Buku Islam Sebagai Jawaban Terhadap Problematika Kebangsaan & Keumatan - By BEM UNISBA 2015-2016

Page 1


DAFTAR ISI DAFTAR ISI …………………………………………… i UCAPANTERIMA KASIH……..……………………… iii A. Keshalihan Umat dan Bangsa Perspektif Syariah …………………………………………… 1 Oleh : H. Asep Ramdham Hidayat., Drs., M.Si B. Dakwah Deradikalisasi dan Kemajuan Umat Islam ………………………………………………..22 Oleh : DR. Bambang S. Ma’arif. C. Pendidikan Dalam Islam…………………………...52 Oleh : enoh., Drs., M.Ag. D. Integrasi Nilai-Nilai Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional…………………………………………… 82 Oleh : Prof. Dr. nandang Sambas, SH., MH. E. Psikologi Dalam Perspektif Islam Untuk Membangun Nilai dan Karakter Generasi Muda……………... 107 Oleh : Lisa Widowati, Dra., M.Si. F. Statistika, Matematika dan Farmasi Sebagai Implementasi Ayat-Ayat Kauniyah ………….... 127 Oleh : Dr.Suwanda., MS. G. Kualitas Layanan Perguruan Tinggi Yang Islami …………………………………….. 145 Oleh Dr.Nugraha., ST., MT

i


H. Solusi Ekonomi Islam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan………………………………………… 174 Oleh : Dr. Atih Rohaiti Dariah, SE., M.Si I. Link and Match Dalam Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Islami kesiapan Fakultas Kedokteran Unisba Dalam Mendukung Layanan Rumah Sakit Syariah…………………………………………..... 192 Oleh : Prof. Dr. Ieva B. Akbar, dr., AIF.

ii


Ucapan Terima Kasih Buku ini menjelaskan tentang peranan penting agama sebagai sebuah sumber nilai dan aturan untuk kehidupan manusia. Dalam mengelola kehidupan yang nyata. Manusia menempatkan rasa kepercayaan yang penuh terhadap akal untuk memproduksi teknik, nilai-nilai dan peraturan yang secara nyata bermanfaat untuk menyelematkan kehidupan. Itulah wilayah speakable. Dalam wilayah itu, relevansi agama bagi kehidupan manusia atau kontekstualitas peranan agama dalam dunia yang senantiasa berubah selalu dipertanyakan dalam wilayah itu agama berada dalam kondisi fait accompli, ialah desakan antara keharusan untuk terlibat secara nyata dalam perubahan sosial dan budaya yang dialama oleh penganutnya. Agama menyediakan diri untuk menjadi legitimasi bagi terimplementasikannya amal-amal sosial dan kemanusiaan. Kedekatan hubungan dengan Tuhan, ternyata tidak hanya dibangun melalui sebuah ritus yang konsisten melainkan dibangun melalui sebuah gerakan sosial yang harmonis antara manusia. Malawan ketidak adilan, penindasan dan patalogis sosial lainnya. Dengan kata lain bisa dijelaskan, bahwa seluruh dimensi

kehadiran

agama

senantisa

mengemban

misi iii


penyelematan manusia (the salvation of man) dala kehidupan nyata didunia maupun di akhirat. Maka dari itu agama merupakan sebuah jalan menuju Tuhan namun bukan hanya itu saja. Agama dituntut untuk mampu berdialog dengan kecerdasan, pergolakan fisik dan perubahan sosial untuk memecahkan masalah kehidupan sehingga

agama

mampu

menjadi

jawaban

terhadap

problematikan kebangsaan dan keumatan. Oleh kerena itu buku ini mempunyai tujuan untuk memberikan pandangan baru bagi manusia dalam memecahkan sebuah problematika kehidupan pada dewasa ini. Ucapan terima kasih kami selaku pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung priode 2015 – 2016 kepada ketua Yayasan Prof. Dr. K.H. Miftah Faridl, Rektor Universitas Islam Bandung Prof.Dr.M. Thaufiq Boesoirie, ,MS.,Sp.THT-KL(K) dan seluruh Dekan Fakultas di Universitas Islam Bandung yang telah memberikan tulisannya sehingga buku ini bisa selsai sesuai dengan tujuan di buatnya. Semoga buku ini dapat menjadi sebuah karya abadi dalam kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Bandung priode 2015 – 2016 dan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan intelektual di internal kampus iv


Unisba ataupun bagi masyarakat Indonesia. Sehingga buku ini memberikan sebuah pandangan baru untuk menyelesaikan masalah kebangsaan dan keumatan dalam perspektif Agama Islam.

Badan

Eksekutif

Mahasiswa

Universitas Islam Bandung priode 2015 – 2016

Bandung, 09, September 2016

Muhammad Fadhli Muttaqien Presiden Mahsiswa Universitas Islam Bandung

v


KESALIHAN UMAT DAN BANGSA PERSPEKTIF SYARI’AH H. Asep R amdan Hidayat, , Drs., M.Si. Dekan Fakultas Syariah Unisba A.

Mukaddimah Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi

sudah sekian majunya. Orang yang tinggal di pedesaan akan dengan mudah berkomunikasi dengan saudaranya yang tinggal di perkotaan. Bahkan dengan kemajuan teknologi, keduanya dapat dengan mudah melambaikan tangan di hadapan monitor handphon karena mereka saling bertatapan. Orang yang ada di perkotaan ketika akan berkunjung ke pedesaan tidak akan mudah kesasar, mereka akan sampai di tempat yang dituju dikarenak an bantuan Maps atau GPS (Global Positioning System). Juga orang yang berada di desa akan tahu kondisi negara tetangga atau lainnya yang sedang mengalami kemajuan, bencana, atau apapun kejadian itu akan dengan mudah diketahui. Ini semua berkat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri, dapat dengan mudah diketahui kondisinya, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Tidak terbatas kepada belahan dunia yang khusus, tetapi di seluruh dunia sudah mengalami kemajuan ini. Ini membuktikan

1


bahwa sebagian besar negara di dunia sekarang mengalami kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), diantaranya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun kemajuan ini tidak dibarengi dengan kemajuan moral dan akidah yang kuat. Banyak nilai-nilai agama, baik agama Islam maupun non-Islam, dan moral yang bisa menjadi hukum tidak tertulis bagi setiap individu dirasa semakin mahal harganya dan jauh dari kehidupan manusia. Akibatnya, tujuan kemajuan ini tidak menghasilkan kemashlahatan ummat, namun sebaliknya menjadikan kekacauan. Kemajuan IPTEK, seperti teknologi nuklir, idealnya dapat menjembatani

dan

membantu

orang-orang

yang

masih

terbelakang, bukan digunakan sebagai senjata pemusnah massal yang digunakan untuk menakut-nakuti negara lain agar negara tersebut menjadi negara yang disegani dan ditakuti. Singkatnya menjadi negara adikuasa yang memiliki standar ganda. Pada kenyataannya, kemajuan ini digunakan bukan untuk kemajuan peradaban, tapi sebaliknya untuk mencari keuntungan pribadi, golongan, dan segelintir orang yang menjadi kepercayaannya. Ekonomi menjadi alat tunggangan untuk memenuhi nafsunya dengan

cara

menguasai

berbagai

lahan

yang

potensial,

membungkam para pesaingnya dengan menghalalkan segala cara. Politik digunakan sebagai alat untuk menjadi penguasa, bukan untuk mensejahterakan orang yang memberikan amanah, penuh

2


dengan kebohongan, melakukan makar, dan manipulasi. Birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari konspirasi, kolusi, dan korupsi. Akhirnya

semua

sendi

kehidupan

yang

menjadi

sarana

mensejahterakan dan mencerdaskan masyarakat menjadi lumpuh.

B.

Problematika Perspektif Islam Islam sangat arif dan bijaksana dalam memberikan

pelajaran untuk menyikapi persoalan hidup. Allah Swt yang telah menjadikan manusia dan seluruh makhluk hidup yang ada di alam semesta ini tidak dibiarkan begitu saja, namun senantiasa mengingatkan akan adanya batas akhir dari sebuah kehidupan dan peningkatan

kualitas

kehidupan,

sehingga

problematika

kehidupan merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap individu, kelompok, lembaga, dan Negara. Keberadaan problem ini sengaja diciptakan oleh Allah Swt sebagai sarana evaluasi dan introspeksi diri agar tidak lengah dalam menjalani kehidupan, juga untuk meningkatkan ketauhidan dan kedewasaan berfikir umat manusia. Berbagai macam problematika kehidupan sudah hampir dirasakan oleh semua manusia, tidak terkecuali sebuah bangsa yang sedang berkembang dan mencari jati dirinya untuk membentuk sebuah negara yang bisa mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 155. ‫ﺺ ِ ّﻣﻦَ ۡٱﻷ َۡﻣﻮَٰ ِل وَ ۡٱﻷ َﻧﻔ ُِﺲ وَ ٱﻟﺜﱠﻤَﺮَٰ ِۗت‬ ٖ ۡ‫وَ ﻟَﻨَﺒۡ ﻠُﻮَ ﻧﱠﻜُﻢ ﺑِﺸَﻲۡ ٖء ِ ّﻣﻦَ ٱﻟۡ ﺨ َۡﻮفِ وَ ٱﻟۡ ﺠُﻮعِ وَ ﻧَﻘ‬ َ‫ﺼﺒ ِ​ِﺮﯾﻦ‬ ٰ‫ﺸ ِ​ِﺮ ٱﻟ ﱠ‬ ّ َ‫وَ ﺑ‬

3


“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Allah Swt berfirman dalam surat al-Insan ayat 2. ٢ ‫َﺼﯿﺮً ا‬ ِ ‫ٱﻹﻧ َٰﺴﻦَ ﻣِ ﻦ ﻧﱡﻄۡ ﻔَ ٍﺔ أ َﻣۡ ﺸَﺎجٖ ﻧﱠﺒۡ ﺘَﻠِﯿ ِﮫ ﻓَ َﺠﻌَﻠۡ َٰﻨﮫُ ﺳَﻤِ ﯿ َۢﻌﺎ ﺑ‬ ِ ۡ ‫إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَﻘۡ ﻨَﺎ‬ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes

mani

yang

bercampur

yang

Kami

hendak

mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan bahwa manusia akan diuji dengan

kebaikan

dan

keburukan,

dibebankan

kewajiban-

kewajiban setelah sampai kepada usia baligh, dan kewajibankewajiban lainnya. Dengan adanya alat indra pendengaran, penglihatan, hati, dan akal, maka sangat dimungkinkan seseorang mampu untuk ta’at dan juga maksiat. Kedua alat indra ini merupakan tanda kemuliaan seorang manusia.1 Firman Allah Swt dalam surat al-‘Ankabut ayat 2-3. 1

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz XV, Cet. X, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2009), hlm. 303

4


٢ َ‫أ َ َﺣﺴِﺐَ ٱﻟﻨﱠﺎسُ أ َن ﯾُﺘۡﺮَ ﻛُﻮٓ اْ أ َن ﯾَﻘُﻮﻟُﻮٓ اْ ءَا َﻣﻨﱠﺎ وَ ھُﻢۡ َﻻ ﯾُﻔۡ ﺘَﻨُﻮن‬ ٣ َ‫ﺻﺪَﻗُﻮاْ وَ ﻟَﯿَﻌۡ ﻠَﻤَﻦﱠ ٱﻟۡ َٰﻜ ِﺬﺑِﯿﻦ‬ َ َ‫وَ ﻟَﻘَﺪۡ ﻓَﺘَﻨﱠﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِ ﻦ ﻗَﺒۡ ِﻠﮭ ۡ ِۖﻢ ﻓَﻠَﯿَﻌۡ ﻠَﻤَﻦﱠ ٱ ﱠ ُ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦ‬ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?, dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah

mengetahui

orang-orang

yang

benar

dan

Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” Firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 155 ‫ﺸ ِﺮ‬ ّ ِ َ‫ﺺ ِ ّﻣﻦَ ۡٱﻷ َۡﻣﻮَٰ ِل وَ ۡٱﻷ َﻧﻔ ُِﺲ وَ ٱﻟﺜﱠﻤَﺮَٰ ِۗت وَ ﺑ‬ ٖ ۡ‫وَ ﻟَﻨَﺒۡ ﻠُﻮَ ﻧﱠﻜُﻢ ﺑِﺸَﻲۡ ٖء ِ ّﻣﻦَ ٱﻟۡ ﺨ َۡﻮفِ وَ ٱﻟۡ ﺠُﻮعِ وَ ﻧَﻘ‬ ١٥٥ َ‫ﺼﺒ ِ​ِﺮﯾﻦ‬ ٰ‫ٱﻟ ﱠ‬ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Dalam perjalanannya, sebuah bangsa akan mendapatkan ujian dan cobaan yang dapat dikategorikan kepada dua macam, yaitu faktor intern dan ekstern. Kedua faktor ini akan selalu ada, baik dalam jangka waktu yang singkat maupun panjang. Hal itu merupakan sunnatullah, yang pasti akan dirasakan oleh setiap

5


manusia ataupun lembaga yang memiliki pengakuan di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mengetahui manusia atau lemaga mana yang lebih baik pengamalannya dan statusnya dalam melayani masyarakatnya. 1.

Faktor Internal Negara merupakan sebuah kumpulan manusia dengan

berbagai latar belakang etnis dan golongan yang besar dan memiliki visi dan misi yang sama. Keberadaan negara harus diakui secara de facto dan de jure. Pejabat dan Masyarakat yang berada di dalam sebuah negara tidak semuanya sama tujuannya, ada diantara mereka yang hanya mengambil keuntungan dan berani menghalalkan segala cara untuk mewujudkan hasrat dan minatnya. Akibatnya negara akan dirugikan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini. Faktor internal ini merupakan penyakit yang menjalar di dalam tubuh negara NKRI dan akan lebih sulit penyelesaiannya. Diatara permasalahan yang krusial dan tidak ada habishabisnya di seluruh negara adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di Indonesia masalah ini tidak lagi menjadi sebuah fenomena yang penuh dengan misteri, melainkan sebuah fakta yang sudah terkenal di mana-mana. Praktik KKN ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa ia sudah mengakar dan berekor, menjamur, dan menggurita dalam semua lini kehidupan, baik di masyarakat biasa maupun di lingkungan

6


pejabat, mulai dari pusat hingga kekuasaan paling bawah.2 Kemudian masalah baru timbul yaitu low trust society dan kecendrungan berprilaku self destruction. Akibatnya manusia sebagai makhluk sosial akan tergerus kepada peradaban yang mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, bukan untuk kemashlahatan umum. Korupsi disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah: 1) ada dorongan dari motif ekonomi, yaitu keinginan untuk memperbanyak harta, 2) rendahnya moral dan ketauhidan, dan 3) Penegakkan hukum yang lemah. Rudel dan Xin menambahkan bahwa korupsi diakibatkan juga karena lemahnya akuntabilitas suatu institusi, adanya monopoli kekuasaan, dan besarnya wewenang yang diberikan kepada seseorang. Alesina dan Angeletos menambahkan bahwa adanya ketidak adilan yang berimbang dan perlakuan yang tidak sama menjadi salah satu penyebab munculnya korupsi.3 Penyalahgunaan Narkoba di lingkungan masyarakat dan pejabat merupakan penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Hukuman seumur hidup dan hukuman mati tidak memberikan efek jera bagi para gembong dan pengedar lainnya. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pihak-pihak berwenang, seperti 2

Eman Suparman, Integritas Hakim Conditio Sine Qua Non untuk Mengadili Kasus-kasus KKN di Indonesia, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 24, 2012, hlm. 59 3 Nadiatus Salama, Jurnal Psikologi, Motif dan Proses Psikologi Korupsi, Vol. 41, No. 2, Desember 2014, hlm. 151

7


edukasi bahaya Narkoba ole Badan Narkotika Nasional (BNN), kampanye-kampanye sering dilakukan oleh kepolisian melalui sekolah-sekolah, dan lain sebagainya. Namun pada perakteknya, tidak sedikit yang masih menggunakan barang haram ini. Negara Indonesia ikut menanggung kerugian akibat pecandu narkoba. Sepanjang tahun 2014, estimasi kerugian ekonomi akibat narkoba mencapai angka Rp 63 triliun. Menurut keterangan kepala BNN, jumlah tersebut naik sekitar dua kali lipat dibandingkan kerugian pada tahun 2008. Dan naik 31% dari tahun 2011.4 Ini merupakan salah satu bukti dampak penyalahgunaan narkoba, sehingga membutuhkan penanganan yang serius dari semua pihak. Selain masalahmasalah di atas, masih ada masalah kemasyarakatan yang masih krusial, yaitu kenakalan generasi bangsa. Remaja dan pemuda banyak yang terjerumus kepada pergaulan amoral, mulai dari tawuran antar sekolah, tawuran antar geng motor, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. 2.

Faktor Eksternal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka

merupakan buah dari perjuangan para pahlawan. Negara dengan sebutan Zamrud Khatulistiwa ini subur dan kaya akan rempah-rempah, sumber daya alam yang kaya, dan masih banyak lagi potensi alam Indonesia yang bermanfaat bagi 4

http://nasional.kompas.com/Dalam.Setahun.Estimasi.Kerugian.Ak ibat.Narkoba.Mencapai.Rp.63.Triliun. Diakses pada tanggal 2 agustus 2015

8


dunia. Hal ini sangat menarik hati setiap negara yang memiliki kekuasaan dan ambisi untuk menguasai Indonesia. Sehingga tidak heran apabila ada negara-negara lain yang merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sejarah telah mencatat, pada abad ke-15 telah terjadi penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Indonesia. Tujuannya ingin menjarah dan mengeksploitasi segala kekayaan yang terkandung di dalam negeri ini. Diantara contoh lainnya yang dapat mempengaruhi keutuhan NKRI adalah tentang ideologi. Pada bulan Mei 2016, ramai diberitakan di media massa bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) akan bangkit, ada diantara masyarakat yang memakai kaos berlogo palu arit, dan tersebar akan adanya ulang tahun PKI. Hal ini sangat bertentangan dengan idiologi Bangsa Indonesia yang secara pasti tertuang dalam Panca Sila, sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa�. Ideologi yang bersumber pada ajaran Marxisme-Leninisme yang berasal dari Uni Soviet ini memiliki keyakinan tidak percaya adanya tuhan. Hal ini sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan idiologi bangsa yang mempercayai konsep ketuhanan yang Esa, sehingga dapat menyebabkan kekacauan bangsa Indonesia. C.

Islam dan Good Governance

9


Para Founding Father NKRI telah menetapkan tujuan dibentuknya negara Indonesia

agar menjadi lebih baik dan

berkemajuan secara insani maupun Bangsa. Melalui lagu kebangsaan yang berjudul “Indonesia Raya� para pendiri bangsa menghendaki pembentukan nation and caracter building. Dikuatkan dengan prinsip bernegara yang tercantum dalam Panca Sila, sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan dan Beradab�. Indonesia diharapkan memiliki masyarakat yang memiliki mental dan moral yang baik. Namun kenyataannya bertentangan jauh dengan sila yang menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pejabat yang terjerat kasus Korupsi, Pelajar yang melakukan tawuran, Remaja terjerumus kepada pergaulan bebas dan Narkoba, jual-beli perkara persidangan oleh orang-orang yang diamanahkan untuk menegakkan hukum, dan berbagai sendi kehidupan lainnya. Secara filosofis, manusia merupakan kesatuan yang integral dari berbagai potensi-potensinya yang ada dalam pribadinya. Setiap manusia memiliki karakter sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan religius. Sebagai makhluk individu manusia berhak mencukupi semua kebutuhannya dengan cara mencari karunia yang disiapkan Allah Swt di muka bumi ini. Muamalah dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang ada dalam pribadi setiap manusia yang memiliki potensi sosial. Tanpa teman dan tetangga, manusia tidak akan sempurna menjalani hidup ini, sehingga karakter sosial ini harus tersalurkan. Pergaulan yang

10


dilakukan dengan manusia lainnya harus dilakukan dengan mentaati norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis. Potensi-potensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga menjelma dan disebut sebagai manusia. Akal merupakan potensi yang ada pada setiap diri manusia. Alat indra ini yang dapat mewarnai manusia sebagai makhluk istimewa, yang dapat memberikan kemuliaan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya. Dengan bekal akal, manusia dapat mengenal mana yang halal dan haram, baik dan buruk, hak dan bathil, dan juga sebagai sarana untuk mengembangkan peradaban di bumi ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun demikian, di alam ini ada yang tercakup kepada akal dan juga iman. Hal-hal yang berkaitan dengan akal akan mudah diselesaikan dengan logis dan akal sehat. Akan tetapi yang berkaitan dengan iman perlu adanya pembimbing. Keberadaan wahyu akan sangat membantu akal dalam

upayanya

melakukan

kajian

dan

ijtihad.

Wahyu

menjelaskan berbagai hal yang sifatnya di luar jangkauan manusia. Hubungan antara akal dengan wahyu idealnya tidak difahami secara struktural, namun harus difahami sebagai dialektik fungsional, sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi petunjuk hidup.

11


Generasi

bangsa,

apabila

dilihat

secara

kecerdasan

intelektualnya (Intelligence Quotient) tidak terdapat permasalahan yang krusial. Banyak orang Indonesia yang cerdas, kuliah beasiswa ke luar negeri, menemukan berbagai kemajuan dalam teknologi dan pendidikan, dll. Namun kecerdasan itu tidak dibarengi dengan kecerdasan lainnya, yaitu emotional quotient dan spiritual quotient, sehingga hatinya banyak yang sakit. Akibatnya, banyak manusia yang tampil dengan berharap dapat pamrih, tidak ikhlas, tidak bersungguh-sungguh dalam bertugas dan amanah, senang dengan hal-hal yang semu, mudah menyalahgunakan kekuasaan, dll. Akibatnya peradaban tidak terbangun dengan baik.5 Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah Swt dengan

sempurna.

Kesempurnaan ini

tidak lain sebagai

kepercayaan Allah Swt bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Berbeda dengan makhluk lain-Nya, Allah Swt melengkapi manusia ini dengan seperangkat alat indra yang berfungsi dengan baik. Tujuannya untuk dikelola dan digunakan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Secara sunnatullah, setiap manusia akan menerima ujian dan cobaan dari Tuhan semesta alam. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kwalitas dan level keimanan seorang muslim. Namun demikian, pembebanan ujian ini tidak lantas dibiarkan begitu saja tanpa ada pembekalan yang pasti. 5

Soemarno Soedarsono, Jurnal Sekretariat Negara RI, No 15, Februari 2010, hlm. 54

12


Allah Swt sudah menyiapkan alat indra yang ada pada manusia itu sebagai wasilah menjalani ujian yang akan diberikan. dalam surat al-Baqarah ayat 30. ُ‫ض َﺧﻠِﯿﻔ ٗ َۖﺔ ﻗَﺎﻟُﻮٓ اْ أَﺗ َۡﺠﻌَ ُﻞ ﻓِﯿﮭَﺎ ﻣَﻦ ﯾُﻔۡ ﺴِ ﺪ‬ ِ ‫ِﻞ ﻓِﻲ ۡٱﻷ َۡر‬ٞ ‫وَ إِذۡ ﻗَﺎ َل رَ ﺑﱡﻚَ ﻟِﻠۡ َﻤ َٰ ٓﻠﺌِ َﻜ ِﺔ إِﻧِّﻲ ﺟَﺎﻋ‬ ٣٠ َ‫ﺴ ِﺒّ ُﺢ ﺑِﺤَﻤۡ ﺪِكَ وَ ﻧُﻘَﺪِّسُ ﻟ ۖ َ​َﻚ ﻗَﺎ َل إِ ِﻧّ ٓﻲ أ َﻋۡ ﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ َﻻ ﺗ َﻌۡ ﻠَﻤُﻮن‬ َ ُ‫ﻓِﯿﮭَﺎ وَ ﯾَﺴۡ ﻔِﻚُ ٱﻟ ِّﺪ َﻣﺎ ٓ َء وَ ﻧ َۡﺤﻦُ ﻧ‬ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan

mensucikan

Engkau?"

Tuhan

berfirman:

"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Firman Allah Swt dalam Surat Al-Ahzab ayat 72. َ‫ض وَ ٱﻟۡ ﺠِ ﺒَﺎ ِل ﻓَﺄَﺑَﯿۡ ﻦَ أ َن ﯾ َۡﺤﻤِ ﻠۡ ﻨَﮭَﺎ وَ أ َﺷۡ ﻔَﻘۡ ﻦ‬ ِ ‫ت وَ ۡٱﻷ َۡر‬ ِ َٰ‫ﺴ َٰﻤﻮ‬ ‫ﻋﻠَﻰ ٱﻟ ﱠ‬ َ َ‫إِﻧﱠﺎ ﻋَﺮَ ﺿۡ ﻨَﺎ ۡٱﻷَﻣَﺎﻧَﺔ‬ ٧٢ ‫ُﻮﻻ‬ ٗ ‫ظﻠُﻮﻣٗ ﺎ َﺟﮭ‬ َ َ‫ٱﻹﻧ َٰﺴ ۖ ُﻦ إِﻧﱠ ۥﮫُ ﻛَﺎن‬ ِ ۡ ‫ﻣِ ﻨۡ ﮭَﺎ وَ َﺣ َﻤﻠَﮭَﺎ‬ “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

13


mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.� Allah Swt memilih manusia sebagai khalifah di Bumi ini bukan tanpa alasan. Karena kelebihan akal yang dapat merubah tatanan Bumi menjadi lebih baik merupakan salah satu alasan dipilihnya manusia. disertai dengan perintah untuk menjalankan perintah menjauhi larangan beribadah hanya kepadanya, tidak takut selain kepadanya 6 Tata kelola pemerintahan yang baik, dikenal juga dengan istilah Good Governance merupakan prasayarat utama dalam menyelesaikan problem bangsa. Setidaknya ada 3 (tiga) prinsip utama dalam good governance, yaitu: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.7 Transparansi berarti adanya keterbukaan dari pejabat pemerintah untuk semua masyarakat, dalam rangka untuk memajukan pemerintahan. Sikap transaparansi berarti jujur dalam menjalani amanah yang diberikan. Akuntabel berarti amanah, tepat janji, dan setia kepada janji yang disampaikan. Partisipasi berarti ada sikap kebersamaan dan gotong-royong dari semua elemen negara, termasuk kalangan yang marginal. Firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 58.

6

Abdul Qadir Audah, Al-Mal wa al-Hukm fi Al-Islam, (Jeddah: alDar al-Su’udiyyah, 1984), hlm. 24 7 Ahmad Fawaid, Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance, Karsa, Vol. XVII, No. 1 April 2010, hlm. 23

14


ْ‫ﱠﺎس أ َن ﺗ َۡﺤ ُﻜﻤُﻮا‬ ِ ‫۞إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﯾَ ۡﺄﻣُﺮُ ﻛُﻢۡ أ َن ﺗ ُﺆَ دﱡواْ ۡٱﻷ َ َٰﻣ َٰﻨﺖِ إِﻟَ ٰ ٓﻰ أ َھۡ ِﻠﮭَﺎ وَ إِذَا َﺣﻜَﻤۡ ﺘ ُﻢ ﺑَﯿۡ ﻦَ ٱﻟﻨ‬ ٥٨ ‫َﺼ ٗﯿﺮا‬ ِ ‫ﻈﻜُﻢ ﺑِ ۗ ِ ٓۦﮫ إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﻛَﺎنَ ﺳَﻤِ ﯿ َۢﻌﺎ ﺑ‬ ُ ‫ﺑِﭑﻟۡ ﻌَﺪۡ ِۚل إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﻧِ ِﻌﻤﱠﺎ ﯾَ ِﻌ‬ “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. ...” Firman Allah Swt dalam surat Al-Maidah ayat 1 ‫ﻋﻠَﯿۡ ﻜُﻢۡ ﻏَﯿۡ ﺮَ ﻣُﺤِ ﻠِّﻲ‬ َ ‫َٰ ٓﯾﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَا َﻣﻨُﻮٓ اْ أ َۡوﻓُﻮاْ ﺑِﭑﻟۡ ﻌُﻘُﻮ ِۚد أ ُﺣِ ﻠ ۡﱠﺖ ﻟَﻜُﻢ ﺑَﮭِﯿ َﻤﺔُ ۡٱﻷ َﻧۡ ﻌَٰﻢِ إ ﱠِﻻ ﻣَﺎ ﯾُ ۡﺘﻠ َٰﻰ‬ ١ ُ ‫ٱﻟﺼﱠﯿۡ ِﺪ وَ أ َﻧﺘ ُﻢۡ ﺣُﺮُ ۗ ٌم إِنﱠ ٱ ﱠ َ ﯾ َۡﺤ ُﻜ ُﻢ ﻣَﺎ ﯾ ُِﺮﯾﺪ‬ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” D.

Solusi Islam terhadap Problematika Kehidupan Sejak awal, Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci

dan pasti tentang konsep sebuah negara. Namun tidak dapat disangkal lagi bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan dan bermasyarakat, juga termasuk politik dan negara. Konsep ini yang menjadi acuan dalam mengemas sebuah negara yang bernafaskan Islam. Keuniversalan prinsip yang ditetapkan, menjadikan manusia leluasa untuk melakukan pengembangan, demi mewujudkan negara yang maju, pemimpin yang adil, dan masyarakat yang sejahtera. Rasulullah

15


Saw setibanya di Madinah, dalam waktu yang relatif singkat, mampu membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar yang merupakan penduduk asli Madinah. Dengan posisinya sebagai orang yang disegani dan ditokohkan di Madinah, Rasulullah Saw membuat perjanjian kerjasama baik dengan muslim maupun non muslim, meletakkan dasar-dasar politik, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut.8 Ada beberapa cendikiawan muslim yang mendikhotomikan agama dan Negara. Diantaranya pandangan Nurcholis Madjid dan H. Moh. Sjafa’at Mintaredja. Menurut gagasan mereka yang dilabeli sebagai pembaharuan menyebutkan bahwa secara prinsip, konsep negara Islam merupakan sebuah distorsi hubungan proposional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual.9 Akibat perbedaan prinsip, keduanya tidak bisa disatukan dan dicampurkan, sehingga keduanya harus dipisahkan. Pandangan ini jelas menunjukkan adanya perbedaan agama dan negara, sehingga Negara menjadi sekuler dan terpisah dari campur tangan agama. 8 Muhammad Syafii Antonio, dkk, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW “The Super Leader Super Manager�, Cet. III, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012), hlm. 94 9 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah dan Masa Kini, Cet. III, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 50

16


Pendapat ini dibantah keras oleh H.M. Rasjidi bahwa Islam dan Negara tidak bisa dipisahkan. Menurutnya, pendapat yang mengatakan bahwa negara dan Islam tidak memiliki keterkaitan merupakan kekeliruan. Bahkan ada diantara sarjana Barat yang membantah hal itu seperti, Bernard Lewis sebagaimana dikutip oleh Tahir Azhari. Ia mengatakan bahwa Islam sejak awal masa pertumbuhannya adalah sebuah Negara dan hubungan antara negara dan negara agama tertancap tanpa dapat dihapuskan dalam ingatan dan kesadaran pengikut setianya. Antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan, namun keduanya harus berjalan seimbang tanpa harus ada pemisahan. Pemisahan antara Negara dengan Agama merupakan praktek Kristen. 10 Agama dalam fungsi edukasi, yakni agama memiliki peranan untuk membimbing dan mengajarkan manusia melalui lembaga-lembaga pendidikan untuk memahami ajaran agama dan memotivasi

manusia

untuk

membumikan

prinsip-prinsip

keagamaan dalam setiap sistem perilaku kehidupan. fungsi penyelamatan, yakni agama menjadi sumber dari jawaban terhadap problema manusia. Agama dalam fungsi kontrol sosial, yakni

agama

ikut

bertanggungjawab

pada

keseimbangan

kehidupan manusia. Agama membawa norma-norma universal yang mampu memilah kaidah-kaidah susila yang baik dan menolak kaidah yang tabu dan terlarang beserta sangsinya.

10

Ibid, hlm. 53

17


Islam datang untuk merubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik, seperti dicerminkan dengan tingkat ketaatan yang tinggi kepada Allah, pengetahuan tentang syariat, dan terlepasnya umat dari beban kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, serta berbagai macam belenggu yang memasung kebebasan manusia. Karakter kuat sangat penting dimiliki dalam hidup dan kehidupan manusia, karena karakter tidak hanya menjadi titik poros yang

mencerminkan akhlak anak bangsa,

tetapi juga menjadi proses pencarian watak bangsa dan menjadi poros utama titik balik kesuksesan pembangunan peradaban bangsa. Menuju ke penciptaan kesalehan sosial sebagai upaya terciptanya masyarakat yang berlandaskan nilai persamaan dan keadilan juga sebagai upaya mencipatakan kemaslahatan umat. Firman Allah Swt dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 96. ‫ض وَ َٰﻟﻜِﻦ‬ ِ ‫ﺴ َﻤﺎ ٓءِ وَ ۡٱﻷ َۡر‬ ‫ﺖ ِ ّﻣﻦَ ٱﻟ ﱠ‬ ٖ ‫ﻋﻠَﯿۡ ﮭِﻢ ﺑَﺮَ َٰﻛ‬ َ ‫ى ءَا َﻣﻨُﻮاْ وَ ٱﺗﱠﻘ َۡﻮاْ ﻟَﻔَﺘ َۡﺤﻨَﺎ‬ ٓ ٰ َ‫وَ ﻟ َۡﻮ أ َنﱠ أ َھۡ َﻞ ٱﻟۡ ﻘُﺮ‬ ٩٦ َ‫َﻛﺬﱠﺑُﻮاْ ﻓَﺄَﺧَﺬۡ َٰﻧﮭُﻢ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮاْ ﯾَﻜۡ ِﺴﺒُﻮن‬ “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

18


Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 88 yang menjelaskan tentang Nabi Syu’aib As dan kaumnya yang durhaka. Kaum nabi Syu’aib As mendustakan kenabian dan tidak mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa olehnya. Akibatnya mereka mendapatkan kerugian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemudian sebagai pembelajaran bagi umat nabi Muhammad Saw, kisah tersebut diabadikan dan disertai dengan petunjuk kehidupan. Terkait dengan ayat ini, at-Tsa’labi menafsirkan bahwa seandainya penduduk suatu negara itu beriman, mentauhidkan Allah Swt, menjalani semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, maka Allah Swt akan membukakan keberkahan dari langit berupa air hujan yang bermanfaat, yang menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman-tanaman yang bagus sebagai rizki bagi manusia. Namun apabila penduduk kaum itu mendustakan ajaran-ajaran Allah Swt dan berpaling dari-Nya, maka manusia akan ditimpakkan adzab.11 Firman Allah Swt tersebut di atas menegaskan bahwa suatu Negara akan mendapatkan limpahan rahmat dan keberkahan, dari arah langit dan bumi, dari arah Timur, Barat, Utara, dan Selatan, dan dari semua sisi kehidupan apabila semua penduduknya beriman dan bertakwa hanya kepada-Nya. Secara ringkas beriman berarti percaya dan yakin kepada hal-hal yang bersifat 11

Abi Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, alKasyf wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 52

19


trasendental dan nalar. Percaya akan hal-hal yang ghaib, seperti percaya adanya Allah Swt, Malaikat, Nabi dan Rasulullah, dan hal-hal ghaib lainnya. Dan juga percaya terhadap apa yang menjadi tanda kekuasaan-Nya, seperti percaya bahwa alam ini dalam kendali-Nya, rizki yang didapatkan adalah karunia dan pemberian-Nya, jabatan yang diberikan merupakan amanah-Nya, dan lain sebagainya. Allah Swt akan menurunkan keberkahan yang banyak bagi negara yang penghuninya beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, dengan jalan menurunkan hujan yang bermanfaat, yang dapat menyuburkan tanah dan tumbuhannya, sehingga menjadi semua orang dalam keadaan berkecukupan, tidak ada orang yang merugi. Namun sebaliknya, apabila penduduk suatu negara itu mendustakan kebenaran, tidak bertaqwa, dan tidak mentauhidkan Allah Swt, maka azab-Nya akan datang kapan pun tanpa disadari oleh manusia.12 Bertakwa berarti menjalankan setiap perintah Allah Swt dengan segala ketulusannya dan menjauhi segala larangannya dengan segala bentuk konsekwensinya. Dengan jalan takwa, maka orang

akan

dapat

menjalani

kehidupan

dengan

tenang,

menyelesaikan amanah dengan baik, dan bersikap rahmatan lil alamin. Islam sebagai agama pembawa rahmat. Akan tetapi rahmat itu harus dimulai dari diri pribadi sendiri, dari keluarga, 12

Nashir al-Din abi al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Syairazi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil al-Ma’ruf bitafsir alBaidhawi, Juz III, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Tth), hlm. 25

20


menularkan di masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Orang yang bisa menjadikan Islam sebagai rahmat bagi dirinya sendiri adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.13 Dengan keimanan dan ketakwaan, maka setidaknya akan dapat melakukan prinsip-prinsip Adanya persamaan derajat untuk semua orang, larangan melakukan kedzaliman baik terhadap manusia

maupun

binatang,

menjunjung

tinggi

keadilan,

menganjurkan toleransi, hidup rukun dan saling menolong dalam kebaikan, dan meningkatkan solidaritas sosial.

13

M. Amin Aziz, The Power of Al-Fatihah, cet. III, (Jakarta: MAA Institute, 2008), hlm. 36

21


DAKWAH, DERADIKALISASI DAN KEMAJUAN UMAT ISLAM Bambang S. Ma’arif Dekan Fakultas Dakwah Unisba

PENDAHULUAN Umat Islam diciptakan oleh Allah Swt sebagai ‘sebaikbaik umat’ (khaira ummah). Pada era modern ini kaum Muslimin berupaya untuk meraih kemajuan yang signifikan, sesudah mereka

mendapatkan

kemerdekaan.

Mereka

mengejar

ketertinggalan dalam ekonomi, pendidikan dan pembangunan semesta setelah lama terjajah. Umat Islam sejak awal merasa cukup puas dengan apa yang ada pada diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak berupaya untuk menjadi penjajah (kolonialis). Alih-alih menjadi imperialis, ia malah sering dijadikan sasaran empuk kaum penjajah. Negeri-negeri Muslim merupakan negeri yang kaya raya baik dari sumberdaya alamnya maupun dari sumber daya insaninya. Kondisi alam yang memenuhi segala kebutuhan umat manusia menjadi daya tarik bagi kehidupan umat manusia. Kondisi ini menandakan adanya magnet pada kebesaran Allah Swt. Umat Islam selalu terlimpahi oleh berbagai nikmat Allah yang sangat banyak. Tiada ada satu negeri Islam pun yang kekeringan dan kekurangan. Terjadinya krisis itu akibat ulah

22


manusianya yang mengakibatkan kerusakan di berbagai ranah kehidupan. Sehingga selalu mengundang pihak luar untuk ikut bertikai atau ikut menyelesaikan konflik di negeri Muslim. Dalam rentang waktu yang lama proses tersebut menjadikan negeri Muslim mengalami ketergantungan. Diperlukan refleksi yang membuat kaum Muslimin pada era kini bergiat diri lagi agar menyadari akan berbagai kekeliruan yang mereka lakukan. Menata masa depan dengan penuh kesadaran bahwa jalan satu-satunya untuk meraih kejayaan itu adalah dengan mengkaji Islam secara komprehensif dan bekerja keras dan cerdas, dengan strategi dan sistem yang tepat. Proses pembelajaran selalu terjadi dalam kehidupan umat Islam. Umat Islam tidak boleh tinggal diam, berpangku tangga hanya menerima nasib. Mereka berupaya untuk menggali kemampuan mereka secara sistemik. Makalah ini membahas beberapa hal sebagai berikut: 1) Makna dakwah, 2) Radikalisme dalam Pandangan Islam, 3) Faktor Pemicu Radikalisme, 4) Langkah Dakwah untuk Deradikalisasi, dan 5) Dakwah untuk Kemajuan Umat. Pembahasan 1. Makna Dakwah Dakwah merupakan kata yang sangat popular dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk kaum Muslimin. Kita mendengar bahwa dakwah berada di mana dan kapan saja.

23


Bahkan di banyak negara yang umat Islam merupakan bagian minoritas dari penduduknya, dakwah dapat ditemukan. Kian lama Islam berkembang secara signifikan melalui jaringan dakwah ke berbagai pelosok dunia. Semakin Islam dideskreditkan oleh pihak-pihak lain semakin penasaran orang lain untuk mendalami Islam. Hal itu tidak heran, karena banyak pihak merasa kuatir kalau Islam terus berkembang maka agama dan atau filsafat mereka akan makin tersingkir. Sehingga mereka tidak tinggal diam. Mereka selalu berupaya untuk menghalani perkembangan Islam. Semakin Islam dihalangi dan dicegat semakin deras arus orang untuk masuk kedalam Islam. Mereka berupaya untuk menghalangi perkembangan Islam baik dengan lisan dan tangan mereka, namun Allah justru akan menyempurnakan cahaya agamanya.

Namun sejauh mana dakwah bermakna, khususnya,

bagi kehidupan umat, dan manusia pada umumnya. Secara lughat, dakwah (da’wah) berasal dari da’a, yad’u dan da’wat: ajakan, seruan dan panggilan (Ma’luf, 1997: 245). Siapa pun dapat melakukan ajakan yang dianut oleh setiap individu, hatta setan pun dapat mengajak golongannya pada kesesatan yang berakhir di neraka. Sedangkan Allah Swt, mengajak orang-orang beriman ke ‘perkampungan damai’ (dār al-salām) yang penuh dengan nikmat Ilahi. Secara etimologis, dakwah adalah ajakan satu pihak kepada suatu kondisi tertentu baik itu yang baik maupun yang

24


jahat. Sedangkan secara terminologis adalah upaya da’i untuk mengajak orang lain kepada Islam. Islam merupakan agama yang diridhai oleh Allah Swt; agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Ridha Allah Swt menjadi tujuan utama para da’i. Meski banyak tantangan dan rintangan yang menghadap namun da’i tetap melaksanakan dakwahnya. Para da’i berupaya untuk senantiasa

berani

menanggung

resiko

yang

diterimanya.

Pembinaan diri sendiri mendahului untuk menyeru pihak lain, keluarga dan jemaah serta masyarakat luas. Dakwah merupakan upaya memanggil, mengajak, propaganda kepada ajaran Islam, baik ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk. Dalam pengertian istilah, dakwah merupakan suatu aktivitas untuk mengajak orang kepada ajaran islam yang dilakukan secara damai, lembut (QS.35:6), konsisten dan penuh komitmen. Cakupan dakwah lebih luas daripada pengertian tabligh. Dakwah meliputi dakwah verbal (da’wah bil-lisan) dan dakwah nonverbal (bil-hal), sedangkan tabligh hanya meliputi ajakan secara verbal (Maarif. B. S. 2010: 22). Dakwah membutuhkan keteladanan dalam

kebersamaan.

Penyampaian

ajaran

agama

kepada

masyarakat dilakukan secara bijak sehingga ajaran Islam dipahami dan diamalkan oleh masyarakat.

Dakwah Islam meliputi ajakan, keteladanan, dan tindakan konkret untuk melakukan tindakan yang baik bagi keselamatan

25


dunia dan akhirat. Perintah untuk mengajak orang ke jalan Allah secara tegas tersurat dalam Surah An-Nahl: 125. Ayat tersebut menunjukkan bahwa pelaku dakwah mengambil dasar-dasar berdakwah melalui cara: bijaksaana (al-hikmah), yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil; pelajaran yang baik (al-Maw’izhah al-Hasanah); dan perdebatan dengan cara yang terbaik. Namun, cara yang terakhir ini jarang digunakan dalam dakwah Islam karena perdebatan dan perbantahan akan mengeraskan hati dan mengeruhkan suasana sehingga membawa kepada posisi defensif reaktif. Oleh sebab itu, cara yang paling baik dan banyak digunakan oleh para juru dakwah, yaitu cara bijaksana (bilHikmah) dan tegur sapa yang baik. Kedua cara inilah yang banyak dilakukan oleh para da’i. Namun belakangan ini ada satu figur yang melakukan dakwah secara perdebatan, yaitu Dr. Naik Zakir. Dia yang menggunakan perbandingan agama dan analisis eksegis dari al-Kitab (the Bible). Dakwah sebagai proses penyampaian pesan dan informasi Islam untuk memengaruhi komunikan (objek dakwah, mad’u) agar mengimani, mengilmui, mengamalkan, menyebarkan, dan membela kebenaran Islam. Komunikasi dakwah juga dapat didefinisikan sebagai komunikasi yang melibatkan pesan-pesan dakwah dan aktor-aktor dakwah, atau berkaitan dengan ajaran

26


Islam dan pengalamannya dalam berbagai aspek kehidupan (Romli. 2013: 6). Da’i diharapkan punya syarat-syarat dan sifat tertentu, antara lain: (1) tulus ikhlas meyakini kebenaran ajaran islam, (2) memberikan kesaksian pada agama yang mereka imani dengan menyatakannya secara tegas, (3) memberi contoh, (4) sabar, tabah dan rela berkorban meski dengan jiwa dan raganya, (5) Menguasai ilmu, (6) menempuh cara hikmah bagi yang terpelajar dan maw’idhah bagi orang yang awam, (7) dakwah Islam harus ditempatkan di atas prasangka-prasangka kebangsaan dan kelompok, (8) kesaksiaan harus mencakup keseluruhan kebenaran yang diwahyukan Tuhan, (9) lembut dalam menyampaikan nilainilai

dan

pandangan,

(10)

mengetahui

tabiat

kejiwaan

komunikasinya, dengan memperhatikan apa yang mereka inginkan (Al- Rifa’i, 2002; 42). Tujuan Dakwah. Dakwah bertujuan menciptakan suatu tatanan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera yang dinaungi oleh karunia Ilahy dan kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani, dalam pancaran sinar (agama) Allah dengan mengharap ridha-Nya. Cara-cara dakwah yang damai telah berlangsung pulihan abad. Kodrat manusia dan fitrah keberagamaan menjadikan manusia mencari sesuatu tindakan dan kondisi yang sesuai dengan hati nurani dan watak mereka. Fitrah menjadi konsen pendidikan kaum Muslimin yang

27


ada. Muslim diperintah untuk terbuka fikirannya, menyerap berbagai temuan yang ada. Baik dalam menggali khazanah di alam raya maupun ketika memahami al-Quran. Setiap kesempatan dipergunakan untuk dakwah dan tanpa kekerasan. Tujuan dakwah dicermati agar dapat membuahkan keluaran (output) yang terukur. Dakwah Islam merupakan tugas pokok dari para Nabi yang dilanjutkan oleh ulama dan zu’ama. Secara sistematis dakwah bertujuan (Ma’arif, B. S., 2010) untuk: (a) Tazkiyatu ‘l-Nafs, yaitu: Membersihkan jiwa insan dari noda-noda syirik dan pengaruh-pengaruh kepercayaan yang menyimpang dari akidah islam. Suatu aktivitas dakwah diarahkan untuk

mencerahkan

batin

individu

dan

kelompok,

serta

menemukan keseimbangan kehidupan yang dinamis. Pensucian jiwa melalui aqidah Islam. Dengan jiwa yang bersih dari nodanoda syirik setiap muslim dapat memeroleh kebajikan yang utama. Aqidah Islam berbasis tauhidullah menjadi landasan akhlaq. Mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan banyak manfaatnya. Pembinaan kepribadian diletakkan

berlandaskan kepada keyakinan pada rukun iman;

pembinaan kepribadian merupakan kelanjutan dari setiap upaya untuk membina diri. Pembentukan karakter dimulai dari jiwa yang bersih, tanpa itu terlebih dahulu. (b) Mengembangkan kemampuan baca tulis Al-Quran dan pengamalannya. mengembangkan kemampuan dasar masyarakat

28


meliputi kemampuan membaca, menulis dan memahami makna al-Quran serta sunah Nabi saw. Dari sini, masyarakat akan melek huruf, kemampuan nalarnya berkembang menuju terciptanya masyarakat madani yang akan membawa kesejahteraan hidup sehingga masyarakat mampu untuk terus maju secara egaliter. (c) Membimbing pengalaman beribadah. Umat Islam perlu mendapat bimbingan beribadah sehingga kualitas ibadahnya meningkat. Kekhusyuan kaum Muslimin selalu meningkat. Ibadah menjiwai perilaku kehidupan.

Ibadah menjadi landasan bagi

perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan, baik ekonomi, politik dan budaya

yang damai, maju dan berkah bagi

keselamatan di dunia dan akhirat. (d) Meningkatkan kesejahteraan dan Kemakmuran. Dakwah lazimnya membantu umat Islam pada peningkatan kesejahteraan, baik sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Ini dapat tercipta bila dakwah mampu mendorong masyarakat muslim memiliki etos kerja; giat, perhitungan, menepati janji, menjamin kualitas dan bersama-sama memelihara kebersamaan. 2. Radikalisme dalam Pandangan Islam a. Militansi dan Radikalisme Di jaman Orde Baru,

Frase “Islam militan�, merupakan

kata-kata yang sangat ditakuti. Adalah G.H. Jansen (1979) yang pertama kali menyentak warga dunia akan pentingnya untuk mencermati fenomena militansi dalam karyanya, “Militant Islam

29


an Informed and Incisive analysis of Islam’s Confrontation with the Western World Today.” Buku yang diterjemahkan oleh Armahedi Mazhar (1983) itu kini nyaris klasik. Bila penulis telaah dengan saksama nampaknya merupakan hasil liputan GH. Jansen sebagai seorang jurnalis majalah mingguan The Economist Inggris dari berbagai fenomena kebangkitan banyak negara Islam di seantero dunia. Buku yang cukup tua itu tetap menyediakan informasi yang cukup penting tentang kebangkitan Islam tersebut tetap perlu untuk kita kaji, atau bahkan diceramati secara baik. Karena realitas sejarah tersebut menjadikan kaum Muslimin untuk memaknai setiap dinamika sejarah ini sebagai suatu peristiwa yang luar biasa. Dapatkah kita menyatakan bahwa Islam militan tersebut

masih

bergerak

secara

maksimal

ataukah

telah

mengalami pelambanan (melaise). Apakah masih bisa dikatakan abad ke-21 ini sebagai ‘kelanjutan Islam Militan’ itu ataukah sudah berubah arah, menjadi non-“Islam Militan’, mengingat bahwa sejak 2010 terjadi Arabic Spring di negera Timur Tengah (Agastya, 2013). Arab Spring telah membawa Tunisia untuk mengarah kepada pemisahan antara agama dengan kakuasaan, yang dulu dipandang sebagai sekularisme. Namun, sekularisme ditafsirkan ulang oleh para aktivis partai al-Nahdha Tunisia, sehingga memiliki makna yang berlainan dengan paham Barat pada

30


umumnya. Sekularisme di Barat merupakan satu ideologi, namun menurut pemimpin al-Nahdha ia meruapkan suatu mekanisme pengelolaan kehidupan dalam urusan-urusan politik dari berbagai dimensi kehidupan. Kondisi di Tunisia dipandang sebagai suatu pembaharuan akan munculnya peradaban Islam masa depan. Apa yang digambarkan oleh GH. Jansen sebagai ‘Militansi’ mencakup semangat untuk mengamalkan Islam dalam kehidupan real, mengambil jarak dari kehidupan gaya Barat, dan berjuang untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran, benar-benar telah terwujud dalam kehidupan yang ada. Sikap yang diambil adalah melakukan politik besbas aktif, tidak tunduk dan pasrah kepada tekanan Barat, sebagaimana tidak membuka front terhadap Barat karena akan membawa konflik terbuka. Militansi Islam tidak diarahkan untuk berkonfrontasi dengan pihak-pihak manapun, Tetapi sikap militansi menimbulkan kekhawatiran dikalangan umat bangsa lain. Pengertian militan adalah “bersemangat tinggi; penuh gairah; berhaluan keras; untuk membina suatu organisasi diperlukan orang-orang yang militan dan penuh pengabdian.” Sedangkan militansi (n.) diartikan sebagai ketangguhan dalam berjuang (menghadapi kesulitan, berperang dsb [Anton M. Moeliono, Penyunting penyelia], tanpa tahun: 657). Sementara itu Ingo Wandelt (2009: 343) mengartikan Militan sebagai, “1. to be militant, 2. To be able and willing to

31


defend, willing to serve the goals of the armed forces.� (Militan diartikan sebagai menjadi bersemangat untuk berjuang guna mendapatkan kemenangan; untuk mampu menjadi pemenang, berminat untuk mencapai tujuan dari pasikan bersenjata.). Sedangkan Webster (2006: 1161) menyatakan, militant ([adj.] berarti, 1 “engaged in warfare or combat: fighting, 2. Aggresively active (as in a cause): combative (militant conservationists) or a militant attitude. Dengan demikian militan dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana menikmati pada menyerang atau membalas: peperangan.) Sedangkan radikalisme di sini diartikan sebagai pandangan yang mendasar tentang suatu kebajikan dalam kehidupan. Pandangan yang mendasar ini melihat Islam sebagai jalan yang mutlak

yang

harus

diterapkan

dalam

kehidupan

secara

menyeluruh (kaffah). Dari uraian berbagai sumber

tersebut dapat dipahami

bahwa militansi dan radikalisme ‘merupakan suatu semangat untuk menang dalam melaksanakan perjuangan baik pada masa damai ataupun masa perang, dengan melakukan sikap kejuangan yang tiada henti.’ Militan lebih diarahkan ke arah sikap yang sangat mulia karena ia terwujud dalam kepribadian umat Islam dalam menyampaikan kebenaran (Ahmad Sunarto, 2013, jilid 6: 8). Sedangkan radikal merupakan pandangan yang mendasar

32


tentang ajaran agama sebagai sesuatu jalan mutlak, dan memandang ajaran yang lain tidak ada. Kondisi ini bertolak dari situasi umat Islam yang memandang bahwa Islam adalah jalan mutlak dalam menghadapi berbagai problematika. Militansi dapat berlaku pada masa damai dan masa perang. Pada masa damai militansi berupaya untuk menjalankan ajaran agama secara paripurna, santun dan damai dengan kesungguhan dalam berjuang. Sedangkan pada masa genting dan perang maka tindakan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Bila dinyatakan Umat Islam merupakan umat yang terbaik, mengemban satu tugas mulia untuk menjadi saksi di muka bumi (syu’ahada ‘ala al-nas wa yakuna al-rasul syahidan bainakum). Umat Islam menjadi saksi akan keunggulan ajaran agama tauhidullah, yang permanen, dengan fungsi utama kaum muslimin adalah “beramar ma’ruf dan nahyi munkar.” Meski secara teknologi dan infrastruktur umat Islam masih minim dan sedang berkembang, namun spirit tersebut menjadikan umat Islam mencari jalan keluar. Upaya untuk mencari solusi yang ditingkahi oleh kelangkaan sarana dan fasilitas menjadikan kaum Muslim memeras tenaga dan pikiran untuk menjadi “umat yang terbaik.” Sehingga yang terbaiknya tidak diletakkan pada sarana teknologi dan informatika, namun lebih kepada akhlak yang mulia, pengetahuan keagamaan yang utama, beribadah,

33


beridzikir, bersilaturrahim, ikhtiar dan bersedekah kepada fakir miskin. Perguruan-perguruan tinggi Islam unggulan di Indonesia berupaya memadukan antara sains, teknologi dan humaniora. Konsepsi wahyu memandu ilmu; amal menjadi niscaya bagi pendidikan kaum Muslimin. Semangat untuk berperang menjadi kata kunci bila kondisi umat Islam dalam kondisi yang genting, tertindas; ibadah dan dakwah dikekang. Tetapi karena umat Islam di Indonesia mayoritas dan dakwah dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tidak selayaknya kita memberikan makna militansi dengan arti ‘mengangkat senjata, dan perang.’ Walaupun di sana ada yang memaknai “perang” selalu terjadi, sekurang-kurangnya perang pemikiran (ghazwul fikri), namun ghazwul fikri tidak harus dimaknai untuk melancarkan serangan (serbuan) kepada nonMuslim untuk mematikan. Pemahaman terhadap ajaran Islam menemukan bahwa, 1) Umat Islam merupakan umat yang terbaik yang dilahirkan oleh Allah di muka bumi, yang tugasnya adalah amar ma’ruf dan nahyi munkar, 2) Nabi Muhammad Saw diminta untuk mendorong umat Islam untuk berjuang (berperang). Umat Islam tidak boleh gentar, 3) Kaum Muslimin harus berjuang di jalan Allah dengan bersungguh-sungguh, 4) Umat Islam harus memperbaiki sikap, perilaku dan amal-ibadahnya, sebagaimana pula aqidah, syariah dan akhlaknya.

34


3. Faktor Pemicu Radikalisme Militansi dipicu oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal dari kaum Muslimin di Indonesia. Faktor internal merupakan berbagai persoalan didalam tubuh umat Islam. Gesekan dipandang sebagai sumber konflik atau tidak. Misalnya, dalam penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, kebanyakan umat Islam sepakat untuk mengikuti sidang itsbat dari Kementerian Agama, namun ada pula organisasi sosial keagamaan dengan metode hisab-nya mendahului – dan kemudian berbeda. Di samping itu, ada kelompok Tarekat (di Sumatra dan Sulawesi) yang menetapkan permulaan awal Ramadhan lebih awal 3 hari, sehingga lebarannya 3 hari lebih awal. Sedangkan pada faktor eksternal merupakan berbagai kondisi di luar tubuh umat Islam yang menjadi pertimbangan bagi diambilnya sikap dan tindakan tertentu yang dipandang secara tepat. Suatu respon diambil dengan mempertimbangkan secara saksama, dengan mengkalkulasikan berbagai persoalan yang tepat.

Salah satu faktor eksternal yang dipandang melegenda

adalah pengalaman “Perang Salib” yang hingga hari ini masih terasa imbasnya kepada stereotipe dari gereja, dan untuk mengkristenkan dunia pada umumnya. Binar-binar perang salib mewarna hegemoni dunia Barat dan Islam. Zainab Abdul Aziz (2011: 147) menyatakan bahwa “perang salib tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah gereja.” Gereja ingin

35


mengkristenkan

dunia

internasional.

Berbagai

ketegangan

pascaperang dingin tidak bisa dilepaskan dari perang salib; masih terasa dengan kondisi percaturan geostrategik umat Islam di berbagai belahan dunia. Ketika umat Islam berupaya untuk merespon semua problem itu telah memunculkan semangat militansi yang ada didunia modern kini. Demikian pula dengan munculnya Islamophobia pada sebagian kalangan di Barat, yang kemudian ditegaskan lagi adanga tesis Samuel P. Huntington ([1990], dalam Fuller, 2014: 24) yang dikenal sebagai, “Benturan antar-Peradaban.� Sebagian negara Timur Tengah yang kaya minyak dan gas dieksploitasi di abad Modern ini. Industrialisasi mendorong Barat menjalin kerjasama pembangunan, namun di balik itu tersembul satu tendensi eksploitasi kekayaan gas, minyak bumi dan mineral lainnya Kondisi negeri-negeri Islam masih berada di belakang, yang lebih banyak mengandalkan kepada teknologi tepat guna; belum banyak yang menggunakan teknologi yang canggih. Kondisi masyarakat Muslim yang tidak terlalu maju dalam teknologi dan sains itulah yang menjadikannya tidak mampu menjadi penjajah yang menaklukkan banyak negara. Negeri Muslim sering mensyukuri nikmat Allah yang ada pada tanah air mereka. Meski sesekali terpesona oleh teknologi canggih sebagai penggerak pembangunan di negeri-negeri Muslim, namun kondisi sosial ekonominya memang masih baru dalam pertumbuhan --

36


untuk tidak mengatakan dalam kondisi tertinggal. Tingkat pendidikan di kebanyakan negara Islam masih banyak dalam kategori yang lamban. Hal itu ditandai oleh kondisi teknologi yang masih sederhana dan sebagiannya lagi banyak yang tepat guna, bukan teknologi yang canggih. Kondisi umat Islam selalu memberikan yang sejati dan terbaik bagi kehidupan umat manusia. Tingkat pendidikan yang bersifat tradisional menjadikan kaum Muslimin mengulang-ulang tradisi dari generasi lampau. Keharmonisan kehidupan lebih ditekankan dibandingkan dengan inovasi yang membawa peningkatan kualitas kehidupan secara merata. Kondisi tersebut telah mendorong aktivis dakwah di negeri Islam untuk menggelorakan perjuangan melawan Negara-negara Barat. Negeri Muslim banyak terjajah sehingga mereka ingin mendapatkan kemerdekaan, guna mencapai keadilan. Dalam upaya untuk merebut kepemimpinan negeri-negri Muslim dari hegemoni Barat, maka sejak lama telah muncul gerakan Thaliban ketika Afghanistan dianeksasi oleh Komunisme Uni Sovyet, alQaidah dan ISIS. Ketidakadilan membawa kepada sikap militansi dari segenap warga bangsa yang merasa hak-haknya ditindas dan dirampas dari akar kehidupannya. Ini membangkitkan semangat juang sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dari sekian faktor yang paling dominan bagi munculnya radikalisme dan fundamentalisme adalah yang terkait dengan

37


kebijakan Negara-negara maju (Adikuasa) yang dirasakan ridak adil terhadap umat Islam. Ketidakadilan itu

mengakibatkan

lahirnya keterbelangan dan ketergantungan umat Islam dan atau Negara-negara Islam terhadap Negara adidaya. Kondisi ini akan membawa suatu yang tidak egaliter, karena umat Islam, yang mestinya mampu untuk bertindak dengan layak, kemudian menjadi ‘mengemis’ kepada Negara-negara maju. Suasana solidaritas di kalangan umat Islam telah membangkitkan berbagai kecaman terhadap Negara adikuasa. Selanjutnya bahkan telah membawa kepada lahirnya tindakan kekerasan di kalangan umat Islam, maupun yang ke luar. Dakwah yang bijak akan mampu mengerem radikalisme karena para aktivis dakwah menyebarluaskan agenda dakwah untuk

mendapatkan

berbagai

agenda

yang

baik

dengan

mengambil unsur inti dari Islam dan pengamalannya disesuaikan dengan kondisi yang tumbuh dalam masyarakat. Dicermati secara saksama bahwa umat Islam memiliki sikap toleran terhadap mereka yang tidak sepaham, dan tidak perlu memblow-up ‘pelaksanaan syariat dalam jargon pelaksanaan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari’. Langkah-langkah tersebut dapat diketergoriakan secara tepat dalam 2 dengan bentuk yang saling berseberangan, yaitu: inklusif dan eksklusif (Fuller, 2014: 59-61). Melalui analisis terhadap sikap ini kita melihat bahwa ada batas-batas toleransi, baik

38


dengan menyatakannya secara eksklusif dan inklusif. Bagi banyak kaum Fundamentalis -- Kristen atau Muslim --

Perang Salib

menandai awal dari benturan antarperadaban (Fuller, 2014: 121). Berbagai persoalan yang terkait dengan radikalisme Islam yang terkait dengan Timur Tengah menjadikannya melampaui batasan normalnya, ke arah radikalisme dan terorisme. Masih menyimpan misteri, apakah Revolusi Timur Tengah di 6 negara Arab yang utama, meliputi: Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, dan Bahrain (Agastya, 2013: 11), terjadi karena faktor (ideologi) Islam militan ataukah karena persoalan keadilan. Di sini perlu diketengahkan suatu analisis yang memadai. Banyak pihak lebih menyatakan faktor pemicunya adalah karena persoalan (ketidakadilan) ekonomi dibandingkan dengan faktor paham Islam militan. Di samping itu juga faktor kezaliman, di mana umat Islam seringkali dizalimi. Sikap militansi telah membawa pengaruh yang tidak langsung dalam menyikapi berbagai persoalan hidupan dan kehidupan di Timur Tengah. Setelah tahun 1979 (Revolusi Iran) sampai 2010 (rentang waktu lebih dari 30 tahun), suatu rentang yang cukup panjang. 4. Langkah Dakwah untuk Deradikalisasi Dalam kiprah dakwah di abad kontemporer yang perlu dipertimbangkan adalah urgensi kemaslahatan dan sekaligus menjauhi madharat (bencana) dari suatu kebijakan dakwah. Aktivis dakwah perlu merefleksikan berbagai persoalan yang

39


sedang dihadapinya. Dengan pertimbangan rasional para aktivis dapat mengukur sampai sejauh mana pesan-pesan dakwahnya dapat

diterima

masyarakat.

Faktor-faktor

apa

saja

yang

menjadikan masyarakat mau menerima pesan dakwah. Sekiranya muncul kendala dalam dakwah, maka apa kendalanya, dan berupaya untuk menanggulangi kendala tersebut. Di samping langkah tersebut juga perlu untuk melakukan dzikir dan tadabbur dalam setiap gerak langkahnya. Perlu ada Ikhtiar, doa, pemantapan ibadah serta amal sholeh yang disertai dengan disiplin ilmunya secara terarah dan terkendali. Melalui strategi

kebangkitan umat

Islam

da’i

dapat merencakan

pendewaan kaum Islam. Pendewasaan tersebut dilakukan dengan cara yang baik untuk melangkah ke arah kemajuan umat. Umat dapat maju bila: (a) meluruskan niat, (b) senantiasa beribadah dengan baik, (c) bekerja produktif dengan mendasarkan kepada yang halal, (d) Mengevaluasi sampai sejauh mana capaian pekerjaan, dan (e) Bertawakkal setelah berkinerja. Dakwah meluruskan semua itu dengan kebijakan yang prima. Potensi umat Islam, baik di Indonesia maupun di luar, sangat besar. Namun potensi tersebut belum semuanya tergali dengan baik. Hal itu karena hati dan pikiran umat Islam senantiasa bergantung kepada sesuatu yang mutlak yaitu Ilahy dalam kehidupannya. Karena itu perlu diubah ke arah yang lebih baik,

40


makmur dan penuh dengan ridha Ilahy. Manusia perlu berhenti dalam keheningan untuk merenungkan apa yang telah dilakukan. “Militan” pada satu sisi menjadi basis spirit yang berkaitan dengan cara aktivis dakwah

merespons berbagai

problematika keagamaan, keumatan dan kebangsaan. Dalam artian

bahwa

militansi

menjadi

basis

bagi

pemahaman

“revivalisme dan puritanisme.” Sedangkan pada sisi lain bertaut dengan “fundamentalisme dan radikalisme.” Bila kita eksplorasi kembali makna militansi maka dia memberikan warna kepada nilai-nilai modernitas. Tetapi tegas bahwa militansi antagonistik dengan “liberalisme dan pragmatisme.” Militansi menjadi semangat untuk menjabarkan ajaran agama sangat terkait dengan gerakan revivalisme karena memandang bahwa ajaran agama (baca: Islam) mampu menjawab tantangan jaman, sekalipun tanpa disertai dengan sains dan teknologi modern. Bila dielaborasikan pada perjuangan Islam yang penuh tantangan maka ia terkait dengan ‘fundamentalisme dan radikalisme’, hanya saja pada dua diksi terakhir ini medan perjuangan ditarik kepada makna jihadis dan pemahaman yang mendasar dari ajaran Islam. Yang jelas militan bertolakbelakang dengan ‘pragmatisme dan liberalisme’ karena kedua kata ini mengarah kepada makna yang kadang lepas dari kendali agama. Muslimin melatih diri mereka dengan qiyamullael, shaum sunah, menambah shalat rawatib dan nafilah, memperbanyak

41


membaca al-Quran, shilaturrahim, membantu fakir miskin, dan bekerjasama dengan pihak lain secara baik menjadikan para pelakunya menjadi militan. Fasilitas yang melimpah seringkali justru menjadikan diri seseorang yang difasilitasi menjadi lembek dan lemah, tidak memiliki jiwa yang militan. Terutama jika hal itu dimulai sejak masa mudanya. Di sinilah para calon pemimin yang militan itu dibentuk meski harus dengan keterbatasan fasilitas. Para pejuang dijalan Allah di masa lampau berjuang dari titik nol, tanpa disertai dengan fasilitas kehidupan yang layak. Satu-satunya fasilitas seringkali adalah tanah ladang (kebun) yang mereka miliki. Meski tidak luas awalnya tanah tersebut menjadi tumpuan pembinaan mereka. Kondisi yang seperti ini berbeda dengan keadaan kini, yang sudah serba lengkap dengan berbagai fasilitas yang mapan. Beberapa tokoh Islam membangunkan kesadaran umat Islam dari tidur panjangnya, baik dalam bentuk kelompok maupun kesadaran berbangsa dan bernegara, utamanya

adalah

dengan

mengorganisasikan

maka langkah diri

melalui

kehidupan Muslimin. Muncullah Ulama dan Zu’ama (pemimpin) Islam berupaya merekonstruksi kebangkitan Islam, agar Islam tidak tertutupi oleh umatnya (al-Islâm mahjûb bi ‘l-Muslimîn). Sejak jaman Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Sayid Qutub dan Hasan al-Banna. Mengamalkan ajaran Islam dengan cara bersungguh-sungguh

42


(mujâhadah) dan istiqomah. Seruan utamanya adalah “kembali kepada al-Quran dan al-sunnah.” Pengamalan yang terpadu untuk menjadi Muslim yang kaffah. QS. al-Baqoroh (2): 208. Al-Qur’an surat Muhammad (47): 7, “Jika kalian membela (agama) Allah maka Allah akan membela kamu dan meneguhkan langkahmu.” 5. Dakwah untuk Kemajuan Umat Islam Bila dakwah Islam dilakukan secara bijak maka pesanpesannya dapat mengantarkan masyarakat muslim kemajuan. Kemajuan merupakan sasaran, teknik dan proses dalam meraih kebajikan dan kemanfaatan yang dilakukan oleh umat manusia. Kemajuan diperoleh bila umat Islam dapat melaksanakan semua tugas dan kewajibannya sesuai dengan ajaran agamanya. Tugas merupakan suatu tanggung jawab yang diemban oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mengantarkannya kepada kebermanfatan dan kebajikan bagi umat manusia. Kelompok dakwah yang berupaya untuk mempertemukan ajaran Islam dengan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Mereka berupaya untuk mengapresiasi terhadap temuantemuan teknologi modern sebagai suatu kebajikan yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Dakwah untuk kemajuan merupakan yang tidak radikal secara ideologis, dan dapat mengadopsi ilmu pengetahuan dan Teknologi, yang ditemukan oleh orang Barat sekalipun, selama ia dapat memberi manfaat dan tidak

43


mendatangkan bencana bagi umat manusia. Karena teknologi dapat dipergunakan oleh umat Islam untuk mencapai kemajuan dan memberikan makna bagi kehidupan umat manusia. Ajaran agama dipahami tidak hitam putih. Diperlukan berbagai sinergi antara Islam dan Barat sepanjang meneguhi kebajikan bagi kehidupan. Islam yang rahmatan lil-’alamin tidak menimbulkan kekacauan didalam tubuh umat Islam. Faktor-faktor

kultural

dipahami

oleh

mereka

sebagai

pemerkaya kehidupan dalam rangka peribadatan umat Islam. Bila kebudayaan itu menyimpang maka diluruskan dan diisi oleh nilainilai Islam secara bijak. Para penyeru Islam mengajak kaum Muslimin untuk melaksanakan Islam dengan cara bijak dan disesuaikan dengan kondisi empiriknya, tanpa disertai dengan perasaan amarah dan emosional. Pelaku dakwah mengambil inti ajaran agama secara lembut dan lentur. Apa yang diperlukan oleh umat Islam senantiasa diupayakan untuk dipenuhi oleh para pelaku dakwah, tanpa meninggalkan ajaran agamnya. Kemajuan umat Islam dijadikan sebagai penanda akan datangnya era baru bagi kehidupan umat Islam. Umat Islam beraktivitas secara baik dengan mengetengahkan pertimbangan kultural, sains dan teknologi serta kabajikan dan kemaslahatan umat Islam. Langkah dakwah tidak dilakukan secara radikal, yang akan berakibat kepada pertikaian di kalangan tubuh umat Islam. PENUTUP

44


Simpulan 1. Dakwah Islam dilakukan dengan cara bijak dan damai akan membawa kebajikan dan toleransi didalam tubuh umat Islam. Dakwah mengajarkan perdamaian dan kebajikan untuk seluruh umat manusia. Melalui dakwah Umat Islam memahami berbagai sisi ajaran Islam yang kaffah. 2. Islam tidak bertindah kasar dan mencelakakan orang lain. Radikalisme yang dapat mebawa bencana dan kerusakan pada umat Islam dan manusia dihindarkan secara sadar. Radikalisme dihindarkan sebisa mungkin agar umat Islam dan manusia secara keseluruhan dapat beramal dengan bajik.

Umat

Islam

menuntut

umatnya

unuk

menyebarluaskan aqidah Islam yang rahmatan lil-alamin dengan senantiasa menjalankan aqidah Islam secara baik. 3. Ada faktor pemicu bagi lahirnya radikalisme didalam Islam, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Semuanya berhulu kepada ketidakadilan dan diskriminasi. Langkah menyebarluaskan keadilan, kesetaraan dan persamaan dalam mendapatkan peluang akan dapat mereduksi radikalisme. 4. Dakwah yang dilakukan secara bijak dan percontohan yang

konkrit

dengan

cara

yang

luwes

dan

45


memertimbangkan kebijaksanaan (al-hikmah) dan almaw’idzah al-hasanah (pelajaran yang baik) akan lebih menarik dan berjalan panjang karena sesuai dengan dimensi manusiawi. 5. Dakwah yang dilakukan oleh umat Islam selalu berupaya untuk mendorong umat Islam untuk bersikap toleran (tasamuh). Sikap toleransi dalam dakwah dilakukan guna mewujudkan kemajuan umat Islam. Adanya akses kepada berbagai peluang secara bijak akan mengayomi umat Islam sendiri dan non-Muslim. Pandangan Islam yang berseberangan diupayakan untuk didekatkan supaya kita bisa duduk bersama dan bermusywarah dengan baik. Selain itu juga terjadi satu kesepakatan untuk menjadikan dakwah sebagai payung pemandu kemajuan umat Islam. 4.1

Saran 1. Umat Islam yang militan hendaknya tetap bersikap moderat untuk melakukan dakwah Islam di Indonesia. Sebab bila tidak dikendalikan dengan baik, bisa jadi umat Islam tertarik untuk menjadi radikalisme dalam menyikapi berbagai

persoalan

kebangsaan,

keumatan

dan

kenegaraan,

46


2. Pelaku dakwah hendaknya menimbang aspek mana dari konstruk militan yang ada yang paling membawa kebaikan, kemajuan dan kemuliaan umat Islam. Konstruk yang paling baik itulah yang harus lebih sering untuk dijalankan; perlu meminimalisir berbagai langkah yang membawa bencana bagi agama Islam, umat Islam dan bangsa Indonesia. Dakwah Islam berkontribusi terhadap islamisasi kehidupan. 3. Faktor-faktor pendorong penyebaran ajaran Islam perlu dicermati mana yang memiliki kekuatan bagi kejayaan umat Islam di Indonesia. Muslim hendaknya lebih matang menilai corak yang lebih maslahat bagi Islam dindonesia era reformasi untuk mendapatkan kemulian dan kejayaan bagi Islam di Indonesia. 4. Dakwah perlu lebih bergerak untuk membangun karsa umat

Islam

guna

meraih

kemajuan,

bukan

menyebarluaskan kebencian dan pertikaian.

47


. DAFTAR PUSTAKA Abu Khalil, Syauqi. (2006). Islam Menjaab Tuduhan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Abou El-Fadl, Khaled. (2004). Islam dan Tantangan Demokrasi. Jakarta: Ufuk Press. Agastya, M. ABM. (2013). Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah. Yogyakarta: Ircisod.

Agus SB (Surya Bakti). (2014). Darurat Terorisme Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi. Jakarta: Penerbit Daulat Press.

Ahmad Sunarto, (2013). Ensiklopedi Biografi Nabi Muhammad Saw dan Tokoh-tokoh Besar Islam. jilid 6. Jakarta: Widya Cahaya. Al-Fiki, Sa’ad Karim. (2009). Pengkhianat-Pengkhianat dalam Sejarah Islam. (Penerjemah: Muhyidin Mas Rida). Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Ali, As’ad Said. (2014). Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya. Jakarta: Pustaka LP3ES.

48


Al-Rifa’i, Musthafa. (2002). Potret Juru Dakwah. Jakarta: AlKautsar. Aziz, Moh Ali. Surhartini, Rr. & Halim, A. (2005). Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Anton M. Moeliono, Penyunting penyelia, [tanpa tahun]). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Effendi, Yusuf. (2015). Kebangkitan Kedua Umat Islam Jalan Menuju Kemuliaan. Bandung: Noura Books (Kelompok Mizan).

Esposito, John L. (2007). Ensiklopedia Islam Modern. Bandung: Mizan.

Fuller, Graham E. (2014). Apa jadinya Dunia Tanpa Islam? Sebuah Narasi Sejarah Alternatif. Bandung: Mizan. Jansen, G.H. (1983). “Islam Militan.” (Terjemahan: Armahedi Mazhar). Dari: Militant Islam an Informed and Incisive analysis of Islam’s Confrontation with the Western World Today. [1979]), Bandung, Pustaka Salman ITB.

49


Hendropriyono, A.M. (2013). Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Jakarta: Kompas. Luthfi, Musthafa. (2008). Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Maarif, Bambang Saiful. 2010. Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Mbai, Ansyaad. (2014). Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia. Jakarta: AS. Production Indonesia. Merriam – Webster (editors), (2006). Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary. Springfield Massachusetts: A Devision of Merriam-Webster, Incorporated.

Muhammad, Reno. (2014). ISIS Kebiadaban Konspirasi Global. Bandung: Noura Books (kelompok Mizan).

Nashir, Haidar. (2013). Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan.

Qomar, Mujamil. (2012). Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara. Bandung: Mizan

50


Romli.

Asep

Syamsul

M.

(2013).

Komunikasi

Dakwah

Pendekatan Praktis. Bandung: Mizan (?) Santoso, Lukman. (2014). Sejarah Terlengkap Gerakan Separatis Islam. Yogyakarta: Palapa.

Wandelt, Ingo. (2009). Kamus Keamanan Komprehensif Indonesia. Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office. Wictorowicz, Quintan (editor). (2012). Gerakan Sosial Islam Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. Jakarta: Penerbit Gading Publishing dan Paramadina.

Winarno, Budi. (2011). Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS. Van Bruinessen, Martin (editor). (2014). Conservative Turn Islam Indonesia dalam Ancaman. Bandung: Mizan.

Internet: 1. http://sandihasanudin.blogspot.com/2013/02/tantangandan-peluang-dakwah-di-era_28.html 2. http://www.iluvislam.com/tazkirah/9622-3-strategiberdakwah-melalui-media.html

51


PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Enoh, Drs., M.Ag. Dekan Fakultas Tarbiyah Unisba Islam adalah agama peradaban. Islam bukanlah sebuah agama yang hanya mementingkan kehidupan spiritual. Ajaran Islam memberi gambaran dan penjelasan seluruh

jalan hidup

yang lengkap yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Pendidikan

merupakan

hal

yang

sangat

strategis

dalam

membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullah pun dalam menyebarkan Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para sahabat. Selaras dengan tujuan penciptannya, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah menjadi khalifatullah (wakil Allah) sekaligus ‘abdullah (hamba Allah). Kekhalifahan dan Pengabdian kepada

Allah

merupakan

realisasi

dari

keimanan

yang

diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat yang bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan beramal soleh berdasarkan pemahaman yang memadai merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan melalui pendidikan Islam. Dapat dipahami jika tujuan pendidikan Islam diarahkan agar terbentuk insan yang memiliki dimensi religious dan berkemampuan ilmiah

52


Secara konseptual penulusuran terhadap sumber ajaran Islam dapat mengantarkan

ke dalam beberapa prinsip, di

antaranya: 1. Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. 2. Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif

yang

pelaksanaannya

dilakukan

melalui

pendidikan formal dan nonformal. Kerena bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian para peserta didik. 3. Islam memberikan posisi dan derajat yang sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana, dan ilmuwan.

Dengan

demikian,

kegiatan

pendidikan

memegang peranan penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang tersebut. 4. Seluruh proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat (life long education).

53


5. Seluruh proses prembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam adalah bersipat dialogis, inovatif, dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja Untuk menyatakan pendidikan, istilah yang digunakan AlQuran maupun As-Sunnah, sebenarnya cukup banyak. Istilahistilah dimaksud diantaranya: Al Tansyi’ah, Al-Islah, Al Ta’dib atau Al-Adab, Al-Tahzib, Al-Tahir, Al-Tazkiyyah, Al-Ta’lim, AlSiyasah, Al-Nash wa Al-Irsyad dan Al-Akhlaq. Bahkan sumber lain menambahkan dengan istilah At-Tabyin dan At-Tadris. Namun, dalam persidangan dunia pertama mengenai pendidikan islam pada tahun 1977, ditegaskan didefinisikan

sebagai Al

Tarbiyah,

bahwa pendidikan Al

Ta’lim

dan

Al

Ta’dib secara bersama-sama. At-Ta’lim secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus

54


menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui

sesuatu

apapun,

dan

dia

memberi

kamu

pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahl/16: 78) Ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addabayuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan

menurut

mendidik

yang

istilah ta’dib diartikan

difokuskan

kepada

sebagai pembinaan

proses dan

penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar. Tarbiyyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :

Rabba,

yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang; Rabbi, yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa;

dan

Rabba,

yarubbu yang

berarti

memperbaiki,

mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara Melalui pengertian tersebut, konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia bukan saja

55


dilihat proses mendidik saja tetapi meliputi proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar. Jika ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. ta’lim,

Dalam

titik

tekannya

adalah

penyampain

ilmu

pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim

di

sini

mencakup

aspek-aspek

pengetahuan

dan

ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik. Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi)

dan

tumbuh

berkembang secara

kelengkapan

dasarnya

serta

dapat

sempurna. Dengan demikian tarbiyah

mengandung makna pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam mendidik pribadi

a. Problematika Pendidikan Islam Peran pendidikan yang semakin disadari sangat strategis dalam menentukan dan melahirkan sebuah generasi haruslah dilandasi dengan konsep yang benar. Apabila sebuah sistem pendidikan didasari teori ilmiah empiris sebagai paradigma. maka

56


akan mempengaruhi pada tataran praktis dan teknis pendidikan Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Kemajuan teknologi informasi merupakan fakta dan kenyataan yang harus

dijalani, telah menyebabkan terjadinya

globalisasi ilmu dan budaya. Hal demikian membawa perubahan yang amat dahsyat pada semua aspek kehidupan ummat manusia, baik institusi-institusi sosial kemasyarakatan, kenegaraan maupun institusi-institusi lainnya

Lembaga pendidikan sebagai sebuah

lembaga, tidak luput dari pengaruh arus globalisasi tersebut. Sebagai konsekuensinya, falsafah hidup, keprihatinan, pemikiran dan gagasan, pola tingkah laku dan mekanisme kerja semuanya ikut berubah. Menghadapi kondisi yang demikian, pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan peranannya secara proaktif

dan

responsif

untuk

menjawab

tantangan

arus

modernisasi dan membendung degradasi moral umat Islam. Keberadaan dan kiprahnya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti dengan perubahan secara internal. Problematika yang sangat prinsip berkenaan dengan pendidikan

Islam

berkaitan

dengan

persoalan

paradigma

pendidikan. Jika persoalan paradigma telah dapat diselsesaikan

57


secara tuntas maka persoalan turunannannya akan mudah diatasi. Namun jika persoalan paradigma belum terselesaikan dengan dengan tuntas, maka dapat dipastikan bahwa pemecahan dan penyelasaian persoalan pada tataran operasional, praktis dan teknis tidak akan memberi dampak yang siginifikan. Beberapa kajian para pakar, terdapat problem mendasar yang dihadapi pendidikan Islam saat ini.

b. Paradigma Dualisme-Dikotomis dalam Pendidikan Islam Pembahasan mengenai paradigma dualisme-dikotomis dalam sistem pendidikan Islam sebenarnya bukanlah merupakan persoalan baru di Indonesia. Pada berbagai forum diskusi, seminar, simposium dan lain sebagainya, baik dalam forum formal maupun non-formal, dalam skala kecil (forum terbatas) maupun dalam skala yang lebih luas (nasional), persoalan ini sudah terlalu sering dibicarakan. Bukan hanya

melanda

pendidikan Islam di Indonesia tapi sudah melanda seluruh negara muslim di seluruh dunia. Berbagai macam upaya sudah dilakukan para pakar pendidikan untuk mengatasi permasalahan ini, solusinya masih dalam proses perjuangan. Menurut Sanaky (2003:97-98) akar sejarah munculnya pandangan dualisme pendidikan Islam, setidaknya bersumber dari: Pertama, pandangan

formisme, artinya

segala aspek

58


kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, yaitu segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, dan kedua, berasal dari warisan penjajah kolonial Belanda. Pandangan yang pertama melihat segala sesuatu dari sisi yang berlawanan seperti antara laki-laki-perempuan, kuat-lemah, tua-muda dan lain sebagainya. Pandangan ini kemudian dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat serta kehidupan jasmani dan rohani. Dari sini, pandangan dikotomik ini juga mulai menyentuh ke bidang pendidikan sehingga akhirnya muncullah pandangan yang membedakan antara ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan. Ilmu akhirat disebut ilmu pengetahuan agama dan ilmu keduniaan disebut ilmu pengetahuan umum. Pandangan demikian melembaga sebagai pendidikan Islam yang mengambil bentuk madrasah dan pondok pesantren. Arah keilmuan lembaga ini lebih ditekankan pada sisi religius dan orientasinya antara lain membentuk ahli agama (baca: ulama atau kyai) dan menjadikan ilmu-ilmu umum sebagai pelengkap. Sedangkan lainnya sebagai pendidikan umum yang mengambil bentuk sekolah umum (SD, SMP, SMA dsb.) yang lebih menitik beratkan pada ilmu duniawi (eksak dan sosial) dan menjadikan ilmu agama hanya sebagai pelengkap. Pemisahan keilmuan tersebut

mengakibatkan

kepincangan

dalam

pelaksanaan

pendidikan karena realitasnya kemudian “ilmu-ilmu umum� ini menjadi terabaikan dan bahkan tercampakkan dalam “Sekolah

59


Agama” dan sebaliknya, ilmu agama pun akan terlupakan pada “Sekolah Umum”. Pendidikan Islam hanya “mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur.” Persoalan dunia dianggap kurang penting dan lebih menekankan sisi akhirat saja. Ilmu keagamaan dianggap jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara ilmu pengetahuan umum dianggap terpisah dari agama.. Padahal alQur’an sendiri mengartikan “ulama” sebagai cendikiawan di banyak bidang, baik itu meteorologi, antropologi, humaniora, sosiologi, biologi dan lain sebagainya. Jadi menurut al-Quran yang berhak menyandang predikat ulama bukan hanya orang yang ahli dalam bidang agama saja (Lihat QS. Asy-Syu’ara/26: 127 dan QS. Fathir/35: 27-28). Dengan adanya pandangan yang demikian, akhirnya paham dualisme-dikotomis pun semakin mengakar dalam Pendidikan Islam. Pandangan yang kedua lebih melihat ke aspek sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda telah melakukan pemisahan antara pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” di pihak lain dalam praktik pendidikannya. Pemisahan ini mengakibatkan kerancuan dan kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Efek negatif dari sistem pendidikan yang dikotomis tersebut, arti agama dipersempit ke dalam lapangan

60


teologis yang bersifat normatif, doktriner dan absolutis semata, sehingga

peserta

didik

diarahkan

untuk

memiliki

sikap commitment dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajari.(Muhaimin, et.al,: 2001:39). Sekolah-sekolah agama pun terkotak dalam kubu tersendiri dan menjadi ekslusif. Sementara kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, dan analitis-kritis pun ditinggalkan. Menurut Azyumardi Azra, pemahaman yang demikian itu muncul dikalangan umat Islam disebabkan mereka telah mengalami masa penjajahan yang sangat panjang, di mana umat Islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan terjadi pembenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Barat yang memunculkan kaum intelektual baru yang sering juga disebut “cendikiawan

sekuler”.(Sanaky:99:8). Sebagian

besar

kaum

intelektual tersebut adalah “hasil pendidikan Barat, karena dalam proses

pendidikannya,

otak

mereka

telah

dicuci (brain

washing) dari hal-hal yang berbau Islam, akibatnya mereka menjadi terasing dari ajaran-ajaran Islam dan masyarakat Muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual lama (ulama). Menurut Syafi’i Ma’arif, konsep dualisme-dikotomis tersebut harus

ditumbangkan

secara

mendasar.[

A.Syafi’i

Ma’arif, 1994:151). Sebab pengaruhnya tidak saja berakibat pada

61


rapuhnya sistem pendidikan Islam an sich, tetapi juga menjadi masalah dakwah Islam dan pembangunan kehidupan umat yang Islami sebagai peradaban alternatif.

c. Diskursus

Islamisasi

Ilmu

Pengetahuan

dalam

mengatasi problem dikotomi Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat jelas dan nyata dampak yang diakibatkan oleh persoalan dualisme-dikotomis dalam sistem pendidikan Islam. Berbagai cara dan upaya pun telah dilakukan oleh para ahli untuk mengatasi problematika tersebut. Persoalan ini telah menjadi persoalan global yang telah melanda seluruh sitem pendidikan Islam di dunia. Salah satu solusi yang ditawarkan dan sempat menjadi sangat popular serta masih menjadi pembicaraan hangat hingga saat ini adalah ide tentang “Islamisasi ilmu pengetahuan�. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini muncul pada saat persidangan Sedunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, yang diusung oleh Ismail Razi al-Faruqi dkk. Menurut AI-Faruqi dalam bukunya Budi Handrianto; menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge) merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefenisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu

62


memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi ilmu juga merupakan sebagai usaha yaitu memberikan defenisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulankesimpulan,

memproyeksikan

kembali

tujuan-tujuan

dan

melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagicause (citacita) Islam. ( Isma’il Raji al-Faruqi, 2003: 38-39). Islamisasi pengetahuan kata al-Faruqi adalah solusi terhadap dualisme sistem pendidikan kaum Muslimin saat ini. Menurutnya dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigma Islam. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk semata-mata memenuhi kebutuhan

ekonomis

dan

pragmatis

pelajar

untuk

ilmu

pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Paradigma tersebut tidak diisi dengan muatan misi tertentu, melainkan diarahkan untuk menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu. Dengan demikian Islamisasi ilmu pengetahuan modren adalah cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sainssains pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologi, strategi, data-data, dan problem-problemnya.

63


Secara teoritis dan ideologis, Syed M. Naquib al-Attas, mendefenisikan

islamisasi

ilmu

pengetahuan

sebagai:

pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. (Budi Handrianto, 2010: 133). Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat

dunyawi semata,

melakukan

semua

dan

aktivitas

mendorong yang

tidak

manusia terlepas

untuk dari

tujuan ukhrawi. Bagi Al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang dilakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di akhirat. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dikritik dan ditolak oleh Muhammad Arkoun, Guru besar Universitas Sorbonne Prancis, Usep Fathuddin, Fazlur Rahman, Pervez Hoodbhoy, Abdus Salam, dan Abdul Karim Sorush. Kritikan mereka yang tidak setuju dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan pada intinya

64


menganggap kegiatan tersebut kegiatan sia-sia, penghamburan waktu dan baiay, tidak logis, labelisasi, penjiplakan dan lainnya.

d. Islamisasi Pengetahuan untuk Mengatasi Dikotomi Pendidikan Islam, Mungkinkah? Terlepas dari pro-kontra, gagasan dan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan ini sudah berjalan lebih dari 30 tahun sejak dicanangkannya. Sudah cukup banyak hasil dalam bentuk tulisan yang dilahirkan. Tanpa bermaksud untuk mengatakannya Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah proses yang “gagal�. Namun hingga saat ini, hasil konkrit dari upaya ini belum dirasakan. Sedangkan dari penentang ide Islamisasi pun, hingga saat ini belum memberikan ide yang konkrit sebagai jalan keluar dari problematika dualisme-dikotomis ini. Saat ini, menurut Rosnani Hamim (44-45), stamina bagi Islamisasi ilmu pengetahuan telah berada pada tingkat yang sangat rendah. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ketiadaan pemimpin yang mempunyai visi pengislaman ilmu pengetahuan. Kedua, peristiwa 11 September telah memberikan dampak terhadap institusi pendidikan Islam yang kini dipantau oleh Amerika Serikat sebagai upaya memberantas

“terorisme�. Ketiga, tidak

terdapatnya

strategi

jangka panjang dan jangka pendek yang dirancang institusi berkenaan untuk memahamkan warganya dari segi falsafah

65


Islamisasi ilmu dan juga penggarapan penggarapan falsafah ilmu warisan Islam dan Barat. Keempat, lemahnya intelektual muslim dari segi falsafah-metafisik, epistemologi, nilai, maupun dari segi tasawwur. Kelima, kesibukan

intelektual

muda

membuat

penyelidikan empirikal demi kemajuan proyek ini, sehingga waktu mereka sepenuhnya diberikan kepada usaha riset tanpa meninggalkan ruang untuk pemikiran tinggi. Keenam, kurangnya keyakinan dari sejumlah besar warga akademik terhadap misi ini. Belajar dari diskursus tersebut, jika Islamisasi Ilmu Pengetahuan diarahkan pada pengisian ruang kosong ilmu modern dari nilai moralitas dan spiritualitas serta penyadaran ummat bahwa ajaran Islam bersifat universal dan tidak pernah mengajarkan dikotomi ilmu patut dipertimbangkan. Tuhan dalam ajaran Islam adalan tuhan semesta alam (Rabbul ‘alamin) dan Rasulullah Muhammad SAW, diutus sebagai rahmat untuk segenap alam.

e. Kebingungan

Lembaga

Pendidikan

Islam

dalam

Kemelut Dikotomi Pendidikan Dikotomi ilmu telah memberi dampak terciptanya dualisme pendidikan. Di Indonesia sendiri telah ada beberapa usaha yang dilakukan sebagai upaya untuk keluar dari dualisme sistem pendidikan dalam bentuk kelembagaan. Madrasah, adalah salah satunya. Madrasah, dengan berbagai problematikanya, sebagai salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang

66


memiliki sejarah cukup panjang. Pada mulanya ilmu-ilmu yang diajarkan hanya berkisar sekitar ilmu-ilmu agama (al-ulum aldiniyyah), dengan penekanan pada ilmu fiqh, tafsir dan hadits. Sedangkan

“ke-duniaan” (al-ulum

ilmu-ilmu

dunyawiyyah), seperti

ilmu

alam

dan

eksakta

alsebagai

pengembangan sains dan teknologi tidak mendapat tempat. Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern dan membatasi diri pada ilmu-ilmu agama agaknya mengancam eksistensinya. Meskipun demikian, jika dilakukan penyesuaian dengan kecenderungan pendidikan modern, madrasah masih tetap dituntut untuk menampilkan cirinya sendiri yang memperhatikan ilmu yang khas keagamaan secara lebih professional. Akhirnya, madrasah pun berada dalam posisi tarik menarik antara keharusan mengajarkan “ilmu-ilmu khas keagamaan” secara moderen di satu pihak

dan

mengembangkan

pengajaran

“ilmu-ilmu

non-

keagamaan” di pihak lainnya. Jika madrasah terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing dan bahkan lenyap dari perkembangan

modern.

Sebaliknya,

jika

bersikap

terlalu

akomodatif terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler), akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman. Melalui SKB 3 Menteri, banyak mata pelajaran umu diberikan di madrasah, setingkat dengan apa yang diberikan di sekolah umum. Oleh karena itu, diharapkan dualisme pendidikan

67


dan dikotomi pengetahuan (ilmu agama dan non agama) secara bertahap dapat terkikis dan pelaksanaannya dapat merubah pandangan banyak kalangan yang keliru. Lembaga pendidikan Islam tidak hanya memberikan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, tetapi juga ilmu-ilmu untuk mengapai kesejahteraan hidup di dunia ini. Namun dalam perkembangannya, perjalanan madrasah tidak berjalan mulus seperti yang diinginkan. Karena ternyata, out put yang dihasilkan oleh madrasah tidak mempunyai kejelasan di segala sisi, baik kualitas, medan kiprah maupun arah dan tujuan jangka panjang dalam globalisasi di segala bidang. (Muslih Usa (ed.), 1991:7). Madrasah hanya menghasilkan lulusan yang serba tanggung di segala bidang, baik dalam bidang umum maupun agama, sehingga kalah bersaing dengan lulusan dari lembaga pendidikan lainnya. Selain madrasah, pada level yang lebih tinggi saat ini juga digagas usaha untuk mengatasi problematika dualisme-dikotomis dalam sistem pendidikan. Gagasan awal yang muncul pada dekade 1990an yaitu pemikiran untuk menjadikan IAIN sebagai pusat keunggulan studi keislaman yang direspon dengan pendirian pusat-pusat studi unggulan di IAIN. Kemudian muncul lagi gagasan dalam skala yang lebih besar yaitu mengembangkan IAIN menjadi Universitas Islam Negri (UIN). Ini berkaitan dengan isu perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan dalam rangka

68


menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan kemungkinan

dan

teknologi.

pengembangan

Dengan

menjadi

disiplin-disiplin

universitas,

umum

dapat

dilakukan dan dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang. Gagasan ini juga menolong IAIN dari keterasingan yang lebih jauh dalam tata pergaulan perguruan tinggi. Dengan hanya membatas pada kajian-kajian keislaman, sementara tidak mampu mengemasnya dalam pendekatan holistik, IAIN akan nampak menjadi perguruan tinggi yang ekslusif. (Husni Rahim, 2004:50) MoU antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama yang telah disahkan dan tandatangani, menandai babak baru dalam pendidikan Islam. Beberapa perguruan tinggi Islam pun telah berubah status menjadi universitas, jurusan-jurusan baru dalam bidang pengetahuan umum dibuka. Hal ini menandai berakhirnya era dualisme-dikotomis dalam pendidikan Islam pada satu sisi. Namun, di sisi lainnya malah akan semakin mengokohkan problematika dualisme dikotomis itu sendiri jika pada jurusan baru dalam bidang-bidang non-agama hanya merupakan penambahan silabus “pendidikan umum�

dan

pelajaran umum dalam lembaga pendidikan agama, karena masing-masing mata pelajaran sesuai dengan kategori keilmuan, berakar pada lingkungan budaya, ideologis, nilai, keyakinan dan epistemologis yang sama sekali berbeda secara diametris dan

69


sangat sulit untuk bersatu atau dipertemukan. Dari segi kelembagaan sendiri sudah terlihat dikotomi yang nyata, di mana jurusan-jurusan agama berlindung di bawah Departemen Agama sedangkan jurusan-jurusan umum berlindung di bawah payung Departemen Pendidikan Nasional. Upaya integrasi kedua sistem ilmu “ilmu agama” dan “ilmu umum” bisa jadi malah menambah persoalan lembaga pendidikan Islam semakin ruwet. Karena, hingga saat ini, menurut Mulkhan (2002:188), belum tersusun sebuah konsep ilmu integral ilmiah yang mampu mengatasi dikotomi ilmu umum dan ilmu agama itu sendiri. Dalam keadaan demikian, jika tetap dipaksakan, bisa saja mengakibatkan ambivalensi pada peserta didik yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya. Selain integrasi tersebut semakin menambah berat beban peserta didik, akibat lebih lanjut adalah pengembangan kemampuan peserta didik dalam menguasai ilmu akan terkesan lebih lambat dan hasil belajar pun cenderung rendah. Akhirnya, out-put yang dihasilkan lembaga pendidikan Islam akan dipandang “rendah” dan kualitasnya dianggap di bawah lembaga-lembaga pendidikan non keislaman. Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan: Pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat

70


tersebut harus segera diubah. Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an. Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan. Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut, Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi, hukum, etika, hadis, ilmu-ilmu sosial, dan filsafat, dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai. Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim. Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat. Ketiga,

sikap

negatif

umat

Islam

terhadap

ilmu

pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan

tidak

ada

yang

salah,

yang

salah

adalah

penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus

71


dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis

kemudian

dengan

cemas

mencari

jalan

untuk

menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. Beliau menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Disiplin ilmu yang telah mapan dan memang benar-benar terkorelasi erat dengan sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan sunnah) terutama tentang keyakinan, ibadah dan sosial, memang seharusnya dikembangkan hanya berdasarkan Al-Quran dan sunnah. Ketertinggalan

pendidikan

Islam

salah

satunya

dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atauaspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani yang tentu tidak selaras dengan nilai ajaran Al-Quran. Oleh karena itu, bagi ummat Islam, menjadikan Al-Quran sebagai senripetal (sumber ilmu) sekaligus sentripugal adalah sebuah keniscayaan. Hal demikian dapat digunakan untul meniai dan menakar ilmuilmu social yang sudah adan dan berkembang sebagai sebuah rekayasa. Dalam tahapan rekayasa ini memang ada peluang untuk memasukkan nilai-nilai islam

f. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam

72


Di dalam Islam, tidak ada pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan sekuler dan agama. Semua ilmu pada hakikatnya berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa.Allah sendiri dalam Al-Qur’an menyatakan akan mengangkat derajat orang beriman yang berilmu lebih tinggi dari orang beriman biasa. Allah mendorong kaum muslimin untuk memperhatikan jagad raya sebagai ayat atau tanda sekaligus sebagai sumber ilmu. Alam semesta ini merupakan sebuah tanda kebesaran Tuhan. Alam semesta ini berjalan sesuai dengan ilmu Allah. Ada hukumhukum Allah atau Sunnatullah yang mengatur semesta ini. Kehidupan manusia, hewan-hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah bagian dari ilmu Allah. Manusia sebagai duta Allah di bumi berkewajiban untuk menguak ilmu-ilmu Allah tersebut. Jadi biologi atau ilmu tentang kehidupan di alam semesta ini sangat penting dalam Islam. Al-Qur’an banyak memberikan isyarat tentang kehidupan berbagai makhluk di alam raya. Al-Qur’an bicara tentang laba-laba, binatang melata (dabbah), sapi, unta, semut, kuda, nyamuk dan lain sebagainya. Alam semesta ini direndahkan untuk manusia. Semua produk alam semesta ini harus digunakan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan barang-barang yang dapat memberikan kehidupan yang baik pada diri manusia itu sendiri.

73


Menurut Prof. Abdus Salam –satu-satunya ilmuwan Muslim yang hingga sekarang berhasil memperoleh Hadiah Nobel Fisika pada tahun 1979- terdapat tiga sebab mengapa selama 350 tahun abad keemasan umat Islam menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan ke taraf yang amat tinggi: 1. Umat Islam benar-benar menghayati dan mengamalkan firman Allah swt, yang berulangkali diberikan di AlQuran dan Sunnah Nabi saw. Dalam banyak ayat, Allah swt selalu memerintahkan untuk mempelajari alam, berfikir, menalar, membuaat upaya-upaya ilmiah dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagainya. 2. Seorang ‘Alim diberi status yang terhormat dalam Islam. Rasulullah saw memberi julukan “Pewaris Nabi” kepara cendekiawan muslim, dalam banyak ayat, Allah swt juga banyak memuji keunggulan orang yang berilmu; seperti firman Allah swt: “Yang takut kepada Tuhan hanyalah orang-orang yang berilmu di antara hamba-hambaNya” (QS Fathir: 28) dan sabda Nabi:“Kelebihan orang yang berilmu daripada orang yang beribadat ialah laksana kelebihan bulan purnama daripada sekalian bintang-bintang”. (HR Abu Dauwd, Tirmidzi dan Nasa’i).

74


3. Islam bersifat internasional, yakni bukan hanya bercorak antar bangsa dan lintas budaya, namun mereka juga sangat toleran terhadap mereka yang dari luar Islam beserta pemikiran-pemikirannya. Dalam hal Reformasi Pendidikan, maka Rasulullah saw adalah prototype yang terbaik, bagaimana orang yang ummi (buta huruf), hanya dalam jangka waktu 23 tahun telah melahirkan satu “Generasi yang Unik� (Jiil al-Fariid) dan tidak akan ada lagi satu peradaban yang bisa melahirkan manusia-manusia jenius seperti para sahabat Nabi Muhammad saw. Dalam hal pencaaian tujuan pendidikan Islam, Boediono pada koran

kompas pernah menulis konsep ideal pendidikan

untuk pembangunan masa depan Indonesia, yaitu dengan penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang punya soft skill dan hard skill. Banyak pakar sepakat soft skill lebih penting daripadahard skill, seperti Daniel Goleman yang mengunggulkan kecerdasan emosi (EQ) daripada kecerdasan intelektual (IQ) dan Robert

Strenberg

yang

memperkenalkan

istilah successful

intelegence (SI) yang dianggap lebih penting dari hard skill. Seorang dengan SI tinggi akan meraih sukses karena mampu memotivasi dirinya untuk terus maju, mengontrol emosi, berani mengambil

resiko,

fokus,

mampu

memecahkan

masalah,

menerjemahkan pikiran dalam aksi nyata serta mampu berfikir kreatif, analisis dan praktis yang seimbang.

75


Dalam

proses

pendidikan

Islam,

ada

dasar-dasar

pemikiran yang harus diterapkan agar tercapai tujuan pendidikan Islam itu sendiri, yang diantaranya adalah; 1. Prinsip Integrasi Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat [Muznir Hitami, Mengonsep Kemali pendidikan islam, (Yogyakarta: Infnite Pess, 2004) hal. 244]. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...� (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. 2. Prinsip Keseimbangan Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan[

76


idem; 26]. Keseimbangan ini diartikan sebagai keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan[ Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Pernada Media, 2006), hal. 73]. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal sholeh.”. 3. Prinsip Persamaan Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit (Muznir Hitami, 2004:27). Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda :”“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR. Bukhori). 4. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup

77


Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada

berbagai

tantangan

dan

godaan

yang

dapat

menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya....” (QS. Al Maidah: 39) 5. Prinsip Keutamaan Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdiri dari nilai-nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,” (HR. Nasa’i).

78


Ttim dosen PAI UPI mengklasifikasi sembilan prinsip pendidikan islami, yaitu: 1. Prinsip Syumuliyyah (komprehensif Prinsip syumuliyyah berarti bahwa pendidikan luas dan lengkap.

Pendidikan

harus

memperhatikan

seluruh

dimensi kehidupan yang mencakup individu dan social, ilmu dan amal, dunia dan akhirat semuanya diperhatikan dalam pembelajaran sehingga mengembangkan potensi manusia secara menyeluruh. 2. Prinsip Takimuliyah (integratif) Prinsip takimuliyah adalah prinsip yang memadukan antara

teori dan praktik dan tauhidullah sebagai

fondasinya. Prinsip ini memadukan juga antara jasad-akalruh karena pada hakikatnya manusia merupakan suatu kesatuan jasad-akal-ruh. Dan terlihat jelas perbedaanya dengan pendidikan saat ini yang cenderung sekuler. 3. Prinsip Tawazuniyyah (keseimbangan)

Prinsip

Tawazuniyyah

berarti

pendidikan

harus

mengembangkan potensi secara proporsional. Akal, spiritual, jasad, kemanusiaan, ketuhanan, teori, praktik, ilmu, amal, dan lain-lain harus diberdayakan secara proporsional.

79


4. Prinsip Wasaliyyah (kemediaan) Prinsip Wasaliyyah berarti pendidikan bersifat mediasi, proses pendidikan benar-benar harus membelajarkan bukan hanya menyampaikan ilmu namun melakukan bimbingan secara intensif. 5. Prinsip Istimrariyyah (kontinu) Prinsip Istimrariyyah berarti bahwa pendidikan dilakukan sepanjang hayat, dilakukan secara terus menerus selama manusia mampu menangkap pesan maka pendidikan harus tetap berlanjut. Pendidikan harus terus eksis dan memberikan

solusi

terbaik

bagi

seluruh

dimensi

kehidupan. 6. Prinsip Waqi’iyyah (kontekstual) Prinsip Waqi’iyyah berarti konsep belajar kontekstual yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata sehingga pengetahuan yang dimiliki mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 7. Prinsip Rabbaniyyah (ketuhanan) Prinsip

Rabbaniyyah

berarti

bahwa

pendidikan

menempatkan Rabb sebagai sentral. Dengan prinsip ini maka dapat melihat dan menghayati kehadiran dan keterlibatan Rabb dalam seluruh fenomena. Dilihat dari pendidikan

modern,

Prinsip

Rabbaniyyah

tidak

mendapatkan tempat didalamnya.

80


8. Prinsip Rahmaniyah (kasih sayang) Prinsip Rahmaniyah diartikan sebagi prinsip dimana cara pandang dan pola sikap berinteraksi dalam pendidikan didasarkan oleh kasih sayang serta ketulusan. Prinsip ini pun tidak mendapatkan tempat dalam pendidikan modern. Belakangan ini kita ketahui sosok ibu Een Sukaesih begitu mengharukan atas dedikasinya dalam pendidikan dan mengaungkan pendidikan dengan dasar kasih sayang yang merupakan salah satu prinsip pendidikan islami. 9. Prinsip Uswiyyah (keteladanan) Yang dimaksud dalam prinsip uswiyyah bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam prinsip-prinsip sebelumnya harus tercermin dalam wujud perilaku nyata. Pembelajaran akan memiliki

dampak

yang

lebih

jika

dalam

proses

pembelajaran tercermin melalui perilaku nyata dibanding dengan

verbal.

Hakikat

pendidikan

adalah

untuk

memanusiakan manusia. Pendidikan juga dilakukan dalam pewarisan sifat dan sikap baik, oleh karena itu diperlukan proses pendidikan yang mampu menjadikan manusia yang lebih baik. Implementasi prinsip-prinsip yang ditemukan secara kontinyu dan konsisten pada lembaga pendidikan Islami ditengarai akan mendekatkan pada pencapaian tujuan pendidikan secara ideal. Wallahu ‘Alam.

81


INTEGRASI NILAI-NILAI ISLAM TERHADAP HUKUM PIDANA NASIONAL

Prof. Dr. Nandang Sambas, SH., MH. Dekan Fakultas Hukum Unisba

Bissmilahirrahmanirrahim; Assalamu’alaikum Warahmatulahi wabarakatuh. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih telah diberi kesempatan untuk menyampaikan pokok pikiran tentang “Islam sebagai jawaban terhadap problema kebangsaan dan keumatan”. Namun dengan keterbatasan pengetahuan hukum Islam yang dimiliki, penulis hanya mencoba menyoroti dari aspek hukum pidana sebagaimana disiplin ilmu yang penulis tekuni selama ini. Oleh karena itu, judul yang diambil dalam tulisan ini terkait persoalan “Integrasi Nilai-Nilai Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional”. Judul tersebut diambil, mengingat sampai saat ini bangsa Indonesia masih terus melakukan pembaharuan hukum termasuk hukum pidana, dengan cara mengubah dan menyusun RKHUP baru. Namun sangat disayangkan keinginan memiliki KUHP yang ke-Indonesia-an yang dilakukan sejak tahun 1964 hingga tahun 2016 masih belum disahkan.

82


Mudah-mudahan sumbang saran pemikiran yang sangat sederhana dan elementer ini dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan hukum di Indonesia. Dengan harapan pula, Islam sebagai ideologi mayoritas bangsa Indonesia memberi warna yang cukup dominan dalam pembangunan hukum yang dilakukan di Indonesia.

I.

Pendahuluan

Salah satu warisan Romawi yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia, adalah masalah hukum. Hal tersebut nampak pula terhadap hukum yang ada di Indonesia, sebagai warisan peninggalan Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun lamanya. Sebagai hukum yang berasal dari peninggalan bangsa yang memiliki niali-nilai berbeda, serta semakin berkembangnya pemikiran masyarakat, sudah barang tentu kondisi hukum harus terus diupayakan pembaruanpembaharuan. Dengan demikian, selain agar hukum yang ada sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan jaman, juga memiliki karakter yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Seperti kita ketahui, hukum pidana positif termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bersumber

83


dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSNI) warisan Kolonial Belanda yang diberlakuan di Indonesia sejak tahun 1918. WvSNI itu sendiri bersumber dari Code Penal Prancis, karena sejak tahun 1810 Belanda dijajah dan diwarisi Code Napoleon Prancis. Dalam pekembangannya, sejalan dengan kondisi bangsa Indonesia yang merdeka, maka undang-undang tersebut

telah

mengalami perubahan,dan berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 namanya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan melihat sejarah asal usul KUHP tersebut dimana hukum pidana Indonesia berasal dari undangundang hukum pidana asing yang dipaksakan berlaku di Indonesia, sudah barang tentu nilai serta jiwa yang terdapat dalam

undang-undang

itu

disemangati

oleh

jiwa

kepribadian bangsa dimana hukum itu berasal. Hal tersebut karena pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa, dimana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pendangan politik yang sehat dan konsisten. Atas

dasar

hal

tersebut

tidaklah

cukup

mengherankan, bahwa walaupun telah dilakukan berbagai perubahan dalam KUHP, namun dalam penerapannya

84


ditemukan adanya kesenjangan bahkan terjadi konflik. Disatu pihak ada perbuatan-perbuatan yang menurut KHUP termasuk sebagai tindak pidana, namun menurut anggapan masyarakat hal itu bukan sebagai perbuatan tercela. Dipihak lain ada perbuatan-perbuatan yang menurut anggapan masyarakat sebagai perbuatan tercela, namun KUHP tidak mengaturnya sebagai suatu tindak pidana.

Adanya kesenjangan/ketidaksesuaian ("gap") dan bahkan perbedaan nilai/kepentingan inilah tidak mustahil dapat menjadi faktor timbulnya ketidak puasan dalam praktek penegakan hukum. Bahkan dapat pula menjadi faktor penyebab timbulnya korban (faktor "victimogen") maupun timbulnya kejahatan lain (faktor "criminogen"). Hal tersebut diakui pula oleh Kongres-Kongres PBB tahun 1985 menganai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders",bahwa ketidak harmonisan serta ketidak singkronan dalam peraturan perundang-undangan sebagai faktor kontribusi meningkatnya kejahatan. "It was a contributing factor to the increased of crime".ditegaskan bahwa: " the importation of foreign cultural patterns which did not harmonize with the indigenous culture had a crimonogenic effect"(Barda Nawawi Arief, 1994:8-9).

85


Atas dasar hal itu merupakan suatu yang sangat penting dan mendasar, bahwa suatu undang-undang harus berakar dari filosofi bangsanya. Sebagaimana diungkapkan Fredick Carrel Von Savigny, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakatnya. Hal itu pula memberikan indikasi betapa pentingnya menggali hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum adat termasuk agama. Bahwa "hukum adat termasuk agama yang dianut masyarakatnya, merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam masyarakat, sehingga ia merupakan faktor yang turut menentukan

baik

dalam

hal

pembentukan

maupun

penerapan hukum di Indonesia� (Satjipto Rahardjo, 1979:119). II.

Pengaruh hukum Islam di Indonesia

Dalam

perkembangan

hukum

di

Indonesia,

eksistensi hukum adat terdapat sedikit pengaruh dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Walaupun dalam praktik penerapan hukum pidana, eksistensi hokum pidana adat tidak memiliki kekuatan keberlakuannya dan dikalahkan dengan KUHP. Begitu juga eksistensi hukum pidana Islam, dalam perkembangan pembentukan hukum pidana, pengaruh hukum Islam

86


sebagai bagian dari kehidupan pribadi bangsa, dirasakan belum

bahkan

dapat

dikatakan

tidak

memberikan

pengaruh/warna yang cukum signifikan. Nilai-nilai hukum Islam belum banyak terintergrasi kedalam aturan-aturan hukum pidana, khususnya KUHP sebagai dasar pengaturan hukum pidana di Indonesia. Sejak jaman penjajahan, kekuasaan Belanda selalu menekan bahkan menghambat pemberlakuan hukum adat termasuk pemberlakuan hokum Islam secara formal, sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesa. Namun demikian, adanya pengaruh hukumIslam dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia hanya dapat dilihat dari adanya teori-teori yang diungkapkan para tokoh sejarah, seperti teori Receptie yang dikembangkan Van Vollenhoven dan Ter Haar, teori Receptio in complex, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, pengaruh hukum Islam terdapat perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat perdebatan dalam pembentukan dasar Negara Republik Indonesia yang ingin memasukan nilai-nilai Islam kedalam Piagam Jakarta, walaupun tidak sepenuhnya berhasil. Selanjutnya, upaya untuk memasukan nilai-nilai Islam kedalam bebagai peraturan yang dipandang strategis terus dilakukan bangsa Indonesia. Upaya tersebut antara lain

87


dapat dilihat dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang saat ini telah diganti dengan undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahkan dalam hukum keperdataan pemerintah

telah

mengeluarkan

Intruksi

Presiden

(INPRES). Nomor 1 Tahun 1991 yang memberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bahkan dalam dunia ekonomi bisnis termasuk perbankan, telah dibentuk berbagai peraturan terkait perbankan syariah. Secara sederhana Islam diartikan sebagai agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, untuk disampaikan

kepada

umat

manusia

agar

mencapai

kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma yang bersumber dari Allah serta Rosul Muhamad Saw, untuk mengatur

perbuatan

terlarang/perbuatan

jahat

yang

dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan hokum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia yaitu mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat, demi kemaslahatan umat manusia. Terkait dengan persoalan hukum pidana, pengaruh hukum pidana Islam belum begitu banyak memberikan

88


warna serta kontribusi yang cukup signifikan, bila dibandingkan dengan bidang hukum yang lain. Padahal, apabila memperhatikan hukum sebagai dasar filosofis sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, yang melandasi berdirinya negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, sudah sepantasnya bagi hukum pidana Islam, menjadi bagian dari pembangunan Hukum Pidana Nasional. Hukum pidana Islam atau (fiqh jinâyah) merupakan bagian dari syari’at Islam yang berlaku sejak diutusnya Rasulullah Saw. Oleh karenanya, pada masa Rasul, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan dengan melibatkan campur tangan pemerintah selaku penguasa atau ulil amri. Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama, maka didalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum yang tidak bisa dilaksanakan oleh perorangan, melainkan perlu adanya campur tangan penguasa yang sah dan berdaulat. Namun sebagian umat Islam masih ada yang

89


belum tahu bahwa dalam ajaran Islam terdapat satu aspek hukum,

yaitu

hukum

pidana

Islam

yang

nilai

pengamalannya sama dengan aspek hukum yang lain, seperti ibadah, munakahah dan lain-lainnya. Hukum pidana Islam, secara formal maupun materiil berisikan norma, aturan dan sanksi berkaitan dengan pencurian, perzinaan, perampokan, minum-minuman keras, tuduhan perzinaan, tindak pembunuhan dan kekerasan fisik lainnya,

makar,

murtad

dan

lain-lain.

Karena

kelengkapannya, hukum pidana Islam memungkinkan menjadi sumber materi hukum pidana nasional, di samping sumber-sumber lainnya seperti hukum adat dan hukum Barat. Upaya mengakomodasi materi hukum pidana Islam merupakan bagian dari perjuangan pembentukan hukum pidana nasional. Tujuan Hukum Islam tercakup dalam tiga macam inti pokok yaitu: pertama, tujuan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia (maq창shid aldhar청riyyah), yaitu yang meliputi; memelihara agama, jiwa, keturunan,

akal

dan

harta;

kedua,

tujuan

untuk

menghilangkan kesulitan atau pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi (maq창shid al-h창jjiyah); ketiga, tujuan yang maksudnya agar manusia melakukan

90


yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok (maqâshid al-tahsiniyyah). Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil alQuran dan Hadis, yang berfungsi sebagai kaidah-kaidah umum (al-qawaid al-kulliyyah) dalam menetapkan lima kebutuhan pokok (al-kulliyyah al-khamsah ). Ayat-ayat alQuran yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayatayat Makkiyah yang tidak dihapus hukumnya, dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, al-Syathibi berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum (Djamil, 1997: 125-126). III.

Integrasi Hukum Pidana Islam terhadap Hukum Pidana Nasional

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa ekistensi hukum pidana nasional yang merupakan hukum

91


peninggalan Kolonial Belanda, dipandang tidak sejalan dengan kondisi objektif bangsa Indonesia yang sudah merdeka.

Atas

kemerdekaannya, melakukan

dasar bangsa

pembaharuan

hal

itu,

Indonesia disegala

sejak

menyatakan

berusaha bidang

untuk

termasuk

melakukan legislasi nasional (law Reform). Termasuk upaya melakukan pembaharuan secara global terhadap hukum

pidana

(KUHP),

dengan

menyusun

konsep

rancangan kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (RKUHP). Upaya pembaharuan bidang hukum pidana secara global (menyeluruh) tersebut telah ditempuh sejak tahun 1964. Sistem hukum pidana yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem berkehidupan kebangsaan dan bernegara secara nasional, sudah seharusnya dilandasi oleh Pancasila. Dimana Pancasila merupakan sumber hukum yang berisi nilai-nilai kesusilaan sosial atau nilainilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks negara kebangsaan, berbagai sumber nilai dapat saja dikembangkan menjadi bahan masukan bagi penyusunan sistem hukum pidana nasional sepanjang dapat mewujudkan: 1.

Hukum pidana yang berketuhanan Yang Maha Esa;

92


2.

Hukum pidana yang berkemanusiaan yang adil dan beradab;

3.

Hukum pidana yang mengandung nilai-nilai persatuan;

4.

Hukum pidana yang dijiwai oleh nilai-nilai kerakyatan, hikmah kebijaksanaan, dan kekeluargaan;

5.

Hukum pidana yang berkeadilan sosial. Secara filosofis, penyusunan hukum pidana dari

sumber fikih Islam yang akrab di kalangan mayoritas penduduk Indonesia, mempunyai landasan filosofis yang kuat untuk dijadikan sumber bagi usaha pembaharuan hukum pidana nasional. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila merupakan sila pertama mengayomi silasila lainnya, sangat memungkinkan dikembangkan sistem hukum yang religius, seperti hukum pidana Islam sangat relevan untuk digali dalam rangka pembentukan KUHP Nasional. Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang negatif memberi sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat itu. Hal ini berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan. Tidak salah kiranya, kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana sesuatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu. Sejalan dengan hal

93


tersebut, lebih lanjut Muladi menyatakan, bahwa "Hukum pidana harus memperhatikan aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi yang sudah mengakar dalam

budaya

bangsa

Indonesia"(Muladi,

1990:15).

Dengan demikian, bahwa dalam melakukan pembaharuan menuju terbentuknya hukum pidana nasional, titik tolaknya adalah nilai-nilai yang ada di negeri sendiri (hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat dan agama). Perkembangan politik hukum pidana di Indonesia sudah menjalani pertumbuhan dengan memperhatikan nilainilai kemasyarakatan dan keagamaan. Oleh karena itu, sudah waktunya para ulama dan kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar para penganutnya dapat melaksanakan nilai-nilai Islam secara baik dan benar serta tidak lagi melanggar ajaran yang telah diatur agamanya (Kafah). Penegakan kaidah hukum Islam secara preventif penegakan

akan

sangat

hukum

membantu (law

pemantapan

enforcement)

pola negara

secara preventive represive. Diharapkan agar masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya menjadi wacana yang didakwahkan semata, tetapi juga dilaksanakan secara istiqomah, melalui penegakan

94


hukum secara preventif guna mengisi kelemahan hukum pidana positif yang ada (A. Malik Fajar, 2001: 18). Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui penyusunana RKUHP merupakan suatu peluang besar untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia. Berbagai tindak pidana tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama sudah dirumuskan dalam RKUHP tersebut. Misalnya tentang penghinaan/penodaan agama, merintangi ibadah atau upacara

keagamaan,

perusakan

bangunan

ibadah,

penghinaan terhadap Nabi, penodaan terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negara-negara sekuler yang memisahkan secara tegas antar urusan dunia dengan urusan akhirat. Bagi pandangan sekuler, urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan tindak pidana agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama, serta yang lainya.

95


Langkah seperti di atas merupakan upaya positif Tim Perumus konsep RKUHP untuk memberlakukan ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam. Pengintegrasian hukum pidana Islam (HPI) ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal dalam RKUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup kompromis. Walaupun tidak secara utuh diatur dalan RKUHP, namun sekurang-kurangnya prinsip-prinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana masa yang akan datang. Seperti pengaturan tentang tindak pidana perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, merupakan proses dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku kulluh la yutraku

kulluh (sesuatu

yang

tidak

dapat

dicapai

seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). (Salim, 2001, 259). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup

memberikan

harapan

untuk

dimulainya

pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara

96


pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Selain

telah

diaturnya

beberapa

ketentuan

sebagaimana diungkapkan di atas, secara substansial, nilainilai hukum Islam sudah terintegrasi kedalam Konsep RKUHP. Hal tersebut Nampak dari dianutnya norma-norma yang sebelumnya belum bahkan tidak diatur dalam hukum pidana positif (KHUP). Perkembangan pemikiran tersebut terletak pada masalah-masalah pokok, yang meliputi "tindak pidana", "kesalahan", dan "pidana". Diakuinya hukum yang hidup di masyarakat termasuk hukum agama terhadap masalah tindak pidana adalah dalam hal pengembangan dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana. Selama ini dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana atau bukan ditentukan secara formal yang dikenal dengan asas legalitas. Namun dalam konsep terdapat pergeseran, bukan hanya ditentukan secara formal (hukum yang tertulis) melainkan ditentukan juga secara materiil (hukum yang berlaku di masyarakat). Berbeda dengan perumusan asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep memperluas perumusannya dalam Pasal 2 RKUHP. Dengan mengakui eksistensi

berlakunya

"hukum

yang

hidup

dalam

97


masyarakat"

hal

tersebut

dapat

dimaknai

termasuk

pengakuan hukum Islam sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang. Perluasan perumusan asas legalitas inipun tidak dapat dilepaskan dari usaha mewujudkan dan sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat" (Barda Nawawi Arief, tanpa tahun, hal.25). Begitu juga dalam hal penentuan pemidanaan, agar suatu perbuatan dapat dikenakan pidana maka perbuatan tersebut harus bertentangan dengan hukum. Secara tegas konsep RKUHP menguraikan dalam Pasal 15 bahwa "Perbuatan yang dituduhkan harus merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu peraturan perundang-undangan. Agar perbuatan tersebut dapat dijatuhi pidana, perbuatan tersebut harus juga bertentangan dengan hukum". Lebih lanjut diuraikan dalam penjelasannya, bahwa "Perbuatan yang dituduhkan harus dilarang dan diancam dengan pidana. Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilarang selalu adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu masih disyaratkan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum. Ini berarti

98


perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

yang

tidak

patut

dilakukan.

Mempidana

seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, atau yang tidak bersifat bertentangan dengan hukum, bahkan patut dilakukan, dirasakan sebagai tidak adil". Terkait dengan masalah sifat melawan hukum, konsep RKUHP mengakui sebagai suatu unsur mutlak dari suatu tindak pidana, walaupun dalam perumusan undangundang tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hukum. Perumusan formal dalam undang-undang hanya merupakan ukuran objektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hukum. Ukuran objektif tersebut harus diuji secara materiil pada diri si pelaku, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan

tersebut

betul-betul

bertentangan

dengan

kesadaran hukum masyarakat. Dari ketentuan tersebut nampak adanya asas keseimbangan antara kepastian hukum dan nilai keadilan. Namun apabila dalam keadaan kongkrit kedua nilai tersebut saling

mendesak,

hakim

sejauh

mungkin

harus

mengutamakan nilai keadilan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 12 konsep RKUHP, yang menyatakan bahwa hakim dalam mengadili suatu perkara pidana

99


mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan. Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan. Dari keseluruhan ketentuan tersebut di atas, jelas kiranya bahwa konsep sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak tertulis/hukum adat dan agama). Baik untuk menentukan suatu tindak pidana, menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana, maupun untuk menentukan adanya sifat melawan hukum, bukan hanya harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum formal sehingga adanya suatu kepastian, melainkan harus didasarkan kepada norma dan rasa keadilan yang diakui oleh masyarakat. Adanya pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, dapat ditemukan pula dalam konsep terhadap

ketentuan

mengenai

masalah

pidana

dan

pemidanaan. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan baru dimana dalam KUHP yang sekarang berlaku tidak ada pengaturannya. Dari berbagai teori mengenai tujuan pidana, secara keseluruhan menginduk kepada tujuan umum dari pidana dan hukum pidana, dimana tujuan pidana dan hukum pidana tersebut berupa perlindungan masyarakat (social defence) 100


untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Apabila diidentifikasikan beberapa aspek atau bentuk perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut, maliputi: 1. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat dari perbuatan anti sosial (kejahatan/perbuatan jahat) yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka tujuan pidana

adalah

penanggulangan

kejahatan.

Tujuan

tersebut sering dipakai dengan berbagai istilah, seperti: penindasan

kejahatan,

pengurangan

kejahatan,

pencegahan kejahatan ataupun pengendalian kejahatan. 2. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya pelaku, maka tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku. Tujuan tersebut sering diistilahkan dengan: rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders, re-edukasi, re-adaptasi sosial, resosialisasi, pemasyarakatan, atau pembebasan. Tujuan utama

dari

perlindungan

masyarakat

ini

adalah

mempengaruhi tingkah laku si pelaku sehingga dapat mencegah

terjadinya

penggulangan

tindak

pidana

(recidive). 3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap

penyalahgunaan

kekuasaan

dalam

menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap 101


pelanggar pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya. 4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah mempertahankan keseimbangan nilai yang terganggu. Dengan

demikian

tujuan

pidana

adalah

untuk

memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat (Barda Nawawi Arief, 1994:92-95). Dengan melihat berbagai bentuk dari tujuan pidana sebagai perlindungan masyarakat, nampak adanya aspek untuk mempertahankan keseimbangan nilai yang terganggu. Aspek tersebut antara lain muncul dari adanya kehendak untuk tetap mempertahankan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni hukum adat dan agama. Dalam konsep tujuan pemidanaan hal tersebut tertuang dalam Pasal 54, yang berbunyi: (1) Pemidanaan bertujuan untuk: ke-1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat; ke-2 memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;

102


ke-3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. ke-4 membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Tujuan pemidanan yang berkaitan dengan hukum kebiasaan tersebut, lebih lanjut dirumuskan dalam jenis pidana yang termasuk dalam jenis-jenis pidana tambahan yang

berupa

pembayaran

ganti

kerugian

dan

pemenuhan kewajiban adat. Kedua jenis sanksi tersebut antara lain ditujukan untuk menampung jenis sanksi yang tidak secara tegas disebutkan oleh UU. Dengan demikian maka pola sanksi menurut konsep RKUHP terdiri dari sanksi yang sudah disebutkan secara kongkrit dan ekplisit menurut UU, dan sanksi yang hidup menurut hukum yang tidak tertulis serta agama Islam yang tidak secara kongkrit disebutkan dalam UU. IV.

Simpulan Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih memiliki hukum warisan kolonial yang secara substansial berbeda dengan karakteristik serta nilia-nilai

bangsa

Indonesia.Sebagai

bangsa

yang

menjujung tinggi nilai-nilai Islam sebagai agama yang dianut mayoritas, sudah sewajarnya mewarnai hukum pidana nasional yang sedang dilakukan pembaharuan. 103


Walaupun tidak secara gradual konsep RKUHP mengadopsi hukum pidana Islam, namun secara substansial konsep nilai-nilai hokum Islam telah terintegrasi di dalamnya. Nilai-nilai

yang

terintegrasi

didalam

konsep

RKUHP, antara lain terkait dengan masalah-masalah pokok, yang meliputi "tindak pidana", "kesalahan", dan "pidana". Diharapkan konsep RKUHP tersebut dapat segera diberlakukan untuk mengganti hukum pidana peninggalan kolonial yang sampai saat ini masih berlaku. Diharapkan dikemudian hari nilai-nilai Islam menjadi landasan dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana, sehingga prinsip Islam sebagai agama yang mambawa rahmat bagi umat manusia (rahmatan lil alamin) secara nyata dirasakan oleh bangsa Indonesia. Wallahu alam bisawab‌.

104


Sumber Rujukan A. Malik Fajar. 2001. Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif. Barda Nawawi Arif.1994. Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar, Undip Semarang,. ------------------Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), Tanpa Tahun dan Penerbit. ------------------Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Aturan Umum Konsep Rancangan KUHP,(Makalah dalam Proyek Compendium Hukum Pidana, BPHN Departemen Kehakiman), Tanpa Tahun. Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama). Jakarta: Logos. Muladi, 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Undip Semarang,. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015.

105


Salim, M. Arskal. 2001. Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia:

Eksistensi

Historis,

Kontribusi

Fungsional dan Prospek Masa Depan. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, 1979. https://www.facebook.com/notes/moh-rawansyah/prospekpenerapan-hukum-pidana-Islam-dalam-sistemhukum-pidana nasional/ /401905799927142/ https://marzukiwafi.wordpress.com/2011/02/08/prospekpemberlakuan-hukum-pidana-Islam-di-indonesia/

106


PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM UNTUK MEMBANGUN NILAI DAN KARAKTER GENERASI MUDA

Lisa Widowati, Dra., M.Si Dekan Fakultas Psikologi Unisba

I.

PENDAHULUAN : Menyikapi berbagai persoalan yang saat ini tengah

dihadapi

oleh

bangsa

kita

menjadi

suatu

hal

yang

memprihatinkan. Kasus korupsi yang justru makin meningkat, kekerasan antar kelompok, ketidakadilan sosial dan hukum bahkan dari fenomena yang makin berkembang terakhir adalah meningkatnya kekerasan seksual. Bila kita telaah lebih lanjut, kondisi-kondisi yang terjadi tidak terlepas dari persoalanpersoalan yang terkait dengan moralitas serta etika yang telah mengikis karakter serta nilai-nilai individu yang dianut oleh masyarakat kita. Masyarakat Indonesia yang sebenarnya telah memiliki sikap dan moral serta menjunjung adat ketimuran yang sangat tinggi telah memiliki nilai-nilai moral santun, ramah, agamis, toleransi dan berbudi luhur. Sebagai bagian dari suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka kondisi ini sebetulnya harus menjadi modal dasar yang kuat. Islam sebagai

107


agama yang paling sempurna telah memiliki ketentuan yang tidak terbantahkan yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits yang harus digunakan oleh umatnya sebagai pedoman hidup. Namun dalam realitas kondisi yang ada saat ini, justru berbagai perilaku masyarakat yang mencerminkan adanya dekandensi moral dan etika masih banyak kita jumpai sehingga hal tersebut memunculkan pertanyaan besar yang perlu dijawab apakah masyarakat Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam telah benar-benar menjalankan serta mengamalkan ajaran agamanya secara konsisten dan sungguh-sungguh? Persoalan mengenai moralitas tentunya tidak akan terlepas dari bekerja atau berperannya fungsi mental individu, dan kehidupan beragama akan sangat banyak berkaitan dengan faktorfaktor mental yang bekerja untuk mewujudkan perilaku yang muncul. Berbicara mengenai mental bangsa, maka hal tersebut tidak akan terlepas dari terbentuknya mental masyarakat, dan hal itu merupakan hasil pembentukan dari mental individu-individu yang ada di dalamnya. Bidang

psikologi

merupakan

bidang

ilmu

yang

mempelajari perilaku manusia, serta memahami faktor-faktor apa yang mendasari dan mengapa perilaku tersebut terjadi. Melalui telaahan perspektif psikologi dapat diperoleh gambaran faktor apa yang memberikan warna terhadap terbentuknya perilaku manusia termasuk dalam hal ini perilaku dalam berbagai konteks. Islam

108


sebagai

agama

yang diturunkan sebagai

agama terakhir

merupakan agama yang sempurna sehingga apa yang terkandung di dalam ajarannya akan mampu menjadi solusi yang paling sempurna untuk mengatasi berbagai hal termasuk permasalahanpermasalahan yang terjadi di dunia, tentunya hal tersebut diimbangi

dari

konsistensi

bagaimana

kita

mampu

mengamalkannya secara kaffah. Terjadinya perilaku dekandensi moral, khususnya yang terkait dengan meningkatnya kasus korupsi menandakan bahwa masih terdapat faktor-faktor yang sangat berperan yang menjadikan perilaku manusia tidak dapat mengendalikan diri dalam kaitannya memutuskan mana yang menjadi haknya dan mana yang bukan menjadi haknya. Kebutuhan manusia yang secara naluriah tidak akan berujung akan menjadikan sumber masalah terbentuknya perilaku korupsi. Faktor kendali diri yang kuat sangat diperlukan untuk dapat membendungnya dan terbentuknya kendali diri salah satunya adalah melalui penanaman nilai-nilai agama yang dianut oleh seseorang.

II.

PROSES TERBENTUKNYA PERILAKU KORUPSI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

109


Menurut perspektif psikologi, perilaku individu terjadi karena dilandasi oleh adanya kekuatan yang mendorong yang berasal dari dalam diri. Berbagai faktor psikologis mendasari terjadinya suatu perilaku. Sebelum membahas terbentuknya perilaku korupsi dalam perspektif psikologi maka terlebih dahulu akan diuraikan bagaimana terbentuknya perilaku secara umum dalam sudut pandang psikologi. Berbagai teori dari para ahli psikologi telah banyak menguraikan bagaimana perilaku itu terjadi dengan menggunakan berbagai pendekatan. Pendekatan yang paling mudah dipahami adalah bagaimana perilaku itu terjadi karena adanya dorongan atau kekuatan motivasi yang melandasinya berdasarkan kebutuhan. Berbagai teori tentang motif atau kebutuhan (“need�) dapat menjelaskan mengapa suatu perilaku itu terjadi.

Berkaitan dengan munculnya perilaku korupsi, maka dengan menggunakan teori motif/kebutuhan menurut Abraham Maslow, maka dapat dipetakan sbb :

Menurut teori motif Abraham Maslow, bahwa motif/kebutuhan yang dimiliki oleh seorang individu itu bersifat hierarkhis. Teori ini kerap disebut sebagai teori motif/kebutuhan berbentuk piramid.

110


Aktualisasi diri

Penghargaan Sosial Rasa aman Biologis

Dari bentuk piramid ini Maslow menyatakan bahwa motif/kebutuhan individu diawali dari motif dasar yaitu motif/kebutuhan yang bersifat biologis. Berikutnya adalah motif/kebutuhan akan rasa aman untuk kemudian akan muncul motif/kebutuhan

sosial,

penghargaan/pengakuan

dan

motif/kebutuhan pada

tahap

terakhir

akan adalah

motif/kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut teori Maslow, motif seseorang akan muncul secara

berjenjang,

sehingga

motif/kebutuhan

pada

tahap

berikutnya akan muncul bila motif/kebutuhan pada tahap sebelumnya telah terpenuhi. Bila melihat skema piramid tersebut dapat dijelaskan bahwa selain berjenjang, maka derajat kebutuhan yang dimiliki makin ke atas makin mengerucut dan mengecil.

111


Motif/kebutuhan yang paling dasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu yakni kebutuhan biologis berupa kebutuhan akan makan, minum yang merupakan kebutuhan hajat hidup orang pada umumnya. Bagi orang pada umumnya kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi melalui berbagai aktivitas, diantaranya melalui bekerja. Melalui bekerja orang akan mendapatkan gaji yang dapat dipergunakan sebagai sarana membeli sesuatu. Pada awalnya orang bekerja karena membutuhkan gaji. Apabila gaji yang diterima telah dapat memenuhi kebutuhan biologis dasar, akan muncul kebutuhan lain berupa kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman dapat terpenuhi melalui papan dan sandang. Pemilikan akan rumah, pakaian dan jaminan kesehatan serta jaminan sosial yang mampu memberikan rasa aman dan perlindungan akan menjadi target berikutnya. Apabila pada tahap kebutuhan ini terpenuhi maka individu akan mencari pemenuhan kebutuhan

di

tahap

berikutnya

yaitu

kebutuhan

akan

bersosialisasi. Kebutuhan akan diterima di lingkungan sosial dapat terpenuhi melalui berbagai kegiatan interaksi dengan beragam lingkungan sosial. Hal ini sejalan dengan sifat manusia sebagai mahluk sosial, maka ia akan memerlukan orang lain untuk bersosialisasi. Dengan

terpenuhinya

motif/kebutuhan

bersosialisasi,

maka individu akan mencari pemenuhan akan kebutuhan pada tingkat selanjutnya yaitu kebutuhan akan penghargaan diri atau

112


pengakuan akan diri dari lingkungannya. Pada tahap ini individu bukan hanya membutuhkan diterima oleh lingkungan sosialnya namun juga memerlukan pengakuan atau penghargaan atas apa yang dimiliki atau melekat pada dirinya. Kebutuhan ini akan terwujud ke dalam berbagai reaksi atau tindakan-tindakan yang mampu menunjukkan bagaimana prestasi atau apa yang telah dicapai oleh seseorang dihargai. Dan pada tahap kebutuhan yang paling akhir adalah kebutuhan akan aktualisasi diri yang dapat terwujud ke dalam pengakuan “siapa saya� dalam suatu lingkungan. Bila kita telusuri bagaimana dinamika bekerjanya motif/kebutuhan yang berjenjang tersebut pada diri seorang individu maka perilaku itu bisa terjadi namun dilandasi oleh motif/kebutuhan yang berbeda. Dalam artian seorang yang bekerja untuk mendapatkan gaji, maka gaji yang diperoleh dapat dijadikan sumber pemuas untuk berbagai kebutuhan yang dimilikinya. Jika mengacu pada teori hierarkhi motif/kebutuhan maka pada dasarnya kita melihat bahwa kebutuhan orang akan selalu meningkat. Peningkatan kebutuhan tersebut dapat terjadi dalam lingkup hierarkhi yang sama namun kadarnya bertambah atau dalam lingkup hierarkhi yang lebih tinggi dengan kadar kekuatan yang tetap.

113


Illustrasi di bawah ini akan tergambar dengan jelas bagaimana faktor kebutuhan pada individu atau manusia tetap akan terjadi dan memunculkan kebutuhan baru.

Seorang karyawan yang telah bekerja di suatu perusahaan selama 8 tahun dengan total penghasilan sekitar Rp. 8.000.000,-. Dengan penghasilan tersebut ia mampu membeli mobil merk Toyota Avanza dengan cara mencicil. 6 tahun kemudian pada saat yang bersangkutan memperoleh kenaikan gaji dan tunjangan, yang bersangkutan

mendapatkan total penghasilan menjadi Rp.

11.500.000 maka akan muncul kebutuhan membeli mobil baru dengan merk yang lebih bagus dari mobil yang sebelumnya. Pada awalnya rumahnya di daerah tertentu yang terpencil maka dengan peningkatan pendapatan, otomatis akan memunculkan kebutuhan rumah yang lebih besar dengan lokasi yang lebih baik. Demikian seterusnya saat kebutuhan di aspek tertentu sudah terpenuhi maka tidak akan berhenti pada hierarkhi itu, namun akan muncul kebutuhan lain sehingga manusia akan terus menerus berusaha memenuhi kebutuhannya. Pada illustrasi tersebut jelas bahwa saat awal manusia dalam suatu keluarga membutuhkan rumah, hal tersebut merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan akan rasa aman sehingga pemilihan rumah yang akan dibeli baru sebatas untuk dapat memberikan perlindungan tempat berdiam dan berteduh

114


secara menetap. Dalam arti kata pembelian rumah lebih diarahkan untuk memenuhi sesuai dengan fungsinya. Dikaitkan dengan teori Maslow, maka hal tersebut merupakan wujud dalam rangka memenuhi kebutuhan pada hierarkhi rasa aman. Dengan meningkatnya

penghasilan,

maka

otomatis

akan

muncul

kebutuhan lain yang bukan sekedar fungsi melindungi rasa aman saja. Kebutuhan rumah yang lebih besar, dengan disertai desain yang lebih baik serta lokasi yang lebih memadai akan muncul sehingga bukan sekedar fungsi rasa aman, namun pilihan rumah yang berbeda merupakan wujud dari pemenuhan akan kebutuhan prestise atau pengakuan akan status sosial yang meningkat. Demikian halnya akan terjadi peningkatan kebutuhan yang makin tinggi baik dari sisi ragam maupun jumlah sesuai dengan hierarkhi yang ada menurut Maslow. Dengan

gambaran

tersebut

maka

bila

kita

akan

menganalisis terjadinya perilaku korupsi yang terjadi dengan mengacu pada teori kebutuhan Maslow maka dapat dipetakan bahwa sepanjang manusia memiliki kebutuhan yang terus meningkat maka tingkat kepuasannyapun akan terus meningkat. Kondisi itulah yang akan mengikat atau membelenggu individu dalam hidupnya untuk terus berpacu mengejar berbagai peluang ataupun

kesempatan

yang

diasumsikan

dapat

memenuhi

kebutuhannya. Meskipun dalam konsep penjelasannya bahwa tidak selamanya bentuk pemenuhan yang akan dilakukan oleh

115


setiap

individu

selalu

sama,

mengingat

kadar

besaran

kebutuhannya tiap individu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam permasalahan tentang korupsi yang terjadi di Indonesia, maka akan timbul pertanyaan apakah dengan mengacu pada konsep teori Maslow dapat disimpulkan bahwa setiap individu otomatis akan melakukan tindakan-tindakan apapun untuk mengejar pemenuhan kebutuhan fisik ataupun psikis yang makin meningkat tanpa mempertimbangkan berbagai hal terkait dengan norma, aturan ataupun nilai yang berlaku baik pada dirinya maupun lingkungan masyarakat disekelilingnya. Tentunya jawabannya tidak, otomatis demikian. Dalam perspektif psikologi, peningkatan kebutuhan memang akan diikuti dengan upaya-upaya individu untuk memenuhinya dalam rangka mencapai kepuasan diri. Cara-cara yang

dilakukan

akan

sangat

tergantung

dari

bagaimana

bekerjanya sistem nilai yang ada dan dianut oleh individu. Perilaku korupsi merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu dengan mengabaikan pertimbangan moral yang ada. Bisa jadi yang bersangkutan paham dan mengerti bahwa upaya tersebut tidak boleh dilakukan, namun nilai kejujuran serta integritas yang lemah akan menjadikan masalah mengapa tindakan tersebut tetap dilakukan. Apalagi bila lingkungan sekitar masih memberi peluang yang longgar akan terjadinya tindakan-tindakan korupsi,

116


dalam arti kata kontrol eksternal yang ada lemah karena sistem “punishment� yang tidak berjalan secara adil dan proporsional. Namun di sisi lain, kita masih dapat menemukan sosoksosok individu baik dari kalangan tokoh ataupun bukan tokoh yang tetap mampu menunjukkan sikap dan komitmen yang baik terhadap nilai-nilai yang dianut sehingga mampu diwujudkan ke dalam perilaku yang memiliki integritas serta kejujuran yang kuat. Kendali diri yang kuat merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai salah satu alat pada diri individu untuk dapat mengendalikan

kebutuhan-kebutuhan

yang

terus

menerus

meningkat dan membelenggu manusia. Dalam pandangan ilmu psikologi tingkah laku manusia terjadi karena adanya kebutuhan yang mendorong secara kuat, namun demikian peran lingkungan serta nilai yang dianut pun menjadi faktor-faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap munculnya tingkah laku manusia, termasuk dalam hal ini tingkah laku melakukan korupsi. Kekuatan nilai yang terinternalisasi dalam diri individu akan menjadi faktor yang sangat kuat dalam membangun sistem kontrol diri atau “internal control systems� yang dapat membentengi individu dalam bentuk kendali diri yang kuat terhadap berbagai tekanan atau godaan yang muncul dari lingkungan. Agama merupakan salah satu keyakinan yang dianut oleh manusia yang dapat digunakan dalam membangun nilai-nilai

117


hidup yang kuat terkait dengan bagaimana membangun kendali diri yang kuat pula. Islam sebagai suatu agama yang paling sempurna diharapkan mampu memberikan solusi bagaimana membangun pribadi manusia yang mampu mengendalikan diri, kuat pada nilai agama yang dianut serta menjadi pribadi yang memiliki integritas kuat. Bahwasanya bila dikaitkan dengan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam, sementara di sisi lain justru perilaku korupsi banyak muncul di Indonesia, maka hal tersebut merupakan suatu pertanyaan besar yang perlu menjadi perhatian kita semua. Oleh karenanya pada uraian sub bab berikutnya akan dipaparkan bagaimana menjadi pribadi muslim yang baik dan konsisten dengan ajaran agama Islam agar terbangun pribadi-pribadi dengan nilai integritas yang kuat.

III.

MEMBANGUN

PRIBADI

YANG

MEMILIKI

INTEGRITAS DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN/ MOTIF DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Allah menciptakan manusia dengan karakteristik dan sifat-sifat khusus yang membuat manusia mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang telah diciptakan Allah bagi manusia. Allah berfirman : Tuhan kami ialah yang telah memberikan kepada tiap makhluq bentuk ciptaannya, kemudian memberikan petunjuk (Qs.

118


20:50). Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Paling Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaanya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) serta memberikan petunjuk (Qs. 87: 1-3).

Diantara karakteristik penting yang diciptakan Allah dalam diri manusia adalah adanya dorongan/motif pada setiap diri manusia. Dorongan/motif ini terdiri dari dorongan/motif fisiologis dan psikologis. Dorongan/motif fisiologis berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tubuh, menutupi kekurangan organis atau kimia tubuh, dan melawan goncangan atau hilangnya keseimbangan.

Dorongan/motif

fisiologis

terdiri

dari

dorongan/motif yang diperlukan untuk menjaga diri atau melestarikan kelangsungan hidup individu, dan dorongan/motif yang

dibutuhkan

untuk

memelihara

kelestarian

hidup

spesies/jenis. Dalam dorongan/motif

Qs. untuk

20:

117-120,

menjaga

ditunjukkan

diri

atau

bahwa

melestarikan

kelangsungan hidup manusia terdiri dari dorongan/motif lapar, haus dan menghindari cuaca tidak baik. Selain itu, untuk menjaga diri manusia dibekali Allah dengan dorongan/motif istirahat atau menghindari lelah, dan mencari perlindungan dari marabahaya (Qs. 16:80). Sedangkan dorongan/motif yang ditujukan untuk melestarikan

kelangsungan

hidup

manusia

terdiri

dari

119


dorongan/motif seksual (Qs. 36:36, 30:21 dan 7:189) dan dorongan/motif keibuaan (Qs. 31:14, 46: 15). Dalam Al Qur’an dan As Sunah digambarkan bahwa dengan adanya dorongan/motif ini, manusia memiliki peluang untuk diintervensi syaithan, sehingga mengarahkan manusia untuk berprilaku yang tidak sesuai dengan syari’at. Dorongan/motif

psikologis

muncul

karena

adanya

interaksi antara dorongan/motif fisiologis dengan berbagai pengalaman

individu

dan

faktor

pertumbuhan

sosialnya.

Dorongan/motif psikologis, antara lain terdiri dari dorongan/motif memiliki, dan berkompetisi.

Dorongan memiliki terdiri dari

dorongan/motif untuk memiliki pasangan hidup, anak dan keturunan, harta yang banyak, kendaraan, perternakan dan pertanian (Qs. 3:14). Dalam Al Qur’an ditunjukkan bahwa dengan dorongan/motif ini manusia bisa melanggar aturan syar’i baik ketika ia berusaha memilikinya (Qs. 20:120)

ataupun ketika

manusia telah memperoleh apa yang ingin dimilikinya (Qs. 57:20). Dorongan/motif

kompetisi

merupakan

dorongan

psikologis yang dipelajari individu dari lingkungan dimana ia hidup. Pendidikan yang diterimanya mengantarkan individu pada pemahaman bahwa kompetisi merupakan sesuatu yang baik untuk kemajuan dan perkembangan. Al Qur’an memberikan dorongan pada manusia untuk berkompetisi dalam bertaqwa kepada Allah,

120


berbuat kebajikan, berpegang teguh pada nilai-nilai keluhuran manusia, dan mengikuti metode Ilahi dalam kehidupan. (Qs. 83:22-26, 2:148 dan 57: 21). Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia memiliki berbagai kebutuhan yang menghantarkan manusia memiliki dorongan/ motif untuk berusaha menunjukkan tingkah laku yang terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dorongan/motif dalam konsep Islam ditempatkan sebagai salah satu fitrah (potensi bawaan manusia) yang berguna merealisasikan tujuan - tujuan yang dikehendaki Allah, yaitu pemeliharaan diri dan kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian memuaskan dorongan/motif untuk memenuhi berbagai kebutuhan, merupakan hal yang dituntut oleh fitrah dan diperlukan oleh tabiat manusia, karena pada upaya memuaskan dorongan/motif ini akan menunjang

pemeliharaan

kelestarian

hidup

manusia

dan

kelestarian spesiesnya. Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa baik dalam perspektif psikologi ataupun Islam keberadaan motif ataupun kebutuhan pada seorang individu adalah merupakan suatu hal yang sangat manusia. Dengan adanya motif menggambarkan bahwa individu itu memiliki kehidupan dan dinamis sehingga upaya pemenuhan yang dilakukan juga merupakan hal yang fitrah dan wajar.

121


Namun demikian dalam cara pemenuhan kebutuhan tersebut, perspektif Islam memiliki acuan yang jelas yang mengatur manusia dalam upaya memelihara kelestarian hidupnya bukan hanya semata pada kebutuhan pribadi dan kaitannya sebagai mahluk sosial yang hidup di lingkungannya selama manusia hidup di dunia. Kehidupan di alam akhirat justru menjadi pokok acuan yang penting bagi manusia, karena pada dasarnya kehidupan yang harus diperjuangkan bukan hanya semata di dunia yang saat ini sedang kita pijak. Pertanggungjawaban kita kelak di akhirat akan sangat tergantung dari apa yang telah kita lakukan selama hidup di dunia. Oleh karenanya Allah SWT telah mengaturnya dengan sempurna melalui tuntunan yang ada di Al Qur’an serta contoh - contoh tindakan serta ucapan para Rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW agar kita sebagai manusia dapat menjalankannya. Termasuk dalam hal ini bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dunia. Agar

upaya

pemuasan

dorongan/motif

dapat

mensejahterakan kehidupan manusia baik dalam kehidupan dunia ataupun akhirat, maka

Allah SWT menetapkan hukum dan

perintah-perintah Al Qur’an yang berkaitan dengan pemuasan dorongan/ motif tersebut, yang sesuai dengan fitrah manusia. Hukum-hukum menetapkan,

dan dan

perintah-perintah menyerukan

tersebut untuk

mengakui,

dipuaskannya

dorongan/motif tersebut (Qs. 2:60). Dengan kata lain, dalam Al

122


Qur’an dan As Sunah, tidak akan ditemukan keteranganketerangan yang menunjukkan buruknya, ditolaknya dan harus diingkarinya dorongan/ motif tersebut, tetapi

justru diserukan

agar kebutuhan/motif tersebut dipenuhi tetapi tetap terkendali, tidak berlebihan dan tidak melanggar batasan hukum syar’i yang telah ditetapkan. Dalam konteks yang berhubungan dengan maraknya fenomena korupsi dalam memuaskan dorongan/motif, berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap manusia agar cara memuaskan dorongan/motif mereka tetap mensejahterakan kehidupan mereka di dunia terutama di akhirat nanti. 1. Memuaskan dorongan/motif dengan zat yang halal dan baik (thoyyib) Dalam hal ini manusia perlu meningkatkan kesadaran bahwa dalam memuaskan dorongan/motif diperlukan kemampuan mengendalikan dan mengarahkan pemuasan dorongan/motif hanya pada zat yang secara syar’i telah nyata halal dan baiknya serta tidak pernah memiliki keinginan dalam memuaskan dorongan/motif tersebut dengan zat yang sudah jelas haramnya (Qs. 2:168; 5:88). 2. Memuaskan dorongan/motif dengan cara yang halal dan baik (thoyyib) Dalam hal manusia perlu meningkatkan kesadaran bahwa dalam memenuhi dan memuaskan dorongan/motif perlu

123


ditempuh dengan cara yang sesuai dengan syar’i dan tidak tergoda

untuk

dipengaruhi

melakukan

cara

pemuasan

yang

oleh bisikan-bisikan syaithan sehingga

manusia lupa terhadap aturan-aturan syar’i/ cara yang bathil (Qs. 2:172, 2:188). Dalam ini Hadits Nabi pun menyatakan

sebagai

berikut

:

Wahai

manusia,

sesungguhnya Allah SWT. itu adalah zat yang baik, ia tidak akan menerima kecuali sesuatu yang baik.‌ Kemudian Rasulullah bersabda ada seorang laki-laki yang sudah lama menempuh perjalanan jauh sehingga kondisi tubuhnya

lusuh

dan

rambutnya

acak-acakan.

Dia

mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berkata : Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku. Namun makanan orang itu haram, minumannya haram, dan pakainya haram, Dia pun diberi makanan dengan sesuatu yang haram. Maka dengan kondisinya itu, tidak mungkin do’anya itu dikabulkan Allah ( Hr.Muslim dan At Turmudzi). Selain itu Rasul bersabda : Sesungguhnya orang-orang yang begelimang harta dengan cara yang tidak benar (haram), maka mereka akan mendapatkan neraka di hari kiamat (Hr. Al Bukhari). 3. Memuaskan dorongan/motif dengan tidak berlebihan (Israf)

124


Dalam konteks ini, manusia disadarkan agar dalam upaya memuaskan dorongan/motif tersebut tidak dipengaruhi oleh syahwat/nafsu berlebihan, karena dengan cara berlebihan ini manusia bisa mengalami akibat buruk bagi kehidupannya bahkan manusia bisa melakukan segala sesuatu yang sesungguhnya telah dilarang syar’i. Dalam hal ini Allah telah mengingatkan manusia dengan firmannya : “Wahai manusia ‌ makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihanâ€? (Qs. 7:31). Selain itu Rasul pernah bersabda : Makanlah, minumlah, dan berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak disertai kesombongan (Hr. Al Bukhari). 4. Memuaskan dorongan/ motif dengan tujuan hanya memperoleh ridha Allah dan memperoleh kehidupan akhirat yang terbaik (Qs. 28 : 77 dan 63:9).

Melalui proses internalisasi yang kuat terhadap apa yang telah diserukan maka diharapkan individu sebagai manusia akan dapat

membangun

kendali

diri

yang

kuat

agar

dapat

mempertahankan acuan hidupnya tanpa harus melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan agama. Dalam ajaran Islam, jelas bahwa pertanggungjawaban kita sebagai umat harus

125


sejalan dengan tuntunan agama. Dengan demikian meskipun dalam ke dua perspektif baik psikologi maupun Islam dibahas mengenai proses kendali diri namun dalam tatanan agama Islam lebih memberikan solusi yang lebih komprehensif. Memuaskan kebutuhan atau dorongan yang sifatnya fitrah namun dengan tujuan semata memperoleh ridla Allah dan memperoleh kehidupan akhirat yang terbaik itulah yang akan menjadi kunci utama bagaimana manusia paham benar akan seluruh implikasi perbuatannya di dunia, termasuk dalam hal ini perbuatan korupsi.

126


STATISTIKA, MATEMATIKA, DAN FARMASI SEBAGAI IMPLEMENTASI AYAT-AYAT KAUNIAH Dr. Suwanda., MS Dekan FMIPA Unisba

Ini manusia, dan garis persegi itu kurungan ajalnya, sedangkan garis panjang yang keluar dari batas itu angan-angan cita-cita manusia, dan garis-garis kecil itu adalah gangguangangguan yang selalu menghinggapi manusia, maka bila ia selamat dari yang pertama, mungkin terkena yang ke-dua, jika ia terhindar dari yang satu terkena yang lain.

(H.R. Buchary). Pendahuluan Kaum muslimin haqul yakin bahwa Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar dan terakhir yang diberikan Allah Swt kepada manusia pilihan, Rasulullah Muhammad Saw. Al Qur’an merupakan penyempurna dari kitab-kitab suci sebelumnya

127


(Taurat, Zabur dan Injil) dan harus menjadi sumber dari segala sumber pedoman hidup bagi umat manusia yang mengimaninya. Al Qur’an dapat dipandang sebagai dokumen tertulis yang menjelaskan tentang proses terjadinya alam raya, sejarah, kisahkisah para Rosul atau orang-orang pilihan maupun orang-orang yang dilaknat, dan aturan hidup dalam hubungan manusia dengan Allah,

manusia

dengan

manusia

dan

manusia

dengan

lingkungannya. Kesempurnaan-nya dijamin Allah Swt (Q.S. Almaidah 3), artinya sebagai aturan hidup Al Qur’an bersifat abadi hingga akhir zaman. Di dalam Al Qur’an juga terkandung sari pati konsep semua Ilmu Pengetahuan, baik itu matematika dan sains (fisika, kimia, biologi, statistika, farmasi), sosial, kedokteran, ekonomi, psikologi, pertanian, teknologi, bahasa, sastra dan seni rupa. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang sudah ada maupun yang akan ada berikutnya berada pada satu pohon ilmu pengetahuan, karena memang sumbernya satu yaitu dari Allah Swt. Manusialah yang memilahmilah cabang ilmu seperti sekarang ini sesuai dengan tafsir dan pengetahuannya. Pada masa keemasan ilmuwan muslim (tahun 700-1350 M), tidak jarang seseorang mengusai beberapa cabang ilmu. Beberapa diantaranya, seperti Al-Khawarizmi (780-850M) yang mengusai bidang matematika sekaligus astronomi. Beliaulah penemu bilangan nol, sehingga muncul sistem bilangan desimal dan biner.

128


Sistem bilangan desimal adalah sistem bilangan yang digunakan sehari-haris sampai sekarang ini, sedangkan melalui sistem bilangan biner dapat dibuat bahasa mesin, sehingga revolusi teknologi komputer terjadi seperti sekarang ini yang dibidangi oleh Charles Babage (1791-1827) matematikawan Inggris sebagai penggagas Komputer. Imbasnya adalah kepada kemajuan cabang ilmu pengetahuan yang lainnya. Berikutnya adalah Al Kindi (800 M) seorang philosop Islam, juga ahli fisika, dan ahli optik, AlTabari (838M) ahli kedokteran dan matematika, Al-Battani (852M) ahli matematika, astronomi dan teknik, Al-Razi (884) ahli Ophthalmology, kedokteran dan ahli kimia, Al-Farabi (870) ahli sosiologi, logika, sains, dan musik, Al-Baitar (1097) ahli dalam bidang botani, kedokteran dan farmasi, Al-Idrisi (1099) ahli Geography-World Map, First Globe,dan Al-Magdi (1359) ahli atronomi dan matematika.(Hazmy dkk, 2016). Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa ilmuwan muslim seperti tertidur? Dominasi ilmuwan non muslim tampak dalam berbagai aspek, baik itu dalam bidang ilmu ekonomi, sosial, politik, hukum, kesehatan, pertanian, farmasi, sains dan teknologi, serta bidang pendidikan. Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja cukup sederhana yaitu dengan berlandaskan pada hukum sebab akibat yang akan terus berlaku sesuai dengan kehendak-Nya hingga akhir zaman. Sifat rahman Allah Swt berlaku pada setiap mahkluk yang berakal (manusia). Siapa yang

129


rajin belajar tentu akan pintar, siapa yang hemat tentu akan kaya. Hukum sebab akibat dalam konteks matematika dilukiskan oleh hubungan jika A maka B. Contoh yang paling popular adalah â€œâ€Ś sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedihâ€? (Q.S Ibrahim, 7). Ilmuwan muslim seperti tertidur yang cukup panjang. Sebagai gambaran akan dijelaskan apa penyebab utama kondisi ini terjadi di Indonesia. Indonesia dengan penduduk muslim terbesar dapat dijadikan representasi umat Islam secara luas. Pembahasan dimulai dengan kondisi Indonesia dari suatu orde ke orde lainnya. Kemudian menjelaskan posisi strategis Universitas Islam Bandung dalam membangkitkan kegairahan anak bangsa untuk menimba ilmu dengan berlandaskan pada ruhudien. Penjelasan dikhususkan pada program studi yang bernaung di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam yaitu Statistika, Matematika dan Farmasi. Indonesia dari Satu Orde ke Orde Lainnya Data menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah dilanda problem yang bersifat multidimensi. Di bidang politik, demokrasi kita tengah mengarah ke demokrasi liberal alias kebablasan. Ini telah menyimpang dari cita-cita luhur para Pendiri bangsa seperti yang tercantum pada UUD45 dan Pancasila yaitu

130


demokrasi Pancasila. Sejarah menunjukkan bahwa pemilu dengan banyak partai, menghasilkan kondisi yang tidak stabil. Seperti pada pemilu pertama tahun 1955, para pakar politik dan pengamat mengatakan bahwa pemilu saat itu merupakan pemilu yang lancar, aman, jujur, adil dan sangat demokratis. Namun hasil pemilu ini tidak membawa bangsa Indonesia ke kondisi yang stabil dibidang politik. Sifat otoriter dari Presiden muncul setelah membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 setelah RAPBN yang dirancang Pressiden ditolak oleh DPR. Puncaknya MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) memberhentikan Presiden, setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Orde ini dikenal sebagai orde lama. 1967) memberhentikan Presiden, setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Orde ini dikenal sebagai

orde

lama.

(http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/8/PEMILU1955/MzQz). Pada tahun 1971 terjadi pergantian pimpinan pemerintahan yang melahirkan harapan baru, oleh karena itu pada orde ini

131


disebut orde baru. Pada masa orde baru, partai politik diciutkan menjadi tiga dan memang menunjukkan kondisi yang stabil. Pembangunan berjalan dengan perencanaan pembangunan yang tersusun baik dan rapih dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yaitu sebuah rencana pembangunan di berbagai sektor 5 tahunan ke depan berlandaskan pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Masa orde baru seperti halnya pada orde lama, marwah dan harga diri bangsa benar-benar diperhitungkan oleh Negara lain. Namun masa inipun melahirkan rezim yang otoriter dan korup. Rezim ini dijatuhkan rakyat pada tahun 1997 setelah berkuasa hampir 30 tahun yang ingin mereformasi kemapanan atau stabilitas semu dan lahirlah orde reformasi sampai dengan sekarang. Orde reformasi ini yang tadinya menjadi tumpuan rakyat akan perubahan, nyatanya jauh panggang dari api atau harapan. Era sekarang ini demokrasi menjadi liberal, siapapun orangnya asalkan punya masa dan modal dapat menjadi anggota DPR atau menjadi Kepala Daerah tanpa

menghiraukan

kapasitasnya.

Otonomi

daerah

atau

desentralisasi menjadi ciri pada masa kini dengan tujuan untuk keleluasaan kepala daerah dalam membangun daerahnya. Pemekaran daerah telah terjadi dimana-mana mulai dari Pemerintah Tingkat I (Provinsi) sampai dengan Pemerintah Desa. Pada era desentralisasi ini banyaknya Provinsi menjadi 34 dari 26 (tahun 1999 dan sebelumnya), Kabupaten menjadi 415 dari 234,

132


Kota menjadi 93 dari 59, Kecamatan menjadi 6994 dari 5480, kelurahan 8309 dari 5935 dan desa menjadi sebanyak 72944 dari 59834 (http://www.otda.kemendagri.go.id/). Ada yang berhasil, namun kondisi mem-prihatinkan juga cukup besar. Sampai akhir 2014, tercatat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi. Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala

daerah diseret

ke

meja

hijau.

(http://www.tribunnews.com/nasional/2014, 25 Desember 2014). Sedangkan menurut catatan ICW selama tahun 2015 terdapat 550 kasus korupsi, melibatkan 1124 orang dengan kerugian sebesar Rp 3,1 triliun rupiah. Hal ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2014. Total tahun 2014, jumlah kasus 629 kasus, jumlah tersangka 1328 orang dan kerugian negara sebesar

Rp

5,29

triliun.(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54febb754288 e/icw--jumlah-tersangka-kasus-korupsi-ribuan-di-periode-2014). Walaupun terjadi penurunan, namun peringkat korupsi Indonesia di tahun 2014 di level 107 dari 175 negara di dunia, inimasih cukup tinggi, yaitu di atas Singapura (7), Malaysia (50), Thailand (85) dan Filipina (85). (http://www.dw.com/id/peringkat-korupsinegara-anggota-asean/g-18192769).

133


Akibat korupsi yang dilakukan secara sistemik dan masal serta rendahnya supremasi/penegakan hukum serta rendahnya daya saing bangsa di berbagai bidang, maka kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar di Indonesia. Tahun 2014 indeks Gini kekayaan Indonesia nilainya 0.43, artinya 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai kekayaan sebesar 43%. Ini meningkat dari 0.29 tahun 2002.Sedangkan indeks Gini tanah besarnya 0.80, artinya hanya 1% rakyat Indonesia yang menikmati 80% tanah (http://chirpstory.com/li/261546). Dapatkah konsep Islam memecahkan masalah yang kian menganga ini? Kalaulah kondisi ini terjadi secara acak, bukan hasil pengaturan atau rekayasa, maka jelas bahwa ketertinggalan kaum muslimin dalam berbagai aspek justru karena meninggalkan konsep hidup Islam itu sendiri. Sedangkan

Negara atau

perorangan yang berhasil maju, mereka justru melaksanakan konsep Islam yang bertumpu pada upaya peningkatan mutu (quality

improvement)

standar/aturan,

melalui

pelaksanaannya,

pemahaman

monitoring

dan

standarevaluasi

(muhasabah), perbaikan diri, dan peningkatan standar. Siklus ini terus menerus dilakukan dengan bertumpu pada dokumentasi yang tersusun baik dan data yang dicatat secara benar apa adanya bukan hasil rekayasa sebagaimana firman Allah Swt :�dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan� (QS. 93:4).

134


Unisba Ibarat Sebuah Mutiara dari Bandung Menjawab kondisi politik yang tidak kondusif bagi partai politik yang berazaskan Islam, setelah Partai Masyumi dibubarkan tahun 1960, para pejuang politik Islam dengan penggerak K.H. M. Natsir mengalihkan perjuangannya dari bidang politik ke bidang dakwah dan pendidikan. Di Bandung didirikan Perguruan Islam Tinggi (PIT) pada bulan November 1958, diaktifkan kembali setelah kegiatannya terhenti pada tahun 1959 saat Konstituante dibubarkan presiden Sukarno. Penggeraknya terdiri dari K.H. M. Rusyad Nurdin, Prof. Sjafe’i Soemardja, Prof. H. Ahmad Sadali, K.H.E.Z. Mutaqien, Abdullah Dahlan, Aban Sobandi,

Ustadz

Qomaruddin,

Ali

Dahlan,

Khusnun,

Kridoharsojo, Oja Sumantri, Hasan Natapermana, Dr. Hasan Bushoiri, Ali Usman dan lain-lain. PIT kemudian berubah nama jadi Universitas Islam Kian Santang pada tahun 1967 dan sejak tahun 1969 kembali berubah namanya menjadi Universitas Islam Bandung (Unisba). (Mustafa, 2005) Kini Unisba dengan misi mencetak anak bangsa sebagai mujahid (pejuang), mujtahid (peneliti) dan mujaddid (pembaharu) bak sebuah mutiara dari kota Bandung yang menjadi harapan para orang tua dan anak bangsa untuk memilikinya.

135


Statistika, Matematika dan Farmasi Sebagai Implementasi Ayat Kauniah Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kita meyakini dan tak terbantahkan bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah Swt. Semua ayat kauniyah yang berserakan di alam raya ini dapat dikorelasikan dengan ayat-ayat Quraniyah atau saling melengkapi, mendukung, dan tidak bertentangan. Penulis termasuk yang tidak sepakat kalau ada orang yang menyatakan “Islamisasi ilmu� karena pada dasarnya, semua ilmu memang sudah Islami, terlepas dari siapa yang mendalami dan menemukannya, muslimkah atau nonmuslimkah. Di Universitas Islam Bandung kini terdapat 18 buah program studi (prodi) yang bernaung pada 10 Fakultas. Prodi Statistika, Matematika, dan Farmasi merupakan tiga prodi yang berada di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Pendirian ketiga prodi tersebut tidaklah sekaligus, akan tetapi bertahap sesuai dengan tututan dan keperluan pada zamannya. Diawali dengan pendirian prodi Statistika pada tahun 1972. Konon, di tahun 70-an, K.H. EZ Mutaqien (alm) sangat gusar atas perilaku para pembantu presiden RI yang ABS (asal bapak senang). Puncaknya terjadi manakala Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa stok beras cukup untuk satu tahun tetapi,

136


kenyataannya terjadi kelangkaan beras di mana-mana (penulis tidak tahu tahun berapa tepatnya, tetapi saat penulis di kelas dua SD mengalami makan beras jagung atau bulgur untuk makanan hewan di AS). Pada waktu itu, banyak orang fasik di sekitar presiden, tidak ada yang mau menyelidiki keadaan yang sebenarnya, sehingga akhirnya mencelakan rakyat Indonesia dan Presiden pun menyesal (demikian apa yang digambarkan AlHujuraat, 6). KHEZ Mutaqien segera mencari dan menghubungi dosen FMIPA UNPAD dan ibu Titi Ngadiman Nu’man (prodi Statistika) bersama dengan Drs. Itja Ismail (Matematika) dan Drs. Lukman Wiradinata (Matematika) berhasil membangun Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam (FIPPA) dengan sebuah prodi yaitu Statistika pada tahun 1972 untuk jenjang D3. Walaupun hanya seorang mahasiswa yang mendaftar, akan tetapi dengan dilandasi idealisme dan keyakinan yang tinggi, proses pembelajaran tetap dilaksanakan. Orang awam, apabila mendengar kata atau istilah statistik atau statistika, pasti pikirannya akan langsung tertuju pada tabel atau grafik yang terdapat pada buku-buku saku statistik atau terpampang di kantor kelurahan sampai di kantor gubernur. Begitu pula yang penulis rasakan saat masuk prodi ini. Itu tidaklah salah, karena memang produk akhir statistika adalah informasi, yang salah satunya berbentuk grafik. diingat

bahwa

informasi

itu

bermula

dari

Tetapi, perlu data,

yaitu

137


keterangan/jawaban responden yang diberikan pada pencatat data (surveyor) atau keterangan hasil eksperimen di laboratorium. Responden dapat berupa kepala keluarga, petani, pelaku ekonomi (pemilik perusahaan), konsumen, siswa, mahasiswa, dan lainlain.Unit-unit eksperimen juga bisa berupa tanaman dan hewan, malah mungkin juga manusia. Apabila diperoleh data yang buruk (sampah), maka hasilnyapun akan sampah pula. Yang tidak diketahui orang adalah bagaimana cara membangkitkan data (input), lalu memprosesnya sehingga jadi informasi. Kata kunci agar diperoleh data yang bukan sampah adalah kejujuran (berkata dan mencatat hasil mengukur apa adanya) atau tidak khianat (Al Anfaal, 58), tidak berbohong dan manipulatif. Kata jujur di Indonesia, sekarang ini sudah menjadi barang langka. Indikatornya adalah negara kita terus terpuruk sejak terjadinya reformasi. Koruptor tetap datang silih berganti. Data jujur, juga bukan jaminan untuk menghasilkan informasi yang baik. Hal ini sangat bergantung pada alat (tools) pengolah data yang digunakan. Alat yang dimaksud disini adalah teknologi hasil riset teoretis secara matematis. Jika alat yang digunakan tidak cocok atau keandalan dari alat tersebut lemah, maka akan menghasilkan informasi atau kesimpulan yang bias pula. Dalam surat Al Hujuraat 6 tersirat suatu perintah untuk penyelidikan, yaitu menyelidiki untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Dalam statistika pun, tujuan utamanya adalah 138


untuk mengetahui keadaan yang susungguhnya (true value) dari nilai suatu parameter (misal rata-rata berat badan bayi yang baru lahir di Indonesia pada periode tertentu), ini hanya Allah Swt saja yang tahu. Yang bisa dilakukan manusia adalah menentukan nilai populasi (population value), karena kita tidak akan pernah tahu berapa berat badan kita yang sesungguhnya. Nilai suatu parameter akan diketahui, jika kita melakukan sensus. Untuk anggota populasi yang hampir tak terhingga banyaknya, terlebih untuk populasi hipotetik (populasi yang dihayalkan ada) sensus mustahil untuk dilakukan setiap saat, karena mahal dan tidak teliti. Dengan alasan inilah sensus penduduk, biasanya, dilakukan sepuluh tahun sekali. Selebihnya dilakukan secara sampling, yaitu mengambil sebagian anggota populasi, kemudian data yang diperoleh digunakan untuk menaksir paramater. Pengambilan kesimpulan suatu parameter berdasarkan data sampel disebut sebagai analisis statistika inferensial. Konsep dasar yang terkandung dalam statistika inferensial adalah keacakan dan kekeliruan. Kata acak disini mengandung makna kejujuran dan keadilan, dan ini adalah suara Ilahiah yang harus kita junjung dan laksanakan. Biasanya, diaplikasikan pada pengambilan unit-unit populasi yang dijadikan sampel. Bila sampelnya tidak acak, jelas hasil analisisnya pun akan bias. Kata kekeliruan mengandung makna simpangan dari nilai taksiran 139


dengan nilai parameter. Kekeliruan ini juga harus bersifat acak. Artinya, kalau dilakukankan berulang-ulang simpangannya bisa positif atau negatif, dan bila dijumlahkan sama dengan nol. Saya

sering mengilustrasikan pada mahasiswa

untuk

mempermudah pemahaman. Kalau kita jualan kain, lalu ada yang membeli satu meter. Pada saat kita melayaninya, pasti kita melakukan kesalahan, karena yang diberikan kepada pembeli mungkin kurang dari satu meter, atau malah lebih. Kalau yang diberikannya kurang terus, konsumen akan dirugikan. Bayangkan, bila setiap 1 m kurangnya 0.5 cm, maka dari pembelian 1000 meter, konsumen akan rugi (kekurangan) 500 cm atau 5 meter. Tentunya, berdosa jika disengaja. Sebaliknya, jika kain yang diberikan pada konsumen lebih dari satu meter, maka penjual yang rugi, dan tidak mustahil bisa bangkrut. Jadi, kekeliruan adalah suatu sifat manusiawi yang tidak dapat dihindarkan. Tetapi, kita hanya dapat meminimalisasinya. Semoga jujur dan adil masih tetap tertanam di benak kita, walaupun sedikit. Tadi telah dikatakan bahwa data jujur saja tidak cukup akan tetapi harus ditopang oleh metodologi atau teknologi statistika yang baik yaitu valid dan reliable. Nah untuk membangun teknik yang baik tersebut haruslah dilandasi oleh pemahaman konsepkonsep matematika yang kuat seperti konsep aljabar, analisis, geometrik, dan kombinatorik. Oleh karena itu juga dengan dilandasi keperluan akan penguatan pemahaman matematika, 140


maka pada tahun 1983 berdiri program studi Matematika dan sejak saat itu FIPPA berubah nama jadi FMIPA. Jelas bahwa peran matematika dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan tidak bisa dihindari lagi seperti Muthen (ahli pendidikan dan statistik) dan Sattora (Ekonom) dengan latar belakang matematika yang kuat, mereka berhasil mengembangkan Structural Equation Modeling (SEM) yaitu memodel hubungan yang kompleks anatara variabel latent (abstrak) dengan variabel manifest (real) (Muthen dan Satorra, 1995). Kini SEM banyak digunakan pada penelitian kuantitatif dalam bidang psikologi dan social. Selain sebagai ibunya ilmu pengetahuan, matematika juga berperan dalam membangun karakter bangsa. Dengan daya analistis, nalar dan logika yang baik akan mempermudah di dalam memecahkan setiap persoalan di masyarakat. Pendirian prodi Farmasi pada tahun 2006 lain lagi yang melatar belakanginya. Pada saat itu terjadi keraguan akan kehalalan akan obat yang beredar di pasaran baik obat dari bahan kimia sintetis maupun obat dengan bahan kimia alami (herbal). Namun ada kesamaan latar belakang dengan pendirian prodi sebelumnya (Statistika dan Matematika) yaitu dilandasi dengan idealisme yang tinggi (untuk kemaslahatan umat) bukan pada orientasi bisnis semata. Para pendiri Unisba mengajari kita akan pentingnya niat dalam segala tidakan. Tentu kalau dari aspek bisnis

prodi-prodi

kependidikan

(misal

pend.matematika), 141


komputer sains akan lebih menjanjikan dari aspek finansial ketimbang

mendahulukan

pendirian

prodi

Statistika

dan

Matematika. Kini Unisba sudah cukup besar dengan jumlah mahasiswa 10000 lebih pada jenjang S1, S2, dan S3 dan alumni 32437 sampai dengan bulan Maret 2016 (Unisba, 2016). Unisba berusaha mempelajari dan mengamalkan apa yang tersurat dan tersirat pada ayat-ayat Qurainiyah maupun kauniyah. Kita sepakat bahwa membangun pengetahuan seperti Statistika, Matematika, dan Farmasi di lingkungan FMIPA adalah bagian dari mempelajari ayat-ayat kauniyah dan dapat dikorelasikan dengan ayat-ayat Qur’aniyah. Ayat ayat Allah Swt tak berhingga banyaknya.

Harapan dan Kenyataan Harapan atau asa akan tercapainya cita-cita setiap orang, keluarga, kaum dan negara

pastilah tinggi. Seperti yang

tergambar pada hadits yang dimuat pada awal tulisan ini. Tercapainya sebuah cita-cita akan melahirkan cita-cita yang lain dan berhenti sampai ajal tiba. Untuk mencapainya pastilah perlu perjuangan yang tidak ringan karena akan ada gangguangangguan (dilukiskan oleh garis-garis keci). Gangguan-gangguan tersebut adalah ujian bagi orang yang beriman. Ujian pada orang beriman saat ini sangatlah berat. Ujian yang utama adalah 142


gencarnya informasi akan ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Hadist. Akibatnya sadar ataupun tidak sebagian besar kaum muslimin terpengaruh. Seperti budaya hedonis, mencintai dunia dan takut akan mati. Harapan akan bangkitnya kembali dunia Islam, justru yang terjadi adalah keterpurukan. Keterpurukan terjadi antara lain karena dunia Islam telah mengabaikan dua hal yang amat fundamental.

Pertama,

nilai-nilai

Qur’ani.

Kedua,

risonalisme(Djauhari, 2003). Kebangkitan dunia Islam adalah kebangkitan peradaban Islam yang pada gilirannya akan mampu benar-benar menjadi rahmatan. Semoga.

143


Daftar Pustaka Djauhari, M.A. (2003). Kaaffah, Memahami Jiwa Membangun Peradaban. Penerbit Pustaka, Bandung. Hazmy, C.H., Zainurashid, Z, dan Hussaini, R. (2016). Muslim Scholars and Scientists.Islamic Medical Association of Malaysia N. Sembilan. Mustafa, I.B. (2005). K.H.M. Rusyad Nurdin, Ulama, Pejuang, Politikus, Pemimpin Demokrat, Pendidik, dan Pendakwah. Penerbit Multipro, Jakarta. Muthen, B. dan Satorra, A. (1995).Complex Sample Data in Structural Equation Modeling.Sociological Methodology. 25, 267-316. Unisba.(2016). Pelantikan Doktor, Magister, Profesi, Sarjana Gelombang I TA.2015/2016.

144


KUALITAS LAYANAN PERGURUAN TINGGI YANG ISLAMI

Dr. Nugraha., ST., MT Dekan Fakultas Teknik Unisba

1. Pendahuluan

Sebelum menguraikan tentang pemahaman kualitas layanan perguruan tinggiyang islami akan diuraikan terlebih dahulu tentang pemahaman mengenai, konsep kualitas dan layanan serta kualitas layanan, kualitas layanan perguruan tinggi, ayat yang berhubungan dengan kualitas layanan perguruan tinggi, sehingga pembaca akan memahami secara utuh tentang pemahaman manajemen kualitas layanan perguruantinggi yang islami.

2. Konsep Kualitas

Menurut Edward Sallis (2011 ; 51-53) kualitas adalah sebuah konsep yang absolut dan relatif, dalam definisi yang absolut, sesuatu yang berkualitas merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli, definisi relatif memandang kualitas bukan sebagai suatu atribut produk atau

145


layanan tersebut. Kualitas dapat dikatakan ada apabila sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Kualitas merupakan sebuah cara menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar atau belum. Layanan yang memiliki kualitas dalam konsep relatif tidak harus mahal dan ekslusif. Dalam kaitannya dengan makna kualitas ini akan dikemukakan beberapa pengertian kualitas yang dikemukakan para ahli. Tabel 2.1. Pendapat Pakar tentang Kualitas No 1.

Pengertian Kualitas

Pendapat

Mendefinisikan kualitas secara sederhana Juran (1989:16sebagai ‘kesesuaian untuk digunakan’. 17) Definisi

ini

mencakup

produk

yang

keistimewaan

memenuhi

kebutuhan

konsumen dan bebas dari defisiensi. kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. 2.

Kualitas

adalah

kesesuaian

dengan Crosby (1979)

kebutuhan yang meliputi availability, delivery, realibility, maintainability, dan cost effectiveness 3.

kualitas

merupakan

keseluruhan Feigenbaum

karakteristik produk dan Layanan yang (1991)

146


No

Pengertian Kualitas meliputi

marketing,

Pendapat

engineering,

manufacture , dan maintenance, dalam mana produk dan Layanan tersebut dalam pemakaianya

akan

sesuai

dengan

kebutuhan dan harapan pelanggan. 4.

Kualitas adalah sesuatu yang berbeda Elliot (1993) untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat atau dikatakan sesuai dengan tujuan.

5.

kualitas adalah ‘mempertemukan

Deming

kebutuhan dan harapan konsumen secara berkelanjutan atas harga yang telah mereka bayarkan’. 6.

Kualitas adalah sebuah konsep yang

Menurut

absolut dan relatif, dalam definisi yang Edward Sallis absolut,

sesuatu

yang

berkualitas (2011 ; 51-53)

merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli, definisi relatif memandang kualitas bukan sebagai suatu atribut produk atau layanan tersebut. Kualitas dapat dikatakan ada apabila

sebuah

layanan

memenuhi

spesifikasi yang ada. Kualitas merupakan

147


No

Pengertian Kualitas

Pendapat

sebuah cara menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar atau belum. Layanan yang memiliki kualitas dalam konsep relatif tidak harus mahal dan ekslusif Sumber : Diolah dari berbagai Sumber (2013)

Dari definisi-definisi yang diuraikan diatas terdapat beberapa kesamaan, yaitu: 1) Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan (quality in perception) 2) Kualitas mencakup produk, Layanan, manusia, proses dan lingkungan 3) Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang).

3. Konsep Layanan.

148


Definisi mengenai Layanan telah banyak diungkapkan oleh para ahli. Beberapa definisi Layanan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2. Pendapat Pakar tentang Layanan/Layanan No 1.

Pengertian Layanan/Layanan

Pendapat

Layanan adalah setiap tindakan atau Philip Kotler kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu (2009 : 386) pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya

tidak

mengakibatkan

berwujud

dan

kepemilikan

tidak

apapun.

Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan produk fisik. 2.

Layanan adalah setiap aktivitas ekonomi Zeithaml dan yang outputnya bukan merupakan suatu Briner (2008 : produk fisik atau konstruksi, umumnya 6) dikonsumsi pada saat yang sama pada saat Layanan

tersebut

dihasilkan

(dalam

bentuk kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan).

3.

Layanan sebagai tindakan atau perbuatan Fandy Tjitono yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak (2005;16)

149


No

Pengertian Layanan/Layanan

Pendapat

kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak memiliki kepemilikan sesuatu�, 4.

jasa

adalah

suatu

paket

terintegrasi James A.

(service package) yang terdiri dari jasa Fitzsimmon eksplisit dan implisit yang diberikan (2008) dalam atau dengan fasilitas pendukung dan

menggunakan

barang-barang

pembantu. Sumber: Diolah dari berbagai sumber (nugraha ; 2013)

Berdasarkan pengertian diatas pada dasarnya Layanan merupakan suatu yang tidak terwujud dapat memenuhi keinginan konsumen atau pelanggan, dan memproduksi Layanan, dapat juga digunakan produk fisik sebagai pendukung atas penjualan Layanan tersebut. Selain itu juga Layanan tidak meningkatkan terjadinya perpindahan hak milik secara fisik.

4. Definisi Kualitas Layanan

Definisi kualitas Layanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan/ keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya

150


untuk mengimbangi harapan pelanggan. Ada beberapa definisi kualitas Layanan yang dikemukakan beberapa ahli diantaranya:

Tabel 2.3. Pendapat Pakar tentang Kualitas Layanan (Services Quality) No

Pengertian Kualitas Layanan/Layanan

Pendapat

1.

Kualitas Layanan/layanan yaitu sebagai Lewis & ukuran seberapa bagus tingkat layanan Booms (1983) yang diberikan mampu sesuai dengan dalam Fandy ekspektasi definisi

pelanggan.

ini,

kualitas

diwujudkan

Berdasarkan Tjiptono (2005 Layanan

melalui

bisa : 121)

pemenuhan

kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan

penyampaian

untuk

mengimbangi harapan pelanggan.

2.

Kualitas

Layanan

kebutuhan

yang

adalah

tingkat Lovelock (1988

diharapkan

dan ; 264)

pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut

untuk

memenuhi

keinginan

pelanggan. 3.

harus dimulai dari kebutuhan pelanggan Kotler (2009 : dan berakhir dengan kepuasan pelanggan 399) serta persepsi positip terhadap kualitas

151


No

Pengertian Kualitas Layanan/Layanan

Pendapat

Layanan. 4.

ada enam hal yang berkaitan dengan Sallis, E. (2011 kualitas Layanan, yang pertama Layanan ; 63 – 66 ) biasanya meliputi hubungan langsung antara pemberi dan pengguna, kedua waktu adalah elemen penting, Layanan harus diberikan tepat waktu dan ini sama pentingnya

dengan

spesifikasi

fisik

Layanan, ketiga sebuah Layanan tidak bisa ditambal atau diperbaiki, maka hal terpenting adalah bahwa standar Layanan haruslah

‘selalu

Keempat

Layanan

baik

sejak

selalu

awal’.

berhadapan

dengan ketidakpastian, Layanan lebih mirip proses ketimbang produk. Dalam Layanan, biasanya pertanyaan ‘bagaimana sebuah Layanan sampai ditempat tujuan’ lebih penting dibandingkan ‘apa sih Layanannya?’. Layanan

Kelima

biasanya

yaitu

bahwa

diberikan

secara

langsung kepada pelanggan dalam kontek pendidikan adalah mahasiswa/pelajar oleh pekerja yunior atau administrasi. Keenam

152


No

Pengertian Kualitas Layanan/Layanan satu–satunya

indikator

prestasi

Pendapat

yang

penting dalam Layanan adalah kepuasan pelanggan dalam konteks pendidikan pelanggan

eksternal

utama

yaitu

mahasiswa dan pelanggan internal adalah Dosen/staf.

Sumber : Diolah dari berbagai sumber (nugraha ; 2013)

5. Kualitas Layanan Perguruan Tinggi

Definisi kualitas layanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan/ keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Ada beberapa definisi kualitas layanan yang dikemukakan beberapa ahli diantaranya ; Lewis & Booms (1983) dalam Fandy Tjiptono (2005 : 121) merupakan pakar pertama kali mendefinisikan kualitas layanan yaitu sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan

mampu

sesuai

dengan

ekspektasi

pelanggan.

Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan bisa diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan. Lebih

153


lanjut, Parasuraman et al, dalam Tjiptono (2005; 121) mengemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan yaitu: a) Persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service). Kualitas harus dimulai dari kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti

bahwa

citra

kualitas

yang baik

bukanlah

berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia layanan, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan; dan b) Layanan

yang

sesungguhnya

diharapkan/diinginkan

(expected service). Dalam konteks kualitas (barang & layanan) dan kepuasan, telah tercapai konsensus bahwa harapan pelanggan memiliki peranan yang besar sebagai faktor perbandingan evaluasi kualitas. Adapun kualitas layanan menurut Kotler (2009 : 399) harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positip terhadap kualitas layanan. Kualitas layanan menurut Sallis, E. (2011 ; 63 – 66 ) ada enam hal yang berkaitan dengan kualitas layanan, yang pertama layanan biasanya meliputi hubungan langsung antara pemberi dan pengguna, kedua waktu adalah elemen penting, layanan harus diberikan tepat waktu dan ini sama pentingnya dengan spesifikasi fisik layanan, ketiga sebuah layanan tidak bisa ditambal atau

154


diperbaiki, maka hal terpenting adalah bahwa standar layanan haruslah ‘selalu baik sejak awal’. Keempat layanan selalu berhadapan dengan ketidakpastian, layanan lebih mirip proses ketimbang

produk.

Dalam

layanan,

biasanya

pertanyaan

‘bagaimana sebuah layanan sampai ditempat tujuan’ lebih penting dibandingkan ‘apa sih layanannya?’. Kelima yaitu bahwa layanan biasanya diberikan secara langsung kepada pelanggan dalam kontek pendidikan adalah mahasiswa/pelajar oleh pekerja yunior atau administrasi. Keenam satu – satunya indikator prestasi yang penting dalam layanan adalah kepuasan pelanggan dalam konteks pendidikan pelanggan eksternal utama yaitu mahasiswa dan pelanggan internal adalah Dosen/staf. Dengan demikian, kualitas layanan dapat diukur dari perbandingan antara expected service dengan perceived service. Bila dikaitkan dengan konteks kualitas layanan perguruan tinggi sebagai penyedian layanan pendidikan, maka yang dibandingkan adalah harapan mahasiswa dengan kinerja perguruan tinggi yang dirasakannya, sehingga kita dapat mengetahui tingkat kepuasan mahasiswa. Berdasarkan pengertian para ahli, penulis menyimpulkan bahwa Kualitas Layanan Akademik Perguruan Tinggi sebagai ukuran seberapa bagus atas keunggulan atau keistimewaan tingkat layanan secara menyeluruh yang diberikan oleh perguruan

tinggi

sehingga

dapat

memenuhi

155


kebutuhan/keinginan

mahasiswa/peserta

didik

sebagai

pelanggan eksternal, serta ketepatan untuk mengimbangi atau sesuai dengan harapan mahasiswa/peserta didik. Berdasarkan definisi kualitas layanan akademik perguruan tinggi di atas, terdapat sejumlah komponen kunci yang harus dikembangkan secara simultan pada kepuasan mahasiswa terhadap layanan akademik perguruan tinggi. Komponen – komponen kunci tersebut meliputi

layanan

penerimaan

mahasiswa baru dan registrasi, layanan bimbingan akademik, proses pembelajaran, suasana akademik serta layanan pendukung akademik.

a) Layanan

penerimaan

mahasiswa

baru

dan

registrasimahasiswa, Ada dua sub variabel dalam penerimaan mahasiswa baru dan

registrasi

mahasiswa

yaitu

efektivitaspenerimaan

mahasiswa baru dan efektivitas registrasi mahasiswa 1) Efektivitas Penerimaan Mahasiswa Baru Penerimaan mahasiswa baru (Admission) merupakan aspek penting dalam sistem manajemen akademik Universitas dan merupakan pintu gerbang pertama bagi calon mahasiswa untuk mengetahui lebih awal tentang universitas/institut yang akan mereka masuki untuk menuntut ilmu di jenjang perguruan tinggi. Admission

156


secara harfiah yang diartikan sebagai “penerimaan�, dalam konteks perguruan tinggi admission adalah penerimaan dan seleksi mahasiswa baru, kontak pertama calon mahasiswa terhadap perguruan tinggi dimulai dari proses pendaftaran atau penerimaan mahasiswa baru. Menurut kotler (1995: 395) Proses Penerimaan Mahasiswa baru terdiri dari enam tahap yaitu: 1) Identiying enrollment problems 2) Defining enrollment goals and objectives 3) Researching the potential student market 4) Setting Marketing Strategy 5) Planning and Implementing Action program 6) Evaluating result and procedures

2) Efektivitas Registrasi Mahasiswa Registrasi adalah

proses pendaftaran sebagai

mahasiswa baru dengan seluruh persyaratan dan prosedur yang harus ditempuh

dari lapor untuk mendaftar,

pengisian berbagai formulir, kontrak matakuliah untuk semester yang akan segera ditempuh dengan jadwal yang ditetapkan, hingga memperoleh Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) tercetak. (Gaffar, F. 2006). Mengelola kualitas layanan sangat penting untuk mendorong potensi/calon siswa untuk masuk atau

157


mendaftar diuniversitas. Setelah mereka mendaftar, adalah penting untuk mengatur setiap layanan sehingga akan menghasilkan

kepuasan

siswa

pada

setiap waktu,

informasi dari mulut ke mulut merupakan hal positif mengenai universitas.

b) meliputi; 1) penerimaan mahasiswa baru, dan 2) Efektivitas registrasi mahasiswa

c) Layanan bimbingan akademik Untuk membantu kelancaran dalam proses belajar mahasiswa diperlukan suatu bimbingan akademik, bimbingan akademik/studi

adalah segala

kegiatan

yang berfungsi

membantu mahasiswa dalam penyelesaian studinya, antara lain; Perencanaan studi secara efektif dan efisien dari awal sampai selesai, bimbingan dalam pengambilan rencana studi semester (kontrak kredit) pada setiap awal semester, bimbingan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi mahasiswa, bimbingan dalam kegiatan–kegiatan lain yang dipandang perlu. Pada hakekatnya bimbingan adalah pendidikan itu sendiri, sedangkan proses bimbingan dan layanan adalah proses pendidikan itu sendiri, program bimbingan

membantu

proses

instruksional

berdasarkan

158


perbedaan individual mahasiswa (Hamalik, O. 2003: 91). Sistem bimbingan meliputi sub sistem masukan, sub sistem proses dan sub sistem produk. Sub sistem masukan meliputi; target mahasiswa (dengan berbagai kesulitan, masalah, kelemahan dan potensi yang sedang berkembang), sub sistem proses meliputi; penyelenggaraan bimbingan yang memadukan unsur–unsur pembimbing, program bimbingan, kegiatan bimbingan dan layanan, penilaian hasil bimbingan dan komponen perbaikan/remedial teaching. Sub sistem produk meliputi; hasil bimbingan dalam bentuk teratasi masalah dan kesulitan mahasiswa, kemampuan mengembangkan diri dan membuat keputusan dan perilaku (performance) yang telah diperbaiki.Fungsi dan tujuan serta bentuk–bentuk bimbingan menurut Hamalik, O. (2003 : 9193) Fungsi bimbingan adalah; 1) Mengarahkan

para

mahasiswa

kepada

program

pendidikan professional di Perguruan Tinggi, 2) Membantu para mahasiswa merencanakan program studinya agar berhasil, 3) Membantu mahasiswa mengenal dirinya, seperti minat, bakat dan kemampuan masing–masing, 4) Mengarahkan para mahasiswa kepada dunia pekerjaanya kelak sesuai dengan keahliannya,

159


5) Membantu mahasiswa memecahkan masalah–masalah yang sedang dihadapi, baik masalah sosial maupun masalah personal, 6) Membantu mahasiswa berlatih menyelesaikan tugas – tugas dan pekerjaannya.

Tujuan bimbingan bagi mahasiswa; Bimbingan dan layanan

bertujuan

membantu

setiap

mahasiswa

dalam

membuat pilihan (pembuat keputusan) dan menetapkan sikap yang serasi dengan kemampuan, minat, kesempatan, dan nilai– nilai sosial agar mahasiswa mampu memahami dirinya, memgembangkan potensi yang dimilikinya, memecahkan masalah atau kesulitan, mampu menyesuaikan diri dan berhasil adaptif terhadap lingkungan yang pada giliranya berhasil memperoleh keahlian akademik dan atau keahlian professional yang diharapkan. Bentuk–bentuk bimbingan ; 1) Bimbingan studi, yaitu pembuatan rencana studi, teknik belajar, dan mengerjakan tugas–tugas.

2)

Bimbingan

praktek,

yaitu

praktek

di

laboratorium dan kerja lapangan, 3) Bimbingan pribadi, khusus bagi mahasiswa yang mengalami masalah atau kesulitan pribadi dan hubungan sosial. 4) Pengajaran remedial,

khusus

bagi

kelemahan–kelemahan

mahasiswa

dalam

yang

beberapa

mengalami

mata

kuliah

160


berdasarkan hasil penilaian. 5) Bimbingan penyusunan karya ilmiah (makalah atau skripsi) dalam rangka persiapan menghadapi penilaian keberhasilan studi akhir program.

d) Proses pembelajaran, Efektivitas pembelajaran adalah utama

dalam

kualitas

jasa

merupakan proses

Perguruan

Tinggi

yang

mempengaruhi kepuasan mahasiswa. Proses pembelajaran adalah proses yang didalamnya terdapat kegiatan interaksi antara dosen/guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar (Rustaman, 2001). Dalam proses pembelajaran dosen dan mahasiswa merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan dan terjalin interaksi yang saling menunjang agar hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal. Berdasarkan pendapat Edward Sallis (2011; 86) mengenai mutu

pembelajaran.

Bahwa

Institusi

Pendidikan

yang

menggunakan prosedur mutu terpadu harus manangani secara serius isu-isu tentang gaya dan kebutuhan pembelajaran untuk menciptakan strategi individualisasi dan diferensiasi dalam pembelajaran. Mahasiswa adalah klien eksternal utama, dan jika model pembelajaran tidak memenuhi kebutuhan individu masing–masing mereka, maka itu berarti bahwa institusi tersebut tidak dapat menklaim bahwa ia telah mencapai mutu

161


terpadu dan memberikan kepuasan bagi mahasiswa. Institusi pendidikan memiliki kewajiban untuk membuat mahasiswa sadar terhadap terhadap variasi metode pembelajaran yang diberikan kepada mereka. Dalam rangka peningkatan kualitas proses pembelajaran, Perguruan Tinggi perlu secara kreatif mengembangkan konsep-konsep pendidikan baru yang lebih komprehensif sekaligus kompetitif.

Hal ini dapat dilakukan dengan

pembaharuan metode pembelajaran yang lebih flesibel, dengan menempatkan mahasiswa sebagai subjek (student-centre learning). Konsep pendidikan juga perlu didesain untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan dan peningkatan soft skill serta success skills, sehingga lulusan Perguruan Tinggi akan mempunyai karakter percaya diri yang tinggi, memiliki kearifan terhadap nilai-nilai sosial dan cultural bangsa, kemandirian serta jiwa kepemimpinan yang kuat. Perguruan Tinggi harus mampu mengembangkan kurikulum yang holistik, sehingga proses pendidikan tinggi tidak hanya menekankan pengembangan potensi dan kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) secara hormonis. Kurikulum holistik yang dimaksud harus dirancang dengan pendekatan kontekstual sehingga mampu memunculkan niche tanpa mengurangi sasaran keilmuan atau keterampilan pokok pada bidang keilmuan masing-masing.

162


Pembelajaran efektif menurut Sutikno (2004:88) ialah suatu pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Efektivitas pembelajaran dinilai

dari:

a)

relevancy

of

curriculum,

Kurikulum

merupakan salah satu komponen utama pendidikan yang merupakan bagian penting dari terciptanya proses pendidikan, kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberi pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup dan ruang isi, serta proses pendidikan. b) effective learning process, Untuk mendapatkan pembelajaran efektif tentu diperlukan proses pembelajaran yang efektif pula. Killen (Abdulhak, 2001:6) mengungkapkan bahwa pada hakikatnya pembelajaran efektif berkaitan dengan pencapaian hasil belajar yang perlu dikuasai peserta belajar dari sejumlah bahan ajar yang telah ditetapkan, melalui proses pembelajaran yang dirancang oleh pengembang program. c) effective and efficient and efficient use of resources, Sumber daya pembelajaran adalah segala sesuatu yang mendukung terjadinya proses belajar, seperti sistem pelayanan, bahan pembelajaran dan lingkungan, yang dapat digunakan secara baik terpisah maupun terkombinasi sehingga mempermudah

163


peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau kompetensi yang

harus

dicapainya

d)

effective

of

quality

assurance,Penjaminan kualitas adalah seluruh rencana dan tindakan

sistematis

yang

penting

untuk

menyediakan

kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tertentu dari kualitas (Elliot, 1993). Kebutuhan tersebut merupakan refleksi dari kebutuhan pelanggan. Penjaminan kualitas biasanya membutuhkan evaluasi secara terus-menerus dan biasanya digunakan sebagai alat bagi manajemen. e) quality graduate,Hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran adalah pembelajaran harus diorientasikan pada peningkatan mutu dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Lulusan yang berkualitas adalah lulusan yang professional dalam arti memahami konteks keilmuan yang mereka pelajari.

e) Suasana akademik, Kondisi yang dibangun untuk menumbuh-kembangkan semangat

dan interaksi akademik antar mahasiswa-dosen-

tenaga kependidikan, maupun dengan pihak luar untuk meningkatkan mutu kegiatan akademik, di dalam maupun di luar kelas. Suasana akademik yang baik ditunjukkan dengan perilaku

yang

mengutamakan

kebenaran

ilmiah,

164


profesionalisme, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik, dan penerapan etika akademik secara konsisten.

f) Layanan pendukung akademik, Layanan adalah “proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivis orang yang berlangsung�. Sedangkan komitmen sering diartikan sebagai suatu kata yang mewakili serangkaian kalimat atau merupakan gambaran yang diwujudkan atau ditentukan dengan ukuran atau ikatan suatu tindakan yang tertentu, sedangkan layanan pendukung akademik dalam hal ini adalah komitmen perguruan tinggi terhadap layanan pemenuhan kebutuhan mahasiswa sebagai pelanggan eksternal, Ada lima sub variabel dalam layanan pendukung akademik yaitu layanan unggulan, sumber daya perpustakaan, sarana dan

prasarana,

sistem

informasi,

perhatian

terhadap

mahasiswa, keselamatan dan keamanan kampus,. Layanan ini menjadi penentu keberhasilan kualitas layanan akademik perguruan tinggi yang baik, apabila layanan akademik yang diberikan perguruan tinggi lebih tinggi atau sama dengan dari harapan maka akan memuaskan. 6. Ayat Al Qur’an Yang Berhubungan Dengan Kualitas Layanan Perguruan Tinggi

165


1. Q.S Ar’rad Ayat 11

Artinya : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagimereka selain Dia”. (Q.S Ar’rad : 11) Kandungan Ayat:

Peningkatan kualitas layanan akan tercapai jika manajemen perguruan tinggi selalu bergerak cepat dalam melakukan perbaikan–perbaikan layanan yang dirasa belum memuaskan keinginan pelanggan dalam hal ini adalah mahasiswa sebagai pelanggan eskternal, seperti penggalan arti

tertera dalam Q.S

Ar’rad : 11 yaitu “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan

166


sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Menghadapi hal tersebut, maka perguruan tinggi perlu mengetahui informasi langsung dari pelanggannya tentang kualitas layanan.

2. Q.S Al-Baqarah ayat 267

Artinya: “Hai orang–orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik–baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih yang buruk–buruk lalu kamu nafkahkan darinya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” Kandungan Ayat:

Terkait dengan pelayanan, islam mengajarkan apabila ingin memberikan hasil usaha baik berupa barang maupun pelayanan

167


atau jasa hendaknya memberikan yang berkualitas, jangan memberikan yang buruk atau tidak berkualitas kepada orang lain.

3. Q.S. Asy – Syu,araa Ayat 181-184

Artinya : 181. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; 182. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus; 183. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu berbuat kerusakan; 184. Dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. (Q.S. Asy – Syu,araa [26]: 181-184)

Kandungan Ayat: Berdasarkan isi kandungan al-qur’an surat Asy–Syu,araa [26]: 181-184 menjelaskan bahwa seseorang (manajemen perguruan

168


tinggi) tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat merugikan konsumen (mahasiswa). Selain itu dalam hadits dijelaskan bahwa “sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan sesuatu pekerjaan hendaknya dilakukan secara itqan ( profesional ).” (H.R. Baihaqi )

4. Q.S Ali-ImranAyat 159

Artinya : “Maka dengan sebab rahmat (yang melimpah-limpah) dari pada Allah (kepadamu Muhammad) engkau bersikap lemah–lembut kepada mereka (sahabat dan pengikutmu) dan kalau engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari pada kamu. Oleh itu, maafkan mereka (terhadap kesalahan mereka terhadap kamu) dan mohonlah keampunan bagi mereka. Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (peperangan dan soal keduniaan) itu. Kemudian apabila engkau berazam (sesudah bermusyawarat untuk melakukan sesuatu) maka bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat mengasihi orang yang bertawakal pada-Nya.”

169


Kandungan Ayat: Konsep Islam mengajarkan bahwa dalam memberikan layanan dari usaha yang dijalankan baik itu berupa barang atau jasa jangan memberikan yang buruk atau tidak berkualitas, melainkan yang berkualitas kepada orang lain. Hal ini tampak dalam Al-Quran surat Ali-Imran Ayat 159 menjelaskan mengenai hubungan antar manusia, dimana kita harus selalu berbuat baik terhadap sesama manusia karena

sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Kaitannya dengan kualitas pelayanan ini adalah sikap maupun perilaku customer service harus baik dan sopan terhadap pelangganya, sehingga pelanggan akan merasa sangat puas serta mampu menarik perhatian untuk tetap setia menggunakan jasa pelayanan yang perusahaan berikan, dengan demikian akan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (manusia saling membutuhkan satu sama lainnya untuk mencapai suatu tujuan), karena perusahaan/institusi tidak akan berkembang tanpa adanya pelanggan yang selalu setia terhadap produk-produk yang diberikan perusahaan.

170


Daftar Pustaka A.S. Hornby, 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, New York: Oxford University Press C. Turney et al, 1992. The School manager, Australia: Allen and unwin. h. 9 Depdikbud 1999.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Agama RI. Tanpa Tahun.

Al Qur’an dan

Terjemahannya (Revisi Terbaru Departemen Agama RI). Semarang

:

C.V.

Asy-Syifa.

Diakses

dari

https://ridwan202.wordpress.com/2013/02/11/kualitaspelayanan-dalam-islam, tanggal 10 juli 2016 Fitzsimmons, J.A & Mona J., (2008) Service Management : Operations, Strategy, Information Technology, Sixth Edition, McGraw-Hill Irwin, New York. George R. Terry. 1986. Asas-Asas Manajemen, Terj. Winardi, Bandung: Alumni, h. 4. Harold Koontz.,Cyril O’Donnel. Principles of Management, Tokyo: Kogakusha Co. Ltd. h. 3. John M. Echols, Hasan Shadily. Kamus Inggeris Indonesia, Jakarta: Gramedia. h. 372. Kotler, P. (2000), Marketing Management, 10th ed,Upper Saddle River, NJ : Prentice Hall.

171


Kotler, P. (2009). Marketing Management, 13th ed,Upper Saddle River, NJ : Prentice Hall. John, N. (1999). “What is This Thing Called Service?”, European Journal of marketing. Vol. 33, No. 9/10. Pp. 958 -973 Louis E. Boone, David L Kurtz. 1984,Op.Cit h. 4. Lester Robert Bittel (Ed). 1978. Encyclopedia of Professional management, Connecticut: Grolier International, Vol 2, h. 640. Lovelock, C., P. Patterson, and R. Walker. (2004). Services Marketing : An Asia – Pacific and Australian Perspective, 3rd ed. Frenchs Forest, NSW : Pearson Education Australia. Nugraha. (2011). Management of Quality Services in Higher Education. International Seminar on Improving the Quality of Student Achievement in Higher Education, Bangkok, Thailand.

Nugraha, (2011). Penerapan Dimensi Kualitas Pelayanan Dalam Mengukur Kepuasan Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Karya Ilmiah. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Industrial Services 2011 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Prajudi, Atmosudirdjo. 1982. Administrasi dan Manajemen Umum. Jakarta : Ghalia Indonesia, h.124 Sondang P. Siagian. 1997. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung, h. 5.

172


Sallis, Edward. (2011). Total Quality Management in Education. terj. Ahmad Ali Riyadi, Edisi 2, Yogyakarta : IRCiSod. Tjiptono, F. (2005), Service, Quality & Satisfaction, edisi 1. Yogyakarta : Penerbit ANDI.

Saputra,

U.

(2011).

Penjaminan

Mutu.

diakses

dari

http://uharsputra.wordpress.com/materi-kuliah/manajemenmutu/konsep-penjaminan-mutu/ Zeithaml, Valarie A., Bitner, Mary Jo., and Gremler, Dwayne D. (2008). Service Marketing: Integrated Customer Focus Across the Firm, McGraw – Hill Education (UK) Limited.

173


‘SOLUSI EKONOMI ISLAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN14’ Dr. Atih Rohaeti Dariah, SE., MSi2 Dekan Fakultas Ekonomi Unisba

I. PENDAHULUAN Sebagian besar negara-negara di dunia yang dicirikan sebagai negara terbelakang dan berkembang dihadapkan pada masalah ketimpangan pendapatan yang cukup akut. Data dari CIA (Central Intelligence Agency) The World Fact Book tentang besaran Koefisien Gini (KG) sebagai ukuran tingkat ketimpangan pendapatan, menunjukan bahwa negara-negara terbelakang dan berkembang memiliki angka KG yang jauh lebih tinggi dari negara-negara maju. Mereka tersebar dalam range angka KG 0,44-0,49; 0,50-0,54; 0,55-0,59 bahkan ada yang di atas 0,6 (CIA, 2009). Kondisi tersebut masih tetap terjadi hingga data yang dipublikasikan pada tahun 2014. Semakin besar angka KG mendekati nilai 1 semakin timpang distribusi pendapatan di negara yang bersangkutan. Fakta demikian mencerminkan

Tulisan ini bagian dari hasil penelitian tentang ‘Perbaikan Distribusi Pendapatan Dalam Perspektif Islam’ bersama Yuhka Sundaya, SE.Msi, Dr. Neneng Nurhasanah, Zaini Abdul Malik, S.Ag., MA. 2 Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Periode 2016-2020 14

174


ketidakadilan secara sosial ekonomi yang pada gilirannya akan mengakibatkan ekonomi tidak tumbuh secara berkelanjutan. Telah muncul berbagai pemikiran yang mendorong lahirnya kebijakan mengurangi disparitas pendapatan tersebut, namun ternyata ketimpangan tetap muncul selama proses pembangunan berjalan. Sebuah pernyataan kritis dari Michael P. Todaro bahwa ketimpangan tampaknya telah menjadi bagian yang cukup stabil dari wajah sosio-ekonomi suatu negara, yang hanya mungkin bisa berubah secara signifikan bila terjadi pergolakan hebat atau terdapat kebijakan yang dilaksanakan secara sistematis (Todaro, 2011). Dibalik pernyataan Todaro, secara implisit terkandung sebuah tantangan keilmuan, bahwa para ekonom harus terus menggali konsep untuk merumuskan kebijakan perbaikan distribusi pendapatan tanpa harus menunggu terjadinya shock yang substansial. Islam sebagai sebuah ideologi menyimpan potensi besar untuk tergalinya konsep yang bisa memperkaya bidang-bidang intervensi pilihan kebijakan. Islam memberikan spektrum yang komprehensif dalam mengarahkan perilaku manusia baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial terutama dalam menjalankan transaksi ekonomi antar pelaku ekonomi. Beberapa tulisan dan hasil penelitian sebelumnya dalam lingkup disiplin ilmu fiqh, diantaranya Chalil (2009) dan Al-Nabhani (1996), telah

175


mengelaborasi sumber-sumber ajaran Islam yakni Alqur’an dan Hadits untuk mendapatkan konsep terkait pemerataan distribusi kekayaan. Temuan Chalil menginformasikan bahwa dalam ajaran Islam dikenal dua macam sistem distribusi pendapatan utama, yakni secara komersil mengikuti mekanisme pasar dan yang bertumpu pada aspek keadilan sosial masyarakat (non mekanisme pasar). Versi mekanisme pasar mencakup gaji atau upah, sewa tanah dan profit, sedangkan non mekanisme pasar adalah zakat, infaq dan sedekah (Chalil, 2009). Dalam

beberapa

literatur

ekonomi

pembangunan,

diantaranya Nafjiger (1997), Hayami (2001), Todaro (2011), versi mekanisme pasar dikenal dengan istilah distribusi pendapatan fungsional. Menurut pemikiran ini, ketimpangan pendapatan yang terjadi di negara berkembang dikarenakan peningkatan pangsa pendapatan pemilik modal, yang berarti penurunan pangsa pendapatan tenaga kerja (Hayami, 2001). Karenanya, salah satu bidang intervensi untuk mengurangi ketimpangan pendapatan adalah mengubah distribusi fungsional melalui penataan hargaharga relatif faktor produksi dan atau penghilangan distorsi harga faktor-faktor produksi (Todaro, 2011). Menarik untuk digali seperti apa konsep dalam Islam terkait penataan harga-harga faktor produksi dan bagaimana peran pemerintah dalam menghilangkan distorsi harga faktor-faktor produksi. Internalisasi konsep normatif dari perspektif Islam akan

176


menginspirasi lahirnya pemikiran baru dalam menata harga-harga faktor produksi, yang dilansir dapat memperbaiki distribusi pendapatan.

II. TINJAUAN LITERATUR

Sejauh penelitian literatur dan upaya penulis untuk membahas distribusi pendapatan secara teoritis dan empiris, muncul satu kebutuhan teori distribusi pendapatan yang mempertimbangkan keterkaitan antara kerangka mikroekonomi dengan makroekonomi yang dimoderasi oleh syariah Islam. Ahli ekonomi Islam, seperti halnya Sadeq (1989) telah berhasil membangun dasar teori distribusi pendapatan dari pendekatan mikroekonomi, dan Ahmad (1984) telah mempromosikan teori distribusi pendapatan dari pendekatan makroekonomi. Namun demikian, sebagaimana dikupas pada latar belakang, distribusi pendapatan

saat

ini

masih

signifikan

ketimpangannya.

Bagaimanapun, harga faktor produksi merespon perubahan pada interaksi kebijakan fiskal dan moneter, terlebih masih banyak negara yang mengimplementasikan sistem bunga. Dimana sistem bunga telah teruji akan lebih memberikan keuntungan bagi kapitalis atau pemilik uang. Dan karenanya, ketika sistem bagi hasil merupakan pilar distribusi pendapatan berkeadilan dari

177


perspektif mikrokonomi, maka muncul gagasan bagaimana mentransformasi sistem bunga ke sistem bagi hasil. Topik bagi hasil (sharecroping) dan bagi biaya (cost sharing) merupakan fenomena yang telah diketahui secara umum. Prakteknya telah diterapkan secara luas pada beberapa aktivitas perekonomian, dan tidak hanya di negara-negara muslim saja. Topik tersebut menjadi pemikiran yang mendalam oleh pekerjaan Marshall (1920) dan Cheung (1968). Mereka mengembangkan analisa mikroekonomi dengan menginkorporasikan praktek kelembagaan bagi hasil. Praktek bagi hasil-bagi biaya mereka internalisasikan ke dalam model ekonomi produsen. Analisis Marshall (1920) memberikan intuisi bahwa praktek bagi hasil-bagi biaya berpotensi menimbulkan gejala eksploitasi terhadap tenaga kerja dan gejala inefisiensi produksi. Karena itu, isitilah populer lain terhadap model

bagi hasil

Marshall adalah Marshallian inefficiency. Sedangkan Cheung (1968),

mengemukakan

antitesa

terhadap

Marshallian

inefficiency. Cheung (1968) mengemukakan bahwa praktek bagi hasil-bagi biaya tidak mengandung gejala ekploitasi tenaga kerja dan

inefisiensi.

Marshall

(1920)

dan

Cheung

(1968)

mengemukakan analisa pada obyek yang sama, yakni usaha tani yang menggunakan input dominan berupa lahan dan tenaga kerja. Dua pelaku ekonomi yang dianalisisnya adalah pemilik lahan (landlord) dan petani (tenant).

178


Topik bagi hasil yang dipromosikan Marshall (1920) dan Cheung (1968) telah memberikan stimulus kepada para ahli ekonomi untuk mengembangkan analisis sistem bagi hasil-bagi biaya. Analisisnya beragam, secara umum para ahli ekonomi tersebut mengkajinya dengan pendekatan deduktif-kualitatif dan deduktif-kuantitatif.15 Beberapa ahli ekonomi yang membangun analisis berdasarkan pendekatan deduktif-kualitatif misalnya adalah Stiglitz (1974), Brandao dan Schuh (1979), de Janvry dan Sadoulet (2004), Bellemare dan Barret (2003), dan Sen (2005). Aplikasi pendekatan mereka itu menghasilkan model ekonomi bagi hasil-bagi biaya yang bersifat kualitatif atau menjadi kerangka kerja sistem itu. Proposisi dan prediksinya yang bersifat tentatif cukup kuat dalam menginspirasi ahli ekonomi lain untuk melakukan penelitian empiris. Hasil pengembangan model bagi hasilnya sangat menarik. Merentang dari isu efisiensi, moral hazard, hingga perkembangan teknologi dan variasi harga output. 15

Frase ini dikemukakan sebagai kategorial metodologi penelitian yang digunakan para ahli ekonomi. Pada dasarnya, berdasarkan ulasan (review) terhadap analisis sistem bagi hasil-bagi biaya yang dibangun oleh para ahli ekonomi menunjukkan bahwa mereka menggunakan pendekatan deduktif dimana logikanya dibayang-bayangi oleh model Marshall (1920) dan/atau Cheung (1968). Istilah kualitatif dalam frase pertama menunjukkan bahwa para ahli ekonomi tidak concern dengan penentuan besaran (magnitude) variabel keputusan ekonomi dan sebagai hasilnya adalah mereka menawarkan proposisi-proposisi dan prediksi terhadap perilaku ekonomi yang dikaji dalam sistem tersebut. Pada frase berikutnya, istilah kuantitatif menunjukan bahwa para ahli ekonomi tersebut melakukan penelitian empiris dengan mengaplikasikan metode kuantitatif tertentu yang concern dengan sign dan magnitude mengenai perilaku pihak yang terkait dalam sistem tersebut.

179


Dalam literature fiqh muamalah, ketika membahas sistem bagi hasil tidak akan terlepas dari konsep kerja sama atau syirkah. Dalam syirkah minimal ada dua akad yang selalu digunakan, yaitu musyarakah dan mudharabah. Secara etimologi al-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit dibedakan. Al-syirkah salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang. Secara terminologi ada beberapa definisi al-syirkah : 1. Menurut ulama Malikiyah : “Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka”. 2. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah : “Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati”. 3. Menurut ulama Hanafiyah : “Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan”. Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda secara redaksional sedangkan esensinya sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan. Semua pihak yang terlibat di dalam al-syirkah ini berhak bertindak hukum terhadap harta

180


serikatnya dan mendapat keuntungan sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati (Nasrun, 2002). Terdapat prinsip-prinsip Mudharabah secara khusus sebagai berikut : a). Prinsip berbagi keuntungan antara pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah. Dalam akad mudharabah, laba bersih harus dibagi di antara shahibul mal dan mudharib berdasarkan suatu proporsi yang adil yang telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian mudharabah. Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang ada ditutupi dan ekuitas shahibul mal sepenuhnya dikembalikan. b). Prinsip berbagi kerugian antara pihak-pihak yang berakad. Dalam mudharabah asas keseimbangan dan keadilan terletak pada pembagian kerugian antara pihak-pihak yang berakad. Kerugian finansial seluruhnya dibebankan pada pihak pemilik modal, kecuali terbukti ada kelalaian, kesalahan atau kecurangan yang dilakukan mudharib/pengelola. Sementara itu pihak mudharib/ pengelola menanggung kerugian berupa waktu, tenaga dan jerih payah yang dilakukannya, dia tidak memperoleh apapun dari kerja kerasnya. c). Prinsip Kejelasan. Dalam mudharabah masalah jumlah modal yang akan diberikan shahibul mal, prosentasi keuntungan yang akan dibagikan, syarat-syarat yang dikehendaki masing-

181


masing pihak, dan jangka waktu perjanjiannya harus disebutkan dengan tegas dan jelas. Kejelasan merupakan prinsip yang harus ada dalam akad ini, untuk itu bentuk perjanjian

tertulis

harus

dilaksanakan

dalam

akad

mudharabah. d). Prinsip kepercayaan dan amanah. Masalah kepercayaan, terutama dari pihak pemilik modal merupakan unsur penentu untuk

terjadinya

akad

mudharabah,

jika

tidak

ada

kepercayaan dari shahibul mal maka transaksi mudharabah tidak akan terjadi. Untuk itu shahibul mal dapat mengakhiri perjanjian mudharabah secara sepihak apabila dia tidak memiliki kepercayaan lagi kepada mudharib. Kepercayaan ini harus diimbangi dengan sikap amanah dari pihak pengelola. e). Prinsip kehati-hatian. Sikap hati-hati merupakan prinsip yang penting dan mendasar dalam akad mudharabah. Jika sikap hati-hati tidak dilakukan oleh pihak pemilik modal, maka dia bisa tertipu dan mengalami kerugian finansial. Sedangkan jika sikap hati-hati tidak dimiliki pengelola, sehingga dalam usahanya mengalami kerugian, maka di samping akan kehilangan keuntungan finansial, kerugian waktu, tenaga dan jerih payah yang telah didedikasikannya, dia juga akan kehilangan kepercayaan.

182


III. PERLUASAN ELEMEN MUDHARABAH

Berdasarkan konsep intinya sebagaimana penjelasan pada bab sebelumnya, mudharabah adalah skim kerjasama bagi hasil diantara pemilik modal (shahibul maal) dengan pengelola (mudharib). Penulis telah mencoba mengembangkan analisis bagi hasil untuk seluruh pemilik faktor produksi, tidak terbatas pada kedua pihak tersebut, namun juga mengakomodir tenaga kerja. Bagi hasil untuk tenaga kerja bersifat tambahan, karena sebelumnya tingkat upah ditentukan secara eksogen melalui akad musyatarak dimana mudharib tidak memonopoli sumber daya waktu tenaga kerjanya, dan tenaga kerja tersebut dapat mencurakan sebagian sumber daya waktunya untuk pekerjaan lain. Akad yang dilakukan mudharib dengan tenaga kerja dianggap telah mempertimbangkan kepantasan, keadilan, jenis pekerjaan, dan kebutuhan dasarnya. Konsekuensi dari tatanan mudharabah, tingkat bagi hasil menjadi pembobot di dalam menentukan tingkat upah. Jika tingkat bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh pengusaha dicerminkan dengan besaran s untuk shahibul maal, dan residualnya (1 - s) untuk mudharib, maka untuk tenaga kerja adalah 1/(1 – s). Bagi hasil memberikan tambahan nilai bagi tenaga kerja berupa tambahan pendapatan terhadap upah yang sudah ditetapkan sebelumnya.

183


Dibalik kedua jenis pendapatan tersebut, posisi tenaga kerja dalam konteks mudharabah harus dilihat secara hati-hati. Ajaran Islam membedakan secara tegas antara mudharabah dan ijarah. Upah yang ditetapkan melalui akad musytarak termasuk akad ijarah, merupakan komponen biaya produksi yang harus dikelola oleh mudharib.

Sementara di sisi lain, praktik

mudharabah antara shahibul maal dan mudharib telah memasukan pekerja sebagai bagian dari partner usaha yang berhak mendapatkan proporsi keuntungan. Artinya, jika perusahaan mendapat keuntungan maka pekerja pun akan mendapat bagian sesuai porsinya sehingga akan menambah pendapatannya. Dengan demikian perlu dibedakan antara upah dan total pendapatan yakni upah plus bagi hasil, sebagai wujud nyata antara akad ijarah dan mudharabah. Dasar

pertimbangan

mengapa

pekerja

ditempatkan

sebagai bagian dari akad mudharabah adalah sebagai berikut. Prinsip-prinsip

ekonomi

Islam

menghendaki

adanya

produktivitas. Oleh karenanya diberikan insentif, baik insentif moral maupun insentif ekonomi

terhadap usaha-usaha yang

produktif. Islam menghargai human resources yang menghendaki kualitas, baik aspek profesi maupun aspek moralnya. Motivasi untuk berusaha secara produktif, memiliki entrepreneurship dalam bentuk kerja yang halal, mencela adanya sumber yang tidak

184


termanfaatkan dengan baik (idle), melarang segala bentuk penimbunan (hording). Prinsip perolehan imbalan dan keuntungan dalam Islam di dasarkan pada adanya penghargaan terhadap �prestasi� dalam bentuk kerja, jasa, keahlian, tanggung jawab atau resiko yang harus ditanggung. Perolehan imbalan, kelebihan atau keuntungan yang diperoleh dengan dasar waktu atas penggunaan modal / uang yang dipinjamkan (sistem bunga) tidak dibenarkan dalam Islam karena keuntungan atas dasar ini didasarkan pada kepastian adanya keuntungan tetap dari modal / uang yang dipinjamkan tersebut, pematokan imbalan pada awal secara tetap dan pasti. Dalam Islam dikenal prinsip-prinsip yang dibolehkan dalam mencari keuntungan/ kelebihan/ imbalan yaitu diantaranya ; (1) prinsip titipan atau trust depository, (2) Bagi hasil atau profit sharing; (3) jual-beli atau sale and purchase; (4) sewa atau lease and financial lease; (5) jasa atau fee based services. Bagi hasil akan benar-benar dinikmati oleh ketiga pihak jika mudharib bekerja secara optimal untuk mencapai keuntungan yang wajar, yaitu keuntungan yang sesuai dengan upaya atau effort yang dicurahkan. Berdasarkan konsepnya sendiri, tujuan utama Mudharabah adalah mendapatkan keuntungan. Upaya internalisasi konsep normatif dari perspektif Islam ke dalam kajian distribusi pendapatan antar pemilik faktor, dibutuhkan kerangka teoritis terkait perilaku produsen. Kerangka

185


teori ekonomi mikro konvensional yakni maksimisasi profit relevan untuk digunakan dengan alasan berikut ini : Pertama, konsep Mudharabah sendiri bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Kedua, pendekatan matematis proses maksimisasi profit merupakan alat yang sangat membantu guna mendapatkan sejumlah proposisi. Sederhananya penulis menggunakan kerangka teoritis konvensional perilaku produsen dengan modifikasi adanya internalisasi besaran bagi hasil diantara para pemilik faktor. Pendekatan

matematis

dalam

proses

maksimisasi

keuntungan dengan internalisasi tingkat bagi hasil tersebut, telah menghasilkan rumusan proposisi berikut ini: 1. Penilaian yang terlalu besar dari shahibul maal terhadap nilai kapitalnya, akan memperendah pendapatan tenaga kerja. 2. Nilai sumber daya waktu harus divaluasi secara wajar oleh tenaga kerja, karena apabila terlalu besar akan mengurangi pendapatannya pada perusahaan yang dipimpin mudharib. 3. Pendapatan yang diterima tenaga kerja tidak akan lepas dari unsur subyektif (moral mudharib dan shahibul maal). 4. Tingkat upah yang ditentukan bersama melalui akad musyatarak mencerminkan nilai produktivitas netto tenaga kerja yang dibobot oleh share bagi hasil mudharib. 5. Semakin tinggi produktivitas fisik marginal tenaga kerja, maka akan meningkatkan tingkat upah.

186


6. Membesarkan share bagi hasil untuk mudharib dari shahibul maal, maka akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja. 7. Akad bagi hasil antara mudharib dengan shahibul maal, sangat menentukan pendapatan tenaga kerja

Ketujuh proposisi di atas secara implisit sarat dengan nilai-nilai moral khususnya kesediaan berbagi. Proposisi pertama berhubungan dengan proposisi keenam, terkait standing moral pemilik modal. Ketika mereka tidak menetapkan bagi hasil yang terlalu tinggi, lain kata memberikan nilai yang tidak besar untuk asetnya, maka akan berdampak positif tidak hanya bagi mudharib namun juga tenaga kerja. Porsi bagi hasil yang semakin besar untuk mudharib akan meningkatkan pendapatannya dan juga tenaga kerja. Proposisi kedua, menempatkan tenaga kerja sebagai sosok yang produktif, yang bersedia mengalokasikan waktu dan tenaga nya untuk bekerja secara sungguh-sungguh di perusahaan yang dikelola oleh mudharib. Proposisi ini berhubungan erat dengan proposisi yang keempat dan kelima, bahwa curahan waktu dan tenaga secara sungguh-sungguh akan menentukan tingkat produktivitas pekerja yang berimplikasi positif pada pendapatan yang lebih besar. Proposisi ketiga yang berhubungan erat dengan proposisi

ketujuh

menunjukan

bahwa

pertimbangan

dan

187


kesepakatan besaran bagi hasil antara mudharib dan shahibul maal tidak lepas dari sejauh mana subyektivitas keinginan berbagi.

IV. KESIMPULAN Temuan tujuh proposisi menunjukan bahwa perwujudan ekonomi Islam dibentuk oleh kekuatan moral yang dalam hal ini adalah kesediaan berbagi. Motive maksimisasi profit bukan karena egoisme memupuk kekayaan pribadi namun untuk didistribusikan diantara pemilik modal, pengelola dan pekerja. Dibalik sisi moral, kesungguhan bekerja yang mengarah pada produktivitas yang tinggi termasuk hal yang krusial pula guna keberlanjutan usaha. Tentu saja temuan ini hanya bagian kecil dari berbagai solusi Ekonomi Islam mengurangi ketimpangan pendapatan, bukan solusi tunggal. Kajian ini bersifat pragmatis yakni praktik Mudharabah yang diperluas dengan mengakomodir pekerja sebagai mitra usaha, sedikit mengabaikan apa pun sistem ekonomi yang ada.

188


DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A. 1984. A Macro Model of Distribution in An Islamic Economy. J. Res. Islamic Econ., Vol. 2, No. 1, pp. 3-18 (1404/1984). Al-Nabhani, Taqiyuddin. 2004. Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah Bellemare, M.F and Barrett, C.B. 2003. An Asset Risk Theory of Share Tenancy. American Agricultural Economics Association. America. Brandao, A.S and Schuh, G.E. 1979. Entrepreneurial Talent, Sharecropping, Ownership.

Resource

Staf

Paper

Allocation Series.

and

Land

Department

of

Agricultural and Applied Economics University of Minnesota. St. Paul, Minnesota. Chalil, Zaki Fuad. 2009. Pemerataan Distribusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga. Central Intelligence Agency The World Fact Book, 2009. http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_income _equality, diakses pada tanggal 20 Februari 2012

189


Cheung, Steven N. S., "Private Property Right s and Sharecropping," Journal of Political Economi 76 (1968) : 1107 - 1122 Hayami Yujiro, 2001. Development Economics from the poverty to the wealth of nations, second edition, Oxford University Press. Marshall, A.,1920 [1994]. Principles of Economics. Porcupine Press, Philadelphia (Reprint of 1920 8th Ed. by Macmillan).

Nafjiger, E. Wayne. 1997. The Economics of Developing Contries. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.

Nasroen Haroen, Fiqh Mu,amalah, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2002, Jakarta.

190


Sadeq, A.H.M. 1989. Factor Pricing and Income Distribution from an Islamic Perspective. Journal of Islamic Economic. Vol. 2, No. 1, January 1989. Sen, Debapriya. 2005. Sharecropping, Interlinkage and Price Variation. The American Journal of Agricultural Economics.

America...\My

Hasil\Sharecropping,

interlinkage

eBooks\Bagi and

price

variation_Sen.pdf Stiglitz, J.E. 1969. Distribution of Income and Wealth Among Individuals. Econometrica, Vol. 37, No. 3 (July, 1969). Sadoulet, E, de Janvry, A, and Fukui, S. 1997. The Meaning of Kinship in Sharecropping Contracts. The American Journal of Agricultural Economics. America. Todaro, M.P, and Smith, S.C. 2011. Economic Development. 11th Edition. Diterjemahkan oleh Munandar dan Puji. Erlangga. Jakarta

191


Link and Match dalam mewujudkan Pelayanan Kesehatan Islami Kesiapan Fakultas Kedokteran Unisba dalam mendukung pelayanan rumah sakit syariah

Prof. Dr. Ieva B. Akbar, dr., AIF. Dekan Fakultas Kedokteran Unisba

Islam merupakan agama wahyu yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menjadi salah satu prasyarat bagi produktifitas sosial ekonomi. Dengan demikian, nilai-nilai keislaman merupakan poin penting yang harus hadir dalam mengatur sisi kesehatan umat Islam. Saat ini umat Islam di dunia mencapai 1,5 Milyar orang dan di Indonesia lebih dari 180 juta jiwa penduduknya adalah muslim. Dengan jumlah muslim yang sangat besar di Indonesia, sebagaimana keyakinan bahwa Islam mengatur sendi kehidupan manusia maka diperlukan sebuah jaminan bahwa pemenuhan kebutuhan seluruh sendi kehidupan muslim di Indonesia termasuk bidang kesehatan pun harus mampu mengakomodir aspek religi dalam pelayanannya. Kebutuhan prinsip-prinsip

akan

religi

pelayanan

semakin

yang

menguat

mengintegrasikan seiring

semakin

berkembangnya pemahaman keagamaan serta iklim kondusif bagi

192


tumbuhnya suatu komunitas yang lazim disebut masyarakat syariah. Terdapat lebih dari 100 rumah sakit Islam di Indonesia yang berada di bawah payung Majelis Upaya Kesehatan Islam Indonesia (Mukisi) yang berupaya untuk mengusung pelayanan kesehatan Islami di Rumah Sakit melalui penyelenggaraan sertifikasi Rumah Sakit Syariah. Penerapan sertifikasi syariah di rumah sakit Islam dapat dipandang sebagai diferensiasi dan keunggulan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di negeri mayoritas muslim ini. Pada perspektif lain, saat ini Indonesia sudah berada pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Persaingan di berbagai sektor termasuk kesehatan akan semakin ketat dikarenakan terbukanya keran untuk arus masuk sektor barang dan jasa. Sektor kesehatan termasuk salah satu yang memiliki tingkat persaingan yang ketat di era MEA ini. Berdasarkan data tahun 2014, Total Health Expenditure Indonesia berada di peringkat ke-6 di ASEAN di bawah Vietnam dan di atas Laos serta Myanmar dan begitu pula rasio tenaga kesehatan masih berada pada rasio 0,2 untuk dokter per 1000 penduduk, sementara Negara tetangga Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan Thailand berturut-turut 2,0;1,2;1,2;0,6, dan 0,4. Melihat dua parameter tersebut menjadi suatu perhatian bahwa terdapat suatu tantangan mengingat total penduduk Indonesia merupakan 40 % total populasi masyarakat ASEAN. Dengan rasio ketenagaan, terutama tenaga spesialis yang

193


masih rendah dibandingkan Negara ASEAN lainnya, maka Indonesia akan menjadi sasaran empuk bagi kedatangan tenaga kesehatan dari Negara lain. Peran sektor hulu yaitu institusi pendidikan tenaga kesehatan memainkan peran sentral dalam mengatasi hal tersebut. Selain itu, upaya pemenuhan SDM untuk pelayanan kesehatan Islami menjadi terkendala manakala pelayanan kesehatan dengan sistem Islami tidak diisi oleh tenaga yang memiliki visi dan semangat serta attitude yang diharapkan. Di tataran nasional, Indonesia saat ini berada pada fase transisi sistem pelayanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Perubahan sistem pembiayaan kesehatan melalui JKN telah memberikan efek domino pada perubahan sistem pemberian pelayanan kesehatan dan sub sistem lainnya secara signifikan. Meskipun masih menyisakan berbagai pekerjaan rumah

yang

menuntut

kolaborasi

berbagai

pihak

untuk

penyempurnaannya, JKN diakui telah merubah wajah sistem pelayanan kesehatan secara fundamental dengan sistem rujukan berjenjang, kapitasi, tariff INA-CBGs, hingga perilaku pencarian pengobatan dan konsep sehat-sakit masyarakat. Selain

itu,

seiring

dengan

dinamika

sosial

dan

perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tantangan dan permasalahan muncul terkait dengan praktik kedokteran. Kasuskasus etika dan medikolegal bermunculan seiring sejalan dengan berkembangnya ilmu kedokteran itu sendiri. Sebagai satu contoh

194


ekstrim, kasus aborsi di dunia terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), belakangan ini angka aborsi semakin tinggi dibandingkan tahun lalu dan didominasi

negara

kaya

dan

berkembang.

Setiap

tahun

diperkirakan terjadi 40 juta-50 juta aborsi atau sama dengan 125 ribu aborsi per hari di dunia. Yang menyedihkan adalah, adanya keterlibatan oknum tenaga kesehatan dalam praktik aborsi tersebut. Hal tersebut hanyalah salah satu fakta. Tentu di berbagai media pernah diungkap mengenai dugaan adanya malpraktik, kelalaian, dan berbagai aduan dari masyarakat terkait praktik kedokteran

yang

menyalahi

etiko-medikolegal

serta

profesionalisme tenaga kesehatan. Sistem kesehatan secara sederhana dapat digambarkan sebagai alur yang berkesinambungan dan saling terkait antara sektor hulu dan hilir. Sektor hulu merupakan sektor yang bertanggung jawab dalam penyediaan sumber daya, baik sumber daya insani (tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan), sumber daya sarana prasarana, sumber daya informasi, dan sebagainya. Salah satu komponen penting mata rantai sistem pelayanan kesehatan di sektor hulu adalah institusi pendidikan kesehatan yang mencetak berbagai tenaga kesehatan terdiri dari dokter dan dokter gigi, dokter spesialis, apoteker, perawat, bidan, analis laboratorium, dsb. Sektor hulu merupakan pemain kunci dalam menyampaikan rantai nilai pelayanan kesehatan di sektor hilir.

195


Sektor hilir merupakan sektor yang bertanggung jawab dalam menyampaikan rantai nilai

pelayanan kepada masyarakat

pengguna pelayanan kesehatan. Sektor hilir pun beragam, dari yang

memberikan

pelayanan

pelayanan

kesehatan

yang

kesehatan

berfokus

medis,

pada

alternatif,

penyakit

atau

pendekatan tertentu, hingga yang mengintegrasikan berbagai pendekatan, baik medis kedokteran barat, kedokteran “islam�, kedokteran “cina�, dan sebagainya. Pada tulisan ini akan dibahas sektor hilir dengan fokus pada sistem pelayanan kesehatan dalam bentuk kelembagaan formal dalam bentuk rumah sakit.

Konsep maqashid al-syariah dalam praktik kedokteran Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu tertua yang muncul pada sejarah kehidupan manusia, bahkan diduga telah muncul dan berkembang sejak zaman neolitikum. Praktik pengobatan terus berkembang dan mengalami kemajuan seiring dengan semakin bertambahnya jumlah manusia dan keterbatasan daya dukung sumber daya kehidupan. Pada akhir abad ke-14 Hijriah, pertimbangan etika memperoleh perhatian yang sangat besar yang diakibatkan dua hal. Hal pertama adalah bahwa perkembangan teknologi kedokteran menimbulkan tantangan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti penggunaan alat bantu hidup/ventilator, fertilisasi in vitro dan berbagai prosedur lainnya yang melibatkan dimensi moral dan etika. Alasan kedua adalah

196


adanya pelanggaran moral oleh oknum dokter. Para dokter di benua Eropa berhadapan dengan dilema saat menyadari bahwa moralitas bukan merupakan bagian integral dari praktik kedokteran sekuler. Lahirnya kembali atau renaisance disiplin ilmu etika menjadi suatu keniscayaan. Dalam konteks Indonesia, dengan sebagian mayoritas masyarakat beragama Islam, maka konteks bioetika perlu mendapatkan semacam penyesuaian dengan sistem belief yang dianut oleh pasien yang beragama Islam. Dalam hal ini, bukan berarti memunculkan suatu disiplin ilmu baru, akan tetapi lebih kepada bagaimana mengintegrasikan nilai dan ajaran Islam kedalam ranah etiko-medikolegal dalam praktik profesional dokter. Islam mengenal Konsep maqashid al-Syari’ah. Konsep ini sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh

seorang ahli ushul fikih

bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam alSyatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada

dasarnya

syariat

ditetapkan

untuk

mewujudkan

kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan

inilah,

dalam

pandangan

beliau,

197


menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba. Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid

hâjiyat, dan Maqashid

tahsînât.

Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya

sesuatu

yang

dibutuhkan

untuk

menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal). Secara

substansial, maqashid

al-syari'ah mengandung

kemashlahatan, baik ditinjau dari maqashid al-syari' (tujuan Tuhan) maupun maqashid al-mukallaf (tujuan Mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqashid al- Syariah mengandung empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan

dalam

makalah

ini,

(1). Tujuan

awal

198


dari Syari' (Allah dan rasul-Nya) menetapkan syariah yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. (2). Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. (3).Penetapan syariah

sebagai

hukum taklifi yang

harus

dilaksanakan.

(4).Penetapan Syari’ah guna membawa manusia kebawah lindungan hukum yakni terhindar dari mengikuti Hawa nafsu. Dari pemaparan tersebut, sangat jelas bahwa pondasi bagi etika dokter muslim tertuang dalam konsep maqashid al-syariah. Lebih lanjut lagi Omar Kasule menjabarkan lima tujuan maqashid al syariah ini pada tataran praktis kedokteran sebagai berikut: Tujuan pertama adalah melindungi ad-diin, hifdh al ddiin. Ini

melibatkan

kesehatan

fisik

dan

kesehatan

mental.

Perlindungan ad-diin dasarnya melibatkan ibadah dalam arti luas, bahwa setiap usaha manusia adalah bentuk ibadah. Jadi penanganan medis memberikan kontribusi langsung untuk ibadah dengan melindungi dan menjaga kesehatan yang baik sehingga seorang hamba yang menjadi pasien akan memiliki kesehatan fisik dan mental untuk melakukan ritual ibadahnya. Bentukbentuk utama dari ibadah adalah do’a, salat, puasa, dan haji. Seseorang yang sakit atau cacat tentu mengalami kesulitan untuk dapat melakukan ibadah dengan benar. Begitu pula kesehatan mental yang seimbang diperlukan untuk memahami akidah dan menghindarkan pasien dari pemahaman sesat yang melanggar akidah karena akidah adalah dasar dari pemahaman ad-diin.

199


Tujuan kedua adalah perlindungan terhadap kehidupan, hifdh al nafs. Tujuan ini merupakan tujuan utama dari upaya pengobatan. Secara prinsip akidah, obat atau tindakan medis sesungguhnya tidak dapat mencegah atau menunda kematian karena hal-hal tersebut berada di tangan Allah SWT. Namun, upaya medis, berikhtiar sesuai sunatullah untuk mempertahankan kualitas hidup yang tinggi sampai waktu yang ditentukan untuk tercapai kesembuhan, kecacatan, atau bahkan kematian tiba. Upaya dan tindakan medis, berkontribusi untuk menjaga kelangsungan hidup dengan memastikan bahwa fungsi fisiologis tubuh pasien yang terpelihara dengan baik, serta mengurangi stres patofisiologis dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tujuan ketiga adalah perlindungan dari pikiran, hifdh al 'aql. Upaya medis memainkan peran yang sangat penting dalam perlindungan

pikiran.

Pengobatan

penyakit

fisik

untuk

menghilangkan stres yang mempengaruhi keadaan mental. Pengobatan neurosis dan psikosis berupaya mengembalikan fungsi intelektual dan emosional. Pengobatan penyalahgunaan alcohol, narkoba, dan zat aditif berupaya mencegah kerusakan intelektual. Tujuan keempat adalah perlindungan keturunan, hifdh al nasl. Upaya medis berkontribusi untuk pemenuhan fungsi ini dengan memastikan bahwa pasien bayi dan anak-anak dirawat dengan baik sehingga mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang

200


sehat dan memungkinkan untuk mengandung dan melahirkan keturunan. Selain itu, upaya pengobatan infertilitas laki-laki dan perempuan, fertilisasi in vitro, dan upaya kesehatan reproduksi merupakan bagian dari tujuan ketiga ini. Selain itu, upaya perawatan untuk ibu hamil, obat-obatan perinatal, dan obat-obatan anak semua memastikan bahwa anak-anak terlahir dengan sehat, tidak mengalami kecacatan, penyakit bawaan (kongenital), serta menjalani proses tumbuh kembang dengan normal dan sehat. Tujuan kelima adalah perlindungan kekayaan, hifdh al maal. Definisi sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 menjelaskan bahwa Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian, kekayaan komunitas tergantung pada kegiatan produktif warga yang sehat. Oleh karena itu, tujuan kelima ini berupaya untuk menjaga agar tingkat produktifitas dan kesejahtaraan manusia berada pada level yang paling tinggi. Kelima tujuan dalam maqashid al-syariah tersebut, seyogyanya menjadi dasar bagi penyusunan kurikulum dan etika dokter Islam yang diajarkan di institusi pendidikan kedokteran. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran seyogyanya dibingkai dengan kelima tujuan tersebut, termasuk dalam proses pengajaran kepada para mahasiswa kedokteran. Selain itu, untuk

201


mampu mengimplementasikan kelima tujuan tersebut menjadi integrasi dalam kurikulum pendidikan dokter di institusi pendidikan, perlu didukung dengan infrastruktur dan suasana atmosfir akademik Islami yang mendukung.

Sertifikasi Syariah Rumah Sakit Islam Sertifikasi

syariah

sebagai

solusi

dan keunggulan

diferensiasi Sistem pelayanan Kesehatan Islami. Hadirnya Majelis Upaya Kesehatan Islam Indonesia 4 tahun yang lalu, membawa perubahan mendasar bagi koordinasi dan kolaborasi diantara para penggagas dan praktisi pelayanan kesehatan Islami. Saat ini Indonesia memiliki 2526 Rumah Sakit di seluruh Indonesia dan 1572 di antaranya adalah RS swasta. Dari sekian banyak rumah sakit tersebut, hanya sekitar 81 RS saja yang mencantumkan nama Islam secara jelas pada nama Rumah Sakitnya, dan masih banyak rumah sakit swasta lainnnya yang menerapkan atmosfer pelayanan Islami namun tidak atau belum mencantumkan identitas keislaman pada namanya. Pada tahun 2015 telah dilakukan perampungan penyusunan dokumen sertifikasi RS Syariah yang mengatur tentang aspek-aspek syariah dalam pengelolaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini tentu menjadi suatu angin segar bagi masyarakat muslim pengguna pelayanan kesehatan di Indonesia.

202


Rumah Sakit Islam sendiri, berdasarkan definisi Mukisi adalah rumah sakit yang seluruh aktifitasnya berdasar pada prinsip Maqashid al-Syariah al-Islamiyah. Elemen Shariah Compliance diletakkan sesuai dengan unsur maqashid Syariah yang terdiri dari 5 Bab sesuai dengan Maqashid Syariah. Pada tiap bab dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu Manajemen Syariah dan Pelayanan Syariah. Pada setiap kelompok berisi standar dan elemen penilaian yang secara keseluruhan terdiri dari 5 Bab, 50 standar, dan 161 elemen penilaian. Secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini: No

Bab

Standar Elemen Penilaian

1

Hifz Al – Din

32

108

2

Hifz Al – Nafs

6

17

3

Hifz Al – Aql

6

18

4

Hifz Al Nasl

2

7

5

Hifz Al – Maal 4

11

Sertifikasi Syariah merupakan perangkat manajemen untuk kualitas layanan kesehatan yang Islami. Adanya sertifikasi tersebut

dapat lebih meningkatkan pelayanan dan kepuasan

pasien. Sertifikasi syariah merupakan respon atas kebutuhan komunitas

yang

dilayani,

dan

Sertifikasi

syariah

dapat

meningkatkan kepuasan seluruh stake holder rumah sakit.

203


Sertifikasi Syariah untuk Rumah Sakit Islam dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas pelayanan Islami di Rumah Sakit Islam, sebagai sarana transformasi dakwah Islam Sakit, untuk memberikan

di Rumah

jaminan kepada para pasien dan

pemangku kepentingan, bahwa rumah sakit Islam dalam operasionalnya dilaksanakan

secara syariah baik untuk

pengelolaan manajemen maupun pelayanan pasien, serta untuk memberikan pedoman bagi pendiri (pemilik) dan pengelola rumah sakit dalam pengelolaan

rumah sakit Islam

sesuai prinsip

syari’ah. Berdasarkan paparan dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, terdapat empat rumpun kaidah dalam penyelenggaraan prinsip syariah yang menjadi pedoman bagi penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip syariah, yaitu: 1. pedoman yang mengatur akad antara RS dengan pihak lainnya, yang meliputi: a.

Akad RS dengan tenaga medis dan tenaga non medis

b.

Akad RS dengan pasien

c.

Akad RS dengan pemasok

d.

Akad RS dengan para pihak lain

2. Pedoman Terkait Pelayanan, meliputi:

204


a. Semua

stakeholders

memenuhi

hak

dan

kewajiban masing-masing. b. RS berkomitmen amanah, santun dan ramah, serta senantiasa berusaha untuk memberikan pelayanan yang transparan dan berkualitas. c. RS memberikan pelayanan dan konsultasi spiritual keagamaan

yang

sesuai

kebutuhan

untuk

kesembuhan pasien. d. RS, pasien dan penanggung jawab pasien wajib berakhlak karimah. e. RS menghindarkan diri dari perbuatan maksiat, risywah, zhulm dan hal-hal yang bertentangan dengan syariah. f. RS wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. g. RS mengikuti dan merujuk fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait dengan masalah hukum Islam kontemporer bidang kedokteran (al-masa’il alfiqhiyah al-waqi’iyah al-thibbiyah). h. RS memiliki panduan tata cara ibadah yang wajib dilakukan pasien (a.l. bersuci dan shalat bagi yang sakit).

205


3.

Pedoman

terkait

Penggunaan

obat-obatan,

makanan,

minuman, kosmetika, dan barang gunaan, meliputi :

a. RS wajib menggunakan obat-obatan, makanan, minuman, kosmetika, dan barang gunaan halal yang telah mendapat sertifikat Halal yang diatur oleh Majelis Ulama Indonesia. b. Apabila obat belum mendapat sertifikat Halal MUI, maka boleh menggunakan obat yang tidak mengandung unsur yang haram. c. Obat-obatan yang belum mendapat sertifikat Halal yang diatur oleh MUI, RS wajib mendapat persetujuan Dewan Pengawas Syariah. d. Dalam kondisi terpaksa (darurat), penggunaan obat yang mengandung unsur yang haram wajib melakukan prosedur informed consent. 4. Pedoman Terkait Dana, meliputi : a. RS wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam penyelenggaraan rumah sakit, baik bank, asuransi, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan, maupun dana pension.

206


b. RS wajib mengelola portofolio dana dan jenisjenis aset lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. c. RS tidak boleh mengembangkan dana pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa implementasi faktual pelayanan Islami yang telah dijalankan sebagai gambaraan riil adalah sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan pelayanan yang bernuansa Islami dan mengusung atmosfir keislaman, seperti: melayani dengan akhlakul kariimah; petugas kesehatan terutama perawat melayani pasien sesuai gender kecuali pada kondisi darurat; kamar rawat inap dewasa dipisah antara pria dan wanita; memulai tindakan dengan basmalah/berdoa; mengucap salam saat memasuki kamar rawat inap atau menerima pasien di ruang praktik; pasien beragama Islam diberikan buku bimbingan sholat dan doa pasien; penyediaan bimbingan rohani (binroh) pasien oleh ustadz / ustadzah; asistensi ibadah sholat pasien oleh perawat; penyediaan alat sholat dan Al-Qur’an untuk pasien rawat inap; mendoakan pasien dan mengajak keluarga berdoa; pendampingan pasien sakaratul maut dan pelayanan pasien meninggal; layanan khusus (ruqyah) untuk yang memerlukan.

207


2. Ketersediaan fasilitas RS secara Islami seperti tanda kiblat di setiap kamar, penataan kamar mandi sesuai kaidah Islam, dekorasi dan elemen interior Islami, audio visual rumah sakit dengan murottal Al-Quran dan lagu Islami, audio adzan di setiap waktu sholat dan dilengkapi dengan ajakan untuk sholat, ketersediaan musholla dan Masjid. 3. Pengelolaan manajemen SDM secara Islami, diantaranya seleksi dan perekrutan karyawan disertai pertanyaan dan evaluasi

pengetahuan

Islam,

penggunaan

busana

Muslimah, adanya pengajian, bimbingan agama, dan pelaksanaan kegiatan islami lainnya untuk staf rumah sakit dan pengunjung. Berangkat dari pembagian secara sederhana, yaitu sektor hulu dan sektor hilir sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini, maka perlu ada benang emas yang menghubungkan antara sektor hulu dan hilir dalam pemenuhan keterbutuhan akan sistem pelayanan Islami berbasis syariah.. Penerapan sertifikasi syariah tidak akan terlepas dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan yang memiliki visi, semangat, knowledge, skill, dan attitude yang menunjang implementasi pelayanan Islami tersebut. Oleh karena itu, seperti dua sisi mata uang, maka implementasi pelayanan kesehatan Islami memerlukan adhesi yang kuat antara sektor hulu dan sektor hilir. Dengan demikian antara fasilitas kesehatan berupa klinik dan rumah sakit serta Fakultas Kedokteran, 208


kedokteran gigi, serta institusi pendidikan kesehatan lainnya, perlu menyusun kolaborasi yang dimulai dari sektor hulu, yaitu mendidik tenaga kesehatan untuk pelayanan kesehatan yang Islami serta menyediakan wahana pendidikan yang menunjang pembentukan karakter, kompetensi, dan profesionalisme berbasis Islam tersebut.

Kesiapan Fakultas Kedokteran Unisba dalam mendukung implementasi rumah sakit syariah Saat ini terdapat 75 Fakultas Kedokteran di Indonesia, data tahun 2015 mencatat bahwa terdapat 25 Fakultas Kedokteran Islam yang terdiri dari 22 FK Swasta dan 3 FK Negeri di bawah Universitas Islam Negeri (UIN). Fakultas kedokteran Islam tersebut tergabung dalam wadah Forum Kedokteran Islam atau FOKI yang merupakan forum koordinasi, keilmuan, sharing knowledge dan pengalaman, serta konsolidasi tridharma terutama pada aspek pendidikan kedokteran Islami. Setiap FK Islam memiliki kekhasan dan metode yang beragam dalam mengusung visi Islam nya. Dari mulai konsep sisipan nilai keislaman, blok khusus pada sistem pembelajaran, integrasi secara parsial maupun total dalam seluruh aspek pembelajaran, hingga pengkayaan dalam bentuk pesantren khusus untuk mahasiswanya. Keragaman ini selain disebabkan karena masih belum kuatnya koordinasi diantara FK Islam, juga disebabkan oleh beragamnya sumber

209


daya yang dimiliki oleh setiap FK tersebut. Namun, pada tahun 2016 ini, FOKI sebagai wadah bagi FK Islam di Indonesia mengeluarkan sebuah rekomendasi yang disepakati oleh seluruh peserta muktamar FOKI di Februari lalu, bahwa akan ada nilainilai dasar yang disepakati sebagai nilai wajib bersama yang akan diusung oleh seluruh anggota FOKI dengan catatan metode dan cara penyampaiannya disesuaikan dengan kapasitas sumber daya dan nilai dasar institusi masing masing. Dengan adanya penerapan sertifikasi syariah di sektor hilir, FK dapat menjadikan instrument tersebut sebagai input bagi penyusunan added value berupa Islamisasi bangunan, kurikulum, dan metode pembelajaran yang dimilikinya. Meskipun terdapat disparitas antara FK yang satu dengan yang lainnya, namun prinsip maqashid al-syariah tetap menjadi suatu pedoman umum yang disepakati bersama sebagai core-values yang akan diintegrasikan secara komprehensif pada proses pendidikan baik tahap sarjana kedokteran maupun tahap profesi dokter. Dengan diimplementasikannya Peraturan Presiden No.8 Tahun 2012 tentang KKNI, maka konsep link and match antara sektor hulu dan hilir dalam sistem pelayanan kesehatan Islami akan lebih mudah. KKNI merupakan suatu jembatan antara keterbutuhan kompetensi dengan bagaimana kompetensi tersebut dibentuk di institusi pendidikan. Meskipun Indonesia relative terlambat menerapkan konsep link and match berbasis kerangka

210


kualifikasi (qualification framework), namun perubahan ini membawa perubahan fundamental bagi sistem pendidikan tinggi kesehatan khususnya kedokteran. Saat ini, Standar Kompetensi Dokter

Indonesia

(SKDI)

menjadi

acuan

untuk

akuisisi

kompetensi seorang dokter Indonesia. Melalui KKNI, SKDI tersebut ditransfromasi menjadi suatu capaian pembelajarannya berikut

merumuskan

tahapan

dan

sarana

pendukung

pembelajarannya. Melalui konsep KKNI, jelas bahwa kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh FK Islam haruslah berhubungan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh RS Islam sebagai pengguna utamanya di masa depan. Konsep link and match inilah yang mendasari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung dalam mengusung dan menjalankan proses pendidikan dokter pada kurikulum dan metode pembelajarannya. Fakultas Kedokteran Unisba berdiri pada tanggal 27 Oktober 2004 melalui SK Dirjen Dikti No. 4223/D/T/2004 dan saat ini telah terakreditasi BAN-PT (LAM-PT Kes) dengan predikat B. Sejak berdirinya, FK Unisba telah

mengusung

konsep

integrase

antara

kompetensi

profesionalisme dan keislaman yang tertuang dalam Visinya, yaitu “Menjadi Fakultas Kedokteran yang terkemuka, pelopor pembaharuan pemikiran dalam konsep pelayanan kesehatan, pengembangan keilmuan dibidang kedokteran, serta dapat menghasilkan dokter

layanan primer yang

kompeten,

211


profesional dan berakhlaqul karimah yang bermanfaat bagi diri sendiri, ummat, bangsa, dan Negara� dan Misinya yaitu “Menyelenggarakan pendidikan kedokteran untuk menghasilkan lulusan

yang

kompeten,

melaksanakan

penelitian

yang

menghasilkan pemikiran dan teori- teori baru, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat berlandaskan nilai-nilai Islam, dengan keunggulan spesifik di bidang kesehatan industry�. Salah

satu

tujuan

strategis

FK

Unisba

adalah

Memantapkan identitas FK-Unisba sebagai Program Studi penyelenggara Program Pendidikan Dokter yang berlandaskan nilai-nilai Islam, melalui pencapaian tujuan strategis ini, diharapkan seluruh civitas akademika mengaplikasikan nilainilai Islam baik secara internal maupun eksternal, sehingga Islam sebagai agama rahmatanlilalamiin dapat betul-betul dirasakan oleh seluruh komponen bangsa, sehingga selain menghasilkan lulusan dengan kompetensi dokter layanan primer

sesuai

Standar

Kompetensi

Dokter

Indonesia,

jugamemiliki karakter santun dan Islami sesuai amanat Visi dan Misi Fakultas serta sejalan dengan pembangunan karakter lulusan Unisba yaitu menjadi Mujahid, Mujtahid, dan Mujaddid. Visi

dan

Misi

serta

tujuan

strategis

tersebut

diimplementasikan dalam kurikulum dan penunjangnya. Berikut akan dipaparkan berbagai upaya integrasi antara keilmuan dan

212


keislaman yang dilaksanakan oleh FK Unisba yang terdiri dari dua aspek, yaitu kurikuler dank ko-kurikuler. Pada aspek kurikulum, dengan diterapkannya pendekatan Problem Based Learning, diusung suatu konsep yang disebut Islamic Insert in Medical Curriculum (IIMC). Integrasi ini mengacu pada definisi yang dikeluarkan oleh FOKI, yaitu “Memasukkan aspek ajaran Islam (Aqidah, Syariah, dan Akhlak) menjadi

bagian

kedokteran�.

integral

IIMC

kegiatan

mengajarkan

kurikuler

mahasiswa

pendidikan untuk

dapat

menyadari keberadaan ayat-ayat Allah dalam setiap bangunan ilmu yang mereka pelajari dan tidak hanya terbatas pada sudut pandang sempit tentang etika dalam Islam (sabar, menghadapai ujian, dll). Selain itu, IIMC mendorong mahasiswa untuk mampu menggali bahwasanya dari topik yang dipelajari di sistem kedokteran tersebut, ia akan mampu mencari aspek-aspek pembelajaran keislaman yang lebih komprehensif. Pada setiap modul sistem blok, mahasiswa diharuskan mencari ketiga aspek akidah, syariah, akhlak dan mendeskripsikan dalil aqli, naqli, maupun contoh konkrit etika dokter muslim yang terkait dengan topik medis yang sedang dipelajari, sebagai contoh dapat dilihat pada gambar berikut:

213


Gambar Implementasi IIMC pada

blok Hematoimunologi

Selain IIMC, pada aspek kurikulum, sesuai dengan kebijakan Universitas, FK Unisba melaksanakan mata kuliah Pendidikan Agama Islam di seluruh semester (PAI 1 s.d 7), yang mengajarkan secara utuh dari mulai dasar-dasar kesilaman yang meliputi aspek akidah, syariah, akhlak, muamalah, tarikh/sejarah, hingga yang bersifat terapan seperti etika dokter muslim, tantangan perkembangan dunia kedokteran dan kaitannya dengan aspek syariah, serta penggalian nilai-nilai Islam pada aspek kesehatan dan tubuh manusia. Selain PAI, ditunjang pula dengan integrase pembelajaran etik-medikolegal pada modul Bioetik dan Humaniora (BHP) yang juga diajarkan di setiap semester. Perpaduan antara PAI dan BHP ini diharapkan memberikan efek

214


penguatan dan meningatkan pemahaman mahasiswa kedokteran terkait maqashid al-syariah serta sekaligus sebagai media pembentukan karakter dokter muslim. Kedua hal tersebut merupakan prasyarat tenaga medis yang mampu memahami secara utuh konsep pelayanan islami yang diusung oleh rs islam dengan sertifikasi syariahnya. Metode ketiga yang diselenggarakan oleh FK Unisba adalah penyelenggaraan pesantren yang terdiri dari dua pesantren yang bersifat umum dan diselenggarkan bersamaan dengan fakultas lainnya di lingkungan Unisba yaitu pesantren mahasiswa baru dan pesantren calon sarjana, serta satu pesantren khas FK Unisba, yaitu pesantren calon dokter. Apabila pada proses perkuliahan fokus utamanya adalah pada pembentukan bangunan keilmuan keislaman (knowledge), maka titik fokus utama pesantren ini adalah pada skill dan attitude keislaman. Melalui kombinasi antara IIMC, PAI, BHP, dan pesantren, maka mahasiswa kedokteran terpapar secara terus menerus dengan aspek keilmuan keislaman yang menunjang terbentuknya karakter dokter muslim yang profesional dan berakhlakul kariimah. Pada tahun 2016 ini, seiring dengan lahirnya konsep RS Syariah, FK Unisba merespon dengan cepat melalui penyusunan modul stase syariah pada tahapan profesi/klinis. Selain rotasi klinis di rumah sakit pendidikan, mahasiswa tahap profesi (dokter muda) akan menjalani rotasi syariah yang dilaksanakan di rumah

215


sakit yang telah terakreditasi syariah. Pada modul ini, mahasiswa akan dihadapkan pada konsep nyata pelayanan kesehatan Islami yang telah dipaparkan pada sub bahasan sebelumnya, yaitu pelayanan kesehatan Islami. Dengan adanya kolaborasi antara FK Unisba dan rumah sakit jejaring pendidikan yang telah tersertifikasi syariah, diharapkan penerapan konsep link and match pada pelayanan kesehatan Islami akan terwujud. Pada aspek ko-kurikuler, terdapat suatu upaya khusus dari FK Unisba berupa penyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan keislaman yang memperoleh dukungan penuh dari Fakultas serta penyelenggaraan kegiatan mentoring terstruktur yang menunjang pelaksanaan kurikulum. Unit kegiatan keislaman ini tidak bersifat eksklusif, akan tetapi menjadi salah satu karakter dari organisasi kemahasiswaan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Sebagai institusi Islam, BEM di FK Unisba berperan dalam membentuk lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya bi’ah dan ghiroh keislaman. Selain BEM terdapat Unit Kegiatan khusus yang memang menjadi motor dakwah tataran mahasiswa di FK Unisba yaitu Jamtibi (Jami’iyyatul muta’allim aththiib al-islaami) yang bekerja sama dengan BEM dan Fakultas menyelenggarakan berbagai kegiatan keislaman secara rutin dan konsisten. Selain pada aspek kurikuler dan ko-kurikuler, FK Unisba mengupayakan terdapat peningkatan nuansa kesilaman atau islamic academic atmosphere di lingkungan kampus dan wahana

216


pendidikan lainnya. Penerapan pakaian, etiket pergaulan antar mahasiswa dan dosen serta staf, pemenuhan literatur keislaman di perpustakaan, desain interior yang mencerminkan keagungan Islam, serta hal-hal yang bersifat fisik yang dapat menguatkan atmosfir keislaman terus ditingkatkan dalam rangka menunjang implementasi ruhuddin pada aspek kurikuler dan ko-kurikuler tadi. Tentu dalam pelaksanaannya FK Unisba bekerja sama, berkolaborasi, dan berjejaring dengan berbagai pihak baik di dalam maupun di luar lingkungan Unisba. Di tataran internal, penyusunan dan penyempurnaan modul keislaman terus dilakukan bekerja sama dengan pihak Yayasan, Universitas, Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Unisba, Rumah Sakit Pendidikan khususnya RS Al Islam sebagai salah satu pionir konsep RS Syariah di Indonesia, serta para dosen dan mahasiswa yang memiliki animo sangat besar terhadap visi dan misi keislaman institusi. Di tataran eksternal, keikutsertaan FK Unisba secara aktif pada berbagai forum keislaman baik yang diselenggarakan oleh Forum Kedokteran Islam (FOKI) sebagai wadah FK Islam di Indonesia, Mukisi, Prokami (Imani), serta FIMA di tataran internasional merupakan wujud komitmen untuk maju bersama mengusung keunggulan Islam pada bidang kesehatan sebagai misi bersama yang diemban oleh institusi kesehatan islam. Berbagai studi banding pun dilakukan baik dengan FK di dalam negeri maupun dengan luar negeri semisal

217


IIUM (International Islamic University Malaysia) dan CUCMS (Cyberjaya University College of Medical Sciences) Malaysia, hingga mendatangkan pakar kedokteran Islam seperti Prof. Omar Kasule merupakan upaya nyata FK Unisba untk berkontribusi pada ranah yang lebih luas dan global. Resume Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke-5 di dunia dengan penduduk Mayoritas Muslim tentu membutuhkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan Islami. Kehadiran RS berbasis syariah, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Kedokteran yang pesat serta berbagai perubahan pada sistem pelayanan kesehatan di tataran lokal, nasional, maupun global perlu diantisipasi oleh institusi kesehatan Islam baik di sektor hulu khususnya institusi pendidikan kedokteran maupun sektor hilir (RS Islam). Sertifikasi RS Syariah merupakan suatu upaya yang memberikan diferensiasi dan keunggulan RS Islam dalam menjawab berbagai tantangan tersebut. Dalam rangka menunjang tumbuhnya RS Syariah di Indonesia, maka perlu ada konsep link and match antara sektor hulu dan hilir pada pelayanan kesehatan Islami. FK unisba berupaya menjadi salah satu institusi pendidikan yang menyiapkan tenaga kesehatan khususnya dokter muslim yang mampu memahami dan menjalankan konsep maqashid syariah pada RS Islam. Dengan adanya link and match

218


tersebut maka pemenuhan kebutuhan akan pelayanan Islami akan lebih mudah terwujud.

Referensi: 1. Asafri

jaya, Konsep

pandangan

Maqashid

al-Syatibi .dalam

Syari’ah

Abdullah.

maqashid

dalam Konsep

al-syari’ah.

http://www.kompasiana.com/lismanto/ushul-fiqhmaqashid-al-syari-ah_55119a3f813311914dbc5fbd. Diakses pada tanggal 17 Agustus 2016. 2. Akbar, I.B. Kesiapan FK Unisba dalam implementasi RS berbasis syariah. Disampaikan dalam muktamar mukisi ke-3. 2014. 3. Hasil-hasil

muktamar

Forum

Kedokteran

Islam(FOKI), 2012. 4. Kasule, O.H. Medical Ethics from Maqashid Al Shari’at. 5. Mayangsari, dkk. konsep maqashid al-syariah dalam menentukan hukum Islam . Al-Iqtishadiyah. vol 1. Desember. 2014. h. 50-69. 6. Padela, I. Islamic Medical Ethics. Bioethics. Volume 21 Number 3 2007. h. 169–178. 7. Rosalina,I. Kebijakan perumahsakitan menghadapi era Mea dan JKN. Kementrian Kesehatan Republik

219


Indonesia. Disampaikan dalam muktamar MUKISI ke-4.2016. 8. RS Online & Data Faskes BPJS Kesehatan, 12 Mei 2016. 9. Romadhon, Y.A. Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran. Cermin Dunia Kedokteran. vol. 40 no. 7. 2013. h. 545-551. 10. Tabhrany, H. JKN dan Kebutuhan Tenaga Kesehatan. Center for health economics and policy studies. Universitas Indonesia. Disampaikan dalam muktamar MUKISI ke-4.2016. 11. Unisba,

F.K.

Pedoman

Fakultas

Kedokteran

Universitas Islam Bandung. 2016. 12. Unisba, F.K. Renstra Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2012-2016. 2012.

220



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.