"Dilema Anggaran Pemerintah Daerah: Antara Pembangunan dan Tuduhan Korupsi"- Universitas Syiah Kuala

Page 1

PENDAHULUAN I.

Latar Belakang Arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Setelah terpuruk di

bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasa warsa, Indonesia pun memasuki babak baru. Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan pemerintahan yang memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan mandiri. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kota serta kabupaten yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya merupakan perpanjangan tangan dari pusat di daerah. Dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam Garis Besar Haluan Negara. Secara teknis, masih terdapat sejumlah persiapan besar yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif dan aplikatif. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, peraturan Pemerintah Nomor 84 Thaun 2000, selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 104,105,106,107,108,109 da 110 Tahun 2000, terakhir Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 dan ketentuan lainnya yang relevan.1 Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan 1.

Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman 2.


prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaran otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proposional dan berkeadilan, jauh dari praktikpraktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah. Setelah itu arus Reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Makin terpuruknya di bawah rezim totaliter selama lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia pun memasuki babak baru. Reformasi dilaksanakan di berbagai di bidang untuk menciptakan pemerintahan yang memiliki legitimasi, demokratis, jujur, bersih, dan berwibawa, maju, dan mandiri. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya masyarakat di luar pulau Jawa. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah konkret pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu caranya dengan adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya otonomi daerah ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi beberapa kali revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang Nomor 9 tahun 2015 dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada perubahan yang signifikan yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam otonomi daerah. Hal ini menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di Indonesia walaupun menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri. Terbukti setelah adanya Otonomi Daerah pembangunan di berbagai daerah baik secara struktural dan non struktural terus meningkat walaupun akibatnya terjadinya desentralisasi korupsi akibat dari berlakunya Otonomi daerah ini. Permasalahan pun muncul apakah peran DPRD dalam mengawasi pembangunan daerah belum maksimal sehingga permasalahan desentralisasi korupsi ini terjadi. 2 2.

Widjaja HAW. ibid


II.

Rumusan Masalah

1. Mengapa

sistem

otonomi

daerah

di

indonesia

cenderung

mengesampingkan

pembangunan real baik yang diinginkan minoritas pejabat daerah dan mayoritas masyarakat daerah? 2. Apakah blue print dari otonomi daerah di indonesia dewasa ini sudah dapat dikatakan dalam klasifikasi berhasil baik struktural dan nonstruktural?

PEMBAHASAN Peran DPRD dalam mengawasi alur APBD dalam kerangka aspirasi masyarakat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa baru dan menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat dan masyarakat di luar pulau Jawa. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ini adalah sebuah langkah konkret pemerintah sebagai dasar untuk mewujudkan pemerataan pembangunan yaitu caranya dengan adanya otonomi daerah. Tapi permasalahan muncul, dengan diterapkan nya otonomi daerah ini yang menyebabkan terjadi nya Desentralisasi Korupsi. Telah terjadi beberapa kali revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai terakhir Undang Undang Nomor No.9 tahun 2015. Dalam beberapa revisi Undang Undang tersebut tidak ada perubahan yang signifikan yang menyangkut permasalahan pembatasan kewenangan dalam otonomi daerah. Hal ini menunjukan berarti Otonomi Daerah masih layak untuk diterapkan di Indonesia walaupun menyebabkan Desentralisasi dari Korupsi itu sendiri. Dalam perspektif GDJ.Hewing, diungkapkan bahwa: akibat kebijakan Orde Baru yang sentralistis secara langsung berimbas pada ketimpangan yang dahsyat antara pusat dan daerah, antara Jawa dan diluar pulau Jawa, dan hal ini hampir terjadi dalam segala lini kehidupan. Setelah pasca Reformasi memuat kebijakan yang menjadikan otonomi daerah sebagai salah satu agenda penting yang perlu dilansir oleh pemerintah pasca Orde Baru. UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah memberikan nuansa baru dan


menjanjikan. Tampaknya pemerintah tidak akan menampik tuntuan tersebut apabila tidak ingin mengambil resiko berhadapan dengan kekuatan rakyat, khususnya rakyat dan masyarakat di luar pulau Jawa. Desentralisasi sebenarnya telah lama dianut dalam negara Indonesia. Secara historis, asas Desentralisasi itu telah dilaksanakan di zaman Hindia Belanda dengan adanya UndangUndang Desentralisasi (Decentrakisatie Wet) tahun 1903. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah mengubah paradigma sentaralisasi kekuasaan pemerintah ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab kepada daerah. Namun demikian, kita tidak boleh mengabaikan bahwa ada prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom, yaitu : Pertama, adanya kesiapan SDM aparatur yang berkeahlian Kedua, adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah. Ketiga, Tersedianya fasilitas pendukung pelaksaaan pemerintah daerah. Keempat, bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dengan corak dan intensitas dan prestasi yang berbedabeda sesuai dengan kapabilitas aparatur dan tersedianya sumber daya. Keberhaslan pencapaian tujuan negara akan ditentukan oleh “semangat para penyelenggara negara� seperti yang digariskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Anggaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan ublik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, APBD harus benar-benar dapa mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi Daerah yang mulai berlaku sejak di sahkan dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 membuka peluang untuk setiap daerah di Indonesia tanpa terkecuali untuk dapat menentukan nasib daerah mereka sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak pusat yang berlebihan. Namun tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi


pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Masalah-masalah tersebut antara lain : 1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah 2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap 3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai 4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnyapelaksanaan otonomi daerah 5. Korupsi di Daerah 6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah Problem lainnya yang juga menjadi sebab tidak optimalnya otonomi daerah yaitu Kesenjangan antara otonomi daerah dengan NKRI ternyata dijembatani oleh demokrasi, Tanpa diperantarai oleh demokrasi yang kuat maka otonomi daerah tidak bisa membantu memperkuat keIndonesiaan, dan demikian juga sebaliknya. Otonomi daerah seluas-luasnya terlaksana dengan pemanfaatan sumberdaya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain hal-hal diatas kebijakan otonomi daerah juga belum mencapai harmonisasi pendelegasian wewenang antara pusat dengan daerah, dan ditambah juga terdapat hambatan operasionalisasi perundang-undangan terkait maupun kendala-kendala praktis. Pelaksanaan pembangunan di daerah yang pembangunan kembali menunjukan kecenderungan resentralistik dalam arti program pembaungan direncanakan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan, karakteristik dan spesifikasi masing-masing daerah, dan mengasumsikan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah adalah sama. Hal ini membawa dampak negative bagi daerah, seperti hilangnya kreativitas daerah , tidak terpenuhinya kebutuhan masyrakat, dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah. Kewenangan daerah dalam mengembangkan dunia usaha juga sangat terbatas karena banyak kebijakan dan regulasi berada pada Pemerintah Pusat. Berbagai perizinan masih diputuskan oleh Pemerintah Pusat. Seharusnya melalui desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintah kepala daerah otonom, daerah akan mempunyai kewenangan yang luas dan utuh seperti : 1. Untuk mengatur dan mengelola aspirasi/tuntutan masyarakatnya 2. Untuk merencanakan dan mengelola pelaksanaan pemabngunan di daerahnya


Dengan demikian pemerintah daerah dapat mengembangkan kreativitas dalam menggali dan mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pembangunan daerah dan pengembangan usaha di daerah. Otonomi daerah ditujukan untuk memudahkan adanya pembangunan yang bersifat adil dan membawa kesejahteraan bagi daerah. Namun pada realitanya banyak sekali kasus korupsi dalam pembangunan di daerah dalam berbagai sektor yang memiliki kaitan erat dengan berlakunya Otonomi Daerah. Terbukti dengan survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2003 sebelum diberlakukan Otonomi Daerah sebesar 2,2 kemudian setelah berlakunya Otonomi Daerah meningkat menjadi pada 2009 dan 2010 mendapat skor 2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4. Hal ini membuktikan bahwa Otonomi Daerah membuka peluang besar bagi pemerintah daerah yang mungkin saja sudah bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam pusat, berbagai departemen daerah untuk merancang manipulasi anggaran yang seharusnya di alokasikan ke dalam sektor pembangunan riel yang membawa manfaat bagi masyarakat daerah. Ironisnya lagi, untuk menutup kesalahan dalam mark up harga sebagai salah satu cara untuk melakukan aksi korupsi, oknum-oknum ini cenderung menutupinya dengan memanipulasi data-data penerimaan sehingga terlihat bahwa pemerintahannya berprestasi dan tidak patut dicurigai padahal realitanya anggaran-anggaran yang seharusnya menjadi infrastruktur hilang dalam jumlah persentase yang tidak sedikit yang pada akhirnya membuat daerah-daerah terutama daerah tertinggal yang menjadi perhatian pemerintah pusat sulit untuk berkembang (menurut survei ICW, NTT yang termasuk daerah tertinggal dan menjadi perhatian pusat merupakan provinsi terkorup nomor 2 di Indonesia) kami ambil contoh di Provinsi berbeda lagi, kasus Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Pemkot Medan, Syahrial Arif, didakwa melakukan korupsi dalam proyek revitalisasi Pasar Kapuas Belawan sebesar Rp 200 juta. Yang mana berdasarkan survey yang dilakukan ICW (Indonesia Corruption Watch) Provinsi terkorup nomor 1 di Indonesia adalah provinsi Sumatera Utara. Kasus itu merupakan satu kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi daerah, dan kebetulan kasus yang kami berikan contoh tidak meraup uang triliyunan yang biasanya merupakan anggaran pembangunan infrastruktur namun dikarenakan adanya ‘manipulasi data’ infrastruktur ini tadi tidak menjadi maksimal. Bisa jadi hasilnya terlambat, mudah rusak dan membahayakan masyarakat, bahkan paling parah tidak selesai. Menurut KPK, Jumlah kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi terus bertambah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, selama 11 tahun terakhir, sudah ada 64 kasus korupsi yang menyangkut para kepala daerah di negeri ini. Dari 64 kasus tadi, sebanyak 51


kasus sudah diputuskan pengadilan. KPK juga melihat, modus kepala daerah untuk korupsi juga berkembang. Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto Seno Adji mencontohkan, salah satu modus yang dipakai adalah menyuruh pengacara memberikan sejumlah uang ke hakim untuk memenangkan gugatannya. Undang-undang Otonomi Daerah telah mengalami beberapa kali revisi. Yaitu, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, dan yang terakhir Undang Undang Nomor 9 Tahun 2015. Sayangnya, dalam revisi beberapa kali yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir hanya mengatur perihal pemilihan kepala daerah, serta hal-hal teknis lainnya yang berhubungan dengan pemilihan atau penggantian jabatan. Dan sama sekali tidak memuat pasal baru yang berguna untuk mengatur regulasi kewenangan pejabat daerah ataupun pengawasan lebih dalam perihal anggaran yang kerap kali dikhawatirkan sebagai ladang korupsi yang subur bagi para oknum baik pejabat maupun para ‘pembantu’ di belakangnya untuk melancarkan niat korupsi mereka.3

Discretion of official menjadi kunci utama pencegahan penyelewengan otonomi daerah Korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah suatu korupsi yang terjadi secara kebetulan dalam pengelolaan uang negara oleh oknum-oknum penyelenggara negara/instansi Pemerintahan/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), melainkan adalah suatu korupsi yang sudah terencana dengan matang jauh-jauh hari. Prof. Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa tingkat kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara mencapai 30%. Tingkat korupsi yang begitu tinggi dalam pengelolaan anggaran terjadi secara berkesinambungan inilah yang menyulitkan para pengendali dan pengawas keuangan negara untuk menanggulangi masalah ini. Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) disini membuktikan bahwa pimpinan memiliki kekuatan penuh dalam memanipulasi data bawahannya untuk melancarkan aksinya, ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) kekuasaan tadi membuat permintaan dari pejabat kerap kali sulit untuk di tolak kemudian tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi.4 “ Otonomi daerah yang mulanya diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk lebih memberdayakan masyarakat dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam


daerah, ternyata juga dijadikan “ lahan basah “ dimana praktik tindak pidana korupsi berlangsung. Dari harapan – harapan otonomi daerah kita akan merasakan kehidupan masyarakat sejahtera dan mendapatkan pelayanan yang luar biasa tapi nyatanya, dibalik itu semua sudah muncul tindak –tindakan kriminologi seperti : kondisi tindak pidana korupsi “ ungkap Agus sudaryanto, aktivis Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Pengawasan terhadapa pelaksanaan dari otonomi daerah itu sendiri pun menjadi kunci utama dalam pelaksaaan otonomi daerah yang bersih dan jujur namu dewasa ini indonesia terlah terbelenggu menjadi satu bagian yang sama dalam kerangka nepotisme dan korupsi itu sendiri. Upaya upaya penyesuaian yang terjadi mulai dari tahun 2004 sampai dengan detik ini masih banyak sistem otonomi daerah yang harus dibenahi dalam hal kekuasaaan monopoli yang menjurus kepada pertanyaan dimana kah kredibilitas dan akuntabilitas dari pejabat daerah apabila ada kasus terkait dengan penyelewengan biaya biaya pembangunan daerah. Pembangunan daerah yang paling diimpikan adalah pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan terutama di daerah terpencil menelitik dari keinginan tersebut banyak yang meragukan sistem otonomi daerah yang selama ini dianggap dapat memperkecil kemungkinan korupsi itu sendiri namun dari segi realitas pembangunan di daerah terpencil dan tidak merata menunjukkan ketdak berhasilan dari sistem tersebut walau sudah sering direvisi bagian dan wewenang dari sistem otonomi daerah.

PENUTUP Kesimpulan Kondisi korupsi di Indonesia pasca reformasi bukan semakin menurun melainkan meningkat ke segala aspek kehidupan dan di semua bidang penyelenggaraan negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, bidang politik maupun sektor swasta. Kuantitasnya pun beragam mulai dari pungli di jalanan hingga jual beli perkara di pengadilan baik

dalam

lingkungan

pemerintahan

pusat,

daerah,

lembaga

negara,

maupun

BUMN/BUMD. Korupsi ini pun tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang matang dan jauh-jauh hari yang juga melibatkan beragam pihak dalam satu tindakan korupsi. Ditambah lagi dengan pemberantasannya yang cenderung diulur-ulur dan banyak permainan serta dijadikan komoditas politik. Padahal setiap tahunnya, korupsi di negara Indonesia sudah meraup ratusan triliyun rupiah yang apabila di realisasikan dalam bentuk pembangunan dalam berbagai sektor justru akan menambah kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.


Otonomi daerah merupakan langkah baru dari sistem reformasi Indonesia, yang bertujuan pembagian kekuasaaan dari sentralistik ke desentralisasi. Guna pengaturan kebijakan agar tidak terpusat pada pemerintah pusat, dan kebijakan pengelolaan daerah masing-masing dipegang oleh kepala daerah yang lebih mengetahui kondisi daerahnya itu sendiri. Tetapi dalam perkembangannya, otonomi sistem desentralisasi tersebut mengalami beberapa problema atau masalah-masalah yang baru muncul. Salah satunya yaitu eksploitasi pendapatan daerah, korupsi di daerah, SDM yang belum siap, potensi munculnya konflik antar daerah dan lain sebagainya. Tetapi kedepannya, ternyata otonomi daerah mempunyai banyak keuntungan atau prospek kedepan, yaitu antara lain : memperkokoh sendi-sendi perkeonomian daerah, demokratisasi tata kelola pemerintah, kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsifungsi pelayanan esekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, pajak dan retribusi juga pinjaman daerah.

Saran Regulasi dan kebijakan otonomi daerah ke depan harus dirancang dengan mengacu pada konsepsi strategis, antara lain: 1. Penguatan dan implementasi otonomi daerah yang bertanggung jawab memenuhi asas keadilan dan keselarasan dalam bingkai NKRI. Kecenderungan politik untuk melemahkan paradigma desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik melalui komunikasi wacana yang bermuatan ‘pemikiran-pemikiran resentralistik’ maupun regulasi termasuk materi muatan dalam undang-undang yang secara faktual berpotensi mengubah hubungan-hubungan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus segera ditinggalkan. 2. Akselerasi pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekonomi dengan memperhatikan konektivitas antar wilayah guna mencapai tujuan pemerataan pembangunan nasional. 3. Kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah yang segera dapat dioperasionalkan untuk menghadapi perkembangan dalam kerja sama ekonomi. 4. Peningkatan upaya-upaya untuk terus membanguna tata kelola pemerintahan yang baik, melalui peningkatan kapasitas kepemerintahan.


5. Regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal harus ditata guna mewujudkan alokasi sumberdaya nasional yang efisien dan efektif melalui pola hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Peningkatan pembangunan daerah yang tidak tersentral pada pulau-pulau di jawa, akan memudahkan proses otonomi daerah yang sehat, kebijakan nasional yang mementingkan potensi daerah dan sekaligus menjaga kelestarian daerah tersebut, regulasi dan kebijakan desentralisasi fiskal per daerah, dan regulasi ketentuan pembentukan peraturan daerah yang tepat guna.

DAFTAR PUSTAKA Niwanto Andhi D, Otonomi Daerah Versus Desentralisasi Korupsi. Aneka ilmu, Semarang:2013 Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Rajawali Pers, Jakarta: 2007


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.