ANTOlOGI 1820 New IndoHogwarts 1820
AntologI 1820 New IndoHogwarts 1820 Cetakan pertama, Mei 2019
MeREKA YANG TERLIBAt PENULIS Aegina Silverstein, Agrona Mallon, Ann Anderson, Anna-Rose Phillips, Annemarie Silverstein, Asger Strickland, Bethany Millard, Caoilainn Essolard, Cole Oxlade, Genesis Conway, Julian Conrad, Leighton Colt, Lynette Milford, Margaux Walcott, Marjorie Beaufort, Mark Horsey, Meredith Ruffalo, Mindy Deschanel, Nicole Marvelle, Osiris Beaufort, Shaquilla Wilcox, Sunny Starr, Victoria Ackerman, Zuriel Winthorpe PENYUNTING Marjorie Beaufort, Leighton Colt, Aegina Silverstein, Lynette Milford, Margaux Walcott, Freyr Witherington, Agrona Mallon, Einar Lennon, Nicole Marvelle, Asger Strickland
PENYUNTING PENYELIA Margaux Walcott PENYELARAS AKHIR Margaux Walcott, Lynette Milford, Julian Conrad, Ambrose Sinyard ILUSTRASI Bethany Millard TATA LETAK Julian Conrad Hubungan masyarakat Shaquilla Wilcox PENCETUS Ann Anderson, Asger Strickland, Bethany Millard, Imogen Mannering, Lynette Milford, Margaux Walcott, Mindy Deschanel, Shaquilla Wilcox, Zuriel Winthorpe
Copyright Ó New IndoHogwarts 1820
Daftar IsI
Sub Rosa
9
Four Seasons 2 2 Compunction 3 5 About You 4 8 Red Sky in the Morning I 6 6 Red Sky in the Morning II 7 8 Sampai Nanti, Sampai Mati 8 9 A Lover 1 0 4 Infinite Waft 1 1 4 To Overcome Fear 1 2 9 Serendipity 1 4 2 Where Have You Been All My Life? 1 5 5 Silence and Solitude 1 6 9 Kuda Putih 1 8 2 Forgetting Margaux Walcott 1 9 4 Forget Me Not 2 0 8 Even Though It Was a One Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness 2 2 5 Auf Wiedersehen 2 3 7 What a Way to Go, They Have No Fear 2 5 2 Lysergic 2 6 8 One Summer Day 2 8 1 Art Exhibit 2 9 6 Ucapan Terima Kasih 3 0 9
SUB ROSA ~ “Kurasa Nathaniel Addington harus bicara duluan. Dia yang membawa korban kemari. Dia yang paling mencurigakan.�
Sub Rosa
Ditulis oleh Agrona Mallon
Sekarang: Colt Mansion. 15 April. 09.33 PM.
G
elombang kecemasan mencekam menyelimuti sosok-sosok manusia yang berkumpul di ruangan itu. Mencaci, menunjuk, meneriaki, menuduh, menahan tangis, meyakinkan, menyalahi, membela diri. Sarikata: membingungkan. Di antaranya duduk Agrona pada salah satu kursi yang terpasung di samping meja makan panjang di ruang makan mewah itu, membisu menatap sosok Einar dari kejauhan. Agrona tahu ini bukan pada waktu dan tempatnya, tetapi ia tak kuasa mencuri pandang. Seakan menyadari tatapan Agrona, Einar 10
Antologi 1820
membalas lirik sedetik. Tersadarkan dari dosa kecil yang matanya perbuat dengan cepat Agrona mengalihkan pandangannya ke puding labu utuh yang tersaji di hadapannya. “Kau tidak apa-apa?” ujar pria yang kini harus dipanggil ‘suami’ oleh Agrona: Zuriel Winthorpe. Zuriel meletakkan tangan kiri di bahunya yang lalu dibalas Agrona dengan gelengan kepala. Suara-suara penuh emosi pecah beradu antara penghuni lain ruang itu, memperdebatkan alibi dan kecurigaan masingmasing. Sekitar tiga kursi jaraknya dari kursi Agrona dan Zuriel, sosok wanita elok berambut pirang tergeletak di atas set makan keperakan. Setengah jam yang lalu, Annemarie (née Silverstein) mengeluarkan lengking pilu dari tenggorokannya, menyedakkan buih. Lima menit kemudian, Ambrose Sinyard—seorang healer yang kini mengenalkan diri sebagai dokter Yahudi yang beraksen Jerman—mendeklarasikan kematiannya. Terdapat jejak racun pada piring makan korban, sebut ‘dokter muggle’ itu. Jerit kaget dan debat curiga mengikuti. Melodi rondo La Campanella1 berdering kembali dari langit-langit yang dihiasi fresco apik. Semuanya jatuh kembali dalam hening. Lagu yang sama diputar pada waktu penutup mulut dihidangkan. Tak lama, penyanyi opera tenar bermarga Silverstein itu menuju kematiannya. Ketiga pintu dalam ruangan tersebut terkunci, tanpa peduli seberapa banyak uji coba jurus tendangan kungfu ular naga dari pria ber-name tag Nolan McTaggart agar pintu membuka. Alohomora juga tanpa guna. Tongkat sihir mereka disita di pintu masuk. Sejak mereka menginjakkan kaki di mansion ini, tidak ada sihir yang dapat mereka gunakan. Tiga pintu mulai dari kiri ke kanan: pintu kayu ek kecil di mana para pelayan robot keluar masuk selama waktu makan; pintu marmer putih besar di tengah, dengan akses ke lobi utama, pintu yang membawa mereka masuk ke ruang makan; serta pintu hitam obsidian yang belum dapat mereka buka. “Menurutmu, apa akan ada yang mati lagi?” sahut seseorang.
1
Violin Concerto No. 2 in B minor, Op. 7, 3rd Movement, oleh komposer Niccolò Paganini.
11
Sub Rosa
“Kita semua akan …,” cicit Asger Strickland, pria wajah berbintik canggung yang sontak disambar keplakan oleh yang konon disebut sebagai istrinya, Shaquilla. Sementara, seorang gadis muda bernama Mindy Deschanel meraungkan nasib ‘aktris muggle’ bernama akrab Millie itu dengan frekuensi tangis yang membuat kepala Rona sampai berdenyut pusing. Mantan suami Mindy, pebisnis William Farnham atau yang lebih dikenal sebagai Hugh Hefner, membenamkan kepala pirangnya ke dadanya, mencoba menghibur. Tiba-tiba salah satu dari ketiga pintu itu terbuka. “Demi Tuhan!” Sosok-sosok maneken robotik berpakaian pelayan berbaris masuk ke dalam ruang makan itu, figur-figur yang sama yang menggantungkan mantel jubah para tamu dan menghidangkan course makan malam dari pembuka sampai penutup. Robot-robot itu mengangkut tubuh lunglai Annemarie ke tandu dan membawanya keluar dari ruangan. William Farnham dan Nolan McTaggart berusaha mencurangi robot terakhir untuk memberi akses keluar bagi mereka semua, tetapi diterpa oleh gelombang sihir yang membuat mereka mental mundur beberapa kaki. Sesaat kemudian, pintu ek tersebut kembali terkunci. “Mereka meninggalkan amplop!” sahut Mark Horsey, membacakan kaligrafi yang tercetak di atas meja semula tempat si korban bersandar. Cast the name of the perpetrator into the only ballot given, votes must be unanimous. You have two hours. Tea is served in the drawing room for your convenience. Pintu hitam misterius itu terbuka, menampakkan ruangan berisi sofasofa ukir dan sebuah kotak suara elektronik di tengahnya. Sebuah meja kopi dengan tumpukan kertas, pena, dan nota tempel tersedia di sampingnya. Sebuah kereta dorong perak dengan kue-kue dan teh panas yang disusun ala high tea tersaji di sudut ruangan. “Dari analisisku sejauh ini, tidak ada gunanya kita saling tuduh. Lebih baik kita ungkapkan satu per satu, siapa pun yang ingin bicara punya giliran. Di akhir kita bisa menentukan secara bulat,” usul Ann Anderson. 12
Antologi 1820
“Surely you don’t mean for us to play along with this madness?” timpal sinis Einar. “I don’t see a reason not to? We’re stuck here anyway. Might as well figure out the drama and the psycho who did such a thing, drinking tea among us so as we speak,” timpal Nathaniel Addington, ilmuwan muda dengan nada apatis yang kurang antusias. “Kurasa Nathaniel Addington harus bicara duluan. Dia yang membawa korban kemari. Dia yang paling mencurigakan,” usul Shaquilla. Agrona mengangguk, mengiyakan usulan mantan teman sekamarnya itu. “Cerdik sekali usulanmu, Mrs. Strickland. Aku menggandeng tangan Annemarie masuk ke mansion ini, setiap pasang mata melihatku datang bersamanya. Jika aku pembunuhnya, apa tidak menurutmu aku cukup cerdik untuk tidak melakukan semua itu? Sudah pasti aku akan menghindari kontak supaya tidak jadi tersangka utama.” “Jangan sembarangan menuduh Nate, ya! Bagaimana kita tahu kalau pembunuhnya di antara kita, bukan pemilik mansion ini? Bisa jadi dia melumuri racun ke piring perempuan itu sebelum kita datang ke sini.” Nolan membela kawannya dari tuntutan massa. “Poin yang bagus, Old McTaggart. Tapi kawanmu dr. Sinyard sudah menjelaskan bahwa racun yang membunuh korban hanya perlu paling lama lima menit untuk mencabut nyawa. Tidak ada yang menyentuh piring pribadi masingmasing selain kita sendiri. Manekin-manekin pelayan itu hanya mengganti satusatunya piring utama di atas meja makan setiap pergantian menu. Kita semua sudah berkumpul di sini sejak satu jam yang lalu dan mulai makan menu pembuka setengah jam yang lalu,” ujar Ann Anderson si pembawa berita tersohor dengan tenang. “Artinya, siapa pun yang membubuhkan racun pada piring korban melakukannya setelah pintu ruang makan ini dikunci. Atau dengan kata lain, pembunuhnya ada di antara kita. Tapi terima kasih, Ann,” ujar Leighton Colt, pemilik mansion tempat reuni ini diselenggarakan. “Tidakkah menurutmu Aegina Silverstein tampak terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja kehilangan sepupunya sendiri?” ujar Genesis Conway.
13
Sub Rosa
Sekonyong-konyong mata dan kepala beralih kepada wanita pirang berkepang tersebut. Ia pucat, tetapi tak mengeluarkan kata dan suara sepatah pun. Padahal selama makan, dia ceria sekali membuka topik-topik konversasi. “Betul. Dia tidak menangis atau apa … Lebih pilu dengar erangan Mindy,” tambah Zuriel. “Aku hanya tidak jago berakting,” singgah Aegina. Asger menelan ludah. “Maksudmu, kalian tidak … kau tidak ….” “Tidak dekat?” celetuk Ariadne melengkapi kalimat Asger. Pekikan curiga bagai koor ‘ooh’ dan ‘aaah’ seketika keluar dari mulut mayoritas kedua puluh anggota penghuni ruangan itu. Aegina hanya duduk mematung sebelum berdalih, “Kami tidak sedekat itu, namun bukannya tidak dekat. Kurasa membayangkan dia mati dengan cara mengenaskan seperti itu terlalu otentik untukku.” “Guys, pikirkan baik-baik. Siapa musuh Annemarie? Agrona Mallon!” tunjuk Mindy. “Agrona Winthorpe, Mindy.” koreksi Julian Conrad geli. “Jika aku punya masalah dengan seseorang, maka tidak ada gunanya menjilat. Lagi pula, cerita ‘musuh-musuhan’ ini dikarang gosip saja ketika kita masih sekolah, saat ini aku tak punya alasan untuk membunuhnya,” sindir Agrona. “Kalau begitu, bukannya Moses Carlton yang notabene mantan tunangan korban yang punya motif paling besar? Bagaimana, apa kau punya pembelaan, Carlton?” gumam Imogen Mannering dengan senyum antik. Motif, ya? Hening sesaat, ketika rombongan yang sudah setengahnya pindah ke drawing room tersebut menyadari bahwa masing-masing di antara mereka berpotensi menjadi tersangka dan sedikit banyak mempunyai motif terhadap si korban. Terlepas sekadar adu peran atau tidak. Moses Carlton, yang juga sedari tadi diam seribu bahasa, akhirnya menghela napas panjang. “Baiklah, siapa yang mau memulai duluan menjelaskan ulang karakter masing-masing? Otherwise, I’ll take that as my cue.” *** 14
Antologi 1820
Dua minggu sebelumnya: 1 April. 01.12 PM Sedikitnya dua puluh mantan kawan seangkatan di Hogwarts menerima sepucuk surat dengan cap pos muggle tertanggal 1 April, dua minggu sebelum reuni angkatan mereka dilaksanakan. Bagi yang perempuan dan sudah menikah, tertera nama gadis mereka. Bagi pasangan yang telah menikah, mendapatkan undangan masing-masing. Larangan membawa anak dan orang luar ditekankan. Lokasinya adalah di salah satu mansion milik pebisnis Leighton Colt di Sussex. Tongkat sihir akan dikumpulkan di lobi bersama mantel. Mantra dan guna-guna memastikan agar tidak ada sihir yang dapat digunakan selama berada di dalam mansion. Anggota panitia reuni tahun ini dirahasiakan, bahkan si pemilik mansion sendiri tidak mengetahui detailnya. Sesosok wanita melangkah keluar dari perapian. Ia mengambil amplop dari patukan seekor burung hantu di atas meja. Menuangkan jus jeruk dari teko dan menyesapnya nikmat. Melangkah menuju kamar tidur, seakan tempat itu adalah miliknya. “Darling,” panggil Agrona pada si pemilik flat. “This one’s yours.” “Which one? You mean this one?” Pria itu memeluk Agrona dari belakang, menghirup seduktif bagian belakang leher Agrona yang tertutup helaian rambut panjang kecokelatan. Sisa bubuk floo yang terjerat pada bahu jubahnya membuat si pria berbatuk-batuk kecil. Agrona tertawa kecil. Ia memutarkan tubuh, melambaikan amplop berperangko muggle yang dikirimkan lewat pos burung hantu ke wajah si pria. “Undangan reuni tahun ini. Aku mendapatnya tadi pagi. Kurasa kau akan tertarik. Tema tahun ini Murder Mystery Game.” “Siapa yang akan mati?” “Kita belum tahu. Hanya …,” Agrona mengecek kembali kartu undangannya untuk memastikan, “... Ambrose Sinyard yang tahu siapa dan bagaimana orang itu mati, tapi ada keterangan tambahan bahwa dia bukan pembunuhnya. Kurasa kita harus mengamati gerak-gerik kawan musang kita itu nanti. Sisanya harus kita cari tahu sendiri.” 15
Sub Rosa
“Temanya muggle, eh? It sounds fairly dumb.” Apabila pembunuh aslinya tidak terungkap sampai batas waktu yang ditentukan, mereka harus menghabiskan akhir minggu terkurung dalam mansion tersebut tanpa sihir, sementara pembunuh aslinya akan menerima hadiah sebesar seribu galleon. Jika pembunuhnya tertangkap dengan benar, hadiah sebesar seribu galleon akan dibagi rata oleh seluruh peserta, mereka bebas menikmati akhir minggu di mansion tersebut atau tidak, namun mereka sudah akan mendapatkan tongkat sihirnya kembali. “It could be fun,” sebut Agrona. “Apa ini?” Suara si pria berubah dingin, menangkap kartu undangan Agrona yang berisi keterangan karakternya. Tertulis di situ bahwa Agrona adalah alienist perempuan Muggle yang menikah dengan teman semasa sekolahnya, pebisnis Zuriel Winthorpe. “Is this why it’s fun to you?” “Jangan khawatir, sayangku. Kau juga tampaknya punya perempuan simpanan.” Agrona mengedipkan mata manja, menunjuk keterangan pada kartu undangan milik kekasihnya. *** Satu hari sebelum permainan dimulai: Colt Mansion. 14 April. 4:31 PM “Mrs. Lennon.” Agrona memanggil wanita berbibir ranum tersebut. Anna-Rose Phillips menoleh padanya dan tersenyum. Margaux McTaggart turut tersenyum. “Mereka ceritanya belum menikah, Agrona sayang,” ujar Margaux geli. “Ah, maaf. Kupikir karena rata-rata ‘pasangan’ di sini adalah suami istri, maka kalian juga ‘menikah’.” “Annemarie Silverstein juga menggandeng Nathaniel Addington, padahal mereka tidak menikah. Kudengar hari ini harusnya hari pertama mereka berkencan,” sebut Lynette. “Menurutmu itu asli atau karangan panitia saja?” celetuk Bethany Sinyard. Wanita-wanita itu tertawa kecil.
16
Antologi 1820
“Entahlah, siapa pun panitia yang merancang skenario ini cukup tega, menurutku. Kasihan kan Moses Carlton masih single … dan Ann juga sendirian.” “Menikah itu bukan prestasi,” jawab Ann nyinyir. “Dan aku datang sendiri juga karena James yang harusnya jadi suamiku tidak mau hadir. Lagi pula, bukankah lebih kasihan yang tidak ada sangkut pautnya di dunia nyata tapi harus akting jatuh cinta? Atau akting cerai?” “Ah, aku rasa ini hanya latar belakang cerita saja, Ann. Aku cukup berteman dekat dengan Harlow saat kita masih di Hogwarts, dan mungkin panitia mengembangkan itu menjadi sesuatu yang lain,” sebut Anna-Rose dengan wajah merah padam ketika menyebut nama panggilan lain ‘tunangannya’, Einar Lennon. “Hmm? Kalau begitu apakah ada potensi di dunia nyata untuknya berkembang?” goda Margaux. “Sssshh girls, kita harusnya tetap dalam karakter selama bermain di mansion ini.” “Oooh, dia tidak mau menjawab tuh, girls!” Bethany menggoda lebih lanjut. Hati Agrona hanya mencelos di tengah cekikik geli teman-teman perempuannya itu. Sejak awal memang dia tak pernah ada. Kutu buku darah lumpur yang tidak disukai banyak orang, Agrona sadar bukan pada tempatnya untuk mengumbar relasi yang sudah patutnya dirahasiakan.
*** Sekarang: Colt Mansion. Drawing Room. 15 April. 10:00 PM Masing-masing dari mereka telah menjelaskan karakter yang mereka terima dalam kartu undangan. Hanya saja, si pembunuh dapat berbohong, juga tak ada cara untuk mengetahui siapa dan bagaimana letak kebohongannya. Andai saja seseorang menyelipkan veritaserum ke ruangan ini, lebih mudah untuk tahu siapa yang benar-benar ‘bersumpah’. Atau pensieve, agar mereka semua bisa 17
Sub Rosa
memutar ulang apa yang terjadi terhadap Annemarie selama waktu makan, bukannya fokus memperhatikan Ambrose Sinyard. Pada kenyataannya, Ambrose pun tak tahu banyak. Yang diketahui Ambrose hanyalah apabila ada yang tergeletak setelah makan, dia harus mendeklarasikan bahwa kematian korban adalah akibat racun mematikan yang memakan waktu paling lama lima menit untuk bekerja. Sesekali, maneken robot akan keluar dari pintu kecil yang terhubung dengan ruang makan untuk mengantarkan foto, tulisan, atau petunjuk-petunjuk kecil yang membantu mereka memecahkan kasus ini. Sesekali, beberapa puzzle harus mereka pecahkan untuk mengungkap apa yang terjadi malam sebelum peristiwa ini. Hanya saja, tidak ada yang bisa memecahkan puzzle terakhir, puzzle kunci. Satu hal yang jelas, motif pembunuhan ini adalah ‘crime of passion’. Saat ini, setidaknya ada tiga tokoh yang paling mencurigakan dan paling masuk akal untuk memberikan racun kepada korban. Aegina Silverstein, sepupu korban yang duduk di hadapan korban selama waktu makan, Moses Carlton, yang duduk di samping kiri korban dan juga mantan tunangan korban, serta, Nathaniel Addington, teman kencan korban yang duduk di samping kanan korban. Nicole ‘Lana’ Marvelle tiba-tiba bangkit dari duduknya, menuju ke tengah ruangan. Berkarakter sebagai seorang ventriloquist wanita dengan boneka perempuan hinggap pada bahu kanannya, tampaknya Lana agak terlalu menjiwai perannya. Ia sekonyong-konyong menunjuk kepada Agrona. “Kamu belum mengatakan yang sesungguhnya.” “Maaf?” “Aku mendengar kamu mengancam korban semalam. Dia mengetahui rahasiamu, apa pun itu, malahan kau mengancamnya,” lanjut Lana. “Aku tidak mengancamnya. Aku hanya mengatakan padanya untuk berhati-hati mengucapkan konteks yang tidak pada tempatnya,” tangkis Agrona. Pupil matanya bergerak panik di dalam rongganya. “Apa itu?” “I can’t tell you. Tidak ada relasinya dengan permainan ini.”
18
Antologi 1820
“Very well then. Kalau kau tidak bisa mengungkapkannya, berarti kau patut dicurigai.” “Mrs. Winthorpe duduk tiga kursi jauhnya dari korban, Miss Marvelle,” kata Imogen Mannering. “Di antaranya dengan korban, ada Nathaniel Addington dan Mindy Deschannel. Bagaimana mungkin dia memberikan racun itu kepada korban?” “ASTAGA MERLIN!” Mindy memekik tiba-tiba, mengagetkan seisi ruangan. “Pelakunya Agrona!” Mindy melanjutkan teriakannya dengan ekspresi wajah horror. “Ak—apa? Hah?” Agrona menatap Mindy seakan dia sudah gila. “Oh, Millie yang malang!” sahut Mindy kembali menyebut nama tengah korban miris, semakin yakin. “Apa kau tidak mendengar kata-kata Mannering barusan?” dengus Shaquilla. “Aku ingat sekarang. Ketika kita semua mengambil paruhan dari puding labu itu. Aku memberikannya kepada Millie secara langsung tanpa melalui Nate, seperti ini—” Mindy memperagakan, “—dan aku menerimanya dari Agrona Mallon. Lengkap dengan sendok kecil!” “Jangan bercanda. Buat apa aku membunuh perempuan itu dengan racun? Lagi pula aku tidak ingat memberinya sendok kecil. Bukannya kamu yang melakukan itu, Mindy?” ujar Rona. “Tidak, tidak, kamu yang melakukannya, aku ingat. Lagi pula, kamu bilang, ‘berikan ini pada temanmu si Millie’ saat menyerahkannya.” Seisi ruangan ber-oooh. “Itu karena dia satu-satunya yang tidak mengambil puding di meja makan. Aku hanya berniat baik.” “Karena dia sedang diet. Wajar kalau seorang artis memotong kalori makannya. Tapi kau menyuruhku memberikannya pada Millie.” “Lah, kenapa kamu mau saja aku suruh?” “Karena aku tidak berpikir! Lagi pula aku teman yang baik dan merasa puding itu enak, jadi kuingin Millie mencobanya juga.” “Tidakkah kau yang sebenarnya melumuri sendok itu dengan racun? Aku tetap tidak ingat memberinya sendok ….” 19
Sub Rosa
“Tapi berdasarkan keterangan Lana, kau punya motif. Aku tidak. Kecuali kalau kau punya penjelasan apa yang kau bicarakan malam kemarin dengan Millie.” Agrona menatap satu per satu ekspresi penghuni ruangan itu setelah adu wicaranya dengan Mindy. Buntu dengan petunjuk yang ada, sebagian besar dari mereka tampaknya sudah teryakinkan bahwa Agrona pelakunya. Ia mengerling pada Einar Lennon, yang sudah mau angkat bicara, tetapi Agrona menggeleng pelan. “You’ll regret this,” gumam Agrona pasrah ketika Meredith Horsey menuliskan namanya ke surat suara dan memasukkannya ke dalam kotak. Lalapan api berwarna merah oranye membakar surat suara tersebut. Barisan maneken robot kembali masuk ke ruangan, membawa kerangkeng setinggi empat kaki yang menjulang ke langit-langit. Mereka memaksa Agrona masuk ke dalamnya, lalu menguncinya di dalam sebelum mundur kembali ke dalam sarang mereka di balik pintu ek. Detik selanjutnya seluruh ruangan menjadi gelap gulita, tetapi seluruh pintu terbuka, termasuk pintu lobi yang mempunyai akses ke lantai dua dan tiga tempat kamar-kamar mereka berada. Teriakan senang dan jotosan udara terpekik dari beberapa di antara mereka yang dengan senang hati menuju pintu utama, berharap jawaban mereka benar. Terbayang-bayang dalam kepala mereka hadiah seribu Galleon yang fana. Akan tetapi, di ruang utama mansion, kotak tempat pengumpulan tongkat sihir mereka masih kosong-melompong. *** Sesaat setelah semua telah meninggalkan Agrona sendirian, terdengar langkah kaki mendekat dalam gelap. Bau parfumnya yang familier membuat Rona melengkungkan senyum. “So. You’re not the killer, aren’t you?” “Of course not. They must be regretting it at this very moment. You read my invitation card back at home, didn’t you? You should have known!” 20
Antologi 1820
“You could’ve lied to me. Or brought a fake card to fool me.” “This lie wouldn’t be worth the trouble, Darling.” “Who do you think could’ve done it?” “... Mindy? I honestly did not recall relaying any spoon to her whatsoever .…” “These games are no fun. I don’t like seeing you behind the bars.” “Probably whoever arranges this overestimates our ability. We spent futile hours observing Sinyard, while he had not even the slightest idea. We couldn’t even solve the final puzzle. We’re all so useless.” Semalam, Annemarie Silverstein tidak sengaja melihat Agrona dan Einar berduaan, lalu mengkonfrontasi Agrona di depan kamarnya. Sesuatu yang mengejutkan mungkin karena selama di Hogwarts tidak ada yang pernah tahu mereka pernah dekat. Tidak sengaja Lana Marvelle mendengar Annemarie menghardik Agrona, mengira bahwa ini bagian dari skenario permainan, dan menjadi dasar bagi para peserta lain untuk mengkriminalisasikan Agrona. Sungguh tidak tepat sasaran. Pada dasarnya panitia reuni tahun ini keterlaluan, membuat permainan yang terlampau sulit bagi otak-otak malang alumni angkatan 1820 yang dangkal …. “That, I cannot refute.” Tawa si pria. Mereka berdua terkekeh kecil. Agrona menatap cahaya yang memancar dari kedua bola mata Einar Lennon yang mendekat padanya, magnetik bagai menghirup candu. Ia meraih tangannya di antara jeruji besi. Berjinjit dalam kegelapan, ia mengecup bibir kekasihnya dengan sayang. Ringkas, sebelum orang-orang kembali berduyun-duyun masuk ke ruangan mereka berada, mengeluhkan kembali siapa sebenarnya pelakunya. Namun, kini momen sesaat ini milik mereka. In secret, under the shadows, and through their souls. **** “I love you as certain dark things are to be loved, in secret, between the shadow and the soul.” Pablo Neruda, ‘100 Love Sonnets’ 21
Four seasons ~ Kisah Romeo dan Juliet tiba-tiba saja terlintas di kepalamu. Kisah yang begitu romantic, tetapi berakhir amat tragis. Satu hal yang kini kau percaya, kisahmu dengannya tidak akan berakhir seperti itu.
Antologi 1820
Ditulis oleh ANNEMARIE SILVERSTEIN
The four seasons come and go I gave you my winter and summer too You were my world but I will let you go Did I even really love you? ***
K
au termenung, tatapanmu seakan nanar. Dinginnya salju yang deras turun bahkan tak lagi terasa menusuk, kalah telak dengan ucapan gadis pirang yang masih tersenyum di hadapanmu dengan begitu manisnya. Perlahan, kau meraih jemari sang puan, mengecupnya berkali-kali. Logikamu tidak bisa memercayai apa yang ia katakan. 23
Four Seasons
Lebih tepatnya, kau tidak mau percaya. Mata kelabu gadis itu bahkan tampak bercahaya, sesuatu yang amat bertolak belakang dengan apa yang harus kau hadapi. Bagaimana mungkin, gadis itu tidak tampak terluka? Mengapa harus kau satu-satunya yang terluka di sini? *** Musim panas tahun lalu kau bertemu Annemarie Silverstein untuk pertama kali. Kau tidak tertarik, ia seperti gadis cantik dan kaya pada umumnya: populer dan terkesan palsu. Bahkan dari gaya berpakaiannya kau bisa menilai berapa puluh ribu euro yang ia habiskan setiap bulan. Sungguh, kau begitu yakin gadis itu hanya peduli dengan dirinya sendiri. Terlebih lagi ‌. Bagaimana mungkin seseorang bisa tahan tersenyum seharian? Bagaimana mungkin ia tidak lelah terus berpura-pura bahagia? Dalam hatimu, kau sudah menyematkan gelar Gadis Ular untuk perempuan yang bahkan tidak kau kenal. Palsu, teramat palsu. Kau menolak berada satu tempat dengannya, kau menolak meluangkan waktu untuk mengenalnya lebih. Meski kau mendengar begitu banyak pujian tentang bagaimana gadis itu memperlakukan orang dengan begitu baik, bagaimana gadis itu berbeda dari gadis-gadis pirang bergelimang harta pada umumnya— —kau tidak mau percaya. Lihat saja, bagaimana gadis itu selalu dikelilingi sekelompok perempuan yang membuat Annemarie seakan menjadi pusat dari segala perhatian. Menyesakkan, menggelikan. Kau perlahan mengasihani teman-teman Annemarie yang dalam hati kau sebut Para Pengikut Si Gadis Ular. Suatu saat pasti gadis-gadis itu akan menyesal berteman dengan gadis yang memiliki begitu banyak wajah yang mati-matian disembunyikan. Namun, memang sudah kehendak semesta untuk membuatmu menarik kembali segala sesuatu yang kau pikirkan tentang Annemarie Silverstein, saat kau tak sengaja menemukannya duduk bersama dengan seorang anak yang terlihat lusuh, tetapi anak itu tampak begitu bahagia kala menghabiskan es krim yang
24
Antologi 1820
Annemarie belikan. Selama ini kau tidak percaya atas kebaikan Annemarie yang sering kali disebut oleh orang-orang. Akan tetapi, apa yang kau lihat membuatmu percaya. Matamu bertemu dengan milik Annemarie. Dapat kau lihat gadis itu tersenyum dengan begitu manisnya kepadamu. Hanya padamu, bisik batinmu kala itu. Senyuman yang dulu selalu kau anggap palsu, entah mengapa membuat hatimu berdebar, sekaligus terasa hangat. Bagaimana mungkin Annemarie bisa membuatmu merasakan hal ini? Sesuatu yang tak pernah kau rasakan sebelumnya? Bagaimana mungkin? *** When did it become spring? That's right, for a long time we were like Shakespeare's play; Like we were met with our final love We could only see each other Now I want something new *** Musim semi hadir tanpa kau sadari. Sudah dua musim kau habiskan dengan Annemarie. Akhirnya kau mengenalnya lebih. Akhirnya, kau memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan. Musim gugur kala itu. Kau ingat betul percakapan di taman kecil di depan Shakespeare and Co, saat tanganmu dan tangan Annemarie sama-sama penuh memegangi cangkir kertas berisi caramel macchiato panas. Sengaja, agar tak terasa begitu dingin kala menikmati sekelompok pemusik yang menyanyikan lagu berbahasa Inggris di pelataran toko buku. Masih kau ingat ketika itu, Annemarie duduk di sebelahmu dan menyandarkan kepalanya ke pundakmu. Suasana yang biasanya setiap hari kau lewati kini terasa berbeda, teramat syahdu 25
Four Seasons
untuk tidak kau nikmati setiap detiknya. Kau lantas memberanikan diri untuk mengajaknya berkencan. Annemarie? Gadis itu hanya tersenyum, lantas menjawab dengan sebuah kecupan. Jika mengingat momen itu, kau masih tidak bisa percaya. Gadis yang dulu kau anggap palsu, kini menjadi kekasihmu. Hari-hari bersamanya membuatmu sadar apa yang selama ini kau butuhkan. Kelopak bunga berwarna merah muda yang jatuh tepat di telapak tanganmu membuyarkan lamunan. Betapa dua musim ini kau jalani dengan begitu bahagia. Ada Annemarie yang selalu menghiburmu di kala kau sedang lara, ada Annemarie yang mendengarkanmu di kala kau sedang gundah. Keberadaan Annemarie tak pernah kau pikir akan begitu berarti. Meski ia berada di sampingmu tanpa mengucapkan sepatah kata, dan kau hanya terdiam di sisinya, bagimu itu sudah cukup. Kau tidak bisa percaya bagaimana Annemarie kini menjadi amat sangat berarti dalam hidupmu. Jika ada yang harus kau sesali dalam hidupmu setahun ke belakang adalah bagaimana kau bisa dengan mudah menilai gadis dari Bordeaux ini hanya sebatas dari penampilannya saja. Kau kini sadar—atau bahkan percaya—akan hatinya teramat murni. Tanpa sepengetahuannya kau sering kali merutuki diri sendiri. Seandainya saja kau sudi meluangkan waktu untuk berkenalan dengannya dulu, seandainya saja kau tidak dengan mudahnya menilai Annemarie sebagai gadis palsu, mungkin kau akan merasakan kebahagiaan ini dari awal. Seseorang melambaikan tangannya, lantas berlari untuk memelukmu. Kau dapat melihat senyumannya yang begitu cerah saat gadis itu menuju ke arahmu. Dengan senang hati kau balas memeluknya. Erat, karena sosoknya yang begitu spesial. Dan satu hal yang kau rasakan, bahwa Annemarie pun memperlakukanmu secara spesial pula. Musim semi di Paris yang biasanya kau lewatkan seorang diri, kini kau habiskan bersama Annemarie. Kau sulit untuk percaya bahwa akhirnya, kau setuju dengan apa yang orang bilang bahwa Paris adalah kota yang penuh cinta. *** 26
Antologi 1820
I gave you the world Because you were my everything I gave you my winter and summer too In those hot and cold seasons Did I even really love you? *** Musim panas tahun lalu dan tahun ini berbeda. Kini, ada perempuan yang kau prioritaskan dalam hidupmu. Di acara musik tahunan yang sering kali diadakan kampus untuk menyemarakkan Summer University ini, Annemarie bilang ia diminta untuk bernyanyi. Kau dengan senang hati datang untuk menonton—meski tentu saja, ini bukan kali pertama kau mendengarnya menyenandungkan lagu. Malammalam di studio bernuansa putih di daerah Marais menjadi saksi bisu betapa Annemarie sering kali tertawa dan menghentikan petikan gitarnya, kala kau berusaha bernyanyi, tetapi terdengar sumbang. Berbeda dengan Annemarie yang suaranya merdu, kau tidak bisa bernyanyi. Akan tetapi, tembok putih-abu itu tidak hanya menjadi saksi atas tawa kalian, melainkan juga teriakan, makian, dan segala hal yang membuat kalian berdua ingin berpisah. Bagaimana kalian tidak seharusnya bersama, bagaimana kalian menjadi begitu egois untuk satu sama lain. Namun, begitu cinta itu tumbuh, membuatmu percaya hubungan ini harus dipertahankan, Bahwa Annemarie harus kau pertahankan. Apa pun yang terjadi. Kau percaya Annemarie pantas kau pertahankan. Perlahan kau menyerahkan sepenuh hidupmu untuknya seorang. Kau luangkan lebih banyak waktu untuknya, kau lebih sering menyetujui pendapatnya ‌ Apa pun kau lakukan demi membuatnya tersenyum. Apa pun. Karena senyumannyalah yang dapat membuat hatimu hangat. Senyumannyalah yang membuatmu terasa penuh. Tak pernah sekali pun kau menyesal telah mengalah karena kau pun merasa Annemarie tak pernah terlampau egois.
27
Four Seasons
Gadis itu masih tertidur di sampingmu. Tenang dan damai, membuatmu tanpa sadar menatapnya begitu dalam. Bayangan akan kehilangan sang puan bahkan sudah membuatmu sesak setengah mati. Tidak mau kau bayangkan suatu saat itu benar-benar terjadi. Annemarie adalah duniamu, sebagaimana ia pernah berkata bahwa kau adalah dunianya, di mana kau berputar sebagai porosnya. Kau percaya apa yang ia katakan, kau juga bahagia tak kepalang. Tidak ada yang lebih menyenangkan untukmu detik ini selain pengakuannya. Hanya Annemarie yang berarti di hidupmu detik ini. Toh, sudah kau habiskan tiga musim bersamanya. Musim panas, musim dingin ‌. Tidak ada alasan untuk tidak memercayai gadis itu sebagaimana yang ia lakukan dahulu. Sesosok pirang yang amat kau kenal menaiki panggung. Kau sadar betapa populernya gadis itu. Lihatlah, sambutan yang ia dapatkan begitu riuh. Ada rasa bangga yang terpancar dari senyumanmu. Dirimu ingin berteriak bahwa yang ada di atas panggung sana adalah gadismu. Milikmu. Petikan gitar akustik dan suara yang sudah amat kau kenali mengalun merdu, membuat kerumunan di sekelilingmu menari-nari kecil mengikuti irama. Kau pun turut tenggelam, menikmati setiap nada. Sembari menatap gadismu di panggung, kau perlahan sadar: betapa perasaanmu padanya tumbuh seiring musim yang berganti. Betapa kau ingin menghabiskan sisa hidup dengannya seorang. Namun, kau tidak percaya kau bisa. Bagimu Annemarie adalah duniamu dan masih seperti itu. Namun, meski Annemarie sudah menyebutkan betapa kau adalah segalanya, ketidakpercayaan dirimu mendadak muncul. Bisakah kau menjadi dunianya? Kau tidak percaya bahwa kau adalah yang terbaik untuknya. Tiba-tiba saja kau terdiam, berdiri kaku di tengah lautan manusia yang tengah bersenang-senang. Perasaanmu kelu kala pemikiran bahwa kau tidak bisa bersama dengan Annemarie seumur hidupmu tidak dapat hilang dari benak. Bahkan kau melewatkan senyuman Annemarie yang ia berikan dari atas panggung untukmu karena terlalu terhanyut dalam pikiran sendiri.
28
Antologi 1820
Sebisa mungkin kau hilangkan segala ragumu dan kembali mengikuti alunan nada. Kau terkejut kala melihat penyanyi di atas panggung sudah berganti. Annemarie kini mencoba menerobos kerumunan, menuju ke arahmu. Ah, sudah berapa lama kau termenung, hingga tak sadar gadismu kini sedang memelukmu erat? “T'inquiète pas.” 1 Gadis itu berkata dengan suara pelan, nyaris serupa bisikan. Namun, entah mengapa, di tengah teriakan orang-orang ini kau bisa dengan jelas mendengarnya. Dan dalam sekejap, segala ragumu hilang. Pundakmu terasa ringan, hatimu pun terasa tenang. Seakan bisa mengetahui apa yang kau pikirkan, Annemarie kemudian berkata, “Je serai toujours avec toi.” 2 Kau tersenyum lantas balas memeluk Annemarie erat. Seakan jika kau lepaskan, gadis itu benar-benar akan pergi, sementara kau akan tertinggal seorang diri. Kau, tentu saja tidak mau itu terjadi. Kisah Romeo dan Juliet tiba-tiba saja terlintas di kepalamu. Kisah yang begitu romantis, tetapi berakhir amat tragis. Satu hal yang kini kau percaya, kisahmu dengannya akan tidak akan berakhir seperti itu. Kisahmu dengan Annemarie tidak akan berakhir. *** We missed each other We are sick of each other Those long days and nights Before I rust Let's shine again The two seasons are changing ***
1 2
Don’t worry I will always be with you
29
Four Seasons
“Tu me manques, beaucoup.â€? 3 Suara Annemarie di ujung sana membuatmu menghela napas. Sudah beberapa hari ini kau tak terbangun di sebelah gadis itu. Sudah beberapa hari pula kau tidak memeluknya. Tanpa perlu Annemarie berkata, kau paham betapa kalian merindukan satu sama lain. Setelah berpisah beberapa minggu darinya, kau sadar betapa kehadiran Annemarie begitu berarti untukmu. Kau kini benar-benar percaya bahwa adalah dirinya yang kau inginkan dalam hidup. Yang lain seakan fana, tetapi menjadi kentara jika ada Annemarie berada di sampingmu. Perjalanan darat dari Nice ke Paris seakan kau lewati berhari-hari jika kau penuh sesak oleh rindu. Kau rindu membuat Annemarie kesal dengan menghabiskan es krim rasa wortel dan arbei kesukaannya di Une Glace Ă Paris. Kau rindu duduk-duduk bersama di pelataran Pompidou sembari menertawakan turis-turis yang memenuhi tangga berjalan museum ternama itu. Kau rindu berlomba-lomba menghabiskan yakitori di restoran jepang setelah belanja kebutuhan harian di Carrefour; suatu tempat yang Annemarie sukai karena murah dan enak, juga dekat dari rumah. Kau rindu berjemur di Champ de Mars sembari menikmati anggur yang selalu dibawakan nenek Annemarie dari Bordeaux. Kau rindu mencium gadis itu kala lampu malam Menara Eiffel berkelap-kelip, seperti apa yang turis-turis itu lakukan bersama sang kekasih. Setelah mengenal Annemarie, setiap sudut Kota Paris memiliki kenangan tersendiri. Bahkan di tempat-tempat yang tidak pernah kau bayangkan sebelum memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota yang dikenal penuh romansa ini. Tidak melulu bahagia, memang. Kadang kau pun muak karena terlalu kerap mengalah. Namun, saat kau rindu kenangan buruk tidak pernah dan tidak akan pernah berarti. Yang kau pikirkan detik ini adalah bagaimana caranya agar bisa segera sampai dan memeluk gadis yang tak bisa kau hilangkan dari benak. Sembari fokus menyetir, kau tersenyum sesekali. Kau sudah sejauh ini dengannya. Kau lalu melirik sebuah kotak kecil di kursi penumpang, sesuatu yang kau yakin akan membuat Annemarie senang kala menerimanya.
3
I miss you so much
30
Antologi 1820
Namun, skenario apa yang harus kau lakukan untuk meminangnya? Tidak mungkin, kan, gadis yang begitu berharga kau perlakukan biasa saja? Akhirnya kau sudah memutuskan untuk meminangnya di tempat kau mengajaknya berkencan. Bukankah tempat itu yang berarti untuk kalian berdua? *** You can go When you're about to look back, I won't be there We were such a damn good couple That's enough When you leave *** Kau berpikir ini adalah harinya. Kau percaya itu. Kemarin malam kau menghabiskan waktu dengan Annemarie, melepas segala rindu. Dan kini, kau menikmati makan malam yang sederhana: McDonald’s di Rue de Rivoli, tempat kasual yang sama-sama kalian sukai. Annemarie duduk di hadapanmu, masih dengan senyumannya yang luar biasa manis. Matanya masih sama bercahaya. Karenanya kau pun percaya, perasaan Annemarie masih tetap sama, tidak ada yang berubah. Kau ceritakan semua perjalananmu di Nice dan bagaimana akan begitu menyenangkan jika Annemarie berada di sana. Sebagaimana kota-kota di French Riviera, cuaca Nice tentu lebih hangat dibandingkan Paris yang jauh dari Laut Mediterania. Meski Annemarie sudah pernah ke sana, tetap saja ia iri. Kau lantas berjanji akan kembali lagi ke sana bersamanya, tetapi Annemarie hanya tersenyum. Dan kau, balas tersenyum karena kau bersungguh-sungguh dengan apa yang kau katakan. Kau mengajak Annemarie berjalan-jalan menikmati suasana malam Kota Paris. Dari Rue de Rivoli, kau mengajaknya berbelok untuk menyusuri Rue de la CitÊ. Kau sadar Annemarie tahu ia akan dibawa ke mana. Tempat bersejarah untuk kalian berdua, Shakespeare and Co dan segala pikatan manisnya sudah menanti. Perlahan kau memastikan kotak kecil berwarna biru 31
Four Seasons
tiffany itu masih terjaga dengan baik di dalam saku. Kau tak ingin merusak malam yang akan menjadi amat berarti untukmu dan untuk gadis yang kau cintai sepenuh hati ini. Ah, bagaimana reaksi gadis itu nanti? Akankah dia menangis? Kau tersenyum karena pikiranmu sendiri, tetapi cepat-cepat kau buat senyumanmu itu tidak kentara. Ketika tiba di jembatan yang berada tepat di samping Notre-Dame de Paris, Annemarie melepaskan genggaman tanganmu. Ia menatapmu sejenak sembari tersenyum, sebelum bertopang dagu menatap bagian kecil Sungai Seine yang dibelah île de la cité. Helai rambut pirangnya terkena angin. Sebuah pemandangan yang membuat Annemarie terlihat begitu cantik di matamu. Kau ikut memperhatikan Seine, kedua tanganmu berada di dalam saku mantel. Udara dingin dan benar saja, salju turun. Kau mendongak, menatap serpihan putih yang jatuh dari langit gelap. Padahal salju jarang sekali turun di Paris, mengapa harus hari ini? Mengapa harus malam ini? Kau memakaikan tudung jaket kekasihmu agar ia tidak kedinginan, kemudian bergerak untuk mendekapnya. Annemarie hanya diam, tidak balas memeluk seperti biasanya. Namun, kau tidak menganggap itu hal aneh. Kau hanya berpikir mungkin Annemarie kedinginan sehingga ia tetap menaruh tangannya di dalam saku. Sampai tiba-tiba saja Annemarie melepaskan diri dari dekapan, kemudian tersenyum padamu dengan mata kelabunya yang terlihat mengilat. “Apa aku pernah benar-benar mencintaimu?” Kau terhenyak, sama sekali tidak mengerti mengapa gadis itu berkata demikian tanpa menghilangkan senyuman dari wajahnya. Perlahan kau genggam kedua jemari Annemarie erat-erat, kau pun tersenyum menatapnya. “Kau sedang latihan untuk peranmu di opera nanti?” tanyamu, yang dibalas oleh gelengan kepala Annemarie. Tiba-tiba kau merasa hatimu sedang diremas begitu kencangnya. Sesak. Sakit. Apa maksud perempuan yang membuatmu begitu mencintainya ini? “Mais moi je t’aime.” 4
4
But I love you
32
Antologi 1820
Gadis itu tersenyum, mengangguk perlahan lantas kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Tapi apa aku pernah benar-benar mencintaimu?” Salju masih turun, tetapi genggaman jemari dan senyuman Annemarie yang biasanya menghangatkan kini lebih dingin dari salju yang berjatuhan. Kau terdiam, sama sekali tidak membayangkan hal ini akan terjadi. Dalam waktu yang singkat kau putar ulang empat musim yang kau lewatkan bersama Annemarie dan satu fakta membuat tatapanmu berubah nanar. Tak pernah. Sekali pun. Annemarie berkata ia mencintaimu. Tak pernah. Meski orang-orang begitu memuji hubungan kalian berdua, meski sudah tak terhitung berapa malam yang kau dan Annemarie habiskan bersama, pun pelukan dan kecupan yang kalian bagi, kau baru sadar tidak pernah mendengar dari bibir Annemarie yang penuh senyuman itu bahwa ia mencintaimu. Perlahan, kau meraih jemari sang puan, mengecupnya berkali-kali. Logikamu tidak bisa memercayai apa yang ia katakan. Lebih tepatnya, kau tidak mau percaya. Kau merasa begitu terluka, tetapi tidak dengan Annemarie yang tersenyum dan matanya penuh binar. “Apa aku pernah mencintaimu?” Jangan, hati kecilmu memohon, jangan katakan itu lagi. Sementara Annemarie di hadapanmu tersenyum. Perlahan ia melepaskan genggaman tanganmu yang begitu erat. “Sudah sampai di sini saja ya, hubungan kita.” Gadis itu lantas berbalik. Bahkan tidak memberimu kecupan perpisahan. Ia pergi, meninggalkanmu seorang diri di tengah salju, di tengah malam Kota Paris yang kini semakin dingin. Duniamu runtuh dalam hitungan detik. ***
33
Four Seasons
The four seasons come and go I gave you my winter and summer too You were my world but I will let you go Did I even really love you? Did I love you? ****
34
CompunctIon ~ Ini semua salahku. Tidak masalah kalau cuma aku.
PERINGATAN Mengandung konten terkait ide bunuh diri. Bila merasa tidak nyaman, harap melewati cerita ini.
Compunction
Ditulis oleh SHAQUILLA WILCOX
“K
enapa kau ingin mati?” “Apa duniamu semembosankan itu?” “Hei, jawab.” ***
BRUK. “SHAQUILLA WILCOX.” Selain rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat terjatuh dari tempat tidur, teriakan mama barusan membuat kesadarannya kembali. Shaquilla duduk bersandar pada sisi tempat tidur, memikirkan mimpi yang sudah tiga kali 36
Antologi 1820
berturut-turut menghantuinya. Mimpinya itu terasa nyata, seolah ia bisa merasakan tubuhnya remuk ketika menghantam tanah. “SHAQUILLA!” “Iya, aku datang,” desahnya pelan. Setelah beringsut mandi, ia menuju meja makan. “Pagi,” sapanya pendek pada seluruh anggota keluarganya yang sudah siap untuk sarapan. Mama mulai membagikan makanan dari seberang meja. “Cabang perusahaan keluarga kita di salah satu negara Asia berkembang pesat jauh di luar dugaan, lho.” Anthony, salah satu kakak tirinya, bercerita memecah kesunyian. “Bagus!” Papa tersenyum hangat. “Aku akan ikut serta dalam pertukaran mahasiswa ke Jepang beberapa bulan lagi.” Zivanna, kakak tiri satunya, berceloteh. “Hebat!” Senyum hangat itu masih setia bertengger di wajah papa. Ah, Shaquilla lupa kapan terakhir kali mendapatkan senyum hangat seperti itu. Kalau tidak menolak tawaran untuk mengikuti olimpiade matematika tahun lalu, mungkin sikap papa tidak akan jadi sedingin ini. “Aku berangkat dulu.” Seketika dadanya terasa tertusuk oleh tatapan tajam milik kepala keluarga Wilcox. Si bungsu memutuskan untuk cepat-cepat keluar dari rumah supaya dadanya tidak bertambah sesak. *** “Hei anak pintar.” Ann Anderson tersentak, buku yang dibawanya kini berserakan di lantai dan gadis itu buru-buru kembali mengumpulkannya. “Lihat, dia masih punya telinga. Tapi dia tidak menanggapi panggilanmu, huh?” sahut sebuah suara yang terasa semakin mendekat. Kumohon, jangan ke sini, Ann terus berbisik dalam hati. “Wah, aku merasa sakit hati karena sudah diabaikan oleh anak terpintar di sekolah ini.” Suara lain menyahut dengan nada dibuat-buat. Ann mendongak setelah selesai memunguti buku dan mendapati Mindy Deschanel serta Agrona Mallon berdiri angkuh di hadapannya. “Ta-tapi 37
Compunction
kalian tidak memanggil namaku,” cicitnya berusaha membela diri. Ia tahu usahanya akan sia-sia karena mereka akan menganggap ucapan anak miskin sepertinya hanyalah angin lalu. “Hahahaha,” kekehan Mindy dan Agrona terdengar murka. BRAK! Detik berikutnya, Ann meringis kecil karena lagi-lagi tubuhnya harus merasakan kerasnya loker yang ada di lorong ini. “Kau ….” Ia berusaha mengumpulkan oksigen banyak-banyak karena lehernya dicengkeram kuat-kuat. Namun, tiba-tiba aksi mereka terhenti begitu saja membuat tubuhnya merosot ke lantai dengan buku-buku berserakan di sekitar. Ann melihat sebuah tangan familier terulur di depan wajahnya, tetapi ia memutuskan untuk menepis bantuan itu dengan kasar. Ia benci dengan uluran tangan. Ah, tidak, tepatnya ia benci dengan gadis yang mengulurkan tangan itu. “Aku tidak butuh bantuan darimu!” ia berseru dengan penuh kebencian, kemudian mulai membereskan lagi buku-bukunya dan bangkit. Ia bersiap meninggalkan gadis itu sebelum rasa bencinya semakin tidak bisa dikontrol. “... apa aku pernah berbuat salah padamu?” Ann menghentikan langkah begitu suara lembut seorang gadis terdengar. Ah, rasanya sudah lama sekali suara itu tidak didengarnya, sejak hari itu. Ia menoleh ke belakang. ”Kau … pikir sendiri saja, Wilcox.” Kemudian langkahnya dipercepat menuju kelas. Ann …. Shaquilla Wilcox menatap nanar kepergian Ann Anderson selama beberapa sekon, sebelum akhirnya tersadar bahwa ia harus segera ke ruang guru. *** “Pak Horsey, kumohon.” Suara lirih itu langsung memenuhi indra pendengaran Shaquilla begitu membuka pintu ruang guru. Itu suara Hestia Harkness, salah satu teman sekelas yang sangat dikenalnya. “Kurasa kau salah tempat, Nak, silakan hubungi guru konseling saja.” Hestia mendesah, mencengkram erat ujung roknya. Kalimat balasan dari Pak Horsey sama sekali tidak membantu. Ia sudah menemui Bu Walcott 38
Antologi 1820
dua hari yang lalu, tetapi ia disuruh berbicara dulu ke wali kelasnya. Ia kesal, sedih, marah, kecewa. Ia merasa seperti bola kasti yang dilempar ke sana-sini, padahal apa yang disampaikannya tadi sudah masuk ke dalam ranah pelecehan seksual. Sayangnya, ia tidak pernah sempat mengumpulkan bukti pendukung di tengah kereta yang penuh—tempat kejadian pelecehan itu. Hestia menyesalkan mengapa Pak Horsey tidak bisa membayangkan jika ada yang menyentuh bagian pribadi tubuhnya. Kira-kira bagaimana gurunya itu akan bereaksi, apakah akan diam saja? Ia tidak punya kuasa lebih untuk menyuarakan isi kepalanya. Ia undur diri, tetapi sempat beradu pandang dengan biru milik Shaquilla. *** Lynette Millford menghela napas berat saat mengarahkan iris hijaunya ke layar ponsel. Komentar-komentar negatif terus saja berdatangan ke salah satu jejaring media sosial yang ia miliki, seperti jamur yang merebak di musim hujan. Kalau tidak ingat saat ini dirinya sedang berada di lingkungan sekolah, mungkin ia akan berteriak sekencang yang dia bisa. “... ah, ternyata ada orang,” ucap Shaquilla dari ambang pintu. Lynette menoleh ke belakang dan menemukan Shaquilla yang terlihat murung, tidak seperti biasanya. Lynette dibuat sedikit penasaran, tetapi bertanya langsung bukanlah gayanya—entah bagaimana caranya ia bisa tahu tujuan Shaquilla datang kemari. Pasti, untuk menyendiri. Siswa-siswa lain tahu kalau ruang kelas bekas tempat latihan Klub Musik yang kini dibiarkan begitu saja merupakan tempat menyendiri nomor wahid. Banyak yang datang dan pergi sesuka hati hanya untuk menyendiri jika atap sekolah dirasa terlalu melelahkan untuk dijangkau. “Maaf kalau menganggu.” Seolah ada garis privasi yang menjadi pembatas, Shaquilla melangkah mundur dan kembali menutup pintu tersebut. “Untung belum kukeluarkan …,” gumam Lynette. Ia lalu merogoh sesuatu dari saku dalam blazer yang dikenakan. Pintu kembali berderit, kali ini suaranya dua kali lebih kencang ketimbang sebelumnya. Seorang gadis berambut tebal berlari masuk untuk buru39
Compunction
buru merebut lalu melempar cutter yang ada di tangan Lynette jauh-jauh ke sudut ruangan. “Sudah kubilang jangan pernah melampiaskannya dengan menyiksa dirimu sendiri, Lynette.” Gadis itu menatap sedih pergelangan tangan Lynnete yang tertutup manset, lalu mendekap erat tubuh ringkih itu. Lynette tidak protes, justru kelihatan sedikit menikmati kebersamaan mereka. Kepalanya mendongak, menatap gadis ber-name tag Bethany Millard itu dengan sebuah senyum tipis yang terulas di wajah. *** “Kamar—” Shaquilla meringis saat seseorang menubruk salah satu bahunya dengan keras. Matanya menatap lurus ke arah seorang gadis yang terlihat begitu tergesagesa dan entah kenapa terasa familier. Didorong rasa penasaran, kakinya mengikuti langkah gadis itu dari kejauhan, melupakan tujuan awalnya ke rumah sakit untuk menjenguk Bibi Bella yang baru saja melahirkan anak ketiga. “Lana?” bisiknya, mengintip dari balik dinding terdekat. Lana terlihat tengah membicarakan sesuatu dengan wanita muda yang ia kenal sebagai sulung Marvelle. Shaquilla memang tidak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka, tetapi jika menebak dari ekspresi keduanya sepertinya itu pembicaraan yang menguras hati. Kemudian seorang pria paruh baya dengan jas berwarna putih keluar dari sebuah ruangan dengan raut wajah menyesal; membuatnya semakin bertanya-tanya. Ia pernah dengar selentingan kabar ayah Lana sakit parah berbulan-bulan lalu ... mungkinkah? Jerit sang dara Marvelle diiringi isak tangis seperti menjadi jawaban atas segala rasa penasarannya. “Lana? Kau baik-baik saja?” Shaquilla keluar dari tempat persembunyiannya, memberi sebuah rangkulan sebagai bentuk dukungan. Akan tetapi, rangkulannya ditepis kasar. Alih-alih tatapan hangat yang didapatnya adalah tatapan benci. “AKU TIDAK BUTUH BELASUNGKAWAMU!” Dengan emosi yang meledak40
Antologi 1820
ledak, gadis itu meluapkan semuanya. “Kau puas sekarang karena aku mendapat karma?” Shaquilla menggeleng, dadanya mulai terasa sesak. Kemudian semua hal tidak menyenangkan yang diperbuat sang gadis Marvelle ketika tahun pertama SMA kembali terputar di benaknya. Meski sakit hatinya belum sepenuhnya hilang, ia sudah tidak mau ambil pusing akan kejadian itu. “Jangan sebarkan kematian ayahku pada siapa pun.” Seperti roller coaster—ada saatnya naik dan turun, sekarang nada suara gadis di hadapannya mulai berubah lirih. “Bisakah kau kuberi kepercayaan setelah aku berkhianat?” Shaquilla Wilcox tidak tahu harus berbuat apa. *** H-sekian menjelang hari kelulusan dan para murid masih juga diharuskan mengisi daftar presensi yang katanya masih berjalan. Shaquilla menghela napas berat, merasa bosan karena tidak tahu harus berbuat apa di dalam kelas. Ia tidak terlalu suka bermain ponsel saat di dalam kelas, hasil didikan papa yang selalu memberi tahu supaya tidak kecanduan dengan benda itu. Ia melirik sekitar, teman-temannya yang lain sibuk membentuk kelompok-kelompok kecil dan mulai terlibat percakapan seru. Sejujurnya ia ingin sekali bergabung, tetapi teman-temannya sama sekali tidak memberinya celah untuk menyelipkan diri di tengah-tengah mereka. Ponselnya bergetar, sebuah notifikasi grup kelas muncul di layar. “E-eh?” Kedua matanya melebar dan ia nyaris berteriak kalau tidak cepat-cepat menutup mulut. Sekitarnya kini mulai dipenuhi kasak-kusuk, menggunjingkan kabar mengejutkan yang baru saja diterima. “SHAQUILLA WILCOX.” Ia tersentak begitu suara Nicole Marvelle mengudara, membuat seisi kelas berada dalam keadaan hening selama beberapa saat. “Tolong ikut aku keluar sebentar.” Shaquilla, Kila, yang tidak punya pilihan lain, mengekor si gadis Marvelle dari belakang. Melewati tatapan-tatapan tidak menyenangkan dari mereka yang ada di kelas.
41
Compunction
“Katakan padaku, apa maksud tulisan di grup ini?” Lana buka suara setelah yakin koridor yang ia pilih benar-benar sepi dan bersih dari murid lain. “Kau yang menyebarkan?” “Kenapa langsung tuduh begitu?” Merasa tidak terima, Kila menyangkalnya. “Kenapa kau t—” “Karena satu-satunya orang yang tahu kejadian kemarin itu dirimu! Cuma kau! Cuma kau, Shaquilla Wilcox!” Dada Lana mulai terasa sesak, seperti dihimpit batu besar di sisi kanan dan kiri. “Aku tahu, kau pasti mau balas dendam.” “Bukan be—” “KALAU BUKAN DIRIMU, LANTAS SIAPA?!” Sebuah tamparan mendarat di pipi. Jika saat ini berada dalam kelas, sudah pasti mereka akan menjadi tontonan menyenangkan tiap jiwa penyuka keributan yang ada di sana. Kila mendengus, merasakan perih yang mulai merambat. Padahal pipi kanan yang ditampar, entah kenapa rasa perihnya ikut merambat sampai ke hati. Keduanya sama-sama bungkam, membiarkan keheningan mengambil alih untuk waktu yang cukup lama. “Terserah kau mau menuduh sampai mulutmu berbusa, aku tidak peduli.” Kila mengangkat kepalanya, berusaha keras mempertahankan ekspresi datar seperti sebelumnya meski susah sekali karena hatinya terasa tak keruan. “Bukan. Aku. Yang. Menyebarkan. Berita. Itu. Permisi, Marvelle.” Setelah melanjutkan kalimat penuh penekanan, ia menyingkir dari hadapan Lana. Dari balik dinding yang tidak jauh dari mereka, ada sepasang mata yang mengamati sejak keduanya keluar dari kelas. Dengan senyum penuh kemenangan yang terulas di wajah, sang pemilik mata tersebut kembali memusatkan pandangan ke arah layar ponsel. “Leighton, kenapa di sini?” Sebuah suara membuyarkan kesenangannya, tetapi gadis ber-name tag Leighton Colt itu tidak membiarkan umpatan keluar dari mulutnya. “Ah, aku ada urusan sedikit tadi. Mau masuk ke kelas bersama?” ***
42
Antologi 1820
Sesampainya di atap sekolah, Ann langsung menghampiri sosok yang sudah lebih dulu berada di sana. Bersedekap dan memasang ekspresi tidak suka. “Ada apa, Wilcox? Cepat katakan, aku sibuk.” Sejak kejadian itu, entah kenapa Ann benci sekali dengan gadis di hadapannya. “Apa kau marah karena waktu itu?” Yang ditanya malah mendengus keras-keras. ”Apa aku perlu menjelaskan semuanya secara rinci, Wilcox?” Sejak awal pertemuan mereka sudah salah. Dan semakin salah saat keduanya tahun lalu memutuskan mengikuti seleksi mewakili sekolah dalam olimpiade matematika. Awalnya semua berjalan sesuai keinginan hingga ibunya jatuh sakit dan Ann mulai harus pintar-pintar mengatur jadwal belajar serta merawat sang ibu. Di saat seperti itu, ia ingin menyerah saja. Namun, tiba-tiba rivalnya mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. “Kalau kau tidak mundur, kalau aku tidak maju ke olimpiade itu … mungkin ibuku tidak akan meninggal.” Dengan ekspresi wajah tidak keruan, Ann menatap lawan bicaranya. “Kau tahu ‘kan, sejak ayahku kabur, kami hanya tinggal berdua. Lalu saat ibu jatuh sakit, otomatis hanya aku yang merawatnya. Dan—” suaranya mendadak tercekat di tenggorokan. Bukannya kata-kata untuk meneruskan kalimat, yang terbayang di kepalanya saat ini adalah kejadian hari itu. Bermula dari puluhan panggilan tak terjawab dan pesan tak terbaca di salah satu aplikasi chat—karena si pemilik ponsel sedang berjuang menaklukan soal-soal penuh angka di olimpiade—ia kaget ketika melihat isi pesan yang mengabarkan bahwa ibunya sudah tiada. “—lupakan saja.” Ann langsung berbalik, meninggalkan Shaquilla Wilcox yang sejak tadi menunduk dengan raut wajah murung. “Ini semua salahku .…” Shaquilla melangkah ke sudut favoritnya di atap sekolah, tetapi ia kaget saat menemukan seorang pemuda yang sudah lebih dulu berada di sana. “Hai,” sapa si pemuda dengan senyum ramah, membuatnya mau tidak mau juga harus mengulas senyum untuk menghilangkan kecanggungan yang ada. “Aku tidak sengaja mendengarnya, maaf.”
43
Compunction
Dara Wilcox memutuskan untuk duduk di sebelah pemuda itu, gelengan pelan yang dikeluarkannya seolah mengisyaratkan bahwa ia sama sekali tidak keberatan ada yang menguping pembicaraan mereka. Lagi pula, sudah jadi rahasia umum tali pertemanan antara dirinya dan Ann Anderson merenggang semakin jauh. “Bukan salahmu,” ujar si pemuda setelah sekon demi sekon terlewat tanpa pembicaraan apapun. Hm? Iris biru cerah yang semula terpaku pada ujung sepatu mulai berpindah fokus ke wajah kalem Asger Strickland. “Maksudmu … pertengkaran tadi?” Senyum penuh teka-teki milik bungsu Strickland sama sekali tidak membantu, Shaquilla sudah cukup dibuat frustrasi dengan apa yang terjadi hari ini, ia tidak mau menambah pelipisnya semakin berdenyut menyakitkan. “Semuanya.” “Apa ma—” Shaquilla merasa wajahnya memanas setelah suara ‘kruyuk’ menginterupsi. Dari sudut mata, ia bisa melihat Asger terkikik, seakan mengejek sinyal yang dikirimkan perutnya. “Aku mau ke kantin, kau mau ikut?” Si gadis buru-buru bangkit dari duduk, kemudian melangkah menjauh tanpa perlu menunggu balasan. Tidak ingin wajah merahnya dilihat siapa pun. “Aku akan membantumu semampuku, sama seperti ketika kau membantuku.” Meski gadis itu mungkin tidak akan mendengar penuturannya karena sudah menghilang di balik pintu, tekad Asger sudah bulat. Ia ingin membalas budi pada gadis itu, seperti saat dirinya dibantu keluar dari masalah internal kelas yang sempat menjeratnya. Kalau bukan karena Shaquilla Wilcox dengan segala kenekatan dan kekeraskepalaannya, mungkin teman-teman sekelas masih akan terus menyematkan label ‘pencuri’ pada Asger Strickland. ***
44
Antologi 1820
Shaquilla berhenti ketika hendak mencapai pangkal tangga, terdistraksi sejenak oleh kehadiran dua orang yang tengah terlibat perbincangan di koridor. Tertarik, ia memutuskan untuk menyimak dari kejauhan. “Pak Horsey! Aku sudah punya buktinya, jadi kuharap Bapak bisa membantu.� Hestia Harkness mengacungkan ponsel yang layarnya menyala agar wali kelasnya bisa melihat dengan jelas apa yang berhasil direkamnya di dalam kereta pagi ini berkat bantuan teman sebangku. Di depannya, Mark Horsey terlihat memijit pangkal hidung. Merasa pusing sendiri karena bingung apa yang harus diperbuat. Ia sudah mendiskusikan hal ini dengan kepala sekolah beberapa waktu lalu dan beliau bilang abaikan saja demi nama baik sekolah mengingat kasus semacam ini adalah kasus remeh yang tidak menguntungkan pihak sekolah dari sisi mana pun. Namun, ia tidak bisa mengabaikan jerih payah sang murid begitu saja. “Begini, Nak. Kirimkan buktinya padaku lalu duduk manis saja. Akan kucoba selesaikan masalah ini.� Guru muda itu berusaha mengeluarkan usul terbaik yang terlihat tidak merugikan pihak mana pun. Dan meski kelihatan ragu, Hestia mengangguk setuju. Rasanya sungkan juga terus-terusan meneror wali kelas agar laporannya cepat ditanggapi. *** Hal semacam ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya, setidaknya sampai ia bersinggungan dengan banyak hal di sekitar. Ia pikir semuanya akan berlalu seiring dengan berjalannya waktu, mereda dengan sendirinya seperti yang sudahsudah. Akan tetapi, ternyata salah. Ini berjalan terlalu jauh dari apa yang ada di dalam pikirannya. Dan rasa ingin menyerahnya kembali muncul, seperti saat itu. Gadis itu menggeleng pelan, buru-buru memungut kertas-kertas yang berserakan di dekat kaki juga di dalam loker miliknya, lalu membuang ke tempat sampah terdekat. Sembari berharap agar tidak ada kejadian lain yang lebih buruk ketimbang ini. Karena sudah tahu sifat teman-teman sekelasnya seperti apa, ia hanya ingin berjaga-jaga untuk hal buruk lain. Pintu kelas terbuka, membuat seisi kelas yang semula berisik menjadi hening seketika. Bahkan ketika si pembuka pintu melangkah masuk, mereka 45
Compunction
masih hening. Hanya ada tatapan sinis dan meremehkan yang beberapa hari terakhir sudah jadi sahabat karib. Dan ia memilih untuk tidak peduli dengan terus melangkah menuju tempat duduk yang selama setahun belakangan ditempati. Akan tetapi, sesampainya di sana ia terkejut. Hari ini mejanya dipenuhi tulisan-tulisan yang menyakitkan untuk dilihat: sebagian besar isinya mempertanyakan eksistensi si gadis di dunia ini. Shaquilla Linnaea Wilcox keluar dari kelas dengan suasana hati berantakan. *** Hari ini hari kelulusan, tetapi tidak ada satu pun keluarganya yang datang. Ia menghela napas berat, berusaha memaklumi perlakuan tidak menyenangkan yang lagi-lagi datang dari keluarganya sendiri. Mereka pasti lebih memilih untuk menjalankan aktivitas masing-masing di hari kerja begini ketimbang meluangkan waktu dan menyeret langkah untuk menghadiri upacara kelulusan si bungsu. “Kau baik-baik saja?� Kila mengangguk sok tegar dan berusaha mengulas senyum pada Asger Strickland yang menghampirinya, padahal tadi ia sempat melihat si pemuda sedang sibuk bertukar senyum dengan keluarganya. “Lebih baik kau ke sana saja, keluargamu pasti sudah menunggu. Aku akan pulang saja, siapa tahu mereka sudah menunggu di rumah.� Setelah berpamitan dengan lawan bicaranya, ia melangkah menjauh. Sesampainya di rumah, ia mendapati kediamannya kosong, hanya ada secarik kertas yang ditempel asal di dekat pintu. Keluar untuk merayakan ulang tahun pernikahan mama dan papa, begitu isi kertasnya. *** Dengan mata sembab dan penampilan yang tidak jauh lebih baik dari tunawisma, gadis itu dan langkah lunglainya menaiki satu demi satu anak tangga yang akan menuntunnya ke atap gedung sekolah. 46
Antologi 1820
Ia berhenti di depan pintu dengan satu tangan memegangi kenop, sementara tangan lain bergetar tak tentu. Napasnya mulai tidak beraturan padahal sejauh ini yang dilakukannya hanyalah menaiki puluhan anak tangga pendek-pendek, bukan berlari mengelilingi satu daerah tempatnya tinggal. Seperti dibisiki oleh suara tanpa tubuh, gadis itu mengumpulkan segenap keberanian dan melanjutkan tujuannya. Kini sang gadis sudah berdiri di tepi gedung, merentangkan kedua tangan dan membiarkan angin malam mendekap mesra tubuhnya. “Tidak masalah kalau cuma aku .‌â€? Di tengah isak tangis ia bergumam. Sebelum kedua matanya terpejam erat diikuti kaki kanan yang mulai terangkat di udara. ****
47
About you ~ Aku, yang tidak dapat mengontrol diriku sendiri, tiba-tiba saja menangis di depanmu. Tanganku terulur menarik ujung kemejamu, tidak keras, tidak memaksa, tetapi membuatmu cukup paham untuk mendekatiku dan merengkuhku dengan kedua tanganmu yang terasa tidak asing bagi tubuhku.
Antologi 1820
Ditulis oleh marjorIe beaufort
12 Januari 2019
“B
anana bread dan espreso double shot?� Aku mengingatnya. Tentu saja masih. Kombinasi manis dan pahit yang barangkali akan selalu mengingatkan aku padamu. Kamu yang datang dan pamit tanpa permisi. Kamu yang berhasil menjungkirbalikkan duniaku. Dan kamu yang kerap menatapku dengan tatapan tak terdefinisikanmu. Akan tetapi, untuk kali ini aku menang sebab aku mampu memahami artinya dan kamu tak lagi mahir menutupi. *** 49
About You
25 Mei 2018 Jarum pendek perlahan menuju angka dua belas dan aku masih saja berkutat dengan angka-angka yang tertulis pada buku, mencatat pengeluaran dan pemasukan toko rotiku bulan ini. Mei menuju penghujung, terhitung sudah tiga bulan angka serupa menetap di bagian selisih. Tidak ada yang berubah di situ, lagi-lagi membuatku mempertanyakan apakah keputusanku setengah tahun lalu memang tepat. Rumah itu adalah satu-satunya peninggalan yang tersisa dari kedua orang tuaku. Aku memang sudah hampir sepuluh tahun tidak menetap di sana, tetapi setidaknya satu atau dua kali dalam sebulan, aku selalu datang untuk membersihkannya. Aku memastikan tidak ada debu-debu yang menempel pada rak-rak buku ayahku. Aku meletakkan lilin-lilin aromaterapi koleksi ibuku pada sudut-sudut ruangan, berusaha membangun suasana yang telah lama hilang. Aku pun melakukannya pada kamarku, boneka-boneka yang dulu suka kuajak berbicara masih duduk pada ranjang yang sama. Satu-satunya yang berubah adalah keadaan taman belakang rumahku yang dulu dihiasi oleh bunga warnawarni, tetapi kini kering kerontang, pengingat bagiku bahwa bagaimanapun rumah ini tidak akan bisa bernyawa lagi seperti dahulu. Dan mungkin karena itulah aku memutuskan ini. Dan mungkin karena itu pulalah aku menyesal karena sudah merelakannya. Aku mengembuskan napasku yang panjang dan berat, memijat pelipisku, berharap itu dapat mengurangi pusing yang kurasakan. Namun, sekeras apa pun pijatanku, rasa pusing itu tidak juga lenyap, malahan berlipat ganda. PRANGGG! Karena suara itu. Karena kamu. Aku tidak ingat aku pernah berlari secepat ini sebelumnya, keluar dari ruangan kecil di sebelah dapur yang kusebut kantor menuju sumber suara yang
50
Antologi 1820
berasal dari pintu. Pecahan kaca berserak di mana-mana, bingkai pintu terbuka, tetapi di antara semua itu, tatapanku hanya terpaku padamu. “Tenang, aku tidak akan menyakitimu,” katamu, yang sama sekali tidak kupercaya pada detik itu karena … bagaimana mungkin? Pertama, kamu baru saja memecahkan pintu kaca toko rotiku dan membukanya secara paksa. Kedua, tanganmu berdarah dan aku bisa melihat memar di wajahmu yang kuyakini sudah ada sebelum kamu melangkahkan kaki ke dalam tokoku. Dan terakhir, aroma alkohol itu terlalu menyengat untuk kulewatkan. “Pinjam ponselmu.” Kamu melangkah mendekatiku dan aku refleks mundur hingga punggung menatap pintu kayu yang tertutup. Tubuhmu jangkung dan kusadari aku sudah terperangkap olehnya. Biner birumu mengunci hijauku dan aku menunduk untuk menyembunyikan diri. Pasrah, aku membiarkanmu menarik pelan ponselku yang pada layarnya menampilkan angka 999, nomor darurat York. Tanganku bergetar. Hatiku berdegup kencang sampai suaranya seolah terdengar di telingaku sendiri. Aku menggumamkan doa-doa dalam batinku, mengharap ada keajaiban yang membebaskanku dari situasi ini. Skenario dalam kepalaku lebih menyeramkan dibandingkan film thriller yang sempat membuatku bermimpi buruk dua minggu lalu. Aku berpikir kamu akan mendorongku, memukulku, atau segala sesuatu yang buruk lainnya sebelum aku sempat memekik untuk meminta pertolongan. Beep, beep, beep …. Namun, aku keliru. Kamu menekan nomor lain seakan yang tadi bukan apa-apa. Bunyi sambung terdengar, tetapi siapa pun yang berada di ujung sana tidak menyahut dan itu membuatmu mengucap cih. Kamu kembali menatapku. Aku masih menunduk, tetapi aku bisa merasakannya. Dingin tanganmu bertemu dengan hangat tanganku dan di antaranya aku merasakan ponselku kembali. Kamu mengembalikannya dengan utuh. Tidak melakukan satu pun adegan yang membuat kakiku lemas. “Aku tidak akan menyakitimu.” Kamu mengulanginya dan entah bagaimana aku bisa percaya. *** 51
About You
26 Mei 2018 Aku belajar cukup banyak tentangmu kemarin malam. Namamu Alex Crawford. Usiamu dua puluh dua tahun, hanya berbeda satu tahun lebih denganku. Kamu berasal dari Bristol dan hanya datang kemari untuk urusan pribadi yang enggan kamu umbar. Aku tidak bertanya apa, tetapi kamu menjelaskan apa yang terjadi padamu sebelum itu. Kamu adalah satu dari sederet korban perampokan yang sedang marak terjadi di pinggiran York. Berandalan-berandalan itu mengambil semua barangmu dan hanya menyisakan baju yang menempel di tubuhmu. Kamu lebih malang dibandingkan yang lain karena kamu berani mencoba melawan dan memar di wajahmu adalah buahnya. Aroma alkohol itu sama sekali bukan milikmu, tetapi lemparan dari salah satu berandalan yang tidak sabaran dengan tingkah lakumu. Aku mendengarkan, mendengarkan, dan mendengarkan, sampai akhirnya merasa iba. Kamu pikir kamu gila karena meminta tempat menginap untuk malam kemarin? Kurasa aku lebih gila lagi karena mengizinkannya. “Kamu masih di sini.� Entah mengapa aku terdengar lega. Aku segera menutup pintu ruang kantorku rapat-rapat agar tidak ada yang melihat kehadiranmu. Kedua pegawaiku sama-sama berbahaya. Sheila si penggosip yang bisa-bisa akan membuat semua orang di Jalan Castlegate tahu tentang rahasia kecil kita. Sementara Gracia si malaikat mahabenar akan menceramahiku seolah aku adalah gadis cilik yang tidak bisa membuat keputusan yang tepat. “Tidak pernah tidur senyenyak ini sebelumnya,� jawabmu dengan senyum miring yang sejak semalam membuat sesuatu dalam perutku bergelenyar hangat saat melihatnya. Secara umum, sebuah senyum bagiku terbagi menjadi dua: senyum yang tulus dan senyum yang hanya dibuat-buat. Masing-masing terbagi menjadi alasan-alasan lain yang sebagian besarnya sudah kulakukan sendiri. Namun, senyummu terlihat berbeda. Aku tidak pernah menemukan yang seperti itu sebelumnya. Senyummu menular, membuatku ingin membentuk 52
Antologi 1820
kurva serupa. Akan tetapi, senyummu juga terlihat misterius, seperti ada sesuatu yang belum terungkap dan aku ingin segera menyibak kelambu yang menutupinya. Kamu menepuk-nepuk spasi di sebelahmu dan aku menurut seolah aku adalah tamumu dan bukan sebaliknya. “Syukurlah, kupikir badanmu akan sakit karena tidur di sofa sekecil ini.� Aku mengeluarkan beberapa obat-obatan penyembuh memar dan luka yang baru kubeli di apotek dekat rumahku. Semalam aku tidak punya apa-apa selain air dan kain untuk mengurus lukamu. Biarkan aku melakukannya sekarang. “Kalau aku bilang begitu, apakah kau akan berbagi ranjangmu untukku malam ini?� Aku tahu kamu bercanda. Kamu pasti bercanda. Kamu harus bercanda. Namun, aku tidak bisa melupakan kalimat itu bahkan sampai malam menyongsong dan aku hanya bergeming menatap langit-langit kamarku. Ada apa denganku? Aku menyentuh perutku dan mampu merasakan getaran samar itu lagi di dekat ulu hati. *** 5 Juni 2018 Sudah satu minggu sejak kedatanganmu dan belum ada yang berubah. Kamu masih tidur di sofa dalam kantorku. Kedua pegawaiku masih belum tahu. Aku masih sering bolak-balik masuk ke dalam kantorku untuk membawakanmu makanan dan minuman—aku jadi tahu kamu paling suka banana bread dan espresso double shot buatanku. Oh, ada yang berbeda. Kata beberapa orang yang mengenalku, aku terlihat lebih ceria dibandingkan biasanya. Aku jadi seperti setiap saat berada di toko padahal biasanya aku masih bisa menyibukkan diri melakukan hal lain. Aku jadi lebih banyak berbicara, terutama denganmu. Bukan hanya aku yang belajar mengenalmu, tetapi kamu juga belajar untuk mengenalku, dan kamu perlu tahu 53
About You
bahwa tidak banyak yang mendapatkan kesempatan itu. Aku yang semula tidak suka angin malam jadi terbiasa akan sentuhannya. Seperti beberapa malam sebelumnya, aku menemanimu yang sedang suntuk berjalan-jalan di area toko rotiku. Sebagai orang yang tadi menyebut bahwa tidak ada perubahan yang kurasakan, sepertinya aku memang kelewatan. *** 6 Juni 2018 Hujan menahanku untuk pergi malam itu. Petir yang menyambar terangterangan memberi peringatan kalau mereka tidak akan berhenti. “Sampai kapan kau mau di situ? Mereka tidak akan pergi walau kau menatapnya seperti itu terus.” Kamu berkomentar ketika aku bolak-balik melihat keluar jendela yang tirai-tirainya sengaja kubuka mempertontonkan kekelaman malam itu. Lampu-lampu jalanan mati dan satu-satunya pencahayaan yang terlihat di sana adalah kilat yang muncul dari segala sisi. “Mereka tidak sama sepertiku yang akan pergi kalau kau menatapku seperti itu terus.” Kamu menyambung dan aku kontan menoleh menatapmu yang masih duduk di salah satu kursi sembari menyesap espreso yang tidak lagi mengepulkan asap putih. “Aku tidak ingin kamu pergi,” ujarku dengan gelengan dan tatapan bersungguh-sungguh. “Tapi kau membuatku merasa seperti tidak diinginkan.” Aku menginginkanmu. Akan tetapi, aku tidak mengatakannya walau kamu terang-terangan salah mengartikan jarak yang sengaja kubuat di antara kita saat ini. “Maaf .…” Dan kamu menatapku dengan tatapan itu lagi. Kamu pernah bilang kalau kamu tidak suka aku meminta maaf terlalu sering. Aku pernah meminta maaf karena hampir menelepon 999 saat pertemuan pertama kita. Aku pernah meminta maaf karena tidak sengaja menekan memar di pelipismu terlalu kuat. 54
Antologi 1820
Aku juga pernah meminta maaf saat aku tiba-tiba mendorongmu masuk buruburu ke dalam kantor karena salah satu pegawaiku datang lebih pagi daripada biasanya. Maaf, maaf, maaf .… Maafku terlalu banyak dan kamu tidak suka mendengarnya. “Maaf .…” Akan tetapi, aku melakukannya lagi. Maaf, aku tidak tahu caranya untuk berhenti. *** 7 Juni 2018 Aku terbangun dengan selimut menutupi tubuhku, selimut yang beberapa hari lalu kubawakan untukmu supaya kamu tidak kedinginan saat malam hari. Katamu semalam, aku boleh mengambil tempatmu dan kamu akan tidur di lantai, tetapi saat aku duduk dan memindai ruangan tiga kali empat meterku, aku tidak bisa melihatmu di mana pun. Aku juga tidak bisa menemukanmu di dapur, kamar mandi, ataupun area pelanggan toko rotiku. Aku keluar dan menyusuri jalanan yang masih basah karena hujan semalam. Tanpa sadar, bukan hanya jalanan itu saja yang tergenang, sepasang mataku juga. Aku cengeng. Aku kaku. Aku tidak menarik. Aku lemah. Aku mudah merasa rendah. Aku pesimis. Aku tidak bisa melakukan apa pun dengan benar dalam hidupku. Aku memikirkan seribu satu kemungkinan yang mungkin menjadi alasan mengapa kamu tiba-tiba menghilang begitu saja? Mengapa kamu pergi tanpa meninggalkan sebuah pesan? Apakah aku memang begitu tidak berarti sampai kamu enggan memberikan beberapa kata perpisahan untukku? Maksudku … tidakkah aku berhak meminta?
55
About You
*** 8 Juni 2018 Tahukah kamu aku terjaga semalaman sambil memeluk lututku dan selimutmu? Aku hanya sempat tidur sekian menit saja karena tidak sengaja melakukannya. Mataku terasa begitu berat, kepalaku terasa pusing, dan aku tak bisa memikirkan apa pun selain kamu, aku, kita. Andai saja aku boleh menyebutnya demikian. *** 15 Juni 2018 Kamu harus pahami satu hal, aku mudah dilupakan dan aku tahu itu. Sejak dulu sampai sekarang, aku tidak pernah menjadi pilihan pertama apalagi menjadi satusatunya. Aku selalu menjadi dia yang hanya hadir sebagai figuran dalam hidup orang lain, selalu menjadi sosok yang hanya pernah mampir sejenak dalam benak mereka. Aku hanya menjadi ‘gadis itu’ yang sesekali disebut dalam cerita orang sebab mereka tidak ingat namaku. Aku tahu. Mereka tidak pernah mengatakannya secara langsung, tetapi aku tahu. Namun, ketika aku bertemu denganmu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Entah apa yang ada dalam dirimu yang mampu membuatku perlahanlahan membuka diri. Barangkali kamu tidak sadar, tetapi kamu adalah orang pertama yang bisa membuatku terbuka sedemikian rupa. Kamu orang pertama yang kuceritakan tentang mimpi-mimpiku, kegelisahanku, apa yang kusukai dan tidak kusukai. Kamu orang pertama yang terlihat sungguh-sungguh ingin tahu isi pikiranku. Kamu orang pertama yang membuatku merasa seperti didengarkan. Bukan salahmu hingga aku berpikir terlalu jauh. Salahku karena aku berharap.
56
Antologi 1820
*** 30 Juni 2018 Osiris : Selamat ulang tahun, sepupu. Semoga kamu cepat menemukan tambatan hati. Marjorie : Terima kasih, Ozzy. Doamu tidak pernah berubah.... Osiris : Aku hanya ingin melihatmu bahagia sepertiku. Marjorie : Aku bahagia, kok... Osiris : Temanku. Kukenalkan sajalah kalian ya? Kapan? Marjorie?
Aku hanya menatap layar ponselku dengan tatapan kosong, berpikir harus menjawab apa karena aku mengenal sepupuku sebaik aku mengenal telapak tanganku sendiri. Aku tahu sekadar menjawab ‘tidak’ tak akan pernah cukup baginya. Osiris akan merayuku dengan nada menggebu-gebunya bahkan sampai meneleponku, sesuatu yang sebetulnya kurang kusukai. Namun, belum sempat aku mengetik balasan, bel apartemenku berbunyi. Aku melihat bagian pojok kanan atas ponselku. Ini masih jam delapan pagi lebih sedikit, tetapi kenapa ada yang bertamu kemari? Aku jarang sekali mendapat seorang tamu apalagi pada jam-jam seperti sekarang. Aku tidak berpikir apa-apa saat bangkit berdiri dan meninggalkan ponselku di atas meja. Namun, lalu sekarang aku menyesal karena memang tidak berpikir apaapa. Aku terdiam mematung. Kamu juga. Aku tidak memercayai apa yang kulihat dan sepertinya itu terbaca dengan jelas olehmu karena itulah kata pertama yang kudengar darimu adalah sebuah permintaan maaf. “K-kamu ….” Kamu harus tahu, bukan itu yang ingin kudengar darimu. “Selamat ulang tahun, Marjorie. Maaf aku tidak sempat membawakan apa-apa untukmu,” katamu seraya mengambil satu langkah maju yang kian mendekatkan kita, meyakinkanku kalau kamu benar-benar nyata. Di sini. Di depanku. Aku, yang tidak dapat mengontrol diriku sendiri, tiba-tiba saja menangis di depanmu. Tanganku terulur menarik ujung kemejamu, tidak keras, 57
About You
tidak memaksa, tetapi membuatmu cukup paham untuk mendekati dan merengkuhku dengan kedua tanganmu yang terasa tidak asing bagi tubuhku. Hatiku terlalu senang sampai tidak sempat berpikir bagaimana bisa kamu tahu letak apartemenku padahal aku sama sekali tidak pernah bercerita tentang itu. *** 1 Juli 2018 Aku menatap wajahmu seperti seorang pencinta seni yang tengah memandangi lukisan mahakarya pelukis favoritnya. Kamu terlihat sangat damai ketika sedang tidur. Matamu tidak lagi menatapku tajam seolah tengah menelanjangiku dan melihat ke dalam diriku lebih jauh. Senyum miringmu juga tidak tersimpul mainmain. Dan rambutmu ‌ aku baru sadar seberapa mirip warnanya dengan milikku. Aku suka. Aku selalu suka memandangimu jika sedang tidur dan ini bukanlah kali yang pertama. Aku suka. Aku suka. Aku suka. “Sampai kapan kau mau memandangiku seperti itu?â€? Aku terperanjat, buru-buru mengalihkan pandangan walau jelas-jelas sudah tertangkap basah. Akan tetapi, kamu sepertinya suka melihat pipiku yang merona menyerupai tomat. Aku tahu kamu suka membuatku salah tingkah dan karenanya kamu menarik lenganku, membuatku tertidur memunggungimu di sofa yang sebetulnya tak cukup besar untuk menampung tubuh jangkungmu. Aku dapat merasakan hangat napasmu di tengkukku dan aku tidak tahu harus berbuat apa selain mencoba menenangkan diri supaya kamu tidak sadar seberapa kencang detak jantungku sekarang. ***
58
Antologi 1820
4 Juli 2018 “Aku tidak tahu kamu pandai memasak,” kataku seraya menyuap satu sendok penuh daging lada hitam ke dalam mulutku. Sepulangku hari ini aku mendapati aroma harum dari dalam apartemenku dan ketika aku melihat ke ruang makan, kamu berada di sana sedang mencuci peralatan bekas memasak. “Banyak hal yang tidak kau tahu tentangku,” jawabmu santai. Entah bercanda atau tidak yang jelas pertanyaan itu membuatku tergelitik ingin tahu. “Ceritakan kalau begitu. Kita bisa mulai dari alasanmu.” Aku menatapmu dengan hati-hati, tetapi alih-alih menjawab, kamu hanya menarik sebelah tanganku lalu mengecupnya. Kamu tahu, sebesar apa pun aku menyukai itu, aku lebih suka kalau kamu memberiku sebuah jawaban. Namun, lagi-lagi aku yang bodoh hanya bisa menerima sembari meyakinkan diri kalau kamu hanya perlu waktu. *** 7 Juli 2018 Marjorie : Aku bertemu dengan seseorang. Osiris : Ha? Marjorie : Seseorang yang bisa membuatku bahagia, seperti katamu. Aku bertemu dengannya....
Aku tidak tahu harus menyesal atau apa saat melihat nama Osiris tiba-tiba muncul di panggilan masukku dan memberondongku dengan seribu satu pertanyaan tentang identitasmu. Aku mengenal sepupuku sejak dulu, aku tahu dia bisa berbicara berlipat kali lebih banyak daripada aku, tetapi baru kali ini dia sampai sebegininya. Apalagi setelah dia tahu tentang bagaimana cara kita bertemu dan kamu yang sempat pergi tanpa alasan. Ya … aku juga bercerita bagian itu karena aku tidak pernah bisa berbohong apalagi ke Osiris. Tetapi, sekarang bagaimana? Osiris menyuruhku jauh-jauh darimu. Katanya, kamu berbahaya dan tidak seharusnya aku mengizinkan laki-laki asing tinggal di apartemenku. Aku 59
About You
bingung. Andai saja Osiris bisa melihatmu seperti aku melihatmu, mungkin dia akan berubah pikiran. Ingat, aku bukan satu-satunya orang yang jatuh hati kepada orang asing, kan? *** 10 Juli 2018 Kamu pulang lebih larut dari aku dan anehnya aku mencium aroma alkohol darimu, padahal katamu kamu benci minum-minum. Aku bertanya apa kamu ada masalah, tetapi kamu tidak menjawab. Kamu hanya meracau, mengucapkan ini-itu yang sama sekali tidak bisa aku pahami. Aku mau mengambilkan air minum untukmu, tetapi kamu malah menahanku dan mempertemukan bibirmu dengan milikku. “Kamu membuatku gila,� katamu dengan gusar. Gila kenapa? Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti, tetapi aku tidak bertanya dan tidak pula menolak semua perlakuanmu kepadaku. Kamu mabuk, kamu hilang kesadaran, tetapi kamu tidak kasar, bahkan kamu meminta maaf berulang-ulang. Kamu lembut, selalu seperti itu kepadaku. Mungkin itu yang membuatku menyukaimu dan memberikan bungaku secara cuma-cuma padamu pada malam itu. *** 11 Juli 2018 Aku bangun dengan selimut menutupi tubuhku yang terasa dingin. Kupikir ketika aku membuka mata, aku akan melihatmu, tetapi nyatanya tidak. Kamu tidak ada di mana-mana. Kejadiannya persis sama seperti waktu itu. Sedikit perbedaannya, kali ini kamu meninggalkan secarik kertas di atas meja makan. Maaf. Satu kata, yang perlu kamu tahu, tidak aku butuhkan. Kupikir dulu aku akan merasa lebih baik bila kamu pergi dengan meninggalkan pesan, tetapi kurasa aku salah. Karena dengan begini sekarang aku tahu bahwa kamu akan benar-benar pergi. 60
Antologi 1820
*** 13 Juli 2018 Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu datang lagi kalau pada akhirnya kamu akan pergi? Tidak ‌ kenapa kamu muncul dalam kehidupanku bila akhirnya kamu tidak akan bisa bertahan? Perutku mual, kepalaku pusing, detak jantungku tidak keruan, dan aku tidak tahu harus melakukan apa selain meringkuk sendirian di tengah kegelapan kamarku. Aku merindukanmu. Aku menyayangimu. Aku menginginkanmu. Cuma kamu. *** 18 Juli 2018
Aku mencoba menghubungimu entah berapa kali dan semuanya tetap berujung ke kotak suara. Aku menulis ratusan pesan kepadamu, tetapi tidak ada satu pun yang kamu balas. Jangankan itu, kamu bahkan tidak membacanya. Apa kamu benar-benar ingin menghapus aku dari hidupmu? Mungkin bagimu mudah, tetapi aku tidak. *** 25 Juli 2018 Kamu perlu tahu, aku bukan tipikal orang yang mudah menyalahkan orang lain. Dan kamu juga perlu tahu, ketika aku sudah membuka hatiku kepada orang lain, aku tidak akan bisa menutupnya begitu saja. Kamu mungkin merasa bersalah karena meninggalkanku, tetapi aku merasa lebih bersalah lagi karena tidak bisa menjadi sosok yang cukup baik untuk membuatmu bertahan. 61
About You
*** 29 Juli 2018 Ada alasan mengapa aku tidak pernah membuka diriku kepada orang lain. Aku takut sakit. Aku takut terluka. Aku takut ditinggalkan. Aku takut merasakan semua hal yang kurasakan detik ini. Aku lelah menangis, tetapi aku tidak bisa berhenti menangis. Aku ingin berhenti menyalahkan diriku sendiri, tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti. Nyeri sekali, Tuhan. Aku butuh obat tidurku lagi. *** 3 Agustus 2018 Siapa sangka, alih-alih mencintaimu, aku malah duduk di sini dan menulis cerita tentangmu? *** 10 Agustus 2018 Notifikasiku berbunyi dan hatiku mencelos saat mendapat pesan bahwa seseorang menerima permintaanku di Instagram. Seseorang itu adalah temanmu, satu nama yang barangkali hanya satu-satunya hal yang pernah kamu ceritakan dengan benar kepadaku. Hanya itu. Sebab, setelah aku melihat salah satu foto dan tulisan yang ada di bawahnya, semuanya jadi tercerahkan. Namamu bukan Alex Crawford. Usiamu bukan dua puluh dua. Kamu tidak berasal dari Bristol. Bila kupikirkan lebih lanjut, aku juga akan bisa menemukan jawaban tentang mengapa kamu babak belur malam itu. Pertanyaanku yang lainnya, mengapa kamu pergi saat itu? Mengapa kamu
62
Antologi 1820
kelihatannya mengenal York sebaik itu bila ini pertama kalinya kamu datang ke sini? Mengapa kamu pergi lagi? *** 15 Agustus 2018 Kita mungkin memang tidak pernah ditakdirkan untuk bersama, tetapi aku senang setidaknya aku pernah merasa demikian. Osiris bilang aku bodoh karena berpikir begitu. Dia menyalahkanmu dan terdengar marah sekali di telepon. Dia bilang dia ingin mencarimu dan memberikanmu pembalasan yang cukup pantas, tetapi aku menahannya. Karena, pikirku, buat apa? Aku menyayangimu. Bukan cuma pernah, tetapi masih. Aku tidak menginginkan satu hal buruk pun terjadi kepadamu. Aku selalu berdoa untukmu, sudah menjadi kebiasaanku. Aku berharap kamu bahagia, denganku atau tanpa aku. *** 27 Agustus 2018 Aku melihatmu di mana-mana. Masih. Aku melihatmu di dalam mimpiku. Aku melihatmu dalam film yang kutonton. Aku melihatmu dalam ingatkanku ketika mendengarkan segala macam lagu. Aku melihatmu di tempat mana pun kita pernah singgah. Jangan heran, karena sekali lagi perlu kuingatkan, ini aku. Aku mudah dilupakan, tetapi tidak pernah mudah melupakan. Aku tidak mau melupakanmu. Aku ingin ingatan tentangmu mendewasakanku. *** 15 September 2018 Aku masih menulis tentangmu di jurnalku dan membacanya sesekali. Aku terlihat sudah lebih baik daripada satu bulan lalu. Aku mulai bisa fokus dengan 63
About You
apa yang kulakukan. Aku sudah tidak terlalu bergantung pada obat tidurku. Emosiku sudah lebih stabil dan mataku tidak lagi sesembab dulu. Semuanya berubah, kecuali perasaanku. Ya, soal itu masih sama. Maaf, bukan maksudku membebanimu, tetapi aku tidak mau menyangkal. Sejak dulu perasaanku adalah satu-satunya hal yang paling aku percaya dan aku tidak mau membohonginya. Andai kamu bisa membaca semua tulisanku, apakah kamu akan bangga kepadaku atau malah mengataiku bodoh? *** 12 Januari 2018 “Maaf .…” Aku tidak menyangka kata terakhir yang kudengar darimu akan menjadi kata pertama yang kudengar setelah sekian bulan kemudian. “Halo, lama tidak berjumpa denganmu,” balasku tanpa menghiraukan mimik bersalahmu yang terang-terangan terlihat. Aku sudah memaafkanmu lebih dulu karena meninggalkanku tanpa memberi penjelasan. Sisanya, tidak ada hal lain yang perlu dimaafkan. Aku sadar kamu bukan satu-satunya penyebab aku merasa seperti ini. Salahku juga karena aku menjebloskan diriku terlalu dalam. Kamu terdiam seperti tidak tahu harus berbicara apa. Baru kali ini aku melihatmu seperti itu. “Aku sudah dengar,” ujarku seraya mengerling cincin yang melingkar di jari manis kananmu, yang kemudian buru-buru kamu sembunyikan di dalam saku celana. “Tidak apa-apa.” Aku baik-baik saja. Tidak. Aku tidak baik-baik saja. “Tidak apa-apa.” Akan tetapi, tidak apa-apa. “Aku tidak pernah berbohong tentang perasaanku padamu.” Kamu menatapku jauh ke dalam mataku. Sesuatu dalam dadaku bergejolak lagi setelah sekian bulan lamanya. 64
Antologi 1820
Alih-alih menjawabmu, aku malah mengulurkan tangan ke arahmu. “Namaku Marjorie Beaufort, dan kamu?� Senyumku tersimpul. “Kita bisa mulai dari awal lagi.� Aku memang seperti itu. Aku tidak akan pernah bisa membenci orang lain sebesar apa pun orang itu menyakitiku. Kalau kamu membutuhkanku, aku akan ada di sini. Selalu. Aku bukan tipikal gadis yang menutup pintu lalu membuang kuncinya jauh-jauh. Aku akan menyelipkan kuncinya dari bawah pintu dan kamu selalu bisa datang kapan saja kalau kamu mau. Namun, cukup sampai di situ. Bukan berarti aku akan membiarkan diriku jatuh ke hal yang sama untuk kesekian kalinya. ****
65
Red sky In the mornIng i ~ Di bawah langit—tidak berwarna merah, mungkin belum—terhampar kepadatan gedung-gedung Kota Los Angeles dengan lampu-lampu yang menjadikan malam tidak ubahnya seperti siang hari.
Antologi 1820
Ditulis oleh leIghton colt
S
ebelah kaki berkulit halus terbujur keluar dari selimut yang hanya separuh menutupinya. Tidak jauh dari itu, rambut keriting gelap panjang terpilin dengan lipatan sarung bantal, sementara empunya baru saja membuka mata. Maskara menodai lingkaran bawah matanya, jorok, sudah terlintas di pikiran seorang Leighton Colt bahwa ia seharusnya cepat bangkit menuju wastafelnya yang bercermin lebar. Langit di luar masih gelap, terlihat melalui kaca jendela tinggi dengan gorden beludru panjang berwarna ungu tua, tersibak seperti dua pilar kokoh menjaga kedua sisinya. Di bawah langit—tidak berwarna merah, mungkin belum—terhampar kepadatan gedung-gedung Los Angeles dengan lampu-lampu yang menjadikan malam tidak ubahnya seperti siang hari. Angka 4:18 berpendar kekuningan di layar jam digital yang tergeletak di nakas. Kepala seorang lelaki bertubuh atletis menjadikan dadanya sebagai bantal. Leighton harus menggeser tubuhnya dengan perlahan lalu melenggang 67
Red Sky in the Morning I
bagai monster lebih pintar dari jebakan yang membuatnya terperangkap. Maksudnya, lengan berotot yang melingkari tubuhnya itu; ia tidak pernah keberatan sama sekali. Dengan tergesa dan tanpa suara, ia menutup tubuhnya dengan kimono berbahan sutra hitam tipis berpola abstrak lalu menyambar ponselnya. Sambil berjingkat menuju dapur yang didesain gaya modern dan minimalis—serba putih dengan kilatan baja dari beberapa peralatan dapur—ia telah membuka semua aplikasi pesan yang dimilikinya. Kata-kata kakeknya terngiang-ngiang, bahkan dalam pikiran pun kupingnya bisa terasa pengang. Menangkan award itu, Leighton. Jutaan dolarku hanya kamu habiskan untuk film-film mediocre, aku ingin nama keluarga kita dielu-elukan. Kamu seharusnya lebih menggunakan otakmu! Omelan Philip Colt semakin keji seiring bertambahnya usia sang cucu. Umur sudah segitu, ke mana-mana sudah didorong di atas kursi roda, tetap tidak mengingat sudah dinantikan pintu neraka di akhirat. Leighton sendiri sudah terlalu terbiasa. Sedikit banyak kakeknya memang memicu banyak kesuksesan yang berhasil diraihnya—termasuk, bantuan ini dan itu yang tidak meninggalkan jejak. Sejak mencapai gelar MBA Universitas Stanford, ia dipanggil kakek tersayangnya yang merupakan seorang media mogul untuk berkarier di Colt Picture, studio film bagian dari jaringan raksasa Colt Media & Entertainment. Itulah mengapa Leighton sudah nyaris tidak pernah lagi menginjak kota kelahirannya di North Carolina. Tidak ada apa-apa yang menunggunya juga di sana. Katanya keputusan akan ditetapkan tengah malam ini. Maka Leighton me-refresh semua aplikasinya. Sebundel email masuk, angka di notifikasi chat pun membengkak. Gadis keriting itu menggeser-geser layar sentuhnya dengan cepat—resah. Bibir bawah digigitnya, sesuatu seperti meremas isi perutnya. Tidak ada kabar yang dicarinya, yang ada ialah segepok masalah dan tagihan keputusan produksi. Leighton meremas kepalanya. Gadis berumur 28 tahun itu lalu memutuskan untuk mandi shower air hangat terlebih dahulu, sebelum kembali membuka laptop dan melanjutkan pekerjaannya. Ada perbaikan skrip film yang harus ia periksa, tetapi jarinya malah memperbesar satu demi satu gambar produk di website lipstik yang baru launching. *** 68
Antologi 1820
Leighton memutar setir untuk membelokkan mobil sedan sport hitam berkilat miliknya memasuki jalan dengan jajaran pohon palem tinggi di kedua sisinya, hanya untuk segera menginjak rem setelahnya. Macet, bukan berita baru. Leighton menekan nama alumni Stanford sekaligus rekan kerja di kontak ponselnya. “Gene! Kau sedang berada di mana?” Suara seorang lelaki keluar dari loudspeaker. “Hai, Leigh. Aku sedang menunggu pesanan kopi—” “Aku tidak dapat pemberitahuan,” potongnya tidak sabar, “bisakah kau percaya itu!” serunya gusar. “Aku turut menyesal. Para juri mungkin harus mengoperasi mata atau bahkan otak mereka. Kita buat film baru sajalah, aku tahu penulis naskah baru yang cemerlang.” Genesis Conway menumpukan sikunya ke atas meja kafe. “Tidak, tidak, tidak.” Leighton menggeleng, jarinya menyingkirkan seuntai kriwil yang jatuh menutupi lensa hitam Dior di wajahnya. “Bisakah kau, entahlah, tanyakan pada orang dalam kenalanmu, apa yang sedang terjadi? Aku bisa mencium sesuatu berbau busuk.” Bibirnya cemberut, kau pasti tidak ingin menjumpai Leighton yang sedang kesal. Genesis tertawa. “Jangan konyol deh, L sayang. Minumlah pil tidurmu dengan baik, biar bisa bobok cantik dan berhenti berdelusi.” Pemuda itu lalu menatap layar ponselnya, memastikan bahwa sambungan teleponnya betulan diputus. Dasar temperamental, ia mendengus. Namun, jarinya tetap membuka sebuah kontak yang tadi disinggung, lalu mengetikkan pesan untuk mencari informasi mengenai award lainnya. Bagaimana dengan SAG? LAFCA? Venice? Kau tahu sesuatu? Ayolah, kau berutang padaku. Kabari aku.
Bersamaan dengan itu, mobil Leighton telah terbebas dari kemacetan. Sang dara menginjak dalam pedal gas kemudian mengarahkan mobilnya turun ke dalam 524 South Flower Street Garage untuk parkir. Setelahnya, hak sepatu boot hitamnya terlihat menapaki tangga di tengah taman berpohon tinggi menuju gedung Los Angeles Public Library. Ia ingin segera merampungkan negosiasi 69
Red Sky in the Morning I
yang telah lama berlangsung alot dengan pengurus gedung ini, tetapi ia malah berhadapan dengan perempuan seumurannya. Ke mana ibu-ibu tambun bersanggul yang pernah ditemuinya? Rasanya janggal. “Saya tidak mau bertele-tele ya, Mbak. Jadi kenapa film saya tidak bisa mengambil gambar di sini?” todong Leighton. Seharusnya ia menanyakan asal usul perempuan itu, tetapi akan terlalu merepotkan dirinya—bukannya ia peduli juga. Perpustakaan ini seharusnya bisa memilih pegawai yang lebih becus. “Silakan duduk dulu, Nona Colt. Kami mohon maaf karena jadwalnya bertabrakan dengan acara lainnya. Kami merupakan Perpustakaan Pusat Kota Los Angeles, sayangnya kami harus berurusan dengan banyak sekali orang.” Wajah pengurus gedung itu dipenuhi penyesalan. Dasar amatir, tentu saja Leighton piawai memahami makna yang sebenarnya di balik kata-kata yang terlalu manis itu. Artinya, Colt dianggap tidak penting; tidak sepenting itu. “Tidak perlu,” tepisnya pada tawaran kursi itu. “Bukannya Colt Picture sudah pernah menerima persetujuan? Kenapa mendadak berubah?” desaknya. Email yang masuk tadi pagi membuatnya naik pitam. “Mohon maaf sekali ya, Nona. Tapi kontraknya belum ditandatangani atasan kami. Jangan khawatir, kalau ada tanggal yang kosong akan kami kabari segera.” Pengurus gedung itu tersenyum simpatik. Leighton merasakan urgensi untuk melakukan kekerasan. Ia menggertakkan giginya, menetralkan napas untuk mengatur emosinya. Omong kosong! Ia teringat pernah melihat wajah perempuan itu, berdiri memamerkan belahan payudara kempisnya di samping petinggi salah satu studio film pesaing Colt Picture. Terjebak dalam percaturan dunia hiburan, ia sulit menemukan unsur kebetulan dalam situasinya. Semuanya terlalu jelas menampakkan pola yang tidak kasatmata. Ada yang ingin menjegal produksi filmnya. Leighton menarik lepas gelang elastis berlapis satin hitam lalu mengangkat tangan untuk mengikat rambut kriwil cokelat gelapnya. “Baiklah,” senyum, “kami tunggu kabar baiknya.” Dari balik kunciran rambutnya, tangan kanannya turun dan mengarahkan acungan jari tengah ke sosok di hadapannya. Akan kami kabari segera, makan tuh. Berani sekali orang itu mencari masalah dengan Colt. Kalau saja bangunan Los Angeles Public Library itu tidak 70
Antologi 1820
dibangun di abad ke-19, ia tidak mungkin berada di sana. Kenapa juga kakeknya ngotot membuat film tentang penyihir-penyihir cilik dari tahun 1820, J. K. Rowling banget nih!? Philip ubanan itu pasti habis menonton The Favourite, lalu mimpi basah memborong award perfilman dari banyak kategori. Ia sempat membuat film drama musikal dan masih frustrasi akibat kalah oleh La La Land dan A Star Is Born. Jadi, selera para juri itu seperti apa sih? Seharusnya ia membuat film tentang tokoh politik atau mengangkat isu rasisme saja, alih-alih period drama mengenai percintaan bocah-bocah yang sebetulnya lebih senang memanjat pohon, bermain cacing, dan buang air sembarangan. Belum juga mencapai pintu mobilnya, ponsel di tangannya berdering kencang. Gadis malang itu menelan ludah dan menatap enggan nama yang terpampang di layarnya. Ia ingin menimpukkan saja ponsel itu sampai hancur ke tembok parkiran bawah tanah ini, alih-alih harus pasrah menerima amukan kakeknya atas kegagalannya hari ini. Ia menerima panggilan itu dengan menjauhkan speaker telepon dari daun telinganya. *** “Leighton, sayangku, mau aku ambilkan minuman?” Alunan bariton memasuki telinga gadis Colt. “Oh, tidak perlu. Betulan. Kamu tahu apa, kamu bisa … menemui teman-temanmu.” Pandangannya mengerling ke sekumpulan pria-pria dalam balutan setelan terbaik yang sedang tertawa terbahak-bahak—pada recehan lelucon bapak-bapak yang mana, hanya Tuhan yang tahu. Ia tahu keadaan itu akan semakin keluar dari kontrol ketika ganja melengkapi cognac, persis yang sering terjadi di ruang santai mewah di bawah tanah rumah besar mereka. Lelaki itu tahu apa, sesekali Leighton ingin mendapatkan takaran campuran minuman yang tepat sesuai keinginannya, sebagai kompensasi atas harinya yang buruk. Ia mengeratkan selendang di bawah bahunya yang terbuka, berjalan ke area bar Montage Hotel Ballroom, hotel yang berada di jantung Platinum (sebelumnya Golden) Triangle, Beverly Hills, kawasan elite Los Angeles yang dipenuhi hotel berbintang lima, dihuni pesohor Hollywood, dan memiliki pusat perbelanjaan mewah Rodeo Drive yang mendunia. Malam ini, ia dan banyak alumni Stanford lainnya sedang menghadiri 71
Red Sky in the Morning I
Smiling Heart Fundraising Gala yang dihelat rutin—tahun ini ada program membelikan alat bantu bagi anak-anak penyandang disabilitas. Hati Leighton terenyuh melihat pertunjukan anak-anak menyanyi, memainkan biola dan piano dengan sangat indah meski memiliki keterbatasan fisik. Seharusnya semua orang seperti itu, pantang menyerah dalam menghadapi hambatan hidup, bukan? Tidak mudah jika kakekmu selalu memaki-makimu, sementara hidupmu hanya dianggap sebagai rentetan panjang kegagalan. Apa lagi—oh, lihatlah. Teman baiknya Helena yang sudah berganti nama menjadi Helena Lennon, melintas sambil mendekap lengan temannya yang satu lagi, Harlow. “Hai, kalian. Sudah makan?” Leighton tersenyum. “Hai, Leigh. Sudah, kok. Kamu sendiri?” Helena menempelkan kedua pipi mereka secara bergantian. “Sudah juga. Tiramnya enak, bukankah begitu?” “Daging dombanya juga enak.” Terdengar suara yang laki-laki, sementara Helena tampak tersipu. Leighton terkekeh. Oh, Harlow, kaku sekali. Dasar pengantin baru, tetapi ia turut berbahagia. Pernikahan yang setara, ya. Pada akhirnya, Harlow berpisah dari gadis Mallon itu. Mungkin Agrona terlalu bagus untuk Harlow, tetapi siapa yang tahu. Betul, siapa yang tahu, nama Moss Mallon, ayahnya Agrona, baru mencuat akhir-akhir ini setelah masuk ke dalam jajaran direksi sebuah bank swasta. Coba pertahankan kekayaan itu sepuluh tahun lagi. Sekarang kakeknya Harlow sudah bisa meninggal dengan damai, pikirnya getir membandingkan dengan kakeknya sendiri. “Selamat bersenang-senang kalau begitu. Aku … haus.” Ia pamit. Ia betul-betul ingin minum, tetapi begitu mencapai meja bar, bartendernya terhalang orang lain. ”Permisi, Wilcox. Why don’t you just get a room.” “Apa maksudmu?!” Shaquilla Wilcox menoleh dan membalas dengan sewot. “Nah, begitu.” Senyumnya tipis karena mendapatkan ruang untuk memesan minuman. Leighton tidak menyesali perkataannya, ia sudah terlalu lama melihat Wilcox berduaan dengan lelaki yang penyabar itu. Kenapa ia tidak mempercepat proses mereka bersama. Oh, you’re welcome. 72
Antologi 1820
Campurkan lebih banyak vermouth, titahnya tadi ketika memesan segelas martini yang kini digenggamnya. Perjalanan balik ke mejanya terhalang oleh sesama alumni Stanford yang beda jurusan, tetapi seangkatan dengannya. “Eh, Lana! Datang juga ke acara ini? Apa kabar, Sayang?” ”Baik, kamu datang sama siapa ke sini? Kamu kelihatan cantik sekali pakai gaun itu.” Mereka memberi salam dengan saling menempelkan pipi. “Stop it, kamu perayu ulung. Ini Givenchy,” bisik Leighton seakan itu rahasia alam semesta. “Aku datang bukan dengan lelaki Stanford yang payah itu, jika itu yang kamu maksud. Gosip itu benar, kami sudah tidak bersama lagi. Kamu update banget, deh.” Leighton menyeringai tipis, ia suka mengetahui sisi gelap orang lain. “Aku selalu suka rambutmu, pakai stylist siapa? Bisiki aku, tidak akan aku bocorkan.” Ia memajukan sebelah telinganya. “Sejujurnya ini hasil blow-ku sendiri kemarin. Masih kelihatan bagus, ya?” Lana Marvelle tertawa kecil. “Bagus banget.” “Hehehe, terima kasih. Tapi masa, sih? Bukannya bulan kemarin kalian baru liburan sama-sama ke Alaska? Kupikir semuanya baik-baik saja karena kamu nggak cerita ada masalah,” ungkit Lana dalam suara halusnya. “Kamu dengar dari mana, ih!” Leighton terperangah. “Alaska ... how boring, ya. Dia punya satu vila di sana. Eh, aku hanya menjenguk neneknya yang sedang sakit. Mereka tidak bisa hidup tanpaku.” Leighton tersenyum puas. “Ah, neneknya sakit apa? Mudah-mudahan kondisinya segera membaik, ya.” Leighton sering bertanya-tanya, apakah temannya itu pernah sekali saja memikirkan diri sendiri. “Tekanan darahnya sempat tinggi. Terima kasih doanya, terakhir aku lihat beliau sudah bisa makan lebih banyak.” “Neneknya Leighton sakit? Apa kabar kalian?” Bethany menyeruak dan memberi salam dengan menempelkan pipinya ke pipi semua orang. “E-eh, bukan nenekku yang sakit. Jangan bebani pikiranmu, Sayang, aku selalu berada dalam kondisi yang terbaik.” Leighton berpikir bahwa pesta seperti ini bisa menjadi menyenangkan juga. “Sally, sapalah teman-teman Bunda,” ucapnya menyuruh anaknya setelah suaminya selesai bersalaman dengan semua temannya. 73
Red Sky in the Morning I
“Apa kabar,” ucap Leighton dan Lana nyaris bersamaan pada pria tegap itu. Leighton lalu menekuk lutut untuk meraih tangan mungil itu. “Hai, cantik! Ya ampun, kamu sudah besar, dulu Tante Leighton beliin sepatu buatmu, ukurannya cuma segini!” Jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf C. “Bagaimana Boston? Aku tidak percaya kamu meninggalkan LA.” Setelah puas bercanda dengan anak kecil dengan twin tail itu, ia beralih ke temannya. “Boston menyenangkan, firma hukum suamiku berkembang pesat di sana.” Dengan bangga Bethany bercerita. Tiba-tiba ia menunduk karena Sally menarik-narik roknya. “Girls, aku harus … Sampai ketemu lagi ….” Tarikan Sally membawa bundanya pergi. Leighton tertawa, anak kecil memang merepotkan. Sekarang, fokusnya kembali ke Lana. "Mana lelaki berambut merah yang pernah aku lihat bersamamu, tidak kamu perkenalkan padaku?" Wajah cantik Lana tersipu. “Bagaimana ya ... Aku bukan nggak mau memperkenalkan ke kamu, tetapi aku malu kalau mengajaknya ke sini. Nanti ya, kapan-kapan aku kenalkan.” “Ih, kenapa harus malu?!” “Aku malu karena ... sebenarnya kami tidak sedekat yang kamu pikirkan. Kami hanya berteman, kok.” “Jangan berteman selamanya, ya. Harus lebih dari itu!” “Hahahaha, kamu bisa saja. Dia juga sudah punya pacar di kota lain.” Leighton terbelalak. “Darling, leave him!! Kita harus jalan bareng, aku bisa mempertemukanmu dengan bujangan yang baik dan kaya raya.” “Whoa, bertenang, Leighton. Aku sedang ada proyek penting yang perlu bantuan darinya. Jadi, tidak mungkin aku tidak sering bertemu dengannya.” “Ah, that's too bad.” Leighton menghela napas lalu menyesap minumannya yang sempat tidak teracuhkan. “Oh iya, kamu sibuk apa sekarang?” “Aku sedang menyusun skenario pementasan baru untuk teater bonekaku. Maklum, anak-anak sekarang mudah bosan. Ditambah lagi mereka bisa menonton banyak film dan mendengar kisah-kisah lewat internet. Aku jadi harus lebih kreatif agar mereka mau memperhatikan.” “Kamu suka banget ya melakukan pertunjukan dengan boneka itu?”
74
Antologi 1820
“Sebenarnya boneka-boneka itu cuma media, Leighton. Aku cuma suka bercerita.” “Pernah tidak sih ada yang menentang kamu melakukan itu?” “Teman-teman sekolahku sering bilang aku aneh, sementara keluargaku mendukung apa pun yang kulakukan.” “Kamu dibilang aneh, lalu bagaimana kamu bisa terus melakukan itu?” Leighton tergelitik, ia meletakkan gelas minuman yang telah ia tandaskan ke dalam nampan keperakan yang dibawa seorang pelayan. “I don't really think what others said about me. All I think is I like to see those children happy faces. So ... yah, I do it again and again without worrying too much.” Di panggung, MC mengumumkan nomor-nomor undangan yang mendapatkan door prizes. Kesempatan itu Leighton gunakan untuk memikirkan perkataan Lana. Seharusnya dirinya juga bisa seperti itu. Kakeknya adalah manusia mengerikan yang tidak perlu ia pedulikan. Tidak perlu ada kakeknya, ayahnya, ibunya, dan semua orang lainnya untuk menghargai jerih payahnya, selain dirinya sendiri. Jika kakeknya tidak bisa menutup mulut, biarkan ia menutup telinganya sendiri. “Kalau kamu, sedang sibuk apa sekarang?” Suara Lana membawanya kembali ke dalam pesta. Leighton mengeluarkan ponselnya dari clutch. “Kemarin ada orang menghubungiku, dia mencari pengisi acara sekolah. Kamu berminat tidak, dear?” “Sekolah mana? Mungkin sebelumnya aku pernah manggung di situ juga.” “Sekolah … di mana ini, ya,” Leighton meneliti layar ponselnya, “aku forward saja email-nya ke kamu, ya. Alamat email kamu masih sama?” “Boleh saja, atau kamu sampaikan ke pemilik yayasannya untuk mengundangku hahahaha.” ”Itu yang sedang aku lakukan.” Ia mengetikkan pesan di ponselnya. “Done and done.” ***
75
Red Sky in the Morning I
Terdengar air keran mengucur. Siapa? Kemarin Leighton rapat produksi sampai malam dan tidak sedang pulang bersama kenalan barunya—padahal tidak terpisahkan sejak mereka mendatangi pesta amal beberapa hari yang lalu. Sinar matahari telah membanjiri apartemennya saat ia bangun dari tidurnya lalu terburu-buru memasuki dapur. Uratnya yang tegang langsung mengendur melihat rambut keriting dengan warna yang lebih terang dari warna rambutnya sendiri. “Vie ….” “Pasti kamu lupa deh kalau aku sudah bilang mau menumpang tidur tadi malam.” Violetta Colt menggelung rambut lebatnya, memperlihatkan telinga yang penuh tindikan. “Oh, iya.” Leighton mengisi gelas dari teko kaca berisi infused water dari tiga macam potongan-potongan buah organik yang dibuat oleh sepupunya itu. Ia membuka laptopnya setelah memasukkan beberapa bagel ke dalam oven. “Jadi … kamu dari mana saja?” Sekilas Leighton melihat sepupunya membungkuk sampai menyentuh matras yoga, membuatnya sedikit memutar bola mata. Ini akhir pekan, tidak bisakah Vie mengambil cuti olahraga dan bermalas-malasan di tempat tidur saja. Ia tahu, justru ia seharusnya ikut menggelar matras yoga dan menyamakan gerakan. “Dari Portland, kami ke San Francisco. Aku jadi pembicara di seminar Healthy and Sustainable Homes. Omong-omong, aku membawakanmu essential oils untuk membuatmu santai.” Vie menegakkan bagian atas tubuhnya dari posisi telungkup, menyerupai ular kobra. “Sialan. Aku tidak sedang stres, tahu!” “Aku pernah memegang bahumu, tegang sekali.” Vie kini memegangi sebelah kaki yang terangkat di balik punggungnya. Leighton memutar bola matanya lagi, “‘Kay. Thanks.” Jarinya menekan tetikus untuk membuka sebuah email, kemudian matanya membelalak. “Ya ampun, Vie! Yes! Yes! Aku berhasil! Aku mendapatkannya!” Leighton berdiri dari kursinya dan mengangkat kepalan tangannya. Bukan kabar dari award untuk film buatannya. Akan tetapi, sebuah perusahaan produksi lipstik, lip cream, dan kuteks yang diam-diam ia datangi di sela-sela proses syuting dan editing filmnya baru saja menyatakan bersedia untuk bekerja sama. Ya ampun, perusahaan ini pernah bekerja sama dengan Kylie 76
Antologi 1820
Jenner, lho. Salah satu dari Kardashians, pasti kualitasnya tidak main-main. (“Selamat, L!� Terdengar seruan Vie) Orang bilang, kejarlah impianmu sendiri. Ia seharusnya sudah lama memiliki merek makeup-nya sendiri. Akan tetapi, tidak ada kata terlambat untuk mengejar cita-cita, bukan? Gadis itu tidak sabar untuk bisa lepas dari cengkraman kakeknya. Bunyi oven adalah petunjuk baginya untuk mengeluarkan bagel yang telah siap untuk dimakan. Setelah menyisihkan sebagian untuk sang sepupu, ia membawa sarapannya duduk di sofa yang menghadap ke televisi berlayar lebar yang baru saja dengan lihai ia hidupkan. Penyiar berwajah serius menyambutnya, dibingkai oleh teks judul berita berukuran besar di sela sekelebatan video-video amatir. Video-video itu tampak berasal dari ponsel yang sedang dibawa lari pontang-panting oleh pemiliknya, memperlihatkan lorong-lorong gedung sekolah dan pintu kelas-kelas yang tertutup rapat. Leighton dengan santai menggigit bagel renyah yang telah ia lumuri dengan krim keju, sampai nama sekolah terdengar disebut oleh sang penyiar. Lho, itu kan sekolah yang sedang didatangi Lana hari ini! Sekarang layar dipenuhi pandangan dari atas udara, siaran langsung dari helikopter. Leighton menegakkan tubuhnya untuk menyimak berita dengan lebih jelas. Tangannya naik menutup mulutnya, ia benar-benar terkesiap. As-ta-ga, Lana. Pikirannya hanya tertuju pada temannya itu. Lana tidak akan berada di sana kalau bukan karena mendapatkan tawaran darinya. “Vie! Sini deh, lihat!� Air matanya mulai mengucur deras, ia memeluk tubuh sepupunya erat-erat. Mungkin ketika langit berwarna merah pagi tadi, seharusnya Leighton rutin mengecek seperti para nelayan dan penggembala zaman dahulu. Karena menurut sebuah ungkapan, langit merah pertanda akan datang badai. Andai saja ia bisa mencegah temannya pergi mendatangi maut. ****
77
R e d s k y I n t h e m o r n I n g Ii
~ “Itu semua hanya mimpi. Benar, ‘kan?”
Antologi 1820
Ditulis oleh nIcole marvelle
S
eorang gadis dengan rambut ikal terbangun dari istirahatnya semalaman. Napasnya tersengal, beradu dengan tetes keringat mengalir di sisi wajahnya. Musim dingin telah mengucap sampai jumpa beberapa pekan lalu kepada semua, suhu udara mulai menanjak. Sejak saat itu juga setiap malam Lana didatangi oleh berbagai karakter yang pernah ia sebutkan dalam kisah-kisah yang ia tulis atau sekadar bacakan. Dini hari tadi, Ratu Salju hadir di dalam mimpi Lana. Wajahnya yang pucat dengan bibir sewarna stroberi beku menyapa Lana dengan mata menyipit. Tangannya berusaha mengubah seisi kamar Lana seolah terbuat dari balok es. Dari jendela terlukis pemandangan salju sedang mengamuk bersahutan, menghalau semua yang ingin bepergian. “Apa yang kamu lakukan di sini, Paduka Ratu?� Dengan nada ramah, Lana melayangkan sapaannya kepada Ratu Salju. 79
Red Sky in the Morning II
“Melindungimu. Tidakkah kau lihat apa yang sedang terjadi di luar sana? Kau mau mati beku?” Wajah Ratu Salju serius sekali. “Tentu tidak, tetapi aku harus pergi. Ada acara penting hari ini, tidak mungkin kubatalkan.” “Kamu meragukanku? Apa kau mau badainya kupindahkan ke dalam sini agar tahu betapa bahaya di luar sana?” Lana ingat pernah melihat Ratu Salju seperti ini saat sedang kesal. Lana tertawa mendengar celoteh perempuan yang usianya dua kali lipat lebih tua darinya itu, sampai kemudian ia menyadari bahwa Ratu Salju benar-benar mengundang kawannya yang mengamuk masuk, membuat benda-benda di kamar beterbangan. Tubuh Lana tidak bisa menolak terlontar meski sudah berpegangan pada dipan. Lana duduk di tepi tempat tidur, napasnya mulai bisa dihitung dengan ritme yang teratur. Tiga hari yang lampau, datang kepadanya Kakek Orzwald yang selalu ke mana-mana membawa tongkat kayu berkaki dua. Dalam mimpinya, Kakek Orzwald bilang Lana harus selalu berhati-hati dan awas karena di luar sana selalu ada musuh yang bersiap menerkam kalau diberi kesempatan. Beberapa hari sebelum itu juga, Skele si monster kerangka yang tingginya bertambah satu milimeter setiap hari ikut hadir memperingatkan, padahal ia jarang mau pergi jauh berlama-lama dari kursi kayunya yang nyaman karena takut tulang-belulangnya berserakan. Itu semua hanya mimpi. Benar, ‘kan? Lana mengikat rambut ikalnya menjadi satu di belakang kepala, bentuknya sekarang serupa ekor kuda yang selalu bergerak mengikuti tubuh. Serpih halus bernuasa koral Lana sapukan ke wajah, menjadikan penampilannya lebih segar. Blusnya senada dengan warna tas yang bertengger di bahu. Dua minggu terakhir, Lana dan kawan-kawan sudah bekerja keras sekali mempersiapkan semuanya, merepotkan beberapa orang yang selalu bersedia mengalirkan bantuan sampai dalam bentuk yang paling kecil. Uh, Lana akan sangat tidak enak hati andai semua waktu yang kawan-kawan terbaiknya relakan tidak dibalas dengan usaha yang sepenuh hati. Lana menarik kunci dari panel listrik di dinding, membuka pintu flatnya, kemudian menutupnya perlahan. Tidak ada badai yang Ratu Salju 80
Antologi 1820
katakan dini hari tadi. Negeri Kaki Matahari sedang panen bunga, kalau kata Mandy. Awan berkerumun meneduhkan setiap pijak yang Lana buat, menjadikan Lana yakin untuk terus melangkahkan kaki ke halte bus terdekat. Semalam ia sempat membeli jus buah dalam kemasan dari minimarket terdekat, isinya Lana habiskan sebelum kendaraannya hari ini datang. Lana yakin kawankawan satu timnya tidak akan terlambat untuk menggelar pertunjukan hari ini. Ponsel Lana berdering tepat saat ia melangkahkan kaki masuk ke dalam tumpangan yang telah dinanti. Dari ayah yang sudah beberapa hari ini teleponnya tidak pernah sempat Lana angkat karena nyanyiannya telanjur berhenti. Lana sudah berniat menghubungi kembali, tetapi ayah sedang tidak bersama telepon genggamnya lagi. “Halo, Ayah?” Lana berusaha memberi sambutan yang mengalun ceria di telinga ayahnya. “Kamu sedang di mana?” “Naik bus, hari ini aku ada pertunjukan di sekolah. Mereka merayakan hari jadi yang ke-28, kemudian mengundangku dan kawan-kawan untuk bercerita.” “Manggung boneka ... lagi? Great.” “Terima kasih, Ayah. Ayah bagaimana? Sehat-sehat, ‘kan? Jangan sering pulang malam, seharusnya Ayah sekarang lebih banyak istirahat di rumah.” Lana dengar dari ibu, beberapa bulan terakhir tubuh ayah semakin menyusut. Rambutnya semakin banyak dikuasai oleh aksen abu dan putih. “Mauku juga seperti itu, tetapi tidak bisa.” Ayahnya terkekeh. “Karena putriku lebih suka berkeliling dunia dengan sekoper boneka dan beberapa peti peralatan pendukung, sementara aku harus melaksanakan kewajibannya.” “Kenapa begitu?” Lana bertanya sambil lalu karena mengetahui dengan pasti ke mana arah pertukaran cerita mereka berikutnya. “Suzanne dan Bryan tidak bantu Ayah?” Dua adiknya yang Lana tahu lebih dapat diharapkan mengikuti apa yang ayahnya angankan beberapa tahun terakhir. “Never mind, sayangku.” Lagi-lagi ayahnya terkekeh. “Lakukan saja apa yang menurut hatimu benar.” Lana bisa merasakan kalau dari jauh ayah mencoba mengulur senyum sambil menyamarkan batuknya.
81
Red Sky in the Morning II
“Kalau pun menurutku benar, tetapi aku tidak bisa membiarkan Ayah sibuk sampai tidak ingat mengurus diri sendiri.” Suara Lana sedikit tenggelam, berusaha menahan emosinya agar tidak sampai menyeruak berlari kencang di tengah pusat keramaian. “Lantas kalau begitu, kau mau apa? Pulang ke rumah dan menggantikanku mengurusi rumah sakit?” Ayahnya terkekeh lagi. “Tidak perlu. Pulanglah kalau memang kau rasa sudah cukup melihat dunia.” Lana tidak tahu harus bersyukur bagaimana lagi diberi hadiah berupa ayah yang sangat pengertian oleh Tuhan. “Sudah, ya. Ayah harus kembali kerja. Jangan lupa berdoa sebelum mulai supaya tidak ada anak-anak yang menangis karena menonton pertunjukan kalian.” Adrian Thomson Marvelle, sesulit apa pun keadaannya, selalu menutupnya dengan gurau. *** Lana sedang mengatur barisan boneka dan beberapa properti yang akan digunakan untuk tampil di depan para siswa dan tamu undangan perayaan sekolah nanti. Jenderal Speedlight yang paling depan, disusul oleh anjing kesayangan yang selalu bersedia menemani perjalanannya menjadi penegak aturan, kemudian ada Beatrice, staf Jenderal Speedlight yang selalu bergerak seimbang dengan pemimpinnya, John si Detektif cerdas dan selalu ceria, Martha, si— ”Lana, apa kamu lihat Flower?” Laki-laki berambut kemerahan yang kemarin sempat Leighton tanyakan memanggil Lana. “Tidak, Wilson. Dia tidak ada di sini.” Lana setengah tidak percaya ada boneka yang tidak terlihat di mana keberadaannya. Seingatnya kemarin sudah semua diperiksa ulang dan tidak ada yang terlewat. “Sore kemarin sudah kutempatkan dia di kotak yang sama dengan yang lain.” “Menurutmu ada yang usil memindahkan atau membawanya pergi?” Seharusnya tidak ada. Flower adalah boneka yang kurang menarik secara fisik. Bajunya berlubang, penuh bintik seperti bunga yang rusak, tetapi ia pemberani dan selalu berjuang membela kebenaran. Ia bersedia 82
Antologi 1820
memperjuangkan nasib permukiman tempat tinggalnya agar tidak dialihfungsikan menjadi hutan beton. “Kita cari lagi, ya? Tanya kepada yang lain apakah mereka mungkin meminjam sebentar karena Flora perlu diperbaiki.” Lana mulai panik. Bagaimana bisa pertunjukan nanti berjalan sesuai rencana apabila salah satu pemeran utama dalam cerita tidak ada? Tidak mungkin mengubah kisah dalam waktu yang hanya sisa satu jam setengah. Masih belum cukup, tiba-tiba telepon genggam Lana bernyanyi lagi. “Sayang,” kata suara yang mengajak Lana bertatap muka melalui layer. “Kata Ayah kamu manggung hari ini? Kenapa tidak bilang?” “Ah, itu—” “Padahal Ibu sudah menunggu kamu pulang. Nanti malam anniversary pernikahan kami yang ketiga puluh, kalau kamu lupa.” Mendadak di benak Lana tergambar kalender besar di apartemennya mencoreti diri dengan spidol merah, membuat bentuk lingkaran pada satu tanggal. Tanggal hari ini. “Siang acaranya sudah selesai kok, Bu. Sore nanti aku pulang.” Aku usahakan, lanjut Lana dalam hati. “Benar ya, sayang? Kami menunggumu.” Raut wajah yang mulai punya hiasan garis-garis halus di layar telepon genggam Lana kini menjadi lebih ceria. “Semoga pertunjukannya berjalan lancar. We love you.” Kepada Cindy Aretha Marvelle, Lana ingin menumpahkan rasa sayang yang tidak pernah cukup untuk membalas semua jasanya. *** Lana memejamkan mata. Dalam angannya bermain wajah-wajah gembira yang terkagum akan kisah dongeng versi remaja yang Lana gubah sendiri. Seharusnya sekarang pemandangan itu yang Lana lihat. Perasaannya penuh bunga-bunga cantik bermekaran, bukan pohon tua dengan batang kering dan daun meranggas. Angin semilir menolak mengajak hati semua orang berdansa. Rasanya dingin, padahal di sekitar Lana ada begitu banyak manusia.
83
Red Sky in the Morning II
Alunan mencekam sayup-sayup lewat di telinga. Rasanya Lana sekarang sendirian. Tidak ada yang mau mengulurkan tangan, semua sibuk mengamankan diri masing-masing. Seharusnya ini hari yang dipenuhi manusia penuh tawa. Seharusnya mereka semua sekarang sedang bersuka cita. Seharusnya tidak ada orang jahat yang mengganggu. Seharusnya Lana tidak perlu sampai datang ke sini. Tidak perlu berjumpa dengan Leighton beberapa hari sebelum ini. Tidak perlu menyetujui datang ke undangan Shirley dua pekan lalu. Sudah satu jam sejak mereka semua dikurung dalam satu ruang kecil di belakang aula. Lampu semuanya dipadamkan, begitu pun penghangat ruangan. Tidak ada yang diperbolehkan keluar sampai ada sekelompok orang baik hati menembus dinding serta jendela, mengulurkan tangan, dan menarik mereka kembali ke dunia luar. Lana masih punya banyak cita-cita, ia belum ingin berakhir di dalam kotak kayu dengan wajah tercantik dan pakaian terbaik. Bahkan, pertunjukan yang sudah mereka persiapkan beberapa pekan ini belum sempat ditunjukkan kepada dunia. Lana masih ingin berkeliling ke banyak negara, menulis banyak cerita, masih ingin mengajak kawan-kawannya bersua dan bertukar kisah indah. Iya, itu yang selalu hidup dan membuat Lana menantikan hari esok bertemu kembali dengan pagi meski pada beberapa kesempatan cerita-cerita penguras hati dari Nona Cissy beberapa kali pernah terbukti. Lana masih ingin bertukar strategi menjawab teka-teki dengan Ronny, beberapa di antaranya tentu untuk menjawab kuis sederhana dari Mark, yang mana kalau Lana bisa menjawab, hadiahnya pergi jalan-jalan seharian hanya berdua. Mr. Brownie, uh, Lana belum mencoba varian cokelat pedas terbarunya. Mr. Brownie bilang Lana bisa pilih sendiri levelnya, juga apakah rasa pedasnya dicampur dengan keju leleh di bagian dalam. Sekarang di benak Lana muncul wajah Leighton yang penuh antusias saat perjumpaan mereka yang terakhir di sebuah hotel pada kawasan Beverly Hills. Leighton yang pada hari itu membuat hati Lana bahagia memakai gaun dari Givenchy yang pas merangkul tubuh cantiknya. Tentu saja Leighton terlihat bersinar karena datang bersama seseorang yang membuat hatinya berdansa.
84
Antologi 1820
“Kemarin ada orang menghubungiku, dia mencari pengisi acara sekolah. Kamu berminat, tidak, Dear?” “Oh, ya? Sekolah mana? Mungkin aku pernah manggung di situ juga.” “Sekolah ... di mana ini, ya ....” Jemari Leighton menggeser-geser permukaan layar ponselnya. “Aku forward saja email-nya ke kamu, ya. Alamat email kamu masih sama?” “Boleh saja atau kamu sampaikan ke pemilik yayasannya untuk mengundangku. Hahaha.” Lana tertawa kecil menyambut semangat yang menjalar, sambil meneguk sedikit minumannya. “Itu yang sedang aku lakukan.” Leighton masih sibuk dengan ponselnya selama beberapa saat sehingga Lana mengedarkan senyumnya kepada orang-orang yang berlalu. “Done and done.” “Terima kasih banyak, Leighton.” Lana mengambil ponselnya yang mengirimkan sinyal getar dari clutch. “Mudah-mudahan ini jadi awal yang baik. Kebetulan aku baru memutuskan untuk membuat cerita yang sedikit lebih dewasa daripada yang biasa. Aku ingin sekali mendengar reaksi orang-orang mengenai hal baru ini.” Bisa Lana bayangkan seseorang tergugah untuk menjadikan dunia lebih indah karena sebuah kisah. Iya, Lana tahu, terkadang untuk membuat seseorang bergerak dibutuhkan cara-cara yang tidak biasa. Bercerita melalui media boneka adalah salah satunya. Kawan-kawan satu timnya segera berbagi tugas serta tanggung jawab untuk mewujudkan harapan setelah Lana mengirim pesan dari ketua yayasan kepada grup obrolan yang mereka huni bersama. Tidak pernah ada yang memperlihatkan bahwa mereka melakukannya karena terpaksa. Sekarang lihat mereka, kawan-kawan Lana, sedang apa? Awan kelabu menggantung angkuh dalam benak tanpa memberi kesempatan untuk Lana berpikir jernih. Mereka meringkuk, diam, dengan gigi bergemeletuk terus berulang, ketakutan. Sekali ini Lana harap menggunakan pola pikir yang biasa dianut Paula agar selalu mencari alternatif pergerakan. Ruangan tempat mereka sekarang berada tidak memiliki jendela. Langitlangitnya terlalu tinggi untuk dipanjat. Pintu hanya membuka untuk mengantarkan mereka kepada ruang aula utama. Bisa atau tidak ya mereka semua nanti keluar dari sini?
85
Red Sky in the Morning II
Apa kata ayah saat mendengar berita tentang ini? Apa ibu sudah mendapat pesan berantai tentang kabar terkini, kemudian memberi tahu ayah kalau putri kesayangannya sedang terjebak dalam situasi yang sangat tidak diinginkan? Padahal tadi, kira-kira tiga jam yang lalu, Lana baru saja mengikrarkan janji akan hadir di tengah ruang keluarga saat sinar matahari sudah pergi. Andai saja dulu Lana tidak bersikukuh mencari jalannya sendiri. Andai saja sejak dahulu Lana tidak bersikeras mengikuti kata hati, ada di mana dirinya sekarang ini? Teringat oleh Lana ruangan besar yang dirinya lihat setiap hari bersama kawan-kawan yang berusaha mendapatkan gelar sebuah profesi. Lana tahu jiwanya selalu melayang jauh, berkelana, meskipun konsentrasinya berusaha hanya peduli terhadap pembuluh dan sistem saraf yang sedang dibedah. “Tahu tidak, aku penasaran melihat banyak tempat di dunia, kemudian menuliskan banyak kisah manis yang terjadi di sekitar sana untuk diceritakan kembali kepada orang lain.” “Bukannya Ayahmu sudah berpesan untuk kamu bersiap meneruskan rumah sakit keluargamu nantinya, kalau sudah besar?” Shaquilla menatap Lana seolah kawannya sedang kerasukan sehingga berkata yang bukan-bukan. “Buat apa susah-susah sekolah jadi dokter kalau kamu tidak praktik?” “Entahlah, Kila. Aku tidak suka memegang gunting operasi dan menjahit bekas setelahnya. Rasanya seperti menyakiti, padahal yang kulakukan adalah membantu.” “Kamu ini bagaimana? Tidak selalu yang namanya berbuat baik itu tidak menyakiti.” Shaquilla bicaranya ketus sekali, seperti ingin mencuci semua isi pikiran Lana. “Mungkin yang ingin kusembuhkan sebenarnya adalah perasaan mereka. Aku ingin mereka berbesar hati menerima keadaan untuk kemudian mengalahkan keterbatasan dengan kekuatan mereka sendiri.” “Pfft.” Shaquilla mencibir. “Semaumu sajalah kalau begitu, siapa sangka kamu begitu keras kepala. Aku tidak tanggung jawab kalau nanti Ayahmu kecewa.” Saat itu Lana masih duduk di tingkat akhir kuliah program sarjana. Ia masih punya kesempatan untuk membuka diri terhadap hal yang tidak punya kaitan sama sekali dengan pelajaran yang didapat selama tiga tahun terakhir. 86
Antologi 1820
Ditambah lagi obrolan mengenai makna kehidupan bersama Annemarie dan Agrona yang selalu membuat hati Lana terasa penuh sampai sesak. Millie dan Rona selalu mengatakan terkadang perjalanan hidup mengantar individu kepada pilihan besar yang membuat mereka menjadi manusia yang sama sekali berbeda. Lana, beberapa tahun yang lalu, akhirnya memutuskan untuk mengatakannya kepada ayah dan ibu kalau ingin menjalani hidup yang berbeda dari mereka. Uh, rasanya Lana sekarang mempertanyakan apa peran hidupnya selama ini bagi hidup orang banyak. Karena bisikannya kepada yang lain untuk mengambil kesempatan yang ada, sekarang ia bertanggung jawab atas sambungan napas dari beberapa manusia yang bersedia bekerja bersamanya. Tidak tahu berapa banyak lagi waktu yang Lana punya atau apa ternyata masih banyak saat yang tersisa. Lana bahkan belum sempat mengucap terima kasih kepada Bethany yang senyumannya secerah mentari pagi. Bethany adalah salah satu dari dua kawan yang menyambut ide Lana untuk membuat pertunjukan boneka sendiri, juga membantu mewujudkan banyak karakter yang selama ini hanya hidup di dalam pikiran Lana. Sejak lama Lana tahu bahwa Bethany sering membuat gambar sederhana di sela jam pelajaran. Seringkali Lana memunguti kertas hasil karya Bethany yang terjatuh dari buku agenda. “Me-membuat desain boneka dalam waktu satu hari? Lana, aku belum pernah melakukan itu sebelumnya. Aku tidak tahu apakah bisa.” Bethany tertawa ketika Lana mencoba mengutarakan idenya sepulang mereka dari pesta. “Tidak apa-apa, Beth. Aku selalu yakin kamu akan bisa memberikan yang terbaik.” Lana tertawa bersama Bethany. “Baiklah kalau itu maumu. Jadi … ceritakan kepadaku. Siapa Jenderal Speedlight yang kamu ceritakan barusan? Apakah dia manusia?” Bethany menggunakan sepotong kertas yang menunggu sendirian di antara hampar meja saji. Lana tidak sempat menanyakan bagaimana perjalanan yang ia alami untuk bisa tiba di sana. Ia hanya ingin segera menumpahkan semua isi hati dan alam imajinasi kepada Bethany. Bethany bilang tidak berani janji karena takut akan mengecewakan, tetapi sekarang..., lihat siapa yang bertingkah 87
Red Sky in the Morning II
menyebalkan? Lana, karena memaksa figur boneka sesuai keinginannya sampai di Los Angeles dalam waktu satu minggu atau dua. Kiriman dari Bethany baru kemarin sore sampai di tangan Lana. Bethany mungkin sekarang berpikir Lana mulai lupa bagaimana cara menghargai kawan yang sudah berbaik hati. Napas Lana tertahan karena ia dengar ada suara langkah kaki yang berat mendekat. Apakah itu yang tadi Lana dengar menembakkan senapan di tengah perayaan yang berjalan? Mungkin setelah ini ada suara menyeramkan yang mengikuti di belakang. Ya Tuhan, Lana masih perlu waktu untuk menyampaikan maaf kepada Zweta karena pekan lalu tidak sengaja merusak tanaman yang dipajang di toko cantiknya. Lana sudah mengikrarkan janji akan mengganti dan membantu Zweta untuk menanam kembali semua yang kena sentuh oleh tubuhnya yang ceroboh. Suara kaki yang Lana dengar tadi belum ada lanjutannya lagi. Ingin sekali rasanya Lana bergerak menghampiri tas cokelat muda yang tersimpan rapi di lemari. Ponsel Lana ada di sana, bersembunyi. Lana ingin mengirimkan pesan untuk Mark. Kepadanya, Lana masih punya utang penjelasan. Kemarin mereka berdua bertengkar karena Lana sering sekali lalai mengirimi kabar. Laki-laki itu bilang, ia khawatir. Ia khawatir Lana menolak untuk kenal lebih jauh dengan kenyataan karena lebih sering tenggelam di alam mimpi. Ia bilang, seharusnya Lana berhenti memperjuangkan semua ini karena bahkan bayaran yang mereka semua terima tidak akan cukup untuk mengganti biaya perjalanan Jenderal Speedlight dari Boston untuk sampai kemari. Krak! Datang dari arah yang paling tidak Lana harapkan untuk diganggu. Pintunya! Sekarang ia mengayun disertai suara yang kasar. Lana rasa detak jantungnya berhenti. ****
88
SampaI nantI, SampaI mati ~ “Kita aman di sini, Mark.�
Sampai Nanti, Sampai Mati
Ditulis oleh Mark horsey MeredIth ruffalo
Masa kini
B
ungker ini cukup luas. Aku tidak tahu berapa tepatnya, sepuluh meter persegi, mungkin? Letaknya sekitar lima meter dari permukaan tanah. Dilengkapi dapur dan toilet, sistem penyaringan udara, sistem listrik AC/DC, dan sirkulasi udara. Barangkali sistem penyaringan udaranya tidak berfungsi karena bisa kurasakan bau tidak sedap dari tubuh Mark seakan mengisi bungker perlahan-lahan. Aku tidak peduli. Aku tetap membawa pemuda itu bersamaku. “Bungker ini dibuat oleh kakekku sebagai tempat perlindungan dari kiamat tahun dua ribu dua belas,� kataku, membuka tutup botol wine dan minum 90
Antologi 1820
langsung dari botolnya, “Granpa Albert memercayai segala omong kosong tentang kiamat itu.” Ada untungnya juga, sekarang aku bisa menjadikan bungker ini sebagai tempat perlindungan sementara. Beberapa tegukan wine lagi, lalu kuhela napas panjang dan kubiarkan kepala Mark Horsey terkulai di bahuku. Kami berdua duduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding baja yang dingin. Tatapanku tertuju pada lampu darurat yang kubiarkan tetap menyala di rak tinggi di seberang ruangan. Lampu itu satu-satunya sumber penerangan kami. Aku bisa melihat deretan makanan kaleng yang tersusun rapi di atas rak itu. “Kita aman di sini, Mark,” bisikku lirih. “Zombie-zombie itu … Mereka tidak akan bisa menyerang kita di dalam sini.” *** Mark Taksi yang ditumpangi Mark merayap di antara kemacetan jalan raya di pusat Kota Glocestershire, di bawah guyuran hujan. Setidaknya arus lalu lintas terus bergerak, meski perlahan, dan semua kendaraan tidak sekadar diam di tempat. Ini adalah sesuatu yang patut disyukuri Mark. Sudah hampir sejam pemuda itu duduk malas-malasan di jok belakang, merasa bosan, sementara si sopir taksi tidak banyak bicara. Obrolan menarik antara Mark dengan sopir taksi itu terjadi ketika Mark menjelaskan dengan detail alamat yang dituju dan hanya ditanggapi dengan ‘hmm, hmm’ yang membuat Mark berpikir bahwa bisa saja kumis tebal pria itu yang membuat kata-katanya teredam. Selanjutnya yang terdengar sepanjang perjalanan hanyalah suara percakapan dua orang pria yang bersumber dari radio di dashboard. “…, seperti rabies, virus ini menular melalui gigitan ….” “…, membuat si penderita menggila .…” “…, menyerang sistem saraf, dan peneliti di pusat kesehatan memperkirakan bahwa virus berevolusi setiap dua puluh empat jam .…” “…, masyarakat tidak perlu panik .…”
91
Sampai Nanti, Sampai Mati
â€œâ€Ś, jadi apakah Anda yakin masalah ini sudah bisa ditanggulangi oleh dinas terkait .‌â€? Mark tidak terlalu mendengarkan siaran wawancara di radio itu. Pikirannya sekarang dikuasai Meredith dan Mark menyadari betapa dia merindukan kekasihnya itu. Pindah kerja, itulah alasan Mark mengunjungi Glocestershire. Dua minggu yang lalu, dia mendapat wawancara kerja di tempat baru, setelah sebelumnya keluar dari pekerjaan sebagai editor surat kabar lokal di London. Mark berhenti dari pekerjaannya atas keinginannya sendiri. Masalah gaji, tidak perlu diperdebatkan lagi. Kebetulan Meredith punya kenalan yang bisa membantu Mark mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Wawancara beres, Mark mendapat pekerjaan, tetapi belum memiliki apartemen. Kedua orang tua Meredith sudah berbaik hati menawarkan rumah mereka untuk dijadikan tempat menginap sementara. Dengan demikian, Mark tidak perlu keluar biaya untuk menginap di motel. Meskipun begitu, Mark tetap harus bolak-balik Glocestershire– Northumberland. Tentu saja ini bisa dimanfaatkan untuk melepas rindu. Mark sudah dua tahun bekerja di kota yang jauh, jauh dari Meredith. Mereka akan segera bertunangan. Dalam keheningan tanpa percakapan dalam taksi, Mark melihat foto-foto Meredith di galeri ponselnya. Foto-foto Meredith yang sendirian, selalu tersenyum pada kamera. Foto-foto Meredith dan Mark bersama dengan latar belakang memperlihatkan berbagai tempat: di depan air mancur, di depan Big Ben, di depan poster film dalam bioskop ‌ Mark tersenyum kangen. Sumber kemacetan jalanan sore itu ternyata berasal dari sebuah mobil ambulans. Dua orang polisi yang memakai jas hujan membantu mengarahkan kendaraan yang melintas. Saat taksi yang ditumpangi Mark perlahan mendekat, dia bisa melihat kondisi ambulans. Kelihatannya seolah-olah ambulans itu berusaha melompati median jalan, tetapi berhenti di tengah-tengah, membuat bagian depannya berada di jalur taksi Mark, sedangkan bagian belakangnya di jalur sebelah. Kaca depannya sudah pecah. Ada jejak darah memanjang di kap mobil, sementara pintu mobil di sisi pengemudi sudah copot. Lampu sirene ambulans masih menyala berputar-putar, tetapi tanpa bunyi. 92
Antologi 1820
Dua polisi memeriksa ambulans itu sambil terus bicara melalui handytalky. Seorang petugas sedang memotret. Mark tidak melihat siapa pun selain para polisi tersebut. Tidak ada tubuh bersimbah darah yang tergeletak dengan kepala menelungkup di roda kemudi, tidak ada mayat. Mungkin semua korban sudah dibawa ke rumah sakit. “Kelihatannya mereka sedang menunggu mobil derek.” Sopir taksi berkata sambil terkekeh, melirik Mark melalui kaca spion depan. “Aku kenal pengemudi mobil derek itu. Pemabuk tua yang pemalas. Semoga mereka beruntung bisa menyuruhnya bertugas di cuaca begini.” “Apa yang terjadi?” tanya Mark, masih memandangi ambulans itu. “Tampaknya mereka ingin buru-buru pindah jalur.” “Mabuk, mungkin,” jawab si sopir sambil mengangkat bahu. “Lihat darah itu.” Mark menunjuk. “Aku tahu,” si sopir menyahut sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak yakin apakah benar-benar prihatin atau cuma berpura-pura, “pengemudi malang. Tubuhnya pasti terlempar menghantam kaca depan sampai pecah saat ambulans menabrak median jalan.” “Tapi lihat jejak darahnya,” ujar Mark. “Kelihatannya dia diseret, bukan terlempar.” “Menurutmu begitu?” tanya si sopir. Mark tidak menjawab. Hidungnya menempel pada kaca jendela mobil. Ada suara gonggongan anjing di belakang taksi yang membuat Mark menoleh. Sebuah minivan berisi satu keluarga dan seekor terrier kecil yang menjulurkan kepala melalui kaca jendela, menyalak-nyalak riang. Setelah melewati ambulans, arus lalu lintas mulai lancar. Sementara hujan masih lebat dan langit yang makin gelap sesekali diterangi cahaya kilat. Satu kilometer kemudian, taksi memasuki jalur bebas hambatan dan Mark sudah lupa sepenuhnya dengan ambulans tadi. Pikirannya hanya terisi dengan Meredith, sementara dia duduk santai di jok belakang taksi, melamun menatap hujan. ***
93
Sampai Nanti, Sampai Mati
Meredith Sementara sebelah tangannya memegang ponsel, tangannya yang bebas mengambil sepotong kue yang dihidangkan dalam piring besar di atas meja dapur, lalu memasukkan kue itu ke mulutnya. “Hmm,” Meredith, di tengah usaha menjaga suaranya tetap jelas ketika bicara, tetap mengeluarkan bunyi mengunyah dan mendecap, “kuenya enak, Lynette! Serius, kau belajar membuat kue dari mana? Youtube?” Lynette Milford, yang sedang memasang lilin berbentuk angka 25 di atas kue ulang tahun besar berwarna merah-biru, menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari lilin itu. “Yah, gereja kami biasa mengadakan acara membuat kue tiap akhir pekan. Kau tahu, untuk dibagikan pada anak-anak gelandangan di sekitar gereja. Aku biasanya ikut berpartisipasi bersama sejumlah relawan dan donatur.” “Iya, tapi tetap saja mereka belajar membuat kue dari Youtube, kan?” tanya Meredith tidak acuh, mengambil sepotong kue lagi. Dia mendapati bahwa Lynette sudah mengalihkan pandangan dari lilin di kue itu dan sekarang menatap Meredith dengan kening berkerut. “Kau tahu? Kurasa kau harus pergi ke gereja sekali-sekali.” “Eww,” Meredith mengerang, wajahnya menampilkan ekspresi jijik yang tidak meyakinkan, “tolong jangan membuat selera makanku hilang.” Sebagian besar tamu berkumpul di ruang santai sambil menonton televisi. Tidak banyak yang bisa dilakukan saat cuaca di luar tidak bersahabat. Tadinya mereka berencana untuk mengadakan pesta kecil-kecilan di pekarangan belakang, memanggang kue, pesta barbeque, atau semacam itu. Meredith bergabung dengan orang-orang di depan televisi, menonton acara Millie Show. Tidak semua orang fokus menonton televisi, sesekali mereka menertawakan lawakan garing Millie pada bintang tamu, tetapi Ann Anderson kelihatan begitu serius menatap layar laptopnya. “Urusan kantor?” tanya Meredith, duduk di samping Ann di sofa sambil mengintip layar laptop. Ann terlihat seperti sedang berada di planet lain. Tampak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke bumi setelah mendengar suara Meredith. 94
Antologi 1820
“Yah, semacam itu,” katanya lesu, mengalihkan pandangan dari laptop dan menatap Meredith dengan senyum agak dipaksakan. “Hanya membaca beberapa surel berisi keluhan dari klien,” lanjut Ann sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. “Tidak semua orang memahami sistem perasuransian, bukan begitu?” komentar Meredith saat ikut membaca surel di laptop Ann. Ann membaca surel dalam gumaman, lalu berkata pada Meredith, “Jadi, Mark baru bekerja di tempatmu, lalu kalian akan bertunangan. Bukankah ini seperti menikahi juniormu sendiri?” Karena tidak pernah mengerti jalan pikiran Ann, Meredith menjawab seadanya, “Yeah. Kurasa begitu,” ujarnya merenung. “Setidaknya redaksi kami punya sesuatu yang bagus untuk dipajang di surat kabar: pernikahan kru senior dengan kru junior.” Di dekat mereka, Mindy sedang bercerita tentang awal mula dia berkecimpung dalam profesi yang dia geluti sekarang. Shaquilla baru saja memindah saluran televisi ke acara yang menayangkan kartun Spongebob Squarepants dan sekarang dia terlihat serius menontonnya. Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Baru saja Meredith mulai mencemaskan Mark yang belum kunjung datang, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Bagus! Jangan lupa ekspresi kagetmu seolah kau betul-betul tidak mengira akan ada pesta kejutan.
Itulah balasan SMS dari Meredith, segera setelah gadis itu menerima pesan ‘aku sudah sampai’ dari Mark. Mindy Deschanel pasti akan marah kalau mengetahui bahwa Meredith membocorkan pesta kejutan ini. Mindy, di sela kesibukannya menjadi event organizer acara-acara penting, sudah bersedia memberikan jasanya tanpa dibayar untuk mengatur pesta kejutan sederhana ulang tahun Mark yang diadakan di kediaman keluarga Ruffalo. Namun, Meredith tidak tahan merahasiakan ini lantas memberi tahu Mark diam-diam. Untuk sementara, Meredith masih bisa memendam rasa bersalahnya pada Mindy, setidaknya sampai acara ini selesai. 95
Sampai Nanti, Sampai Mati
Televisi sekarang menyiarkan berita terkini tentang penyerangan (Meredith tidak terlalu menyimak) yang sepertinya melibatkan beberapa orang gila yang menggeram seperti binatang ketika menyerang seorang pria di taman kota. “Tolong matikan televisinya,” ujar Meredith. “Dia bilang dia sudah sampai.” Gadis itu buru-buru berjalan ke pintu depan. Segera saja terjadi kegaduhan ketika semua orang bergerak. Pesta itu memang sederhana karena hanya mengundang beberapa orang terdekat Mark dan Meredith. Ada delapan orang, empat di antaranya adalah teman baik Mark dan Meredith semasa sekolah: Mindy Deschanel, Ann Anderson, Lynette Milford, dan Shaquilla Wilcox. Dua orang sepupu Mark. Dua orang sepupu Meredith. “Kuharap dia bawa payung sendiri,” gerutu Ann, mematikan rokoknya pada asbak, mematikan televisi, lalu bergabung di dekat pintu yang tertutup, siap menyambut kedatangan Mark. “Kurasa tidak.” Shaquilla mengintip dari balik gorden. “Dia sering melupakan sesuatu. Ingat tidak waktu dia lupa memakai topi wisuda dan meminjamnya dari anak lain?” katanya pada Meredith. Jeda sesaat ketika mereka berdiri dalam keheningan. Lynette memegangi baki kue ulang tahun dan Ann membantu menyalakan lilin berbentuk angka 25 di atas kue itu. Mereka bisa mendengar bunyi kecipak air saat Mark menginjak genangan. Kemudian terdengar bunyi bel pintu. Tak ada yang bersuara. Mark membunyikan bel sekali lagi, sebelum akhirnya semenit kemudian dia membuka pintu. “KEJUTAAAN!” Semua orang berseru bersamaan. “Wah, aku terkejut!” seru Mark, sebelah tangan ditempelkan ke dadanya. “Selamat ulang tahun.” Meredith menghadiahi pelukan selamat datang. “Ya ampun, kau basah.” Jaket yang dikenakan Mark basah, tetapi Meredith tetap memeluknya erat. Sementara semua orang menyanyikan lagu Happy Birthday, Meredith mengambil alih kue yang dibawa Lynette dan memegangi saat Mark meniupnya. Tentu saja Meredith mendapatkan potongan kue pertama meskipun tidak bisa 96
Antologi 1820
disebut ‘potongan’ karena Mark menggunakan tangan alih-alih pisau. Tepatnya mencubit sepotong kecil dari kue ulang tahun bermentega itu dan menyuapkannya ke mulut Meredith. Setelah semua ucapan selamat ulang tahun, tanya jawab berbasa-basi, percakapan santai, dan diakhiri dengan semua orang mendapat secolek krim kue pada masing-masing wajah mereka, Mindy melihat jam tangannya. “Wah, aku sudah harus pergi, nih,” katanya riang. “Di luar masih hujan,” protes Mark. “Aku tahu,” ujar Mindy yang mulai mengenakan mantelnya dan memberikan pelukan satu per satu pada para perempuan. Meredith, sebagai nona rumah, mengantarkan Mindy sampai ke pintu depan. Dari sini dia masih bisa mendengar suara Mark yang terdengar jelas di ruang keluarga (“AYO KITA NONTON FILM PORNO!”) yang diikuti bunyi kelontang seakan semua orang menimpuknya dengan kaleng coke. Mindy menatap Meredith sambil cengar-cengir. “Pacarmu masih belum berubah,” katanya. “Aku tahu,” kata Meredith. “Nanti aku akan kembali lagi. Hanya sedikit urusan dengan bosku,” ujar Mindy, mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku. “Pestanya jangan bubar dulu sebelum aku kembali.” Meredith tersenyum. Mereka berpelukan sekali lagi. Beberapa saat kemudian, Meredith berdiri diam memperhatikan mobil Mindy hilang di kejauhan, seperti melarut di tengah hujan. *** Mark dan Meredith Sampai pesta berakhir dan orang-orang pulang, Mindy masih belum menampakkan batang hidungnya. Sudah jam tujuh malam dan Mark sedang berleha-leha di atas sofa, menonton acara kuis di televisi, sementara Meredith berberes-beres di dapur. Tadinya Mark membantu kekasihnya mencuci piring,
97
Sampai Nanti, Sampai Mati
setelah itu Meredith menyuruh Mark untuk beristirahat saja karena berkeras mengerjakan sisanya seorang diri. “Ada berita orang gila mengamuk di televisi,” lapor Mark saat breaking news pukul tujuh menyela acara kuis yang sedang ditontonnya. “Jadi, kapan orang tuamu pulang?” tanyanya pada Meredith. “Mungkin besok.” Meredith menyahut dari dapur. “Mungkin lusa. Entahlah. Seharusnya mereka tidak perlu berlama-lama.” “Dan kita hanya berdua di rumah ini,” ujar Mark. “I know, rite?” Meredith tiba-tiba saja sudah menjatuhkan diri di samping Mark, di atas sofa, sambil tersenyum lebar. Masih tercium aroma lemon sabun cuci piring dari tangannya. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Mark. Tanpa ragu, Mark merangkulkan sebelah lengannya pada gadis itu. “Kita bisa melakukan apa pun yang kita mau,” katanya sambil mengecup pipi gadis itu. “Ada ide?” Perhatian Meredith tertuju pada layar televisi. “Kita bisa menonton ulang serial Black Mirror di Netflix,” ujar Meredith, mengangkat bahu, “atau terserah kau saja.” “Aha! ‘terserah kau saja’, aku suka jawaban itu,” ujar Mark. Kemudian (dengan satu gerakan tiba-tiba dan berlangsung cepat serta terjadi begitu saja, diiringi pekikan Meredith) tahu-tahu Meredith sudah terbaring di sofa dengan Mark berada di atasnya. Mereka berciuman lama sampai Meredith mendorong tubuh Mark. “Mandi dulu sana. Kau bau.” Mark cemberut, lalu berusaha melanjutkan ciumannya, tetapi Meredith mendorong Mark dengan kedua tangan dan kakinya, membuat pemuda itu jatuh ke lantai dengan bunyi berdebam. “Maaf!” Meredith berseru. “Kau tidak apa-apa?” “I’m okay.” “Mandiiiiiiiiiii!” Kedua tangan Meredith terulur mengacak-acak rambut Mark dan membuat pemuda itu buru-buru berdiri. “Mau ikut mandi bersamaku?” tanya Mark nyengir. Meredith hanya menatapnya dengan kedua alis terangkat. 98
Antologi 1820
“Tidak mau, berarti? Ya sudah,” ujar Mark sambil berjalan dengan malas menuju kamar mandi. Baru saja Meredith mematikan televisi dan bersiap pergi ke kamar, dia mendengar ketukan di pintu depan. Ketukan berkali-kali, terdengar panik dan mendesak. Meredith membukanya. Mindy Deschanel berdiri di depan pintu, terlihat kacau. Rambutnya tergerai tak beraturan dan wajahnya tampak ketakutan. Napasnya tersengal seolah-olah dia baru saja berlari ke tempat ini. “Hei, Mindy, ada apa dengan …?” Meredith belum sempat menyelesaikan perkataannya saat Mindy buru-buru masuk ke dalam rumah, menarik Meredith bersamanya, menutup pintu depan, dan menguncinya. “Mengerikan,” Mindy berkata dengan suara seperti mau menangis. “Benar-benar mengerikan!” Menahan rasa ingin tahunya, Meredith merangkul pundak Mindy lalu membimbingnya ke sofa di depan televisi. Setelah mendudukkan Mindy di sofa itu, dia mengambilkan satu kaleng coke dari dalam lemari es. Mindy tidak langsung meminumnya, melainkan memandang sekeliling dengan ekspresi ketakutan yang masih terbayang di wajahnya, seolah-olah mengira siapa pun yang tadi mengejarnya bisa menerobos masuk ke dalam rumah kapan saja. “Hei, hei, tidak apa-apa. Kau aman di sini.” Meredith berusaha menenangkannya, mengusap punggung Mindy dengan sebelah tangan. “Apa yang terjadi?” Cairan coke menetes dari dagu Mindy saat gadis itu minum dengan terburu-buru, tersedak, terbatuk-batuk, lalu memejamkan mata, dan berusaha mengatur napasnya agar kembali normal. Saat Mindy membuka matanya kembali, raut wajahnya sudah mulai tenang. “Aku sedang berjalan menuju mobilku di tempat parkir,” Mindy mulai bercerita. “Tidak benar-benar memperhatikan sekitar karena aku sedang membaca pesan-pesan di ponselku. Kemudian …,” dia berhenti sejenak untuk minum lagi sebelum melanjutkan, “dua orang ini muncul entah dari mana. Satu laki-laki, satu perempuan. Tampaknya mereka gelandangan, entahlah. Mereka … mereka melesat ke arahku! Maksudku, bukan berlari! Tapi melesat!”
99
Sampai Nanti, Sampai Mati
Meredith mendengarkan dengan saksama, mengamati Mindy ketika gadis itu berhenti lagi untuk mengambil sehelai tisu dari kotak di atas meja. “Ada yang mengejar mereka atau apa?” tanya Meredith. Mindy menggeleng. “Tadinya aku juga mengira mereka lari dari seseorang atau mengejar seseorang,” lanjutnya. “Ternyata mereka memang menuju kepadaku. Aku panik! Aku … Kurasa aku menendang salah satu dari mereka sebelum berhasil kabur. Tasku terjatuh dan mereka bahkan tidak berhenti untuk memungutnya. Aku terus berlari sampai ke sini.” Kemudian Mindy terisak. Diambilnya lebih banyak tisu lalu mencoba menempelkan berlembar-lembar tisu itu sekaligus ke wajahnya. Meredith terpana. “Wow, memang mengerikan. Sepasang gelandangan mencoba merampokmu,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan simpati. “Aku bahkan belum sampai ke bagian terburuknya,” tukas Mindy seketika, minum beberapa teguk coke lagi dan menatap Meredith. Meredith balas menatap dengan pandangan bertanya. “Salah satu dari mereka menggigitku. Lihat.” Mindy menarik lengan kemejanya untuk memperlihatkan luka bekas gigitan di lengan kanannya. “Mengerikan,” komentar Meredith. Setelah beberapa saat mengamati luka itu dan mencoba menyentuh dengan ujung jarinya, Meredith berkata, “Begini saja. Aku akan mengobati lukamu. Dan kau boleh tinggal untuk malam ini. Oke?” Tidak butuh waktu lama bagi Meredith untuk mengobati luka Mindy, membersihkannya dengan cairan antiseptik, dan menutupnya dengan plester. Mark Horsey juga melihat luka Mindy lalu menyadari bahwa luka itu membuat kulit di sekitarnya membiru dan meradang. Mereka bertiga sepakat untuk memeriksakan ke dokter besok pagi. Setelah menidurkan Mindy di sofa dan menyelimuti gadis itu, Meredith masuk ke kamar di mana Mark sudah menunggu. “Hari yang aneh, ya?” “Benar,” ujar Mark setuju. *** 100
Antologi 1820
Pada tengah malam, Meredith terbangun dan seketika menyadari Mark tidak ada di sampingnya. Terdengar suara-suara di luar kamar, seperti bunyi baku hantam dan pergumulan, lalu teriakan Mark. “Mark ….” panggil Meredith dengan suara parau. Gadis itu bangkit dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju pintu kamar. Saat keluar dari kamar, Meredith melihat ruang santai di depan televisi masih gelap gulita. Dia menekan sakelar pada dinding untuk menyalakan lampu dan segera saja ruangan itu terang-benderang. Butuh beberapa detik bagi Meredith untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya terang. Kemudian dia melihat Mark berdiri di tengah ruangan dengan gunting besar di tangannya. Darah menetes-netes dari gunting itu, sementara di dekat kaki Mark, terbaring sosok tubuh berambut pirang. Mindy Deschanel. Kesadaran Meredith pulih seketika. “Apa yang kau lakukan?!” “Dia … dia menggigitku,” Mark berkata dengan suara pelan, dia terlihat bingung atas apa yang sedang terjadi dan seperti tidak yakin apa yang baru saja dilakukannya. “Aku baru kembali dari toilet dan dia menyerangku. Aku tidak punya pilihan. Dia kuat sekali. Dia tampak … buas.” Meredith menutupi mulut dengan kedua tangan, panik, dan ketakutan. Akal sehat menyuruhnya untuk segera menelepon polisi dan Mark akan dipenjara karena melakukan pembunuhan. Namun, perasaan Meredith mengatakan sebaliknya. Mark terlihat terpukul, tatapannya kosong. Meredith sudah pernah melihat Mark dalam kondisi rapuh. Dia merangkul Mark seraya dengan lembut mengambil gunting dari tangannya, “Tidak apa-apa,” bisiknya sambil membimbing Mark menuju sofa dan mendudukkannya. “Semuanya akan baik-baik saja.” Mereka duduk bersisian. Kepala Meredith disandarkan ke bahu Mark, sementara Mark masih terlihat seperti berada antara kondisi sadar dan tak sadar. Jasad Mindy masih di lantai. “Telepon polisi,” ujar Mark, setelah mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat. “Apa?” Meredith melepaskan kepala dari bahu Mark dan menatapnya. “Aku sudah membunuhnya. Telepon polisi.” 101
Sampai Nanti, Sampai Mati
“Tapi, Mark .…” “Kumohon, lakukan saja!” “Mark .…” “AKU MEMBUNUHNYA! TIDAKKAH KAU MELIHAT ITU? AKU MEMBUNUHNYA! AKU .…” Perkataan Mark terhenti karena Meredith mencium bibirnya. Dari dekat, Meredith bisa melihat air mata di pipi Mark. “Aku akan menelepon polisi, kalau itu maumu,” ujar Meredith akhirnya, “tapi kamu harus tenang dulu, oke?” Diusap air mata di pipi kekasihnya. Sekali lagi Meredith memeluk tubuh yang rapuh itu. Bisa dia rasakan detak jantung Mark berangsur-angsur kembali normal. Bisa dia rasakan tarikan napas Mark kembali normal dan embusan napas yang dia rasakan di keningnya adalah kehangatan. *** Masa kini Begitulah kisah perlawanan pertamaku terhadap wabah abad ini. Tentu saja aku tidak sempat menelepon polisi karena Mark kembali menggila. Bukan karena serangan kepanikan, melainkan karena hal lain yang sampai saat ini aku tidak tahu penyebabnya. Dia menyerangku dengan buas. Dibutuhkan lima atau enam kali tusukan gunting di leher Mark untuk menghentikannya. “Orang-orang di luar menggila,” kataku pada Mark. Tepatnya, pada jasad Mark. “Para tetangga lingkungan sekitar sudah menggila. Mereka memecahkan kaca jendela depan dan masuk ke rumah. Aku tidak bisa meninggalkanmu di sana … aku tak bisa ….” Tangisku pecah, akhirnya. Lelah yang kurasakan saat melawan Mark, lelah yang kurasakan saat menyeret tubuhnya ke ruang bawah tanah menuju
102
Antologi 1820
bungker ini, lelah itu sudah hilang dihantam kenyataan yang menyesakkan: Mark sudah mati. Mark sudah mati. Mark sudah mati, dan aku yang membunuhnya. Kusadari aku masih mengenakan gaun tidurku yang kini berlumuran darah. Aku masih menangis, terlalu lemah untuk mengusap air mata yang membasahi wajahku. Jadi, aku hanya duduk di sana dan terus menangis saja, sementara kepala Mark terkulai di bahuku. Terlalu sibuk menangisi kematian Mark sampai di benakku tidak lagi menyisakan tempat untuk memikirkan yang lain: Mindy Deschanel, teman-temanku yang lain, ayah dan ibuku. “Tidak ada ponsel, jadi aku tidak bisa menghubungi siapa pun,� isakku. “Jangan khawatir, Mark. Kita akan menunggu di sini sampai bantuan datang. Para polisi pasti bisa menjelaskan apa yang terjadi.� Kulihat lengan kiriku berdarah. Di tengah kekacauan yang baru saja terjadi, aku tidak merasakan sakit pada lenganku yang terluka. Aku bahkan baru menyadari bahwa aku terluka. Rupanya Mark Hosey sempat menggigitku ketika kami sedang bergumul dalam keributan. Botol wine yang isinya tinggal setengah kubiarkan terjatuh ke lantai saat aku memeriksa luka di lengan. Barangkali menjadi zombie tidaklah seburuk yang kubayangkan. Aku hanya berharap Mark Horsey bisa hidup kembali supaya aku tidak kesepian. ****
103
A lover ~ Tidak ada yang mengetahui bagaimana bayi kecil itu berada dalam hidup seorang gadis muda Starr. Sebuah kejadian yang tidak akan pernah menjadi penyesalan, tetapi bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan.
Antologi 1820
Ditulis oleh sunny starr
Timeline 1829 Autumn
P
elayan masih sibuk memindahkan beberapa barang miliknya dari kotak peti pada tempatnya masing-masing. Barangnya masih bergerak melayang menuju posisinya dan terkadang harus dilakukan oleh pelayan agar tidak berakhir dengan saling bertabrakan. Matanya bergerak menilai setiap sudut pandang rumah kedua, selain manor ayah dan neneknya, yang tidak sebesar itu. Rumahnya hanya terdiri dari tiga kamar tidur, satu kamar mandi, sebuah dapur, ruang makan, tempat kerja, serta ruang tamu lengkap dengan perapian hangat— hadiah dari ayah. Rumahnya tidak jauh dari daerah tempat tinggalnya dulu mengingat sang ayah terus mengawasi pekerjaan dirinya, Sunny, selama di rumah 105
A Lover
ini. Tentu sebagai seorang penyihir muda yang memiliki keinginan untuk lepas dari proteksi sang ayah dan aturan hidup nenek yang membuatnya menjadi seperti ini. ”Nona ini seharusnya di mana?” Suara memecahkan lamunan sesaatnya, Sunny menunjuk asal ke arah pojok ruang kerjanya yang masih belum juga tertata rapi. “Di sana saja.” Tangannya mendorong tubuhnya yang jenjang melihat ke arah belakang, sebuah jendela panjang tanpa sekat memberikan pemandangan tepat dari belakang rumah. Satu sosok di dekat pohon besar di belakang rumahnya membuat gadis muda Starr ini segera bergerak. Sunny mengangkat sedikit gaun dengan potongan brokat sederhana itu melewati lorong terakhir sebelum perempuan ini mendorong pelan pintu belakang rumahnya. Angin semilir nan lembut menerpa wajahnya, mengangkat helai-helai rambutnya yang bergerak tidak beraturan, kakinya melangkah maju meninggalkan pintu yang menutup terlampau keras karena Sunny sibuk memikirkan sosok tersebut. Kepalanya sontak terangkat dengan angkuhnya setelah menurunkan gaun yang sedari tadi terangkat hingga mata kakinya. Irisnya melihat dengan jelas seseorang yang seharusnya tidak berada di sana, tidak di halaman belakang rumah baru Sunny Starr. Suara hela napas pendek terdengar bersamaan riuh angin semilir yang bergerak di antara keduanya. Pemuda itu sejauh lima kaki dari dirinya, dengan wajah datar seperti biasa. “Tidak seharusnya Anda berada di sini.” Kepalanya masih terangkat bersama dengan tingginya egois diri seorang Starr muda. ”Selamat sore, Starr. “—bukankah harusnya begitu?” “Apa yang membawamu kemari, Lucius.” Tidak ada pergerakan pada posisi Sunny Starr yang masih berjarak dengan sang pemuda. Dirinya mengetahui jika keadaan tidak lagi seperti dahulu, saat usianya masih belia, bisa mengatakan sesuatu tanpa dipikirkan beribu kali. Jemarinya saling bertautan, menggenggam tangannya sendiri, meski bukan itu yang diinginkan. Sementara kedua iris manusia ini hanya saling menatap seakan menunggu siapa yang akan lebih dahulu melepaskan pandangan dan memilih memecahkan keheningan.
106
Antologi 1820
Deru angin menjadi pengisi suara di kala keduanya hanya saling bertatapan, lalu Sunny memilih untuk menyudahinya. “Memasuki tempat yang bukanlah tempat umum merupakan sebuah pelanggaran privasi,” katanya pada pemuda yang bertunangan dengan sahabatnya itu. ”Selamat datang.” Selamat datang, katanya. Sunny hanya menundukkan wajah lalu kembali diangkat dan tetap menemukan pemuda itu berada di sana. “... k—kau.” Pemuda itu mengecilkan jarak di antara keduanya, melemparkan pandangan yang seolah mengatakan bahwa dirinya tidak menyetujui keadaan yang sekarang. Namun, sedikit rasa gelitik dalam hati seakan membiarkan pemuda itu untuk terus memendekkan jarak. Desiran hormon bergerak cepat, mendesak, sontak membuat gadis itu bergerak mundur dengan cepat hingga tanpa terasa sudah menyentuh tembok rumahnya sendiri. Gelap. Matanya tertutup cepat, degup suara jantungnya terdengar lebih keras hingga ada suara yang memecahkan sepi. “Bukankah di saat ini kau seharusnya mempersilakanku masuk?” Ha? Matanya terbuka dan Lucius sudah membuka pintu belakangnya, menunggu tepat di samping gadis itu untuk melangkah masuk. Terlihat jelas wajah pemuda itu penuh dengan kemenangan, sementara gadis itu hanya berbalik, lalu masuk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun mengingat Lucius tentu akan mengikutinya. Tangannya terangkat mengayunkan tongkat, lalu satu set minuman lengkap dengan seluruh pencuci mulut yang dimiliki Sunny Starr bergerak mengisi sebuah meja kecil di ruang kerjanya. Kursi-kursi yang semula belum berada di sana langsung bergerak membentuk sebuah tempat santai di dekat jendela yang menghadap halaman belakang. “Kau tidak perlu datang jika tidak ingin.” Seharusnya gadis itu mengucapkan kata tersebut sesaat setelah melihat kemunculan pemuda yang juga satu asrama dengannya selama berada di Hogwarts. Pemuda itu masih berada di sana, dengan segala keangkuhan dan sikap yang sulit untuk dimengerti, berdiri di samping kursi yang telah disediakan sembari melihat sekeliling seakan tidak penting. Sunny teringat akan surat terakhir Lucius yang tidak sempat dibalas karena sibuk mempersiapkan 107
A Lover
rumahnya sendiri. Irisnya hanya berpaling melihat ke arah lain, ketika menyadari tidak ada gunanya menunggu pemuda itu angkat suara. ”Kalau tidak ingin, aku sudah berada di tempat lain, bukan di sini,” ujar Lucius. Dirinya hanya mengangguk singkat, tidak terlalu memikirkan perkataan yang terdengar hambar dari mulut pemuda itu. “Kukira kau sudah lupa.” Apa? Sunny melangkah dengan ringannya meninggalkan tempat duduk, berjalan memunggungi pemuda itu menuju tepat ke arah meja kerjanya yang masih kosong. Tangannya melambai lembut, seiring dengan pintu besar yang memisahkan ruang kerja dengan sisa ruang lainnya mulai perlahan tertutup. Tubuhnya yang masih sama seperti tahun lalu kembali mencari sosok yang sama. Sunny Starr berbalik melihat pemuda itu tidak ada di posisi yang sama. Too close. Kakinya tertahan untuk melangkah mundur, tangan yang sudah jauh lebih besar dari saat pertama kali gadis ini menyentuh tangan dinginnya itu merangkul pinggulnya dengan kokoh. ”Sudah cukup bermainnya Nyonya .…” Sunny mengatupkan mulut yang seharusnya berhenti berbicara, mendorong dagu pemuda itu pelan. “Terlalu banyak telinga di balik dinding ini.” Kepalanya menggeleng dengan cepat, lalu mengusap pipi kasar pemuda itu sementara iris matanya tidak bergerak dari pandangannya sejak semula. Sunggingan kecil terbentuk di sana, tidak bisa memungkiri gejolak di antara keduanya. Tidak butuh waktu lama, tangan pemuda itu sibuk mengusap punggungnya yang masih dibaluti gaun sederhana milik Sunny sementara jemari lentik sang perempuan sudah bermain pada bidangnya dada yang hendak dibuka perlahan tanpa pemuda itu sadari. Keduanya mendekati meja kerja lebar berbahan pinus untuk mendaratkan tubuh. Deru napas keduanya seakan tengah berlari dengan liarnya berbanding terbalik ketika sentuhan demi sentuhan terasa begitu mendalam. Napasnya kini terasa berat seperti berdansa satu lagu penuh di ruang atas. Tangannya dengan lembut bergerak di antara rambut gelap sang pemuda, terasa lebih lembut membuat Sunny membelainya perlahan. “You’re mine,” ucap Sunny dengan menatap Lucius samar ketika sentuhan pemuda itu terasa lebih tajam
108
Antologi 1820
dibandingkan apa yang dilihatnya. Satu demi satu kancing putih susu itu terlepas bersama dengan ikatan tali korset miliknya yang terasa mengendur. Sentuhan hangat mendarat di pipinya, membuat gadis ini tersenyum dengan puasnya membiarkan sentuhan itu berubah menjadi sesuatu yang bisa dirasakannya lebih, menarik dirinya keluar dari pikiran yang rumit. Sentuhan demi sentuhan mendarat pada tubuhnya seperti kilauan warna yang turun di saat hujan telah usai, giginya menggigit pelan bibir bawahnya menahan lenguhan yang membuat pemuda itu begitu bangga. Suara lirih Lucius menari di salah satu telinganya. ”You said, you need help. Let me help you then.” Tubuhnya tersentak dengan perlahan, tangannya menggenggam ujung meja kerjanya. Sebuah senyuman terkembang di sana. Tangannya melambai dengan cepat membuat ruangannya kini terdengar sunyi dari luar, sementara gadis ini mulai mendesah dengan pelan tepat di samping cuping pemuda yang kini telah sibuk dengan kegiatan ‘membantunya’ itu. Salah satu tangan gadis itu mulai merangkak naik, meraih tengkuk leher sang pemuda, lalu mengarahkannya tepat ke arah wajah Sunny. Sebuah tautan yang penuh dengan hasrat sangat terasa memenuhi ruangan kerja Sunny Starr. Keduanya memang telah membuat janji jauh hari untuk menikmati waktu yang ada. Kedua bibir bertemu dengan tubuh tanpa jarak membuat gadis ini bisa merasakan hangatnya tubuh Lucius sepuasnya, membiarkan irama yang dimainkan sungguh meresap hingga perlahan tubuh keduanya mulai bertambah hangat dibandingkan saat pertama. “You’re the best.” Suaranya yang berbisik membuat pemuda itu kian hangat. Pegangannya pada ujung meja kian menguat, tetapi situasi berbalik ketika pemuda itu menjauh, lantas menarik tubuh Sunny ke dalam dekapannya. ”Not yet.” Sebuah kecupan di puncak lehernya membuat Sunny terdiam, membiarkan gaunnya terjatuh menyapu lantai. Lucius berada tepat di balik tubuhnya, memeluknya dari belakang membuat Sunny bisa mendengar dengan jelas setiap embusan napasnya. Jemari pemuda itu kemudian mengambil alih seluruh indra tubuhnya, gadis ini langsung berbalik kembali menautkan bibirnya. Bukan sejam dua jam, tetapi hampir setengah hari keduanya berada di ruang kerja milik Sunny dalam keadaan sunyi dari luar.
109
A Lover
Sebuah ketukan membangunkan keduanya yang tengah tertidur di sofa sehingga tangannya segera mengayunkan tongkat sihirnya. “Tunggu di sana, Greta.” Sunny merapikan rambutnya sesaat, lalu membuka pintu. Seorang anak perempuan kecil berumur satu setengah tahun mengenakan gaun kecil senada dengan milik Sunny Starr. Sontak saja gadis Starr ini membungkuk, merentangkan kedua tangannya bersiap untuk menyambut sang gadis kecil itu, kemudian tubuhnya berdiri dengan Greta di dalam dekapan. “Greta, aku ingin kau berkenalan dengan dia.” “... dia, Lucius.” Dengan tubuh ringan dan mata besar berwarna hijau gelap, Greta berada dalam gendongan hangat Sunny. Pemuda itu berada beberapa meter di sampingnya, merapikan bajunya membelakangi gadis muda Starr. Kepala pemuda itu bergerak lebih dahulu, melihat ke arah anak perempuan kecil yang berada dalam pelukan. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Greta selama ini selain pengawal, Sunny, dan Lucius. Bahkan, Greta belum bertemu dengan kakeknya, ayah Sunny Starr. ”Hai, Greta!” Suara pemuda itu menggema di ruang besar itu membuat Greta mengeratkan genggamannya sembari merebahkan tubuhnya yang mungil di pundak Sunny. ”Ah, apa kau melupakanku?” Lucius kembali membuka suara sembari melirik ke arah perempuan lain di ruangan itu untuk membantunya. Kerutan di atas dahinya membuat Lucius memutar bola matanya, lalu kembali tersenyum saat Greta melihat ke arahnya. Kedua tangannya terentang, memberikan tatapan sedikit hangat. ”Mau aku gendong?” Greta melemparkan pandangannya kepada Sunny, sementara gadis itu hanya tersenyum memberikan kebebasan memilih kepada balita yang penuh dengan kelembutan dan keceriaan ini. Greta kembali melihat ke arah Lucius, merentangkan tangannya seakan hendak menyambut pemuda itu. Tidak lama setelahnya, Greta sudah berada dalam pelukan Lucius dan mulai berjalan meninggalkan dirinya di dekat pintu. Setelah itu, matanya hanya menatapi kedua sosok yang tampak sibuk mengamati pekarangan belakang di sore hari. Tok tok tok. Kepalanya lantas menoleh dan menemukan seorang pelayan perempuan dengan sepucuk perkamen di tangan. Sunny langsung mendekat, 110
Antologi 1820
mengerti jika itu sebuah surat balasan dari ayahnya yang tengah naik pitam karena tidak bertemu lama semenjak melahirkan Greta. Diraihnya perkamen yang tampak baru saja tiba karena masih tergulung lengkap dengan cap lilin berlambangkan sigil keluarga Starr. ”Maafkan jika saya lancang nona ….” Sunny menghentikan perempuan setengah baya itu berbicara. “Aku mengerti, tapi tidak sekarang.” Sunny membaca sesaat isi dari perkamen itu: bagaimana keadaan rumah dan permasalahan dalam usaha yang membutuhkan Sunny untuk turun tangan. “Sampaikan, aku akan ke sana besok.” Sunny berbalik hendak menyusul Greta yang terdengar begitu senang karena suara tawa kecilnya memenuhi seisi ruang kerja. “Dan tolong jaga Greta saat aku pergi besok.” Tentu tidak ada yang boleh mengetahui keberadaan gadis kecilnya itu. Langkahnya kembali menjauh dari pelayan setianya, meninggalkan surat tadi di salah satu rak yang masih kosong. Gadis itu masih belum bisa membawa Greta ke hadapan sang ayah dan mengatakan apa yang terjadi selama satu tahun terakhir sekolah. ”Belum mau membawa Greta?” Pemuda itu tampak mendengarkan pembicaraan, sementara Sunny hanya terdiam memperhatikan pekarangan belakang yang masih tampak polos hingga mungkin akan ditambah beberapa pohon lagi agar semarak warnanya. Tangannya memberikan isyarat kepada pelayannya untuk membawa Greta. “Aku tidak ingin membicarakan hal itu.” Seketika perempuan ini menjadi dingin seperti pertama kali mereka bertemu. Di sampingnya Greta hanya menurut berpindah tangan sebelum balita itu mulai berbicara. ”Ung, Ayah.” Sunny meluruskan pandangannya. Tidak ada yang mengetahui bagaimana bayi kecil itu berada dalam hidup seorang gadis muda Starr. Sebuah kejadian yang tidak akan pernah menjadi penyesalan, tetapi bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan. ”Ayah berbicara dengan Ibu sebentar.” Suara Lucius menjadi yang terakhir menggema sebelum pintu di belakang mereka tertutup dan kembali sunyi. “Sebaiknya kau pulang.” Sunny membalik badan, tidak ingin terlalu lama dalam situasi yang membuatnya harus memutuskan sesuatu yang ia tidak suka. 111
A Lover
”Apa yang kau inginkan?” Pemuda ini memang tidak pernah berubah dari awal, kurang baik dalam berkomunikasi. Sunny yang duduk di sofa kecil, menghadap pekarangan, menghela napas panjang lalu menatap pemuda itu. “Aku ingin kau pulang sebelum dia menyadari kau berada di sini.” Bukan jawaban yang dinantikan oleh Lucius, tetapi pemuda itu harus cukup puas dengan jawaban dari gadis ini. Suasana kembali sunyi, tidak ada pertanyaan yang mencuat ke permukaan kembali hanya sebuah kesunyian mencekam. “Harusnya kau me—” “Aku mengerti, untuk itu berhenti membuat harapan yang sebenarnya tidak pernah ada.” tangannya kini disilangkan di depan dada, kepalanya sedikit menunduk. Wajahnya terasa panas, pembicaraan selama dua tahun belakangan yang tidak pernah menemukan titik terang. Sebuah sentuhan lembut pada puncak kepala yang menunduk itu membuat isaknya pecah dalam diam. Tubuhnya sedikit bergetar karena menahan tangisnya. Pemuda itu sudah berada di hadapan, memeluknya. Lucius seharusnya berada di rumahnya, disambut oleh wanita yang dikenal Sunny dengan sangat baik. Sebuah situasi yang hanya membuat kondisi menjadi bertambah tak baik. Maksudnya, bagaimana dengan ia, Greta? ”Apa pun yang terjadi, tidak akan ada yang berubah.” Kalimat itu selalu dilontarkan oleh sang pemuda. Lucius selalu mengerti bagaimana menenangkan Starr muda ini dengan baik walaupun bisa dilihat situasi keduanya bukanlah sesuatu yang bisa ditutupi selamanya. Akan ada saatnya Greta harus mengikuti jejaknya bersekolah di Hogwarts dan bertemu dengan seseorang lain yang juga memiliki nama keluarga dari sang ayah. Tidak bisa dihindari dan selama itu keduanya akan menyimpan rahasia serapat pintu rumah para muggle saat mengetahui ada seorang penyihir di dekatnya. “Menginaplah sehari di sini.” Sunny mendorong pelan pemuda itu, menarik napas dalam lalu menegakkan pandangannya kembali. Tidak ada jejak air mata di wajahnya. Hanya matanya yang sedikit sembab. Kalimat itu disambut dengan cengiran khas Lucius, penuh intimidasi. ”Sesaat yang lalu kau baru saja mengusirku.” Kedua mata pasangan itu bertemu, Sunny menatap mata dingin yang terasa hangat di saat yang bersamaan tersebut, lalu menarik tangan sang 112
Antologi 1820
lelaki sembari membuat tubuhnya bangkit berdiri, melingkarkan tangannya pada pergelangan leher pemuda itu. Sebuah kecupan mendarat di wajah Lucius, lalu berhenti di dekat cupingnya. “Aku hendak mandi di kamarku.” Sunny tentu tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir dan takut yang ada di pikirannya, tetapi Lucius berada di sampingnya dan itu, tentu tidak akan disia-siakan begitu saja. Tangan pemuda itu diraihnya dan mereka beraparasi tepat di depan kamarnya pada lantai kedua rumahnya. Sunny melepas genggaman tangannya, mendorong pintu kamarnya, lalu memberikan isyarat pada sang lelaki untuk ikut masuk mengikuti dirinya. ”Kau mau bermain denganku? Itu maumu?” Lucius bertanya. Sunny tersenyum sembari menggigit bibir bawahnya. Sebuah senyuman yang tidak akan ditujukan kepada orang lain, selain Lucius. Kakinya melangkah mendekati Lucius, membiarkan gaunnya tertanggal sendiri dan menyisakan gaun tipis yang melekuk mengikuti bentuk tubuhnya. “Your turn?” Sunny membiarkan Lucius mencerna sejenak keinginan Sunny Starr kepadanya. Sebuah hubungan dan situasi yang tidak pernah berubah, itu yang diinginkan oleh Sunny Starr. Keduanya kembali bersentuhan tanpa ada batas. Sesekali di dalam kepala perempuan yang kini memiliki Lucius itu terbesit wajah sang ayah yang terus mengenalkannya pada lelaki kaya yang menjadi rekan kerjanya. Sementara gadis Starr ini lebih memilih pemuda yang pertama kali ditemuinya di Diagon Alley, pemuda dengan gerutunya ketika burung hantunya tidak ingin makan, sementara Sunny dengan kneazle yang hendak dibelinya. Gadis ini memilih pemuda yang telah dipilih saat pertama kali bertemu. Egois? Sangat. ”You’re mine, Sunny Starr. Remember that.” Suara lirih Lucius menggema di kepalanya, sementara Sunny hanya tersenyum mendengarkan ucapan sang pemuda. ”I’m yours, Lucius.” keduanya kembali bermandikan asmara yang tidak pernah hilang sejak bertemu di Diagon Alley bertahun-tahun silam. ****
113
InfInIte waft ~ Aku menikmati setiap waktuku bersamamu. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa kau begitu jauh; dan kini kusadari, kau terasa jauh karena aku tak bisa menangkap dan mengiyakan kata-katamu. Sedikit pun.
Antologi 1820
Ditulis oleh Ann anderson
I Juni 1899
J
akob “Jim” Benedikt adalah orang pertama yang Ann temui saat ia sampai di Bayreuth dengan kereta api setelah perjalanan panjangnya dari Kepulauan Inggris. “Selamat pagi, Nona Anderson,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen yang kemudian hari akan Ann kenal baik sebagai aksen Bavaria Tengah; untuk saat ini, bagaimanapun, ia hanya bisa menyebut aksen Jim sebagai aksen kumur-kumur. “Pagi,” ia menjawab, menaruh peti-petinya di tanah sesaat. “Tuan Benedikt?” 115
Infinite Waft
“Betul. Tolong panggil aku Jim saja.” Jim menjawab sambil mengangkat salah satu peti Ann. “Dan panggil aku Ann. Senang berkenalan denganmu. Kau lebih tampan dari yang kubayangkan.” Jim terbahak. “Kau bukan perempuan.” “Maksudmu?” “Tak ada perempuan yang dengan gamblang memuji ketampanan seorang lelaki.” “Ada. Aku.” “Ya, karena itu kau bukan perempuan.” “Kesimpulanmu tak masuk akal.” “Itu bukan kesimpulan. Itu impresiku tentangmu.” “Impresimu tak masuk akal, kalau begitu.” “Kemasukakalan memang bukan kriteria yang harus dimiliki impresi, sebagaimana ia adalah kriteria untuk kesimpulan rasional. ‘Kan, aku tak bisa mengendalikan impresiku terhadap kamu.” Ann mengerutkan dahinya, menahan urgensi untuk mengayunkan petinya kepada Jim dan melihat laki-laki pongah itu terjengkang. “Baiklah. Aku bukan perempuan. Untuk itu, biarkan aku tidur di kamarmu nanti malam. Tak akan ada yang keberatan, ‘kan? Pantas-pantas saja, toh aku bukan perempuan?” Jim memberi jeda sebentar sebelum menjawab, “Memang tak akan ada.” Dengan datar, sebelum tersenyum sopan seolah baru bertemu untuk pertama kali; seolah waktu mundur dan percakapan sebelumnya tak pernah terjadi. Akan tetapi, percakapan itu terjadi dan Jim betul-betul membiarkan Ann tidur di kamarnya pada malam itu, sementara ia sendiri tidur di kursi berbantal di ruang tamu. Memang bukan situasi yang dimaksud Ann dalam ujarannya sebelumnya, tetapi siapa juga yang peduli dengan maksud asli? *** II September 1899
116
Antologi 1820
Selama tiga bulan, kegiatan Ann dan Jim setiap pagi adalah begini: koran terbentang di atas meja makan, Jim duduk berdampingan dengan Ann seraya mereka menggigit roti rye polos termurah yang dapat Ann temukan dari toko roti. Mata mereka memindai halaman yang sama dan mereka akan bertengkar sampai siang hari. Dalam pertengkaran hari ini, mereka setuju akan dua hal: bahwa Kaisar Wilhelm II adalah orang gila dan bahwa ia harus diganti. Akan tetapi, mereka tidak setuju tentang siapa yang mesti menggantikan sang kaisar. “Aku harus pergi ke Berlin, aku tahu aku harus. Setidak-tidaknya, München,” kata Jim selepas menggunjingi sang kaisar. “’Harus’?” “Ya. Kau tahu perasaan bersalah ketika kau tahu kau bisa melakukan sesuatu untuk hal yang kau yakini, tapi kakimu terpatri di tempat yang tak terjangkau?” “Aku tahu.” Salah satu lagi alasannya memilih Jerman: ia ingin menyaksikan perkembangan politik komunis di Jerman. Ia tak mau hanya diam di Inggris dan menyaksikan Jerman maju dengan Rosa Luxemburg yang tulisannya ia kagumi betul. Untuk itu, Ann paham maksud Jim. “Begitulah perasaanku. Aku harus bergabung dengan Liga Pan-Jerman, aku ingin berpartisipasi dalam upaya menyadarkan lebih banyak orang bahwa mengurangi hak Yahudi adalah salah satu jalan penting untuk persatuan Jerman. Dan kegiatan liga ada di Berlin.” “Begitukah?” Ann mengangkat alisnya. “Aku tak mengerti dengan obsesi kalian terhadap orang Yahudi.” “Tampaknya sejarah orang Yahudi di Inggris tak semengerikan sejarah mereka di Jerman,” katanya. “Yang jelas, jangan sampai kau menikah dengan orang Yahudi, bahkan ketika kau sangat putus asa.” “Oh, tentu saja orang Yahudi adalah orang pertama yang kucari ketika aku sedang ingin menikah!” Ann tersenyum usil, sebelum memasang wajah lebih serius. “Aku betul-betul tak peduli dengan orang Yahudi. Banyak hal yang lebih penting dari itu. Industrialisasi membuat banyak sekali orang melarat dan orang Yahudi juga bagian dari mereka.” “Jangan naif. Orang Yahudi itu orang maruk, mereka tak akan miskin.” Begitu terus sampai mereka lelah bertengkar. Setiap hari. 117
Infinite Waft
Untuk pagi ini, Ann menempati tempat duduk tak berbantal, sementara Jim masih terlelap di kursi panjang. Sebelum ia menyiapkan sarapan di dapur dengan apa pun yang Jim punya, ia menghabiskan waktu selama lima menit untuk duduk di sana dalam sunyi. Sesekali, melirik pria yang sedang terlelap. Rambutnya pirang dan Ann dapat mengingat mata biru dan dingin yang ia saksikan semalam, kedua mata tersebut kini terhalang kelopak. Saat itu juga, Ann melayangkan pandangnya pada kertas berserakan di salah satu sudut ruangan. Partitur; salah satu bagian dari drama Tristan und Isolde, karya Richard Wagner. Ann pungut kertas-kertas itu dan matanya menyisir setiap baris partitur. Turunlah, malam penuh kasih; berikan hamba rasa lupa, agar hamba tetap hidup. Angkat hamba ke dadamu, lepaskan hamba dari dunia. Berlalu sudah kilau terakhir kita; pikiran kita; angan kita. Firasat berapi-api muncul kala memandang senja yang sakral; memadamkan ketakutan palsu, menyelamatkan hamba dari dunia.1 “Ah, kau menemukan itu.” Jim kini duduk di kursi dan menggosok mata. “Kau akan menyukai partitur itu, penuh catatan dari Tuan Wagner sendiri. Tadinya ditujukan untuk seorang dirigen dari Wina tak lama setelah Tuan 1 Terjemahan bebas lirik lagu “O sink hernieder, Nacht der Liebe” (dikenal juga sebagai Love Duet), lagu dalam drama Tristan und Isolde karya Richard Wagner, 1865. Tristan und Isolde adalah kisah kuno tentang sepasang kekasih yang jatuh cinta pada satu sama lain karena ramuan cinta dan sejak saat itu, tak terpisahkan. Pada akhirnya mereka mati dalam pengaruh ramuan cinta tersebut.
118
Antologi 1820
Wagner wafat—aku ditugasi Nyonya Wagner untuk mengantarkannya—tapi dirigen itu mengembalikannya padaku setelah ia selesai mementaskannya.” “Kau bercanda!” Ann memperhatikan lebih jelas tulisan mungil di sepanjang tubuh partitur. Catatan itu rinci, kelewat rinci, kentara betul bahwa Richard tak rela buah hatinya diberikan begitu saja kepada orang lain. Jim bercerita bahwa ia bekerja untuk dinasti Wagner: mengantarkan partitur dan tawar-menawar dengan penerbit partitur. Ia adalah perpanjangan dari tangan kanan Cosima Wagner. “Pertama kalinya menyaksikan Tristan und Isolde di Inggris, aku bersama ayahku. Beliau pun mengidolakan Tuan Wagner.” Ann menerawang, kemudian melanjutkan sambil mengingat alasan utama ia datang ke Bayreuth. "Tristan und Isolde adalah karya Tuan Wagner favoritku, apalagi setelah aku jatuh miskin. Entah bagaimana ada yang membuatku ingin seperti Tristan dan Isolde, aku ingin minum ramuan yang dapat membuatku jatuh cinta dengan kehidupan lagi karena aku betulan sudah lelah.” Mengangkat bahu. Ann melanjutkan, “Tak kusangka kelaparan membuatku sebegini terpuruknya. Dulu, aku percaya bahwa aku petualang, malah menantang hal terburuk untuk terjadi padaku karena aku ingin tahu bagaimana rasanya. Dan aku memang berhasil menjadi baik-baik saja untuk waktu yang lama.” “Lalu bersama perginya keluargaku, pergi pula uangku dan segala kepunyaanku. Aku lapar. Aku tidak bisa hidup kelaparan. Setelah mendapatkan penolakan kerja terakhirku dari ratusan penolakan yang kuterima, kuputuskan bahwa aku mesti merelakan kehidupanku, jika memang harus berakhir lebih awal.” Jeda hening. Jim menggosok hidungnya, Ann mengulum bibirnya. Jim lah yang pertama memecahkan keheningan tak nyaman itu. “Kau tahu bahwa Tristan und Isolde bukanlah tentang kepasrahan, ‘kan?” tanyanya sambil merapikan tumpukan partitur yang sebelumnya dibuat berserakan oleh Ann. “Secara bentuk maupun isi cerita, Tuan Wagner memaksudkan Tristan und Isolde sebagai cerita tentang hasrat mentah dan hewani. Kau menginginkan sesuatu dan kau rela mati bersamanya. Bahkan, ketika hal yang kau inginkan ternyata hanya ilusi atau tipuan. Kau mati dalam upaya menuju impianmu, bukan karena kau tak menginginkan apa-apa lagi.” 119
Infinite Waft
Ann menarik napas panjang. “Impianku sudah habis. Percuma punya impian kalau kau tak punya uang, ‘kan? Aku ingin pergi ke negara-negara di utara. Aku ingin meneliti tentang cerita-cerita Nordic dan aku ingin menulis cerita anak-anak di sana untuk kubagikan pada anak tetangga. Aku ingin makan ikan yang banyak, melihat gletser dan gunung berapi. Oh, dan aku ingin revolusi.” Ann melirik ke arah Jim dengan senyuman usil, berharap Jim akan memberikannya wajah jijik sebelum melanjutkan lagi. “Tapi, seperti yang kau bilang tadi: keinginanku ilusi dan tipuan. Aku takut kebebasanku direnggut, tapi aku butuh uang dan kau tidak bisa bebas dengan uang yang kau dapatkan dari pernikahan. Aku seperti Isolde yang dipaksa menikah dengan Raja Marke, bukan Isolde yang jatuh cinta pada Tristan hingga rela melakukan apa pun untuk bersamanya. Tetapi, seperti Isolde, aku mau menyerahkan diri kepada hal terburuk, kendati dikendalikan oleh pernikahan.” Angin pagi yang berembus dari jendela melayangkan kertas-kertas partitur yang sudah diatur Jim dengan rapi, tetapi tangan Ann sigap menangkap lembaran yang melayang ke arah wajahnya. Menatap Ann lurus, Jim menanggapi, “Mengapa kau memilih untuk menyerahkan diri kepada keputusasaan dan bukannya impianmu? Menikah bukan berarti kebebasanmu akan direnggut. Kau akan punya suami, kau akan dipandang baik oleh masyarakat, kau akan memiliki uang, dan kau tetap bisa menulis cerita, asal kau tak melupakan tugasmu sebagai istri. Siapa tahu, kau punya pilihan untuk pergi ke negara-negara di utara, atas izin suamimu. Kau punya pilihan dalam segala keterbatasan yang sepatutnya, termasuk keterbatasan yang kau punyai sebagai perempuan. Terima itu, maka pilihan akan datang sendiri kepadamu.” “Lihat sekitarmu, kau kini berada di negara terbaik di dunia. Pilihanmu untuk datang ke sini membuatmu bisa menemui kami. Progres dan tradisi bertemu dan berkelindan di salah satu era terbaik sepanjang masa. Kau punya banyak pilihan di negara ini. Oh, dengan catatan, revolusi yang kau maksud, mudah-mudahan, bukan revolusi komunis, tetapi revolusi komunitas etnis Jerman. Selain itu bukanlah pilihan. Bukan pilihan, perempuan.” Ann menahan napas mendengar beberapa kalimat terakhir Jim. Ia tak tahan mendengarnya, tetapi Ann sungguhan simpatik akan pandangan Jim. Ia 120
Antologi 1820
dapat melihat bagaimana seorang Jerman dapat mencintai tanah airnya sendiri dengan perasaan luar biasa, terutama setelah mendengar kawan-kawan Jim berbicara tentang Jerman. Perasaan meledak-ledak, yang sebelumnya begitu ia benci, Ann, perlahan, memahaminya. Ketika ia merasa begitu sendirian, ia merindukan memiliki perasaan kuat. Kesendiriannya penuh lubang yang bisa dimasukkan lengan. Sikap yang dulu ia banggakan, sebagai lambang tak tertariknya ia pada gerakan menihilkan nilai akal, kini terasa tak bernilai. Akan tetapi, alas, betapa buruknya jika ia merasa bermartabat karena rasnya. Ann perlahan memahami bahwa Kekaisaran Jerman, lebih daripada bagian dunia lainnya, begitu menghargai dan mencintai dirinya sendiri sampai tingkat yang tak akan bisa dicapai oleh bangsa lainnya. Entah itu nasionalisme atau narsisisme. Matanya memandang lurus kedua mata Jim, tetapi tidak bertahan lama karena ketika matanya bertemu mata Jim, ia merasa terungkap. Apanya yang terungkap, Ann tak tahu juga, tetapi Ann tak mau matanya bertemu mata Jim. Sebelum ini, saat ia berbicara, Ann hanya memandang lantai kayu yang agak usang. “Kita berbeda sekali, ya?” Ann tertawa. “Andai aku bisa setuju padamu, rasanya akan lebih mudah.” “Lebih mudah untuk apa?” “Untuk percaya padamu bahwa aku bisa memiliki impian, kau tahu. Aku ingin bisa memercayaimu sepenuhnya. Aku menikmati setiap waktuku bersamamu. Tapi entah mengapa aku merasa kau begitu jauh dan kini kusadari, kau terasa jauh karena aku tak bisa menangkap dan mengiyakan kata-katamu. Sedikit pun.” Ann dapat melihat bahwa Jim tak menyangka akan kalimat yang keluar dari mulut Ann. Ann tahu, Jim berpikir bahwa Ann adalah perempuan yang luar biasa jujur, tetapi pikiran macam itu—bahwa perempuan itu tak bisa percaya padanya—tak pernah terlewat di kepala Jim. “Aku memercayaimu meski dengan pandangan-pandangan bodohmu itu. Tapi aku memercayaimu,” balas Jim. “Aku betulan percaya akan mimpimu, aku percaya bahwa kau akan tetap hidup, bebas dari kelaparan.”
121
Infinite Waft
“Aku tahu,” jawab Ann. “Tapi aku tetap tak bisa percaya padamu. Kau paranoid, ide-idemu delusional. Aku kenal banyak orang yang begitu mencintai tanah airnya, tapi tak pernah kulihat intensitas nasionalisme sebesar punyamu. Aku tak bisa percaya pada orang yang hanya didorong oleh kekaguman memabukkan seperti punyamu itu, sementara banyak hal menyedihkan nyata di luar sana yang mesti kau pikirkan. Orang-orang kelaparan yang nyata, tapi kau malah sibuk memikirkan identitas ilusif.” “Oh, terlebih lagi, kau baru saja menyarankanku untuk menerima bahwa aku mesti menikah. Dan aku tahu, itu bukanlah hal yang bisa kulakukan dengan mudah. Kau pun tahu itu. Aku tahu, uang akan memberikan kebebasan, tetapi kebebasan yang kuinginkan berbeda dengan kebebasan yang kau maksud.” Jim terdiam. “Pertama, maaf kalau kau merasa bahwa aku delusional. Kau bukan orang Jerman, kurasa kau tak akan paham. Untuk itu, aku akan mengabaikan kata-kata sembaranganmu barusan. “Kedua, kurasa aku tahu kebebasan apa yang kau maksud. Kita berbicara tentang hal yang sama, jangan khawatir. Tetapi kalau kau mencintai suamimu, dan suamimu mencintaimu, kau akan mendapatkan kebebasan itu. Percayalah. Pernikahan bukan hanya sekadar uang dan martabat. Kau bisa menikahi orang yang kau cintai.” “Ideal sekali.” Ann tertawa lemah. “Tetapi tidak, aku memilih untuk tidak percaya narasi roman seperti itu. Aku tahu bahwa pernikahan adalah institusi penjaga harta, bukan hubungan cinta antarmanusia.” “Kau bodoh betul.” Jim menggelengkan kepalanya, heran dengan pertimbangan Ann yang menurutnya begitu tak masuk akal. “Kalau sekarang aku katakan bahwa aku ingin menikahimu, apa yang akan kau pikirkan?” “Aku akan tertawa di depan wajah tampanmu.” Kemudian Ann terbahak dibuat-buat. “Seperti itu.” “Wajah tampanku ini tak terpengaruh. Wajah tampan ini tetap menawarkan pernikahan. Bagaimana jika begitu skenarionya?” Ann tertawa makin keras sebelum berkata, “Aku akan tertawa seperti itu.”
122
Antologi 1820
“Wajah tampanku tetap tak gentar, ia mengecup tanganmu!” Jim tersenyum lebar, menikmati permainan bodoh ini. Kini tawa Ann makin keras sampai tak layak. “Aku akan bilang aku mau, asal kau meninggalkan segala pandangan politismu dan meninggalkan ambisimu untuk bergabung dengan Liga Pan-Jerman.” “Ah, maaf. Wajah tampanku akan berhenti meminta, kalau begitu. Pandanganku adalah bagian dari jati diriku. Tak akan kulepaskan untuk seorang perempuan.” Mereka berdua tertawa terbahak, kemudian melemah setelah beberapa detik, mendadak menyadari bahwa mereka sedang tidak bercanda, sama sekali. *** III Desember 1899 / Januari 1900 Jim betulan orang berpengaruh di Bayreuth. Setidaknya, ia kenal orang-orang berpengaruh. Hingga kini, 31 Desember, pukul sembilan malam, Ann menemukan dirinya menaiki tangga rumah mewah Leighton Colt, bangsawan Inggris yang mengundang keluarga Wagner beserta para ajudannya. Di sana pula, hadir wujud-wujud yang selama ini hanya serupa kabut mimpi bagi Ann: Cosima Wagner, janda Richard Wagner, dan anak-anaknya. Jim adalah kaki tangan kesayangan Nyonya Cosima Wagner dan untuk itu, ia mendapat sedikit tempat dalam acara gedongan macam ini. Ann menelan ludah, ini bukan pesta main-main, memang. Rasanya baru kemarin ia berencana bergabung dengan Rosa Luxemburg dalam gerakan komunis di Jerman dan sekarang ia berada di ruang dansa mewah bersama orang-orang yang mestinya ia lawan. Di antara orang-orang itu, bagaimanapun, yang paling menarik perhatian Ann adalah Gustav Mahler, yang Ann tebak datang jauh-jauh dari Wina untuk menghadiri pesta tahun baru Nona Colt. Ann segera menggerakkan kakinya, hendak menghampiri pria jenius tersebut—ia menyaksikan penampilan Tristan und Isolde dalam arahan Tuan Mahler di London delapan tahun lalu 123
Infinite Waft
bersama ayahnya dan telah jatuh cinta secara artistik kepada karya pria itu—dan Gustav Mahler melayani pertanyaannya dengan ramah. Di tengah percakapan Ann dengan Tuan Mahler, Jim menyelak dan mengatakan permisi sebelum menarik pinggul Ann. Tangan kanan Jim menggenggam tangan kiri Ann, sementara tangan kirinya mengambil tangan kiri Ann untuk diletakkan di punggungnya sendiri. Mereka menggerakkan tubuh seirama dengan latar Valse-impromptu karya Franz Liszt. “Ada apa?” Ann bertanya dalam dansanya meskipun ia tahu persis jawaban atas pertanyaannya sendiri. “Apa kau sengaja ingin membuatku mendidih?” “Tentu saja tidak.” Ann mengikuti langkah Jim ke salah satu pojok ruangan yang kosong dan jauh dari gerakan dansa. “Apa sebenarnya masalahmu, Jim? Kau kelewatan.” “Oh, aku kelewatan.” Jim tertawa sinis. “Katakan itu pada dirimu sendiri, nona. Kau tahu aku tak akan menyukai apa yang kau lakukan dan kau tetap melakukannya. Apa maumu?” “Aku mau berbicara dengan Tuan Mahler dan tentu saja keinginanku ini tak ada hubungannya dengan ketidaksukaanmu padanya atau Yahudi mana pun. Terang saja, aku sama sekali tak peduli, apalagi ‘sengaja membuatmu mendidih’.” Suara Ann bergetar. Ia memarahi dirinya sendiri dalam hati, tidak seharusnya ia merasa begitu tersinggung atas kata-kata Jim, tetapi tentu saja ada beberapa dua sebab mengapa ia kata-kata Jim begitu menyakitkan untuknya: ini adalah pertama kalinya Jim berkata dengan nada demikian kepada Ann dan betapa ia tidak suka mendengarnya. "Oh, baiklah. Jadi memang kau tidak memikirkanku sama sekali,” Jim kembali tertawa sinis, “tetapi bagaimana dengan dirimu sendiri, eh? Kau pikir kau pantas mengidolakan darah kotor, bahkan jika kau tak memikirkanku?” “Kau begitu serius soal sentimenmu, ya.” Ann balas tertawa mengejek. “Kuberitahu kau sesuatu, aku tak percaya ras Jerman harus menguasai negara ini, aku tak percaya bahwa sejarahmu segitu berharganya. Kau delusional. Kaummu delusional.” Jim tersenyum mendengarnya. Bukan senyum yang manis, bukan senyum geli, tetapi senyum penuh amarah. “Baguslah. Aku senang 124
Antologi 1820
mendengarmu menekankan hal itu lagi. Aku membuat keputusan yang benar. Sangat benar.” Keputusan apa? Ann ingin bertanya tentang kata-kata Jim yang buram itu, tetapi Ann dapat melihat tangan Jim bergetar—mungkin bertahan untuk tidak menampar Ann di depan umum. Itu sebelum sang pria membelakangi Ann, kemudian berdansa dengan seorang perempuan yang tak Ann kenal. Ann melangkah pelan ke arah balkon. Malam itu tidak begitu gelap, lilin-lilin dinyalakan oleh setiap orang yang peduli tentang waktu matematis dan mengakui kalender Gregorian sehingga mengakui perubahan abad. Musim dingin, memang, tetapi malam ini tak sedingin itu untuk membuatnya memikirkan ulang keputusan untuk berdiri di luar, seolah-olah memang mengajak semua orang untuk berpesta dan tak menghiraukan dingin. Menumpu dagu di tangannya dan menumpu tangannya di atas susuran balkon; tak ingin memikirkan fakta bahwa Jim sedang berdansa dengan perempuan lain. *** Jam 12 malam. Tepat saat kembang api pertama diluncurkan entah dari mana, seseorang menepuk pelan bahu Ann. Ann mendapati Jim berdiri di hadapan punggungnya dengan dua gelas anggur di tangannya. Satu gelas diulurkan kepada Ann. “Selamat abad dua puluh,” kata Jim, mengangkat dan mendentingkan gelasnya kepada gelas di tangan Ann. “Semoga tahun ini ada perubahan di kekaisaran. Aku lelah dengan kegoblokan.” Jim berkata sambil terkekeh. Ann tersenyum kecil, kemudian membalas, “Semoga, tahun ini aku dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu.” Jim memandangnya dan Ann tak dapat menangkap arti pandangan itu. Pandangan Jim intens, tetapi kosong. Seolah Jim menatap sesuatu di dalam matanya dan bukan menatap dirinya sebagai seorang individu. “Aku juga,” jawab Jim lemah, “tapi kita tak bisa.” Napas seperti dicuri dari tenggorokan Ann. “Apa maksudmu?” 125
Infinite Waft
Jim menelan ludah. “Keputusan yang tadi aku bicarakan, entah kau ingat atau tidak kita tidak bisa bersama. Tidak tahun ini, tidak sampai kapan pun. Aku baru saja mendapatkan pekerjaan di Berlin.” Ann ingin mengeluarkan berbagai macam kalimat, tetapi tak ada yang keluar, sampai pada akhirnya ia memberanikan diri. “Mengapa kau tidak mengatakannya lebih awal? Apa kau tahu bahwa aku sudah berhenti memikirkan kembali ke Inggris karena kupikir, aku akan melewatkan banyak waktu bersamamu jika aku harus pergi?” “Tidak.” “Apakah kau tahu, bahwa aku sudah memutuskan untuk menetap di sini sampai waktu yang lama sekali, karenamu?” Jim terdiam. “Tidak,” jawab Jim. “Lalu? Sekarang, setelah kau tahu, apakah kau akan mengubah keputusanmu?” ujaran Ann begitu cepat, keputusasaannya membuatnya mengemis dan tak ada lagi ruang untuk memikirkan apa yang mesti keluar dari mulutnya. Jim menatap lurus mata Ann tanpa menjawab. “Baiklah, diammu menjawab pertanyaanku.” Menelan ludah, Ann menarik saputangan untuk mencegah air matanya merusak solekannya. “Tapi …,” Jim memotong kalimatnya sendiri. Ann tahu bahwa laki-laki itu sekarang ini penuh ketidakyakinan, “... tapi aku sudah memikirkan bahwa kau bisa ikut ke Berlin. Kita menikah di sana. Kau akan kurawat dan kau tak perlu ketakutan lagi bahwa kau akan kelaparan.” Ann bisa mendengar bahwa tidak ada sisa ketulusan dalam kalimat Jim. Maka, Ann memutuskan untuk menanyakan hal yang akan membuka semuanya: “Apakah kau akan bergabung dengan Liga di Berlin?” Sekali lagi, Jim mesti menunggu lama sebelum akhirnya menjawab. “Aku tahu kau tak akan ingin ikut campur lagi denganku jika kau tahu aku akan bergabung dengan Liga. Tapi, ya, aku harus memperjuangkan segala hal yang penting untukku meskipun hal itu kau benci setengah mati.”
126
Antologi 1820
Ann tersenyum dengan air mata merusak solekan sepenuhnya. Ia tahu maksud Jim, mereka sama-sama paham bahwa mereka tak bisa lagi bermimpi bahwa mereka bisa bersama. “Aku paham.” Ann mulai memberanikan diri untuk berbicara dengan suara bergetar luar biasa, hanya menyisakan huruf vokal dalam kata-katanya, konsonannya lari bersama kesulitannya untuk bernapas. Mereka berdua samasama paham. Ann tak akan sedikit pun rela untuk mendukung Gerakan PanJerman—gerakan yang sangat berarti untuk Jim—yang luar biasa rasis dan Jim tak akan sudi bersama dengan Ann membantu komunis yang hampir berjaya. Mereka tak akan rela bersama satu sama lain yang mencintai hal yang mereka benci. Untuk alasan itulah, tak ada tempat untuk mereka. Ketika kredo sudah begitu kokoh, tak ada tempat untuk hasrat naluriah. “But the true human being is both man and woman, and only in the union of man and woman does the true human being exist, and only through love, therefore, do man and woman become human.”2 *** Epilog November 1936 Ann datang ke Bayreuth untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya jauh dari Inggris. Hal itu tak pernah tercapai. Akan tetapi, kini ketika ia hanyalah seorang wanita paruh baya, ketika ia sudah melupakan seutuhnya niat masa mudanya, kemungkinan itu datang lagi. Namun, tentu saja, tak ia sangka dan tahu bahwa ia akan bertemu lagi dengan orang yang dulu ia cintai. Ia pikir, ia sudah terlepas darinya karena Ann hampir melupakan orang itu. Akan tetapi, tidak, Jim yang kepalanya kini pun penuh uban, selalu mengingat kekasih lamanya.
2
Dikutip dari Selected Letters of Richard Wagner, 1988.
127
Infinite Waft
Jim tahu bahwa Ann menikah dengan seorang Sozialdemokrat—SPD— Mark Russ. Tidak ada lagi yang ada dalam hati Jim, kecuali betapa munafiknya Ann. Dengan Mark, Ann telah melanggar kredonya sendiri; kini ia adalah istri dari tokoh sentral SPD, partai yang membuat darah Jim dan seluruh anggota Nationalsozialist mendidih (dan partai komunis juga, yang mestinya menjadi tempat Ann bernaung, tetapi Ann tinggalkan untuk pernikahan). Untuk itu, tanpa dirinya sendiri sadari, Jim membulatkan tekadnya untuk mencari Ann lagi. Kekasih sekejapnya yang hilang 36 tahun lalu. Dan ia temukan. Kini, di depan matanya. Wajah yang ia kenal kini penuh keriput dan buruk rupa, tubuhnya makin kurus, seolah suaminya tak pernah memberikannya makan. Ann melihat wajah penangkapnya, tetapi Ann tak tahu bahwa ia mestinya mengenali mata biru itu, tak tahu pula ia bahwa pria itu mengenal betul bibir tipis Ann. Ia tak tahu bahwa Jim yang sedang menggandeng tangannya. Bukan menuntunnya keluar gereja setelah berjanji setia satu sama lain di atas altar, seperti yang ia bayangkan berdekade lalu, melainkan mendorongnya ke tronton, memisahkannya dari rumah tempatnya tinggal selama dua puluh tahun terakhir—Ann dapat melihat rumah itu selama beberapa detik, sebelum selamanya terasing—dalam hati tahu apa yang akan terjadi padanya. Mark sudah tak kembali sejak seminggu lalu dan ia telah merelakannya, menunggu waktunya menyusul Mark, entah di mana itu. Ann tak akan pernah tahu bahwa Jim adalah orang terakhir yang akan ia pandang, sebelum kepalanya ditembus peluru, dan wajahnya menyentuh tanah, pipinya terendam dalam darah yang mengalir di atas kubangan yang dibuat jejak tank perang. ****
128
To overcome fear ~ Dan siapa saja hafal, ketika Rose sudah berjanji maka tidak akan ada hal yang bisa membatalkan janjinya. Maka dengan keyakinan itu, sang pemuda memilih tersenyum dan mengecup bibir sang dara.
To Overcome Fear
Ditulis oleh Anna–rose phIllIps
A
nna-Rose Phillips, namanya terjahit rapi di jubah bagian dada kiri sebagai tanda pengenal yang dapat dengan mudah dibaca pengunjung yang datang. Gadis muda itu akan ada di dalam toko bunga ajaib bernama Roxanne—yang dinamai sama seperti nama ibunya. Pot-pot bunga tersusun rapi dengan kategori berdasarkan warna-warna bunga yang sama, kemudian diurutkan mulai dari jenis bunga kelopak besar hingga kelopak terkecil. Begitu rapi penyusunannya sampai kadang ia biasa berdebat dengan ibunya ketika ibunya masih hidup dahulu. Ibunya bilang cara penyusunan deretan pot bunga milik Rose terlihat aneh karena seharusnya mereka disusun seakan mereka dirangkai dalam satu buket besar bernama ruang toko. Lain dengan pemikiran ibunya, Rose merasa lebih mudah untuk menemukan bunga 130
Antologi 1820
bila dirangkai dengan cara ini. Maka ketika ibunya meninggal, Rose dengan jemawa mengatur susunan pot bunga sesuai keinginannya meskipun dengan derai tangis di sela-sela memindahkan pot. Mengingat perdebatan mereka dulu, Rose tersenyum geli seraya menggelengkan kepala. Lagi pula itu sudah beberapa waktu yang lalu lamanya. Sekarang ia telah sepenuhnya mengambil alih toko dan bertanggung jawab atas semua yang terjadi di tokonya. Mulai dari susunan deretan pot, tata ruang, dekorasi, hingga jadwal perawatan tanaman. Memang keuangannya masih sulit dan terbatas sekali terutama di beberapa kebutuhan pribadi, tetapi Rose tidak menyerah. Sama seperti hari biasa, Anna-Rose melanjutkan kegiatannya menyiram tanaman setelah sempat tertunda akibat mengenang masa lalu. Ia bersenandung rendah seraya tangannya mengayun tongkat hazel hingga percik-percik air membasahi tanah dalam pot dengan takaran yang sudah sangat dihafal Rose. Setiap kali menyiram tanaman ia berdoa dalam hati, berharap agar tiap tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan sehat sehingga kelopak-kelopak mereka bisa mekar dengan subur. “Apa kabar hari ini? Tidakkah kamu sangat menawan.� Rose menyentuh pelan kelopak bunga lily dengan hati-hati. Telunjuknya mengangkat sedikit kelopak bunga berwarna putih yang kini telah mekar dan memperlihatkan seluruh kelopak dengan indah. Tidak banyak yang tahu, tetapi bunga sebagai makhluk hidup juga bisa mendengar. Mereka mendengar dan berbicara meski dalam diam. Sentuhan dan ucapan manusia dapat menjadikan tanaman lebih sehat terawat. Seakan-akan jika mereka ditransfigurasi menjadi wujud manusia biasa, mereka bisa bercengkrama dengan normal. Rose tersenyum pada bunga lily putih sebelum langkahnya kini beranjak ke area lain. Kali ini ia mengayun tongkat ke arah langit-langit toko. Mengingat Rose bersikeras menjual bunga yang benar-benar segar serta menghindari rugi jika bunga yang sudah dipotong layu tanpa ada yang beli, pot-pot bunganya tentu masih memerlukan cahaya matahari untuk tumbuh. Mau tidak mau akhirnya Rose harus memodifikasi langit-langit agar tanaman tetap mendapatkan cahaya. Ayunan tongkat Rose segera membuka penutup kayu di langit-langit hingga 131
To Overcome Fear
cahaya masuk. Di beberapa area, untuk tanaman yang membutuhkan banyak matahari, penutup langit-langit dibuka sepenuhnya, sedangkan untuk jenis lain yang tidak boleh terkena matahari langsung, Rose biarkan langit-langit tertutup rapat. Cahaya matahari pagi musim panas yang masuk ke dalam toko segera menerangi seisi toko. Wangi semerbak bunga-bunga berbagai jenis seakan bertambah kuat dengan adanya cahaya. Kini toko terasa semakin hangat dan Rose tersenyum puas saat melempar pandangan ke seluruh ruangan. Bunyi bel toko berdenting ringan. Anna-Rose segera menoleh pada sosok tamu yang datang. Ketika melihat sosok yang muncul, ia segera tersenyum lebar dan menghampiri dengan langkah ringan. Akan tetapi, ia menahan langkah pada jarak satu kaki, matanya memicing curiga dan ia meneliti baik-baik raut wajah tamunya. “Kamu tampak tidak sehat,” ujar Rose lambat-lambat setelah menilai hidung kemerahan itu. Bukan merasa bersalah, sosok itu malah tertawa sekilas. “Serius, kalau alergimu sedang kambuh tidak usah memaksakan diri untuk datang.” Buru-buru Rose ke belakang konter kasir dekat pintu. Dari dalam lemari kayu di belakang konter, ia mengeluarkan sebotol ramuan dan sebuah cangkir. Dengan beberapa ayunan tongkat lain, cangkir itu telah terisi air hangat yang segera ditetesi ramuan antialergi. “Er, Rose.” Pemilik suara memanggil namanya, tetapi Rose sendiri hanya menjawab sekenanya dengan gumam. “Aku sedang flu saja,” ucap sang pemuda tepat setelah cangkir ramuan diletakkan di atas konter. “F-flu biasa?” tanya Rose sedikit tidak percaya. Lawan bicaranya mengangguk. “Benar?” Sekali lagi ia bertanya, tetapi lagi-lagi yang didapatnya hanya anggukan. “Apa itu alasannya kamu tidak kelihatan seminggu ini?” Bukan berarti pemuda itu wajib melapor setiap hari padanya. Dia bukan ibunya. Hanya saja seharusnya pemuda itu paling paham betapa Rose mudah khawatir ketika kehilangan kabar. Ditambah bidang kerja yang digeluti sang pemuda, kabar keselamatan adalah hal yang selalu dinantinya tiap hari dengan sabar. “Itu dan kesibukan beberapa hari terakhir.” Tangan sang pemuda mengelus pot tanah liat terdekat untuk menyapa segerombol daisy. 132
Antologi 1820
“Oh.” Rose tahu, ia tidak boleh egois atau berharap terlalu banyak. Akan tetapi, jawaban sang pemuda yang masih terkesan menjaga rahasia, ditambah seminggu penuh tanpa kabar lalu muncul dengan hidung merah dan jawaban ala kadar tanpa kesan peduli, menjadikan bahunya turun kecewa. Memang seorang auror tidak boleh mengumbar terlalu rinci masalah pekerjaan mereka, tetapi setidaknya ia berharap pemuda itu mengirim burung hantu untuk mengabari keadaan. Terutama saat sakit—ah, tidak perlu, mereka sudah punya healer berkualitas yang akan menjaga tiap anggota sehingga Rose sama sekali tidak diperlukan. Kadang ia benci dirinya sendiri yang sering menganggap kehadirannya bagai vas bunga pajangan belaka bagi sosok pemuda itu. “Bodohnya aku membuatkan ramuan ini kalau begitu.” Tongkat Rose terayun sekali lagi untuk menghilangkan cangkir ramuan hangat di atas konter. Walau kecewa, Rose tetap tersenyum simpul pada sosok itu. Ia tengah menelan rindu sekaligus semua perasaan merasa diri tidak berarti. Semoga senyum sebagai satu-satunya yang bisa ia berikan pada pemuda ini akan menjadi cukup untuk menutupi semua keresahan. “Dan kenapa kamu diam saja saat aku menyeduhnya.” Anggap saja ia sedang merajuk, tetapi Rose merasa berhak untuk protes sedikit setelah menahan kekhawatiran seminggu ini. Lagi-lagi sosok itu seakan tidak peduli dan malah menertawakannya. Meski tawa itu bagai pengobat yang terasa cukup untuk menenangkan segalanya. “Marah?” tanya si pemuda seakan tidak merasa bersalah menahan tawa. Rose memilih diam sembari tangannya kini menyeduh cangkir lain dengan ramuan yang berbeda. Kali ini ia menuang botol berisi ramuan penyembuh flu dan demam. Ia membiarkan pemuda tersebut masuk lebih dalam ke tokonya dan menyentuh beberapa kelopak mawar secara iseng. Lalu membawa cangkir di atas tatakan piring kepada satu-satunya sosok berambut pirang platina di dalam tokonya. “Ini ramuan flu.” Mendengar penjelasan Rose, tangan pemuda itu secara patuh mengambil cangkir dan menyesap isinya. Ia merasa wajar untuk selalu menyiapkan ramuan antialergi di lemarinya. Bertahun-tahun pemuda di hadapannya telah melawan alergi serbuk bunga dengan berbagai ramuan dan hipnosis terapi. Semua agar ia tidak bersin 133
To Overcome Fear
setiap kali berdiri di dekat Rose yang telanjur mencintai bunga dan segala anatominya. Alhasil, tiap kali pemuda itu datang dengan hidung merah, Rose akan segera berpikir alerginya sedang kambuh sehingga perlu meminum ramuan antialergi yang diresepkan oleh healer. “Apa kamu lowong nanti malam?” tanya sang pemuda setelah meletakkan kembali cangkir setengah isi ke tatakan yang disajikan Rose dengan tangannya. “Nanti malam?” Rose bertanya sembari mengingat tanggal hari ini. Kadang di malam hari, Rose harus menyiapkan buket bunga pesta pernikahan. Atau bunga dekorasi untuk acara ulang tahun. Kadang ia harus mengejar target untuk memantrai bunga-bunga agar dapat bernyanyi atau sekadar mekar dan menguncup berkali-kali dengan gerakan konstan. Itu jika ada pesanan besar, tetapi sisa malam-malam Rose kebanyakan diisi dengan mencoba berbagai resep masakan baru. Mungkin menikmati malam dengan minum teh herbal setelah berendam air hangat. Akan tetapi, untuk malam ini tidak ada pesanan dan kemungkinan ia akan menghabiskan waktu dengan minum teh saja. “Ya. Baru ada pesanan lagi untuk Sabtu depan. Kenapa?” tanya Rose seraya berjalan meletakkan cangkir kembali ke atas konter kasir. Sang pemuda mengikutinya hingga ke konter, berjalan perlahan lalu mengedikkan bahu. “Datanglah ke rumahku,” tawarnya tenang lalu berdiri di depan Anna-Rose sembari kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Mata lapis lazuli itu menatap lurus dengan penuh arti tanpa perlu mengucapkan secara gamblang lewat lisan. “Oh.” Ini bukan kali pertama Rose mampir ke rumah kecil itu. Akan tetapi, tetap saja tiap kali sang pemuda mengajaknya mampir, wajahnya akan bersemu dengan rona pipi sewarna bunga hibiskus. Juga dentum jantung yang menjadikan tubuhnya terasa hangat seketika. Rose mengangguk seperti telah tersihir oleh mantra imperius mustajab. “Aku akan datang nanti saat waktu makan malam.” Begitulah janjinya pada sang pemuda. Dan siapa saja hafal, ketika Rose sudah berjanji maka tidak akan ada hal yang bisa membatalkan janjinya. Maka dengan keyakinan itu, sang pemuda memilih tersenyum dan mengecup bibir sang dara. Kecupan itu sangatlah 134
Antologi 1820
lembut menenangkan, seakan-akan semua kerinduan dan kecewa segera luruh habis tak tersisa dalam hitungan detik. Ibu jari pemuda itu mengelus pipi putih Anna-Rose Phillips hingga perlahan ia menurunkan tangan. Langkahnya mundur sembari matanya masih memaku wajah Rose yang tersipu malu dalam ingatan lalu ia berbalik mendorong pintu toko untuk pergi memunggungi kekasihnya. *** Matahari sudah semakin terik pertanda jam makan siang di Diagon Alley semakin dekat. Para penyihir akan segera berlalu-lalang di depan tokonya, lewat dengan berjalan cepat untuk mencapai tempat-tempat makan yang nyaman. Tidak sedikit yang akan mampir untuk membeli bunga karena kebanyakan ada saja yang datang saat makan siang sebelum jam besuk St. Mungo dibuka. “Sudah jadi. Bagaimana menurutmu?” Rose memperlihatkan rangkaian buket bunga dalam vas. Lantana kuning, lily biru, dan herbras kuning dirangkai menjadi satu kesatuan yang terlihat cerah. Semua mengartikan petualangan, masa depan cerah, dan kemurnian yang dapat digunakan untuk merayakan kelahiran seorang bayi. “Ini bagus sekali, Anna,” puji Annemarie seraya mengeluarkan dompet dengan kait kunci keperakan. “Berapa?” “Oh, gratis, tidak usah.” Ia tersenyum dan menggelengkan kepala pada kawan baiknya itu. “Jangan naif, Rose. Kamu berbisnis, bukan sedang sedekah,” tukas gadis berambut pirang dengan komentar pedasnya seperti biasa. Akan tetapi, Rose masih ragu untuk menyebut buket bunga yang ditaksir seharga lima sickle itu. Lama menunggu Rose yang bimbang, Annemarie dengan tidak sabar memutar matanya ke atas dan memutuskan sendiri bahwa harga buket bunga itu adalah delapan sickle. Semua keping-keping koin sickle yang tersisa di dalam dompetnya diletakkan di atas konter kayu walnut. “Cukup?” tanya Annemarie Silverstein, Millie, dengan lirik mata lentiknya.
135
To Overcome Fear
“Ini terlalu banyak, Millie.” Rose buru-buru mengambil sebagian keping sickle untuk dikembalikan, tetapi gadis berkecukupan itu menahan tangan Rose, mendorongnya pelan. “Sekali-kali ambil untung besar.” Gadis itu mengedipkan sebelah matanya pada Rose, tanda ia sudah tidak mau lagi mendengar penolakan. Rose mengerjap dan akhirnya setuju meski ada rasa bersalah membebani saat ia dengan hati-hati memasukkan kepingan perak ke dalam laci kasir yang berdenting nyaring. “Terima kasih,” ujar Rose malu. “Aku akan datang menjenguk segera setelah menutup toko besok.” tambah Rose seraya perlahan keluar dari balik konter dan mengikat vas agar lebih mudah dibawa oleh Millie. Sebenarnya toko Rose tutup di malam hari sekitar pukul delapan. Waktu besuk mungkin sudah lewat, jadi memang agak sulit untuk menutup toko lebih awal. Namun, melihat animo teman-teman yang lain, Rose jadi merasa perlu untuk datang menjenguk. Sebutlah Lynette, Hazel, Jerome, Kaleia, Ambrose, Leigh, Julian, dan Ann yang sudah silih berganti datang ke tokonya meminta buket bunga yang mirip. “Santai saja.” Millie mendengus dengan kekeh tawa. “Pasti masih banyak yang datang menjenguk, bahkan katanya mereka menambah hari perawatan di St. Mungo sebenarnya karena menunggu semua orang datang.” Annemarie mulai bergosip dengan mematut bibir merah di depan cermin perak kecil, kebiasaan lama yang sulit diubah. “Lagi pula siapa yang percaya ular betina itu bisa sekarat.” Bibir sensual Annemarie sekali lagi berucap ringan lalu mengecup udara untuk memastikan pemoles bibirnya memberikan warna merah merata. “Jangan begitu, Millie. Kudengar memang sejak awal kehamilan Rona agak bermasalah.” Setelah selesai mengikat simpul terakhir, Rose mengangkat vas bunga itu dan menyerahkannya pada si gadis molek. “Tetap saja.” Millie memasukkan cermin dan alat kecantikan kecil lainnya ke dalam tas. Tangannya yang bebas kini mengambil buket bunga. “Mencurigakan.”
136
Antologi 1820
“Sampai jumpa, Rose.” Millie menempelkan pipinya pada pipi Rose seraya mengeluarkan suara kecupan kecil. Lalu yang bersangkutan berdisaparasi setelah keluar dari toko. Rose merenung setelah tokonya kembali sepi. Ia duduk di kursi kasir dan memikirkan apa yang baru saja mereka bahas. Memang siapa yang sangka jika Rona akan hamil paling duluan di antara mereka satu angkatan. Cerita tentang primadona top sekolah yang terjerat dengan lelaki tidak bertanggung jawab menyebabkan depresi sehingga kehamilan terganggu. Ia sendiri ikut bersimpati meski dulu saat sekolah hubungannya dengan Rona tidak begitu bagus. Ia mulai berandai-andai jika saja dulu Rose mundur, mungkin Rona akan sebahagia dirinya saat ini: bisa mendapat kecup hangat hampir setiap pagi. Lekas ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak boleh berpikir begitu, bukan? Karena bagaimana juga dari dulu ia tidak bisa jika harus berpisah dengan pemuda itu. Segala risiko dan potensi negatif seperti itu sudah dari lama Rose terima untuk dihadapi. Bukan untuk lari dari masalah lalu pergi membuang apa yang selama ini ia jaga dengan sepenuh hati. Bunyi denting bel toko kembali terdengar dan Rose segera menghentikan lamunan tidak berguna. Ia bangkit dari konter dan menyambut pelanggan yang kali ini masuk dengan langkah tegap. Wajah itu memang sedikit berubah, tetapi Rose tidak akan pernah lupa. “Osiris.” Rose tersenyum lebar menyambut teman sekolahnya yang lain. “Hai, Anna-Rose,” sapa pemuda itu dengan suara rendah yang lambat. “Selamat datang. Ada yang bisa kubantu kali ini?” Osiris Beaufort adalah satu dari sekian banyak pelanggan setianya. Pemuda itu sering mampir ke toko, membeli satu atau dua buket bunga. Kebanyakan untuk ibu atau kekasihnya yang secara rutin mendapat buket bunga mawar tiap bulan dari Osiris. Dibalik gaya tuan muda kaya raya, Osiris termasuk orang yang romantis. “Buatkan aku buket untuk menghadiri upacara kematian, please.” Mata Rose mengerjap bingung. Segera saja ia merasakan rasa simpati menguat sejak pikirannya tentang Rona tadi. Rasanya tidak ada berita teman mereka yang meninggal atau Millie pasti akan heboh menceritakannya tadi 137
To Overcome Fear
sehingga kesimpulan yang diambil Rose adalah buket bunga ini untuk relasi Osiris. “Oh, baiklah. Tunggu sebentar aku buatkan.” Ia tidak banyak tanya dulu karena merasa jika pemuda itu ingin bercerita padanya, pasti ia akan melakukan itu. Akan tetapi, selama pelanggannya memilih untuk tidak banyak membeberkan hal-hal seperti kesedihan yang dirasakan, Rose tidak akan mengorek luka. Ia berjalan mendahului Osiris dan mulai memilah pot-pot bunga untuk buket belasungkawa. Lily putih dan mawar putih menjadi bunga wajib, lalu gladiol merah muda sebagai pemanis agar tidak terlalu monoton. Kebetulan sekali ini bunga lily yang mekar hari ini. Salah satu bunga yang diajaknya bicara dengan akrab tadi pagi. Kini akan ia potong tangkainya untuk dijadikan buket bunga upacara kematian. Siapa sangka akan secepat ini bunga lily diambil orang. “Pasti berat kehilangan seseorang,” ujar Rose selagi mengambil gunting tanaman. “Oh, ya,” desis pemuda itu dengan suara gumam yang aneh. “Apa ini untuk keluargamu?” Meski ragu, secara perlahan Rose bertanya sesaat setelah menggunting tangkai-tangkai lily putih. “Bukan, ini untukmu.” Rose menoleh ke belakang dan sosok Osiris Beaufort ternyata telah berada di jarak yang sangat dekat saat ini. Ayunan tongkat itu seketika melantukan mantra pengantar tidur. Dalam sekejap, matanya terpejam dan Anna-Rose Phillips tidak lagi memiliki kesadaran diri. *** Kesadaran Rose perlahan kembali setelah mendengar suara dentang lonceng jam dinding. Awalnya samar, kini dentang lonceng semakin nyaring seiring kelopak matanya yang terbuka. Tangannya ngilu, tidak bisa digerakkan. Barulah Rose sadar tubuhnya sedang diikat di kursi dengan kedua tangan di belakang dan kedua kaki terikat di kaki-kaki kursi. Ia mencoba bersuara, tetapi sepertinya mantra silencio kuat telah mengambil suaranya. Dentang lonceng berhenti di
138
Antologi 1820
hitungan kesebelas, tanda bahwa waktu perjanjian makan malam telah lama lewat. Pandangan matanya mencoba berkeliling meneliti baik-baik ruangan itu, tetapi nihil disimpulkannya karena gelap. Bau busuk seperti bangkai tikus sangat menusuk dan cahaya temaram yang masuk hanya segelintir dari satusatunya jendela kecil yang setengahnya dipaku palang-palang kayu. Rasa panik segera memacu seluruh indra tubuhnya lebih sensitif. Samar, ia bisa mendengar suara langkah kaki. Peluhnya menetes dari pelipis dan degup jantungnya tidak lagi teratur. Satu-satunya pintu di ruangan gelap itu terbuka dan menampakkan sosok asing. Bukan Osiris Beaufort yang dikenalnya dengan baik sesaat sebelum kesadarannya hilang. Kali ini yang berdiri di hadapannya hanya pria tua dengan tubuh tinggi dan gurat kemerahan bekas luka sayat meradang di sudut bibir. Pria itu menarik bibir hingga cengir timpang itu terasa mengancam. “Akhirnya kau sadar.” Suara berat pria itu terganggu oleh serak. “Jangan salahkan dirimu, Nona Manis. Salahkan auror kepala batu yang keji itu. Kekasihmu?” Lalu sekali lagi pria itu terkekeh puas telah mendapat tawanan. Rose berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan menangis. Ia akan tabah dan yakin bahwa akan ada orang yang menyelamatkannya. Bahwa dia akan datang. “Kau tahu kalau kau terlalu … lugu.” Pria itu melangkah semakin mendekat. “Kau tidak boleh mudah percaya pada orang lain sekali pun kau sering bertemu dengannya.” Tangan kasar milik pria itu terangkat menangkup pipinya. Rose kemudian sadar jari kelingking dan jari manis pria itu digantikan dengan balutan perban yang masih basah oleh darah. Melihat mata Rose yang melotot ngeri pada tiga jari di pipinya, pria itu tergelak. “Yeah, lihat apa yang dilakukan kekasihmu padaku.” Pria itu kembali berdesis. Dalam gerak cepat kursinya diputar hingga ia berteriak dalam diam akibat terkejut. Lalu obor-obor ruangan dinyalakan serentak hingga sinarnya menyakiti mata Rose. Ia berjengit dan menutup mata kuat-kuat. “BUKA MATAMU, JALANG!” Rambutnya dijambak atas suruhan itu.
139
To Overcome Fear
Dengan napas berat, perlahan ia membuka mata untuk beradaptasi dengan cahaya terang. Detik berikutnya ia menahan napas ketakutan. Barulah ia tahu dari mana asal bau busuk itu datang. Bergelimpangan di hadapannya, di atas lantai kayu yang lembab oleh darah. Pemandangan itu terlalu mengerikan hingga Rose menutup mata dan berusaha memalingkan wajah, tetapi kepalanya masih ditahan oleh si jari tiga. “Lihat apa yang dilakukan pangeranmu pada teman-temanku? Takut?” Tawa pria itu keras membahana di ruangan sempit. “Now, I will take my revenge.” Ujung tongkat sang begundal mengarah pada Rose yang terikat di kursi. Satu lambaian membuat seluruh tubuh Anna-Rose terasa seperti dihujami dengan pisau tajam berkali-kali. Ia berteriak kesakitan tanpa bisa mengeluarkan suara apa-apa. Tidak decit kesakitan sedikit saja. Hingga suara dobrak pintu bersahutan dengan segerombol auror masuk ke ruangan menghentikan segalanya. “Rose!” Ah, suara yang selalu dirindukannya. Ia tahu bahwa ia sudah selamat. *** “Aren’t you scared?” Punggung tangannya menyeka sisa tanah yang menempel pada pipi Anna-Rose. “You’ll get hurt.” "But," meski ragu, meski takut, "if I run away now, you will definitely get hurt, while my future still doubtful." “I'd rather taking the risk than do nothing about it." *** Ia terbangun dari mimpi indahnya. Perlahan ia membuka mata sembari mengingat-ingat mimpi yang membasahi pelupuk matanya dengan tangis hangat. Ya, kejadian itu sudah lama berlalu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Namun, ucapan waktu itu telah mengakar begitu kuat seiring waktu berjalan. 140
Antologi 1820
Dan saat pemuda itu kembali bertanya hal yang sama, apakah dia takut? Jawabannya masih sama. Ia mengangkat tangannya sendiri dan meneliti cincin emas di jari manisnya. Senyum itu tak berkesudahan meski hari-hari telah berlalu sejak cincin itu mengikat mereka. Ritme napas teratur sang pemuda menggelitik kupingnya hingga Rose membalik badan untuk mengagumi wajah sempurna milik Harlow. Lantas jarinya lembut membelai helai keemasan yang menghias kening. “Good night,� bisiknya diiringi kecup di pelupuk mata. ****
141
SerendIpIty ~ Entah kenapa, kali ini dia tidak merasa kehilangan seperti dulu. Seolah ada yang membisiki benaknya bahwa mereka benar-benar akan bertemu lagi.
Antologi 1820
Ditulis oleh caoIlaInn essolard
A
ntrean yang mengular di bagian check-in di jalur 45, terminal internasional, Heathrow Airport, jelas-jelas disebabkan oleh seorang gadis berambut pirang yang sudah lima belas menit berdebat dengan petugas darat. Ponselnya dijepit oleh bahu dan kepala, sementara tangannya sibuk mengulurkan berbagai dokumen, paspor, dan kartu. “Tidak bisa, Arel. Tiketmu tidak bisa dikembalikan atau dialihkan tanpa biaya meskipun aku sudah membawa surat keterangan dari rumah sakit,” ucapnya untuk ketiga kali. Kay—nama panggilan Caoilainn, si gadis pirang itu— berusaha bersikap tenang dan menulikan diri dari protes dan gumaman yang datang dari orang-orang yang mengantre di belakangnya. Suara yang membalasnya sudah terdengar begitu kesal dan frustrasi. “Dasar maskapai pemeras! Padahal aku adalah platinum member! Berapa tadi harganya kau bilang?” 143
Serendipity
“Hampir lima ribu untuk pulang pergi. Ini puncak musim liburan dan tidak ada kursi kelas ekonomi yang tersisa untuk jam penerbanganmu.” Kay memalingkan wajahnya ke samping dan menurunkan volume suaranya hingga menjadi bisikan, “Kumohon ... kau tidak tahu bagaimana aku harus memelas dan berbohong panjang lebar supaya bisa menggantikan kursimu ini, padahal ada daftar tunggu.” Sepupu sekaligus partner kerjanya itu masih mengomel panjang lebar sebelum akhirnya menyerah. Penuh kelegaan—dan banyak ketidakrelaan—Kay mengulurkan kartu kreditnya kepada pegawai maskapai itu dan mengangguk. Tuhan, semoga asuransi perjalanan tahunan milik Arella masih berlaku supaya mereka bisa memangkas pengeluaran. Tunggu, perasaannya saja atau Kay benar-benar mendengar beberapa orang bersorak dan bertepuk tangan di belakangnya? Mohon maaf ladies and gentlemen, kalau kalian berada pada posisi sulit sepertinya, seharusnya kalian memberikan tepukan simpati, bukan tepuk tangan penuh sindiran. Andai mereka tahu Kay sudah seperti orang gila dalam dua jam terakhir ini; menyetir gila-gilaan ke rumah sakit saat mendengar Arella Fowls patah kaki karena kecelakaan lalu lintas, lantas dipaksa menggantikan gadis yang dua tahun lebih tua itu untuk menghadiri rapat mahapenting di Yunani tanpa persiapan apa pun, kemudian berdebat dengan setengah lusin petugas darat bandara sebelum akhirnya mendapatkan boarding pass hanya tujuh puluh menit sebelum keberangkatan. Dear Lord, berikan mukjizat-Mu supaya kakiku ini tidak patah karena harus berlari sepanjang bandara dan bisa naik pesawat tepat waktu atau— Tidak ada kata ‘atau’, Caoilainn Essolard! Sekarang, larilah! *** Hari Minggu nanti setelah kembali ke London, Kay janji akan pergi ke gereja. Kalau tanpa kuasa Tuhan, mustahil dia bisa melangkahkan kakinya ke dalam pesawat ini hanya tiga menit sebelum pintu pesawat ditutup tanpa mengalami patah kaki atau cedera berarti.
144
Antologi 1820
Pramugari menunjukkan tempat duduknya dengan senyum yang tidak berkurang sedikit pun atas keterlambatan itu. Sampai-sampai mereka perlu memanggil namanya tiga kali dalam pengumuman. Ternyata, enak juga ya jadi penumpang kelas bisnis? Kursinya terletak di tengah, bukan di dekat jendela seperti harapannya, melainkan berdampingan dengan satu kursi lain yang sudah terisi oleh seorang pria yang sedang menikmati cairan berwarna keemasan dari gelas belingnya (wow, mereka tidak pakai gelas plastik atau kertas untuk kelas bisnis!). Kedatangannya jelas menarik perhatian seisi kelas bisnis karena dia bisa melihat banyak mata terarah padanya, termasuk si pria tetangganya. Kay merasa pipinya menghangat, sadar bahwa dia satu-satunya yang masih berdiri sementara penumpang lain sudah duduk mengenakan sabuk pengaman mereka. Resah, gadis itu mengangkat tas laptopnya hingga ke kompartemen di atas tempat duduk. Sisa bawaannya ada di bagasi, jadi Kay tidak kesulitan untuk menyelipkan tasnya di sana. Baru setelah tugas mudah itu selesai, Kay menyadari bahwa si pria tetangga sedang menatapnya lekat—lebih tepatnya menatap sekitar garis pinggangnya. Otomatis gadis itu menunduk, mencari noda atau sesuatu yang salah di sana dan ketika dia tidak menemukannya, dahinya mengerut penuh kecurigaan. “Maaf, Tuan. Kenapa terus memandangku?� “Coba angkat sedikiiit lagi blusmu itu?� Suara maskulin dari pria berkacamata hitam di sebelahnya itu membuat Kay mendelik. Cabul. Demi Tuhan! Dia pikir pelecehan di dalam pesawat itu hanya terjadi di film-film. Tidak disangka dia akan mengalaminya sendiri. Baju-baju milik Arella ini memang terlalu seksi, apalagi dia hampir sepuluh sentimeter lebih tinggi, membuat yang sudah mini jadi semakin mini lagi. Wajahnya pasti sudah berubah kaku dan sedikit panik ketika gadis itu berpaling dan berniat mencari pramugari untuk meminta pindah tempat duduk. Sayangnya, pria itu lebih cepat meraih tangannya dan menariknya duduk. Kay menepiskan tangan pria itu seketika, matanya menyipit. Bersikap sok meniru tatapan galak yang seharusnya ditunjukkan seorang gadis pada kondisi seperti ini.
145
Serendipity
“Aku bisa melaporkanmu dengan tuduhan pelecehan seksual kalau kau menyentuhku lagi!” Percayalah, Kay akan melakukannya! “Nona, silakan mengenakan sabuk pengaman Anda, kita akan memulai proses take-off sebentar lagi.” Suara si pramugari jelas-jelas memupuskan harapan Kay untuk mendapatkan pemindahan kursi atau melaporkan pria ini. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung dilakukannya ketika melihat si pramugari itu memandangnya dengan satu tatapan aku-tidak-akan-pergi-sampaikau-melakukan-yang-kuperintahkan-tadi. Satu decakan kesal terlontar ketika Kay dengan terpaksa memasang sabuk pengaman pada akhirnya. Dan pramugari itu berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Oh, kembali lagi pada tetangga cabul ini. Pria itu masih memandangnya dan sekarang Kay bahkan melihat sudut bibirnya terangkat sedikit, sungguh mengesalkan. Dia meraih pegangan partisi geser yang memisahkan tempat duduk mereka dan berniat menariknya. Puji Tuhan untuk fasilitas kelas bisnis ini. “Aku tidak berniat jahat, Caoilainn.” Dan gadis itu membeku. Penekanan pada namanya membuat ia kebingungan. Bagaimana mungkin pria itu tahu namanya? Seolah memanfaatkan kebingungannya, tangan si pria menyeberangi batas kursi di antara mereka, langsung menyentuh keliman blus putihnya dan mengangkatnya sedikit. “SIR!” pekiknya tiba-tiba tanpa memedulikan keadaan di sekitar. Masih untung dia tidak menyebutkan sesuatu yang lebih kasar atau langsung menampar si pria karena mungkin alam bawah sadarnya tahu kalau dia akan menyesal berat jika betul-betul melakukannya. Tangannya hampir bergerak untuk menepis lengan si pria kurang ajar itu. Akan tetapi, sentakan kecil pada bagian pinggang roknya membuatnya terhenti, lantas sebuah karton hitam mungil bertuliskan Harvey Nichols yang kemudian disodorkan padanya membuat Kay ingin mati saja. Jadi, sejak tadi dia memakai rok yang label harganya belum dilepas? Inilah sebabnya dia lebih cocok bekerja di belakang layar, sementara Arella yang menangani humas dan urusan dengan para klien. 146
Antologi 1820
Kebingungan bercampur rasa malunya bertemu dengan senyum yang makin lebar di wajah pria itu. “Aku tidak menyangka semudah itu kau melupakanku, Kay.” Rasanya seperti film yang diperlambat ketika melihat pria itu membuka kacamata hitamnya tanpa melepaskan tatapan. Zuriel Winthorpe, siapa yang bisa melupakannya? “Zu … riel?” Sudah tujuh tahun lebih Kay tidak mengucapkan nama itu, semenjak pria itu lulus dari senior high school mereka dan tidak pernah ada kontak lagi sesudahnya. Ada yang bilang Zuriel kuliah di luar negeri, lalu ada juga yang bilang dia meneruskan bisnis keluarga. Yang pasti sudah selama itu Kay tidak melihat wajah pria yang dulu pernah membuatnya merasakan cinta monyet selama beberapa bulan yang singkat. Siapa yang tidak bakal jatuh hati padanya? Dengan wajah yang polos, sikap cuek yang sering kali disalahartikan sebagai dingin, keluarga kaya raya, serta pergaulannya dengan sekelompok pemuda yang sama kayanya membuat Zuriel Winthrope berada pada kasta teratas sekolah mereka. Dan Kay hanyalah satu di antara sekian banyak gadis yang jatuh hati. *** TING. Lampu indikator untuk melepaskan sabuk pengaman menyala dan Kay kembali ke dunia nyata. Pesawat itu sudah berada di udara tanpa dia sadari. Perhatiannya terlalu penuh oleh kenangan akan masa lalu dan gadis itu merasa wajahnya kembali memanas. Dia jelas tidak mengucapkan apa pun dalam periode waktu itu dan itu sungguhlah aneh. Kepalanya menoleh dan menemukan Zuriel sedang membaca sebuah buku, bukan menonton film, atau mendengar musik seperti yang dilakukan oleh sebagian besar orang pada umumnya. Dan bukankah itu dulu yang membuatnya tertarik? “Sing, Unburied, Sing,” ucapnya sambil membaca perlahan judul dari bagian depan buku yang terbaca olehnya. “Masih penggemar novel suspense dan thriller setelah sekian lama?” Dia mengenali judul novel yang sedang meledak di
147
Serendipity
pasaran itu, hanya belum punya waktu untuk membaca di tengah kesibukan kerja gila-gilaan sebagai partner dari sebuah biro desain yang tengah merangkak naik. Pria itu menoleh dan tersenyum padanya sambil menutup buku itu. “Kukira kau akan mengabaikanku selama sisa perjalanan ini, Kay.” Dan Kay sungguh malu akan ucapan pria itu. Zuriel bahkan bukan mantan kekasihnya, hanya seorang teman lama yang seharusnya akan menjadi teman ngobrol yang menyenangkan selama tiga jam lebih penerbangan ini. Bukankah dulu mereka juga tidak pernah kehabisan bahan untuk berdiskusi selama berjam-jam ditemani oleh bercangkir-cangkir frappe untuk membahas setiap misteri atau kasus dari novel-novel yang mereka baca bersama? “Seharusnya sejak awal tadi kau memperkenalkan dirimu, Zuriel.” Dia mendenguskan napasnya, antara sedikit kesal dan geli. Balasan yang dia dapat hanyalah kekehan singkat dan ucapan sepele. “Tidak lucu kalau tadi aku sampai menamparmu karena mengira kau berniat melakukan pelecehan.” Ekspresi hangat dan geli pada wajah pria itu cukup membuat Kay terkesima. Dulu, Zuriel sangat jarang memperlihatkan wajah seperti itu, membuatnya mendapatkan gelar sebagai Mr. Cool yang entah bagaimana malah menjadi magnet untuk sebagian besar gadis. Waktu memang bisa mengubah orang dengan begitu bijaknya. “Pergi berlibur?” Adalah pertanyaan yang dilontarkan dengan begitu wajar kepadanya. Mereka berada dalam pesawat menuju Yunani, salah satu destinasi wisata paling terkenal di dunia. Akan lebih mudah jika dia mengangguk, tetapi akhirnya gadis itu menggeleng. “Sayangnya aku dalam perjalanan bisnis, padahal ini pertama kalinya aku pergi ke Yunani.” “Oh?” Sebuah ‘oh’ yang mengandung terlalu banyak pertanyaan tersirat dan entah apa yang merasukinya hingga Kay terlalu lancar menceritakan segala sesuatunya sepanjang mereka menikmati makan siang lengkap yang dihidangkan. “Mereka sungguh gila menuntut kami datang untuk mempresentasikan desain hanya dengan beberapa hari persiapan.” Lingkaran hitam di bawah mata
148
Antologi 1820
Kay membuktikan hal itu. Jam-jam kerja yang begitu panjang, berbanding terbalik dengan waktu tidur yang bisa dia nikmati dalam seminggu terakhir. “Seharusnya sepupuku yang duduk di sebelahmu, andai dia tidak mengalami kecelakaan— “Aku bahkan tidak punya waktu untuk mengemasi pakaianku sendiri!” Ini untuk menebus sebagian harga dirinya karena kasus price tag yang memalukan barusan. Sekaligus ini menjadi self reminder juga. “Proyek apa?” Kay mengulangi pertanyaan yang diajukan oleh Zuriel di tengah-tengah obrolan yang kebanyakan didominasi olehnya itu. “Pembangunan resor mewah tepi pantai entah milik miliuner dari mana.” Tipe miliuner yang bahkan tidak mengedipkan mata terhadap anggaran biaya yang mereka ajukan, selama desainnya cocok, dan memakai barang-barang kualitas terbaik. Gadis itu sudah merasa kenyang sekali saat akhirnya makanan penutup berupa bolu lemon yang disiram selai rasberi hangat disajikan, lengkap dengan anggur putih dalam gelas kristal yang cantik. Kay menyesap anggurnya sedikit demi sedikit, lalu melirik ke arah meja sebelah, dan terkejut melihat kopi yang sepekat malam di dalam cangkir Zuriel. Sejak kapan Zuriel Winthorpe, si pecinta sukrosa kelas berat, menyukai kopi hitam yang pahit? Kay masih hafal betul pesanan wajib Zuriel setiap kali datang ke kafe; caramel frappe with double syrup, menu yang bisa membuat gigi ngilu hanya dengan membayangkannya. “Kau sendiri, apa bisnis keluarga yang kau kerjakan sekarang?” Caoilainn Essolard, tahu persis kopi dan buku apa yang disukai oleh si pria Winthorpe ini, tetapi dia tidak tahu-menahu sedikit pun soal bisnis keluarga Winthorpe. Dalam obrolan tadi, Zuriel hanya mengatakan dia pergi ke Athena untuk urusan bisnis keluarga. “Yah … ini dan itu. Akan membosankan kalau diceritakan. Aku lebih suka mendengar ceritamu.” Kay berani bersumpah dia melihat seringai sebelum bibir pria itu tertutup oleh cangkir kopi yang berwarna putih. Dia benar-benar meminum kopi pahit itu!
149
Serendipity
Ada jeda saat Kay memikirkan hidupnya selama delapan tahun terakhir. Satu demi satu bolu lemon itu menghilang ke dalam mulutnya hingga akhirnya dia menjawab setelah suapan yang terakhir. “Tidak ada yang menarik juga. Sekolah, magang, kuliah, kerja sambilan, kerja, kerja, dan kerja.” “Lanjutkan.” Masih nada riang yang sama, seolah cerita hidupnya adalah yang paling menarik di dunia. “Siapa tahu bisa menjadi dongeng pengantar tidur untuk pria malang yang sedang jet lag ini.” Di balik topeng tampan sok dingin itu, kadang-kadang Zuriel Winthorpe ini memang mengesalkan dan minta dijitak! Namun, alih-alih mengabaikan permintaan itu, Kay malah menurutinya. “Kujamin kau akan tertidur dalam lima—paling lama sepuluh menit.” Kali ini dia yang menyembunyikan senyum samarnya dan mulai bercerita dengan santainya. Dan dalam beberapa menit, di tengah ceritanya tentang alasannya memilih jurusan desain interior, Kay mulai merasakan kelopak matanya berat. Jam-jam tidur yang minim selama seminggu, perut yang kenyang, ditambah anggur lezat sukses mengantarnya jatuh tertidur sesuai yang dijanjikannya tadi— —eh? Akan tetapi, kenapa yang tertidur bukannya Zuriel? *** “Kay.” Mimpi indahnya terusik dengan guncangan lembut di lengannya. “Hmmm … lima menit lagi.” Tubuhnya menggeliat enggan, berada di ambang sadar dan tak sadar. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Embusan hangat terasa di telinganya. “Hanya tinggal kita penumpang yang belum turun, wahai putri tidur. Apa kau mau menunggu sampai kapten keluar dari kokpit dan membangunkanmu juga?” Nggg ... maksudnya? Kesadaran akhirnya menghantamnya dan matanya langsung terbelalak lebar. Yang pertama dilihatnya adalah ekspresi geli di wajah Zuriel, sebelum kepalanya berputar cepat untuk melihat sekelilingnya. Seisi kelas bisnis itu sudah 150
Antologi 1820
kosong, hanya tinggal dua orang pramugari yang dia yakini menjaga wajah mereka tetap netral sambil mencuri pandang padanya. “Maaf!” Tidak ada kantuk yang tersisa saat gadis itu membuka sabuk pengamannya dan berdiri dengan tergesa-gesa. Sebaliknya, Zuriel malah bergerak dengan santai seolah para pramugari itu adalah anak buahnya yang dibayar untuk menunggu. Sepanjang perjalanan dari pesawat hingga pengambilan koper, untungnya tidak sekali pun pria itu meledeknya karena tertidur. Malahan, Zuriel yang lebih banyak aktif bicara dan menceritakan tempat-tempat bagus yang harus dia kunjungi di Athena. “Kau seperti pemandu wisata saja. Sudah sering ke sini?” tanyanya ketika mereka berjalan berdampingan sambil menarik koper masing-masing. Hanya kedikan bahu yang acuh tak acuh. “Beberapa kali. Kebanyakan aku membaca laporan survei, salah satunya tentang pariwisata lokal yang terkenal. Aku bisa menjadi pemandu wisata untukmu selama seminggu ke depan. Bagaimana?” Sungguh tawaran yang amat menggoda, andai saja Kay ke sini untuk berlibur. Penuh sesal, gadis itu hanya bisa menggeleng, “Rasanya tidak mungkin. Seminggu ini akan penuh dengan rapat, peninjauan proyek, dan teleconference dengan rekan-rekanku di London.” Sekarang dia jadi menyesal karena terburuburu membeli tiket pulang. Kalau tidak mungkin dia bisa menambahkan satu atau dua hari untuk berjalan-jalan dan menikmati kecantikan legendaris Yunani ini. “Hidup bukan sekadar berkerja saja, Kay.” Andai dia bisa mengatakan hal yang sama. Gadis itu berhenti melangkah di depan pintu kaca yang menuju ke luar terminal dan menatap muram pada Zuriel. “Sayangnya aku belum diberi kemewahan semacam itu.” Sebelum pria itu memulai lagi kata-kata bijak lainnya, Kay buru-buru menambahkan, “Aku senang bisa bertemu seorang teman lama. Selamat tinggal, Zuriel. Semoga kapan-kapan kita bisa mengobrol lagi … di London.” Tangannya terulur menawarkan jabat tangan yang sopan. “Kau yakin tidak mau kuantar ke hotelmu? Kurasa kita … searah.” Satu gelengan. “Aku perlu mampir ke beberapa tempat dulu dan melakukan sedikit belanja keperluan pribadi yang mendesak.” Sangat mendesak 151
Serendipity
karena dia tidak mungkin mengenakan pakaian dalam Arella besok. Dan demi Tuhan, dia tidak mungkin mengajak Zuriel walaupun dia menikmati mengobrol dengan pria itu. “Baiklah. Sampai jumpa lagi, Kay.” Entah kenapa, kali ini dia tidak merasa kehilangan seperti dulu. Seolah ada yang membisiki benaknya bahwa mereka benar-benar akan bertemu lagi.
*** “Mau kuberi tahu tidak petunjuk kasus itu?” Dua bulan yang lalu, mungkin Kay akan terlonjak mendengar kalimat tiba-tiba itu. Sekarang rasanya aneh kalau tidak mendengar suara itu mengganggunya di tengah jam kerja sambilannya. Padahal dia yang menemukan sanctuary ini duluan—lorong tangga menuju gudang penyimpanan di loteng, persis di sudut seksi misteri yang pas sekali untuk membaca dalam keheningan—tetapi sekarang dia harus berbagi dengan seorang idola sekolah bernama Zuriel Winthorpe. “Jangan coba-coba, kecuali kau mau musuhan selama seminggu!” Kalau dia mengucapkan kalimat itu di sekolah, barangkali Kay akan langsung dimusuhi oleh selusin penggemar Zuriel and the gank. Pemuda yang dua tahun lebih tua itu hanya terkekeh penuh arti sambil kembali menyedot frappe dari gelas plastiknya. Percuma ada peraturan yang ditulis besar-besar dan omelan dari Kay, Zuriel tetap saja melanggar dan membawa gelas frappe-nya ke area rak buku ini. Toh, Tuan Muda Winthorpe dengan mudahnya selalu mengatakan ‘kalau bukunya kenapa-napa, akan kubayar.’ Memang kadang-kadang orang kaya itu sangat mengesalkan. “Kau membaca terlalu lambat.” “Karena kebanyakan waktu luangku digunakan untuk bekerja.” Dua jam sepulang sekolah dan enam jam pada akhir minggu. Bukan berarti dia semiskin itu, tetapi Kay suka bekerja di sini supaya mendapat diskon pegawai dan seringnya bisa membaca banyak buku secara gratis. Gajinya kebanyakan digunakan untuk membeli buku atau peralatan gambar. 152
Antologi 1820
“Hanya tinggal lima bab lagi.” Ditunjukkannya halaman yang terbuka. “Kalau kau tidak menggangguku terus, pasti selesai sebelum jam istirahatku berakhir.” Tiba-tiba saja buku itu diambil dari tangannya. Zuriel berdiri dan ikut menariknya juga, lalu dengan mantap mulai melangkah ke arah depan toko yang merupakan kafe. Tangannya masih berada dalam genggaman pemuda itu. “Bacanya di rumah saja kalau begitu, sekarang temani aku makan.” “Zuriel! Kau—” Kay merasa mukanya memerah karena beberapa rekan kerja yang melihatnya mulai tersenyum-senyum. “Aku biasa makan di belakang, aku bawa bekal!” “Sandwich yang dibuat tadi pagi dan sudah layu itu lagi?” Sebuah tebakan yang seratus persen benar. Harga makanan di kafe terlalu mahal, bahkan setelah dipotong diskon pegawai, dan Kay malas menghabiskan waktu istirahatnya untuk berjalan dan mencari makan di luar. Zuriel membawanya duduk di sebuah meja dekat jendela dan memesan tanpa perlu melihat menu lagi. “Kutraktir. Duduk dan temani aku saja.” Yang pertama dari beberapa ‘kencan’ makan siang yang sungguh tidak ada romantis-romantisnya. Namun, untuk pertama kali dalam enam belas tahun hidupnya, Caoilainn Essolard jatuh hati. *** “Miss Essolard, mohon maaf atas keterlambatan rapatnya. Kami baru saja mendapat kabar bahwa sebentar lagi kita akan mulai.” Kay hanya mengangguk sambil tersenyum pada salah satu gadis yang sejak tadi gelisah dan ke luar masuk ruangan untuk menelepon. Dia sudah datang setengah jam lalu, sudah siap dengan semua materi rapat, tetapi mereka bilang rapatnya belum bisa dimulai tanpa kehadiran bos mereka. Diam-diam, Kay menikmati penundaan itu, membuatnya jadi punya waktu untuk menikmati secangkir teh panas dan melamunkan mimpinya semalam. Hanya sekilas obrolan dengan Zuriel setelah tujuh tahun dan pria itu hadir lagi dalam mimpinya, mengingatkannya pada cinta pertama yang kandas dalam waktu begitu singkat.
153
Serendipity
Kay tidak berani menanyakannya kemarin, tetapi sesungguhnya dia penasaran. Apa Zuriel sudah menikah? Apakah hubungannya dengan Ketua Klub Musik yang dibawanya ke prom night dulu masih berlanjut? Ah, harusnya kemarin dia tidak secepat itu menolak ajakan jalan-jalan. Seharusnya— “Selamat pagi.” Kay mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali ketika melihat sepasang pria dan wanita memasuki ruangan rapat. Yang satu dengan pakaian begitu formal, yang satunya lagi berpakaian layaknya seorang turis sejati. “Zu … riel?” bisiknya kebingungan. Apa ini bagian dari lamunannya? Atau dia masih bermimpi? Bagaimana mungkin Zuriel Winthorpe bisa tiba-tiba hadir di depannya tepat ketika Kay sedang memikirkannya? Jangan bilang … Zuriel menguntitnya? Atau ini … semacam sihir? ****
154
Where have you been all my lIfe? ~ “Jadi—” Winthorpe muda itu menggantungkan ucapannya sambil meliriknya dengan senyuman jahil. “Kenapa kita tidak pernah berkencan sungguhan dahulu?”
Where Have You Been All My Life?
Ditulis oleh zurIel wInthorpe
P
agi itu, sarapannya luar biasa enak. Sepiring frittata berbahan keju susu kambing dan zucchini, yoghurt yunani, dan jus jeruk telah menenangkan perutnya. Kini pria itu berjalan santai ke arah ruang rapat yang telah disewa oleh sekretarisnya—Elizabeth Anderson yang sudah datang kemari sehari sebelumnya—sembari membawa segelas kopi dalam gelas kertas. “Sudah mulai?” Tangannya mengambil gelas kopi yang diangsurkan padanya. “Belum, tetapi mereka sudah siap dan menunggumu.” Zuriel melirik jam tangannya. Masih pukul 09.15, ia hanya terlambat lima belas menit. 156
Antologi 1820
Badannya dihempaskan di atas kursi yang berposisi di kepala meja konferensi. Kopi americano itu disesapnya nikmat, lantas ia menatap anggota rapat pagi ini satu per satu. “Selamat pagi,” senyumnya hangat. Kacamata hitam itu didorongnya hingga bertengger di puncak kepala. Zuriel mengenakan sepasang celana pendek berwarna khaki dan kemeja bermotif bunga tropis berwarna cerah. Salah kostum? Tidak ada istilah salah kostum jika kau adalah pemimpin rapatnya. “Bagaimana tidur kalian semalam? Nyenyak?” Seringainya muncul ketika Zuriel membayangkan waktunya semalam. Ia harus menenggak beberapa gelas anggur sebelum bisa benar-benar tidur karena tubuhnya sedikit penat terbang. Akan tetapi, pada akhirnya ia bisa tertidur. Sungguh nyenyak hingga ia kesiangan. Zuriel mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang, lantas mendapatkan sesosok gadis yang membuat kedua alisnya naik keheranan. Tentu saja, ia tidak betul-betul heran karena mereka sudah bertemu kemarin. “Halo, Kay.” Gelas kopinya diangkat tinggi, seolah mengajak gadis Essolard itu bersulang. “Ah, pakaian baru lagi? Jangan lupa mencabut label harganya.” “Sedang apa kamu di sini?” Kay tampak sekali gemas, mungkin karena Zuriel kini duduk di kepala meja sehingga membuatnya tidak terima. “Aku? Rapat. Seperti kamu.” Tatapan curiga itu menghujam benak Zuriel. “Kamu ikut bekerja di proyek hotel ini juga?” Hampir saja Zuriel menyemburkan kopinya jika tidak karena harga dirinya yang harus dijaga. Lucu sekali, Caoilainn Essolard ini. Setelah marahmarah, sekarang ingin tahu hal yang paling sederhana dan diketahui banyak orang di ruangan ini. “Well, bisa dibilang begitu.” Zuriel mengangguk-angguk dengan perlahan, seolah menantikan salah seorang karyawan menampik ucapannya. Meskipun ia yakin, mereka tidak akan berani dan turut menahan tawa kecil mereka. Mungkin inilah alasan mengapa
157
Where Have You Been All My Life?
Elizabeth atau Arryn masih tahan bekerja dengannya—tingkah usilnya kadangkadang menjadi hiburan tersendiri di sela-sela kesibukan mereka. “Oke, mari kita mulai. Liz, bisa kau tunjukkan progres proyek hotel ini?” Elizabeth mulai menyalakan proyektor LCD dan menampilkan permintaannya. “Tunggu sebentar,” sela Kay Essolard membuat semua mata kini tertuju padanya alih-alih pada layar di depan ruangan. “Memang kamu siapa, Zuriel Winthorpe?” Bibirnya belum lepas sempurna dari gelas kertas itu, tetapi Zuriel menyemburkan sebagian besar kopi yang baru saja diteguknya. Tak lain, tak bukan karena ucapan Kay barusan. Liz hanya menutup kedua matanya pasrah ketika melihat Zuriel memberi isyarat untuk membereskan semua ini. “Aku? Kenapa kau terus-menerus bertanya tentang hal itu?” Sebelah matanya mengedip pada Liz, memberi isyarat supaya gadis itu tak angkat bicara sampai ia memberi izin. Saat ini, Zuriel terlalu menikmati perannya sebagai teman lawas yang baru saja bertemu kembali. “Kenapa kamu harus duduk di situ? Kenapa rapat ini harus dimulai menunggu dirimu? Kenapa .… “ Gadis itu tampak kehabisan napas. Zuriel masih menyesap kopinya dengan santai. Pandangannya kini tertuju pada Liz supaya karyawannya yang ini tetap tenang. “Sudah? Apakah kau masih belum puas?” “Zuriel Winthorpe.” Aduh. Hampir saja ia tertawa melihat bagaimana reaksi Kay melihat ekspresinya saat ini. Dulu hubungan mereka berdua memang tidak seluwes ini. Hanya saja, melihat bagaimana gadis itu ceroboh membiarkan label harga pakaiannya masih terpampang jelas—anggap saja Zuriel senang melihat kecerobohan yang tampaknya memang tidak disengaja—ia merasa terlampau familier. Mungkin Kay sekarang betulan kesal padanya karena keterlambatan dan keusilannya di depan semua karyawannya ini. “Baiklah, baiklah. Liz, maukah kau menjelaskannya untukku?” Zuriel berpura-pura memohon pada Elizabeth karena yah, mengaku-ngaku sebagai 158
Antologi 1820
direktur perusahaan orang tuanya bukanlah hal favorit yang bisa dilakukan oleh Zuriel Winthorpe. “Dia adalah pimpinan proyek hotel ini, Miss Essolard. Mohon maklumi keusilannya,” tutur Elizabeth santai sambil tersenyum samar. Wajah Zuriel kini berubah sedikit masam. Tambahan kata-kata terakhir itu tidak terlalu penting sebetulnya. “Aku tidak usil, itu hanya pengisi waktu luang. Baiklah, bagaimana progres pembangunan hotel ini?” Zuriel tidak sabar untuk segera mengakhiri rapatnya. *** “Asger, kau tahu apa yang kutemukan di Yunani?” Zuriel menelepon teman baiknya yang sedang berada di London dengan nada riang semalam. Mungkin setelah rapat tadi pagi, ia mulai terpikirkan bagaimana pertemuan mereka di masa lalu. Ia duduk di pojok kafe dengan bukunya atau terkadang menyelinap dengan gelas frappe-nya di antara rak buku, sementara gadis itu bekerja melayani pelanggan-pelanggan lain sembari sesekali memeriksa keadaannya. “Apa?” “Lebih tepatnya, siapa yang kutemukan.” “Well, siapa?” balas Asger sedikit abai. Barangkali kawannya itu terlampau sibuk dengan tumpukan pekerjaan yang diberikan keluarganya. “Kay Essolard.” Ia meringis sendiri mengingat nama gadis itu. “Kau ingat tidak? Dia bekerja di kafe buku tempatku biasa hang out.” “Hmmm?” Asger terdengar ragu sembari mulai memberikan perhatian penuh pada ucapan-ucapannya. “Kafe tempatmu menghilang di jam-jam tertentu? Tentu saja, aku tahu. Tapi gadis itu?” “Ya, ya. Kau ingat. Ada seseorang dari sekolah kita yang bekerja sambilan di sana. That, Kay Essolard. Mungil dan berambut pirang platina.” “Gadis itu—aku tak pernah mendengarkan cerita apa pun darimu. Dulu kau terlalu sibuk menghindari gadis-gadis itu.”
159
Where Have You Been All My Life?
Zuriel merengut sesaat mendengar perkataan Asger yang seolah memojokkan dirinya di masa lalu. Padahal ia hanya kurang memperhatikan saja manusia-manusia yang ada di sekitarnya karena mereka pasti hanya mendekatinya untuk sedikit popularitas atau harta. “Well, tidak ada yang menarik buatku.” Ia menghempaskan diri ke atas kasur sembari menghela napas panjang. “Aku juga tidak memikirkan hal-hal remeh seperti itu.” Dia tertawa mengingat bagaimana dirinya selalu menghindari pusat-pusat keramaian hanya untuk sedikit waktu membaca. “Jadi, bagaimana kau bertemu dengan Kay ini? Ceritakan.” “Di atas pesawat menuju Athena,” kekeh gelinya terdengar delirius kemudian. “Aku melihat label harga roknya masih menggantung dan dia mengataiku mata keranjang.” Asger tergelak heboh di ujung telepon. “Dude, kau sudah umur berapa sekarang? Tiga puluh, eh? Sudah pantas dipanggil sugar daddy? Cocok juga dipanggil mata keranjang.” “Sial, aku tidak tertarik menjalani peran seperti itu,” Zuriel Winthorpe mendengus sedikit kesal. “Lagi pula aku masih 25 tahun, tidak perlu distraksi dari gadis-gadis kampus yang murahan.” “Well, you could, but you wouldn’t. So what’s the big deal with this Kay?” “Oh dia berteriak menuduhku mata keranjang, lantas dia membungkam dirinya sendiri setelah kutunjukkan label harga itu.” Zuriel meneguk wiski yang tersedia di bar mini kamarnya. “Dia duduk di sebelahku dan bercericip riang hingga kami mencapai Athena.” Ia tergelak panjang sembari mengingat kejadian itu. “Tapi sayangnya dia belum tahu aku siapa. Dia mengenaliku sebagai Zuriel Winthorpe yang dulu, hingga kami menghadiri rapat itu. Ingat proyek hotel yang kuceritakan sebulan yang lalu?” “Oh, kudengar sudah berjalan? Bagaimana?” “The project is fine, by the way,” balasnya buru-buru sambil mengganti mode teleponnya menggunakan speaker. “Intinya aku bertemu Kay lagi saat rapat pagi itu. Ya sebetulnya aku tidak terlalu kaget.” Bohong. Sebetulnya Zuriel hampir saja tersedak ketika melihat gadis itu muncul di ruang konferensi kemarin. Saat berada di atas pesawat ia hanya 160
Antologi 1820
menebak-nebak apa yang akan dilakukan gadis ini setibanya di Yunani. Ada sedikit harapan bahwa mereka bakal bertemu lagi di sebuah kesempatan lain meskipun bagi seorang Zuriel dirinya tidak mungkin terang-terangan menyampaikan keinginannya itu. “Lantas bagaimana?” “Mmmm.” Zuriel menyandarkan tubuhnya pada setumpuk bantal yang membuatnya terduduk tegak di atas kasur. “Dia bertanya siapa aku dan kenapa aku duduk di sana. Well, wajahnya sedikit kesal—tapi mungkin karena aku terlambat lima belas menit.” Asger tertawa kemudian. “Oh, aku yakin dia kesal karena gaya bicaramu alih-alih karena kau terlambat. Lalu kau bakal mengajaknya kencan?” “How do you know?” Zuriel merengut tidak percaya ketika Asger berhasil menebak rencananya besok hari. “Kau tidak bakal meneleponku panjang lebar jika kau tidak betulan menyukainya, Zuriel.” “Ah, well. Besok pagi aku mengajaknya survei meskipun yah, aku punya rencana lain.” “Hahahahaha. Typical Zuriel Winthorpe. Good luck, Dude. Anyway, there’s someone at the door,” tutur Asger dengan kikuk. “Oke, sampai jumpa di London.” Ia tersenyum lantas menutup telponnya. *** “Aku sedikit heran kenapa kau terlambat.” Zuriel melihat bagaimana gadis itu datang menggunakan blazer lengan panjang di atas gaun musim panasnya yang tampak sekali tidak nyaman. Pria ini hanya mengenakan kemeja katun super dingin sambil meneguk minumannya banyak-banyak. Kali ini mereka bertemu di tepi pantai, sebuah lokasi yang sudah dipilih Zuriel untuk membangun hotel dan resor terbaru milik keluarganya. “Kau mau minum?” Tangannya mengangkat gelas berisi koktail, memberi isyarat pada Kay supaya gadis itu turut menikmatinya juga. Hari masih pagi, mungkin ini baru 161
Where Have You Been All My Life?
pukul sepuluh? Atau sebelas? Zuriel tidak bisa mengingatnya karena ia sedang liburan dan bersenang-senang. Tentu saja ia tidak minum saat malam hari karena ia butuh tidur. “Ini masih pagi, Zuriel.” “So?” Pria itu seolah tidak peduli bahwa mereka di sini seharusnya survei. Berniat mencari tahu apa yang dialami oleh pekerja konstruksi di lapangan. Sempat Zuriel mendengar permasalahan tentang perizinan. Namun, Liz berkata bahwa mereka sudah membereskannya lima bulan yang lalu. “Aku sedang bekerja. Aku tidak minum saat bekerja.” “Tsk. Membosankan.” “Aku bukan kamu, Zuriel Winthorpe. Aku harus memastikan proyek ini selesai dengan baik supaya citra kantorku tidak buruk.” “Baiklah. Kalau kau bersikeras begitu.” Zuriel meneguk habis minumannya sambil berjalan santai ke arah gadis itu dan segera menggamit lengannya, “Ikut aku.” Suaranya tegas. Alih-alih sebuah permintaan, ucapannya terdengar seperti perintah. “Kita mau ke mana?” “Sudahlah, ikut saja denganku.” Zuriel meletakkan gelasnya asal-asalan di salah satu meja terdekat. Menarik gadis itu keluar dari kafe tepi pantai tempat mereka semula bertemu dan berjalan-jalan di sekitar pertokoan. Winthorpe muda itu memasang kacamata hitamnya ketika Kay Essolard mulai mengomel-ngomel tidak jelas. “Zuriel Winthorpe! Maumu apa sih?” Ia mengabaikan pertanyaan entitas yang sedang berada dalam genggamannya. Langkahnya cepat berbelok ke arah sebuah toko bercat merah jambu. Mungkin dari jauh, mereka sudah mengenali apa jenis toko itu. Akan tetapi, keduanya tidak ada yang angkat suara hingga Zuriel melepaskan lengan gadis itu di dalam toko. “Coba yang ini?” Tangannya mengangsurkan sepasang bikini berwarna terang dengan pola garis-garis. “Atau kau lebih suka yang ini?” Zuriel hampir memberantakkan rak gantungan bikini itu. 162
Antologi 1820
“Maksudmu aku harus membeli semua ini?” “Tidak—astaga. Pakai saja. Aku yang akan membayarnya.” “Tidak. Aku tidak mau kau membayariku.” “Aku sudah membayarnya.” Bohong. “Kau tinggal memakainya. Sekalipun kau akan membayarnya, uang itu akan terbuang percuma.” “Hhh, aku—” Kay tampak masih bimbang akan pilihannya. “Kau tidak suka yang ini? Pilih mana saja yang kau suka.” Kedua tangannya kini bersedekap di depan dada. Tidak membiarkan kacamatanya lepas karena ya, Zuriel tidak ingin gadis itu tahu bagaimana ekspresinya nanti ketika melihatnya mengenakan bikini. Dia bukan seorang mata keranjang seperti tuduhannya di atas pesawat tempo hari. Ketika tangan Zuriel bergerak meraih bikini bermotif macan tutul, Kay buru-buru mendahului, “Yang warna pastel ini saja!” Zuriel tersenyum lebar sambil membiarkan gadis itu mencoba pilihannya. “Langsung pakai saja, bagaimana?” Zuriel meringis tidak bersalah yang dibalas dengan satu debuman keras pintu kamar ganti yang membuatnya tergelak lepas. *** Perjalanan setengah jam kemari menggunakan speedboat membuat gadis itu melenguh kesal. Mungkin karena Zuriel ini tidak begitu pandai menjamu seorang gadis, terlepas bahwa kakaknya sendiri adalah wanita paling lembut yang pernah dikenalnya. “Sudah sampai.” Zuriel menunjuk tepi pantai yang sudah disiapkan sejak pagi. Entah bagaimana Elizabeth berhasil menyiapkan sebuah meja lengkap dengan peralatan makan di bawah sebuah tenda kecil yang nyaman. “Kau bilang kita akan survei!” “Yeah, kita sedang memeriksa bagaimana keadaan cuaca di pulau ini.” Zuriel meringis geli mendengar kegusaran dari mulut Kay. Ia bisa melihat berbagai minuman yang disediakan, koki yang siap menunggu dengan
163
Where Have You Been All My Life?
kitchen set daruratnya, serta seorang pelayan yang senantiasa tersenyum apa pun perintahnya. “Come.” Ia mengulurkan tangannya pada Kay sembari menunggunya turun meniti tangga kapalnya. “Mau makan siang dulu atau berenang dulu?” Pria itu menawarkan kedua pilihan aktivitas yang berada di luar perjanjian semula. Ia bisa menebak seberapa kesal seorang Caoilainn Essolard sekarang. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan menyurutkan niatnya untuk mengajak kencan gadis ini. “Zuriel.” Gadis itu menatapnya dengan agak kesal. “Laporan survei macam apa yang harus ku-email ke kantor nanti malam? Ini jelas makan siang dan bersantai ... sama sekali bukan bekerja.” “Hei.” Zuriel menurunkan kacamata hitamnya agar gadis itu bisa menatapnya meskipun ia sendiri ragu apakah bisa menampakkan sorot ketulusan di sana. “Aku tidak ahli melakukan hal-hal seperti ini,” desahnya kemudian sambil menurunkan kacamata hitam itu seluruhnya. “Aku tidak yakin apakah kau mau menerima ajakanku untuk kemari jika seandainya aku bilang untuk menghabiskan waktu denganmu.” Mungkin suhu di pantai ini yang terlalu panas atau memang kedua pipinya yang menghangat tanpa sebab yang jelas. Kay masih bungkam, setengahnya mungkin Zuriel paham karena ia telah menyeretnya ke toko bikini dan ke mari tanpa alasan yang jelas. Setengahnya lagi, entahlah. Di sini cuacanya indah dan menawan. Mereka bisa bermain bola atau berenang hingga sore hari tiba. Bahkan semua makanan tersedia dan mereka tidak perlu khawatir jika terjadi apa-apa. Di sisi lain pulau ini ada resor yang bisa digunakan untuk menginap. Kedua matanya yang penuh dengan sorot memohon itu berakhir mendapat anggukan ringan dari Kay. “Baiklah. Dengan syarat, jangan lakukan hal seperti ini lagi.” “Tentu,” jawab Zuriel hampir tanpa jeda. “Aku bersumpah tidak akan membohongimu lagi, oke?” Gadis itu mendesah berat. Layaknya seorang pekerja yang baru saja dipaksa lembur, Kay pun menurut. Zuriel yang tadi merasa ringan dan senang, 164
Antologi 1820
kini menjadi canggung dan sedikit gelisah. Pria itu mengajak Kay untuk berjalan ke arah meja yang telah disiapkan, lantas membujuknya. “Let’s have a lunch.” Ia menarik kursi dan membiarkan gadis itu duduk. Ada keraguan sejenak sebelum Kay membuka blazernya, menampakkan tali bikini berwarna pastel yang tidak bisa ditutupi oleh strapless dress yang dikenakannya. Tidak heran gadis itu bersikeras mengenakan blazer sebelumnya karena itu gaun yang harus dikenakan bersama bikini—atau tanpa apa-apa—di baliknya. Tanpa pertanda, pelayan itu menuangkan sampanye pada kedua gelas ramping yang berada di sisi kanan mereka. “Terima kasih,” ucapnya sambil mengangkat gelasnya dengan santai. “Aku lupa bertanya,” jedanya sembari menyesap sampanye itu, “apakah ada seseorang yang menunggumu di London?” Sebagai seorang pria yang bermartabat, tentu Zuriel tidak bisa sembarangan mengajak gadis yang sudah berpacar untuk berkencan. Anggap saja kali ini bukan kencan karena memang sejak tadi ia membohonginya dengan alasan pekerjaan lapangan. “Mm, memangnya kenapa kau harus tahu?” Gadis Essolard itu menurunkan gelasnya sambil menatapnya lamat-lamat. “Kita ‘kan tidak sedang berkencan? Kita sedang—uhm, bekerja. Selepas minggu ini, Arella yang akan kembali mengambil alih proyek.” Sorot mata tertarik seorang Zuriel Winthorpe kini berubah menjadi sedikit teduh. Mungkin ia merasa sedikit kecewa sebab gadis itu sempat menyiratkan bahwa mereka tidak bakal melanjutkan apa pun setelah semua urusan di Yunani ini selesai. “Astaga, kau bahkan sudah menolakku sebelum aku mengajakmu.” Zuriel berpura-pura memegang dada kirinya dengan ekspresi kesakitan, “That hurts.” Mau tidak mau, gadis itu tertawa ketika mendengarkan kelakarnya. “I’m really sorry,” tuturnya lembut seraya membiarkan pelayannya menyajikan hidangan pembuka. “What for?” Kedua mata Kay membulat penasaran pada ucapan maafnya. 165
Where Have You Been All My Life?
“For everything.” Senyumnya diulas singkat, berusaha menunjukkan ketulusan yang tersisa. “Everything?” Kay mengerutkan dahinya sambil tersenyum geli. Mungkin ia terhibur pada perubahan sikap Zuriel yang seperti bumi dan langit. Semula sangat cuek dan abai, kini ia begitu hati-hati dan waspada. “Ya, kejadian di pesawat, lalu rapat pagi kemarin, dan kebohonganku pagi ini.” Zuriel mulai melahap makanannya dengan santai dan membiarkan gadis itu mencerna permintaan maafnya. Ekspresi di wajah gadis itu melembut, berkebalikan dengan rona pipinya yang menggelap. “Sejujurnya, aku sudah langsung memaafkanmu sesudah setiap kejadian berlalu. Tapi janji, tidak ada acara bohong-bohongan lagi.” Ada beban berat yang seolah terangkat ketika gadis itu memaafkannya. “Baiklah aku berjanji akan berkata jujur mulai dari sekarang,” kekehnya sembari menatapnya geli. “Omong-omong tentang kejujuran, aku langsung mengenalimu saat kita bertemu pertama kalinya di atas pesawat.” “Zuriel Winthorpe! Kau membuatku mempermalukan diri sendiri karena menyangkamu pervert dan hampir berteriak di kelas bisnis!” Ia tergelak lepas, lantas menelan air mineral dengan kelegaan tersendiri. “Ugh, aku sangat kecewa ketika kamu tidak ingat siapa aku,” jelasnya sambil masih tersenyum geli. “Padahal kita pernah berkencan waktu SMA.” “Hanya beberapa kali makan siang, tidak bisa dianggap berkencan, Zuriel.” Kay terdengar tidak yakin ketika Zuriel mengungkit masa lalu keduanya. “Aku ingat sekali sering berkunjung ke kafe tempatmu bekerja,” jelasnya sambil membiarkan piringnya diangkat oleh sang pelayan untuk digantikan dengan sajian utama. “Setiap pulang sekolah hingga petang. Membaca di satu meja pojok yang selalu kupesan,” lanjutnya dengan senyuman getir mengingat masa lalunya. “Tentu saja aku mengingatnya. Kau selalu menghindari gadis-gadis yang mengerubungimu setiap saat.” Kay tertawa mengingat pengalaman masa lalu Zuriel yang terdengar bodoh. “Aku senang melihatmu membaca buku dengan ekspresi yang berubah-ubah. Kadang terlalu serius hingga dahimu mengerut.” 166
Antologi 1820
“Hei! Aku sedang membaca buku dan mengamati gadis favoritku! Tentu saja ekspresi wajahku tidak bisa dikendalikan.” Ia beralasan dengan nada bicara sedikit merajuk. “Kau ingat tidak saat Valentine aku bersembunyi di sana dan esok harinya lokerku penuh dengan cokelat?” “Oh, ya. Kau membawa cokelat-cokelat itu dan membagikannya ke semua pengunjung kafe!” “Astaga, kau masih mengingatnya?” Zuriel menutup mukanya menggunakan kedua tangan. “Tentu saja! Kau jahat sekali membagi-bagikan cokelat yang dibuat dengan penuh perasaan oleh penggemarmu kepada orang lain.” Keduanya tiba-tiba hening, membiarkan angin laut membelai rambut keduanya dari tengkuk-tengkuk mereka yang kepanasan. Zuriel menatap gadis itu dengan keteduhan yang berbeda. Ia bisa merasakan sesuatu yang membuncah di dadanya. “Jadi—” Winthorpe muda itu menggantungkan ucapannya sambil meliriknya dengan satu senyuman jahil. “Kenapa kita tidak pernah berkencan sungguhan dahulu?” Kay tersenyum lirih, “Well, you never asked it for real.” Zuriel tertawa pada kejujuran yang terucap dari bibir Essolard ini. Mungkin ini sudah terlambat tujuh tahun lamanya. Akan tetapi, ia bersyukur masih bisa mendengarkannya. “Tujuh tahun kemudian kita bertemu kembali,” balasnya ringan sambil menyesap gelas kedua sampanye itu. “Di atas sebuah pesawat terbang, di depan ruang konferensi, dan di sinilah kita—” Jedanya sejenak sambil memandangi laut, berusaha memahami apakah Zuriel masih mengabaikan pertanda-pertanda yang diberikan oleh semesta. Ia bangkit dari tempat duduknya meskipun hidangan penutup belum disajikan, tangannya terulur pada gadis itu, menanti untuk disambut. “Come on.” Kepalanya mengedik ke arah pantai yang ombaknya berdebur indah dan tidak mengancam. Kay menyambut tangannya, kendati semula ragu, ia kini menggamit tangan itu erat-erat.
167
Where Have You Been All My Life?
“Lepaskan saja sepatumu,” tuturnya dengan tawa lembut. Zuriel juga melepas sandalnya, membiarkan pasir mengisi sela-sela jari kakinya. “I always like you,” tuturnya lembut sambil menatap gadis itu lurus-lurus. “Kau tahu betapa senangnya aku saat melihatmu di atas pesawat?” “Tidak,” geleng Kay perlahan, sembari tidak percaya pada ucapannya. “Well, saat melihatmu aku begitu senang sampai-sampai tidak terpikir apa-apa kecuali menggodamu,” kekeh Zuriel sambil menggosok hidungnya canggung. Gadis itu masih bungkam. “Since then, I’ve been asking myself.” Ia menghadap pada Kay, mengusap helai-helai rambut pirangnya. Zuriel menunduk, ia bisa merasakan napas mereka saling beradu. Ia mengecupnya perlahan, lembut, dan menenangkan. Kembali ia mengusap pipi Kay dengan penuh rasa sayang dan kerinduan yang tak terperi. “—where have you been all my life?” ****
168
SIlence and solItude ~ You never know when you’re gonna fall in love.
Silence and Solitude
Ditulis oleh osIrIs beaufort
O
siris tidak pernah menyukai hujan. Karena acap kali butir-butir air itu menyirami bumi tempatnya berpijak, nasibnya selalu buruk. Alarmnya tidak berfungsi pada pagi yang penting baginya. Ia bangun terlambat, meraung selagi melompat dari tempat tidur, menarik handuk dan peralatan mandi dengan serampangan sebelum masuk ke kamar mandi. Pakaiannya tampak berantakan karena ia kenakan dengan terburu-buru padahal ia sudah menghabiskan enam menit kemarin malam memilah setelan terbaik untuk dikenakan dalam wawancara kerja pekerjaan impian hari itu. Tak peduli seberapa menggebu asa yang dikeluarkannya saat melambaikan tangan, tidak ada satu pun taksi mau minggir dan membantunya mengejar ketertinggalan 170
Antologi 1820
waktu. Tak punya pilihan lain, anak muda dua puluh dua tahun itu pada akhirnya berlari penuh menuju tempat wawancara yang mengakibatkan tubuhnya basah oleh keringat saat ia tiba dan mendapat tatapan menilai terang-terangan dari dua resepsionis gedung. Wawancara kerjanya berlangsung singkat. Ia memaksudkannya singkat karena wawancara itu berlangsung tak sampai sepuluh menit. Salah satu pewawancara memberinya senyum menenangkan selagi mengatakan hasil wawancaranya akan keluar dalam beberapa hari ke depan. Harinya tak bisa lebih buruk dari ini, pikirnya, sampai sadar ia bahkan lupa membawa dompet. Sejak pagi sudah tak terhitung berapa kali umpatan kasar lolos darinya. Osiris menyandarkan punggung pada dinding luar gedung, menunggu hujan reda meski pesimis bila melihat derasnya butiran-butiran air dari langit itu jatuh mengguyur tanah. Jadi, Osiris menarik ponsel dari tasnya untuk menghubungi kawannya yang mungkin bisa meminjamkan payung atau malah membawanya pulang sampai tersadar kalau benda sudah hampir kehabisan daya. Ia pasti lupa mencolokkan benda itu semalam. Saat baru satu nada hubung terdengar, layar hitam merupakan penanda bahwa benda elektronik itu mati. Osiris benar-benar benci hujan. Ekspresinya datar sedatar-datarnya. Rentetan kemalangan tak membuat anak muda itu berhenti menggumamkan keluhan demi keluhan. Osiris mengembuskan napas pendek karena tidak menemukan cara selain menunggu hujan sedikit reda. Di sekitarnya, beberapa orang menepi untuk menghindari tersiram deras hujan laiknya dirinya. Sepasang hazelnya kemudian berkilat menangkap sosok asing yang terus menatap, sesekali mengetik pada layar sebuah ponsel. Ia bisa meminjam benda itu, ‘kan? Ketika instingnya masih menunggu-nunggu saat yang tepat untuk menghampiri, ia merasakan tepukan ringan pada pundaknya. Tubuhnya berputar dan ia menemukan seseorang menatapnya polos. Osiris berkedip. “Ya?� Orang itu menunduk dan menggigiti bibir sebelum menyodorkan sebuah ponsel kepadanya. Lagi, Osiris berkedip. 171
Silence and Solitude
“Ini …?” Osiris tidak benar yakin apa maksud gestur gadis di hadapannya. Akan tetapi kemudian ia sadar, kalau gadis itu lucu dan manis. Terlalu manis malah. Dan bagaimana ketika pandangan mata mereka lagi-lagi bertemu, ia merasa— kalau ini bahkan masuk akal—mendadak sedikit memahami arti dari frasa mabuk kepayang. Gadis itu diam dan Osiris mendorong pelan ponsel itu kepadanya. Dia terlihat terkejut, tetapi kemudian menggelengkan kepala (dengan menawan) sebelum menjejalkan ponsel tadi ke tangan Osiris. Lalu gadis yang sama membuat gestur seperti orang sedang menelepon, menggunakan ibu jari dan kelingkingnya (masih dengan menawan, heran) seakan meminta Osiris untuk menggunakan ponsel itu. “Maksudmu, aku bisa menghubungi temanku pakai ini?” Gadis itu tampak puas dan mengangguk. Osiris kembali berkedip. Apa ia baru saja bermain tebak-tebakan dengan orang asing? Satu panggilan keluar tidak masalah seharusnya, ‘kan? Ia bisa menghubungi temannya untuk menjemput. Temannya itu menganggur setiap hari, kecuali malam dan mempunyai mobil, seharusnya tak masalah menjemputnya di sini. Osiris menimbang-nimbang sebentar sebelum menatap gadis yang memberinya ponsel. Ia membuka mulutnya untuk berbicara sesuatu, tetapi gadis tadi sudah tidak ada di hadapannya. Strange things surely happen when it rains. *** Dipikir-pikir mungkin karena sedang musimnya hujan, ia dapat panggilan kerja lain beberapa hari kemudian. Tadinya Osiris tidak ingin menghadirinya, selain karena ia tidak begitu menyukai posisi pekerjaan yang ditawarkan, ia pun masih trauma dengan hari hujan penuh kesialan waktu itu. Akan tetapi, kawannya kemudian mengingatkan kalau tinggal di London, sekalipun di Wembley, sama sekali tidak mengizinkan anak muda seperti mereka pasif, kalau tidak mau bergabung dengan berandalan-berandalan depan McDonald’s dalam hitungan 172
Antologi 1820
bulan ke depan. Osiris juga sudah memeriksa ulang ponselnya. Kali ini sudah memastikan baterai ponselnya penuh sehingga siap digunakan. Langit yang sempat cerah berubah muram begitu ia memasuki gedung. Tak menunggu lama sampai hujan turun dengan derasnya dan Osiris langsung menepuk jidatnya, memarahi diri sendiri dalam hati karena lagi-lagi tak ingat mengangkut payung di dalam tas. Setidaknya kali ini membawa dompet, ia menghibur diri sendiri. Ia akan baik-baik saja. Proses wawancara hari ini berlangsung cukup oke. Osiris berhasil memberi jawaban bagus untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi siapalah dia untuk menilai. Mereka bilang hasil wawancaranya akan keluar dalam beberapa hari. Osiris baru terhempas kembali pada kenyataan bahwa di luar hujan begitu ia sampai di foyer lantai dasar gedung. Hujan bahkan bertambah deras, tetapi tidak dibarengi angin sehingga orang-orang tak siap macam dirinya masih punya pilihan untuk berlari membeli payung ke kios terdekat. Saat masih menimbang keputusan hidupnya kala itu, Osiris merasakan lagi tepukan pada pundaknya. Tubuhnya berputar dan mata hazelnya membesar saat menemukan si gadis lucu—iya, begitu dia melabeli gadis itu. Gadis lucu tersenyum dan mendekatkan sebuah payung transparan ke arahnya. “H, hei.� Osiris menemukan dirinya kesulitan bernapas untuk beberapa sekon. Jantungnya juga melewatkan satu ketukan dalam ritme normalnya. Ia hanya mendapat senyum sebagai balasan dan payung yang kali itu benar-benar dijejalkan ke tangannya. “Tunggu, ponselmu.� Osiris Rigel buru-buru merogoh saku mantel, hanya untuk menemukan fakta bahwa ia meninggalkan benda yang ia sebut sebelumnya itu di rumah. Wajahnya berubah pias. Tenggorokannya sudah siap melontarkan permintaan maaf, saat ia berkedip dan tidak lagi menemukan sosok yang dicari di hadapannya. Not again. ***
173
Silence and Solitude
Marjorie, atau yang waktu mereka masih kecil dia panggil Margie, menanyakan kenapa Osiris punya dua ponsel saat mereka sedang berbicara di telepon soresore. Satu yang ia gunakan untuk berbicara dengan sepupunya, yang sambil mengurusi toko kuenya di York sana, sementara yang lain berbunyi saat mereka sedang berbicara. Osiris menemukan dirinya tidak bisa tak memberitahu Marjorie kalau ia membawa payung ke mana-mana belakangan. Tentu saja Osiris tidak benarbenar memberi tahu beberapa hari belakang ia membawa benda-benda itu karena berharap akan berpapasan lagi dengan pemberinya; gadis yang tak bisa berhenti ia pikirkan. Osiris merasa harus bertemu dengannya lagi untuk mengembalikan barang dan … untuk bertemu. Osiris sudah kembali ke dua lokasi tempat mereka pernah bertemu, berkeliling pun sudah, tetapi pencariannya belum menemukan hasil. “Os, aku .…” Saat itu Osiris tidak menangkap gelagat gelisah yang menyelimuti ucapan Marjorie. Jadwal sampah daur ulang untuk Wembley besok pagi dan ia belum mengeluarkan kantung sampah dari flatnya. Osiris melihat sosok familier muncul dari lorong saat baru keluar dari pintu sambil membawa kantung sampah yang lumayan penuh. Membuatnya teringat sesuatu dan memotong apa pun maksud ucapan penuh keraguan Marjorie setelah orang itu sudah menghilang di balik pintu flat, satu pintu di sebelahnya. “Kau ingat teman yang pernah kuceritakan? Kurasa kalian akan cocok.” Sedikit berisik karena kantung sampah yang diletakkan semena-mena oleh para penghuni harus dipindah-pindahkannya untuk membuat spasi bagi kantung sampahnya sendiri. “Kita seumuran.” Marjorie ini salah satu spesies yang hobi mengelak bila disarankan ini-itu. Karenanya, nadanya terdengar kesal walau sebenarnya tidak sekesal itu. “Aku ingin melihatmu berkencan dan menikah. Tentu saja kau harus menikah.” Ini yang berbicara masih Osiris. “Jadi, kapan aku bisa mengenalkan kalian?” Satu kantung jatuh ke jalanan beraspal dengan bunyi debam bercampur gemerisik. Osiris tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Mungkinkah? Meski 174
Antologi 1820
wajah gadis itu tak kelihatan jelas karena sedang berjalan dan mereka hanya bertemu beberapa detik dalam dua pertemuan lalu, anehnya ia yakin. Osiris kembali menimbang apa yang harus ia lakukan sebelum sosok gadis lucu keluar dari jarak pandangnya. Hujan turun semakin deras. Seharusnya itu pertanda cukup untuknya kembali ke flat berukuran sedang miliknya. Namun, kali itu Osiris bertekad tidak akan kehilangan. Ia berlari dan menarik gadis itu agar wajah mereka berhadapan. Rasanya hatinya baru saja membesar dua kali lipat dari ukuran biasa. Sorot polos itu. Gadis yang dicarinya beberapa hari ini sekarang ada di hadapannya. *** Kali itu ia benar-benar tidak melepaskan. Osiris berhasil meyakinkan gadis lucu untuk menyambangi sebuah kafe terdekat dari posisi mereka. Rumahnya dekat dan sebetulnya ia masih memakai sendal. Hujan pun masih deras dan ia basah kuyup, tetapi Osiris Beaufort tidak mau kehilangan momen yang berarti harus mengulang pencariannya lagi. Tiba-tiba ia tidak begitu membenci hujan lagi, setidaknya untuk saat ini. “Aku pesan secangkir espresso.” Osiris berucap pada pelayan yang menghampiri meja mereka. “Bagaimana denganmu?” Gadis lucu menatap sebentar kertas menu yang berdiri di atas meja lantas menunjuk sebuah gambar. Lalu menatap ragu-ragu sang pelayan. Pelayan itu membalas dengan anggukan yang disertai secarik senyum kecut yang tak luput diperhatikan oleh Osiris. “Dan secangkir latte.” ucap wanita pelayan menyuarakan pesanan gadis lucu. Pelayan itu meninggalkan mereka setelah menyelesaikan catatannya. Gadis lucu menunduk, seakan menghindari pandangan yang terarah padanya, sementara Osiris tidak bisa tak memperhatikan gadis itu. Terlalu menggemaskan sampai membuatnya merasa tak lagi bisa berpaling dari satu wajah itu seumur hidupnya.
175
Silence and Solitude
“Aku Osiris. Osiris Beaufort.” Osiris memperkenalkan diri. “Boleh kutahu siapa namamu?” Alih-alih menjawab, gadis itu menangkupkan tangan ke mulutnya. Diikuti sebuah gelengan lemah, terlihat ragu. “… kamu bisa bicara?” Gadis lucu terlihat salah tingkah dan menggeleng lebih kencang dari sebelumnya. Pandangan sepasang bola mata yang sorotnya ia sukai itu jatuh ke meja. Osiris terkejut sekaligus ingin menampar wajah sendiri keras-keras. Ia pun ingin menggaruk kepala atas situasi yang tak disangka-sangka itu, tetapi masih menahan diri. Sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalanya. Osiris dengan lekas mengeluarkan ponsel miliknya dari saku. Ia mengetikkan sesuatu kemudian menunjukannya ke hadapan sang gadis. Osiris bisa melihat untuk pertama kalinya sebuah senyum muncul di paras jelita tersebut. Boleh tahu namamu? Ponselnya diambil lalu kembali diletakkan di depannya sehingga Osiris bisa membaca apa yang diketik gadis itu. Ia tersenyum lebar dan hujan tiba-tiba berhenti beberapa saat setelah kejadian itu. *** Osiris belajar kalau gadis lucu tidak bisa bicara, tetapi mereka bisa berkomunikasi dengan mencoreti kertas saat sedang bersama dan lewat WhatsApp saat sedang terpisah. Osiris baru kali ini merasakan komunikasi yang terasa ringan, tetapi tak bisa berhenti memberikan sensasi gelitik di perutnya. Ia tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada orang lain. Ia sering membaca ulang pesan-pesan yang dikirimkan sang gadis dan menemukan dirinya tak bisa berhenti menatap gadis itu saat bersama. Ia suka bagaimana gadis lucu menatapnya dan bagaimana kepala berhelaian cokelat itu terteleng setiap kali ia berbicara terlalu antusias. Akan tetapi, dari semuanya yang paling ia sukai adalah bagian di mana bibir gadis itu membuat sebentuk kurva, mencipta sebuah senyum yang membuat perutnya mendadak berubah menjadi sangkar timah kupu-kupu setiap kali itu terjadi. 176
Antologi 1820
Sebanyak dan sesering gadis itu tersenyum saat bersamanya, sebanyak dan sesering itu juga ia jatuh hati pada orang yang sama. Saat mereka menghabiskan waktu bersama, kebanyakan ia yang bicara. Osiris sudah menceritakan hampir semua tentangnya pada gadis lucu, tetapi gadis itu tetap tidak banyak bercerita soal dirinya. Osiris hanya tahu gadis itu bekerja di sebuah toko bunga yang berjarak satu blok dari tempat tinggalnya. Masih sama-sama di Wembley. Akan tetapi, Osiris belum tahu apa warna kesukaan, keluarga, cerita hidup gadis itu sebelum mereka bertemu. Hanya saja untuk saat ini, itu bukanlah masalah, karena semakin sering mereka bertemu, semakin ia ingin mereka selalu bersama. Tak peduli apakah gadis itu membuka diri padanya atau tidak, Osiris hanya ingin melindungi dan menjadi seseorang yang penting untuk gadis itu.
Osiris, namaku bukan itu :c Kenapa kamu memanggilku gadis lucu? Kamu lucu Aku tidak lucu. Sebetulnya kamu yang selalu membuatku tertawa Kasih tahu nggak ya Ih! Ya sudah :c Rumus bahagiaku: Sama kamu > tawa
Osiris menyimpan semua percakapan mereka baik-baik. *** Pada hari hujan berikutnya gadis lucu membiarkan Osiris mengantarkannya sampai ke depan rumah. Juga hari hujan berikutnya .‌ 177
Silence and Solitude
Dan yang berikutnya. Osiris memakai kartu transportasinya lebih sering dari biasa belakangan. Ia suka mengantarkan gadis lucu pulang. Rasanya lebih tenang. Lewisham, daerah tempat gadis lucu tinggal, bukanlah area favoritnya di London. Namun, tempat mereka hanya berbeda beberapa stasiun perhentian sehingga Osiris tidak perlu melakukan upgrade abonemen kartu transportasinya. Ia pun bisa membiarkan kupu-kupu di perutnya bermain lebih lama dengan keberadaan gadis lucu di sisinya. Setahun lewat, orang tuanya pasti tidak punya ide kalau putra sulung mereka masuk keluar area yang tak akan pernah ada dalam daftar perjalanan keluarga asal York itu bila berkunjung ke London. Apalagi hanya karena seorang perempuan. Besok pagi-pagi sekali Osiris punya panggilan wawancara kerja yang lain, tetapi tetap tak menghentikannya untuk berharap waktu bergulir lebih lambat sehingga ia punya kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih panjang dengan gadis itu. Mereka berpayung melindungi diri dari hujan dan berjalan bersisian melewati banyak gelandangan yang menjadikan aspal jalanan utama kota sebagai tempat tinggal. Biasanya mereka memang tidak berkomunikasi karena sulit untuk menulis di atas kertas dalam kondisi seperti itu. Sampai di depan rumah, gadis lucu menatapnya dengan tatapan yang lagi-lagi membuatnya jatuh hati. Osiris melakukan hal yang biasa dilakukannya, mengacak helaian rambut itu sambil tersenyum, dan mengucapkan selamat tinggal diikuti candaan yang sarat harapan. Namun, hari itu Osiris tidak tahu kenapa dia melakukannya. Ia menarik gadis itu mendekat lalu menciumnya tepat di bibir. Bukan ciuman yang panjang. Itu mungkin ciuman tersingkat yang pernah Osiris lakukan seumur hidupnya, tetapi sensasinya mampu meluluhlantakkan dunia dan membangun ulang kehidupan yang lebih baik di dalam tubuhnya. Sesuatu menari di perutnya dan rasanya aneh. Osiris belum pernah merasakan ini sebelumnya, pikirannya seakan berkabut, dan jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Saat tatapan mereka kemudian bertemu, Osiris tahu persis ini perasaan apa. *** 178
Antologi 1820
Osiris Beaufort resmi jadi Orang Dengan Gangguan Jiwa. Tidak, sih. Namun, pasti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya karena ia tidak bisa berhenti memikirkan momen di depan bangunan tempat gadis lucu tinggal. Ia pasti sudah berbeda karena dia akan membuat gestur kemenangan seperti mengepalkan tinju ke udara, satu atau malah dua-dua, sendiri di flatnya setiap kali ingat ciuman mereka hari itu. Tidak ada percakapan lebih lanjut soal mereka, tetapi Osiris sudah membayangkan mereka menikah, dan tinggal satu atap nantinya. Atau setidaknya, ia pasti memang sudah berubah karena dengan enteng menarik uang dari salah satu rekening trust fund yang sebelumnya ia niatkan tak akan pernah disentuh sampai benar-benar dibutuhkan, hanya untuk membeli sebuah cincin di sebuah toko perhiasan di Oxford Street, yang merupakan langganan Freesia Bradford, ibunya, setiap kali datang ke London. Apa Osiris seingin itu menikah? Osiris tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan cincin itu. Ia mungkin hanya akan memberikannya begitu saja. Akan tetapi, pesannya tak pernah dibalas lagi. Dan rasanya sia-sia menelepon karena gadis lucu tak akan mengeluarkan suaranya. Jadi, Osiris mengirimkan sangat banyak pesan pada gadis lucu. Ia bahkan mencoba menelepon di tengah keputusasaan, meninggalkan pesan suara agar gadis itu mengabari, apa saja, yang penting Osiris tahu dia masih hidup. Pesan-pesan yang ditinggalkannya di WhatsApp pun beragam, dari panjang sampai pendek. Ia benar-benar berusaha menghubungi gadis itu. Mengembus napas pendek, ia berpikir apa yang dia perbuat sampai gadis itu membangun jarak di antara mereka. Osiris mengirim pesan terakhir. Apa kamu membenciku?
Ia menghapus kalimat panjang dan pada akhirnya hanya mengirim tiga kata itu. Ia merebahkan diri di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar, dan membiarkan tangan menekan keningnya. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar
179
Silence and Solitude
dan Osiris buru-buru membuka sebuah pesan yang baru saja datang. Gadis lucu baru saja membalas pesannya. Tidak .… Ia mengembus napas lega dan berterima kasih pada Sang Pencipta karena paling tidak gadis itu hidup? Akan tetapi, setelahnya Osiris bingung. Lalu, kenapa? Osiris ingin mengeluh panjang lebar tentang betapa menderita hidupnya tanpa pesan dan pertemuan-pertemuan mereka. Ia ingin gadis itu tahu betapa dia merindukannya. Sangat, sangat merindukannya. Ia ingin bercerita soal wawancara kerja sebelumnya. Ia ingin…, ah, kalau didata rasanya terlalu banyak. Ia berhasil menahan. Malam itu Osiris tertidur dalam kebingungan dan kepedihan. Esok harinya ia terbangun karena bunyi ringtone yang ia setel terlalu kencang. Tangannya buru-buru mencari ponsel dan ekspresinya berubah saat melihat siapa yang menelepon. Dengan suara serak khas orang baru bangun, Osiris berhasil menggumamkan, “Halo.” “… Ozzy?” “Sudah kubilang jangan panggil aku itu lagi, Marjorie.” Mengeluh membuat kantuknya hilang, Osiris mendudukkan diri. Lagi pula ia perlu tempat sampah untuk mengeluarkan semua kegundahan hatinya. Kalau bukan sepupunya, sama siapa lagi? Untuk pertama kali dalam sejarah, Marjorie Beaufort adalah pihak yang berbicara dan memberi saran sementara Osiris mendengarkan. Osiris menguap lantas mengangguk-angguk mendengar perkataan sepupunya. Dipikir-pikir lucu. Dua belas tahun yang lalu adalah waktu di mana Marjorie pindah ke rumah orang tuanya karena peristiwa malang yang menimpa paman dan bibinya. Saat itu kondisi sepupunya mirip dengan gadis lucu. Bisu sampai lama-kelamaan suaranya baru terdengar lagi. Osiris tidak tahu apa gadis lucu benar-benar bisu atau efek trauma seperti sepupunya, dia belum menanyakan hal seperti itu, tetapi Osiris menemukan dirinya berharap gadisnya nanti akan bisa berbicara selancar Marjorie saat ini. “... Mungin ketakutan. Berusaha lagi. Itu saran terbaik yang bisa kuberikan. Dan, Ozzy, jangan pernah menyerah kalau kamu memang menyukainya, oke?” 180
Antologi 1820
“Oke. Trims, Sepupu. Omong-omong, aku senang mendengarmu berbicara panjang. Bisakah kau begini setiap hari biar sesi telepon kita nggak membosankan?� *** Osiris ragu-ragu, apa ia seharusnya menekan tombol bel atau tidak saat dirinya sudah berada di depan bangunan berkapasitas delapan apartemen yang diketahuinya salah satunya dihuni gadis lucu. Pada akhirnya ia menuruni undakan dan memilih untuk menunggu gadisnya di tempat mereka selalu berpisah setelah ia mengantarkan sang gadis. Gelisah jelas dirasakannya. Rasanya ia ingin menekan bel atau menyelinap setiap kali pintu bangunan itu terbuka untuk memperbesar kesempatannya bertemu dengan gadis lucu. Namun, bagaimana kalau gadis itu tidak ingin lagi bertemu dengannya selamanya? Bukankah karena itu gadis lucu tak mau lagi membalas pesan maupun mengangkat teleponnya? Osiris mondar-mandir di dekat pagar entah sudah berapa lama sampai tiba-tiba sebuah langkah berhenti di dekatnya. Seseorang menyodorkan payung karena langit tiba-tiba memutuskan untuk menurunkan hujan—sama seperti hari-hari lain dalam setiap pertemuan mereka. “Hai.� Akan tetapi, saat ini Osiris tak lagi membenci keberadaan hujan. Karena kalau bukan karena hari hujan yang kesekian, ia pasti tidak akan diajak masuk ke dalam rumah gadis itu untuk pertama kali. Aku menyukaimu. Itu kenapa aku menciummu hari itu. ****
181
Kuda putIh ~ Kadang mimpi terasa jauh lebih menyenangkan daripada kenyataan.
Antologi 1820
Ditulis oleh vIctorIa ackerman
B
ajingan! Satu kata itu terlempar dari mulutnya ketika membaca isi surat Lauren. Delapan belas tahun ia mengenali lelaki itu, tidak pernah singgah dalam pikirannya bahwa suatu saat nanti lelaki itu akan benar-benar meninggalkan mereka. Kasihan dirinya. Kasihan Catriona. Kasihan Henry. Kasihan Ryan. Dan, oh, ibunya yang malang. Bisa apa Lauren tanpa seorang suami? Di zaman seperti ini, sungguh malang para perempuan yang tidak bersuami. Bergidik rasanya membayangkan suatu saat nanti Victoria Ackerman akan dikenali sebagai seorang perempuan tak berayah, berkonotasi begitu negatif untuk hal tertentu. Tidak dapat dimungkiri, rasanya sudah selesai beberapa purnama yang dihadapi oleh keluarga Ackerman dalam hal memperjuangkan keutuhan rumah tangga. Bartholomew Ackerman, sepupunya, tidak banyak membantu Victoria 183
Kuda Putih
dalam masa-masa genting saat dirinya lari dari rumah begitu ia selesai sekolah. Victoria meminta Bartholomew untuk memberinya izin tinggal bersamanya. Baginya, Bartholomew adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan tempat berlari. Asrama Slytherin mendidik orang-orang yang, bagi Victoria, bisa membuat Gryffindor macam dirinya jauh merasa lebih tenang; entah karena alasan apa tinggal bersama Bartholomew membuat Victoria sedikit lupa akan apa yang terjadi di rumahnya. Kabar ayahnya tidak pulang ke rumah sudah dua minggu mampir di telinga Victoria melalui surat burung hantu yang diterimanya begitu sarapan pagi hampir dimulai. Tangan Victoria bergetar dan hatinya menjerit. Ya, dia tahu kalau ini adalah saatnya; saat ketika ayahnya benar-benar sudah tidak kembali dan keluarga mereka hanya tinggal lima orang saja. Victoria meremas surat yang ditulis oleh ibunya, membuangnya jauh-jauh melewati kaca jendela rumah Bartholomew. Dia diam membisu, tidak lagi mampu untuk bicara banyak. Entah sudah berapa lama dia diam begitu saja tanpa memberikan tanda-tanda hendak minggat dari samping jendela. Biarkan saja Bartholomew gusar. Biarkan saja. Dia toh tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Pikirannya terlalu sibuk berkelana, membayangkan bagaimana George Ackerman bisa kalah berjuang untuk keluarga mereka. Mau tidak mau Victoria menangis dengan kedua pipi memerah dan perasaan dingin karena angin berembus dari jendela membuatnya mundur beberapa inci. Gadis ini mendekap tubuhnya, perlahan mengangkat wajah demi menyambut mentari yang sudah akan kembali ke peraduan. Oh, sudah hampir malam lupanya. Detik-detik berlalu, berganti menjadi jam. Tahu-tahu dia sudah berada di atas tempat tidur sambil membayangkan apakah besok dia harus kembali ke rumahnya. Beberapa kali ia mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya, tetapi dia tidak peduli. Bartholomew cukup menyenangkan menjadi orang yang tidak peduli. Tidak peduli dengan bagaimana suasana hati Victoria sehingga bila Victoria ingin menyendiri, maka itu yang terjadi. Victoria terlelap dengan mudah. Dia bermimpi aneh: menunggangi seekor kuda putih melintasi laut hitam kelam. Benar-benar mimpi yang baginya terasa kurang masuk akal. Namun, ia terbangun juga saat pintu kamarnya terbuka. 184
Antologi 1820
Seseorang masuk. Catriona. Oh, betapa dia rindu pada adiknya itu. Catriona berlari ke pinggir tempat tidurnya, merentangkan tangannya, dan menarik tubuh Victoria yang setengah duduk. Tangisan Catriona pecah di sana bersamaan dengan dua tubuh milik Ryan dan Henry memasuki ruangan. Victoria, yang tidak begitu siap dengan proses yang terjadi, hanya diam sambil berusaha membelai pundak Catriona dengan tepukan ringan. Saat itu mendekati akhir musim panas dan seharusnya ketiga adiknya bersiap-siap menjemput tahun ajaran baru di Hogwarts. Namun, ternyata bukan itu yang tengah ditamplikan oleh tiga adiknya yang malang. Mau tidak mau Victoria merasa bersalah. Dia sebagai yang tertua tidak seharusnya menempatkan mereka di posisi sulit. “Catriona, tidakkah kau punya sesuatu untuk dikerjakan?” tanya Victoria dengan lembut, tetapi bergetar sehingga lumayan gagal untuk menampilkan sosok ketegaran. “Ibu bilang untuk menjemputmu.” Henry bersuara dari depan daun pintu yang terbuka. Victoria mengangkat wajahnya demi bertemu wajah pucat milik Henry yang baginya tidak berubah sejak kali terakhir mereka bertemu. “Aku masih ingin di sini,” ujar Victoria. Tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal di rumah Bartholomew, tetapi tidak ada juga alasan baginya untuk pulang ke rumah. Setelah ia menyelesaikan Hogwarts, seharusnya dia sibuk seperti teman-temannya. Katakanlah, mencari pekerjaan. Bisa juga berkeliling dunia, menemukan hal baru. Hogwarts baginya seperti kandang, seperti tempat yang tidak lebih baik baginya. Tujuh tahun berada di sana, rasanya seperti tidak berada di tempat yang ia inginkan. Jangan salah, dia punya banyak teman baik. Ann Anderson, Hugo Colgrave, dan beberapa perempuan Gryffindor sempat membuatnya memiliki arti “rumah”, tetapi pada akhirnya dia toh hanya sendirian. “Kami ingin menagih janjimu untuk bepergian ke luar kota,” kata Catriona setelah berhenti menangis di bahu kanan Victoria. “Tapi kalian ‘kan harus pergi ke Hogwarts,” ujar Victoria sambil menatap Victoria, Henry, dan Ryan satu per satu. 185
Kuda Putih
Untuk pertama kalinya dalam bulan-bulan penuh kesuraman, Henry dan Ryan bertukar pandang dan tersenyum lebar. “Hogwarts masih belum dimulai dalam satu minggu ke depan,” bisik Catriona di telinganya. Mata Victoria membesar. Dia menatap tiga adiknya bergantian. Mulutnya belum sempat berbicara ketika Bartholomew berdiri di pintu, menampilkan wajah masamnya yang biasa. “Mereka memaksaku untuk memesan kereta kuda. Kalian mau pergi ke mana memangnya?” tanyanya dengan nada suara acuh tak acuh. Victoria mendorong Catriona sampai berdiri dari tempat tidurnya. Gaun tidur milik Victoria yang kepanjangan nyaris membuat dirinya terjatuh. “Kami akan pergi ke utara, melihat banyak tempat baru. Pesisir pantai di Tinworth pun biasanya mengagumkan di saat seperti ini,” ujar Victoria tanpa basa-basi, tanpa ada persetujuan dari tiga orang lainnya. “Tidak mungkin,” ucap Bartholomew dengan satu alis terangkat. Ia bersedekap, masih dengan wajah cemberutnya. “Apanya yang tidak mungkin?” tanya Victoria, bernada lugu sementara dirinya berlari ke depan meja rias untuk mulai menyisir rambutnya. Catriona membantunya, membuat kepangan rambut di sisi kiri. Rambut cokelat gelap milik Victoria pasti terlihat acak-acakan setelah bangun tidur. “Apakah kalian sudah memperoleh izin?” tanya Bartholomew yang tentu saja langsung dipelototi oleh Victoria dari cermin meja riasnya. “Kami tidak perlu izin karena satu-satunya yang tidak memberi kami izin adalah ....” Di situ perkataannya terhenti dan gerakan menyisir rambutnya sempat berhenti barang dua detik sebelum dilanjutkan kembali. “Hei, kau tahu, kau selalu bisa bercerita kepadaku,” kata Bartholomew dengan kesan polos tanpa disengaja. “Ayah meninggalkan rumah dua minggu lalu. Sama sekali tidak ada kabar.” Henry berkata dengan cepat, bernada cukup tinggi sehingga Victoria tahu kalau dirinya tidak nyaman berbicara kepada Bartholomew soal apa yang terjadi di dalam keluarga mereka. Padahal Bartholomew begitu dekat dengan mereka sehingga seharusnya tidak lagi ada kecanggungan di antara mereka. 186
Antologi 1820
Victoria banyak bercerita mengenai keluarganya ke Bartholomew dan layaknya lelaki cuek yang tidak ingin banyak berurusan dengan drama keluarga, Bartholomew menelannya bulat-bulat, seolah hanya itu yang bisa ia lakukan tanpa ada maksud untuk membuat ceramah panjang lebar mengenai bagaimana Victoria harus tetap berusaha membuat keluarganya utuh. “Oh, dan ibumu?� tanya Bartholomew dengan nada suara sedikit tertarik yang tidak biasanya. Lauren Pobel memiliki hubungan gelap dengan Charles Illiger. Semua itu adalah penyebab mengapa rumah tangga mereka retak. Charles Illiger, seorang lelaki tampan untuk seumurannya, memang mampu menarik hati para perempuan. Lauren seharusnya memberi contoh kepada putrinya bagaimana bersikap dalam menghadapi para lelaki seperti itu bila kelak sudah bersuami. Namun, Lauren bak putri baru jatuh cinta, tertambat hatinya, dan melakukan hal-hal yang bagi Victoria agak kurang tidak pantas bagi seorang istri beranak tiga. Victoria tidak lagi menaruh rasa hormat kepada ibunya saat dirinya menyelesaikan lima tahun pertamanya di Hogwarts. Lauren makin menjadi-jadi, makin berani mengundang Charles ke rumah mereka bahkan beberapa kali Charles baru pulang dari rumah mereka paginya. Rasanya Victoria ingin berteriak dan menghujat, tetapi ia tidak bisa karena kala itu dirinya hanya remaja yang tidak mampu memberikan sebuah suara di rumah itu walaupun ibunya selalu berpesan kepadanya untuk bicara kalau ada sesuatu yang mengganjal. Beberapa kali Victoria menangis dengan Catriona di tempat tidurnya, membayangkan bahwa suatu saat nanti keluarga mereka benar-benar retak dan tidak tahu lagi apa yang harus mereka perbuat. Ternyata, setelah hal itu terjadi, tidak ada apa-apa yang terjadi. Ibunya mengabari kepergian ayahnya, tiga adiknya muncul di kamarnya, dan kereta kuda menanti di luar. Semuanya terjadi begitu cepat hingga tidak mampu lagi diproses meskipun jelas ia sudah menghabiskan satu harinya kemarin dengan begitu merana dalam mencoba menerima apa yang tengah melanda keluarganya. “Dia tidak ikut dengan kami,� kata Catriona dengan tenang. Victoria terkejut dengan jawaban yang datang dari adiknya itu.
187
Kuda Putih
“Kami tinggal bersama Florence,” ujar Ryan yang langsung membuat Victoria berhenti total dari upayanya menata rambut. Kedua mata Victoria langsung tertuju pada Catriona. “Jelaskan kepadaku,” bisiknya ke Catriona. Catriona, gadis cantik yang seumur hidupnya merasa tidak bisa membuat hal-hal aneh menjadi nyata, berdesah panjang dan duduk di kursi depan meja rias, bersisian dengan Victoria. Ia meletakkan kedua tangannya bertumpu di atas pangkuannya, sementara Victoria menunggu penjelasan dengan sabar. “Florence meminta kami untuk tinggal bersamanya sejak tiga minggu lalu. Kami menyetujuinya. Bagi kami keluarga Woodbeads begitu baik, sungguh terasa seperti surga daripada rumah. Florence memberi ....” “Di mana ibu?” tanya Victoria, memotong dengan tidak sabar seperti gaya khasnya bila ingin menginterogasi. “Di rumah,” ujar Catriona singkat. Victoria terhenyak. Tidak bisa dibayangkan bila Lauren menulis surat itu sendirian. “Kau baik-baik saja?” Suara dari Bartholomew mampir, seolah datang dari kejauhan. Victoria buru-buru mengembuskan napas yang sempat tertahan. Baginya hari ini banyak informasi berebutan ingin menjadi perhatiannya. “Kita kembali ke Berkshire sekarang juga,” kata Victoria bernada tegas sambil berdiri mendadak. Catriona sampai nyaris terjatuh dari duduknya. Ia melempar pandangan tidak suka ke Victoria yang tidak dipedulikan oleh gadis yang sudah kepalang tanggung berjalan menuju arah pintu. Tidak perlu berkemas. Victoria sudah ingin kembali ke Berkshire secepatnya. Baginya, ada hal penting yang harus dituntaskan. Lauren Pobel sama sekali tidak bisa dibiarkan sendirian di rumah. Victoria begitu khawatir akan ibunya. Ditinggalkan tiga minggu sendirian di rumah, oh, entah apa yang bisa ibunya perbuat. Dibandingkan dengan Victoria, ibunya sungguh kekanakkan dan Victoria khawatir bila Florence tidak bersama Lauren di rumah maka akan ada hal aneh yang terjadi. Semoga saja hal aneh yang mengganggu pikiran Victoria tidak akan terjadi dalam perjalanan menuju Berkshire. Kereta kuda yang 188
Antologi 1820
seharusnya digunakan untuk membawa mereka keliling Inggris malah digunakan untuk mampir ke Berkshire. Sepanjang perjalanan, Victoria melamun. Mereka melewati rumahrumah penduduk, anak-anak berlarian mengiringi kereta kuda mereka, dan lahan perkebunan. Awalnya dia mengira Lauren mencintai suaminya. Perjodohan dua orang di zaman ini adalah hal lumrah dan banyak contoh kasus perjodohan yang berhasil. Mengapa itu tidak bisa berhasil antara ayah dan ibunya? Dosa apa yang harus Victoria tanggung untuk melihat keluarganya menjadi renggang, adikadiknya ketakutan di dalam kamar mereka hanya karena dua orang dewasa yang seharusnya menjadi contoh kerap saling membentak lewat tengah malam? Lalu, berulang kali pertanyaan seperti, “Sampai kapan?� mengusik pikirannya. Sampai kapan Tuan dan Nyonya Ackerman bisa berpura-pura tidak ada apa-apa yang terjadi di antara mereka ketika tetangga menyapa? Sekarang, setelah perpisahan kedua orang tuanya menjadi begitu nyata sejak surat yang ditulis oleh Lauren sendiri sampai di tangannya, Victoria merasa lebih lapang. Paling tidak, ia tidak akan mendengar lagi pertengkaran keduanya di rumah. Barangkali perpisahan adalah hal terbaik meskipun tentu saja tidak ada anak di dunia ini yang benar-benar berharap dua orang tua mereka berpisah dalam konteks bertengkar. Victoria pasti tertidur karena pikirannya mulai aneh-aneh. Dia membayangkan ayahnya duduk di kuda putih bersama dirinya. Tepukan kasar di bahunya membuat dirinya kaget. Bisikan Catriona di telinganya membuat putri sulung ini bangun. Dia mengerjap, mengamati rupa halaman rumahnya yang rasanya seperti baru saja kemarin ditinggalkan. Petak rumputnya terpangkas rapi sehingga Victoria merasa heran. Ibunya, dalam hal ini, tidak begitu baik dalam mengurus rumah tangga. Ditinggalkan tiga minggu sementara petak rumput masih dalam kondisi baik adalah tanda aneh. Pintu rumah dalam keadaan tertutup rapat. Victoria ragu hendak mengetuknya. Catriona mengambil inisiatif untuk mendorong pintu hingga terbuka. Lorong rumah menyapa mereka, memberikan redup cahaya yang samar mengingat sudah malam hari ketika mereka sampai di Berkshire. Bau harum bunga mawar yang biasanya dipelihara Catriona menyeruak masuk ke hidungnya
189
Kuda Putih
sehingga Victoria makin heran. Dia mengira akan mendapati rumah dalam keadaan kacau balau. Ternyata tidak. “Lauren?” panggil Victoria dengan cukup keras. Suara langkah kaki terdengar. Lauren Ackerman muncul di ujung lorong dengan gaun tidurnya dan rambut digelung ketat. “Oh, Vicky?” panggilnya dengan suara bergetar. Victoria mengangguk. Ia melangkah maju perlahan, awalnya ragu dan tidak tahu apakah dia harus terlihat senang bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini ataukah cemas karena tidak ada yang aneh dari Lauren dalam gaun tidurnya. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah hingga berada di depan wanita itu dan memeluknya. Lauren masih cukup muda dan cantik karena wanita itu menikah begitu lulus dari Hogwarts. Mereka terlihat seperti kakak beradik. Sayangnya, momen tidak benar-benar dalam kondisi bahagia. Justru mereka terlihat kikuk dengan pertemuan ini. “Kau baik-baik saja, Vicky?” tanyanya pelan. Wajah Lauren terlihat khawatir. Ia membelai wajah Victoria dengan lembut. Victoria diam, tetapi menganggukkan kepalanya. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan. Bau wangi lemon khas ibunya mengisi rongga hidung. Sementara Victoria memeluk ibunya, tiga orang adiknya bergerak dari pintu masuk hingga berada di belakang Victoria. “Apakah ... apakah surat yang ibu kirimkan itu benar?” tanya Catriona dengan hati-hati. Terdengar suara Lauren mengembuskan napas panjang. Victoria yang ingin tahu jawaban dari ibunya melepas pelukan dan menatap wajah Lauren. Mengetahui bahwa anak-anaknya ingin penjelasan, Lauren membimbing dua putri dan putranya masuk ke dalam ruang keluarga. Di sana ada sofa panjang gemuk berlengan di atas karpet merah. Lauren duduk di tengah. Victoria dan Catriona mengapit ibunya, sementara Ryan memilih duduk di lengan kursi. Henry duduk bersila di depan meja, di dekat kaki Lauren. Perapian keluarga menyala, mengantar rasa hangat yang menjalari tubuh-tubuh berjejalan di dalam ruang keluarga yang tidak dapat dikatakan besar itu. Padahal dulu Victoria merasa mereka memiliki ruang tamu yang besar.
190
Antologi 1820
Sepertinya ia telah bertumbuh dan kini memandangi banyak hal yang dulunya terasa besar kini begitu kerdil. “Kurasa ini sudah akhirnya,” ujar Lauren sebagai pembuka. Victoria dan adik-adiknya menunggu dengan sabar. “Sudah lama ayahmu dan diriku tidak begitu akrab seperti dulu. Kalian mungkin menyalahkanku, tetapi aku tidak ingin kalian buta terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Kalian sudah besar. Charles dan diriku saling mencintai selama kami masih sekolah.” Oke. Victoria tahu hal yang satu ini. Namun, kisah cinta remaja seharusnya tidak lagi diungkit di masa seperti ini mengingat Lauren sudah memiliki tiga orang anak. Victoria tidak habis pikir mengapa ayahnya tidak mampu membahagiakan Lauren. Mereka hidup berkecukupan, memiliki tubuh sehat, dan keluarga Ackerman pun walaupun mayoritas adalah muggle, tidak benar-benar buruk bila dibandingkan dengan muggle antagonis dalam ceritacerita penyihir yang ingin membakar mereka hidup-hidup. Jadi, seharusnya Lauren bisa menahan diri, memilih untuk menjalani hidupnya dengan tiga orang anak dan seorang suami yang setia. “Tanya dan Aleksandr telah menerima permintaan maafku. Aku memutuskan untuk tidak memilih keduanya. Aku tidak akan mengganggu kehidupan keluarga Illiger. Aku juga tidak bisa bersama ayahmu. Dia pantas memperoleh kebahagiaannya sendiri,” ujar Lauren dengan tenang, seolah-olah kalimat-kalimat itu sudah dihafalnya sejak lama dan siap diluncurkan pada momen seperti ini. Victoria mengusap punggung tangan ibunya sementara Catriona memilih untuk memeluk ibunya dari samping. Ryan dan Henry bergeming, tetapi keduanya terlihat tegang menunggu Lauren bicara lebih banyak. “Kebahagiaan ayah ada padamu,” ujarku ke Lauren yang langsung disambut oleh gelengan kepala tegas milik ibunya. “Ia tidak bahagia bersamaku. Memiliki keluarga cukup membebaninya. Ayahmu adalah seorang yang bebas, Vicky. Dia begitu mencintai pekerjaannya, dia memiliki cita-cita ingin keliling kota mencoba beberapa racikan resep baru untuk menu makanannya. Dia terpaksa tinggal dan membuka tempat makan karena kami telah memiliki anak. Sejak awal pernikahan kami bukanlah sesuatu 191
Kuda Putih
yang bisa dengan bangga kami ceritakan kepada kalian. Tapi jelas kalian adalah hal paling indah yang pernah terjadi di antara kami dan tidak ada penyesalan untuk itu.” Lauren mengecup dahi Catriona dengan lembut sementara perempuan itu menutup mata. “Tidak bisakah kalian memikirkannya lagi?” tanyaku dengan sedikit memelas. Kalau ibunya tidak biasa mendengar apa yang diinginkan oleh Victoria, maka paling tidak wanita itu bisa memberikan ruang bagi adik-adiknya yang masih usia sekolah untuk memperoleh sebuah keluarga yang utuh. Victoria banyak membaca mengenai keluarga yang tidak utuh dan memberikan dampak buruk bagi masa depan anak-anak mereka. Siapa yang ingin menikahkan putra dan putri mereka dengan anak dari keluarga yang tidak utuh? Victoria tidak peduli akan dirinya karena baginya pernikahan hanyalah alat untuk membuat perempuan menajdi budak dari lelaki. Dia sudah lelah menghadapi tingkah lelaki, tetapi George Ackerman adalah laki-laki baik sehingga kalau Victoria bertemu dengan lelaki seperti George maka dia berpikir akan menikahinya. “Kami sudah memikirkannya. Tadi pagi aku bertemu dengan ayahmu di daerah pertokoan. Dia tampak sehat dan ada perempuan lain bersamanya. Cantik. Muda. Aku tidak tahu siapa namanya. Ia memperkenalkannya sebagai temannya, tetapi aku tidak percaya.” Jari-jari Lauren sibuk mengusap helaian rambut milik Catriona. “Ayah tidak mungkin berselingkuh,” ujar Henry dengan tajam, membuat kami yang berada di sana sedikit kaget. “Oh, dia tidak bersellingkuh. Tidak, Henry sayang. Maksudku, kurasa dia akan baik-baik saja tanpaku,” ujar Lauren dengan sebuah senyuman terpaksa. Sudah. Victoria berharap penjelasan yang diberikan ibunya bisa dengan mudah diterimanya untuk beberapa hari ke depan. Ia, tentu saja, tidak puas dengan apa yang terjadi. Namun, bukan haknya untuk memutuskan siapa dengan siapa harus tinggal bersama. George dan Lauren sudah cukup dewasa dalam memutuskan. Bila keduanya memutuskan untuk tidak lagi bersama, maka Victoria hanya bisa mendoakan yang terbaik saja untuk mereka. Lagi pula bukan tugas Victoria 192
Antologi 1820
untuk mengatur hubungan orang lain, sementara dirinya sendiri merasa tidak mampu berkecimpung dalam dunia percintaan. Apa yang menjadi masalah berikutnya adalah kecanggungan yang akan ia alami bila bersua dengan ayahnya di luar sana. “Aku lelah,” ujar Victoria pada akhirnya yang segera membuat Lauren bangkit berdiri dan menuntunnya hingga ke kaki tangga. “Aku selalu membersihkan kamarmu semenjak kau pergi,” ujarnya sambil tersenyum. Kilat mata Lauren tampak keibuan, membuat Victoria merasa nyaman. Ia memeluk ibunya barang beberapa detik sebelum menaiki tangga menuju pintu kamarnya. “Victoria!” panggil suara lain di kaki anak tangga. Tepat di depan pintu kamarnya, Victoria berbalik. “Terima kasih. Kalian telah menjadi anak-anak yang baik bagi kami,” ujar Lauren. Victoria mengangguk, memaksakan diri untuk tersenyum. Oh, malam ini ia merasa begitu letih. Rasanya seperti berada di dalam mimpi. Ia menghabiskan waktu bertahun-tahun membayangkan apa jadinya mereka bila Lauren dan George benar-benar berpisah. Namun, malam ini semuanya menjadi jelas. Tidak ada yang berubah. Ia berada di rumah kelahirannya. Tiga adiknya tetap bisa ia rangkul. Lauren sendiri terlihat tegar dan yang paling membuat Victoria bangga akan ibunya adalah ketegarannya dalam memutuskan hubungan dengan Charles. Paling tidak, biarlah derita ini hanya ditanggung oleh keluarganya. Masalah apakah dirinya bisa berdamai dengan keputusan itu, biarlah ditentukan oleh hari besok. Dia masih punya beberapa tahun ke depan untuk berdamai. Malam ini biarlah ia kembali menunggangi kuda putih yang sama dengan ayahnya. Kadang mimpi terasa jauh lebih menyenangkan daripada kenyataan. ****
193
ForgettIng margaux walcott ~ Kutulis satu baris setiap kau terlalu mendominasi isi kepalaku. Kau tidak pernah benar-benar pergi, hanya kupindahkan semampuku.
Antologi 1820
Ditulis oleh julIan conrad
H
ari ini adalah hari pertama. Selamat datang kembali. Bunyi roda koper bergesekan dengan lantai parkit kayu terdengar ganjil di telinganya, bergema pelan seolah tidak tega pada si empunya hunian yang sedari awal menghela napas terus-terusan. Lantai tiga lagi, The Westmont lagi. Terakhir kali ia menyeret koper sebesar ini ke dalam sini adalah ketika ia tiba dari London enam tahun lalu; koper di tangan kanan, tas gitar Fender di tangan kiri, topi Columbia University di atas kepala—agak norak kalau diingat-ingat, tetapi karena ia masuk ke kampus Ivy League, bolehlah dimaklumi sedikit. Kemarin, ia telah memesan jasa bersih-bersih untuk membuat tempat ini layak dihuni lagi setelah kosong selama tiga tahun. Tirai dan seprai sudah diganti, sofa sudah bebas debu, kulkas terisi penuh, seluruh permukaan mengilap, dan pengharum ruangan sudah dipasang. Aroma sandalwood, deteksinya
195
Forgetting Margaux Walcott
dalam hati. Ia membebaskan si pekerja bersih-bersih untuk memilih aroma apa saja untuk apartemennya. Apa saja, kecuali lavender. Lavender terlalu lekat dengan kau. Julian Conrad membuka tirai jendela apartemennya. Ia menghabiskan tiga tahun pertamanya di New York mengacak-acak tempat ini. Tumpukan buku dan kertas di meja bar bersama dengan selai roti, pakaian kotor di atas sofa, lalu kabel-kabel amplifier, gitar listrik, microphone, dan komputer malang-melintang di kamar tidur. Siapa yang membereskan? Jasa bersih-bersih, tentu saja. Dipesan lewat telepon oleh Saudara Vincent Ford yang budiman. Hari ini semuanya begitu rapi dan tak bercela, persis seperti hari pertamanya datang. Seolah semua yang ia jalani selama enam tahun terakhir tidak pernah benar-benar terjadi. Ia membongkar isi kopernya, memindahkan isinya ke dalam closet yang kosong. Sebagian barangnya sudah dikirim terlebih dahulu ke tempat ini sejak kemarin oleh jasa pindahan dan telah ditata sesuai dengan instruksinya. Sepatusepatunya berjejer rapi, warnanya serba monokrom kecuali— —geez, you were really here. Sepasang sepatu Manolo Blahnik pink pucat yang pernah berdansa dengannya di pesta pernikahan Jake. Kau pikir, kau meninggalkan sepatumu di London. *** Hari ini adalah hari ketiga. “Dasar idiot. Bayar berapa kau sampai bisa diselempangi Magna Cum Laude waktu wisuda?� Sembarangan. Kepalanya bertumpu pada kedua tangannya, tidak berniat menyahuti perkataan yang dituduhkan. Di hadapannya ada secangkir americano panas yang baru diminum sedikit. Mual, jelas. Kepalanya terasa berat dan pening luar biasa saat menjawab bunyi bel yang dipencet bertubi-tubi oleh tetangga sekaligus kakak sepupunya. Lalu, ia semacam diselamatkan dan dibawa pergi dari tempat ini.
196
Antologi 1820
“Kukira kau bukan tipe yang begini.” Jake seperti hendak tertawa— dipikirnya ini sangat lucu. “Omong-omong, kau minum berapa banyak, sih?” Pertanyaan pertama ia jawab dengan decakan yang terjemahannya adalah ‘apaan sih, berisik’, dan pertanyaan kedua dijawab dengan gumaman serta bahu yang diangkat. Ia ingat membuka tiga jenis minuman, tetapi ia tidak ingat seberapa banyak ia minum sebelum akhirnya jackpot dan terkapar di dapur apartemennya. Seumur hidup, ia tidak pernah mabuk separah itu. Televisi sialan. Kau ada di sana semalam, dan aku masih hafal tiap baris dialogmu. “Oh, ayolah Jules. Jangan bego-bego amat.” “Julesitupanggilanbuatperempuan.” “Blablabla apaan? Bicara yang jelas, dong.” Ia menghela napas lagi, lalu menyeruput sedikit kopinya. Apa yang Jake katakan bukan hal baru sebab ia tahu persis perbuatannya memang menyedihkan dan kekanak-kanakan. Akan tetapi, rasanya cukup adil membayar satu malam penuh dengan kesengsaraan ini—pengar, mual, dan nyeri di seluruh badan. Semuanya sekadar untuk mematikan rasa yang tumpah jika ia tadah sendirian. “... aku masih membutuhkannya.” Giliran Jacob Conrad yang menghela napas sembari mengusap dagunya penuh pertimbangan apakah perlu bersikap tega atau tidak kepada adik sepupunya. “Ya, tapi pada nyatanya dia sudah tidak membutuhkanmu.” Perlu, ternyata. “Lalu kau bisa apa sekarang?” Jeda tiga detik, Julian membuang pandangannya ke arah jendela kafe yang menyajikan lalu lalang Upper Manhattan yang sedikit lebih santai dibanding hari kerja. “Aku tahu.” Itu adalah salah satu alasan mengapa ia membeli tiket pesawat satu arah ke London dua pekan lalu. Ia menuntut jawab, ia mencari alasan, Tetapi ia tidak memaksakan kehendak—sama sekali tidak. Baginya, tidak ada kebangkitan untuk rasa yang telah mati atau kepulangan untuk rasa yang telah berlabuh di tempat semestinya. Semuanya adalah arus satu arah yang tak kenal putar balik sehingga ketika gadisnya berpamit pulang ke kota asal mereka untuk beberapa 197
Forgetting Margaux Walcott
hari, lalu bertambah hingga satu minggu, dan bertambah terus hingga tidak ada lagi telepon dan pesan, ia tahu bahwa tiket satu arah adalah opsi terbaik untuk mereka. Memangnya kau akan ikut kembali ke New York bersamaku? Entahlah. Sejumlah foto terbaru hasil tangkapan paparazzi yang tersebar di internet berkata lebih jujur dibandingkan dengan mulut siapa pun. Memangnya tidak? Tetapi setelah sekian pekan absen bertatap muka dengannya, hari itu ia tahu bahwa ada nama lain yang mengisi satu spasi terkunci dalam hati gadisnya. Satu nama yang dahulu diceritakan layaknya lelucon cinta monyet anak sekolah. Namun, pada nyatanya nama itu sama sekali tidak pernah menjadi candaan. Tiga tahun berteman dekat, disusul dengan tiga tahun pulang ke tempat yang sama dan berbagi segalanya—ia kira, ia telah memiliki setiap jengkal dari diri Margaux Walcott. “I’m no longer in denial phase, Jake.” Sepupunya mungkin miskonsepsi, tetapi Julian tahu betul apa yang terjadi saat ini. “You see, it’s just a simple, procedural self-numbing.” *** Hari ini adalah hari ketiga belas. “Yuk kita intip apa saja isi tas Margaux Walcott!” Demi Tuhan, sejak kapan ada kau juga di program televisi musik? Tangannya menggerayangi sofa apartemennya, mencari remote televisi, dan meraihnya dengan gusar. Akan tetapi, ia malah terdiam saat wajah video jockey acara tersebut berganti dengan wajah sang bintang tamu yang tengah tersenyum lebar sembari memamerkan tas tangannya. Terpaku, ia menyaksikan Margaux Walcott yang mulai berceloteh riang menjelaskan benda-benda apa saja yang biasa dibawanya berpergian dan membongkar isi tasnya satu per satu. Dompet edisi terbatas yang kau beli di London, lipstik yang kusuka warna dan rasanya, parfum versi perempuannya parfumku, jurnal yang kupesankan dengan grafir berinisial namamu, krim untuk tangan sebab tanganmu selalu kering kalau udaranya dingin. 198
Antologi 1820
Aku tahu semua barang itu. Bagai tersihir, Julian Conrad menatap kosong pada layar televisi hingga segmen tersebut selesai; menatap Margotnya. Tanpa disadari, dadanya terasa begitu sakit—jenis sakit yang merambat hingga tenggorokan, hidung, dan matanya. PRAAKKK. Remote televisinya dibanting hingga terpecah beberapa bagian. Julian Conrad bangkit berdiri—air mata yang telah kering selama hampir dua puluh tahun pada akhirnya jatuh juga. *** Hari ini adalah hari kedua puluh dua. Langit sudah gelap sejak satu jam yang lalu dan mayoritas meja staf telah kosong. Hari Jumat memang punya tendensi untuk buru-buru mengusir orang dari tempat kerjanya, seolah akhir pekan adalah serangkaian pendek gerbong kereta yang hendak berangkat. Sebagai staf di kantornya sendiri (oh, tentu ayahnya tidak mengizinkannya langsung jadi CEO di usia dua puluh empat) ia pun terbiasa untuk segera pulang secepat yang ia bisa. Ia sibuk di hari kerja dan gadisnya kadang selalu sibuk sepanjang minggu sehingga sulit untuk menemukan waktu yang tepat untuk menikmati waktu bersama di luar. Entah apa yang kau rasakan, tetapi pemberitaan media di luar sana—tentang kita dan dia—membuatku semakin tidak ingin keluar dari kantor. “Julian?” Suara sopran penuh selidik mengalihkan atensinya dari dokumen yang kertasnya masih hangat selepas keluar dari mesin fax. “Pulang sana. Aku yang capek lihat kamu duduk di situ dari pagi sampai malam.” Pemuda itu tertawa. Annemarie Silverstein sudah berhari-hari merepetinya tentang hal ini. “Looking good, Millie. Friday night date?” “Basi, jangan mengalihkan topik.” Teman satu almamaternya itu tahu apa yang terjadi—begitu pula dengan seisi kantor dan masyarakat luas—tetapi ia cukup pengertian untuk tidak membahasnya sama sekali. “Get a life, Julian. That’s not healthy.”
199
Forgetting Margaux Walcott
Jawabnya hanya berupa senyum. Selama ini ia bekerja cepat dan efisien guna memaksimalkan jam kerjanya. Menurutnya lembur adalah, satu, kepepet. Dua, habis bolos. Tiga, tidak produktif. Empat, butuh pemasukan tambahan. Itu semua tidak berlaku untuknya, tetapi siapa sangka kini ia punya poin nomor lima; mengusir diriku sendiri yang tak bisa berhenti menunggumu mengetuk pintu. Si perempuan pirang berdecak, lalu menaruh secangkir kopi yang masih mengepul panas. “Alright. Keep yourself warm. See you on Monday.” *** Hari ini adalah hari ketiga puluh. “Well, I see and I don’t see that coming.” Vincent Ford dan klaimnya yang berbunyi ‘cerita-saja-aku-tidak-akanmenghakimi-kok’. Setelah bersusah payah merangkai garis besar cerita, mengeliminasi bagian-bagian menyedihkan macam yang terjadi kemarin-kemarin, dan bagaimana ia bekerja gila-gilaan sampai nyaris tidak tidur belakangan ini, hanya itulah respons yang diberikan oleh lawan bicaranya. Suara penyanyi pub yang melantunkan lagu U2 nyaris menenggelamkan percakapan-percakapan berdesibel normal, menjadikan sesi berceritanya agak sulit didengar. “Pretty much the same here, Mate.” Omong-omong, bisa ganti lagunya? Kau hampir jatuh saat melompat-lompat di konser U2 tahun lalu, tetapi kau tidak peduli dan tetap tersenyum lebar sembari melambaikan tangan pada Bono. Cantik, kau itu. “Cheers, Julian. New is always better.” Dua botol bir Jerman bersentuhan, lalu diteguknya dengan cepat. Semua ini masih terasa begitu asing baginya—asing yang menyesakkan dada, dan sesungguhnya ia tidak ingin sosok orang baru dalam hidupnya. Ia terlalu terbiasa dengan Margot berada di dekapannya setiap pagi; hangat tubuhnya, harum rambutnya, dan napasnya yang nyaman berembus teratur sebab Margot suka menyeruak tidur di atas dadanya yang selalu ia klaim khusus dibuat untuk menjadi bantalnya. Lalu di pagi hari, Margot menjadi dua kali lipat lebih manja 200
Antologi 1820
sebab ia hampir selalu menahannya di tempat tidur, tak peduli walau Wall Street sudah hampir bangun, dan siap menjalankan roda perekonomian negara. Kalau sudah begitu, ia akan berbaring lebih lama—memeluk gadisnya itu erat-erat hingga tidak bisa bernapas dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi agar Margot meronta minta dilepaskan. Lalu, well, mengusirnya untuk segera bersiapsiap. Hari itu, pagi sebelum kuantar kau ke JFK, rupanya adalah pagi terakhir aku memelukmu begitu erat hingga aku yakin kau harusnya sudah memekik minta dilepaskan. Akan tetapi, kau bergeming dan sedetik aku khawatir kau pingsan. Saat hendak kulepas, kau malah balik memelukku erat dan bilang kalau kau akan sangat merindukanku. “Yeah …,” sahutnya pelan. Botol birnya kini telah kosong, “... new is always better.” Harusnya aku membatalkan rapat-rapat sialan itu. Harusnya aku tidak membiarkanmu pergi sendirian. Idiot, pacarmu ini. Pub mulai ramai, sekelompok kecil perempuan diantar oleh staf untuk duduk tak jauh dari mejanya. Satu dari lima menarik perhatiannya—ia kenal perempuan itu. Tampaknya ia sendiri juga mudah dikenali; tubuhnya tinggi dengan rambut gelap bertekstur yang kerap berantakan. “Julian!” Yak. Sempurna sekali. Agrona Mallon, ladies and gentlemen. Sahabat Margotnya. Pemuda tersebut bangkit dari kursi, mengisyaratkan Vincent bahwa ia akan segera kembali. Agrona pun melakukan hal yang sama, lalu mereka bertemu di tengah-tengah pub yang agak lowong. “Aku yakin kau pasti sudah dengar dari Margot.” Dengan itu, obrolan tentang Margot mengalir. Perempuan tersebut tampak diplomatis dalam bertutur dan menyederhanakan beberapa informasi. Percakapan antara mereka tidak lama, ditutup oleh pelukan singkat dan pesan ‘jaga dirimu baik-baik’ dari Agrona. Lantas keduanya pamit kembali ke mejanya masing-masing. Kata Agrona, kau sehat dan baik-baik saja. Sebagian dari dirinya berharap Margot akan datang kembali padanya dan bilang bahwa ia tidak baik-baik saja, bahwa ia lebih memilih untuk tinggal, 201
Forgetting Margaux Walcott
dan memperbaiki semuanya. Namun, fakta yang dilontarkan Agrona menghantamnya jatuh ke dasar realita. Aku hanya bisa diam melihat kau pergi dari hidupku. Bir berganti dengan wiski. Cerita demi cerita bergulir. Sebagai teman yang baik tetapi berengsek, tentu tidak ada wejangan arif yang diberikan oleh Vincent. Mereka hanya minum berdua, menertawai macam-macam hal, dan lambat laun kesadaran mereka mulai tipis seiring dengan bertambahnya kadar alkohol dalam tubuh. Tiga tahun bersama Margaux Walcott, ia resmi pensiun jadi alcoholic. Namun, belakangan ini entah berapa banyak alkohol yang berhasil pindah ke dalam peredaran darahnya, sebab ketika ia sedang tidak bekerja, maka artinya ia sedang mabuk sendirian di apartemennya atau di bar terdekat. “If you notice, that brunette lady is totally eyeing you all night long.” Tiba-tiba Vincent Ford mengarahkan dagunya ke meja bar. Sesungguhnya ia terlalu mabuk untuk bisa mencerna ucapan Vincent, tetapi dengan sisa-sisa kesadaran yang masih ada, ia toh berusaha mencari sosok yang dimaksud. Rambut cokelat panjang, tubuh ramping dengan gaun hitam seperti yang ia pernah pilihkan untuknya. Margaux Walcott, kaukah itu? *** Hari ini adalah hari ketiga puluh satu. Matahari mulai naik, terang menembus jendela dan tirai kamar tidurnya. Ia mabuk berat semalam. Perlahan kedua kelopak matanya mulai terbuka meskipun bersusah payah—there, figur familier dengan tubuh terekspos memeluknya erat. “Mar ....” Jesus Christ. “Good morning, beautiful Englishman.” Bibirnya serta merta dikecup. “Julian, right?” Bukan, bukan kau. *** 202
Antologi 1820
Hari ini adalah hari ketiga puluh delapan. Menghabiskan malam di akhir pekan dengan Vincent Ford dalam kondisi seperti ini bukanlah hal bijaksana. Perkara tempo hari, si begundal satu itu malah tertawa bangga seperti seorang ayah yang menyaksikan putranya mencetak home run di pertandingan bisbol sekolah. Di saat-saat begini, barulah ia sadar betapa hidupnya dahulu jauh lebih sederhana; saat teman-temannya selalu ada dan siap berkumpul kapan pun, saat hari-hari tidak pernah terasa kosong walau tekanan besar sebagai mahasiswa Columbia University senantiasa bertumpu di bahunya. Lalu setelah lulus, ia punya seseorang untuk berbagi segala hal dari yang besar hingga remeh-temeh. Semua menjadi lebih mudah ketika ia tidak sendirian, dan ia tidak pernah merasa sesendirian ini. Ia tahu, sungguh. Ia tahu bahwa ia harus benar-benar berhenti membebani dirinya sendiri. Perginya Margaux Walcott dari hidupnya adalah sesuatu yang harus terjadi, cepat atau lambat, tua atau muda, ia yang ditinggalkan atau yang meninggalkan. Kalau bukan karena kandasnya hubungan, maka suatu saat nanti salah satu dari mereka akan mati juga. Hanya masalahnya, ia pergi lebih cepat dari dugaannya—jauh lebih cepat, dan lebih tiba-tiba. Lucunya lagi, toh dirinya membiarkan Margot pergi begitu saja tanpa perlawanan berarti. Ia selalu berpikir bahwa tidak ada gunanya memaksakan kehendak, sebab semua yang ditakdirkan untuknya pada hakikatnya tak akan pernah bisa direnggut. Relakanlah yang tak seharusnya untukmu, benar? Maka ia memutuskan untuk menghabiskan akhir pekannya sendirian di apartemen. Ia mengerjakan lebih banyak pekerjaan dari seharusnya sehingga cukup untuk membuatnya sibuk selama yang ia butuhkan. Belakangan pun ia cukup berhati-hati saat membuka internet, menonton televisi, atau bahkan sekadar melewati kios majalah dan surat kabar di tepi jalan. Apa pun itu, apa pun yang perlu dilakukannya untuk menjauhkan diri dari sosok Margaux Walcott yang malang-melintang di mana-mana. Maybe one day you’ll call me, and tell me that you’re sorry too.
203
Forgetting Margaux Walcott
Ia duduk di atas tempat tidur dengan gitar dan halaman notebook yang telah dituliskan sebaris kata yang tadi ia pikirkan. Ia sudah lelah bangun tidur dalam keadaan pengar setelah melakukan hal tolol, sebab toh pada nyatanya ia tetap tidak bisa benar-benar melupakan Margot seperti ekspektasinya. Woke up alone in this hotel room Played with myself where were you Fell back to sleep I got drunk by noon I’ve never felt less cool Suara petikan gitar tak berhenti berbunyi hingga pagi tiba, pun lembar demi lembar notebook dipenuhi oleh tulisan tangannya. Sekarang, yang perlu dilakukan adalah ia harus berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu— jangan lari lagi, jangan menghindar lagi, sebab semuanya harus segera selesai. *** Hari ini adalah hari keenam puluh. Dua piring yang tadinya berisi tenderloin kini sudah tandas. Makan siangnya ditemani oleh hujan yang tak begitu deras dan seorang klien perempuan. Biasanya ia tidak menangani kasus perseorangan karena expertisenya adalah financial consulting untuk korporat. “Terima kasih untuk semuanya ya, Julian. Kuharap ini akan berjalan dengan baik.” Kliennya adalah seorang putri dari keluarga kaya yang diwarisi berbagai macam jenis aset. Sepeninggalan orang tuanya, ia mengalami banyak kesulitan terkait keruwetan liabilitas dan sistem investasi. “Pasti, Lillian. Jangan ragu untuk menghubungiku kalau ada hal-hal yang tidak bisa kau putuskan sendiri.” Ia tersenyum simpatik. Pertemuan ini adalah yang kedua dan perempuan tersebut sempat menangis di pertemuan pertama—inilah mengapa ia lebih senang berurusan dengan korporasi ketimbang pribadi. “Aku akan mendampingimu hingga kuartal kedua.”
204
Antologi 1820
Kendati baru bertemu muka dua kali, entah mengapa perempuan ini terasa menyenangkan. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Lillian lebih jauh—tentu saja setelah semua kontrak kerja mereka selesai. Ada bagusnya juga ia ditugasi menyelesaikan perkara ini menggantikan Shaquilla Wilcox yang sedang cuti hamil. “Kau tinggal di sekitar sini, kan? Kuantar kau pulang.” Agak mendominasi, tetapi ia tak terbiasa ditolak. “Sekalian aku kembali ke kantor.” Lillian terdiam sejenak seperti bingung harus berkata apa. Akan tetapi, ia menggumamkan ‘oke’ dengan lirih, lalu beranjak dari kursinya. Di depan restoran, seorang valet memberikan kunci mobilnya dan memayungi mereka berdua masuk ke dalam mobil. “Maaf ya agak berantakan.” Sedikit tertawa, ia mengerling ke arah jok belakang Mercedesnya yang diduduki oleh blazer, tas olahraga, botol-botol air mineral, dan setumpuk buku yang masih dibacanya. “Belum sempat kubereskan,” tambahnya. Si perempuan terkekeh ringan. “It really looks like there’s no woman in your life.” “One hundred percent accurate, Miss Rump.” Dengan itu mereka tertawa. Lillian Rump menyenangkan dan cerdas, sebab dengan cepat ia bisa memahami prinsip-prinsip finansial yang sebelumnya tak pernah ia pelajari. Bahkan di pertemuan mereka tadi, Lillian telah menggunakan istilah-istilah ekonomi untuk menjelaskan beberapa hal. “Oh! Film barunya Bradley Cooper sudah mau tayang.” Lillian menunjuk sebuah billboard di tepi jalan yang berisikan sebuah poster film dengan tulisan ‘coming soon’ kapital. Tidak sulit untuk tahu film apa yang dibintangi Bradley Cooper tahun ini. Tidak sulit juga untuk sadar bahwa ia telah membaca skenario film tersebut sejak tahun lalu; skenario milik Margot yang turut tampil di film tersebut—wajahnya terpampang tepat di sebelah Bradley Cooper. Julian Conrad segera tancap gas, buru-buru melewati billboard tersebut tanpa melihat dua kali. *** Hari ini adalah hari kedelapan puluh satu. 205
Forgetting Margaux Walcott
“Cheers to our new senior associate!” “To Julian!” Gelas-gelas champagne berdenting, merayakan jabatan Julian Conrad yang melangkah naik lebih cepat dari dugaan semua orang. Buah kerja keras, begitu kata mereka. “Thanks, thanks,” ujarnya dengan senyum lebar yang belum pudar sedari tadi. Sejurus kemudian, ponselnya bergetar. Ia segera menaruh gelas di atas meja dan beranjak meninggalkan riuh kerumunan staf kantornya. “Maaf, permisi sebentar.” Pria itu keluar dari bar dan berdiri di pedestrian yang menyajikan pemandangan Brooklyn Bridge. Di seberang saluran telepon, Lillian Rump menyapanya riang. *** Hari ini adalah hari Sabtu. Ia baru tiba dari Washington kemarin malam. Hari ini telah ia dedikasikan untuk berada di apartemen tanpa melakukan pekerjaan berat sebab sederet rapat dan konferensi selama seminggu penuh kemarin sudah cukup menguras isi otak sekaligus tenaganya. Jadwalnya semakin padat, tetapi ia menikmatinya tanpa keluh kesah sama sekali. Semakin produktif maka ia merasa bahwa dirinya telah menjalankan hidupnya dengan benar. Akan tetapi, hari ini ia terlalu lelah dan rasanya sudah lama ia tak beristirahat dengan layak. Dengan secangkir kopi, matahari pagi, ponsel, dan harian New York Times, Julian Conrad duduk di kursi santai yang terletak di balkon apartemennya. Beberapa halaman pertama nyaris dibacanya dari kolom ke kolom, lalu sisanya mulai ia lewati hingga tiba di kolom yang membahas tentang ulasan sebuah film—filmnya. Tak ia baca, tetapi ia masuk ke dalam apartemen dan kembali dengan gitar, juga notebook. Beberapa bait telah ditulis, lengkap dengan coretan di banyak tempat. Sebagian keresahannya telah berpindah rupa menjadi katakata bernada dan itu menyembuhkannya lebih baik ketimbang alkohol. Kutulis satu baris setiap kau terlalu mendominasi isi kepalaku. Kau tidak pernah benar-benar pergi, hanya kupindahkan semampuku.
206
Antologi 1820
Petikan gitarnya mengalun. Nada ini telah disempurnakannya dan telah dimainkan berkali-kali hingga tercipta sebuah lagu sederhana. Pada akhirnya, rasa sakit yang semula terasa nyaring dan menulikan, kini telah berubah menjadi sekadar bisikan—sekarang ia bisa mendengar suara hatinya lagi. We haven’t spoke since you walk away Comfortable silence is so overrated Why won’t you ever be the first one to break? Ia berjanji untuk segera mengunci semuanya sebelum memulai babak yang baru, sebab rasanya tidak adil bagi siapa pun untuk terlibat perasaan dengannya yang masih bersusah payah mengobati diri sendiri. Sekarang ia masih punya hak bebas untuk mengenang tanpa punya perasaan bersalah atas adanya hati yang ia jaga. Seperti hari ini, ia masih rindu. Even my phone misses your call, by the way.i Dua verse telah rampung—hampir utuh. Suaranya beriringan dengan instrumen, mengulang-ulang seperti mixtape yang hanya berisikan satu lagu. Sebuah kehilangan yang ia rangkum dalam tujuh jenis chord dan tiga bait syair. Semoga ini semua cukup untuk melepasmu. Sejurus kemudian ponselnya bergetar. Apa yang tertera pada layar ponselnya membuat matanya terbelalak dan ulu hatinya mencelos. Margaux Walcott Calling.... ****
i
Lirik lagu diambil dari From the Dining Table — Harry Styles, 2017
207
Forget me not ~ Orang bilang kita selalu menginginkan apa yang tidak kita punya. Tidak pernah kita dapatkan. Persis seperti pertemuan ini. Aku memimpikannya berkali-kali. Tidak, aku membayangkannya begitu sering akan terjadi.
Antologi 1820
Ditulis oleh margaux walcott
K
alian pernah? Tiba-tiba saja terpikir bagaimana hidup akan berbeda bila satu kejadian dahulu, di masa lalu, tidak pernah terjadi? Hari itu aku memikirkannya. Di tengah kehidupan yang sangat baikbaik saja. Di antara kata sempurna yang orang-orang elukan setiap kali kisahku diperbincangkan. Tepat ketika Ambrose Sinyard menjadi seorang penipu dan Nathaniel Addington bisa-bisanya ikut serta. Dan hari itu ialah hari pertama aku bertemu dengannya setelah enam tahun berlalu. Ini untukmu, pada akhirnya. *** 209
Forget Me Not
Hari ini Kamis, pukul 06.46. Sekarang, tepatnya pukul 06.48. Aku bangun setelah ponsel di atas nakas menjeritkan nada panggilan yang ribut. Sungguh. “Halo?” “Akhirnya putri tidur bangun juga.” Suara Sophia di seberang sana sama sekali tidak sarat akan simpati pada gadisnya yang baru pulang pukul empat pagi tadi. Ada pengambilan gambar terakhir kemarin. Hampir dua puluh empat jam. “Tahu jam berapa sekarang?” “Jam orang-orang normal masih tidur, ya?” Aku berusaha membalas dengan nada kurang simpati yang sama. Sophia adalah asistenku, manajerku, segala aspek penting dalam karierku. Dialah jantungnya. Yang memompa dan mengedarkan darah agar aku tetap hidup di tengah tumpukan skenario, syuting, dan wawancara yang tidak ada habisnya. Bila aku pulang jam empat pagi, tentu Sophia pun sama. Apa pun yang kuhadapi, Sophia akan merasakannya juga. Bahkan sepertinya lebih buruk: Sophia yang membereskan segala masalahku. “Kalau begitu pacarmu tidak normal?” Tetapi kalah telak seketika. “Hei,” suaraku serak karena protes mendadak, “pacarku berada di golongan yang berbeda. Dia golongan orang sibuk.” “Orang sibuk yang tampan.” “Benar.” “Sudah bilang pada orang tampan itu kalau kau akan ke London, Sabtu ini?” “… belum.” “Gadisku kalau kau ragu sebaiknya jangan. Jangan pergi.” “Kenapa aku harus ragu?” “Entahlah, semacam firasat buruk. Ya, intinya Margot, jangan menutup-nutupi informasi kalau kau punya lebih nanti. Dan cepat bersiap. Kita ada rekaman MTV jam sembilan.” Aku tidak menjawab. Kubiarkan Sophia mengakhiri sambungan karena telanjur sibuk memikirkan, apa yang bisa kututupi memang? Informasi lebih apa? Mengapa Sophia membuat ini jadi hal besar? Pergi ke London bukan hal besar. 210
Antologi 1820
Itu hanya seperti pulang. Apa masalahnya dengan pergi bertemu teman lama? Dan entah mengapa juga aku harus susah-payah memikirkan ini semua? Kuambil lagi ponsel dan menekan angka satunya lama. Angka satu itu panggilan cepat untuknya. “Haloooo.” Suaranya yang terdengar senang, membuatku senang. “Haloo, sudah mulai?” Ada rapat penting di Wall Street katanya pagi-pagi ini. Dia begadang semalaman menyiapkan bahan presentasi, sembari menungguku, lalu pergi tadi hampir subuh. Dia benar golongan orang sibuk. “Sebentar lagi. Berangkat sekarang?” “Satu jam lagi. Hmm. Julian?” “Kenapa?” “Sabtu ini aku ke London.” “Acara mendadak?” “Bukan, bukan. Aku cuma mau bertemu Ambrose, Ambrose Sinyard? Dan Nate Addington? Kupikir akan menemui mereka. Sudah lama, kan?” “Ooooh, alright. Berapa lama?” “Dua hari. Senin aku pulang, malamnya kita ke tempat Jake, kan?” “Ya, yap.” Hening dua detik. “Mau aku ikut?” “Sangat.” Senang yang tadi berubah menjadi senyuman. “Bisa?” *** “Kau sungguh Margaux Walcott.” Orang bilang kita selalu menginginkan apa yang tidak kita punya. Tidak pernah kita dapatkan. Persis seperti pertemuan ini. Aku memimpikannya berkali-kali. Tidak, aku membayangkannya begitu sering akan terjadi. Bertemu dengannya tiba-tiba, berpapasan dengannya di tempat tak terduga, atau kembali dan dia ada di sana. Meski setiap kali semua itu hampir terjadi, tahu apa yang kulakukan? Pergi. Sejauh mungkin jika bisa. “Ya, Nolan McTaggart.” Akan tetapi, kali ini sudah terlambat untuk mengelak. Nolan ada di sana. Berdiri di antara kursi dan meja, terkejut sampai kaku seperti bertemu hantu, sedangkan aku hanya mampu menyebutkan namanya setelah beberapa 211
Forget Me Not
lama. Itu pun sulit, terasa seperti mengucapkan satu kata asing—zdrastvuyte, coba saja. Apa kabar? “Apa kabar?” tanyanya, hampir bersamaan dengan apa kabar dalam hatiku. “Oh, kau tahu ... aku baik.” Gadis ini. Dari mana memangnya Nolan bisa tahu? Nolan mengikuti semua tentangmu? Membaca kabarmu di Elle? Menontonmu di televisi? “Di mana Ambrose dan Nate?” aku tidak balas bertanya soal kabarnya. Kutebak Nolan pun baik-baik saja. Aku melihat poster konsernya di jalanan dekat Bandar Udara Heathrow, senyumnya terpampang lebar. Iya, aku menyimpulkannya dari sana. Berharap begitu tepatnya. “Nate ada jadwal jaga dan Ambrose pergi setelah kau menelepon sudah dekat.” Aku menarik napas. Mereka ini. “Yah, sebaiknya aku pergi juga,” katanya, entah sejak kapan mengambil keputusan. Setelah atau sebelum aku datang. “Oh.” Meredupkan sesuatu di hatiku. Nolan McTaggart tidak mau bertemu denganku. Tangannya terulur. Perpisahan. Aku menatap tangan itu sebentar, ingin bicara, tetapi urung sehingga yang kulakukan hanyalah mengulurkan tangan untuk menjabat. Tangannya berkeringat, sedangkan tanganku tampaknya baru saja dibekukan. Mungkin akan mulai mencair saat dilepaskan Nolan. “Nah, sampai jumpa.” Lalu Nolan pergi. Begitu saja. Dalam waktu hitungan menit. Semudah itu. Meninggalkanku yang kemudian mematung, lantas duduk lemas di kursi paling dekat, berhadapan dengan kursi Nolan yang sempat terisi tak lama sejak aku datang. Aku tidak berbalik. Tidak ingin. Aku tidak bicara. Lupa kata-kata. Aku tidak ingin menahan ataupun mengejarnya. Sebab Nolan hanya melakukan persis yang kulakukan. Sekarang kita sama. Hanya … aku tidak percaya. Ponselku berbunyi kemudian. Julian membawaku kembali ke kenyataan, jauh-jauh dari New York karena setumpuk pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan—alasan mengapa ia tidak ikut datang. Baru saja ponsel itu 212
Antologi 1820
kukeluarkan dari timeless classic flap kecil berwarna hitam di atas pangkuan, suaranya terdengar. “Bukankah kau seharusnya mengejarku?” Aku menoleh segera. Suara itu galak dan pemiliknya, Nolan McTaggart, kembali dengan wajah luar biasa masam. “Hah.” Dia marah di tengah dering panggilan. “HHH.” Aku menatapnya sambil masih memegangi ponsel, tercengang, “... begitu?” Nolan mendengus. “Kau tidak bilang.” Kedua tangan mengacak-acak rambutnya sendiri. “Kalau kau di luar lebih lama mungkin akan kulakukan.” Bahuku naik-turun sekali dengan pelan. Lalu tiba-tiba saja aku ingin tertawa. Dan aku tertawa, tanpa suara. Lebih mirip senyuman yang diulang. “Tidak bisa ya bicara denganmu tidak membuat naik darah!” Nolan menunjuk wajahku sembari kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya. “Ayo pesan. Lapar.” Aku yang masih tertawa memasukkan kembali ponsel yang telah berhenti berbunyi tanpa pernah mengangkatnya. *** Kecuali Sophia—kami berkenalan setelah aku sampai di New York, Amerika— orang-orang terdekatku ialah mereka yang ada sejak dahulu. Julian salah satunya. Kami berteman semenjak sekolah menengah. Bukan teman yang cukup dekat untuk berbagi rahasia besar. Kami hanya dekat karena masuk di kelas yang sama. Kelas khusus bagi mereka yang mendapat nilai di atas rata-rata, sekolah bilang. Aku tidak merasa begitu, nilaiku tidak sebagus itu. Akan tetapi, Julian … ia lebih baik dari semua kriteria tersebut. Akademik, prestasi, semuanya.
213
Forget Me Not
Namun, yang paling kuperhatikan, yaitu ada sesuatu di matanya setiap kali memandang. Kau akan terbawa masuk ke dalam, terpana. Atau caranya menyunggingkan senyum ketika bicara. Julian istimewa. Segala tentangnya. Maka ketika kami lebih dekat begitu aku masuk Universitas Columbia, terlambat satu tahun karena jadwal tidak memungkinkan, perhatiannya terasa … entahlah, maksudku, semua yang Julian lakukan membuatku terpesona dan jatuh cinta padanya terasa sangat mudah. Aku suka merasakan tatapannya saat tengah berpaling. Aku suka tangannya di rambutku, di tengkuk, di mana pun. Aku suka terbangun pagi dan dia sudah di sana, sudah tersenyum. Senyumnya miring dan aku suka. Aku suka Sabtu sore kami walau hanya dihabiskan di atas sofa karena terlalu lelah untuk pergi. Aku suka kopi Minggu pagi kami di atas balkon, memandangi Chelsea sebelum matahari benar-benar terbit. Aku suka—sesungguhnya meskipun kami baru memulai, rasanya ini adalah jenis yang akan bertahan selamanya. *** “Sebenarnya aku tahu kau akan datang.” Aku dan Nolan berada di sekolah kami yang dulu. Impulsif, bernostalgia di sana bukanlah hal buruk. Bagi Nolan. Bagiku? Entahlah, aku tidak bisa bilang apa-apa. Mencoba berkata jika akan sulit masuk ke sana pun nyatanya kami bisa masuk dengan mudah setelah Nolan bicara pada penjaga sekolah yang tahu-tahu meminta tanda tangannya, alih-alih menegur keras. “Makanya pakai kemeja dan celana kain longgar? Nolan kau berdandan ala pegawai bancassurance untuk bertemu denganku?” Kami berjalan di koridor depan, tempat loker-loker diletakkan. “Kau selalu ingin kita tidak akur, ya?” Aku tertawa. Nolan? Tidak. Dahinya berkerutan, sangat khas. “Nate memberi tahu malam sebelumnya kau akan datang.” Nolan berjalan di sampingku, bicara padaku, tetapi wajahnya tertuju pada deretan loker itu.
214
Antologi 1820
“Lalu kenapa terkejut?“ Aku mengharap jawaban seperti: wah, Margaux Walcott sekarang kau berbeda dalam segala aspek kehidupan, kau wanita dewasa. “Karena kau tampak sama.” Pandangannya kini padaku. “Apanya, Nolan?” “Kau terlihat berbeda dalam film. Di layar kaca. Tapi begitu melihatmu langsung kau ya kau. Si pencuri buku menyebalkan.” Selanjutnya satu bagian dalam tubuhku seakan dicabut, lalu asal dipasangkan. Nolan benar tahu ternyata. *** “Sophia? Ada pekerjaan untukku Di London?” “Aku tidak mau mendengar ini, tapi banyak. Tawaran untukmu banyak. Tapi—” “Tolong? Hanya sampai Sabtu depan? Tolong ….” *** Aku tidak pernah menceritakan ini pada siapa pun. Yakni, Nolanlah yang membuatku menjadi seorang aktris selama kurang lebih enam tahun. Aku pernah sangat-sangat menyukainya. Dalam kurun waktu yang sama, lama, enam tahun juga. Aku menyukainya sejak pertama kali berjumpa. Kurasa dulu aku tidak sadar kalau itu suka. Aku hanya tahu kalau tiba-tiba saja aku harus mengambil bukunya dan baru mengembalikan setahun kemudian. Nolan marah besar. Satu tahun itu aku menjadi bulan-bulanan kebencian. “Ah, di sini.” “Apa?” “Kau, Nolan McTaggart, pernah berteriak di koridor ini HEI PENCURI.” “Lalu Agrona Mallon membelamu. Cih.” Tahun-tahun berikutnya aku masih menyukainya. Semakin suka.
215
Forget Me Not
Dahulu, tidak masalah Nolan tidak tahu, tidak membalas, tidak peduli. Ini perasaanku dan Nolan tidak perlu susah karena itu. Biar aku saja. Biar aku yang menunggu, mungkin, hatinya akan berubah. Lagi pula tidak semua harus sesuai dengan perasaan serta keinginanmu, kan? Meski pernah juga pada Ambrose Sinyard—tentu Ambrose tahu. Semua orang tahu, kecuali Nolan— kutanyakan, “Kenapa ini susah?” “Karena perasaan tidak bisa dipaksakan.” dan memang sederhana sekali jawabannya. Akan tetapi, ternyata ini melelahkan. Pada satu titik, lelah sekali rasanya. Dan di saat seperti itulah aku datang ke tempat casting, lalu mendapatkan perannya. Peran pertamaku. Yang membawaku ke Amerika, pergi meninggalkannya. *** “Halo sayang. Iya, aku sudah di rumah. Baru sampai rumah. Ya—tadi sudah bertemu mereka .… Senang, semuanya sehat. Makan malam apa? Aku yang pulang, tapi semua menanyakan kamu tahu ngga. Magnus bilang, kau bohong, ya soal Julian sibuk? Jangan memisahkan kami dengan Julian, ya. Sebenarnya aku di sini itu siapa?” *** “Kau masih bermain violin?” Aku menggelengkan kepala sembari melihat-lihat tempat latihan sekaligus tempat Nolan dulu merekam demo sebelum memiliki album sungguhan seperti sekarang. Ada banyak alat musik di sana, tetapi mataku berhenti di violin yang Nolan sebutkan. Kami, termasuk Julian, dulu mengikuti Klub Musik di sekolah, Nolan bermain gitar, aku di violin. Permainannya bagus, suaranya juga. Tidak heran single pertamanya meledak di Inggris tahun lalu. “Kenapa? Agak aneh kau malah menjadi aktris bukannya penyanyi atau pemain musik.” “Mainku tidak sebagus itu, tahu ‘kan.” “Bagus.” “Kapan terakhir lihat?” 216
Antologi 1820
“Waktu tengah malam itu, di ruang musik.” Kapan? Oh ... Ingat. Waktu Nolan McTaggart patah hati karena melihat seseorangnya bersama orang lain, aku ingat. Waktu itu ruang musik terasa gelap sekali karenanya. Bila diibaratkan hujan, maka deras sekali pastinya, petir akan bersahutan. “Nih, main.” “Hah?” Aku sudah duduk di kursi kayu, di sudut tempat latihan. Berniat untuk menontonnya berlatih dari sini karena tujuan kemari memang untuk itu. Namun, Nolan menghampiri dan mendorong violin tadi begitu saja ke arahku. Tidak, tidak, lupa, aku menolak. Sudah lama sekali sejak terakhir bermain. Suaranya akan lebih buruk dari gagak yang sakit tenggorokan pasti. “Laguku. Yang mana saja,” begitu kata Nolan setelah aku menyerah dan mengambil violinnya. “Sok sekali. Memangnya aku tahu?” “Kau pasti tahu.” “Kenapa harus tahu. Seperti lagu-lagumu untukku saja.” “Memang. Kan.” *** “Kamu di mana?” Suara Julian terdengar dalam di telepon. “Aku telepon dari siang. Kata Mom ponselmu tertinggal.” Mom, ibuku, tentu Julian memanggilnya begitu. “Sophia juga tidak bisa dihubungi.” Aku baru saja menyalakan ponsel beberapa menit lalu. Baterainya tinggal satu bar setelah kutinggalkan pagi tadi dan kembali semalam ini, serta menelepon Sophia sebelum kemudian Julian menghubungi. “Besok pulang?” “... tidak, sepertinya.” Julian tidak bisa melihatku. Namun, tetap saja aku menutup mata saat mengatakannya. Ponsel pun sedikit kujauhkan dari telinga. “Ada beberapa pemotretan di sini. Mungkin aku pulang … Jumat.” Lalu, kami berdebat semalaman.
217
Forget Me Not
*** Kami berada di belakang panggung. Nolan baru saja menyelesaikan konsernya di hari Selasa itu. Aku sedang mendengarkan rencana makan malam kami saat Natalie Mctaggart menyambar lenganku lalu memeluk dengan sangat erat hingga rasanya tulangku bisa remuk. “Ya Tuhan ini Margaux Walcott!” Wanita muda itu, kakak Nolan, melepaskanku lantas memeluk kembali dengan lebih kencang. Sambil kesusahan, aku melihat ke arah Nolan. Meminta bantuannya agar dilepaskan. Akan tetapi, yang bersangkutan hanya tertawa. Meski kemudian memang menarik tanganku agar terlepas dari pelukan. “Kupikir tidak akan bertemu lagi setelah perbuatan si bodoh ini!” Kak Natalie hampir menarikku lagi, tetapi Nolan lebih cepat menarikku ke belakang punggungnya. “Apa sih kau! Kembalikan Margo!” *** Vogue Inggris berniat memasukkanku ke dalam kolom The New Rules Of Sophistication untuk April 2001 dari pagi hingga sore itu. Sesi wawancara bersama Kate Phelan menyenangkan dan aku suka koleksi Dolce & Gabbana yang tadi dikenakan. Semuanya lancar, maksudku pekerjaanku kemarin dan hari ini, bukan hanya karena tahu-tahu Nolan menjemput dan sekarang kami berada di mobilnya, satu blok jauhnya dari rumah. Nolan membawa mobil menepi. Aku melihat wajahnya, ada yang hendak dibicarakan dan itu pasti bukan perihal hujan yang tiba-tiba datang. Entah mengapa jendela mobil yang kini dirambati basah membuatku gelisah. “Kenapa kau pergi, Walcott? Kau pikir tahu perasaanku?” Tampaknya Nolan merasa inilah waktunya: waktu untuk mengungkit. “Perasaan yang mana? Sebelum atau sesudah gadis yang kusebut seseorang?”
218
Antologi 1820
Nolan terlihat ingin bicara banyak, ingin menyela, tetapi kemudian ia hanya menghela napas. Berat. Lalu diam, “Bagaimana dengan sekarang?” tak lama. “Apanya? Kau tahu ini sudah terlambat. Bertahun-tahun waktuku sudah habis untuk menyukaimu, lalu sekarang—” mataku terpejam ketika merasakan ciuman. Semua kalimatku berhamburan. Untuk sejenak, ini rasanya benar. Aku sungguh ingin ini benar. Hanya saat mataku terbuka dan menemukan Nolan, aku tahu semua ini salah. Aku sangat bersalah pada Julian. Di detik itulah aku membuka pintu mobil dan berlari, lupa pada hujan. Aku tidak tahu apakah Nolan mengejar, tetapi kepalaku berpikir Nolan terlalu terkejut untuk melakukannya. Sekarang aku juga sangat bersalah pada Nolan. Namun, saat itu yang kuingat ialah aku perlu menelepon Sophia sehingga dengan susah-payah kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Ada banyak sekali panggilan dan pesan di layar utama, kuabaikan, dan segera kucari nomor Sophia untuk meneleponnya. Sophia baru menerima panggilan ketika aku sampai di pintu depan rumah. “Aku mau pulang sekarang!” “Kau di mana! Julian mencarimu, dia—” Tanganku belum sempat menyentuh pegangan, tetapi pintu itu sudah terbuka. Julian yang disebutkan lantas muncul, menatapku, hanya menatapku, dan itu saja cukup untuk membuatku sadar jikalau duniaku segera runtuh. “Bertemu Nolan McTaggart?” Aku menabraknya, memegangi tangannya. “Julian! Aku ….” Suaraku kecil, rasanya aku sesak napas, karena takut, takut dia pergi, lebih-lebih takut karena kemudian tanganku ditepisnya. “Selama ini kau tidak pernah melupakannya?” Aku bisa menjawab. Aku ingin menjawab. Akan tetapi, kau tahu, jawabanku hanya akan merusak. Aku hanya bisa menangis selanjutnya. “Apa artinya aku ini, Margot!” Suaranya meninggi diiringi pukulan keras pada meja kecil di samping pintu yang masih terbuka, bergeming.
219
Forget Me Not
Kemudian Julian menatapku lagi. Dengan marah yang tidak pernah kukenali, ia pergi. *** Kekosongan di tengah badai besar berita menyambutku di Chelsea. Julian pergi dari apartemen kami. Membawa segalanya, kecuali diriku dan banyak memori. Di hari pertama datang, aku masih berpikir Julian akan pulang nanti malam, lewat sedikit dari pukul sembilan. Aku menunggu, gelisah di balik pintu, sedikitsedikit menilik celah tirai, dan berpikir kenapa lama sekali. Aku membuatkannya kopi, kopi prancis yang kami sukai. Dengan full cream, di cangkir yang sepertinya lupa ia bawa dari rak kecil. Hingga pukul dua, saat Julian belum juga tiba, aku masih menunggu sembari memandangi langit-langit kamar, lantas mulai menyadari jika Julian mungkin tidak akan pernah pulang lagi, selamanya. Esoknya, aku menyalakan keran di wastafel sampai ponselku terendam karena mereka tidak pernah berhenti menghubungi. Mereka, semuanya, media, tetapi tidak dengan dirimu. Ponselmu mati ketika di pukul empat pagi aku menelepon lebih dari sepuluh kali. Segalanya, di tengah-tengah sepi ini terdengar lebih nyaring dan mengusik. Tiga hari kemudian Sophia dan beberapa pria dari agensi memaksa masuk dengan merusak pintu. Mereka menemukanku di sana, di atas tempat tidur kita, memakai sweatermu yang mungkin luput karena tertumpuk selimut. Wanginya masih sepertimu, terasa sepertimu, persis harummu. Aku menangis seketika, sebab mengerti bahwa jejakmu ini akan segera terhapus dan kehilanganmu akan menjadi semakin nyata. Sophia tidak mengatakan apa pun, tidak berkata apa kubilang ini firasat buruk, ia hanya memeluk erat selama beberapa lama. Meski tidak cukup lama bersabar untuk menarikku kembali pada kehidupan Margaux Walcott di layar kaca setelah dua minggu membiarkan Margaux yang ini hidup sebagai katatonia. Namun, Julian, tidak ada satu hari pun lenyap untuk berhenti merasa kehilangan. Aku benci setiap kali harus tersenyum, lalu teringat kamu mungkin melihatnya. Aku benci menjadi diriku, bicara 220
Antologi 1820
sepertiku, tertawa sepertiku, sementara kamu harus menutup semua pintu agar tidak terluka karenanya. Aku benci diriku karena harus muncul dengan baik-baik saja, seolah semua sempurna seperti sebelumnya. Sebab, tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku ingin kamu pulang, Julian Clarence Conrad. *** “Rona, Agrona?” Sophia memberiku ponsel baru. Motorola layar sentuh, dengan nomor yang sama—entah bagaimana caranya. Semata agar aku kembali ke dunia, katanya. Setidaknya terhubung dengan beberapa teman karena selama satu bulan ini yang kuhubungi hanya orang tua dan enam orang saudara melalui ponsel Sophia, tentunya. “Margo? Margo!” “Rona ... aku baik-baik saja.” *** Aku memiliki kebiasaan baru sekarang, Julian. Aku sedang senang-senangnya menatapi hujan dari jendela ruang tengah kita, lalu berkhayal mobilmu terlihat di bawah sana, dan tidak lama lagi kamu akan membuka pintu, masuk, tersenyum lebar sekali saat melihatku, kemudian merentangkan tangan, menungguku yang berlari ke dalam peluk. Atau sesekali juga melakukan kebiasan yang paling tidak kusuka, yakni berbaring menghadap spasi kosong tempatmu dahulu tidur. Menyentuh seprainya sambil menyebutkan namamu berkali-kali dalam hati, berharap ini mimpi. Terkadang juga menutup mata, lalu berhitung hingga jumlah yang setiap kalinya selalu bertambah, berharap kamu ada saat mata terbuka. Namun, aku tetap di sana sendiri, sendirian. *** 221
Forget Me Not
Julian .... Julian .... Julian .... … Julian. *** Aku berbisik, “Hei. “Jul.” Waktu itu Julian berada di pemutaran pertama filmku, menontonnya, dan sama sekali tidak berpaling ketika memasuki adegan ... yang dimiliki hampir semua drama, romantis. Film-filmku selalu seperti itu. Tampaknya orang-orang menilai jenis itulah yang cocok untukku. Akan tetapi, entahlah ... seharusnya aku tidak membawa kekasihku, mungkin, ya? “Julian.” Aku menahan senyum walau sebenarnya sedikit takut dia akan marah. Kupegangi lengannya. Menarik perhatiannya. “Apa?” “Kamu boleh cium aku. “Hmm.” “Di mana saja. Kapan saja.” Wajahnya beralih padaku. “Bagaimana saja. Bahkan lebih dari itu.” “Permisi, boleh kami pergi sekarang?” *** Orang-orang—mereka yang menolak percaya bahwa aku bersalah—bilang, aku harus menjauhi semua hal yang membuat teringat padamu. Itu, kata mereka, 222
Antologi 1820
adalah cara paling baik untuk melupakanmu. Aku tidak melakukannya. Aku sedikit pun tidak ingin melupakanmu. Bahkan, jika bisa aku ingin mengingatmu terus, aku mau mencarimu terus. Aku ingin kamu, Julian, selalu tersebut dalam kepala, tersimpan dalam hati, tetap terlihat ke mana pun aku pergi. Seperti saat ini, aku tengah berada dalam minivan bersama Sophia, menatap pada jendela, dengan Rio PMP300 menyala dan memutar This I Promise You. Aku ingat sekali kamu tidak menyukai *Nsync, tetapi aku terpikat pada Justin Timberlake dan kita pergi ke konser di Seattle hanya untuk membuatmu berakhir sakit kepala di tengah teriakan para perempuan. Akan tetapi, kita sama-sama menyukai One yang U2 nyanyikan. Kadang, tidak, sering aku berharap lagu-lagu ini dapat mengantarkanmu padaku. Seperti putaran dalam film: aku mendengarkannya dan kamu tiba-tiba muncul. ‌ entah bagaimana, siang itu harapanku terkabul. Aku melihatmu di restoran dekat Manhattan atas. Bicara, tersenyum, beberapa saat tertawa—bersama seorang gadis yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Aku melihatmu terus sampai Sophia menyadari dan segera menutup tirai hingga kamu yang tengah bahagia itu tidak terlihat lagi. Aku diam. Sakit hati, terluka, merutuki diri sendiri, terhantam kenyataan, tidak rela, lalu sadar jika semuanya, denganmu, sudah berakhir. Selesai. *** Aku cukup tahu diri dan menyebut ini sebagai perpisahan. Satu malam sejak siang itu aku hanya terbaring dalam gelap. Fotofotomu, tumpukan album foto kita selama tiga tahun, tersebar di antara lengan dan kepala. Seperti hari pertama, aku memandangi langit-langit kamar, tetapi kali ini tanpa sadar sama sekali tengah menangis terus-terusan. Ini yang terakhir, bibirku bicara. Ini terakhir kalinya aku memiliki kesempatan untuk mengenangmu, masih merasa memilikimu, kepalaku berteriak. Namun ketika Sophia datang pagi itu, aku merebut kunci mobilnya, dan pergi cepat. Sebab, aku tidak bisa, aku tidak bisa, hatiku mengulang. Aku tidak 223
Forget Me Not
bisa mengakhirinya seperti ini. Benar, aku menyukai Nolan McTaggart, pernah menyukainya selama itu. Namun, Julian adalah hidupku, duniaku. Maka, aku menyetir ke The Westmont, apartemenmu yang dulu. Membuat penjaga terkejut karena melihatku, juga karena kuberikan kunci mobil dengan sangat terburu. Kemudian aku naik. Lantai tiga. Sembari memegangi ponsel dan menekan angka satunya lama. Angka satu masih menjadi panggilan cepat untukmu. Berdegup, takut, tak sabar, dan hampir tidak mampu berjalan karena segala pikiran buruk berbisik ini akan percuma. Kamu mungkin tidak ada. Kamu mungkin tidak mau menerima panggilan. Nomormu mungkin sudah berganti sejak lama. Kamu mungkin benci sekali padaku sekarang. Aku tidak siap menerima semuanya. Namun, aku di sana, tepat di hadapan pintu apartemenmu, saat panggilan itu terangkat. “Julian?� ****
224
Even though It was a One–sIded love, I‘ll pray for your HappIness ~ Salahku yang terlalu mencintaimu hingga lupa bahwa aku tidak punya hak mengatur hidupmu.
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
Ditulis oleh mIndy deschanel
“M
in, sebenarnya aku suka sama Lynette.” Kala itu, jemari yang saling bertaut dengan miliknya tidak lagi terasa hangat. Debaran jantung yang menderu tidak keruan seolah berhenti berdetak bersama dengan jam imajiner yang tak lagi menggerakkan ketiga jarumnya. Bibir gadis itu bergetar, tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan saat mata cemerlang milik Hugo Colgrave tampak berbinar. Kemilau yang bersanding indah dengan kedua pipi bersemu merah manakala nama Lynette keluar dari belah bibir tipis milik Colgrave belia. “Aku cuma bisa cerita sama kamu. Enggak tahu ya, tapi kalau di depanmu aku bisa menceritakan apa pun.” Malam itu bintang bersinar amat cerah. Udara malam di atas atap tempat kedua anak manusia itu biasa bertemu sekadar berbagi cerita terasa amat 226
Antologi 1820
hangat. Namun, bintang di mata sang gadis meredup, sekujur tubuhnya pun membeku. “Tidak masalah, Hugo! Ceritakan apa pun padaku, aku akan membantumu!” Akan tetapi, kebohongannya tetap melantun normal, sebab ia ingin melihat senyum Hugo yang amat disukai olehnya. *** “Sebenarnya apa yang kamu lakukan sejak pagi? Tadi aku bertemu Mark Horsey dan dia tampak jengkel sekali.” Ann Anderson menarik kursi, duduk bersisian dengan Annemarie Silverstein yang tampak memainkan sedotan es kopinya sembari memicing ke arah Mindy. Di seberang gadis itu duduk Mindy Deschanel dengan dua botol kecil ramuan dalam genggamannya dan pakaian yang kotor penuh noda. Lynette Milford, di sisi lain, menyisiri rambut Mindy yang berantakan, tidak tahan melihat kawannya tampak mengerikan. “Bukan hanya Horsey.” Annemarie membuka suaranya. “Helena baru saja dari sini, Ann, dan kau tidak ingin tahu bagaimana gadis itu memasang tampang mengerikan dan memberikan dua botol itu pada Mindy.” Jemari lentik yang dihiasi dengan cat kuku cantik menunjuk lurus ke arah dua botol di tangan Mindy. Pemiliknya hanya menyeringai, sesekali mengaduh saat Lynette terlalu kuat menyisir rambutnya. Siapa pun tidak ingin tahu bagaimana Mindy mendapatkan rambut dan penampilan berantakannya ini. Namun, gadis itu selalu mau berbagi. “Yang sebelah kanan ramuan konsentrasi sepuluh kali lipat, sebelah kiri ramuan keberuntungan satu hari penuh, keduanya baru selesai aku buat pagi tadi!” Ketiga gadis itu memekik bersamaan setelah mendengar pengakuan Mindy bahwa dialah yang membuatnya. “Demi tuhan, Mindy Deschanel, kamu tahu kenapa universitas kita meniadakan kelas Ramuan Wajib di jurusan Mantra?” Lynette menatap Mindy ngeri, sisir di tangan gadis itu berhenti di udara. Annemarie memutar bola matanya, sementara Ann tergelak. “Kau hampir membuat salah satu mahasiswa tewas karena ramuanmu. Dari seluruh mata 227
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
kuliah sihir yang ada di sini, ramuan adalah hal yang terlarang untuk kau coba,” rangkum Annemarie, mencoba mengingatkan sahabatnya kalau-kalau Mindy terlalu sinting untuk melupakan insiden tahun pertama mereka enam bulan yang lalu. “Karena itu aku perlu Helena, siapa pun tahu dia ratunya jurusan Ramuan,” Mindy mencebik. Ann, Annemarie, dan Lynette saling berpandangan. Ketiganya kini paham bagaimana Helena Lindegaard yang anggun dan tenang bisa memasang ekspresi seperti basilisk mengamuk tadi pagi. “Jadi Helena membantumu?” tanya Lynette, melanjutkan sisirannya. “Awalnya aku hanya meminta Helena mengajariku, tapi dia bersikeras ikut turun tangan.” “Lalu?” “Setelah aku meledakkan kualinya dan membuat semua bahan ramuan Helena hangus, aku tidak punya pilihan selain membiarkannya membuatkan ramuan untukku dan aku membantunya.” Ann dan Annemarie terpingkal-pingkal, sementara Lynette meringis. Mereka bertiga tahu benar bagaimana Mindy dan ramuan. Diam-diam ketiganya mengucapkan belasungkawa untuk Helena Lindegaard dalam hati masingmasing. “Lalu Mark Horsey?” tanya Ann. “Karena aku membuat bahan ramuan milik Helena hangus, diam-diam aku mengambil tanaman-tanaman milik Mark di rumah kaca untuk praktik anakanak jurusan Herbologi.” Gantian Mindy yang meringis, sementara Annemarie menjulurkan tangannya untuk memukul puncak kepala anak perempuan Deschanel itu karena gemas. “Tidak heran Mark mengamuk, kau harus minta maaf padanya nanti dan bantu dia menanam tanaman yang baru.” Lynette mengingatkan. “Aku janji! Yang penting sekarang ayo kita ke Lapangan Quidditch. Aku mau memberikan ini pada Hugo.” “Kau saja, aku ada janji kencan dengan BB.” Annemarie menyilangkan kedua tangannya. Tidak mengherankan, sejak awal masuk universitas keduanya adalah idola angkatan. Barclay Baxter idola dari Klub Musik bersanding sempurna dengan Annemarie Silverstein ratunya jurusan Astronomi. Bahkan 228
Antologi 1820
dua bulan sejak tahun pertama mereka berlangsung, Ann dan Mindy sudah memasang taruhan bahwa Annemarie dan BB akan berpacaran dalam waktu dekat. “Aku juga. Kelasnya Jimmy akan selesai setengah jam lagi.” Ann mengecek arlojinya. “Kamu tahu sendiri bagaimana James Archer Fitzgerald Bennett II tidak suka dengan orang yang tidak konsisten dengan waktu.” Ann memutar bola mata kemudian bangkit dari posisi duduknya diikuti oleh Annemarie. Mereka bisa melihat BB dari kejauhan, tanda bahwa Silverstein belia sudah harus pergi. “Huh, terserah, toh aku juga hanya butuh Lynette,” Mindy mencebik. Ann dan Annemarie tidak sempat menanyakan maksud perkataan gadis itu karena keduanya harus segera pergi. Akan tetapi, Lynette bisa. “Kenapa aku?” “Nanti sampai di sana kamu yang kasih ke Hugo.” Mindy mengangkat dua botol ramuannya. “Hah? Kenapa enggak kamu sendiri saja sih? Bukannya kamu suka sama Hugo?” Tangan Mindy buru-buru mengatup mulut Lynette sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. “Jangan asal ngomong Lyn, nanti ada yang dengar.” Mindy berusaha menyangkal, seolah memberi penegasan kecil bahwa ia tidak suka pada Hugo. Padahal ketiga karibnya tahu soal ini meskipun Mindy tidak pernah cerita terang-terangan. Siapa pun akan tahu bagaimana Mindy menyukai Hugo, bagaimana pandangan gadis itu yang selalu mengejar Hugo seperti bunga matahari yang tunduk patuh terhadap sang surya. Semua orang tahu, kecuali Hugo. “Jerome juga tanding sebagai lawan, masa iya aku terang-terangan kasih dukungan sama Hugo?” Mindy membual, memberikan alasan dengan menjual nama teman masa kecilnya, Jerome Southwark. “Bisa-bisa aku enggak dibolehin lagi nyontek esai mantra, hehe. Bilang saja ini dari kamu ya! Aku beneran enggak mau Jerome dengar dan jadi musuhan, tapi aku mau Hugo minum ini.” Mindy mengatupkan dua telapak tangannya, memohon. Lynette menghela napas kemudian mengangguk, seolah menyerah dengan tipu daya dan kebohongan Mindy Deschanel. 229
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
Pada akhirnya saat mereka tiba di lapangan Quidditch, Mindy benarbenar menyerahkan dua botol ramuan itu pada Lynette dan meninggalkan gadis itu untuk menemui Jerome setelah Hugo datang mendekat. Meskipun posisi mereka berjauhan, Mindy bisa melihat bagaimana Lynette mengulurkan dua botol ramuannya. Dari bagaimana Hugo tersipu, mengembangkan senyum cerah yang paling Mindy sukai, gadis itu tahu bahwa Lynette benar-benar memenuhi permintaannya untuk berpura-pura kalau ramuan itu memang dari gadis Milford dan bukan Mindy. Bagaimanapun Mindy tahu bahwa Lynette tidak akan berbohong soal janji. Seperti ini sudah cukup. Melihat bagaimana Hugo Colgrave tersenyum lugu dengan wajah yang berseri, lebih dari cukup. Tersenyumlah, Hugo. Bahagiamu, bahagiaku juga. *** Sudah tidak terhitung berapa kali gadis itu melakukan kebohongan, entah pada Lynette dan yang lainnya ataupun Hugo. Sesekali Mindy akan melakukan hal gila yang akan membuat Helena menyesal berteman dengannya, suatu hari lain ia membuat Mark memaksanya menanam banyak tanaman sihir untuk mengganti semua yang ia rusak. Tidak jarang ia menyita waktu Ann untuk mengajarkannya Sejarah Sihir hanya demi memperdalam ilmunya dan memanfaatkan semua itu untuk membantu Hugo secara diam-diam. Belum lagi ia memaksa Annemarie untuk terus menceritakan soal Astronomi supaya Lynette tertarik dan ia berhasil mengajak gadis itu untuk ikut bertemu Hugo setiap sabtu malam di atas atap hanya demi meninggalkan mereka berdua saja kemudian dengan alasan ia harus pergi dengan Jerome. Semua yang ia lakukan berhasil berjalan dengan baik tanpa ada kecurigaan yang nyata atau setidaknya begitu menurut Mindy. Hugo dan Lynette semakin dekat, mereka kini sering mengobrol berdua saja di Lapangan Quidditch maupun di ruang ramal kala Hugo menghampiri Lynette lebih dahulu dengan alasan minta diramal. Gadis itu pun yakin sabtu malam keduanya akan
230
Antologi 1820
bertemu di atap, seperti bagaimana Hugo dan Mindy sering lakukan sebelumnya. Semuanya berjalan lancar, semuanya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ia berhasil melihat Hugo yang tersenyum bahagia. Namun, ia makin merasa kesepian. Semakin sedikit waktu yang empat sekawan itu habiskan bersama. Annemarie dan BB lebih sering jalan berdua, begitu pula dengan Jimmy yang kini menyita Ann untuk menemaninya pada setiap pertemuan membahas Sejarah Sihir. Ia tak ingin memonopoli Lynette. Acap kali ia melihat gadis itu duduk sendirian, Mindy justru mengirim pesan singkat pada Hugo untuk menyuruhnya menghampiri Lynette. Ia tertinggal sendirian, semuanya tidak semenyenangkan sebelumnya. “Kalian bertengkar?” Jerome menepuk puncak kepalanya dengan buku Kitab Mantra, Mindy meringis. “Siapa?” tanya Mindy meskipun ia tahu kemana arah bicara Jerome sekarang. “Kau dan teman gula-gulamu?” Jerome mengangkat bahu. “Aku tahu Barclay berpacaran dengan Silverstein sejak tahun lalu, tapi biasanya kalian masih tetap jalan ke mana-mana, bergosip sana-sini, nongkrong.” Jerome menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Mindy yang tampak menyedihkan. Dalam hati pemuda itu tahu ada sesuatu yang salah di sini. Dia mengenal Mindy seperti dirinya mengenal diri sendiri. Mereka tumbuh besar bersama, tak ada hal yang tidak Jerome tahu soal Mindy. Bahkan pertemuan Sabtu malam yang kini tak pernah lagi dilakukan oleh gadis itu dengan jagoan Tim Quidditch jurusan Satwa Gaib. Itu tidak mengganggunya, malah Jerome senang tidak ada anak laki-laki lain lagi yang dekat dengan Mindy, selain dirinya. “Kau juga tidak pernah lagi jalan dengan Milford. Kalau bukan teman sejak kecilmu, aku pasti mengira kalian anak kembar yang nempel ke mana-mana.” Jerome terkekeh, Mindy belum merespons. “Mindy? Hei, kenapa?” Jerome menggeser duduknya, menaruh diri persis di sebelah anak perempuan Deschanel. Ia tahu benar kalau Mindy sudah diam begini artinya gadis itu menangis. Mindy tidak pernah mau menangis di tempat umum. Diam gadis itu artinya tangisan yang tertahan. 231
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
Jerome melingkarkan lengannya ke pundak Mindy, menghela napas pelan. “Kau selalu begitu, menyimpan semuanya sendirian dan tidak mau berbagi. Kali ini apa lagi yang telah kau perbuat, hm? Milford, juga Silverstein, dan Anderson pasti ingin kau jujur pada mereka. Kalian bukan baru berteman satu bulan saja.” Mindy memberengut, menjatuhkan kepalanya di pundak Jerome sembari mati-matian menahan tangis. Kalau ini di kamar Jerome, seperti bagaimana mereka sering bermain bersama saat kecil, gadis itu sudah menangis sejak tadi. “Jangan nangis di sini, aku malas dekat-dekat gadis yang makeup-nya luntur karena air mata.” Jerome terkekeh. “Aku enggak nangis, juga enggak pakai make-up luntur!” Mindy mendengus, menyikut perut Jerome. “Ingat, jangan nangis di depan orang lain selain aku.” Mindy tertawa, tawa pertamanya dalam satu minggu terakhir. “Iya, iya, berisik.” Ia menjulurkan lidahnya pada Jerome sebelum tertawa kecil. “Terima kasih, Rome, tapi aku baik-baik saja.” Bukankah bahagia Hugo sudah cukup? “Mereka sedang punya urusan masing-masing, kamu enggak ngerti sih kalau perempuan memang seperti itu.” Kebohongan lainnya. “Jangan mencobanya denganku, Mindy Deschanel, aku tahu kapan kau berbohong dan kapan kau jujur.” Mindy tersenyum masam. “Baiklah, aku akan menemui mereka besok, janji!” *** Hari itu Sabtu, tidak akan ada kelas, tetapi Mindy tahu bahwa Lynette pasti ada di ruang ramal. Gadis itu adalah ujung tombak jurusan Ramal. Kakinya terasa membeku. Gadis itu menyeret langkah menuju ruang ramal berharap Lynette ada di sana setelah ia melihat Hugo berada di Hutan Gaib mengurus telur naga yang baru datang. Ia menelan saliva, tenggorokannya terasa berduri. Mindy mendorong pintu ruang ramal dan menemukan Lynette Milford duduk di salah
232
Antologi 1820
satu set ramalan, menatap lurus ke arahnya seolah sudah menunggu kedatangan Mindy. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. “Jadi, bagaimana?” Lynette membuka suara, untuk pertama kalinya gadis paling manis dan kalem di universitas tampak mengerikan dan mengintimidasi. Mindy merasa tangannya dingin, ia menutup pintu dibelakangnya setelah masuk. “Apanya?” “Mau kau ceritakan dari awal dengan mulutmu sendiri atau aku menjelaskan apa yang tidak kau ketahui?” “Maksudmu?” Lynette menghela napas. “Deschanel, kau lupa kalau aku ada di jurusan Ramal? Aku bisa menebak rencanamu itu.” Mindy terkesiap, benar-benar lupa bahwa Lynette bisa meramal dengan ketepatan sembilan puluh empat persen, paling tinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Mindy menghela napas, merasa kalah. Langkahnya lesu mendekat ke arah Lynette Milford. Ia bahkan tidak bertanya ke mana anak jurusan Ramal lain sebab Mindy tahu Lynette sengaja mengosongkan ruangan karena tahu ia akan datang kemari. “Maafkan aku, Lyn.” Mindy menunduk. “Aku … ini rahasia tapi aku yakin kau sudah tahu, Hugo menyukaimu, jadi aku ingin menjodohkannya padamu.” “Tapi kau menyukainya.” “Memang, tapi aku menyukai senyumannya, Lyn. Kebaikannya. Bagaimana dia menolongku saat rapalan mantraku kembali pada diriku sendiri. Bagaimana dia menolongku dan berakhir mengorbankan keselamatannya sendiri. Aku menyukai senyumnya, kebaikannya, dan aku amat ingin melihat dia bahagia, aku ingin kali ini aku yang menolongnya.” “Dengan mengorbankan perasaanmu sendiri?” “Ini salahku, aku merasa bersalah menyukainya, aku tidak seharusnya menyukainya.” “Jangan merasa bersalah karena menyukai seseorang.” Lynette tersenyum lembut, gadis itu berdiri dari kursinya. “Kau harusnya menghargai perasaanmu dan berjuang untuk itu. Hugo juga sama, tanpa bantuanmu dia 233
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
sudah berjuang untuk dirinya sendiri, jangan merasa besar kepala dan merasa kau yang membantu semua usahanya.” Lynette menyentil dahi Mindy yang diiringi rintihan anak gadis Deschanel. Mindy merasa lega, entah bagaimana dadanya terasa hangat seolah semua bebannya terangkat. “Ann dan Annemarie sebenarnya tidak tahan melihat kau terus-terusan berbohong dan memaksakan diri menjodohkanku dan Hugo. Mereka sengaja beralasan menemui BB dan Jimmy supaya tidak melihat kebodohanmu itu.” Lynette mendengus, Mindy melongo. Jerome benar, ia seharusnya mengutarakan apa yang ia pikirkan dan ia rasakan. Seharusnya Mindy jujur pada dirinya sendiri. “Maafkan aku, Lyn.” “Simpan maafmu dan temui Hugo di atap. Sudah waktunya, kan?” Ah, benar. Sabtu malam, di atas atap, rutinitas yang sudah ia hentikan lebih dari satu bulan. *** “Hai.” “Oh, hai!” Mindy menatap Hugo kaku. Langkah kakinya terhenti lima meter dari tempat pemuda itu duduk. Hugo tersenyum lembut, membuat perasaan bersalah Mindy berkumpul menjadi satu dalam titik tempat ia menyimpan hatinya. “Kemarilah, pembohong kecil.” Mindy meringis, kakinya yang masih terasa berat ia paksa melangkah mendekati Hugo. “Setelah malam itu aku memberitahukan rahasiaku padamu, lalu kau bilang ceritakan semuanya padaku, kau malah meninggalkanku.” Ada nada kecewa bercampur sedih dari suara Hugo, Mindy tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat ekspresi pemuda itu. “Maafkan aku.” Ia tertegun. Kalimat maaf yang ingin diucapkan oleh Mindy justru diucapkan oleh Hugo padanya.
234
Antologi 1820
“Perasaanku pada Lynette, aku tidak tahu itu akan membebanimu.” Hugo mengulurkan tangannya pada Mindy, menyuruh gadis itu meraihnya seperti bagaimana mereka biasa menghabiskan Sabtu malam bersama. Mindy menahan diri untuk tidak menangis, tangannya menyambut milik Hugo, dan duduk di sisi pemuda itu. Seperti biasanya, mereka berdua di bawah langit malam dan bintang, saling menggenggam tangan dan bercerita. “Jangan meminta maaf atas perasaanmu, itu salahku.” Salahku yang terlalu mencintaimu hingga lupa bahwa aku tidak punya hak mengatur hidupmu. “Dan aku juga tidak akan meminta maaf akan perasaanku padamu.” Mindy tersenyum memandang wajah Hugo yang terkejut. “Kau tidak perlu mengatakan apa pun untuk membalasku, aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa aku menyukaimu Hugo. Jadi kau juga harus berani seperti aku dan jujurlah pada Lynette tentang perasaanmu.” Mindy menepuk tangan Hugo yang masih ia genggam. “Temui dia di ruang ramal, apa pun jawaban yang dia berikan padamu aku akan tetap ada di sini untuk merayakan keberhasilanmu atau menghibur kegagalanmu.” Mindy terkekeh, Hugo meringis. “Terima kasih, Mindy. Aku juga menyukaimu, kau anak perempuan paling keren yang pernah aku kenal.” Mindy tergelak bersamaan dengan langkah Hugo yang bergerak pergi menemui Lynette. Seharusnya sejak awal seperti ini, batin Mindy. Dalam hati ia berjanji untuk meminta maaf pada Annemarie dan Ann besok pagi. Tidak lupa pada Helena dan Mark meskipun mungkin nanti Mindy akan merepotkan mereka berdua lagi. Suara langkah kaki terdengar setelah hampir sepuluh menit berlalu. Terlalu cepat untuk Hugo sebab butuh waktu setengah jam untuk ke ruang ramal kemudian kembali lagi kemari. Mindy mengerutkan dahi, tubuhnya diputar. Jerome berdiri di sana dengan wajahnya yang tersenyum jahil, punggungnya bersandar pada pintu masuk atap dengan tangan bersedekap. “Jadi kau berhasil meluruskan masalahmu, pendek?” Mindy terkekeh, ia mengangkat alis merespons Jerome. “Menurutmu?” Gantian Jerome yang terkekeh. Ia melangkah mendekat kemudian mengacak-acak puncak kepala Mindy. “Ini baru gadisku, 235
Even Though It Was a One-Sided Love, I’ll Pray for Your Happiness
aku tahu kau bisa menyelesaikan masalahmu kalau kau meninggalkan insting hewanmu itu.” Mindy menonjok pelan pundak Jerome selagi mencibir. “Maaf deh aku lebih mendahulukan insting dari otak, enggak ada manis-manisnya.” “Tidak apa, justru itu yang aku suka darimu.” Jerome mengecup pipi Mindy, gadis itu terkesiap. “Kalau burung pipit dari jurusan Satwa Gaib itu tidak bisa menjagamu dan menyukaimu balik, kau tahu ke mana tempatmu kembali, kan?” Jerome menepuk puncak kepala Mindy pelan, mengedipkan sebelah matanya sebelum pergi meninggalkan gadis itu yang kini tampak bengong sendiran. Terkadang Mindy tidak tahu apakah Jerome serius atau tidak padanya. Padahal seharusnya ia kini berdoa untuk keberhasilan Hugo, tetapi Jerome malah membuat konsentrasinya Mindy terbagi dua. Uh, dasar! ****
236
Auf wIedersehen ~ Cole mengembuskan napas panjang sebelum menatap Ali, membuat gestur seolah tengah memegang tongkat, dan berkata, “Obliviate.�
Auf Wiedersehen
Ditulis oleh AegIna sIlversteIn Cole oxlade
K
onon, semua orang memiliki pilihannya sendiri di dunia orang mati. Tempat mereka yang tidak bertubuh, mereka yang tersesat, mereka yang mencoba hidup tanpa penyesalan pada apa yang dilakukan di dunia fana— rupanya memberikan kesempatan berbeda selain membayar Charon dengan sebuah koin di bawah lidah demi menyeberangi Sungai Styx. Pemuda itu adalah salah satunya. Kedua mata cokelat mudanya membuka dengan penuh ketidakpercayaan. Sebuah pintu dan seorang penjaga yang mengingatkannya pada si tua Ali, si penjaga krematorium, sahabat yang membuatnya masih
238
Antologi 1820
bertahan di tengah depresi dan dunia sihir yang dingin pada orang asing sepertinya. “Ali …?” tanyanya pelan, memastikan. “Ali, itu kau?” Namun, yang didapatkannya adalah sebuah senyum semu. Tidak mengiyakan pun tidak menyalahkan. “Mr. Oxlade, sebelum pergi menuju ke pintu itu, Anda memiliki pilihan untuk ingat atau melupakan. Sekiranya Anda telah selesai menimbang, tolong katakan pilihan Anda.” Di saat itulah Cole sadar kalau dia mati dan akan kembali ke dunia orang fana. Perlu beberapa saat sebelum dia mencerna keadaan dan mengingatingat kehidupannya yang lalu. Beberapa kenangan kembali ke permukaan, menyadarkannya pada lima puluh tahun yang penuh dengan sedikit kenangan baik dan banyak kenangan buruk. Perlahan-lahan kenangan yang ia kira sudah terpendam jauh menjadi begitu jelas, seolah baru terjadi beberapa hari sebelum kematiannya yang nahas di dalam kamar lembap karena rupanya tubuh setengah penyihirnya pun tidak mampu menahan wabah kolera yang menyerang Soho1 menjadikannya satu dari 616 orang yang mati di tahun 1854. Jiwa Ravenclaw-nya mengambil alih, dengan kesadaran bawah sadarnya ia bertanya. “Kalau aku memilih ingat … apa artinya aku akan ingat semua hal yang terjadi di kehidupanku … dulu?” Maksudnya, sekarang. Er, atau kehidupan sebelum ini. Apalah, ia berpikir. Akan tetapi, guratan di dahi si penjaga—sekarang Cole akan menamainya Ali, bukan karena si penjaga selalu menawarkannya tembakau terbaik dari Timur Jauh, melainkan untuk memudahkan saja— menunjukkan kalau dia tahu apa yang dipikirkan oleh Cole. “Kalau kau adalah Rowena Ravenclaw dan punya diadem di kehidupan selanjutnya, bisa jadi. Tapi, kau akan tetap mengingat kejadian-kejadian besar dalam hidupmu sebelumnya dan akan segera mengenali orang-orang dari kehidupan lampaumu walau wajah mereka berubah.” Jawaban ini sama sekali tidak memuaskan Cole. Ia merasa masih banyak misteri yang belum dikatakan oleh Ali. Tanpa diberi tahu pun, Cole tahu kalau waktunya semakin menipis dan dia harus segera menentukan pilihannya. Akan tetapi, ada satu hal yang ia inginkan kalau dia terlahir lagi. Di saat itu juga, Cole 1 Salah satu kasus pandemik kolera III global yang dibawa dari India pada tahun 1846-1860, menjadi terkenal karena dijadikan bahan penelitian John Snow, tentang air yang terkontaminasi kuman.
239
Auf Wiedersehen
merasa kalau dia harus tahu. “T-Tunggu! Satu lagi! B-Bagaimana dengan … dia? Apa yang dia pilih?” Alih-alih jawaban, yang didapatkan oleh Cole hanyalah rasa terbakar dalam dirinya, serta tatapan Ali yang perlahan berubah marah. “Satu pertanyaan saja, Cole Oxlade. Apa yang kau pilih, ingat atau lupa?” Ingatan-ingatan semakin menghujaminya dengan rasa sakit yang tak terperi. Pernikahan di Hutan Hart yang dia datangi merupakan salah satu yang paling diingatnya, sekaligus ingin dilupakannya. Cole ingin … memulai awal yang baru. Ia yakin kalau dirinya dan Aegina Silverstein—yang saat dia mati sudah ganti nama jadi Aegina Strickland—akan bertemu karena takdir selalu punya kejadian yang tak terduga dan lebih senang bermain dengan ekspektasi manusia fana. “Tentukan pilihanmu, Mr. Oxlade.” Cole berjalan mantap menuju ke pintu kayu mahoni. Ia mengembuskan napas panjang sebelum menatap Ali, membuat gestur seolah tengah memegang tongkat dan berkata, “Obliviate.” *** “Cole!” Pria itu terkekeh saat mendengar si gadis muda masih saja tidak berhenti memanggilnya dengan nama tersebut kendati ini adalah tahun kelima sejak pertemuan pertama mereka. “Selamat pagi, Nona Kecil,” balasnya ramah. “Tidak bisakah kau memanggil namaku dengan benar sekali saja?” Si nona yang hampir selalu mengenakan gaun kuning benderang di New York yang kelabu itu pun menggeleng, keras kepala. “Tapi buatku kamu akan selalu jadi Cole, bukan Clyde.” “—dan panggilan tidak sopan itu,” tambahnya kemudian. “Dulu semua orang di Long Island selalu bilang kalau kau adalah gadis paling ramah dan sopan yang pernah mereka temui. Bagaimana kau bisa membuatku percaya perkataan itu, Nona Guinevere?”
240
Antologi 1820
Senyum kecil mulai tersungging di wajah si gadis. Kali ini dia memandang Clyde yang memiliki janggut tak beraturan dan duduk persis di seberangnya. “Aku suka kalau kamu memanggilku dengan nama panjangku. Kamu terlihat seperti Cole yang selalu kuingat.” “Yang di mimpimu itu?” Gwen mengangguk. Akan tetapi, Cole hanya mendengus geli. Seharusnya Guinevere ini tidak terlalu banyak mengurusi anak-anak kecil di Brooklyn, lihatlah bagaimana efek dari imajinasi anak-anak kecil itu mulai memengaruhinya. Clyde sendiri hendak berkata, tetapi anak sulung John Simmons ini bukan orang yang paling menyenangkan untuk diajak berdebat. “Jadi, apa saja yang ada di surat kabar minggu ini, Gwen? Ceritakanlah pada pria-pria tua ini.” Kalimat tersebut merupakan aba-aba dari Clyde, salah satu tetua dari serikat pekerja pembangunan infrastruktur jaringan kereta New York, satu dari banyak komunitas dalam kota yang penuh dengan ingar bingar. Kegiatan yang setiap minggu diadakan selama satu jam (walau biasanya berlarut hingga dua, tiga, bahkan empat jam) di sore yang cerah di Central Park ini adalah salah satu bentuk rekreasi saat para keluarga yang cukup mampu akan membawa istri dan anak-anak mereka menonton atraksi kuda nil, para pekerja—tua, miskin, hidup berhimpitan di lorong-lorong sempit Manhattan, dan buta huruf—yang datang dari berbagai daerah pedesaan Amerika, berkumpul, dan mendengarkan kabar tentang presiden, para imigran yang selalu lebih sukses daripada orang desa seperti mereka, ataupun kabar dari negeri nun jauh. “Bagaimana rasanya, Clyde?” Itu Malcolm, salah satu sahabat karibnya dari Phoenix yang bertanya, membuat Clyde salah tingkah. “Apa maksudmu?” “Disukai oleh manusia seperti itu. Muda, naif. Hangat. Seperti matahari musim semi.” Clyde tidak mampu memahami dari mana asalnya kemampuan Malcolm untuk berbicara dengan kata yang muluk-muluk. Padahal keduanya lahir dan besar di peternakan yang sama, dengan Malcolm berusia hanya setahun lebih tua darinya. Orang tuanya dan Malcolm selalu berkata setiap anak punya keistimewaannya sendiri-sendiri. Namun, Clyde selalu ingin punya keahlian 241
Auf Wiedersehen
untuk menjelaskan sesuatu dengan benar, lugas, dan tepat, tetapi masih memiliki sisi puitis seperti yang selalu dilakukan Malcolm. Gwen yang duduk di seberangnya tengah memikat para lelaki bau rokok lainnya dengan cerita-cerita mengenai kejadian di Paris, perdagangan dengan orang kulit kuning di pesisir barat, kesan setelah membaca novel tebal Anne of Green Gables, dan keluhannya tentang dua-tiga anak didiknya yang sulit untuk duduk diam dan mendengarkan dengan baik. “Lihatlah.” Malcolm menambahkan, “Dia hanya butuh dua jam untuk menaklukan hati para pemabuk miskin ini. Aku berani bertaruh, setengah orangorang ini datang tiap minggu bukan untuk informasi, tapi untuk melihat si Nona Bunga Matahari. Mengapa lima tahun pun belum cukup bagimu untuk meminangnya, eh, Lil’ Cole?” “Christ, dia 17 tahun, Malcolm!” “Dan kau sudah 26 tahun.” Nada Malcolm berubah tajam. “Pikirkan perasaan Clyde senior yang mati tanpa bisa melihat anak lelaki sulungnya menikah.” “Well, setidaknya Clementine sudah.” “Bagaimana denganmu?” “Aku miskin, ok?” “Aku juga. Di rumahku ada lima mulut untuk diberi makan.” “Dia tidak suka padaku.” “Dia selalu mencarimu, memberimu salam, dan—oh, perlu kuingatkan tentang cokelat valentine itu?” “Masa depannya cerah. Aku merasa tidak pantas untuk jadi suaminya.” “Gwen menolak banyak laki-laki untukmu, Tuan Clyde Coleman.” “And once, you loved her.” Clyde bisa merasakan kalau Malcolm yang di sebelahnya meremang, tetapi memutuskan untuk tetap mendengarkan cerita Gwen tentang anjing baru di sekolahnya alih-alih memperhatikan ekspresi wajah Malcolm karena ... dia tahu. Malcolm selalu jadi panutannya dan kedekatannya dengan sang istri selalu membuatnya iri. Namun, dari Malcolm dan hari-hari mabuknya pulalah Clyde menyadari kalau sepuluh, sembilan tahun bukanlah selisih yang mudah untuk dijembatani. 242
Antologi 1820
“... Didn’t you?” Malcolm belum sempat menjawab karena suara Gwen menginterupsi. “Mr. Malchus! Cole! Jangan membuatku sedih karena kalian tidak menyimak ceritaku, tolong. Kali ini aku sedang bercerita tentang Nolan si Labrador!” Setelah mengucap maaf, Clyde kembali ke perenungannya. Duduknya kini berubah meringkuk dan ia bergumam penuh tanya. “Kenapa Malcolm disebut dengan Mr. dan aku hanya Cole?” *** Mimpi yang sama dan terus berulang. Sihir, kastel di tengah hutan, kereta kuda, danau dan perahu, ruangan luas dengan banyak anak-anak, dan karpet sewarna rumput. Setiap kali ia melihat mimpi itu, semua detail semakin tergambar jelas. Hingga akhirnya pada ulang tahun keempat belasnya, Gwen menemukan dirinya terbangun di kamarnya: linglung dan dibutakan oleh air mata yang terusmenerus mengalir di pipinya tanpa henti. Kamar yang hanya mendapat sinar matahari kala pagi itu masih memperdengarkan kesibukan First Avenue seperti biasa, dengan kereta kuda, troli, dan sepeda yang saling bersahutan di jalanan. Akan tetapi, baru kali itu Gwen merasa menjadi individu berbeda. “Bukan,” gumamnya kala sepasang mata hijau campur biru itu melihat pemandangan New York dari jendelanya. “Hart Hampshire lebih bagus dari ini.” *** Cole membuka mata dengan ekspresi yang menyiratkan ketidaksukaan. Oh sial, mengapa aku sebodoh itu? Tanyanya dalam hati. Namun, ia mendengar tawa halus dari Ali yang membuatnya semakin menyesali keputusan. “Diam,” perintah Cole sinis. “Di antara ribuan cara untuk mati dengan lebih damai di New York … dan kau memilih kehabisan darah karena terjepit saat membangun atap Grand Central. Bagaimana rasanya?”
243
Auf Wiedersehen
“Pusing, lemas, sakit.” Cole menjawab dengan sikap masa bodoh. “Senang bertemu lagi denganmu, Ali. Kau tidak bertambah tua barang satu uban pun.” “Kau bertemu dengan dia.” “Jinnie Silverstein? Ya, tetap jadi orang suci bahkan setelah reinkarnasi. Bagaimana bisa?” Pintu di hadapannya kini berubah wujud. Tidak lagi mahogani, melainkan pintu berhiaskan motif kaca patri yang rumit, seolah dibuat oleh perajin paling ahli di Murano. Dari pengalamannya dulu, ini berarti dia tidak punya banyak waktu untuk mengatakan pilihannya. Namun, isi pikirannya seolah enggan bekerja sama. Ia masih punya lebih banyak lagi pertanyaan sebelum lahir lagi jadi makhluk fana yang bekerja mencari uang. “Jiwanya, Mr. Oxlade,” jawab Ali tenang. “Kalau memang karakteristik itu yang paling menonjol dari jiwa Aegina Silverstein, maka itu pula yang akan selalu muncul di kehidupan selanjutnya.” Cole tidak bisa serta-merta mengiyakan yang dibicarakan oleh Ali, mengingat apa yang telah ia alami selama hidupnya di Phoenix dan New York. “Jadi, karena itu Bane selalu diberi cara bicara sok puitis dan aku tetap jadi si pandir dalam semua kehidupan?” Ali tidak menjawab sehingga Cole memberanikan diri untuk bertanya lagi. “Apa kau tahu alasan Aegina memutuskan untuk memilih ingat, Ali?” Pintu semakin berpendar dan Ali tampak marah. “Ada beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab, Mr. Oxlade. Kau harus tahu batasanmu sendiri,” katanya tegas. Kali ini ia, dengan trisula di tangan, mengayunkan senjatanya ke arah pintu, memaksa Cole untuk segera memilih. “Aku ... tidak tahu, Ali. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku ingat. Namun, rasanya menyakitkan sekali melihatnya mengemis kasih sayang padaku.” Sekali lagi Ali mengetukkan trisulanya ke pintu kaca. Cole mendesah karena tahu ia tidak akan pernah mendapatkan sahutan. Ia pun berjalan ke arah pintu dan sudah siap untuk membukanya, sebelum Ali angkat suara di detikdetik terakhir ia memberi jawab. “Aegina menyayangimu, Mr. Oxlade.” 244
Antologi 1820
Senyum miring tampak di wajah Cole. “I know.” Sinar terang membutakan perlahan menyelubungi Cole, membawanya ke petualangan selanjutnya untuk mencari Aegina Silverstein. *** Surat dari Isamu san tidak pernah tiba. Kendati lelaki tegap yang identik dengan rokok di tangan itu telah berjanji akan mengirimi Aegina—yang di kehidupan ini diberi nama Hanako—surat untuk setiap kejadian penting yang terjadi dalam perang. Akan tetapi, Hiroshima porak poranda, sungai di Nagasaki sudah dipenuhi bubuk hitam aneh yang membuat mual, dan tidak pernah sekali pun Hanako menerima surat dari suaminya sejak meletusnya pertempuran di Pulau Io2. Kini yang bisa dilakukannya hanya menunggu dan menunggu. Setiap siang, toko peninggalan orang tuanya tutup selama satu setengah jam karena Hanako si pemilik berjalan ke Stasiun Shimbashi, menanti kedatangan prajurit dari medan perang. Hal ini dilakukan selama berbulan-bulan dan bahkan setelah kedatangan dipindah ke Stasiun Tokyo yang telah kehilangan satu lantainya akibat serangan udara, Isamu san—Cole Oxlade-nya—tak pernah menampakkan diri. *** Keduanya tengah berada di perpustakaan kota, dengan Cole—Isamu, si anak bangsawan sekaligus mahasiswa hukum di Totei—yang masih telaten mengajari Jinnie aritmetika. “Ayolah, Hanako. Aku sudah mengajarimu berkali-kali, bukan?” “Aku tahu, ih!” Jinnie jadi gemas sendiri. “Dari dulu aku memang tidak pernah sepintar dirimu, Cole.” “Tapi nilai kita sama,” sanggahnya.
2
Alias ‘Iwo Jima’, tempat terjadinya Battle of Iwo Jima (Ioto no Tatakai).
245
Auf Wiedersehen
“Bagaimana ya. Aku belajar dengan sangaaat keras. Sedangkan kamu memang selalu dibekali otak pintar. Ini tidak adil!” “Otsukaresama,” timpal Cole, merasa gemas dengan keluhan Jinnie. Kamu sudah bekerja keras. Tentu saja wajah cemberut Jinnie tidak berubah saat mendengar frasa tersebut diutarakan. “Nanti aku akan membelikanmu castella sebagai bayaran kerja kerasmu, bagaimana?” Ekspresi muka Jinnie berangsur-angsur ceria. “Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku senang.” Kau juga selalu membuatku senang, Cole menimpali dalam hati dengan kalimat yang tak akan pernah dia ucapkan. Semua ucapan Jinnie selalu membuatnya salah tingkah sejak dulu. Bahkan, ketika sekarang mereka memiliki wadah yang berbeda—kulit kuning dan mata sipit, Cole masih merasa kalau gadis di hadapannya ini sama seperti dulu. “Hei.” Cepat-cepat Cole mengalihkan topik sebelum mendapat malu lebih lagi. “Di kelas Bahasa Jerman kemarin, aku belajar sesuatu yang menarik.” “Sungguh? Apa itu?” Mata Jinnie selalu berkilat dengan rasa senang saat mendengar sesuatu yang berhubungan dengan negara luar. Tidak bisa dimungkiri bahwa gadis ini terkadang iri, tetapi Jinnie sudah belajar untuk menerima keadaan sebagai anak satu-satunya dari Kaiseki Ryouri yang tidak memberinya kesempatan untuk naik kapal ke negeri asing. Dia cukup puas dengan mendengar celotehan Cole dalam bahasa Jerman. Pemuda itu mengambil penanya dan menulis dalam huruf tegak bersambung yang berantakan, tetapi masih bisa dibaca. “Aufu … wieeee …?” Jinnie melirik Cole karena tahu kalau pelafalannya pasti salah. Dia kira pemuda yang disukainya akan tertawa, tetapi hanya ada senyum di wajah Cole. “Salah, ya?” Cole—Isamu Nagakura—hanya tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya pada gadis di hadapan dan menunjuk mulutnya. “Auf wiedersehen, Jinnie. Itu yang benar.” “Ooooh! Itu apa, artinya?” “Itu yang diucapkan oleh orang Jerman saat mereka akan berpisah. Seperti ‘mata’ yang ada di bahasa kita. Ada dua kata yang membentuknya, aufsehen dan wieder. Artinya, ‘menyaksikan’ dan ‘kembali’. Saat mengucapkan itu, berarti ada harapan kalau mereka berharap akan bertemu kembali dengan orang itu.”
246
Antologi 1820
Selesai mendengarkan penjelasan Cole, Jinnie tak bisa untuk tidak terkesima. Ia kira, bahasa Cina3 adalah salah satu bahasa terindah dengan huruf dan sejuta maknanya. Tak pernah disangkanya kalau bahasa orang barat juga sama indahnya. “Jinnie, coba ucapkan kata itu padaku.” Tidak biasanya, ia merasa pipinya memanas saat bertukar pandang dengan Cole. Pemuda itu sejatinya keren dan punya pesonanya sendiri, tetapi hanya pada waktu-waktu tertentu. Jinnie tidak menyangka sesi belajar aritmetika ini akan jadi salah satunya. “Auf … wiedersehen ... Cole Oxlade.” Di sudut perpustakaan kota yang sepi, Cole menarik tangan Jinnie yang kasar karena membantu orang tuanya tiap hari. Ia mencium punggung tangan itu perlahan, menikmati momen tak senonoh itu sebagai detik-detik berharga dalam hidup. Ah, seandainya Jinnie tahu kalau … “Ich liebe dich sehr.” 4 “EH? Eh??? Ya? Apa itu artinya?” Cole tidak akan memberi tahu Jinnie. Sama halnya dengan dia memilih bungkam mengenai hari penarikannya ke medan perang yang akan tiba sebentar lagi. *** Surat pertama dari gadis itu diawali dengan jiwa yang baik, berisi cerita tentang hidup seharihari yang terasa hampa, diakhiri oleh sekelumit auf wiedersehen. Surat pertama yang berhasil dikirimkan pemuda itu setelah menulis belasan surat menyedihkan bak pecundang diawali dengan keceriaan palsu, cerita singkat untuk menutupi ketakutan menghadapi teror malam demi malam, dan diakhiri oleh auf wiedersehen yang meragu. Cole tidak pernah lupa untuk membubuhkan ich liebe und vermisse dich5 yang entah kapan akan dimengerti Jinnie Silverstein. ***
Zaman dulu masih disebut Cina, istilah Mandarin belum ada. I love you so much. 5 I love and miss you. 3 4
247
Auf Wiedersehen
“Bagaimana rasanya?” Jinnie tersenyum lebar layaknya kanak-kanak. “Itu ... adalah sebuah hidup yang baik, Emma.” Sesungguhnya wanita mungil yang sekepala lebih pendek darinya bukanlah Emmalynn Silverstein, melainkan penjaga yang rupanya menyerupai sang sepupu. Namun, Jinnie sudah memutuskan untuk memanggil sang penjaga dengan nama tersebut. Kebetulan, Jinnie pun tidak pernah melihat Emma di reinkarnasi mana pun. “Apa kau bahagia?” Ia sudah hendak bercerita sebelum pertanyaan itu terlontarkan. Akan tetapi, Jinnie kembali menyimpan kata-katanya dan tercenung. Bahagia? Ia berpikir. Dia dan Cole akhirnya menikah setelah berhasil meyakinkan kedua orang tua Isamu san yang menginginkan anaknya menikah dengan sesama bangsawan. Mereka hidup nyaman dan memiliki sepasang anak kembar lelaki yang tidak kalah berisik dengan usaha kaiseki ryouri yang akhirnya terpaksa gulung tikar karena kesulitan memperoleh bahan pangan dan keluarga mereka bisa hidup berkecukupan dengan melanjutkan usaha keluarga Nagakura. Bukan sebuah masa menyenangkan untuk hidup karena harus melewati dua perang besar, Jinnie menyimpulkan. Ia melihat keluarga dan teman-teman dekatnya satu demi satu meninggal. Ia bahkan belum sempat melihat wajah cucunya. Namun, walau berambut hitam dan memiliki sepasang mata cokelat, Jinnie Silverstein dan Cole Oxlade masih mengingat kisah mereka berdua. Tidak ada yang lupa dan dilupakan di sini. “Aku tidak tahu apa yang bisa disebut bahagia,”—kematian yang membuatmu berhenti melihat perang? Momen di mana dia akhirnya bisa menikah dengan Cole? Kisah mereka yang normal? Atau—”tapi ... aku puas.” Emma tampak meminta penjelasan. Maka, Jinnie melanjutkan. “Aku kira aku harus mati, lalu terlahir lagi, lalu mati lagi entah berapa kali lagi sampai kita tiba pada waktu di mana aku dan dia ingat semuanya. Namun, penantianku lebih singkat dari apa yang kuduga.”
248
Antologi 1820
“Baiklah.” Ia menanggapi Jinnie dengan begitu sederhana. Akan tetapi, Jinnie sendiri bisa melihat ada senyum tipis di wajah Emma. “Jadi, kuanggap kau sudah memutuskan mengenai kehidupanmu selanjutnya?” “Ya, tentu.” Jinnie mengangguk mantap. Langkahnya begitu yakin saat ia melangkah menuju ke pintu perak. Seperti namanya—Silverstein. “Dan aku berharap, dia akan memilih pilihan yang sama.” Emma terkekeh. “Let’s see.” *** Rosalie pernah berkata kalau Year 10 akan penuh dengan cobaan. Dan Jinnie tidak pernah menyangka kalau neraka akademik itu memang benar adanya. Jinnie tidak henti-hentinya mengetuk meja dengan cemas, sampai-sampai Einar yang duduk di sampingnya menjentik Jinnie dengan ujung pensil dan membuatnya terkejut. “Aduh!” “Diam, makanya.” Sebagai balasan, Jinnie hanya meninju pelan lengan Einar. “Kamu tidak tahu bagaimana rasanya selalu mengkhawatirkan nilai, Einar. Jadi, kamu yang diam.” Pemuda itu berusaha menyembunyikan senyumnya. Kawannya ini memang mungkin salah satu anak yang paling dikenal di angkatan. Namun, bukan berarti gelar itu serta-merta membuat nilai Aegina Silverstein terangkat. Einar tahu kalau gadis ini rajin. Akan tetapi, ada banyak mata pelajaran yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan rajin saja. “Baiklah.” Satu per satu siswa dipanggil oleh Mrs. Humphrey dan gerak-geriknya yang lambat membuat Jinnie semakin tidak sabaran. “Masih lama, ya?” tanyanya. “Mungkin. Aku pun belum dipanggil.” “Urgh.” Jinnie mengerang, “Untuk apa, sih, kamu melihat nilaimu? Bukannya sudah pasti minimal dapat B+?” “Yeah? Menurutmu begitu?” Einar berusaha untuk tetap kalem, tetapi dipuji begini membuatnya senang juga. Jinnie tahu hal ini dan menyeringai tipis saat melihat reaksi pemuda itu. “Kalau kau? Apa ekspektasimu kali ini? B-?” 249
Auf Wiedersehen
“I wish I could! But, no,” timpalnya. Kesal dengan lagak Einar yang sekonyong-konyong jadi besar kepala. “Aku sudah bersyukur dapat C-. Dan tidak,” ia memperingatkan Einar yang tampangnya mulai menyebalkan, “simpan ejekanmu, Bro. Aku tahu kalau kamu Tuan Sempurna yang tidak pernah dapat nilai di bawah B.” “Tidak perlu nilai jelek pun, aku punya segudang ejekan untukmu, Silverstein,” balas Einar jumawa. “Tapi lihat,” ia menyikut Jinnie, “sepertinya itu namamu yang dipanggil.” Pandangan Jinnie seketika berpindah ke arah Mrs. Humphrey yang tampak menanti dengan wajah senewen. Celaka, pikir Jinnie. Namun, dia berusaha bangkit perlahan dari kursinya tanpa berusaha ambil pikir akan tatapan anak-anak sekelas yang tertuju padanya. “Anda memanggil, Mrs. Humphrey?” tanya Jinnie takut-takut. Gurunya itu hanya memandang Jinnie dengan tatapan dinginnya yang biasa. Tangannya kemudian menyerahkan selembar kertas pada Jinnie yang segera dikenali gadis itu sebagai kertas ujiannya. “Belajar lagi lebih keras, Miss Silverstein.” Jinnie hanya bisa mengangguk lemah sebagai jawaban. Namun, saat ia hendak kembali ke kursinya, tangan Mrs. Humphrey menghentikan langkahnya. “Dan bicara soal belajar.” Wanita itu mulai bicara dengan suara keras dan meminta perhatian dari murid di kelas, “Aku berpikir untuk membuat tim belajar untuk kelas ini. Karena yang mendapatkan nilai sempurna dan nilai jelek sama banyaknya, sepertinya akan menjadi kesempatan untuk sama-sama belajar saat kita memasangkan satu sama lain, bukan begitu?” Apa? Jinnie terbengong-bengong mendengarkan penjelasan itu. Ia memandang seisi kelas dengan bingung dan mencari-cari respons dari Einar yang ternyata sama bingungnya. Pemuda itu hanya mengangkat bahu dari kejauhan sehingga Jinnie membeku di tempat. “Umm … Mrs. Humphrey, saya sudah punya tim belajar saya sendiri.” Ia mencicit pelan di sebelahnya. “Dengan Mr. Lennon, tampaknya?” tanya Mrs. Humphrey memastikan yang hanya dijawabnya dengan anggukan lemah yang lain. “Tidak, Miss Silverstein. Kita semua tahu kalau Mr. Lennon tampaknya, eh, tidak akan jadi tutor yang baik untukmu. Bagaimana dengan—” jeda, mendadak sebuah pulpen 250
Antologi 1820
melayang ke arah seorang pemuda yang memekik kesakitan dari barisan tengah karena dibangunkan dari tidurnya, “—Mr. Oxlade?” Oxlade tampak gusar dan Jinnie tahu bahwa itu bukanlah tatapan teramah yang ia lihat hari ini. Jinnie terus mematung selama beberapa saat, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. “Apa Anda yakin, Mrs. Humphrey?” “Seratus persen yakin. Memangnya kau tidak ingin lulus dari kelasku, Miss Silverstein?” tanyanya. “Uh ….” “Mr. Oxlade mungkin bisa membantu soal nilaimu yang menyedihkan itu, Miss Silverstein. Walau dia sering tidur di kelas.” Ia berkata dengan nada yang sesungguhnya tidak membuat Jinnie yakin. Namun, Mrs. Humphrey adalah guru dan dia cuma murid yang bodoh. Jinnie hanya bisa mengiyakan saja. Dengan isyarat tangan, Mrs. Humphrey menyuruh Jinnie kembali ke kursinya, hanya untuk kembali berbicara beberapa belas menit kemudian. “Perhatian, anak-anak! Karena waktu pelajaran kali ini masih tersisa beberapa menit, aku ingin anak-anak yang tadi kusuruh berpasangan untuk pergi ke tempat rekan mereka dan mulai belajar lagi untuk remedial minggu depan. Tidak, Mr. Southwark, aku tahu pasanganmu bukan Miss Russett!” Mrs. Humphrey menegur beberapa anak yang ogah-ogahan. Jinnie pun salah satu yang enggan untuk berpindah. “Well … kurasa, sampai bertemu nanti, Einar?” tanyanya. Einar mengangguk pelan dan Jinnie pun segera pindah ke sebelah Oxlade yang tadi ditunjuk oleh Mrs. Humphrey. Oleh karena tadi posisinya masih di depan kelas dengan suasana yang mencekam, Jinnie tidak begitu memperhatikan. Baru kali ini, saat jarak keduanya kurang dari setengah meter, Jinnie menyadari kalau Oxlade memiliki rahang tegas dan rambut acak-acakan yang rasanya minta diusap. “Uhhh, Oxlade?” “Yep?” “Boleh aku—?” Jinnie tidak melanjutkan perkataannya dan hanya menunjuk kursi kosong di sebelah Oxlade. Untungnya Oxlade adalah seorang lelaki peka. Ia pun mengangguk kecil dan mendorong kursi itu mendekat ke Jinnie. “Tentu, silakan.” 251
Auf Wiedersehen
Lalu hening. Oxlade tampaknya bukan lelaki yang senang bicara, tidak seperti Nolan dan Mark. Akan tetapi, bukannya Jinnie keberatan. Toh, bicara dengan Einar Lennon juga tidak ada bedanya dengan bicara ke tembok. Namun, di luar dugaan, justru Oxlade-lah yang memecah keheningan di antara keduanya. “Jadi, apa yang mau kau pelajari?” “Banyak!” Jinnie spontan menjawab dan terkejut akan refleksnya sendiri. “Uh, tapi … ayolah, can’t we just take it easy?” Oxlade tersenyum geli saat mendengar permohonan gadis ini. “Oke, bagaimana kalau perkenalan. Siapa namamu?” Senyum ikut tersungging di wajah Jinnie, seolah tertular oleh senyuman Oxlade. “Aegina Silverstein. Tapi, panggil saja Jinnie, oke? Terlalu banyak Silverstein di sekolah ini.” *** Ah, masa? Cole tidak terlalu peduli dengan kehidupan sosial di sekolah mereka sehingga awalnya tidak paham apa yang gadis ini bicarakan. Namun, kalau diingat-ingat, mereka pernah punya presiden siswa bernama …. “Oh.” Cole paham sekarang. Sepertinya Jinnie masih kerabat dekat dengan semua lelaki dan perempuan Silverstein yang ada di sekolah ini. Dia mengerti. Namun, dia memutuskan untuk tidak mengungkit hal yang jelas-jelas tidak disukai si Jinnie ini. “Baiklah, kalau begitu panggil saja aku Cole. Karena tahun depan Oxlade kedua akan masuk ke sekolah ini, begitu pula dengan Oxlade ketiga pada empat tahun yang akan datang.” Tawa Jinnie yang berderai membuat suasana hatinya terangkat. Dan, entah apa yang tengah merasukinya pada saat itu, Cole mendadak memberanikan diri untuk mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke hadapan Jinnie Silverstein yang sekarang tengah kebingungan saat dihadapkan pada smartphone dengan wallpaper Stadion Wembley. “Uhm, jadi, Jinnie ….”
252
Antologi 1820
Cole yakin kalau dia sudah gila. Pikirannya sudah tidak waras akibat terlalu banyak menelan mentah-mentah soal mekanika fluida. Ia sudah sinting. Akal sehatnya hilang ditelan udara yang bergerak pada musim di mana dedaunan pohon ek mulai meranggas. Ia tahu kalau dia sudah konyol, tetapi tetapi tetapi— “... apa kau punya akun Spotify?� i Sekali lagi, tawa Jinnie meledak. ****
i
Terinspirasi dari thread modern highschool AU: bit.ly/JinnieCole-SpotifyAU
253
What a way to go, They have no fear ~ “Apa yang kau lakukan?!” “Memasak sarapan?” “Merlin, lalu kenapa isinya asap semua?” “Aku juga tidak tahu! Sumpah, aku hanya memasukkan cokelat ke dalam wajan!”
Antologi 1820
Ditulis oleh AegIna sIlversteIn Asger strIckland
I
B
agaimana pun juga itu adalah sebuah hari yang cerah di awal musim panas. Sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah kanopi pohon di Hutan Hart terasa hangat dan menenangkan saat menerpa lengan mereka. Pandangan Asger mengabur dan dia sendiri bisa merasakan suaranya mengecil, gugup, dan ‌ hilang. Akan tetapi, dia tahu kalau gadis yang tengah ia pegang tangannya kini tengah merasakan hal yang sama karena yang jatuh di atas punggung tangannya bukanlah tetesan embun, melainkan tangis. Di momen ini, semua sudah menantikan ciuman pernikahan yang sakral. Asger hendak maju, tetapi batinnya meragu sehingga dia pun hanya tertegun di 255
What a Way to Go, They Have No Fear
tempatnya berdiri, sampai ia merasakan deru napas Jinnie Silverstein mendekat padanya. “Tenanglah, Gerri.” Suara Jinnie terdengar bergetar, bahkan pada volume yang hanya bisa didengarnya sayup-sayup di tengah keramaian ini. Melihat bagaimana bibir Jinnie yang turut bergetar, Asger segera sadar bahwa gadis ini sama takutnya. Hampir ia mengembus napas lega, tetapi dalam jarak sepersekian detik yang dinanti para undangan, Asger bahkan tidak memiliki waktu. “Apa yang harus kulakukan?” bisiknya bingung. Tangan Jinnie memegang pipinya yang tanpa ia sadari terasa panas. Mungkin air mata karena pandangannya mengabur. Namun, ia melihat Jinnie yang tampak cantik dengan riasan wajah dan gaunnya, lalu menyadari gadis itu pun tengah menangis. “Aku pun tidak tahu.” Saat bibirnya bertemu dengan bibir Jinnie yang bergincu, Asger tahu kalau ini akan terlihat bodoh di hadapan hadirin. *** II Tawanya lolos dalam bentuk sebuah kekeh pelan tertahan. Ia tidak bisa lagi merasakan kakinya setelah sesorean digunakan berdansa. Kepalanya pusing, berat, sekaligus ringan akibat alkohol dan semua gelak tawa. Pada akhirnya saat tirai pertunjukan yang disebut ‘pernikahan’ telah ditutup, di kamar itu hanya tersisa dirinya dan Asger Strickland. “Apa?” Jinnie tersenyum tipis, tidak tahan untuk tak mengomentari Asger yang tampak bingung akan tingkahnya—berjalan mondar-mandir setengah melompat memutari kamar, menari-nari sendiri seperti orang gila—yang mungkin terlihat absurd setelah ia selalu mengeluh lelah. “Kau tidak capek?” tanya Asger heran. Jinnie menggeleng. “Tidak tahu. Tapi, kurasa aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin ... ‘kan aku akan meninggalkan kamar ini, seminggu lagi.” Jawaban itu membuat Asger terdiam sejenak. Baru pada momen itu dia mulai mengamati kamar ini, melihat kalau di samping dekorasi-dekorasi 256
Antologi 1820
berlebihan yang diprakarsai ego Mrs. Strickland dan Mrs. Silverstein, terdapat beberapa barang pribadi yang tampak selaras dengan ruangan, tetapi tidak sesuai dengan dekorasi pernikahan yang ada. Pandangannya tertuju pada sebuah pena perak berbentuk janggal yang ada di atas dipan, dipajang dalam kotak kaca. Seolah membaca pikirannya, Jinnie kembali bicara. “Itu pena muggle, Gerri. Buatanku sendiri. Hari ini rencananya akan kuberikan pada Cole, tapi—” “Dia tidak datang,” lanjut Asger. Rekan Ravenclawnya itu bukan salah satu kawan karibnya. Namun, bukan begitu kasusnya untuk seorang Jinnie Silverstein. “Maaf.” “Untuk?” “Semuanya. Ibuku. Ibumu.” Jinnie hanya tersenyum dari tempatnya duduk di pinggir kasur. “Jangan. Kalau begitu aku juga harus minta maaf padamu.” “Tapi kau dan Oxlade ….” “Tidak apa-apa!” sergah Jinnie, tampak gusar walau berusaha menutupi dengan senyum. Asger jadi tidak ingin bicara lagi dan Jinnie—yang bersikeras mempertahankan senyum—akhirnya menghela napas. “Sudah malam, Gerri. Kamu mau tidur?” “Di mana?” “Di sebelahku. Hanya ada satu kasur di sini.” *** III Tampaknya baru kali itu Asger menunggang hippogriff di langit malam berbintang. Rasanya dingin dan sepi. Harapannya hanya satu: agar hippogriff tua milik Silverstein ini tidak mendadak sempoyongan saat membawa dua individu dewasa di punggungnya. “Gerri ….” “Ya?” Kalau kau menyuruhku mengendarai hippogriff, aku masih belum berani. Akan tetapi, bukan, bukan itu yang hendak ditanyakan Jinnie. “Bagaimana caranya menganggapmu sebagai suamiku?” “Y-Ya? Apa?” 257
What a Way to Go, They Have No Fear
“Aku ingin jadi istri yang baik, untukmu. Tapi … semua ini terlalu tibatiba.” “Dengan ibumu yang mempercepat semuanya, ya. Aku juga bingung, Jinnie.” “Lalu aku harus bagaimana?” Ditanya begitu pun …. “Aku juga tidak tahu.” “Tapi apa kamu tetap temanku?” Asger mengeratkan pegangannya. “Tentu.” Kalau untuk yang satu ini dia masih bisa berjanji. *** IV Seorang pemuda menunggu di rusuk jalan. Beberapa menit lalu, ia mulai mengamati semak liar yang bersemi di kaki sebuah pohon ek. Namun, kegiatan tersebut lekas saja membuatnya bosan sehingga dia kembali mondar-mandir sambil sesekali melirik ke setapak yang mengular ke arah Gereja Santo Andrew. Di Appleby, semua orang memanggil pemuda tersebut dengan julukan ‘Putra Pak Tua Hagen’. Akan tetapi, beberapa orang—seperti Asger Strickland, misalnya—memutuskan untuk memanggilnya dengan nama Hjalmar. Usianya baru delapan belas tahun, tetapi tak seorang pun percaya lantaran Hjalmar selalu terlihat seperti seorang bahariwan yang sudah mengecap asam dan garam—baik secara harfiah maupun figuratif. Hjalmar mengeluarkan masing-masing tangannya dari dalam saku, baru saja akan bersedekap, ketika dilihatnya si majikan melangkah meninggalkan Gereja Santo Andrew dalam langkah cepat. “Maaf,” kata majikannya, Asger Strickland, sambil menarik keluar sebuah buku catatan kecil dari dalam sakunya. Sejatinya Hjalmar tak pernah paham mengapa tuannya selalu mengucapkan ‘maaf’ dan ‘permisi’ kepadanya. Toh sudah tugasnya untuk patuh; toh dia tak mungkin mencak-mencak dan mengamuk karena tuannya baru saja membuatnya menunggu terlalu lama. Kendatipun heran, pemuda itu segera saja
258
Antologi 1820
membuntuti tuannya yang melangkah cepat sambil mencatat sesuatu pada buku kecilnya. “Sekarang kita ke mana, Tuan?” tanya Hjalmar. London mestinya tak jauh lagi. Paling tidak, itu menurut Tuan Fisker. Kereta yang lain, yang mestinya mengangkut beberapa perabot kiriman Mabel Strickland dan barang-barang pribadi putranya, harusnya sudah tiba sedari tadi pagi. Tuan Fisker mungkin bukan orang yang menyenangkan untuk diajak mengobrol, tetapi Hjalmar pikir tak ada salahnya untuk segera ke London seperti saran Tuan Fisker. “Mencari kado ulang tahun,” jawab Asger sambil menyelipkan buku dan pensilnya ke dalam saku, lantas tersenyum malu kepada Hjalmar. “Kuharap kita bisa menemukan sesuatu di alun-alun.” “Ulang t—oh, ya, tentu.” Hjalmar mengangguk pelan, sebelum kemudian mengernyit serius. “Saya pikir yang tadi itu untuk kado ulang tahun?” “Yang mana?” “Anda tahu ... semua catatan tentang gereja-gereja ini,” jawab Hjalmar enteng. “Yang Anda lakukan sejak kita meninggalkan Appleby.” “Ah, itu ….” Asger menggantung kalimatnya di udara, kemudian berdeham lirih. Ia menggaruk pucuk hidungnya yang tak gatal, yang berbintik, dan bersemu merah jambu. “Itu untuk … untuk catatan pribadi,” lanjut Asger pelan sambil menyelipkan kembali tangannya ke dalam saku celana. “Kalau-kalau kami ingin mengunjungi gereja-gereja itu sewaktu-waktu.” Hjalmar memperhatikan tuannya, bertanya-tanya apakah memang demikian sebaiknya seorang pria memperlakukan seorang wanita. Pak Tua Hagen, ayah Hjalmar, tak pernah melakukan hal-hal semacam ini untuk istrinya. Namun, adilnya, si istri memang bakal marah besar seandainya mengetahui Pak Tua Hagen malah keluyuran mengunjungi gereja dan bukannya mencari nafkah. “Anda menyiapkan terlalu banyak hadiah untuknya, Tuan Asger,” celoteh Hjalmar. Asger mencoba untuk tersenyum. Namun, rupanya hal tersebut lebih sulit daripada yang ia perkirakan. Jatuhnya, si bungsu Strickland itu malah meringis. 259
What a Way to Go, They Have No Fear
“Aku belum membelikan apa pun untuknya,” gumam Asger lirih. “Dan sejauh ini dia baik sekali—aku jadi tak enak.” “Tak enak?” Hjalmar membeo heran—tak pernah sekali pun didengarnya istilah tersebut keluar dari mulut bapaknya. “Kuharap Anda bertemu dengan ayahku, Tuan.” “Pak Tua Hagen? Oh, aku pernah bertemu dengannya.” Asger mengerjap, senyum gembira terbentuk di wajahnya. “Dia baik sekali—selalu sabar mengajariku bikin kerajinan dari kayu.” “Dia butuh uang ….” “Selalu sehat ya, Pak Tua Hagen ini.” “Wasirnya sering kumat.” “Terakhir bertemu dengannya, gaya rambutnya nyentrik sekali—nyaris tak kukenali.” “Tukang cukur kami dendam kesumat gara-gara Ayah dan Ibu membiarkan domba kami keluyuran.” “Oh, maaf .…” Asger mengerjap, lantas menoleh ke arah Hjalmar dengan air muka prihatin. “Apakah normalnya domba tidak keluyuran?” “Tidak, bukan begitu ….” Hjalmar menahan diri untuk tak mengembuskan napasnya. “Kami sebaiknya membangun pagar dan macam-macam lagi.” “Oh,” gumam Asger pelan. “Aku tak pernah memelihara domba.” “Tuan,” panggil Hjalmar pelan, “bersyukurlah Anda tidak harus memelihara domba.” Langkah mereka melambat ketika mereka merapat ke alun-alun kota. Hiruk-pikuk memaksa mereka semakin menepi, menjauh dari lalu-lalang pelbagai macam kereta kuda yang memenuhi jalan. Sebuah butik yang sepi memajang berbagai macam gaun musim panas, mantel-mantel beludru, dan payung-payung warna-warni. Manusia berjebahjebah memenuhi toko-toko kelontong. Ada sebuah toko barang antik yang agak sepi, termenung di pojok jalan—tepat di seberang sebuah toko sepatu. Ada pula sebuah toko yang menjual berbagai macam biola dan gitar. “Kado macam apa yang Anda cari, Tuan?” tanya Hjalmar. Pandangan Asger bergerak dari toko ke toko, lantas berlabuh pada seorang wanita paruh baya bergaun kuning kenari yang berdiri di balik sebuah kios 260
Antologi 1820
mungil. Barangkali gaun kuning kenari itu yang menarik perhatian Asger, yang lekas saja membuatnya teringat pada si gadis yang hendak berulang tahun; barangkali bunga-bunga segar yang dipajang di kios tersebut yang menarik perhatiannya—mawar, aster, serta berbagai macam bunga ungu dan biru yang tak Asger ketahui namanya. “Ulang tahunnya masih … eh, dua hari lagi,” gumam Asger pelan. “Bunga tak akan tahan selama itu, kurasa.” Hjalmar mengikuti arah pandangan tuannya. “Atau Anda bisa belikan dia bibit bunga,” usul Hjalmar. “Atau belikan bunga-bunga yang masih dalam pot.” “Itu … itu ide bagus,” balas Asger. “Menurutmu baiknya bunga apa?” “Bunga yang menurut Anda cocok buatnya saja, saya pikir.” *** V Lantai kayu berderit-derit dan anak tangga menggugurkan debunya; derap langkah kasar meramaikan sebuah rumah yang bertengger di sudut London. Bunyi tersebut seringnya berakhir dengan bunyi sesuatu diturunkan atau embusan napas yang panjang nan lelah. “Tidak, tidak—biarkan yang itu tetap di sini.” “Bagaimana dengan yang ini?” “Di mana Anda menginginkan lukisan itu, Nyonya?” “Di at—HACHIII!” “Bawa ke atas. Reaves! Mana Reaves? Re—oh, di sana kau. Bantu Josh dengan peti yang itu,” teriak seorang pria bermantel hijau ganggang sampai menunjuk ke sana-sini. Pria itu menoleh ke arah perempuan di sampingnya, lantas tersenyum sopan. “Tuhan memberkatimu.” Jinnie Silverstein menyeka hidungnya yang gatal, kemudian nyengir jenaka mendengar ucapan tersebut. Gadis itu menggeleng cepat ketika pria tersebut mengeluarkan selipat saputangan dari saku mantelnya. “Ooh, aku baik-baik saja, Sir!” tanggap gadis itu dengan senyum terbaiknya ketika pria itu mulai merengut khawatir. “Cuma ... yah—” 261
What a Way to Go, They Have No Fear
“Debu-debu ini?” “Sungguh, lebih banyak daripada yang kubayangkan,” ujar Jinnie dengan salah satu tangan menempel di hidungnya. Matanya memandang sepasang pemuda yang menggotong sebuah peti kayu—Jinnie berani bersumpah dia mendengar sesuatu berkelontang rendah di dalam peti tersebut. “Ah, itu peti terakhir, Nyonya,” balas si pria bermantel hijau ganggang. Sudut-sudut bibir Jinnie berkedut. Rasanya aneh mendengar seseorang memanggilnya ‘Nyonya’. Sejauh yang mampu diingatnya, semua orang selalu memanggilnya ‘Nona’. Namun, sekarang tidak lagi, bukankah? “Baiklah,” kata si pria bermantel hijau ganggang selepas memperhatikan anak buahnya mulai berderap menuruni tangga. “Saya rasa itu sudah semuanya, Nyonya—eh, adakah yang lain?” “Oh.” Jinnie mengerjap, kemudian segera memperhatikan sekelilingnya. Beberapa sofa dan perabot masih ditutupi kain-kain putih berdebu tebal. Ada satu-dua peti di sudut-sudut ruangan, tetapi peti-peti tersebut memang dia pinta untuk diletakkan di sana lantaran dia tak tahu betul apa isinya. “Sempurna, Mister ... eh ....” “Fisker, Nyonya.” “Astaga, maaf sekali, saya memang pelupa. Sisanya bisa kami kerjakan sendiri kok!” Gadis itu mengangguk mantap. Seulas senyum tipis muncul di wajah Tuan Fisker, sebelum kemudian pria itu mengangguk sopan dan membiarkan nyonya muda itu mengantarnya ke luar. “Kalau Anda butuh bantuan ….” “Istirahatlah, Tuan, sungguh,” kata Jinnie memperhatikan pria itu. Gadis itu menoleh ke arah para pekerja yang lain, yang mulai menyiapkan kereta kuda mereka untuk mangkir. “Lagi pula, mereka terlihat sangat lelah, Sir.” “Sudahkah Anda mendapat kabar dari Tuan Asger?” tanya Tuan Fisker di ambang pintu. “Belum, tapi dia bilang kalau dia akan sampai sebelum hari gelap,” kata Jinnie ketika Tuan Fisker menuruni undakan kecil di depan pintu. “Dia selalu menepati janji kok. Jangan khawatirkan kami, Sir! Khawatirkanlah pekerjapekerja Anda—mereka layak mendapatkan mandi air hangat dan tidur nyenyak!” 262
Antologi 1820
Tuan Fisker terkekeh pelan mendengarnya. “Itu berlebihan, Nyonya—mereka agak payah hari ini,” celetuk Tuan Fisker. “Sampai jumpa lain waktu, Nyonya Strickland.” Aegina Silverstein—Strickland, sekarang—tahu bahwa dia mestinya membalas ucapan tersebut. Namun, gelombang kejut yang familier kembali menyapanya. Gadis itu—atau wanita itu, sejatinya—hanya mampu tersenyum, lantas mengangguk pelan. Ia berdiri terpaku di sana selama beberapa detik, memperhatikan keretakereta kuda tersebut bergerak meninggalkan tepi jalan. Bulu kuduknya meremang. Masih meremang ketika ia bergerak masuk ke rumahnya, menutup pintu di punggungnya, lantas bergumam lirih, “Nyonya Strickland?” Nyatanya satu purnama belum cukup untuk membuatnya terbiasa dengan panggilan tersebut. *** VI “Apa yang kau lakukan?!” “Memasak sarapan??” “Merlin, lalu kenapa isinya asap semua?” “Aku juga tidak tahu! Sumpah, aku hanya memasukkan cokelat ke dalam wajan!” “Memangnya apa yang akan kau buat?” “Sandwich cokelat favoritku, Gerri!” *** VII Butuh waktu cukup lama sebelum keduanya bisa menganggap rumah kecil dengan dua lantai, empat kamar tidur, dan kebun bunga di London itu sebagai rumah. Setelah insiden dibangunkan dengan asap mengepul dari dapur berkalikali, dikagetkan klakson kendaraan muggle, atau sekadar teriakan penjual koran,
263
What a Way to Go, They Have No Fear
entah mengapa pada hari itu Asger membiarkan saja Jinnie menyambut dengan sebuah pelukan dan ciuman di pipi. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Gerri?” Asger masih belum terbiasa membalas ciuman itu, terasa masih janggal baginya. “Baik, seperti biasa.” Jinnie menggandeng tangan Asger, menuntunnya ke ruang keluarga yang menampilkan sebuah perapian dengan api dingin. Aroma dari teh kamomil menguar di ruangan, di mana Jinnie segera duduk di sofa beludru dan menepuknepuk ruang kosong di sebelahnya. “Ceritakan padaku, Gerri? Kumohon?” Ia hanya menuruti permintaan istrinya dan menceritakan kesehariannya di Kementrian Sihir: Asger bercerita tentang anak magang yang menumpahkan ramuan ke atas tumpukan berkas mengenai amukan manticore di Leicester sehingga dia harus membantu membereskan sebelum atasannya mengamuk, tentang makan siang hari ini yang nyaris dingin sehingga membuatnya ingin cepat pulang, dan perihal lawakan-lawakan yang tidak ia mengerti mengenai kaum proletar. Kisah Asger selesai kurang dari setengah jam dan tatkala ia hendak memajukan badan dan menggapai cangkir tehnya, Jinnie sudah bersandar di pundaknya. Asger mematung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, Jinnie Strickland juga tidak berusaha untuk buka suara. Ia tetap diam di sana, membiarkan saja Asger dengan kekikukannya terdiam dan mencoba untuk perlahan meraih tehnya. Jinnie tersenyum, sebelum turut mengambil cangkirnya dan minum teh yang sama. Tiada suara sama sekali selama beberapa menit dan Jinnie yakin, Asger sudah merasa cemas. Jinnie menghabiskan tehnya terlebih dahulu. “Aku selesai!” katanya senang. “Y-Ya? Baguslah ….” Asger sendiri berpikir, barangkali wanita ini kehausan. Toh, tehnya panas saat tadi dia minum dan Asger tidak yakin dia sanggup menghabiskan secepat itu. Ia masih berencana untuk menyesapnya perlahan, tetapi Jinnie sudah berpindah posisi dan meletakkan kepalanya di atas paha Asger. Hampir setiap hari, ada saja hal yang dilakukan Jinnie untuk membuat pipinya terasa panas. Bintik-bintik matahari yang tersebar merata itu agak tersamarkan saat Asger tersipu malu, pikir Jinnie. Ia sering memikirkan berbagai 264
Antologi 1820
kelebihan dan kekurangan suaminya. Akan tetapi, selalu saja tiba pada sebuah kesimpulan: Asger Strickland perlu lebih percaya diri. Selain perlu waktu untuk membiasakan diri dengan rumah barunya yang jauh dari kesibukan khas rumah Silverstein dan bau asap pabrik yang kadang tercium dari hidungnya, Jinnie juga masih perlu waktu untuk belajar mencintai Asger. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan mendadak setelah putusnya hubungan dengan keluarga Harkness dan keluarganya yang tahu mengenai Cole Oxlade si berdarah campuran dan miskin. Jinnie tidak pernah menyangka, kalau dia akan menyandang marga Strickland, bukan Bane, Harkness, Silverstein, Horsey, Lennon, Blackburn, dan … Oxlade. Padahal dia sempat berpikir kalau Aegina Oxlade terdengar keren. “Cole, sepertinya keren kalau anak kita punya rahang yang sama seperti punyamu!” “Ha! Anak? Memang orang tuamu akan mengizinkanmu menikah denganku?” “Mengapa tidak? Kamu ‘kan menakjubkan!” “Bilang itu ke Malchus Bane. Dia jadi prefek, aku hanya murid biasa.” “Tapi sekarang kamu yang jadi pacarku.” “Tidak ada yang menyuruhmu jadi pacarku.” “Uh, baiklah! Tapi, aku ingin berandai-andai dulu.” “Bagaimana?” “Kalau kita punya anak, namanya siapa?” “Apa?!” “Kalau anak kita perempuan, mari namakan Farah.” “Sayang, kau bicara ap—” “Lalu, tugasmu sekarang adalah menentukan nama anak laki-laki kita!” Farah Strickland tidak terdengar pantas, Jinnie berpendapat. Kejadian dengan Cole sudah lama berlalu, tetapi kenangan-kenangan tersebut selalu muncul selintas dalam momen yang tidak tepat. Sedih, tetapi Jinnie selalu berpendapat kalau yang sudah lalu, biarlah berlalu. Berdekatan dengan Asger tidak lagi membuatnya merasa canggung. Perlahan ia mulai sadar kalau Asger 265
What a Way to Go, They Have No Fear
lebih bisa diandalkan dari yang dia kira (sesekali Malchus masih berkunjung sebagai bala bantuan darurat, tentu saja) dan … yah, tampan. Ia memainkan ujung kemeja Asger yang sudah tidak keruan karena seharian dipakai bekerja. Bau Asger sudah terasa sebagai salah satu harum yang harus ada di kehidupannya sekarang. Rasanya aneh saat Jinnie tidak mendapati Asger sehari saja. Diperhatikannya bagaimana gerak-gerik Asger yang merasa tidak nyaman karena ditatap terus menerus dan Jinnie merasa itu manis. “Gerri, cium aku.” Asger yang baru saja menghabiskan tehnya, terbelalak mendengar permintaan Jinnie. “Se-sekarang?” “Iya,” jawab Jinnie yang sekonyong-konyong menarik Asger mendekat padanya. Mau tidak mau, Asger menuruti permintaan itu dan mendaratkan sebuah ciuman singkat. Lantas, keheningan pun melanda dan Jinnie menemukan dirinya asyik menatap kedua mata Asger yang lebih biru daripada dugaannya. Ia terpesona, penasaran, dan terperangkap di dalam sana hingga tanpa sadar Jinnie berbisik, “Apakah kita masih teman?” “Apa maksudmu?” Asger tidak paham dengan pertanyaan Jinnie yang di luar dugaan. Akan tetapi, ia tidak mau berprasangka lagi. Jinnie terdiam sesaat, kerutan di dahinya menunjukkan kalau ia tengah menyusun kata-kata. Setelah detik-detik penuh kebingungan, akhirnya Jinnie pun perlahan mulai bicara. “Aku tahu kalau dulu kamu sudah berjanji, Gerri. Tapi … kurasa aku tidak bisa.” “Tidak bisa?” “Tidak bisa jadi temanmu lagi.” “Mengapa?” Gadis itu tidak menjawab. Jinnie hanya memalingkan muka, telinganya sudah semerah kepiting rebus. “Aku … tidak mau lagi.” Tangan Jinnie merangkul pinggang Asger sampai pada batas yang bisa diraihnya. Tentu, ini mengundang tanda tanya, tetapi Asger hanya membiarkan Jinnie. Menunggu. 266
Antologi 1820
“Ibuku dan ibumu sudah berulang kali meminta cucu dariku, Asger.” Asger tidak mengerti ke mana pembicaraan ini akan bermuara. “Lalu?” “Kurasa … aku sudah siap.” Sekarang, ganti wajah Asger yang berubah semerah-merahnya. ****
267
LysergIc ~ “Hei, Leighton, bagaimana kabarmu? Benda yang kau ceritakan waktu itu, apakah sudah jadi?” Senyum dingin berubah menjadi garis yang menjanjikan neraka. “Aku ingin mengajakmu bersenang-senang, tertarik?”
Antologi 1820
Ditulis oleh genesIs conway
H
idup tidak selalu berakhir bahagia, tidak pernah seindah dongeng yang dulu sering dibacakan oleh Grand Mama. Gene sudah paham bahwa tidak ada sihir yang bisa membuat semuanya sempurna sejak dirinya mengalami berbagai kejadian yang tidak menyenangkan dari masih balita. Itu sebabnya dia tidak memerlukan mimpi lain, selain keberadaan papa dan Angie di dekatnya. Di sebuah bar yang sederhana, beberapa anak muda berkumpul. Gene tidak pernah menyangka bahwa selama bersekolah dia bisa mendapatkan teman selain Angie, mengingat saudarinya yang begitu dia sayangi itu mendapatkan tempat di asrama yang berbeda dengan asramanya sekaligus asrama papa 269
Lysergic
mereka. Bukankah itu menyebalkan? Sampai hari ini Gene masih tidak habis pikir apa yang membuat mereka berdua bisa berbeda, padahal mereka berasal dari satu ayah dan satu ibu. “Gene, bagaimana kabar ayahmu?” tanya Lennon. “Masih seperti biasa.” Gene mengangkat gelas brandy. “Penyembuh masih tidak bisa menemukan apa yang salah.” Sudah hampir dua bulan ayahnya terbaring tidak sadarkan diri di St. Mungo setelah diserang oleh seseorang meskipun tidak terdapat luka fisik yang terlalu menakutkan. Hidup ayahnya seperti dongeng seorang putri yang dikutuk untuk tidur selama-lamanya karena tidak bisa diselamatkan oleh penyihir atau pangeran. *** Dia milikku! Mata itu, bibir itu, wajah itu, semuanya milikku! Dia tidak tahu kalau sejak pertama dia dibawa masuk ke keluarga Conway, aku sudah memilikinya. Oh, aku ingat bagaimana anak kecil yang masih memakai seragam sekolah itu mengekor di belakang Lucas tanpa merasa takut atau canggung. Aku tahu sejak pertama melihatnya, aku harus memilikinya. Tujuh tahun aku menunggu sampai dia lulus, sampai dia matang dan siap, aku setia menunggu sampai dia bisa menjadi milikku. Akan tetapi, lihat yang terjadi! Lihat apa yang dia lakukan! Dia justru membawa pulang anak perempuan lain! Akan tetapi, anak laki-lakinya mirip seperti dirinya. Untuk kali ini, aku akan memaafkannya. Semua orang pernah berbuat salah, ‘kan? Kata orang, cinta harus bisa saling memaafkan. Maka, aku memaafkanmu selama sebelas tahun ini, tetapi aku tidak akan membiarkanmu melakukan kesalahan yang sama. Sekarang tidurlah, bermimpilah tentangku. Jangan khawatir, cintaku, aku yang akan merawat anakmu. ***
270
Antologi 1820
“Kau jadi makin kurus,” komentar Leighton. Gadis Colt itu menggerakkan kipas di tangannya dengan perlahan. “Lihat tulang pipimu semakin kelihatan. Kau perlu makan.” Ingin rasanya Gene tertawa. “Benarkah? Aku tidak merasakan perbedaan.” Memangnya apa yang bisa dilakukan anak umur tujuh belas tahun yang baru saja lulus sekolah? Conway muda menyisir helaian rambut pirang platinumnya ke belakang agar tidak jatuh menutupi mata. Jika dibilang dia tidak frustrasi, tentu saja itu bohong. Baru saja dia lulus, mendadak semua tanggung jawab keluarga harus dia pikul, belum lagi penyerangan pada sang ayah membuat Grand Mama dan Angie terpukul. Jika dia tidak bisa berdiri tegak, apa jadinya keluarganya saat ini? “Kalian tahu, ternyata mengurus bisnis itu susah.” Gene tertawa geli. “Setiap pagi aku sudah harus bangun dengan setumpuk pekerjaan. Kalau papa sudah sadar, aku akan langsung kabur masuk militer sekalian dan tidak akan pulang selama beberapa tahun.” Walau berat harus meninggalkan keluarganya, Gene tahu kewarasannya masih lebih penting. “Untung Pamanku bisa sabar mengajariku.” Shaquilla meletakkan gelasnya. “Menurutku kau bisa membuka klub atau restoran yang bagus. Bakat bisnis itu menurun, lho.” “Terima kasih, tapi tidak, terima kasih.” “Aku lumayan menyukai teh yang kau buat ini,” komentar Annemarie. “Aku setuju,” Angie mendadak ikut bicara, “kalian tahu, bakat bisnis memang menurunnya ke laki-laki di keluargaku.” Rasanya Gene ingin menepuk jidatnya. “Jangan kalian juga.” Tolong ingatkan kenapa dia mau menemani para perempuan ini. *** Walau berat, pada akhirnya Gene tetap harus mengambil alih semua kepemimpinan ayahnya agar bisnis yang dirintis tidak goyah. Seperti kata Shaquilla, bakat bisnis memang menurun. Baru dua bulan Gene mengambil alih, dia sudah bisa menguasai keadaan dan meningkatkan profit. Justru hal ini
271
Lysergic
membuat kepalanya pusing dan stres berat. Mendadak semua perhatian terarah padanya, rekan-rekan bisnis papanya juga mulai mendekatinya. Malam itu, Gene yang sedang bersiap untuk pergi ke klubnya menerima sebuah berkas dari pegawainya. Berkas itu berisi informasi penting. Senyum yang tadinya melebar di wajahnya perlahan berubah menjadi garis tipis yang dingin. Gene bangga pada penguasaan emosinya selama ini, tetapi berita ini sungguh tidak bisa lagi dihadapi dengan tenang. “Kapan?” Pegawainya menelan ludah berusaha tetap tenang. “Seminggu yang lalu. Sekarang Sam dan timnya sedang berusaha menyelidiki lebih dalam.” Gene mengetukkan jari ke permukaan meja perlahan, sementara otaknya berputar cepat. “Bawa dia padaku. Hidup-hidup.” “Siap, Tuan!” Gene tidak mengangkat kepala sampai suara pintu tertutup terdengar. Detik demi detik berlalu hanya ditemani suara dari jam dinding. Tangan Gene mendadak bergerak cepat meraih pisau pembuka amplop surat lalu menancapkannya ke foto dalam berkas tersebut. Postur tubuhnya masih tenang seperti semula, hanya kedua matanya yang semakin dingin menatap satu informasi yang ditandai dengan lingkaran merah. 2018, 10 April ... hasil pemeriksaan CCTV ... menyusup…. Cairan beracun…. Aaron Conway menjadi koma…. Semakin dia membacanya, semakin marah hatinya. Satu hal yang dia pelajari dari Papa selama ini adalah tidak ada maaf bagi orang yang berani menyentuh keluarganya. Orang ini berbahaya bukan hanya untuk Papa, tetapi juga untuk mereka semua. Satu hal yang harus dilakukannya adalah menyingkirkan orang itu secepat mungkin sebelum masalah menjadi tidak terkendali. Gene menggerakkan jemari untuk menyisir rambutnya dengan frustrasi dalam usaha menenangkan diri. Tenang, dia harus tetap tenang. Papa selalu berkata semua hal tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Banyak hal yang bisa dia lakukan untuk membuat orang itu menyesal sudah bermain api.
272
Antologi 1820
Menangkapnya bukan masalah sulit, tetapi apa yang harus dia lakukan setelah itu? Tangannya mengambil ponsel dan menekan satu nomor. Gene memainkan foto yang kini sudah tercabik sambil menunggu gadis itu mengangkat panggilannya. “Hei, Leighton, bagaimana kabarmu? Benda yang kau ceritakan waktu itu, apakah sudah jadi?” Senyum dingin berubah menjadi garis yang menjanjikan neraka. Oh, dia akan menikmati balas dendamnya. “Aku ingin mengajakmu bersenang-senang. Tertarik?” *** Aku tahu apa yang ingin kau lakukan, kekasihku! Tenang saja, aku tidak akan lari karena justru aku yang akan menangkapmu. Aku akan menangkapmu, mengurungmu, memilikimu. Dunia ini tidak layak menerimamu. Hanya aku, aku dan aku saja! Oh, tanganku gemetar membayangkan bisa menyentuhmu tak lama lagi. Malaikat kecilku yang sudah tumbuh dewasa, aku penasaran suara seperti apa yang akan keluar dari bibirmu yang manis itu. Aku penasaran. *** Suara musik dan lampu yang remang-remang memberikan nuansa intim ke dalam Divine, salah satu klub eksklusif yang dimiliki keluarga Conway. Gene mengamati tubuh yang saling meliuk dan bersentuhan di lantai dansa dari balik kaca di lantai dua. Mereka bisa bersenang-senang seolah tidak ada beban apa pun di dunia ini, begitu mudahnya tenggelam dalam kesenangan sesaat demi melupakan semua masalah. Denting gelas kristal memanggil Gene agar kembali fokus pada tamu yang sedang ditemuinya. Orang-orang yang bisa masuk ke ruang kerjanya di lantai dua Divine bukan tamu biasa, melainkan lingkaran khusus berisi orangorang kepercayaannya. “Aku suka ini.” Tristan mengangkat gelas kristalnya. “Dom Perignon.”
273
Lysergic
“Kau selalu suka Dom Perignon,” komentar Leighton. “Lidahmu tidak bisa merasakan yang lain.” Gene duduk di sofa yang membelakangi kaca, menghadapi beberapa temannya yang asyik bercanda. Tidak ada orang lain di sini, jadi dia tidak perlu berpura-pura menjadi orang baik untuk menarik simpati. Teman-temannya pun tahu bagaimana busuknya isi hati Gene. “Aku baru saja mendapat berita dari Bethany kalau ayahmu sempat sadar. Dia mencoba meneleponmu tapi tidak bisa,” ujar Leighton mendadak. Gadis itu tersenyum puas melihat Gene yang tadinya memasang wajah tenang, sekarang seperti bisa melompat kapan saja ke rumah sakit. “Kondisinya sudah stabil, tenang saja. Beruntung kita punya teman dengan tangan dokter surgawi seperti Bethany.” Gene hanya menganggukkan kepalanya puas. Memiliki orang-orang yang bisa diandalkan memang harus dipersiapkan sejak dini agar lingkaran mereka kokoh. Dia berniat mengirimkan sejumlah uang untuk dokter muda itu dalam membantu kegiatan sosialnya. Nyawa ayahnya jauh lebih berharga dari uang sebanyak apa pun. Sekarang satu masalah sudah terselesaikan. Waktunya beralih pada masalah yang kedua. “Aku memerlukan bantuan kalian.” Tristan dan Rosamund langsung duduk tegak karena jarang sekali tuan muda Conway itu meminta bantuan dengan wajah yang serius. Leighton mengerjapkan mata, jadi ini alasannya Gene menanyakan mainan barunya di telepon beberapa waktu yang lalu. Gadis itu melirik duo Portendorfer, juga pada pistol yang tersembunyi di balik baju mereka. Jika Gene sampai memanggil keduanya, pasti ada hal yang sangat penting untuk dilakukan. “Katakan!” seru Rosamund, senyum samar melebar di bibir merah meronanya. Apa pun yang direncanakan pemuda itu biasanya menarik. *** “MANA ANGIE?!”
274
Antologi 1820
Kertas dan benda-benda di mejanya melayang bertebaran, sementara Gene berusaha keras menekan amarahnya. Di saat rencananya sudah setengah berjalan, adik kembarnya justru menghilang tanpa kabar. Anak buah Gene panik melihat atasan mereka yang biasanya tenang kini meledak marah. Sudah hampir satu hari berlalu sejak Angie hilang dan belum bisa ditemukan oleh satu pun anak buahnya. “Kami sudah mencari di seluruh London, Tuan.” “CARI LAGI!” teriak Gene. Jarinya menyisir kasar helaian rambut yang jatuh ke matanya dengan frustrasi. Orang itu masih bebas lepas, dia tidak ingin mengambil risiko dengan adik kembarnya. “Aku tidak mau tahu, temukan Angie secepatnya!” Adiknya! Jika orang itu berani menyentuh adiknya .... PRAAANG! Pemberat kertas yang tersisa di meja baru saja melayang ke seberang ruangan dan menghantam lukisan berharga mahal pemberian pamannya. Lukisan itu salah satu koleksi ayahnya, tetapi Gene tidak mau ambil pusing, bahkan kalau bisa saat ini juga dia akan membakar lukisan itu beserta orang yang memberikannya. Dia akan membuat orang itu menyesal sudah hidup. Tidak, tidak bisa sekarang, dia tidak bisa gegabah karena Angie bisa saja dalam bahaya saat ini. Gene menjatuhkan diri di kursinya, frustrasi karena telah menuruti keinginan Angie untuk pergi sendiri tanpa pengawalan yang seharusnya. Angie memang tidak tahu apa-apa, hanya ingin pergi ke mal, tetapi seharusnya adiknya itu bisa lebih tahu bahwa tempat yang banyak orang itu terbuka untuk semua ancaman dan penyerangan. Tangan Gene mengeluarkan ponselnya dan menekan satu nomor. “Temukan Angie, tolong.” Tolong. Tuhan boleh mengambil nyawanya, tetapi tolong kembalikan Angie padanya dengan selamat. Di saat papa sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bagus, justru Angie yang berada dalam bahaya. Gene menutupi wajahnya dengan tangan, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Mendadak 275
Lysergic
tawanya terdengar menggema di ruangan ini, tawa yang begitu dingin dan membuat anak buahnya sedikit ketakutan. “Bagus sekali.” Gene menggertakkan gigi. “Beri aku semakin banyak alasan untuk mengulitimu hidup-hidup.” *** I got her. *** Malam dan klub memang pasangan sejati, ditambah dengan musik dan alkohol, semuanya menjadi sempurna. Di salah satu ruang private Divine, sekali lagi Gene menjamu seorang tamu penting. Bukan orang asing, pria ini masih terhitung pamannya walau tidak langsung. Selama ini Darrius Wetzel selalu mendukungnya dan Angie untuk diterima dalam keluarga Conway. Dua bersaudara ini memiliki kedekatan yang spesial dengan Darrius, bahkan bisa dikatakan Darrius adalah paman favorit mereka. “Aku senang Paman bisa datang. Aku benar-benar frustrasi.” Gene tidak lagi memperlihatkan sikap sempurna, dia bersandar ke sofa dengan wajah lelah dan cemas. Darrius meletakkan gelasnya. “Apa sudah ada kabar dari Angie?” “Mereka masih mencari.” Gene menggeleng lemah. “Bagaimana kalau mereka tidak pernah menemukannya, Paman? Bagaimana kalau ... aku tidak bisa berhenti memikirkan hal yang buruk!” ujarnya sangat lemah, tanpa ada rasa percaya diri yang tersisa lagi. Melihat keponakannya menjadi seperti ini, Darrius hanya bisa tersenyum sedih. “Aku tahu ini berat. Pertama Aaron, sekarang Angie. Tetapi kau tidak boleh lemah, kau harus tetap kuat untuk mereka.” “Aku ingin mati saja, Paman,” kata Gene. Jarinya menarik lepas dasi agar badannya lebih dingin.
276
Antologi 1820
“Jangan bicara seperti itu! Ini, minumlah dulu supaya kau tenang,” sergah Darrius. Dia menuangkan dan menyodorkan segelas alkohol pada Gene, yang langsung mengambil dengan cepat. Minumlah. Minum semuanya. Darrius mengamati Gene menenggak semua cairan di dalam gelas itu. Pemuda itu masih tetap polos seperti dulu, tidak berubah sama sekali. Sepasang mata indah itu perlahan terpejam bersamaan dengan badan Gene yang menjadi condong tanpa tenaga. Well, mungkin Darrius terlalu banyak memberikan obat di dalam minuman itu, tetapi tidak masalah, dia akan memastikan Gene bangun dengan kondisi yang paling prima. Setelah sekian lama .... Dibelainya sisi wajah Gene dengan lembut dan memuja. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa menyentuh pemuda ini sepuasnya. Dia bisa memilikinya. Ralat, sejak awal memang Gene adalah miliknya. Darrius tersenyum dengan bangga atas semua keberhasilannya. Dia mengangkat dan memapah Gene dengan mudah, memberi alasan kepada semua orang yang dilewatinya bahwa keponakannya itu terlalu mabuk. Para pegawai Divine yang sudah hafal dengan Darrius tidak mempertanyakannya lagi. “Sekarang ... Geneku, kau milikku,” bisik Darrius pada sosok yang terbaring tidak sadarkan diri di kursi penumpang mobilnya. “Kita akan bersenang-senang selamanya.” *** Di sebuah ruangan yang remang-remang, Darrius duduk di sofa besar dengan segelas wine di tangannya. Matanya tidak berhenti mengamati sosok yang meringkuk tidur di pangkuannya. Sudah berapa lama waktu berlalu sejak dia mengambil hak miliknya? Apa pun yang dia lakukan, kulit Gene tetap halus seperti sutra. Mungkin karena anak ini sebenarnya memang malaikat? “Bangun! Waktunya bekerja, Gene,” ujar Darrius. Sosok di pangkuannya terbangun kaget dan berusaha duduk dengan grogi. Perlu beberapa waktu untuknya melihat dengan jelas siapa yang berbicara. Sepasang mata biru langsung melebar melihat keberadaan Darrius. Mendadak 277
Lysergic
Gene melompat memeluk Darrius dan menangis. “Jangan tinggalkan aku lagi, Paman! Aku janji akan menjadi anak yang baik!” “Gene yang malang.” Darrius tersenyum puas melihat semua latihan dan kesabarannya berbuah manis. Dia bisa merasakan bagaimana Gene kini antusias setiap kali berada di dekatnya, berbeda dengan pemuda yang beberapa minggu lalu terus memberontak. Mulai sekarang pemuda ini tidak akan bisa hidup dengan normal lagi, dia akan selamanya bergantung pada keberadaan Darrius. “Apa kau benar-benar merindukanku? Bukannya kau ingin kabur?” Gene buru-buru menggelengkan kepalanya. “Tidak, Paman. Aku tidak akan kabur lagi. Kalau tidak dengan Paman, aku bisa gila.” “Anak baik.” Darrius kini benar-benar puas. Ditariknya pemuda yang hampir setengah usianya itu ke dalam sebuah ciuman yang dalam. “Anak baik harus mendapat hadiah.” Dia mendorong Gene ke sofa dan tidak sabar untuk segera menikmati hasil latihannya. Suara desahan yang semakin keras memenuhi ruangan bawah tanah itu. Sayang tidak akan ada yang bisa mendengarnya. *** “Jadi dia meracuni ayahmu, menculik adikmu, semua hanya untuk membuatmu lebih rapuh agar bisa menjadi kekasihmu? Cliche.” Detektif Shaquilla Wilcox menggelengkan kepalanya. Mendengar Gene hanya mengeluarkan suara setuju tanpa komentar, dia melanjutkan. “Kau tahu, kau bisa melaporkannya ke polisi dan semua selesai, itu akan lebih mudah untukku.” Karena suap pasti akan menghentikan penyelidikan, lanjutnya dalam hati. Gene mengangkat gelasnya dengan tenang. Senyum manisnya kembali terlukis. “Kau tahu, balas dendam Conway tidak pernah semurah hati itu. Bukan hanya mencelakai ayahku, dia juga sudah membuat Angie terluka. Kau pikir penjara cukup membuat amarahku hilang?” “Hei, tapi pekerjaanku jadi bertambah!” protes Detektif Shaquilla. “Aku akan memberikan kompensasi, tenang saja.” Gene hanya menggerakkan tangannya dengan santai.
278
Antologi 1820
“Ngomong-ngomong, apa yang kau pakai? Dia sampai berhalusinasi sehebat itu,” komentar Leighton penasaran. Selama dia bekerja sama dengan Gene, dia belum pernah melihat benda yang bisa membuat orang jadi tenggelam dalam imajinasi terliarnya. Sebenarnya dia ingin membiarkan Leighton penasaran, tetapi ada rasa sedikit tidak tega. “Obatmu, tetapi sudah aku modifikasi sedikit.” Duo Portendorfer juga menoleh pada Gene dengan rasa penasaran yang tidak tertutupi lagi. Mereka tahu kawannya ini bukan orang biasa, tetapi seumur hidup mereka belum pernah melihat obat sekuat ini. Jika obat ini beredar, mereka akan mendapat banjir emas yang sangat banyak. Rosamund kembali memperhatikan ke tengah ruangan, mengamati bagaimana subyek hiburan mereka menggeliat dengan suara-suara primitif yang dikeluarkan hewan saat musim kawin. Obat ini bukan hanya afrodisiak, Rosamund menduga, sesuatu yang lebih kuat dan mengerikan. Gene berdiri dan mendekati tempat tidur di tengah ruangan. Hari ini memang dia tidak nongkrong di Divine bersama teman-temannya, dia membawa mereka ke ruang hiburan pribadinya. Tangannya menyentuh rambut Darrius yang sudah basah kuyup oleh keringat. Dengan satu gerakan singkat, Gene melepas penahan mulut Darrius. Segera suara lenguhan berubah menjadi desahan dan teriakan namanya, kening Gene berkerut jijik mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria itu. “Wow.” Tristan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak menyangka orang bisa memikirkanmu dengan begitu ... erotis.” Keempat teman Gene sibuk mengamati bagaimana Darrius yang biasanya menampilkan sosok terhormat dan gagah kini hanya manusia yang terikat di ranjang dan terus-menerus tenggelam dalam fantasi seksual. Satu hal yang pasti, obat Gene membuat imajinasi Darrius yang sudah terpendam lama terhadap kawan mereka itu semakin menjadi liar. Awalnya mereka terkejut mendengar rencana Gene, tetapi karena pemuda itu tidak pernah main-main, mereka pun mengikuti kemauannya. Siapa sangka semua yang diduga Gene benar terjadi. Mereka menyaksikan sendiri Darrius berusaha menculik Gene dari klubnya sendiri. Untung saat itu Tristan dan Rosamund sudah bersiap menggagalkan. Mereka menyekap Darrius di 279
Lysergic
ruang bawah tanah, sementara Bethany Millard berusaha keras menyadarkan Gene. Berkat tangan surgawi Dokter Millard, ketiga anggota keluarga Conway bisa selamat. Gene hanya mendapatkan obat dalam dosis kecil sehingga bisa segera pulih dan sadar. Angie hanya mengalami luka ringan karena memberontak dan kabur dari sekapan anak buah Darrius. Sekarang gadis itu bahkan sudah pergi berbelanja lagi bersama Annemarie ke Paris. Aaron Conway juga sudah sadar dan sedang dalam pengawasan ketat. Sosok yang membuat mereka celaka kini sudah berada dalam genggaman tangan Gene. Dia tidak berniat memberitahu Angie karena Darrius termasuk paman favoritnya. Dia juga tidak akan memberitahu ayahnya, tidak perlu tambahan shock untuk pria itu sekarang. Kini semua sudah berlalu, semua sudah selesai. Dalam perhitungan Gene, beberapa hari lagi obat yang dia berikan akan benar-benar merusak Darrius tanpa mungkin direhabilitasi. Menjelang lelang besar di dunia bawah, Gene yakin ada banyak orang yang akan antusias mendapat tambahan barang baru. “Sayang sekali, padahal dia tampan,” komentar Shaquilla. “Hmm.” Gene mengangguk. “Kalau dia mendekatiku dengan cara yang benar, mungkin aku akan mempertimbangkannya.” “Gene!” “Apa? Darrius itu seksi.” “GENE!!” ****
280
One summer day ~ Lynette seakan masuk ke dalam sebuah skenario yang salah, namun sang sutradara tak ingin bersusah payah untuk mencari penggantinya sehingga ia membiarkan semua berjalan apa adanya. Ia tak paham ceritanya, tak mengerti dialognya, namun dipaksa untuk berimprovisasi.
One Summer Day
Ditulis oleh lynette mIlford
“N
ona Milford. Nona Milford, bangun.� Pandangannya kabur, tetapi Lynette yakin ia tak sedang tertidur di kamarnya. Ia seperti sedang berada di sebuah manor, tetapi bukan Killarney Kelly. Langit-langitnya jauh lebih tinggi, dengan warna putih dinding yang mulai menua. Ada seorang laki-laki asing berdiri tak jauh dari ranjangnya dengan tangan bertangkup di depan tubuh sambil menundukkan kepala. “Kau siapa?� Lynette menguap sambil menggosok matanya dengan kedua tangan. Pria tersebut mengangkat kepala, menatap Lynette dengan wajah bingung. Tanpa menjawab pertanyaannya, pria tersebut menyibak tirai jendela, 282
Antologi 1820
dan membiarkan cahaya matahari pagi menerangi kamar yang sejak tadi dibiarkan redup. Ia kemudian berjalan ke ujung ruangan dan mengambil sebuah nampan berisikan sejumlah makanan yang Lynette yakin sengaja dipersiapkan untuknya. Wangi pertama yang menggelitik hidungnya adalah bau gosong di sejumlah sisi telur mata sapi yang digoreng terlalu matang. Bukan seleranya. Jelas ia sedang tidak berada di lingkungan familier, apalagi minuman berwarna pucat, yang ia tebak sebagai jus apel, sama sekali tak mengundang selera. “Ini di mana? Kau siapa?” Laki-laki tersebut tetap bungkam saat meletakkan nampan di pangkuan Lynette sebelum pergi meninggalkannya sendirian. Ia pun mengambil kesempatan tersebut untuk melompat dari tempat tidur, dan berniat kabur. Namun, langkah kakinya terhenti saat pintu ruangan kembali terbuka. Laki-laki tersebut kembali masuk ke dalam, tetapi tak sendiri. Jantungnya hampir saja terlepas dari tubuhnya, sebelum sosok yang dikenal dengan baik muncul dari balik pintu yang sama. “Ambrose Sinyard!” “Kau sudah sadar? Kepalamu sudah tidak sakit lagi?” Pemuda tersebut menyentuh perlahan ubun-ubun Lynette. Memeriksa jika ada luka atau cedera yang tak ia ketahui. “Kepalaku? Memang kenapa dengan kepalaku?” Ambrose Sinyard menurunkan tangannya sambil menunjukkan ekspresi bingung. Tak berbeda dengan si laki-laki asing yang sejak tadi hanya berdiri di belakang kawannya tanpa berani berbicara. “Lynette Milford!” Belum juga pertanyaan keluar dari mulutnya, seorang gadis yang juga dikenalnya saat sekolah masuk ke dalam ruangan. Namun, Lynette tak pernah seterkejut ini saat kedua mata hijaunya melihat perut Meredith Ruffalo yang membuncit. Seperti baru saja memakan dua buah semangka bulat-bulat. Gadis Milford tersebut merasakan tekanan aneh pada perutnya saat Meredith memeluknya dengan erat. “Untunglah kau sudah sadar. Bagaimana dengan kepalamu? Semua baik-baik saja?”
283
One Summer Day
“Tidak baik-baik saja, Meredith.” Ambrose tak membiarkan Lynette menjawab. “Dia sepertinya mengalami amnesia.” Meredith mengelus perlahan perutnya sambil menatap Lynette dengan wajah tak percaya. Ada ekspresi seperti merasa bersalah, tetapi tak diucapkan. Ia hanya meraih tangan Lynette dan mengajaknya berjalan keluar kamar sambil membisu. Ambrose juga tak bicara sepatah kata pun dan hanya mengikuti langkah kaki keduanya. Lynette, Ambrose, dan Meredith kemudian duduk di sebuah sofa panjang dalam ruangan seluas aula dengan rak buku raksasa di sekelilingnya. “Kau benar-benar tidak ingat kejadian kemarin?” Meredith bertanya. Lynette hanya menggeleng perlahan. “Kau tidak ingat kalau kau jatuh dari pohon karena mengambil topiku yang terbang tertiup angin? Kau sudah tidak sadarkan diri selama dua hari, Lynette. Maafkan sepupumu ini.” “Sepupu? Lalu yang di perutmu itu anak siapa?” “Tentu saja ini anak Mark Horsey. Kau lupa sampai sejauh itu? Ya ampun, Ambrose. Maafkan aku.” Meredith berpaling pada Ambrose yang duduk di sebelahnya sambil menangis tersedu di pelukannya. Sementara Lynette masih dibiarkan kebingungan. “Gara-gara aku sepupu kita jadi lupa ingatan.” *** Babak I: “Masa Depan Bergantung Padamu.” Lynette seakan masuk ke dalam sebuah skenario yang salah, tetapi sang sutradara tak ingin bersusah payah untuk mencari penggantinya sehingga ia membiarkan semua berjalan apa adanya. Ia tak paham ceritanya, tak mengerti dialognya, tetapi dipaksa untuk berimprovisasi. Setelah mendengar penjelasan selama lebih dari empat jam, diketahui bahwa mereka tinggal di pinggiran Inggris, di sebuah kota kecil bernama Grantham. Lynette bukan penduduk asli kota tersebut, tetapi dipanggil jauhjauh dari Swineshead untuk menjalankan sebuah misi yang dirancang oleh kedua sepupunya, Ambrose dan Meredith. Misi tersebut membuatnya harus mengikuti
284
Antologi 1820
sayembara yang digelar oleh keluarga Earl of Grantham, salah satu keluarga terkaya di kota kecil tersebut, untuk mencari istri bagi putra satu-satunya. Menurut Ambrose, sudah ada lima gadis paling cantik dan berpendidikan di kota tersebut yang mendaftar. Mindy Deschanel (seorang jurnalis perempuan yang sigap), Ann Anderson (aktivis lingkungan hidup perempuan satu-satunya di Grantham), Annemarie Silverstein (sosialita kelas bangsawan lulusan Oxford), Shaquilla Wilcox (putri tunggal keluarga Wilcox, seorang gadis yang diklaim paling cerdas se-Grantham), dan Margaux Walcott (penulis romansa yang cukup terkenal di Grantham). Mereka pun meminta sepupu satu-satunya di keluarga yang belum menikah, yaitu Lynette, untuk mengikuti sayembara tersebut agar bisa diperistri dan ikut mendapatkan harta warisan. Ambrose membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai riset soal infeksi yang banyak menyerang anak-anak kecil di Inggris pascaperang dunia I, mengingat Meredith juga akan segera melahirkan dalam waktu dekat sehingga satu-satunya cara yang cepat adalah dengan mengikuti sayembara dan diperistri oleh putra Earl of Grantham. “Katanya kau berteman baik dengan anak si Lord Grantham itu. Kenapa tidak langsung minta didanai mereka saja?” Akhirnya mereka bertiga— berempat dengan Mark Horsey—duduk di meja makan besar untuk melanjutkan obrolan sambil menikmati makan siang. “Tidak semudah itu,” kata Ambrose. “Dia tidak akan mau menggelontorkan dana sebesar itu hanya untuk membiayai riset yang masih belum pasti hasilnya. Cara satu-satunya dengan menikahkanmu pada orang itu!” “Kalau aku tidak mau?” “Berarti kau tidak mau menolong Meredith. Sepupumu ini sebentar lagi akan melahirkan. Dengan banyaknya virus-virus penyebab infeksi pada anak yang sampai sekarang masih belum ditemukan penawarnya, ibu hamil, dan jabang bayi yang baru lahir bisa terancam.” Mark Horsey akhirnya bicara. Dari nadanya sudah terdengar putus asa sehingga mau tidak mau Lynette harus menuruti keinginan mereka. “Baik kalau begitu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” *** 285
One Summer Day
“Jangan lupa, tersenyum. Aku juga tidak kenal dengan Mark saat kami pertama dijodohkan.” Meredith mengencangkan bagian belakang gaun merah muda yang dikenakan oleh Lynette. Ia sedang didandani karena sore ini ia dijadwalkan bertemu dengan putra Lord Grantham tersebut. “Tapi ‘kan belum tentu aku yang terpilih. Masih ada calon-calon lainnya, kan?” “Harus, Lynette Milford!” Meredith kini berdiri di hadapannya. “Apa pun caramu, kau harus terpilih menjadi istri anak Lord Grantham. Masa depan anak di perutku, masa depan dunia ini, semua bergantung padamu. Tidak ada cara lain.” Lynette saat itu hanya bisa mengangguk, sementara Meredith melanjutkan pekerjaan dengan gaunnya. Hingga tak terasa, terang berganti senja, dan Lynette sudah duduk berdampingan dengan Ambrose di kereta kuda menuju alun-alun kota. Mereka berhenti di sebuah kedai kecil yang menjual limun, tempat janji temu Ambrose dengan putra Lord Grantham. Lima belas menit menunggu, batang hidungnya masih tak terlihat juga. Lynette duduk di salah satu kedai dengan gusar, tanpa menyentuh sama sekali es limun yang dipesan. “Ambrose Sinyard. Maaf saya terlambat.” Sebuah suara tak asing membuat perhatiannya teralih dari gelas limun yang sejak tadi dibiarkan penuh kepada sosok yang berdiri tepat di samping tempat duduk Ambrose. Seketika kedua mata Lynette membelalak setelah melihat sosok yang hadir. “Nolan McTaggart? Dari tempat duduknya, Ambrose Sinyard menatap Lynette dengan wajah bingung. Begitu juga dengan sosok pria berbusana rapi yang sejak tadi masih berdiri. “Oh, jadi Nona Milford sudah mendengar tentang saya? Tidak menyangka ternyata nama saya dikenal hingga Swineshead.” Nolan McTaggart mengulurkan tangannya pada Lynette. Ambrose, yang duduk di sebelahnya, menyenggol lengan Lynette, mengisyaratkan agar gadis Milford tersebut berdiri, dan segera meraih uluran tangannya. 286
Antologi 1820
Ia kemudian menjabat uluran tangan tersebut sebelum berdiri dan membungkuk. “Milford, Lynette Milford. Saya percaya Anda sudah mendengar tentang saya dari sepupu Sinyard. Semoga kita bisa saling mengenal dengan baik ke depannya.” *** Idenya untuk berkeliling alun-alun alih-alih mengobrol di tempat disambut baik oleh Nolan McTaggart. Mereka bertiga, dengan Ambrose Sinyard yang berjalan di belakang Lynette dan Nolan, menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan pedagang-pedagang kaki lima. Lynette dibuat takjub dengan keramaian kota kecil tersebut. Apalagi ketika beberapa orang ikut membungkuk dan tampak terpesona—khususnya gadis-gadis seusianya—dengan keberadaan Nolan McTaggart. “Bagaimana Grantham menurutmu?” Nolan akhirnya membuka suara. Pemuda McTaggart versi ini rupanya lebih irit bicara. “Menarik. Saya tidak ingat kapan terakhir ke sini, namun ternyata lebih ramai dari perkiraan saya.” Nolan tertawa kecil. “Ini belum seberapa. Kau tahu, sebelumnya alunalun ini sepi seperti kuburan. Namun, setelah ayah saya membiayai perbaikan dan memberikan modal untuk para pedagang di sini, Grantham menjadi salah satu kota yang berkembang.” Lynette mengangguk-angguk. Ia tak banyak menanggapi. Lebih banyak mendengar. Keluarga Earl of Grantham rupanya sangat berpengaruh besar pada tumbuh kembang kota kecil tersebut. Tak heran jika sosok seperti Nolan McTaggart banyak diincar oleh perempuan-perempuan lajang. “Tuan McTaggart selamat sore.” Seperti satu sosok yang menghentikan perjalanan mereka. Sosok familier lain, Shaquilla Wilcox, berdandan cukup berlebihan dengan make up tebal. “Nona Wilcox? Apa yang sedang kau lakukan di sini? Giliran kita bertemu sudah kemarin bukan?” “Oh, hanya kebetulan sedang berada di sini, Tuan McTaggart. Tidak ada maksud lain. Kalau begitu saya permisi.” Shaquilla membungkuk dan 287
One Summer Day
saputangan hijau lumut yang sejak tadi ia genggam tiba-tiba terjatuh tepat di ujung kaki Nolan McTaggart. Lynette berani bersumpah melihat Shaquilla dengan sengaja menjatuhkan sapu tangan tersebut. Ketika tubuhnya ditegakkan lagi, gadis berambut coklat itu tak jua menyingkir. Alih-alih, ia malah tersenyum penuh arti ke arah Nolan McTaggart sambil sesekali melirik ke saputangan yang tergeletak di tanah. Sementara, pria di sampingnya tampak bersikap tak acuh dan malah memandang Shaquilla dengan dahi berkerut. Dari arah samping, Ambrose Sinyard tiba-tiba bergerak maju dan mengambil saputangan milik Shaquilla. “Saputangan Anda, Nona Wilcox.” Yang kemudian diambil dengan kasar oleh Shaquilla tanpa mengalihkan perhatian dari wajah Nolan. “Ehm … kalau begitu terima kasih, Tuan McTaggart. Semoga sore Anda menyenangkan.” Ambrose mengedikkan bahu ke arah Lynette sebelum kembali ke posisi semula. Sementara, Nolan McTaggart hanya terkekeh. Seakan apa yang terjadi barusan adalah hal biasa. “Tidak usah bingung, Nona Milford. Ke depannya kau akan sering melihat hal-hal seperti itu terjadi.” Kedua kakinya kembali melangkah. “Mau nonton pertunjukan teater di sana? Kebetulan pertunjukan kali ini adalah favoritku.” Lynette mengangguk. Mengikuti Nolan McTaggart masuk ke sebuah gedung pertunjukkan. Rupanya kondisi pascaperang tak terlalu berpengaruh pada para bangsawan di Grantham. Terbukti dengan penuhnya gedung pertunjukkan dengan para bangsawan kelas atas yang mengenakan baju mewah dengan perhiasan gemerlapan menggantung di tubuhnya. Atas koneksi Nolan McTaggart, tentunya, mereka bertiga bisa mendapatkan tempat terbaik. Pertunjukan yang mereka tonton bertajuk Androcles and the Lion. Bercerita tentang seorang budak yang diselamatkan oleh singa yang ditolongnya. “Kalau kau menghadapi situasi seperti istri Androcles, apa yang kau lakukan? Kabur dari kejaran prajurit Roman atau membantu suamimu menyelamatkan singa yang kakinya tertusuk duri?” Nolan McTaggart tiba-tiba bertanya di tengah-tengah jalannya pertunjukan. 288
Antologi 1820
“Dengan konsekuensi sama-sama ditangkap prajurit Roman? Tentu saja saya akan membantu. Untuk apa kabur jika akhirnya sama saja?” “Betul.” Nolan McTaggart mengangguk sambil mengelus dagu. “Ternyata kau memiliki jiwa penolong yang tinggi, ya.” “Bukan begitu, Tuan McTaggart. Hanya mengambil yang terbaik dari yang terburuk. Lalu bagaimana dengan Anda? Jika dihadapkan dengan situasi yang sama, apa yang akan Anda lakukan?” “Menurutku tak ada sisi terbaik dari hal yang sudah buruk. Kalau sudah buruk ya buruk saja. Sama saja, tidak ada bedanya.” “Seperti infeksi yang menyerang anak-anak kecil di Grantham? Menurut Anda harus dibiarkan saja, begitu?” Dahi Nolan McTaggart berkerut saat menatap Lynette. “Maksudmu?” Sementara Ambrose Sinyard di sisi lain tampak gusar. “Anda bilang tadi yang buruk ya buruk saja. Tidak ada bedanya. Kalau begitu pendapat Anda pasti sama soal infeksi. Dibiarkan saja karena memang hingga kini masih belum ada obatnya, begitu ‘kan?” “Menarik. Tuan Sinyard.” Nolan McTaggart berpaling pada Ambrose Sinyard sebelum berdiri dari tempat duduknya. “Jadwalkan pertemuan keduaku dengan Nona Milford pekan depan. Saya tidak bisa berlama-lama, tapi masih ingin mendengar lebih jauh soal hal yang ia bicarakan tadi. Sampai jumpa. Saya harus pergi lebih dulu. Semoga Anda menikmati sisa pertunjukannya, Nona Milford.” *** Babak II: “Sebaiknya Kau Mundur Saja.” Dari enam gadis yang menjadi calon Nolan McTaggart, Lynette Milford adalah satu-satunya yang mendapatkan ajakan pertemuan kedua oleh putra Lord Grantham tersebut. Hal itu tentu saja disambut dengan baik oleh Meredith, Ambrose, dan Mark, tetapi tidak bagi para calon lainnya. Entah dari mana datangnya, kabar tersebut terdengar hingga telinga Mindy Deschanel, Ann Anderson, Annemarie Silverstein, Shaquilla Wilcox, dan 289
One Summer Day
Margaux Walcott. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggagalkan pertemuan pekan depan. Seperti menyabotase tukang jahit di seluruh Grantham hingga sebuah rumor yang menyebut dirinya sudah menikah dengan seorang tukang jagal di Swineshead. Kini mereka berlima tiba di kediamannya tanpa kabar. Tiba-tiba mengetuk pintu depan manor sambil membawa pai apel yang entah kenapa patut dicurigai. “Sebaiknya kau mundur saja.” Annemarie melipat kedua tangannya sambil bersandar di sofa panjang. Saat ini mereka berenam sudah duduk di ruang tamu. “Kau bukan asli Grantham. Tidak tahu seluk-beluk kota ini. Apa yang bisa kau lakukan untuk mendampingi Tuan McTaggart?” Shaquilla menimpali, “Lagi pula kau tak terlihat memenuhi persyaratan yang diberikan oleh keluarga Earl of Grantham.” “Ya, betul. Kau tidak terlihat seperti berpendidikan atau memiliki gaya busana yang kekinian. Kau juga tak memiliki pinggul sekecil lidi seperti kami,” kata Ann. Lynette memilih untuk membalikkan pertanyaan alih-alih menjawab pernyataan mereka. “Memangnya apa yang akan kalian lakukan jika nanti terpilih?” Mereka pun terdiam, mengerling ke satu sama lain tanpa suara. Bahkan, mereka saja masih belum yakin akan tujuan utama mengikuti sayembara tersebut. “Tentu saja untuk membantu Tuan McTaggart menjalankan bisnis orang tuanya. Siapa tahu bisa mendapatkan warisan juga.” Mindy Deschanel menjawab. “Tidak perlu alasan untuk mengikuti sayembara ini selain demi Tuan McTaggart, ‘kan?” Margaux pun menimpali. Lynette hanya mengangguk-angguk mendengar satu persatu alasan mereka. Sesuai dugaan, rupanya. Gadis-gadis ini tidak tahu apa yang mereka perbuat dan tak mengerti keadaan apa yang sedang mereka hadapi. Seperti para bangsawan di gedung pertunjukan tempo hari. Menonton sesuatu hanya demi status sosial semata, bukan menikmati cerita atau berusaha untuk memahami.
290
Antologi 1820
“Sudahlah, tidak usah banyak bicara. Kami harap kau segera membatalkan niatmu untuk mengikuti sayembara ini. Anggap saja pai yang kami bawa ini sebagai salam perpisahan. Niat kami baik, untuk menjauhkanmu dari segala ancaman jika kau benar-benar memenangkan sayembara ini.” Ann Anderson kemudian meletakkan pai apel yang sejak tadi berada di pangkuannya ke atas meja sebelum berdiri dan mengajak keempat rekan lainnya meninggalkan manor. Sepeninggalan kelima gadis tersebut, Lynette tak bisa berkomentar apa pun. Ia membiarkan pai apel tersebut tergeletak begitu saja di atas meja ruang tamu sebelum bergegas mencari Ambrose, Mark, dan Meredith. Ia harus menceritakan apa yang terjadi pada sepupu-sepupunya. *** Lynette Milford tak menyangka ternyata perbuatan kelima gadis itu berimbas pada orang lain. Meredith memakan pai apel yang ditinggalkan oleh Lynette di meja ruang tamu tanpa mengetahui ada racun di dalamnya. Ternyata sejak awal, kelima gadis itu mencoba untuk melukai Lynette agar tak bisa menepati janji temu kedua dengan Nolan McTaggart. Meredith langsung dibawa ke rumah sakit terdekat setelah tiba-tiba jatuh pingsan. Kata dokter, racun tersebut sama sekali tak membahayakan janinnya, tetapi berpengaruh besar pada kesadaran Meredith sehingga ia harus tetap berada di bawah pengawasan dokter. “Ini tidak bisa dibiarkan.” Ambrose Sinyard berdiri di samping tempat tidur Meredith. Sementara, Mark Horsey hanya bisa terisak sambil menggenggam tangan istrinya yang masih tak sadarkan diri. “Ya, ini tidak bisa dibiarkan. Sebaiknya aku mundur saja dari sayembara ini. Aku tidak akan membiarkan Meredith atau kalian semua terluka lagi. Persaingan ini terlalu gila.” “Tapi Lynette, bagaimana dengan biaya riset kita? Dengan usaha yang aku dan Meredith sudah lakukan selama ini?”
291
One Summer Day
“Apakah risetmu lebih penting dari nyawa Meredith? Dari nyawaku, atau Mark? Dari nyawamu sendiri?” Ambrose terdiam. “Aku akan membantu membiayai risetmu apa pun caranya. Tapi tidak dengan sayembara ini.” Lynette melangkahkan kaki keluar dari kamar rawat Meredith. Jika nyawa saudara-saudaranya menjadi taruhan dalam sayembara ini maka hasil akhir pun tak akan ada artinya. Sesampainya di manor Earl of Grantham, Lynette mendapati Nolan McTaggart tengah mengobrol di teras dengan Annemarie Silverstein. Rupanya, hari itu adalah jadwal pertemuan mereka. Tentu saja Lynette sudah meramalkan wajah tegang gadis pirang tersebut saat melihat sosoknya. Mungkin dipikirnya, Lynette berniat mengadukan perbuatannya dan teman-temannya yang lain kepada Nolan McTaggart. Namun, Lynette tak serendah itu. “Tuan McTaggart, maaf mengganggu.” Lynette membungkuk sambil menatap wajah Nolan yang tampak bingung. “Ada yang bisa kubantu, Nona Milford? Seingatku janji temu kita baru akhir pekan depan.” “Saya kemari untuk membatalkan keikutsertaan saya dalam sayembara ini. Maaf, saya harus mengurus sepupu saya yang jatuh pingsan dan tak sadarkan diri hingga kini karena pai apel beracun.” Annemarie Silverstein terdengar seperti tersedak teh. “Terima kasih atas kesempatannya. Semoga pencarian Anda sukses.” Tanpa mendengarkan komentar Nolan McTaggart selanjutnya, Lynette membungkuk sebelum berpamitan dan berlari menuju kereta kudanya. Dunia ini gila, sudah gila. *** Babak III: “Pintu Manor Ini Terbuka Lebar Untukmu.” Bersamaan dengan keluarnya Meredith dari rumah sakit, pengumuman sayembara Earl of Grantham pun digelar sepekan kemudian. Lynette masih memilih menetap di Grantham untuk merawat sang sepupu yang akhirnya dinyatakan bebas racun. Jabang bayinya pun baik-baik saja. 292
Antologi 1820
“Kau tidak penasaran siapa pemenangnya?” ujar Mark sambil membantu Meredith berbaring di kasurnya. “Tidak. Aku tidak peduli, Mark. Sudah ya, aku harus mengantarkan karangan bunga. Aku harus pergi ke lima tempat hari ini. Kalian seharusnya berterima kasih aku mau membantu. Kalau tidak, apa jadinya riset kalian itu?” Mark Horsey dan Meredith Ruffalo sama-sama terkekeh. Namun, ia tahu keduanya merasa berterima kasih. Paling tidak, risetnya masih bisa terus berjalan walaupun dengan biaya seadanya. Namun, ketiganya dikagetkan dengan Ambrose Sinyard yang memasuki kamar Meredith dengan terengah-engah untuk menyampaikan sebuah kabar. Katanya Lynette diundang secara khusus untuk menghadiri pengumuman sayembara Earl of Grantham. Ia bersikeras tak ingin memenuhi undangan tersebut, tetapi ketiga sepupunya memaksa Lynette untuk datang. Entah kenapa Meredith mengaku punya perasaan baik mengenai undangan tersebut. Mau tidak mau, Lynette pun mengikuti perintah para sepupunya. Ia tak mempedulikan pakaian yang dikenakan sama sekali. Toh kedatangannya hanya sebagai penonton, bukan lagi sebagai peserta. Lynette duduk di tempat yang disediakan dan melihat Nolan McTaggart naik ke atas panggung bersama kelima gadisnya. Tentu saja saat melihat kehadiran Lynette, mereka tak bisa menyembunyikan rasa terkejut. “Selamat siang, terima kasih atas kedatangannya. Pertama-tama, saya ingin meluruskan beberapa hal sebelum membacakan pengumuman. Nona Milford, terima kasih atas kedatangannya. Saya sudah meminta orang untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Nona Ruffalo dan sudah mengerti sumber permasalahannya.” Nolan McTaggart mengerling ke arah lima gadis di sampingnya yang tampak gugup. “Kedua, saya mewakili ayah saya, Lord Grantham, menyatakan akan membiayai seluruh riset yang tengah dilakukan Tuan Sinyard dan timnya dalam mencari penawar bagi infeksi yang banyak menjangkiti anak-anak saat ini. Jadi, Nona Milford, pintu manor ini terbuka lebar bagi Anda dan keluarga untuk meminta dana sebanyak apa pun yang kalian butuhkan untuk riset tersebut. Terima kasih atas kerja keras kalian.”
293
One Summer Day
Tepuk tangan pun terdengar sangat meriah di kediaman Lord Grantham, dan Lynette membungkuk pada Nolan McTaggart di atas panggung sebagai ucapan terima kasih. Kemudian tibalah saat-saat pembacaan pemenang sayembara. Seorang pembawa acara naik ke atas panggung menggantikan Nolan McTaggart sambil membawa amplop berwarna emas berisi satu nama. “Selamat kepada ....” Pria tersebut sengaja memberi jeda untuk membuka amplop emas tersebut. “LYNETTE MILFORD!” *** “LYNETTE MILFORD BANGUN! YA AMPUN!” Kedua matanya mengerjap hebat. Kepalanya pusing karena terkena silau matahari pagi yang terpancar dari balik jendela kamarnya. Ya, saat ini ia sudah kembali ke Killarney Kelly. Wangi lavender yang khas dari aromaterapi miliknya, juga dengkuran kucing peliharaannya, Cassandra, terdengar jelas. Terlebih lagi Rhiannon Milford sudah berdiri di sisi luar tempat tidurnya dengan tampang kesal. Kalau sudah begitu, bocah yang kini sudah berusia 10 tahun itu terlihat mirip dengan Rourke. Tak terasa tahun depan ia akan mulai bersekolah di Hogwarts. Waktu seakan berjalan dengan cepat untuk Lynette. Padahal seingatnya baru kemarin ia melangkahkan kaki masuk sebagai murid tingkat satu. “Rhiannon aku kembali!” Lynette memeluk adik sepupunya tersebut dengan erat. Bahagia karena akhirnya ia terbangun dari mimpi panjangnya yang aneh. “Bicara apa sih? Ayo cepat bangun, kita harus ke rumah Charlotte sekarang. Aku sudah membuat kado khusus untuk keponakan kita. Ayo cepat bangun. Aku ingin bertemu bayi!” “Iya, sayangku. Ayo cepat bantu aku keluar dari kasur. Kita pergi satu jam lagi, ya.” Hal-hal aneh selalu terjadi pada Lynette setiap musim panas. Drama keluarga, kebun bunga yang hancur, hingga mimpi panjang yang aneh, secara mengejutkan terjadi begitu saja. Entah karena musim panas menyimpan misteri 294
Antologi 1820
yang tak pernah terpecahkan atau memang karena sinar matahari yang menyengat memengaruhi keadaan psikologisnya. Namun, gara-gara mimpi semalam Lynette jadi merindukan temanteman sekolahnya. Sepertinya setelah mengunjungi Charlotte nanti, ia harus menyempatkan diri berkirim surat pada mereka. “Rhiannon, ingatkan aku untuk membeli perkamen yang banyak nanti, ya. Setelah menengok Charlotte kita mampir ke Diagon Alley dulu.” “Iya, Rhiannon juga ingin dibelikan es krim ya, Lynette.” “Iya, iya, bocah gembil.” ****
295
Art exhIbIt ~ Fotomu yang sedang tersenyum itu ditampilkan dalam pigura berbingkai emas. Foto itulah yang aku lihat di pameran hari ini. Aku hanya tersenyum sambil memandangnya lekatlekat.
Antologi 1820
Ditulis oleh bethany mIllard
H
ari ini aku melihat fotomu di pameran. Wajahmu di sana masih sama seperti yang kuingat—tampan dan tersenyum lebar—dan apa yang kupotret dengan kamera pemberianmu. Kamu ingat kamera tua yang kamu punya itu? Pada hari ulang tahunku, kamu memberikanku kamera itu. Saat itu aku memegang kamera itu seakan-akan tidak ada lagi hadiah yang lebih berharga dari itu, padahal ayahku menghadiahkan gaun, perhiasan, dan sepatu yang berkali-kali lipat lebih mahal. Jadi, tidak usah khawatir dengan hadiah yang kamu berikan. Aku suka sekali. Samar-samar aku bisa mendengar suara rana kamera. *** 297
Art Exhibit
“Jerome, apa tidak apa-apa kalau kamera ini untukku? Ayahmu tidak akan marah?” Kuangkat kamera itu, mengamati lensa dan tombol yang tak kutahu cara menggunakannya. Dari bentuknya saja, sudah terlihat kalau kamera itu diproduksi bertahun-tahun yang lalu dan tak secanggih apa yang kita punya sekarang. Namun, aku bisa merasakan kenangan-kenangan yang terekam oleh kamera ini. “Tidak apa-apa. Ayahku sudah jarang menggunakannya,” jawabmu waktu itu. Kamu berdiri, menatap orang-orang yang sedang bermain di lapangan. Kita berada di tepi lapangan, duduk di bawah lindungan pohon yang rindang. Berkas cahaya matahari menembus celah-celah dedaunan dan bayangan yang terpantul dari dedaunan melukis wajah kita. “Beliau sibuk dengan pekerjaannya. Toh di rumah ada banyak foto kami yang disimpan dalam album bertumpuk-tumpuk. Selain itu … kamera ini dulu diberikan padaku sebelum aku memberikannya padamu.” “Album? Aku jadi ingin melihatnya kapan-kapan,” kataku, tertawa. Aku sungguh penasaran, seperti apa kamu saat masih kecil. “Ugh. Ibuku pasti akan dengan senang hati menunjukkannya padamu.” Lalu kamu duduk di sampingku, mengambil kamera yang masih terduduk di pangkuanku. “Ini kamera yang kadang aku pakai kalau aku pergi jalan dengan teman-temanku. Atau denganmu,” katamu sambil membuka-buka memori foto di dalamnya. Kemudian kamu menunjukkan layar kamera itu padaku. Hanya ada satu foto di sana dan dalam foto itu, aku sedang tertawa. Kamu tertawa melihat ekspresi bingung di wajahku saat itu. “Lihat? Kamu pasti tidak sadar kalau aku memfotomu, ya?” Refleks aku menutup wajahku. Tawamu makin kencang, jadi kupikir aku terlihat bodoh di foto itu. “Bethany. Kamu gadis yang cantik, jadi untuk apa malu?” Ini bukan yang pertama kalinya aku mendengar kata-kata tersebut, tetapi aku merasa terlalu sadar diri setelah melihat tawa lepas yang aku tunjukkan di foto itu. Kamu mendekat, lalu mengetuk-ngetuk jariku. “Tuk, tuk.” Perlahan aku merenggangkan celah di antara jari jemariku. Aku melihat wajahmu yang tersenyum.
298
Antologi 1820
“Um … terima kasih.” Aku memalingkan wajahku sedikit. Rasanya sulit sekali untuk mengabaikan suara-suara ramai dari dalam dadaku. Namun, melihat kamera yang masih menyala di pangkuanmu, aku jadi terpikir. “Ajarkan aku cara memakainya?” Jawabanmu, “Tentu saja boleh.” Lalu kamu menepuk permukaan bangku di sampingmu. “Sini, mendekat.” Dengan berkurangnya jarak di antara kita saat itu, aku bisa mendengar suara hatiku yang tak keruan. Siang itu dihabiskan dengan kamu mengajariku. Aku mencoba untuk memotret lapangan sekolah yang besar atau bunga yang mekar di dekat bangku panjang di mana kita duduk. Kamu memujiku ketika aku berhasil memotret bunga itu dengan cantiknya. Kamu tahu tidak kalau aku diam-diam memfotomu juga? Saat itu teman-temanmu datang menghampiri. Melihat kita berduaan di bangku tersebut, mereka ingin menggodamu. Kalian tertawa dan aku pun senang melihatnya sehingga dari tempatku, aku mencoba untuk menangkap pemandangan itu dengan kamera pemberianmu. Terutama saat kamu tersenyum, sebagaimana kamu memotretku juga waktu itu. Fotomu yang sedang tersenyum itu ditampilkan dalam pigura berbingkai emas. Foto itulah yang aku lihat di pameran hari ini. Aku hanya tersenyum sambil memandangnya lekat-lekat. Saat kulihat hujan yang turun di balik jendela tinggi pameran, aku mulai melangkah. *** Langkahku lalu terhenti. Aku menoleh ke kanan, melihat foto berikutnya. Tidak sebesar dan tidak berbingkai emas seperti pigura fotomu yang tersenyum hari itu. Kualitasnya juga tak sebagus itu, tetapi aku tahu mengapa. Langit malam yang gelap. Bulan yang duduk dengan megah di singgasananya, memancarkan kilau keperakan yang membuatku terkagum-kagum. Aku tidak perlu mencari tahu kapan foto ini diambil. Aku ingat ini yang mana. Suara rana kamera ponsel membawaku kembali pada hari itu. 299
Art Exhibit
“Ayo, ayo, habis ini kita mau ke mana lagi?” Pertanyaan itu disuarakan oleh Jinnie dengan penuh semangat. Tangannya menggandeng milikku, protektif. Melihatmu yang berada di belakang rombongan cemberut karena Jinnie terus merebut atensiku sepanjang perjalanan, membuatku tersenyum geli. Kita sedang berjalan-jalan bersama teman sekelas. Karena baru selesai ujian, Jinnie mengusulkan kita untuk pergi ke mal. “Jinnie, aku mau pulang,” ujar Margo sambil memeriksa jam di ponselnya. “Kita tadi sudah pergi ke mana-mana, kamu masih mau ke mana lagi? Aku capek.” Jinnie hendak membalas, tetapi Genesis dari belakang rombongan terlebih dahulu berkata, “Aku mau langsung pulang.” Pemuda berambut pirang yang satu itu memang punya caranya sendiri untuk berinteraksi dengan kita. Dia bahkan langsung berbalik, membuat mulut Jinnie menganga kaget. Pemuda Conway itu melambaikan tangannya sebelum ia melangkah pergi. “Dah, aku duluan. Terima kasih karena sudah membuat malamku tidak membosankan, guys.” Aku menebak, ketika hari Senin tiba nanti, Jinnie akan langsung menceramahi Genesis panjang lebar. Melihat Jinnie yang kini sama cemberutnya dengan kamu, aku pun menepuk-nepuk bahu gadis itu lembut. “Tidak apa-apa. Kita masih banyak jumlahnya, kok.” Namun, sepertinya yang lain tidak begitu. Aku paham mengapa, sebab perjalanan kita yang dikomandoi oleh Aegina Silverstein seharian itu telah membawa kita ke berbagai tempat di mal. Mulai dari department store, game center, sampai akhirnya makan malam. Entah mau ke mana lagi Jinnie malam ini, tetapi sebagian besar dari kita tampak sudah ingin menyerah. “Begini, sepertinya kita sudah capek semua, dan Margo benar,” kata Moses menimpali. Kita berenam saat itu, ingat? Aku, kamu, Jinnie, Margo, Genesis, dan Moses. Kombinasi yang cukup unik memang, tetapi hari itu kita bersenang-senang sampai lelah. “Kita sudahi saja bagaimana? Aku juga tidak bisa lama-lama.” “Ah, kalau kamu pasti ada janji lain!” tuding Jinnie menunjuk-nunjuk pemuda itu. Moses mengangkat bahu, tetapi Jinnie menatapnya tajam. “Siapa? Coba bisiki aku sini. Aku tidak akan cerita ke yang lain.” 300
Antologi 1820
Pernyataan itu mengundang tawa dari kita semua. Moses menolak untuk berkomentar meski Jinnie terus menuntut jawaban dari pemuda itu. Margo pun tak bisa tak tertawa melihat tingkah laku sahabatku yang satu itu. Aku juga sedang tertawa sampai aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku—kamu. Tahu-tahu kamu sudah di sebelah kananku dan mengaitkan jarimu dengan milikku. Aku tersenyum. “Aaaah, Jerome Southwark! Jauh-jauh dari Bethany-ku!” Menyadari hilangnya kamu dari belakang rombongan, Jinnie pun menengok dan menemukanmu tepat di sampingku. Namun, kamu tidak melepaskan genggamanmu. “Baiklah! Ayo kita pulang,” kata Margo sambil menepuk tangannya. “Bubar, bubar.” “Margo!” Itu Jinnie. Namun, Margo masih lebih cepat. Ia mengangkat tangannya untuk menghentikan gadis Silverstein itu. “Tidak mau. Aku capek. Moses ada janji. Pasangan ini masih mau berduaan. Kamu juga tahu ‘kan kalau sahabatmu itu tidak bisa pulang malam-malam? Jadi, ayo kita pulang saja.” Setelah itu, akhirnya kita berlima berpisah. Jinnie memintaku untuk mengirim pesan padanya nanti. Namun, kamu sudah menarik tanganku, membawaku pergi dari sana. Suara protes Jinnie bisa terdengar, tetapi kamu hanya tertawa, dan menuntunku keluar dari mal. Kita pulang berdua. Kamu, seperti biasanya, mengantarku. Kita naik bus, berbincang-bincang tentang kegiatan kita berenam tadi. Aku tertawa ketika kamu mengeluh tentang Jinnie yang terus-terusan menyita perhatianku. Namun, kamu juga menertawakanku ketika aku kalah telak dalam permainan-permainan yang kita ikuti di game center. Meski saat itu bus yang kita tumpangi sedang ramai dan kita harus berdiri sambil berdesak-desakan, percakapan kita membuat dunia ini terasa milik kita berdua. Setelah itu kita turun dari bus. Sambil bergandengan tangan, kita melalui jalan menuju rumahku. Lalu kamu menunjuk ke arah langit, di mana bulan malam itu benar-benar indah. “Cantiknya,” kataku sambil mengambil ponsel dari dalam tas. 301
Art Exhibit
“Jangan sampai goyang.” Aku melirikmu sebal. Kamu membalasku dengan senyum lebar. “Hmph. Jangan ganggu konsentrasiku kalau begitu.” Setelah berdiam beberapa lama di trotoar, akhirnya aku berhasil mendapatkan gambar bulan itu. Aku menatap jeli hasil potretanku, sedikit kecewa. “Cahayanya kurang, jadi kelihatan kurang bagus.” Ah, kenapa kamu terlalu jujur, sih? Meski aku suka kamu yang seperti itu. “Aku tahu, tapi tidak apa-apa … yang penting adalah maknanya bagiku.” Kata-kataku itu membuatmu memandangku penasaran. Rasanya aku tahu apa yang akan kamu tanyakan setelahnya, “Memang apa maknanya bagimu?” Tuh, ‘kan. “Mm ….” Aku bergumam sebentar. Mencoba memikirkan katakatanya. Lalu aku menghadapmu. Lampu jalan di atas kepala kita menerpa kita berdua dengan cahaya berwarna oranye. Tanpa sadar aku jadi sibuk mengamati fitur wajahmu. “Hari ini hari yang menyenangkan. Dengan kamu. Dengan yang lain. Lalu bulan yang cantik ini. Intinya, hari ini membuatku bahagia. Aku ingin menyimpannya baik-baik.” “Apa aku membuatmu bahagia?” Kamu masih menanyakan itu? Jawabanku tidak pernah berubah. “Iya.” Kenangan ini masih kusimpan baik-baik, kamu tahu? Aku mengingatnya dengan jelas. Seperti foto bulan yang kupotret dengan kamera ponselku itu. Hujan masih turun dengan derasnya. Jarum-jarum tipis dari langit jatuh menghunjam bumi pertiwi. Aku hanya menatap sekilas langit kelabu di luar sebelum akhirnya pergi menjauh dari foto itu. *** Foto ketiga bagiku adalah foto yang spesial. Sebab kita berdua ada di dalam foto itu. 302
Antologi 1820
Aku bisa mengingat suara rana kamera yang memotret kita di tengah keramaian. Malam itu adalah malam pesta dansa di sekolah. Sebenarnya aku ragu bisa pergi bersamamu, kita berdua sama-sama tahu alasannya. Saat aku bertemu denganmu di depan pintu, untungnya ayahku tidak mengusirmu dari rumah. Kamu membawaku dengan mobil yang kamu pinjam dari kakakmu. Aroma apel dari pengharum mobil membuatku pusing sampai aku harus membuka jendela. Kamu mencoba untuk mencairkan suasana dengan memutarkan musik dari radio, tetapi lagu-lagu yang diputar malah tidak membuatku tenang. Akhirnya kamu mematikan radio. Kita pun berbicara sepanjang perjalanan. Kamu memuji gaunku dan aku memuji setelanmu. “Kurasa kita akan menjadi pasangan yang keren di pesta nanti.” Mendengar itu, kamu terkekeh. “Percaya diri sekali. Kamu yakin?” Aku menyilangkan tanganku di depan dada. “Kata orang yang tadi bilang kalau dirinya keren sekali dengan ‘setelan dan rambut rapi’.” Pipimu langsung memerah sampai aku terkikik geli. “Kamu terlihat tampan hari ini, Jerome.” Mau kamu bilang kalau setelan itu didapatkan dari kakakmu, itu bukan masalah untukku. “Bethany …,” katamu, mengulurkan tangan untuk menggenggam milikku. Rasanya hangat. Sejenak kita hanya saling memandang. Sampai akhirnya kamu bilang, “jadi pasangan terbaik pesta tahun ini?” Aku menyeringai kecil. “Pasangan terbaik.” Kalau kamu masih ingat lanjutannya, sebenarnya kita tidak berhasil. Pasangan lain berhasil memenangkan penghargaan tersebut. Namun, kita berdua hanya tertawa. Pembicaraan tentang menjadi pasangan terbaik itu menjadi candaan pribadi bagi kita berdua. Bahkan, kita sampai meminta Ann dari Klub Jurnalistik untuk memfoto kita. Dia tampak bersemangat ketika kita memintanya untuk mengambil foto kita berdua. “Kalian tidak perlu naik ke atas panggung untuk menjadi pasangan yang terbaik—ayo, rapatkan diri kalian, rapatkan—bagus! Senyum!” Ann menggestur
303
Art Exhibit
kita berdua untuk berpose. Aku melirik padamu sekilas, tetapi dengan cepat kamu mengambil inisiatif dengan merangkulku. Blitz kamera menyala. Aku tidak melepas diriku dari dekapan tanganmu. Sengaja. Aku suka sekali berada dalam pelukanmu. Jadi, aku menyandarkan kepalaku pada lenganmu. “Duh ... kalian memang benar-benar pasangan favoritku,” ujar Ann sambil memeriksa foto-foto di dalam kameranya, tampak tersenyum puas. “Oh ya, hubungi aku kalau kalian mau fotonya. Kalau bisa spam chat-ku saja. Terlalu banyak pesan yang belum aku baca!” “Ah, baiklah. Trims, Ann—” “Ann!” Dari belakang, Mindy yang merupakan panitia pesta muncul sambil melambaikan tangan. “Hai, kalian berdua! Maaf mengganggu. Aku mau menarik Ann, nih—Ann, aku sudah dapat yang bisa diwawancara untuk liputanmu.” “Whoops. Panggilan untukku,” kata Ann, terkekeh. “Aku duluan! Langgeng ya, kalian!” Gadis Anderson itu pun pergi bersama dengan Mindy ke sudut pesta yang lain, meninggalkan kita berdua. Kita akhirnya tetap di sana. Membiarkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan kita berlalu dengan sendirinya. Orang-orang yang berdansa, canda dan tawa dari percakapan di sekitar kita, musik yang sedang diputar—aku hanya mendengar dan melihat semua itu sekilas. Yang kuperhatikan adalah betapa nyamannya bersandar pada dirimu, suaramu ketika kita bercakap-cakap pelan di tepi ruangan, wangi pengharum pakaian dari kemejamu. Seolah-olah kamu adalah poros duniaku. Apa aku poros duniamu juga? Musik yang mengalun kemudian berubah, dari lagu berirama cepat dan penuh energi menjadi lagu romantis yang lambat. Setelah itu kamu melepaskan tanganmu dan menatapku penuh arti. “Mau berdansa denganku?” “Tentu saja.” Cahaya warna-warni dari atas menerpa kita berdua, memancar dalam gerakan perlahan. Kita juga bergerak perlahan, mengikuti irama musik yang 304
Antologi 1820
lambat. Kamu sedikit ragu-ragu di awal, dengan pandangan matamu yang goyah. “Tatap mataku,” kukatakan itu padamu, saat kamu terus menerus melihat ke bawah. Ketika mata kita saling bertemu—cokelat dan hijau—aku pun tersenyum. “Jangan khawatir. Kamu bisa melakukan ini, lihat?” “Haha, kalau itu aku tahu …,” begitu balasmu, kini tak lagi menatap lantai terus menerus. Kamu tampak seperti menelan ludah sebelum melanjutkan dengan, “bukan itu yang kumaksud.” “Eh? Apa jangan-jangan ada sesuatu yang salah dariku?” Aku mulai panik, tetapi gelengan kepalamu mengatakan hal sebaliknya. “Bukan. Matamu—hhh. Susah sekali menatap matamu sedekat ini .…” “Oh.” Aku hanya tersenyum. Untunglah rona merah di pipiku bercampur dengan cream blush berwarna pink yang membuatnya tak terlalu kelihatan. Atau justru sebaliknya? Setelah pesta berakhir dan kamu mengantarku pulang, aku langsung mengirim pesan pada Ann. Gadis itu merespons setelah aku mengirimnya pesan beberapa kali. Kuangkat ponselku tinggi-tinggi, tak henti-hentinya aku memandang foto kita berdua. Senyumku merekah. Aku mengirim foto itu padamu pada malam yang sama. Kamu bilang dalam pesanmu, ‘aku suka dengan fotonya’. Aku hendak menjawab, tetapi suara ketukan di pintu—dan suara ayahku yang terdengar seperti marah dari baliknya—menunda niatku itu. Apa kamu masih menyimpan foto itu? Suara rintik hujan yang deras belum juga berakhir. Bahkan, kali ini aku tak melihat keluar jendela. Aku hendak mengulurkan tangan untuk menyentuh foto itu, tetapi tulisan ‘Tolong jangan menyentuh karya pameran’ menghentikan gerak tanganku. Tanganku terdiam sesaat di udara. Sejenak, aku hanya terdiam. Sebelum akhirnya aku melanjutkan perjalanan, meninggalkan foto kita berdua. ***
305
Art Exhibit
Ada banyak foto lainnya yang ditampilkan dalam pameran ini. Aku melihat fotofoto itu satu per satu, mengenang apa yang pernah terjadi, dan selalu pergi setelah selesai. Koridor yang kulewati berakhir pada sebuah pintu besar, seperti pintu dari teater bioskop tempat kita berkencan pertama kali. Tanpa ragu aku mendorong gagang pintu, mengungkap ruang gelap dengan layar film yang besar dan deretan kursi layaknya sebuah bioskop. Proyektor film dari atas menyoroti layar, tetapi belum ada apa-apa pada layar itu selain warna abu-abu polos. Aku menaiki tangga sampai baris tengah kursi dan mengambil tempat duduk tepat di tengah. Dengan begitu, aku duduk persis di tengah ruangan itu. Sementara kursikursi lainnya kosong. Hanya ada aku. Pendingin ruangannya membuatku sedikit menggigil. Aku menarik ujung lengan mantelku ketika kudengar suara perhitungan mundur. Angka sepuluh muncul di layar. Kamu, berambut pirang kecokelatan keriting dan bermata cokelat, senyum hangat dan tawa yang ringan, muncul setelah angka nol. Kamu sedang berdiri di depan pintu yang begitu familier. Pintu rumahku. Setelah sekian lama, pintu itu terbuka, dan kamu justru menemui ayahku. Beliau menatapmu tidak suka. Lalu kalian terlibat dalam sebuah perdebatan. Aku ingat sekali bagian ini. “Tinggalkan anak saya,â€? ucap ayahku final. “Saya tidak berniat untuk menyerahkan putri saya pada orang seperti kamu.â€? Benar, ayahku tidak pernah menerima keberadaanmu sebagai kekasihku. Aku pikir beliau akhirnya menyetujui hubungan kita setelah kamu menjemputku untuk pesta dansa. Namun, latar belakang yang kita berbeda, ketidakpuasan ayahku ‌ beberapa alasan mengapa hubungan kita mengundang pertentangan beliau. Aku tidak bisa masuk ke universitas yang sama denganmu. Akhirnya diam-diam kita mempertahankan hubungan kita. Aku juga meyakinkanmu kalau aku akan menemukan cara agar kita bisa bertemu, menjalin komunikasi tak peduli jarak yang memisahkan kita. Kita bertemu beberapa kali, mengirim pesan, menghubungi satu sama lain dengan video call. Sulit sekali, ya? 306
Antologi 1820
Suatu saat aku melihat seorang gadis berjalan bersamamu. Annemarie Silverstein. Cantik, cantik sekali. Kamu tersenyum dan tertawa bersamanya, layaknya kita berdua saat masih sekolah. Dia terlihat akrab denganmu, mulai dari tangannya yang menepuk bahumu, atau candaan yang terlihat kalian bagikan. Gadis itu membuat hubungan kita sempat renggang. Aku merasa khawatir, kamu waktu itu belum menjelaskan apa-apa, dan teman-temanku juga mulai menasihatiku. “Tinggalkan saja dia kalau memang dia selingkuh,” kata Kila— Shaquilla Wilcox, sahabatku yang paling rasional dan bisa diandalkan—saat aku dan sahabat-sahabatku sedang menghabiskan waktu bersama di kamarku. “Kamu juga harus bahagia, tahu.” “Tidakkah lebih baik kalau kamu memastikan dulu seperti apa hubungan pacarmu dengan gadis itu—Millie, ya?” Lana—Nicole Marvelle, sahabatku yang lain—menambahkan sambil ia membuka-buka buku pelajarannya. “Maksudku, mungkin pacarmu bukan orang seperti itu juga …. Apalagi kamu juga mengenalnya sejak lama, bukan?” Walau pada akhirnya memang tidak ada hubungan di antara kamu dan Millie, sempat terjadi kesalahpahaman, tetapi kita berdua dapat meluruskannya. Memang masih ada banyak rintangan dalam hubungan kita waktu itu. Layaknya suatu hubungan, kita bertengkar, menangis, tidak menghubungi satu sama lain. Namun, juga berbaikan dan akhirnya menghabiskan waktu bersama-sama lagi. Waktu terus berlalu, dengan cepat di dalam film itu, dari kita akhirnya lulus dari universitas masing-masing, lalu mendapatkan pekerjaan …. Kita berdua juga berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari ayahku. Susah sekali untuk mendapatkannya. Namun, kita berhasil. Setelah beberapa tahun. Kalau tidak, mungkin undangan-undangan itu tidak akan pernah disebarkan. Sebuah aula yang tak terlalu besar di kota disewakan untuk acara pernikahan. Hari itu aku mengenakan gaun putih yang teramat cantik, rancangan salah satu temanku. Ayahku akhirnya bisa menerimamu dan tentunya tak bisa melewatkan kesempatan sekali seumur hidup untuk mengantarkan putri semata wayangnya ke pelaminan.
307
Art Exhibit
Aku tersenyum melihatmu di altar. Setelah bercium pipi dengan ayahku, aku pun melangkah perlahan untuk berdiri di hadapanmu. Pendeta memulai seremoni dan setelah itu kamu mengucapkan janjimu. Ketika sudah giliranku, aku pun berkata, “I, Bethany Millard, take you, Jerome Southwark, to be my husband, to have and to hold from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, to love and to cherish, till death us do part, according to God's holy law, in the presence of God I make this vow.” “You may kiss the bride,” kata sang pendeta. Layaknya sebuah kisah dongeng dengan akhir yang membahagiakan, itulah cerita kita. Kita saling berciuman. Riuh tepuk tangan mengiringi kita, dan juga layar film yang perlahan-lahan berganti menjadi hitam. Film yang indah itu pun sampai pada akhirnya. The End. *** “Bethany?” Suara dari belakang membuatku menutup buku jurnal yang sedang kubaca. Pria yang membuka pintu ruang kerjaku itu tersenyum. Lalu dia menghampiriku dan mengecup pipiku. Senyumku mengembang. “Ada apa, sayang?” kataku lembut sembari memutar kursi. “Aku baru saja mendapat undangan. Undangan ini ditujukan atas namamu .…” Oh? Kemudian dia memberikanku undangan yang dimaksud itu. Aku tertegun melihat nama yang tertera. Setelah itu, kuletakkan undangan itu di atas mejaku. Tanpa sadar aku mengusap-usap cincin yang membalut jari manis kiriku. Namamu itulah, yang tertulis di atas undangan itu, mengundangku untuk datang ke pernikahanmu. ****
308
UCAPAN TERIMA KASIH
A
da banyak orang terlibat dalam pembuatan Antologi 1820 ini dan rasanya terima kasih saja belum cukup. Dimulai dengan para penulis; Ann, Rona, Millie, Jinny, Anna, Asger, Bethany, Cao, Cole, Gene, Julian, Leighton, Lynette, Marjorie, Mindy, Lana, Osiris, Kila, Sunny, Victoria, Zuriel, terima kasih karena sudah menulis untuk kumpulan cerita pendek ini, sudah berusaha menahan diri dari aturan 3000 kata, sudah memilih menjadi hidup dalam memori versi kita— 1820—yang lain. Serta teramat spesial untuk Mark dan Meredith yang menjadi pengumpul cerita paling pertama, yang semangatnya menjadi pencetus awal saya untuk berpikir, “Antologi ini harus selesai dan terbit.” Terima kasih banyak-banyak untuk para penyunting; L, terima kasih karena kamu bahkan menawari bantuan lebih. Marjorie, terima kasih banyak pasti kurang atas bantuan yang jumlahnya entah sudah berapa, entah sudah apa saja. Lynette, terima kasih karena selalu ada ketika semuanya tampak tidak mungkin. Rona, terima kasih atas waktunya, atas cerita, dan semangat yang sudah diberi. Freyr, terima kasih atas tawaran bantuannya yang sangat berarti. Jinny, terima kasih sudah mau-maunya menaati deadline dua hari itu. Lana, terima kasih atas balasan pesannya yang selalu baik padahal sedang direpoti. Asger, terima kasih sudah menyempatkan diri, ya. Einar, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk Ambrose Sinyard yang namanya dijadikan password surel antologi—oleh Ann Anderson. Serius, coba saja, Imb. Terima kasih untuk Kila, Shaquilla, karena selalu mau membantu ini dan itu, selalu menjadi penjawab nomor satu, maaf aku mengandalkan Kila terus, ya. Terima kasih. Sekali lagi terima kasih untuk Lynette karena ketika tanganku penuh atau aku butuh seseorang untuk berpegangan, kamu ada terus. Terima kasih
309
sudah mau membaca semua cerita, bahkan saat orang lain belum. Terima kasih atas waktunya yang pasti banyak teralih karena antologi ini, dari awal sampai akhir. Lynette … kita akhirnya berhasil. Untuk Bethany yang gambarnya luar biasa bagus sekali. Terima kasih banyak untuk dua puluh dua ilustrasi yang semakin membuat hidup ribuan kata ini. Semua pasti setuju kalau ini bagus, lebih dari bagus. Terima kasih juga atas tanggapan, bantuan lain, terima kasih atas obrolan-obrolan kita dalam grup. Terima kasih juga untuk Caoilainn atas sharing pengalamannya yang berharga. Terima kasih untuk spasi, page setup, Cronos, sesi curhat, layout, dummy, sampai ongkos kirimnya. Aku belum mau berhenti merepotkan, maaf. Dan … kupikir, entah apalagi yang harus dikatakan untuk yang satu ini: Julian. Terima kasih karena responsnya yang positif—terlalu positif—yang klik dalam satu detik saat ide menulis itu tiba-tiba muncul. Lalu, terima kasih karena sudah pasrah bersedia terlibat bukan hanya semua tentang layout, tetapi juga sakit kepalanya kita perihal ejaan bahasa Indonesia dan revisi, revisi, revisi lagi. Terima kasih sudah mendengarkan. Sudah ikut tertawa, termasuk menertawakan. Terima kasih untuk pembatas bukunya yang tiba-tiba jadi dalam satu malam. Kita sudah berusaha sebaik mungkin, kan? Tidak lupa, terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca kisah dalam Antologi 1820 ini. Juga, untuk para 1820—sekarang, kita akan selalu hidup. Terima kasih.
Margaux Walcott
310