Sidewalk Warfare

Page 1

Sidewalk Warfare


RUN AND LEARN New Curatorial Constellation


2


Sidewalk Warfare

REZA AFISINA + LOG OUT CORPS Curated by:

ASEP TOPAN


Sidewalk Warfare: REZA AFISINA + LOG OUT CORPS Published in Indonesia, 2015 Graphic Design: Teddy Setiadi Editor: Afra Ramadhan Translator: Raka Ibrahim

103 pages, 148 x 210 mm, Printed in Jakarta. Copyright © Asep Topan 2015

//aseptopan.com


Daftar Isi Contents Kata Pengantar Foreword

8 10

Pengantar Kuratorial Curatorial Notes

12 14

Karya-karya/Artworks

17

Trotoar : Produksi Ruang Ketiga dalam Ruang Publik Urban Kontemporer Frans Ari Prasetyo

Sidewalks: Production of Thirdspace in Contemporary Urban Public Space Frans Ari Prasetyo

48

62

Forum Kurator Muda: Menjembatani dan Menciptakan Generasi Selanjutnya Asep Topan

The Young Curator’s Forum: Bridging the Gap, and Creating the Next Generation

76

Asep Topan

84

Seniman/Artists Kurator/Curator

92 96

Crew Acknowledgment Media Partners

101 102 103


6


7


Kata Pengantar Saya, selaku Director General The Japan Foundation, Jakarta merasa bangga karena lembaga kami kembali berkesempatan untuk turut berperan dalam membina dan mengembangkan kurator muda dalam dunia kesenian Indonesia. Program kali ini diawali dengan serangkaian pelatihan dan penyaringan pada beberapa sesi pengembangan kurator muda Indonesia, di mana kami mendapatkan nama Asep Topan (yang sempat tertulis sebagai Asep Taifun) pada list nama peserta terpilih workshop kurator yang kami selenggarakan pada bulan Februari 2014 lalu. Di akhir sesi, setelah melalui seleksi yang ketat, Asep menjadi satu dari empat peserta yang terpilih untuk mengikuti Invitation Program for Next Generation Curators of Southeast Asia di Jepang selama dua pekan. Bersama dengan kurator muda terpilih dari Filipina, Malaysia dan Thailand mereka mengunjungi berbagai museum dan galeri, berdiskusi bersama para kurator senior Jepang serta mencicipi ritme kehidupan di sana. Melalui interaksi yang juga melibatkan kurator muda dari Jepang, mereka belajar, menjalin jejaring dan saling menginspirasi untuk melahirkan ideide baru. Gagasan dari ide mereka ini akhirnya diwujudkan dalam proyek kuratorial bertajuk “Run and Learn� yang diselenggarakan di IndonesiaThailand-Filipina dan Malaysia. Sejak didirikan tahun 1972, melalui berbagai program pertukaran budaya, The Japan Foundation berupaya untuk menumbuhkan rasa saling memahami sebagai landasan untuk menjalin hubungan persahabatan. Program kali ini merupakan salah satu jenis upaya yang memberikan kesempatan kepada kurator muda untuk lebih memahami profesi yang baru saja mereka tekuni. Pentingnya peran kurator menjadi salah satu pertimbangan saat kami merancang program ini. Melalui program ini kami harapkan agar mereka sadar akan kedudukan mereka yang sama 8


pentingnya dengan kedudukan seniman, di mana mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencerdaskan masyarakat. Bersama pihak penyelenggara mereka harus menciptakan kerjasama yang baik agar pesan sang seniman dapat tersampaikan dan masyarakat dapat mengapresiasinya dengan baik. Kami sangat berharap apa yang telah dialami oleh Asep selama program ini berlangsung dapat memperkaya prosesnya dalam meniti karir. Kepada Asep Topan kami, atas nama The Japan Foundation mengucapkan selamat atas sebuah lagi langkah yang baru saja dicapai. Semoga jejaring yang mulai terbina ini terus berlanjut dan berkembang serta memperkuat persahabatan Indonesia-Jepang.

Jakarta, 15 Januari 2015

Tadashi OGAWA Director General The Japan Foundation, Jakarta.

9


Foreword As the Director General of the Japan Foundation, Jakarta, it gives me immense pride that our foundation could once again take part in developing young curators for the Indonesian art scene. This program started with a series of selection and training processes to develop young curators in Indonesia. During these sessions, we met Asep Topan (whose name was once mistyped as ‘Asep Taifun’) and chose him as one of the participants of our curatorial workshop, held on February 2014. After a rigorous selection process, Asep was chosen as one of the four participants for the Invitation Program for Next Generation Curators of Southeast Asia, taking place in Japan for two weeks. Along with a selection of young curators from the Philippines, Malaysia, and Thailand, they visited various museums and galleries, had enlightening discussions with senior Japanese curators, and had a taste of Japanese life. Through their interactions, which also involve young Japanese curators, they learn, form networks, and inspire each other to create new ideas. Their ideas are finally realized in a curatorial project dubbed “Run and Learn”, held in Indonesia, Thailand, the Philippines, and Malaysia. Since its inception in 1972, The Japan Foundation has strived to promote mutual understanding as the basis for friendly relations between people and nations through various cultural exchange programs. This program aims to give young curators a better understanding of their newly chosen profession. The importance of curators is one of the factors taken into account in this program. We hope that, through this program, young curators realize that they play an equally important role with artists in educating the people. Along with the organizers, they must strive for good teamwork from all parties so as to better convey the artist’s message to the public, and help the public appreciate the artist’s works. 10


We hope that the experience and knowledge Asep has gained throughout this program will help enrich his curatorial process in his fledgling career.

The Japan Foundation wishes to express its best wishes for a new step in Asep Topan’s career. We hope the new network he is formed continues, develops, and strengthens the bond of friendship between Indonesia and Japan.

Jakarta, 15th of January 2015

Tadashi OGAWA Director General The Japan Foundation, Jakarta.

11


Pengantar Kuratorial Asep Topan

Pembacaan wacana kota dalam dunia seni rupa bukanlah hal yang baru, terutama di kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta menjadi pusat urbanisasi di Indonesia dengan mobilitas yang terus meningkat. Sidewalk Warfare merupakan sebuah proyek seni rupa yang mengangkat narasi kecil sebuah kota, mengenai pergeseran fungsi trotoar yang diakibatkan oleh pola hidup masyarakat dan kebijakan pemerintah yang menyertainya. Pergeseran inilah yang kemudian menyebabkan tempat ini menjadi sebuah arena perebutan ruang bagi berbagai pemangku kepentingan di dalamnya. Jika ditarik lebih jauh, pertumbuhan kota-kota di dunia bermula pada fase akhir Perang Dunia II, dan hal ini tidak hanya menyebabkan meningkatnya perubahan sosial, namun juga mobilitas individu yang lebih besar. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara, memiliki budaya urban yang khas dan berbeda dengan kota-kota lain khususnya di Indonesia. Fenomena munculnya budaya urban sebagai akibat tumbuh berkembangnya kota ini, dibaca oleh Bourriaud sebagai awal mula gejala munculnya relational art: sebuah gagasan seni yang meletakan ruang lingkupnya pada wilayah interaksi manusia dan konteks sosialnya, bukan hanya mempertegas ruang simbolik yang lebih privat dan independen.1 Pilihan estetik inilah yang menjadi dasar dari gagasan kuratorial pada proyek ini; dengan penyusunan, pembacaan dan penilaian karya berdasarkan hubungan antar manusia dan ruang tempat karya tersebut diciptakan. Penyelenggaraan pameran seni rupa dan penerbitan buku dipilih sebagai dua medium kuratorial yang ditampilkan pada proyek ini. Reza Afisina dan Log Out Corps (kelompok seniman) diundang untuk berkolaborasi 12


dan melakukan elaborasi pada gagasan kuratorial yang difokuskan pada pendekatan ‘ruang’ dan ‘gerak’ yang terjadi di trotoar di Jakarta. Dengan kedua pendekatan ini, kedua seniman memiliki kemungkinan untuk merealisasikan pembacaan mereka menjadi karya-karya yang tidak spesifik pada suatu medium tertentu. Gagasan keduanya hadir di ruang pameran sebagai karya instalasi, performance art, suara, dan audio visual. Penyusunan buku yang dipilih sebagai medium kedua pada proyek kuratorial ini, bertujuan untuk memperluas kemungkinan penyebaran pengetahuan dan pembahasan yang lebih komprehensif mengenai tema yang diangkat. Untuk membedakannya dengan katalog pameran, pada buku ini terdapat tulisan mengenai pembacaan terhadap fenomena trotoar di Jakarta dan praktik kuratorial yang lebih mendalam, selain dokumentasi dari karya-karya dan proses berkarya yang dibuat oleh para seniman. Pemilihan kedua seniman tersebut berdasarkan dua hal utama: pertama kecenderungan karya mereka yang menggunakan dengan medium performance art dan mengangkat tema kota; kedua, mereka berasal dari dua generasi seniman yang berbeda, dengan tujuan bisa terjadi pertukaran gagasan dan kolaborasi yang lebih menantang berdasarkan preferensi yang berbeda dari kedua seniman tersebut. Melalui bingkai kuratorial tersebut, proyek ini jelas tidak bertujuan menampilkan gagasan utopis mengenai keberadaan ideal sebuah ruang publik, dalam hal ini trotoar, di tempat tertentu. Sidewak Warfare menampilkan karya seni yang digerakkan dan dibentuk oleh hubungan antarmanusia dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitarnya.

-Nicolas Bourriaud: “Relational Aesthetic”, Perancis, les presses du réel, 2002. Edisi terjemahan dari “Esthetique relationelle”, les presses du réel, 1998. 1

13


Curatorial Notes Asep Topan

The world of art is no stranger to various discourses perusal on cities, especially Jakarta. As the nation's capital, Jakarta has seen its dwellers’ mobility increases, and has become the center of urbanization in Indonesia. Sidewalk Warfare is an art project focusing on the personal narratives of a city, the shifting functions of the city's sidewalks caused by its people's lifestyles, and the official policies that govern it. These shifts transform the sidewalk into an arena where space is contested by various figures, fighting for their own interests. Looking back on the growth of the world's cities really gained steam by the end of the Second World War. The result is not just the proliferation of social change, but a marked increase in individual mobility. Jakarta, as the nation's administrative and economical center, is notable for its unique urban culture - distinct from other cities, especially in Indonesia. The emergence of urban culture due to the growth of cities was interpreted by Bourriaud as the genesis for relational art: An artistic idea where the art's scope is defined by its social context and human interactions, instead of being limited by the more private and independent symbolic spaces. 1 This aesthetic choice forms the basis of this project's curatorial idea. The participating artist's works are judged, interpreted, and formed based on the human interaction and the space where that work was created. The two chosen curatorial medium for this project is by holding an art exhibition and publishing a book. Reza Afisina and Log Out Corps (artist group) is invited to collaborate and explore the curatorial ideas focusing on approaching the space and movements taking place in Jakarta's sidewalks. Through these two approaches, the artist's can realize their observations to works, which does not adhere to a specific medium. Their 14


ideas are present in the exhibition space as installation art, performance art, sounds, and audio-visual. By publishing a book, the curatorial project's second chosen medium, this project aims to explore the subject further. To differentiate the book from the exhibition catalogue, the book contains writings observing the phenomenon of Jakarta's sidewalks and more indepth curatorial practices. The book will also feature various materials documenting the works and artistic process of the participating artists. These two artists were chosen for their work's tendency to talk about cities through the medium of performance art, and because they are a part of two different generations of artists. The project aims to encourage an exchange of ideas and a more challenging collaboration between these two artists, based on their own artistic preferences and tendencies. Through this curatorial lens, this project is not geared towards projecting a utopian ideal of public space - the sidewalk, in this case. Rather, Sidewalk Warfare presents artistic works shaped and inspired by the relationship between human beings within the social, economical, political, and cultural context surrounding them. -1. Nicolas Bourriaud: “Relational Aesthetic”, Perancis, les presses du réel, 2002. Translated Edition of “Esthetique relationelle”, les presses du réel, 1998.

15


16


Karya-karya Artworks

17


18


REZA AFISINA “Di Bawah Lapisan” Instalasi Terpauline dan Performance Art 2015 Menjadi salah satu bagian dari beragam cerita dan ragam narasi kecil yang senantiasa menaungi warna kota. REZA AFISINA "Below Layer" Terpauline Installation and Performance Art 2015 Becoming one of the layers from many narrations that’s been lying around underneath the city spectrum’s

19


20


REZA AFISINA “Sirkulasi dan Perpindahan” Cetak di atas bahan Drill 110cm (l) 300cm (p) dan media interaksi 2015 Menelusuri jejak lahan dan perpindahan alih fungsi serta ragam strategi yang memungkinkan warga memiliki pilihan lain dalam menjawab tantangan lahan.

REZA AFISINA "(To) Switch and Circulate" Drill print 110cm (h) 300cm (l) 2015 Land had different story that swift and switch to it’s function that’s follow. Some strategy happened to be raised by persons that’s give challenge to its land.

21


22


23


24


25


26


LOG OUT CORPS “TKP” Foto, Cetak di atas kaos 2015 Sebuah

ilustrasi

dan

rekam

jejak

peristiwa kekalahan pejalan kaki yang sedang mengunakan haknya di trotoar.

LOG OUT CORPS “Crime Scene” Photography, Print on Shirt 2015 An

illustration

documenting

the

common pedestrian’s defeat, as he fights for his own rights to use the sidewalk.

27


28


29


30


31


32


LOG OUT CORPS “From Trotar to Heaven” Objek, Foto. 2015 Trotoar

berusaha

kebahagiaan

kepada

menawarkan pejalan

kaki.

Dua kebahagiaan yang dihadirkan di sini memiiki jenis yang berbeda, yaitu kebahagaiaan jasmaniah dan rohaniah.

LOG OUT CORPS “From Sidewalk to Heaven” Object, Photography 2015 The

sidewalks

tries

to

offer

the

pedestrian happiness. The two distinct forms of happiness presented here are physical and spiritual happiness.

33


34


35


36


LOG OUT CORPS “Gotong Motor” Video, performance, 1’ 36’. 2015 Bagaimanakah

cara

sepeda

motor

naik ke trotoar namun tidak menyalahi aturan? temukan di video ini!

LOG OUT CORPS “Motorcycle Lift” Video, performance, 1’ 36’. 2015 How can a motorcycle drive on the sidewalk, and yet break no rules? Find out in this video!

37


38


LOG OUT CORPS “Mixfood Trotoar I ” Performance, Video, Foto. 2015 Sebuah eksperimen mencampurkan dan memilih makanan di sebuah trotoar yang terkenal dengan ragam kulinernya di Jakarta, dan menggabungkannya dalam satu wadah.

LOG OUT CORPS “Sidewalk Mixfood I ” Performance, Video, Photography 2015 An experiment in which the famed street foods of Jakarta’s sidewalks are chosen and mixed in one place.

39


40


LOG OUT CORPS “Mixfood Trotoar II ” Performance, Video, Foto. 2015 Sebuah eksperimen mencampurkan dan memilih makanan di sebuah trotoar yang terkenal dengan ragam kulinernya di Jakarta, dan menggabungkannya dalam satu wadah.

LOG OUT CORPS “Sidewalk Mixfood II ” Performance, Video, Photography 2015 An experiment in which the famed street foods of Jakarta’s sidewalks are chosen and mixed in one place.

41


42


LOG OUT CORPS “Trotoar Berharga” Performance, Video, Objek, Instalasi 2015 Sebuah

apresiasi

terhadap

trotoar

yang pembangunannya terbengkalai di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Dengan mengubahnya menjadi serupa emas, dan menukarkannya dengan uang di Cikini Gold Center (sebuah pusat penjualan emas yang terkenal di daerah Cikini).

LOG OUT CORPS “Precious Sidewalk” Performance,

Video,

Object,

Installation 2015 A way of appreciating the half-built, abandoned sidewalks of Cikini, Central Jakarta: By transforming it to resemble gold, and exhanging it for money in the Cikini Gold Center (a notable gold sales center in Cikini).

43


44


LOG OUT CORPS

LOG OUT CORPS

“Mixtape Trotoar”

“Sidewalk Mixtape”

Soundscape di Kec. Pasar Minggu

Soundscapes from the sub-district of Pasar Minggu

2015 Pada suatu titik tertentu di trotoar jalan Pasar Minggu Raya, terdapat sebuah deretan penjual CD yang dengan mudah bisa dikenali dari suara yang terdengar di wilayah tersebut. Soundscape yang ditampilkan di sini merupakan rekaman dari komposisi suara yang terdapat di wilayah tersebut. Tumpukan suara-suara mulai dari lagu, suara film dan kendaraan, dicampurkan

2015 The CD sellers in the sidewalks of Pasar Minggu Raya are noticeable by the soundscapes of the area. This work presents a recording of those soundscapes.

Collages

of

ranging

songs,

movies

from

sound and

passing vehicles, are remixed and presented as a mixtape documenting those sounds.

dan dihadirkan kembali sebagai sebuah mixtape dari suara-suara tersebut.

45


46


47


Trotoar : Produksi Ruang Ketiga dalam Ruang Publik Urban Kontemporer Oleh : Frans Ari Prasetyo

“In city after city, precisely the wrong areas, in the light of planning theory, are decaying. Less noticed, but equally significant, in city after city the wrong areas, in the light of planning theory, are refusing to decay.� (Jane Jacobs)

Ruang publik kota sebagai tontonan visual menyumbang penemuan dan kemungkinan pengukuhan retorika-retorika baru di luar perencanaan. Ruang publik menampilkan kontestasi berbagai lini kehidupan warga, di antaranya adalah ekonomi, hiburan, politik, dan gaya hidup beserta paradoksnya, seperti penggunaan ruang publik yang melampaui fungsi dan tujuan awal dibuatnya ruang publik tersebut. Alih fungsi lahan ruang publik dengan dalih untuk kepentingan publik tapi nyatanya ruang publik hanya dijadikan alat untuk kepentingan lainnya, yang sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan fungsi ruang publik tersebut. Fleksibilitas batas ruang memunculkan penggunaan ruang dalam praktik keseharian kota dengan memberikan tontonan citra kota melalui ruang publik yang multiguna, multifungsi, dan multikulturalisme, karena saling tumpang tindihnya penggunaan ruang dengan beragam aktivitas, komoditas, dan kepentingan yang menyertainya. Kontestasi praktik keruangan kota ditandai oleh dualitas kekacauan (chaos) dan keteraturan (order). Keteraturan yang dimaksud adalah suatu jejaring (network) yang terdiri dari kekuatan banyak aktor yang

48


saling mempengaruhi satu sama lain. Keteraturan ini juga tidak dipandang dalam skema kerja ruang yang mulus, tetapi memiliki potensi kekuatan yang melemahkan dari jejaring tersebut karena perbedaan motif dan kepentingan atas ruang publik. Kekacauan yang ditimbulkan dari multiguna dan multifungsi yang dihubungkan dengan dinamika perebutan ruang publik atas kuasa formal (negara) maupun informal (masyarakat sipil melalui organisasi masyarakat, preman, maupun individu) menciptakan segregasi baru dalam ruang publik. Penelusuran lebih dalam membuka kerangka kekacauan dan keteraturan tersebut dalam pembacaan ruang yang lebih komprehensif dalam beragam perspektif. Maka, pemahaman terhadap ruang tidak lagi memadai jika hanya dilihat sebagai satu aspek yang berdiri sendiri. Kesatuan ruang, waktu, dan aktor bekerja sebagai penanda dari produksi-konsumsi yang dimaknai sebagai ruang publik dan berkembang menjadi ruang heterotopia1 yang muncul sebagai spatial activation. Ruang heterotopia diproduksi sebagai ruang publik melalui pengetahuan perencanaan, arsitektur, dan kebijakan publik yang tentu saja terkait dengan anggaran publik dan politisasi ruang yang bekerja bersamaan dengan kekuasaan formal dan informal. Ketika produksi ruang ini bekerja, maka secara bersamaan aktivasi ruang juga turut bekerja. Ruang bukan sekedar tempat fisik yang dipahami dalam kehidupan keseharian, melainkan mencakup keseluruhan aspek berkaitan dengan eksistensi baik yang bersifat nyata maupun abstrak, yang tidak hanya mengakomodasi skala individu tapi juga dalam skala bersama pada sebuah komunitas sosial. Dalam konteks urban (Shane, 2005), heterotopia memilki peran penting dalam menjelaskan artikulasi ruang-ruang kota yang sedemikian kompleks dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Ruang kemudian dipahami dalam gagasan relasional. Peran aktor urban 1 Heterotopia merupakan tempat nyata yang merupakan semacam utopia yang diwujudkan secara efektif dalam suatu tempat yang nyata, tempat aktual, terbentuk disebagian besar kehidupan sosial, sedangkan utopia hanya dalam wujud imajinasi. Lihat Foucault, M. (1967). Of Other Spaces.

49


dalam menyikapi kondisi perkotaan sudah sedemikian kompleks, maka heterotopia diartikan pula sebagai ruang lain yang membuka keran kategorisasi ruang dengan bergantung kepada aktor yang menghayati ruang tersebut yang menjadi salah satu pijakan awal berkembangnya Ruang Ketiga2. Ruang Ketiga (Third space) muncul sebagai bagian dari spatial activation yang dikemukakan oleh Edward Soja (1996); dikembangkan dari gagasan Foucault (1967)3 tentang heterotopia dan ide social space dari Lefebvre (1991)4. Ketiga untaian pemikiran ini sama-sama bertujuan untuk “mendobrak� oposisi biner yang telah menjadi hegemoni pada era modernisme dan membuka kemungkinan adanya “ruang yang lain�. Gagasan ruang ini merupakan kategori ruang lain, yang memungkinkan untuk diinterpretasikan tanpa batas; ruang yang bergerak di antara kenyataan dan bayangan, yang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Ruang ketiga yang dimaksud adalah ruang yang dialami dalam kehidupan sehari-hari dan hadir dalam bentuk yang sangat beragam. Ruang ketiga menyediakan kerangka kerja yang kaya untuk keterlibatan secara keruangan berdasarkan kultural dan hibriditas melalui kehadiran nilai simbolik dalam lansekap kota. Terbukanya ruang dalam rekening perkotaan memberikan entitas hibriditas budaya dari sekumpulan kompleksitas waktu, tempat dan orang-orang sebagai sebuah bagian dari kesatuan ruang tersebut. 2 Ruang Ketiga (Third space) merupakan ruang lain yang tidak terbayangkan sebelumnya. Menurut Soja (1996), ruang dikategorikan sebagai 3 (tiga), yaitu : (1) Ruang pertama (first space) sebagai ruang yang dialami sehari-hari, seperti alun-alun, jalan dan elemen kota lainnya, (2) Ruang kedua (Second space) merujuk pada ide-ide yang bersifat abstrak dan imajinatif sehingga terkadang disejajarkan dengan ruang representasi (representation of space) yang ditunjukan oleh rancangan atau desain yang dikemukakan oleh arsitek atau perancang kota, sedangkan (3) Ruang Ketiga (Third space) merupakan ruang yang bergerak diantara keduanya yang bersifat nyata, faktual karena dapat dirasakan keberadaannya namun sering kali bersifat imajimatif karena tiba-tiba hilang atau dihilangkan oleh konsep atau hegemoni tertentu atau juga dianggap seharusnya tidak ada. Lihat : Soja, Edward. W. (1996). Thirdspace : Journey to Los Angeles and Orher Realand-Imagined Places. USA: Blackwell Publishers Inc. 3 Lihat Foucault, M. (1967). Of Other Spaces. 4 Lihat Lefebvre, H. (1991). The Production of Space (D. Nicholshon-Smith, Trans.): Oxford : Blackwell.

50


Ruang ketiga membuka kemungkinan pengetahuan mengenai kompleksitas ruang dengan menggambarkan bentuk-bentuk hibridasi baru yang diciptakan dan datang bersama entitas dengan asal dan kepentingan yang berbeda dengan cara menguraikan proses yang terjadi dalam keruangan tertentu di perkotaan (Prasetyo, 2014)5. Infrastruktur merupakan sarana bekerjanya ruang ketiga. Landmark infrastuktur pembentuk kota tidak hanya berfungsi sebagai corridor space 6 berwujud civic design7 tapi juga sebagai civic reform8 yang mengkombinasikan perubahan tananan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakatnya (Prasetyo, 2014). Kondisi yang saling mempengaruhi lintas ruang dan waktu telah membuat kotakota sebagai sebuah melting pot tempat bertemunya beragam bentukan ruang dan aktivasinya yang saling terkoneksi dan terintegrasi. Akibatnya, beragam benturan menjadi tidak terelakkan terutama karena persoalan yang semakin kompleks. Trotoar9 sebagai bagian dari infrastruktur kota, mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas masyarakat sehingga menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi dalam pembentukan citra, eksistensi, sumber pengetahuan, informasi, dan tata nilai moral dengan peluang penciptaan ruang terbuka publik. Trotoar merupakan contoh konkret, bagaimana heterotopia bekerja menjadi landasan kerja Ruang Ketiga. Trotoar bekerja sebagai ruang pertama yang dialami dalam keseharian 5 Lihat Prasetyo, F. (2014). Car Free Day : Contestation of ‘Third Space’ as a Phenomena in The Production of Urban Public Space in Bandung. Institute of Technology Bandung Bandung. 6 Lihat Jarzombek, Mark. (2010). Corridor Space. JSTOR, 36(4), 728-770 7 Lihat Adshead, S. D. (2010). An Introduction To The Study of Civic Design. Town Planning Review, 1(1), 3. 8 Civic Reform dalam tulisan ini saya artikan sama dengan Civic culture. Lihat http://www.drtomoconnor.com/4090/4090lect05.htm (akses 24 des 2014) 9 Trotoar berasal dari bahasa Perancis trottoir. Masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Belanda yang lebih dulu menyerap kata tersebut. Maknanya ’bagian tepi jalan dengan lebar tertentu dan ditinggikan yang dibuat khusus untuk pejalan kaki’. Asal kata ini sebenarnya verba trotter yang berarti ’(untuk kuda) berlari-lari kecil’ Memang asal mulanya di Perancis trottoir berfungsi sebagai jalan untuk kuda berjalan di tepi jalan raya. Kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan untuk pejalan kaki. http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/02/00385884/trotoar (akses 24 des 2014) Beberapa definisi dari trotoar : (1) Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang terletak pada Daerah Milik Jalan, diberi lapisan permukaan, diberi elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan ( Tata cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di kawasan Perkotaan No.: 011/T/Bt/1995) ; (2) Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang sejajar dan bersebelahan dengan jalur lalu lintas yang diperkeras dengan konstruksi perkerasan. Trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki. (http://balitbang.pu.go.id/sni/istilah_definisi_list.asp?offset=1560) (akses 25 des 2014)

51


masyarakat perkotaan karena (selalu) bersaingan dengan jalan yang menjadi sarana mobilitas penduduknya. Kemudian, Trotoar bekerja dalam tataran perencanaan yang dilakukan oleh para ahli planologi dan insinyur sipil yang didukung oleh perangkat kebijakan mengenai trotoar. Dalam hal ini trotoar bekerja dalam ruang kedua sebagai ruang yang direncanakan, diimpikan, dan diimajinasikan walaupun dalam konteks nyatanya bisa sangat berbeda. Namun trotoar menunjukan identitas barunya sebagai ruang ketiga ketika aktivasi dan advokasi melampaui apa yang ditampilkan dalam ruang pertama dan ruang kedua. Trotoar bekerja sebagai ruang heterotopia dengan pola konsumsi-produksi yang terjadi dan terhadap di trotoar tersebut. Trotoar dijadikan ruang produksi dan konsumsi untuk Pedagang Kaki Lima (PKL), menjual bensin eceran, menjual koran, tambal ban, tempat parkir, pengamen, anak jalanan, pengemis, hingga dijadikan area iklan komersial dan terkadang dijadikan jalan untuk sepeda motor ketika kondisi jalan sebenarnya sedang mengalamai kemacetan. Selain itu, area bawah tanah dari trotoar yang digunakan untuk saluran air, saluran kabel listrik dan telekomunikasi yang ketika proses pemasangannya harus membongkar trotoar tersebut, sehingga tidak dapat digunakan oleh pejalan kaki yang seharusnya menggunakan trotoar tersebut. Hal-hal tersebut membuat citra trotoar bekeja di luar fungsi sebenarnya sebagai sarana pejalan kaki yaitu menjadi ruang lain, sehingga terdapat identitas yang muncul dalam bentuk ruang ketiga sebagai sarana relasi produksi-konsumsi baru masyarakat kota. Trotoar sebagai gejala keruangan yang dibentuk oleh manusia/aktor menyuguhkan budaya komposit landmark kota sebagai corak produksi ruang yang mengkondisikan relasi sosial sekaligus relasi keruangan dan kemudian memproduksi ruang baru sesuai dengan kepentingan produksi. Dalam kerangka ini, trotoar merupakan perwujudan dari kepentingan produksi perkotaan dalam membangun citra untuk kesadaran konsumsi. 52


Relasi produksi-konsumsi di ruang publik diawali dengan membangun sarana dan prasarana privat maupun publik dalam bentuk relasi dan transaksi formal maupun informal. Contohnya ketika trotoar disediakan oleh negara melalui perangkat kebijakan legal untuk memfasilitasi warganya (pejalan kaki) dalam mendapatkan akses ruang publik, tetapi negara juga memberikan ruang untuk iklan komersial (reklame) berada di trotoar dengan dalih untuk penerimanaan pajak reklame yang terkadang juga posisinya menggganggu pejalan kaki itu sendiri. Tetapi warga lainnya menjadikan trotoar sebagai ruang illegal untuk transaksi konsumsi dalam bentuk pedagang kaki lima, atau ketika trotoar menjadi area lahan parkir illegal hingga trotoar dijadikan rumah hunian dan lahan pekerjaan bagi pengemis dan anak jalanan. Kepentingan ekonomi menyusup ke dalam celah-celah kekuasaan formal dan informal. Kekuasaan mewujud dalam mekanisme formal-informal, tangible-intangible, yang saling tumpang tindih di trotoar diapresiasi dan diantisipasi dalam perubahan zoning (multiuse zoning) yang dibentuk oleh perubahan ruang secara civic design dan civic reform. Wujud konkretnya melalui civic design mengembalikan trotoar sebagai bagian dari infrastruktur kota bagi pejalan kaki yang nyaman, aman, bersih dan tentu saja dengan desain trotoar yang indah secara arsitektural tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai pedestrian. Dalam konteks civic reform, trotoar ditegaskan melalui skema peraturan zoning oleh negara beserta sanksinya bagi orang yang menggunakan trotoar di luar fungsinya sebagai pedestrian. Nyatanya yang terjadi peraturan hanya tinggal peraturan, trotoar di eksploitasi untuk kepentingan produksi-konsumsi masyarakat, tetapi karena kepentingan inilah trotoar berkembang lebih atraktif dalam konteks positif sebagai ruang penyedia kebutuhan relasi manusia tetapi negatifnya menjadi ruang yang menimbulkan permasalahan sosial perkotaan.

53


Trotoar secara fisik dimiliki negara, bekerja dalam ruang politik melalui formasi kebijakan atau peraturan pemerintah yang menaunginya. Antara lain, program kebijakan di tingkat nasional (negara), tingkat regional (provinsi) maupun kebijakan pada tingkat lokal (kabupaten/kota). Faktor desentralisasi dan kriteria jenis jalan mempengaruhi posisi kebijakan mengenai trotoar ini. Misalnya, untuk posisi jalan tingkat nasional pembangunan, kepemilikan dan perawatannya dikuasai pemerintah pusat, begitu pula jika jalan tersebut terdaftar sebagai jalan provinsi ataupun jalan kota, wewenang dan tanggung jawab berada di pundak pemerintah daerah setempat. Khusus untuk ibukota negara seperti Jakarta, jalan dan trotoar ini melibatkan kebijakan ketiga hierarki pemerintahan, tergantung pada kategori wewenang kekuasaan atas jalan tersebut Di tingkat nasional yang sebenarnya juga berlaku untuk level regional dan lokal terdapat peraturan dalam Undang-Undang No. 38/2004 tentang Jalan10, selain itu ada Peraturan Pemerintah No.34/2006 tentang Jalan11, tetapi dalam level regional/lokal pemerintah kota Jakarta juga memiliki Peraturan Daerah DKI Jakarta No.8/2007 tentang Ketertiban Umum yang merangkum mengenai tata tertib penggunaan fasilitas umum termasuk trotoar. Tetapi yang terjadi beragam macam peraturan yang bersinggungan langsung maupun tidak langsung dengan trotoar di berbagai level pemerintahan tidak pernah berfungsi efektif sesuai yang dimandatkan undang-undang. Nyatanya penggunaan fasilitas umum ini (trotoar) sudah melampaui fungsi dan identitas sebenarnya sebgai ruang publik (pedestrian). Sebagai sebuah place-making yang dikontruksi menjadi ruang publik atas nilai, aktivitas dan kesepakatan tertentu sehingga menjadi suatu ekosistem keruangan yang unik sebagai ruang publik, trotoar memberikan tontonan visual sebagai ruang ketiga yang menjelaskan bagian kehidupan kota dan bagaimana ruang publik dikendalikan atas dasar beragam kekuatan dan kepentingan apapun baik secara formal maupun informal. 10 Lihat UU No. 38/2004 tentang Jalan dalam pasal 11 dan Pasal 12 (Bagian 3 mengenai Bagian-Bagian Jalan) 11 Lihat Peraturan Pemerintah No.34/2006 tentang Jalan dalam Pasal 34 (Ruang Manfaat Jalan), Pasal 47 (Bangunan Utilitas, Pasal 86 (Perencanaan Teknis)

54


Trotoar memberikan mekanisme represi untuk pendisiplinan dalam skema penggunaan bagi pejalan kaki dengan beragam peraturan ketat lengkap dengan sangsinya baik dalam pembangunan, pemeliharaan dan penggunaan trotoar itu sendiri. Di sisi lain juga memberikan kesempatan untuk melakukan pembangkangan secara sosial sebagai ruang timbulnya permasalahan sosial dengan kemunculan pengemis, anak jalanan bahkan prostitusi. Selain itu pembangkangan muncul juga dalam pola mengklaim kembali trotoar sebagai ruang publik menjadi ruang privat secara geospasial dengan cara mendirikan tempat berjualan (PKL), tambal ban, bahkan ada yang menjadikan trotoar sebagai lahan pemukiman semi permanen hingga permanen. Melihat konstruksi yang muncul di trotoar sekarang ini, trotoar lebih banyak bekerja dalam area informal secara ruang maupun secara fungsi. Duneier menjelaskan bahwa setiap kali penduduk di tepi jalan berbicara mengenai pilihan untuk hidup di jalanan dan bekerja dalam sektor informal, mereka memaknainya dengan cara yang berbeda dengan yang biasa kita pahami (Duneier, 1999). Lebih lanjut Duneire menjelaskan, bahwa pilihan untuk hidup di tepi jalan ini tidak lahir dari pertimbangan rasional melainkan lebih pada penerimaan atas takdir yang seolah tak terhindarkan. Maka, terdapat dampak yang kuat ketika memandang kehidupan di tepi jalan sebagai pilihan. Bagi penduduk di tepi jalan, klaim untuk bertempat tinggal di sana berdasarkan pilihan rasional menciptakan kesan solidaritas dan pemberdayaan, bagaimanapun menciptakan perbedaan yang kentara dapat memarjinalkan lebih jauh kelompok yang termarjinalkan dan dapat mencegah anggota kelompok untuk melihat alternatif lain selain tinggal di tepi jalan. Merujuk pada Jacobs (1961), tepi jalan memiliki tiga fungsi utama, yakni; keselamatan, kontak antar manusia, dan asimilasi anak-anak. Jacobs lebih jauh lagi memisahkan ketiga fungsi ini. Trotoar yang aman mesti memiliki batas kepemilikan yang jelas antara privat dan publik, boleh jadi suatu 55


trotoar berada dibawah pengawasan penduduk yang berada di rumahnya atau pemilik bisnis di sekitar (Jacobs menyebutnya “natural proprietors�), mereka telah berada di lokasi yang sama menikmati pemanfaatan trotoar tersebut dalam waktu yang lama. Trotoar yang memenuhi tugasnya sebagai penyedia kontak antara manusia mesti memiliki kehidupan publik yang didasarkan pada kepercayaan antar penduduknya. Interaksi di trotoar mewadahi perimbangan relasi privasi personal dan hasrat untuk bersosialisasi; setiap orang mesti cukup ramah saat berpapasan satu sama lain di jalanan, tapi menjadi tidak terlalu ramah ketika mereka mulai menerobos ruang privat masing-masing, maka di sini kita temukan peralihan spasial dari publik ke privat. Untuk fungsi mengasimilasi anak-anak, trotoar mesti memiliki lebar yang cukup luas untuk dapat memfasilitasi interaksi antar anak kecil ini, sebagai alternatif dari membiarkan mereka bermain di taman bermain. Trotoar memfasilitasi berbagai penggunaan, yang pada gilirannya mempromosikan interaksi sosial dan vitalitas publik (Jacobs, 1961). Satu-satunya cara agar para perencana kota dapat memahami kota adalah dengan mempelajarinya terlebih dahulu. Gagal menangkap perilaku penduduk maka sudah tentu akan memberikan kegagalan pada rancang kota yang sesuai kebutuhan penduduknya. Sebagai sebuah ‘grid’ perkotaan, trotoar kemudian bertransformasi menjadi ruang publik terbuka yang muncul sebagai ruang sosial baru kontemporer dalam pembentukan budaya komposit masyarakat perkotaan sehingga membentuk identitas dalam mengkomunikasikan citranya sebagai landmark kota yang melampaui identitas sebelumnya. Transformasi ini muncul sebagai ekspresi ruang yang cenderung terlalu dieksploitasi menjadi berbagai fungsi privat. Kondisi ini ditunjukkan dengan berjejalannya pedagang kaki lima yang mendirikan kios di area trotoar, tempat parkir kendaraan di atas trotoar, tempat nongkrong, bahkan sampai menjadi jalan alternatif untuk motor ketika jalan di sampingnya mengalami kemacetan. Maka dari itu ada hak pejalan kaki dan hak fungsi infrastruktur kota yang dilanggar. 56


Keterkuncian ini memunculkan sejumlah fungsi normalisasi dan disipliner, Gilles Deuleuze dan Felix Gauttari menyebutnya dengan “striation of urban space”. Hal ini dapat dimaknai sebagai keterhubungan “proses untuk menangkap berbagai arus populasi, komoditi, uang, kapital, dll”, untuk menentukan koordinat spasial (Deleuze, 1987). Proses ini meninggalkan “jejak pada arah yang telah ditentutukan, yang membatasi kecepatan, meregulasi sirkulasi, melegitimasi gerakan, dan mengukur secara detail pergerakan relatif subjek dan objek” (Deleuze, 1987). Perubahan dari space of place menjadi space of flow dan space of culture di trotoar melalui kontestasi publik dalam pemaknaan dan penggunaan ruang yang tumpang tindih sehingga terjadi perebutan ruang dalam beragam konteks kepentingan. Kontestasi yang muncul sebagai ruang ketiga pada trotoar teridentifikasi secara arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan untuk kepentingan tertentu, sehingga heterotopia ruang muncul sebagai ruang nyata serta utopia yang diwujudkan dalam kontruksi penguasaan ruang formal-informal, tangible-intangible, dalam dinamika politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya. Manusia (aktor) mampu melakukan aksi dalam ruang dengan mengkoordinasikan hubungan spasial yang berdasarkan dirinya. Manusia mengembangkan persepsi dalam ruang untuk mengikat hubungan spasial secara objektif di antara objek-objek. Atas dasar itu, konsepsi terhadap ruang dikembangkan untuk menjaring hubungan spasial secara abstrak berdasarkan koordinasi tertentu. Akhirnya, muncul apa yang disebut dengan “formasi melalui ruang” (formation-through-space), ketika ia mampu menciptakan hubungan spasial yang nyata (Zahnd, 1999). Hubungan spasial ini dapat teridentifikasi melalui proxemics12 manusia 12 Proxemics yang dipopulerkan oleh Edward T. Hall dalam bukunya The Hidden Dimension, secara sempit diartikan sebagai sebuah cara komunikasi non-verbal, sedangkan secara luas dianggap sebagai semiotika ruang. Lihat : Hall, Edward. T. (1966). Hidden Dimension. Garden City: Anchor Books.

57


secara tidak sadar membuat struktur ruang mikro jarak antar manusia dalam melakukan transaksi harian, organisasi ruang pada rumah tinggal dan bangunan-bangunan, dan pada akhirnya tata kota (Hall, 1966). Trotoar bekerja dalam skema institusi infrastruktur memberikan fasilitas baik dan kejelasan dalam hal navigasi, pengawasan dan pengendalian ruang. Konfigurasi ini ditujukan dengan cara menempatkan orang dalam ruang-ruang perkotaan dalam saluran aliran pejalan kaki diantara lalu-lintas kendaraan. Trotoar sebagai perantara ruang yang berfungsi sebagai alat sambungan jaringan sosial yang membentuk zona proxemics itu sendiri. Sifat dari proxemics ini secara bersamaan sebagai sebuah pedagogis implisit dan eksplisit yang diasumsikan sebagai penanda lanskap perkotaan sebagai ruang ketiga. Ruang ketiga (Third space), dalam hal ini trotoar secara efektif memberikan pemetaan atas ruang urban dengan menciptakan suatu pararel, suatu kota yang “jelas�, dengan gerakan, fungsi infrastruktur, dan kebebasan terhadap hambatan dan larangan kota�. Dalam arti ini maka trotoar menjadi habitat yang dipertahankan sebagai ekosistem keruangan baik sebagai bagian infrastruktur perkotaan maupun sebagai ruang ketiga yang menyuguhkan indikasi ketahanan, taktik, strategi, semangat dan gaya hidup masyarakat yang berkontestasi didalamnya. Trotoar bukan lagi hanya sebagai bagian zona transportortasi, tetapi sebagai zona lokasi dengan arus distribusi informasi, praktek diskursif pedagogi publik. Trotoar menyerap arus informasi pengetahuan dan kontruksi infrastruktur untuk berkontestasi dengan cara berinteraksi sebagai aktor untuk dikontesktualisasikan dengan lingkungan perkotaan. Meminjam pengertian yang disediakan Lefebvre maka trotoar merupakan “suatu ruang bermain yang berdampingan dan memfasilitasi ruang pertukaran dan sirkulasi politik kultural�. Trotoar tidak bisa lagi dipandang secara telanjang sebagai ruang dengan fungsi fisik-material mobilitas warga, 58


lebih dari itu trotoar menyediakan kemungkinan-kemungkinan partisipasi politik kultural bagi warganya. Trotoar adalah ruang subversi. Referensi Adshead, S. D. (2010). An Introduction To The Study of Civic Design. Town Planning Review, 1(1), 3. Deleuze, G. a. F. G. (1987). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press. Duneier, M. (1999). Sidewalk : Farar, Straus and Giroux Foucault, M. (1967). Of Other Spaces. Hall, E. T. (1966). Hidden Dimension. Garden City: Anchor Books. Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Random House. Jarzombek, M. (2010). Corridor Space. JSTOR, 36(4), 728-770. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space (D. Nicholshon-Smith, Trans.): Oxford : Blackwell. Prasetyo, F. (2014). Car Free Day : Contestation of ‘Third Space’ as a Phenomena in The Production of Urban Public Space in Bandung. Institute of Technology Bandung Bandung. Shane, D. G. (2005). Recombinant Urbanism ; Conceptual Modeling in Architecrure, urban Design, and city Theory. England: John wiley & Sons Ltd. Soja, E. W. (1996). Thirdspace : Journey to Los Angeles and Orher Realand-Imagined Places. USA: Blackwell Publishers Inc. Zahnd, M. (1999). Perancangan Kota Terpadu : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Semarang: Kanisius dan Soegijapranata University Press. 59


60


61


Sidewalks: Production of Thirdspace in Contemporary Urban Public Space Written and Translated By: Frans Ari Prasetyo

“In city after city, precisely the wrong areas, in the light of planning theory, are decaying. Less noticed, but equally significant, in city after city the wrong areas, in the light of planning theory, are refusing to decay.” -Jane JacobsCity’s public space as a visual spectacle contributes to discovery and possibility to strengthen new rhetoric outside the planning sector. The public space reveals a contestation featuring various aspects of life residents, including economy, entertainment, politic, and lifestyle. One of the paradoxes emerging from such contestation is manifested in the use of public space that goes beyond function and objectives of itself. The transformation of public space area on the pretext for public interests while the public space is only a tool for other interests detached from actual function of the public space. Thus, flexibility of space limit led to the occupation of public space in the city daily practice, by providing the spectacle image of the city through multiuse, multifunction, and multiculturalism public space, as mutually overlapping use of space with a variety of activities, commodities, and interests attached to them. City spatial practice contestation marks by duality of chaos and order. The order is a network, which consists of the power of many actors that influence each other. It is also not seen in the current scheme of space, but it has the potential of weakening the strength of the network due to differences in motives and interests over public space. Chaos arising from the use of diverse, multifunction, and associated with the dynamics of the struggle for public space over formal power (the state) and informal (civil 62


society through community organizations, thugs, and people) has created a new segregation in public spaces. A further investigation reveals the framework behind that chaos and order in a more comprehensive reading of space within variety of perspectives. Thus, an understanding of space is no longer adequate if only seen as one aspect of a stand-alone. Unitary of Space, Time, and Actor works as a landmark of the production-consumption, that is interpreted as a public space, and evolved into a space that appears as spatial heterotopia activation. Heterotopia space produced as a public space through knowledge of planning, architecture and public policy, which is of course related to public budgets, including the politicization of space that works in conjunction with the formal and informal power. When this space production runs, then space activation also works simultaneously. Space is not just a physical place that is understood in everyday life, it covers all aspects relating to the existence of both real and abstract that not only accommodates individual scale but the scale together in a social community. In the urban context (Shane, 2005), heterotopia has an important role in explaining the articulation spaces of the city that are so complex that has never been seen before. Space then understood in relational ideas. The role of urban actors in addressing the urban condition has become more complex, then, heterotopia interpreted also as another space that creates the space categorization depends on the actor, who appreciates the space that became one of the early foothold developments of the Thirdspace1. 1 Thirdspace is another space previously unimaginable. According to Soja (1996) the space is categorized as a 3 (three), namely: (1) the first space as space is experienced everyday, such as square, streets and other urban elements, (2) the second space refers to the ideas that are abstract and imaginative so sometimes equated with space representation (representation of space) that is indicated by the design or design proposed by the architect or designer of the city, while (3) the thirdspace is a space moving between them that is real, because it can be perceived factual existence, but often are imaginative because suddenly lost or removed by a certain concept or hegemony or also considered should not be there. See: Soja, Edward. W. (1996). Thirdspace : Journey to Los Angeles and Orher Real-and-Imagined Places. USA: Blackwell Publishers Inc.

63


Thirdspace appears as part of the spatial activation proposed by Edward Soja (1996); developed from the idea of Foucault (1967)2 on heterotopia and social-space idea of Lefebvre (1991)3. These three strands of thought are equally aimed to “break down” binary opposition that has hegemony in the era of modernism and open up the possibility of “another space”. This space is another idea space category that allows interpreting without limit; moving space between the real-and-imagined formed by forces that had existed in society. The thirdspace is the space that is experienced in everyday life and presented in the form of a very diverse. Thirdspace provides a rich framework for spatial engagement based on cultural and symbolic value of hybridity through the presence in the urban landscape. Open a space in the urban context provides cultural hybridity, identity, and complexity of a set time, place, and people as a part of the unitary space. Thirdspace opens up the possibility of knowledge about space complexity by describing new forms of hybridization created and come together entities with different origins and interests, by means of describing the processes that occurred in a particular spatial urban (Prasetyo, 2014)4. Infrastructure is a means of the operation of thirdspace. The Landmark of city-forming infrastructure not only serves as a form of civic space5 corridor design, but also as a civic reform6 that combines detainees changing the social, economic, cultural and political society (Prasetyo, 2014). Conditions that affect each other across space and time have made the cities as a melting pot, in which convergence of diverse formation and activation space and integrated interconnected, then consequently various collision is inevitable, especially since the issue is getting more complex.

2 See Foucault, M. (1967). Of Other Spaces. 3 See Lefebvre, H. (1991). The Production of Space (D. Nicholshon-Smith, Trans.): Oxford : Blackwell. 4 See Prasetyo, F. (2014). Car Free Day : Contestation of ‘Thirdspace’ as a Phenomena in The Production of Urban Public Space in Bandung. Institute of Technology Bandung. Bandung. 5 See Jarzombek, Mark. (2010). Corridor Space. JSTOR, 36(4), 728-770 6 Civic Reform in this work I identify as Civic culture. See http://www.drtomoconnor.com/4090/4090lect05.htm (accessed at December 24th, 2014)

64


Sidewalks7 as part of the infrastructure of the city, concentrate and rationalize the time and activities of the community that became the centre of social activity and acculturation in image formation, existence, a source of knowledge, information and system of moral values with the creation of public open space opportunities. The sidewalks are concrete examples, how heterotopia works in becoming the groundwork of Thirdspace. Sidewalks are used as the first space experienced in everyday urban communities because (always) compete with road through which the mobility of the population. Then, Sidewalks are placed at the level of planning done by urban planners, civil engineering supported by the policy on the sidewalk. In this case, the sidewalks are in the second space as space planned, dreamed and imagined, even in the context of the reality can be very different. However, sidewalks display its new identity as a thirdspace when activation and advocacy beyond what is shown in the first space and a second space. Sidewalks are placed as space heterotopia with production-consumption patterns that occur and on the sidewalk. Sidewalks are made as production and consumption of space for street hawkers, retail gasoline sales, selling newspapers, tire, park, street, street children, beggars, to be a commercial area and are sometimes used as a path for motorcycles, when the traffic conditions are in congestion. In addition, the underground area of sidewalks is used for plumbing, electrical and telecommunication cable channel that when the installation 7 Sidewalks derived from French ‘trottoir’. Adopted into Indonesian by Dutch who firstly adopted the word. Meaning ‘the edge of the road with a certain width and elevated made specifically for pedestrians’. The origin of this word is actually a verb meaning trotter ‘(for horses) jogged’. Indeed, in its birthplace, in France, trottoir serves as a way for the horse to walk on the edge of the highway. Then evolved function becomes pedestrian. See: http://cetak.kompas.com/read/ xml/2008/05/02/00385884/trotoar (accessed at December 24th, 2014). Some definitions of the sidewalk: (1) The sidewalk is a pedestrian path that lies in the Region of Way, given the surface layer, given a higher elevation than the surface of the sidewalk, and generally parallel to the vehicle traffic lane (Procedure for Pedestrian Facilities Planning Urban regional No.: 011 / T / BT / 1995); (2) The pavement is a pedestrian path parallel and adjacent to the traffic lane paved with pavement construction. Sidewalk is only for pedestrian traffic. (http://balitbang.pu.go.id/sni/istilah_definisi_list.asp?offset=1560) (Accessed December 25th, 2014)

65


process, it requires to dismantle the sidewalk so it cannot be used by the pedestrians -who deserve the sidewalk. These things make the image of the sidewalk work out the actual function as a means of pedestrian, so there is the identity that emerged in the form of a thirdspace as a means of new relations of production-consumption of urban society. Sidewalk as a spatial phenomenon formed by human/actor presents a composite culture of the city landmarks as the mode of production of social relations that conditioned space at the same spatial relations and then produce a new space in accordance with the interests of production. In this framework, the sidewalk is a manifestation of urban production interests in creating images for consumption awareness. Relations of production-consumption in public space begins by building infrastructure in the form of private as well as public relations and formal and informal transactions. For example, when a sidewalk is provided by the state through the legal measures to facilitate citizens (pedestrian) in gaining access to public space, the state also provides space for commercial advertising (billboards) were on the sidewalk with a pretext for the advertisement tax acceptance position sometimes also interfere with pedestrian it self. In the other side, other residents make the sidewalk as an illegal space for consumer transactions in the form of street vendors, illegal parking area used as residential homes and jobs for beggars and street children. Economic interests slip in through the cracks of the formal and informal power embodied in formal and informal mechanisms, tangible-intangible overlapping on the sidewalk, appreciated and anticipated changes in zoning (multiuse zoning) are formed by a change in the civic space and civic reform design. A concrete form through civic design to restore the sidewalk function as part of the city’s infrastructure for pedestrians and it should be comfortable, safe, clean and of course the beautiful sidewalk design architecturally. In the context of civic reform, sidewalks confirmed through zoning scheme regulations by state and sanctions for those who 66


use the sidewalk outside its function as a pedestrian. In fact, sidewalks exploited for the benefit of the production-consumption, but because this is the interest of developing more attractive pavement in a positive context as space required to generate human relations, but the negative into a space that cause social problems of urban. Sidewalk physically owned by the state, working in the political space through the formation of government policies or regulations. Among other things, the policy is designed at the national level (state), regional (provincial), and policies at the local level (district/city). Decentralization factors and criteria determine the type of policy of sidewalk positions. For example, for sidewalk position at the national level of development, ownership and maintenance controlled by the central government, as well as if the road is listed as provincial roads or city streets, the authority and the responsibility rests with the local government. In the capital city of Jakarta, on roads and sidewalks policy involving all three government hierarchy, depending on the category of the authority over the road. At the national level, which actually also applies to regional and local level there are ruled in the Law No. 38/20048 on the road, other than that no Government Regulation No.34/2006 on the road9, but in the level of regional/ local government of Jakarta city also has the Jakarta Regional Regulation No.8/2007 on Public Order, which sums on the order of the use of public facilities including sidewalks. But what happens with various laws pertaining directly or indirectly to the sidewalk at various levels of government are never mandated to function effectively under the law. In fact the use of these public facilities (sidewalks) are already beyond the function and the actual identity as a public space (pedestrian). 8 See Law No. 38/ 2004: Article 11 and Article 12 on Road Sections (Bagian-Bagian Jalan) 9 See Government Regulation No.34/2006: Article 34 (Road Space Utility), Article 47 (Utilities), Article 86 (Technical Planning)

67


As a place-making that constructed into a public space on the value, activity, and specific arrangements to become a unique spatial ecosystem as a public space, sidewalk provide a visual spectacle as a thirdspace that explains part of city life and how public space is controlled on the basis of a variety of strengths and any interest either formally or informally. Sidewalks provide repression mechanism for discipline in the scheme for pedestrian use with a variety of stringent regulations complete with sanctions both in the construction, maintenance and use of the sidewalk it self. On the other hand also gives an opportunity to conduct in disciplinary act as space emergence of social problems with the appearance of beggars, street children, and even prostitution. In addition, disobedient appears also in the pattern of ‘reclaims’ sidewalk as a public space into private space in geospatial, by establishing a street hawker (Pedagang Kaki Lima), even make the sidewalk as a semi-permanent residential land to permanent. Spatial construction that appears in today’s sidewalk, the sidewalk is more widely used in informal areas as well as the function space. Duneier explained that whenever the population on the edge of the road talk about the choice to live on the streets and working in the informal sector, they interpret it in a way that different from what we usually understand (Duneier, 1999). Furthermore Duneier explained, that the choice to live on the edge of the road is not born of rational considerations but rather the acceptance of fate that seemed inevitable. Thus, there is a strong impact when looking at life on the edge of the road as an option. For residents on the edge of the road, claims to reside there based on rational choice to create the impression of solidarity and empowerment, however, creating subtle differences can subordinate further the marginalized groups and can prevent members of the group to look at alternatives to live on the edge of the road.

68


Referring to Jacobs (1961), the edge of the road has three main functions, including keep safe, contact between humans, and assimilation the children. Furthermore, Jacobs separates these functions. Safe sidewalks should have clear ownership boundaries between private and public, maybe a sidewalk under the supervision of residents in the home or business owner around (Jacobs called it “natural proprietors”), they have been in the same location to enjoy the use of the sidewalk such a long time. The sidewalks were fulfilling his duty, as a provider of contact between humans must have a public life that is based on trust between the populations. Interaction on the sidewalk to accommodate the balance of the relationship between personal privacy and the desire to socialize; each person must be quite friendly as they passed each other in the streets, but became less friendly when they started to break through their own private space, so here we find the spatial transition from public to private. To sustain its function as a space to assimilate the children, the sidewalks should be wide enough to enable interaction between the children, as an alternative of letting them play in the playground. Sidewalks facilitate a variety of uses, which in turn promotes social interaction and vitality of public (Jacobs, 1961). The only way that urban planners can understand the city is to learn it first. Failed to capture the behaviour of the population then it will certainly give you a failure in urban design that fit the needs of the population. As an urban ‘grid’, sidewalk, then transformed into an open public space and emerge as a new contemporary social space in the formation of the composite culture of urban communities that form the identity of the communication of its image as a city landmark that goes beyond previous identity. This transformation appears as spatial expression tends exploited into various private functions. This condition is indicated by the number of street hawkers who set up stalls in the area of many sidewalks, parking of vehicles on the pavement, hangout, even into the alternatives of the motorcycle when the road congested. Therefore there are a pedestrian’s rights and rights of city infrastructure functions that are being violated. 69


This gridlock has raised a number of normalization and disciplinary functions; Gilles Deleuze and Felix Guattari call it “striation of urban space. This can be interpreted as connectedness “process to capture a wide range of population flows, commodity, money, capital, etc.”, to determine the spatial coordinates (Deleuze, 1987). This process left a “trail at a predetermined direction, the speed limit, regulate circulation, movement ratification, and measure in detail the relative movement of the subject and object” (Deleuze, 1987). The transformation from ‘the space of place’ into ‘the space of flows’ and ‘the space of culture’ in the sidewalk through public contestation within the meaning and use of overlapping space culminates in the seizure of space in a variety of contexts interests. Contestation that emerged as the thirdspace on the sidewalk identifiable archaeological knowledge and genealogy of power to specific interests, so heterotopia space appears as a real space, as a utopia embodied in the construction forces of formal-informal space, tangible-intangible in the dynamics of politics, economics, religion, social and cultural. Humans (actors) are able to take action in space with coordinate spatial relations based on it. Humans develop perception in space to bind the spatial relationship between the objectively objects. On that basis, the conception of the space was developed to capture the spatial relationships in the abstract based on certain coordination. Finally, there is what is called the formation of through-space (formation-through-space), where its able to create a real spatial relationship (Zahnd, 1999). This spatial relationship can be identified by the proxemics10 of humans are unconsciously making structures of micro-distance space between people in daily transactions, the organization of space in residences and buildings, and in the end, urban planning (Hall, 1966). 10 Proxemics popularized by Edward T. Hall in his book The Hidden Dimension, narrowly defined, as a way of communication is non-verbal, while widely regarded as a semiotic space. See: Hall, Edward. T. (1966). Hidden Dimension. Garden City: Anchor Books.

70


Sidewalk which works in the scheme of infrastructure institutions provide good facilities and clarity in terms of navigation, surveillance and control of space configuration is shown by placing people in urban spaces in the channel pedestrian traffic between flow of vehicles. Sidewalks as an intermediary space that serves as a tool of social networking connections that form proxemics zone itself. The nature of this proxemics simultaneously as an implicit and explicit pedagogical assumed as a marker of the urban landscape as a thirdspace. Thirdspace, in this case the sidewalk effectively provide a mapping of urban space by creating a parallel, a city that is “clear”, with movement, functioning infrastructure, and freedom of the barriers and restrictions city “. In this sense, the pavement becomes habitat spatial ecosystem preserved as well as parts of urban infrastructure as well as a thirdspace that presents an indication of endurance, tactics, strategy, spirit, as well as lifestyle of the people contesting on it. Sidewalk is not only part of the transportation zone, but also as the zone with the current distribution of information, discursive pedagogy-practice of public. Sidewalk absorbs knowledge and information flows to infrastructure construction, which contesting by interacting as an actor for contextualized with urban environments. Taking understanding brought by Lefebvre, the sidewalk is “a playroom which coexisted and facilitate the exchange and circulation space-cultural politics”. Sidewalk can no longer be viewed as naked as the space-material physical function to support mobility of citizens; overall sidewalk provides possibilities of political-cultural participation for its citizens. Sidewalk is a space of subversion.

71


Reference: Adshead, S. D. (2010). An Introduction To The Study of Civic Design. Town Planning Review, 1(1), 3. Deleuze, G. a. F. G. (1987). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press. Duneier, M. (1999). Sidewalk : Farar, Straus and Giroux Foucault, M. (1967). Of Other Spaces. Hall, E. T. (1966). Hidden Dimension. Garden City: Anchor Books. Jarzombek, M. (2010). Corridor Space. JSTOR, 36(4), 728-770. Lefebvre, H. (1991). The Production of Space (D. Nicholshon-Smith, Trans.): Oxford : Blackwell. Prasetyo, F. (2014). Car Free Day : Contestation of ‘Thirdspace’ as a Phenomena in The Production of Urban Public Space in Bandung. Institute of Technology Bandung Bandung. Shane, D. G. (2005). Recombinant Urbanism ; Conceptual Modeling in Architecrure, urban Design, and city Theory. England: John wiley & Sons Ltd. Soja, E. W. (1996). Thirdspace : Journey to Los Angeles and Orher Realand-Imagined Places. USA: Blackwell Publishers Inc. Zahnd, M. (1999). Perancangan Kota Terpadu : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya (Integrated Urban Planing: Urban Planning Theory and Practice) . Semarang: Kanisius dan Soegijapranata University Press.

72


73


74


75


Forum Kurator Muda: Menjembatani dan Menciptakan Generasi Selanjutnya Oleh: Asep Topan

Hal yang pertama kali tersirat ketika pertama kalinya berkunjung ke Jepang, adalah masa kecil saya sendiri. Pada era 1990-an ketika saya mulai tumbuh, program televisi di Indonesia banyak sekali menyuguhkan tayangan hiburan anak-anak yang berasal dari Jepang. Tidak semuanya mampu saya ingat saat itu, namun ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di Jepang, ingatan-ingatan itu kembali muncul dengan perlahan. Mulai beranjak dewasa, intensitas saya dengan tayangan animasi Jepang dan superhero-nya mulai berkurang, beberapa referensi saya pada budaya Jepang mulai digantikan oleh film-film dari Studio Ghibli dan Akira Kurosawa. Tepatnya pada 2009, dalam tahun kedua saya kuliah di jurusan seni rupa, perkenalan saya dengan budaya Jepang hadir dalam bentuk lain melalui The Japan Foundation Jakarta. Pada masa itu, bukan hanya The Japan Foundation, beberapa pusat kebudayaan asing sepeti The Erasmus Huis (Belanda), Institut Français d’IndonĂŠsie (sebelumnya bernama CCF, pusat kebudayaan Perancis), Goethe-Institut Jakarta (Jerman), dan Instiuto Italiano di Cultura (Italia) sering saya kunjungi ketika mereka menyelenggarakan pameran seni rupa atau pemutaran film. Pada pertengahan 2010, saya mengajukan sebuah proposal ke The Japan Foundation Jakarta untuk menyelenggarakan sebuah pameran seni grafis bersama teman-teman mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta saat itu. Hasilnya, ditolak. Mungkin lebih tepatnya tidak mendapatkan tanggapan setelah saya mengajukan proposal tersebut. Kesempatan itu 76


akhirnya datang pada pertengahan 2011 ketika pihak divisi budaya The Japan Foundation Jakarta menyetujui proposal pameran bersama, yang saya ajukan bersama teman-teman mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta. Sejak saat itu, saya banyak terlibat dalam proyek yang diselenggarakan oleh divisi budaya The Japan Foundation: pameran, lokakarya (workshop), dan yang terbaru ialah Next Generation Program for Curators of Southeast Asia. Saya pribadi melihat Next Generation Program for Curators of Southeast Asia ini bukan hanya sebagai sebuah lokakarya, meski pada mulanya disebutkan demikian. Pada praktiknya, program ini merupakan presentasi proposal proyek kuratorial yang sebelumnya telah terseleksi. Di dalam program ini, kegiatan utamanya adalah presentasi dan diskusi, baik antarpeserta maupun bersama mentor di dalamnya. Program ini dilaksanakan di empat negara berbeda: Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Untuk Indonesia, program ini diselenggarakan di The Japan Foundation Jakarta, dengan dua orang kurator internasional sebagai mentor: Ade Darmawan (kurator, direktur ruangrupa) dan Yukie Kamiya (chief curator, Hiroshima MOCA). Saya sangat beruntung menjadi salah satu peserta terpilih untuk berangkat ke Jepang bersama tiga peserta lainnya dari Indonesia, yaitu Sita Magfira, A. Khairudin dan Angga Wijaya. Proposal yang kita ajukan di Jakarta, kembali dipresentasikan di forum kurator muda Asia Tenggara tersebut, dan mendapatkan beberapa masukan yang sangat penting sebelum direalisasikan menjadi sebuah proyek kuratorial. Saya tidak tahu pasti untuk negara lain selain Indonesia, tapi di sini, semua proposal yang diajukan mendapatkan dukungan penuh oleh The Japan Foundation untuk direalisasikan, bukan hanya proposal yang lolos seleksi untuk dipresentasikan di Jepang.

77


Run and Learn: New Curatorial Constellation, merupakan nama yang dipilih oleh forum kurator muda Asia Tenggara, untuk memayungi keseluruhan proyek yang diselenggarakan di masing-masing negara. Pemilihan dua kata, Run dan Learn (berlari dan belajar), kurang lebih mencerminkan dua kegiatan utama kita selama di Jepang. Dalam artian yang sesungguhnya, hampir setiap harinya kita ‘berlari’ mengejar waktu, menyesuaikan jadwal yang begitu padat selama di Jepang, untuk melakukan kegiatan ‘belajar’. Lebih dari 20 museum dan pameran seni rupa, dikunjungi dalam waktu empat belas hari di delapan kota berbeda: Tokyo, Yokohama, Nagoya, Osaka, Kanazawa, Hiroshima, Yamaguchi, dan Fukuoka. Nama ‘Southeast Asia’ atau Asia Tenggara yang sebelumnya terdapat pada nama program ini, dihilangkan dengan pertimbangan bahwa tidak semua negara di Asia Tenggara diwakili oleh kurator muda di program ini. Lagi-lagi, rasanya kurang tepat jika menyebut program ini sebagai sebuah lokakarya. Saya cenderung lebih setuju menyebutnya sebagai sebuah forum kurator muda. Selain presentasi proyek yang kita rancang dari negara masing-masing, pada forum ini kita berkesempatan mengunjungi berbagai tempat seperti museum, studio seniman, dan galeri, untuk kemudian berdiskusi langsung dengan setiap kurator di tempat tersebut. Sebutlah beberapa tempat dan peristiwa seni utama yang kita kunjungi ialah Museum of Contemporary Art Tokyo, 21st Century Museum of Contemporary Art Kanazawa, Hiroshima Museum of Contemporary Art, Fukuoka Asian Art Triennale, dan Yokohama Triennale.

78


Kaitannya dengan Seni Rupa Kontemporer Indonesia Salah satu titik penting dalam sejarah seni rupa kontemporer Indonesia terjadi pada saat munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada 1975. Setelah GSRB, gelaja adanya contemporary turn di seni rupa Indonesia kembali nampak pada awal 1990-an. Berakhrinya Perang Dingin dengan runtuhnya kekuatan komunis dan sosialis Uni Soviet berdampak pada seluruh penjuru dunia termasuk pada negara-negara nonblok seperti Indonesia dengan munculnya gejala globalisasi. Jepang dan Australia merupakan dua negara yang mulai gencar memunculkan isu seni rupa regional pada awal 1990-an dengan menyelenggarakan pameranpameran Asia, Asia Tenggara, dan Asia-Pasifik. The Japan Foundation, Fukuoka Asian Art Museums, dan the Queensland Art Gallery merupakan beberapa institusi yang aktif menyelenggarakan pameran-pameran besar, penelitian, dan penerbitan.1 Tanda penting dari gejala ini ialah dengan diadakannya pameran New Art from Southeast Asia yang diselenggarakan The Japan Foundation pada 1992 yang melibatkan tiga seniman Indonesia. Belakangan saya mengetahui bahwa koordinator pameran ini ialah Yasuko Furuichi, yang 22 tahun kemudian menjadi koordinator program kurator muda yang saya jalani saat ini. Selain pameran tersebut, gejala contemporary turn dalam seni rupa Indonesia terlihat dalam penyelenggeraan Asia Pacific Triennale pertama pada 1993 di Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, dan Jakarta Biennale IX pada akhir 1993 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada masa ini, istilah kurator independen di Indonesia mulai muncul dengan Jim Supangkat sebagai orang yang mengawalinya. Setelah pada 1992 ia memutuskan untuk berhenti menjadi seorang seniman dan pengajar seni rupa, untuk sepenuhnya menjadi kurator independen. Setelah Jim Supangkat, figur-figur pada generasi selanjutnya mulai

79


bermunculan sebagai kurator independen di Indonesia. Meskipun demikian, praktik kuratorial di Indonesia bukan hanya dimainkan oleh peran individu saja, beberapa institusi seperti Istana Negara Republik Indonesia, Taman Ismail Marzuki, Cemeti Art House, dan lainnya, secara simultan memberikan pengaruh yang luar biasa pada praktik ini -yang terkadang tidak menggunakan istilah kurator. Dengan minimnya keberadaan institusi seperti museum di Indonesia, dan tanpa tersedianya pendidikan kurator secara resmi pada awal kemunculannya, generasi kurator di Indonesia selanjutnya banyak bermunculan melalui kerja praktik bersama kurator yang lebih senior. Jika kita melihat daftar yang dibuat oleh Patrick D. Flores dalam Past Periphery: Curations in Southeast Asia,2 saya berasumsi bahwa generasi saya saat ini berada pada generasi ketiga dalam sejarah kekuratoran di Indonesia pasca Jim Supangkat, yang tidak masuk pada daftar tersebut. Dalam daftar tersebut terdapat nama-nama seperti Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Agung Hujatnika, Aminudin TH Siregar, Farah Wardani, hingga Ade Darmawan. Memang, daftar itu hanya berisi nama-nama kurator hingga 2004, namun dengan berandai-andai bahwa satu generasi bisa digolongkan dalam kurun 10 tahun, saya pikir generasi yang muncul setelah tahun 2010 merupakan generasi ketiga, yang banyak berhubungan langsung dengan generasi kedua (awal 2000-an). Dalam beberapa tahun terakhir, saya cenderung mengamati keberadaan generasi ini baik dalam konteks sebagai seniman maupun kurator di Indonesia. Seniman muda sudah tentu memiliki jumlah yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan kurator muda. Namun, menurut pengamatan saya, beberapa nama baru di bidang kekuratoran di Indonesia banyak bermunculan pada beberapa tahun terakhir. Hal ini juga ditandai dengan wadah pendidikan kuratorial yang dilakukan oleh beberapa institusi seperti ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta, selain secara formal dibukanya jurusan baru dengan nama “Manajemen dan Kekuratoran� di 80


sekolah pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Terlepas dari itu semua, setidaknya secara kuantitas, kurator muda di Indonesia mulai banyak bermunculan melalui proyek-proyek seni yang mereka jalankan dengan kecenderungan yang sangat beragam. Khusus pada 2013, Cemeti Art House sebagai salah satu institusi paling penting pada perkembangan seni rupa kontemporer si Indonesia, mengadakan forum kurator muda Indonesia, yang mereka pilih berdasarkan jaringan Cemeti dan Alia Swastika.3 Dengan melihat fenomena yang saya paparkan di atas, tidak berlebihan jika terpikirkan bahwa mungkin saat ini saya berada pada sebuah gelaja curatorial turn di seni rupa Indonesia. Gejala-gejala itu hadir dalam bentuk kemunculan kurator-kurator muda, semakin banyaknya penyelenggaraan pendidikan kekuratoran, dan forum kurator muda yang diselenggarakan. Secara khusus, pada Next Generation Program for Curators of Southeast Asia, pengaruh yang terlihat membuat saya sedikit terkejut karena secara serentak setiap peserta yang berjumlah 12 orang ini akan menyelenggarakan proyek kuratorialnya. Dalam rentang waktu lima tahun terakhir misalnya, saya belum pernah mengalami gerakan seperti ini yang melibatkan banyak kurator muda, muncul dengan sebuah gagasan kuratorial dari masing-masing individu, untuk kemudian direalisasikan dalam bentuk yang beragam, baik pameran, buku, atupun festival seni rupa, dalam waktu yang hampir bersamaan. Lebih penting lagi, setelah program ini dilaksanakan, komunikasi antar peserta terus terbangun dan beberapa di antaranya melakukan kolaborasi di luar program ini. Next Generation Program for Curators of Southeast Asia yang saya jalani merupakan yang pertama kalinya diselenggarakan oleh The Japan Foundation. Periode penyelenggaraannya, dari awal hingga akhir pelaksanaan proyek yang diajukan para peserta, genap selama satu tahun. Program ini dimulai pada Februari 2014 hingga Februari 2015. Sebuah waktu yang cukup panjang untuk menyiapkan sebuah proyek kuratorial 81


dan berada pada momentum yang tepat dengan situasi politik dan ekonomi regional pada 2015 ini. Hingga saat ini, belum terdengar rencana penyelenggaraan program ini untuk kedua kalinya: apakah akan menjadi program tahunan, dua tahunan, atau hanya akan terselenggara sebelum Olimpiade Tokyo 2020. Menurut pandangan saya, pentingya program ini terdapat pada pertukaran pengetahuan dan jaringan antara sesama kurator dan seniman muda di wilayah Asia Tenggara dan Jepang. Setelah program ini selesai dilaksanakan, para peserta memiliki kesempatan yang baik untuk menjalin kerjasama dengan semua pihak yang berpartisipasi dalam program ini. Selanjutnya, saya berpikir keberhasilan program ini hanya akan terlihat setelah generasi kurator selanjutnya muncul. Pada titik itulah, intensitas dan konsistensi para peserta Next Generation Program for Curators of Southeast Asia saat ini bisa terukur.

Catatan: Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” dalam http://www.globalartmuseum.de/site/ guest_author/238 1

Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Reflections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows. 2

Baca lebih lanjut: http://jogjanews.com/ini-nama-16-kurator-peserta-forumkurator-muda-rumah-seni-cemeti 3

82


83


The Young Curator’s Forum: Bridging the Gap, and Creating the Next Generation By: Asep Topan

When I visited Japan for the first time, I was remembering my own childhood. Growing up in the early 1990’s, Indonesia’s television was inundated with Japanese children’s entertainment programs. Not all of them stayed with me, but as I set foot on Japanese soil for the first time, the memories came flooding back. As adulthood loomed, my infatuation with Japanese cartoons and superhero stories waned, and my understanding of Japanese culture was replaced by movies from Studio Ghibli and Akira Kurosawa. In 2009, my second year studying fine art in college, I was introduced to another form of Japanese culture: The Japan Foundation Jakarta. At the time, I regularly attended movie screenings and art exhibitions by The Japan Foundation and many other foreign cultural centers, such as The Erasmus Huis (Dutch cultural center), Institut Français d’Indonésie (formerly known as CCF, the French cultural center), Goethe-Institut Jakara (German culture), and the Instituto Italiano di Cultura (Italian culture). Sometime in 2010, I submitted a proposal to the Japan Foundation for a printmaking exhibition with some of my college friends in the Jakarta Institute of Arts (IKJ). The proposal was rejected. Or at least, it received no reply. Finally, in 2011, the Japan Foundation Jakarta’s cultural division accepted a joint exhibition proposal I submitted with some of my friends in IKJ. Since then, I’ve been involved in various projects organized by the Japan Foundation’s cultural division: exhibitions, workshops, and now the Next Generation Program for Curators of Southeast Asia. Personally, I don’t 84


perceive the Next Generation Program as merely a workshop, in spite of its billing. In practice, this program gives a chance for its participant to present selected proposals for their curatorial projects. The participants mainly present and discuss their projects among themselves, or with their mentors. This program was held in four different countries: the Philippine, Indonesia, Malaysia, and Thailand. In Indonesia, this program was held in The Japan Foundation Jakarta with two international curators acting as our mentor: Ade Darmawan (curator, director at ruangrupa) and Yukie Kamiya (chief curator, Hiroshima MOCA). I was fortunate enough to be one the participants chosen to fly to Japan with three other Indonesian participants: Sita Magfira, A. Khairudin, and Angga Wijaya. We presented the project proposal we submitted in Jakarta again in this forum, and received many valuable input in developing our individual projects. I can’t say for sure whether the same applies for other countries, but every proposal submitted by Indonesian participants have received the full support of The Japan Foundation. And not just the proposals who were selected to go to Japan. The young Southeast Asian curator’s forum chose to call this entire project Run and Learn: New Cultural Constellation. Indeed, running and learning succinctly summarizes our two main activities during our stay in Japan. In literal terms, we ‘run’ every day to keep up with the intense pace of our Japanese ‘learning’ visit. Over twenty museums and art exhibitions, for fourteen days, and in eight different cities: Tokyo, Yokohama, Nagoya, Osaka, Kanazawa, Hiroshima, Yamaguchi, and Fukuoka. In the end, we chose to drop the ‘Southeast Asia’ term from our program name, as not all Southeast Asian countries were represented in this program. Again, I reiterate my doubt in calling this program a ‘workshop’. I personally prefer to call it a forum for young curators. Apart from presenting our individual project proposals, we had the chance to visit and interact with

85


the curators in various museums, art studios, and galleries. Among others, we visited the Tokyo Museum of Contemporary Art, the 21st Century Museum of Contemporary Art in Kanazawa, the Hiroshima Museum of Contemporary Art, the Fukuoka Asian Art Triennale, and the Yokohama Triennale.

On Indonesian Contemporary Art One of the landmark in Indonesia’s contemporary art history was the emergence of the New Art Movement (Gerakan Seni Rupa Baru) in 1975. After GSRB came to the fore in 1975, Indonesia’s art scene took another contemporary turn in the early 1990’s. As the Cold War ended with the demise of socialist Soviet Union and the decline of Communist power, countries around the world - including previously neutral countries such as Indonesia - started feeling the effects of globalization. Japan and Australia were among the countries that intensely explored regional art issues by organizing exhibitions in Asia, Southeast Asia, and the Asia-Pacific region. Institutions such as The Japan Foundation, Fukuoka Asian Art Museum, and the Queensland Art Gallery among others, actively organized major exhibitions, research programs, and publishing campaigns. An important landmark of this new turn of events was the New Art from Southeast Asia exhibition, organized by The Japan Foundation in 1992 and involving three Indonesian artists. Lately I found out that this particular exhibition was coordinated by Yasuko Furuichi, who I met 22 years later as the coordinator for the curatorial program I am currently participating in. Other landmark on Indonesian art’s contemporary turn at the time was the first Asia Pacific Triennale (1993) in Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, and the Jakarta Biennale IX (1993) in Taman Ismail Marzuki, Jakarta. It was during this era that the term ‘independent curator’ first surfaced in Indonesia, spearheaded by Jim Supangkat. In 1992, he decided to quit his work as a full-time artist and lecturer to focus on being an independent 86


curator. After Jim Supangkat, other independen curators emerged. In spite of this, the curatorial practice was not limited to individuals. Institutions such as the Indonesian National Palace, Taman Ismail Marzuki, and the Cemeti Art House, among others, simultaneously impacted the curatorial practice, whilst occasionally eschewing the term ‘curator’ in itself. With museums in Indonesia few and far between, accentuated by the lack of formal curatorial education at the time, the emergence of new generation Indonesian curators relied heavily on practical working experience with senior curators. As I glanced at the list of curators comiled by Patrick D. Flores in Past Periphery: Curations in Southeast Asia, I can reasonably assume that my generation belongs to the third generation of Indonesia’s curators after Jim Supangkat, who was noticeable in his absence. The list names several eminent curators such as Enin Supriyanto, Asmudjo Irianto, Agung Hujatnika, Aminudin TH Siregar, Farah Wardani, and Ade Darmawan. Flores’ list itself only goes as far as 2004. But should we assume that a generation is measured by a gap of 10 years, we can reasonably place the nascent generation emerging after 2010 as the third generation of curators. A generation that interacts often with the second generation (emerging in early 2000’s). In the last few years, I tend to observe this generation within the context of artists and curators in Indonesia. There are more young artists than young curators. That much is evident. But over the past few years, new names started popping up in Indonesia’s curatorial scene. This emergence of new curators is also marked by the organization of curatorial education programs by institutions such as ruangrupa and the Jakarta Arts Council, and formally, the opening of a new course entitled ‘Management and Curatorial Studies’ available for postgraduate students in the Bandung Institute of Technology. Young Indonesian curators are starting to grow in numbers, organizing various art projects with their own distinctive artistic tendencies. In 2013, the Cemeti Art House - a major institution in the 87


development of Indonesia’s art - organized a forum for young Indonesian curators, handpicked through their networks in Cemeti and Alia Swastika. Within this context, it wouldn’t be amiss for me to say that I am now standing in the middle of a curatorial turn in Indonesia. Young curators emerged, curatorial education programs are opened, and young curatorial forums are organized. In the Next Generation Program for Curators of Southeast Asia, I was surprised to hear that the twelve participants will organize their curatorial projects simultaneously. Over the past five years, I’ve never heard of a movement like this. A program involving many young curators, who submitted their individual curatorial ideas, which will then be implemented in real life. Be it through exhibitions, art festivals, or the publication of a book. And all of them will happen almost simultaneously. More importantly, the participants continued to interact with each other after the program. In fact, some of them collaborated with each other outside of this program. The Next Generation Program for Curators of Southeast Asia program I participated in is the first of its kind by The Japan Foundation. From start to finish, the program lasted for a year - starting in February 2014, and ending in February 2015. Enough time to prepare a curatorial project, and perfectly timed to coincide with 2015’s regional political and economic development. So far, I’ve yet to hear word of this program happening for a second time. It’s unclear whether this program will be conducted yearly, every two years, or only once before the 2020 Tokyo Olympics. In my opinion, the importance of this program lies in the exchange of knowledge and network between the young curators and artists of Southeast Asia and Japan. After the program’s conclusion, the participants are well set to collaborate and work together with everyone they met during this program. However, I feel that we can only measure the success of this program after the emergence of the next generation of curators. And only then, will the intensity and consistency of this program’s participants be fully tested. 88


Notes: Agung Hujatnika, “Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes” in http://www.globalartmuseum.de/site/guest_ author/238 1

Patrick D. Flores, “Past Perphery: Curation in Southeast Asia” dalam Reflections on the Human Condition: Change, Conflict and Modernity. The Work of the 2004/2005 API Fellows. 2

Read more on: http://jogjanews.com/ini-nama-16-kurator-peserta-forum-kuratormuda-rumah-seni-cemeti 3

89


90


91


Seniman Reza Afisina, lahir di Bandung pada 1977, tinggal di Depok - Jawa Barat dan berkarya di Jakarta. Ia adalah seorang seniman performance yang tergabung dan bekerja di ruangrupa (divisi Laboratorium Seni Rupa). Reza Afisina memiliki pendekatan yang banyak menggunakan tubuh sebagai bahasa ekspresi untuk menyampaikan gagasan pada setiap karyanya. Selain, performance art, karya-karya terakhir Reza Afisina menggunakan beragam medium lain seperti instalasi dan video art. Dalam proyek ini, Reza Afisina menampilkan sebuah pendekatan karya dari pengamatannya terhadap tiga hal: demokrasi, adaptasi, dan asimilasi yang terjadi di trotoar kota Jakarta. Ketiga pendekatan ini diwujudkan dalam pembuatan karya melalui pendekatan medium instalasi dari narasi mengenai sebuah strategi penanda ruang dan perpindahan secara fiksi dari budaya kampung ke kota, serta demokratisasi ruang sebagai pilihan orang untuk berkegiatan dan menemukan interaksi sebagai pilihan.

92


Artist Reza Afisina, born in Bandung in 1977, lives in Depok, West Java, and works in Jakarta. He is a performance artist working in Art Laboratory division in ruangrupa, a Jakarta-based arts collective. In his works, Reza Afisina uses his body as his chosen language in expressing his ideas. Reza latest works stray beyond the realm of performance art, utilizing various other mediums such as installation art and video art. In this project, Reza Afisina's approach aims to present his observation on three subjects: the democratic, adaptation, and assimilation process taking place in Jakarta's sidewalks. Through his approaches and the installation as his medium, Reza's works aims to present a narrative on how we mark space, the fictional shift of rural culture to the cities, and the democratization of space as the citizen's choice in realizing their daily activities and interactions.

93


Seniman Log Out Corps, dibentuk pada 2012 dan berkarya di Jakarta. Log Out Corps merupakan kelompok seniman muda yang menjadikan kota Jakarta sebagai tempat dan alasan utama mereka berkarya. Kelompok ini pada mulanya terbentuk dalam sebuah workshop seni rupa publik yang diselenggarakan oleh Jakarta 32°C Festival 2012, dengan Irwan Ahmett sebagai mentornya. Karya-karya yang mereka buat merupakan bentuk oposisi sederhana terhadap sistem dan peraturan yang sangat hierarkis di kota Jakarta. Seni rupa publik yang mereka ciptakan memiliki karakter yang lebih bermain-main dan tidak terduga, karena banyak proyek seni yang mereka buat berdasarkan apa yang mereka temui di ruang-ruang publik di Jakarta. Dalam proyek ini, pendekatan bermain terlihat dari penekanan pada observasi mereka akan budaya dan kebiasaan baru yang terjadi di trotoar kota Jakarta. Ketidaktepatan regulasi pemerintah akan trotoar dan berbagai cara masyarakat dalam menggunakannya, direspon dengan pembuatan beragam kolase dari realitas-realitas yang terjadi, menciptakan narasi fiktif, hingga pengumpulan artefak yang berkaitan dengan gagasan-gagasan tersebut.

94


Artist Log Out Corps, found in 2012 and based in Jakarta. Log Out Corps is a collective of young artists. They chose Jakarta as the location and main reason for their works. This collective was formed in a public art workshop initiated by Jakarta 32°C Festival 2012, and was mentored by the artist Irwan Ahmett. Their works are a form of simple opposition to the extremely hierarchical systems and regulations taking place in Jakarta. Basing their art projects on the realities of life in Jakarta's public spaces, the public artworks they create are often playful and unexpected. In this project, their playful nature is evident in their observation on the new cultures and norms taking place in Jakarta's sidewalks. Their work aims to respond and comment on the government's ineffective regulations on sidewalks through collages on the realities of Jakarta's sidewalks, the creation of fictional narratives, and by collecting relics relating to those ideas.

95


Kurator Asep Topan, lahir di Majalengka pada 1989, tinggal dan berkarya di Jakarta. Ia adalah seorang kurator independen dan pengajar seni rupa. Sejak 2011 ia terlibat dalam beberapa proyek seni bersama ruangrupa, sebagai penulis, peneliti dan editor. Pada 2012, ia mulai bergabung bersama alma maternya Institut Kesenian Jakarta, sebagai pengajar. Ia membuat proyek kuratorial pertamanya di RURU Gallery pada 2013 dengan judul “Print: Process”. Pada 2014 ia mulai memperluas jaringan dan proyek seninya dengan seniman dan kurator muda di wilayah Asia Tenggara dan Jepang, melalui program “Next Generation Curators of Southeast Asia” yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation. Pada tahun yang sama ia terlibat dalam sebuah proyek seni bersama beberapa seniman muda Asia Tenggara dengan nama “Objection” di Manila, Filipina. Di sela kegiatannya, ia juga aktif menulis tentang seni rupa dalam bentuk ulasan dan esai, yang telah diterbitkan dalam buku berjudul “Sketsa dan Sebuah Kesalahan” oleh penerbit FSR IKJ Press.

96


Curator Asep Topan, born in Majalengka, 1989, lives and works in Jakarta. Asep Topan is an independent curator and art lecturer based in Jakarta. Since 2011, he had involved as a writer, researcher and editor for several projects in ruangrupa, an artist initiative based in Jakarta. In 2012, he had joined with his alma mater, Jakarta Institute of Arts as a lecturer. Besides research and lecture, he also debuted his initial curatorial project for “Print: Process” exhibition in RURU Gallery (Jakarta). In 2014, he had extended his projects and network with artists and curators across Southeast Asia countries as well as Japan with several projects such as “Next Generation Curators of Southeast Asia” initiated by The Japan Foundation (Jakarta and Japan), and “Objection” a project exhibition with young Southeast Asian artists in Manila (Philippines). He is constantly writing about art, and had just launched his first book “Sketsa dan Sebuah Kesalahan” (Sketches and a Mistake) in 2014, contain his essays on Indonesian art scene including history and exhibition review, published by FSR IKJ Press (Faculty of Fine Art, Jakarta Institute of Arts Publishing).

97


98


99


Sidewalk Warfare REZA AFISINA + LOG OUT CORPS Curated by ASEP TOPAN OPENING Thursday, 29th January 2015 15.00 - 18.00 WIB With special performance from BIN IDRIS EXHIBITION 30th January - 12th February 2015 Open every day from 10.00-18.00 WIB (Except Saturday, Sunday, and national holidays) PUBLIC DISCUSSION AND BOOK LAUNCHING Thursday, 12th February 2015 15.00 - 17.00 WIB LOCATION The Japan Foundation Hall, Jakarta Summitmas Building I, 2nd Floor, Jl. Jend Sudirman, Kav 61-62, Jakarta, 12190 INDONESIA Phone: 021-520-1266, Fax: 021-525-5159, email: jfjakarta@gmail.com www.jpf.or.id | www.sidewalk-warfare.net | www.aseptopan.com

100


Crew Project Coordinator: Asep Topan Project Assistant: Agung Tri Wijaya Graphic Designer: Teddy Setiadi Editor: Afra Ramadhan Documentation: Nissal Berlindung Display Team: Luthfi Nurseptian, Abdulghani Arkaprana, Eri Dwi Translator: Raka Ibrahim Exhibition Docent: Gadis Fitriana, Selldah Fauziah

101


Acknowledgment Sidewalk Warfare Yasuko Furuichi Tadashi Ogawa Diana Sahidi Ade Darmawan Yukie Kamiya Mami Kataoka Reza Afisina Log Out Corps. Keiko Suzuki Kazunori Matsunaga Ben Suzuki Ong Ji Dewi Nandawati Pak Wahono Respatih Sahabat Sejati Leonhard Bartolomeus Yasuhiro Takehara Mba Nurul Mba Vivi Ishariyadi Pak Rozak Mas Heri Frans Ari Prasetyo Dita Lastluna Haikal Azizi Adin Mbuh The Director Angga Wijaya Sita Magfira Ong Jo-Lene Lee Chah Nie Harold Reagan Eswar Ricky Francisco Merv Espina Con Cabrera Kamonpond Eiko Wongcharoenchai Soifa Saenkhamkon Haruko Kumakura 102

Kumiko Idaka Yamato Logistics Hauritsa Anggun Priambodo Andang Kelana Kotaro Minami Tokyu Stay ruangrupa crew The Japan Foundation Jakarta The Japan Foundation Headquarter The Asia Foundation Reza Afisina Marishka Soekarna Tim Laboratorium Seni Rupa ruangrupa (ArtLab) TMC Familia Para pejalan kaki Pedagang kaki lima Log Out Corps Asep Topan Reza Afisina Irwan Ahmett Tita Salina Yosua Maigoda Ragil Dwi Putra Tulus Ibnu Kusumo Yudo Wisnu Heru Leluhur Anto Dul Chairunnisa S.U Nissal Berlindung Agung Endjoy Luthfi Nur Septian Ibu Diana Pak Rozak


Media Partners

103


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.