HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN
KONSEP HUKUM KELUARGA & PERKAWINAN •
HUKUM 1. Sebagai seperangkat kaedah yang mengatur mengenai keluarga dan perkawinan. 2. 3. 4. 5.
Sebagai alat Social Control. Sebagai alat Social Engineering. Sebagai alat Social Empowering. Sebagai bentuk Akomodasi sosial.
•
KELUARGA
•
Sebagai ruang lingkup materi, dalam pengertian sebagai kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan anakanaknya.
•
PERKAWINAN
•
Sebagai suatu hubungan hukum antara dua individu lain jenis yang sah dan sebagai dasar pembentuk keluarga, dan selanjutnya Keluarga sebagai BASIC SOCIAL STRUCTURE sistim
sosial Indonesia.
MOTIF PERKAWINAN MENGAPA ORANG MESTI KAWIN ARTI PENTINGNYA PERKAWINAN PERKAWINAN PERLU DIATUR
PERKAWINAN BIOLOGIS
GENETIS
POLITIS
SOSIOLOGIS
RELIGIUS
EKONOMIS
PSIKOLOGIS
ARAH POLITIK HUKUM PERKAWINAN PERKAWINAN Masyarakat heterogin Typologi sosial
Pembentuk susunan masyarakat beradab
Politik Hukum Tap MPR IV/1973 Kesadaran hukum rakyat
Variasi sistem kemasyarakatan
Perubahan sosial yang hakiki harus dilakukan Dengan “regeling”
Pluralisme hukum Pergolongan rakyat
Ide pembaharuan
Ide unifikasi hukum
IDE PEMBAHARUAN IDE-IDE PEMBAHARUAN
• Hukum perkawinan lebih mendekati sifat Publik daripada privaat semata. • Hukum perkawinan erat kaitannya dengan ketertiban umum (public orde). • Hukum perkawinan menampung aspirasi emansipasi. • Hukum perkawinan menempatkan kedudukan suami isteri sederajat. • Hukum perkawinan memperbaiki kepincangan -kepincangan yg terdapat dalam tatacara perkawinan perceraian dan mempersempit poligami. • Hukum perkawinan melibatkan campur tangan negara dalam perkasinan, poligami dan perceraian. • Hukum perkawinan memberikan landasan mengenai konsep keluarga yang ideal.
ASAS ASAS HUKUM • Menampung unsur-unsur dari ketentuan hukum agama dan kepercayaan. • Menampung aspek aspirasi emansipasi kaum wanita dan perkembangan sosial dan ekonomi serta teknologi. • Tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia yang kekal. • Prinsip yang menjadi asas UU No. 1 Th. 1974: harus berdasar hukum agama dan kepercayaan serta harus memenuhi administrasi negara dengan pencatatan perkawinan. • Menganut asas monogami dengan pengecualian poligami apabila hukum agamanya membolehkan. • Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi yang sudah matang jiwa dan raganya. • Kedudukan antara suami-isteri adalah seimbang.
IDE UNIFIKASI HUKUM SEBELUM UU NO. 1 TH 1974
PERMASALAHAN UNIFIKASI HUKUM SETELAH UU NO. 1 TH. 1974
Ada pergolon gan rakyat, pluralis m hukum dan memisa hkan antara hukum negara dengan hukum agama
Tdk ada pergolong an rakyat, unifikasi hukum dan mengkaitk an antara hukum negara dg hukum agama
ARTI & KONSEKUENSI UNIFIKASI HUKUM
Politik unifikasi hukum (bagi WNI berlaku satu hukum perkawin an) ditegaska n pada pasal 66 UU No. 1 Th. 1974
KETENTUAN HUKUM YG TIDAK BERLAKU LAGI KUHPdt. HOCI, Perkawinan Campuran dan peraturanperaturan lainnya sejauh sudah diatur dalam UU No. 1 Th. 1974
SIFAT UNIFIKASI HUKUM
Unifikasi hukum yg unik, artinya mengandung pluralisme hukum pd sahnya perkawinan
Pandangan hukum pada pasal 67 UU No. 1 Th. 1974, empiris dan sehubungan dg adanya otonomi khusus NAD
SISTEMATIKA UU NO. I TH. 1974 I. DASAR-DASAR PERKAWINAN Tidak memenuhi syarat
III. Pencegahan Perkawinan IV. Pembatalan perkawinan
II. SYARAT SYARAT PERKAWINAN
V. Perjanjian Perkawinan
VIII. Putusnya Perkawinan & Aibatnya
Memenuhi syarat
Pelaksanaan & akibat perkawinan
VI. Hak & Kewajiban Suami-Isteri
VII. Harta Benda Perkawinan XI. Perwalian
XII. KetentuanKetentuan Lain
X. Hak & Kewajiban Orang tua & Anak
XIII. Ketentuan Peralihan
IX. Kedudukan anak
XIV. Ketentuan Penutup
PENGERTIAN PERKAWINAN (1) MENURUT SISTIM HUKUM YANG BERLAKU SEBELUM UU NO. 1 TAHUN 1974
Pengertian Perkawinan KUHPerdata
Hukum Adat Hukum Islam
• • •
• • • •
Tidak memberi definisi Rujukan pada Pasal 26 KUHPerdata Perkawinan merupakan Hubungan perdata (perjanjian) Perkawinan harus diakui negara Perkawinan bertujuan hidup bersama Perkawinan mengikuti sistim keluarga bilateral
• Perkawinan bersumber Al Qur’an • Perkawinan merupakan suatu aqad (ijab & kabul) • Perkawinan dilakukan oleh wali calon mempelai Wanita • Perkawinan memiliki beberapa aspek: Hukum, Sosial, Agama • Perkawinan membentuk rumah tangga
• Perkawinan merupakan “rite de passage” Tahapan circle of live • Perkawinan merupakan Perikatan perdata, adat, Kekerabatan & Ketetanggaan • Perkawinan banyak ragamnya,sesuai sistim masyarakatnya : Patrilineal, Matrilineal, Parental • Tujuan perkawinan ada yang bentuk brayat dan Tidak bentuk brayat
PENGERTIAN PERKAWINAN (2) Pengertian Perkawinan
•
Ikatan lahir batin
Tujuan Perkawinan
•
Ikatan: suatu perjanjian (persetujuan)
kedatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan perkawinan sah, idealnya tediri atas bapak, ibu dan anak-anak
aspek hubungan keperdataan (formil) harus dilandasi salin cinta (fundamen)
•
Antara seorang pria dengan seorang wanita
•
•
Sebagai suami isteri Seabagai: bentuk penegasan perjanjian di lapangan hukum keluarga Suami-isteri: obyek perjanjian menimbulkan status
Rumah tangga kehidupan dalam satu rumah (kesatuan ekonomi)
seorang: Monogami Pria-wanita: konsep sosial jenis kelamin berbeda (menolak lesbi dan homo)
Bertujuan membentuk keluarga
•
Yang bahagia Kehidupan harmonis atas dasar cinta
•
Kekal tidak untuk sesaat (kontinuitas)
•
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar keimanan (religieus)
SAHNYA PERKAWINAN KUHPerdata
• Calon suami dan calon steri menyatakan saling menerima satu kepada lainnya sebagai suami/ isteri
Hukum Islam
• Perkawinan dilakukan menurut ketentuan hukum fikh
• Perkawinan dilakukan dihadapan Pegawai Catatan Sipil
• Rukun perkawinan harus dipenuhi: Calon Suami-isteri, Wali nikah, dua orang saksi dan ijab - kabul
• Dibuktikan dengan Akta Perkawinan (dicatatkan di Kantor Catatan Sipil)
• Perkawinan tidak mengharuskan adanya pencatatan perkawinan
Hukum Adat
• Perkawinan adalah tahapan circle of live • Perkawinan merupakan upacara rite de passage (krisisrites) • Perkawinan harus ada pengakuan atau penerimaan masyarakat • Perkawinan tidak mengharuskan adanya pencatatan perkawinan
PENAFSIRAN PASAL 2 UU NO. 1 TAHUN 1974 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Alternatif • Kata DAN merupakan kata Penghubung antara dua kata yang setara dan merupakan tipe yang sama (alternatif). • Perkawinan sah dilakukan menurut agamanya • Perkawinan juga sah yang Dilakukan menurut kepercayaannya.
Kumulatif
• Kata DAN merupakan Kumulatif artinya merupakan kesatuan antara agamanya dengan kepercayaannya. • Perkawinan hanya bisa dilakukan menurut hukum agama.
Kumulatif Alternatif • Kata DAN merupakan kumulatif – alternatif. • Pengertian kepercayaannya adalah madzab dalam Agama. • Perkawinan menurut agama dengan tolerans sementara bagi yang belum beragama (pedalaman).
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN ANTAR PEMELUK YANG BERBEDA AGAMA • 1.
Membolehkan
Islam mengijinkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan ahli kitab (tidak mutlak).
•
Tidak membolehkan
a. Islam melarang laki-laki muslim kawin dengan perempuan musrik. b. Islam tidak membolehkan perempuan muslim kawin dengan laki-laki non muslim. 2.
Agama Islam bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, tapi mengutamakan agama. Kawinilah perempuan atas dasar pertimbangan keyakinan agamanya.
Merupakan pandangan yang ekstrim yang melarang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENGENAI PERKAWINAN ANTAR PEMELUK YANG BERBEDA AGAMA YURISPRUDENSI M.A.R.I. No. 382/Pdt/’89/PW/Jak.Pus. Kptsn. M.A.R.I. No. 400/K/Pdt/’89/PW/Jak.Pus.
UU No. 1 Th. 1974 Perbedaan agama Bukan larangan kawin
UU No. 1 Th. 1974 Tidak diatur perkawinan Bagi yang berbeda Agama
•
Pasal 27 UUD 1945 Setiap warganegara Kedudukannya sama d alam hukum dan pemerintahan
Pasal 29 UUD 1945 Setiap warganegara Dijamin kemerdekaannya Untuk memeluk agama
Terdapat kekosongan hukum, maka harus Ditentukan hukumnya
Peristiwa itu dapat digolongkan sebaga Perkawinan GHR
Pasal 7 ayat (2) Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 dinyatakan bahwa “perbedaan agama, bangsa atau asal-usul” itu sama sekali tidak merupakan penghalang untuk melangsungkan perkawinan, jadiketentuan ini membuka seluas-luasnya kemungkinan untuk mengadakan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, sekalipun dalam hal tertentu akan mengesampingkan ketentuan hukum agama. (Bandingkan dengan prinsip yang dikandung dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974).
PERKAWINAN DAN PENCATATAN BAGI ALIRAN KEPERCAYAAN
YANG BERAGAMA 1.
Beragama Islam mengikuti peraturan perkawinan dan pencatatan yang berlaku bagi yang beragama Islam.
2.
Beragama Non Islam mengikuti peraturan perkawinan dan pencatatan bagi agama yang dianutnya.
YANG TIDAK BERAGAMA •
Tidak ada tatacara perkawinan yang berlaku bagi mereka.
•
Perkawinan dan penvatatanya tidak bisa dilaksanakan.
SAHNYA PERKAWINAN Materiil Hanya berdasarkan penafsiran gramatical terhadap bunyi Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 saja tanpa memperhatikan syarat-syarat perkawinan dan ketentuan lainnya.
Formil Berdasar atas penafsiran Sistematis menurut Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 serta syarat-syarat perkawinan, dan juga ketentuan PP 9 Tahun 1975.
Permasalahan yang timbul apabila sahnya perkawinan hanya merujuk secara materiil saja adalah ketentuan pada syarat-syarat perkawinan tidak bisa dilaksanakan, dan akan terjadi penerobosan persyaratan perkawinan, poligami, pencegahan dan pembatalan perkawinan, dan bahkan dapat diartikan UU No. 1 Tahun 1974 menjadi tidak bisa dilaksanakan.
TATACARA PERKAWINAN MENURUT PASAL 10 AYAT (1,2 dan 3) PP 9 TAHUN 1975 SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974
Pasal 10 ayat 1 PP 9 Tahun 1975. •
Perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari sejak pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
•
Kurang dari 10 hari harus ada ijin dari Camat atas nama Bupati (Walikota).
Pasal 10 ayat 2 PP 9 Tahun 1975 •
Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu (sesuai bunyi Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Pasal 10 ayat 3 PP 9 Tahun 1975 • Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi • Muslim dilakukan oleh Pejabat KUA • Non Muslim dilakukan oleh Pejabat Catatan Sipil.
SKEMA BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 1974
• Penafsiran Alternatif • Perkawinan bagi pemeluk agama yang berbeda dan aliran kepercayaan masih bisa dilakukan seperti sebelum diterbitkannya UU No. 1 Th. 1974
1983
• Penafsiran Alternatif • Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda tidak bisa dilakukan (Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk melaksanakan perkawinan
1992
• Penafsiran Kumulatif Perkawinan bagi aliran kepercayaan tidak bisa lagi dilaksanakan (KHC masih termasuk aliran kepercayaan)
2006
Konghucu Sudah diakui sebagai agama
Perjalanan interpretasi istilah “dan” pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 •
Tahun 1974/1975 UU No. 1 Th. 1974/PP No. 9 Th. 1975 Interpretasi altrenatif (masih terpisah antara Agama dan kepercayaan) dan masih belum ada perubahan mengenai kewenangan Catatan Sipil untuk menikahkan, sehingga perkawinan kepercayan dan beda agama masih dapat dilakukan
•
Tahun 1983 Keppres No. 12 Th. 1983 Catatan Sipil Catatan Sipil tidak lagi berwenang untuk menikahkan, dan akta Catatan Sipil berlaku untuk semua WNI, kecuali bagi orang Islam akta perkawinan di KUA, kawin beda agama tidak bisa lagi
•
Tahun 1992 Keputusan Bersama Mendagri dan Menag interpretasi kumulatif, kepercayaan agama, jadi kepercayaan yang bukan agama dinyatakan tidak ada tatacaranya, maka tidak bisa menikahkan
•
Tahun 2006 Pengakuan Khonghucu sebagai agama Agama Khonghucu diakui sebagai agama, dari tahun ini mulai muncul lagi wacana interpretasi alternatif dan wacana pasal 66 UU No.1 Tahun 1974
PRINSIP PERKAWINAN MONOGAMI
POLIGAMI
Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Th. 1974 “seorang suami HANYA BOLEH…… seorang isteri, ……(sebaliknya)
Pasal 3 ayat 2 UU No. 1 Th. 1974 Pengadilan dapat memberi ijin kepada Seorang suami utk beristri lebih dari satu …
Prinsip Bilateral Kedudukan suami dan isteri seimbang, dan cakap bertindak d alam hukum
• Ijin Pengadilan • wajib hukumnya • memenuhi alasan dan syarat
Alasan Poligami • Td dapat jalankan kewajiban suami isteri, cacat badan, td dapat melahirkan
Syarat-syarat Poligami • persetujuan isteri, mampu ekonomi dan berlaku adil
TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN PP.9 TAHUN 1975 TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN
TAHAPAN PEMBERITAHUAN KEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN
TAHAPAN PENGUMUMAN KEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN
PENYERAHAN DAN PEMERIKSAAN SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
UJI PUBLIK
TAHAPAN PELAKSANAAN PERKAWINAN
PERKAWINAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 Syarat-syarat perkawinan
Syarat materiil
Berlaku umum
Persetujuan mempelai
Syarat formil
Berlaku khusus
Pemberitahuan Ke PPP
Penelitian syarat dan kelengkapan lainnya
Larangan kawin
Lesan atau tertulis
10 hari pengumunan
Izib OT yang Belum 21 tahun
Batas umur kawin
Waktu tunggu
LARANGAN KAWIN MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 LARANGAN KAWIN
ANTARA KELUARGA SEDARAH, GARIS KE ATAS, KE BAWAH, MENYAMPING, HUBUNGAN SEMENDA, DAN SAUDARA ISTERI BILA BERISTERI LEBIH DARI SATU
ANTARA YANG BERHUBUNGAN SUSUAN
ANTARA ORANG SAMA KE-3 KALINYA ATAU LEBIH ANTARA YANG MENURUT AGAMA DILARANG KAWIN
LARANGAN KAWIN INI MERUPAKAN PERSYARATAN PERKAWINAN DALAM KATEGORI RELATIF
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
CALON MEMPELAI
WALI NIKAH
KEDUDUKAN WALI
SAKSI-SAKSI
SYARAT WALI
BALIGH BERAKAL SEHAT TIDAK KARENA PAKSAAN TIDAK HARAM DIKAWIN
IJAB KABUL
ISLAM WALI NASAB
MUKALAF MUKALAF MUSLIM
WALI HAKIM WALI MUHAKAM
BERAKAL SEHAT PRIA ADIL
ADIL
DUA ORANG
ARTI PENTING PENGUMUMAN KEHENDAK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN ARTI PENTING PENGUMUMAN
TUJUAN PENGUMUMAN
KEBENARAN OBYEKTIF
SOSIAL KONTROL URUSAN INDIVIDU URUSAN KELUARGA URUSAN MASYARAKAT URUSAN NEGARA
UJI PUBLIK
HILANGKAN KERAGUAN
UNTUK DITINDAKLANJUTI SESUAI KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU
PENCEGAHAN PERKAWINAN
PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT PP. NO.9 TAHUN 1975 PELAKSANAAN PERKAWINAN 10 HARI SETELAH PENGUMUMAN
DILAKUKAN MENURUT KETENTUAN AGAMA DAN KEPERCAYAANNYA DIHADAPAN PEGAWAI PENCATAT SERTA DIHADIRI 2 ORANG SAKSI
PENANDATANGANAN AKTA PERKAWINAN OLEH KEDUA MEMPELAI, PARA SAKSI, DAN PEGAWAI PENCATAT (BAGI ORANG ISLAM JUGA OLEH WALI NIKAH)
PELANGGARAN TERHADAP PASAL 3, PASAL 10 DAN PASAL 40 MENURUT PASAL 45 PP. NO.9 TAHUN 1975 MERUPAKAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN, DENGAN ANCAMAN DENDA SETINGGITINGGINYA SEBESAR Rp 7.500,-
CATATAN SIPIL Burgerlijke Stand Lembaga yang diadakan Pemerintah yang bertugas mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami warga masyarakat, setelah ada laporan yang dimulai sejak lahir sampai meninggal, seperti : kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, kematian, dsb
Riwayat catatan sipil Berasal dari CODE CIVIL Concordansi BW BELANDA Concordansi BW HINDIA BELANDA Pasal II AP UUD 1945 KUHPdt, Buku Titel II Pasal 4 - 16 PERGOLONGAN RAKYAT EROPA Ordonansi Catatan Sipil S. 1849 No. 25
TIONGHOA Ordonansi Catatan Sipil S. 1917 No. 130 Jo. S. 1919 No. 81
INDONESIA ASLI NASRANI Ordonansi Catatan Sipil S. 1933 No. 75 jo. S 1936 No. 607
INSTRUKSI PRESIDIUM KABINET AMPERA NO. 31/U/IN/12/1966 TERBUKA UNTUK SELURUH WNI TIDAK ADA PERGOLONGAN RAKYAT UNTUK CATATAN SIPIL
JENIS-JENIS AKTA CATATAN SIPIL Berdasarkan Ordonansi Catatan Sipil PERGOLONGAN RAKYAT Gol. Eropa
• Kelahiran • Pemberitahuan Perkawinan • izin perkawinan • Perkawinan • Perceraian • Kematian
Gol. Tionghoa
Gol. Ind. Asli
Jawa & Madura
• Kelahiran • izin perkawinan • perkawinan •perceraian
Keppress 12 Tahun 1983 sbg tindak lanjut Instruksi Presidium Kabinet Ampera 1966 Td. mengenal pergolongan rakyat
• Kelahiran • Pemilihan Nama • Kematian
• • • • •
Jawa & Madura, Amboina Beragama Nasrani
• • • • •
Kelahiran Pemilihan nama Perkawinan Perceraian Kematian
Kelahiran Perkawinan Perceraian Pengakuan dan pengesahan anak Kematian
PERATURAN CATATAN SIPIL KHUSUS PERKAWINAN BAGI WNI TIONGHOA DAN WNI ASLI YANG BERAGAMA KATOLIK DAN BUDHA SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974
MENCATAT, MENDAFTARKAN SECARA LENGKAP PERISTIWA PERKAWINAN, JUGA MENSAHKAN PERKAWINAN
PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN S. 1898 NO. 158
H.O.C.I S. 1933 NO. 74
KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA
UU NO. 32 TAHUN 1954 TENTANG NTR LN. 1954 NO. 98
SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974
UU CATATAN SIPIL NASIONAL BELUM ADA OLEH KARENA ITU MASIH MENGGUNAKAN STAATSBLAD DAN DITEGASKAN DENGAN S.E. MENDAGRI MENKEH. NO. J.A. 2/2/2/5 Pemdes 51/1/3 tanggal 29 Januari 1967 tentang pelaksanaan keputusan IPK No. 127/u/Kep/12/1966 dan IPK No. 31/U/IN/12/1966 Isinya: Di dalam kutipan akta perkawinan perkataan “golongan” pada “kepala” ikhtisar kutipan akta Catatan sipil, diganti dengan istilah “Warga Negara Indonesia” dan untuk orang asing Menggunakan “Warga Negara ….” Atau “Tanpa Kewarganegaraan” TIDAK ADA LAGI PERGOLONGAN RAKYAT
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
PERSAMAAN
PERBEDAAN
PROSES MELALUI PENGADILAN
PENCEGAHAN PERKAWINAN SEBAGAI TINDAKAN KONTROL SEBELUM PERKAWINAN PEMBATALAN PERKAWINAN SEBAGAI TINDAKAN KONTROL SETELAH PERKAWINAN
MENJAMIN KEPASTIAN HUKUM
PENCEGAHAN PERKAWINAN TIDAK TERKAIT AKIBAT PERKAWINAN
PENARIKAN KEMBALI DENGAN PUTUSAN PENGADILAN
PEMBATALAN PERKAWINAN TERKAIT PADA AKIBAT PERKAWINAN
SISTEM KONTROL PERKAWINAN
TATACARA PENCEGAHAN PERKAWINAN DENGAN ACARA PERMOHONAN TATACARA PENGAJUAN PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ACARA GUGATAN AKIBAT PENCEGAHAN PERKAWINAN PROSES PERKAWINAN MENJADI TERHENTI AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN, STATUS PERKAWINAN MENJADI TIDAK SAH SEJAK SAAT DIBATALKAN
PENCEGAHAN PERKAWINAN
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENCEGAH PERKAWINAN 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Para keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah Saudara Wali nikah Wali Pengampu dari salah satu calon mempelai Pihak-Pihak yang berkepentingan Suami atau isteri Pejabat yang ditunjuk
TATA CARA PERMOHONAN PENCEGAHAN PERKAWINAN PENGADILAN
DENGAN ACARA PERMOHONAN BUKAN ACARA GUGATAN
PENGADILAN AGAMA
PENGADILAN NEGERI NON MUSLIM
MUSLIM
YANG PERLU DICERMATI PASAL 63 AYAT (2) UU NO. 1 TAHUN 1974 PUTUSAN PENGADILAN AGAMA HARUS DIKUKUHKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI UNTUK MEMILIKI KEKUATAN EKSEKUTORIAL HUBUNGAN DENGAN DIUNDANGKANNYA UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PENGADILAN AGAMA
PEMBATALAN PERKAWINAN
PARA KELUARGA GARIS LURUS KEATAS DARI SUAMI ATAU ISTERI
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENGAJUKAN PEMBATALAN PERKAWINAN
TATACARA PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN
DENGAN ACARA GUGATAN
SUAMI ATAU ISTERI
KE PENGADILAN
PEJABAT YANG BERWENANG SELAMA PERKAWINAN BELUM PUTUS SETIAP ORANG YANG BERKEPENTINGAN
JAKSA (PENUNTUT UMUM)
PENGADILAN NEGERI BAGI NON MUSLIM
PENGADILAN AGAMA BAGI MUSLIM
PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
ISTILAH PERJANJIAN PERKAWINAN
ISI PERJANJIAN KAWIN
KAPAN DIBUAT DIBUAT OLEH CALON SUAMI DAN CALON ISTERI
SEBELUM PERKAWINAN PADA SAAT PERKAWINAN
DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN PRINSIPNYA TIDAK BISA DIUBAH KECUALI ATAS PERSETUJUAN SUAMI-ISTERI & TIDAK MERUGIKAN PIHAK KETIGA
BENTUK PERJANJIAN KAWIN AKTA DIBAWAH TANGAN
1. 2.
SDH 18 TH (SENDIRI) BLM 18 TH (DIWAKILIDIDAMPINGI OT/WALI 3. DISPENSASI UMUR KAWIN PASAL 47 & PASAL 50 (WALI) UU 1/74
AKTA AUTHENTIK
1. 2. 3.
PEMISAHAN SELURUHNYA PERSATUAN BULAT HARTA MENAMPUNG NILAI-NILAI SISTEM PATRILINEAL/ MATRILINEAL
PERJANJIAN KAWIN MENURUT PASAL 119-167 K.U.H. PERDATA PRINSIP HARTA BENDA PERKAWINAN MENURUT K.U.H. PERDATA
PERSATUAN BULAT HARTA PERKAWINAN DENGAN BEHEER ATAS HARTA DIJALANKAN OLEH SUAMI (PASAL 119-124 K.U.H. PERDATA PENYIMPANGAN THD PERSATUAN BULAT HARTA TERJADI DG ADANYA PERSETUJUAN CALON SUAMI-ISTERI DISEBUT
PERJANJIAN KAWIN
MANFAAT DAN TUJUAN PERJANJIAN KAWIN MENGHADAPI TINDAKAN BEHEER SUAMI ATAS HARTA YANG DIBAWA ISTERI
MELINDUNGI HARTA ISTERI/SUAMI ATAS TANGGUNG JAWAB TERHADAP HUTANG-HUTANG SUAMI/SEBALIKNYA
SYARAT-SYARAT PERJANJIAN KAWIN
1.
MENGENAI DIRI SUAMI-ISTERI 2. PEMBUATAN AKTA DAN MULAI BERLAKUNYA 3. ISI PERJANJIAN KAWIN
BENTUK-BENTUK PERJANJIAN KAWIN PERSATUAN UNTUNG RUGI
PERSATUAN HASIL & PENDAPATAN
•
Antara suami-istri tidak ada persatuan bulat.
•
Antara suami-istri tidak ada persatuan.
•
Antara suami-istri ada persatuan terbatas (harta bersama).
•
•
Untung dan rugi menjadi hak dan tangungan suami-istri.
•
Harta yang dibawamasuk menjadi harta pribadi masingmasing suami-istri.
Terdapat kelompok harta, yaitu: harta kekayaan suamiistri persatuan hasil dan pendapatan, harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri.
•
Kerugian menjadi tanggungjawab suami.
•
Istri tidak turutnbertangungjawab.
•
Terdapat lebih dari kelompok harta, yaitu: harta persatuan untung rugi, harta pribadi suami dan harta pribadi istri.
TERJADINYA PERSATUAN UNTUNG DAN RUGI Pasal 144 KUHPerdata 1.
Para pihak secara tegas memperjanjikan dalam perjanjian kawin mereka. 2. Para pihak hanya memperjanjikan dalam perjanjian kawin bahwa antar mereka tak ada persatuan harta.
PITLO: Pengertian untung rugi: 1. 2.
Saldo yang ada pada akhir perkawinan. Keuntungan (wins) berupa semua activa dan kerugian adalah pasiva atas harta persatuan (harta bersama)
Hasil Harta kekayaan mereka: sewa rumah, bunga, deviden, saham, dsb. Serta pendapatan Mereka masing-masing sbg hasil usaha dan kerajinan mereka
Tabungan pendapatan-pendapatan yang tidak terhabiskan, yang Telah dikurangi dengan berbagai pengeluaran
PASAL 157 KUHPERDATA Dimasukkan sebagai keuntungan karena ada tambahan harta kekayaan Suami-istri yang dimiliki sebelum perkawinan
Pendapat Ali Afandi •
• • •
Keuntungan adalah tiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan karena hasil harta kekayaan dan pendapatansuami-istri, hasil harta kekayaan dan pendapatan suami atau istri. Kerugian adalah tiap berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang melebihi pendapatan (saldo negatif). Laba (activa) Saldo perhitungan jumlah kelebihan pada saat persatuan berakhir dibandingkan pada saat perkawinan dilangsungkan. kesimpulan Akibat persatuan untung dan rugi adalah bahwa semua keuntungan yang dperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan, menjadi bagian dan beban suami-istri menurut perbandingan yang sama b esarnya. Dengan demikian dalam persatuan Untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu: bahwa hanya untung dan rugi (bersama) suami-istri
AKIBAT PERKAWINAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI (Pasal 30 – Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974)
HARTA BENDA PERKAWINAN (Pasal 35-Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974)
KEDUDUKAN ANAK (Pasal 43-44 UU No. 1 Tahun 1974)
HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK (Pasal 45-Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974)
AKIBAT PERKAWINAN MERUPAKAN KONSEKUENSI YURIDIS ATAU MERUPAKAN HUBUNGAN PERIKATAN (MENIMBULKAN HAK DAN KEWAJIBAN) YANG DITENTUKAN OLEH UNDANG-UNDANG PENYIMPANGAN DAPAT DILAKUKAN MELALUI PERJANJIAN PERKAWINAN KHUSUS TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI - ISTERI ASPEK MAKRO KEWAJIBAN LUHUR MENEGAKKAN RUMAH TANGGA YANG MENJADI SENDI DASAR DARI SUSUNAN MASYARAKAT (PASAL 30 UU NO. 1 TAHUN 1974)
PRINSIP HAK DAN KEDUDUKAN ISTERI SEIMBANG DENGAN HAK DAN KEDUDUKAN SUAMI (Pasal 312 ayat (1) UU No.1 Th. 1974
ASPEK MIKRO KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DI DALAM KELUARGA
PRINSIP MASING-MASING SUAMI-ISTERI CAKAP MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM (Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974)
PRINSIP SUAMI SEBAGAI KEPALA KELUARGA DAN ISTERI SEBAGAI IBU RUMAH TANGGA (Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Th.1974)
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI (PASAL 30 – 34 UU NO. 1 TH. 1974) KEDUDUKAN SUAMI ISTERI
HUBUNGAN SUAMI ISTERI
SUAMI SBG KEPALA KELUARGA
SUAMI ISTERI WAJIB SALING CINTA MENCINTAI HORMAT MENGHORMATI DAN MEMBERI BANTUAN LAHIR BATIN YANG SATU KEPADA YANG LAINNYA (Pasal 33 UU No. 1 Th. 1974)
SUAMI WAJIB MELINDUNGI ISTERI DAN MEMBERIKAN SEGALA KEPERLUAN HIDUP RUMAH TANGGA (Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974)
ISTERI WAJIB MENGATUR URUSAN RUMAH TANGGA DENGAN SEBAIKBAIKNYA (Pasal 34 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974)
SUAMI ISTERI HARUS MEMPUNYAI KEDIAMAN YANG TETAP (Pasal 32 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974)
ISTERI SBG IBU RUMAH TANGGA
JIKA SUAMI ISTERI MELALAIKAN KEWAJIBAN MASING-MASING DAPAT MENGAJUKAN GUGATAN KE PENGADILAN (Pasal 34 ayat (3) UU No.1 Th. 1974)
CAKUPAN MATERI HARTA BENDA PERKAWINAN
PENAFSIRAN HARTA BENDA PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
PENAFSIRAN BERLAKUNYA MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN
PEMBAHASAN MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN INI MENGHADAPI KESULITAN UU POKOK YANG UNTUK BERLAKUNYA MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN (PASAL 66 DAN 67 UU NO. 1 TAHUN 1974) DISISI LAIN PP NO. 9 TAHUN 1975 TIDAK MENGATUR LEBIH LANJUT MENGENAI HARTA BENDA PERKAWINAN TERDAPAT PENAFSIRAN YANG BERBEDA MENGENAI PERLU TIDAKNYA DIKELUARKANNYA PERATURAN PELAKSANAAN UU NO. 1 TAHUN 1974 SELAIN PP NO. 9 TAHUN 1975
PENAFSIRAN HUKUM HARTA BENDA PERKAWINAN (PASAL 35-37 UU NO. 1 TAHUN 1974) KELOMPOK HARTA BENDA PERKAWINAN
HARTA BERSAMA Ps. 35(1) Indikator Diperoleh selama perkawinan -Bukan bawaan, hadiah, warisan
HARTA PRIBADI SUAMI/ISTERI Ps. 35(2) Harta bawaan Harta hadiah Harta warisan Penafsiran Para pihak Ps. 35(2) UU 1/74
WEWENANG SUAMI ISTERI ATAS HARTA BENDA PERKAWINAN
HARTA PRIBADI SUAMI/ISTERI
HARTA BERSAMA
Beheer, Beschikking Masingmasing
Beheer, Beschikking bersama
Penguasaan dan hak penuh
Persetujuan suami isteri sbg asas
UU No. 1 Th. 1974 Berdasar atas dan berpolakan pada hukum adat (Soebekti dan Purwoto S. Gandasubrata)
TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI ATAS HUTANGHUTANG DG PIHAK KETIGA
HUTANG PRIBADI SUAMI/ISTERI
HUTANG BERSAMA
Beban suami Beban Isteri bersama Masing-masing Atas harta Suami isteri Bersama Menanggung Bila tidak Hutang pribadi Cukup Atas harta Harta pribadi Pribadi Dan apabila Hukum adat Tidak cukup tidak Dari harta membedakan Bersama Hutang pribadi (Hk. Adat) dan hutang bersama
PENAFSIRAN BERLAKUNYA UU NO. 1 TH. 1974 TENTANG HARTA BENDA PERKAWINAN Berlakunya UU No. 1 Th. 1974 khusus mengenai Harta Benda Perkawinan PENAFSIRAN BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 (UU POKOK) ATAS DASAR PASAL 66 UU NO. 1 TH. 1974 Sejauh sudah diatur Berlaku ketentuan baru
ATAS DASAR PASAL 67 UU NO. 1 TH. 1974
Sejauh belum diatur
Belum ada P.P nya
Ada P.P nya Berlaku ketentuan baru
BERLAKU PERATURAN LAMA DITENTUKAN SECARA TEGAS YANG MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN ATAU PERATURAN PEMERINTAH Tenggang waktu tunggu (Ps. 11 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974); Tatacara Perkawinan (Ps. 12 UU No.1 Th 1974); Tatacara Perceraian dan Tatacara Mengajukan Gugatan (Ps. 39 ayat (3) & Ps. 40 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974; Kedudukan Anak (Ps. 43 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974) SELEBIHNYA TIDAK TEGAS MEMERLUKAN PERATURAN PELAKSANAAN ATAU TIDAK WALAU SEBETULNYA MASIH MEMERLUKAN PENJELASAN KESIMPULAN UU NO. 1 TH. 1974 SEBAGAI KENYATAAN ADA DAN SUDAH DIBERLAKUKAN SECARA NASIONAL
PENAFSIRAN BERLAKUNYA HUKUM HARTA BENDA PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TH. 1974 DALAM PRAKTEK PERLU PERATURAN PELAKSANAAN Petunjuk MARI No. MA/Pemb/0807/75 Tanggal 10 Agustus 1975 UU No. 1 th. 74 belum efektif, maka berlaku peraturan lama Gol. Cina berlaku K.U.H. Perdata
Pts. MARI No. 726/Sip/76 Tgl. 15 Feb ’76 UU No. 1 Th. 1974 belum Ada PP yang mengganti KUHPerdata, maka Diberlakukannya peraturan lama
Gol. Indonesia asli Berlaku Hukum Adat
Pts. MARI No. 263/Sip/76 Tgl. 13 Nop. ’78 Penjualan harta bersama Harus dengan Persetujuan isteri atau Hadir waktu jual beli diadakan
BERLAKU SEPENUHNYA Pts. MARI No. 681/K/Sip/’75 Tgl. 18 Agst ’79 UU No. 1 Th. 1974 khususnya dilapangan Harta perkawinan telah berlaku sepenuhnya Pts. MARI No. 2690/K/Pdt/’85 Menyatakan bahwa UU No. 1 Th. 1974 sebagai Hukum nasional mengikuti sistem Hk. Adat Pendapat Soebekti UU No.1 Th. 1974 mendasarkan atas asas Hukum Adat, walau peraturan pelaksanaannya Belum ada Pendapat Tahir Tungadi UU No.1 Th. 1974 dilaksanakan secara terbatas Hanya bagi mereka yang menikah setelah Berlakunya UU No.1 Th. 1974
KEDUDUKAN ANAK Status atau posisi anak dalam keluarga Pasal 42,43 dan 44 UU No.1 Th. 1974 PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK Pasal 55 (1)-(3) UU N. 1 Th. 1974
PENGERTIAN ANAK YANG SAH Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974 KEDUDUKAN ANAK YANG LAHIR DILUAR PERKAWINAN Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974
HAK PENYANGKALAN SUAMI ATAS ANAK YANG DILAHIRKAN OLEH ISTRINYA KARENA ZINA Pasal 44 ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 1 Th. 1974
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT Pasal 66 UU No. 1 Th. 1974 Berlaku peraturan lama
LOGIKA SISTEMNYA ANAK SAH PENYANGKALAN SUAMI ANAK LUAR KAWIN PENGAKUAN ANAK KEPASTIAN HUKUMNYA DENGAN PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK
SKEMA LOGIKA SISTEM KEDUDUKAN ANAK KEDUDUKAN ANAK ANTARA KONSEP BIOLOGIS DAN KONSEP YURIDIS
ANAK ANGKAT Hukum Islam Memandang Hanya Merupakan Solidaritas sosial
ANAK YANG SAH
ANAK LUAR KAWIN Anak yang Tidak sah
Anak kandung
PENYANGKALAN ANAK YANG SAH OLEH SUAMI IBUNYA
PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN OLEH BAPAK BIOLOGISNYA
PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK
ANAK HASIL OVERSPEL TIDAK DAPAT DIAKUI
PENGERTIAN ANAK YANG SAH Pasal 42 UU No. 1 Th. 1974
INDIKATOR
PERKAWINAN YANG SAH Berdasar atas UU No. 1 Th. 1974 jo PP. No. 9 Th. 1975 Sah menurut hukum Tidak sekedar hanya Sah menurut agama
YANG DILAHIRKAN Menunjuk Peristiwa proses Kelahiran seorang Anak secara Alamiah dari Kandungan atau Muncul ke dunia
DALAM Artinya adalah dalam Perkawinan yang Sah diukur sejak Perkawinan Dilangsungkan Sampai Perkawinan putus
SEBAGAI AKIBAT PERKAWINAN YG SAH Anak yg lahir diluar Perkawinan yg sah tp Proses pembuahannya Terjadi pd masa Perkawinan yg sah Atau menjadi dianggap Lahir dalam Perkawinan yg sah
Pasal 255 KUHPerdata Diukur dari anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan putus adalah tidak sah, logika sebaliknya sebelum 300 hari anak tersebut dilahirkan sebelum perkawinan putus adalah anak yang sah Hukum Islam Diukur dari anak yang dilahirkan 6 bulan setelah perkawinan atau dalam tenggang Masa iddah adalah anak yang sah Hukum Adat Tidak diperhatikan jangka pendeknya perkawinan, hanya ditentukan anak yang dilahirkan Dalam tenggang kehamilan adalah anak yang sah
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 SINGLE PARENT HANYA MEMPUNYAI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN IBUNYA DAN KELUARGA IBUNYA SAJA HUBUNGAN HUKUM DENGAN BAPAK BIOLOGISNYA DAPAT TERJADI MELALUI PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974 kedudukan anak luar kawin ini akan diatur lebih lanjut dalam PP, oleh karena itu untuk saat ini diberlakukan peraturan lama antara lain seperti yang diatur dalam KUHPerdata DUA TEORI PENGAKUAN ANAK TEORI PEMBUKTIAN (declaratif)
TEORI MATERIIL (constitutif)
DUA CARA PENGAKUAN ANAK
SECARA SUKARELA
SECARA PAKSAAN MELALUI PENGADILAN
KUHPerdata Pengakuan anak dibolehkan apabila si ibu memberikan persetujuan (Ps. 284) Hasil dari overspel tidak dapat diakui (Ps. 283)
HAK PENYANGKALAN SUAMI ATAS SAHNYA ANAK YANG DILAHIRKAN OLEH ISTERINYA KARENA ZINA Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Dapat dilakukan dengan Membuktikan bahwa isterinya Telah melakukan Zina (overspel) di muka pengadilan
Pengadilan memberikan Keputusan mengenai sah atau Tidaknya anak yang Dilahirkan oleh isteri atas Permintaan si suami
AKIBAT HUKUMNYA SI ANAK HANYA MEMILIKI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN IBUNYA ATAU KELUARGA IBUNYA SAJA, TIDAK MEMILIKI HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN DENGAN SUAMI IBUNYA.
MENURUT HUKUM ISLAM APABILA TIDAK CUKUP BUKTI DAPAT DILAKUKAN DENGAN SUMPAH LI’AN Akibat hukumnya: Anaknya tidak sah (anak haram) Perkawinan menjadi putus selama-lamanya Suami atau isteri tidak mendapatkan hukuman
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TIDAK DIATUR DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974 DIBERLAKUKAN PERATURAN LAMA BERDASARKAN ATAS PASAL 66 UU NO. 1 TH. 1974 HUKUM ADAT KEDUDUKAN ANAK ANGKAT SAMA DENGAN ANAK KANDUNG (Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I No. 578/K/Sip/1974 Tertanggal 7 Januari 1976
HUKUM ISLAM Psl. 171 dan 209 KHI
KONSEP SOLIDARITAS SOSIAL (Pemeliharaan,Pertumbuhan dan Pendidikan)
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TIDAK SAMA DENGAN ANAK KANDUNG
S. 1917-129 jo. S. 1925 – 92 Tentang ADOPSI bagi anak Laki-laki keturunan Cina, Anak adopsi dianggap Dilahirkan dari perkawinan Orang tua angkatnya berarti Sama dengan anak kandung
TD. HASILKAN PERALIHAN HUBUNGAN PERDATA DARI OTK KE OTA.
TIDAK MEWARIS HARTA ORANG TUA ANGKAT
APABILA ANAK ANGKATNYA PEREMPUAN WALINYA TETAP ORANG TUA
PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 HARUS DIBUKTIKAN DENGAN AKTA KELAHIRAN YANG OTENTIK Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974
APABILA AKTA KELAHIRAN YANG OTENTIK TIDAK ADA, MELALUI PENETAPAN PENGADILAN Pasal 55 ayat (2) UU No. 1 Th. 1974
ATAS DASAR PENETAPAN PENGADILAN DITERBITKAN AKTA KELAHIRAN YANG OTENTIK OLEH KANTOR CATATAN SIPIL SETEMPAT Pasal 55 ayat (3) UU No. 1 Th. 1974
PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK MENURUT PASAL 55 UU NO. 1 TAHUN 1974 SEOLAH-OLAH DIRUMUSKAN SECARA LIMITATIF, YAITU HANYA DIBUKTIKAN DENGAN AKTA KELAHIRAN YANG OTENTIK, ARTINYA TIDAK DENGAN ALAT BUKTI LAINNYA SEPERTI AKTA-AKTA LAINNYA ATAU KETERANGAN SAKSI PASAL 261 K.U.H. PERDATA PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK DIBUKTIKAN DENGAN AKTA-AKTA KELAHIRAN MEREKA SEKEDAR DILAKUKAN DALAM REGISTER CATATAN SIPIL, APABILA TIDAK ADA AKTA-AKTA TERSEBUT MAKA JIKA ANAK-ANAK TERUS MENERUS MENIKMATI SUATU KEDUDUKAN SEBAGAI ANAK-ANAK YANG SAH, KEDUDUKAN ATAU KEADAAN SEBAGAI SUATU KENYATAAN TERSEBUT ADALAH BUKTI YANG CUKUP SEBAGAI PEMBUKTIAN ASAL-USUL ANAK.
RUANG LINGKUP
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK PASAL 45-49 UU NO. 1 TAHUN 1974 KEWAJIBAN ORANG TUA Disisi lain sbg hak anak Pasal 45 UU No. 1 Th. 1974 Memelihara & Mendidik anak sebaikBaiknya, sampai Anak-anak kawin atau Sampai mandiri, walau kekuasaan Orang tua dicabut KEKUASAAN ORANG TUA Atas diri dan harta anak
KEWAJIBAN ANAK Disisi lain Sbg. Hak orang tua Pasal 46 UU No. 1 Th 1974 ANAK BELUM DEWASA Menghormati & mentaati Kehendak orang tua yang baik
ANAK SUDAH DEWASA Memelihara orang tua & Keluarga dalam garis lurus Ke atas yang Membutuhkan bantuan
•
Anak belum berumur 18 th atau belum kawin di bawah kekuasaan orang tua dan orang tua mewakili anak di dalam dan di luar Pengadilan (Ps. 47 UU No. 1 Th. 1974).
•
Orang tua menguruskan harta anak-anaknya oleh karena itu mereka dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum dewasa, kecuali bila kepentingan anak itu menghendaki (Ps. 48 UU No. 1 Th. 1974)
•
Salah satu atau kedua-duanya dari orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya, bila ia lalai atau berlaku buruk sekali, dan walau telah dicabut kekuasaan orang tuanya, tetap wajib memberi nafkah dan memelihara anak-anaknya.
KEWAJIBAN ORANG TUA Pasal 45 (1) dan (2) UU No. 1/’74
Kewajiban memelihara dan Mendidik anak sebaik-baiknya
Sampai anak Melangsungkan perkawinan
Sampai anak Dapat berdiri sendiri
Juga kekuasaan orang tua
Walau perkawinan kedua orang tuanya putus dan Putusnya perkawinan tidak Menghentikan kewajiban Orang tua
MEMELIHARA ASPEK LAHIRIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERTUMBUHAN ANAK (ASPEK KEHIDUPAN)
MENDIDIK ASPEK NON LAHIRIAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENTAL DAN KUALITAS ANAK-ANAKNYA
Kekuasaan orang tua sebagai suatu hak Kekuasaan orang tua atas diri Pribadi anak Kekuasaan orang tua atas harta Benda milik anak
KEWAJIBAN ANAK PASAL 46 AYAT (1) DAN AYAT (2) UU NO. 1 TAHUN 1974 INDIKATOR DEWASA UU No. 1 Th. 1974 KUHPerdata, Hukum Islam, Hukum Adat BELUM DEWASA
MENGHORMATI ORANG TUA
ASPEK SIKAP SEBAGAI DASAR DARI PERILAKU
TELAH DEWASA
WAJIB MEMELIHARA MENURUT KEMAMPUANNYA
MENTAATI KEHENDAK ORANG TUA
ASPEK PERILAKU SBG FUNGSI DARI SIKAP
KEPADA ORANG TUA
KPD KELUARGA GARIS LURUS KE ATAS
APABILA MEREKA MEMBUTUHKAN BANTUAN
RUANG LINGKUP PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA Pasal 38-41 UU No.1 Th. 1974 jo. Pasal 14-38 PP. No. 9 Th. 1975 jo. Pasal 113-162 KHI KARENA KEMATIAN SALAH SATU ATAU KEDUA-DUANYA DARI SUAMI ISTERI Pasal 38 UU No. 1 Th. 1974 Jo. Pasal 113 KHI
1. 2. 3. 4.
KARENA PERCERAIAN Pasal 38-41 UU No. 1 Th. 1974 jo. Pasal 14-38 PP. No. 9 Th. 1975 jo. Pasal 113-162 KHI
ATAS KEPUTUSAN PENGADILAN Pasal 38 UU No. 1 Th. 1974 jo. Pasal 113 KHI
AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HUBUNGAN SUAMI ISTERI TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN (Harta bersama) TERHADAP HUBUNGAN ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK-ANAKNYA (Kekuasaan Orang Tua) TERHADAP HUBUNGAN DENGAN PIHAK KETIGA PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA
Harus diperhatikan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP. No. 9 Tahun 1975 sebagai Aturan pelaksanaannya bersifat umum berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia sedangkan KHI merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia Sedangkan KHI merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam
PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN PASAL 38-PASAL 41 UU NO. 1 TAHUN 1974 PENGERTIAN PERCERAIAN
Perceraian atas gugatan oleh Suami atau isteri melalui dan Dengan keputusan Pengadilan Ps. 39 ayat (1) UU No. 1/1974
Dijatuhkan suami
Penetapan Hakim
Karena kematian
ALASAN-ALASAN PERCERAIAN
ACARA PERCERAIAN & BENTUKBENTUK PERCERAIAN Menurut Hukum Islam
Perceraian terjadi karena talak dari suami Atau gugat cerai dari isteri melalui dan Dengan keputusan pengadilan agama Ps. 114 KHI
Talak dari suami
Artian umum
Gugat cerai Dari isteri
Artian khusus
Yg dijatuhkan suami (Ikrar)
ALASAN PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN Pasal 38 – Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung Salah satu pihak melakukan kekeaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hdup rukun lagi sebagai suami stri
Suami melanggar tak’lik talak
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga
ACARA PERCERAIAN DI PENGADILAN Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 115 KHI Pengadilan Negeri Bagi non Muslim
Prosedur gugat Cerai Lesan / tertulis Disertai Surat keterangan Tempat tinggal Dari kelurahan
Pengadilan Agama Bagi Muslim
Persidangan Perceraian Tahapan Sidang Pengadilan Putusan Perceraian
Laporan ke Peg. Penc. Perkawinan (Catatan Sipil) Utk mendapatkan kutipan buku pendaf. perceraian
Eksekusi mengenai harta benda perkawinan
Izin talak dari suami • Talak Radj’I • Talak ba’in Shughraa • Talak ba’in Kubraa • Talak Sunny • Talak bid’i Permohonan tertulis Pemeriksaan Berkas
Persidangan, Putusan & Pengurusan Ke PPP utk dptkan kutipan buku cerai
Dugat Cerai dari Istri ajukan gugat cerai secara tertulis
Tahapan Sidang Pengadilan
• Pts.INKRACHT • Pengurusan ke PPP • Salinan kutipan Buku daft. cerai
BENTUK-BENTUK PERCERAIAN DAN SEBAB LAIN MENURUT HUKUM ISLAM TALAK Ikrar suami sbg salah satu sebab putusnya perkawinan KHULUK Talak tebus,perceraian atas dasar persetuajuan suami-istri dg disertai tebusan harta/uang dari istri SYIQAQ Perselisihan suami-istri yg diselesaikan dua HAKAM pihak suami/istri FASAKH atas permintaan salah satu pihak oleh Hakim karena salah satu pihak ada cela atau tertipu TAK’LIK TALAK Janji talak yg digantungkan pd keadaan tertentu dimasa datang ILA’ Suami bersumpah utk tdk mencampuri istrinya (td. Talak atau cerai) ZHIHAR Suami bersumpah bahwa Istrinyaitu baginya sama dg punggung ibunya, dg sumpah itu berarti Telah menceraikan istrinya LI’AN Laknat atau sumpah, suami menuduh istrinya berzina tanpa bukti cukup MURTAD KEMATIAN
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA KEMATIAN BAGI SUAMI ISTRI YANG HIDUP •
Istri yang hidup dapat menikah lagi setelah lewat masa iddah
•
Suami yang hidup dapat menikah lagi
KEWAJIBAN ORANG TUA KPD ANAK
HARTA BENDA PERKAWINAN • Timbul pewarisan terhadap harta peninggalan si mati • wajib bereskan hutang-hutang si mati atas beban harta peninggalan
•
Orang tua yang tinggal hidupmeneruskan kewaibannya sbg orang tua kepada anak-anaknya yang masih kecil
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI •
•
Suami thd istri (biaya hidup dan lannya ): mut’ah,nafkah, maskan & kiswah selama iddah, mahar yang terutang,nafkah iddah kecuali istri nusyuz, nafkah lampau yang terutang Istri thd suami: td. menerima pinangan pria lain selama masa iddah
HATA BENDA PERKAWINAN • Harta pribadi suami/istri tetap dikuasai masing masing • Harta bersama suami-istri dibagi masing-masing separuh
HUB. ORANG TUA DG ANAK • Hubungan spt tidak terjadi perceraian • KHI: Anak yg belum atau sudah mumayiz • Yang berhak atas hadhanah • Yang wajib atas biaya hadhanah dan nafkah • Kalau ada Perselisihan hal diatas dengan keputusan pengadilan
TERHADAP PIHAK KETIGA • Utang setelah cerai • Utang sebelum cerai
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN ATAS KEPUTUSAN PENGADILAN TERHADAP ANAK •
Tetap sbg. Anak sah dan memiliki hubungan hukum dengan bapak dan ibunya.
HAK-HAK SUAMI & ISTRI YANG BERIKTIKAD BAIK • Ada iktikad (subyektif) baik ada akibat hukum seperti pada perceraian (ada harta besama) • Tidak ada iktikad baik (Perkawinan rangkap) tidak ada harta bersama. • Tidak ada iktikad baik, maka kerugian yang timbul, jadi tanggung jawab yang beriktikad baik
TERHADAP PIHAK KETIGA •
Tidak berlaku surut bagi pihak ketiga dan persetujuan yang dibuat tetap sah
•
Prinsip aktiva dan pasiva dalam pelunasan hutang
•
Hutang pribadi menjadi tanggungjawab pribadi yang berhutang
PERWALIAN & PENUNJUKANNYA Terjadinya saat orang tua meninggal dunia atau dicabut kekuasaan orang tua atas anak yang belum dewasa Pasal 50 - Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 Wali dan perwalian
ASPEK PERWALIAN • atas diri pribadi anak • atas harta benda milik anak Perwalian ini tidak Meliputi sbg wali Nikah (tetap pada Orang tua Kandungnya)
Penunjukan wali
Kewajiban wali
Pencabutan Kekuasaan wali
YANG BERHAK MENUNJUK WALI :
CARA PENUNJUKAN WALI :
YANG DPT DITUNJUK SBG WALI :
• orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua • pengadilan karena pencabutan kekuasaan orang tua atau wali
• Oleh orang tua sblm meninggal • Wasiat tertulis atau lisan • Di hadapan 2 orang saksi
• Di utamakan dari kerabat • Setiap orang (dan badan hukum) Syarat : dewasa, Pikiran sehat, adil, Jujur, kelakuan baik.
HAK & KEWAJIBAN WALI KEWAJIBAN WALI DAN HAK
Kewajiban wali
• Urus pribadi dan harta anak • Hormati & bimbing agama, pendidikan dan ketrampilan • Daftar harta anak dan perubahannya • Tanggung jawab atas kerugian • Karena kesalahan/ kelalaian
Hak wali
• Menikmati hasil atas pengurusan harta anak • Dapat dipergunakan harta anak untuk kepentingannya apabila wali fakir
PENCABUTAN KEKUASAAN WALI
SYARATSYARAT • Lalai • Kelakuan buruk • Pemabuk • Penjudi • Pemboros • Gila • Salah gunakan hak dan wewenang sbg wali
YG MENGAJUKAN
DENGAN KEPUTUSAN PENGADILAN
Permohonan kerabat
Penunjukan Wali Pengganti (Lain)
Diwajibkan Ganti Kerugian Atas dasar Pembukuan Tutup buku Setiap tahun