![](https://assets.isu.pub/document-structure/210219070012-9ec1b21bd4d0ce01c93a5a58bbe79a0f/v1/0dd15f3d90dc9a13791d57663d9da379.jpg?width=720&quality=85%2C50)
2 minute read
SEULAS PINANG
Riau Mandiri Pangan Jangan Cuma Angan
ENAM dekade lebih Provinsi Riau berdiri. Soal pangan, Bumi Lancang Kuning masih bergantung dari luar daerah. Apatah di musim pagebluk ini. Ketahanan pangan Riau sangatlah rapuh. Ini diakui sendiri oleh Syahfalefi Kepala Dinas Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau saat menghadiri penyerahan bantuan alat pertanian dari PT Chevron Pacific Indonesia di Universitas Riau, 22 Oktober 2020 lalu.
Advertisement
Pada 2019 saja, produksi beras Riau tak sampai 30 persen mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Ini berarti hampir tiga kali lipat kebutuhan didatangkan dari luar. Bila tidak diseriusi, defisit pangan di negeri yang konon kaya migas ini, bakal terus terjadi.
Terlebih di 2024 mendatang. Kebutuhan beras di provinsi kedua terbesar di Sumatra ini, diperkirakan sampai 662.475 ton. Atau naik 39 ribu ton dari tahun 2019. Jumlah ini untuk konsumsi 7,4 juta penduduk Riau yang terus bertambah.
Ada hal lain yang menarik untuk disimak. Beberapa penelitian dosen UNRI menemukan hal berbeda di lapangan. Temuan Almasdi Syahza, petani cabai merah di Muara Fajar yang dipermainkan tengkulak. Produksi mereka melimpah, namun cabai dari luar daerah sengaja didatangkan. Akibatnya harga jual petani setempat dihargai rendah.
Begitu juga alur distribusi beras yang bermasalah. Syafrinal Dekan Fakultas Pertanian menyaksikan sendiri kejanggalan-kejanggalan itu di lapangan. Hasil padi petani dibawa ke luar daerah oleh tengkulak. Setelah jadi beras, lalu dibawa kembali lagi ke Riau. Seolah-olah Riaulah yang mengimpor beras dari luar daerah. Begitu kata Syafrinal. Ada juga persoalan yang tak kalah peliknya. Banyak petani yang berurusan dengan perusahaan, sampai dimejahijaukan. Mereka dibui gara-gara kelola lahan, menanam palawija buat makan sehari-hari. Tentu bisa kita tebak, perusahaan yang ber-uang pasti menang.
Kasus Bongku dan Marjohan menunjukkan betapa lemahnya perlindungan negara pada tulang punggung pertanian di negeri ini.
Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat ada 455 petani dikriminalisasi atau ditahan sepanjang 2019. Tak hanya itu, 229 petani juga alami kekerasan dan 29 tewas karena konflik agraria ini.
Tak terkecuali di Riau, petani banyak dijerat berkenaan dengan pembersihan lahan dan kebakaran lahan dan hutan. Pada Januari 2020, tercatat ada 51 kasus petani yang diangkat ke pengadilan.
Berangan-angan swasembada pangan di negeri ini boleh-boleh saja. Petani sebagai ujung tombak jangan luput diberi jaminan perlindungan. Apalagi Pemprov sudah pasang target. Produksi beras 50 persen untuk kebutuhan konsumsi di 2024.
Sudah semestinya juga, seluruh jati anak Riau mendukung target ini. Begitupun dengan UNRI. Berbagai bidang pengabdian dan penelitian ketahanan pangan harus diprioritaskan. Terlebih di perayaan usia ke-58 tahun kemarin, UNRI sudah pasang tampang. Pakai jargon: UNRI Mapan Riau Mandiri Pangan.