FOLKIYYIN ZINE VOL.1 SEPTEMBER

Page 1


Bacaan Paling Friendly

Zine Edisi September 2024

FOLKIYYIN

DAFTAR ISI

Sebuah Permulaan

Basa-Basi Literasi | Catatan Senior

MUQODDIMAH DINAMICANA FATWA

Aktivisme Nabi| Ulasan Turats

NUQTOH

Muhasabah Aktivis Persma SQ

NYASTRA

Pesimis Cinta | Syiir Arab

Haiku | Puisi Jepang

PLAYLIST

Rahasia

IKHTITAM

Catatan Penutup

SEBUAH PERMULAAN

Terjemahan

penulis:

1. Segala puji bagi Allah dzat yang Maha dahulu, Maha awal, maha akhir, maha kekal tanpa adanya perubahan.

3.

Penulis memulai ini dengan nama Allah, dzat yang Maha pengasih lagi maha penyayang. Yang memberikan kenikmatan tiada habisnya.

2. Serta sholawat dan salam tercurahkan pada Nabi sebaikbaiknya orang yang mengesakan Allah.

4.

Dan keluarganya para Sahabatnya serta orang orang yang mengikuti jalan agama secara benar, bukan orang-orang yang bid'ah.

Sebenarnya potongan nadhom di atas tidak ada sangkut pautnya dengan tulisan (Zine) ini. Penulis menukil nadhom hanya untuk keluwesan muqoddimah semata. Semoga atas bacaan deretan nadhom tersebut, segenap pembaca mendapat balasan berupa pahala. Aamiin. …

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan rasa antusias yang tinggi, kami mempersembahkan zine perdana bulan September yang bertepatan dengan Maulid Nabi dan PKKMB UNSIQ 2024. Melihat kesesuaian tema "Quo Vadis: Gerakan Mahasiswa Berbasis Riset dan Literasi" milik PKKMB UNSIQ 2024 diiringi kegetiran kami terhadap mahasiswa yang loyo dalam menulis, maka Zine ini serupa oase di gurun pasir. Tema Zine dipilih sebagai rasa gembira atas kelahiran Nabi

Muhammad S.A.W yang sosoknya merupakan peralih zaman jahiliyyah menuju renaissance of islamic era.

Zine ini merupakan sarana bagi ide-ide kami yang mungkin belum banyak didengar dan juga cerita-cerita kami yang pantas untuk dipublikasi. Beranjak dari lembar satu ke lembar lainnya, kami harap pembaca akan mendapatkan sesuatu yang baru. Di mana setiap kontributor membawa perspektif unik untuk memperkaya isi zine ini.

Namun lain daripada itu, kami haturkan terima kasih kepada para pembaca, apabila sudah berkenan membaca dari awal sampai akhir. Tak lupa saya juga meminta maaf sebesar-besarnya bilamana zine ini kurang memuaskan.

Atau terdapat tulisan yang menyinggung pembaca dan pihak lain.

Sekiranya itu yang dapat kami tulis Selamat membaca dan semoga ada pelajaran yang dapat diambil dari zine ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

“BASA-BASI LITERASI”

Petang itu sayup suara lantunan Al-Quran dari masjid sekitar, menandakan sebentar lagi adzan maghrib. Bersamaan dengan itu kontributor zine ini masih bergumul di lantai 2 sebuah warung kopi. Sebenarnya, kuranglah tepat bila tempat ini disebut warung kopi Karena tempat ini berawal dari sebuah toko akuarium dan ikan hias, yang kemudian pada lantai atas disulap menjadi warung kopi.

Kembali lagi pada pergumulan kontributor tadi. Hal ini terjadi karena kontributor sedang "rapat" sambil mengobrol tentang dunia. Dan selayaknya obrolan pria lain yang sering tak tentu. Tiba-tiba topik obrolan sampai pada perbincangan tentang tulis menulis. Obrolan ini diawali dengan membahas buku. Lalu beranjak ke karya tulisan dan sampai pada obrolan tentang zine. Kami sedang membahas zine milik LPM SQ tahun 1997 kala itu. Dan lama kelamaan perbincangan tentang zine ini semakin menarik, sekilas terbersit dalam pikiran saya "sepertinya buat zine bagus juga". Obrolan mengenai pembuatan zine pun dimulai.

Zine ini dapat dikatakan kejar tayang. Bagaimana tidak? Dalam waktu kurang dari 2 minggu, kami (kontributor) dipacu untuk merampungkan zine ini. Dan juga, sebenarnya kami lumayan memaksakan adanya zine ini terbit. Pasalnya, kami sedang ada karya tulisan lain yang menunggu digarap. Tapi kami malah memilih membuat zine ini. Bukan tanpa sebab kami mengesampingkan karya tulisan yang sebelumnya dan malah melanjutkan zine ini.

Namun karena kami sedang dalam kejenuhan dan penat selama menggarap karya tulisan sebelumnya. Maka kami beranikan diri untuk berpaling sebentar, mencari hiburan baru agar masalah-masalah tadi dapat terlerai. Akhirnya sampailah kami dalam pembuatan zine ini.

Dan.. seperti yang sedang kalian pegang ini hasilnya. Cerita mulai dari muqaddimah sampai tulisan ini. Juga karya tulisan lainya, terangkum dalam bentuk lembaran yang menyatu. Sekian dan terimakasih, have a nice day.

“SUARA

(PERLAWANAN) AL-QUR’AN; MELIHAT AKTVISME NABI”

Dalam kitab “Shohih Al-Bukhori” beralamat bab “Al-Madlolim wa AlGhosb” diceritakan oleh:

Pengarang kitab, Imam Bukhori, seterusnya diperoleh dari Ali Bin Abdillah, Sufyan, Ibnu Abi Najih, Mujahid dan Abi Ma'mar bercerita bahwa Abdillah Bin Mas'ud menceritakanbahwa, ketika Nabi datang di Mekkah, sebanyak 360 berhala berada di sekeliling Ka'bah. Nabi bertindak lewat aksi menghancurkan berhala itu dengan tongkat di tangannya.

Beliau berdo'a, mengutip penggalan surat Al-Isro ayat 81:

"Mbiyen pas zaman warnet tahun 2000-an cah-cah do rak gelem ngaji. Wayah maghrib lungo warnetan. Naliko mujahadah, bapak panggilan untuk Kiai Ma'arif Iskandar nate mahos ayat niki (Al-Isro, 81) sareng warga kagem mujahadah. Turine bapak, ayat mahu samidiwahos sakwuse mahos bismillah kalian nggenggem pasir. Pasir niki sahene dibalang ten area warnet supoyo tutup. Amergi lare-lare mboten sami bidal ngaji. Perkawis kang madloroti kedah kalah," begitu kira-kira cerita Gusku dengan bahasa jawa khas bahasa pegon Kiai Bisri.

Interpretasi (penafsiran) ayat di atas kerap diejawantahkan dalam bentuk lirik lagu atau frasa aroma perlawanan.

“Habis

Gelap Terbitlah Terang”

(Raden Ajeng Kartini, Aktivis Perempuan Masa Kolonial Asal Jepara)

“Kebenaran

akan terus

hidup ia tak akan mati meski bola mataku diganti”

(Wiji Thukul, Aktivis Era Orde Baru yang Dihilangkan Paksa,1998)

“MUHASABAH AKTIVIS PERS MAHASISWA

SHOUTUL QUR’AN”

Pers mahasiswa punya andil besar dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Meski statusnya bukan organisasi kemahasiswaan besar dan masyhur, pers mahasiswa itu tradisi. Setidaknya ada tiga kultur pers mahasiswa. Pertama, kesadaran yang menempatkan posisi pers mahasiswa jadi bagian penting dalam sejarah (historis) sebagai aksi-refleksi. Kedua, kesadaran pers mahasiswa untuk menempatkan diri dalam konteks ruang dan waktu. Ketiga, kesadaran praktis untuk memahami bahwa jalan jurnalisme yang ditempuh di kampus adalah untuk menjaga keseimbangan dan menakar nilai demokrasi, yakni mulai dari ruang terkecil dan berfokus di sana. Meski pada prosesnya, pers mahasiswa seringkali dihadapkan dengan berbagai macam persoalan dan tantangan.

Tulisan ini tak membahas kegetiran pers mahasiswa, melainkan menawarkan cerminan berupa identifikasi diri. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: mampukah kita melestarikan ideologi dan orientasi pers mahasiswa sekarang? .

Satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan itu, sebagai awak pers kampus, adalah dengan bercermin secara mandiri via kesadaran. Karena mulai dari tradisi inilah keraguan luar biasa pers mahasiswa hari ini diharapkan bisa hanyut lalu berganti-pasang sikap militan.

Supaya pemahaman tentang pers mahasiswa lebih dekat dan menarik, maka cermin kesadaran dalam tulisan ini akan berkiblat kepada Lembaga Pers Mahasiswa Shoutul Qur’an (LPM SQ) lewat perspektif aktivis pers mahasiswa medio 1990-1998.

Keterangan beserta kutipan yang terkandung dalam tulisan ini bersumber terbitan “Sautul Qur’an” edisi khusus Ospek ’97 bulan September tentang forum study club di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jawa Tengah di Wonosobo.

IIQ si “Kampus Dinamis”

Mahasiswa IIQ Wonosobo di tahun 1990-an mendapati forum study club tengah bermekaran. Kelompok belajar itu menamakan diri sebagai

FATWA (Forum Aktivitas Mahasiswa), SCA (Study Club Al-Arqam), dan IKHTIBAR (Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Bahasa Arab).

FATWA merupakan forum yang terbentuk bulan November 1995 dan mulai aktif di tahun yang sama. Anggotanya sedikit namun punya latar belakang beragam. Umumnya diisi oleh mereka yang gemar membahas tentang kelimuan sosial-politik, hukum ketatanegaraan sampai ke-AlQuran-an. Mereka berfokus pada segi kualitas anggota. Hanya 10-15 orang yang bertahan dari 40 mahasiswa yang sempat bergabung.

Lain hal dengan IKHTIBAR. Kelompok belajar yang kemudian jadi Unit Kegiatan Mahasiswa (Sekarang UKM itu bernama NAWASENA) memiliki kajian seputar Bahasa Arab Melihat latar belakang anggotanya, kelompok ini diisi oleh mahasiswa Faktultas Tarbiyah prodi Pendidikan Bahasa Arab. Idealnya, mahasiswa yang bergabung di kelompok IKHTIBAR sesuai dengan spesifikasi dan ciri khas dari kampusnya, IIQ. Yakni, hafal AlQur’an, bisa menulis khat Arab dengan baik, serta mampu mempertanggungjawabkan keilmuannya.

Terakhir ada SCA. Kelompok ini berdiri saat kondisi gerakan mahasiswa IIQ sedang membeku. Orientasinya membahas mata kuliah secara tematik dan berkala. Pelopornya adalah mahasiswa Dakwah (Sekarang KPI, Komunikasi Penyiaran Islam) tahun 1996. Kelompok ini sifatnya independen.

Ketiga kelompok belajar mahasiswa itu membentuk diri dengan latar belakang berupa keprihatinan atas kondisi intelektual mahasiswa yang dilabeli Al-Qur’an sesuai nama kampus. Harapan ketiganya tak mulukmuluk, bisa terus eksis dan digemari banyak mahasiswa yang belum punya wadah untuk belajar di jalur keilmuan.

Lalu, di mana pers mahasiswa Shoutul-Qur’an (SQ)? Apa peran SQ di bawah atmosfir “kampus dinamis” yang di masanya sedang bergejolak semangat belajar dan mekarnya forum-forum kemahasiswaan?

Entitas Penerbitan Alternatif

Penerbitan karya tulis mahasiswa diinisiasi oleh A. Muzan, Thohirin dan Aminuddin. Mereka merintis penerbitan ini mulanya tak melalui prosedur dari IIQ. Bisa dibilang underground; mencetak kumpulan tulisan lewat medium koran lalu menjualnya semata-mata untuk peredaran informasi sekaligus menjawab trend “Kampus Dinamis” itu kepada mahasiswa.

Berdasarkan narasi sejarah, penerbitan kampus IIQ dimulai tahun 1991 bulan September. A. Muzan merupakan Pimpinan Umum pertama yang sekaligus jadi pelopor aktivitas pers mahasiswa di IIQ sampai 1995

Di kolom “Ta’aruf” koran SQ Edisi Khusus, Muzan menulis lewat opininya berjudul “Jadikan Sarana Aksi” sebagai dorongan semangat mahasiswa baru tahun 97 sekaligus untuk merefleksikan fungsi pers mahasiswa kepada aktivis SQ di tahun yang sama yang kelak terbaca juga bagi generasi setelahnya di tahun 2024.

“Jendela aktivis kampus adalah pers mahasiswa, ” tulis Muzan dalam paragraf awal pembuka opininya.

Sebetulnya pers kampus (majalah) itu sebagai wahana aktualisasi mahasiswa, sambungan kutipan di awal, juga merupakan wahana aksi. Selanjutnya pers kampus bisa jadi pengembangan mahasiswa, antara lain: pengembangan ilmu pengetahuan, aktualisasi pengalaman ilmu, dan biasanya dengan adanya pers kampus, mahasiswa termotivasi untuk menulis di media massa.

Mengenai nama Shoutul Qur’an, Muzan menyinggung bahwa dipilihnya nama itu sudah satu paket dengan nama kampus, sehingga kebebasan memilih nama lain terhalang pemilik sumber uang penerbitan.

“Nama SQ sebenarnya paketan dari Institut. Tadinya mau diberi nama ‘AtTibyan’ atau ‘Al-Furqon’ tapi karena itu kehendak dari yang menyuplai dana ya, OK lah. Misalkan nama SQ dibaca sama mahasiswa lain, kan, terlalu ‘ngislami’ begitu,” jelasnya.

Mengingat nama SQ bercorak Al-Qur’an, Muzan meneguhkan pers mahasiswa tetap berpegangan sesuai nama secara substansial. Dirinya mengakui selama awal masa berdirinya SQ, majalah yang diterbitkan tak punya proposal atau semacamnya yang terlebih dahulu harus disetorkan kepada IIQ.

Soal kejelasan nama dan rubrikasi kolom yang termuat, harapan Muzan, bisa dikembangkan secara variatif. Di tahun 1997 saat opininya dimuat, ia berharap supaya SQ bisa menerbitkan majalah tiga bulan sekali. Jika hanya terbit sekali selama satu semester terkesan main-main dan tak serius.

Dirinya meyakini seandainya SQ berisi 100 orang kru, yang bekerja hanya 3 orang. Selebihnya hanya menjadi obyek penderita dan unsur pelengkap saja.

Satu harapan terakhir Muzan: SQ bisa terus hidup saja sudah lumayan.

Source: LPM dJatinangor

Pers mahasiswa punya definisi berat dan amat mulia: Pers cum mahasiswa, yakni pers yang juga mahasiswa. Mengandung orientasi yang berguna dan tak lepas dari kemanusiaan, keadilan, dan kerakyatan. Ada lima rumusan besar pers mahasiswa: spirit intelektualitas (kritis), kemanusiaan (keberpihakan pada moral dan etika), kerakyatan (keberpihakan dan kepedulian pada rakyat bawah), kebangsaan (demokratisasi dan kemartabatan negeri), dan pers mahasiswa yang independen.

Pers mahasiswa meliput, memotret, meyuarakan hak-hak mahasiswa yang direbut sivitas akademika dan administrator kampus. Bahwa mereka bukan tuan tanah atau sekedar pemilik bangunan. Mereka adalah manusia yang mengemban fungsi penyelenggara pendidikan, sehingga kritik lewat berita adalah satu-satunya cara mengawasi kerja-kerja perguruan tinggi terhadap keberlangsungan pendidikan mahasiswa.

Ideologi pers mahasiswa SQ dianut secara substansial untuk diterapkan sebagai perlawanan, pembelaan, serta pemicu kesadaran publik kampus. Label “Al-Qur’an” tak melulu diartikan sebagai teks Arab, atau disebut “Pers Qur’ani” bahkan “Pers Agama”. Hal ini terlalu formalis dan kaku Shoutul-Qur’an sebagaimana artinya; gema Al-Qur’an adalah juga mengandung prinsip toleransi, pluralitas, dan inklusifitas.

Banyak kasus di depan mata kita yang samar dan perlu menelusurinya untuk dibongkar. Langkah ini tak bisa jadi dalam satu malam. Butuh ketelatenan, kesabaran, juga komitmen bahwa pers mahasiswa adalah cerminan sesungguhnya pilar demokrasi kampus.

Memaknai Persma dan Nama “Shoutul Qur’an” Source: Human Right Watch

Syiir bahasa Arab dengan jenis

bahr Rojaz "Empat Hari" didedikasikan kepada mereka yang berpisah dengan seseorang primadona satu kelompok PKKMB tapi beda fakultas. Namun, sang primadona itu punya standar pasangan ideal yang tak diketahui siapapun

NB: Perspektif gendernya lakilaki. Memang, lelaki selalu kalah dalam hal percintaan semu.

EMPAT HARI

Meski kau di~dekati {ba~nyak} lelaki

Cemburu tak~pantas untuk~ditangisi

Sekarang {a~tau} empat {ta~hun} lamanya

Tetaplah {ang~gun} cantik dan~mempesona

Cobalah {men~ciptakan} {ki~sah} yang {in~dah}

Kelak {berjum~pa} aku {di~am} dan kalah

LIMA HAIKU

1. Panasanya siang, Nikmatnya minum es teh, Kau lalu lalang.

2. Sedalam buku, Pagilah malam larut Mimpi di kampus.

3. Nyaring sirine, Engkau berduyun-duyun, Kumpul kelompok.

5. Cukup berdua, Satu kelompok tetap, Oh.. kakak pendamping.

4. Baju seragam, Jalan kesana-mari, Mencari teman.

Haiku merupakan puisi jepang yang penyusunannya terbatas pada kaidah suku kata Kaidah itu terkandung dalam tiap larik baris puisi Satu bait terdiri tiga larik Sehingga keotentikan karya sastra ini menantang penyair ketika menempatkan diksi dan makna secara padat.

Menulis haiku bagaikan tepuk tangan Tangan kanan itu larik pertama, terdiri 5 suku kata Pasangannya, tangan kiri menempati larik kedua, terdiri 7 suku kata Larik terakhir ibarat kedua tangan saling bertemu Pungkasan bait itu hanya terbatas 5 suku kata Sehingga menghasilkan padu bunyi "Prok!" khas tepuk tangan.

Penyair tekun di bidang puisi ini bernama Matsuo Basho Haiku ciptaannya dibaca hampir seluruh pegiat sastra khas jepang di dunia Dari 10 karya haiku terkenalnya, judul "Katak" setidaknya jadi referensi sastra favorit kami

Furu i ke ya= 5

Tawazu to bi ko mu = 7 Mi zu no oto = 5

Sebuah kolam tua Katak melompat masuk Kecipak air

MAKNA FOLKIYYIN, CATATAN PENUTUP

Secara mudah, Folk artinya rakyat. Musisi Iksan Skuter punya album musik bertajuk Folk Populi Folk Dei. Di bahasa latin, istilah semacam ini berbunyi “Vox Populi, Vox Dei” bermakna “Suara Rakyat adalah suara Tuhan”. Lantas, apa urgensi kata “Folk” sehingga diadopsi sebagai nama Zine?

Berawal dari Buku

Obrolan tentang nama Zine bermula dari pembahasan tentang buku karya

Andrea Hirata Karakter tulisan Andrea dekat dengan nuansa kebiasaan orang udik yang tinggal di Belitong sehingga bagi masyarakat wilayahnya, termasuk para pembaca, novel Andrea tak hanya cukup diceritakan. Karya

Andrea butuh “Anak Tiri” yang dilahirkan para pembacanya. Sebab Andrea begitu lekat dengan tema-tema kerakyatan. Awalnya, pembaca seperti kami menganggap membuat karya tulis yang ringan dengan gaya tulisan mengalir serta berusaha dekat dengan rakyat itu mudah.

Ekspektasi bahwa satu karya yang dekat dan enak dibaca itu dapat tercipta dengan mudah, kami ditampar kenyataan betapa sulit untuk menuliskannya. Butuh analisis agar relevansi terhadap pasar baca yang hendak kami tuju mampu menjangkau pembaca. Wilayah pasar itu bernama kampus, berisi wajah mahasiswa dengan isi pikiran yang luas juga beragam. Penyesuaian cara dalam membahasnya tak sekedar asal-asalan, struktur yang disusun perlu runtut dan sistematis. Alasannya mahasiswa sudah akrab dengan istilah kerangka berpikir.

Dari kerangka inilah, kata Folk kami anggap praktis. Folk berbunyi satu suku kata sehingga mudah diingat dan diucapkan. Atas dalil praktis yang linguistik itu selaras kegemaran kami mencermati aneka lagu arus bawah, lagu indie, misalnya. Sebuah lagu memiliki karakter sesuai identitas genre secara bebas.

Gemar Mendengar Lagu

Band musik Fourtwnty menyebut diri dan produk musiknya sebagai genre alternatif folk. Cobalah kita resapi lagu band musik Payung Teduh, Float, Dialog Dini Hari, atau Efek Rumah kaca di album self-titled mereka. Tak berlebihan jika sepak-terjang karya mereka patut digolongkan sebagai selera dan milik rakyat. Khususnya rakyat kawula muda berusia di atas 17 tahun sampai 30-an awal.

Kawula muda tak hanya gemar menikmati ruh lagu atau sekedar hanyut di sungai aransemen. Lirik lagu ikut diperhitungkan, antara lain, upaya mengidentifikasi musik sebagai media refleksi dan perlawanan. Gejolak darah muda seperti kami menganggap bahwa, jika seni terpenjara batas lingkaran hiburan atau sekadar pemasok kebutuhan industri saja, keberpihakan terhadap warga sipil tak ditemukan letaknya. Lantas, dengan cara apa kaum usia produktif itu menitip ekspresi mereka kepada para musisi?.

Para musisi sejatinya mendambakan simbol rakyat yang posisinya harus di atas kuasa dan bukan sebaliknya. Lagu kerakyatan sebagaimana bentuk karya tulis memiliki muatan bahasa di dalamnya. Ciri kebahasaan itu punya nilai berupa kiasan atau metafora; pesan personal atau kelompok; juga repetisi atau pengulangan. Hal kebahasaan tak luput dari nyawa dan ideologi. Maka, nama dan istilah Folk–terlepas dari kemasan lirik atau aransemen sebuah lagu–mampu diadopsi dari kaidah kebahasaan yang dapat disusun secara bebas.

Adopsi Ilmu Nahwu

Betapa khas apabila nama Folk–yang bermakna rakyat–dipadukan bersama kaidah bahasa Arab. Kata benda, dalam bahasa Arab diistilahkan sebagai Isim. Identifikasi jumlah bilangan kata, bahasa Arab mengistilahkan Mufrod untuk kata bermakna tunggal, kata bermakna ganda disebut Mutsanna, dan istilah Jamak digunakan sebagai penanda kata benda skala banyak.

Identifikasi jumlah bilangan jamak, salah satunya disebut Jamak mudzakkar salim. Kata Folk yang mengandung arti rakyat (Jamak) itu melalui bahasa Arab perlu dikuatkan dengan kondisi letak penggunaannya. Kalau di bahasa arab, kondisi sebuah kata dapat diamati pada bunyi terakhir kata tersebut ketika dibaca. Istilah bentuk akhir kata disebut I’rob. I’rob digunakan untuk menandai fungsi sebuah kata dalam struktur kalimat. Namun, untuk menjalankan “tanda fungsi” I’rob tersebut, perlu membaca ketentuan kaidahnya lewat ilmu nahwu

Menurut ilmu nahwu, secara praktis, I’rob menjalankan fungsinya terhadap sebuah kata apabila terdapat elemen (‘Amil) sebelum kata tersebut. I’rob terbagi menjadi empat. Menurut metode ilmu nahwu bernama “Amtsilati” karya Kiai Haji Taufiqul Hakim asal Jepara, pembagian I’rob ditulis sebagai berikut: Rofa aslinya Dlommah, Nasab aslinya Fathah, Jazem aslinya Sukun dan Jer aslinya Kasroh. Permulaan jilid satu Amtsilati membahas tentang huruf jer sehingga mempermudah mencari hubungan terhadap I’rob dan membantu kami mencari adopsi tambahan kata sebagai nama Zine dalam bahasa Arab. Kata setelah huruf jer, tulis Amtsilati, dibaca jer. “Tanda jer di antaranya kasroh,” lanjutnya.

Tanda lain dari jer dalam konteks “I’rob Jer” turut berlaku dalam bentuk Jamak mudzakkar salim. Bentuk nashab dan jer Jamak Mudzakkar Salim menggunakan ya ’ dan nun jamak yang dibaca Fathah sehingga dibaca “Ina”. Hubungan antara keruwetan nahwu dan makna rakyat kata Folk ini akhirnya menjadi sebab nama Zine Folkiyyin itu dipilih. Alasannya, Folkiyyin secara filosofis menjembatani rakyat bawah (letak jer sebagaimana aslinya harokat kasroh yang ada di bawah) sebagai ideologi Zine ini disusun. Aslinya, nama Folkiyyin membuang huruf jer yang berfungsi sebagai pemaknaan nama Zine dengan kekuatan huruf “min” yang bermakna “dari” sehingga Zine sederhana kami artinya: dari rakyat.

Wonosobo, 18 September 2024

KONSEKUENSI ZINE FOLKIYYIN

Mustofa dan Rangga berkontribusi dalam penerbitan Zine volume perdana kesukaanmu. Hargailah perjuangan keduanya terhadap folk mahasiswa demi integritas marwah pers mahasiswa serta mahasiswa, yakni memupuk intelektualitas dengan menulis. Substansi yang terkandung dalam aneka tulisan bermaksud ajakan kolektif. Karena ide tak memiliki batasan, maka upaya kami adalah keterlibatan merawat eksistensi kebebasan berekspresi.

Layangan komentar pembaca secara organik berarti kebebasan ekspresi masih utuh. Bentuk serupa ditandai lewat umpan balik terhadap kerja literasi, yakni penyebaran Zine mampu menyasar publik mahasiswa. Sehingga produk penerbitan ini akan berusia sangat panjang dengan ragam bentuk penyesuaian kultur kampus UNSIQ. Keberlangsungan umur Zine berasal dari akibat usai membacanya. Kami menyebut kata AKIBAT itu berganti istilah KONSEKUENSI alasannya secara sadar pembaca rela menelanjangi tulisan dengan tekun sampai kata terakhir. Proses kerja untuk penerbitan selanjutnya bergantung pada dua hal: bantuan ganti biaya cetak dan sumbangan karya.

Narahubung: +62-8129-5185-008

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.