AVANT GARDE VOL 1 NO 2 JULI 2014

Page 1


AVANT GARDE

ISSN 2338-431X

Volume 2, Nomor 1 Juli 2014 Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur, dua kali dalam setahun. Penerbitan jurnal ini dimaksudkan sebagai media pertukaran informasi, pengetahuan yang berlandaskan perkembangan, dan kajian Ilmu Komunikasi serta keterkaitannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya.

Penasehat

: Direktur Riset dan Penjaminan Mutu Dr. Ir. Wendi Usino, M.Sc, MM

Penanggung Jawab

: Dr. Hadiono Afdjani, MM., M.Si

Pemimpin Redaksi

:

Ketua Editor

: Ni Gusti Ayu Ketut Kurniasari, M.Si

Dewan Editor

: Rocky Prasetyo Jati, M.Si

Ahmad Toni, M.I.Kom

Dr. Umaimah Wahid Shinta Kristanty, M.Si Tata Letak

: Arief Ruslan, S.Kom Imelda, M.Kom

Sekretaris

: Rini Lestari, S.Sos

Alamat Redaksi Lembaga Riset, Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260. Tel. 021-5853753, Fax. 021-7371164, 5853752 Website : http://www.budiluhur.ac.id


DAFTAR ISI

AVANT GARDE

ISSN 2338-431X

Volume 2, Nomor 1 Juli 2014

PERILAKU INFORMASI PELAJAR SMK BAKTI PURWOKERTO DI LUAR SEKOLAH Studi SMK Bakti Students’ Information Behaviour Outside The School Agus Ganjar Runtiko, Dian Bestari Santi, Rahayu Wiwik Novianti PEMAKNAAN AGAMA SEBAGAI HASIL INTERAKSI ANTAR ANGGOTA KOMUNITAS PUNK MUSLIM Megi Primagara RELASI PELANGGARAN CONTENT TELEVISI DAN KOMODIFIKASI MEDIA Studi Atas Pelanggaran Program Acara Televisi Nasional Dalam Perspektif Ekonomi Politik Media Ahmad Toni, Rini Lestari UPAYA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DKI JAKARTA DALAM MELAKUKAN KOMUNIKASI PERSUASIF PADA PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA PASAR KEBAYORAN LAMA Denada Faraswacyen L. Gaol, Lisa Nabila MEDIA SEBAGAI INSTITUSI BUDAYA Studi Kritis Atas Televisi Berita Nasional TV-One Dan Metro-TV Dalam Pemenuhan Kepentingan Publik Rachmat Baihaky TRANSFORMASI BUDAYA DALAM DOLANAN ANAK TAMAN SISWA YOGYAKARTA Bintarto Wicaksono REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA Lina Wati

1

22

34

51

65

89

109


AVANT GARDE ISSN: 2338-43IX Volume 2 Nomer 1, Juli 2014 Terbit dua kali setahun bulan Juli, Desember berisi tulisan yang diangkut/dikaji dari bidang Ilmu Komunikasi EDITORIAL Puji syukur kepada Tuhan YME, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta berhasil mempublikasikan e-Journal yang diberi nama Avant Garde yang mengandung filosofi bahwa artikel-artikel yang terdapat dalam jurnal ini menjadi salah satu alternative diskursus bagi pembaca dalam upaya dialektika keilmuan. Diharapkan pula jurnal ini menjadi referensi bagi segenap Sarjana-Sarjana Ilmu Komunikasi dalam menyalurkan pemikirannya serta menjadi wahana pembelajaran kajian-kajian Ilmu Komunikasi. Avant Garde edisi Nomor 2 Volume 1, Juli 2014 adalah publikasi artikel-artikel yang pertama di tahun 2014 dan merupakan publikasi ke-3 dari keseluruhan publikasi. Dengan tulisan ini, kami harapkan dapat memberikan pencerahan bagi pembaca jurnal yang berkaitan dengan kajian menarik permasalahan komunikasi dalam dinamikan sosial dan media massa, termasuk juga media online. Redaksi jurnal Avant Garde menyajikan tulisan-tulisan yang bertemakan fenomena penggunaan Informasi melalui media internet oleh para remaja yang ditulis oleh Agus Ganjar Runtiko, Dian Bestari Santi Rahayu, dan Wiwiek Novianti dengan judul artikel: Perilaku Informasi Pelajar SMK Bakti Purwokerto (Studi SMK Bakti Students Informasi Behaviour Outside The School). Artikel kedua dengan judul tulisan: Pemaknaan Agama Sebagai Hasil Interaksi Antar Anggota Komunitas Punk Muslim yang ditulis oleh Megi Primagara yang merupakan publikasi dari hasil penelitian Tesis (Magister Ilmu Komunikasi). Kajian menarik tentang pelanggaran sejumlah acara televisi nasional ditulis oleh Ahmad Toni dan Rini Lestari dengan judul: Relasi Pelanggaran Content Televisi dan Komodifikasi Media, Studi Atas Pelanggaran Program Acara Televisi Nasional Dalam Perspektif Ekonomi Politik Media. Fenomena satuan polisi pamong praja menjadi tema tulisan dari Denada Faraswacyen L. Gaol dengan judul: Upaya Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta dalam Melakukan Komunikasi Persuasif Pada Penertiban Pedagang Kaki Lima Pasar Kebayoran Lama. Sementara kajian media dan budaya menjadi hal yang unik yang ditulis oleh Rahmat Baihaky dengan judul tulisan: Media Sebagai Institusi Budaya, Studi kritis Atas Televisi Berita Nasional TVOne dan Metro TV Dalam Pemenuhan Kepentingan Publik. Tulisan kajian budaya dengan penelusuran sejarah menjadi tema tulisan dari Bintarto Wicaksono dengan judul: Transformasi Budaya Dalam Dolanan Anak Taman Siswa Yogyakarta. Tulisan terakhir dalam jurnal ini dengan kajian kritis mengenai media ditulis oleh Lina Wati dengan judul artikel: Representasi Perempuan Dalam Media Massa. Redaksi Jurnal Avant Garde mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari, penulis, Deputi I Bidang Akademik, Direktur Riset dan Penjaminan Mutu, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Pengelola ejurnal Avant Garde sehingga jurnal Volume 2 Nomor 1, Juli 2014 dapat kami hantarkan


kepada pembaca. Redaksi menunggu tanggapan, komentar, kritik dan saran dan juga menunggu kiriman tulisan-tulisan untuk edisi berikutnya. Terima Kasih,

Dewan Redaksi


AVANT GARDE ISSN 2338-431X Volume 2 Nomor 1, Juli 2014 Terbit dua kali setahun bulan Juli, Desember berisi tulisan yang diangkut dari bidang Ilmu Komunikasi

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar selaku mitra bestari yang telah bersedia menjadi reviewer dalam jurnal Avant Garde Volume 2 Nomor 1, Juli 2014 Daftar mitra bestari yaitu : Prof. H. Deddy Mulyana, Ph.D. M.A. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung) Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten) Dr. Udi Rusadi (Dosen Magister Ilmu Komunikasi IISIP, Jakarta) Dr. Basuki Agus Suparno (Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi UPN, Yogyakarta) Dr. Andy Cory (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung)


PERILAKU INFORMASI PELAJAR SMK BAKTI PURWOKERTO DI LUAR SEKOLAH Studi SMK Bakti Students’ Information Behaviour Outside The School

Agus Ganjar Runtiko Dian Bestari Santi Rahayu Wiwik Novianti Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Email: ganjarruntiko@gmail.com, dianadisuwirjo@gmail.com, wiwiknovianti27@gmail.com

ABSTRACT Adolescents are critical periods in human growth. They are physically mature, but psychologically very unstable. An unstable psychological growth caused many problems to them, such as promiscuity, drugs, and students brawl. The main problem are, they often wrong when accessing information in their lives. This study investigates their information behavior, information needs, how they get, perceive, and use an information. In particular, the target of this research is mapping the patterns of adolescents information outside of school. Long term goals of this research are the use of an information behavior pattern as a guidelines in providing appropriate treatment for adolescents education, so it does not happen again misinformation about life. To achieve these results , this study used a qualitative descriptive method that designed in the form of embedded case studies. The results of this study stated that adolescents who study at vocational Bakti has a unique behavior information pattern. Most of them came from the lower-middle families and do not have an internet access widely. They only familiar with television, and also an internet which help their school assignments. High cost access and low economic ability, make the internet not as primary media choice. Lack of computer make them, even if accessing the internet, prefer choose mobile media such as cell phones. The main media content they choose is an entertainment, selected information is information about lifestyle, as well as information about school work. Keyword : Information behavior, Student, Outside of school

ABSTRAK Remaja merupakan masa-masa kritis dalam pertumbuhan manusia. Mereka, secara fisik sudah seperti orang dewasa, namun secara psikis masih sangat labil. Hal inilah yang menimbulkan banyak permasalahan terhadap remaja, seperti pergaulan bebas, narkotika, hingga tawuran antarpelajar. Akar masalahnya, seringkali kesalahan mereka ketika mengakses informasi dalam kehidupannya. Penelitian ini ingin mengetahui mengenai perilaku informasi mereka, kebutuhan informasi mereka, bagaimana mereka mendapatkan Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

1


informasi, bagaimana mereka mempersepsi informasi tersebut, dan bagaimana mereka menggunakannya. Secara khusus, target penelitian ini adalah untuk memetakan pola informasi remaja di luar sekolah. Adapun untuk jangka panjang, diharapkan pola tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memberikan perlakuan pendidikan yang tepat bagi mereka, sehingga tidak terjadi lagi kesalahan informasi yang serupa. Untuk mencapai hasil tersebut, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang didesain berupa studi kasus tunggal terpancang. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa remaja yang bersekolah di SMK Bakti memiliki pola perilaku informasi yang unik. Mereka yang rata-rata berasal dari keluarga menengah ke bawah tidak memiliki akses khusus ke internet secara luas. Satusatunya media yang akrab dengan mereka adalah televisi. Sedangkan media lain yang digunakan adalah internet untuk membantu mengerjakan tugas-tugas sekolah mereka. Persepsi terhadap akses internet yang mahal, serta ketiadaan kemampuan ekonomi membuat internet bukan menjadi media favoritnya. Mereka, kalaupun mengakses internet, memilih menggunakan media yang bergerak seperti telepon seluler. Sedangkan konten yang mereka pilih sebagai media utama adalah hiburan, informasi yang dipilih adalah informasi mengenai gaya hidup, serta informasi mengenai tugas sekolah. Kata Kunci: Perilaku Informasi, Remaja, Luar Sekolah

Pendahuluan Akhir-akhir ini media massa banyak memberitakan perilaku pelajar yang menyimpang. Penyimpangan pelajar ketika bergaul dengan lawan jenisnya, penyimpangan cara penyelesaian masalah yang dihadapi, hingga masalah tawuran yang memakan korban jiwa adalah beberapa di antaranya. Menurut catatan yang dimuat di situs daring Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada tahun 1992 telah terjadi 157 kasus perkelahian pelajar, dan meningkat menjadi 183 kasus pada tahun 1994 di mana 10 diantara para pelaku perkelahian tewas. Pada 1998 terdapat 230 kasus perkelahian dan tawuran yang telah menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri (Zulkarnaen, 2011). Pada tahun 2012, KPAI mencatat bahwa di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja jumlah kasus tawuran telah mencapai 103 kasus, dengan jumlah

korban meninggal 17 orang. Angka tersebut naik dari angka pada tahun sebelumnya yang berjumlah 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 12 anak (Pitakasari, 2012). Angka statistik yang terpampang di berbagai media dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami penurunan, justru meningkat hingga menyentuh angka yang mengkhawatirkan. Baru-baru ini misalnya, kasus tawuran antarpelajar kembali terekam di layar televisi, sehingga menewaskan salah satu pelajar karena luka tusukan. Anehnya, motif tawuran ini adalah adanya “dendam turunan� yang diwariskan dari generasigenerasi sebelumnya (Felisiani, 2012). Penyimpangan perilaku pelajar tidak hanya meningkat secara kuantitas saja, namun kualitasnya juga semakin mengkhawatirkan. Pelajar yang melakukan penyimpangan perilaku tersebut usianya semakin dini. Misalnya saja, kasus perekaman video mesum yang saat ini

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

2


sudah dilakukan oleh anak-anak di usia SMP. Hal ini tentu saja semakin membuat prihatin para orangtua, guru, serta para pemangku kepentingan dalam masalah pendidikan. Menurut Piaget (dalam Dariyo, 2002), pelajar yang masuk dalam kategori usia remaja walaupun telah mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya belum mampu mengolah informasi yang diterima secara benar. Pengolahan informasi yang tidak benar ini membuat pelajar rentan salah dalam mempersepsikan sesuatu, sehingga terjadilah penyimpangan perilaku seperti dipaparkan sebelumnya. Perlu sebuah pendekatan ilmiah untuk melacak perilaku informasi mereka ketika berhadapan dengan sistem informasi tertentu. Perilaku informasi merupakan sebuah kajian penting, karena informasi adalah kebutuhan manusia yang tidak terelakkan. Perilaku informasi seseorang muncul karena adanya dorongan kebutuhan. Kebutuhan informasi juga merupakan wujud dorongan keadaan dalam diri seseorang serta peranannya dalam lingkungan. Pelajar misalnya, mendapatkan informasi untuk menambah pengetahuan mengenai kondisi masyarakat tempat mereka tinggal, memenuhi kebutuhan pengetahuan pribadi yang terkait dengan mata pelajaran, serta untuk hiburan. Penelitian ini memilih kota Purwokerto karena pertimbangan statusnya sebagai kota pelajar, dan menjadi tujuan sekolah bagi para siswa yang sebagian berasal dari luar kota. Peneliti juga telah tinggal di kota Purwokerto ini selama kurang lebih 15 tahun, sehingga secara

kultural relatif memahami situasi dan kondisinya. Sepanjang pengamatan yang peneliti lakukan selama tinggal di kota ini, Purwokerto relatif aman dari perilaku tawuran antarpelajar. Adapun untuk perilaku menyimpang lainnya, seperti pergaulan bebas antarpelajar dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika datanya masih abu-abu. Pelajar dan mahasiswa yang berasal dari luar kota Purwokerto biasanya memilih untuk indekos, dengan konsekuensi lepasnya mereka dari pengawasan orang tua. Mereka berpotensi untuk menjadi pelajar yang salah dalam mempersepsi informasi yang diterima. Terdapat banyak sekolah di Purwokerto, mulai dari sekolah setingkat SD, SMP hingga SMU; dari sekolah favorit hingga sekolah yang dipersepsikan negatif oleh masyarakat. Namun ada satu sekolah, yang berdasarkan observasi selama peneliti tinggal di Purwokerto, cukup layak dijadikan lokasi penelitian, yakni SMK Bakti Purwokerto. Hal yang menarik perhatian peneliti dari SMK Bakti ini antara lain mengenai stigma negatif dari masyarakat terhadap siswanya, terutama siswa perempuan. Stigma negatif yang telah bertahun-tahun melekat pada siswi SMK Bakti ini ternyata cukup berpengaruh terhadap konsep diri siswanya. Ketika peneliti melakukan kegiatan focus group discussion (FGD), salah satu siswa bertutur bahwa dia seringkali merasa malu ketika harus naik angkutan umum, dan terpaksa harus menutupi emblem sekolahnya agar tidak dikenali sebagai siswa SMK Bakti. Ini semua, menurut dia, karena tetangganya

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

3


yang sering memandang siswa SMK Bakti secara negatif. Pihak sekolah sebenarnya menyadari adanya stigma negatif ini dan berusaha mengubahnya dengan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah kebijakan tentang seragam siswi. Mulai tahun 2013, sekolah mewajibkan siswinya mengenakan rok panjang hingga batas pergelangan kaki. Kebijakan ini berlaku bagi siswi angkatan 2013 dan setelahnya, dengan tujuan siswi berpakaian lebih sopan dan dalam jangka panjang diharapkan mampu mengurangi stigma negatif yang dilekatkan kepada sekolah yang mayoritas siswanya perempuan ini. Peneliti melihat kebijakan seragam ini cukup baik, mengingat sebelumnya pakaian bawah yang dikenakan siswi SMK Bakti cenderung sangat bebas dan rentan pelecehan. Namun, kebijakan tersebut peneliti lihat hanya menyentuh satu sisi saja, mengubah persepsi masyarakat. Menurut peneliti, ada hal lebih penting yang perlu dipahami dari siswanya sendiri. Hal penting itu adalah perilaku informasi para siswa. Hal-hal seperti penyimpangan perilaku, permasalahan dengan dunia akademis berawal dari perilaku informasi mereka. Berdasar pertimbangan inilah, penelitian ini berusaha mengungkap perilaku informasi pelajar SMK Bakti dalam kehidupan keseharian mereka di luar sekolah. Berdasarkan pendahuluan yang telah dijelaskan di awal, maka penelitian ini akan dibatasi / difokuskan pada pertanyaan penelitian mengenai: Perilaku informasi pelajar SMK Bakti Purwokerto dalam kehidupan keseharian

mereka di luar sekolah, yang meliputi: 1. Bagaimana perilaku penemuan informasi pelajar SMK Bakti Purwokerto terkait kegiatan di luar sekolah? 2. Bagaimana perilaku pencarian informasi pelajar SMK Bakti Purwokerto dalam kegiatan di luar sekolah Purwokerto? Kerangka Pemikiran Pelajar yang menempuh pendidikan setingkat SMU/SMK biasanya berada pada kisaran usia antara 16 hingga 18 tahun, yang dapat dikategorikan sebagai usia remaja. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa. Secara awam orang dapat melihat fase remaja manusia melalui beberapa ciri fisik, namun sebenarnya batasan usia remaja berbedabeda sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Perbedaan kondisi sosial budaya menjadi patokan pokok karena klasifikasi remaja ini sebenarnya lebih merujuk pada aspek perkembangan psikologis dan kultural alih-alih perkembangan fisik belaka. Sarwono (1994) mendefinisikan remaja sebagai individu yang tengah mengalami perkembangan fisik dan mental, dan berusia antara 11 hingga 24 tahun. Pertimbangan usia ini menyangkut pada beberapa alasan. Pertama, munculnya tanda-tanda seksual sekunder (kriteria fisik) pada usia 11 tahun. Kedua, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap usia 11 tahun sebagai usia akil baligh, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memberlakukan mereka sebagai anak-anak. Ketiga, pada

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

4


usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity), tercapainya fase genital dan perkembangan psikoseksual, dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologis). Keempat, batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, dan belum mempunyai hak penuh sebagai orang dewasa. Permasalahan remaja relatif kompleks, karena secara psikologis mereka berada pada kondisi kejiwaan yang masih labil. Seperti ditemukan dalam sebuah penelitian, bahwa gangguan depresi utama atau lebih dikenal sebagai major depressive disorder (MDD), sering terjadi ketika manusia berada dalam fase remaja tersebut. MDD pada masa remaja ini seringkali meningkatkan resiko terjadinya hal yang sama ketika mereka dewasa kelak, di mana 27% orang dewasa melaporkan bahwa episode depresi mereka berawal ketika masa kanak-kanak atau remaja (Skoch, Hicks, & Hicks, 2012). Para remaja tersebut mungkin percaya bahwa mereka telah gagal dalam hidupnya, atau merasa mengecewakan orangtua dan keluarganya, sehingga menganggap bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya pilihan untuk mengakhiri rasa kecewa tersebut. Remaja lainnya mungkin juga menganggap bahwa bunuh diri itu lebih baik dibanding kehidupan mereka yang dialaminya saat ini (Selvam & Murthy, 2012). Studi perilaku informasi telah banyak dikaji dalam beberapa tiga dekade

terakhir, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ellis (1989) tentang model pencarianperilaku informasi, Kuhlthau (1993) yang menjelaskan dampak emosi dalam proses pencarian informasi, serta Wilson (1999) yang menjelaskan alasan manusia terlibat dalam pencarian informasi dengan model pemecahan masalah. Sebuah catatan tersendiri dapat diberikan kepada David Ellis yang kinerjanya dalam penelitian informasi yang telah dimulai sejak tahun 1987 dalam sebuah disertasi berjudul “The Derivation of a Behavioral Model for Information Retrieval System Design�. Penelitian tersebut melihat kemungkinan mengenai pergeseran cara mendapatkan informasi di masa depan yang lebih condong pada pencarian berbasis piranti komputer—hal yang sudah kita rasakan sebagai kebiasaan di era internet ini. Hal paling penting yang menjadi temuan Ellis, dan dirujuk oleh banyak ahli peneliti studi informasi adalah enam karakteristik pola pencarian informasi ilmuwan sosial; yakni: starting (mengawali), chaining (merangkai/Menghubungkan), browsing (meramban), differentiating (membedakan), monitoring (memantau), dan extracting (mensarikan). Starting merupakan tahap awal pencarian informasi. Tahapan ini dicirikan dengan kegiatan dasar pencarian informasi, misalnya dengan bertanya pada kolega yang memiliki pengetahuan lebih. Starting terdiri dari kegiatan-kegiatan yang membentuk pola awal pencarian informasi; seperti mengidentifikasi sumber kepentingan yang dapat berfungsi sebagai titik awal pencarian informasi—baik sumber yang biasa digunakan maupun yang baru. Pada tahap ini mulai

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

5


dipertimbangkan alternatif sumber informasi yang bergantung pada aksesibilitas yang dirasakan dan kualitas informasinya. Prediktor penggunaan sumber yang dibutuhkan dalam pencarian informasi bergantung pula pada jumlah usaha dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kontak dengan sumber. Tindak lanjut tahap starting adalah aktivitas chaining, yang dapat dibagi menjadi backward chaining (penghubungan ke belakang) dan forward chaining (penghubungan ke depan). Backward chaining terjadi ketika petunjuk atau referensi yang diikuti oleh para ilmuwan dan peneliti sosial berasal dari sumber-sumber informasi rutin, seperti kutipan-kutipan buku teks. Sementara itu, forward chaining mengidentifikasi dan menindaklanjuti sumber-sumber lain seperti catatan kaki dan kutipan dari sumber awal atau dokumen. Hal ini kurang umum digunakan, karena seringkali orang tidak menyadari adanya sumber informasi ini, atau alat bibliografi yang diperlukan tidak tersedia. Browsing atau meramban merupakan aktivitas pencarian semiterarah atau semi-terstruktur pada daerahdaerah pencarian potensial, dengan kata lain pada tahap ini pencarian mulai diarahkan pada bidang yang menjadi peminatannya. Chang and Rice (1993) mendefinisikan meramban sebagai “the process of exposing oneself to a resource space by scanning its content (objects or representations) and/or structure, possibly resulting in awareness of unexpected or new content or paths in that resource space (proses mengekspos diri untuk ruang sumber daya dengan memindai isinya

(benda atau representasi) dan/atau struktur, mungkin mengakibatkan kesadaran tak terduga atau konten baru atau jalur dalam ruang sumber daya tersebut)�. Meramban seringkali terjadi dalam situasi di mana informasi yang dibutuhkan telah dikelompokkan sesuai dengan kecenderungan atau karakternya. Seseorang sering menyederhanakan kegiatan meramban ini dengan cara melihat ringkasan informasi yang dicarinya melalui katalog, daftar pencarian, judul subjek, dan sebagainya. Tahap berikutnya, pencari informasi berusaha menyaring dan memilih informasi dari berbagai sumber yang diketahui dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan antara sifat dan kualitas informasi yang ditawarkan. Pencari informasi, dengan demikian, menggunakan sumber informasi yang beraneka macam untuk menguji kualitas informasi yang dibutuhkannya. Tahap inilah yang kemudian dinamakan oleh Ellis sebagai tahap differentiating. Proses tahap diferensiasi bagi masing-masing individu kemungkinan akan berbeda-beda sesuai dengan pengalaman individu sebelumnya, dan interaksi individu dengan sumber informasi—seperti apakah dia menemukan sendiri informasi tersebut atau melalui rekomendasi seseorang yang dikenalnya, atau abahkan individu tersebut hanya membaca informasi melalui resensi yang dipublikasikan. Taylor (dalam Eisenberg & Dirks, 2008) mengidentifikasi enam kategori kriteria di mana seorang individu dapat memilih dan membuat diferensiasi di antara berbagai sumber informasi, yakni: kemudahan penggunaan, pengurangan gangguan, kualitas informasi,

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

6


kemampuan adaptasi, penghematan waktu, dan penghematan biaya. Tahap monitoring berisi kegiatan pencari informasi yang memantau perkembangan atau perubahan topik tertentu secara teratur. Pada kasus ilmuwan sosial sebagaimana yang diteliti Ellis, mereka cenderung berkonsentrasi pada sejumlah hal kecil yang dianggap penting, atau bahkan merupakan inti penelitian seringkali berupa kontak (rapport) dengan informan kunci dan/atau pemilihan metode publikasi yang setiap individu bisa berbeda-beda kecenderungannya. Contohnya; para ilmuwan sosial dan ilmuwan eksakta yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui jurnal yang terpandang, atau bahkan jurnal yang terindeks, selain itu mereka juga selalu berusaha mengikuti perkembangan pemberitaan di media cetak atau elektronik, buku, bahkan majalah ilmiah. Tahapan ekstraksi berisi aktivitas yang bekerja secara sistematis melalui sumber tertentu atau sumber untuk mengidentifikasi bahan yang menarik. Tahap ini mengidentifikasi secara selektif materi yang relevan dalam sumber informasi. Sebagai bentuk pencarian retrospektif, ekstraksi dapat dicapai dengan langsung berkonsultasi dengan sumber informasi, atau dengan melihat bibliografi, indeks, atau database online. Pencarian retrospektif cenderung lebih padat karya, dan lebih mungkin terjadi ketika membutuhkan informasi komprehensif atau historis mengenai sebuah topik. Pada tahun 1993, Ellis bersama Cox dan Hall menambahkan dua tahapan; yakni verifying (pengujian ketepatan) dan

ending (pengakhiran). Tahap pengujian ketepatan adalah tahapan di mana pencari informasi mengecek apakah informasi yang didapatkan sesuai dengan minatnya atau tidak. Sedangkan tahap pengakhiran merupakan titik akhir pencari informasi melakukan kegiatan pencariannya, kalau dalam konteks ilmuwan sosial adalah dengan berakhirnya topik pokok yang diteliti atau ditulisnya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ellis dengan penelitiannya yang cenderung mengacu pada pola pencarian informasi kelompok ilmuwan sosial, penelitian ini justru condong pada kajian perilaku informasi sehari-hari. Salah satu kajian yang sering dijadikan acuan dalam penelitian yang membahas mengenai pencarian informasi sehari-hari dikenal dengan model ELIS (Everyday Life Information Seeking) yang dipopulerkan oleh Savolainen (2012). Faktor utama dalam antara lain adalah struktur anggaran waktu (structure of time budget), yang digambarkan sebagai hubungan antara kerja / belajar dengan waktu luang. Selain itu ada juga faktor model konsumsi barang dan jasa, serta sifat hobi. Selanjutnya model ELIS menjelaskan bahwa ada empat tipe utama orang “penguasa kehidupan�. Pertama tipe kognitif optimistis, yang dicirikan sebagai orang yang memiliki ketergantungan yang kuat pada pemecahan masalah yang positif, sehingga cenderung mencari informasi yang berasal dari berbagai sumber yang mendukung keputusan positif tersebut. Kedua tipe kognitif pesimistis, yang cenderung berusaha menyelesaikan masalah secara kurang ambisius, sehingga

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

7


kadang-kadang sebuah masalah tidak dapat diselesaikan secara optimal. Ketiga tipe afektif defensif, yang memandang kehidupan berdasar pada pandangan optimis terhadap pemecahan masalah, hanya saja individu tipe ini cenderung untuk menghindari resiko permasalahan yang dapat mengakibatkan kegagalan dalam pengambilan keputusan secara aktif dalam mendapatkan informasi. Keempat tipe afektif pesimistis, yang cenderung pada tidak berkeinginan untuk memecahkan masalahnya, sehingga yang muncul hanyalah reaksi emosional saja. Pencarian informasi remaja pelajar ketika di luar sekolah dapat berupa apapun. Ada beberapa penelitian tentang perilaku informasi individu dalam kategori rumah tangga. Survei yang dilakukan selama satu tahun. Ternyata 64,43% reponden survei tersebut menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Sementara itu 48,55% responden menggunakan internet untuk mencari informasi mengenai barang dan jasa (Meiningsih, 2011). Perilaku informasi (information behavior) merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berkaitan dengan sumber dan saluran informasi. Perilaku penemuan informasi (information seeking behavior) merupakan upaya untuk menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat dari adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu. Perilaku pencarian informasi (information searching behavior) merupakan perilaku di tingkat mikro, berupa perilaku mencari yang ditunjukkan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi. Perilaku pengguna informasi (information

user behavior) terdiri dari tindakantindakan fisik maupun mental yang dilakukan seseorang ketika menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Identifikasi kebutuhan informasi dengan pendekatan kualitatif terhadap kebutuhan informasi dilakukan antara lain. 1. untuk memahami bagaimana persepsi pengguna mengenai jenis, bentuk, media, serta makna dari informasi dari pengguna. 2. Untuk memahami pengaruh informasi terhadap pengguna 3. Menyelidiki proses sebab akibat 4. memberikan evaluasi formatif (evaluasi yang bertujuan untuk memperbaiki sistem yang sedang dalam tahap pengembangan) dibandingkan hanya sekedar melakukan pengkajian. 5. Meningkatkan penggunaan dari hasil evaluasi. Objek sasaran penelitian ini adalah pelajar SMK Bakti Purwokerto. Menurut observasi sebagaimana yang dijabarkan dalam pendahuluan, serta dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, Purwokerto merupakan salah satu lokasi penelitian perilaku informasi pelajar yang menarik. Di Jawa Tengah bagian selatan Purwokerto merupakan kota tujuan dalam memilih sekolah. Satu-satunya universitas negeri yang berdiri di Purwokerto menarik minat banyak remaja dari luar kota untuk memilih sekolah di kota ini sebagai persiapan mereka memasuki jenjang pendidikan tinggi. Hal ini kemudian menjadikan citra sekolah-sekolah yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

8


berada di Purwokerto dipersepsikan lebih maju. Hanya saja, persepsi sekolah maju ini sebagian besar hanya berlaku bagi sekolah negeri saja. Sebaliknya, sekolah swasta seringkali dipersepsikan negatif oleh warga, mulai siswanya yang dianggap sering membolos, menggunakan narkoba, hingga pergaulan bebas. Dari observasi sementara, SMK Bakti Purwokerto merupakan salah satu sekolah swasta yang dipersepsikan negatif oleh warga. Setting penelitian ini lebih banyak dilakukan di sekolah. Tujuan pemilihan setting di sekolah ada beberapa hal. Pertama, peneliti dapat lebih leluasa berdiskusi dengan para informan. Informan yang berstatus sebagai pelajar biasanya lebih nyaman apabila diwawancara di sekolah. Peneliti mempertimbangkan jarak usia dengan informan yang terpaut belasan tahun, sehingga terdapat jurang budaya (culture gap) yang cukup lebar. Setting wawancara semiformal di sekolah dirasakan paling sesuai sehingga wawancara dapat berjalan lancar. Kedua, saat penelitian ini dilakukan para pelajar sedang tidak menghadapi ujian atau menjalani kalender akademik yang padat. Rangkaian wawancara dan FGD yang dilakukan di sekolah dirasa tidak akan mengganggu kegiatan sekolah informan, dan ini juga telah peneliti konsultasikan dengan guru-guru mereka. Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada pendalaman proses dan makna dalam konteks informasi, maka jenis penelitian dengan strategi terbaiknya adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini lebih mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam

mengenai potret dan kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002). Jenis penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskriptif teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk angka. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Karena sasaran studi kasus ini hanyalah remaja yang bersekolah, maka sesuai dengan yang dikatakan Yin (2000), penelitian ini menggunakan strategi kasus tunggal. Selain itu, karena permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam usul penelitian ini, maka jenis strategi penelitian ini secara khusus disebut sebagai studi kasus terpancang (embedded case study research). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar adalah data kualitatif, namun tidak menutup diri pada data yang bersifat kuantitatif, seperti statistik, ataupun bentuk data kuantitatif lainnya. Jenis informasi tersebut didapatkan melalui beragam sumber data, yang meliputi; 1) Informan utama yakni remaja yang bersekolah, dan informan pendukung yakni gurunya, 2) Dokumen, yang meliputi literatur pustaka, dokumen internet, dan liputan media massa. Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis data yang hendak dimanfaatkan, maka penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut; 1) Wawancara mendalam (in-depth interview), yang dilakukan secara lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam susasana formal, dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

9


bisa dilakukan berulang kepada informan yang sama (Sutopo, 2002), 2) Observasi langsung, yakni pengamatan pada beberapa aspek kehidupan informan yang dianggap berkaitan dengan tema penelitian, yang sering disebut sebagai observasi berperan pasif (Spradley, 1980), 3) Focus Group Discussion, yakni berupa diskusi kelompok yang membahas mengenai tema penelitian. Metode ini bermanfaat untuk memperoleh data bagaimana individu sebagai bagian dari sebuah kelompok mendiskusikan sesuatu topik atau isu tertentu, jadi tidak semaat melihat informan sebagai individu. Dengan kata lain, FGD diterapkan untuk memahami orang menanggapi berbagai pandangan orang lain dalam kelompok diskusi, dan bagaimana kemudian informan membangun sebuah pandangan tersendiri berdasarkan interaksi yang dilakukannya dalam sebuah kelompok (Bryman, 2001). Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya, dan lainlain. Oleh karena itu, cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat purposive sampling, atau lebih tepat disebut sebagai cuplikan dengan “criterion-based selection� (Goetz & Le Compte, 1984). Peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Patton, 1980). Cuplikan semacam ini lebih cenderung sebagai

“internal sampling� (Bogdan & Biklen, 1982), yang memberi kesempatan bahwa keputusan bisa diambil begitu peneliti mempunyai suatu pikiran umum yang muncul mengenai apa yang sedang dipelajari, dengan sikap akan berbicara, kapan perlu melakukan obervasi yang tepat (time sampling), dan juga berapa jumlah serta macam dokumen yang perlu ditelaah. Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini maka diperlukan teknik pengembangan validitas data sebagaimana biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik triangulasi. Dari empat teknik triangulasi yang ada (Patton, 1980), hanya akan digunakan tiga di antaranya yakni; (1) Triangulasi data (sumber) yaitu mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. (2) Triangulasi peneliti yaitu mendiskusikan data yang diperoleh dengan peneliti lain dalam hal ini adalah rekan sejawat dalam sebuah forum diskusi informal yang menyajikan draft awal hasil penelitian lapangan. (3) Triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Proses analisis dalam penelitian kualitatif pada dasarnya bersifat induktif di mana analisis dilakukan secara bersamaan dengan proses pelaksanakan pengumpulan data. Ada tiga komponen analisis yang saling berkaitan dan berinteraksi, tak bisa dipisahkan dengan kegiatan pengumpulan data yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Model analisis yang akan dipakai dalam penelitian ini

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

10


adalah model analisis interaktif (Miles dan Huberman, 1992). Model analisis aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam melaksanakan proses ini peneliti aktivitasnya tetap bergerak di antara komponen analisis dengan pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih berlangsung. Kemudian selanjutnya peneliti hanya bergerak di antara tiga komponen analisis tersebut sesudah pengumpulan data selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalam penelitian ini. Hasil Penelitian Penelitian ini diawali dengan beberapa penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya. Penelitian tersebut mencakup tema penelitian dalam bidang komunikasi pendidikan, antara lain: Pengaruh Televisi terhadap Minat Baca Pelajar pada tahun 2006, dan Konstruksi Identitas Pembelajar Dewasa (Studi Kasus Warga Belajar PKBM Argowilis, Cilongok, Banyumas) pada tahun 2011. Kesimpulan pada penelitian pertama menyatakan bahwa siaran televisi berpengaruh negatif terhadap minat baca. Semakin tinggi akses televisi pelajar, semakin rendah minat baca mereka. Sementara pada penelitian mengenai konstruksi identitas pembelajar dewasa, peneliti menemukan bahwa banyak hal yang berperan dalam motivasi belajar orang dewasa. Faktor-faktor seperti kesibukan rumah tangga, serta pekerjaan merupakan hal utama yang menjadi kendala mereka. Terdapat benang merah

yang dapat ditarik dari kedua penelitian tersebut, yakni faktor-faktor eksternal yang seringkali menjadi penghambat pembelajar dalam memfokuskan diri mengikuti pelajaran. Berangkat dari penelitian awal tersebut, peneliti kemudian melakukan pendalaman di lapangan mengenai situasi remaja yang berada di Purwokerto. Peneliti kemudian sampai pada sebuah kesimpulan awal yang memutuskan untuk memilih remaja yang sedang duduk di bangku setingkat SMA. Judul yang memilih remaja membuat peneliti pada awalnya hendak mengambil informan yang mewakili berbagai sekolah setingkat SMU di Purwokerto. Namun, karena pertimbangan waktu dan dana, akhirnya peneliti putuskan untuk memilih sekolah dengan ciri khas tertentu. Pada akhirnya peneliti menentukan memilih sebuah SMK di Purwokerto, yakni SMK Bakti. Pertimbangan yang mendorong peneliti memilih SMK ini setidaknya ada dua hal; pertama peneliti pernah melakukan sebuah pengabdian masyarakat di SMK Bakti sehingga terjalin rapport yang baik. Kedua, peneliti mendapat informasi yang beredar di masyarakat mengenai isu miring yang menerpa SMK Bakti ini, terutama mengenai perilaku beberapa oknum siswanya yang dinilai amoral. Profil Informan dan Konteks Penelitian. Pada awalnya peneliti menghubungi pihak sekolah dan menceritakan mengenai proses penelitian yang hendak dilakukan. Singkat kata, pihak sekolah menyetujui apa yang hendak peneliti lakukan, serta bersedia memfasilitasi penelitian tersebut. Pada hari yang ditentukan peneliti melakukan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

11


kegiatan FGD (focus group discussion) yang diikuti oleh 20 orang anak perwakilan kelas. Tujuan FGD ini adalah sebagai langkah awal peneliti melakukan eksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum peneliti pikirkan sebelumnya. Proses FGD pertama berlangsung pada kisaran waktu 2 jam. Setelah peneliti coba urai pertanyaan dan jawaban pada FGD tersebut, peneliti menanyakan kembali poin-poin penting dalam pertanyaan FGD itu dalam proses wawancara. Informan yang terlibat dalam wawancara sendiri dipilih dari kelompok informan yang terlibat dalam FGD. Peneliti memilih informan yang terlihat aktif dalam FGD, tujuannya tentu saja agar wawancara berjalan dengan baik. Penelitian ini secara total melibatkan 22 informan yang terdiri dari empat informan utama, dan 18 informan pendukung. Informan terdiri dari 20 orang siswa dan 2 orang guru. Dari 22 orang informan tersebut, peneliti memutuskan untuk memilih empat orang yang dianggap aktif memberikan pendapat dan menurut hemat peneliti mudah digali informasinya. Informan utama yang peneliti jumpai pertama bernama Ratih (nama samaran). Keaktifan siswi jurusan akuntansi yang ditampakkan dalam FGD ternyata tidak terbentuk sesaat, melainkan sudah terbentuk sejak kecil, sejak Ratih masih duduk di sekolah dasar. Ratih kecil sudah aktif mengikuti ekstra kurikuler menari di SDN 3 Rejasari. Tari yang dipelajarinya ketika itu adalah tari tradisional Bedoyo. Tampaknya Ratih sangat menyukai kegiatan ini, terbukti ketika peneliti bertanya siapa guru pengajar tarinya, dia menyebut sebuah

nama dengan sangat mantap. “Bu Esti�, katanya tanpa berpikir panjang. Kegemaran Ratih menari berlanjut ketika dia menapaki pendidikan pada sekolah menengah pertama di SMP Gunungjati Purwokerto. Dia mengatakan menekuni tari yang dinamakan Tari Temandang. Ketika peneliti bertanya tari ini bercerita tentang apa, Ratih sanggup menceritakannya dengan detail. Selain gemar menari, Ratih juga sangat menyukai belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Semenjak sekolah SMP Ratih sudah sering ikut les bahasa Inggris di beberapa lembaga bimbingan belajar. Kegemaran terhadap bahasa Inggris ini berlanjut hingga SMK, dengan mengikuti berbagai kegiatan kompetisi baik di dalam maupun di luar sekolah. Namun menurut Ratih, prestasinya dalam kegiatan ekstrakurikuler kurang memuaskan karena dia jarang memenangi lomba yang diselenggarakan di luar sekolah. Ratih dilahirkan dari keluarga kecil, dengan ayahnya yang berprofesi sebagai polisi, dan ibunya berprofesi sebagai guru. Sejak usia 12 tahun, Ratih harus berpisah dengan sang ibu untuk selamanya. Sang ibu meninggal karena pendarahan di otak. Setelah itu dia harus tinggal bersama neneknya. Sementara sang ayah tinggal di Purbalingga, di asrama polisi. Ratih ini belum pernah berjumpa sekalipun dengan sang ayah kecuali sebulan sebelum wawancara dilakukan, ketika sang ayah menengoknya di Purwokerto. Ketika peneliti menanyakan alasan Ratih sekolah di SMK Bakti, dia bercerita bahwa awalnya berniat sekolah di SMKN I

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

12


yang letaknya berdampingan dengan sekolahnya sekarang. Status SKMN I sebagai sekolah negeri membuat Ratih sangat mengidamkan mengenyam pendidikan di sana. Namun apa daya, karena NEM yang rendah membuat Ratih tersisih dari kompetisi dan terpaksa memilih untuk bersekolah di swasta. Awalnya Ratih hendak memilih SMK swasta yang terletak lebih dekat dari rumah, namun karena keluarga memintanya bersekolah di SMK Bakti maka dia menurut saja. Padahal Ratih sampai kelas dua merasa rendah diri bersekolah di SMK Bakti, bukan karena predikat sekolah swastanya, namun karena persepsi masyarakat yang sudah terlanjur negatif dengan sekolahnya tersebut. Bahkan, Ratih menuturkan kalau dia merasa perlu menutup badge SMK Bakti ketika berada di tempat umum, maupun naik angkutan umum. Ratih setiap bulan mendapat jatah uang pulsa seratus ribu rupiah dari pamannya. Dari pulsa inilah Ratih mengakses internet melalui ponsel. Ibunya yang sudah meninggal dan ayah yang jarang menjenguknya membuat Ratih tergantung secara ekonomi dengan pamanpamannya. Sejak kecil, Ratih dan kakaknya juga tinggal dengan neneknya. Informan kedua penelitian ini adalah Santoso (nama samaran). Santoso berdomisili di Baturraden dan setiap hari harus menempuh jarak sekitar 15 km untuk mencapai sekolah. Santoso sebenarnya tidak bercita-cita untuk masuk ke SMK Bakti. Setelah melalui pendidikan sekolah dasar selama enam tahun di SD Purwokerto Wetan 5, Santoso melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di SMP

PGRI Baturraden. Menurut penuturan Santoso, dia masuk ke SMP swasta karena keterlambatan pendaftaran. Kesibukan peribadatannya di Gereja Advent membuat Santoso lupa tenggat akhir mendaftar SMP negeri. Santoso menambahkan bahwa di SMP PGRI Baturraden ini perilakunya berubah. Membolos, tidur di kelas, berkelahi, menjadi sebuah hal yang dianggapnya biasa. Akhirnya, prestasi akademik Santoso menurun drastis. Setelah lulus SMP, Santoso berkeinginan kembali sekolah di Kota Purwokerto. Dorongan orang tua, dan citacita masa kecilnya membuat niatan sekolah bertambah tinggi. Santoso kecil bercita-cita ingin menjadi pengusaha, seperti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Ayah Santoso ini mempunyai profesi berdagang mainan keliling, sedangkan ibunya berjualan makanan di SD dekat rumah. Santoso bermimpi suatu saat nanti dapat melanjutkan profesi ayahnya, bahkan membesarkan usahanya. Ini sudah dirintis Santoso sejak dia sekolah SMP dengan membantu membungkus mainan yang hendak dijajakan ayahnya. Bahkan saat ini Santoso telah memiliki ide untuk membuat mainan mewarnai yang dia ambil dari internet, dicetak, kemudian dijual kepada anak-anak TK atau SD. Selepas SMP Santoso memutuskan untuk memilih sekolah di SMK Bakti. Ada dua alasan utama tentang pilihannya ini. Pertama, Santoso tidak ingin lagi bergaul terlalu dalam dengan teman-teman sesama lelaki yang mengakibatkan dia sering terlibat tawuran, dan membolos sekolah. Kedua, Santoso tidak ingin bekerja di tempat kotor seperti menjadi mekanik, kerja bangunan dan sebagainya, sehingga

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

13


dia memilih jurusan multimedia yang dianggap memiliki prospek kerja di tempat bersih. Semenjak sekolah di SMK Bakti pula Santoso dibelikan motor oleh orangtunya, karena memang jarak yang ditempuhnya setiap hari cukup jauh. Informan ketiga yang peneliti wawancara adalah seorang siswi jurusan Akuntansi bernama Dina. Dina cenderung berwatak tomboy (mirip dengan cowok) dengan gaya yang ceplas-ceplos. Dilahirkan sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara, Dina termasuk beruntung dapat menempuh pendidikan hingga setingkat SMK. Ayahnya yang seorang pedagang es keliling, sedangkan ibunya menjadi ibu rumah tangga membuat penghasilan keluarga besarnya termasuk minim, dan memaksa mereka untuk hidup dengan sangat sederhana. Bahkan, keluarga Dina ini tidak memiliki kamar mandi. Mereka terbiasa mandi di sungai yang mengalir di dekat rumah. Ini, dikatakan Dina sambil bercanda, membuat kulitnya tidak bisa bersih, karena air sungai yang relatif kotor. Keadaan ekonomi yang pas-pasan pula yang membuat rata-rata pendidikan kakakkakaknya Dina berhenti di tingkat SMU/SMK, bahkan ada yang hanya sampai setingkat SMP. Dina bercerita juga kadang-kadang harus menunggak SPP beberapa bulan karena tidak adanya uang untuk membayarnya. Uang saku yang berkisar 5000 rupiah perhari menurut Dina hanya cukup untuk naik angkutan kota saja—tarif angkot di Purwokerto untuk pelajar adalah 2000 rupiah sekali jalan. Sedangkan sisa seribu rupiah katanya hanya cukup untuk beli permen. Itu sebabnya Dina tidak pernah mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler, karena tidak bawa cukup uang untuk beli makan siang di sekolah, yang akhirnya membuat dia merasa kelaparan dan lemas. Ada sebuah realitas unik yang peneliti temukan pada sosok Dina. Meskipun saat ini sekolah di SMK dengan jurusan Akuntansi, namun Dina bercitacita menjadi seorang sutradara. Ketika peneliti bertanya kenapa bercita-cita menjadi sutradara, Dina mengatakan bahwa dia sejak kecil suka menulis, terutama menulis kisah hidupnya. Ketika peneliti bertanya, bagaimana caranya menjadi sutradara, Dina dengan polos menjawab bekerja terlebih dahulu. Setelah bekerja dan menabung, dia akan sekolah sutradara dan menjadi sutradara. Informan utama terakhir merupakan salah satu kandidat ketua OSIS di SMK Bakti, namnya Tini. Rencananya peneliti akan mewawancarai Tini sebagai informan ketiga, namun pada saat agenda wawancara hendak dilaksanakan ternyata yang bersangkutan sedang menjalani pemilihan sebagai ketua OSIS, sehingga jadwal wawancaranya digantikan oleh Dina. Tini memang termasuk salah satu murid yang selalu aktif dalam kegiatan organisasi di sekolah, semenjak SD hingga kini di SMK. Tini berasal dari keluarga yang broken home. Ayah dan ibunya bercerai ketika Tini masih SD. Saat ini Tini tinggal bersama dengan ibunya di Desa Banjarsari, meskipun kadangkala dia juga menengok ayahnya di Bogor. Tini bahkan bercerita pernah selama setahun penuh ikut dengan ayahnya di Bogor. Selama setahun itu pula Tini berhenti sekolah, dan ikut membantu mengelola warung nasi milik

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

14


ayahnya. Menurut Tini, ayahnya adalah seorang koki yang pernah bekerja di hotel dan kemudian mencoba membuka warung nasi sendiri. Keberadaan Tini di Bogor selama setahun disebabkan ketiadaan biaya masuk sekolah, di mana uangnya digunakan untuk biaya berobat pamannya. Saat ini, karena keluarga Tini broken home, biaya hidupnya dibagi dua. SPP dan biaya sekolah Tini ditanggung oleh ayahnya. Sedangkan biaya seharihari, termasuk uang jajan, ditanggung oleh ayah barunya di mana Tini tinggal sekarang ini. Meskipun bercerai, kedua orang tua Tini masih memerhatikan pendidikan anak mereka. Bahkan, Tini hampir pasti mendapat uang saku 10 ribu rupiah per hari, jumlah yang cukup untuk pelajar setingkay SMU. Gambar 1. Konteks Pencarian Informasi

Sumber: Wilson, 2006 Gambar tersebut menjelaskan adanya tiga faktor yang dianggap penting mengenai fenomena kebiasaan seseorang dalam menemukan informasi, yaitu: 1) konteks kehidupan pencari informasi, 2) sistem informasi yang digunakannya, dan 3) sumberdaya informasi yang mengandung berbagai informasi yang diperlukan. Dalam konteks penelitian ini, semesta pengetahuan informan adalah kehidupan keseharian mereka. Dari

Perilaku Keseharian Remaja Pada dasarnya perilaku manusia tidak lepas dari semesta yang melingkupinya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran tentang manusia dan perilakunya yang didasari oleh adanya kebutuhan. Timbulnya kebutuhan seseorang dipengaruhi oleh kondisi fisiologis, situasi dan kognisinya (Krech, Crutchfield, dan Ballachey dalam Yusup, 2005). Hal inilah yang kemudian dijelaskan oleh Wilson (2006) dalam inti pemikirannya mengenai Perilaku

Informasi

melalui

skema

“Semesta Pengetahuan�.

temuan peneliti kehidupan keseharian informan didominasi oleh kegiatan sekolah. Bahkan ketika mereka berada di rumah, kegiatan sekolah tetap merupakan bagian yang tidak terpisah. Ini tercernin dari jawaban salah satu informan, Ratih, ketika peneliti tanya mengenai kegiatan kesehariannya. Ratih memberikan gambaran sebagai berikut, jam dua setelah pulang sekolah langsung sholat dan tidur, kemudian bangun waktu sholat Ashar, mandi, yang dilanjutkan makan malam.

“Kadang kalo lagi mood (setelah makan malam) ya langsung ngerjain tugas. Kalau nggak ya tidur lagi. Tapi kadang-kadang ya nonton tivi juga, setengah jam paling. Habis itu terus ngerjain tugas lagi. Kalau malem udah ngantuk banget ya ngerjainnya subuh, tapi ya buru-buru

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

15


pengetahuan mereka, selalu tentang sekolah.

banget.�

keberadaan tugas dan pekerjaan sekolah seolah menghantui para remaja pelajar ini. Santoso, informan kedua yang hobi bermain game online, hanya berani melakukan hobinya ini pada akhir pekan saja. Sementara di hari biasa, dia hanya menghibur diri dengan menonton televisi. Santoso yang kuat bermain game online hingga delapan jam nonstop, mengaku memilih resiko tidak tidur semalaman di malam Minggu untuk kemudian langsung ke gereja, daripada harus melakukan hobinya itu di hari sekolah. Sekolah juga memiliki berbagai kegiatan kurikuler yang cukup menguras waktu para pelajar. Seringkali mereka harus pulang sore sehingga ada yang terpaksa berjalan kaki cukup jauh untuk menunggu angkot. Bahkan informan Dina menceritakan betapa dia harus menahan lapar sampai jam empat sore hanya sekedar untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater. Uang saku yang pas-pasan dan kegiatan ekstrakurikuler yang padat membuat Dina merelakan dirinya kelaparan atau istilah lokalnya adalah suren. Sesuai dengan model yang dikemukakan Wilson (2006), peneliti melihat konteks kehidupan mereka berpengaruh terhadap perilaku kesehariannya. Keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan, menjadi faktor utama yang menjadikan para pelajar ini berorientasi penuh untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Semesta

pada

akhirnya,

Informasi yang Dianggap Penting Davis (1991) menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya, dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang. Informasi selalu identik dengan data yang diolah, seperti yang diungkapkan Kristanto (2003) bahwa informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna, dan lebih berarti bagi penerima. Setiap manusia memiliki kebutuhan informasi yang berbeda, sehingga informasi yang dianggap penting juga berbeda. SulistyoBasuki (2004) mengatakan bahwa kebutuhan informasi adalah informasi yang diinginkan seseorang untuk pekerjaan, penelitian, kepuasan rohaniah, pendidikan, dan lain-lain. Para pelajar SMK Bakti secara umum menganggap informasi mengenai pelajaran sebagai hal paling penting dalam kehidupan keseharian mereka. Ini tampak pada hasil FGD yang menyatakan bahwa mereka mencari informasi di manapun seringkali berkaitan dengan pelajaran sekolah. Semisal, ketika peneliti bertanya apabila membuka internet situs apa yang paling sering dibuka, mereka hampir serempak menjawab Facebook. Kemudian, peneliti mengajukan lagi pertanyaan, apakah Facebook ini merupakan sarana mencari informasi, jawaban mereka tidak. Facebook lebih merupakan ajang mereka mengekspresikan diri dalam pergaulan.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

16


Sementara untuk pencarian informasi, mereka masih mengandalkan mesin pencari atau google.

Generasi saat ini memang merupakan generasi yang tidak lepas dari internet sebagai panduan mereka. Boleh dikatakan mereka merupakan generasi native dalam dunia maya. Semenjak mereka lahir, ayah ibu mereka telah mengenal dunia maya, sehingga anak-anak remaja ini sangat piawai berkelana di dunia maya ini. Akibatnya, nyaris segala macam informasi mereka peroleh dari dunia maya. Siswa SMK Bakti yang peneliti jadikan informan rata-rata berusia antara 16-18 tahun. Mereka lahir ketika internet sudah mulai mewabah di dunia. Semenjak mereka mengenal sekolah, mereka telah bersentuhan dengan internet. Ketika dewasa, mereka pun tetap berpedoman pada internet. Pelajaran sekolah kerap tidak hanya berhenti seiring bel pulang berbunyi. Para guru sering memberikan tugas tambahan sebagai pengayaan materi pelajaran. Seperti informan Ratih yang peneliti wawancara mengenai hobi baca novelnya. “Nggak sempet (baca komik dan novel). Sebenarnya hobi tapi nggak sempat, banyak tugas dari sekolah”. Menurut Ratih, setiap pelajaran biasanya memberi tugas dengan ciri khas masing-masing. Pelajaran KKPI (Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi) merupakan salah satu mata

pelajaran yang hampir pasti selalu memberikan tugas. Bahkan, kadangkadang ada dua tugas dalam satu kali pertemuan. Rupanya pemberian tugas yang demikian banyak membuat para siswa ini tidak sempat berpikir untuk mencari informasi lainnya. Internet sebagai Rujukan Informasi Siswa SMK Bakti secara serempak menganggap internet sebagai sumber informasi utama dalam keseharian mereka. Sementara media seperti koran, televisi, dan radio, hanya sebagai media pelengkap saja. Namun, apabila dihitung secara kuantitas, media yang paling banyak mereka akses adalah televisi. Televisi dijadikan media rujukan untuk hiburan, demikian juga halnya radio, koran ataupun majalah. Sementara itu, walaupun internet merupakan rujukan informasi, mereka mengaksesnya secara terbatas. Hal ini peneliti jumpai pada informan Dina. “Enggak, enggak pernah (main internet). Lagian warnet di Arcawinangun (nama kelurahan-Pen) udah pada tutup, bangkrut mungkin. Dulu misalnya di sebelah D-mas tronik ada Noval Net, itu udah tutup…” Hal serupa juga peneliti jumpai pada beberapa informan yang lain, sebut saja Ratih yang lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang nenek dengan mendengarkan siaran radio. Tian, informan keempat, justru mengalokasikan tabungannya untuk membeli TV sendiri. Pilihan para remaja ini terhadap

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

17


media televisi sebagai yang secara kuantitas paling banyak diakses disebabkan alasan ekonomi. Kebanyakan mereka hanya diberi uang pas-pasan untuk jajan. Alokasi uang saku mereka terbatas hanya pada biaya transportasi dan uang jajan saja. Dina dalam wawancara mengaku bahwa uang sakunya sangat sedikit. “Ya tergantung (uang sakunya), kadang tujuh ribu, enam ribu, malah yang paling sering hanya dikasih uang lima ribu saja�. Uang lima ribu rupiah yang diberikan kepada Dina biasanya habis hanya untuk transportasi saja. Biaya angkot yang sekali naik mencapai dua ribu rupiah, hanya menyisakan seribu rupiah di kantong Dina. Sisa uang seribu rupiah ini biasanya hanya cukup buat beli jajan. Jadi tidak ada alokasi uang untuk internet dalam keseharian Dina ini. Meskipun demikian, para pelajar ini biasanya minta uang saku tambahan kepada orangtuanya ketika ada tugas sekolah yang membutuhkan akses internet. Media yang menjadi rujukan utama dalam memenuhi kebutuhan informasi mereka dalam konteks semesta pengetahuannya adalah internet. Namun, berkait dengan keadaan ekonomi serta mahalnya piranti yang digunakan untuk mengakses internet membuat mereka memilih televisi sebagai media yang mereka akses sehari-hari. Fungsi televisi di sini bukan sebagai media rujukan, namun lebih kepada media hiburan saja. Kesimpulan Remaja pada umumnya memiliki perilaku informasi yang beragam. Sifat

mereka yang cenderung labil dan lingkungan yang berbeda-beda membuat kecenederungan perilaku informasi yang berbeda pula. Pada kasus remaja yang menempuh pendidikan menengah atas setingkat SMK perilaku informasi mereka dapat dipolakan sebagai berikut. Pertama, sekolah merupakan tempat yang paling berpengaruh dalam kehidupan keseharian mereka. Kedua, dominasi sekolah dalam kehidupan keseharian mereka berdampak pada informasi yang mereka anggap penting, yakni tugas sekolah. Ketiga, media yang mereka anggap dapat memenuhi informasi adalah media yang mampu menjawab kebutuhan pengetahuan akan tugas-tugas sekolah mereka, yakni internet. Dengan demikian, dapatlah ditarik sebuah benang merah dari beberapa kesimpulan tadi, yakni “Perilaku informasi pelajar di luar sekolah diwarnai oleh pola belajar mengajar di dalam sekolah sebagai semesta pengetahuan mereka�. Namun, kesimpulan penelitian ini sekaligus memberikan rekomendasi agar diadakan penelitian lebih lanjut terkait keterbatasan dalam pemilihan informan yang cenderung homogen. Penelitian sejenis yang melibatkan berbagai jenis latar belakang pelajar, seperti ekonomi, agama, atau latar belakang demografis lainnya sangat diperlukan guna menggali fakta yang lebih holistis.

Daftar Pustaka Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. (1984). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston:

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

18


Alyn and Bacon, Inc. Bryman, Alan. (2001). Social Research Methods. USA : Oxford University Press. Chan, Shan-Ju & Rice, Ronald E. (1993) Browsing: Multidimensional Framework. Annual Review of Information Science and Technology (ARIST), Vol. 28, pp. 231-276 Dariyo,

Agoes. (2002). Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia

Davis, Gordon B. (1991). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo Eisenberg, Mike & Dirks, Lee. (2008). Taylor’s Value Added Model: Still Relevant After All These Years. iconference pada University of Illinois. Dimuat dalam situs daring https://www.ideals.illinois.edu/b itstream/handle/2142/15081/PA 3-4_iconf08.pdf?sequence=2 diunggah pada 27 Februari 2008, diunduh pada 1 April 2014. Ellis, David (1987). The Derivation of a Behavioral Model for Information System Design, disertasi doktoral, tidak diterbitkan, University of Sheffield, Inggris

Ellis,

David. (1989). A Behavioural Approach to Information Retrieval System Design. Journal of Documentation, Vol. 45 Iss: 3, pp. 171 – 212

Ellis, David; Cox, Deborah; & Hall, Katherine (1993). A Comparison of Information Seeking Patterns of Researcher in the Phsysical dan Social Science. Journal of Documentation, Vol.49 Iss: 4, pp. 356-369 Felisiani, Theresia. (2012). Ini Alasan 78 Siswa SMK Bhakti Ingin Serang Siswa SMK 29. Tersedia Pada: <http://jakarta.tribunnews.com/2 012/10/17/ini-alasan-78-siswasmk-bhakti-ingin-serang-siswasmk-29> [Diakses pada 20 Oktober 2012] Goetz, J.P. & LeCompte, M.D. (1984). Ethnography And Qualitative Design on Educational Research. New York, N.Y.: Academic Press, Inc. Kristanto, Andri. (2003). Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya. Jakarta: Gava Media Kuhlthau, Carol C. (1993). A Principle of Uncertainty for Information Seeking. Journal of Documentation, Vol. 49 Iss: 4, pp. 339 – 355 Meiningsih, Siti. (2011). Kajian Indikator TIK Indonesia: Pola Akses dan Penggunaan TIK oleh Rumah Tangga dan Individu. Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, 5 (3) September, pp. 5-20 Miles, M.B dan A.M Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidin). UI Press, Jakarta. Patton, M.Q. (1980). Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills CA.: Sage Publication

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

19


Pitakasari, R.A. (2012). KPAI: Tawuran Kian Memprihatinkan. Tersedia pada : <http://www.republika.co.id/berita/ nasional/umum/12/09/27/mb033lkpai-tawuran-kianmemprihatinkan> [Diakses pada 20 Oktober 2012] Savolainen, Reijo. (2012). Everyday Life Information Seeking dalam Fisher, K.E., Sanda, E., dan Lynne E.F.M. (Ed) Theories of Information Behavior. New Jersey: Information Today, pp. 143-148 Sarwono, Sarlito Wirawan. (1994). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Rajawali Pers Selvam, S.K.P., & Murthy, R.D. (2012). Suicide Among Adolescents. Indian Streams Research Journal Vol. 2 Issue III/April pp. 1-4 Skoch, S.H., Hicks, P., & Hicks, X.P. (2012). The Use of Cognitive Behavioral Therapy in The Treatment of Resistant Depression in Adolescents. Dove Press Journal: Adolescent Health, Medicine and Therapeutics 2012:3 pp. 95-104 Spradley. J.P. (1980). Participation Observation. New York, N.Y.: Holt, Rinehart, and Winston Sulistyo-Basuki. (2004). Pengantar Dokumentasi. Bandung: Rekayasa Sains Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar: Teori dan Terapannya dalam Penelitian.

Surakarta : Sebelas University Press.

Maret

Wilson, T.D. (1999). Models in Information Behaviour Research. Journal of Documentation, Vol. 55 Iss: 3, pp. 249-270 Wilson, T.D. (2006). On User Studies and Information Needs. Journal of Documentation, Vol. 62 No. 6 pp. 658 – 670 Yin, Robert K. (2000). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada Yusup, Pawit M. (2005). Pedoman Praktis Mencari Informasi. Bandung : Remaja Rosdakarya Zulkarnaen, S.D. (2011) Tawuran Pelajar Memprihatinkan Dunia Pendidikan. Tersedia pada: <http://kpai.go.id/publikasimainmenu-33/artikel/258-tawuranpelajar-memprihatinkan-duniapendidikan.html> [Diakses pada 20 Oktober 2012]

CV Singkat: Agus Ganjar Runtiko, S.Sos, M.Si lahir di Tulungagung, 14 Agustus 1981. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Pada tahun 2009 lulus dari Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran. Saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar tetap sekaligus sekretaris jurusan di almamaternya, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Beberapa karya tulisnya antara lain “Konvergensi Media dan Perpindahan Ruang Publik (Reaktualisasi Pemikiran Habermas)” dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

20


“Memetakan Komunikasi Kesehatan”, dimuat di Jurnal Observasi Bandung; “Konstruksi Budaya Maskulin dalam Iklan”, dimuat di Jurnal Penelitian Komunikasi Bandung; dan “Peran KPI dalam Pemberdayaan Muatan Lokal di Era Penyiaran Digital”, dimuat di BroadcastMagz Jakarta. Dian Bestari Santi Rahayu, SIP, M.IKom, saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Berlatar pendidikan S1 Jurusan Ilmu Komunikasi pada FISIPOL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta Program Magister Ilmu Komunikasi dengan Konsentrasi Public Relations Universitas Padjajaran Bandung menjadikan dosen kelahiran Banyumas, 28 April 1978 ini banyak ditugaskan untuk mengampu mata kuliah-mata kuliah dengan konsentrasi Public Relations. Beberapa karya tulisannya antara lain : “Indeks Publisitas Corporate Social Responsibility Pada Laman Resmi PT.Pertamina Persero” serta Pengaruh Informasi dan Pengenalan Merek Pada Perilaku Konsumen” dimuat di Acta Diurna, Jurnal Ilmu Komunikasi Unsoed Purwokerto. Wiwik Novianti, S.Sos, M.I.Kom lahir di Cirebon, 27 November 1981. Penulis adalah tenaga pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman. Pada 2011 penulis lulus dari Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Salah satu karya tulisnya adalah “Televisi Lokal dan Konsentrasi Kepemilikan Media” yang dimuat dalam Jurnal Observasi Bandung. Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

21


PEMAKNAAN AGAMA SEBAGAI HASIL INTERAKSI ANTAR ANGGOTA KOMUNITAS PUNK MUSLIM

Megi Primagara Alumni Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Jakarta Email : eggie168@gmail.com

ABSTRACT Religious meaning for someone, can be influenced by interactions with other people. This is evident from the results of a study of a number of members of the Muslim Punk community. When they joined the punk community Which was most of the members of the community to make religion as something that is not important to someone and encounters the matter to the community members of the Muslim Punk, then they interpret the same religion as other punk community members. When they joined the Muslim community who give meaning Punk as the most important thing in a person and menginteraksikannya to all members of the Muslim punk community, they also change the view to make sense of religion. The process of interaction with other individual person is able to make a person makes meaning to something. Key Word : The Interaction of Individual, Religious meaning, Symbolic Interaction Theory, Religion.

ABSTRAK Makna religius seseorang, dapat dipengaruhi oleh interaksi dengan orang lain. Hal ini terbukti dari hasil penelitian terhadap sejumlah anggota dari komunitas Muslim Punk. Ketika mereka bergabung dengan komunitas punk yang merupakan sebagian besar anggota masyarakat untuk membuat agama sebagai sesuatu yang tidak penting bagi seseorang dan pertemuan hal tersebut kepada anggota masyarakat Muslim Punk, maka mereka menginterpretasikan agama yang sama sebagai anggota komunitas punk lainnya . Ketika mereka bergabung dengan komunitas Muslim yang memberi makna Punk sebagai hal yang paling penting dalam seseorang dan menginteraksikannya kepada semua anggota komunitas punk Muslim, mereka juga mengubah tampilan untuk memahami agama. Proses interaksi dengan orang individu lain mampu membuat seseorang membuat arti sesuatu. Kata Kunci: Interaksi individu, makna religius, Simbolis Teori Interaksi, Agama.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

22


Pendahuluan Deklarasi Johnny Roten, anggota grup band Sex Pistol, yang menyatakan “I’m anti Christ/ I’m anarchist” membuat Punk teridentifikasikan sebagai kelompok yang tidak mau juga tunduk pada agama. Tindakan kekerasan, alkohol dan obatobatan kemudian menjadi identitas yang melekat pada Punk (Luhr, 2010:446). Pernyataan Johnny Roten seakan melegitimasikan penolakan Punk terhadap agama. Punk dan agama pun menjadi dua kutub yang bertolak belakang. Punkers, sebutan bagi seseorang yang bergabung dalam komunitas Punk, cenderung mengasosiasikan dirinya saat menjadi Punk adalah sebagai individu yang menolak menjalankan nilai-nilai keagamaan. Di Pulogadung, Jakarta Timur, Indonesia, sejak tahun 2007 berkembang sebuah komunitas Punk Muslim yang menjadikan nilai keagamaan Islam sebagai dasar pergerakannya. Anggota Punk Muslim justru memposisikan agama berperan penting bagi individu dan menolak anggapan bahwa punkers harus menolak nilai keagamaan. Selama komunitas ini berkembang, tidak sedikit kemudian punkers yang merubah pemahamannya mengenai punk dan agama. Fenomena punkers memaknai agama dalam komunitas Punk Muslim menunjukan bagaimana individu mengintepretasikan agama. Edward Tylor menjelaskan agama ialah “suatu kepercayaan terhadap objek spiritual”.

Tylor merujuk definisi tersebut berdasarkan aninisme dimana kepercayaan bahwa benda mati dan benda hidup memiliki jiwa dan jiwa tersebut mempengaruhi kehidupan (Hamilton, 2001:14). Definisi Tylor menjelaskan bahwa masing-masing individu memiliki cara berbeda dalam menafsirkan maupun berkomunikasi dengan “Sesuatu”. Intepretasi individu terhadap “Sesuatu” menimbulkan perilaku dan tindakan berbeda dalam upaya individu berhubungan dengan “Sesuatu” tersebut. Inilah yang memunculkan tindakan keagamaan. Bisa dibilang tindakan keagamaan merupakan simbolisasi intepretasi individu dalam memahami agama atau “Sesuatu”. Relasi individu dengan agama ialah ketika individu memiliki intepretasi terhadap “Sesuatu”, dan berupaya untuk berkomunikasi dengan “Sesuatu” tersebut. Inilah yang kemudian memunculkan simbolisasi intepretasi agama individu dalam bentuk tindakan keagamaan. Sehingga, memahami intepretasi agama individu dapat dilihat juga dengan bagaimana tindakan keagamaan individu. Keberadaan Punk Muslim sendiri memberi “warna” baru dalam subkultur Punk. Komunitas yang sering diasumsikan anti-Tuhan ini justru di Indonesia malah berkembang suatu komunitas Punk yang memilih jalur berbeda; menjadikan agama (Islam) sebagai dasar aktifitasnya. Keberadaan Punk Muslim juga menunjukkan bagaimana intepretasi agama bagi

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

23


seseorang. Agama dapat dipahami oleh siapa saja, bahkan oleh individu yang antiTuhan sekalipun. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut : (1) Bagaimana antar anggota Punk Muslim menghasilkan perubahan pandangan dari tidak memperdulikan ajaran agama menjadi peduli terhadap ajaran agama melalui proses interaksi ? (2) Bagaimana antar anggota Punk Muslim memaknai agama dalam proses interaksi ? Kerangka Pemikiran Teori Interkasi Simbolik Intepretasi individu atas suatu objek tidak selalu muncul dengan sendirinya. Karena manusia menciptakan makna untuk suatu objek dan makna tersebut saling dipertukarkan melalui interaksi. Blumer (1969) memiliki tiga premis mengenai Interaksionisme Simbolik, yaitu : “Premis yang pertama ialah bahwa manusia bertindak terhadap benda-benda berdasarkan makna bendabenda itu bagi mereka. Premis kedua ialah bahwa makna benda-benda itu diperoleh atau timbul dari interaksi sosial yang dimiliki seorang manusia dengan seorang manusia lainnya. Premis ketiga ialah bahwa makna-makna ini dibicarakan dan dimodifikasi melalui proses intepretif yang digunakan oleh orang dalam menghadapi benda-benda yang dijumpai pria [atau wanita] itu” (George Ritzer, 2011:429). Simbolisasi atas suatu objek dalam kehidupan individu, dalam sudut pandang Interaksionisme Simbolik, muncul ketika individu membentuk makna atas suatu objek. Tetapi, makna tersebut semakin “hidup” ketika kemudian individu bertukar-makna dengan individu lain.

Karena hal tersebut mampu membuat individu mengembangkan makna atas objek yang ada dalam dirinya. Littlejohn dan Foss (2008:233) menyatakan bahwa “Pelaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun kembali, dan mengubah makna untuk mengetahui situasi di mana ia ditempatkan dan arah dari tindakantindakannya”. Makna sendiri, dalam proses interaksi tersebut, menurut Blummer sebagaimana dikutip West dan Turner (2010:82), mengalami proses intepretasi dalam dua tahap. Pertama, komunikator menyusun objek yang memiliki makna. Penyusunan pemaknaan terhadap objek tersebut tidak lepas dari latar belakang sosial-budaya masing-masing individu. Tahapan kedua, komunikator menyeleksi, memeriksa dan membagi pemaknaan dalam konteks keberadaan dirinya. Makna yang dibuat individu akan mengalami kecocokan pemaknaan dengan individu lain yang memiliki latar belakang sosialbudaya yang sama. Sehingga, makna yang dipertukarkan dalam proses interaksi tidak mengalami bias. Hasil individu membangun makna suatu objek ikut menentukan perilakunya. Hal ini karena individu membentu realitas objek berdasarkan makna yang diyakininya. interaksi mendorong individu mengembangkan pikiran (mind) dan diri (self) (George Ritzer, 2011:430). Individu memperoleh cara melakukan perilaku melalui pergaulan dengan orang lain. Kaum interaksionis menganggap bahwa orang (people) berkembang menjadi manusia (human beings) saat individu ambil bagian dalam interaksi sosial (George Ritzer, 2011:430).

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

24


Ritzer menyatakan bahwa perilaku berkembang dan terkonstruksi berdasarkan makna yang dihubungkan dengan situasi tempat diri berada (George Ritzer, 2011: 431). Dalam konteks penelitian ini, para punkers dan punkers Punk Muslim memaknai agama yang kemudian disimbolisasikan dalam bentuk bahasa dan tindakan. Simbolisasi makna agama ini kemudian dipertukarkan diantara punkers dan punkers Punk Muslim untuk membentuk pemaknaan baru punkers mengenai agama. Makna baru inilah yang nantinya akan membentuk juga realitas perilaku punkers terhadap agama. Disinilah timbul perubahan makna mengenai sosok punkers yang salah satunya sebagai sosok yang atheis, antiTuhan kemudian dapat berubah menjadi makna sebagai sosok yang ber-Tuhan. Teori Fenomenologi Makna atau verstehein menjadi suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari tindakan individu. Kolektifitas tindakan individu inilah yang kemudian menjelma sebagai tindakan masyarakat. Alfred Schutz, ahli teori fenomenologi, menyatakan realitas sosial dibentuk di dalam dan melalui tindakan dan relasi bermakna. Tidak ada fakta kehidupan sosial yang benar-benar objektif sebab kehidupan sosial semata-mata terdiri dari perilaku yang diintepretasikan (George Ritzer, 2011:482). Bagi Schutz, masyarakat adalah suatu kesatuan fungsional; suatu keseluruhan koheren dan teratur yang didasarkan pada kumpulan kepercayaan dan persepsi bersama, dan melalui kumpulan itulah ‘realitas’

didefinisikan sebagai milik bersama semua anggotanya (George Ritzer, 2011:483). Realitas sehari-hari dalam masyarakat berangkat dari pengalaman subjektif individu dalam memaknai “realitas”. Proses pemaknaan tidak lepas dari tipifikasi individu. Kumpulan pengetahuan inilah yang kemudian menjadi pendorong individu memakai simbol-simbol untuk memberi makna pada tingkah lakunya sendiri. Pada proses ini, ada suatu kesadaran memilih pengalaman dalam dirinya dan menyesuaikan dengan pengalaman yang sama. Basrowi dan Sudikin (2002) menyebutkan bahwa pada puncaknya keseluruhan pengalaman tersebut dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk bahasa dan tindakan (Basrowi, 2002:42). Fenomenologi kemudian melihat bahwa dunia merupakan ciptaan individu. Schutz melihat bahwa untuk memahami tindakan sosial dapat dilakukan melalui penafsiran. Proses penafsiran tersebut dapat dipergunakan untuk memperjelas dan memeriksa makna yang sesungguhnya (Basrowi, 2002:40). Objek penelitian memfokuskan kepada interaksi anggota komunitas Punk Muslim dalam memahami dan memaknai agama. Untuk mendapatkan data, penulis mewawancarai empat anggota komunitas Punk Muslim, yaitu Otoy, Asep, Ucup dan Anggi. Metode penelitian yang digunakan ialah fenomenologi, yangmana lebih berusaha menganalisa kesadaran informan memahami suatu fenomena. Alo Liliweri dalam buku “Filsafat Komunikasi.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

25


Tradisi dan Metode Fenomenologi” (Alex Sobur, 2013:iii-xvi) menjelaskan metodologi fenomenologi mencakup empat tahap. Tahap pertama, bracketing, adalah proses mengidentifikasi dengan ‘menunda’ setiap keyakinan dan opini yang sudah terbentuk sebelumnya tentang fenomena yang sedang diteliti. Kedua, intuition, terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk mengaitkan makna-makna fenomena tertentu dengan orang-orang yang telah mengalaminya. Ketiga, analyzing, analisis melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial, dan selektif) kategorisasi sehingga membuat sebuah pengalaman mempunyai makna yang penting. Setiap peneliti diharapkan mengalami ‘kehidupan’ dengan data yang akan dideskripsikan demi memperkaya esensi pengalaman tertentu yang bermunculan. Keempat, describing, yaitu menggambarkan. Pada tahap ini, peneliti mulai memahami dan dapat mendefinisikan fenomena menjadi “fenomenon” (fenomena yang menjadi) sehingga dapat mengomunikasikan secara tertulis maupun lisan dengan menawarkan suatu solusi berbeda. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa fenomenologi. Collin (1997) menjelaskan bahwa teknik analisa fenomenologi akan berusaha memahami pemahaman informan terhadap fenomena yang dialami informan dan dianggap sebagai entisitas sesuatu yang ada dalam dunia (Basrowi, 2002:32). Colaizzi (1978), sebagaimana dikutip Alex Sobur (2013:456), menjelaskan bahwa dalam penelitian

fenomenologis analisis data dilakukan pada tiap wawancara guna bertujuan mendapatkan pemahaman esensi fenomena yang diteliti. Collaizi merumuskan langkah-langkah sebagai berikut, pertama, peneliti fokus pada kalimat serta frasa dalam transkrip wawancara yang secara langsung berkaitan dengan fenomena yang diteliti. Kedua,”merumuskan makna” dimana merinci makna dari masingmasing pernyataan penting sesuai konteks aslinya. Ketiga, mengelompokkan semua makna yang berbeda-beda dalam tematema tertentu. Keempat, “uraian mendalam” dimana memadukan semua kelompok tema ke dalam sebuah penjelasan yang mengungkap pandangan partisipan terhadap fenomena yang diteliti. Peneliti, berdasarkan hasil wawancara penelitian, merumuskan tema utama ialah fenomena pemaknaan punkers terhadap agama. Adapun tema utama tersebut peneliti rumuskan secara mendalam menjadi dua sub-tema, yaitu punkers di komunitas punk memaknai agama dan punkers di komunitas Punk Muslim memaknai agama. Kategorisasi sub-tema punkers di komunitas punk memaknai agama ialah 1) Proses punkers berkenalan dengan komunitas punk, 2) Pemaknaan punkers terhadap punk dan implementasinya terhadap perilaku dirinya, 3) Pemaknaan punkers terhadap agama saat berada di komunitas punk. Sementara, kategorisasi sub-tema punkers di komunitas Punk Muslim memaknai agama ialah 1) Proses punkers berkenalan dengan komunitas Punk Muslim, 2) Pemaknaan ulang punkers terhadap agama

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

26


dan implementasinya terhadap perilaku dirinya.

Hasil Penelitian Interaksi Punkers Memaknai Agama Di Komunitas Punk Para narasumber, yaitu Otoy, Asep, Anggi dan Ucup, memiliki kesamaan dalam proses perkenalan dengan komunitas Punk. Mulanya, keempat narasumber mengakui bahwa mereka sebenarnya “orang awam� seperti orang lain saja. Mereka sebelumnya tidak mengenal seperti apa dan bagaimana Punk. Perkenalan dengan teman yang lebih dahulu memasuki komunitas Punk-lah yang kemudian ‘menyeret’ keempat narasumber memasuki komunitas Punk dan menjadi punkers. Lebih lanjut, para narasumber menuturkan bahwa mereka kemudian banyak menghabiskan hariharinya berinteraksi dengan para punkers, seperti mengamen, teman sepermainan. Ritzer (George Ritzer, 2011:430) menyatakan bahwa individu memperoleh cara melakukan perilaku melalui pergaulan dengan orang lain. Berkaitan hal tersebut, Turner (Turner,2011) menyebut perilaku merupakan peranan yang diambil oleh individu dalam interaksi sosial. Proses interaksi antar individu menghasilkan perilaku atau tindakan yang disepakati oleh para individu pelaku interaksi tersebut. Kondisi inilah yang terjadi terhadap keempat narasumber. Pada mulanya mereka tidak mengetahui apa dan bagaimana punk itu. Namun, berada pada komunitas punk membuat mereka berinteraksi dengan para punkers.

Sehingga, keempat narasumber melakukan sejumlah perilaku yang sama-sama juga dilakukan para punkers. Selama berinteraksi dengan punkers, keempat narasumber melihat perilaku punkers yang tidak sesuai nilainilai keagamaan, seperti mabuk, merajah tubuh (tato), tindakan kriminalitas, bahkan perilaku seks bebas. Secara umum, keempat narasumber mengakui tidak memiliki latar belakang keagamaan yang baik. Ditengah kondisi tersebut, terjadilah proses interaksi antara narasumber yang awam, baik tentang agama maupun Punk, dengan para punkers. Interaksi tersebut mempengaruhi narasumber dalam berperilaku sehingga terjadi proses peniruan prilaku oleh narasumber sebagaimana perilaku yang dilakukan juga oleh para punkers. Termasuk perilaku yang tidak mementingkan nilai-nilai keagamaan. Semakin sering para narasumber berinteraksi dengan Punk, maka semakin kuat mereka membentuk makna tentang punk dan agama. Makna yang berkembang di dalam diri narasumber kemudian merujuk kepada pemahaman bahwa punk bertolak belakang dengan nilai keagamaan. Pemaknaan ini mengalami simbolisasi dalam bentuk perilaku melawan tatanan nilai keagamaan. Mereka tidak merasa bersalah bila tidak menjalankan peribadatan. Dan tidak juga merasa bersalah perilakunya tidak sesuai nilai agama, seperti mabuk-mabukan, mencuri atau menodong, dan seks bebas.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

27


Interaksi Punkers Memaknai Agama Di Komunitas Punk Muslim Pemaknaan punkers mengenai agama saat berada di komunitas Punk, merujuk kepada pernyataan Taylor, menunjukan para narasumber tidak memiliki “Sesuatu” yang perlu diyakininya untuk dihormati, disucikan. Mereka juga tidak merasa perlu berkomunikasi dengan “Sesuatu” tersebut. Hasilnya, narasumber merasa tidak perlu susah payah menghubungkan dirinya dengan “Sesuatu”. Makna inilah yang hidup selama punkers berinteraksi dengan punkers lainnya di komunitas Punk. Situasi berbeda terjadi ketika punkers berkenalan dengan punkers yang tergabung dalam komunitas Punk Muslim. Dalam komunitas Punk Muslim, punkers Punk Muslim menjadikan agama Islam sebagai dasar pergerakan. Punkers Punk Muslim memaknai bahwa menjadi seorang punkers bukan berarti harus meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Jadilah perilaku punkers Punk Muslim berbeda dengan punkers lainnya, khususnya dalam perilaku keagamaan. Interaksi punkers dengan punkers Punk Muslim berbeda kala punkers berinteraksi dengan punkers di komunitas Punk. Punkers Punk Muslim seringkali berbagi simbol-simbol keagamaan dengan keempat narasumber, baik secara perilaku yang menunjukan kegiatan peribadatan keagamaan maupun bahasa bernuansa keagamaan. Meski begitu, para narasumber tidak serta menerima begitu saja simbol-simbol yang diinteraksikan oleh punkers Punk Muslim. Apalagi cukup lama punkers hidup dalam

komunitas Punk sehingga cukup lama pula mereka meyakini agama bukan sebagai pedoman perilaku diri. Hall (1972) seperti dikutip Rizter dan Smart, menyebutkan bahwa orang bertindak terhadap situasi. Perilaku seseorang dikembangkan dan dikonstruksi berdasarkan makna yang dihubungkan dengan situasi dan kondisi tempat diri berada. Individulah yang menentukan makna apa yang diberikan pada suatu situasi dan menentukan bagaimana bertindak berdasarkan situasi tersebut serta dampaknya kepada orang lain (George Ritzer, 2011:431). Intesitas interaksi para narasumber dengan punkers komunitas Punk Muslim cukup sering sehingga mendorong narasumber merekonstruksi ulang perilakunya. Bila semula narasumber enggan beribadat namun karena berada dalam lingkungan komunitas yang beribadat maka punkers pun akhirnya menunaikan peribadatan. Pada tahapan ini, narasumber melakukan aktifitas keagamaan sebagai bentuk beradaptasi pada situasi dan kondisi lingkungan ia berada. Aktifitas keagamaan belum bermakna apapun selain hanya “menghormati” punkers Punk Muslim. Punkers Memaknai Agama Interaksi punkers di komunitas Punk Muslim mampu mendorong mereka merekonstruksi perilakunya sehingga mau menjalankan aktifitas keagamaan. Tetapi, para narasumber mengakui pada masa tersebut tindakan keagamaannya lebih kepada upaya penghargaan kepada sesama punkers komunitas Punk Muslim.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

28


Keputusan narasumber mau melaksanakan tindakan keagamaan mendorong mereka mengalami pengalaman keagamaan. Pengalaman ini timbul dari interaksi manusia dengan objek-objek agama yang kemudian menghasilkan perasaan kagum, terpesona bahkan ketakutan. Rudolf Otto menjelaskan perasaan-perasaan tersebut bukan sekedar penampilan psikologis manusia, tetapi memandangnya sebagai suatu cara untuk memahami yang ilahi (Dhavamony, 1995:104). Pengalaman ini kemudian mendorong narasumber meningkatkan kualitas perilaku keagamaannya. Pengalaman saat melakukan perilaku keagamaan membuat narasumber memberi nilai bagi makna agama itu sendiri. Sehingga mengubah cara narasumber memaknai agama itu sendiri dan dalam berperilaku keagamaan. Punkers semula berperilaku keagamaan hanya sekedar sebagai bentuk penghargaan kepada punkers lainnya, berubah dengan menganggap agama sebagai bentuk penghargaan kepada “Sesuatu” yang suci, terhormat. Pada akhirnya, narasumber memang memahami bahwa ada “Sesuatu” yang harus mereka sucikan dan peribadatan merupakan upaya untuk menyucikan “Sesuatu” tersebut. Hanya saja, pada praktik religius punkers menempatkan penghormatan tersebut dengan sakralitas menurut dirinya. Praktik religius santri mengharuskan tubuh harus bersih dari najis, termasuk tato, saat beribadah. Bila tubuh tidak bersih maka nilai ibadah menjadi sia-sia. Hal ini berbeda bagi punkers. Mereka mengakui

tubuhnya tidak bersih karena memiliki tato dan tindikan, namun hal tersebut tidak mengurangi perasaan kesucian saat melakukan praktik religius. Terpenting, bagaimana praktik religius tersebut menjadi sarana komunikasi dengan yang ilahi. Sehingga, pelaksanaan tindakan simbolik menjadi pengalaman individu atas yang ilahi. Pengalaman yang ilahi adalah pengalaman manusia, pengalaman itu menemukan perwujudannya dalam simbol-simbol dalam lingkungan profane, dengan mana yang ilahi dicapai (Dhavamony, 1995:105). Perilaku keagamaan narasumber juga semakin menguat bahkan mampu merubah makna terhadap agama yang selama ini hidup dalam diri mereka. Hal tersebut juga tidak lepas dari keberadaan narasumber yang kerap berinteraksi dengan punkers Punk Muslim. Sakralitas punkers terhadap yang ilahi pun bertemu dengan punkers lainnya sehingga membentuk kepercayaan yang sama, dan sama-sama melakukan tindakan simbolik dalam kelompok. Hal ini membuat kelompok-kelompok orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan dan pengamalan-pengamalan yang sama menjadi suatu masyarakat moral (moral community) (K.Nottingham, 2002:15). Menurut Nottingham (2002), kelompok yang melakukan pengamalan ibadah bersama-sama menunjukan hubungan yang erat dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kelompok tersebut. Sehingga, agama, kata Taufik Abdullah (1989), adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya, agama merupakan awal terbentuknya suatu

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

29


komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula (Syamsul Arifin, 2009:43). Nilai-nilai moral yang terbentuk dalam kelompok itu pun kemudian terintegrasikan dalam diri individu. Proses integrasi menjadi mudah karena individu telah memahami bahwa dirinya mengakui yang ilahi sebagai sesuatu yang harus dihormati dan memiliki kekuatan tidak terbatas atas dirinya. Pembahasan Individu memiliki kebebasan membentuk makna objek apapun dan menyimbolisasikannya dalam bentuk apapun. Termasuk agama, dimana individu membentuk tindakan simboliknya yang menunjukan pemaknaannya terhadap Illahi. Ketika individu memaknai Illahi sebagai sesuatu yang sakral, suci, dan terhormat maka perilaku religius, sebagai tindakan simboliknya, tidak dilakukan sewenang-wenang. Ia akan berperilaku religius penuh penghormatan kepada Illahi. Sebaliknya, ketika individu tidak memaknai Illahi sebagai apapun maka perilaku religiusnya pun tidak menunjukan tindakan simbolik penuh penghormatan, sakralitas kepada Illahi. Individu memaknai agama dapat berubah karena faktor interaksi dengan individu lain. Interaksi akan memberi kontribusi bagi individu untuk mengubah pemaknaannya dan merekonstruksi ulang simbolisasi maknanya. Interaksi menjadi proses pertukaran makna yang berkembang dalam diri individu. Antar individu saling bertukar makna melalui

simbolisasi seperti bahasa maupun tindakan. Akibatnya, individu akan mengalami proses rekonstruksi makna, dimana individu akan mempertimbangkan menerima atau menolak makna pihak lain. Proses adaptasi atas perilaku yang dilakukan secara bersama-sama termasuk faktor yang mempengaruhi rekontruksi makna individu. Proses rekontruksi makna menghasilkan makna baru agama. Perilaku menjadi wujud simbolisasi makna agama tersebut. sehingga, melihat perilaku kegamaan seseorang maka dapat pula menakar sejauh mana orang tersebut memaknai agama dalam dirinya.

Kesimpulan Pada penelitian ini, makna agama punkers dipengaruhi interaksinya dengan individu lain. Ketika berinteraksi dengan punkers di komunitas Punk maka mereka menemukan bahwa para punkers di komunitas Punk memaknai agama sebagai sesuatu yang tidak bernilai, tidak menjadikannya sebagai pedoman perilaku. Makna tersebut disimbolisasikan dengan perilaku punkers yang tidak menjalankan nilai keagamaan. Lewat proses interaksi dengan punkers, narasumber kemudian membentuk makna yang sama terhadap agama. Narasumber berubah memaknai agama ketika berinteraksi dengan punkers komunitas Punk Muslim. Mereka mengalami pertukaran simbol dimana punkers Punk Muslim memaknai agama sebagai sesuatu yang bernilai, yang patut dijadikan sebagai pedoman perilaku.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

30


Proses interaksi tersebut merekontruksi ulang pemaknaan narasumber terhadap makna agama. Sehingga pada akhirnya, narasumber memaknai agama sebagai sesuatu yang bernilai, pedoman dalam berperilaku. Proses interaksi antar individu mendorong terjadinya pertukaran makna dan membentuk simbolisasi dari makna tersebut. Agama pun tidak lepas dari proses pemaknaan individu. Makna yang terbentuk mendorong individu menyimbolisasikannya dalam wujud tindakan keagamaan. Pengalaman individu saat melakukan tindakan keagamaan juga mendorong meningkatkan kualitas pemaknaan atas agama. Semakin individu merasakan pengalaman bernilai saat melakukan tindakan keagamaan maka semakin besar pula dalam memaknai agama. Semakin besar individu memaknai agama maka semakin ia berkualitas melakukan tindakan keagamaan. Peneliti merekomendasikan untuk menggunakan pendekatan fenomenologi seperti dalam penelitian ini sebagai upaya memahami pemaknaan agama oleh individu. Pendekatan fenomenologi dapat digunakan untuk mengatasi konflik agama, yaitu dengan memahami makna antar kelompok yang bertentangan mengenai agama, Tuhan, dan implementasi ketuhanan bagi dirinya.

Daftar Pustaka Arifin,

Syamsul.2009. Studi Agama. Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu

Kontemporer. Press.

Malang.UMM

Basrowi, Sudikin.2002 Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Percetakan Insan Cendekia. Surabaya Bungin,

Burhan. 2012. Teknik-teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Dalam Burhan Bungin (penyunting). Analisis Data Penelitian Kualitatif, hlm. 83-106. Jakarta. Rajawali Press.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Terjemahan Kelompok Studi Agama Driyarkara.Kanisius. Yogyakarta. George Ritzer, dan Barry Smart. 2011. Handbook Teori Sosial. Terjemahan Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media. Griffin, EM. 2012. A First Look At Communication Theory 8th ed. New York: McGraw Hill. Hamilton, Malcolm. 2001. The Sociology of Religion Theory. New York: Routledge. K.Nottingham, Elizabeth.2002. Agama dan Masyarakat. Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Terjemah : Abdul Muis Naharong. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. Liliweri,Alo.2013. "Fenomenologi dari percabangan filsafat sampai metodologi penelitian." dalam

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 |

31


Filsafat Komunikasi. Tradisi dan Metode Fenomenologi. Drs. ALex Sobur, M.Si,hlm. iii-xvi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Luhr, Eileen. 2010. Punk, Metal and American Religions. Religion Compass 4â „7. Michael Bloor, FIona Wood., 2006. Keywords in Qualitative Methods, A Vocabulary of Research Concepts. London: SAGE Publications. Noer,

Pace,

Kautsar Azhari. 2012. Pengembangan Tema-tema Perbandingan Agama. Jurnal Titik Temu, Vol.4, No.2, JanuariJuni 2012, hlm.111-134. Enzo. 2011. Religion as communication. International Review of Sociology: Revue Internationale de Sociologie, 21:1 , hlm. 205-229.

Richard West, dan Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory, Analysis and Aplication, 4th ed. . New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. S.Harrison, Victoria.2007. Metaphor, Religious Language, and Religious Experience. Sophia Volume 46 issue 2, 2007. Hlm. 127-145. Sherwyn P.Morreale, Brian H.Spitzberg, dan J.Kevin Barge. 2007. Human Communication: Motivation,

Knowledge, and Skills (2nd Ed.). Canada: Thomson Wadsworth. Stephen W.Littlejohn, dan Karen A.Foss. 2008. Theories of Human Communication, 9th ed. Singapura: Cengage Learning Asia. S.Harrison, Victoria.2007. Metaphor, Religious Language, and Religious Experience. Sophia Volume 46 issue 2 , hlm. 127145. Thompson, Stacy. 2004. Punk Productions, Unfinished Business. New York: State University of New York Press. Turner, Jonathan H. 2011. Extending the Symbolic Interactionist Theory of Interaction Processes: A Conceptual Outline. Symbolic Interaction, Vol. 34, Issue 3,hlm. 330-339. BIBLIOGRAPHY \l 1033 Westbrook, Lynn. 1994. Qualitative Research Methods : A Review of Major Stages, Data Analysis Techniques and Quality Control. Library and Information Science Research Vol.16 Issue 3 , hlm. 241-254.

Ucapan Terima Kasih Kepada : 1. Bapak. Dr. Farid Hamid,M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

32


2.

3.

4.

5.

6.

Ibu Dr. Agustina Zubair, M.Si selaku dosen pembimbing utama yang memberikan pembimbingan materi, memotivasi penulis merampungkan tesis. Bapak Dr. Ahmad Mulyana, M.Si selaku dosen penguji sidang tesis yang memberikan banyak masukan terhadap tesis penulis. Orangtua penulis, Gaos Sumantri dan Suhita Mairina, yang selalu mendoakan keberhasilan penulis merampungkan pendidikan pascasarjana. Istri penulis, Rika Amilia, S.Ikom, dan buah hati tercinta, Kenzie Algika Ghifary. Terima kasih menjadi pendamping dan selalu menyemangati. Seluruh punkers Punk Muslim : Bang Zaki, Otoy dan istri, Anggi, Asep, Ucup, dan lainnya. Terima kasih atas bantuannya. Semoga tidak pernah berhenti menginspirasi punkers menemukan dan mengenal Sang Illahi. “Perlawanan sesungguhnya adalah melawan sisi gelap dalam diri�.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

33


RELASI PELANGGARAN CONTENT TELEVISI DAN KOMODIFIKASI MEDIA Studi Atas Pelanggaran Program Acara Televisi Nasional Dalam Perspektif Ekonomi Politik Media

Ahmad Toni Rini Lestari Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Email: tonianthonovubl@gmail.com rinibuluh@yahoo.co.id

ABSTRACT This research tries to unravel the relationships associated with the birth of the commodification of media violations with political economic perspective that the media focused on reprensentasi commodification as a form of power of the media. So the results of this study can be used as a reference in the process of realization of media workers in the system of false consciousness in which they live. Relation of media content infringement in a number of national television shows that the presence of media workers, audience and content are unified form of violations established by the capitalists in running a media business in Indonesia. Commodification of content, the commodification of labor and the commodification of the audience is a testament to the power of the media in Indonesia not to uphold the principles of the regulation of broadcasting. Rating and that the share becomes the main factor affecting the birth of violations content on other offenses into relations in the production of media content. Keyword: Commodification Content, Content Media Abuse, National Television

ABSTRAK Penelitian ini mencoba untuk mengungkap hubungan yang terkait dengan kelahiran komodifikasi pelanggaran Media dengan perspektif ekonomi politik bahwa media terfokus pada komodifikasi reprensentasi sebagai bentuk kekuatan media. Jadi hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam proses realisasi pekerja media dalam sistem kesadaran palsu di mana mereka tinggal. Hubungan pelanggaran konten media di sejumlah televisi nasional menunjukkan bahwa kehadiran pekerja media, penonton dan konten disatukan bentuk pelanggaran yang didirikan oleh para kapitalis dalam menjalankan bisnis media di Indonesia. Komodifikasi konten, komodifikasi tenaga kerja dan komodifikasi penonton adalah bukti kekuatan media di Indonesia untuk tidak menegakkan prinsip-prinsip regulasi penyiaran. Penilaian dan bahwa bagian menjadi faktor utama yang mempengaruhi lahirnya pelanggaran konten pada pelanggaran lain ke dalam hubungan dalam produksi konten media. Kata Kunci: Komodifikasi Konten, Konten Media Penyalahgunaan, Televisi Nasional

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

34


Pendahuluan Penonton, pekerja media dan isi media dalam perkembangan televise nasional adalah pihak-pihak yang dieksploitasi pada ruang-ruang pribadi mereka. Bahwa content televise mempunyai sejumlah problematika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi pedoman dalam melakukan proses penyiaran kedepan, dengan mengedepankan proses penyiaran Indonesia yang tentunya dapat memebrikan manfaat bagi penonton. Konsekuensi ini membawa penonton sebagai subjek penyiaran bukan hanya sebagai objek penyiaran yang selama ini dipandang oleh media televise sebagai basis atas eksploitasi mereka untuk menutup biaya produksi, pola kerja pelaku media yang menitikberatkan pada usaha para pemodal dalam memenuhi keuntungan mereka. Proses penyadaran penonton, kaum pekrja media dan content media yang teraktualisasikan dalam kebijakan media mampu menjadi alternative implementasi media yang sehat dan media yang berani menyuguhkan informasi yang mendidik dan tetap memegang teguh prinsip-prinsip penyiaran yang berbasis Pancasila. Isi (content), pekerja media dan penonton atau khalayak adalah elemen utama media dalam menajalankan fungsi lembaga media dalam mengisi pundipundi keuntungan secara ekonomi. Konsekuensi atas sejumlah target kapitalis dalam menanamkan ideologi materialism dalam industri bisnis media di Indonesia. Media Indonesia yang konon berandasrkan

pada prinsip-prinsip Pancasilais menjadi unik dalam menarik untuk ditelusuri sejauh filosofi bangsa dan pembangunan karakteristik bangsa Indonesia itu berpacu dengan ideologi-ideologi modern dan pola-pola modernitas dan bahkan posmodernitas dewasa ini. Televisi merupakan media di Indonesia yang masih dominan dalam transformasi informasi, mengingkat jangkauan televisi yang mampu menembus ruang-ruang geografis di negara kepulauan ini. Televisi bahkan menjadi konsumsi informasi bagai khalayak yang mewajibkan informasi ala nasional, bukan berdasarkan pada content lokal sesuai dengan kebutuhan secara sosial, politik dan ekonomi masyarakatnya. Lebih jauh lagi media televisi menjadi tumpuan akan masa depan sejumlah pencari pekerjaan yang melahirkan gengsi dan martabat bagi persepsi para pencari kerja selama ini. Media televisi adalah melahirkan jenis pekerjaan yang menjanjikan dan memberikan kepuasan tersendiri bagi anak bangsa. Selanjutnya pekerja media yang menghadirkan ide dan kreativitasnya dalam menjalankan tuntutan perusahaan media menjadi mesin (robot) pemilik modal dalam menjalankan bisnisnya, tanpa mau mengindahkan norma-norma, aturan, etika dan undang-undang dalam pola-pola proses produksi media. Binis media pasca reformasi dan lahirnya UU No.40 tahun 1999 tentang kebebasan pers dan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran menjadi memontum sejumlah pembisnis lokal dalam menjalankan modalnya pada industri yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

35


menjanjikan ini. Selama priode 2000-2011 (www.kpi.go.id) pengaduan pelanggaran menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terdapat 3.225 pelanggaran atau pengaduan yang dilakukan masyarakat kepada KPI. Angka pengaduan secara langsung mencapai 794 pengaduan, 2.004 pengaduan secara tidak langsung yang menjadi indikator bahwa bisnis kaum pemodal di industri media Indonesia kurang mengindahkan peraturan atau undang-undang yang berlaku, mereka kaum pemodal lebih mementingkan keuntungan semata, tetapi kurang berpegang pada undang-undang yang harusnya mereka taati sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Pelanggaran isi (content) media televisi yang terus mengalami peningkatan ialah akibat relasi atas sejumlah persoalan yang tidak bisa didiamkan begitu saja. Content merupakan bentuk nyata atas ide dan gagasan serta kerja jurnalis yang menjadi mesin produksi media. Jika orangorang atau actor-aktor media mendalami dan memahami isi materi UU No.40 tahun 1999 dan UU No.32 tahun 2002 serta kode etik jurnalistik dan sejumlah aturan lainnya, maka pelanggaran tersebut dapat diminimalisir. Artinya, aktor atau pekerja media akan menyelaraskan kreativitas mereka dengan aturan yang mereka harus jalankan. Kreativitas yang mengatasnamakan kebebasan dan tanpa rambu-rambu menjadi bom waktu atas sejumlah persoalan masyarakat Indonesia. Lambat laun persoalan yang diakibatkan oleh efek media akan semakin banyak bermunculan dan menjadi persoalan besar generasi bangsa ini.

Bahkan penonton atau khalayak (audience) yang sudah dibebani dengan efek para pemodal tersebut juga mereka dijual secara kauntitatif pada pasar atas nama selera mereka dalam homogenitas yang semu. Rating dan share adalah representasi pasar yang menjadikan penonton pada wilayah yang teropresikan atas binis yang dilakukan oleh para kapitalis industri televisi nasional. Industri yang menjual penontol sebagai barang yang laris diperjualbelikan sebagai indikator mengeruk keuntungan dalam persaingan antar lembaga atau stasiun televisi. Relasi yang menempatkan khalayak pada tempat yang sangat dirugikan atas ekonomi, politik atau regulasi yang dibuat pemerintah dalam industri bisnis televisi. Secara tidak langsung pemerintah juga turut serta menempatkan khalayak sebagai objek atau mesin pengeruk keuntungan yang sangat potensial dalam memperkaya kaum kapitalis di Indonesia. Kerangka Pemikiran Perspektif Historis Ekonomi Politik Ekonomi politik ialah cabang dari ilmu filsafat, berawal dari gagasan John Stuar Mill yang membahas isu dan perkembangannya mulai dari persoalan distribusi nilai, pertukaran produksi, ketenaga kerjaan, hingga pada persoalan peran negara sebagai regulator ekonomi. Sebagai analisis gejala kemasyarakatan yang diakibatkan oleh media maka, ekonomi poltik media ialah “great transformation� sebagai implikasi dari sistem perdagangan informasi yang diusung oleh media. Istilah ekonomi politik (political economy) diperkenalkan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

36


Antoyne de Montchetien (1575-1621) yang mengembangkan ide tentang keperluan negara untuk menstimulasi kegiatan ekonomi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membuka wilayah baru dalam perdagangan. Adapun mahzab ekonomi politik (Yustika, 2009: 4) secara garis besar ialah; 1. 2.

3.

Aliran ekonomi politik konservatif (Edmund Burke). Aliran ekonomi politik klasik (Adam Smith, Thomas Maltus, David Ricardo, Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say). Aliran ekonomi politik radikal (William Godwin, Thomas Paine, Marquis de Condorect, Karl Marx).

Problem serius ekonomi media ialah modal dalam hukum ekonomi dan insentif terhadap karyawan media, seprti yang dinyatakan oleh Myerson (2007) “ we realized that not just resource constraints are important, but incentive constraints�. Terlepas dengan persoalan ekonomi politik, dalam pendekatan ekonomi media secara definitif dimaknai sebagai intterrealsi berbagai aspek sosial masyarakat, proses kontrukasi pesan media, dan institusi media seta ekonomi politik pemerintah. Pendekatan ekonomi politik media menekankan pada keterkaitan seluruh penyelenggaraan politik dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang ditekankan pemerintah. Dalam bidang penekanan subordinat terhadap ekonomi politik media, artinya alat-alat media ialah mekanisme pasar untuk mengambil keuntungan.

Dengan demikin penggabungan antara proses ekonomi sesuai dengan kebijakan pemerintah, sistem politik yang berlangsung dalam pemerintahan dan komodifikasi media menajdi bagian yang integral dalam realitas kehidupan. Ekonomi, politik dan media mempunyai peran yang sama yakni memperhatikan isu-isu pengorganisasian dan koordinasi kegiatan dan tindakan manusia, mengelola konflik, mengalokasikan beban dan keuntungan serta membicarakan tentang kepuasan dan kebutuhan manusia akan informasi.

Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai atau gagasan yang mempengaruhi persepsi, dan mempengaruhi cara bertindak dalam suatu situasi. Dalam pendekatan ekonomi dikenal dua perspektif yang dijelaskan untuk proses pengambilan keputusan, antara lain: 1. Pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan konvensional. Asumsi dasarnya ialah bahwa pemerintah (negara) bersifat otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

37


beroreintasi pada kepentingan publik. Artinya, pemerintah memegang peran penting sebagai agen memaksimalkan kepentingan masyarakat dan merupakan representasi dari politik pemerintahan. Pendekatan negara yang memuluskan nilai-nilai kebijakan untuk kemakmuran negara dan masyarakatnya. 2. Pendekatan ekonomi politik baru, sebuah asumsi yang menekankan pada alokasi sumber daya publik dalam pasar politik, penekanan pada perilaku mementingkan diri sendiri dari politisi, pemilih, kelompok mayoritas, dan birokrat. Penerapannya ameliputi; penggunaan kerangka kerja ekonomi plitik berupaya untuk menerima ekistensi dan validitas dari budaya politik, efektivitas untuk mencegah proses determistik, pengambilan keputusan yang mendesak dan waktu yang pendek, analisis kebijakan untuk negara berkembang tidak mengacu pada analisis yang statis, lebih menekankan analisis hubungan antar-manusia. Dari penjelasan ekonomi politik di atas bila diterapkan dalam media maka ekonomi politik media dalam berbagai perspektif mengacu pada ekonomi politik kelembagaan (kepemilikan media), media adalah institusi sosial yang berkaitan dengan kekuasaan, kekuatan dan pengaruh persuasif (powerfull and persuasive influence). termasuk perbedaan perspektif,

paradigma, teori, metodologi dan praktis komunikasi, dan produk media, distribusi dan konsumsi media. Kelembagaan mempunyai kepedulian terhadap evolusi struktur kekuasaan, proses penciptaan dan penyelesaian konflik. Paradigma dan teori kritikal memiliki pandangan bahwa realitas merupakan Realisme historis– realisme sebenarnya yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, kultural, ekonomi, etnik, dan gender; terkristalisasi sepanjang waktu. Tiga ciri esensial perspektif Kritikal menurut Littlejohn, (2005: 175): 1.

2. 3.

Percaya terhadap pentingnya memahami pengalaman hidup dalam konteks masyarakat yang nyata. Berusaha memadukan teori dengan praktek. Menguji kondisi sosial untuk mengungkapkan tatanan yang rusak yang biasanya tersembunyi di balik peristiwa sehari-hari.

Kekuasaan Dan Regulasi Media Menyimak sejarah dinamika dan perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat Indonesia, kita bisa menunjukkan bahwa regulasi media dalam konteks apapun belum menyentuk persoalan mendasar. Dari pola sejarah regulasi media Indonesia, kita bisa melihat bahwa media massa di Indonesia belum menjadi persoalan yang serius, terutama mengenai keterlibatan media dalam perubahan politik dan sosial di Indonesia. Persoalan mendasar yang belum mendapat perhatian dalam setiap regulasi media adalah redefinisi dan rekonsensus makna

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

38


media massa di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam peraturan perundanganundangan di Indonesia sampai pada RUU penyiaran, belum ada rumusan yang tegas dan jelas lagi positif mengenai hakikat, filosofi media dalam perubahan sosial di Indonesia. Artinya, selama ini media massa hanya dilihat sebagai instrumen filosofi kebebasan berpendapat. Padahal dalam konteks globalisasi media sangat terlihat pada media massa menjadi kekuatan independen dinamis yang bisa memanfaatkan sistem nilai idealisasi kemanusiaan demi keuntungan ekonomi dan pasar bebas. Maka regulasi media Indonesia belum menyentuh adanya perubahan revolusioner makna dan perilaku media global (Muis, A., 2001; 22). Persoalan kedua adalah persoalan sentralisasi informasi baik itu yang bersifat lokal, nasional, regional, maupun global. Globalisasi media berikut industrinya pasti membawa konsekuensi adanya pemaknaan kembali sentralisasi informasi dan kebudayaan. Memang kaitan sentralisasi informasi kalau kita tarik garis lurus akan berakibat dalam soal imperialisme informasi-budaya. Sentralisasi informasi dalam globalisasi di satu pihak mencabut konteks lokal dan keberadaan manusia sebagai makhluk otonom. Pada akhirnya, akibat paling parah dari situasi sentralisasi informasi adalah terciptanya masyarakat yang apatis dengan proses politik yang berkembang. Ketika terjadi apatisme politis maka bisa dapat kita lihat kesadaran kritis macam apa yang hendak dibangun untuk manusia Indonesia. Regulasi media di Indonesia belum mampu mengatur tayangan, liputan atau berita yang

menstimulasi individualisme-hedonisme berlebihan. Maka dapat dikatakan bahwa regulasi media Indonesia belum mampu untuk mengeksplorasi secara utuh modal sosial (social capital) yang diperlukan untuk pengembangan masyarakat secara utuh. Hal itu terjadi karena regulasi media di Indonesia belum mampu untuk merumuskan hubungan yang sehat antara pasar (kepentingan untuk mengembangkan faktor distribusi, produksi dan konsumsi), kepentingan publik (yang sering diterjemahkan dengan hak untuk mendapatkan informasi, hiburan dan pendidikan) serta regulasi yang mendasarinya. Kalau kita mencermati draft RUU penyiaran, UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU no 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, UU no 40 tahun 1999 tentang Pers ; kita tidak bisa melihat secara jelas hubungan yang komprehensif antara pasar, kepentingan publik. Maka kedudukan pasar, masyarakat dan negara yang tidak dirumuskan secara jelas akan menimbulkan interpretasi yang lentur atas makna pasar, masyarakat dan negara (Muis, A. 2000; 45). Persoalan ketiga adalah ketidakjelasan regulasi media dalam konteks ekonomi politik di Indonesia. Kedudukan sistem hukum, termasuk di dalamnya hukum media, di bawah sistem politik menjadi persoalan tersendiri. Pola globalisasi media mengekor dan berpenetrasi ke dalam sistem sosial negara tertentu dengan membawa fungsi ekonomi dan politik (Feintuck, Mike, 1998: pp.163-216). Jelas kedudukan hukum yang lemah (sampai sekarang) membuat impotensi berlebihan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

39


bagi penerapan dan antisipasi perkembangan media global dalam konteks Indonesia. Ketika ada persoalan kepemilikan silang yang dilakukan oleh beberapa elite sosial atau pemain besar dari kelompok media yang mapan dan didukung dengan kekuatan dana – backing politik yang cukup representatif maka bisa saja regulasi media yang disepakati menjadi buyar atau dilanggar begitu saja. Ideologi dan Media Konsep ideologi banyak dikemukakan oleh beberapa ahli dengan berbagai sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Hal ini karena pemakaian ideologi lebih bersifat simptomatis dari pada harfiah (definif) sehingga banyak rumusan tentang ideologi. Faham Marxis dalam dinamika pemikirannya terdapat perbedaan dalam merumuskan ideologi. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Rumusan ini menilai ideologi sebagai suatu kehampaan, khayalan, ilusi yang mengabaikan bentuk dasar materinya. Kedua, ideologi sebagai refleksi dari infrastruktur aktual, dan Ketiga, ideologi sebagai organik dan bagian dari seluruh masyarakat. Ideologi lebih dari sekedar ide-ide, tapi memiliki eksistensi materi dalam institusi-institusi sosial, seperti gereja, sekolah, keluarga dan partai politik Ideologi menetapkan sikap dan kebiasaan menjadi organik mengatasi manusia dan memproduksi hubungan-hubungan sosial. Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan

diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu (Jhon Fiske dalam Eriyanto, 2003:92). Konsep ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu, sangatlah penting dalam teori Marx, karena tampaknya hal ini menjelaskan mengapa mayoritas dalam masyarakat kapitalis menerima sebuah sistem sosial yang menguntungkan mereka. Berkaitan dengan ideologi dan media massa, pada dasarnya media adalah bagian dari kebudayaan. Teori Karl Marx mengatakan ideologi merupakan bagian dari lapisan atas (superstruktur) dari masyarakat, yang ditentukan perkembangannya oleh lapisan bawah (infrastruktur) yang terdiri dari alat produksi dan hubungan produksi dalam masyarakat (Garnham, 1979). Infrastruktur sebagai penentu superstruktur tidak lepas dari perkembangan industrialisasi media massa yang demikian hebatnya sekarang. Dalam paradigma Marxis, media dipandang sebagai salah satu alat produksi dari kaum kapitalis atau golongan berkuasa. Mereka (kaum kapitalis) akan berusaha mengeksploitasi pekerja budaya atau konsumen dengan tujuan memperoleh keuntungan. Konsepsi Marx dalam penelitian ini adalah untuk mencoba membongkar relasi dan keterkaitan-keterkaitan dalam permasalahan produksi kesadaran yang dibangun oleh media dan ideologinya. Sehingga relasi-relasi produksi dalam sistem kesadaran yang telah menyelimuti industry media bisa terurai, bahwa komodifikasi yang media bangun tidak hanya terbangun atas sejumlah relasi luar yang terlihat namun relasi tersebut

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

40


mempunyai akar-akar masalah yang sebenarnya berada pada keberpihakan ideology media sebagai kekuatan dalam industry menjalankan fungsi ekonominya.

Komodifikasi Media Mark dalam (Mosco, 1996: 142) “the ‘onion skin’ of the commodity appearance revcal a system of production. The are two general dimension of significance in the relationship of commodification to communication. 1. Communication processes and technologies contribute to the general process of commodification in the economy as a whole. 2. Commodification processes at work in the society as a whole penetrate communication processes and institutions, so that improvements and contradictions in the societal commodification process influence communications as a social practice. Adapun komodifikasi terdiri atas: 1. Komodifikasi content, ialah adanya perubahan yang melibatkan transformasi pesan agar pesan atau isi media lebih menjual layaknya barang dagangan yang diperjualbelikan secara ekonomis. 2. Komodifikasi audience (khalayak), komodifikasi yang melibatkan tahap produksi yang melibatkan konsumsi selera dan juga regulasi yang berlaku dalam menentukan iklan sebagai dasar nilai pasar. 3. Komodifikasi pekerja media, yang menempatkan manusia atau orang

sebagai mesin produksi yang sama halnya dengan mesin-mesin produksi di perusahaan atau pubrik-pabrik yang memproduksi barang. Komodifikasi melahirkan berbagai macam segi dalam industri media sehingga media menjadi alat atau instrument yang diproduksi oleh para kapitalisme untuk menutupi sistem-sistem yang berjalan dalam mewujudkan fungsi-fungsi ekonomi mereka sebagai kekuatan di industry televise. Industry televise yang beroreientasi pada sistem ekonomi melahirkan sejumlah pelanggaran besar yang terrepresentasikan pada teks yang dihasilkan oleh kekuatan modal sebagai basis utama dalam mewujudkan masyarakat industry dan menggiring mereka pada kesadaran palsu. Kesdaran palsu tersebut menjadi dewa bagi profesi dan kebijakan mendukung segala aktivitas kesadaran palsu yang memberikan ruangruang diimplementasikan dalam kekuatan ekonomi global sebagai suatu usaha. Media dan produknya adalah bagian yang dimanifestasikan oleh kekuatan modal untuk menemukan basis-basis poduksi content media tanpa mengedepankan etika dan nilai estetikanya. Ekonomi politik media ialah paradigma untuk mengkritisi sejumlah persoalan tentang studi media, bahkan ia merupakan teori yang sekaligus persperktif metode dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang sifatnya mendeskripsikan keterkaitan pelanggaran isi tayangan media televisi dengan relasi-relasi komodifkasi yang terkait dengan persoalan serta

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

41


mengkorelasikan dengan ekonomi politik yang menjadi acuan dasar dalam analisanya yang bersifat eklektik. Dengan demikian ekonomi politik media ialah teori dan sekaligus metode penelitian yang dijadikan sebagai dasar dalam menganalisa sejumlah persoalan yang berkaitan dengan relasi-relasi ideologi media dan masalah media. Penelitian ini mencakup objek yang berupa teks yang mengandung pelanggaran sesuai dengan data-data lain yang mendukung, pekerja media yang termanifestasikan pada hasil observasi dan pengamatan baik langsung maupun tidak langsung. Subjek penelitian ini adalah media yakni sejumlah televise nasional yakni: Trans TV, Trans7, RCTI, SCTV, ANTV dan Indosiar. Sementara teknik analisa data dilakukan dengan mendeskripsikan data-data yang berhubungan dengan pelanggaran, rating atau share sebagai penguat atas data yang tersaji. Keabsahan data yang dilakukan dalam kajian ini ialah dengan menerapkan triangulasi sumber (data) data utama yang diperoleh dari situs Komisi Penyiaran Indonesia, data rating dan share dan data hasil observasi dari peneliti.

atau pekerja media, bahwa content menjadi segala-galanya atas proses kreativitas. Para pekerja diwajibkan untuk mengeluarkan ide da gagasan yang lahir dari artistik program. Alasan programprogram artistik, yaitu program yang lahir dari kreativitas yang tiada batas. Kreativitas dalam program artistik ialah bersifat abstrak dan multi-tafsir. Hal ini menjadikan bahwa isi media menjadi barang yang mutitafsir pula. Alasan yang mendasar dari program artistik ialah bahwa setuju dan tidak setuju penonton atau khalayak ialah orang yang aktif untuk menerima informasi artistik, orang yang mampu memilih tayangan sehingga jika tidak bermanfaat bagi dirinya penonton berhak untuk menolak program tersebut. berikut ini adalah hasil olah data pengaduan dari situs kpi.go.id, yaitu:

N o 1

2

3

Hasil Penelitian Pelanggaran dan Komodifikasi Content Komdoitifikasi menjadi penyebab utama dalam pelanggaran-pelanggaran atau bukti pengaduan dari masyarakat. Dewasa ini masyrakat Indonesia sangat kritis terhadap isi tayangan media televisi, tentunya dengan akses yang mudah dengan pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Komodifikasi lahir akibat adanya beberapa tekanan modal dari kapitalis kepala aktor

4 5 6 7

Progra m Acara Wisata Malam

Televis i

YKS (Yuk Keep Smile) CCTV

Trans

Bukan 4 Mata Kian Santang YKS

9 10

Sintero n Sintero n YKS YKS

11

Dahsyat

8

Trans7

Trans7 Trans7 Indosia r Trans RCTI SCTV Trans Trans RCTI

Nama dan Asal Pengaduan/Apre siasi Reno Dwiheryana/DKI Jakarta Rijal/Bali

Donny Arifin/Jabar Belladina Rizky/Jabar Adi Tausman/DKI Jakarta Indra Fatah/DKI Jakarta Tri Sujarwati/Jabar Robbi/Sulawesi Tengah Alfaraby/Jatim Tin Suhartini/Jabar Tin Suhartini/Jabar

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

42


12

Cahaya Hati Cahaya Hati YKS

ANTV

Imam Budi S/Jabar Tatyana Noersi/Jabar Anthon Cahyadi/Jateng Ani Suhartini/Jabar Kusnawijaya/Ban gka Belitung Eli Syafrina/DKI Jakarta Kukuh Setyo P/Jateng Ariyanto/Jabar

ANTV

Solihin/Sumsel

Trans

Cahaya Hati Pasbuke r YKS YKS

ANTV

Rana Prima N/Kalbar Ari Setyo/D.I. Yogyakarta Septi Ani/Jabar

Trans Trans7

28

YKS Khazan ah YKS

29

YKS

Trans

30

Pasbuke r Pasbuke r

ANTV

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

26 27

31

Khazan ah Khazan ah YKS

Trans7

Sintero n Cahaya Hati Cahaya Hati YKS

SCTV

Trans7 Trans

ANTV ANTV Trans

ANTV Trans Trans

Trans

ANTV

Pandu/Kaltim Hansen Wijaya/DKI Jakarta Eko Riyandi/Jabar Zainur Rahman H/Jatim Tias Nurul F/Jateng Christyan Gunawan/Jabar Hariyadi/NTB Rudy Prasetyo/DKI Jakarta

3 Sinter Indosi Rika/Bali 2 on ar Data Diolah dari www.kpi.go.id (akses 17 April 2014)

N o

Progr am Acara

1

Report ase Metro News

2

Telev isi

Nama dan Asal Pengaduan/Ap resiasi Trans Tri Yoga W/Jateng Metr M o TV Arfian/Maluku Utara

3 4

Silet RCTI Meisiana/Bali Tayan SCT Andimas/DKI gan V Jakarta Gosip 5 TVone TVO Radndi/ DKI new ne Jakarta Data Diolah dari www.kpi.go.id (akses 17 April 2014) Data di atas menunjukan bahwa program artistik yang lahir dari ide dan gagasan lebih mendominasi dikarenakan batas antara realitas ide atau gagasan yang bersifat abtrak tidak akan sama dengan realitas regulasi penyiaran. Kondisi terpautan antara ide dan gagasan dalam konteks regulasi media televisi Indonesia menjadikan ruang-ruang pelanggaran terbentuk semakin besar, besarnya pelanggaran atas regulasi menempatkan bahwa audience menjadi subjek yang aktif dalam menentukan ruang-ruang etika dan estetika. Penonton bukan menjadi objek dari media yang hanya menerima sejumlah content yang mengandung virus etika dalam lingkungan dan kehidupan pribadinya. Content adalah barang yang diperdagangkan oleh media, tetapi content juga sebenarnya komoditas yang juga tidak menarik perhatian penonton, selagi penonton menolak akan komoditas yang dipandang tidak bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Sementara komodifikasi content tayangan jurnalistik berkaitan dengan fakta yang mengandung kekerasan, serta berita yang tidak seimbang dalam pengaduan. Bahwa informasi jurnalistik dalam polapola komodifikasi media televisi menjadi menarik bagi audience dalam mengakses informasi yang mereka butuhkan. Khalayak semakin aktif sebagai subjek yang menerima dan mengkonsusmsi

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

43


informasi layaknya dia yang gharus menentukan informasi itu bermanfaat bagi dirinya. Bukan khalayak yang ditentukan oleh selera pasar yang hanya mengejar tingginya rating dan share sehingga mengkesampingkan nilai-nilai dan etika atau kode etik jurnalistik. Jika melihat data di atas maka komodifikasi tidak berguna untuk golongan tertentu, da hanya untuk golongan tertentu yang lain. Pelanggaran dan Komodifikasi Pekerja Media Indikator pelanggaran yang terjadi dalam content menimbulkan potensi dalam bidang komodifikasi pekerja media. Bahwa pekerja media dipandang sebagai mesin produksi uang, banyak praktek yang terjadi dibeberapa media nasional yang melakukan praktik-praktik rekruitmen. Pekerja media dilakukan atas kontrak kerja dalam beberapa tahun, praktik yang biasa dilakukan pihak media televisi ialah dengan melakukan kontrak kerja selama satu (1) tahun masa kerja dengan fasilitas dan gaji yang minim. Tahun kedua dilakukan kontrak ulang dengan melihat rekam kinerja yang dilakukan oleh para pekerja. Tahun ketiga dan keempat dilakukan kontrak 2 tahunan dan ketika pekerja sudah memasuki masa kerja selama lima (5) tahun maka dilakukan pemutusan kerja karena beberapa alasan. Pertimbangan pemutusan kontrak kerja lebih kepada pihak lembaga media televisi alasan bahwa media memberikan kesempatan kepada orang lain, namun sadar atau tidak tindakan tersebut membuat sejumlah kejanggalan dalam proses ketenagakerjaan. Bahwa ada hakhak dari pekerja yang tidak didapatkan

selama mereka melakukan kontrak kerja, kesehatan menjadi alasan utama para pekerja kontrak serta tunjangan keluarga dan tunjangan sosial lainnya. Sistem outsourching atau pemakaian tenaga kerja dari pihak ke tiga justeru lebih dilakukan oleh lembaga televisi untuk lari dari tanggung jawab kepada para pekerja. Pekerja media menjadi mesin produksi yang dapat mendatangkan materi dan keuntungan sebesar-besarnya, submesin dari para pekerja itu adalah elemen yang dapat berproduksi dalam mengeruk keuntungan. Bahwa manusia disamakan dengan mesin industri yang jika sudah tidak terpakai maka mesin atau komponen mesin akan digantikan dengan komponen mesin yang baru yang umur produksinya sangat panjang. Umur pekerja juga menjadi landasan bagi pihak menejemen produksi dalam melakukan recruitment terhadap para pekerja. Sehingga para pekerja dituntut dan dieksplotasi ide dan gagasannya yang sebenarnya terkadang bertentangan dengan hati nurani mereka sendiri, atauran, etika, dan undang-undang yang mereka pahami. Komodifikasi pekerja ialah tuntutan atas sujumlah target atas rating dan share dalam proses penyiaran televisi, hal ini menjadikan para pekerja ialah subproduksi yang dituntut kreativitasnya tanpa batas dengan mengejar persaingan dengan stasiun lain yang menjadi competitor dalam program acara yang mereka produksi.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

44


Data Televisi Nasional (Kompetitor Rating dan Share)

Tuntutan kreativitas dalam persaingan rating dan share ialah tuntutan dari pihak manajemen media dalam polapola komodifikasi, hal ini melahirkan sejumlah pelanggaran-pelanggaran yang diakibatkan oleh ketidaktahuan aturan penyiaran dan standar siaran yang harusnya mereka jadikan sebagai pedoman kerja. Ada dua hal yang mengakibatkan komodifikasi terjadi karena tidak mengindahkan aturan atau regulasi penyiaran: 1. Program In-house Para pekerja media dituntut untuk mengejar target program acara yang diperoduksi sendiri oleh lembaga media televisi (in-house). Program-program jenis ini diproduksi oleh karyawan atau pekerja media yang dilakukan distudio atau diluar studio dan semua crew produksinya ialah karyawan lembaga media. Program-program in-house ini menuntut kreativitas lebih dari etika dan estetika berkreativitas atau berkesenian. Tuntutan pihak kapitalis ialah “selama program

dan kreativitas dalam program tidak dilakukan pengaduan oleh khalayak maka program tersebut tidak melanggar regulasi siaran�. Artinya, kreativitas dengan tanpa batas dan pertimbangan– pertimbangan kemanusiaan dan nilai-nilai bersosial dan bermasyarakat. Logika kreativitas dalam berproduksi program acara televisi ialah “aturan atau regulasi berfungsi jika kita pernah menabrak (melanggar) regulasi tersebut. artinya tuntutan dan paham dalam benak para pekerja media ialah target atau keuntungan kaum pemodal, rasan dan penanaman diri pada aturan yang tidak diindahkan tersebut merupakan kesadaran palsu yang dimiliki oleh para pekerja media. Ada semacam pembiaran atas regulasi dan etika bermedia yang dimanipulasi oleh diri para pekerja. Kesadaran pekerja ialah kesadaran yang ditanamkan oleh para kaum kapitalis dalam mengejar keuntungan dengan mengatasnama kan rating dan share. Karena bagi pekerja media rating dan share adalah dewa yang dapat mendatangkan keuntungan bagi kaum kapitalis dan keuntungan bagi dirinya. Karena bonus dari target rating dan share lebih besar dari gaji tetap yang diterimanya. 2. Pembelian Program Kepada Pihak lain (Production House) Sementara program (beli) atau program yang dibeli dari pihak lain atau production house (PH) ialah

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

45


program yang dibeli pihak stasiun televisi dalam bentuk jadi. Program tersebut siap untuk disiarkan dengan tidak mengikuti proses produksinya. Program beli lebih banyak diproduksi dalam lingkung drama series atau disebut dengan sinetron. Program ini mendominasi rating dan share dalam mengejar persaingan dengan televisi kompetitor. Banyak anggapan pihak media yang jika persiangan rating dan share lebih aman maka sinetron menjadi acuan utama pihak programmer stasiun televisi. Bahkan banyak program-program yang secara content menyajikan informasi yang baik justeru, pembiayaan produksi program tersebut dibiayai oleh program sinetron. Karena jika ingin mendapatkan rating diatas tiga (3) maka program sinetronlah pilihan untuk mengisi program cara selama siaran.

dari kewenangan stasiun televisi yang banyak melibatkan sineas dan program ini merupakan program artistik murni yang didasari oleh script (skenario). Komodifikasi atas pekerja ini ialah dengan target produksi yang kejar tayang, bahkan dalam 24 jam satu episode harus dapat diselesaikan dengan target dari pra produksi, produksi sampai pasca produksi. Diatas dengan warna hijau tua menunjukan bahwa sinteron di televisi dapat bersaing dengan program yang lainnya. Pelanggaran dan Komodifikasi Khalayak Komodifikasi khalayak atau penonton ialah komodifikasi yang paling tragis dalam bisnis media, bahwa penonton secara individual dan homogenitas mereka diperjual belikan kepada pihak komersial break. Bagi media satu (1) penonton ialah sangat berarti dalam pendapatan keuntungan mereka. sekelompok orang atau jumlah penonton adalah dewa yang mendatangkan uang (keuntungan) yang sangat berarti bagi pundi-pundi perusahaan. Penonton yang secara tidak sadar dijual oleh pihak media sebagai barang dagangan atau komoditas yang paling berharga bagi kaum kapitalis media. Berikut adalah bagaimana strategi dan penghitungan jumlah penonton dalam setiap menit program acara televisi.

Data Televisi Nasional (Kompetitor Program Acara TV)

Program sintron dikerjakan oleh para pekerja diluar Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

46


besar berikutnya ditempati oleh Trans TV sebagai kompetitor dari RCTI.

Data Televisi Nasional (Rating dan Share Per Menit)

Sementara dari sekian banyak program acara televisi yang ada di Indonesia justeru RCTI dan Trans TV menjadi lembaga media yang paling banyak mendaptkan keuntungan dari komodidikasi khalayak karena rating dan share beberapa program caranya mampu menembus peringkat teratas dalam persaingan televisi nasional di Indonesia. Berikut adalah 10 program teratas dalam perolehan rating dan share dari 200 program acara yang ada:

Data Televisi Nasional (200 Program Tertinggi) Lima program RCTI berada di posisi tertinggi dengan perolehan rating dan share yang sangat tinggi, artinya pendapatan keuntungan dari komodifikasi penonton semakin tinggi pula, bahkan mencapai ratusan miliar rupiah. Lima

Data Televisi Nasional (Kompetitor 200 Program Acara) Selanjutnya pada kuartal berikutnya justeru persaingan ketat rating dan share terdapat pergesaran yang sangat signifikan. RCTI menempati posisi teratas namun tidak mampu mempertahankan posisi program-program berikutnya. Namun posisi tertinggi juga diraih oleh trans7 dengan program andalannya. Sementara sinteron di RCTI adalah program yang cukup aman dalam persaingan meriah jumlah penonton. Penonton adalah barang dagangan yang diperebutkan oleh media untuk dijual kepada pihak pengiklan. Sebagai contoh kamersial break A menempatkan iklannya di RCTI dengan program andalan atau program dengan rating tertinggi akan mendapatkan harga yang tinggi per spotnya (30 detik) dengan harga yang sangat mahal. Biasanya satu (1) spot iklan dengan rating yang sangat tinggi mencapai Rp. 350.000.000-500.000.000 sementara program yang ratingnya sangat rendah di RCTI merupakan bonus bagi para pengiklan sebagai paket iklan yang ditawarkan pihak marketing. Jadi harga iklan disetiap program acara berbeda

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

47


harganya dengan program yang lainnya bergantung pada jumlah penonton dari program tersebut. Pembahasan Dalam perspektif regulasi media di Indonesia berkaitan dengan komodifikasi sangat ambigu, bahwa regulasi di Indonesia yang mengacu pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran menempatkan media sebagai lembaga sosial sekaligus lembaga bisnis atau industry yang mengedepankan kepentingan publik. Sebagaimana pasal 11 UU No.32 tahun 2002 “program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu�. Sehingga menimbulkan lahirnya dualitas eksistensi lembaga media merupakan bentuk akomodir berbagai kepentingan yang mendorong pemerintah menjalankan keduanya secara bersama-sama. Prinsip bisnis media lebih menjadi landasan operasional para kapitalis untuk dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya layaknya prinsip ekonomi tanpa mengindahkan hal-hal yang berkaitan dengan regulasi itu sendiri. Pada prinsip sosial, regulasi seakan dijalankan pemerintah bahwa media memberikan lapangan pekerjaan dan transformasi pengetahuan semata. Namun hal itu sangat menjadikan posisi kaum kapitalis pada peranan yang dominan dalam menjalankan regulasi. Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatur bentuk-bentuk komodifikasi, bahkan terkesan lepas tanggung jawab. Lembaga yang dibentuk pemerintah yang konon indenpenden pun

tidak mampu menjalankan regulasi secara maksimal, seperti Komisi Penyiaran Indonesia baik pusat maupun daerah. Politik regulasi justeru menjadi bagian kedua dalam proses penyiaran di Indonesia. Politik utama dalam penyiaran di Indoensia ialah politik ekonomi yang menempatkan kaum kapitalis pada psosisi yang diuntungkan dari regulasi dan mampu menumbuhkan sejumlah komodifikasi-komodfikasi baru yang dilahirkan dari komodifikasi content, para pekerja media dan klahayak. Pola-pola kaum kapitalis menjadikan media berada pada level ideologi kaum kapitalis bukan ideologi pemerintah, bahkan sejumlah saham media pun menjadi saham yang terbuka dan pihak-pihak asing dalam regulasi media kita dapat memiliki saham tersebut dengan aturan yang masih banyak diperbincangkan. Bahwa media kita yang dengan prinsip pancasilaisnya kini menjadi media yang sangat liberal. Bahkan banyak pihak mengatakan liberalnya media Indonesia jauh lebih iberal dari media yang ideologinya liberalism. Kondisi yang menempatkan posisi negara sebagai apparatus kini menjadi bagian yang mengerogoti kedaulatan media itu sendiri. Kedaulatan media Indonesia dipertanyakan dalam konsep pancasila yang dimilikinya. Prinsip substantive dalam hal ini adalah bahwa komodifikasi content melahirkan komodifikasi perkerja dan komodifikasi khalayak yang diakibatkan oleh ketidakkonsisten-an pihak yang menjalankan regulasi atau pemerintah yang menimbulkan dualitas dan penempatan komodifikasi semakin merajalela dalam bingkai relasi ekonomi, relasi politik dan relasi-relasi lainya.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

48


Bahwa industri media ialah proses ideologisasi dari kaum pemodal atau kapitalis, penanaman ideologi yang dimainkan oleh para kapitalis media dengan menanamkan kesadaran palsu atas ruang-ruang media secara sadar. Lini kehidupan dan kesadaran masyarakat Indonesia baik sebagai audience media maupun sebagai khalayak, pekerja media dan isi informasi ditransformasikan secara sadar oleh kesadaran mereka yang membuka ruang politis ideologis yang mereka ciptakan untuk bangsa dan negeranya sendiri. Elemen-elemen atas kesadaran palsu itulah yang membuat bisnis media di Indonesia menjadi menarik dan menjadi ladang bagi para kapitalis media di dunia. Bahkan sejumlah media nasional Indonesia khususnya televisi mulai membuka sahamnya ke dunia internasional lewat bursa efek yang membuka pintu masuk bagi capital besar dalam Industri media Indonesia yang menimbulkan relasi antara ekonomi politik media dengan komodifikasi, sebagai berikut: a. Relasi ideologi, ideologi kapitalis yang muncul sebagai kekuatan baru dan merubah pandangan masyarakat tentang nilai-nilai informasi menjadi nilai ekonomis melalui kesadaran palsu yang tertanam dalam benak khalayak. b. Relasi selera massa yang melahirkan kultur baru dalam sistem sosial masyarakat, bahwa selera pasar lebih menjadi pilihan hidup daripada seni dan budaya yang dimilikinya. Perubahan ini adalah bentuk manifestasi agenda

kapitalis dalam hegemoni ideologi mereka. c. Relasi regulasi semu, yang menempatkan khalayak sebagai elemen terpinggirkan dalam merumuskan aturan tentan penyiaran televisi dan bisnis media. Kesemuan ini dikonstruksi oleh para pelaku bisnis media bekerja sama dengan pemegang regulasi yakni pemerintah dan kebijakankebijakannya yang tidak beroerientasi pada masyarakat. Kesimpulan Pada prinsipnya komodifikasi ialah lahir atas kesadaran semu yang dirasakan oleh semua aktor-aktornya, manifestasi kesadaran semu atau palsu itu justeru menjadi kaum kapitalis semakin menempatkan ketiga elemen komodifikasi sebagai kaum yang aktif mendatangkan keuntungan bagi pundi-pundi para kapitalis dalam insudtri media. Kesadaran semu itu ialah sebagai berikut: 1. Content dalam perspektif kesadaran palsu ialah bahwa penonton dapat memfilter isi program acara yang diterimanya. Namun semakin content diulang dalam siaran semakin menjadi lumrah dan lazim bagi dirinya dan bagi masyarakatnya. 2. Pekerja media dalam perspektif kesadaran palsu ialah mereka sadar dieksplotasi atas dasar mereka dianggap sebagai mesin produksi yang mendatangkan keuntungan bagi kaum kapitalis. 3. Khalayak dalam perspektif kesadaran palsu ialah bahwa

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

49


mereka sebagai homogenitasnya ialah kekuatan yang aktif dapat mendatangkan pundi-pundi bagi kaum kapitalis, kaum kapitalis akan mewadahi mereka dalam sebuah kegiatan yang dapat dikomodifikasi ulang seperti: jumpa fans, gathering dan lainlain. Komodifikasi melahirkan relasi-relasi yang intinya menempatkan khalayak sebagai objek sejumlah regulasi dan asas-asas regulasi adalah bagian dan bentuk hegemoni dari ideologi yang ditanamkan oleh para kapitalis media dalam memuluskan bisnis media di Indonesia. Kaum kapitalis menanamkan kesadaran palsu untuk menggeser khlayak dari seni dan budaya yang melahirkannya dan merusak karakteristik anak-anak bangsa.

Daftar Pustaka Eriyanto,

2000. Analisis Framing: Konstruksi Ideologi dan Politik Media, LKIS, Yogjakarta.

Graeme Burton, 2008, Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer, Jala Sutera, Yogyakarta. Griffin.

Edition, Holsty, Ole R, Content Analysis for Social Science and Humanities, Addison Wesley Publishing Company, Messechusett. McQuail,

Denis. 1994. Mass Communication Theory, An Introduction, Third Edition, London: Thousand Oaks-New Delhi: Sage Publication.

Mosco, Vincent. 1996, The Political Economy of Communication, Sage Publication. Littlejhon, Stephen W. 1992. Theories of Human Communication, Fifth edition, Wadsworth Publishing Company, New York. Sudibyo, Agus. 2001. Ekonomi Politik Media Penyiaran, LkiS, ISAI, Yogjakarta dan Jakarta. ___________. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogjakarta. Yustika, Ahmad Erani. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Situs/Internet www.kpi.go.id

1996. A First Look at Communication Theory, 3rd

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

50


UPAYA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DKI JAKARTA DALAM MELAKUKAN KOMUNIKASI PERSUASIF PADA PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA PASAR KEBAYORAN LAMA Denada Faraswacyen L. Gaol Lisa Nabila Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Budi Luhur Email: df.lgaol@gmail.com

ABSTRACT Satuan Polisi Pamong Praja of DKI Jakarta is a province government tool that functioned as an organizer of public order and local authorities of law enforcement to perform the act of non yustisial on trespasser regional regulation, one of the transgressions is that occur to the specified street order that has been forbidded to do any kind of selling activities. On 1st February 2013, beetwen the controlling process, there is a clash between Satuan Polisi Pamong Praja city administrations DKI Jakarta with vendors market at Kebayoran Lama. This research aims to finds out the efforts of Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta in doing persuasive communication to controlling vendors market at Kebayoran Lama. The research question is about what efforts that had been used of Satuan Polisi Pamong Praja city administration DKI Jakarta in order to doing persuasive communication to policingand controlling vendors market at Kebayoran Lama? This is a descriptive qualitative research. The theory that used by researchers is the theory persuasion. The collection of data obtained through in-depth interviews and library research. Informants obtained by the researcher based on the determination of the criteria of informant that has linked with the theme of research and compare the results of the interview. The number of informants in this study is 3(three) people. Key Words: Persuasive Communication, Satpol PP, Vendors

ABSTRAK Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta adalah alat pemerintah provinsi yang berfungsi sebagai penyelenggara ketertiban umum dan otoritas lokal penegakan hukum untuk melakukan tindakan non yustisial pada pelanggar peraturan daerah, salah satu pelanggaran yang terjadi adalah urutan jalan ditentukan yang telah forbidded untuk melakukan segala jenis kegiatan penjualan. Pada 1 Februari 2013, beetwen proses pengendalian, ada bentrokan antara Satuan Polisi Pamong Praja pemerintah kota DKI Jakarta dengan pasar vendor di Kebayoran Lama. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu upaya Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta dalam melakukan komunikasi persuasif untuk mengendalikan pasar vendor di Kebayoran Lama. Pertanyaan penelitian adalah tentang upaya apa yang telah digunakan dari Pemkot Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta dalam rangka melakukan komunikasi persuasif untuk policingand mengendalikan pasar vendor di Kebayoran Lama? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori persuasi. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Informan yang diperoleh oleh peneliti berdasarkan penentuan kriteria informan yang telah Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

51


dikaitkan dengan tema penelitian dan membandingkan hasil wawancara. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang. Kata Kunci: Komunikasi Persuasif, Satpol PP, Vendor.

Pendahuluan Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan untuk berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lain. Salah satu bentuk interaksinya adalah dengan berkomunikasi. Menurut Schramm (1982), bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi (dalam Cangara, 2007:2). Tujuan komunikasi menurut Onong Uchjana Effendy, adalah untuk menginformasikan (to inform) dalam hal ini komunikasi bertujuan sebagai pemberi dan penyampai informasi antara satu pihak ke pihak lain, mendidik (to educate) dalam hal ini komunikasi bertujuan untuk mendidik masyarakat, menghibur (to entertaint) dalam hal ini komunikasi bertujuan untuk menghibur, mempengaruhi (to influence) dalam hal ini komunikasi bertujuan untuk mempengaruhi orang lain baik secara sikap, pendapat, perilaku, baik secara verbal atau pun nonverbal. (dalam Ardianto, 2009:134) Komunikasi tidak hanya dibutuhkan dalam kehidupan pribadi saja, namun di dalam sebuah organisasi

komunikasi yang baik harus diciptakan. Komunikasi dalam organisasi dibagi menjadi 2 (dua) dimensi, komunikasi internal dan komunikasi eksternal. Komunikasi internal merupakan proses penyampaian pesan antara anggotaanggota di dalam organisasi. Komunikasi internal dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu, komunikasi vertikal; komunikasi yang terjadi antara pimpinan dengan bawahan, komunikasi horizontal; komunikasi yang terjadi antara anggota organisasi yang memiliki kedudukan yang sama. Komunikasi eksternal merupakan komunikasi antara pihak organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Satuan polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) adalah perangkat Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki tugas pokok yaitu menegakkan peraturan daerah (perda) dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Satpol PP berfungsi sebagai penyusun program dan pelaksana penegakan perda, penyelenggara ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat, yang antara lain kegiatannya melakukan tindakan penertiban terhadap masyarakat yang melakukan pelanggaran atas perda, memberikan layanan dan perlindungan kepada masyarakat. (Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010) Satpol PP merupakan lini terdepan dalam menjaga amanat dari perda dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

52


secara langsung selalu bersentuhan dengan masyarakat. Pada perkembangannya, fungsi Satpol PP lebih ditekankan kepada pelayanan masyarakat. Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah Satpol PP DKI Jakarta. Satpol PP membagi publiknya kedalam 2 (dua) bagian, publik internal dan publik eksternal. Publik internal adalah seluruh aparat Satpol PP DKI Jakarta, dan publik eksternal adalah seluruh warga masyarakat DKI Jakarta. Publik eksternal dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu: publik umum dan publik khusus. Publik umum Satpol PP adalah seluruh warga masyarakat DKI Jakarta, dan publik khusus nya adalah para pelaku pelanggar perda, seperti: pedagang kaki lima, pengemis, gelandangan, pekerja seks komersil (PSK), orang terlantar atau yang disebut sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Pandangan sebagian masyarakat menganggap bahwa Satpol PP sangat jauh dari sosok ideal dan dipandang sebagai aparat yang kasar dan arogan. Kondisi ini tentu harus diperbaiki oleh pihak Satpol PP, agar dapat mengubah pandangan masyarakat mengenai Satpol PP menjadi aparat yang disegani dan dihormati bukan aparat yang penuh dengan kontroversi dan citra negatif. Pentingnya komunikasi persuasif yang dilakukan Satpol PP Prov. DKI Jakarta sangat dibutuhkan, karena Satpol PP merupakan garda terdepan dalam penegakan perda. Dengan komunikasi persuasif diharapkan mampu memberikan win-win solution antara pemerintah dengan masyarakat, selain itu mampu membuat masyarakat untuk lebih menyadari dan tidak melanggar perda.

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai upaya komunikasi persuasif Satpol PP karena tugas dan fungsi Satpol PP yang selalu bersentuhan dengan masyarakat, sering menimbulkan bentrokan antara keduanya. Kondisi seperti ini memang sangat dilematis, karena di satu sisi Satpol PP bertugas untuk menegakkan Perda, demi terselenggaranya ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Di sisi lain, Satpol PP harus berhadapan dengan masyarakat yang merasa terganggu dengan penertiban yang dilakukan Satpol PP yang seringkali dianggap sebagai musuh dari rakyat kecil. Peneliti mengambil lokasi penelitian di Pasar Kebayoran Lama karena para PKL di lokasi tersebut sudah beberapa kali ditertibkan oleh Satpol PP tetapi hanya patuh sementara waktu, dan mereka kembali menempati lokasi yang dilarang untuk berjualan. Hal tersebut menjadi dasar peneliti untuk mengangkat kajian ini dengan judul “Upaya Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta dalam Melakukan Komunikasi Persuasif pada Penertiban Pedagang Kaki Lima Pasar Kebayoran Lama�. Kerangka Pemikiran Komunikasi Organisasi Istilah organisasi dalam bahasa Indonesia atau organization dalam bahasa Inggris bersumber pada perkataan Latin organization yang berasal dari kata kerja bahasa Latin pula, organizare, yang berarti to form as or into a whole consisting of interdependent or coordinated parts “membentuk sebagai atau menjadi keseluruhan dari bagian-bagian yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

53


saling bergantung atau terkoordinasi� (Effendy, 2009:114). Organisasi adalah bentuk kelompok karena di dalamnya ada orang-orang yang berkumpul. Organisasi didefinisikan sebagai suatu kumpulan atau sistem individual yang melalui suatu hierarki/jenjang dan pembagian kerja, berupaya mencapai tujuan yang ditetapkan (Soyomukti, 2010:178-179). Menurut Goldhaber memberikan definisi komunikasi organisasi sebagai berikut: “Organizational communications is the process of creating and exchanging message within environmental uncertainty�. Atau dengan kata lain bahwa komunikasi organisasi adalah proses menciptakan saling tukar menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Definisi ini mengandung tujuh konsep kunci, yaitu: proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan dan ketidakpastian (Arni, 2002: 67). Berdasarkan penjelasan teori tersebut bahwa komunikasi organisasi (organizational communication) adalah komunikasi terjadi dalam suatu organisasi, komunikasi organisasi bersifat formal dan informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi pada organisasi. Komunikasi informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya tidak pada organisasinya sendiri, tetapi lebih pada para anggotanya secara individual. Hal penting dalam organisasi adalah komunikasi. Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan lancar dan

berhasil begitu juga sebaliknya. Kurang baiknya komunikasi dalam organisasi maka organisasi tidak akan berjalan dengan baik. Fungsi Komunikasi dalam Organisasi Secara umum, fungsi komunikasi dalam organisasi adalah sebagai berikut: 1. Fungsi Informatif. Organisasi merupakan suatu sistem pemrosesan informasi tempat seluruh anggota dalam suatu organisasi dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik, dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam tataran manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi (decision making)dan untuk mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi (conflict management). Sedangkan, karyawan (bawahan) membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan dan standar operasional prosedur. 2. Fungsi Regulatif Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Terdapat 2 (dua) hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif, yaitu: a. Berkaitan dengan orangorang yang berada dalam tataran manajemen, yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

54


disampaikan. Juga, memberi perintah atau instruksi agar perintah perintahnya dilaksanakan sebagaimana mestinya. b. Berkaitan dengan pesan. Pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peratuan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan. 3. Fungsi Persuasif Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Maka, tugas pimpinan adalah untuk melakukan persuasi baik kepada bawahan maupun kepada khalayak luar, agar dapat mengikuti sesuai dengan instruksinya. 4. Fungsi Integratif Setiap organisasi berusaha menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada 2 (dua) saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu: a. Saluran komunikasi formal, seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (buletin, surat kabar) dan laporan kemajuan organisasi. b. Saluran komunikasi informal, seperti perbincangan antarpribadi selama masa istirahat kerja

ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi. (Soyomukti, 2010:181-182) Fungsi persuasif merupakan fungsi yang paling sesuai dengan topik penelitian ini. Pada fungsi ini pihak organisasi melakukan komunikasi persuasi kepada komunikan, dalam hal ini pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama, agar para pedagang kaki lima mau menuruti instruksi yang diberikan untuk mematuhi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Komunikasi Persuasif Komunikasi merupakan suatu proses pertukaran informasi antara komunikator dengan komunikan yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Salah satu tujuan dari komunikasi yang dilakukan untuk membujuk atau merayu komunikan agar mau melakukan suatu kegiatan atau perubahan yang diinginkan komunikator. Bentuk komunikasi yang digunakan untuk mencapai keinginan tersebut adalah dengan komunikasi persuasif. Dalam komunikasi persuasif, isi pesan tidak hanya bersifat informatif, yaitu agar orang lain dapat mengerti dan tahu, tetapi juga bersifat persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau kenyataan, hingga orang tersebut melakukan suatu kegiatan atau perubahan. Secara harfiah komunikasi persuasif

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

55


berasal dari bahasa Inggris yaitu persuasion. Secara etimologis, persuasion berasal dari bahasa Latin persuasion, kata kerjanya persuadere yang artinya kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris: to persuade. Dalam bahasa Indonesia kata kerja to persuade umumnya diterjemahkan dengan membujuk atau merayu, sedangkan persuasion diterjemahkan persuasi, bujukan atau rayuan. Persuasi didefinisikan sebagai sebuah upaya untuk mengubah sikap dan pemikiran seseorang dengan memanipulasi motif orang tersebut dalam mengambil keputusan akhirnya. Selain itu persuasi juga dimaknai sebagai sebuah bagian dari efek yang ada pada penerima pesan, sebagai akibat dari pesan yang membujuk dan merayu. Namun menurut Muslimin, persuasi bukan sekadar untuk membujuk dan merayu saja, tapi persuasi merupakan suatu teknik mempengaruhi dengan mempergunakan dan memanfaatkan data dan fakta psikologis, sosiologis dari orang-orang yang ingin dipengaruhi. (Muslimin, 2004: 99). Komunikasi persuasif selalu ditujukan agar komunikan mengubah perilaku, keyakinan dan sikapnya seolaholah atas kehendaknya sendiri dan bukan karena paksaan atau dorongan orang lain. Carl I. Hovland mendefinisikan komunikasi persuasif sebagai “A Major effect of persuasive communication lies in stimulating individual to think both of his initial opinion and of the new opinion recommended in the communication� (Efek umum dari komunikasi persuasif terletak pada dorongan agar individu berpikir dalam dua segi yaitu pendapatnya

sendiri dan pendapat baru yang diajukan oleh pihak lain). Ton Kertapati mengatakan komunikasi persuasif harus memiliki persyaratan tertentu, yaitu: 1. Pesan-pesan/ajakan-ajakan yang disampaikan kepada masyarakat atau pihak tertentu harus dapat menstimulasi sesuatu pada sasaran. 2. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan itu tentunya harus berisi lambanglambang atau tanda-tanda komunikasi yang sesuai dengan daya tangkap, daya serap dan daya tafsir (decoding efficiency) dari sebagian masyarakat atau golongan-golongan tertentu. 3. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan harus dapat membangkitkan keperluan atau kepentingan (needs) tertentu pada sasarannya dan kemudian menyarankan usahausaha atau upaya tertentu untuk pemenuhan harapan itu. 4. Bahwa pesan-pesan/ajakan-ajakan yang menyarankan usaha dan upaya hendaknya disesuaikan dengan situasi dan norma kelompok di mana sasaran itu berada. 5. Bahwa pesan-pesan/ajakan harus dapat membangkitkan harapan tertentu dan sebagainya.Anggapan yang paling mendasar dalam proses persuasi adalah bahwa peserta komunikasi dengan sengaja saling mempengaruhi. Hal yang hendak dipengaruhi adalah makna kepercayaan, nilai, dan tindakan pihak yang menjadi teman berkomunikasi. (Muslimin, 2004:102)

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

56


Beberapa teknik dalam komukasi persuasif yang dikemukakan oleh Effendy (2004:22-24) adalah sebagai berikut: 1. Teknik Asosiasi. Adalah penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkannya pada suatu objek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak. 2. Teknik Integrasi. Adalah kemampuan komunikator untuk menyatukan diri secara komunikatif dengan komunikan. 3. Teknik Ganjaran (Technique Pay off Idea). Merupakan kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dengan cara mengiming-imingi hal yang menguntungkan atau hal yang menjanjikan harapan. 4. Teknik Tataan (Technique Iching Device). Yaitu upaya menyusun pesan komunikasi sedemikian rupa, sehingga enak didengar atau dibaca serta termotivasikan untuk melakukan sebagaimana disarankan oleh pesan tersebut. 5. Teknik Red Herring. Seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian mengalihkannya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan senjata ampuh dalam menyerang lawan. Effendy (2000:24) menyebutkan bahwa, “demikian beberapa teknik persuasif untuk dipilih dan dipergunakan dalam situasi komunikasi tertentu�. Penelitian ini memfokuskan pada teknik integrasi dan teknik tataan (Iching device).

Peneliti memfokuskan pada dua metode tersebut karena poin ini yang menjadi acuan Satpol PP Prov. DKI Jakarta yang diberikan oleh gubernur selaku Pemimpin Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dalam menangani masalah penertiban khususnya pada pedangang kaki lima Pasar Kebayoran Lama. Kemampuan Satpol PP Prov. DKI Jakarta untuk menyatukan diri dengan pedagang kaki lima sehingga tidak ada rasa berlawanan dan saling ingin menyakiti satu sama lain. Satpol PP Prov. DKI Jakarta dalam melakukan penertiban diharapkan dapat menata pesannya dengan persuasif, sehingga pedagang kaki lima diharapkan tergugah hati nuraninya dan pada akhirnya mau melakukan apa yang diinstruksikan. Teori Persuasi (Persuasion Theory) Penelitian ini menggunakan teori persuasi (persuasion theory). Seni persuasi sudah berlangsung ribuan tahun. Aristoteles mengemukakan tiga aspek dasar persuasi, yakni ethos (source credibility), logos (logical appeals), pathos (emotional appeals). Ethos memfokuskan pada kredibilitas sumber dalam penyampaian sebuah pesan. Kredibilitas sumber secara langsung berpengaruh pada effectiveness appeal (daya tarik). Logos merujuk pada appeals berdasarkan alasan yang logis. Argumenargumen ini biasanya terdiri dari faktafakta dan gambaran-gambaran. Mereka menyampaikannya kepada khalayak pada suatu tingkatan kognitif. Taktik PR bertujuan mendidik sekelompok tertentu orang-orang, lebih memfokuskan pada logical appeal. Pathos merujuk kepada argumen yang didasarkan pada emosi-

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

57


membangkitkan perasaan-perasaan, seperti rasa takut, salah, amarah, humor atau haru. Para praktsi PR menggunakan appeals untuk membangkitkan motif sekelompok orang agar berpikir dan bertindak tentang sesuatu. (dalam Ardianto, 2010:117) Berdasarkan penjelasan teori persuasi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam memberikan informasi khususnya pada penertiban pedagang kaki lima harus memberikan alasan yang logis dan argumen yang faktual secara persuasif kepada para pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama mengapa mereka harus mengikuti instruksi yang telah diberikan. Pada saat pemberian informasi ataupun instruksi juga langsung disampaikan oleh orang yang memiliki kredibilitas serta memiliki jabatan tertinggi dalam struktur organisasi Satpol PP sesuai dengan tempat tugas wilayah masing-masing. Metodologi Penelitian Peneliti menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme, karena peneliti ingin mengungkap fenomena/realitas dan menganalisis secara sistematis tentang Upaya Satpol PP Prov. DKI Jakarta dalam Melakukan Komunikasi Persuasif pada Penertiban PKL Pasar Kebayoran Lama dengan mengkonstruktiviskan atau menafsirkan hasil penelitian yang didapatkan melalui wawancara mendalam. Ilmu diperoleh melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap perilaku social dalam suasana keseharian yang ilmiah, agar mampu memahami dan menafsirkanbagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan

memelihara/mengelola dunia sosial mereka (Ardianto, 2010). Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, anggota masyarakat dan organisasi tertentu, khususnya tentang upaya Upaya Satpol PP Prov. DKI Jakarta dalam Melakukan Komunikasi Persuasif pada Penertiban PKL Pasar Kebayoran Lama yang menjadi topik penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deksriptif adalah untuk menggambarkan tentang karakteristik (ciri-ciri) individu, situasi atau kelompok tertentu. Metode penelitian ini dapat meneliti pada hanya satu variabel dan termasuk penelitian mengenai gajala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Ruslan, 2006:12). Metodologi merupakan penuntun yang memberikan arahan tentang bagaimana peneliti melakukan sesuatu dalam mempelajari fenomena mengenai upaya Upaya Satpol PP Prov. DKI Jakarta dalam Melakukan Komunikasi Persuasif pada Penertiban PKL Pasar Kebayoran Lama. Subjek Penelitian penelitian ini adalah Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dan Objek penelitian adalah komunikasi persuasif pada penertiban pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa upaya satpol PP Prov. DKI Jakarta dalam melakukan komunikasi persuasif pada penertiban PKL Pasar Kebayoran Lama. Penentuan key informan dan informan, peneliti menggunakan purposive, teknik purposive yaitu: teknik

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

58


pemilihan berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai hubungan dengan tujuan penelitian. Berdasarkan teknik purposive, yang menjadi key informan dan informan dalam riset ini, yaitu: 1. Nama : Rizal Aquadli, S.E Jenis Kel : Laki-Laki Jabatan : Kepala Sub. Bagian Umum Satpol PP Prov. DKI Jakarta NIP : 196604111996031002 2. Nama : Fernando Simanjuntak Jenis Kel : Laki-Laki Jabatan : Seksi Penertiban Bidang Operasi dan Penegakan Hukum Satpol PP Prov. DKI Jakarta NIP : 197811022009041006 3. Nama : Sentot Bambang Irianto Jenis Kel : Laki-Laki Jabatan : Kepala Satuan Tugas Satpol PP Kelurahan Grogol Selatan Kec. Kebayoran Lama NIP : 196210262007011007 4. Nama : Reki Jenis Kel : Perempuan Jabatan : Pedagang Sayur di Pasar Kebayoran Lama Lokasi dan Waktu Penelitian Waktu Penelitian: April s.d. Mei 2013 Lokasi dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagian Tata Usaha Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta, Alamat: Gedung Balaikota Lantai 8 Jl. Merdeka Selatan No. 8 – Jakarta Pusat. 2. Bagian Operasi dan Penegakkan Hukum Satuan Polisi Pamong Praja

Provinsi DKI Jakarta, Alamat: Gedung Balaikota Lantai 8 Jl. Merdeka Selatan No. 8 – Jakarta Pusat. 3. Satuan Polisi Pamong Praja Kelurahan Gogol Selatan, Alamat: Jl. Kubur Islam Kelurahan Grogol Selatan Kecamatan Kebayoran Lama – Jakarta Selatan. 4. Pedagang Kaki Lima Pasar Kebayoran Lama Triangulasi Dalam menetapkan keabsahan (trustworthiness) data, diperlukan teknik pemeriksaan. Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan yang digunakan adalah triangulasi. Triangulasi Sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

59


e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber. Alasan peneliti menggunakan triangulasi sumber karena pada penelitian ini menggunakan lebih dari satu sumber wawancara yang peneliti lakukan yaitu kepada satu key informan dan tiga informan. Hasil Penelitian Dalam rangka mencari jawaban atas masalah pokok penelitian, peneliti berusaha melaksanakan wawancara sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Hasil wawancara tersebut di samping untuk mencari jawaban atas masalah pokok juga sebagai data pendukung penelitian. Keterangan mengenai key informan dan informan akan peneliti paparkan dan jelaskan untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam penelitian dan telah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya. Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan komunikasi persuasif pada penertiban pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama dilakukan secara bertahap yaitu dimulai dari sosialisasi, himbauan, negosiasi, kerohiman dan peringatan, jika pada tahap peringatan tertulis ketiga masih belum diindahkan barulah dilakukan penertiban. Sosialiasi Sosialisasi merupakan langkah pertama yang dilakukan Satpol PP dalam menegakkan Perda. Dalam menyampaikan sosialiasi Perda dibutuhkan kemampuan

komunikasi yang baik. Komunikasi yang dilakukan antara Satpol PP dengan pedagang kaki lima, diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai proses pemberian informasi, melainkan mampu untuk mempengaruhi sikap dan perilaku komunikan, dalam hal ini adalah pedagang kaki lima. Satpol PP Provinsi DKI Jakarta telah melakukan sosialisasi Perda kepada pedagang kaki lima yang dilakukan melalui beberapa cara, antara lain melakukan kegiatan seminar, workshop, dialog interaktif, sosialisasi melalui media elektronik, dan sosialisasi secara lisan kepada pedagang kaki lima. Sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan seminar, workshop, dialog interaktif yang menjadi pesertanya mulai dari masyarakat umum, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan perwakilan pedagang kaki lima di setiap wilayah. Sosialisasi dengan cara ini dilakukan mulai dari tingkatan kelurahan sampai dengan tingkat provinsi dan dilakukan secara berkala, dalam kurun waktu 1 tahun dilakukan kurang lebih 6 (enam) kali kegiatan. Narasumber pada sosialisasi Perda pada kegiatan seminar, workshop, dialog interaktif adalah orangorang yang memiliki kredibilitas di bidangnya yaitu mulai dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, Komisi Hak Asasi Manusia, Psikolog, Kepolisian Republik Indonesia, Dinas Sosial, dan lain-lain. Penggunaan narasumber disesuaikan dengan tema kegiatan. Sosialisasi yang dilakukan Satpol PP khususnya kepada Pedagang Kaki Lima dan umumnya kepada Masyarakat DKI Jakarta selain untuk

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

60


menginformasikan Perda, sosialisasi ini juga diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan keikutsertaan masyarakat dalam menciptakan ketertiban umum. Guna mewujudkan kehidupan masyarakat Jakarta yang tentram, tertib, aman dan nyaman. Selain itu, sosialisasi secara langsung juga dilakukan dan disampaikan oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan dibantu anggotanya di tiap wilayah. Komunikasi Persuasif Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi komunikan, baik secara sikap dan perilaku yang seolah-olah atas kemauannya sendiri. Komunikasi persuasif dianggap sebagai cara terbaik yang dilakukan Satpol PP dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama. Berikut adalah bentuk komunikasi persuasif yang dilakukan Satpol PP dan sekaligus sebagai standar operasional prosedur penertiban, yaitu: a. Himbauan, Satpol PP menghimbau PKL agar tidak berjualan ditempat yang melanggar Perda, seperti berjualan di badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, jembatan penyebrangan, dan lain-lain. Himbauan yang dilakukan secara lisan dan tulisan, himbauan yang dilakukan secara lisan disampaikan langsung oleh Satpol PP kepada pedagang kaki lima dan himbauan tertulis yaitu berupa papan plang yang dipasang di taman-taman atau daerah yang dilarang untuk tempat berjualan. b. Negosiasi, Satpol PP bernegoisasi dengan PKL untuk mencari solusi

yang terbaik bagi keduanya. Dalam negosiasi ini Satpol PP juga berupaya membujuk agar pedagang kaki lima mau menempati pasar binaan yang telah disediakan Pemerintah untuk mewadahi kegiatan perdagangan pedagang kaki lima. c. Kerohiman, adalah langkah selanjutnya yang diambil Satpol PP jika dalam negosiasi masih belum mendapatkan titik temu antara kedua belah pihak. Pemerintah Daerah memberikan uang kerohiman sebagai bentuk perhatian kepada PKL yang disalurkan oleh Satpol PP dan Dinas-dinas terkait. Besarnya uang kerohiman yang diberikan kepada pedagang kaki lima sesuai dengan kebijakan pemerintah. d. Peringatan, Satpol PP memberikan peringatan baik secara lisan dan tertulis kepada PKL yang telah melanggar Perda. Peringatan lisan diberikan kepada PKL apabila Satpol PP mendapatkan pengaduan/laporan dari masyarakat dan menemukan terjadinya pelanggaran. Peringatan tertulis diberikan kepada PKL yang melanggar, apabila tidak mengindahkan teguran lisan. Peringatan tertulis dilakukan berjenjang, yaitu peringatan tertulis I (kesatu) selama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam dan bila tidak diindahkan maka diberikan peringatan tertulis II (kedua) selama 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam dan apabila peringatan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

61


tertulis II (kedua) juga tidak diindahkan, maka diberikan peringatan tertulis III (ketiga) selama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam. e. Penertiban, penertiban merupakan langkah terakhir yang dilakukan Satpol PP apabila teguran dan peringatan tertulis III (ketiga) tidak diindahkan. Pelaksanaan penertiban diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Penertiban dilakukan Satpol PP bersama-sama Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) meneliti, mencatat atau mengamankan barang-barang yang berharga milik pelanggar dan barang-barang tersebut diamankan ke gudang Satpol PP dengan sepengetahuan pelanggar. PPNS membuat berita acara penertiban maupun berita acara penyitaan barang. Barang-barang hasil penertiban dapat diambil kembali oleh pelanggar setelah membuat surat pernyataan untuk tidak mengulang pelanggarannya, namun Satpol PP juga berhak untuk memusnahkan barangbarang yang diamankan jika barang-barang hasil pelanggaran yang telah diamankan/disita PPNS dalam waktu yang telah ditentukan barang-barang tersebut tidak diambil atau barang-barang lain yang dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan.

Penertiban Pedagang Kaki Lima Penertiban adalah salah satu tindakan yang diberikan kepada pelanggar Perda. Penertiban dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum terdapat 3 jenis yaitu: penertiban penyandang masalah kesejahteraan sosial dan wanita tuna susila, penertiban gubuk liar dan penertiban pedagang kaki lima. Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah penertiban pedagang kaki lima khususnya Pasar Kebayoran Lama. Maraknya pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama berbuntut pada munculnya berbagai persoalan, salah satunya adalah masalah ketentraman dan ketertiban. Masih ada beberapa pedagang kaki lima Pasar Kebayoran lama dalam melakukan kegiatan perdagangan melanggar Perda khususnya pelanggaran untuk lokasi yang telah ditetapkan sebagai lokasi yang dilarang untuk dijadikan tempat usaha bagi PKL. Satpol PP Provinsi DKI Jakarta telah melakukan upaya komunikasi persuasif pada pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama agar mau menaati Perda untuk melakukan kegiatan usahanya di pasar binaan. Namun, upaya tersebut masih belum mengubah sikap dan perilaku para pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama. Sehingga Satpol PP harus melakukan tindakan lebih lanjut bagi para pelanggar tersebut, tindakannya berupa penertiban. Pembahasan Proses penertiban dilakukan dengan 3 (tiga) tahapan: Pra Penertiban, Penertiban dan Pasca Penertiban. Pra Penertiban telah dilakukan Satpol PP

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

62


dalam prosedur penertiban (himbauan, negosiasi, kerohiman dan peringatan). Pada proses penertiban Satpol PP telah berkoordinasi dengan pihak yang terkait, seperti Kepolisian Republik Indonesia, TNI, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dinas Sosial dan lain-lainnya. Dalam pelaksanaan penertiban Satpol PP memberikan instruksi agar PKL membereskan barang-barang miliknya yang digunakan untuk kegiatan usaha dan segera mensterilkan tempat tersebut. Jika PKL tidak melakukan apa yang telah diinstrusikan, Satpol PP akan melakukan tindakan penertiban, seperti: penyitaan barang, pembongkaran, dan sterilisasi tempat. Pasca-penertiban, Satpol PP tetap melakukan penjagaan pada lokasi yang telah ditertibkan. Penjagaan secara ketat dilakukan Satpol PP kurang lebih selama 1 (satu) minggu. Selanjutnya dilakukan pengawasan Patroli harian yang dilakukan Anggota Satpol PP wilayah setempat. Jika dilihat dalam prosedur penertiban di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Satpol PP telah melakukan upaya komunikasi persuasif sebelum tindakan penertiban dilakukan. Satpol PP berusaha mencari jalan terbaik agar tidak merugikan kedua belah pihak. Penertiban merupakan eksekusi terakhir yang dilakukan oleh Satpol PP, apabila pada tahap komunikasi persuasif terakhir yang dilakukan yaitu peringatan tertulis ketiga tidak diindahkan oleh Pedagang Kaki Lima Pasar Kebayoran Lama. Dari seluruh penjabaran sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa deskripsi tentang bagaimana upaya Satpol PP Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan komunikasi persuasif pada

penertiban pedagang kaki lima Pasar Kebayoran Lama telah mampu menjawab rumusan masalah penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan telah dijabarkan secara detail setiap tahapan yang dilakukan berdasarkan urutannya.

Daftar Pustaka Ardianto,

Elvinaro. 2009. Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.

_________________2010. Metodologi Penelitian untuk Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Arni,

Muhammad. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Grafindo Persada.

Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. _____________________. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslimin. 2004. Hubungan Masyarakat dan Konsep Kepribadian. Malang: UMM Press. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ruslan, Rosady. 2006. Metode Penelitian Public Relations dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

63


Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: ArRuzz Media. Sumber Lain Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 148 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja www.merdeka.com diunduh tanggal 6 April 2013

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

64


MEDIA SEBAGAI INSTITUSI BUDAYA Studi Kritis Atas Televisi Berita Nasional TV-One Dan Metro-TV Dalam Pemenuhan Kepentingan Publik Rachmat Baihaky Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Email: rachmatkpi5@gmail.com

ABSTRACT Media as a cultural institution has tremendous role in constructing society as significant as the other cultural institutions. The process of empowerment and the rise of literacy are some of the outcomes of the multiplyer effects of the media. While other cultural institutions construct individuals’ world-view in their early age, the media within social relation exist to strenghtening, confirming and reinforcing it. Meanwhile, as a bussiness institution, and not to mention subject to political interest, the media has single priority to acomplish, that of the profit and the power. Televisison especially, as the magic visual audio medium is one of the crucial form of institutions typically in most third world society. However, media are not the only institution that responsible for renderring a healty social construction, education and civil society institutions in this sense are oblight to empowering, balancing and retracking the misleading direction which contains profit of interests and contaminates with political interest. This piece of writing attempts to see how the media and other cultural institutions play their roles and what gaps are dismissed by those institutions respectively. Keywords : Deregulation Broadcasting, Public-market Cultural Institutions.

ABSTRAK Media sebagai lembaga budaya memiliki peran penting dalam membangun masyarakat. Ketika lembaga budaya lain membangun pengetahauan atas individu di usia dini mereka, media kemudian memperkuat apa yang sudah menjadi bangunan awal lembaga sosial lain, seperti keluarga, agama dan pendidikan. Permasalahan kemudian menjadi rumit ketika media sebagai salah satu lembaga budaya bagi masyarakat terbentur dengan kepentingan lain seperti ekonomi dan politik; padahal jika dilihat keberadaannya, media adalah satu-satunya lembaga budaya yang menggunakan fasilitas publik dalam hal ini gelombang siaran. Jika media sebagai lembaga budaya membutuhkan dan menggunakan fasilitas publik, beban mereka sudah seharusnya lebih besar dan konsisten dengan tanggung jawab yang ada. Bagaimana media memenuhi kebutuhan publik dalam makna yang paling ideal, yang tidak terjebak pada kebutuhan publik yang naif populis yang menggunakan logika kapitalis di mana masyarakat disamakan sebagai pelanggan, bukan sebagai warga negara. Kata Kunci: Deregulasi

Penyiaran, Kepentingan Pasar-publik, Institusi Budaya.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

65


Pendahuluan Setidaknya terdapat empat besar kronik catatan sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia yang disampaikan oleh Kunto Wijoyo dalam Dinamika Umat Islam Indonesia (1985), antara lain; era magis, yaitu era di mana rakyat Indonesia di bawah bayang-bayang kekuatan ratu adil selama masa penjajahan. Selanjutnya era ideologis, di mana situasi bangsa sedang dalam hiruk pikuk politik internasional dan tarik menarik kekuatan komunis, kapitalis, dan tak terkecuali Islam. Paska-kemerdekan Indonesia kemudian memasuki era pembaharuan atau moderenisasi yang dikenal dengan era pembangunan selama di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru. Terakhir, dan hingga saat ini, Indonesia memasuki lembaran baru dalam catatan sejarahnya yaitu era reformasi. Di mana era ini ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan kembalinya supremasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan individu yang sebelumnya tersumbat selama 32 tahun kini terbuka lebar menganga terutama di bidang informasi. Institusi media sebagai fondasi kekuatan sosial adalah salah satu kekuatan dalam mebangun kesadaran berdemokrasi di tengah masyarakat, namun demikian tantangan media sebagai institusi budaya berbentur dengan masalah dirinya sebagai lembaga ekonomi yang membutuhkan suplai ekonomi demi keberlangsungan keberadaannya dan keuntungannya. Media sebagai institusi budaya idealnya mampu melengkapi dan menjadi institusi pendukung bagi institusi budaya

lainnya. Bukan sebatas lembaga usaha, tapi menjadi ujung tombak dari terciptanya pengetahuan dan pengalaman di tenagah masyarakat, media juga menjadi ujung tombak dalam mengontrol dan meluruskan penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat terutama pada dan/atau berujung kepada lembaga budaya lainnya. Tidak jelas bagaimana hubungan kuasa yang dibangun antara media dengan institusi budaya lainnya terutama di era kebebasan seperti saat ini. Namun demikian jika kita melihat kembali catatan-catatan sejarah, pembentukan pengetahuan dimonopoli sepenuhnya oleh agama dan negara. Agama dan negara memiliki cita-cita kolektif untuk menentukan dan membangun pengetahuan dan pola pikir masyarakat. Hubungan antara satu lembaga dengan lembagai lainnya saling terintegrasi satu sama lain dalam jalinan sejarah yang panjang. Hingga memasuki masa Enlightment di mana kedua institusi bercerai dan bahkan bersebrangan. Di awal perkembangannya media dianggap sebagai medium penting untuk menyeragamkan dan menyesuaikan agenda masyarakat dengan agenda negara, sementara agama dipaksa kembali untuk berkhidmat hanya pada idealitas ‘mistiknya’. Otoritas negara secara penuh mendominasi kesadaran warga negara melalui kekuatan media. Formula Foucault (1980, 119) tentang pengetahuan dan kekuasaan berkelindan pada peiode ini, dan bahkan bertahan di beberapa negara hingga kini. Supremasi pengetahuan yang di dalam sejarahnya terus mengalami

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

66


pergeseran subjek, pada akhir abad ke-17 mengalami puncaknya di mana logika pasar berhasil menggerogoti kekuatan institusi negara sebagai pemegang penuh kuasa pengetahuan. Namun demikian pelucutan kuasa negara atas pengetahuan oleh kaum pengusaha bukan semata-mata didasari oleh kegelisahan mereka terhadap hegemoni penuh nagara atas rakyatnya, namun kesempatan ekonomilah yang mendorong terciptanya ‘kebebasan’ berekspresi pada saat itu. Kapitalisasi informasi menjadi tolok ukur karakteristik pergeseran subjek institusi budaya pada saat itu. Kecenderungan ini terbangun terutama ketika infrastruktur teknologi komunikasi, berupa alat percetakan hasil kreasi Johannes Guttenberg, berkembang pesat dan tersebar luas—sebelumnya alat ini hanya dibuat terbatas dan hanya diperuntukkan oleh pihak gereja demi kepentingan penyebaran agama dan menghindari penistaan agama di tengah masyarakat luas. Infrastruktur yang memiliki kekuatan budaya di bawah kepentingan konglomerat media yang bekerja spenuhnya atas kalkulasi untung rugi ini menyisakan dampak negatif yang luar biasa. Informasi penuh sensasi, fitnah dan pencemaran nama baik adalah beberapa permasalahan kapitalisasi informasi yang mencuat pada saat itu. Apalagi gerak kerja mereka hanya dibatasi oleh undangundang informasi yang sangat fleksibel. Itu sebabnya memasuki abad 20 pemanfaatan teknologi komunikasi sudah benar-benar menjadi alat kekuatan yang setara dengan senjata berat (hard power). Berangkat dari kenyataan di atas setelah media memiliki kekuatan

ekonomis, politis dan kultural, pemanfaatan media kemudian didorong untuk melahirkan ‘faedah’ (utility) bagi masyarakat atas dasar tanggung jawab subjek yang memanfaatkannya. Logika ini dikenal sebagai konsep social responsibility dalam tradisi kerja media massa (Siebert dkk., 1986, 83). Prinsip social responsibility mengandaikan harmonisasi dan kedewasaan masyarakat bisa diciptakan dan direkayasa melalui media massa. Setelah lembaga politik, ekonomi, militer dan agama memiliki kekuatan sosial dengan variannya yang beragam, maka media dianggap sebagai institusi budaya yang lain yang mampu membentuk pengetahuan sebagai infrastruktur ideologis. Di pertengahan hingga akhir abad 20 media massa menjadi lokus institusi budaya yang semakin kuat karena tingkat kepemilikan dan penggunaan media yang semakin tinggi. Namun kondisi ini tidak dibanrengi dengan regulasi yang ketat, di mana sistem penyensoran diserahkan kepada institusi media masing-masing dan sistem kepemilikan media yang semakin longgar. Gejala ini umumnya terjadi di negara-negara demokrasi, seperti negaranegara Eropa dan Amerika Serikat. Gejala deregulasi kepemilikan media kemudian berkembang di Indonesia di antero 1970an awal. Di mana pemerintah memberikan kesempatan bagi televisi nasional, TVRI, untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa adanya subsidi dari pemerintah (Sen and Hill, 2007, 108-136). Deregulasi di sini dapat diterjemahkan sebagai longgarnya peraturan pemerintah dalam menertibkan sistem kerja institusi media baik dalam sistem penyiaran sebagai kerja pokok dari

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

67


media, maupun dalam sistem manajemen media sebagai institusi ekonomi. Hal ini kemudian yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan sebuah analisis kritis terhadap institusi media berita nasional. Kerangka Pemikiran Terinspirasi oleh karya Bennet dan koleganya (2011) dalam bukunya yang berjudul After the Media; Culture and Identity in the 21st Century yang memberikan satu perspektif lain dalam mengkaji media massa di luar dari mainstream penelitian yang ada di mana umumnya media menjadi lokus penelitian. Karya Bennet (2011, 16-37) After the Media; Culture and Identity in the 21st Century memberikan suatu pendekatan baru di mana kajian media tidak membutuhkan suatu pendekatan baru di mana peneliti bisa menjaga jarak dengan media sebagai kajiannya. Selain itu David Croteau dan William Hoynes (2006, 2nd ed.) dalam The Business of Media; Corporate Media and the Public Interest juga memberikan landasan teori bagi penelitian ini di mana Croteau dan Hoynes membedakan media yang dalam kepentingan ideal dan pragmatisnya. Di sini Croteau dan Hoynes melihat media sebagai market interest dan media sebagai public interest (Croteu dan Hoynes, 2006, 19-27). Dengan paradigma kritis penulis ingin melihat lebih dalam bagaimana kondisi masyarakat yang sesungguhnya dalam berinteraksi atau relasi mereka dengan kelompok-kelompok sosial yang ada. Di sini realitas sosial yang ada oleh penulis dilihat tidak berjalan seimbang dan cenderung terjadi pendominasian antara

kelompok dominan terhadap kelompok lemah. Kelompok dominan dalam realitasnya adalah kelompok yang menguasai infrastruktur dan suprastruktur dalam masyarakat, sementara kelompok lemah adalah kelompok mayoritas yang terkungkung dalam keterbatasannya yang tidak memiliki kuasa dan moda produksi. Ketidakseimbangan ini tentu saja membutuhkan sebuah perbaikan sehingga kelompok lemah memiliki posisi tawar dalam bentuk pengetahuan dan bukan sebuah perlawanan untuk merubah keadaan menjadi sebaliknya. Paradigma kritis yang penulis gunakan adalah rumusan paradigma kritis Briminghamian yang mensyaratkan adanya sebuah counter-hegemoni dengan logika antagonistik. Logika antagonistik dianggap sebagai panasea ampuh untuk sebuah hegemoni. Jurus ampuh mazhab Brimingham berbeda dengan penawar yang ditawarkan oleh mazhab Frankfurt yang merujuk langkah pembebasan melalui wadah pendidikan demi terwujudnya sebuah kesadaran kolektif. Dalam kajian budaya cara pandang mazhab Brimmingham dan Frankfurt memiliki kesamaan di mana budaya dianggap sebauah rekayasa kelompok elit dengan muara yang sama, upaya penyeragaman demi sebuah keuntungan yang masif. Mengingat paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis maka peneliti melakukan pendekatan penelitian ini melalui pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah proses pemahaman menyangkut kompleksitas yang terjadi di tengah interaksi manusia (Marshall and Rossman, 2006) bersifat

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

68


naturalistik dengan memerhatikan kondisi yang bersifat alamiah di mana data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif yang kemudian dikempangkan secara eksploratoris. Objek penelitian ini adalah media berita swasta nasional yakni TV One dan Metro TV sebagai media berita swasta mainstream dalam menjalankan peran dan fungsi kedua media di tengah masyarakat. Adapun subjek penelitian ini adalah dua lembaga organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Fokus penelitian ini adalah bagaimana kedua organisasi keIslaman terbesar di Indonesia itu melihat peran dan fungsi institusi budaya yang selevel, dalam hal ini ke-dua media berita swasta nasional TV One dan Metro TV, selama ini. Pemilihan ke-dua organisasi kemasyarakatan Islam ini tentu sebagai sumber pembanding di mana pemantapan nilai dan pengetahuan awal masyarakat bersumber dari ke-dua lembaga tersebut, sementara media massa dianggap sebagai penguat dari apa yang telah ditanamkan oleh ke-dua lembaga keIslaman itu. Di sini peneliti mengakui bahwa Muhammadiyyah dan NU belum sepenuhnya mewakili institusi budaya yang ada, di mana ada golongan agama lain yang tidak dijadikan sebagai objek penelitian ini, namun peneliti melihat bahwa keterwakilan kedua ormas sebagai subjek dalam penelitian ini dianggap dapat mewakili kelompok mayoritas di Indonesia. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan tiga macam yang meliputi studi kepustakaan, wawancara mendalam (indepth interview)

dan pengamatan langsung. Data-data dan informasi yang didapat dari literatur yang ada juga nantinya akan diperkuat dan dikonfirmasi dengan data-data penting dari hasil wawancara mendalam dengan kedua organisasi kemasyarakatan islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyyah dan NU. Wawancara yang akan dilakukan menggunakan semi-terstruktur (Berg, 2009, 104-107). Dalam hal ini pertanyaan diawali dengan pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam untuk memperoleh informasi lebih lanjut, sehingga akan diperoleh jawaban yang meliputi semua variabel terutama variabel peran dan fungsi media dalam pemenuhan kepentingan publik. Teknik pengamatan juga dilakukan dengan melihat perkembangan siaran dan muatan acara yang disajikan oleh kedua institusi media dalam hal ini TV One dan Metro TV sebagai dua lembaga media berita swasta terbesar di Indonesia. Teknik pengamatan ini menjadi penting mengingat hasil wawancara dengan kedua lembaga organisasi kemasyarakatan Islam di atas belum tentu sepenuhnya mewakili kajian media ini dan budaya ini. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat ormas Keislaman di Indonesia saat ini juga terkadang tidak lepas dari kepentingan politik praktis yang ada di Indonesia. Untuk memperkuat validitas data yang digunakan, penelitian ini menggunakan teknik triangeling data, yakni penelitian ini menggunakan sumber wawancara yang akan dicek dengan observasi langsung ke lapangan dan kepustakaan. Setelah data terkumpul, data tersebut kemudian dianalisis dengan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

69


pengkodean melaui pengkategorisasian dan pensortiran data yang sesuai dengan fokus pertanyaan penelitian. Pengkodean ini dilakukan melalui tahapan-tahapan umum dalam kualitatif (Baxter dan Babbie, 2004); seperti penegasan pertanyaan yang ingin diketahui dari penelitian, klasifikasi data tekstual, kategorisasi, pengecekan melalui triangulasi data dan pengkodean yang terintegrasi dari data-data yang ditemukan dari studi pustaka dan dokumentasi dan wawancara mendalaman. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Sebagai institusi budaya media memiliki peran penting dan kekuatan yang bersifat massif dalam menjangkau individu-individu. Media jika merujuk pada beberapa konsep media massa, institusi budaya ini berperan melakukan penguatan terhadap (reinforcement) masyarakat dan integrasi (Croteau and Hoynes, 2006, 19-27). Konsepsi peran dan fungsi ideal masyarakat dalam kajian media umumnya merujuk pada konsep publicsphere Jurgen Habermas di mana media dicita-citakan sebagai ruang publik yang bisa menampung aspirasi masyarakat (Garnham, 1992, 359-376). Media bertanggung jawab atas kesadaran dan kritisisme publik dalam kapasitasnya selaku warga negara. Partisipasi masyarakat dalam kehidupan sosial, menurut Habermas hanya bisa diwujudkan melalui peran media sebagai mediator antara penguasa dan warga negara (McKee, 2005, 105-114). Jika peran dan fungsi ideal media seperti ini dapat direalisasikan maka penguatan masyarakat sipil akan terwujud sehingga partisipasi

masyarakat dalam berbangsa dan bernegara tidak hanya berjalan sebatas prosedural formal belaka. Cita-cita ideal media sebagai publicsphere seperti yang dijelaskan oleh Habermas nampaknya berbentur dengan peran media yang lain sebagai lembaga ekonomi (Habermas, 2001, 175-176). Di sini media dilihat sebagai industri sebagaimana industri barang-barang onsumsi pada umumnya. Croteau dan Hoynes secara detail menjelaskan peran media sebagai institusi dalam bidang ekonomi. Dalam memenuhi hajat hidup dan demi keberlangsungannya, sebagai lembaga ekonomi, media berkerja sebagaimana lembaga profit kapitalistik pada umumnya. Dengan logika biaya produksi yang murah dengan tingkat keuntungan yang tinggi. Di sini menurut Albarran (1996, 27) media bekerja dengan dua dimensi target market, target pasar media pertama adalah masyarakat yang dalam kaca mata kapitalis dianggap sebagai konsumen berupa produk media berbayar seperti koran, majalah, televisi berbayar dan lain sebagainya yang mengandaikan adanya proses pembelian produk oleh pihak konsumen, dalam hal ini audiens. Ke dua, melalui penjualan produk media kepada konsumen tadi maka tercipta satu pasar sejatinya yakni para pengiklan yang memanfaatkan ruang dan wakti yang tersedia dalam format media yang ada. Sementara itu untuk kategori media siaran televisi terestrial yang memanfaatkan fasilitas publik media sepenuhnya menjadikan konsumen sebagai komoditas mereka untuk kemudian jumlahnya ditingkatkan atau paling tidak

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

70


dipertahankan dan selanjutnya dijual kepada pengiklan. Untuk kategori format media kedua ini, yang tidak menjual produknya secara langsung kepada masyarakat, tingkat kesadaran media sebagai lembaga ekonomi sebenarnya justru sangat jelas, karena di sini media sepenuhnya menghiduppi dirinya langsung dari para pengiklan yang melihat jumlah bagian pemirsa mereka. Dengan demikian televisis terestrial secara sederhana dapat diprediksikan tidak akan bersiaran jika tidak memenuhi target audiens yang dikehendaki oleh para pengiklan. Dengan kesimpulan sederhananya adalah media yang tidak berpemirsa, maka dia tidak beriklan, dan dapat dipastikan dia tidak bersiaran. Demikian sebaliknya, media akan tetap beriaran bilamana memenuhi target audiens dengan standard ketat dari para pengiklan. Aspek inilah yang kemudian televisi terestrial bekerja sesuai dengan setandard lembagai ekonomi pada umumnya yang memiliki tingkat kebutuhan akan peningkatan konsumen demi keberlangsungan hidupnya. Perhelatan pro-pasar dan prodemokrasi dalam kajian media pada akhirnya secara alami terjelaskan dengan cara kerja media yang tidak demokratis. Peran institusi sbudaya media yang seharusnya mengedepankan kepentingan publik pada akhirnya terabaikan. Nilainilai yang disampaikan media pun berujung pada pembentukkan mentalmental konsumtif (mental production). Dan proyek relasi media dan masyarakat ideal yang dicita-citakan oleh Habermas dengan konsep public-sphere berubah menjadi produksi budaya yang bersifat palsu, instan bahkan cenderung

membodohkan. Dengan memilih pasar sebagai dasar pijakan kerjanya tersebut, maka bisa sulit bagi media untuk mengakomodir suara-suara minoritas hanya karena kepentingan spot iklan yang terjual. Ketika institusi budaya sudah bergeser dari institusi simbolis idealis menjadi institusi naif pragmatis, dalam hal ini ekonomis dan politis, maka logikanya adalah output yang sejatinya bermuara ke publik justru menjadi keuntungan tunggal bagi pihak media, baik secara ekonomis maupun secara politis. Keuntungan tunggal ini bukan tanpa masalah, dalam beberapa kasus pada institusi budaya yang lain seperti institusi budaya agama, di Indonesia dalam hal ini Muhammadiyyah dan NU, hal ini mengakibatkan kegamangan besar di tingkat ummatnya. Masalah-masalah yang muncul di institusi agama ini umumnya disebabkan oleh orientasi politik yang memanfaatkan institusi tersebut. Modal ummat yang berjumlah ribuan bahkan jutaan menjadi sosial kapital dalam arti yang sebenarnya bagi kepentingan politik tokoh-tokoh yang memeliki kepentingan dan tujuan politis. Media sebagai institusi budaya memiliki peran lebih besar ketimbang institusi budaya lainnya. Hal ini karena fungsi media yang bersifat akomodatif dan penguatan dari institusi budaya lainnya. Jika sekolah dan agama menjalankan fungsi budayanya masing-masing secara langsung dalam tingkatan konteks yang tinggi, media dengan konteks yang rendah mampu mengakomodir dan menggabungkan kedua peran institusi budaya tersebut. Di sini jelas sekali bahwa fungsi media dapat dikatakan sebagai

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

71


short-cut medium untuk menyampaikan dan menguatkan simbol-simbol institusi budaya yang lain. Dengan kata lain jika peran dan fungsi budaya media melemah, hal ini sama dengan melemahkan peran institusi budaya yang lain. Di sinilah kekhawatiran masyarakat madani terhadap peran dan fungsi media saat ini di mana media mampu menggabungkan kekuasaan dan pengetahuan institusi-institusi sosial dan budaya yang lain. Apalagi lokus resepsi simbol-simbol budaya media adalah opini publik yang mampu merubah dan menggerakkan inisiatif publik. Resepsi simbol-simbol media yang jauh dari nilainilai idealitas idemokrasi hanya bisa dihalau dengan kekuatan simbol lain dengan membangun kesadaran masyarakat untuk mampu bernegosiasi dan kritis dengan produk budaya media. Peran institusi budaya agama dan pendidikan seharusnya mampu mengimbangi kekuatan instrinsik media ini dengan segala keterbatasannya. Penguatan dan pembangunan kesadaran dan sikap kritis di tengah masyarakat ini juga sebenarnya membutuhkan proses dan pematangan yang panjang, yang hanya mungkin dipercepat dengan adanya senergisitas kerja antarinstitusi budaya yang ada. Kemandirian masyarakat dalam mengakses simbol-simbol alternatif dalam media baru juga dapat menyadarkan dan menguatkan mereka dalam menerima produk budaya media. Hanya saja permasalahannya di sini adalah akses sistem (system access) yang mereka miliki sangat terbatas ditambah social acces (i.g., pendidikan) belum secara massif dirasakan

oleh masyarakat dari berbagai kalanagan.hal ini juga yang menyebabkan tingginya penggunaan media baru di Indonesia yang sayangnya tidak dibarengi dengan pemanfaatan yang optimal sebagai medium alternatif. Media dan Kepentingan Publik Hal yang paling penting dalam membahas kepentingan publik berkaitan dengan peran dan fungsi media adalah dengan membedakannya secara istilah dengan kepentingan publik sebagai pelanggan. Di mana kepentingan pelanggan bermuara pada aspek-aspek konsumsi yang berssinggungan langsung dengan kepuasan batiniah dan badaniyyah, sementara kepentingan publik bersinggungan langsung dengan kepuasan akliyah dan bathiniyah dan kemerataan aksessibilitas perangkat dan jaringan komunikasi yang ada. Perbedaan dari kedua istilah ini sebenarnya dapat dilihat dari subtansi produk di mana produk pelanggan bersifat konsumtif, simplistik dan materialistik, sementara produk media bersifat abstrak, subtantif dan kognitif. yang memiliki dampak sosial. Aspek kedua untuk melihat dari kedua produk (produk barang-barang konsumsi dan produk media) adalah pada sumber produk di mana produk barang konsumsi berasal dari barang-barang mentah atau baku, atau tenaga dan skil untuk produk jasa, sementara produk media sepenuhnya bersumber dari proses berfikir (cognitive source). Aspek yang terakhir untuk membedakan produk konsumsi dengan produk media adalah dengan melihat bagaimana kedua produk dikonsumsi/diterima, di mana produk

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

72


konsumsi sebagaimana telah dijelaskan bersifat kongkrit (tangible) sementara produk media sangat abstrak (intangible), dengan kata lain produk media diproduksi dan diterima oleh khalayak melalui proses berfikir. Kerja kognitif merupakan karakteristik khas dari fungsi institusi budaya. bahkan produk media yang paling sederhana (high triviality) sekalipun tetap dikategorikan sebagai produk ideologis yang di dalamnya meliputi bahasa, norma, nilai, dan pengalaman. Aspek-aspek ini jika kita lihat dalam institusi media sejatinya berwujud dalam bentuk-bentuk gambar, suara, dan tulis yang sadar atau tidak disadari memiliki sentuhan ideologis. Idealnya, media dalam proses pembudayaan berfungsi sebagai lembaga penguat (reinforcement) segala bentuk produk simbol dan konsensus institusi agama dan pendidikan. Proses reinforcement media memiliki peran krusial dan di sinilah peran ideal media sesungguhnya dalam pemenuhan kebutuhan publik. Dasar nilai yang dikuatkan media dalam produk teksnya merupakan ejawantah dari nilainilai agama dan pendidikan baik dalam bentuk teknis maupun yang bersifat normatif. Hal ini tentu tidak bisa disamaratakan antara satu nilai institusi budaya dengan institusi budaya yang lain, proses penyeragaman nilai jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Di sinilah media seharusnya bisa memposisikan diri selaku institusi budaya yang berdiri di atas semua kelompok dan golongan. Memberikan wadah dan kesempatan untuk berwacana bagi setiap komponen ideologi yang ada di tengah

masyarakat yang majemuk. Tentu saja dalam prosesnya proporsi dalam mengakomodir wacana yang ada bukan berarti menyamaratakan proporsi waktu dan porsi siar atau cetak. Adil proporsi bukan berarti sama rata dalam proporsi publikasi, adil berarti memberi suara dan diskusi yang proporsional dalam sebuah wacana. Oleh karenanya suara-suara minoritas harus dipertimbangkan untuk diikutsertakan atau mendapatkan kesempatan sesuai dinamika wacananya. Masalah lain yang mencuat dalam pemenuhan kebutuhan publik adalah ketimpangan proporsional wacana yang bukan didasari atas proposisi mayoritas atau minoritasnya sebuah kelompok, tapi seberapa besar nilai keuntungan dalam mewujudkan wacana dalam teks media. Besarnya komposisi wacana keislaman dalam produk media misalnya, masih menjadi pertanyaan besar. Apakah wacana-wacana keislaman selama ini muncul karena prioritas pemenuhan kebutuhan publik demi terbentuknya masyarakat madani yang sehat dan cerdas atau sekadar komodifikasi teks keislaman yang menguntungkan (lucrative religious text). Meski sulit untuk dibuktikan, masalah ini sudah menjadi wacana akademisi budaya dan kajian media di ranah diskusi yang berbeda. Demikian pula wacana-wacana politik yang seringkali merujuk hanya pada partaipartai besar dan politisi fokal yang kerap menjadi primary definer dalam isu-isu politik yang berkembang. Dalam kasus ini jelas sekali proposisi partai penguasa mendapatkan porsi publikasi yang lebih besar ketimbang partai bukan penguasa. Asumsi ini dibangun dengan mengikuti

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

73


logika bisnis media yang mengedepankan tingkat popularitas teks yang bisa mendongkrak rating. Hadir sebagai the four estate yang beridiri pada tahun 2000 sebagai satusatunya televisi berita swasta nasional di Indonesia, disamping apresiaasi yang dialamatkan kepada Metro TV, bukan berarti tanpa masalah baru. Kehadiran Metro TV menjadi masalah ketika Metro TV menjadi satu-satunya televisi berita swasta nasional. Dengan menjadi pemain tunggal dalam kategori televisi berita, itu artinya Metro TV tidak memiliki penyeimbang dalam memberikan informasi. Hal ini tentu menjadi rentan akan terjadinya bias kepentingan pemilik media. Kemajemukan produk media juga idealnya diikuti dengan keberagaman media dalam jenis yang sama termasuk

Dari analisa struktur Creteau dan Hoynes di atas, Metro TV jelas masuk dalam kategori homogenized monopoly di mana Metro sebagai televisi berita swasta nasional memiliki produk media utama dalam genre informasi dan berita, dan Metro TV juga satu-satunya televisi nasional dalam genre informasi dan berita. Tidak ada televisi sejenis di Indonesia yang menjadi penyeimbang Metro TV. Satu-satunya penyeimbang Metro TV adalah berita-berita yang disiarkan oleh televisi-telsvisi populer yang hanya menyiarkan program berita pada jam-jam tertentu yang berdurasi 30 menit termasuk durasi untuk iklan-iklan komersil. Dalam satu hari televisi populer dalam menyiarkan program berita secara rata-rata hanya berkisar 2,5 jam, dengan rata-rata

dalam kepemilikannya. Dalam struktur pasar pada kajian ekonomi media, mekanisme seperti ini masuk dalam kategori monopoli tunggal dengan level produk yang rendah, dalam hal ini produk media yang ditawarkan Metro TV sebagai televisi mainstream informasi dan berita. Croteau dan Hoynes (2006, 19-27) memberikan kategorisaasi struktur pasar dalam bisnis media sebagai berikut: Tabel 2 Jenis-jenis Struktur Pasar Jumlah Perusahaan Level Penyuplai keberagaman Satu atau produk Banyak lebih Monopoli Kompetisi Rendah homogeny homogen Monopoli Kompetisi Tinggi beragam beragam

30 menit pertayang kecuali di pagi hari yang dialokasikan selama satu jam, hingga lima jam, paling tinggi dengan rasionalisasi tiga jam program berita yang terbagi ke dalam satu jam di pagi hari, 30 menit di siang hari, 30 menit di sore hari dan 30 menit di malam hari dan ditambah lima menit, umumnya kurang dari lima menit, di setiap jamnya untuk berita cepat (flash news). Bandingkan dengan Metro TV yang menyiarkan program berita yang tidak kurang dari 12 jam dalam satu hari, termasuk berita ulasan atau kembangan berita (extended news) dan berita cepat (flash news). Tayangan berita di Metro TV ini belum termasuk siaran-siaran dialog, diskusi interaktif dan vareasi talkshow lainnya. Menyandingkan televisi populer dengan Metro TV untuk memenuhi standar

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

74


struktur pasar kompetitif yang beragam memang belum cukup mengingat, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, acuan yang ideal untuk dijadikan patokan sebuah pasar yang kompetitif dan beragam bukanlah produk medianya, akan tetapi segmentasi audiensnya di mana Metro TV memiliki kelas penonton di kategori A-BC sementara televisi populer umnya memiliki segmen dalam kategori kelas B ke bawah. Di sini jelas bahwa penonton dengan kategori opinion leader, penonton yang memiliki daya rubah sosial yang sangat tinggi, terpusat pada satu televisi berita, Metro TV. Terpusatnya kelompok opinion leader ini tentu saja dapat dikapitalisasi oleh Metro TV dalam menggagas berita-berita yang besar kepentingan Metro TV ada di dalamnya. Pemilihan nara sumber dengan memberikan kanal komunikasi bagi nara sumber yang memiliki persamaan kepentingan dengan Metro TV akan menjadi prioritas. Sementara bagi nara sumber yang bertolak belakang dengan kepentingan Metro TV tidak mendapatkan kanal suara untuk disiarkan. Baru di tahun 2006 TV One muncul sebagai televisi berita swasta nasional kedua atau enam tahun setelah Metro TV berdiri. Bermetamorfosis dari telivisi populer Lativi, TV One menjadi televisi berita swasta nasional kedua di bawah kepemilikan pengusaha politisi partai besar di Indonesia Abu Rizal Bakrie. Kehadiran TV One sebagai televisi berita tidak lepas dari kebutuhan masyarakat atas porsi berita-berita dan informasi yang lebih besar dan beragam. Memasuki era transisi menuju demokrasi, pascareformasi suhu politik di Indonesia

meninggi. Gegap gempita reformasi yang penuh hiruk pikuk wacana dan intrik politik menjadi bumbu dasar berita-berita TV One dan Metro TV. Animo masyarakat terhadap siaran-siaran berita pun semakin meningkat. Pembuktian meningkatnya penonton televisi berita swasta nasional secara sederhana dapat diukur dengan perolehan iklan dalam program-program berita pada jam-jam tertentu, terutama berita di sore hari. Kehadiran TV One melengkapi pasar media dengan struktur yang lebih baik. Struktur pasar yang sebelumnya dari homogenized monopoly berubah menjadi diverse competition (Croteau dan Hoynes, 2006, 19-27). Namun keterlibatan kedua pemilik media dalam politik praktis menjadi permasalahan baru. Permasalahan ini muncul mengingat informasi yang tersedia masih mainstream politik dan Jakarta sentris. Jika gejala seperti ini terus berlanjut jelas ini mempengaruhi struktur pasar yang kurang sehat dalam distribusi produk media yang ada. Struktur pasar yang menyuguhkan produk media yang sejenis dapat masuk dalam kategori struktur yang bersifat homogenized competion. Dalam struktur pasar yang bersifat homogenized competition, hal ini mencerminkan penggiringan reseptif audiens terhadap agenda-agenda media tertentu. Isu politik di level legislatif dan eksekutif dan Jakarta sentris menjadi menu utama pemberitaan, sementara isu-isu lain menjadi pemanis program berita. Investasi di bidang informasi menjanjikan keuntungan yang besar, apalagi ketika kebebasan politik tengah menjadi resep utama agenda publik. Media melihat ini sebuah peluang besar untuk

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

75


kemudian dikultivasi demi kepentingan pasar dalam kategori niche. Sementara itu undang-undang yang ada hanya berkutat pada aspek-aspek yang bersifat normatif. Undang-undang yang ada belum menyentuh pada permasalahanpermasalahan kepemilikan media dan monopoli iklan politik di media massa, akhirnya sistem yang ada tidak lebih parah dari negara-negara yang memiliki kecenderungan untuk men-deregulasi sistem media massa. Reformasi memang telah membawa angin segar bagi kebebasan berekspresi, namun sayangnya situasi ini tidak diimbangi dengan kekuatan sistem siar yang tangguh. Kepemilikan media di tangan pengusaha yang berpolitik adalah campuran sempurna untuk hegemoni terstruktur dengan muara keuntungan yang bercabang. Sebagaimana disebutkan sebelumnya menyangkut bagaimana media menuai keuntungan baik secara langsung maupun tidak. Untuk keuntungan yang diterima secara langsung tentu sudah jelas ada surplus keuangan yang meningkat jika program acara dikemas dengan baik akan meningkatkan share audience yang tinggi. Tingginya share audience jelas akan meningkatkan rating share dan bepengaruh terhadap bagian kue iklan yang tinggi pula. Di samping keuntungan secara langsung berupa bagian kue iklan yang besar, media ditangan pemilik politisi juga memberikan keuntungan tidak langsung dalam hal ini familiarity dan acceptabiliy. Keterterimaan media di tengah masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah seperti mayoritas penduduk di Indonesia bisa memudahkan pemilik media untuk

membentuk opini dan membangun kesadaran palsu. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung menerima dan mudah dipengaruhi tanpa adanya sikap refleksif dalam menerima informasi dari media mainstream. Merka adalah kelompok prefered readers yang menjadi sasaran utama media. Prefered readers dalam kategori penonton sebenarnya kelompok penonton yang pasif dan media senantiasa menyesuaikan produknya dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki kelompok yang jumlahnya besar di hampir semua tempat. Keuntungan tidak langsung yang lain didapati oleh pemilik media yang terlibat langsung dalam politik praktis adalah media bisa dijadikan alat yang efektif dalam membentuk opini masyarakat (opinion builder). Pembentukkan opini oleh media memang sejatinya sudah menjadi sifat intrinsik dari media manapun. Sebagai opinion builder seperti ini lah seharusnya peran media sebagai institusi budaya idealnya bekerja dalam memberikan pemaknaan-pemaknaan baru yang mendukung tercapainya demokrasi yang sesungguhnya. Keuntungan tidak langsung dalam aspek ini sesuai dengan model filterisasi propaganda Herman dan Chomsky (1988). Bahkan dalam model filterisasi propagandanya, Herman dan Chomsky menempatkan proses opinion builder pada filter pertama sebelum filterfilter lain (Herman dan Chomsky, 1998, 314) Keuntungan terakhir menyangkut keuntungan yang tidak langsung yang bisa diperoleh oleh pemilik media yang berkiprah di ranah politik praktis adalah kemudahan dalam akses hukum, di mana

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

76


pemilik media mudah bertransaksi dengan hukum dengan kekuatan politik yang dimilikinya. Di sini pemilik media dengan infrastruktur budaya yang dimiliki bargain posisition yang kuat sebagai pialang hukum (legal broker). Keuntungan tidak langsung ketiga ini jelas bukan perkara sederhana mengingat kepentingan yang dipertaruhkan adalah kepentingan ekonomi demi keberlangsungan bisnis media dan kepentingan politik yang dijalankannya. Perlawanan terhadap media yang dihegemoni oleh kepentingan ekonomi dan politik hanya dapat dilakukan melalui penguatan yang terintegral antara institusiinstitusi budaya yang ada, baik agama, sekolah maupun media-media nonmainstream yang ada. Selain itu antisipasi ketahanan dalam bidang hukum sebagai urat nadi dalam mewujudkan kehidupan media yang sehat dan bertanggung jawab dapat dipekuat melalui revitalisasi Komisi Penyiaran Indonesia dan perumusan undang-undang siaran yang lebih kompatibel terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini tentu peran-peran institusi budaya lain, termasuk di dalamnya kekuatan civil society yang memiliki kepentingan terhadap kesehatan iklim media yang ada, agar dapat bersinergis untuk melakukan tekanan terhadap pentingnya perumusan undang-undang dalam penyiaran. Kekhawatiran terhadap struktur pasar media yang tidak sehat ini sangat beralasan mengingat tingginya tingkat kepemilikan media di tangan pengusaha yang terlibat langsung dalam politik praktis. Jika hal ini lambat diantisipasi jelas akan memberikan dampak domino di mana memiliki media massa menjadi

prioritas partai-partai politik yang ada. Kapitalisasi suara dalam proses politik tidak lagi terfokus pada kinerja dan integritas yang tinggi, namun pada penguasaan media massa. Gesekan antara kepentingan dengan tanggung jawab institusi inilah yang membuat institusi budaya seperti media mengalami bias bahkan cenderung menyalahgunakan infrastruktur yang sejatinya publik adalah sebagai salah satu pemangku kepentingannya. Ketika institusi budaya yang lain berusaha memenuhi kepentingan publik dengan cara memfokuskan kegiatan pada kegiatankegiatan yang bersifat penguatan dan pendidikan, maka televisi seharusnya memperkuat apa-apa yang telah dipenuhi oleh institusi-institusi budaya lainnya dalam penelitian ini adalah institusi agama. Pada pembahasan berikut ini akan ada beberapa penilaian secara horizontal dari institusi budaya lainnya menyangkut kerja dan peran televisi berita swasta nasional Metro TV dan TV One. Pandangan dan koreksi horizontal ini sebenarnya bukan untuk menjadikan institusi agama korektor sebagai institusi budaya yang lebih tinggi secara struktur dan kultur, namun lebih dari pada itu, koreksi ini sebagai upaya kritik yang terbangun secara eksternal dan institusi budaya korektor di sini diposisikan sebagai pemegang saham terbesar dari kelompok masyarakat yang ada dalam aspek keyakinan dan kebudayaan. Dalam konteks tipologi kekuasaan dalam karya John B. Thompson (1995, 47) kekuasaan simbolis secara level institusi keluarga berada pada level tertinggi yang diikuti oleh institusi agama, kemudian sekolah

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

77


dan terakhir adalah media massa. Rasionalisasi institusi agama sebagai korektor tanggung jawab media bagi masyarakat selain karena kedua institusi adalah pemilik ummat terbesar di Indonesia, keduanya juga dapat diasumsikan meliputi institusi pertama (keluarga) dan juga berperan di dalam dunia pendidikan (sekolah pada level ke tiga). TV One dan Metro TV dalam Memenuhi Kepentingan Publik Reformasi memberikan kebebasan bagi munculnya lembaga-lembaga media baru bersamaan dengan munculnya berbagai ormas. Sayangnya keberadaan lembaga-lembaga media baru ini, terutama televisi, memiliki prioritas programprogram hiburan ketimbang programprogram yang bersifat informatif dan mendidik. Di sini lah permasalahan utama dari peran sosial media sebagai institusi budaya yang terbentur dengan dualisme kepentingan. Di satu sisi media merupakan ruang publik yang berperan sebagai institusi budaya, di mana media memiliki ‘kuasa simbolis’ terhadap pembentukkan pengetahuan dan budaya masyarakat selain keluarga, agama, dan sekolah (Thompson, 1995, 47), di sisi lain media juga merupakan sebuah korporasi yang bekerja dengan logika kapitalisme murni. Di Indonesia masalah relasi media dengan masyarakat mudah untuk dijelaskan di mana media merepresentasikan sesuatu yang umumnya menjadi topik utama publik, dan topik utama ini umumnya tidak bersinggungan dengan kepentingan politik pemilik media,

untuk tidak mengatakan mendahulukan kepentingan politik pemilik media. Jadi dapat disimpulkan di sini agenda media berjalan dengan agenda publik yang agenda tersebut, paling tidak, tidak merugikan merepresentasikan kepentingan pemilik. Dari kesimpulan ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa televisi berita sebagai institusi budaya memiliki keuntungan ganda; pertama keuntungan finansial (financial benefit) dengan adanya iklan-iklan di televisi (direct revenue), dan yang lain adalah keuntungan budaya dan/atau keuntungan politik (indirect revenue). Representasi media dalam setiap melieu mencerminkan masyarakat yang ada, demikian sebaliknya inhabitan mencerminkan produk media yang ada. Representasi ini tentu tidak mencerminkan totalitas sosial secara umum. Media dalam setiap format dan genrenya memiliki prioritas audiens dalam spesifikasi kelas dan jenis demografi tertentu. Media jelas tidak hadir untuk memenuhi seluruh lapisan dan karakter masyarakat. Dengan kata lain spektrum representasi media hanya mencerminkan kelompok audiens yang menjadi pasar sasarannya. Asumsi ini sekaligus menjelaskan bahwa produk media secara logika memiliki rasionalisasi kerja yang serupa dengan produk-produk konsumsi, di mana setiap produk yang ada dibedakan dari pelanggannya. Pembagian kelas penonton seperti ini pada dasarnya mengikuti strata sosial yang ada, di mana kelas menengah ke bawah merupakan kelompok sosial tergemuk dari kedua kelompok lainnya menengah ke atas. Kelas pekerja dan perempuan merupakan mayoritas dari kelompok kelas

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

78


menengah ke bawah. Sementara kelas professional dan umumnya kaum pria berada pada level menengah ke atas. Itulah alasan mengapa televisi populer lebih banyak menawarkan tayangan-tayangan trivial dan umumnya program-program acara yang digandrungi kaum perempuan seperti gosip, sinetron, reality show dan talkshow-talkshow seputar figur-figur selebritas hiburan. Sementara televisi dengan genre informasi dan berita seperti Metro TV dan TV One lebih banyak dikonsumsi oleh kelompok professional yang umumnya kaum pria. Jika kita mengikuti alur relasi pengaruh media dan masyarakat di atas dari titik audiens sebagai pijakan awal, maka wacana akan berjalan dan berkembang menjadi wacana publik (popular common sense) setelah publik tahu, sadar dan mendiskusikan, kemudian wacana bergerak menjadi perbincangan para pekerja media (media produser), yang umumnya disebut sebagai agenda media, setelah menjadi perbincangan di tengah awak media wacana kemudian menjadi produk media dan tersebar ke ranah publik. Ketika wacana menjadi perbincangan publik, wacana kemudian berkembang menjadi sesuatu yang diterima, ditolak atau dinegosiasikan dan menjadi konsumsi media untuk diangkat kembali ke wilayah publik dan terus berputar seperti itu. Melihat realitas dari relasi pengaruh media dan masyarakat di atas, kekuatan media sebenarnya sangat signifikan dalam melihat dan menilai sebuah publik dan menjadikannya sebagai wacana publik. Publik seakan tidak memiliki pilihan selain mengikuti wacana media. Jika wacana

media di atas syarat akan kepentingan politik, dan kecenderungannya sangat besar jika media bersangkutan dimiliki oleh seseorang yang aktif dalam politik praktis, maka publik dengan mudah mengikuti agenda politik media meski dalam realitasnya terdapat kelompokkelompok yang mendukung, menolak dan masih mempertimbangkannya. Apalagi kepentingan ekonomi sudah benar-benar menjadi kepentingan utama media untuk bisa bertahan dan menghidupi dirinya. Dengan memiliki keuntungan ganda, seperti dijelaskan sebelumnya, sulit untuk mendefinisikan kedua televisi berita swasta nasional ini secara definitif bisa memenuhi idealitias perannya sebagai institusi budaya dalam memenuhi kepentingan publik. Mengingat permasalahan kepentingan publik versus kepentingan pasar dalam kasus relasi media dan masyarakat saja sudah menjadi permasalahan besar dan menjadi topik utama dalam kajian-kajian ekonomi media massa, apalagi jika kedua televisi berita swasta nasional tersebut dimiliki oleh pemimpin partai politik. Pemilik media yang aktif dalam politik praktis dengan sendirinya tergerak untuk memanfaatkan infrastruktur teknologinya dalam mengkapitalisasi opini publik. Jika kita lihat bagaimana logika berita bekerja, unsur-unsur konflik dan kontroversi menjadi latar belakangnya. Di sini dapat diasumsikan bahwa berita baik yang sebenar-benarnya baik menjadi berita ringan yang umumnya disisipkan di segmen-segmen akhir, sementara kabar buruk yang bersifat kontroversi yang syarat akan konflik dan intrik politik mengisi menit-menit pada berita utama.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

79


Jika berita-berita kontroversial yang syarat akan konflik dan intrik politik menyangkut partai atau pejabat negara yang tidak memilki afiliasi politik dengan pemilik media maka dapat dipastikan perhatian publik tertuju pada latar belakang afiliasi politik aktor politik yang terlibat. Ketika fokus berita tertuju pada masalah-masalah sosial yang melibatkan partai-partai lain selain partai atau afiliasi politik pemilik media, maka kepentingan politik pemilik media berada dalam posisi aman. Hal ini merujuk pada logika berita yang mengandaikan apa yang muncul di media dan menjadi agenda utama media adalah berita buruk dan masalah besar, dan apa pun yang menjadi rumor media adalah benar adanya. Dalam realitasnya media dalam memainkan perannya sebagai institusi budaya tidak lepas dari perhelatan antara kelompok-kelompok yang mendukung dengan kerja media dan kelompokkelompok yang menentang kenyataan dari peran dan fungsi media sesungguhnya. Mereka yang mendukung keberadaan media mengandaikan media yang berperan dan berfungsi sebagai mana idealitasnya, sementara mereka yang menolak lebih kepada kritik terhadap kerja media yang tidak memerhatikan kepentingan publik secara umum. Perhelatan ini tentu saja tidak berujung pada sebuah resolusi yang definitif apakah terjadi perubahan yang lebih baik atau tidak. Segala perubahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya kembali pada sistem dan undang-undang yang mengatur kerja media di sebuah negara.

Kritik Institusi Agama terhadap Metro TV dan TV One Sebagai institusi agama, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama memiliki peran penting dalam pembangunan dan penguatan ummat. Pemberdayaan ummat yang selama ini dilakukan oleh kedua lembaga di atas tentu memiliki tantangan besar ketika keterpaparan media ternyata memiliki agenda yang berbeda atau bahkan bertentangan. Harapan kedua organisasi berbasis massa agama itu memiliki harapan besar terhadap kiprah media dalam memperkuat nilai dan elan vital ummat Islam yang baik. Namun seiring dengan prinsip media yang secara intrinsik memiliki kepentingan ganda, maka pandangan kedua institusi agama tersebut perlu untuk dikemukakan untuk melihat gambaran umum dari kedua institusi tersebut sebagai kritik horizontal antarinstitusi budaya. Sejauh ini media menurut kedua institusi agama ini sudah lebih baik jika dibandingkan dengan era rezim Orde Baru, namun sebagaimana saya jelaskan di atas bahwa permasalahan masih terjadi di sana sini seperti masalah kemanfaatan dari sisi tayangan yang disiarkan. Kritik ini muncul ketika institusi agama ini melihat bahwa media bekerja di dua kepentingan, antara melayani publik dengan kualitas informasi yang sehat dengan memenuhi kebutuhan ekonomi lembaga media. Hal ini seperti dijelaskan oleh Abdul Abbas sebagai juru bicara Muhammadiyah dalam wawancara, “Menurut kami (Muhammadiyah) mereka (media) sudah berperan sebagaimana mestinya, memberikan informasi kepada masyarakat tentunya bagus, dan tentunya

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

80


juga sudah berperan sebagai pemberi informasi, tapi terlepas dari informasi tersebut bermanfaat atau tidak.� Permasalahan terbesar dari televisi swasta nasional yang ada, baik yang populer maupun televisi berita swasta, adalah menyangkut keseriusan dalam memberikan tayangan-tayangan yang bersifat informatif dan edukatif. Kualitas tayangan yang bersifat informatif dan edukatif menurut NU bisa membangun kekuatan civil society. Bagi NU masyarakat yang teredukasi adalah fondasi awal bagi terciptanya civil society. Hal ini jelas mengandaikan media sebagai institusi budaya berkewajiban memberikan tayangan yang bersifat iformatif dan edukatif untuk memperkokoh ketahanan demokrasi dengan terciptanya civil society. Kedua institusi juga menyoroti masalah independensi yang berkaitan dengan peran media sebagai situs demokrasi yang paling jelas di tengah masyarakat. Kedua lembaga melihat independensi dari kedua media, Metro TV dan TV One, masih sulit untuk dikatakan benar-benar independen. Sampai di sini saya melihat memang sulit bagi media untuk bersikap independen. Sebagaimana dijelaskan dalam logika siklus penyebaran teks dalam konteksnya. Di mana di dalam media merupakan sekumpulan orangorang yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam. Dalam logika siklus teks dalam konteksnya ini jelas bahwa selama produk budaya dikendalikan oleh proses berfikir, di mana nilai-nilai ideologi bersemayam, maka irisan ideologi setiap individu yang berada di dalamnyapun akan mempengaruhi produk media yang mereka buat dan sebarkan.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Muhammadiyah dalam melihat independensi media di tengah masyarakat. Menurut Muhammadiyah, garis antara independensi dan dependensi media itu sangat kabur. Sementara NU melihat keberpihakan media itu senantiasa diliputi oleh dua keberpihakan. Di mana keberpihakan pertama adalah keberpihakan kepada publik dan keberpihakan yang lain adalah keberpihakan pada kepentingan pemilik media. Jika kita lihat keberpihakan media selama ini tentu secara garis besar media masih berpihak kepada kepentingan mainstream, dalam hal ini publik secara umum. Namun sebagaimana dijelaskan sebeleumnya bahwa keberpihakan kepada maintsream tentu akan berakhir pada keuntungan tersendiri bagi kepentingan politik pemilik media. Di mana saat penelitian ini dilakukan kedua media berita swasta nasional dimiliki oleh dua tokoh politik nasional yang bernaung di dua partai politik besar yang berbeda. Kekhawatiran kedua institusi agama ini juga menyoroti kepemilikan media oleh pengusaha yang juga terlibat aktif bahkan sebagai ketua partai politik besar juga disampaikan, di mana kedua televisi berita swasta nasional ini bisa terjebak pada politisasi informasi dalam melihat satu masalah politik yang sedang berkembang. Apalagi ketika memasuki tahun-tahun politik seperti menjelang pemilu. Baik Muhammadiyah dan NU melihat kedua televisi berita swasta nasional tersebut akan sangat dipengarhi oleh political interests dari pemilik media. Menyangkut masalah kepentingan ekonomi, Muhammadiyah dan NU melihat

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

81


bahwa kepentingan ekonomi merupakan sebuah kewajaran bagi sebuah lembaga yang membutuhkan peningkatan manajemen, namun posisi media sebagai institusi budaya yang seharusnya menjalankan peran sosial dan budayanya harus juga dikedepankan. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan peran budaya yang dimiliki harus seimbang menjadi sorotan dari kedua institusi agama. Keadilan dalam merepresentasikan informasi juga menjadi perhatian dari kalangan NU, di mana NU melihat kepentingan daerah seharusnya juga diperhatikan oleh kedua televisi berita swasta nasional tersebut. Masalah ini diungkap mengingat selama ini kedua televisi berita sangat terfokus pada permasalahan-permasalahan di Jakarta dan sedikit sekali cakupan berita yang menyangkut perkembangan di daerahdaerah di seluruh tanah air. NU menganggap sebagai organisasi masyarakat Islam dengan ummat terbesar di Indonesia jelas memiliki kepentingan terhadap kemerataan produksi dan distribusi informasi. Dengan kondisi negara kepulauan media seharusnya bisa melakukan jaringan kontribusi yang merata, yang tidak bergantung pada satu wilayah produksi dan kotribusi saja. Masalah kemerataan arus informasi ini sebenarnya dapat dibantu oleh keberadaan televisi-televisi lokal, namun keberadaan televisi-televisi lokal memiliki permasalahan sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum memadai akhirnya masyarakat di daerah masih belum bisa mengalihkan pilihan konsumsi

medianya ke televisi-telsvisi lokal, di sini kualitas teks sangat berpengaruh. Selain itu kedua institusi agama terbesar di Indonesia ini juga melihat penting untuk memperbaiki peraturan tentang kepemilikan media oleh perorangan atau publik. Di mana baik Muhammadiyah maupun NU melihat kepemilikan media di tangan tokoh politik adalah sebuah permasalahan besar. Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa permasalahan ini jika tidak diatur dalam produk undang-undang maka akan menjadi permasalahan besar di kemudian hari di mana setiap orang yang terlibat dalam partai politik yang memeiliki kekuatan dan kemampuan finansial yang kuat akan berlomba-lomba untuk memiliki media massa dengan berbagai kepentingannya. Di sini kita tahu bahwa media memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk membentuk opini masyarakat dan menggiring agenda publik terhadap isu-isu tertentu. Dengan kata lain, permasalahan dualisme kerja media saja sudah menjadi kritik bagi media untuk bisa bekerja secara proporsional dalam memenuhi kepentingan publik dan memenuhi kebutuhan ekonominya. Jika media dimiliki oleh pengurus partai politik maka hal ini menambah permasalahan yang ada, antara memenuhi kepentingan publik, menjaga kepentingan ekonomi, dan bias kepentingan politik pemilik media. Kegamangan Publik terhadap Metro TV dan TV One sebagai Institusi Budaya Peran dan fungsi peran institusi budaya di tengah masyarakat sebenarnya berhubungan langsung dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan masyarakat

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

82


terhadap institusi-institusi budaya yang ada. Untuk mengukur secara sederhana untuk tipologi masyarakat dengan konteks budaya tinggi (high context culture) seperti di Indonesia, tingkat kepercayaan dan acceptability institusi budaya di tengah masyarakat adalah keluarga, pendidikan dan agama secara berurutan menempati posisi pertama yang kemudian diikuti oleh media massa (Thompson, 1995, 47). Kedua institusi budaya terakhir menduduki dua lembaga yang kurang mendapatkan kepercayaan ketimbang kedua sebelumnya, ini disebabkan oleh pengaruh world view individu yang dibangun oleh dunia pendidikan dan nilai keluarga. Sementara relasi pengaruh institusi agama dan media tidak berjalan ajeg dan berkesinambungan. Pengaruh agama dan media berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kedua institusi tersebut. Sebagai contoh media bisa berperan sebagai institusi agama ketika, mengikuti logika kapitalisme, pesan-pesan agama dianggap mendatangkan keuntungan atau ketika media membutuhkan legitimasi syar’i tentang suatu perkara atau permasalahan sosial. Sebaliknya agama membutuhkan media ketika peran agama dalam menjangkau masyarakat luas sangat terbatas. Di sini institusi agama menjadi faktor terendah, terutama dalam masyarakat modern dan perkotaan, dalam memenuhi kepentingan publik sehari-hari, di samping ranah kerjanya yang sanagat terbatas. Mengikisnya tingkat kepercayaan terhadap institusi budaya di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor penting, antara lain adalah adanya perkembangan teknologi komunikasi,

sistem politik, dan tingkat pendidikan masyarakat. Erik P. Bucy dalam Living in the Information Age (2005) menjabarkan bahwa paling tidak terdapat dua akses masyarakat dalam menunjang perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi (Bucy, 2005. 221-230). Kedua akses menuju perubahan sosial itu adalah physical access dan social access. Akses fisik di sini merujuk pada adanya akses terhadap keberadaan perangkat keras (hardware) seperti objek fisik medium dan peralatan yang dibutuhkannya dan akses terhadap sistem yang dibutuhkan. Termasuk dalam akses ini adalah jaringan dan pemancar yang memadai untuk diakses oleh masyarakat (receiver). Akses sistem juga menengarai adanya pengaruh dari sistem politik yang menyertainya. Sementara akses sosial meliputi akses pendidikan yang memadai dalam pemanfaatan teknologi baru dan untuk kepemilikan dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam membeli perangkatperangkat media yang ada. Kegamangan masyarakat terhadap TV One dan Metro TV ini jelas pada akhirnya akan semakin memperkuat kegamangan tersebut di mana kedua media saat ini masih berada di tangan elit partai politik. Peran dan fungsi media bisa mengalami conflict of interest jika dalam kerjanya dikelola oleh politisi dengan jelas-jelas memiliki kepentingan politik tertentu. Apalagi kedua televisi berita swasta nasional ini dimiliki oleh politisi yang sekaligus memiliki usaha media. Adalah sebuah gabungan yang sempurna untuk kemudian membanalkan produk media yang sejatinya menjadi sumber

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

83


kehidupan bagi iklim demokrasi yang sehat. Noam Chomsky bahkan dengan tegas menempatkan duo status memilik media seperti ini di mana mereka menempatkan level pertama dalam filterisasi produk media yang kental akan muatan ideologis (Herman and Chomsky, 1998, 3-14). Seperti sudah disebutkan di atas bahwa TV One dan Metro TV jika masih dibawah kendali politisi dengan latar belakang pengusaha pada gilirannya akan mendulang keuntungan ganda, dari segi ekonomi dan politik. Dan praktik kepemilikan media seperti ini yang kemudian menjadikan media sebagai institusi budaya mengalami semu demokrasi dan membuat masyarakat gamang dalam menjadikannya sebagai diskusi kedai kopi yang steril dari kepentingan. Kegamangan lain yang terjadi di tengah masyarakat untuk menerima media sebagai institusi budaya yang ideal disebabkan oleh perkembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi. Perkembangan teknologi pada akhirnya juga memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mencari informasi alternatif bahkan pembanding dari informasi yang mereka terima dari mediamedia streaming. Di negara-negara demokrasi seperti Indonesia misalkan, peran media sosial telah menjadi kedai kopi modern bagi masyarakat informasi saat ini. Bahkan tidak sedikit agenda media dipengaruhi dengan agenda publik yang berkembang dan terbangun dari media sosial. Peristiwa Arab Spring di negara-negara Arab atau Smart Mob di Philipina misalnya menjadi pengalaman berharga di mana media mainstream tidak

menjadi kedai kopi satu-satunya bagi masyarakat dalam berdiskusi, berdialog, debat bahkan menggalang kekuatan. Kegamangan masyarakat terhadap media juga diantaranya disebabkan oleh sistem politik yang ada. Di mana dalam sistem politik memiliki kekuatan secara legal formal untuk mengontrol media. Kasus seperti ini bisa ditemui di negaranegara otoritarian dan di beberapa negara sosialis. Grant dan Meadows dalam Communication Technology Updates and Fundamentals menjelaskan sebuah perspektif yang dikenal sebagai umbrella perspective, di mana dalam perspektif ini mereka menempatkan sistem politik berada di ujung payung yang diikuti oleh infrastruktur organisasi penyedia sistem jaringan, dan selanjutnya diikuti oleh penyedia barang-barang baik perangkat keras maupun lunak dan sampai pada ujung gagang payung di mana individu sebagai pengguna teknologi itu berada (Grant dan Meadows, 2008, 5). Di sini jelas bahwa peran politik dengan sendirinya bisa memberikan pengaruh terhadap kepercayaan media sebagai institusi budaya terutama jika peran negara terlalu kuat dalam mengarahkan kerja media. Kegamangan terhadap media massa juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat. Tingkat pendidikan seseorang pada akhirnya bisa membentuk individu menjadi audiens yang arief dan kritis. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan bernegosiasi dengan informasi yang disampaikan media, mencari sumber lain sebagai informasi alternatif di luar mainstream media adalah bentuk negosiasi yang mereka lakukan. Faktor lain yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

84


kemudian menjadikan masyarakat mampu bernegosiasi dengan informasi dan pengetahuan yang disampaikan oleh media adalah adanya pemuka pendapat di tengah masyarakat (opinion leader). Pemuka pendapat di sini meliputi para komentator dan akademisi yang juga muncul di televisi dan media sosial yang memberikan pandangan alternatif. Mereka juga termasuk para aktivis dan tokoh-tokoh agama bersamaan juga dengan kehadiran institusi agama untuk masalah-masalah tertentu. Kelompok civil society inilah yang memberikan pengetahuan dan informasi alternatif bagi masyarakat, terutama mereka memiliki tingkat proaktif dan partisipatif yang tinggi. Di sini tingkat pendidikan dan pengetahuan individu juga sangat berperan penting dalam menimbang informasi yang disampaikan oleh media. Permasalahannya adalah ketika media memanfaatkan akses yang mereka miliki dalam menemukan atau menghindari pemuka pendapat tertentu yang belum tentu mewakili pandangan yang berbeda. Di sinilah penyebab terjadinya kegamangan masyarakat terhadap media sebagai sebuah institusi budaya. Kegamangan masyarakat dalam menerima media sebagai lokus demokrasi dengan sendirinya akan memberikan stimulasi masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif sebagai pembanding. Jika kondisi seperti ini stabil dan bertahan secara terus menerus pada akhirnya akan tecipta kondisi liberalisasi informasi dan kelompok masyarakat yang pada akhirnya mengambil peran institusi budaya melalui jejaring sosial dan individu (institutionalized individual). Sebuah

fenomena yang sudah muncul sejak hadirnya teknologi baru. Dalam proses pengambilalihan institusi budaya dari institusi makro kepada institusi mikro (institutionalized individual) kendali penguatan berada pada kekuatan institusi budaya lain, keluarga, agama dan pendidikan. Dalam kendali penguatan ini tentu saja dilakukan dalam sebuah proses yang panjang dan berkesinambungan. Permasalahannya adalah kendali penguatan ini tidak mampu mengendalikan pandangan dan pengetahuan yang disebarkan oleh setiap individu. Informasi akan tersebar secara liar dan tidak tervalidasi kebenaran dan keakuratannya. Institusionalized individual pada akhirnya menjadi sebuah counterhegemony yang bersifat chaotic, sebagaimana diprediksi oleh Jean Baudrillard bahwa dalam situasi ini kita tengah memasuki satu episode baru dalam sejarah manusia di bidang informasi dan komunikasi, yang disebut sebagai “extacy of communication” (Murphy dan Potts, 2003, 25). Sejarah baru dalam bidang informasi dan komunikasi yang bersifat chaotic mengandaikan kekuatan dan kemudahan fasilitas komunikasi yang menggeser peran dan fungsi media dari logika kerjanya yang bersifat “from the few to the many” menjadi “from the many to the many”. Pemahaman pergeseran logika kerja media dari “from the few to the many” menjadi “from the many to the many” dapat disederhanakan pemahamannya: dari kelompok elit yang kecil, dalam hal ini institusi media, ke pada publik yang beragam berubah menjadi dari kelompok

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

85


besar, dalam hal ini publik yang beragam, ke kelompok besar, publik yang beragam. Proses pergeseran institusi budaya ke institusi individu (institutionalized individual), terlepas dari permasalahan validitas pandangan dan pengetahuannya, berjalan seiring perkembangan sistem dan akses teknologi (technological access). Jika dalam perkembangannya sistem yang ada mendukung perkembangan teknologi yang merata maka counter culture akan lebih mudah terjadi. Namun untuk menghasilkan kondisi kebebasan informasi dan komunikasi yang sehat dan produktif maka akses sosial (social access) menjadi syarat utama akan terciptanya kondisi tersebut. Akses sosial di sini jelas seperti yang dipaparkan oleh Bucy dalam catatannya menyangkut akses teknologi dan akses pendidikan, bahwa akses sosial merupakan syarat utama untuk mengurangi technological gap antara si miskin dan si kaya. Dalam perkembangannya akses sosial merujuk pada pemerataan penguatan pengetahuan dan skil dalam penggunaan teknologi komunikasi di tengah masyarakat dalam hal ini melalui akses pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian maka institusiinstitusi budaya seperti agama, sekolah dan keluarga, memiliki peran sentral dalam meningkatkan penguatan dan pembangunan ketahanan sosial (social empowerment). Penguatan individu yang diharapkan terjadi scara masif, merata dan terkendali ini tentu sebuah proses yang berkesinambungan yang hanya dapat dilakukan dengan terintegrasinya institusiinstitusi budaya dalam proses pengembangannya. Jika proses

pengembangan individu berjalan dengan baik dan berkesinambungan kondisi chaotic informasi dan komunikasi justru dapat diarahkan menjadi healthy and dynamic sphere of information and communication. Counter culture dalam tradisi Brimmingham School mengandaikan sebuah kekuatan individu yang kritis, produktif dan progresif dalam menghalau kekuatan media-media mainstream yang kuat pada aspek sumber daya manusia dan infrastrukturnya. Counter culture sendiri pada dasarnya bukan ingin meredam peran dan fungsi media yang sejatinya memiliki cita-cita ideal. Di sini upaya penghalauan (counter) yang diinginkan adalah sebuah upaya penyeimbangan institusi budaya yang dalam praktiknya sudah jauh menyimpang dari cita-cita sosial dan budayanya. Sebagaimana strategi kritis Brimmingham School bahwa penguatan masyarakat dalam menghalau kekuatan rezim kapitalistik, aktif dalam menyikapi kekuatan mainstream institusi budaya tidak hanya sebatas aktif dalam menimbang dan menerima produk budaya, akan tetapi mampu dan progresif dalam memberikan produk budaya tandingan sebagai pandangan dan pengetahuan alternatif. Dengan kata lain sikap kritis tidak berhenti pada proses resepsi, namun membutuhkan tindak lanjut dengan memberikan wacana tandingan. Sebuah proses panjang yang membutuhkan perjuangan sistematis dan terintegrasi demi menuju cita-cita demokrasi yang hakiki.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

86


Kesimpulan Media selaku institusi budaya memiliki peran budaya yang sama kuat seperti peran budaya dari institusi budaya lainnya. Ketahanan masyarakat sipil sepenuhnya bergantung pada peran institusi budaya, dan ketahanan masyarakat sipil secara garis lurus memberikan pengaruh yang kuat bagi ketahanan demokrasi di sebuah negara. Adalah hal yang ideal jika setiap institusi budaya bisa saling menguatkan dan memiliki kendali pengawasan. Sebagaimana kita tahu bahwa media bukanlah satu-satunya institusi budaya yang memiliki permasalahan, namun media dengan melihat daya rubah yang kuat dan jangkauan yang luas, media memiliki peluang dan kesempatan lebih besar untuk membangun tatanan demokrasi yang ada. Perubahan sosial yang lebih baik juga seharusnya terjadi secara merata di seluruh pelosok tanah air. Sentralisasi informasi pada akhirnya memberikan pembangunan sosial yang tidak merata. Fokus wacana pusat, meski memiliki pengaruh yang signifikan di daerah-daerah lain, seharusnya tidak mengurangi wacana kedaerahan dengan berbagai permasalahannya. Ketimpangan informasi seperti ini pada akhirnya bisa mengarah pada diskriminasi informasi dan komunikasi pusat-daerah. Ketahan institusi budaya selain membutuhkan penguatan antara satu institusi dengan institusi budaya lainnya, untuk media ketahan institusi ini membutuhkan perhatian dan pengawasan terutama dalam aspek sistemnya. Dibutuhkan undang-undang yang lebih

matang dan menyeluruh untuk pengawasan peran sosial dan budaya media. Aspek yang paling utama adalah emnyangkut kepemilikan media. Katika kegamangan masyarakat muncul terhadap peran dan fungsi media sebagai institusi budaya, maka institusi budaya lain idealnya memenuhi pengetahuan dan penguatan bagi masyarakat. Pemenuhan dan penguatan seperti ini dibutuhkan justru bukan untuk meninggalkan peran dan fungsi media yang melemah, sebaliknya pemenuhan dan penguatan publik dibutuhkan untuk bisa mengimbangi kekuatan media yang politis dan profit-oriented.

Daftar Pustaka Alan Albarran, Media Economics, Ames, Iowa University Press, 1996, hal., 27 Baxter, A. L. and Babbie, E. (2004). The Basic of Communication Research Thomson Wadsworth, hal. 366-370 Bennet, P., et al. (2011). After the Media; Culture and Identity in the 21st Century, Routledge, hal.16-37 Berg, L. B. (2009), Qualitative Research Methods; For The Social Sciences, 7th ed. Pearson, hal. 104-107. Croteau, D., dan Hoynes, W. (2006). The Business of Media; Corporate Media and the Public Interest, 2006 2nd ed., hal. 19-27.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

87


Edward S Herman and Noam Chomsky. Manufacturing Consent; the Political Economy of the Mass Media, 1988, Panthon Books New York, hal. 3-14 Erik

P.

Bucy, ed., Living in the Information Age; a New Media Reader, 2nd ed., 2005, Wadsworth , hal. 221-230

Foucault, M. (1998). Power/Knowledge; Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, Colin Gordon (ed.), Pantheon Books, New York, hal. 119 Garnham, N. (1992). The Media and The Public Sphere, in Habermas and The Public Sphere, Craig Calhoun, ed. MIT Cambridge, hal. 359-376 Grant, E., A. and Meadows, H. J., (2008). Communication Technology Updates and Fundamentals, 11th ed. 2008, Elseiver, hal. 5 Habermas, J (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere (Cambridge: MIT Press, 1989). Thomas Burger and Frederick Lawrence, Trans. Original work published 1962.

Herman, S. H. dan Chomsky, N. (1998). Manufacturing Consent; the Political Economy of the Mass Media. Panthon Books New York, hal. 3-14 Marshall, C., and Rossman, G. (2006). Designing Qualitative Research. Sage. McKee, A. (2005). The Public Sphere: An Introduction. Cambridge University Press, hal.105-114 Murphy,

A. and Potts, A. (2003), Technology and Culture. Palgrave McMillan, hal. 25

Sen, K. dan Hill, D. (2007). Media Culture and Critics in Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta, hal. 108-136 Sieber, S. F., et al. (1986). Empat Teori Pers, Intermasa, hal. 83 Thompson, B. J. (1995). The Media and Modernity: A Social Theory of The Media. Standford University Press, California, hal. 47.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

88


TRANSFORMASI BUDAYA DALAM DOLANAN ANAK TAMAN SISWA YOGYAKARTA

Bintarto Wicaksono Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Email: bhewicaksono@yahoo.com ABSTRACT Dolanan Anak it’s one of the Javanese folk art which using language and symbol as medium of piwulang (learning) and piweling (advise). Dolanan anak is one of folklore, because it was created by the verbal tradition and anonymous. Mostly it has spread in Java specifically in Yogyakarta at level of drop and international. The progress of dolanan anak in Yogyakarta, happen in Perguruan Nasional Taman Siswa Yogyakarta by develop the folk art of dolanan anak to become the media for education and become well-known by the society of Yogyakarta. Changes keep happen in many ways such as the idea of making, form, function even the media. The changes of dolanan anak in Taman Siswa can’t be separated by the time changing both technology development and the patterns of consumption by the society nowdays. Taman Siswa through the tutors has changed the dolanan anak from folklore to pop culture either realize it or not and either structural or not and event in long time framing. Keyword : Dolanan Anak, Transformation, And Popular Culture ABSTRAK Dolanan Anak itu adalah salah satu kesenian rakyat Jawa yang menggunakan bahasa dan simbol sebagai media piwulang (learning) dan piweling (saran). Anak Dolanan adalah salah satu cerita rakyat, karena diciptakan oleh tradisi lisan dan anonim. Sebagian besar itu telah menyebar di Jawa khususnya di Yogyakarta pada tingkat drop dan internasional. Kemajuan dolanan Anak di Yogyakarta, terjadi di Perguruan Nasional Taman Siswa Yogyakarta dengan mengembangkan kesenian rakyat dari dolanan Anak menjadi media untuk pendidikan dan menjadi terkenal oleh masyarakat Yogyakarta. Perubahan terus terjadi dalam banyak hal seperti ide pembuatan, bentuk, fungsi bahkan media. Perubahan dolanan Anak di Taman Siswa tidak dapat dipisahkan oleh waktu mengubah baik pengembangan teknologi dan pola konsumsi oleh masyarakat dewasa ini. Taman Siswa melalui tutor telah mengubah Anak dolanan dari cerita rakyat untuk pop budaya baik disadari atau tidak dan baik struktural maupun tidak dan peristiwa dalam waktu yang lama framing. Kata Kunci: Dolanan Anak, Transformasi, dan Budaya Populer

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

89


Pendahuluan Dolanan Anak merupakan satu bentuk kesenian yang berkembang di Indonesia khusunya di masyarakat Jawa. Sebagai contoh, di daerah Yogyakarta mempunyai aneka dolanan anak tradisional yang cukup banyak seperti: Dakon, Sluku-sluku Bathok, Be’kel, Sumbar Suru, Nini Thowok, Engklek, Gobag Sodor dan lain sebagainya. Pada zaman dahulu dolanan anak merupakan suatu yang khas dari anak-anak, mereka bermain berbagai macam dolanan anak untuk mengisi waktu di sore hari dan terlebih pada saat terang bulan. Hal ini disebabkan karena memang belum adanya hiburan lain atau bentuk lain untuk anak-anak selain bermain atau dolanan. Sebagai ilustrasi; ‘ketika senja tiba, anak-anak menyapa lintang panjer sore`. Selagi hari masih sore, keluarlah, dan terangilah tempat bermain ini. Jika kau mau keluar, akan kami beri kamu air tape. Kalau masih kurang, ambilah sendiri lagi’. Itulah yang dinyayikan anak-anak desa dulu. Sambil menyanyi mereka melingkar. Bagi anak-anak itu, tak ada hal yang demikian menyenangkan, kecuali bersenang-senang dengan bintang. Maka setiap kali mereka tiba di akhir bait nyanyian, bersama-sama mereka teriak lantang: sorak hore!. Ilustrasi oleh Sindhunata. (Hermanu, 2012:11). Dari ilustrasi di atas tergambar suasana tenang, damai, senang dan seolaholah ada komando, untuk mereka berdatangan di suatu halaman rumah yang cukup luas untuk dijadikan arena bermain. Memperlihatkan anak-anak yang masih

polos, lugu dan begitu akrab dalam berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Ilustrasi di atas merupakan salah satu ilustrasi dari sekian banyak dolanan anak Jawa. Dari data yang diperoleh berdasarkan sebuah buku terbitan tahun 1938 yang berjudul Javaansche Meisjesspelen en Kinderliesdjes karangan H. Overbeck dan diterbitkan oleh Instituut Jogjakarta, ada dua jenis permainan tradisional atau dolanan anak, yaitu dolanan anak yang tidak memakai alat seperti Sluku-sluku Bathok, Gobak Sodor, Ancak-ancak Alis dan Jamuran, kemudian yang ke dua adalah dolanan yang memakai alat seperti Sintren, Nini Thowok, Lahis dan lain sebagainya. Selanjutnya dalam memainkan dolanan, anak-anak sambil bernyanyi untuk mengiringi permainan sehingga lebih terlihat menarik dan gembira. Selain sebagai pengiring, lagu atau tembang yang dinyanyikan juga sebagai alur dalam permainan. Dolanan anak adalah bentuk kesenian yang terdiri dari lagu, gerak, dan cerita merupakan satu bentuk karya artistik dengan penuh ideologi dan makna. Selain ideologi dan makna yang digiring secara halus ke dalam dolanan dan tembang, pada masa itu juga merupakan suatu bentuk kesenian folklor yang berkembang dimasyarakat. Kesenian dolanan anak berkembang melalui tradisi lisan dan anonym. Menurut buku himpunan H. Overbeck: Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes, ada sekitar 1500 sampai 2000 lagu dolanan yang tersebar dipelbagai tempat di Jawa pada masa itu.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

90


Overbeck sendiri berhasil menghimpun sekitar 690 lagu untuk diterbitkan dalam bukunya. (Hermanu, 2012: 14). Hal tersebut juga tidak lepas dari peran Keraton dan masyarakatnya yang memiliki ciri kebudayaan yang khas, dimana sistem atau metode budayanya digunakan simbolsimbol atau lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan dan nasihat (piwulang dan piweling). Kerangka Pemikiran Berdasarkan pemikiran tersebut, maka permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah seperti apa dan bagaimana konsep budaya yang terjadi di Taman Siswa Yogyakarta?. Kemudian transformasi budaya apa saja yang mendukung perubahan dolanan anak versi Taman Siswa?. Untuk membahas hal tersebut di atas dilakukan penulusuran konsep, ide, pengaruh yang melatarbelakangi penciptaan. Dalam buku Budaya Visual Indonesia disebutkan bahwa; proses transformasi budaya memiliki pula keterangaan visual yang berisi kehadiran fragmen-fragmen nilai yang mempengaruhi karya itu dalam wujud sebuah sosok budaya. Secara keseluruhan pandangan ini mencakup terjadinya proses pergeseran sistem nilai, yang dipicu oleh keterpurukan budaya dalam masyarakat. Dalam proses beradaptasi ataupun menilai kebudayaan yang datang tersebut, masingmasing unsur kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya selalu mengambil sikap untuk memberdayakan diri melalui pergeseran-pergeseran nilai, ataupun

mengadakan perlawanan untuk menolaknya. (Sachari, 2007) Jika Kebudayaan dikorelasikan dengan pendidikan, maka pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Pendidikan merupakan pewaris budaya, dan sekaligus pengembangan budaya. Education enables people and societies to be what they can be. Pendidikan membuat manusia dan masyarakat menjadi apa yang mereka inginkan. Demikian Bill Richardson berpesan kepada kita. Untuk mewariskan budaya tersebut, proses pendidikan dilakukan melalui tiga upaya yang saling kait mengait, yaitu: (1) pembiasaan (habit formation), (2) proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan (3) keteladanan (role model). (Widiastono, 2004:52). Immnuel Kant menyebutkan bahwa manusia merupakan animal educancum dan animal educandus, makhluk yang dapat dididik dan dapat mendidik. Proses transformasi budaya adalah waktu panjang yang menggiring terbentuknya wujud budaya sebuah bangsa. Dalam kondisi tersebut budaya visual merupakan bagian penting dalam proses pembentukan itu. Proses tersebut didahului oleh ‘dialog budaya’ dalam situasi inkorherensi dan inkonsistensi kebudayaan yang ada kemudian dilanjutkan proses sintesa yang diikuti proses akulturasi dan inkulturasi. Dalam kondisi demikian, proses itu diikuti oleh terjadinya inkoherensi, homogenitas, dan proses seleksi untuk kemudian secara bertahap mematangkan dan memantapkan diri menjadi bentuk kebudayaan baru yang diikuti oleh proses integrasi, pemberdayaan budaya dan reorientasi

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

91


kepada sistem nilai baru. Dinamika peradaban di atas dapat dibaca sebagai ‘makna’ yang memperkaya sejarah bangsa Indonesia. (Sachari, 2007). Umar Kayam menempatkan proses transformasi budaya sebagai suatu perintah historis yaitu usaha untuk mencari format dan sosok yang lebih mampu dan efektif dalam menjawab tantangan zaman dan kebudayaan yang dihadapkan padanya. Perintah historis adalah sebuah strategi dari nenek moyang bangsa Indonesia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari berbagai pengaruh serta kekuatan dari luar. ‘Perintah historis’ mengisyaratkan adanya ideom keluwesan, lentur, dan kreatif dalam menghadapi pengaruh peradaban lain yang lebih kuat. (Sachari, 2007). Ignas Kleden (1988) menjelaskan bahwa pola modernitas di Negara-negara berkembang mengandung ciri urbanisasi sebagai mobilitas fisik dan sosial-kultural dari desa ke kota. Fakta keras dari urbanisasi : ketimpangan pekerja dan kerja. Urbanisasi pun menjadi pilihan untuk perubahan nasib dari desa ke kota, dari tradisional ke modern, dari gelap ke terang, dari pesimisme ke optimisme. (Mawardi, 2013). Identifikasi budaya populer juga diungkapkan oleh Dominic Strinati dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Theories of Popular Culture : "...Pop culture and the mass media are subject to the production, reproduction and transformation of hegemony through the institution of civil society which cover the areas of cultural production and consumption. Hegemony

operates culturally and ideologically through the institutions of civil society which characterises mature liberaldemocratic, capitalist societies. These institutions include education, the family, the church, the mass media, popular culture, etc." (Strinati, 1995: 168-169). Secara detail dapat diidentifikasi karakter dan bentuknya: a. Budaya yang dihasilkan secara massal dengan teknologi oleh dunia industri, dipasarkan secara profesional, untuk mendatangkan profit, ditujukan bagi massa publik konsumen. b. Budaya yang tersebar secara global, menembus batas-batas geografis, bahasa dan perbedaanperbedaan primordial maupun sosial. c. Budaya yang penyebarannya terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya media massa elektronik dan internet. d. Budaya generasi muda masa kini yang ciri-cirinya dapat dibedakan dengan budaya tradisional (Klasik) maupun budaya rakyat (folk art). e. Mempengaruhi hampir semua orang, dan hampir segala aspek kehidupan (seperti lubang hitam: Hikmat Budiman). f. Budaya yang tercermin dalam MTV, Madona, Cafe, fast food, pakaian kasual (jean dan T-shirt) shopping mall. g. Dalam Budaya Pop, komitmen terhadap nilai-nilai etika sosial tercampur dengan ekspresi

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

92


kebebasan dalam kehidupan sosial dan seksual (‘Multitasking’, mis: fenomen selebriti sebagai duta kemanusiaan�.(http://www.scribd.c om/doc/4069285/PerdebatanAkademis-Tentang BudayaPopuler diakses 20 Juni 2010).

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang menfokuskan pada penelitian studi kasus. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang menfokuskan pada penelitian studi kasus (case study). Studi kasus adalah sebuah strategi penelitian yang mengacu pada bentuk-bentuk pertanyaan mengapa dan bagaimana. Peneliti tidak terlalu mengontrol peristiwa yang diteliti, namun menfokuskan atas fenomena kontemporer dalam beberapa konteks kehidupan. Menurut Yin dalam bukunya Case Study Desing and Methode, 1989:13 menyatakan bahwa strategi penelitian studi kasus dipakai untuk menguji peristiwa kontemporer yang berkaitan dengan prilaku dan hampir tidak dapat dimanipulasi fakta yang ada.

Hasil Penelitian Dolanan Anak Folklor di Yogyakarta Dolanan anak folklor adalah kesenian rakyat untuk anak-anak yang murni diperoleh dari tradisi lisan dengan tular-menular dan tidak ada aturan sebelumnya, tidak ada pengarahan, tidak ada konsep peran, tidak ada titilaras atau tangga nada dan secara keseluruhan adalah anonym atau tanpa pengarang. Dolanan anak folklor berkembang tular menular

dari kampung ke kampung lain, daerah satu ke daerah yang lainnya dan ada hingga sekarang. Sehingga setiap kelompok anak pada suatu daerah menginterprestasikan dengan berbagai varian tersendiri. Dolanan anak banyak dilakukan dengan gerak tubuh seperti berlari, melompat, berkejar-kejaran, bersembunyi, atau berdasarkan hitunghitungan, kecepatan tangan bahkan berdasarkan untung-untungan. Dolanan anak sangat variatif baik dalam cara memainkannya maupun pemainnya, bisa laki-laki saja, sekelompok perempuan atau campuran keduanya, baik berkelompok maupun individu. Pada akhirnya dalam dolanan ada yang kalah dan menang, ada yang menghukum dan dihukum (dalam istilah Jawa: ‘dadi’), ada yang untung dan rugi. Sifat dari dolanan tersebut sangat rekreatif, atraktif, bahkan kompetitif yang secara keseluruhan diekspresikan melalui gerakan fisik, nyanyian atau tembang, dialog atau tebaktebakan, dan lain sebagainya. Gerak dalam dolanan murni merupakan ekspresi gerak dari kesenian yang banyak berupa tembang. Dalam tembang atau dialog tersebut banyak berisi piwulang dan piweling. Secara tidak langsung yang menjadi kesepakatan dan tidak berubah adalah nyayian atau tembang dolanan anak. Dolanan anak pada dasarnya merupakan pengisi waktu senggang sebagai sarana bermain dan bersenang-senang dan berada serat berkembang pada masa belum banyak teknologi yang masuk dalam masyarakat. Dolanan anak folklor yang banyak berkembang di Yogyakarta dan cakupan wilayah budayanya antara lain; dolanan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

93


anak Jamuran, Gundul-gundul Pacul, Ilirilir, Padhang Mbulan, Sluku-sluku Bathok, Lepetan, Ancak-ancak Alis, Gobak Sodor, Delikan, Benthik, Ingkling (sudhah mandhah), Nini Thowok, Engrang Bathok, Dakon, Gatheng, Jethungan, Sobyung, Gamparan, Gajah Talena dan lain sebagainya. Arti folklor secara keseluruhan menurut pendapat Danandjaya (1997) sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sedangkan menurut pendapat Iskar dalam H.U. Pikiran Rakyat (22 Januari 1996) folklor adalah kajian kebudayaan rakyat jelata baik unsur materi maupun unsur nonmaterinya. Kajian tersebut kepada masalah kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakyat, nyanyian dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat, serta pakaian rakyat. Dari pengertian di atas, dolanan anak merupakan folklor yang berada dan berkembang serta tersebar hampir di seluruh wilayah Jawa khususnya Yogyakarta. Jumlah dan variannya sangat banyak sekali dan mempunyai ciri khas masing-masing di setiap daerah, walaupun secara keseluruhan hampir mirip bahkan sama. Selanjutnya seiring perkembangan zaman, beberapa budayawan dan tokohtokoh Yogyakarta mulai menghimpun, mendokumentasikan dalam tulisan atau serat bahkan dalam foto. Menurut Ki Hadisukatno dalam buku 30 Tahun Taman

Siswa tahun 1952, diungkapkan bahwa dolanan anak yang sebelumnya merupakan budaya tular-menular melalui lisan kemudian mulai ditulis atau dihimpun dalam sebuah catatan mulai dari: (1) K.P.A Kusumodiningrat, dengan himpunannya ‘Serat Rarjasaraja’ diterbitkan oleh Widyopustoko tahun 1913, memuat 60 buah lagu kanakkanak, sebagian diberi titi larasnya oleh D. Van Hinloopen Laberton. (2) Raden Sukardi, alias Prawirowinarso, Mantri Guru Imogiri, dengan memuat 223 buah lagu dan permainan, hanya saying lagu-lagu itu tidak disertai titilaras, hingga banyak di antaranya yang tidak dapat diketemukan lagi lagunya. (3) H. Overbeck ada sekitar 1500 sampai 2000 lagu atau tembang dolanan yang tersebar di pelbagai tempat di Jawa pada waktu itu, Overbeck sendiri berhasil menghimpun sekitar 690 lagu untuk diterbitkan dalam bukunya. Sebagai contoh adalah dolanan anak Jamuran dalam buku H. Overbeck, yang dihimpun dan diberikan ilustrasi menggunakan foto yang sebelumnya terlihat diarahkan untuk melakukan gerakan yang seperti pada permainan aslinya. Dolanan anak Jamuran menyebarkan nilai-nilai kebersamaan, menghargai orang lain, ketangkasan dan perbendaharaan kata. Seperti yang tertera pada lirik tembang Jamuran berikut ini; “Jamuran yo ge – ge thok” Jamuran ya dibuat pura-pura “Jamur apa yo ge – ge thok” Jamur apa ya dibuat pura-pura

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

94


“Jamur gajih mbejijih sekara-kara” Jamur gajih mengotori seluruh lapangan “Semprat-semprit

jamur

apa?”

Melesat cepat jamur apa? Dolanan Jamuran dimainkan oleh beberapa anak atau sekelompok dengan satu yang dadi atau jadi karena terhukum. Sekelompok anak tersebut membentuk lingkaran dengan saling bergandengan dan yang dadi berada di dalam lingkaran tersebut. Mereka kemudian berputar sambil menyanyikan lagu jamuran bersama-sama. Ketika sampai bait terkahir “Semprat-semprit jamur apa?”, kemudian yang dadi langsung menyuruh dengan mengucap satu bentuk jamur dan anakanak yang lain harus segera menirukan bentuk jamur yang diucapkan tadi. Misalnya yang dadi mengucap jamur gagak, maka anak-anak yang membentuk lingkaran tadi segera untuk melepaskan diri dan menirukan gaya burung gagak yang terbang dengan merentangkan tangan kanan dan kiri layaknya sayap, dan berputar-putar sambil berteriak “kaok….kaok…kaok….” seperti suara burung gagak. Jika ada diantara mereka yang tidak merentangkan tangan atau tidak berteriak maka dialah yang kemudian dadi, selanjutnya bernyanyi lagi dengan membentuk lingkaran. Ketika yang dadi mengucap jamur parut, maka yang membentuk lingkaran tadi segera lepas dan menyodorkan telapak kakinya untuk digaruk-garuk oleh yang dadi layaknya seperti parutan. Jika ada yang geli dan

ketawa, maka dialah yang selanjutnya dadi. Selanjutnya kembali bernyanyi dan berputar,dan mengenai jawaban dari pertanyaan syair lagu terakhir “jamur apa?”, sangat bebas dan tergantung perbendaharaan kata atau bentuk dari yang dadi dan bagaimana anak-anak yang lain dalam menirukan.

Gambar I. Dolanan Anak Tradisional Jamuran, Dokumentasi Bentara Budaya Yogyakarta

Permainan terlihat membentuk lingkaran dan pusat di tengah, kemudian anak-anak bernyanyi sambil berputar bergandengan dan selanjutnya menirukan gerakan jamur yang dikatakan. Dari segi pola lantai dan latar masih menggunakan halaman yang cukup luas dan alas dengan bentuk lingkaran. Namun dari bernyanyi dan bermain itu terkandung nilai kebersamaan, kegembiraan dan kekompakan ketika berputar sambil bergandengan tangan, disamping itu juga dapat melatih untuk bersosialisi terhadap sesama manusia. Dari sosisalisasi itu kemudian tumbuh rasa saling menghargai, percaya diri dan tidak menang sendiri atau bisa berbagi. Dari bermain dan bernyanyi, tanpa disadari anak-anak juga sudah melaksanakan peraturan yang tidak tertulis dan secara tidak sengaja telah menjadi kesepakatan diantara mereka. Selain

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

95


kesepakatan bermain, anak-anak juga sudah berlajar kesenian dalam gerak dan bernyanyi. Gerakan yang dilakukan oleh anak-anak adalah gerakan ekspresi dari tembang, sehingga anak-anak bebas bergerak seperti apa yang akan mereka lakukan. Dari data visual yang diperoleh lirik lagu Jamuran yang terdapat pada buku H. Overbeck tanpa nama pengarang atau anonym dan belum ada titilaras atau tangga nadanya dan musik yang mengiringi, namun sebenarnya mereka telah mempelajari nada pentatonik. Hanya berupa tulisan judul dan bait-bait lagu atau syair serta keterangan tentang tingkah laku permainan atau dokumentasi permainan. Dolanan anak Jamuran di atas dilakukan oleh sekitar 10 anak perempuan di halaman dengan menggunakan pakaian anak perempuan Jawa. Dokumentasi di atas merupakan satu gambar yang dibentuk dan dikemas pada sebuah lokasi atau halaman yang berada di kampung atau ndeso. Dari gambar dolanan anak Jamuran masih sangat terlihat nuansa dan kostum yang menunjukan kesamaan dengan budaya asli pada masa itu. Belum terdapat pembagian peran atau casting dan arahan hanya disesuaikan dengan dolanan yang biasanya sudah dilakukan. Jika anak-anak yang bermain menambahkan bunyibunyian untuk mengiringi maka secara tidak langsung sudah mempelajari keselarasan bunyi dan lagu. Seperti itulah piwulang dan piweling dikemas dalam sebuah kesenian dolanan anak dan menjadi budaya folklor pada masa sebelum Taman Siswa. Pada gambar I menunjukkan bahwa, pada masa itu merupakan satu

bentuk folklor atau kesenaian rakyat yang tersebar melalui budaya lisan dan di mainkan sebagai media pengisi waktu luang. Dolanan anak tradisional merupakan satu bentuk kesenian yang dimiliki oleh masyarakat pribumi dan sangat dekat sekali dengan lingkungan dan kebudayaan mereka, yaitu kebudayaan agraris atau pertanian. Dolanan Anak Masa Taman Siswa Masa Ki Hadjar Dewantara (1922-1959) Dolanan anak folklor mengalami banyak perkembangan pada Perguruan Taman Siswa Yogyakarta. Secara tidak langsung, Ki Hadjar dapat menangkap sebuah bentuk kesenian rakyat yang berhasil menjadi bagian dari rakyat dan di dalamnya terdapat nilai piwulang dan piweling pada masyarakat di Yogyakarta khususnya anak-anak. Kemudian kesenian tersebut dikembangkan oleh Taman Siswa, dimulai pada masa Ki Hadjar Dewantara. Dari manusikrip Ki Hadjar Dewantara dari tahun 1924 sampai 1936 (lampiran, gambar II) maupun bentuk buku cetakan yang tersimpan rapi di museum. Ki Hadjar banyak menciptakan tembang dolanan anak dan beberapa tembang untuk dewasa. Dalam pengembangannya, banyak sifat yang masih sama dengan dolanan anak folklor, seperti segi bahasa yang masih menggunakan bahasa keseharian kaum pribumi jelata pada masa itu atau disebut Ngoko. Namun pada beberapa segi, banyak yang ditambah, seperti diberikan tangga nada atau titilaras pada tembang sebagai dasar permainan dengan nada pentatonik. Nada pentatonik sebenarnya sudah melekat pada keseharian masyarakat pribumi jelata, yang sudah terbiasa dengan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

96


suara musik gamelan, sehingga bentuk kesenian tersebut sangat bisa diterima oleh masyarakat. Dalam pengembangan dolanan anak, secara pesan banyak dimasukan nilai-nilai keteladanan, budi pekerti, kejahatan yang dikalahkan oleh kebaikan yang terkandung dolanan dan tembang. Pada masa Ki Hadjar Dewantara inilah kesenian dimasukan dalam pendidikan dan diajarkan melalui menggambar, menyanyi, dan menari. Untuk menyanyi dan menari disatukan dalam kesenian dolanan anak (penggabungan pengetahuan sastra gending dan Kinder spelen) Seperti yang terdapat dalam manuskrip Ki Hadjar Dewantara yang diberi tanda J 24 (tahun 1924). Manuskrip J24 terdiri dari 56 halaman dan terdapat 38 tembang dolanan anak maupun tembang untuk dewasa. Tembang yang berjudul “Kiloer-kilir” yang terdapat pada halaman pertama dan sudah menggunakan notasi dan titilaras slendro patet sanga- 1= gangsal.

Gambar II. Tembang Kiloer-kilir, Manuskrip Ki Hadjar Dewantara

Tembang dolanan anak KiloerKilir merupakan sebuah perumpamaan terhadap alam atau suatu kenyataan yang terjadi. Dalam tembang ini terdapat kunci

nada Slendro Pathet 9, beserta tanda untuk nada dasar λ sama dengan gangsal (lima). Dalam lirik tembang dolanan Kiloer-Kilir ini menggambarkan kesenangan seseorang dalam melakukan sesuatu. Seperti yang tertulis pada lirik pertama, yaitu “Roedjak kawis goela djawa” berarti manisnya gula jawa. Hal ini merupakan perumpamaan untuk keindahan budaya Jawa. Kemudian pada lirik kedua, yaitu “kok seneng akoe” berarti; saya juga suka atau betapa senangnya saya. Disambung dengan lirik ke tiga yang berbunyi, “Bisa noelis bisa matja” berarti bisa menulis dan bisa membaca atau dalam cakupannya adalah bejalar menulis dan membaca. Selanjutnya ditutup dengan lirik ke empat, yaitu “kok seneng akoe” berarti betapa senangnya saya. Secara keseluruhan dalam tembang dolanan anak ini menggambarkan betapa senangnya seseorang dengan budaya Jawa dan betapa senangnya seorang itu dalam belajar atau dalam menuntut ilmu. Dapat pula dijelaskan bahwa kesenangan seseorang dalam belajar diibaratkan dengan kecintaannya terhadap kebudayaannya, yaitu Jawa. Dalam tembang dolanan anak di atas nilai-nilai kecintaan terhadap budaya atau tanah kelahirannya dihubungkan dengan kecintaannya dalam semangat untuk menuntut ilmu dengan belajar membaca dan menulis. Tembang Kiloerkilir juga menunjukan betapa pentingnya menuntut ilmu yang sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Dari tembang dolanan anak ini sangat jelas bahwa nilainilai kebangsaan dan nasionalisme disampaikan dan ditanamkan ke dalam

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

97


benak anak-anak yang menyanyikan atau memainkan tembang Kiloer-kilir. Secara bentuk, Taman Siswa merubah bentuk dolanan anak folklor menjadi bentuk tembang dolanan anak yang secara formal diciptakan, ditulis, dan kemudian diajarkan kepada anak-anak. Kemudian secara fungsi, Taman Siswa merubah fungsi dolanan anak menjadi media untuk pembelajaran mengenai karakter dan nilai-nilai budi pekerti, nilai kebangsaan dan nasionalisme. Menurut Hajar Pamadhi dalam bukunya Pendidikan Seni tahun 2012, dalam mengkaji karya seni dapat digunakan tiga cara yaitu, kontur, konten dan konsteks karya seni. “Kontur adalah bentuk fisik suatu karya, konten adalah isi atau makna yang terkandung dalam kontur, dan konteks adalah hal yang mempengaruhi kontur dan konten atau kebutuhan, gaya, dan langgam yang bersifat kedaerahan�.(Pamadhi, 2012). Selanjutnya jika diterapkan dalam kesenian dolanan anak Taman Siswa, maka hal ini tentu tidak terlepas dari konteks pada masa Ki Hadjar adalah masamasa perjuangan untuk menuju kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda. Maka secara halus nilainilai kecintaan terhadap tanah air, nilainilai kepahlawanan, perjuangan, dan kebangsaan (konten) dimasukan dalam tembang dolanan anak dan langen carita (kontur). Dolanan Anak Masa Nyi Hadjar Dewantara (1959-1970 an) Pada tahun 1964 Percetakan Taman Siswa menghimpun naskah-naskah langen carita yang ditulis oleh Ki Hadisukatno dan Ki Suratman diterbitkan

dalam bentuk buku naskah dengan SIP No. 167/JL/64 tgl. 8-6-’64 dan ilustrasi pada sampul, keterangan mengenai Sari Swara, cara dalam mempraktekannya dalam langen carita dan skenario beserta titilaras tembang yang akan dibawakan. Dari data yang diperoleh, empat cerita ditulis oleh Ki Hadisukatno dan diberi judul Langen Tjarita dolanan nganggo tembang (Adjisaka, Patine Arja Penangsang, Djoko Tingkir, dan Babad Alas) dan dua cerita ditulis oleh Pak Suratman diberi judul Sendra njanji tari kanak-kanak (Kantjil Mencuri Timun, Bhineka Tunggal Ika). Ilustrasi sampul naskah langen carita dikerjakan oleh RM. Priyo Dwiarso dan Pak Suratman. (lampiran, gambar: 5-10) Satu langkah maju yang dilakukan Taman Siswa pada masa Nyi Hadjar Dewantara dengan terpuruknya keadaan politik negara dan Taman Siswa tetap berjuang untuk mempertahankan dan mengembangkan pendidikan kesenian sebagai hasil produk budaya Taman Siswa. Gerakan 30 S PKI banyak membawa dampak pada tubuh Taman Siswa secara keseluruhan. Dampak yang lebih jelas dengan banyaknya pembersihan para pamong-pamong dan pengurus di Taman Siswa yang terkena pembersihan oknumoknum dan anasir kontra revolusioner. Kondisi ini memang tidak dapat dihindari oleh Taman Siswa yang pada masa sebelumnya telah banyak bekerjasama dalam perjuangan dan hubungan yang terjalin dengan PKI. Selanjutnya Taman Siswa di bawah pimpinan Nyi Hadjar Dewantara juga memilih membersihkan diri dengan membebastugaskan pamong-pamong yang dianalisir terlibat dan menutup beberapa

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

98


cabang-cabang Taman Siswa khususnya di Jawa Tengah. Sikap dan kejadian inilah yang selanjutnya berdampak pada pendidikan Taman Siswa dan kemudian dianggap sebagai pendidikan sekuler. Selian hegemoni budaya Islam dari gerakan Muhammadiyah dan NU serta sekolah Islam yang sudah berdiri di Yogyakarta dan sekitarnya, menjadikan Taman Siswa semakin redup gerakan dan berkurang dalam jumlah siswa-siswinya. Para pamong memilih untuk diam dan hanya menjalankan kegiatan belajar seperti biasa. Pendidikan kesenian tetap dipimpin oleh Ki Hadisukatno dan masih menerapakan bentuk dolanan anak lepas dan langen carita. Secara kontur, dalam masa Nyi Hadjar dolanan anak dan langen carita tetap sama seperti masa Ki Hadjar yang kemudian didokumentasikan menggunakan media buku dan diterbitkan secara resmi oleh percetakan Taman Siswa. Selanjutnya secara konten pada masa Nyi Hadjar lebih diarahkan dalam tema kepahlawanan dan kejahatan yang dikalahkan oleh kebaikan, hal ini tentu sesuai dengan konteks pada masa Taman Siswa yang terkena dampak pergolakan politik negara yang menyudutkan posisi Taman Siswa dan dampak secara langsung pembersihan pamong-pamong yang diduga terlibat dalam G 30 S PKI. Dolanan Anak Masa Taman Siswa Baru (1970 an - hingga sekarang) Permainan atau dolanan anak dalam perkembangannya oleh Taman Siswa ditetapkan sebagai kurikulum pendidikan seni untuk wulangan atau pembelajaran tingkat dasar atau disebut

dengan Taman Indriya dan Taman Muda. Permainan tersebut diantaranya permainan yang bersifat menirukan, permainan yang bersifat konstruktif, permainan yang bersifat melatih ketrampilan, permainan untuk melatih kecakapan atau ketangkasan, dan permainan dengan lagu dan gerak. Permainan atau dolanan anak ditetapkan sebagai mata pelajaran pokok dan mampu memberikan ciri khas Taman Siswa. Selanjutnya dolanan anak ditetapkan menjadi kurikulum resmi untuk pendidkan Taman Siswa Yogyakarta. (Mudjiono, 2012). Masa Taman Siswa baru ini pengembangan banyak dilakukan lebih memasyarakatkan produk budaya Taman Siswa, selain banyak diciptakan tembang dolanan anak, pengembangan lain juga dilakukan dari segi gerak dan penampilan (solah bawa) yang mengikuti irama pentatonik, dari gamelan Jawa. Kemudian perkembangan dari pembelajaran dolanan anak tidak terbatas pada lagu-lagu daerah Jawa, tetapi juga gubahan-gubahan baru yang diambil dari lagu-lagu daerah lain, seperti Sunda, Sumatera, dan Bali. Selain karangan Ki Hadjar Dewantara, pada generasi berikutnya banyak dolanan anak dengan lagu atau tembang ciptaan dari Ki Hadisukatno, C. Harjo Subroto, dan Ki Oengki Soekirno Dwijosoebroto. Dolanan anak Taman Siswa merupakan bentuk kesenian yang berada dalam wadah Taman Kesenian Ibu Pawiyatan dan dipimpin oleh Ki Hadisukatno pada tahun 1975 hingga wafat. Beberapa karya dari Ki Hadisukatno dihimpun dalam buku Ajo Nembang Jilid I, II, III yang diterbitkan sebagai Proyek Pembaruan Kurikulum dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

99


Metode Mengajar Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1970-an. Dalam buku himpunan lagu dolanan tersebut terdapat sekitar 19 lagu dolanan anak ciptaan Ki Hadisukatno dan 5 lagu piridan. Buku tersebut merupakan kumpulan lagu dolanan anak dari berbagai pencipta, antara lain; Ki Hadisukatno, C. Hardjo Soebroto, B. Arintaka, Drs. Soejoed, Drs. Tarip Roestarta dan Drs Gudarjono dengan jumlah total lagu dolanan sekitar 73 lagu. Dolanan anak karya Ki Hadisukatno diantaranya adalah Jaranan, Baris Rampak, Aduh Simbah, Aku Wis Sekolah, Aku Kantjil, Sajuk Rukun, Adja nDomblong, Tjah Dolan, Jo Da Sukasuka, Tja Kantja, dan lain sebagainya yang banyak berisi tema pendidikan, kebaikan, dan semangat menuntut ilmu. Di dalam buku juga sudah disertakan ilustrasi gambar tangan yang mewakili isi dari lagu dolanan anak dan kebanyakan menggunakan titilaras Slendro. Selanjutnya dolanan anak juga dihimpun dalam satu buku yang diberi judul ‘Ni Thowong Teks dan Titilaras Lagu-lagu’, yang kemudian diproduksi dalam bentuk rekaman audio oleh PT. Lokananta, Solo pada tahun 1977, dibawah asuhan Ki Hadisukatno. Lagu-lagu dolanan yang diproduksi berjumlah 26 lagu yang dibagi menjadi side A: 14 lagu dan side B: 12 lagu, diantaranya adalah, Cah Dolan, mBulan Gedhe, Dha Bawang, Kembang Mawar, Gula Ganti, Ni Thowong Njogeda, dan lain sebagainya. Pada tahun 2012 hasil rekaman audio dolanan anak kemudian ditranfermedia ke dalam bentuk disk audio (cd) oleh museum DKG Taman Siswa dengan format CDA dan berjumlah 17 lagu dolanan ciptaan Ki

Hadisukatno. Dari perkembangan di atas menunjukkan bahwa dolanan anak mengalami perubahan bentuk dari budaya folklor atau lisan menjadi budaya pendidikan pada masa Ki Hadjar dan dikembangkan menjadi kurikulum dalam pendidikan formal pada masa Nyi Hadjar, selanjutnya dikembangakan untuk sekolah dasar di Yogyakarta. Dolanan anak setelah menjadi kurikulum dalam pendidikan dasar Taman Siswa dan selanjutnya sekolah dasar di DIY menerapkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kesenian yang telah ditetapakan dalam kurikulum pemerintah Indonesia. Mata pelajaran pendidikan kesenian diisi dengan muatan lokal yang dinilai mempunyai potensi-potensi untuk dikembangkan. Di sisi lain kesenian dolanan anak dituntut untuk mempunyai ketetapan dalam bentuk lagu, bentuk gerak dan bentuk irama yang selanjutnya bisa menjadi ukuran untuk penilaian. Dolanan anak menjadi populer dalam pendidikan, namun bentuk kesenian menjadi teratur dan sedikit kurang memberikan kebebasan kepada anak-anak dikarenakan tuntutan untuk penilaian. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dolanan anak Taman Siswa pada masa Ki Hadisukatno sebagai pembina Taman Kesenian Ibu Pawiyatan mengalami banyak perkembangan dan bisa menjadi budaya yang diterapkan dalam pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya dapat dilihat dari segi kontur, bentuk dolanan anak sebenarnya sama, akan tetapi menjadi lebih teratur dan terukur (tuntutan pendidikan). Kemudian dari segi konten, dolanan anak menjadi media dalam menanamkan nilai-nilai

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

100


kebaikan dan betapa pentingnya sebuah pendidikan pada anak. Dolanan anak Taman Siswa secara konteks sudah mengalami perubahan masa. Pada masa tahun 1970-1980-an Taman Siswa dalam konteks pengembangan pendidikan untuk dapat bersaing dengan sekolah-sekolah baru yang didirikan oleh pemerintah Indonesia masa orde baru. Setelah menjadi budaya populer dalam pendidikan Taman Siswa dan pendidikan sekolah dasar di Yogyakarta, selanjutnya dolanan anak menjadi ajang dalam perlombaan antar sekolah dan pementasan pada acara untuk memperingati hari-hari besar atau acara festival anak-anak di Taman Siswa Yogyakarta dan sekitarnya. Dari data yang diperoleh, pementasan dolanan anak banyak dilaksanakan pada kisaran tahun 1980 ke atas. Sebagai contoh pementasan di Pendopo Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1988 dan tahun 1992 mementaskan beberapa dolanan anak dan operet, diantaranya adalah dolanan anak lepas Mbrobosa, Ancak-ancak Alis, Tokungtokung, dan lain sebagainya.

Gambar IV. Pementasan tahun 1988, Dokumentasi DKG

Dari dokumentasi di atas dapat dijelaskan bahwa dolanan anak Taman Siswa sudah diarahkan pada konsep pementasan. Dalam konsep pementasan unsur pemilihan peran, tata pentas, kostum dan gerak menjadi penting dan diperhitungkan. Sebagai contoh; pemakaian kostum untuk anak-anak perempuan yang menggunakan kain batik dan baju lengan pendek berwarna biru kemudian dibedakan dengan kostum yang dikenakan oleh anak laki-laki yang menggunakan asesoris pada leher dan celana di bawah lutut yang dipadu dengan kain batik dan sabuk kain pada perut serta ikat pada kepala. Pengembangan merupakan bentuk konsep peran dan tata kostum dalam pementasan. Selain pengembangan dalam bentuk pementasan, pada tahun 1992, dolanan anak kembali dihimpun oleh Taman Kesenian Ibu Pawiyatan dengan menerbitkan Himpunan Lagu-lagu Dolanan Anak, yang disusun oleh Ki Oengki Soekirno Dwidjosoebroto salah satu Pamong di Taman Siswa, yang terdiri dari 67 lagu dolanan anak ciptaan Ki Oengki S, Ki Parjaya, Ki Wahyudi, Ki Setyaji, Ki Hadisukatno, Ki Wiryah, Ki Soebroto AM, Nyi C. Margono, dan Ni Duryati. Dari sekian banyak yang dihimpun lebih dari 60 persen menggunakan titilaras pelog. Dalam kata pengantarnya Ki Oengki S mengungkapkan bahwa, “Dolanan anak dengan nada pentatonik pada masa kini jarang sekali kita jumpai dimainkan oleh anak-anak kecil di halaman rumah yang luas pada saat bulan purnama. Barangkali hal tersebut disebabkan karena beberapa

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

101


masalah, antara lain: (a) Berkurangnya halaman yang luas sebagai sarana tempat bermain, karena perkembangan penduduk serta perumahan yang semakin meningkat. (b) Anak-anak cenderung lebih suka memanfaatkan waktu luangnya untuk menikmati “hiburan� yang berupa hasil produk teknologi modern, antara lain: film kartun untuk anak-anak yang ditayangkan oleh televisi, kaset lagu pop anak-anak dan sebagainya�. (Dwidjosoebroto, 1992). Dari pengantar di atas dapat dijelaskan bahwa dolanan anak tetap dipertahankan dan dikembangkan oleh Taman Siswa sebagai produk budayanya, ditengah-tengah budaya modern dan teknologi. Budaya modern dan teknologi telah menjadi bagian dari masyarakat dan merubah pola konsumsi anak-anak khususnya dalam memanfaatkan waktu luang dengan memanfaatkan teknologi. Di sisi lain dari Perguruan Taman Siswa, pihak-pihak swasta lain yang bergerak dalam pendidikan khususnya percetakan buku juga menerbitkan buku himpunan dolanan anak, seperti yang diterbitkan oleh CV Aneka Ilmu Semarang yang diberi judul Lagu Dolanan Kangge Kelas 6 Sekolah Dasar, tahun 1995. Terdiri dari 28 lagu dolanan anak ciptaan C. Hardjasoebroto dan Ki Hadisukatno serta ditambah dengan beberapa tembang macapat. Pengembangan dari pihak swasta lain merupakan satu bentuk pengembangan yang masih berorientasi pada produk budaya atau tembang dolanan anak versi Taman Siswa. Satu indikasi bahwa budaya dolanan anak

Taman Siswa telah populer dikalangan masyarakat luas di Yogyakarta dan sekitarnya serta menjadi komoditi dalam bisnis. Taman Kesenian Ibu Pawiyatan juga mengikuti pementasan di Galeri Seni Pertunjukan Nasional tahun 2007 di Yogyakarta dengan menampilkan dolanan anak dalam konsep pemantasan yang dirangkai. Dalam pementasan tersebut terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok 1 yang didominasi oleh anak laki-laki membawakan lagu dolanan anak Jaranan, Sluku-sluku Bathok, Gundul-gundul Pacul dan lain sebagainya. Sebagai pembuka diberikan tambahan sedikit cerita tentang seorang anak laki-laki yang temantemanya untuk bermain di sebuah halaman. Selanjutnya dibuka dengan membawakan lagu Yo Pra Kanca dengan digubah lirik lagunya menjadi ajakan untuk bermain atau dolanan seni budaya diiringi dengan musik kenthongan dan rebana yang mereka mainkan (Klothe’kan). Selanjutnya pimpinan dari kelompok tersebut mengajak untuk bermain dengan menggunakan gamelan yang ada di panggung dengan meminta teman-temannya untuk mencari alat dan posisinya masing-masing, yang tentu saja sebelumnya telah ditentukan oleh pengarah pentas atau pada saat latihan. Kemudian dalam membawakan lagu dolanan selanjutnya dengan gamelan dan sesekali digabung dengan klothe’kan. Dari segi tampilan sudah menggunakan tata pentas atau blocking yang teratur dan rapi, termasuk dari segi gerak atau solah bawa. Dari segi kostum, untuk yang laki-laki menggunakan pakaian dengan warna hitam-hitam dan longgar

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

102


(semacam baju silat) dan celana dipadu dengan kain batik (sarung) dan ikat pada kepala. Sedangkan untuk perempuan menggunakan kebaya kartininan warna pink dengan kain batik untuk bawahan (sampai bawah lutut) dan hiasan pada rambut.

Melathi, Jamuran, Bang-bang Wis Rahino, Dhuh Gusti, Cah Dolan, Kuk-Kuk-Kuk, Panggugang, dan Yo Pra Kanca. Dari 18 tembang dolanan anak yang sebelumnya memakai nada pentatonik digubah menjadi musik dengan nada diatonis. Kemudian dari segi solah bawa dibawakan oleh 20 anak dan tetap dengan gerakan-gerakan sederhana sesuai dengan usia anak namun lebih banyak dalam gerakan berputar dan berpisah menjadi dua kelompok kemudian bergabung kembali.

Gambar V. Dokemantasi Video Gelar Seni Pertunjukan Nasional 2007

Perkembangan dolanan anak dari segi media dan konsep baru dan sudah memanfaatkan teknologi dimulai pada tahun 2012, pihak Taman Kesenian dibantu oleh pihak swasta yang tertarik dengan dolanan anak mengembangkan ke dalam format audio visual menjadi video musik dolanan anak dengan musik pentatonik, musik diatonik. Proyek dimulai dengan rekaman musik dan vokal, selanjutnya pada bulan April 2013 dilaksanakan pengambilan gambar yang berlokasi di Komplek Taman Kaliurang Yogayakarta. Musik digubah oleh R.M. Priyo Dwiarso dan untuk pemain diperankan oleh siswa Taman Muda Ibu Pawiyatan dengan solah bawa dibawah asuhan Nyi Qorijati. Tembang dolanan yang diproduksi menjadi video musik diantaranya adalah Bocah Nakal, Kembang Jagung, Lindri, Cublak-cublak Suweng, Gundul-gundul Pacul, Jaranan, Lepetan, Gajah-gajah, Ancak-ancak Alis, Kembang

Gambar VIII. Dokumentasi Video Musik Dolanan Anak ‘Cah Dolan’

Dolanan anak pada sekarang ini secara kontur sudah mengalami perubahan dari bentuk pembelajaran di dalam sekolahan menjadi bentuk pementasan dan bentuk pertunjukan pada media televisi. Kemudian pada sisi konten tetap menunjukan nilai-nilai keteladanan dalam pendidikan dan kebaikan yang dibungkus dalam sebuah seni pertunjukan di berbagai media. Selanjutnya dari segi konteks, Taman Siswa secara tidak langsung menunjukan eksistensi dan aktualisasi melalui kesenian sebagai produk budaya Taman Siswa yang masih bisa menjadi bagian dalam kebudayaan modern. Dari perubahan bentuk dolanan anak di atas menandakan bahwa dolanan anak Taman

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

103


Siswa mengalami transformasi bentuk, transformasi fungsi, dan transformasi media. Lebih khusus pada masa Taman Siswa baru 1971 hingga sekarang ini. Hal ini juga menandakan bahwa kebudayaan Taman Siswa bersifat terbuka dan tentu saja juga berdampak pada pendidikannya.

Pembahasan Proses Transformasi dan Penguatan Budaya Populer Perguruan Taman Siswa dalam menempatkan proses transformasi mempunyai asas Tri-Con, yang mengajarkan bahwa, di dalam pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus kontinuitas dengan alam kebudayaan sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan yang ada, dan akhirnya jika kita sudah bersatu dalam universal, kita akan bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam kebudayaan sendiri, tetapi masih memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah satu bentuk sifat Bhineka Tunggal Ika. (Dewantara, 1957:32). Dalam penerapan asas Tri-Con, Perguruan Taman Siswa mempunyai prinsip yang dipakai untuk menyikapi perkembangan kesenian, yaitu SBII (sifat, bentuk, isi, dan irama).Sifat adalah tetap bersifat seni tradisional Jawa. Bentuk adalah bentuk dari kesenian bisa berubahubah sesuai dengan kebutuhan. Isi adalah isi dari kesenian dapat ditambah dan dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Irama dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. (Mudjiono, 2012)

Konvergensi dan kontinuitas dalam penciptaan dolanan anak di Taman Siswa terjadi sebagai berikut; Taman Siswa melakukan pengembangan dari seni rakyat, yaitu dolanan anak folklor yang sudah menjadi tradisi pada masyarakat untuk mengisi waktu dan media bersosialisasi menjadi bentuk kesenian kerakyatan. Bentuk kesenian yang diciptakan oleh perorangan atau lembaga yang ditujukan untuk rakyat dan menjadi media dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai budi pekerti. Sebagai bukti adalah manuskrip Ki Hadjar Dewantara yaitu, J 24, Nyanyian lan T. Anak, K.H.D 1935, dan Sajembara Dolanan lan Tembang Lare’-lare’, J 37. Selanjutnya proses transformasi dolanan anak diteruskan oleh para Pamong Perguruan Taman Siswa dengan menjadikan sebagai metode pembelajaran atau kurikulum pada Perguruan Taman Siswa dan mengembangkan dalam bentuk Buku Tuntunan Mulang Nembang ing Sekolah Dasar, Ayo Nembang Jilid I di Yogyakarta atau menjadikan sebagai kurikulum ajar pendidikan sekolah dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini merupakan bentuk kerjasama dari Taman Siswa dengan pemerintah atau dinas pendidikan Yogyakarta dan merupakan respon dari Taman Siswa terhadap tingkat pendidikan masyarakat Yogyakarta yang sudah mengikuti pendidikan formal. Selain mengembangkan pada pendidikan formal, dolanan anak kemudian juga direspon oleh Taman Siswa dan dikembangkan selaras dengan budaya media yang mulai banyak dimiliki oleh masyarakat, yaitu dengan media audio.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

104


Dengan ditandai oleh perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia, PT. Lokananta di Sala, Jawa Tengah, pada tahun 1977 Ki Hadisukatno bersama anak didik Perguruan Taman Siswa merekam tembang dan gending dolanan anak Taman Siswa sebanyak 14 tembang pada side A dan 12 tembang pada side B. Hal ini merupakan satu usaha dalam menyebarkan produk budaya Taman Siswa dan satu bentuk usaha mendokumentasikan karya seni. Transformasi selanjutnya, dolanan anak dikembangkan oleh Taman Kesenian Ibu Pawiyatan Taman Siswa dengan membawakan pada konsep pertunjukan atau pementasan. Pementasan mulai dilaksanakan sekitar tahun 1980-an di Pendopo Agung Taman Siswa. Hal ini merupakan satu bentuk upaya konvergensi dan kontinuitas dari bentuk kesenian pertunjukan yang telah berkembang dimasyarakat Yogyakarta, yaitu seni tari, kethoprak, wayang dan wayang wong. Serta pengaruh dari budaya Eropa yang sudah mulai berkembang melalui kesenian pertunjukan seperti Opera dan Sendra tari. Kesenian dengan konsep pertunjukan sebelumnya hanya untuk kalangan dewasa dan kalangan tertentu pada gedung-gedung pertunjukan. Namun Taman Siswa mulai menggelar dan menyajikan kesenian dengan pertunjukan untuk anak-anak dan masyarakat pada umumnya. Hal ini merupakan satu bentuk usaha konvergensi dan konsentris dari budaya-budaya sebelumnya, budaya yang datang dengan budaya yang dimiliki oleh Taman Siswa. Pengembangan lebih lanjut dari konsep pertunjukan dengan mengikuti

berbagai festival dan gelar pertunjukan seni baik daerah maupun nasional. Dari data yang diperoleh, dolanan anak dipentaskan oleh Taman Kesenian Ibu Pawiyatan pada Galeri Seni Pertunjukan Nasional tahun 2007 di Yogyakarta dengan menampilkan dolanan anak dalam konsep pemantasan yang dirangkai. Dalam pementasan tersebut terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok 1 yang didominasi oleh anak laki-laki membawakan lagu dolanan anak Yo Pra Kanca, Jaranan, Sluku-sluku Bathok, Gundul-gundul Pacul dan lain sebagainya. Pada penampilan kelompok ke dua yang didominasi oleh anak perempuan dengan penabuh gamelan yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok pertama, memainkan doalanan anak dengan satu tematik cerita Mbok Rondo dan Keluarga kaya. Selanjutnya Taman Kesenian pada tahun 2012 dibantu oleh pihak swasta yang tertarik dengan dolanan anak mengembangkan ke dalam format audio visual menjadi video musik dolanan anak dengan musik pentatonik, musik diatonik , dan musik elektrik. Musik digubah oleh R.M. Priyo Dwiarso dan untuk pemain diperankan oleh siswa Taman Muda Ibu Pawiyatan dengan solah bawa dibawah asuhan Nyi Qorijati. Proyek dimulai dengan rekaman musik dan vokal, selanjutnya pada bulan April 2013 dilaksanakan pengambilan gambar yang berlokasi di Komplek Taman Kaliurang Yogayakarta Dalam kurun waktu yang cukup panjang, Taman Siswa melalui produk budayanya dolanan anak secara sadar atau tidak sadar, secara terstruktur melalui

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

105


Taman Kesenian Ibu Pawiyatan, para Pamong dan bentuk kurikulum pengajaran telah mengajarkan kebudayaannya kepada generasi berikutnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya dalam proses perkembangan dolanan anak pada Taman Siswa merupakan satu proses linierhierarkis dari Ki Hadjar Dewantara kepada para Pamong Perguruan Taman Siswa dengan penekanan pada perubahan bentuk, fungsi dan prasarana alat-alat produksi mulai dari penerbitan buku himpunan lagu, dokumentasi audio, konsep pertunjukan hingga dokumentasi audio visual. Dari perubahan tersebut dapat dijelaskan bahwa dolanan anak Taman Siswa telah mengikuti pola konsumsi masyarakat, dengan demikian proses transformasi kemasyarakatan dapat pula dilihat dari adanya perubahan dari masyarakat tradiosional dengan menggunakan media lisan menjadi masyarakat modern dengan menggunakan media pertunjukan dan media elektronik. Proses perubahan dolanan anak didahului dengan dialog budaya pada masyarakat Yogyakarta yang pada masa itu pendidikan belum menjadi kebutuhan pokok, Taman Siswa hadir dengan sebuah metode budaya (dolanan anak) yang masih sangat diterima oleh masyarakat dan mengembangkan ke arah pendidikan formal (inkorherensi), namun tetap menjaga konsistensi kebudayaan yang mendasari, yaitu Jawa (inkonsistensi). Jika dilihat dari konsep pengembangan kesenian di Taman Siswa, yaitu SBII maka dolanan anak secara sifat, masih tetap mengedepankan sifat kebudayaan Jawa dengan bahasa dan seni Jawa pada umumnya. Kemudian secara bentuk sudah

mengalami banyak perbedaan, mulai dari bentuk pembelajaran non formal menjadi bentuk pembelajaran formal, selanjutnya menjadi bentuk performance art dan bentuk kesenian dengan media audio visual. Dilihat dari sudut pandang isi, dolanan anak Taman Siswa juga mengalami perubahan isi di dalamnya. Mulai dari dolanan anak yang banyak berisi tentang kebudayaan agraris, kebudayaan Islam, nilai-nilai luhur, kebersamaan, saling menghargai pada masyarakat menjadi dolanan anak yang syarat akan muatan pendidikan dan semangat untuk balajar pada anak-anak. Selanjutnya dari segi perubahan irama sangat terlihat jelas pada konsep penciptaan nada atau titilaras. Dolanan anak mulai dari yang tidak memakai iringan musik, menjadi dolanan anak yang menggunakan musik pentatonik dengan berbagai macam variasi di dalamnya, seperti Pelog dan Slendro hingga menjadi dolanan anak dengan musik diatonik. Kesimpulan Dolanan anak yang merupakan bagian dari kesenian rakyat (folklor) pada masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, sampai saat ini telah banyak mengalami perubahan. Kesenian tersebut mengalami perubahan dari kesenian rakyat (dolanan anak folklor) menjadi dolanan anak yang digunakan sebagai pendidikan karakter, dan perubahan tersebut dimulai oleh Perguruan Nasional Taman Siswa Yogyakarta. Taman Siswa merubah dan mengembangkan dolanan anak dari segi nilai, bentuk atau sistem, fungsi dan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

106


media. Dari segi nilai, dolanan anak yang sebelumnya folklor dan mempunyai sifat anonym, pralogis atau mempunyai logika sendiri, polos dan lugu, serta menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Kemudian menjadi dolanan anak yang diarahkan dari sisi nilai-nilai yang dimasukkan seperti, nilai-nilai budi pekerti, nilai-nilai kecintaan terhadap budaya daerah dan nilai-nilai pendidikan. Dari segi bentuk, dolanan anak folklor dikembangkan oleh Taman Siswa dengan diciptakan oleh seorang atau kelompok, dan menjadi milik atau produk budaya, serta mempunyai bentuk yang di kembangkan dan media untuk penyebarannya. Selain itu menambahkan titilaras atau tangga nada, sehingga dolanan anak di Taman Siswa mempunyai tangga nada yang bisa ditembangkan dengan laras slendro atau pelog (instrimentalisasi nilai atau pesan). Secara keseluruhan dolanan anak di Taman Siswa dimulai dengan tembang terlebih dahulu, kemudian ditambahkan gerakan yang menyesuaikan irama dan isi tembang. Kemudian dari segi fungsi, dolanan anak dikembangkan oleh Taman Siswa menjadi kesenian untuk pendidikan karakter dan menjadi media untuk mempopulerkan pendidikan di Taman Siswa Yogyakarta. Selanjutnya dari segi media, dolanan anak yang sebelumnya menjadi media bermain dan mengisi waktu pada masyarakat yang tidak terikat pendidikan (bersifat terbuka), menjadi dolanan anak yang pelajari dan dipraktekkan dalam lingkungan sekolah untuk sebuah tujuan yang bisa menjadi ukuran pada sistem pendidikan (bersifat tertutup).

Setelah menjadi budaya populer dalam pendidikan di Yogyakarta, dolanan anak dikembangkan lagi oleh Taman Siswa ke dalam konsep performance art atau seni pertunjukan. Dalam konsep performance art, dolanan anak menjadi sebuah kesenian dengan berbagai unsurunsur yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Mulai dari tembang, gerak hingga tata pentas yang secara keseluruhan merupakan konsep kesenian kolektif. Dari kesenian panggung kemudian dolanan anak menjadi kesenian yang terkotak dalam frame, yaitu menjadi pementasan dan video musik dolanan anak dalam televisi. Secara bertahap dolanan anak berubah melalui bentuk atau sistem, fungsi dan media yang dilakukan oleh Taman Siswa hingga menjadi budaya populer dimasyarakat. Namun secara keseluruhan masih mepertahankan nilai pendidikan karakter. Dolanan anak dengan Asas SBII (sifat, bentuk, isi, dan irama) merupakan satu bentuk perubahan kesenian yang terkonsep dan tersusun dengan rapi. Secara sifat, kesenian dolanan anak di Taman Siswa masih tetap kesenian dari masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dengan piwulang dan piweling. Secara bentuk dan isi, kesenian dolanan anak di Taman Siswa telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan media. Selanjutnya secara irama, kesenian dolanan anak mengalami perkembangan dari segi musik pengiring pentatonik ke diatonik. Perkembangan dan perubahan dolanan anak di Taman Siswa memang tidak bisa terlepas dari perkembangan zaman, baik dari segi teknologi maupun perkembangan pola konsumsi masyarakat

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

107


sekarang ini. Sesungguhnya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Dan hal inilah yang menjadikan dolanan anak di Taman Siswa menjadi satu bentuk transformasi budaya folklor menjadi pop culture.

___________. 30 Tahun Taman Siswa 1922-1952, Taman Siswa, Yogyakarta, 1952 Daftar Bahan Ajar Nyi

Corijati Mudjijono. Permainan (Dolanan) Anak Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta, 2012

Daftar Pustaka Danandjaya, James, Folklor Indonesia. PT Temprint, Jakarta 1991. Dhamamulya, Sukirman, dkk, Permainan Tradisional Jawa. Kepel Press,Yogyakarta, 2008. Emir, Dr, Prof, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisa Data, Rajawali Pers, Jakarta, 2010. Hermanu. Ilir-ilir Ilustrasi Tembang Dolanan, Bentara Budaya, Yogyakarta, 2012

Daftar Jurnal Halliday Dalam Linguistik Daftar Artikel Ki Hadjar Dewantara. Tenatang Frobel dan Methodenja, Poesara, Taman Siswa, Yogyakarta, 1941 Helly Minarti. Mencari Tari Modern / Kontemporer Indonesia, Guratcipta, 2012 Pamadhi Hajar. Seni Kontemporer, 2010

Heryanto, Ariel (ed). Budaya Populer di Indonesia, Mencairnya Identitas Pasca Orde Baru, Jalasutra, Yogyakarta, 2012 Ki

Hadjar Dewantara. Bagian II Kebudayaan, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta, 1994.

Sachari,

Dr. Agus. Budaya Visual Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007

Strinati, Dominic, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London and New York, 1995. Pamadhi, Hajar, M.A (Hons), Pendidikan Seni, UNY Press, Yogyakarta, 2012

Iskar. Folklor dan Kajiannya. H.U. Pikiran Rakyat (22 Januari 1996) Daftar Dokumentasi Audio Video CD Audio, Gending-Gending Dolanan Anak, DKG Taman Siswa, 2012 Video Dokumentasi Gelar Seni Pertunjukan Nasional, Taman Siswa Yogyakarta, 2007 Dokumentasi Produksi Video Musik Dolanan Anak Taman Siswa, 2013 Daftar Website http://www.scribd.com/doc/4069285/PER DEBATAN-AKADEMIS-TENTANGBUDAYA-POPULER diakses 20 Juni 2010 http://www.scribd.com/doc/35749471/Seni -Kontemporer-Indonesia,diakses 5 Februari 2013

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

108


REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM MEDIA MASSA

Lina Wati Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Syekh Yusuf Tangerang Email: Linawati.nafisah@gmail.com

ABSTRACT The topic of the research is the phenomenon done by women politicians, the representation of women in mass media by seeing the subject and the object of the issue, and the reader and writer through the news of Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti and Miranda Goeltom. This research is a qualitative research which is analyzed by the method of critical discourse analysis/CDA Sara Mills. In this method,the writer analyzed the position of the subject and the objects that are explained in descriptive and interpretative for. However, in position of the reader and the writer, the research uses interview with reporters and the reader who are experts in feminism and reference. The conclusion from this research are (1) womens position in Republika and Tempo news becomes object of the news. But in the reader and writer position it is found good direct and indirect communication (2) women doesn’t only representation their beauty, lifestyle, but also social responsibility.(3) They depend on men. This shows that women representation is still being discriminized in the conventional culture under the patriarchal culture of hegemony through the news. Keywords : Representation, Media, Patriarchi.

ABSTRAK Topik penelitian ini adalah fenomena yang dilakukan oleh politisi perempuan, keterwakilan perempuan di media massa dengan melihat subyek dan obyek dari masalah ini, dan pembaca dan penulis melalui berita Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dianalisis dengan metode analisis wacana kriti /CDA Sara Mills. Dalam metode ini, penulis menganalisis posisi subjek dan objek yang dijelaskan dalam deskriptif dan interpretatif untuk. Namun, di posisi pembaca dan penulis, penelitian ini menggunakan wawancara dengan wartawan dan pembaca yang ahli dalam feminisme dan referensi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) womens posisi di Republika dan berita Tempo menjadi obyek berita. Tapi dalam posisi pembaca dan penulis ditemukan baik komunikasi langsung dan tidak langsung (2) perempuan tidak hanya representasi mereka kecantikan, gaya hidup, tetapi juga tanggung jawab sosial (3) Mereka bergantung pada laki-laki.. Hal ini menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan masih sedang discriminized dalam budaya konvensional di bawah budaya patriarki hegemoni melalui berita. Keywords: Representasi, Media, Patriarki.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

109


Pendahuluan Kapitalis media telah mengubah tatanan media sebagai pemberi informasi semata, di mana media berlomba-lomba untuk memberikan informasi bukan hanya menarik tapi bagaimana dapat mengubah sudut pandang khalayak. Teori agenda setting dalam media merupakan suatu cara agar media dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besar bagi media. Tak terkecuali pemberitaan yang terkait dengan wanita.Objek wanita dalam media baik televisi, radio, Koran, bahkan dalam majalah wanita sendiri, digambarkan sebagai sosok yang menjual kecantikan, seksualitas serta kemewahankemewahan atau glamoritas semata.Dalam sinetron wanita di gambarkan sosok yang lemah, yang di identikan dengan air mata, atau sungguhan lagu-lagu bersyair pornografi, identik penyanyi nya adalah seorang wanita dengan desahan suarasuara yang menggoda. Iklan sabun atau shampoo para pelakunya kebanyakan wanita. Dalam iklan tersebut wanita digambarkan mempunyai kulit yang halus, serta rambut yang terurai panjang.Permasalahan-permasalahan diatas merupakan gambaran-gambaran yang dihasilkan budaya patriarkal yang masih melekat pada saat ini, budaya keseharian yang menggambarkan sosok pria yang tidak menarik dalam komoditas media, yang justru menarik adalah sosok wanita, keseluruhan sosok wanita merupakan komoditas yang menjual. Dari sisi pemaknaan, pemberitaan media massa, juga tidak seimbang antara pemaknaan ruang publik laki-laki dan ruang publik perempuan. Ketika pemberitaan media massa menyangkut persoalan laki-laki, maka media massa menyorotinya sebagai “pahlawanpahlawan� publik yang menjadi pahlawan karena masyarakat membutuhkan mereka. Namun ketika sorotan media massa pada

persoalan perempuan, terkesan maknanya sebagai pelengkap pemberitaan pada hari

itu., persoalan menjadi serius ketika pemberitaan media massa menyangkut sisi-sisi “aurat perempuan�, makna pemberitaannya justru menjadi konsumsi laki-laki, maka di situ terkesan bahwa perempuan sedang dieksploitasi sebagai sikap ketidakadilan terhadap perempuan dan bahkan kekerasan terhadap mereka (Bungin, 2007 : 353-354) Media tidak menyediakan tempat bagi perempuan untuk memberikan pembelaan rasional, namun media lebih suka men-jugde dengan berbagai karakter negatif seperti suka akan kemewahan, identik dengan kekuasaan, uang, serta fisik semata. hal ini telah terjadi berita bias tentang perempuan, di mana didalam berita bias terdapat banyak asumsi-asumsi yang kabur dan fakta diluar konteks berita. Akibatnya, berita yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan dan bahkan di sisi lain telah merugikan suatu kelompok dalam masyarakat, dalam hal ini perempuan. Permasalahan bias gender di media di Indonesia saat ini masih menjadi sorotan para aktivis perempuan, organisasi media maupun para pakar gender di Indonesia. Di bidang jurnalistik, permasalahan gender tidak terbatas pada produksi teks yang bias gender tetapi juga pada ranah profesi jurnalis dimana jurnalis diposisikan sebagai profesi milik laki-laki (Krini Kafiris, 2005). Kafiris juga menjabarkan tentang cara untuk mengenali bias gender pada teks media dengan mengamati bahasa, angle berita, kontek (context), narasumber (source), dan gambar (visual). Dalam penelitiannya ia juga mempromosikan konsep jurnalisme yang sensitive gender (gender sensitive journalism) dan kesamaan gender do semua sisi praktek jurnalistik (gender

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

110


equality in all journalismpractices). Budaya korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia, yang sampai saat ini Indonesia belum bisa terlepas dari permasalahan korupsi. Korupsi merupakan budaya imperialism, budaya yang berasal dari latar belakang sejarah bangsa yang di jajah dengan merampas, mengambil hak rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Permasalahan korupsi yang tiada habisnya di dalam bangsa Indonesia, memutar otak bagaimana agar korupsi ini bisa di berantas, maka KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di bentuk dengan tujuan bangsa ini terlepas dari budaya korupsi. Angelina Sondakh salah satu artis Indoensia yang terjun di dalam dunia politik yang tersangkut kasus korupsi pada Wisma Atlet bersama Nazarrudin, Angelina Sondakh merupakan mantan putri Indonesia, ketika berita tentang kejahatan yang dilakukan Angelina Sondakh diketahui oleh media maka media bukan hanya menyajikan pemberitaan tentang kasus tindak kejahatannya, namun media pun menambahkan dengan label keperempuannya yang menimbulkan pemahaman yang berbeda dari sosok perempuan. Nunun Nurbaeti, wanita yang tersangkut kasus korupsi suap calon gubernur deputi BI istri mantan wakapolri Adang Darajatun salah tokoh pelaku tindak kejahatan korupsi yang mendapat perhatian media massa, selain ia sebagai wanita, Nunun isteri dari mantan Wakapolri sehingga berita tindak kejahatan yang dilakukannya, mendapat perhatian media massa yang tinggi. Begitu pun dengan Miranda Goeltom salah satu tersangkan penerima suap dalam pemilihan deputi bank Indonesia yang juga merupakan dosen di UI menjadi sorotan media yang tidak habis dari media massa. Wanita cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan dengan pihak laki-

laki. Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom merupakan para politisi wanita yang tersangkut hukum tindak pidana korupsi, tindakan kejahatan korupsi yang di lakukan mereka merupakan kasus yang banyak di lakukan oleh politisi di Indonesia, tetapi perbedaan di sini pemberitaan tentang politisi yang tersangkut korupsi adalah seorang wanita, telah menempatkan posisi perempuan di tempat yang semakin terpojok. Media tidak menyediakan tempat bagi perempuan untuk memberikan pembelaan rasional, namun media lebih suka men-jugde dengan berbagai karakter negatif seperti suka akan kemewahan, identik dengan kekuasaan, uang, serta fisik semata. hal ini telah terjadi berita bias tentang perempuan, dimana didalam berita bias terdapat banyak asumsi-asumsi yang kabur dan fakta diluar konteks berita. Akibatnya, berita yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan dan bahkan di sisi lain telah merugikan suatu kelompok dalam masyarakat, dalam hal ini perempuan. ( Jurnal Representasi Perempuan Pelaku Kejahatan (Woman Offender) di Media Massa: Analisa Pemberitaan Malinda Dee oleh Nurul HasfiDosen Ilmu Komunikasi Fisip Undip: Hal. 3). Merujuk pada Representasi Perempuan dalam media massa artikel ini membahas hasil penelitian pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom sebagai pelaku korupsi perempuan dalam koran Republika dan Tempo. Secara rinci penulis membahas Representasi Perempuan dalam media massa, dengan tema yang perempuan dan gaya hidup, Perempuan dan Tanggung Jawab Sosialdan Perempuan dan Ketergantungan Terhadap laki-laki. Koran yang dipandang cukup netral dalam pemberitaannya serta memiliki kredibilitas yang tinggi. Harian Tempo juga merupakan media yang mengartikulasikan kepentingan pembaruan di Indonesia (Mallarangeng, 1992 ).

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

111


Harian ini meskipun oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai media yang memiliki kredibilitas yang tinggi namun pada kenyataan pemberitaannya masih memperlihatkan penggambaran yang merugikan perempuan. Penggambaran yang merugikan perempuan pada Majalah Tempo tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis wacana Stuart Hall. Analisis dilakukan pada berita Malinda dee edisi 06/40 yang terbit tanggal 11 April 2011 menampilkan cover gambar karikatur Malinda Dee yang disamakan dengan sosok Medusa yang dalam mitologi Yunani merupakan tokoh antagonis perempuan berambut ular dimana siapapun yang menatap matanya akan berubah menjadi batu. Kasus yang menimpa Malinda Dee, sebenarnya bukan satu-satunya kasus yang ternasuk kejahatan intelektual oleh kaum perempuan yang menjadi komoditas media. (Jurnal Representasi Perempuan Pelaku Kejahatan (Woman Offender) di Media Massa: Analisa Pemberitaan Malinda Dee Nurul Hasfi Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Undip hal. 2) Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa tapi menekankan pada konstilasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna (Jurnal Komunitas V o l u m e 5 , N o m o r 1, J u l i 2 0 1 1 : 2 5- 4 0) Bahasa terlibat dalam hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.Elemen yang dipakai untuk membongkar praktik wacana media yang pertama adalah elemen kosakata.Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa.Hal ini karana

khalayak tidak mengalami atau mengikuti peristiwa secara langsung. Ketika khalayak membaca kosakata tertentu, dia akan dihubungkan dengan realitas tertentu. Kosakata dapat dipahami sebagai pertarungan wacana karena dapat membatasi pandangan, membuat klasifikasi, dan membawa nilai ideologis tertentu yang dapat memarjinalkan kelompok tertentu.Kedua adalah elemen tata bahasa.Tata bahasa merupakan transformasi suatu peristiwa. Tata bahasa bukan sesuatu yang baku, susunan dapat diubah, dipertukarkan, dihilangkan, ditambah, dan dikombinasikan dengan berbagai kalimat dengan bermacammacam susunan. Susunan kalimat bisa aktif/pasif yang bisa menunjukkan makna yang berbeda-beda sehingga memengaruhi pandangan khalayak terhadap suatu peristiwa. (Jurnal Konstruksi Realitas Perempuan dalam Berita Harian Kompas; Oleh T. Titi Widaningsih Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta dan Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta hal : 28). Republika sebagian besar oplahnya di Jakarta 50,31%, Jawa Barat 17,30%, Jawa Tengah 6,90 %, Jawa Timur 4,36%, sisanya tersebar di daerah lain. Dengan oplahnya mencapai 150.000 eksemplar per-hari (Buku Profil Harian Umum Republika).Republika sebagai media islam, memiliki konten-konten yang merupakan sebuah alternatif bagi khalayak, khususnya Khalayak muslim. Konten-konten mereka memang sangat mengandung ideologi islam, ideologi islam sebagai sebuah sistem kepercayaan yang telah ada. Akan tetapi, Republika melupakan sebuah wacana yang sangat penting, yaitu perempuan.Dalam rubrik mereka, wacana tentang perempuan tidak terlalu mendapat prioritas.Sehingga representasi perempuan secara islami tidak mendapatan tempat. Sebagai media Republika selayaknya menjadi

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

Islam, sebuah 112


media alternatif bagi semua khalayak, khususnya muslim. Berarti untuk semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, Republika menunjukkan sebuah tindakan yang seharusnya terlarang bagi sebuah media alternatif; yaitu mengikuti jalur mainstream.Mengabaikan wacana tentang perempuan berarti mengikuti ideologi mediamasinstream.Padahal, Republika me mpunyai kesempatan menjadi media alternatif yang menjalankan berbagai fungsi media, salah satunya media pendidikan atau sosialisasi. Dengan demikian khalayak perempuan muslim dan khalayak perempuan secara umum akan menadapatkan pengetahuan. Bagi perempuan muslim, pengetahuan tentang dunia diluar Islam. Bagi perempuan umumnya, pengatahuan tentang Islam itu sendiri, khususnya tentang perempuan muslim. Terkait dengan pemberitaan kasus kejahatan yang di lakukan perempuan, Koran Republika juga masih mengemaskan dalam teks yang memarjinalkan (Jurnal Representasi Perempuan dalam Media Islami Analisis wacana pada Surat Kabar Republika oleh Ayub Wahyudi Ilmu KomunikasiUniversitas Paramadina2011/2012 Hal : 5). Teori Hegemoni Gramsci menganalisa berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif hegemoni, akan terlihat bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa. Alat kontrol tersebut memainkan peranan penting dalam menciptakan lembaga dan sistem yang melestarikan ideologi kelas dominan. keseimbangan posisi tawar antara gerakan perempuan, yang direpresentasikan sebagai civil society, dengan negara, sebagai political society akan melahirkan pertarungan ide ( War of Position ) antara keduanya. Dalam konsep Gramsci, War of Position itu

sendiri dapat terjadi jika terdapat hubungan simbiosis antar struktur yang akan membentuk superstruktur bagi terciptanya historical block Gramsci meyakini bahwa hegemoni negara bisa saja kalah, dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan, sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Fase ini disebut oleh Gramsci sebagai gerakan ‘counter hegemoni’, dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru, setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama dan sekaligus ,memperoleh kekuasaan civil society.Dalam upaya melakukan ‘counter hegemoni’, kaum perempuan, sebagaimana di sebutkan diatas, harus memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung, yang dalam bahasa Gramsci disebut sebagai struktur. Instrumen pendukung yang saling berhubungan secara simbiosis akan mendukung terbentuknya kesadaran masyarakat, terutama kaum perempuan itu sendiri, terhadap hegemoni patriarkhis yang berlaku, yang pada akhirnya akan melahirkan kesadaran komunal yang sangat diperlukan untuk merubah nilainilai yang selama ini merugikan kaum perempuan di politik.Kesadaran masyarakat tentu saja tidak dapat diharapkan muncul dengan sendirinya sebagai bola salju yang akan meruntuhkan hegemoni dominan. Perlu kondisi factual yang akan menjadi stimulus bagi pencerahan nilai nilai baru yang lebih berpihak pada keadilan terhadap kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat juga dipengaruhi oleh berbagai instrumen yang berada dan terjadi dalam masyarakat itu sendiri yang salah satunya adalah Media Massa ( Jurnal, Umaimah Wahid: Analisis Gramcian atas perjuangan affirmative Action, Kuota 30 persen).

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

113


Kerangka Pemikiran Dalam proses analisis wacana kritis Representasi perempuan dalam media massa dalam pemberitaan tersangka pelaku korupsi, akan diobservasi terlebih dahulu teks yang berkaitan dengan pemberitaan tersangka pelaku korupsi tersebut, dan bagaimana aktor dalam hal ini Angelin Sondakh, Nunun Nurbaeti, dan Miranda Goeltom di posisikan dalam teks. Untuk itu penelitian akan menggunakan metode analisis wacana kirtis model Sara Mills. Selanjutnya mengkaji Representasi Perempuan dalam Koran Tempo dan Republika berdasarkan beberapa teori penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mengkritik representasi perempuan yang ditampilkan dalam pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom dalam koran Republika dan Tempo. Pemberitaan mereka merupakan pemberitaan yang memiliki unsur berita bias berupa penambahan label-label kewanitaan di balik kasus kejahatan kasus korupsi yang menimpanya. Dengan pandangan yang berbeda dari dua wartawan yang berbeda gender, beritaberita tersebut akan memberikan representasi yang berbeda pada kaum perempuan yang melakukan kejahatan korupsi. Kritik dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dua wartawan dari gender yang berbeda merepresentasikan perempuan yang melakukan kejahatan korupsi. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang representasi biasanya harus dibedah dengan cara menganalisa proses kontruksi di dalam tiap medium dengan aspek-aspek realitas seperti orang, tempat, objek-objek tertentu, kejadian-kejadian, identitas kultural, dan konsep-konsep lainnya. Proses yang dimaksud merupakan penciptaan hubungan yang dibuat oleh kategorisasi identitas, seperti kelas, umur, gender, dan etnis, dalam sebuah teks. Tahap-tahap yang dilakukan dalam melakukan pengkritisan pada penelitian ini

adalah dengan cara melakukan analisis kritis terhadap wacana yang hadir dalam teks-teks pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom dalam koran Republika dan Tempo. Pengambilan objek analisis ini juga didasarkan pada paradigm penelitian kualitatif yang tidak memandang validitas penelitian dari kuantitas unit analisis. Analisis ini merujuk kepada teks pemberitaan yang menggunakan labellabel keperempuan seperti kecantikan, gaya berpakaian, atau gaya hidup dari Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, dan Miranda Goeltom dalam koran Republika dan Tempo. Analisis teks ini akan menggunakan metode analisis wacana kritis sara mills yang terdiri dari dua proses besar. Langkah pertama yang dilakukan adalah melihat konteks subjekobjek dalam pencitraan yang dibangun oleh teks-teks berita Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom dalam Koran Republika dan Tempo tersebut. Dengan menguraikan posisi subjek-objek tersebut, peneliti akan mencoba untuk melihat bagaimana konsep mengenai perempuan dalam teks berita perempuan yang melakukan tindak kejahatan korupsi dalam koran Republika dan Tempo. Posisi subjek-objek yang dimaksud disini berarti siapakah aktor yang dijadikan subjek yang mendefinisikan dan melakukan penceritaan dan siapakah yang ditampilkan sebagai objek, pihak yang didefinisikan dan digambarkan kehadirannya oleh orang lain. Dalam analisis posisi subjek-objek akan dilihat bagaimana posisi dari berbagai actor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan pada teks-teks pemberitaan. Berdasarkan metode analisis wacana kritis Sara Mills, representasi dalam teks dapat dikaji dengan melihat siapa yang menjadi subjek dan objek dalam teks berita yang diteliti.Subjek merupakan pihak pencerita atau menjadi subjek penceritaan.Subjek penceritaan dalam teks adalah pihak yang memiliki

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

114


kuasa untuk menampilkan suatu gagasan atau peristiwa melalui pandangannya. Sedangkan objek atau objek penceritaan adalah objek yang tidak memiliki kuasa dalam teks dan digambarkan oleh pihak lain. Selain itu peneliti juga akan melihat apakah semua pihak yang punya kepentingsn bias menampilkan diri atau gagasannya dalam teks, apakah ada pihak yang kehadiran dan gagasannya hanya ditampilkan oleh orang lain. Disini peneliti akan mencoba untuk menguraikan posisi subjek-objek dalam teks pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom dalam koran Republika dan Tempo. Teks-teks yang diambil adalah teks-teks yang memiliki konsep perempuab dan bagaimana konsep tersebut dibuat menjadi legitimate, sementara gagasan lainnya ditampilkan sebagai illegitimate. Langkah kedua yang akan dilakukan adalah menguraikan konteks penulis-pembaca yang ditampilkan dalam teks pemberitaan mereka. Disini peneliti akan menguraikan bagaimana proses penyapaan yang dilakukan penulis terhadap pembacanya melalui teks-teks pemberitaan Angelina Sondakh,Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom yang terkait dengan tindak kejahatan korupsi yang dilakukan mereka dalam koran Republika dan Tempo. Kemudian akan dilihat bagaimana pembacaan dominan yang terjadi, dan kepada siapa teks itu ditujukan. Mills memperhatikan pandangan posisi pembaca menurutnya tidak bisa diabaikan begitu saja dan justru harus dipertimbangkan dalam teks.Menurut Milss teks adalah hasil negoisasi antara penulis dan pembaca. Dan pembaca tidak dianggap sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Dalam tahap ini, peneliti akan mencoba menganalisa bagaimana hubungan antara penulis dan pembaca dalam proses produksi teks. Analisa ini akan menjadi proses penyapaan

dan penempatan posisi pembaca dan teks. Proses penyapaan bekerja melalui dua cara, yaitu mediasi dank ode budaya. Dan bagaimana penempatan posisi pembaca dalam teks akan dibahas bagaimana pembaca dominan dan juga bagaimana teks kemudian ditafsirkan oleh pembaca. Dalam penelitian yang dibuat peneliti menggunakan media koran sebagai teks pemberitaan yang akan diteliti. Untuk itu peneliti malakukan analisis posisi penulis berita dan pembaca dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana kritis model Sara Mills. Moleong (2006 : 6) berpendapat penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sedangkan Sugiono (2005 : 1) mengatakan metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Dari dua pendapat di atas tentang penelitian kualitatif di atas, dapat disimpulkan bahwa, metode penelitian kualitatif untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian, dengan cara menafsirkannya lewat kata-kata agar mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, peneliti menjadi instrument kunci untuk mengungkapkan makna di balik objek penelitian, dengan memanfaatkan berbagai metode. Sugiono (2005 : 1) mencoba menjelaskan kemunculan penelitian

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

115


kualitatif ini, “ metode penelitian ini muncul karena terjadi perubahan paradigma dalam memandang realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, dan penuh makna. Menurut Hamad ( 2004 : 34) paradigma kritis adalah paradigma kritikal melihat realitas yang teramati (virtual reality), dalam hal ini realitas media, adalah realitas “semu� yang terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik. Dengan demikian, menurut paradigm ini berita yang ada di media termasuk yang ada di riset ini, adalah realitas yang teramati sebagai kontruksi para pembuatnya (wartawan) yang dipengaruhi oleh faktor sejarah media di mana para wartawan bekerja dan oleh kekuatankekuatan lain itu. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa paradigma kritis memandang realiats dalam berita media massa, adalah realitas semu, karena terbentuk oleh proses sejarah, sosialbudaya, dan kekuatan lain yang berada di sekitar media tersebut. Teks berita mengenai Representasi Perempuan Dalam Media Massa pada pemberitaa tersangka pelaku korupsi Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom akan dianalisis dengan metode analisis wacana. Karena penelitian ini berangkat dari paradigma kritis, maka analisis wacana metode ini disebut; Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis atau CDA).Ibrahim (2009 : 240) CDA memandang dirinya sebagai penelitian yang terlibat secara politis dengan suatu kebutuhan emansipatoris: mencoba memberikan dampak pada praktik sosial dan hubungan sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis memahami bahwa analisis wacana kritis terlibat secara politis menuntut persamaan hak dan aspek praktik sosial yang dilakukan media massa dalam menjalin hubungan dengan masyarakat. Analisis

wacana kritis menghubungkan teks dengan fakta sosial institusi, serta sosial budaya masyarakat, sehingga mempengaruhi makna dalam produksi teks berita tersebut. Hubungan yang kompleks ini akan membongkar efek ideology yang disebarkan kelompok dominan lewat media kepada masyarakat. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan analisis terhadap teks, baik Republika dan Tempo, peneliti menemukan bahwa dalam kurun waktu yang hampir bersamaan mengungkapkan pemberitaan tentang kejahatan korupsi yang di lakukan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goletom, keduanya menurunkan pemberitaan dengan menyajikan permasalahan dengan pokok tema yang senada cenderung sama. Pemberitaan yang dibangun Republika maupun Tempo, mencerminkan bukan hanya informasi mengenai kejahatan korupsi yang dilakukan mereka tetapi adanya penambahan label-label keperempuanan yang menyebabkan pemberitaan mengenai kasus korupsi mereka lakukan menjadi berita bias, ini menunjukkan Representasi perempuan dalam media massa masih terbangun oleh konteks budaya yang menghegemoni yaitu budaya partrarkhi, peneliti menemukan penambahan label-label pemberitaan baik dari isi maupun dari judul tema yang diangkat dalam pemberitaan tersebut, adapun tema yang menyangkut dalam penambahan kalimat yang berkaitan dengan label-label keperempuanan yaitu Perempuan dan Gaya Hidup, Perempuan dan Tanggung Jawab Sosial serta Perempuan dan Ketergantungan Laki-laki. Adapun Representasi perempuan dalam Koran Republika dengan penambahan label-label keperempuanan di balik pemberitaan kejahatan korupsi yang di lakukan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom terrepsentansi bahwa perempuan identik dengan gaya hidup, serta makhluk yang

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

116


harus sempurna dan kelemahan sehingga ia harus bergantung kepada laki-laki, label-label keperempuanan yang digunakan dalam koran republika mencerminkan bahwa Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom dijadikan sebagai objek pencerita di dalam koran Republika, bagaimana perempuan terrepresentasi dalam konteks budaya yang melekat hingga saat ini, terbukti dengan penggunaan label-label keperempuanan yang digunakan dalam pemberitaan mereka. Perempuan yang tergambar dari koran Republika yang berkaitan dengan Gaya Hidup bahwa Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, dan Miranda Goeltom adalah perempuan yang hidupnya mewah, bergaya atau mengikuti trendsetter. Angelina Sondakh yang bak model, dengan menginformasikan pakaian yang digunakan dan senyum khas dari putri Indonesia, layak kontes kecantikan yang di lakukan setiap moment-moment yang berkaitan dengan kasus korupsinya maka wartawan dalam hal ini penulis berita menambahkan berita tersebut dengan penampilan secara fisik dari Angelina Sondakh tersebut. Sedangkan Nunun Nurbaeti tergambar sebagai pemakai kaca mata hitam, kaca mata hitam merupakan assesories yang di gunakan perempuan, atau penggunaan kerudungnya, sedangkan Miranda Goeltom penggunaan cat rambut yang di gunakan, informasi pemberitaan tersebut merupakan penambahan labellabel wanita atas konteks budaya, ini di uraikan oleh wartawan Republika bahwa penggunaan label-label keperempuanan merupakan stigma budaya yang berlaku, artinya budaya yang melekat pada saat ini, jika terbentuk wanita suka akan gaya hidup mewah seperti mereka adalah wanita berkelompok sosialita, maka penggambaran terhadap mereka apa adanya, dalam konteks ini penambahan ini hanya sebagai konteks budaya perempuan yang di pandang pada saat ini.

Selanjutnya pada tema perempuan dan tanggung jawab sosial koran Republika membuat label keperempuanan bagi Angelina Sondakh yaitu “janda Adjie Masaid“, “Ibu satu anak ini”, dan “mantan Putri Indonesia”, sedangkan pada Nunun Nurbaeti penggunaan kalimat “Ibu Nunun”, dan “Istri dari mantan Wakapolri Adang Daradjatun” dan Miranda Goeltom penggunaan kalimat “seorang profesor bernama Miranda”, ini menunjukkan bahwa sosok perempuan harus sempurna karena ia seorang teladan untuk anakanaknya, bagaimana perempuan merupakan dianggap sebagai makhluk yang harus baik, berkaitan dengan korupsinya, Selanjutnya pada tema perempuan dan ketergantungan laki-laki, koran Republika hanya sedikit menampilkan kalimat yang mengenai ketergantungan perempuan dan laki-laki, hanya pada pemberitaan Angelina Sondakh yang bertema “ Angelina berpacaran dengan Penyidik KPK”. Subjek dan Objek Koran Republika dalam pemberitaan perempuan di koran Republika, penulis berita menempatkan sosok Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom hanya sebagai objek pemberitaan, dengan penambahan labellabel yang berkaitan dengan gaya hidup, perempuan dan tanggung jawab sosial, serta perempuan dan ketergantungan lakilaki, dan koran Republika masih memandang wanita sebagai wanita yang terstigma budaya yang melekat saat ini, ini sesuai dengan wawancara dengan redaksi koran Republika, penggambaran wanita pada saat ini, penggambaran wanita yang terbentuk dalam budaya saat ini, adapun pemberitaan mengenai penambahan labellabel perempuan merupakan gambaran yang terkonteks dalam budaya saat ini. Penulis-pembaca dalam koran Republika dalam hal ini wawancara dengan Mariana salah satu direktur Jurnal Perempuan, mengatakan bahwa Republika menampilkan pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurabeti dan Miranda

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

117


Goletom mendapat tambahan label-label keperempuan sehingga menimbulkan berita bias, penambahan berita itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan, dan perempuan masih terhegemoni oleh budaya patriarkhi budaya. Representasi Perempuan dalam koran Tempo, dalam hal ini peneliti masih menggunakan tema mengenai pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom menjadi tiga tema yaitu : Perempuan dan gaya hidup, perempuan dan tanggung jawab sosial, perempuan dan ketergantungan laki-laki. Dalam pemberitaan koran Tempo peneliti masih melihat penggunaan label-label keperempuanan, label-label yang mengandung tiga tema tersebut, bahwa dalam media koran masih memandang perempuan dalam budaya stigma yang melekat, dalam budaya patriarkhi perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, menurut sebagian kalangan feminis, akibat diciptkan oleh masyarakat patriarki yang memiliki tujuan untuk mempertahankan dominasi laki-laki. Peran laki-laki yang dinilai sebagai maskulin biasanya berhubungan dengan kegiatankegiatan yang bersifat intelektual, mandiri, rasional, obyektif, dan kegiatan-kegiatan di ruang public. Sementara itu cermin sifat feminine yang di anggap milik perempuan dan mempunyai nilai yang lebih rendah daripada nilai maskulin adalah pasif, ketergantungan, emosi, subyektif, kegiatan domestic dan kepatuhan. Nilai-nilai tersebut baru dianggap berarti atau memiliki “nilai� jika sudah diangkat ke ruang public dan dinilai atau diberi pengakuan oleh kacamata laki-laki (Jurnal Perempuan edisi 16 hal 12). Penggunaan label-label keperempuanan pada sosok Angelina Sondakh dengan tema gaya hidupnya, wartawan menuangkan tulisannya dengan menampilkan sosok Angelina Sondakh bak model,artis, walau latar belakang Angelina Sondakh ia seorang public

figure, artis yang pernah mengikuti kontes ajang Putri Indonesia tapi tidak seharus penambahan kalimat-kalimat tersebut di gunakan dalam pemberitaan yang dominan yaitu korupsi yang menimpanya. Perempuan di pandang sebagai kecantikan semata konteks budaya yang melekat berkenaan dengan sosok perempuan dalam hirarki patriarkhi. Begitu pun dengan sosok Nunun Nurbaeti dalam pemberitaannya di gambarkan sosok yang mewah bergaya sosialita, bergaya style mengikuti trend nya, seperti penggunaan accessories yang di gunakan pada saat moment persidangannya,penangkapannya dan vonisnya terhadap dirinya. Sedangkan pada pemberitaan Miranda Goeltom dalam tema perempuan dan gaya hidup koran Tempo pun menggunakan label-label keperempuanan yang keluar dari tema tentang kasus korupsi yang menimpanya, seperti informasi mengenai gaya rambut yang bercat, dan juga gaya hidup yang berkomunitas sosialita. Adapun tema tentang perempuan dan tanggung jawab sosial, koran Tempo merepresentasikan perempuan dalam pemberitaan sebagai sosok yang harus sempurna, dan mempunyai tanggung jawan sosial lebih di bandingkan laki-laki, seperti halnya sosok Angelina dalam pemberitaan tersebut banyak menggunakan label-label keperempuanan penggunaan kata Putri Indonesia di dominasi dalam pemberitaan Angelina Sondakh yang menunjukkan bahwa seorang Putri harusnya mempunyai sifat yang baik, dan terlebih dia seorang dari Ibu, penggambaran ibu dalam patriarkhi sosok teladan dan mempunyai tanggung jawab moral terhadap anaknya di bandingkan peran seorang ayah. Sedangkan pada sosok Nunun Nurbaeti penggunaan label-label keperempuanan di dominasi oleh “istri bekas wakapolri Adang Daradjatun� ini merepresentasi bahwa seorang Nunun Nurbaerti seorang istri dan terlebih istri

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

118


dari mantan Wakapolri yang merupakan penegak hukum, tidak seharusnya melakukan perbuatan tercela yaitu korupsi, penggambaran istri merupakan sosok yang patuh, penurut dan harus menjaga martabat atau nama baik keluarga terutama suami, koran Tempo seolah menjudge dalam setiap pemberitaan yang berkaitan dengan korupsi yang di lakukan Nunun Nurbaeti dalam hal ini istri mantan Wakapolri Adang daradjatun. Pada sosok Miranda Goeltom koran Tempo merepresentasi tema perempuan dan tanggung jawab sosial sebagai sosok teladan, guru besar karena Miranda Goeltom merupakan pengajar Universitas Indonesia, dengan profesinya sebagai pengajar maka Miranda Goeltom secara konteks budaya harus berperilaku baik sebagai pendidik, dan ketika melakukan perbuatan yang tidak baik yaitu korupsi maka koran Tempo menjudge dengan menggunakan penambahan kalimat “Guru besar Universitas Indonesia�. Sedangkan pada tema perempuan dan ketergantungan terhadap laki-laki, pada pemberitaan Angelina Sondakh Koran Tempo, memrepresentasikan sebagai sosok yang memiliki ketergantungan dengan laki-laki, karena di prediksi berpacaran dengan penyidik KPK maka akan mengurangi kasus hukum yang menimpanya yaitu korupsi. Sedangkan pada pemberitaan Nunun Nurbaeti pemberitaan yang menceritakan tentang kronologi pelariannya keluar negeri, yang mempunyai body guard yaitu laki-laki yang digambarkan sebagai sosok yang kuat, karena bertubuh besar, dan tinggi. Subjek-Objek Koran Tempo dari pemberitaan yang disajikan mengenai pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom penggunaan label-label keperempuanan yang di gunakan oleh koran Tempo menunjukkan bahwa pemberitaan tersebut bukan hanya sekedar memberikan informasi mengenai kasus korupsi yang dilakukannya tapi mereka dijadikan objek

sebuah berita atas konteks budaya mengenai sosok perempuan yang melingkupi penulis berita koran Tempo. Penulis-pembaca penggunaan kode budaya serta penggunaan kalimat secara tidak langsung menunjukkan bahwa penulis hendak merepresentsikan perempuan kepada pembaca, dan ini menjadi sebuah stigma yang melekat pada masyarakat mengenai sosok perempuan yang tergambar dalam pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom. Dalam wawancara dengan salah satu wartawati Koran Tempo penggunaan label perempuan yang di gunakan dalam pemberitaan, merupakan representasi para penulis berita, yang di dominasi oleh wartawan laki-laki, stigma budaya perempuan saat ini selain sudah setara secara pengetahuan tapi tidak di pungkiri bahwa perempuan sosok yang memang cantik, pandangan secara fisik itu melekat. Feminisme surat kabar dalam koran Tempo memang belum terjadi, dalam wawancara tersebut mbak Martha salah atau bagian redaksi koran tempo mengatakan para karyawan Tempo di dominasi laki-laki, hanya reporter saja yang jumlahnya hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan, untuk bagian ngedit, redaksi di dominasi oleh laki-laki, sejauh ini Koran Tempo tidak pernah membatasi dalam penulisan di karenakan koran Tempo belum sepenuhi menyadari akan feminisme tersebut. Dari sudut pembaca dalam hal ini wawancara dengan aktivis feminisme Ibu Mariana salah satu pimpinan Redaksi Jurnal perempuan, Koran Tempo merupakan salah satu koran yang sepenuhnya belum menyadari akan feminisme, terbukti dengan pemberitaan yang terkadang memojokan perempuan, gambar-gambar yang nyeleneh dari koran Tempo. Kebebasan pers sarat mengangkat tayangan dan pemberitaan yang penuh tindakan kekerasan, menghakimi dan diskriminatif perempuan

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

119


terhadap perempuan.Media lebih banyak melakukan pernyataan moral dan sensasional daripada membawa esensi untuk mencari solusi persoalan.Tidak sedikit pesan moral menjadi membatasi perempuan dalam banyak tayangan dan pemberitaan.Perempuan semakin dicitrakan sebagai makhluk yang seharusnya kembali ke wilayah domestic dan tunduk terhadap ketentuan terhadap ketentuan konvensi laki-laki patriarkhis. Media mainstream sangat sedikit memberi tempat atau ruang untuk tayangan dan pemberitaan yang berpihak pada kebebasan dalam arti hak warga Negara, terutama perempuan dengan alasan kebutuhan industri media, dan mengatasnamakan bahwa masyarakat lebih menyukai tayangan-tayangan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Bahkan media mainstream menjadi pihak yang berkuasa atas pencitraan masyarakat dan perempuan, dan meninggalkan kode etik jurnalistik sebagai salah satu mandate kebebasan pers. Pentingnya penyadaran media dan masyrakat serta memikirkan langkahlangkah strategis atas persoalan-persoalan di atas.Masyarakat sangat bergantung mendapatkan informasi melalui media, maka sangat dibutuhkan kehadiran media yang memberi pengetahuan atas kebaikan masyarakat dan Negara. Upaya ini memerlukan langkah media and society networking seperti bergandeng dengan Aliansi Jurnalis Independen, masyarakat Anti Televisi Buruk, dan komunitaskomunitas media dan masyarakat lainnya yang kritis terhadap persoalan media. Kita harus menyadari bahwa media adalah sebuah industry dan karenanya kebutuhan industry harus dipahami terlebih dahulu sebagai akar persoalan. Sudah membudaya paradigm wartawan Indonesia dalam menulis pemberitaannya selalu menggunakan label-label keperempuanan terkait permasalahan yang berkaitan dengan perempuan apalagi kasus-kasus yang

terjadi dalam politisi wanita Indonesia di lansir dalam pertemuan diskusi Media Parahyangan, Jurnal Perempuan, dan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PUSIK) Universitas Parahyangan mengadakan diskusi publik dengan tema Perempuan dan Korupsi pada 28 Juni 2012 di Universitas Parahyangan Bandung. Dalam hasil diskusi itu dikatakan Pembawa acara membuka diskusi ini dengan menghadirkan pertanyaan mengapa ada anggapan bahwa perempuan adalah biang korupsi dan mengapa laki-laki lebih dimaklumi saat melakukan korupsi karena dianggap melakukan korupsi demi keluarganya, sementara perempuan dihujat karena dianggap berkorupsi untuk membeli barang-barangmewah.bahwa mitos tersebut memang ditanamkan oleh kebudayaan untuk menegaskan bahwa passion itu di bawah reason padahal kenyataannya tidak demikian, Niken Savitri kemudian juga menolak premis tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa digeneralisasi ke setiap orang. Logika Koruptif dan Peranan Perempuan’ mengungkapkan bahwa korupsi memang selalu disandingkan dengan kekuasaan. Sebabnya pun beragam, contohnya sifat mendua kita: menghujat korupsi di tingkat pemerintahan tapi mentoleransi korupsi di tingkat yang lebih rendah. Negara ini menurut sangat kontradiktif, di satu sisi, negara ini dipenuhi ormas-ormas agama yang menegaskan ke-agamis-an, tapi di sisi lain, orang-orang kita sangat koruptif.Dan korban paling rentan dari segala tindak korupsi ini adalah perempuan. Orang lebih senang mendengarkan penampilan dan cerita mengenai perempuan yang korupsi, meliputi gaya hidup dan fashion yang dikenakan tapi lupa dengan substansinya. Pun ketika koruptor itu adalah laki-laki, perempuan dituduh menjadi pendorong mengapa laki-laki melakukan korupsi. Padahal kesemuanya itu adalah asumsi yang tidak didukung dengan survey

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

120


ilmiah.Ketidak-adilan logika koruptif ini merugikan perempuan.Logika berpikir induktif yang mengatakan bahwa jika ada perempuan korupsi maka semua perempuan korupsi itu tidak mempunyai nilai validitas.Dalam logika berfikir tersebut, yang ada adalah probabilitas, yang artinya, tidak semua perempuan melakukan korupsi hanya karena satu-dua orang melakukan korupsi. Fakta empiris menegaskan bahwa pada kenyataannya, korupsi dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki, terutama mereka yang memiliki kekuasaan. Power tends to corrupt dan ketidakjujuran melekat sebagai nilai moral pada siapa saja. Namun, ternyata yang paling dirugikan dari korupsi ini memang perempuan. Sebagai perempuan yang berkorupsi, yang dibicarakan adalah gaya hidup dan penampilan, bukan esensi korupsinya. Sebagai korban tindak korupsi, banyak perempuan dan anak dirugikan, sebagaimana terjadi di Subang, Indramayu, dimana anak-anak perempuan berumur 14 tahun, dibuatkan KTP yang usianya ditulis menjadi 19 tahun untuk kemudian dijual di Batam, Pekanbaru dan lain-lain. Pemalsuan KTP dan akses keadilan yang susah diperoleh perempuan dan anak karena penegak hukumnya korup menyebabkan perdagangan perempuan merajalela dan tidak terkendali. Lawan dari integritas dan bukan konstruksi budaya. Logika korupsi diterangkan dalam konstruksi politik, tentang sistem keadilan sosial, ide kebebasan individu dan kultur politik yang mengasuhnya. Korban paling utama dari korupsi adalah perempuan.Perempuan sejak mula-mula disalahkan dan dijadikan korban oleh segala peradaban patriarki.Istilah justice atau keadilan, hanya dipahami oleh perempuan, melalui pengalaman hidupnya seharihari.Perempuan yang disiksa, tapi tidak bisa mengucapkan sesuatu, karena konstitusi berbicara dengan bahasa lakilaki.Perempuan bukan tidak memiliki

kemampuan untuk menjadi subjek, hanya saja perempuan tidak mempunyai bahasa yang menjadi alat dia berbicara. Stigma bahwa perempuan sebagai sumber kejahatan dirawat dalam kebudayaan seperti mitos Pandora. Larangan bagi perempuan untuk mengeluarkan kritik adalah seperti kotak pandora yang dikunci dan membuka kotak pandora artinya membuka kekuatan pikiran. Maka, perempuan harus ke ruang publik, bersuara dan meneriakkan pikirannya.Sebab perempuan bukan tidak mampu, dia hanya dipinggirkan karena dia bukan laki-laki.Di pemerintahan, di DPR misalnya, perempuan ada namun tidak bersuara dengan suaranya sendiri.Ia ada sebagai kendaraan fraksi. Diskriminasi terhadap perempuan ini ditanamkan dalam peradaban yang memanipulasi dan dirawat melalui mitos.Sementara permainan politik sejak semula dikuasai laki-laki.Perempuan ingin berteriak mengenai ketidakadilan ini, tapi dia tidak bisa.Kemudian gerakan feminisme membuktikan bahwa perempuan mampu, bahwa perempuan bisa. Kegaduhan politik kita adalah karena politik patriarki. Ada 20 puskesmas yang tidak mendapatkan suntikan dana, sehingga ada ratusan ibu tidak punya akses kesehatan reproduksi sebab aliran dana APBD dibelanjakan untuk membuat garasi mobil sang bupati dari pada dialirkan untuk puskesmas. Rocky Gerung menegaskan bahwa perjuangan feminisme adalah perjuangan keadilan, sebab feminism equals to justice, demikian Rocky menutup presentasinya.

Kesimpulan Berdasarkan analisis wacana dengan metode Sara Mills terhadap pemberitaan Harian Republika dan Tempo tentang representasi perempuan dalam media massa pemberitaan pelaku tindak kejahatan korupsi Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom,

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

121


dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan analisis terhadap teks, Republika mengungkapkan tema sentral tentang; Tindak kejahatan korupsi yang di lakukan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom, begitu pun dengan Tempo mengemukakan tema yang hampir sama tindak kejahatan korupsi yang di lakukan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom. Baik Republika dan Tempo dalam pemberitaan penulis berita menambahkan penggunaan labellabel keperempuanan yang ditulis dari berita tersebut sehingga menjadi berita yang bias, yaitu keluar dari konteks permasalahan tindak kejahatan korupsi yang di lakukan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom. 2. Berdasarkan subjek-objek pemberitaan dalam koran Republika dan Tempo memposisikan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom sebagai objek pemberitaan, ini terbukti dengan penambahan kalimat berupa labellabel keperempuanan, konteks budaya yang melekat menjadi paradigma dalam penulisan berita, terutama pengaruh-pengaruh mental dalam diri wartawan dan interaksinya dengan lingkungan budaya patriakhi dan pemahaman tentang feminisme dan gender. Konsepsi mereka menunjukkan adanya keberpihakan semu antara pelaku tindak kejahatan korupsi yang di lakukan laki-laki dan perempuan. 3. Berdasarkan penulis-pembaca, dalam konteks penulis, penulisan berita banyak menggunakan kode budaya baik secara langsung dan tidak langsung, kode budaya secara

langsung yaitu pada penggunaan bahasa penyapaan langsung yang di lakukan koran Republika dan Tempo terhadap penulis, sedangkan kode budaya yaitu berupa penyapaan tidak langsung, ini menunjukkan bagaimana koran Republika dan Tempo bernegoisasi terhadap pembacanya. Negoisasi berupa mempengaruhi opini penulis terhadap pembaca. Dalam konteks pembaca, pembaca mengatakan bahwa pemberitaan baik dalam koran Republika dan Tempo menyudutkan pihak perempuan, penggunaan label-label keperempuanan yang di lakukan koran Republika dan Tempo dalam pemberitaan Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom menunjukkan bahwa feminisme media belum sepenuhnya di jalankan oleh media, dan konteks budaya yang melekat pada penulis berita menjadikan sosok perempuan terdiskriminasi. Pembedaan jenis kelamin dalam kontruksi budaya perempuan masih terkungkung.

Daftar Pustaka Bungin, Burhan, 2007. Sosiologi Komunikasi. Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Jewkes, Jvonne, 2005. Media & Crime.Sage Publication, London, New Delhi and Kafiris, Krini. 2005. The Gender and Media Handbook: Promoting Equality,Diversity and Empowerment, Mediterranean Institute of Gender Studies, Cyprus. Lexy J. Moleong, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

122


Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa.Granit, Jakarta. Sugiono, 2008.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV. Alfabeta, Bandung. Jurnal Aris, 2009.Represesentasi Perempuan di dalam Wacana Berita Surat Kabar : Suatu Analisis Wacana.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.Vol. 15.2 : 249-260 Dwi Amalia Chandra Sekar, 2006. Eksploitasi Perempuan oleh Media Cetak Di tinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia: Kajian di Sejumlah tabloid di DKI Jakarta. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia : 65-89 Luviana, 2007.Identitas Perempuan Indonesia Dalam Koran dan Majalah. Jurnal Perempuan. 57: 47-59 Mariana Amiruddin, 2010. Mitos Kecantikan di Media (Sebuah Kritik Feminis). Jurnal Perempuan 67 : 23-31 Tim Peneliti LeSPI Semarang, 2007.Isu Perempuan Di Media Cetak Pada Era Orde Baru dan Reformasi. Jurnal Media Watch 02 : 4-9 Nurul Hasfi,Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Undip, 2011. Representasi Perempuan Pelaku Kejahatan (Woman Offender) di Media Massa: Analisa Pemberitaan Malinda Dee

Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 2 NO.1 Juli 2014 | Daftar Pustaka

123


PEDOMAN PENULISAN JURNAL Beberapa hal yang harus diperhatikan penulis dalam penulisan jurnal adalah sebagai berikut: 

Maksud dan Tujuan

Jurnal Avant Garde diterbitkan oleh Lembaga Riset Universitas Budi Luhur untuk media penyebarluasan hasil penelitian yang dilakukan para peneliti di lingkungan Universitas Budi Luhur maupun dari para peneliti lain. 

Ruang Lingkup

Jurnal ini memuat tulisan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi yang menunjang pengembangan ilmu pengetahuan , Teknologi dan Pembangunan Nasional. 

Bahasa Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku dan baik. Penggunaan istilah hendaknya menggunakan pedoman dari lembaga Pembinaan Bahasa. 

Bentuk Naskah Naskah diketik pada kertas jenis A4 putih pada satu permukaan dengan jarak 1,2 spasi. Tulisan mempunyai jarak 3 cm dari Kanan, kiri, atas dan bawah kertas berjarak 2,5cm. Panjang naskah tidak lebih dari 20 halaman dan sekurang-kurangnya 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Tulisan menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, naskah diketik dengan bentuk satu kolom. 

Isi Naskah Naskah disusun dalam urutan: judul ( Bahasa Indonesia); Nama penulis: lembaga/instasi: Abstrak ( 100-150 kata) dalam bahasa Inggris berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; Pendahuluan (berisi latar belakang; perumusan masalah; Tinjauan Pustaka; Tujuan penelitian); Metode penelitian ( alat, bahan, cara dan metode Analisis); Hasil dan pembahasan; Kesimpulan; Daftar Pustaka, lampiran ( kalau ada). Setiap Bab menggunakan angka 1 , 2 , 3 dst , sementara untuk Sub Bab menggunakan angka misalnya 1.1 , 1.2 , 2.1 2.2 dst . 

Judul Tulisan dan Nama Penulis Judul karangan berupa suatu ungkapan dalam bentuk kalimat pendek mencerminkan isi dari tulisan. Nama lembaga/Instansi pengarang harus jelas dicantumkan pada halaman pertama. Bila Penulis lebih dari satu orang, maka perlu diurutkan sesuai dengan kode etik penulisan. 

Tabel dan Gambar Tabel dan gambar diberi judul yang singkat dan jelas maksudnya. Judul tabel berada diatas, sedangkan judul pada gambar berada dibawah. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut (1,2,… dst) dengan menggunakan huruf Arial Bold ukuran 10 . 

Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka disusun menurut pedoman APA diketik 1 spasi untuk setiap pustaka dan berjarak 2 spasi untuk pustaka yang satu dengan yang lain. 

Alamat Redaksi Pelaksana Naskah dikirim dalam bentuk file (copy disket, copy CD) dan 1 print out ke: Redaksi Lembaga Riset Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260, Telp. (021) 5853753 Ext. 251 . Kelengkapan naskah dalam bentuk soft dan hard copy tersebut diatas harus diserahkan oleh setiap Fakultas yang bersangkutan kepada Lembaga Riset Universitas Budi Luhur sehingga dapat diketahui proses editing naskah awal hingga naskah akhir sebelum masuk ke percetakan , hal tersebut diatas dilakukan demi kelancaran proses percetakan dan terhindarkan dari terjadinya kesalahan teknis pencetakan .


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.