"Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Page 1

ALOKASI DANA DESA : MEMANDIRIKAN DESA ATAU LAHAN BASAH KORUPSI ? Oleh : Muhammad Nur Ramadhan Pandu Dewanata A. Pendahuluan Latar Belakang Desa merupakan cikal bakal keberadaan satuan teritorial, dimulai dari satuan pemerintahan yang terbawah, yang pada akhirnya membentuk negara. Di Indonesia terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa di seluruh Indonesia, 1 desa-desa ini dapat dibedakan menjadi desa biasa dan desa adat. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Dalam penjelasan umumUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki konstruksi penggabungan fungsi self-governing community dengan local self government. 3 Secara sederhana dapat diartikan bahwa desa memiliki otonomi dalam menjalankan kewenangannya. Sejarah perjalanan tata pemerintahan desa selama ini berubah-ubah seiring dengan dinamika kondisi dan situasi politik nasional.4 Perubahan itu menyesuaikan dengan politik hukum nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Implikasi berubah-ubahnya politik hukum pemerintahan desa adalah kehancuran kehidupan politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya di desa. 5 Apabila ditinjau secara historis, UUD 1945 sebelum amandemen telah memberikan landasan konstitusional bagi pemerintahan desa, penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa desa merupakan volksgemeenschappen

1

Data ini dipakai dalam Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 3 Lihat Penjelasan tentang UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 4 H.A.W. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 7. 5 Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana, Vol. 17, No. 2, 2011, hlm. 3. 2


yang mempunyai susunan asli dan kedudukannya dihormati oleh Republik Indonesia. 6 Bahkan UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah mengakui kewenangan otonom desa misalnya pada pemungutan pajak kendaraan dan rooiver gooningen.7 Kedudukan desa sebagai daerah otonom pada masa Orde Lama tidak berlanjut pada masa Orde Baru, berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa membuat desa kurang mendapat kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Karena dalam undang-undang tersebut desa tidak lagi ditempatkan sebagai daerah otonom, melainkan diposisikan sebagai unit administrasi pemerintahan yang berada pada tingkatan paling bawah. Akibatnya bagi desa secara politik dan sosial budaya menurut Didik Sukriono adalah hilangnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial, lembaga-lembaga adat) dan hilangnya pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat desa.8 Yando Zakaria menggambarkannya sebagai upaya Orde Baru untuk meluluhlantakkan struktur masyarakat desa yang berbasis kearifan lokal.9 Pada tahun 2012, pemerintah dan DPR memiliki pandangan bahwa aturan mengenai desa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak memadai. 10 Sehingga desa diatur dalam undang-undang sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang selanjutnya disebut UU Desa. UU Desa memuat dua asas utama yang berbeda dengan UU Desa sebelumnya, yakni asas rekoginisi dan asas subsidiaritas. Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman kultural, sedangkan subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara dengan desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi harus memposisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri.11 Adanya asas rekognisi dan subsidiaritas mengakibatkan adanya pengakuan atas kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal desa. Pemberian kewenangan ini harus diikuti dengan penyerahan sumber daya kepada desa agar kewenangan yang dimiliki dapat dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Sutoro Eko, bahwa asas rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman desa,

6

Lihat penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen. Volksgemeenschappen tidak didefinisikan oleh pembentuk undang-undang dasar, volksgemeenschappen hanya dicontohkan sebagai desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. 7 Muhammad Yasin, et. al, Anotasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jakarta: PATTIRO, 2015, hlm. 3. 8 Didik Sukriono, Op. Cit, hlm. 3. 9 Loc. Cit, hlm. 5. 10 Ibid, hlm. 11. 11 Ibid, hlm. 43.


kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD.12 Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa desa mendapatkan pemasukan dari alokasi dana desa dari pemerintah pusat dan juga alokasi dana desa dari kabupaten/kota.13 Alokasi dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah pusat dalam APBN kemudian ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota untuk selanjutnya disalurkan ke APB Desa.14 Berdasarkan Rincian Dana Desa Per Kabupaten dan Kota yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Tahun 2015, total Penetapan Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran 2015 mencapai 9 (sembilan) trilyun rupiah untuk seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Namun sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dalam kerangka NKRI sehingga anggaran tersebut ditambah menjadi Rp. 20.766,2 miliar. Sedangkan alokasi dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah kabupaten/kotadalam APBD didapatdari dana perimbangan pusat-daerah. Pada Pasal 72 ayat (4) UU Desa, pemerintah kabupaten/kota wajib menganggarkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima untuk alokasi dana desa dalam APBD kabupaten/kota.15 Secara umum alokasi dana desa memang memberikan manfaat yang sangat besar bagi desa, yakni mendorong kemandirian desa dan mengurangi kesenjangan keuangan antara daerah kabupaten/kota dan desa. Namun alokasi dana desa juga dapat menimbulkan political shock bagi pemerintah desa dalam menjalankan kewenangannya, mengingat struktur masyarakat desa yang berbasis kearifan lokal sudah tidak dalam konditsi yang baik akibat hubungan pusat-daerah yang sentralistik. Political shock tersebut dapat berujung pada moral hazard bagi pemerintah desa untuk melakukan korupsi. Pada tahun 2007 APDESI (Asosiasi Pemerintahan Desa) mencatat angka korupsi bantuan desa 16 dari APBN/APBD sebesar 7,8%. 17 Padahal pemerintahan desa pada tahun 2007 tidak terlalu diberikan mendapat kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, karena desa diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Potensi korupsi yang dilakukan pemerintah desa pada saat ini tentu jauh lebih besar, karena pemerintahan desa dijalankan berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas yang termuat dalam UU Desa.

12

Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, Jakarta: Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi RI, 2015, hlm. 41. 13 Lihat Pasal 72 ayat (1) huruf b & hurufd UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 14 Lihat Pasal 6 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 15 Lihat Pasal 72 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 16 Bantuan desa berbeda dengan alokasi dana desa. Bantuan desa tidak diberikan kepada desa setiap tahun. 17 Sutoro Eko,Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa,Op. Cit, hlm. 65.


Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk mengkaji alokasi dana desa. Pertama, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai politik hukum pemerintahan desa dan alokasi dana desa dalam UU Desa. Kedua, akan dijelaskan pula mengenai pengawasan terhadap penggunaan alokasi dana desa. Dari dua poin pembahasan tersebut akan dapat disimpulkan apakah alokasi dana desa secara konseptual memandirikan desa atau akan menjadi lahan basah bagi pemerintah desa. Rumusan Masalah Melihat latar belakang di atas, bagian pembahasan berusaha untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah secara konseptual alokasi dana desa memandirikan desa atau menjadi lahan basah korupsi ? 2. Apakah pengawasan terhadap penggunaan alokasi dana desa dapat mencegah potensi korupsi ?

B. Pembahasan Politik Hukum Pemerintahan Desa dan Alokasi Dana Desa Politik hukum atau legal policy diartikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. 18 Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, Teuku Mohammad Radie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.19 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik hukum digunakan oleh pemerintah untuk mengarahkan hukum agar mencapai tujuan negara. Pemerintahan desa memiliki politik hukum tersendiri, karena politik hukum pemerintahan desa merupakan cara yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Politik hukum pemerintahan desa sendiri berubah-ubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan UU Desa. Menurut Ateng Syarifudin, politik hukum pemerintahan desa yang paling mutakhir adalah sebagai berikut :20 1. Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah suatu keatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, 18

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 352-353. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen yang diselenggarakan oleh BPHN Depkumham RI 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta. 20 Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Bandung: Alumni, 2010, hlm. 90-91. 19


sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat; 2. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk menagtur

dan

mengurus

kepentingan

masyarakatnya.

Kepala

desa

bertanggungjawab pada badan permusyawaratan desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada bupati/ walikota; 3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Untuk itu kepala desa dengan persetujuan BPD mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan; 4. Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk BPD atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, anggran pendapatan dan belanja desa, peraturan kepala desa dan keputusan desa; 5. Di desa dibentuk lembaga masyarakat desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa. Lembaga

dimaksud

merupakan

mitra

pemerintah

desa

dalam

rangka

pemeberdayaan masyarakat desa; 6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa; 7. Berdasarkan hak asal-usul desa yang bersangkutan, kepala desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara / sengketa dari para warganya; 8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk kelurahan yang berada di dalam daerah kabupaten atau kota. Sedangkan Sutoro Eko menyatakan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki perspektif yang berbeda apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur desa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut :21

21

Sutoro Eko, et. al, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD, 2014, hlm. 11.


Desa Lama

Desa Baru

Payung hukum

UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005

UU No. 6 Tahun 2015

Asas utama

Desentralisasi-residualitas

Rekognisi-subsidiaritas

Kedudukan

Sebagai organ pemerintahan yang Sebagai

pemerintahan

masyarakat,

berada dalam sistem pemerintahan hybrid antara self governing community kabupaten/kota

(local

state dan local self government.

government) Posisi dari peran Pemerintah kabupaten/kota

kabupaten/kota Pemerintah kabupaten/kota mempunyai

mempunyai kewenangan yang besar kewenangan dan

luas

dalam

mengatur

mengurus desa.

terbatas

dan

strategis

dan dalam mengatur dan mengurus desa; termasuk

mengatur

dan

mengurus

bidang urusan desa yang tidak perlu ditangani langsung oleh pusat. Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek Arena:

Politik tempat

dari atas

Desa

sebagai

masyarakat

desa

menyelenggarakan pembangunan,

arena

bagi untuk

pemerintahan,

pemberdayaan

dan

kemasyarakatan dalam Objek

Posisi

Subjek

pembangunan Model

Government driven development atau Village driven development

pembangunan

community driven development

Pendekatan

dan Imposisi dan mutilasi sektoral

Fasilitasi, emansipasi, dan konsolidasi

tindakan

Berdasarkan pendapat dari dua orang ahli yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa alokasi dana desa merupakan perwujudan politik hukum pemerintahan desa yang paling mutakhir, karena desa memiliki sumber pendanaan berupa alokasi dana desa dari APBN maupun APBD. Alokasi dana desa menjadikan desa sebagai subjek pembangunan dan meneguhkan model pembangunan Village driven development. Alokasi dana desa yang disalurkan oleh pemerintah kabupaten/kota membuat desa leluasa untuk mengelola dana sesuai dengan RAPB Desa. Dengan adanya alokasi dana desa, desa diharapkan berperan dalam mewujudkan tujuan negara, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


Dimuatnya alokasi dana desa dalam UU Desa tidak dapat dilepaskan dari asas rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi “nafas� bagi pemerintahan desa. Dalam UU Desa, asas rekognisi didefinisikan sebagai pengakuan terhadap hak asal usul.22 Sedangkan secara teoritis, definisi rekognisi dibagi menjadi dua menurut Axel Honneth, yakni : (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. 23 Tujuan dari rekognisi menurut Honneth adalah untuk mencapai keadilan sosial, karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice). 24 Berkaitan dengan asas rekognisi, asas subsidiaritas dalam UU Desa didefinisikan sebagai penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.25Definisi tersebut dilengkapi dengan makna subsidiaritas menurut Sutoro Eko sebagai berikut :26 1. urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal,dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. 2. negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa melalui undang-undang. 3. pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Dalam Pasal 19 UU Desa, kewenangan desa ditetapkan oleh pemerintah sebagai berikut : 1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;27 2. kewenangan lokal berskala desa;28 3. kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau

pemerintah kabupaten/kota; 4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi,

atau pemerintah kabupaten/kota.

22

Lihat Penjelasan atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Axel Honneth,The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflict, Cambridge: Polity, hlm. 47. 24 Ibid. 25 Lihat Penjelasan atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 26 Sutoro Eko, et. al,Desa Membangun Indonesia, Op. Cit, hlm. 31. 27 Sebagai contoh pranata dan hukum adat, tanah kas desa, kelembagaan, dan sebagainya. 28 Sebagai contoh pasar desa, jalan desa, perpustakaan desa, dan sebagainya. 23


Alokasi dana desa apabila ditinjau dari asas rekognisi menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, karena desa tidak lagi diposisikan sebagai unit administrasi pemerintahan yang paling bawah. Tujuannya adalah untuk mempersempit kesenjangan pembangunan antara desa dan wilayah perkotaan,sehingga menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat desa. Apabila alokasi dana desa terlihat inheren (melekat) dengan asas rekognisi, maka asas subsidiaritas ditopang oleh alokasi dana desa. Karena kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa akan dijalankan dengan mudah dan leluasa ketika terdapat alokasi dana desa. Dapat ditarik kesimpulan bahwa alokasi dana desa merupakan cara yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan desa yang mandiri, otonomi, demokratis, lokalitas, partisipasi, emansipatoris, dan seterusnya.

Pengawasan terhadap Penggunaan Alokasi Dana Desa Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, alokasi dana desa terbagi menjadi dua, yakni alokasi dana desa dari pemerintah pusat dan juga alokasi dana desa dari kabupaten/kota. Kedua jenis alokasi dana desa merupakan bagian dari APBD kabupaten/kota, karena tercantum di dalam APBD. Alokasi dana desa dari pemerintah pusat akan menjadi bagian dari APBD ketika telah ditransfer kepada pemerintah daerah dan pemerintah daerah wajib mencantumkannya ke dalam APBD. Karena dalam Pasal 3 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semua penerimaan yang menjadi hak dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan ke dalam APBD. 29 Ketentuan dalam UU Keuangan Negara diperkuat dengan Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa dana desa yang digolongkan sebagai pendapatan daerah.30 Dalam APBN 2015 alokasi dana desa dianggarkan sebesar Rp. 9.066,2 miliar, namun sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dalam kerangka NKRI sehingga anggaran tersebut ditambah menjadi Rp. 20.766,2 miliar.31 Dari data tersebut terlihat keseriusan pemerintah untuk melakukan pembangunan terhadap desa itu sendiri. Mekanisme penyaluran dan pengelolaan dana desa beserta pelaporan dana desa menjadi sangat vital dalam pembangunan desa. Sehingga dibutuhkan koordinasi yang baik antara pemerintah desa dengan pemerintah pusat dan daerah.

29

Lihat Pasal 3 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lihat Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 31 Laporan Biro Analisa dan Pelaksanaan APBN dalam Jurnal Setjen DPR, hlm.2 30


Mekanisme penyaluran dana desa dalam PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN jo PP Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut :32 a. tahap I pada bulan April sebesar 40% b. tahap II pada bulan Agustus sebesar 40% c. tahap III pada bulan Oktober sebesar 20% Penyaluran secara bertahap sebagaimana yang disebutkan di atas membuat pemerintah desa menggunakan dana tersebut dengan seksama dan tidak menggunakan dana tersebut dengan sembarangan. Penyaluran yang bertahap tersebut diperkuat dengan kewajiban bagi pemerintah desa untuk membuat laporan realisasi penggunaan dana desa kepada bupati/walikota setiap semester. 33 Kewajiban untuk melaporkan realisasi penggunaan dana desa membuat pemerintah desa semakin berhati-hati dalam menggunakan dana desa, karena apabila terdapat penyelewengan dana desa tentu dapat diketahui lebih awal. Dari kedua mekanisme tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat upaya pencegahan korupsi dari peraturan pemerintah tersebut.

C. Penutup Kesimpulan Alokasi dana desa merupakan pengejawantahan dari asas rekognisi dan asas subsidiaritas yang terkandung di dalam UU Desa. Alokasi dana desa melekat dengan asas rekognisi, maka asas subsidiaritas ditopang oleh alokasi dana desa. Karena kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa akan dijalankan dengan mudah dan leluasa ketika terdapat alokasi dana desa. Kemudahan dan keluasaan yang diberikan kepada pemerintah desa tentu harus diikuti dengan pengawasan dari pemerintah. Penyaluran alokasi dana desa dilakukan secara bertahap, yakni dengan tiga tahapan, diharapkan pemerintah desa menggunakan dana tersebut dengan seksama dan tidak menggunakannya dengan sembarangan. Hal tersebut ditambah dengan kewajiban untuk membuat laporan realisasi penggunaan dana desa kepada bupati/walikota setiap semester. Dengan demikian pemerintah desa akan berhati-hati dalam menggunakan alokasi dana desa dan penyelewengan dana akan lebih cepat terdeteksi.

32 33

Lihat Pasal 16 ayat (1) PP Nomor 22 Tahun 2015. Lihat Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 60 Tahun 2014


Saran Satu lagi hal terpenting bagi permasalahan alokasi dana desa yaitu perlu untuk disiapkan kualitas sumber daya manusia yang bermutu dalam pemerintah desa oleh pemerintah. Perlu pelatihan bagi kepala desa dan perangkat desa dalam merencanakan, menggunakan, maupun melaporkan realisasi penggunaan dana desa. Sehingga dana desa dapat digunakan oleh pemerintah desa untuk pembangunan desa yang optimal.


DAFTAR PUSTAKA Buku Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Bandung: Alumni, 2010. Axel Honneth,The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflict, Cambridge: Polity, 1995. H.A.W. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008. Muhammad Yasin, et. al, Anotasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jakarta: PATTIRO, 2015. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Sutoro Eko, et. al, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD, 2014 _________, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, Jakarta: Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi RI, 2015.

Lain-lain Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana, Vol. 17, No. 2, 2011. Laporan Biro Analisa dan Pelaksanaan APBN. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen yang diselenggarakan oleh BPHN Depkumham RI 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jo Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.