan andil dalam penerapan perilaku korupsi yang disebabkan oleh ekses kekuasaan yang dimiliki DPRD. Pertama, adanya wewenang DPRD menentukan kata “putus” dalam proses pemilihan daerah. Hal tersebut membuat DPRD menjadi pihak yang dominan dalam menentukan pemimpin daerah. Kedua, selama menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. DPRD pun memiliki kemampuan untuk memberhentikan Kepala Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank,1997 6 “ICW Sarankan UU TIPIKOR Direvisi Saja, Ini Usulannya”, http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/310960/ICW-Sarankan-UU-Tipikor-Direvisi-Saja,-IniUsulannya-, diakses 14 Januari 2016 5
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
10
Daerah di tengah masa jabatannya, sehingga ada kemungkinan Kepala Daerah akan berusaha untuk “menyenangkan� DPRD agar tidak melengserkan Kepala Daerah dengan cara yang meyimpang. Ketiga, berkurangnya kontrol pusat di pemerintah daerah membuat DPRD menjadi lembaga yang memiliki kekuasaan yang kuat di daerah, meskipun hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya lembaga perwakilan di tingkat lokal. Sebenarnya, ketiga keputusan tersebut dibuat untuk menciptakan otonomi daerah secara utuh. Namun dalam pelaksanaannya memiliki risiko yang tinggi atas penyelewengan. Maka dari itu, kewenangan DPRD harus diatur dengan batasan yang detil. Lebih baik lagi bila DPRD dapat secara langsung diberhentikan oleh rakyat apabila kinerjanya tidak memuaskan, atas dasar DPRD adalah representatif dari rakyat. Mekanisme check and balance harus dijunjung tinggi. Pemerintah pusat juga harus berani mengintervensi bila ada indikasi ketidakberesan dalam otonomi daerah. Namun intervensi tersebut harus memiliki limitasi dan alasan yang jelas. Penambalan celah hukum memiliki urgensi yang tinggi. Apabila sistem yang tersedia rapuh dan penuh celah maka tidak heran bila kasus korupsi tumbuh subur di Indonesia.
2. TRANSPARANSI Tak bisa dipungkiri bahwa merebaknya kasus korupsi tidak terlepas dari kurangnya transparansi. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan
bagi
setiap
orang
untuk
memperoleh
informasi
tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai.7 Selama ini ada paradigma yang menganggap bahwa APBD adalah dokumen rahasia negara. Paradigma ini memang
tidak sepenuhnya salah. Namun, berangkat dari
paradigma ini, seringkali sistem informasi berkaitan dengan APBD menjadi pasif. Masyarakat yang seharusnya akftif untuk mencari informasi pun merasa enggan 7
(Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri
2002, hal 18)
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
11
dan seperti dihalang-halangi. Padahal, peran aktif masyarakat untuk melakukan kontrol
kebijakan
juga
mempengaruhi
dalam
keberhasilan
pelaksanaan
transparansi.8 Disi lain, pemerintah sendirilah yang diharapkan proaktif untuk mengumumkan berbagai informasi dalam pengelolaan APBD. Hal ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh pemerintah daerah. Selanjutnya, opini kritis dari masyarakat maupun golongan lain juga diharapkan bisa diakomodasi supaya tercipta suatu sistem yang partisipasif. Dengan demikian, diharapkan kekuasaan pemerintah daerah pun bisa dicegah dan ditanggulangi ekses negatifnya.
3. PENGAWASAN Kesuksesan sistem transparansi tentu tidak bisa juga terlepas dari sistem pengawasan, supaya kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah bisa lebih terarah. Pengawasan dapat dilakukan secara berlapis-lapis untuk mengurangi celah terjadinya korupsi APBD. Menurut Mardiasmo, ada 3 terminologi dalam pengawasan yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control )adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada. Berikut adalah berbagai pengawasan yang dapat dilakukan;
8(dikutip
dari Martin Minogue, artikel “The management of public change: from ‘old public
administration’ to ‘new public management’ dalam “Law & Governance” Issue I, British Council Briefing)
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
12
a. Pengawasan pelaksanaan APBD oleh Pemerintah Daerah Pengawasan APBD oleh pemerintah daerah ini merupakan pengawsan internal. Pengawsan internal tentulah perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengawsan oleh pihak-pihak lain. Pengawasan internal itu bisa berupa pengawasan melekat, yaitu pengawasan dari atasan langsung kepada bawahan. Pengawsan ini dianggap murah, cepat, dan tepat sasaran. Namun, seperti yang sudah disebut sebelumnya, untuk mengurangi celah korupsi dibutuhkan pengawasan berlapis, sehingga dibutuhkan pula pengawasan dari pihak-pihak lain.
b.
Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh DPRD Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD diatur dalam Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat 1c. Fungsi ini kurang lebih adalah check and balances yang seharusnya dilakukan oleh DPRD. DPRD harusnya sebagai penyeimbang kekuasaan yang berikan kepada pemerintah, supaya nantinya tidak terjadi ekses yang tidak diharapkan. DPRD sebaiknya tidak terbawa dengan keinginan politik dari pemerintah daerah. Jika keinginan politik DPRD dan keinginan politik pemerintah bertemu, bisa dipastikan bahwa harapanharapan rakyatlah yang akan terkesampingkan.
c. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pengawas Daerah(BAWASDA) Bawasda memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah diantaranya : 1) Pelaksana APBD 2) Penerimaan pendapatan daerah dan Badan Usaha Daerah 3) Pengadaan barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan barang/jasa 4) Penyelesaian ganti rugi 5) Inventarisasi dan penelitian kekayaan pejabat di lingkungan Pemda
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
13
d. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dalam Keppres Nomor 31 tahun 1983 ditetapkan tugas pokok BPKP yaitu : 1) Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan; 2) Menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan; 3) Menyelenggarakan pengawasan pembangunan.
e. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan pemerintah, DPR, MA dan DPA. Dengan Demikian BPK tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. BPK menjalankan fugsi pengawasan keuangan eksternal, berbeda dengan BPKP yang melakukan pengawasan keuangan internal.
f. Pengawasan Pelaksanaan APBD oleh Publik Pada saat proses penyusunan APBD hingga pelaksanaannya publik berhak dan wajib untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya. Publik harus mengetahui konsistensi antara perencanaan dan penganggaran daerah dengan realisasi pelaksanaan perencanaan dan penganggaran tersebut. Memastikan bahwa alokasi anggaran untuk kepentingan publik sudah dilaksanakan secara efisien, efektif, tidak terjadi pemborosan, tepat sasaran, dan memberikan dampak yang positif serta manfaat yang berarti bagi kepentingan publik. Publik juga dapat memastikan bahwa APBD yang sudah ditetapkan yang pada hakikatnya adalah anggaran bagi sektor publik, dalam pelaksanaannya tidak diselewengkan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi oleh oknum pejabat publik. Publik mendapatkan jaminan bahwa barang dan jasa publik yang berkualitas merupakan manfaat bagi publik dalam upayanya mengawasi pelaksanaan APBD, disamping terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat dalam pelayanan publik yang berkualitas. Kemudian manfaat apabila publik secara
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
14
intens mengawasi pelaksanaan APBD adalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan anggaran publik dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga dapat mewujudkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good Governance. Dengan dapat diaksesnya dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran, upaya pengawasan APBD oleh publik dapat dilaksanakan dengan terencana, terarah, dan efektif. Sehingga partisipasi publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, bersih, dan peduli dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dilaksanakan dengan baik serta sesuai dengan hak dan kewajibannya.
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
III.
15
PENUTUP
A. Kesimpulan Pahlawan reformasi yang menuntut otonomi daerah kini telah dikhianati oleh anak cucunya. Otonomi daerah yang mulanya bertujuan untuk mengurangi kekuasaan absolut pemerintah pusat pada nyatanya malah melahirkan koruptorkoruptor baru di daerah. APBD sebagai realisasi otonomi daerah malah menjadi ladang subur bagi segelintir orang yang duduk di kursi pemerintahan untuk memanen pundi-pundi uang. Rancangan Undang-Undang dan Rancangan APBD yang semulanya indah, yang dibuat dengan itikad baik, demi kesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah nyatanya malah jauh dari harapan. Tak peduli seberapa bagus sebuah rancangan, tak peduli seberapa ketat sebuah pengawasan, tak peduli seberapa tegaknya peraturan, ada saja alasan dan kesempatan bagi para koruptor untuk menikmati harta rakyat. Mereka wakil rakyat nyatanya benar mewakili kesejahteraan rakyat dengan menambah kesejahteraannya sendiri, tapi wakil rakyat seharusnya merakyat bukan hanya mewakili. APBD sebagai salah satu instrumen kepercayaan masyarakat pun seringkali tidak tercapai tujuannya. Memang seringkali apa yang terjadi jauh dari apa yang didamba. Pada kenyataannya, tak jarang kekuasaan yang diberikan pada pemerintah daerah memberika ekses negatif berupa korupsi yang pada akhirnya menggerogoti harapan-harapan rakyat tersebut. Berbagai daya upaya bisa digunakan oleh pemerintah yang ada untuk menciptakan modus-modus korupsi yang cerdas dan kreatif. Lemahnya sistem regulasi, transparansi dan pengawasan turut menyumbang kesempatan menjamurnya korupsi dimana-mana.
B. Saran Kita bisa hanya diam dan menunggu korupsi menghancurkan kita secara perlahan-lahan. Namun, bisa juga ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk menganggulangi korupsi. Dari sisi regulasi, harus diperjelas lagi mengenai batasan-batasan kekuasaan pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat luas harus
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
16
turut dilibatkan dalam proses pembuatan APBD, maupun pelaksanaannya. Sistem transparansi dan pengawasan juga harus semakin diperkuat. Dengan demikian, semoga suatu hari nanti korupsi hanya tinggal sebuah kata yang pernah ada dalam kamus bahasa. Ketika pemerintah ditingkat daerah bebas dari korupsi, maka diharapkan pembangunan di Indonesia pun bisa bertumbuh dengan pesat. Kepingan-kepingan harapan rakyat pun dapat terwujud melalui pembangunan yang berkembang dan merata. Korupsi hilang, maka masyarakat pun senang.
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
IV.
17
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syeh Hussein. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993, hlm. Danil,
Elwi.
2014.
Korupsi:
Konsep,
Tindak
Pidana,
dan
Pemberantasannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Isra, Saldi. 2004. “Peranan Pers dalam Memberantas Korupsi” Karyana, Yana. 2004. “Korupsi APBD: Ekses Negatif Otonomi Daerah (Pentingnya Kebijakan Transparansi Pengelolaan Anggaran dalam APBD)” Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank,1997 Mahgriefie, Lusi Catur. “Menilik Asal Usul Otonomi Daerah”, http://news.okezone.com/read/2010/12/20/337/405070/menilik-asal-usulotonomi-daerah, diakses 13 Januari 2016. Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, Priyanto, 2003. “Mendorong Partisipasi Publik dalam Transparansi APBD” Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2011
Dilema APBD: antara Otonomi dan Koruspsi
18
Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994 “ICW: Otonomi Daerah Picu Korupsi Kepala Daerah”, Voice of America Bahasa Indonesia, 27 Juni 2013. http://www.sasak.net/49758___icw-otonomidaerah-picu-korupsi-kepala-daerah.html Zulfikar, Wanadri. “Proses Penyusunan APBD I (Provinsi) dan APBN (Form Usulan Dana APBD Provinsi dan APBN).” 2015, diakses melalui http://bappeda.banjarmasinkota.go.id/2015/03/proses-penyusunan-apbd-iprovinsi-dan.html