pen yun ti n g: A rd
iY un an to ,R ob in Ha rt an to , Le on ha rd Ba rt ol om eu s
A ma lia H andayani, Erni Set yo A rd i Yun anto wati, dan R iva l A h L eonha rd mad Ba rtolom eus Robin H a rtanto Yuk a Dia n Na rend ra
Ardi Yunanto, Robin Hartanto, Leonhard Bartolomeus Amalia Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad; Ardi Yunanto, Leonhard Bartolomeus, Robin Hartanto, Yuka Dian Narendra Desain sampul dan isi: Andang Kelana Fotografi sampul dan isi: Agung ‘Abe’ Natanael Redaktur: Penulis:
Ardi Yunanto Leonhard Bartolomeus Peneliti: Krisnadi Yuliawan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (Amalia Handayani, Erni Setyowati, Rival Ahmad), Riyan Riyadi, Robin Hartanto, Sulaiman Harahap, Yuka Dian Narendra Pimpinan Penelitian: Asisten Penelitian:
ruangrupa Jurnal Karbon dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Atas dukungan Yayasan TIFA Diterbitkan oleh Hasil kerjasama
Cetakan pertama, Jakarta, Oktober 2013. 1000 eksemplar. ruangrupa Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Jakarta 12820 T/F: +62 21 8304220 E: info@ruangrupa.org W: ruangrupa.org F: facebook.com/ruangrupa T: twitter.com/ruangrupa Jurnal Karbon W: www.karbonjournal.org E: editor@karbonjournal.org Ardi Yunanto, Robin Hartanto, Leonhard Bartolomeus (ed). Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (Jakarta: ruangrupa, 2013). xxvii + 269 halaman isi, 14,8 x 21 cm
DAFTAR ISI
Pengantar oleh Ardi Yunanto & Robin Hartanto xii Jakarta Modern: Selamat Tinggal Billboard, Selamat Datang LED oleh Leonhard Bartolomeus 1 Rimba Reklame Jakarta: Dominasi Kapital atas Ruang Kota Kita oleh Robin Hartanto 33 Di Tempatmu Ada Daganganku: Catatan Tentang Praktik Reklame Jenis Baru di Ruang Kota Jakarta oleh Ardi Yunanto 85 Publik Yang Menjadi Latar Bisu: Catatan Tentang Peraturan-Peraturan Reklame di Jakarta oleh Amalia Puri Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad 145 Sedot WC: Warga Kota, Demokratisasi, dan Konsumerisme oleh Yuka Dian Narendra 179 Penutup
oleh Yuka Dian Narendra & Ardi Yunanto
231
Daftar Referensi Tentang Para Penyusun Tentang Organisasi dan Media
251 261 265
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis-jenis Reklame di Jakarta. 40 Tabel 2. Presentasi Realisasi Penerimaan Pajak Reklame Terhadap Anggaran Pendapatan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 41 Tabel 3. Beberapa Kasus Reklame Roboh yang Terjadi di Jakarta Pada 1996–2013. 67 Tabel 4. Beberapa Perusahaan Pengguna Reklame Mural untuk Promosi. 95 Tabel 5. Beberapa Perusahaan Pengguna Badan Kios Rokok untuk Promosi. 111 Tabel 6. Beberapa Perusahaan Pengguna Reklame Nama Usaha untuk Promosi. 116 Tabel 7. Berbagai Perusahaan Pengguna Reklame Jenis Baru Selain Reklame Mural, Reklame Nama Usaha, dan Reklame Kios Rokok. 121 Tabel 8. Peraturan Terkait Reklame di DKI Jakarta. 150 Tabel 9. Definisi Reklame yang Tercantum dalam Peraturan Terkait Reklame 153
DAFTAR BAGAN Bagan 1. Tahapan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Bagan 2. Titik-titik Publik Bisa Berpartisipasi. Bagan 3. Proses Kebijakan Publik.
148 167 168
DAFTAR FOTO Foto 1. Reklame-reklame penghalang wajah kota. Foto 2. Reklame di muka rumah. Foto 3. Beberapa reklame jenis baru. Foto 4. Reklame mural yang melapisi seluruh permukaan sebuah rumah-bengkel di Jakarta. Foto 5. Mural promosi polisi: “otak, otot, hati nurani”, di Jakarta. Foto 6. Reklame Kios Rokok. Foto 7. Reklame Nama Usaha berbentuk spanduk dan plang. Foto 8. Reklame Nama Usaha dengan foto pemilik usaha. Foto 9. Reklame Pembatas Jalan. Foto 10. Kegiatan mural bersama Apotik Komik. Foto 11. Proyek Taman Catur oleh Saleh Husein dan Kudaponi.
65 68 89 91 97 112 114 119 122 127 128
Foto-foto dalam buku ini dipotret oleh Agung ‘Abe’ Natanael di Jakarta pada Juni – September 2013, kecuali jika disebutkan berbeda.
DAFTAR ILUSTRASI Ilustrasi 1. Titik-titik Reklame di Jakarta Berdasarkan Lokasi. Ilustrasi 2. Jenis Kawasan Penyelenggaraan Reklame Beserta Contoh-contohnya. Ilustrasi 3. Izin Tetap, Izin Terbatas, dan Pengecualiannya Pada Perizinan Reklame di Jakarta. Ilustrasi 4. Perizinan Reklame Di Dalam Sarana dan Prasarana Pemerintah. Ilustrasi 5. Perizinan Reklame Di Luar Sarana dan Prasarana Pemerintah. Ilustrasi 6. Ilustrasi Harga Reklame.
44 47 52 53 54 58
PENGANTAR oleh
Ardi Yunanto & Robin Hartanto
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  xiii
Iklan, disukai atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Dengan sejuta siasatnya yang dimungkinkan melalui kekuatan modal, iklan menggempur berbagai ruang yang kita alami dalam keseharian. Ia tak lagi malu-malu tampil sebagai jaket koran nasional ternama atau menyelinap hingga ke dalam acara televisi. Ia juga mahahadir dengan rupa-rupa manifestasi sensorik: visual, rasa, bau, suara, hingga sentuhan. Tetapi, kita tidak lagi memandangnya sebagai benda asing yang menyusup dalam kehidupan. Kita telah sedemikian terbiasa hidup bersamanya dan kita—gawatnya—semakin memaklumi keberadaannya. Padahal, sejatinya, iklan ada demi menggoda kita membeli suatu produk barang atau jasa atau, dalam istilah yang lebih lugas, demi mengupayakan konsumerisme. Efek dari iklan-iklan tersebut barangkali tidak kita rasakan secara langsung. Namun, perlahan tapi pasti, pesan-pesan iklan yang kita alami berulang-ulang akan menyelusup ke dalam kesadaran, menjadi bagian dari ingatan yang suatu saat akan menggema dalam benak kita. Mekanisme dan bahaya konsumerisme ini memang perlu dibahas lebih lanjut, tetapi tidak dalam kesempatan ini. Buku ini secara spesifik membahas hanya salah satu media iklan, yaitu reklame, di dalam konteks kota Jakarta. Ia menjadi penting untuk dibahas terpisah dari media iklan lain karena, berbeda dengan media iklan lain yang pada umumnya mencari celah di wilayah privat, reklame menjajah ruang kota yang kita, sebagai warga kota, alami bersama-sama tanpa memiliki kontrol aktif terhadapnya. Kita bisa mematikan televisi atau menutup majalah jika jenuh dengan iklan-iklan di dalamnya, tapi kita, mau tidak mau, harus memandang reklame setiap kali kita mengalami ruang kota. Ada berbagai isu penting di balik itu, yaitu perihal demokrasi ruang, kualitas arsitektur kota, konsumerisme, dan lain sebagainya. Perhatian utama kami terletak pada fakta kontradiktif bahwa Jakarta memberikan ruang yang layak bagi reklame untuk menyasar warganya sebagai target pasar, sementara pada saat yang bersamaan, kota ini tidak memberikan ruang publik yang layak bagi warganya. Atas dasar itulah, kami kemudian membedah permasalahan
xiv / PENGANTAR
reklame terkait konteks keberadaannya di ruang kota ketimbang konten reklame itu sendiri, yang tak kalah penting juga untuk dibahas pada lain waktu. Berbagai sengkarut penyelenggaraan reklame memang hanya satu bagian dari permasalahan ruang publik yang terjadi di Jakarta. Masalah reklame sebetulnya telah mengakar puluhan tahun lamanya melewati sekian masa jabatan gubernur sehingga membahas permasalahan reklame di Jakarta barangkali akan seperti menceritakan kisah lama yang tak pernah ada ujungnya. Tetapi, pembahasan ini menjadi aktual karena pada 2013, tahun ketika buku ini diterbitkan, permasalahan reklame mendapatkan perhatian khusus dari pimpinan kota Jakarta. Pertama kalinya, para pengusaha reklame melalui sejumlah asosiasi bisa duduk bersama seorang Wakil Gubernur untuk membicarakan penataan penyelenggaraan reklame. Juga pada tahun ini, pertama kalinya muncul pemikiran dari pimpinan kota Jakarta untuk membasmi semua reklame billboard dan menggantinya dengan reklame LED yang menggunakan teknologi video. Kita memang bisa melihat berbagai wacana yang berkembang sebagai ancaman baru. Namun, kita juga bisa melihatnya sebagai peluang untuk membenahi penyelenggaraan reklame di Jakarta. Dalam industri periklanan pada umumnya, aktor penyelenggaraan reklame terdiri dari beberapa pemain utama: pemerintah, yang mengatur regulasi penyelenggaraan; pengiklan, yang memiliki produk atau jasa dan lainnya untuk diiklankan; biro periklanan, yang menciptakan iklan dan strategi kampanye; media buyer, yang memesan media untuk iklan; dan pemilik media, dalam hal ini pengusaha reklame, yang menyediakan ruang untuk beriklan. Tetapi, di balik aktor-aktor itu, sebenarnya ada satu faktor yang hampir selalu luput karena nyaris tak punya peran aktif apa-apa, yaitu warga. Oleh karenanya dalam buku ini, pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah di mana posisi warga dalam konstelasi penyelenggaraan reklame, baik yang terjadi sekarang maupun yang kami pandang sebagai yang semestinya. Usaha untuk menjawab pertanyaan itu kami imbangi dengan penjelasan informasi-informasi teknis tentang penyelenggaraan reklame yang belum banyak diketahui publik.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  xv
Untuk menjawab pertanyaan itu, buku ini disusun bersama-sama. Buku ini diterbitkan oleh ruangrupa berdasarkan penelitian bersama antara jurnal Karbon dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia sejak September 2012 hingga September 2013, atas dukungan Yayasan TIFA. ruangrupa adalah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan oleh sekelompok seniman di Jakarta, yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan, melalui proyek seni, pameran, festival, lokakarya, penelitian, dan penerbitan. Karbon adalah jurnal yang diterbitkan oleh ruangrupa sejak organisasi ini berdiri pada 2000. Selama enam tahun, tujuh edisi jurnal Karbon yang membahas fenomena seni rupa kontemporer telah diterbitkan. Sejak 2007, jurnal Karbon mengubah diri menjadi media online dengan alamat Karbonjournal.org, yang membahas berbagai permasalahan ruang publik dan budaya visual kota. Reklame adalah satu di antaranya dan buku ini merupakan hasil penelitian pertama jurnal Karbon yang dibukukan. Demi mewujudkannya, jurnal Karbon bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, organisasi nonprofit yang sejak 1998 banyak bekerja di bidang penelitian dan advokasi hukum, untuk menyoroti persoalan hukum dan kebijakan yang tak terpisahkan dari keberadaan reklame. Buku ini ditulis oleh tujuh penulis yang sekaligus menjadi peneliti bersama tiga peneliti lain. Sumber data primer penelitian ini adalah dokumen, studi, laporan, peraturan perundang-undangan terkait reklame di Jakarta, beserta wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sumber data sekunder penelitian ini adalah berbagai literatur, media massa cetak maupun online, video, film, maupun karya seni rupa. Hasil penelitian kemudian kami presentasikan dalam lima tulisan. Tiga tulisan pertama dalam buku ini membahas fenomena reklame di ruang kota Jakarta. Tulisan pertama membahas rencana pemerintah Jakarta pada 2013 yang hendak mengganti reklame billboard dengan reklame LED, untuk melihat kembali sejauh mana rencana itu akan memengaruhi wajah kota Jakarta. Tulisan kedua membahas seluk-beluk penyelenggaraan reklame yang selama ini tak banyak diketahui oleh warga Jakarta, menilik kembali
xvi / PENGANTAR
persoalan reklame dalam ruang publik kota, dan mencoba melihat bagaimana sesungguhnya berbagai sengkarut penyelenggaraan reklame di Jakarta pada akhirnya merugikan banyak pihak. Tulisan ketiga mencatat keberadaan praktik baru bereklame yang tak hanya dengan leluasa menyelinap di ruang publik, namun juga merambah ruang-ruang privat warga. Tulisan keempat membahas sejauh mana posisi publik selama ini dalam peraturan perundang-undangan sembari melihat pada celah mana warga dapat turut serta mengatur ruang kotanya. Setelah hiruk-pikuk keberadaan reklame di ruang kota Jakarta dibahas dalam tiga tulisan pertama, lalu pembahasan ditarik pada ranah peraturan perundang-undangan, tulisan terakhir mengajak kita kembali berjalan-jalan keliling Jakarta sembari melihat satu demi satu hubungan antara warga kota, demokratisasi, dan konsumerisme di tengah semarak reklame yang berkelindan dengan berbagai kepentingan. Selain itu, buku ini dilengkapi dengan berbagai foto yang diambil pada Juli–September 2013. Layaknya ruang kota Jakarta, halaman buku ini turut dipenuhi oleh berbagai reklame. Buku ini kemudian diakhiri dengan penutup yang menyarikan kembali semua poin penting dari tulisan demi tulisan serta apa yang terlihat dari foto-foto tersebut. Buku ini meyakini bahwa ruang publik kota seharusnya adalah ruang bersama dan segala keputusan mengenai ruang publik seharusnya merupakan keputusan bersama yang turut melibatkan warga. Warga kota berhak atas ruang publik yang layak, termasuk untuk bisa menegosiasi keberadaan reklame. Jika keberadaannya tak terhindarkan, reklame tersebut harus memberikan kompensasi yang bermanfaat langsung bagi ruang publik yang digunakan. Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penelitian dan penyusunan buku ini, terutama kepada para narasumber yang bersedia kami wawancarai. Kami mengucapkan terima kasih kepada Yayasan TIFA yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk mengerjakan penelitian ini. Kami berharap kerja sama ini dapat berlanjut demi memberi sumbangan lebih besar lagi bagi perbaikan kehidupan warga kota di ruang publik. Buku ini jelas merupakan studi awal yang tak luput dari kekurangan dan perlu disambut dengan berbagai penelitian lanjutan. Akan tetapi, kami berharap buku ini dapat menyumbang pembacaan terhadap
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / xvii
persoalan ruang kota Jakarta. Reklame memang telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Namun, ruang publik yang layak telah lebih dulu menjadi hak dari setiap warga kota. ***
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, Jakarta, Januari 2013.
JAKARTA MODERN
SELAMAT Tinggal Billboard, Selamat Datang LED oleh
Leonhard Bartolomeus
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 2
Menjelang siang, 14 Februari 2013, adalah saat mendebarkan bagi para anggota asosiasi pengusaha reklame Jakarta. Pada hari itu Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, mengundang mereka duduk bersama mendiskusikan penataan reklame di ibukota.1 Limapuluhan anggota asosiasi hadir. Pertama kalinya dalam sejarah reklame di Jakarta, begitu banyak pemangku kepentingan dalam dunia reklame di Jakarta duduk dan berdiskusi dalam satu meja.2 Barangkali hal itu tidak aneh, karena hari sebelumnya, Ahok mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan: ia ingin mengganti billboard dengan reklame LED dan melarang penerbitan izin maupun perpanjangan kontrak untuk billboard. “Kami setuju bahwa sebagian (reklame papan) diubah jadi LED, karena biar bagaimana pun teknologi akan mengarah ke sana....” ujar Didi O. Affandi, Ketua SPRJ, singkatan dari Serikat Pengusaha Reklame Jakarta. “Tapi jangan drastislah,” lanjutnya. Tak berapa lama, Sudaryono, Wakil Ketua Umum Aspperindo, Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia, menambahkan, “Masyarakat kita, klien kita, dan pekerja juga belum siap dengan kebijakan mendadak Bapak.” 1 Rapat Penataan Media Luar Ruang Provinsi DKI Jakarta di ruang rapat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, 14 Februari 2013. Sebuah video yang mendokumentasikan rapat itu diunggah di Youtube. com oleh Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Seksi Penyiapan Materi dan Publikasi. Sejak diunggah pertama kali pada 14 Februari 2013 hingga 16 September 2013, video itu telah dilihat sebanyak 14.225 kali. Tautan: http://bit.ly/1egUf9V. Terakhir diakses pada 16 September 2013. 2 Pernyataan ini ditegaskan oleh Bosco Nambut dalam “Lembaran Baru Media Luar Ruang Jakarta,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013. Mereka yang hadir dalam rapat tersebut diantaranya adalah perwakilan dari Asosiasi Media Luar griya Indonesia (AMLI), Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia (Aspperindo), Outdoor Advertising Agency Indonesia (OAAI), Serikat Pengusaha Reklame Indonesia (ASPRI), Asisten Pembangunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriyatmoko, serta Dinas Penertiban dan Pengawasan Bangunan (P2B).
3 / JAKARTA MODERN
Ahok bukannya tanpa alasan. Biang masalahnya, salah satunya, adalah rendahnya pendapatan daerah dari pajak reklame. “Jujur, semua iklan pajak yang masuk ke kas Pemda ini bohong besar! Hanya masuk ke kas orang-orang pribadi,” ujarnya. Selain itu, ia juga menganggap bahwa billboard merusak wajah kota dan konstruksinya yang masif kerap mengancam keselamatan warga. Sebagai gantinya, ia hendak memberi ruang lebih untuk reklame LED yang lebih aman karena konstruksi panelnya bisa diintegrasikan dengan gedung atau bangunan publik. Di samping itu, reklame LED yang berbasis video ini dapat memuat lebih banyak iklan, sehingga pemerintah bisa meningkatkan pendapatan pajak. Bagi pemerintah, mengganti billboard dengan reklame LED bisa menguntungkan. Namun tidak demikian bagi kebanyakan pengusaha reklame. Penghasilan utama mereka selama ini bergantung pada billboard. Sementara, teknologi reklame LED sendiri baru dimiliki segelintir perusahaan.3 Demi menggenapkan idenya, Ahok telah menyiapkan beberapa rencana. Antara lain, ia menyiapkan jaringan kabel serat optik yang akan menghubungkan reklame-reklame LED ke dalam sebuah sistem komputer, yang akan memudahkan pengawasan secara real time dengan mengakses ke dalam satu website. Selain itu, ia juga akan menetapkan sistem sewa durasi yang menghitung nilai pajak iklan berdasarkan masa tayang per detik, yang nilainya akan meningkat bila berada di lokasi yang strategis. Tidak ada keputusan yang dihasilkan di dalam rapat tersebut. Namun Ahok membuka pintu untuk setiap masukan susulan. Selepas rapat, rencana penggantian billboard dengan reklame LED menjadi topik di berbagai media massa online. Sepanjang Februari hingga Agustus, sejumlah media online mengabarkan berbagai hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut, seperti sistem sewa per durasi, rencana pemasangan kabel serat optik, hingga mekanisme bagi hasil antara biro reklame dengan pemerintah DKI Jakarta.
* 3 Di Jakarta sendiri sangat sedikit perusahaan reklame yang mengoperasikan reklame LED. Dalam penelitian, yang baru tercatat adalah PT. Media Indra Buana (MIB), PT. Warna Warni Media, Go-Ad Communications, dan PT. Pariwara Billboard.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 4
LED atau Light-Emitting Diode merupakan teknologi pencahayaan mutakhir pada layar digital. Layar dengan LED sebenarnya tidak asing dalam kehidupan kita, dari mulai layar arloji digital hingga layar mesin kasir supermarket, dari layar smartphone hingga layar video yang biasa ada di kanan-kiri panggung konser kelompok musik mancanegara, semua merupakan aplikasi teknologi layar LED. Yang membedakan LED dengan sumber cahaya lain adalah penggunaan teknologi diode yang membuat LED memiliki cahaya lebih terang, dengan warna dan kontras yang lebih jelas sekalipun berada dalam siraman cahaya matahari. Daya listrik yang ada pada teknologi diode lebih rendah dan memiliki waktu hidup lebih lama. Semua itu membuat gambarbergerak pada layar LED tampak lebih atraktif daripada layar elektronik lain—apalagi jika dibandingkan dengan billboard yang cuma berupa gambar cetakan pada sebuah panel yang disinari lampu. Oleh sebagian kalangan, tampilan visual reklame LED juga dipercaya mampu mempercantik Jakarta dengan menampilkan citra kota yang lebih modern.4 Berbeda pula dengan layar elektronik lain yang berupa layar kaca atau kristal dalam ukuran tertentu, layar LED tersusun dari panel-panel kecil. Satu panel kotak LED yang paling kecil berukuran 8 x 8 mm dan tersambung dengan 3 lampu yang masing-masing tingginya berkisar antara 1,6 mm sampai 15 mm. Tiap-tiap panel kecil yang tipis ini bisa disusun sesuai kebutuhan hingga mencapai ukuran yang diinginkan, dari selebar layar arloji sampai bisa sepanjang 460 meter, untuk kemudian disatukan menjadi sebuah layar utuh. Jika layar televisi kaca berupa satu tabung kaca utuh, maka layar LED terdiri dari deretan panel-panel kecil yang jauh lebih tipis dan ringan. Ini membuat layar LED bisa dibangun dalam berbagai ukuran dan praktis bisa ditempatkan di mana saja. Reklame LED jadi tidak mesti memerlukan tiang pancang yang melangit karena ia dapat diintegrasikan pada dinding gedung, permukaan kendaraan, serta bidang tegak lain. Dengan demikian,
4 Pandangan ini turut disampaikan oleh Yayat Supriyatna, seorang pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat dan Adhy Trisnanto, ketua Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia. Baca: “Jakarta Lebih Modern karena LED,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013, dan “Salahgunakan Izin, Pemilik Reklame Akan Dipidanakan,” KoranJakarta.com, 21 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/1dhuK5c. Terakhir diakses pada 8 September 2013.
5 / JAKARTA MODERN
LED dapat mengatasi dua masalah billboard yang melanda Jakarta selama ini: rawan roboh dan mengotori langit. Di samping itu, reklame LED mampu menampilkan banyak iklan video dalam satu layar. Banyak iklan, berarti banyak pajak, dan itu yang dicari oleh pemerintah Jakarta. Untuk mendukung keberadaan reklame LED, Ahok juga menyediakan fasilitas kabel serat optik bagi setiap reklame LED yang berada di dalam sarana dan prasarana kota—yaitu bagian dari ruang kota yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah untuk kepentingan umum, seperti jalan, halte, terowongan, jembatan layang, jembatan penyeberangan, waduk, taman, terminal, pos polisi, maupun trotoar.5 Fasilitas kabel serat optik itu akan menghubungkan setiap reklame LED dalam sebuah jaringan sistem komputer yang akan menampilkan data seluruh iklan pada reklame LED itu di sebuah website. Dengan begitu, setiap pengiklan bisa mengetahui kapan dan berapa kali iklannya diputar sesuai dengan nilai kontrak. Laporan yang jelas dan transparan, akan memudahkan pengiklan untuk mengecek pemutaran iklannya. Bila kemudian hal itu dianggap sebagai keuntungan tersendiri bagi pengiklan, maka bisa diperkirakan pengiklan akan merasa nyaman untuk beriklan pada reklame LED di ruang kota yang dikelola pemerintah itu. Reklame LED akan semakin menarik bagi pengiklan. Namun, jika kita sandingkan kembali reklame LED dengan billboard, reklame LED punya kekhususan sendiri, seperti halnya reklame video lainnya, yaitu faktor durasi dan frekuensi tayang. Di titik ini, kelebihan LED—kemampuannya menampilkan banyak iklan video dengan kualitas warna dan kontras lebih baik—bisa jadi juga merupakan kekurangan jika dibandingkan dengan billboard. Untuk menyerap informasi dari gambar bergerak, otak manusia membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan untuk menyerap konten gambar-diam seperti yang ada pada billboard. Sementara untuk reklame LED, terutama yang menyasar pengemudi kendaraan bermotor di jalan, tak banyak waktu tersisa untuk memerhatikan reklame itu.
5 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 6
Di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, misalnya, ada reklame LED di atap pos polisi yang memutar empat video iklan rokok produksi PT. Djarum: CLAVO, Djarum Super, Djarum Cokelat, dan Djarum Super MILD. Durasi video iklan Djarum Super MILD dan CLAVO hanya 15 detik. Sedangkan durasi video iklan Djarum Super dan Djarum Cokelat lebih dari 60 detik. Jika Anda mengendarai sepeda motor pada kecepatan 60 km/jam, dari jarak sekitar 300 meter, Anda sudah dapat melihat iklan pada layar LED itu dengan cukup jelas, hanya saja, lama waktu Anda memandang mungkin hanya sekitar 6 detik, karena tentu Anda harus berkonsentrasi pada jalanan. Dari sekitar 60 dan 15 detik durasi iklan, yang kita lihat cuma 6 detik. Walaupun Anda bisa mengenali merek rokok tersebut, pesan yang disampaikan dalam iklan itu tidak akan dapat Anda perhatikan dengan jelas. Untuk video iklan CLAVO maupun Djarum Super MILD dan Djarum Coklat, barangkali pesan iklan bisa tersampaikan karena video iklan CLAVO hanya berupa animasi merek, dan dua iklan sisanya berupa animasi promosi acara musik: yang penting untuk dilihat adalah nama acara, siapa pemainnya, serta kapan dan di mana acara itu berlangsung. Sementara untuk video iklan Djarum Super yang berupa iklan dengan narasi cerita seperti dalam film, tak banyak yang bisa disaksikan dalam 6 detik itu. Dengan begitu, membuat video iklan dengan durasi singkat untuk reklame LED menjadi tantangan besar bagi para pembuat iklan di Jakarta. Pengiklan tidak bisa lagi sekadar memindahkan video iklan dari televisi yang biasanya berdurasi lebih panjang, seperti iklan Djarum Super tadi dan juga banyak video iklan reklame LED pada umumnya.6 Semakin lama durasi suatu iklan, semakin kecil kemungkinan orang untuk menangkap seluruh pesannya. Selain itu, semakin banyak suatu reklame LED memuat video iklan, kesempatan sebuah iklan untuk terlihat akan semakin singkat. Setelah suatu iklan tampil, iklan itu harus menunggu putaran iklan-iklan lain selesai hingga iklan itu bisa ditayangkan kembali. Padahal pengiklan di reklame LED butuh frekuensi tayang yang lebih tinggi agar pesannya dapat ditangkap banyak
6 Adhy Trisnanto,”Jakarta Lebih Modern karena LED,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013.
7 / JAKARTA MODERN
orang, karena targetnya—para pengguna jalan—selalu berganti-ganti, berbeda dengan iklan televisi, di mana pemirsanya dapat duduk diam di depan layar televisi. Banyaknya video iklan di dalam reklame LED juga akan membuatnya sulit diingat orang sebagaimana orang bisa mengingat gambar iklan pada billboard dan menjadikannya landmark sebagai patokan arah. Pada reklame LED, kita lebih ingat bentuk panelnya dan bukan isi videonya yang selalu berganti-ganti. Bisa jadi, memasang satu video iklan pada reklame LED tidak seefektif yang dibayangkan daripada memasang iklan di billboard. Memang, ketika efektivitas iklan bukanlah persoalan bagi pengiklan, beriklan melalui reklame LED bisa jadi solusi praktis apabila kuantitas iklan lebih jadi tujuan. Jika pada billboard, suatu perusahaan tak dapat mengiklankan produknya di titik yang sudah disewa oleh satu perusahaan lain, pada reklame LED ia bisa beriklan di berbagai titik bersama iklan-iklan dari perusahaan lain. Jika pada billboard, bertambahnya iklan bisa berarti naiknya kebutuhan titik baru, yang akan tambah mengotori langit, pada reklame LED tidak demikian karena di dalam satu layarnya, ia bisa memuat banyak iklan. Namun, mudahnya reklame LED diintegrasikan pada dinding bangunan dan bidang tegak lainnya justru membuat jumlah reklame LED bisa menjadi lebih banyak daripada billboard. Kemudahan reklame LED diintegrasikan dengan penampang apa pun, justru bisa membuat reklame LED hadir pada titik-titik yang sebelumnya tidak banyak dimanfaatkan untuk billboard, misalnya di badan bus, dinding gedung, stasiun, dan penyeberangan orang (JPO). Belum ada jaminan bahwa reklame LED tidak akan menjadi sebanyak, atau bahkan melebihi jumlah billboard sekarang. Namun mengingat reklame LED bisa mengandung banyak iklan, tanpa perlu menjadi sebanyak billboard sekalipun, jumlah iklan yang hadir di ruang kota kita akan bertambah banyak. Dalam 100 billboard, misalnya, hanya ada 100 gambar iklan selama beberapa bulan. Namun dalam 100 reklame LED yang masing-masing misalnya mengandung 50 video iklan, maka akan ada 5.000 iklan yang terus-menerus berusaha mencuri perhatian kita. Jika 50 video iklan dalam setiap reklame LED itu diganti dengan reklame yang baru lagi setiap minggunya, maka dalam satu bulan saja ruang kota Jakarta akan dipenuhi 20.000 iklan.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 8
Di luar spekulasi tersebut, satu hal yang perlu menjadi catatan penting dari reklame LED adalah potensi setiap reklamenya untuk mengalihkan perhatian pengemudi kendaraan bermotor dari jalanan. Mengingat Jakarta belum menjadi kota yang ramah bagi pedestrian, maka pengemudi kendaraaan bermotor masih menjadi sasaran utama dari reklame. Praktis, reklame dalam bentuk apa pun yang ada di pinggir jalan, terutama yang berukuran besar, bisa mengalihkan perhatian pengemudi saat membawa kendaraan bermotor. Terlebih jika itu adalah reklame LED yang bergerak dan bercahaya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Swedish National Road and Transport Research Institute di Swedia, menunjukkan bahwa secara signifikan perhatian pengemudi lebih terganggu ketika melewati reklame LED ketimbang reklame biasa. Merujuk pada penelitian tersebut, pemerintah Swedia kemudian melarang kehadiran reklame LED.7 Sementara itu, di Toronto, Kanada, reklame LED juga ditolak oleh sebagian masyarakatnya sendiri. Pada medio 2011, pemerintah Toronto berencana menghilangkan billboard dan menggantinya dengan reklame LED—seperti di Jakarta pada 2013. Menanggapi rencana ini, Toronto Public Space Initiative (TPSI), lembaga independen di Toronto, berinisiatif melakukan gerakan publik untuk menentang keberadaan reklame LED di Toronto. Sekalipun hingga saat ini gerakan itu belum berhasil sepenuhnya, pernyataan Dave Meslin, anggota dari TPSI, menarik untuk diperhatikan. “We’ve already banned cellphones in cars. You’re not allowed to watch your own personal TV screens in cars. So why would we install electronic signs on the highway? It’s just a bad idea (Kita sudah dilarang menggunakan ponsel ketika mengemudi. Anda juga dilarang untuk menyalakan televisi di dalam mobil. Jadi kenapa sekarang kita memasang reklame elektronik di jalan raya? Ini adalah ide yang buruk).”8 Lewat pernyataan ini, Meslin ingin mengingatkan tentang tingkat gangguan yang tinggi dari kehadiran reklame LED di jalanan. Bagi Meslin, soal “efektivitas” dalam dunia periklanan—yang digunakan sebagai argumen
7 Adhy Trisnanto,”Jakarta Lebih Modern karena LED,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013. 8 Graeme Bayliss, “LED Billboards Threaten Safety and Public Space, Say Critics,” Torontoist.com, 13 Desember 2013. Tautan: http://bit.ly/tCycy8. Terakhir diakses pada 25 September 2013.
9 / JAKARTA MODERN
mendukung reklame LED—dan “gangguan” dalam kehidupan kita berada dalam wilayah pengertian yang sama. Gangguan itu juga akan terasa pada malam hari, ketika pendaran cahaya reklame LED semakin mengganggu perjalanan atau bahkan tidur kita. Saking berbahayanya reklame LED, terutama bagi pengendara, Meslin sempat berseloroh bahwa sebaiknya pemerintah memasang layar-layar LED tersebut di perempatan yang berdekatan dengan rumah sakit, sehingga jika menyebabkan kecelakaan akan lebih mudah menanganinya.9 Kita belum tahu berapa banyak reklame LED yang akan dibuat pemerintah di dalam sarana dan prasarana kota dan berapa banyak reklame LED yang akan diizinkan untuk didirikan di wilayah-wilayah lain di Jakarta. Namun seperti juga billboard, kehadiran reklame LED perlu dibatasi. Mengingat faktor gangguan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan kecelakaan, maka rencana reklame LED perlu diperhatikan dengan serius. Dengan menggunakan reklame LED, Ahok memang ingin merebut kembali pajak-pajak reklame billboard yang telah menguap selama ini. Untuk reklame LED yang berada di dalam sarana dan prasarana kota, pajak sewa iklan akan dibayar pengiklan dengan sistem durasi. Semakin lama durasi iklan maka semakin mahal harganya. Harga pajak juga akan bisa meningkat jika reklame LED berada di wilayah yang lebih diminati. Sementara bagi biro reklame yang ingin mendirikan reklame LED di dalam sarana dan prasarana kota, mereka wajib memasang kabel serat optik melalui pemerintah, agar reklamenya terintegrasi dengan sistem komputer pemerintah dan pengiklan bisa memiliki akses informasi atas pemutaran iklan. Biro reklame juga harus membayar dengan sistem bagi hasil sebesar 20 persen dari nilai kontrak
9 Kajian soal efek reklame LED terhadap keselamatan pengendara di Indonesia belum banyak dilakukan, untuk tidak menyebutnya sama sekali belum ada. Namun, Vancasius Gunawan Meyer pernah melakukan penelitian tentang pengaruh reklame billboard di seputar Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, pada 2005. Ia menemukan hubungan serupa seperti yang ditemukan oleh Swedish National Road and Transport Research Institute di Swedia dalam kasus reklame LED. Hasil penelitian Vancasius menyimpulkan bahwa keberadaan reklame billboard yang berdiri di tepi jalan mengganggu konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor. Lihat: Vancansius Gunawan Meyer, Pengaruh Papan Reklame pada Pengemudi di Jalan Muhammad Husni Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat (Depok: Universitas Indonesia, 2005).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 10
dengan setiap pengiklan. Dengan demikian, dari setiap titik reklame LED yang berada di dalam sarana dan prasarana kota, pemerintah akan mendapat pemasukan dari pajak durasi dari pengiklan serta 20 persen nilai bagi hasil dengan biro reklame. Sedangkan untuk titik reklame LED di luar sarana dan prasarana kota, pemerintah hanya menarik pajak durasi dari pengiklan.10 Pemerintah juga mengaktifkan kembali PT. Jakarta Komunikasi (JAKOM), sebuah badan usaha milik daerah yang bergerak di bidang telekomunikasi, untuk ambil bagian dalam bisnis reklame LED ini.11 Dengan begitu, pemerintah bisa “bersaing” dengan biro reklame, dan lebih memahami seluk-beluk bisnis ini. Ahok juga menyatakan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti pemerintah akan menaikkan nilai bagi hasil hingga 30 persen atau lebih.12 Berbagai usaha untuk mengoptimalkan pajak lewat pengadaan reklame LED ini, selain tidak mengurangi kemungkinan reklame-reklame itu mengganggu keselamatan pengemudi kendaraan bermotor, juga akan turut memengaruhi wajah kota. Alih-alih menghalangi wajah kota seperti yang banyak terjadi pada reklame billboard, reklame LED justru membungkusnya dengan pendaran cahaya. Jika pada billboard, yang hadir adalah centangperentang gambar-gambar dalam ukuran besar di ketinggian, maka dalam reklame LED adalah gambar bergerak yang bisa hadir di mana-mana, dari dinding luar bangunan hingga di berbagai fasilitas publik, dengan jumlah yang bisa lebih banyak, dan bukankah itu tidak lebih baik daripada wajah kota yang dihalangi billboard? Ketika kota São Paulo di Brazil membabat semua reklame di kotanya pada 2006, sebagian warga São Paulo merasa aneh, bingung, dan tersesat karena mereka merasa kehilangan “penanda tempat” berupa billboard yang sebelumnya hadir di sana. Namun lama kelamaan warga São Paulo mulai
10 Andi Muttya Keteng, “DKI Minta Perusahaan Pemilik Serat Optik Bangun Saluran Bersama,” Liputan6.com, 19 Agustus 2013. Tautan:http://bit.ly/1aka0eu. Terakhir diakses pada 21 September 2013. 11 Lebih jauh tentang PT. Jakarta Komunikasi, lihat tautan: http://jakarta-komunikasi.com. 12 “Bapak Basuki (Ahok) Bicara Tentang Pajak Reklame DKI Jakarta, Ahok Center, Alokasi CSR,” video diunggah oleh Raibow Media di Youtube.com, 20 Agustus 2013. Tautan: http://bit.ly/1ai6aQ0. Terakhir diakses pada 23 September 2013.
11 / JAKARTA MODERN
mengenali kembali wajah kota yang selama ini tertutupi oleh papan-papan iklan tersebut. “It’s weird, because you get lost, so you don’t have any references any more. My reference was a big Panasonic billboard. But now my reference is art deco building that was covered through this Panasonic. So you start getting new references in the city. The city’s got now new language, a new identity (Aneh, karena Anda jadi tersesat, sehingga Anda tidak punya referensi lagi. Referensi saya sebelumnya adalah billboard besar Panasonic. Tapi kini referensi saya adalah bangunan bergaya Art Deco yang sebelumnya ditutupi oleh Panasonic itu. Jadi Anda mulai mendapatkan referensi baru di dalam kota. Kota ini sekarang punya bahasa baru, identitas baru),” ungkap Vinicius Galvao, seorang reporter São Paulo. Dengan menghilangkan reklame, warga São Paulo kini dapat menikmati identitas kota yang sesungguhnya. Pada 2011, ketika diadakan survei kepuasan publik, sebanyak 70 persen warga São Paulo setuju untuk melanjutkan peraturan ini.13 Survei semacam itu belum pernah terjadi di Jakarta, sementara pintu bagi reklame LED mulai terbuka. Tujuh bulan setelah rapat antara Ahok dan pengusaha reklame berlangsung, muncul berita bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memasang reklame LED di 20 titik.14 Sepuluh titik di sepanjang pesisir utara Waduk Pluit, Jakarta Utara, dan 10 titik di jembatan layang Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dikabarkan, lima perusahaan telah berminat mengiklankan produknya di sana. Pemerintah tampaknya memang bergegas menerapkan reklame LED untuk mendorong pendapatan daerah menjadi lebih besar. Tidak ada keraguan lagi bahwa kenyataan tersebut akan mengubah wajah kota kita. Mungkin, akan tiba saatnya bangunan-bangunan di kota Jakarta tidak lagi memerlukan wajah karena kita akan selalu bisa membungkusnya dengan reklame LED. Apakah itu wajah kota yang kita inginkan?
*** 13 Vinicius Galvao adalah seorang reporter dari surat kabar Folha de S. Paulo di Brasil. Baca: David Evan Harris, “São Paulo: A City Without Ads,” Adbusters.org, 3 Agustus 2007. Tautan: http://bit.ly/xnGdu. Terakhir diakses pada 15 April 2013. 14 Dharmawan Sutanto, “Bulan depan, Pemprov DKI pasang 20 papan reklame di Waduk Pluit,” Merdeka.com, 19 Agustus 2013. Tautan: http://bit.ly/15ko3dy. Terakhir diakses pada 8 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 12
RIMBA REKLAME JAKARTA
Dominasi Kapital atas Ruang Kota Kita oleh
Robin Hartanto
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 34
Tak ada yang bisa menyembunyikan kegusaran Joko Widodo sore itu. Bayang hitam dari topi bertuliskan “Jakarta” yang ia kenakan hanya membuat raut wajahnya semakin pucat. Keramaian yang bisa ia harapkan mengalihkan perhatian, justru memusatkan perhatian pada dirinya. Dengan beralaskan sepatu boots, Gubernur DKI Jakarta yang baru dilantik tak sampai seratus hari itu berdiri kaku di atas bantaran rel kereta, belasan meter dari kanal yang sejak pagi itu tak lagi bertanggul. Tatapannya terpaku pada keberadaan dua konstruksi papan reklame raksasa di hadapannya, yang menjulang hingga sekitar 40 meter. Besar bidang reklame itu masing-masing menyamai besar dua kali lapangan bulu tangkis. Fondasi salah satu papan reklame itu terus tergerus aliran air yang begitu deras. Badan reklamenya sudah tidak tegak seperti semula. Hari itu, 17 Januari 2013, awan gelap masih saja menutupi langit Jakarta. Hujan lebat yang sudah berestafet mengguyur Jakarta sejak tiga hari sebelumnya tak juga menunjukkan tanda tamat. Padahal, sebagian besar wilayah ibukota saat itu telah dilanda banjir. Kecemasan semakin menjadijadi ketika pagi itu Firdaus Ali, pakar hidrologi dari Universitas Indonesia, memperkirakan bahwa banjir baru akan mencapai puncaknya pada 27 Januari 2013, yang kemudian digaungkan di berbagai media massa nasional dengan tajuk “Jakarta Tenggelam”.1
1 “Diprediksi, 27 Januari Jakarta ‘Tenggelam’,” Kompas.com, 18 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/Wkd6V8. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
35 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Situasi memburuk ketika pukul 10.00, tanggul Kanal Banjir Barat (KBB) di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, jebol. Air seketika melimpah ke jalanan yang letaknya lebih rendah. Kawasan Menteng, ruas jalan protokol Sudirman dan Thamrin, area sekitar Bundaran Tugu Selamat Datang, dan bahkan kompleks Istana Negara—kawasan-kawasan yang hampir tak pernah tersentuh banjir sebelumnya—ikut terendam. “Tsunami kecil” terjadi di gedung UOB di Jalan Thamrin, di mana limpasan air masuk dengan derasnya ke dalam lantai basement. Lima puluh mobil terendam 2 dan empat orang terperangkap di dalamnya. Di tengah kegentingan itu, Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, bergegas meninjau lokasi jebolnya tanggul. Ratusan anggota Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) dan TNI (Tentara Negara Indonesia) ia kerahkan untuk membantu penambalan tanggul. Ia juga menelepon Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum untuk mengirim karung-karung pasir. Akan tetapi, ia barangkali tidak pernah menyangka bahwa masalah terbesar dalam proses perbaikan tanggul itu bukanlah buruknya cuaca ataupun kurangnya sumber daya, melainkan keberadaan satu papan reklame yang mengiklankan produk kecantikan. Jika papan reklame bergambar wajah closeup itu roboh, keselamatan warga dan para pekerja yang sedang memperbaiki tanggul bisa terancam. Sementara, tidak ada kendaraan alat berat yang bisa digunakan karena banjir masih menutupi akses menuju lokasi. Bagaimana ia bisa menyingkirkan papan reklame tersebut, atau setidaknya menahan sementara agar papan raksasa itu tidak jatuh? “Awas, awas, menjauh dari sana,” teriak seorang petugas tiba-tiba, disusul sejumlah seruan lainnya. 3 Mereka memperingatkan kerumunan yang mengamati dari atas jembatan. Badan reklame sudah semakin miring. Jatuhnya papan reklame itu tinggal menunggu waktu saja.
* 2 “Tinggal Keringkan Basement 4, Total 50 Mobil Terendam di Plaza UOB,” Detik.com, 23 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/15peVI6 dan “Dua Korban Selamat Banjir Plaza UOB Dirawat di RS Abdi Waluyo,” Tribunnews.com, 19 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/15peWM6. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 3 “Ini Penyebab Banjir Kepung Istana Negara dan Kantor Jokowi”, Liputan6.com, 17 Januari 2013. Tautan: http:// bit.ly/1avZazD. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 36
Sulit dipercaya bahwa pada sempadan sungai yang keberadaannya krusial bagi keberlangsungan kota, bisa berdiri papan-papan reklame berukuran besar. Sebab, seperti pendapat Nirwono Yoga, pengamat kota dan arsitek lanskap, di harian Kompas, kawasan sempadan sungai sewajarnya bebas dari bangunan apa pun, karena “secara prinsip, bangunan lain yang tidak ada kepentingannya dengan sungai bisa membahayakan struktur bangunan sungai.”4 Walaupun tak ada pembuktian lebih lanjut setelahnya, tak heran muncul dugaan bahwa konstruksi papan reklame menjadi salah satu penyebab jebolnya tanggul KBB di Jalan Latuharhary. Anehnya, kedua papan reklame tersebut punya izin resmi, yang seharusnya mencakup izin tata letak dari Dinas Tata Ruang dan izin konstruksi dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan. Dua papan reklame itu pun tidak sendirian. Ada lagi dua papan reklame di sisi lain tanggul dengan kondisi serupa. Untung saja papan reklame yang nyaris roboh itu akhirnya berhasil disangga sementara dengan mobil pemadam kebakaran dari atas jembatan, sehingga perbaikan tanggul pun bisa berjalan lancar. Menyadari betapa bahayanya keberadaan reklame di pinggir tanggul, satu hari setelah kejadian menegangkan itu Jokowi sebetulnya sudah bergerak cepat dengan memerintahkan Wiryatmoko, Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup, untuk membongkar semua papan reklame yang ada di sepanjang bibir kanal dan melarang pemberian izin reklame-reklame baru di sana.5 Jadi penyebab atau tidak, ia memilih melakukan pencegahan. Namun, masalah ini rupanya tidak selesai begitu saja. Dua bulan berlalu sejak perintah pembongkaran oleh Jokowi, ternyata baru satu papan reklame yang dibongkar, yaitu reklame yang memang sudah miring. Padahal ada empat papan reklame besar di sekitar lokasi. Dengan bahaya yang sudah kasat mata, sungguh mengherankan bahwa pemerintah provinsi masih butuh waktu lama untuk membongkar papan-papan reklame tersebut. Apakah perlu
4 “Tiga Papan Reklame di Kanal Barat”, Kompas.com, 5 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/1avZf Dl. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 5 “Jokowi Minta Tanggul Steril dari Papan Reklame,” Kompas.com, 18 Januari 2013. Tautan: http://bit. ly/18VTaOt. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
37 / RIMBA REKLAME JAKARTA
menunggu tiga-tiganya juga miring baru akan dilakukan pembongkaran? Atau perintah pembongkaran oleh Jokowi memang dianggap angin lalu saja? Siapa sangka ketika dikonfirmasi oleh wartawan Kompas pada 13 Maret 2013, Jokowi sendiri terkejut dan mengaku tidak tahu bahwa tiga papan reklame lainnya belum dibongkar.6 Esoknya setelah rapat bersama para kepala dinas, barulah ia menjelaskan alasannya, “Katanya itu (pembongkaran) menunggu rekomendasi dari kementerian. Karena yang memberi izin bukan hanya kita, tapi menyangkut wilayah kementerian.”7 Bagi yang memahami peraturan penyelenggaraan reklame di Jakarta, alasan yang dikemukakan Jokowi akan terdengar janggal. Pasalnya, wewenang penyelenggaraan reklame, baik di lahan pemerintah maupun non-pemerintah, berada pada pemerintah provinsi.8 Apabila ada reklame yang tidak sesuai dengan berbagai ketentuan, termasuk di antaranya ketentuan konstruksi, Gubernur DKI Jakarta, melalui Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame,9 berhak membongkar reklame tersebut.10 Sementara, peran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam perizinan reklame di Latuharhary hanyalah sebagai “pemilik lokasi”. Ini disebabkan pengawasan KBB memang berada di tangan Kementerian PU. Dengan wewenang tersebut, Kementerian PU lalu menyewakan lahannya kepada pihak penyelenggara reklame. Tetapi papan-papan reklame pada akhirnya hanya boleh berdiri atas izin pemerintah provinsi, bukan atas izin Kementerian PU. Baik Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup dan para pejabat dinas lain yang terkait dengan penyelenggaraan reklame tentu memahami bahwa wewenang penertiban ada di pemerintah provinsi. Lantas mengapa bisa muncul alasan “menunggu rekomendasi kementerian”?
6 “Jokowi Segera Cek Reklame di Latuharhary,” Kompas.com, 13 Maret 2013. Tautan: http://bit.ly/16rf NLr. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 7 “Dinas P2B Bisa Robohkan Papan Iklan di Latuharhary,” Detik.com, 14 Maret 2013. Tautan: http://bit.ly/1aw0m65. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 8 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 9 ayat (1). 9 Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1981 Tahun 2012, tentang Pembentukan Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame. 10 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 22.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 38
Papan-papan reklame tersebut akhirnya dibongkar pada 23 Maret 2013, hanya sepuluh hari setelah media massa ramai menyinggung kembali soal keberadaan mereka. Tetapi pertanyaan tadi mungkin tak pernah benar-benar bisa terjawab. Apalagi jika mengingat bahwa ada segudang pertanyaan lain seputar reklame di Jakarta, yang sampai kini juga masih belum terjawab.
*
Banyak yang menyebutnya sebagai “media luar ruang”. Ada juga yang memilih menggunakan istilah “media luar griya”. Sekalipun memiliki arti harafiah yang lebih luas, kata “reklame” di Indonesia memang kerap digunakan untuk menjelaskan media iklan yang membidik publik yang berada di luar ruang privat masing-masing orang. Dengan begitu, iklan-iklan yang hadir di ruang tamu kita, seperti iklan di media cetak atau televisi tidaklah termasuk reklame karena media-media tersebut dialami terbatas di ruang privat kita. Begitu juga dengan iklan radio yang kita setel di dalam mobil kita, sekalipun saat itu kita sedang berada di jalan raya. Tapi adanya kata “luar” di sini bukan berarti reklame harus berada di luar gedung. Iklan-iklan yang dipasang di dalam bangunan publik seperti bandara atau di dalam bangunan komersial seperti mal pun tergolong sebagai reklame, karena lokasinya berada di luar ruang privat kita. Salah satu bentuk reklame yang sering kita lihat adalah reklame papan atau billboard. Namun, pada praktiknya, ada banyak sekali wujud reklame. Jika di jalan kita melihat seorang badut berjoget sambil memegang poster bertuliskan “Telah Dibuka, Sirkus Alamak,” kita sedang melihat reklame berjalan. Atau ketika kita sedang berhenti di depan lampu lalu lintas lalu ada yang membagikan selebaran diskon restoran, kita baru saja menerima reklame dalam bentuk selebaran. Apa pun bentuk promosi yang bisa dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, atau dinikmati oleh umum di luar griya, itu semua tergolong sebagai reklame. Berdasarkan pengertian itulah, pemerintah kemudian membagi reklame menjadi beberapa jenis, yaitu “reklame papan/ billboard, megatron, videotron, LED (Large Electronic Display); reklame kain; reklame melekat (stiker); reklame selebaran; reklame berjalan (termasuk kendaraan); reklame udara; reklame suara; reklame film/slide; reklame
39  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
peragaan; dan reklame lainnya, bagi reklame yang jenisnya belum terdefinisi (Tabel 1).11 Berbagai macam reklame tersebut bisa diselenggarakan oleh pemilik produk atas nama sendiri atau pun oleh pihak ketiga, yaitu biro reklame, yang mengiklankan produk pihak lain. Tetapi oleh siapa pun itu, demi bisa berdiri, setiap reklame harus patuh pada pengaturan penyelenggaraan reklame oleh pemerintah provinsi. Pengaturan tersebut esensial dalam menentukan nasib ruang kota kita dan, terlebih lagi, hak kita sebagai warga kota. Sebab, keberadaan reklame akan selalu bersinggungan dengan ruang kota dan publik yang menghuninya. Kita bisa memilih untuk mematikan televisi atau menutup majalah, tapi kita tidak bisa bersepeda menikmati kota lalu memencet tombol yang dapat menutup semua reklame yang akan kita lewati di sepanjang jalan. Reklame-reklame itu akan tetap berada di sana, berdiri gagah demi mencuri perhatian kita. Jika Jakarta adalah kota yang memandang hak warganya, maka sudah sepatutnya pengaturan tersebut mengutamakan kepentingan warga. Lagi pula, berbeda dengan produk majalah atau saluran televisi yang menggantungkan keberlangsungan hidupnya terutama pada iklan, kota kita memiliki berbagai alternatif sumber pendapatan dan akan tetap hidup sekalipun tanpa reklame, yang signifikansi pemasukan tiap tahunnya hanya sekitar 1–3 persen dari total penerimaan pajak daerah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Tabel 2). Namun sebaliknya, apa yang tampak dari pengaturan penyelenggaraan reklame di Jakarta, dari hulu hingga ke hilir penyelenggaraan, justru adalah keberpihakan pemerintah pada kapital. Tak perlu heran jika kemudian ruang kota kita, bahkan pada bagian ruang kota yang berperan vital untuk keberlangsungan kota seperti tanggul KBB, bisa didominasi oleh kepentingan kapital, bukan kepentingan warga.
11  Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 8.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  40
Tabel 1.  Jenis-jenis Reklame di Jakarta.
1
2
Reklame Papan/ billboard
Reklame Megatron, Videotron, Large Electronic Display (LED)
Reklame yang terbuat dari papan kayu, calli brete, vinyle termasuk seng atau bahan lain yang sejenis dipasang atau digantungkan atau dipasang pada bangunan, halaman, di atas bangunan.
Reklame yang menggunakan layar monitor besar berupa program reklame atau iklan bersinar dengan gambar dan/atau tulisan berwarna yang dapat berubah-ubah, terprogram dan difungsikan dengan tenaga listrik.
3
Reklame Kain
Reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan bahan kain, termasuk kertas, plastik, karet atau bahan lain yang sejenis dengan itu.
4
Reklame Melekat (stiker)
Reklame yang berbentuk lembaran lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta untuk ditempelkan, dilekatkan, dipasang, digantungkan pada suatu benda dengan ketentuan luasnya tidak lebih dari 200 cm2 per lembar.
5
Reklame Selebaran
Reklame yang berbentuk lembaran lepas diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan atau dapat diminta dengan ketentuan tidak untuk ditempel, dilekatkan, dipasang, digantungkan pada suatu benda lain.
6
Reklame Berjalan/ Kendaraan
Reklame yang ditempatkan atau ditempelkan pada kendaraan yang diselenggarakan dengan mempergunakan kendaraan atau dengan cara dibawa oleh orang.
7
Reklame Udara
Reklame yang diselenggarakan di udara dengan menggunakan gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis.
8
Reklame Suara
Reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh perantaraan alat.
9
Reklame slide
Reklame yang diselenggarakan dengan cara menggunakan klise berupa kaca atau film, ataupun bahan-bahan yang sejenis, sebagai alat untuk diproyeksikan dan/atau dipancarkan pada layar atau benda lain di dalam ruangan.
10
Reklame peragaan
Reklame yang diselenggarakan dengan cara memperagakan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.
11
Reklame lainnya
Sumber: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame.
41 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Tabel 2. Presentasi Realisasi Penerimaan Pajak Reklame Terhadap Anggaran Pendapatan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Tahun Anggaran
Pajak Reklame
Pajak Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2008
306.953.676.694
8.484.270.000.000
10.381.542.819.361
2009
269.697.869.761
9.397.012.000.000
11.134.547.508.395
2010
258.171.510.385
9.855.150.000.000
11.824.970.000.000
2011
269.666.970.846
13.709.000.000.000
16.022.580.846.665
2012
483.162.893.731
15.625.000.000.000
18.685.000.000.000
2013 (masih berjalan)
450.000.000.000
21.918.000.000.000
26.670.448.766.000
Sumber: Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta dan Peraturan Daerah APBD DKI Jakarta 2008-2013.
Hal tersebut bisa dilihat mulai dari daftar peraturan pemerintah yang mengatur penyelenggaraan reklame. Dua peraturan pokok yang kerap dipakai perihal penyelenggaraan reklame adalah Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame dan Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. Dari hierarkinya, Perda berada lebih tinggi dari Kepgub. 12 Perda dibuat terlebih dahulu sebagai landasan, baru setelah itu dijelaskan secara lebih mendetail di Kepgub. Persoalannya, Kepgub baru untuk menjelaskan Perda No. 7 Tahun 2004 itu belum dibuat, sehingga petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan reklame masih mengacu pada Kepgub No. 37 Tahun 2000 itu, yang isinya adalah detail dari pelaksanaan Perda No. 8 Tahun 1998 12 “Perbedaan Pergub dan Perda,” Hukumonline.com, 18 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/YMThXK. Terakhir diakses pada 23 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  42
Persentase TOTAL Pendapatan DAERAH
Pajak Reklame terhadap Pajak Daerah
Pajak Reklame terhadap PAD
18.791.528.569.361
3,62%
2,96%
20.674.547.508.395
2,87%
2,42%
22.172.060.000.000
2,62%
2,18%
25.526.480.846.665
1,97%
1,68%
30.642.744.353.626
3,09%
2,59%
41.525.336.632.000
2,05%
1,69%
tentang Penyelenggaran Reklame dan Pajak Reklame. Padahal dengan adanya Perda No. 7 Tahun 2004 itu, berarti Perda No. 8 Tahun 1998 itu sudah tidak berlaku lagi. Kontras dengan pengaturan petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan reklame yang tak kunjung diperbarui, Perda yang mengatur tentang pajak daerah malah telah diganti beberapa kali. Perda No. 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame telah digantikan oleh Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Pajak Reklame, dan digantikan sekali lagi oleh Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. Berbagai peraturan tersebut pun ternyata dibuat dengan berkiblat pada peningkatan pemasukan pemerintah provinsi, yang resminya bernama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu bisa dimaklumi jika pengaturan tentang pajak reklame memang diarahkan untuk meningkatkan PAD. Lagi pula, PAD sejatinya akan digunakan kembali demi kepentingan warga—kalau
43 / RIMBA REKLAME JAKARTA
memang betul begitu adanya. Tetapi, ketika Kepgub No. 37 Tahun 2000 dan Perda No. 7 Tahun 2004 yang menjadi acuan penyelenggaraan reklame juga dibuat—seperti yang tertulis sejak halaman pertama masing-masing peraturan—dengan menimbang peningkatan PAD, teranglah apa yang memang sejak semula jadi prioritas pemerintah dalam penyelenggaraan reklame.13 Buntut dari pendekatan penyelenggaraan reklame yang memang mengarah pada kepentingan kapital itu berbuah pada buruknya kualitas perencanaan, perizinan, hingga pengawasan dan penertiban reklame, yang akan kita telusuri satu-persatu. Perencanaan Tahap perencanaan adalah tahap paling awal dari penyelenggaraan reklame. Tahap ini dilakukan terutama pada jenis reklame papan/billboard, videotron, megatron, dan LED, yang memang berdiri secara permanen di ruang kota dalam jangka waktu relatif lama. Pengerjaannya dilakukan oleh Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dinas ini bertanggung jawab dalam merancang aturan teknis penyelenggaraan reklame, merencanakan pola penyebaran peletakan reklame, menentukan titik-titik reklame di dalam sarana dan prasarana pemerintah, dan menimbang diizinkan atau tidaknya titik-titik reklame di luar sarana dan prasarana pemerintah. Berdasarkan lokasinya, pemerintah Jakarta memang membedakan reklame yang berada “di dalam sarana dan prasarana kota” dan reklame yang berada “di luar sarana dan prasarana kota”.14 Reklame yang berada di ruang kota yang menjadi wewenang pemerintah, seperti taman kota, bahu jalan, halte bus, atau Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), termasuk ke dalam jenis yang pertama. Sementara reklame yang terletak di ruang kota yang dimiliki oleh perseorangan dan badan swasta termasuk ke dalam jenis yang kedua (Ilustrasi 1).
13 Tentang orientasi peraturan reklame di Jakarta yang lebih bertujuan pada peningkatan pemasukan pajak, baca “Publik yang Menjadi Latar Bisu: Catatan Tentang Peraturan-peraturan Reklame Jakarta,” oleh Amalia Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad, dalam buku ini. 14 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 44
Ilustrasi 1. Titik-titik Reklame di Jakarta Berdasarkan Lokasi.
Titik-titik reklame berdasarkan lokasi terbagi menjadi dua:
Di dalam sarana dan prasarana kota
Di luar sarana dan prasarana kota
• • • • • • • •
• • •
Bahu jalan Halte bus Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Taman kota atau jalur hijau Pos jaga polisi Jam kota Terminal dan pangkalan angkutan Gelanggang olahraga
Di atas bangunan Menempel pada bangunan Di halaman
Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame.
Untuk membantu pengerjaan perencanaan, Dinas Tata Ruang kerap bekerja sama dengan Pusat Studi Urban Design (PSUD),15 konsultan perancangan perkotaan yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat. Sejauh ini, PSUD bersama pemerintah telah menghasilkan beberapa produk kajian tentang penataan reklame di Jakarta, antara lain: Pola Penyebaran dan Pedoman Teknis Perletakan Reklame DKI Jakarta (2002), Kajian/Evaluasi Pola Penyebaran Reklame di Sarana Prasarana Kota Wilayah Jakarta Pusat (2007), Evaluasi Aturan Teknis Pemasangan Reklame dan Pola Penyebaran Titik Reklame di DKI Jakarta (2009), dan Masterplan Pemanfaatan Ruang Reklame di Kawasan DKI Jakarta (2010).16 Produk-produk kajian tersebut berperan penting dalam menentukan arah kebijakan reklame pemerintah DKI Jakarta. Contohnya adalah pengaturan jenis-jenis kawasan kendali reklame yang terdapat di dalam Pola Penyebaran 15 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. 16 Wawancara dengan Riardy Sulaiman, Perancang Perkotaan Pusat Studi Urban Design (PSUD), di Bandung, Jawa Barat, pada 14 Maret 2013.
45 / RIMBA REKLAME JAKARTA
dan Pedoman Teknis Perletakan Reklame DKI Jakarta (2002). Pengaturan jenis-jenis kawasan tersebut disahkan di dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, dan penjabaran salah satu jenis kawasannya dijelaskan secara khusus di Peraturan Gubernur No. 23 Tahun 2006. Dalam merencanakan penataan reklame di Jakarta, ada beberapa landasan prinsip yang dipakai oleh PSUD. Salah satunya adalah dengan melihat karakter kawasan kota yang dirancang, baik itu arahan, rencana, atau yang secara terbangun sudah jadi potensi kawasan itu sendiri. Misalnya, pada Kawasan Taman Merdeka yang jadi pusat pemerintahan dan koridor Jalan Sudirman–Jalan Thamrin yang jadi penanda wajah kota, PSUD melihat bahwa kawasan ini sebaiknya bebas dari reklame. Sementara, untuk kawasankawasan perdagangan seperti di Mangga Dua, Jalan Sabang, atau Blok M, PSUD mengusulkan kelonggaran dalam pemasangan reklame, dengan tingkat kendali yang rendah. Pendekatan ini memunculkan pembagian kawasan berdasarkan tingkat kendali penyelenggaraan reklamenya, yaitu “kawasan tanpa penyelenggaraan reklame (white area)”, “kawasan kendali ketat”, “kawasan kendali sedang”, dan “kawasan khusus”.17 Setelah membagi jenis kawasan, PSUD lalu menentukan pola penyebaran dan batasan teknis perletakan reklame berdasarkan asumsi kelas jalan.18 Kelas jalan adalah klasifikasi jalan yang ditetapkan pemerintah dengan berdasarkan pada penggunaan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.19 Dasar argumen dari asumsi kelas jalan adalah: semakin tingginya pengguna jalan akan turut membuat nilai reklame semakin tinggi. Ini sehubungan dengan kebutuhan reklame untuk dilihat sebanyak mungkin orang. Di Jakarta, kota di mana para pejalan kaki, menurut urbanis Marco Kusumawijaya, sering dinomorduakan, 20 audiens reklame tak lain adalah para pengemudi kendaraan bermotor.
17 Pengaturan ini disahkan di Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. 18 Wawancara dengan tim Pusat Studi Urban Design di Bandung, Jawa Barat, pada 11 Juli 2013. 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. 20 Marco Kusumawijaya, “Apa? Menertibkan Pejalan-Kaki?,” 21 Agustus 2011. Tautan: http://bit.ly/18YU2AT.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  46
Kelas jalan ini meliputi Jalan Protokol A (Jalur Jalan Utama I), Jalan Protokol B (Jalur Jalan Utama II), Jalan Protokol C (Jalur Jalan Utama III), Jalan Ekonomi Kelas I (Jalur Jalan Sekunder I), Jalan Ekonomi Kelas II (Jalur Jalan Sekunder II), Jalan Ekonomi Kelas III (Jalur Jalan Sekunder III), dan Jalan Lingkungan (Jalur Jalan Sekunder IV). Semakin tinggi kelas jalannya, maka pengguna jalannya pada umumnya semakin banyak. Alhasil, pada Jalan Protokol A yang berukuran lebih lebar dan lebih ramai dilalui kendaraan, skala ukuran reklame maupun pajak reklamenya harus dibuat lebih besar daripada, misalnya, Jalan Ekonomi Kelas I. Kelas jalan ini kemudian disesuaikan juga dengan jenis kawasannya. Misalkan, ukuran reklame di Jalan Protokol A yang terletak di kawasan kendali ketat hanya boleh berukuran 72 meter persegi , tetapi di Jalan Protokol A yang terletak di kawasan kendali sedang, boleh berukuran 200 meter persegi (Ilustrasi 2). Landasan berikutnya adalah penentuan titik reklame yang menggunakan prinsip tujuh detik. 21 Maksudnya adalah, setiap reklame idealnya perlu diberikan waktu pandang selama tujuh detik tanpa ada gangguan keberadaan reklame lain, agar dapat menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang. Ini lagi-lagi berhubungan dengan kendaraan di jalan, terutama dengan kecepatan rata-rata kendaraannya. Misalnya, pada kecepatan rata-rata kendaraan di Jalan A adalah 36 km/jam, atau sama dengan 10 meter/detik, maka jarak minimal antar-reklame yang ideal adalah sekitar 70 meter. Namun, berdasarkan batasan teknis yang tercantum pada dokumen Evaluasi Aturan Teknis Pemasangan dan Pola Penyebaran Titik Reklame di DKI Jakarta (2009) yang diterbitkan Dinas Tata Ruang, tampaknya terjadi penyamarataan pada jarak antar reklame, baik di dalam sarana dan prasarana kota dan di luar sarana dan prasarana kota, sepanjang 100 meter. Dari berbagai landasan penataan reklame tersebut, kita bisa melihat penataan penyelenggaraan reklame yang berorientasi pada kuantitas audiens dan efektivitas reklame. Tetapi, sulit melihat keterkaitan penataan tersebut dengan karakter ruang dari setiap kawasan. Karakter ruang, dalam pengertian Terakhir diakses pada 18 September 2013. 21  Wawancara dengan tim Pusat Studi Urban Design di Bandung, Jawa Barat, pada 11 Juli 2013.
47 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Ilustrasi 2. Jenis Kawasan Penyelenggaraan Reklame Beserta Contoh-contohnya.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 48
Sumber: Evaluasi Aturan Teknis Pemasangan dan Pola Penyebaran Titik Reklame di DKI Jakarta (2009), oleh Dinas Tata Ruang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
49  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
ini, bukan hanya perihal karakter umum dari kawasan yang kemudian memengaruhi jumlah titik dan ukuran reklame, seperti dalam logika kawasan kendali. Karakter ruang yang dimaksud adalah keutuhan fisik maupun nonfisik dari kawasan tersebut, termasuk kualitas bangunan, lingkungan, dan juga publik yang berada di ruang tersebut. Jalan H. R. Rasuna Said dan Jalan Tol Prof. Dr. Soedyatmo, misalnya, biarpun sama-sama berada di kelas Jalan Protokol B, keduanya memiliki karakter ruang yang amat berbeda. Di pinggir jalan pertama berjejer bangunan pencakar langit berlapis kaca di kiri-kanannya, sementara yang lainnya cenderung tak banyak memiliki bangunan tinggi dan masih memiliki banyak area penghijauan. Jalan yang satu ditempati oleh para pegawai kantor dari pagi sampai malam setiap hari, yang lainnya dialami oleh para pelancong pengguna pesawat terbang yang mungkin lewat sekali-sekali saja. Bagaimana bentuk reklame yang tidak mengganggu pemandangan ke area penghijauan? Di mana titik reklame yang bisa membuat pegawai-pegawai kantor, yang setiap hari melintasi jalan yang sama, tak perlu lagi melihat reklame yang sama sepanjang hari dari dinding kaca ruang kerjanya? Dari perspektif tersebut, ruang menjadi entitas yang dinamis yang terlalu sederhana untuk dibagi berdasarkan kelas jalan. Tentu untuk bisa memetakan semua itu, butuh kerja luar biasa dari Dinas Tata Ruang, sebagai pemegang kendali kebijakan peletakan titik reklame, untuk mengenali karakter ruang kota Jakarta dengan rinci. Tetapi, usaha seperti inilah yang akan menunjukkan bahwa yang diprioritaskan oleh pemerintah adalah kepentingan warga, dan bukan kepentingan kapital. Sementara, rancangan yang bagi PSUD sudah ideal, pada praktiknya terjadi banyak penyimpangan, yang menurut tim PSUD sendiri, disebabkan karena lemahnya pengawasan penyelenggaraan reklame di Jakarta.22 Tidak bisa dipungkiri juga, walaupun PSUD memiliki peran penting sebagai penghubung antara warga, pengusaha reklame, dan pemerintah, kendali akhir perencanaan penataan reklame tetap berada di tangan Dinas Tata Ruang.
22  Ibid.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 50
Perizinan Tahap berikutnya dari penyelenggaraan reklame adalah tahap perizinan. Jika tahap perencanaan ibarat koridor yang harus diikuti seorang penyelenggara reklame demi bisa mengadakan reklamenya, tahap perizinan bisa dianggap pintunya. Tetapi ia tidak bisa semudah membuka pintu dan melangkah. Untuk bisa mendapatkan kuncinya, ia perlu melewati berbagai pertimbangan dari sejumlah instansi pemerintah. Memang, ada beberapa pengecualian reklame yang pengadaannya tak perlu memakai izin, seperti misalnya reklame tempat ibadah, tempat pendidikan, dan yayasan sosial yang ukurannya tak lebih dari 4 meter persegi, atau pun reklame yang hanya memuat nama atau pekerjaan atau perusahaan yang menempati lahan di mana reklame diselenggarakan dengan luas bidang tak lebih dari 1 meter persegi. Namun, pada umumnya, setiap penyelenggaraan reklame harus mendapatkan izin dari pemerintah provinsi, yang berupa izin tertulis. Izin tertulis ini ada dua macam, yaitu “izin tetap” dan “izin terbatas”.23 Izin tetap diberikan untuk reklame yang hanya memuat nama kantor, nama toko, nama organisasi, nama yayasan, nama atau logo perusahaan, visualisasi poster-poster penyuluhan, nama apotik, dan nama profesi/organisasi profesi.24 Ia disebut izin tetap karena diberikan dengan jangka waktu tidak terbatas, sampai adanya pencabutan atau perubahan. Sementara izin terbatas diberikan kepada reklame yang memuat hal-hal selain yang disebut tadi, dengan jangka waktu paling lama satu tahun (Ilustrasi 3). Sebelum mulai mengurus perizinan, setiap penyelenggara reklame tentu harus memiliki titik reklame terlebih dahulu. Titik ini tidak bisa didapat dengan asal tunjuk. Untuk reklame yang berada di dalam sarana dan prasarana kota, perletakan titik-titik reklame telah ditetapkan terlebih dahulu oleh Dinas Tata Ruang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di tahap perencanaan. Titik-titik tersebut tidak bisa diubah atau ditambah
23 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. 24 Ibid.
51  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
seenaknya. Jika penyelenggara reklame tertarik pada suatu titik di dalam sarana dan prasarana kota, maka ia perlu bersaing memperebutkan titik itu dengan penyelenggara reklame lain melalui pelelangan (Ilustrasi 4), yang diadakan Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Biasanya, titik-titik tersebut dilelang per dua tahun. Pemenang lelang berhak mengadakan reklame di titik yang ia menangi selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam ketentuan lelang, setelah membayar nilai sewa titik reklame kepada pemerintah provinsi dan menuntaskan segala urusan perizinan. Besar nilai sewa titik reklame ini bergantung pada proses lelang.25 Sementara, untuk di luar sarana dan prasarana kota, titik reklame bisa didapat dengan cara yang lebih longgar (Ilustrasi 5). Pihak penyelenggara reklame cukup menunjukkan surat kesepakatan antara dirinya dan pemilik persil atau bangunan atau kendaraan. Biasanya, pada jenis reklame papan/ billboard, videotron, megatron, atau LED, nilai sewanya dihitung menggunakan acuan Nilai Jual Objek Pajak, yaitu harga rata-rata jual-beli yang diperoleh dari transaksi yang terjadi secara wajar, yang dalam hal ini adalah objek pajak perumahan. Namun, nilai tersebut sepenuhnya bergantung pada kesepakatan antar-keduanya. Di luar itu, pihak penyelenggara reklame di luar sarana dan prasarana kota juga masih harus membayar nilai strategis reklame kepada pemerintah. Berbeda dengan pajak, nilai strategis reklame ditentukan berdasarkan seberapa strategisnya perletakan titik reklame. Komponen perhitungannya menggunakan kelas jalan, ketinggian, dan luas bidang reklame.26 Jika titik sudah didapat, izin sudah bisa diurus. Jalur untuk mengurus perizinan ini berbeda-beda, tergantung dari jenis dan dimensi reklamenya. Ada perizinan yang harus melalui Dinas Pelayanan Pajak (DPP), yaitu reklame papan/billboard yang ukurannya lebih dari 24 meter persegi, reklame megatron, videotron atau LED, reklame pada kendaraan umum, dan reklame di atas bangunan yang menggunakan konstruksi. Ada juga perizinan yang
25  Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. 26  Ibid.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 52
Ilustrasi 3. Izin Tetap, Izin Terbatas, dan Pengecualiannya Pada Perizinan Reklame di Jakarta.
Izin terbatas Izin yang diberikan untuk penyelenggaraan reklame yang tidak semata-mata memuat nama, baik itu nama kantor, nama toko, nama organisasi, nama yayasan, nama atau logo perusahaan. Masa berlakunya izin ini dibatasi maksimal satu tahun.
Izin tetap Izin yang diberikan untuk penyelenggaraan reklame yang hanya semata-mata memuat nama kantor, nama toko, nama organisasi, nama yayasan, nama atau logo perusahaan, visualisasi poster-poster penyuluhan, nama apotik dan nama profesi/organisasi profesi. Izin ini diberikan dengan jangka waktu tidak terbatas atau sampai dengan adanya pencabutan ataupun perubahan.
Pengecualian izin Bagi reklame: • Nama tempat ibadah dan panti asuhan yang tak lebih dari 4 m2. • Status kepemilikan tanah yang tak lebih dari 1/4 m2. • Nama atau pekerjaan orang atau perusahaan yang menempati tanah/bangunan di mana reklame tersebut diselenggarakan dengan ukuran tidak lebih dari 1/4 m2 pada ketinggian 15 m, dan luas 1/2 m2 pada ketinggian 15-30 m dan luas 3/4 m2 pada ketinggian 30-45 m, dan 1 m2 pada ketinggian di atas 45 m. • Di Pekan Raya atau keramaian lain sejenis diselenggarakan oleh Perwakilan Diplomatik, Perwakilan Konsulat, Perwakilan PBB, serta badanbadan organisasi internasional pada lokasi badan-badan tersebut.
Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Pasal 14-16.
53 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Ilustrasi 4. Perizinan Reklame Di Dalam Sarana dan Prasarana Pemerintah.
Pemohon mengikuti lelang yang diadakan BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) untuk mendapatkan titik reklame.
BPKD menerbitkan surat penertiban NSRT (Nilai Sewa Titik Reklame).
Pemohon mengurus berkas di DPP (Dinas Pelayanan Pajak).
Jika konstruksi reklame belum ada dan perlu izin konstruksi, maka DPP meneruskan berkas ke Dinas P2B (Pengawasan dan Penertiban Bangunan untuk penerbitan IMB-BBR (Izin Mendirikan Bangunan-Bangun Bangunan Reklame).
Pemohon membayar SKPD dan SPS Nilai Sewa Titik Reklame (serta retribusi IMBBBR jika perlu membuat IMB-BBR) di Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah.
Pemohon menunjukkan bukti bayar ke DPP.
DPP menerbitkan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah).
DPP menerbitkan penning dan menanggali IMB-BBR jika ada. BPKD menerbitkan Perjanjian Sewa Titik Reklame.
Pemohon sudah berhak menyelenggarakan reklame. Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Pasal 14-16.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 54
Ilustrasi 5. Perizinan Reklame Di Luar Sarana dan Prasarana Pemerintah.
Pemohon mengurus izin titik reklame ke pihak pemilik persil/bangunan.
Jika titik berada di kawasan kendali ketat, pemohon perlu mengurus izin prinsip ke Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup.
Pemohon menyampaikan berkas ke DPP (Dinas Pelayanan Pajak).
Jika diperlukan izin perletakan titik reklame, DPP menyerahkan berkas ke Dinas Tata Ruang untuk pembuatan Gambar TLB (Tata Letak Bangunan).
Jika diperlukan izin konstruksi, DPP menyerahkan berkas ke Dinas P2B (Pengawasan dan Penertiban Bangunan) untuk penerbitan IMB-BBR (Izin Mendirikan Bangunan-Bangun Bangunan Reklame).
DPP menerbitkan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah).
Pemohon membayar SKPD dan NSR (Nilai Strategis Reklame) yang dikeluarkan oleh BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) di Kantor Kas Perbendaharaan dan Kas Daerah.
Pemohon menunjukkan bukti bayar ke DPP.
DPP menerbitkan penning dan menanggali IMB-BBR dan Gambar TLB.
Pemohon sudah berhak menyelenggarakan reklame.
Sumber: Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Pasal 14-16.
55  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
harus melalui Suku Dinas Pelayanan Pajak, yaitu reklame papan atau billboard berukuran 6 sampai 24 meter persegi, reklame udara, dan reklame kendaraan yang bukan angkutan umum. Sementara, untuk reklame papan atau billboard berukuran tidak lebih dari 6 meter persegi dan jenis reklame lainnya, perizinan diurus melalui Unit Pelayanan Pajak Daerah. Selain menentukan pintu pengurusan izin, jenis reklame juga menentukan berkas apa saja yang harus diserahkan. Reklame berjalan pada kendaraan, misalnya, harus menyertakan foto kendaraan dengan memperlihatkan bidang reklame, fotokopi identitas pemilik dan STNK kendaraan, desain reklame, dan surat perjanjian dengan pemilik kendaraan. Sementara untuk reklame lain di luar sarana dan prasarana kota dengan ukuran tak lebih dari 6 meter persegi, penyelenggara perlu menyerahkan foto dan peta lokasi, surat kesepakatan dengan pemilik lahan atau bangunan, gambar produk atau pesan yang akan disajikan, fotokopi identitas, dan surat kuasa bermeterai jika proses permohonan izin penyelenggaraan diwakilkan. Berbagai macam berkas yang diperlukan untuk permohonan izin tercantum di Kepgub No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Proses perizinan mulai rumit ketika menyangkut jenis reklame papan/ billboard yang berukuran lebih dari 6 meter persegi, videotron, megatron, atau LED. Selain karena berkas yang harus dimasukkan lebih banyak, pengadaan reklame tersebut juga harus mendapatkan Gambar Tata Letak Bangunan (TLB) yang diterbitkan oleh Dinas Tata Ruang. Gambar TLB ini menunjukkan rencana rinci dari reklame yang akan dipasang, termasuk peletakan, ukuran, bentuk, ketinggian, dan juga keserasian dengan lingkungan sekitarnya. Jika Dinas Tata Ruang menilai bahwa reklame yang diajukan tidak sesuai dengan penataan kota, Dinas Tata Ruang berhak menolak menerbitkan Gambar TLB. Ini berlaku terutama untuk titik reklame di luar sarana dan prasarana kota. Karena, untuk titik reklame di dalam sarana dan prasarana kota, tata letak sudah ditentukan sejak awal oleh Dinas Tata Ruang. Selain Gambar TLB, reklame videotron, megatron, atau LED juga perlu mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan Bangun Bangunan Reklame (IMBBBR). Hal yang sama berlaku untuk reklame papan/billboard yang berukuran lebih dari 24 meter persegi. Izin ini diberikan oleh Dinas Pengawasan dan
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  56
Penertiban Bangunan (P2B) sebagai izin melakukan konstruksi atau kegiatan membangun bangunan reklame. Serupa juga dengan Gambar TLB, jika Dinas P2B menyatakan konstruksi reklame tidak layak dibangun, maka P2B berhak untuk tidak memberikan IMB-BBR. Pengecualian terdapat pada reklame-reklame di dalam sarana dan prasarana pemerintah yang memang konstruksinya sudah ada, seperti halte bus atau JPO. Dalam contoh semacam ini, IMB-BBR tak lagi diperlukan. Apabila titik reklame berada di kawasan kendali ketat, perlu didapatkan satu izin lagi yaitu izin prinsip yang melibatkan penilaian dari beberapa instansi dan ditandatangani oleh Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Kawasan kendali ketat ini mencakup Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan H.R. Rasuna Said, dan Jalan Jenderal Gatot Subroto.27 Setelah semua berkas beres dan disetujui, instansi pajak akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), yang harus dibayarkan ke Kantor Kas Daerah. Adapun perhitungan nilai pajaknya ditetapkan dengan dasar Nilai Sewa Reklame (NSR). NSR berbeda dengan nilai sewa titik reklame atau nilai strategis reklame. Faktor-faktor yang dihitung di NSR ini mencakup jenis, bahan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame. NSR untuk reklame papan/billboard pada Jalan Protokol A, misalnya, memiliki nilai kelas jalan sebesar Rp25.000/m 2 /hari. Sementara pada Jalan Ekonomi Kelas I, nilainya sebesar Rp10.000/m 2 /hari. Contoh lain misalnya untuk reklame selebaran, NSR dihitung sebesar Rp500/lembar. Tarif pajak kemudian dihitung sebesar 25% dari NSR. Rincian perhitungannya bisa dilihat di Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. Pajak reklame untuk izin terbatas, seperti pada reklame papan/billboard, dibayar maksimal per satu tahun, sekalipun sewa titiknya lebih dari satu tahun. Ambil contoh, reklame papan berukuran 128 meter persegi di Jalan Gatot Subroto, yang termasuk Jalan Protokol A, yang memiliki nilai kelas jalan Rp25.000/ m 2 /hari. Besar pajak yang harus ia bayar untuk satu tahun adalah: 27  Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 23 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Kendali Ketat di Provinsi DKI Jakarta.
57  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
Pajak Reklame = Tarif Pajak X [NSR] Pajak Reklame = 25% X [128 (ukuran) * 365 (jangka waktu penyelenggaraan) * Rp 25.000,(nilai kelas jalan untuk Jalan Protokol A)] Pajak Reklame = Rp 292.000.000,-
Jika pajak, retribusi untuk pembuatan Gambar TLB dan IMB-BBR, dan komponen-komponen biaya lainnya telah dibayar di Kantor Kas Daerah, instansi pajak akan menyerahkan Gambar TLB dan IMB-BBR yang telah diberi tanggal, serta memberikan penning reklame, semacam lempengan timah yang bertera sebagai tanda telah membayar pajak. Penning tersebut nantinya harus ditempelkan pada reklame terpasang. Proses perizinan ini memang panjang, rumit, dan tidak murah. Jika berjalan ideal sesuai Kepgub No. 37 Tahun 2000, seluruh proses perizinan saja memakan waktu minimal 40 hari. Tetapi kenyataan di lapangan, berdasarkan skema yang dikeluarkan oleh DPP, proses ini bisa memakan waktu minimal 184 hari. Adapun percepatan proses harus membuat penyelenggara reklame mengeluarkan tambahan kocek, yang di dalam skema tersebut tak disebutkan berapa jumlahnya. Sementara, total harga yang harus dibayarkan ke pemerintah demi menuntaskan perizinan juga tidak kecil. Untuk reklame papan/billboard di dalam sarana dan prasarana kota sebesar 128 meter persegi di Jalan Protokol A, total uang yang masuk ke kas daerah, termasuk nilai sewa titik reklamenya, bisa mencapai Rp900 juta. Sedangkan untuk titik yang sama di luar sarana dan prasarana kota, setidaknya uang yang masuk ke kas daerah mencapai Rp550 juta (Ilustrasi 6).28 Namun, rumit dan lama sekalipun, proses ini sebetulnya bisa dibilang sebagai proses satu pintu, karena pemohon sebetulnya cukup mengurus ke instansi pajak, dan instansi pajak terkaitlah yang nantinya akan mengurus pembuatan Gambar TLB dan IMB-BBR ke Dinas Tata Ruang dan Dinas
28  Wawancara dengan Sudaryono, pengusaha reklame dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia di Jakarta pada 21 Maret 2013, dan wawancara dengan Setyanto Herlambang, pengusaha reklame, di Jakarta pada 5 Februari 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 58
Ilustrasi 6. Ilustrasi Harga Reklame.
Di Dalam Sarana dan Prasarana Kota
Di Luar Sarana dan Prasarana Kota
Biaya Produksi ± Rp450–540 juta
Listrik dan Perlampuan ± Rp110–150 juta Konstruksi ± Rp300–350 juta Fondasi ± Rp40 juta
Listrik dan Perlampuan ± Rp100–150 juta Konstruksi ± Rp350 juta Fondasi ± Rp40 juta
Biaya Perizinan ± Rp335–365 juta Pajak Reklame ± Rp292 juta/tahun Retribusi IMB-BBR (Izin Mendirikan BangunanBangun Bangunan Reklame) (tentatif) ± Rp30 juta Biaya Jaminan Bongkar Rp43,8 juta (15% x Pajak Reklame)
Pajak Reklame ± Rp292 juta / tahun Retribusi IMB-BBR (Izin Mendirikan BangunanBangun Bangunan Reklame) (tentatif) ± Rp30 juta Biaya Jaminan Bongkar Rp43,8 juta (15% x Pajak Reklame)
Biaya Sewa Lokasi ± Rp600 juta
Nilai Sewa Titik Reklame > Melalui pelelangan
Nilai Strategis Reklame ± Rp200 juta / tahun Sewa Lahan ± Rp400 juta / tahun
Biaya Penyelenggaraan Reklame per Tahun (dengan catatan bahwa pada tahun berikutnya akan lebih murah karena biaya produksi tidak dihitung lagi) Rp1,3 – 1,5 miliar Harga Jual per Tahun Rp1,4 – 1,8 miliar Sumber: Wawancara dengan Sudaryono, pengusaha reklame dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia, dan wawancara dengan Setyanto Herlambang, pengusaha reklame.
P2B. Tapi pertanyaannya: mengapa instansi pajak yang menjadi gerbang izin penyelenggaraan reklame? Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pendapatan daerah memang jadi kunci utama dalam tahapan penyelenggaraan reklame. Aspek tata letak
59  /  RIMBA REKLAME JAKARTA
dan konstruksi, yang justru erat hubungannya dengan kualitas ruang kota, menjadi gerbang ke sekian. Itu pun hanya bagi reklame-reklame yang memang membutuhkan Gambar TLB dan IMB-BBR. Bagaimana dengan reklamereklame lainnya, yang tak butuh keduanya? Siapa yang menyaring keberadaan mereka di tahap perizinan terkait kepentingan ruang kota dan warga? Prioritas ini tidak hanya terlihat dari urutan pengurusan izin, tapi juga pada penanda legalitas berdirinya suatu reklame. Penning reklame, yang sejatinya adalah tanda lunas bayar pajak, menjadi satu-satunya penanda legalitas yang bisa dilihat langsung oleh publik. Sementara, Gambar TLB dan IMB-BBR disimpan masing-masing penyelenggara reklame dan tidak dibukakan kepada publik. Hal ini kerap memunculkan jalan pintas bagi para penyelenggara reklame. Selain yang nekat mengadakan reklame tanpa izin tak terhitung jumlahnya, ada juga yang kemudian mencoba bermain dengan mengandalkan penanda legalitas perizinan ini. Misalnya, titik yang sebetulnya secara aspek tata letak dan konstruksi tidak boleh, bisa diusahakan agar boleh dengan menggunakan izin sementara.29 Penyelenggara reklame tetap membayar pajak dan mendapat penning, tetapi izin-izin penting lainnya seperti Gambar TLB dan IMB-BBR dilewatkan saja. Selama tidak ada keluhan yang masuk, maka reklame itu akan tetap berdiri. Ini juga bisa dilakukan dengan menunda penerbitan izin yang kemungkinan bermasalah, misalnya Gambar TLB, hingga akhir masa pemasangan reklame. Dengan begitu, ketika gambar keluar, reklamenya justru sudah mau habis masa berlakunya dan tinggal dibongkar. Berbagai cara ini tentu harus melalui “koordinasi� antar-pihak penyelenggara dan pemberi izin. Berbagai celah yang terjadi di tahap perizinan membuat tahapan berikutnya, yaitu tahap pengawasan dan penertiban tidak bisa berjalan efektif. Padahal, di tahap hilir tersebutlah keberadaan reklame-reklame liar bisa dihambat dan dibabat.
29  Wawancara dengan Setyanto Herlambang, pengusaha reklame, di Jakarta pada 5 Februari 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 60
Pengawasan dan Penertiban Jika melihat ke belakang, jumlah reklame liar di Jakarta memang selalu menunjukkan angka fantastis. Pada 1981, jumlah reklame berizin diberitakan di harian Kompas saat itu hanya 10% dari 300.000 reklame di Jakarta.30 Pada Maret 1993, tercatat sebanyak 3.320 reklame menunggak pajak di seluruh wilayah DKI Jakarta.31 Pada 2000, Deden Supriadi, Kepala Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta saat itu, menyebutkan bahwa ada 18.854 reklame bermasalah, 885 di antaranya belum membayar pajak.32 Berita lain di tahun yang sama menyebutkan, 75% reklame di Jakarta tidak memiliki penning.33 Pada 2007, Dinas Tata Ruang mencatat lebih dari 60.000 reklame ilegal dan pada November 2008 sebanyak 50.000.34 Mungkin tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah reklame liar sebenarnya. Tapi, demi bisa mengendalikan keberadaannya, pemerintah lalu melakukan pengawasan dan penertiban reklame. Pengawasan dilakukan untuk mengecek kepatuhan penyelenggara reklame terhadap pengaturan yang telah ditetapkan pemerintah provinsi. Sementara, penertiban, berbentuk denda atau pembongkaran, dilakukan apabila dalam pengawasannya terbukti bahwa penyelenggara reklame melanggar. Wewenang untuk melakukan pengawasan reklame, jika merujuk Kepgub No. 37 Tahun 2000, ada pada DPP, Dinas Tata Ruang, dan Dinas P2B. DPP bertugas mengawasi hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan, baik secara administrasi maupun secara fisik di lapangan. DPP mengecek apakah reklame tersebut sudah membayar pajak; apakah dimensi bidang reklame dan ketinggian pemasangan sesuai dengan penghitungan pajak terbayar; atau apakah penning telah dicantumkan di reklame terpasang. Dinas Tata Ruang mengawasi aspek titik. Ia mengecek apakah titik dan desain bangunan reklame terpasang sesuai dengan gambar TLB yang telah diterbitkan. Sementara dinas
30 “Ratusan Ribu Papan Reklame Tanpa Izin Tetap Bermunculan di Jakarta,” Kompas, 18 Februari 1981. 31 “Sebanyak 3.320 Papan Reklame di DKI Belum Dibayar Pajaknya,” Kompas, 10 Maret 1993. 32 “Belasan Ribu Papan Reklame Bermasalah,” Kompas, 21 November 2000. 33 “75 Persen Reklame Luar Ruang di DKI Tanpa Pening,” Kompas, 11 Februari 2000. 34 Prodita Sabarini, “Tidying Up The City’s Celestial Clutter,” thejakartapost.com, 25 April 2009. Tautan: http://bit.ly/18ig0DX. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
61 / RIMBA REKLAME JAKARTA
P2B mengawasi aspek konstruksi. Ia mengecek apakah tenaga konstruksi yang membangun reklame punya izin praktik, dan apakah pembangunan konstruksi di lapangan sesuai gambar TLB dan IMB-BBR. Pengawasan, dalam konteks ini, dilakukan untuk mengamati apakah praktik penyelenggaraan reklame di lapangan sesuai dengan izin yang diberikan. Apabila salah satu dinas menemukan pelanggaran, tindak penertiban bisa dilakukan dengan memberikan laporan kepada Gubernur dan memberikan tembusan pada dua dinas lainnya. Tetapi dinas-dinas tersebut tidak bisa sembarang menertibkan, karena pada akhirnya, tindak penertiban harus dikoordinasikan oleh DPP. Misalnya, Dinas Tata Ruang menemukan bahwa titik reklame bergeser dari yang semestinya, maka Dinas Tata Ruang memberitahukan perlunya penertiban reklame terkait dengan memberi surat tembusan kepada DPP dan Dinas P2B; DPP kemudian mengoordinasi rencana penertiban reklame tersebut. Ada beberapa hal yang janggal dalam peraturan ini. Pertama, pengawasan dan penertiban, dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah yang sama persis dengan instansi-instansi pemberi izin. Dengan begitu, ada asumsi bahwa tidak mungkin ada pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak pemberi izin. Kedua, DPP lagi-lagi menunjukkan superioritasnya, kali ini sebagai pemegang koordinasi tindak penertiban. Padahal, tugas DPP adalah mengurus aspek perpajakan. Bukan berarti DPP tidak melakukan tindak pengawasan dan penertiban dengan benar. Selama Januari hingga September 2011 saja, menurut Iwan Setiawandi, Kepala DPP, DPP telah menertibkan 20.489 reklame liar di Jakarta. Ia juga menyebutkan, selama 2008–2011, reklame liar yang telah ditertibkan mencapai 59.862 reklame. Hanya saja, ketika gawang penertiban ini dipegang DPP, orientasi penertiban lagi-lagi akan mengarah ke urusan pendapatan, bukan ke urusan ruang kota atau kepentingan warga. Ini tergambarkan dari pernyataan Iwan perihal penertiban tersebut, “Kami gencar melakukan penertiban terhadap reklame ilegal, karena itu yang menyebabkan pendapatan pajak reklame tidak mencapai target.”35 Dari 35 “DKI Tertibkan Puluhan Ribu Reklame Liar,” Kompas.com, 18 Oktober 2011. Tautan: http://bit.ly/1624QME.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  62
pernyataan tersebut, kita bisa bertanya: Bagaimana jika target pajak reklame sudah mencapai target? Jangan-jangan, ketika itu pengawasan dan penertiban tidak lagi perlu bagi DPP. Wewenang penertiban ini memang akhirnya diralat melalui Perda No. 7 Tahun 2004. Di dalam peraturan tersebut disebutkan, pelaksanaan penertiban penyelenggaraan reklame dilakukan oleh Tim Penertiban Terpadu, yang akan ditetapkan melalui Keputusan Gubernur. Tim Penertiban Terpadu tersebut memunculkan aktor baru, yaitu Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup, sebagai ketua tim. Sementara, DPP, Dinas Tata Ruang, dan Dinas P2B masuk ke dalam tim ini sebagai anggota, bersama dinas-dinas lain, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP. Perubahan ini membawa angin positif, sebab dinas-dinas pemberi izin reklame tidak lagi menjadi instansi super yang, selain berhak atas perizinan, pun juga menguasai pengawasan dan penertiban. Sayangnya, Keputusan Gubernur tersebut muncul begitu lambat, baru diterbitkan pada Desember 2012, delapan tahun setelah perda dikeluarkan. 36 Lagi-lagi, kita harus menerima kenyataan bahwa untuk urusan pengaturan penyelenggaraan reklame demi kepentingan ruang kota dan warga, pemerintah tak pernah bergerak cepat. Tapi baiklah kita kesampingkan itu, mengingat lebih baik lambat daripada tidak melakukan apa-apa. Pertanyaannya, seberapa besar kita bisa berharap pada Tim Penertiban Terpadu? Jika melihat perannya yang hanya mengawasi pelaksanaan di lapangan, tanpa ada pengawasan dalam proses perizinan, memang pada akhirnya tim ini tetap tak bisa berbuat banyak. Apalagi, usulan atas reklame bermasalah tetap datang dari dinas-dinas yang memberikan izin. Sebetulnya, dengan sedikit inovasi, Tim Penertiban Terpadu bisa memperluas kapasitas pengawasannya dengan memberikan akses kontrol kepada warga kota. Ini bisa dimungkinkan, misalnya, dengan mengharuskan Terakhir diakses pada 18 September 2013. 36  Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1981 Tahun 2012, tentang Pembentukan Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame.
63 / RIMBA REKLAME JAKARTA
pengusaha reklame mencantumkan tidak hanya penning reklame, tapi juga nama biro reklame dan nomor panggil reklame yang terhubung dengan database elektronik yang bisa diakses warga. Dengan begitu, warga bisa mengecek kesesuaian penyelenggaraan reklame dengan izin yang diberikan, baik aspek titik, perletakan, dan konstruksi. Namun, jika melihat seberapa cepat tim ini bergerak di dalam kasus KBB, mungkin memang sebaiknya kita tidak berharap terlalu banyak.
*
Kacaunya tahapan-tahapan penyelenggaraan reklame berimbas pada penyelenggaraan reklame yang membabibuta di ruang kota. Siapa yang dirugikan? Semua: pengusaha reklame, pengiklan, apalagi warga. Kita tidak bisa mengesampingkan bahwa pengusaha reklame adalah pihak yang berkontribusi secara aktif dalam kekacauan ruang kota kita. Namun, pengusaha reklame, di sisi lain, adalah pihak yang terjepit di antara dua kepentingan, yaitu pemerintah dan klien. Jika ia tidak mengikuti celahcelah yang dibuka penguasa, ia akan kalah bersaing dengan pengusaha lain. Sementara klien hanya peduli reklamenya bisa terpasang. Maka, demi menjaga agar bisnis tetap berjalan, mau tidak mau ia harus mengikuti “hukum” yang berlaku. Hal ini diungkapkan oleh Setyanto Herlambang, seorang pengusaha reklame, yang mengaku lelah bergelut di bisnis reklame. “Akhirnya, terus terang, jadi rimba,” ujar Setyanto. “Saya saja yang sudah lama di bisnis ini jadi semakin malas.” Sebelum membuka showroom motor dan kafe di bilangan Pondok Indah, Setyanto memang sudah lama menyelami bisnis reklame. Ia juga aktif di asosiasi pengusaha reklame. Ia pernah tergabung di dalam Serikat Pengusaha Reklame Jakarta (SPRJ), sebelum akhirnya pada 2009, bersama beberapa pengusaha reklame lain, mendirikan asosiasi baru bernama Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia (Aspperindo). Bagi Setyanto, peraturan tentang reklame terlalu berbelit dan sengaja dibuat buram sehingga memunculkan celah-celah permainan di balik meja. Selain itu, komponen biaya yang mencekik, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, membuatnya semakin enggan mengembangkan bisnis reklamenya
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 64
lebih jauh. “Reklame semata-mata hanya jadi sapi perah untuk cari uang,” kata Setyanto. “Kalau masuknya ke pemerintah daerah tak ada salahnya, tapi kalau bocor di jalan?” Ia tidak berniat menambah titik-titik reklamenya. Kalau pun ada klien, ia memilih untuk bekerjasama dengan biro reklame lain.37 Para pengusaha reklame dan juga asosiasi-asosiasi reklame bukannya tidak mendukung penataan reklame. Asosiasi Media Luargriya Indonesia (AMLI), misalnya, pernah membuat usulan Sistem Tata Kelola sebagai masukan untuk DPRD pada 2013. Dalam usulan itu, AMLI menyarankan pelarangan fisik reklame yang berdiri sendiri dan mengajukan fisik reklame yang lebih menyatu dengan bangunan di sekitarnya. AMLI juga pernah memberikan usulan draf peraturan gubernur tentang penataan reklame, untuk melengkapi Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004 yang belum juga diturunkan menjadi peraturan gubernur, saat rapat penataan media luar ruang Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur Jakarta, pada 14 Februari 2013. Sayang, semua gagasan itu seperti impian semata yang selalu menguap di tengah jalan. Kondisi ini bukan hanya bisa merugikan pengusaha reklame, tapi bisa merugikan produk atau brand yang beriklan juga. Setidaknya, menurut Janoe Arijanto, Ketua Pengembangan Internal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) dan Presiden Direktur Dentsu Strat, ada dua kerugian yang bisa berdampak pada brand yang beriklan.38 Pertama, banyaknya reklame di satu titik pandang, akan membuat pesan dari iklan tidak tersampaikan dengan efektif. Sebab, share visual orang di tempat itu akan menjadi tidak keruan. Kedua, citra dari produk atau brand itu sendiri bisa tercoreng ketika keberadaan reklame berlawanan dengan kepentingan publik. Apalagi, identitas suatu reklame lebih melekat pada produk atau brand yang diiklankan ketimbang penyelenggara reklame itu sendiri. Lebih mudah bagi kita, misalnya, menyebut reklame Unilever atau reklame Ramayana, ketimbang reklame PT. Warna Warni Perdana atau reklame PT. Media Indra Buana. “Sekali produk kita
37 Wawancara dengan Setyanto Herlambang, pengusaha reklame, di Jakarta pada 5 Februari 2013. 38 Wawancara dengan Janoe Arijanto, Ketua Pengembangan Internal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) dan Presiden Direktur Dentsu Strat, di Jakarta pada 31 Juli 2013.
65 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Foto 1. Reklame-reklame penghalang wajah kota. Area sekitar Tugu Pancoran, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang marak reklame.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
menambah sampah visual, itu tidak akan lebih baik bagi produk tersebut, baik untuk awareness maupun campaign,” ujar Janoe. Publik, tak terelakkan lagi, jadi pihak yang paling dikorbankan. Dalam praktiknya, reklame, baik yang berizin maupun tidak berizin, tak lagi memedulikan kepentingan publik sekalipun itu diamanatkan pada peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame.39 39 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 66
Ledakan visual dibiarkan jadi pemandangan banal sehari-hari. Simak misalnya reklame-reklame yang ada di dekat Tugu Pancoran, area yang masuk ke dalam kawasan kendali ketat reklame. Papan-papan reklame menutupi apa yang ada di balik mereka, baik pepohonan maupun bangunan, dan seakan beradu gagah dengan Tugu Pancoran. Beberapa papannya tampak melebihi bahu jalan. Jarak antar-reklamenya juga tak sampai seratus meter (Foto 1). Mirisnya, nyaris semua iklan yang mampu mendapat tempat teramat layak di ruang kota adalah iklan-iklan perusahaan besar, dengan dominasi perusahaan internasional, yang memang sanggup membayar mahal. Iklaniklan lokal dengan skala kecil seperti jasa sedot WC, badut, atau renovasi AC, yang skalanya lebih kecil, yang juga memiliki kebutuhan beriklan, luput dari pengaturan. Kebutuhan itu akhirnya mereka tuangkan dengan menempel poster di sembarang tempat—di tiang listrik, di tembok rumah, hingga di pepohonan. Pengabaian paling brutal terjadi ketika reklame tidak lagi sekadar mengganggu kenyamanan, tapi juga merebut hak publik yang paling utama sebagai warga kota, yaitu keselamatan dan keamanan. Pada 15 Desember 1996, seorang pedagang rokok asongan bernama Rohendi, yang baru berusia 17 tahun, tewas tertimpa papan reklame “Ramayana”. Pada 5 Januari 2012, hujan dan angin kencang menjatuhkan sedikitnya enam reklame di Jakarta, menewaskan satu orang dan melukai satu orang lainnya. Pada 10 Januari 2013, reklame roboh di Cengkareng, meniban motor dan menewaskan dua orang (Tabel 3). Dengan sepak terjang dalam mengancam keselamatan warga itu, anehnya, reklame-reklame raksasa bisa diizinkan masuk ke tengah-tengah permukiman warga. Sudarno, 47 tahun, seorang warga Jakarta, mengalami sendiri bagaimana dalam sekejap tiang reklame setinggi tiga puluh meter berdiri di depan rumah kontrakan yang ia tempati sejak 1994 di depan Jalan D.I. Panjaitan, Jatinegara, Jakarta Timur (Foto 2). Reklame tersebut didirikan pada pertengahan 2013, hanya beberapa bulan setelah Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyatakan tak
67 / RIMBA REKLAME JAKARTA
Tabel 3. Beberapa Kasus Reklame Roboh yang Terjadi di Jakarta Pada 1996–2013.
15 Desember 1996
Reklame “Ramayana” roboh karena fondasinya tidak kuat
Kompleks pertokoan Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur
1 orang tewas 4 orang luka 2 mobil rusak
Kompas, 18 Desember 1996
8 Februari 2001
Reklame kosong roboh karena hujan deras dan angin kencang
Jalan. S. Parman Kavling 38–39
3 orang luka 2 mobil privat dan 1 taksi rusak
Kompas, 9 Februari 2001
15 Maret 2007
Reklame roboh karena angin kencang
Jalan D.I. Panjaitan, Jakarta Timur
-
Kompas, 16 Maret 2007
11 Juli 2007
Kerusakan seng papan reklame membahayakan pengguna jalan
Jalan Salemba, Jakarta Pusat
-
Kompas, 12 Juli 2007
4 Januari 2009
Reklame roboh
Taman Sunter, Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara
-
Kompas, 5 Januari 2009
12 Februari 2010
Baliho roboh
Pasar Cipete, Jakarta Selatan
Kemacetan di sejumlah jalan
Vivanews.co.id, 12 Februari 2010
28 Februari 2010
Reklame roboh akibat angin kencang
Jalan Juanda, Situ Gintung, Ciputat, Jakarta Selatan
3 mobil privat
Vivanews.co.id, 28 Februari 2010
16 Maret 2011
3 tiang papan iklan roboh
Mal Senayan City, Jakarta Selatan
-
Detik.com, 16 Maret 2011
5 Januari 2012
Enam reklame roboh di Jakarta akibat hujan dan angin kencang
4 di Jakarta Barat 1 di Jakarta Selatan 1 di Jakarta Timur
1 orang tewas 1 orang luka Kemacetan di sejumlah jalan
Tribunnews. com, 6 Januari 2012
10 Januari 2013
Reklame roboh karena tertabrak truk
Taman Semanan Indah, Cengkareng, Jakarta Barat
2 orang tewas
Kompas.com, 10 Januari 2013
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 68
Foto 2. Reklame di muka rumah. Di depan Jalan D.I. Panjaitan, Jatinegara, Jakarta Timur.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
69 / RIMBA REKLAME JAKARTA
akan lagi memberikan izin pasang reklame papan/billboard di Jakarta.40 “Kalau anak buah Gubernur mengikuti amanah atasannya, pasti proyek ini tidak akan jalan,” ujar Sudarno dengan nada penuh emosi. Kemarahannya bukan tanpa alasan. Reklame tersebut, menurutnya, ringkih dan bergoyang ketika ada angin kencang. “Lihat, itu saja kemiringannya tidak benar. Laslasan, ukuran pipa, dan ketebalannya, semua tidak sesuai. Sementara untuk menurunkannya harus pakai alat berat.” Ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya, keluarganya, dan juga warga-warga sekitar. Tetapi, ia tak bisa berbuat apa-apa.41 Sementara kita bisa melihat jelas bagaimana kepentingan warga dikorbankan demi pendapatan daerah, kita sebaliknya sulit melihat kontribusi pendapatan tersebut dalam peningkatan kualitas ruang kota kita. Padahal, menurut Suryono Herlambang, Ketua Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, maraknya reklame di Jakarta menunjukkan bahwa ruang publik kita sebetulnya punya nilai. Nilai itu bisa kita manfaatkan untuk membangun berbagai hal yang fundamental di ruang publik demi kepentingan warga, seperti trotoar, jembatan penyeberangan, jalan, transportasi publik, dan lain sebagainya.42 Setidaknya ada dua cara yang mungkin dilakukan demi mendukung gagasan tersebut. Pertama, dengan melakukan kerjasama antar pemerintah dan penyelenggara reklame dalam bentuk Transfer of Development Rights (TDR). Kerjasama ini mengatur insentif berupa hak penyelenggaraan reklame bagi para pengusaha reklame yang membiayai atau mengerjakan program-program peningkatan kualitas ruang kota, yang memang vital dan bukan diada-adakan saja. Kedua, adalah dengan mengatur dedicated fund bagi pendapatan daerah yang memang didapat dari pajak reklame. Ini yang dilakukan di kota Toronto, Kanada, di mana pajak penyelenggaraan reklame langsung dialokasikan
40 “Basuki: Tak Ada Lagi Izin Pasang Reklame di Jakarta!,” Kompas.com, 13 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/15pBPPk. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 41 Wawancara dengan Sudarno, pemilik warung makan, di Jakarta pada 30 Agustus 2013. 42 Wawancara dengan Suryono Herlambang, Ketua Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, di Jakarta pada 1 Agustus 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  70
untuk pembiayaan seni dan budaya dengan total dua puluh tiga juta dolar selama lima tahun, sejak 2013. Namun, Suryono menekankan, jika memang ruang kota ingin dikomersialkan, harus ada kebijakan besar yang mengatur semua itu, bukan sekadar kebijakan dadakan yang muncul dengan tujuan memberi ruang pada pengusaha. Prinsip yang sama berlaku seandainya pun pemerintah memutuskan untuk menghambat, atau bahkan membabat keberadaan reklame. Kota Hawaii sudah sejak 1927 hanya mengizinkan papan reklame yang menerangkan toko-toko tempat reklame itu berada atau yang mempromosikan acara-acara seperti acara olahraga, konser, seminar, konvensi, atau lomba, demi menjaga pariwisata kotanya. Kota SĂŁo Paulo, Brasil, melakukan hal yang sama pada 2006, sampai-sampai harus menurunkan lebih dari 15.000 reklame papan, dengan alasan yang berbeda, yakni untuk memberantas polusi visual dan untuk membuka tabir berbagai permasalahan sosial yang ada di kota itu, yang selama ini tidak pernah disadari karena tersembunyikan reklame. Jakarta jelas bukan Hawaii atau SĂŁo Paulo. Lantas, dengan segala potensi dan masalah yang ada di Jakarta, ke mana kota ini hendak diarahkan dan apa dampaknya pada kebijakan reklame kita? Selama tidak ada jawaban atas pertanyaan itu, maka selama itulah hubungan antara kepentingan warga dan kepentingan kapital, yang seharusnya bisa saling mendukung, jadi tidak pernah setara. Seperti yang sudah terjadi sekarang, kepentingan warga akan selalu tunduk pada kedigdayaan kapital, dan ruang kota kita menjadi suaka paling aman bagi keberadaan rimba reklame dan perwujudan kepentingan kapital lainnya.
***
DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Catatan Tentang Praktik Reklame Jenis Baru di Ruang Kota Jakarta oleh
Ardi Yunanto
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  86
Di daerah Slipi, Jakarta Barat, dua orang pengamen meloncat masuk bus. Farid Rakun ada di dalamnya. Waktu itu pertengahan 2010 dan sore masih terang. Bus yang belum dijejali puluhan penumpang, masih sangat luas untuk menampung kedua pengamen itu. Melihat mereka menyiapkan gitarnya, Farid teringat skripsinya enam tahun silam, saat ia masih menjadi mahasiswa arsitektur di Universitas Indonesia. Dalam skripsinya, ia membahas bagaimana aksi pengamen mampu mengubah situasi ruang di dalam bus: bagi pengamen, bus adalah panggungnya dan penumpang bus adalah penontonnya. Namun yang kemudian terjadi sangat berbeda. Farid begitu terkejut ketika mereka mendendangkan nyanyian yang tak biasa: sebuah lagu promosi produk telekomunikasi seluler. Sementara orang pertama menyanyi, rekannya membagikan kartu perdana produk itu kepada penumpang yang bersedia. Farid menolak. Sekarang Farid lupa merek kartu perdana itu. Ia cuma ingat kalau kedua pengamen itu memakai seragam berwarna hijau muda. Namun kejadian itu masih berkesan baginya karena saat itulah pertama kalinya ia tahu bahwa sebuah perusahaan sudah sampai menggunakan pengamen untuk mempromosikan produknya. Baginya, pengamen semacam itu tak cuma mengubah penumpang bus menjadi penonton, tapi juga menjadi calon konsumen.
87 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
“Saya masih lebih bisa menghargai pengamen yang bekerja untuk dirinya sendiri, dibandingkan dengan kerja yang sebenarnya demi mendukung kapital saja,” ujar Farid. “Mending saya mendengarkan pengamen nyanyi lagu yang enggak enak daripada lagu iklan, karena bagaimanapun saya bakal jadi enggak merasa terganggu sama—lagi-lagi—perusahaan.”1 Farid tahu, aksi yang berusaha menarik perhatian orang di ruang publik memang bukan strategi promosi mutakhir. Namun baginya saat itu, penggunaan pengamen sebagai “reklame berjalan” adalah hal baru. Pengamen berbeda dengan seorang badut berkostum maskot produk maupun satu tim sales promotion girl (SPG) yang penampilan dan tingkahnya akan segera mencuri perhatian. Pengamen digunakan oleh pengiklan justru karena ia adalah bagian dari keseharian. Kita bisa melengos ketika didekati badut, menolak halus waktu dirayu tim SPG, tapi kita tak bisa menghindar ketika pengamen masuk ke dalam bus tempat kita terjebak bersamanya. Mau tidak mau, kita jadi penontonnya, kita dengar nyanyiannya. Suara dan gambar suatu iklan yang tadinya cuma kita lihat dari tayangan televisi, sebagai gangguan tak terhindarkan dari sebuah tontonan, saat itu kita saksikan langsung di hadapan, sebagai gangguan tak terelakkan dari keseharian. Farid memang menolak kartu perdana pemberian pengamen. Tapi sejumlah penumpang lain menerimanya. Misi “pengamen iklan” kali itu bisa dibilang sukses. Kekesalan Farid beralasan. Ia, tak berbeda dengan warga kota Jakarta lainnya, belum merasa mendapat ruang publik yang layak. Ruang publik yang merupakan ruang bersama, tak seharusnya digunakan untuk kepentingan segelintir pihak seperti industri periklanan. Sebagai individu yang merdeka dan bukan konsumen yang terpaksa, warga kota berhak untuk istirahat dari melihat iklan yang menyita ruang publiknya. Andai memang tak terhindarkan, reklame perlu diatur penempatannya dan pemasukan pajaknya perlu dimanfaatkan kembali untuk ruang publik yang telah digunakan. Namun yang Farid lihat belum seperti itu. Kualitas ruang publik Jakarta justru berbanding terbalik dengan kuantitas reklamenya. Duduk memandang ke luar jendela
1 Wawancara dengan Farid Rakun, calon pengajar di Universitas Indonesia, pada 27 Juli 2013 di Jakarta.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 88
bus, matanya tak bisa menghindari deretan billboard yang memacak diri di sepanjang Jalan Letnan Jenderal S. Parman itu—apalagi pengamen yang saat itu ada di depan matanya. Farid menganggap kejadian sore itu sebagai peringatan, bahwa cara apa saja bisa dipakai untuk beriklan di ruang publik. “Dan kalau diizinkan,” tambahnya, “mereka akan terus-menerus masuk. Semua saluran pasti dipakai sebisa mungkin.” Kekhawatiran itu tak berlebihan karena ia pernah menyaksikan maraknya reklame-reklame lain yang menggunakan pendekatan serupa dengan “pengamen iklan” itu: menyerupai atau menjadi bagian dari keseharian. Reklame-reklame, yang untuk sementara bisa kita sebut sebagai “reklame jenis baru”.
*
Reklame-reklame jenis baru ini bukan berbentuk billboard, baliho, spanduk, poster, maupun stiker, yang telah puluhan tahun lamanya mencuri perhatian kita di ruang kota Jakarta. Reklame jenis baru ini seolah justru bisa berupa apa saja. Ia bisa merespons ruang dengan melapisi, memfasilitasi, memperbarui, menghias, atau menghibur. Besarnya bisa sebadan manusia hingga sebangunan empat lantai. Ia bisa dicat di tembok bangunan, bertengger di atap warung dan toko, menjadi kios rokok, meneduhkan orang kepanasan, menampung tanaman, menyita trotoar dan jalan, sampai membatasi lajur kendaraan bermotor. Perusahaan yang beriklan dengan cara ini juga beragam, dari perusahaan operator telekomunikasi seluler, minuman, rokok, sampai media massa. Kesamaannya: semua reklame ini berusaha menyerupai atau menjadi bagian dari keseharian, mencantumkan merek, dan dibuat dengan biaya murah. Jika tak lagi menghitung keberadaan “pengamen iklan”, kita bisa melihat reklame-reklame jenis baru ini di ruang kota, setidaknya dalam tujuh bentuk (Foto 3). Pertama, adalah “reklame mural”, yaitu lukisan dinding alias mural di tembok-tembok rumah maupun toko, bergambar logo maupun slogan sebuah produk dengan warna-warna menyolok mata. Reklame mural paling banyak dibuat oleh produk operator telekomunikasi seluler. Kedua, “reklame kios rokok”, berupa bangunan kios rokok itu sendiri yang didesain secara khusus
89 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Foto 3. Beberapa reklame jenis baru.
1
2
3
7
6
5
4
(1) Reklame Mural, (2) Reklame Kios Rokok, (3) Reklame Nama Usaha, (4) Reklame Tiang Logo, (5) Reklame Pembatas Jalan, (6) Reklame Kanopi, (7) Reklame Pot. Fotografi: (1-6) Agung ‘Abe’ Natanael, 2013. (7) Ardi Yunanto, 2009
oleh perusahaan rokok. Dinding luar kios biasanya menampilkan merek rokok. Sementara pada jendela kios, dapat terlihat deretan bungkus rokok yang diproduksi perusahaan itu. Ketiga, “reklame nama usaha”. Reklame ini biasanya berada di bagian atas warung atau toko. Bentuknya berupa plang atau spanduk. Permukaan terluasnya bergambar logo maupun slogan produk, sementara pada bagian bawah atau sampingnya, dalam ukuran kecil, tercantum nama toko atau warung itu. Perusahaan yang menggunakan reklame ini terdiri dari perusahaan operator telekomunikasi seluler, rokok, minuman, hingga media massa. Keempat, “reklame tiang logo”, berupa tiang yang menyangga sebuah kotak—bisa juga berupa balon—yang mencantumkan logo produk. Reklame ini biasanya ditancapkan di tepi jalan, bisa pada aspal jalan atau trotoar—seolah menghias jalan tapi sebenarnya tidak berfungsi apa-apa. Sementara yang kelima, adalah “reklame pembatas jalan”. Reklame ini diletakkan untuk membatasi dua lajur jalan kendaraan bermotor, dengan logo dan slogan produk tercantum di permukaannya. Keenam, reklame berupa pot bermerek. Ketujuh, reklame berbentuk kanopi yang mencantumkan merek.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 90
Berbagai reklame jenis baru ini tak mengutamakan informasi maupun persuasi, dengan berbagai gambar dan teks, demi mempromosikan suatu produk seperti kebanyakan reklame yang kita kenal sebelumnya. Ia merespons ruang kota dengan merek—baik logo, slogan, maupun warna resmi—sebagai suguhan utama—demi membentuk brand awareness, atau kesadaran kita sebagai calon konsumen terhadap keberadaan suatu merek di antara merek lain. Merek suatu produk operator telekomunikasi seluler yang memenuhi temboktembok rumah warga misalnya, hadir untuk menunjukkan eksistensinya di antara merek operator telekomunikasi seluler lain. Bahwa ia selalu ada di mana-mana layaknya sinyal yang selalu tersambung pada ponsel di saku kita. Hanya perlu menampilkan merek, memungkinkan reklame jenis baru ini bisa berada di mana saja, selama tempatnya pas dengan wujudnya. Ruang publik, yang belum lagi rapi dari reklame-reklame besar yang menyita ruang dan pandangan, kini ketambahan pendatang baru. Inilah yang Farid khawatirkan ketika ia melihat “pengamen iklan”, yang seolah membuktikan kemampuan terjauh dari reklame jenis baru ini menjadi bagian dari keseharian. Terlebih pada pengamen, yang dimanfaatkan bukan ruang kosong, tapi sebuah pekerjaan yang dianggap lowong. Bagaimana reklame semacam ini bisa berada di tempatnya sekarang? Celah-celah apa saja yang dimanfaatkan? Seberapa menguntungkan beriklan dengan cara ini? Bagaimana warga menyikapi reklame ini? Apa dampaknya terhadap kehidupan warga kota jika reklame ini terus dibiarkan? Kita akan coba melihat lebih dekat tiga reklame jenis baru yang paling banyak bertebaran di ruang milik warga kota. Reklame Mural “Kami melihat banyak rumah warga yang catnya sudah kusam,” ujar Indra Ardiyanto, Manager Management Service XL Axiata Central Region, “sehingga tercetuslah ide mengecat rumah mereka dengan gambar berupa produk kami.”2 Tembok yang kusam, luas, dan menghadap ke jalan, dan 2 “Pajak Iklan Dinding Hilang 70 Persen,” Tribunnews.com, 11 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/18nsnhY. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
91 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Foto 4. Reklame mural yang melapisi seluruh permukaan sebuah rumah-bengkel di Jakarta.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 92
pemilik tempat yang bersedia adalah poin penting bagi reklame semacam ini. Tak jarang, bukan cuma satu tembok luar terluas saja yang digambar, tapi juga seluruh permukaan bangunan (Foto 4). Oleh karena reklame mural cuma bergambar merek, ia mudah dibuat. Perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi seluler—yang paling banyak menggunakan reklame mural—tak perlu menggunakan jasa biro iklan yang biasa mengurus konten iklan-iklan produk mereka di berbagai media cetak maupun televisi. Bagian promosi di kantor-kantor wilayah perusahaan telekomunikasi seluler ini bisa mengerjakannya sendiri atau dengan melalui vendor lain.3 Mereka menawarkan reklame muralnya ke sejumlah pemilik bangunan dari pintu ke pintu. Setelah para pemilik tembok sepakat, mereka menghubungi pembuat mural. Pengiklan lalu memberikan daftar alamat pemilik tembok dan panduan gambar merek dalam selembar kertas, yang nanti tinggal disesuaikan komposisinya dengan dimensi tembok. Tim pembuat mural yang biasa bekerja secara borongan, lalu mendatangi tempat-tempat sasaran. Heri “Ompong”, pemuda berusia 31 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, rata-rata bisa mengerjakan 15 tembok sekali borong. Sejak 2005, bersama tiga temannya, dalam satu hari ia bisa mengecat dua sampai empat tembok. Dalam satu bulan, ia bisa menyelesaikan sekitar 21 tembok. Ia tak cuma membuat mural di Jakarta, tapi juga di Bekasi dan Karawang. Reklame mural provider ponsel ini, katanya, awalnya menyasar dinding-dinding konter kartu voucher ponsel. Baru setelah itu merambah dinding-dinding rumah dan toko. Sebagai media iklan, reklame mural memang efektif. Ia terlihat dari jalan, berpenampang luas, bisa bertahan selama satu sampai dua tahun. Biaya produksinya pun sangat murah, hanya Rp500 ribu per tembok—sudah termasuk honor, cat, uang makan, transpor, dan peralatan. “Tapi itu juga tak mesti, pernah cuma Rp150 ribu per tembok,” ujar Heri. Sementara kepada
3 Wawancara dengan Adhy Septyo Nugroho, pekerja kreatif di biro periklanan Narada, di Jakarta, pada 5 Februari 2013 dan Janoe Arianto, Ketua Pengembangan Internal P3I (Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia) dan Presiden Direktur Dentsu Strat, di Jakarta pada 31 Juli 2013.
93 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
pemilik tembok, pengiklan cukup memberikan sekitar Rp150–500 ribu.4 Bayaran kepada pemilik rumah itu bisa saja dianggap sebagai kemurahan hati—tembok dicat, uang didapat—tapi tujuan sebenarnya adalah untuk memastikan agar si pemilik tembok menjaga reklame mural itu, baik dari coretan orang iseng, mural atau grafiti buatan seniman, dan terutama dari reklame mural produk lain.5 Namun, pemilik rumah tak selalu bisa menjaga temboknya dari tangantangan jahil. Tembok-tembok rumah yang berada di pinggir jalan bukan cuma incaran pengiklan, tapi juga seniman-seniman street art. Mereka, yang rata-rata masih berusia 20-an tahun, gemar membuat grafiti atau mural di tembok-tembok kota, dan adanya reklame mural jelas mengurangi “jatah dinding” mereka. Ironisnya, sebagian dari seniman-seniman street art ini juga mengerjakan reklame mural, sekalipun mereka enggan mengakuinya. Jika tertangkap basah, mereka beralasan bahwa duit yang mereka dapatkan dari reklame mural itu akan digunakan untuk berkarya lebih banyak di tembok-tembok lain. Namun tak jarang tembok yang diam-diam mereka sikat adalah tembok bergambar reklame mural buatan mereka sendiri. Beberapa pengiklan yang resah, kemudian membayar lebih agar para seniman street art yang disewanya itu menjaga reklame muralnya. Sementara yang kemudian perlu dilakukan oleh para seniman street art sewaan pengiklan itu hanyalah menghubungi teman-teman seniman street art lain, karena biasanya mereka saling mengenal, untuk tak mengganggu reklame mural buatan mereka, sambil menahan diri untuk tidak mencoretnya sendiri.6 Di luar biaya keamanan, biaya produksi mural akhirnya memang sangat murah. Jika kita anggap pemilik tembok dan pemural sama-sama dibayar Rp500 ribu, berarti total biaya produksinya hanya Rp1 juta per tembok. Biaya produksi satu reklame mural, semakin terlihat murah jika dibandingkan dengan harga sewa billboard. Kalau untuk menyewa satu billboard berukuran 8 x 16 meter di Jalan Jenderal Gator Subroto, salah satu jalan utama di 4 Wawancara dengan Heri “Ompong”, pembuat reklame mural, di Bekasi, Jawa Barat, pada 10 April 2013, dan melalui telepon pada 29 Juli 2013. 5 Berdasarkan pengamatan Riyan Riyadi, seorang seniman dan peneliti untuk buku ini. 6 Berdasarkan pengamatan Riyan Riyadi.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 94
Jakarta, pengiklan perlu membayar sampai Rp1,6 miliar setahun—di luar pajak sekitar Rp200 juta—maka dengan biaya yang sama, pengiklan bisa membuat reklame mural, dengan luas tiap mural sama dengan satu billboard seluas 128 meter persegi—tanpa menghitung berbagai pungutan liar, hanya ongkos produksi—sebanyak 1.600 reklame mural dengan luas total 230.400 meter persegi. Sehingga selain bisa beriklan pada billboard, pengiklan bisa mempromosikan produk yang sama melalui reklame mural, cukup dengan menggunakan biaya sewa satu billboard untuk mendapatkan ribuan reklame mural.7 PT. Telkomsel yang telah menggunakan media iklan ini sejak 2003, berkata bahwa promosi melalui reklame mural memang murah dan efektif.8 Dengan biaya murah itu, tak heran jika reklame mural begitu marak, terutama yang dibuat oleh perusahaan operator telekomunikasi seluler. Kantor-kantor wilayah mereka yang tak cuma mengurusi pemasaran di satu kota, membuat reklame mural tak cuma menampang di tembok-tembok Jakarta. Baik reklame mural Telkomsel maupun perusahaan operator telekomunikasi seluler lain, marak beberapa tahun kemudian di kota-kota di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Berapa jumlah reklame mural di Jakarta, sulit diketahui. Beberapa perusahaan operator telekomunikasi seluler yang dihubungi menghindar ketika ditanya soal ini, pembuat reklame tak menyimpan dokumen pemesanan, dan pihak pemerintah tak kunjung memberikan catatannya.9 Akan tetapi kita tetap bisa berandai-andai soal jumlah reklame mural di Jakarta dari keterangan Heri yang mengatakan bahwa dalam satu bulan ia bisa mengerjakan sampai 21 reklame mural di Jakarta, Karawang, dan Bekasi, dan setidaknya ada 50-an pembuat reklame mural di Jakarta. Jika kita mengandaikan dari 21 reklame 7 Perkiraan biaya sewa billboard ini berdasarkan contoh yang diberikan oleh Sudaryono, pengusaha reklame dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia, saat diwawancara di Jakarta pada 22 Maret 2013. 8 “Pajak Iklan Dinding Hilang 70 Persen,” ibid. 9 Selama penelitian, sejumlah perusahaan operator telekomunikasi seluler besar yang dihubungi menghindar dari pertanyaan mengenai reklame mural ini dengan berbagai macam cara: mengaku tak tahu menahu, saling mengoper kepada satu sama lain, tidak menanggapi surat elektronik, atau membatalkan janji tiba-tiba menjelang wawancara dan kemudian tak pernah bisa dihubungi kembali. Permintaan dokumen dan wawancara tentang reklame jenis baru ini juga tak kunjung mendapat sambutan dari sejumlah instansi terkait di pemerintahan DKI Jakarta.
95 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Tabel 4. Beberapa Perusahaan Pengguna Reklame Mural untuk Promosi.
JENIS REKLAME
PERUSAHAAN
PRODUK
JENIS USAHA
simPATI PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel)
Kartu As
Telkomsel Flash
PT. XL Axiata tbk.
XL
indosat Mentari
Operator telekomunikasi seluler
PT. Indosat tbk. indosat IM3 Reklame Mural
Axis PT. AXIS Telekom Indonesia
Flexi
Tri 3
PT. Smartfren Telecom, Tbk.
Smartfren
Operator telekomunikasi seluler berbasis teknologi CDMA
ABC President
Eat n’ Go
Perusahaan makanan
Acer Indonesia
Acer
Perusahaan elektronik dan hardware
PT. Nojorono Kudus
Minak Djinggo
Perusahaan rokok
PT. Bakrie Telecom, Tbk.
Esia
Operator telekomunikasi seluler berbasis teknologi CDMA
Sumber: berdasarkan penelitian lapangan dan wawancara dengan sejumlah narasumber.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 96
mural buatan Heri, sepertiganya saja bertempat di Jakarta, dan setiap bulan ia terus mendapat order, maka dalam satu tahun bisa ada 84 reklame mural buatan Heri di Jakarta. Jika ada 50 pembuat reklame mural dengan order dan kecepatan bekerja seperti Heri, maka dalam satu tahun bisa muncul 4.200 reklame mural operator telekomunikasi seluler di Jakarta. Namun, andai jumlah itu mendekati kenyataan pun, yang terhitung baru reklame mural operator telekomunikasi seluler. Sementara reklame mural sendiri juga digunakan untuk beriklan oleh perusahaan makanan, elektronik, dan rokok (Tabel 4).10 Jangkauannya pun sampai ke pelosok kampung. Teknik mural, kemudian juga dianggap efektif oleh pemerintah dan polisi (Foto 5), yang sejak sekitar 2009 menggunakan mural sebagai media kampanye maupun iklan layanan masyarakat di tiang-tiang jembatan layang Jakarta.11 Pemerintah dan polisi yang turut menggunakan mural sebagai kampanye, membuat persoalan reklame mural ini menjadi kompleks. Pengiklan, pemerintah dan aparatus negara, seniman, dan warga, jadi sama-sama terlibat. Tiang-tiang jembatan layang sendiri sebenarnya tidak boleh dicoret-coret atau dijadikan iklan.12 Ketika tiang jembatan layang yang merupakan bagian dari ruang publik justru dimanfaatkan oleh pemerintah sendiri, tampaknya tak banyak perhatian tersisa dari pemerintah soal reklame mural, terutama yang bersemayam pada tembok bangunan milik warga, termasuk rumah yang termasuk ruang privat. Reklame-reklame mural di tembok-tembok milik warga Jakarta yang dibiarkan pemerintah, menegaskan hal itu.
10 Saat penyuntingan tulisan ini dilakukan pada September 2013, perusahaan multinasional Nike, Inc. membuat reklame di sejumlah sekolah menengah di Jakarta, yaitu SMUN 7, 28, 35, 60, 66, SMU dan SMP St. Theresia, SMP dan SMA Labschool, SMP dan SMA PSKD; juga di Universitas Negeri Jakarta. Reklame yang dibuat berupa cat pada permukaan halaman sekolah dan kampus yang membentuk jalur lari, dengan mencantumkan logo Nike dan slogannya, “Just Do It”, dan sejumlah teks pernyataan, dengan tagar #bajakJKT. Reklame ini jelas menyasar para remaja sebagai calon konsumen potensial. Pembuatan reklame ini dilakukan dengan seizin pengurus sekolah dan kampus. Reklame-reklame mural buatan Nike ini bisa dilihat di: http://statigr.am/tag/bajakjkt. Terakhir diakses pada 24 September 2013. 11 Wawancara dengan seniman M.G. Pringgotono dan M. Sigit Budi S. di Jakarta melalui telepon, 29 Juli 2013. 12 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 21a: “Setiap orang atau badan dilarang: mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyebrangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya...”
97 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Foto 5. Mural promosi polisi: “otak, otot, hati nurani”, di Jakarta.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
Jakarta tidak melarang reklame mural seperti Tangerang,13 Balikpapan,14 dan Yogyakarta.15 Jakarta sepertinya ingin mempertimbangkan reklame
13 Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Jawa Barat, melarang reklame mural karena tidak sesuai dengan Peraturan Walikota No. 32 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Reklame dan keberadaan reklame mural tidak sesuai dengan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Baca: “Reklame Branding di Tangerang Mulai 2013 Dilarang,” www.kabar6.com, 21 Desember 2012. Tautan: http://bit.ly/R8w0Qc. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 14 Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, melarang reklame mural, selain karena melanggar Peraturan Daerah Balikpapan No. 30 Tahun 2000 tentang Izin Reklame, juga melanggar Peraturan Daerah Balikpapan No. 31 Tahun 2000 tentang Ketertiban Umum. Baca: “Operator Mulai Hapus Iklan Dinding,” Tribunnews.com, 12 November 2011. Tautan: http://bit.ly/15ubS1i. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Lihat penghapusan reklame mural oleh Satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP) Balikpapan di Youtube.com. Diunggah 1 Mei 2012. Tautan: http://bit.ly/18hPbcX. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 15 Sekalipun Yogyakarta belum mencantumkan reklame mural sebagai objek pajak dalam peraturan daerah, pemerintah Yogyakarta selama ini tetap mengizinkan reklame mural, dengan penghitungan pajak menyamakan dengan pajak billboard. Protes warga Yogyakarta terhadap reklame mural di Jembatan Kewek, yang merupakan cagar budaya, membuat Yogyakarta melarang reklame mural ini, yang akan ditetapkan dalam rancangan peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame. Baca: “Kota Yogyakarta Hentikan Pemberian Izin Reklame ‘Wall Painting’,” Antaranews.com, 24 Juli 2013. Tautan: http://bit.ly/1aKNjBc. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 98
mural sebagai objek pajak seperti Makassar,16 atau mengikuti Bandung yang telah mengizinkan reklame mural sejak 2012.17 Pada 14 Mei 2013, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengatakan bahwa reklame mural harus memiliki izin dan harus ditarik pajak.18 Ia juga mengeluarkan seruan untuk melaksanakan peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007, yang pada Pasal 21 huruf a, praktis melarang masyarakat untuk mencoret, menggambari, dan menempel iklan di dinding, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum.19 Sejumlah mural di area kolong jembatan layang, seperti di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, kemudian dihapus oleh pemerintah Jakarta sekalipun beberapa billboard masih berdiri di situ. Akan tetapi, jika mural dan reklame di sarana umum itu bisa dilarang, mengapa reklame mural di tembok bangunan milik warga tidak dilarang? Apa hanya karena reklame mural bisa dijadikan objek pajak maka ia tak dianggap mengganggu “ketertiban umum”? Tembok-tembok rumah warga memang bukan sarana umum, betapapun ia terlihat dari tempat umum. Persoalan reklame mural di rumah warga juga menjadi lebih rumit karena keberadaannya mendapat izin warga. Namun tanggung jawab pemerintah untuk melindungi ruang publik warga kotanya dari dominasi reklame, seharusnya juga mencakup perlindungan terhadap ruang privat warga. Pembiaran reklame mural oleh pemerintah hanya akan mendorong warga untuk mengomersialkan ruang privatnya. Di sebuah blog, ada sebuah artikel yang hanya mengabarkan tentang fenomena reklame mural ini, namun justru ditanggapi pembaca dengan antusiasme. Dari 43 komentar, ada 7 orang yang berminat, dan ada 29
16 Pemerintah Kota Makassar, Sulawesi Selatan, melarang reklame mural yang tidak mengurus perizinan dan tidak membayar pajak. Namun pemerintah Kota Makassar kemudian sedang mengusahakan agar reklame mural dapat dijadikan objek pajak dalam peraturan daerah. Baca: “Dispenda Bidik Reklame Dinding,” dalam Situs Resmi Dinas Pendapatan Daerah Makassar, berita dikutip dari Beritakotamakassar.com, 30 April 2013. Tautan: http://bit.ly/167GalT. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 17 “Pajak Iklan Dinding Hilang 70 Persen,” ibid. 18 “Mural Iklan Harus Bayar Pajak,” Beritajakarta.com, 14 Mei 2013. Tautan: http://bit.ly/143KxC2. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 19 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Pasal 21a.
109 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
orang yang menawarkan tembok bangunannya dengan menyertakan nomor telepon, alamat rumah maupun surel. Mereka bukan hanya berasal dari Jakarta, namun juga dari Bekasi, Bali, Bandung, Bogor, Cimahi, Magelang, Pekanbaru, Pontianak, Riau, Serang, Sukabumi, sampai Tangerang. Sekian komentar itu ditutup oleh seorang warga, “Dengan ini saya jadi bersemangat untuk juga mengomersialkan tembok rumah saya.” 20 Tentu, adalah hak warga juga untuk mengomersialkan tembok rumahnya. Namun itu berarti membiarkan dominasi iklan bisa berbuat seenaknya masuk hingga ke area privat—area yang seharusnya dijaga agar tetap mandiri dan dipertahankan dari segala iming-iming. Jika ini tak dianggap penting, mungkin kita dapat mengajukan pertanyaan ini: Dalam konstelasi pengiklan dan pembuat mural (yang sebagian adalah seniman street art), maupun pemerintah/aparatur negara dan seniman, tembok siapakah yang dijadikan reklame mural? Jembatan layang, yang merupakan fasilitas publik, dan rumah warga, yang bukan rumah mereka. Pertanyaan selanjutnya: maukah para direktur perusahaan operator telekomunikasi seluler, seniman street art, maupun pejabat pemerintah dan aparatur negara itu membiarkan tembok rumahnya dicat dengan reklame mural? Heri “Ompong”, pada akhirnya pun berkata bahwa baginya lebih baik tembok rumah-rumah itu dicat polos saja daripada dicat dengan reklame mural yang dibuatnya. Beberapa tahun terakhir ini, ia tak lagi menerima pesanan reklame mural.21 Selama puluhan tahun, warga kota Jakarta tak kunjung menerima haknya untuk memiliki ruang publik yang layak. Sebagian dari ruang publik itu juga dikuasai industri periklanan. Warga kota yang mengizinkan reklame mural melapisi tembok rumahnya, tak cuma melepaskan haknya untuk mendapat ruang publik yang layak, namun juga membiarkan dirinya terdominasi di tempat tinggalnya sendiri. Sementara rumahnya, mungkin adalah ruang terakhir miliknya yang bisa dipertahankan dari pihak lain yang tak juga merasa cukup setelah merebut ruang publiknya. Warga mungkin lupa
20 Isdiyanto, “Reklame Dinding Operator Seluler,” simpanglima.wordpress.com, 1 Desember 2009. Tautan: http://bit.ly/1eopkZ8. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 21 Wawancara dengan Heri “Ompong”.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 110
bahwa tembok rumahnya merupakan bagian dari lingkungan sosial, bahwa dengan mengizinkan reklame mural melapisi tembok rumahnya sendiri, ia mengabaikan kemungkinan adanya warga lain yang bisa jadi keberatan melihat reklame mural pada temboknya. Ia pun menutup kemungkinan berbagai kegiatan bersama yang mungkin bisa dilakukan hanya dari satu permukaan tembok rumahnya. Reklame Kios Rokok Kios-kios sederhana yang banyak mangkal di pinggir jalan Jakarta itu biasanya berbentuk kotak dan berwarna putih polos. Kita sering menyebutnya begitu saja sebagai “warung rokok” hanya karena rokoklah yang paling banyak diperjual-belikan di sana. Kebanyakan penjual, yang biasanya juga pemilik kios, menjadikan kiosnya sebagai tempat tinggal. Di kios-kios ini perusahaan rokok seolah punya tempat khusus untuk beriklan (Tabel 5). Banyak cara perusahaan rokok beriklan di kios-kios ini. Pada dinding luar kios yang polos itu, beberapa perusahaan rokok ada yang sekadar menempelkan poster atau menggambar merek rokoknya dengan cat. “Reklame nama usaha” bermerek rokok terkadang juga bertengger di atap kios. Beberapa perusahaan rokok bahkan mendesain bangunan kios secara khusus, dengan mengutamakan penampilan merek pada dinding luar dan tata letak rokok mereka pada jendela. Model reklame ini bisa kita sebut saja sebagai “reklame kios rokok”, hanya karena reklame ini berbentuk kios rokok itu sendiri (Foto 6). Seperti yang kita tahu, tak banyak pilihan tersisa bagi pemilik kios rokok di pinggir jalan. Sehari-harinya mereka kerap memberikan sejumlah uang atau rokok gratis kepada para aparat dan preman, agar bisa terus berjualan, sekalipun pungutan liar itu tak selalu menjamin keamanan kiosnya dari maling. Bagi mereka, tawaran “reklame kios rokok” sejauh ini merupakan tawaran yang menarik. Mereka jadi tak perlu merenovasi kios lawas mereka yang sudah reyot, tak perlu juga sampai membuat kios baru yang ongkos pembuatannya bisa menghabiskan Rp2–3 juta. Dengan menerima tawaran itu, pemilik kios rokok bisa menempati kios baru plus mendapat imbalan. Seperti halnya pada reklame jenis baru lainnya, imbalan itu bervariasi, antara
111 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Tabel 5. Beberapa Perusahaan Pengguna Badan Kios Rokok untuk Promosi.
JENIS REKLAME
PERUSAHAAN
PRODUK
JENIS USAHA
A Mild PT. HM Sampoerna Tbk. Avolution
Reklame Badan Kios Rokok
PT. Gudang Garam Tbk.
Gudang Garam International
PT. Djarum
L.A. Lights Perusahaan rokok
British American Tobacco / PT. Bentoel Internasional Investama Tbk.
Dunhill
Korea Tomorrow & Global Corporation
Esse
PT. Nojorono Kudus
Clas Mild
Sumber: berdasarkan penelitian lapangan dan wawancara dengan sejumlah narasumber.
Rp750 ribu sampai Rp1,8 juta per tahun, agar mereka mau menjaga kios rokok barunya itu dari reklame produk lain.22 Pada beberapa kasus, beberapa pemilik kios dijanjikan oleh pengiklan, bahwa mereka bisa memiliki kios itu setelah beberapa tahun. Tarjono, salah satunya. Ia seorang pemilik kios rokok di daerah Mampang, Jakarta Selatan, yang menggunakan kios bermerek rokok Gudang Garam International. Setelah dua tahun, katanya kios bisa ia miliki. Namun empat tahun berlalu, tak ada kabar lagi soal itu, sekalipun ia terus dibayar sebesar Rp850 setiap tahun.23
22 Wawancara dengan Silalahi dan Tarjono, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Juli 2013, dan wawancara dengan Abet, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Agustus 2013. 23 Wawancara dengan Tarjono, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Juli 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 112
Foto 6. Reklame Kios Rokok.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
113 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Sementara itu, Marto, pemilik kios rokok bermerek Dunhill di Tebet, Jakarta Selatan, mengalami hal lain. Sejak menggunakan kios barunya, yang juga tempat tinggalnya, ia tak bisa lagi tidur sambil meluruskan kaki. Kios rampingnya rupanya tak dirancang untuk itu. Ia pun harus membayar sewa listrik bulanan lebih mahal demi menyalakan lampu-lampu yang menghiasi tata letak rokok. Sekarang, ia mengirit, cuma memakai satu lampu, sambil membiasakan diri tidur dengan kaki ditekuk.24 Desain kios rokok itu, sekalipun cukup menarik, luput memerhatikan kenyamanan dan tidak memperhitungkan beban sewa listrik bulanan karena lebih mengutamakan tata letak rokok buatan pengiklan. Siapapun bisa mengatakan bahwa kios rokok adalah tempat yang pas untuk memasang “reklame kios rokok”. Namun sulit untuk mengatakan bahwa perusahaan rokok sepenuhnya peduli dengan pemilik kios rokok. Pemilik kios yang ditawari reklame kios rokok hanyalah yang kiosnya berada di lokasi strategis. Pada akhirnya tujuan utamanya adalah beriklan. Namun andaikata akhirnya kita tetap bisa memaklumi pemasangan reklame pada kios-kios rokok ini—karena sebagai tempat jualan, ia identik dengan reklame yang mengiklankan barang, terutama rokok—perlu ada kesepakatan yang lebih adil di antara kedua pihak. Hitam di atas putih. Bukan secara lisan yang sering berujung pada ketidakpastian, sebagaimana keberadaan kios rokok di pinggir jalan yang sejak awal memang penuh ketidakpastian. Reklame Nama Usaha Pada toko dan warung di pinggir jalan Jakarta, dapat kita temukan “reklame nama usaha” berupa plang atau spanduk bergambar seperti ini: bidang terluasnya mencantumkan logo dan slogan sebuah produk berlatarkan warna resmi produk itu, sementara pada sisa bidang, di bawah atau samping, tercantum nama toko atau warung tersebut, biasanya dengan latar putih dan huruf satu warna (Foto 7). Reklame nama usaha ini digunakan untuk promosi
24 Wawancara dengan Marto, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 2012.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 114
Foto 7. Reklame Nama Usaha berbentuk spanduk dan plang.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
115 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
produk oleh berbagai perusahaan, seperti perusahaan operator telekomunikasi seluler, minuman, farmasi, hingga media massa (Tabel 6). Pengiklan bisa menawarkan reklame semacam ini untuk menggantikan plang nama toko yang lama dan mungkin dianggap kurang bagus, atau yang lebih sering: menawarkan reklame nama usaha itu kepada pemilik toko, yang belum atau tidak memasang plang nama toko.25 Kepada yang terakhir, bisa tercipta kesan bahwa berkat pengiklanlah si pemilik toko bisa memasang nama tokonya, dan ukuran logo pengiklan yang besar hanyalah konsekuensi logis dari manfaat yang didapat pemilik toko.26 Namun ini logika yang serupa dengan: berkat adanya reklame mural, tembok rumah tak lagi kusam. Sementara pada reklame nama usaha inilah dua identitas—nama toko atau warung dan merek produk pengiklan—sejak awal ditempatkan pada satu bidang yang tak setara. Tidak setara, karena reklame nama usaha—baik berupa plang atau spanduk—ditawarkan pertama kali dalam bentuk jadi: merek produk sudah tercetak dalam bidang paling luas dan nama toko hanya bisa dicantumkan pada kotak putih berukuran kecil yang disediakan. Dari pintu ke pintu reklame ini ditawarkan dan begitu pemilik tempat sepakat, nama usaha yang disebut langsung disablon pada sisi reklame yang telah disediakan.27 Biaya produksi reklame semacam ini pun termasuk murah. Biaya produksi satu spanduk bisa kurang dari Rp10 ribu per meter jika pemesanan lebih dari 100 lembar, sementara biaya produksi satu plang berkisar Rp500 ribu–2 juta—dan keduanya tergantung pada jumlah, bahan, bentuk, dan ukuran; dan satu paket dengan biasa pemasangan.28 Kepada pemilik usaha, biasanya pengiklan membayar Rp150–500 ribu untuk satu tahun pemasangan, agar pemilik usaha tidak mengganti reklame nama usaha itu dengan reklame
25 Wawancara dengan Dalu Kusma, mahasiswa Jurusan Periklanan, Institut Ilmu Sosial dan Politik, di Jakarta pada 23 Juli 2013. Juga berdasarkan pengamatan lapangan Riyan Riyadi, seorang seniman dan peneliti untuk buku ini. 26 Berdasarkan kesan beberapa orang yang saya ajak bicara mengenai reklame nama usaha ini. 27 Berdasarkan pengamatan lapangan Riyan Riyadi. 28 Wawancara dengan Rudi, pembuat plang toko di Depok, Jawa Barat, pada Mei 2013, dan berdasarkan pengamatan lapangan Riyan Riyadi.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 116
Tabel 6. Beberapa Perusahaan Pengguna Reklame Nama Usaha untuk Promosi.
JENIS REKLAME
PERUSAHAAN
PRODUK
JENIS PERUSAHAAN
PT. Gudang Garam Tbk.
Gudang Garam Filter
British American Tobacco / PT. Bentoel Internasional Investama Tbk.
Club Mild
PT. Djarum
Djarum Black Mild
PT. Media Nusantara Citra Tbk.
Koran Sindo
Perusahaan Media
PT. AXIS Telekom Indonesia
Axis
Perusahaan Operator telekomunikasi seluler
PT. Santos Jaya Abadi
Kopi ABC
Perusahaan Minuman
PT. Panjang Jiwo
Anggur Merah Cap Orang Tua
Perusahaan Minuman Kesehatan
GlaxoSmithKline
Panadol
Perusahaan farmasi
Perusahaan rokok
Reklame nama usaha
Sumber: berdasarkan penelitian lapangan dan wawancara dengan sejumlah narasumber.
117 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
bermerek lain.29 Terkadang pengiklan mengecek reklame nama usahanya sebulan sekali pada beberapa bulan pertama. Namun seringkali, setelah memasang reklame dan memberikan imbalan kepada pemilik usaha, pengiklan tak pernah kembali lagi.30 Jika sebelumnya pemilik toko atau warung memasang plang nama, mungkin tak ada yang bisa ditawarkan pengiklan sejak pertama. Ada berbagai sebab kenapa pemilik usaha selama ini tak mencantumkan nama usahanya, dari biar irit sampai merasa tak perlu. Namun pola identifikasi yang terjadi pada toko dan warung di pinggir jalan memang berbeda. Seringkali kita tak ingat nama toko atau warung di pinggir jalan sekalipun si pemilik mencantumkannya, yang kita ingat mungkin justru lokasinya, barangnya, pelayanannya, atau penjualnya, dan hal lain yang bisa membuat kita merekomendasikannya. Tak jarang pula nama sebuah warung atau toko justru diberikan oleh pelanggannya, sebagai julukan yang kemudian populer dari mulut ke mulut. Toko atau warung di pinggir jalan tak begitu memerlukan nama seperti bagaimana restoran, kafe, atau minimarket menganggap nama sebagai identitas yang penting, sebagaimana pengiklan sangat mengutamakan identitas merek produk mereka. Para pemilik warung atau toko yang tak memasang nama usahanya, hanya sedang tak menggunakan haknya. Pada toko-toko yang memiliki izin resmi, pencantuman nama usaha itu justru merupakan hak resmi pemilik toko. Dalam peraturan daerah Jakarta, penanda nama usaha itu disebut sebagai “reklame tanda pengenal usaha”, artinya reklame yang mengiklankan sebuah tempat usaha dan dipasang melekat pada bangunan tempat usaha itu. Dengan batasan ukuran tertentu, pemilik toko tidak perlu mengurus izin untuk memasang “reklame tanda pengenal usaha” karena reklame itu termasuk reklame “berizin tetap” yang menjadi satu paket dengan izin usaha.31 29 Wawancara dengan Dalu Kusma, mahasiswa Jurusan Periklanan, Institut Ilmu Sosial dan Politik, di Jakarta pada 23 Juli 2013. 30 Berdasarkan pengamatan lapangan Riyan Riyadi. 31 Reklame tanda pengenal usaha atau profesi ini, tidak termasuk sebagai objek pajak reklame dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame selama “dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan” selama “tidak melebihi 1 meter persegi, ketinggian maksimal 15 m, dengan jumlah reklame terpasang tidak lebih dari 1 buah.”
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 118
Kepada pemilik toko atau warung yang tak mencantumkan nama tempat usahanya—resmi atau tidak resmi—pengiklan telah mendorong mereka untuk menggunakan haknya, yang semula dipilih untuk tidak digunakan, meminta mereka mencantumkan nama yang belum tentu mereka perlukan, demi kepentingan menaruh reklame bermerek, karena hanya dengan cara itulah reklame tersebut bisa menemukan relevansi keberadaannya. Tanpa pemilik tempat mau mencantumkan nama usahanya, reklame itu tidak bisa dipasang. Tidak dianggap pentingnya identitas nama warung dan toko oleh para pengiklan, selain bisa dilihat dari besarnya ukuran merek pada reklame yang ditawarkan, juga bisa dilihat pada proses penawaran reklame, yang biasanya tak memberi waktu cukup bagi pemilik usaha untuk memikirkan nama usahanya, yang mungkin baru saat itu dipikirkan. Apa pun nama yang disebutkan oleh pemilik usaha akan langsung disablon dan setelah itu reklame bisa langsung dipasang karena pengiklan perlu segera pergi menjajakan reklamenya kepada pemilik usaha lain.32 Maka terwujudlah banyak pemandangan ganjil di toko dan warung pengguna reklame semacam ini. Nama-nama tempat usaha yang tak dipikirkan secara matang dan dituliskan dalam ukuran kecil, seperti “Toko Rahmat”, “Warung Bu Lena”, “Jung Motor”, atau cukup berupa “Warung Sate Solo” atau “Sate Kambing”; berada dalam satu bidang yang menampilkan logo, slogan, atau foto produk tertentu, yang terdesain dengan baik dan menempati bidang yang luas. Pada reklame nama usaha itu yang terlihat adalah nama usaha yang tidak lebih penting daripada merek produk. Jika pengiklan berhasil mendapatkan satu deret warung yang mau menggunakan reklame semacam itu, maka yang terlihat adalah repetisi dari deretan reklame yang sama, dan tulisan nama warung dalam ukuran kecil di bagian bawahnya menjadi semakin tidak signifikan. Kesan serupa juga tampak, pada reklame nama usaha yang tak cuma mencantumkan nama warung, namun juga foto pemilik warung, seperti pada reklame bermerek Kopi ABC. Di sini, relevansi keberadaan reklame
32 Wawancara dengan Dalu Kusma. Juga berdasarkan pengamatan lapangan Riyan Riyadi.
119 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Foto 8. Reklame Nama Usaha dengan foto pemilik usaha.
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
diperkuat dengan memasang foto pemilik warung yang berpose memegang gelas bermerek Kopi ABC. Namun pose dan komposisi yang sama antarreklame itu, membuatnya tak jauh berbeda dengan reklame nama usaha lain: yang paling menonjol tetaplah merek produk. Pada reklame bermerek Kopi ABC, tak cuma nama warung yang dibutuhkan pengiklan, namun juga foto diri pemilik warung sebagai model iklan produk mereka (Foto 8). Melalui reklame nama usaha, kita bisa melihat betapa perusahaanperusahaan yang punya kemampuan kapital untuk memasarkan produknya melalui berbagai iklan dalam berbagai jenis media, masih merasa perlu untuk berdiri di atas tempat usaha bermodal kecil, menggunakan mereka sebagai media iklan, sambil seolah-olah memberikan mereka identitas tempat usaha, sementara identitas itu hanya diberi kesempatan untuk tampil sejauh masih berada di bawah dominasi sang perusahan besar. Pada toko dan warung itu,
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 120
mungkin tak terngiang lagi ungkapan lawas yang sempat terekam dalam stiker-stiker,33 yang terdengar seperti olok-olok namun sesungguhnya penuh kebanggaan: “jelek-jelek milik sendiri”.
*
Pada akhirnya, reklame jenis baru selalu berusaha menyerupai atau menjadi bagian dari keseharian. Sekalipun hanya untuk menghias, selalu ada kegunaan yang seolah ditawarkan pada celah-celah yang bisa dimanfaatkan. Kemampuannya menjelma ke dalam berbagai bentuk, dan biaya produksinya yang murah, membuat satu produk bisa diiklankan dalam berbagai bentuk reklame. Reklame jenis baru ini seolah bisa ditempatkan di mana saja, terutama di daerah permukiman dan perkampungan padat (Tabel 7). Namun, selain reklame jenis baru yang menyasar kawasan permukiman, reklame jenis baru yang bertebaran di jalan-jalan besar dan berlagak sebagai fasilitas publik juga perlu mendapat perhatian, justru karena hubungannya yang begitu erat dengan ruang publik, pemerintah kota, dan aparatur negara. Salah satu reklame jenis baru yang menempati area jalan adalah reklame pembatas jalan bermerek Bintang Toedjoe (Foto 9). Berbeda dengan reklame mural, reklame kios rokok, dan reklame nama usaha yang berurusan langsung dengan warga kota, penempatan reklame bermerek Bintang Toedjoe ini bekerjasama dengan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Jakarta Timur. Namun melihat deretan pembatas jalan berwarna kuning dengan kualitas seadanya yang cuma ditempeli stiker iklan itu, yang diletakkan persis di samping pembatas jalan sesungguhnya yang berwarna hitam dan putih, tak sulit bagi kita untuk melihat bahwa kerjasama ini cuma akal-akalan demi keuntungan kedua pihak semata. Padahal pemerintah Jakarta dan aparatur negaranya sebenarnya bisa mempelajari—tanpa perlu “studi banding”—bagaimana kota-kota besar di dunia menangani integrasi iklan dengan fasilitas publik yang biasa disebut dengan istilah street furniture, atau perabotan jalan.
33 Merujuk pada sebuah stiker kota yang memiliki teks “Jelek-jelek Milik Sendiri.” Lebih jauh tentang stiker kota yang marak pada 1980-an di Jakarta dan sejumlah kota besar di Pulau Jawa, baca: Stiker Kota, ed. Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, Mirwan Andan (Jakarta: ruangrupa, 2008).
121 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Tabel 7. Berbagai Perusahaan Pengguna Reklame Jenis Baru Selain Reklame Mural, Reklame Nama Usaha, dan Reklame Kios Rokok.
JENIS REKLAME
PERUSAHAAN
PRODUK
JENIS USAHA
Reklame Balon Lampu
PT. AXIS Telekom Indonesia
Tri 3
Operator telekomunikasi seluler
Reklame Papan Rambu
PT. HM Sampoerna Tbk.
Avolution
Perusahaan rokok
Reklame Pembatas Jalan
PT. Bintang Toedjoe Indonesia
Bintang Toedjoe Masuk Angin
Perusahaan farmasi
Reklame jingle yang dinyanyikan pengamen
* belum diketahui
* belum diketahui
* belum diketahui
Reklame Kanopi
The Coca-cola Company/ Produksi PT. Coca-Cola Bottling Indonesia.
Coca-cola
Perusahaan minuman
Sumber: berdasarkan penelitian lapangan dan wawancara dengan sejumlah narasumber.
Dalam satu-dua dekade terakhir, pendanaan fasilitas publik oleh industri periklanan memang menjadi tren baru dalam industri periklanan global.34 Ini bukan konsep baru. Jean-Claude Decaux, pendiri biro reklame JCDecaux, mengaku sebagai pencipta konsep tersebut. Ia ingin agar industri reklame 34 Kurt Iveson, “Branded cities: outdoor advertising, urban governance, and the outdoor media landscape,” Antipode: A Radical Journal of Geography, Vol. 44, Issue 1, Januari 2012 (Wiley, 2012), hlm. 151–174.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 122
Foto 9. Reklame Pembatas Jalan
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael, 2013.
123 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
bisa turut mendukung fasilitas publik. Melalui biro reklamenya, Decaux telah memasang perabotan jalan pertama di Lyons, Prancis, pada 1964.35 Saat ini, salah satu kota terbaik yang menerapkan program tersebut adalah Toronto, Kanada. Sejak 2007, Dewan Kota Toronto menunjuk Astral Out-of-Home—divisi Astral Media Inc.—yang diminta untuk mendesain, membuat, memasang, sampai memelihara dan memperbaiki lebih dari 25.000 perabotan jalan, yang antara lain terdiri dari halte, rak sepeda, tempat sampah, toilet umum, sampai tiang poster. Program itu dirancang oleh Kramer Design Associates dan ditangani langsung oleh kantor Layanan Transportasi di Kota Toronto yang bekerja untuk Anggota Dewan Kota dan publik. Yang menarik, dari semua perabotan hanya 16 persen jalan yang dipasangi reklame. Namun hanya dari 16 persen itu, Kota Toronto bisa mendapatkan keuntungan total $915 miliar, yang terdiri dari $500 miliar berupa biaya kontruksi, perawatan, dan perbaikan; dan pemasukan kota sebanyak $415 miliar, yang kemudian digunakan untuk mempercantik jalanan kota.36 Di Toronto, ruang publik yang dirancang dengan layak membuat ruang kota dipenuhi oleh para pejalan kaki dan pengguna transportasi umum. Hal itulah yang membuat biro-biro reklame berusaha mendekatkan bisnisnya dengan mengintegrasikan reklame pada perabotan jalan.37 Dari ruang publik yang layak itu, Kota Toronto bisa memaksimalkan kualitas fasilitas publiknya. Dalam kasus Jakarta: warga kota perlu mendapatkan ruang publik yang layak terlebih dahulu—setelah puluhan tahun tak kunjung mendapatkannya— sebelum mengizinkan ada reklame-reklame berukuran kecil—selevel mata manusia, seperti halnya reklame jenis baru—boleh bersemayam di atasnya. Keberadaan reklame jenis baru, yang bisa mudah berubah bentuk dan beberapa di antaranya sudah bertebaran di jalanan Jakarta, perlu diwaspadai
35 Tentang JCDecaux Group, lihat tautan: http://www.jcdecaux.com/en. 36 Tentang Toronto’s Coordinated Street Furniture Program, lihat tautan: http://bit.ly/1dkXr19. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Untuk sambutan warga Toronto terhadap Toronto Street Furniture Program, baca “Torontonians Voice Their Opinions About Toronto’s Street Furniture,” dalam Newswire.ca, 12 Maret 2013. Tautan: http://bit.ly/XnfhNr. Terakhir diakses pada 18 September 2013. 37 Bandingkan dengan jalanan Jakarta yang dipenuhi kendaraan pribadi yang kemudian menyebabkan kemacetan dan membuat biro reklame beramai-ramai memasang reklame-reklame raksasa di jalan-jalan besar demi merebut perhatian pengemudi kendaraan yang kerap terjebak macet itu.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 124
agar tak segera ditarik begitu saja oleh pemerintah pada logika pemenuhan perabotan jalan yang salah kaprah, apalagi dengan alasan penghematan belanja kota, seperti alasan pemerintah Jakarta sebelumnya pada sejumlah kasus pengadaan fasilitas publik yang mengada-ada demi transaksi titiktitik reklame. 38 Kota Toronto telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan keberpihakan terhadap publik dan ruang publiknya, sebuah kota bisa mengoptimalkan ruang publiknya tanpa mengeluarkan modal, tanpa memenuhinya dengan reklame, dan bisa mendapatkan keuntungan yang sepenuhnya dimanfaatkan kembali untuk ruang publik kota. Namun, ruang publik Jakarta hingga saat ini—meminjam pernyataan pengamat perkotaaan, Marco Kusumawijaya—masih saja mengalami dua jenis teror, antara “menjadi objek perebutan antar-kelompok, atau dilecehkan sama sekali sebagai ruang sisa, bukan milik siapapun.”39 Reklame, beroperasi pada kedua ruang itu. Baik di jalan-jalan utama yang dipenuhi billboard-billboard raksasa milik biro reklame besar, maupun di dinding tiang jembatan layang —yang semula dilecehkan—tempat bertemunya billboard, reklame mural perusahaan, karya mural seniman, dan mural buatan pemerintah dan aparatur negara. Di tengah ruang publik yang dieksploitasi oleh pemerintahnya sendiri, tentu tak mengherankan jika berbagai reklame jenis baru ini dibiarkan. Namun dari kehadiran reklame semacam itu, setidaknya kita bisa menandai celah-celah apa saja yang ada dalam ruang publik kita. Di luar pemerintah dan aparatur negara, sasaran utama pengiklan pengguna reklame jenis baru ini adalah warga kota. Mereka, bisa kita bayangkan, mungkin adalah warga yang tak lagi memegang anggapan “jelek-jelek milik sendiri”, yang mungkin tak selalu bisa mereka-reka bahwa keuntungan yang didapat pengiklan jauh lebih besar daripada yang ia dapatkan, yang mungkin telah membuang jauh harapannya untuk bisa memiliki ruang 38 Baca bahasan tentang kasus “tukar guling” ruang publik dengan titik reklame antara pemerintah DKI Jakarta dengan biro reklame dalam tulisan Amalia Puri Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad, “Publik yang Menjadi Latar Bisu: Catatan tentang Peraturan-peraturan Reklame di Jakarta,” dalam buku ini. 39 Marco Kusumawijaya, “Ruang Publik: Dialog antara Arsitektur dan Seni Rupa,” materi diskusi yang diselenggarakan ruangrupa dengan Apotik Komik dan Taring Padi di Studio Hanafi, Depok, 14 Juni 2000; diterbitkan dalam Jurnal Karbon, edisi 1, ed. Ade Darmawan, Hafiz, Ugeng T. Moetidjo (Jakarta: ruangrupa, 2000), dan diterbitkan kembali dalam Marco Kusumawijaya, Kota Rumah Kita (Jakarta: Borneo, 2006).
125  /  DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
publik yang layak, atau bahkan tak punya banyak pilihan selain menerima tawaran pengiklan yang untuk sementara bisa dianggap menguntungkan. Kita bisa menduga hal tersebut, terutama karena kita tak melihat, misalnya, ada reklame mural yang melapisi tembok-tembok kantor pemerintahan, rumah dinas pemerintah, mal, kafe, maupun tempat ibadah. Tempat-tempat itu memang tak bebas dari reklame, seringkali tetap terpasang spanduk, baliho, billboard, atau neon sign. Akan tetapi konten reklame-reklame itu biasanya selalu terkait dengan nama tempat itu, acara yang diadakan di situ, maupun produk yang memang dijual di tempat itu. Merek-merek rokok atau minuman memang bisa bertebaran di sebuah kafe atau bar, namun lebih banyak berupa neon sign, asbak, gelas, atau pernak-pernik interior lainnya, dan tidak sampai membungkus seluruh dinding luarnya seperti pada kios rokok yang mangkal di pinggir jalan tempat-tempat hiburan itu. Kita juga tak melihat, misalnya, ada reklame nama usaha bermerek tertentu menempeli wajah kafe, bar, atau klub, yang bisa membuat nama tempat hiburan itu ditampilkan dengan cara yang sama seperti nama warung nasi. Para petugas kantor pemerintahan, rumah dinas pemerintah, atau pengurus tempat ibadah, bisa jadi bulan-bulanan media massa kalau mereka membiarkan tembok bangunan mereka dicat dengan reklame mural. Ada citra negara dan agama yang perlu dijaga di sana. Sementara itu, tempat-tempat hiburan telah memiliki plang namanya sendiri, dengan desain dan bahan yang jauh lebih baik daripada reklame nama usaha yang biasa ditawarkan pengiklan. Ada citra merek tempat hiburan di sana, yang sama pentingnya untuk dijaga dari kehadiran maupun dominasi merek lain. Reklame jenis baru tidak berurusan dengan warga-warga yang tak sudi tempatnya dipakai. Maka yang kita lihat adalah reklame-reklame jenis baru yang berada di warung, toko, kios, maupun tembok-tembok rumah dan bangunan milik warga biasa, yang semula tak ditujukan buat disewa. Dalam hal ini, pemerintah perlu ingat bahwa ada ruang-ruang milik warga yang perlu dilindungi dari dominasi kapital, sebagaimana pemerintah tak membiarkan kantor-kantor pemerintahan dan rumah-rumah dinas pejabat terlanda reklame semacam itu.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 126
Di sisi lain, dengan merelakan tempatnya ditempati oleh reklame jenis baru itu, warga sebenarnya telah mengubur potensi ruang hidupnya—sekecil apapun tempat yang dimilikinya saat itu—untuk dioptimalkan sebagai bagian dari ruang publik. Di sini, para seniman maupun pekerja visual lainnya— dengan kepekaan visual mereka, kesadaran mereka atas dominasi kuasa dan kapital—bisa lebih jauh berperan, terutama di tengah berbagai perebutan ruang yang terjadi di ruang publik Jakarta. Sembari para seniman dapat terus aktif memamerkan karya-karya visual di ruang publik, demi mendekatkan seni kepada publik dan menunjukkan bahwa ruang publik tak selamanya tunduk pada kuasa dan kapital, berbagai kegiatan sosial-budaya yang kritis perlu terus dikembangkan dengan melibatkan warga kota. Hubungan antara pengiklan, pemerintah, dan aparatur negara dengan seniman—baik seniman mural, grafiti, atau street artist termasuk pekerja visual lain seperti desainer grafis maupun desainer produk—perlu dinegosiasi ulang. Seniman dan pekerja visual lain dapat menjadi mediator bagi banyak kepentingan, juga dapat secara tegas, bersama-sama warga, mempertahankan ruang-ruang kota yang ada sebagai ruang publik. Ada dua kegiatan seni yang melibatkan warga secara langsung, yang bisa disebutkan di sini sebagai contoh. Pertama, adalah berbagai kegiatan mural kelompok seniman Apotik Komik sepanjang 2003–2005 yang banyak melibatkan warga di Yogyakarta, Jawa Tengah. Warga kota, dari anak-anak sampai warga kampung setempat, bersama-sama mengoptimalkan potensi dinding-dinding kosong mereka dengan membuat mural sesuai keinginan mereka (Foto 10).40 Contoh lain ada di Jakarta, di taman kolong jembatan layang di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Berbeda dengan kolong jembatan layang lain yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, area kolong jembatan layang ini dimanfaatkan oleh komunitas pemain catur dari berbagai penjuru ibukota. Pertandingan catur mereka yang berlangsung dari pagi sampai pagi lagi itu menghidupkan area yang semula sepi dan rawan kejahatan menjadi ruang publik baru. Tiga seniman Jakarta, Saleh 40 Lebih jauh tentang kegiatan Apotik Komik, lihat arsip-arsip seni rupa kontemporer di Indonesian Visual Art Archive di Yogyakarta, Jawa Tengah, di: http://archive.ivaa-online.org.
127 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
Foto 10. Kegiatan mural bersama Apotik Komik di Kampung Ontoseno, Yogyakarta untuk Festival Kesenian Yogyakarta, 2003.
Fotografi: Tim Dokumentasi Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Yogyakarta.
Husein dan duo Kudaponi, bekerjasama dengan mereka untuk meneguhkan keberadaan komunitas catur itu yang masih bisa diusir sewaktu-waktu demi “ketertiban umum”.41 Ketiga seniman itu lalu membuat beberapa meja catur portabel dan menggambari dua tiang besar jembatan layang dengan gambar sepasang bidak catur, lengkap dengan nama komunitas catur tersebut (Foto 41 Karya Saleh Husein dan duo Kudaponi merupakan bagian dari Zona Pertarungan, satu dari tiga program dalam ARENA: Jakarta Biennale XIII 2009 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Lebih jauh tentang karya ini baca katalog ARENA: Jakarta Biennale 2009 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2009), atau melalui arsip pada situs Jakarta Biennale. Tautan: http://jakartabiennale.net.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 128
Foto 11. Proyek Taman Catur oleh Saleh Husein dan Kudaponi di Tebet, Jakarta Selatan, 2009.
Fotografi: Deni Septiyanto / ARENA: Jakarta Biennale XIII 2009, Dewan Kesenian Jakarta.
11). Keberadaan dua mural besar itu seolah mematenkan ruang komunitas tersebut. Ruang yang semula hanyalah “taman”, kemudian menjadi taman catur oleh kehadiran komunitas catur, diubah lagi menjadi Taman Catur. Sampai sekarang, meja-meja portabel dan dua mural besar itu masih ada dan Taman Catur tersebut masih terus hidup sebagai ruang publik. Sekalipun tak mudah, kegiatan-kegiatan seni yang melibatkan warga setempat bukan tak mungkin untuk terus dikembangkan, selain untuk mempertahankan atau malah mengembalikan potensi ruang kota sebagai ruang publik, juga demi menyetarakan posisi warga kota yang selama ini
129 / DI TEMPATMU ADA DAGANGANKU
kerap terdominasi. Usaha warga untuk terus menuntut pemerintah agar segera mengusahakan ruang publik yang layak, perlu diiringi dengan penguatan posisi warga di ruang publiknya sendiri, dan berbagai kegiatan sosial-budaya dapat menjadi salah satu cara untuk saling belajar mengenai konsepsi ruangpublik sebagai ruang bersama, yang bukanlah ruang untuk diperebutkan atau justru diperjual-belikan. Jika tidak, barangkali kita hanya perlu menunggu sampai reklame benar-benar masuk sepenuhnya ke dalam ruang hidup kita. Bukan tidak mungkin, bila suatu saat nanti kita bisa berkunjung ke rumah seorang kawan yang dinding rumahnya, luar dan dalam, dilapisi reklame mural, yang tembok pagarnya ditempeli plang bermerek dengan ukuran besar, dengan nama pemilik dan nomor rumah dalam ukuran kecil, yang kendaraannya dibungkus oleh terpal bermerek, yang barang-barang rumah tangganya, dari meja, lemari, kursi, kanopi, sampai lampu taman, disponsori oleh berbagai produk. Pada saat itu, setiap pertemuan bisa berarti pemasaran. Orang lain bisa mendadak menjadi seperti kerabat jauh kita, yang setelah hilang kontak sama sekali, tahu-tahu mengajak bertemu, dan ternyata pertemuan itu dilakukan demi promosi produk. Pada saat itu, barangkali bukan cuma “pengamen iklan” yang bisa ditemui oleh Farid Rakun di bus yang lain, namun juga penumpang yang menyapa ramah dengan suara renyah, menebar keakraban yang ternyata adalah iklan terselubung, seperti “iklan bibir” yang belakangan biasa diumbar oleh penyiar radio di Jakarta. Pada saat itu, satu-satunya kesempatan kita untuk terhindar dari iklan barangkali hanya pada saat kita tidur. Itu pun jika kita tak sedang memimpikan kenyataan.
***
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 130
PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
CATATAN TENTANG PERATURAN-PERATURAN REKLAME DI JAKARTA oleh
Amalia Puri Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 146
Pada Agustus 2003, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Jakarta Development Watch (Jadewa) berunjuk rasa menolak pembangunan patung Jenderal Sudirman.1 Pembangunan patung senilai sekitar Rp6,6 miliar itu didanai oleh PT. Patriamega dengan kompensasi pemberian dua titik reklame di daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat.2 Lokasi kedua titik reklame itu juga tidak sesuai dengan Rencana Tata Letak Bangunan Reklame. “Kalau tata letaknya saja salah, sudah pasti ada kesalahan dan rekayasa dalam pembangunan patung Sudirman itu,” ujar Santoso, koordinator lapangan Jadewa.3 Penentuan titik pembangunan reklame tentu saja tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Pemerintah daerah menentukan titik-titik reklame dan kemudian melelangnya kepada para penyelenggara reklame. Cara lain penentuan titik adalah: penyelenggara reklame mengajukan titik reklame kepada pemerintah daerah sebagai bahan lelang. Tentu saja, salah satu alasan penyelenggara reklame menginginkan suatu titik reklame adalah karena letaknya yang strategis; dilalui banyak orang yang bisa melihatnya selayang pandang. Dalam kisah tersebut, titik pembangunan reklame hasil kompensasi berada di wilayah yang sangat strategis, yaitu Jalan Jenderal Sudirman yang merupakan wilayah bisnis. 1 “Peresmian Patung Sudirman Diwarnai Unjuk rasa,” Kompas, 16 Agustus 2003. 2 “Patung Sudirman Setinggi 11 Meter Warnai Wajah Jakarta,” Kompas, 2 Juli 2003. 3 “Peresmian Patung Sudirman Diwarnai Unjuk rasa,” Kompas, 16 Agustus 2003.
147 / PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Kompensasi atas nama bisnis memang dimungkinkan. Meskipun demikian, suatu kompensasi bisnis yang menyangkut ruang kota tentu saja patut dilakukan atas nama kota yang lebih baik demi kepentingan publik. Maka itu, pembangunan patung Sudirman dapat dipertanyakan ulang. Apakah pembangunan patung itu memang penting untuk kota—yang juga mengatasnamakan publik—atau hanya sebagai alasan agar pengusaha dapat memanfaatkan ruang publik untuk mendirikan reklamenya? Mengutip Marco Kusumawijaya, “Apa yang publik tentulah harus ditentukan bersama.”4 Dalam kasus ini, posisi publik dipertanyakan. Publik tidak dilibatkan dalam penentuan pembangunan patung, apalagi kompensasinya dengan titik-titik reklame di wilayah strategis. Menilik posisi publik dalam pembangunan reklame tentu tak lekang dari kebijakan yang mengaturnya. Reklame diatur dalam Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur. Dalam Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, disebutkan bahwa partisipasi publik hanya menyasar pada Undang-undang dan Perda, sedangkan tidak ada kewajiban untuk mengikutsertakan publik dalam Peraturan Gubernur dan juga Keputusan Gubernur. Kemudian, kebijakan itu diubah dalam UU No. 12 Tahun 2011 dengan nama yang sama. Partisipasi publik wajib dijunjung dalam segala jenis aturan, termasuk Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur terkait reklame. Namun, apakah teks peraturan itu sudah sesuai dengan penerapannya? Apakah publik sudah menjadi pertimbangan utama dalam perancangan peraturan terkait reklame? Tahapan Penyusunan Peraturan Melihat kembali tahap penyusunan peraturan dapat menjadi langkah awal kita dalam menelaah posisi publik terkait persoalan reklame. Tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan di provinsi seperti Daerah Khusus Ibukota
4 Marco Kusumawijaya, “Patung dan Komersialisasi Ruang Publik,” dalam Jakarta: Metropolis Tunggang-langgang (Jakarta: Gagas Media, 2004).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 148
Bagan 1. Tahapan Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
PERENCANAAN
PENYUSUNAN
PEMBAHASAN
PENGUNDANGAN
PENETAPAN
PENGESAHAN
Jakarta nyaris serupa dengan tahapan yang dilakukan di tingkat nasional, hanya saja aktor yang terlibat adalah aktor daerah (Bagan 1). Penyusunan peraturan perundang-undangan dimulai dari tahap perencanaan. Perencanaan diatur setiap lima tahun sekali, yang biasa disebut Program Legislasi Daerah (Prolegda). Dengan adanya Prolegda, kita bisa melihat deretan peraturan yang akan dirancang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah (Pemda) selama lima tahun masa jabatan mereka. Meskipun demikian, masih ada kemungkinan untuk merancang peraturan di luar daftar itu. Setiap tahunnya, DPRD dan Pemda membahas kembali program perencanaan itu. Dalam tahap ini, publik dapat mengajukan isu-isu yang dekat dengan kehidupan mereka untuk diatur dalam Perda. Itulah salah satu kesempatan publik untuk turut berpartisipasi. Tahap selanjutnya adalah penyusunan. Tahapan itu dapat dilakukan oleh DPRD dan juga dapat dilakukan oleh Dinas terkait. Sepanjang pengamatan kami, usulan Perda cenderung diajukan oleh Dinas terkait. Dengan demikian, peluang untuk berpartisipasi dalam tahap itu dapat dilakukan dengan menghubungi Dinas terkait atau Biro Hukum Pemda. Setelah melalui tahap penyusunan, DPRD melakukan pembahasan. Sedikit berbeda dengan tahapan di tingkat nasional, pembahasan di Jakarta cenderung hanya makan waktu kurang lebih dua minggu.5 Dari situ, terlihat bahwa pembahasan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan secara kurang mendalam. Padahal, tahapan itu merupakan titik krusial, dan 5 Reny R. Pasaribu, dkk, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009).
149  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
merupakan celah bagi publik untuk berpartisipasi dalam pembuatan Perda. Sebagai bentuk partisipasi, publik dapat meminta untuk diundang dalam proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau juga bisa menyampaikan masukan secara tertulis kepada DPRD. Masalahnya, selama ini, DPRD DKI Jakarta tidak pernah memberikan informasi yang memadai tentang rancangan Perda yang sedang dibahas, tahapan yang sedang dijalani suatu rancangan perda, dan cara atau tempat untuk memperoleh dokumennya. Bahkan, DPRD DKI Jakarta tidak memiliki laman resmi yang dapat diakses oleh publik. Informasi lengkap tentang rancangan Perda dan juga agenda rapat pembahasan tidak dapat ditemukan publik. Pun jika DPRD DKI Jakarta mengundang perwakilan masyarakat, hal yang sering terjadi adalah: undangan diberikan secara mendadak dan tidak disertai dengan materi pembahasan yang mumpuni. Tahapan selanjutnya adalah pengesahan. Tahapan itu sebenarnya hanya bersifat formalitas saja karena segala remeh-temeh wacana Perda sudah selesai pada tahap pembahasan. Jadi, pengesahan hanyalah pembubuhan tanda tangan Gubernur sebagai tanda persetujuan atas Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) dan juga penambahan kalimat “Peraturan Daerah ini dinyatakan sah�. Tak ubahnya dengan tahapan selanjutnya, yang seolah merupakan garapan administratif saja, yaitu tahap penetapan. Tahapan penyusunan peraturan daerah lalu berakhir di tahap pengundangan, yaitu berupa pemberian tanggal dan juga pemberian nomor dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah. Peraturan Terkait Reklame Peraturan terkait reklame memegang peranan besar dalam persoalan reklame di ruang publik. Jika reklame yang sudah diatur melalui kebijakan saja masih merenggut ruang untuk publik, apalagi kalau dibebaskan begitu saja? Ruangruang publik bisa jadi semakin dikuasai dunia kapital dan menyingkirkan publik di kotanya sendiri. Di Jakarta, pengaturan terkait reklame sudah dimulai sejak 1976 dan terus diperbarui seiring dengan perkembangan reklame. Pengaturan reklame cenderung menitikberatkan penambahan titik reklame dan pembentukan organisasi untuk mengawasi pajak reklame. Selain itu, tujuan pengaturan reklame pun juga mengalami perubahan (Tabel 8).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 150
Tabel 8. Peraturan Terkait Reklame di DKI Jakarta.
No.
Jenis Peraturan
Nomor
Tahun
Judul
1
Keputusan Gubernur
B.V-6882/b/1
1976
Penunjukan Badan-badanPerusahaan yang Dapat Memberikan Izin Reklame
2
Peraturan Daerah
11
1977
Penetapan Kembali Peraturan Pajak Reklame Jakarta
3
Keputusan Gubernur
672
1978
Prosedur Memperoleh Izin Pemasangan Reklame (Billboard) di Wilayah DKI Jakarta
4
Keputusan Gubernur
480
1990
Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penataan dan Pengembangan Reklame (TKP3R) DKI
5
Keputusan Gubernur
121
1991
Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penataan dan Pengembangan Reklame (TKP3R) DKI
6
Peraturan Daerah
1
1992
Penggunaan Bahasa Indonesia pada Papan Nama, Papan Petunjuk, Kain Rentang, dan Reklame di Wilayah DKI Jakarta
7
Peraturan Daerah
8
1998
Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame
8
Keputusan Gubernur
37
2000
Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame
9
Keputusan Kepala Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta
68
2000
Petunjuk Teknis pelayanan Penertiban Rencana Tata Letak Bangun-bangunan Reklame (RTL)
10
Keputusan Gubernur
76
2000
Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan dan Kelayakan Menggunakan Bangunan di Propinsi DKI Jakarta
11
Keputusan Gubernur
112
2000
Cara Pelelangann Titik Reklame
151  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
12
Keputusan Gubernur
132
2000
Pola Peletakan Reklame di Propinsi DKI Jakarta
13
Keputusan Gubernur
133
2000
Penetapan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
14
Keputusan Gubernur
46
2001
Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Reklame di Luar Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
15
Keputusan Gubernur
127
2001
Perubahan atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame
16
Keputusan Gubernur
55
2002
Penambahan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana
17
Peraturan Daerah
2
2004
Pajak Reklame
18
Peraturan Daerah
7
2004
Penyelenggaraan Reklame
19
Keputusan Gubernur
14
2004
Penyelenggaraan Reklame dalam Bentuk Baliho, Umbul-umbul, dan Spanduk
20
Keputusan Gubernur
45
2004
Penambahan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
21
Peraturan Gubernur
14
2005
Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta
22
Keputusan Gubernur
53
2005
Penambahan Titik Reklame di Kawasan Patung Tani Kotamadya Jakarta Pusat
23
Peraturan Gubernur
53
2005
Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta
24
Peraturan Gubernur
133
2005
Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta
25
Peraturan Gubernur
139
2005
Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Patung Pemuda Bundaran Senayan Kotamadya Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  152
26
Keputusan Gubernur
1066
2005
Pemanfaatan Titik Reklame kepada PT Level Depan Utama atas Pembangunan Air Mancur dan Lansekap Patung Diponegoro di Jalan Diponegoro Kotamadya Jakarta Pusat
27
Peraturan Gubernur
23
2006
Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Kendali Ketat di Provinsi DKI Jakarta
28
Peraturan Gubernur
57
2006
Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Patung Tani Kotamadya Jakarta Pusat
29
Peraturan Gubernur
2008
Penetapan 15 (Lima Belas) Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
30
Peraturan Gubernur
105
2008
Penataan Penyelenggaraan Reklame di Atas Kali Ciliwung Sepanjang Mada-Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Ir. Juanda-Jalan Veteran
31
Instruksi Gubernur Propinsi DKI Jakarta
13
2009
Penghentian Sementara Proses Perijinan Penyelenggaraan Reklame pada Prasarana Kota
32
Peraturan Gubernur
50
2009
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Selatan
33
Peraturan Gubernur
51
2009
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
34
Peraturan Gubernur
52
2009
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Utara
35
Peraturan Gubernur
61
2009
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Barat
86
Rentetan peraturan terkait reklame tersebut mengungkapkan beberapa hal. Pertama, perubahan peraturan terkait reklame menunjukkan adanya pergerakan akan pengertian reklame itu sendiri yang terlihat dari perubahan definisi reklame (Tabel 9).
153  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Tabel 9.  Definisi Reklame yang Tercantum dalam Peraturan Terkait Reklame
No.
1
2
3
Jenis Peraturan
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah
Nomor
11
1
8
Tahun
1977
1992
1998
Judul
Definisi Reklame
Penetapan Kembali Peraturan Pajak Reklame Jakarta
Reklame adalah benda, alat atau perbuatan, yang menurut bentuk susunan dan atau corak ragamnya dengan maksud untuk mencari keuntungan (sales promotion) dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan sesuatu barang, jasa atau seseorang ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau seseorang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari sesuatu oleh umum.
Penggunaan Bahasa Indonesia pada Papan Nama, Papan Petunjuk, Kain Rentang, dan Reklame di Wilayah DKI Jakarta
Reklame adalah benda, alat, atau perbuatan lain yang menurut bentuk, susunan, dan atau corak ragamnya dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan sesuatu barang, jasa atau seseorang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, atau seseorang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum.
Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame
Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan atau corak ragamnya untuk tujuan komersil dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang atau badan yang diselenggarakan/ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  154
4
5
6
Keputusan Gubernur
Peraturan Pemerintah
Peraturan Daerah
37
65
2
2000
2001
2004
Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame
Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan atau corak ragamnya untuk tujuan komersil dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang atau badan yang diselenggarakan/ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pajak Daerah
Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan atau corak ragamnya untuk tujuan komersil dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang atau badan yang diselenggarakan/ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pajak Reklame
Reklame adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
155  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
7
8
9
Peraturan Daerah
UndangUndang
Peraturan Daerah
7
28
12
2004
2009
2011
Penyelenggaraan Reklame
Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan/ atau cocok ragamnya untuk tujuan komersial dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan suatu barang, jasa, ataupun untuk menarik perahatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang, atau badan yang diselenggarakan/ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Reklame adalah benda, alat, oerbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
Pajak Reklame
Reklame adalah benda, alat perbuatan atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/ atau dinikmati oleh umum.
Setelah didefinisikan sebelumnya dalam Perda No. 11 Tahun 1977, definisi reklame mengalami perubahan dalam Perda No. 8 Tahun 1998. Reklame tidak lagi terbatas pada benda, alat, atau perbuatan, tetapi juga termasuk media dengan tujuan komersial. Kemudian, reklame juga tidak hanya merujuk barang, jasa, atau orang, tetapi Perda No. 8 Tahun 1998
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 156
juga menyertakan badan6 sebagai pihak yang dapat diperkenalkan. Cara mempresentasikan reklame pun diperluas; tidak hanya ditempatkan, bisa juga diselenggarakan. Selain itu, perubahan yang cukup berarti adalah mengecualikan pemerintah sebagai aktor yang dapat menyelenggarakan reklame. Perubahan definisi reklame juga terjadi dalam UU No. 28 Tahun 2009, yaitu reklame juga dapat dirasakan dan juga dinikmati, selain dilihat, dibaca, dan didengar—seperti yang sudah ada dalam definisi sebelumnya. Ada pula perubahan dalam tujuan reklame. Reklame tak hanya memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan. Namun, sesuatu yang menarik perhatian juga masuk dalam definisi reklame. Perubahan akan definisi tersebut mengungkapkan bahwa pengertian reklame diperluas. Hal itu pun diikuti dengan menambahkan bentuk reklame—masih dalam Perda yang sama—yaitu reklame megatron/videotron/ Large Elektronik Display (LED) dan reklame udara. Perluasan definisi reklame tersebut tentu saja juga berdampak pada penambahan objek pajak yang ditarik menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penyelenggara reklame juga kerap menampilkan bentuk reklame baru. Itu pulalah yang ditangkap Pemda untuk melengkapi definisi dan jenis reklame di Perda tentang Penyelenggaraan Reklame selanjutnya. Namun, Pemda tak jarang terlambat menangkap fenomena itu. Kejar-kejaran definisi itu menunjukkan betapa reklame dijadikan sebagai objek untuk memenuhi pundi-pundi pemasukan daerah. Hal tersebut semakin didukung dengan penjelasan dalam bagian Menimbang yang ada dalam peraturan-peraturan terkait reklame. Itu menjadi bagian kedua yang terungkap melalui rentetan peraturan terkait reklame. Dalam Perda No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, yang merupakan peraturan terkini yang mengatur reklame, pada bagian Menimbang, disebutkan bahwa peraturan itu dirancang karena perlu sinergi dalam rangka penataan ruang kota yang terarah dan terkendali untuk meningkatkan Pendapatan 6 Badan adalah suatu bentuk badan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk dan badan usaha lainnya.
157 / PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Asli Daerah (PAD) serta meningkatkan pelayanan penyelenggaraan reklame. Tak ayal, peraturan-peraturan yang mengatur reklame sebelumnya juga menyebutkan tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah, seperti Perda No. 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame, Keputusan Gubernur (Kepgub) No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame, Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Pajak Reklame, dan Perda No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. Kebutuhan untuk mengurus keuangannya sendiri menggiring Pemda menggali potensi daerahnya, termasuk pendapatan dari reklame. Hal itu terlihat dari peraturan-peraturan yang tercetus tak jauh dari tujuan peningkatan pendapatan. Perda dan Kepgub yang disahkan selama lima belas tahun terakhir cenderung mengulik penambahan titik reklame, pengurusan perizinan, dan juga pajak reklame. Kebutuhan itu jadi meminggirkan kepentingan tata ruang—yang merupakan ranah kepentingan publik, meskipun disebut tetap menjadi bahan pertimbangan.7 Sementara itu, seperti yang disebutkan dalam media massa dan sudah menjadi persoalan menahun,8 ada banyak reklame ilegal yang malah merugikan daerah karena tidak memberikan pemasukan. Keberadaan reklame ilegal yang tak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan daerah—padahal berpotensi besar—sampai-sampai memunculkan pembentukan organisasi dan tata kerja unit pemeriksaan pajak reklame per wilayah di Jakarta pada 2009. Memang, peraturan-peraturan terkini, setidaknya demikian yang disebutkan dalam peraturan, tidak mengesampingkan tata ruang. Perda No. 11 Tahun 1977 tentang Penetapan Kembali Peraturan Pajak Reklame Jakarta menyatakan dalam bagian Menimbang bahwa semakin banyak pemasangan reklame sehingga diperlukan usaha penertiban yang menyangkut keindahan dan kebersihan kota. Namun, pertimbangan dalam pembentukan peraturan dalam hal itu hanya sebatas keindahan dan kebersihan kota; bukan peruntukan ruang bagi publik. Sekalipun pertimbangan akan keindahan dan kebersihan 7 Tentang kecenderungan pemerintah daerah untuk meningkatkan pajak daerah ketimbang mengurus penyelenggaraan reklame, baca tulisan Robin Hartanto, “Rimba Reklame Jakarta: Dominasi Kapital Atas Ruang Kota Kita,” dalam buku ini. 8 “Diduga Ada 500 Titik Iklan Ilegal, Pendapatan Pajak Reklame Bisa Capai Rp1 Triliun,” Kompas, 29 April 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 158
kota setidaknya memberikan gejala akan kepedulian terhadap publik yang lebih luas; tak melulu pengusaha maupun penyelenggara reklame. Angin segar bagi persoalan estetika kota sebenarnya sempat datang juga dari Perda No. 7 Tahun 2004, sekalipun hanya dalam bagian Penjelasan Pasal 19. Dalam pasal itu dan penjelasannya, disebutkan bahwa Pemda dapat memberikan kompensasi kepada penyelenggara reklame yang— salah satunya—dapat memberikan pengaruh positif terhadap estetika kota. Sayangnya, persepsi akan pengaruh positif terhadap estetika kota yang dimaksud dalam peraturan itu tidak ditengarai lebih lanjut. Perubahan dalam Perda itu dapat menimbulkan kecurigaan. Apakah pembangunan patung Sudirman pada 2003 merupakan pemantik dalam penyisipan penjelasan “pengaruh positif terhadap estetika kota”? Jika memang demikian, publik lagi-lagi digunakan sebagai alasan demi kelangsungan bisnis pengusaha dan atau penyelenggara reklame. Padahal, publik masih saja tidak diikutsertakan dalam menilai pengaruh positif terhadap estetika kota yang dimaksud. Publik Dipandang dalam Hukum Kepentingan publik, yang dalam peraturan di Indonesia biasa disebut sebagai kepentingan umum, sebenarnya juga menjadi dasar bagi Pemda untuk menentukan dan memutuskan titik-titik dan izin penyelenggaraan reklame sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 Perda No. 7 Tahun 2004. Namun, persyaratan menyangkut kepentingan umum itu, yang antara lain berbunyi, “harus mempertimbangkan norma keagamaan, keindahan, kesopanan, ketertiban umum, kesehatan umum, kesusilaan, keamanan dan lingkungan hidup” tidak disambung dengan pengaturan tentang kriteria turunan dan prosedur lanjutan dari prasyarat-prasyarat itu. Coba kita bandingkan dengan contoh peraturan terkait ketertiban umum dan lingkungan hidup berikut. Dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, ada kriteria turunan untuk tidak merusak fasilitas publik secara melawan hukum. Selain itu, ada kriteria turunan untuk tidak menimbulkan getaran, kebisingan, dan kebauan yang mengganggu dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apalagi, ada prosedur lanjutan dalam undang-undang itu yang juga
159 / PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
bisa diperbandingkan. Misalnya, adanya tahapan penilaian oleh panitia khusus yang terdiri dari gabungan ahli dan wakil organisasi masyarakat atau mekanisme banding bagi yang dinyatakan melanggar. Dengan demikian, persyaratan “mempertimbangkan norma keagamaan, keindahan, kesopanan, ketertiban umum, kesehatan umum, kesusilaan, keamanan dan lingkungan hidup” hanya menyisakan kewenangan istimewa atau diskresi luas bagi Pemda. Hal itu sangat membuka peluang terjadinya tindakan sewenang-wenang atau hanya menguntungkan pihak yang difavoritkan oleh pemerintah. Dalam konteks ini, alasan kepentingan publik justru jadi bumerang bagi publik—atau paling kurang—publik berpotensi jadi sekadar keset bagi kepentingan privat dari aparatur pemerintah dan pelaku komersial. Pada kenyataannya, istilah publik tidak pernah tercantum secara utuh dalam peraturan-peraturan daerah terkait reklame. Penyebutan yang kerap muncul hanyalah istilah penyelenggara reklame dan penyedia jasa reklame. Pihak yang dituju hanya dianggap sebagai pembayar pajak—secara implisit, dianggap sebagai konsumen reklame. Jadi, jangankan punya hak terlibat dan menentukan ruang reklame, publik Jakarta bahkan hanya dianggap sebagai calon konsumen saja. Hak publik sepenuhnya diasumsikan sudah terwakili oleh pemerintah daerah. Sebabnya, sebagaimana sudah diungkap, ruang kota selalu digenjot sebagai ruang komersial, sehingga pihak yang tak aktif dalam proses transaksi meraup keuntungan finansial tak perlu dihiraukan. Implikasinya, berbagai mekanisme yang sewajarnya melibatkan publik Jakarta tidak pernah ada dalam teks peraturan. Bahkan, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012 – 2017 pun sepertinya masih tidak peka bahwa ruang yang selama ini menjadi wadah reklame adalah ranah publik dan bukan untuk hanya dijadikan wadah kegiatan komersial. Hal itu terungkap melalui media massa yang mengatakan bahwa mereka berencana mengganti semua reklame menjadi LED, yang akan membuat reklame semakin banyak muncul di ruang publik.9 9 Deny Yuliansari, “Reklame akan Gunakan Sistem LED,” antaranews.com, 13 Februari 2013. Tautan: http://
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 160
Memang, tidak mudah mengungkap dan menjabarkan konsep publik dalam hukum Indonesia. Sejarah penggunaan hukum yang berfokus pada ketertiban sejak masa kolonial membuat perundang-undangan lebih mengistimewakan negara daripada peran rakyatnya. Istilah hukum publik yang lumrah di banyak negeri justru tak ditemukan dalam kamus hukum Indonesia. Publik tercantum dalam berbagai istilah: rakyat,10 masyarakat,11 kepentingan umum,12 warga negara.13 Apalagi, pada rezim Orde Baru, stabilitas politiklah yang dijadikan syarat utama pertumbuhan ekonomi. Negara cenderung menjadi paranoid terhadap segala jenis aktivitas rakyat yang dianggap mengganggu atau memperlambat laju program pembangunan. Kata publik bisa berarti melawan negara, bahkan bisa dituduh subversif bila kerap menyebutnya. Pencantuman kata kepentingan umum, warga negara, atau masyarakat dalam peraturan negara biasanya lebih dimaksudkan untuk pendisiplinan; bukan memberi peran, apalagi memberdayakan. Masa reformasi—yang dimaksudkan untuk membongkar kerangkeng otoritarian—memang mempercepat dan memperluas konsep publik dalam perbincangan politik, hukum, dan ekonomi di Indonesia. Berbagai peraturan perundang-undangan memuat partisipasi publik. Pada 2002, publik muncul dalam UU No. 32 tentang Penyiaran—untuk pertama kalinya—yang dengan tegas dan jelas mencatumkan konsep publik yang utuh. Pasal 1 Ketentuan Umum butir 8 “Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.”
bit.ly/12Ll8gp. Diakses pada 29 Mei 2013. Lebih jauh tentang fenomena ini, baca tulisan Leonhard Bartolomeus, “Menuju Jakarta Modern: Selamat Tinggal Billboard, Selamat Datang LED,” dalam buku ini. 10 Penggunaan istilah rakyat dapat dilihat dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 11 Penggunaan istilah masyarakat dapat dilihat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 12 Penggunaan istilah kepentingan umum dapat dilihat dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. 13 Penggunaan istilah warga negara dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
161 / PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Pasal tersebut menyebutkan “ranah publik” yang baru pertama kali masuk dalam peraturan perundang-undangan dengan menyampirkannya bersama sumber daya alam terbatas. Artinya, regulasi harus diterapkan; tidak bisa dimonopoli. Pentingnya, publik dianggap sebagai entitas yang berbeda dari negara, tetapi juga tidak bersifat perorangan, apalagi hanya kerumunan. Publik dapat mempunyai hak “menguasai”. Karena itu, publik punya hak atas suatu hal/ranah, apalagi atas sumber daya alam yang terbatas. Gugatan atas monopoli penyiaran tersebut, pernah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review (pengujian peraturan perundangundangan) tentang Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran diajukan oleh Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP). Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2002 sampai saat ini, substansi dari konsiderans butir e14 belum terwujud. Konsiderans b berbunyi bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita proklamasi. Argumen tersebut dapat diberlakukan dalam ranah reklame media luar ruang. Wilayah ruang bisa dianggap sama dengan frekuensi radio sebagai ranah publik dan terbatas. Sudah terbatas, kualitasnya pun tidak baik. Namun, upaya untuk membuat publik berperan aktif dalam hukum Indonesia tidak berhenti. Pada 1982, UU No. 4 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat konsep peran serta masyarakat dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Sejak itu, peran aktif publik perlahan mulai masuk di berbagai perbincangan hukum. Peran serta masyarakat mulai diangkat dalam peraturan-peraturan lain, bahkan tidak sebatas tingkat undang-undang. Sebut saja peraturan terkait tata ruang yang juga sudah meruakkan peran serta masyarakat, seperti yang terlihat dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
14 Konsiderans butir e UU No. 32 Tahun 2002 berbunyi bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras, seimbang antara kebebasan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 162
1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, Perda No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2000–2010, dan Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan.15 Peran serta masyarakat tak hanya berjibaku dalam peraturan perundangan-undangan saja. Jika kita melihat dalam ranah pengadilan misalnya, pada akhir 1980-an, mulai diperkenalkan mekanisme class action. Sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh perusahaan atau negara bisa mengajukan gugatan bersama-sama di pengadilan. Pada awal 1990-an, juga muncul peraturan yang mensyaratkan suatu kegiatan usaha harus melewati prosedur analisis dampak lingkungan. Hal itu membuka ruang lebar kepada kelompok-kelompok kepentingan publik untuk terlibat aktif memberikan data dan penilaian. Partisipasi Publik dalam Hukum Setelah menguak peraturan terkait reklame, pernyataan bahwa publik memiliki ruang untuk berpartisipasi bisa dipertanyakan kembali. Namun, benarkah publik memang tidak memiliki tempat dalam kebijakan tentang reklame? Sebelum 1998, publik tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam menentukan kebijakan. Konstitusi lalu mengalami perubahan setelah reformasi sehingga menjadikan penentu kebijakan yang awalnya berada di tangan eksekutif kini terambil alih menjadi berada di bawah DPR sebagai lembaga legislatif. Situasi politik saat itu pun memicu masyarakat untuk ingin berperan serta dalam penentuan kebijakan sehingga menuntut adanya partisipasi publik. Saat itu, tata cara pembuatan peraturan tidak pernah diatur dalam suatu peraturan resmi, apalagi ketentuan untuk mewadahkan partisipasi publik. Hal itulah yang memicu pembentukan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Di situlah, peraturan tentang partisipasi publik berhasil diperjuangkan. Undang-undang itu
15 Suryono Herlambang, “Jakarta: Ruang Laga Warga dan Penguasa,” dalam Mendengarkan Kota: Studi Perbandingan Kota dan Komunitas Miskin Antara Jakarta—Bangkok, Tim Peneliti Institute for Ecosoc Rights (Jakarta: Institute for Ecosoc Rights & UNDP/Partnership, 2007).
163  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
merupakan peraturan pertama yang secara tegas memberikan hak partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan. Peraturan tentang partisipasi publik itu secara jelas tercantum dalam Pasal 53, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.� Sayangnya, partisipasi itu dibatasi hanya untuk tingkat undang-undang dan peraturan daerah. Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan terus diperjuangkan. Undang-undang tersebut akhirnya digantikan oleh UU No. 12 Tahun 2011 dengan judul yang sama. Namun, UU No. 12 Tahun 2011 memiliki ketentuan yang lebih maju, partisipasi tidak lagi dibatasi pada undang-undang dan perda, tetapi juga semua bentuk peraturan perundang-undangan. Aturan itu juga disertai kewajiban bagi penyusun peraturan untuk menyediakan rancangan peraturan terbuka bagi umum. Bab Partisipasi Publik Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 1. 2.
3.
4.
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: (a) rapat dengar pendapat umum; (b) kunjungan kerja; (c) sosialisasi; dan/atau (d) seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundangundangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Seiring dengan adanya hak partisipasi publik, ada juga jaminan yang harus diberikan oleh DPRD dan Pemerintah, yaitu akses terhadap peraturan. Jika masyarakat mau berpartisipasi, pemerintah harus menjamin adanya akses terhadap perancangan peraturan yang sedang dibahas. Itulah kewajiban pemerintah yang dibebankan pada Pasal 96 ayat 4. Meskipun demikian, bentuk partisipasi tidak terlalu detail diungkapkan dalam peraturan tersebut karena dilimpahkan pada Tata Tertib atau Perda.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 164
Maka itu, beberapa daerah mengeluarkan perda partisipasi publik, seperti Aceh dan Gorontalo. Sayangnya, Jakarta sebagai ibukota justru belum membentuk perda partisipasi publik. Hal itu jualah yang berkontribusi terhadap minimnya partisipasi publik dalam pembentukan peraturan. UU No. 12 Tahun 2011 sebetulnya sudah merupakan dasar yang kuat bagi publik untuk dapat terlibat dalam aturan-aturan soal reklame. Sebenarnya, undang-undang itu sudah menyatakan bahwa publik berhak berpartisipasi dalam semua jenis peraturan perundang-undangan. Artinya, saat Pemda menentukan titik-titik reklame, warga juga harus diikutkan—terlebih penentuan titik itu justru akan berakibat kepada warga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Warga yang menerima akibat secara langsung misalnya warga yang area tempat tinggalnya menjadi titik pemasangan reklame. Warga tentu berkepentingan atas keselamatan serta keamanan dari reklame itu. Sementara itu, warga yang menerima akibat tidak langsung adalah warga secara luas yang secara sengaja atau tidak sengaja akan melihat reklame itu. Tahapan itu juga bisa dijadikan ruang pembahasan akan penggunaan jatah publik sebesar 10%—seperti yang terjadi dalam UU Penyiaran—untuk penyelenggaraan reklame nonkomersial, misalnya reklame tentang kesehatan atau kegiatan sosial budaya yang berhubungan dengan warga secara langsung. Coba kita bandingkan hak publik dalam peraturan reklame dengan aturan di bidang Penataan Ruang. Pasal 60 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang memberikan hak kepada publik untuk mendapatkan informasi rencana tata ruang, mengajukan keberatan apabila ada pembangunan yang tidak sesuai, mengajukan tuntutan pembatalan izin, dan bahkan mengajukan ganti rugi. Hal yang sama tidak terjadi dalam peraturan terkait reklame. Padahal, secara substansial, pengaturan soal reklame juga terkait dengan tata ruang secara luas. Dengan begitu, ada dua hal yang harus mulai diperhatikan. Pertama, cara efektif menimbang suara publik dalam penggunaan ruang sebagai tempat reklame, misalnya perencanaan, pembentukan peraturan, dan pengawasan. Kedua, cara menentukan jatah publik dalam penggunaan tempat reklame agar tidak semata-mata dikuasai oleh aktivitas komersial.
165  /  PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Sebagai contoh, pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berisi: Bagian Kedelapan Siaran Iklan Pasal 46 (7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat. (9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta sekurangkurangnya 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya.
Kedua ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban memberi jatah paling sedikit 10% bagi iklan layanan masyarakat. Pemberian jatah itu sebenarnya berangkat dari pemikiran bahwa publik mempunyai hak dalam jatah frekuensi; tidak melulu soal komersial ataupun kampanye politik. Melihat frekuensi yang tidak kasat mata saja dianggap sebagai hak publik, apalagi ruang media luar ruang yang keberadaannya jelas-jelas terlihat dan memakan ruang. Peraturan demikian berarti memungkinan peraturan terkait media luar ruang diperlakukan sama, yaitu pengaturan spesifik, misalnya ruang media luar sebagai ruang khusus untuk nonkomersial, termasuk dengan jumlah jatahnya yang disesuaikan dengan jatah komersial. Memang, perhitungan jatah media luar ruang untuk publik akan mendapat tantangan tersendiri. Bisa jadi, diperlukan perhitungan mendetail seberapa luas ruang publik yang dapat digunakan untuk media luar ruang. Kemudian, luas ruang publik itu dibagi-bagi untuk jatah publik dan jatah komersial. Memang, perhitungan luas ruang publik yang diperuntukkan bagi media luar ruang memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, hal itu bukan berarti tidak bisa dilakukan oleh Pemda sebagai penanggungjawabnya. Membahas perhitungan jatah publik, kita bisa melihat kembali rencana kebijakan Pemda untuk mengganti bentuk reklame menjadi LED seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Secara teknis, perhitungan jatah publik yang jelas akan lebih memungkinkan dalam bentuk LED, setidaknya dari segi perhitungan durasi. Tentu saja, perubahan reklame dalam bentuk
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 166
LED tetap tidak meninggalkan kompleksitas.16 Pemberian jatah publik dalam media luar ruang akan membuat ruang publik menjadi lebih demokratis dan juga membuatnya tak melulu soal barang jualan. Publik akan terwakili haknya dengan keberadaan media luar ruang yang menyampaikan kepeduliannya. Ruangnya tidak melulu dirampas oleh tetek-bengek komersial. Partisipasi publik memang dapat ditelisik lebih lanjut. Ada jenjang yang menunjukkan partisipasi publik dalam setiap kebijakan (Bagan 2). Biasanya, di kota-kota kecil, kehadiran tokoh yang diundang dalam proses pembahasan sudah dianggap sebagai bentuk partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik sebenarnya terjadi jika publik sudah punya kendali dan mengambil keputusan sendiri. Wacana publik sudah harus kuat sebelum masuk dalam perencanaan. Masih banyak celah untuk publik berpartisipasi dalam pembentukan peraturan, termasuk dalam ranah reklame media luar ruang. Dilihat dari proses, ada tiga bentuk partisipasi publik (Bagan 3). Pertama, seminar asosiasi di luar proses pembuatan kebijakan dapat dijadikan salah satu celah untuk masuknya partisipasi publik. Dalam kegiatan itu, publik yang diwakili asosiasi dapat mengutarakan pendapatnya tentang media luar ruang, apalagi asosiasi dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup mapan akan media luar ruang. Kedua, pada saat pembentukan peraturan, kita bisa melihat aktor-aktor dalam DPRD maupun Pemda yang terlibat dalam pembahasannya. Usaha untuk menghubungi mereka untuk memberikan informasi tentang media luar ruang merupakan proses yang sering kali efektif. Sering kali, pihakpihak itu tidak punya pengetahuan yang sama dengan publik semata-mata karena tidak punya akses terhadap pengetahuan itu. Maka itu, lobi menjadi salah satu cara untuk menyampaikannya kepada mereka secara lisan maupun tulisan. Memang, pencarian informasi menjadi bagian dari tugas mereka, tetapi ketimbang berserah diri akan pencarian mereka saja, metode antar bola patut dipertimbangkan. Ketiga, partisipasi publik melalui teknokratik. Pengetahuan dan pengalaman teknokrat dapat diberikan untuk berbicara banyak untuk mewakili kepentingan publik. 16 Lebih jauh tentang fenomena ini, baca tulisan Leonhard Bartolomeus, “Menuju Jakarta Modern: Selamat Tinggal Billboard, Selamat Datang LED,” dalam buku ini.
167 / PUBLIK YANG MENJADI LATAR BISU
Bagan 2. Titik-titik Publik Bisa Berpartisipasi.
TANGGA PARTISIPASI Sejauh Mana Pengaruh Warga dalam Kebijakan.
SEOLAH-OLAH PARTISIPATIF Proses dialog hanya pura-pura atau formalitas, sehingga pengaruh warga masih sangat kecil.
CUKUP PARTISIPATIF Warga telah ikut serta secara penuh dalam proses dialog, namun pengaruhnya masih terbatas. Forum-forum masyarakat sudah diakui dan dilembagakan.
PARTISIPASI SEJATI Sudah terjadi dialog mendalam. Warga sudah berdaya dan pengaruhnya sangat tinggi dalam keputusan.
Celah-celah tersebut dapat dimanfaatkan dalam proses pembentukan kebijakan yang terkesan begitu eksklusif. Kesadaran publik dalam konteks media luar ruang sudah muncul, meskipun masih terbatas besaran dan pengaruhnya. Sebab utama keterbatasan itu adalah ketersediaan kesempatan yang masih sangat minim bagi publik untuk berpartisipasi, baik secara formal
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 168
Bagan 3. Proses Kebijakan Publik.
dalam peraturan daerah ataupun praktik-praktik informal. Bila diletakkan dalam tangga partisipasi, situasi itu tergolong dalam tingkat “seolah-olah partisipatif ”. Hak publik untuk mendapatkan ruang publik yang layak, termasuk menegosiasikan keberadaan reklame di ruang publik, bukan saja belum dipenuhi secara memadai. Namun, hak itu juga terabaikan karena ruang publik masihlah dipandang sebagai titik-titik potensial yang bisa digunakan untuk meningkatkan pajak daerah oleh pemerintah Jakarta dan menjadi keuntungan tersendiri bagi pelaku komersial. Pertanyaannya, akankah pemasukan pajak itu digunakan kembali untuk ruang publik sendiri? Selain itu, akankah publik turut dapat memanfaatkan media luar ruang? Proses perancangan peraturan yang selama ini eksklusif, sadar atau tidak, telah diam-diam menjahit mulut publik, perlahan tapi pasti membiasakan lidah dan pita suara publik tak lagi digunakan. Lantas, apakah ruang kota hanya akan menjadi milik para penggawa dan saudagar, sedangkan publik menjadi latar bisu yang lalu lalang di keramaian jalan?
***
SEDOT WC
WARGA KOTA, DEMOKRATISASI, DAN KONSUMERISME oleh
Yuka Dian Narendra
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  180
Bagian 1. Iklan dan Imaji Warga di Ruang Urban Jakarta Seperti yang kita tahu, Jakarta adalah ibukota Indonesia. Sebagai ibukota, Jakarta harus merepresentasikan kekuatan ekonomi karena Jakarta juga merupakan pusat dari kegiatan ekonomi negara. Sebagai sebuah produk peradaban modern, Jakarta dituntut untuk selalu dapat memfasilitasi berbagai praktik ekonomi yang dilakukan oleh warganya, baik secara kolektif maupun individual, baik yang terorganisasi dalam jejaring kapitalisme modern maupun yang berupa perdagangan tradisional. Mulai dari pasar, toko, hingga mal mewah; dari gerobak hingga distro; dari bisnis online hingga transaksi dan investasi jutaan dolar. Dalam ekonomi kapitalistik seperti sekarang, sebuah kota dapat memenuhi perannya sebagai representasi kekuatan ekonomi negara melalui infrastruktur yang memadai, tingginya mobilitas manusia dalam pertukaran barang dan jasa, hingga kehadiran berbagai bentuk visualitas yang merepresentasikan kapitalisme dalam tataran yang paling banal, yaitu, pertama, iklan pada papan reklame dan beragam media lainnya, kedua, merek-merek yang tampil dalam iklan-iklan tersebut, dan ketiga, transaksi atas barang dan jasa yang diharapkan akan terjadi setelah warga kota—konsumen dari iklaniklan tersebut—menanggapinya dengan cara membeli. Kota, dalam konteks ini, menjadi penanda dari konsumerisme. Sejalan dengan itu, kebudayaan konsumen menjadi representasi dari kebudayaan kota.
181 / SEDOT WC
Jakarta kini dimaknai oleh kehadiran gedung-gedung pencakar langit dan superblok megah. Iklan-iklan di ruang kota yang ada di antara kawanan arsitektur itu menandai ledakan visual yang terjadi pada paruh terakhir abad ke-20 dan semakin kompleks lagi di abad ini melalui sinergi canggihnya teknologi simulasi dan digitalisasi. Gambar yang bergerak dan berpijar dengan terangnya, silih berganti dengan padatnya informasi audio-visual, merupakan pemandangan sehari-hari manusia urban kontemporer. Tidak hanya di ruang publik kota, bahkan di kamar tidur sekalipun. Hal itulah yang mungkin tidak terbayangkan oleh Walter Benjamin ketika ia menuliskan “The Works of Art in the Age of Mechanical Reproduction” pada 1936.1 Benjamin mengatakan bagaimana penerapan reproduksi mekanis khas industri manufaktur ke dalam praktik berkesenian telah membuat karya seni—sebagai wajah suatu peradaban—kehilangan konteks ruang dan waktu, bahkan kehilangan aura peradabannya. Reproduksi mekanis tidak dapat mencegah masuknya logika akumulasi kapital ala kapitalisme, karena reproduksi mekanis terkait erat dengan persoalan kapasitas produksi (yang berkorelasi dengan kuantitas dan konsistensi hasil), dan tidak lupa, dengan penggunanya (yang kemudian dikenal dengan sebutan “konsumen”). Reproduksi mekanis sebagai sebuah praktik kultural dalam gambaran Benjamin merupakan sebuah pabrik peradaban maha besar, lengkap dengan deretan ban-ban berjalan dan mesinmesin produksi besar yang sibuk mencetak peradaban secara masif, massal, dan dalam kualitas yang tetap sama.2 Imaji serupa digambarkan oleh Charlie Chaplin dalam film Modern Times yang ia produksi pada 1936, tahun yang sama dengan tulisan Benjamin dibuat.3 Pada sebuah situs urban kontemporer, iklan tidak lagi hanya tampil dalam bentuk reklame di ruang publik yang diam dan tanpa suara. Teknologi simulasi telah memungkinkan reklame bergerak dan bersuara, seperti halnya iklan di media televisi. Teknologi simulasi telah
1 Walter Benjamin, “The Works of Art in the Age of Mechanical Reproduction,” 1936, yang dimuat kembali dalam Walter Benjamin, Illuminations: Essays and Reflections (New York: Schocken Books, 1969), dan dalam Art in Theory 1900–1990: An Anthology of Changing Ideas, Charles Harrison & Paul Wood, ed. (Wiley-Blackwell, 1993). 2 Ibid, hlm. 217–253. 3 Modern Times (Charlie Chaplin, 1936).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 182
memungkinkan reklame bermetamorfosa ke dalam wujud baru yang lebih “naratif ”—meminjam metode film yang bertutur dan berurutan. Jakarta dalam hal ini adalah situs yang menarik untuk dicermati. Di Jakarta, representasi hiper-modernitas melalui ledakan konsumsi media jagat maya berhadapan sekaligus bersinergi dengan berbagai persoalan sosial khas Dunia Ketiga seperti kemiskinan, ketidakadilan, maupun layanan publik yang buruk. Keduanya kemudian masih harus tergerus oleh deru kapitalisme yang tiada henti menggempur setiap sudut kota melalui kehadiran kendaraan bermotor (yang menghasilkan kemacetan luar biasa), pabrik-pabrik (yang menyisakan pencemaran lingkungan), pembangunan fisik kota yang didorong oleh logika pertumbuhan ekonomi dan konsumsi (yang membuat permukiman harus beradaptasi dengan pembangunan superblok, mal, hingga deretan ruko). Seolah mengacu pada gambaran tentang Neo Seoul 2144 dalam film Cloud Atlas4 dan juga kehidupan kota masa depan dalam film-film fiksi ilmiah lainnya, masyarakat kelas atas digiring untuk tinggal menjulang ke atas, menjauh dari bumi yang seharusnya dipijak. Mereka tinggal dalam lingkungan yang bersih (steril) dan aman (terisolasi). Seolah dengan menjauhnya mereka dari bumi, mereka akan semakin terhindar dari segala macam persoalan sosial kota seperti ancaman kemiskinan, penyakit, kotoran, polusi, kejahatan, dan lainnya. Sementara itu, masyarakat kelas bawah harus bertahan hidup di underworld, di tengah situasi kota layaknya gambaran dalam film-film fiksi ilmiah: kota di dunia pasca-perang nuklir nun jauh di masa depan. Di tengah dua situasi kota yang tergerus oleh deru kapitalisme itu, satu perspektif yang hendak dikedepankan di sini adalah, bahwa para penentu kebijakan kota dalam konteks maraknya iklan di ruang kota, dan pelaku industri periklanan yang dianggap bertanggung-jawab atas ledakan visual iklan itu adalah warga kota itu sendiri. Dengan demikian, seharusnya warga tidak sulit untuk membayangkan ruang kota Jakarta sebagai kota yang rapi, bersih, dan teratur secara visual. Tidak sulit pula seharusnya bagi penentu kebijakan untuk membayangkan diri mereka dalam posisi warga kebanyakan yang masih
4 Cloud Atlas (Lana Wachowski, Tom Tykwer, dan Andy Wachowski, 2012).
183 / SEDOT WC
memiliki hak untuk hidup tanpa bombardir konsumerisme, karena mereka adalah warga itu sendiri. Persoalannya malah terbalik, para penentu kebijakan dan produsen iklan justru—entah sadar atau tidak—menggunakan posisi strategis mereka sebagai warga justru untuk meningkatkan keberlihatan iklan pada titik-titik tertentu. Mereka menggunakan posisi strategis tersebut justru untuk memasukkan iklan ke ruang-ruang privat (seperti dengan mengecat rumah dan warung kaki lima di kawasan permukiman), sehingga batas antara ruang publik dengan ruang privat warga Jakarta tampak meledak dan terbaur. Yang menjadi persoalan dari ledakan ini, praktik beriklan yang dilakukan oleh para penentu kebijakan dan produsen iklan dianggap bagaikan kanonkanon—seperti halnya kanon sastra ataupun kanon kebudayaan lain—oleh warga kota lainnya. Warga kota Jakarta yang bergerak dalam perdagangan barang dan jasa kecil hingga menengah kemudian mencontoh, meniru, dan mengikuti cara beriklan kapitalis. Warga kota pengusaha kecil dan menengah mereproduksi gagasan beriklan kaum kapitalis melalui praktik peniruan dan reproduksi yang kacau dan tidak terkendali, menganggap praktik beriklan tersebut seolah-olah sebagai praktik kultural yang terformulakan dan sudah benar. Akibat dari reproduksi gagasan tersebutlah kita dengan getirnya dapat menikmati Jakarta yang berbeda, Jakarta yang luruh dalam narasi dominan kapitalisme global secara visual. Dalam perspektif tersebut, kita dapat melihat kembali Jakarta melalui relasi antara peruntukan permukiman, wujud fisik arsitektur, dan infrastruktur kotanya, dengan tampilan iklan yang menghias dinding-dinding kota tersebut. Untuk itu, Jakarta bisa dipetakan dalam lima zona besar. Zona Pertama, kawasan bisnis, tempat gedung-gedung pencakar langit dan superblok mewah. Kawasan seperti ini dapat ditemukan di sekitar Sudirman–Thamrin, maupun daerah Slipi, Pancoran, Kasablanka, dan Kuningan. Zona Kedua, kawasan permukiman “ baru”, tempat apartemen, perumahan mewah, dan mal-mal megah, seperti yang berada di daerah Pondok Indah, Permata Hijau, Pantai Indah Kapuk, Sunter, Kelapa Gading, Ancol, dan seterusnya. Zona Ketiga, kawasan permukiman “ lama”, yang dibangun semasa 1950-an hingga 1970-an. Menteng, Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Tebet, Kemang hingga Warung Buncit dan Pejaten, Rawamangun hingga Pisangan, Tanjung Duren hingga
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 184
Grogol, Pluit, Senen hingga Manggarai, Duren Sawit hingga Kalimalang, dan lain-lainnya termasuk dalam kawasan macam ini. Zona Keempat, kawasan perdagangan dan industri, tempat banyak terminal besar, toko, pasar besar, gudang dan pabrik berada. Kawasan seperti ini dapat ditemukan di sebagian Tanah Abang, Senen, Jatinegara, Pulo Gadung, Cakung, Condet, sebagian Pondok Labu dan Lebak Bulus, Ciledug, Glodok hingga Mangga Besar, Pasar Baru, Pasar Pagi, sebagian Jakarta Kota, Jelambar, Jembatan Tiga hingga Jembatan Lima, dan lainnya. Zona Kelima, kawasan interseksi. Kawasan ini merupakan kawasan yang terhimpit di antara keempat zona di atas. Permukiman dan perkampungan tengah kota di mana pun yang terimpit oleh kehadiran mal mewah, apartemen dan superblok, jalan layang dan tol dalam kota. Mari kita mulai tur Jakarta kita. Zona Pertama: Penyejajaran “Warga” dan “Pendatang” Di Zona Pertama ini kita dapat menikmati sajian iklan-iklan produk mutakhir. Mulai dari televisi, mobil hingga jasa perbankan, baik kapitalis lokal hingga internasional. Medium yang dipergunakan juga beragam, mulai dari billboard maha besar hingga panel LED nan meriah. Ada pula neonbox berukuran besar terpampang di pinggir jalan dan sebagian lagi menempel pada bangunan, baik gedung maupun infrastruktur kota seperti jembatan penyeberangan, halte bus, dan lain-lain. Yang menarik dari pemandangan zona ini adalah tampilnya kesan “ingin menciptakan” keteraturan. Kendati perang iklan memang merupakan sebuah keniscayaan yang tak terelakkan, namun perang itu terlokalisasi dengan baik sehingga tidak menimbulkan rusaknya penampilan bangunan atau ruang-ruang publik. Warga kota diberikan keleluasaan untuk menikmati pemandangan kota sebagai seorang “flaneur”,5 akan tetapi pada saat yang sama, ia tetap menjadi warga kota yang diperhitungkan kenyamanannya. Inovasi terbaru dalam hal tersebut adalah menjadikan bangunan superblok sebagai panel LED untuk kepentingan estetis. Mall Taman Anggrek 5 “Flaneur” adalah karakter manusia urban (manusia modern) yang digambarkan Walter Benjamin dalam Illuminations: Essays and Reflections (New York: Schocken Books, 1969). Karakter ini dianggap sebagai representasi peradaban modern, ketika manusia mencoba mendefinisikan lagi kemanusiannya dalam perubahan zaman yang didorong oleh dinamika mesin-mesin besar kapitalisme.
185 / SEDOT WC
(MTA) adalah mal pertama yang melakukan hal tersebut. Seluruh dinding luar bangunan menjadi medium visual bergerak yang cantik dan sangat terang, serta dapat dinikmati oleh semua orang yang bergerak di kawasan Slipi menuju Grogol ataupun sebaliknya. Demikian pula jika kita menyusuri ruas Jalan Jenderal Sudirman–Jalan M.H. Thamrin. Dua mal megah di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, yaitu Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, secara visual telah merepresentasikan kapitalisme global tanpa harus meneriakkan merek-merek internasional melalui papan reklame, neonbox, dan billboard dengan lantang. Kawasan ini secara arsitektural telah memenuhi perannya menggantikan media iklan karena di kawasan inilah kantor-kantor pusat dari berbagai mesin kapitalisme global hadir. Dalam hal ini wajar bila kehadiran reklame tidak lagi menjadi penting sehingga reklame bisa hadir seperlunya dalam ruang-ruang yang lebih publik sifatnya, seperti halte bus, baik halte Transjakarta maupun halte bus biasa. Reklame-reklame yang hadir itu kebanyakan berupa iklan layanan jasa perbankan, telekomunikasi, dan produk elektronik yang berkaitan dengan telekomunikasi. Tentu saja, iklan sabun cuci dan kopi tidak relevan karena kawasan ini merupakan pusat dari arus kapital di Indonesia. Dari deretan iklan yang tampak dalam suatu kawasan, kita dapat membaca kepada siapa iklan-iklan itu berbicara. Iklan-iklan itu memanggil mereka yang dianggap sebagai “warga” kawasan ini, yaitu para pekerja kantoran. Merekalah yang menghuni gedung-gedung kantor pencakar langit di kawasan ini. Sementara kelompok yang dianggap hanya sebagai pendatang dan bukan warga—sehingga tidak ada iklan yang berbicara untuk mereka— adalah kelompok yang melayani pekerja kantoran itu, seperti tukang ojek, sopir angkutan umum, tukang rokok, pemilik warung kaki lima, dan semacamnya. Ini menjadi jelas, karena mana mungkin jasa asuransi yang ditawarkan oleh institusi keuangan internasional—bermerek internasional—berbicara untuk kaum miskin kota? Menjadi sangat mungkin jika yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa kelompok masyarakat yang melayani “warga” kawasan ini adalah yang justru tinggal di kampung-kampung di belakang bangunanbangunan megah tersebut. Hal ini menjelaskan bagaimana iklan dalam ruangruang kota seperti ini dapat dibaca sebagai tersejajarkannya makna “warga”
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  186
dan “pendatang.� Iklan di ruang kota, dalam kasus kawasan ini, dapat pula menjelaskan bagaimana keberpihakan negara terhadap pemilik modal karena negara membiarkan terjadinya sinergi arsitektur kota dengan media iklan beserta muatan pesan yang disampaikan, hanya berbicara untuk kelompok tertentu saja, yaitu kelompok yang melayani mesin-mesin besar kapitalisme. Zona Kedua: Real-estate, Iklan, dan Ilusi Kelas Menengah Baru Di Zona Kedua ini, kita dapat menemukan iklan produk rumah tangga yang memiliki merek tertentu dalam medium dan penyajian visual yang mewah, namun pada saat yang sama kita juga tidak mampu menolak kehadiran iklan partai politik dengan cara penyajian (baik desain maupun medium iklan) yang sama sekali tidak inovatif. Mal-mal mewah dekat permukiman mewah di kawasan ini berteriak tentang merek-merek internasional sementara di balik mal-mal tersebut, hunian asri seharga miliaran rupiah hampir tidak tersentuh oleh serangan iklan. Kawasan ini merupakan kawasan yang dibangun pada masa Orde Baru, ketika kelas menengah baru ibukota lahir dan kawasan sub-urban warisan Sukarno (seperti Kebayoran Baru, Menteng, Rawamangun, dan lain-lain) mulai padat dan kehilangan maknanya sebagai hunian. Kawasan ini dibangun sebagai proyek perluasan Jakarta yang sedang berbenah diri untuk menjadi pusat arus kapital Indonesia. Mal sendiri merupakan gejala dekade 1990-an yang bagai jamur di musim hujan menyebar cepat ke seluruh pelosok Jakarta hingga kemudian ke berbagai kota di pulau-pulau besar Indonesia. Permukiman yang disediakan oleh negara kemudian beralih menjadi permukiman swasta yang dikemas menjadi real-estate, sebuah model permukiman yang sebenarnya bertentangan dengan gagasan urbanitas— gagasan yang menganjurkan untuk tinggal di tengah kota, walau dalam apartemen. Dalam kawasan ini, masih terdapat pemisahan yang jelas antara ruang untuk beriklan dengan ruang privat yang diperuntukkan bagi warga. Iklan dalam berbagai medium yang inovatif hadir di simpang besar dan kehadirannya melengkapi mal dan kawasan niaga yang menunjang mal dan real-estate tersebut. Iklan-iklan itu hadir demi memenuhi tugas dan kodratnya untuk
187 / SEDOT WC
memengaruhi warga dengan berbagai bujuk-rayu konsumerisme, namun dengan penampilan yang cantik, sesuai dengan tren visual dunia. Iklan-iklan ini menawarkan sebuah “dunia lain” yang indah dan nyaman jika kita mampu membelinya. Narasi seperti ini masih sesuai dengan bagaimana dahulu realestate itu sendiri ditawarkan kepada generasi kelas menengah baru: hunian asri di dekat kota. Asri, dekat dengan alam, membumi (tidak melangit), indah, dan permai adalah jargon-jargon yang ditawarkan real-estate di kawasan ini pada 1970-an hingga 1980-an ketika baru dibuka. Real-estate menjadi eskapisme ideal bagi generasi kelas menengah baru yang harus berjuang hidup di ibukota namun pada saat yang sama, dapat hidup layak dan nyaman bagaikan berlibur di kampung halaman. Dalam situasi seperti itu, penghuni real-estate yang juga warga kota Jakarta kemudian dininabobokan dengan berbagai ilusi konsumerisme yang harmonis. Mengapa? Secara arsitektural kota, real-estate itu sendiri tak ubahnya mimpi siang bolong dan eskapisme konsumeristis dari kenyataan kejamnya ibukota. Narasi itu selaras dengan ilusi konsumerisme yang ditawarkan berbagai produk melalui iklan-iklan di kawasan tersebut. “Dunia lain”, berupa hunian asri dan permai di kota, bersinergi dengan indahnya jagat hiburan yang ditawarkan iklan televisi, kemudahan dan kenyamanan hidup dari produk elektronik untuk rumah tangga, kecantikan abadi dari produk kosmetik, higinienisitas dan kebersihan dari produk kesehatan, serta jaminan masa depan dari produk asuransi dan perbankan. Zona Ketiga: Dari, oleh, dan untuk Kelas Menengah Lama Kawasan hunian seperti Menteng, Cikini, Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Tebet, Kemang hingga Warung Buncit dan Pejaten, Rawamangun hingga Pisangan, Tanjung Duren hingga Grogol, Pluit, Senen hingga Manggarai, Duren Sawit hingga Kalimalang, dan lain-lainnya adalah kawasan yang seharusnya bersih dari iklan di ruang kota. Pada 1970-an hingga 1980-an, kawasan ini masih dihiasi oleh rumah-rumah berhalaman luas, dengan pepohonan rindang sepanjang jalan. Sepi dan hening di siang dan malam hari, kawasan ini menjadi representasi kelas menengah Jakarta, kaum pendatang yang “berhasil” di ibukota. Kaum pendatang ini menjadi kelompok “elite”
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 188
ibukota di masa 1970-an hingga 1980-an, sebelum munculnya berbagai perumahan (real-estate) mewah di Jakarta. Sedikit bernostalgia, beberapa orang masih ingat betul dengan kehadiran pedagang bermacam makanan yang lewat dengan gerobak. Namun, kini terjadi perubahan signifikan di kawasan ini. Di Kebayoran Baru misalnya, yang perlahan menjadi kawasan niaga, banyak bermunculan kantor-kantor kecil, galeri, kafe, restoran, maupun butik—kebanyakan berupa kegiatan usaha yang berkaitan dengan gaya hidup kelas menengah. Dalam situasi seperti inilah iklan perlahan masuk, diawali dari papan nama usaha yang kebanyakan menampilkan produk-produk buatan dalam negeri yang eksklusif. Kehadiran kapitalisme lokal ke dalam kawasan ini dapat dibaca sebagai pemaknaan atas kelokalan Jakarta modern yang tengah berjuang melawan gerusan kapitalisme global. Dalam situasi ini, persoalannya adalah: perlawanan terhadap kapitalisme global sekaligus pemaknaan terhadap kelokalan Jakarta modern ini memperkuat spektrum sosial Jakarta yang berlapis-lapis. Dalam lapisan-lapisan tersebut, pada akhirnya hanya kelas menengah atas, sebagai kelompok elite Jakarta, yang berdaya untuk menegosiasi kapitalisme global. Iklan seolah justru tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok ini, walau kadang ada sempalansempalan kecil berupa iklan produk barang dan jasa ataupun iklan politik yang menelusup masuk, namun berbagai produk gaya hidup dan representasi habitus kekelasmenengahan di kawasan ini lebih dominan. Di kawasan tertentu seperti Kemang yang dalam satu dekade terakhir ini berkembang menjadi kawasan hiburan, kehadiran iklan produk barang dan jasa yang berkaitan dengan gaya hidup memperkuat kesan dominasi kelas menengah atas sebagai “warga” dari kawasan ini, misalnya iklan “Rave Party” yang menampilkan Disc Jockey (DJ) ternama dari luar negeri dengan sponsor rokok atau minuman beralkohol, atau seperti melalui papan nama usaha hiburan/gaya hidup itu sendiri. Hiburan atau “leisure”—seperti yang dikatakan Henri Lefebvre pada 1991—dalam ruang kota dapat menjadi penanda dari “radical break” terhadap keseharian kota.6 Leisure yang merupakan 6 Lihat diskusi mengenai “Differential Space” oleh Henri Lefebvre dalam Henri Lefebvre, The Production of Space (Wiley-Blackwell, 1992), atau dalam Rob Shields, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics (London & New
189 / SEDOT WC
aktivitas bersenang-senang adalah sebuah praktik sosial khas kelompok kelas menengah. Tanpa kekuatan ekonomi yang mereka miliki, kegiatan bersenangsenang sebagai katarsis atas narasi dominan kapitalisme serta ketertiban versi negara, tidak akan terlaksana. Bukan berarti bahwa kelas bawah tidak memiliki aktivitas leisure yang khas mereka, hanya saja dalam konteks ini, leisure ini menjadi milik kelas tertentu karena ia dihadirkan di tengah ruang kota (zona) yang diperuntukkan bagi permukiman kelas menengah, oleh kelas menengah itu sendiri. Zona Keempat dan Kelima: “Full-blown Postmodernism� Kawasan seperti sebagian Tanah Abang, Senen, Jatinegara, Pulo Gadung, Cakung, Condet, sebagian Pondok Labu dan Lebak Bulus, Ciledug, Glodok hingga Mangga Besar, Pasar Baru, Pasar Pagi, sebagian Jakarta Kota, Jelambar, Jembatan Tiga hingga Jembatan Lima, dan lain-lainnya, adalah kawasan tempat terminal besar, toko, pasar besar, gudang dan pabrik berada. Di kawasan ini pula biasanya terdapat permukiman warga kota yang beragam. Mulai dari perkampungan padat hingga rumah-rumah bertingkat dan mewah. Semuanya tampak tumpang-tindih dengan mal, superblok, ruko-ruko, dan apartemen. Kesimpang-siuran itu kemudian dipertegas dengan kehadiran jalan layang (tol dalam kota) yang membelah kawasan-kawasan tersebut. Secara arsitektural, kawasan ini bagaikan komposisi karya seni rupa pasca-modern yang eklektik. Lebih dari itu, kehadiran bangunan-bangunan membuat seluruh pemandangan kawasan di kedua zona ini bagai hutan tropis yang terbuat dari beton, riuh-rendah, dan begitu kacau. Situasi tersebut menjadi semakin kompleks dengan kehadiran berbagai media iklan dengan beragam muatan pesan. Media iklan tersebut begitu beragam, dari papan nama berbagai kegiatan usaha (toko, mal, apa pun) hingga reklame (billboard dan lainnya) dan iklan politik. Isi reklamenya pun beragam, mulai dari merek internasional, wajah calon legislatif dari partai tertentu, hingga usaha jasa sedot WC. Muatan iklan-
York: Routledge, 2001).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 190
iklan ini kemudian bersinergi dengan coretan-coretan dinding (mural maupun grafiti, atau sekadar coret-coretan non-estetis). Menjadi lebih kompleks lagi, beragam media itu membaur dan tersejajarkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan kekacauan visual yang luar biasa, terlebih justru ketika iklaniklan tersebut bersinergi dengan lanskap arsitektural kota. Yang tidak kalah menarik adalah “warga” yang tinggal di kawasan seperti ini. Tidak kalah ruwetnya, warga kawasan ini terdiri dari pekerja, kelas menengah, kelas bawah, penduduk “asli” kota (etnis Betawi, Tionghoa, dan Arab), para pendatang yang menjadi kaum miskin kota, para pendatang yang berhasil, dan masih banyak lagi. Semuanya memiliki latar belakang profesi yang juga ragam. Sebagian tinggal dan mencari nafkah di kawasan itu, namun banyak pula yang menjadi “warga” kawasan Zona Pertama (para pekerja kantoran), Zona Kedua (para pemilik toko di mal mewah dan para pekerjanya) maupun Zona Ketiga (mereka yang bekerja di unit-unit usaha di kawasan itu). Sebagian dari mereka juga merupakan kelas yang dapat mengakses segala kemewahan yang ditawarkan di ketiga zona tadi. Dalam kesimpang-siuran tersebut, satu-satunya alat untuk menganalisis dinamika sosio-kultural dan sosio-ekonomi di kawasan seperti ini adalah dengan menggunakan jargon Fredric Jameson, yaitu “ full-blown Postmodernism.”7 Secara visual, jika kita berada di dalam kawasan ini dan memandang ruang kota di sekeliling kita, rasanya seperti berada dalam latar film fiksi ilmiah produksi Hollywood tentang dunia pasca-perang nuklir. Fisik kota yang hancur akan tetapi disuperimposisi dengan pencapaian teknologi super canggih, suasana riuh-rendah dengan derap yang cepat dan terkesan “kejam”, disertai dengan interaksi sosial para penghuni yang telanjur menjadi mutan akibat perang. Dalam film-film fiksi ilmiah Hollywood, di tempat seperti inilah biasanya tersimpan “senjata rahasia” milik kelompok 7 “Full-blown Postmodernism” diungkapkan oleh Fredric Jameson ketika ia melakukan kajian terhadap hotel Bonaventura di Los Angeles, Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa Bonaventura merupakan bentuk yang termutasi dalam ruang yang diciptakan oleh bangunan itu sendiri. Berbagai penyejajaran, kontradiksi, dan paradoks yang tampil pada arsitektur gedung tersebut menunjukkan bahwa arsitektur modern—yang kini menjadi representatif dari lanskap kota—malah memutuskan manusia dari ruang lingkup peradabannya. Untuk lebih jelasnya lihat Bagian V dari buku Fredric Jameson, Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1990).
191 / SEDOT WC
yang melancarkan perlawanan terhadap kekuatan penguasa. Narasi serupa rasanya seiring sejalan dengan kondisi Jakarta. Kawasan tersebut mungkin saja berupa pergudangan atau pabrik yang kumuh. Akan tetapi, pabrik dan gudang tersebutlah yang menjamin ketersediaan barang-barang yang diperlukan Zona Pertama hingga Ketiga. Kawasan ini dapat saja penuh sesak dengan pasar dan toko-toko kumuh seperti Pasar Pagi dan Mangga Dua misalnya, akan tetapi, mereka jugalah yang menjamin pasokan barang di ketiga zona tadi. Warga yang tinggal di kawasan ini, merupakan warga interseksi yang seringkali terlupakan oleh pembangunan fisik kota. Mereka tidak dianggap sebagai konsumen pontesial dari merek-merek internasional, padahal belum tentu mereka tidak mampu mengaksesnya. Mereka tidak dianggap sebagai konsumen potensial kapitalisme global sementara merekalah yang sebenarnya menjadi ruang antara dari globalisasi. Hanya di ruang seperti inilah, kita dapat menyaksikan seorang pengendara sepeda motor membawa kulkas di jok belakangnya, sendirian tanpa ada yang membantu. Kulkas (yang, jika kita melihat mereknya, merepresentasikan kapitalisme global) itu diikat sedemikian rupa agar dapat berdiri tegak di jok belakang sepeda motor. Di kawasan seperti inilah kita dapat melihat bajaj—kendaraan roda tiga produksi India itu—saling pepet dengan bus Kopaja sarat penumpang, sementara keduanya bisa ditempeli stiker iklan dari produk yang sama. Bajaj tersebut, satu kali ia mengangkut pedagang kulakan mainan plastik beserta hasil belanjaannya di Pasar Pagi, kali lain ia mengantar pedagang yang sama berangkat ke gereja di suatu Minggu pagi. Dalam perjalanan, si pedagang dan sopir bajaj bisa berbincang dengan bahasa ibu yang sama karena ternyata mereka berasal dari kampung yang sama. Uraian dalam keempat bagian di atas mencoba memberi gambaran mengenai struktur kelas sosial masyarakat Jakarta melalui relasinya dengan iklan dan lanskap arsitektural yang mengonstruksi habitus mereka. Dalam situasi tersebutlah sebenarnya para penentu kebijakan dan para produsen iklan juga berasal. Dengan kata lain, para penentu kebijakan kota dan pelaku industri periklanan sebenarnya adalah warga itu sendiri. Ruang tinggal, seperti yang digambarkan di atas, adalah ruang lingkup yang secara terus-
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 192
menerus mengonstruksi mereka. Mereka hidup di dalam ruang yang tanpa sadar mereka konstruksi sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa mimpi untuk mendapatkan ruang kota yang asri, indah, dan permai bagi warga Jakarta bagaikan pisau bermata dua. Pada satu sisi menjadi sangat mungkin bagi kota ini untuk didekonstruksi secara visual, setidaknya melalui penataan iklan di ruang kota, sementara pada sisi lainnya, dengan menjadi warga itu sendiri, para penentu kebijakan dan produsen iklan yang lebih memahami seluk-beluk kotanya dapat dengan mudah mengeskploitasi ruang-ruang kota semata untuk kepentingannya. Persoalannya tidak berhenti sampai di sini. Ketika beriklan menjadi sebuah praktik kultural baru sebagai konsekuensi logis dari bertemunya latar sosio-ekonomi dan sosio-kultural warga Jakarta, maka menjadi masuk akal pula bila masing-masing kelompok warga menginspirasi satu sama lain. Iklan “Sedot WC” dalam bentuk poster fotokopian yang menyeruak masuk ke ruang-ruang kota sepertinya tidak mungkin hadir tanpa terinspirasi perilaku beriklan produsen iklan besar. Sementara sebaliknya, iklan produk operator telekomunikasi seluler dalam bentuk mural, justru terinspirasi dari praktik corat-coret dinding, yang sebenarnya mencerminkan perlawanan warga kota terhadap kekuasaan dominan. Bagian 2. Jakarta Status Quo: Ruang dan Publik yang Terlupakan Visual-visual banal yang mendominasi wajah kota tercampur-aduk dalam berbagai medium memenuhi pandangan warga ibukota. Mulai dari iklan “Sedot WC” di tiang listrik dan tembok-tembok kota; iklan merek-merek ternama pada billboard besar di lokasi yang strategis; gejala narsisme pelaku politik yang meminjam logika publikasi merek dagang melalui medium yang sama; warung, bangunan privat dan fasilitas publik yang berhiaskan iklan produk operator telekomunikasi seluler ataupun anjuran aparat penegak hukum bergaya mural Diego Rivera; hingga jingle merek yang dinyanyikan oleh para pengamen dalam transportasi publik, serta lalu-lalang sarana transportasi publik yang telah mengemban fungsi tambahan sebagai “billboard berjalan.” Dalam contoh tersebut, kelas atas tidak kalah buruk nasibnya. Mereka masih harus menelan kenyataan bahwa ruang publik yang dapat mereka akses adalah ruang-ruang ekonomi ciptaan (dan juga milik) penguasa kapital.
197 / SEDOT WC
Mereka hanya dapat menjadi flaneur layaknya gambaran Walter Benjamin dalam Illuminations,8 ketika mereka beredar di koridor maupun plaza sebuah mal mewah. Sebagai ganti dari indahnya arsitektur kota, mereka harus cukup puas dengan arsitektur-gadungan khas mal yang tak lain berupa ruang pajang toko atau interior kafe dan restoran. Mereka harus puas dengan interaksi sosial buatan event-organizer yang tengah melancarkan propaganda konsumsi mutakhir. Jika Henri Lefebvre pada 1991 mengatakan bahwa praktik sosial dalam sebuah ruang adalah praktik spasial, maka kelas atas dalam situasi ini sebenarnya sama sekali tidak beruntung karena mereka tidak dapat mengalami praktik spasial yang nyata. Mereka tidak dapat merespons langsung penampakan visual yang datang, atau setidaknya menyikapinya dengan kritis, seperti anak-anak remaja kelas bawah di underworld yang mencoreti tembok dengan cat semprot untuk merespons dominasi visualitas kota. Visualitas dalam ruang kota masa kini bukanlah yang tercipta melalui perdebatan sengit antara perupa dan filsuf, seperti yang dinarasikan dalam kisah epos seni rupa modern. Bukan pula visualitas utopis yang sarat dengan isu kelas dan perubahan sosial, seperti dalam karya-karya Kazimir Malevich, Alexander Rodchenko, Walter Gropious, Mies van der Rohe, dan para seniman modern Eropa lainnya sebelum Perang Dunia II, yang masih membayangkan seni rupa dapat berperan sebagai salah satu penggerak perubahan sosial menuju tatanan masyarakat baru di zaman modern. Sungguh sayang, tidak demikian adanya. Visualitas yang memenuhi pandangan mata warga kota justru didorong oleh gerak kapitalisme. Sama utopisnya, visual macam ini sarat dengan isu kelas dan perubahan sosial, namun dengan parameter yang berbeda dengan para seniman di ruang dan waktu Walter Benjamin, Charlie Chaplin, Kazimir Malevich, Walter Gropious, dan lain-lain, yang namanya tertera dalam buku-buku sejarah seni rupa Barat (Eropa pada 1930-an). Parameter yang berlaku kini adalah produk dan daya beli. Derivasi darinya adalah kegiatan membeli, keinginan untuk membeli, citra yang dipertukarkan dengan pembelian, serta artikulasi “beli” dalam berbagai medium dan cara. Dialektika konsumsi ini kemudian dimediasi melalui berbagai praktik 8 Walter Benjamin, Illuminations: Essays and Reflections (New York: Schocken Books, 1969).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 198
reproduksi visual yang mekanistis seperti yang dipersoalkan oleh Walter Benjamin.9 Dialektika macam ini, bukanlah dialektika yang diskursif, apalagi demokratis. Warga kota hanya diberi dua pilihan, ya atau tidak. Terlepas dari soal apakah warga akan “terbeli” sepenuhnya atau tidak, gambaran dalam dua paragraf terakhir ini menawarkan cara membaca yang berbeda terhadap relasi antara soal ruang dan visual dalam sebuah ruang kota Jakarta, sebagai ruang hidup dari jutaan manusia. Lalu perspektif apa yang dapat kita peroleh melalui pembacaan seperti ini? Iklan-iklan di ruang kota dapat bercerita banyak tentang kota itu sendiri, terlepas dari persoalan estetis kota. Minimal melalui iklan-iklan yang berhamburan di ruang kota itu kita dapat memahami sabun apa yang warga kota gunakan, televisi merek apa yang mereka tonton, apa yang mereka lakukan di kala senggang, mode macam apa yang mereka gemari, tokoh siapa yang mereka anggap inspiratif, bahkan hingga ideologi macam apa yang paling laku di kalangan masyarakat. Iklan-iklan di ruang kota dapat menjelaskan apakah warganya hidup dengan layak atau hidup dalam ilusi rekaan kapitalisme global—singkatnya, dapat menjelaskan manusia macam apakah kita. Dengan demikian, penataan iklan di ruang kota seharusnya dimaknai lebih dari sekadar diskursus soal estetis kota. Pada saat yang sama, para penentu kebijakan juga perlu disadarkan bahwa iklan di ruang kota mencerminkan warganya. Pada saat yang sama pula, iklan mengonstruksi warganya persis seperti narasi dominan konsumerisme yang mendorong manusia untuk terus-menerus membeli. Untuk itu, pemanfaatan ruang publik menjadi sebuah strategi yang penting. Iklan seperti apakah yang akan ditempatkan di ruang publik yang mana, seharusnya menjadi diskursus penting dalam setiap penentuan kebijakan tentang penempatan iklan dan aksesibilitasnya oleh publik. Tapi sebelum membayangkan situasi ideal tersebut, kita harus terlebih dahulu ingat bahwa di Jakarta, ruang publik adalah kemewahan karena kota ini tidak memilikinya. Hal tersebut diperkuat lagi karena terminologi 9 Ibid.
199 / SEDOT WC
“publik” itu sendiri jarang ditemukan dalam diskursus tentang warga kota. Ruang publik sejatinya adalah ruang-ruang yang mampu memberi alternatif bagi warga untuk menyiasati spasialisasi dominan yang dilakukan oleh penguasa kota.10 Henri Lefebvre, sosiolog Marxis asal Prancis yang peduli dengan masalah perkotaan mengatakan, ketika praktik spasial dilakukan oleh kelompok penguasa (atau kelompok dominan lain), ia akan menjadi spasialisasi dominan. Padahal seharusnya praktik spasial warga kota merupakan artikulasi sosio-kultural kolektif warga kota.11 Praktik ini dapat merepresentasikan adanya dominasi ideologi tertentu yang berkuasa dalam sebuah ruang kota. Oleh karena itu Henri Lefebvre mengedepankan pentingnya peranan publik dalam praktik spasial kota, yang dapat dicapai melalui penguasaan terhadap ruang-ruang publik di kota. Spasialisasi dominan yang dilakukan oleh penguasa kota cenderung homogen. Penyediaan ruang publik dan berbagai infrastruktur fisik kota dapat mengondisikan warganya untuk berpikir dan bertindak seragam dengan alasan kenyamanan bersama. Penertiban lapaklapak pedagang kaki lima di pinggir jalan Pasar Tanah Abang misalnya,12 menjadi contoh bagaimana penguasa kota (pemerintah kota) menggunakan haknya untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sebuah situs kota dalam konteks perdagangan (transaksi jual-beli) sederhana. Namun persoalannya, praktik spasialisasi dominan tersebut beriringan dengan praktik serupa yang dilakukan oleh kelompok penguasa modal. Dengan logika yang sama, kelompok penguasa modal ini meminggirkan lapangan bola, alun-alun informal, pasar tradisional, taman bermain informal, tanah kosong yang penuh dengan pepohonan, bangunan-bangunan tua yang bersejarah, dan lain-lainnya. Ruang-ruang tersebut merupakan ruang alternatif bagi warga kota yang dapat mereka gunakan sebagai sarana untuk memaknai kota tempat mereka tinggal dengan berbagai kegiatan sederhana, seperti
10 Henri Lefebvre, “Revolt Through Dominant Respatialization,” dalam Rob Shields, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics (London and New York: Routledge, 2001). 11 Ibid. 12 Merujuk pada kontroversi kasus penertiban dan pemindahan pedagang kaki lima di kawasan Pasar Tanah Abang oleh Pemda Provinsi DKI Jakarta yang terjadi pada pertengahan 2013. Lihat tautan: Topik Pilihan Kompas: Penertiban PKL di Jakarta. Tautan: http://bit.ly/18vs5Wd. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 200
bermain bola, berkumpul dan bercengkerama, dan berbagai kegiatan lain yang berfungsi sebagai leisure sederhana. Dengan logika ekonomi sederhana (yang sama sederhananya dengan logika pedagang kaki lima di emperan Pasar Tanah Abang: “daripada tidak terpakai”) para penguasa modal mengoptimalkan ruang-ruang tersebut dengan cara mengubahnya menjadi sarana akumulasi kapital, seperti mal dan apartemen. Kepada siapa kontribusi ekonomi tersebut disalurkan? Masyarakat yang terpinggirkan bukanlah para flaneur seperti gambaran Walter Benjamin, yang berjalan-jalan menikmati indahnya kota sambil merayakan posisi sosialnya sebagai individu yang setara dengan individu lain sekaligus sebagai bagian dari kolektif urban. Ruang-ruang yang mereka tinggalkan dengan terpaksa itu kemudian diisi oleh kelompok flaneur yang tidak pernah merasa dirinya menjadi bagian dari kolektif mana pun karena mereka datang ke ruang publik yang tidak diperuntukkan bagi mereka. Dalam konteks tersebut, kedua aspek, baik kota sebagai manifestasi konkret dari gagasan visual maupun fenomena iklan di ruang kota yang mewarnai pengalaman ruang flaneur Dunia Ketiga ini merupakan turunan dari gagasan estetika Barat tentang visualitas sehari-hari manusia urban. Jakarta sendiri tidak dapat dilepaskan dari konteks ini. Oleh “developer” Eropa, situs Jakarta—dahulu Batavia—dibangun menjadi sebuah permukiman ala Eropa dengan bayangan bahwa kelak kota ini akan berdiri tegak sejajar dengan kota-kota di Eropa, seperti Amsterdam, Paris, Leuven, dan lainnya. Secara arsitektural, Jakarta sejak masa kolonial sudah memiliki karakteristik yang multikultural. Gunawan Tjahjono mengungkapkan adanya pengaruh budaya China dan Arab dalam gaya arsitektural gedung-gedung di Jakarta yang dibangun sebelum hingga masa awal abad ke-20.13 Semuanya bersanding dengan ragam sekaligus padu membangun harmoni. Hal ini dapat kita maknai bahwa visualitas yang beragam dan multiaksentual telah memberi kekhasan tersendiri bagi Jakarta, sebuah ruang urban yang—setidaknya secara arsitektural—demokratis. Setidaknya, secara arsitektural Jakarta sebagai sebuah kota memiliki posisi setara dengan kota-kota kolonial lainnya
13 Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage-Architecture (Singapore: Archipelago Press, 1998).
201 / SEDOT WC
di dunia. Tentu saja, hal tersebut menjadi mungkin karena Jakarta masih menjadi koloni dari Belanda. Hal lainnya adalah karena Jakarta belum masuk ke dalam tarik-menarik bipolar antara Dunia Pertama (negara-negara industri maju) dan Dunia Ketiga. Kita sudah telanjur meneruskan Jakarta buatan Eropa, dan untuk itu kita perlu memahami benar bagaimana Jakarta oleh para developer-nya (meminjam istilah industri properti) dipersiapkan untuk para flaneur Eropa dan bukan untuk para “inlander”. Ketika kita belum juga menemukan logika kota dalam diskursus pasca-kolonial, tiba-tiba dalam waktu kurang dari satu abad Jakarta terpaksa masuk ke dalam arena kebudayaan global pascamodern, semata melalui logika pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada tingkat daya beli masyarakat mengakibatkan Jakarta mendadak meledak ke dalam gerusan akumulasi kapital ekonomi dan bukan akumulasi kapital sosial dan kapital kultural. Dalam logika ini, warga kota tentunya tidak diposisikan sebagai “ahli waris budaya” yang sah. Mengapa? Jakarta adalah “melting pot”. Mayoritas warga kota ini adalah para pendatang dari berbagai pelosok Indonesia dan bahkan dunia. Situasi ini tentunya membuat Jakarta tidak pernah “sempat” membangun kebudayaan dominannya. Terlebih lagi posisi kultural Jakarta—sebagai sebuah situs kebudayaan—yang berinterseksi dengan “pusat” pemerintahan memperkuat pengaruh negara sebagai kekuatan sosial, menggantikan kekuatan budaya. Bahasa Indonesia yang berinterseksi dengan bahasa lokal (Betawi) digunakan oleh warganya untuk berkomunikasi, namun di dalam ruang-ruang tertentu yang lebih privat dan primordial, bahasa lokal tetap digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama pendatang. Rezim totalitarian Orde Baru memperburuk situasi itu dengan menarasikan identitas kebangsaan yang tunggal dengan cara represif, yang membuat warga Jakarta melancarkan balas dendamnya melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial berbasis semangat primordial. Jakarta tidak menjadi rumah dan kampung halaman bagi warga, akan tetapi semata ruang transit untuk mencari nafkah. Situasi di atas sebenarnya dapat berpotensi untuk menciptakan Jakarta baru yang terbuka dan multikultural. Dalam keberagamannya, Jakarta sebenarnya dapat mengambil peran sebagai rumah bagi semua kelompok
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 202
kebudayaan yang hidup di dalamnya, baik dalam konteks etnisitas, subkultur anak muda, bahkan religiusitas. Sebagai ruang pertemuan berbagai representasi kebudayaan Indonesia yang bhineka ini, kerasnya persaingan ekonomi dapat menjadi sarana bagi berbagai kelompok untuk saling belajar yang efektif. Trotoar, taman bermain, taman-taman kota, alun-alun, pantai umum, pasar tradisional, pasar malam, lapangan olahraga umum, hingga terminal dan sarana transportasi umum, merupakan ruang-ruang kota yang berpotensi untuk mempertemukan warga dari berbagai latar belakang budaya. Dalam ruang-ruang seperti itulah setiap individu menjadi bagian dari masyarakat kota. Dalam ruang-ruang seperti itu pula setiap individu dapat terkondisikan untuk “melepaskan” atribut-atribut primordialnya demi menjaga keselarasan dan ketertiban umum. Ruang-ruang seperti ini mengondisikan setiap individu mau tidak mau memosisikan diri dan diposisikan oleh negara, untuk menjadi setara. Inilah yang dimaksud dengan konsep Public Sphere sebagai ruang yang demokratis.14 Melalui Public Sphere inilah warga kota—yang Walter Benjamin bayangkan sebagai flaneur—belajar untuk hidup berdampingan. Ruang-ruang seperti ini adalah arena belajar demokrasi yang sesungguhnya, tempat berbagai kepentingan dan kapital (ekonomi, sosial dan kultural) bertemu, berinteraksi dan kemudian, seperti kata Pierre Bourdieu, membangun habitus baru sesuai dengan konteks sosio-politik dan sosio-kulturalnya.15 Namun sayangnya, Jakarta kekurangan ruang publik macam itu selain pasar tradisional dan pasar malam. Keduanya pun perlahan terpinggirkan secara sistematis dan digantikan dengan super/hyper/mini-market dan mal. Warga Jakarta tidak memiliki pantai yang dapat diakses oleh publik, taman bermain murah yang aksesibel bagi semua orang, kecuali alun-alun (Monumen Nasional) yang diberi pagar dan gerbang tinggi untuk menghindari demonstrasi, trotoar
14 Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (terbit pada 1962, diterbitkan kembali oleh The MIT Press 1991). 15 Untuk konsep “habitus” lihat Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge University Press, 1977), dan Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terjemahan Richard Nice (Harvard University Press, Revised Edition, 1984); Karl Maton, “Habitus,” dalam Pierre Bourdieu: Key Concepts, M. Grenfell, ed. (London: Acumen Press, Revised Edition, 2012).
203 / SEDOT WC
yang sempit dan dipenuhi oleh warung kaki lima, terminal yang kumuh dan kotor serta transportasi publik yang masih sangat kurang jumlahnya. Hanya taman-taman kota yang beberapa tahun terakhir mulai diperbaiki, walau jumlahnya masih sangat kurang. Kata “publik” dalam wacana Orde Baru malah dapat berarti melawan negara,16 mungkin itulah sebabnya kata itu kemudian “hilang” dari wacana pembangunan fisik kota (Jakarta). Kata “publik” itu kemudian digantikan oleh “warga,” “masyarakat”, dan “rakyat.” Dengan sendirinya pembangunan fisik itu kemudian tidak berorientasi pada aspek manusia—setidaknya, memosisikan manusia yang tinggal di dalamnya sebagai makhluk sosial— karena ketiga kata yang menggantikan kata “publik” ini berbias relasi kuasa dan memosisikan manusia sebagai objek pemerintah, objek dari kuasa negara semata, ketika Jakarta—sebagai ibukota negara—merepresentasikan pusat dari kuasa dominan negara. Jakarta adalah mesin penggerak ekonomi dan berbagai kebijakan yang mengatur seluruh negara ini. Oleh karena itu menjadi masuk akal jika Jakarta tidak pernah merasa perlu merepresentasikan dirinya kepada publik sebagai tempat tinggal, terlebih tempat tinggal yang manusiawi. Jakarta ibarat kantor maha besar semata yang tidak pernah sempat mengurus dirinya karena terlalu sibuk mengumpulkan keping demi keping rupiah dari seluruh penjuru negeri. Toh dalam kantor maha besar ini semua orang datang untuk bekerja, bukan untuk tinggal. Hanya bagian keamanan dan mungkin Office Boy yang tetap tinggal di kantor setelah jam kerja usai. Ketika kata “publik” telanjur terlupakan dari wacana pembangunan kota,
16 Baca tulisan Amalia Handayani, Erni Setyowati, dan Rival Ahmad, “Publik yang Menjadi Latar Bisu: Catatan tentang Peraturan-peraturan Reklame di Jakarta,” dalam buku ini. Pada tulisan itu dijelaskan mengenai konteks “publik” di mata negara serta bagaimana pergeseran makna yang dibawanya. Penggunaan terminologi “kepentingan umum,” “rakyat,” “masyarakat,” dan “warga negara” yang muncul dalam peraturan pemerintah menandai peminggiran terminologi “publik” dari wacana hidup bernegara. Dalam konteks Orde Baru, terminologi pengganti “publik” tersebut memiliki makna represif karena dianggap sebagai objek yang perlu didisiplinkan (lihat bagian “Publik di Mata Hukum”). Penggunaan istilah rakyat dapat dilihat dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Istilah masyarakat dapat dilihat penggunaannya dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Istilah kepentingan umum dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Istilah warga negara dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tulisan tersebut dapat dijadikan pokok argumentasi tentang awal mula hilangnya ruang publik dalam pembangunan kota, karena “publik” itu sendiri telah hilang. Ruang publik tidak tergantikan dengan “ruang masyarakat” ataupun “ruang warga,” bahkan “ruang umum” sekalipun.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 204
maka menjadi masuk akal pula jika segala kebijakan yang terkait dengan hal tersebut semata berorientasi pada kepentingan administratif negara, tanpa pernah mencoba melihat bahwa “publik” yang “hilang” ini tetap memerlukan jaminan kenyamanan. Abidin Kusno menjelaskan bagaimana hilangnya ruang publik di Jakarta berkorelasi dengan otoritarianisme Orde Baru.17 Tanpa ruang publik, warga Jakarta dengan sendirinya tidak pernah mengalami “pertemuan” berarti, pertemuan yang mengajari mereka untuk mendudukkan diri setara dengan sesama warga Jakarta lainnya. Hal tersebut dengan sendirinya memperkecil peluang warga kota untuk belajar berdemokrasi, sehingga memungkinkan timbulnya status quo di kalangan warga. Situasi seperti ini memungkinkan bagi rezim Orde Baru untuk mengukuhkan kekuasaannya, membangun rezim di atas kondisi masyarakat yang status quo, dan dengan sendirinya lebih mudah dikontrol. Melalui kaki-tangan media massa yang terkontrol dengan ketat, rezim Orde Baru menggunakan bahasa “keamanan” dan “ketertiban” (yang kemudian populer dengan jargon “Kamtib”) untuk menciptakan kondisi bahwa status quo, selain memudahkan kontrol juga memberi rasa aman dan tenteram karena dinamika masyarakat dapat diatur oleh negara. Kondisi tata kota dan lanskap arsitektural Jakarta demikianlah yang memungkinkan rezim Orde Baru memperkuat cengkeramannya. Hal ini semakin mudah lagi dengan wilayah kota yang terfragmentasi satu sama lainnya, membuat warga yang tinggal di Jakarta Selatan misalnya merasa sulit (dan akhirnya enggan) untuk bepergian ke Jakarta Utara dan Barat. Ketiadaan transportasi umum massal yang sebenarnya dapat memudahkan mobilitas warga dari satu tempat ke tempat lainnya di Jakarta justru memperlancar fragmentasi ini. Menjadi sangat masuk akal bila warga Jakarta Timur seumur hidupnya tidak pernah menginjakkan kakinya di Jakarta Utara, dan demikian pula halnya dengan wilayah-wilayah lain. Dalam situasi seperti itu pembangunan fisik Jakarta justru diintensifikasi melalui keterlibatan pihak swasta dan kapitalisasi lahan Jakarta (tingginya harga tanah per meter persegi misalnya) 17 Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Orde Baru (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009).
205 / SEDOT WC
dan menghasilkan zona-zona sebagaimana yang diuraikan sebelumnya pada bagian pertama. Narasi kapitalisme dengan logika ekonomi hadir menggantikan publik yang absen. Oleh karena pihak swasta yang berperan dalam pembangunan fisik kota ini adalah warga kota itu sendiri, maka aspirasi kapitalisme yang hadir dalam wacana pembangunan tersebut seolah dianggap serta-merta sebagai aspirasi publik pula. Hilangnya ruang publik untuk waktu yang cukup lama membuat warga kota mengalami amnesia ruang. Mereka lupa bahwa mereka sebenarnya memerlukan ruang publik sebagai sarana untuk memanusiakan dirinya sebagai manusia urban, yaitu menjadi lebih demokratis dan egaliter. Lebih buruk lagi situasinya ketika kita melihat bagaimana ruang kota ini memiliki “luka-luka” sejarah yang hingga kini tidak terobati.18 Sisa-sisa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta berupa pagar-pagar tinggi berkawat duri yang memblokade jalan umum ke lingkungan permukiman misalnya, menjadi monumen kengerian dan ketakutan. Monumen ini bukannya dimanfaatkan sebagai pengingat bagi warga akan pentingnya kesetaraan dan demokratisasi, justru memaknai ketakutan warga kota terhadap publik sebagai gerombolan manusia tidak dikenal. Gencarnya pembangunan superblok di tengah kota, yang walaupun dalam bahasa Abidin Kusno adalah “kembalinya kelas menengah ke kota”, dapat dibaca sebagai beralihnya “publik” menjadi komunitas warga yang terfragmentasi. Meski hunian superblok mencoba memberikan ilusi ruang publik dengan cara menggabungkan mal dengan hunian dan berbagai fasilitas umum lainnya, akan tetapi kita tidak dapat serta-merta menerima bahwa itu semua dapat menggantikan seluruh fasilitas dan infrastruktur kota yang seharusnya diberikan negara kepada rakyatnya. Ruang publik di mal dan superblok, bagaimanapun, adalah ruang publik yang tersegmentasi dan dengan sendirinya, terfragmentasi dari kenyataan sosio-kultural dan sosio-politik Jakarta yang jauh lebih luas. Ruang publik ilusif tersebut selain eksklusif juga memberi peluang bagi negara untuk merasa tidak perlu memberikan ruang publik yang 18 Ibid. Dalam bukunya, Abidin Kusno melihat bagaimana pembangunan fisik kota Jakarta terhadap sisa-sisa kerusuhan Mei 1998 sebagai praktik penghilangan memori kekerasan terhadap kelompok minoritas. Pembangunan kembali yang didasarkan pada upaya pengembalian rasa aman terhadap warga kota Jakarta justru mengukuhkan kekerasan simbolik negara.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 206
seharusnya, yang dibutuhkan oleh seluruh warga kota Jakarta untuk menjadi manusia urban seutuhnya. Ironisnya, walau kini pemerintah Jakarta tengah memperbaiki diri dengan berusaha memberikan layanan publik yang layak, peluang iklan untuk masuk ke ruang-ruang publik tersebut semakin besar. Mulai dari tong sampah dan tempat duduk di taman kota yang di-branding, papan reklame konvensional hingga yang paling canggih, dan masih banyak lagi lainnya. Namun ruang-ruang publik ilusif yang eksklusif di superblok lebih mungkin untuk bersih dari serangan iklan. Hal ini mengukuhkan anggapan bahwa pada akhirnya, sama halnya seperti narasi tentang kelompok elite Jakarta yang mampu menegosiasi kapitalisme di Zona Ketiga, kelompok elite baru Jakarta yang tinggal di kawasan superbloklah yang layak hidup “bersih” dari serangan iklan. Dalam konteks ini, iklan yang tampil dalam ruang-ruang kota dapat menjadi penanda dari pemisahan kelas sosial warga Jakarta. Kelas atas dapat menikmati visual yang bebas iklan sementara kelas bawah tidak, sementara kelas menengah menjadi kelompok yang terombangambing. Di satu sisi mereka berpeluang untuk memiliki kesadaran akan kota ideal yang layak secara visual, mereka juga kelompok yang belum tentu terkooptasi oleh iklan—dan sangat mungkin menolaknya, namun di sisi lain mereka sama tidak berdaya dengan kelas bawah untuk menolak penyusupan iklan ke ruang hidup mereka. Bagian 3. Kesetaraan: Kakus, Ruang Kota, dan Arena Kapital Dalam perspektif tersebut di atas, iklan di ruang kota hanya dipandang sebagai salah satu aspek ekonomi yang perlu diatur oleh negara. Pengaturan ini sekali lagi, hanya berorientasi pada kontrol negara terhadap titik-titik pemasangan reklame dengan logika ekonomi. Persoalan keterlihatan yang termuat dalam titik-titik tersebut justru dijadikan landasan berpikir untuk menghitung biaya dan harga sewa.19 Persoalan keterlihatan tidak membicarakan apakah pemasangan reklame nyaman bagi mereka yang melihatnya. Siapakah mereka?
19 Lihat: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame.
207 / SEDOT WC
Tentu saja, warga kota itu sendiri. Apakah warga merasa terganggu atau tidak dengan visual yang ditampilkan oleh reklame ataupun dengan kehadiran reklame di ruang publik, dianggap sebagai masalah dari pembuat iklan. Secara sederhana, jika kita masih menggunakan logika Walter Benjamin tentang flaneur, maka dapat diibaratkan dengan suatu galeri seni rupa yang memamerkan sebuah lukisan buruk. Mengapa pengunjung galeri itu terganggu? Dengan logika itu jawabnya akan: karena lukisan buruk itu merupakan tanggung jawab seniman, bukan kurator pameran. Benarkah demikian? Tidakkah kurator yang bertanggung jawab atas semua yang dipamerkan di ruang galeri? Logika yang sama seharusnya dapat diterapkan ketika kita mempertanyakan apa yang negara pikirkan ketika membuat kebijakan iklan di ruang kota tadi. Inilah salah satu persoalan ketika kata “publik” hilang dari wacana kebijakan kota. Argumentasi mengenai visualitas banal yang menginvasi keseharian warga kota justru berbanding terbalik dengan logika semakin banyak reklame maka semakin banyak uang yang masuk ke kas negara. Kas negara pada akhirnya akan digunakan sebaikbaiknya untuk membangun fasilitas warga, alih-alih membiayai keperluan hidup warga yang telanjur menjadi “beban.” Di lain pihak kita dapat melihat bagaimana dinamika persoalan visualitas yang setiap hari menginvasi warga kota. Dalam hal ini kita harus kembali mengingat bahwa di luar kelompok warga kota yang menjadi target iklan (konsumen), para penentu kebijakan kota dan pelaku industri periklanan sebenarnya adalah warga itu sendiri. Dengan kritis kita dapat membaca bahwa dalam kesepakatan antara kebijakan dan penempatan reklame, mereka melupakan dirinya sendiri sebagai bagian integral dari sebuah kota. Mereka lupa bahwa visualitas kota yang hadir melalui reklame juga dapat menginvasi keseharian mereka. Mereka telanjur berpikir bahwa invasi tersebut merupakan konsekuensi logis hidup di kota metropolitan seperti Jakarta. Atau lebih buruk lagi, mereka telanjur menganggap bahwa visualitas tersebut merupakan bagian dari keindahan kota dan itu sebabnya mereka harus hadir, dan kehadirannya haruslah diatur sebaik-baiknya. Apa pun argumentasinya, pada kenyataannya invasi reklame dalam ruang kota menunjukkan bahwa kata “publik” telah berganti menjadi “konsumen.” Warga kota hanyalah
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 208
konsumen dari produk-produk yang diiklankan (mulai dari tarif telepon, barang elektronik, hunian eksklusif hingga kader partai politik). Warga kota adalah pengguna (konsumen) dari fasilitas umum (menggantikan kata “publik”) yang telah dibangun oleh negara. Warga kota adalah objek dari kuasa kapitalisme yang bersinergi dengan kuasa pemerintah (negara). Walau demikian, tidak semudah itu kita bisa menyalahkan kapitalisme. Mengapa? Dalam situasi kota yang telanjur kompleks seperti ini, kita tidak dapat lagi begitu saja membangun dikotomi “warga versus pemerintah kota”, “warga versus kapitalisme” ataupun “kapitalisme versus negara.” Jejaring kapitalisme besar dan kuat membuat semua orang yang hidup di Jakarta berpeluang untuk menjadi bagian dari kapitalisme. Sebagai kota yang mengandalkan industri jasa dan perdagangan, kehadiran reklame di Jakarta merupakan konsekuensi logis yang sulit dihindari. Persoalannya adalah ketika reklame tersebut secara masif menginvasi keseharian warga kota, menjadi masuk akal bila visualitas dalam reklame tersebut masuk ke alam bawah sadar warga dan lama-lama menjadi kebenaran. Kehadiran visualitas dalam reklame itu dapat dianggap sebagai realitas per se yang seolah tidak perlu lagi dipertanyakan—seolah merupakan realitas alamiah dari sebuah ruang urban. Jakarta merupakan arena (field)20 untuk melakukan aktivitas sehari-hari warga kota sebagai makhluk sosial, yaitu praktik spasial yang sekaligus menjadi praktik sosial.21 Sebagai ruang yang terus-menerus diapropriasi oleh warga dan pemerintahnya, secara geografis Jakarta juga dikomodifikasi tiada henti. Harga tanah yang terus melambung tinggi menjadi penandanya. Dengan demikian menjadi masuk akal bila praktik spasial yang warga lakukan—sadar atau tidak—runtuh dalam abstraksi ekonomi pula. Akibat dari wacana ekonomi yang dominan ini—seperti perdebatan metodologis antara logika kuantitatif dan kualitatif dalam ilmu pengetahuan—warga mengompensasikan haknya untuk hidup layak di Jakarta juga dalam logika yang sama. Dapat dimaknai secara kritis
20 Dalam konsep Bourdieu, “field ” atau “arena” adalah ranah tempat agen, agensi, dan posisi sosial berada. Untuk lebih jelasnya baca Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production (Cambridge, UK: Polity Press, 1993) dan Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terjemahan Richard Nice (Harvard University Press, Revised Edition, 1984). 21 Henri Lefebvre, The Production of Space, terjemahan Richard Nice (Wiley-Blackwell, 1992).
209 / SEDOT WC
bahwa warga melihat kotanya sebagai sebuah ladang uang maha besar dan segala yang tumbuh di atasnya dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan kapital. Namun di sinilah—mungkin—letak dari demokratisasi yang baru. Dominasi wacana ekonomi ini memberi jalan bagi warga untuk melakukan perlawanan kecil-kecilan dengan menjadikan setiap jengkal wilayah Jakarta sebagai aset bebas yang dapat mereka gunakan untuk akumulasi kapital, terutama kapital ekonomi. Contohnya, seorang pembuat grafiti dapat melihat dinding-dinding kota sebagai ruang ekspresi bebas yang memungkinkannya untuk membangun kapital kultural dan sosial sebagai “seniman jalanan”. Baginya, kota ibarat lembar demi lembar portofolio atau kanvas maha besar untuk berkarya. Hilangnya “publik” dari wacana kebijakan pemerintah kota membuat praktik menorehkan grafiti menjadi salah satu medium ekspresi publik dan sekaligus, visual tandingan terhadap masifnya visual iklan di ruang kota. Di sisi lain, ada iklan-iklan yang dibuat warga untuk mempromosikan usaha kecilnya. Iklan-iklan seperti ini biasanya dibuat dengan teknik cetak sederhana (sablon di atas kertas) dan ditempelkan bagaikan poster-poster di berbagai sudut kota. Kehadiran visual seperti ini bagai hasil suatu gerilya terhadap spasialisasi dominan yang dilakukan oleh kapitalis besar melalui iklan-iklan di billboard dan media luar ruang lainnya. Iklan “Sedot WC” di dinding-dinding bangunan kota, tiang listrik dan lainnya tampak bagai milisi yang sedang bergerilya melawan penguasa dalam sebuah perang kota. Para pengiklan ini memandang kota sebagai sebuah ruang bebas yang dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan akumulasi kapital mereka yang tidak seberapa. Berbeda dengan kapitalis besar yang memandang ruang kota sebagai ekstensi dari media massa tempat mereka biasa beriklan, para pengiklan kecil ini memandang ruang kota sebagai satu-satunya ruang media yang dapat mereka akses. Kehadiran iklan “Sedot WC” merepresentasikan kesetaraan yang paling hakiki. Terlepas dari sekat-sekat kelas yang telanjur dikukuhkan oleh penguasa kota, semua warga kota tetap buang air besar, dan tidak ada pembedaan kelas dalam hal itu. Warga kota adalah manusia yang memerlukan kenyamanan hidup, memerlukan ruang untuk berinteraksi dan saling bertemu. Dalam
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 210
momen paling pribadi seperti buang air besar (BAB) sekalipun, warga kota berhak mendapatkan jaminan kenyamanan: kloset yang bersih, terang, dan sehat dengan air yang mengalir. Bahkan jika perlu menambahkan tisu dan sabun wangi. Warga kota berhak atas kota yang nyaman. Demi kenyamanan tersebut, sama seperti analogi WC dan BAB, warga kota berhak untuk menikmati kota yang bersih secara visual. Bersih dari serangan iklan yang terus-menerus memprovokasi warga untuk mengonsumsi, bersih dari propaganda antara satu produk dengan lainnya, bersih dari tumpang-tindihnya visualitas banal yang berebut untuk diapresiasi. BAB dan WC merepresentasikan momen kontemplasi manusia urban kontemporer di tengah hiruk-pikuknya persaingan ekonomi sehari-hari. Di dalam WC, manusia urban dapat memisahkan dirinya sejenak dari tanggung jawab dan perannya sebagai warga kota, sebagai makhluk ekonomi, dan sebagai objek dari kekuasaan. Warga kota juga memerlukan momentum kontemplatifnya, sejenak memisahkan diri dari serangan kapitalisme dan praktik ekonomi sehari-hari. Iklan di ruang kota dalam wujud apa pun justru beroperasi sebagai aparatus ideologis yang terus-menerus mengingatkan warga akan realitas banal mereka—membeli, tunduk, dan menjadi teratur—sebagai objek dari kuasa kapital dan kuasa negara. Untuk itu mereka memerlukan ruang-ruang yang tenang, hening, dan bebas dari hiruk-pikuk kapitalisme dan narasi kuasa dominan, seperti WC yang tenang dan bersih. Dengan demikian, mereka tetap dapat dengan sadar memosisikan diri mereka secara imbang, antara sebagai individu dengan segala hak dan kehendak bebasnya, ataupun sebagai warga dengan segala tanggung jawab sosialnya. Jika dianalogikan dengan konsep flaneur dari Walter Benjamin,22 sosok individu urban yang mandiri dan intelek ala urban Eropa ketika di Jakarta hanya dapat masuk ke dalam WC atau kakus dan merenung. “Individu merdeka” (meminjam judul lagu dari grup metal Seringai) Jakarta tidak dapat sepenuhnya merdeka dari jeratan intermediasi media-media iklan (baik media massa hingga media luar ruang seperti billboard dan lain-lain)
22 Walter Benjamin (1936), op.cit.
215 / SEDOT WC
dengan ruang kota. Keduanya kini telah terjerumus ke dalam jejaring kapital yang membentuk simulakra baru. Oleh karena itu pulalah iklan “Sedot WC” menjadi representasi ideal untuk menjelaskan ke mana hilangnya “publik” dari wacana kota Jakarta, entah mereka sedang BAB di WC, atau “wacana publik” itu sendirilah yang digelontorkan melalui kloset ke dalam septic tank. Jika membayangkan kota yang bersih dari gempuran iklan atau kota dengan ruang-ruang publik yang memadai saja sulit, maka—mungkin—kita perlu dapat membayangkan kondisi WC bersama: sebuah WC yang seharusnya bersih, atau yang kotor dengan isinya yang membludak keluar. Ironisnya, di Dunia Ketiga ini flaneur rekaan Benjamin harus memulai segalanya dari WC, membuang air dan membersihkan WC itu, sebelum “publik” telanjur digelontor air oleh orang lain yang hendak menggunakannya. Dalam situasi seperti ini, di zona berapa pun dan kepada siapa pun, iklan tersebut “berbicara”. Eksploitasi ruang kota sebagai perpanjangan tangan media iklan membuat ruang-ruang kota tersia-sia karena pemaknaan—yang semata—ekonomi oleh penguasa. Manusia yang menghuni ruang-ruang tersebut seolah menjadi tidak relevan dibicarakan atau dipertimbangkan. Padahal mereka adalah warga yang juga membayar pajak. Ruang hanya menjadi variabel transaksional yang meruntuhkan kesetaraan hakiki yang diharapkan warga kota ke dalam narasi beban pajak yang diterima dan investasi yang dikeluarkan untuk infrastruktur kota. Sebagai contoh, warga kota diharapkan membayar pajak, membayar retribusi parkir, membayar dana kebersihan lingkungan, membayar untuk mobilitas, membayar agar dapat tepat waktu, membayar untuk mendapatkan identitas sebagai warga kota (melalui izin tinggal dan lainnya), membayar—bahkan—untuk peristirahatan terakhirnya kelak. Di lain pihak, warga kota juga diharapkan untuk membeli jasa asuransi, menabung di bank tertentu, berlibur dengan cara tertentu, menonton siaran televisi tertentu, menikmati tarif telekomunikasi murah, membaca surat kabar tertentu, membeli televisi model terbaru, menggunakan piranti elektronik canggih terbaru, dan seterusnya. Iklan di ruang kota menjadi sarana penguasa (pihak kapitalis maupun negara) untuk semua ini, sehingga iklan-iklan tersebut tidak ubahnya praktik spasialisasi dominan yang disuperimposisikan penguasa kepada rakyatnya. Gerilya di ruang-ruang
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 216
kota oleh warga kelas bawah melalui reklame “Sedot WC” serta negosiasi kultural kelas atas dengan cara mempercantik produk lokal dalam bentuk kafe dan butik mewah hanya membuat tampilan visual ruang kota semakin riuh-rendah tidak terkendali. Masing-masing visual pada akhirnya salling berperang satu-sama lain, saling bunuh dan saling rusak. Dalam konteks uraian di atas, kota (Jakarta) menjadi arena pertarungan merek, pertarungan kapitalisme dan pertarungan nilai tukar dengan satu ideologi, yaitu ideologi kapitalisme itu sendiri. Keriuh-rendahan tiada kendali ini merupakan pengingat—semacam monumen—bagi warga kota akan realitas banal mereka sebagai objek kekuasaan kapitalisme. Wajah kota lengkap dengan iklan-iklan yang saling bertarung tersebut menceritakan eksploitasi warga kota oleh pemerintah dan kapitalisme. Iklan-iklan tersebut bercerita tentang upaya pemerintah kota untuk meraup pajak sebesar-besarnya atas spasialisasi dominan yang mereka lakukan, dan usaha kaum kapitalis untuk meraih angka penjualan sebesar-besarnya. Dalam arena pertarungan ini, warga kota sepenuhnya menjadi korban. Bagaikan perang dunia, penyerahan diri warga menjadi penting karena warga kota adalah bahan bakar dan mesiu yang diperlukan untuk membuat peperangan ini terus berlangsung. Di tengah peperangan sengit ini, kita dapat melupakan mimpi akan kesetaraan hakiki sebagai warga kota yang terbangun melalui relasi sosial demokratis di ruang publik. Satu-satunya kesetaraan yang mereka rasakan hanyalah sama-sama tereksploitasi sebagai warga kota, sama-sama tidak dapat menolak untuk diposisikan sebagai sumber uang oleh pemerintah dan kapitalis. Sementara, satu hal yang dilupakan oleh pemerintah dan kelompok kapitalis adalah bahwa mereka juga sama-sama warga kota. Mereka sebenarnya sama-sama memerlukan ruang kota yang lebih baik untuk memanusiakan diri mereka sendiri. Uraian di atas menjelaskan bahwa perlawanan, baik kecil maupun besar, justru akan membuka pertarungan makna baru yang tidak pernah berujung pada konsensus ruang kota yang ideal. Sebaliknya, pertarungan semacam itu hanya akan menjadikan praktik konsumsi warga kota sebagai persaingan yang selalu menempatkan warga berdiri berhadapan dengan warga lain, bukan berhadapan dengan penguasa (pemerintah dan kelompok kapitalis). Pada
217 / SEDOT WC
akhirnya, sang flaneur kita dari Eropa lagi-lagi hanya dapat duduk terdiam dan merenung di dalam WC sambil BAB. Pada akhirnya, kesetaraan hakiki kita sebagai warga Jakarta yang nyaris putus harapan dengan sang flaneur Eropa adalah buang air besar di kakus. Dalam situasi ini, mungkin iklan yang paling esensial untuk “tampil” di ruang kota kita adalah iklan “Sedot WC” dan bukan yang lain. Mungkin juga sudah saatnya kita mengonstruksi identitas flaneur khas Dunia Ketiga. Flaneur kita ini adalah seseorang yang merokok atau meng-update status Facebook melalui telepon selulernya yang canggih sambil buang air, yang lebih menyukai WC dengan air mengalir daripada gulungan tisue, yang merasa mendapatkan informasi diskon pada billboard maha besar di jalan protokol, yang menganggap musik dalam volume maksimum di kafe sebagai penanda keriaan, yang merasa bersikap tepat waktu adalah berlebihan, menganggap perenungan sebagai penanda kebingungan, memandang pertanyaan kritis sebagai kebodohan. Ketika flaneur dari Eropa telah tertransformasi menjadi flaneur Dunia Ketiga seperti gambaran di atas, maka proyek spasialisasi dominan yang dibicarakan di sini telah sepenuhnya berhasil. Modernitas menawarkan gagasan kesetaraan, namun dalam konteks ini warga kota gagal menjadi manusia modern seperti yang dibayangkan Walter Benjamin. Urbanisasi sebagai salah satu manifestasi modernitas Indonesia yang direpresentasikan oleh Jakarta justru melenyapkan gagasan “publik” sebagai representasi kesetaraan dan demokratisasi. Persoalannya, ketika orientasi ekonomi terlalu dominan dan menjadikan hidup warga selalu berada di bawah pembangunan ekonomi. Segala hal yang tidak dapat dinalar secara ekonomi akan dianggap tidak terlihat dan tidak relevan, dan komodifikasi ruang kota yang meminggirkan ruang publik semata karena pertimbangan ekonomi dianggap lebih masuk akal. Bagian 4. Warga Kota dan Ruang Hidup Semarak Reklame Henri Lefebvre adalah sosiolog Prancis yang pertama kali menggagas perlunya menyertakan wacana tentang ruang untuk memahami realitas sosial. Menurut dia, ruang diproduksi, dikonsumsi, dan direproduksi oleh manusia melalui praktik sosialnya. Dalam konsep The Production of Space yang digagasnya,
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 218
praktik spasial merupakan praktik sosial itu sendiri, dan sebaliknya. Dalam penjelasan ini Lefebvre menambahkan bahwa praktik spasialisasi dengan sendirinya tidak dapat memisahkan diri dari relasi kuasa. Relasi antara “pusat” dan “pinggiran” dalam perspektif Henri Lefebvre dengan sendirinya merupakan praktik kekuasaan yang mewujud dalam pemaknaan ruang hingga pemanfaatannya. Itulah sebabnya sebuah ruang urban memiliki “pusat” dan pusat tersebut selalu merepresentasikan kuasa dominan, baik kuasa negara ataupun kuasa kapital. Maka, setiap ruang yang menjadi tempat bertemunya kedua representasi kekuasaan ini, tarik-menarik kepentingan yang terjadi, menjadi sangat jelas terbaca. Dalam kasus ini, iklan di ruang kota merepresentasikan bagaimana kompromi negara dengan kapitalisme bertemu di ruang-ruang kota. Seperti yang juga digagas Lefebvre, manusia sebagai makhluk sosial—yang dengan sendirinya juga makhluk spasial—selalu mencoba melakukan apropriasi terhadap ruang hidupnya. Termasuk dalam konteks ini, mengapropriasi ruang untuk meraih keuntungan ekonomi. Untuk membuat segalanya lebih kompleks, mari kita telisik fenomena belakangan ini mengenai banyaknya reklame mural di dinding-dinding rumah. Mural itu, sekalipun masih tidak jelas secara hukum, namun diizinkan oleh pemilik rumah yang bersedia dibayar dengan murah. Untuk melihat hal ini, kita perlu kembali lagi pada soal kegagalan kota—dalam konteks ini: Wacana warga tentang “hidup layak di ruang kota” diruntuhkan oleh narasi dominan ekonomi yang memandang seluruh ruang kota sebagai komoditi dan sarana akumulasi kapital kota. Sialnya bagi warga, narasi dominan ini mewujud dalam spasialisasi dominan—alih-alih pembangunan fisik kota—yang terus menggerus warga ke dalam logika ekonomi yang semata transaksional tanpa menyisakan ruang bagi transaksi simbolik. Seperti apakah transaksi simbolik dalam ruang kota itu? Tentu saja, keindahan kota dan kenyamanan untuk tinggal di dalamnya. Sebagai kota “melting pot” yang menjadi pertemuan berbagai bentuk kebudayaan, maka kapitalisme menjadi satu-satunya legitimasi kebudayaan dominan Jakarta. Dengan sendirinya praktik spasialisasi dominan yang terjadi (dan tanpa sadar menjadi rujukan warga) adalah model yang dilakukan kapitalis. Menjadikan seluruh ruang kota sebagai komoditas, aset bebas dan bahkan perpanjangan
219 / SEDOT WC
media ekspresi. Satu-satunya bentuk ekspresi yang dikenal oleh kapitalisme tidak lain adalah beriklan. Seperti uraian tentang seniman grafiti yang mencorat-coret dinding kota, aparat penguasa kota mulai sadar bahwa warganya memerlukan sarana untuk “bertemu” dan berkomunikasi. Di lain pihak, aparat penguasa juga termasuk warga kota. Di lain pihak, globalisasi memudahkan diseminasi media dan konsumsi terhadap media. Gambaran tentang kota-kota dunia yang hadir dalam film ataupun media massa di satu sisi memberi wawasan baru bagi aparat penguasa kota untuk memaknai grafiti tidak lagi sebagai bentuk subversi terhadap kekuasaan, akan tetapi sebagai medium ekspresi (seni rupa) yang berpotensi untuk membuat kota ini menjadi lebih “indah.” Kolaborasi para seniman grafiti dengan kuasa (baik kapitalisme maupun negara) pada akhirnya membuka jalan bagi penguasa modal untuk melakukan kooptasi terhadap bentuk ekspresi tadi. Polda Metro Jaya misalnya, membuat mural dengan gaya yang menarik di beberapa fasilitas umum seperti dinding jalan layang. Bahkan beberapa di antaranya menampilkan kadar humor yang tinggi (tidakkah humor seringkali beroposisi biner dengan kekuasaan?). Sementara itu, tidak kalah gencarnya, kapitalisme menggedor ruang-ruang privat dengan pesan-pesan konsumtifnya dengan cara membuat mural di dinding-dinding rumah (yang terletak di pinggir jalan raya maupun di kawasan permukiman). Sekali lagi, runtuhlah batas tipis antara pengiklan dengan yang diiklankan, seperti runtuhnya batas tipis antara produsen dan konsumen dalam simulakra Jean Baudrillard.23 Situasi minimnya ruang publik di Jakarta masih harus diperburuk lagi dengan serangan-serangan kapitalisme ke ruang-ruang yang paling privat seperti permukiman. Bayangkan, seolah-olah ketika sedang menikmati momen kontemplasi di bilik WC, kita masih harus diganggu dengan orang yang lalu-lalang di hadapan kita. Lebih buruk lagi, sebagian dari lalu-lalang tersebut, ada yang menegur sekadar untuk menawarkan dagangannya.
23 Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Michigan: The University of Michigan Press, 1994).
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 220
Lalu, mengapa reklame dalam bentuk mural di dinding rumah ini menjadi persoalan bagi kehidupan warga di ruang publik kota? Persoalan ini tidak semudah menjelaskan “ya, ini problem”, dan kemudian menganggapnya seperti menunjuk kotoran di pekarangan rumah. Persoalan mendasarnya adalah legitimasi anggapan bahwa kapitalisme—dengan dalih atas kehendak publik—dapat berbuat sesuka hati di ruang kota. Persoalan berikutnya adalah, warga semakin tidak pernah diposisikan sebagai “individu merdeka” yang memiliki kesadaran penuh untuk meraih haknya yang paling hakiki yaitu hidup nyaman dan tenteram di kota. Warga semata konsumen dan objek kuasa kapitalisme. Warga merelakan ruang privatnya untuk dijadikan media iklan. Mereka merelakan dinding rumah dan bangunan miliknya menjadi kanvas, menjadi perpanjangan media iklan dari kapitalisme. Terlepas dari besaran uang yang diterima, kerelaan ini melegitimasi posisi “maha benar kapitalisme dengan segala iklannya.” Legitimasi ini mengukuhkan kuasa dominan kapital ekonomi dalam segala aspek. Namun yang paling celaka dari semuanya adalah ketika warga merelakan praktik tersebut semata demi alasan estetik. Apakah ini dapat dikatakan sebagai bentuk keberhasilan estetika modern? Entahlah. Apa dampak bagi warga kota jika ruang hidupnya dipenuhi reklame dan iklan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus ditelisik terlebih dahulu pertanyaan yang lebih esensial, yaitu: siapa yang di era globalisasi seperti ini dapat menghindar dari invasi kapitalisme? Keseharian kita telah demikian riuh-rendah oleh kapitalisme, setidaknya secara visual. Menggosok gigi di kamar mandi, menyiapkan makanan, mengganti popok bayi yang basah, mengoreksi dokumen di kantor, berobat ke dokter, pergi ke rumah ibadah, berkendaraan sambil mendengarkan radio, bermain sepak bola, dan masih banyak lagi aktivitas kita sehari-hari yang tidak mungkin luput dari jejak kapitalisme. Artinya, sebelum menciptakan tatanan ruang kota yang tidak terdominasi kapitalisme, warga kota telah terlebih dahulu diinvasi oleh kapitalisme melalui kesehariannya. Mungkinkah kita bayangkan kota tanpa billboard yang menampilkan produk termutakhir, ataupun, tanpa propaganda negara? Keputusan pemerintah untuk membersihkan kawasan Thamrin– Sudirman dan seputar istana negara dari reklame merupakan penanda bahwa
221 / SEDOT WC
negara telah menyadari pentingnya memiliki kota yang bersih dari invasi visualitas banal tersebut. Akan tetapi di lain pihak, pemerintah memberikan ruang publik sebagai arena untuk beriklan, dan masih disusupi dengan konvergensi media iklan secara paksa, dari papan reklame konvensional hingga papan LED. Kebijakan ini dapat dimaknai sebagai upaya kontrol terhadap pengiklan, dengan kompensasi mahalnya biaya papan LED dan biaya operasional—seperti logika menerapkan pajak kendaraan bermotor dan biaya parkir yang tinggi untuk menekan populasi mobil pribadi yang dilakukan oleh pemerintah Singapura.24 Akan tetapi, kapitalisme selalu menemukan cara untuk mengakali peraturan dan kebijakan. Kebijakan tersebut melegitimasi penetrasi iklan-iklan ke kawasan permukiman yang justru mendekatkan mereka dengan warga yang sekaligus adalah konsumen mereka. Dalam situasi ini, sebenarnya warga dapat merebut podium negosiasi untuk mengedepankan kepentingannya akan “hak untuk hidup layak di kota” terhadap kepentingan dagang kapitalisme melalui iklan. Artinya, media beriklan dapat dijadikan arena pergulatan kepentingan demi menemukan konsensus bersama. Hal sederhana yang dapat menjadi pendorong dari dialog ini adalah para pelaku industri (alih-alih kapitalisme) merupakan bagian dari warga kota itu sendiri. Namun untuk dapat mencapai konsensus tersebut, diperlukan kondisi ideal: warga yang mampu hidup berdampingan, para flaneur yang sadar betul akan perannya sebagai bagian dari kolektif yang lebih besar. Untuk itu, ruang-ruang publik yang masih tersisa kini selayaknya dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan warga dan jangan sampai dibiarkan kosong tidak terpakai. Semakin banyak aktivitas bersama warga kota di ruang-ruang publik akan membangun dialog antar-kelompok masyarakat, termasuk antara warga dengan kelompok penguasa kapital. Melalui proses seperti inilah demokratisasi di ruang publik dapat berlangsung dan perlahan dapat berfungsi secara optimal sebagai sarana pendidikan bagi warga kota untuk hidup berdampingan dan saling menghargai. Dalam situasi
24 Merujuk pada studi mengenai kebijakan parkir di Asia oleh Paul A. Barter untuk Lee Kuan Yew School of Public Policy. Lihat: Paul A. Barter, Parking Policy in Asian Cities, (Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, November 2010). Tautan: http://bit.ly/16BHUrV. Diakses pada 21 Agustus 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 222
seperti ini, kuasa dominan tidak dapat serta-merta masuk dan merebut podium dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah benar dan demi memenuhi keingingan warga yang menjadi konsumen mereka. Ruang publik yang sepi “pesan” (reklame) memungkinkan proses dialog seperti itu berjalan lancar karena ruang itu menjadi zona netral. Baik pengiklan, konsumen, dan aparat sama-sama menjadi warga biasa dengan segala hak dan kewajibannya. Dalam public sphere itu setiap kelompok masyarakat dapat berdiri setara tanpa membawa latar belakang kebudayaannya. Termasuk dalam hal ini, kepentingan kuasa kapital maupun negara. Pertanyaan sederhananya adalah seberapa mengganggunya iklan-iklan di ruang kota ini? Ketika persoalan pajak dan perlawanan terhadap narasi dominan kapitalisme telah dipersoalkan panjang-lebar pada bagian-bagian sebelumnya, maka persoalan keterlihatan menjadi pokok argumentasi yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Analogi sederhananya adalah seperti menonton film. Jika ada adegan yang tidak kita inginkan, adegan bermuatan seks ataupun kekerasan, kita dapat menghindarinya dengan menutup mata, menunggu adegan tersebut berlalu. Sesederhana itu. Jika kita melihat sesuatu yang kurang pantas kita dapat memalingkan wajah atau purapura tidak melihat, sesederhana itu. Persoalan mendasarnya dalam kasus ini, iklan-iklan di ruang kota (reklame billboard, reklame LED, reklame poster, dan lain-lain) bukanlah sesuatu yang dapat berlalu begitu saja. Mereka seolah duduk diam di hadapan kita, memaksa kita untuk melihat dan memandang mereka, terlepas dari suka atau tidaknya kita pada mereka. Mereka berdiri bagai monumen yang merebut jarak pandang kita terhadap cakrawala kota, sehingga seolah kita tidak punya pilihan untuk tidak melihatnya. Mereka seperti hinggap di gedung dan bangunan yang—mungkin saja bagi kita— menarik untuk dipandang karena kualitas estetiknya. Mereka menginterupsi konsentrasi saat kita membaca papan instruksi atau rambu lalu lintas di ruang publik. Mereka menginterupsi pandangan kita di jalan tol ketika kita sedang berkonsentrasi mengemudi. Yang lebih buruk, mereka memaksa kita untuk menerima bahwa mereka harus hadir sebagai bagian dari lanskap kota yang seharusnya indah.
223 / SEDOT WC
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana soal keterlihatan ini dapat disikapi? Untuk menjawab hal tersebut, kita harus dengan cermat menempatkan keterlihatan iklan dalam konteks hak warga untuk tinggal di ruang kota yang nyaman secara visual. Pembatasan ini menjadi perlu agar masalah keterlihatan ini tidak dapat serta-merta dijadikan sebagai alat untuk memperkuat argumentasi bahwa yang dilihat itulah yang salah, seperti halnya dalam kasus rok mini yang dituding sebagai pemicu tindak perkosaan. Menjadi berbahaya jika logika yang digunakan adalah “jika tidak ingin diperkosa maka jangan mengenakan rok mini.” Dalam kasus relasi pakaian dengan kriminalitas, kita dapat mengatakan bahwa persoalan terdapat pada pihak yang melihatnya. Dalam konteks iklan di ruang kota, logika yang digunakan justru harus sebaliknya: apa yang kita lihat sangat mengganggu dan kita tidak kuasa untuk melawan atau menolaknya, maka yang kita lihat itulah yang menjadi persoalan. Gagasan bahwa rok mini adalah pemicu perkosaan menjelaskan bahwa narasi dominan dari ideologi patriarki mencoba mengatakan bahwa perempuan adalah objek kekuasaan patriarki dan oleh karenanya perempuan jugalah yang bersalah. Logika sederhananya, objek kekuasaan tidak dapat “menggugat” penguasa. Dari sini kita dapat menunjukkan bahwa ada ideologi tertentu yang berperan mengonstruksi pemaknaan bahwa rok mini adalah representasi perempuan yang seksual karena membiarkan bagian tubuhnya terlihat. Oleh karena itu pula yang melihat (subjek atau penguasa) menjadi tidak bersalah atas segala hal yang terjadi atas objek yang dilihatnya, dengan kata lain, objek itu sendirilah yang sengaja meminta perlakuan atas dirinya. Gagasan sebaliknya justru berlaku dalam kasus iklan di ruang kota. Ideologi kapitalisme mengonstruksi makna bahwa iklan dan segala yang berkaitan dengannya hanyalah praktik jual-beli yang bebas ideologi. Dengan sendirinya jika iklan hadir di ruang kota sebagai objek yang terlihat maka keterlihatannya itu seolah bebas ideologi. Artinya kita harus mampu membaca bahwa persoalan keterlihatan iklan juga merupakan bagian dari pertarungan ideologis antara kapitalisme dengan warga kota di ranah pemaknaan. Keterlihatan iklan, menjadi gangguan atau tidak, menjadi sebuah pertanyaan besar ketika hanya dijangkau oleh
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 224
logika kuantitatif dan narasi ekonomi. Pertanyaan sederhana yang muncul kemudian adalah: ukuran intensitas gangguan yang ditimbulkan oleh iklan yang terlihat. Di lain pihak, dalam perspektif produsen iklan, keterlihatan merupakan ukuran akan berhasil atau tidaknya iklan tersebut. Bagi pemerintah sama halnya, bahwa keterlihatan merupakan kerangka pikir mereka untuk menentukan tarif sewa dan pajak. Perdebatan tentang keterlihatan dalam riset ini menunjukkan adanya perdebatan epistemologis antara logika kuantitatif dengan kualitatif, antara angka versus makna. Oleh karena persoalan keterlihatan dalam kasus ini berkaitan dengan lanskap arsitektural, maka seolah persoalan ini dapat selesai hanya dengan jawaban khas arsitektural, yaitu dimensi, jarak, sudut pandang (bukan paradigma, akan tetapi sekian derajat dari titik yang melihat), topografi dan berbagai jawaban “terukur” lainnya. Bagaimana halnya dengan iklan-iklan yang dari sudut manapun tetap terlihat? Bagaimana halnya dengan keinginan warga untuk dapat tetap melihat objek yang tertutup oleh iklan tersebut? Tulisan ini tidak berupaya untuk memberikan metode pengukuran keterlihatan dan segala bentuk gangguan yang ditimbulkannya. Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan bahwa dalam persoalan ini, terdapat perbedaan paradigma (antara kuantitiatif dengan kualitatif, antara pendekatan positivistik dengan cara membaca yang kritis) yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Jika kita kembali sejenak ke masa Orde Baru, sempat terjadi perdebatan tentang praktik kuningisasi.25 Pemerintah Daerah mewajibkan warga mengecat pagar rumah dan bangunannya dengan warna kuning yang sama dengan warna resmi Golkar, partai yang berkuasa. 26 Namun entah bagaimana prosesnya, praktik ini kemudian tidak berlanjut. Padahal rezim Orde Baru yang totaliter dikenal jarang mau berkompromi dengan “suara rakyat.” Ditambah lagi, di masa itu, menolak keputusan pemerintah dapat dianggap sebagai tindak subversi, menentang pemerintah/negara, dan dapat berurusan dengan hukum. Lain halnya dengan masa sekarang. Di beberapa area permukiman 25 “Kuningisasi” merujuk pada kampanye Golongan Karya pada Pemilu 1997. Baca: Lambang Triyono, “Paradoks Demokrasi di Indonesia: Kerusuhan Pada Masa Kampanye Pemilu 1997,” dalam Jurnal Sosiologi dan Politik (JSP), Vol. I, No. 2, November 1997, hlm. 32. 26 Ibid.
225 / SEDOT WC
di Jakarta—biasanya di zona keempat dan kelima—kita dapat menemukan fenomena rumah-rumah warga, dinding-dinding kosong dan lapangan (yang sebenarnya berfungsi sebagai ruang kolektif warga) yang dijadikan perpanjangan media iklan: dicat, digambari, atau dibubuhi bermacam visual iklan. Berdasarkan temuan di lapangan, hal tersebut terjadi atas izin dan kesepakatan antara pemilik rumah dengan pengiklan. Pemilik rumah atau bangunan mendapatkan kompensasi uang dalam jumlah tertentu. Gejala ini kemudian menjadi “wabah” visual baru karena banyak orang yang merasa rumahnya berada di lokasi strategis menginginkan rumahnya dijadikan perpanjangan media iklan semata demi imbalan uang. 27 Situasi seperti demikian, menunjukkan bahwa serangan iklan, alih-alih konsumerisme, telah masuk ke dalam wilayah-wilayah yang seharusnya privat dan perdebatan lain mengenai persoalan keterlihatan menjadi semakin kompleks. Warga mengizinkan—bahkan menginginkan—rumah atau wilayah privatnya menjadi perpanjangan media iklan karena merasa hal tersebut terjadi di dalam teritorinya. Namun persoalannya lebih dari sekadar persoalan teritorial. Tentunya akan ada warga yang merasa tidak nyaman dengan hal tersebut karena masing-masing teritori sebenarnya memiliki peran yang setara, yakni mengonstruksi ruang permukiman secara kolektif. Rumah tetangga yang penuh dengan gambar iklan/merek tertentu pada hakikatnya mengemban fungsi estetik lingkungan yang sama dengan rumah milik warga lain, yang tidak menginginkan iklan. Kedua polar ini sama-sama ruang privat, namun peran setiap rumah sebagai elemen yang saling memberi bentuk secara kolektif tidak dapat dikesampingkan. Jika demikian, maka konsensus mengenai kelayakan estetika visual dari sebuah permukiman sebagai ruang kolektif perlu disepakati bersama. Pencapaian konsensus seperti itu tidaklah
27 Sebuah artikel dalam sebuah blog, yang hanya mengabarkan tentang fenomena reklame mural buatan operator telekomunikasi seluler, justru ditanggapi pembaca dengan antusias. Dari 43 komentar, ada 7 orang berminat dan 29 orang menawarkan rumahnya. Nomor telepon, alamat rumah maupun surel mereka berikan dalam komentarnya. Para pembaca tersebut berasal dari Jakarta, Bekasi, Bali, Bandung, Bogor, Cimahi, Magelang, Pekanbaru, Pontianak, Riau, Serang, Sukabumi, sampai Tangerang; baca: Isdiyanto, “Reklame Dinding Operator Seluler,” simpanglima.wordpress.com, 1 Desember 2009, tautan: http://bit.ly/1eopkZ8, terakhir diakses pada 18 September 2013. Lebih jauh tentang reklame mural, baca tulisan Ardi Yunanto, “Di Tempatmu Ada Daganganku: Catatan tentang Reklame Jenis Baru di Ruang Kota Jakarta,” dalam buku ini.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 226
mudah karena terkait dengan selera estetika visual setiap individu dan akan berujung pada perdebatan yang tidak kunjung usai. Lalu bagaimana? Saatnya negara—dalam hal ini pemerintah kota khususnya—berperan dengan membuat peraturan yang mengutamakan faktor kenyamanan visual. Selain paling terlupakan oleh para penentu kebijakan dan produsen iklan, faktor ini seharusnya mengontekstualisasi seluruh peraturan yang terkait dengan iklan di ruang kota, baik yang ada di kawasan komersial, industri, pemerintahan maupun permukiman warga. Pada beberapa bagian sebelumnya dalam buku ini, kita dapat melihat bagaimana wacana keterlihatan didominasi oleh logika ekonomi. Dalam perspektif produsen iklan, keterlihatan berorientasi pada tersampaikannya muatan (pesan) iklan kepada warga (konsumen); sementara dalam perspektif pemerintah, keterlihatan yang dimaknai oleh produsen iklan tersebut menjadi indikator nilai tukar (harga sewa, besaran pajak) yang harus diperoleh.28 Wacana tersebut tanpa disadari menganggap warga kota hanya sebagai konsumen iklan dan sekaligus menganggap warga pasti akan menerima kehadiran iklan (pesan konsumerisme) tanpa penolakan sama sekali. Situasi ini menunjukkan bahwa warga sama sekali tidak memiliki hak (dan mekanisme) untuk menolak kehadiran iklan dalam kesehariannya. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan-pertanyaan sederhana pun muncul: Akankah produsen iklan mendatangi rumah pribadi pejabat penting negara di Jakarta dan menawari mereka untuk mengecat rumahnya dengan iklan bermerek tertentu? Jika ya, akankah mereka menerima tawaran itu? Secara ekstrim, mungkin kita dapat mempertanyakan mengapa ruang privat (rumah pribadi maupun dinas) gubernur, menteri, bahkan presiden dapat bebas sepenuhnya dari ancaman iklan? Mengapa pemerintah dapat menjamin ruang privat dari pihak tertentu bersih dari papan reklame dan semacamnya, sementara ruang-ruang lain dibiarkan terpolusi oleh iklan? Jawabnya sederhana, karena negara melindungi dan menjamin pihak maupun wilayah tertentu bebas dari serangan iklan. Peraturan Daerah DKI Jakarta
28 Contoh pandangan pemerintah mengenai keterlihatan dapat dilihat pada Evaluasi Aturan Teknis Pemasangan dan Pola Penyebaran Titik Reklame di DKI Jakarta (2009), oleh Dinas Tata Ruang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, pada Bab 2, tentang “Sudut Pandang” dan “Ketinggian” reklame.
227 / SEDOT WC
No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 18 butir (1) menyatakan hal tersebut.29 Jika pihak tertentu diasumsikan dapat menolak kehadiran iklan di ruangnya, lalu mengapa warga biasa tidak? Jika jawabannya semata adalah karena pihak tertentu ini mengemban citra sebagai representatif negara, kita dapat berargumentasi bahwa mereka adalah warga kota juga seperti warga biasa lainnya. Dengan demikian kita dapat berargumentasi bahwa warga biasa dapat dimaknai sebagai representatif negara dan oleh karenanya—setidaknya—warga biasa berhak untuk menolak iklan dengan alasan apa pun. Jika negara menjamin iklan tidak akan menginfiltrasi kantor Pemerintah Pusat atau Daerah dari iklan (dalam bentuk apapun), maka negara seharusnya juga menjamin hal yang sama terhadap warganya, yaitu bebas dari infiltrasi iklan, terlebih lagi karena itu adalah ruang privat mereka. Pokok dari argumentasi di atas sebenarnya sederhana pula. Pertama, warga kota membayar pajak dan dari pajak tersebutlah warga mendapatkan layanan sebaik-baiknya dari pemerintah kota. Salah satu layanan yang terlupakan adalah pemerintah kota menjamin warganya mendapatkan ruang kota—sebagai ruang hidup—yang layak. Salah satu standar kelayakan yang terlupakan adalah ruang kota yang nyaman secara visual karena bebas dari polusi iklan. Kedua, seperti yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa baik warga kota, para penentu kebijakan (pemerintah dalam hal ini) dan produsen iklan adalah sama-sama warga kota (Jakarta). Jika ketiga pihak di atas sepakat bahwa mereka adalah manusia urban yang hidup dalam kesetaraan, maka demokratisasi ruang mutlak diperlukan. Praktik spasialisasi dominan ala kapitalisme yang disuarakan oleh kelompok penguasa dan cenderung melupakan warga kota—harus diubah. Jakarta memerlukan ruang yang memanusiakan warganya, tidak melalui dominasi wacana ekonomi akan tetapi melalui pemenuhan “hak atas kota”,30 akan pembangunan yang demokratis dan 29 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 18 butir (1) berbunyi: Penyelenggara reklame dilarang menyelenggarakan reklame yang bersifat komersial pada a). gedung dan atau halaman kantor Pemerintah Pusat/Daerah, b). gedung dan atau halaman tempat pendidikan/sekolah dan tempat-tempat ibadah, dan c). tempat-tempat lain yang ditetapkan dengan keputusan Gubernur. 30 Henri Lefebvre, The Right to the City (1968). Baca juga: Henri Lefebvre, Writings on Cities, terjemahan Kofman & Lebas (Oxford: Wiley-Blackwell, 1995); lihat juga Lefebvre (1996) “Writings on Cities.” Terj. Kofman & Lebas
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 228
menjunjung tinggi kesetaraan. Ketiga, peraturan ini merupakan perlindungan negara terhadap warganya dari serangan konsumerisme. Dominannya wacana ekonomi telanjur membangun sekat-sekat kelas di antara warga Jakarta. Akhir kata, perlindungan terhadap warga dari serangan konsumerisme dapat menjadi salah satu tindak antisipasi ketika pemerintah belum mampu menyediakan infrastruktur kota yang demokratis.
***
(Oxford: Wiley-Blackwell); dan Mark Purcell, “Excavating Lefebvre: The right to the city and its urban politics of the inhabitant,” dalam GeoJournal 58, (Kluwer Acedemics Publishers, 2002). Tautan: http://bit.ly/xZIqYM. Diakses pada 10 September 2013.
PENUTUP oleh
Yuka Dian Narendra & Ardi Yunanto
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 232
Tanpa perdebatan panjang, kita sebenarnya dapat melihat bahwa warga kota Jakarta, sadar atau tidak, bersama-sama menyepakati satu hal, yakni perlunya perlindungan terhadap bahaya laten konsumerisme. Tanpa perdebatan panjang, sebagai warga kota Jakarta, kita juga dapat melihat bagaimana sikap negara terhadap keberadaan iklan di ruang kota, dan pada saat yang sama, kita juga dapat melihat bagaimana Jakarta sebagai ibukota dimaknai oleh negara. Bersihnya lingkungan istana kepresidenan dan kawasan sekitar Monumen Nasional, serta teraturnya ruas protokol Sudirman–Thamrin dari carut-marut visual iklan, tentu bermakna sesuatu. Sementara, ruas tersebut, secara arsitektural kota, memiliki fungsi yang serupa dengan iklan, yaitu merepresentasikan laju perekonomian negara. Absennya visual iklan di kawasan tertentu justru menandai kehadiran negara. Sebaliknya, tumpang-tindih visual di kawasan lain di Jakarta memberi kesan seolah negara absen, atau setidaknya sengaja memberi ruang artikulasi bagi dunia usaha. Keteraturan yang tampak di kawasan Sudirman–Thamrin menjadi bukti adanya dialog antara negara dan pemodal. Manifestasi dari dialog tersebut adalah regulasi yang berfungsi sama: sebagai wacana yang membingkai praktik artikulasi ruang kota. Pada dasarnya, ketika ruang kota menjadi ruang hidup bagi warganya, maka artikulasi kehidupan berupa praktik spasial merupakan hal yang lumrah. Praktik spasial warga di kota membuktikan adanya keterlibatan warga untuk membuat kotanya menjadi lebih baik. Di lain pihak, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, para penentu kebijakan, produsen iklan dari kaum kapitalis besar hingga masyarakat umum dalam kasus ini adalah sama-sama warga kota. Persoalannya kemudian adalah, mereka semua telanjur berada dalam lapisan-lapisan struktur kekuasaan. Lapisan-lapisan itu membuat hanya kelompok tertentu saja yang bisa masuk ke dalam pusat kekuasaan dan ikut menentukan kebijakan—hal yang tidak terjadi pada masyarakat umum yang awam. Akses lebih itu dapat diraih dengan kapital tertentu yang tidak dimiliki warga biasa. Dengan kata lain, dalam konteks ini, praktik spasial warga juga runtuh dalam logika kekuasaan. Ketika bermacam regulasi yang berkaitan dengan visual iklan di ruang kota terancam gagal karena persoalan struktur kekuasaan itu
233 / PENUTUP
sendiri, maka tidak ada satu pun regulasi yang dapat melindungi warga dari praktik objektivikasi kapitalisme, alih-alih melindungi warga dari serangan konsumerisme. Itu sebabnya, pengambilan keputusan, kebijakan, maupun pembuatan peraturan yang terkait dengan visual iklan di ruang kota idealnya kembali melibatkan warga. Warga kota harus diberikan ruang untuk menegosiasi—atau bahkan menolak—kehadiran iklan di ruang kota mereka dalam bentuk apa pun. Keterlibatan warga seperti ini menjadi penting jika kita dudukkan semua pihak secara demokratis dan setara, sebagai warga kota itu sendiri. Tentu, proses demokratisasi ini bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menjadi transparan, proses ini memerlukan kedewasaan setiap pihak untuk saling menghargai dan memandang satu sama lain sebagai tetangga dekat. Di sisi lain, ruang negosiasi ini juga berisiko menjadi ajang konflik baru yang memicu lahirnya politisasi warga kota oleh kepentingan kelompok tertentu yang memiliki akses kapital lebih. Terlepas dari persoalan mekanisme negosiasi yang demokratis, pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk memperbaiki kembali sistem perancangan dan penataan kota yang transparan serta efisien. Belum lagi pengawasan transparansi itu sendiri yang akan menuntut perbaikan di sana-sini, mulai dari regulasi hingga birokrasi, hingga mendidik warga kota secara luas tentang bagaimana seharusnya hidup di ruang kota, sebagai “warga kota”. Warga kota Jakarta perlu dididik bagaimana tinggal di kota. Warga kota Jakarta perlu mengetahui bahwa modal utama yang harus dimiliki untuk dapat tinggal dan hidup di Jakarta adalah modal kultural dan modal sosial. Modal ekonomi pada akhirnya menjadi pelengkap dari kedua modal tersebut. Hanya melalui perspektif seperti itulah warga kota dapat menemukan kemanusiaannya yang urban. Lebih jauh lagi, dalam tataran ini pulalah seluruh strategi, perencanaan, perancangan, penataan, dan pembangunan kota oleh pemerintah dapat mencapai keberhasilan yang signifikan. Contoh sederhananya adalah negara tetangga kita Singapura yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengajari warganya agar tidak membuang sampah, merokok, dan—bahkan—meludah di sembarang tempat. Sanksi berupa denda yang besar dikenakan bagi mereka yang melanggarnya.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 234
Pemerintah Singapura terkenal akan sikap tegasnya dalam penegakan hukum. Penegakan hukum, dalam konteks ini adalah satu-satunya model pengawasan sekaligus pendisiplinan yang jitu. Namun untuk menegakkan hukum, aparat dan jajaran pemerintahan yang baik dan bersih menjadi syarat utama. Untuk itu, sekali lagi, kualitas pendidikan warga kota menjadi penting karena dari warga jugalah pemerintah kota mendapatkan sumber daya manusia untuk jajaran aparaturnya. Siklus ini menjadi kunci bagi proyek modernisasi Jakarta yang—sebenarnya—sudah terlambat hampir seabad. Di sisi lain, warga kota pun perlu mendidik dirinya sendiri, mengoptimalkan ruang hidupnya melalui berbagai kegiatan sosial-budaya yang dapat mengisi ruang-ruang kosong, dari lapangan terpakai sampai dinding kusam tak terurus. Seniman maupun pekerja visual lain dapat menjadi fasilitator dalam kegiatan-kegiatan yang berguna untuk mengembalikan potensi ruang publik kota, bahkan di tempat paling sisa sekalipun yang bisa dimiliki warga saat ini. Hanya dengan begitu, warga kota dapat mengurangi persaingan di antara mereka, dan menjadi kuat berhadapan dengan pemerintah maupun pemilik modal untuk memperjuangkan kembali ruang publiknya. Satu hal yang turut dipersoalkan pada bagian sebelumnya adalah mengenai ruang kota yang telanjur menjadi perpanjangan media bagi industri, terutama industri periklanan. Hadirnya iklan di ruang kota, sadar atau tidak, menjelaskan fenomena konvergensi media baru, yakni ruang kota sebagai media itu sendiri. Bagi warga, kota tak ubahnya sebuah pasteboard yang dapat ditempelkan visual apa pun, dengan cara apa pun, sehingga wajar bila kota tampak makin carut-marut. Untuk itulah, pemerintah perlu menciptakan ruang media bersama yang demokratis untuk semua pihak. Ruang media ini—berfungsi sama seperti pasteboard—dapat menjadi tempat informasi bagi berbagai kegiatan kolektif warga, acara sosial-budaya, hingga iklan usaha kecil warga. Ruang media ini dapat memperjelas posisi usaha kecil warga itu sendiri agar tidak tergerus oleh spasialisasi dominan yang selalu mengintai celah dan retakan di ruang-ruang kota. Terlepas dari efektif atau tidaknya ruang media ini, setidaknya melalui ruang inilah warga dapat belajar untuk memahami kembali ruang publik sebagai ruang bersama—ruang tempat mereka bertemu dan belajar untuk hidup berdampingan. Membicarakan
235 / PENUTUP
perkara hidup berdampingan, ruang media ini mutlak memerlukan regulasi yang tidak berorientasi pada upaya kapitalisasi (meraup pajak sebesar-besarnya), melainkan pada azas keadilan. Dalam aspek ini, kita kemudian harus kembali pada bahasan tentang pendidikan karena warga yang tidak memiliki kesadaran sebagai manusia urban—dari golongan manapun mereka berasal—akan menjadi faktor penghambat. Pemahaman kembali ruang publik sebagai ruang bersama yang bermanfaat bagi semua dapat berdampak pada kembalinya kata “publik” yang selama ini hilang dari wacana perkotaaan Jakarta. Demokratisasi ruang merupakan bentuk negosiasi warga kota terhadap praktik eksploitasi ruang kota Jakarta untuk kepentingan iklan semata. Demokratisasi ini bertujuan untuk memosisikan kepentingan warga akan ruang kota yang bersih dan indah secara visual, lebih penting dari kepentingan dagang kapitalisme semata. Dengan demikian, pemerintah (dan juga pemilik modal) diharapkan dapat paham betul bahwa warga yang hidup di ruang kota harus menjadi tujuan dan alasan mengapa kota itu—dalam hal ini Jakarta—perlu dipertahankan. Jika warga telah mendapatkan posisinya sebagai tujuan dan alasan dari keberadaan sebuah kota, maka kata “publik” telah kembali pada hakikatnya. Dalam kondisi tersebut, warga kota tidak dapat lagi dimaknai sebagai masyarakat awam atau “khalayak umum” yang berkonotasi awam dan tidak memiliki kekuatan sosial. Sebagai kekuatan sosial, “publik” dapat memanggil pemilik modal dan penentu kebijakan, semata karena mereka setara dalam hak dan kewajiban hidup di kota. Sebagai “publik”, warga kota menjadi sepenuhnya berdaya karena kepada publiklah pemerintah mengabdi dan dari publiklah kapitalisme memperoleh profit yang mereka kehendaki. Jika kondisi ini dianggap utopis, maka kita kontekstualkan saja perdebatan ini pada dimensi politisnya. Warga kota memilih pemerintah mereka. Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012–2017, Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan bahwa ia bekerja untuk rakyat dan hanya patuh pada konstitusi. Di lain pihak, kita mengalami sendiri bagaimana warga Jakarta memilih gubernurnya sendiri. Mekanisme politik Indonesia pasca-reformasi telah memungkinkan kita untuk memilih siapa pemimpin kita. Artinya, pemerintah “bekerja” untuk rakyat seperti halnya
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  236
Gubernur DKI Jakarta bekerja untuk warga Jakarta. Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat dengan mudah melindungi warganya dari komersialisasi—serangan kapitalisme—ke ruang-ruang privat mereka. Elaborasi sederhananya, jika pemerintah menjamin kediaman pejabat tinggi kota/provinsi/negara dari serangan iklan, maka pemerintah juga wajib melindungi warga biasa dari hal serupa. Tidakkah pemerintah bekerja untuk warganya? Perlindungan terhadap representasi negara yang ada di dalam ruang kota haruslah berjalan seiring dengan perlindungan yang sama terhadap ruangruang privat warga: rumah. Perlindungan yang diberikan terhadpa fasilitas umum yang merepresentasikan negara (lapangan Monumen Nasional maupun kawasan Medan Merdeka) sepatutnya berjalan paralel dengan perlindungan terhadap ruang-ruang kolektif warga seperti lapangan bulu tangkis, taman bermain, dan lain-lain yang berada di kawasan permukiman warga. Negara wajib melindungi rumah-rumah (ruang-ruang privat) warga karena secara esensial negara berawal dari ruang-ruang privat itu. Di lain pihak, jika ruang privat sudah tidak lagi diindahkan maka apalagi yang tersisa bagi warga?
***
DAFTAR REFERENSI
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 252
BUKU Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Orde Baru (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2009). Fredric Jameson, Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1990). Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage-Architecture (Singapore: Archipelago Press, 1998). Henri Lefebvre, The Right to the City (1968). Henri Lefebvre, “Revolt Through Dominant Respatialization,” dalam Rob Shields, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics (London and New York: Routledge, 2001). Henri Lefebvre, The Production of Space (Wiley-Blackwell, 1992). Henri Lefebvre, Writings on Cities, terjemahan Kofman & Lebas (Oxford: Wiley-Blackwell, 1995). Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Michigan: The University of Michigan Press, 1994). Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (terbit pada 1962, diterbitkan kembali oleh The MIT Press 1991). Karl Maton, “Habitus,” dalam Pierre Bourdieu: Key Concepts, ed. M. Grenfell (London: Acumen Press, Revised Edition, 2012).Marco Kusumawijaya, “Patung dan Komersialisasi Ruang Publik,” dalam Jakarta: Metropolis Tunggang-langgang (Jakarta: Gagas Media, 2004). Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terjemahan Richard Nice (Harvard University Press, Revised Edition, 1984). Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge University Press, 1977). Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production (Cambridge, UK: Polity Press, 1993). Reny R. Pasaribu, dkk, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2009). Rob Shields, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics (London & New York: Routledge, 2001). Suryono Herlambang, “Jakarta: Ruang Laga Warga dan Penguasa,” dalam Mendengarkan Kota: Studi Perbandingan Kota dan Komunitas Miskin Antara Jakarta—Bangkok, Tim Peneliti Institute for Ecosoc Rights (Jakarta: Institute for Ecosoc Rights & UNDP/Partnership, 2007). Stiker Kota, ed. Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, Mirwan Andan (Jakarta: ruangrupa, 2008). Walter Benjamin, Illuminations: Essays and Reflections (New York: Schocken Books, 1969). JURNAL Kurt Iveson, “Branded cities: outdoor advertising, urban governance, and the outdoor media landscape,” Antipode: A Radical Journal of Geography, Vol. 44, Issue 1, Januari 2012 (Wiley, 2012), hlm. 151 – 174. Lambang Triyono, “Paradoks Demokrasi di Indonesia: Kerusuhan Pada Masa Kampanye Pemilu 1997,” dalam Jurnal Sosiologi dan Politik (JSP), Vol. I, No. 2, November 1997. Mark Purcell, “Excavating Lefebvre: The right to the city and its urban politics of the
253 / DAFTAR REFERENSI
inhabitant,” dalam GeoJournal 58, (Kluwer Acedemics Publishers, 2002). Tautan: http://bit. ly/xZIqYM. Diakses pada 10 September 2013. STUDI DAN LAPORAN Vancansius Gunawan Meyer, Pengaruh Papan Reklame pada Pengemudi di Jalan Muhammad Husni Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat (Depok: Universitas Indonesia, 2005). Paul A. Barter, Parking Policy in Asian Cities, (Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, November 2010). Tautan: http://bit.ly/16BHUrV. Diakses pada 21 Agustus 2013. Kajian Pola Penyebaran Reklame di Sarana dan Prasarana Kota Wilayah Jakarta Pusat, Laporan Final Pusat Studi Urban Design untuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Tata kota, PT. Jatiwangi Grha Ciptakarsa, 3 Januari 2007. Evaluasi Aturan Teknis Pemasangan dan Pola Penyebaran Titik Reklame di DKI Jakarta (2009), oleh Dinas Tata Ruang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. MEDIA MASSA CETAK “Ratusan Ribu Papan Reklame Tanpa Izin Tetap Bermunculan di Jakarta,” Kompas, 18 Februari 1981. “Sebanyak 3.320 Papan Reklame di DKI Belum Dibayar Pajaknya,” Kompas, 10 Maret 1993. “75 Persen Reklame Luar Ruang di DKI Tanpa Pening,” Kompas, 11 Februari 2000. “Belasan Ribu Papan Reklame Bermasalah,” Kompas, 21 November 2000. “Patung Sudirman Setinggi 11 Meter Warnai Wajah Jakarta,” Kompas, 2 Juli 2003. “Peresmian Patung Sudirman Diwarnai Unjuk rasa,” Kompas, 16 Agustus 2003. “Patung Sudirman Bermasalah,” Kompas, 16 Agustus 2003. “Pencahayaan Monas Masih Bermasalah,” Kompas, 4 Mei 2005. “Renovasi Air Mancur Menari Telan Rp 26 Miliar,” Kompas, 20 Juni 2005. Bosco Nambut, “Lembaran Baru Media Luar Ruang Jakarta,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013. “Jakarta Lebih Modern karena LED,” majalah B&B, No. 118, Maret 2013. “Diduga Ada 500 Titik Iklan Ilegal, Pendapatan Pajak Reklame Bisa Capai Rp1 Triliun,” Kompas, 29 April 2013. MEDIA MASSA DALAM JARINGAN (ONLINE) Prodita Sabarini, “Tidying Up The City’s Celestial Clutter,” thejakartapost.com, 25 April 2009. Tautan: http://bit.ly/18ig0DX. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Isdiyanto, “Reklame Dinding Operator Seluler,” simpanglima.wordpress.com, 1 Desember 2009. Tautan: http://bit.ly/1eopkZ8. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 254
Marco Kusumawijaya, “Apa? Menertibkan Pejalan-Kaki?,” 21 Agustus 2011. Tautan: http://bit. ly/18YU2AT. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “DKI Tertibkan Puluhan Ribu Reklame Liar,” Kompas.com, 18 Oktober 2011. Tautan: http:// bit.ly/1624QME. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Operator Mulai Hapus Iklan Dinding,” Tribunnews.com, 12 November 2011. Tautan: http:// bit.ly/15ubS1i. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Graeme Bayliss, “LED Billboards Threaten Safety and Public Space, Say Critics,” Torontoist.com, 13 Desember 2013. Tautan: http://bit.ly/tCycy8. Terakhir diakses pada 25 September 2013. “Reklame Branding di Tangerang Mulai 2013 Dilarang,” www.kabar6.com, 21 Desember 2012. Tautan: http://bit.ly/R8w0Qc. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Dian Pitaloka Saraswati, “Nyomananda Merajai Titik Iklan di Jakarta dengan Bekal Kecerdikan,” Kontan.co.id, 23 Desember 2011. Tautan: http://peluangusaha.kontan.co.id/ news/nyomananda-merajai-titik-iklan-di-jakarta-dengan-bekal-kecerdikan. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Ini Penyebab Banjir Kepung Istana Negara dan Kantor Jokowi”, Liputan6.com, 17 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/1avZazD. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Jokowi Minta Tanggul Steril dari Papan Reklame,” Kompas.com, 18 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/18VTaOt. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Diprediksi, 27 Januari Jakarta ‘Tenggelam’,” Kompas.com, 18 Januari 2013. Tautan: http://bit. ly/Wkd6V8. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Dua Korban Selamat Banjir Plaza UOB Dirawat di RS Abdi Waluyo,” Tribunnews.com, 19 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/15peWM6. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Tinggal Keringkan Basement 4, Total 50 Mobil Terendam di Plaza UOB,” Detik.com, 23 Januari 2013. Tautan: http://bit.ly/15peVI6. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Tiga Papan Reklame di Kanal Barat”, Kompas.com, 5 Februari 2013. Tautan: http://bit. ly/1avZfDl. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Pajak Iklan Dinding Hilang 70 Persen,” Tribunnews.com, 11 Februari 2013. Tautan: http://bit. ly/18nsnhY. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Basuki: Tak Ada Lagi Izin Pasang Reklame di Jakarta!,” Kompas.com, 13 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/15pBPPk. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Deny Yuliansari, “Reklame akan Gunakan Sistem LED,” antaranews.com, 13 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/12Ll8gp. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Perbedaan Pergub dan Perda,” Hukumonline.com, 18 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/ YMThXK. Terakhir diakses pada 23 September 2013. “Salahgunakan Izin, Pemilik Reklame Akan Dipidanakan,” KoranJakarta.com, 21 Februari 2013. Tautan: http://bit.ly/1dhuK5c. Terakhir diakses pada 8 September 2013. “Torontonians Voice Their Opinions About Toronto’s Street Furniture,” dalam Newswire.ca, 12 Maret 2013. Tautan: http://bit.ly/XnfhNr. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Jokowi Segera Cek Reklame di Latuharhary,” Kompas.com, 13 Maret 2013. Tautan: http://bit. ly/16rf NLr. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Dinas P2B Bisa Robohkan Papan Iklan di Latuharhary,” Detik.com, 14 Maret 2013. Tautan: http://bit.ly/1aw0m65. Terakhir diakses pada 18 September 2013.
255 / DAFTAR REFERENSI
“Dispenda Bidik Reklame Dinding,” dalam Situs Resmi Dinas Pendapatan Daerah Makassar, berita dikutip dari Beritakotamakassar.com, 30 April 2013. Tautan: http://bit.ly/167GalT. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Kota Yogyakarta Hentikan Pemberian Izin Reklame “Wall Painting,” Antaranews.com, 24 Juli 2013. Tautan: http://bit.ly/1aKNjBc. Terakhir diakses pada 18 September 2013. “Mural Iklan Harus Bayar Pajak,” Beritajakarta.com, 14 Mei 2013. Tautan: http://bit. ly/143KxC2. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Sena Christian, “Roseville City Council expected to vote on digital billboard soon,” Presstribune.com, 18 Juli 2013. Tautan: http://bit.ly/15DYox3. Terakhir diakses pada 22 September 2013. David Evan Harris, “São Paulo: A City Without Ads,” Adbusters.org, 3 Agustus 2007. Tautan: http://bit.ly/xnGdu. Terakhir diakses pada 15 April 2013. Andi Muttya Keteng, “DKI Minta Perusahaan Pemilik Serat Optik Bangun Saluran Bersama,” Liputan6.com, 19 Agustus 2013. Tautan:http://bit.ly/1aka0eu. Terakhir diakses pada 21 September 2013. Dharmawan Sutanto, “Bulan depan, Pemprov DKI pasang 20 papan reklame di Waduk Pluit,” Merdeka.com, 19 Agustus 2013. Tautan: http://bit.ly/15ko3dy. Terakhir diakses pada 8 September 2013. “Reklame Branding di Tangerang Mulai 2013 Dilarang,” www.kabar6.com, 21 Desember 2013. Tautan: http://bit.ly/R8w0Qc. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Toronto’s Coordinated Street Furniture Program. Tautan: http://bit.ly/1dkXr19. Terakhir diakses pada 18 September 2013. JCDecaux Group. Tautan: http://www.jcdecaux.com/en. Topik Pilihan Kompas: Penertiban PKL di Jakarta. Tautan: http://bit.ly/18vs5Wd. Terakhir diakses pada 18 September 2013. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1976 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. B.V-6882/b/1 Tahun 1976 tentang Penunjukan Badan-badan Perusahaan yang Dapat Memberikan Izin Reklame. 1977 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 11 Tahun 1977 tentang Penetapan Kembali Peraturan Pajak Reklame Jakarta. 1978 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 672 Tahun 1978 tentang Prosedur Memperoleh Izin Pemasangan Reklame (Billboard) di Wilayah DKI Jakarta. 1982 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. 1990 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 480 Tahun 1990 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penataan dan Pengembangan Reklame (TKP3R) DKI.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 256
1991 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 121 Tahun 1991 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Penataan dan Pengembangan Reklame (TKP3R) DKI. 1992 Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1 Tahun 1992 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia pada Papan Nama, Papan Petunjuk, Kain Rentang, dan Reklame di Wilayah DKI Jakarta. 1996 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. 1998 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame. 1999 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2000–2010. 2000 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 76 Tahun 2000 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan dan Kelayakan Menggunakan Bangunan di Propinsi DKI Jakarta. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 112 Tahun 2000 tentang Cara Pelelangan Titik Reklame. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 132 Tahun 2000 tentang Pola Peletakan Reklame di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 133 Tahun 2000 tentang Penetapan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Keputusan Kepala Dinas Tata Kota Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 68 Tahun 2000 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Penertiban Rencana Tata Letak Bangun-bangunan Reklame (RTL). 2001 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 46 Tahun 2001 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Reklame di Luar Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 127 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 37 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame.
257 / DAFTAR REFERENSI
2002 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 55 Tahun 2002 tentang Penambahan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana. 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2004 Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 2 Tahun 2004 tentang Pajak Reklame. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 14 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame dalam Bentuk Baliho, Umbul-umbul, dan Spanduk. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 45 Tahun 2004 tentang Penambahan Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2005 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 14 Tahun 2005 tentang Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 53 Tahun 2005 tentang Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 133 Tahun 2005 tentang Penambahan Titik Reklame dalam Sarana dan Prasarana Kota Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 139 Tahun 2005 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Patung Pemuda Bundaran Senayan Kotamadya Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 53 Tahun 2005 tentang Penambahan Titik Reklame di Kawasan Patung Tani Kotamadya Jakarta Pusat. Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1066 Tahun 2005 tentang Pemanfaatan Titik Reklame kepada PT Level Depan Utama atas Pembangunan Air Mancur dan Lansekap Patung Diponegoro di Jalan Diponegoro Kotamadya Jakarta Pusat. 2006 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 23 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Kendali Ketat di Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 57 Tahun 2006 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Patung Tani Kotamadya Jakarta Pusat.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  258
2007 Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. 2008 Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 86 Tahun 2008 tentang Penetapan 15 (Lima Belas) Titik Reklame di dalam Sarana dan Prasarana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 105 Tahun 2008 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Atas Kali Ciliwung Sepanjang Mada-Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Ir. Juanda-Jalan Veteran. 2009 Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 50 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Selatan. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 51 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 52 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Utara. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 61 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pemeriksaan Pajak Reklame Jakarta Barat. Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 13 Tahun 2009 tentang Penghentian Sementara Proses Perijinan Penyelenggaraan Reklame pada Prasarana Kota. 2011 Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. 2012 Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1981 Tahun 2012, tentang Pembentukan Tim Penertiban Terpadu Penyelenggaraan Reklame. WAWANCARA Wawancara dengan Marto, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 2012. Wawancara dengan Setyanto Herlambang, pengusaha reklame, di Jakarta pada 5 Februari 2013. Wawancara dengan Adhy Septyo Nugroho, pekerja kreatif di biro periklanan Narada, di Jakarta, pada 5 Februari 2013.
259 / DAFTAR REFERENSI
Wawancara dengan Riardy Sulaiman, Perancang Perkotaan Pusat Studi Urban Design (PSUD), di Bandung, Jawa Barat, pada 14 Maret 2013. Wawancara dengan Sudaryono, pengusaha reklame dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Periklanan Luar Ruang Indonesia di Jakarta pada 21 Maret 2013. Wawacara dengan Gunadi Soekemi, Wakil Ketua Asoasiasi Media Luar Ruang Indonesia, saat diwawancara pada 22 Maret 2013. Wawancara dengan Heri “Ompong”, pembuat reklame mural, di Bekasi, Jawa Barat, pada 10 April 2013, dan melalui telepon pada 29 Juli 2013. Wawancara dengan Rudi, pembuat plang toko di Depok, Jawa Barat, pada Mei 2013. Wawancara dengan Bambang Sukaton, Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di Jakarta pada 25 Juni 2013. Wawancara dengan tim Pusat Studi Urban Design di Bandung, Jawa Barat, pada 11 Juli 2013. Wawancara dengan Dalu Kusma, mahasiswa Jurusan Periklanan, Institut Ilmu Sosial dan Politik, di Jakarta pada 23 Juli 2013. Wawancara dengan Silalahi pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Juli 2013. Wawancara dengan Tarjono, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Juli 2013. Wawancara dengan Farid Rakun, calon pengajar di Universitas Indonesia, pada 27 Juli 2013 di Jakarta. Wawancara dengan M.G. Pringgotono, seniman di Jakarta melalui telepon pada 29 Juli 2013. Wawancara dengan M. Sigit Budi S., seniman di Jakarta melalui telepon pada 29 Juli 2013. Wawancara dengan Janoe Arijanto, Ketua Pengembangan Internal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) dan Presiden Direktur Dentsu Strat, di Jakarta pada 31 Juli 2013. Wawancara dengan Suryono Herlambang, Ketua Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, di Jakarta pada 1 Agustus 2013. Wawancara dengan Abet, pemilik kios rokok, di Jakarta Selatan pada 24 Agustus 2013. FILM Modern Times (Charlie Chaplin, 1936). Cloud Atlas (Lana Wachowski, Tom Tykwer, dan Andy Wachowski, 2012). VIDEO Penghapusan reklame mural oleh Satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP) Balikpapan di Youtube.com. Diunggah 1 Mei 2012. Tautan: http://bit.ly/18hPbcX. Terakhir diakses pada 18 September 2013. Rapat Penataan Media Luar Ruang Provinsi DKI Jakarta di ruang rapat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Diunggah di Youtube.com pada 14 Februari 2013 oleh Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Seksi Penyiapan Materi dan Publikasi. Tautan: http://bit.ly/1egUf9V. Terakhir diakses pada 16 September 2013.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA  /  260
KARYA SENI RUPA PUBLIK Apotik Komik, kegiatan mural bersama di Kampung Ontoseno, Yogyakarta untuk Festival Kesenian Yogyakarta, 2003. Dokumentasi koleksi Indonesian Visual Art Archive di Yogyakarta, Jawa Tengah, di: http://archive.ivaa-online.org. Saleh Husein dan Kudaponi, Taman Catur, Zona Pertarungan, satu dari tiga program dalam ARENA: Jakarta Biennale XIII 2009 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Lebih jauh tentang karya ini baca katalog ARENA: Jakarta Biennale 2009 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2009), atau melalui arsip pada situs Jakarta Biennale. Tautan: http:// jakartabiennale.net.
TENTANG PARA PENYUSUN
Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 1980. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur di Institut
Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta, kota tempat ia dibesarkan, pada 2003. Satu tahun kemudian ia bergabung dengan ruangrupa,
sebuah organisasi seni rupa kontemporer, dan sejak 2007 menjadi pimpinan redaksi
untuk Karbonjournal.org, jurnal terbitan ruangrupa tentang ruang publik dan budaya urban. Bersama tiga rekan, ia menyunting buku Stiker Kota pada 2008 dan
selama 2011-2012, ia menjadi pimpinan redaksi proyek majalah empat edisi tentang kehidupan pria, Bung!; keduanya diterbitkan oleh ruangrupa. Bersama dua rekan, ia
mendirikan rumah desain grafis bernama merahmembara. Saat ini, sembari bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas, ia tetap berusaha menjadi seorang pengarang.
Robin Hartanto lahir di Jakarta, 1989. Ia lulus dari Jurusan Arsitektur di Universitas
Indonesia pada 2012, dan pernah menjadi arsitek junior di Avianti Armand Studio.
Tahun 2013, ia terpilih untuk mengikuti seri pameran, simposium, dan lokakarya Smart City yang diadakan oleh Aedes-East, di Berlin, Jerman. Pada tahun yang sama, ia menjadi salah satu redaktur untuk Karbonjournal.org.
Leonhard Bartolomeus lahir di Depok, Jawa Barat, 1987. Ia lulusan Jurusan Kriya Keramik, Institut Kesenian Jakarta pada 2012. Setelah mengikuti lokakarya penulisan
di ruangrupa, ia banyak terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi seni rupa
kontemporer itu. Sejak 2012 ia menjadi salah satu redaktur untuk Karbonjournal.org. Sembari terus mengasah kemampuan menulisnya, ia bekerja pula sebagai desainer grafis di PAMFLET, sebuah organisasi pemberdayaan anak muda.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 262
Yuka Dian Narendra lahir di Jakarta, 1972. Sekarang ia mengepalai Departemen
Kajian Kebudayaan Populer Indonesia di C4Ad (Center for Arts & Design) Surya Research and Education Center di Serpong, Jawa Barat. Minat penelitiannya adalah
hal remeh-temeh dalam kebudayaan populer Indonesia, terutama kajian tentang subkultur musik Metal. Kegemarannya terhadap musik Metal itulah yang membuat
Kandidat doktor bidang Cultural Studies dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia ini memutuskan untuk menulis disertasi subkultur Metal Indonesia.
Selain menjadi peneliti, Yuka menghabiskan waktu senggangnya dengan berburu makanan enak, terutama Chinese Food yang otentik bersama istrinya. Cara lain
bersenang-senang, ia lakukan dengan merekam dan memproduksi sejumlah album kelompok musik underground di studio rekaman kecil di rumahnya.
Amalia Puri Handayani adalah perempuan kelahiran Jakarta pada 1985. Ia lulus
dari Program Studi Indonesia, kemudian melanjutkan studinya di Kajian Wanita
Universitas Indonesia. Sembari menamatkan studi lanjutannya, ia bergabung dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sebagai Redaktur Pelaksana Jurnal Jentera pada 2009. Selama di PSHK, ia juga menekuni legislative drafting
training dan turut mengembangkan metodenya, terutama teknik perumusan kalimat peraturan yang efektif. Maka itu, ia juga aktif memberikan pelatihan perancangan peraturan di berbagai daerah di Indonesia. Selain menjadi peneliti PSHK, ia kini
menjadi mandor tim media kreatif Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (YSHK).
Erni Setyowati lahir pada 1974 di Jakarta. Ia bergabung dengan Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sejak 1998, saat masih duduk di bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 2008, ia menyelesaikan magisternya tentang hukum tata negara di universitas yang sama. Ia berperan aktif dalam
pengembangan teori dan metode legislative drafting training, dan berpengalaman
dalam memberikan pelatihan di berbagai daerah di Indonesia, baik kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemerintah Daerah,
maupun Non Government Organization (NGO), selain itu, ia juga merancang sejumlah undang-undang. Saat ini, ia mengelola Indonesia Jentera School of Law (IJSL), yaitu lembaga pendidikan tinggi hukum yang didirikan oleh PSHK.
263 / TENTANG PARA PENYUSUN
Rival Ahmad bergabung dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK) sejak 1998. Pada 2009, Rival menggenggam gelar LL.M. dari Melbourne
Law School. Lelaki kelahiran 1975 ini adalah salah satu pionir pengembangan metode “perancangan peraturan dan transformasi sosial” di Indonesia. Dengan
pengalaman itu, ia juga turun tangan mendirikan Indonesia Jentera School of Law (IJSL), yaitu lembaga pendidikan tinggi hukum yang didirikan oleh PSHK. Ia juga
pernah menjadi pengajar luar biasa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Krisnadi Yuliawan pernah bekerja di majalah Gatra dan bertanggungjawab terhadap rubrik kritik film di majalah tersebut selama lebih dari 15 tahun. Pada 2006-2007, ia
mendapat Asian Public Intelelctual (API) fellowship dari Nippon Foundation yang
memberinya kesempatan untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh globalisasi terhadap industri film di Jepang, Thailand, dan Indonesia.
Sulaiman Harahap lahir di Depok, Jawa Barat, 1985. Ia lulus dari Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia pada 2010. Ia banyak terlibat dalam kegiatan penelitian terutama dalam bidang seni dan budaya. Sebagai penulis,
ia telah banyak terlibat dalam beberapa penerbitan buku dan jurnal di Jakarta, salah satunya adalah buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit Komunitas Bambu. Saat
ini ia menjadi tim peneliti di Dewan Kesenian Jakarta sambil terus membesarkan
Studio Sejarah, sebuah kelompok penelitian yang ia dirikan bersama sejumlah rekan. Riyan Riyadi lebih dikenal sebagai Popo, lahir di Jakarta, 1982. Ia pernah kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP). Sejak 2001 ia lebih dikenal sebagai
seniman street art. Pameran tunggal pertamanya, “Numpang Nampang” diadakan di RURU Gallery, Jakarta, pada Maret 2010. Di tahun yang sama, ia terpilih sebagai The Best Mural Artist dalam acara Tembok Bomber Award. Saat ini, selain masih
aktif menggambar di jalan, ia juga bekerja sebagai dosen di almamaternya, dalam
program studi Komunikasi Visual. Berbagai kegiatan menggambarnya dapat dilihat pada blog pribadinya, thepopopaint.blogspot.com.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 264
Andang Kelana lahir di Jakarta, 1983. Seniman, desainer grafis dan web, pendiri dan Sekretaris Jenderal Forum Lenteng, organisasi yang fokus pada program edukasi
berbasis media. Ia menempuh pendidikan periklanan di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (IISIP), Jakarta. Saat ini ia bekerja sebagai Ketua Jakarta 32°C, organisasi untuk pameran karya visual mahasiswa Jakarta, serta Manajer Festival ARKIPEL, festival film dokumenter dan eksperimental internasional. Bersama dua rekan, ia
mendirikan rumah desain grafis bernama merahmembara. Sebagai seniman, ia sedang mengembangkan proyek seni media melalui karya-karya web-based.
Agung ‘Abe’ Natanael lahir di Jakarta, 1982. Ia lulusan jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta. Pada 2001, ia turut mendirikan Tanahijau, sebuah komunitas mahasiswa di Jakarta yang bergiat di wilayah jurnalistik, seni, dan budaya. Dua tahun kemudian ia menjadi anggota Forum Lenteng. Beberapa tahun terakhir ia bekerja sebagai fotografer. Sebelumnya, ia pernah menjadi reporter
berita harian di Media Kota News, Koran Jakarta, dan kontributor foto untuk majalah
Family Doctors dan Bung!. Di sela kesibukannya, ia menjadi pemateri untuk sejumlah lokakarya fotografi.
TENTANG ORGANISASI DAN MEDIA
ruangrupa adalah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Sebagai organisasi nirlaba, ruangrupa bergiat
mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan. Dikelola oleh para seniman muda dari berbagai disiplin ilmu, setiap
dua tahun sekali secara bergantian, ruangrupa mengadakan OK. Video, festival seni video internasional di Jakarta sejak 2003; dan Jakarta 32ÂşC, pameran karya visual mahasiswa se-Jakarta sejak 2004. ruangrupa turut mendukung kreativitas seniman muda melalui RURU Gallery, mengadakan lokakarya bagi calon penulis
dan kurator, melakukan penelitian dan proyek seni Artlab, serta menerbitkan buku, majalah, dan jurnal Karbon.
Yayasan TIFA adalah organisasi pemberi hibah yang berjuang untuk mempromosikan masyarakat terbuka, dengan berperan aktif menguatkan masyarakat sipil di Indonesia. Yayasan yang didirikan pada akhir 2000 ini terus mempertajam fokusnya
untuk mengawal proses demokrasi di Indonesia. Setelah mendorong transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi di tahun-tahun sebelumnya, sejak 2012 Yayasan TIFA
berdedikasi memajukan demokrasi yang berkualitas di Indonesia. Visi Yayasan
TIFA adalah sebuah komunitas dimana penduduk, pemerintah, dan sektor bisnis
mendukung hak-hak individu khususnya hak dan pandangan kaum perempuan, minoritas, dan kelompok marjinal lainnya, serta mendukung dan memupuk solidaritas
dan tata pemerintahan yang baik. Misi Yayasan TIFA adalah memperjuangkan
masyarakat terbuka di Indonesia yang menghormati keragaman serta menjunjung tinggi penegakan hukum, keadilan, dan persamaan.
PUBLIK DAN REKLAME DI RUANG KOTA JAKARTA / 266
Jurnal Karbon adalah media dalam jaringan (online) yang membahas permasalahan
ruang publik dan budaya visual urban di Indonesia. Jurnal Karbon diterbitkan oleh
ruangrupa, organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta, dalam bentuk cetak sejak 2000. Hingga 2006, tujuh edisi cetak Karbon dalam format dua bahasa, Indonesia dan
Inggris, yang membahas berbagai persoalan seni rupa kontemporer telah diterbitkan. Satu tahun kemudian jurnal Karbon mengubah formatnya, dari jurnal cetak menjadi
jurnal dalam jaringan (online), dengan alamat Karbonjournal.org. Mulai 2014, jurnal Karbon menerbitkan hasil penelitian, pemikiran, dan eksperimentasi mengenai fenomena ruang publik dan budaya visual urban, baik melalui tulisan dan video.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia atau biasa disebut dengan PSHK (www.pshk.or.id) adalah organisasi nonprofit yang bekerja di bidang penelitian dan
advokasi hukum. Berdiri sejak 1998, PSHK mendorong pembentukan hukum yang bertanggung jawab sosial di Indonesia dalam dua bidang utama, yaitu reformasi legislasi dan peradilan. PSHK mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas daya
dorong masyarakat dalam memengaruhi pembentukan hukum. Beberapa aktivitas
PSHK dilakukan atas kerja sama dengan Organisasi Nonpemerintah (Ornop) dan akademisi. Selain itu, PSHK juga memegang peran sebagai rekan sekaligus pengkritik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. PSHK juga mengembangkan inovasi baru dalam
reformasi hukum. PSHK turut mendirikan Hukumonline.com (wwww.hukumonline. com), menerbitkan jurnal hukum secara berkala bernama “JENTERA”, mengelola
perpustakaan hukum Daniel S. Lev (www.danlevlibrary.net), dan mendirikan Indonesia Jentera School of Law (www.indonesiajentera.org).
Amalia Handayani Ardi Yunanto Erni Setyowati Leonhard Bartolomeus Rival Ahmad Robin Hartanto Yuka Dian Narendra
Rencana pemerintah Jakarta: billboard bakal dibasmi dan diganti dengan reklame LED yang menggunakan teknologi video agar wajah kota lebih teratur dan pajak lebih mengalir. Tetapi, apakah dengan begitu reklame di ibukota akan berkurang? Pun, apakah warga kota selama ini ingin melihat reklame sebagaimana pengiklan ingin reklamenya dilihat oleh calon konsumennya? Persoalan menjadi semakin pelik, ketika banyak reklame selain billboard yang turut menyewa ruang privat warga—ruang terakhir yang bisa dipertahankan warga dari dominasi kepentingan segelintir pihak yang seolah tak pernah merasa cukup hanya dengan mendiami ruang publik kota. Buku yang diterbitkan oleh ruangrupa, hasil penelitian jurnal Karbon dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ini menelusuri masalah reklame di ruang kota Jakarta, yang sebetulnya telah mengakar puluhan tahun lamanya, melewati sekian masa jabatan gubernur. Berisi lima tulisan dan puluhan foto yang merekam kondisi reklame di Jakarta, buku ini menunjukkan bahwa ada yang selama ini luput diperhitungkan dari persoalan reklame di Jakarta. Terutama jika kita mengingat bahwa dari setiap reklame yang didirikan, ada ruang publik yang digunakan, dan ada hak warga yang diabaikan.
Diterbitkan oleh
Hasil kerjasama
Atas dukungan