Edisi Agustus 2010
KEHUTANAN MASYARAKAT DAN PERUBAHAN IKLIM
DARI EDITOR
Perubahan iklim, pemanasan global, carbon trade, REDD, adalah topik lingkungan yang mau tidak mau dan suka tidak suka dihadapi oleh siapa pun. Semua sektor akhirnya ikut terkait dan menghadapi tantangan yang sama, perubahan iklim. Tak terkecuali Kehutanan Masyarakat (KM), yang semestinya menjadi salah satu cara untuk bisa menjawab tantanngan tersebut. Dalam menghadapi perubahan iklim, ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu beradaptasi terhadap perubahan atau melakukan mitigasi atau pencegahan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Upaya adaptasi yang bisa dilakukan adalah mengembangkan teknologi aplikatif, mengubah pola hidup, atau berpindah ke lokasi lain. Sementara untuk mitigasi, antara lain bisa dilakukan dengan mencegah penebangan hutan, kebakaran hutan, pembukaan perkebunan atau pertambangan baru, dan sebagainya. Sehubungan dengan hal di atas, FKKM te– ngah mengembangkan ‘Laboratorium Kehutanan Masyarakat’ sebagai sarana baru belajar para pihak
Dewan Redaksi Christine Wulandari, Billy Hindra, Muayat Ali Muhshi, Purwadi Soeprihanto, Dian Novarina, Wisma Wardana, Fadrizal Labay, Sujarni Alloy, Jadri Junaedi, Sukoco, Laurel Heydir, Andri Santosa, Asep Saefullah. Penanggung Jawab Andri Santosa Redaktur Pelaksana Lisnawati Reporter Lisnawati, Andri Santosa, Marwan Aziz, Nurhadi Fotographer Rhino Ariefiansyah Tata Letak Roy B. Distribusi Sukardi, Titiek Wahyuningsih Alamat Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1, Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax: +62 251 832 3090 Email redaksi: warta@fkkm.org Website: www.fkkm.org
2
WARTA - Edisi Agustus 2010
tentang KM dan perubahan iklim. Dalam Lab KM ini harapannya ada proses belajar bersama, riset/observasi, mediasi konflik, dan dialog kebijakan yang dapat lebih intensif dilakukan, serta proses belajar lain misalnya “fasilitasi dan pendampingan”. Dari Lab KM juga diharapkan ada produksi pengetahuan baru tentang kehutanan masyarakat khususnya berkaitan dengan perubahan iklim dalam bentuk publikasi maupun bentuk lain yang dapat diakses oleh publik. Pembelajaran dari proses belajar ini akan menjadi milik publik, selain akan dikembalikan ke lokasi Lab KM itu sendiri dan harapannya dapat direplikasi sesuai kondisi dan situasi yang ada. Semoga harapan tersebut dapat terealisasi dan memberikan manfaat bagi semua pihak. Salam, Redaksi Warta WARTA edisi ini Ford Foundation.
penerbitannya
didukung
oleh
LAPORAN UTAMA
KEHUTANAN MASYARAKAT DAN PERUBAHAN IKLIM Isu nyata yang tengah menghantui dunia adalah pemanasan global. Hal ini menjadi perhatian karena berdasarkan millennium ecosystem assessment, 2005, pemanasan global menimbulkan dampak langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Empat macam layanan lingkungan terhadap kehidupan masyarakat akan terganggu. Pertama berhubungan dengan kehidupan dasar (basic needs): yang berupa penyediaan pangan, serat, bahan bakar, sumber genetik, biokimia dan penyediaan air bersih. Kedua, berhubungan dengan budaya, spiritual, rekreasi, estetika, inspirasi dan pendidikan. Ketiga, berhubungan dengan penunjang, pembentukan tanah, siklus hara, dan produksi primer. Serta keempat, mempengaruhi regulasi: regulasi iklim, regulasi populasi hama dan penyakit, regulasi air, regulasi pengurangan bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan sebagainya. Untuk itu, pemerintah telah menargetkan reduksi emisi karbon dioksida sebesar 26 persen hingga tahun 2020. Tingkat pengurangan terbesar dicapai di sektor kehutanan sebesar 14 persen. Target itu ditempuh dengan menjaga kelestarian kawasan hutan dan menurunkan kejadian titik api sekitar 20 persen per tahun selama kurun waktu itu. Beban dunia kehutanan memang sangat besar, mengingat emisi yang disumbangkan oleh perubahan pemanfaatan lahan dan hutan. Kegiatan ini berkontribusi 17 persen, atau sekitar 5,8 gigatons (juta ton) CO2 terhadap emisi karbon global. Indonesia adalah emiter ketiga terbesar di dunia yang disebabkan emisi dari perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan.
Menurut peneliti dari PEACE, Agus P. Sari, Indonesia menyumbang sekitar 2 miliar ton, atau se–pertiga dari emisi dari sektor kehutanan, per tahun. Upaya Mitigasi (mengikat dan mempertahankan daya simpan karbon) dan adaptasi (meningkatkan daya tahan lingkungan) di sektor kehutanan, harus terus ditingkatkan. Menurut Muhammad Ridwan dari CER (Carbon and Environmental Research) Indonesia, Kegiatan Mitigasi Sektor Kehutanan dilakukan antara lain melalui konservasi (perlindungan hutan dari degradasi dan deforestasi baik karena illegal logging, kebakaran, dan perambahan), peningkatan penyimpanan/penyerapan (carbon sequestration) melalui penanaman lahan kritis, lahan gundul dan semak belukar (reforestasi) dan aforestasi (penanaman pada areal bukan kawasan hutan menjadi hutan). “Upaya lainnya adalah melalui peningkatan carbon stock melalui kegiatan penanaman, pengayaan dan restorasi, serta substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomas,� tambah Muhammad Ridwan dalam sebuah Training mengenai REDD di Bogor. Sedangkan kegiatan mitigasi masuk ke dalam skema pendanaan. Kyoto Protocol (A/R CDM) – peningkatan carbon stock & carbon sequestration dan skema REDD+ Konservasi Hutan, Pencegahan illegal logging, pencegahan perambahan dan pencegahan kebakaran.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
3
LAPORAN UTAMA
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) adalah Skim insentif yang dikembangkan bagi masyarakat dan negara untuk melindungi hutannya dari kegiatan-kegiatan yang akan meningkatkan emisi karbon karena kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Tanda “+” pada REDD+ memperluas ruang lingkup mekanisme ini dengan memasukkan aspek konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan, serta pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan (SMF). Ini berarti bahwa aktifitas-aktifitas seperti peningkatan pe–ngelolaan kawasan lindung, hutan tanaman dan restorasi hutan, serta pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/ RIL) dapat dimasukkan sebagai bagian dari strategi REDD+. Perluasan REDD menjadi REDD+ umum–nya dilihat sebagai suatu perkembangan yang positif untuk kawasan AsiaPasifik. Akan tetapi terdapat sejumlah kekhawatiran bahwa REDD+ akan membuka peluang bagi sektor-sektor industri untuk mengklaim kredit karbon meskipun di saat yang sama masih tetap mengeksploitasi kawasan hutan yang ada dengan cara-cara yang tidak lestari. Didalam negeri, beberapa kebijakan ratifikasi telah disiapkan, antara lain: 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim); 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto; 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan; 5. Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional perubahan Iklim; 6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 30/Menhut-II/2009 tentang Tatacara pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD); 7. Peraturan Mentri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
4
WARTA - Edisi Agustus 2010
Menurut Direktur Multistakeholder Fo– restry Programmme (MFP), Diah Y. Raharjo, kelak mekanisme insentif dari negara maju dibangun dan masuk pada Global Carbon Market, dimana insentif akan dibayarkan melalu mekanisme pasar dengan dua skema yang dapat dikembangkan yaitu skema pendanaan untuk kegiatan-kegiatan pencegahan-pencegahan deforestasi; dan skema dukungan terhadap kegiatan konservasi dan pengelolaan hutan lestari di kawasan hutan negara. Skema ini terutama melibatkan hubungan-hubungan government to government, melalui mekanisme REDD. “Skema perdagangan untuk mengapresiasi upaya-upaya pembangunan hutan tanaman dan restorasi hutan (pembangunan stock). Skema ini terutama melibatkan secara langsung antara korporasi/pemerintahan/ komunitas dengan masyarakat dan entitas bisnis lainnya, melalui mekanisme voluntary carbon market”. Menurut Bernadinus Steni dari Perkumpulan HuMa, REDD bisa diterapkan di kawasan hutan yang terancam, misalnya kawasan hutan produksi atau hutan produksi terbatas, kawasan hutan yang dekat dengan aktivitas manusia, seperti pemukiman, jalan raya, perkebunan dan lain-lain. “Sedangkan REDD+ diterapkan di kawasan hutan yang dilindungi seperti konservasi yang tidak pernah dijamah manusia. Alasannya, hutan-hutan tersebut menyimpan cadangan karbon stok yang bisa dijual. REDD+ bisa juga diterapkan di hutan buatan, karena menjadi bagian dari penanaman kembali yang meningkatkan stok karbon”. Siapkah Kehutanan Masyarakat? Menurut San Afri Awang, Staf Khusus Menteri Kehutanan Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Ketika skema REDD+ yang menjanjikan bisnis perdagangan karbon dan insentif didalamnya, kita harus melihatnya sebagai sebuah bonus. “Tema terpenting adalah mengusahakan agar hutan tetap lestari”. San Afri Awang juga menjelaskan se– sungguhnya “kue karbon” yang kelak akan datang bisa dibagikan kepada stakeholder yang terlibat, yaitu pemerintah, perusahaan swasta, masyarakat dan organisasi masyarakat, penguatan strategi kehutanan masyarakat dan pendampingan untuk HKm, Hutan Desa, HTR, Hutan Kemitraan, Hutan Adat, dan Hutan Rakyat yang semuanya difasilitasi oleh pemerintah.
Diah Raharjo menambahkan hutan dapat lestari jika dikembalikan pengelolaannya kepada masyarakat dengan syarat pengelolaan dilakukan untuk jangka panjang dengan kepastian tenurial dan yang sudah terbukti dengan kearifan tradisional oleh kelompok masyarakat. “Namun problemnya adalah masyarakat yang tinggal di dekat hutan umumnya berada di bawah garis kemiskinan, tidak memiliki akses pada pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta akses ke pasar karbon, sehingga ini yang akhirnya menggoyahkan kelestarian hutan”. Perlu diingat bahwa jumlah penduduk yang hidup disekitar hutan dan tergantung dari hutan 60%, dan yang miskin 99.99%. Masyarakat sekitar hutan tetap tergantung pada tengkulak. Secara nasional, kehutanan masyarakat di Indonesia diperkirakan memiliki potensi luasan sekitar 9 juta hektar; meliputi alokasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebesar 5,4 juta hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKm) sebesar 2,1 juta hektar, dan Hutan Rakyat sebesar 1,5 juta hektar. Potensi ini masih akan bertambah dengan dengan pengembangan Hutan Desa, pola Kemitraan, dan Hutan Adat. Oleh sebab itu, sudah selayaknya berbagai varian kehutanan masyarakat didorong untuk menjadi salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sejumlah persoalan yang kemudian menjadi tantangan KM dalam kesiapan menyongsong REDD antara lain adalah masalah hak kelola, yang seharusnya dibereskan bersamaan dengan persiapan REDD. Selain itu persoalan perizinan dan birokrasi adalah tantangan yang harus segera dibenahi KM. Hal lainnya adalah kapasitas pengelolaan. San Afri Awang mengatakan bahwa di tingkat desa, pengembangan Desa Mandiri KM menjadi jawaban atas tantangan REDD. Untuk itu, perlu ada kolaborasi peran tiga komponen penting, yaitu pemerintah desa/daerah sebagai pendukung kebijakan; perusahaan/swasta untuk pendampingan sekaligus pemasaran dan pengawas kualitas; serta masyarakat desa. Bekal yang dibutuhkan masyarakat desa adalah adanya daya tahan keterampilan, wawasan, sikap dan ilmu pengetahuan. Dan tentu saja semua potensi termasuk SDM, SDA, informasi, teknologi dan sosial budaya ekonomi wajib dikembangkan di desa mandiri KM.
LAPORAN UTAMA
COMMUNITY FORESTRY AND CLIMATE CHANGE The real issue that was to haunt the world is global warming. This becomes attention because based on the Millennium Ecosystem Assessment, 2005, the global warming caused direct and indirect impacts on people’s lives. Four types of environmental services on people’s lives will be disrupted. The first related to basic needs: a form of provision of food, fiber, fuel, source of genetic, biochemical, and provision of clean water. Second is dealing with the cultural, spiritual, recreational, aesthetic, inspiration and education. Third is associated with supporter, soil formation, nutrient cycling and primary production. And fourth, affect regulation: climate regulation, regulation of pest and disease population, water regulation, regulation of disaster reduction such as floods, landslides, fires and so forth. To that end, the government has targeted a reduction of carbon dioxide emissions by 26 percent until the year 2020. The biggest reduction level achieved in the forestry sector amounted to 14 percent. The target was reached by preserving forests region and reduces the occurrence of hotspots around 20 percent per year during that period. The burden of world forestry is truly huge, considering emissions contributed by changes in land use and forest. These activities contribute to 17 percent, or about 5.8 gigatons (million tons) of CO2 to global carbon emissions. Indonesia is the world’s third largest emitter caused by emissions from land use change and forestry sector. According to researchers from PEACE, Agus P. Sari Indonesia contributes around two billion tons, or one third of the emissions from the forestry sector, per year. Mitigation efforts (binding and preserve carbon storability) and adaptation (to improve the environmental durability) in the forestry sector, should continue to be improved. According to Muhammad Ridwan of CER (Carbon and Environmental Research), Indonesia,
the Mitigation Activities of Forestry Sector conducted through conservation (protection of forest degradation and deforestation both because of illegal logging, fires, and encroachment), increasing storage/absorption (carbon sequestration) through the planting critical land, barren land and shrub (reforestation) and afforestation (planting on an acreage not forest land become a forest). “Another attempt was by increasing carbon stocks through planting activities, enrichment and restoration, as well as substitution of fossil fuel use with biomass,” added Muhammad Ridwan in a Training of REDD in Bogor. While the mitigation activities into the funding scheme. Kyoto Protocol (A/R CDM) - an increase of carbon stock and carbon sequestration and REDD+ forest conservations, prevention of illegal logging, encroachment prevention and fire prevention. REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) is an incentive skim that was developed for communities and countries to protect their forests from the activities that will increase carbon emissions because of deforestation and forest degradation. “+” sign on the REDD+ to expand the scope of this mechanism by including aspects of conservation and improvement of forest carbon stocks, as well as sustainable management of forest resources (SMF). This means that activities such as improved management of protected areas, forest plantation and forest restoration, and reducedimpact logging/RIL could be included as part of the REDD+ strategy. Expansion of REDD into REDD+ is generally seen as a positive development for the
Asia-Pacific region. However, there were some concerns that the REDD+ will open up opportunities for industry sectors to claim carbon credits despite at the same time still exploited the existing forest areas in ways that are unsustainable. Domestically, some policies of ratification have been prepared, among others: 1. Law Number 6 Year 1994 concerning Ratification of the United Nations Framework Convention On Climate Change; 2. Law Number 17 Year 2004 concerning Ratification of the Kyoto Protocol; 3. Law Number 32 Year 2009 on the Protection and Environmental Management; 4. Regulation of the Minister of Forestry Number P.14/Menhut-II/2004 on Procedures on afforestation and reforestation in the Framework of Development Mechanism; 5. Presidential Regulation No. 46 year 2008 concerning the National Council on Climate Change; 6. Forestry Ministerial Decree No. 30/ Menhut-II/2009 regarding Procedure for reducing emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD); 7. Regulation of the Minister of Forestry Number P.36/Menhut-II/2009 concerning Licensing Procedures for Business Use of Absorption and/or Storage of Carbon in the Forest Production and Protected Forest. According to Director Multi stakeholder of Forestry Programme (MFP), Diah Y. Raharjo, in the future incentive mechanisms from developed countries is built and entry the Global Carbon Market, where the incentive will be
Juli 2010 - WARTA Edisi Edisi Agustus
5
LAPORAN UTAMA
paid through the market mechanism with the two schemes can be developed, scheme funding for the preventions activities of deforestation; and schemes to support forest conservation and sustainable forest management in state forests. This scheme is particularly involving government relations to government, through the REDD mechanism. “Trading schemes is to appreciate the efforts of forest plantation development and forest restoration (the building stock). This scheme is primarily involving directly between the corporate/government/community with the society and other business entities, through mechanisms voluntary carbon market.” According to Steni Bernadinus from the Association of HuMa, REDD could be applied in endangered forests, such as production forests or limited production forests, forest areas close to human activity, such as settlements, roads, plantations and others. “Meanwhile the REDD+ applied in areas of protected forest such as conservation that is never touched by humans. The reason, these forests are storing carbon stock that can be sold. REDD+ can also be applied in the artificial forest, because it becomes part of the replanting that increase the carbon stock.” Is Forestry Community ready? According to the San Afri Awang, Special Staff of Minister of Forestry Division of Community Empowerment, When REDD+
6
WARTA - Edisi Agustus 2010
scheme that promised incentives and carbon trading business in it, we must view it as a bonus. “The most important theme is to try to keep the forest sustainably.” San Afri Awang also explains actually “carbon cake” that will come, can be distributed to the stakeholders involved, namely the government, private companies, communities and community organizations, strengthening community forestry strategies and assistance for HKm, Forest Village, HTR, Forest Partnership, Forest Indigenous, and People Forests which are all facilitated by the government. Diah Raharjo, adding that forest can be sustainably if it be returned management to society with the requirements that management was done for long-term with the certainty of tenurial and that has been proven with the traditional wisdom by community groups. “But the problem is that people who live near the forests are generally is below the poverty line, have no access to health services and education, and access to carbon markets, so that eventually undermine the sustainability of this forest.” Please note that the number of people living around forests and depend on the forest 60%, and 99.99% is poor. Communities around forest remain dependent on middlemen. Nationally, forestry community in Indonesia is estimated to have a potential area of approximately 9 million hectares, including the allocation of Forest People Plant (HRT) as big as 5.4 million hectares, Community For-
est (HKm) amounted to 2.1 million hectares, and Forest People 1.5 million hectares. This potential will still be increased with the development of Village Forest, the pattern of the Partnership, and the Indigenous Forest. Therefore, it is appropriate that the variety of variants of the forestry community is encouraged to be one form of sustainable forest management in an effort to mitigation and adaptation to climate change. A number of issues that later became the challenges facing KM in REDD readiness, among others, is the problem of management rights, that supposed to be dealt with simultaneously with the preparation of REDD. Besides, the issue of licensing and bureaucracy are challenges that must be addressed immediately KM. Another thing is the management’s capacity. San Afri Awang said that at the village level, the development of Mandiri KM village be the answer to the challenges of REDD. For that, there needs to be collaborative of role three important components, namely the village/local government as a supporter of the policy; corporate / private sector for the assistance as well as marketing and quality, as well as villagers. Provision which required the village community is the presence of resistance skills, knowledge, attitudes and science. And of course all the potentials, including human resources, natural resources, information, technology and social culture economy obligatory are developed in the Mandiri KM village.
TANTANGAN KESEPAKATAN RI - NORWEGIA
Pada 26 Mei 2010 di Gedung Government Guest House Oslo - Norwegia dilakukan penandatanganan LoI (Letter of Intent) atau kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia terkait pengurangan Emisi Gas Karbon Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan. Penandatanganan dilakukan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Erik Solhein. Disaksikan dua kepala peme– rintahan, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg. Dengan LoI tersebut, Indonesia akan mendapatkan hibah 1 miliar dollar Amerika Serikat untuk melakukan pengurangan emisi dari deforestrasi dan degradasi hutan di Indonesia. Kerja sama Indonesia-Norwegia disepa– kati dibagi dalam tiga fase. Pertama, persiapan, Juli-Desember 2010, yakni membuat rencana aksi nasional, membentuk lembaga pengelola dana hibah (trust fund) dan lembaga pengukur, pelaporan, dan verifikasi (measurement, reporting, and verification/MRV) untuk memantau keberhasilan, serta menentukan provinsi sebagai proyek percontohan. Pada fase kedua, Januari 2011-Desember 2013, yang dilakukan adalah mengoperasikan lembaga pembiayaan, moratorium izin baru konversi hutan alam primer dan gambut, menyusun database hutan rusak untuk memfasilitasi kegiatan ekonomi, penegakan hukum penebangan kayu ilegal dan perda-
gangan kayu gelondongan. Selanjutnya fase ketiga, Januari 2014, adalah pelaksanaan moratorium secara nasional. Pada tahun itu juga dilakukan penghitungan REDD untuk mencairkan dana hibah. Letter of Intent itu mengisyaratkan bahwa dua tahun ke depan hutan primer dan lahan gambut tak boleh lagi dialihfungsikan. Hal ini menjadi bahan pembicaraan yang menarik terutama dari kalangan masyarakat sipil dan dunia usaha kehutanan. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehutanan menyatakan akan melakukan upaya-upaya termasuk pembuatan Kepres maupun Inpres untuk mendukung langkah-langkah ini. “Kemenhut juga sudah men-stop dike– luarkan izin konversi terhadap hutan alam primer dan lahan gambut. Izin baru akan distop tetapi yang lama tetap dijalankan dengan beberapa perbaikan,” kata Menhut dalam pidatonya pada seminar di Jakarta (28/7). Kebijakan-kebijakan tersebut dijanjikan Menhut tidak akan mengorbankan kepenti– ngan siapapun, termasuk kepentingan peng– usaha yang mungkin merasa terancam de– ngan adanya kebijakan tersebut. Kemenhut juga sudah mempersiapkan provinsi percontohan untuk penerapan LoI ini. Kerjasama pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia memang menjadi salah satu upaya penting dalam penyelamatan masa depan hutan Indonesia. Akan tetapi usaha pelestarian maupun pengurangan emisi jangan terpaku
pada LoI yang bahkan belum berkontribusi sepeser pun kepada Indonesia. “Pencairan dana sebesar satu miliar euro ini sangat bergantung pada persetujuan parlemen Norwegia. Segala hal bisa saja terjadi dan Indonesia harus mempersiapkan kemungkinan ini juga,” hal ini diingatkan salah satu anggota DPR RI pada salah satu seminar di Jakarta. Perlu dipertimbangkan matang-matang semua kemungkinan agar pemerintah tidak terjebak dalam kesepakatan tersebut. Pada sisi lain, LoI menjadi penting dalam upaya membangun strategi nasional pe– ngurangan emisi yang mengatasi semua penyebab utama emisi karbon dari hutan dan lahan gambut di Indonesia. Memperkuat dukungan terhadap partisipasi dan ruang repsentasi bagi masyarakat (adat/lokal) dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan dan implementasi REDD. Membangun inisiatif untuk membuat instrumen pendanaan yang menjamin transparansi di semua aspek dan mendukung representasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal dalam struktur tata kelola pendanaan. Kesepakatan kerjasama Indonesia – Norwegia seharusnya menjadi titik pijak untuk memperbaiki kondisi hutan Indonesia dan pengelolaannya. Menjadikannya sebagai salah satu upaya penyelesaian persoalan-persoalan mendasar kehutanan Indonesia. Dan tidak menjadikan perjanjian ini sebagai salah satu langkah awal untuk offset Norwegia di Indonesia.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
7
FOKUS
Laboratorium Kehutanan Masyarakat untuk Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah fakta, meski nuansa politis akan selalu mengiringi isu ini, tetapi fakta bahwa hal ini mengancam kita semua, suka tidak suka dan mau tidak mau harus diterima dan bersama mempersiapkan agar generasi mendatang dapat merasakan bumi yang lebih baik. Semua sektor harus berperan aktif, tak terkecuali kehutanan. Kehutanan kemudian menjadi pilar dalam mengimplementasikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbonnya sebesar 20% pada 2020. Melalui REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebuah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi ne– gara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Indonesia berkomitmen untuk segera untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Kepala Subdit Jaringan Data Spasial, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan saat ini kegiatan penyiapan infrastruktur pelaksanaan REDD termasuk aspek teknis/metodologis, institusi dan penanganan penyebab deforestasi dan degradasi hutan, tengah gencar dilaksanakan melalui Demonstration Activity (DA). Selain DA, Voluntary
8
WARTA - Edisi Agustus 2010
Activity (VA) yang banyak dilakukan oleh LSM dan organisasi kemasyarakatan banyak dilakukan dalam rangka mempersiapkan masyarakat dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hak dan benefit masyarakat begitu pen– ting dipersoalkan mengingat pada dasarnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia juga mempunyai pola-pola pengelolaan hutan sendiri yang terbukti mampu memenuhi sisi keberlanjutan. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kehutanan masyarakat dengan berbagai skema: HKm, Hutan Desa, HTR, Hutan Rakyat dan Hutan Adat. Masyarakat tentu dapat merasakan dampak dari perubahan iklim dalam kehidupan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak berita menunjukkan dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh petani, misalnya berubahnya tanda-tanda alam untuk memulai masa tanam, perubahan awal musim hujan
dan kemarau, dsb. Semua itu menyebabkan berubahnya pola produksi dan berakibat pada berubahnya pola pemasaran yang pada gilirannya menyebabkan berubahnya pendapatan petani. Pada umumnya, akibat dari perubahan iklim menyebabkan menurunnya pendapatan petani. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) sebagai sebuah forum multistakeholder yang memiliki misi untuk mendorong gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Dan mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas, dan perumusan kebijakan. FKKM tengah mengembangkan sebuah voluntary activity yang diberi nama ‘Laboratorium Kehutanan Masyarakat (Lab. KM)’ sebagai sarana baru belajar para pihak tentang KM dan perubahan iklim. Dalam Lab. KM ini ada proses belajar bersama, riset/observasi, mediasi konflik, dan dialog kebijakan yang dapat lebih intensif
FOKUS
dilakukan, serta proses belajar lain misalnya “Fasilitasi dan Pendampingan”. Dari Lab. KM juga diharapkan ada produksi pengetahuan baru tentang ke– hutanan masyarakat khususnya berkaitan dengan perubahan iklim dalam bentuk publikasi maupun bentuk lain yang dapat diakses oleh publik. Pembelajaran dari proses belajar ini akan menjadi milik publik, selain akan dikembalikan ke lokasi Lab. KM itu sendiri dan harapannya dapat direplikasi sesuai kondisi dan situasi yang ada. Produksi pengetahuan yang dihasilkan akan dipergunakan sebagai bahan dialog kebijakan agar terjadi perubahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM dan kondisi aktual dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dialog kebijakan pada tingkat yang lebih tinggi juga diharapkan dapat membantu persoalan kebijakan yang dihadapi di lapangan, selain sebagai bahan belajar di Lab. KM itu sendiri. Laboratorium KM yang dikembangkan harapannya dapat menciptakan good forestry governance, minimal di lokasi tersebut. Lab. KM diharapkan juga berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan masyarakat sekitar serta perluasan wilayah kelola KM, paling tidak melalui upaya adaptasi perubahan iklim. Dalam 3 tahun ini Laboratorium KM diharapkan dapat mengelola beberapa isu sebagai bahan pembelajaran bersama multipihak. Isu perubahan ikilm akan menjadi isu sentral dalam pembelajaran, dan tidak akan terlepas dari pembelajaran isu lain yang relevan dengan isu perubahan iklim yaitu isu pembayaran jasa ekologi hutan (forest ecological service payment), tenurial dan ruang kelola KM yang juga merupakan mandat Pertemuan Nasional FKKM 2008. Delapan wilayah dipilih sebagai Lab. KM, yaitu Hutan Mukim Ulu Majen (Aceh), Riau (Desa Segati), HKm Lampung Barat, Taman Nasional Meru Betiri, Hutan Adat Sanggau, HTI Berbasis Masyarakat (Kalimantan Barat), Hutan Desa Bantaeng (Sulawesi Selatan), dan Hutan Marga/Adat Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur). Kedelapan wilayah tersebut memiliki potensi, tantangan dan permasalahan yang berbeda. Tetapi kedelapan wilayah menyadari ada banyak hal yang bisa dipelajari antara wilayah satu dengan yang lainnya. Misalnya tantangan yang dihadapi oleh Ketua Forum Komunikasi Kelompok Tani (FKKT) HKm asal Way Tenong, Lampung Ba-
rat, Darsono, di daerahnya masih terdapat petani dengan metode ladang berpindah, penebangan liar (illegal logging), masih sering terjadi kebakaran dan perburuan liar, yang jelas menjadi tantangan masyarakat untuk melestarikan hutan. Darsono juga menambahkan dengan pengalaman dan kearifan lokal yang dimiliki petani di Way Tenong beberapa upaya tengah dilakukan yaitu dengan berusaha melakukan pencegahan peneba– ngan liar, swadaya pembibitan kayu, melakukan upaya konservasi, membangun teras bangku, lubang angin dan strip rumput. “Karena pada dasarnya kami sadar tanpa hutan kami tidak mungkin bisa hidup sehingga harus dijaga kelestariannya”. Kedepannya, Darsono berharap ijin sementara selama lima tahun untuk HKm yang dikeluarkan pada 2007, dapat berubah menjadi izin definitif. “Kami tengah memperjuangkan hal tersebut, sehingga ijin pengelolaan dapat dengan tenang kami miliki, kami mohon bantuan dari semua pihak agar hal tersebut dapat terealisasi,” kata Darsono. Contoh lainnya adalah Hutan Adat Sanjan, kearifan lokal masyarakat adat Dayak Kodan Sibiau dalam menjaga hutan tutupan adatnya ini juga menjadi nilai penting. “Bahkan diajarkan dalam muatan lokal di sekolah,” kata Rufinus, tokoh masyarakat sekaligus Ketua Perkumpulan TOKMAS. Perkumpulan ini merupakan wadah bagi masyarakat Sanjan yang peduli terhadap persoalan lingkungan, adat dan pendidikan. Hutan Tutupan Adat Sanjan merupakan aset warga. Bukan saja warga kampung Sanjan tetapi juga aset Kabupaten Sanjan dan Kalimantan Barat. Potensi keanekaragaman hayati yang tinggi selain dapat menjaga kebutuhan warga juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat belajar dan wisata. Lembaga lembaga adat maupun organisasi sosial yang ada dapat menjadi mitra para pihak dalam melakukan pembelajaran, bagaimana manusia berinteraksi dengan alam secara harmoni. Beberapa waktu lalu, FKKM mengumpulkan fasilitator dari kedelapan wilayah Lab. KM untuk menampung aspirasi serta rencana kelola bagi kemajuan Lab. KM di wilayah masing-masing. Selain itu juga untuk memberikan masukan terhadap draft panduan yang akan dibagikan kepada fasilitator. Dari pertemuan tersebut terumuskan beberapa rencana kelola Laboratorium Ke-
hutanan Masyarakat. Di Aceh, Fauna & Flora International merencanakan mengelola Hutan Mukim di Aceh Jaya. Mukim merupakan sebuah lembaga adat di Aceh yang memiliki kekayaan berupa hutan, sungai, ladang, dan sebagainya. Sedangkan di Sulawesi Selatan, merencanakan mediasi konflik antar desa dalam program hutan desa. Sementara itu di Riau, dibuat rencana kelola Hutan Desa. Fokusnya adalah perencanaan ruang kelola. Hal ini didasari oleh terbatasnya kawasan untuk Hutan Kemasyarakatan. Peserta dari Lampung Barat yang telah mengelola Hutan Kemasyarakatan berencana menambah terasering. Tujuannya untuk menahan erosi dan menyediakan pakan untuk ternak. Sementara PT Finantara Intiga di Kalimantan Barat berencana mengembangkan agroforestry sebagai wahana pemberdayaan masyarakat. Untuk Nusa Tenggara Timur, dibuat rencana kelola hutan hak keluarga/ulayat. Sedangkan di Jember, Jawa Timur dibuat rencana penguatan kelembagaan masyarakat sehingga lebih kuat dalam kolaborasi de– ngan Taman Nasional Meru Betiri. Semua rencana yang telah disusun, memerlukan komunikasi kepada masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus mitra dalam kegiatan Lab. KM ini. Karena itu, teknik publikasi menjadi sebuah muatan yang perlu dibekali pada peserta. Publikasi ini tidak hanya diberikan kepada masyarakat di wilayah binaan, tetapi juga disebarluaskan kepada masyarakat luas. Hubungan harmonis dengan media menjadi perlu, untuk mengkomunikasikan kegiatan dan perkembangan Lab. KM. Sedangkan untuk sharing informasi, FKKM membuat sebuah blog yang diperuntukkan sebagai sarana komunikasi yang bisa terus diup-date oleh masing-masing wilayah http://jaringan.fkkm.org. Blog ini diharapkan menjadi ajang curhat dan share keberhasilan maupun informasi bagi kemajuan Lab. Kehutanan Masyarakat dan peng–aruhnya bagi perubahan iklim. Masing-masing wilayah dapat berkontribusi dengan memasukkan tulisan maupun gambar kegiatan di wilayahnya ke dalam blog ini. Dengan admin yang dibuat, sehingga masing-masing wilayah dapat mengaksesnya, blog ini sekaligus menjadi alat komunikasi dan silaturrahmi dengan wilayah lainnya.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
9
FOKUS
Laboratory Community Forestry for Climate Change Climate change is a fact, despite the political overtones will always accompany this issue, but the fact that it threatens us all, like it or not and want it or not want must be accepted and together prepared for the next generation can feel the earth better. All sectors must play an active role, no exception for forestry. Forestry later became pillars in the implementation of Indonesia’s commitment to reduce its carbon emissions by 20% in 2020. Through REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), an international mechanism that is intended to provide positive incentives for developing countries which succeeded in reducing emissions from deforestation and forest degradation, Indonesia is committed to immediately to save the remaining forests. Head of Sub Directorate of Spatial Data Network, Directorate of Inventory and For-
10
WARTA - Edisi Agustus 2010
est Monitoring, Directorate General of Planology Forestry, Ministry of Forestry, Ruandha Agung Sugardiman said currently the infrastructure preparation activities of REDD implementation, including aspects of technical/methodological, institutional and handling of the causes of deforestation and forest degradation, is aggressively implemented through Demonstration Activity (DA). In addition to DA, Voluntary Activity (VA), which is mostly done by NGOs and civil society organizations, conducted in order to prepare society in adaptation efforts and climate change mitigation.
Rights and benefits the society is so important to dispute considering that basically sustainable forest management are for the welfare of Indonesian society. Indonesian community also has their own patterns in forest management that proved it capable of meeting the sustainability side. The Government has also issued policies that accommodate society forestry with various schemes: HKm, Forest Village, HTR, Indigenous Forests and Forest People. Society can certainly feel the impact of climate change in their lives. In everyday life, many news shows the impact of climate change are felt by farmers, such as the changing of natural signs to start the planting season, the change onset of the rainy season and dry, etc.. All it causes changes in production patterns and result in a change in marketing patterns, which in turn causes changes in farmers’ income. In general, the consequences of climate
FOKUS
change could adversely affect the income of farmers. Community Forestry Communication Forum (FKKM) as a multistakeholder forum whose mission is to encourage the movement towards community forestry outlook in Indonesia. To supports the processes of institutional development community forestry through the dissemination of information, development of concept, capacity building and policy formulation. FKKM is currently developing a voluntary activity that is named ‘Laboratory Community Forestry (Lab. KM)’ as a new means of studying the parties about forestry society and climate change. In Lab. KM, there is collective learning process, research/observation, conflict mediation, and policy dialogue that can more intensively done, as well as other learning processes such as “Facilitation and Assistance.” From the Lab. KM is also expected to have production of new knowledge about society forestry, especially related to climate change in the form of publications or other forms which can be accessed by the public. The learning from this learns process will become public property, beside will be returned to locations Lab. KM itself and it hopes can be replicated suitable with the conditions and situation. Production knowledge generated will be used as a material dialog in policy so there is a change that accordance with the principles of KM and the actual conditions in the framework of adaptation and climate change mitigation. The dialog in policy at higher levels also expected to help policy issues occurred in the field, as well as learns materials in the Lab. KM itself. Laboratories KM developed expectations can create good forestry governance, at least in those locations. KM Lab. is also expected contribute to poverty reduction in the surrounding communities and the expansion of KM governance area, at least through the efforts of adaptation climate change. In three-year, Laboratories KM are expected to manage multiple issues as collective study materials with multiparty. Climate change issues will become central issues in learning, and can not be separated from learning other that relevant to the issue of climate change namely the issue of forest ecological service payment, tenurial and governance space KM is also a mandate of FKKM 2008 National Conference. Eight selected regions as Lab. KM, namely Mukim Ulu Majen Forest (Aceh),
Riau (Segati Village), HKm West Lampung, National Park Meru Betiri, Indigenous Forests Sanggau, HTI-Based Community (West Kalimantan), Forest Village Bantaeng (South Sulawesi), and Timor Tengah Selatan Family Forest/ulayat (East Nusa Tenggara). All eight regions have the potential, challenges and different problems. But the eight regions realized there is much that can be learned between the regions with each other. For example the challenges faced by the Chairperson of the Communication Forum of Farmers Group (FKKT) HKm origin Way Tenong, West Lampung, Darsono, in his area there are still farmers with shifting cultivation methods, illegal logging, are still frequent fires and poaching, which clearly a challenge for society to preserve the forest. Darsono also adds with the experience and local knowledge possessed by farmers in Way Tenong several efforts underway that is by trying to prevent illegal logging, self-supporting timber nurseries, conservation efforts, build bench terraces, vent hole and grass strips. “Because, basically, we are aware, without our forests can not live so that should be preserved.” Next, Darsono hopes the temporary permission for five years for HKm, issued in 2007, can be changed to permit definitive. “We are struggling for these things, so the permission to manage could we get with calmly, we request assistance from all parties so that it can be realized,” said Darsono. Another example is the Indigenous Forests Sanjan, indigenous local society wisdom Kodan Sibiau in maintaining their closed forest of indigenous has also become an important value. “Even in local content taught in schools,” said Rufinus, community leaders and also Chairman of TOMAS Association. This association is an institution for Sanjan people who care about environmental issues, customs and education. Closed forest Indigenous Sanjan is a resident’s asset. Not only the Sanjan citizens village, but also the asset of Sanjan regency and West Kalimantan. The potention high biodiversity in addition to keeping the needs of citizens can also be used as a place of learning and tourism. Institution of traditional institutions and social organizations that exist can be a partner of the parties in the conduct of learning, how humans interact with nature in harmony. Some time ago, FKKM collect facilitator of the eight regions Lab. KM to accommo-
date the aspirations and management plans for the advancement of Lab. KM in their respective areas. It is also to provide input on the draft guidelines will be distributed to the facilitators. From that meeting, formulated several management plans Laboratory Community Forestry. In Aceh, Fauna & Flora International plans to manage Mukim forests in Aceh Jaya. Mukim is a traditional institution in Aceh, which has a wealth of forest, river, field, and so forth. While in South Sulawesi, is to plan intervillage conflict mediation in the village forest program. In the meantime in Riau, was made management plans for Forest Conservation of Village. The focus is space planning governance. This is based on limited forest areas for the society. Participants from West Lampung that have managed the Community Forest plans to increase its terracing. The aim is to resist erosion and provide feed for livestock. While PT Finantara Intiga in West Kali– mantan, are planning to develop agro forestry as a vehicle for community empowerment. For the East Nusa Tenggara, made the forest management plans family rights/ ulayat. Meanwhile, in Jember, East Java made a society institutional strengthening plan so that stronger in collaboration with the National Park Meru Betiri. All the plans that have been prepared require the communication to the public as beneficiaries and partner in activities of Lab. KM. Therefore, technical publications become a capacity that needs to be provided to participants. This publication has not only given to people in coachee areas, but also disseminated to the public. Harmonious relationship with the media becomes necessary, to communicate the activities and development Lab. KM. While for the sharing of information, FKKM create a blog, which is destined as a means of communications that could keep up-date by each region http://jaringan.fkkm. org. This blog is expected to become sharing place of successes as well as information for the advancement of forestry lab of society and its influence on climate change. Each region can contribute by entering text and images of activities in their region into this blog. With admin that was made, so that each region can access it, this blog served as a means of communication and silaturrahmi with other regions.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
11
KABAR DARI FKKM
CARA JITU HENTIKAN ILLEGAL LOGGING ALA PETANI MERU BETIRI
Praktek illegal logging dan perambahan lahan hutan di Taman Nasional Meru Betiri dapat diberantas dengan melibatkan petani pengelola lahan di zone rehabilitasi TN. Potensi para petani yang mengelola lahan yang berlokasi berbatasan langsung dengan bibir zone rimba diberdayakan untuk turut mengamankan lahan hutan yang berdam– pingan dengan dengan lahan garapan mereka (community based forest security). Mereka pun diberikan gelar sebagai pahlawan hutan. Hal ini praktis dapat mengurangi dan meminimalisir bahkan mengeliminasi ruang gerak para illegal logger dan perambah lahan. Cara pendekatan persuasif tersebut melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, LSM LATIN dan KAIL bekerjasama dengan Petugas TN Meru Betiri, Lembaga Jaketresi, Pihak Kepolisian di tingkat Kecamatan (KAPOLSEK) dan Pemerintah Desa Curahnongko. Serangkaian proses diskusi dan dialog dilakukan, dan akhirnya ditemukan langkah-langkah strategi yang perlu ditempuh untuk mengimplementasikan cara jitu tersebut. Langkah-langkah strategis tersebut antara lain: 1. Mendata petani pengelola lahan yang berbatasan dengan zone rimba. 2. Mengadakan pertemuan dalam rangka pembuatan gambar lahan rehabilitasi yang berbatasan dengan zone rimba.
12
WARTA - Edisi Agustus 2010
3. Mengumpulkan para tokoh pengelola lahan yang berbatasan dengan zone rimba dari tiap-tiap kelompok di Balai Desa Curahnongko untuk diberi pengarahan oleh Petugas TN Meru Betiri, KAPOLSEK, Kepala Desa dan Pendamping dari LATIN dan KAIL. 4. Menyusun MoU 5. Melakukan pertemuan dengan mengundang 120 orang dari 8 kelompok yang berasal dari Desa Curahnongko untuk menandatangani MoU tersebut sebagai penanda bahwa mereka telah menjadi mitra stra– tegis TN Meru Betiri dalam pengamanan hutan, baik di zone rehabilitasi maupun zone rimba yang ada di dekat mereka. 6. Monitoring dan Evaluasi (monthly meeting). Tahapan dan proses tersebut di atas yang kini telah dilakukan dan yang akan dilakukan untuk menangani pemberantasan illegal logging dan penghentian perambahan di kawasan TN Meru Betiri. Dalam konteks ini, Desa Curahnongko merupakan desa percontohan untuk model pengamanan ala petani. Keberhasilan di Desa Curahnongko ini pada tahap selanjutnya akan dikembangkan di desa-desa lain yang menjadi zone penyangga TN Meru Betiri, yakni Andongrejo, Sanenrejo, Curahtakir dan Wonoasri.
Cara efektif ini bukan tanpa masalah, dari dialog yang intensif dilakukan, didapat beberapa persoalan yang dikeluhkan oleh petani: 1. Pengambilan kayu baku ke TN Meru Betiri oleh para pemilik usaha gula merah. Untuk itu, diusulkan penanaman kayu baku plus bambu, dimana pengelola TN Meru Betiri bersedia mensuplai bibitnya, sedangkan masyarakat dapat menyediakan lahannya. Tetapi, apakah masyarakat memiliki cukup lahan untuk ditanami kayu baku plus bambu? 2. Selain penanaman kayu, solusi lain yang diusulkan berupa pengembangan biogass. Untuk mendukung pengembangan biogass ini dibutuhkan ketersediaan ternak sapi yang cukup agar produksi kotoran sapi yang mengandung zat metan juga cukup memadai untuk diolah menjadi sumber bio-energi alternatif yang ramah lingkungan. 3. Merealisasikan usulan untuk menjadikan Desa Rajegwesi sebagai Desa Wisata Bahari. 4. Belum ada tanggapan mengenai usulan budidaya ternak ikan darat dan kepiting. Usulan ini dilatarbelakangi sebagai solusi bagi masyarakat nelayan tatkala mereka tidak panen ikan di laut sehingga tidak mendorong mereka masuk ke dalam hutan untuk mencari sumber penghidupan. 5. Usulan perahu dari fiber. Usulan ini juga sebagai solusi agar dalam pengadaan perahu masyarakat tidak mengambil dari hutan. 6. Guna menunjang pengembangan Desa Wisata Bahari, diusulkan pelatihan bahasa inggris bagi generasi muda sebagai guide para turis yang nanti berkunjung. 7. Penanaman kembali lahan kritis oleh masyarakat. Usulan ini sebagai respon masyarakat terhadap kondisi hutan TN Meru Betiri yang bersebelahan dengan rumah penduduk yang mengalami kerusakan. Usulan dari masyarakat ini sebenarnya untuk menjamin 2 hal, pertama, tanaman yang ditanam memiliki nilai konservasi, dan kedua memiliki manfaat ekonomi bagi masyarakat, berupa buah yang dihasilkan dari tanaman tersebut. Penulis : Nurhadi (Direktur KAIL) Foto : Dokumentasi KAIL
KABAR DARI FKKM
PERHUTANI vs. WARGA Wito, Seorang remaja berusia 17 tahun tidak pernah bermimpi akan duduk di kursi pesakitan atas dakwaan pencurian dua pohon pinus milik Perhutani Banyumas Timur. Warga Desa Panusupan, kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas tersebut terancam hukuman 10 tahun atas perbuatannya. Niat awal pemuda yang hanya lulusan sekolah dasar itu adalah membantu sang ibu, Rasem (45), mendapatkan kayu bakar untuk membantu ibunya memasak. Pencurian tersebut ia lakukan bersama empat orang dewasa lainnya, yaitu Supardi, Carkim, Wanto, dan Wasum (kakak Wito). Pe– nebangan berlangsung di Hutan Petak 17A Perhutani. Meski dinyatakan bersalah dalam persidangan lantaran melanggar UndangUndang (UU) No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pembalakan Liar, hakim tidak memenjarakan remaja itu, melainkan dikembalikan kepada orang tuanya. Tindakan Perhutani memidanakan Wito disesalkan Kepala Desa Panusupan Sukur Aminudin. Menurut dia, sebaiknya Perhutani menyelesaikan permasalahan ini melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) terlebih dahulu. Apalagi, sosialisasi pelestarian hutan di Desa Panusupan tak pernah diadakan Perhutani, tetapi hanya sebatas pembentukan LMDH tahun 2007. “Itu pun, sejak dibentuk LMDH, kami tak pernah mendapat sosialisasi apa pun. Masalah bagi hasil juga tidak pernah jelas,” ujar Sukur.
Kasus Wito mengingatkan kita pada Nek Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, yang pernah divonis oleh Pengadilan Negeri Purwokerto karena mencuri kakao milik PT Rumpun Sari Antan. Di persidangan, Minah mengaku hanya mengambil tiga butir kakao seharga dua ribu rupiah dan sudah mengembalikannya. Tapi, manajemen PT Rumpun Sari Antan mengatakan biji kakao yang dicuri Nenek Minah jumlahnya mencapai tiga kilogram seharga Rp 30 ribu. Lalu bagaimana dengan keresahan ribuan petani di empat kecamatan di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, yang hingga kini masih dicekam kekhawatiran berlanjutnya kriminalisasi terhadap mereka. Ini terkait dengan 5.140 hektar lahan yang kini mereka tempati dan mereka olah sebagai ladang pertanian. Lahan yang timbul akibat sedimentasi Sungai Citanduy itu sejak beberapa tahun terakhir diklaim masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat. Saling klaim lahan tanah timbul antara petani dan Perhutani tersebut mengakibatkan 13 petani dipenjara dalam waktu tiga tahun terakhir. ”Sudah bertahun-tahun masalah ini belum terpecahkan secara adil. Kami sudah mengajukan surat kepada Presiden agar difasilitasi penyelesaian sengketa ini, tetapi hanya dijawab Perhutani dengan sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),” kata Ketua Umum Serikat Tani Merdeka Jawa Tengah, Habibullah.
Warga berharap pemerintah segera memfasilitasi antara petani dan Perhutani. Apabila pemerintah menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah negara, petani tidak keberatan. Asalkan setelah itu ada kejelasan legalitas mengenai pengelolaan lahan tersebut. Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat, Agus Ruhiyana mengatakan, status lahan 5.140 hektar itu adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Istimewa (KHDTI). Ini sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan tahun 1978. ”Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003, lahan KHDTI itu pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani,” kata Agus. Kalau kita mau menengok pada akhir 2009, kasus mengenai pencurian kayu pernah menimpa Ponjol (67), yang didakwa atas tuduhan menebang sebatang pohon Sengon Tekik di kawasan hutan milik Perhutani. Akibat kasus tersebut Ponjol yang memperoleh Rp 500.000,- untuk penjualan kayu tersebut divonis 75 hari kurungan yang dipotong masa tahanan. Sehingga Ponjol bebas tanpa syarat pada 7 Januari 2010. Niat Ponjol de– ngan uang hasil penjualan tersebut adalah untuk membiayai selamatan-selamatan 1000 hari istrinya. Ponjol merasa kayu ini adalah miliknya karena berbeda dengan jenis kayu milik Perhutani yang ditanam disekitar area lahan garapnya atas dasar program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat miskin hidup di sekitar hutan Jawa. Masyarakat juga masih banyak yang tergantung pada sumberdaya hutan. Sekedar pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak cukup mampu me– ngatasi hal ini tanpa ditunjang empati yang cukup dari pengelola hutan Jawa dan Peme– rintah Daerah. Persoalan sosial ekonomi hutan Jawa tidak cukup hanya dijawab dengan PHBM, bagi hasil dan pembentukan LMDH semata. Ada juga persoalan agraria tanah timbul yang semestinya disikapi dengan bijaksana. Catatan ini harus menjadi perhatian dalam rencana penggabungan BUMN Hutan (Perhutani dan Inhutani) yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan. Jangan sampai rencana penggabungan dengan harapan BUMN Hutan bisa lebih rampih dan gesit ini malah membuat semakin banyaknya kasus-kasus serupa hanya untuk sekedar mengejar orientasi profit semata. Reorientasi pengelolaan hutan Jawa harus terlebih dahulu dilakukan sehingga selain eksistem dapat dipertahankan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dapat dicapai.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
13
KABAR DARI FKKM
GACF REGIONAL Workshop Catatan Redaksi: Pada Tanggal 28-29 Maret 2010, FKKM memperoleh undangan untuk menghadiri GACF (Global Alliance of Community Forestry) Regional Workshop, dengan tema Penguatan Jaringan KM di Asia (Strengthening CF Networks & Federation in Asia). Anggota Dewan Pengurus Nasional, Muayat Ali Muhshi berangkat ke Bangkok sebagai perwakilan FKKM. Workshop tersebut semacam strategic plan GACF untuk program tiga tahun ke depan. Workshop ini bertujuan untuk menyusun strategi regional yang dilakukan dalam rangka memperkuat jaringan komunitas berbasis kehutanan masyarakat dan federasi di Asia khususnya dan dikaitkan dengan strategi global secara umum. Sebanyak 31 peserta dari Nepal, Pakistan, India, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Indonesia, Filipina, Cina dan Bangladesh menghadiri acara tersebut. Workshop diawali dengan kunjungan lapang selama dua hari ke dua site CF sekitar 3-4 jam perjalanan dari Bangkok. Hari ketiga panel presentasi overview status CF Network and Federation di Asia oleh Dr. Ganga Ram Dahal dan Dr. Hemant R. Ojha dari Nepal. Berikutnya, James Bampton dari Recoftc tentang Re-modeling of CF Networks. Dia
14
WARTA - Edisi Agustus 2010
mempresentasikan pengalamannya dalam pengembangan network dan forum CF di Kambodja. Bampton menjelaskan bahwa forum multipihak tidak berkembang dengan badan hukum yang kaku dan rigid. Forum multipihak lebih cocok dengan kelembagaan yang terbuka dan fleksibel. Panel terakhir Ghan Shyam Pandey Chairperson GACF yang juga Chairman Fecofun (Federation of Community Forestry Users, Nepal) menyampaikan GACF Review and Reflection. Presentasi tersebut menyampaikan capaian yang berhasil diraih antara lain perluasan areal Hutan Kemasyarakatan; Meningkatnya keterlibatan masyarakat sipil; serta pengurangan pajak pendapatan terhadap ‘kelompok pengguna hutan’ sebesar 40%. Sesi siang presentasi Indonesia mendapat giliran lebih awal bersama Cina dan Philipina. Presentasi dari Indonesia yang diwakili oleh FKKM tersebut berkenaan de– ngan progres HKm di Indonesia, keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat dengan HKm serta tantangan yang dihadapi. Semua negara memang memaparkan CF Network dan perkembangannya di negara masingmasing serta tantangan yang dihadapi. Dalam presentasi dari Indonesia, FKKM
menjelaskan bahwa tidak ada aturan khusus tentang hak-hak masyarakat adat dalam mengelola hutan merupakan tantangan yang dihadapi. Selain masalah pengaturan masyarakat di sekitar hutan kawasan konservasi dan rantai prosuder perizinan HKm dan Hutan Desa yang terlalu panjang dan perlu disederhanakan, dipermudah dan dipercepat. Hari terakhir workshop diisi dengan diskusi issue, opportunity, key outcome dan strategis. Peserta dibagi ke dalam tiga kelompok, Asia Selatan: Nepal, India, Bangladesh dan Pakistan; Kelompok South East Asia: Thailand, Kambodja, Vietnam dan Laos; dan terahir kelompok Cina, Indonesia dan Philipina. Dalam rekomendasi, FKKM menuliskan program prioritas Indonesia antara lain me– ngusulkan advokasi hak-hak masyarakat di Taman Nasional dan Fasilitasi perluasan dan perecepatan izin HKm, HTR dan Hutan Desa. Peserta dari negara lain pun memberikan program prioritasnya. Nantinya, masukan tersebut akan dioleh menjadi proposal bersama oleh GACF. Pembelajaran lain dari GACF Regional Workshop ini adalah karena kurangnya publiksi perkembangan CF di Indonesia mengakibatkan gaungnya tak terdengar oleh negara tetangga. Selalu yang diambil contoh adalah keberhasilan atau model dari Nepal dan Thailand. Padahal, lebih banyak pembelajaran tentang CF di Indonesia yang bisa dilihat. Kelebihan Nepal dan Thailand diban– ding Indonesia mungkin jaringan CF di tingkat masyarakatnya dari skala kawasan di Thailand sampai skala nasional di Nepal. Walaupun jaringan ini sebenarnya adalah hanya instrumen saja, yang penting kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal ini Indonesia juga tidak kalah dengan kedua negara tersebut. Hal lain yang perlu diperjuangkan adalah adanya program yang bisa dilaksanakan di tingkat nasional. Aspirasi ini mejadi konsentrasi hampir semua peserta selain negara Asia Selatan terutama Nepal.
KABAR DARI FKKM
PEGIAT KEHUTANAN MASYARAKAT BERSAMA MERAIH PELUANG (Training Workshop Perubahan Iklim: Proses dan Dampaknya Terhadap Kehutanan Masyarakat) Untuk berbagi pemahaman dan peng– alaman diantara anggota jaringannya, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menyelenggarakan Training Workshop Perubahan Iklim: Proses dan Dampaknya Terhadap Kehutanan Masyarakat. Acara tersebut berlangsung di Bogor pada 22-25 Maret 2010. Andri Santosa, Wakil Sekretaris FKKM mengatakan bahwa peserta dalam acara ini sangat beragam, baik geografis maupun latar belakangnya. Aceh, Riau, Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah asal peserta. “Sedangkan latar belakang peserta terdiri atas kelompok tani hutan, lembaga swadaya masyarakat, dinas kehutanan, kampus, serta industri kehutanan,” kata Andri. Pada Senin 22 Maret 2010, hajatan FKKM ini diawali dengan Seminar Sehari tentang tantangan perubahan iklim yang dihadapi masyarakat dan pilihan strategi untuk menghadapinya. Pada sesi pertama, Diah Rahardjo dan Bernard Steni mengantarkan diskusi soal itu. Sedangkan pada sesi kedua, Prof. San Afri Awang dan Dr. Christine Wulandari memperkaya wacana soal perubahan iklim dan kaitannya dengan kehutanan masyarakat. Dalam seminar sehari yang menghadirkan empat narasumber penggiat perubahan iklim dan kehutanan masyarakat, terdapat satu kesimpulan besar bahwa, ada atau tidak
ada skema REDD+, upaya pelestarian hutan melalui kehutanan masyarakat harus terus terlaksana. Sedangkan penurunan emisi adalah efek global yang bisa dikontribusikan oleh kehutanan masyarakat. Dalam presentasinya, Diah Rahardjo mengatakan perubahan iklim adalah sebuah fakta yang kemudian menjadi isu politik ka– rena banyak disembunyikannya angka ril. Isu ini akan membuat banyak pihak berharap banyak pada pendanaan. Karena itu fasilitator di lapangan harus menjadi pencegah para broker yang membuat sistem penjualan karbon menjadi sebuah sistem ijon yang pasar (share)-nya belum jelas. Sedangkan Bernard Steni mengingatkan skema REDD+ adalah sebuah konsep penghijauan dan rehabilitasi yang dirintis tahun 1970-an. Yang harus diperhatikan kebijakan pengaman agar skema yang dikembangkan untuk mengatasi dampak perubahan iklim tidak mengancam manusia. Sedangkan Prof. San Afri Awang sebagai pendiri dari FKKM mengingatkan FKKM untuk terus mendorong upaya penguatan Kehutanan Masyarakat dalam bentuk HKm, HTR, Hutan Desa dan lain-lain. Untuk itu perlu ada skenario penguatan agar hasil nyata dan kontribusinya dapat bermanfaat. Sementara Koordinator DPN FKKM Christine Wulandari, mengatakan perubahan iklim dampaknya tidak hanya berupa bencana saja, tetapi juga ada penurunan kualitas hidup yang akan dirasakan masyarakat.
Untuk itu kapasitas pengelola kehutanan masyarakat sangat dibutuhkan. Jalannya diskusi di daerah yang sejuk ini menjadi memanas dengan banyaknya pertanyaan dan partisipasi dari peserta seminar. Peserta yang berasal dari FKKM wilayah de– ngan latar belakang lembaga yang berbeda membuat diskusi menjadi hangat dan penuh informasi. Pertanyaan yang menjadi favorit adalah mengenai harga karbon per ton per tahun, serta kaitan insentif REDD+ yang kemungkinan diterima oleh masyarakat. Dan semua forum menyetujui bahwa kehutanan masyarakat harus terus dikembangkan dalam mendampingi masyarakat. Selanjutnya selama sisa tiga hari peserta berbagi pengalaman mengenai keadaan yang terjadi di wilayah masing-masing. Mulai dari tantangan yang dihadapi serta kearifan yang kemudian diterapkan dalam membina dan menjaga hutan di wilayah masing-masing. Peserta workshop dibagi berdasarkan wilayah yang difasilitasi, diskusi ini diperuntukkan selain untuk membangun kesadaran masyarakat tentang isu perubahan iklim, juga mendapatkan startegi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang diaplikasikan dengan menggunakan kearifan lokal daerah. Selain itu peserta juga dikenalkan mengenai penting– nya mengkomunikasikan kegiatan. Baik kepada masyarakat melalui media massa maupun antar jaringan.
Edisi Agustus 2010 - WARTA
15
LATAR BELAKANG
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) didirikan pada 23 - 24 September 1997, sebagai inisiatif bersama yang dimaklumatkan dan dideklarasikan dalam pertemuan parapihak (multistakeholders) di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarat. FKKM didirikan sebagai wadah pertukaran informasi untuk isu kehutanan masyarakat dan kebijakan kehutanan di Indonesia. Forum ini diharapkan dapat membantu merumuskan gagasan, program, dan gerakan menuju pengembangan kehutanan masyarakat di Indonesia. Kehutanan Masyarakat merupakan salah satu jawaban untuk permasalahan mendasar dalam aspek penguasaan lahan (tenurial) sekaligus untuk mengantisipasi proses pemiskinan struktural yang terjadi akibat hancurnya sumberdaya hutan. Forum ini diperlukan keberadaannya karena konsep Kehutanan Masyarakat yang dikembangkan dengan Perhutanan Sosial belum menyentuh persoalan mendasar yang diharapkan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Cara pandang yang harus diubah menjadi cara pandang baru yaitu “Kehutanan Masyarakat” yang harus diikuti dengan desentralisasi dan evolusi, dibukanya akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, diadopsinya sistem pengelolaan sumberdaya hutan (forest resource management system) dan sistem pengelolaan ekosistem hutan (forest ecosystem management system).
VISI FKKM
Cara pandang pengelolaan hutan masyarakat harus berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan berkelanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya.
MISI FKKM
Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan.
PERAN STRATEGIS FKKM 1. 2. 3. 4.
Memperluas wilayah kelola KM dan proses belajar bersama; Melakukan mediasi konflik-konflik pengelolaan hutan; Mengembangkan media pertukaran informasi dan pomosi KM; Memfasilitasi proses-proses perubahan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM.
DEWAN PENGURUS NASIONAL FKKM 2008-2011 Koordinator : Christine Wulandari (UNILA) Anggota : 1. Billy Hindra (Kemenhut RI) 2. Fadrizal Labay (Pemda Riau) 3. Dian Novarina (PT RAPP) 4. Purwadi Soeprihanto (PT Sinar Mas) 5. Muayat Ali Muhshi (Pendiri FKKM)
6. 7. 8. 9.
Wisma Wardana (LSM Cakrawala - Jambi) Sukoco (Petani Wonosobo) Jadri Junaedi (Petani Lampung Barat) Sujarni Alloy (Masyarakat Adat - Kalimantan Barat)
PROGRAM KERJA FKKM 2008-2011 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mendorong Perluasan Wilayah Kelola Kehutanan Masyarakat di Indonesia; Mengembangkan proses belajar tentang Kehutanan Masyarakat, tenurial dan ruang kelola; Mediasi konflik pengelolaan Hutan; Pengembangan media pertukaran informasi dan promosi KM; Fasilitasi proses-proses perubahan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM, Memperkuat kelembagaan FKKM.
BACKGROUND
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM or Indonesia Communication Forum on Community Forestry) is a collective initiative declared, on 24 September 1997, at a multi-stakeholder meeting at Forestry Faculty, Gadjah Mada University, Yogyakarta. FKKm was established as a forum for exchanging information on community-based forest issues and forestry policy in Indonesia. FKKM is a dialogue forum and multi-stakeholder shared learning forum on Community-based forest towards to develop formulation on perspectives, programe and movement on community Forestry development in Indonesia. Community firestry is one alternative solution for basic problem on tenurial issue and anticipated on structural degradation as impact of reforestation and forest degradation. This forum is important for changing the perspective on “Community-based Forest” that should be followed by decentralization and evolution, openness of forest resources access for indigenous management system and forest ecosystem management system.
FKKM’S VISION
Way of seeing on community forestry management which should be community based forest management through the community organization based on the principal pf justice, transparency and responsibility, as well as ecological, economic, and sociocultural sustainability.
FKKM’S MISSION
Acting as a motivator on the movements toward the way of seeing on community forestry in Indonesia. Supporting community-based forest institutional development through information dissemination, conceptual development, capacity building and policy development.
FKKM’S STRATEGIC ROLE 2008 - 2011 1. 2. 3. 4.
Extend the management area of community forestry and shared learning process; Do the conflicts mediation of forest management; Develop the means of information exchange and promotion of community forestry; Facilitate the process of policies amendment which fit principals of community forestry.
FKKM’S PROGRAMS 2008 - 2011 1. 2. 3. 4. 5 6.
Scalling up the managemement of community forestry area in Indonesia; Learning process development on community forestry, tenurial and management area; Mediation of forest management conflicts; Shared learning and community forestry promotion; Facilitation on policy development according to community forestry principles; FKKM institutional strengthening.
NATIONAL STEERING COMMITTEE OF FKKM 2008 - 2011
Coordinator : Christine Wulandari (Lampung University) Member : 1. Billy Hindra (Min. of Forestry) 6. Wisma Wardana (Cakrawala NGO - Jambi) 2. Fadrizal Labay (Riau Prov. Government) 7. Sukoco (Farmer - Wonosobo) 3. Dian Novarina (PT RAPP) 8. Jadri Junaedi (Farmer - West lampung) 4. Purwadi Soeprihanto (PT Sinar Mas) 9. Sujarni Alloy (Indigenous People - West Kalimantan) 5. Muayat Ali Muhshi (FKKM Founders) National Secretary of FKKM 2008 - 2011 1. Laurel Heydir (Nat. Secretary FKKM) 2. Andri Santosa (Vice Nat.Secretary FKKM)
Selamat Menjalankan IbadahPuasa1431H