HUKUM PIDANA KHUSUS 1.
Pengertian Tindak Pidana Khusus
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri�. UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi. 1.
Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus. Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus: 1.
Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)
2.
Tindak Pidana Korupsi
3.
Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika
4.
Tindak Pidana Perpajakan
5.
Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
6.
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)
7.
Tindak Pidana Anak
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus Jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi.
1.
Dasar Hukum serta Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Khusus
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No. 7 Drt. 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 1/Perpu/2002 dan UU No. 2/Perpu/2002.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu; untuk orang/golongan tertentu.
Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formal.
Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar hukum UU Pidana Khusus melihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Ps. 103 KUHP ini mengandung pengertian:
1.
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana: 1.
UU Pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
2.
Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar Hukum Pidana Umum.
Apabila diperhatikan suau undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi: 1.
UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana seperti (UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7/1989 yang diubah dengan UU No. 32/2004, UU No. 4/2004, UU No. 23/1999 yang diubah dengan UU No. 3/2004)
2.
UU yang memuat ketentuan pidana, maksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana seperti (UU No. 2/2004, UU No. 8/1999, UU No. 7/1996, UU No. 18/1997 yang diubah dengan UU No. 34/2000, UU No. 23/2004, UU No. 26/2000).
3.
UU Pidana, maksudnya UU yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengaur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana (seperti UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20/2001, UU No. 1/Perpu/2000, UU No. 15/2002 yang diubah dengan UU No. 25/2003).
4.
UU Hukum Pidana adalah UU yang mengatur ketentuan hukum pidana. UU ini terdiri dari UU pidana mateiil dan formal (UU acara pidana). Kedua UU hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No. 8/1981 tentang KUHAP, KUHP Militer).
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum Administrasi (HPE, Hk. Pidana Fiskal, UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian:
1.
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
1.
Kekhususan Tindak Pidana Khusus
Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap Hukum Pidana Umum, baik dibidang hukum pidana materiil maupun dibidang hukum pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. 1.
Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hukum Pidana Materiil
Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dapat berupa menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketentuan khusus. 1.
Hukum Pidana bersifat elastis (ketentuan khusus).
2.
Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman (menyimpang).
3.
Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ketentuan khusus).
4.
Perluasan berlakunya asas territorial (ektrateritorial) (menyimpang/ketentuan khusus).
5.
Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara (ketentuan khusus).
6.
Pegawai Negeri merupakan sub. Hukum tersendiri (ketentuan khusus).
7.
Mempunya sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain menentukan menjadi tindak pidana (ketentuan khusus).
8.
Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi (menyimpang).
9.
Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ketentuan khusus).
10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu (ketentuan khusus). 11. Tindak Pidana bersifat transnasional (ketentuan khusus). 12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi (ketentuan khusus). 13. Tidak dipidananya dapat bersifat politik 14. Dapat pula berlaku asas retroactive 2.
Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal
3.
Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3]
4.
Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain.
5.
Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa Tindak Pidana Korupsi.
6.
Penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara.
7.
Perkara pidana khusus diadili di Pengadilan Khusus (HPE).
8.
Dianutnya peradilan in absentia.
9.
Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank.
10. Dianut pembuktian terbalik. 11. Larangan menyebutkan identitas pelapor. 12. Perlunya pegawai penghubung. BAB II TINDAK PIDANA EKONOMI 1.
Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
2.
Pengertian dan Dasar Hukum
UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU Drt. No 7 Tahun 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundangundangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pidana ekonomi, oleh karena UU Drt. No. 7 Tahun 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana Formal disamping adanya ketentuan Hukum Pidana Formal dalam Hukum Pidana Umum (Hukum Acara Pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan Hukum Pidana Materiil (KUHP). 2.
Kekhususan Tindak Pidana Ekonomi
Tindak Pidana Ekonomi (Hukum Pidana Ekonomi) mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain. Menurut Andi Hamzah[4] kekhususan Hukum Pidana Ekonomi yang dimaksud adalah: 1.
Peraturan Hukum Pidana Ekonomi bersifat elastis, mudah berubah-ubah.
2.
Perluasan subyek hukum pidana (pemidanaan badan hukum).
3.
Peradilan in absentia; peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak dikenal.[5]
4.
Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi.
5.
Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran.
6.
Perluasan berlakunya hukum pidana.
7.
Penyelesaian di luar acara (schikking).
8.
Perkara Tindak Pidana Ekonomi diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang, belum ada Pengadilan Ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Drt. No 7 Tahun 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang Panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Menurut Ps. 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi.
9.
Hakim, Jaksa dan Panitera adalah Hakim, Jaksa dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan Hakim, Jaksa dan Panitera umum.
10. Hakim, Jaksa dan Panitera pada Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. 11. Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi. 1.
Unsur-Unsur dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Ekonomi
Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e.[6] Tindak pidana Pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undangundang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 ini lebih bersifat hokum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU Drt. No. 7 Tahun 1955 disebut dengan tindak pidana ekonomi, oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e UU Drt. No. 7 Tahun 1955, tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok: 1.
Pertama, tindak pidana yang berasal dari luar UU Drt. No. 7 Tahun 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps. 1 sub 1e dan Pasal 1 sub 3e.
2.
Kedua, tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps. 26, Ps. 32 dan Ps. 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.
1.
Tindak Pidana berdasarkan Pasal 26
Tindak pidana Ps. 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pengawal pengusut (selanjutnya disebut penyidik).[7] Pasal 26 merumuskan dengan “sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini”. Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Pasal 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps. 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi, maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps. 26. Tuntutan sebagaimana yang dimaksud Ps. 26 adalah:
Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps. 18 ayat (1)).
Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu untuk diketahui Penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik-baiknya (Ps. 19 ayat (1)).
Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang, jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps. 22 ayat (1)).
1.
Tindak Pidana berdasarkan Ps. 32
“Barang siapa dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps. 7 ayat (1) a, b, atau c, dengan suatu tindakan tata tertib seperti tercantum dalam Ps. 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps. 10 atau dengan suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tata tertib, peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.” Menurut pembuat UU, yang dimuat dalam Penjelasan Ps. 32 ini agar agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada yang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagainya, sebab pengusaha yang membandel, banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan. 1.
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuan Pasal 32 diatas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tata-tertib, atau tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Rumusan secara lengkap sbb: “Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan peraturan orang lain, emnarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.”
Ps. 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika seseorang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
Menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau;
Tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955, karena sering orang menghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dikenakan Pasal 33 hanya terbatas terhadap:
Tagihan-tagihan;
Pelaksanaan suatu tindakan tata tertib;
Pelaksanaan suatu tindakan tat tertib sementara, yang kesemuanya 1), 2), 3) harus berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Menurut penulis, apa yang diamksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps. 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps. 399 KUHP. Ps. 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan Hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya:
Menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barang dari harta bendanya;
Memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang;
Menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang;
Tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu.
1.
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps. 1 sub 3e
Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasarkan undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran sebagai tindak pidana ekonomi. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1955 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi:
UU No. 8 Prp. Tahun 1962 LN No. 42 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan.
UU No. 9 Prp. Tahun 1962 LN No. 43 Tahun 1962 tentang Pengendalian Harga.
UU No. 11 Tahun 1965 LN. No. 54 Tahun 1965 tentang Pergudangan.
1.
Sanksi dalam Tindak Pidana Ekonomi
Sanksi terhadap pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tata tertib. Sistem ini dikenal dengan istilah double track system. Sanksi pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana ini sesuai dengan ketentuan Ps. 10 KUHP. Sedangkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Ps. 8 UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Tindakan tata tertib berupa: 1.
Penempatan perusahaan si terhukum berada dibawah pengampuan;
2.
Kewajiban membayar uang jaminan;
3.
Kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
4.
Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lai, atas biaya si terhukum apabila hakim
Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps. 6 ayat (1), yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternative, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu. Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan, yaitu: 1.
UU Drt. No. 8 Tahun 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap ketentuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat (1) huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2.
UU No. 5/PNPS/1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana dalam buku II Bab I dan II KUHP, dengan hukuman penjara sekurangkurangnya satu tahun[8] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Untuk itu dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu: 1.
Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
2.
Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;
3.
Melanjutkan perjuangan menentang imperealisme ekonomi politik (Irian Barat).
UU No. 21/Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman dendz yang semulanya satu juta berdasarkan UU No. 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah. Jika tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat (1). Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. 1.
Sistem Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
2.
Penyelesaian di Luar Acara (Schikking) dalam Tindak Pidana Ekonomi
Pompe menunjuk patokan Pasal 91 WvS Ned (Pasal 103 KUHP) yaitu jika ketentuan undang-undang (diluar KUHP) banyak menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana (Bab I – Bab VIII Buku I). Wvs Ned (Bab I – Ban VIII Buku I KUHP) maka itu merupakan hukum pidana khusus. Patokan seperti ini sejajar dengan adagium lex specialis derogate legi generali (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum). Hukum pidana ekonomi mempunyai watak tersendiri yang ternyata pada aturanStrafbaarheid nya yang semuanya menyimpang dari hukum pidana biasa. Contoh yang ditempuh oleh Pompe ialah dapatnya dipidana dari badan hukum, perampasan barang-barang bukti (maksudnya termasuk barang-barang kepunyaan pihak ketiga) dan barang tidak berwujud). Penyelesaian diluar acara (schikking) dan disamping itu penyimpangan dari ketentuan acara pidana yang penting.[9] 2.
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum.
1.
Tingkat pertama, Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps. 35, Ps. 36, Ps. 37, Ps. 38, Ps. 39;
2.
Tingkat banding, diatur dalam Ps. 41, Ps. 42, Ps. 43, Ps. 44, Ps. 45, dan Ps. 46;
3.
Tingkat kasasi, diatur dalam Ps. 47, Ps. 48.
Pada tingkat pertama, Ps. 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps. 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonomi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya hakim, panitera dan jaksa adalah tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di Pengadilan Negeri. Ps. 35 ayat (1) memberikan arti Pengadilan Ekonomi ada di Pengadilan Negeri. Pengadilan Ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak Nampak akan tetapi fungsinya ada. Menurut Ps. 36, seorang Hakim atau Jaksa pada Pengadilan Ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini, dikehendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekonomi, ketika itu Hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[10] Oleh karena pada Ps. 36 itu tidak disebut Panitera berarti Panitera tidak dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesaian tindak pidan ekonomi maka dalam Ps. 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat keduudkan Pengadilan Ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hokum Pengadilan Negeri apabila pada Pengadilan Negeri dalam lingkungan Pengadilan Tinggi itu tidak terdapat Hakim atau Jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Pada tingkat banding disebutkan pada Ps. 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan Pengadilan Tinggi Ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps. 35 ayat (1). 1.
Badan-Badan Pegawai Penghubung
Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangatgecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya, sehingga menyebabkan timbul perbedaan pendapat antara Jaksa dan Hakim. Untuk emngatasi masalah yang berhubungan dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung. Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan persetujuan Menteri Kehakiman. Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada Penyidik, Jaksa dan Hakim baik diluar maupun didala pengadilan. Menteri yang bersagkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu, apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenal lalu-lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya member bantuan saja, bantuan ini tidak mengikat
terhadap penyelesaian perkara tindak pidana ekonomi. Badan pegawia penghubung ini bukanlah sebagia saksi ahli sebagaimana dalam Ps. 120 jo. Ps. 180 KUHAP. Tindakan tata tertib sementara diatur dalam Ps. 27 dan Ps. 28 UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Instansi yang berwenang megambil tindakan tata tertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps. 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps. 28 ayat (1) UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengambil tindakan tata tertib sementara. Ketentuan Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No. 26/Prp/1960. Secara akademik, untuk dapat mengambil tindakan tata tertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1). Ketentuan Ps. 27 ayat (1) sama dengan Ps. 28 ayat (1). Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu, terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu: 1) syarat, 2) waktu, 3) tujuan, 4) tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tata tertib sementara. Syarat pengambilan Tindakan Tatatertib Sementara adalah: 1.
Ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
2.
Ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka.
Waktu pengambilan Tindakan Tatatertib Sementara, adalah: 1.
Supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
2.
Supaya tersangka beusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tata tertib sementara yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditenpat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.
Jaksa dapat mengenakan tindakan tata tertib sementara yang tentu tidak dikenal didalam delik umum. Tindakan tata tertib sementara itu berupa:[11] 1.
Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka, dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan;
2.
Penempatan perusahaan tersangka, dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan, dibawah pengampuan;
3.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu, atau pencabutan hak seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si tersangka berhubungan dengan perusahaan itu;
4.
Supaya si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
5.
Supaya si tersangka berusaha supaya barang tersebut dalam perintah yang dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah itu.
Didalam pelaksanaan pengambilan tindakan tatatertib sementara, apabila Hakim telah menerima berkas perkara ekonomi harus diperhatikan “apakah Jaksa sudah atau belum mengambil tindakan tata tertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu, dan tujuan.� Jaksa setelah mengambil tindakan tata tertib sementara berdasarkan Ps. 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps. 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melakukan, maka Hakim berdasarkan ketentuan Ps. 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan:
Memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kajian selama-lamanya 6 (enam) bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa.
Mencabut atau merubah tindakan tatatertib semnetara yang diambil Jaksa atas dasar Hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.
Tindakan tata tertib sementara berdasarkan ketentuan Ps. 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim. Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps. 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim mengambil tindakan tatatertib sementara, Hakim dapat emngeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Pasal. 10 ayat (1). Tindakan tatatertib sementara yang diambil oleh Hakim, dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diuabh atau dicabut: 1.
Oleh Hakim karena jabatannya;
2.
Atas tuntutan Jaksa;
3.
Atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tata tertib sementara kemungkinan dapat menimbulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps. 31 mengatur ketentuan mengganti kerugian jika tindak pidana ekonomi itu berarti dengan:
Tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tata tertib;
Dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tata tertib sehingga tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat.
Uang pengganti kerugian itu dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak mengambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.
BAB III TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA 1.
Pengertian Tindak Pidana Narkotika 1.
Pengertian Narkotika dan Psikotropika
Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya,yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu: 1.
Mempengaruhi kesadaran;
2.
Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;
3.
Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 
Penenang;

Perangsang (bukan rangsangan sex);

Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). [12]
Yang dimaksud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 2.
Jenis-Jenis Narkotika
Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 6: (1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: 1.
Narkotika Golongan I;
2.
Narkotika Golongan II; dan
3.
Narkotika Golongan III.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi: 1.
Psikotropika golongan I;
2.
Psikotropika golongan II;
3.
Psikotropika golongan III;
4.
Psikotropika golongan IV.
1.
Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Narkotika 1.
Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapar diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hokum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. [13] 2.
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika
Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan: 1.
Pelaku utama;
2.
Pelaku peserta;
3.
Pelaku pembantu. [14]
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:
1.
Penyalahgunaan/melebihi dosis; hal ini disebabkan oleh banyak hal.
2.
Pengedaran narkotika, karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional.
3.
Jual beli narkotika.
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan. 3.
Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika
Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (punishment) adalah merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai jenis-jenis pidana atau hukuman. 1.
2.
Pidana Pokok:
Pidana mati
Pidana penjara
Kurungan
Denda
Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Perampasan barang-barang tertentu
Pengumuman putusan hakim
Ketentuan Pidana mengenai tindak pidana narkotika, diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut: Pasal 74 (1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. (2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding,tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 130 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: 1.
pencabutan izin usaha; dan/atau
2.
pencabutan status badan hukum.
Pasal 131 Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 132 (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). (3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Sedangkan ketentuan pidana mengenai tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai berikut: Pasal 59 (1) Barang siapa : 1.
menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
2.
memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
3.
mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
4.
mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau
5.
secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pasal 69 Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropikasebagaimana diatur dalam UndangUndang ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan. Pasal 70 Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
BAB IV TINDAK PIDANA KORUPSI 1.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.[15] Pengertian korupsi menurut pendapat para ahli: (1) Andi Hamzah: “Korupsi berasal dari kata corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral”;[16] (2) Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan”.[17] Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyalahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada Sembilan tipe korupsi yaitu: 1.
Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.
2.
Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
4.
Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.
5.
Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.
6.
Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
7.
Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
8.
Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal diatas dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada undang-undang pemberantasan korupsi.[18] Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu: 1.
Pasal 2 ayat (1): “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana …”
2.
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana ….”.
3.
Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasalpasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP.
4.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1 butir 3, dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah korporasi dan pegawai negeri. 1.
Subyek Hukum dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
2.
Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: 1.
Korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.
Pegawai Negeri:
Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat perundang-undangan diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas jabatan negeri atau tugas lainnya serta digaji menurut undang-undang yang berlaku.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai negeri adalah:
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orangorang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.
Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan administrasi, ketua/anggota peradilan agama.
Anggota angkatan perang.
Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
1.
c. Setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang per orang atau individu-individu. Menurut Moelyatno, pengertian diatas mengandung arti bahwa “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun dia melakukan delik tidak selalu dipidana.[19] 1.
Sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem pembuktian terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “Omkering van het Bewijslast” atau “Reversal Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban
pembuktian itu diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian” yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”. Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi, dengan demikian berlaku asas praduga tak bersalah”.[20] Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga diberlakukan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dari implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya) adalah: 1.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap “perampasan” dari delikdelik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas Lex Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut) karena potensiel terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap asas legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
4.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”. KUHPidana yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, khususya terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader” yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “presumption of innocence”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian adalah potensiel terjadinya pelanggaran HAM.[21]
Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi semua pihak berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan diterapkan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja, yaitu penyuapan dan perampasan harta benda terdakwa. Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa.[22] Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa dan apabila terdakwa gagal membuktikan harta benda yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, hal ini dapat memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Disebut pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, baik terdakwa berhasil maupun gagal membuktikan tindak pidana korupsi maupun dalam hal pemilikan harta benda.[23] Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan, karena dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Pembuktian terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban Jaksa Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan haknya dan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan hal yang menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan”. Terhadap pembuktian terdakwa penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya seperti yang termuat dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut: “Dalam hal
terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”. UU No. 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik murni dan pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diterapkan dalam tindak pidana gratifikasi dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang bukan didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik diberlakukan terhadap harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi, dan terdakwa wajib membuktikan sebaliknya. Apabila terdakwa berhasil membuktikan harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidak dapat dilakukan perampasan, tetapi tidak demkian apabila sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B ayat (1) sampai ayat (6) UU No. 20 Tahun 2001.
1.
Masalah Pengembalian Asset Negara Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 (UNCAC 2003)
Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui Pemerintah dan DPR RI, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk salah satu prioritas program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU Pengadilan TIPIKOR; RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan “bench-mark” yang amat menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia untuk masa yang akan datang. RUU PA merupakan RUU terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi politik dari ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah, relevankah saat ini diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset (RUU PA), dan bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya suatu pengaturan secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan ketentuan di luar KUHP atau KUHAP seperti Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian Uang. Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan korupsi terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke Negara lain, tampak bahwa RUU tersebut sangat penting dan mendesak. Mengapa? pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh) tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya, laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah, sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara sampai saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA dan BPK. Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan operasional penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan sehingga gerak langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara terbuka mungkin akan besar pasak daripada tiang. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi internasional yang dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “STAR Initiative” dengan mengacu kepada Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah pengembalian asset hasil kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya mengatasi kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan. Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-
kegiatan dalam rangka pengembalian asset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan benda-benda sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana. Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat mengatur pengelolaan asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk kepentingan pelaksanaan operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara. Bahkan merujuk kepada KAK PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006, kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk korupsi, bersifat independent, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan di atas; apalagi kepercayaan akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan masyarakat luas. Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian asset hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup dan objek pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan di Negara lain. Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina) , Sani Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta (Requested State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain, Negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana asetnya dituntut untuk dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan bahwa proses peradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik kembali ke Negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan-persyaratan lainnya yang dituntut oleh Negara yang Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta kekayaan mantan presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus ditempatkan di suatu “escrow account” Bank di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independent. Untuk kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa, penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-hutang luar negeri Negara yang bersangkutan. Proses pengembalian asset dengan berbagai persyaratan-persyaratan tersebut di atas merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum internasional khususnya dalam pemberantasan korupsi, dan sekaligus merupakan preseden di masa yad bagi setiap Negara yang memiliki kebijakan hukum dengan tujuan
pengembalian asset hasil kejahatan /korupsi; kebijakan hukum dimaksud tidak dapat kita ingkari kenyataan di mana kejahatan telah bersifat transnasional dan asset hasil kejahatan selalu saja lebih cepat berhasil ditempatkan di Negara lain jika dibandingkan dengan keberhasilan suatu Negara/aparat penegak hukum mengembalikan asset dimaksud dengan cepat dan mudah ke Negara-nya. Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara-negara tersebut, dan hukum kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan menyelamatkan asset-aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.[24] BAB V TINDAK PIDANA PERPAJAKAN 1.
Pengertian Tindak Pidana Perpajakan
Pajak dalam istilah asing disebut: tax (Inggris); import contribution, taxe, droit (Perancis); Steuer, Abgabe, Gebuhr (Jerman); impuesto contribution, tributo, gravamen, tasa (Spannyol) dan belasting (Belanda). Dalam literature Amerika selain istilah tax dikenal pula istilah tarif. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak adalah bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasan publik dari penduduk atau dari barang utk menutup belanja pemerintah. Pajak juga berarti bantuan uang secara insidental atau secara periodik yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan tanpa adanya kontraprestasi, di mana terjadi suatu taabestand dan sasaran pajak telah menimbulkan utang pajak karena UU. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak� yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah : 1.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi/tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
1.
Karakteristik Tindak Pidana Perpajakan
Tindak pidana dibidang perpajakan adalah sebagaimana disebut dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pasal 38 UU KUP merupakan ketentuan pidana yang dilakukan karena kealpaan Wajib Pajak karena tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan yang dimaksud berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya. Selain karena kealpaan, tindak pidana perpajakan juga dapat terjadi karena kesengajaan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 UU KUP. Secara ringkas tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara itu meliputi:[25] 1.
Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan NPWP;
2.
Tidak menyampaikan SPT;
3.
Menyampaikan SPT dan keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
4.
Menolak dilakukan pemeriksaan;
5.
Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu;
6.
Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan;
7.
Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
1.
Pemeriksaan Pajak dalam Self Assesment
Pemeriksaan pajak boleh dikatakan merupakan langkah awal Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan. Menurut International Tax Glossary, pemeriksaan pajak atau tax audit disefinisikan: “Tax audit is an investigation carried out by tax authorities, of taxpayers’ books and accounts and/or the general accuracy of returns and declarations either as a routine operation, or where evasion is suspected”. “Pemeriksaan pajak adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak yang berwenang terhadap bukubuku dan dokumen rekening bank Wajib Pajak, baik dalam rangka pemeriksaan ruti maupun pemeriksaan khusus adanya dugaan penggelapan pajak.” Sedangkan menurut ketentuan perpajakan Indonesia, pengertian pemeriksaan pajak diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (dikenal sebagai UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dasar hukum pelaksanaan pemeriksaan pajak diatur dalam Pasal 29 UU KUP dan aturan pelaksanaannya dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 yang menyatakan: 1.
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalm rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memliki kartu tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
3.
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
4.
Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau obyek yang terutang pajak.
5.
Memberikan kesempatan untu memasuki tempat atau ruang yang dipandang dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
6.
Memberikan keterangan yang diperlukan.
7.
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.[26]
Tujuan pemeriksaan pajak meliputi 2 kategori, yaitu:[27] 1.
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan agar diperoleh kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak, antara lain dalam hal:
2.
SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
3.
SPT Tahunan PPh menunjukkan rugi.
4.
SPT yang disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan.
5.
SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
6.
Ada indikasi kewajiban perpajakan tidak dipatuhi oleh Wajib Pajak.
7.
Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, misalnya:
8.
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan atau penghapusan NPWP.
9.
Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
10. Wajib Pajak mengajukan keberatan. 11. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil. 12. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN. Dalam melaksanakan pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak berwenang untuk:[28] 1.
Memeriksa dan atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termausk keluaran atau media computer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya.
2.
Meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa.
3.
Memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yan dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
4.
Melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan.
5.
Meminta keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
Sedangkan kewajiban pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut: 1.
Memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
2.
Memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) kepada Wajib Pajak.
3.
Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa.
4.
Membuat Laporan Pemeriksaan Pajak.
5.
Memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara SPT dengan hasil pemeriksaan.
6.
Memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan.
7.
Mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya kepada Wajib Pajak paling lama 7 hari (untuk pemeriksaan kantor) dan 14 hari (untuk pemeriksaan lapangan) sejak selesainya pemeriksaan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan diatur pula kewajiban dan hak-hak Wajib Pajak. Hak-hak Wajib Pajak dalam pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1.
Meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak dan Tanda Pengenal Pemerintah.
2.
Meminta kepada pemeriksa untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
3.
Meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan.
4.
Meminta kepada pemeriksa mengenai rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT.
5.
Memberikan tanda bukti peminjaman buku/dokumen/catatan secara rinci.
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak dalam hal dilaksanakan pemeriksaan adalah sebagai berikut:[29] 1.
Dalam hal Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk dating menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
2.
Memenuhi permintaan peminjaman buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan.
3.
Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu.
4.
Memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis maupun lisan.
5.
Menandatangani surat persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.
6.
Menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui.
7.
Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila menolak membantu kelancaran pemeriksaan.
8.
Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu.
1.
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
Produk hukum yang dihasilkan dari dilakukannya pemeriksaan pajak adalah diterbitkannya ketetapan pajak yang dapat berupa surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP), kecuali apabila pemeriksaan tersebut dilanjutkan dengan tindakan penyidikan pajak. Pasal 1 angka 14 UU KUP. Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Pasal 1 angka 19 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, dan SKPKBT merupakan dasar untuk melakukan penagihan pajak.[30] 1.
Penyidikan Pajak
Apabila Wajib Pajak atau seseorang terdapat indikasi atau petunjuk bahwa ia patut diduga melakukan atau membantu perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan, maka akan dilaksanakan penyidikan pajak, yang merupakan tindka lanjut dari hasil pemeriksaan bukti permulaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KUP, Pejabat Penyidik Pajak mempunyai wewenang untuk:
1.
Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan;
2.
Meneliti, mencari dan mengumpulkan keteranagn mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan dengan tindak pidana dibidang perpajakan;
3.
Meminta keterangan dan bukti dari orang pribadi atau badan hukum;
4.
Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dokumen lain berkaitan dengan tindak pidana perpajakan;
5.
Melakukan penggeledahan dan penyitaan bahan bukti;
6.
Memanggil saksi dan meminta bantuan tenaga ahli.
Penyidikan pajak dilaksanakan apabila terdapat dugaan dan indikasi Wajip Pajak atau setiap orang lainnya melakukan perbuatan yang melanggar larangan atau tidak melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yang dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara dan diancam dengan hukuman pidana. Yang menjadi subyek hukum tindak pidana pajak adalah orang, badan atau siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum pidana pajak dan terhadapnya dapat dijatuhi hukuman pidana. Terdapat 3 (tiga) golongan subyek hukum tindak pidana pajak, yaitu: 1.
Wajib Pajak/Penanggung Pajak
Meliputi orang pribadi sebagai individu, dalam Wajib Pajak Orang Pribadi baik berkaitan dengan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Petambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam hal Wajib Pajak Badan adalah seseorang sebagai pengurus, direksi, komisaris atau pemegang saham mayoritas. 2.
Pejabat Pajak
Pejabat pajak yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan semua data dan informasi yang diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak kepada pihak lain yang tidak berhak, dapat dikenai hukuman pidana kurungan maksimum satu tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 4.000.000,- (emapat juta rupiah) 3.
Pihak Ketiga
4.
Pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik, wajib memberikan data, keterangan dan bukti yang diminta secara tertulis oleh Direktur Jenderal Pajak, pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
5.
Penyertaan tindak pidana pajak, dalam Pasal 43 ayat (1) UUKUP diatur ketentuan tentang Penyertaan Tindak Pidana Pajak yang bunyinya: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana dibidang perpajakan.�
Ketentuan tersebut diadopsi dari ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, untuk melengkapi ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 UUKUP, sebagai antisipasi terhadap tindak pidana pajak yang dilakukan oleh beberapa orang baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama. 1.
Penagihan Pajak
Berdasarkan Pasal 20 UUKUP, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
dan Suat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, ditagih dengan Surat Paksa. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa itu sendiri secara khusus diatur dalam UU No. 19Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000. Langkah-Langkah dalam melakukan tindakan penagihan pajak adalah:[31] 1.
Surat Teguran
Surat Teguran diterbitkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 2.
Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran atau terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus. 3.
Pengumuman di Media Massa hukum
Karena Surat Paksa berkedudukan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial, pengumuman di media massa bertujuan untuk memberitahukan kepada publik adanya hak mendahulu negara atas asset penanggung pajak untuk pelunasan utang pajak serta untuk melindungi public dari kerugian yang lebih besar karena melakukan transaksi atau perikatan dengan penanggung pajak setelah terbitnya Surat Paksa. 4.
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP)
SPMP diterbitkan apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan. 5.
Pengumuman Lelang
Pengumuman lelang dilaksanakan apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak yang masih harus dibayar. 6.
Lelang
Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, maka Pejabat segera melaksanakan lelang. 7.
Pencegahan
Sesuai UU PPSP, terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang paja dapat dilakukan pencegahan. 8.
Penyanderaan
Menurut Pasal 1 angka 21 UU PPSP, penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak dan mempunyai jumlah utang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) serta diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedanng mengikuti Pemilihan Umum. Penanggung Pajak yang disandera lepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:[32] 1.
Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
2.
Apbila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Penyanderaan telah dipenuhi;
3.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
4.
Berdasarkan pertimbangan tertentubdari Menteri Keuangan atau Gubernur.
1.
Jenis Sengketa Pajak 1.
Sengketa koreksi Fiskal
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, fiskus melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan, diantaranya dengan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap kegiatan Wajib Pajakdalam kurun waktu tertentu, misalnya 1 tahun, dilakukan terhadap berkas, dokumen yang terkait dengan transaksi kegiatan yang terrangkum dalam pembukuan dan laporan keuangan. Dalam pelaksanaannya pemeriksaan antara lain menghasilkan koreksi fiscal terhadap pos-pos sebagai berikut:[33] 1.
Peredaran usaha
Peredaran usaha yang dilaporkan menurut SPT Tahunan PPh Badan lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan SPT PPN.
Harga jual produk kepada perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan jual kepada pihak ketiga.
1.
Harga Pokok Penjualan
Pembelian yang berasal dari grup atau perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih rendah dari harga umum pembelian dari pihak ketiga.
Jumlah pembelian menurut PPh Badan berbeda dengan jumlah pembelian menurut PPN.
Penyusutan aktiva yang digunakan untuk produksi tidak sesuai dengan ketentuan UU Pajak Penghasilan mengenai tariff, pengelompokan aktiva, aktiva yang masih disusutkan terus oleh Wajib Pajak walaupun umur ekonomis/masa manfaatnya telah habis.
1.
Penghasilan Lain dari Luar Usaha
Masih ditemukan penghasilan lain dari luar usaha yang tidak dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT PPh.
Penghasilan bunga yang telah dikenakan PPh Final dimasukkan Wajib Pajak sebagai penghasilan dari luar usaha.
1.
Pengurangan Penghasilan Bruto
Biaya Penyusutan Aktiva atas kendaraan untuk keperluan pribadi komisaris atau direksi.
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai ketentuan Pasal 9 UU Pajak Penghasilan misalnya: sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, biaya entertainmentyang tidak dilampiri daftar nominative di SPT, dan biaya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Wajib Pajak tidak konsisten menerapkan kurs yang digunakan.
Biaya royalty, jasa teknik dan jasa manajemen kepada perusahaan afiliasi lebih besar dari jumlah yang wajar dibayarkan kepada pihak ketiga.
Pembayaran bunga kepada pemegang saham lebih besar dari suku bunga yang berlaku di pasaran umum.
Adanya pembayaran biaya-biaya kepada pemegang saham yang tidak wajar, sebagai dividen terselubung.
Wajib Pajak membebankan seluruh bunga pinjaman dari bank, tetapi ditemukan bukti bahwa Wajib Pajak menerima penghasilan bunga atas deposito atau tabungan lainnya.
1.
Pemotongan dan pemungutan pajak
Pembayaran upah, bonus tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 21) oleh Wajib Pajak selaku pemberi kerja.
Pembayaran sewa tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 23), PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2).
Pembayaran bunga kepada pemegang saham tidak atau kurang dipotong PPh Pasal 23/26.
Pembayaran jasa teknik, jasa manajemen, konsultan dan jasa lainnya yang tidak dipotong oleh Wajib Pajak selaku pengguna jasa.
1.
PPN
Jumlah peredaran usaha dan pembelian BKP/JKP yang dilaporkan SPT PPN tidak sama dengan PPh Badan.
Konfirmasi paja masukan dijawab tidak ada.
Pengkreditan pajak masukan dilakukan beberapa kali masa pajak.
Penetapan dasar pengenaan pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya, terutama penyerahan kepada perusahaan afiliasi.
Faktur pajak fiktif.
1.
Utang piutang Pemegang Saham dari Afiliasi
Perluasan sebab musabab terjadinya utang piutang
Tidak ada beban kerja
Pengecilan modal
Pengeluaran persero dilakukan oleh perusahaan
Pengeluaran usaha ditalangi pemegang saham
2.
Sengketa Keberatan Pajak
Dalam proses pemeriksaan terdapat tahap pembahasan akhir (closing conference) untuk membahas dan menyamakan persepsi mengenai pos-pos yang diperiksa dan dtemukan koreksi fiscal. Adakalanya masih terdapat perbedaan pengakuan antara Wajib Pajak dan fiskus, namun secara procedural tidak menunda keluarnya ketetapan pajak. Bila demikian halnya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atau pos-pos yang tidak sependapat ke Kantor Pelayanan Pajak tempatnya terdaftar. Beberapa masalah yang sering dijumpai dalam pengajuan surat keberatan, antara lain:[34] 1.
Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk beberapa SKPKB dan untuk beberapa tahun pajak.
2.
Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk SKPKB dan STP.
3.
Wajib Pajak tidak menyebutkan dalam surat keberatannya mengenai jumlah pajak terutang, atau pajak yang dipotong, dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungannya.
4.
Tanda penerimaan Surat Keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak atau dari kantor Pos tercatat telah melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal SKPKB, dan tidak ada alasan yang sah dari Wajib Pajak.
5.
Wajib Pajak tidka melengkapi pengajuan keberatannya dengan alasan dan bukti pendukung yang memadai.
6.
Wajib Pajak melengkapi dokumen pendukung keberatan sangat berdekatan dengan saat jatuh tempo penerbitan keputusan keberatan.
3.
Sengketa Mengenai Gugatan
Terhitung sejak 1 Januari 2001, hak Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan terhadap Direktur Jenderal Pajak dipertegas dan diperluas, tidak terbatas pada pelaksanaan penagihan aktif dengan Surat Paksa, tetapi juga terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUP, yaitu:[35] 1.
Gugatan terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang.
2.
Gugatan terhadap Pembetulan Surat Tagihan Pajak – Pasal 16 KUP.
3.
Gugatan terhadap Keputusan Peninjauan Kembali STP – Pasal 36 KUP.
4.
Gugatan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya, selain keberatan dan banding.
Semua gugatan Wajib Pajak tersebut diatas hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak, yang saat ini berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak (PP).
1.
Penyelesaian Sengketa Pajak 1.
Tahap Pemeriksaan
Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan yang menghasilkan adanya koreksi fiscal terhadap beberapa pos, maka terhadap koreksi fiscal tersebut harus diberitahukan secara tertulis dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak. Selanjutnya dengan imbangannya Wajib Pajak menyampaikan tanggapan tanggapan hasil pemeriksaan tersebut secara tertulis dalam waktu 7 hari dari diterimanya SPHP. Apabila Wajib Pajak tidak setuju atas sebagian atau seluruh hasil koreksi fiscal, Wajib Pajak harus menandatangani dan menyampaikan Surat Tanggapan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksa Pajak (UP3) dengan disertai penjelasan data pendukung yang akurat dan lengkap. Tanggapan atas SPHP tersebut dibahas oleh Tim Pemeriksa dan Wajib Pajak dalam forum Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference). Untuk meminimalkan perbedaan yang masih ada dan cukup material, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala UP3 agar perbedaan tersebut dilanjutkan pembahasannya oleh Tim Pembahas.[36] 2.
Sengketa Keberatan Pajak
Wajib Pajak yang tidak menyetujui ketetapan pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan (SKPKB dan atau SKP lainnya yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak, KPP) dapat mengajukan surat keberatan kepada Kepala KPP. Pelaksanaan proses keberatan tersebut selanjutnya sesuai dengan arstasinya dapat dilakukan oleh KPP atau Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak. Agar keputusan keberatan dapat dipertimbangkan secara obyektif dan seadil-adilnya, Wajib Pajak harus memenuhi syarat formal dan material keberatan, dengan menguraikan alasan yang benar dan didukung dokumen pembuktian yang lengkap. Dilain pihak KPP dan Kanwil DJP harus mengumpulkan data dan keterangan yang lengkap dari UP3 yang bersangkutan untuk membuat dan melengkapi uraian pemndangan keberatan terhadap masalah dan alasan yang diajukan oleh Wajib Pajak. KPP atau Kanwil DJP harus memberi waktu yang cukup bagi Wajib Pajak untuk melengkapi dan menyampaikan dokumen pendukung yang memperkuat keberatannya, sebaliknya Wajib Pajak harus memperhitungkan dan memahami bahwa kegiatan penagihan pajak secara aktif, termasuk penerbitan Surat Paksa, tidaklah menjadi tertunda oleh karena pengajuan keberatan.
Keputusan keberatan yang baik dan ideal bukanlah keputusan yang memenangkan Wajib Pajak atau memuaskan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi keputusan yang adil dan obyektif berdasar alat bukti yang sah sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.[37] 3.
Sengketa Gugatan Pajak
Sampai saat ini pengajuan gugatan pajak ke Pengadilan Pajak (PP) masih sangat sedikit, dan terbatas terhadap pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Lelang, sedangkan gugatan terhadap STP Pasal 16 KUP, STP Pasal 36 KUP, maupun gugatan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya belum dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas surat gugatan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat menyampaikan surat tanggapan yang berisi jawaban terhadap gugatan tersebut. Berbeda dengan materi surat keberatan maupun banding, pokok sengketa gugatan pajak lebih menitikberatkan pada aspek formal yuridis, prosedur pelaksanaan penagihan pajak, kewenangan penerbitan surat keputusan dibidang perpajakan, ada tidaknya hak Wajib Pajak yang dilanggar, dan apakah pelanggaran tersebut atau tidak dipenuhinya hak Wajib Pajak tersebut menyebabkan tidak sah dan batalnya pelaksanaan penagihan pajak atau pelaksanaan keputusan Direktur Jenderal Pajak yang bersangkutan. Agar Wajib Pajak memperoleh hasil optimal alam gugatannya, harus diuraikan secara detail dan cermat kronologis dan prosedur apa yang tidak dipenuhi oleh aparat Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak atau dalam penerbitan keputusan yang menjadi obyek gugatan. Dilain pihak Direktorat Jenderal Pajak harus dapat membuktikan dan meyakinkan hakim Pengadilan Pajak bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar dan tidak ada aturan hukum yang membatalkan pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan Direktur Jenderal Pajakyang bersangkutan. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga mengikat kedua belah pihak baik Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak secara bersama-sama sesuai posisinya untuk mematuhi dan melaksanakannya.[38] 4.
Penyelesaian Banding Pajak
Atas surat banding yang diajukan Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat menyampaikan surat uraian banding. Kedua belah pihak dapat melengkapi surat banding atau surat uraian banding tersebut disetai dokumen dan bukti pendukung, termasuk menghadirkan saksi dan saksi ahli di persidangan guna memperkuat alasan banding atau surat uraian banding. Dari proses penyelesaian banding pajak, putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:[39] 1.
Menolak permohonan banding, atau dengan kata lain mempertahankan keputusan keberatan Direktorat Jenderal Pajak.
2.
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya permohonan banding, berarti membatalkan sebagian atau seluruhnya keputusan keberatan Direktorat Jenderal Pajak.
3.
Menambah pajak yang harus dibayar, berarti mengubah keputusan keberatan Direktorat Jenderal Pajak dengan keputusan sendiri yang mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih besar.
4.
Tidak dapat diterima, berarti permohonan banding tidak diperiksa sampai pokok sengketa, karena tidak dipenuhinya persyaratan formal dalam surat banding, atau perkara yang diajukan bandin bukan kompetensi PP.
5.
Membetulkan kesalahan tertulis dan atau kesalahan hitung.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap, dan langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali undang-undang mengatur lain, misalnya kelebihan pembayaran pajak. Atas putusan Pengadilan Pajak mengani banding pajak tersebut, kedua pihak yang bersengketa (Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak) dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Apabila Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak mempunyai bukti yang sangat meyakinkan bahwa hakim Pengadilan Pajak yang memutus perkaranya melakukan pelanggaran hukum yang melanggar sumpah atau janji jabatan dan mengakibatkan kerugian baginya, maka atas hal tersebut dapat melaporkan pelanggaran tersebut kepada Menteri Keuangan dan Majelis Kehormatan Pengadilan Pajak. 1.
Pengadilan Pajak
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Wajib Pajak yang belum puas atas keputusan keberatannya yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak, demikian pula Wajib Pajak/Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah dilakukan dengan Surat Paksa, Penyitaan atau Lelang dan keputusan Peninjauan Kembali atau pembetulan Surat Tagihan Pajak, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. Dengan diundangkan dan berlakunya UU No. 14 Tahun 2002 pada tanggal 12
April 2002, maka sebagai badan peradilan pajak
tersebut adalah Pengadilan Pajak yang menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sebagai lembaga sebelumnya. Beberapa perubahan penting di Pengadilan Pajak dibandingkan dengan Badan Penyelesaian Pajak adalah:[40] 1.
Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2.
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana yang berlaku bagi pengadilan lainnya.
3.
Hakim pada Pengadilan Pajak diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri Keuangan setelah emndapat persetujuan Ketua Mahkamha Agung.
4.
Dimungkinkan adanya Hakim Ad Hoc, yaitu untuk pemeriksaan dan memutus perkara sengketa pajak tertentu.
5.
Majelis Kehormatan Hakim ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Keuangan.
6.
Administrasi persidangan Pengadilan Pajak dilaksanakan oleh Panitera, Wakil Panitera dan Panitera Pengganti.
7.
Syarat untuk pengajuan banding terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang harus telah dibayar/disetor sebesar 50% (lima puluh persen).
8.
Pemeriksaan dalam sidang Pengadilan Pajak terbuka untuk umum.
9.
Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa putusan sela, disamping putusan akhir.
10. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, kasasi, tetapi dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. BAB VI TINDAK PIDANA KEPABEANAN DAN CUKAI
1.
Pengertian Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai serta Karakteristiknya
Tindak pidana pemalsuan dokumen pabean merupakan tindak pidana yang merugikan negara. Tindakan penyidikan sampai pada putusan penerapan sanksi pidana merupakan rangkaian hasil kegiatan pengawasan pabean. Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan pabean adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan prosedur pabean yang ditetapkan. Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, kapal dan orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu Negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan. Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pabean harus meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa kapal, barang, penumpang, dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan, penyegelan, dan lain-lain.[41] Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs Organization(WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu model untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul World Customs Organization (WCO) tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan: penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Disamping tiga kegiatan itu menurut hemat penulis patroli juga merupakan pengawasan Bea dan Cukai untuk mencegah penyelundupan. Tindak pidana kepabenan adalah tindak pidana berupa pelanggaran terhadap aturan hukum di bidang kepabeanan. Salah satu bentuk tindak pidana kepabeanan yang paling terkenal adalah tindak pidana penyelundupan. Sumber hukum tindak pidana kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Undangundang ini mulai berlaku 1 April 1996, dimuat di dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1995.[42] Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, maka aturan hukum kepabeanan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni : (1) Indische tariff Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (2) Rechten Ordonantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (3) Tarief Ordonantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Sedangkan pembentukan Undang-undang Kepabeanan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yakni : (a) bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional; (b) bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut diatas dapat berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek kepabeanan bagi bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional yang terus berkembang serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, diperlukan langkah-langkah pembaharuan; (c) bahwa peraturan perundang-undangan Kepabeanan selama ini berlaku sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian dalam hubungan dengan perdagangan internasional; dan (d) bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk membentuk Undang-undang tentang kepabeanan yang dapat memenuhi perkembangan keadaan dan kebutuhan pelayanan Kepabeanan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[43] 1.
Administrasi Penyidikan Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
Perlunya penegasan atas kewenangan penyidik PNS Bea dan Cukai atas tindakan penyidikan perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai untuk memperjelas siapa yang berwenang dalam melakukan penyidikan perkara tersebut. Kewenangan penyidikan tersebut diatur dalam pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan pasal 63 UU No. 11 tahun
1995 yang telah di rubah dan ditambah dengan UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai jo. PP No. 55 tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bertugas di bidang Bea dan Cukai, hal ini selaras dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generali. Surat Jaksa Agung Republik Indonesiakepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia Nomor B-003/A/Ft.2/01/2009 tanggal 14 Januari 2009 perihal Pengendalian & Percepatan tuntutan perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai butir 3 disebutkan bahwa “Selanjutnya apabila menerima Berkas Perkara Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai selain penyidik instansi tersebut diatas “agar ditolak� hal ini perlu diingatkan sebagai antisipatif jangan sampai terulang penyidikan yang keliru yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap kasus M. Nurdin Khalid dimana Pengadilan menolak Berkas Perkara karena menganggap Pejabat yang menyidik tidak berwenang. Dalam melangkah pada tugas dan fungsinya sebagai penyidik termasuk penyidik kepabeanan dan cukai harusnya berpola pikir bahwa apa yang akan dikerjakan atau yang telah dikerjakan sudah dapat menggambarkan terpenuhinya peristiwa pidana dengan terang dan jelas disertai alat bukti yang cukup sehingga dapat dengan mudah dilakukan penuntutan karena alat bukti yang cukup tersebut telah bersesuaian dan berfokus dan mengarah pada peristiwa pidana yang dapat dibuktikan benar dan telah terjadi. Hal ini berarti bahwa apa yang dilakukan penyidik dalam mengngungkap suatu peristiwa pidana dan terangnya sebuah perkara dilakukan dengan mengumpulkan serangkaian alat bukti sebagaimana di kehendaki pasal 183 dan 184 KUHAP. Berkas perkara atau yang lazim dikenal sebagai hasil penyidikan, dapat dilimpahkan ke pengadilan, apabila telah memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas perkara atau hasil penyidikan. Perlu juga disampaikan disini bahwa selain kelengkapan formil dan materiil tersebut terdapat ketentuan yang diatur pada pasal 76 ayat 1 KUHP, bahwa suatu perbuatan tidak dapat di tuntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena telah dipenuhinya masa kadaluwarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah meninggal dunia. Patut juga di perhatikan adanya ketentuan yang diatur pada 56 jo pasal 114 KUHAP bahwa tersangka mempunyai hak untuk didampingi penasehat hukum dan bahkan pasal 116 KUHAP tersangka memiliki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. Selain itu disebutkan pula pada pasal 117 KUHAP bahwa keterangan tersangka dan atau saksi diberikan tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, disamping pasal-pasal yang lain terkait dengan penyidikan misalnya: syarat sahnya suatu penggeledahan (pasal 33 ayat 3,4,5 KUHAP). syarat sahnya suatu penyitaan sebagaimana diatur pada pasal 45 KuHAP, syarat sahnya suatu penerimaan surat sebagaimana diatur pada pasal 47 KUHAP dan pasal 48 KUHAP syarat sahnya suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, disamping juga syarat sahnya suatu sumpah atau janji pasal 113 KUHAP, disamping juga yang tidak kalah penting yaitu pemenuhan ketentuan pasal 113 KIHAP tentang syarat sahnya suatu permintaan keterangan di tempat kediaman tersangka atau saksi. Penyidikan dianggap telah selesai umumnya di pahami dari hitungan waktu 14 hari penuintut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau dapat juga sebelum waktu di maksud berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut kepada penyidik. Penuntut Umum yang telah menerima hasil penyidikan dalam rentang waktu 7 hari dan dalam waktu 7 hari beikutnya menyatakan kurang lengkap, penuntut umum berkewajiban segera mengemnbalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi penyidik. Selanjutnya penyidik berkewajiban melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang telah di
berikan dan segera mengembalikan berkas perkara yang telah dilengkapi kepada penuntut umum dalam waktu 14 hari. Patut mendapat perhatian bahwa sanksi pidana yang diatur di dalam Undang-Undang RI No. 10 tahun 1995 yang telah diperbarui dan ditambah dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai telah mengatur khusus delik Kepabeanan dan Cukai yang dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-undang tersebut, dengan demikian selaras dengan surat Jaksa Agung tersebut diatas yang menyebutkan bahwa kepada para Kajari agar memperhatikan secara cermat materi pokok perkara Tindak Pidana Ekonomi untuk tidak di Yonctokan atau dihubung-hubungkan dengan pasal 480 atau pasal-pasal lain.[44] 1.
Sistem Peradilan Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai
Selaras dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 139 KUHAP Penuntut Umum menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat untuk dapat atau tidaknya di limpahkan ke Pengadilan setelah tangung jawab terhadap tersangka dan barang bukti beralih dari penyidik tindak pidana kepabeanan dan cukai ke Penuntut Umum. Dalam hal telah terpenuhinya syarat syarat dimaksud maka sebagaimana dimnaksud pada pasal 140 ayat (1) KUHAP, Surat Dakwaan dan pelimpahan ke Pengadilan segera dilakukan oleh Penuntut Umum dan turunan surat pelimpahan beserta Surat Dakwaan tersebut disampaikan kepada terdakwa/Penasihat Hukum dan Penyidik hal ini diatur pada pasal 143 ayat 4 KUHAP. Penghentian Penuntutan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sesuai ketenrtuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, dapat dilakukan oleh Penuntut Umum dalam hal PU menilai bahwa perkara tersebut tidak cukup bukti, perbuatan tersebut bukan tindak pidana atai dihentikan demi hukum seperti daluwarsa, terdakwa meninggal dunia atau nebis in idem.[45] Sistem peradilan tindak pidana kepabeanan dan cukai didalam pelaksanaannya, tidak tertutup kemungkinan terjadi persidangan in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Persidangan ini sebenarnya mengacu pada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak menyidangkan suatu perkara. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
BAB VII TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 1.
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Karakteristiknya
Istilah “cuci uang” atau juga disebut dengan “pemutihan uang” adalah merupakan peralihan dari bahasa imggris yaitu “money laundering” kedalam bahasa Indonesia sebagai suatu istilah yag pada mulanya digunakan di America Serikat dalam khazanah kejahatan. Lalu mengapa uang harus dicuci? , tentu saja karena uang tersebut dalam keadaan “kotor”. Kotor dalam arti “uang haram” yang biasanya disebut dengan “dirty money” atau juga disebut “secret money”, yaitu uang yang dapat dari berbagai bentuk kejahatan mulai dari blue collar crime hingga white collar crime.[46] Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1). 1.
Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dengan cara demikiaan, membuat suatu kejelasan pembenaran untuk pengawasan atau kepemilikan uang yang dicuci, Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau atau menyamarkan asal-asal hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan untuk penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntnungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata secara ilegal, penyelundupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya perdagangan obat dan prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Adapun metode proses pencucian itu meliputi tiga tahap, yaitu : 1.
Placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. Negaranegara harus ada persyaratan pelaporan terhadap transaksi tunai yang besar.
2.
Layering yaitu memisahkan dana (kekayaan) dari asalnya dan dilakukan untuk menyamarkan apa yang sebenarnya dan membuat tidak jelas dalam melakukan penelusurannya.
3.
Integration yang membutuhkan penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulkan kecurigaan asal mula perolehannya.
Pada mulanya, memang kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan narkotika atau psikotropika, tetapi dalam perkembangannya diperluas hingga meliputi uang haram dari hasil kejahatan terorganisasi yang lain.[47] 1.
Pertanggungjawaban pidana Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Pelaku, dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata “setiap orang�, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2.
Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undangundang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsurunsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK. Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003): 1.
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
3.
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
4.
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
5.
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan
6.
definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrument pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
7.
Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan. Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut : Pelaku Perbuatan Melawan Hukum (hasil tindak pidan)
Transaksi Keuangan
menjadi LEGAL
BAB VIII TINDAK PIDANA ANAK 1.
Pengertian Tindak Pidana Anak dan Karakteristiknya
Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundangundangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Untuk jelasnya ikutilah uraian dibawah ini sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.[48]
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948 L.N.R.I. Tahun 1951 Nomor 12 tentang Undang-Undang Kerja memberikan pengertian: “Anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur 14 tahun kebawah” (Pasal 1 ayat (1)). Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 L.N.R.I. Tahun 1979 Nomor 12 tentang Kesejahteraan Anak memberikan pengertian: “Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
3.
Anak menurut KUHP. Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum bermur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997.
KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal-pasal itu tidak mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.[49] 4.
Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur tentang pengertian anak. Namun dalam Pasal 7 Undang-Undang ini disebutkan, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.[50]
5.
Anak menurut Hukum Perdata. Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah sebagai berikut.Orang Belum Dewasa adalah seseorang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum
umurnya genap 21 tahun maka ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa. Seseorang yang belum dewasa dan tidak berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab kebelumdewasaan dan perwalian.[51] 1.
Penyelenggaraan Perlindungan Anak dalam Tindak Pidana Anak
2.
Anak yang berhadapan dengan hukum
Perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Mereka menjadi tanggung-jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan melalui[52]: 1.
Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2.
Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3.
Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4.
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
5.
Pemantau dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6.
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
7.
Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
2.
Perlindungan Anak sebagai Korban Kejahatan
Muladi dan Barda Nawawi Arief[53] menulis: “korban kejahatan diartikan sebagai seorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan.� Gosita[54] menulis bahwa, “korban kejahatan adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita. Selanjutnya Sahetapy[55] menulis bahwa, korban kejahatan dalam arti luas, bukan hanya korban dalam pengertian hukum pidana dan kriminologi, melainkan juga meliputi korban dalam pengertian hukum perdata, hukum administrasi, hukum lingkungan, dan korban dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Atas dasar itulah maka ruang lingkup viktimologi tidak terbatas pada ruang lingkup hukum pidana, melainkan menyangkut setiap bidang hukum dan seluruh aspek yang bertalian dengan kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hakim memutus perkara pidana anak sebagai korban dan juga sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain aspek mental, aspek kejiwaan, masa depan dan kesejahteraan anak. Hal ini jauh lebih penting dari penjatuhan pidana secara fisik mengingat kondisi yang ada dalam diri anak. Penerapan tindakan sesuai bagi mereka karena ini lebih menekankan pada pelayanan substansi, pembinaan mental, fisik dan pendidikan anak.[56] Made Sadhi Astuti[57] sependapat dengan Sahetapy bahwa, masalah korban dalam arti luas adalah menyangkut setiap bidang hukum dan semua aspek yang bertalian dengan kehidupan manusia, namun pengertian korban kejahatan diperluas dalam hubungannya dengan kajian anak yang melakukan kenakalan atau tindak pidana sebagai korban. Artinya, anak yang melakukan kenakalan atau tindak pidana sesungguhnya ia merupakan korban, antara lain: korban lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan korban modernisasi. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilakukan melalui[58]: 1.
Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
2.
Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
3.
Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban maupun saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan
4.
Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
1.
Sistem Peradilan Anak
2.
Penyelesaian secara Restrorative Justice
Sedapat mungkin mengembangkan prinsip dalam model restrorative justice guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman dalam komunitas setempat bahwa keterlibatan anak akibat kegagalan atau kesalahan orang dewasa dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditentukan bahwa[59]: (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: 1.
Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2.
Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
3.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Dari uraian diatas terlihat bahwa juvenile delinquency itu tidak dapat dijatuhi pidana. Kemudian ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu diperhatikan oleh hakim, yaitu: 1.
Pada waktu anak melakukan tindak pidana, anak haruslah telah mencapai umur diatas 12 sampai 18 tahun.
2.
Pada saat jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih belum dewasa (belum mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin.
2.
Penyelesaian di dalam Pengadilan Anak
Menurut Ny. Hs. Soetarman[60] Peradilan Anak adalah sebagian dari Peradilan Umum, namun harus terpisah dalam arti penetapan secara tersendiri tentang: (1) pemeriksaan pendahuluan; (2) pemeriksaan oleh pengadilan; (3) cara pengambilan keputusan; (4) cara menjalankan keputusan; (5) cara melaksanakan kelanjutannya (follow up). 1.
Pemeriksaan Pendahuluan
Jika anak yang melanggar hukum ditangkap polisi, maka sementara itu perlakuan khusus terhadapnya dilaksanakan, yakni: 1.
Tanya-jawab diadakan mengenai identitas anak, kekhilafan-kekhilafannya, keluarganya, sekolahnya, temantemannya, lingkungannya dan lain-lan agar diketahui keadaan sang anak dan keluarganya. Orangtua/wali/pengasuhnya diharapkan mendampinginya.
2.
Tempat wawancara (pengusutan), seyogyanya di rumahnya anak atau di tempat/ruangan yang sederhana, tidak campur tangan tempat pengusutan orang dewasa, dimana suasana aman dan tentram ada, sehingga anak tidak takut, dan mudah memberi jawaban-jawaban.
3.
Pertanyaan secara sugestif, dengan kekerasan atau tekanan harus dihindarkan. Kemanusiaan diperhatikan terus-menerus, biarpun anak tersebut bebahaya keadaannya. Keterangan-keterangan harus digali secara obyektif dengan kebijaksanaan si penanya.
4.
Jika diperlukan untuk menahan sementara anak tersebut, maka orang tua/walinya diberi pengertian, sebabsebabnya dan latar belakangnya. Jauhilah bertindak hanya untuk memudahkan sepihak, tetapi tidak memikirkan kerugian lain pihak. Anak harus dapat menghayati, karena apa diambil kemerdekaanya, untuk sementara, yang dapat menjadi pelajaran baginya. Penahanan dilaksanakan menurut peraturan hukum yang berlaku dan dilaksanakan dalam waktu sependek mungkin dengan persetujuan hakim atau harus dibebaskan.
5.
Selama anak belum dapat diajukan pengadilan, maka petugas sosial polisi melengkapi laporan anak tersebut yang merupakan laporan pre-trial yang diketik 4 kali, satu untuk hakim, satu untuk jaksa, satu untuk badan swasta yang akan membantu, untuk dipelajari dan satu untuk arsip.
6.
Jaksa meneliti laporan tersebut dan dengan persetujuan hakim meminta seorang pembimbing petugas kemasyarakatan untuk meneliti dan melengkapi lagi laporan tersebut yang dijadikan bahan (presentace report) untuk putusan hakim dalam sidang. Hal ini adalah untuk menghindari penangguhan-penangguhan sidang peradilan anak yang selalu merugikan yang bersangkutan. Jika jaksa, setelah menelaah laporanlaporan memandang, bahwa anak tersebut tidak perlu diajukan sidang peradilan, maka dengan seijin hakim, anak dapat dibebaskan dengan sekedar diberi nasihat atau ganti rugi dan sebagainya. Cara persiapan pemeriksaan pendahuluan adalah untuk melancarkan pelaksanaan peradilan. Polisi dapat membebaskan anak dengan tidak meneruskan berita acara anak kepada jaksa.[61]
2.
Pemeriksaan oleh Pengadilan
3.
Hakim menentukan, bilamana anak disidangkan, para saksi-saksi telah dipanggil.
4.
Disarankan supaya, jika tidak perlu betul, antara lain ketidakhadiran saksi, tidak menjadi penanggungan sidang, karena bagi anak dapat berakibat tidak baik, apalagi bagi anak yang ditahan.
5.
Tempat sidang peradilan anak tidak boleh dicampur dengan tempat peradilan orang dewasa, sedapat mungkin tidak di pengadilan negeri. Biasanya di Kantor Pra Yuwana atau salah satu ruangan di kantor polisi atau Panti. Tempat sidang seyogyanya tidak merupakan ruang sidang seperti untuk orang dewasa, sederhana tetapi berkesan.
6.
Suasana tentram, tidak ramai, sehingga anak merasa aman dan dapat mengutarakan jawaban-jawaban secara baik, para saksi dan orang tua/wali/pengasuh.
7.
Petugas-petugas peradilan, hakim, jaksa, polisi tidak ber-uniform (pakaian preman).
8.
Sidang sifatnya tertutup dan hanya yang bersangkutan boleh menghadirinya, dan jika diperbolehkan, identitas anak dan keluarganya boleh diumumkan, karena mengenai kehormatan mereka, dan sebagainya.
9.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang paling dimengerti oleh anak dan orang tua/wali/pengasuhnya.
10. Tiap anak boleh mengajukan seorang pembela. 11. Cara mengajukan anak dalam persidangan, tidak sekaligus, tetapi satu perkara demi satu perkara dan kadang-kadang seorang demi seorang, karena diperlukan keterangan-keterangan atau hakim ingin memberi nasihat/saran kepada salah seorang yang penting dan tidak boleh didengar orang lain, demi perbaikan keluarga/anak dan sebagainya.[62] 3.
Cara Pengambilan Keputusan
4.
Dari hasil wawancara antara anak dan hakim/jaksa, sekaligus dapat disimpulkan kedudukan anak dan kekhilafannya dengan sebab-sebab dan latar belakangnya. Hakim setelah mendengar tuntutan jaksa dan kalau perlu juga saran-saran dari pembimbing petugas kemasyarakatan dan permintaan anak dan orang tua/wali/pengasuhnya, dapat memberikan putusan berupa : kembali ke orang tua/wali/pengasuhnya yang berjanji akan memperbaiki pengasuhannya terhadap anaknya dengan atau tidak dengan pengawasan seorang petugas kemasyarakatan dalam waktu yang tertentu, maksimum 2 tahun, menurut keadaan anak.
5.
Jika anak mendapatkan tindakan hakim yang berat, karena ia berbahaya bagi masyarakat dan tindak pidananya, maka anak tersebut jangan diserahkan begitu saja, tetapi diteliti kesalahan-kesalahannya sampai dimana, secara wajar, apa sebab-sebabnya dan latar belakangnya, orang tua/wali/pengasuhnya harus diselediki dan sebagainya. Anak tersebut harus dibina secara serius dan dibantu, menurut kebutuhankebutuhannya dalam batas-batas kemampuan. Akibat dari putusan tindakan hakim dapat membahayakan kehidupan anak di masa depannya.
6.
Cara yang kadang-kadang dilaksanakan mengenai ditindak menurut lamanya ditahan, (dipidana ‌.. hari dipotong tahanan), karena anak sudah terlanjur ditahan lama, sedangkan pidana yang harus ia jalankan tidak sesuai dengan kesalahannya, karena kurang/tidak ada bukti, supaya diperhatikan dan dihapuskan. Hal tersebut sering terjadi, terutama jika anak ditahan di Lembaga Pemasyarakatan untuk orang dewasa yang harus menjalankan hukuman berat. Putusan Hakim yang menjadi lanjutan kekhilafan petugas peradilan sebelumnya, akan mewariskan suatu peringatan bagi anak yang bersangkutan seumur hidup dan psychologis batinnya akan menderita.[63]
4.
Cara Menjalankan Keputusan
5.
Semua keputusan supaya selekas mungkin diselesaikan apalagi bagi anak yang sudah lama diasingkan dari keluarganya. Orang tua/wali/ pengasuh diberi pengertian mengenai bagaimana mengasuh anak, jika perlu diberi bantuan, sehingga kewajibannya pulih kembali dan hubungan antar keluarga dapat diperbaiki. Seorang petugas sosial dapat diperbantukan, jika perlu.
6.
Baik didalam maupun diluar Panti anak diharapkan mendapat pendidikan, mental dan spiritual, pelajaran di sekolah atau di sekolah swasta, latihan kerja di panti-panti dengan pekerjaan tangan yang mudah menghasilkan, dan sebagainya. Pemeriksaan dan pengawasan harus dilaksanakan terus-menerus.[64]
Demikianlah proses peradilan anak yang mana pengadilan mengharapkan setelah anak bebas dapat menjadi sadar dan menghayati apa arti tindakan hakim selama ini terhadap dirinya, demi kepentingan pribadinya.
SUMBER: Sulis Setyowati,
S.H., LL.M