MATERI HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. CONCURSUS Masalah pokok pelajaran concursus: 
Untuk menentukan berapa lamanya pidana. Jenis apa pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan lebih dari satu tindakan.

Tidak terdapat masalah, sebab dari perbuatan pidana dari masing-masing perbuatan memiliki ancaman pidana yang berbeda-beda.

Arrest HR (15 Januari 1935) Walau seorang hanya melakukan satu perbuatan pidana, harus dilihat keseluruhan perbuatannya.
Ada 3 Teori : 1. Absorbsi yang dipertanggungjawabkan 2. Absorbs diperlunak/diperindah 3. Tussen stelsel (system tengah) KUHP memakai system ini, karena walaupun satu orang melakukan lebih dari satu tindak pidana, hakim tidak boleh menerapkan maksimum
pidana. Max umum : 15tahun Min umum : 1hari Max khusus dan min khusus (Tindak pidana di luar KUHP) Terjadi Samenloop, yaitu apabila orang / seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali dan diantara tindak pidana itu belum ada yang diputus oleh pengadilan dan semua diajukan sekaligus. Ada 3 bentuk/jenis concursus: 1. Concursus Idealis (Eendadersamenlop) Pasal 63 Adalah suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana tetapi dilakukan dengan satu maksud. Contoh : A hendak menembak B yang berada dibalik kaca jendela.ketika A menembak B,maka kaca jendela pecah.perbuatan A selain melukai B juga menyebabkan pecahnya kaca jendela(tindak pidana perusakan). Menurut pasal 63 ayat 1 digunakan sistem absorsi,yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. Selanjutnya,dalam pasal 63 ayat (2) terkandung adagium “lex specialis derogate legi generali” (aturan undang undang khusus meniadakan aturan umum). Contoh : Ada seorang ibu melakukan aborsi atau pengguguran kandungan.maka perbuatan itu masuk dalam pasal 338 pembunuhan, 15 tahun penjara,dan pasal 346 pengguguran kandungan (aborsi), 4 tahun penjara. Namun karena pasal 346 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang menggugurkan kandungan, maka sanksi yang dikenakan terdapat dalam pasal 346(lex specialis) yaitu 4 tahun penjara.
2. Perbuatan yang dilanjutkan (Vergezet Handelling) Pasal 64
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendiri, tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu perbuatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi. Didalam memori penjelasan mengenai pembentukan pasal 64 KUHP mengatakan bahwa syarat-syarat dari perbuatan berlanjut itu adalah bahwa berbagai prilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan keputusan terlarang , dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari kumpulan tindak pidana yang sejenis. Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah: a) Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat; b) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan c) Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Contoh : A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana 15 tahun penjara)kemudian mengedarkan uang palsu itu (pasal 245 ancaman 15 tahun penjara).dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus realis,tetapi sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dikenakan 15 tahun penjara. 3. Concursus Realis (Meerdaadse Samenloop) Pasal 65
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan, yaitu : a. Kejahatan-Kejahatan Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP
b. Kejahatan-Pelanggaran Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 c. Pelanggaran-Pelanggaran Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 1) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.
2) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak.Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
3) Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4) Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
Dilihat dari perbuatan, ketiga bentuk concursus tadi sangat tipis. Secara praktek mudah diterapkan, hakim boleh menerapkan secara dogmatis sulit penerapannya. Menurut Simons ďƒ Walau seseorang hanya melakukan satu perbuatan, tetapi seacar kuantitatif ia telah melakukan lebih dari satu perbuatan
B. DELIK ADUAN Delik aduan (klacht delict) adalah delik yang hanya dapat dituntut, jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan. Delik aduan sifatnya pribadi/privat, yang memiliki syarat yaitu harus ada aduan dari pihak yang dirugikan. Selain itu, yang dimaksud dengan delik aduan/klach delict merupakan pembatasan inisiatif jaksa untuk melakukan penuntutan. Ada atau tidaknya tuntutan terhadap delik ini tergantung persetujuan dari yang dirugikan/korban/orang yang ditentukan oleh undang-undang. Delik ini membicarakan mengenai kepentingan korban. Pada delik aduan, jaksa hanya akan melakukan penuntutan apabila telah ada pengaduan dari orang yang menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pengaturan delik aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjukan siapa-siapa yang berhak mengajukan pengaduan tersebut. Ada 2 Jenis Delik Aduan: 1. Delik Aduan Absolute (Absolute Klacht Delict) Delik Aduan absolute (absolute klacht delict). Merupakan suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya
saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalamjenis delik aduan absolut seperti : Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat dituntut oleh jaksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina. · Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUHP). Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP) Contohnya: A dan B adalah suami istri. B berzinah dengan C dan D. Dan A hanya mengadukan B telah melakukan perbuatan perzinahan. Namun, karena tidak dapat dipisahkan/onsplitbaar maka tidak hanya B saja yang dianggap sebagai pelaku, tetapi setiap orang yang terlibat suatu perbuatan atau kejahatan yang bersangkutan yaitu C dan D secara otomatis (sesuai hasil penyelidikan) harus diadukan pula oleh A. Setidaknya delik perzinahan tidak dapat diajukan hanya terhadap dader/mededader saja, melainkan harus keduanya dan pihak lain yang terlibat.Adapun macam-macam delik yang terdapat dalam KUHP yang termasuk dalam Delik Aduan Absolut, sebagai berikut :? Pasal 284 KUHP, tentang perzinahan.? Pasal 287 KUHP, bersetubuh di luar perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima belas tahun atau belum waktunya untuk kawin.? Pasal 293-294 KUHP, tentang perbuatan cabul. ? Pasal 310-319 KUHP (kecuali pasal 316), tentang penghinaan.? Pasal 320-321 KUHP, penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia.? Pasal 322-323 KUHP, perbuatan membuka rahasia.? Pasal 332 KUHP, melarikan wanita.? Pasal 335 ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebasan individu.? Pasal 485 KUHP, tentang delik pers.2. Delik aduan relative (relatieve klacht delict)Yakni merupakan suatu delik yang awalnya adalah delik biasa, namun karena ada hubungan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara si korban dan si pelaku atau si pembantu kejahatan itu, maka sifatnya berubah menjadi delik aduan atau hanya dapat dituntut jika diadukan oleh pihak korban.Dalam delik ini, yang diadukan hanya orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat beberapa orang lain. Dan agar orang lain itu dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. 2. Delik Aduan Relative (Relatieve Klacht Delict) Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal
tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pompe, delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti : · Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP) · Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP) · Penggelapan (Pasal 376 KUHP) · Penipuan (Pasal 394 KUHP)
Persamaan dan perbedaan Laporan dan Aduan
Persamaan Pidana
Perbedaan :
: Sama-sama ada pemberitahuan suatu perbuatan Tindak
Laporan Pemberitahuan semata-mata sedang terjadi dan sesudah terjadi. Pasal 1 angka 24 KUHAP Delik aduan Syarat untuk dilakukannya penuntutan(Pasal 137 KUHAP)
C. ALASAN GUGURNYA MENUNTUT DAN MENJALANI PIDANA Dalam KUHP Buku I Bab VIII dari pasal 76-85 membahas tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana. Gugurnya hak menuntut pidana terjadi apabila: a. Kraacht van gewijsde/ Ne Bis In dem b. Matinya terdakwa c. Lewat waktu (verjaring)
d. Penyelesaian di luar pengadilan a. Kraacht van gewijsde/ Ne Bis In dem Yang dimaksud dengan kraacht van gewijsde atau nebis in idem adalah orang tidak dapat dituntut untuk kali kedua karena satu perbuatan yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan tersebut telah dijatuhkan keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Jonkers menyebut tiga macam keputusan hakim yang memutuskan tentang perbuatan sendiri, yaitu: 1. Penghukuman (veroordeling) 2. Bebas dari segala dakwaan (vrijspraak) 3. Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah satu di atas, maka disebut nebis in idem. Rasio asas ini ada dua buah, yaitu tiap perkara harus diselesaikan secara definitif dan tujuan tiap-tiap peraturan hukum adalah memberikan
kepastian
hukum
sebesar-besarnya
kepada
individu
dan
masyarakat. Oleh beberapa pengarang hukum pidana, diminta perhatian untuk pasal 76 KUHPidana agar menerima peninjauan kembali sebagai pengecualian tersendiri kepada pasal ini. Tentang kata “perbuatan” dalam pasal 76 KUHPidana disebut tiga pendapat dalam buku karangan Van Hammel, yaitu: 1. “Perbuatan” dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi 2. “Perbuatan” dalam arti perbuatan yang menjadi pokok pendakwaan 3. “Perbuatan” dalam arti perbuatan materiil Sedangkan gugurnya menjalankan pidana terjadi apabila:
Matinya terpidana
Lewat waktu
Alasan-alasan di luar KUHP, yaitu grasi, abolisi, dan amnesti
b. Matinya terdakwa/terpidana
Vos mengemukakan bahwa hal gugurnya hak menuntut dan menjalankan pidana karena matinya terdakwa/terpidana sesuai sekali dengan pengertian “hukuman” yang terdapat dalam hukum pidana positif. Bukankah menurut KUHPidana hukuman itu ditujukan kepada diri pembuat? Pandangan ini sesuai dengan kematian mencegah dimulainya atau memberhentikan berjalannya tuntutan pidana karena tiada lagi objeknya maka hak menuntut hukuman tidak dapat direalisasikan. Pompe berpendapat dalam hal terdakwa meninggal dunia pada waktu sebelum ada keputusan akhir dari hakim, maka hakim akan memutuskan bahwa tuntutan pidana dari Penuntut Umum tidak dapat diterima karena tidak ada lagi alasan untuk mengadakan tuntutan pidana itu. c. Lewat waktu/ kADALUWARSA Harus dibedakan antara lewat waktu hak menuntut dan menjalankan pidana. Sebagai alasan-alasan pembuat KUHPidana menerima lembaga lewat waktu itu dapatlah dikemukakan dari Vos sebagai berikut: 1. Sesudah lewatnya beberapa waktu –apalagi waktu yang telah lewat itu panjang- maka ingatan orang tentang peristiwa tersebut telah berkurang, bahkan tidak jarang hampir hilang sehingga menurut baik teori pembalasan maupun teori prevensi umum dan prevensi khusus tidak ada gunanya lagi untuk menuntut hukuman. 2. Kepada individu harus diberi kepastian hukum dan jaminan atas keamanannya menurut hukum, terutama apabila individu telah dipaksa tinggal lama di luar negeri dan dengan demikian untuk sementara waktu merasa kehilangan atau dikuranginya kemerdekaannya. 3. Untuk berhasilnya tuntutan pidana maka sukarlah mendapatkan bukti sesudah lewatnya waktu yang agak panjang. 4.
Didalam
pembuktiannya,
terutama
dari
saksi,
saksi
sudah
meninggal/pindah alamat. 5. Luka-luka yang timbul dari perbuatan sudah banyk yang sembuh. Lamanya jangka lewat (verjaringstermijn) dihubungkan dengan beratnya
hukuman
yang
diancamkan
terhadap
delik.
Disamping
itu,
perlu
dikemukakan pula bahwa jangka lewat waktunya hukuman adalah lebih lama dari pada jangka lewat waktunya tuntutan pidana.. JONKERS menganggap hal ini lebih logis, karena dalam hal lewat waktu hukuman, acara pidana yang bersangkutan telah selesai sama sekali. Jangka – jangka lewat waktunya tuntutan pidana diatur dalam pasal 78 KUHP ayat (1) menentukan bahwa : Hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi karena lewat waktunya) 1.sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan 2.sesudah lewat enam tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun 3.sesudah lewat dua belas tahun bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara yang lebih dari tiga tahun 4,sudah lewat empat delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam dihukum mati atau penjara seumur hidup Pasal 82 ayat 1 KUHP menentukan bahwa Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang diatasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain dari pada denda, tiada berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara, kalau penuntutan telah dilakukan, dengan izin pejabat (ambtnaar) yang ditunjuk dalam undangundang umum, dalam tempo yang ditetapkannya. Ketentuan KUHP ini memuat lembaga hukum pidana yang terkenal dengan nama afkloop yaitu
penebusan tuntutan pidana karena pelanggaran (overtrading). Grasi, abolisi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
Pasal 14 UUD 1945
menentukan bahwa Presiden member grasi,amnesti,abolisi, dan rehabilitasi. Grasi adalah satu wewenang yang telah tradisionil dalam tangan kepala Negara itu tetapi sifatnya sekarang berbeda dari sifatnya semula. Sebagai alasan – alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain : a. Kepentingan keluarga dari yang terhukum b. Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
c. Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan d. Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya. d. Penyelesaian di luar pengadilan
Hanya untuk jenis pelanggaran
Jika sudah membayar denda maka masalah selesai.
Tinggal memilih denda/kurungan. Penyelesaian diluar Pengadilan : a. Melalu Retroaktif Justice Pelaku, Korban, dan Pihak ke 3. Suatu konsep dalam menyelesaikan suatu masalah menggunakan pendekatan pihak ke 3. Tidak mengadakan pemidanaan, namun memperbaiki kondisi tanpa balas dendam:
Perdamaian
Rekonsiliasi
Ganti Rugi Retroaktif Justice ditujukan kepada:
Kepada pelaku yang masih dibawah umur 18tahun dan diatas 14tahun dilihat dari pelaku
Kejahatan yang ringan yang nilai kerugian relatif kecil dilihat dari perbuatan nilai kerugian dibawah Rp. 2.500,000
b. Melalui Diversi Suatu perbuatan untuk menyelesaikan perkara pidan yang dilakukan oleh anak yaitu dibawah 14tahun, memindahkan dari proses perkara pidana menjadi bukan proses perkara pidana. Tujuan Diversi: 1. Dalam rangka perlindungan anak, supaya hak kemerdekaan anak tidak dapat dirampas.
2. Mendidik anak supaya ikut bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. 3. Mendidik masyarakat untuk berpartisipasi secara apik dan positif dalam rangka ikut menyelesaikan suatu kasus TP. 4. Untuk
mencapai
keadilan,
rekonsiliasi,
sehingga
dapat
menenteramkan hati semua pihak tanpa adanya pembalasan. Diluar KUHP (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945) 1) Amesti Pengampunan terhadap seseorang / kelompok yang dahulu merupakan tindak pidana yang diamesti oleh presiden menjadi bukan tindak pidana
2) Abolisi Meniadakan kesalahan seseorang oleh presiden yang diberikan kepada orang-orang yang pernah berjasa terhadap nusa dan bangsa dinyatakan tidak bersalahm putusan hakim yang telah memberi putusan tetap.
D. RECIDIVE Pengertian Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde�, kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Menurut Satochid Kartonegara residive adalah seseorang yang telah melakukan Tindak Pidana dan dijatuhi pidana oleh pengadilan setelah selesai menjalankan pidana dan kembali ketengah masyarakat dalam jangka waktu tertentu sebelum 5tahun ia mengulani lagi perbuatnnya. Persamaan residive dengan samenloop/concursus adalah seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari 1x dan sama-sama hal memberatkan pidana. Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive Umum Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula. Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum� Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus, artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran)
tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Recidive Kejahatan Dengan dianutnya sistem Recidive khusus, maka recidive menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”. Mengenai recidive kejahatankejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara : 1. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”, 2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam “kelompok sejenis”. RECIDEVE PELANGGARAN Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III KUHP. Ada 14 jenis pelanggaran didalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu pelanggaranpelanggaran terhadap : Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP. Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam masingmasing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya sebagai berikut : 1. Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu, jadi baru dapat dikatakan recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar pasal yang sama. 2. Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu; 3. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemiudaan yang berkekuatan tetap. Berdasarkan syarat ketiga ini maka perhitungan tenggang waktu pengulangannya tidak tidak tergantung pada jenis pidana yang pernah dijatuhkan terdahulu dan apakah pidana tersebut sduah dijalankan atau belum (seluruh atau sebagian).
Tujuan adanya hokum pidana untuk mencegah : 1. General Preventif Melindungi semua kelas masyarakat 2. Special Preventif Melindungi kepada individu/perorangan
Konsep tersebut diambil dari Teori Psycoligische zwang Teori cikal bakal asas legalitas. Diperbolehkan oleh sarjana Jerman J.P. Anselen Von Verbach bahwa setiap individu tidak mempunyai kebebasan. Setiap individu takut melakukan kejahatn karena ada sanksi tegas, yang dijatuhkan oleh aparta penegak hokum yaitu hakim
Isi Buku Van Vallen Hoven, Kepentingan hukum yang dilindungi : 1. 2. 3. 4. 5.
Kepentingan hukum terhadap harta benda Kepentingan hokum terhadap nyawa seseorang Kepentingan hokum terhadap tubuh Kepentingan hokum terhadap kebebasan/kemerdakaan seseorang Kepentingan hokum terhadap kehormatan/nama baik
Teori pemidanaan ada 3 yaitu: 1. Teori absolute pendekatan balas dendam, contoh : dibunuh harus dibunuh 2. Teori Relatif pembinaan/rehabilitasi/disembuhkan 3. Teori campuran/Gabungan disamping untuk efek jera, narapidana juga diperbaiki dan dibina
Menurut UU No 1 tahun 1995 tentang LP 1. Pp No 58 tahun 1999 khusus untuk tahana dan napi 2. PP No 28 tahun 2006 Napi (yang umum) 3. PP No 99 tahun 2015 Napi (Khusus)
Menurut PP no 28 tahun 2006 (NAPI), Pasal 34 (3). Pembinaan NAPI ada 4 tahap : 1. Tahap admisi
Menyangkut identitas NAPI, lengkap dengan surat putusan pengadilan yang berisikan Tindak pidana yang dilakukan dan lamanya pidana yang harus dijalani. 2. Tahap observasi Setiap Napi harus mengikuti setiap program-program yang ditentukan oleh LAPAS, missal program fisik, mengikuti pendidikan, mengikuti bidang bidang ketrampilan sesuai bakat masing-masing. 3. Tahap Asimilasi Bagi Napi yang sudah menjalani 1/3 s.d ½ lamanya pidana boleh dilepas diluar tahanan 4. Tahap Evaluasi Setelah Napi menunjukan sikap yang baik maka dapat dijadikan dasar untuk memperoleh pembebasan bersayarat (pasal 15 ayat 1 KUHP)
PP no 58 tahun 1999 1. 2. 3. 4.
Bertujuan membentuk manusia seutuhnya Menyadari kesalahan Menyesali perbuatan Tidak lagi mengulangi tindak pidana lagi Sehingga apabila Napi selesai menjalani pidama, dikembalikan ke tengah masyarakat dan diharapkan menjadi manusia seutuhnya.
Sistem Residive 1. Gerneral recidive bahwa orang yang melakukan tindak pidana pertama dan kedua tidak perlu sejenis 2. Special Residive perbuatn yang pertama dan kedua harus sejenis 3. Tussen stettse/ system tengah dalam perbuatan yang pertam maupun ke dua tidak perlu sejeni, perbuatan apapun yang merupakan kejahatan
ďƒ¨ KUHP memakai special dan tussen namun dalam prakteknya yang sering dipakai adalah system tussen.