15 – 26 April 2013, 11.00 – 21.00 WIB di RURU Gallery
Grafis Huru Hara Putri Ayu Lestari Refreshink Printmaking Syaiful Ardianto Taring Babi
Seniman:
Grafis Huru Hara, Putri Ayu Lestari, Refreshink Printmaking, Syaiful Ardianto, Taring Babi Kurator: Asep Topan
Pembukaan Pameran: Sabtu, 13 April 2013, 19.00 WIB – selesai Pameran: 15 – 26 April 2013 (kecuali hari Minggu), 11.00 – 21.00 WIB di RURU Gallery, Jl.Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Jakarta Selatan 12820 Diskusi: Jumat, 19 April 2013, 16.00 WIB – selesai Pembicara: Hafiz Rancajale
PRINT: PROCESS
1
Dalam
P r o s e s Proses merupakan runtunan perubahan dalam perkembangan sesuatu. Dalam konteks ini, seni grafis. Kata “proses� dalam tajuk pameran ini bisa dimaknai sebagai dua hal: pertama, menjelaskan mengenai seni grafis secara luas sejak teknik cetak pada bidang dwimatra ini ditemukan. Sebagai cabang seni yang sangat erat kaitannya dengan teknologi cetak, seni grafis merupakan satu cabang seni rupa yang sulit dirumuskan secara umum. Tentu hal itu disebabkan oleh perkembangan teknologi cetak, yang membuat seni grafis pun terus berubah dan karena itu setiap definisi atas dirinya akan terus, dan sudah seharusnya, berkembang pula. Kenyataan ini mengerucutkan kesimpulan bahwa seni grafis merupakan salah satu seni yang sangat elastis sejak awal perkembangannya. Mudah berubah bentuknya, dan mudah kembali ke bentuk asal. Kita ambil contoh, pada abad kedua sebelum masehi di Cina, seni grafis atau printmaking mungkin hanya dikenal dengan jenis teknik cetak tinggi. Ketika pada 1798, teknik cetak datar litografi ditemukan oleh Alois Senefelder, pengertian seni grafis pun berkembang. Begitu seterusnya, ketika penemuan baru dengan teknik cetak dalam dan cetak saring ditemukan, semakin berkembang pula pengertian seni grafis yang kita kenal sekarang ini. Dalam perkembangan terakhir, cabang seni rupa ini mampu memberikan pengaruh pada awal perkembangan seni media baru. Perkembangan pengertian tentang seni grafis memiliki ketegangannya masing-masing di setiap masa. Dalam dunia seni grafis mutakhir, khususnya di Indonesia, terminologi konvensi seni grafis menjadi wacana yang tak jarang diperbincangkan. Istilah konvensi ini sangat merujuk pada pengertian teknik cetak manual yang terdiri dari empat bagian utama: cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring. Pengertian konvensi di tanah air pun, tak sertamerta merujuk pada tradisi dunia “Barat�, namun disesuaikan dengan konteks Indonesia mengenai material cetak, bahkan pola kerja. Jika merujuk pada hal tersebut, tentu saja hal ini berseberangan dengan elastisitas seni grafis, seolah menutup kemungkinan baru yang bisa terjadi, yang disebabkan oleh perkembangan teknologi cetak itu sendiri. 2
PRINT: PROCESS
Kedua, adalah makna “proses� yang lebih merujuk pada pola kerja seni grafis itu sendiri. Umumnya, sebuah karya seni diperlihatkan sebagai sebuah hasil akhir. Namun tak jarang, sebuah proses sangatlah penting untuk diperhatikan. Dalam seni grafis, proses kerja memiliki peranan yang sangat vital karena sangat berkaitan dengan alat cetak yang tak sedikit jumlahnya. Dalam beberapa teknik, seperti cetak dalam dan cetak datar, mesin yang digunakan sangat terbatas, bahkan keberadaanya di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Tentu saja, wacana penting dalam teknik cetak ini ialah kemampuannya untuk melipatgandakan, yang sudah seharusnya dilihat sebagai kelebihan seni grafis, sekalipun tak sedikit yang menganggapnya sebagai sebuah kekurangan. Seni grafis pada mulanya tak masuk dalam kategori fine art. Sejarah memaparkan kegiatan mencetak pada bidang dwimatra ini awalnya digunakan sebagai medium ilustrasi, distribusi kitab suci, atau propaganda politik. Tentu, dalam hal ini sifat reproduktifitas seni grafis menjadi sebuah kelebihan. Masuknya teknik cetak ini sebagai bagian dari fine art (dalam istilah “Barat�: dari printmaking menjadi fine art printmaking) menimbulkan isu baru dikarenakan sifatnya yang bisa digandakan. Masih banyak kalangan yang belum bisa memahami konsep orisinalitas dalam karya seni grafis—bahwa setiap karya seni grafis yang dicantumi tanda tangan dan edisi oleh seniman adalah karya orisinal. Hal ini tentu tak lepas dari kenyataan bahwa seni grafis kemudian berada sejajar dengan karya-karya fine art lainnya semisal drawing dan lukisan, yang tidak memiliki kemampuan penggandaan seperti seni grafis. Kerap kali dalam hal ini, kemampuan penggandaan tersebut dianggap sebagai sebuah kekurangan. Sebagai sesuatu yang inklusif, tak beraura. Dalam dunia seni rupa dewasa ini, penggunaan medium seni rupa sudah sedemikian berkembangnya, seakan tak berbatas. Kenyataan ini juga terjadi dalam dunia seni grafis. Para seniman generasi sebelum sekarang, masih menempatkan seni grafis dalam sudut pandang seni lukis. Inilah yang kemudian memunculkan perbincangan yang tak ada hentinya tentang perbandingan antara keduanya. Lain hal ketika kita melihat perkembangan terbaru pada diri seniman-seniman muda dalam menempatkan seni grafis sebagai medium berkarya mereka. Ada pergerakan yang lebih liar, yang lambat laun mengikis sudut pandang seniman terdahulu mengenai posisi seni grafis itu sendiri. Kita bisa melihat kecenderungan para perupa muda ini pada karyakarya poster mereka di jalanan, atau sablonan kaos, emblem, dan stiker yang mereka jual atau kenakan sendiri. Beberapa contoh tersebut menjauhkan definisi seni grafis yang masih merujuk pada seni lukis, bahkan fine art. PRINT: PROCESS
3
Dalam pameran seni grafis “PRINT: PROCESS”, lima seniman muda yang terdiri dari tiga seniman kelompok, Grafis Huru Hara, Refreshink Printmaking, serta Taring Babi, dan dua seniman individu, Syaiful Ardianto, dan Putri Ayu Lestari, diundang untuk menampilkan karya yang mewakili gagasan kuratorial dalam pameran ini. Mereka adalah para seniman generasi terbaru asal ibu kota yang aktif berkarya menggunakan medium cetak dalam kegiatan artistik mereka. Pameran “PRINT: PROCESS” ialah sebuah pembacaan mengenai perkembangan seni grafis di tengah budaya urban dan dunia seni rupa pada umumnya. Bagaimana para seniman menerjemahkan sebuah proses berkarya dan menghasilkan karya-karya seni grafis yang mampu menembus ruang-ruang di luar kesenian. Pameran ini ingin memperlihatkan suatu bagian dari perkembangan seni grafis yang senantiasa bersifat elastis sesuai masanya. Suatu masa di mana strategi artistik para perupa muda, semakin melepaskan seni grafis dari terminologi seni murni yang kita kenal sebelumnya. Asep Topan Kurator untuk pameran seni grafis “PRINT: PROCESS” RURU Gallery, Jakarta, April 2013
Asep Topan lahir di Majalengka, 27 Juni 1989. Menyelesaikan studi di Jurusan Seni Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta pada 2011. Aktif bergiat di ruangrupa sebagai penulis dan editor lepas, serta pengelola website kritik seni rupa dan budaya visual jarakpandang.net. Ia pernah menjadi periset di Indonesian Street Art Database pada periode 2011 - 2012. Selain itu, ia aktif di komunitas seni grafis Refreshink Printmaking sejak akhir 2011. Kini, ia terlibat dalam beberapa penyelenggaraan pameran di Taman Ismail Marzuki, Japan Foundation, Jakarta 32°C, serta ARTE Indonesia Arts Festival. Ia juga bertindak sebagai salah satu staf pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, dan menetap dan berkarya di Jakarta. 4
PRINT: PROCESS
PRINT: PROCESS
5
Putri Ayu Lestari
http://kobelita.blogspot.com/ Biasa dipanggil Ayu atau Kobelita, ia lahir di Jakarta pada 28 Juli 1991 dan berzovdiak Leo. Ia sedang belajar seni grafis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dan merupakan salah satu anggota tercantik di komunitas seni grafis Refreshink. Selain aktif berpameran dan membuat karya grafis, ia juga senang membuat buku cerita, kartu ucapan ulang tahun atau hari raya, ilustrasi, kolase, dan stop motion. Sering membuat karya dengan tema kekerasan, karena pernah menjadi korban kekerasan. Kekerasan dalam bercinta. E: putriayukobel@yahoo.com W: kobelita.blogspot.com Pameran bersama pilihan “Street Sticker Party”. Gardu House, Jakarta, 2011. “Hitam Putih”. Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2012. “Tak Kenal Maka Tak Sayang” pameran seni grafis komunitas Refreshink. Japan Foundation, Jakarta, 2012. “Karya Untuk Kawan #4”. Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2012. “Mayor 5”. Gedung Rektorat Institut Kesenian Jakarta, Jakarta, 2013.
6
PRINT: PROCESS
Cetak tinggi di atas kain Dimensi bervariasi 2013
Karmafoolish Buku cerita teknik drypoint 30 x 25 cm 2012 PRINT: PROCESS
7
Putri Ayu Lestari Gosip Drypoint di atas kertas Diameter 80 cm 2013
8
PRINT: PROCESS
Grafis Huru Hara
Mereka adalah sekelompok muda-mudi yang terbentuk di lingkungan Universitas Negeri Jakarta, di Jakarta Timur, dengan mengusung media seni grafis sebagai alat pendobrak untuk memecahkan kebuntuan dalam penatnya kehidupan sosial sehari-hari. Pada 2011, Grafis Huru Hara (GHH) memperkenalkan diri melalui pameran perdana seni grafis mereka di Institut Français d’Indonésie, Jakarta. Grafis Huru Hara Arief Rachman, Yansen, Robowobo, Arief Widiarso, Welly Baskoro, Juan Zaki Ersyad, Panji Jin, Dwi Penjol, Safirul, Sunu, AnggaAnggur, Angga Cipta, Adi Dhigel, Ami SimonyetBali, Bonit, Retno Tiawan, Adi Sundoro, Dolbi Sakula, Budi Dhado, Riezky Ponga, Apriliyan BSM, dan M. Sigit Budi Santoso. E: jin.panjipurnamaputra@gmail.com W: www.grafishuruharaindonesia.tumblr.com Pameran Pilihan “Grafis Huru Hara”. IFI Salemba, Jakarta, 2011. “Open House IFI”. Jakarta, 2011. “Open House IFI”. Jakarta, 2013. “Workshop Seni Grafis Cetak Tinggi”. Villa Merah, Jakarta, 2013.
PRINT: PROCESS
9
Grafis Huru Hara Berbeda dan Merdeka 100% Media campuran Seri 21 x 29 cm (21 panel) 2013
10
PRINT: PROCESS
PRINT: PROCESS
11
Refreshink Printmaking
Sebuah komunitas seni grafis yang dibentuk oleh perupa muda di studio seni grafis Institut Kesenian Jakarta, pada 2011. Kegiatan Refreshink meliputi partisipasi mereka dalam pameran seni rupa baik secara kelompok atau individu, serta lokakarya pembuatan karya seni grafis kepada masyarakat luas. Selain menampilkan karya di ruang galeri, komunitas ini giat membuat karya di ruang publik dengan membuat poster-poster bersama berbagai komunitas street art di Jakarta. Refreshink Printmaking Adi Pradana, Agung T. Wijaya, Asep Topan, Bagus Purwoadi, Depy Triana, Fernando, Galih Widayana, Geo Ferdias, Gregorio David Ganesha, Iman Hartono, Magdalena Agung Pardede, Lazuardi Binar, M. Yusuf Faisal, M. Panca Satria, Prio Priambodo, Putri Ayu Lestari, Risky Sagara, Risky Nata, Syaiful Ardianto, Verena Lubis, Walid Syartowi. E: refresh_ink@yahoo.com W: refreshink.tumblr.com Pameran bersama pilihan “Fresh From The Oven”, sebuah pameran seni grafis. Institut Kesenian Jakarta, 2011. “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, sebuah pameran seni grafis. The Japan Foundation, Jakarta, 2012
Refreshink Printmaking Komodifikasi Cetak saring di atas kertas, objek Dimensi bervariasi 2013
12
PRINT: PROCESS
PRINT: PROCESS
13
Taring Babi Komunitas band punk rock dan underground society yang berdiri di Depok pada 1996, yang juga memproduksi karya-karya visual berupa kaos, poster, selebaran, sampul kaset dan CD. Mereka giat menggelar acara musik yang diadakan bersamaan dengan lokakarya grafis cukil kayu di berbagai tempat di Jabodetabek dan kota lain di Indonesia. Karyakarya cukil kayu social-punkunderground Marjinal adalah hasil dua pemukanya, Bob Oi dan Mike, biasa diaplikasikan pada kaos berlabel Taring Babi. Taring Babi Bobi dan Mike. E: dosakoe@gmail.com W: taringbabimarjinal.blogspot.com kaum-marjinal.com Pameran bersama pilihan “Dari Cukil Sampai Stensil: Pameran Seni Grafis”. Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, 2007. JAK ART “A”, pameran woodcut dan lukisan. ACUD Gallery, Jerman, 2010. “TWO WHEELS ART EXHIBITION”. Carburator Spring, Bintaro, Jakarta, 2012.
14
PRINT: PROCESS
Cinta Pembodohan Cukilan MDF (Medium-Density Fibreboard) 39 x 54 cm
Do It Yourself Cukilan MDF (Medium-Density Fibreboard) 39 x 54 cm
Luka Kita Cukilan MDF (Medium-Density Fibreboard) 39 x 54 cm
PRINT: PROCESS
15
Marsinah Cukilan MDF 39 x 54 cm
Otot Kawat Tulang Baja Cukilan MDF 39 x 54 cm 16
PRINT: PROCESS
Syaiful Ardianto
Lahir di Jakarta pada 1984. Ia lulus dari Jurusan Seni Grafis di Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta pada 2011. Selain aktif berpameran dan terlibat dalam berbagai proyek seni rupa, ia sering membuat kaos dan poster dengan teknik cetak saring, kolase, maupun xerography. Pada 2010, karyanya terpilih sebagai Karya Seni Grafis Terbaik Jakarta 32°C 2010. Setahun kemudian, bersama seorang rekan bernama Godit, ia membuat sebuah proyek Cut and Rescue yang menampilkan “karya-karya tidak bermutu” dan “tak makan bangku sekolahan” yang bagi mereka sangat keren. Ia juga bekerja di Indonesian Street Art Database (ISAD). E: ini_ipul@yahoo.com W: www.jahipul.blogspot.com Pameran bersama pilihan “Jakarta 32°C – 2010,” pameran karya visual mahasiswa Jakarta, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2010. “Hanya Memberi Tak Harap Kembali,” pameran bersama 10 tahun ruangrupa. Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, 2010. “Divergence: Jakarta International Stencil Art”. North Art Space, Ancol, 2011. “1001 PINTU,” bersama Respecta Street Art Gallery. Ciputra Marketing Gallery, Jakarta, 2011. “IVAA – ArtJOG, ArchiveAID 2012”. Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2012. “WOOSAAH!!: Urban Art Exhibition”. ber.seni project art space, Jakarta, 2012.
PRINT: PROCESS
17
18
PRINT: PROCESS
Syaiful Ardianto Kode Alam Cetak saring di atas kertas Seri 14,8 x 10,5 cm 2013
PRINT: PROCESS
19
Seni Grafis
di Layar
Digital
Robin Hartanto
Saat ini, dengan kehadiran teknologi digital, karya grafis semakin serupa dengan makanan cepat saji. Ia bisa diproduksi oleh siapa saja yang memahami perangkat lunak grafis, direproduksi di toko-toko percetakan yang buka 24 jam (pun hasilnya bisa dipesan-antar), didistribusikan dalam sekian detik melalui satu-dua klik, dan, baik yang isinya sehat maupun tidak, dikonsumsi semua orang. Segala kemudahan dan percepatan sirkulasi karya grafis ini tak ayal membuatnya semakin dekat dengan keseharian. Karya grafis kini hadir di mana pun kita berada. Di wilayah publik, ia menjadi bagian dari wajah kota yang mau tak mau pasti kita alami. Di wilayah yang lebih privat, ia menjadi bagian dari berbagai barang yang kita konsumsi sehari-hari, termasuk pada pakaian, penutup entitas fisik paling privat dari masing-masing kita. Apa yang dekat, tidak selamanya baik. Di satu sisi, ini membuat peluang para seniman grafis untuk mengkomunikasikan gagasannya ke masyarakat semakin terbuka. Tetapi, di sisi lain, karya grafis menjadi kehilangan jarak dengan audiens, dan membuat batas-batas antara karya grafis sebagai karya seni dan sebagai komoditas industri semakin kabur. Di tengah situasi seperti itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana seni grafis harus memandang teknologi digital? Apakah ia harus dianggap sebagai lawan atau kawan? 20
PRINT: PROCESS
Barangkali jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah subjektif. Setiap seniman grafis tentu berhak punya sikap masing-masing. Ada seniman macam pertama yang memilih berpindah sepenuhnya ke digital dan tidak lagi merasa perlu untuk menguasai teknik-teknik konvensional. Ada seniman macam kedua yang tetap mempertahankan karya grafis sebagai slow food, menguasai teknikteknik konvensional dan bersikap anti-digital. Ada juga seniman macam ketiga, yang meletakkan satu kaki di ranah konvensional dan satu kaki di ranah digital. Tidak ada yang salah dengan pilihan-pilihan tersebut. Ini sebetulnya sudah ditegaskan oleh Bambang Bujono, pengamat seni rupa, yang sudah mengamati luasnya pengaruh teknologi digital saat diadakan pameran seni grafis pada Juni 2002 di Bentara Budaya Jakarta. Eksplorasi seorang seniman dalam bereksperimen mencari teknik baru, termasuk dalam berdialog dengan teknologi, antara sebal atau setia mengikuti konvensi, ketika semua itu bermuara dalam proses kreatif, pada akhirnya itu adalah kesenian juga.1 Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa sudah seharusnya perkembangan teknologi cetak-mencetak memperkaya wacana seni grafis. Apalagi, seperti yang diucapkan Hafiz ketika menjadi kurator pameran “Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil�, hakikat seni grafis sebagai praktik seni yang paling demokratis memang selalu erat hubungannya dengan teknologi.2 Ini bisa kita amati contohnya pada sejarah munculnya seni grafis itu sendiri di Indonesia. Merujuk pada tulisan Suromo, salah satu seniman pelopor seni grafis Indonesia, di Mimbar Indonesia pada 1950, karya-karya seni grafis pertama kali hadir di Indonesia karena alasan pragmatis yang memanfaatkan teknologi dari seni grafis. Tujuannya adalah untuk menyebarkan hasil-hasil seni rupa Indonesia di masyarakat sesudah proklamasi kemerdekaan, agar karya seni tidak hanya bisa dikoleksi beberapa orang saja. 3 Teknologi dari karya seni grafis memungkinkan tercapainya tujuan tersebut. Tidak seperti lukisan yang lahir sebagai satu, karya grafis bisa lahir dengan banyak saudara kembar sehingga bisa dimiliki banyak orang. Selain itu, dengan membuat banyak, harga karya juga bisa lebih terjangkau. Sifat reproduktif ini menjadi hak istimewa dari medium seni grafis yang tidak dimiliki oleh cabang seni lain seperti seni lukis atau seni patung (yang membuatnya juga kerap dipakai sebagai aktivisme dan propaganda), tanpa mengesampingkan kualitas otentik yang dihasilkan dari berbagai macam teknik seni grafis. Sepanjang sejarah, perkembangan seni grafis tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi. Maka, sudah sewajarnya kehadiran teknologi digital berpotensi menyemarakkan praktik dan penjelajahan seni grafis. PRINT: PROCESS
21
Salah satu peran teknologi digital adalah memperluas ruang dan waktu bagi demokratisasi karya grafis. Teknologi digital membuat proses sirkulasi karya grafis, dari produksi, reproduksi, distribusi, hingga konsumsi, tidak lagi memiliki batasan fisik. Kita kini bisa saja membuat karya grafis dengan menggunakan perangkat Adobe, mengunggah hasil akhirnya ke Facebook dan Twitter, lalu mendapatkan like, share, dan retweet dari siapa pun di mana pun, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Teknologi digital juga memungkinkan pengembangan teknik pembuatan karya grafis itu sendiri. Hadirnya piranti-piranti baru membuat medium karya seni grafis semakin beragam. Dialog seniman dengan medium karya bisa sangat kaya, tarik-ulur di antara kedua lingkup medium (konvensional dan digital) menciptakan ketidakstabilan yang mampu menghadirkan sesuatu yang unik dan baru. Potensi dari teknologi digital tidak berhenti sampai di situ. Ia, lebih jauh lagi, bukan hanya membuka ruang eksplorasi, tapi juga menantang definisi dan melakukan desakralisasi karya seni. Apa yang disebut karya seni, yang konon katanya punya “jiwa tampak�, ketika ia tidak lagi hadir dalam bentuk fisik? Apa yang disebut karya seni grafis, ketika teknik digital memungkinkan seni grafis tumpang-tindih dengan seni visual lainnya? Segala definisi menjadi buyar. Salah satu pameran yang paling segar menyoroti fenomena digital adalah “New Adjustment� di ARTE Indonesia Arts Festival 2013 yang baru berlangsung pada akhir Maret 2013 di Jakarta. Ade Darmawan, kurator pameran tersebut, dengan gamblang mengangkat fenomena digital sebagai isu. Banyak karya menarik di dalam pameran ini yang memperlihatkan dialog seniman dengan teknologi digital, misalnya karya cetak digital Andang Kelana yang berjudul Chiper Video #5 (2012), yang menampilkan gambar 196 kode QR. Sebagai karya grafis yang ditampilkan pada sebuah pameran, karya ini tidak membutuhkan teknik gambar dan cetak yang mumpuni dan malah tidak akan bermakna apa-apa jika hanya dilihat langsung. Tetapi jika kita kemudian menelusurinya via perangkat digital yang bisa membaca kode QR, maka pada setiap kode QR tersebut akan muncul satu video yang ia ambil dari situs video di jagat Internet. Contoh lainnya, karya jenaka Angga Cipta dengan judul IMG_180945_001. jpg (2013). Dengan teknik cetak digital di atas lembar akrilik, Angga menggambarkan situasi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, 18 September 1945. Sekilas tidak ada yang aneh dengan ilustrasinya. Tetapi 22
PRINT: PROCESS
jika dilihat lebih detail, tampak beberapa warga sibuk memegang telepon genggam untuk memotret kejadian. Jelas bahwa Angga hendak mengkritisi realitas budaya teknologi digital yang tengah melanda masyarakat sekarang. Karya-karya di dalam pameran tersebut melengkapi penjabaran saya sebelumnya, bahwa selain mempengaruhi sirkulasi karya dan kreativitas medium, teknologi digital juga bisa menjadi ladang gagasan. Ini bisa jadi yang paling penting dari semua, karena tak ada gunanya jika medium kaya, sirkulasi luas, tapi gagasan miskin. 1
Bambang Bujono, “Seni Grafis yang Tak Lagi Malu-malu (Dari Pameran Penjelajahan Media dan Gagasan),” Kompas, 5 Juli 2002. 2 Hafiz, “Seni Grafis Indonesia: dari Cukil sampai Stensil,” katalog pameran Seni Grafis, dari Cukil sampai Stensil (Jakarta: Bentara Budaya Jakarta dan Galeri Nasional Indonesia, 2007). 3 Suromo, “Seni Grafik Indonesia,” Mimbar Indonesia, nomor 6, 11 Februari 1950.
Robin Hartanto adalah warga Jakarta yang, sama seperti warga biasa lainnya, menghabiskan separuh hidupnya di jalan sambil berkicau di Twitter. Ia percaya bahwa hidup adalah seri kejadian yang, tanpa diduga, saling bertautan. Berkat cita-citanya sebagai arsitek, misalnya, ia sekarang bekerja sebagai penulis serabutan.
PRINT: PROCESS
23
24
PRINT: PROCESS
PRINT: PROCESS
25
ruangrupa mempersembahkan:
Seniman:
Grafis Huru Hara, Putri Ayu Lestari, Refreshink Printmaking, Syaiful Ardianto, Taring Babi Kurator: Asep Topan
Pembukaan Pameran: Sabtu, 13 April 2013, 19.00 WIB – selesai Pameran: 15 – 26 April 2013 (kecuali hari Minggu), 11.00 – 21.00 WIB di RURU Gallery, Jl.Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Jakarta Selatan 12820 Diskusi: Jumat, 19 April 2013, 16.00 WIB – selesai Pembicara: Hafiz Rancajale Wacana mengenai seni grafis yang ada selama ini cenderung hanya mengarah pada persoalan medium. Pada diskusi ini, Hafiz akan berbicara mengenai apa yang bisa diharapkan dari medium seni grafis dalam menghadapi berbagai kemungkinan artistik yang saat ini sudah berkembang jauh, baik di tengah perkembangan seni rupa kontemporer dan teknologi digital, maupun dalam keseharian masyarakat. 26
PRINT: PROCESS
“PRINT: PROCESS� Sebuah Pameran Seni Grafis Grafis Huru Hara, Putri Ayu Lestari, Refreshink Printmaking, Syaiful Ardianto, Taring Babi Kurator: Asep Topan Koordinator Pameran: M. Sigit Budi S. Administrasi dan Pusat Data: Ajeng Nurul Aini Penulis: Robin Hartanto, Asep Topan, Indra Ameng Pembicara Diskusi: Hafiz Rancajale Penyelaras Bahasa: Ardi Yunanto Desain dan Ilustrasi: Angga Cipta Produksi: M. Sigit Budi S. Percetakan: Rinam Antartika PRINT: PROCESS
27
ruangrupa adalah sebuah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal online. Direktur: Ade Darmawan Manajer: Ajeng Nurul Aini Keuangan: Laurentius Daniel Art Lab: Reza Afisina Dukungan dan Promosi: Indra Ameng, M. Sigit Budi S Pengembangan Seni Video: Mahardika Yudha, Deasy Elsara Penelitian dan Pengembangan: Hafiz, Mirwan Andan, Samuel Bagas Ruru corps: Julia Sarisetiati, Maya S. Karbonjournal.org: Ardi Yunanto, Farid Rakun, Leonhard Bartolomeus, Robin Hartanto IT & Website: oomleo ruangrupa Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Jakarta Selatan 12820 Indonesia T/F: +62 21 8304220 E: info@ruangrupa.org W: ruangrupa.org