"Pembangunan Daerah dalam Kerangka Regulasi"

Page 1

Depok 2016

Pembangunan Daerah dalam Kerangka Regulasi Analisis Hukum tentang Hubungan Inovasi, Diskresi, dan Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

NESITA ANGGRAINI LEGAL REVIEW COMPETITION – ALSA NATIONAL CHAPTER INDONESIA TEMA: “DILEMA ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH: ANTARA PEMBANGUNAN DAN TUDUHAN KORUPSI” FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA | nesita.anggraini@ui.ac.id


BAB I PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang Penerapan otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

memiliki arti bahwa daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar apa yang menjadi urusan pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki kewenangan pembentukan kebijakan yang bertujuan pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.1 Kewenangan ini tentu tidak dilaksanakan tanpa pedoman; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai rencana keuangan yang terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional disusun setiap tahunnya sebagai pedoman untuk para pejabat daerah dalam melakukan pembangunan. Namun, setiap tahun, masyarakat selalu dihadapkan dengan fenomena terlambatnya atau rendahnya penyerapan anggaran. Pada tahun 2015, berdasarkan laporan Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, penyerapan anggaran rata-rata seluruh provinsi di Indonesia per tanggal 22 September 2015 baru mencapai 50%. 2 DKI Jakarta sebagai ibukota negara adalah provinsi dengan penyerapan anggaran terendah, yaitu 35% dari total anggaran Rp 69,28 triliun per 20 November 2015.3 Keterlambatan penyerapan anggaran ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian pembangunan daerah dengan rencana yang telah disusun. Ketidaksesuaian ini berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Salah satu masalah yang dianggap sebagai penyebab lambannya penyerapan anggaran ini adalah adanya ketakutan pejabat daerah terhadap tuduhan korupsi. Herriyanto (2012) menyatakan bahwa ketakutan pejabat daerah untuk menggunakan anggaran akibat pemberitaan penangkapan pejabat atas tuduhan korupsi secara keseluruhan membentuk 7,8% alasan keterlambatan penyerapan anggaran.4

1

Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437, Penjelasan Umum. 2 Fauziah Mursid, “Penyerapan APBD Pemprov DKI Jakarta Terendah dari 34 Provinsi Se-Indonesia,” <http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/10/03/nvm246354-penyerapan-apbd-pemprov-dkijakarta-terendah-dari-34-provinsi-seindonesia>, diakses 15 Januari 2016. 3 Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, “Serapan Anggaran Kalimantan Utara dan DKI Jakarta Terendah,” <http://keuda.kemendagri.go.id/berita/detail/2502-serapananggaran-kalimantan-utara-dan-dki-jakarta-terendah>, diakses 15 Januari 2016. 4 Hendris Herriyanto, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga di Wilayah Jakarta,” (Tesis, Program Studi Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hlm. 70.


Apabila melihat ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya dalam UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), jenis tindak pidana korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara adalah (i) melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara dan (ii) menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara.5 Sifat ‘melawan hukum’ dan ‘menyalahgunakan kewenangan’ menjadi unsur penting yang harus ada bagi penuntut umum untuk mendakwa pejabat daerah dengan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang pembentukan UU No. 23 Tahun 2014 yang merevisi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Naskah Akademik Revisi UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa ketakutan pejabat daerah akan tuduhan korupsi ini disebabkan oleh dua hal: (i) tidak adanya pengaturan yang jelas tentang diskresi dan inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik dan (ii) tidak ada kejelasan ranah penanganan kesalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah itu ranah administrasi atau ranah pidana.6 Tulisan ini hendak berfokus pada pembahasan mengenai bagaimana UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan lain yang terkait mengatur inovasi dan diskresi sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan penyerapan anggaran. Kemudian, akan dibahas pula bagaimana hakim mepertimbangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara terhadap inovasi dan diskresi yang dilakukan oleh pejabat daerah untuk mengetahui kesesuaian pengaturan dengan praktik di persidangan. I.2.

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana kerangka regulasi tentang inovasi dan diskresi di Indonesia? 2. Bagaimana hakim mempertimbangkan unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara dalam inovasi dan diskresi yang dilakukan oleh pejabat daerah?

I.3.

Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan cara meneliti bahan

pustaka. Rumusan masalah pertama akan dijawab dengan melakukan pembahasan secara

5

Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874, Ps. 2-3. 6 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Naskah Akademik Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Jakarta: n.p., 2011), hlm. 158-159.


deskriptif tentang inovasi daerah dan diskresi dengan menggunakan bahan hukum primer yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2015 dan UU No. 9 Tahun 2015 (UU Pemda) serta UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan). Selain itu, akan digunakan pula bahan hukum sekunder dan tersier yang memberi informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa naskah akademik, buku, makalah, kamus, dan seterusnya. Rumusan masalah kedua akan dijawab dengan studi Putusan No. 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi dan No.09/Pid.Tipikor/2013/PN.AB yang merupakan landmark case tindak pidana korupsi akibat inovasi dan diskresi yang dilakukan oleh pejabat daerah yang merugikan keuangan negara. Berdasarkan studi putusan tersebut, akan ditarik kesimpulan yang bersifat evaluatif terhadap norma-norma yang mengatur masalah inovasi dan diskresi yang dilakukan oleh pejabat daerah.


BAB II PEMBAHASAN

II.1.

Kerangka Regulasi tentang Diskresi dan Inovasi Daerah di Indonesia

II.1.1. Inovasi Lemahnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan inovasi ditengarai sebagai penyebab rendahnya kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berkontribusi pula pada masalah penyerapan APBD.7 UU Pemda berupaya untuk memberikan rambu-rambu dalam pelaksanaan inovasi daerah sebagai insentif bagi pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan inovasi yang bermanfaat untuk pembangunan daerah. Undang-undang ini mengartikan inovasi sebagai segala bentuk pembaharuan dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. 8 Pembaharuan yang dimaksud adalah penerapan hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan temuan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.9 Contoh dari beberapa inovasi daerah adalah Program Musrena (Musyawarah Rencana Aksi Perempuan) oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, Program Kartu Multiguna oleh Pemerintah Kota Tangerang, dan Program LISAN (Lingkungan dengan Sampah Nihil) oleh Pemerintah Kota Mataram.10 Pihak-pihak yang dapat mengusulkan inovasi adalah kepala daerah, DPRD, aparatur sipil negara, perangkat daerah, dan anggota masyarakat. Pada prinsipnya, kebijakan inovasi (jenis, prosedur, dan metode penyelenggaraannya) harus ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Usul inovasi yang datang dari anggota DPRD harus ditetapkan terlebih dahulu dalam rapat paripurna sebelum ditetapkan sebagai inovasi daerah dalam Perkada. Usul inovasi yang datang dari aparatur sipil negara bisa disampaikan kepada kepala daerah melalui pimpinan perangkat daerah. Usul yang datang dari anggota masyarakat bisa disampaikan kepada kepala daerah melalui anggota DPRD atau perangkat daerah.11 Kepala daerah dalam merumuskan kebijakan inovasi untuk ditetapkan dalam Perkada harus mengacu pada beberapa prinsip, yaitu: (a) peningkatan efisiensi; (b) perbaikan efektivitas; (c) perbaikan kualitas pelayanan; (d) tidak ada konflik kepentingan; (e) berorientasi 7

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Op.Cit., hlm. 161. Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 23 Tahun 2014, LN No. 244 Tahun 2014, TLN No. 5587, Ps. 386. 9 Ibid., Penjelasan Ps. 386. 10 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif (Innovative Government Award) dari Kementerian Dalam Negeri Tahun 2012�, <http://www.kemendagri.go.id/news/2012/12/11/penghargaan-pemerintah-daerah-inovatif-innovativegovernment-award-dari-kementerian-dalam-negeri-tahun-2012>, diakses 20 Januari 2016. 11 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Op.Cit., Ps. 388. 8


kepada kepentingan umum; (f) dilakukan secara terbuka; (g) memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan (e) dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri.12 Dalam undang-undang ini juga diatur bahwa aparatur sipil negara tidak dapat dipidana atas suatu inovasi yang tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan. 13 Pasal ini merupakan pasal penghapus pidana bagi aparatur sipil negara yang melaksanakan program inovasi apabila program tersebut gagal atau tidak mencapai sasaran yang ditetapkan.

II.1.2. Inovasi Daerah Sebagai Suatu Diskresi Dalam Naskah Akademik RUU Pemda, konsep inovasi daerah digambarkan sebagai suatu bentuk diskresi.14 Namun, apabila kita lihat dalam UU Administrasi Pemerintahan, diskresi didefinisikan sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberi pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan.15 Lingkup diskresi yang dimaksud dalam perundang-undangan Indonesia adalah pengambilan keputusan atau tindakan oleh pejabat pemerintahan ketika16: i.

peraturan perundang-undangan memberikan beberapa pilihan keputusan atau tindakan untuk diambil;

ii.

peraturan perundang-undangan tidak mengatur;

iii.

peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

iv.

terjadi stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Dengan rumusan demikian, program inovasi tidak selalu berbentuk diskresi. Program

inovasi yang telah dianggarkan dalam APBD berarti telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jika demikian, diskresi dilakukan apabila terjadi perubahan anggaran dalam pelaksanaan program inovasi. Program inovasi yang dirasa perlu untuk dilakukan di daerah tetapi belum masuk dalam APBD juga bisa dilaksanakan dengan lembaga diskresi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur persyaratan penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan, yaitu17: 12

Ibid., Ps. 387. Ibid., Ps. 389. 14 Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Op.Cit. 15 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292 Tahun 2014, TLN No. 5801, Ps 1 huruf 9. 16 Ibid., Ps. 23. 17 Ibid., Ps. 24. 13


a. sesuai dengan tujuan diskresi: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, atau mengatasi stagnansi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum; b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik. Kemudian, undang-undang ini membagi diskresi dalam tiga prosedur pelaksanaan, yaitu18: 1. diskresi membutuhkan persetujuan atasan pejabat apabila diskresi tersebut: -

dilakukan karena peraturan perundang-undangan memberikan beberapa pilihan keputusan atau tindakan untuk diambil, peraturan perundang-undangan tidak mengatur, atau peraturan-perundang-undangan tidak lengkap/ tidak jelas; dan

-

berpotensi mengubah alokasi anggaran atau membebani keuangan negara.

2. diskresi wajib diberitahukan kepada atasan pejabat secara lisan maupun tertulis sebelum pelaksanaannya apabila diskresi tersebut dilakukan karena terjadi stagnansi pemerintahan yang menimbulkan keresahan masyarakat. 3. diskresi wajib diberitahukan kepada atasan pejabat secara tertulis setelah pelaksanaannya apabila diskresi tersebut dilakukan karena terjadi stagnansi pemerintahan dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, atau terjadi bencana alam. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan atasan pejabat adalah seseorang yang memiliki kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi. Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Daerah, Bupati/Walikota kepada Gubernur, dan Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri19. Kemudian, perubahan alokasi anggaran akibat suatu diskresi dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.20 Dalam UU Pemda diatur bahwa rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perubahan APBD dapat diajukan oleh kepala daerah kepada DPRD dengan menyertakan penjelasan dan dokumen pendukung untuk memperoleh persetujuan bersama. Pengambilan keputusan ini dilakukan paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Apabila Perubahan APBD tidak mendapat persetujuan bersama atau telah lewat batas 18

Ibid., Ps. 26-28. Ibid., Penjelasan Ps. 25. 20 Ibid. 19


waktu pengambilan keputusan, kepala daerah melaksanakan pengeluaran yang dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan. Perubahan APBD baru bisa ditetapkan sebagai Perda setelah pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun sebelumnya telah ditetapkan dalam Perda.21

II.2.

Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan Inovasi Daerah dan Diskresi

II.2.1. Putusan Nomor 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi Salah satu contoh kasus tindak pidana korupsi dengan terdakwa pejabat pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan program inovasi adalah kasus korupsi Program Peningkatan Ketahanan Pangan yang dilakukan oleh Samhuri selaku Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dalam kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi dalam Putusan No. 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi menyatakan Samhuri terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Siti Homsatun selaku Bendahara Pengeluaran Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Tanjung Barat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor. Samhuri dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,00 serta mengganti kerugian negara sebesar Rp 332.724.500,00.22 Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Samhuri memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor sebagai berikut: 1. setiap orang; -

Unsur ini terpenuhi karena Samhuri adalah seorang subjek hukum berupa pribadi hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, cakap bertindak, tidak di bawah pengampuan, dan tidak sakit jiwa.23

2. yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; -

Unsur ini terpenuhi berdasarkan fakta yang muncul di persidangan yaitu ditemukannya bukti-bukti kwitansi dan laporan pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Samhuri juga terbukti sering meminta uang ke Bendahara tanpa tanda terima dan meminta Bendahara untuk menyerahkan orang ke beberapa orang tanpa ada kejelasan tujuan.24

21

Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Op.Cit., Ps. 316-317. Pengadilan Negeri Jambi, Putusan Nomor: 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi., Republik Indonesia v. Samhuri, S.H. Bin Tarbun (2014), hlm. 3-4. 23 Ibid., hlm. 194-197. 24 Ibid., hlm. 213-218. 22


3. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; dan -

Unsur ini terpenuhi karena Samhuri terbukti menggunakan wewenang yang dimilikinya sebagai Kepala Kantor Ketahanan Pangan untuk memerintahkan Bendahara mengeluarkan uang yang tidak semestinya dan memerintahkan para kepala seksi untuk membuat laporan pertanggungjawaban tentang kegiatankegiatan dalam Program Peningkatan Ketahanan Pangan yang tidak dilaksanakan.25

4. yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. -

Unsur ini terpenuhi, yaitu adanya laporan pertanggungjawaban fiktif beberapa kegiatan dalam Program Peningkatan Ketahanan Pangan yang setelah dilakukan audit oleh BPKP Perwakilan Jambi ternyata menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara sebesar Rp 338.399.500,00.26

II.2.2. Putusan Nomor 09/Pid.Tipikor/2013/PN.AB Kasus lain yang perlu dibahas adalah kasus korupsi dengan terdakwa Wakil Bupati Kepulauan Aru/Plt. Bupati Kepulauan Aru, Umar Djubamona. Kasus ini menggambarkan bagaimana pertimbangan hakim mengenai penggunaan diskresi oleh pejabat daerah. Umar dituntut atas kebijakan yang dibuatnya, yaitu mengajukan tambahan dana untuk kegiatan MTQ yang diselenggarakan di Kota Dobo karena dana yang semula dianggarkan tidak cukup. Selain itu, Umar juga membuat kebijakan penambahan dana di luar apa yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun 2011 untuk kegiatan keagamaan lainnya seperti Pesta Paduan Suara dan Sidang Majelis Pekerja Lengkap Gereja.27 Atas tuntutan ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon menyatakan Umar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Penuntut Umum baik dalam dakwaan primer maupun dakwaan subsidair.28 Dalam dakwaan primer, Penuntut Umum menuntut Umar dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan unsur-unsur: (i) setiap orang; (ii) secara melawan hukum; (iii) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (iv) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan

25

Ibid., hlm. 218-221 Ibid., hlm. 221-227. 27 Pengadilan Negeri Ambon, Putusan No. 09/Pid.Tipikor/2013/PN.AB, Republik Indonesia v. Umar Djubamona S.Sos. (2014), hlm. 93 dan 96. 28 Ibid., hlm. 115. 26


(v) sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan tersebut.29 Dakwaan ini tidak terbukti karena unsur “secara melawan hukum” tidak terpenuhi. Menurut Majelis Hakim, kebijakan yang dilakukan Umar tentang penambahan dana untuk kegiatan MTQ ini didasarkan pada alasan yang objektif, yaitu karena adanya kekhawatiran bahwa kegiatan MTQ akan gagal atau tidak sukses yang bisa membawa dampak buruk bagi Pemerintah Kabupaten Aru dan bagi MTQ Tingkat Nasional di Ambon di tahun berikutnya. 30 Selain itu, kebijakan penambahan dana diambil melalui proses yang transparan dan akuntabel yaitu melalui proses yang melibatkan berbagai jajaran pemerintahan.31 Lalu, kebijakan tentang penambahan dana untuk kegiatan keagamaan lainnya bertujuan untuk mencegah kecemburuan antarkelompok agama yang bisa memicu konflik – hal yang sangat mungkin terjadi di Kepulauan Maluku dimana konflik antarumat beragama masih menjadi isu yang rawan sejak pecahnya konflik Maluku dari tahun 1999 hingga 2003.32 Majelis Hakim juga menginsyafi bahwa dalam prakteknya, jalannya suatu pemerintahan akan menemui hal-hal yang kompleks yang membutuhkan jawaban yang cepat sehingga tidak mungkin untuk berpatokan kepada APBD secara kaku.33 Dalam dakwaan subsidair, Penuntut Umum menuntut Umar dengan Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan unsur-unsur: (i) setiap orang; (ii) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (iii) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (iv) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan (v) sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan tersebut.34 Dakwaan ini juga tidak terbukti karena unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” tidak terpenuhi. Majelis Hakim tidak melihat adanya niat, maksud, atau kehendak Umar untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam membuat kebijakan penambahan dana. Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa inisiatif untuk mengupayakan tambahan dana bukan datang dari Umar, melainkan dari panitia MTQ sendiri demi kesuksesan acara. Kebijakan penambahan dana juga merupakan hasil musyawarah yang dilakukan berkali-kali antara jajaran pemerintahan dan DPRD.35 29

Ibid., hlm. 99. Ibid., hlm. 103. 31 Ibid., hlm. 104. 32 Ibid., hlm. 105. 33 Ibid., hlm. 107. 34 Ibid., hlm. 108. 35 Ibid., hlm. 110-111. 30


Selain itu, Majelis Hakim juga mempertimbangkan unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.” Menurut mereka, kebijakan yang ditempuh Umar merupakan suatu diskresi – suatu kewenangan yang memang melekat pada jabatannya – yang tidak bermasalah secara substansiil dengan indikator kebijakan dibuat dengan tujuan yang jelas dan manfaat yang terukur serta proses pengambilan kebijakan yang transparan dan akuntabel. Hakim juga membenarkan penjelasan saksi ahli bahwa anggaran pemerintah bersifat “rigid namun tidak rigid,” yaitu meskipun pemerintah terikat pada anggaran yang sudah ditetapkan namun selalu terbuka ruang adanya modifikasi dan perubahan akibat keadaan darurat atau tidak terduga. Modifikasi ini dimungkinkan melalui lembaga APBD Perubahan.36

36

Ibid., hlm. 112.


BAB III PENUTUP

III.1. Simpulan Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Pengaturan mengenai Inovasi Daerah dalam UU Pemda merupakan suatu upaya mendorong pemerintah daerah untuk memaksimalkan penyerapan APBD melalui program-program inovatif dalam rangka pembangunan daerah dengan cara memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaanya. 2. Hal-hal mengenai Inovasi Daerah yang diatur dalam UU Pemda adalah pengertian, prinsip penyelenggaraan, prosedur pelaksanaan (termasuk pemberian insentif atau penghargaan bagi program inovasi yang dinilai berhasil), dan unsur penghapus pidana bagi aparatur sipil negara dalam pelaksanaan inovasi daerah yang tidak sesuai sasaran. 3. Rencana anggaran untuk program inovasi daerah harus dimasukkan dalam APBD. Apabila di tengah tahun anggaran dirasa perlu untuk melaksanakan suatu program inovasi yang belum dianggarkan sebelumnya atau mengubah anggaran suatu program inovasi, pemerintah daerah dengan wewenang diskresinya bisa mengajukan APBD Perubahan. 4. Namun, pelaksanaan diskresi ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Administrasi Pemerintahan telah memberi batasan-batasan dalam pelaksanaan diskresi oleh pejabat pemerintahan. Hal-hal yang diatur dalam undangundang ini adalah tujuan, ruang lingkup, persyaratan, prosedur pelaksanaan, dan akibat hukum dari diskresi. Apabila suatu diskresi tidak sesuai dengan batas-batas ini maka diskresi tersebut “melawan hukum” dan pejabat yang menggunakan diskresi tersebut “menyalahgunakan kewenangan.” 5. Jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi, pasal penghapus pidana dalam UU Pemda kurang tepat. Perlu untuk dilihat terlebih dahulu penyebab gagalnya suatu program inovasi daerah seperti dalam ulasan Putusan No. 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi dan No.09/Pid.Tipikor/2013/PN.AB, hakim dalam menjatuhkan hukuman atas suatu tindak pidana korupsi akan menilai terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur pidana tersebut. Apabila kegagalan program inovasi merupakan akibat dari perbuatan yang melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dapat merugikan keuangan negara maka tentu pelakunya harus dijatuhi hukuman – begitu pula sebaliknya.


DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. “Serapan Anggaran Utara

Kalimantan

dan

DKI

Jakarta

Terendah.”

<http://keuda.kemendagri.go.id/berita/detail/2502-serapan-anggaran-kalimantan-utaradan-dki-jakarta-terendah>. Fauziah Mursid. “Penyerapan APBD Pemprov DKI Jakarta Terendah dari 34 Provinsi SeIndonesia.”

<http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/10/03/nvm246354-

penyerapan-apbd-pemprov-dki-jakarta-terendah-dari-34-provinsi-seindonesia>. Hendris Herriyanto. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan Penyerapan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga di Wilayah Jakarta.” (Tesis, Program Studi Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012). Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. UU No. 30 Tahun 2014. LN No. 292 Tahun 2014. TLN No. 5801. Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999. TLN No. 3874. Indonesia. Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No. 125 Tahun 2004. TLN No. 4437. Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014. LN No. 244 Tahun 2014. TLN No. 5587. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. “Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif (Innovative Government Award) dari Kementerian Dalam Negeri Tahun 2012.” <http://www.kemendagri.go.id/news/2012/12/11/penghargaan-pemerintah-daerahinovatif-innovative-government-award-dari-kementerian-dalam-negeri-tahun-2012>. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Naskah Akademik Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. (Jakarta: n.p., 2011). Pengadilan Negeri Ambon. Putusan No. 09/Pid.Tipikor/2013/PN.AB. Republik Indonesia v. Umar Djubamona S.Sos (2014). Pengadilan Negeri Jambi. Putusan Nomor: 40/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jbi. Republik Indonesia v. Samhuri, S.H. Bin Tarbun (2014).


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.