6 minute read
Merapal bala Dewi, mematung gambar, sanggul-menyanggul: ya, semuanya!
GRACE SAMBOH
Pada mulanya adalah sesosok perempuan anggun dengan badan cenderung tinggi, mengenakan kebaya, berbalut kain, bersampir selendang, dan rambutnya digelung sanggul. Ia berdiri dengan pose yang kelihatannya biasa-biasa saja, mengangkat kedua tangannya dan menyerahkan piring kepada sesosok laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Sang laki-laki telanjang dada, bercelana pendek, mengenakan caping, berkalung pistol dalam sarung di pinggangnya dan memanggul bedil. Tanpa adanya alat pertanian pun, kita digiring untuk memandang mereka sebagai pasangan petani dalam kesehariannya di masa peperangan. Namun bukan pasangan petani sembarangan: mereka sepasang figur monumental di sebuah bundaran di pusat Jakarta, walaupun tidak ada yang tahu—apalagi kenal—siapa mereka sesungguhnya. Toh orang mengenal kawasan bundaran ini lewat julukan bagi mereka, Tugu Tani.
Advertisement
Saya dan Nadiah memanggil sosok perempuan ini “mbak”—sebagaimana orang Jawa mengalamatkan perempuan lain yang dihormati, disegani, atau sekadar lebih tua. Sejak akhir 2019, kami sering bercakap mengenai mbak yang menyandang tugas berat ini. Bagaimana tidak berat; ia dicanangkan menjadi perwakilan perempuan kaum tani, harus tampil prima—menyanggul bukan pekerjaan sebentar—namun, perannya dibekukan saat memberi makan sesosok lelaki yang ada di sebelahnya. Padahal, kaum tani tahu persis bahwa perempuan juga pergi ke sawah membawa arit—yang juga bisa jadi senjata. Pada awal 1960-an, Sukarno menggagas Tugu Pahlawan—demikian nama resmi bundaran serta sepasang patung ini—, memesan patungnya kepada kakak-beradik pematung asal Rusia, dan meresmikannya pada 1963.1
Percakapan kami bergulir ke berbagai kegiatan perempuan dalam
“era mengisi kemerdekaan”—demikian Sukarno menyebutnya. Seperti di tempat-tempat lain di belahan bumi ini, nafas kemerdekaan, kebebasan, kemandirian, dan kesetaraan berhembus berbarengan. Usai proklamasi kemerdekaan, gerakan perempuan yang memusatkan diri pada gerakan penyetaraan pengetahuan melalui beragam bentuk literasi bermunculan di mana-mana. Dalam membicarakan riak gerakan perempuan ini, nama-nama tokohnya ikut seliweran dan kami juga mengalamatkan mereka dengan “mbak”—selain karena kami bercakap di tanah Jawa dan, tentu, menghormati mereka, kami juga tidak ingin serta-merta “menuntut” mereka menjadi “ibu”. Dalam percakapan-percakapan ini, kami jadi punya kebutuhan untuk bisa mengidentifikasi sang sosok perempuan di Tugu
Tani itu lebih dari sekadar mbak. Kami pun memanggilnya Mbak Wani.2
Mbak Wani adalah tokoh utama dalam Merapal Mantra untuk Gerakan (Casting Spells for the Movement, 2021), instalasi Nadiah berupa sebuah patung berukuran sama dengan sosok perempuan di Tugu Tani serta tiga buah televisi layar datar yang secara bergantian menghadirkan percepatan gerakan perempuan. Saya akan jabarkan instalasi video ini dari layar pertama, yang paling kanan, hingga yang paling kiri. Layar pertama dimulai pada sisi paling kanannya. Sejumlah perempuan dengan baju sehari-hari masa kini berdiri dengan pose yang sama dengan Mbak
Wani—mengangkat kedua belah tangan seolah sedang memegang piring. Secara perlahan, mereka menurunkan tangannya, kemudian berjalan ke arah kiri layar. Setelah para perempuan ini hilang dari layar pertama, mereka mulai bermunculan di layar kedua. Mereka juga berjalan menuju sisi kiri, layar ketiga, namun langkah mereka menjadi lebih cepat. Begitu perempuan terakhir hilang dari sisi kiri layar tengah ini, segera rombongan perempuan ini muncul di layar terakhir. Mereka berlari dari sisi kanan layar ke sisi kiri layar, seolah keluar dari layar dengan larian. Ya, pada setiap layar, langkah mereka menjadi semakin cepat. Dalam Merapal
Mantra untuk Gerakan , Nadiah mengklaim-ulang Mbak Wani sebagai simbol untuk gerakan perempuan lintas-masa.
Rasanya kita perlu satu esai khusus untuk membahas video sehubungan dengan kehadiran tubuh-tubuh manusia di dalamnya, bagaimana tubuh-tubuh ini digerakkan, dan bagaimana pilihan cara memancarkan gambar gerak ini di dalam ruang pamer berakar pada pemikiran keruangan seorang pematung. Lihat karya-karya Nadiah, misalnya, Terpesona dengan kegelisahan (Charmed by anxiety, 2022) dan Ketidaknyamanan (Insecurity, 2023). Tubuh-tubuh manusia, nyaris apa adanya, diarahkan untuk melakukan hal-hal yang memang tak asing buat mereka (menari, atau senam?, bersama bagi para tentara dan laku ndhodhok bagi para abdi dalem Kraton Yogyakarta). Demikian juga para perempuan dalam pakaian kesehariannya pada Merapal
Mantra untuk Gerakan, dimana mereka sesederhana berpose seperti Mbak
Wani, kemudian berjalan, sampai akhirnya lari. Gerakan tubuh yang tidak asing itu mengingatkan kita pada salah satu karakter disiplin patung dimana kualitas material bahan adalah alasan pemilihan sekaligus metode dan tujuan kerja.
GAMBAR-NAN-PATUNG
“Gambar-gambar saya adalah akumulasi dari metode yang sudah saya kembangkan dalam upaya guna memanipulasi kertas untuk senarai hasil tertentu. Saya bekerja sangat dekat dengan asisten saya, ialah yang menangani kejelimetan pembuatan tekstur pada permukaan kertas, kemudian menempelkan semuanya. Sekarang kami mesin yang mulus bekerja dalam pembuatan tekstur.” 3
Hampir 15 tahun terakhir ini kita mengenal Nadiah melalui gambar-gambar arangnya yang cenderung realis. Kebanyakan gambar
Nadiah ini tidak dibingkai dan dipasang berjarak dari dinding pemajangannya. Dalam kosakata pembuatan-pameran (exhibition-making), kita bisa dengan entengnya menyebut karya-karya macam ini sebagai wallpiece —karya yang dipasang di dinding, bisa lukisan, patung, gambar, sketsa, arsip, atau apapun. Dalam percakapan, Nadiah menyebut karya-karya ini sebagai drawing, gambar. Pada label karya, Nadiah menulis drawing on paper collage , gambar di atas kolase kertas. Namun, proses pembuatan karya ini sejatinya adalah proses mematung, bukan menggambar—bahwa hasilnya bisa kita sebut sebagai “gambar”, ini soal lain. Kalau kita membicarakan pembuatan gambar-gambar Nadiah dengan kosa patung, Nadiah bekerja dengan proses penambahan, laiknya assemblage atau pembuatan model dengan tanah liat untuk persiapan cetak (casting).4 Kolase kertas berarti tumpuk-menumpuk, tempel-menempel kertas di atas kertas lainnya. Arang diterapkan Nadiah pada sobekan-sobekan kertas ini dengan teknik usap (blending) untuk menghasilkan kepekatan ( shading ) yang berbeda-beda. Tempelan sobekansobekan ini serta-merta menjadi matra ( dimension ). Bila pada pinggir sobekan kertas usapan arang ditebalkan, matranya menjadi lebih tebal, lebih “dalam” sehingga mata kita akan melihatnya sebagai bayangan. Saya akan coba merinci dua karya Nadiah sebagai upaya untuk memahami apa yang disebutnya sebagai “senarai hasil” dari kerja menyobek, menumpuk, menerapkan arang, dan menempel kertas di atas satu sama lain. Perhatian selanjutnya patut kita layangkan pada kata “sobek”, “arang”, dan “tempel” sebagai kinerja pembuatan barik. Dalam menggambar, yang disebut barik adalah motif dalam bentuk citraan datar. Sementara dalam khasanah patung, barik bergantung pada bahan, cara pengolahan bahan, dan proses pengupamannya (polishing). Matra dalam karya-karya gambar Nadiah ini adalah hasil dari proses menyobek dan tempel-menempel kertas yang telah diterapkan arang—ia tak menyebutnya mewarnai atau menggambar. Karena proses yang ditempuh Nadiah ini, saya menyebut karya-karya gambar Nadiah sebagai: Gambar-nan-patung.
Sebagai “mesin yang mulus bekerja dalam pembuatan tekstur”, kerja sama antara Nadiah dan asistennya, Desri Surya Kristiani, amat luwes. Saat mengawali proses pameran Dewi , begitu penasarannya saya akan teknik gambar-nan-patung ini, saya mewawancarai keduanya. Dari wawancara itu, saya belajar bahwa keduanya bisa menyelesaikan kalimat satu sama lain saat membicarakan teknik, kosa kata, dan ulang-alik langkah dalam pengerjaan gambar-nan-patung ini. Mestinya saya tak heran, mereka telah bekerja sama selama hampir 15 tahun. Kepercayaan satu sama lain akan langkah-langkah yang akan diambil serta keyakinan bahwa mereka menuju ke arah yang sama begitu besar. Tadinya, saya ingin menyanggah pernyataan “mesin yang bekerja mulus”, karena manusia tentu bukan mesin. Namun, tak usahlah. Lagipula, “kesalahan” dalam proses pembuatan gambar-nan-patung ini bisa kita anggap tidak ada. Jika satu bentuk yang ingin dicoba atau dicapai gagal, keduanya menerima kegagalan ini sebagai pelajaran. Keduanya percaya bahwa medium yang mereka gunakan—kertas, arang, lem, tangan, dlsb— adalah batasan alamiah dari apa yang bisa mereka capai. Dari setiap kegagalan, mereka belajar hal baru mengenai bahan serta kemampuan mereka sendiri. Walau tidak ada catatan dalam bentuk tulisan, kosa kata khusus yang mereka gunakan untuk membicarakan proses bekerja sama ini adalah bukti nyatanya.
Jika kita melihat karya-karya gambar Nadiah di ruang pamer, ada semacam panggilan untuk mendekati dinding dan melihat karya ini dari samping—baik untuk tahu bagaimana cara karya dipasang atau untuk melihat ketebalan kertasnya. Kalau kita pindah sudut pandang sebentar—dari patung ke gambar—, maka sudut-sudut sobekan kertas ini bisa juga kita sebut garis. “Garis-garis” ini menciptakan efek kedalaman. Meskipun sumber cahaya dalam karya-karya gambar Nadiah ini umumnya lurus dari depan, bak gambar yang dihasilkan dalam studio foto, kertas yang ditempel di atas satu sama lain menghadirkan pengalaman keruangan yang lain sama sekali dengan kebanyakan gambar di atas kertas.
Nadiah menggunakan empat nuansa abu-abu, dengan kata lain, ada empat ketebalan terapan arang pada sobekan-sobekan kertasnya yang membentuk rambut sang Sundal Bolong (gambar 1). Abu pertama, yang paling muda, adalah bidang umum sang rambut. Kedua abu selanjutnya—pada level ketebalan kedua dan ketiga—memberi dimensi pada bidang rambut. Abu keempat, terakhir, yang paling tebal usapannya, memunculkan kedalaman, kesan ruang. Abu yang terakhir ini diusapkan
Nadiah hanya pada pinggiran sobekan kertas pada gelungan konde. Maka terciptalah bayangan sang konde. Terapan arang yang relatif tipis dan halus—level ketebalan dua dan tiga tadi—digunakan Nadiah secara bergantian pada sobekan kertas di bawah konde, memunculkan kesan ikal pada rambut sang Sundal Bolong.
The Reckoning (gambar 2) dipamerkan di artjog, Yogyakarta (2021) dan artina , Sarinah, Jakarta (2022). Kerut wajah figur yang diinspirasi oleh Calon Arang ini menjadi tegas karena Nadiah menerapkan arang lebih tebal pada pinggiran sobekan kertasnya. Dalam salah satu percakapan kami, Nadiah bilang, “Sobekan kertas itu aku garis lagi, mbak.”
Secara teknis, ia bukan menggarisi pinggiran sobekan kertas itu, melainkan mengusapkan lebih banyak arang. Pada bagian rambut, usapan arang
Nadiah cenderung sama ketebalannya. Dari mana kita bisa mengenali setiap helai rambut figur ini? Kenyataannya, setiap helainya adalah sehelai sobekan kertas!
Benar bahwa, dalam ruang pamer, karya Nadiah akan dengan mudah kita sebut sebagai gambar. Namun, secara pembuatan, proses yang ditempuh Nadiah adalah proses mematung. Satu-satunya istilah gambar yang digunakan Nadiah untuk membicarakan karya-karya ini adalah pembuatan-bayangan (shading). “Tekstur-tekstur itu adalah hasil dari himpunan bertahun-tahun pengalaman kerja reka kertas—mengupas, menyobek, memberi bayangan, meratakan, menempel, dan memberi bayangan lagi. Kinerja yang penuh kesaksamaan antara saya dan kertas.” Dalam khasanah gambar, pembuatan-bayangan adalah kebutuhan untuk memunculkan kedalaman—dengan kata lain keruangan—objek yang digambar.