[TEASER ANTOLOGI 1820] Infinite Waft by Ann Anderson

Page 1

InfInIte waft ~ Aku menikmati setiap waktuku bersamamu. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa kau begitu jauh; dan kini kusadari, kau terasa jauh karena aku tak bisa menangkap dan mengiyakan kata-katamu. Sedikit pun.


Antologi 1820

Ditulis oleh Ann anderson

I Juni 1899

J

akob “Jim” Benedikt adalah orang pertama yang Ann temui saat ia sampai di Bayreuth dengan kereta api setelah perjalanan panjangnya dari Kepulauan Inggris. “Selamat pagi, Nona Anderson,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen yang kemudian hari akan Ann kenal baik sebagai aksen Bavaria Tengah; untuk saat ini, bagaimanapun, ia hanya bisa menyebut aksen Jim sebagai aksen kumur-kumur. “Pagi,” ia menjawab, menaruh peti-petinya di tanah sesaat. “Tuan Benedikt?”

107


Infinite Waft

“Betul. Tolong panggil aku Jim saja.” Jim menjawab sambil mengangkat salah satu peti Ann. “Dan panggil aku Ann. Senang berkenalan denganmu. Kau lebih tampan dari yang kubayangkan.” Jim terbahak. “Kau bukan perempuan.” “Maksudmu?” “Tak ada perempuan yang dengan gamblang memuji ketampanan seorang lelaki.” “Ada. Aku.” “Ya, karena itu kau bukan perempuan.” “Kesimpulanmu tak masuk akal.” “Itu bukan kesimpulan. Itu impresiku tentangmu.” “Impresimu tak masuk akal, kalau begitu.” “Kemasukakalan memang bukan kriteria yang harus dimiliki impresi, sebagaimana ia adalah kriteria untuk kesimpulan rasional. ‘Kan, aku tak bisa mengendalikan impresiku terhadap kamu.” Ann mengerutkan dahinya, menahan urgensi untuk mengayunkan petinya kepada Jim dan melihat laki-laki pongah itu terjengkang. “Baiklah. Aku bukan perempuan. Untuk itu, biarkan aku tidur di kamarmu nanti malam. Tak akan ada yang keberatan, ‘kan? Pantas-pantas saja, toh aku bukan perempuan?” Jim memberi jeda sebentar sebelum menjawab, “Memang tak akan ada.” Dengan datar, sebelum tersenyum sopan seolah baru bertemu untuk pertama kali; seolah waktu mundur dan percakapan sebelumnya tak pernah terjadi. Akan tetapi, percakapan itu terjadi dan Jim betul-betul membiarkan Ann tidur di kamarnya pada malam itu, sementara ia sendiri tidur di kursi berbantal di ruang tamu. Memang bukan situasi yang dimaksud Ann dalam ujarannya sebelumnya, tetapi siapa juga yang peduli dengan maksud asli? *** II September 1899

108


Antologi 1820

Selama tiga bulan, kegiatan Ann dan Jim setiap pagi adalah begini: koran terbentang di atas meja makan, Jim duduk berdampingan dengan Ann seraya mereka menggigit roti rye polos termurah yang dapat Ann temukan dari toko roti. Mata mereka memindai halaman yang sama dan mereka akan bertengkar sampai siang hari. Dalam pertengkaran hari ini, mereka setuju akan dua hal: bahwa Kaisar Wilhelm II adalah orang gila dan bahwa ia harus diganti. Akan tetapi, mereka tidak setuju tentang siapa yang mesti menggantikan sang kaisar. “Aku harus pergi ke Berlin, aku tahu aku harus. Setidak-tidaknya, München,” kata Jim selepas menggunjingi sang kaisar. “’Harus’?” “Ya. Kau tahu perasaan bersalah ketika kau tahu kau bisa melakukan sesuatu untuk hal yang kau yakini, tapi kakimu terpatri di tempat yang tak terjangkau?” “Aku tahu.” Salah satu lagi alasannya memilih Jerman: ia ingin menyaksikan perkembangan politik komunis di Jerman. Ia tak mau hanya diam di Inggris dan menyaksikan Jerman maju dengan Rosa Luxemburg yang tulisannya ia kagumi betul. Untuk itu, Ann paham maksud Jim. “Begitulah perasaanku. Aku harus bergabung dengan Liga Pan-Jerman, aku ingin berpartisipasi dalam upaya menyadarkan lebih banyak orang bahwa mengurangi hak Yahudi adalah salah satu jalan penting untuk persatuan Jerman. Dan kegiatan liga ada di Berlin.” “Begitukah?” Ann mengangkat alisnya. “Aku tak mengerti dengan obsesi kalian terhadap orang Yahudi.” “Tampaknya sejarah orang Yahudi di Inggris tak semengerikan sejarah mereka di Jerman.” katanya. “Yang jelas, jangan sampai kau menikah dengan orang Yahudi, bahkan ketika kau sangat putus asa.” “Oh, tentu saja orang Yahudi adalah orang pertama yang kucari ketika aku sedang ingin menikah!” Ann tersenyum usil, sebelum memasang wajah lebih serius. “Aku betul-betul tak peduli dengan orang Yahudi. Banyak hal yang lebih penting dari itu. Industrialisasi membuat banyak sekali orang melarat dan orang Yahudi juga bagian dari mereka.” “Jangan naif. Orang Yahudi itu orang maruk, mereka tak akan miskin.” Begitu terus sampai mereka lelah bertengkar. Setiap hari. 109


Infinite Waft

Untuk pagi ini, Ann menempati tempat duduk tak berbantal, sementara Jim masih terlelap di kursi panjang. Sebelum ia menyiapkan sarapan di dapur dengan apa pun yang Jim punya, ia menghabiskan waktu selama lima menit untuk duduk di sana dalam sunyi. Sesekali, melirik pria yang sedang terlelap. Rambutnya pirang dan Ann dapat mengingat mata biru dan dingin yang ia saksikan semalam, kedua mata tersebut kini terhalang kelopak. Saat itu juga, Ann melayangkan pandangnya pada kertas berserakan di salah satu sudut ruangan. Partitur; salah satu bagian dari drama Tristan und Isolde, karya Richard Wagner. Ann pungut kertas-kertas itu dan matanya menyisir setiap baris partitur. Turunlah, malam penuh kasih; berikan hamba rasa lupa, agar hamba tetap hidup. Angkat hamba ke dadamu, lepaskan hamba dari dunia. Berlalu sudah kilau terakhir kita; pikiran kita; angan kita. Firasat berapi-api muncul kala memandang senja yang sakral; memadamkan ketakutan palsu, menyelamatkan hamba dari dunia.1 “Ah, kau menemukan itu.” Jim kini duduk di kursi dan menggosok mata. “Kau akan menyukai partitur itu, penuh catatan dari Tuan Wagner sendiri. Tadinya ditujukan untuk seorang dirigen dari Wina tak lama setelah Tuan 1 Terjemahan bebas lirik lagu “O sink hernieder, Nacht der Liebe” (dikenal juga sebagai Love Duet), lagu dalam drama Tristan und Isolde karya Richard Wagner, 1865. Tristan und Isolde adalah kisah kuno tentang sepasang kekasih yang jatuh cinta pada satu sama lain karena ramuan cinta dan sejak saat itu, tak terpisahkan. Pada akhirnya mereka mati dalam pengaruh ramuan cinta tersebut.

110


Antologi 1820

Wagner wafat—aku ditugasi Nyonya Wagner untuk mengantarkannya—tapi dirigen itu mengembalikannya padaku setelah ia selesai mementaskannya.” “Kau bercanda!” Ann memperhatikan lebih jelas tulisan mungil di sepanjang tubuh partitur. Catatan itu rinci, kelewat rinci, kentara betul bahwa Richard tak rela buah hatinya diberikan begitu saja kepada orang lain. Jim bercerita bahwa ia bekerja untuk dinasti Wagner: mengantarkan partitur dan tawar-menawar dengan penerbit partitur. Ia adalah perpanjangan dari tangan kanan Cosima Wagner. “Pertama kalinya menyaksikan Tristan und Isolde di Inggris, aku bersama ayahku. Beliau pun mengidolakan Tuan Wagner.” Ann menerawang, kemudian melanjutkan sambil mengingat alasan utama ia datang ke Bayreuth. "Tristan und Isolde adalah karya Tuan Wagner favoritku, apalagi setelah aku jatuh miskin. Entah bagaimana ada yang membuatku ingin seperti Tristan dan Isolde, aku ingin minum ramuan yang dapat membuatku jatuh cinta dengan kehidupan lagi karena aku betulan sudah lelah.” Mengangkat bahu. Ann melanjutkan, “Tak kusangka kelaparan membuatku sebegini terpuruknya. Dulu, aku percaya bahwa aku petualang, malah menantang hal terburuk untuk terjadi padaku karena aku ingin tahu bagaimana rasanya. Dan aku memang berhasil menjadi baik-baik saja untuk waktu yang lama.” “Lalu bersama perginya keluargaku, pergi pula uangku dan segala kepunyaanku. Aku lapar. Aku tidak bisa hidup kelaparan. Setelah mendapatkan penolakan kerja terakhirku dari ratusan penolakan yang kuterima, kuputuskan bahwa aku mesti merelakan kehidupanku, jika memang harus berakhir lebih awal.” Jeda hening. Jim menggosok hidungnya, Ann mengulum bibirnya. Jim lah yang pertama memecahkan keheningan tak nyaman itu. “Kau tahu bahwa Tristan und Isolde bukanlah tentang kepasrahan, ‘kan?” tanyanya sambil merapikan tumpukan partitur yang sebelumnya dibuat berserakan oleh Ann. “Secara bentuk maupun isi cerita, Tuan Wagner memaksudkan Tristan und Isolde sebagai cerita tentang hasrat mentah dan hewani. Kau menginginkan sesuatu dan kau rela mati bersamanya. Bahkan, ketika hal yang kau inginkan ternyata hanya ilusi atau tipuan. Kau mati dalam upaya menuju impianmu, bukan karena kau tak menginginkan apa-apa lagi.” 111


Infinite Waft

Ann menarik napas panjang. “Impianku sudah habis. Percuma punya impian kalau kau tak punya uang, ‘kan? Aku ingin pergi ke negara-negara di utara. Aku ingin meneliti tentang cerita-cerita Nordic dan aku ingin menulis cerita anak-anak di sana untuk kubagikan pada anak tetangga. Aku ingin makan ikan yang banyak, melihat gletser dan gunung berapi. Oh, dan aku ingin revolusi.” Ann melirik ke arah Jim dengan senyuman usil, berharap Jim akan memberikannya wajah jijik sebelum melanjutkan lagi. “Tapi, seperti yang kau bilang tadi: keinginanku ilusi dan tipuan. Aku takut kebebasanku direnggut, tapi aku butuh uang dan kau tidak bisa bebas dengan uang yang kau dapatkan dari pernikahan. Aku seperti Isolde yang dipaksa menikah dengan Raja Marke, bukan Isolde yang jatuh cinta pada Tristan hingga rela melakukan apa pun untuk bersamanya. Tetapi, seperti Isolde, aku mau menyerahkan diri kepada hal terburuk, kendati dikendalikan oleh pernikahan.” Angin pagi yang berembus dari jendela melayangkan kertas-kertas partitur yang sudah diatur Jim dengan rapi, tetapi tangan Ann sigap menangkap lembaran yang melayang ke arah wajahnya. Menatap Ann lurus, Jim menanggapi, “Mengapa kau memilih untuk menyerahkan diri kepada keputusasaan dan bukannya impianmu? Menikah bukan berarti kebebasanmu akan direnggut. Kau akan punya suami, kau akan dipandang baik oleh masyarakat, kau akan memiliki uang, dan kau tetap bisa menulis cerita, asal kau tak melupakan tugasmu sebagai istri. Siapa tahu, kau punya pilihan untuk pergi ke negara-negara di utara, atas izin suamimu. Kau punya pilihan dalam segala keterbatasan yang sepatutnya, termasuk keterbatasan yang kau punyai sebagai perempuan. Terima itu, maka pilihan akan datang sendiri kepadamu.” “Lihat sekitarmu, kau kini berada di negara terbaik di dunia. Pilihanmu untuk datang ke sini membuatmu bisa menemui kami. Progres dan tradisi bertemu dan berkelindan di salah satu era terbaik sepanjang masa. Kau punya banyak pilihan di negara ini. Oh, dengan catatan, revolusi yang kau maksud, mudah-mudahan, bukan revolusi komunis, tetapi revolusi komunitas etnis Jerman. Selain itu bukanlah pilihan. Bukan pilihan, perempuan.” Ann menahan napas mendengar beberapa kalimat terakhir Jim. Ia tak tahan mendengarnya, tetapi Ann sungguhan simpatik akan pandangan Jim. Ia 112


Antologi 1820

dapat melihat bagaimana seorang Jerman dapat mencintai tanah airnya sendiri dengan perasaan luar biasa, terutama setelah mendengar kawan-kawan Jim berbicara tentang Jerman. Perasaan meledak-ledak, yang sebelumnya begitu ia benci, Ann, perlahan, memahaminya. Ketika ia merasa begitu sendirian, ia merindukan memiliki perasaan kuat. Kesendiriannya penuh lubang yang bisa dimasukkan lengan. Sikap yang dulu ia banggakan, sebagai lambang tak tertariknya ia pada gerakan menihilkan nilai akal, kini terasa tak bernilai. Akan tetapi, alas, betapa buruknya jika ia merasa bermartabat karena rasnya. Ann perlahan memahami bahwa Kekaisaran Jerman, lebih daripada bagian dunia lainnya, begitu menghargai dan mencintai dirinya sendiri sampai tingkat yang tak akan bisa dicapai oleh bangsa lainnya. Entah itu nasionalisme atau narsisisme. Matanya memandang lurus kedua mata Jim, tetapi tidak bertahan lama karena ketika matanya bertemu mata Jim, ia merasa terungkap. Apanya yang terungkap, Ann tak tahu juga, tetapi Ann tak mau matanya bertemu mata Jim. Sebelum ini, saat ia berbicara, Ann hanya memandang lantai kayu yang agak usang. “Kita berbeda sekali, ya?” Ann tertawa. “Andai aku bisa setuju padamu, rasanya akan lebih mudah.” “Lebih mudah untuk apa?” “Untuk percaya padamu bahwa aku bisa memiliki impian, kau tahu. Aku ingin bisa memercayaimu sepenuhnya. Aku menikmati setiap waktuku bersamamu. Tapi entah mengapa aku merasa kau begitu jauh dan kini kusadari, kau terasa jauh karena aku tak bisa menangkap dan mengiyakan kata-katamu. Sedikit pun.” Ann dapat melihat bahwa Jim tak menyangka akan kalimat yang keluar dari mulut Ann. Ann tahu, Jim berpikir bahwa Ann adalah perempuan yang luar biasa jujur, tetapi pikiran macam itu—bahwa perempuan itu tak bisa percaya padanya—tak pernah terlewat di kepala Jim. “Aku memercayaimu meski dengan pandangan-pandangan bodohmu itu. Tapi aku memercayaimu,” balas Jim. “Aku betulan percaya akan mimpimu, aku percaya bahwa kau akan tetap hidup, bebas dari kelaparan.”

113


Infinite Waft

“Aku tahu,” jawab Ann. “Tapi aku tetap tak bisa percaya padamu. Kau paranoid, ide-idemu delusional. Aku kenal banyak orang yang begitu mencintai tanah airnya, tapi tak pernah kulihat intensitas nasionalisme sebesar punyamu. Aku tak bisa percaya pada orang yang hanya didorong oleh kekaguman memabukkan seperti punyamu itu, sementara banyak hal menyedihkan nyata di luar sana yang mesti kau pikirkan. Orang-orang kelaparan yang nyata, tapi kau malah sibuk memikirkan identitas ilusif.” “Oh, terlebih lagi, kau baru saja menyarankanku untuk menerima bahwa aku mesti menikah. Dan aku tahu, itu bukanlah hal yang bisa kulakukan dengan mudah. Kau pun tahu itu. Aku tahu, uang akan memberikan kebebasan, tetapi kebebasan yang kuinginkan berbeda dengan kebebasan yang kau maksud.” Jim terdiam. “Pertama, maaf kalau kau merasa bahwa aku delusional. Kau bukan orang Jerman, kurasa kau tak akan paham. Untuk itu, aku akan mengabaikan kata-kata sembaranganmu barusan. “Kedua, kurasa aku tahu kebebasan apa yang kau maksud. Kita berbicara tentang hal yang sama, jangan khawatir. Tetapi kalau kau mencintai suamimu, dan suamimu mencintaimu, kau akan mendapatkan kebebasan itu. Percayalah. Pernikahan bukan hanya sekadar uang dan martabat. Kau bisa menikahi orang yang kau cintai.” “Ideal sekali.” Ann tertawa lemah. “Tetapi tidak, aku memilih untuk tidak percaya narasi roman seperti itu. Aku tahu bahwa pernikahan adalah institusi penjaga harta, bukan hubungan cinta antarmanusia.” “Kau bodoh betul.” Jim menggelengkan kepalanya, heran dengan pertimbangan Ann yang menurutnya begitu tak masuk akal. “Kalau sekarang aku katakan bahwa aku ingin menikahimu, apa yang akan kau pikirkan?” “Aku akan tertawa di depan wajah tampanmu.” Kemudian Ann terbahak dibuat-buat. “Seperti itu.” “Wajah tampanku ini tak terpengaruh. Wajah tampan ini tetap menawarkan pernikahan. Bagaimana jika begitu skenarionya?” Ann tertawa makin keras sebelum berkata, “Aku akan tertawa seperti itu.”

114


Antologi 1820

“Wajah tampanku tetap tak gentar, ia mengecup tanganmu!” Jim tersenyum lebar, menikmati permainan bodoh ini. Kini tawa Ann makin keras sampai tak layak. “Aku akan bilang aku mau, asal kau meninggalkan segala pandangan politismu dan meninggalkan ambisimu untuk bergabung dengan Liga Pan-Jerman.” “Ah, maaf. Wajah tampanku akan berhenti meminta, kalau begitu. Pandanganku adalah bagian dari jati diriku. Tak akan kulepaskan untuk seorang perempuan.” Mereka berdua tertawa terbahak, kemudian melemah setelah beberapa detik, mendadak menyadari bahwa mereka sedang tidak bercanda, sama sekali. *** III Desember 1899 / Januari 1900 Jim betulan orang berpengaruh di Bayreuth. Setidaknya, ia kenal orang-orang berpengaruh. Hingga kini, 31 Desember, pukul sembilan malam, Ann menemukan dirinya menaiki tangga rumah mewah Leighton Colt, bangsawan Inggris yang mengundang keluarga Wagner beserta para ajudannya. Di sana pula, hadir wujud-wujud yang selama ini hanya serupa kabut mimpi bagi Ann: Cosima Wagner, janda Richard Wagner, dan anak-anaknya. Jim adalah kaki tangan kesayangan Nyonya Cosima Wagner dan untuk itu, ia mendapat sedikit tempat dalam acara gedongan macam ini. Ann menelan ludah, ini bukan pesta main-main, memang. Rasanya baru kemarin ia berencana bergabung dengan Rosa Luxemburg dalam gerakan komunis di Jerman dan sekarang ia berada di ruang dansa mewah bersama orang-orang yang mestinya ia lawan. Di antara orang-orang itu, bagaimanapun, yang paling menarik perhatian Ann adalah Gustav Mahler, yang Ann tebak datang jauh-jauh dari Wina untuk menghadiri pesta tahun baru Nona Colt. Ann segera menggerakkan kakinya, hendak menghampiri pria jenius tersebut—ia menyaksikan penampilan Tristan und Isolde dalam arahan Tuan Mahler di London delapan tahun lalu 115


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.