Sengsara Membawa Nikmat

Page 1


1. Bermain Sepak Raga WAKTU a sar sudah tib a. Am at ce rah hari petan g itu. Langit tidak beraw an, hening jernih san gat bagu snya. M atahari bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya. Lereng bukit dan puncak poho n-pohonan bagai disepuh rupanya. Tetapi lembah dan temp at y ang keren dahan bura m cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung y ang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi. Dalam sebuah surau, di t epi sungai y ang melalu i kampung itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun naik den gan beraturan. Apa-lagi karena su ara it u dirintangi bunyi air sungai yan g mengalir, makin enak dan sedap pada pendengaran. Seakan-akan dari d alam sung ai suara itu datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada. "Akan menjadi orang laratkah en gkau nanti, M idun?" ujar seseorang da ri hala man surau sambil naik. "Bukan kah berlagu itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya badan jauh jua karenanya." "Tidak, Maun ," jawab orang ya ng dipanggilkan Midun itu, seraya meletakkan tali yang dipintalnya, "saya berkasidah hanya perint ang-rintang duduk. Tidak masuk h ati, melaink an untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah engkau?" "Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang i ni diadakan permainan sepak raga? Mari k ita ke pasar, kabarnya sekali ini a mat ramai di sana, sebab b anyak oran g d atang d ari kampung lain!" "Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?" "Banyak juga jenang pun suda h datang. Waktu saya tinggalkan, orang sedang membersihkan medan." "Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?" "Belum, saya rasa tentu dia dat ang j uga, sebab dia suk a pula akan permainan sepak raga." Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, k atanya, "Ah, tak usah saya pergi, Maun. Biarlah saya di surau saja menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk." "Apakah seb abnya engkau me narik napas? Bermu suhankah engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya. "Tidak, kawan. Tapi kalau saya dat ang ke sana, bol eh jadi

www.fotoselebriti.net


mendatangkan yang kurang baik." "Sungguh, ajaib. Bermusuh tidak, tapi bole h jadi mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?" "Begini! M aun! Waktu be rdua bel as d i masjid te mpo ha ri, bukankah engkau duduk dekat saya?" "Benar." "Nah, adak ah engkau melihat b agaimana pe mandangan Kacak kepada saya?" "Tidak." "Masa kendu ri itu k ita duduk pada deretan yang di t engah. Kacak pada deret yan g k edua. Engkau send iri me lihat ket ika orang kampu ng meletakk an hidangan di hadapan kita. Bertimbun-timbun, hingga hampir sama tingg i deng an duduk kita. Ada yan g meletakkan nasi, cuku p dengan lauk-pauknya pada sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lain lain sebagainya, menuru t kesukaan orang yang hendak bersedekah. Te tapi kepad a Kaca k tidak seberapa, tak cukup sepertiga yang kepada kita itu." "Hal itu sud ah sepatutnya, Midun. Pertam a, engkau seorang alim. Kedu a, engkau di sukai dan d ikasihi orang ka mpung in i. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenak an Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tent ang tin gkah laku dan peran gainya tidak ad a yang akan dihar ap. Memang d ia kurang di sukai orang di seluruh kampung ini." "Sebab itulah , maka sur am sa ja mukanya melihat hidangan di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangan nya kepada saya, nyat a benar terb ayang pa da muka Kac ak ke benciannya. Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya." "Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan orang kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?" "Benar kat amu, suka ha tinyalah. Ta pi haru s eng kau ingat pula sebaliknya. Kita ini h anya orang kebanyakan saja, tapi di a orang ban gsawan tinggi dan keme nakan raja k ita di kampung ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?" "Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba karena itu? Segalanya ak an menjadi pikiran kepadamu. Apa gunanya dihiraukan, su dahlah. Marilah kita pergi ber samasama!" "Patut juga kita pikirk an, man a yan g rasanya bol eh mendatangkan yang kurang baik kepa da d iri. Tetapi k alau engkau keras juga hendak membawa saya, baiklah."


"Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampau arif diri binasa, kurang arif badan celaka . En gkau rupanya terlalu arif benar dalam hal ini. Lekaslah, ti dak lama lagi permainan ak an dimulai orang." Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan men uju arah ke pasar di k ampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang 20 tahun. Ia tel ah menjadi guru tua di surau. Pak aiannya yang bersih dan sederhan a rupanya itu menunjukkan bahwa ia seorang yan g suci dan baik hati. Parasnya b aik, badannya kuat, b agus, dan sehat. Tiada lama berjalan me reka keduapu n samp ailah ke pasar. Didapat inya orang sudah banyak dan permainan sepak raga t idak lama lagi akan dimulai. Adapun pasar di kampun g itu terletak di tepi jal an besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet be berapa bu ah rumah dan l epau nasi. Di belaka ng ru mah-rumah itu mengal ir sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu tiap-tiap hari Ju mat. Itu pun ramainya hanya hin gga tengah hari saja. O leh sebab i tu, segala dangau-d angau diangkat orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiarkan tertegak . Gunanya ialah untuk orang mu safir atau siapa saja yan g su ka bermalam di situ, at au untuk berlindung daripada panas akan melepaskan lelah dalam perjal anan dan lainlain s ebagainya. La in. da ripada hari Jumat, pasar itu dipergunakan orang juga untu k berm ain sepak raga, r apat neger i, dan lain-lain. Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu semuanya amat bergirang hati melihat Midun. Begitu pul a ketika ia be rsalam den gan or ang-orang tua yang duduk berkelompok-kelompok di situ, nyata terbayang pa da muka orangorang itu kesenangan hatinya. Apakah sebabnya demikian? Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Bud i peker tinya a mat baik d an te rtib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut . Ia gagah berani lagi baik hati, penyay ang dan pen gasih, jaran g orang yan g sebaik d ia hatinya. Sabar dan tak l ekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemau annya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah


pula padany a su atu sifat yang baik, yakni b arang si apa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehny a. Karena itu, tua muda, kecil besar di k ampung itu kasih dan sayang kepada M idun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir or ang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan. Orang sudah banyak di pasar, di san a-sini kelih atan orang duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton permainan se pak raga pun sudah ba nyak pula datang. Anak-anak sudah berl arian ke san a kemar i, me ncari temp at yang baik untuk menonton. Ada pul a di an tara mereka itu yang be rmainmain, mi salnya berkucing -kucing, berk uda-kuda dan lain-lain, menanti permainan dimu lai. Sega la or ang di pasar itu rupanya gelisah, tidak senang diam. Sebe ntarsebentar melihat ke j alan besar, sebagai ada yang dinantikannya. Tidak ber apa lama ant aranya, k elihatan seorang muda datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, b erbaju Cin a yang ber kerawang pad a saku dan punggungnya. Kopiahnya sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh, tampan dan alap benar kelihata nnya dari jauh. la berjalan dengan ga gah dan kocak nya, apalag i diir ingkan oleh beberap a orang pengiringnya. "Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada kawan-kawannya. Mendengar perkataan Maun, oran g yang duduk berkelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar, semuanya d atang be rsalam kep adanya. Sungguh pun Kac ak masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu, baik tua ataupun muda, sangat hor mat kepadanya dan dengan sopan bersalam dengan dia. Tetap i mereka ber-salam tidak sebagai kepad a Midun, melainka n kebalikannya. Mereka itu semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya. Sudah padan benar nama itu di lekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingk ah lakuny a. la tinggi hati, sombong, dan congk ak. Matanya j uling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok ke muk a, hidungnya panjang dan bu ngkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang bu suk hati. Di kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. Perkataannya kasar, selalu menyakit kan hati. Adat sopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan


selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun campur pula, agaknya l ebih dar'r mamaknya. Sungguhpun demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena orang takut kepada Tuan ku Laras. Kacak pun seol ah-olah tahu pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di kampung itu. "Sudah sepet ang ini h ari, belum ju gakah jenang datang k e medan?" ujar Kacak dengan agak keras, sa mbil m elayangkan pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang banyak yang datang bersalaman kepadanya itu. "Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan. "Itu beliau di dalam lepau nasi sed ang bercak ap-cakap. Agaknya beliau menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi." "Katakanlah saya sudah datang !" ujar Kacak pula dengan pongahnya. " Sudah hampir terb enam matahari g ila me mbual juga." Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang a gak tua dan bertubuh tegap dari d alam se buah lepau nasi. Orang itu ialah jenang permainan sepak raga. Baru saja dilih atnya Kacak, segera ia datang mendapatkannya. S ambil bersal am jen ang berkata, katanya, "Sudah lama Engku Muda datang?". "Lama juga," jawab Kacak de ngan m uka ma sam. "Apak ah sebabnya tidak dimulai juga ber main sepak r aga? Akan dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?" "Ah, kami sudah dar i tadi da tang," ujar jenang dengan hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi." "Mengapa tidak dimul ai saja dulu? Sungguh, jika tak ada saya rupanya takkan jadi permainan ini." Segala pen onton sud ah duduk pada tempatny a masin gmasing, yan g telah disediak an oleh pengurus medan itu sebelum bermain. Maka j enang pun pe rgilah be rsalam ke pada beberapa or ang penonton yang t erpandang, y ang m aksudnya tidak saj a memberi selamat dat ang, tetapi seolah-ol ah meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai. "Rupanya banyak juga or ang datang dari jorong lain hendak bermain hari ini," ujar seor ang penghulu ketika bersalam dengan jenang. "Benar, Datu k," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya sekali ini." Setelah jenang masuk k e tengah medan, maka segala


pemain pun datangl ah bersalam de ngan ho rmatnya, akan mengenalkan diri ma sing-masing. Kemudian seg ala pemain berdiri berkeliling, mem buat sebuah bundaran di medan itu. Jenang yang berdiri di ten gah medan, lalu melihat berkeliling, memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu. "Engku Muda Kacak!" k ata jenang sekonyong-konyong, "Permainan akan kita mulai." Perkataan jenang yang demik ian itu sudah cukup untuk menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki kesalahannya. Kacak kemal u-maluan, te tapi ap a hen dak dikat akan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripad a d ia. Dengan muk a merah dan menggi git bibir karena malu dapat teguran jen ang, Kacak melihat ke k iri-ke kanan, k e muka dan ke belakang, lalu me mperbaiki teg aknya. Segala p emain yan g lain in saf p ula akan arti s indiran itu, lalu mereka memperhatikan betul tidaknya tempat ia berdiri. Syukurlah hanya Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu. Sesudahnya jenang memperbahasak an tamu, yaitu memberikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun dimulailah. Jenang menyepak raga , lalu berkata, "Bagian Engku Muda Kacak!" Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!" Midun ber siap sert a memandang k e ar ah su ara itu datang. Nyata kepadanya, bahwa yang berseru itu Kacak. D engan tidak menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepakny a sampai sepuluh kali. Sudah itu disepakkannya pu la ke arah Kacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!" Kacak melihat hal Midun deng an kep andaiannya itu tidak bersenang hati. Ia berkata dalam hat inya, "Berapa kepandaianmu, saya lebih lagi dari engkau." Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta menganjur l angkah ke belakang. M aksudnya akan men cari alamat, dan hendak melo mpat s ambil menyepak raga, tetap i celaka! Ket ika i a ak an m enyepak; kakinya yang sebelah kiri tergelincir, l alu Kacak... bab, j atuh terenyak. Segala y ang main, baik pun si pen onton se muanya tersen yum sa mbil membuang muka. Mereka itu seakan -akan menah an tertawanya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai oran g sakit gigi tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Wakt u Kacak terduduk, dan


warna muk anya itu pucat menahan sakit, seorang daripada mereka yang ma in itu b ernama K adirun berkat a, katanya , "Cempedak hutan!" Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat pandai membuat orang tertawa. Tak ada ubahnya sebagai alanalan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya, melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun adalah seorang mud a ya ng s abar. Biarpun b agaimana juga diolok-olokkan or ang, ia tertawa s aja. M eskipun o rang marah kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu sejak ke cil. Hamp ir semua orang di ka mpung itu su dah mengetahui perangai Kadirun yang demikian. Kawan-kawan Kadirun waktu masih k anak-kanak dahulu, lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di san a. Mereka itu mengerti ap a mak sud Kadirun be rkata beg itu. Semuanya terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tid ak tertahan lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua, mereka tertawa gelak-g elak mengenangkan perb uatan ma sa dahulu. Kacak bert ambah pucat muka nya karena malu. Apalagi dalam permainan itu, ia dialahkan Midun. Tubuhnya berasa sakit te rjatuh. Pada pikiran Ka cak or ang t ertawa itu mengejekkannya. Sekonyo ng-konyong merah pad am muk anya. Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturut nya Kadiru n akan menanyakan, ap a maksud perk ataan " cempedak hutan" itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjaw ab katanya, "Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!" Mendengar perkataan itu, Ka cak makin meradang. Hatinya bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama oran g yang dikatakan Kadirun itu, oran g yang tidak disuk ainya. Sejak kenduri di masjid, hatiny a suda h mulai ben ci kepada M idun. Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun. Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak bertanya lagi, terus ditinjun ya. Midun mengelak, ia tak kena. Kacak menyerang berturut -turut, tetapi Midun selalu mengelak diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak ke balai-bal ai dangau, l alu bertal ian. Kacak menyerbukan diri dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena


deras datang, tanganny a tert umbuk ke tonggak dangau. Tonggak dan gau itu reba h, Kacak ter dorong ke da lam, di impit oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan melerai perk elahian itu. Makin dis abarkan, makin keras Ka cak hendak men yerang. Midu n sabar saj a, sedikit pu n tak ada terbayang hati marah pada mukanya. Setelah Kacak disabark an, Mi dun disu ruh oran g menerangkan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak, akan menyuruh meneran gkan art i perk ataan itu. Tetapi ket ika perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena ketakutan. Midun berka ta, katanya, "Kawan-kaw an saya te rtawa itu sekali-kali t idak menertawakan Engku Muda K acak. Tentu saja mereka itu tidak berani menertaw akannya. Mereka tertawa karena men genangkan perangainya semasa k anak-kanak. Dahulu wakt u kami kecil- kecil, pergi menggembal akan kerbau ke hutan. Samp ai d alam hutan, k ami duduk saja di atas punggung k erbau masing-masing. Samb il m emberi makan kerbau kami bernyanyi d an ber senda gurau se suka-suka h ati. Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan hari saj a, saya ajak kawan-kawan mu fakat di baw ah sepohon kayu yang rindang. Saya kata kan kepadanya, daripad a bernyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan tidak mau, karena mereka taku t kerbaunya diserang binatan g buas. Mak a saya teran gkanlah kepada merek a itu bagaiman a cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri d alam hutan. Saya katakan ju ga, man akala kerbau diserang harimau misalnya, ti daklah akan t erjaga, sebab kita s emuanya m asih kanak-kanak. Mendengar saya men gatakan 'har imau', apala gi d i dala m hutan, kawan-kawan say a ketaku tan. Mereka mel arang saya menyebut nama itu sek ali lagi. Jika saya hendak menyebut juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan k awan-kawan saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, istimewa na ma b inatang. Apala gi bi natang itu tidak ak an mengerti perkataan orang. Dalam pada saya bercerit a itu, tiba-tiba kedengaran bunyi sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh daripada kami. K awan-kawan saya terkejut dan k ecut hatinya.


Pada persangkaan mereka, tak d apat tia da h arimau yan g melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masin g-masing hendak ke tengah ak an melindungi d iri. Berimpit-impit tid ak bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai on ggokan kecil. Seorang pun tak ada y ang berani mengeluarkan perkataan, k arena lidahnya sudah ka ku dan mulut terkatup. Say a pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir t idak dapat bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak usah ditakutkan sebelum diperi ksa dahulu. Lalu sayapun pergilah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebabkan bunyi itu. Amboi, bunyi yang kami takutkan it u, kiranya 'cempedak hutan' yang baru jatuh. Keti ka itu timbullah pikiran say a hendak memperolok-olokkan kaw an-kawan. Saya ambil kedua cempedak it u, lalu saya berjalan pe rlahan-lahan ke tempat kawan-kawan say a. Setelah de kat, saya lemparkan kedua cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!' Mereka itu b erjeritan d an bersiap hen dak lari. Tet api kak i mereka itu tak dap at lagi d iangkatnya, sebab sudah kaku karena ketak utan. Sekonyong-ko nyong Maun berseru, katanya, 'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.' Sudah itu berbagai-bagail ah senda gurau untuk men ghilangkan ketakutan kami. Lebih-lebi h Kadirun yang membuat ulah ini, sel alu kam i per olok-olokan dengan ce mpedak hutan itu. Sakit-sakit perut kami te rtawa melihat tingkah lakunya yang amat menggelikan hati itu. Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun sanak-saudara yang lain, ba hwa ka mi ti dak menertawakan Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai dahulu jua." Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, semakin jad i tertawanya. Amat gel i hati or ang mendengar cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala. Rasakan hen dak ditel annya Midun ketika itu. Pada pikirannya, jangankan M idun mend iamkan tertaw a oran g, tetapi se akanakan men cari-cari perk ataan ak an m enggelikan hati, sup aya orang mak in jadi tertaw a. Tetapi apa hendak di katakan, i a terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi sekali lagi, tentu tidak dibiar kan oran g. Dengan pemandangan yang am at tajam kep ada Mid un, Kacak pun pulanglah ke


rumahnya. Permainan sepak raga dihentik an, karena hari sudah jauh petang. Mak a or ang di p asar itu pun pulanglah k e rumahnya masing-masing. Midun pulang p ula ke surau. Sepan jang jalan tampaktampak olehnya p emandangan Kacak yang a mat dalam pengertiannya itu. Hat inya berdeb ar-debar, khaw atir k alaukalau hal itu menjadik an tida k baik kepadan ya. Tetapi kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dal am hati, "Ah, tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun say a akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."


2. Senjata Hidup

TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah tersiar ke sel uruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiaptiap ru mah, or ang memperkatakan perkelah ian itu s aja. Percakapan itu hanyak pula yang dil ebih-lebihi orang. Y ang sejengkal sudah menj adi seh asta. Dari seorang makin bertambah-tambah jua. Ada y ang mengatakan, Kacak a mat payah d alam perkelah ian itu, sehingga minta-minta a ir. Ada pula yang b erkata, Midu n minta ampun, sebab takut kepada Tuanku Lar as, ma mak s i Kacak. Be rbagai-bagailah perkataan orang, ad a y ang be gini, ada p ula y ang begitu, semau-maunya saja, ak an mempe rtahankan or ang yang disuka i dan dikasihinya. Anak-anak lebih-lebih lagi. Mere ka it u berlari-lari pulang akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu. Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah karen a lelah berlari, ia mence ritakan perkela hian itu kep ada ibu dan adiknya. Ada pula y ang menjadikan pertengkaran dan perkelahian kepada merek a itu, ketika mempercakapkan hal itu dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah k arena anak-an ak murid Midun mengaj i mengatak an, gurunya yan g menang. Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum lagi terbenam matahari, mereka itu sudah dat ang ke surau. Di halaman sur au merek a itu duduk berkelomp ok-kelompok mempercakapkan kebera nian gurunya . Kadang-kad ang keceknya itu disertai pula den gan langkah kaki dan gerak tangan, meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi. Tetapi orang yang be rdiri sama tengah dan melihat dengan matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun. Begitu pula ketangk asannya men gelakkan serangan K acak, sangat men gherankan hati orang. Mereka it u semu anya menyangka, tak dap at tiad a Mi dun ahli silat, k alau tidak masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak. Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak dengan Midun di pasar itu, ada pula yang amat heran memikirkan kejadian itu . Apal agi m elihat ke marahan h ati Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang. Pada p ikiran merek a itu, ma sakan se suatu se bab yang sed ikit


saja, m enimbulkan ama rah Ka cak yang hampir tak ada hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun. Memang sebenarnyala h pikiran orang yang demik ian itu. Sejak waktu masih k anak-kanak, sebelum mamak K acak menjadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika mereka masih kecil-kec il, acap kali terjadi pe rtengkaran, karena berl ainan kemau an. Hampir setiap bulan ad a-ada saja yang menyebabkan hingga merek a itu keduanya terpaksa berkelahi, m engadu kekuatan ma sing-masing. Teta pi setelah muda remaja dan telah berpiki ran, maka keduanya sa ma-sama menarik diri. Apalagi sejak mamak Kacak sudah menjadi Tuanku Laras, Midun telah menj auhkan diri darip ada Kacak, dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raj a di kampung itu. Sekonyong-konyong ketika berd ua bel as di masjid, Kacak sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi ada pula beb erapa sebab yang lain yang tidak me nyenangkan hatinya. Pe rtama, Midun dika sihi orang ka mpung, dia tid ak, padahal ia k emenakan k andung Tuan ku Laras. Kedua, Kacak mendengar kabar angin, bahwa M idun sudah mendapat keputusan sil at daripad a Haji Ab bas, tetapi di a se ndiri minta belajar, tidak diterima ol eh Ha ji Abb as. Ketiga, da lam se gala hal kalau ada permufak atan pemuda-pemuda, Midun selalu dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di dalam pergaulan di kampung it u, Kacak terpen cil hidupnya, seakan-akan sengaja ia disisihkan orang. Oleh karen a itu pada pikiran Kacak, tak dapat tiada sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mat a. Sesungguhnya, jika t idak dipisahkan orang dal am pe rkelahian di pasar itu, memang ia hendak menewaskan Midu n benar-benar. Kebencian dalam hatin ya sudah mulai be rkobar. Dan lagi karena mendengar k abar Midun p andai bersiIat, dan dia sudah paham pula dalam ilmu st arlak, menimbulkan kein ginan pula kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun. Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang biasa saja. Sungguhpun ayah Mi dun oran g peladang, tetapi pemandangannya sudah l uas dan pen getahuannya pun dalam. Sudah banyak negeri y ang ditempuhnya, dan telah jauh rantau


dijalaninya semasa muda. Oleh sebab lama h idup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat, maka ora ng tua itu dapatlah memperbandingkan mana ya ng baik dan mana yan g buruk. Tahu dan mengertilah P ak M idun bagaimana caranya yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama. Dengan pen getahuannya yang demikian itu, d ididiknyalah anaknya Mid un dengan hemat c ermat, agar menjadi s eorang yang berbahagia kelak. Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun hendak meny erahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin supaya M idun menjad i se orang ya ng tangkas dan cekatan. Pak Midun merasa, bahwa silat itu bergu na benar unt uk membela diri dalam ba haya da n pe rkelahian. La in da ripada i tu, a mat besar faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak Midun sendiri dahulu seorang pandai silat, in saf benarlah ia bagaimana k ebaikan pergerakan badan itu untu k menjaga kesehatan tubuh. Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya, dicarinyalah seorang guru yang tel ah termasyhur k epandaiannya dalam ilmu silat. M aka demikian, menurut pikiran Pak Midun, jika t anggung-tanggung ke pandaian guru itu, lebih baik tak usah la gi anaknya bel ajar s ilat. Se orang pun ta k ada yang tampak ole h Pak M idun, guru yang bersesuaian dengan pikirannya di ne geri itu. La in da ripada Haji Abbas, guru Mi dun mengaji dan saudar a seb apak dengan dia, tak ada yang berkenan pada pikir annya. Tetapi sayang, sudah du a tiga kali maksudnya itu dikatakan nya, se lalu ditolak saja oleh Haj i Abbas. Haji Abbas me mberi nasihat: supaya M idun diserahkan kepada Pend ekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakannya, bahwa sudah tua tidak ku at l agi. Dan kepandaiannya bersilat pun boleh dik atakan hampir bersamaan dengan Pendekar Sutan. Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada Pendekar Sutan. Karena P ak Midun seorang yang tabu dan alif, tiadalah d itinggalkannya syarat-syarat aturan ber guru, me skipun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar Sutan dipersinggah (dib awa, dijamu) oleh Pak Midun dengan murid-muridnya ke ru mahnya. Sesudah makan- minum, maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, seba gaimana yang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih


sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit (jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya. Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya. Arti dan wujudnya: Beras se sukat, gunanya akan dimakan guru, s elama m engajari anak muda yan g hendak bela jar itu; se olah-olah m engatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab hendak mencari penghidupan lain. Kain putih sekabung, "alas tobat" namanya; maksudnya dengan segal a putih hat i dan tulus an ak muda itu menerima pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak muda itu menerima b arang ap a yang diaj arkan guru. Ia akan menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena pisau at au apa saja se dang bela jar, kain itulah ak an kafannya kalau ia mati. Besi seke rat (pisau sebuah) itu maksu dnya, sepert i senjata itulah taj amnya pen gajaran yang diterimany a dan lagi janganlah ia dikenai senjata, apabil a telah tamat pengajarannya. Uang seru piah, ialah untuk pe mbeli te mbakau yang dii sap guru waktu melepaskan l elah dalam mengajar anak muda itu, hampir searti juga dengan beras sesukat tadi. Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendakl ah guru itu tcru s mengajarnya, d engan pen gajaran y ang t ajam se perti jarum itu. Dan me ski t ujuh mac amnya ma ra b ahaya yan g tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terel akkan olehnya, berkat pengajaran g uru itu. Peng ajaran guru itu menjad i darah daging hendaknya kepada nya, jangan ad a yang menghalangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan. Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, waktu ia menghentikan l elah tiap-tiap sesudah mengajar anak muda itu, dan lagi sirih pinan g itu telah menj adi adat y ang biasa di tanah Minangkabau. Setelah beberapa laman ya Mi dun belajar silat kepada Pendekar Su tan, mak a t amatlah. Su ngguhpun demik ian P ak Midun belum lagi bersen ang hati . Pada pikirannya kepandaian Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak Midun: belajar sampai k e pulau, berjalan sa mpai ke batas. Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah berkesudahan atau mend apat keputus an dari pada seor ang ah li silat yan g


sudah termasyhur. Oleh sebab itu, ingin benar ia hendak menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas. Di dala m ilmu sil at, me mang Haji Abb as sudah termasyhur semana-mana di seluruh tanah Minan gkabau. Sebel um ia pergi ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya itu kebanyak an orang d atang da ri negeri lain. Tidak sedik it guru-guru sil at yang datang me ncoba ketangkasan Haji Abbas bersilat, semuanya kalah dan me ngaku bahwa silat Haji Abbas sukar didapat, m ahal dic ari di tan ah Minangk abau. Karen a keahliannya di dalam ilmu si lat itu, kendatipun ia tidur nyenyak, jika dile mpar de ngan puntung apiapi saja, tak dapat tiada barang itu dapat ditangkapnya. Tidak hal yang demik ian itu saja yang memasyhurk an nama Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain. Semasa muda, ketika Haji A bbas d an Pak Midun berdagan g menjajah t anah Minangk abau, ti dak sedikit coba an yang telah dirasainya. Acap kali ia d isamun oran g di tengah perjalanan, diperkelahikan orang be ramai-ramai. Tapi kar ena ketangkasannya, segala bahaya itu dapat di elakkan Haji Abbas. Lebih-lebih lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam perjalanan k e Tanah Suci. Lebih dari sepuluh orang, orang Baduwi yang memakai senjata tajam hendak merampoknya; dengan berte man hanya tiga oran g saj a dapat dite waskannya. Sungguhpun berteman boleh dikat akan Haji Abbas seorangl ah yang berkelahi dengan Baduwi itu. T ak dibiarkannya sedikit jua segala Baduwi itu menyerang kawannya. Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seoran g ulama besar. M emang sud ah menjadi sifat pad a Haj i Abbas, jik a menuntut sesuatu il mu berpantang patah di tengah. Sebelum diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersen ang hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak orang kampung itu saj a, bahkan banyak orang yan g datang dari negeri lain belajar men gaji kepada Haji Abbas. Oleh karena Haji Abbas adalah seorang tua, yan g lubuk akal gudang bicara, laut pik iran t ambunan bu di, maka ia pun dimalui dan ditakuti orang di kampung itu. Keadaan yan g dem ikian i tu diketahui Pak Midun belaka. Itulah tali sebabnya maka besar benar kein ginannya hendak menambah pengajaran Midun ber silat kepada Haji Abbas.


Karena Haj i Abbas sel alu menolak permintaan Pak Midun, dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkanny a Midun belajar silat dengan dia. Demikianlah ikhtiar Pak Midun: Mula-mula P ak Midun bermufak at den gan Pendekar Sutan. Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak men ipu Haji Abb as. Sebabnya ial ah ka rena Midun ingin h endak mendapat se suatu dar i Haj i Abbas, tet api selalu d itolaknya saja. Maka dicerit akannyalah oleh Pa k Midu n bagaiman a tipu y ang hendak disuruh lakukannya kepada Midun. "Biarlah, Pen dekar Sutan! " ujar Pak Midun, "bukankah silat Midun sek arang sudah boleh di bawa ke teng ah. Tid ak ak an gampang l agi or ang da pat mengen alnya. Meskip un dua-tiga orang me mpersama-samakan dia, bel um tentu lagi i a akan roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak di surau, kit a suruh lempar oleh Midun dengan ranting k ayu. Manakala Haji Abbas terkejut dan men angkap ranting kayu itu, saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas." "Saya pun sesuai den gan pi kiran Pak Midun itu!" jawab Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja. Boleh j adi M idun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya agak khawatir memikirkannya." "Tak usah dikhawatirk an. Hal itu pun sudah saya pikirkan dalam-dalam. Tentu tidak akan k ita biarkan Midun seorang diri saja. Kita h arus sert a p ula menemaninya, ak an mengamatamati kalau -kalau ada bahaya . Tetapi hen daklah kit a bersembunyi melihat kejadian itu." "Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat k etangkasan Haji Abbas, sebab dari dahulu sa ya hendak belajar kepadanya, selalu dit olaknya pula, hingga terpaksa s aya be rjalan ki an kemari mencari guru silat." Pada su atu hari, sesudah sembahy ang lohor, kelihatanlah Pak Midun, P endekar Sutan dan Mi dun di surau Haji Abbas. P ak Midun dan Pendekar Su tan bers embunyi di surau kecil d i sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab, karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun pun bersiaplah, lalu melempar Haj i Abbas dengan ranting kayu. Haji Abbas terkejut dan menangka p ranting kayu itu. Ketika itu Midun mel ompat dan dengan tang kas dise rangnya Haji Abbas.


Maka terj adilah pada k etika itu... ya, perkel ahian bapak dengan anak. Tangkap- menangkap, empas-menge mpaskan, tak ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar. Setelah beberapa lamany a dengan hal yang demik ian itu, sekonyong-konyong M idun terempas ag ak jauh. Jika or ang l ain yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada pecah kepal anya. Tetapi karena Midu n pandai silat pula, tak ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji Abbas meng gosok mat anya, seolah-olah ia t idak percaya kepada matanya. Ia sebagai or ang be rmimpi, dan am at heran karena kej adian itu. Setelah beberapa l amanya, nyatalah kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia. "Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tibatiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?" "Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan ketakutan. "Pikiran saya masih sehat; ayah dan Bap ak Pendekar ada d i surau kec il di sebelah." "O, jadi mereka itukah y ang menyuru h engkau melakukan pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa maksudnya b erbuat de mikian in i? B osankah i a kep adamu atau bencikah kepadaku, supay a kita salah seorang binasa? Pan ggil dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!" Tidak lama antaranya Pak Midun dan Pendek ar Sutan naiklah ke surau. Baru saja ia sa mpai, Haji Abb as berkata dengan marahnya, "Perbuatan ap a ini yang Pak Mid un suruhkan kepada anak saya? Apakah denda m kamu kedu a yang tid ak lepas, maka menyuruh l akukan perbuatan in i kepada M idun? Sungguh terlalu!" "Janganlah t erburu nafsu saj a Haji marah," ujar P ak Midun dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karen a kesal ahan Haji sendiri." "Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula sebabnya say a yang Pak Midun salahkan? Buk ankah perbuat an Pak Midun ini sia-sia benar?" Ketika itu tampaklah kepada Pak Midu n, marah Haj i Abbas sudah ag ak s urut. Pak Midun berkata sambil ber senda-gurau, "Selalu saya diusik anak Haji, supay a ia d apat menambah kepandaiannya dengan Haji. Be berapa kal i saya disuruhnya mengatakan kepada Haj i, karena ia in gin benar hendak mendapat sesuatu tentang ilmu silat d aripada Haji. Tetapi tiap-tiap


permintaannya itu s aya sa mpaikan, selalu saja Haji t olak. Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang Haji salahkan. Haji kat akan, ap a dendam kami yang tak lepas. Kalau Haj i ingin hendak mencob a, berdirilah! M emang s aya sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!" Pak Midun berdiri, l alu mengendangkan t angan dan melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan tertawa, kat anya, "Ban gunlah, Haji, menga pa dud uk juga? Ah, jadi muda lagi perasaan saya‌" Melihat kelakuan Pak Midun ya ng jenaka itu, marah Haji Abbas pun su rutlah. Hatinya tena ng bagai semula, dan tertawa karena geli hatinya. Pak Midun duduk kembal i, lalu bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia. Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan Pendekar Sutan. Midun diajar Haji Abbas tid ak pada suatu tempat atau sa saran. Melainkan, ti ap-tiap pulang dari mendoa atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun sekonyong-konyong d iserang oleh Haji Abbas. M aka bersilatlah mereka itu d i sana beber apa lamanya. Demik ianlah diperbuat Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun diberi keputusan silat oleh Haji Abbas. Pertama, Midun dibaw a Haji Abbas b ersilat pad a sebidang tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar mereka akan mengena i mas ing-masing. M aksud Haji Abb as membawa M idun bersilat pada tanah yang demikian, ialah supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada t anah yang datar saja. Kedua, atas papan, misalnya di ru mah yang berl antaikan papan. Bersilat di tempat itu sek ali-kali tidak boleh berbunyi langkah kaki. Sekalipun teremp as, h endaklah sebagai kucing diempaskan saja, tidak kera s bunyinya dan tidak boleh tertelentang. Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada se bidang tanah yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, t etapi haru s menangkis serangan guru. Keempat, pada se bidang tanah yang diber i bergar is bundaran. M idun haru s bersilat den gan guru tidak boleh melewati garis, tetapi guru be rusaha, supaya Midun melewat i garis itu.


Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat mengalahkan seran gan orang yan g memakai s enjata taja m. Bagian yang kelima inil ah ya ng sukar. Bagi Midun belu m sempurna be nar dapatnya. Sebabnya, karena pad a bagian ini, haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya pandai bersilat. Mengingat ke adaan yang demikian itul ah m aka Pak M idun amat terkej ut dan kha watir mendengar kab ar perkelahian anaknya den gan Ka cak. Dalam hat inya am at ma rah kepad a anaknya, k arena yang dilawan Midun berkelahi itu kemen akan Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun belum sen ang benar h atinya. Pak Midun ingin hendak mendengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya hari men anti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebent arsebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang. "Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas. "Katakan kep ada mereka itu, mal am in i tid ak mengaji. M alam besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa malam in i. Engkau tinggal di surau dan kalau ada orang menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih Sutan." Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah dari surau. S ebelum pergi mendoa, l ebih dahulu mereka itu singgah ke rumah Pak Midun. Setelah sudah minum dan mengisap rokok sebat ang seorang, Haji Abbas pun berkata, katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum cukup sebul an engkau tamat be rsifat sudah be rkelahi. Itu pun yang engkau lawan bukan sembarang orang pula." "Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya; bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan ragu-ragu, se bab ia s endiri mer asa tid ak ada berk elahi. Akan dikatakannya berkelahi, ia tida k ada meninju Kacak, melainkan Kacak yang menyerang dia. "Ganjil ben ar jaw abmu! Apa m aksudmu men gatakan umpama berkelahi itu?" Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenan g hati mendengar jawabnya. Tamp ak dan nyata kepa danya pada


muka merek a itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka Midun menerangkan dengan pa njang lebar asal mula perselisihannya dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun tak ada yan g dilampau inya, diterangkannya sejel as-jelasnya. Mendengar perkataan Midun, lega lah hati kedua bapaknya itu. Apalagi kete rangan itu, bers esuaian dengan berita orang kepada mereka, yang melihat se ndiri kejadian petang itu. Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya, "Meskipun en gkau tid ak b ersalah, tapi percay alah engkau, bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu. Biarpun tidak salahmu, t api ka ta orang keduanya salah. Tak mau bertepu k sebelah tangan. Yang akan datan g saya harap jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anakanak muda seba gai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit amat sombong dan c ongkak. Tidak ber pucuk di at as enau lagi. Pikirnya, tak ada yan g lebih dari pada dia. Lebih-le bih kalau ia pandai ber silat. Dicari- carinya sel isih supay a ia berkelah i, hendak memperlih atkan kecekatann ya. Salah-salah sedikit hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat. Padamu kami harap jangan ad a tab iat yang demik ian. Hal itu se mata-mata mencelakakan d iri sendir i. Tid ak ada yan g selamat, binasa juga akhir kela knya. Daripada sahabat kenalan kita pun terj atuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang k ami su kai dalam pe rgaulan bersama. Satu pun tak ada fae dahnya meme gahkan diri, he ndak me mperlihatkan pandai be gini, tahu be gitu. Asal t idak akan merusakkan kesopanan diri, d alam p ercakapan atau tingk ah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yan g m endatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu. Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya be rsalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasan ya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehny a ditahan. Dalam segal a hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi k alau dit impa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bil amana perlu janganlah u ndur baran g setapa k jua pun; itulah tandanya bahwa kita s eorang laki-l aki. Be gitu pula halnya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak


pandai mengemudikan hawa nafs u, alamat badan akan bin asa. Jika diturutk an hawa nafsu, ma u ia sampai ke l angit y ang kedelapan—jika ada langit yang kedel apan. Oleh karena itu, biasakan dir i me mandang ke bawah, jangan selalu ke ata s. Hendaklah pandai-pandai me- megang kendali hawa nafsu, supaya selamat d iri h idup di dunia ini. Pik ir itu pelita hat i. Karena itu pekerjaan yan g hendak dilakukan, pik irkan dalamdalam, timbang dahulu buruk baiknya. Lihat-lihat k awan seiring, ka ta oran g. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauh i segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak d apat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pand ai-pandai men cari sahabat k enalan. Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Dar ipada be rsahabat dengan seribu o rang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai. Nah, s aya ka takan terus terang kepa damu! Engkau adalah seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam segala hal engkau raj in dan pandai. Selama ini belum pernah engkau mengecewakan hati ka mi. Segala pekerj aanmu boleh dikatakan selalu menyenangkan hati kami. Tidak kami saja yang me muji engkau, ba hkan or ang kampung ini pun san gat memuji pera ngaimu. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu yang baik selama in i. Pen getahuanmu untuk dunia dan akh irat sudah memadai. Tentu engkau lolah dapat memahamkan mana yang baik dan mana yang buruk wkianlah nasihat saya. Midun tepekur mendengar nasihat Haji Abbas itu. Diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Satu pun tak ada yang dilupakannya. Masuk benar-benar nasihat itu ke dalam hat i Midun. Kemu dian M idun b erkata, k atanya, "Saya minta ter ima kasih banyak -banyak ak an nas ihat Bapak itu. Selama hayat dikandung badan takk an saya lup a-lupakan. Seg ala pengaj aran Bapak, set itik menjadi laut, se kepal menjadi gun unglah bagi saya hendaknya. Mudah-mudahan segala nasihat Bapak itu menjadi darah daging saya." "Nasihat bapakmu itu sebenarnya," u jar Pak Midun pula, ingatlah dirimu yang akan datang. Siapa tahu karena Kacak tak dapat mengenai engkau, perkara itu menimbulkan sakit hat i kepadanya. Bukankah hal itu boleh mendatangkan yang t idak baik. Insaflah engkau, pikirkan siapa kita dan siapa orang itu." Setelah itu maka Haji Abbas dan Midun pergilah mendoa.


3. Dimusuhi

SUDAH umum pada orang ka mpung itu, man akala ada pekerjaan b erat, suk a bertolong-tolongan. P ekerjaan y ang dilakukan dengan upah hampir tak ada. Ap alagi di dala m bahaya, misalnya kebakaran, mere ka itu tidak sayang kepada dirinya untuk menolong orang sekampung. Tidak di kampung itu saja, melainkan di seluruh tanah Minangkabau, boleh disebutkan sudah turun -temurun pada anak ne geri, suk a bertolong-tolongan itu. Misalnya di dalam h al ke sawah, mendirikan rumah, dan lain-lain pekerjaan yang berat. Musim menyabit sudah hampir datang. Ketika itu tidak lama lagi har i akan puasa. Setiap har i tidak putus-putusnya bend i membawa orang da ri Bukittinggi, berh enti di p asar kampung itu. Mereka itu baru pul ang, kar ena sudah bebe rapa tahun lamanya berdagan g mencari pen ghidupan di negeri orang. Karena itu h ampir set iap hari oran g ram ai di p asar. Banyak orang men anti kaum kelu arganya yang baru dat ang. Tiap-tiap bendi kelihatan dari jauh, hati mereka itu harap-harap cemas, kalau-kalau di atas bendi itu sa nak, mamak, adikny a, dan lainlain. Dalam beberapa hari saja kamp ung itu sudah ramai, karena orang yang pulang merantau itu. Lain tidak yang dipercakapkan orang, hal orang yan g baru p ulang saja. Begitu pula yang datang, menceritakan penanggungannya masing-masing, selama bercerai de ngan kaum keluargany a. Bahkan menceritakan keadaan negeri tempatnya berdagang itu, tidak pula dilupakannya. Tidak lama kemudian kedengaranlah si A yang pulang dari negeri Anu, sudah membeli saw ah untuk adik dan ibunya. Si B yang pulang dari negeri Anu pula, su dah membuatkan rumah untuk familinya dan lain -lain. B ermacam-macam kedengaran, banyak di antara merek a itu yang melekatkan uang pencahariannya kepada barang yang baik bakal hari tuanya kelak. Hal itu sangat men arik hati ke pada oran g yan g tinggal di kampung, ingin hendak pergi merantau pula. Tetapi ada pula yang misk in dan melarat pulang masa itu. Malah an ada yan g inembawa p enyakit dar i negeri o rang. M ereka yang demik ian itu, tentu saja karena ceroboh dan boros di negeri orang. Tidak hendak memikirkan h ari tua, hidup boros dan ban yak pelesir


memuaskan hawa nafsunya. Pada suatu malam Pak Midun berk ata kepada anaknya, "Midun! berit ahukanlah k epada kawan-kawanmu, bahwa hari Ahad yang akan dat ang ini kita ak an mengirik padi di s awah. Begitu pula kepada Pen dekar Sutan dengan murid-muridnya. Orang lain yang engkau rasa patut dipanggil, panggil lah! Sekali ini b iarlah ki ta me motong kamb ing unt uk penjamu orang yan g datang mengirik ke sa wah ki ta. Saya rasa takkan berapa bedanya menyembelih kambing dengan memb eli daging d i pasar." "Engkau pula, Polam," k ata Pak M idun sambil berpalin g kepada istrinya, "katakanlah kepada kaum keluarga, bahwa kita akan mengirik padi h ari Ahad itu. Ipar besan yang patut diberi tahu, orang sekampung yang akan dipanggil untuk mengirai dan mengangin padi dan orang-oran g yang akan men olong kerj a dapur. Hal itu semuanya pekerjaanmu." Ibu dan anak itu menganggukkan kepala, membenarkan perkataan suami dan bapakny a. Kemudian Midun berkata, "Karena kita akan me motong kambing, tidak baikkah jika kit a ramaikan kerja itu dengan puput, salung, dan pencak sekadarnya, Ayah?" "Hal itu leb ih baik engkau mu fakati dengan mamakmu, Datuk Paduka Raja. Saya tela h memberitahuk an kepadanya, hanya akan mengirik padi hari Ahad saja. Jika se pakat dengan mamakmu, apa salahnya, lebih baik lagi." "Baiklah, Ay ah! Sekarang juga saya cari beliau. Sudah itu saya pergi kepada Bapak Pendekar Sutan." Hari Ahad pagi-pagi, Midu n sudah memikul tongkat pengirik padi ke sawah. Sampai di sawah iapun menebas tunggul batang padi untuk orang mengirik. Setelah it u dibuatny a pula sebu ah dataran untu k orang bermain pencak, berpuput-salung, dan sebagainya. Maka dike mbangkannyalah tikar te mpat or ang mengirik. Su dah itu d iturunkannya s eonggok de mi seonggok padi itu daripada timbunannya. Tidak lama antaranya kelihata nlah orang datang ke sawah orang tua Midun. Berduyu n-duyun, sebondon g-sebondong amat banyaknya. Segala orang itu dengan tertib sopan diterima oleh Midun beserta bapaknya, lalu di persilakannya duduk dahulu ke tikar yang t elah disediakan untuk penerima tamu. Dengan hormat, Midu n meletakkan cerana tempat sirih di muka o rang banyak. Rok ok yang sudah disediakann ya untuk itu, tidak pula dilupakannya.


Setelah bebe rapa l ama mereka itu ber cakap-cakap ini d an itu, mak a dimulail ah mengirik padi. Midun kerjan ya hanyalah mengambil padi y ang sudah diirik orang. Perempu anperempuan sibuk mengirai jer ami y ang su dah d iirik. A mat ramai orang di sawah M idun. Sorak dan senda gurau orangorang muda tidak ket inggalan. Tertawa dan cu mbu tidak kurang. Suka dan bersen ang hati benar rupanya or ang mengirik padi di sawah Midun yan g baik hati itu. Bunyi hentam orang mengirik ak an menyataka n, bahwa pa di yang di iriknya sudah habis, seba gai or ang menumbuk padi. Belum tinggi matahari naik, selesailah diirik padi setimbunan besar itu. Sesudah itu maka segala orang itu dip ersilakan ole h M idun duduk menghentikan lelah ke medan te mpat orang memencak. Sudah mak an minu m, lalu dimulai pu la membunyikan salung dan puput yang disertai d engan nyanyi. Amat merdu bunyinya. Kemudian or ang ber andai, ber mencak, menar i p iring, dan sebagainya. Sementara itu, orang-orang perempuan mengangin padi jua, sambil menonton. Demikianlah halnya, hingga padi itu selesai diirik dan diangin orang. Setelah padi itu dimasukkan ke sumpit, permainan berh enti. Peralat an kecil itu pindah ke rumah. Wakt u mereka itu akan pulang ke rumah Pak Midun, pada bahunya masing-masing terletak sesumpit padi yang ak an dibawa ke lumbung. Sepanjang jalan, mereka itu bersalung dan berpuput jua, sambil bersenda gurau dengan riuhnya. Tidak jauh dari sawah orang tua Midun, ada pula, saw ah istri Kacak. Luas kedua sawah itu hampir sama. Kebetulan pada sawah istri Kacak, hari itu pula oran g mengirik padi. Tetapi ke sawah istrinya tidak berapa oran g datang. Yang dat ang itu pun kebanyakan masuk b ilangan keluar ganya juga. Ken datipun ad a beberapa orang la in, ny ata p ada m uka or ang i tu, bahwa mereka han ya memandang karena sawah istri kemenakan Tuanku Laras saja. Mengirik ke s awah istr i Ka cak itu adal ah pada p ikirnya sebagai menjal ankan rodi. Di sawahnya tidak kedengaran orang bersorak, apalagi bersuka-sukaan. Mereka itu bekerja den gan muka muram s aja k elihatannya. Oleh orang bekerja kur ang ber senang hati dan tid ak se berapa pula, tid ak dapat disud ahkan mengirik pada hari itu. Terpaksa haru s disambung pula pada keesokan harinya. Melihat orang ramai di sawah Midun, Kacak sangat iri hat i. Bencinya kepada Midun semak in berk obar. Apalagi mendengar sorak dan senda gurau orang di sawah Midun, amat sak it hat i


Kacak. Hatin ya sangat panas, hingga men imbulkan maksud jahat. Maka Kacak berk ata dal am h atinya, "J ika dibi arkan, akhirnya M idun mau men jadi raj a di kampung ini. Kian seha ri kian bertambah juga temannya dan orang pun makin banyak yang suk a k epadanya. Orang ka mpung tua muda, laki-lak i perempuan kasih sayang kepadanya. Malahan dia dihormati dan dimalui orang pula. Hampir sama horm at or ang kepad a mamakku Tu anku Lar as dengan kepada Midun. Padahal ia adalah seorang anak peladang biasa saja. Saya se orang k emenakan T uanku Laras la gi b angsawan d i kampung in i, tidak demikian d ihormati orang. Kenalan saya tidak sebe rapa. Oran g kampung hampir tak ada yang suka kepada saya. Hal itu ny ata, kalau orang bertemu di jalan dengan saya. Seakan-akan dicarinya akal supaya ia dapat menghindarkan diri. Sekarang nyat alah kepadaku bahwa Midunlah rupanya yang menyebabkan hal itu. Ka rena dialah maka orang kampung benci kepadaku. Lihatlah buktinya, ke sawahnya amat banyak orang datang, tet api ke sawah istr iku tidak seber apa. Mulai dari sekarang ia kupandang musuhku. Sayang saya tidak dapat me ngenainya dalam perkelahian tempo hari, karena orang banyak. Jik a dapat, sebelum muntah darah, tidaklah saya hen tikan. Saya tanggung, kalau hanya macam si Midun itu, sekali saj a saya masuki dengan starlakku, membuih air liurnya ke luar. Pe dih h atiku tid ak dapat saya mengenainya jika t idak t ewas ia oleh ku, saya berguru st arlak sekali lagi. Biarlah! Tidak akan terla mpau waktunya. Pada suatu masa, tentu akan dapat juga saya membalasnya s akit hati saya kepadanya. Ingatingat engkau, MidunP Tak dapat t iada engkau rasai juga bekas tanganku ini, bi arpun engkau sudah mendapat pelajaran dari Haji Abbas. Kita adu n anti silat mu itu dengan starlakku. Lagi pul a tidakkah en gkau ketahui bahwa di sin i kemenakan Tuanku Laras, boleh bersutan di mata, berada di hati? Tidakkah engkau in saf, bahw a di sini ke menakan raja di kampung in i, boleh merajalela berbuat sekehendak hati? Aha, rupanya dia mau tahu siapa saya." Sejak hari itu Kacak sangat be nci kepada Midun. la sudah berjanji den gan dirinya, akan meng ajar Midun pada suatu waktu. Makin sehari makin bert ambah bencinya. Bila bertemu dengan M idun di j alan, meskipun dit egurnya t idak disahuti Kacak. Adakalanya ia mel udah-ludah, akan menunj ukkan benci


dan jijiknya kepada M idun. Ka cak selalu mencari-cari jal an, supaya ia dapat berkelahi dengan Midun. Dengan kiasan itu Midun maklum atas kebencian Kacak kepadanya. Tetapi ia amat heran, apa sebabnya Kacak jadi begitu kepadanya. Padahal ia merasa belu m ber salah k epada ke menakan Tuank u Laras itu. Dalam perkelahian waktu bermain sepak raga pun, ia tidak ada mengenai K acak. Dan lagi hal itu bukan karenany a, melainkan tersebab ole h Kadirun. K emudian timbul pula pik iran Midun, boleh jadi K acak meludah-ludah itu tidak disen gajanya. Oleh sebab i tu ti dak d ihiraukan a mat oleh Midun. T idak s edikit jua masuk pada pikirannya, bahwa Kacak akan memusuhinya.


4. Membalas Dendam

PADA su atu hari, pasar di kamp ung itu sangat ramai. Dari segala tempat banyak o rang datang. Ada yang berbelanja, ada pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar- saudagar kecil banyak pula datang dari Bukittin ggi ke pasar itu. Mereka per gi menjual k ain-kain dan ada pula yan g membel i hasil tanah. Tidak heran pekan seramai itu, ka rena tak lama lagi hari akan puasa. Peka n sedang ra mai, or ang wdang sibuk berjual-beli, sekonyong-konyong kede ngaran te riak or ang mengatakan, "Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!" Orang di pasar be rlarian ke san a ke mari. Mereka l ari menyembunyikan diri, karena ta kut k epada Pak Inuh. Yang berkedai meninggalk an kedainya, yan g berbelanj a meninggalkan baran g yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi. Adapun Pak Inuh itu, i alah seorang kampung di san a, keluarga Tu anku Laras. Ia sudah beru mur lebih dari 45 tahun. Semasa mu da, Pak Inuh seoran g yang gagah berani. Lain daripada Haj i Abbas, se orang pun tak ada yang dise ganinya masa itu. Orang k ampung seg an dan t akut kepadanya. Ketika Tuanku Laras menjadi Pen ghulu Kepala di kampung itu, timbul perusuhan. Waktu itu boleh dikatakan Pak In uhlah yang mengamankan negeri. Dengan t idak meminta ban tuan kepada pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali. Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu? Pak Inuh sek arang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak sempurna lagi. Dalam empat ta hun itu Pak Inuh tidak dibiark an keluar lagi oleh Tuanku Laras. Jika dilepaskan selalu mengganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabny a hari itu ia dapat melepaskan diri. Hal itu te rjadi sudah y ang kedu a kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang orang dipe rserak-serakkannya. Disepa kkannya ke s ana ke mari, orang d i p asar d iburunya sa mbil be rteriak-teriak. J ika dapat orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya. Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu


lebih men akutkan lagi. Seorang pun tak ada y ang berani mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau, lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangk ap, takut kepada Tuanku Laras. Ma ka dibiarkan orang saj a ia mengacau di tengah pasar itu. Ji ka tidak Tuanku Laras sendiri, sukarlah ak an menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada beliau pergi ke Bukittinggi. Pa k Inuh makin ganas lakunya di tengah pasar. Sungguh amat sedi h hati melih at kejadian itu. Laki-laki perempuan tunggang-langgan g mel arikan diri. An akanak banyak yang terinjak, ka rena terjatuh. Di sana sini kedengaran jerit or ang, mengaduh karena sakit sebab terantuk atau jatuh. Lebih- lebih lagi melihat perempu an-perempuan yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung sambil melarikan diri jua. Midun ketika itu ada pul a di pasar. Dia sed ang duduk di dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya. Midun hampir-hampir tak dapat menahan hatinya. Amat sedih hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sanakemari. Pik irnya, "Aka n diberitahukan kepada Tu anku Laras, beliau pergi ke Bukittin ggi. Tentu saj a Pak Inuh merusakkan orang di pasar in i. Pada tangannya ada sebuah p isau. T akkan satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan saja." Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh. Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil, ini dia makanan pisauku!" Sambil melompat lalu diamukny a Midun. Midun sedikit pu n tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya dengan sabar. Segala orang yang mel ihat keadaan itu sangat ngeri. Lebih- lebih perempuan- perempuan, berteriak menyuruh Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun menyambut pisau itu. D alam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat diambilnya. Pisau itu segera di lemparkan Midun jauh-jauh, dan disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, l alu menyerang Midun seku at-kuatnya. Dengan mudah dapat ia menjatuhkan Pak Inuh, lalu dita ngkapnya. Bagaimana pun Pak Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata, "Sabarlah, M amak, takkan terlepask an tangkapan ku ini oleh Mamak." Maka Midun menyuruh mengambi l tal i untuk pengikat Pak


Inuh. Setelah sudah diikat , lalu ditipunya. Dibawanya ke lepau nasi, diberik annya makan . Luka pada kening Pak I nuh karena terjerumus, dibebat Midu n. Kemudian diantarkannya pulang ke rumah famili Pak Inuh. Sehari-hari dan itu Midun saja yang dipercakapk an orang. Tua mud a, kecil be sar, l aki-laki p erempuan d i pa sar memuji keberanian dan ketangkasan Midun menangkap Pak Inuh. Ketiga bapak Midun amat heran mendengar kabar itu. Mereka ketiga maklum bagaimana keberanian dan pendekar Pak Inuh. Perbuatan Midun itu dipuj i oleh merek a ketiga. Hanya merek a itu khawati r, kalau-kalau fam ili Tu anku Lar as tak bersenan g hati, karena Pak Inuh l uka. Te tapi ketiganya percaya pula, kalau Tuank u Laras berpikir panjan g, hal itu tidak ak an menimbulkan amarah, melainkan menyenangkan hati beliau. Bukankah perbuatan Midu n menjaga keamanan dan keselamatan negeri. Kacak ada pula mendengar kabar itu. Waktu hal itu terjadi, ia ad a di ka ntor Tuanku Lar as. Denga n segera i a berlari ak an melihat Pak Inuh. Didapatinya Midun tak ada lagi. Pak Inuh, yakni jalan mamak kepada Kacak, telah ada di rumah. Tatkala Kacak melihat Pak Inuh lu ka pada ken ingnya, lalu ia bertanya kepada seseorang, bagaimana M idun menangk ap mamaknya. Orang itu menceritakan bagaimana penglihat annya ketika Midun menangkap Pak Inuh. "Jika t ak ad a Midun," ujar o rang itu, "barangk ali banyak bangkai terh antar di ten gah pasar. Untung, pisau yang di tangan Pak Inuh lekas dapat diambil Midun." "Apakah sebabnya, mak a Pak Inuh sampai luka ini?" ujar Kacak dengan marah. Jawab oran g itu, "Karena tersungkur waktu Midun menyalahkan tikaman Pak Inuh." Kacak j angankan me muji Midun mendengar perkat aan itu, makin sakit hatinya. Ia sangat marah karena Midun beran i melukai famili Tuanku Laras. "Sekarang nyata, bahwa Midun musuhku," kata Kacak dalam hatinya. "Sudah engkau lu kai mamakku, engkau bebat. Maksudmu tentu su paya kami jangan marah. Kurang aj ar sungguh! Hati-hati eng kau, bes ok d apat b agian darip adaku. Bila Tuanku Laras pulan g dari Bukittinggi, kuceritakan hal itu kepadanya. Anak si pel adang jahanam, berani melukai famili raja di kampung ini?!"


Pada keesokan harinya pagi-pagi datanglah dubalang Tuanku Laras, memanggil Midun ke rumah orang tu anya. Midun didapatinya sedang makan. Dubalang b erkata, "Midu n, Tuanku Laras memanggil engkau sekarang juga!" "Baiklah, Mamak, say a suda h dulu makan," jawab Midun. "Berhenti makan! Beliau menyuruh lekas datang!" ujar dubalang dengan hardiknya. , Dengan ter gopoh-gopoh M idun mencuci tan gan, lalu berangkat ke kantor Tuanku Laras. "Tunggu," kata dubalang pula, "engkau mesti dibelenggu, karena begitu perintah saya terima." "Apakah kesalahan saya, maka dibele nggu macam se orang perampok, Mamak!" kata Midun. "Saya tidak tahu, di sana nanti jawab," ujar dubalang. Midun amat heran, apa sebabnya ia dibelenggu itu. Pikirannya berkacau, karena ia tidak tahu akan kesalahannya. Dengan tangan dibelenggu, ia diiringkan dubalang melalui pasar. Sangat malu Midun, tak ada ubahnya se bagai seorang y ang ber salah besar. Tetapi apa hendak dibu at, terpaksa mesti menurut. Bermacam-macam t imbul pi kirannya sepanjang j alan ke kant or Tuanku La ras. Ke mudian ma klum juga ia, bahwa yang menyebabkan ia dipanggil itu, tak dapat tiada perkara Pak Inuh kemarin. Karena lain daripada itu Midun merasa dirinya t idak bersalah. M aka tet aplah pik irannya, bahwa i a difitnahkan orang. Mengerti pula ia masa itu, apa sebabnya ia dibelen ggu dan dikerasi. Tentu Pak I nuh luk a itu diambilnya j adi senjata untuk memfitnahkan. Ketika itu terbayang kepada Midun orang yang empun ya perbuat an itu. Maka terkenanglah ia ak an pemandangan Kacak yang berarti dahulu. "Tidak men gapa," kata Midun dalam hatinya. "Asal Tuanku Laras sudi mendengar keterangan saya, tentu beliau insaf, bahwa saya berbuat baik . Dan pasti beliau ak an memuji saya, karena pekerjaan saya itu menjaga keamanan negeri." Midun berbesar hati, lalu berjalan dengan senangnya. Tidak terasa Iagi oleh Midun tangann ya dibelen ggu, sebab pekerjaannya kemarin itu baik semata-mata. Orang di pa sar heran melihat Midun dibelenggu . Mereka takjub mel ihat Midun sebagai pen curi tertangkap, padahal ia seor ang alim dan berbudi. Seorang bertanya kepada seorang, akan hal Midun dibawa dubalang itu . Ada satu-dua oran g berkata bahw a Midun dipanggil, berhubung dengan pe nangkapan Pak Inu h kemarin.


tetapi p erkataan itu di sangkal o rang p ula men gatakan, baha sa hal itu tidak boleh jadi, kare na perbuatan M idun kemarin mendatangkan kebaik an. Kalau karena perkara P ak Inuh tentu ia tidak d ibelenggu. Be rmacam-macam per sangkaan or ang tentang Midu n dibelenggu itu. Karen a itu banyak orang yang mengiringkannya ke k antor Tu anku Laras, in gin tahu apa sebabnya Midun dipanggil itu. Ayah bunda Midun amat gusar melihat kedatangan dubalang dan anaknya dibelenggu itu. Lebi h-lebih ibu Midun , hampir ia berteriak menangis, karena amat sedih hatinya melihat anak kesayangannya itu dibelenggu se bagai seoran g per ampok baru tertangkap. Untunglah Pak Mid un lekas menyabarkannya, dan menerangkan a pa s ebabnya Mi dun dipanggil itu. Pak Midun mengerti apa yang dip anggilkan Tuanku Laras kepada anaknya. Lain tidak tentang perkara Pa k Inuh ditangkap Midun kemarin itu. Tetapi ia amat heran, karena an aknya dibelenggu dengan kekerasan. Dengan terge sa-gesa Pak Midun mak an. Setelah itu ia pun pergi ke kantor Tuanku Laras menden garkan perkara anaknya. Di jalan Pak Midun sebagai orang bingung saj a, pikirannya melayang entah ke mana. Jika i a dit egur oran g hendak bert anyakan hal anaknya, seol ah-olah t idak terdengar olehnya, karena kepalanya penuh dengan pikiran. Waktu Midun hampir sampai di kantor, dari j auh sudah kelihatan olehnya Tuanku Laras berdiri di beranda kantor. Setelah dekat Midun tidak b erani melihat muk a Tuanku Lar as, k arena dilihatnya Tuanku Laras sebaga i orang hendak marah. Dengan suara menggelegar sebab menahan marah, Tu anku Laras be rkata, "Awak yang bernama Midun?" "Hamba, Tuanku," jawab Midun. "Masuk ke dalam," kata Tuanku Laras dengan hardiknya. Setelah Midun masuk ke dalam, oran g lain disuruh pergi. Maka Tuanku Laras bertanya p ula dengan marahn ya, "Berani benar rupanya awak memukul orang gila, sampai luka-luka. Apa yang awak sakitkan hat i kepada P ak Inuh yang tak sempu rna akal itu? Kurang ajar betul awak, ya kerbau!" "Bukannya demik ian, Tuanku!" jawab Midun. Lalu diceritakanlah oleh Midun dari bermula sampai pengh abisan kejadian kemarin itu. Tetapi Tuanku Laras sedikit pun t idak mengindahkan pe rkataan Mid un. Jang ankan Tuanku Laras reda marahnya, melainkan bertamba h-tambah. Midun menundukkan kepala saja, karena Tuanku La ras me maki di a de ngan tid ak


berhenti-henti. Setelah puas Tuanku Lara s berkata, m aka Midun m enjawab pula dengan sabar, katan ya, "L uka Pak Inuh itu karena beliau jatuh sendiri. Sekali-kali tida k hamba yang melukai beliau, Tuanku. J ika tidak ad a h amba ke marin, entah be rapa bangk ai bergulingan, karena beliau meme gang senjata. Jika Tuanku kurang per caya ata s kete rangan h amba itu, c obalah Tuanku tanyakan ke pada orang l ain. Tetap i jika ha mba b ersalah berbuat demikian, ampunilah kiranya hamba, Tuanku." Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku Laras sedik it. Tetapi kare na pengaduan Kacak termasuk benar ke dalam hatinya, lalu ia be rkata, " Sebetulnya awak mesti diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kant or Tuan Assist ent Resident Fort de Kock). Tetapi sekali in i say a maafkan. Sebagai ajaran supaya jangan te rbiasa, aw ak dapat hukuman ena m hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari. Sudah meny abit ru mput, awak beke rja di kant or ini dan jag a malam." Midun berdiam diri saja mend engar putusan itu . Ia tak berani menjawab l agi, sebab d ilihatnya Tuanku Laras marah. Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini hamba jalani hukuman itu, Tuanku?" "Ya, boleh, hari ini mul ai, " uj ar Tuanku Laras dengan sungutnya. Midun segera ke luar, lalu dice ritakannya kepada ay ahnya, apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yan g diterimany a. Mendengar putusan itu, l apang ju ga dada P ak Midun, karena anaknya tid ak masuk prose s perb al dan tidak dibawa ke Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Teri malah dengan sabar, Midun! Asal di kampung ini, ap a pun juga m acam hukuman tidak mengapa. Besar h ati saya en gkau tidak dibawa ke Bukittinggi. Tetapi t idak patu t engk au menerima hukuman, karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik, tetapi hukuman yang diterima ; apa boleh buat. Bukankah Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini." Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya. Tetapi orang yang mengiringkannya be rsungut-sungut semuanya mendengar putusan itu. Midun teru s pulang mengambil sabit dan rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya, akan bert anyakan perk aranya dipanggil itu. Midun menerangkan, bahwa ia dihukum enam hari karena menangkap dan


melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midun sudah patut, sebab ia meluk ai orang. Tet api s egala orang yang mendengar menggigit bibi r, ka rena pada pik iran mereka itu, tak patut Midun dihuku m. Mereka itu berkata dalam hati, "Tidak adil! Untung luka sedikit, sebetulnya harus dibunuh serigala itu. Kalau t ak ada Mid un, barangkali banj ir darah di pasar ke marin. Kurang t imbangan, t entu beliau mendengar asutan orang." Banyak orang kampung itu yang suka menggantikan hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit ru mput sepuluh rajut seh ari dan menjaga kant or siang-malam, asal Midun dilepaskan. Tetapi permintaan me reka itu sama s ekali d itolak oleh Midun. Katanya, "Siapa ya ng beru tang dial ah yang membayar, dan s iapa yang ber salah di a me nerima hukuman. Saya yang bersal ah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu mustahil. Biarlah saya dihukum, tak usah dit olong. Atas keikhlasan hati sanak-sau dara itu, say a ucapk an terima kasih banyak-banyak." Sesudah M idun menyabit rumput, lal u bekerja lain pula. Membersihkan kandang k uda, mencabut rumput di halaman kantor. Hab is sebu ah, sebuah lagi dengan tid ak berhentihentinya. Segala pekerj aan itu di mandori oleh Kac ak. Ada-a da saja yang disuruhkan Kacak. Se hari-harian itu Midun tak menghentikan tan gan. Untuk membuat rokok saja, h ampir t ak sempat. J ika M idun berh enti se bentar karena lelah, Kacak sudah menghardik, ditambah p ula dengan pe rkataan y ang sangat kasar. Mengambil air ma ndi dan mencuci kakus, Midun juga disuruhnya. Pada malam hari Midun tak dapat sedikit juga menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang memeriksa Midun berjaga atau tidaknya. Demikianlah penanggun gan Mid un dari sehari k e sehari. Dengan sabar dan tulus, hal itu dideritanya. Apa saja yan g disuruhkan Kacak, ditu rut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. S iang bekerja keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi bekerja. Dal am t iga har i saja, M idun tak tegap d an subur itu sudah agak kurus dan pucat. Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat rupa Midun y ang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu


tidak menjadi apa-apa. Ia, selalu memohonkan rah mat Tuhan, agar kekuat annya bert ambah, sampai kepada hukumannya habis dijalan inya. Dipoh onkannya pula, moga- moga hati K acak disabarkan Allah daripada meng aniaya sesama makhluk. Bila ibunya menangis mel ihat dia, Midun berkata, "S abarlah, Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih da ripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi atas diri k ita tak boleh disesali, karen a perbuatan itu sama h alnya dengan mengumpat Tuhan jua. Oleh karena itu, senangkanlah hati Ibu , takkan apa-apa. Tuhan ada beserta hamba. Hamba pucat d an kurus ini, karena baru bekerja berat. Hal ini bukankah baik untuk pelajaran hidup, Ibu!" Pada h ari yang kelima M idun hampir-hampir tak berdaya lagi. Ketik a ia membaw a rumput ke kandang kuda, lalu jatuh tersungkur. Kacak melompat, lalu berkata sambil memukul, "Inilah balasan engkau melukai mamakku. Rasai oleh mu sekarang! Jangan pura-pura jatuh, bangun apa tidak!?" Par! Pukulan Kacak tiba di.punggung Midun. Midun hampir gelap pemandangannya. Kalau tidak lekas ia menyabarkan hatinya, tak dapat t iada sabitnya masuk perut Kacak. Dengan perlahan-lahan ia ban gun, lalu berk ata, "J anganlah terlalu amat menyiksa say a, Engku Muda! Kesalahan saya tidak seberapa, t idak be rpadanan dengan siksaan yang saya tanggung. Saya lihat Engku Muda seperti membalaskan dendam. Apakah d osa say a kepa da En gku Mu da? Terangk anlah, kalau nyata saya bersalah, ap a pun juga hukuman yang Engku jatuhkan, saya terima." "Memang en gkau mu suhku, jahanam!" ujar Kacak dengan bengis. "Engkaulah yang meng asut orang benci kepadaku . Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!" Dengan m arah amat sangat Mi dun dipukul, ditinju dan diterajangkan o leh Kacak. Di balaskannya sakit h atinya yang selama ini. Untunglah hal itu le kas dilihat Tuanku Laras dari beranda k antor. Tuank u Laras segera memisahkan, dan berkata, "Hendak membunuh orang engkau, Kacak?" Mendengar suara itu, baru Kacak berhenti daripada memukul Midun. Jika tak ada Tuanku Laras, entah apa jadinya. Boleh jadi Midun membalas, bo leh jadi pula Midun binasa, sebab sudah tidak berdaya lagi. Pada keesokan harinya, Midun ja tuh sakit. Hari itu ia tidak


kuat lagi me nyabit rump ut. Pa gi-pagi benar Pak Midun telah pergi menggantikan an aknya menyabit rumput. Belum lagi matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke kandang ku da. Kemudian ia pergi kepada Tu anku Lar as menerangkan, bahwa an aknya sak it keras. Ia m emohonkan hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru saja Tuanku Lar as akan m enjawab, Haji Abbas data ng pula ke kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit. Maka Tuanku Lar as berk ata, katanya, "Karena per mintaan Haji, saya ampuni Midun . Tetapi say a harap an ak itu diajar sedikit, jangan sampai begitu kurang ajar. Terlalu, ya, sungguh terlalu, mel ukai orang g ila. O rang yang tak sempurna ak al, tentu tidak mengert i apa-apa. Kalau dilawan, ten tu kita j adi gila juga." Haji Abbas dan P ak Mi dun d iam saj a mendengar perkataan itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih atas ampunan yang dilimpahkan kepada Mi dun i tu. Di j alan sampai pula ng, keduany a tid ak ber cakap-cakap sepatah jua pun. Mereka tahu ba hwa perkat aan Tuanku Lar as itu kepadanyalah tujuannya. Karena itu amat pedih hati mereka, padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan, mereka bert entangan dengan raj a di kampung itu. Setelah sampai di rumah, lama mer eka itu duduk berpandan gpandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata H aji Abbas telah berleleran di pipiny a. T idak lam a anta ranya, Haji Abbas berkat a, "Apamukah yang sakit, Nak? Apak ah sebabnya maka engkau sakit ini?" Dengan perl ahan-lahan Midun menj awab,"... Bapak...! Karena bekerja terlalu berat. Ka lau saya tahu akan begini, mau saya dibawa ke B ukittinggi da ripada d ihukum di s ini. K acak rupanya musuh dalam sel imut bagiku. Entah apa dibencikannya, tiadalah saya t ahu. Malah sepe rti orang melepaskan sakit hati ia ru panya. Tetapi saya belum merasa ber salah kep ada Kacak. Tak boleh jadi k arena saya melukai P ak Inuh, Kacak menyiksa say a. Seakan-ak an sudah l ama ia menaruh dendam kepada say a. Biarlah, Bapak, karena ti ap-tiap sesuatu itu dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan kepada Y ang Mahaku asa. Peny akit say a ini tidakl ah membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan


senang." Lama Haj i Abbas termen ung memikirkan perkataan Midun itu. Kemud ian ia berkat a kepa da Pak Midun, kat anya, "Anak kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang, karena tin gkah lakunya tidak senonoh. Tidak ada ubahny a sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya, orang la in in i binat ang saja pa da pemandangannya. Boleh j adi ia sakit h ati, karena Midu n ba nyak sa habat k enalannya. S iapa tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbu atan Kacak. Tetapi itu menurut persangk aan saya saj a. Tentu dengan gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras yang akan dipanggakkannya* (Dimegahkannya) ." "Benar pe rkataan Bapak itu," ujar Midun pula. "Saya ras a begitulah. W aktu berdua belas di masjid dahulu, sudah sal ah juga pengl ihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan bertimbun-timbun d i hadapan saya, tampak kebenciannya kepada saya. Be gitu pula ketika ia salah meny abut raga y ang saya berikan kepadanya, say a hendak ditinjunya. Dan dalam mengirik baru-baru ini, makin nyata juga i ri hatinya itu. Sejak itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia meludah-ludah dan muram saja mukanya." "Boleh j adi," kata P ak Mi dun, "dubalang Lingkik ada mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di sawah Midun. Lebih-lebih meliha t orang di sawah itu bergurau senda, marah ia rupanya." "Nah, s ebab itu ingatlah e ngkau yang akan datan g, Midun!" ujar Haji Abbas. "Dia itu keme nakan raja kit a. Tiba di pe rut dikempiskannya, tiba di mata dipej amkannya. Insafl ah engkau akan perbuat anmu yang sudah it u. Sama sek ali or ang me muji perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman." Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit. Badannya se gar, kemb ali bagai s emula. Sejak itu Midun tidak kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia pergi. Sedan gkan rokok, ibunya saja yang m embelikan d ia d i pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun setiap hari. Pulang dari hum a, ia menge rjakan pekerjaan tangan. Sekali-sek ali ia menolon g adiknya m enggembalakan ternak.


5. Berkelahi

SEKALI per istiwa p ada suatu pe tang Midun pergi ke sungai hendak man di. Tidak jauh ke sebel ah hulu, tepian mandi perempuan. Pada m asa it u amat bany ak oran g ma ndi, baik d i tepian perempuan, baik pun di tepian laki-laki. M ereka mandi sambil bersenda gurau. Ada yang berketimbung sambil tertawa gelak-gelak. B ermacam-macam tingkahnya, menurut kesukaan masing-masing. Sekonyon g-konyong datanglah air besar dari hulu. Sangat deras air mengalir, karen a hujan lebar di mudik . Batu yang besar-besar, pohon-po hon kayu dan lain-lain banyak dihanyutkan air. Mereka yang mandi pada kedua tepian itu berlompatan ke darat. S angat k etakutan me reka itu rupanya. Masing-masing men olong diri se ndiri-sendiri. Ad a yang jau h juga d ibawa a ir, te tapi d apat melepaskan di ri. Tetapi ya ng mandi jauh k e tengah, apalagi tak pandai berenang, tak dap at tiada bin asalah. Sibuk or ang di tepian, ada yan g me mekik sebab nger i, ada pul a yan g be rteriak menyuruh kawan segera ke darat. Bunyi air yang deras itu sangat menakutkan. Tiba-tiba kedengaran teriak orang mengatakan, "Tolong, tol ong! Katij ah hanyut! Katijah hanyut!" Tidak lama kelihatan rambut seorang perempuan d i d alam air. Timbul-tenggelam dibawa air. Midun ketika itu ada pula di sana, tetapi ia sudah mandi dan hendak berangkat pulang. Banyak oran g lari ke hilir akan men olong yang hanyut itu. Segala orang di p asar be rlarian, dahu lu-mendahului akan melihat atau menolong yang hanyut . Mereka tanya-be rtanya siapa yang hanyut itu. Katijah, yaitu nama perempuan yang hanyut itu, ialah istri Kacak yang baru dua bu lan dikawininya. Banyak sungguh orang berdiri di tepi sungai. Orang itu semuanya hanya kadar melihat yang hany ut saja. Seorang pun tak ada yan g berani menolong. Mereka takut dirinya akan binasa, sebab air terlalu deras. Di dalam orang banyak itu Midun serta pula melihat. K asihan benar ia melih at jiw a perempuan yang terancam itu. K arena dil ihatnya ti dak seorang juga y ang hendak menolong. Midun bersiap, hendak terjun. Pakaiannya ditanggalkannya, hingga tingga l cel ana pendek saj a lagi. Dengan tidak berpikir lagi, Midun lari ke hilir dan melompat ke dalam sung ai. Am at suka r ia akan mencapai perempuan itu,


karena air makin de ras. Kayu-kayu besar yang h anyut sangat mengalangi Midun akan mencapai Katijah. Setelah ia dekat kepada perempuan yang hendak ditolongnya itu, terpaksa pula Midun meny elam, karen a beberapa alangan. D engan su sah payah d apat juga d itangkapnya pinggang K atijah, lalu berhanyut-hanyut ke hilir sambil menepi sungai. D engan cara demikian d apatlah Midun mencapai d aratan. S ampai d i darat dipegangnya kaki perempuan itu lalu dipertunggan gnya* (Kaki ke at as kepala ke bawah) , agar keluar air yang terminum oleh perempuan itu. Katijah sudah pingsan, tidak tahu akan diri lagi. Kain di badan tak ada, telanjang bulat. Maka datan glah oran g berlari-lari membawa kain untu k Katijah. Bersama itu pula Kaca k deng an dua oran g kawannya. Di belakang itu orang ban yak ya ng ingin melihat kejadian itu, bagaimana k esudahannya. Midun be rusaha se dapat-dapatnya supaya K atijah yang pin gsan itu siuman akan d irinya. Setelah orang b anyak datan g, maka K atijah diserahkan oleh Midun kepada p erempuan, supaya dibel a dan diber i pak aian. K acak masam saja mukanya mel ihat Midun. Jangankan minta terima kasih, melainkan panas hatinya kepada Midun. Benar, sepatutnya ia minta syukur istrinya telah ditolong. Tetapi apakah sebabnya maka si Midun, oran g yang sangat dibencinya itu pula yang menolongnya. Lebih panas lagi h atinya ket ika diketahu inya istrinya itu dalam bertelanjang pul a. Maka tidak tertahan panas hatinya lagi, l alu iapun be rkata, "Midun, ad akah dihalalkan dalam agama bahw a orang l aki-laki itu boleh menyentuh kulit perempuan orang lain?" Orang banyak sangat heran dan amat sakit h atinya mendengar perk ataan Kac ak i tu. Ja ngankan ia minta t erima kasih atas kebaktian Midun, malaha n perkataannya sangat melukai hati orang. Midun sendiri takju b dan tercengang, karena tidak disangkanya perkataan macam itu akan keluar dari mulut Kacak. Maka Midun menjawab, katanya, "Engku Muda, saya menolong k arena Allah. Jika Engku Mu da hendak bertanyakan terlarang atau tidaknya dalam agama, me mang hal itu tersuruh, tak ada l arangannya. Ji ka tidak ada saya, barangk ali istri Engku berkubur di dalam sungai ini." "Kurang ajar, berani engk au berkata b egitu kepadaku?" ujar Kacak dengan marah. "Engkau kira saya in i patun g saja, t idak tahu men olong ist ri dalam ba haya? Lancang benar mulutnya menghinakan daku, seorang kemenak an Tuanku Laras, di muka


khalayak seb anyak ini. H endak engkau rasai pulak ah tangank u sekali lagi?" "Saya maklu m Engku Muda keme nakan Tuanku Laras," ujar Midun dengan sabar. "Saya pun tidak menghinakan Engku Muda, karena perkataan saya itu sebenar-benarnya. Tadi setelah say a lihat tidak seoran g jua yang ak an menolong, saya terus saja terjun ke ai r akan membela i stri Engk u. Saya harap janganl ah Engku terlalu benar men gatakan oran g 'kurang aj ar' sebelu m dipikirkan lebih dahulu." "Jika bena r engkau s aya katak an kurang aj ar, a pa pikiranmu, anjing!" ujar Kaca k den gan sangat marah. "Akan saya sembahkah engkau hendaknya, binatang!" Kacak melompat hendak menyerang Midun, tetapi ditahan orang, lalu disabark an. Makin disabarkan, mak in jadi, dipe rkitar-kitarkannya oran g yang me megang di a. Or ang bany ak berkerumun melihat pert engkaran Kacak dengan Midun. Midun tidak da pat la gi menahan h ati. Apalagi mend engar perkata an "binatang" da n "anjing" itu di muka or ang banyak. A da jug a i a hendak menyabarkan hatinya, tetapi t iada dapat. M aka ia pun berkata, " Lepaskanlah, Saudar a-saudara, tak us ah dis abarkan lagi! S anak saudara sek alianlah y ang akan menj adi saksiku kelak, bahwa saya dal am hal ini tidak bersalah. Terlalu benar, sementang kemenakan Tuanku Laras. Datan gilah Kacak, lepaskan dendammu! Menanti atau mendatang?" Orang banyak rupanya menanti perk ataan Midun saja lagi. Memang orang sang at be nci kepa da K acak yan g s ombong itu. Mereka telah berjanji dengan dirinya ma sing-masing, apa pun akan terjad i lamun ia te tap akan me njadi s aksi Midun kelak. Kacak segera dilepaskan orang dan melapangkan tempat untuk berkelahi. Dalam perk elahian itu, sekali pun tidak dapat K acak mengenai Midun. Tiap- tiap Kacak menyerang selalu jatuh tersungkur. Kacak hanya berani membabi buta s aja, mukanya berlumur darah. Midun sekali pun t idak mengenai Kacak. Kacak tersungkur k arena deras datang yang selalu dielak kan Midun. Sedapat-dapatnya Midun menah an hatinya akan melekatkan tangan kepada Kacak. Kacak pay ah, akan lari malu, orang satu pun tiada yang men olong. Akan minta ampun lebih malu l agi, namanya an ak laki-laki. Ia hampir t idak berg aya lagi. Maka katanya, "Tolonglah saya, kawan! jasamu tidak akan saya lupakan. Engkau biarkan sajakah saya seorang?" Teman Ka cak yang du a orang tad i maju ke ten gah, lalu


berkata, "Ini dia lawanmu Midun, tahanlah!" Maun melompat lalu berkata, "Satu lawan satu. Engkau berdua. Sama menolong teman, di sini juga begitu." "Engkau jangan campu r, Maun!" ujar Midun. "Biark an saya sendiri, biarpun sepuluh orang. Kal au saya kena atau mat i baru engkau tunt utkan balas. Adat laki-l aki berpanj ang minta tolong. Cobakanlah beranimu!" Maun mengu ndurkan diri mendengar perkataan sah abatnya itu. I a tiada berani membantah, sebab Maun sudah tahu sejak dari kecil akan t abiat Midun. Midun sekaran g melepas kekuatannya. Dalam se saat saja kedua orang itu jat uh. Mereka kedua tak dapat bangun lagi karena tepat benar kenanya. Melihat hal itu, Kacak melompat m enyerang d engan p isau. Kacak te rjatuh pula, tidak dapa t bangun lagi. Ketika ia mencoba hendak bangkit pula, du balang Lingk ik datang dan menangkap pisau di tangan Kacak, lalu berkata, "Sa bar, Engku Muda, malu kita kepada orang." Dubalang Lingkik datang itu bersama dengan Penghulu Kepala. Midu n, Kacak, d an dua oran g temanny a dibaw a ke kantor Tuanku Laras. Kacak di papah orang seb ab sudah payah dan kesakitan, dan muk anya su dah b ersimbah darah. O rang banyak yang melihat perk elahian itu dibawa se muanya sebagai saksi. Di mu ka Tuanku Laras, dubalang Lingk ik menerangkan dengan sebenarnya. Dikatakanny a, bahwa pisau it u ditangkapnya di tangan Kacak. Dan dika takannya pula Kacak melawan Midun tiga orang dengan t emannya. Kemudian Midun dan Kacak ditanyai pul a oleh Tu anku Laras. Saksi -saksi dipan ggil semuanya, lalu ditany ai. Dengan berani, mereka itu menerangkan dari awal sampai ke akhir peristiwa itu. Meskipun Kacak kemenakan Tuanku Laras, tetapi semu a berpihak kepada Midun. Setelah sudah pemerik saan it u, Midun disuruh pulang. begitu pula segala sak si-saksi semuanya pulang. Tu anku Laras mengatakan, bahwa bila nant i d ipanggil mesti dat ang sekaliannya. Tuanku Laras berk ata kepada Penghu lu Kepala, k atanya, "Perkara in i saya pulan gkan kepada Penghulu Kepala dan kerapatan penghulu. Kurang pant as dan tidak laik rupanya, kalau saya y ang memerik sa. Sungguhpun demik ian, Penghulu Kepala tentu maklum." "Baiklah Tuanku; " jawab Penghulu Kepala. "Insya Allah akan saya per iksa dengan sep atutnya, hingga menyen angkan hati


Tuanku." Tiga hari kemudian daripada itu, Midun dipanggil Penghulu hepala. Kacak dan saksi-saksi p un dipanggil semua. Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan pergi pula akan men dengarkan putusan itu. Orang bany ak pula dat ang ak an mendengarkan. Perkara Midu n itu diperik sa oleh kerapatan di kampung itu, yang dikepal ai oleh P enghulu Ke pala sebagai ketu anya. Mulamula Midun ditanya, setelah itu Kacak. Kemudian segala saksisaksi y ang h adir dalam perkelahian it u. Setelah diperbin cangkan panjang lebar, maka perkara itu diputuskan oleh Penghulu Kepala. Midu n harus ronda kamp ung setiap malam, lamanya enam h ari. Midun diper salahkan membalas den dam kep ada Kacak, karena kedua orang itu telah lama bercedera. Setelah perk ara itu d iputuskan, Haj i Abbas pun b erdatang kata, katany a, "Penghulu Kepala dan kerapat an yang hadir! Karena pe rkara ini su dah diputuskan , saya sebagai guru d an bapak Midun, mohon bicara sepatah kata. Saya amat bersenang hati at as pu tusan itu, k arena Midun membela jiwa seoran g perempuan, sekarang ia dihukum harus ronda malam enam hari. Hukuman yang diput uskan itu memang seadil-adilnya dan telah pada t empatnya pula. Sa ya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Kerapatan dan kepada Penghulu Kepala." Kerapatan it u diam, seorang pun t ak ada yang menjawab perkataan Haji Abb as ya ng amat d alam art inya i tu. Mereka berpandang-pandangan s eorang akan seor ang, te tapi tak ada yang berani menjawab. Demik ianlah h alnya sampai kerapat an itu disudahi dan orang pulang semua. Sampai di ru mah Midun, Haji Abbas berkata, " Pak Midun, oran g rup anya henda k mencelakakan anak kita. Kita yang tua harus ingat-ingat dalam hal ini. H al ini ti dak b oleh ki ta permudah- mudah saja l agi. Orang lain sudah campur dalam perkara Midun den gan Ka cak. Asal kita ikh tiarkan, k alau akan b inasa juga apa boleh buat. Maklumlah Pak Midun?" ' "Saya kurang mengerti akan ujud perkataan Haj i itu," jawab Pak Midun dengan heran. "Sudah setua ini P ak Midun, belum t ahu juga akan ujud putusan itu," ujar Haji Abbas. "Kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka. A nak kita m asa ini d alam bahaya. Kit a harus beringat-ingat benar." "Bahaya apa pula yang ak an datang ke pada Midun," jawab Pak Midun. "Bukankah perkaranya sudah diputuskan?"


Dengan perlahan-lahan Haji Abbas berkata, "Rapat itu tidak dapat menghukum Midun dengan huk uman y ang l ebih berat, karena saksi semu a berpihak dan mempertahankan Midun. Sebab itu M idun disuruh ronda malam saja. D i dal am Midun ronda itu, tentu orang dapat men celakakan Midun, supaya ia mendapat hukuman yang berat, mengerti Pak Midun?" "Amboi!" kata Pak M idun sambil menarik napas. Ia insaf dan tahu sekarang, bahwa Midun dalam bahaya. "Pendekar S utan," kata Haji Abbas pula. "Dalam enam malam ini hendaklah engkau dengan mur id-muridmu dan temanmu semua menemani Midun ronda malam di kampung ini. Hati-hati engkau jangan orang dapat membinasakan anak kit a. Saya harap dalam enam hari ini jangan ada terj adi apa-apa di kampung." "Kamu, Midun," kata Haji Abbas men ghadapkan perkataannya kepada M idun. "Kalau ada temanmu yang seh ati dengan engk au, bawalah ia akan ka wan pergi r onda. Say a sendiri den gan ayah mu akan menolong engkau seda patdapatnya." Setelah mereka itu berteguh-teguh janji, maka pulanglah ke rumah masing-masing. M idun pun pergi men cari k awan, akan teman pergi ronda. Pendekar Sutan dengan teman dan muridnya 20 orang dan Midun dengan kawan-kawannya ada pula 12 or ang. M ereka itu mufakat, b agaimana h arus m enjalankan ronda itu, dan menet apkan tanda-t anda kalau ada sesuatu bahaya bertemu. Setelah sudah, mereka itu semuanya mulailah menjalankan ronda. Lima malam telah lalu a dalah selamat saja, tidak kurang suatu ap a-apa. Ketig a ba pak Midun d engan tem annya, ingat benar menjaga keselamatan di kampu ng itu dalam lima malam yang sudah. Midun sendiri seba gai ketua dari kaw an-kawannya, membagi-bagi r onda itu b erempat-berempat. Sek arang tin ggal lagi malam yang penghabisan. Mereka sekarang h arus i ngatingat ben ar, karena i a m erasa bahw a mala m itu s eakan-akan ada bah aya yang akan d atang. Midun meng atur dengan ba ik, bagaimana harus melakukan ronda malam itu. Demikian pu la Pendekar Sutan dengan anak muridnya. Midun dan Maun malam itu tidak bercerai. Keduanya lengkap dengan senjata, mana yang perlu. Kira-kira pukul tiga malam, Mi dun ronda melalui rumah istri Kacak. Tiba-tiba Midun berhenti karena men dengar sesuatu


bunyi di rumah Kacak. Midun terkenang akan nasihat bapaknya, bagaimana melihat orang dalam malam yang gelap. Maka ia pun merebahkan diri dan men angkup, lalu melihat arah ke rumah Kacak. D i halaman rumah keliha tan oleh Midun sesuatu sosok tubuh; dan ada pula seorang sedang membuka pintu rumah. Tak jauh di halaman tampak pula seoran g lagi. Dengan perlahan-lahan Midun berkata ke pada Maun, "Mali ng. Perg ilah panggil Bapak Pendekar dan kawa n-kawan, supay a dapat kita mengepung. Masih ada w aktu, di a baru mulai membuka pintu. Ingatlah, segala pekerjaan ini harus dilakukan dengan perlahanlahan benar, supaya kita jangan diketahuinya." Dengan tidak menyahut sepata h jua, Maun pergilah. Tidak lama antaranya datangl ah Pendekar Sutan dengan Maun. Pekerjaan itu dilakukan dengan diam-diam dan hati-hati benar. Midun bertanya dengan berbisik, "Sudahkah siap, Bapak?" "Sudah," ujar Pendekar Sutan. "Pada keliling rumah ini, agak jauh sedikit, orang sudah bersiap. Sudah saya perint ahkan mengepung rumah, takkan dapat maling melarikan diri. Mereka itu hanya menanti perintah kita saja. Sudah saya kat akan kepadanya, siapa yang lari, pukul saja." Dengan sabar, Midun dan kawan-kawannya menantikan maling itu k e luar, supaya dapat t anda buktinya apabila d itangkap. Sudah di mufakati, bahwa yan g akan menyerang i alah Midun dan Pendekar Sutan. Maun siap akan membela, manakala di antara mereka kedua ada yang kena dalam perkelahian itu. Ada sej am k emudian, keluarlah mal ing itu, sam bil mem ikul barang cu riannya. Ketika hendak turun janjang, kakinya tergelincir, l alu ia jatuh , pukulan Midun tiba di kepalanya. Dengan segera mal ing itu bangun sambil mencabut pisau hendak membalas. Tetapi Midun segera mendahului, memukul, dengan gada sekali lagi. Pukulan itu tepat kena pada kenin g maling itu, l alu terjatuh tidak be rgerak lagi. Ketika itu Maun telah ada pada sisinya, lalu berk ata, "Biarkanlah orang ini saya ikat dengan tali. Yang seoran g lagi dapat saya pu kul, tetapi karena kurang tepat, masih kuat ia melarikan diri. Pergilah tolong Mamak Pendekar, beliau sudah bergumul dengan maling itu. Ny ata ke dengaran p ada saya, bah wa o rang itu belum tertangkap." Dengan tidak berkata sep atah jua, Midun melom pat pergi mendapatkan Pendekar S utan. Didapatinya maling itu sudah pingsan te rhantar di tan ah. Pe ndekar Sutan kena pisau pada


pangkal lengannya. Untung tidak berat lukanya. "Dalam luka Bapak?" ujar Midun dengan cemas. "Tidak," jawab Pendekar Sutan. "Waktu saya menangkapnya, kaki saya terperosok ke d alam lubang tempat orang memeram pisang. Ketika itulah saya kena ditikamnya. Untung dapat juga saya menangkis, kalau tidak te ntu tepat kena say a, dan hanya bangkai yang akan engkau dapati di sini. Engkau bagaimana?" "Selamat," ujar Midun," orang itu sudah diikat Maun. Marilah kita ikat pula orang ini." "Yang satu l agi ke mana?" ujar Pendekar Sutan. Bukankah engkau mengatakan mereka tiga orang banyaknya?" "Biarlah, Bapak," kata M idun pula. "Asal yang dua in i dapat, 'sudahlah. Tentu ia sudah mela rikan diri. Ia ada juga kena dipukul oleh Maun. Besok tak dapat tiada y ang l ari itu akan tertangkap juga, asal yang dua i ni dipak sa menyuruh menunjukkan temannya yang seorang itu. Sungguhpun demikian, boleh jadi ia sudah ditangkap kawan-kawan." Haji Abbas, karena suraunya berdekatan dengan rumah istri Kacak, mendengar perk elahian itu, m emang H aji Abbas tid ak tidur se malam-malaman i tu, me ndengar kalau-kal au ada yang terjadi atau orang memanggil dia. I a sege ra tur un dengan melalui jendela surau. Tiba-tib a terasa olehnya s eakan-akan ada orang ya ng hendak b ertumbuk de ngan di a. De ngan tid ak berpikir lagi . Haji Abb as me mainkan kakinya, orang itu berteriak, "Saya Kacak, mengapa dipukul, aduh...!" Mendengar suara itu, Haji Abbas menghilang di dalam gelap. Akan kedua maling itu s udah diik at, lalu diirin gkan mereka beramai-ramai ke rumah Penghulu Kepala. Barang-baran g curian itu d ibawa Maun se muanya. Maklumlah anak mudamuda, tentu mereka t ak kurang mel ekatkan tangan kepada maling itu, hingga sampai ke rumah Penghulu Kepala. Ketika itu hari sudah lewat pukul e mpat pagi. Karena Penghulu Kepala di rumah istrinya yang seorang lagi, lalu dibawa kedua maling itu ke rumah Tuanku Laras. Biasanya p ada tiap-tiap kampun g yang di bawah pemerintahan Tuanku Lara s itu, di adakan orang tongton g. Tongtong itu digantungkan pada tiap-tiap rumah jaga, dan dijagai oleh dua orang sekura ng-kurangnya. Manakala ada bahaya, baru tongtong itu boleh dibunyikan, misalnya kebakaran, k emalingan, dan lain -lain y ang semacam itu. P ada tiap-tiap bah aya, berla in-lainan c ara oran g me mbunyikannya.


Yang lazim, jika kebak aran teru s-menerus saja buny i tongt ong itu. Kalau kemalin gan, lain la gi macam bunyinya. Pada mala m kemalingan di ru mah Kacak itu, amat sibuk buny i tongt ong. Bersahut-sahutan kampun g yang sebu ah dengan kampung lain, akan me mberitahukan b ahwa ada b ahaya. Mendengar bunyi tongtong itu, oran g maklum suda h, bahaya apa y ang terjadi. Masa itu mana yang berani, berlompatan turun ke halaman dengan senj atanya. Mereka itu terus lari ke rumah jaga menanyakan di mana k emalingan. Tetapi s i pe nakut me mperbaiki s elimutnya, a da pula yang bangun memeriksa pintu, dan ada pula yang duduk saja ketakutan di dalam rumahnya. Demikian pul a halnya Tu anku Laras. Ketika ia mendengar bunyi tongtong itu, ia t erkejut lalu bangun. Tuanku Laras amat heran mendengar bunyi tongtong, karena sudah hampir 5 tahun sampai wakt u itu, belum pernah ada bahaya yan g terjadi di kampung itu , pada pikir annya, "Tak dapat tiad a ada oran g maling menj arah dari negeri lain ke kampung in i. Atau boleh jadi... Tetapi mengapa Penghulu Kepala pul ang ke ru mah istrinya di kampung lain?" Maka i a pu n seger a memakai b aju mala m, d iambilnya terkul. Ia terjun ke halaman, diiringkan oleh dua orang dubalang. Tiada jauh Tu anku La ras berjalan, sudah kelihatan olehnya suluh berpuluh-puluh buah. Di muka tampak dua orang yang sudah terikat, dan di belakang amat banyak oran g mengiringkannya. Mereka itu semu a menuju ke ru mah Tuanku Laras. Den gan sege ra seorang du balang di suruh Tuanku L aras membawa maling itu ke kantornya. Kedua mal ing itu tidak dapat ditany ai malam itu, karena berlumur darah dan letih. Baru saja sampai di be randa kantor mereka pingsan t idak sadark an d iri lag i. Ti ap-tiap orang sepanjang jalan mengirimkan sepak terjang kepada mal ing itu. Orang bany ak itu disuru h pulang ole h Tuanku L aras semua. Pendekar Su tan, Maun, dan Mi dun dipanggil ke dalam oleh Tuanku Laras. "Di mana kamu tangkap maling ini?" ujar Tuanku Laras. Midun lalu menerangkan bahwa kemalingan itu di ru mah Engku Muda Kacak. Segala tanda bukti diperlihatkannya semua. Kemudian d iceritakannya, ba gaimana c aranya menangkap maling itu sejak dari bermula sampai tertangk ap. Pendekar Sutan luka t idak dikatakan Mid un. M endengar cerita M idun, Tuanku Laras mengan gguk-anggukkan kepala saja. T etapi pada


mukanya nyata ada sesuatu yang terpikir dalam hat inya. Setelah habi s Midun berce rita, Tuanku Laras be rtanya, "Kacak ada di rumah istrinya?" "Tidak, Tu anku!" jawab Midun. "Menurut keterangan istrinya, ia pulang ke rumah istrinya yang lain. Tetapi ke rumah istri beliau yang mana, tidaklah hamba tahu." Baru saja h abis Midun berkata, Pen ghulu Kepala datang dengan teren gah-engah. R upanya Penghulu Kepala berlari dari rumah i strinya di ka mpung la in, k arena mendengar bunyi tongtong. Setelah Iepas lelahnya, maka Tuanku Laras dibaw a Penghulu Kepala bercakap ke dala m sebuah bilik kantor itu. Kira-kira setengah ja m, baru keduan ya keluar de ngan muk a masam. Mak a Tuanku La ras berkat a, "Midun! Kar ena kedua orang mal ing ini masih pingsan, belu m boleh ditanyai, kamu boleh pulan g saj a dah ulu. Na nti bilamana saya panggil, hendaklah segera engkau datang." ' "Baiklah, Tu anku, kam i mohon m inta izin," uja r M idun dengan hormatnya. Sampai d i rumah, Mid un mencer itakan kepad a ayah bundanya kejadian pada malam itu. Ibu bapak Midun berbesar hati dan meminta syukur kepada Tuh an seru seka lian alam, karena an aknya Ada selamat s aja, te rhindar d aripada bah aya. Tetapi dalam hati Midu n timbul suatu perasaan yang ganjil, ketika ia me ngenangkan perkat aan Tuanku Laras menanyakan Kacak dan k etika P enghulu Kepala membawa Tuanku Laras bercakap ke dalam bilik. Sebab itu ia ingin hendak menget ahui bagaimana k esudahan pemerik saan perkara itu. Pak Midun mengangguk-anggukkan kepala saj a. Ia telah maklum selukbeluk perbuatan orang hendak mencelakakan anaknya. Apalagi kabar yan g dikatakan Haji Abb as den gan rah asia kepadanya, tentang kejadian malam itu, makin meneguhkan kepercay aannya. Ngeri P ak Midun memikirkan, j ika an aknya dapat bahay a pula. Tetapi senang pula hatinya, karen a hal yang sangat mengerikan itu sekarang sudah terlepas. Ketika Mi dun, ayah bund a, dan adik-adiknya sudah mak an pagi itu, kedengaran orang batuk di halaman. Orang yang batuk itu ialah Haj i Abbas; ia naik ke rumah. Setelah Haji Abbas duduk, kopi dan pengan an pun dihidangkan oleh ibu Midun. Tidak l ama kemudian H aji Abbas berkata, "Mak lumlah Pak Midun sek arang, apa ujud oran g menghukum Midun enam hari


itu?" Sedang Pak Midun mengangguk-an ggukkan kepala, menyatakan kebenaran perkataan Haji Abbas, Pendekar Sutan dan Maun naik pula ke ru mah. Baru saja Pendekar S utan duduk, Haji A bbas b erkata sambil tersenyum dan menyin dir, "M idun, saya dengar kabar bap akmu kena tika m semalam. Hampir saja kita berkabung hari ini. Waktu saya mendengar kabar itu, saya menyangka t entu Midun terburai perut nya kena pisau. Sedang bapaknya yang sudah termasyhur p endekar la gi ke na, b ahkan pula anaknya. Kiranya terbalik , anak selamat tet api bapak... Ah, sungguh tak ada pendekar yang tidak bulus." "Benar," ujar Pak Midun pula sambil tersenyum menyela perkataan Haji Abbas akan mengganggu Pendekar Sutan. "Agakny a langkah Pen dekar Sutan sumbang malam t adi. Yang patut langkah maj u, mundur ke belakang. Dan boleh jadi juga terlampau tinggi membuang tangan, ketika itu pisau bersarang ke rusuk Pendekar Sutan." Seisi rumah riuh tertaw a, tetapi Pen dekar Sutan merah mukanya me ndengar s indiran me reka berdua. Ia pun berkata, "Mengatakan saja me mang gampan g. Jika Haji at au Pak Midun sebagai saya semalam, baran gkali berbunyi cacing gelanggelang di perut ketakutan, setidak-tidaknya putih tapak melarikan diri. Sebabnya, pertama orang y ang b ertentangan dengan saya itu tidak s embarang orang, saya kenal benar akan dia. Kedua, kaki saya terperosok masuk lubang, dalam pada itu tikaman bert ubi-tubi pula datang nya. Ketiga, hari gelap amat sangat, sedikit saja salah menangkis, celaka diri. Keempat, pikiran tak pula se nang, memikirkan anak sedang berkelahi. Biarpun Midun pendekar, begitu pula Maun, keduanya masih muda-muda, belum tahu tipu muslih at perkelahian. Lagi pula maling itu siap dengan alat senjatanya, t etapi kita tidak demikian benar." Mendengar perkataan Pendekar Sutan, mereka k eduanya berdiam diri, lalu Haji Abbas be rkata, "Berbahay a juga kalau begitu? Cobalah ceritak an, su paya kam i dengar. Siapa dan bagaimana orang yang berkelahi dengan Pendekar itu." "Untung dia dengan say a bertentan gan," ujar Pendekar Sutan memul ai ceritanya. "Orang itu ialah Ma Atang, seorang perampok, p enyamun, pe maling, ya, seorang p embatak yan g amat jahat. Nama Ma Atang telah dikenali orang di mana-mana sebab kejahatannya. Keberaniannya dan ketangkasan Ma Atang


pun sudah termasyhur. Ia sudah tiga kali dibuang menjadi orang rantai. Ketiga kal i pembuang annya itu ialah perkara pembunuhan dan perampokan di Palembayan dahulu. Sungguhpun demikian, perangainya y ang jahat it u tidak juga berubah. Macam-macam kat a orang tentang ke beranian Ma Atang. Ad a yang meng atakan i a keba l, tida k luput oleh senjat a. Ada yang mengatakan, kepandaiannya bersilat sebagai terbang di udar a. Bahkan ada pula or ang yang men gatakan, b ahwa ia t ahu halimunan. Hati s iapa tak kan kecut, s iapa yan g tak kan genta r berhadapan dengan orang m acam it u. Apal agi h atinya h ati binatang, tidak menaru h kasi h me sra kep ada sesa manya manusia. As al ak an b eroleh u ang, apa saja mau ia mengerjakannya. Nyawa oran g di pandangnya sebagai nyawa ayam saja. Untung juga saya mengetahui Ma Atang itu setel ah hadir di kantor Tuanku Laras. Jika sebelum itu saya mengetahui Ma Atan g, boleh jadi bergoyan g iman saya, dan saya bina sa olehnya. Semalam, ke tika saya m endekati akan me mukul ke pala M a Atang itu, terinjak olehku ranting kayu . Bunyi itu didengarnya, lalu ia berbal ik. Saat itu saya pergun akan, saya gada mukanya. Dengan tangkas ia mengelak, dicabutnya pisau dari pi nggangnya. Hal itu tam pak te rbayang kepa daku. Saya t angkis p isau itu, lalu kami pun bergu mul. Dalam perkelahian itu saya selalu maju d an merapatkan d iri, sebab ia berpisau dan hari gel ap. Sedikit pun t ak saya be ri kese mpatan ia menikam. Ma At ang dapat saya tangkap, dan saya em paskan ke po hon ka yu. Jangankan i a terempa s, melainkan se akanakan ta k menjejak tanah ia ru panya. Sebagai kilat ce pat Mak At ang berb alik menikam saya. Ketika saya menyalahkan tikaman itu, kaki saya terperosok masuk lubang pemeram pisang... pangkal lengan saya pun kena. Waktu itu belum terasa apa-apa oleh saya kena pisau. Saya tarik kaki saya kuat-kuat, lalu saya menidurkan diri, tetapi siap menanti. De ngan mu slihat itu, pad a pikir an M a Atang te pat saja ken a tik amannya. Dengan amuk sambil lari, diulangnya menikam saya sekali lagi. Masa itulah ia dapat saya kenai; tepat benar k aki saya mengenai...—maaf, ibu Midun— kemaluannya. Ia pun jatuh pi ngsan, Midun su dah dat ang mengikatnya." Segala isi ru mah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan. Lebih-lebih ibu Midun, sebentar -sebentar ia menjerit. Maklumlah seisi rumah itu sekarang, bagaimana ke adaan Pendekar


Sutan malam itu. Sebab it u Haji Abbas dan Pak Midun tidak lagi memperolok-olokkan adiknya. Kemud ian Haji Abbas be rtanya pula, "Engkau bagaimana pula lagi dengan musuhmu, Midun?" "Bagi saya mudah saj a, Bapak, " ujar Midun. "Ketika Bapak Pendekar dan Maun datang, kami mu fakat lalu b erbagi-bagi. Yang di jalan bagian Maun , yang di p intu gapura bagian Bapak Pendekar Su tan, dan yang ma suk ru mah b agian saya. M aun kami larang menyeran g, supaya dapat men olong kami, kalau ada yang kena. Sungguhpu n demikian ia selalu siap. Saya t ahu, bahwa jarak maling itu dengan temannya berjauhan. Saya pun merangkak k e tangga, di pintu tempat ia masuk. K arena anak tangga itu betung, dengan mudah saya buka anaknya sebuah. Saya pun berdiam d iri de kat tang ga it u men antikan dia turun. Tidak lama, maling itu turun sambil memikul barang curiannya. Waktu ia turun semata anak tang ga, kakinya tergelincir, jatuh ke bawah. Ketika itulah saya gada kepalanya sekuat-kuat tenaga saya. Saya sangk a tentu ia terus pingsan. Tetapi tidak, ia bergerak lagi hendak menyeran g saya. Saya pukul lagi mukanya, ia pun pingsan tak sadarkan dirinya." Setelah tamat pula cerita Midun, Haji Abbas bertanya pula, "Engkau bagaimana pula dengan musuhmu, Maun?" "Saya tid ak menyerang, melainkan b erdiam dir i saja dek at jalan," ujar Maun. "Waktu sa ya mendenga r M amak Pendeka r Sutan berkel ahi, tiba-tib a saya bertumbuk den gan se seorang yang rupanya hendak melarikan diri. D engan segera saya pukul akan d ia. En tah kepala, entah punggungnya yang kena, saya tidak tahu. Tetapi dia t erus juga lar i. Kalau saya kejar tentu dapat, tetapi saya tidak menepati janji. Lagi pula saya takut akan digada teman-teman yang sudah berkeliling mengepung rumah itu. Saya segera mendapatkan Midu n, dan dia saya suruh menolong Mamak Pendek ar. Maling yang dipukul Midun itu lalu saya ikat." Haji Abbas mengangguk-anggukkan kepala, t erkenang kepada Kacak yang mengaduh kena kakinya se malam itu. Menurut pikiran Haji Abbas, ta k d apat tiada orang yang lar i dipukul Maun dan yang kena sepa knya itu, ialah Kacak. Setelah adik-adik Midun disuruh pergi bermain, lalu Haji Abbas berkata, "Midun dan Maun, cerit a bapak mu t adi banyak yang patut engkau ambil jadi teladan. Demikianl ah hendakny a mu slihat jika berkelahi dengan orang yang memegang pisau. Dal am


perkelahian yang tidak memak ai pisau pun, ada ju ga tipunya. Misalnya mengumpan oran g dengan pura-pura meny umbangkan langkah. Tet api manak ala dala m per kelahian ban yak, artinya engkau se orang dipe rsama-samakan orang, jang an sekali-k ali maju. Hendaklah engkau selalu mengundurkan diri, sambil menangkis serangan oran g. Dan kal au dapat, carilah tempat vang tiga persegi, yang dinamakan orang: kandang sudut. Di tempat itu, sukarlah orang mengenai kita." Maka Haji Abbas menerangkan dengan panjang lebar, bagaimana tipu muslihat dalam perkelahian kepada Midun dan Maun. Untuk menjadi mi sal, Ha ji Abba s me nceritakan k eadaannya dengan Pak Midun semasa muda. Ke mudian Haji Abbas menyambung perkataannya, "Rupanya waktu Ma Atang berkelahi dengan Pen dekar Sutan , nyata ba hwa Ma At ang hendak membunuh lawannya ben ar. Jika saya tidak salah tampa, tak dapat t iada Pendekar Su tan disangk anya Midun. Orang yang dipukul Maun itu, pada h emat saya tentu Kacak. S udah dapat pukulan dar i Maun, dapat bagian pula dari saya. Te tapi K acak sekali-kali tidak tahu, bahwa sayalah yang bertemu dengan dia. Ingatlah, hal ini haru s dirahasiakan benar-benar. Cu kuplah kita yang enam orang in i saja men getahuinya. Perk ara Midun ini rupanya su dah dicampur i orang tu a-tua. Sebab itu jika kuran g hati-hati, tentu kita cel aka. Ki ta ini hanya orang biasa saj a, tetapi Kacak kemenakan Tuanku Laras. Yang ak an datang, hendaklah engkau in gat-ingat benar dalam hal apa juapun, Midun. Ingat sebelum ken a, hemat sebelum habis, jerat serupa dengan jerami." "Baiklah, Ba pak," ujar Mid un. "Hingga i ni ke atas saya akan berhati-hati benar. Dalam pada itu jik a sudah saya ikhtiarkan, tetapi dat ang juga bencana atas diri saya, ap a boleh buat, Bapak." Dari sehari k e sehari Midun menanti panggilan tidak juga datang. Habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan, Midun tidak j uga dipanggil akan diperiksa tentang maling yang ditangkapnya itu. Ada yang mengat akan, bahwa malin g itu sudah dikirim ke Bukittinggi. Setengahnya pul a berk ata, "Sungguh amat ajaib perkara ini. Semalam kemalingan di rumah istri Kacak, besoknya Kacak j atuh sakit. Pada hal Kacak tidak ada di ruma h is trinya ma lam kema lingan i tu. Da n la gi perka ra itu didiamkan saja, seolah-olah ada berudang di balik batu. Jangan-jangan pencurian itu ada bertali dengan sesuatu hal


yang muskil, yang tidak diketahui orang." Demikianlah perkara itu: terapung tak hanyut, terendam tak basah, h ingga sampai Ka cak sembuh, Midun b elum juga terpanggi


6. Pasar Malam

MATAHARI telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, meninggalkan cahaya yang mera h ku ning laksan a emas baru disepuh dip inggir langit di p ihak barat. Burung-burung beterbangan pulang ke sarangnya. Den gan ter gesa-gesa s ambil berkotek me manggil an ak, inasuk lah ayam ke dalam kandang, karena h ari t elah samar muka. Cengk erik mulai berbunyi bersahut-sahutan, menyatakan bahwa hari sudah senjakala. Ketika itu sunyi sen yap, seorang pun tak ada kelihatan orang di jalan. Di jembatan pada sebuah kampung, kelihatan tiga orang duduk berjuntai. M ereka duduk seakan- akan ada suatu r ahasia yan g dimufakatkannya, yang tid ak boleh sed ikit juga did engar orang lain. Sambil melihat ke sana kemari, kalau-kalau ,ida orang lalu lintas, mereka itu mulai bercakap-cakap. "Sebulan lagi ada pacu an kuda dan pasar malam di Bukittinggi," kata seorang di anta ra mereka itu yang tidak lain dari K acak memulai p ercakapannya. "Saat itulah yang seb aikbaiknya bag i kita akan mem balaskan dendamku sela ma ini kepada Midun. Tak dapat tiada tentu Midun pergi pula melihat keramaian it u. Oran g kampung tel ah tahu semua, bahwa say a bermusuh dengan dia. Jadi kala u dia saya bin asakan di sin i, malu awak kepada orang. Tentu orang kampung sy ak wasangka kepada saya saja, kalau ada apa-apa kejadian atas diri Midun. Lagi pula ia tak pernah keluar, hingga sukar akan rnengenalnya. Oleh sebab itu telah bulat pi kiran saya, bahwa hanya di Bukittinggilah dapat me mbinasakannya. Bag aimanakah piki ran Lenggang? Sukakah Lenggang menolong saya dalam hal ini? Budi dan cerih Lenggang it u, insya Allah takkan saya lu pakan. Bila yang di maksud sam pai, saya berj anji akan me mberi se suatu yang menyenangkan hati Lenggang." "Cita-cita En gku M uda itu mu dah-mudahan sampai, " jawab Lenggang, sambil mel ihat keliling, takut kalau-kalau ada orang mendengar. "Kami berdua berjanj i menol ong Engku Muda sedapat-dapatnya. Jik a t ak samp ai y ang dimaksu d, tidakl ah kami kembali pulang. Tidak lalu dendang di dar at kami layerkan, tak dapat dengan yang lahir, dengan bat in kami perdayakan. Sebab itu apa yang kami kerjakan di Bukittinggi, sekali-kali jangan Engku Muda campu ri, supay a Engku jangan


terbawa-bawa. Biarkanlah kami berdu a, dan dengar saja oleh Engku Muda bagaimana k ejadiannya. Ada du a jalan yang harus kami kerjakan. Tetapi... maklumlah, Engku Muda, tentu dengan biaya. L ain daripada itu ing atlah, E ngku-Muda, rahasia ini hanya kita bertiga saj a hendaknya yang tahu. Pandai-pandai Engku Muda menyimpan, sebab hal ini tidak dapat dipermudah, karena perkara jiwa." "Seharusnya saya yan g a kan berkata begitu," ujar Kac ak sambil men geluarkan uan g kertas Rp 25,- dari koceknya, lalu diberikannya kepada Lenggang. "Bukankah Tuan-tuan membel a saya, masak an saya buk akan rahasia ini. Biar apa pun akan terjadi atas diri Lenggang kedua, jang an sekali-kali nama saya disebut-sebut. Saya ucapkan, mo ga-moga ya ng di maksud sampai, karena bukan main sak it hatiku kepada Midun, anak si peladang j ahanam itu. Jika dia sudah luput dari dunia ini, barulah sen ang hati saya. Sekara ng baik kit a be rcerai-cerai dulu, karena kalau terlalu lama bercakap-cakap, jangan-jangan dilihat orang." Setelah ketiganya bertegu h-teguhan janji bahwa rahasia itu akan dibawa mati, mak a mereka pun pulang ke ru mah masingmasing. Lenggang dengan temanny a san gat bersuka hat i mendapat uang itu. Gelak mereka ter bahak-bahak, lenggangnya mak in jadi, tak ubah sebagai namanya pul a. Bahaya apa yang akan menimpa mereka kelak, sedikit pun tidak dipedulikan Lenggang. Memang Lenggang sudah biasa menerima upah semacam itu. Pekerjaan itu sudah biasa dil akukannya. Sudah banya k ia meng aniaya o rang, satu pun tak ada or ang yang tahu. P andai benar ia me nyimpan rahasia dan melakukan penganiayaan itu. Jik a a da yang menaruh dendam kepada seseorang, dengan uang seringgit atau lima rup iah saja, telah dapat Lenggang d isuruh akan membinasakan or ang itu. Pekerjaan it u dipandangnya mudah saja, karena sudah biasa. Akan membinasakan Midun itu, tidak usah ia berpikir panjang, karena h al itu gampan g saj a pada pikirannya. Hanya yang dipikirkan Lenggang, tentu ia mendapat upah amat banyak dari Kacak, jik a yang dimaksudny a sa mpai. Kacak seorang kaya , sedangkan b agi per mintaan yang per tama diberin ya Rp 25,padahal belum apa- apa lagi. Ak an mengambil jiwa Midun , seorang yang boleh dikatakan ma sih kanak-kanak, tak usah dihiraukannya. Dua pekan la gi ak an di adakan pa cuan kuda di Bukittinggi.


Tetapi sekali ini pacuan kuda itu akan diramaikan dengan pasar malam lebih dahulu. Kabar pasar malam di Bukittinggi itu sudah tersiar ke mana-mana d i tana h Min angkabau. H al itu sudah menjadi buah tutur orang . Di mana-m ana orang mempercakapkannya, kare na pas ar mal am baru sekali itu akan diadakan di Bukittinggi. Demikian pula Midun, yang pada masa itu sedang duduk-duduk di surau menanti waktu asar bersama Maun, pasar malam itulah yang selalu diperbincangkan. "Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali in i, Maun," kata Midun memulai percakapan itu. "Kabarnya 'alat'* ( Maksudnya pacuan kuda) sekali in i ak an sang at ra mai s ekali, sebab di sertai dengan p asar mal am. Di dalam pa sar malam itu, o rang mempertunjukkan berbagai-bagai kera jinan, ternak, h asil tan ah, dan lain-lain sebagainya. Segala pert unjukan itu, mana yan g bagus diberi hadiah. Per mainan-permainan tentu tidak pul a kurang. Tak inginkah Mau n pergi ke Bukittinggi? Saya berhaj at benar hendak melih at keramaian se kali ini. K epada ayah saya sudah minta izin. Tetapi hati be liau a gak berat melepas saya, berhubung dengan Kacak yang selalu mengin tai hendak menerkam mangsanya. Sungguhpun demik ian, beliau izink an juga, asal saya ingat-ingat menjaga diri." "Memang saya ingin pergi ke Bukittinggi," ujar Maun, "Sejak kecil belum pernah say a meliha t p asar mala m. B agi say a tak ada alangan apa-apa. Per kara K acak yang engk au k atakan itu, saya jug a m erasa khawa tir. I a selalu mengint ai-intai, M idun! Kepada saya sendiri, kal au bertemu agak lain pandangnya, tetapi t idak saya pedu likan. Kemarin, waktu kita pergi sembahyang Jumat, ad a kita be rjumpa deng an seorang yang belum pernah bertemu, apalagi dikenal. Oran g it u saya lih at memandang kepada kita dengan tajam. Sudah kenalkah engKau kepada orang itu? Bukankah engkau ada ditegurnya?" "Tidak, sekali-kali tidak, saya heran karena saya dit egurnya dengan sopan benar, padahal ia belum saya kenal i. Saya rasa tentu ia tidak orang j ahat, sebab ada juga sembahyang. Tetapi waktu kita bertemu dengan dia kemarin, darah saya berdebar. Entah apa sebabnya tidaklah saya tahu. Malam tadi tak senang sedikit juga hati saya. Ada say a tanyakan ke pada Bapak Pendekar akan orang itu. Bapak Pendekar menerangkan, bahwa orang itu bu kanlah orang kampung sini. Tetapi beliau kenal namanya dipanggilkan orang Lenggang. Dahulu memang dia seorang jah at, pemaling dan pe ncuri. Kedatangannya kemari


tidak beliau ketahui. Beliau ka takan pula, bahwa Lenggang itu acap kali kelihatan pergi k e rumah famili Tuanku Laras. Karena itu, menuru t tilikan beliau, Lenggang tentu sudah. baik sekarang, apalagi telah sembahyang. Kalau tidak, tentu ia tidak berani menampakkan diri ke rumah Tuanku Laras. Sungguhpun demikian, beliau suruh saya hati-hati juga menjaga diri, jangan lengah sedikit juga. Musuh dalam selimut, kata beliau." "Perasaan saya pun begitu, Midun. Lain perasaan saya waktu melihat oran g itu kemarin. Unt ung beliau telah maklum. Say a sudah berniat juga hendak mengatak annya kepadamu. Sudah jauh kita di amat-amatinya juga ngeri saya melihat rupanya, bengis dan menakutkan su ngguh. Ingat-ingat, Midun! Kita harus hati-hati, supaya jangan binasa." "Yang sejengkal itu tak mau ja di sedepa, kawan! T ak usah kita hawat irkan benar h al itu. Syak wasan gka dan cemburu yang berlebi h-lebihan me rusakkan p ikiran dan me mbinasakan diri. Jika n asib kit a akan dapat malapetaka, apa boleh buat. Bukankah tiap-tiap sesuatu dengan takdir Tuhan." "Jadi rupanya Midun menanti takdir saja, dan bila takdir itu datang, sudahlah." "Sebenarnya, kawan! Tetapi en gkau jangan pula salah pengertian. Bukan maksud saya be rserah diri saja sebab takdir, sekalikili t idak. Kita dijadi kan Tuhan dan di beri p ikiran secukupnya. Dengan pik iran itulah k ita men imbang man a yan g baik untuk keselamatan diri kit a. Buka nkah segal a dua dijad ikan Allah? Pilihlah dengan pikira n itu mana yang akan dikerjakan. Kita waj ib mengusahakan diri agar terhind ar dari bencana dunia ini. Bilamana ikhti ar su dah dij alankan, d an kita dap at malapetaka j uga, itulah y ang dn amakan nasib. Dan kalau kita sekarang sekonyong-konyong kena tombak misalnya, padah al tidak disen gaja, itulah yang di katakan oran g takdir. Mengertikah engkau, Maun? Jadi tentu saja kita harus horh ati-hati. Jika dapat dihindarkan, ba ik kita hin darkan, supaya jangan dapat bahaya. Tetapi bila ter sesak padan g ke rimb a, ter hentak ruas ke buku, apa boleh buat, wajib kita membela diri." "Sekarang m engerti s aya maksud mu itu. Nah, bilakah kita berangkat? Tak perlukah kita membawa apa-apa untuk dijual di kota akan belanja selama di sana?" "Tiga hari pasar malam akan di mulai, kita berangkat dar i sini." "Uang simpananku ada R p 25 ,-. Kamu adakah menyimpan


uang?" "Ada, saya r asa h anya sebanyak uan g si mpananmu pula agaknya." "Mari kit a pe rniagakan u ang it u! Saya dengar k abar, lada dan telur amat mahal sekarang di Bukittinggi. Untungnya itulah untuk belanja. Lain daripada itu kita tolong pul a menjualkan lada ibu." Pada tepi jal an di pasar k ampung itu kelihatan lada, ayam, dan lain-la in seba gainya. Dua oran g muda memuat bar angbarang itu k e dalam ped ati. Se telah selesai, Midu n dan Mau n pun bersal am dengan ay ah-bunda masing- masing, yang ketika itu ada pula di sana menolong memuat barang itu ke dalam pedati. Mereka kedua minta izin, lalu bersiap ak an berangkat. Ketika Midun bersalam minta ma af kepada ibunya, lama benar tangannya maka dilepask an ibuny a. Amat ber at hati ibu itu melepas anaknya ke Bukittinggi . Sungguhpun Buk ittinggi tidak berapa jauh dari kampun gnya, te tapi tak ubah h al ibu Midun sebagai seorang yang he ndak melep as anaknya be rjalan jauh. Amat lain perasaannya, takut kal au-kalau an aknya dapat bahaya. R asa-rasa tampak kepada ibu itu bah aya yang ak an menimpa an aknya, karen a Midun dimusuhi orang. Tetapi ia terpaksa harus melepas Midun, anak yang sangat dikasihiny a itu. Maka berangkatlah Midun dan Maun menumpang pedati yang membawa barang-barangnya itu. Dari ka mpungnya ke Bukittinggi adalah semalam perj alanan dengan pedati. Ia berangkat p ada pet ang hari Jumat. Pagi-pagi hari Sabtu, sebelum matahari terbit, sudah sa mpai di Bukittinggi. Di dalam perjalanan keduanya adalah selamat saja. ` Belum tinggi matahari terbit , baran g-barang yang dibaw anya diborong oleh orang Cina dengan harga Rp 160,-. Setelah itu keduanya pergi makan ke sebuah lepau nasi dan menghitung laba masing- masing. Barang yang ber pokok Rp 50,- dijual Rp 100,- dan beruntung Rp 50,-. Pe njualan lain kepun yaan ibunya Rp 60,- ' di simpan mer eka uang nya. S etelah dipotong biaya, lalu dibaginy a dua keunt ungan itu, y aitu Rp 20,-, seorang. Sesudah makan, Midun berkata, "Sungguh bukan sedikit untung kita, Maun! Patutlah Datuk Palindih lekas benar kayanya. Belum lama ia j adi saudagar, su dah ba nyak i a memb eli s awah. Uang yang diperniagak annya pun tida k sedikit, k arena berpuluh pedati ia membawa b arang-barang yang tel ah dibel inya.


Maukah Maun berniaga pula nanti?" "Baik, saya pun amat su ka berniaga," jawab Mau n. "Jika pandai menjalankan perniagaan, memang lekas benar naiknya. Tapi jatuhny a mudah pul a. Lihatl ah Baginda Sutan itu! Dari sekaya-kayanya, jatuh jadi se miskin-miskinnya. Sekarang pikirannya tidak sempurna lagi." "Benar katamu itu. Karena Baginda Sutan sangat tamak akan uang dan sangat kikir pu la, ia dihukum Tuhan. Boleh jadi ia berniaga terl ampau bany ak mengambil untung, lalu dimurkai Allah. Kekikirannya jangan dikata lagi. Bajunya baju hitam yang sudah berk ilat lehernya, karena tidak bercuci. Baunya pun tidak terperikan busukny a. Uang seduit dibalik-baliknya dulu baru dibelanjakan." Maka mereka pun menanyakan kepada orang lepau itu, agar mereka ked ua diizink an bermala m di sana s elama a da keramaian. Bagi orang lepau itu, k arena d ilihatnya Midun d an Maun orang baik-baik, tiadalah menjadi halangan mereka kedua menumpang di lepau itu. Setelah itu M idun dan Maun berjalan akan melihat-lihat keramaian "p asar malam". Pad a kir i kana n jalan dekat lepau itu sampai ke pintu gerban g dihiasi den gan pelbagai sulur-suluran dan hung a-bungaan. Bergelung-gelung amat indah-indah rupany a. Pada tiap -tiap rumah sepanjang jalan, berkibaran bendera si tiga warna. Dari jauh sudah kelihatan pintu gerbang pasar malam itu. Tin ggi d i at as puncaknya t erpancang bendera Belanda yang amat besar, berombak-ombak ditiup angin. Tonggak pintu gerbang itu dililit dengan k ain yang berwarna-warna. Pelbagai bun ga-bungaan bersusun amat beraturan, menyedapkan pemandangan. Midun dan M aun sampai di pint u gerbang itu. Dengan heran inereka mel ihat keindahannya. Agak k e sebel ah dalam sedikit ada sebu ah rumah yang amat kukuh, bangun rumah itu tak ubah dengan balairung sari bu atan o rang Minan gkabau za man dahulu. Sungguh tertarik hati melihat bangun rumah itu. Atapnya dari ijuk, be rdinding papan beru kir. Di tengah-tengah bal ai itu ada se buah pintu ma suk yang am at b esar. Jika orang hendak melihat pasar malam, harus melalui pintu bal ai itu. Di atas pintu agak s ebelah ata s, ada kepala kerbau yang bertanduk. Kepala kerbau itu ialah menjadi su atu tanda kebesaran orang Minangkabau. Konon kabarnya, menurut cerita orang: pada z aman dahulu


kala orang Jawa datang ke Minangkabau akan menyerang negeri itu. Melihat kedatangan oran g Jaw a yang sangat banyak itu, orang Minan gkabau khaw atir, takut akan kalah perang. Oleh sebab itu, dicarinya akal akan menghindarkan bahaya itu. Maka dikirimnya s eorang utus an ol eh raja Minang kabau ke pada panglima perang orang Jawa itu membawa kabar, mengatakan: bahwa jika b erperang tentu akan men gorbankan ji wa manu sia saja. Oleh karena itu, dimintanya berperang itu dihabisi dengan jalan men gadu kerbau saja. Manak ala kerbau orang Minan gkabau kalah, negeri itu akan diserahkan kepada orang Jawa. Tetapi kalau men ang, segala kapal-kapal dengan muat annya harus diser ahkan kepada orang Minangkabau. Permintaan itu dikabulkan oleh or ang Jawa de ngan segala suk a h ati. Mak a dicarinya seekor kerbau yang am at besar. Tet api o rang Minangkabau mencari seekor anak kerbau yang sudah tiga hari tidak diberinya menyusu. Pada moncong an ak kerbau itu diberinya be rminang yan g amat t ajam. Setelah datang h ari yang ditentukan hadirlah rakyat kedua kerajaan itu. Ketika orang Jaw a melihat an ak kerbau oran g Minangkab au, merek a tertawa den gan ri angnya. Pasti kep ada mer eka it u, bahwa ia akan menang. Tetapi setelah kedua kerbau itu dilepask an ke tengah gel anggang, anak kerbau itu pun berlari-lari k epada kerbau besar orang Jawa itu, hendak menyusu... sehingga perut kerbau itu tembus oleh min ang yang lekat di monc ongnya. Kerbau orang J awa itu mati, m aka menanglah k erbau orang Minangkabau itu. Demikianlah ceri tanya. Benar tidaknya cerita itu, wallahu alam. Balai itu dih iasi den gan a mat ba gus d an indahnya. Di atas balai itu kelihatan beberapa orang engku-engku berdiri. Ketika Midu n tercengan g-cengang memperhat ikan pintu gerbang itu, tampak olehnya huruf yang dibuat dengan air mas. Huruf itu terletak pada t engah-tengah gaba-g aba. Sedang Midun melih at-lihat, dat ang seorang dekat pad anya. Midun menyangka tentu anak itu murid sekolah, lalu bertany a, "Buyung, apakah bunyi bacaan yang tertulis pada gaba-gaba itu?" Anak itu pun berkata, katanya, "Pasar Malam." Midun me minta teri ma k asih kepad a anak itu, k emudian berkata kep ada Maun. "Jika orang h endak ma suk ke dalam rupanya membayar. M ari kit a be li pula yang seperti dibaw a orang itu, kita masuk ke dalam!"


Sesudah membeli karcis, lalu ke duanya masuk. Belum lagi sampai ke tengah, mereka amat heran melihat kebagusan pasar malam itu. Pondok-pondok berdiri dengan amat teratur. Los-los pasar dihiasi dengan bermacam -macam bunga. Midun pergi melihat-lihat keadaan di pasar itu. M ula-mula dilihatnya pada sebuah pon dok seorang perempu an menenun kain. Midun sangat heran mel ihat bagaiman a cekatannya perempuan itu bertenun. Setelah lama diperhat ikan, ia pun meneruskan perjalanannya pula melihat yang lain-lain, misalnya, cara menanam tumbuh-tumbu han yang subur, pemel iharaan ternak yang baik dan lain-lain sebagainya. Segala yang dilihat Midun di dalam pasar mal am itu , dipe rhatikannya sun gguhsungguh. Setelah petang hari, baru mereka pulang ke lepau nasi. Ketik a ia melalui sebuah los dek at pi ntu kelu ar, kedengaran olehnya orang berseru-seru, katanya, "Lihatlah peruntungan, Saudarasaudara! Bai k atau tidak nya nasib k elak, dapat dinyatakan dengan mengangkat batu ini!" Midun dan Maun tertarik benar hatinya hendak melihat, lalu mereka pergi ke tempat itu. Midun melihat sebu ah batu yang besar be rtepikan suasa. Batu itu telah tua benar rupanya. Agaknya sudah berabad-abad umurnya. Tidak jauh daripada itu ada pul a te rletak sebu ah pedupaan (peras apan). Berti mbun kemenyan y ang dit aruhkan or ang di sana. Mak a b ertanyalah Midun kepada oran g yang berseru itu, katanya, "Batu apa in i, Mamak? Bag aimanakah, maka kita dapat menent ukan nasib kelak dengan batu ini?" "Batu ini ialah batu keramat, pusaka dari Raj a Pagaruyung yang telah berabad-abad lamany a," jawab oran g itu. "Jik a orang muda dapat mengangkat batu in i sampai ke a tas kepala, tandanya orang muda akan berbahagia kelak. Teta pi bila tidak dapat, boleh saya pastikan, bahwa nasib orang muda tidak baik akhir kelakn ya. Dan barang si apa y ang tidak p ercaya akan perkataan saya, tentu ia dikutuki batu keramat ini." Midun dan Maun amat takjub mendengar perkat aan orang itu. Karena ia seorang al im pula, bersalahan sungguh pendapat orang ini dengan ilmu pengetahuann ya. Pikirnya, "Ini tent u suatu t ipu u ntuk pengisi kantung saja. Mengapak ah hal y ang semacam ini kalau dibiarkan saja oleh pemerint ah? Bukankah hal ini bersalahan dengan ilmu pengetahuan dan agama? Orang ini bar angkali tidak ber agama, karena batu disangk anya dapat menentukan buruk baik untung orang."


Berkacau-balau pikir an Mi dun tentang batu yang dikatakan keramat itu. Tetapi ia tidak be rani mengeluarkan perasaannya, karena takut kepada orang banyak yang mengelilinginya. Tibatiba datang seorang, lalu membak ar kemenyan se besar ibu jari pada pedupaan. Ketika ia membakar kemenyan, lalu memohonkan rah mat kepada hatu itu, mo ga-moga ba ik na sibnya kelak. Kemudian i a me masukkan uang sebenggol ke dalam t abung yang sud ah t ersedia. Sa mbil m emperbaiki s ikap dan me mbaca bismillah, maka diangkatnyalah batu it u perlahan-lahan, sebab takut akan ketulahan. Telah mengalir peluh di badan orang itu, jangankan t erangkat be rgerak pun tidak batu itu. Dengan bersedih hat i dan muka yang suram, berjalanlah ia, tidak menoleh-noleh ke belakang. Midun berb isik kepada Maun, "Bersedih hati benar r upanya orang itu, k arena batu in i tidak terangkat olehnya. Kepercayaannya penuh, bahwa batu keramat. Tentu saja tidak terangkat olehnya batu sebesar ini, karena ia sudah tua. Sungguh kasihan dan boleh jadi ia menyesali hidupnya dan sesalan itu boleh menimbulkan pikiran, hendak membinasakan diri, karen a sangkanya, daripada hidup seng sara kelak, lebih baik mat i sekarang. Berbahaya benar, tidak patut hal ini dibiarkan." Maun menarik napas, lalu berkata perlah an-lahan, "Sungguh, amat banyak orang sesat , karena kebodoh an dan kepercayaan yang bukan-bukan. Janganlah kita bicarakan juga hal in i. J ika terdengar ol eh yang pun ya dan oleh orang-orang yang mempercayainya keramat batu ini, boleh jadi kita binasa." "Baiklah, ma ukah Maun mengan gkat batu ini? Sa ya ingi n hendak mengangkat ber apa beratnya, sebab sudah tiga orang tak ada yang kuat. Sungguhpun ti dak percay a, kita pura-pura saja seperti orang itu." Maka Midun membakar kemenyan, ke mudian me masukkan uang lima sen ke tabung. Setelah itu diangkatnya batu yang dikatakan ke ramat itu. Oleh Mi dun, seoran g muda yang sehat dan kuat, dengan mudah saj a batu itu diangk atnya. Segal a orang yang melihat amat heran, lalu berkata, "Anak muda yang berbahagia." Benci benar Midun mendengar perkataan itu, hampir-hampir tak dapat ia menah an hati. Ti ba-tiba telanjur juga, lalu berkata, " Tuhan yang d apat menentukan berb ahagia atau tidaknya untung nasib seseorang, tetapi batu ini ...." Midun dan Maun segera berjalan pulang ke lepau nasi,


karena ketika hendak berkata la gi, dilihatnya muka yang punya batu berubah sekonyon g-konyong. S epanjang j alan mereka sepatah pun tidak ber cakap, karena memikirk an batu yang bertepikan suasa itu. Sudah mak an, baru mer eka me mpercakapkan penglihat annya sehari itu. Tetapi y ang men arik hati mereka benar, ialah memp erkatakan batu yang keramat itu saja. Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula k e pasar malam. Se sampai di p intu masuk, takjub sun gguh Midun melihat pint u gerbang pasar malam itu. Gab a-gaba d iterangi dengan berpuluhpuluh lampu, meluk iskan ukuran yang amat indah-indah. Balai dihiasi dengan lampu yang berw arna-warna. Huruf-huruf pada gaba-gaba dan di gonjong balai, seakan-akan terbuat daripada l ampu laiknya. Dengan segera M idun membeli karcis, lalu masuk ke dalam. Midun dan Maun berjalan tidak seperti si ang tadi, mel ainkan d iperhatikannya isi ti ap-tiap pondok di pasar itu. Banyak pe nglihatan Midun yang berfaedah untuk penghidupannya kelak. Misalnya pekerjaan tangan, cara memelihara ternak, k eadaan bibit tanaman yang bagus, contoh-contoh barang perniagaan, dan lain-lain. Demikianlah pekerjaan mereka itu dua hari laman ya. Pada hari y ang kelima, pagi-pagi, Midun dan Maun per gi ke p asar. Mereka herb elanja membeli in i d an it u, karena h endak teru s pulang setel ah mel ihat pacuan kuda lusanya. Tengah hari kembalilah mereka ke Iopau. Se gala barang-barang yang dibeli, dipertaruhkannya kepada orang lepau itu. Setelah itu Midun duduk hendak mak an, tetapi M aun masih di lu ar membeli rokok. Baru saja Midun duduk, Maun berseru dari lu ar katanya, "Midun! Midun! Lihatlah, apa ini?" Midun melompat lari ke l uar, hendak melihat y ang diseurkan kawanny a itu. Di jal an ke lihatan beberapa engku-engku dan tuan-tuan diarak dengan musik militer. Tib a-tiba M idun terkejut, karena di dalam oran g bany ak itu kelihat an olehnya Kacak. Dengan segera dit ariknya tan gan Maun, lalu dibawanya masuk ke dalam lepau. Dengan perl ahan-lahan Midun berka ta, "Maun! Adak ah engkau melihat Kacak di antara orang banyak itu?" "Tidak," jaw ab Maun de ngan ce masnya. "Adak ah engkau melihat dia?" "Ada, ru panya ia ad a pul a dat ang ke mari. Ketik a saya melihatnya tadi, ia memandang ke sana kemar i, seakan-akan ada


yang dic arinya di antara orang bany ak itu. Entah siap a yang dicarinya dengan matanya itu tidaklah saya ketahui. Saya am at heran karena ketika saya menampaknya tad i, dar ah saya berdebar. Yan g biasa t idaklah demi kian benar hal saya bil amana melihat Kacak. Boleh jadi kita di sini diintip orang, Maun! Siapa tahu dengan tidak disan gka-sangka k ita dapat bahaya kelak. Sebab itu haruslah kita ingat-ingat selama di sini." "Tidak kelihatankah engkau kepadany a tadi? Tetapi say a rasa takkan berani Kacak berbuat apa-apa kepada kita di dalam peralatan besar in i. Nyata kepada saya ketakutannya bertentangan dengan engkau, waktu pe rkelahian di tepi sungai dahulu. Sedangkan di kampung demikian keadaan nya, apal agi di sin i. Siap a yang akan dipang gakkannya di sin i? Karena it u tidak boleh jadi ia akan menyerang kita. Sungguhpun demikian, kita harus berhati-hati juga." "Saya tid ak k elihatan olehnya. Tetap i j ika tak ad a y ang d icarinya, masakan seliar it u benar mat anya. Saya pun maklu m, bahwa di a ti da k akan berani menyerang kita d i sini. Tet api karena dia orang kaya, t entu bermacam-macam jalan dap at dilakukannya akan me mbinasa. k an kita. Biarlah, as al kit a ingat-ingat saja." Sesudah m akan mereka pun berjalan-jalan ke pasa r, melihat perarakan anak-anak sekolah dan lain-lain: Malam h ari Midun tidak keluar, mel ainkan ting gal di lepau n asi saja. Lain benar perasaannya sej ak melihat K acak h ari itu. Besokny a ketika p acuan kuda d imulai, mereka i tu tidak pergi melihat, melainkan t inggal di lepau saj a. Hany a pada h ari yang kedu a saja mereka hendak pergi sebentar. Sudah itu mak sudnya hendak terus pulang ke kampung.


7. Di Pacuan Kuda.

PAGI-PAGI benar Midun dan Maun sudah bangun. Setelah mandi mereka kedu a pergi se mbahyang kep ada se buah surau yang tidak herapa jauh dari lepau na si tem patnya menumpang itu. Sudah sembahyang subuh, mereka pun berkemas membungkus dan mengikat barang-barang ya ng telah dibeliny a. Setelah selesai, ditaruhnya dalam sebuah bilik lepau itu. Ketika mereka itu hendak minum pagi, dilihatnya hari sudah agak tinggi. Maun berkata, katanya, "Ah, hari sudah pukul tujuh agak nya, Midun! Boleh jadi kita terlambat . Saya rasa l ebih baik kit a mak an di pacuan kuda saja n anti. Jika k ita minum pula dahulu, tentu kita tidak dapat lagi me lihat orang berpacu book* (Art inya merebut piala/ beker) . Sekalipun kit a tidak minum, agaknya terlambat juga sampai ke sana. Marilah kita na ik ben di saj a ke pacuan kuda. Pacu boko kabarnya mulai pukul delapan betul." "Benar katamu, mari kita naik bendi saja," kata Midun. "Tetapi kabarnya sewa be ndi sangat mahal sekaran g. Lebih tiga k ali lipat daripa da s ewa yang b iasa. Lagi pu la tidakk ah jauh amat, karena kita pergi ke perhentian bendi dahulu?" "Tidak, kit a tawar dahulu berapa sew anya. Dari sini tidak berapa jauh ke perhentian bendi. Mudah-mudahan sebelum kita sampai ke sana, bertemu dengan bendi yang mencari muatan." Keduanya berjalanlah menuju tempat perhentian bendi. Sampai di sana, lalu ditanyakan Midu n berap a se wa bendi k e gelanggang pacuan kuda. Kusir bendi menjawab pendek saja, bahwa sewa bendi t idak kurang d ari f1,- se orang ke pacu an. Jadi dua orang f2,-. Mau n amat heran mendengar jawab kusir bendi meminta sew a semahal itu. P adahal ant ara Bukittin ggi dengan p acuan kuda han ya sep al lebih sedikit. Maka Maun berkata den gan sungutnya, "Uang dua rupiah itu pada pik iran kusir mur ah saja, M idun! M emang lidahnya tidak bertulang, mudah saja ia menyebutkannya. Marilah kita berjalan kaki saja. Tidak cukup setengah jam kita sudah samp ai. Har i baru pukul tujuh." Baru saja Midun berbalik hendak berjalan, tiba-tiba tampaklah olehnya seseorang melintas jalan. Darah Midun tersirap melihat orang itu, karena rasa-rasa su dah bertemu dengan dia. Setelah dipik irkannya di mana orang itu bertemu dengan dia,


baru Mi dun maklum Den gan suara g agap i a be rkata, "Maun! Lenggang yang bertemu dengan kita pulang dari sembahyang Jumat d i k ampung temp o ha ri ada pula ke mari. Itu di a d i seberang jal an. Lih atlah, tajam benar pandan gannya kepada kita. Saya amat heran, sudah dua kali say a berte mu dengan dia, selalu darah saya saja yang t ersirap. Pert emuan y ang kedua ini, tidak darah saya saja yang tersirap, tetapi tegak pula bulu kuduk saya rasanya. Bukankah ajaib itu?" Maun, yang memang sej ak dahulu tidak senang hatinya melihat dan mendengar n ama Lenggang itu, terperanjat pula, lalu berhenti berjalan akan melihat orang itu. Sambil berpalin g pula hendak berjalan ia berkata, " Hati-hati, M idun, tidak darahmu saja yang te rsirap, tetapi urat kuduk saya mendenyut melihat Len ggang itu. Jangan kita b ercerai-cerai barang setapak jua pun. Tertelentang sama terminu m air, tertangkup sama termakan tanah, menyuruk sama bungkuk, melompat sama pat ah, musuh mu mu suh saya . Saya selalu bersedia akan membelamu, bia r b agaimana jug a. Jika ad a apa-apa yang terjadi, jangan engkau laran g-larang la gi, sebag ai keti ka engkau berkelahi dengan Kacak dahulu. Sa ya tahu apa yang akan saya perbuat, unt uk keselamat an diri kita berdua. Jan gan lagi kita lama-lama d i pa cuan. Asal sudah kita melihat p acu b oko, k ita terus pulang saja. Tidak perlukah kita membawa pisau, Midun?" "Nasihatmu itu saya pegang benar-ben ar. Kit a t idak boleh lengah dan alpa sedik it juga sampai-sampai pulang ke kampung. Te ntang me mbawa pisau itu tidak usah lagi. Tulan g delapan kerat yang dijadikan Tuhan ini sajalah kita pergunakan. Banyak bahayanya ki ta berpisau dar ipada tid ak berpisau. Jika tiku s seekor p enggada seratus, artiny a d ia banyak kita berdua, kita buat saja l angkah se ribu, daripada mengamuk atau menikam orang. Tentang kes etiaan h atimu itu kepada saya, saya ucapkan terima k asih banyak-b anyak. Te tapi sebenarnya dalam hal ini engkau tidak campur sedikit jua. Jik a misalnya bah aya dat ang tiba-tiba—tetapi janganlah hendaknya— saya t idak suka engkau terbawa-bawa p ula sebab s aya. Ta k be ban b atu dig alas, ka ta orang. Tentu saja engkau teraniaya, k arena hendak menolong seorang teman. Tetapi melihat pen gakuan dan keyakinanmu kepada saya, tak dapat saya men olak perkataanmu itu. Kebersihan dan keikhlasan hati en gkau itu, saya hargakan sungguh-sungguh. Kebanyakan or ang bersahabat ialah akan


lawan tert awa saja, te tapi l awan menangis su kar dicari. Bagimu rupa nya tidaklah demik ian. Saya telah en gkau san gka seperti saudara kandung seibu seayah, tidak berubah dari mulut sampai ke hati. Badan saja ya ng du a, tetapi nyawa umpama satu." "Kawanku Midun! Sejak kecil kita tidak bercerai setapak juapun. Selama itu saya rasa, belum pernah saya menumangkan engkau. Bagi saya engk au tidak saya pandang orang lain lag i, melainkan telah sepert i saudara kandung. Jik a en gkau su sah, saya akan lebih berdukacita, dan jika engkau tertawa, saya pun lebih bersuk a hati. Sudahlah, ti dak guna kita pe rbincangkan lagi. Apa guna dipikirkan, bukanlah kita sek arang dalam peralatan? Waktu ini kit a harus bersu ka-suka. Yan g segantang tidakkan mau jadi se sukat. Asal kita ingat saja menjaga diri, sudahlah! Benar ju ga katamu itu, dengan be rmacam-macam akal tentu ia dapat berlaku akan membinasakan kita. Oleh sebab itu untuk menjaga keselamat an kita, jangan kita berja lan sepe rti yang sudah-sudah lagi. Mulai sekarang kita ubah, lebih baik kita berjalan beriring-iring. Engkau di muka, saya di bel akang. Saya perlu menjaga engkau, karena en gkaulah yang dimu suhi orang, saya t idak. Kalau kit a berjalan be rsisi-sisi at au engkau di belakang, te ntu gamp ang oran g me mbinasakan kita. Siap a tahu, engkau diserang orang de ngan tiba-tiba dar i belakang. Manakala say a di belakan g, te ntu boleh saya memberi ingat kalau ada apa-apa. Saya t idak akan lengah dan selalu menjaga dengan ingat-ingat." "Terima kasih banyak-banyak, Maun! Sebetulnyalah pikiranmu itu. Bila kita selalu dalam ha ti-hati, tetapi bahaya jua yan g dapat, sudah suratan badan kita yang celaka dan tidak menjadi sesalan lagi." Dengan tidak diketahu i mereka kedu a, mak a sampailah ke pacuan kuda. Sepanjahg jalan ya ng dilaluinya itu berkibaran bendera pada kiri-kan an jalan. Pada pintu masuk p acuan kuda, ada pula sebuah gab a-gaba yang amat ind ah-indah, dihi asi dengan pelbagai bunga-bungaan . Sek eliling pacuan itu penuh dengan ber bagai-bagai b endera. Seb uah dar ipada bang salbangsal di pacuan itu, amat ku kuh buatannya. Bangsal itu ialah tempat engk u-engku dan tuan-tuan melihat kuda berpacu. Amat permai dan cantik bangsal yang sebuah itu, karena dihiasi dengan bun ga-bungaan yang amat bagus. Pada puncaknya


berkibar bendera yang bercorak tiga. Ada pun pacuan itu dikelilingi oleh bukit. Tiap-tiap bukit itu berpuluh-puluh pondok didirikan orang. Pondok-pondok itu ialah temp at or ang berjual nasi, juadah, dan lain-lain sebagainya. Penuh sesak orang di bukit itu, berkelompokkelompok sangat bany aknya. Hampir dari selu ruh tanah Minangkabau, amat banyak data ng melihat pacuan kuda itu. Sebabnya ialah karena pacuan itu kepunyaan anak negeri, dan kuda yang dipacu, kuda negeri pula. P ada har i itu oran g dua kali seb anyak kemar innya. Berde sak-desak o rang menc ari tempat akan mel ihat perlombaan ku da. Hal itu lain tid ak karena orang hendak melihat pa cu bo ko, yang s angat d isukai orang. Pacu b oko itu akan merebut priys y ang dinamakan "Minangkabau Beker". Siap a yang mena ng tidak saj a ia me mperoleh piala, tetapi menerima hadiah uang yan g banyak pula. Sebab itu, k uda yang dipacu ti dak sedikit. Tiap-tiap luhak di Minangkabau, diambil dua ekor kuda y ang terkencang. Ketika itu hanya empat belas ek or kuda sek ali lepas. Dengan mel ihat pakaian anak pacuannya, tahulah orang dari luhak mana-mana kuda itu datangnya. Ketik a itu ad a pula kuda yang datang dari Padang Hilir*(Negeri-negeri sebelah pesisir dinamai Padang Hilir, sebelah ke Gunung Padang Darat ). Midun dan Maun mencari tempat yang baik, agar dapat melindungkan diri dari bahaya. Setelah dapat, mereka berdirilah di sana. Sungguhpun tempat it u amat baik, Maun selalu ingatingat jua. Tidak lama kemudian, kuda dilepas orang. Gemuruh bunyi sorak orang sekel iling pacuan itu. Ada yan g menyerukan, "Agam, Agam," dan ada pula "Payakumbuh, Payakumbuh," yaitu masing-masing menyeruk an luha knya. Rasakan hendak belah bumi rup anya. Tidak be rsorak saja, musik militer pun selalu berbunyi selama kuda it u berlar i. T iap-tiap or ang geli sah da n tidak bersen ang hat i, manakala mel ihat kuda dari luhaknya kalah. Tetapi yang menang, orang luhaknya rasa hendak terbang karena kegiran gan ha ti. M ereka mel ompat-lompat, tertawanya berderai- derai d an perkataan nya sepert i merendang kacang se bab sukany a. Setelah sudah berpacu, nyata yang menang masa itu kuda dari luhak Agam. Maka orang dari luhak itu berlarian ke teng ah gelanggang pacuan, berarak, dan bersorak -sorak menunjukkan suka hatinya. M usik militer pun turun, lalu kuda yan g menang itu diarak sekeliling pacuan.


Orang di gel anggang itu herkacau-balau tidak ber tentu lagi. Midun dan Maun tidak be rani keIuar dari tempatnya, melainkan ia melihat saja dari jauh. Sete lah sudah orang mengarak kuda barulah tenang kembali. Midun berkata kepada Maun, "Maksud kita sudah sampai, perut sudah la par, mar i kita per gi mak an. Sesudah makan, kita ambil barang-barang kita, terus pulang." "Di lepau nasi manakah yang baik kita makan?" jawab Maun. "Mari kita makan ke puncak buki t itu! Di sana tentu senang kita makan dan tidak terganggu." Maka kedu anya pun naik ke puncak bukit, men cari lepau nasi yang agak baik. P ada ki ri kanan tempat yang dilalui mereka itu orang dud uk berkelom pok-kelompok. Di muka mereka terbentang sehelai tikar dan sebuah piring dengan dadu dan tutupnya. Berpuluh-puluh uang t erletak di muka merek a itu. Demikianlah halnya tiap-tiap kelompok or ang itu. Di sini kelihatan orang main dadu, di sana dadu kuncang, dan lainlain. Segala macam judi ada di situ. Berbagai-baga akal mereka mencari uang. Tidak main dadu saja, bertaruh kuda pun banyak pula. Midun tidak lama memperhat ikan orang main dadu itu, melainkan i a terus be rjalan ke puncak bukit. Setelah didapat lepau nasi yang berkenan kepadanya, maka makanlah ia di situ. Sesudah makan, lalu turun pula ke bawah, hendak pergi k e tempatnya menumpang mengambi l barang-baran gnya. Belum jauh berjalan, dilihatnya beberapa orang opas berjalan keliling tempat orang ma in itu. Opas itu melemparkan r inggit ke tik ar dadu, ke mudian d ikembalikan orang r inggit itu den gan sebuah rupiah akan tamb ahnya. Seda ng Midun memikirk an hal itu, Maun yang berdiri di belakangny a meli hat sese orang berger ak dekatnya, k emudian ter bayang p ada matany a s ebuah pi sau yang menuj u rusuk Midun. Se bagai kilat Maun melompat menangkap pisau itu, sambil berseru, "Awas, Midun!" ' Midun berbal ik, dilihatnya Maun telah berkelahi, lawannya memegang sebuah pisau . Ketika Midun hendak melompat menolong Maun, tiba-tiba ia diserang orang pula dengan pisau. Orang itu ialah Lenggang yang dilihatnya pada perhentian bendi tadi pagi. Midun la lu menangkis serangan, sambil mengundu rkan diri ke arah Maun berkelahi. Setelah dekat, Midun berkata, "Lepaskan, jaga di belakang saya!" Suara itu t erdengar ol eh M aun, lalu ia mel ompat ke belakang Midun. Maun sekarang hanya menjaga kalau-kalau ada serangan d ari kir i-kanan saja. K edua orang itu M idun send iri


yang mel awan. Bukan main tangk as Midun menyambut dan mengalahkan tikam lawan nya. Ti dak lama pisau yang seoran g terpelanting kena sepak Midun. Tinggal lagi Lenggang yang berpisau. Midun dan Maun se lalu mengundurkan diri ke belakang. Ke mudian ia te rtumbuk pad a dindin g se buah lepau nasi. Di sana merek a kedua dap at tempat untu k bertahan. Orang makin banyak menyerang Midun, karena teman Lenggang selalu berte riak, mengatakan, "Panc acak*(Pencuri, dal am orang ramai) !" Karena itu orang meny angka Midun seoran g pencuri. Dari kiri kan anin dan dari mu ka mu suh datang; amat sibuk tidak tentu lawan kawan. Oran g banyak itu tidak diped ulikan Midu n amat, melainkan yang sangat di jaganya L enggang. B agi orang banyak itu lain tidak ilmu, sepak terjang saja. Tetapi Lenggang sengaja hen dak membun uh dia. Tidak lain yang kedengaran masa itu, hanya bunyi sepak te rajang, pukulan dan tinju orang saja. Huru-h ara ben ar d i bukit sebu ah itu. Anak- anak a mat banyak terin jak oleh orang yang melarikan diri. Perempuanperempuan yang berpakaian ba gus-bagus, tung gang-Ianggang jatuh ke bawah sebab dilanda orang yang berk elahi. Jerit, tangis, dan t eriak orang mengatakan "bunuh dan amuk", tidak pula kurang. Polisi bekerja keras memadamkan perkelahian itu. Meskipun dengan pedang bercabut menghentikan perkelahian itu, tidak dipedulikan or ang. Ma lahan polisi sendiri ada yan g berguling-guling jatuh k e bawa h ke na kaki orang. Setelah datang serdadu selusin dan memb unyikan bedil serentak, barulah peperan gan kecil it u aman ke mbali. Jika tidak lekas serdadu datang, entah berapa gerangan bangkai terhantar. Ketika bedil berbunyi, kebetulan dekat Midun ada seorang yang terh antar di t anah. Tiba -tiba ia telah dipe gang Tuan Kemendur dari ru suk, yang pada ketika itu datan g bersamasama den gan serda du aka n mem adamkan perkelah ian. Midun ditangkap karena bajuny a ber lumur darah. Maun ditangk ap juga, seb ab ia berd iri dek at se orang vang terh antar di t anah. Orang yang terhantar itu terus dibawa ke rumah sakit. Orang itu ialah Lenggang. Ia pingsan karena perutnya kena amuk oleh pisaunya sendiri. Tetapi lukanya ti daklah b erat benar. P ada lengan Lenggang ada sebuah pisau yang berlumur darah. Teman Lenggang melenyapkan diri di dalam orang banyak itu. Or ang lain yang serta dalam perkelah ian karena melepaskan dendam atau mempertahankan diri, ketik a bedil meletus berlarian


menyembunyikan badan. Midun dan Maun dibaw a oleh se orang opa s. Ketika mereka itu sampai p ada perhent ian bend i di gelanggang pacuan kuda, bertemu dengan Pendek ar Suta n. Melihat Midun dan Maun diiringkan op as, Pendek ar Sutan s angat terkejut. M aka ia pu n bertanyakan hal itu kepada Midun. Midun men ceritakan perkelahiannya dengan Len ggang. Setelah sudah, Midun berkata, katanya, "Hal ini janganlah Ba pak beri tahukan dah ulu kepada orang di k ampung. Manakala di dal am sepuluh hari ini tak ada seorang jua di antara kami yang pulang, barulah Bapak ceritakan hal kami ini." "Baiklah!" jawab Pendekar Sutan dengan cemasny a, karena ia maklum d ari mana a salnya m aka terjadi p erkelahian itu. "Syukurlah, engkau kedu a tidak b inasa. Say a b elum akan pulang, karena saya hendak me nantikan kabarnya. Jika dalam sepekan ini perkara ini belum juga diperiksa, baru saya pulang ke kampung. Engkau kedua jangan kh awatir, k arena sipir dan beberapa tukang kunci* ( Opas Penj ara) penjara berkenalan dengan saya. Bi arlah, be sok s aya te mui di a ke pe njara akan mempertaruhkan engkau, supaya j angan di ganggu orang d i dalam penjara." Midun dan Maun terus dibawa ke penjara. Mereka k edua ditahan di sana, sementara perkaranya belum diputuskan. Empat hari sesudah peralat an, Midun dan M aun mulai diperiksa oleh jaksa. Dalam pemeriksaan yang pertama itu, nyata bahwa Maun tidak campur apa-apa. Oleh jaksa Maun diizinkan pulang, tetapi manakala dipanggil haru s dat ang sebagai saksi. Maka Maun pulanglah bersama P endekar Sutan yang sengaja menanti kabarnya.


8. Menjalani Hukuman

SETELAH dua bulan lebih kemudi an daripada itu, Maun terpanggil dat ang ke Bukittinggi. Maka iapun datan glah bersamasama dengan Pak Midun, Haji Abbas, dan Pendekar Sutan yan g hendak mendengar keputusan perkara itu. Tiga hari berturut-turut La ndraad memeriksa pe rkara itu dengan hemat. Pada hari yang kee mpat, baru dijatuhkan hukuman masing-masing. Midun dihukum enam bu lan. Sebab menjalankan hukuman. Hukuman itu dijalankann ya tidak di Bukittinggi, melainkan di Pada ng. Lenggang dihuk um set ahun penjara dan dibuang ke Bangka hulu. Ia disalahk an mengamuk, karena pisaunya berlumur darah. Setelah Midun keluar dari kantor Lan draad, diceritakannyalah kepada ketiga bapak nya, bahwa ia dihukum ke Padang lamanya empat bulan. Dan dikatakannya pula besoknya ia mesti berangkat menjalankan h ukuman itu. Midun meminta dengan sangat kepada ketiga bapaknya itu menyuruh pulang hari itu juga, jangan ia di antarkan ke stasiun b esoknya. Permintaan itu dikabulkan oleh mereka itu. Pak Midun berkata dengan air mata berlinang-linang, kat anya, "Baik- baik engkau d i n egeri or ang, Midun! Ingat-ingat menjaga di ri! Engk au anak l aki-laki, sebab itu beranikanlah hatimu. Mudah-mudahan janganlah hendakny a kurang suatu apa engkau menjalan kan hukuman. Jika engk au sudah bebas, lekas pulang. Segala nasihat kami y ang sudahsudah, pegang erat-erat, genggam teguh-teguh." Baru sekian perkataan Pak Midun, air matanya sudah bercucuran. Ia tidak dap at lagi me neruskan perkataannya, karena amat se dih hatinya b ercerai deng an anaknya yang sangat dikasihinya itu. Sambil bersalam dengan Midun, lalu didekapnya anaknya. Ia pun berjalan deng an tidak menengok-nengok lagi ke belakang ke lepau te mpat ia menumpang. De mikian pula Haji Abbas dan Pendekar Sutan, hanya sepat ah-dua patah saja menasihati Midun. Setelah ber maaf-maafan, mereka itu b erjalan dengan sedih yang amat sangat. Hancur luluh hati Midun ketika ditinggalkan ketiga bapaknya itu. Tetapi dengan kuat ia menahan h ati, supaya air matanya jangan kelu ar. Ketik a Maun bers alam akan meminta m aaf kepadanya, iapun berkata, katanya, "Saudaraku Maun! Sekarang


kita akan be rcerai. Nyaw a di dalam t angan Allah, tidak tentu besok atau lusa diambil yang punya. Siapa tahu perceraian kita ini ent ah u ntuk sela ma-lamanya. Tetapi mudah-mudahan janganlah hendaknya terj adi demik ian. Lekas ju a kita dipertemukan Tuhan kembali." Suara Mi dun tertahan k arena menahan sedih. Air matanya bercucuran, seolah-ol ah tidak sanggup ia ber cerai dengan sahabatnya yang ak rab sejak da ri kecil itu. Kemudian Midun menyambung perkataann ya pula, katanya, "Sejak kecil kit a bergaul, bel um pernah engkau men gecewakan h atiku. Dalam segala h al h idup be rtolong-tolongan, tidak pern ah bersel isih paham, mel ainkan sepakat saj a. H anya saya y ang bany ak berutang bu di kepadamu . Perbuatank u selama in i terhadap kepadamu, belum ada ya ng menyenan gkan hati en gkau. Saya ulang sekali lagi akan menyatakan teri ma ka sih saya tenta ng perkelahian di pacuan ku da itu. Jika engkau tid ak me nangkap pisau teman Lenggang, barangkali jiwaku mel ayang, karena saya ditikamnya dari belakang. Untung engkau sel alu ingat dan dapat menangkis. J adi adalah s eakan-akan j iwaku yang seharusnya t elah bercerai deng an badanku, engkau pulangkan kembali. Lain daripada itu, Maun! Ibu bapakmu ialah ibu bapak saya. Thu bapakku saya harap engkau san gka ibu bapakmu pula. Bagaimana engkau mengasihi ibu bapakmu, begitu pula hendaknya kepada orang tuaku. Engkaulah yang ak an mengulangulangi beliau selama saya jauh dari kampung. Jan gan engkau perubahkan, buatlah seperti di ru mahmu sendiri di rumah ibu bapakku. Sek ianlah petaruh saya kepa damu ke mbali. Sambutlah salamku dan maafkanlah saya, Saudara!" Maun tidak dapat menjawab perkat aan sah abatnya itu, karena sudah didahului ol eh air mata yang tak dapat ditah annya lagi. Ia menangis, h atinya remuk dan sedih amat sangat. Setelah bebe rapa l amanya me reka itu bertangis-tangisan, berkatalah Mau n dengan p utus-putus s uaranya, "Sa ya mem bela sanakku, tid ak usah en gkau me minta teri ma k asih pul a. Kesalahanmu tidak ada k epadaku. Jika tidak me mikirkan ibu bapak k ita di kampung, tent u say a sama- sama terhukum dengan engkau. Bukankah mudah saja saya menjalankan jawab waktu dit anyai h akim, su paya dapat dihukum. Sel amat jalan, Saudara, beranikanlah hatimu!" Maun mengambil tan gan Midun, kemudian dilek askannya,


lalu berjalan lekas-lekas mengikuti Pak Midun ke lepau nasi tempat mereka itu menu mpang. Dengan tidak menoleh-noleh ke belakang, ia berj alan terhuyung-huyung, karena sedih hat inya. Hari it u juga keempatnya terus pulan g k e kampung. Mereka itu b erjalan kaki saja, sa mbil mem perbincangkan hal Midun. Tetapi Pak Midun sepanjang jalan tidak berkata sepatah juga pun. Hancur lulu h hatiny a mengenangkan perceraian dengan anak kesayangannya itu. Amat sakit hatinya memikirkan apa dan siapa yang meny ebabkan per ceraian deng an anaknya itu. Demikianlah hal mereka itu sampai pulang. Hal Midun dihukum itu tersiar di kampungnya. Segala oran g di kampun g itu amat bersedih ha ti kehilangan Midun, seorang anak muda yang baik hati dan sa ngat dicintai oleh segala orang di kampungnya. Banyak orang di kampung itu yang menyangk a bahwa Midun dihukum it u tak dapat tiada be rtali dengan si Kacak musuhnya. Sejak itu orang di kampung itu semakin benci kepada kemenakan Tuan ku Laras itu . Melihat mukanya saja orang amat jijik, dan kalau ber temu se dapat-dapatnya dihindarkannya. Tetapi Kacak mendengar kabar itu sangat bergirang hati. Orang yang dibe ncinya tak ada lagi. Kalau ia bercakap-cakap den gan k awannya, selalu i a berjuj at tentang perangai Midun. Dikatakannya bah wa Midun seoran g-orang jahat, kalau tidak masakan di hukum. Tetapi di dalam hati Kacak merasa berang dan kesal, k arena Midun tidak sampai tewas nyawanya dalam perkelahian di gelanggan g pacuan kuda itu. Midun sangat bersedih h ati, karen a ia akan meninggalkan negerinya. Makin remuk redam lagi hati Midun, ka rena ia tidak dapat menemui bunda dan adik-adiknya yang sangat dikasihinya itu lebih dah ulu. Sepanjang jala n ke penjara pik irannya tidak bertentu saja. Sebentar begin i, sebentar pula begitu mengenangkan nasibnya y ang malang itu. Kadang-kadang besar dan suk a hat i Midun dihu kum, karena ia dapat men ghindarkan musuhnya yang berbah aya itu. Ji ka ia di kampung j uga, boleh jadi hidupnya lebih celaka lagi. Bermusuh dengan seorang kaya, keluarga o rang berpangk at dan bangsawan tinggi pula, tentu saja mudah ia bin asa. As al M idun lengah sedikit saja, tentu Kacak dapat menerkam mangsany a. Sebelum Midun lenyap di dunia ini, tidaklah Kacak akan bersenang hati. Makin dikenang makin jauh, makin dipikirkan makin s usah. De ngan pi kiran demikian itu, lain t idak hasilnya sedih dan pil u, padah al


nasibnya tak kan berubah, tetap begit u juga. Maka Midun pun membulatkan pikirannya, lalu berkata di dal am h atinya, "Ah, sudahlah, memang adat laki-l aki su dah demikian. Tiap-tiap celaka ada gunanya. Tidak guna saya sesalkan, karena hal ini kemauan Tuhan dan kehendak Allah jua." Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ia memohonkan perlindungan Tuhan, hubaya-hubaya sel amat dalam hidup yan g akan dij alaninya itu. Ketika it u hari masih gelap, kabut amat tebal. Angin tak ada, burung-burung seekor pun tidak kedengaran berbunyi, seolah-ola h bersedih hat i pula ak an bercerai den gan Midun. Faja r mulai menying sing di sebelah timur, tetapi amat suram, cahaya. Maka turunlah h ujan rintikrintik, angin berembus sepoi-sepoi basa. Segalanya itu seakanakan berdukacita melepas orang muda yang amat baik hati itu, yang barangkali entah lama l agi ak an dap at menjejak tana h airnya kemb ali. T idak l ama datanglah seo rang o pas, Gempa Alam namanya, yang akan mengantarkan Midun ke Padang hari itu. Baru saj a opas itu d atang, Midun berkata, "Apa kabar, Mamak? Sekarang saya berangkat ke Padang?" "Ya, kita sek arang berangkat, s udah si apkah Mi dun?" u jar Gempa Ala m, sebagai o rang yang t elah kenal kepadanya, "kereta api berangkat pukul tujuh, sekarang sudah setengah tujuh lewat." "Sudah, Mamak," jawab Midun dengan pendek. "Kalau beg itu, mar ilah kita berangkat sekaran g juga. Sebetulnya Midun haru s saya belenggu, karena begit u perintah saya teri ma. Tap i sudah tig a hari M idun saya kenali, saya jemput dan saya ant arkan waktu perkara, nyata kepada saya bahwa Midun seorang yang baik. Saya percaya Midun tidak akan melarikan diri. Oleh sebab itu tadi sudah saya pohonkan kepada sipir, supaya engkau jangan dibe lenggu ke Padang. Karena say a berani menjamin atau menangg ung bahasa Midun tidak akan lari, permintaan saya itu dikabulkan oleh sipir." "Mamak bukankah su dah tahu b agaimana duduknya perkaranya. Tentang akan melarikan diri itu, jangan lah Mamak khawatirkan. Sedikit pu n tidak ada kenang-ken angan saya dalam hal itu. Apa yang seolah di gerakkan Tuhan atas diri saya, harus d an wajib saya teri ma de ngan se gala suka h ati. Kemurahan M amak itu, asal tid ak a kan merus akkan kepada pekerjaan Mamak, saya ucapkan terima kasih banyak-banyak." "Midun, jika saya menaruh khawatir kepadamu, dengan


tidak bertanya-tanya lagi belen ggu in i sudah saya lekatkan di tangan M idun. Tetapi karena saya su dah maklum siapa dan bagaimana e ngkau, say a pohonkan su paya jang an dibelenggu. Marilah kita berangkat!" Maka kelihat anlah Midun deng an se orang op as m enuju ke stasiun. Midun kelihatan sabar saja, sedikit pun tidak ada tanda ia dalam bersedih hati. Kendatipun pikiran Midun sudah tetap, tidak lagi akan mengenan g-ngenangkan nasibnya, tetapi ketik a lonceng t iga berbunyi, lain be nar perasaannya. P ikiran Midun melayang kepada ay ah bunda dan adik-adiknya. Tamp aktampak dal am pikiran M idun se gala sahabat ken alannya di kampung. Pada perasaannya ia meninggalkan kampung 4 bulan itu, tak ubah sebag ai seorang ya ng tidak akan bal ik-balik lagi atau pergi meranto bertahun-tahun. Demikianlah kesedih an yang selalu menggoda Midun, hi ngga dengan t idak diketahu i sudah dua buah halte kereta api terlampau. Melihat muka M idun mur am seb agai orang ber sedih ha I i Gempa Alam belas kasih an kepa danya. Akan menghalangk an duka Midun, maka Gempa Alam berkata, "Midun, sekalipun saya sudah maklum duduk perkara yang menghukum engkau ini, ingin ju ga saya hendak mend engar dari mulut mu sendiri, bagaimana asal mulanya perkar a Mi dun berkela hi di p acuan kuda, dan apa yang menyebabkannya. Cobal ah cerit akan kepada saya dari bermula sampai kita naik kereta api sekarang ini." "Saya dihuku m in i tidak utang yan g dibay ar, d an tid ak piutang yang diterima, " ujar Midun memulai perkataanny a. "Saya adalah seoran g yang teraniay a, Mamak. Dengarlah s aya ceritakan dari bermula samp ai tamat. Setelah habis cerita saya, akan nyata kepad a Mamak, bah wa saya ter aniaya. Cerita saya in i tidak saya lebihi dan tidak pula dikurangi, melainkan sebagaimana yang terjadi atas diri saya saja." Maka Midun pun bercerit a kepa da Gempa Ala m, mulai dar i ia berdua bel as di masj id, sampai ia dihukum itu. Satu pun tak ada yang dilampaui Midun, habis semua diceritakannya. Karena asyik mendengar cerita itu, dengan t idak diketahu inya keret a api sudah sampai di h alte Kandan gempat, lewat Padang panjang. Baru saja M idun tamat ber cerita, Gempa Alam mengangguk-anggukkan kepala, samb il menarik napas panjan g. Kemudian ia berkat a, "C eritamu itu hampir be rsamaan bena r dengan n asib say a semasa mud a. Hanya saja pada per-


mulaannya y ang agak be rlainan se dikit. Sebab tidak tahan hidup di kampung, sudah 15 tahun lamanya saya meninggalkan negeri. Dalam 15 tahun itu belum pernah sekali jua saya menjejak kampu ng tempat kelahiran s aya. Amat b anyak penanggungan saya selama itu, ma cam-macam pek erjaan yan g telah saya k erjakan untu k meng isi perut se suap p agi, se suap petang. Sekarang sebagai engkau lihat sendiri, saya telah menjadi komandan opas. Ak an pulang ke kampung, taku t... ya akan dapat malap etaka pula, sebab ya ng m emusuhi say a itu mas ih memegang jabatannya." "Mamak, kalau saya tidak salah umur Mamak sudah l ebih 40 tahun," ujar Midun. "Selama Mama k hidup, tentu t elah banyak negeri yang Mamak lih at, dan sudah jauh rantau yang Mamak jelang. Saya rasa tidak sedikit pengetahuan Mamak bertambah. Tetapi saya, Mamak, umur ba ru set ahun jagung, darah baru setampuk pinang, pomandangan bel um jauh, pendengaran belum ban yak, pengetahuan bel um seberapa. Bahkan meninggalkan kampung barulah se kali ini. Sebab itu saya be rharap, sudilah kiranya Mamak menceritakan hal Mamak itu. Mudah-mudahan dalam cerita Mamak itu ada y ang bergun a akan jadi teladan. Deng an ceri ta Mamak itu, tentu dapat saya membandingkan, baga imana sa ya harus menjal ankan penghidupan saya kelak." "Baik, dengarkanlah!" ujar Gempa Alam. "Dahulu waktu saya masih mud a, pekerjaan saya bern iaga kecil saj a di pasar. Dengan jalan demikian, dapat sa ya uang untuk pokok berniaga yang agak besar. Dengan rajin dan sun gguh serta h emat, saya menjalankan periliagaan. Dalam dua tahun saja saya mendapat untung yang bukan sedikit juml ahnya. Uang itu dapat saya pergunakan untuk mengganti pondok orang tua saya dan pembeli saw ah. Saya telah menjad i sau dagar, dan nama saya di kampung sudah haru m pula. Sungguhpun uang saya belum seberapa, tetapi karena sudah sanggup mengganti rumah orang tua dan me mbeli sawah, pada p ikiran orang, saya sudah k aya raya. O ya, saya lu pa, Midun! K etika saya berniaga berkecil-kecil itu, umur saya sudah 16 tahun. Waktu itu saya sudah beristri. Sayang istri saya itu tidak lama umurnya. Belum cukup setahun saya bergaul dengan dia, ia su dah meninggalkan dunia. la meninggal itu karena kelulusan* ( Beranak-muda, belum cukup bulannya),


dan kata setengah or ang sebabnya, karena ia te rlampau muda kawin den gan saya. Perkataan orang itu boleh jadi benar, karena w aktu ia kawin, paling tinggi u murnya 13 tahun. Sejak itu say a tidak mau k awin lagi. Sa ya b eristri itu ial ah karen a terpaksa saja. Tidak boleh saya mengatakan tidak mau, melainkan m esti teri ma. Biarpun ba gaimana s aya mengata kan: sa ya belum hendak kawin, tetapi mamak saya memaksa juga. M aka demikian bel um ada dal am pikiran saya hendak kawin, karena ibu bap ak saya or ang miskin. Saya pe rlu me mbela ibu ba pak dan adik-adik saya dulu. Jika ti dak saya tolong, tent u sengsara penghidupan kami. Nah, setelah istri saya meninggal, say a berusaha, sehingga mencukupi u ntuk dimakan petang p agi, se bagai sudah saya katakan t adi. Saya pun terus ju ga berniaga menjual barangbarang hutan. Dengan permintaan kaum famili, saya mesti pula kawin sekali lagi. 'Patah tumbuh, bilang berganti,' katanya, 'jika tidak di ganti malu kepad a or ang sek ampung.' Per mintaan itu saya terima, karena penghidupan saya telah men cukupi. Maka saya dik awinkan dengan s eorang janda Tuanku Lara s di neger i saya. Amat banyak janda Tuanku Laras itu, Midun! Yang say a ketahui m asa itu, ada 15 orang. P adahal waktu it u ia baru 3 tahun diangk at menj adi Tuanku Laras. Jik a sudah 20 t ahun ia memegang pangkatnya itu, entah berapa agaknya janda Tuanku Laras itu. Ada yang karena diminta orang, ada pula yang karena maunya sen diri. M anakala perempu an itu sudah beran ak seorang at au sudah bo san ia me makainya, lalu di ceraikannya saja. Tidak karena itu saja, ka dang-kadang baru sebulan ia kawin sudah talak, sebab ia hendak kawin lagi. Sebabnya, ialah karena menurut agama hanya boleh beristri 4 oran g. Jadi yang empat orang itu selalu bergant i tiap-tiap tahun. Jika boleh beristri sampai 20 o rang, barangkali hal itu akan t erjadi pad a Tuanku Laras di negeri saya itu. Apa yang akan disusahkannya, membelanjai tidak, me mbelikan pak aian i stri pun tidak pula. Dan Tuanku Laras itu, jik a pula ng kepada salah seoran g istrinya, disembah-sembah, dijunjung-junjung, sangat dihormati oleh fa mili s i pere mpuan itu. Yang ti dak ad a di adakan, dan yang kurang dicukupkan, asal hati Tuanku Laras itu jangan tersinggung. Segala janda Tuanku Laras itu, jarang yang bersuami lagi, Midun! Orang takut akan ketulaha n menggantikan istri rajanya. Oleh sebab itu, kebanyakan janda Tuanku Laras itu janda


sampai tua, jarang yang bersuami lagi. Sebulan sudah kawin, saya dipanggil berjaga k e kant or Tu anku Laras. Ketika itu urusan perniagaan saya banyak benar. Sebab yan g biasa b oleh diupahkan berjaga itu say a upah kan saja. Tetapi Tu anku Laras tidak menerima, melaink an harus say a jalani sendiri. Berjaga itu ial ah se bagai ber odi juga maksudnya. Tetapi menj aga kantor itu, mengerj akan segala keperluan Tuanku Laras saja. Apa yang disuruhkannya mesti diturut. Pendeknya kit a jad i budak benar -benar; lamanya se minggu. Ah, tak usah saya sebutkan l agi ap a yan g dikerjakan d i s ana, M idun! Engkau sendiri bukankah telah merasai sakitnya. Itu pun bagimu belum seberapa. Bagi saya, Allah yang akan tahu, tidak kerja lagi yang dikerjakan, t ak ubah sebagai budak be lian saya dip erbuatnya. Bukan main azab yang saya terima masa itu; ngeri say a mengenangkannya. Tidak dari Tuanku Laras saj a, lebih-lebih lagi dari familinya. K arena tida k tert ahan, lebih dari azab a pi neraka rasan ya, saya pun gelap mata. Saya... mengamuk, Midun! Seor ang dari pada keme nakan Tuanku L aras i tu s aya tikam, untu ng tidak mati. Da n saya dihukum ke Padang, lamanya set ahun. Tahuk ah Midun, apa sebab saya dibu atnya demikian?" "Tahu, Mamak," ujar Midun, "tentu saja karen a Mamak berani menggantikan janda Tuanku Laras itu." "Benar demik ian," ujar Gempa Alam pula, lalu meneruskan ceritanya. "Ini neraka yang kedua lagi, Midun! Engkau tentu akan merasai pula nant i. Di da lam pe njara, tidak sedik it pula cobaan yan g diteri ma. S iapa ber ani, siapa d i ata s. Jika k ita berani, ad alah agak di segani orang sedikit. Te tapi s iksaan tidaklah kurang karena itu. Sedi kit-sedikit kak i tiba di ru suk. Terlambat sedikit saja, kepala ke na gada. Jika berbuat kesalahan, kita dipukul dengan rot an. Tidak ubah nya merek a sebagai memukul anjing saja. Ti dak penjaga penjara saja yang mengazab kita, tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu pula. Ad a k alanya kit a d iadu pe gawai penjar a sebagai ayam. Sungguh, bengis dan ganas benar penjaga-penjaga penjara itu. Tidak sedikit jua berh ati kasih mesra kepada se sama makhluk. Sudah berpancaran tahi orang, air ludah membuih keluar kena sepak terajang, tidak dipedulikan mereka, melainkan terus saja disiksanya. Sungguhpun demikian, janganlah Midun gusar. Boleh jadi sekarang, segala perbuatan yang bengis itu t idak ada lagi. Kalau ada sekalipun Midun jang an khawatir, ber anikan h ati


tetapkan iman, insya Allah sela mat. Apalagi Midun saya l ihat seorang an ak muda yan g tangkas, takkan mudah diperbuat orang semau- maunya saja. Sekali lagi saya katakan, beranikan hatimu, jangan takut menentang bahaya apa pun jua. Tunjukkan tanda engkau laki-laki, bila perlu." Gempa Ala m terkenang waktu ia di penjara dahu lu. Amat sedih hatinya melihat Midun, anak muda yang remaja itu akan menanggung sengsara sebagai dia dahulu pula. Gempa Alam mengetahui, bahwa sampai masa it u di dalam penjara di Padang masih dijalankan orang keganasan yang demikian lebihlebih lagi kepada orang hukuman yang datang dari sebelah Darat. Hanya ia mengatakan "bar angkali s ekarang tidak la gi" kepada Midu n, untuk menyenangk an hati Midun saja. Dengan tidak d iketahui, ai r m ata Ge mpa Al am berl inang memikirkan Midun, seorang anak yan g baik hati dan berbudi pekerti itu. Hampir-hampir keluar dari mulut Gempa Al am perkataan, "Lebih ba ik l ari s aja, M idun!" Sedang Gempa Alam berp ikirpikir, M idun berkat a, k atanya, " Atas nasih at M amak, saya ucapkan ban yak-banyak t erima k asih. Jangan Ma mak khawat ir melihat saya. Saya maklum bahw a Mamak bersedih hati, lain tidak karen a kasihan kepada sa ya ak an ma suk penjara, dan akan merasai seperti y ang telah Mamak tanggun gkan dahulu. Tentang diri saya tidak usah Mamak cemaskan, barangkali saya tidak akan demikian benar diperbuat orang. Tuhan ada bersama kita, tentu saja ia akan melindungi yang tidak bersalah. Jika telah tumbuh baru kita siangi, sebab itu tidak ada gunanya hal itu kita pikirkan sekarang." Baru habis Midun berkata, kedengaran condecteur berseru, "Padang; karcis!" Mereka kedua sudah hampir di st asiun Padang. Tid ak lama kereta berhenti. "Di sini kita turun, Mamak?-" ujar Midun. "Tidak," jawab Gempa Alam, "kita turu n di Pul au Air. Kalau di sin i kita turun, jauh lagi ke penj ara. Tetapi dari stasiun Pulau Air hanya kira-kira 10 menit perjalanan." Setelah sampai di st asiun Pulau Air, mereka k eduapun turunlah. Sebelum pergi ke penjara, Gempa Al am mengajak Midun pergi makan ke lepau nasi. Su dah mak an, Gempa Alam berkata, "Se karang engk au terpak sa dibeleng gu. Jik a tid ak, boleh jadi saya celaka. Tentu sa ja saya dipand ang sipir lalai, atau mengabaikan pekerjaan."


"Baik, Mamak," ujar Midun, "ka rena saya, jangan hendaknya terbawa-bawa Mamak pula." Midun dibelenggu oleh Gempa Al am. Ketika ru mah penjara itu kelihatan oleh Gempa Alam, darahnya berdebar. Midun tersirap pula darahnya melihat rumah itu, tetapi lekas ia menghibur hat i, sambil berk ata, "Ini kah penjara itu Mamak? P antas Mamak katakan neraka No. 2, karena hebat sungguh rupanya." Gempa Al am tidak m enyahut, sa mbil berjalan pi kirannya entah ke m ana. Samp ai di penjar a, G empa Alam memberikan surat kepad a si pir. Setela h sele sai, i a bersalam de ngan Mi dun akan me mberi sela mat ti nggal. Kemu dian Ge mpa Alam pu n pergi. Sep anjang jal an tampak-tampak oleh Gempa Al am bahaya apa yang akan menimpa Midun dalam penjara. "Sambut, si pengamuk datang dari Darat," demikianlah seru sipir ke pada tukang kunci yang tengah berdiri di pintu rumah penjara itu. Midun men gerti apa maksud perkataan itu, karena dilihatnya sipir itu berk ata ke ras da n g agah. Se bab i tu Mid un berlaku ingat-ingat, lalu masuk ke dalam. "Ha, ha! Belum lagi tu mbuh rambut di ubun-ubunmu, sudah berani mengamuk," kata tukang kunci deng an b engis sambil mengejekkan. "Berani su ngguh ...." Pap, Midun melompat mengelakkan sepak yang sekonyong-konyong datangnya itu. "Benar, tangkas, nanti kita co ba," ujar tukang ku nci pula dengan b engis, sebab Midun beran i mengelakkan sep aknya. "Ayoh, masuk ke dala m k amar ini, tuk ar paka ian, d an uang mu mari sini semua!" Sesudah belenggunya dibu ka tu kang k unci, den gan segera Midun mengambil uang dalam saku baju, banyaknya Rp 15,- lalu diberikannya kepada tu kang k unci itu. Paka iannya dituka r dengan pakaian orang hukuman. Setelah itu Midun menurutkan tukang kunci dari bel akang. Sa mpai di muka k amar, tukan g kunci berkata pula, "Masuk, binatang! Lekas, anjing!" Mendengar perkataan itu tak dapat yang ak an dikatak an Midun, karena sangat pedih hatinya. Tetapi ia terpaksa berdiam diri saja, lalu masuk ke dala m kamar itu. Setelah kamar dikuncikan, maka tukang kunci itu berjalan, lalu berkata, "Hatihati engkau, berani mengelakkan kaki saya." Midun dimasukkan ke d alam kamar sempit berdinding batu. Dekat pintu masuk ad a s ebuah jende la kecil yan g berter ali besi. Di d alam kamar itu ada sebu ah bangku tempat duduk.


Midun berkat a dalam hatinya, "A duhai, tak ubah saya sebagai perampok b aru ditan gkap. Bag aimanakah akan t idur di d alam kamar sebe sar ini? Akan duduk sajak ah saya siang malam di sini? Ak an dipengapakan nyakah saya, maka disu ruhnya hatihati?" Berkacau-balau pikir an Midun waktu itu. Tidak tentu apa yang akan di buatnya, kar ena ia belu m menge rti apa m aksud orang atas dirinya. Dengan hal begitu, tiba-tiba terdengar pula suara orang, "Keluar!" Biarpun tidak disuruh, k etika pintu t erbuka Midu n hendak keluar juga, karena sangat panas dan pelak di dalam kamar itu. Tidak saja p anas, tet api napa snya berasa ses ak sebab bau busuk. Sampai di luar dili hatnya berpuluh orang hukuman bertinggung berjajar. De ngan tolak an yang am at keras, Midun disuruh pula bertinggung bers ama orang-orang hu kuman itu. Setelah disebutkan sipir nama masing-masing, lalu semuany a disuruh berdiri mengambil perk akas. Ketika Midun hendak berdiri pula, datang seoran g hukuman mel andanya dari belakang, hampir saja ia tersungkur. Karena Midun tahu bahwa ia dil anda it u dengan sen gaja, i a pun berkatalah, " Lihat orang sedikit, Mam ak, kita s ama-sama orang hukuman, tidak ba ik begitu!" Midun tidak tahu bahwa or ang te mpat i a ber kata itu, seorang yang telah masy hur ka rena keberaniannya. Sebelum kamar itu t erbuka, o rang itu sudah disuruh oleh sip ir akan mencobanya. Maka ia pun berkata dengan geramnya, "Hai, anak kecil, berani engkau berkata begitu kepadaku?" Belum h abis ia be rkata, orang itu melo mpat sa mbil menerjang lalu menan gkap Midun h endak dihempaskannya. Midun menyambut dan mengelak badan, sambil merendahkan diri ia melompat ke tem pat ya ng lapang. Orang h ukuman yang banyak lalu menepi akan melihat perkelahian itu. Orang itu menyerang pula sekali l agi, menumbuk dan menyepak dengan sekaligus. M idun merendah, meny ebelah diri men angkis, lalu membuang langkah arah ke ki ri. Or ang i tu tertumbuk ke tonggak lampu, karena deras da tangnya. Sudah dua kal i ia hendak mengenai Midun, t etapi sia-sia. Mukanya me rah karena marah, seb ab Midun masih anak muda dan dia sudah termasyhur berani. Sa mbil tertawa, sipir be rkata, "Cobal ah, Ganjil, sekarang en gkau sudah bert emu den gan lawan mu. Sungguhpun anak muda, tetapi la da padi, cabe rawit, kata


orang Betawi." Midun maklu m, bahwa ia diadu orang. Nyata kep adanya s i Ganjil itu disuruh sipir. Ia ragu -ragu, karena terpikir olehnya orang itu su dah agak tua, dan karena tersuruh oleh kepal a penjara. Tet api melihat si Ganj il itu sungguh-sungguh hendak membinasakan dia, ter paksa ia mesti mel awan untuk memelihara akan diri. Timbul p ula pikiran Midun, bahwa ia sama-sama orang hukuman, dan perlu pula memperlihatkan lelaki-lakiannya sedikit. Sebab itu Midun bersiap menant i serangan, seraya b erkata, "Rupanya k ita d iadu se bagai ayam, apa boleh buat, datangilah!" Si Ganjil mengendangkan tangan ke muka dan dengan lekas ia menyerang, sebab marahnya amat sangat. Dengan membabi buta ia mendesak Midun. Midun selal u menyalahk an seran gan Ganjil, satu pun tidak ada ya ng mengena. Kemu dian Midun berkata, "Tahan pula balasan dari saya, Mamak." Dengan tangkas Midun menangk is serangan Gan jil, lalu mengelik seakan-akan merebahkan diri. Kemudian sebagai kilat kaki Midun... pap, Ganjil tertel entang tidak, bergerak lagi, karena tepat benar kenanya. Sega la or ang h ukuman itu tercengang dan amat heran melihat ketangk asan Midun berkelahi. S ipir dan segala tukang kunci t akjub, karena belu m pernah mer eka melih at a nak muda ya ng setangk as itu. Sambil berjalan, sipir berkata, "Tunggu sampai besok, boleh ia rasai." Ganjil dipapah or ang ke ka marnya, dan M idun disuruh masuk ke dalam sebuah kamar la in, tetapi tidak kamar yang mula-mula t adi. Kamar itu agak lapang, di dalamnya ada sebuah pangkin, yang luas dengan tikar. Sampai di kamar itu, Midun menarik napas l alu berkata sendirinya, "Ya Allah, peliharakan apal ah ki ranya hambaMu ini. Telah engk au lepaskan say a dari bah aya ya ng pertama, begit ulah pula seterusnya h endaknya. Sedih hat iku melihat si Ganjil saya kenai, tetapi apa boleh buat karen a terpak sa. K alau begini, tentu bermacam-macam siksaan yang akan saya terima..." Petang hari itu Midun tidak diganggu-ganggu orang. Kira-kira pukul lima, diantark an orang nasi . Melihat nasi den gan lauknya itu, hampir Midun muntah. Na sinya kotor dan merah kehitamhitaman. Di atas nasi itu ada sepotong daging setengah masak dan garam sedikit. Baru saja Midun menggigit daging itu, ia telah muntah. Daging itu tidak masak dan masih berbau. Tetapi karena perut Midun sudah meminta hendak makan, dimakannya


juga nasi itu dengan garam, se kalipun kersik dalamnya hampir sama bany ak dengan nasiny a. Setelah hari malam, Midun tinggal seorang diri di dalam kamar itu. Lampu tidak ada, sebab itu ia b ergelap-gelap saja. Tetapi t iadalah gelap be nar, karena ada juga cahaya lampu dari lua r melalui ant ara terali besi. Malam itu Midun tak dapat tidu r sekejap jua pun, karena hatinya tidak senang sedikit jua. Perkelahian hari itu tak dapat dilupakan Midun. "Musuhku sudah bertambah seoran g lagi; " pikir Midun. "Tak dapat tiada, Ganjil dendam kepadaku. Jika saya lengah, tentu binasa. Saya harus ingat-ingat dalam hal apa ju apun. Ah, sungguh malang benar saya in i. Di kampung badan tidak senang, di sini makin susah lagi." Setelah lonceng berbunyi dua kali, barulah Midun dapat menutupkan matany a. B ermacam-macam m impi yang men ggoda Midun malam itu. Sebentar -sebentar ia terbangun. Kirakira pukul lima, kedengaran pi ntu k amarnya dibuka orang. Midun segera duduk, takut kalau-kalau musuh yang datang. "Keluar, ambil ransu m!" ujar tukang kunci yang menerima dia kemarin juga. Midun keluar, lalu berbaris de ngan or ang-orang hu kuman. Maka Midun men cari Ganjil dengan matanya, musuhny a kemarin di da lam or ang hukuman yang banyak itu. Tetapi biar bagaimana i a menc ari, Ganjil tidak juga kelihatan. Maka senanglah hatinya, karen a pada pikiran Midun, tentu kakiny a kemarin memberi bekas, mati tidak boleh jadi. Atau boleh jadi Ganjil dipisahkan, sebab belum semua oran g hukuman yang keluar. Midu n membaw a piring lalu pergi mengambil ran sum. Bukan main ganas tukang-tukang kunci itu. M ereka itu main tempeleng, sepak, dan te rajang saja kepada oran g hukuman. Terlambat sedikit at au kurang b eratur be rjalan, par, tempelengnya telah tiba. Pendeknya, asal bersalah sedikit, dengan t idak ampun lagi, kaki t iba di ru suk. Midun sendiri dapat b agian pula, ketika ia terlambat mengambil piring makan. Tidak ubah sebagai binat ang segala orang hukuman it u dibuat oleh pegawai pen jara. Mak in mengaduh makin disiksa, jika melawan mak in celak a la gi. Sudah me minta-minta am pun orang kepadanya, tidak hendak berhenti mereka melekatkan tangan. Midun amat belas ka sihan m elihat orang-orang hukuman itu. Tetapi apa hend ak dibuat, sed ang nasibny a sendiri belum tentu pula.


Sudah makan, segala orang hukuman itu tersinggung dan berjajar pula. Nama masing-mas ing dipanggil sip ir, dan h arus menyahut ".iya" bila sampai kepada namanya. Di sini pun tidak sedikit pula orang hukuman kena terajang, hingga tersungku r sampai men cium tanah. Manakala t erlambat menyahut atau tidak terden gar namanya dipang gil, pukulan sudah tiba di pinggang. Kemudian segala orang itu diperiksa badannya. Tibatiba kedapat an seorang hukuman menaruh uang 5 sen dan rokok di dal am saku baj u. Karena hal itu terlaran g di dal am penjara, orang itu lalu ditarik oleh tukang kunci. S etelah itu ia diikatkan kepada sebuah tonggak, dan dibuka bajunya. Seorang tukang kunci yang l ain memegan g sebu ah rotan, lalu membelasah orang hukuman itu pada punggungnya. Sampai ke langit hij au agaknya orang hukuman itu memekik karena kesakitan, tidak sedik it j ua diacuhk an tukang ku nci itu. Sesudah dipukul, orang hukuman itu jatuh pingsan, tidak sadarkan dirinya lagi. Midun tidak sanggu p melihat penganiayaan yang sangat ngeri itu. Entah hagaiman a gerangan punggung orang itu sesudah dipukul... "Midun bekerja dengan mandor Saman !" ujar sipir setelah habis nama orang hukuman itu disebutkan semuanya. Seorang yang bermisai panjang datang menghampiri, sambil memegang telinga Midun , ia berkat a, "Ha, ha, anak ini yan g mengalahkan Ganjil kemarin, En gku?" katanya ke pada sipir. "Hati-hati engkau bekerja dengan saya, mengerti!" ujarnya pula menghadap kepada Midun. Midun diam saja, telingan ya am at sakit ditarik mandor itu. Jika dia tidak mandor, t entu Midun melawan agaknya. Mulamula Midun disuruh mandor itu membongkar tahi di kakus. Midun enggan men gerjakannya, te tapi karena ancaman, dikerjakannya juga pek erjaan itu. Sehari-harian itu Midun bekerja pak sa. Tak sed ikit jua ia dap at berhenti melepaskan lelah. Asal saja ia berhenti sebentar, mandor itu sudah menghardik. Di ancamnya M idun dengan p erkataan, manakala t idak bekerja, hukumannya akan ditambah. Hanya waktu makan saja ia d apat ber henti. Pekerj aan yang d ikerjakan Midu n sehar i itu pekerjaan berat dan h ina pula. Seakan-akan sen gaja or ang ia kerja paksa sehari itu. P etang hari Midun amat letih. Ketika orang hukum an itu berb aris p ula, M idun hampir tidak ku at berjalan lagi. Sedang ia b ertinggung, tiba-tiba datang seorangorang yang besar t inggi k epadanya, lalu berkata, " Hai anj ing,


berani engkau menggantikan tempat duduk saya? Ayoh, pergi!" Mendengar perkataan orang itu, telinga Midun merah . Sekalipun badannya sangat lesu, mendengar k ata anjin g it u kembali kekuatannya, kar ena sakit hat inya. Oran g i tu berkata dengan bahasa l ain, sebab itu ny ata k epadanya, bahwa orang itu bukan or ang M inangkabau. Apalagi o rang itu sama-sama orang hukuman dengan dia dan bukan bangsany a, mak in bertambah marah dan sakit hati Midun. Midun menj awab dengan lantang suara, "J angan begitu k asar, di sini te mpat or ang hukuman." Dengan tidak menjawab lagi orang itu melompati Midun, yang pada waktu itu masih bertinggun g jua. Biarpun Midun sudah letih, tetapi ti daklah kurang kekuatannya menangkis serangan orang itu. Di a tidak mempermain-mainkan musuh seperti dengan Gan jil kemarin. Setelah oran g itu jatuh, datang pula seorang lagi. Yang seorang tadi bangu n lagi, lalu berdua-duakannya melawan Midun. Kemudian jatuh pula sekal i lagi, tidak bangun kembali. Tetapi sudah datang pula kawannya akan menggantikan. Sungguhpun demikian, Midun setapak tidak undur. Tiga lawan satu, bukan main riuhnya dalam penjara itu.


9. Pertolongan dan Kalung Berlian

ALKISAH mak a tersebutlah perkataan bahwa di dalam penjara itu adal ah b ermacam-macam bang sa orang hukum an. Mereka itu tidak ada yang kurang huk umannya dari set ahun. Demikianlah, di antara orang huk uman y ang banyak itu ada seorang Bugis, yang dapat huku man se umur hidup. Namanya Turigi, umurnya lebih kurang 50 tahun. Turigi adal ah seoran g yang baik, sabar, dan r amah-tamah. Amat dal am ilmunya, dan banyak pengetahuannya orang tua itu. Dalam hal agama Turigi alim pula. Konon kabarnya ia se orang bangsawan di negerinya, dan menj adi penasihat dan dukun. Tetapi kal au ia marah, tak ada yang berani bertent angan dengan Turigi. Agaknya entah karena ia dibuang selama hidup itu gerangan. Jika Turigi marah tidak me mbilang lawan dan tidak takut kepada siap a pun jua. Segala orang hukuman it u takut kepada Turigi. Bukan karena beraninya saj a ia ditakuti orang, tetapi terutama ial ah karen a sudah or ang tua; kedua, dala m pengetahuannya; dan ketiga, amat baik b udi pekertin ya. Sipir pe njara itu sendiri segan kepada Tur igi, apalagi tu kang kuncinya. Sebab itu Turigi di dalam penjara tidak ada yang beran i me merintahi, dan ia bekerja sesuka-suka h atinya s aja. Sekalipun Turigi oran g hukuman, tapi keadaann ya di penjara tidak ubah seperti di rumahnya sendiri, bahk an lebih agaknya. Makannya dila inkan, diberi tempat tidur yang baik, dan l ain-lainnya. Pendeknya, segala keperluan Turigi dicukupkan. Ketika Midun berkelahi dengan Ganjil kemarin, Tu rigi ada pula mel ihat. Senang benar ha ti Turigi melih at oran g muda yang tangkas dan berani itu. Menurut ilmu firasat nya, Midu n seorang anak yang amat b aik tingkah laku dan tertib sopannya. Sebab itu ia amat heran , dan berkat a dalam hat i, "Apak ah sebabnya orang yan g sebaik itu dapat hukuman? Kesal ahan apakah yang telah diperbuatnya ? Ka sihan, b iarlah bes ok atau lusa tentu saya ketahui j uga ke salahan oran g mud a itu maka dihukum. Ingin benar saya hendak berkenalan dengan dia." Pada keesokan harinya dilihat Turigi, Midun bekerja paksa. Hampir-hampir tidak terderita oleh Midun pekerjaan yang di kerjakannya itu. Apalagi melihat Midun mengerjakan pekerjaan yang amat hina, timbul kasih an Tur igi. T ampak nyata oleh


Turigi, Midun hampir tidak kuat lagi menahan siksaan pegawai penjara. Melihat hal itu, Turigi men arik napas, akan melarang tidak berani, karena dia sendiri orang hukuman pula. Tetapi melihat Midun sudah payah bekerj a seh ari it u sekarang dipersama-samakan orang pula, Tu rigi tak dapat lagi men ahan hati. Pada pi kiran Turigi, "P erbuatan i tu ti dak p antas, da n ti dak boleh d ibiarkan. Seor ang anak muda sesudah disik sa, disuruh perkelahikan pula oleh tiga orang." Dengan tidak berkata sepatah kata jua, Turigi melompat ke tengah perk elahian itu. Ia berkat a dengan geram, "Berhenti berkelahi! J ika tidak, bi ar s iapa saj a say a pata hkan batan g lehernya. Tidak adil!" Mendengar perkataan itu, segal a oran g hukuman menepi. Sipir dan tukang kunci undur, ka rena melihat Turigi sangat marah. Dari ketiga o rang yang mem persama-samakan itu, dua sudah jatuh dikenai Midun. Ya ng seoran g lagi, ketika mendengar suara Turig i, mel ompat lar i. Oran g itu su dah berni at juga hendak lari, karena selalu kena saja tiap-tiap mendatangi Midun. Maka i a m elawan juga, hanyalah karena malu. Untung benar ia, Tu rigi datan g memisahkan perkelahian itu. Midun tidak lar i, ia tegak berdiri di.tengah medan perke lahian itu. Amat heran ia melihat orang it u. Midun tidak mengerti, apa sebabnya or ang habis lari d an sipir, tukang kun ci undur ke belakang mendengar perkataannya. "Siapakah orang in i?" kat a Midun dalam hat inya. " Malaikatkah atau manusiakah yang hendak menolong saya dalam bahaya ini? Atau b apakku Haji Ab baskah yang terbang ke mari hendak menolong anaknya? Amboi, jika datang seorang lagi menyerang saya, tak dapat tiada nyawaku mel ayang. Untung .. . ia dat ang menolongku." Sedang pikiran Midun melayang-layang d an r agu-ragu melihat orang tua itu, Turigi mengh ampiri Midun, lalu berkata, "Apa anakkukah yang ke na? Ba pak lihat pucat benar!" Mendengar perk ataan itu semangat Mi dun ra sa te rbang. P ada pikirannya, pasti bapak nyalah vang datan g membela dia. Pemandangan Midun tidak terang akan melihat benar-benar rupa orang i tu. Pertam a hari sud ah sa mar muk a, kedua ia sangat payah. Midun t erduduk karena sangat lelah, lalu berkata, "Tidak, Pak, hanya badan saya yang letih." Turigi seger a memangk u Midun, l alu dibawanya ke


kamarnya. Midun pingsan, tiada tahu lagi akan dirinya. Dengan perlahan ia ditidurkan T urigi di at as temp at tidu r. Setengah jam kemudian daripada itu, Midun mulai sadar. Ketika ia membukakan mat a, terlihat k epadanya cahaya teran g. Ia merabaaba, tera sa olehnya ba hwa ia t idur di at as k asur. Midun menggerakkan kepala ak an melih at sekeliling k amar itu. Tibatiba tampak kepadanya seorang tua sedang sembahyang. "Hai, bermimpikah aku in i?" pikir Midu n dalam hat inya. "Di manakah saya sekarang? Siapakah yang membawa saya kemari?" Midun meng gosok mata, seolah -olah tidak per caya kepad a matanya. Bi ar baga imana juga Midun menggosok mata, tetapi pemandangannya tetap demik ian juga, tiada berubah. Dengan segera Midu n bangun, l alu duduk. Dilihatnya orang tua itu sudah sembahyang. Maka Midun pun berkatalah, " Di manak ah saya ini, Bapak?" Turigi meny ahut, katanya, "Di penjara, tetapi sama jug a dengan di rumah sendiri, bukan? Sudah baik benarkah, Anak?" "Sudah, Bapak," ujar Midun. "Siapakah Bapak dan mengapa Bapak di sini?" "Bapak in i or ang hukum an, sa ma jug a dengan Anak," ujar Turigi. "Tetapi bapak dihukum selama hidup. Bapak bukan orang sini, n egeri bapak di Bugis. Sudah sepuluh tahun dengan sekarang, b apak d ibuang kemari. S ebab itu b apak pand ai berbahasa orang sin i. N ama Anak s iapa dan orang man a? Apakah kesalahan Anak, maka sampai kemari?" Midun baru insaf, di mana dia d an dengan sia pa ia berhadapan. Tahulah ia, bahwa orang tua itulah yang memisahkan perkelahian tadi. Midun berk ata pula katanya, "Na ma saya Midun, negeri saya di Bukittinggi. Sebabnya saya kemari, sekalikali tidaklah kesalahan saya, Bapak." Maka Midun menceritakan hal ihwalnya kepada Turigi sejak bermula sampai ia dimasukkan ke dal am penjara itu. Setelah tamat M idun bercer ita, T urigi mengangguk-anggukkan kepala. Ia san gat belas k asihan kepada Midu n, karena masih mu da sudah menderita siksa dan mal apetaka yang demikian. T ibatiba Midun b erkata pula, katanya, "Saya a mat he ran, Ba pak! Ada pulakah hukuman sel ama hidup? Apakah kesalahan Bapak, maka dapat hukuman yang amat berat itu?" "Bapak dihukum selama h idup, ialah karena terdakwa membunuh Kepala Negeri, ketika terjadi perusuhan di negeri bapak dua belas t ahun yang sudah!" uj ar Turigi. "Sebelum bapak


dihukum, pe kerjaan b apak jadi duk un dan men jadi ketua kampung. Apa boleh buat Midun, karena sudah n asib bapak demikian. Ha nya sekian la ma ce rita bapak kepada Midun. Tak ada gun anya bapak ceritakan panj ang-panjang hal bapak, karena menyedihkan hati saja, padahal nasib bapak akan tetap begini juga. Di sini bapak sudah sepuluh tahun lebih. Selama di dalam penjara ini tel ah banyak bapak melih at kejadiankejadian y ang menyedihkan. Siksaan dan ancaman pegawaipegawai pen jara di sini sungguh terlalu. Merek a berbuat sekehendak hatinya saja kepada orang hukuman. Tidak ubah sebagai bin atang orang hukuman itu dibuatnya. Dirotan, ditendang, ditinju, disegalamacamkannya saja. Orang hukuman yang keluar dari sini agaknya jarang yang selamat hidupnya. Sebab itu bapak har ap kepada Midun, ingat-ingat menjaga diri. Jangan Anak lengah semenit jua. Bapak bersenang hati sungguh melihat Midun. Bapak pe rcaya, takk an dapat or ang berbuat semau-maunya saja kepadamu. Ganj il, yang berkelahi dengan Midun kem arin, ad alah seorang hukuman yang sangat berani. Semua orang hukuman di sini takut kepada Ganj il. Kepada bapak seorang ia agak segan se dikit. Tetapi Midun gamp ang saja menjatuhkan Ganjil . Lebih-lebih ketika bapak melih at perkelahian Midun tadi, sungguh heran benar hati bapak. Bapak rasa tid ak akan beran i lagi orang mengganggu Midun, karena sudah dilihat mereka sendiri dengan mata kepalanya bagaimana ketangkasan Midun. Hanya yang bapak takutkan, Midun ditikam orang dari belakang dengan tiba-t iba. Karena itu, hati-hatilah menjaga diri yang akan datang." "Nasihat Bapak itu saya j unjung tinggi," ujar Midun. "Tentu saya akan lebih ingat, karena mu suh saya satu dua orang lagi d i penjara ini. Dan saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas pertolongan Bapak tadi. Jika Bapak tidak datang memisahkan perkelah ian itu, boleh jadi saya t ewas k arena tidak satudua or ang y ang menyer ang saya. Apalagi dar i p agi sampai petang saya selalu bekerja paksa." Sejak terjadi perkelahian itu, Midun sudah agak senan g bekerja sedikit. Sekalipun bera t, tetapi tidak mengerjakan pekerjaan yang hina lagi. Sebab sudah biasa dari sehari kemari, tidak lagi terasa berat ole h Midun. Orang hukuman seorang pun tak ada pula yang berani meng ganggunya. Bia r bag aimana ju a pegawai pen jara men gasut akan berkelahi deng an Midun, mereka tid ak mau. Ap alagi M idun deng an Tur igi su dah se perti


anak dengan bapak, ma kin mena mbah takut or ang kepad a Midun. Setiap petang Midun data ng kepada Turigi belajar ilmu obat-obatan dan lain-lain yang berguna kepadanya kelak. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari. Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat, Midun dudukduduk dengan Turigi, kar ena sudah hampir waktu makan. Tibatiba kelihatan oleh Midun seseorang dibelenggu masuk penjara. Darah Midun tersiap pula, karena orang itu ialah Lenggang yang akan dik irim ke negeri tempatnya menjalank an hukuman. Menanti kapal mest i Len ggang bermalam di penjara. Ia terus dimasukkan tukang kunci ke da lam sebuah kamar. Midun tidak kelihatan olehnya waktu masuk ke dalam. Ketik a Lenggan g dibawa tukang kunci, Midun berkata kepada Tur igi, "Bapak! Itulah oran g yang hend ak me mbinasakan s aya di p acuan kuda Bukittinggi dahulu. Rupan ya baru sekarang ia dikirim ke negeri tempatnya dibuang." Ketika Turigi melihat Lenggang itu, timbul pik irannya hendak bert anya, ba gaimana pik iran Midun terh adap ke pada musuh yang hampir menewaskan ny awanya itu. Tur igi berkata, katanya, "Midun, orang itu bara ngkali ada se minggu di sin i menanti kapal. Jika engk au hendak membalaskan sakit hatimu, sekaranglah waktunya. Maukah engkau, boleh bapak katak an kepada tukang kunci?" "Kasihan, Bapak, jika begitu tentu dia jatuh ditimpa tangga, dalam basah kehujanan pula," ujar Midun. "Sungguhpun ia seorang j ahat, tetapi sekarang tentu ia menyesal atas perbuatannya itu. Ia bukan musuh say a, melainkan karena makan upah. Sebab tamak akan uang, mau ia membu nuh oran g. Sekarang ia t entu menyesal amat sang at, dibuang s ekian lama ke negeri l ain, menin ggalkan negeri tumpah darahnya. Jik a saya hendak membalas tentu boleh, tetapi tak ada angan-angan saya macam itu. Cukuplah suda h ia menerima hukuman atas kesalahannya karena loba akan uang, tidak usah ditambah lagi." Turigi ter diam d iri m endengar perk ataan Midun . Dalam hatinya ia a mat me muji pikira n Midun yang mulia itu. Sudah hampir sebulan Turigi bergaul dengan dia nyat a kepadanya , bahwa Midun, biarpun masih anak muda, amat baik dan lanjut pikirannya. Sedang Tur igi ber pikir-pikir itu, dat ang tukang kunci kepad a Midun, m engatakan a da op as da ri Bukitt inggi hendak bert emu sebent ar dengan dia. Midun maklum, tak dapat ti ada Gempa Al am yang he ndak bertemu it u. Ia segera


keluar mendapatkan Gempa Alam. "Saya kira en gkau telah mati, M idun, kiranya t idak kurang suatu apa," u jar Gempa Alam. "Adakah selamat saja engkau di sini?" "Berkat doa Mamak, insy a Allah adal ah baik saj a, " ujar Midun. Karen a Midun hany a diiz inkan sebentar saja boleh bertemu, dengan ringk as saj a ia menceritakan pen anggungannya selama di dal am penjara Padang itu. G empa Alam memuji dan bersenang h ati melihat Midun se lamat. Kemudian diceritak an Gempa Alam sesalan Lenggang telah menganiaya Midun. Setelah itu Gempa Alam bersalam memberi selamat tinggal. Keesokan ha rinya pag i-pagi, sedang Midun menyapu di dalam penjara, dilihatny a Lenggang sudah berkel ahi dengan Ganjil. Midun berhenti menyapu, karen a ingin hendak mel ihat Lenggang berkelahi, seorang ya ng su dah masyhur jahat itu . Dalam perk elahian itu Lenggang amat pay ah. Tiap-tiap Lenggang mendatangi Ganjil, sel alu ia jatuh. Sungguhpun demikian, Lenggang tak u bah seperti orang kebal. Setelah ia jatuh, bangun dan menyerang pula. Demikianlah berturut-turut beberapa k ali. Ketik a itu nyat a kepada Midun, bahwa Ganjil seorang yan g tangka s, da n patu t terb ilang ber ani di penjar a itu. Melihat Lenggang jat uh dan tidak berger ak lagi kena k aki Ganjil, Midu n amat kasihan. Biarpu n Lenggang musuhnya, tetapi dapat ia menah in hati. Midun segera melompat, lalu berkata, "Ini dia yang lawanmu, Ganjil! Mari kit a ulang sekali lagi, sebab tempo hari belum sam-sama puas hati kita!" Ganjil menganjur langkah surut, sa mbil memandang kepada tukang kunci yang melihat perkelahian itu dari jauh. Setelah itu dengan tid ak berkata sep atah jua, Ganjil berjala n. Ia tidak berani lagi bertentangan dengan Midun, sebab sudah dirasainya bekas k aki orang muda itu bulan y ang lalu. Midun dengan segera mengambil tan gan Leng gang, lalu dibimbingnya ke kamar. Lenggang amat malu me lihat muka Midun. Dengan memberanikan diri, m aka iapun me minta m aaf a kan seg ala kesalahannya kepada Midun. Sete lah ia me minta t erima kas ih atas pert olongan Midun kepadanya, maka diceritakannyalah sejak ber mula sa mpai k esudahan ak an halnya d iupah oleh Kacak hendak membunu h Midun dahulu itu. Bahkan Midun diberinya pu la nasih at, supaya jan gan pulang k e kampung, karena Kacak sangat benci kepadanya. Mendengar cerita Lenggang itu, Midu n baru in saf benar-


benar, bahwa Kacak itu sudah menjadi musuh besar kepadanya, hingga hendak menewaskan jiwa orang. Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ia disuruh bekerja di lu ar. Dalam pekerjaan itu d imandori oleh Saman yang bengis itu juga. Teta pi mandor Saman tidak berani memukuli Midun, sebab ia sudah melihat keberanian anak muda itu berkelahi. Lagi ia takut kepada Turigi, yang sangat mengasihi Midun itu. Sungguhp un demikian, Midun selalu dapat ancaman jua . I a di suruh man dor Sa man bekerja paks a. Bila Midun lalai sedikit saj a atau berhenti sebentar, ia sudah menghardik dan men gatakan, "Midun lalai, nant i aku adukan kepada sipir, supaya bertambah hukumanmu." Dengan hal yang demikian Midun tiap-tiap hari bekerja keras, berhujan berpanas dengan t idak berhenti-he ntinya. Kadang-kadang timbul pikiran Midun hendak melawan, tetapi ia t akut hukumannya akan bertambah. Sedang hari yang te lah dua bulan lebih itu, seraso dua abad kepada Midun. Rasakan ditariknya hari supaya sampai 4 bulan, supaya lekas ia bertemu dengan ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya. Tidak sanggu p Midun melihat beberapa hal yang san gat menyedihkan dalam penjara jahanam itu. Ngeri dan tegak bulu romanya mel ihat penganiayaan yang dilakukan ol eh pegawai penjaga kepada orang-orang hukuman. Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang. Mulamula ia menyapu di Kampung Jawa. Kemudian dipindahkan pula ke Muara, pada jalan di t epi la ut. Di sana Midun agak senan g sedikit, sebab jalan-jalan di si tu tidak kotor ben ar, karena sunyi dan jarang orang lal u lint as. Tetapi meskipun senang ia bekerja, hat inya bertambah sedih. Memang lau t lepas it u jauhlah pik iran Midun daii ti mbullah beberapa kenangkenangan dalam hatinya. Apalagi pagi-pagi matahari yang baru terbit, terse mbul dar i m uka air, menyinari segala alam j agat ini, amat memilukan hat inya. Perahu pengail yan g dil amunlamun ombak di tengah lautan dan gelombang turu n naik beralun dan sabung-menyabung, se akan-akan meman ggil Midun akan membawanya ke seberang lautan. Sekali perist iwa hari amat ce rah, l angit pun hij au laksana tabir w ilis ta mpaknya. Panas ter ik amat s angat, h ingga orang tidak ada yang tahan tin ggal di dalam rumah. Baik laki-l aki, baik pun perempuan banyak keluar dari rumah akan mendinginkan badan. Orang yang t inggal dekat-dekat Muara itu banyak


datang ke t epi laut, berlind ung sambil bermain di bawah pohon-pohon. Sungguh senang da n sej uk berlindung di bawah pohon kayu waktu hari panas. Apalagi jika diembus angin timur yang dat ang dari laut dengan lunak lembut. Segala orang hukuman sudah berhenti menyapu, karena waktu makan sudah datang. Sete lah matah ari tur un dan panas kuran g teriknya, mereka yang berlindung itu ke mbali ke ru mahnya m asingmasing. Midun dan orang hukum an yang lain mulai pul a menyapu. K etika Midun menyap u di baw ah sebatang poh on kenari, kelihatan olehnya sebuah kalung berlian terletak di atas urat kayu yang tersembul ke at as. Barang itu segera diambilnya, lalu dimasuk kannya ke dalam saku bajunya. Ia berniat hendak men gembalikan barang itu kepada y ang pu nya. Tetapi timbul pula pikiran lain dalam h ati Midun. Melihat berlian itu, bolak-balik pikirannya akan me ngembalikannya. Sedang Midun termenung mengenangkan barang itu, lalu ia berkata dalam hatinya, "Kal au say a tidak salah, yan g duduk di sini tadi, ada seorang perempuan cantik . Melihat kepada tampan perempuan itu, rupanya ia anak gadis. Benarlah dia dan saya kenal tempat tinggalnya k etika saya menyapu j alan di muka gedung itu. Rumah gadis itu gedung yang amat indah. Orang Belandakah gadis itu? Te tapi jik a saya jual baran g ini, tentu banyak juga saya beroleh uang dan berapak ah gerangan h arganya? Seratus rupiah tentu dapat. Boleh aku pa kai j adi pokok be rniaga, bila hukumanku habis. Tetapi, ah, ru panya pikiran saya sesat. Ap a gunanya saya beragama, jika takkan pandai menahan hat i kepada peke rjaan yang salah. Hak milik orang harus say a kembalikan. Lagi pula oran g hukuman mempunyai baran g macam ini, tentu mu dah o rang mempeduli s aya men curi. Mudah-mudahan karena dia oran g kaya, kalau saya menanam budi ada juga baiknya kelak." Midun melih at kian kemari, se bagai ada yang d icarinya. Setelah diket ahuinya man dor Saman pergi ke Kampung Jaw a, Midun se gera berj alan k e ged ung tempat gadis itu tinggal. Sampai di p intu gapura, Midun disal ak anj ing. Tidak l ama keluar seorang perempu an, amat pu cat dan kurus rupanya. Payah benar perempuan itu berjalan, agaknya dalam sakit atau baru se mbuh dari s akit. P erempuan it n dipi mpin o leh seoran g gadis yang amat cantik, yaitu gadis yang dilihat Midun di bawah pohon ken ari tadi. Ket ika kedu a perempuan itu melihat orang hukuman, mereka itu terkejut ketakutan. Dengan gagap,


perempuan pucat itu berkata, "Masuklah, apa kabar?" "Bukan orang Belanda kiranya orang ini!" pikir Midun dalam hatinya. Ia maklum bah wa perempu an itu dalam ketakutan melihat dia seorang hukuman. Midun berkat a sambil m asuk pekarangan rumah, katanya, "Kabar baik, orang kaya. Meskipun saya o rang hukuman, ta k usah oran g kaya khaw atir, karen a saya membawa kabar baik. Kalau saya tidak salah, Unikah yang datang ke Muara tadi dan berlindung di bawah pohon kenari?" "Benar," ujar gadis itu dengan heran bercampur takut, karena ia tidak menge rti apa mak sud pertanyaan oran g hukuman itu kepadanya. "Adakah Uni ketinggalan apa-apa di bawah poh on itu ketika hendak kembali?" ujar Midun sambil memandan g gadis itu dengan sopan. Gadis itu meraba lehernya, la lu lari k e dalam seolah-olah ada yang dicarinya. Tidak lama ia kembali, mukanya pucat, lalu berkata, "Ibu, kalung berlian hamba tidak ada lagi. Sudah hamba cari di lemari dan di bawah ban tal tidak bert emu. Tadi rasanya hamba pakai bermain-main ke Muara. Waktu balik ke rumah, entah masih hamba paka i e ntah tidak, hamba tidak ingat. Adakah Ibu melihatnya?" "Tidak," ujar perempuan itu dengan cemas, ibu dari gadis itu agaknya. "Ketika kau pula ng tadi, tidak memakai k alung saya l ihat. Aduhai, cuk uplah rasany a say a mak an hati dan menahan sedih selama bercerai de ngan b apakmu, te tapi sekarang ad a-ada pula yang terjadi . Tak dapat tiada, jik a bapak tirimu tahu hal ini, alamat tidak baik jadinya. Sedangkan perkara kecil saja boleh menjad ikan sengketa d i rumah in i, apalagi kehilangan kalung berlian yang semahal itu harganya." Ketika Midun melihat ibu dan anak itu dalam kecemasan, ia pun berkata sambil mengeluarkan kalung itu dari saku bajunya, katanya, "Janganlah Orang kaya dan Uni cemas, sebab saya ada mendapat kalung itu. Inikah kalung itu, Uni?" Midun lalu memberikan k alung itu kepada gadis it u. Serta gadis lalu melihat, diambilnya ka lung itu dan segera dikenal inya; lalu ia pun berteriak, melompat-lompat karena ri ang seraya berk ata, "Betul, in ilah kalung saya. Terima kasih, Udo. Terima kasih banyak-bany ak. Untung Udo yang mendapatkannya, jika orang lain barangkali tidak akan dikembalikannya." Gadis itu memandang kepada ibuny a, se bagai ada yan g hendak dik atakannya. Ibu itu rupanya mengerti apa maksud


anaknya. Maka ia pun berkata kepada Midun, "Masuklah dulu, orang muda!" "Tak usah l agi, Orang kaya," ujar Midun. "Saya or ang hukuman, tidak boleh lama-lama di sin i. Saya mohon permisi hendak balik ke tempat saya bekerja." Sambil mengeluarkan uang kertas li ma rupiah, ibu gadis itu berkata, " Jika or ang muda tid ak mau masuk, ba iklah. Sebag ai tanda ka mi bergirang ha ti mend apat barang itu kembal i da n tanda terima kasih saya, saya harap uang yang sedik it ini orang muda terimalah dengan suka hati." Perempuan itu memberik an uang kepada Midun. Tetapi Midun tidak mau menerimanya, lalu berkata, "T erima ka sih banyak! Saya harap Orang kaya jangan gusar, karena say a belum pern ah menerima uang ha diah ma cam ini. Saya wajib mengembalikan barang ini kepada yan g punya, karena bukan hak saya. Dan saya tidak mengha rapkan sesuatu dari perbuatan saya itu. Yang say a laku kan ini adalah menurut agama dan kemauan Tu han, karena itu say a harap janganlah oran g kaya memberi saya hadiah." Biar bagaimana jua mereka itu keduanya menyuruh mengambi u ang itu, Midun selalu men olak. Setelah itu ia pun kembali ke tempatnya bekerja, lalu menyapu pula. Sedang menyapu jal an, Midun terkenang aka n perkataan perempuan itu kepada anaknya. Mak a ia berkata dalam hat inya, "Sungguh ajaib duni a ini. Ap akah s ebabnya perempuan itu makan hat i? Apakah yang disedihk annya? Ia tinggal dalam sebuah gedung yang in dah di tepi jal an besar. Kehen daknya boleh , pintanya berlaku, seb ab uang ban yak di pet i. Berj ongos d an berk oki, beranak seorang per mainan mata. Keinginan apakah lagi yan g dikehendakinya dengan hidup cara demik ian? Sungguh heran, siapa y ang akan menyangka orang yang sesenang itu ada menanggung kesedihan? Ben arlah ada ju ga seperti k ata pepatah: ay am be rtelur dalam pad i mati kelaparan, it ik berenang dalam air mad kehausan." Dalam berpik ir-pikir hari sudah petang, lalu Midun kembal i ke perkara. Malam itu ia amat bersenang hati, karena meskipun dia or ang h ukuman, dapat juga berbuat pahal a. Tamp aktampak dal am pikiran Midun wa jah gadis itu bergiran g hati setelah barangnya dikembalikan. "Orang manakah gadis itu? Siapakah b apak tirinya? Sungguh cantik dan elok rupanya, sukar didapat, mahal dicari."


Pertanyaan itu timbul sekonyong-k onyong dalam pikiran Midun. Kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya sampai pagi. Hukuman Midun sudah h ampir habis. Menurut hematny a tingga115 hari lagi. Rasakan dibe lanya hari yan g 15 hari itu, karena ingin hendak pulang menemui keluarganya. Makin dekat hari ia akan dilepaskan, mak in rajin Midun bekerja. Kemauan mandor Saman diturutnya belaka , biar apa saja y ang disuruhkannya. Midun amat sabar, dan harapan jangan hendaknya terjadi apa-apa sampai ia bebas. Tengah hari ketika Midun hendak pergi mengambil r ansum, tibatiba dat ang se orang perempu an tua kepadan ya, lalu berkata, "Ibu Halimah menyuruh mengantarkan nasi untuk orang muda." "Halimah?" ujar Midun dengan heran , "Siapa Hal imah itu, Nek? Saya b elum ad a b erkenalan di sin i. Baran gkali nenek salah, bukan saya yang dimaksud ibu Halimah itu agaknya." Orang tua itu bingung, karena tidak tentu akan jawabnya. Ia hanya disuruh orang mengantarkan nasi kepada Midun, diantarkannya. Bagaimana seluk-beluk ibu Halimah den gan Midun, sedikit pun ia tid ak tahu. Sebab itu ia melihat ke s ana kemari, seakan-akan Ada yang dicari orang tua itu. "Ibu saya menyuruh men gantarkan nasi untuk Udo," ujar Halimah, sambil kelu ar dari bal ik pohon ke nari, sebab dilihatnya n enek itu dalam keragu- raguan akan menjawab pertanyaan Midun. "O, Uni gerangan yan g bern ama Halimah!" ujar Midun dengan hormat. "Maaf, Uni, karena saya belum tahu nama Uni, saya k atakan tadi kep ada nenek ini, bahwa saya belum berkenalan seorang jua di sini. Mengapakah ibu Uni menyuruh mengantarkan nasi benar untuk saya, orang hukuman ini? Saya harap jan gan Uni berke cil hati , karena say a tidak sanggup menerima p embawaan ini. Teri ma kasih banyak, sudilah kiranya Uni membawa nasi ini pulang kembali!" "Benar,h say alah yang bernam a Hal imah," ujar gadis y ang kehilangan k alung kemarin itu. "Ibu meminta benar dengan sangat, supa ya Udo suk a me makan nasi in i. Saya hara p janganlah Udo bertangguh seperti, kemarin pula!" "Tidak, Uni, sekali-kali tidak," ujar Midun pula. "Say a mengucapkan terima kasih ban yak saja at as kemurahan Uni dan ibu itu. Takut saya ak an te rbiasa, sebab or ang huk uman h anya makan nasi dengan garam. Bawalah balik pulang!" "Saya sudah payah memasak, tetapi Udo tidak mau pula me-


makan," ujar Halimah sebagai or ang berib a hati dan merayu. "Perkataan U do meng enai hati saya. Tidak b aik b egitu, Udo! Jika Udo tak hendak memakan na si i ni, buangk an saj alah ke laut itu! Ikan di laut barangkali ada yang suka memakannya." "Marilah k ita pulang, Nenek! " ujar Halimah pula kepada orang tua itu. "Sebentar lagi kita ambil rantang ini kemari." Halimah dan nenek itu pulang. Midun tinggal seorang diri dengan rantang terletak di hadapannya. Ia duduk sebagai orang teringa-inga. Perkataan Halimah sebagai bunyi buluh perindu masuk ke tel inganya. Merdu sungguh, entah di mana perasaan Midun ketika itu. Akan menolak permintaan Halimah sekali lagi, ia rasa tak sanggup. Lagi p ula Hal imah sudah bergulut saj a pulang, sesudah habis berkata tadi. "Ah, kalau saya .... Tidak bo leh jadi, tak dapat tiada sebagai si pu ngguk merindukah bulan. Dan mustahil makan an enggang akan tertelan oleh pipit," d emikianlah p ikir Midun dalam hatinya. Ketika Midun hendak membuka rantang, tiba-tiba bahunya '' ditarik orang dar i bel akang dengan k uat. Sambil menghardik, orang itu berkata, "Eh, binatang, engkau tidak t ahu, orang hukuman sekalikali tidak boleh bercakap dengan orang preman? Berani sungguh, itu siapa? Ingat! Hukumanmu boleh bertambah lagi!" Mendengar perkataan itu, Midun rasa disambar petir, sebab terkejut. Kerongkongannya tersumbat, napasnya turun naik menahan hati, ketika di lihatnya mandor Saman yang menarik dia. Hampir tid ak dapat Midun menahan marahny a mendengar cerita yang amat keji it u. Lama baru Midun dapat menjaw ab perkataan mandor S aman itu. Ma ka ia pun berkata, "Jangan terlampau penaik darah, Mamak! Marah gampang, semua orang dapat berbu at demik ian. Tanyakan dulu sebab-sebabny a, kemudian kalau nyata saya bers alah, biar sepuluh tahun lagi hukuman say a bertambah , apa boleh buat. Bukan saya yang membawa orang itu be rcakap, melainkan di a yang dat ang kepada saya." Mandor Saman undur ke belakang mendengar perkataan Midun yang l unak, tetapi pedas itu. Biasanya bil a ia melihat orang hukuman berbuat salah tidak ditanyainya lagi, melainkan pukulan saja yang tiba di p unggung. Tetapi kepada Midun, mandor Saman agak gentar, kare na sudah dilihatnya ketangkasan anak muda itu. M aka katanya, "Ya, siapa, ini apa? Dan jalan


apa kepadamu oran g itu?" Midun menerangkan den gan pendek, apa yang telah terjadi m aka ia meng enali anak g adis itu, lalu berkata sambil m embuka rantan g, kat anya, "Maa fkanlah s aya, Mamak! Bukankah selera Mamak juga yang akan puas. Bagi saya lebih-lebihnya saja jadilah. Kita tidak usah berje rih payah lagi mengambil ransum ke penjara." Melihat goreng ayam, semur, sambal petai, dan lain-lain itu, mandor Saman lekas-lekas menelan air liurnya yang hendak berleleran. Sudah 10 tahun dia menjalani hukuman, dan karena dipercayai s ipir sampai diangkat menjad i ma ndor, lamun makanannya sama juga dengan orang hukuman yang lain. Tetapi melihat nasi dengan la uk-pauknya itu, lekum mandor Saman turun -naik, ha mpir m akanan it u dir ampasnya. M aka ia berkata den gan pen dek, "Ba iklah, asal setiap h ari beg ini. Tetapi s aya menyesal kal ung itu en gkau kem balikan. Bodo h benar, jika dijual betapa baiknya...." Bukan m ain mandor Sa man menc aruk nasi den gan lauknya. Hampir tidak dikunyah, terus masuk perutnya. Setelah kenyan g ia pergi. M idun mengan gguk-anggukkan kepal a saja melihat mandor Saman yang t amak itu. Bagiannya tinggal sedikit lagi, tetapi tidak pula dimak annya. Midu n merasa malu jika isi rantang itu habis sama sekali. Mengetahui nama an ak gadis itu saja lebih mengenyangkan daripa da makan nasi pada perasaan Midun. Maka rantang itu disu sunnya baik-baik. K etika orang hukuman akan pergi mengambil ransum, ia meminta tolong saja kepada temannya meny uruh bungkus ran sum bagiannya. Tengah h ari Halimah k embali pula dengan n enek akan mengambil rantang. Masa itu Mi dun masih duduk-duduk, karena waktu kerja belum t iba. Baru saja Halimah dekat, Midun berkata, "Terima kasih, Uni! Bersusah payah benar rupanya Uni memasak, tidak ubah sebagai makanan engku-engku. Segala isi rantang ini sudah hampir habis oleh saya. Maklumlah, Uni, tiaptiap o rang suka kepad a yang enak , apalag i yang belum dirasainya. Tolongl ah sampaikan salam s aya ke pada i bu Uni , dan terima kasih saya atas kemurah an beliau k epada an ak dagang yang daif ini." "Terima k asih kembali, " uj ar H alimah. "Janganlah membalikkan huj an ke langit itu, Udo! Sementara saya orang dagang, jangan ter lampau benar menyindir. Udo nyata kepada saya orang sini, tetapi saya orang jauh-jauh di seberang laut." "Sebenarnya, Uni, sekali-kali saya ti dak menyindi r!" ujar


Midun dengan heran. "Negeri saya di Bukittinggi, saya dihukum kemari. Uni siapa dan orang mana?" "Bukittinggi itu bukankah suda h Padang juga namanya," ujar Halimah. "Tetapi k ami orang da ri tan ah Jawa, dagang l arat yang sudah 10 tahun dibawa unt ungnya kemari. Jika tidak beralangan kepada Udo, sudilah Udo menerangkan apa sebabnya Udo dihuku m ini? Ibu pun heran, karena Udo berlainan dengan orang hukuman yang biasa beliau lihat." "Benar, sungguhpun Bukit tinggi Padang juga, tetapi bukankah saya sudah meninggalkan kaum keluarga." Midun menerangkan dengan pendek halnya sampai dihuku m ke Padang itu. Ketika Midun hendak bertanyakan asal dan siapa bapak tiri Halimah, mandor Sa man berkata pula, "Midun, ayoh kerja, waktu sudah habis." Hingga itu percakapan mereka terhenti. Halimah dan nenek itu pulang ke rumahnya. Halima h tahu sudah nama anak muda itu, ketika mand or Sa man me manggil namanya. Demikianlah hal Midun, setiap hari diantari nasi oleh Halimah ke Muara. Halimah han ya tiga kali datang, sebab sak it ibun ya se makin keras. Ia perlu menjaga ibunya, sebab itu nenek it u saja yan g pergi ke Muara meng antarkan na si. Tetapi yang memakan nasi itu boleh dik atakan mandor Sa man saj a. Yang dimakan Midun hanya sisa-sisa mandor S aman. Kadan g-kadang t imbul pikir an Midun hendak melawan, karena tingk ah laku man dor Saman yang tidak senonoh itu. Tetapi mengingat hukumannya yang hanya tinggal beberapa hari lagi, terpaksa i a sab ar da n menurut kemauan mandor itu saja. Setelah sepekan lamanya, Midun tidak diantari Halimah nasi lagi. Nenek itu pun tidak pula datang-datang ke Muara. Hal itu pada pikiran Midun tid ak menjad ikan apa- apa, k arena tentu tidak boleh jadi ia akan terus-menerus saja diantari orang nasi. Sungguhpun demik ian h atinya tidak senang karen a kabar t idak beripa pun t idak. Berdebar hat inya k etika terk enang olehnya bahwa ibu Halimah dal am sakit- sakit. Oleh seb ab itu pada suatu pagi Midun lalu pada jala n di muka ru mah Hali mah. l a ingin hen dak menget ahui keadaan me reka itu. Setelah sampai di muka ru mah, dilihatny a pi ntu tertutup, seoran g pun tidak ada kelihatan. Ketika seorang babu keluar dari gedung sebelah rumah itu, Midun bertanya, "Uni, bolehkah saya bertanya sedikit? Gedung ini men gapa bertutup saja? Ke man akah orang di gedung ini? Pindah rumahkah dan atau tidak di sini lagi?"


"Yang tinggal di gedung ini Nyai Asmanah, baru tiga hari ini meninggal dunia," ujar babu itu. "Anaknya Halimah kemarin ada juga saya lihat, tetapi pagi ini, ketika saya hendak menumpang mandi, tidak ada lagi." Babu itu masuk, sebab dipanggil induk semangnya ke dalam. Midun sebagai terpaku di muka jalan itu. Ia amat k asihan mengenangkan gadis itu dit inggalkan ibunya di negeri orang pula. Ketika babu menyebutkan Nyai Asmanah, Midun maklum bahwa bapak tiri Halimah itu orang putih, tidak sebangsa dengan dia. "Ah, ap akah jadiny a g adis itu? Kemanakah dia? K asihan!" Demikianlah timbul pertanyaan dalam pik iran Midun. Dengan tidak disangka-sangka ia telah s ampai ke te mpatnya bekerj a setiap hari. Dalam pekerjaan, pi kiran Midun kepada anak gadis yang baru k ematian ibu saja. Biar bagaimana j ua pun ia menghilangkan, tetapi seakan-akan tampak-tampak oleh M idun penanggungan Halimah. Tengah har i ia duduk di ba wah poh on kayu yang rindang sambil merenung ke laut lepas. Sekonyong-konyong bahunya diraba orang dari bel akang. Mi dun melihat kiranya nenek itu suruh-suruhan Halimah. K etika ia hen dak bertanya, nenek itu meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, lalu memberik an sepucuk surat. Kemu dian i a berj alan dengan tergop oh-gopoh seb agai ketakutan. Melihat tingk ah nenek yang ga njil itu , Midun amat heran dan bingung. Ia tidak mengerti s edikit jua akan perbuatan nenek yang demik ian itu . Surat itu segera dibukanya, tetapi Midun tidak pandai membaca, karena bertulis dengan huru f Belanda. Hatinya ingin benar meng etahui isi su rat itu, tetapi apa day a b adan tid ak bersekolah. Am at s akit hati Midun, karena ia terpaksa menyimpan surat itu, menanti orang yang akan menolong me mbacakannya. Ke tika pulang ke penjara, ia berjalan memencil d i b elakang. Tiba-tiba kelihatan olehny a seorang an ak sedang membaca buku sepanjan g jalan. Midun lalu menghampirinya, serta ditegu rnya, "Buyung, bolehkah saya meminta tolong sedikit? Tadi saya ada menerima sepucuk surat. Sukakah Buy ung men olong membacak annya seben tar, supay a kuketahui is inya? Sa ya tida k pa ndai membaca tuli san ma cam ini." Midun mengunjukkan surat, lalu diambil anak itu. Demikianlah bunyinya:


Udo Midun! Tolong, Udo, saya di dal am bahaya. Saya harap dengan sungguh, Udo datang mengambil saya ke rumah No. 12 di Pondok. Jika Udo datang ke sana, hendaklah antara pukul 11 dan 12 malam. Nenek akan menantikan Udo di rumah itu. Kasihanilah saya; kalau Udo tidak datang saya binasa. Wassalam saya, H.


10. Lepas dari Hukuman

SETELAH dib acanya, sura t itu dikem balikan anak itu. Maka Midun me minta teri ma k asih kepa da anak itu, lal u berjalan pula. Ia mak lum, bahwa surat itu dari Halimah. H ati Midu n bertambah kabut, pikiran nya makin k usut menden gar bunyi surat itu. Amat kasihan ia men genangkan Hali mah. Sampai d i penjara, pik irannya sudah teta p akan menol ong gadis itu sedapat-dapatnya. Tetapi bagaimana akan menolong, karena ia masih dalam hukuman? Sampai di kamarnya, Midun menghitung-hitung hari, bil a ia ak an di lepaskan. Da lam p ada i tu datang seorang tukang k unci memanggil, lalu ia dibawany a kepada sipir. Hati Midun mulai tidak senang pula, karena sudah 4 bulan ia dihukum, belu m pernah dipanggil sipir. Sampai d i kantor, sipir berkata, "Midun, ta di saya dapat perint ah, bahwa engkau s udah b ebas da ri hukum an. Be sok pa gi e ngkau d apat surat dari saya, supaya perai ongkos kereta api untuk pulang ke kampungmu." Mendengar perkataan itu hamp ir tidak dapat Mid un menjawab, karen a sangat girang ha tinya mendengar k abar itu. Ia bergirang h ati bukannya karena hendak pulang k e kampun g, melainkan berhubung den gan surat Halimah. Tetapi kegirangan hatinya itu t idak lama, k arena sipir menyuruh dia pulang ke kampung. Cemas hatinya memikirkan hal itu, takut kalau-kalau dipaksa sipir mesti pulang juga. Hati Midun memang agak malas pulang, mengingat permusuhannya dengan Kacak. Tentu saja k alau ia pulan g Kacak tidak bersenang hati, dan mencari ikhtiar supaya ia binasa ju ga. Midun berk ata den gan lemah lembut sambil memohon permintaan, katanya, "Jika ada kemurahan Engku kepada saya, harap Engku mengizinkan saya tinggal di sin i. Saya tidak hendak pulang, biarlah saya mencari penghidupan di k ota in i saj a. Dan kalau tak ada keberatan kepada Engku, saya bermaksud hendak keluar sekarang." "Tidak boleh, karena orang hukuman yang sudah bebas mesti pulang kembali ke kampungnya." "Atas rah im dan belas k asihan Eng ku ke pada sa ya, s udi apalah k iranya Engku me ngabulkan pe rmintaan s aya itu. Saya takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri saya. Yan g menghukum saya kema ri pun, sebab orang itulah .


Oleh sebab itu, saya bern iat hendak tinggal di P adang ini saja mencari pekerjaan." Karena Midun meminta dengan sungguh-sungguh dan dengan suara lemah lembut, maka timbul juga kasihan sipir kepadanya. Ia pun berkata, katanya, "Sebetulnya hal ini tidak boleh. Tetapi sebab en gkau sang at me minta, biarlah say a kabulkan. Jik a engkau bebas sekarang, di mana engkau akan tinggal? Bukankah engkau tid ak berkenalan di s ini dan hari pun sudah petan g pula." "Di rumah P ak Kart o, tempat Engku menyuruh men gantarkan cucian kepada saya t iap pekan. Orang itu suka menerima saya tinggal di rumahnya. Dan ia pun mau pula menerima saya bekerja dengan dia." "Baiklah, tunggu sebent ar, saya buat sebuah surat kepada Penghulu Kampung Ganting. Besok pagi-pagi hen daklah engkau berikan surat saya kep adanya, sup aya engkau j angan be ralangan tinggal di sini." Midun bebas, lalu ia pergi me nukar pakaian. Uan gnya yang f15,- dahulu diberikan tuk ang kunci kembali kepadanya. Sudah itu ia pergi kepa da sipir mengambil surat yang dijanj ikan kepadanya itu. Kemudian ia pergi kepada Tur igi akan meminta maaf dan memberi sela mat tin ggal. Setelah Midun dinasihat i Turigi, me reka kedua be rtangis-tangisan, tak ubah nya seba gai seorang bapak dengan anaknya yang b ercerai t akkan bertemu lagi. Setelah itu Midun bersalam dengan kawannya sama orang hukuman, lalu terus berjalan ke luar penjara. Midun terlepas dari neraka d unia. Ia berjalan ke Ganting akan menemui tukang menatu Pak Karto. Memang Midun sudah berjanji dengan Pak K arto, manakala lepas dari hukuman akan bekerja menjadi tukang cucinya. Sepanjang jalan pikiran Midun kepada Halimah saja, mak a ia pun berk ata dala m hat inya, "Bah aya apak ah ya ng meni mpa Halimah? Jika saya ti dak tolong, kasihan gadis itu. Akan tetapi bila saya tolong, boleh jadi hidup saya celaka pula. Saya belum tahu seluk beluk perkaranya dan dalam bahaya apa dia sekarang. Lagi pul a d ia seoran g gadis, say a bujan g, bukankah ini pekerj aan sia- sia saj a. Ya, serba salah. Tetap i lebih baik saya bertanya kepada Pak Karto, bagaimana pikirannya tentang Halimah itu. Perlukah ditolong atau tidak?" Pikiran Midu n bolak-bal ik saja , hingga sampai ke muka rumah P ak K arto. Didapatinya Pak K arto sedang makan, l alu


Midun diper silakan or ang tua itu mak an bersa ma-sama. Sudah makan hari baru pukul 8 malam. Mereka itu berc akap-cakap menceritakan ini dan itu. Setelah beberapa l amanya, Midun lalu menceritakan hal Halimah da n surat yang diterimanya itu. Mendengar cerita Midun, apalag i gadis itu berasal dari t anah Jawa, se bangsa dengan dia, P ak K arto sangat belas k asihan. Pak Karto sepakat menyu ruh Midun membela Hal imah, sebab gadis itu sebatang ka ra saja di kot a Padan g. la tidak lupa menasihati Midun, supaya pekerjaan itu dil akukan dengan diam-diam, j angan hendaknya or ang t ahu. Bahaya yang boleh menimpa Midun diingatkannya pula oleh Pak Karto. Midun disuruhnya hati-hati mel akukan pekerj aan itu, sebab Halimah seorang gadis. Kira-kira pukul 10 malam, Midun berangkat dari rumah P ak Karto akan menepati apa yang dikat akan dal am surat itu. Karena har i baru pukul 10, per gilah ia berjalan- jalan ke kampung Jawa akan melihat keadaan kota itu pada malam hari. Setelah lewat pukul 11, Midun berjalan menuj u arah ke Pondok. Hari gelap amat sangat, jal an sunyi pula. Karena pakaian Midu n disuruh ganti ol eh Pak Karto dengan pakaian yang segala hitam, mak a ia tiada lek as bertemu oleh nenek suruhan H alimah yan g t elah men antikannya. Midun sangat berhati-hati dan selalu ingat mel alui jalan it u. Tiba- tiba kedengaran olehnya oran g memanggil namanya. Maka ia pun berhenti, lalu berjalan ke arah suara itu. "Engkau ini Midun?" ujar orang itu dengan su ara gemetar, sebagai orang ketakutan. "Saya ini nenek, turutkanlah saya dari belakang." Midun s ebagai ja wi di tarik talinya menurutkan nenek itu dari belak ang. Entah ke mana ia dibawa nenek itu, tidaklah diketahuinya, karena hari amat gel ap. Hanya yang diketahuinya, ia dua kali menyuruki pagar dan menempuh jalan yang bersemak-semak. Sekony ong-konyong tertumbuk pada sebuah dinding rumah. "Neeeek?" bunyi suara pe rlahan-lahan dari jendela rumah. "Ada Udo Midun? Sambutlah barang-barang ini!" "Ada, in i dia bersama nenek," ujar nenek itu perlahanlahan. "Midun, tolonglah sambut Halimah dari jendela." Midun lalu mengambil pinggang Hal imah, dipangkunya ke bawah. Samp ai di b awah, Halimah berkata, "Ingat-ingat, Udo! Boleh jadi Udo dipukul orang. Bawalah saya ke mana Udo sukai,


tapi jangan dapat hendaknya kita dicari orang." Midun yang dalam kebin gung-bingungan dan t idak mengerti suatu apa perkara itu, lalu menjawab, "Ke mana U ni akan s aya bawa, kar ena say a belum berkenal an di sini. Lain darip ada ke Ganting, tak ada lagi rumah lain. Maukah Uni ke sana?" "Baiklah, asal saya terhind ar dari rumah ini, " ujar Halimah dengan berbisik. Mereka itu b erjalan perl ahan-lahan, takut akan d iketahui orang. Tangan Halimah dipegang oleh Midun, lalu d ipimpinnya ke jalan besar. Ketika h ampir sampai di jal an b esar, Midun menyuruh Halimah dan nenek berundu ng-rundung dengan kain, supaya mukanya jangan diliha t orang. Dan Midun membenamkan kopiahn ya dalam-dalam me nutupi telingany a, supaya jangan nyata mukanya kelihatan. Sampai di jalan, kebetulan lalu sebuah bendi. Bendi itu ditahan oleh Midun, mereka ketiga lalu naik ke atas bendi itu. "Ke Alanglawas," ujar Midun kepada kusir bendi itu. Di ata s bend i seo rang pun tak ad a yan g beran i ber kata s epatah kata jua pun. Mereka itu di dal am ketakutan, takut akan dilihat orang lalu lintas di jalan. Ketika bendi itu sampai di Alanglawas, Midun berkata, katanya, "Berhenti di sini, Mamak!" Mereka itu pun turun dari atas bendi. Belum jauh berjalan, Halimah berkata, "Mengapa kit a di sini turun? Tadi Udo mengatakan ke Ganting." "Ya, dari sini kita berjalan kaki saja. Bukankah tidak berapa jauh dari sini ke Ganting? Maka kita turun di sini, supaya jangan diketahui kusir bendi tadi ke mana tujuan kita." Setelah sampai di muk a rumah Pak Karto, Midun berseru perlahan-lahan menyuruh membuk akan pintu. Baru sekali saja ia berseru, pintu sudah terbuka. Meman g Pak Karto tidak tidur, karena men anti-nanti kedatangan Midun. Setelah naik ke rumah, barulah nyata kepada Midun wajah Halimah yang sangat pucat dan k urus itu. Midun tida k ber ani bertany a, karena ia tahu bahwa Halimah masih di dalam ketakutan. "Udo Midun!" ujar Hal imah, setelah ku rang t akutnya. "Saya mengucapkan terim a ka sih atas pertolongan Udo ke pada saya, anak dagang yang telah dirundung malang in i. Saya berharap, jika Udo ada belas kasihan ke pada saya, tolonglah saya antarkan ke Betawi, kepada bap ak saya di Bogor. Jika di sini juga, tak dapat tiada hidup saya celaka." "Janganlah Uni khawatir, saya siap akan menolong Uni bila-


mana perlu," ujar Midun. "Permintaan Uni itu in sya Allah ak an saya kabulkan. Sungguhpun demik ian, cobalah ceritakan hal Uni, supay a dapat k ami k etahui. Lagi pula jika Un i cerit akan, dapat kami memikirkan jalan mana yang harus kami turut untuk menjaga keselamatan diri Uni. Sebabnya mak a saya ingin tahu, pekerjaan saya ini s angat sia- sia, ka rena Uni se orang ana k gadis." "Sebab hati saya masih di dalam gusar, tak dapat saya menceritakan h al saya ini dengan panjang lebar," uj ar Hal imah. "Oleh sebab itu Udo dan Bapak ta nyakan sajalah kepada nenek ini. Nenek dapat menerangkan hal saya, sejak dari bermula sampai kepada kesudahannya." Pak Kart o pun bertanyal ah kepada n enek itu tentang hal gadis itu. Maka nenek itu menerangkan dengan pendek sekadar yang perlu saja, yaitu h al Hali mah ak an dipe rkosa oleh bap ak tiri dan orang Tion ghoa yang mula- mula pura-pura hendak menolong gadis itu. Setelah sudah nenek itu bercerit a, Pak Karto berkata, "Midun, hal itu memang sulit. Jika kurang ingat, kita boleh pula terbawa-bawa dala m per kara in i. Bah kan boleh ja di dir i kita celaka k arenanya. Oleh sebab itu hendaklah k ita bekerja dengan diam-diam benar, seorang pun jangan orang tahu. Biarlah sekarang juga nenek ini saya antarkan ke rumahnya." "Jangan, Bapak," ujar Midun, "kalau nenek bertemu di jalan dengan orang yang dikenal inya, tentu kurang baik jadinya. Tak dapat tiada orang akan heran melihat Bapak berjalan bersamasama deng an nenek. Apalagi ru mah B apak diket ahui oran g di Padang in i. Biarl ah saya saja mengantarkan nenek ke rumahnya." "Benar juga kata Midun it u!" ujar Pak Karto pula. " Pergilah engkau antarkan nenek sekarang juga. Lekas balik!" Sesudah H alimah bermaaf-maafan den gan nenek it u, mak a Midun pergilah mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Di tengah jalan, Midun berkat a kepada nenek it u, bahwa h al itu jan gan sekali-kali dibukakan kepada seorang juga. Setelah sampai di muka rumah nenek itu, Midun memberikan uang f5,kepadanya. Nenek itu pun berjanji , biar ny awanya ak an melayang, tidaklah ia akan membukakan hal itu. Tidak lama antarany a, Midun sudah kembali dari men gantarkan nen ek itu. Halimah disuruh mereka itu bersembuny i dalam bilik Pak Karto. B aik si ang atau pun malam, Halimah


mesti tinggal di dalam bilik saja untuk sementara. Semalam-malaman Midun dan Pak Karto mufakat tentang diri H alimah. Sudah padat ha tinya hendak mengantark an Halimah ke Bogor. Karena hari sudah jauh larut malam, mereka pergi tidur. Halimah tidur dengan istri Pak Karto. Midun tak dapat tidur, sebab pik irannya berkacau saja. Ke mudian Mid un berkat a dalam hat inya, "Jik a saya p ulang, t entu hidup saya makin berbahaya l agi. Seka rang telah ad a jalan ba gi saya akan menghindarkan kampung. Bahkan saya pergi ini, akan menolong seorang anak gad is. Apa boleh buat, biarlah, bes ok saya tulis surat kepada ayah di kampung." Pagi-pagi benar Midun sudah bangun, lalu pergi mandi. Sudah mandi ia menulis surat ke kampung, ditulisnya dengan huruf Arab, demikian bunyinya, Padang, 12 Januari 19.. Ayah bundak u yang mulia, ampunil ah kirany a anakanda! Sekarang anakanda sudah bebas dari hukuman dengan selamat. Menurut hemat anak anda, jika an akanda pulang, tak d apat tiada ak an binasa ju ga oleh mu suh anakanda ya ng bekerj a dengan d iam-diam itu. Sebab itu agar terh indar d aripada malapetaka i tu, Ayah bunda izinkan a pakah kir anya anakand a membawa u ntung nasib anakanda barang ke mana. Nanti manakala hati musuh anakanda itu sudah lega dan dendamnya sudah agak dingin, tentu dengan segera jua anakan da pulang. Bukankah setinggi-tinggi terbang bangau, surutnya ke kubangan juga, Ayah! Ayah bunda yang tercint a! Ny awa di dalam tangan Allah, tidak tentu besok atau lusa diambil oleh yang punya. Karena itu anakanda berharap dengan sepen uh-penuh pengharapan, sudilah k iranya Ayah bun da me relakan jerih lelah Ayah bunda kepada an akanda sej ak anakand a dil ahirkan. Baikpun segala kesalahan anakanda, yang bakal memberati anakanda di akhirat nanti, Ayah bunda maafkan pula hendaknya. Sekianlah isi surat in i, dan dengan surat ini pula anakanda mengucapkan selamat tinggal kepada Ay ah bun da, karen a anakanda ak an berlaya r ke tanah J awa. Kepad a Bapak Haj i Abbas dan Bapak Pendek ar Suta n tolong Ayahan da sampaikan sembah sujud anakanda. Dan wassalam anakanda kepada Maun, sahabat anak anda yang t ercinta itu. Jangan hendaknya Ayah


bunda perubahkan Maun dengan anakanda, karena dialah y ang akan menggantikan anakanda selama anakanda jauh dari negeri tumpah darah anakanda. Peluk cium anakanda kepada adik-adik! Sembah sujud anakanda, MIDUN Setelah sudah surat itu dibuatnya, l alu ia minta tolon g kepada H alimah membuatkan ala matnya. Sudah mem asukkan surat, pergil ah Midun mengantarkan surat yang diberikan sipir itu untuk Penghulu Kampung Gant ing. Setelah Penghulu Kampung itu memb aca s urat si pir, d iceritakannyalah M idun sebagai anak buahnya di kampung itu. Midun bekerjalah sebagai tukang cuci Pak Karto. Pada malam hari, Midu n berkata, katanya, "Pak Karto, bagaimana akal saya akan mengantarkan Halimah ke negerinya? Jika ditahan lama-lama di sini, tentu diketahui orang juga." "Benar k atamu itu, sehari in i su dah saya pikirkan benarbenar hal ini;" ujar Pak K arto. "Midun dan Halimah mesti ada surat pas. Kalau tidak, tentu ia tidak dapat berlayar ke Jawa." Mendengar p erkataan Pak Kart o de mikian itu, M idun terperanjat a mat san gat. Dalam p ikirannya tak ada terbayangbayang perkara s urat pas itu. Ma ka ia pun berkata, " Jika tidak memakai surat pas, tidakkah boleh berlayar, Bapak?" "Tidak b oleh! Jika be rlayar juga, d itangkap pol isi." Midun termenung, pikirannya berkacau memikirkan hal itu. Tentu saja tidak dapat meminta surat pas unt uk Halimah, jika dimintakan surat pasnya, tak dapat tiada ha lnya diketahui orang. Padahal ia sengaja menyembunyikan ga dis itu. Darah Midun tidak senang, takut dan khawatir silih berganti dalam hatinya. Dalam pada ia termenung-menung itu, Pak Karto berkata pula, katanya, "Jangan engkau susahkan hal itu, Midun. Sayalah yang akan ber ikhtiar mencarikan sur at p as untuk e ngkau dan Halimah. Engkau tidak sebang sa den gannya, mau menentang bahaya untuk menolong Halimah. Apalagi saya sebangsa dengan gadis itu. Tentu saja sedapat-da patnya akan saya tolong pula mengusahakan surat pas itu. Sabarlah engkau dalam tiga empat hari ini. Barangkali saya dapat mengusahakannya. Banyak orang yang akan menolong saya di sin i, sebab saya banyak berkenalan. Penghulu Kampung di sini pun berkenalan baik dengan


saya. Sebab itu biarlah saya pi kirkan dahulu, bagaimana j alan yang baik mencari surat pas. Seboleh-bolehnya nama Hal imah jangan tersebut-sebut." "Terima kasih, Bapak!" jawab Midun. "Bagi saya, gelap perkara surat p as itu. Sebab itu saya h arap Bapaklah yang ak an menolong perkara itu." Sepekan kemudian daripada itu, pada malam hari Pak Karto pulang dari berjalan. Sampai di ru mah, ia pun berkata kepad a Midun, katanya, "Ini surat pa s dua buah sudah dapat saya ikhtiarkan. Besok pergilah Midun tanyakan ke kantor K.P.M., bila kapal berangkat ke Betawi." Midun dan Halimah sangat berbesar hati mendapat surat pas itu. Mereka kedua minta terima kasih akan pert olongan Pak Karto. Midun lalu bertanya, kata nya, "Bag aimana Bapak dap at memperoleh surat pas ini?" "Hal itu tak usah Midun tanyakan, karena kedua surat pas ini dengan j alan rahasia makanya sa ya peroleh. Asal kamu kedua terlepas, sudahlah." Midun tidak berani bertanya lagi. Dalam hatinya ia memint a syukur kepada Tuhan, karena kedua surat pas itu dengan mudah dapat diikhtiarkan oleh Pak Karto. Keesokan ha rinya Midun pergi men anyakan bil a kapal berangkat ke Betawi. K etika ia ak an pergi, Halim ah me mberikan sehelai uang kert as f 50,-, lalu berkata, "Bawalah uang ini, Udo! Siapa tahu barangkali ada kapal yang ak an berangkat ke Betawi. Jika ada, belilah tiket kapal sekali." Sambil menerima uang itu, Midun berkata, "Maklumlah Uni, saya baru lepas dari hukuman. Se bab itu uang ini saya terima saja." H alimah ter senyum sambil memalingkan mukany a. Midunpun pergi menanyakan kapal. Setelah ditanyakannya, kebetulan besoknya ada kapal yang akan berangkat ke Betaw i. Dengan segera Midun membeIi dua buah tiket kapal, lalu pulang ke Ganting. Pada keesokan harinya Midun dan Halimah bermaaf-maafan dengan Pak Karto lak i ist ri. Setelah it u mereka berangkat ke Teluk Bayur. Dengan tiada kurang suatu apa, mereka itu selamat naik kapal. Tidak lama men anti, kapal pun bertolak meninggalk an pelabuhan Teluk Bayur. Penumpan g di kapal itu menyangka Midun dan Halimah dua laki istri. Sebab itu seorang pun tak ada yang menghiraukannya.


11. Meninggalkan Tanah Air

DI ATAS kapal, berlainan pula keadaan Midun dengan waktu ia berangkat dari Bukittinggi ke Padan g dahulu. Ia berdiri di geladak kipal , meman dang air ya ng berbuih di bu ritan kapal. Sekali-kali Midun melayangkan pemandangann ya ke bukit barisan Pulau Sumatra, yang mak in lama makin kecil juga kelihatannya. Perasaannya jauh, jauh entah di mana ketika itu. Amat sedih hati Midun meninggalkan kampung halamannya yang sangat dicintainya itu. Ta mpak terbayang dalam pikirannya ibu bapak, adik, dan kawan-kawannya semua di kampung. Tampaktampak oleh M idun, bagai mana kesedihan ibu dan adiknya, setelah menerima suratnya itu. Rasa- rasa terden gar olehny a, tangis ibuny a menerima k abar itu. Bertambah han cur lagi hati Midun, mengenangkan n asibnya y ang celaka itu. Pada pikirannya, nasibnya sangat buruk, berlainan dengan nasib kebanyakan manusia in i. Dengan t idak di ketahuinya air mata-nya jatuh berderai, karena makin dipikirkannya, semakin remuk hatinya. Dalam Midun termenung-menung itu, Halimah datang menghampiri, katanya, "Menyesalkah Udo menolong saya yang celaka ini, Udo? Apakah y ang Udo renun gkan? Sedihkah hati Udo meninggalkan kampung, bercerai dengan ibu bapak, adik, dan kaum keluarga Udo? Ah, kasih an, karena Halimah, Udo jadi bersedih hati rupanya." "Tidak, Uni," ujar Midun sambil berpaling akan menghilangkan dukanya. "Sungguhpun tidak karena Uni, me mang saya tidak ak an pulang juga ke kampun g. Saya sudah berjanj i dengan diri saya, jikalau saya lepas dari hukuman, akan tinggal mencari penghidupan di Padang. Kalau tak dapat di Padang, di mana pun jua, asal dapat mencari rezeki untuk sesuap pagi dan sesuap petang. Sekarang ada jalan ke pada saya untuk meninggalkan kampung yang lebih baik lagi . Apa pula yang akan saya sesalkan. Jika saya akan bersedih hati ataupun menyesal, tentu saja Un i tidak saya antarkan. Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke laut api sekalipun saya turut, jika menurut rasa Uni perlu saya ke san a. Han ya say a termenung itu memikirkan nasib saya ju a. O ya, hampir say a lupa, Uni! Uang


Uni masih ada lebihnya f 25,-. Ambill ah uang in i nanti boleh jadi saya lupa mengembalikan." "Saya harap Udo jangan lah me manggil uni juga kepada saya," uj ar Halimah den gan senyumnya. "Jik a kedengaran kepada oran g lain, tentu janggal, dan boleh menimbulkan pikiran yang salah. Se bab itu panggilk an sa jalah 'adik'. Sudilah Udo beradikk an say a? Ten tang uang itu, biarlah pada Udo. Ini ada l agi, simpanlah ole h Udo semua. Kalau saya y ang menyimpan, boleh jadi hilang, apalagi kita di dalam kapal." Perkataan H alimah itu terbenar pul a dalam pik iran Midun, karena boleh jadi jika dide ngar orang menimbulkan salah tampa. Demikian pul a ny ata kepada Midun, bahw a Hal imah percaya sun gguh kepadanya. Maka ia pun berkata dengan hormat sambil bergurau, katany a, "T idakkah hin a na ma Un i berkakakkan saya? Per cayakah Halimah mempertaruhkan uang kepada orang hukuman. Bagi saya t idak ada h alangan, sek ali dikatakan, seribu kali menerima syukur." "Sejak saya k enal kepada Udo, Udo selalu merendahkan diri dan amat pandai menjentik ja ntung say a," ujar Halimah. "Biarlah yang sudah itu, t etapi sekarang saya t idak suka lag i mendengar p erkataan yan g de mikian. Jangankan senang hati saya mendengarnya, malahan makin mengiris jantung saya. Hal itu menunjukkan, bahw a saya masih Udo sangk a seperti orang lain. Masakan saya t idak percay a ke pada Ud o, sedang b adan dan nyawa saya sudah saya serahkan, konon pula uang." Mendengar perkataan "nyawa dan badan" itu, hati anak muda yang alim dan saleh itu berdebar jua. Kaku lidah Midun akan berk ata, karena h arap-harap cemas. Untung ia lekas dapat menahan hati, lalu berkata, "J ika dem ikian perm intaan Adik, ba iklah. Sekarang s ebagai se oran kakak deng an adiknya, si kakak itu harus mengetahui hal adiknya. Perkataan ibu Adik dahulu yang mengatakan 'cukup lah saya makan hati dan menahan sedih' sel alu menjadi kenan g-kenangan k epada saya sampai kin i. Dan perkataan Adik 'dirundung malang' itu menyebabkan saya amat heran dan tidak mengerti sedikit juga. Sebabnya ial ah karena saya liha t hidu p Adik t inggal di gedung besar dan beruang banyak. Cobalah Adik ceritakan kepada saya sejak bermula sampai kita di kapal ini." "Baik, dengarkanlah, Udo, " ujar Hal imah, lalu memandang kepada Midu n dengan tajam. "Saya bercerita ial ah menurut keterangan ibu dan man a yang saya ketahui. Adapun negeri


saya di Bogor, jauhnya dari Betawi hampir sebagai P adang dengan Padang Panjang. Bapak saya orang Bogor juga, bernama Raden Soemintadireja. Beliau bekerj a pada seb uah kantor Gubernemen di sana. K ini ent ah masih di situ juga ayah bekerja, entah tidak, tidaklah sa ya tahu. Sejak beliau bercerai dengan ibu, belum pe rnah kami d apat surat dari ayah. Meninggal dunia tidak mungkin, seb ab tentu ada kabar dar i keluarga saya. Samp ai ki ni say a ma sih ingat ba gaimana ka sih sayang ayah kepada saya semasa kecil. Beliau sangat memanjakan saya, tidak ubah sebagai men atang minyak penuh. Baik pulang at au pergi ke kan tor, tid ak lu pa ay ah men cium s ambil memangku saya. Makan selama nya berdua. Apabila saya menangis, ayah tiba dahulu. Permintaan saya, satu pun tak ada yang tidak beliau kabulkan. Ji ka tidur selalu dininabobokkan; nyamuk seekor beliau buru. Kerap kali ka mi bermain di pekarangan, bergurau d an berkejar-kej aran ak an m enyukakan hati. Pada petang ha ri kam i berja lan-jalan di kota Bogor. Pulangnya saya sudah mendukung makanan. Permainan, missalnya popi-popi, tidak lupa beliau bel ikan untuk saya. Karena masa itu ana k beliau b aru saya seorang, adalah k eadaan s aya jerat s emata, obat jerih pelera i de mam kep ada ayah. H ari Minggu ayah libur bekerja. Maka kami pergi—kadang-kadang ibu serta pula—berjalan- jalan ke Kebun Raya, akan menyenangnyenangkan hati. Adapun Kebun Raja itu, ialah kepu nyaan T.B. Gubernur Jenderal yang memerint ah negeri ini. Sungguh amat bagus taman itu. S egala poh on-pohonan ada di sana. Bu nga-bungaan tidak pula k urang amat cant ik d an harum b aunya. Segala macam warn a bunga ad a belaka di taman itu. Jal annya turun naik bersimpang siu r amat bers ih. Pada tepi jalan itu ditaruh beberapa bangku tempat untuk oran g berhenti melepaskan lelah. Dekat istana ada pula sebuah telaga yang dihiasi dengan berbagai-bagai bunga ai r. Amat in dah-indah r upanya. Di tengah-tengah taman itu ada air mancur, memancar tinggi ke atas dengan perm ainya. Pada keliling air man cur itu diperbuat jalan dan ditaruh bebe rapa bangku tempat dudu k. Ah, tak ubahnya seperti di surga dunia kita rasanya dud uk di sana,. Udo! Mudah-mudah an sel amat saj a pelayaran k ita, tentu Udo dapat juga melihat taman yang indah itu." Halimah berhenti bercak ap, karena pikirannya melayan g kepada penghidupannya semasa anak-anak.


Ia terkenang akan tempat kelahirannya yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya itu. Midun sebagai orang bermimpi mendengar berit a Halimah. Matanya tidak berasak dari bibir yang merah jambu itu. Apalagi melihat pipi Halimah yang sebentarsebentar memperl ihatkan lesung pipit karen a senyumnya, jantung Midun bunyi orang memuku l di dadany a. Imannya berkocak, karena pemandangan Halimah yang lunak lembut itu. Melihat kulit yang kuning langsat itu, Midun hampir didaya iblis. Ia terkenang akan sebuah pantun: Kayu rukam j angan diket am, kemuning t ua dikerat -kerat . Jika hit am, banyak yang hit am, yang kuning j ua membawa larat .

"Sungguh saya jadi larat," Midun berkata dalam hatinya "Jika tidak karen a anak gadi s i ni, tidaklah s aya menyebe rang laut." "Aduhai‌" Untung lekas ia menah an hati, ketika h endak mengeluarkan perkataan, "Ah, alangkah senangnya jika kita berdua saja duduk pada bangku di dalam taman itu, Adikku!" Midun seger a insaf akan d iri dan mengetahui s iapa dia dan siapa pula Halimah. Api asmara yang sedang berkobar di hatinya itu seperti disiram deng an air layaknya. Hati Midun kembali bagai semula. "Lain d aripada itu, kami pergi pula ke museu m* (Museum Zool ogi di Bogor) , yaitu sebu ah gedung tempat menyimpan segala macam bin atang dan burung," ujar Halimah meneruskan ceritanya. "Burung apa saja da n macam-macam binatang, baik pun yang melata ada di sana. Se galanya itu sudah mati, tetapi kalau dilibat selintas lalu, seba gai hidup jua. Amat indah-indah dan bagus n ian rupanya, Udo! O, sudah jauh kita t erpisah dari ujud yang akan adinda ceritak an. Maaf, Udo, saya bermimpi gila mabuk kenang-kenangan." "Kenang-kenangan yang akan sa mpai, mi mpi yan g boleh terjadi," ujar Midun tiba-tiba. "Susahnya yang sebagai si pungguk merindukan bulan. Badan loyang disangka emas." Midun menyesal, karena perkataan i tu tidak sen gaja terhambur saja dari mulutnya. Rasakan hen dak dij ahitnya bibirnya, k arena terdorong itu. "Di manakah Midun yang saleh itu? Apakah arti perk ataan yang demikian? S enonoh dan layakka h itu? Tidakkah melanggar


kesopanan hidup per gaulan? Pa ntaskah seoran g yang telah mengaku kak ak kepa danya mendengar perkat aan macam itu?" Berbagai-bagai perta nyaan ti mbul dal am pikiran Midun. Malu benar ia akan dirinya, apalagi jika Halimah salah tampa dan ... pula. "Apa b oleh buat," kata Mid un sendirinya. "Kata telanjur emas padahannya!" Muka Halimah merah padam mendengar perkat aan Midun yang amat dalam pengertianny a itu. Ia memalin gkan muk a kemalu-maluan. Dalam h ati Hali mah, "Rupanya bertepuk tidak mau sebelah tangan." Maka ia pun berkata, "Ah, terlampau tinggi ben ar pikiran Udo itu. Tiap-tiap sesuatu dengan p adannya. Bia r bag aimana pipit it il akan tinggal pip it ju a. Mudah-mudahan y ang dicita datang, yang dimaksud sampai." Siiir, j antung M idun bek erja lebih keras l agi m emompa darah ke seluruh batang tubuhnya mendengar j awab Halimah itu. Hatinya mundur maju ti dak ten tu lagi. Muka Halimah ditatapnya, tetapi ini tidak da pat be rkata-kata. P ikiran Midun berkacau, suka dan girang silih berganti. Dalam pada itu Halimah berk ata pula, katanya, "Demikianlah kasih sayang ayah ke pada saya. Hal itu tidak pula dapat disesalkan, karena anak beliau baru saja seoran g. Rupanya say a bagi ay ah, buah hati pengaran g jantung, timbangan n yawa, semangat badan. Sangat benar beliau memanjakan saya. M anakala say a dema m sed ikit saja sud ah cemas, tidak tentu lagi y ang akan beliau kerjakan. Saya selalu dalam pangk uan beliau, dinyan yikan hilir mu dik sepanjang rumah. Kepada ibu, ay ah sangat pula sayang dan cinta. Tidak pernah s aya mendengar b eliau berten gkar, ap alagi berkelahi. Mereka itu k eduanya selalu hidup d amai. Tidak pernah be rselisih, melainkan sepakat dala m segal a hal. Karena itu kami selalu hidup dalam suka dan rian g. Satu pun tak ada yang mengganggu, senang sungguh masa itu. Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali n aik, sekali turun, tiaptiap ke senangan m esti ad a kesu sahan. Ayah saya itu di Bog or masuk orang bangsawan, sebab it u bergelar Raden. Oran g yang dipanggilkan Raden di tan ah Ja wa, biasanya orang bangsawan. Ayah terpak sa kawin se orang lagi. Beliau terpak sa meneri ma, karena perempuan itu anak bapa k k ecil ayah se ndiri. Ti dak dapat ayah mengat akan ' tidak mau', karena yang mem belanjai


beliau sejak kecil dan yang me nyerahkan sek olah bapak kecil ayah itulah. Beliau dibesarkan di rumah istri bapak kecil beliau, karena sejak kecil ayah sudah y atim pi atu. Seba b itu ayah terpaksa me sti mener ima. Ibu ada mengat akan, bahwa ada ayah mem inta pertimbangan ibu saya , bagaimana yang akan baiknya. Ibu pun tid ak d apat b erkata apa- apa, te rpaksa pul a mengizinkan ayah beristri seorang lagi. Kepada ibu hal itu tidak menjadi alan gan, a sal ke senangan bel iau tidak te rganggu, dan keadaan rumah tangga tetap sebagaimana biasa. Maka ayah pun beristri su dah. Sungguhpun ayah sudah beristri, tetapi keadaan kami ti dak berubah. Hanya waktu siang ayah hilang sebentar-sebentar, tetapi malam beliau tetap juga di rumah ibu. Kupanya ayah tidak sanggup bercerai dengan saya malam hari, karena say a acap kali sedan g tidur meman ggil 'papa'. Dengan tidak d isangka-sangka, tiga bul an sesudah itu, keadaan di r umah be rubah. Masa itu saya sudah b ersekolah. Pada suatu h ari, ket ika saya pula ng dari sek olah, saya dapati ibu sedang menangis. Menurut keterangan ibu, sebabnya karena ayah marah- marah dengan tidak keruan. Ayah pulang sudah mulai berganti har i. Tiap- tiap be liau pulang, selalu bermuram durja. Saya sudah kurang beliau pedulikan. Sebab sedikit saja, beliau sudah marah- marah. Hi dup kami tid ak be rketentuan lagi, ibu tak pernah be rmata ker ing. K esudahannya ayah t idak pulangpulang lagi, dan belanja sudah berkuran g-kurang. Jika beliau pul ang sek ali-sekali, jangankan menegur saya, malahan muka masam yang s aya t erima. Ka rena takut, say a tidak pula berani mendekati beliau. Ibu terpaksa mencari untuk mencukupkan bel anja hari-h ari. Saya pun berhenti sek olah, pergi menurutkan ibu bek al in i dan itu unt uk dimakan. Jik a t idak begitu tentu kami mati kelaparan, sebab kami orang miskin. Belanja dari ayah tidak d apat di harap lagi. Sekali sebulan pun beliau ja rang mene mui kami. Entah apa sebabnya ayah ja di demikian, ibu sendiri sangat heran, karena tidak ada sebab karenanya. Keadaan kami suda h k ocar-kacir, dan terp aksa pindah ke pondok-pondok, menyewa rumah yang berharga f 1,50,-. Ak an lari ke rumah fa mili, t idak ada y ang kandung. Meskipun ad a fa mili j auh, mereka itu pun misk in pula. Tida k lama kemudian, ibu dice raikan ayah. Ibu dan saya hidup jatuh melarat. Ibu hampir tidak dapa t menanggungkan kesengsaraan itu. Beruan g sesen pun tidak, mak an pagi, tidak petang. Malu sangat pula, tidak terlih at lagi muka orang d i B ogor. Kar ena


tidak tertahan, ibu memb ulatkan pikiran, lalu menjual baran gbarang yang ada. Maka kami pun melarik.m diri ke Betawi. Umur saya masa itu sudah 8 tahun. Bagaimana penghidupan kami mula datang di Betawi, Allah yang akan tahu. Maklumlah, Udo, walaupun dekat, kami belu m pernah s ekali ju a k e n egeri itu." Halimah terhenti berkata, karena air matan ya jatuh berlinang ke pipiny a. Pikir annya melayang kep ada pen ghidupannya masa dahulu. Ia terkenangkan ibunya yang san gat dikasihinya, t inggal seoran g diri di negeri orang, jauh terpisah dari t anah air, kau m f amili se mua. Tampak terb ayang oleh Halimah, ketika ibunya akin me ninggal dunia memberi nasihat dengan suara putus-putus. Maka ia pun menangis tersedu-sedu, karena amat sedih mengenangkan nasibnya yang malang itu. Melihat hal itu, Midun amat bela s kasihan. Ia bersedih hati pula menden gar cerita itu. Sambil membujuk Halimah, Midun berkata, "T idak ada gunanya dise dihkan lagi, H alimah! Hal itu sudah terjadi dan sudah lalu, tidak usah dipikirkan jua. Memang demikianlah kehendak Tuhan da n kemauan alam. Tidak boleh kita menye sali, karena sudah nasib sejak di rahim bunda kandung. Kata Adik tadi, 'hid up in i sebagai roda'. Mudahmudahan hingga ini ke atas, senang sentosalah hidup Adik." Halimah menghapus air mata nya dengan saputangan. Kemudian ia pun berkata pula meneru skan cer itanya, "Sampa i di Betaw i, uang ibu tinggal f1 ,- lagi. Tiga ha ri ibu mencari pekerjaan ke sana ke mari, tidak juga dapat. Hanya uang yan g serupiah itul ah yang kami sed ang-sedangkan. Supaya jangan lekas habis, kami tidak makan nasi, melainkan ubi, singk ong, kata orang Betawi. Dalam tiga hari itu kami menumpang di pondok-pondok orang. K ami t idur di t anah, di at as tikar yang sudah buruk. Karena pagi-pagi ibu mencuci baju anak orang pondok itu, ada juga saya dibe rinya nasi dengan garam. Pada hari yang keempat ibu pergi pula mencari pekerjaan. Saya selalu beliau ba wa, setapak pun tidak beliau ceraikan. Hari itu ka mi tidak beruan g sesen jua. Sampai tengah hari, ibu tidak juga dapat peker jaan. Hamp ir semu a rumah or ang Belanda kami jalani, tetapi tidak ada yang mencari babu, koki, dan lain-lain . Panas amat teri k, hau s dan l apar tak dap at ditahankan. Ibu membaw a saya kepada sebuah sumur bor , diambilnya air dengan t angan, lalu diminumkannya kepada saya. Kemu dian kami be rhenti di tepi jalan, berlindung di


bawah sepohon kayu yang rind ang akan m elepaskan lelah. Sambil m emandang s aya, ibu menangis a mat se dih. M uka ibu saya l ihat s angat pu cat, agak nya menahan lapar. Saya pun begitu pula, sebab pagi itu satu pun t ak ada yang masuk perut. Karena lelah dan letih, saya p un tertidur di baw ah pohon kay u itu. Entah berapa l amanya say a tertidur, tidaklah saya t ahu. Ketika saya terbangun, saya lihat ibu sedan g menangis. Ibu mengajak be rjalan pula a kan men cari pekerjaan. Tetapi s aya hampir tak dapat berjal an, karena sangat l apar. Sungguhpun demikian kami berjalan jua dengan perlahan-lahan. Tiba-tiba saya melihat sebuah ua ng tali di tepi jalan, ibu rupanya mel ihat uang itu pula. Dengan segera ibu mengambil uang itu. Girang benar hati ka mi mendapat uan g tali yang sebuah itu. Lima sen dibe likan kepada ubi. Untuk saya beliau beli nasi den gan sayur lima sen pula. Lebihnya disimpari untuk malam.. Sudah makan badan kami agak segar, lalu meneruskan perjalanan mencari kerja. Tidak jauh kami berjala n, bertemu dengan seorang babu sedang mendu kung anak. Ibu bertanya kalau-kalau ada tuan-tuan yang mencari babu, k oki, dan lainlain. Untung benar jawa b babu itu mengatakan ada seorang tuan mencar i babu k amar. Maka k ami d ibawanya kepad a sebuah gedung, yang tidak bera pa jauhnya dari situ, ibu pun bekerjalah di sana, di rumah orang Belanda. Adapun tuan tempat ibu bekerja it u, beranak seorang perempuan yang telah berumur 4 tahun. Ibu menjadi babu kamar, s aya menjadi b abu noni anakn ya. Gaj i i bu f 1 5,- d an saya f 5,-. Kami bekerja dapat makan dan tinggal dt sana. Tiaptiap bulan ibu selalu men yimpan separuh dari gaji kami, takut kalau-kalau ditimpa kesu sahan p ula sekali lagi. Setelah enam bulan kami bekerja, maka tuan itu pun pindah kerja ke Padang. Di Padang ia menjadi ke pala pad a sebuah kantor Maskap ai. Tuan dan nyonya mengajak kami ikut bersama-sama. Dijanjikannya, jika ibu m au perg i, ak an dita mbah gaji, begitu pula say a. Kendatipun gaji t idak bertambah, ibu meman g hendak ikut juga. Maka demik ian, karena ibu tidak suka lagi tinggal di tanah Jawa. Waktu akan berangk at, ibu berkiri m surat ke Bogor, memberitahukan bahwa kami akan berlayar ke Padang. Alamat kalau hendak berkirim surat pun kami sebutkan di dalam surat itu. Maka kami pun berlayarlah. Di Pad ang, kam i beke rja se bagaimana bi asa. Dengan permintaan ibu kepad a t uan, seb ab saya masih berumur 8


tahun lebih, maka saya diizinkan meneruskan sek olah. Lima tahun kemudian saya tamat seko lah. Selama itu penghidupan kami senang saja, tidak kurang suatu apa. Uang simpanan kami sudah ada f 500,-. Uan g itu ka mi simpan di Padangsche Spaarbank. Setelah setah un saya berhenti sekolah, tuan dapat perlop. Ia dengan anak-anaknya akan pulang ke negeri Belanda. Karena mereka itu akan singga h ke Betawi dulu, maka ibu diajaknya pu lang. Kat a t uan, di m ana ka mu saya a mbil, saya antarkan pula pulang kembal i ke situ . Tetapi ibu tidak mau ke Betawi lagi, beliau hendak ti nggal di Padang saja menunggu tuan balik. Maka kami dua be ranak t inggallah di Padang. Ibu pindah kerja ke gedung lain, te tapi tidak tingga l di sana. Kami pun menyewa sebuah rumah yang berharga f 5,- sebulan. Waktu itu saya sudah gadis ta nggung. Ibu berniat hendak membeli rumah yang kami sewa itu. Pada suatu hari, ibu pergi kepada y ang punya rumah, akan menanyakan kal au-kalau ia mau menjual rumahnya. Kebetulan orang yang pu nya rumah hendak men jual rumahn ya karena ia hendak bermenantu. Besok pa gi i a pun datan g dengan su aminya akan memutuskan penjualan rumah itu. Selesai surat-menyurat ibu berjanji bahwa uan g beli rumah itu beso knya akan dib erikan di muka saksi. Setelah itu kami pergi ke k antor bank men gambil uan g sebanyak beli rumah, yaitu f 300,-. Malam itu terjadi su atu hal yang ngeri, Udo! Sungguh ngeri, sehingga hampir jiwa saya melayang karenanya. Tengah malam sedang kami tidur nyenyak, saya terk ejut karena bunyi derak pintu yang ditolakkan orang. Se konyong-konyong saya, melihat seorang besar tinggi berbaju hi tam. Saya diancamnya kalau memekik ak an dibunuhn ya. Oran g it u melompat ke jendela melarikan diri. Ibu terban gun pula, lalu meraba uang di baw ah bantal. Apa yang akan di cari, ua ng sudah hilang dicuri maling. Ketika itu ibu dan saya memekik meminta tolong. Tetapi sudah terlambat, karena maling sudah jauh melenyapkan diri. Rumah itu tidak jadi dibeli, ke adaan kami t idak berketentuan lagi. Roda penghidupan kami sudah mulai turun pula. Tiga har i sesudah ke malingan, ibu j atuh sa kit. Makin sehari penyakit beli au makin heba t. Bermac am-macam obat ya ng dimakannya, jangankan sembuh melainkan makin jadi. Uang yang masih tinggal di bank, sudah berangsur habis pembeli obat dan untuk belanja. Ak an bekerja saja tidak dapat, karena t ak ada y ang akan membel a ibu di ru mah. Tiga bulan ibu tidak


turun tanah, baru mulai sembuh. Tet api badan beliau lemah saja. Uang h ampir habis, hanya tinggal beberap a rupiah saja lagi. Di sebel ah rumah kami ada t inggal seorang Belanda peranakan. Ia hidup membujang dan bek erja pad a se buah kantor di Padang. K etika ibu sakit, ke rap kal i dia d atang ke rumah. Amat baik dan penyantun benar ia k epada kami. Banyak kal i ibu diberinya uang, dibelikanny a ob at dan kadan g-kadang d isuruhnya ant arkan makanan oleh babunya. Adak alanya ibuku ditanyanya, apa yan g e nak di makan ibu. Ti ap-tiap pul ang bekerja, acap kali ibu dibawakannya makanan dari t oko. Bahkan ia serta pula menyelen ggarakan ibu dalam sak it itu. Sungguh amat baik benar budi bahasa orang Belanda itu. Tak dapat dik atakan bagaimana besarn ya terima kasih kepadanya, karena uan g kami telah habis dan pertolon gannya datang. Setelah ibu segar dan seh at benar, din yatakannya maksudnya, bahwa ia hendak memelihara ibu. B ermacam-macam bujuka nnya agar ibu suka meluluskan permintaannya yang sungguhsungguh itu. Pandai benar ia berkata-kata manis bagai tengguli. Barang siapa yang mendengar perkataannya, tak dapat tiada akan lembut hatinya. Bu kankah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia. Apalagi ibu terk enang pula akan pantun yang demikian bunyinya. Pisang emas bawa berlayar masak sebiji di atas peti. Utang emas boleh dibayar Utang budi dibawa mati. Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa Dua. Hancur badan dikandung tanah budi baik terkenang jua." Midun kena sindir, tepat benar kenanya. Perjalanan darahnya, sekonyong-konyon g beruba h. Hatinya kemb ang kemp is, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak dapat berkata-kata. "Mengingat k eadaan ka mi ma sa itu dan mengin gat budinya selama ibu sakit, terp aksa ibu mengabulkan permintaannya itu," ujar H alimah s ambil tersenyu m, karena ia m elihat pe rubahan muk a Midun tiba-tiba itu. "Maka orang Belanda


peranakan it upun menjadi bapak tiri sayal ah. Kami hidup senang, tak ada yang akan disusahkan lagi. Bahkan pula tempat tinggal k ami seba gai su dah Ud o l ihat gedung besar. Kepada ibu san gat s ayang bap ak tiri s aya it u, kepada s aya apal agi, lebih dari patut. Kira-kira seta hun sesudah itu datang pula perubahan. Say a dengar ibu sudah acap kali berkelahi dengan bapak tiri saya itu. Ia sela lu marah -marah saj a di rumah. Aduhai, gan as ben ar k iranya dia, main sepak te rjang saja. Beberapa k ali saya tanyak an kepad a ib u, apa sebab bapak t iri marah-marah itu, ibu t idak mengatakan. Hanya beliau berkat a, 'Jagalah dirimu, Halimah!' Tetapi saya amat heran, sungguhpun kepada ibu ia selalu marah, kepada saya makin sayang dia. Apa saja yang saya minta, selalu di kabulkannya. Dengan hal yang demikian, kesudahannya ibu jatuh sakit. Tak ubahnya seba gai or ang mer ana, makin seh ari mak in sengsara hadan beliau. Udo pun bukankah su dah mempersaksikan hal itu len gan mat a sendiri? Obat apa yang t idak beliau m akan, tetapi se muanya s ia-sia s aja. Ajal ibu hampi r datang, sakit beliau sudah ayah benar. Ketika ibu akan meninggal, bapak tiri saya sedang di kantor. Beliau melarang keras, jangan ada orang pergi memberitahukan hal itu. Saya selalu duduk dekat ibu. Beliau pun berkata dengan suara putus- putus, kata nya, 'Anakku, Halimah! Ketahuilah olehmu, b ahwa penyak it say a ini ta kkan dap at diobati lag i. Penyakit saya ini bukanlah sakit badan, melainkan penyakit hati yang sudah 10 tahun saya tangg ungkan. Hancur lulu h hati saya mengenangkan perceraianku dengan ayahmu. Dengan jalan meninggalkan negeri itu, saya sangka kesedihan h ati saya itu akan berobat dan dapat dihil ang-kan. Kir anya tidaklah demikian, bahkan bert ambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam pena nggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib k ita yang celak a jua. Tidak di dalam h al penghidupan saja, godaan pun tidak sedik it pula. Tetapi sekaliannya itu saya terima den gan sabar dan t ulus ikhlas. Sekarang tak dapat lagi saya menanggungkan, dan boleh jadi saya tewas olehnya. Baru sekian ibu berkat a, napa s be liau turun n aik a mat cepatnya. Sakit ibu bert ambah p ayah. Matanya terkatup, kaki beliau a mat dingin. Saya amat cemas melihat waj ahnya yang sangat pu cat itu. Tidak lama beliau membukakan mat a pul a. Sambil mena rik nap as p anjang, ibu m eneruskan pe rkataannya,


'Jika tid ak mengingat b udi or ang d an me mikirkan engkau, tidaklah sa ya ma u sebagai pe rempuan dukana ini. Bukank ah saya sudah melakukan perbuatan yang di luar agama. Apa boleh buat, Halimah! Sesal dahu lu pendapatan, sesal kemudian t idak berguna. Tetapi yang lebih menyakitkan hati saya, kita tertipu. Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya beru dang d i bal ik batu. Dia b ukanlah men cintai saya, melainkan H alimahlah y ang dima ksudnya. Hatin ya tertar ik kepadamu, k arena itu dicarinya jalan dengan mengambil saya jadi ny ainya. Dengan j alan itu, pada pikirannya, bu rung sudah di tangan, tidakkan ke mana te rbang lagi. Say a disiksanya setiap hari, tetapi engkau selalu disayanginya. Aduhai, cuku plah saya seorang yang telah mencemark an diri, tetapi kamu saya harap ja ngan pula begitu hendaknya. Ambillah keadaan saya ini akan jad i cermin perbandingan, dan sekaii-kali ja ngan da pat engkau d iperbuatnya se suka-sukanya. Halimah telah remaja, sudah dapat menimbang buruk dan baik. Engkau suda h besar, seb ab itu jagalah dirimu, jangan sampai seperti s aya yang kep arat ini. Biarpun di nege ri oran g, s aya tidaklah kha watir men inggalkan eng kau. Bukank ah engkau sudah banyak berkenalan di si ni, poh onkanlah pertolongannya dan per gilah kepada ay ahmu. Midu n, orang hu kuman itu, menurut hemat saya ia amat ba ik. Lagi pula men urut katanya kepadamu tempo hari, tidak lama lagi hukumannya akan habis. Ia bebas. Mintalah pe rtolongannya. Tentu ia akan suka menolongmu setiap wakt u. Sa mpaikanlah salam saya kepada ayahmu, kat akan bahw a saya meminta maaf l ahir dan batin, demikian pul a kalau ada kesalahannya saya maafkan. Selamat tinggal, Halimah, jaga diri baik-baik...!' Ibu meninggal dunia, saya menangis amat sangat, tidak tahu lagi akan diri. Entah ber apa l amanya saya pin gsan, tidaklah saya tahu. Setelah saya sadarkan dir i, orang sudah banyak. Bapak tir i saya itu sudah datang dari kantor. Melihat kepada roman muk anya tidak se dikit juga ia berdukac ita. Amat sakit hati saya, ketika ia mendekati saya akan membujuk saya. Hari itu juga ib u dikuburkan deng an s elamat. Say a perg i ke pekuburan mengantarkan beliau. P etang hari pulang dari pekuburan, saya teru s ke kama r, l alu say a kunci pintu dari dalam. Maka saya pun menangis men genangkan b adan. Saya tinggal seorang diri, jauh dari kaum keluarga saya dan tanah air saya. Dengan tidak makan dan minum saya pun tertidur sampai


pada k eesokan har inya. Or ang pun tak a da y ang be rani mengusik saya, tahu ia agaknya bahwa say a dal am be rsedih hati amat sangat." Halimah berhenti berkata karena menahan air matanya yang hendak jatu h, mengenan gkan waktu ibunya meninggal dun ia itu. Setelah itu ia pun berkat a pula, katanya, "Pada keesok an harinya, bapak tiri saya tidak be kerja. Sehari itu ia membujuk saya, supaya jangan memikirkan ibuku yang telah meninggal. 'Ibu sudah te rseberang,' k atanya. 'Dirimulah lagi y ang akan dipikirkan, Sayang! Apa gunanya dikenangkan juga, akan hidup dia ke mbali tidak boleh jadi. Senangkanlah hatimu, mudahmudahan kita hidup berd ua dalam bahagia. Mari kita berjalanjalan merintang-rintang hari rusuh.' Mendengar perkataan itu, jangankan hati senang, melainkan sebagai terc ocok dur i j antung s aya. Hamp ir saja keluar perkataan, 'Kalau tidak karena engkau, ibuku tidak akan mati.' Untung lekas saya menahan hati. Saya berdiam diri saja seperti patung, men dengar kat a-katanya itu. Sebab ibu baru saj a meninggal, maka say a tu rut saja kemauan bapak t iri saya itu. Hari itu saya dibawanya pesiar di seluruh kota Padang. Sesudah pesiar, per gi berbiduk-b iduk ke Muar a. Penat pul a berb iduk, pergi ke Gun ung Padang berjalan-jalan. Sehari-harian itu kami tidak pulan g. Bapak ti ri saya itu amat suka dan riang benar kelihatannya. Ia biasa saja, jangank an berdukacita, melaink an makin banyak gurau sendanya. Saya sudah maklum apa maksudnya maka i a ber buat de mikian itu. Tetapi karena ibu saya baru meninggal, t entu belum berani ia menyatakan niatnya itu. Setelah hari malam, kami pulang kembali ke rumah. Heran, jongos dan koki yang biasa a da di rumah, kam i dapati ti dak ada. Hanya yang ada n enek se orang di ru mah. Waktu saya masuk kamar, bapak tiri saya masuk pula, katanya ada barang y ang hendak diambilny a di kamar saya itu. Dengan cepat ia mengunci pintu, lalu berkat a, 'Halimah! Sudah 4 t ahun saya men ahan hati, sek aranglah baru dapat saya lepaskan. Sesungguhnya saya tidak mencint ai ibumu, melainkan engkau sendirilah, Adikku! M aka ibu mu saya pelihara, h anya karen a saya t akut Halimah ak an diam bil orang lain. Sejak engkau bersekolah, sudah timbul keinginan saya hendak hidup berdua dengan engk au. Sekarang ibumu sudah meninggal, saya harap engkau kabulkan permintaan saya. Sukakah Halimah bersuami-


kan say a? B aik secara I slam at au cara K risten saya turut. Bahkan jika Halimah keh endaki saya masuk or ang I slam, pun saya suka.' Baru sehari ibu saya meninggal, belum kering air mata saya, sudah demikian katanya. Amat sakit hati saya mendengar perkataannya it u. Dengan marah a mat s angat, saya memaki-maki dia den gan perkataan ya ng keji-keji. Segala perk ataan yan g tidak senonoh, saya kelu arkan. Ma cam-macam pe rkataan s aya mengata-ngatai di a. Mukanya merah, urat kenin gnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu. Dengan marah ia be rkata, 'Saya sudah bany ak rugi. M alam ini jug a mesti engka u kabulkan perm intaan saya. J ika e ngkau tidak mau, saya tembak.' Saya tidak sedikit juga gentar menden gar gert ak it u. Pada pikiran saya, daripada hidup ma cam i ni, lebih bai k mati bersama ibu. Maka s aya pun berkata den gan lantan g, 'Jik a Tua n tidak keluar dari kamar ini, saya mem ekik memi nta to long. Kalau Tuan mau menembak saya, tembak sajalah!' . Dengan perk ataan itu rupanya ia undu r, lalu keluar sambil merengut. S aya segera mengunci pintu dari dalam. Semalammalaman itu saya tidak t idur. Tidak satu-dua yang mengacau pikiran saya. Takut saya pun ada pula, kalau-k alau pintu didupaknya. Setelah hari sian g, keden garan nenek memanggil. Ketika dinyatakannya bahwa tuan sudah pergi, baru saya berani membuka pin tu. Dengan ringkas saya ceritak an kepada nenek, hal saya semalam itu. Rupanya nen ek ada pula mendengar perkelahian kami—yang sa ya c eritakan ini, sud ah dice ritakan nenek di rumah P ak K arto temp o hari. T etapi sup aya lebih terang, biarl ah saya ulan g sekal i lagi.-Saya mengajak nenek segera lari dari ru mah itu. Maka saya pun berkemas mana yang perlu dibawa saj a. Sudah itu saya tulis surat kepada bapak tiri saya. Saya katakan dal am surat itu, bahwa dengan kereta pagi saya berangk at ke Sawah lunto. Dan keperluan saya ke san a ialah ak an menemu i famili say a yang sudah 6 tahu n meninggalkan kampung. Setelah sebulan di Sawah lunto, saya kembali ke Padang. I si surat itu sebenarnya b ohong bel aka. Kemudian kunci ru mah saya ting galkan kepada j ongos, lalu kami naik bendi. Di tengah ja lan saya bertemu dengan seorang Tionghoa. Menurut keterangan n enek, orang itu induk semangnya dahulu. Ia adalah seor ang yang amat baik hati dan kaya raya.


Nenek ditegurnya, dan ditanyak annya hendak k e mana kami. Dengan beriba- iba nene k menerangkan h al saya. Belas kasihan ia rupanya mendengar cerita nenek, lalu saya diajaknya pergi dengan dia. Ia menan ggung, bahwa di rumahnya tidak akan terjadi apa-apa. Nenek menanggung pula, bahasa d i sana ada a man se mentara men anti ka pal ke Betawi. Say a menurut saja, asal ne nek tidak bercerai dengan saya. Maka kami pun berbendilah ke Pondok, rumah No. 12. Aduhai, Udo! Pada pikiran sa ya sebenarnya akan senang tinggal di sit u. Kiranya saya pe rgi ke r umahnya itu masuk jerat semata-mata; dan tidakl ah sal ah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu adalah seperti lepas dari mulut harimau jatuh ke dalam mulut buaya. Semalam- malaman itu saya dirayu dan dibujuknya; agar suka mengikut dia. Dijanjikannya, bahwa saya akan di peliharanya b aik-baik. Dan dikatakannya pula, sejak saya datang dengan b apak tir i saya ke tokonya, ia telah menaruh cin ta kepad a saya. Supaya jangan terj adi apa-apa, pura-pura saya mau menerima pe rmintaan itu. S aya katak an, 'Burung dalam sangkar tidak akan ke mana. Sebab itu sabarlah Baba dulu sampai duk a nestapa saya agak h ilang, karen a sekarang saya sedan g berkabung kematian ibu.' Senang benar hati or ang T ionghoa itu mendeng ar j awab s aya. Setelah ia pergi, dengan segera saya tulis surat kepada Udo memohonkan pertolongan. Itulah surat yang diantarkan nenek kepada Ud o itu. Demikianlah penanggungan kami sej ak ibu bercerai dengan ayah sa mpai pada wakt u ini. Sekarang tentu Udo sudah maklum, apa arti perkataan ibu y ang mengatakan: 'men ahan sedih dan makan hati it u'. Begi tu p ula arti perk ataan s aya, 'dirundung malang', Udo!" Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita Halimah yan g menyedihk an hati itu. Setelah habis H alimah bercerita sepatah pun ia t idak berkata-kata. Midun bermenung saja, s ebagai ada yang d ipikirkannya. Am at kas ihan ia kepad a gadis yan g malu itu. Dalam pada itu , Halimah berkata, "Hari sudah malam kiranya Udo! Kare na asy ik bercerita, tahu-tahu sudah gelap saja. Malam tadi, say a rasa Udo tidak tidur. Saya pun demikian pula. Tidak mengantukkah Udo?" "Tidak, Halimah!" ujar Midun. "Saya sudah biasa bertanggang* (Tidak t idur semal am-mal aman) . Adik nyata kurang tidur, sebab muk a adik amat pucat saya lihat. Sebab itu tidurl ah


sesenang-senangnya." "Benar, Udo!" ujar Hal imah. "M emang sejak ibu sakit payah sampai kini saya tidak t idur amat . Tetapi jik a say a tidur, Udo jangan tidur pula, sebab di kapa l banyak juga pencuri. Biarl ah kita berganti-ganti tidur, ya, Udo?" "Siapa pula pencuri di kapal ini?" ujar Midun dengan heran. "Tidak saja sa ma-sama penum pang, kelasi pun ada juga, " ujar Halimah . "Dahulu w aktu kami berlayar ke Padang, ada seorang saudagar keh ilangan ua ng lebih f 200,-. Lain daripada itu, waktu kami sampai di Bangkahul u, seorang perempuan beranak kehilangan gelang emas seharga f 150,- lebih. Waktu akan tidur gelang it u ditaruhnya di bawah bantal. Kasihan kami melihiat perempuan itu menangis. Bi ar b agaimana pun k ami menolong, mencarikan, tidak bertemu." "Baiklah," ujar Midun, " insya Allah t idak akan apa-apa, tidurlah Adik!" Belum lama Halimah mel etakkan kepala ke bantal, ia pu n tertidur amat nyenyak nya. Midun duduk seorang d iri memikirkan cerita g adis itu. Kemu dian ia m emandang muka Halimah, lalu berkata dalam hatinya. "S ungguh cantik gadis ini, tidak a da cacat c elanya. Hati s iapa takkan g ila, iman s iapa takkan bergoyang memandang yang seelok in i. Kalau alang kepalang iman mun gkin sesat olehny a. Tin gkah l akunya pun bersamaan pula dengan rupanya. K ulitnya kuning langsat, perawakannya sederhana besarnya, kecil tidak besar pun tidak, gemuk bukan kurus pun bukan, sedang manis dipandang mata. Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya bulat bulan penuh. Matanya laksana bintang timu r bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tu nggal. Pipinya sepert i pau h dilayang, bibirnya limau seulas, mul utnya delima merekah, yang tersedia untuk memperlihatkan senyum -senyum simpul, sehingga kelihatan lesung-les ung pipit, yang seolah- olah menambah kemolekannya jua." Midun mengambil kain, lalu menyelimuti betis Halimah yang terbuka itu perlahan-la han. Pikiran Midun berubah-ubah, sebentar begini, sebentar begi tu. Kadang-kadang melihat muka gadis itu terkenang ia akan adiknya Juriah. Halimah dipandangnya sebagai adik kandungnya sendir i. Sebentar lagi sesat, dan berharap kalau Halimah jadi istr inya, amat beruntung hidupnya di dunia in i. Perkataan Halimah "pipit sama pipit" d an "maksud sampai" itu t ak hendak hil ang dalam pikiran Midun. Tidak lama


timbul pula pikiran lain, lalu ia berk ata pula dalam hatinya, "Penanggungan saya belum lagi sepersepuluh penanggungan ibu Halimah. Sedangkan pe rempuan demikian berani dan sabarnya merasai cobaan Tuhan, apalagi saya seorang laki-laki." Pada keesok an harinya, setelah jauh lewat Bangkahulu, Midun bertanya pula kepada Ha limah, katanya, "Sungguh sedih ceritanya Adik kemarin. Tetapi ada pula yang menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah ibu bercer ai dengan ayah Halimah, apakah sebabnya beli au tidak ber suami lagi? Jika sesudah ber cerai segera bersu ami, saya ra sa ti daklah akan demikian benar penanggungan ibu dan Adik." "Saya pun amat heran," ujar Halimah . "Sejak saya berakal, berulang-ulang say a menyuruh beliau bersu ami, tetapi ibu selalu menggelengkan kepalanya. Ibu menerangkan, bahwa cukuplah beliau men anggung kesedihan yang hampir tidak terperikan itu. Jika beliau bersuami pula, dan timbul lagi sesuatu hal yang menyedihkan, ia tak dapat tiada nyawa tentangannya. Kiranya perk ataan beliau itu ben ar j ua. Sekaran g tentu Udo sudah maklum, apa sebabnya yang menyebabkan ibu meninggal dunia. Lagi pula ibu sangat ci nta kepada ayah, sebab itu t idak sampai hati beliau akan mengganti ayah dengan orang lain. Jika tidak karena budi dan keadaan kami yan g sangat su sah, istimewa di negeri o rang, tidaklah ib u akan mau dipelihar a orang Belanda peranakan itu." "Sungguh pandai ibu Adinda men ahan hati," ujar Midun. "Jika or ang lain be rhal d emikian itu, boleh jad i menimbulkan pikiran yang kurang baik di da lam hat inya. Hati siapa takkan sakit, awak di dalam berkasih-kasihan diganggu orang. Rupanya ibu Adik maklum apa yang menyebabk an perceraian itu. Bagi saya sendiri pun sudah terbayang hal itu." "Dapatkah Udo menerangkannya?" ujar Halimah. "Saya kerap kali menanyakan kepada ibu, te tapi selalu beliau sembunyikan dan tidak mau menerangkan sebab perceraian itu." "Percayalah Halimah," uj ar Midun, " sekalipun waktu ayah akan ber istri diiz inkan oleh ibu Adik, tetapi di h ati bel iau sendiri tidaklah menerima dan tid ak izin ayah Ad ik beristri itu. Benar perempuan amat pandai men ahan hati. Apakah Adik mendengar cerita anak Nabi Muhammad saw?" "Tidak, Udo, bagaimanakah ceritanya?" ujar Halimah. "Pada suatu hari suami Fatimah itu memanggil istrinya," ujar Midun. "Setelah istr inya datang, maka Saidina 'Ali, demikianlah


nama sua minya itu, me minta iz in ak an berist ri. D engan rela hati dan tersenyum m anis di izinkan Fati mah su aminya itu beristri seorang lag i. Te tapi telur mentah yan g ketika itu dipegang Fatimah di tanganny a, sekonyong-kony ong telah masak. Demik ianlah pandainy a Fatimah menahan hati. Sungguhpun di luar manis, tetapi di dalam sudah remuk dan badannya panas sebagai api, hingga telur masak di tangannya. Lebih bertambah sedih l agi, karena ibu Adik mengetahui, bahwa perceraian ibu dan ayah tidak kasih sayang lagi kep ada Adik, ialah disebabkan perbuatan orang. Saya ber ani bertaruh, tak dapat ti ada ayah Adik sudah ke na guna-gun a. Tidak d i negeri Adik saja h al itu terjadi, tet api d i neger i say a pun banyak pula yang demikian. Tidak sedikit korban yang disebabkan guna-guna j ahanam itu. Oran g yan g berkasihkasihan laki istri putus cerai-berai. Dan adakalanya menjadikan maut kepada kami. Inilah bahaya yang terutama bagi orang yang suka b eristri dua, tiga, s ampai empat orang. M asingmasing si istri itu berlomba-lomba, agar dia sendiri hendaknya dikasihi suaminya. Kar ena itu timb ul dalam h ati mer eka bermacammacam piki ran jahat. Si A misalnya, pe rgi kep ada dukun B memint akan guna-guna untuk suaminya. Si B mengetahui bahwa si A perlu memin ta obat itu kepadanya. Nah, di san a lalulah jarum B akan membujuk uang A untuk pengisi k antungnya. Dengan bebe rapa tipu muslihat B, u ang A tercurah ke padanya. A ya ng san gat pe rcaya k epada dukun B, tidak kayu j anjang dikeping, ti dak e mas bungk al diasah, t idak air t alang dipancung. Belanja ya ng diberikan suami, dij adikan untuk keperluan itu. Bahk an kain di badan dijual at au digadaikan untuk itu, supaya suami kasih dan sayan g kepadanya seorang. Ke sudahannya arang h abis besi binasa, uang habis badan celak a. Maksud t ak samp ai, badan d iceraikan su ami. Sebabnya: karena urusan ruma h tan gga, mak anan dan pakaian suami dan lain-lain, tentu tidak berketentuan lagi. Jika syaratsyarat ber suami t idak di pakaikan, tak dapat t iada l aki-laki itu memisahkan dirinya. Menurut pendengaran saya, guna-guna itu terjadi dari benda yan g k otor-kotor. Misalny a tah i orang dan kotoran kuku dan lain lain sebagainya. Hal itu makin celaka lagi, kalau makanan itu tidak bersetuju dengan perut su ami. K arena kotornya, boleh jadi mendatangkan penyakit. Akhirnya si suami itu seperti sirih kerkap tu mbuh di batu , mati enggan hidup tak


mau, merana. Lebih berbahay a lagi kal au du kun B itu bermusuhan dengan su aminya. Dengan gampang saja ia dapat memberikan racun at au l ain-lain. Man akala dendamnya lepas karena mu suhnya lenyap dari dunia ini, tentu si B ak an bersenang ha ti. P adahal s i A sekali-kali tidak mengetahui, sebab kepercayaannya penuh kepada dukun B itu. Hal ini sudah terjadi pa da s alah seorang is tri mam ak saya. Ti dak putusputusnya ia menyesali hidupnya karena perbuatannya itu. Orang pun takut me mperistri d ia l agi. M aka ti nggallah ia menjadi perempuan balu, hidup terpencil dengan tiga oran g anak yang masilI kecil-kecil pula. Jika maksud A itu sampai, tentu ia bersenan g hati. Tetapi istri su ami y ang la in tera niaya pula k arena perbuatannya itu. Istri yang d iceraikan sua mi itu tentu menanggung sedih. Tidak saja bersedih hati, hidu pnya pun ko car-kacir, ap alagi kalau sudah beranak-anak. Lihatlah sebagai ibu Adik, sedangkan baru beranak seorang demik ian jadinya. M alu tumbuh, sedih pun datang, hin gga berla rat-larat ke neg eri or ang membawakan untung nasib diri." Midun berhenti berkata, karena waktu makan sudah datang. Maka ia pun pergi men gambil nasi, lalu mak an bersama- sama dengan Hal imah. Di dalam maka n itu , Halimah baru maklum akan mengenangkan se gala per buatan perempuan y ang sekalikali tidak bersetuju dengan pi kirannya. Setelah sudah mak an, Midun meny ambung perkataannya, katanya, "Sungguhpun demikian, perbuatan perempuan kepada su aminya tidak pula dapat disalahkan. Jika ia mela kukan perbuatan it u tiada pula disesalkan. Hanya iman yang kurang pada perempuan itu. Tidak seperti Fat imah yang saya cerita kan tadi. Tetapi sukar dicar i, mahal didapat perempu an yang berhati begitu. Apa yan g takkan terke rjakan, jik a ia di permadukan. Ap alagi yang leb ih sakit dar ipada itu. Coba kala u h al i tu t erjadi s ebaliknya, artinya si lak ilaki dipermadukan perempuan. Baran gkali ... ya, entah apa y ang ak an te rjadi. Sed angkan dil ihat oran g s aja istrinya, rasanya hendak diulur nya hidup-hidup orang itu, apalagi dipermadukan." Di sini M idun berhenti berkata-kata sebent ar, k arena ia teringat ak an nasibnya sendiri. Bukankah terj adinya per kelahiannya dengan K acak di te pi s ungai, k arena cemburuan, dan... sehin gga Kacak lupa ak an pertolongannya at as Katijah? Kemudian ia berkat a pul a, ujarnya, "Hal ini me mang tid ak


bersesuaian sedik it jua dengan pikiran say a. Benar agama mengizinkan beristri dari satu sampai empat, tetapi jika ditilik dalam-dalam, tidak gampang sa ja mengerjakanny a. Menurut pikiran say a, banyak syar at-syaratnya yang amat sulit. Dalam seribu sukar seorang yang akan dapat melakukannya. Saya ras a tidak s eorang jua yang ak an dap at ber laku adil, se adil-adilnya kepada kee mpat istrinya itu; karen a demikianl ah kehendak agama. Bahkan yang b anyak saya lihat, perempuan itu dipandangnya sebagai suatu barang untuk pemu askan h awa nafsunya saja. Sungguh sedih hati memikirkan nasib perempuan yang diperbuat suami semau-maunya itu. Tidak berhati berjantung, tidak men aruh be las kasihan k epada teman sehidup. Tak ada ubahnya dengan lak i-laki gan gsang, beranak satu dibuang, kawin lagi. Demikianlah t erus-menerus. En tah b agaimana n asib perempuan itu ditinggalkannya, tidak dipedulikan nya. Jangankan me mikirkan nas ib pe rempuan itu setelah dit alakkan, sedangkan masih dalam tangannya belanja berkurang-kurang. Sekianlah cerita say a; bagi Adik jan ganlah terjadi demik ian dan jangan pula mendapat suami seperti saya katakan itu kelak. Saya berhar ap, m oga-moga Adik bersua mikan seor ang laki-laki yang sebenarnya laki-laki. Dapat hendaknya Adik suami istri hidu p sandar- menyandar sebagai aur den gan tebing. D i dalam segal a hal sepak at dan sesu ai, percaya- mempercayai seorang den gan yang l ain. Sakit susah sama dit angguhkan, senang suka sama dirasai. Dan dalam pergaulan selalu berkasihkasihan dan beramah-ramahan hendak nya. Dengan hal itu tak dapat t iada kekallah suami istri. Tidaklah ber cerai hidup, melainkan bercerai tembilang." Midun men atap muk a Halimah, seakan-akan mengajuk bagaimana pikiran gad is itu tentang perkataa nnya yang penghabisan itu. Nyata kepa danya pada muk a Halimah, terbayang hati suka dan riang, seolah-olah seseorang mendapat suatu bar ang yang tid ak ternilai h arganya. Hal imah tidak berkata sep atah jua pun. Kemud ian sebagai te rpaksa, ia pun berkata ju ga dengan kemalu-maluan, katanya, "Mudahmudahan dapatlah sebagai yan g Udo cit a-citakan itu. Jika untung, ikan di l aut asam di gunung, lamun akan bertemu takkan dapat disan gkal. S ungguhpun demikian, hanya bergantung kepada nasib jua, Udo!" Setelah habis perkataan Hali mah, maka ia m emandang


kepada Midun dengan manis, te tapi mengandung pengharapan. Kemudian dengan senyum yang amat dalam pen gertiannya, Halimah pura-pura melayangkan pemandangann ya ke lau t lepas, melih at ombak Tanjung Cin a yang segun ung-gunung tingginya it u. Midun maklum akan arti perkataan dan pemandangan Halimah. Rasa di a wing-awang perasaannya ketika itu. Napasnya surut lalu semak in cepat, sebentar pula lambat. Kemudian Midun menar ik napas, se bagai orang y ang hendak memutuskan kenang-kenangannya. Dengan tidak kurang su atu apa, kedua mereka pun sampailah ke Tanjung Priok, di pela buhan kota Bet awi. Midun dan Halimali turu n dari kapal , lalu terus ke stasiun. Karena hari masih pagi dan kebetul an ada kereta api ke Bogor, maka Halimah pun membeli karcis, terus ke negerinya.


12. Tertipu

HARI a mat p anas, angin berembus lu nak lembut. Ketika itu tengah hari tepat, sedang buntar bayang-bayang. Burun gburung beterbangan dari pohon ke pohon sambil bersiul-siul dan berbuny i dengan suka dan rian gnya. Ada pula yang melompat-lompat di at as rum put mencar i tempat yang kelindungan, akan melepask an lelah pulang dan mencari mangsanya. Pada sebu ah bangku dek at se buah te laga Kebun Raya di Bogor, duduk seor ang muda. Itulah Midun yang sedan g melihat an gsa dua sekaw an hilir mudik di telaga. Amat berlainan keadaannya dengan bur ung-burung di kebun itu. Ia duduk tidak bergerak, memandang air yang amat jernih dengan tenangnya. Sungguhpun matanya te rbuka, tetapi pikiran Midun melayang entah ke mana. Entah apa yang t erjadi pada sekelilingnya, tiadalah diketahui Midun. Ia bermenu ng, seakanakan a da suatu ma salah yang sulit dipikirkannya. Lebih sejam Midun dengan hal demikian itu, ia pu n menarik napas panj ang, sebagai memutuskan piki rannya. Kemu dian i a berk ata dala m hatinya, "Sudah hampir sebulan saya di si ni, ma kan ti dur sa ja sepanjang hari. Akan tinggal menetap saja di sini, apakah yang akan dapat saya kerjakan, karena di negeri orang. Akan pergi, berat hatiku meninggalk an Halimah, dan ia sendiri besert a ayahnya men ahani saya pula. Menurut hemat say a, mengin gat pergaulan kami yang sudah-sudah, jika saya katakan apa yang tercantum di hati saya kepada Halimah, tak dapat tiada enggan ia menolak, dan tentu diterimanya. Hal itu nyata benar kepada saya, ketika kami berjalan-jalan berdua saja di kebun ini. Tidak saya saja yang sangat bercinta kan dia, tetapi Halimah kalau tidakkan lebih, samalah agaknya dengan say a pula. Bukankah ketika kami duduk di sini, Halimah ada berkata, 'Udo, alangkah bagusnya angsa dua sekawan itu beren ang kian ke mari dengan senangnya, t idak ada y ang disusahkan nya?' Ketika kami duduk di bangku dekat sungai sebelah sana, ia berkata pu la, 'Aduhai, Udo! Tampak-tampak oleh saya negeri Padang dan kuburan ibu. Tahun mana musim pabila, dan deng an jalan apakah lagi maka tercapai oleh saya negeri yang sangat saya cintai itu?' Nah, apa lagi, sungguhpun kawa t yang dibentuk, ikan di tebat yang dituju. Bukank ah hanya tinggal pada saya saja l agi.


Tetapi, tetapi, kalau saya nyat akan pula pe rasaan s aya dan diterimanya, apakah yang akan kami makan kelak, karena s aya tidak ada b erpencarian. Ah, sud ahlah, rezeki elan g tak d apat oleh musang. Jika jodohku tiadakan k e mana, saya perlu mencari penghidupan dulu. Bukankah pangkal kesenangan itu uang? Jika ada uan g, yang dimaksud sa mpai dan yang dicita dat ang. Tetapi kalau tidak ada uang ... celakalah hidup." Midun berdiri lalu berjalan menuju Kampun g Empan g tempat ayah Halimah tin ggal. Pikiran nya sudah putus hendak meninggalkan negeri itu. Segala perasaannya kepada Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya. Nanti jika sudah datang wakt unya, baru ia be rani m embukakannya. Hamp ir sampai ke rumah, dari jauh sudah kelihatan olehnya Halimah berdiri di tepi jalan di muka rumahnya. Setelah dekat, Halimah berkata, "Ke mana, Udo? Sudah lama saya menanti belum juga pulang? Saya sangk a Udo sudah sesat, a tau di tipu Wera k* (Werner, orang yang mencari-cari kuli kont rak unt uk onderneming dan t ambang) supaya Udo suk a jadi kontrak." Halimah berkata itu

dengan senyum dan bersenda gurau. Maka Midun berkata pula, katanya, " Asal orang di sini menipu saya, apa boleh buat. Sengaja menyeberang k emari, m emang ak an di tipu or ang, tetapi sampai kini belum juga ada orang yang hendak menipu." Kedua mereka naik ke rumah. Hidangan sudah tersedia, lalu mereka itu makan bersama-sama. Setelah sudah makan, ibu tiri dan ayah Halimah, Midun dan Ha limah duduk ke beranda muka. Tidak lama antaranya, Midunpun berkatalah, "Bapak! Yang saya maksud dari Padang akan mengantarkan Halimah kemari, sudah sampai dan selamat tid ak kura ng su atu apa. Sudah hampir sebulan saya di sini, hil ir mudi k t idak keruan saja. Sekarang biarlah saya mencarikan untung nasib saya baran g ke mana. Akan be gini saja se panjang hari , tentu tidak bo leh jadi. Tidak saja janggal pada pemandangan orang keadaan saya ini, tetap i bersalahan pula. Saya ber jalan tidak j auh, mela inkan di tan ah Jawa ini juga. Akan pulan g sekali-k ali t idak, karen a alangan y ang sudah saya cer itakan kepad a Bapak. Sebab itu saya harap Bapak izinkanlah saya pergi dari sini. Mudah-mudahan kelak, jika ada hayat dikandung badan, kita bertemu pula." Muka Ha limah puca t mendengar pe rkataan Mid un yang sekonyong-konyong itu datangnya. Sudah sebulan di Bogor tak ada disebut-sebut Midun kepadanya tentang hal itu. Setiba-tiba


ia hendak pergi saja. Halimah berpikir kalau-kalau ada perkataannya yang salah, atau ada yang tidak menyenangkan hati Midun di rumah itu. Biar bagaimanapun jua ia berpik ir, satu pun tak ada teringat kepadanya. Dalam pada itu, bapak Halimah ber kata, katany a, "Bag i bapak, kalau boleh, Anak tinggal d i sin i saja. Anak, bapak pand ang tidak sebagai or ang lain lagi, melainkan sudah sama dengan Halimah. Ada sama kita makan, tidak sama dit ahan. La gi pula Halimah tentu akan canggung An ak tinggalkan, seba b An ak sudah disangkanya ... tidak sebagai orang lain lagi." "Benar kat a Bapak itu," ujar Midun, "tetapi akan begin i sajakah selamanya? Syuk ur kala u Bapak masih mencari, tetapi jika Bapak tidak kuat lagi, baga imana? Sebab itu sa ya berharap benar-benar, Bapak izinkan juga saya pergi hendaknya. Tentang Halimah, saya rasa tentu dia akan mengizinkan, sebab saya berjalan ini den gan maksud baik, lagi tidak jauh. Besok sebolehbolehnya dengan kereta api pagi saya berangkat ke Betawi." Walau bagaimana juga ketiga b eranak i tu m enahaninya, tetapi Midun keras ju a hendak pergi. Oleh seb ab itu maka diizinkanlah oleh merek a, tetapi jangan jauh dari Bogor, dan berharap ber temu jua ke lak. Midun b erjanji pul a, bahwa ia tidak akan j auh, dan bila akan kembali ke P adang, tentu ia menemui mereka itu lebih dahulu. Pada malam itu Midun membuat sepucuk surat untuk Halimah, yang akan diberikannya. Jika dikatakan dengan mulut tidak akan terkeluarkan, apalagi di muka bapak Hali mah. Surat itu ditulisnya dengan t ulisan cara surau saja. Demikian bunyinya: Bogor, 20 Februari 19.. Adikku Halimah! Sungguhpun Adinda su dah mengaku kakak kepada k akanda, tetapi per asaan sud ah s ama-sama d imaklumi. Pa da ruang an mata Adinda, nyata kepada kakanda apa yang tersimpan dalam dada Adinda. Tetapi kakanda be rlipat gand a d aripada itu. Harapan kak anda be sar, cita-c ita k akanda tin ggi terhad ap kepadamu, Adikku! Kak anda mi nta dengan sangat, harapan kakanda y ang mulia dan suci bersih itu, jangan lah kirany a Adinda putuskan. Jik a Adind a a baikan, nya wa kakanda


tentangannya. Sebab itu sudilah kiranya Adinda mengikat erat, menyimpai t eguh untuk sementara waktu. Kepergian kakanda ini tersebab Adinda dan keperluan kita berdua. Peluk cium kakanda, MIDUN Setelah sudah surat itu dilipatnya, lal u dimasukkannya ke saku bajunya. Maka Midu n pun tidurlah dengan n yenyaknya, sebab pikirannya sudah tetap. Pagi-pagi benar ia sudah bangun. Sudah minu m pagi me reka pun pergil ah bersama- sama mengantarkan Midun. Baru saj a sampai di st asiun, Halimah pergi membeli karcis ke Betawi. Kemudian karcis itu diberikannya kepada Midun. Karena Midun merasai selain daripada karcis ada pula sebuah su rat, maka waktu itu Midun segera pul a mengambil surat yang dibuatnya semalam, l alu diberik annya kepada H alimah. Hal itu seorang pu n tak ada y ang mel ihat, karena bapak ibu dan famili yang lain s udah ma suk ke da lam stasiun. Kereta sudah datang, maka mereka itu pun bersal amsalaman. Ya ng pergi m eminta maaf dan memb eri sela mat tinggal, y ang tinggal begitu p ula, lalu memberi selamat jalan. Ketika Midu n bersal am dengan H alimah, tan gan mereka gemetar, s.ama-sama tak hendak melepaskan. Sesaat kemudian Midun berkata, "Halimah, jangan saya dilupakan!" Midun melepaskan t angan Halimah, lalu melompat naik kereta. Sampai kereta ap i berang kat, ia tidak me mperlihatkan mukanya ke jendela kereta. Am at sedih hat inya bercerai dengan kekasihnya itu. Tetapi ap a hendak dikatakan, karena ia terpaksa meninggalkan gadis yang dicintainya itu. Halimah pun lebih-lebih lagi, sekuat-ku atnya ditah annya kesedih an hatinya, karena takut akan diket ahui ay ahnya, ibu tir i, d an fa milinya. Sungguhpun demikian mukanya sangat pucat, air matanya berlinang-linang dan ia s ebagai terpa ku di muka stas iun itu. Sampai kereta api hil ang dari matanya, baru ia pul ang. Itu pu n kalau tidak ditarik adiknya, tidaklah ia sadarkan dirinya. Setelah kereta api berangkat, Midun segera mengambil surat Hal imah dari sakunya. Untung surat itu bert ulis dengan tulisan Arab. Dalam su rat itu dilampirkannya seh elai uang kertas f 50,-. Surat itu demikian bunyinya:


Bogor, 20 Februari 19 .... Paduka Kakanda yang tercinta! Dengan hormat! Setelah jauh tengah malam, baru adinda maklum apa maksud K akanda meninggalkan ad inda. Sekar ang in saflah adinda ak an ujud perk ataan K akanda kepa da ayah yang mengatakan "maksud baik" kemarin. Dan adinda mengerti pula, apa sebabnya Kakanda menyimpan rahasia hati Kakanda selama ini terhadap kepada adinda. Pergilah Kakanda, pergilah! Lamun Halimah tidakkan ke mana. Adinda akan setia dari dunia lalu ke akhirat kepada Kakanda. Seba b itu janganlah K akanda siasiakan pengh arapan adind a, anak piat u ini. Adind a siap ak an menyerahkan nyawa dan badan adinda, bilamana saja Kakanda kehendaki. Bersama in i adinda sert akan uang sedikit untuk belanja di jalan. Harap Kakanda terima deng an segala suci h ati. Selamat jalan! Peluk cium adinda, HALIMAH Surat ini dimasukkan M idun kembal i k e sakunya perlahanlahan. Pik irannya melayang ke pada pergaulan nya kelak, manakala ia sudah menjadi suami istr i den gan Hali mah. Kemudian teringat pula oleh Mi dun ak an perjalan annya itu. la belum pernah ke Betawi, hanya melihat kota itu dari ata s kereta api saja. Ke manakah ia akan pergi, karena seorang pun belum ada yang kenal kepadanya di Betawi? Dalam M idun berpiki r-pikir demikian itu, sambil melihat ke luar dari jen dela kereta api, kedenga ran olehnya suar a oran g, katanya, "Assalamu'alaikum!" Midun melihat lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam!" Seorang Arab ber salam den gan Midun, lalu du duk dekatny a, karen a d i situ ad a te mpat terlu ang. Setelah o rang Arab itu duduk, ia berkata pula, "Bang hendak ke mana?" "Hendak ke Betawi!" jawab Midun dengan hormatnya. "Kalau saya tidak salah, Bang tinggal di Empang, betul?" "Betul, Tuan juga acap kali saya lihat lalu lintas pada jal an di muka ru mah tempat s aya ting gal. Tuan tinggal di Empang jugakah?" "Tidak. Say a cum a men umpang s aja di s itu, di rumah saudara saya. Sudah du a bulan lamanya sampai sekarang.


Rumah tempat tinggal saya di Betawi. Saya di Bogor, sebab ada urusan perniagaan." "Kalau begitu, berniagakah Tuan di Betawi?" "Ya, betul. Maksud Bang k e Betawi apa pula? Abang orang berniaga seperti saya juga?" Mendengar pertanyaan itu, Midun berbesar hati. Dari tadi ia memikirkan, ke ma na ia aka n pergi s etelah sa mpai di Betawi. Sekarang ia sudah berken alan de ngan seorang y ang tinggal di Betawi. Kata Midun dalam hatinya. "Sekaranglah yang s ebaik-baiknya akan men ceritakan hal saya teru s terang kepad a oran g Arab ini. Biarlah saya katakan saja apa maksud saya ke Bet awi. Mu dah-mudahan karena ia seorang Arab, beras al d ari Tan ah Suci, sudi ia men olong say a. Ah, kal au i a suka m engajar saya ber niaga, al angkah ba iknya. Maka Midun berkata, kat anya, "Saya ini bukan sau dagar, Tuan! Saya baru datang ke tanah Jaw a in i. Samp ai s ekarang b aru sebulan saya di sini. Maksud saya ke Betawi ini, hendak mencari penghidupan. Saya amat ingin hendak menjadi orang berniaga. Sudikah Tuan mengajar saya berniaga?" "Jadi Abang orang mana?" "Saya orang Padang." "Belum pernahkah Abang ke Betawi?" "Tidak pernah sekal i juga. Dari P adang saya teru s saj a ke Bogor." "Baiklah. Kalau Bang suka, deng an karena Allah saya suk a menolong dan mengajar Abang berniaga." "Terima kasih banyak, Tuan! Asal Tu an suka meng ajar saya berniaga, sekalipun akan Tuan jadik an oran g su ruh-suruhan dulu, saya terima dengan segala suka hati." "Baiklah. Nanti kalau kereta sudah sampai di Betawi, ikutlah ke rumah saya! Nama Bang siapa?" "Nama saya Midun. Saya harap karena Tuan sekarang sudah saya pan dang seba gai induk seman g saya, janga n lagi Tuan memanggil 'abang' kepada saya. Sebut sajalah nama saja!" "Baiklah. Begitu pul a sebaliknya, sebab M idun sud ah mengaku induk semang kepada saya, tentu Midun harus pula mengetahui nama saya. Saya bernama Syekh Abdullah alHadramut. Sekarang saya mau bertanya sedikit, tapi saya harap jangan gusar. Waktu Midun data ng ke B ogor te mpo ha ri, saya lihat bersama istri. Tentu saja istri Midun itu orang Padang pula, sebab Midun belum pernah k emari. Ap akah sebabnya


ditinggalkan di rumah orang Sunda di Bogor? Di manakah Midun berkenalan dengan dia?" Lama Midun berpikir akan menjawab pertanyaan orang Arab itu. Akan dik atakannya bukan istrinya, memang gadis itu bakal istrinya juga. "Ah, lebih baik dik atakan istri saya saja," kata M idun dalam hatinya. Mak a katanya, " Istri saya itu orang sini, dan kawin dengan say a waktu di Padang dahulu. Tempatnya menumpang di Empang itu, rumah orang tuanya sendiri. Jadi sement ara saya menc ari pekerjaan, saya su ruh ia tinggal bersama orang tuanya dahulu." "Oooo, begitu!" Setelah sa mpai di stasiun Betawi, Mid un pergilah bersama Syekli Abdul lah al-Hadr amut, ke rumahnya di Kam pung Pekojan. Maka tinggall ah Mid un bersama-sama, de ngan dia d i rumahnya. Ada sebulan lamanya Midun berjalan hilir mudik saja menurutkan Arab itu berniaga. Dengan hal demik ian, ia telah mengetahui j alan-jalan di kota Betawi. Bah asa negeri itu pun sudah mahir pula kepadanya. Begitu pula tentang hal berniaga, ia sudah agak paham. Maka Midu n pun mulailah berniaga. Uang yang f 50,- yang diberikan Halimah diambilnya akan jadi pokok. Syekh Abdull ah al-Had ramut memberikan k ain seh arga f 1 00,kepadanya. Maka ia pun berkata kepada Midun, katanya, "Harga kain in i f 100,-. Jadi k ita be rpokok f 50,- se orang. Kalau beruntung, kita bagi tiga. Sepertiga untuk saya dan dua per tiga keuntungan bagimu. Sukakah engkau dengan aturan begitu?" Karena M idun sang at per caya ke pada oran g Arab, ia pun menganggukkan kepal a saja. Dan menurut aturan berniaga, memang sudah sepatutn ya. Tetapi dalam pad a itu Syekh Abdullah sudah mengambil keunt ungan lebih dulu daripada harga kain itu. Penipuan itu sekali-kali Midun tidak mengetahui. Bahkan akan menyelidiki benar tidaknya harga kain sekian tidak pula terpikir di hatinya, k arena kepercayaannya penuh kepada orang Arab itu. Enam bul an Midun berj aja, pad a suatu m alam i a berkata kepada Syek h Abdullah, katanya, "Tu an, rupanya agak kurang cepat menjual kain di kota in i. Dalam sehari h anya laku l imaenam helai saja. Tidak baikkah kalau saya pergi ke negeri yang dekat-dekat di sini, misalnya ke T angerang, Keb ayoran, dan lain-lain?" "Kalau begit u Midun bel um pand ai b erniaga," ujar Syekh


Abdullah. "M ari saya tun juki jalanny a, supaya l ekas tebal. Memang jika dijual tunai, susah melakukannya di sini. Sebab itu lebih baik Midun perutangkan di kampung-kampun g. Bayarannya pungut tiap-tiap hari Sabtu, sebab kebanyakan oran g sin i gajian satu kali seminggu. Jika diutangkan, taruh harga kain itu lebih mahal, menurut beberapa ia berani mengan gsur tiap-tiap minggu, Misalnya kalau harga 13,2 0,-. Jadi tiap-t iap minggu ia harus me mbayar f 0,40,-. Bukankah dengan jal an itu kita beruntung besar? Kesusahannya tidak ada, sebab Midun berjalan juga tiap-tiap hari." Perkataan itu tidak sesuai sedikit jua dengan pikiran Midun. Pada p ikirannya perbuat an itu jah at, sebab te rlampau memakan ben ak orang. Mesk ipun dia yan g sudah-sudah menurut saja ap a y ang dik atakan induk semangnya, tetapi sekali in i pengajaran itu tidak sedikit jua sesuai dengan kemauannya. Midun termenung saja mendengar perkataan Syekh Abdullah yang demikian itu. Akan diterusk annya jua menjajak an kain ke kampung, pasti tidak ak an laku. Tiba-tiba timbul pikiran lain dalam hati Midun, lalu ia berkata katanya, "Sekarang lebih baik saya j angan menjaj akan kain l agi, Tuan! Saya ingin hend ak berkedai di pasar, di tep i-tepi ja lan. Biarlah saya beli saj a di toko. Tetapi pokok saya seka rang, t entu tidak mencukupi. Sudikah Tuan meminjami saya uan g barang f 100,-? Jika Tuan pinjami l agi saya u ang f 100,- jumlah uang Tu an pada saya dengan y ang dahulu f 150,-. Sekara ng baiklah kita hitung laba rugi selama saya menjajakan kain." "Itu lebih baik lagi," ujar Syekh Abdu llah, "supaya Midun dapat belajar sendiri mengemudikan perni agaan. Saya pun lebih suk a, k alau saya tidak ca mpur. Dan saya suka memberi uang pinjaman, tetapi Midun tahu sendiri, tentu saya mengambil untung sedikit." "Tentu saj a, Tuan!" ujar Midun. "Dal am h al itu saya ada timbangan b agaimana ya ng patu t, k arena uang Tuan saya pakai." Setelah selesai mereka itu membagi keuntungan penjualan kain yang sudah, mak a S yekh Abdullah al-Hadramut menulis sepucuk surat utang. Surat utan g itu disuruhnya tanda tangani oleh Midun. Dengan tidak berpikir lagi, ia menandatangani surat itu dengan tulisan Arab, lalu uang itu diambilnya. I a berjanji, bahwa uang itu dalam 8 bulan akan dikembalikannya. Dengan sen ang hati M idun pergi, k arena ia tidak lagi berjalan


kian kemari di seluruh kota Betaw i. Ia memuji- muji kebaik an Syekh Abdullah al-Hadramut, karen a mempercay ai dia meminjamkan uang f 150,- itu. Dalam hatiny a ia berjanji, manakala beruntung, akan dibeli kannya barang sesuatu untuk istri Syekh Abdullah. M aka Mi dun berjalan mencari rumah tempat membayar makan. Ia menc ari rumah y ang agak d ekat Pasar Senen, sebab ia bermaksud di sana akan me mbuka kedai. Setelah didapatnya rumnh tempat tinggal di Kampung Kwitang, lalu Midun pergi membel i barang. Pada keesok an harinya, ia pun mulai berkedai di P asar Senen. Setelah sudah berkedai segala kain itu dibaw a oleh se orang k uli pulang ke rumahnya. Demikianlah pekerjaan Midun tiap-tiap hari. Adapun akan Syekh Abdullah al-Hadramut, sekal i semin ggu datang juga ke kedai Midun. Belum cukup sebulan Midun berkedai. pada suatu hari ia disuruh datang oleh induk seman gnya ke Pekojan. Pada mal am yang dijanjikan itu, Midu n datangl ah ke rumah induk semangnya. Setelah sudah makan minum, maka Syekh Abdullah berkat a, "Adak ah baik jalannya sel ama engk au berkedai, Midun?" "Baik ju ga, Tuan!" ujar Mid un. "Sekurang-kurangnya dalam sehari terjual seharga f 50,-. Kadang-kadang dicapainya sampai f 75,-." "Baik benar k alau begitu. Tidak lama l agi har i akan puas a. Tidak perlukah Midun menambah pokok lagi?" "Jika Tu an percaya d an s udi me minjami s aya, teri ma ka sih banyak, Tuan! Memang dengan pokok sebanyak sekarang tak dapat saya mencukupi kehendak orang. Ada yang meminta kain ini, ka in itu, tetapi t idak ada saya taruh. Sedangk an sek arang demikian keadaannya, apalagi kalau sedikit hari lagi." "Baiklah, in i saya ta mbah f 100,- la gi untuk pokok. Tetap i supaya ter ang berap a uang saya kepada Midun, tentu engkau harus menekan surat utang pula." "Tentu saja, Tuan! Jika ti dak de mikian, tidak terang, berapa uang Tuan pada saya." Midun menekan surat utang pula sehelai lagi. Uang diterimanya f 100,-. Jadi jumlah ut ang Midun sudah f 250,dengan yang f 150,dahulu itu. Maka bern iagalah M idun dengan su ngguh-sungguh hati. Karena ia tidak banyak mengam bil untung tiap-tiap helai kain, amat banyak orang membeli kain ke padanya. Pa da piki ran Midun, biar sedikit untung, teta pi banyak laku. Dengan hal


demikian, ada kira-kira empat bulan Midun berniaga. Pada suatu malam, M idun mengh itung berapa keu ntungannya sela ma berkedai ka in. Dengan ti dak di sangka-sangkanya, dengan pok ok lebih kurang f 300,-, ia mendapat keuntungan bersih hampir f 200,-. Midun la lu berkata dalam h atinya, "Lain daripada barang, uang kontan se karang ada pada saya f 350,-. Supaya saya jangan bersangkut paut j uga p ada ind uk se mang saya, lebih baik besok saya bayar uangnya sama sekali. Setelah itu saya berikan uang unt uk istr inya f 50,-, atau saya belikan barang yan g harga sek ian itu. Sudah itu say a be rniaga dengan pokok saya sendiri. Insya Allah, j ika Tuhan menurunkan rahmatnya sebagai yang sudah-sudah jua, barangk ali dal am 2 atau 3 bula n lagi s ampai ap a yang saya citacit akan dengan Halimah. Ah , alangkah senangnya k ami berniaga berdua! Aduhai‌" Pada kee sokan harinya Midun tidak berkedai. Ia pergi ke rumah induk seman gnya ke Pekojan. Dari jauh Midun sudah tersenyum, ketika Syekh Abd ullah melihatnya dari beranda muka rumah nya. Setelah sampai , Midun dan induk seman gnya bercakap-cakaplah tentang perkara perniagaan. Sesudah minum kopi, Midun berkata, "J ika tidak ada Tuan, tidakla h saya jad i begini. Tuanlah yang mengajar saya berniaga. Meskipun say a belum pan dai benar bern iaga, tet api memadailah ajaran Tuan selama in i untuk berniag a-niaga kec il. Buktinya, dalam e mpat bulan saja saya jalankan, sudah beruntung lebih kurang f,200,-. Oleh seb ab itu, saya u capkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuan , karena Tuan telah membukakan mata saya dar i pada yang gelap kepada yang terang. Jika ada izin Tuan, saya bermaksud_ hendak tegak sendiri. Artinya, izta ng say a yang f 2 50,- kep ada Tu an itu akan saya bayar sekarang. Dan saya mulai berniaga pul a de ngan pok ok saya sen diri. Menurut at uran, sebab uang Tuan sudah sekian lama s aya pakai, tentu tidak akan saya lupak an. Maka demikian, akan selaman ya say a Tu an tol ong, tentu tidak mungkin. Bila masanya lagi saya akan berdiri sendiri. Sebab itu Tuan izink anlah kiranya saya, biarlah saya cobacob a pul a berniaga sen diri. Sungguh pun begitu, saya harap Tuan ulangulangi juga saya ke kedai saya. Siapa tahu, jika ada hal apaapa yang men impa dir i saya, sebab malang dan mujur tidak bercerai, hanya Tuanlah yang sa ya harap ak an menolong saya di Betawi ini. Tak ada yang lain harapan saya, melainkan Tuan."


"Jika M idun mau be rniaga deng an po kok send iri, bagi s aya tidak ada alangan," ujar Syekh A bdullah. "Itu lebih bagus lagi, dan saya pu n mau menolong Mid un bilamana perlu. Sekarang kalau Midun hendak membayar utan g Midun ke pada saya, bayarlah!" Dengan segera Midun mengeluark an uang dari saku bajunya sebelah dal am, lalu dihitung nya f 250,-, sebanyak yang diberikan Syekh Abdullah kepadany a. P ada pik irannya, setelah uang itu diterima induk semangny a, ia akan perg i ke belakang , kepada istri Syekh Abdullah memberik an uang f 50,- lagi atau dibelikannya barang men urut kehendak istri induk seman gnya itu. Setelah uang itu dihitung Sy ekh Abdullah al-Hadramut, ia pun berkata, "Mana lagi, Midun? Ini belum cukup." "Yang lain maksud saya akan sa ya belikan barang untuk istri Tuan!" ujar Midun. "Ah, itu t idak perlu. Biarlah saya sen diri membelikan dia. Kemarikanlah uang itu! Berapa?" "Kalau begit u, baiklah!" ujar Midun dengan heran, sebab pada pikirannya, kalau u ang di berikan, samalah h alnya dengan bunga uan g. Hal itu terlarang menu rut agama. Maka Midun mengeluarkan uang pula f 50,- l alu berkat a pu la, "Hanya sebeginilah maksud saya hendak memberikan kepada istri Tuan, sebab u ang Tuan telah sekian lama saya pak ai. U ang in i akan saya be rikan kepada bel iau, me lainkan sebagai h adiah saya, karena saya sudah berunt ung be rniaga. Tetapi Tuan meminta uang ini. Jika Tuan ter ima uan g ini, tidaklah sebagai bung a uang namanya? Buk ankah hal it u te rlarang d alam agama k ita? Lupakah Tuan akan itu?" "Apa? Bunga uang?" ujar Syek h Abdullah al-Hadramut. "Ini bukan perkara bunga. Uang yang f 250,- ini belum cukup. Midun mesti bayar sebanyak yang ditulis dalam kedua surat utang Midun; jumlahnya semua f 500,-." Terperanjat sungguh Midun mendengar perk ataan Syekh Abdullah itu. la tahu uang yang dipinjamnya, cuma f 250,- tibatiba sekarang jadi f 500,-. Maka ia pun berkata dengan cemasnya, katanya, "Berapa, Tuan? f 500,-? Mengapa jadi f 500,-, padahal saya terima uang dari Tuan cuma f 250,-?" "Ya, f 500,-!" ujar Syekh Abdullah pul a. "Midun mesti bayar f 500,- sekarang, sebab sekian ditulis dalam surat utang." Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum,


bahwa ia sudah tertipu. Amat sakit hat inya kepada orang Arab itu. Ia tid ak dapat l agi menahan hat i, karen a sangat pan as hatinya. Ket akutannya hilang, kehormatannya ke pada orang Arab lenyap sama sekali. Maka ia pun berkata, katanya, "Selama ini saya takut dan hormat be tul kepada T uan. Pada pikiran sa ya Tuan seo rang ya ng suci, sebab be rasal dar i tan ah Arab. Apal agi Tuan sudah syekh, saya percaya sungguh. Rupanya per sangkaan saya itu salah. Kalau begitu, Tuan seorang pen ipu besar, sama h alnya dengan lintah darat y ang dikutuki Tuh an. Rupanya saya sudah Tuan jerat. Apak ah maksud Tu an dengan u ang yang f 250,- lagi itu? Akan j adi bunganyakah? Tidakkah Tuan tahu, bahwa menurut ag ama Islam te rlarang memperbungakan uang? Bukankah memakan rib a dengan cara demikian itu ? Sungguh ti dak s aya sangka hal in i t erjadi pad a orang Arab." "Diam, engkau jangan berkata begitu sekali lagi," kata Syekh Abdullah den gan marah. "Jangan terlalu kurang ajar kepada saya. Saya amat b aik kepadamu, tetapi den gan ini engkau balas. Jika en gkau berani berkata sek ali l agi, nant i saya adukan. Engkau boleh say a baw a perkara, sup aya engk au t ahu bahw a saya seorang baik." "Macam Tuan ini, or ang p emakan rib a, seor ang b aik?" ujar Midun dengan sen git. "Orang gil a agaknya oran g yan g menyangka demikian itu. Tuan hendak membawa saya perkara? Ke langit Tuan adukan, s aya tidak t akut perkara dengan orang macam ini. Saya berd iri atas kebenaran, ke mana p un jua say a mau perkara." Midun segera mengambil uangnya yang f 300,- itu kembal i, lalu dimasuk kannya ke dalam saku bajunya. Sambil berj alan keluar rumah itu, ia pu n berkata pula, katanya, "Tak ada gunanya kita berbalah jua, adukanlah ke mana Tuan suka! Saya tidak hendak membayar utang saya, sebelum perkara." Sepanjang jalan pik iran Midun berkacau saja. Hatinya amat panas, karena tertipu pula. Midun tidak mengerti apa sebabnya Arab itu berbuat demikian kepadanya. Lagi pula ia amat heran, sebab seorang Ar ab se berani itu m enipu or ang. M aka kata Midun dalam hatinya, "Sungguh ajaib, sepuluh kali ajaib, karena hal ini terjadi pada seor ang Arab dan syekh pula. Siapa yang akan m enyangka, orang yang de mikian itu su ka memakan


riba. Benar ajaib dunia ini, jika kurang awas, bina sa diri. Pad a pikiran say a, orang Arab ini ba ik bela ka, apala gi y ang sudah syekh. Kirany a ada pul a yang lebih jah at dan lebih busuk lagi tabiatnya. Bahkan t idak bermalu pula; sen ang saja ia mengatakan uang f 250,- jadi f 5 00,- bermuka-muka. (Ia tidak tahu bahwa dalam su rat yang kedua f 300,-. Itulah kemalangannya t idak t ahu d i mata surat.) La in daripada saya, tentu banyak lagi agakny a orang yang sudah terjerat macam saya ini. A mat panas hatiku mengenangkan p enipuan yan g sangat halus dan menyakitkan hati itu. Biarlah, saya tidak akan membayar u tang itu. Hendak diap akannya saya. Meskipun ia mengadu, saya tidakkan takut." Demikianlah pik iran Midun, sebent ar begin i, sebentar begitu. Dengan tidak disangka-sangkanya, ia telah sampai di rumah tem patnya mem bayar m akan. Sampa i di rumahnya, segala b arang-barangnya y ang masih tinggal dibawanya ke Pasar Senen, lalu diju alnya semua k epada kawan-kawannya yang sama berniaga de ngan di a. U ang itu, yang jumlahnya semua lebih f 500,- disimpannya dalam saku baju nya, sedikit pun tak bercerai dengan dia. Ia tidak berkedai lagi, melainkan bersenang-senangkan d iri saj a. J ika ditanyak an oran g, ap a sebab Midun tidak berked ai lagi, jawabnya, hendak bersenangsenangkan diri dulu barang satu atau dua bulan.


13. Memperebutkan Pusaka. "CING, pi cing, pii iicing," b unyi mur ai, waktu senjak ala d i ata s sepohon kay u di belakan g rumah or ang tua Midu n. Kemudian kedengaran pula bunyi burung serak di dalam parak dekat rumah. Menurut kepercayaan, man akala ada oran g sakit kedengaran bunyi de mikian, ala mat a da yan g tid ak baik ak an datang. Karena Pak Midu n masa itu dalam sakit payah, darah anak istrinya tersirap mendengar bunyi itu. Jur iah memandang kepada ibunya dengan sayu, lalu menyelimuti bapaknya. Ibunya segera meminumkan obat sa mbil m engusap dah i sua minya. Manjau yan g baru saja menutup pintu kan dang ay am, melompat ke rumah mendekati ay ahnya. Ibu dan kedua anak itu dalam kecemasan amat sangat. Tegak resah, du duk gelisah, sedikit pun tidak senang diam . Sebentar-sebentar si istri memandang kepada suaminya, si an ak melih at kep ada b apaknya. Mereka itu percaya sungguh kepada tahayul, hanya Manjau yang agak kurang, sebab sudah hersekolah. Adapun P ak Midun, sejak menerima surat anaknya dari Padang, selal u dalam bersusah h ati. Su ngguhpun Maun datan g juga kepadanya tiap-tiap hari , tetapi lamun an aknya yang sulung itu tidaklah dapat dilupak an orang tu a itu . Berbagai ikhtiar Maun, agar kenan gkenangan Pak Midun leny ap kepada Midun, tetapi sia-sia belaka . Kedatangan Mau n jangankan menyenangkan hatinya, bahkan m akin mena mbah dalam sus ah hatinya. Asal ia menampak Ma un, Midun sudah terbayang di matanya. Ia sendiri ada juga berusaha supaya M idun dapat dilupakannya, tetapi sia-sia sa ja. Han cur luluh hati Pak Midun bilamana melihat teman Midun di kampung itu. Keadaannya tak ubahnya sebagai orang yang kuran g sempurna akal, sejak ditinggalkan anaknya yan g san gat d ikasihinya itu. Pekerjaan Pak Midun pun tidak berketentuan lagi. Kerap kali ia bermenung kemudian menengadah, seakan-akan memasukk an air mata yang hendak jat uh kembali, yang di sukainya perg i ke tepi sungai, duduk seorang diri samb il memandangi air hilir. Pikirannya seperti air it u pula, berhanyut-hanyut entah k e mana. T idak seor ang-dua yang memberi nasihat, agar Midun dilupakannya, tetapi s ia-sia s aja. Lebih-lebih Haji Abbas dan Pendekar Su tan, acapkali da tang menasih ati Pak Midun. Mendengar keterangan Haji Abba s, ia berjanji tidak akan


mengenang-ngenangkan Midun lagi. Dia sendiri ada mengatakan kepada Haji Abbas, "Memang an ak l aki-laki sudah demikian. Anak kita hanya dari umu r 13 tahun ke bawah. Lewat daripada itu bukan anak kita lagi. Dan lagi bukankah tidak Midun seorang saja anak saya. Masih ada dua oran g lagi yang akan menggantikannya." Tetapi setelah Haji Abbas pe rgi, pikirannya kepada Midun timbul pul a kembali. Rupanya Pak M idun bersedih hati buk an karena M idun menin ggalkannya pergi merant au ke negeri orang, melainkan hal yang menyebabkan perceraian itulah yang sangat meluk ai hatiny a. Apalagi Kacak musuh Midu n, masa itu sudah menjadi Pen ghulu Kepala. Maka semak in putuslah harapannya akan bertemu dengan Midun. Demikianlah hal Pak Midu n habis hari berganti pekan, habis pekan berganti bulan. Ia selalu bercintakan Midun, sedikit pun tidak hendak luput dari pikirannya. Badan Pak Midun makin lama makin bertambah kurus. Kesudahannya ia pun j atuh sakit. Berbagai-bagai obat yang telah dimakannya, jangankan menyembuhkan, mel ainkan penyak itnya bertambah dalam. Anak istri Pa k Mi dun be rusaha s edapat-dapatnya, m udahmudahan penyakit itu sembuh, tetapi sia- sia saja. Sungguhpun demikian, ibu dan anak itu belum pu tus harapann ya. Mereka membela dengan sungguh-sungguh hati, karena mereka itu tahu bahwa orang tua itulah tempatnya bergantung. Sebulan Pak Midun sak it, datanglah famili Pak Midun menjemput si s akit akan dibawanya ke rumah saudaranya. Didapati mereka mamak Manjau yang menjadi penghulu k aumnya ada pula di situ. Setelah sudah makan minum, maka kemenakan Pak Midun yang bergelar Sut an Menindih berkata kepada mamak Manjau kata nya, "Mama k! Keda tangan saya kemari, ialah menurut ada t kebias aan yang sudah k ita paka ikan jua. Karena mamak saya sakit, kami bermaksud hendak membawa beliau ke rumah k ami. Sebab itu say a harap Mamak dan Ibu sudi mengizinkan." "Memang kedatangan Sutan ini sudah menurut adat," ujar Datuk Paduka Raja. "Sungguhpun demikian, kare na sakit Pak Midun saya lihat masih berat, tidakkah dapat ditangguhkan dulu sampai sakit beliau ringan sedikit?" "Sudah sebul an beliau sakit di sini, rasany a sudah patut kami jemput . Jika lebih lama l agi be liau di sin i, tentu pada pemandangan orang, ka mi se bagai ti dak meng acuhkan ma mak


kami." "Benar kata Sutan itu. Bagi sa ya atau pun ibu Juriah tentu tidak ad a al angannya. K ami tidak ku asa menahannya, karena sudah menjadi adat kebiasaan kepada kita begitu. Tetapi cobalah Sutan tanyakan dulu kepada Pak Midun, adakah kurang sakit beliau dan sanggupkah berjalan?" "Hal itu tidak lah akan menjadi alangan, Mamak. Jika beliau tidak dapat berjalan, biarlah kami tandu bersama-sama dengan kursi." Maka Sutan Menindih masuk ke bilik tempat P ak Midun sakit, lalu b erkata-katanya, "Saya datang kema ri akan menjemput Mamak. Dapatkah Mamak berjalan atau kami tandu bersama-sama?" Pak Midun yang sudah kurus kering dan pucat itu membuk a matanya pe rlahan-lahan. Ia melihat orang y ang berkata kepadanya, lalu berkata, "Engkau Midun, anakku?" "Bukan Mamak, saya Sutan Meni ndih," ujar Sutan Menindih. "Kami datang kemari akan menjemput Mamak." "Tidak sampai hati kami melepaskan Mamak Sutan," ujar ibu Juriah dengan sedih. "Lih atlah, badan nya sudah tinggal kulit pembalut tulang. Rupany a pucat sebagai kain putih. Ia selalu mengigau menyebut Midun saja. Jan gankan berjalan, menggerakkan badan ia pun tidak dapat." "Biarlah kami papah perlahan-lahan ke tandu dan kami pikul lambat-lambat," ujar Sutan Menindih pula. Pak Midun melihat sek ali lagi. Setelah nyata kepadanya bahwa kemenakannya yang berk ata itu, maka katany a perlahan-lahan, "Saya tak dapat berjal an, tak d apat berger ak, seluruh tubu h say a sakit. Sebab itu sa ya jangan di bawa, saya tidak suka." "Kalau begit u Mamak hendak memberi malu kami," ujar Sutan Menindih. "Tentu kami dibo dohkan dan dihin akan orang, sebab Mamak kami biarkan sakit di sini." Pak Midun menutupkan matany a se bagai menahan s akit. Napasnya turun naik amat de ras, muk anya makin bertambah pucat. Juriah seg era me rasai kak i ayahnya. Sam bil meminumkan obat, ia pun berkata, "Ibu, ayah pingsan!" Segala is i ru mah itu cem as menden gar perkataan Juri ah. Lebih-lebih ibu Juriah, sangat terkej ut mendengar perkataan anaknya. Dengan segera ia mendekati, lalu meraba-raba badan Pak Midun. Orang tua itu tidak berdaya lagi. Jika tidak dirasai


dadanya, ta k dap at ti ada o rang menyangka ia s udah mati. Sudah dua kali ia selap dengan it u; tetapi yang sekali ini payah benar. Orang di ru mah itu semuanya berdiam diri, seorang pun tak ada yang berani bergerak, apa pula berkata-kata. Setengah jam kemudian, Pak Midun membuk akan mat a pula, lalu berkata, "Jika sekiranya akan memberi malu orang Tanjung saya di sini, baw alah! Tetapi ibu Juri ah me sti men gikut, karena dia perlu membela saya." Maka dibuat oranglah sebuah tandu daripad a kursi. Setelah selesai, P ak Midun diangk at bers ama-sama ke t andu itu. Maka diusung oranglah ia perlahan-lahan menuju rumah familinya. Ibu Juriah dan Manjau pergi pula mengiringkan tandu itu. Yan g tinggal di rumah hanya Juriah dengan mamaknya. Tidak lama orang itu pe rgi, Juriah berkata kepa da mamaknya, katany a, "Mamak! Apakah seb abnya Sutan Men indih t adi mengatakan 'memberi malu kalau ayah sakit di sini?" "Kau rupany a belu m mengerti," ujar Datuk Padu ka Raj a, "dengarlah saya terangk an! Ad apun ay ahmu itu, menurut kata adat, 'a bu di atas tunggu l' di rumah kita. Art inya, bila dit iup angin i a ter bang. Ayah mu adalah o rang sem enda bagi k aum kita. Jadi ia famili karena perkawinan ibu dan ayah mu. Jikalau kita tidak suka kepadan ya at au kebalikannya, boleh pergi sembarang waktu. Oleh seb ab itu, ayah mu ad alah sebagai orang menumpang di rumah in i. Boleh diusir dan dia pun boleh pergi bilamana ia suk a. Karena itu tentu Sutan Menindih mengatakan 'me mberi malu', mamaknya suka di ru mah penumpangan." "Tetapi bukankah ayah s akit di ru mah anak kandung beliau? Kamilah yan g menyelenggarakan beliau dalam sakit. Lain perkara kalau kami orang lain, sudah patut ia berkata begitu." "Dalam hal ini Jur iah tidak dise but-sebut," ujar Datuk Paduka Raja yang agak tersentak oleh pertanyaan kemenakannya. "Pertanyaanmu itu memang sulit. Menurut kata adat, 'adat bersendi syar a', syar a' ber sendi ad at.' Artiny a, syar a' dan ad at kita sandar menyandar atau s ejalan. Jika menu rut syar a', anaklah yan g diuta makan, tetapi menurut adat, 'k emenakan'. Jadi hal itu nyatalah sud ah berlawan an. Oleh seb ab itu, say a sendiri ragu-ragu, entah mana yang benar kedua perkataan itu. Perasaan say a itu sudah saya perbin cangkan dengan beberapa penghulu di sini. Banyak mereka yang mengatakan, bahwa anak dengan bap ak, menurut adat, tak a da pertal iannya. Sebab


orang se menda itu a dalah seba gai orang di selang dari suatu kaum kepada kau m yan g lain . Sebab itu kemen akan pulan g kepada mamaknya, tid ak kepada bapaknya. Tetapi menurut pikiran saya tidakl ah de mikian. P ada hemat saya, anak itu pulang kep ada bapaknya. Arti nya bapaknyalah yang haru s menyelenggarakan anaknya. Begitu pula si anak wajib membela bapak bilamana pe rlu. Anak it ulah yang lebih dekat kepad a bapak daripada kemenakan. Manakala sudah demik ian, suda h se suai deng an kat a ad at: adat ber sendi syar a' d an syara ' ber sendi adat. Banyak lagi hal lain yang ber salah-salahan orang me makainya. Mereka melakukan adat itu banyak sesat, agaknya k arena salah pengertian jua. Bahkan saya sendiri pun ba nyak yang kurang paham, sebab kurang selidik." Ketika Datuk Paduka Raja akan mene ruskan perkataanny a pula, tiba-tiba Manjau berseru di halaman sambil menan gis, katanya, "Juriah, ayah sudah meninggal!" Juriah terkejut, lalu menangis amat sedihnya. Ia melompat hendak pergi melih at ay ahnya, tetapi lekas dipegang mamaknya. Datuk P aduka R aja mengucap, k atanya, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Tidakk ah sa mpai ay ahmu ke rum ah? Juriah, jangan menangis juga! Nanti kita sama-sama pergi." "Tidak," ujar Manjau, "Ke tika orang memikul tandu naik ke rumah, anak tangga patah. Orang itu terjatuh, ayah pun jatuh pula. Untung lekas saya sambut. Sungguhpun demikian, sampai di ru mah ayah pingsan pula. Ti dak la ma bel iau membukakan mata, lalu memanggil ibu dekat kepada beliau. Entah apa yang beliau katakan tidaklah saya tahu, sebab ayah berkata berbisik. Sudah itu ayah menarik napas ... lalu meninggal." "Jika sekiranya Pak Midun ti dak dibawa, boleh jadi ia sembuh ke mbali," kat a Datuk P aduka R aja sendirinya. "Sekarang apa jadinya, karena takut malu jadi lebih malu l agi. Tentu pada persangkaan orang Pak Midun tidak mati seajalnya, melainkan mati jatuh. Jangan-j angan disangka orang sengaj a dijatuhkan. Sungguh kasihan Pak Midun, boleh jadi juga ia mati beragan, karena ditinggalkan anaknya Midun. Tentu mereka itu semua meny esali perbuatannya. Tetapi apa hendak dikatakan: sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna." Pada har i itu juga Pak Midun dikuburkan dengan selamatnya. Tujuh hari l amanya orang men gaji dan makan minu m di rumah famili Pak Midun. Waktu meniga hari dan menujuh hari


diadakan ken duri be sar, mendoakan supaya arwah Pak Midun dilapangkan Allah di dal am kubu r. Tidak sedikit uang habis untuk penyelamatkan si mati itu. Oleh famili P ak Midun, tak kayu jenjang dikep ing, y ang tid ak ada, dia dakan. Dua tump ak sawah tergadai untuk memenuhi k eperluan itu . Ibu Juriah dalam tujuh hari itu bekerja ke ras di rumah ip arnya. Tidak sedikit jua ia men ghentikan tangan, karena jamu tidak berkeputusan dan sel alu makan minum. Setelah sudah menujuh hari, barulah ibu Juriah dan anaknya pulang. Sehari sesudah menujuh h ari, Sutan Menindih dan beberapa orang sau daranya dat ang ke ru mah Ibu Juriah. Setelah sudah makan minu m, dan setelah dianjurk annya dengan perkataan yang panj ang lebar, Sutan Menind ih be rkata, "Ibu, s aya har ap Ibu j angan gu sar d an j angan p ula b erkecil ha ti. Ke datangan kami ke mari ini, ial ah menurut sepanjang adat, yaitu akan mengambil harta peninggalan mamak kami." "Benar, Suta n," ujar ibu Juriah, "teta pi ap alah peninggalan mamak Sutan. Uang tak ada, hanya pakaiannyalah yang ada." "Ah, rupany a Ibu bersembunyi di balik lalang sehel ai. Yan g terang saj a hak kami, sawah dan huma. Bukank ah itu mamak saya yang membeli dan peninggalan beliau?" Mendengar perkataan itu ibu Juriah sangat terkejut. Lebihlebih Manjau , merah muk anya karena menahan marah. Maka ibu Juriah berkata pula, katanya, "Itu jangan Sutan sebutsebut, seb ab pencah arian kam i ber dua. Be rdikit-dikit ka mi menyimpan uang; setel ah agak bany ak kami bel ikan tan ah untuk kami usahakan. P endeknya, yang Sutan sebutkan itu usaha kami berdua, yang sudah kami untukkan bagi anak kami. Pak Midun sendiri sudah mengatak an waktu ia hidup, bahwa segala pencahariannya diuntukkannya kepada anak-anaknya." "Biar ba gaimana juapun kete rangan Ibu, kami maklu m bahwa tanah itu pusaka ma mak kami. Kami berh ak mengambil bilamana ka mi sukai. Jadilah, jik a benar su dah diuntukkan mamak kami bagi anaknya, mana keterangannya?" "Keterangan tentu tidak ada," uj ar ibu Juriah sebagai kehilangan akal. "Sekarang begini saja, Ibu ! Kalau k ita bertengkar j uga, kesudahannya menjadikan perselisihan. Fae dahnya tidak ad a, melainkan kita beran ak b apak putu s-putus. Sebab itu Ibu bertanyalah kepada Mamak Datuk Pa duka Raja. Ibu terangkanl ah kepada bel iau kedatangan kami ke mari. Kami be rhak men g-


ambil harta pusaka mamak kami bilamana saja. Kalau Ibu berkeras juga, tentu kami terpaksa minta tolong kepada Penghulu Kepala yang memerintah kampung ini. Sekianlah, kami hendak pulang dulu." Baru saja habis Sutan Menindih berkat a, kedengaran oran g batuk di h alaman. Orang itu ia lah Datu k Paduka R aja. Setelah naik ke rumah, ia pun berkata, katanya, "Sudah lama Sutan datang?" "Lama juga, Mamak," u jar Su tan M enindih. "Dari mana Mamak tadi?" "Dari pasar, sudah rapat dengan Tuan Kemendur." "O, ya, saya lihat tadi pagi banyak benar penghulu-penghulu ke pasar." Demikianlah percakapan mereka itu , hingga habis rokok sebatang seorang. Juriah meletakkan kopi dan penganan untuk mamaknya dan jamu itu. Sesudah minum kopi, Sutan Menindih pun berkata, katanya, "M amak! Seben arnya ked atangan ka mi ini, ada sesuatu hajat y ang besa r jua . T adi s udah saya b icarakan juga dengan ibu, tetapi be lum lagi putus percakapan kami. Sekarang kebetulan Mamak datan g, jadi lebih baik lagi. Biarlah saya ulang sekali lagi, apa maksud saya datang kemari ini." "Baik, Sutan, katakanlah apa yang ter asa di h ati, terkalang di mata, supaya sama kita dengar!" "Kedatangan saya kemari, ialah menurut adat yan g sudah dilazimkan jua. Karena mamak saya Pak Midun sudah meninggal dunia, say a sebagai seoran g kemenakan dari beliau, tentu menuntut hak kami. Sebab itu ha raplah saya, Mamak izinkan dan tunjukkan mana- mana yang har us sa ya ambil ha rta peninggalan mamak saya." "Benar kata Sutan itu. M emang kedatangan Sutan sudah menurut adat sebab pusaka tu run kepada kemenak an. Tentu saja Sut an kemari in i s udah se izin Datuk Raja Bendah ara mamak Sutan, akan menuntut hak Sutan itu. Ben arkah demikian?" "Betul, Mamak! Memang sudah sepakat dengan beliau. Jik a tidak seiz in beliau, tentu saya ti dak bera ni kema ri. M amak Datuk Raja Bendahar a sudah menerangkan kepada saya, man amana pu saka peninggal an mam ak say a. Oleh sebab itu M amak izinkanlah saya mengambil harta pusaka saya itu." "Baiklah, Sutan! Hak milik Su tan itu tidak akan k e mana. Tapi saya harap Sutan j angan te rburu nafsu benar. Saya minta


kepada Sutan, hal in i jangan mendatangkan y ang kurang ba ik antara kedua pihak. Sebab itu baiklah kita bicarak an dengan tenang, supaya selamat kesudahannya." "Baik Mamak ! Tapi saya rasa tentu tidak ak an demik ian jadinya, sebab yang say a ketengahk an ini, menurut adat di Minangkabau ini." "Benar, benar, Sutan! Jadila h, menurut pemandangan Sutan apaapakah peninggalan Mamak Sutan itu?" "Hal ini tent u M amak sudah m aklum, yaitu tanah, misalnya huma dan tanah peruntahan ini serta sawah." "Ini betul, tapi Sutan jangan pula lupa, bahwa menurut yang saya ket ahui, segal a tanah ya ng dibeli Pak Midun, ialah pencahariannya dua laki istri. Lagi pula tadi Sutan mengatakan, hendak mengambil rumah ini. Ja di rumahnya bagaimana? Akan Sutan suruh angkatkah ke pada kami?" ujar Datuk Paduka Raja agak gusar, sebab mendengar perkataan Sutan Menindih itu. "Itu pulang maklum kepada M amak. B agi s aya, mana yang hak saya tentu saya ambil. Mamak mengat akan pencaha rian berdua. Itu kata Mamak, kata saya t entu tidak begitu. Bagi kami ada alasan, bahwa segala tanah itu kami yang punya." "Kalau begitu tentu mendatangkan yang kurang baik, Sutan!" kata Datuk P aduka Raja dengan sabar pula. "Saya h arap dalam hal ini hendaklah sebagai menghela rambut dal am tepung. Rambut j angan putus, tepung jangan terser ak. Artinya Sutan beranak bapak jangan berputus-p utus karena itu. Jik a Sutan sekeras itu benar hendak mengambil hak milik Sutan, bersalahsalahan den gan be berapa per ibahasa orang k ita, yan g menunjukkan kasih sayang kaum Sutan kepada anaknya. Bukankah ada menurut k ata peri bahasa, misalnya: Ba' l alo' di rumah bak i* (Sebagai t idur di rumah saudara ayah yang perempuan, maksudnya enak dan bebas, sehingga t idak sadar hari t elah t inggi, karena senangnya t idur. Jadi t ak dapat t iada anak di rumah bako it u amat dimanj akan dan disenangkan ol eh saudara-saudara ayahnya yang perempuan) dan anak berpisau tajam, bako b adagieng taba* (Anak berpisau t aj am, saudara ayah yang perempuan berdaging t ebal. Art inya: anak bebas mengambil apa yang dikehendakinya at as hart a benda bakonya. Jadi anak it u sebebasbebasnya: boleh berbuat semau-maunya asal t idak melanggar t ert ib sopan sant un di dalam pergaulan umum)

Nah, menilik art i kedu a peri bahasa itu, sampai hatik ah Sutan meny uruh mengangkat rumah ini kepada Juriah dan Maninjau? Ak an Sutan usirkah me reka itu beru mah tangga di tanah ini? Di manak ah lagi tin ggalnya sifat'bako' yang pemurah


kepada anak, seperti yang ' dinyat akan oleh kedua peribahasa itu? Cobalah Sutan renungkan dan pik irkan dalam-dalam hal ini.-Sepatutnya, setelah Pak Midun meninggal, Sutan dengan famili Sutan menaruh belas kasihan sedikit kepada anaknya. Tetapi sekarang demikian, tentu mereka itu: sudah jatuh ditimpa tangga pula." Mendengar k eterangan Datuk Paduka Raja, terbenar pula pada hat i S utan Menindih. La ma ia termenung memikirk an perkataan mamak Juriah itu. Tetapi k arena ia diasut orang, ia pun berkata, "Sungguhpun demik ian, saya terpak sa meminta hak saya juga, Mamak!" "Sekarang beginil ah, Sutan! Bi arlah hal ini saya bicarakan dengan mamak Sutan, Datuk Raja Bendahara. Sebab itu pulanglah Sutan dahulu! Dalam sepekan ini, tentu akan mendengar bagaimana putusannya." . "Jika demikian baiklah, Mamak bicarakanlah dengan mamak saya. Saya mohon pulang dulu, Mamak!" "Baiklah! Lebih baik kami sama-s ama penghulu menyelesaikan perkara ini." Sepeninggal Sutan Menindih, Da tuk Paduka Raj a tidak bersenang h ati atas kedat angan kemenakan Pak Midun itu. Menurut piki rannya, ibu Juri ah dengan anak- anaknya ada berhak jug a mener ima pusaka itu. Karena pus aka itu tid ak sedikit har ganya, i a berjanji dengan dirinya aka n menyelesaikan perkara itu selekaslekasnya. Maka Datuk Paduka Raja be rkata dal am ha tinya, "K alau dilalai-lal aikan boleh mendatangkan bahaya. Se kalipun rug i mengadakan rapat adat untuk menimban g hal ini, apa boleh buat. Jika say a t idak bersenang h ati mendengar putusan rapat adat, biar saya jadikan perk ara. Bilaman a su dah put usan peme rintah saya kalah, sudah puas hati saya . Di sana nanti t entu hitam putihnya." Maka ia pun pergi mendapatkan Dat uk Raja Ben dahara, penghulu; kaum Sutan Menindih, akan memperbin cangkan hal itu. Setelah putus mufakat kedua penghulu itu , seminggu kemudian d iadakanlah ra pat ad at. R apat itu dik epalai oleh Datuk Seri Maharaja, karena dalam hal adat dialah pucuk bulat, urat tunggang di negeri itu. Di antara segala penghulu, bangsa kaum Datuk Seri Maharaja itu sama tinggi dengan bangsa kaum Tuanku Laras, di b awahnya ba ru Dat uk Paduka R aja. Ada 30 orang pengh ulu yang ternama ra pat hari itu. Sesudah minu m


makan, rapat adat pun dimulai. Maka Datuk Maharaja berkat a, katanya, "Datuk Paduka Raja! Kami sudah hadir se mua, ketengahkanlah ap a yan g tera sa di h ati, terk alang di m ata maka D atuk mengad akan rapat in i, supaya b oleh kami pe rtimbangkan!" Datuk Paduka Raja lalu menera ngkan duduknya pusaka yang ditinggalkan Pak Midun. Bagaimana penghidupan Pak Midun laki istri sejak mulai kaw in dicerit akannya dengan pan jang lebar. Kemudian diterangkannya pula pendakwaan orang Tanjung hendak merebut pusaka itu. Setelah berk ata pula, k atanya, "Penghulu seadat, Tuanku ('alim) sekit ab. Datuk sendiri sudah maklum, bahw a di Alam Minangkabau ini pusaka turun kepada ke menakan. Bukannya dia, melainkan Datuk sendiri rupanya yang mendak wa, padahal Datuk sudah mengetahui. Sungguh heran, saya kuran g mengerti dalam hal in i. Orang Tan jung it u sek ali-kali t idak merebut, melainkan mereka berhak mengambil pusak a kau mnya yan g telah meninggal." "Benar kat a Datuk itu," ujar Datuk Paduka Raja. "Tetapi lupakah Datuk akan kata adat: Harta pembawaan pulang, harta tepatan tinggal, harta suarang (pencaharian) dibagi? Dan sebuah lagi menurut kata adat: adat bersendi syara' dan syara' bersendi adat? Menilik kedua kata adat itu, nyatalah bahwa anak Pak Midun berhak pula menerima pusaka bapaknya itu. Harta itu ialah harta pen cahariannya du a laki istri, sebab itu h arus dibagi. Saya tahu benar bagaimana pengh idupan mereka itu sej ak mulai kawin. Menurut pengetahuan saya, sesen pun tak ada Pak Midun membawa h arta orang Tanjung. Dan menurut kata adat yang saya sebutkan, kemudian tadi, mesti pusaka itu dibe rikan kepada anak nya. Jik a t idak, tentu tidak sendi- menyendi lagi adat dengan syara'. Sekianlah permohonan saya. Saya berharap segala perka taan say a it u, moga- moga menjad i p ertimbangan hendaknya kepada kerapatan yang hadir." Kerapatan it u tenang, m asing-masing me mikirkan ma salah itu. Termasu k pada p ikiran me reka akan kebenar an perkata an Datuk Paduka Raja. Dalam pada itu berkatalah D atuk Raja Bendahara, k atanya, "Kat a adat menurut yang Dat uk katakan itu, memang sebenarnya. Penghulu tidaklah akan lu pa sekalian itu, sebab sudah pakaiannya. Seseorang penghulu jika lupa atau tidak tahu selukbeluk adat, tentu sia-sia ia dijadikan penghulu.


Bagi saya, sebagai s eorang fa mili da ri Pak M idun, mengetahui bahwa harta Pak Midun itu masuk harta pembaw aan, sekali-kali tidak ha rta suar ang. K eterangan s aya itu d ikuatkan oleh beberapa or ang sak si. Bilamana perl u, boleh say a unjukkan saksi itu, bahwa harta pusaka Pak M idun itu hak milik orang Tanjung." Maka kerapatan itu pun rama ilah membicarakan bagaimana duduk pusaka itu dan ke mana jatuhnya. Ada kira- kira dua jam kerapatan it u menimban g, dan men geluarkan buah pikiran masingmasing. Melihat kepada keadaan rapat itu, nyata ad a berudang di balik batu yang dat angnya dar i seseorang yan g berkuasa di kampung itu. Begi tu pul a meng ingat penjawaban saksi-saksi yang kurang terang itu untuk mempertahankan keterangan D atuk Raja Bendahara, ta mpak nyata bahwa saksisaksi itu dicari dan diup ah. Kesudah annya mak a diputuskan bahwa pusak a itu dijatuh kan kepada kemenakan Pak Midun. Setelah itu rapat adat l alu ditutup, dan orang pulang ke rumahnya masing-masing. Sungguhpun rapat adat di ne geri itu sudah memutuskan demikian, tetapi Datuk Paduka Raja belum lagi bersenang hat i. Maka i a pun membawa pe rkara itu kep ada H akim P emerintah. Dimintanya kepada Tuanku Laras, supaya perkara itu dibawa ke Bukittinggi, baik pih ak anak, baik pu n kemenakan sama-sama memakai pokrol. Beberapa hari perkara itu dit imbang d i Landraad, kesudahannya menan g juga di ke menakan. Tetapi kemenakan itu hanya menerima kurang dari seperem pat pusa ka itu lagi , sebab sudah habis untuk pembayar ongkos pokrol. Ibu Juriah dengan anak -anaknya ter paksa me mindahkan rumahnya ke tanah kau mnya sendiri. Dua bulan kemudian daripada itu, Ibu Juriah terkenang akan pesan Pak Midun waktu akan meninggal dunia. M aka disuruhnyalah familinya ke rumah orang tua Maun akan menanyak an kalau-kalau Maun mau beristri. Pesan Pak Midun yang mengatakan bahwa Juriah harus dipersuamikan dengan Maun, dikat akannya pula. Hal itu pun disampaikan ibu Maun kepada anaknya. Maun den gan segal a suka h ati menerima p ermintaan ibu Jur iah. Tidak s aja mengingat p ersahabatannya dengan Midun, tetapi ia sendiri memang sudah lama bercintak an Juriah. Hati Maun sangat tertarik melihat rupa dan ting kah laku Juriah yang hampir bersamaan dengan Midun, sahabatnya yang karib itu. Seminggu


kemudian, maka perkawinan itu dilangsungkan dengan selamatnya. Maka Maun dan Juriah menjadi suami istri, hidup berkasihkasihan setiap hari. Manjau kerjanya hilir mudik sa ja di kampung t iap-tiap hari. Akan bek erja, tidak ada pekerjaan y ang akan dikerjakannya. Hatinya tidak senang lagi tinggal di kampung itu. Amat sedih ia memikirkan peninggalan bapaknya diambil or ang sama sekali. Usikan P enghulu Kepala Kacak pun h ampir-hampir tidak tertahan lagi olehnya. Maka dipu tuskannya pik irannya, lalu ia pergi men inggalkan k ampung, berjala n ke neger i orang membawa untung nasibnya.


14. Bahagia

SEBERMULA rupanya perkataan Syekh Abdullah al-Hadramut "hendak mengadukan" Midun itu ti adalah gertaknya saja. Tiada berapa lama antaranya Midun sudah terpanggil ke muka pengadilan. Bag aimana juga Midun menerangkan bahwa uangnya tidak sebanyak itu yang tertulis di atas surat utang itu, hakim tidak dapat membenarkannya, sebab tidak ada saksi atau buktinya. Ha kim menjatuhkan hukum an, ia me sti me mbayar utang yang f 500,- itu, ta mbah ongkos-ongkos perkara kira-kira f 35,-. Beberapa lamanya sesudah putusan itu, Syekh Abdullah datang mendapatkan Midun. Di tagihnya dengan lemah lembut. Tetapi M idun, karena ia sudah tertipu itu sudah menetapkan niatnya t idak akan membayar ut angnya itu. Dia tidak t ahu betapa kekuatan acce ptatie itu. Dia belum menden gar, bahwa orang yang berutang itu, boleh dit ahan di dalam penjara. Dalam pada itu Syekh Abdullah ti dak putus-putusnya membujuk Midun. Demi dilihatnya Midun tidak mau me mbayar, dan pada sangkanya Midun tidak sanggup membayar, ketika itulah hendak disampaikannya cit a-citanya yang selama in i dikandungnya. Kalau dapat Midun mengu sahakan Halimah, yang disangk akan oleh Sy ekh Abdullah istr i Midu n menjadi istri Syekh Abdullah, maka segala uang Midun akan dilun askannya. Mendengar perk ataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun, lalu orang Arab itu diusirnya sebagai anjing. Orang Arab itu pun pergilah dengan mengandun g niat yang jahat akan melepaskan sakit hatinya. Tidak berapa lamanya sesudah itu, datanglah deu rwaarder dengan polisi mengambil Midun, meng antarkannya ke penjara. Walaupun Midun tidak mengerti be tul, apa se babnya ia dipenjarakan, perintah it u terpak sa juga d iturutnya. Setelah beberapa lamanya Midun dipenjar akan, datanglah pula or ang Arab itu membujuknya, tetapi itu pun tidak berhasil juga. Sudah dua-tiga kal i ia dat ang membujuk Midun ke penjara, dengan halus budi bahasanya, tetapi dibalas Midun dengan maki dan nista jua. Ia mau terkurung selama hidupnya, asal j angan karena dia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang


itu. Akhirnya Syekh Abdullah datan g sendiri mendapatkan perempuan yang sangat diharapk annya itu. Setelah dibujuknya dengan lemah lembut, tetapi tiada berhasil juga, mak a akhirnya digertaknya, bahwa Midun sekarang di bawah kekuasaannya dan terpenjara di bui Glodok. "Selama Mid un tidak s anggup membayar utangny a kepad a saya," kat a orang Ar ab itu, "dia ak an saya t ahan juga dal am penjara itu, dan Nen g boleh menantik an laki y ang dirin dukan itu sampai t umbuh uban di kepal a Neng. Tetapi sebaliknya, jikalau Neng mau mengabulkan permintaanku itu, segera ia kukeluarkan dari bui." Mendengar perkataan yang de mikian, Halimah pun marah, dan Arab itu diusirnya. Tetapi sepeninggal orang Arab itu, sangatlah susah hatinya memikirkan Midun terpenjara itu. Maka dibuatnyalah mufakat de ngan ayahnya akan me mbayar utang Midun itu. Segala baran g perhiasanny a dijualnya untuk melepaskan kek asihnya dar i penjara. Mak a perg ilah i a ke Betawi dengan bapaknya, tetapi sebab Midun send iri ad a mempunyai uang f 500,- tidak se berapa ia menambah untuk membay ar utang itu. Mulanya Midun tak mau sedik it juga membayar.utangnya itu. Tetapi setelah dimufakat i dengan panjan g lebar dan setelah men dengarkan bujukan Halimah, diturut nya jugalah kehendak kekasihnya. Tetapi pe rmintaan Halimah dan ayahnya supaya ia pergi bers ama-sama ke Bogor, tidak diperken ankannya. Sebabnya ialah karena dia hendak mencari penghidupan yang lebih sempurna di Betawi. Selama Midu n dalam penjara itu, ada seorang hukuman bekas orang yang bersek olah juga, yang mengaj arkan menulis dan mem baca dan menceritakan berbaga i-bagai ilmu pengetahuan, sehingga ba nyaklah tokok tambahny a pengetahuan Midun selama dalam penjara itu. Oran g itu Mas Sumarto nam anya. Ketika ia akan meninggalkan bui itu, maka ditemuinyalah orang itu. Sesudah mengucapk an terima kasih atas na sihat-nasihat dan kesudi an Mas Sumarto m engajarnya menulis dan membaca selama dalam bui, Midun memberi selamat tinggal kepada gurunya itu. Ia berjalan ke luar bu i, lalu naik trem yan g hendak ke Kramat. Sudah dua bulan ia di dalam bui, tak ada ubahnya sebagai burung di dal am sangk ar. Sekarang dapat pula ia melepaskan pemand angannya kian kemari, mel ihat-lihat kota


Betawi yang indah itu. Amat lega hati Midun masa itu, dadanya lapang, pik irannya senan g. Samp ai d i Kra mat i a pergi ke Kwitang, ke rumah tempatnya membayar makan dahulu. Induk semangnya h eran mel ihat kedatangan nya itu, karena dengan tidak berkata sepatah j ua Midun p ergi, sekarang tib a-tiba datang pula kembali. Setelah mereka itu duduk lalu diceritakan Midun nasibn ya sel ama meninggalkan rumah itu . Mendengar ceritanya itu , mereka be las ka sihan dan menasih ati Midun, menyuruh in gat-ingat menjaga diri y ang akan d atang. Maka ia pun tinggal pula di sana membayar makan. Pada pet ang hari Midun pergi berj alan-jalan. Sampai di Pasar Senen, ia bertemu dengan Salekan, temannya sama-sama berkedai dahulu. "Ke mana engkau, Midun? " ujar S alekan. "Sudah lama saya tidak melihat engkau." "Ah, saya pergi bertapa dua bulan ke Glodok," ujar Midun. "Bertapa ba gaimana? C eritakanlah kepada saya yang sebenar-benarnya saja, Midun." "Baik, engkau tidak berkedai hari ini?" "Tidak, sudah dua hari dengan sekarang. Saya hendak tempo dulu barang seminggu ini, karena ada urusan sedikit." "Kalau begitu, marilah kita ke Pasar Baru! Saya ingin hendak makan nasi goreng, sebab sudah du a bulan t idak men gecap makanan itu. Nanti di jalan saya ceritakan pertapaan saya yang dua bulan itu kepadamu." "Baiklah." Sepanjang j alan dicerit akanlah oleh Midun, bagaimana halnya yang dua bulan itu. Dalam mereka asyik bercerita, tibatiba ke dengaran olehnya o rang be rseru, " Awas, se rdadu mengamuk! Lekas lari!" Midun terkej ut, lalu melihat ke sana kemari. Wak tu itu ia sudah sampai dekat pint u masuk ke Pasar Baru. Temanny a, Salekan, baru saja mendengar suara orang menyu ruh lari, ia sudah membuat langkah seribu. Sekonyong-konyong kelihatan oleh M idun seor ang serdadu me megang sebuah pisau y ang datangnya dari arah Kemayoran. Mana yang dapat, apalagi orang yang mengal angi, terus saja diamuknya. Serdadu itu terus juga lari mengej ar seorang sinyo yang baru berumur 12 atau 13 tah un. Sinyo itu sudah payah, napasnya turun naik, agaknya sudah lama ia dikejar serdadu itu. Ha mpir s aja ia dapat kena tikam, karen a tida k j auh lagi ant aranya. Midu n


tidak berp ikir lagi, ser aya berkat a, "Jangan lari, Sin yo, berdiri saja di belakang saya!" Baru saja sinyo itu men dengar suara M idun, ia b erhenti. Memang ia h ampir tak ku at lagi be rlari, seb ab su dah payah. Sambil terengah-engah, s inyo itu pun berkata, "Tolong s aya, Bang, dia hendak menikam saya." Setelah dekat, Midun melompat men angkap pisau serdadu itu. Maka kedua mereka itu pun berkelahi, di tengah jalan itu. Setelah pisau serdadu it u dapat oleh Midun, lal u dilemparkannya, seraya berkata, katanya, "Ambil pisau itu, Sinyo!" Ketika pisau itu tak ada lagi , serdadu itu pun menyerang Midun dengan garangnya. Teta pi dengan mudah Midun dapat menyalahkan serangannya. Midun melepask an kekuatanny a pula. T idak la ma a ntaranya, i a pun dapat menangkap serdadu itu: Midun berkata pula, " Sinyo, coba ambil ikat pinggang saya pengikatnya!" "Ini ada ik at pinggang saya, Bang," uj ar s inyo sambil me mberikan ikat pinggangnya. Seka liannya terjadi dalam beberapa saat saja. Setelah serdadu itu diik at Midun, maka opas pun berlompatan akan menangkapnya. Ketika ia akan dibawa ke kantor Commissaris, sinyo be rkata, "Tak usa h dibawa ke sana. I kut saya saja!" Maka serdadu itu pun dibawa oleh sinyo itu kepada sebu ah gedung yang tidak berapa jauhny a dari sana, diiringkan oleh orang banyak yang berkerumun sesudah si pen gamuk itu tertangkap. Setelah samp ai, siny o terus saja m asuk ke dalam. Kemudian ia ke luar bersama dengan seorang tuan. Adapun tuan itu ialah Hoofdcom missaris, bap ak si nyo yang ditolong Midun itu. Di muka ba pak dan ibuny a, diterangkanl ah oleh siny o itu baga imana ha lnya dengan serdadu yang mengamuk itu. Nyonya H oofdcommissaris menjerit menden gar cerita anaknya yang sangat ngeri itu. Tetapi ia bergirang hati, karena anaknya terlep as d ari bahaya. Demikian pula Hoofdcommissaris, a mat senang hat inya kepada Midun yang menolong an aknya itu. Hoofdc ommissaris menelpon, dan tidak lama ant aranya datangl ah beberapa orang pol itie-opziener akan membawa serdadu yang mengamuk itu. "Saya ucap kan banyak -banyak ter ima kas ih karena keberanianmu menolon g anak sa ya di dalam bahaya," ujar Hoofdcommissaris kepada Midun.


"Terima kasih kembali, Tuan!" jawab M idun dengan hormatnya. "Siapa namamu?" "Nama saya Midun." "Negerimu di mana?" "Negeri saya di Padang." "Apa kerjamu di sini?" "Tidak bekerja, Tuan!" Maka Midun pun menceritakan nasibnya kepada Hoof dcommissaris, sejak mulai sampai ke Betaw i. Mendengar cerita Midun, tuan dan nyonya itu amat belas kasihan. Ke mudian Ho ofdcommissaris berk ata p ula, "Kamu pandai menulis?" "Pandai, Tuan." "Baiklah. Besok kamu dat ang ke k antor saya pukul 8 betul, ya!" "Baik, Tuan." "Sekarang kamu boleh pulang . Jangan lupa, besok mest i datang di kantor saya." "Ya, Tuan." Midun keluar dari gedun g itu. Orang banyak yan g ber kerumun mel ihat Midun, mengirin gkannya dari bel akang. Berbagai-bagailah pertanyaan orang kepa danya. Midun am at malu diiringkan orang banyak, lalu ia naik bendi ke Pasar Baru. Sampai di situ terus masuk ke kedai orang menjual nasi goreng. Di tempat itu lain tidak yang didengar Midun, percakapan orang tentang serdadu mengamuk itu saja. Tetapi Midun berdiam diri saja; sesudah mak an na si goreng, ia naik bendi pulang k e Kwitang. Di atas bend i Midun berk ata dalam h atinya, "Apa pulakah yang akan t erjadi atas diri saya besok pag i? Cel aka pulak ah yang akan d atang, se bab saya menangkap s erdadu? T ak b oleh jadi, serdadu itu tak ada yang bercela badannya oleh saya. Lagi pula mendengar perkataan Hoofdcommissaris, tak mungkin saya akan dihuku m karen a itu . Tak dap at tiada, sinyo anaknya itu tidak akan membiarkan saya, karena saya menolongnya." Sampai di Kw itang, induk semangnya bertanya pula tentang orang meng amuk di Pas ar Baru , kalau- kalau Midun mendengar kabar itu. T etapi M idun mene rangkan pura-pura tidak tahu saja, karena ia ke Meester, katanya. Pada keesok an harinya pagi-pagi Midun sudah bangun. Sesudah sembahyang dan minum kopi, maka ia pun berpakaian.


Kira-kira pukul 7 Midun berangkat dari ru mahnya menuju ke kantor Hoofdcommissaris. Baru saj a ia sampai, datang seorang politieopziener mendekatinya. "Kamu yang bernama Midun?" ka ta politie-opz iener. "Saya, Tuan!" ujar Midun. Midun dib awa masuk ke dalam sebuah kamar y ang terasing letaknya di kantor itu. Tiba-t iba kel ihatan oleh Midun, tuan yang menyuruhnya datang kemarin itu. "Tabik, Midun, ada baik?" kata Hoofdcommissaris. "Baik juga, Tuan," ujar.Midun dengan sopannya. "Kemarin kamu katakan, kamu tidak bekerja. Mau kamu bekerja di sini?" "Kalau Tuan mau mener ima say a, dengan segala suka hati saya terima." "Baiklah. Sekarang boleh Midun mulai bekerja." Setelah Ho ofdcommissaris berc akap b eberapa lam anya di telepon, Midun dibawa k e dalam sebuah ka mar be sar. Di si tu dilihatnya amat banyak orang bekerja. Maka Midun pun mulailah bekerja sebagai juru tulis di kantor Hoofdcommissaris. Dengan raj in dan sun gguh Midun bek erja di k antor itu. Di dalam dua bulan saj a, su dah kelihat an kecakapan nya bekerja. Ia selalu hati-hati dan hemat da lam pekerjaannya. Tidak lama Midun disuruh mengambil pekerjaan matamata. Sebabnya ialah karena masa itu amat banyak penggelapan candu. Di dalam pekerjaan itu pun Midun sangat pandai. Tidak sedikit ia dapat men angkap candu gelap. Pandai benar ia menjelmakan diri akan mengintip orang membawa candu gelap itu. Bermacam-macam ikhtiar dijalankannya. Kadang-kadang w aktu kapal masuk pelabuhan, ia menjadi kuli, turut mengangkat barang da ri anggar ke stasiun. Bahkan kuli-kuli it u dapat pula dipikatnya dengan me njanjikan persen, man akala dapat menunjukkan orang yang membawa candu gelap. Ada yang ditangkap Midu n candu itu di perut perempuan oran g Tiongh oa yang pura-pu ra hamil. Padahal sebenarnya candu gelap yang dibalutnya dengan k ain di perutny a itu. Ada pula y ang ditangkapnya dalam perb an kaki or ang, yang pura-pura sak it kaki. Pendeknya, di dalam hal yang sulit-sul it, yang tak mungkin pada perasaan orang ca ndu itu ditaruhn ya di sana, dapat ditangkap Midun. Enam bul an Midun bekerj a, nyatal ah kepada or ang di at as akan kecakapannya dalam pekerjaannya. Maka ia pun diangkat


menjadi me nteri poli si di Tanjung Priok. Seir ing denga n keangkatannya itu, ia mendapat anugerah pula dari pemerintah beberapa rib u rupiah. Uang itu ialah persen dari candu yang sudah ditan gkapnya. Ber linang-linang air mata M idun sebab suka, waktu menerima uang sekian itu. Tidak disangkasangkanya ia akan mendapat uang sebanyak itu. Segala uang itu dimasukkannya ke bank. Karena suka dan girang amat sangat mendapat u ang dan menerima an gkatan itu, Midun segera menulis surat ke Bogor kepada ayah Hali mah. Maka diny atakannya h asratnya yan g selama in i dikandungnya. Mid un takut Halimah yang sangat dikasihinya itu akan dapat ben cana. Sebab itu hendak disegerakannya supaya ia menjadi suami istri dengan gadis itu. Demikian bunyi surat Midun kepada Halimah: Weltevreden, 9 Desember 19.. Kekasihku Halimah! Berkat doa Adinda yang makbul jua, kakanda sekarang sudah menjadi menteri polisi di Tanju ng Priok. Ole h sebab itu, saat in ilah y ang seb aik-baiknya untuk melangsungkan cita- cita kita yang selama irii. Bersamaan dengan surat in i ada kakan da kirim su rat kepada b apak, yang i sinya menyat akan has rat kakanda itu. Di dalam surat itu kakanda sert akan pula uang banyaknya f 400,- untuk belanja perkawinan kita. Pada t angga115 Dese mber ini k akanda perlop, la manya 1 4 hari. W aktu itulah k akanda dati ng kemari. Unt uk keperluan Adinda, kak anda baw a bersa ma kak anda nanti. Bag aimana permufakatan bapak dan Halimah, kakanda menurut. Sehingga inilah dulu, nanti seminggu lagi sambungannya. Peluk cium kakanda, MIDUN Midun dapat perlop, lamanya 14 h ari. Beserta dengan beberapa or ang kaw an dari Betawi, ia pun be rangkatlah ke Bogor. Sampai di Bogor, didapatinya ayah Halimah sudah siap. Di muka ru mah sudah terdiri sebuah dangau-dan gau besar, dihiasi dengan bagu snya. Or ang sedang sibuk bekerja,


mengerjakan ini itu mana yang perlu. Rupanya per kawinan itu akan dilangsungkan ay ah Halimah den gan peralat an yang agak besar, sebab hanyalah Halimah anaknya yang perempuan. Kedatangan Midun diterima ay ah Halimah dengan segala suka h ati. M aka Midun pun me nceritakan halnya sejak keluar dari bui sa mpai menjad i menter i po lisi di ha dapan Halimah, ayahnya dan beberapa orang lain famili mereka itu. Segala yang mendengar cerita Midun itu amat bergirang h ati. Lebihlebih Halimah, karena bakal suaminy a sudah menjadi ambtenar pula. Tiga har i kemudian, per kawinan Midun dan Halimah dilangsungkan. Dua hari du a mal am diadakan peralatan, sangat ramai, karen a banyak sahabat kenal an ayah Hal imah hadir dalam peralatan itu. Begitu pula sahabat kenalan Midun banyak datang dari Betawi. Dengan tidak kurang su atu apa, selesailah peralat an itu. Setelah seminggu Midun tinggal bersama mertuanya, ia pun berangkat ke Betawi. Ayah, ibu tiri, d an beberapa orang famili Halimah turu t ... mengan tarkannya ke Tanjung Priok: Midun memang sud ah si ap den gan sebu ah rumah yang sederhan a, cukup dengan perkak asnya, bak al mereka itu tinggal dua laki istri. M aka t inggallah mereka sua mi i stri di rumah itu, hidup selalu dalam berkasih-kasihan, se ia sekata dan turut-menurut dalam segala hal. Demikianlah pergaulan mereka itu dari sehari ke sehari. Midun sudah bekerja sebagai menteri polisi. Namanya termasyhur di Tanjung P riok. Baik ku li baik pun t idak, amat segan dan t akut kepada menteri polisi Midun. Polisi orang Melayu atau pun Belanda segan pula kepadanya. Sebabnya ialah ketika terj adi per kelahian beber apa orang kel asi kapal yan g memperebutkan perempuan durj ana. Tidak ub ah seb agai perang kecil waktu terjadi perju angan itu. Perkel ahian yan g asal mulany a dua orang kelas i yang berlain an-lainan ka pal tempatnya bekerja, men jadi ra mai s ebab merek a memp ertahankan teman masing-masing. P olisi tak dapat lagi memisahkan, se bab sangat sibukn ya. Segala orang y ang mempunyai toko menutup tokonya karena ketakutan. Yang berkedai mengemasi kedainya, l alu menc ari tempat persembunyian. Amat banyak orang be rlarian ke sana kemari menjauhi perkelahian itu. Huru-hara, t idak berketentuan lagi. T idak sedikit polisi baik pun kelasi yang luk a. Jika tidak ad a Midun, entah


berapa agak nya bangk ai terhantar, sebab me reka itu sudah memakai senjata ta jam da lam perj uangan itu. Menteri polisi Midunlah yang terutama berusaha memadamkan perkelahian yang hebat it u. Oleh karena itu ia sangat terpuji ol eh orang di atas dalam pekerjaannya. Belum cukup enam bul an Midun di Tanjung P riok, ia menerima surat pindah ke Weltevreden. Menerima surat pindah itu, Midun bersukacita. Di Tanj ung Priok hampir ia tak dapat menidurkan badan. Ada-ada saja yang mesti diuruskannya, baik siang atau pun mal am. Kadang-kadang lewat tengah malam orang m emanggil d ia, k arena a da sesuatu yan g t erjadi dan perlu diselesaikan. Tiga hari kemudian dar ipada itu, Midun suami istri berangkat ke Weltevreden. Maka ia. pu n bekerjalah dengan rajinnya di Weltevreden. Sekali peristiwa Midun dipang gil Ho ofdcommissaris da tang ke kantorny a. Samp ai di kantor, Hoofdcommissaris pun berkata, "Midun, sekarang kamu mesti berlayar." "Ke mana, Tuan?" ujar Midun dengan hormatnya. "Kami dengar kabar ada penggelapan candu yan g san gat besar. Pusat penggelapan itu di Medan, dan ada pertaliannya di Jawa ini. Se bab itu ka mu mesti be rangkat m inggu di muka ini ke M edan, a kan menyeli diki ben ar ti daknya kab ar itu. Saya harap, peke rjaanmu di sana memberi hasil yan g baik. Nah, selesaikanlah mana y ang perlu, dan berangkatlah minggu di muka ini!" "Baik, Tuan!" lalu Midun pulang ke rumahnya. Setelah perintah itu dik abarkan Mid un kepada istrinya, maka ia pu n berkirim surat ke Bogor menyuruh datang mentuanya k e Betaw i. Masa itu mentua Midun sudah pensiun. Dua hari kemudian, dat anglah mentuanya laki istri. Midun mengabarkan bahwa ia tiga hari lagi berangkat ke Medan. Dimintanya, selama ia di Medan, supaya mentuanya menemani Halimah. Setelah mustaid barang-barang yang perlu dibawa Midun, ia pun berangk atlah ke Medan. Wa ktu i a akan be rangkat, tidak dibiarkannya seorang jua mengantarkannya ke kapal. Midun ke Medan menj elma seb agai seo rang s audagar. Sebab itu, ia menumpang di atas geladak kapal saja. Sampai d i M edan, deng an dite mani oleh se orang mat amata, M idun pun bekerj alah menyelidiki k abar penggelapan candu yang besar itu. Ada sebu lan i a menyelid iki kaba r itu


dengan r ajinnya. Ber macam-macam ikhtiar dijalankan Midun. Kemudian ny atalah, bahw a kabar itu bohong belak a. Menurut pendapatnya, kabar itu hanya dibuat-buat orang saja, untuk menjalankan maksudny a di tempat lain. Dua hari lagi akan berangkat ke Betawi, Midun memakai seperti biasa. la pun pe rgilah berjalan-jalan de ngan te mannya itu melihat-lihat keindahan kota Medan. Setelah hari malam, terus menonton ko midi ga mbar. Ketika akan pulang lalu diajak oleh temannya minum-minum kepada sebuah hotel. Baru saja duduk, datang seorang jongos membawa buku tulis. "Minum apa, Engku?" ujar Ahmad, temannya itu. "Apa saja yang Engku sukai," jawab Midun. Ketika Ah mad menulisk an nama minu man yang akan diminta, M idun memand ang kepad a jongos yan g berdir i di belakang k awannya itu. Tiba-tiba ia terperanj at, karen a dilihatnya jongos itu serupa benar d engan ad iknya Manjau. Hatinya tertarik, lalu diperhatika nnya tingkah laku jongos hotel yang seorang itu. Midun amat he ran karena jongos itu sebentar menyeringai, sebentar pul a duduk, seolah-olah men ahan sakit. Perjalanannya pun tidak sebagai biasa, melainkan agak lambat. Maka Midun berkata dal am h atinya, " Tidak boleh jadi M anjau akan sampai kemari. Tentu saja ia tidak diizinkan ibu dan ayah meninggalkan kampun g, karena saya sud ah per gi. Lagi pul a tidak akan sampai hat inya mening galkan orang tu a, yang telah bersedih hati kehilangan anaknya yang sulung itu. Ah, agakny a pemandangan saya yang salah, ti dak sedikit orang yang serupa di ata s duni a ini. Tet api ap akah se babnya d ia selalu memandang say a? Dan apak ah sebabnya jongos itu selalu menyeringai dan sebentar-sebentar duduk? Tidak lain tentu karena korban perempuan-perempuan dukana yang berkeliaran seluruh kota ini agaknya. Di dala m M idun termenu ng me mikirkan jong os h otel itu, tiba-tiba Ah mad kaw annya itu berkat a, katanya, "Mengapak ah Engku termenung saj a dari tadi saya lihat? Apakah yang Engk u menungkan?" "Tidak apa-apa," ujar Midun men ghilangkan pik irannya, sambil memperbaiki duduknya. "Pikiran saya melayang ke tanah Jawa." "Di sini pun tidak kurang k epelesiran seperti di t anah Jawa, bahkan lebih agaknya. Lihatlah ke jend ela tingkat h otel ini. Di tanah Jawa tidakkan lebih, samalah dengan di sini agaknya."


"Benar, s ama dengan d i si ni. Sungguh berbahay a benar perempuan-perempuan jahat itu. Tidak sedikit orang yang telah menjadi korban penyakit itu. D i Bet awi lebih-lebih lagi yang buta, buta juga, anggotan ya pun banyak yang rusak. Sungguh berbahaya benar penyakit jahanam itu." "Sebenarnyalah perkataan Engku itu. Di sini pun begitu pula. Bahkan bany ak hotel di sini dipergunakan untuk itu saja. Dipelihara di situ perempuan- perempuan dukana itu, untuk pemuaskan h awa nafsu orang yang baru datang atau yang ad a di nege ri in i. Seolah- olah seng aja rupanya orang me mperkembang biak penyakit keparat itu." "Benar, kalau begitu sa ma keadaannya dengan Beta wi. Hal ini tid ak bol eh sekali-kal i dib iarkan. Patut benar pemerintah berikhtiar, supaya musna kupu-kupu malam yang berkeliaran di kota-kota di tanah Hindia ini." Adapun jongos hotel itu terkejut pula ketika mel ihat muka Midun. Ia amat heran karena orang itu sel alu memandan g kepadanya. Pada pemandangannya tidak ubah sebagai saudaranya Midun. Dengan darah berdeb ar-debar, jong os itu berkata dalam hatinya, "Dari tadi saya diperhatikan orang itu. Rupanya bersamaan b enar deng an saud ara s aya Midun. Nyata kep ada saya, bahwa sebenarnyalah dia k akak saya. Tetapi t idak boleh ia segagah in i. Temannya memanggilkan dia "Engku". Tentu ia seorang berpangkat. Mustahil, sedang menulis pun Midun tidak pandai dan tidak pula b ersekolah. Lagi pul a ia dihukum ke Padang, masakan or ang hukuman m enjadi o rang berpangkat. Agaknya orang itu serupa dengan M idun. Menurut suratnya ke kampung dahulu, ia pergi ke ta nah Jawa. Suatu hal yang tidak boleh jadi ia di sini." Kira-kira pu kul sebelas malam, Midun membayar beli minuman. M aka ia pun pulanglah ke rumah tempatnya menumpang. Sampai di rumah hat i Midun tidak senang sedikit jua. Jongos hotel itu tidak he ndak hilang dalam pikirannya. Kemudian d iputuskannya pikirannya hendak ke mbali ke h otel itu, akan me nanyakan s iapa dan orang mana jongos hotel itu. Sampai di sana, lalu dipanggilnya jongos itu. M aka ia dibaw a Midun kepad a su atu te mpat yang te rpisah. Midu n berkata, katanya, "Saya harap kamu jangan gusar, karen a saya hendak bertanya sedikit." "Baiklah, Engku," ujar jongos itu dengan hormatnya. "Kamu orang mana?"


"Saya orang Minangkabau, Engku." "Di mana negerimu di Minangkabau?" "Di Bukittinggi." "Namamu siapa?" "Nama saya Manjau." Mendengar nama itu hat i Midun hampir tidak tert ahan lagi. Ketika itu sudah nyata ke padanya, bahwa orang yang bercakap dengan d ia itu, adiknyala h. Tetapi de ngan seku at-kuatnya i a menahan hati, lalu meneruskan p ertanyaannya, katanya, "Adakah engkau bersaudara?" "Ada, Engku." "Siapa namanya?" "Midun." "Manjau, adikku kiranya ini," ujar M idun sa mbil melompat memeluk Manjau. Kedua mere ka itu bert angis-tangisan, karena pe rtemuan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tidak lama mereka itu insaf akan di ri. M idun meneru skan pert anyaannya pula, katanya, "Sudah lamakah engkau di sini? Ayah bunda dan adikku di mana? Diizinkan me reka itukah engkau me rantau kema ri? Adak ah i a sehat-sehat saja sampai sekarang?" Manjau m enceritakan den gan p anjang lebar peny akit ayahnya waktu akan men inggal dunia dan perkara pu saka yan g di ambil oleh k emanakan ayahnya. Begitu pula perka winan Juriah dengan M aun, pesan ayah nya waktu akan berpul ang. Dengan tidak diketahuinya, air mata Mi dun berlinang-l inang, karena amat sed ih hatinya mengenangkan k ematian ay ahnya yang dicintainya it u. Maka ia pun be rkata, "Ayah sudah meninggal, apa pula yang engkau turut kemari! Tentu ibu can ggung engkau tinggalkan, suami mati, anak dua orang sudah hilang." "Saya perg i sudah se izin beliau. Akan tingg al juga saya di kampung tak ada pekerj aan saya, sebab harta k ita sudah habis sama sekali. Usikan Pen ghulu Kepala Kacak tidak pula tertanggung oleh saya. Tidak ada berselang sepekan saya sudah disuruhnya pula berodi, jaga, ronda malam, dan lain-lain. Karena itu saya mufakat den gan Maun. la sendiri men gizinkan jug a saya pergi. Kata Maun, "Per gilah, M anjau, mudah-mudahan engkau bert emu dengan Midun. Saya sendiri pu n akan meninggalkan kampung ini pula, sebab saya tid ak senang diam oleh si Kacak musuh kami dahulu. Biark anlah ibu dan Juriah tinggal. Sayalah yang akan menjaga keselamat an ibu. Ke man a


saya pergi, tentu beliau saya bawa." Maka saya pun pergil ah ke Bukitt inggi. Mula- mula say a bekerja menjadi j ongos k epada seorang Bel anda. Belum lama saya bekerja, diajak oleh induk semang saya itu kemari. Tiga bulan saya bekerja dengan dia, in duk semang saya itu pun perlop k e negeri Belanda. Saya t inggal seoran g diri, lalu mencari pek erjaan l ain. Dengan seorang kaw an berna ma Sabirin, orang Minangk abau juga, kami pergi meminta pekerjaan k epada sebuah onderne ming yang jau hnya lebih kurang 30 pal dari sini. Kami d apat pekerj aan pad a onderneming itu. Saya jadi juru tulis kontrak dan teman saya itu jadi man dor. Habis t ahun ka mi dapat perlop 14 h ari dan ekstra gaji 3 bulan. Sebab kami biasa tinggal di hutan, maka kami pergi kemari. Di sin i pele sir menyenan g-nyenangkan hati, ak an melepaskan lelah bekerj a terus set ahun itu. Ke pelesiran itu rupanya menjadi sesalan kepada saya se karang. Teman saya Sabirin itu meninggal dunia baru sebula n. Sebabnya ialah karena mendapat penyakit ... perempuan. Ia mendapat penyakit yang n omor satu. Saya u ntunglah dapat yan g enteng. Sudah dua bulan sampai sekarang saya menanggung penyakit itu. Akan kembali ke onderneming sudah malu, dan rasany a saya tidak ku at lagi bekerja. Maka saya carilah pekerjaan yang ringan di sini, yaitu menj adi j ongos hotel. Demikianlah hal saya selama Kakak tinggalkan." Midun mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar cerita adiknya itu. Maka Manjau disuruhnya berhenti bekerja di hotel itu. Setelah itu dibaw anyalah ke rumah tempatnya menumpang. Sampai di ru mah, sesu dah Midun berganti pakaian, maka i a menceritakan n asibnya kep ada M anjau sejak meninggalkan kampung. Tet api ya ng dicerit akannya, hanyalah mana yang patut didengarkan adiknya s aja. Ket ika s ampai kepada m enceritakan ha lnya d igoda pe rempuanperempuan d i Betawi, di situ diperpanjang oleh Midun. Ditanyakannya kepada Manjau baga imana kei manannya dalam hal itu. Begitu pula tentang pergaulan hidup dan cara nya berteman dengan or ang. Mendengarkan cerita Midun yang amat panj ang itu, Manjau insaf benar-benar akan dirinya. la menekur dan menyesal amat sangat perbuatannya yang suda h-sudah. Lebih-lebih ketik a Midun men ceritakan bah aya penyakit perempuan itu, maka Manjau pucat sebagai orang ketakutan.


Menteri polisi Midun berangka t pula kembali ke Betawi. Manjau di bawanya ber sama-sama. Dengan selamat M idun sampai ke Betawi. Maka Midun menceritakan hal pertemuannya dengan adiknya itu. Setelah men dengar k eterangan M idun, oran g di ru mah itu pun girang hatinya. Tiga bulan Manjau berulang ke rumah sakit, barulah sembuh benar penyakitnya. Tetapi se telah sembuh ia harus memakai tesmak, karena pemandan gannya sudah kurang terang. Manjau tidak dibiarkan Midun bekerja, melainkan bersenang-senangkan diri saja di rumah. Sekali-sekali jika Midun membawa pekerjaan pulang, ditolongnya bek erja di rumah. Kemu dian Manjau dimasukkan Midun bekerja di kantor Roofdcommissaris.


15. Pertemuan

SEKALI per istiwa p ada suatu petang. Midun dengan istriny a duduk-duduk di beranda muka rumah nya makan- makan angin. Sedang ia minum-minu m teh, tiba-tiba berlaril ah anaknya dari dalam. Anak itu sudah berumur tiga tahun lebih. Ia membawa sebuah surat kabar mingguan pada t angannya. Ma ka anak itu pun berkata, "Papa, apa ini?" Anak itu menunjuk sebuah gambar pada surat berkala itu. Midun melih at, lalu diperhatika nnya gam bar itu. Kemudian ia berkata, "Ini gambar negeri bapak. Anak mau pergi ke Padang?" "Mau," jawa b anaknya, yang barangkali kuran g mengerti benar akan perkataan bapaknya. "Coba lihat!" ujar Halimah meminta gambar itu. "Gambar itu ialah g ambar ngara i atau 'Karb auwengat' di Bukittinggi ben ar. Kalau saya tidak salah, hanya 10 menit perjalanan." Midun terkenang akan ne gerinya. Ta mpak-tampak olehnya jalan-jalan di kampungnya. Ia bermenung, pikirannya melayang ke kampung. Tiba-tiba te rbayang ibu dan adiknya Juriah, yang sangat dik asihinya itu. Setela h beberapa lamanya dengan hal demikian itu, M idun ber kata kepa da istr inya, "H alimah! J ika saya t idak salah, ketika kita berjalan-jalan di Kebun Raya dahulu, kau ada berkat a, 'Tahun mana mu sim pabila dan dengan jal an apak ah lag i, mak a dapat saya melihat negeri Padang yang saya cintai itu'. Perkataanmu itu, sebenarnyalah atau untuk bersenda gurau saja?" Midun tersen yum, ia terk enang ak an halnya masa dahulu, waktu berjal an-jalan den gan Hal imah di Kebun R aya. Hali mah kemalu-maluan. Samb il t ersenyum, ia pun berkat a, "Apak ah sebabnya sekarang Udo menanyakan hal itu? Belumkah tampak oleh Udo, bahwa perkataan saya itu sebenarnya?" "Bagaimana p ula akan ta mpak, karena kita sud ah hamp ir 6 tahun di sini saja." "Sudah sebesar ini si Basri anak kita, belumlah tampak oleh Udo, bahwa perkataan saya itu sungguh-sungguh?" "O, jadi yang kau maksud 'negeri Padang' dahulu itu si Midun kiranya." Midun terseny um pula . Ke mudian i a b erkata l agi, katanya, "Perkataan saya ini se betul-betulnya, Halimah. Sudah hampir 6 tahun saya di sini, ingin benar saya hendak menemui


ibu dan adik saya Juriah. Cukuplah ayah meninggal dunia karena bercintakan saya, tetapi janganlah hendaknya terjadi pula sekali lagi pada ibu hal yang demikian itu." "Menurut pikiran Udo, bagaimana yang akan baiknya?" "Pikiran saya, jika sepakat dengan Halimah, saya bermaksud hendak memasukkan rek es meminta pindah k e n egeri saya. Sukakah kau, jika kita kembali pula ke Padang?" "Menurut hemat saya, hal itu ti dak perlu Udo tanyakan lagi kepada saya. Jika saya akan dua hati juga kepada Udo, tidaklah saya bersuamik an Udo. Jan gankan ke Padang. Ke laut api sekalipun saya turutkan, jika Ud o m au me mbawa s aya, an ak yatim ini. Lain tid ak ha nya Udolah bagi saya, ketika pan as tempat berlindung, waktu hujan tempat berteduh." "Saya sudah maklum tent ang ha timu. Bukankah b aik juga kita mufakat apa y ang h arus k ita ke rjakan. Kalau dem ikian, baiklah. Besok saya hendak menghadap Hoofdcommissaris, akan memohonkan permintaan, mudah- mudahan dik abulkannya dan dapat pertolongan pula daripadanya." Pada kee sokan har inya p agi-pagi Midu n pergil ah k e kantor Hoofdcommissaris. Dar i j auh Midun sudah dipanggil Hoofdcommissaris, karena wa ktu ia akan masuk kan tor, suda h kelihatan kepadanya. Senang benar hati tuan it u bertemu dengan d ia, karena t idak saja M idun sudah ber tanam budi kepadanya, dalam pekerjaan pun cakap dan terpuji pula. "Apa k abar, Midun?" ujar Hoof dcommissaris. " Ada b aik s aja dalam pekerjaan?" "Baik, Tuan," ujar Midun dengan hormat, "tidak kurang suatu apa." "Sekarang apa maksudmu datang kemari?" "Jika t ak a da alang an pada Tu an; saya ad a hendak memohonkan permintaan sedikit." "Boleh, katakanlah apa yang hendak kamu minta itu!" "Sudah hampir enam tah un saya di sini, ingin benar say a hendak men emui ibu dan adik-adik saya. Entah masih hidup juga mereka itu sekarang entah tidak. Oleh sebab it u jika izin Tuan, saya hendak memohonkan, bagaimana baiknya agar citacita saya itu sampai." "Jadi Midun ingin bekerja di negeri sendiri?" "Saya, Tuan. Tetapi kala u tak ada alangan pad a Tuan dan dengan pertolongan Tuan jua." "Baiklah. Bu atlah rekes kepada Re siden Padang. Sesudah


kamu buat, berikan kepada saya. Nanti saya s endiri mengirimkan ke Padang." "Terima kasih banyak, Tuan," ujar Midun dengan girang. Dengan petunjuk beberapa oran g pegawai kantor itu, maka dibuatlah oleh Midun rekes ke pada Re siden Pa dang memohonkan suatu pekerjaan di Sumatra Barat. Setelah sudah, lalu diberikannya kepada Hoofd commissaris. Kemu dian ia perg i menjalankan pekerjaannya seperti biasa. Sepuluh hari kemudian daripada itu, pagi-pagi, ketika Midun mengenakan pakaian di rumahnya, kedengaran olehnya di muka orang mengatakan "Pos". Halimah segera keluar. Tidak lama ia kembali, lalu berkata, "Telegram, Udo." Setelah ditekan Midun surat tanda penerimaan telegram itu, diletakkannya di at as meja. Sesudah b erpakaian, dengan darah berdebar-debar dan har ap-harap cemas, lalu dibukanya telegram i tu. Ti ba-tiba i a terperanja t, ka rena di da lam telegram itu tersebut, bahwa Mi dun diangkat jadi assisten demang d i negerinya s endiri, dan me sti selekas-lekasnya berangkat. Tidak dap at dikat akan bagaimana k egirangan hati Midun masa itu. Diciumnya an aknya beberapa kal i akan menunjukkan sukacitanya. Halimah j angan dikatakan lagi. Amat giran g hatinya karena suaminya menjadi assisten demang. Dengan suka dan girang, Mi dun be rangkat ke kantor Hoofdcommissaris. Sa mpai di s ana, i a terus s aja masuk ke kamar H oofdcommissaris, sa mbil memegang surat kawat di tangannya. Midun berkat a dengan gagap, diunjuk kannya telegram itu katanya, "Sa ya diangk at jadi a ssisten demang d i negeri s aya, Tuan!" Hoofdcommissaris membaca telegr am itu. Setelah diba canya, ia pun berkata deng an g irang, "S elamat, sel amat, M idun! Yang ka mu c ita-citakan sudah dap at. Keangkat anmu ini tentu menyenangkan hatimu, karena ka mu dipindahkan ke negerimu sendiri." Hoofdcommissaris itu ber diri, lalu d itepuk-tepuknya bahu Midun. Maka ia pun berk ata pula, katanya, "Pemandanganmu sudah lu as, pengetahu anmu pun sudah dal am. Sebab itu pandai-pandai me merintah dan me majukan nege rimu. Say a harap kamu hati-hati dalam pekerjaan, jangan kami dapat malu karena kamu . Jika k amu rajin bekerja,tidak lama t entu kamu


diangkat jadi demang. Per gilah sekarang juga menghadap Tuan Residen, m emberitahukan keangkata nmu ini. Dial ah yang terutama mengenalkan kamu dalam hal ini. Balik dari sana kemari lagi. Nanti saya buat sepucuk surat untuk tuan Residen Padang. Kamu harus berangkat dengan lekas ke Padang." Midun tid ak dapat menj awab perkataan Ho ofdcommissaris lagi, karena disuruh pergi. Deng an menganggukkan kepala saja, Midun terus pergi menghadap Tuan Residen, akan mengucapkan terima kasih atas usulnya itu. Sepekan kemudian d aripada itu, Midun dua lak i istri dan Manjau berangkatlah ke Pada ng. Dengan selamat dan t idak kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk Bayur. Setelah diantarkannya istrinya ke rumah salah seorang kenalannya di sana, Midun terus menghadap Tuan Residen akan memberikan surat dari H oofdcommissaris Betawi. Surat itu dib aca Tuan Residen , dan samb il member i sel amat, M idun dinas ihatinya dengan panjang lebar. Setelah itu ia kembali pulang ke tempatnya menumpang. Midun denga n istr inya pe rgi mengunjungi kubur ibu Halimah. Sudah itu ia perg i mendapatkan Pak Kart o ke G anting. Amat girang hati P ak Karto bertemu dengan Midun. Apal agi setelah mendengar kabar, bahwa Midun sudah menj adi assisten demang, i a sangat ber sukacita. Ma ka ditinggalkan Midun uang f 100,- untuk Pak K arto. Disuruhnya ganti kubur ibu Halimah dengan batu, lebihnya untuk Pak Karto. Pada keesok an harinya pagi-pagi, M idun berangkat ke Bukittinggi. Maka sampailah me reka itu dengan selamat di negeri tumpah darahnya. Midun pergi menghadap Tuan Assisten Residen, akan memberit ahukan bahw a ia sudah datang dan memohonkan perlop barang sebu lan, karena ia sudah 6 tahun tidak pul ang ke negerinya. Permintaan nya itu dikabulkan oleh Assisten Residen. Adapun di k ampung Midun pada hari itu Tu an K emendur mengadakan rap at be sar. Su dah 3 bulan lamany a kampung Midun dengan daerahnya diwakili oleh demang lain memerintah di situ, sebab belum datang gantinya. Rapat hari itu ialah rapat besar, ak an menentukan penghulu-penghulu, mana yang harus diberi ber surat dan mana yang t idak. Oleh sebab itu, se gala penghulu kepala dan penghulu-pe nghulu yang ternama hadir belaka, membicarakan bagaimana caranya pengatur hal itu. Rapat hampir habis, yaitu kira-kira pukul 11, Midun laki istri


dan Manjau sampai di kampungny a dengan selamat . Didapatinya or ang sedang r apat di pasar di kampun gnya dan Tu an Kemendur ada pula di sana. Maka Midun pun pergilah menemu i Tuan Kemen dur. Setelah bebera pa lamanya Midun bercakap dengan Tuan Kemendur, Tuan Kemendur memberitahukan pada kerapatan, bahwa Midunlah yang akan menjadi assisten demang di negeri itu . Sesudah itu Midun menerangkan pula dengan pandak, atas kepindahannya dari Betawi ke negerinya sendiri. Datuk Paduk a Raja, mamak Midun yang masa itu ada pula hadir dalam rapat itu, melomp at k arena girang mendengar kabar M idun menjad i a ssisten de mang. Dengan suka amat sangat ia pu n pergi mendapatkan kemenak annya. Baru saja Midun mel ihat mamakny a, dengan segera ia menj abat t angan Datuk Paduka Raja. Ke duanya berp andang-pandangan, ai r matanya berlinang-lin ang, karena pertemuan yang san gat menyenangkan hati itu. Segala penghulu kepala dan penghulupenghulu bersal am kepada Midun dengan hormatnya. Bagaimana pulalah halny a deng an P enghulu Kepala Kacak? Dengan malu dan takut, ia datang juga bersalam kepada Midun. Itu pun sudah kemudian sekali, yakni setelah orang-orang habis bersalam dengan Midun. Midun sangat hormat dan merendahkan diri kepada K acak. Dirasanya t angan Kacak gemetar bersalam dengan dia. Sedan g bersalam, Midun berkat a, "Senang benar hati saya melihat Engku sudah menjadi penghulu kepala. Karena Engk u sah abat saya ya ng san gat akrab masa dahulu, tentu saja kita akan dapat bekerja bers amasama memajukan negeri kit a. Sebab itu saya ha rap, moga- moga pergaulan kit a sekarang mendatangkan kebaikan kepada negeri ini." Kacak ketakutan, warna mukanya pucat seperti kain putih. Sepatah pun ia tid ak be rani me njawab perkataan Midun itu. Segala penghulu-penghulu dan penghul u kepala yan g lain amat heran, karen a Midun san gat hormat dan merendahkan diri kepada Penghulu Kepala Kacak. Apalagi mel ihat muka Kacak yang pucat itu, semak in takjub orang memandan ginya. Tetapi penghulupenghulu yang mengetahui hal Kacak dan Midun masa dahulu, mengangguk- anggukkan kepala saja, karena merek a maklum akan sindiran assisten demang yang demikian itu. Rapat itu disudahi sebab sudah habis. Midun suami istri dan Manjau se rta ma maknya terus ke rumah familinya. Di jal an dikabarkan Datuk Paduka Raja, bahwa ibu Midun baru sepekan di ru mah. I a pergi k e Bonjol menurutkan Maun bekerja.


Sebabnya Maun ke Bonjol, dite rangkan Datuk Paduka Raja, bahwa Mau n selalu diganggu Pen ghulu Kepal a Kacak di kampung. Kepulangan ibu nya itu hanya karena hari akan hari raya saja. Baru saja Midun naik ke rumah, sudah tamp ak ke padanya ibunya, Juriah, dan sahabatnya-sekarang telah menjadi iparnya duduk di tengah rumah. Mereka itu berlompatan melihat Midun dan Manjau. Tak ubahnya sebagai orang kematian di rumah itu. Mereka itu empat be ranak berpeluk-pelukan dan bertangistangisan amat sangat. Lebih- lebih Midun dan Maun dua oran g sahabat yan g sangat akrab dahulu. Tidak in saf, kedua mereka itu lagi, bah asa ia sudah beri par besan. Sama-sama tidak mau melepaskan pelukan masing-masing. Halimah sendiri turut pula menangis melihat pertemuan sua minya itu. Ad a se tengah ja m lamanya, barulah tenang pula di rumah itu. Tidak berapa lama antaranya, Midun berka ta, "I nilah menantu Ibu, namanya Halimah. Dan ini cucu Ibu, namanya Basri." Ibu Midun baru in saf ak an di ri, bahwa beserta Midun ada pula menantu dan cucunya. Halimah segera mendapatk an mentuanya lalu menyembah. Ibu Midu n mendekap menantunya itu. Kemudian diambilnya cucunya, dipangku dan diciu mnya beberapa kal i. Maka Hal imah dipe rkenalkan Midun dengan seisi rumah, dan diterangkannya ja lari ap a kepad anya oran g itu masingmasing. Ratap t angis mulanya tadi, bert ukar dengan girang dan suka. Tertawa pun tidak pula kurang. Masing-masing menceritakan halnya sejak bercerai. Ibu Midun bercerita sambil menangis karena sedih at as k ematian Pak Midun. Maka Midun pun berkata, katanya, "Janganla h Ibu kenangkan juga hal yang sudah-sudah itu. Harta dunia da pat ki ta ca ri. S ekarang ka mi sudah pulang, senangkanlah hati Ibu." Kabar M idun menjad i assisten demang di negerinya itu, sebentar saja sudah tersiar ke selu ruh kampun g itu. Amat banyak teman sejawat Midun dahulu datang mengunjunginya. Haji Abbas dan Pendekar Sutan da tang pula ke rumah. Sehariharian itu tidak ubahnya sebagai orang beralat di rumah gedang itu. Hanya famili ayah Midun saj a yan g tidak datang. Agaknya mereka itu malu dan takut me nemui M idun, karena perbuatannya yang sudah-sudah itu. Pada keesok an harinya, Midun mufakat den gan Datuk Paduka R aja dan Maun, akan membuat rumah dari batu untuk


Juriah. Be gitu pula akan me mbeli sawah untuk ibunya dua beranak. Lain daripada itu, Midun hendak membuat gedung pula untuk t empat tinggalnya dengan anak istrin ya. Sesudah permufakatan itu, Datuk Paduka R aja berkata, "Su dah ha mpir 50 t ahun umur saya, t ak sanggup lagi say a memegang gelar pusaka nenek moyan g k ita. Tida k k uat lagi rasanya saya memegang j abatan in i, s ampai kepad a ' mati bert ongkat bud i'. Oleh sebab itu saya hendak 'hidup berkerelaan' den gan Midun. Midun sekarang su dah menjadi assisten de mang, jadi sudah layaknya pu la memegan g gelar itu . Bahk an sudah pada tempatnya benar-benar." "Bagaimana pikiran Mamak, sa ya menurut," ujar Midun. "Tapi mufakatlah Mamak dahulu dengan kau m kel uarga kita, karena gelar itu pusaka kita bersama." "Hal itu sudah mestinya. Saya rasa tentu tidak akan seorang jua kaum kita yang akan membantahnya." Sepekan kemudian daripada it u, Midun dijadikan penghulu, bergelar Datuk Paduka Raja. Oleh sebab itu Midun mengadakan peralatan yang sangat besarnya . Di sembelihnya b eberapa ekor jawi dan kerbau untuk peralatan itu. Peralatan itu diramaikan dengan tari, pencak, gung, telempong, dan sebagainya, segal a permainan anak negeri ada belaka. Sungguh alamat ramai, dari mana-mana orang datang. Dari bukit orang menurun, dari lurah orang mendaki yang bu ta datang berbimbin g yang lumpu h datang berdu kung, yang patah datang bertongk at. Tuan Luhak dan Tuan Kemendur pun datang pul a mengunjungi peralatan itu. Begitu pula assisten de mang dan demang banyak yan g datang ke peralatan itu. Setelah selesai peralatan itu, Datuk Paduka Raja pun memerintahlah di negerinya. Deng an su ngguh hati ia bekerja memajukan negeri. Karena anak negeri amat suk a diper intahi D,atuk Padu ka Raj a, m akin seh ari n egeri an ak makin maju. Apalagi karena assisten demang itu sudah luas pemandangannya dan banyak pengetahuannya, bermacam-macam ikhtiarnya untuk memajukan negeri. Demikianlah hal Midun gelar Da tuk P aduka R aja, seorang yang amat baik budi pekertinya itu. Dengan sabar dan tulus ikhlas diterimanya segala cobaan atau bahaya. Biarpun apa jua yang terjadi atas dir inya. Midun tidak pernah berputus as a, karena ia maklum, bahwa tiap-tiap celaka itu ada gunanya atau kesengsaraan itu kerap k ali membawa nikmat. Imannya teguh


dan tidak pernah hilang akal, kendatipun silih berganti bencana yang datang kepadanya. Kare na pengharapannya yang tidak putus-putus itu, selalu ia mengikhtiarkan diri akan memperbaiki nasibnya. Adapun penghulu kepala musuh Datuk Paduka Raj a yang sangat ben gis dahulu itu , sejak pert emuan di pasar w aktu assisten demang baru dat ang, sudah melarikan diri entah ke mana. Rup anya ia takut d an ma lu kepada Datuk Paduka Raja, musuhnya dahulu. Dan bol eh jadi ju ga sebab yang lain maka ia melenyapkan diri itu. H al itu segera diberit ahukan Datuk Kemendur. Maka Tuan Kemendur bersama dengan juru tulisnya datang dari Bukittinggi akan memeriksa buku-buku dan keadaan beberapa uang kas negeri. Sete lah diperiksa, ked apatan ada beberapa ru piah u ang b elasting yang tidak d isetornya. Kacak dicari, didakwa menggelapkan uang belast ing. Sebulan kemudian da ripada itu, K acak da pat d itangkap o rang di Lubuksikaping. Dengan ta ngan dibelenggu, ia pun dibawa polisi ke Bukittinggi terus dimasukka n ke penjara. Enam bulan sesudah itu, perkar a K acak di periksa. K arena terang ia bersalah, maka Kacak dihukum 2 tahun dan dibuang ke Padang.

SELESAI

www.fotoselebriti.net



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.