Celoteh

Page 1


Menulis saat ini untuk tetap mengingat yang akan terlupakan. Menulis saat ini untuk diriku di masa yang akan datang.


// BAGAIMANA MUNGKIN? // “Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?� Suara bass Rein terdengar lagi di telingaku, namun lebih dalam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini, aku mengalihkan pandanganku dari laptop dan mulai memerhatikan wajahnya. Sudah setengah jam ia bercerita dan meminta pendapatku, kupikir dia sedang baik-baik saja. Yah, sebelumnya memang baik-baik saja seperti waktu-waktu biasa saat ia menggangguku di tengah pekerjaanku hanya untuk meminta pendapat tentang sesuatu yang, maaf saja, menurutku tidak begitu penting. Tapi ia berubah menjadi tidak baik-baik saja saat aku bilang sebaiknya dia lupakan saja niatnya, karena itu semua sia-sia. Rein bercerita tentang Nirmala, gadis yang menarik hatinya, mengubah hari-harinya, mewarnai hidupnya dengan sesuatu yang baru. Gadis itu tidak cantik, aku tahu persis itu karena aku juga mengenalnya. Menurutku, Nirmala adalah seorang gadis yang biasa saja. Sangat biasa. Tidak tinggi, tidak pendek, tidak kurus, tidak gendut. Yah, kuakui dia adalah gadis yang sangat bersemangat. Tapi, yang benar saja! Bagaimana mungkin gadis semacam itu bisa membuat Rein yang

1


sebelumnya sangat bijak dan berpikiran panjang menjadi seperti ini hanya karena dia tidak menghubungi Rein seminggu terakhir? Aku tahu kemana gadis itu pergi. Tentu saja aku tau, apa yang tidak aku tau dari orang-orang di sekitarku? Aku tau, karena aku mengobservasi. Aku selalu ingin mencari tahu. Gadis itu pergi ke luar negeri, sekolah musik di Austria, bersama ayahnya, satu-satunya keluarganya yang tersisa, yang juga dipindahtugaskan ke Austria. Lalu kenapa aku tidak memberitahu Rein? Tentu saja karena gadis itu yang memintanya. Gadis itu bilang, ia tidak ingin Rein tahu. Aku tak tahu kenapa dan itu memang bukan urusanku. Jadi, aku hanya diam. Sekarang, Rein mengajakku untuk mencari Nirmala. Dia sangat yakin bahwa Nirmala dan ayahnya telah diculik oleh suatu sindikat kriminal. God, siapa yang bisa percaya hal itu? Temanku yang paling rasional di dunia ini telah menjadi gila karena jatuh cinta. Dia mengajakku menyebarkan pamflet bergambar Nirmala dan ayahnya ke semua tempat-tempat di kota ini, mengupload di internet, bahkan memasukkan gambar itu ke daftar orang hilang di televisi. Aku bilang dia gila, itu semua hanya akan menjadi sia-sia. Tapi, dia malah

mengoceh

tentang bagaimana dia mencintai Nirmala,

bagaimana dia tidak sanggup jauh dari Nirmala, betapa ia ingin mengetahui Nirmala baik-baik saja di setiap jam, setiap menit, setiap detik. Lalu aku berkata bahwa itu berlebihan dan dia kehilangan akal sehat. Dia malah bercerita tentang bagaimana indahnya jatuh cinta saat setiap

2


hari ia ingin mendengar suara Nirmala, ingin menatap wajahnya walau sekelebat, ingin bernyanyi dan berdansa bersamanya, ingin sarapan dan makan malam dengannya, ingin mengajaknya ke setiap tempat yang bisa ia datangi. Dan aku berkata dengan ringan bahwa jatuh cinta membuatnya terlihat begitu bodoh. Saat itulah dia membalas, “Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?” Setelah menatap wajahnya, aku menyunggingkan senyum tipis lalu meraih ponselku. Aku menekan nomor telepon Nirmala di Austria dan melakukan panggilan internasional. “Halo?” terdengar suara seorang wanita dari telepon itu. Aku menekan tombol speaker dan bertanya, “Nirmala, apa kau baikbaik saja?” “Oh, Ri, aku baik-baik saja. Ada apa?” jawabnya. Rein yang mendengar suara Nirmala hanya terpaku. “Nggak apa-apa, Nirmala. Aku cuma mau tahu kabarmu. Sampai jumpa!” kuakhiri panggilan itu dengan cepat. “Kenapa kamu matikan teleponnya? Jadi selama ini kamu tau Nirmala ada dimana? Kenapa kamu nggak kasih tau aku? Kenapa, Ri?” tanya Rein bertubi-tubi.

3


“Rein, kalau kamu kasih tau aku sesuatu, dan itu sebuah rahasia, apa kamu mau aku kasih tau itu ke Nirmala?” tanyaku balik. Rein menggeleng, dan nampaknya dia paham bahwa Nirmala yang menginginkan keberadaannya sebagai rahasia. “Aku melakukan panggilan itu hanya agar kamu bisa tahu bagaimana kabar Nirmala. Cuma itu kan yang kamu butuhkan. Nah, sekarang karena dia baik-baik saja, apa kamu bisa biarkan aku melanjutkan pekerjaanku?” “Kamu memang nggak mengerti apa-apa ya, Ri. Mana mungkin itu bisa cukup? Bagaimana mungkin satu panggilan telepon tiga puluh detik bisa menjadi cukup? Sepertinya aku salah konsultasi pada orang yang ‘katanya’ tahu segalanya tapi nggak tahu apa-apa soal jatuh cinta. Ya, pantas

aja sih kamunggak tahu.

Itu

karena

kamu

memang nggak pernah merasakannya.” Bersamaan dengan kalimat panjangnya, Rein bangkit dari kursinya dan berlalu pergi. Yah, terserah saja, aku tidak begitu peduli. Yang terpenting, aku sudah melakukan apa yang menurutku benar. Laptopku rupanya sudah kudiamkan lebih dari lima menit. Backgroundnya telah berganti dengan screen saver, slide show semua foto-foto yang ada di laptopku. Saat itu, foto yang tertampil adalah sebuah foto yang sebenarnya sangat tidak ingin kulihat saat itu. Foto yang menyangkal kata-kata Rein. Foto yang membuktikan kalau aku mengerti.

4


Ya, Rein, aku mengerti rasanya. Sangat amat mengerti. Aku pernah jatuh cinta, bertahun-tahun yang lalu. Aku pernah menjadi gila, aku pernah menjadi begitu bodoh, walaupun tak begitu lama. Aku berhasil menemukan diriku kembali meski masih

tak

sanggup

menemukan

orang

lain

untuk

menggantikannya. Tapi aku tidak separah dirimu. Lihat saja? Bagaimana mungkin sebuah panggilan yang terjawab suara tak bisa cukup? Jika aku ada di posisimu, hal itu akan lebih dari cukup. Mengetahui dia baik-baik saja sudah sangat lebih dari cukup. Kau begitu frustasi, padahal jarakmu dengannya palingpaling hanya empat ribu mil jauhnya. Kau tahu seberapa jauh jarakku dengannya? Entahlah, aku saja tak tahu. Kami bahkan tak berada dalam ruang dan waktu yang sama lagi.

5


//

MEMILIH // Hanya saat berada diantara dua persimpangan, manusia akan benarbenar menggunakan kepalanya. Memeras otak, mencari titik masalah, mencari

jalan

keluar, mencari mana yang terbaik, memilih.

Pertentangan di dalam kepala terus berkecamuk. Satu berkata kanan, yang lainnya kiri, dan pikiran lain ikut mencampuri, membesitkan bahwa diam saja lebih baik. Positif dan negatif melintas. Datang dan kembali pergi lagi. Tak lama, hanya berusaha agar dilihat, agar diperhitungkan. Waktu seakan mengejek. Terus mengungguli sambil menjulurkan lidah dan berkata, "mengapa untuk hal semudah itu kau harus berpikir begitu lama?". Gengsi menguasai dan keputusan lalu diambil. Subjek berbelok ke arah yang ia mau. Namun, bukankah kadang kita merasa ini lucu? Ketika sesuatu yang kita pilih justru tak mampu menjawab persoalan? Semua hanya berputarputar di sekitar titik yang sama. Memilih untuk memilih kembali tanpa jalan keluar. Tidak semua pilihan bisa menjawab, meski hakikatnya kita selalu butuh jawaban bukan? Kadang apa yang kita pilih perlu waktu lama untuk

6


memberikan jawaban, dan kadang malah tidak merasa perlu untuk memberi kita jawaban. Jawaban yang kita terima pun tak melulu yang kita inginkan. Kadang kita malah mendapat jawaban yang paling tidak kita inginkan. Wajar bukan? Meski rasanya kadang tak sewajar itu.

7


// DIALOG MALAM // "Aku lelah. Memperjuangkan diriku dan menyakiti orang lain. Maka untuk kali ini, biar aku memperjuangkan orang lain dan menyakiti diriku." "Bukan begitu. Tidak harus begitu. Kamu hanya harus belajar bagaimana menyampaikannya, bukan menelannya bulat-bulat. Kamu bisa tetap menjadi dirimu dengan cara yang berbeda." "Berteori itu mudah. Apalagi untukmu yang tak pernah merasakan bagaimana rasanya dibenci dan tersakiti karena telah menyakiti." "Tapi apa itu harus? Menahan dirimu sejauh itu, diam seperti itu, menjadi orang lain?" "Tanpa kusadari benar, sebenarnya ketidaknyamanan ini sudah menjadi biasa untukku. Aku memang rindu, saat aku berada di puncak kejayaan psikologisku, ketika aku merasa hidupku ada pengaruhnya. Tapi, aku sudah terbiasa dengan yang standar-standar saja. Aku sadar tidak semua orang bisa menerima aku apa-adanya. Tidak semua orang bisa memahami alasan kenapa aku begini dan

8


kenapa aku begitu. Tidak semua orang bisa tetap di sampingku dalam berbagai tekanan." "Kamu dulu tidak begitu? Mana idealisme yang dulu kau miliki? Yang dulu kau sampaikan lantang di depan orang-orang? Mana semangatmu dalam menentang kesenjangan? Mana lagi?" "Anggap saja itu telah pergi dan berganti. Sarkasme, kelantangan dan keangkuhan yang menyebalkan, anggap saja memang sudah mati. Meski sebenarnya semua hanya berkecamuk di dalam kepalaku, kutahan dengan barrier yang luar biasa kuat. Hanya kukeluarkan saat aku sedang sendiri. Hanya kusampaikan saat aku bisa menjadi sesarkas apapun, saat aku bisa menjadi selantang apapun, saat tidak ada orang yang mampu mendengar apa yang kukatakan." "Orang-orang tidak sejahat itu. Pasti ada yang mau meragkulmu. Pasti ada yang mau tetap berteman denganmu apa adanya." "Adakah yang mau berteman dengan orang sepertiku? Apa adanya? Sudahlah, kita hentikan saja diskusi ini, karena aku baik-baik saja. Aku merasa terhormat mengalahkan egoku sendiri demi kenyamanan orang lain. Kehormatan psikologis, dimana tidak satupun dari mereka yang tahu." "Lalu sampai kapan kau akan seperti ini?" "Sampai aku bisa menemukan seseorang yang membuatku nyaman menjadi diri sendiri. Itupun jika di dunia ini ada seseorang yang seperti itu."

9


// KESENDIRIAN // Kesendirian bukanlah lawan, ia adalah kawan. Sebagai seorang manusia yang punya kuasa atas diri sendiri, kita perlu takut pada kesendirian. Ia bukanlah musibah seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang yang meratapinya. Sebaliknya, ia adalah anugrah seperti yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mampu produktif oleh sebabnya, Ia bukanlah pengungkung dan pembatas seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang bosan bersamanya. Sebaliknya, ia adalah kebebasan tak terbatas untuk orang-orang yang senang bersahabat dengannya. Bersama kesendirian kita bisa melakukan segalanya yang dibutuhkan untuk menggapai cita-cita. Dengan kesendirian, kita bisa memikirkan dan merenungkan tentang eksisitensi kita di alam semesta, kita bisa membuka jendela yang luas untuk melihat dunia dengan cara yang luar biasa. Hanya saat mengakrabi kesendirian kita bisa memahami tentang apa yang benar-benar kita inginkan untuk hidup di dunia yang hanya sebentar dan mempersiapkan hidup di akhirat yang kekal.

10


Kesendirian tidak menjemukan. Ia mendewasakan. Dengan cara yang kadang tak bisa dijelaskan oleh manusia. Namun, sebaik-baiknya sesuatu adalah yang tidak berlebihan. Maka saat waktunya tiba, akhirilah kesendirian. Mintalah padaNya kawan yang bisa sama konstruktifnya dengan kesendirian, menjadikan kita manusia yang bermanfaat, menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya. Jika belum datang untukmu atau untukku kawan selain kesendirian, tenang dan bersabarlah. Sebab meskipun kamu merasa bahwa satusatunya kawanmu adalah kesendirian, sesungguhnya kamu selalu punya Allah SWT yang tak pernah berhenti membersamaimu.

11


// ANTARA PENDUKUNG DAN PENDAMPING // Ada perbedaan yang sungguh terasa antara pendukung dan pendamping. Pendukung

mendorongmu

ke

depan,

menganjurkanmu

untuk

melangkah maju. Ia meyakinkanmu dengan berbagai opininya. Ia membangkitkan semangatmu. Lalu kamu melangkah maju. Di saat kamu akhirnya sampai, kamu ingin dibersamai. Kemudian kamu mengajak orang-orang yang mendukungmu untuk menempuh jalan bersamamu. Kamu merasa mereka adalah orang-orang yang paling tepat karena mereka lah yang dulu mendorongmu untuk maju. Tapi, hati-hatilah! Tidak semua pendukung ingin menjadi pendamping. Tidak semua pendukung

benar-benar

ingin

membersamaimu.

Tidak

semua

pendukung mau bersusah payah dan berbagi keluh kesah denganmu. Tidak semua pendukung.

12


Beberapa diantara mereka hanya ingin mendukung. Ikut berbangga karena mengenalmu. Menyemangatimu dengan senyuman mereka dan kata-kata penyemangat. Terkadang mereka memberi saran, tapi jangan kecewa walau itu hanya saran. Saran dari mereka seringnya dapat menjadi preferensi yang baik untukmu. Beberapa lainnya ingin berjalan denganmu, namun tidak menginginkan jalan yang sama. Berusaha membujukmu untuk melalui jalan yang dipilih olehnya. Mereka mungkin mendukungmu karena merasa kamu adalah orang yang mudah dibujuk dan mudah diarahkan. Di pertengahan jalan kemudian semakin banyak yang memilih jalan lain. Pada akhirnya ada berbagai jalan yang menjadi pilihan. Terkadang yang seperti ini dapat memicu permusuhan dan pertentangan. Disinilah lalu kamu

berperan: mengambil

keputusan.

Berdasarkan apa? Berdasarkan tujuan dan norma, dua acuan yang bebas dari opini pribadi, sebab opini pribadi rentan menyakiti perasaan apalagi untuk orang-orang yang cenderung rentan. Beberapa yang tersisa adalah orang-orang yang benar-benar ingin mendampingimu dengan jalan yang kamu pilih. Namun jangan lega dulu. Sebab mereka tak hanya ingin mendampingimu, tapi juga ingin selalu didampingi olehmu. Jangan pernah tak menghiraukan mereka, jangan pernah membiarkan mereka merasa sendirian. Terkadang, kamu yang akan merasa sendirian. Merasa semua orang tidak bisa membersamaimu, lalu mulai merasa semua orang tidak

13


menyukaimu dan menganggapmu tidak bisa memimpin. Kemudian, kamu mulai merasa gagal. Itu normal kok. Aku juga pernah. Kamu merasa sendirian karena pada dasarnya ketika kamu mengawali sesuatu kamu memang sendirian. Memang dalam mempersiapkan berbagai berkas kamu mendapat bantuan, tapi bukankah saat uji kelayakan kamu menghadapinya sendirian? Sendirian adalah kondisi awal ketika kamu mengawali itu semua. Jika kemudian kamu mendapat banyak bantuan, itu kondisi setelahnya. Jadi kalau kamu merasa sendirian, tidak perlu menjadi tertekan. Seharusnya kamu sudah bersiap kalau hanya kamu satu-satunya yang menempatkan "ini" menjadi prioritas utama. Tenang saja, pada saatnya bantuan itu akan datang lagi. Kamu hanya perlu bersabar dan memberikan waktu kepada para pendukung dan pendampingmu untuk bernafas sejenak. Merasa semua orang membencimu juga adalah sebuah hal yang wajar. Ketika kita setuju untuk menjadi seorang tokoh publik yang menjalankan suatu program kerja yang cukup masif, kita harus siap dinilai oleh siapapun. Kita harus siap dimusuhi banyak orang, kita harus siap dilabel "begini" dan "begitu". Ketika orang lain berubah sikap atau mulai melabeli, mungkin akan muncul perasaan "aku tidak bisa bertugas dengan baik" atau "aku

14


gagal"? Tidak masalah kok. Dari perasaan "aku gagal" itu justru lahir keinginan untuk membenahi diri dan dari situlah kita akan belajar. Bukankah "belajar" adalah inti dari semua perjalanan kita sampai sejauh ini? Maka jangan pernah takut dengan kegagalan. Ada sebuah kutipan menarik yang aku peroleh dari Para Pencari Tuhan Jilid 10 tempo hari. Jika kita tidak memiliki banyak keberhasilan, maka milikilah banyak kegagalan. Karena dari sana kita akan mendapat banyak pembelajaran. Lalu sebenarnya ada satu lagi yang bisa dilakukan saat kita mulai merasa sendiri: selalu merenung tentang eksistensi kita di alam semesta, merenung tentang Tuhan, dan merenung tentang kematian. Bukankah kita sepakat kalau di pengadilan setelah kematian (untuk orang yang meyakini, seperti di agama saya) kita pasti akan sendiri?

15


// MENGAMBIL RISIKO // Saat kita memutuskan untuk menyukai seseorang begitu dalam, kadang kita tidak menyadari bahwa sebenarnya pada saat yang sama kita sedang mengambil risiko membuka peluang membenci orang itu sama besarnya. Mengapa? Sebab

saat

kita

menyukainya

dan

merasa

nyaman

dengan

keberadaannya, kita akan menceritakan papun tentang hidup kita, baik maupun buruk tidak ada satupun yang ditutupi darinya. Kita juga akan bertindak nyaman tanpa merasa risih. Lalu, jika sudah begitu, apa yang akan terjadi saat hubungan kita dengan orang tersebut tak lagi baik? Bukankah ada kemungkinan ia akan membeberkan segala keburukan kita kepada orang lain dan akan timbul permusuhan? Sebab saat kita menyukainya dan menjadi sangat percaya kepadanya, kita akan merasa aman untuk menitipkan banyak hal kepadanya. Kita merasa tahu bahwa dia tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan yang kita berikan. Namun bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Bagaimana jika ia sungguh mengkhianati? Bukankah rasanya akan sangat buruk?

16


Sebab saat kita menyukai seseorang dan merasa yakin akan kebaikannya, kita merasa ia akan selalu melakukan hal yang benar. Apapun yang ia lakukan akan selalu tepat dan sesuai dengan ekspektasi kita. Sayangnya, saat dia melakukan suatu kesalahan kita pasti akan merasa kecewa. Dan bukankah kekecewaan itu akan sangat besar? Ya. Dan baik permusuhan, pengkhianatan, dan kekecewaan semua berujung kepada kebencian. Jika kita tidak dapat memaafkan ketiga hal tersebut, kita akan terus-menerus hidup dalam kebencian. Akan selalu ingin menghindar, akan selalu muak setiap melihat orang yang bersangkutan. Jadi sebelum waktu itu tiba, saat orang yang kita sukai begitu dalam berubah, kita harus lebih dahulu berdamai dengan permusuhan, pengkhianatan, dan kekecewaan. Tapi jika tidak bisa, mungkin sebaiknya tidak perlu menyukai seseorang "sedalam itu".

17


// DENGARKANLAH // Awal dan akhir adalah bagian yang selalu paling banyak diceritakan. Bagaimana sesuatu dimulai dan bagaimana sesuatu selesai adalah hal yang sangat ingin diketahui oleh banyak orang. Mungkin itu alasannya seseorang lebih butuh menceritakan dan lebih butuh didengarkan saat ia memulai sesuatu dan menyelesaikan sesuatu: saat ia menyukai suatu lagu dan saat ia mulai bosan mendengarkannya, saat ia mulai kuliah dan saat menjelang sidang akhirnya, saat ia mulai merasa jatuh cinta... dan saat ia mulai merasa patah hati. Yah, mereka tidak perlu saran, tidak perlu masukan, tidak perlu komentar sok bijaksana. Terkadang saat mereka datang mereka hanya ingin didengarkan dan somehow semuanya akan terasa lebih baik. Tidak terlalu membuncah karena bahagia atau bersemangat, pun tak terlalu murung atau berlarut dalam kesedihan. Terutama yang kedua. Jadi ketika mereka datang padamu, maukah kau berjanji untuk mendengarkan?

18


// ORANG DI BALIK LAYAR // Orang dibalik layar selalu bergerak. Dia tak pernah hanya diam di satu tempat, pasti dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Kamu tidak akan menemukan rekam jejaknya dimanapun, sebab ia tak sempat merekam jejaknya sendiri. Tapi, kamu pasti akan menemukannya. Dimanapun. Di sekitar objek utama dalam setiap rekam jejak, hanya menjadi bagian dari latar belakang, atau malah dianggap objek asing yang tak diharapkan. Orang dibalik layar tak pernah bergerak untuk dirinya. Dia akan lebih memilih mencapai tujuan bersama daripada membahagiakan dirinya sendiri. Ia tidak mengeluh hanya karena lelah, ia tidak perlu uluran tangan yang lain untuk membantunya, sebab dia orang di balik layar.

19


Orang dibalik layar tidak boleh bingung. Ia harus selalu tahu apa yang akan dilakukannya, apa yang harus orang lain lakukan. Dan aku ingin bisa menjadi sepertinya.

20


// DIALOG: SENDRI // "Aku iri sama kamu." "Hah? Kenapa?" "Ya, aku iri aja." "Bercanda kamu. Apa yang ada di aku dan bisa membuat kamu iri?" "..." "Hei..." "Aku iri karena kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Aku iri karena di mata semua orang kamu selalu bisa mengatasi masalah apapun. Aku iri karena nggak ada yang menganggapmu lemah. Aku iri karena kamu disegani oleh semua orang. Aku iri karena banyak orang yang bersandar kepadamu.

Aku

iri

karena

aku

nggak

bisa

jadi

kamu."

"Hmm..." "Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa jadi kayak kamu?" "Kenapa kamu harus jadi kayak aku?" "Karena menurut aku hidup kamu sempurna." "Terus kamu enggak?"

21


"Kamu kuliah di universitas ternama, di jurusan favorit, nilai kamu bagus, kamu dikenal banyak orang, dan kamu seperti nggak punya rasa takut, kamu selalu menghadapi semuanya dan semuanya selalu baikbaik aja kalau ada kamu." "..." "Jadi, kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu..." "Oke." "..." "Tapi, kamu harus kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu." "Eh?" "Gimana supaya aku bisa punya banyak waktu sama keluargaku, gimana supaya aku bisa tidur minimal tujuh jam sehari, gimana supaya aku punya seseorang teman untuk berbagi saat aku sedih, gimana supaya orang mau melindungiku dan bukan malah meminta perlindungan, gimana caranya supaya aku bisa dicintai banyak orang dan

bukannya

malah

dianggap

sebagai

ancaman?"

"..." "Kamu nggak bisa jawab, 'kan?" "..." "Sederhana aja, kita nggak bisa jawab karena kita nggak tahu caranya. Yang kita tahu adalah kita memainkan peran sebagai diri kita sendiri. Ada hal-hal yang memang harus dikorbankan, ada hal-hal yang harus tetap menjadi keinginan, dengan begitulah kita sempurna." "..."

22


"Kita sempurna dengan kekurangan dan kelebihan. Aku juga sering berharap menjadi orang lain, punya kehidupan yang sederhana, tapi memang itu bukan aku, aku nggak bisa. Maka mungkin itu juga berlaku sama kamu." "Tapi kamu nggak pernah bergantung sama orang lain. Malah orang lain yang bergantung sama kamu." "Dan apa yang bagus dari itu? Aku malah ingin sekali menemukan seseorang yang bisa kuandalkan, yang bisa kugantungkan padanya aku. Tapi sampai saat ini nggak ada yang bisa." "Kamu juga nggak pernah takut walaupun harus sendirian ngelewatin macem-macem hal. Aku pingin bisa mandiri, aku pingin bisa kayak kamu." "Aku memang nggak pernah takut sendirian. Aku terbiasa makan sendiri, jalan-jalan sendiri, belajar sendiri. Aku bahkan sering nonton di

bioskop

sendiri

dan

nggak

peduli

apapun

selain

menikmati kesendirian." "Tuh kan..." "Tapi," "..." "ada satu hal yang sangat aku takutkan dalam hidup ini."

23


"Apa?" "Saat aku terlalu terbiasa dengan kesendirian dan pada akhirnya aku akan menghabiskan hidupku hanya sendirian." "..." "Masih mau jadi aku?" Lalu kau berhenti bicara dan memelukku. Erat.

24


// KEBOHONGAN // Terkadang kita berbohong dengan asumsi-asumsi yang terkesan memudahkan orang lain. Terkadang kita berbohong dengan dalih 'demi kebaikan' tanpa menyadari bahwa kata-kata 'demi kebaikan' hanya untuk menutupi ego dan ketakutan kita sendiri. Terkadang kita berbohong karena takut tidak ada yang siap menerima kebenaran, karena takut disalahkan, karena takut dinilai apa adanya. Terkadang kita berbohong karena merasa akan lebih aman, karena merasa akan terlihat lebih baik. Terkadang kita berbohong agar tidak menyakiti orang lain, walau sebenarnya kita lebih menyakitinya saat berbohong. Dan bagi kau yang dibohongi... Kamu mungkin akan merasa terkhianati. Kamu mungkin akan merasa bahwa sungguh dunia ini hanya dibanjiri dengan dusta.

25


Lalu jika yang membohongimu adalah orang yang paling dekat denganmu, orang yang sebelumnya paling kamu percaya, orang yang kamu pikir tidak akan pernah membohongimu, mungkin kamu akan merasakan kecewa yang sangat luar biasa. Mungkin kamu merasa berhak untuk marah. Mungkin kamu akan merasa sebagai orang yang paling dikecewakan. Mungkin kamu akan merasa semua kepercayaanmu kepadanya hanyalah sampah. Mungkin kamu tidak ingin melihatnya lagi, atau sekadar mendengarnya berkata-kata. Aku juga. Ditambah lagi aku bertanya-tanya "kenapa?" akan banyak hal. Kenapa kamu berbohong? Kenapa demi dia? Kenapa tidak menyerah sampai aku hampir berhasil membuktikan? Kenapa menganggapku begitu bodoh sampai menyangka aku akan percaya dengan sebuah kebohongan yang buktinya saja tidak valid? Kenapa menganggapku begitu tenggelam dari kehidupan sosial sehingga menyangka aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong? Tapi, sudahlah. Aku memaafkanmu.

26


Meski sejujurnya masih bertanya-tanya apakah kamu mengenalku sebaik yang kusebut-sebut pada semua orang? Apakah aku mengenalmu sebaik yang aku kira selama ini? Meski rasanya masih tidak percaya kalau kamu lagi-lagi berbohong. Membohongiku untuk orang yang sama. Meski kesannya tidak karena aku menulis entri yang seakan mengungkapkan kebencian luar biasa. Aku memaafkanmu. Tapi bukankah aku bilang bahwa aku tidak akan pernah lupa?

27


// HANYA TERPIKIRKAN // Apa itu jatuh cinta? Mungkinkah jatuh cinta hanya soal pas atau tidak? Atau lebih dari itu? Benarkah jatuh cinta lahir karena kenyamanan? Lalu mengapa banyak orang bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada? Apakah itu berarti jatuh cinta hanya soal impresi? Bagaimana seseorang bisa tahu kalau dia jatuh cinta? Apa memang ada tandanya? Atau ternyata hanya otak yang mendoktrin kalau si individu sedang jatuh cinta? Mengapa seseorang bisa jatuh cinta? Apa ada alasan dibaliknya? Mungkinkah karena santun sifatnya? Atau bisakah karena sangat baik rupanya? Kemudian apa yang terjadi jika alasan itu hilang? Jika santunnya berganti lantas akankah cinta tak lagi jatuh? Saat rupanya tak lagi baik karena usia akankah jatuh cinta hanya tinggal sejarah? Benarkah setiap orang berhak jatuh cinta? Lantas mengapa patah hati itu ada? Bukankah dengan patah hati berarti dia tak bisa jatuh cinta pada orang yang bersangkutan?

28


Berarti itu namanya dia tidak bisa kan jatuh cinta? Jika benar setiap orang berhak jatuh cinta? Mengapa masih saja ada yang berbohong dan menutup-nutupinya? Karena malu kah? Atau hanya enggan? Bukankah setiap orang berhak? Jadi, konsep jatuh cinta itu seperti apa?

29


// AIR YANG JATUH // Aku berjalan perlahan menikmati senja. Menggerakkan kakiku langkah demi langkah menyusuri jalan ke tempat bernaung. Tangan kananku meremas lengan kiri dan tangan kiriku meremas lengan kanan. Berusaha menghangatkan diri di tengah rintikan air yang jatuh bergemericik dan angin dingin yang berembus menerpa wajahku. Tidak ada yang mau berjalan sendiri di tengah hujan sambil membiarkan tetesan air itu membasahi kain yang menempel di tubuh. Senja itu tidak ada, selain aku. Aku mendongak ke atas, memandanginya yang jatuh bersama-sama. Lalu, aku bertanya-tanya, kenapa air jatuh? Sedangkan ia tak perlah terlihat naik ke atas. Aku hanya bisa melihatnya dan merasakannya saat ia jatuh. Yah, aku tahu tentang peristiwa penguapan air dari permukaan lalu naik ke atas, lalu terjadi tumbukan ini dan itu, suhu yang begini dan begitu, lalu ia jatuh dan kembali lagi dan bla bla bla. Itu adalah serangkaian peristiwa yang menjadi penyebab hujan. Tapi, kenapa? Kenapa saat jatuh ia terlihat, tapi saat naik ia bahkan tidak pernah terasa? Bukan. Yang kuinginkan bukan penjelasan tentang tekanan uap atau

30


fasa atau sesuatu seperti itu. Aku ingin sesuatu yang bisa kupahami tanpa harus membuka buku. Sesuatu yang bisa aku renungi dan analogikan dengan kehidupan yang sedang aku jalani saat ini. Aku berhenti berjalan dan mendongak ke atas. Mungkin sama seperti manusia. Saat seorang manusia naik ke atas, mencapai keberhasilan, rasanya pasti begitu ringan tubuhnya.Tapi saat jatuh, beban yang harus dibawanya begitu berat. Ia ingin dirangkul, ia ingin dibantu. Ia hanya ingin bersama-sama, tidak ingin sendirian. Mungkin itu sebabnya air hujan tak pernah datang sendirian. Aku

melangkah

lagi,

sudah

cukup

dekat

dengan

tujuanku.

Sungguh bisa terhubung jika kita mau berusaha menghubunghubungkan. Mungkin terlihat agak memaksa. Tapi, aku rasa tidak masalah

jika

kesimpulannya

memang

sesuatu

yang

baik.

Aku lalu berpikir tentang diriku sendiri dan bagaimana aku menghindar dari mereka yang sebelumnya kusebut-sebut sangat memahamiku, dari mereka yang sebelumnya kubangga-banggakan sebagai keluargaku yang luar biasa hanya karena takut. Takut dengan apa yang akan mereka katakan, takut dengan apa yang belum terjadi. Takut mengakui kalau selama ini aku salah. Kalau selama ini mereka sebenarnya tidak memahamiku, mereka hanya menilaiku, dan nilai bisa didapatkan dengan mudah tanpa pemahaman. Kalau sebenarnya mereka tidak pernah menjadi tempatku kembali pulang, tidak pernah menjadi keluarga yang benar-benar keluarga. Aku terlalu takut.

31


Aku ingin seperti hujan yang jatuh bersama-sama. Tapi yang terjadi adalah aku jatuh sendirian, sampai akhirnya jatuh hati pada kesendirian. Aku ingin dilindungi, maka aku mencari perlindungan. Tapi aku berakhir dengan kesimpulan bahwa hanya Allah yang bisa memberiku perlindungan. Karena orang-orang menilaiku dengan kepala mereka, mereka melupakan satu faktor penting: aku adalah seorang perempuan yang ingin dinilai dengan hati. Kakiku sampai di depan pintu. Seluruh tubuhku basah oleh air yang jatuh. Hidungku mulai tersumbat, tubuhku menunjukkan gejala-gejala kurang sehat, dan kepalaku terasa begitu berat. Aku segera menyiapkan air panas dan bersih diri. Setelah itu, aku meringkuk di tempat tidur dan terlelap. Dua jam yang lalu aku terbangun dengan keringat bercucuran dan suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya. Setelah menenggak parasetamol, aku mengintip gadget dan

membuka

beberapa

pesan.

Sebuah foto dikirimkan oleh seorang teman. Entah apa yang ada di benakku saat itu. Aku hanya terdiam dan memandangi foto itu lama sekali. Aku rindu. Tapi rasa takutku lebih besar daripada rindu. Aku bahagia. Tapi, lagi-lagi rasa takutku lebih besar daripada itu. Setelah berhasil berpaling dari foto itu, kutulis jawaban panjang untuk si pengirim foto. Intinya: Aku pasti kembali suatu saat nanti. Saat menurutku kita semua siap. Siap untuk ikhlas dan sama-sama belajar. Tidak lagi saling menyalahkan tanpa solusi dan memenangkan ego. Saat tidak ada yang akan tersakiti.

32


Suatu saat nanti yang aku tidak tahu kapan. Mungkin esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. Aku harus siap, selalu harus siap dengan semua kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Aku harus bisa menguatkan diriku saat aku tak bisa seperti hujan. Saat aku harus menjadi air yang jatuh sendirian. Aku harus bisa menghadapi rasa sakit jatuh bertumbukan dengan tanah dan aku akan meresap ke dalamnya sendirian. Berharap di hujan berikutnya, aku akan menjadi hujan, air yang jatuh bersama-sama.

33


// COBA TANYAKAN LAGI // Katanya kamu sekarang murni, katanya kamu sudah biasa saja. Tapi, apa kamu yakin? Apa kamu sudah tak pernah berhenti lebih lama saat membaca suatu nama? Apa kamu sudah tak pernah merasa ada sesuatu yang aneh setiap melihat postingannya di media sosial? Apa kamu sudah tak menyimpan kekaguman berlebihan pada tulisantulisannya? Apa kamu sudah tidak gemetar dan bimbang saat mengirimkan pesan singkat padanya? Apa kamu sudah bisa menyapanya dengan ringan saat bertemu di suatu acara secara kebetulan? Apa kamu sudah bisa berhenti berharap pertanyaan darinya agar percakapan tetap bisa berlangsung? Apa kamu sudah biasa saja dengan barang-barang pemberiannya dan tak memandanginya lama-lama lalu terbawa perasaan? Apa kamu sudah? Atau kamu hanya merasa sudah? Oke, katakanlah jawabanmu benar-benar sudah.

34


Lalu... Kenapa kamu masih saja menghitung hari saat menjelang ulang tahunnya? Kenapa kamu sengaja tidak mengucapkan selamat tahun baru kepadanya hanya untuk menegaskan bahwa kamu tidak peduli? Kenapa kamu harus berulang kali mengatakan pada banyak orang bahwa kamu telah melupakannya, seakan-akan kau hanya ingin memberikan sugesti pada dirimu sendiri? Kenapa kamu masih membuka catatan-catatan lama yang kamu buat tentangnya? Kenapa kamu masih berulang kali membuka jendela chat yang kini sudah tak terbarui lagi? Kenapa

kamu

masih

membaca

ulang

percakapan-

percakapan absurd yang pernah kalian lakukan? Kenapa kamu masih saja membayangkan kejadian-kejadian konyol yang pernah terjadi diantara kalian dan tersenyum-senyum sendiri? Kenapa kamu masih melihat langit dengan hati tak tentu? Kenapa? Kenapa diam? Bimbang? Ragu? Atau tiba-tiba menyadari sesuatu? Tidak bermaksud membawamu kembali ke masa lalu. Tidak bermaksud membuatmu

terbawa

perasaan

lalu

menunduk.

Hanya saja, hati-hati dengan pernyataanmu. Murni? Biasa saja? Coba tanyakan lagi pada dirimu.

35



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.