Didaktika Edisi 41

Page 1

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 1


2

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA


Salam Merdeka, Kami tidak ingin beralasan atas keterlambatan terbit, karena memang, ya telat terbit. Beragam kritik, bertubi cercaan, banyak umpatan kami terima dengan lapang dada sebagai amunisi guna memperbaiki diri. Akhirnya kami terbit, bukan pula menjadi jumawa, hanya bersyukur, kami ternyata bukan beronani. Keterlambatan ini berpengaruh pada kecepatan informasi yang banyak luput diberitakan disini, makanya dalam edisi kali ini kami berinisiatif menambahkan rubrikasi. Kami menamainya Lintas, karena memang ‘selintas’ tapi memiliki bobot. Dalam Laporan Utama kami mengangkat tentang kurikulum entrepreneurship. Sebuah konsep pendidikan yang gencar dilakukan pemerintah sejak 2009. Niatnya adalah bagaimana bisa menanggulangi banyaknya lulusan perguruan tinggi yang tak tertampung wadah kerja. Pemerintah mencoba membangun kemandirian dalam diri mahasiswa. Sialnya, konsep ini sekedar asal comot dari luar negeri, kemandirian yang dicita-citakan justru mengabaikan nilainilai luhur pendidikan, kreativitas hanya dimaknai bagaimana bisa mendapat uang. Tak cuma mahasiswa, universitas juga dituntut untuk berkreatifitas dalam mencari uang, setelah banyak legalisasi lewat perangkat otonomi universitas. Maka pimpinan universitas, kini punya tugas tambahan guna manafkahi kampus. Yang punya banyak sumber produksi bisa bernafas lega, yang tidak punya, ya terpaksa menggerus mahasiswanya. Contohnya di UNJ, tahun 2011 terjadi kenaikan biaya hingga 100%, bukan cuma yang masuk, yang ingin keluar juga tetap di perah pundi-pundinya, ada juga kenaikan biaya wisuda hingga 30%. Maklum, UNJ kebutuhan UNJ sedang banyak-banyaknya karena adanya pembangunan ditambah UNJ belum punya potensi yang bisa menghasilkan uang. Dalam rubrik Laporan khusus, kami menyajikan tentang superioritas militer di Indonesia. Pola patron budaya patron ditambah ke-jumawa-an nya membuat kampus juga kena imbasnya. Sejarah mencatat, sejak kemerdekaan pun banyak kekerasan yang dilakukan militer di dalam kampus. Tak lebih tak kurang hanya bertujuan sebagai suksesi status quo. Padahal, universitas sebagai ruang akademik punya statuta untuk mengatur kehidupannya sendiri. Dalam Seni Budaya kami mengangkat kesenian Samrah, sebuah kesenian tanah Betawi yang lahir dari akulturasi budaya dari penjuru dunia, namun kini mulai rapuh diterjang zaman. Dalam Kampusiana, kami mengangkat mekanisme Bidik Misi yang amburadul di UNJ, salah sasaran, pemotongan biaya beasiswa jadi hal yang tidak patut dilakukan. Belum lagi ketatnya pengaruh Bidik Misi atas kehidupan akademik mahasiswa yang mempengaruhi hidup organisasi kampus. Ibarat menonton film, kita tidak akan benar mengetahui cerita hingga kita habis menonton, maka kami persilahkan pembaca untuk melahap habis sajian Didaktika edisi ini.

redaksi

Diterbitkan oleh : Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Negeri jakarta DIDAKTIKA ISSN: 0215-7241 Pelindung : Pembantu Rektor III Pembimbing : Irsyad Ridho M. Hum Pemimpin Umum : Jabbar Ramdhani Sekretaris Umum : Sari Wijaya Bendahara Umum : Citra Nuraini Pemimpin Redakasi : Anggar Septiadi Sekretaris Redaksi : Rama Dwi Cahya Staff Redaksi : Jabbar Ramdhani, Ranthy Aprilly, Citra Nuraini, Sari Wijaya, Satrio Priyo Utomo, Muhammad Idris, Ferika Lukmana Sari, Kurnia Yunita Rahayu, Indra Gunawan, Indah Hidayatie Editor : Kahfi, Jabbar Ramdhani Layouter : Anggar Septiadi Ilustrator : Anggar Septiadi Fotografer : Satrio Priyo Utomo Cover : Amy “simonyetbali” Zahrawan Distribusi : Kurnia Yunita Rahayu, Ferika Lukmana Sari, Indah Hidayatie Alamat Redaksi : Gedung G, lt 3, Ruang 304 komplek Universitas Negeri Jakarta. Jl. Rawamangun Muka no.1, Jakarta Timur, Jakarta, 13220 Telp : 021-47865543. Email : redaksi@didaktikaunj.org Website : didaktikaunj.org

Redaksi menerima artikel maksimal lima halaman folio spasi ganda atau 10000 karakter. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah makna dan isi. Artikel yang dimuat akan mendapat imbalan yang layak dari redaksi.

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 3 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 3


DAFTAR ISI

DIDAKTIKA Berpikir Kritis dan Merdeka

Laporan Utama

14 Cuma Jual atau Sewa

Disisipinya entrepreneurship pada kurikulum kampus masih terimplementasi sebagai usaha jual atau sewa. Jauh dari makna seharusnya sebagai penciptaan kreasi, inovasi, dan terobosan. Program entrepreneur dari pemerintah pun hanya meningkatkan hasrat pragmatis mahasiswa.

Redaksi 3 Daftar Isi 4 Surat Pembaca 5 Lintas 6 Beranda 9 Laporan Utama 10 - Opini 22 - Wawancara 24 Kampusiana 28 Opini Mahasiswa 34 Opini Lepas 36 Ruang Sastra 38 Seni Budaya 40 Laporan Khusus 44 - Wawancara 53 Karya 54 Tamu Kita 56 Resensi 57 Kontemplasi 58 Suplemen Buka Tengah

Laporan Khusus

46 Prosedur Tetap yang Meresahkan

Kampusiana

29 Peluntur Budaya Berorganisasi Mau tak mau mahasiswa yang mendapat beasiswa Bidik Misi harus menjadikan kegiatan akademik menjadi satu-satunya tujuan utama berkuliah. Tuntutan untuk cepat lulus, dan memiliki indeks prestasi yang tinggi jadi syarat untuk mempertahankan Bidik Misi. Sekalinya berorganisasi, hanya bersifat oportunis. eksistensi organisasi kampus terancam.

4

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Banyaknya aksi massa yang berujung tindak kekerasan nampaknya membuat Kapolri, Bambang Hendarso Danuri perlu membuat kondisi stabil. Maka pada Oktober 2010 diterbitkanlah Prosedur Tetap nomor 1/X/2010. Ketiadaan batasan yang pasti tentang tindak kekerasan yang dilakukan massa membuat aparat bisa saja bertindak sewenang-wenang dengan alasan menjaga keamanan

Suplemen

Buka Tengah

Kuningan Tinggal Kenangan Dahulu, Kuningan pernah jaya dengan label pemasok susu sapi terbesar di Jakarta. Kini, semua itu tinggal kenangan. Pembangunan yang sejak Orde Baru gencar dilakukan di Kuningan sebagai Central bussiness District tak menyisakan kejayaaan itu.


SURAT PEMBACA Mahal dan Tak Berkualitas

SEBAGAI mahasiswa FIS (Fakultas Ilmu sosial), sudah sejak awal kuliah saya mempunyai keluhan terhadap kampus. Semisal, AC yang tidak berfungsi, kelebihan mahasiswa karena kelas terlalu sempit, proyektor yang jarang dapat dipakai karena keterbatasannya, berebut kursi, dan banyak lagi. Saya pikir saat sudah selesai berkuliah semua akan berakhir dan menuju lebih baik. Nyatanya tidak! Saya yang sudah menyelesaikan studi dan siap untuk wisuda harus mengeluh lagi. Adalah soal kenaikan biaya wisuda yang jadi puncak keluh saya selama berkuliah. Keputusan mematok harga wisuda yang mahal bukan cuma menjengkelkan saya, melainkan para wisudawan lainnya. Dengan biaya Rp825.000 ada kenaikan biaya lebih dari 50% dari sebelumnya membuat wisudawan banyak berpikir liar, “Jangan-jangan praktik korupsi sudah menular ke kampus kita yah?” Saya bilang mahal bukan tanpa alasan. Saya bilang mahal karena tidak sesuai dengan yang saya terima. Biaya sebesar itu ternyata tidak termasuk foto dan plakat, wisuda di gedung kampus B yang notabene kepemilikan UNJ sendiri, dan pasti UNJ tidak mengeluarkan biaya penyewaan gedung? tempat wisudanya pun tidak ‘kece’. Belum lagi saat sesi wisuda yang panas, ditambah durasi yang lama karena dibagi dua sesi. Semestinya dengan biaya sebesar itu bisa menyewa tempat yang lebih besar, semisal JCC (Jakarta Convention Centre) agar lebih memadai dan lebih manusiawi. Setidaknya agar para wisudawan tidak mendapat cemoohan dari keluarga yang akan kami gandeng ke wisuda kami nanti mengenai tempat wisuda kami. Wisuda UNJ kali ini benar-benar sesuatu sekali. Bagaimana tidak, wisuda yang seharusnya menggembirakan hati, nyatanya menjadi alasan utama keluhan dan hujatan yang keluar dari para calon wisudawan-wisudawati. Diprotes, sudah, tapi sepertinya perlawanan itu tidak sesuai harapan. Harga wisuda tidak ada nego, bahkan transparansi hitungan biaya yang dituntut para calon wisudawan tidak digubris sedikitpun.

Parahnya, dengan lonjakan harga setinggi itu, pihak kampus seaakan tidak peduli tentang peningkatan mutu dan kualitas. Saya dapat toga dengan ukuran yang tidak sesuai dengan tubuh saya, padahal saat pendaftaran sempat ditanya minta ukuran apa. Ah, cuma basa-basi ternyata. Jadi saya punya urusan ekstra untuk mengecilkan ukuran toga agar pas dengan tubuh saya pun toga-nya juga aneh, tidak ada medali seperti umumnya. Semoga hal ini dapat menjadi kritik yang didengarkan dan dapat merubah kondisi, dengan perbaikan mutu dan kualitas kampus. BERTHY BERNADETTA Wisudawati 2011

Cari-cari Tempat Ibadah

SEBAGAI organisasi mahasiswa bagi penganut agama, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) punya kegiatan rutin yaitu mengadakan ibadah persekutuan untuk mahasiswa kristen di UNJ tiap jumat pukul 11.45 wib-13.30 wib. Dulunya ibadah tidak pernah terhambat oleh masalah gedung sebagai tempat peribadahan, karena keberadaan teater besar dan Gedung LPMP yang masih dapat digunakan Namun dua tahun terakhir masalah tempat pelaksanaan ibadah menjadi masalah krusial bagi internal PMK, hampir beberapa kali ibadah persekutuan jemaat terancam batal dilaksanakan karena ketiadaan gedung. Sempat pada 2010 angin segar berhembus. FIS (Fakultas Ilmu Sosial) berbaik hati meminjamkan Ruang Serba Guna (RSG) FIS guna beribadah jemaat PMK. Hanya saja itu sementara, ada anjuran agar pelaksanaan ibadah PMK di RSG FIS tidak dilaksanakan rutin. Alasannya, RSG bisa dipakai untuk kegiatan FIS sewaktu-waktu, pun karena letak RSG yang dekat dengan ruang perkuliahan yang memungkinkan dapat mengganggu proses perkuliahan. Biar sementara, ucapan terima kasih patut dihaturkan buat FIS karena telah menyediakan tempat peribadahan. Saat RSG FIS tak lagi bisa digunakan, PMK harus mengadakan peribadahan

di Gedung A, lantai 2. Secara kuantitas, Gedung A bukan tempat yang layak buat dijadikan tempat peribadahan PMK, luasnya hanya 5x7 meter, sedangkan jemaat PMK ada sekitar 200 orang. Makanya Gedung A tidak layak digunakan. Belum lagi fasilitas yang sangat minim, AC yang tidak berfungsi dan alas karpet untuk tempat duduk jemaat yang sudah sangat kusam dan berdebu. Kenyataan ini berpengaruh kepada minat jemaat PMK UNJ untuk menghadiri ibadah persekutuan, karena di dalam benak mereka yang dibayangkan adalah suasana gedung sempit yang panas, pengap, dan berdebu. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat presensi hadir jemaat PMK UNJ setiap minggunya. Ternyata ada korelasi antara tempat beribadah dengan minat jemaat untuk mengikuti ibadah persekutuan, yang makin lama makin menurun. Usaha untuk mendapatkan haknya sebagai mahasiswa UNJ dan sebagai penganut beragama, juga turut dilakukan PMK. Beberapa kali PMK mencoba meminjam tempat yang lebih layak dan bisa digunakan secara berkelanjutan dan tetap. Hasilnya, kadang berhasil kadang tidak, karena keberadaan gedung tersebut sering digunakan. Sudah sejak lama pula PMK ingin ‘mengadu’ kepada rektorat, sayangnya hal tersebut urung terwujud, dengan beragam alasan rektorat yang terkadang buat hanya buat kesal. PMK yang harusnya dinaungi, dibimbing, dan diperhatikan kondisinya justru mendapat perlakuan sebaliknya, PMK harus berjuang sendiri dalam mencarikan gedung tempat beribadah, walaupun harus beribadah ditempat yang sangat tidak layak, dan harus menumpang. Malah bukan mustahil PMK mengadakan ibadah di lahan parkir atau Teater Terbuka, ketimbang berdebat siapa yang berhak menggunakan gedung. Semoga ada titik cerah dalam usaha tersebut dan kepekaan dari pihak yang semestinya bertanggung jawab. WAHYU PRATAMA TAMBA Persekutuan Mahasiswa Kristen UNJ

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 5


LINTAS Sowan-sowan a la Tokoh Lintas Agama SEJUMLAH tokoh agama kembali mendeklarasikan ‘Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Pembohongan’ (9/2). Kali ini UNJ menjadi tempat terselenggaranya acara yang turut menghadirkan Forum Rektor Indonesia. Pertemuan yang mengambil tema ‘Keberpihakan Pendidikan’ ini mengungkapkan sejumlah kebohongan pemerintahan SBY jilid dua. Hal ini berdasar janji-janji politis SBY sebelum pemilu yang mencoba membenahi permasalahan bangsa, salah satunya perihal korupsi. Yang sampai hari ini belum juga terealisasi. “Kita sebagai mahasiswa miris melihat kondisi bangsa kini. Semoga dengan adanya ini menjadi stimulus kebangkitan,” ungkap Anto, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Acara yang dihadiri Din Syamsudin, Syafii Maarif, Franz Magnis Suseno, serta beberapa tokoh nasional lainya ini menjadi ambigu. Dikarenakan tema pendidikan

6

Kabar Buruk untuk Mahasiswa Baru POLA pengelolaan keuangan UNJ yang bernama Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU). Kembali memberi kejutan kepada sivitas akademika. Hal ini terlihat pada naiknya jumlah biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa baru angkatan 2011. Kenaikan biaya pendidikan yang terjadi di setiap fakultas berkisar tujuh puluh persen ini mencakup dana di luar SPP, seperti DPPS, dan DPSP bagi mahasiswa yang diterima melalui jalur mandiri. Kebijakan yang dikeluarkan oleh rektor ini berakibat pada mundurnya ratusan mahasiswa yang telah diterima sebagai mahasiswa UNJ. Dikarenakan tidak sanggup membayar biaya semester awal. “Ada dua orang teman saya yang tidak jadi masuk UNJ, karena tahu UMB itu termasuk jalur non reguler. Dikarenakan tidak mampu membayar biaya yang begitu mahal. Padahal namanya sudah tercantum sebagai

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

mahasiswa UNJ.” imbuh Santi, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris 2011. Kenaikan biaya pendidikan ini juga mendapat mosi tidak setuju dari sejumlah elemen mahasiswa. Yang kemudian menyelenggarakan aksi demonstrasi menuntut penurunan kenaikan biaya pendidikan tersebut. Tapi usaha yang dilakukan oleh BEM UNJ dan Solidaritas Pemuda Rawamangun (Spora) ini tidak membuahkan hasil. Rektorat beralasan, kenaikan biaya pendidikan ini didasarkan pada ketidakmampuan UNJ untuk membiayai sejumlah biaya perawatan gedung dan pemenuhan kebutuhan fakultas. “Rasionalisasi yang diungkapkan rektorat atas kenaikan biaya pendidikan hari ini adalah implikasi dari otonomisasi kampus. Pembangunan dijadikan alasan padahal inti dari semuanya adalah mengeruk keuntungan,” tutur Yusuf Budi, selaku aktivis Spora.

yang diangkat dalam forum ini sendiri kurang dikemukakan sejak awal deklarasi. Sehingga acara yang diselenggarakan di kampus berstatus Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) hanya menjadi wacana belaka. Biar begitu hadirnya kekuatan yang digalang sejumlah tokoh lintas agama ini mampu menarik perhatian

sejumlah rektor beberapa perguruan tinggi yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia. Untuk duduk sebangku membicarakan kondisi bangsa hari ini. “Indonesia merdeka juga atas hasil urun rembuknya sejumlah tokoh agama dan kaum intelektual,” kata Anhar Gonggong, Sejarawan yang juga diundang dalam acara tersebut.


Aksesibilitas untuk Disabilitas

SEJUMLAH elemen mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Peduli Aksesibilitas (Kompak) melakukan aksi demonstrasi keliling kampus. Aksi yang juga menghadirkan mahasiswa berkebutuhan khusus (disable) ini berakhir di depan Gedung Rektorat. Mereka mengemukakan bahwa selama ini pembangunan yang tengah dilakukan UNJ tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dalam orasinya, Cahyadi yang tergabung dalam Kompak mengatakan, hal ini menjadi sebuah cerminan bahwa institusi pendidikan telah melanggengkan diskriminasi. “Pendidikan untuk semua hari ini tidak dimaknai sebagai pemenuhan hak untuk semua mahasiswa tanpa terkecuali,” katanya. Hal ini berangkat dari tidak adanya sarana khusus bagi kaum disable. Ketiadaan fasilitas seperti, papan pengumuman braille atau simbolsimbol yang mudah dimengerti oleh disabilittas netra, Ramp (jalur landai) bagi disabilitas daksa, lift, dan masih banyak lagi. Menjadi keluhan yang

tidak hanya milik kaum disable. Ini mengingatkan kita pada gagasan perihal pendidikan untuk semua yang seharusnya tidak mengenal batasan sosial, ekonomi dan fisik. Pembantu Rektor Bidang Administrasi & Keuangan UNJ Suryadi mengatakan, masih kesulitan mencari dana perihal pemenuhan kebutuhan gedung yang aksesibiltas. “Dari sejumlah dana hibah IDB kita fokuskan untuk pembangunan. Masalah belum adanya fasilitas yang aksesibiltas mungkin dikarenakan belum adanya maket untuk itu. Sedang proses, kami akan segera bertindak,” terang Suryadi.

jadi Rp800.000. Kenaikan biaya wisuda ini tidak diimbangi dengan fasilitas yang baik, juga pelaksanaan yang masih bersifat seadanya. Keadaan ini berangkat dari kondisi pelaksanaan wisuda sebelumnya. Dimana ruangan pada wisuda semester ganjil ini menempati gedung yang sama. Jumlah wisudawan dan wisudawati semester sebelumnya tidak tertampung, bahkan sampai ada yang duduk di pelataran gedung. Dalam sebuah situs jejaring sosial, Purnaning menuliskan, “Wisuda bukan lagi dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa.” Kenaikan ini beralasan, pihak UNJ mengaku mengalami defisit anggaran pada pelaksanaan wisuda sebelumnya. Sehingga hal ini dibebankan kepada calon wisudawan dan wisudawati semester ganjil. Dengan keadaan seperti ini, dari 2500 peserta wisuda UNJ memperoleh uang sejumlah dua miliar. “Kami tidak bisa menurunkan biaya wisuda semester ini. Tapi, diusahakan semester depan tidak akan naik,” cetus Desfrina, selaku ketua pelaksana wisuda dan Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan (BAAK).

Masuk Susah, UNJ Ciptakan Keluar Sulit ‘Ahli’ SETELAH kenaikan biaya Pemadam pendidikan, PK BLU UNJ kembali menyita perhatian. Kebakaran Biaya wisuda semester genap di UNJ yang rencananya akan dilaksanakan di Gedung Serba Guna, Kampus B UNJ, pada tanggal 24/9. Mengalami kenaikan dari Rp500.000 men-

KAMIS (8/9), terjadi penandatanganan nota kesepahaman kerjasama antara UNJ dan Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Pe-

merintah Provinsi DKI Jakarta. Penandatanganan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M. Pd. selaku Rektor UNJ, dan Dr. Paimin Napitupulu selaku Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Pemprov DKI Jakarta Menandakan terjalinnya kerjasama antar pihak terkait. Hal ini terlihat pada dibukanya kelas khusus karyawan yang biayanya ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta. Untuk menempuh studi di jurusan yang baru tahun ini dibuka oleh UNJ, Fire Protection and Safety Engineering. Dibukanya jurusan baru ini berdasarkan pada kondisi lingkungan Jakarta yang terdiri dari banyak bangunan tinggi dan perumahan kumuh yang rawan terjadinya kebakaran. Sehingga UNJ menargetkan akan melahirkan lulusan yang cakap pada bidang Fire Protection and Safety Engineering. “Kita merupakan pelopor pembukaan jurusan baru ini. Rencananya kerja sama Pemda berupa pemberian bantuan mobil pemadam dan sejumlah lahan praktik,” kata Bedjo Sudjanto, Rektor UNJ.

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 7


8

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA


beranda

E

Software Baru Pendidikan Nasional

nam puluh enam tahun merdeka Indonesia belum mampu bangkit menjadi bangsa mandiri. Persoalan sosial seperti tingginya jumlah pengangguran, problema kemiskinan, tidak meratanya tingkat pengetahuan masih membebani. Tiga hal tersebut setidaknya jadi persoalan utama bangsa. Pendidikan yang diyakini sebagai tonggak majunya peradaban bangsa mendapat cibiran. Pendidikan ditengarai tidak lagi relevan dengan pasar kerja. Karena hanya menghasilkan lulusan yang tidak mampu berpikir kreatif—yang akhirnya menganggur. Kepada mereka disematkan sebutan pengangguran terdidik. Pada 2009 diluncurkan wacana kewirausahaan (entrepreneurship). Hal ini dianggap mampu menyelesaikan permasalahan tingginya pengangguran terdidik dan besarnya angka kemiskinan. Bahkan mampu menggerakkan roda ekonomi bangsa. Tahun Industri Kreatif, itulah nama yang dideklarasikan pemerintah. Beberapa kementerian menyusun agenda untuk menghasilkan wirausahawan sebanyak-banyaknya. Sayang, hanya sekadar agenda sporadis. Tidak ada tujuan utama entrepreneurship: pemberdayaan (empowerment). Pendidikan tinggi jadi sasaran pertama. Laiknya software, strateginya yaitu memasukkan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum institusi. Wamendiknas Fasli Jalal mengatakan pendidikan kewirausahaan bermaksud merubah paradigma lulusan perguruan tinggi; dari job seeker menjadi job creator. Para lulusan musti mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Pertanyaannya, mengapa kewirausahaan malah ditujukan pada pendidikan tinggi? Apakah karena pendidikan tinggi merupakan pusat keilmuan? Nyatanya tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mampu menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Inilah alasan mengapa pembangunan iklim wirausaha disebut sporadis. Dirjen Dikti memang memiliki banyak program entrepreneurship. Ada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang bersifat kompetitif. PKM dilombakan di universitas berbeda tiap tahun dalam Pimnas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Sejak 2009 Dikti juga bekerja sama dengan Bank Mandiri, Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Kegiatan ini dimaksudkan agar mahasiswa mampu menggabungkan kewirausahaan dengan basis keilmuan yang dipelajarinya. Kolaborasi seperti ini berhasil dijalankan di Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, India, dan negara lainnya. Tiap kegiatan, semisal kewirausahaan disokong dengan basis keilmuan yang kuat, berdasar penelitian. Untuk konteks UNJ sebelum 2009 sudah dikenal konsep UNJ BerwawasanWirausaha (BW). Konsep ini ada pada masa Rektor Sutjipto yang diperkenalkan pada 2003. Ketika itu yang dilakukan masih pengenalan. Pada kepemimpinan rektor selanjutnya, konsep ini sem-

pat dilanjutkan. Namun tidak diketahui kelanjutannya. Alhasil ketika pemerintah mewacanakan pendidikan kewirausahaan, seolah UNJ kembali mulai dari nol. Menyekolahkan dosen, menyusun kurikulum dengan sisipan materi kewirausahaan dan menciptakan pusat inkubator mahasiswa berwirausaha. Wacana entrepreneurship tidak hanya ditujukan pada mahasiswa. Wirausaha juga turut diterapkan kampus untuk menjalankan usaha kreatifnya, menambah pendapatan kampus. Skema ini sudah ada dari zaman Sutjipto. Instrumen yang dipakai adalah otonomi. Konsep UNJ BW diciptakan juga sebagai tahapan menuju BHP (Badan Hukum Pendidikan). Namun ketika BHP dicabut upaya otonimisasi kampus masih berjalan. Lewat PP. 66 Tahun 2010 setiap PTN diarahkan mengadopsi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Di atas kertas, kombinasi otonomi kampus dengan kemandirian (entrepreneurship) akan berujung pada pengembangan kampus. Kampus akan bebas mengatur keuangan, sampai taraf kebebasan mengembangkan dunia akademik. Permasalahan muncul ketika kampus belum punya kesiapan. Tidak ada sumber daya intelektual semacam jurnal, karya ilmiah, hasil penelitian yang mampu dijual. Syahdan, langkah yang diambil adalah berlomba mencari hibah. Sesuatu yang ditakutkan ialah ketika usaha-usaha di atas menemui kebuntuan. Kampus akan menjalankan usaha terakhir: maksimalisasi pendapatan dari dalam kampus. Ketakutan terwujud ketika pada tahun ajaran baru ini UNJ menaikkan biaya perkuliahan. Sebenarnya alangkah lebih tepat bila wacana kewirausahaan berikut program terencananya ditujukan pada masyarakat. BPS mencatat bahwa 98 persen unit usaha ekonomi dijalankan melalui kegiatan rumah tangga. Dawam Raharjo dalam Jurnal Prisma memaparkan bahwa pada Orde Baru masyarakat diberikan bantuan ekonomi. Lewat kegiatan simpan pinjam mereka diharapkan mampu menjalankan usaha ekonomi. Dalam praktiknya ekonomi rakyat identik dengan ekonomi keluarga yang bersifat informal. Pada masa depan bentuk perekonomian yang terbangun tersebut musti dihimpun dan dikembangkan melalui gerakan koperasi. Pada masa kini program semacam simpan pinjam itu masih bisa ditemui, contohnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sayang, akses perbankan bagi nelayan dan petani masih minim. Maka kebijakan memberikan pendidikan kewirausahaan kepada mahasiswa bisa dimaknai sebagai upaya ambil jalan pintas. Pemerintah hanya mendompleng nilai strategis perguruan tinggi. Akibatnya orientasi kampus jadi bias. Sementara masyarakat yang lebih membutuhkan dana dan program pengarah malah terbiarkan. Kalau sudah begini, entrepreneuship di kampus tidak dapat lagi dimaknai sebagai software, melainkan virus. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 9


P

ada 2009 lalu Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengeluarkan wacana untuk diterapkannya pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship). Kebijakan tersebut tentu akan merubah konten dari kurikulum yang sedang dijalankan. Pendidikan kewirausahaan ini rencananya akan diterapkan di setiap tingkat satuan pendidikan. Namun, pada pelaksanaannya, yang akan menjadi sasaran pertama adalah pendidikan tinggi. Pemerintah berusaha mengarahkan setiap institusi pendidikan tinggi menjalankan pendidikan kewirausahaan. Di dalam usahanya tersebut, pemerintah tidak akan memulai usahanya dari nol. Sebab, sudah ada beberapa kampus negeri maupun swasta yang menjalankan kurikulum wirausaha ini. Langkah pertama yang ditempuh Kemdiknas (Kementerian Pendidikan Nasional) adalah mengadakan sosialisasi berupa seminar. Maka pada 14 Juli 2009 sebuah seminar bertema “Modernizing Indonesia 21st Century Higher Education with Entrepreneurship” digelar. Hendarman yang ketika itu masih menjabat Kepala Direktorat Kelembagaan Dikti menjelaskan urgensi dilakukannya pendidikan kewirausahaan. Menurutnya, entrepreneurship merupakan jawaban atas relevansi pendidikan Indonesia dengan kondisi perekonomian yang ada, yakni pengangguran membludak, termasuk dari kalangan terdidik. Ia menambahkan, “Kewirausahaan adalah sebuah jalan untuk merubah paradigma para lulusan perguruan tinggi di Indonesia dari yang tadinya job seeker (pencari kerja) menjadi job creator (pembuat kerja).” Fasli Jalal yang kini menjadi Wakil Menteri Pendidikan Nasional melihat faktor lain dari meningkatnya jumlah pengangguran terdidik. Mantan Direktorat jenderal Dikti ini mengatakan, “saya juga melihat bahwa semakin tingginya tingkat pendidikan, maka keinginan menjadi pegawai semakin tinggi,” tutur Fasli di ruang kerjanya. Berangkat dari persoalan ekonomi itulah, pemerintah berkeyakinan bahwa

10 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

REPRO/ISTIMEWA

LAPORAN UTAMA

Tridharma Dulu, Entrepreneurship oleh Jabbar Ramdhani

Pendidikan kewirausahaan akan mumpuni jika sebelumnya kultur aka entrepreneurship merupakan solusi jitu. Pemerintah beranggapan lahirnya kaum terdidik sebagai entrepreneur bisa memangkas angka pengangguran lantas mendongkrak taraf kesejahteraan masyarakat. Efek domino dari pendidikan entrepreneur inipun dikejar dengan serius. Terbukti, pemerintah telah merancang konsep besar (grand design) pendidikan entrepreneur, Kemdiknas dituntut melakukan kerjasama lintas lembaga. Tak kurang dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transportasi ikut berkecimpung. Hasil kerjasama ini berupa progam prospek usaha mandiri dan beberapa kegiatan lain. Hasilnya, program tersebut menghasilkan 400 ribu sarjana wirausaha baru tahun ini. Tak hanya itu, menurut Fasli, pemerintah juga berani mengucurkan dana

mencapai 20 triliun rupiah bagi usaha yang telah berjalan. “Nanti kalau tamat, mereka dapat merebut Kredit Usaha Rakyat (KUR), khususnya mereka yang minimal dua tahun berpengalaman dalam wirausaha,” katanya. Selain kondisi ekonomi sarat pengangguran, sukses negara seperti Amerika dan Jepang, di mana entrepreneur menopang perekonomian nampak berperan pula terhadap hasrat menggebu pemerintah dalam menerapkan program entrepreneur di tiap satuan pendidikan. Apalagi, di dua negara itu, tampilnya entrepreneur sebagai motor roda perekonomian juga tak lepas dari peran perguruan tinggi. Massachusette Institute Technology (MIT), salah satu perguruan tinggi ternama di Amerika, sejak dekade ’80-an menunjukan keberahasilannya sebagai enterpreneurial university. Selama belasan tahun MIT membuktikan bahwa orientasi entrepreneur bagi universitas adalah pilihan


Kemudian Massachusette Institute Technology (MIT), kiblat Entrepreneur University.

ademik telah terbangun baik. tepat. Nada miring yang semula menerpa MIT karena orientasi entrepreneur, dijawabnya dengan melahirkan 4.000 perusahaan yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,1 juta orang dengan omset pertahun sebanyak 232 miliar dolar AS. Bukti menakjubkan inilah yang ingin ditiru. Pemerintah berharap entrepreneur bisa menjadi obat mujarab perekonomian yang tengah sakit. Bahkan, entrepreneur didaulat sebagai jalan keluar untuk menangani pengangguran terdidik. Kuatkan Tridharma Pelaksanaan pendidikan entrepreneur yang kini gencar di perguruan tinggi, ibarat meraba masalah, pemerintah ternyata tak bisa membedakan pangkal dengan buntut. Pasalnya, pemerintah berbulat tekad menerjunkan lulusan perguruan tinggi sebagai entrepreneur, tapi

mereka alpa dengan persoalan sesungguhnya dunia usaha, yakni minimnya produktivitas. Dari sinilah terlihat jelas, pemerintah sudah salah mencangkok kebijakan pendidikan. Padahal, bila meniru MIT, perguruan tinggi bisa berperan layaknya sokoguru perekonomian jika entrepreneur dilandasi dengan ujung tombak penelitian. Terlebih, penelitian ini sendiri memiliki tanggung jawab kepada kepentingan publik, pengabdian dan pengajaran, biasa disebut Tridharma. Sayangnya, sebagaimana pakar pendidikan HAR Tilaar katakan, perguruan tinggi di Indonesia belum cukup mapan dalam mengemban tugas penelitian. Tilaar berpendapat, penelitian bisa lesu karena belum adanya infrastruktur dan suprastruktur. Tak heran andai saat ini, menurut data BPS, usaha industri dan produksi manufaktur hanya menghasilkan sekitar

20 persen untuk PDB (Produk Domestik Bruto). Angka itu terpaut jauh dengan yang dimiliki Amerika, di mana perguruan tinggi subur melahirkan penelitian yang bermanfaat bagi sektor industri. Sejak 2009, pemerintah mencanangkan “Tahun Industri Kreatif ”, harapan pun bertumpu pada perguruan tinggi. Fasli Jalal mengatakan, “Selama di kampus, mahasiswa akan mempraktikkan wirausaha itu dengan dukungan dosendosen sebagai pendamping.” Namun kalau pemerintah menengok India dan Korea Selatan, sungguh hasrat menjadikan perguruan tinggi semata rahim para entrepreneur adalah keliru. Sebagaimana Amerika, dua negara Asia ini memupuk semangat penelitian lebih dulu sebelum beranjak kepada kebijakan entrepreneur. Mereka menyuntikkan nafsu penelitian sebagai investasi membangun bangsa, terutama penelitian di sektor ekonomi. Jalan yang ditempuh yaitu membentuk jalinan kerja sama antara institusi pendidikan dengan unit bisnis. Bangalore, suatu kawasan di India kini mendapatkan sebutan sebagai Sillicon Valley (sebuah pusat bisnis teknologi di Amerika Serikat). Sebab utamanya, di Bangalore sana, unit bisnis turut berinvestasi dengan mendirikan pusat penelitian. Hal ini menjadi sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara institusi pendidikan dengan unit bisnis. Institusi pendidikan mendapatkan sokongan biaya untuk mengadakan sejumlah penelitian. Bahkan di Korea Selatan, unit bisnis saling berlomba mendirikan pusat penelitian di tiap universitas. Terkait mesranya hubungan universitas dengan unit bisnis, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto menerangkan, konsep ini merupakan warisan gagasan pendidikan era Abraham Lincoln, mantan Presiden Amerika. “Pada hakikatnya, universitas itu memang (seharusnya) memainkan peran sebagai lembaga riset,” tegas Soedijarto. Untuk sampai ke tahapan tersebut, kata Soedijarto, universitas di Indonesia rasanya belum mampu. Suatu universitas akan panen penelitian karena mereka Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 11


LAPORAN UTAMA

DIDAKTIKA/ANGGAR SEPTIADI

Monumen Building Future Leaders, simbol Tri Dharma UNJ.

memiliki perpustakaan yang baik, bukan cuma soal kelengkapan buku, tapi juga akses yang mudah, ada niatan dari pejabat universitas, dan para profesor diberikan ruangan tersendiri. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan situasi yang kondusif. Terlepas dari keringnya penelitian di perguruan tinggi, wabah entrepreneur yang sengaja ditularkan kepada tiap satuan pendidikan juga berbahaya, melunturkan peran pengabdian dan pengajaran kepada publik. Sekarang universitas seolah berjalan layaknya mesin pencari untung, nilai ekonomi didahulukan ketimbang tanggung jawab sosial. Bertolak dari kekhawatiran demikian, pemerintah layak menimbang ancaman paham entrepreneur terhadap Tridharma Perguruan Tinggi. Tridharma ini yang terdiri dari penelitian, pengajaran, dan pengabdian merupakan jelmaan harapan besar terhadap perguruan tinggi. Soedijarto mengatakan, “Tridharma Perguruan Tinggi bermakna perguruan tinggi terutama universitas dan institut dalam menyelenggarakan pendidikannya diharuskan menjadi pusat pendidikan, pusat penelitian, pengembangan iptek, dan penggerak pembangunan.� Sederhananya, Tridharma Perguruan Tinggi diterapkan untuk mendorong pendidikan tinggi agar mempertanggung jawabkan keilmuannya. Sehingga universitas maupun institut mampu menyelesaikan masalah dan mengembangkan 12 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

potensi masyarakat sekitar. Dengan begitu, perguruan tinggi bisa mengangkat derajat masyarakat dan tak hanya sibuk mengurusi keuntungan ekonomi semata. Harapan inilah, menurut Soedijarto, sejak semula dititipkan kepada perguruan tinggi, maka universitas berstatus negeri diciptakan pemerintah. Sekilas memang tak berbeda antara entrepreneur dengan Tridharma, keduanya menuntut perguruan tinggi mempunyai nilai lebih selain tempat pengajaran saja. Baik entrepreneur maupun tridharma pun berasal dari luar negeri, Lincoln menyebutnya Land Grand Movement. Perbedaan keduanya terletak pada orientasi, antara kepentingan ekonomi dengan tanggungjawab sosial. Tridharma meminta kepada perguruan tinggi untuk senantiasa menunaikan tanggungjawab keilmuan, seberapa jauh perguruan tinggi berharga tergantung manfaat yang ia persembahkan kepada masyarakat. Nasib Tridharma juga tak sebaik entrepreneur, dalam penerapannya perguruan tinggi seolah sekadar sebagai melengkapi prosedur akademik. Perguruan tinggi di Indonesia sebatas bisa melaksanakan pengajaran, sementara penelitian dan pengabdian pada masyarakat belum berjalan sesuai harapan dan hakikat. Penelitian yang dilakukan bukan merupakan penelitian yang dijalankan atas dasar kebutuhan masyarakat. Perguruan tinggi tak lagi bisa mencerna masalah di tengah masyarakat, penelitian

berubah menjadi tugas-tugas kuliah semata. Lain halnya yang pernah ditunjukan Winarno Surakhmad. Saat ia menjabat rektor, IKIP Jakarta pernah membuktikan manfaat terhadap masyarakat, kampus ini membuat laboratorium pendidikan di beberapa daerah di Jakarta. Laboratorium itu didirikan sebagai tanggung jawab sosial institusi pendidikan. Ini merupakan sebuah contoh dimana komitmen institusi untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Demi bangsa dan tanpa niatan mengeruk keuntungan ekonomi. Di lain sisi, kalaupun pemerintah bersikeras menanamkan semangat entrepreneur, mereka bisa merancang program tepat sasaran, tidak terus-terusan mengincar peran perguruan tinggi. Kemandirian yang dicitakan ini akan lebih strategis jika diperuntukkan kepada masyarakat umum. Ekonomi ini dijalankan oleh masyarakat sendiri, karena bersifat informal. Program Nasional Pengembangan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah salah satu jenis programnya. Inilah yang harus dimaksimalkan. Pertimbangannya ialah mengingat basis perekonomian masyarakat Indonesia lebih besar dari sektor usaha rumah tangga. Pemerintah bisa mengalihkan dana triliunan yang sebelumnya membanjiri perguruan tinggi kepada masyarakat. Dengan akses permodalan yang gampang, masyarakat bisa bergairah membangun ekonomi nasional. Serikat Dagang Islam yang berasal dari solidaritas pengusaha batik saat jaman kolonial malah bisa dijadikan alat perjuangan. Hingga masuk ke Orde Baru, Haryono Suyono menggagas program pengembangan keluarga sejahtera. Memasukkan kurikulum entrepreneurship kepada mahasiswa hanyalah tindakan mencari jalan pintas. Justru sebetulnya masyarakat umumlah yang lebih membutuhkan pembinaan dan akses mendapatkan modal usaha. Setidaknya jika memang memperbanyak wirausahawan yang dijadikan target.


Universitas Wirausaha Buat Susah Mahasiswa oleh Anggar Septiadi

DIDAKTIKA/JABBAR RAMDHANI

Giatnya universitas melakukan usaha mandiri malah membawa bencana. Batas antara keadilan dan kemanusiaan dengan mengejar keuntungan kian hilang.

Gedung Ki Hajar Dewantara Pembangunan yang sedang gencar dilakukan UNJ malah berimbas buruk buat mahasiswa, dengan naiknya biaya kuliah.

A

walnya adalah bedah buku Enterpreneurial Pathways of University Transformation pada Februari 2003. Bedah buku ini merupakan langkah awal UNJ menuju enterpreneurial university. Maksud bedah buku ialah pengenalan kepada sivitas akademik, dengan orientasi pedidikan wirausaha di perguruan tinggi. Kusmayanto Kadiman, saat itu Rektor ITB, didaulat sebagai pembicara utama. ITB sendiri diyakini merupakan teladan, banyak sivitas akademik belajar berwirausaha ria dari bekas kampus Ir. Soekarno ini. Dalam bedah buku tersebut, banyak diperkenalkan kampus ternama dunia seperti, Warwick University Inggris, Twente University Belanda, Chalmers University of Technology Swedia, Joensuu University Finlandia, dan Strathclyde University Skotlandia. Kampuskampus ini tersohor akan kesuksesannya mengembangkan wirausaha di universitas. UNJ yang kala itu dipimpin Rektor Sutjipto pun memiliki maksud hati mencuri rumus kampus-kampus wirausaha ini. Menurut Sutjipto, orientasi wirausaha universitas akan mengecilkan ketergantungan dana kepada pemerintah, terlebih kampus tak lagi bermasalah dengan kekurangan uang. Lantaran itu, kampus akan berjalan lebih mandiri. Khusus UNJ, persoalan dana seolah menemukan jalan buntu, alokasi didapat dari bayaran mahasiswa non reguler (SK Rektor no 950 tahun 2001). Penjatahan anggaran 10% universitas, 10% fakultas, dan 80% program studi/jurusan, dianggap terlampau sedikit demi mengembangkan program studi/jurusan. Tahun 2004, karena belum juga menemukan pintu keluar, permasalahan kekurangan dana akhirnya mendorong universitas memberi keleluasaan bagi program studi/jurusan DPPS (Dana Pengembangan Program Studi). “Lewat otonomi tersebut, jurusan diharapkan bisa mengembangkan jurusannya masing-masing, dan pada akhirnya bisa menghidupi jurusannya sendiri,� kata Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 13


LAPORAN UTAMA

14 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Otonomi Salah Kaprah Tak ada asap bila api tak ada, agak tepat mengatakan demikian kepada perguruan tinggi yang tergila-gila menerapkan gagasan entrepreneur. Akibat pengesahan UU Sisdiknas Tahun 2003, seluruh perguruan tinggi dituntut bermandiri. UU ini seolah membuat celaka kampus yang amat bergantung pemerintah, tak mandiri secara akademik dan keuangan. Perguruan tinggi diamanatkan beralih dan memiliki status hukum sebagaimana Sisdiknas telah melahirkan UU BHP yang gagal disahkan pada 2008 lalu. Meski begitu, banyak kampus telah melakukan pemanasan sebagai pelaksana otonomi, terbukti dengan penerapan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seperti dilakukan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Sejak 2004, UPI mulai otak-atik struktur organisasinya supaya sejalan dengan semangat kemandirian. Dengan naungan peraturan BHMN, UPI berhasil mendatangkan dana sendiri melalui unit-unit bisnis yang ia dirikan. “Karena BHMN, UPI bisa melakukan kegiatan-kegiatan usaha. Dari usaha tersebut, UPI mendapatkan keuntungan secara finansial,” ujar Dadang Suhendar, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kemitraan UPI. UPI kian bangga, enam unit bisnis yang mereka miliki sukses menyumbang keuntungan besar. gelanggang olahraga, poliklinik, balai bahasa, bengkel kerja prototipe alat-alat pendidikan, UPI Press, Isola Resort Hotel, unit-unit bisnis ini kini terus dikembangkan Divisi

DIDAKTIKA/ANGGAR SEPTIADI

Seiring berjalannya waktu dan sampai masa Sutjipto selesai, UNJ BW kian lesu. Ia hanya gagasan, tapi mandeg pada pelaksanaan. “UNJ BW baru pada tahap penataran-penataran,” kata Fakhrudin Arbah, PR III UNJ. Banyak sebab kegagalan UNJ BW, Sutjipto menenggarai minimnya dukungan dan belum terciptanya budaya mandiri. “Dibangun dulu budayanya, dan juga perlu banyak dukungan kebijakan, politik, dan aturan yang jelas kalau itu belum jalan ya tidak mungkin berhasil, waktu itu semuanya minim,“ kata Sutjipto.

DIDAKTIKA/SATRIO PRIYO UTOMO

Sutjipto. Dari kebijakan ini, UNJ menikmati peningkatan Pendapatan Nasional Bukan Pajak dari yang sebelumnya hanya Rp35 milliar menjadi Rp50,7 milliar. Dana melimpah inipun memunculkan pembentukan fakultas baru, Jurusan Ekonomi resmi terpisah dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS) menjadi Fakultas Ekonomi. Di lain sisi, terdapat pula program studi/jurusan yang tak bisa mencicipi manisnya sistem swadana ini. Mereka masih merasa berkah dana dari otonomi belum bisa menutup biaya honor dosen, dari sini mereka ramai-ramai memulai mengelola bisnis di dalam kampus. Mereka mayoritas jurusan-jurusan yang dinilai memiliki disiplin ilmu “menjual”. “Karena masih dalam tahap pengembangan jadi skalanya masih kecil, semisal restoran di Jurusan IKK (Ilmu Kesejahteran Keluarga),” terang Sutjipto. Pendirian unit bisnis ini sedikit memberi angin segar bagi jurusan, apalagi berbarengan dengan itu gagasan pendidikan wirausaha sedang galak-galaknya diperkenalkan. Kehadiran unit bisnis milik jurusan pun dianggap tepat dan sejalan dengan pengembangan kurikulum wirausaha. Pada masa Sutjipto, program pendidikan wirausaha memupuk unit bisnis dengan kucuran modal di tiap jurusan. Bagi para mahasiswa, terdapat sederet program berupa pelatihan, pentaran maupun seminar tentang kampus wirausaha (lebih dikenal UNJ BW). Program UNJ BW (UNJ Berwawasan Wirausaha), kata Pak Tjip sebutan akrabnya, lahir setahun sebelum masa jabatannya usai. UNJ BW bertugas agar seluruh potensi kampus, baik bidang akademik, pelayanan dan pendukung, maupun kemahasiswaan bisa mengamalkan orientasi entrepreneur, mencari untung di tiap kesempatan. Selain itu, UNJ BW adalah cikal bakal kampus mandiri sebagaimana tuntutan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kala itu tengah digodok dasar konstitusinya. Sejak semula sudah berhembus kabar bahwa BHP bakal melepas “belenggu” pemerintah terhadap kampus, otonomi akademik dan keuangan.

Pengembangan usaha UPI. “Seperti gelanggang olahraga, itu sekarang malah rutin digunakan untuk latihan Persib,” Dadang membanggakan. Selang empat tahun dengan UPI, UNJ yang eks-IKIP juga punya niatan sama. Lewat SK Menkeu no. 440/KMK 05/2009 UNJ resmi berwujud PK-BLU (Pelayanan Keuangan Badan Layanan Umum). BLU tak beda dengan BHMN. Penerapan BLU bagi UNJ seakan memompa kembali nafsu kemandirian yang dulu pernah gagal melalui UNJBw. BLU memberi keleluasaan kampus dalam pengelolaan keuangan, termasuk mendirikan unit-unit bisnis.


sekaligus Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ekonomi (FE).

Isola Resort, satu unit usaha andalan UPI. (kiri) Bedjo Sudjanto, Rektor UNJ.

Peluang berbisnis terbuka lebar bagi UNJ. Pasca mendapat utang IDB (Islamic Development Bank) 24,9 juta dolar, UNJ merasa bisa berbuat banyak dengan hasil pembangunan dan perbaikan wajah kampus. Bangunan gedung yang megah dan bagus kelak dijadikan modal pencari keuntungan. Apalagi hasil dari bisnis ini perlahan menampakan hasil. Selepas didirikannya Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru setinggi sepuluh lantai yang melayani sertifikasi guru tiga daerah yakni Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, mulai menerima pemasukan. Demi mendapat keuntungan berlipat, UNJ juga mulai mengejar paten dari penciptaan model-model pembelajaran, bentuk pengajaran, bahkan perumusan kurikulum. “Hak paten seperti itu kan mahal harganya,” ucap Zainal Rafli, Pembantu Rektor Bidang Akademik. Sementara unit bisnis sebagai sumber uang tengah dirancang, UNJ juga masih getol mencari dana tambahan. “Pencaran dana juga bisa berupa lobi-lobi seperti hibah, dan pinjaman luar negeri,” kata Dedi Purwana, Kepala Proyek UNJ-BLU

Mahasiswa Tambah Susah Dalam buku Enterpreneurial Pathways of University Transformation dikemukakan ada beberapa syarat sebelum sebuah universitas bisa berwirausaha. Pertama, kepemimpinan yang visioner, kedua, optimalisasi potensi yang dimiliki, ketiga, penciptaan iklim yang demokratis, keempat, profesionalisasi dan efisiensi, kelima, menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terakhir, jaminan kesejahteraan bagi seluruh sivitas akademik. Dari buku itu, dapat dipetik nilai antara manfaat bisnis terhadap kepentingan kampus, yakni mengelola dunia akademik. Setidaknya ukuran paling sederhana ialah kemudahan bagi mahasiswa terkait akses berkuliah, khususnya pembiayaan. Namun pengalaman UPI berbicara sebaliknya. Semisal, Poliklinik UPI mulai tahun 2010 membebankan biaya sebesar Rp100.000 saat mahasiswa kali pertama masuk. Padahal di tahuntahun sebelumnya biaya tersebut hanya Rp12.500/tahun, itupun masih menyisakan dana untuk kampus sebesar Rp253,7 juta (Isola Pos, September 2010: Jalan Sempit Program Kesehatan). Gelanggang olahraga dan Isola Resort Hotel berwajah sama. Pengelola tak pandang bulu terhadap penyewa, termasuk kepada kegiatan mahasiswa. “Semua dikelola secara profesional,” jelas Tjutju Yuniarsih, Ketua Direktorat Akademik UPI. Mahasiswa UPI kian gigit jari, manakala pengelola asrama mahasiswa atas nama “berwirausaha” mengizinkan pihak luar (UPI) menyewa. “Sekarang (asrama mahasiswa) jadi hotel murah, jadi tidak tepat lagi sasarannya,” ujar Isman Yusron, Mahasiswa UPI. Lebih parah lagi semenjak UPI berstatus BHMN, biaya kuliah tajam meningkat. Pada penerimaan mahasiswa tahun 2011 baru-baru ini, rata-rata biaya masuk reguler menembus kisaran 14-18 juta rupiah. Kisah berbeda dialami UNJ. Jika UPI sukses menjual apapun, UNJ masih kelimpungan memikirkan barang

jualan.“Padahal kita punya UNJ Press, tapi kenapa masih mencetak buku di luar,” kata Fakhrudin mencontohkan. Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru awalnya diharapkan mampu sebagai contoh praktek bisnis UNJ. Belakangan, pengelolaan gedung tersebut justru malah terkesan menyusahkan, di tengah kondisi keuangan kering, perawatan gedung menelan biaya besar. Bagi UNJ, sukar menemukan jalan keluar guna menggenjot pendapatan dari unit-unit bisnis. Kekurangan permodalan diperparah lagi dengan iklim kampus wirausaha yang belum terbangun. “Itu yang selama ini belum terlihat di UNJ, belum ada produk yang dihasilkan,” ujar Dedi Purwana. Niat berjualan hasil penelitian melalui paten juga mendapat nasib sama, langka penelitian dan penghasilan.“Selama ini penelitian belum mendapat nilai jual, jadi belum signifikan,” tambah Dedi. Dedi mengimpikan nantinya penelitian dari UNJ berdaya saing, lantas bisa tanggap terhadap permintaan dunia bisnis, proyek dan keuntungan akhirnya mengalir. Pimpinan kampus sendiri memang beralasan UNJ masih banyak berbenah. “Ini masih dalam fase awal, saya akui kita belum mampu bergerak cepat karena sarana dan prasarana terbatas,” Zainal Rafli membenarkan. Karena itu pula, kampus menjalankan cara kuno dalam mencari dana, menaikan biaya kuliah mahasiswa. “Karena itu perawatan dan pemeliharaan gedung ditanggung oleh pihak mahasiswa atau universitas sendiri,” Ujar Bedjo Sujanto (Wawancara khusus Laporan Utama, Majalah Didaktika edisi 39). Pada penerimaan mahasiswa baru tahun ini, kenaikan mencapai rekor 100%. “Kenaikan bayaran tidak dapat dihindari, karena beban operasional yang banyak serta ketiadaaan sumber pendapatan baru ,” ujar Bedjo Sujanto, saat menanggapi protes mahasiswa (08/06). Dengan demikian pula, entrepreneur serta semangat kemandirian kampus sebagai kebijakan pendidikan tinggi nasional patut dikoreksi ulang. Membawa manfaat atau mudhorat? Terutama bagi kepentingan akademik dan mahasiswa. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 15


LAPORAN UTAMA

16 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

DIDAKTIKA/MUHAMMAD IDRIS

H

ermansyah, sudah pagipagi benar tiba di kampus. Pukul 7 pagi, ia bersama empat temannya sudah berkumpul di Economart, tempat praktek mata kuliah kewirausahaan FE UNJ. Economart sendiri layaknya toko swalayan, bedanya semua kegiatan perdagangan dilakukan mahasiswa dan berada di dalam kampus. Kali ini, Herman bertugas menjajakan barang dagangan keliling kampus. Jelang pukul 8, ia bersiap-siap, aneka minuman kemasan dan makanan ringan disusun dalam sebuah keranjang. Agar dikenali sebagai mahasiswa praktek, Herman Cs wajib mengenakan seragam khas Economart, rompi krem yang berkantung banyak. Mahasiswa Jurusan Ekonomi Koperasi angkatan 2010 ini memiliki waktu seharian menjajakan dagangan. “Pokoknya asal ada keramaian, ya ditawarkan,” ujar herman. Seluruh mahasiswa FE UNJ wajib melakukan praktek kewirausahaan seperti Herman. Mata kuliah kewirausahaan sendiri bersifat wajib bagi beberapa program studi di FE UNJ. Selain Economart, FE UNJ juga menyediakan lahan praktek wirausaha lainnya, yakni Artha Aksara. Menurut Herman, sebelum menjalankan praktek, per kelompok diberikan modal Rp.300.000, penggunaanya diserahkan kepada mahasiswa. Karena dituntut nilai tinggi tergantung omset penjualan, dalam praktek wirausaha ini, kebanyakan mahasiswa memilih berdagang keliling di samping membuka dagangan di Economart. “Kalau pendapatan yang didapat tinggi, nilai mata kuliah kewirausahaannya juga tinggi,” papar Herman. Di UNJ, praktek kewirausahaan serupa juga dijalankan Jurusan IKK, FT UNJ. Praktek mata kuliah kewirausahaan Jurusan IKK hampir mirip dengan pelaksanaan praktek di FE, mahasiswa diberikan modal lantas diharuskan menjajakan barang dagangan. Di program studi Tata Boga Jurusan IKK, mahasiswa yang sudah terbagi dalam kelompok berisikan enam orang dipercaya untuk menciptakan resep ma-

Mahasiswa FE UNJ sedang melakukan praktek kuliah kewirausahaan dengan berdagang keliling.

Cuma Jual atau

“Kalau yang berjualan itu sih bukan wirausaha tapi wiraswasta,” Alumnus Program Global Faculty 2010 Ewing Marion, Kauffman


DIDAKTIKA/MUHAMMAD IDRIS

Pembantu Dekan Bidang Akademik, FE UNJ, Dedi Purwana

u Sewa oleh Anggar Septiadi

” Hirmana Wargahadibrata, Foundation

sakan. Keterampilan ini diserahkan kepada mahasiswa tahun ketiga, setelah resep tersedia mereka meraciknya hingga dapat terjual. “Jurusan awalnya memberi modal sebesar Rp500.000 perkelompok yang dijadikan modal awal untuk praktek dalam seminggu,” ucap Ari fadiati, dosen Program Studi Tata boga. Ari juga mengatakan, tiap kelompok dituntut menangguk untung Rp1,5 juta per hari. Bagi mahasiswa yang enggan berlomba mengejar keuntungan tersebut, jurusan masih mengizinkan mereka bertugas sebagai pelayan di Beranda Café, Beranda Pastry, Terrace Mart, semuanya adalah tempat praktek wirausaha milik Fakultas Terknik (FT) UNJ. Praktek kewirausahaan di FE maupun FT inipun dianggap sejalan dalam menyongsong UNJ sebagai entrepreneur university. UNJ berorientasi wirausaha ini sendiri sudah berjalan sejak tahun 2003, semasa Sutjipto menjabat rektor, tapi pengembangan kurikulum wirausaha terkesan jalan di tempat, sebagaimana diperlihatkan FE maupun FT. Namun begitu, UNJ terlihat tak sendiri, pengembangan kurikulum wirausaha di kampus lain pun sama mandegnya, seperti kejadian di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), praktek wirausaha juga dijewantahkan dengan berjualan saja. “Disini (UPI-Red) mahasiswa juga diberi modal untuk berdagang, setelah itu mereka bebas untuk jual apapun dan

berkeliling kampus,” ujar Edi Suryadi, Dekan Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB) UPI. Padahal menurut Hirmana Wargahadibrata, Dosen Teknologi Pendidikan UNJ yang pernah mengikuti Program Global Faculty 2010 Ewing Marion, Kauffman Foundation yang berfokus pada pendidikan kewirausahaan, hakikat wirausaha adalah pendidikan karakter. “Kalau yang berjualan itu sih bukan wirausaha tapi wiraswasta,” lanjutnya. Makna sejati entrepreneur kerap terabaikan, di UPI malah lebih melenceng. Mahasiswa yang tidak berkesempatan mengeyam mata kuliah kewirausahaan mesti mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN), berupa pembahasan kewirausahaan secara teori dan praktek berjualan. Sementara, dalam arti sederhana entrepreneur adalah seorang yang bisa bersikap dan berpikiran kritis. Ia diharapkan mampu mengoptimalkan seluruh potensi demi kehidupan lebih baik. Edi Suryadi memang menyadari kekeliruan memahami entrepreneur sehingga implementasi pendidikannya berwatak sempit, jual-menjual saja. Namun ia tak sepenuhnya menyalahkan pengertian ini. “Secara filosofis memang salah, tetapi secara pragmatis memang harus dilakukan,” katanya. Di lain sisi, praktek wirausaha yang lebih mengedepankan tujuan pragmati sinipun bukan tanpa sebab. Praktek wirausaha yang bisa menghasilkan keuntungan ini ternyata seiring sejalan dengan kebijakan otonomi kampus sebagai buntut dari liberalisasi pendidikan. Lebih parah lagi tatkala nilai kreativitas serta kepekaan terabaikan, justru pelaksanaan matakuliah wirausaha minim evaluasi. “Kita (UNJ-red) belum melakukan evaaluasi terhadap kurikulum entrepreneur , ”ujar Zainal Rafli, pembantu rektor bidang akademik UNJ. Hal tersebut juga diakui pihak UPI. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 17


LAPORAN UTAMA

Skala Nasional Saat ini, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), hingga Februari 2011, dari 119,4 juta angkatan kerja, 8,12 juta masih menganggur. Dari 8,12 juta, 21,54 persen berasal dari perguruan tinggi. Pemerintah cukup kelimpungan mencarikan solusi pengangguran ini. Entrepreneur pun hadir seolah membawa angin segar buat pemerintah menangani wajah perekonomian sarat pengangguran ini. “Menyadari tingginya angka pengganguran terdidik maka kita tawarkan program kewirausahaan menjadi program kemahasiswaan,” kata Fasli Jalal, pria yang kini menjabat Wakil Menteri sekaligus Penggagas Program Mahasiswa Wirausaha. Maka tak heran Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti) sebagai kepanjangan tangan Kemendiknas kepada perguruan tinggi kian getol menjajakan program wirausaha bagi mahasiswa. Salah satunya melalui PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dan PMW (Program Mahasiswa Wirausaha). Khusus kali pertama dilaksanakan PMW, Dikti malah berani mengucurkan dana sebanyak 108 milliar. Tiap perguruan tinggi mendapat jatah sampai 2 Miliar, “Secara filosofis proposal usaha. “Nanti sedang kampus sekelas pomemang salah, dipresentasikan di depan liteknik medapat500 juta. tetapi secara perwakilan Dikti. Akan Rincian penggunaan dana pragmatis medinilai layak atau tidaknya ini, 70% diserahkan langmang harus diuntuk mendapat bantuan,” sung sebagai modal kepada lakukan” ujar mahasiswa yang menmahasiswa, sisanya dikutip gajukan pembuatan bisnis untuk biaya pelatihan yang pembiakan ikan ini. diadakan perguruan tinggi. Sayangnya, kata Apri, mayoritas maPada 2010, di UNJ terdapat 30 kelompok mahasiswa yang beruntung hasiswa yang ikut PMW sebatas termotimendapatkan dana PMW. Tiap kelom- vasi menangguk modal puluhan juta saja. pok ini terdiri dari 4-8 mahasiswa, serta Buktinya, tak jarang ditemukan kelomper kelompok bisa mengantongi modal pok PMW yang tak merealisasikan rencana bisnis atau bisnis yang mereka kelola sampai 40 Juta. Apri Sidik, mahasiswa Bimbingan berjalan amburadul. “Ada yang lebih parah, uang hasilnya Konseling angkatan 2007 salah satu penerima program PMW mengatakan, untuk malah digunakan untuk kepentingan lolos tiap kelompok wajib menyerahkan pribadi hasilnya usahanya kandas di 18 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

DIDAKTIKA/JABBAR RAMDHANI

“Dalam bidang akademik tidak ada evaluasi secara khusus mengenai kurikulum entrepreneurship,” tambah Tjutju Yuniarsih, kepala Direktorat Akademik UPI.

Salah satu mahasiswa penerima Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) sedang mensosialisasikan usahanya.

tengah jalan,” jelas Apri. “Seharusnya ada tim untuk Monitoring dan Evaluasi, tapi hingga sekarang (Juni-red) belum ada monitoring atau evaluasi.” Di UNJ, pelaksanaan PMW terkesan asal-asalan. Tak ada kata sesal akibat PMW yang gagal, terpenting bagi UNJ banyaknya kelompok mahasiswa yang menikmati dana segar ini. “Yang utama adalah kemampuan mahasiswa membaca peluang,” seloroh Fakhrudin Arbah, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan.


REPRO/ISTIMEWA

Usaha Kecil Menegah yang dilakukan masyarakat umum.

Melacak Makna Entrepreneur oleh Citra Nuraini

Entreprenur hakikatnya mengubah sesuatu secara kreatif, bukan kreatif menjual sesuatu.

D

ata BPS Febuari 2011 menunjukan angka pengangguran di Indonesia berjumlah 8.119.779 orang. Sedangkan, jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2011 mencapai 119,4 juta orang, bertambah sekitar 2,9 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2010 sebesar 116,5 juta orang. Angka fantastis ini akibat minimnya lapangan kerja. Untuk itu, pemerintah berkeinginan mengubah tabiat manusia Indonesia, dari pencari ke pencipta

kerja, menyulap angka pengembangan wirausaha yang hanya 0,18%. Demi melewati persentase itu, pemerintah sadar bakal berhadapan dengan minimnya pengetahuan masyarakat, kekurangan keterampilan, ketiadaan teknologi, dan kendala modal. Saat ini tak semua lapisan masyarakat mempunyai syarat-syarat sebagai seorang entrepreneur itu. Kondisi demikian memaksa pemerintah kerja keras guna memasyarakatkan jiwa entrepreneur. Pemerintah pun melaksanakan sejumlah cara, pemberian

skim kredit usaha kepada UMKM, tak luput pula pelatihan dan pendidikan. Namun, Peneliti bidang sosial The Indonesia Institute, Antonius Wiwan Koban masih sangsi terhadap upaya pemerintah tersebut. Ia menilai, tumbuhnya entrepreneurship tak bisa instan, pelatihan dan pendidikan pun akan berakhir sia-sia, perlu pendekatan khusus terutama dalam memajukan UMKM. Inilah yang dilihat Veronica, pemilik toko online kadomikado.com, yang sering berhubungan dengan UMKM. Menurutnya, perlu ada pendekatan lebih Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 19


intensif dan tindakan-tindakan khusus dari pemerintah kepada UMKM. “Saya sempat melihat yang dipelosok. Mereka memang seperti jalan ditempat,” ungkapnya. Mereka, kata Veronica, membutuhkan lebih banyak edukasi manajemen, pemikiran inovatif, dan pemantapan kepribadian. “Produk mereka bagus. Kreativitas sudah menjadi ciri khas mereka,” tambahnya. Sebab itulah, sebagaimana diakui Wakil Presiden Boediono, pemerintah terkesan belum serius menggembleng jiwa entrepreneur , apalagi mengembangkan dunia usaha nasional. Boediono malah mencap bahwa pemerintah masih bekerja sporadis, tidak sistematik menghidupkan jiwa enterpereneur masyarakat. Akhirnya, kini dalam menabur benih entrepreneur, berbagai program pemerintah berpindah membidik perguruan tinggi. “Merekalah (para mahasiswa) yang akan menjadi sumber wirausaha nasional kita,” ucap Boediono saat memberi ucapan selamat pada perayaan puncak ulang tahun ke-39 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Juni lalu di Bandung. Pemerintah mengimani perguruan tinggi menyimpan amunisi terbaik dalam menciptakan entrepreneur . “Yang sistematik tampaknya memang perlu kita kembangkan, terutama untuk mencapai hasil akhir yang lebih optimal,” tambah Boediono. Sejalan dengan anjuran Boediono, Dikti (Dinas Pendidikan Tinggi) sebenarnya telah menyebarkan ajaran tentang entrepreneurship university. Tanggung jawab besar menghidupkan entrepreneur berada di pundak perguruan tinggi, lulusannya diharapkan berkemampuan menciptakan lapangan kerja. Untuk itu, Kemdiknas (Kementerian Pendidikan Nasional), tempat Dikti bernaung, bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menyiapkan grand design pengembangan entrepreneur di perguruan tinggi. Grand design yang disiapkan antara lain, merancang enam skema pengembangan entrepreneur di dalam kampus. Isi rancangan itu berupa pelatihan dosen pembimbing entrepreneur, membangun 20 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

REPRO/ISTIMEWA

LAPORAN UTAMA

jaringan dengan industri, pemberian permodalan, dan mewajibkan kurikulum pendidikan entrepreneur. Program lainnya ialah Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal bahkan berani menjamin adanya fasilitas kredit usaha kepada para lulusan perguruan tinggi. “Nanti kalau tamat, mereka dapat merebut Kredit Usaha Rakyat (KUR), bila sudah ada pengalaman minimal dua tahun. Dan KUR itu anggarannya sebanyak 20 triliun setahun,” ujarnya. Berangkat dari program pengembangan entrepreneur inilah pada akhirnya pemerintah memasuki babak baru. Pemerintah seolah membagi kesan, bahwa frustasi dengan UMKM, mereka memilih perguruan tinggi. Padahal, pemerintah cukup dengan memperbaiki mekanisme dan kinerja progam-progam UMKM. Tapi sekarang, pemerintah kembali repot merancang sekaligus memberi program ke perguruan tinggi. Tak hanya itu, dalam mengembangkan entrepreneur sebagai jalan keluar krisis lapangan kerja, pemerintah tampak melimpahkan tanggungjawab kepada perguruan tinggi. Para dosen dan mahasiswa yang layaknya bebas memilih jati diri keilmuan, kini dipaksa melakoni dunia entrepreneur. Sosok entrepreneur Dalam mengembangkan entrepreneur,

jerih payah Dikti dianggap masih nihil. Rancangan besar (grand design) Entrepreneur University masih terbilang mentah, meski mahasiswa menikmati bermacam fasilitasi modal dan edukasi, mahasiswa belum terpacu. Dekan FPEB Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Edi Suryadi menenggarai, program Dikti meski sarat dana, belum menemukan model yang cocok bagi civitas akademik. “Secara ilmiah belum ada riset. Kalau menunjuk pada fenomena yang ada, lahirnya para pengusaha sekarang itu bukan dari perguruan tinggi tetapi karena berenang langsung,” katanya. Ibaratnya, pemerintah hanya menebar bibit di lahan tandus. Padahal, entrepreneur lebih banyak lahir di tengah masyarakat, bukan berahim di perguruan tinggi. Salah satunya, sosok entrepreneur Made Ngurah Bagiana, pemilik Edam Burger. Bagi Bagiana, entrepreneur tidak bisa diciptakan dari dunia kampus, karena syarat utama entrepreneur adalah berpikir merdeka. Sebaliknya, kampus menurut Bagiana, telah membelengu pemikiran mahasiswa seperti terkurung penjara. Mereka dibatasi dengan kurikulum dan ruangan. Maka untuk menjadi entrepreneur pemikiran mahasiswa harus dibuang dari kampus. “Tidak ada di kampus itu entrepreneur. Kalau memang menjadi entrepreneur , ya jadilah yang sejati lalu komitmen


Made Ngurah Bagiana, Pemilik Edam Burger, salah satu sosok entrepreneur.

dan fokus. Bisa saja separuh tapi tidak maksimal,” tegasnya. Selain itu, menurut laki-laki kelahiran Bali ini, untuk mendidik jiwa entrepreneur tak bisa mengandalkan pendidikan formal. Sebagaimana pengalaman Bagiana, jiwa entrepreneur hendaknya tertanam sejak di keluarga. Butuh proses dan waktu tak sebentar agar jiwa entrepreneur itu muncul. “Memulai menjadi entrepreneur ya melakukan apa yang bisa dilakukan. Makanya kunci kesuksesan seorang entrepreneur tidak ada. Setelah dilakoni baru ketemu,” tuturnya. Walau begitu, Bagiana yakin, entrepreneur sejati ialah orang-orang yang berangkat dari serba kekurangan, modal maupun fasilitas. Dari sana, katanya, jiwa entrepreneur itu ditempa, kuat dan berdaya juang serta memiliki sikap saling peduli. “Entrepreneur sejati dapat berguna buat keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Itu entrepreneur sejati. Entreprenur jadi-jadian hanya mementingkan kepentingan individu saja,” sindir Bagiana. Hal ini juga dirasakan Veronica.

“Karena saya ngerasain susahnya untuk jadi entrepreneur apalagi dengan kondisi modal terbatas, makanya saya ngeluarin konsep reseller ini. Saya berusaha menjembatani orang-orang untuk jadi entrepreneur untuk dirinya sendiri,” ungkapnya. Dengan konsep reseller, setiap pemula bisa berjualan tanpa modal, bahkan jika networking bagus bisa melebihi Veronica. “Banyak orang bilang apa saya tidak takut jika kesuksesan saya dilebihi reseller yang saya bantu. Buat apa takut, ya saya tinggal evaluasi diri,” tambahnya. Hakikat Entrepreneur Hakikatnya entrepreneur tidak berorientasi profit semata, tetapi juga benefit. Hal ini dikemukakan Antonius Tanan, presiden UCEC (Universty Ciputra Entreprenurship Center), entrepreneur tidak identik dengan bisnis saja. Sebab itu, ia percaya di berbagai tempat, tanpa memiliki bisnis semua orang bisa menjadi entrepreneur . Gampangnya, kata Antonius, entrepreneur itu mempunyai kreatifitas dan inovasi mengubah sesuatu. “Kalau di entrepreneur dia akan mengubah provinsi miskin menjadi provinsi sejahtera. Kalau dia guru, dia akan mengubah sekolah kecil menjadi sekolah maju. Anak-anak yang tadinya bukan entrepreneur , akan menjadi entrepreneur -entrepreneur . kalau di binis, dia menjadi bisnis entrepreneur . Dia akan mengubah usaha kecil menjadi usaha besar. Kalau

Sumber: Badan pusat Statistik, diolah oleh Litbang Didaktika

di sosial, dia akan sosial entrepreneur . Komunitas yang miskin, komunitas yang dilupakan, komunitas jalanan yang tadinya dianggap tidak ada apa-apa, dia akan mengubah menjadi komunitas terdepan,” ujar Antonius. Menurutnya, Entrepreneurial ialah kemampuan memiliki daya ubah yang kreatif. Tiga ciri seorang entrepreneur, pencipta peluang (opportunity creator), kreatifinovatif, pengambil resiko terencana (calculated risk taker). Dari perkataan Antonius, bisa disimpulkan mahasiswa bisa disebut entrepreneur jika ia mampu mendeteksi sejumlah hambatan, lantas mengubahnya sebagai peluang. Jiwa entrepreneur menuntut mahasiswa untuk peduli, resah terhadap kenyamanan dan kemapanan. Hiramana Wargahadibrata, dosen Teknologi Pendidikan UNJ yang juga pernah mengikuti Program Global Faculty 2010 Ewing Marion, Kauffman Foundation yang berfokus pada pendidikan kewirausahaan, menjelaskan pendidikan kewiraushaan seharusnya mengacu pada pendidikan karakter dan pendidikan kreatif. Menurut Hirmana, entrepreneur memiliki ruh utama bernama social entrepreneurship. Dengan begitu, entrepreneur tak hanya sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Karena itulah, ia pun melemparkan kritik pedas terhadap program entrepreneur yang selama ini berjalan di perguruan tinggi. “Kalau yang berjualan itu sih bukan wirausaha tapi wiraswasta,” ujarnya. Peningkatan kualitas SDM para mahasiswa pada masing-masing bidang merupakan hasil dari penanaman budaya entrepreneur ke dalam kurikulum. Kelak mahasiswa berjiwa entrepreneur akan mampu memimpin perubahan di manapun ia berada. Seperti melawan arah, program entrepreneur di perguruan tinggi malah menjauh dari hakikat entrepreneur sesungguhnya. “Selama ia di kampus, dia mampu mempraktikkan usaha berwirausaha itu, dan didukung oleh dosen pendamping, jadi dia tidak sendiri,” ujarnya. Sungguh terkesan sempit mengartikan entrepreneur .

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 21


LAPORAN UTAMA

Pendidikan Karakter Dulu, Entrepreneurship Belakangan

P

DOK. PRIBADI

OPINI

oleh R.A. Hirmana Wargahadibrata*

22 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

saja, melainkan secara rohani. Buat Edi, pembentukan mental, karakter, adalah penting bagi anak didiknya. Makanya, walau implementasinya sulit, ia teguh dan menganggapnya sebagai tantangan. Dua hari selanjutnya muncul juga Broto Wijayanto pada rubrik yang sama. Kompas, 11 Juni, Cara Menyukuri Hidup Broto Wijayanto. Berkecimpung pada dunia teater selama 7 tahun terakhir membuat Broto yakin teater bukan semata hasrat memuas ekspresi diri, tetapi ajang membuka harapan bagi sesama. Lewat Deaf Art Community (DAC), komunitas teater bagi anak dan remaja tunarungu, Broto membuka percaya diri mereka untuk bebas dari keterasingan dan mantap bercita-cita. Bagi penulis Edi dan Broto adalah sosok social entrepreneurs. Mereka adalah pencipta peluang, seorang kreatif-inovatif, dan pengambil risiko. Dari kisah mereka terjewantahkan bahwa entrepreneurship tidak memprasyaratkan profit.

ANGGAR SEPTIADI

ada satu kesempatan, penulis bertemu dengan staf Badan Bahasa Kemdiknas untuk memperbincangkan entrepreneurship. Ia menilai bahwa entrepreneurship belum sepenuhnya diserap oleh dunia pendidikan di Indonesia. Kata entrepreneurship sendiri merupakan istilah dari bahasa Perancis yang telah lama menjadi lema bahasa Inggris. Mungkin karena pelafalannya yang sulit, seringkali disebut kewirausahaan. yang menjadi padanan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sayangnya, kewirausahaan sering diartikan sebagai upaya terkait bisnis atau perekonomian saja. Oleh karenanya, dalam tulisan ini lebih sering dipakai kata entrepreneurship ketimbang kewirausahaan. Juga sebagai jalan untuk memahami beberapa istilah implementasi entrepreneur seperti student entrepreneur, teacher entrepreneur dan government entrepreneur yang kemudian dikenal dengan istilah intrapreneur. Dr. (HC). Ir. Ciputra, salah satu tokoh entrepreneur nasional mendefinisikan entrepreneurship sebagai proses mengubah rongsokan menjadi sampah. Ringkas, tegas, agak sensasional. Ada tiga cirinya, pencipta peluang kreatif-inovatif, pengambil resiko terencana. Awal 2010, penulis memperoleh kesempatan untuk memperdalam pengetahuan mengenai entrepreneur bersama sembilan dosen Perguruan Tinggi Negeri lainnya dalam program Global Scholar/Faculty pada Kauffman Foundation di Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, diperkenalkan juga social entrepreneurship yang menjadi ruh utama dari entrepreneur . Yakni, jiwajiwa entrepreneur bukan hanya berorientasi pada diri pribadi. Dalam kunjungan dan kursus singkat berikutnya, di Stanford University, University of North Carolina, Duke University, penulis menyengaja mencari informasi tentang social entrepreneurship ini. Banyak program di sana menunjukkan bahwa pemerolehan uang atau keuntungan (profit-oriented) adalah bukan segala-galanya di social entrepreneurship ini. Ternyata ada perbedaan halus dan tegas antara profit dan benefit. Contoh perilaku social entrepreneurship, penulis kira terwujud dalam Edi Rusyana. Pada Kompas, 9 Juni, Edi Rusyana hadir di kolom: Sosok, Edi Rusyana: Hijaukan Kalbu Murid Sekolah. Ia punya gagasan sekolah hijau (green School) tidak pada tataran fisik

Fondasinya adalah Pendidikan Karakter Kalau ditarik ke istilah baru di atas, maka entrepreneurial student ialah peserta didik yang mau dan mampu mendeteksi sejumlah hambatan dan mengubahnya menjadi peluang terbaik, mengkoordinasikan sumber-sumber dan memanfaatkan sinergi yang dihasilkannya untuk mentransformasikan segenap potensi menjadi kenyataan. Sulit kiranya untuk membayangkan apa yang akan terjadi bila ia tetap berdiam diri di dalam zona nyamannya dan hanya peduli dengan kepentingannya saja. Penulis yakin banyak para social entrepreneurs lain termasuk di kampus UNJ baik itu di para staf pengajarnya, staf administrasi, maupun mahasiswa, baik mereka yang barangkali sudah berbuat banyak—tanpa kehumasan apalagi peng-


ANGGAR SEPTIADI

hargaan—maupun yang baru mempunyai dorongan motivasi internal yang kuat. Penulis merasa bahwa upaya merevitalisasi pendidikan karakter baik dari perspektif visi maupun strategi pencapaiannya ini merupakan panggilan sangat mendesak bagi warga perguruan tinggi eks-IKIP utamanya pimpinan manajemen dan staf pengajar yang sekaligus diharapkan sebagai pendidik itu. Jika misalnya ada sebuah universitas yang misi utamanya sebenarnya bukanlah pendidikan akan tetapi justru getol ngopeni pendidikan karakter ini, maka barangkali ini bisa menambah deretan pertunjukan dagelan yang tidak lucu di negeri ini. Penulis pun tidak sedang mengatakan bahwa selama ini pendidikan karakter ini luput dari perhatian. Walaupun tidak salah bila kita masing-masing menengok ke praktik pembelajaran kita selama ini. Apabila pendidikan karakter demikian pentingnya, bagaimana ini telah mendapatkan porsi yang proporsional di dalam pilihan model, desain, dan praktik perkuliahan. Bagaimana domain afektif telah diberikan tempat yang seharusnya di dalam komponen-komponen indikator, asesmen, dan strategi perkuliahan. Karakter yang bersifat intangibles alias kasat mata ini di dalam matakuliah ampuan penulis sendiri ditetapkan; mau berubah, jujur, disiplin, dan bekerja keras. Satu yang tidak memerlukan kejeniusan untuk mengenal perbedaan ialah bahwa karakter kiranya bukan untuk diajarkan untuk kemudian dites melalui pilihan ganda di UTS apalagi UAS; karakter adalah untuk dihidupkan melalui model peran dan kepemimpinan, ditanamkan bibitnya di dalam diri anak didik, disirami, dipelihara, yang semua itu pada hakikatnya ialah pendidikan, pendidikan karakter. Sebagai seorang pendidik, penulis berkeyakinan harus berbuat sesuatu, sekecil apa pun itu untuk peserta didik sebagai respon terhadap semakin membengkaknya jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi. ILO di dalam terbitannya “Meeting the Youth Employment Challenge – a Guide for Employers” Maret 2001 menengarai bahwa sistem pendidikan gagal menghasilkan lulusan yang mampu bekerja, “…the education system is failing to deliver employable individuals…” Caroline Jenner di dalam The Next Generation Survey: “We cannot give them jobs, but we can ensure that they have the core skills and competencies to create them!” Penulis percaya, walaupun tidak semua lulusan ingin menjadi business entrepreneur, penanaman employability skills tetap dibutuhkan untuk menembus pasar kerja dan memelihara prestasinya serta bila diperlukan mampu pula

untuk memperoleh pekerjaan lain Kathleen Cotton di dalam School Improvement Research Series (SIRS) “Developing Employability Skills” menyebutkan 1 kelompok besar employability skills yang dimaksud adalah HOTS – Higher Order Thinking Skills, yaitu problem solving, learning skills, learning strategies, creative, innovative thinking, decision making. Pendidikan kreativitas ialah pendidikan dasar bagi pendidikan entrepreneurship! UNJ Punya Building Future Leaders Sebagai pemenuhan satu prasyarat “kelulusan” Global Scholar/Faculty penulis menyusun dan mempresentasikan sebuah proposal di hadapan Kauffman Foundation pada 27 Mei 2010 lalu. Kala itu penulis bereksperimen dengan memberikan ruh kepada motto UNJ, Building Future Leaders. Dan dari kenekatan mengambil motto tersebut justru banyak pertanyaan yang muncul dari penguji di sana dan menjadi tema sepanjang tanya jawab. Ruh yang dimaksud ialah “integritas (integrity); keberanian (courage); dan karakter (character). Integritas berarti mau dan mampu membedakan antara benar dan salah; keberanian berarti mau dan mampu membela integritas tadi; dan karakter berarti hasil atau kebiasaan dari pembiasaan 2 ruh sebelumnya itu (integritas dan keberanian). Tahun lalu itu tidaklah terbayangkan oleh penulis bahwa tema nasional kementerian kita akan mengarah kepada pendidikan karakter itu. Seandainya saja ada sebuah matakuliah umum entrepreneurship di UNJ, misalnya, maka divisikan bahwa matakuliah itu adalah untuk pembentukan karakter (bukan kompetensi) entrepreneurship atau employability tadi. Karena kompetensi entrepreneurship kiranya tidak akan dapat terkembang sepenuhnya tanpa diintegrasikan dengan kompetensi bidang studi masing-masing. Belum lagi ditambah bila para pegiat organisasi kemahasiswaan dan Unit Kegiatan Mahasiswa berbekalkan pemahaman dasar tentang (socio) entrepreneurship. Maka penulis yakin ini akan sangat membantu mereka di dalam pembentukan konsep diri positif mereka sekaligus pelatihan sehat rohani dan jasmani aktualisasi diri mereka. Dan yang paling penting bagi penulis adalah, entrepreneurship memerlukan pendidikan karakter sebagai fondasi. Karakter seorang entrepreneur di antaranya berfokus pada keperluan orang lain; mencaritemukan secara kreatif peluang untuk berbuat sesuatu menjembatani kesenjangan; dan menghadirkan inovasi yang bernilai tambah bagi sesama. Kiranya hal tersebut merupakan langkah-langkah yang sesungguhnya mampu dilakukan oleh orang atau organisasi yang biasa-biasa saja, siapa saja. *Dosen Jurusan Teknologi Pendidikan, FIP UNJ, Alumnus Global Scholar/Faculty 2010 Kauffman Foundation

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 23


LAPORAN UTAMA WAWANCARA KHUSUS

M

ulai 2003, UNJ sudah ambil ancang-ancang menuju Entrepreneurial University. Banyak kebijakan yang dikira bakal mendukung terciptanya Entrepreneurial University digulirkan, otonomi penuh diberikan kepada jurusan hingga fakultas. Geliat usaha membludak. Salah satu yang patut dicatat adalah hadirnya Fakultas Ekonomi, sebagai dampak keleluasaan otonomi yang diberi universitas. Dan sejak berdiri, FE UNJ sudah mengawal dan mengusung jargonjargon entrepreneurship. Berikut adalah petikan wawancara reporter Didaktika, Jabbar Ramdhani dan Citra Nuraini dengan Pembantu Dekan Bidang Akademik FE UNJ. Bagaimana konsep entrepreneur yang dijalankan UNJ? Jiwa entrepreneur mahasiswa UNJ didasari ketika kita merenungi visi UNJ. Salah satu indikatornya menciptakan manusia berjiwa entrepreneur. Ini juga dituangkan ke dalam visi Fakultas Ekonomi. Dalam implementasi kebijakan kita ada tiga arah, yang pertama adalah akademik. Yaitu dengan mewajibkan mata kuliah kewirausahaan. Di mana entrepreneur dimasukkan ke setiap mata kuliah. Jadi secara de jure itu menjadi suatu mata kuliah yang wajib tetapi de facto kewirausahaan ada di tiap mata kuliah (integrated curriculum). Kemudian di bidang manajemen kelembagaan. Good government mulai dari prodi, jurusan maupun dekanat. Semua kita arahkan dengan pendekatan praktik kewirausahaan. Pengertiannya, entrepreneur bukan sekadar dagang tetapi lebih pada prinsip entrepreneur lain seperti kerja keras. 24 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

FE berdiri sendiri. Istilahnya fakultas swadana. Satu rupiah pun uang keluar harus imbang dengan hasil. Itu orang ekonomi. Bukan pelit. Efisiensi anggaran harus diterapkan. Prinsip atau filosofi entrepreneur diterapkan dalam manajemennya. Memaksa budaya entrepreneur hanya dari atas ke bawah tidak bagus, tidak bisa satu arah. Kalau mau menimbulkan budaya entrepreneur semua komponen harus terlibat. Tidak hanya dari pemimpin. Harus juga ada pola bottom-up. Ketiga dari kemahasiswaan, saya terus memberikan masukan pada PD III, mahasiswa harus ditimbulkan daya juangnya. Saya tidak menyangka anak FE bisa menang dalam lomba akuntansi, saya melihat kepercayadirian mereka. Itu salah satu implementasi tentang bagaimana menumbuhkan semangat kewirausahaan. Keberhasilan entrepreneur bukan dilihat dari banyaknya proposal kewirausahaan yang dibuat. Tetapi merubah paradigma untuk menjadi lulusan yang tidak hanya mencari pekerjaan tetapi menciptakan lapangan pekerjaan. Kenapa entrepreneur menjadi hal penting? Jangan mengaku orang ekonomi kalau tidak mengedepankan entrepreneur. Prinsip entrepreneur bagaimanapun dasarnya ilmu ekonomi. Tapi kita tidak mau menerjemahkan entrepreneur jadi orang yang buka usaha. Kalaupun ia sebagai pekerja jadilah pekerja yang punya semangat entrepreneur. Misal kalau employ, be star employ! Kapan mulai diterapkan? Sejak berdiri tahun 2005, Fakultas Ekonomi sudah menerapkan entrepreneur .

REPRO/ISTIMEWA

Dedi Purwana: Kulturnya Belum Terbangun

Dan fakultas lain sudah mengikuti. Terutama dari segi manajemen kelembagaannya. Di mana titik singgung antara LPTK dengan entrepreneur? Justru entrepreneur yang jadi titik singgungnya. FE tidak membedakan antara prodi pendidikan dengan non pendidikan dalam kemasan dan operasionalnya. Keberadaan non dik harus menganut semangat fertilisasi. Salah satu semangat IKIP berubah menjadi UNJ karena lulusan IKIP ditengarai tidak menguasai konten keilmuan. Keberadaan non dik ini sebagai fertilisasi atau penyuburan. Artinya dosen prodi pendidikan itu kan kuat di pedagogi. Sedang di nondik kurang, jadi sharing keilmuan di sini. Jika output-nya guru, bagaimana entrepreneur? Bagaimana guru yang ber-entrepreneur ? Ya, guru yang punya karakter atau semangat kewirausahaan. Guru yang punya disiplin tinggi, suara hati nurani. Untuk menghasilkan sosok guru yang demikian maka kurikulum menerapkan kewirausahaan. Kita tidak mau menciptaan guru yang berjualan buku pada muridnya. Itu kan kelas penjual. Sedang kelas pengusaha bisa menciptakan lembaga pendidikan sendiri. Jualan itu hanya untung sendiri. Tapi beda dengan buka sekolah, bimbel, atau konsultan pendidikan. Itu idealnya. Efektifitas dari progam integrated curriculum, sudahkan diukur? Belum, harus semua prodi yang diukur efektifitasnya. Mudahnya begini,


DIDAKTIKA/JABBAR RAMDHANI

Unit-unit bisnis seperti Economart diharapkan mampu jadi sumber nafkah kampus. Sayangnya implementasi entrepreneur yang masih jalan di tempat tak kunjung membuah hasil.

Economart, laboratorium kewirausahaan FE UNJ

kalau lulusan nondik, rata-rata masa tunggu kerja dia 3 bulan. Kalau dari yang pendidikan, mereka sendiri sudah bekerja seperti menjadi pengajar bimbel. Apa entrepreneur berhubungan dengan otonomi kampus? Bisa dikaitkan ke situ. Tapi ketika mengklaim suatu kampus otonomi, bohong kalau tidak sampai menjalankan otonomi pendanaannya. Dalam otonomi pendanaan, prinsip-prinsip kewirausahaan harus dijalankan. Kalau dulu 100% subsidi pemerintah. Tapi kalau sudah diberikan otonomi maka punya hak pengelolaan. Parah kalau prinsip atau budaya entrepreneur tidak terbangun di sini. Kenapa? Kalau sudah otonom, saat duit diterima maka mengelola sendiri tapi bisa salah arah atau sasaran, itu yang kesatu. Kedua, dengan otonomi praktis mereka dituntut mencari sendiri sumbersumber pembiayan lain. Nah, konteks UNJ, rektornya tidak mau meningkatkan pendapatan dengan mengeksploitasi mahasiwa. Jelas, kita harus mencari sumbersumber pendapatan baru. Sudahkah UNJ siap? Secara SDM, UNJ sebetulnya siap hanya kultur belum terbangun. Merubah kultur dari PNS menjadi ber-mindset entrepreneur bukan hal mudah. Apalagi UNJ sejak awal LPTK murni. Butuh komitmen dari pimpinan juga kepatuhan dari bawah. Saya melihat sudah mulai ada arah

namun belum signifikan. Karena kalau dibanding dengan LPTK lain total PNBP (Pendapatan Nasional Bukan Pajak) kita cukup tinggi. Kekurangan pendanaan dicarikan melalui lobi-lobi seperti hibah, pinjaman luar negeri. Yang belum terlihat di UNJ yaitu produk akademik. Apakah riset kita sudah marketable? Selama ini belum. Kerja sama kita dengan industri seperti kerja sama berupa layanan kerja juga belum. Yang ada kerja sama berbentuk sertifikasi guru diberikan pemerintah. Konsep idealnya adalah UNJ bisa bersaing merebut order dari industri. Sederhana saja tren saat ini membutuhkan alat peraga yang berbasis ICT (Information, Communication, Technology) kan dibutuhkan sekolah. Dari segi kemampuan ada tapi belum dikolaborasikan. Ini sebenarnya yang penting, jadi seolah-olah masingmasing fakultas jalan sendiri-sendiri. Kenapa ini tidak bergerak serentak? Ya itu tadi komitmen. Padahal kalau ini digabung, potensinya besar. Atau kita fokus ke masalah pendidikan saja? Jadi pesanan-pesanan pendidikan larinya ke UNJ. Untuk ini belum ada kemampuan menjalin jaringan, kalaupun pun ada terserak-serak. Bagaimana menerapkan progam dari luar? Saya senang, kata PR III, kalau ada progam kewirausahaan dari Dikti, UNJ

pasti diundang. Ke depan saya ingin membentuk pusat inkubator kewirausahaan. Untuk itu saya mencari sumber pendanaan. Universitas hanya menyediakan spirit, mahasiswa yang jadi pennant. Tetap sewa atau bayar, tetapi selama masa studi mereka bisa cari uang di situ. Jadi tidak semata terbentuk organisasinya tetapi juga diberikan fasilitas. Adakah grand design dari kampus? Sebetulnya grand design-nya itu UNJ BW (Berwawasan Wirausaha). Di situ kewirausahaan tidak diterjemahkan sebagai berdagang tetapi menumbuhkan sikap kewirausahaan. Kalaupun dagang mereka sesuaikan kompetensinya. Sesuai koridor akademik, bukan dagang sesuai keinginan mereka. Bantuan apa yg diberikan pemerintah? Progam PMW, kebijakan payung penelitian sudah banyak mengarah bagaimana menciptakan kewirausahaan. Sekarang lagi booming. Padahal dari dulu kita berharap Dikti mulai konsen. Tidak tahulah, ini kan politis. Pengalihan secara politis karena penganguran banyak, dipakailah perguruan tinggi sebagai sarana. Tapi karena kita sudah menerapkan dari lama, kita jadi biasa-biasa saja. Bahkan kita sudah menunggunya.

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 25


LAPORAN UTAMA WAWANCARA KHUSUS

REPRO/ISTIMEWA

Fasli Jalal: Yang Penting Usaha

G

agasan entrepreneurship sudah jauh hari dirancang pemerintah sebagai salah satu software yang akan di-install pemerintah pada sistem pendidikan nasional. Hal ini dimaksudkan mampu menjadi solusi atas meningkatnya jumlah pengangguran terdidik. Pendidikan kewirausahaan diharapkan mampu menggali kemampuan mahasiswa dalam berpikir kreatif dan mampu melihat peluang. Prof. Ciputra beristilah entrepreneurs transform trash into gold, seseorang yang mampu merubah kotoran menjadi emas. Dibuatlah skema besar mulai dari pewacanaan, penataran, sampai ajang kompetisi kreativitas. Tak lupa juga pemerintah menyediakan biaya praktik mahasiswa seperti program mahasiswa wirausaha. Tak sampai situ, pemerintah juga telah menyiapkan program lanjutan bagi mahasiswa berwirausaha yang sudah lulus nanti. Akan ada kemudahan akses dana segar bagi mereka. Inilah beberapa poin yang begitu istimewa ketika masyarakat umum justru kesulitan mendapatkan dana, apalagi program penatarannya. Untuk itu Didaktika mewawancarai Wamendiknas Fasli Jalal. Sebelum menjabat sebagai Wamendiknas, Fasli adalah Dirjen Dikti. Ketika itu ia kerap melempar wacana agar pendidikan kewirausahaan diterapkan di dalam tingkatan pendidikan. Pendidikan tinggi dijadikan 26 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

prioritas awal. Berikut petikan wawancara reporter Didaktika Satrio Priyo Utomo dan Jabbar Ramdhani saat mewawancarainya di Kompleks Kemdiknas, Senayan, Jakarta. Bagaimana wacana entrepreneur ini muncul? Apa yang melatarbelakanginya? Saat jadi Dirjen Dikti, saya lihat peningkatan pengangguran terdidik. Jika dilihat lagi, semakin tinggi pendidikannya, maka semakin besar keinginannya untuk menjadi pegawai. Sementara mereka yang mau bekerja sendiri dan membuka lapangan kerja bagi orang lain itu justru orang yang tidak lulus SD, sekadar lulusan SD, atau bahkan SMP. Menyadari hal ini kita tawarkan bagaimana kegiatan kewirausahaan ini menjadi program kemahasiswaan. Bagaimana implementasinya? Awalnya kita persiapkan sebanyak 108 miliyar rupiah pada tahun 2009 untuk modal. Kita berikan tiap kampus. PTN yang BHMN itu sebanyak 2 miliyar, PT biasa 1 miliyar, dan politeknik 500 juta. Dari situ, 30% digunakan untuk melakukan pelatihan manajemen, sisanya diberikan kepada proposal mahasiswa. Nanti, proposal itu akan di-review orang-orang yang mengerti. Kalau tidak ada di kampus, nanti outsourcing kepada yang ada di perbankan, badan usaha, dll. Dimulailah itu tahun pertama, jatuhbangun pada awalnya. Kemudian di tahun 2009 juga kita latih sebanyak kurang lebih 1500 dosen. Lima dosen tiap kampus untuk memahami konsep ini. Juga 15 orang kita kirim selama 6 bulan di Kauffman Foundation. Karena itulah tempat terbaik untuk membimbing calon entrepreneur . Akhirnya ini terus berkembang dan memberikan hasil, Malah PT yang tadinya menunggu dana dari pusat dan daerah malah menambah lewat anggaran dari

kampusnya. Kemudian CSR (Corporate Social Responsibility) lain juga mulai masuk dan Bank Mandiri juga aktif menyiapkan modul dan bantuan juga diberikan oleh Ciputra. Artinya banyak yang turut memberikan bantuan dari adanya program ini. Dan juga melalui kopertis kita juga mulai berikan bantuan. Jadi niat awal memang ingin menjadikan mahasiswa sebagai wirausahawan? Iya, karena itu tadi. Selama ia di kampus, dia mampu mempraktikkan usaha berwirausaha itu. Dan didampingi dosendosen. Kalau dalam dua tahun dia berhasil mengelola usaha, walaupun ia ingin memindahkan usahanya ataupun melanjutkan, setelah ia tamat dapat merebut Kredit Usaha Rakyat (KUR). Karena ada pengalaman menjadi entrepreneur selama dua tahun. Dan KUR itu anggarannya sebayak 20 triliun setahun. Jadi kita ingin lulusan kita yang sudah punya ide ingin jadi entrepreneur , dan menerapkan dalam skala kecil itu selam 2 tahun, mudah-mudahan kalau dia lulus dapat mengembangkan usaha dengan dana yang sudah ada di KUR dan dana lainnya. Bagaimana konteks kampus yang LPTK? Nantinya malah tidak jadi guru karena yang dihasilkan hanya wirausahawan? Tidak, sebetulnya kan bisa saja dia malah mengembangkan pendukung pembelajaran. Apakah dia akan mendukung alat edukasi, atau software, atau sarana yang dipakai di kelas. Bisa macammacam. Atau mungkin bisa saja dia menghasilkan bimbingan belajar. Atau mungkin konseling. Pokoknya ada sajalah, yang penting usaha. Ya wirausaha itu, mampu menemukan sendiri. Jadi kalau diarahkan terus-menerus, ya nantinya malah tidak berkembang. Karena salah satu esensinya adalah kreativitas.


Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 27


Salah Bidik, Misi pun Gagal

OCTO RIANTO

KAMPUSIANA

oleh Satrio Priyo Utomo

D

unia pendidikan Indonesia mendapatkan angin segar. Pada 2010 lalu pemerintah lewat Kementerian Pendidikan Nasional menghadirkan Program Bidik Misi. Program ini merupakan agenda kerja seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Bidik Misi adalah program beasiswa bagi tiap perguruan tinggi negeri. Program ini hadir dengan merujuk kondisi minimnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan formal yang turun. Sehingga banyak dari mereka memilih untuk menjadi pekerja selepas menempuh sekolah menengah. Litbang Kompas mencatat pada 2009 persentase penduduk Indonesia yang menamatkan SMA/sederajat hanya 29,69%. Dari jumlah ini tidak sepenuhnya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT) karena biaya pendidikan yang terus naik. Saat ditemui di ruangannya, Wamendiknas Fasli Djalal menjelaskan kronologis lahirnya Bidik Misi. Menurutnya Bidik Misi adalah manifestasi dari Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kini menjadi Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2010 yang berisikan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Dimana dalamnya, tepatnya pasal 53 A menjelaskan bahwa setiap perguruan tinggi wajib mengalokasikan tempat 20% untuk calon mahasiswa miskin tapi punya potensi secara akademik. “Ini sebagai bentuk afirmasi kita kepada anak berprestasi yang berasal dari keluarga miskin untuk melanjutkan ke PT,” ujar Fasli yang sebelumnya menjabat sebagai 28 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Dirjen Dikti. Selain itu, hadirnya program Bidik Misi juga merujuk pada jumlah persentase masyarakat miskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan pada Maret 2009 hingga Maret 2010 naik sebesar 5,72%. Maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa. “Dari data BPS ini kita cek dengan jumlah mahasiswa yang ada. Nah, tampak sedikit sekali anak yang berasal dari keluarga miskin, meskipun dia pintar masuk ke PT,” imbuh Fasli Djalal. Dia menambahkan hadirnya Bidik Misi mengurangi jumlah angka kemiskinan yang terus naik tiap tahun. Bidik Misi merupakan beasiswa yang khusus diberikan pada mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) angkatan 2010 dan 2011. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme khusus dalam pengelolaannya. Mulai dari perekrutan sampai pada pembinaan. Inilah yang membedakan Bidik Misi dengan beasiswa dari pemerintah lainnya. Program ini memberikan sejumlah dana dalam nominal cukup besar. Untuk tahun 2010 tiap mahasiswa baru akan mendapatkan uang sebesar lima juta rupiah per semester. Pada angkatan 2011 nominalnya akan naik jadi sebesar enam juta rupiah. Mekanisme yang baik diperlukan untuk menjaring penerima Bidik Misi agar sesuai dengan mottonya: tepat sasaran, tepat jumlah dan tepat waktu. Mekanisme Seleksi Bermasalah Pendaftaran Bidik Misi ini harus melalui rekomendasi sekolah asal calon

penerima. Calon penerima berperingkat sepuluh besar dalam kelasnya. “Kalau tiap kelas itu 40 siswa, berarti sekitar 20% dari tiap sekolah,” terang Syamsi Setiadi, Ketua Pelaksana Bidik Misi UNJ. Syarat lainnya calon penerima harus berasal dari keluarga tidak mampu. Sang calon penerima harus menyertakan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, fotokopi rekening listrik, dan fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Syarat ini mutlak dimiliki calon penerima Bidik Misi. Seperti yang diutarakan Djoko Santoso, “Syarat pertama harus miskin dulu.” Setelah memenuhi syarat pertama, calon penerima harus menyerahkan transkip nilai akademiknya selama menempuh studi di sekolah asal. Dirjen Dikti ini menambahkan, kampus diberikan otonomi khusus dalam perekrutan. Selanjutnya semua berkas pendaftar diseleksi setiap universitas untuk `memenuhi kuota yang telah disetujui. UNJ


Paling Kanan: Fakhrudin Arbah, beserta staff-nya sedang rapat tentang penerimaan bidik Misi di UNJ.

mendapat kuota 450 mahasiswa—batas maksimal kuota 500 mahasiswa. “Masak dari 4200 mahasiswa kita tidak bisa cari 450 mahasiswa untuk memenuhi kuota Bidik Misi,” kata Fakhrudin Arbah, Pembantu Rektor III UNJ yang juga menjabat sebagai penanggung jawab Bidik Misi UNJ. Di tahun 2010 terdapat 104 Perguruan Tinggi Penyelenggara (PTP) seIndonesia yang mendapatkan Bidik Misi. Setiap PTP adalah PTN yang berada di bawah naungan Kemdiknas dan Kementerian Agama (Kemenag). Di UNJ hanya sedikit penerima Bidik Misi yang didaftarkan langsung oleh sekolahnya bahkan ada yang mendaftar secara mandiri. Hal ini dilakukan karena tidak ada sosialisasi ke sekolah asal penerima Bidik Misi. Dan Bidik Misi lebih memprioritaskan penerima yang sekolah asalnya berakreditasi A. Dalam hal ini yang lebih diutamakan adalah sekolah berstandar nasional dan

internasional. “Saya download sendiri formulirnya di internet. Terus langsung ngurus syarat-syaratnya ke sekolah,” terang Dede Apriyadi Yusuf, penerima Bidik Misi UNJ asal Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Pandegelang. Kejadian seperti ini senantiasa dianggap wajar. Sebab dalam buku pedoman Bidik Misi pelaksanaan teknisnya tertuang hal seperti ini. PTP wajib melakukan penerimaan 70% siswa yang berasal dari sekolah RSBI/SBI. Kondisi seperti ini sangat merugikan calon mahasiswa yang berada di daerah terpencil. Mereka yang berhak mendapatkan Bidik Misi terpaksa mengurungkan niatnya karena aksesnya terbatasi peraturan. “Beruntung saya dapat info tentang Bidik Misi. Kalau gak, mungkin kuliah di UNJ cuma jadi mimpi,” ungkap Dede, yang kini menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah. Selain itu, PTP juga berhak melakukan perekrutan melalui seleksi

lain. Yaitu, seleksi nasional dan seleksi mandiri. Perekrutan seperti inilah yang masif dilakukan oleh UNJ. UNJ menjaring penerima yang lolos melalui seleksi Penelusuran Minat Dan Keterampilan (PMDK), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), dan Ujian Masuk Bersama (UMB). Sementara seleksi mandiri dilakukan melalui Penerimaan Mahasiswa Baru (Penmaba). Kondisi ini akan berbeda dengan penerima yang memang didaftarkan oleh sekolah dan mendaftarkan diri secara mandiri. Dalam perekrutan seleksi nasional, calon penerima sudah terdaftar menjadi mahasiswa UNJ. Kemudian panitia Bidik Misi UNJ tinggal memilih nama mereka yang lolos. Dari nama yang terpilih, calon penerima diberi perintah untuk memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pedoman Bidik Misi. Mekanisme seperti ini rawan akan pemilihan yang salah sasaran. Mereka yang ditunjuk tidak merasa bahwa dirinya mendaftarkan Bidik Misi. Juga tidak adanya seleksi lanjutan guna memenuhi kriteria yang sesuai dengan persyaratan Bidik Misi, misalnya tingkat kemampuan ekonomi. Akibatnya terjadilah salah sasaran. “Ada mahasiswa yang dapat Bidik Misi padahal bapaknya pengusaha. Berangkat dan pulang kampus setiap hari dijemput mobil,” ungkap Ogi Apriyadi, mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling (BK) angkatan 2010. “Saya tidak tahu, tiba-tiba nama saya ada di mading. Setelah itu saya disuruh menghadap ke PR III untuk memenuhi berkas-berkas Bidik Misi,” ungkap Ira Rahmawati Harnum. Ira yang masuk ke UNJ lewat seleksi PMDK ini mengaku kaget ditunjuk sebagai penerima Bidik Misi. Gadis yang bapaknya bekerja sebagai PNS di Kementerian Pertanian ini mengatakan, “Bidik Misi itu ibarat durian runtuh. Akhirnya uang Bidik Misi ini saya Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 29


KAMPUSIANA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. di UIN, mahasiswa penerima Bidik Misi ditempatkan khusus di Asrama.

DIDAKTIKA/SATRIO PRIYO UTOMO

Panitia pelaksana UNJ masih merasa bahwa penjelasan perihal mekanisme seleksi yang tertuang dalam buku pedoman Bidik Misi masih samar. Tetapi hal ini dibantah oleh Dirjen Dikti Djoko Santoso mengatakan, “Kalau di universitas lain tidak ada masalah. Ada record orang tuanya siapa, pekerjaannya apa, dan gambar rumahnya.”

tabung.” Ira tidak mau dirinya disebut sebagai penerima yang salah sasaran. Menurutnya tidak ada kriteria yang jelas perihal kesulitan ekonomi yang terpapar dalam buku pedoman Bidik Misi. “(Memang) bapak PNS. Tapi kebutuhan di Jakarta serba mahal. Sehari jajan saya lima puluh ribu. Kadang kakak menambahkan sepuluh ribu,” cerita Ira. Di UNJ, uang Bidik Misi diberikan secara bertahap tiap semesternya. Dua juta rupiah digunakan untuk membayar SPP penerima Bidik Misi. Dan sisanya sebesar Rp.3 juta diperuntukkan biaya hidup dan buku teks diberikan secara bertahap setiap bulannya. Senada dengan Ira, Novita mengakui bahwa dirinya sama sekali tidak mengetahui apa itu Bidik Misi. Novita kaget ketika uang dalam rekeningnya bertambah. Menurutnya uang itu adalah uang pengganti SPP yang telah dia bayar secara mandiri. Dan jumlah lebihnya adalah biaya hidup dan buku teks. Dia baru sadar menjadi penerima Bidik Misi ketika kuliah telah berjalan dua bulan. Dia mendapat perintah dari salah seorang temannya untuk melengkapi berkas-berkas persyaratan. “Saya tidak pernah daftar Bidik Misi. Tiba-tiba saya diminta ke sekolah minta surat rekomendasi.” ujar mahasiswa Jurusan Sosiologi 2010 ini. Fenomena salah sasaran ini sebenarnya disadari UNJ. Kampus mendapatkan kabar ini ketika mendengar mahasiswa penerima Bidik Misi berpenampilan nyentrik. Uang yang seharusnya untuk 30 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

biaya hidup dan buku teks tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. “Kita aja kalah. Mereka (Penerima Bidik Misi) bisa punya Blackberry. Bahkan sampai dua buah,” kata Fakhrudin Arbah. Hal ini menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial di lingkungan mahasiswa. Konflik horizontal pun tak dapat lagi terhindarkan. Mahasiswa yang tidak mendapatkan Bidik Misi meragukan keseriusan UNJ dalam menangani program ini. Mereka mempertanyakan validitas data para penerima Bidik Misi yang dipilih secara acak oleh UNJ. Kecurigaan besar mereka bahwa UNJ telah melakukan tindakan kolusi dan nepotisme. Muhzari Hamsyah, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil 2010 yang lolos melalui seleksi Penmaba merasa terdiskriminasi. Jari—nama panggilannya—mengaku telah mendaftar menjadi penerima Bidik Misi di sekolah asalnya SMA 5 Tambun. Namun ia gagal karena gagal lolos SNMPTN (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Perguruan tinggi Negeri). Akhirnya Jari memutuskan mengikuti Penmaba guna mengejar cita-citanya menjadi insinyur. Ia merasakan ongkos kuliah terlalu besar untuk dipenuhi orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang ikan. Keterbatasan waktu juga dikeluhkan UNJ dalam melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Akhirnya UNJ tidak melakukan survei untuk meninjau kebenaran data. Bukti fisik berupa foto yang harusnya terlampir dalam dokumen persyaratan penerima pun tidak ada.

Waktu yang menjadi alasan Ketua Pelaksana Bidik Misi UNJ mengaku memiliki keterbatasan waktu dalam melakukan mekanisme penyeleksian. Sehingga UNJ lebih memprioritaskan memenuhi kuota 450 ketimbang melakukan seleksi tambahan guna mendapatkan penerima yang tepat. “Ke depannya masih dicari metode yang baik agar tidak salah sasaran,” terang Syamsi Setiadi. Dekan Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Komarudin mengakui bahwa selama ini tidak memantau secara jelas penerimaan Bidik Misi. Dia mengatakan bahwa perlu ada seleksi khusus. “Ke depan perlu dilakukan tes prediktif,” saran Komarudin. Bidik Misi telah menghabiskan dana Rp.100 miliar untuk membayar SPP penerimanya di awal semester tahun 2010. Dana itu diambil dari anggaran tahun 2009. Niat Kemdiknas dalam menciptakan pendidikan murah melalui Bidik Misi harus dipertanyakan ulang. Apakah Bidik Misi lahir sebagai pencitraan politis ataukah pemenuhan hak keluarga miskin. Hak keluarga miskin untuk menempuh kuliah di UNJ hanya sebuah mimpi kalau pengelolaannya masih seperti ini. Pemilihan acak dan pelaksanaan yang serba praktis. Tujuan Bidik Misi untuk memutus rantai kemiskinan bisa gagal. Bidik Misi yang berbentuk live service ini dapat mengakibatkan konflik dikarenakan diskriminasi yang sengaja diciptakan. Miris ketika mereka yang gagal masuk PTN tetapi tidak mampu melanjutkan kuliah ke PTS. Kenyataannya PTS pun tidak menjamin akses bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi.


Suplemen Didaktika

Kampung Sapi, Riwayatmu Kini ebuah kandang sapi berbentuk persegi masih tegak berdiri di atas tanah seluas kira-kira 200 meter. Bagian depan kandang dibatasi dengan kayu berwarna coklat dengan beberapa bagian yang sedikit terkelupas. Sementara itu sisi kanan dan kiri kandang sapi dibatasi tembok yang dibawahnya terdapat banyak lumut berwarna hijau kecokelatan. Bagian tengah atas kandang terdapat sebuah gubuk terbuat dari triplek dan beberapa kayu. Di sekitar triplek, kain usang terlihat menutupi bagian kanan gubuk. Untuk mencapainya, ada tangga yang terbuat dari kayu berwarna coklat muda. Di gubuk berisi kasur tipis dan kompor minyak, tinggallah Darsono, lelaki 34 tahun yang bekerja sebagai pemerah sapi di kandang itu. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 31

# halaman

S

Oleh Ranthy Aprilly


Sapi-sapi di 32 peternakan Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

pabrik tahu di Kuningan, ampas tahu tersebut biasa digunakan untuk tambahan pakan sapi. ”Kala itu ampas tahu sangat mudah didapatkan karena hampir disetiap peternakan juga merupakan pabrik tahu,” cerita Ridho. Daerah distribusinya menjangkau seluruh wilayah Jakarta. Yang paling diandalkan adalah daerah Jakarta Barat seperti, Grogol, Slipi, hingga Kota. Susu yang telah siap biasa dijual oleh distributor dengan menggunakan sepeda motor berkeliling, tak jarang juga si pemilik peternakan yang langsung menjualnya. Yang menarik saat proses penjualannya, susu yang ingin dijual harus diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui dan menjaga kualitas susunya, salah satunya berada di Manggarai. Orang yang bertugas memeriksa disebut mantri susu. Biasanya susu digolongkan kualitasnya, bagus, sedang, dan biasa, yang tidak memenuhi kriteria tidak boleh dijual. Sistem produksi, distribusi, dan konsumsi kampung sapi memang terintegrasi secara baik dengan faktor-fakrtor penunjangnya seperti; pasokan pangan, sistem distribusi, dan target konsumen. Makanya, tak heran dahulu Kampung sapi di Kuningan bisa menjadi penghasil susu sapi terbesar di Jakarta. Namun, kini Kuningan sebagai kampung sapi hanya menyisa cerita indah. Saat Orde Baru mulai naik tahta, Kuningan dijadikan sasaran pembangunan. Mulai dari pusat perbelanjaan, hunian mewah, hingga gedung perkantoran dibangun. Sebutannya Central Business District (CBD). “Kampung Sapi mulai berubah sejak zaman pak Harto” Ujar Darmasyah .

DIDAKTIKA/SARI WIJAYA

SUPLEMEN Didaktika-Edisi 41- 2011

# halaman dua

Kandang itu merupakan peternakan sapi perah milik Ahmad Ridho. Di kandang miliknya, Ridho mempunyai 20 sapi perah yang ia jadikan sumber penghasilan. Peternakan yang terletak di Jalan Perintis RT 003/05 no 102 A Kuningan Jakarta Selatan ini merupakan salah satu sisa kejayaan kampung sapi yang masih bertahan. Kuningan yang dahulu terkenal sebagai sentra penghasil susu sapi terbesar di Jakarta kini hanya menyisakan beberapa peternakan, milik Ridho salah satunya. Kampung sapi sudah ada sejak tahun 50-an. “Seluruh daerah kuningan dulunya merupakan peternakan sapi,” papar Ridho, “satu peternakan paling sedikit punya 40 sapi.” Dahulu, peternakan sapi tersebar cukup luas, mulai dari Jalan Gatot Subroto, Setiabudi, hingga Karet. Saking besarnya, tiap peternakan bisa mempunyai hingga lima pekerja. Tentang asal-usulnya, tidak banyak yang mengetahui sejarah Kuningan bisa menjadi sebuah kampung sapi karena para peternak yang masih bertahan hanya meneruskan peternakan secara turun-temurun. Namun, tentang dipilihnya sapi perah sebagai ternak bukan tanpa alasan. Sapi ini dipilih karena manfaatnya yang banyak, jumlah susu yang dihasilkan relatif stabil, dalam sehari satu sapi dapat menghasilkan 14-15L susu dan apabila sudah tua, sapi tersebut bisa dipotong atau dijual. Kampung sapi bisa menjadi besar karena memang banyak faktor yang menunjang. Semisal, Kuningan dulu merupakan daerah dengan kebun yang luas, maka rumput untuk pakan sapi mudah didapat. Selain itu, banyak juga terdapat


Ketua RT 003/05 Kuningan Jakarta Selatan. Puncaknya, pada 1980-an, di Kuningan yang dahulu masih berupa kebun, dengan pesat mulai berganti dengan gedung-gedung tinggi. Pribumi Kuningan berangsur tergusur, tak terkecuali para peternak sapi perah. “Sekarang hanya beberapa warga asli yang beternak sapi, bisa dihitung jari,“ jelas Ridho. “Sepanjang tahun ada saja peternak yang beralih profesi ataupun pindah ke tempat lain untuk beternak.” Bagi yang tergusur mereka diganjar 15-20 juta rupiah per-meter sebagai harga jual tanah mereka. Pelepasan tanah berdasar kesepakatan antara pihak pengembang dan warga. Pembeliannya pun dilakukan secara bertahap, makanya masih ada beberapa peternak yang bertahan. Walaupun sebenarnya, beberapa peternak bertahan, karena belum menyepakati harga jual tanah mereka, asal harga cocok mereka tak enggan pindah. Para peternak yang telah tergusur ada yang tetap bertahan menjadi peternak, mereka berkumpul di Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Pondok Ranggon dipilih karena kondisi geografis disana mendukung untuk didirikannya peternakan. Memang tak semua peternak hijrah ke Pondok Ranggon. Selain Ridho, masih ada Nurdin yang masih bertahan di Kuningan dan sekitar sepuluhan peternak lainnya. Nurdin masih bertahan dengan alasan mempertahankan tradisi keluarganya sebagai peternak sapi perah, ia

adalah generasi ketiga yang meneruskan peternakannya. Namun, Semakin gencarnya pembangunan di Kuningan hingga kini, membuat Nurdin tak melihat celah untuk bertahan. “Saya sudah beternak selama berpuluh tahun. Kini tempatnya sudah tidak cocok, cari pangan susah,” ujar Nurdin. Nurdin enggan melanjut peternakannya lantaran nanti kawasan Kuningan memang tidak akan menyisakan pemukiman konvensional, yang ada berupa kondominium, apartemen, dan gedung pelengkapnya. “Kampung sapi kini telah berubah menjadi sebuah gedung pencakar langit,” ungkap Darmansyah. Ridho juga turut mengamini kondisi kampung sapi dan Kuningan kini yang telah berubah menjadi sebuah megapolitan dari Jakarta. Para peternak makin lama makin habis. Padahal, susu sapi dari Kuningan masih punya banyak peminat. “Ada beberapa peternak yang sengaja menyediakan waktu nya khusus untuk mengantar susu dari pagi sampai sore hari” tambah Ridho. Tetapi apa mau dikata Kampung sapi dengan lenguhan sapi, bau kotoran sapi, dan peternak yang saban sore memerah sapi kini cuma jadi kenangan. Kenangan yang mencatat bahwa Kuningan dahulu pernah menjadi daerah pemasok susu sapi tersohor di Jakarta. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 33

# halaman tiga

DIDAKTIKA/SARI WIJAYA

Salah satu peternakan sapi perah yang masih bertahan di Kuningan


SUPLEMEN Didaktika-Edisi 41- 2011

Tugas para pemerah sapi; Membersihkan Kotoran, Memerah susu, memandikan sapi..

Kisah si Pemerah Oleh Ranthy Aprilly

Selain faktor ekonomi, kecintaan terhadap pekerjaan membuat para pemerah tetap bertahan hingga saat ini.

# halaman empat

T

angan kanan Darsono bergantian memerah sapi, sementara itu tangan kirinya sesekali menepuk paha sapi guna menenangkan sapi agar tidak berontak saat diperah. Lima menit kemudian ia telah selesai memerah satu sapi. Sambil membawa ember hitam yang belum terisi penuh oleh susu sapi, Darsono bergegas pindah ke sapi lainnya untuk memerah lagi. Ia melangkah enteng dengan sepatu boot di atas tanah becek kandang sapi. “Setiap hari pukul setengah tiga sore, saya sudah mulai memerah sapi,” ujarnya. Ada 20 sapi yang harus ia perah tiap sorenya di kandang sapi milik Ahmad Ridho. Darsono, pria asal Kebumen yang bekerja di peternakan sapi perah milik Ahmad Ridho. “Disini yang ngangon cuma Darsono, jadi semua pekerjaan dilakukan olehnya,” jelas Ahmad Ridho. Makanya, setelah semua sapi berhasil diperah Darsono, ia harus mengumpulkan se-

34 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

mua hasil perahannya di bale tempat susu biasa dikumpul. Setelah itu, ia harus memberi makan sapi, juga memandikan sapi dan membersihkan kandang. Tugas Darsono belum selesai sampai situ, ia juga harus mengemasi susu dalam kemasan jual. Namun, sore itu Darsono dibantu Ridho untuk mengemasi susu karena ada calon pembeli yang ingin membeli susu. “Setiap pagi dan sore pasti ada saja konsumen yang membeli susu disini, biasanya mereka membeli dua sampai tiga plastik,” papar Ridho. Ridho menjelaskan biasanya yang membeli langsung ke peternakannya adalah pelanggan sejak lama. Pelanggan tersebut masih membeli susu disini karena susunya masih murni, belum ditambah pengawet dan perasa, rasanya masih alami. Dengan harga lima ribu rupiah per-kemasan satu liter, Ridho biasa mendistribusikan dengan cara menjualnya dengan distributor. “Biasanya datang pagi hari, dan menjual ke daerah Kota,”


Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 35

# halaman lima

DIDAKTIKA/SARI WIJAYA

jelas Darsono. ”Di Kota, masih banyak yang mengonsumsi susu sapi murni.” Darsono, salah satu dari sedikit pegawai peternakan sapi perah yang masih bertahan di Kuningan. Ia telah menjadi pemerah sapi dari 15 tahun yang lalu. Padahal, menurut Darsono sepuluh tahun yang lalu rekan sesama pemerah di peternakan lain masih banyak. “Dulu, satu peternakan bisa lebih dari tiga orang yang ngangon sekarang tinggal beberapa orang saja,” ceritanya. Makin berkurangnya para pengangon tak lain tak bukan karena makin banyak pemilik peternakan sapi yang menutup usahanya. Sejak Kuningan dijadikan daerah konsentrasi pembangunan pada masa Orde Baru, peternakan sapi perah di Kuningan semakin sedikit. Padahal dahulu, Kuningan terkenal sebagai daerah penghasil susu sapi terbesar di Jakarta. Selain Darsono, ada Ramlan yang masih betah menjadi pemerah sapi. Ramlan, merupakan pemerah di peternakan Nurdin, Jalan Kembang. Sama seperti Darsono, Ramlan berasal dari Kebumen. Ia memulai peruntungannya di Jakarta pada 1984. Mulanya, Ramlan bekerja sebagai buruh di pabrik pembuatan onde-onde. Namun, karena gaji yang didapat dari bekerja di pabrik tersebut dirasa tidak mencukupi pemenuhan kebutuhannya, ia akhirnya menjadi pemerah sapi. Pilihan menjadi pemerah dilakoni Ramlan

dengan gaji sebesar Rp.500.000 perbulan pada tahun-tahun pertamanya. Hanya saja, pekerjaan barunya ini tanpa libur. “Gaji yang saya dapatkan cukup untuk makan sehari-hari dan buat anak sekolah di kampung,” ujarnya. Darsono juga kurang lebih mendapatkan gaji yang sama diperoleh Ramlan dari kerjanya sebagai pemerah. Pendapatan yang besar membuat Darsono dan Ramlan kerasan bekerja menjadi pemerah. Kini gaji yang diterima makin bertambah. “Sekarang saya nerima 1,4 juta ditambah beras satu karung dari Haji Ridho,” papar Darsono. Sementara itu, tak jauh berbeda, Ramlan memeroleh Rp1,5 juta perbulan dari hasil bekerja di peternakan Nurdin. Pendapatan mereka juga bisa bertambah tiap bulannya. Ramlan dan Darsono juga biasa memanfaatkan kotoran sapi untuk dijadikan pupuk untuk dijual kembali. “Sambil kalo ada waktu luang saya ngurus pupuk kandang disini, dikeringkan lalu saya jual ke perumahan,” ujar Darsono. Satu karung pupuk dijual Rp40.000 oleh Darsono. Dari hasil menjual pupuk, Darsono bisa membiayai hidupnya sendiri di Jakarta. “Lumayan buat makan dan beli rokok disini,” katanya. Sementara uang dari hasil kerjanya di peternakan bisa ia kirim utuh ke istri dan anak-anaknya di kampung, Kebumen. Ramlan juga tak mau ketinggalan, ia turut memanfaatkan kotoran sapi guna dijadikan pupuk kandang. Ramlan malah telah memiliki pelanggan tetap untuk pupuk kandang yang ia jual. Ialah Haji Nanan, seorang pedagang tanaman dan pupuk yang telah lama menjadikan Ramlan menjadi penyetok bagi pupuk jualannya. “Pupuk olahan Ramlan, kualitasnya bagus, makanya banyak laku,” ujar Haji Nanan. Menurut Haji Nanan, Ramlan merupakan sosok pekerja keras dan kreatif makanya pupuk olahnaya berkualitas baik dan harganya murah. Selain karena pendapatan yang menggiurkan dari pekerjaanya, Darsono dan Ramlan masih bertahan sebagai pemerah sapi hingga kini karena merka merasa sangat mencintai pekerjaanya dan sapi. Mereka berdua merasa punya kontak batin bahkan bisa berkomunikasi dengan sapi. Sapi-sapi sudah sangat melekat dalam diri mereka. Saking lekatnya, pernah suatu ketika Darsono hingga membantu proses persalinan seekor sapi. Awalnya, Darsono melihat ada gelagat yang aneh pada sapi yang sedang hamil. Sapi itu


# halaman enam

DIDAKTIKA/SARI WIJAYA

Didaktika-Edisi 41- 2011

SUPLEMEN

Sebuah gubuk di tengah kandang sapi yang merupakan tempat tinggal Darsono.

ogah diberi makan, tidak bergerak banyak, juga jarang melengking suaranya. Benar saja, ternyata sapi tersebut memang ingin melahirkan. Sebenarnya, sapi bisa saja melahirkan tanpa bantuan manusia, tapi kecintaan pada sapi membuatnya sigap membantu persalinan agar berlangsung cepat. Mulanya, Darsono membaringkan sapi tersebut dan membantu mendorong anak sapi dari perut induknya. Saat si anak sudah terlihat, Darsono segera menariknya keluar, tak lupa ia memotong tali pusar anak sapi tersebut dengan gunting yang telah dipersiapkannya. “Susah seperti dokter saja,” candanya.” Pengalaman yang tak akan terlupa buat saya.” “Bila kita memperlakukan sapi dengan penuh kasih sayang, pasti dia akan menurut dengan kita. Sapi bisa kenal dengan yang ngangon,” timpal Ramlan. Walaupun demikian, tak selamanya sapi bersikap ramah pada Ramlan. Saat itu Ramlan hendak memerah sapi seperti biasa, terlebih dahulu ia memberi pertanda memerah susu dengan menepuk tangannya ke paha sapi. Baru saja ia ingin mengambil susu dari si sapi, tiba-tiba si sapi berontak, kaki kanan belakang sapi menghantam kepala Ramlan hingga berdarah. Ramlan terpental. “Sampai sekarang bekas tendangannya masih ada di kening berupa garis yang cukup panjang,” papar Ramlan sambil menunjukkan bekas lukanya. Setelah kejadian tersebut, bukannya kapok 36 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA berurusan dengan sapi, Ramlan malah makin

mencintai sapi. Sapi sudah jadi bagian yang tidak bisa dipisahkan bagi hidup Ramlan. Ini terbukti saat ia memutuskan buat tetap menjadi pemerah bila nanti pemilik peternakannya sudah enggan melanjutkan usaha peternakannya . Ramlan ingin menuju Pondok Ranggon, Jakarta timur nanti. Disana berkumpul mantan peternak sapi perah di Kuningan yang masih ingin mempertahankan peternakan sapi perah. “Saya tidak boleh putus asa karena anak-anak saya masih butuh biaya sekolah,” cetusnya bersemangat. Ia berharap banyak di Pondok Ranggon masih ada yang memberi pekerjaan sebagai pemerah sapi. “Sapi sudah melekat erat dalam diri saya,” Darsono lain lagi niatnya, peternakan sapi perah di Kuningan yang makin lama makin berkurang membuat ia tak banyak bisa berbuat. Ia juga lebih memilih pulang kampung ketimbang hijrah ke pondok Ranggon seperti Ramlan. “Saya ingin pulang kampung saja, mungkin beternak atau membuat usaha,” Darsono mengutarakan niatnya. Sebenarnya dalam hati kecil Darsono masih terselip niat bertahan menjadi pemerah sapi. Belasan tahun hidupnya lebih banyak dihabis di kandang sapi membuatnya merasa betah dan mendalami sapi. “Sebenarnya saya masih ingin ngangon sapi. Tapi ada daya, saya hanya orang kecil yang tidak bisa apa-apa,” keluhnya.


DIDAKTIKA/SARI WIJAYA

Pekerja proyek pengembangan Mega Kuningan sedang beristirahat

Kuningan

Tinggal Kenangan

Oleh Sari Wijaya

S

iapa pernah menduga di daerah Segitiga Emas Kuningan masih tersisa sebuah kampung dengan gang-gang sempit? Pun, siapa yang menduga di dalam gang sempit itu masih terselip sebuah peternakan sapi perah yang pernah jadi pusat sentra susu sapi terbesar di Jakarta? Ya, daerah Kuningan yang sempat terkenal sebagai sentra susu sapi terbesar di Jakarta masih ada. Salah satunya di Gang Kembang, peternakan sapi perah milik Haji Nurdin Walau dengan kondisi mati segan hidup tak mau, Haji Nurdin masih bertahan dengan lima belas ekor sapinya. Kelima belas sapinya ia ikat dalam kandang berukuran 15x8 meter menggunakan tali tambang plastik. Haji Nurdin telah merintis peternakan sapi perahnya sejak 1970-an. Sebenarnya, peternakan sapi perah ini warisan orang tuanya yang diteruskan kepada Haji Nurdin. “Dari kecil saya udah diajarin ngeguyang(memandikan sapi-Red), memberi makan sapi dengan dedek yang dicampur dengan ampas tahu dan garam,� ujar Haji Nurdin. Dahulu, saking jayanya kampung sapi daerah distribusinya hampir ke seluruh Jakarta. Biasanya

daerah yang jadi incaran adalah Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Haji Nurdin sendiri biasanya menjadikan daerah Roxy, Jembatan Lima, Bojo, Grogol, dan sekitar Jakarta Barat untuk daerah pemasarannya. Konsumennya juga bukan cuma orang pribumi,melainkan orang-orang asing. “Kalo dulu, susu laku di sekitar sini, orang dari China, Arab, India banyak yang beli,� cerita Haji Nurdin. Haji Nurdin biasa menjual susu tersebut dengan harga Rp.14.000 per botol. Kini, untuk mengurusi peternakan sapinya, ia dibantu seorang pegawai. Umurnya yang makin menua membuat Haji Nurdin tak kuat lagi menangani sapi-sapi sendirian. Makanya ia berencana menyudahi usaha ternak sapi perah turun temurun ini. Anak-anaknya juga tak diniatkan untuk meneruskan peternakan, karena mereka sudah mempunyai pekerjaan tetap. Ada yang bekerja di pabrik keramik, ada yang menjadi asisten dokter. Sebenarnya, niat Haji Nurdin untuk menyudahi usahanya bukan hanya datang dari faktor internal melainkan juga faktor eksternal. Dan sebenarnya ini Edisi 41 -dijadi 2011 - DIDAKTIKA 37 yang paling mempengaruhi. Kuningan sudah

# halamantujuh

Dahulu, Kuningan dinamai karena banyak tumbuhan kemuning. Sekarang Kuningan dikenal dengan kuning lampu dari gedung tinggi.


SUPLEMEN Didaktika-Edisi 41- 2011

# halaman delapan

kan target pembangunan menjadi kawasan Central Business District (CBD) semenjak Orde Baru. Kala itu pula pembangunan gencar dilaksana, mulai dari pusat perbelanjaan, pusat hunian mewah, hingga perkantoran yang terintegrasi satu sama lain. Pembangunan besar-besaran tersebut yang kemudian menyingkirkan peternak-peternak sapi perah lainnya. Kuningan yang dulu terkenal dengan penghasil susu sapi terbesar di Jakarta kini hanya menyisakan Haji Nurdin dan sedikit peternak lainnya yang masih bisa dihitung jari. “Sebentar lagi juga mau pada dijual sama yang punya gedung di sana,” keluh Haji Nurdin. “Saya juga gak tau nanti kalo digusur mau pindah kemana.” Haji Nurdin tahu bahwa beberapa tahun lagi, Kuningan akan total dijadikan pusat bisnis yang tidak akan menyisakan kampung tempat tinggalnya, apalagi peternakannya. Peternak lainnya yang masih mempertahankan usaha sapi perah malah sudah lebih dulu hijrah ke Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Sedangkan yang tak ingin pindah terpaksa beralih profesi menjadi pemilik kost, atau penyedia jasa parkir. Usaha tersebut dipilih karena dirasa lebih menguntungkan dibanding mempertahankan sapi perah. “Di sini warga aslinya yang peternak-peternak dulu, pindah ke Pondok Rangon, sisanya pendatang yang usaha lahan parkir, kost-kostan dan lahan parkir,” ujar istri Haji Nurdin. Hal ini ditunjang oleh makin banyak pendatang yang bekerja di Kuningan. Usaha selanjutnya yang menggiurkan adalah usaha lahan parkir. Banyak rumah-rumah yang menyewakan sedikit lahannya untuk digunakan parkir. Hal tersebut dikarenakan biaya parkir di perkantoran lebih mahal. Jika di perkantoran biaya parkir per jamnya bisa mencapai 2000 sedangkan di rumah warga hanya dikenakan 4000 dari pagi sampai sore. Kuningan yang kini mencolok dengan nuansa elegan ibukota, ternyata lahir dari pergulatan kepentingan. Warga asli terpaksa harus menyingkir demi berdirinya gedung-gedung kokoh. Haji Nurdin turut merasa perbedaan saat kawasan ini masih banyak peternakan sapi perah. Dulu banyak kebun tempat peternak mencari pakan buat sapinya, kini yang ada gedung mewah yang menjulang tinggi. Makanya banyak peternak yang tak mampu bertahan karena sulit mencari pakan. Dahulu, mayoritas warga Kuningan adalah orang Betawi yang punya peternakan sapi perah atau pabrik tahu, ampasnya berguna buat tambahan pakan sapi. Sebagaimana orang Betawi, nilai kekerabatan juga erat dipegang. Mereka sering kumpul saat ada hajatan, tahlilan, atau selametan. Namun, kini hal demikian sukar ditemu karena banyak warga asli 38 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

yang hijrah. Terpinggirnya warga asli memang bukan semata paksaan dari pihak pengembang kawasan Kuningan, melainkan karena tawaran yang menggiurkan atas tanah yang ingin dibeli. “Begitulah kebutuhan, terdesak sama lembaran cebanan. Bodolnya (ahli waris) gak mau mempertahankan,” ujarnya lagi. Pilihan untuk hijrah jadi pilihan lebih masuk akal ketimbang bertahan. Bagaimana tidak, tanah permeter dihargai 15-20 juta. Lagipula, semenjak banyak gedung tinggi, daerah kuningan sering dilanda banjir. Peyebabnya tak lain tak bukan karena bangunanbangunan yang ada. Gedung-gedung dibangun lebih tinggi dari pemukiman warga, sehingga saat hujan tiba aliran air bermuara ke pemukiman warga. Ditambah kebun, lahan kosong dan tanah yang semestinya yang semestinya jadi lahan resapan air juga sudah tiada. Makanya, opsi untuk menjual lahan dan hijrah jadi pilihan yang lebih menguntungkan dan masuk akal. “Di sini (Jl. Perintis-Red) saja, warga asli hanya tersisa 27 keluarga,” ujar Darmansyah, ketua RT 03 di Jalan Perintis. “Sisa warga asli di sini tinggal 60 persen, tidak tahu kalau nanti digusur mau pindah kemana?” Darmansyah dahulu juga punya peternakan sapi perah, kemudian ia tutup karena makin lama usahanya makin tak memberi untung. Setelah itu, ia sempat mendirikan pabrik tahu, namun tak berlangsung lama. “Saya mah udah males ngurus sapi, sekarang saya mending ngurus anak asuh. Saya sudah punya 232 anak asuh,” tuturnya. Hari-hari Darmansyah kini memang lebih disibukkan dengan mengurusi anak-anak asuhnya. Ia mendirikan sebuah yayasan di masjid yang berfokus membantu anak-anak yang kurang mampu. Kini yayasannya telah memiliki 232 anak asuh. Tentang metamorfosis Kuningan, Darmansyah, warga asli juga turut merasa kehilangan akan kondisi Kuningan masa lalu. Saat masih banyak lapang rumput, empang tempat ia biasa bermain dan memancing waktu kecil. “ya lebih enak zaman dulu, kalo sakit tidak usah ke dokter cari saja dedaunan di sekitar sini. Bisa sembuhin penyakit seperti sariawan, panas dalam,” kenang Darmansyah. Bicara mengenai tumbuhan, ternyata nama Kuningan berasal dari tumbuhan kemuning yang kala Kuningan masih berupa kebun-kebun masih banyak hidup. sekarang, kemuning sudah jarang didapat, yang ada pendar kuning lampu-lampu kota yang menyilaukan warga asli Kuningan.


A

Peluntur Budaya Berorganisasi oleh Satrio Priyo Utomo

Pembinaan Bidik Misi di UNJ telah gagal mencapai tujuan peningkatan prestasi ekstrakurikuler.

sap putih terus mengepul dari panci berdiameter 25 cm. Diaduknya kacang hijau yang telah direbus selama sepuluh menit itu dengan sedotan plastik. Kemudian ia meraba daun telinga panci yang sudah berkarat, tanpa pelindung. Dalam hitungan detik panci itu berpindah. Dituangkannya bubur kacang hijau itu ke dalam dua gelas. “Ya, seperti ini kegiatan gue seharihari di kosan. Masak, nyuci, semuanya dikerjain sendiri. Sepulang kuliah, paling di kosan aja,” ujar Ogi. Sambil meniupkan bubur kacang hijau ia kembali berujar, “Habis, kalau di kampus, selesai kuliah kerjaan gue cuma nongkrong aja. (Padahal) gue suka banget sama sastra, main drama atau baca puisi,” tambahnya, “tapi apa boleh buat… .” Dia adalah Ogi Apriyadi, mahasiswa disable yang kuliah di jurusan Bimbingan Konseling UNJ. Ogi mengeluhkan kekurangannya sebagai mahasiswa tuna netra dalam berinteraksi di dalam kampus. “Sebenarnya, ormawa di UNJ terbuka sama mahasiswa disable. Karena gue pemalu, mungkin tahun depan gue bakal coba ikut ormawa,” tuturnya. Ogi yang tercatat sebagai mahasiswa penerima Bidik Misi ini punya keluhan terkait minatnya tersebut. “Gue juga harus bagi waktu antara belajar, berorganisasi dan waktu buat bermain. Gue pilih belajar karena Bidik Misi menjamin kuliah gue sampai kelar,” ceritanya. Ia mengurungkan niatnya untuk aktif di organisasi mahasiswa (ormawa). Akhirnya Ogi memilih organisasi pemerintahan mahasiswa (opmawa) tingkat jurusan. Pertimbangannya lebih praktis dan tidak menyita waktu. Seperti Ogi, Ira Rahmawati Harnum, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) juga menerima Bidik Misi. Ira juga memilih opmawa. “Berorganisasi di jurusan tidak akan menunda perkuliahan,” ujar gadis yang punya target lulus empat tahun. Ira pun memprioritaskan kegiatan akademik. Dan di semester satu Indeks Prestasi (IP) Ira paling tinggi di fakultasnya. Ira juga berkeinginan mengembangEdisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 39


KAMPUSIANA

40 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Indonesia. “Nilai IP minimal di UNJ 2,75. Dua semester IP-nya di bawah itu akan kita cabut dan dilimpahkan ke yang lain,” terang Pembantu Rektor III Fakhrudin Arbah yang juga penangung jawab program beasiswa Bidik Misi di UNJ. Dalam hal peningkatan prestasi ekstrakulikuler, UNJ belum mempunyai desain pembinaan yang jelas. “Kita suruh mereka memilih organisasi yang ada di UNJ,” ungkap Fakhrudin. Ujungnya pembinaan yang dilakukan UNJ sifatnya hanya mendorong dan memotivasi mahasiswa. Padahal mereka diharapkan memiliki kecakapan di segala bidang. Hingga kelak mampu memotong rantai kemiskinan. Lantas UNJ mengambil langkah taktis dengan menyerahkan hal ini ke UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Namun, hal ini tidak diketahui oleh pengurus UKM. “Wah, gue gak tau kalau Bidik Misi itu ada poin pembinaan ekstrakurikuler,” papar Niki Segara Mahardika Ilyas, Ketua Umum Unit Kesenian Mahasiswa. Fenomena ini menjadi masalah bagi unit kegiatan mahasiswa atau ormawa di UNJ. Menurunnya jumlah pendaftar sampai sepinya acara yang dibuat ormawa mengisyratkan turunnya budaya aktif berorganisasi. Dari jumlah 4200 mahasiswa angkatan 2010 tidak mencapai tigapuluh persen yang berkontribusi di ormawa.

“Jumlah pendaftar di sini masih statis. Tapi untuk anak Bidik Misi, tidak ada yang bertahan,” ungkap Ramdan, Kadiv PSDM di Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam (KMPA) Eka Citra. “Padahal acaraacara kita juga sudah disesuaikan dengan waktu kuliah mereka. Bahkan kami memberikan surat izin kalau Eka Citra mengadakan kegiatan yang menyita waktu,” tambah Ramdan. Pada dasarnya peningkatan prestasi akademik terdapat tiga poin: intrakurikuler, co-kurikuler, dan ekstrakulikuler. Sayangnya UNJ belum mampu mengembangkan ketiganya sekaligus. Mayoritas penerima Bidik Misi lebih memilih mempertahankan nilai intrakurikulernya; kemampuan co-kurikuler dan ekstrakurikuler disisihkan. Seperti yang dirasakan Ogi, Ira, dan Kiki masalahnya mereka memiliki keterbatasan waktu dan harus fokus pada akademisnya. Absurditas pembinaan Pembinaan UNJ diawali dengan memberikan kegiatan Pelatihan life skill dan outbound. Kegiatan di alam terbuka ini dilaksanakan pada awal Desember 2010. Kegiatan bertujuan membentuk Kanan atas: Kegiatan di Kampung Bidik Misi UNJ Kanan bawah: Ogi apriadi Bawah: Gedung Student Center UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

INSTITUT/KHALISATOSURRUR LILIS

kan minat dan bakatnya di ormawa. Ira mahir dalam kegiatan baris berbaris. Alumni SMA Negeri 1 Tambun Selatan ini pernah menjuarai lomba Pasukan Kibar Bendera (Paskibra) tingkat kecamatan. Kemauan Ira sebetulnya difasilitasi salah satu ormawa di UNJ, yaitu Resimen Mahasiswa (Menwa). “Gue sempat daftar. Tapi sewaktu akan wawancara dan tes lainnya berbenturan sama kuliah dan acara di jurusan,” keluh Ira. Kemudian Ira pun memutuskan fokus di opmawa jurusannya. Khabibatul Fatkhi berbeda. Mahasiswi penerima Bidik Misi ini tidak mengikuti ormawa maupun opmawa. Hanya Forum Bidik Misi yang ia ikuti selain kuliah. “Di sini gue bisa dapet info seputar Bidik Misi,” ungkap Kiki, panggilan akrabnya. Ia alpa dalam acara Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Jurusan yang dilaksanakan oleh opmawa Jurusan Ilmu Sosial Politik. Ketika itu PKMJ berbenturan dengan kegiatan pembinaan Bidik Misi. Akibatnya, “Gue di sana cuma simpatisan. Karena kalau di jurusan gue, gak ikut PKMJ, gak bisa jadi pengurus.” Kiki punya minat besar pada dunia tulis-menulis. Karena tidak berorganisasi, ia rajin ikut seminar tentang karya tulis ilmiah. “Sebagai gantinya, tiap ada seminar gue ikutin. Kan lumayan tuh dapat sertifikat. Modal buat melamar kerja,” ujar Kiki sembari senyum. Ogi, Ira dan Kiki adalah tiga dari 450 mahasiswa penerima Bidik Misi di UNJ. Program beasiswa ini memberikan bantuan dana selama empat tahun untuk mahasiswa strata satu (S1), dan tiga tahun untuk program diploma tiga. Pada 2010 Bidik Misi memberikan bantuan dana sebesar Rp.5.000.000 tiap semesternya. Dana yang dikucurkan melalui Kementerian Pendidikan Nasonal (Kemdiknas) ini diberikan bukan tanpa syarat. Ada syarat dan ketentuan yang diatur dalam buku pedoman Bidik Misi. Salah satunya, nilai minimal IP yang harus dicapai oleh penerima. Tiap Perguruan Tinggi Penyelenggara (PTP) mempunyai ketentuan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)


DIDAKTIKA/SATRIO PRIYO UTOMO DIDAKTIKA/SATRIO PRIYO UTOMO

nilai kolektivitas dan nilai kemandirian ini menghabiskan dana sebesar Rp.157.500.000. Kegiatan ini tidak sepenuhnya dihadiri 450 mahasiswa penerima Bidik Misi. Setiap individu dibekali biaya transportasi untuk mencapai lokasi kegiatan dengan cara ngangkot. “(Nyatanya) ada kok yang datang diantar pakai mobil dan pulangnya naik taksi,” terang Jeumpa Rahma, mahasiswi Pendidikan Bahasa Jepang. Pembinaan dilanjutkan dengan pelatihan soft skill dan pelatihan penulisan ilmiah. Dalam pelatihan penulisan ilmiah diarahkan pada Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT). Mahasiswa mengeluhkan sosialisasi yang mendadak serta pemberian alokasi waktu yang singkat. Sehingga ide atau gagasan yang keluar bersifat praktis dan tidak se-

muanya mengikuti pembinaan ini. “Ide gue waktu PKM GT tentang transkavator. Ini membantu pengguna Transjakarta supaya tidak capek lagi jalan ke loket,” ujar Ira. Pada acara tersebut Ira sempat lucu dengan ide yang dibuat temannya, “Ada yang nulis tentang pembuatan flying fox dari kampus B ke kampus A.” Menurut temannya hal ini berguna untuk civitas akademika, dan baginya ini merupakan manifestasi dari pengabdian masyarakat. Perihal pembinaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah melakukan pembinaan ketika mahasiswa telah dinyatakan sebagai penerima Bidik Misi. Bagi mahasiswa yang berasal dari luar kota difasilitasi dengan asrama. “Awalnya cuma setengah dari seratus penerima Bidik Misi yang masuk asrama. Tapi sekarang sudah semuanya,” ungkap Djafar Sanusi, Kasubag Kesejahteraan Kemahasiswaan UIN Syahid. Pembinaan yang dilakukan UIN Syahid tersebut bermaksud monitoring kegiatan mahasiswa sehari-hari. Di dalam asrama, selepas kuliah mahasiswa diberi pembinaan berupa materi tambahan, seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan pengajian. Di asrama, mahasiswa dapat melakukan diskusi tentang kesulitan yang dialami selama perkuliahan. Kegiatan diberikan oleh tim khusus yang melibatkan dosen dan mahasiswa dengan garis instruksi yang jelas. Aturan di dalam asrama pun terbilang ketat. Mahasiswa tidak diperkenan-

kan pulang di atas pukul 21.00. Serta larangan untuk melakukan kegiatan yang melanggar norma serta menggangu ketertiban dan kenyamanan. “Kalau ada yang melanggar Bidik Misinya akan kita limpahkan ke yang lain,” tegas Djafar. Hal ini belum bisa dilakukan UNJ sebab asrama mahasiswa belum siap digunakan. “Mungkin tahun 2011 baru bisa kita masukkan ke asrama,” ujar Fakhrudin Arbah. Padahal Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) sudah menyiapkan sejumlah dana untuk pembinaan ini. Pasca tiga pembinaan yang dilakukan UNJ di atas, belum ada bentuk pembinaan lain. Padahal, dalam pedoman Bidik Misi PTP wajib melakukan monitoring dan evaluasi. Hal ini untuk menilik efektifitas pembinaan yang telah dilakukan terhadap perkembangan penerima. Hadirnya Bidik Misi tidak seharusnya melunturkan antusiasme mahasiswa berorganisasi. Kalaupun ada, dalam berorganisasi mereka hanya menjadi partisan dan simpatisan. Padahal untuk mampu mengaktualisasikan diri, melakukan eksperimentasi pemikiran serta pendewasaan diri tidak dapat hanya sekadar menjadi simpatisan. Hadirnya Bidik Misi menjadikan mahasiswa berorientasi pada nilai, baik materi maupun nilai akademik. “Kenapa subsidi ini berbentuk live service, kenapa tidak masuk ke dalam kurikulum. Hal ini hanya akan membentuk mahasiswa menjadi pragmatis dan apolitis,” papar Irsyad Ridho, dosen JBSI. Dosen Sosiologi yang juga mantan aktivis senat mahasiswa, Ubeidilah Badrun bercerita seputar pengalamannya berorganisasi. Baginya organisasi bisa menjadi alat pengontrol kebijakan pemerintah. Kondisi opmawa yang gemuk secara keanggotaan sangat sulit untuk mengembailkan peran organisasi yang sesuai esensinya. Hari ini pemerintah pintar, mampu membungkam kritisisme mahasiswa melalui beasiswa yang begitu mengikat. Dampaknya antusiasme mahasiswa turun dan regenerasi organisasi jadi buruk. Ubeidilah pun berpendapat, “Bidik Misi harus dievaluasi total. Bila perlu dihentikan.” Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 41


OpiniMahasiswa

Udang Honoris Causa oleh Fathoni*

Sesuai dengan namanya kepentingan selalu mengambil peran “penting” dalam setiap kebijakan.

JJ

ika seorang Indonesia harus menulis autobiografinya, mungkin sekali ia akan mencantumkan kata-kata itu, terlepas secara implisit atau eksplisit, karena antagonisme pribadi pada masa ini sudah terlalu pekat membawa warna. Pahlawan penjernih pun bak sapi ompong yang ditusuk hidungnya jika menyangkut kepentingan pribadi. Mungkin Anda juga. Kita dilahirkan dalam sebuah negara yang sama, sejarah mencatat belum pernah ada peradaban muncul tanpa adanya pergolakan hegemoni, yang tak serta merta tentram, sunyi, aman, damai seperti harmoni musik klasik. Tanah ini memang tanah tumpah darah. Sehingga semangatnya selalu membara. Membara untuk kepentingan. Peribahasa “ada udang di balik batu” yang memiliki arti ada maksud lain, di era sekarang sudah tidak relevan digunakan, karena kenyataanya udang lebih besar dari batu. Keadaan semakin ironis ketika udang dengan cepat berkembang biak dan dibekali dengan kemampuan kamuflase tingkat tinggi, hibernasi juga disandang untuk menghadapi kondisi mendesak. Alhasil semua aspek kehidupan terjamah. Dunia pendidikan yang notabene tempat orang-orang pintar tak luput dari udang berkepentingan. Mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, merata kebijakannya tak lepas dari kontroversi. Kontroversi memang menunjukan hidupnya demokrasi tetapi bisa juga menjadi indikator celah adanya beberapa kepentingan yang tidak sejalan dengan lainya. Universitas Indonesia akhir-akhir ini adalah sebuah gejala. “Sengkarut Rektor, Raja dan Ruyati” kalimat ini menjadi booming akhir-akhir ini, khususnya di universitas yang mendapat julukan jaket kuning ini, pasalnya terkait pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud oleh Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri. Sebenarnya pemberian gelar Doktor Humoris Causasindiran yang diberikan para aktivis-bukan hal yang luar biasa di dunia pendidikan, banyak kepentingan yang mendasarinya baik individu atau kelompok. Banyak negara dan perguruan tingginya mendapat sorotan negatif karena pemberian gelar DR HC sangat subjektif dan sarat pada kepentingan politik dan ekonomik semata. Contoh yang paling fenomenal adalah pemberian gelar kehormatan pada Eks Presiden George W. Bush dari Yale Univesity yang menuai kritik dari mahasiswa dan sivitas akademika. Pemberian gelar pada tokoh politik serupa yang menuai kritik juga menimpa Margaret Tatcher (eks PM Inggris) Karena gelar doktor kehormatan lebih mudah terbawa ke arah politis dan finansial semata, mungkin langkah Massa42 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

chusetts Institute of Technology (MIT), Stanford University, Cornell University, University of Virginia, London School of Economics and Political Science, yang hampir tidak pernah memberikan gelar DR HC boleh ditiru oleh UI. Pemberian gelar DR HC kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz sebenarnya berbeda jauh dengan pemberian kepada Lionel Woodville sekitar tahun 1470 yang kemudian dikenal sebagai Uskup Wilayah Salisbury, tetapi sama-sama terasa aneh di kalangan masyarakat. Jika pemberian gelar kepada Lionel terasa aneh karena memang sebelum abad ke-16 itu bukan hal yang lazim, berbeda dengan pemberian gelar kepada raja Arab Saudi yang terasa aneh karena mekanisme, prosedur, dan sarat yang tidak tersosialisasi dengan jelas, pernyataan guru besar yang tidak tahu menau soal pemberian gelar memperlengkap keanehan. Kejanggalan juga terlihat pada tempat pemberian gelar yang seharusnya diberikan di kampus bukan di luar kampus. Karena mahasiswa saja yang menuntut ilmu bertahun-tahun di kampus, sudah pasti akan ditolak jika meminta diwisuda di rumahnya sendiri dengan alasan sakit sekalipun, tetapi ternyata pemimpin sebuah negara memiliki kans tersendiri yang bisa mengubah semua itu. Kepentingan patut dipertanyakan untuk ini, seloroh menjual lambang UI memang pantas terlontar. Terlepas dari itu, gelar yang disematkan terkait isu penegakan HAM. Padahal kita tahu realita yang terjadi masih banyak penganiayaan, pemerkosaan bahkan hukuman pancung yang terjadi di Arab Saudi. Pembelaan karena kondisi raja yang kurang sehat tidak bisa menutupi kentaranya kepentingan yang diusung. Pembelaan rektor dengan alasan keputusan pemberian gelar sudah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu patut dipertanyakan mengingat ternyata lakon protes bukan hanya dari kalangan mahasiswa saja, tetapi juga guru besar yang kita tahu ikut dalam


Lembaga Majelis Wali Amanah yang ikut merumuskan penghargaan doktor. Misalkan kita berandai-andai. Andai pemberian gelar bisa ditunda mungkin nama UI akan tetap baik, dan keburukan rektornya tidak akan terungkap bahkan kekosongan statuta di UI, bahkan masalah tata kelola UI pasca dihapuskanya Undang Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak terdengar sampai keluar. Akan tetap tentram walau dana mahasiswa digunakan 1,5-1,8 juta perbulan untuk pakan anjing dan ikan peliharaan rektor, akan tetap tenang walau ada dana 44 juta untuk pencitraan rektor lewat majalah. Pemberian gelar sebenarnya hanyalah sebuah momen yang dirasa tepat untuk melaksanakan sebuah kepentingan. Kepentingan segelintir orang, mungkin. Yang bisa melihat celah sebuah kebijakan. Kesalahan dari yang terkecil sampai yang tidak penting keluar kepermukaan, tanpa mengingat jasa yang lalu, bak kemarau setahun dihapus hujan sehari. Isu pemberian bantuan dana dari pemerintah Arab Saudi kepada UI yang melatarbelakangi pemberian gelar sempat digulirkan juga sebagai bumbu penyedap masakan yang sebenarnya sudah terasa sedap. Tuduhan rektor memiliki kepentingan, baik pribadi atau institusi yang mengesampingkan hati nurani bangsa Indonesia karena terkait kasus Ruyati bisa benar dan bisa juga salah. Bahkan jika ditilik lebih dalam peghembusan isu tersebut kental dengan kepentingan. Pemilihan rektor yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 2012 cukup bisa menjadi alasan menjalankan sebuah cara untuk sebuah kepentingan yang bernama kursi rektor. Hanya pencarian simpati dan pencitraan atau malah penjatuhan nama lawan. Semuanya sudah menjadi hal lumrah, sekeliling pun sudah terbiasa dengan lagu “setuju” ala Iwan Fals demi terisinya periuk nasi. Kebiasaan berpolitik latah di negara terasa terbawa di sini. Melihat perbedaan ranah yang diutarakan rektor sebagai pledoi terhadap ungkapan“UI tidak berhati nurani” karena memberikan penghargaan kepada pemimpin negara yang negaranya melakukan hukuman mati terhadap warga Indonesia, sebenarnya blunder ketika di lain sisi rektor berujar pemberian gelar bisa mempererat hubungan Indonesia dengan Arab Saudi, yang terlihat melibatkan ranah pendidikan dan politik kenegaraan. Masalah pemberian gelar seharusnya tidak menjadi suatu isu besar. Terlihat lucu, jika isu ini digunakan untuk menggulingkan rektor. Toh nyatanya mediasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah akan mengikis semuanya. Isu permissiveness yang melibatkan Siti Fadilah yang melakukan plagiat di kampus UI, dan isu adanya mobilisasi untuk kuliah bersama secara tiba-tiba yang diajar oleh dosen tamu (presiden direktur bank), sedangkan mahasiswa masih diajar oleh dosen yang terjadwal sebenarnya lebih seksi. Apalagi mengenai penggunaan dana mahasiswa untuk kepentingan rektor yang sewajarnya malah bisa ditarik ke ranah yang lebih tinggi atau ranah hukum karena memang dengan jelas melanggar peraturan. Membangun sebuah kepercayaan membutuhkan waktu seumur hidup tetapi hanya butuh bebepara jam saja untuk meruntuhkanya, setidaknya istilah itu cocok untuk Khadafi jika

melihat masyarakat yang anti terhadapnya, dan semoga para intelektual kampus yang memiliki visi “Veritas, Probitas, Iustitia” itu tidak demikian, dan lebih beradab dalam dunia peradaban sekarang ini. UI sebagai salah satu universitas terkemuka di negara kita merupakan representasi kehidupan intelek negara. Kekisruhan disana juga bisa digunakan sebagai indikasi pengaturan pendididkan oleh negara yang tidak begitu baik. Banyak memang yang kita alami bersama negara ini. Dentam dan darah, badik dan bedil, celurit dan api, hadir dalam layar sesak kesadaran kita. Bahkan yang berkepentingan itu pun terungkap dalam bahasa politik kita. Untuk menghantam musuh-musuhnya dan meloloskan kepentingan masing-masing munculah banyak gaya. Bung Karno memperkenalkan kata ganyang dan kremus. Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan istilah babat. Yang pertama membayangkan kekuatan meluluhlantakkan dengan rahang dan gigi, yang kedua menyiratkan satu hantaman dengan parang, untuk merobohkan lalang dan belukar. Kebesaran universitas memang bisa dilihat dari sejarah dan peradaban yang elegan. Namun, tak setiap universitas kiranya punya sederet pengalaman dahsyat itu dalam satu generasi. Kekerasan dan kebengisan memang ada dalam setiap kurun, tapi pada suatu tahap, hal-hal itu bisa saja surut dan berubah jadi legenda. Atau jadi kisah nyata, tapi yang membikin heran. Atau semacam pornografi, yang dikutuk sebelum disembunyikan di bawah bantal. Sengkarut rektor, raja dan Ruyati bisa saja menjadi suatu catatan kaki buku sejarah. Sudut pandang sudah pasti berbeda tergantung penulis dan kepentingan penulisan sejarah nantinya. Sejarah peradaban akan tertulis, bisa berliku mengikuti likunya kepentingan. Hanya saja kita, di sini, bukanlah sekadar tukang cerita. Suka atau tak suka, kita pelaku. Kita mungkin juga korban dan sasaran sekarang atau berikutnya. Di Inggris, Australia, dan Slandia Baru gelar doktor tidak digunakan walau sudah menyandangnya. Doktor Maya Angelou merupakan panggilan populer pemilik nama Maya padahal tanpa penghargaan dan tanpa kuliah untuk mendapatkanya. Di sini lebih terasa asli karena pengakuan nama doktor langsung oleh masyarakat tanpa ada kepentingan. Golongan biasanya kerap menjadi pertimbangan pemberian gelar ini. Pada waktu kunjungan James I ke Universitas Oxford pada tahun 1605 misalnya, 43 dari rombongan beliau (15 diantaranya merupakan golongan bangsawan tinggi dan ksatria) mendapatkan Gelar Kehormatan Master of Arts dari Universitas Oxford dan mereka tercatat sebagai yang memiliki kesarjanaan penuh. Kepentingan terus bergulir menembus ruang dan waktu tak terbendung, tetap mengalir dimusim kemarau dan terasa kering di musim banjir. Intelektual itu tahu apa yang terjadi, penguasa juga tahu, bahkan adikmu bisa tahu kepentingan terjadi. Namun temannya, seorang awam, bertanya, “Kenapa hal semacam ini bisa dibiarkan?” Dan, tentu saja, yang ditanya hanya diam. “Saya juga punya kepentingan di sana” bisik hatinya. *Pemimpin Umum UKPM Teknokra Universitas Lampung

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 43


Opini Dosen

Bergerak Di Negeri Orang oleh Abdul Syukur*

B

angsa Indonesia merupakan sedikit dari bangsa di Asia yang memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan. Sebagian besar kemerdekaan bangsa di Asia diberikan oleh pemerintah kolonialnya. Oleh karena itu bangsa Indonesia patut berbang-

ga diri. Salah satu episode perjuangan yang menarik diperhatikan adalah perjuangan kaum terpelajar Indonesia di negeri Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Hindia Belanda, banyak pelajar Indonesia yang melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda. Di sana mereka tidak hanya tenggelam dalam tumpukan buku tetapi juga berjuang memperoleh kemerdekaan untuk bangsanya yang terjajah. Bahkan sesungguhnya mereka yang pertama kali menemukan identitas kebangsaan untuk menyatukan perjuangan. Identitas kebangsaan itu dapat dilihat dari nama organisasi yang mereka dirikan pada 1908 di Leiden, yakni Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Indische merupakan identitas kebangsaan yang dipilih kaum terpelajar dan menolak identitas inladers (bumiputera) yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penolakan mereka mudah dipahami karena inlanders mengandung makna yang merendahkan. Den Haag, Leiden, dan Amtserdam merupakan tiga kota yang menjadi pusat kegiatan Indische Vereeniging. Kegiatan utama mereka adalah mengumpulkan dana bantuan pendidikan. Isu yang diangkat mempunyai kemiripan dengan organisasi Budi Utomo di Batavia. Pengangkatan isu bantuan dana pendidikan membuat kegiatan mereka mendapat dukungan dari para tokoh politik etis seperti Abendanon dan van Deventer. Kegiatan Indische Vereeniging berubah setelah kedatangan tiga orang tokoh pergerakan nasional dari Hindia yang sedang menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda pada 1913, yaitu Dr. Doewes Dekker atau Setia Budi, dr. Tjipto Mangukoesoemo, dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ketiganya dikenal sebagai tokoh utama Indische Partij (Partai Hindia) dan pengelola surat kabar De Expres. Pada 1922, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan menggunakan Indonesische, mereka sesungguhnya telah memutus hubungan historis dan emosional dengan golongan kolonialis yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pemilik tanah Hindia Belanda. Hal itu diambil dari gagasan Prof. van Vollenhaven yang menyebut wilayah Hindia Belanda sebagai Indonesisch dan penduduknya disebut Indonesier. 44 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Mereka mengembangkan gagasan Vollenhaven sehingga Indonesisch tidak sekedar nama suatu wilayah tetapi identitas kebangsaan. Bahkan mereka mengganti nama organisasi mereka yang semula berbahasa Belanda dengan bahasa Indonesia, yakni Perhimpoenan Indonesia (PI). Langkah pertama yang sangat penting dilakukan kepengurusan PI adalah membereskan majalah Hindia Poetera terbit pertama kali pada 1909. Majalah ini tebalnya 16 halaman dengan format brosur yang biasa dengan oplah sekali terbit sebanyak 300 eksemplar. Namun selalu mengalami kekurangan dana sehingga penerbitannya tidak teratur bahkan berhenti terbit sejak 1920. Padahal majalah ini penting dalam menyebarkan gagasan-gagasan kemerdekaan kepada seluruh pelajar Indonesia yang tinggal di negeri Belanda. Mohammad Hatta bertanggung jawab membenahi majalah ini. Pada 1922, ia diangkat sebagai bendahara pengurus pusat PI. Sidang redaksi Hindia Poetra yang pertama diadakan di rumah Soebardjo, Leiden, Sabtu malam tanggal 1 Oktober 1922. Nama Hindia Poetera pun berganti Indonesia Merdeka. Hatta menjabat Pimpinan redaksi. Isi terbitan perdananya menegaskan adanya kesamaan antara perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dengan perjuangan kemerdekaan Bangsa Belanda dari penjajahan Spanyol. Selain itu, juga ditegaskan orang Indonesia tidak lagi bersedia menyebut negaranya Hindia Belanda seperti orang Belanda yang tidak mau menyebut Nederland-Spanyol.


Pelajaran tentang sejarah Belanda dan cerita keberanian orang Belanda melawan Spanyol telah menyalakan semangat melawan pemerintahan asing. Semua karangan yang diterbitkan Indonesia Merdeka sampai ke tanah air. Kemudian secara sembunyisembunyi menjadi bahan bacaan populer di kalangan kaum terpelajar. Dalam salah satu edisi Indonesia Merdeka, muncul sebuah tulisan yang dikenal dengan "Manifesto 1925". Isinya menyangkut ketegasan sikap: Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri, tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun dalam pemerintahan sendiri itu, tapi tujuan perjuangan ini sulit dicapai tanpa persatuan kukuh dari berbagai unsur. Tulisan-tulisan pengurus PI di Indonesia Merdeka langsung menyulut kemarahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Untuk menghentikannya, para orang tua mereka diancam dipecat (bagi ambtenaar / pegawai pemerintahan) dan menghilangkan hak pensiun jika mengirimkan uang untuk anaknya. Ancaman yang sama juga ditujukan kepada orang tua yang non ambtenaar. Hatta termasuk salah seorang yang tidak menerima kiriman uang lagi dari orang tuanya. Walaupun begitu, Hatta dan teman-temannya terus bergerak meski tidak lagi dikirimi uang dari orang tuanya. Pada 17 Januari 1926, Hatta terpilih sebagai ketua umum PI. Ia menyampaikan pidato pelantikannya yang nanti menjadi terkenal, yakni Economische Wereldbouw en Machtstegenstelingen (Bangunan ekonomi dunia dan pertentangan kekuasaan). Pada kepemimpinan Hatta, PI meningkatkan propaganda perjuangan untuk mendapatkan dukungan para aktivis kemerdekaan di Eropa. Dalam hubungan ini, Arnold Monohutu, anggota PI yang dikirim ke Paris berjasa banyak. Diadakan kembali hubungan dengan beberapa orang mahasiswa Asia dan alumninya. Atas jasa Arnold perwakilan PI diundang mengikuti Kongres Internasional untuk perdamaian di Bierville, kota kecil dekat Paris, yang digagas oleh March Sangnier, mantan anggota Parlemen Perancis. Karena pada Juli 1926 Hatta akan pergi ke Paris, PI memilih dirinya sebagai perwakilan mahasiswa Indonesia. Ia memanfaatkan kesempatannya berpidato pada pembukaan kongres untuk memperkenalkan Indonesia di luar negeri. Akhirnya semua memahami dan menyetujui pergantian Hindia Belanda menjadi Indonesia. Bahkan orang-orang Belanda akhirnya mau menyebut Indonesia. Sejak Kongres Bierville itu PI semakin diakui sebagai wakil bangsa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan internasional. Pada Februari 1927 pengurus PI diundang dalam pembentukan Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Berlin, Jerman. Delegasi PI terdiri dari Hatta, Nazir Pamoentjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf, seorang wakil PI di Mesir. Dari Berlin, Hatta dan seluruh anggota delegasi PI kembali ke negeri Belanda. Pada September tahun itu juga, ia diundang untuk berpidato dalam bahasa Perancis tentang L’Indonésie et Son Probléme de L’Indépendence (Indonesia dan masalah kemerdekaannya) pada acara Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian

dan Kemerdekaan di Gland, Swiss. Dari Swiss, Hatta ke Paris. Ia tinggal beberapa hari di sana. Pada 23 September 1927 kembali ke Den Haag, Belanda. Setelah beberapa hari kembali di Den Haag, datang dua orang polisi ke rumah Hatta dengan membawa surat perintah penahan. Ia dibawa ke penjara di Casius-straat. Di sana, ia bersama tahanan Nazir Pamoentjak, Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Mereka ditahan dalam penjara selama lima setengah bulan. Empat bulan dari masa itu, tiap siang hari antara jam 13.30-17.30 mereka dibawa menghadap rechter commissaris yang melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dua orang pengacara Belanda, Mr. Duys dan Mr. Mobach menjadi pembela mereka. Penawaran ini datang dari seorang advokat muda yang kenal dengan Nazir Pamontjak sewaktu masih menjadi mahasiswa, yaitu nona Weber. Perkaranya disidangkan di Den Haag pada 8 dan 9 Maret 1928. Atas perjuangan Mr. Duys, Hatta dan kawan-kawan dibebaskan dari tahanan preventif selama menunggu keputusan hakim terhadap kasusnya. Banyak orang yang dikenal dan tidak dikenal memberikan ucapan selamat atas kemenangan di pengadilan. Ada yang bersorak mengatakan bahwa masih ada hakim di Den Haag. Kasus Hatta disidangkan kembali pada 22 Maret 1928. Agenda sidang pada hari itu hanyalah mendengarkan keputusan mahkamah yang membebaskannya dari segala tuntutan. Semuanya bergembira dengan keputusan ini, terkecuali Westenink, mantan Gubernur Sumatera Barat yang diangkat oleh Menteri Jajahan menjadi advisur (pengawas) mahasiswa. Ia terpaksa meletakan jabatannya karena malu. “Dialah yang mengusahakan sampai kami dibawa ke muka pengadilan,” jelas Hatta. Pada tanggal 20-27 Juli 1928, Hatta mengikuti Kongres Liga Menentang Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang kedua di Frankfurt, Jerman. Dari Frankfurt, ia ke Wina dan Budapest, Austria, dan tinggal di sana selama dua minggu. Setelah itu kembali ke negeri Belanda. Hasil kongres dilaporkan oleh Hatta kepada seluruh anggota PI dalam rapat pada bulan Oktober 1929. Pada akhir rapat anggota itu, Hatta mengatakan bahwa waktunya sudah tiba untuk mengundurkan diri dari jabatan ketua PI. Ia mengusulkan, Abdullah Syukur untuk menggantikannya. Usul ini diterima oleh rapat. Hatta ingin berkonsentrasi untuk menyelesaikan kuliahnya di Nederland Handelhogeschool. Ia lulus tahun 1930 dengan menyandang gelar doktoraandus bidang perdagangan (sekarang ekonomi). Banyak tawaran bekerja di Belanda, tetapi ia memilih pulang kampung pada 1932 untuk melanjutkan perjuangan di tanah air yang meredup setelah pembubaran PNI dan penangkapan Ir. Soekarno beserta tokoh-tokoh PNI lainnya. Sesampainya di tanah air, Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia yang bila disingkat juga menjadi PNI dan menerbikan majalah Daulat Rakyat yang dijadikannya sebagai corong PNI. Ia membagi waktu kerja: empat hari di Jakarta dan tiga hari di Bandung, karena Bandung adalah tempat kedudukan Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia. *Dosen Jurusan Sejarah UNJ Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 45


RUANG SASTRA

BUKU TIDAK BISA oleh Hamzah Muhammad Al-Ghozi* Duduk, duduk, dan duduk. Ya, Si Tuan sudah terbiasa tersiksa semenjak vonis dokter diterimanya. Belakangan hari mukanya menjadi sering murung, lebih buruk dari pada 2 bulan sebelum ia mengetahui penyakit yang menjangkiti tubuhnya. Kedua lengannya kurus. Sangat lemas jika diperhatikan, sungguh. Lebih sedih lagi, tulang pinggangnya, kiri dan kanan, tampak menonjol tak berdaging. Entah ini akibat kurang makan, atau diagnosa penyakit semakin menggerogoti kekhawatiran sehingga enggan untuk makan. Sekali ia hendak makan, perlu dengan paksaan. Atau barangkali sekarang ia sedang berpura-pura untuk merasa baik-baik dan sehat walafiat. Dan tidak menganggap segala masalah ada di pihaknya. Artinya, ia menjalani rutinitas hidup dengan biasa, tapi sepenuhnya di hatinya: ia memendam kehancuran yang membingungkan. Buktinya, air wajah murungnya seperti masih menyimpan tawa dan canda. Tetapi, anehnya, bila diperdengarkan, tawa candaan akan lebih seram dari pada rintihan seorang gila yang dirudung putus asa. –– o –– –––– Sore ini. Si Tuan meminta kepada Si Pembantu rumah setianya, agar mengantarkannya ke taman belakang rumah. Tepat: ia duduk di kursi roda, sambil menjentikkan jemarinya di selipan buku yang sedang dibacanya. Tempo-tempo ia memalingkan wajahnya ke langit terbentang di atas tembok tinggi yang membatasi pekarangan taman. Lalu ia kembali membolak-balik halaman demi halaman buku. Di tembok pembatas rumahnya dengan rumah tetangga sana, ada tumbuhan merambat yang dapat hidup dengan keterbatasan. Ia sejenak berhenti membaca. Tiba-tiba ia merasa hidupnya seperti tumbuhan merambat itu. Liar dan tak terurus. Haus tanpa kejelasan akan sumber air. Pikirannya menjelma cuaca yang tak menentu. Penyakitnya seperti musim penghujan dan kemarau yang tak menentu di negeri Tropis ini. Paling tidak, Ia terjepit karena musim penghujan –– padahal hujan sama sekali tak kunjung turun–– sebentar lagi menutup usia, sedangkan musim kemarau mulai menunjukkan batang hidungnya. Kepalanya pelan-pelan disandarkan ke bantalan kursi rodanya. Maka tak lama setelah itu, ia menjerit keras sekali, “Tidaaak!”. Mendengar itu, Si Pembantu rumah memeluk dirinya, lalu menangis. Histeris. Di atas sana, di langit bercakrawala luas: ada burung yang leluasa terbang dengan kecepatan angin dari kepakan sayapnya. Burung itu bernama walet. Begitu bebas jadi dia, katanya, dengan irama dengki. Setelah menyadari Si Pembantu tersedu di sampingnya, kepalanya pun tertunduk tak mau melihat ke langit lagi. Ditutupnya buku ditangannya. Matanya terpejam. Nafasnya pelan sekali. Ia mencoba merasakan desir darah yang mengalir dalam tubuhnya.

46 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Si Pembantu bingung. “Tuan, apa tuan tidak kenapa-kenapa?” tanyanya pelan. Tidak ada respon balik. Tapi terlihat bibirnya menyimpul ke atas. Majikannya seperti senyum. Seolah senang sekali. Maka, pembantu itu pelan-pelan mendorong kursi roda ke dalam rumah, tiada bermaksud mengusik. Dan hari mulai gelap. Buku dalam genggaman terjatuh. Si Pembantu itu tak menyadari. Ternyata terserang stroke itu memang tidak menyenangkan. Sebagaimana buku yang terlantar tak terbaca, tersungkur di lantai. Tak satupun mempedulikannya. –– o –– –––– Magrib, 18:20. Astaga! Ia rupanya lupa meminum obat sejak habis makan tadi siang. Mestinya, si pembantu mengingatkan. Tapi aneh, hari ini saja keduanya silap, tidak ingat tentang obat sama sekali. Maka, ketika selepas waktu sembahyang, mereka sadar, kemudian kembali ke ruang tengah di mana benda kecil bulat dan pahit terletak di atas meja makan. Sesekali ia mengeluh. “Sakit, sakit, sakit…” lenguhnya lemah seperti diam, tapi dengan muka putus asa. Di lain itu, dengan sejurus sigap Si Pembantu mengambilkan obat-obatan beserta segelas air putih. “Ini obatnya, silakan diminum tuan.” Bujuk si pembantu pelan, agar majikannya meminum obat. “Kau tahu. Tidak berguna bagiku lagi meneguk semua benda pahit bentuknya bulat-bulat ini!” sanggahnya dengan nada sesal penuh diiringi dengan batuk mendadak. Sambil ia mengangkat kepala. Si Pembantu agak gemetar tubuhnya mendengar perkataan demikian. “Mengapa tuan bicara demikian?” balas si pembantu dengan gugup. “Sebab,” tanggapnya dengan sedikit tersedak, “buku ini telah merusak semua impianku.” Ia sambil menunjuk ke bawahnya, ke lantai di mana buku itu sekarang tergeletak. “Tuan tidak baik bicara demikian. Maaf, kalau saya lancang. Tapi, ini demi pulihnya kesehatan tuan.” Tutur Si Pembantu penuh iba. Maka, tiada diduga maka Si Tuan berteriak kedua kalinya, dan kali ini menghasilkan suara lebih bising hingga terdengar sampai ke rumah tetangga sebelah. Sampai tukang jualan makanan keliling yang biasa lalu lalang jam segini berhenti sejenak, di depan rumah. Tetapi entah, ‘apa yang sebenarnya terjadi’. Mungkin, itu pertanyaan yang datang di pikiran tukang jualan. Di Pos Ronda, para warga mulai berkumpul ramai. Mereka bertanya; Ada apa? Apa apa? –– o –– –––– Minggu, 7 bulan silam. Di sebuah ruang kantor penerbitan. Si Tuan masih terlihat sibuk menghabiskan waktu bercengkerama. Sudah sedari sore, ia tak makan. Sekarang pukul 21:00. “Cukup. Aku sudah bisa mendapatkan honor penerbitan bukuku, kapan? Tanya kepada Seorang Itu selaku Kepala Bagian Penerbitan.


“Ya, kau tunggu saja. Barangkali sehabis dua pekan lagi.” Timpalnya ringan. “Lama sekali. Aku sudah tak sabar.” “Kenapa? Kau tak dapat makan malam ini?” Seorang Itu tertawa menyindir. “Tidak, tentu tidak. Aku hanya mengetes kepekaanmu saja.” “Mengapa?” “Sebab, aku yakin karyaku akan meledak di pasaran, dan karierku, tentu saja, melesat.” Ia menopang dagu dengan kedua telapak tangan, seperti ia yakinkan perkataannya, “….kau tahu, buku leadership semacam ini sedang laris peminatnya.” “Ya, tapi jangan kau besar kepala dahulu.” “Lho, apa lagi yang perlu diragukan?” Si Tuan mulai kembali meluncurkan argumen. Lanjutnya, “Manusia kita sekarang lekas bahagia dengan hal-hal yang manis. Coba saja kau kemas buku ini dengan menarik. Buat sampul yang eye catching. Pasti laku.” “Dari mana kau tahu itu?” “Ah. Kau ini bagaimana. Aku sudah banyak melihat perkembangan gaya hidup masyarakat kita sekarang ini.” Tambahnya, “Mereka gampang puas dengan janji.” “Kau tidak tahu diri. Mana bukti yang lebih meyakinkanku? Lantas, apa yang sebenarnya kau mau?” “Coba, coba kau tengok media belakangan hari. Di koran, sering kulihat iklan sebuah acara “Training Kesuksesan” dengan tema dan judul yang megah. Seperti: Seminar Sukses dalam 3 Jam”. Ini sudah gila. Mana mungkin dalam 3 Jam seorang dapat dikatakan sukses? Tetapi bagiku sangat menguntungkan. Ini yang kusebut ‘gampang puas pada janji’.” Mereka bercakap-cakap sama halnya debat kusir. Pada akhirnya Kepala Bagian Penerbitan itu memilih diam, meski ia belum sepenuhnya menangkap maksud Si Tuan. Sedangkan Si Tuan, masih sibuk dalam berpanjang lebar menjabarkan pikiran, sebab guna membujuk Seorang Itu. Agar ia proses penerbitan karyanya dikerjakan tepat waktu. Selang berpamit untuk undur diri, Si Tuan melontarkan senyum ketika keluar melangkah ruangan. Kakinya ringan, tangannya mengayung riang. Namun ia tiada mengerti, bahwa optimisme kerap bermuka dua: manis dan pahit. –– o –– Seorang Itu –yang habis berdebat tadi– itu mengambil secarik kertas dari salah satu laci meja kerjanya. Diambilnya pulpen, lalu menulis: Buku itu bukan untuk uang. Tapi untuk cinta. Cinta pada kepedulian membangun masyarakat yang terbangun kesadarannya, kepintarannya, dan kesahajaannya. Ia menangis sendirian. Si Tuan yang singgah di tempatnya telah memberi luka. Jadi mungkin, selama ini dia salah. Selama ini ia tak punya jasa. Hanya membodohi masyarakat pembaca saja. Ya, ia memang pernah bercita-cita punya uang miliyaran. Tapi, justru dengan usahanya dan jerih keringat, ia terberatkan hatinya. Ia tak tahu, kenapa pasar menyulap kecenderungan komoditas di mana buku adalah buku yang bersampul saja tanpa diketahui isinya. Sekali ini, Seorang Itu berpikir begitu keras. Ia bangkit dari kursi. Lalu membuka ponsel genggamnya yang

ditaruh di saku kemeja. Di layarnya, saat itu juga ia mengetik dengan hati-hati: “Bukumu itu baik –mungkin hanya untukmu yang menerima honor pribadi. Atau popularitas segalanya. Terpenting adalah pembaca. Siapa yang terbohongi? Masyarakat itu adalah tanggung jawab intelektual sepertimu.” Karena direpotkan pening kepalanya, Seorang Itu seperti digiring masuk ke sebuah taman perbatasan. Tapi, ia tak duduk di kursi roda. Tempo-tempo ia memalingkan wajah ke langit di atas tembok tinggi yang membatasi pekarangan taman. Lalu membolak-balik halaman demi halaman pikirannya. Namun, pada akhirnya ia tersadar kalau ia sedang berdiri, melihat tumbuhan liar menjalar di tembok. Ia sebentar berhenti menatap itu semua. Tiba-tiba ia merasa hidupnya seperti tumbuhan merambat. Tak terurus. Haus tanpa kejelasan akan sumber air. Dengan tergesa, berikut ragu yang seluruh. Ibu jarinya tangannya menekan satu per satu keypad ponsel. Untuk kedua kali, Seorang Itu mengirim pesan singkat lagi pada seorang di sana yang baru saja angkat kaki dari ruangannya: yaitu Si Tuan. “Kami memutuskan untuk menunda penerbitan bukumu. Sampai batas waktu tertentu. Pertimbangan kami antara lain; masyarakat luas yang perlu dimajukan, bukan dibohongi.” –– o –– Si Tuan mengingat lagi pesan tersebut, pukul 23.00 malam ini. Ia melempar pandang ke sekeliling kamar; di jendela seperti ada yang mengetuk. Ketika dibukanya; ada sosok samar di gelap pandangannya. Ia cuma mendengar : “Kau pasti bisa. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa.” Suara itu menyerbu bertubi-tubi, begitu ricuh. Gendang telinganya seakan ingin pecah. Jantungnya tercekik ketakutan yang sangat. Ia seperti dikeroyok ratusan manusia yang tak pernah dikenalinya. –––– Keesokan harinya. Si Pembantu dikejutkan dengan jasad yang tak bernyawa, yang tak lain adalah mayat Si Tuan majikan. Saat membuka pintu, dan melihat dengan mata-kepala bahwa tubuh Si Tuan lebam, dari mulutnya keluar darah yang tak lagi berwarna merah, melainkan putih. “Tuan, mengapa kau tinggalkanku sendiri. Kenapa kau tak bilang, kalau kau ingin mati?” teriak Si Pembantu sambil menggoyangkan tubuh bisu itu. Tidak ada reaksi apa-apa. Maka, dibaliknya jasad Si Tuan, ia perhatikan wajahnya: sia-sia. Dan tepat di samping pinggang kiri kurusnya, terdapat sebuah buku –barangkali buku yang telah membunuhnya. Judul buku itu: HARUS BISA Dalam hati yang terdalam, Si Pembantu berjanji patuh. Ia akan menjaganya, sekalipun ia telah tertipu dengan sampulnya. Sekalipun selama hidupnya ia hanya termuslihat oleh janji. Maka, karena saking cintanya pada sang majikan, di akhir hayatnya, ia mengubah judul buku tersebut menjadi: BUKU TIDAK BISA. Oleh sebab itu, Si Pembantu menganggap, buku ini yang telah menghentikan kebohongan Si Tuan.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Jakarta Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 47


abtu siang, pukul 12.00, gerimis membasahi Jalan Manunggal XVII. Di sebuah rumah berukuran 15 x 4 meter, bernomer 35, bercat putih, seorang laki-laki membaringkan badannya di karpet merah kembang-kembang. Suara orang mengaji terdengar dari saluran radio khusus orang Betawi, radio Rodja. Seorang wanita menghampiri laki-laki tersebut dan membangunkannya, “Pakpak, ada tamu.” Laki-laki itu bangkit, tersenyum dan mengenakan peci hitam. Menutupi rambut putihnya. Sarung kotak-kotak melengkapi baju koko panjang merah muda yang sedikit acak-acakan ditubuhnya. Laki-laki ini bernama Ali Sabeni. Lakilaki kelahiran tahun 1934 ini merupakan pemain Samrah tertua yang masih hidup. “Tahun ‘60-an, saya sedang giatgiatnya bermain musik. Terus saya bertemu keluarga bekas pemain Samrah tahun ‘20-an, orang tua generasi kedua.

REPRO/ISTIMEWA

S

Seni Budaya

Dari Tanah Abang Terus Berme oleh Citra Nuraini

Ketiadaan pekem dan tuntutan zaman memaksa samrah terus mengubah bentuknya. Katanya bikin ini musik namanya Samrah. Ini musik asli Tanah Abang. Nah itu awalnya Samrah,” ungkap Sabeni. Samrah dilahirkan di Tanah Abang pada abad 18 awal. Kala itu, Tanah Abang merupakan pusat perdagangan para pendatang dari Cina, Melayu, India, Arab, Pakistan dan Malaya. Di Tanah Abang, para pedagang tak cuma berdagang. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi. Embrio membentuk kelompok musik muncul ketika anak muda Betawi beserta tetangganya dari Arab, Melayu dan India berkumpul dan bermusyawarah. Kelompok musik ini mereka namakan Samrah. Nama Samrah diambil dari bahasa arab ‘samarokh’ yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata ‘samarokh’ diucapkan oleh orang Betawi menjadi ‘sambrah’ atau yang lebih dike48 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

nal ‘Samrah’. Dengan niat membentuk kelompok musik, mulailah mereka membawa alat musik dari negaranya masing-masing. Orang Betawi membawa gendang calte, malaka, dan tamborin. Lalu, orang Arab membawa ols, orang Melayu membawa fiur atau biola, dan orang India membawa harmonium. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang sifatnya berbalas pantun. Pengaruh melayu yang kuat kala itu membuat lagu pengiringnya menggunakan lagu melayu. Seperti lagu Anak Ikan, Anak Kala, Anak Raja Turun Beradu, dan sebagainya. Agar lebih menarik, orkes ini turut menghadirkan penari. Tari Samrah bisa dilakukan berpasangan atau perorangan. Gerakannya mirip dengan tari melayu yang mengandalkan langkah kaki dengan lenggang yang berirama, posisi mem-

bungkuk, dan jongkok. Bedanya, tari Samrah punya gerakan salawi, yaitu gerakan jongkok hampir seperti duduk bersila. Salawi lebih dari sekedar membungkuk, sehingga membutuhkan keterampilan tersendiri. Biasanya penari Samrah turun berjoget dengan diiringi orkes Samrah dan nyanyian seorang biduan. Iramanya pun bisa lembut bisa cepat. Kedua kesenian ini sering dipentaskan pada pernikahan Betawi yang mengenal tradisi malam mangkat dan maulid. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk mendengarkan pembacaan maulid karangan Al-Barjanzi. Setelah itu, mereka mementaskan musik dan tari dilanjut dengan cerita. Kala itu, cerita dibacakan oleh penonton atau tamu undangan. Sebagai hiburan dan hobi saja. Jadi sifatnya spontan. Ma-


Kiri: Pertunjukkan Orkes orkes samrah

kanya, pertunjukan dapat dilakukan di atas panggung maupun tanpa panggung, yakni hanya dengan pentas berbentuk arena sesuai dengan keadaan tempat. Pun dengan kostum, di Betawi, orang biasa datang menggunakan jas, kain plakat dan peci saat menghadiri pernikahan. Pakaian itu yang kemudian menjadi seragam utama. Tak cukup bermusik dan menari para pemainnya juga turut membuat tonil Samrah demi menyempurnakan kesenian Samrah.Tonil ini merupakan pengembangan dari teater bangsawan yang disebut Durmuluk. Durmuluk berasal dari melayu riau dengan cerita sahibulhikayat

etamorfosis dan komedi stambul. Lengkaplah kesenian Samrah berisi musik, tari, dan tonil. Orkes-nya ideal beranggotakan 10 orang, 8 pemain musik dan 2 penyanyi. Sedangkan tari Samrah dan tonil Samrah tidak mempunyai pakem jumlah. Walaupun demikian, Samrah hanya berisi lelaki. Pengaruh islam yang kuat pada masyarakat Betawi Tengah membuat perempuan dianggap haram berkumpul dengan lelaki, terlebih berkesenian. Dari Tanah Abang, Samrah terus berkembang ke daerah Betawi Tengah lainnya. Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar, dan Petojo. Uniknya, orkes Samrah mampu berdiri sendiri, sedangkan tari Samrah dan tonil Samrah tidak bisa diitampilkan tanpa iringan orkes Samrah.

DIDAKTIKA/CITRA NURAINI

Kanan: Ali Sabeni

Selama perkembangannya, Samrah tak selalu mulus. Pada 1940-an, masa pendudukan Jepang sempat jadi batu kerikil. Pemerintah kolonial Jepang bersifat represif terhadap kebudayaan pribumi, tak terkecuali Samrah. 1950-an, Samrah muncul kembali dan memulai metamorfosisnya. Dimulai dengan dominasi harmonium pada orkes Samrah. Selain itu, perempuan mulai ambil peran dalam Samrah, karena nilai keagamaan di Betawi kala itu lebih beragam. Tak berhenti sampai disana, makin kuatnya pengaruh kebudayaan melayu di nusantara membuat Samrah lebih dikenal sebagai orkes melayu. Namun, penggunaan harmonium mulai jarang, karena sulit didapat. Alternatifnya, digunakanlah akordeon. “Temen-temen Samrah sekarang ini tidak memakai harmonium tapi arkodeon, yang suaranya hampir mirip,” ungkap Rudi Haryanto, Kepala Bagian Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Makin berkembanganya kondisi Jakarta juga terus membuat Samrah bermetamorfosis. Orkes Samrah tak lagi menggunakan lagu melayu, melainkan bahasa Betawi dengan beragam dialek. Bentuk seperti ini membuat nama orkes Samrah kembali lebih popular ketimbang orkes melayu. Walaupun demikian, kini dalam pementasan Samrah, grup Samrah yang masih bertahan punya pilihan sendiri sebagai lagu pengiring. Ali Sabeni menilai, lagu-lagu pengiring musik Samrah ialah lagu-lagu melayu tinggi. “Itu kan lagu-

lagunya melayu lama, orang betawi lama. Jadi kalo orang tanah abang dialeknya kaya orang melayu,” ujar Ali sabeni. Pendapat berbeda disampaikan Fifi Muntaco, anak Firman Muntaco salah satu seniman Samrah yang terkenal pada masa jayanya. Musik Samrah memiliki lagu pengiring tersendiri. Lagu-lagu itu memiliki dialek melayu Betawi tersendiri, berbeda dengan dialek Melayu tinggi. Baginya, musik Samrah dengan dialek melayu tinggi, lebih mirip orkes melayu. “Klo menurut ajaran orang tua saya. Itu bukan Samrah. Itu musik Melayu. Walau Samrah pengaruhnya dari Melayu, itu melayu. Samrah punya musik sendiri,” sanggah Fifi. Jika dulu tempo musik dan lagunya cenderung lambat dan mendayu-dayu, maka tempo musik dan lagu saat ini lebih cepat. Metamorfosis, didorong oleh perubahan zaman dan ketiadaan pakem bagi Samrah. Grup Ali Sabeni yang biasa menyanyikan lagu melayu asli, saat penontonnya dari kalangan anak muda, lagu-lagu melayu modern yang bertempo lebih cepat turut dipilihnya. Seperti: Asmara Dewi, Bahtera Laju, Bayangan, Bimbang Ragu, Lembaran Bunga, Diambang Sore, Lagu Rindu. Selain dari segi lagu dan tempo musik, perubahan juga terjadi pada alatalat musiknya. Penyesuaian terjadi karena onderdil alat musik produk tua sulit didapat, seperti harmonium yang diganti arkodeon. Kini, group Samrah tidak ada yang benar-benar akustik, salah satu alat ada yang menggunakan listrik. “Sekarang tidak ada yang bener-benar akustik. Pasti ada listrik-listriknya,” ujar Fifi Dari segi pakaian pementasan pun turut beragam, nama pakaiannya jung serong (ujungnya serong). Terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan penetolan satu warna dan sepotong kain yang dililitkan di bawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke bawah. Sejak awal, Samrah memang tak punya pakem. Oleh karena itu, sangat memungkinkan baginya untuk melakukan inovasi dan penyesuaian. Apalagi buat grup Samrah yang masih bertahan guna bertahan hidup. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 49


Seni Budaya

Bagai Telur di Ujung oleh Citra Nuraini

Fi, bayarin akordeon saya lima juta,” ucap Ali Sabeni. “Yah Cing, saya sudah punya. Buat apa saya punya dua. Emang untuk apa Cing?” ucap seorang wanita. “Buat berobat,” balas Sabeni. Ali Sabeni berniat menjual satu-satunya akordeon miliknya, alat musik yang biasa menemaninya menari nafkah, kepada Fifi Muntaco. Sabeni butuh uang buat berobat. Dia menderita sakit jantung. Mengharap punya uang banyak dari samrah? tidak mungkin. Jangankan memiliki tabungan, untuk biaya hidup saja sudah susah. Harga sekali tampil samrah cuma sekitar 3 juta sampai 4 juta. Uang tersebut dibagi 10 orang. Tiap orang hanya dapat 300-400 ribu. Dari uang yang didapat, masih harus dipotong untuk transportasi dan makan. Terlebih panggilan untuk pentas tidak menentu, kadang sebulan hanya beberapa kali tampil atau malah sama sekali tak ada. Makanya untuk menambal kebutuhan hidup, semasa muda Ali Sabeni juga bekerja sebagai tukang las. “Kalau samrah dijadikan buat penghasilan hidup, tidak cukup. Selain itu tidak dapat jaminan hidup apapun,” ujar Laki-laki beranak tujuh ini. Malangnya, kini Sabeni telah berumur 77 tahun. Ia sudah lemah untuk bekerja, panggilan untuk pentas pun jarang didapat. “Sekarang belum tampil-tampil, sudah tua tidak ada yang menyentuh (memperhatikan-red),” ujar sabeni. Padahal keinginan berkesenian Sabeni tak perlu diragukan. Baginya musik tidak ada istilah tua muda. Jika masih sanggup, dia akan terus bermusik. Istrinya, Sutinah malah sering jengkel melihat kondisi Sabeni. "Saya sakit hati, saya bilang sini 50 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

pak alat musiknya dijual. Tidak ada yang memperhatikan. Biar hilang saja samrah, habis,” geramnya. Walau tak serupa, tapi nasib susahnya menjadi seniman juga dirasakan Fifi Muntaco. Perempuan berumur 44 tahun ini satu-satunya anak Firman Muntaco yang mau meneruskan samrah. “Waktu itu, tahu-tahu udah berkumpul kakek-kakek dirumah. Kata bapak itu pemain samrah, kemudian jadi group,” kenang Fifi. Pada 12 Januari 1992, Firman meninggal. Tampuk kepemimpinan sanggar dipimpin Fifi hingga kini, yang sebelumnya diberi nasihat untuk membesarkan samrah. “Bapak berpesan setelah tampil di acara salam canda di TVRI bulan Oktober 1991,” tambahnya Sialnya, usaha buat mempertahankan samrah malah ditentang zaman. Samrah yang didominasi lagu melayu jadi kurang popular buat masyarakat kini. “Pernah ada yang bilang tarifnya jangan mahalmahal karena lagunya tidak dikenal. Makanya kami juga fleksibel, bisa lagu dangdut atau pop,” tambah Fifi. Lagu pengiring orkes samrah berupa lagu-lagu melayu tahun 50-an hingga 60an. Ciri tempo lagu masa itu cenderung lebih lambat. “Kaya lagu jembatan pate, tidak enak dinyanyikan. Orang pada ngantuk mendengarnya,” tutur Fifi. Alat musiknya pun sulit dimainkan, rata-rata bernada minor, yang menghasilkan irama lambat. Demi mempertahankan hidup, kini para pegiat samrah harus putar otak. Sanggar Fifi sendiri akhirnya menyediakan pertunjukan lain seperti hadroh (kesenian rebana), palang pintu (tradisi penyambutan calon pengantin dalam adat pernikahan betawi), tanjidor, organ tunggal. Pembuatan ondel-ondel dan makanan betawi pun dikerjakannya.

DIDAKTIKA/CITRA NURAINI

Ketiadaan jaminan hidup bagi pegiatnya, ditambah sulitnya regenerasi membuat samrah makin hilang eksistensinya.

“Kerja saya serabutan. Semua saya kerjaan, yang penting bisa dapat uang. Akhirnya, berbagai hal kita layani agar bisa terus hidup,” ujar perempuan kelahiran tahun 67 ini. Sebagaimana layaknya mempertahankan kesenian tradisional, samrah juga menghadapi masalah dengan regenerasi. Sabeni pernah mengajak warga untuk turut melestarikan samrah, “saya suruh anak-anak muda datang, belajar sama saya,” Ajakan Sabeni tak digubris, harapannya meredup. Hingga kini, grup pimpinannya mayoritas beranggotakan anak dan cucunya. Anaknya, Zulbachtiar memainkan gendang, Zulfah jadi penyanyi orkes, dan Nurul Fadilah terkadang menggantikan Sabeni memainkan akordeon. Cucunya, Abdul Hair memetik gitar, Fiffa Septian memainkan tamborin. Sisanya, tiga orang pemusik di luar keluarganya. Kesulitan regenerasi dirasa betul oleh Sabeni buat mencari penari. Penari


yang dulu menarikan tari samrah di grup Sabeni, kini telah menikah, dan belum ada penggantinya. “Memang hampir rata-rata polanya kekeluargaan. Karena memang mereka kesulitan mensosialisasikan ini kepada masyarakat sekitar jadi tentunya keluarganya dulu yang diperkenalkan,” ujar Rudi Haryanto. Fifi lebih giat mencari regenerasi, “Bareng temen-temen, saya cari anakanak muda yang suka musik,” cerita Fifi. Bahkan, dalam perekrutan, dia mensyaratkan minimal orang yang mau bergabung bisa memegang dua jenis alat musik. “Merekrutnya dari teman, guru musik, keluarga, ada juga anggota yang bawa orang ,” paparnya. Ada juga orkes samrah pimpinan Widya. Awalnya grup samrah Widya yang anggotanya didominasi pemuda memang berniat mempertahankan samrah. Namun belakangan Sanggar Pelangi turut menampilkan kesenian betawi lain

REPRO/ISTIMEWA

g Tanduk

seperti gambang kromong. Alasannya sama, kesulitan finansial. “Kalau tidak ada kerjaan, saya ngamen. Jadi seniman budaya itu miskin,” tutur malih, anggota sanggar pelangi. Samrah kian surut. Padahal eksistensi samrah, tonggak kehidupan para pegiatnya dan demi mempertahan-

Orkes yang dipimpin Fifi Muntaco sedang menyajikan lagu dangdut, makin tenggelamnya samrah membuat pegiat samrah tidak lagi fokus terhadap samrah. Bawah: Firman Muntaco.

kan budaya lokal. Namun, melebarkan sayap diluar samrah, justru melunturkan eksistensi samrah. “Kalau ada jaminan dari pemda, seniman daerah bisa totalitas di musik,” ujar malih, anggota sanggar pelangi Tunjangan material sempat diberikan pemerintah kepada sanggar-sanggar. “Pada zaman rudi saleh (ketua LKB tahun 1980-red) ada 50.000 tiap bulan. Sekarang sudah tidak ada., ungkap Ali. Sedangkan menurut Fifi, tunjangan yang diberikan berupa dana tunjangan akhir tahun. Dia mendapat Rp250.000 dari LKB. Seketaris Divisi Kajian dan Pengembangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Endrati Fariani membenarkan ada tunjangan kepada sanggar-sanggar berupa dana hibah tiap tahun sejak tahun 1970. Namun sejak 2004, dana hibah diberhentikan dengan alasan tidak efektif. Akhirnya dana pengembangan kebudayaan hanya diberikan pada wadah yang menampungnya, seperti LKB. Selain bantuan dana. Ada harapan untuk memproduksi lagu-lagu samrah dalam jumlah besar. “Kelemahanya samrah itu, musiknya sedikit, rekamannya sedikit. Pernah LKB merekam tapi terbatas,” keluh Fifi. Sosialisasi juga diperlukan guna lebih mempopulerkan samrah seperti pada 1980-an. Kala itu samrah cukup bergengsi Pelatihan-pelatihan juga amat diperlukan mengingat lagu-lagu samrah adalah lagu-lagu lama. “Karena dipelajarinya juga agak susah,” jelas Fifi. Mengingat samrah bagai telur di ujung tanduk, pemerintah perlu secepatnya bergerak menyelamatkan samrah sebagai usaha pelestarian budaya lokal. Dan tentunya ditambah ketegasan pegiatnya, untuk tak mendua dan fokus kepada samrah. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 51


REPRO/ISTIMEWA

Militer sedang latihan baris-berbaris. superioritas militer hingga kini masih tak pandang bulu, termasuk kepada mahasiswa.

Militer Terus Superior oleh Sari Wijaya

Militer tidak boleh ikut-ikut politik (Soekarno – Pidato HUT RI, 1963)

52 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

K

amis pagi, Desember 2010 lima kendaraan tank berbaris di depan kampus UIN Syarif Hidayatullah. Itulah beberapa pengamanan yang dilakukan pihak militer. Hari itu Wakil Presiden Budiyono berkesempatan mengisi kuliah umum dengan tema “Ekonomi dan Demokrasi�. Pihak keamanan melakukan persiapan untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan.

Benar saja, sampai di kampus mobil dinas Budiyono dikepung mahasiswa. Mereka menggelar aksi menyambut kedatangan sang wapres. Beberapa spanduk dibentangkan tepat di depan pintu masuk UIN. Kala itu mahasiswa menyampaikan beberapa tuntutan, salah satunya penyelesaian perkara korupsi di Indonesia. Mahasiswa meneriakkan Budiyono sebagai antek-antek neoliberalisme. Situasi mulai tidak kondusif, polisi pun coba mengamankan. Budiyono


LAPORAN KHUSUS: AWAS! MILITER MASUK KAMPUS berhasil diamankan dan tetap melanjutkan rencana mengisi kuliah umum. Sementara massa aksi tetap melangsungkan demonstrasi. Sekitar pukul 15.00 WIB terjadilah bentrokan antara mahasiswa dan polisi. Polisi yang berjumlah tiga kali lipat lebih banyak dari massa aksi akhirnya meluncurkan gas air mata kepada massa aksi. Akibatnya banyak mahasiswa menjadi korban. Mereka langsung mendapat pengobatan khusus di rumah sakit terdekat. Pada pertengahan 2008 pun terjadi bentrok mahasiswa dengan polisi di Universitas Nasional (Unas) di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Titik pangkalnya pun sama, bentrokan ini berawal ketika mahasiswa melakukan protes. Sekitar 600 polisi merangsek ke dalam kampus saat mahasiswa masih menggelar aksi sampai pukul sebelas malam. Ketika itu aksi mahasiswa Unas yang menolak kenaikan BBM. Polisi datang menyerang kampus Unas dan menimbulkan bentrok dengan mahasiswa. Tidak sedikit yang menjadi korban, sekitar 50 mahasiswa dikepung di tengah lapangan. Banyak di antaranya yang mendapat tindakan represif dari polisi antara lain, dipukuli bahkan lakilaki ditelanjangi. Salah satu mahasiswa bernama Maftuh Fauzi meninggal dunia karena benturan benda tumpul di kepala yang dilakukan oleh polisi. “Banyak darah di mana-mana pada kejadian itu,” ujar Rizky Noor Afiat salah satu aktivis Unas yang turut aksi. Rizky yang berada di lokasi kejadian memaparkan bahwa kedatangan polisi tidak terduga. Dengan jumlah yang sangat banyak, mereka menyerang kampus Unas dengan membabi buta. Encek—panggilan akrab Rizky— menambahkan, “Semua fasilitas hancur, motor-motor yang berbaris di tempat parkir dirusak oleh polisi.” Tindak kesewenang-wenangan polisi hingga berujung nyawa ini sampai belum ada kejelasan hukumnya. Masuknya polisi dengan alasan pengamanan ini belum jelas perizinannya. Karena perkara izin masuknya militer ke wilayah sivitas akademik memang tidak pernah ada sebelumnya. Pola-pola zaman Orde Baru ini kembali terulang

di masa reformasi. Dan nyatanya polisi masih tetap berposisi sebagai pihak yang kebal hukum. Pada era ‘60-an mahasiswa bersama jajaran militer bergabung menjadi satu kesatuan untuk menurunkan rezim Soekarno (Orde Lama). Rezim Orla sebagai tertuduh rezim kiri akhirnya tumbang oleh anaknya sendiri. Bantuan militer sangat berpengaruh dalam penurunan rezim Orla. Kekuasaan militer menjadi semakin kuat, lantaran Presiden Soeharto pun lahir dari kalangan militer. Hal ini semakin menjadi ketika dwi fungsi ABRI dijalankan. Pola Militer tak berubah Selama 32 tahun Orba menjadi sebuah rezim yang sangat otoriter. Segala bentuk aspirasi yang beraroma kritik dan usaha mengawasi kekuasaan dibungkam, termasuk gerakan mahasiswa. Salah satu kejadian besar adalah ketika meledaknya peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Peristiwa ini berawal dari penolakan mahasiswa atas penanaman modal asing di Indonesia. Kasus yang berujung kerusuhan dan memakan korban pada tahun 1974 itu akhirnya menuai luka mendalam. Pemerintah akhirnya memperketat proses demokrasi di kalangan kampus. Sejarah mencatat tindakan represif militer di kampus memang selalu menuai kerusuhan. Dekade ‘70-an merupakan awal masuknya militer di kampus. Berawal di tahun 1971 mahasiswa menyadari bahwa ada penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Mahasiswa menolak rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) karena dinilai sangat memboroskan anggaran negara. Juga pada waktu itu mahasiswa melihat adanya kecurangan terhadap pelaksanaan pemilu pertama kali oleh Golkar (Golongan Karya). Akhirnya, berbagai kalangan mahasiswa menggelar aksi-aksi turun ke jalan. Di Bandung, aksi mahasiswa menimbulkan kekacauan sekitar tahun 1973 berupa kerusuhan anti Cina. Sementara di Yogyakarta, bertepatan dengan tiga tahun gugurnya Rene Conraad mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) yang ditembak

Taruna Akademi Kepolisian, mahasiswa melakukan protes. Mereka mengumumkan penolakan pada cara-cara pemaksaan dan kekerasaan aparat keamanan terhadap mahasiswa yang berambut gondrong. Pernyataan Pangkopkamtib Soemitro kala itu menyatakan bahwa mahasiswa berambut gondrong mencerminkan mahasiswa yang acuh tak acuh. Reaksinya, timbul keresahan dan kekesalan di kalangan mahasiswa. Beberapa aksi yang digelar dengan situasi yang sudah pelik ini, memuncak pada tragedi Malari, 1974. Mahasiswa melakukan penolakan terhadap dominasi modal asing. Beberapa aktivis tertuduh dan diciduk aparat, seperti Hariman Siregar, Theo Sambuaga, Yusuf AR Jessy, Mardianto, Purnama, Fahmi Idris, Louis Wangge, dan Yopie Lasut. Pasca kejadian Malari segala bentuk tindak tanduk mahasiswa semakin diawasi militer. Suasana di Jakarta mencekam. Tercatat korban tewas 11 orang, 17 orang luka berat dan 120 orang luka ringan dan 775 orang ditahan oleh aparat keamanan. Semenjak peristiwa tersebut menjadikan traumatik terhadap mahasiswa, gerakan mahasiswa lumpuh dan hanya melakukan aksi-aksi di dalam kampus. Pembungkaman pasca tragedi tersebut akhirnya melegalkan pihak militer untuk sesuka hati memasuki area akademi sebagai alasan pengamanan. Pola militer tetap sama dengan bentuk represifnya. Mahasiswa diancam dalam bentuk represif fisik. Tiga belas tahun reformasi pun tidak merubah bentuk demokrasi yang terjadi di negara ini. Mahasiswa dikekang Sebelum kasus Malari, militer belum begitu leluasa mengawasi mahasiswa. Tetapi setelah Malari meletus, militer sudah mulai diperbolehkan menduduki kampus dengan membuat pos-pos di dalam kampus. Apalagi ketika merebak isu bahwa akan terjadi tragedi Malari jilid 2. Armada militer mulai dibakukan di tataran kampus. Pembungkaman-pembungkaman yang terjadi pun sangat ketat. Berbagai aktivis mahasiswa baik di daerah maupun di ibukota ditangkap, pos-pos miEdisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 53


REPRO/ISTIMEWA

Aksi Mahasiswa tentang penolakan modal asing, pada 1974 yang kemudian dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari (Malari) Salah satu aksi mahasiswa terbesar di Indonesia.

liter banyak dibuat di kampus-kampus besar. Tentara juga masuk ke kampus IKIP Jakarta (UNJ), yang letaknya masih satu komplek di Rawamangun. Di kampus tentara mencopoti poster-poster dan mengawasi tindak tanduk mahasiswa. Farid Rasyid, Ketua Dewan Mahasiswa IPB bersaksi seperti dalam buku Menentang Tirani karya Edy Budiyarso, “Saya melihat tentara sudah mulai membuat dapur umum dan mobilitas pasukan yang tinggi.” Sementara berbeda di kampus ITB, militer sudah berani bertindak brutal dengan menembaki kampus. Militer melakukan tembakan ke udara untuk menakut-nakuti mahasiswa. Bahkan sempat juga terjadi perusakan radio mahasiswa ITB yang selalu menyiarkan kegiatan aksi-aksi mahasiswa dan memberi ulasanulasan kritis. Tak ubahnya di tahun-tahun sebelumnya, gerakan mahasiswa di era 80-an dan 90-an pun mengalami bentuk pengkebirian aspirasi dalam bentuk fisik ataupun non fisik. “Dulu, banyak sekali tank-menarik di depan kampus dan segala bentuk hal-hal seperti diskusi-diskusi menjadi sepi peminat, belum lagi intel-intel yang menyamar dan sering mondar-mandir mengawasi kita,” ujar Ardian mantan aktivis Universitas Negeri Surakarta. Situasi yang semakin ketat dibuat militer untuk membungkam mahasiswa. Mahasiswa hanya boleh aksi di dalam kampus, dan itupun sangat diawasi dengan berbagai aturan, seperti tidak bolehnya poster-poster beredar. “Upaya pengamanan juga dilakukan oleh Pangdam Brawijaya Jaja Suparman, dia mengumpulkan mahasiswa dan 54 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

menghimbau mahasiswa untuk tidak melakukan aksi di luar kampus,” tandas Ardian yang juga aktif dalam gerakan mahasiswa Pro Arek-arek 98, organisasi ekstraparlementer di Surakarta. Di tahun 95-96 mahasiswa hanya berani aksi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Taman Ismail Marzuki (TIM). Belum ada massa aksi yang berani aksi di depan istana secara masif. Mungkin hanya segelintiran orang yang berani “aksi kucing-kucingan” di depan istana. Mahasiswa diancam untuk tidak turun aksi, segala bentuk diskusi diawasi. Oleh karenanya, di masa itu banyak diskusi-diskusi bawah tanah yang dibangun di kalangan mahasiswa, karena takut banyak intel yang mengawasi, dan tak segan-segan menculik mahasiswa keesokan harinya. Proses dialektis di mahasiswa menjadi sangat sulit. Ketakutan-ketakutan yang terjadi semakin membungkam mahasiswa. Selain dibungkam dengan militer secara fisik, non fisik pun diberlakukan Orba untuk lebih membungkam mahasiswa. Salah satunya diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan). NKK/BKK adalah gagasan dari Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0156/U/1978. Dia menugaskan kepada para pemimpin perguruan tinggi untuk melaksanakan Normalisasi Kehidupan Kampus dengan tanggung jawab sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan dalam Rapat kerja

Rektor Se-Indonesia. Dalam instruksinya pada, 17 Mei 1978 diaktifkan kembali Senat Mahasiswa Fakultas dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) yang dalam organisasinya terdapat campur tangan pimpinan fakultas dan universitas. BKK pun terkooptasi oleh birokrasi kampus berbeda pada saat masih menjadi Dema yang independen. Karena statusnya kini tidak sejajar dengan rektor, organisasi ini dibawah Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan. Dengan sistem baru, mahasiswa tidak lagi berdaulat. Mahasiswa dibuat sibuk dengan urusan pemerintahannya sendiri di dalam kampus. Bukan hanya itu saja, tuntutan dengan nama sistem kredit semester (SKS) pun merupakan hasil dari NKK/BKK. SKS yang masih dijalani sampai sekarang pun menyibukkan mahasiswa dalam segudang tugas perkuliahan. Mantan Rektor IKIP Jakarta, Winarno Surachmad pun menolak adanya kebijakan NKK/BKK tersebut, karena normalisasi kehidupan kampus bukan hanya bisa dilihat dari mahasiswanya saja, seolah-olah mahasiswa yang sakit dan harus disembuhkan. Seharusnya normalisasikan juga hubungan antara organisasi intra dan ekstra mungkin juga hubungan mahasiswa dengan ABRI. Dampak dari pola-pola militer yang masih tetap represif dalam menangani gerakan-gerakan mahasiswa ini menjadikan gerakan mahasiswa semakin hari semakin rancu. Gerakan mahasiswa yang terlihat sekarang hanya berupa gerakangerakan moral saja, tanpa penyelesaian yang jelas dan mengakar. “Jika dikatakan selesai, sebenarnya reformasi belum selesai, karena jika artikan gerakan mahasiswa hanya sebagai gerakan moral bukan politik. Yang terjadi ya seperti sekarang ini, gerakan yang muncul hanya gerakan euforia belaka,” ujar Agus Subhan Malma, mantan aktivis gerakan mahasiswa 98.


LAPORAN KHUSUS: AWAS! MILITER MASUK KAMPUS

Demokrasi Kampus Republik Mimpi oleh Muhammad Idris

Aksi represif dari militer turut mengganggu iklim demokratis kampus

D

DIDAKTIKA/ANGGAR SEPTIADI

Performance art, salah satu acara dalam mimbar bebas yang dilakukan elemen mahasiswa UNJ di depan rektorat.

esingan peluru senjata api aparat silih berganti dengan suara histeris mahasiswa yang kesakitan. Kampus porak poranda, batu bertebaran di segala sudut. Dengan bertelanjang dada dan berjongkok, satu persatu mahasiswa di giring masuk ke dalam truk polisi. Seorang yang tak sanggup berjalan, diseret-seret paksa di jalanan beraspal. Tiada ampun bagi mahasiswa. Meski sudah memelas, secara sporadis puluhan polisi berpakaian preman tak henti-hentinya memukuli kepala mereka dengan pentungan dan gagang senjata api. Kontan, darah tercecer di mana-mana. Beberapa polisi lain menodongkan pistol. Teriakan minta ampun mahasiswa tak digubris dan sumpah serapah polisi silih berganti. Seorang polisi berseragam lengkap, nampaknya komandan polisi, mencoba mendinginkan anak buahnya yang kian brutal. “Sudah! Sudah! Cukup!� perintahnya tegas. Di bagian lain dalam video yang sama, seorang polisi dengan senapan laras panjang memberondong kerumunan mahasiswa dengan peluru karet dalam jarak dekat. Video berdurasi setengah jam ini, menampilkan sikap represif aparat dalam mengantisipasi demonstran. Video tersebut merekam aksi brutal polisi ketika menyerbu kampus Universitas Muslimin Indonesia, Makassar. Video yang diambil pada akhir tahun 2008 ini memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan arogansi militer yang menyerang sebuah institusi pendidikan. Peyerbuan polisi ke kampus universitas swasta terbesar di timur Indonesia ini bermula dari mimbar bebas yang diadakan mahasiswa. Sikap semacam ini memang tak pernah mengenal batas rezim. Padahal seEdisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 55


DIDAKTIKA/SATRIO PRIYO UTOMO

jak zaman Orde Lama, ada semacam aturan tak tertulis yang menyebutkan bahwa aparat keamanan, baik polisi ataupun tentara dilarang masuk ke kampus. Apalagi dengan tujuan membubarkan segala aktivitas mahasiswa. Meski tak ada kejelasan hukum apapun tentang perihal tersebut sebagian aktivis mahasiswa terlanjur mengejawantahkanya sebagai sebuah pemahaman bersama. Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Abdul Khadir mengakui tak ada aturan yang menyebutkan aparat keamanan dilarang masuk kampus untuk membubarkan aktivitas mahasiswa. “Polisi bekerja di mana saja di wilayah hukum Indonesia, temasuk di antaranya di dalam kampus,” paparnya. Namun menurutnya tak seyogyanya pula militer (polisi) melakukan aksi brutal dan kekerasan di dalam kampus. “Tindakan tersebut tidak menghargai kehidupan demokrasi di dalam civitas kampus,” imbuh Abdul Khadir yang juga alumnus Universitas Muslimin Indonesia, Makassar. Pendidikan tinggi merupakan bagian dari komunitas ilmiah yang mempunyai otonomi dalam menjalankan peran dan fungsinya. Hal ini seperti yang dituangkan dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Kampus memi-

liki semacam otonomi istimewa dalam menjalankan demokrasinya. Otonomi yang dimaksud adalah dengan tetap memegang teguh konstitusi negara. Otonomi itu berupa kebebasan dalam pengembangan kampus. Termasuk juga pada hal seperti pemilihan rektor. Di universitas negeri, yang notabene berstatus pejabat negara setara pejabat eselon tingkat I, rektor dipilih langsung oleh dewan senat universitas, tanpa intervensi politik pemerintah. Tak hanya tingkat rektor, pejabat universitas lainnya seperti dekan pun dilakukan oleh masing-masing kampus. Bahkan hingga tingkat mahasiswa yakni dewan senat mahasiswa yang sekarang bernama Badan Eksekutif Mahasiswa, pemilihanya dilakukan secara demokratis. Lingkungan kampus adalah tempat mahasiswa mempraktikkan secara nyata demokrasi. Ini pula yang memunculkan pameo di masyarakat tentang adanya negara dalam negara. Ini terjadi karena beberapa aturan negara yang tidak berlaku di perguruan tinggi. Tiap elemen akademisi kampus bisa mengundang tokoh, mengadakan diskusi kenegaraan, eksplorasi kemampuan diri, melaksanakan kegiatan kreatifitas tanpa harus meminta izin dari pemerintah atau pihak keamanan. Hal ini juga tercatat dalam UU No.9 tahun 1998 tentang perizinan penyeleng-

garaan demontrasi dan segala macam bentuknya perihal ketertiban dan keamanan. Semua kegiatan yang berhubungan dengan kemahasiswaan, tidak perlu dimintakan izin ke kepolisian—dalam hal ini mewakili pemerintah dalam urusan keamanan. Hal ini cukup berupa pemberitahuan saja. Sebab, rektorlah yang paling bertanggung jawab atas seluruh kegiatan mahasiswanya saat berada di dalam kampus. Dan rektorlah yang menetapkan izin atau tidaknya kegiatan mahasiswa. Tertuang dalam statuta UNJ Nomor 205/O/2003 dalam kebebasan akademik, termasuk kebebasan mimbar. UNJ disebutkan bahwa kampus mempunyai kebebasan mimbar. Kebebasan mimbar yang dimaksud adalah berupa kebebasan pengkajian akademis yang bersifat ilmiah dan bertanggung jawab, karena luasnya kebebasan mimbar tersebutlah kemudian muncul kritik-kritik terhadap pemerintah atau bahkan menentang pejabat universitas sendiri. Maka, semakin jelaslah bahwa segala bentuk militerisme dilarang keras masuk ke kampus. Termasuk tindakan untuk membubarkan aksi mahasiswa. Tumbangnya Orde Baru yang represif dan peredaman superioritas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tetap belum mampu merubah sifat otoriter pemerintah. Nyatanya aksi militer—terutama polisi—masuk kampus tetap lumrah terjadi pada masa reformasi. Dalih yang dipakai adalah pencegahan kerusakan fasiitas kampus dan penjagaan ketertiban kampus. Segala tindakan yang berbuntut kekerasan selalu menjadi alternatif utama dan mirisnya akan selalu dibenarkan. “Ketika terjadi aksi yang mengarah anarkis dan merusak fasilitas publik, masak kita (polisi) akan diam saja dan cuma melihatnya,” ungkap Kepala Divisi Humas Polda DKI Harun Mahbuh menanggapi mengapa polisi bersikap reak-

Berjaga-salah satu birokrat UNJ sedang mengawasi jalannya aksi yang dilaksanakan Solidaritas Pemuda Rawamangun dalam menolak PK-BLU dan kedatangan M.Nuh, Menteri pendidikan Nasional.

56 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA


REPRO/ISTIMEWA

LAPORAN KHUSUS: AWAS! MILITER MASUK KAMPUS

tif. Sama seperti dikatakan Abdul Kadir Perihal ini sering terjadi di banyak perdi atas, menurut perwira polisi ini, tak guruan tinggi, baik saat Orde Baru, mauada wilayah yang diperlakukan berbeda pun setelah memasuki masa reformasi. secara hukum di wilayah Indonesia, tak Maka semakin lengkaplah pemasungan terkecuali di dalam kampus. kebebasan demokrasi mahasiswa. Dalam tubuh militer sendiri, ada Di Universitas Gajah Mada (UGM) pergeseran nilai ketika hal seperti ini pernah terjadi tindak kekerasan terjadi. Tepatnya ketika Masalah jadi rumit di institusi pendidirektor Sukanto Rekketika universitas kan. Jika saat Orde Baru sodiprodjo menjabat. yang seharusnya berkuasa, militer hadir seDari lantai dua ruangan melindungi mahabagai tamu tak diundang kantornya ia hanya siswanya malah untuk meredam perlawamelihat saat mahasiswa mendukung bentuk nan terhadap penguasa. UGM digelandang polimiliterisme di kamMiliter juga memata-matai si di dalam kampusnya. pusnya pergerakan mahasiswa. Ia menyatakan Hal ini dilakukan untuk bahwa mereka bukan stabilitas penguasa. mahasiswa UGM. Belakangan, pendaNamun kini militer masuk kam- patnya berubah lagi. “Saya tidak tahu pus dengan orientasi lebih parah. Mi- mereka adalah mahasiswa UGM kaliter sebagai aparat negara kerap main rena mereka tidak menggunakan nama hakim sendiri yang diikuti dengan tindak UGM,” ujarnya seperti yang diberitakan kekerasan di luar kemanusiaan. Kadang, oleh Kedaulatan Rakyat. tindakannya berbuntut pada pengerusaBegitupun kasus militer masuk kamkan fasilitas kampus. pus yang terjadi di Universitas Nasional Masalah menjadi lebih rumit ketika (Unas). “Rektor tak melakukan tindakan pimpinan universitas salah dalam bersi- apapun untuk membela mahasiswa”, kap. Mereka yang seharusnya melindungi papar Rizki Noor Afiat, mahasiswa mahasiswanya ketika berhadapan dengan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik polisi malah mendukung bentuk mili- Unas. “Katanya rektor menerima dana terisme di kampusnya. Sebuah tindakan kompensasi sebagai pengganti kerusakan kooperatif yang salah kaprah. di kampus dan sebagai uang tutup mu-

Bentrok Mahasiswa Dengan aparat Kepolisian.

lut”, ungkap Rizki yang akrab dipanggil Encek. Kebebasan bersuara yang digaungkan di zaman reformasi nyatanya malah berbanding terbalik. Termasuk di kampus yang sejatinya tempat penyemaian demokrasi. Demokrasi tetap lenyap oleh tindakan represif militer yang tetap intensif meskipun Orde Baru telah lenyap. Bentuk reaksi yang diberikan oleh aparat kepolisian terhadap aksi mahasiswa telah menodai semangat demokrasi. Tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aksi demonstrasi mahasiswa menjadi hal yang paradoks dengan proses demokratisasi yang sedang digelorakan. Terlebih bilamana aparat kepolisian menyerbu sebuah universitas. Melalui konflik yang terjadi antara mahasiswa dan aparat kepolisian tersirat sebuah pelajaran bahwa bangsa ini masih harus banyak belajar mengenai kehidupan yang demokratis. Naas bagi nasib mahasiswa di Indonesia. Aktualisasi diri sebagai insan merdeka teredam oleh sikap represif yang merupakan ciri nyata militerisme. Menjadi miris karena telah mendistorsi kehidupan demokratisnya. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 57


58 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Prosedur Teta yang Meresah oleh Muhammad Idris

Terbitnya Protap dikhawatirkan menjadi alat legitimasi polisi untuk berla

REPRO/OKE ZONE

G

embok pengunci pintu ruangan 2 x 3 meter itu patah. Di dalamnya, didapati lemari pendingin yang hanya sedikit bersisa. Minuman botol yang tersimpan di dalamnya pecah dan berserakan di atas lantai. Beberapa barang dagangan lainnya pun berserakan. Rak etalase tempat menyimpan barang-barang dagangan ikut berdiri tak beraturan. Tak ada lagi barang yang tertata rapi di Koperasi Mahasiswa Universitas Nasional (Kopma Unas), Jakarta. "Saat kerusuhan polisi telah melakukan penjarahan di Kopma," terang seorang mahasiswa enggan disebutkan namanya. Kondisi serupa tidak hanya terjadi di Kopma. Sekitar 20 motor yang terparkir tak jauh dari sana berubah berantakan. Beberapa diantaranya dibakar, tiga unit mobil juga sempat dirusak. Kecuali masjid Unas, hampir tak ada fasilitas kampus yang luput dari kebrutalan polisi. Fasilitas yang dirusak diantaranya mesin ATM, gedung perkuliahan, gedung rektorat, laboratorium, juga aula serbaguna. Kampus yang terletak di Jalan Sawo Manila, Pejaten, Jakarta Selatan begitu berantakan. Kejadian ini terjadi tiga tahun lalu. Rizki Noofriat, mahasiswa FISIP Unas adalah salah seorang saksi dari tragedi 2008 silam. Ia menyaksikan hampir seribu polisi menyerbu kampusnya. Menurutnya, bentrokan berawal dari aksi pada Jumat malam (23/5). Ketika itu mahasiswa menyalakan lilin tak jauh dari gerbang kampus sebagai aksi teatrikal. Hal ini dilakukan sebagai respon kenaikan harga Bahan Bakar minyak (BBM). Sementara sejak pukul 21.00 puluhan polisi dari Polsek Pejanten sudah berada di depan gerbang kampus dalam kondisi siaga. Tahu kalah jumlah polisi tak melakukan tindakan apapun. Saat fajar situasi berubah. Kondisi di depan gerbang Kampus Unas menjadi ramai. Jumlah polisi bertambah setelah mendapat bantuan dari Satuan Anti Huru-hara Polda DKI. Dengan jumlah yang cukup banyak polisi mulai melakukan provokasi. Mereka mengeluarkan makian kepada satpam yang berjaga, makian tersebut


LAPORAN KHUSUS: AWAS! MILITER MASUK KAMPUS

ap hkan

aku represif.

dibalas dengan lemparan batu mahasiswa. Gayung bersambut. Polisi yang bersenjatakan lengkap menyerbu ke dalam kampus; mengejar dan memukuli, bahkan ada yang menembakan peluru karet dan gas air mata dengan serampangan. Bentrokan tak dapat terhindarkan. Sekitar tiga ratus mahasiswa lari kocarkacir kebingungan mencari tempat perlindungan di dalam kampus. Polisi terus mengejar hingga ke ruang perkuliahan. Aksi kejar-kejaran tersebut berakhir. Ada yang tertangkap dan beberapa juga lolos. Malang bagi sekitar lima puluh mahasiswa. Mereka terpojok di lapangan sepak bola yang dikelilingi pagar tembok. Tahu tak ada lagi tempat melarikan diri, mahasiswa kompak duduk di tengah lapangan. Harapannya, polisi berbelas kasih. Tapi situasi berkata lain. “Polisi malah menyuruh mereka duduk membentuk lingkaran. Kemudian mereka dipukuli dengan pentungan dan tameng. Darah tertumpah di rumput,” ungkap seorang saksi mata kepada Didaktika. Bagi yang bersembunyi di ruang kelas, toilet, dan aula juga diseret ke lapangan. Tindakan polisi berada di luar kewajaran. Tak henti-hentinya mereka memukul dengan pentungan dan popor senjata api. Syahdan, mereka digelandang ke truk polisi. Ketika terjadi bentrokan wartawan dilarang masuk ke dalam kampus untuk meliput. Dari aksi penyerbuan tersebut polisi mendapatkan sebuah bom nanas yang ditemukan di pelataran parkir Unas. Polisi berpendapat barang tersebut milik mahasiswa yang akan digunakan untuk melawan aparat. Dugaan tersebut bertambah ketika polisi menemukan beberapa linting ganja di dalam kampus. Dalam kasus ini rasanya mahasiswa Unas dibuat tersudut. Pasalnya dari bentrokan tersebut, timbul korban nyawa dari pihak mahasiswa. Pengakuan para saksi mata menyatakan bahwa kematian Maftuh Fauzi diakibatkan pukulan aparat ke kepalanya. Bentrok Mahasiswa UIN Syarif hidayatullah dengan aparat kepolisian dalam rangka menolak kedatangan Wakil Presiden, Boediono. Contoh kekerasan aparat yangdilakukan di kampus baru-baru ini..

Menanggapi hal ini polisi berpendapat bahwa Maftuh Fauzi, mahasiswa Akademi Bahasa Asing Unas, meninggal sehari pasca bentrokan ini akibat menderita HIV/AIDS. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan RS Pusat Pertamina. Sementara hasil visum Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI) menunjukan Maftuh negatif terinfeksi HIV/AIDS. “Polisi mencoba membelokkan opini dengan memojokan mahasiswa Unas. RS Pertamina milik pemerintah, ini jelas rekayasa,” ungkap Encek, panggilan Rizki Noor Afiat. Bentrok mahasiswa Unas dengan polisi adalah contoh buram bagaimana polisi bertindak di luar prosedur yang berlaku. Arogansi dan tindakan sewenang-wenang polisi menimbulkan kesan polisi sebagai makhluk kebal hukum. Pasca bentrok Unas jadi porak-poranda. Aktivitas kampus pun sempat ditiadakan. Ironis, karena sampai sekarang belum ada proses hukum yang jelas tentang tindakan kekerasan dan pengerusakan yang dilakukan polisi. Pada awal Oktober 2010, Kapolri Bambang Hendarso Danuri menerbitkan aturan terbaru penanganan tindakan anarkisme. Aturan tersebut berupa prosedur tetap yang tercatat lewat Prosedur Tetap (Protap) Nomor 1/X/2010. Protap sendiri adalah aturan langkah-langkah tindakan polisi ketika berhadapan dengan aksi massa. Termasuk prosedur dari mulai peringatan, bentuk himbauan lanjutan, tembakan peringatan, hingga prosedur yang membolehkan tembak di tempat bagi pelaku yang dianggap anarkis. Menjadi sebuah permasalahan saat aparat penegak hukum masih memiliki tabiat arogan, main hakim sendiri, ceroboh, dan tidak profesional. Mengayomi dan melayani masyarakat nampaknya hanya menjadi motto semata. Tindakan represif aparat ditakutkan akan semakin menjadi ketika protap ini dijalankan. Akhirnya citra polisi sebagai pelayan masyarakat semakin kabur. “Polisi akan semakin berani melakukan tindakan anarkis,” ungkap Abdul Khadir, Direktur Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). “Aturan ini juga akan membuat oknum Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 59


Dengan dikeluarkannya Prosedur Tetap no.1/X/2010 aparat makin bisa berbuat sewenang-wenang dengan dalih stabilitas dan keamanan.

polisi kebal hukum terhadap kekerasan yang dilakukanya,” tambahnya. Kepala Humas Polda DKI Jakarta Harun Mahbuh punya pendapat lain menyoal terbitnya prosedur tetap di institusinya. “Polisi butuh kepastian dalam bertugas (menindak), tidak ada polisi kebal hukum, makanya dibuatkan aturan yang menaungi secara hukum sesuai prosedur dan kode etik Polri.” Alasan diterbitkanya protap bermula dari banyaknya aksi-aksi yang berbuntut dengan anarkisme. Aksi ini semakin merebak pada awal reformasi baik oleh masyarakat ataupun mahasiswa. Seperti yang dikatakan oleh Harun Mahbuh, “Aksi-aksi sekarang ini cenderung mengarah ke tindak pengerusakan dan bisa membahayakan keamanan negara.” Kemudian memberikan jaminan, “Polisi (akan) bertindak sesuai prosedur yang berlaku.” Pernyataan Mahbuh diamini oleh Treza Digjaya, Komandan Greenforce, tim aksi Fakultas Ilmu Sosial UNJ. “Sah-sah saja protap diterapkan, itu kan tujuannya agar tidak anarkis, kita (Greenforce) sejauh juga selalu menghindari untuk melakukan anarkis,” ujarnya. Menurutnya bersikap kooperatif dengan polisi akan lebih menguntungkan daripada bertindak anarkis. Nantinya dengan protap tersebut tindakan polisi di lapangan akan seragam 60 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

REPRO/ISTIMEWA

DIDAKTIKA/ANGGAR SEPTIADI

Bawah: Mantan Kepala Polisi Republik indonesia, Bambang Hendarso Danuri.

ketika mengahadapi aksi massa agar tidak anarkis. Namun, di dalam protap tidak ada penjelasan batasan-batasan anarkis. Ketidakjelasan ini yang kemudian menimbulkan multitafsir anggota polisi yang turun di lapangan. Sehingga polisi bisa saja melakukan pembenaran terhadap tindakan kekerasan yang terjadi. Bahkan, jika situasi menurut subjektif polisi sudah dianggap anarkis, dalam protap dibenarkan untuk langsung menembak di tempat. Ini bertentangan dengan konvensi internasional yakni UU No.5 tentang pelanggaran hak asasi manusia yang menentang penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang telah diratifikasi pada September 1998. Selain menimbulkan keresahan bagi masyarakat, protap juga dianggap

akan mematikan demokrasi. Matinya demokrasi yang juga otomatis akan mematikan pergerakan mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi. “Anarkisme tak selalu dimaknai sebagai perusakan dan tindakan sejenis. Protap itu bagian dari demokrasi yang sudah mati dan akan menjadi teror bagi mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi,” ungkap Ahmad Kosasih Assagaf, mahasiswa Universitas Hasanudin Makassar. Polisi dan protapnya hanyalah sekadar alat negara. Maka arah sikap dan tindakanya pun tak lepas dari unsur politik kepentingan. Segala suara yang diarahkan untuk melakukan kritik terhadap pemerintah akan kembali diredam. Usaha protes secara vertikal akan dibungkam, dengan tindakan represif sekalipun. Pemerintah lewat protap akan menciptakan kembali zaman rust and orde. Mengutip pernyataan Abdul Khadir, “Apapun dalilnya, penggunaan kekerasan tetaplah tidak dibenarkan terhadap orang yang menyuarakan demokrasi.” Mantan aktivis pergerakan Makassar menambahkan bahwa mahasiswa dan rakyat kecil yang menuntut keadilan tidak bisa disamakan dengan preman dan penjahat kriminal. Anehnya, aparat keamanan tidak lantas menggunakan protap sebagai upaya meredam konflik-konflik horizontal. Karena kenyataannya polisi hanya jadi penonton ketika terjadi bentrokan Jemaah Ahmadiah hingga jatuh korban jiwa. Begitupun terhadap aksi tawuran warga yang kerap terjadi di Jakarta. Polisi sering kali lambat dalam menangani kerusuhan semacam ini. Akhirnya pada Agustus ini, Kapolri Timur Pradopo menyerahkan 1650 motor ke Polda dan Polres Jakarta. Hal ini dilakukan sebagai upaya polisi untuk mampu mengurai kerumunan massa. Tidak ada tindakan prefentif ataupun pencegahan dengan jalan seperti dialog. Hal ini menjadi tanda bahwa watak militeristik masih melekat pada pemerintah.


LAPORAN KHUSUS: AWAS! MILITER MASUK KAMPUS

Rizky Noor Afiat: Rektor Lepas Tangan

M

erunut perjalanan yang belum memungkinkan untuk naiknsejarah panjang ya BBM. Aksi terjadi sampai malam sekidemokrasi Indone- tar pukul sebelas malam, chaos pertama sia memang acapkali terjadi. Kemudian sekitar jam satu malam menuai kerisuhan. Hal massa aksi maju ke depan halte dan terini dikarenakan Indonesia sebagai nega- jadilah bentrok yang kedua. Pukul emra pengemban Demokrasi belum mam- pat sampai lima pagi, kami digelandang pu menjawab dengan detail demokrasi ke tengah lapangan dan kemudian kami macam apa yang lahir dan dipegang oleh melakukan aksi duduk dan diam, barunegara demokrasi ini. lah setelah itu polisi melakukan tindaDari beberapa dekade yang lalu aksi- kan represif oleh satuan kepolisian dari aksi militer sebagai alat pembungkam Polres Jakarta Selatan, sekitar 600 orang demokrasi kampus selalu represif sampai dari pasukan huru-hara menyerang kammemakan korban. Mungkin masih sangat pus. Mahasiswa yang tidak ikut-ikut aksi teringat sekitar tahun 2008 kampus Uni- pun ikut terlibat. Semua digelandang di versitas Nasional (Unas) bentrok dengan tengah lapangan. Kemudian sekitar 150 ppolisi. Kampus Unas diserang terkait orang mahasiswa diangkut ke polres jakdengan aksi-aksi yang dibangun maha- sel. Dalam hal ini polisi melanggar perasiswa terkait masalah ‘Kenaikan BBM’ , turan tetab yang baru mereka mulai. sampai merenggut satu korban jiwa. Tindak Represif seperti apa yang Untuk itulah reporter Didaktika Sari dilakukan aparat kepolisian? Wijaya dan Muhammad Idris mencoba Menghancurkan fasilitas kampus, mewawancarai salah satu aktivis dari menggiring mahasiswa dan melangsungUniversitas Nasional (Unas), Rizky Noor kan aksi pemukulan terhadap mahaafiat, selaku mantan anggota Senat, man- siswa, kendaraan-kendaraan di kampus tan anggota BPM dan pun dirusak, serta Sekjen Hamas yaitu orwartawan tidak gan ekstraparlementer dibiarkan masuk. Bahkan ada pula di Unas yang secara Bahkan ada pula perilaku-perilaku seperti langsung berada di temperilaku-perilaku pat kejadian saat tragedi menghina perempuan yang seperti menghina digelandang juga ke ten- perempuan yang berdarah Unas tahun 2008 silam, berikut adagah lapangan. Kami aksi digelandang juga lah petikan wawancara duduk dan diam di tengah ke tengah lapatersebut. ngan. Kami aksi lapangan sambil ditendang, duduk dan diam dipukuli dengan tongkat Bagaimana Krodi tengah lapaserta diludahi nologis Tragedi Unas ngan sambil di2008? tendang, dipukuli Sebenarnya itu aksi dengan tongkat spontanitas. Berawal dari serta diludahi. aksi-aksi yang digelar mahasiswa di kamBerapa mahasiswa yang digelanpus dengan mengusung masalah ‘Kenai- dang ke kantor polisi dan adakah kan BBM’. Penolakan kami terhadap isu korban jiwa? tersebut dikarenakan kondisi masyarakat Ada korban Jiwa bernama Maftuh

“ “

DOK. PRIBADI

WAWANCARA KHUSUS

Fauzi, mahasiswa jurusan akademi bahasa asing 2003. Sebelumnya dia mengalami pendarahan di kepala,sempat dibawa ke rumah sakit UKI dan dipindahkan ke rumah sakit Pertamina pusat. Namun ternyata tidak dapat tertolong dan korban malah difitnah terkena AIDS. Itu yang masih belum bisa kita terima. Belum lagi tuduhan polisi tentang ditemukannya bom di Unas. Adakah proses hukum yang dilakukan pasca meninggalnya Maftuh Fauzi? Sampai sekarang belum terselesaikan. Kemudian pasca tersebut, tiada hentihentinya kami aksi di depan polres jaksel. Apa dampak setelah terjadinya tragedi Unas? Dari tragedi ini, akhirnya ada jam malam yang diberlakukan kampus. Mahasiswa dilarang di kampus sekitar jam sepuluh sampai sebelas. Kemudian banyak pula polisis-polisi berseragam preman (intel) yang berjaga-jaga. Perkuliahan dihentikan sekitar tiga hari. Bagaimana sikap pihak rektorat Universitas pasca tragedi ini? Jujur pihak rektorat belum turut sigap dalam kasus ini. Hanya sekedar mengatakan,”yaudah makanya kalo aksi jangan anarkis”. Rektorat terlalu lepas tangan terhadap mahasiswanya, dan malah sampai akhirnya pembelokannya masalah narkoba. Terkesan tidak membantu mahasiswanya melaksanakan aksi damai dan membiarkan polisi masuk kampus. Bagaimana tanggapan warga sekitar pasca tragedi ini? Banyak warga yang akhirnya terdoktrin dari kepolisian. Banyak ditempel spanduk di RT-RT ataupun di RW-RW bertuliskan ‘kalau demo jangan anarkis’.

Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 61


KARYA

R

oket kini sudah bukan jadi barang asing bagi masyarakat. Kenapa? Karena fungsi strategisnya dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Sebagai media komunikasi antar daerah, alat prediksi cuaca bahkan menjadi alat sistem persenjataan. Oleh karena itu Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi turut mendukung kreasi pembuatan roket dengan mengadakan Kompetisi Muatan Roket Indonesia (Kommurindo). Untuk tahun ini lebih dari lima puluh universitas se-Indonesia turut serta. Kompetisi ini dilakukan secara keseluruhan mulai dari mendesain, membuat, menguji sampai menerbangkan roket. Eko Widodo, Supriyadi, dan Ganendrajati, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNJ tak ketinggalan melihat peluang. Roket Garuda Merah Putih, itulah nama tim sekaligus karya yang mereka bawa pada even ini. Dalam menjalani kompetisi tim Garuda Merah Putih bukan tanpa hambatan. Kekurangan dana salah satunya. Karena pembuataan muatan roket butuh dana banyak. Bahan dan alat pembentukan roket pun mereka ciptakan mandiri, bukan dibeli. “Kami ingin membuktikan bahwa dengan dana yang terbatas Tim Garuda Merah Putih dapat berkreasi,” ujar Supri panggilan akrab Supriyadi. Eko Widodo, ketua tim mengatakan bahwa dalam uji coba roket timnya punya perbedaan sendiri dengan tim lain. Perbedaan tersebut terlihat dari muatan di dalam roketnya yang memaksimalkan kemampuan individu bukan mesin cetakan. “Kalau tidak rapi dan hasil buatan tangan, bukan UNJ sepertinya,” kata Eko. Sementara Supri memiliki joke mengenai tampilan komponen tentang muatan roketnya. Menurutnya hal ini jadi ciri khas tim UNJ di mata juri. Awalnya, hal ini sedikit membuat ragu tim Garuda Merah Putih. Tidak dapat dipungkiri banyak pesaing lain yang memiliki muatan dengan peralatan lebih

62 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

Garuda Merah P oleh Ranthy Aprilly

Tim roket UNJ mampu mematahkan prediksi juri dan peserta lain. canggih. Namun, keraguan hilang saat Tim Garuda Merah Putih dinyatakan lolos pada tahap pertama kompetisi Kommurindo. Jalan di Kommurindo Proses pembuatan muatan roket seperti pembuatan proposal sampai teknis pengerjaan dimulai sejak akhir Desember 2010. Eko Widodo bersama rekanrekannya mulai mengerjakan proposal. Mereka rembuk mengembangkan ide untuk model muatan roket. Proposal bertemakan attitude monitoring and surveillance payload pun dikirim ke Dikti.

Inilah tahapan pertama dalam Kommurindo. Setelah itu ada tahapan yang harus dijalani kembali, salah satunya mengirim video pengujian. Ketika sudah dinyatakan lolos seleksi maka tiap tim akan mengikuti tahap final yang diadakan di Jogjakarta. Bedasarkan penuturan Supri, proses pembuatan muatan roket dibagi per anggota tim. ”Masing-masing anggota punya pekerjaan yang berbeda, jadi bisa fokus dan lebih cepat,” tambahnya. Setelah tiap anggota menyelesaikan pekerjaannya, lantas komponen dipersatukan. Seperti yang disebutkan di atas mere-


DIDAKTIKA/RANTHY APRILLY

Kiri: Interface penggunaan Garuda Merah Putih UNJ Atas: Roket Garuda Merah Putih UNJ

Putih UNJ

Bawah: Tim Garuda Merah Putih UNJ; Eko Widodo, Supriyadi, Ganendrajati.

ka menghadapi kendala terkait pendanaan. Mereka mengatasinya dengan mencari baterai yang murah. “Kalau baterai khusus, besar dan harganya mahal. Jadi kita cari baterai yang ukurannya lebih kecil dan harganya terjangkau,” ungkap Eko. Akhirnya komponen lengkap. Memasuki babak akhir kompetisi mereka menguji coba penerbangan muatan roket ke udara. Seluruh anggota tim berharap roket bisa bekerja dengan baik. Terlepas dari kompetisi yang berjalan, tim berkeinginan hasil dari kompetisi ini dapat membantu masyarakat. Karena roket

DIDAKTIKA/RANTHY APRILLY

. Sebuah prestasi tersendiri.

ini—jika dikembangkan lebih lanjut— dapat digunakan sebagai alat pengambilan data daerah bencana alam. Di tahun-tahun sebelumnya,Tim UNJ selalu memberikan kesan tersendiri di mata juri maupun peserta lainnya saat uji coba penerbangan roket. Maka tak heran, momen ini kerap ditunggu-tunggu. Seperti yang diketahui terbatasnya dana membuat tim harus memaksimalkan bahan yang ada. ”Setiap peluncuran ada saja masalah yang TIM alami, Entah itu berasal dari baterai ataupun bagian dalam muatan,” Supri menambahkan, “dan mereka sudah hafal kalo tim itu dari UNJ. Tapi hal tersebut tidaklah membuat kami mundur.” Namun tim tetap yakin bisa menyelesaikan kalau ada masalah yang timbul. Keajaiban pun terjadi, roket dapat melambung ke udara. “Tidak tanggungtanggung peserta bersama juri bertepuk tangan sangat keras atas keberhasilan tim UNJ,” kenang Eko Widodo. Sebagai hasil akhir Tim Garuda Merah Putih memang gagal menjadi pemenang. Namun tim akan terus berusaha meningkatkan kreatifitas kembali, termasuk untuk Kommurindo selanjutnya. “Kami akan selau siap membantu dan mengembangkan muatan roket pada adik kelas kami di tahun depan,” tutup Supri. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 63


TAMU KITA

Nezar Patria.

REPRO/ISTIMEWA

Kanan: Konfrensi AJI ke-17 dengan tema: media baru, menjadi tuan di negeri sendiri.

Nezar Bicara

Berita Online oleh Anggar Septiadi

B

elahan dunia di Timur Tengah sedang bergejolak, Libya, Mesir, hingga Tunisia harus menghadapi pemimpin yang bersifat otoriter. Hosni Mubarak, Presiden Mesir, bahkan waktu kuasanya melebihi Orde Baru, Mubarak menyelimuti Mesir dengan kediktatorannya selama 38 tahun. Begitu pula Moammar Khadafi di Libya dan Ben Ali di Tunisia.. Perubahan sosial di negara-negara tersebut bukan hanya disebabkan sifat penguasa yang ogah turun dari kursi kepemimpinannya, melainkan karena adanya solidaritas mekanik yang digalang masyarakat lewat banyak media pun tak jarang yang mengkonsolidasaikan kelompok dalam beragam jejaring sosial. Yap, internet kini memang sudah jadi kebutuhan bagi tiap orang. Entah apapun kegunaannya. Dari yang hanya asyik berjejaring, jual-beli, sekedar berselancar, atau untuk mengetahui peristiwa terkini 64 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

lewat portal-portal berita yang kini makin menjamur. Tak terkecuali di Indonesia. Portal berita online marak hadir di Indonesia saat Orde Baru sedang giat-giatnya membredel media cetak. Portal online, kala itu dinilai efektif untuk tetap menyampaikan sebuah peristiwa tanpa saringan Orde Baru lewat Departemen Penerangannya. Hingga kini sudah tak terhitung jumlah portal berita online di Indonesia. Makin maraknya portal berita online yang kemudian menjadi fokus utama Dies Natalis AJI (Aliansi Jurnalis Independen) ke-17 pada 7 Juli, di Hotel Nikko. Dalam diskusi yang bertemakan “Media Baru: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri” mereka ingin meningkatkan akses informasi oleh masyarakat lewat internet dengan daya tembus dan distribusi yang tidak terbatas. Nezar Patria, Ketua AJI periode 2008-2011, menjadi salah satu pembicara pada acara tersebut. Ia menilai internet dan portal berita online ke de-

pannya akan terus berkembang. “Sangat prospektif, infrastruktur yang sudah memadai ditambah makin banyaknya pengguna internet di Indonesia bisa jadi poin tambah,” ujar alumnus mahasiswa filsafat UGM (Universitas Gajah Mada) ini. Perkembangan internet, pun dengan portal berita online bukan tanpa kurang. Banyak yang menenggarai bahwa terjadi penurunan mutu jurnalisme karena portal berita online lebih mementingkan aktualitas dan kecepatan. Tapi bukan pada akurasi dan verifikasi berita. Jurnalis dari situs berita vivanews.com ini memaparkan bahwa berdasar survei AJI pada tahun 2008 hanya 20% jurnalis Indonesia yang mengetahui kode etik jurnalistik. Padahal, inilah standar prosedur jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Makanya, demi mengejar aktualitas, terkadang ada beberapa berita yang sering offside atau lebih dulu hadir ketimbang sebuah peristiwa ada. Walau bentuknya hanya sekadar judul dan lead berita. Nezar menilai fenomena seperti ini bukan masalah dalam dunia jurnalistik. “Selama memuat unsur 5W+H, itu bisa disebut berita. Syaratnya harus taat pada kode etik jurnalistik,” ujarnya kepada Didaktika. Demi meningkatkan mutu jurnalis di Indonesia, “Kini AJI sedang mengkampanyekan kode etik jurnalistik bagi jurnalis di Indonesia,” pungkas Nezar yang lahir di Sigli, 41 tahun silam. Selama menjadi mahasiswa Nezar aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996.


DIDAKTIKA/JABBAR RAMDHANI

RESENSI

Dominasi Ideologi oleh Satrio Priyo Utomo

Berangkat dari kesadaran palsu, ideologi tidak bersifat netral

M

enurut Marx, kesadaran manusia tidak hanya ditentukan keberadaannya tapi juga pikiran dan persepsinya. Bahkan perasaan dan intuisi ikut berpengaruh. Sebab, baginya “spontanitas” tidak menjamin sebuah kondisi tidak terkontaminasi. Contohnya buruh pabrik yang dipekerjakan kelewat batas dengan pasrah berkomentar, “Ya, begitulah adanya.” Terry Eagleton menyebut hal ini sebagai representasi dari ideologi. Senada dengan Marx, menurutnya ideologi adalah kesadaran palsu. Ideologi muncul dari sebuah state of affairs pada saat tertentu dalam bentuk perasaan, nilai, persepsi yang mengabdikan dirinya pada pemeliharaan dan reproduksi kekuasaan sosial. Dony Gahral Adian coba menawarkan wacana marxisme di tengah pusaran demokrasi intelektual. Dosen Filsafat Politik dan Teori Ideologi Universitas Indonesia ini menyampaikan lewat buku berjudul Setelah Marxisme. Wacana yang dilarang pada rezim otoritarian Soehartoharus mampu keluar dari jebakan istilah kanan dan kiri yang tidak substansial. Hal ini terlihat oleh sejumlah pemikir

yang tetap bercorak pikir Marxis. Salah satunya Jurgen Habermas. Menurutnya, ideologi bukan sekadar keyakinan palsu yang bersifat dogmatis bagi masyarakat. Ideologi juga bersifat fungsional. Saat komunikasi telah terdistorsi secara sistematis, sebuah diskursus bisa menjadi alat legitimasi kelompok penguasa. Ketika era Soeharto, Demokrasi Pancasila telah digunakan untuk menindas semua oposisi politiknya. Berasal dari premis Marx tentang ideologi yang terbagi dua teori. Pertama, setiap kelas sosial menentukan kesadarannya sendiri. Kedua, struktur ekonomi masyarakat menentukan suprastruktur legal dan politik. Struktur ekonomi masyarakat harus dipahami secara hirarkis, kelas pemilik modal dengan kelas pekerja itu bersifat antagonistik. Suprastruktur, Penyulut Ideologi Dalam buku ini, Donny melakukan banyak interpretasi terhadap ideologi yang bermula dari Marx. Berdasar Antonio Gramsci, Donny menulis ketika ideologi telah merangsek ke dalam struktur masyarakat maka akan menjadi perebutan hegemoni antar kelas. Gramsci memiliki konsentrasi pada suprastruktur yang diungkapkan oleh Marx. Bagi Gramsci ideologi tidak hanya tumbuh dan berkembang pada kelas pekerja yang didominasi kelas pemilik modal. Berbagai aspek kehidupan mulai dari keluarga, lembaga agama, budaya politik dan media massa pun berpengaruh.

Judul Penulis Penerbit Tebal

: Setelah Marxisme (Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer) : Donny Gahral Adian : Koekoesan, Juni 2011 : 173 Halaman

Gagasan Gramsci tentang hegemoni ialah kemajuan bagi filsafat dan politik. Teori Gramsci juga menjawab pertanyaan Marx tentang apa saja yang dikontrol oleh ideologi. Gagasan hegemoni ini kemudian diteruskan oleh Louis Althusser. Dalam pandangan kaum marxis, ideologi berperan sebagai penundukan kelas pemilik modal atau penguasa. Hal ini dicapai ketika tercipta tatanan yang mapan—ajaran moral dan penghormatan diatur ke dalam institusi-intitusi. Althusser menyebutnya sebagai Aparatus Ideologi; yang dapat berupa negara bahkan institusi di dalamnya. Penekanan Althusser terletak antara subjek dan ideologi. Baginya ideologi adalah aktivitas yang tepat dilakukan orang di dunia nyata karena memberi makna sosial. Sebab ideologi dan subjek saling berkaitan. Baginya ideologi bukan seperangkat ide atau keyakinan melainkan praktik material. Penekanan pada subjek dan ideologi ini lantas membawa kita pada Michael Foucault. Ia ingin melakukan penekanan pada subjek-subjek yang dianggap ahli. Bagi mereka yang tidak memiliki posisi kekuasaan, tidak dapat berbicara perihal kebenaran. Foucault mengungkapkan bahwa kebenaran didukung secara material oleh berbagai praktik dan institusi. Semua institusi menyingkirkan pernyataan yang dianggap tidak benar. Pada saat yang sama pernyataan yang diklaim benar diedarkan. Melalui pernyataan Foucault, Donny mengambil contoh. Anda tidak mungkin menyatakan teman Anda menderita penyakit, jika Anda bukan seorang dokter. Teori marxisme dalam buku ini menerangkan bahwa gagasan itu tidak bebas nilai. Gagasan senantiasa ada dan menyembunyikan kepentingan kelompok yang berkuasa. Sedangkan kekuatan ada karena kepentingan ekonomi. Kumpulan teori yang dipaparkan oleh penulis layak dibaca tidak hanya untuk tataran intelektual. Pembaca juga harus menyiapkan kamus ilmiah untuk mengerti kata-kata yang biasa dijumpai dalam sebuah teori. Jelas, buku ini pun mengandung gagasan yang patut dicurigai oleh pembaca. Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 65


Kontemplasi ! Ribut, Semuanya pada Ribut

D

oleh Jabbar Ramdhani

Karena itu biarkan kami sehat, agar mampu menjaga kedaulatan tanah air ini. Negara – Iwan Fals

ua pria bergelut ketika lampu sedang merah di suatu sudut jalan di Rawamangun. Keduanya tak peduli tentang lampu yang sebentar lagi hijau. Mereka rebah di jalan. Seseorang berbaju biru mendekap rekat lawannya berusaha mengunci agar tak ada lagi perlawanan. Sehingga dinyatakan sebagai pemenang. Melihat situasi keduanya yang sudah kadung panas pengguna jalan lain tidak tinggal diam. Sekitar tujuh orang pengguna sepeda motor turun memisahkan keduanya. Dibangunkan kemudian ditarik dan diberi jarak antar keduanya. Seseorang yang berbaju biru tadi menurut untuk memadamkan emosi. Dia berbadan besar dengan lengan yang terlihat begitu kuat. Beberapa yang melerai mengarahkan dirinya untuk masuk ke dalam subuah taksi berwarna putih. Pria itu bertahan sebentar, tidak langsung masuk hanya membuka pintu. Ternyata ia adalah seorang supir taksi, pahamku. Sementara pria yang lain masih terbakar emosi. Adrenalinnya masih deras mengalir. Dia yang tadi telah dibekap dengan begitu kencang masih berusaha mengejar supir taksi tadi. Ingin melancarkan serangan lanjutan. Tentu saja orang-orang menahannya. Tak kehabisan ide dia mundur beberapa langkah, ke arah bajajnya. Mereka yang melerai tak menduga, orang tadi berlari memutar membelakangi mereka. Kini keduanya kembali berhadapan, hanya berjarak dua langkah. Dalam jarak sebegitu dekat, keduanya beradu mulut. Caci maki yang keluar bercampur dengan kalimat-kalimat saling menyalahkan. Dalam kondisi berdebat, keduanya memasang kuda-kuda dengan sendirinya. Bersiap menyerang balik ketika ancaman datang. Sang supir taksi menekuk lengannya di depan dada, sikunya menghadap ke lawan bicaranya. Sang supir bajaj mengepalkan lengan, tangan satunya menunjuk-nunjuk muka supir taksi. Beberapa detik kemudian supir bajaj bergerak dengan cepat, ia berusaha memukul. Orang-orang yang memisahkan pun ikut terbawa emosi, supir bajaj pun ditarik kemudian dipaksa masuk ke dalam bajaj. Begitu juga supir taksi, seseorang membukakan pintu taksinya, seorang lainnya memegang pundak supir dan mendorong agar masuk ke dalam taksi. Aku lihat penunjuk waktu sebentar lagi lampu akan hijau. Suara klakson kendaraan di belakang bunyi beruntun. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Pikirku ini cuma masalah yang biasa kita temui di jalanan Jakarta. Saling senggol, merasa keamanan dirinya terancam kemudian melawan. Kalau dipikir-pikir tak ada motif lain, kecuali mereka jen-

66 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA

gah menghadapi tekanan hidup yang terlampau besar. Apalah arti senggolan di jalan dibanding kejar taget setoran. Alangkah senangnya kalau mendapatkan lebih. Namun aku tak tahu apa yang kemudian terjadi pada kedua supir tadi. Terakhir yang kulihat sebelum menjalankan motorku mereka tetap masih larut dalam amarah yang sudah terlanjur tumpah. Sepertinya mereka akan melanjutkan perkelahian di seberang jalan selepas lampu merah. Ya, ibukota memang keras. Gejala sosial ini muncul dilatarbelakangi dengan biaya hidup yang tinggi, kondisi masyarakat majemuk dengan beragam karakter kedaerahannya, besarnya disparitas antar kelas, tidak adanya jaminan hidup, masyarakat yang begitu padat, minimnya akses hiburan murah bagi masyarakat, kecilnya lapangan kerja. Homo homini lupus, sebut Thomas Hobbes. Manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Ini baru potret dari sudut kota di sebelah timur. Kalau saja kita melihat ke sudut kota lainnya, maka bukan sekadar aksi gulat para supir saja yang kita dapati. Konflik horizontal berupa bentrok fisik banyak yang lumrah ditemui. Beberapa bulan lalu di kawasan Senen rebut antar warga kembali terulang. Begitu juga di daerah Manggarai, warga satu kelurahan pun bisa saling serang. Seolah ini adalah even rutinan. Kondisi ini begitu ajeg. Fenomena sosial seperti ini disebut Thamrin Amal Tomagola sebagai “Republik Kaplingâ€?. Kondisi masyarakat yang mudah chaos terbentuk ketika kekangan Orde Baru telah hilang. Banyak kelompok-kelompok yang mencari kebebasan, tapi akhirnya malah kebablasan. Melihat seringnya terjadi konflik sosial, Kapolri Timur Pradopo menyerahkan 1650 motor ke Polda dan Polres Jakarta. Mungkin terlalu kasar menyebut kebijakan ini sebagai kebijakan salah sasaran. Pemerintah masih memiliki watak militeristik. Pemerintah lebih senang menembaki rakyatnya dengan peluru karet dan gas air mata. Padahal akar permasalahannya adalah kondisi ekonomi bangsa yang tak kunjung membaik, akses pendidikan yang begitu kecil, dan lapangan kerja yang sempit. Ketika konflik sosial masyarakat dihadapkan dengan kekerasan aparat, masyarakat akan kembali terbiasa dengan kekerasan. Tak heran semakin banyak komunitas mudah tersinggung yang dibuat. Senggol dikit, bacok! Padahal pola premanisme memiliki catatan putih, mereka turut berjuang melawan upaya-upaya kolonial pada masa revolusi. Atau jangan-jangan para preman belum sadar kalau kolonialisme masih hadir? Pembedanya adalah pelakunya: negeri sendiri. Kalau mereka sadar, tak terbayang akan seperti apa lagi Jakarta. Jakarta‌ Oh Jakarta‌


Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA 67


Jangan bersusah payah membaca iklan layanan masyarakat ini, karena tidak akan merubah apapun. Masih banyak hal yang bisa dilakukan agar si bocah bisa sekolah, agar para pemuda tidak menganggur, agar Pak Firman punya tempat tinggal, agar Ibu Wati bisa membeli sayur-mayur, agar si Joni lekas sembuh penyakit kustanya. Lakukan sesuatu.

Iklan Layanan Masyarakat Dipersembahkan LPM DIDAKTIKA 68 Edisi 41 - 2011 - DIDAKTIKA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.