Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya! Belajar Dari Meksiko
Tim HRWG
Diterbitkan oleh
Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia’s NGO Coalition For International Human Rights Advocacy
2010
Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya! Belajar Dari Meksiko
Penulis: Tim HRWG Cetakan Pertama Desember 2010; Hak cipta ďƒŁHRWG Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) HRWG, Tim
ISBN 978-979-18586-1-8
Penerbit HRWG (Human Rights Working Group) Indonesia’s Ngo Coalition For International Human Rights Advocacy Alamat : Gedung Jiwasraya Lt. Dasar Jl. R.P Soeroso No. 41, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, 10320 Telp : +6221-3143015 Fax :+6221-3143058 E-mail: hrwg@hrwg.org www.hrwg.org
Di dukung oleh HIVOS Jl. Kemang Selatan XII No. 1, Jakarta Selatan 12560 Telp: +6221-7892489 Fax: +6221-7808115 www.hivos.nl
Teks Kertas Kerja ini dapat diperbanyak atau dicetak ulang dengan menyebutkan hak cipta secara patut
Sumber Poto Cover : http//erryriadi.blogspot.com
Kata Pengantar Salahsatu modal perlindungan terhadap buruh migran Indonesia adalah dengan segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Internastional Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families) . Pentingnya Indonesia meratifikasi konvensi ini tidak hanya dikarenakan lemahnya prinsip-prinsip perlindungan buruh migran yang ada dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, tetapi menjadi sangat penting apabila dilihat dari posisi Indonesia sebagai salahsatu Negara Asal terbesar buruh migran yang bekerja di berbagai kawasan, seperti di Asean maupun di negara-negara Timur Tengah. Posisi seperti inilah yang mewajibkan pemerintah Indonesia –sebagai Negara Asal- untuk segera meratifikasi Konvensi tersebut, atau bahkan secara aktif mendorong lahirnya berbagai instrumen perlindungan buruh migran baik ditingkat internasional maupun regional. Di dalam negeri, ratifikasi Konvensi ini masih menjadi perdebatan yang cukup sengit dibeberapa departemen pemerintahan. Sayangnya, argumentasi yang dimunculkan untuk menolak ratifikasi konvensi ini lebih didasarkan pada “untung-rugi� bukan kewajiban konstitusional melindungi warga negara. Sekalipun alasan ini kurang tepat, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mungkin buruh migran Indonesia terlindungi di negara lain jika saja kita tidak melindungi orang lain di negeri sendiri?. Padahal sebagai sebuah konvensi yang berorientasi pada perlindungan, maka posisi konvensi ini tidak berbeda dengan konvensi internasional lainnya yang sudah terlebih dahulu di ratifikasi oleh Indonesia. Maka dalam konteks ini, sangat penting bagi Indonesia, sebagai salahsatu negara terbanyak buruh migran, untuk memiliki instrumen atau standar perlindungan buruh migran yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan yang sesuai dengan hukum internasional. Dalam konteks praktis, konvensi ini memberi panduan bagaimana stuktur organisasi pemerintah (departemen tenaga kerja, dll) harus melindungi buruh migran, mulai dari Pra Pemberangkatan sampai pulang ke rumah (Purna Bekerja), serta kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya. Kehadiran dokumen sederhana ini diharapkan bisa memberikan gambaran lain tentang posisi Indonesia terhadap Konvensi Migran 1990, sehingga bisa menjadi pertimbangan bagi Pemerintah untuk meratifikasinya. Dengan perkataan lain, dokumen ini diharapkan dapat menjawab argumentasi-argumentasi penolakan ratifikasi Konvensi, yang sebetulnya bisa memperkuat perlindungan buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sebagai Negara Asal, politik ratifikasi Konvensi ini diharapkan dapat menaikkan posisi diplomasi politik luar negeri Indonesia serta dapat mendorong efektifitas perlindungan bagi pekerja migran Indonesia sejak berada di dalam negeri. Jakarta, Desember 2010
Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia’s Ngo Coalition For International Human Rights Advocacy
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
i iii
BAB I Pendahuluan
1
BAB II Urgensi dan Argumentasi Ratifikasi Konvensi Konvensi Migran 1990 A. Pandangan dan Jawaban untuk Ratifikasi B. Mandat Internasional untuk Indonesia Rekomendasi Komite CERD, CEDAW dan CAT Rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Hak-hak Buruh Migran, Mr. Jorge Bustamante Perjanjian Sukarela Indonesia pada Pencalonan Anggota Dewan HAM C. Mandat Nasional untuk Perlindungan Buruh Migran Undang-Undang Dasar 1945 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Keputusan Presiden No 40/2004 tentang Rencana Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009 D. Perkembangan Insrumen Perlindungan Buruh Migran di ASEAN Blue Print ASEAN tentang Politik dan Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya Deklarasi Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran
9 12 15 16 17 18 19
20 22
BAB III Ruang Lingkup Konvensi Migran 1990 dan Praktik Terbaik Negara Peratifikasi A. Ruang lingkup perlindungan Buruh Migran dalam Konvensi B. Hak-hak buruh migran dan keluarganya di dalam Konvensi C. Praktik Terbaik Negara Peratifikasi:Belajar dari Meksiko Profil Negara dan Migrasi di Meksiko Politik Ratifikasi dan Kebijakan Perlindungan Buruh Migran Meksiko sebagai Negara Pengirim Meksiko sebagai Negara Transit Meksiko sebagai Negara Penerima Upaya Meksiko dalam Hubungan Internasional Lainnya Perlindungan Buruh Migran Tidak Berdokumen dan berdokumen Melindungi Buruh Migran dari Luar (sebagai Negara Penerima)
28 29 32 32 39 35 38 38 39 41 42
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi
43
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
BAB I Pendahuluan 1. Dinamika dan pergolakan ratifikasi Konvensi Internasional PBB tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990 (selanjutnya disebut Konvensi Migran 1990) dimulai sejak Indonesia menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 22 September 2004.1 Penandatanganan konvensi ini mempunyai arti, bahwa Indonesia telah menyetujui semua prinsip-prinsip perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya yang terkandung di dalam konvensi. Bahkan lebih dari itu, hal ini menandakan dimulainya era baru keaktifan dan keikutsertaan Indonesia dikancah internasional, khususnya dalam membangun perlindungan terhadap hak-hak buruh migran. 2. Secara umum, keaktifan Indonesia dalam upaya penegakan hak asasi manusia telah dimulai dengan meratifikasi sebanyak 6 (enam) dari 7 (tujuh) instrumen pokok hak asasi manusia, yaitu; (i) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (International Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women) dengan UU No. 7 tahun 1984; (ii) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965) dengan UU No. 29 tahun 1999; (iii) Konvensi Hak-hak Anak (International Convention On The Rights Of The Child) dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990; (iv) Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (International Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) melalui UU No. 5 tahun 1998; (v) meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) melalui UU No.11 tahun 2005; (vi) dan telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 tahun 2005. 3. Namun demikian, upaya untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990 masih menghadapi beberapa hambatan, terutama munculnya kekhawatiran dari beberapa institusi pemerintah yang terkait langsung dengan ratifikasi konvensi ini. Hal ini tergambar dalam beberapa argumentasi yang sering disampaikan oleh Pemerintah, yaitu; (a) Dengan meratifikasi konvensi berarti Pemerintah berkewajiban untuk memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja asing/pekerja migran dan anggota keluarganya yang bekerja di Indonesia termasuk apabila mereka terkena PHK dan kewajiban untuk memberikan tunjangan pengangguran. Yang sudah menandatangani International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families sebanyak 31 negara, sementara ini yang sudah meratifikasinya sebanyak 43 negara, lihat http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src= TREATY &mtdsg_no=IV13&chapter=4&lang=en 1
Page | 1
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
(b) Subtansi Konvensi Migran 1990 mengatur kewajiban negara yang telah meratifikasi konvensi ini untuk memberikan perlindungan kepada pendatang asing (TKA) yang bekerja di negara tersebut. Dengan demikian, meskipun diratifikasi, konvensi ini tidak memberikan perlindungan kepada TKI yang bekerja di luar negeri. (c) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan antara lain mengatur tentang tenaga kerja asing di Indonesia. Substansi yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan ini tidak sejalan dengan pasal-pasal dalam konvensi ini, yaitu tentang: (1) pengaturan hak berserikat bagi pekerja migran; (2) pengaturan tidak boleh mem-PHK pekerja migran; (3) pengaturan mengenai akses untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan; (4) pengaturan mengenai akses untuk pindah bekerja dan dapat bekerja mandiri bagi pekerja migran. (d) Istilah yang digunakan bagi Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja diluar negeri adalah Indonesia Overseas Workers bukan Pekerja Migran, sedangkan pekerja asing yang bekerja di Indonesia adalah Tenaga Kerja Warga Negara Asing yang mempunyai expertise dibidangnya. (e) Pada dasarnya kedua jenis pekerja tersebut diatur dalam suatu proses yaitu untuk TKI melalui Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja sedangkan untuk TKA melalui penggunaan TKA, dan keduanya bekerja atas dasar permintaan dari pengguna yang sifatnya sementara waktu (kontrak) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja. Apabila masa kontrak kerja telah berakhir maka tenaga kerja tersebut harus kembali ke Negara asal. (f) Sementara ini, Depnakertrans lebih mengutamakan adanya upaya kerjasama bilateral dalam bentuk MoU untuk melindungi TKI di luar negeri.2 4. Arus migrasi buruh migran Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari data statistik migrasi ke luar negeri yang dicatat oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sejak tahun 1994 sampai 2006. Pada tahun 1994, sebanyak 175.187 orang pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di negara-negara tujuan migran. Pada tahun 1995, jumlah pekerja migran turun menjadi 120.886. Namun pada tahun 1996, justru jumlah tersebut meningkat signifikan, yang mencapai 517.169 orang pekerja. Tahun 1997 kembali menurut sebanyak 235.253, tahun 1998 sebanyak 411.609, tahun 1999 sebanyak 427.619, tahun 2000 sebanyak 435.222, tahun 2001 sebanyak 295.148, tahun 2002 sebanyak 480.393, tahun 2003 sebanyak 293.865, tahun 2004 sebanyak 380.690, tahun 2005 sebanyak 474.310 dan
Lihat Surat Kepala Biro Hukum Depnakertrans nomor B. 359/sj/Hk/ 2005 perihal Analisis Kajian Konvensi Buruh Migran 1990 tertanggal 12 September 2005 yang ditujukan kepada Kepala Pusat Litbang Hakhak Ecosoc Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Hukum dan HAM. 2
Page | 2
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
jumlah yang tertinggi adalah tahun 2006 yang mencapai 680.000 orang pekerja migran yang ditempatkan.3 5. Sejak tahun 1999, menurut Laporan Jorge Bostamante, Pelapor Khusus PBB untuk Hakhak Buruh Migran yang pernah mengunjungi Indonesia terkait masalah buurh migran, rata-rata 387.304 per tahun orang Indonesia telah meninggalkan negeri (berimigrasi ke negara lain) untuk mencari kerja di luar negeri.4 6. Data tersebut menunjukkan peningkatan buruh migran yang ditempatkan oleh Pemerintah Indonesia. Selain meningkatnya kebutuhan bekerja di beberapa negara tujuan dan adanya kelebihan tenaga kerja, pengiriman yang dilakukan secara terus menerus ini justru menjadikan rendahnya standard upah buruh Indonesia, sehingga negara-negara tujuan pun lebih diuntungkan dengan pekerja-pekerja yang diimport dari Indonesia.5 Maka itu pula, tidak mengherankan jika jumlah pekerja migran Indonesia semakin meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya. 7. Jika jumlah TKI/buruh migran di atas diakumulasi, maka buruh migran Indonesia sejak tahun 1994 sampai 2006 (yang terdokumentasi) berkisar 4.927.351 orang pekerja. Bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran pekerja migran dan dibandingkan dengan negaranegara lain. Sementara pada tahun 2007, jumlah pekerja migran yang ditempatkan dan tercatat oleh Indonesia menurun hingga 64.438. Pada tahun 2008, meningkat lagi sampai 196.635 orang pekerja yang ditempatkan.6 Untuk tahun 2009, sampai Oktober 2009 BNP2TKI mencatat penempatan pekerja migran mencapai 240.284 orang.7 8. Di kawasan Asia Pasifik, negara tujuan buruh migran Indonesia yang tertinggi adalah Malaysia, yang mencapai 1.833.122 orang (yang terdokumentasi) buruh migran. Sementara di kawasan Timur Tengah dan Afrika, yang tertinggi adalah di Arab Saudi yang mencapai 1.940.415 orang buruh migran. Selebihnya di Amerika dan Eropah. Jika diakumulasi, buruh migran Indonesia sejak tahun 1994 – 2006 yang terbanyak adalah di kawasan Timur Tengah dan Afrika, yang mencapai 2.169.695. Posisi terbanyak kedua adalah kawasan Asia Fasifik, berjumlah 2.731.730 orang buruh migran. Di Amerika hanya 18.338 orang dan di Eropa sebanyak 7.588 (Lihat Tabel 2.1). Pada tahun 2008,
Lihat selengkapnya, http:/ /www.bnp2tki.go.id/content/blogcategory/63/87/ Jorge Bustamante, Implementation of General Assembly Resolution 60/251 Of 15 March 2006 Entitled “Human Rights Council: Report of the Special Repporteur on the human rights of migrants, hlm. 4. Didistribusikan melalui A/ HRC/ 4/ 24/ Add.3, pada 2 Maret 2007. 5 Michele Ford, Migrant Labour in Southeast Asia, Country Study: Indonesia, hlm. 3. Friedrich Ebert Stiftung (FES) Project On Migrant Labor In Southeast Asia, diakses dari http:/ /www.fes.de/ aktuell/ focus_interkulturelles/ focus_1/ documents/ 5_000.pdf. Lihat pula, Komnas Perempuan, Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga: Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru Untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT: Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB Untuk Hak Asasi Migran, (Jakarta: Komnas Perempuan, Desember 2003), hlm. 9. 6 BNP2TKI, Jumlah Penempatan TKI ke Luar Negeri Menurut Kawasan. 7 Dikutip dari Laporan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2009, hlm. 20. 3 4
Page | 3
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
penempatan tenaga kerja Indonesia ke kawasan Asia Fasifik berjumlah 266.315 orang. Ke Timur Tengah berjumlah 183.717 orang, dan Eropa 65 orang buruh migran.8 9. Dalam praktiknya, tidak hanya di negara-negara tujuan migrasi, buruh migran Indonesia justru mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi sejak awal proses pemberangkatan sampai pemulangan. Minimnya perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia terhadap proses rekruitmen, penempatan dan pemulangan pekerja migran, justru menjadikan pelanggaran atas hak-hak mereka menjadi massif. 10. Sebagai salah satu lembaga di bawah naungan Undang-undang, BPN2TKI telah mengidentifikasi beberapa permasalahan yang marak terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, di antaranya adalah masa pra-penempatan, masa penempatan, purna penempatan, deportasi, sampai perdagangan manusia. Pada masa pra-penempatan, permasalahan yang paling sering mengemuka adalah: 1) direkrut secara illegal; 2) pemalsuan dokumen. Direkrut secara ilegal meliputi beberapa kasus, seperti direkrut oleh PPTKIS illegal (tidak memiliki SIUP), direkrut oleh seponsor dan dijual kepada PPTKIS resmi, direkrut dan diberangkatkan oleh calo, direkrut oleh PPTKIS resmi, tetapi tidak memiliki job order, perektrutan anak masih di bawah umur, serta perekrutan CTKI buta huruf.9 11. Dalam kasus rekruitmen oleh para calon, akibat tidak adanya informasi lebih, para calon buruh migran akhirnya hanya mengikuti apa yang diarahkan oleh para calo. Disinyalir, bahwa ditemukan banyak kasus yang merugikan para calon buruh migran pada proses ini, seperti pemotongan upah, pemalsuan identitas (seperti usia, pendidikan, keterampilan, status perkawinan, dan alamat asal calon), dan pemalsuan kontrak kerja. Penanganan kasus buruh migran yang dilakukan Solidaritas Perempuan, dari 280 kasus yang ditangani, 7% di antaranya adalah kasus-kasus penipuan dan pemerasan saat rekruitmen berlangsung. Kemudian, tentang buruh migran ilegal, pada tahun 2002, misalnya, LBH APIK Pontianak menangani kasus 86 orang buruh migran dan hanya 1 orang yang melalui PJTKI, selebihnya ilegal.10 Proses eksploitasi ini bukan tidak mungkin terjadi sampai para calon buruh migran ini berada dalam penampungan. 12. Pada masa penempatan, umumnya di negara-negara tujuan penempatan bekerja pada sector-sektor pekerjaan yang sudah ditinggalkan atau tidak diminati oleh warga negara pemberi kerja, karena kondisi kerja yang keras, upah, status rendah dan perlindungan minim.11 Untuk itu pula, permasalahan yang berhubungan dengan buruh migran di negara tujuan ini tidak jauh dari beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan jam kerja, kekerasan verbal dan fisik, gaji di bawah standar, tidak adanya hak cuti Menakertrans, Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Menurut Kawasan dan Jenis Kelamin 2008. I Wayan Pageh, “Permasalahan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TenagaK erja Indonesia di Luar Negeri”, (PNP2TKI), Sabtu, 21 Juni 2008; Menurut catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), permasalahan yang menimpa buruh migrant dapat dirangkum lebih dari 150 variasi kasus. Kompas.com, Rabu, “1.080 Buruh Migran meninggal Sepanjang 2009”, 27 Januari 2010. 10Komnas Perempuan, Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga, hlm. 22 11 I Wayan Pageh, “Permasalahan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri”. 8 9
Page | 4
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
tahunan, hari libur nasional dan pemutusan kontrak kerja secara sepihak.12 Kerawanan ini semakin meningkat ketika berhadapan dengan para buruh migran yang ilegal atau buruh migran perempuan yang kebanyakan berkerja di wilayah domestik. Selain seringkali tidak terjangkau oleh hukum, status mereka sebagai pekerja ilegal justru membuat mereka takut berbicara dan memberikan informasi, karena akan dideportasi. Akibatnya, para buruh migran yang menjadi korban tetap berada dalam kebisuan yang tak tersentuh. 13. Solidaritas Perempuan melaporkan, bahwa dari 280 kasus yang ditangani selama tahun 2002, permasalahan yang dihadapi oleh buruh migran – terutama perempuan – adalah: 1% gajinya tidak dibayar, 28% kekerasan seksual, 2% perkosaan, 1% diperlakukan kasar, 2% dokumen ditahan majikan, 3% pemutusan hubungan kerja sebelum waktunya, 3% dideportasi, 1% dituduh mencuri, 1% dipencara, 13% dilarang berkomunikasi ke luar, 1% bekerja dengan lebih dari satu majikan, 1% diusir, 4% dipaksa memperpanjang kontrak lerka dam 1% harus membayar makanan mereka sendiri selama kerja.13 Bahkan, Pada tahun 2004, ketika UU No. 39 Tahun 2004 baru disahkan, kematian buruh migran Indonesia di luar negeri berada pada angka 153 orang dan pada tahun 2009 angka itu meningkat sampai 1.018 orang (meningkat 600%).14 14. Permasalahan lain yang mengenaskan nasib pekerja migran adalah mereka yang bekerja di ranah domestik. Catatan Human Rights Watch menyebutkan, sebagian besar dari 300 ribu pekerja sektor domestik di Malaysia adalah pekerja yang berasal dari Indonesia. Dominannya mereka bekerja hingga 18 jam perhari, tujuh hari seminggu, dengan upah sebesar 400 – 600 ringgit (1,1 - 1,6 juta rupiah) perbulan.15 Pada umumnya pula, upah pekerja rumah tangga juga dipotong selama enam bulan pertama untuk membayar ongkos perekrutan agen tenaga kerja yang sudah menyalurkan mereka ke tempat kerja. Dengan adanya potongan ini, para pekerja hanya dapat menerima upah sekitar 300 - 450 ringgit (840 ribu -1,2 juta rupiah).16 15. Sementara itu, para buruh migran tidak berdokumen yang tidak sedikit jumlahnya memiliki permasalahan yang lebih rumit. Pada tanggal 1 Februari 2005 yang lalu, Pemerintah Malaysia mengusir sekitar 1.200.000 buruh migran yang tidak berdokumen, sekitar 800.000 orang asal Indonesia. Bahkan, pada tanggal itu Pemerintah Malaysia
Setidaknya, hal ini yang terjadi pada buruh migran di Hongkong. Lihat lebih lanjut tentang kasuskasus buruh migran di Hongkong dalam, AMC, IMWU, dan KOTKIHO, Underpayment 2: Pemerasan Sistematis Berkepanjangan pada Buruh Migran Indonesia di Hongkong (Suatu Studi Mendalam), hlm. 43. 13 Komnas Perempuan, Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga, hlm. 22 14 Kompas.com, Rabu, “1.080 Buruh Migran meninggal Sepanjang 2009”, 27 Januari 2010; lihat pula, http:/ /www.migrantcare.net/ 15 Padahal untuk ukuran standard minimun, para pekerja bisa mendapatkan sekitar 900 ringgit perbulan. Catatan HWR juga menyebutkan, bahwa standar upah Malaysia adalah standar terendah di antara negara-negara lain untuk pekerja domestik. 16 Human Rights Watch (HRW), “Indonesia/Malaysia: End Wage Exploitation of Domestic Workers”, 10 Mei 2010. Diakses dari http://www.hrw.org 12
Page | 5
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
memerintahkan untuk melakukan razia-razia buruh tak berdokumen, dengan memobilisasi Polisi Diraja Malaysia dan RELA (semacam milisi PAM Swakarsa).17 16. Proses rekruitmen dan penempatan yang luput dari perhatian ini menjadikan posisi para buruh migran sangat rentan, terutama dalam kasus perdagangan manusia. Menurut laporan yang disusun oleh tim yang dipimpin Utusan Khusus AS Anti Perbudakan, Duta Besar Luis CdeBaca, pada setiap provinsi dari 33 provinsi di Indonesia merupakan tempat asal dan tujuan perdagangan manusia. Tempat asal yang paling signifikan adalah provinsi di Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. Sedangkan menurut IOM (International Organization for Migration), perusahaan perekrutan tenaga kerja, baik legal maupun ilegal, bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen perempuan pekerja Indonesia yang mengalami kondisi perdagangan manusia di negara tujuan.18 Hal ini menjadikan suatu pertanda, bahwa kegagalan pemerintah untuk melindungi para pekerja migran, justru mengarah pada perbudakan modern yang dilakukan terhadap pekerja migran. 17. Data yang dihimpun oleh BNP2TKI, menyebutkan bahwa pada tahun 2007, kasus-kasus yang dominan menimpa para buruh migran asal Indonesia terjadi di Arab Saudi yang mencapai 39% dan Malaysia sebanyak 38%. Selebihnya hanya 1 atau 2% saja, seperti di Singapura 2%, Bahrain 2%, Amerika Serikat 2%, Kuwait 6%, Taiwan dan Hongkong masing-masing 3%, Brunei Darussalam 2%, Yordania 3% dan tidak diketahui sebanyak 1%. 18. Kerentanan yang juga dialami oleh buruh migran adalah ketika proses pemulangan, mulai dari kasus-kasus buruh migran (domestik) yang melarikan diri sampai pada perjalanan pulang ke daerah asal dari Bandara Soekarno-Hatta. 19. Dari beberapa permasalahan dalam proses pemulangan ini, yang cukup mecolok adalah ancaman deportasi bagi pekerja migran yang tidak berdokumen. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh SP3TKI Tanjung Pinang kepada BNP2TKI, selama tahun 2007 jumlah buruh migran illegal yang dideportasi melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pinang sebanyak 30.574 orang, dengan rincian bulan April 2007 sebanyak 3343 orang, bulan Mei 2007 sebanyak 3714 orang, bulan Juli 2007 sebanyak 2322 orang, bulan September 2007 sebanyak 6244 orang, bulan Oktober 2007 sebanyak 3289 orang, bulan Nopember sebanyak 3061 dan bulan Desember sebanyak 2594 orang.19 Sampai Maret 2009, menurut data yang dirilis oleh sebanyak 5.662 TKI ilegal dideportasi dan kira-kira 80 persen TKI
Migran Care, Sikap Migran Care terhadap Problematika Buruh Migran Indonesia, (Jakarta: Migran Care dan Cordaid, 2009), hlm. 60; Menurut Peduli Buruh Migran, salah satu lembaga yang intens mendampingi para buruh migran yang bermasalah, para TKI yang dideportasi mencapai 1000 orang setiap bulannya. 18 “Deplu AS: 3 Juta WNI Jadi Korban Perbudakan�, (Vivanews) Selasa, 15 Juni 2010. Diakses dari http:/ /dunia.vivanews.com/ news/ read/ 157751-deplu-as--3-juta-wni-jadi-korban-perbudakan 19 I Wayan Pageh, “Permasalahan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri�. 17
Page | 6
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
ini berasal dari Malaysia. Selebihnya dari Hongkong, Singapura, Cina, dan Negara Timur Tengah.20 20. Demikian pula menurut Kepala Pusat Kepala Pusat Penelitian, Pengembangan dan Infromasi (Kapuslitfo) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Benyamin Suprayogo, bahwa khusus untuk kepulangan TKI pada Mei 2010 terlihat kecenderungan yang mengkhawatirkan, karena angka TKI bermasalah mencapai 6.014 TKI (21%) dari jumlah kedatangan TKI atau rata-rata 200 TKI bermasalah perhari. Sementara untuk kawasan Timur Tengah angka pekerja migran yang ermasalah mencapai 4.877 TKI atau rata-rata 162 TKI bermasalah perhari. Sementara untuk Saudi Arabia sebesar 3.120 TKI atau rata-rata 104 TKI bermasalah perhari. Kurang lebih 90 persen TKI bermasalah 2010, menurut Benyamin, masa kerja mereka tidak lebih dari 9 bulan.21 21. Beberapa kasus di atas yang seringkali dialami oleh para buruh migran Indonesia, tidak hanya terjadi di negara tujuan, tetapi juga ketika proses pemberangkatan atau pemulangan. Dengan fakta tersebut, kewajiban pemerintah untuk memperhatikan nasib para buruh migran asal Indonesia semakin mendesak, mengingat fakta bahwa buruh migran ini telah menyumbangkan devisa yang tidak kecil kepada negara. 22. Berdasarkan hal-hal di atas, dokumen ini diharapkan mampu memberikan gambaran lain tentang posisi Indonesia terhadap Konvensi Migran 1990, sehingga bisa menjadi pertimbangan bagi Pemerintah, khususnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I, dan Dewan Perwakilan Rakyat R.I, untuk meratifikasi Konvensi ini. Karena di samping itu, UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri (PPTKLN) ataupun perjanjian-perjanjian bilateral dengan Negara Penerima belum mampu memberikan perlindungan efektif bagi buruh migran dan masih menyisakan permasalahan yang tidak kunjung selesai. Dengan perkataan lain, dokumen ini diharapkan dapat menjawab argumentasi-argumentasi penolakan ratifikasi Konvensi, yang sebetulnya bisa memperkuat perlindungan buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. 23. Secara substantif, dokumen ini juga menyinggung tentang tanggungjawab internasional Indonesia yang dimandatkan oleh badan-badan PBB untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Dengan ratifikasi ini, Pemerintah diharapkan akan meletakkan prinsip-prinsip perlindungan pekerja migran dalam sistem legislasi nasional. Sebagai Negara Asal, politik ratifikasi Konvensi ini diharapkan dapat menaikkan posisi diplomasi politik luar negeri Indonesia dihadapan negara-negara Penerima. 22 Serta dapat mendorong efektifitas kerja 20
“Per
Maret 2009, 5.662 TKI di Deportasi�, Inhilkab.go.id, Jumat, 29 Mei 2009, diakses dari http://www.inhilkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2798:per-maret-2009 5662-tki-dideportasi&Itemid=107 21 “Angka TKI Bermasalah dari Timteng Mengkhawatirkan�, Liputan6.com, 8 Juni 2010. 22 Philipina sebagai Negara Pengirim pekerja migran telah meratifikasi Konvensi ini pada tanggal 5 Juli 1995, dan menandatanganinya pada tanggal 15 November 1993. Lihat http://treaties.un.org/Pages/ ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV13&chapter=4&lang=en
Page | 7
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
seluruh instansi departemen terkait untuk mengoptimalkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. 24. Dokumen ini juga berisi tentang potret perkembangan buruh migran Indonesia, terutama terkait dengan permasalahan-permasalahan yang selama ini banyak menimpa mereka. Selanjutnya, akan ditinjau pelaksanaan perlindungan buruh migran di negara yang juga berhubungan dengan pengiriman tenaga kerja, yaitu Meksiko sebagai suatu contoh terbaik perlindungan buruh migran, serta akan dilihat bagaimana kerangka hukum di Indonesia melindungi nasib para buruh migran yang ada di negara-negara tujuan. 25. Rangkaian tulisan yang disebutkan di atas mengerucut pada suatu kesimpulan yang hendak disampaikan, bahwa pada prinsipnya, dengan kondisi buruh migran yang semakin memprihatinkan, serta tanggungjawab negara terhadap perlindungan hak asasi manusia, maka sudah seharusnya Pemerintah Republik Indonesia, baik legislatif atau eksekutif, untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on The Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families).
Page | 8
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
BAB II Urgensi dan Argumentasi Ratifikasi Konvensi Migran 1990 A. Pandangan dan Jawaban Untuk Ratifikasi Konvensi 26. Pada bagian ini akan menguraikan pokok-pokok pemikiran untuk meratifikasi Konvcensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, serta beberapa mandat hukum internasional, regional dan nasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak buruh migran, seperti mandat dari Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Komite CERD), Rekomendasi Umum No. 26 Komite Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW), Mandat Komite Anti Penyiksaan (Komite CAT), mandat dari instrumen Asean seperti Deklarasi tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran di Asean, serta jaminan perlindungan dalam Konstirusi dan undang-undang lainnya. Pokok-pokok pemikiran ini diharapkan dapat menjadi opini kedua (secound opinion) terhadap argumentasi-argumentasi yang berkembang saat ini. 27. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, setidaknya ada tiga argumentasi yang dikemukakan oleh Pemerintah Indonesia terhadap ratifikasi Konvensi Pekerja Migran, yaitu:
Pertama, karena negara tujuan penempatan pekerja migran tidak ada yang meratifikasi Konvensi, seperti Malaysia dan Arab Saudi, sehingga ratifikasi justru tidak akan mempengaruhi nasib para pekerja migran Indonesia di negara-negara tersebut. Kedua, alasan lain yang juga sering disebutkan oleh Pemerintah adalah ketika Indonesia meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, maka Indonesia harus memberikan hak setara terhadap pekerja asing yang datang ke Indonesia, sementara secara ekonomi kondisi Indonesia saat ini belum mengizinkan. Ketiga, Ketika Indonesia meratifikasi Konvensi, Pemerintah khawatir hal ini justru akan memperbanyak pekerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menjadi pekerja, karena para pekerja akan diberikan kebebasan berserikat, asuransi, fasilitas pengacara, dan jaminan sosial.23 Dengan perkataan lain, dengan meratifikasi Konvensi ini, tidak serta merta akan melindungi nasib pekerja migran Indonesia. 28. Indonesia sebagai Negara Pengirim pekerja migran maka sudah semestinya pro aktif melakukan berbagai upaya-upaya untuk meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran. Upaya-upaya tersebut dapat dimulai dengan menjadi Negara Pihak (State Parties) dalam Konvensi Perlindungan Buruh Migran. Meratifikasi Konvensi ini adalah sebuah “Ratifikasi Konvensi Buruh Migran Masih Dua Tahun Lagi�, (Jakarta), Tempo Interaktif, Selasa, 01 Desember 2009 23
Page | 9
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
keniscayaan bagi Negara Pengirim seperti Indonesia, karena persoalan buruh migran tidak hanya persoalan dalam negeri, tapi menyangkut hubungan bilateral antara dua negara, bahkan multilateral. Oleh karena itu, strategi selama ini yang dilakukan adalah “menunggu� Negara Penerima agar terlebih dahulu meratifikasi konvensi merupakan strategi pasif yang tidak cocok dilakukan sebagai Negara Pengirim. Karena bagaimana mungkin bisa mendesak Negara Penerima, misalnya Malaysia, jika Indonesia sendiri belum meratifikasinya. Disamping itu, kasus-kasus pekerja migran tidak hanya terjadi di Negara Tujuan, tetapi juga terjadi di Indonesia dimulai sejak proses rekrutmen, pendidikan dan pelatihan (pra keberangkatan).24 Artinya, dengan meratifikasi Konvensi ini juga juga akan memperbaiki perlindungan bagi calon buruh migran Indonesia sebelum keberangkatannya. 29. Sampai saat ini tercatat sebanyak 43 (empat puluh tiga) negara yang sudah meratifikasi Konvensi Migran ini,25 dan negara-negara tersebut tidak pernah ada yang mengeluh dan dirugikan karena negara-negara tersebut memang ingin ada perubahan yang nyata untuk melindungi para pekerja migran nya. Contohnya Meksiko, sebagai negara yang merupakan pengirim tenaga kerja dan juga penerima tenaga kerja. Dengan meratifikasi konvensi, Meksiko dengan mudah membuat berbagai perjanjian perlindungan buruh migran dengan negara-negara lain di mana warga negaranya menjadi buruh migran. Contoh lain yang dapat dilihat adalah Filipina. Sebagai Negara Pengirim, Filipina telah mempunyai peraturan dalam negeri yang cukup baik, karena hukum nasionalnya telah mengadopsi standard hukum internasional yang bersifat universal dan menerapkan standard ini dalam setiap peraturan perundangannya. Melalui perangkat peraturan yang lengkap, perkembangan buruh migran Filipina cukup pesat dan mampu menempatkan 2,5 juta buruh migrannya ke berbagai Negara.26 Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan pekerja migran di luar negeri, dengan cara meratifikasi Konvensi Pekerja Migran justru meningkatkan proses penempatan pekerja migran ke luar negeri. 30. Selain itu, model perlindungan yang dilakukan selama ini dengan mengandalkan MoU dengan Negara Penerima tidaklah cukup karena tidak adanya standar atau prinsip perlindungan di dalam kebijakan nasional, sehingga MoU yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Taty Krisnawaty, salah seorang mantan Komisioner Komnas Perempuan, bahwa MoU yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia sampai tahun 2007 hanya dominan mengatur tentang kerjasama
Lihat dokumentasi yang sudah dilakukan oleh Tim Peneliti Ecosoc dan TURC terkait masalah pekerja migran pada saat pra penempatan, dalam Tim Peneliti Ecosoc dan TURC, Menangani Perbudakan Modern dari Desa, (Jakarta: Ecosoc Rights dan TURC, 2008). 25Lihat http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV 13&chapter=4&lang=en, Philipina sudah meratifikasi tanggal 5 Juli 1995, sementara itu Timor Leste sudah meratifikasi pada tanggal 30 Januari 2004. 26Lily Pujiati, “Bersama Kita Desak Ratifikasi Konvensi Migran Tahun 1990�, http:/ /peduliburuhmigran.blogspot.com 24
Page | 10
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
antara PJTKI dan Negara Tujuan, dan justru tidak signifikan mengatur tentang perlindungan pekerja migran.27 31. Kekhawatiran terhadap tenaga kerja asing (TKA) yang akan mendirikan serikat pekerja di Indonesia juga menjadi alasan yang tidak tepat untuk menolak ratifikasi konvensi. Karena selain dari jumlahnya yang tidak terlalu signifikan, bagi mereka—para pekerja asing atau khususnya ekspatriat—sepertinya tidak terlalu urgen untuk mendirikan sebuah serikat pekerja di Indonesia. Umumnya mereka bekerja dalam kelompok-kelompok atau unitunit kecil, tidak jarang memiliki posisi atau jabatan yang tinggi, dengan upah yang umumnya jauh di atas rata-rata upah pekerja di Indonesia.28 Oleh karena itu, sebaliknya dengan meratifikasi konvensi ini menjadikan pekerja domestik Indonesia terlindungi dari berbagai perlakuan diskriminasi di perusahaan-perusahaan nasional atau internasional yang ada di Indonesia. Karena tidak jarang terjadi perlakukan diskriminatif, baik dari segi upah dan fasilitas, diantara pekerja domestik Indonesia dengan pekerja asing di satu perusahaan yang sama. 32. Selain itu, secara konstitusional hak untuk berserikat ini dijamin dalam berbagai aturan hukum nasional terutama dalam pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksudmaksud damai”. Bahkan Pasal 28 E ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan bahwa “Setiap Orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Bahkan dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh UU No. 12 tahun 2005, dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya”. Artinya, baik meratifikasi atau tidak meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, maka hak berserikat adalah hak asasi bagi setiap orang yang telah dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga dengan demikian hal ini tidak perlu menjadi kekhawatiran pemerintah. 33. Konvensi ini memang menjamin hak setiap buruh migran bergabung atau membentuk serikat buruh, hal disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1). Hak-hak ini tidak boleh dibatasi kecuali menurut ketentuan hukum, ketertiban umum, atau demi perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Hal ini jelas pula disebutkan dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 26 ayat (2).29 Dengan perkataan lain, sekalipun konvensi ini menjamin hak-hak buruh migran, namun konvensi ini juga membuka peluang bagi negara untuk membatasinya. Dengan catatan, bahwa pembatasan tersebut harus dilakukan dengan undang-undang. Disatu sisi memang wajib melakukan persiapan-persiapan, salahsatunya perbaikan
Wawancara dilakukan dengan Taty Krsinawati pada tanggal 9 Agustus 2010 di Kantor Human Rights Working Group (HRWG); Lihat pula, ILO, Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan Pekerja Migran Indonesia: Beberapa Pelajaran dari Filipina, (Jakarta: ILO, 2006), hlm. 21. 28 Lihat Syamsul Ardiansyah, “Ratifikasi Konvensi Buruh Migran untuk Apa?”, Kompas.com, Sabtu, 26 Desember 2009. 29 Hal yang sama disebutkan juga dalam Pasal 40 Konvensi 27
Page | 11
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
hukum sebagaimana disampaikan pemerintah selama ini, namun hal tersebut dilakukan setelah meratifikasi konvensi sebagai mandat dari konvensi tersebut. 34. Alasan ketiga, Pasal 15 Konvensi Migran mengakui hak pekerja asing di Indonesia untuk memiliki property/tanah, meskipun sebetulnya Pasal ini akan melindungi pekerja migran asal Indonesia untuk juga memiliki property. Dalam konteks Indonesia, kekhawatiran ini justru telah dijawab oleh UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan bahwa orang asing tidak dapat memiliki property di Indonesia.30 Dengan pertimbangan kondisi Indonesia saat ini, maka Pemerintah dapat melakukan pembatasan atau kebijakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.31
B. Mandat Internasional Untuk Indonesia Rekomendasi Komite CERD, CEDAW, dan CAT 35. Bagian ini menguraikan tentang mandat-mandat internasional yaitu rekomendasi dari badan-badan Komite Konvensi yang telah diratifikasi Indonesia, seperti Komite Anti Diskriminasi Rasial (CERD), Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Komite Anti Penyiksaan (CAT), dan rekomendasi dari Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak buruh migran, Mr. Jorge Bustamante,32 serta Perjanjian Sukarela dan Komitmen Pemerintah Indonesia kepada Presiden Majelis Umum PBB untuk menjadi Anggota Dewan HAM PBB.33 36. Pada Pertemuan Ketujuh Puluh Satu, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial mengeluarkan Pertimbangan atas Laporan-laporan yang disampaikan oleh Pihak-pihak Negara Berdasarkan Konvensi Pasal 9 pada 30 Juli – 8 Agustus 2007. Di dalam salah satu point pertimbangan, Komite menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi HAM di Indonesia. Meskipun pertimbangan ini ditujukan untuk mengatasi masalah diskriminasi rasial terhadap bukan-warga-negara (sebagaimana Pasal 2 dan 5 CERD), Komite merekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga. “The Committee recommends that the State party include more detailed information on the rights of non-citizens in its next periodic report. The Committee encourages the State
Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agararia. Beberapa Pasal Konvensi Pekerja Migran memberikan alternatif pembatasan, sesuai dengan kriteria, pemenuhan hak sosial tertentu, dan dengan syarat-syarat tertentu. Lihat, Pasal 79, Pasal 26 ayat (2), Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (2). 32 Human Rights Council, “Implementation Of General Assembly Resolution 60/251 of 15 March 2006”. Didistribusikan pada tanggal 2 maret 2007 melalui A/HRC/4/24/Add.3. 33 Mejelis Umum PBB, “Note verbale dated 12 April 2007 from the Permanent Mission of Indonesia to the United Nations addressed to the President of the General Assembly”. Didistribusikan pada 13 April 2007/Sesi ke-61 melalui A/61/855. 30 31
Page | 12
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
party to envisage ratifying the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families”34 37. Pertemuan Keempat Puluh Komite Anti Penyiksaan mengeluarkan Pertimbangan atas Laporan yang telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Konvensi Pasal 19 Konvensi Anti Penyiksaan. Pada point ke-20, Komite memberikan perhatian terhadap perlakukan buruk yang sering terjadi pada pekerja migran, terutama perempuan. Menurut Laporan, demikian dicatat oleh Komite, bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia yang merekrut para buruh migran seringkali menempatkan mereka pada keadaan yang menghalangi mereka untuk menikmati hak asasinya, seperti lilitan hutang, kerja paksa, dan pelecehan seksual. 38. Selanjutnya, dalam point ini Komite juga menekankan agar Pemerintah Indonesia memperkuat peran diplomasi dan konsuler Indonensia di luar negeri, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, memperkuat Citizens’ Advisory Services, dan juga untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara yang menerima para pekerja migran Indonesia. Kemudian, Komite memberikan catatan untuk menjamin pengawasan independen terhadap Terminal 3 Bandara Internasional Jakarta, termasuk pula oleh organisasi civil society (CSO). “The Committee is also concerned at reported cases of ill-treatment of migrant workers, especially women, reportedly abused by Indonesian recruiting companies, which often place them in situations that impair the enjoyment of their human rights while abroad, including debt bondage, forced labour and other ill-treatment, including sexual abuse (art. 16)”. “The State party is strongly encouraged to strengthen the role of Indonesian diplomatic and consular missions abroad, in accordance with Presidential Instruction No. 6/2006, reinforcing the Citizens’ Advisory Services, as well as its cooperation with countries receiving Indonesian migrant workers. The State party should ensure independent monitoring of terminal 3 of Jakarta international airport, including by civil society organizations.” 35 39. Terakhir, Komite Anti Penyiksaan memberikan perhatian khusus kepada Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan ratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia
CERD, “Consideration of Reports Submitted by States Parties Under Article 9 of the Convention: Concluding observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination”. Genewa, 30 Juli - 18 Agustus 2007. Didistribusikan pada 15 Agustus 2007 melalui CERD/C/IDN/CO/3. Didistribusikan pada 2 Juli 2008 melalui CAT/C/IDN/CO/2. 35 CAT, “Consideration of Reports Submitted by States Parties Under Article 19 of the Convention Concluding Observations of the Committee against Torture”, Point ke-20. Genewa, 28 April – 16 Mei 2008. Didistribusikan pada 2 Juli 2008 CAT/C/IDN/CO/2. 34
Page | 13
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
PBB yang utama yang belum diratifikasi, yakni Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Hak-Hak Semua Buruh Migran.36 40. Selain itu, salah satu Komite yang juga memberikan perbahasan tentang buruh migran adalah Komite CEDAW. Meskipun Komite menyambut baik tindakan Pemerintah Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian bilateral dengan beberapa negara untuk memperbaiki kondisi perempuan, tetapi Komite juga masih mencatat keprihatinan dengan keadaan buruh migran perempuan Indonesia yang mencapai 70% dari total buruh migran di Indonesia. Keprihatinan ini berangkat dari fakta tingginya migrasi illegal yang dilakukan oleh para buruh migran, sehingga aspek perlindungan yang sangat tidak memadai. Di samping itu, Komite juga memprihatinkan beberapa perjanjian bilateral yang dilakukan justru masih menyimpan kekurangan-kekurangan, di antaranya adalah hak majikan untuk memegang paspor pekerja dan tingginya biaya administrasi yang harus dibayar oleh pekerja, baik pada proses pemberangkatan atau pemulangan.37 41. Catatan untuk Pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh Komite Cedaw terkait dengan perlindungan buruh migran dan keluarganya dapat dikategorikan menjadi tiga; Pertama, adalah hubungan diplomasi antar negara melalui perjanjian bilateral; dan Kedua, dengan cata memantau perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor atau pengirim buruh migran ke luar negeri; Ketiga, melalui ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga. 42. Untuk yang pertama, yaitu perbaikan hubungan diplomasi antar-negara dan perjanjian bilateral, dicatat oleh Komite dalam pertimbangan nomor ke-33, Komite terus mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perjanjian-perjanjian bilateral atau MoU dengan negara-negara yang menerima pekerja perempuan Indonesia, dengan memperhatikan Konvensi Cedaw dan hak asasi perempuan. Di samping itu, Pemerintah menekankan agar ketentuan-ketentuan diskriminatif dapat dihapuskan dari perjanjian/MoU tersebut, seperti ketetapan majikan untuk memegang pasport pekerja. 43. Kedua, Komite juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menguatkan perlindungan buruh migran dengan upaya formal dan informal melalui peningkatan kebijakan dan tindakan, termasuk di dalamnya adalah memantau dan mengawasi agen-agen perekrut dan pengirim buruh migran untuk memberikan pelayanan yang luas kepada para pekerja. Selanjutnya, Komite juga meminta kepada Pemerintah untuk menurunkan biaya administrasi yang harus dibayar oleh pekerja migran, baik pada waktu pemberangkatan atau kepulangan. Terakhir, Komite merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia mengurangi atau mengatasi penyebab tingginya migrasi perempuan, termasuk melakukan perlindungan dan pembangunan yang berkelanjutan atas kondisi ekonomi kaum perempuan, melalui upaya yang komprehensif.
CAT, “Consideration of Reports Submitted by States Parties Under Article 19 of the Convention Concluding Observations of t he Committee against Torture”, Point ke-40. 37 CEDAW, “Concluding comments of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women: Indonesia”, point nomor 32. pada 23 Juli – 10 Agustus 2007, sesi ke-39. Didistribusikan pada 10 Agustus 2007. 36
Page | 14
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
44. Ketiga, dalam point ke-44 pertimbangan, Komite memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk menyatakan kesetiaan dan ketaatannya terhadap Kovenankovenan Internasional yang telah disepakati, terkait dengan kesejahteraan, hak kebebasan fundamental, dan hak asasi perempuan. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, Komite kemudian meminta Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya. “The Committee notes that States’ adherence to the seven major international human rights instruments1 enhances the enjoyment by women of their human rights and fundamental freedoms in all aspects of life. Therefore, the Committee encourages the Government of Indonesia to ratify the treaty to which it is not yet a party, namely, the Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.” 38 Rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Hak-hak Buruh Migran, Mr. Jorge Bustamante 45. Pada tanggal 12 sampai 21 Desember 2006, Pelapor Khusus (Special Repporteur) PBB, Mr. Jorge Bustamante melakukan hasil kunjungan kerjanya di Indonesia atas kondisi hak asasi buruh migran di Indonesia. Tujuan dari pelaporan ini adalah untuk memeriksa seluruh aspek tentang proses migrasi dari Indonesia, dengan memberikan perhatian spesifik kepada pekerja perempuan domestik. 46. Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian yang cukup terhadap hak asasi manusia, yang tergambar pada Rancangan Aksi Nasionak Hak Asasi Manusia (RANHAM) dan ratifikasi Kovenan-kovenan internasional. Terkait dengan Konvensi Konvensi Migran 1990 telah dicantumkan di dalam RANHAM 2004 – 2009. Di samping itu, laporan ini juga mencatat beberapa perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara lain yang menerima pekerja migran, seperti Malaysia. 47. Namun demikian, laporan ini juga mencatat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan perlindungan buruh migran dan keluarganya, terutama pada keengganan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya. Menurut laporan ini, dari beberapa pembicaraan yang dilakukan Peninjau, Pihak Pemerintah memberikan jawaban, bahwa pada prinsipnya Pemerintah Indonesia menginginkan ratifikasi, tetapi yang menjadi permasalahan adalah adanya kenyataan tidak ada satu pun negara yang menjadi penerima buruh migran asal Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan ini, sehingga tidak mungkin pula perlindungan buruh migran akan efektif. 48. Meskipun begitu, Menurut Jorge Bustamante, keengganan untuk meratifikasi Kovenan Konvensi Migran 1990 ini berangkat dari suatu anggapan, jika Indonesia meratifikasi Kovenan ini, maka Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyediakan layanan bagi CEDAW, “Concluding comments of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women: Indonesia”, point nomor 44. pada 23 Juli – 10 Agustus 2007, sesi ke-39. 38
Page | 15
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
pekerja migran yang masuk ke Indonesia, seperti pendidikan anak-anak buruh migran dan pelayanan kesejahteraan. Dalam hal ini, Pemerintah akan mengeluarkan biaya yang tinggi untuk kepentingan buruh migran, sementara untuk peningkatan kesejahteraan warga negaranya sendiri belum tercapai. Hal ini akan menimbulkan asumsi, bahwa Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus kepada pendatang asing. 49. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga memberikan alasan, bahwa ratifikasi Konvensi akan membutuhkan biaya beban administrasi yang tinggi, terutama jika anggaran belanja Indonesia sedang mengalami defisit, serta kurangnya petugas administrasi yang akan menangani masalah-masalah tersebut. 50. Dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi pada buruh migran asal Indonesia saat ini dan aspek perlindungan yang menaungi buruh migran dan keluarganya – meskipun pula dengan beberapa alasan yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia di atas – Laporan Khusus ini tetap meminta agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovenan Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya, karena Konvensi ini akan meningkatkan perlindungan pekerja migran dan mencegah terjadinya praktik-praktik ilegal dan masalah buruh migran akan menjadi masalah publik. Di samping itu, ratifikasi justru akan mengatasi tingkat penyalahgunaan sistem pengiriman pekerja migran ke luar negeri, baik yang dilakukan oleh oknum negara atau swasta, karena semua proses itu akan tunduk pada aturan yang ketat dan akan terjadinya reformasi sistem secara kompehensif.39
Perjanjian Sukarela Indonesia pada Pencalonan Anggota Dewan HAM 51. Sebelum mengikuti pemilihan Anggota Dewan HAM PBB yang dilaksanakan pada 17 Mei 2007, Pemerintah Indonesia membuat perjanjian dan komitmen sukarela kepada PBB untuk memajukan dan mendorong perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, baik pada tingkat nasional atau internasional. Pada tataran internasional, salah satu janji atau komitmen Pemerintah Indonesia adalah untuk melanjutkan program ratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia sebagaimana yang telah dicantumkan dalam RANHAM 2004 – 2009. 52. Mengacu kepada perjanjian dan komitmen sukarela ini dan kepada RANHAM 2004 – 2009 yang salah satu substansinya menjadikan ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya sebagai prioritas, maka Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk segera melaksanakan janji dan komitmennya tersebut, karena terlepas dari janji sukarela ini, ratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya ini merupakan upaya pemajuan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
Untuk Laporan ini, lihat Human Rights Council, Implementation of General Assembly Resolution 60/251, Report of the Special Repporteur on the human rights of migrants, Jorge Bustamante: Mission to Indonensia. Didistribusikan pada 2 Matret 2007 melalui A/HRC/4/24/Add.3. 39
Page | 16
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
C. Mandat Nasional untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 53. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia telah menetapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi setiap orang dan warga negara sebagai jaminan atas kehormatan dan martabat mereka sebagai manusia. Kemudian UUD 1945 juga mengakui setiap warga negara sama di depan hukum tanpa adanya diskriminasi yang didasarkan pada apapun juga. Untuk itu, perlindungan buruh migran dalam konteks hukum di Indonesia dapat dilihat dari Pasal-pasal UUD 1945 yang melindungi berperan sebagai pelindung hak-hak warga negara. a. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah disebutkan secara jelas, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan warga negara diatur melalui undang-undang.40 Termasuk di dalam Pasal ini adalah kepentingan untuk melindungi hak seluruh warga negara, seperti kepentingan buruh migran dan keluarganya. Secara tidak langsung, UUD 1945 memberikan mandat kepada perumus kebijakan/legislator untuk memperhatikan kepentingan warga negara, serta apa saja yang menjadi kebutuhan mereka. b. Disebutkan di dalam Pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan�. Pasal ini memberikan sinyalemen, bahwa setiap tindakan atau perbuatan yang telah dipilih oleh warga negara sebagai upaya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak harus dilindungi secara penuh oleh Negara. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak ini tidak hanya menuntut Negara untuk memenuhinya, tetapi juga memberikan fasilitas perlindungan terhadap apa yang menjadi pilihan setiap warga negara, termasuk jika mereka memutuskan untuk menjadi pekerja migran. Secara lebih umum, Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Setiap warga negara berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya�. Artinya, pilihan untuk menjadi buruh migran tidak lebih dari upaya mempertahankan hidup dan kehidupan mereka, yang pada prinsipnya menjadi kewajiban negara untuk menjamin keberlangsungannya. c. Di samping itu, Pasal 28D ayat (2) menyebutkan, bahwa selain mempunyai hak untuk bekerja, Konstitusi Republik Indonesia juga memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapatkan imbalan atau upah dan perlakukan yang adil dan layak dalam setiap hubungan kerja. Untuk itu, Negara juga berkewajiban untuk memastikan hak setiap warga negara dalam hubungan kerja, baik di dalam atau di luar negeri. d. Pasal 28G UUD 1945 menyebutkan, bahwa: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 40
Pasal 26 ayat (3) UUD 1945.
Page | 17
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 54. Untuk itu, ayat (1) Pasal 28D di atas menekankan adanya perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, termasuk pula bagi para buruh migran Indonesia, karena secara universal UUD 1945 tidak membedakan setiap warga negara. Selanjutnya, ayat (2) Pasal ini menyebutkan, bahwa setiap warga negara berhak untuk bebas dari setiap bentuk penyiksaan. Dengan demikian, Pemerintah berkewajiban pula untuk melindungi para pekerja migran, terutama pekerja perempuan, dari setiap perlakukan buruk yang – mengarah kepada penyiksaan – sering terjadi pada buruh migran, sehingga menghalangi mereka untuk menikmati hak asasi dan martabat kemanusiaannya. UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM 55. Di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara eksplisit, bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Kemudian, Undang-undang ini juga menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan berpihak. Bahkan, UU memberikan kekhususan kepada masyarakat rentan yang membutuhkan perlindungan (Pasal 5). 56. Selain itu, Undang-undang Hak Asasi Manusia ini memandatkan kepada Pemerintah untuk bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 8). Artinya, sebagaimana prinsip hukum hak asasi manusia internasional, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi semua warga negara, termasuk perlindungan kepada pekerja migran Indonesia. 57. Eksistensi buruh atau pekerja migran secara implisit tidak hanya diakui di dalam Konstitusi, tetapi juga di dalam UU HAM, terutama hak mereka untuk mencari pekerjaan dan hidup layak. Di dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Kemudian Pada Pasal 38 juga dinyatakan: “Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil; Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama; Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjarmin kelangsungan kehidupan keluarganya.”
Page | 18
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
58. Hal ini menunjukkan, bahwa setiap orang berhak untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, serta berhak pula untuk memiliki pekerjaan yang dikehendaki dan sesuai dengan keterampilannya. Dengan demikian, alternatif yang telah menjadi pilihan setiap orang tersebut wajib dilindungi oleh Pemerintah sebagai pemegang mandat perlindungan hak asasi manusia. 59. Undang-undang Hak Asasi Manusia juga menetapkan, bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya” (Pasal 29). Dengan adanya perlindungan atas diri, keluarga kehormatan dan hak milik tersebut, UU juga menguatkan perlindungan ini dengan menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat, dan martabat kemanusiaan (Pasal 33). Hal ini berarti, setiap orang yang menjadi warga negara Republik Indonesia mempunyai hak untuk dilindungi secara penuh oleh negara atas dirinya sendiri, keluarga dan kehormatannya.
Keputusan Presiden No 40/2004 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009 60. Dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2009 disebutkan, bahwa Panitia Nasional bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan RANHAM Indonesia yang mencakup “Persiapan ratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia internasional”. Ratifikasi konvensi internasional ini masuk dalam Program Utama Panitia Nasional, selain dari kelima program lain,41 dan bertujuan untuk memperkuat hukum nasional dalam upaya menjamin penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia agar sesuai dengan harapan.42 61. Program utama persiapan ratifikasi Kovenan internasional hak asasi manusia dalam RANHAM 2004 – 2009 dianggap penting dalam upaya pemajuan HAM di Indonesia. Maka itu, dalam rentang waktu lima tahun, Panitia mengagendakan untuk meratifikasi beberapa Kovenan yang masuk dalam Skala Prioritas, yaitu: 1) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; 2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; 3) Kovenan Internasional Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi; 4) Kovenan Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya; 5) Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak; 6) Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan; 7) Protokol Opsional Konvensi Anak tentang Keterlibatan anak dalam Konflik Bersenjata; 8) Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; 9) Sepanjang tahun 2004 – 2009, Program Utama RANHAM adalah 1) Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM; 2) Persiapan ratifikasi instrumen Hak Asasi Manusia internasional; 3) Persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan; 4) Diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia; 5) Penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia; dan 6) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Lihat, Lampiran 1 Kepres No. 40/2004, hlm. 4. 42 Lampiran 1 Kepres No. 40/2004, hlm. 6. 41
Page | 19
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan; 10) Statuta Roma; 11) Konvensi Status Pengungsi; 12) Protokol Opsional Tahun 1967 Konvensi Status Pengungsi.43 62. Termasuk di dalam Rencana ratifikasi beberapa Kovenan yang menjadi prioritas di atas adalah Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang dijadualkan untuk diratifikasi pada tahun 2005. 63. Selanjutnya, RANHAM 2004 – 2009 juga mengatur tentang penerapan norma dan standar instrumen hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah Perlindungan hak kelompok rentan lainnya. Salah satu kelompok rentan yang diberikan perhatian oleh RANHAM adalah para pekerja/buruh migran, dengan program peningkatan upaya perlindungan hak kelompok Buruh Migran Indonesia (TKI), antara lain dengan mengusahakan perjanjian bilateral dengan negara penerima TKI dan perbaikan sistem penanganan.44 64. Namun demikian, sekalipun Ranham sudah menjadualkan rencana ratifikasi konvensi ini tahun 1998 -2003 dan Ranham 2004–2009, tetapi sampai saat ini belum juga terlihat indikasi yang mengarah pada ratifikasi, hal ini justru tidak menguntungkan bagi citra Pemerintah Indonesia dan juga bagi pekerja migran. Keterlambatan dan keengganan meratifiaksi ini juga menambah derita pekerja migran asal Indonesia yang ada di luar negeri karena tidak adanya standar perlindungan yang dimiliki oleh Indonesia dan menurut hukum Internasional.45
D. Perkembangan Insrumen Perlindungan Buruh Migran di ASEAN Blue Print Asean tentang Politik dan Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya 65. Secara umum perlindungan yang akan dilakukan oleh negara-negara Asean terhadap buruh migran tercantum dalam tiga dokumen blueprint Asean.46 Dalam bagian A.1.5 Asean Political-Security Community Blueprint bab tentang Promotion and Protection of Human Rights, selain dicantumkan bahwa negara-negara Asean akan menyempurnakan kerangkan perlindungan HAM yang sesuai dengan instrumen internasional, juga disebutkan secara eksplisit, negara-negara Asean akan bekerja sama secara intens dalam mengupayakan mengembangkan Instrumen Asean untuk melindungi dan mengkampanyekan hak-hak para pekerja migran.47 66. Demikian pula dalam Asean Economic Community Blueprint yang bertujuan untuk menjadikan Asean sebagai pasar terpadu negara-negara anggota dan basis produksi sebelum tahun 2015, sehingga negara-negara Asean memiliki suatu komitmen yang sama untuk mendorong rencana tersebut, sekaligus menyingkirkan semua kendala yang Lihat, Lampiran 2 Kepres No. 40/2004, hlm. 14-15. Lampiran 2 Kepres No. 40/2004, hlm. 46. 45 Enny Soeprapto, Pentingnya Indonesia Menjadi Pihak pada Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Keluarganya, (Jakarta, 17 Juni 2009), hlm. 4 46 Ketiga dokumen ini adalah Asean Economic Community Blueprint, Asean Socio-Cultural Community Blueprint, dan Asean Political-Security Community Blueprint. 47 Poin ii bagian A.1.5 Asean Political-Security Community Blueprint. 43 44
Page | 20
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
menghalang.48 Sebagaimana dicatat, sebuah pasar tunggal dan basis produksi pada dasarnya adalah sebuah kawasan yang secara keseluruhan dilihat oleh negara-negara anggota Asean, bukan sekedar pasar dan sumber daya yang berada dalam batas-batas nasional dan hanya melibatkan para pelaku ekonomi di tingkat nasional. Hal ini berarti sebuah negara anggota akan memperlakukan barang dan jasa yang berasal dari mana saja di Asean secara setara, sebagaimana perlakuan mereka atas barang (produk) nasional mereka. Hal ini akan memberi keistimewaan dan akses yang sama kepada investorinvestor Asean, seperti halnya investor nasional mereka, buruh terampil dan para profesional akan bebas melakukan pekerjaan mereka di mana saja di Asean.49 67. Terkait dengan strategi program aliran bebas buruh terampil yang dicantumkan dalam Strategic Schedule for ASEAN Economic Community Blueprint, negara anggota memfasilitasi pergerakan dan pengkaryaan buruh profesional dan terampil dalam perdagangan lintas batas dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan investasi dalam semua sektor pekerjaan.50 Program ini pada akhirnya membuka peluang pekerjaan seluas-luasnya bagi setiap negara anggota Asean dan setiap warga negara bebas untuk bekerja di negara tujuan tanpa ada hambatan di negara yang dituju.51 Terkait dengan pergerakan dan pengkaryaan buruh terampil dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia, karena dari sekian banyak pekerja yang dikirim ke negara-negara tujuan mayoritas bukan pekerja profesional. Artinya, kesepakatan dalam Blueprint ini tidak mempengaruhi kondisi pekerja migran asal Indonesia, tetapi sebaliknya banyak pekerja asing profesional yang akan masuk ke Indonesia dan menyingkirkan pekerja-pekerja yang berasal dari dalam negeri. Di sisi yang lain, kesepakatan ini menjadi suatu keuntungan bagi Indonesia, ketika Pemerintah dapat memastikan, bahwa pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di sektor domestik atau lainnya, dapat termasuk ke dalam labour skilled. 68. Dalam bagian B.2 tentang social safety net and protection from the negative impacts of integration and globalization, Asean Social-Cultural Community Blueprint, disebutkan, bahwa salah satu sasaran strategi ASCC adalah untuk memastikan seluruh masyarakat dan negara anggota menyediakan kesejahteraan sosial dan perlindungan dari pengaruh negatif globalisasi, meningkatkan kualitas , cakupan, dan ketahanan perlindungan sosial dan manajemen resiko sosial. Termasuk pula di dalamnya (poin x) adalah Memperkuat kerjasama ASEAN dalam melindungi pekerja migran perempuan.52 Lihat, “ASEAN Siapkan Cetak Biru Komunitas Ekonomi 2015�, Tempo Interaktif, 13 Agustus 2010. Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development, Memahami Piagam ASEAN dan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, h. 6. Diakses dari http:/ /asianfarmers.org/wp-content/ uploads/ 2008/ 07/ indonesia-bahasa.pdf 50 ASEAN Secrertariat, Asean Economic Community Buleprint, Januari 2008, hlm. 43 51 Dengan catatan, meskipun tidak tercantum dalam Blueprint ini bahwa yang dimaksud dengan tenaga kerja yang dimaksud hanya tenaga kerja terampil, menurut keterangan dari Kementrian Perdagangan, skilled labour dikhususkan bagi pekerja yang memiliki keterampilan khusus, pengetahuan, atau kemampuan di bidangnya, yang bisa berasal dari lulusan perguruan tinggi, akademisi, sekolah teknik, ataupun pengalaman kerja. Lihat, Departemen Perdagangan RI, Menuju Asean Economic Community 2015, (Jakarta, Depdagri), h. 40. 52 Bagian B.2 paragraf 20 poin x Asean Social-Cultural Community Blueprint 48 49
Page | 21
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
69. Lebih eksplisit lagi, dalam bagian C.2 Asean Social-Culture Community Blueprint dibahas secara khusus tentang perlindungan dan peningkatan hak-hak para pekerja migran, dengan tujuan memastikan kebijakan migrasi yang baik dan komprehensif yang mampu melindungi hak-hak pekerja migran sesuai dengan hukum, peraturan dan kebijakan negara anggota, dengan memperhatikan Deklarasi Asean dalam Perlinduangan Pekerja Migran. 70. Dari tujuan tersebut, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara Asean, yang intinya adalah mengimplementasikan Deklarasi Asean dalam Perlindungan Pekerja Migran, membentuk instrumen Asean Perlindungan Pekerja Migran, mendiskusikan tentang pekerja migran perempuan, memberikan perlindungan dalam gaji dan akses terhadap pekerjaan yang layak, serta perlindungan/pendampingan hukum bagi pekerja yang menjadi korban, menjamin dan mendorong terpenuhinya hak-hak asasi para pekerja migran, penyebaran data pekerja migran dengan maksud peningkatan kebijakan dan program di negara asal dan tujuan, memperkuat kebijakan dan prosedur di negara pengirim, mulai dari rekrutmen sampai pemulangan, memfasilitasi akses kepada kesehatan dan informasi atasnya, pendidikan dan pelatihan, akses kepada keadilan, dan pelayanan kesejahteraan sosial, sesuai dengan peraturan negara tujuan, yang dijamin melalui upaya hukum, peraturan, kebijakan, perjanjian bilateral, dan perjanjian multilateral, serta penyebarluasan informasi dalam melindungi dan memenuhi hak-hak para pekerja migran.53 71. Ketiga Cetak Biru Asean di atas, di samping dengan agenda umum yang menjadi tujuan bersama, juga menunjukkan suatu upaya simultan dalam perbaikan sistem ketenagakerjaan dan pekerja migran. Dari sisi ekonomi, setiap negara anggota harus mempersiapkan tenaga kerja memiliki ketrampilan khusus untuk mengisi peluangpeluang pekerjaan. Pada sisi yang lain, secara politik-keamanan, selain akan memajukan hak asasi manusia di setiap negara anggota, Asean juga berkomitmen untuk membangun mekanisme terpadu dalam perlindungan pekerja migran. Selanjutnya, dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial-Budaya Asean, diprogramkan secara khusus tentang kesejahteraan para pekerja migran perempuan. Hal ini membuktikan, bahwa sebagai salah anggota Asean sudah sepantasnya pemerintah Indonesia mengambil peran dalam pelaksanaan ketiga blueprint di atas, karena di samping juga sebagai upaya kerja sama antara negara Asean, hal ini juga relevan dengan konteks pekerja migran di Indonesia. Deklarasi Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran di Asean 72. Selain yang disebutkan di atas, upaya-upaya perlindungan Hak-hak buruh migran di tingkat Asean telah dimulai sejak disahkannya Deklarasi Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran Asean (ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers) yang ditandatangani oleh Kepala Negara/Pemerintahan negara-negara Asean pada tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina. Deklarasi Asean ini, terdiri dari 4 bagian; Pertama, mengatur tentang prinsip-prinsip umum untuk 53
Lebih jelas lihat, C.2 Asean Social-Cultural Community Blueprint
Page | 22
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
meningkatkan perlindungan dan peningkatan hak-hak buruh migran; Kedua, mengatur tentang kewajiban-kewajiban bagi Negara Penerima. Ketiga, mengatur kewajibankewajiban negara Pengirim, dan Keempat, mengatur tentang komitmen-komitmen Asean. 73. Salah satu Prinsip Umum yang penting dalam Deklarasi ini menyebutkan bahwa Negara Pengirim dan Negara Penerima dimandatkan bekerjasama, atas nama kemanusiaan, untuk menyelesaikan kasus-kasus buruh migran yang bukan karena kesalahannya menjadi tidak berdokumen. Prinsip ini sebenarnya sesuai dengan Konvensi Perlindungan Buruh Migran PBB 1990 yang menempatkan buruh migran tidak berdokumen dalam kerangka perlindungan di bawah Konvensi tersebut.54 Artinya, Konvensi PBB tidak membeda-bedakan perlindungan bagi yang berdokumen atau pun tidak berdokumen. 74. Bagi Indonesia, prinsip ini menjadi penting mengingat buruh migran Indonesia yang bekerja di negara-negara Asean, terutama Malaysia, banyak yang tidak berdokumen, meskipun pada awalnya mereka memiliki dokumen lengkap, karena disebabkan beberapa hal, seperti kebijakan mengenai paspor yang dipegang oleh majikan. Kebijakan ini berdampak pada saat buruh migran Indonesia melarikan diri dari tindakan-tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya, sehingga secara otomatis buruh migran (yang sedang dalam waktu pelarian) tersebut tidak lagi memiliki dokumen. Sementara itu, di sisi lain Pemerintah Malaysia juga menerapkan kebijakan-kebijakan yang anti terhadap buruh migran yang tidak berdokumen, melalui aksi razia yang dilakukan oleh Pasukan Rela Malaysia atau peristiwa deportasi besar-besaran yang dilakukan terhadap buruh migran Indonesia pada tahun 2004. Saat-saat seperti inilah menjadi titik krusial bagi buruh migran Indonesia, sementara di satu sisi yang lain, tidak ada instrumen perlindungan hukum yang bisa didesakkan pemerintah Indonesia kepada Malaysia untuk menjamin perlindungan hak-hak buruh migran yang dirazia atau dideportasi. 75. Apabila mengacu kepada Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, situasi seperti ini secara tegas dijamin dan dilindungi oleh Konvensi sebagaimana diatur dalam Pasal 22, antara lain menyebutkan bahwa; “Buruh migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran upaya pengusiran atau pengeluaran kolektif. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan satu persatu� (ayat 1) “Buruh migran dan anggota keluarganya hanya dapat dikeluarkan dari wilayah suatu negara didasarkan atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan hukum� (ayat 2). Bahkan seorang buruh migran berhak melakukan peninjauan kembali terhadap pengusiran yang dilakukan kepadanya, dan berhak untuk menuntut kompensasi (ayat 4). 76. Adapun kewajiban-kewajiban Negara Penerima Buruh Migran dalam Deklarasi ini yaitu; a. Mengintensifkan upaya melindungi hak asasi manusia mendasar, meningkatkan kesejahteraan dan menegakkan martabat manusia pekerja migran; b. Bekerja untuk mencapai harmoni dan toleransi antar negara penerima dan pekerja migran; 54
Lihat Pasal 5 huruf (a) Konvensi PBB tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
Page | 23
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
c. Membantu akses ke sumber dan perbaikan melalui informasi, pelatihan dan pendidikan, akses ke kehakiman, dan layanan kesejahteraan sosial yang tepat dan sesuai dengan perundang-undangan negara penerima, asal saja mereka memenuhi persyaratan hukum, peraturan dan kebijakan yang berlaku dari negara tersebut, perjanjian bilateral dan pakta multilateral; d. Meningkatkan perlindungan kerja yang adil dan tepat, pembayaran upah, akses yang cukup untuk pekerjaan dan kondisi kehidupan yang layak untuk pekerja migran; e. Memberikan pekerja migran, yang menjadi korban diskriminasi, penyalahgunaan, eksploitasi, pelanggaran, dengan akses yang cukup untuk sistem hukum dan pengadilan dari negara penerima; dan f. Membantu melakukan fungsi konsuler kepada pihak konsuler atau diplomatik dari negara asal bila pekerja migran ditangkap atau dimasukkan ke dalam penjara atau tahanan atau ditahan karena hal lain, berdasarkan hukum dan peraturan dari negara penerima dan sesuai dengan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler. 77. Di samping itu, bagi Negara Pengirim diwajibkan untuk melakukan beberapa hal yaitu; a. Memperkuat peraturan yang terkait dengan peningkatan dan perlindungan hak-hak pekerja migran; b. Memastikan akses pekerjaan dan kesempatan penghidupan bagi warga negara mereka sebagai alternatif berkelanjutan bagi migrasi pekerja; c. Membuat kebijakan dan prosedur untuk membantu aspek migrasi pekerja, termasuk rekrutmen, persiapan pemberangkatan ke luar negeri dan perlindungan pekerja migran bila di luar negeri maupun repatriasi dan reintegrasi ke negara asal; dan d. Membuat dan meningkatkan praktek yang sah untuk mengatur rekrutmen pekerja migran dan mengambil mekanisme untuk mengurangi malpraktek rekrutmen melalui kontrak hukum yang sah dan berlaku, peraturan dan akreditasi agen rekrutmen dan majikan, dan membuat daftar hitam dari agen yang lalai/tidak sesuai hukum. 78. Adapun komitmen ASEAN dalam deklarasi ini disebutkan, bahwa untuk maksud perlindungan dan peningkatan hak-hak pekerja migran, Negara-negara Anggota ASEAN sesuai dengan hukum, peraturan dan kebijakan nasional, akan; a. Meningkatkan pekerjaan yang layak, manusiawi, produktif, bermartabat dan menguntungkan bagi pekerja migran; b. Membuat dan melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia dan program reintegrasi bagi pekerja migran pada negara asalnya; c. Mengambil peraturan nyata untuk mencegah atau mengekang penyelundupan dan perdagangan manusia, di antara satu sama lain, memperkenalkan denda yang lebih keras bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas ini; d. Membantu pembagian data mengenai masalah terkait dengan pekerja migran, untuk tujuan memperkuat kebijakan dan program mengenai pekerja migran pada negara pengirim dan penerima; e. Meningkatkan bangunan kapasitas dengan membagikan informasi, praktek terbaik maupun kesempatan serta tantangan di antara Negara-negara Anggota ASEAN dalam
Page | 24
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
kaitannya dengan perlindungan dan peningkatan hak dan kesejahteraan pekerja migran; f. Memperluas bantuan bagi pekerja migran dari Negara-negara Anggota ASEAN yang tertangkap dalam konflik atau situasi krisis di luar ASEAN dalam hal memerlukan dan berdasarkan pada kapasitas dan sumber Kedutaan Besar dan Kantor Konsuler dari Negara-negara Anggota ASEAN yang bersangkutan, berdasarkan konsultasi dan pengaturan bilateral; g. Mendorong organisasi internasional, mitra dialog ASEAN dan negara lain untuk menghargai prinsip-prinsip dan memperluas dukungan serta bantuan terhadap pelaksanaan peraturan yang tertera pada Deklarasi ini; dan h. Tugas yang sesuai dengan badan ASEAN untuk mengikuti Deklarasi dan mengembangkan instrumen ASEAN pada perlindungan dan peningkatan hak pekerja migran, konsisten dengan visi ASEAN peduli dan berbagi dengan Masyarakat, dan langsung Sekretaris Jenderal ASEAN untuk mengajukan laporan tahunan mengenai kemajuan pelaksanaan Deklarasi pada Pertemuan melalui Rapat Menteri ASEAN. 79. Mengacu pada poin-poin deklarasi sebagaimana disebutkan di atas, terdapat hal penting yang harus ditindaklanjuti bagi Indonesia yaitu; a. Pertama, Indonesia sebagai Negara Pengirim berkewajiban memperkuat peraturan nasionalnya untuk meningkatkan perlindungan hak-hak buruh migran. Terkait hal ini Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya menjadi salahsatu upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat peraturanperaturan nasional yang sudah ada sejalan dengan kebutuhan diplomasi Indonesia baik ditingkat regional maupun internasional. Secara subtansi, sebahagian kecil dari deklarasi ini diadopsi dari beberapa instrumen internasional, khususnya dari Konvensi Perlindungan Buruh Migran, akan tetapi walaupun demikian ketentuan-ketentuan yang ada dalam deklarasi ini masih harus diperkuat dan dipertegas dalam hukum nasional, salahsatu contoh perbandingan yang cukup urgent dapat dilihat mengenai defenisi dan ruang lingkup buruh migran. b. Dari segi defenisi, UU No.39 tahun 2004 menyebutkan bahwa Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah “Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”.55 Defenisi ini tidak berbanding lurus dengan cakupan buruh migran yang disebutkan dalam Konvensi yaitu “The term "migrant worker" refers to a person who is to be engaged, is engaged or has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national” (Istilah “buruh migran” mengacu pada seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu Negara di mana ia bukan menjadi warganegara)56.
Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri (PPTKILN) 56 Lihat Pasal 2 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya 55
Page | 25
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
c. Ketentuan pasal ini dipertegas lagi oleh Pasal 1 ayat (2) Konvensi yang menyatakan “The present Convention shall apply during the entire migration process of migrant workers and members of their families, which comprises preparation for migration, departure, transit and the entire period of stay and remunerated activity in the State of employment as well as return to the State of origin or the State of habitual residence� (Konvensi ini akan berlaku selama seluruh proses buruh migran dan anggota keluarganya, yang terdiri dari persiapan untuk migrasi, pemberangkatan, transit dan seluruh masa tinggal dan pekerjaan yang dibayar didalam Negara tempat bekerja, dan juga kembalinya ke Negara asal atau Negara tempatnya bertempat tinggal) d. Dari perbandingan ini dapat dilihat bahwa cakupan perlindungan atau defenisi buruh migran menurut standar internasional dimulai dari seseorang yang akan bekerja ke luar negeri, pada saat bekerja dan sampai pada kepulangan buruh migran tersebut ke negara asalnya. Artinya perlindungan terhadap buruh migran tersebut sudah diberikan sejak calon buruh migran tersebut masih berada di dalam negeri sampai kembali ke negara asalnya. Sementara itu, defenisi yang dibangun oleh UU No.39/2004 secara implisit dapat disebutkan tidak mengandung unsur perlindungan kecuali hanya menyebutkan seseorang yang memenuhi syarat bekerja ke luar negeri. e. Kedua, Deklarasi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran ini secara khusus memandatkan badan-badan ASEAN yang relevan untuk menindaklanjuti Deklarasi tersebut dan untuk mengembangkan suatu instrumen ASEAN tentang perlindungan dan peningkatan hak-hak buruh migran, konsisten dengan visi ASEAN akan suatu Komunitas yang saling membantu dan bahu-membahu. Berdasarkan mandat deklarasi ini, pada tanggal 30 Juli 2007, para Menteri Luar Negeri Negara-negara Asean menandatangani Pernyataan Pendirian Komite ASEAN untuk Implementasi Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran. (Asean Committee on Migrant Workers/ACMW). Komite ini bertujuan untuk (a) Memastikan implementasi yang efektif dari komitmen-komitmen yang dibuat berdasarkan Deklarasi; dan (b) Memfasilitasi pengembangan suatu instrumen ASEAN tentang perlindungan dan peningkatan hak-hak buruh migran.57 f. Selama 3 (tiga) tahun terakhir ini Komite Buruh Migran Asean dan Team Drafting Instrument telah melakukan serangkaian pertemuan-pertemuan, yaitu: 1) Pertemuan I ACMW tanggal 15-16 September 2008 di Singapura untuk merumuskan rancangan formulasi subtansi awal draf instrumen perlindungan buruh migrant ASEAN; 2) Pertemuan ACMW tanggal 26-27 Maret 2009 di Manila, Filipina, membahas tentang Scope and Coverage and Rights on Migrant Workers; 3) Pertemuan I ACMW Instrument Drafting Team Meeting, tanggal 1 April 2009 di Bangkok, Thailand. Pertemuan ini dihadiri oleh Indonesia dan Filipina (sebagai Negara Pengirim) serta Malaysia dan Thailand (sebagai Negara Penerima); Lihat Pernyataan Pendirian Komite ASEAN untuk Implementasi Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran. http://www.aseansec.org/20768.htm 57
Page | 26
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
4) Pertemuan II ACMW Instrument Drafting Team Meeting, tanggal 25-26 Juni 2009 di Bali, Indonesia. 5) Pertemuan II ACMW tanggal 29-30 September 2009 di Bangkok, Thailand. 6) Pertemuan III ACMW Instrumen Drafting Meeting, tanggal 6-8 Desember 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. 80. Jalan panjang penyusunan dan pembahasan instrumen perlindungan buruh migran ini ternyata mengalami beberapa kendala dari Negara Penerima, khususnya dari Malaysia. Kendala tersebut dapat dilihat dari deadlock-nya pertemuan ketiga Team Drafting, karena ada penolakan dari Malaysia terhadap poin-poin kunci yang ada dalam draf tersebut. 58 Secara lebih jauh, Malaysia menolak untuk mengakui poin-poin yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak buruh migran yang tidak berdokumen (irreggular),59 yang sebenarnya hal ini masuk dalam mandat Deklarasi Asean tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran Asean sebagaimana di sebutkan di atas. 81. Diplomasi Indonesia untuk menggoalkan poin ini patut didukung dan diapresiasi oleh semua pihak, tidak hanya dikarenakan faktor tingginya jumlah buruh migran Indonesia di Malaysia yang – dengan beberapa penyebab – tidak berdokumen, akan tetapi poin ini merupakan mandat dari Konvensi PBB tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang harus dilindungi. Namun demikian, di tingkat diplomasi internasional maupun regional, akan lebih baik apabila Indonesia juga menjadi negara yang ikut meratifikasi Konvensi tersebut, sehingga dengan demikian dukungan moral bagi Indonesia tidak hanya sebatas Negara Pengirim buruh migran akan tetapi negara-negara yang telah meratifikasi konvensi sebagaimana halnya yang telah dilakukan oleh Filipina. 82. Dengan demikian, perlindungan pekerja migran juga menjadi fokus perhatian penting dalam konteks Asean, baik dalam Asean Charter, Asean Blueprints, ataupun secara khusus dalam Deklarasi Perlindungan dan Peningkatan Hak-hak Buruh Migran Asean. Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif di Asean, maka perhatian khusus Pemerintah terhadap perlindungan pekerja migran patut untuk ditingkatkan. Apalagi pada tahun 2011 Indonesia mendapatkan mandat untuk menjadi Ketua Asean dan pada tahun yang sama Perwakilan Indonesia untuk AICHR (Asean Intergovermental Commission on Human Rights) juga menjadi Ketua AICHR, tentu hal ini menjadi suatu peluang besar bagi Indonesia untuk memperbaiki standard perlindungan pekerja migran melalui ratifikasi Konvensi dan sistem hukumnya. Di samping itu, kesempatan ini juga seiring dengan perencanaan program AICHR tahun 2011 yang memfokuskan pada perlindungan pekerja migran. Sehingga dengan demikian bisa lebih aktif mendorong lahirnya kerangka perlindungan buruh migran di kawasan Asean sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
http://www.thejakartapost.com/ news/ 2010/ 01/ 28/ draft-deadlocked-over-key-issues. html. Audiensi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Hak Buruh Migran Asean dengan Pejabat Depnaker dan Deplu sebagai Pewakilan Indonesia dalam Team Drafter Instrumen, pada hari Rabu, 20 Januari 2010, di Jakarta. 58 59
Page | 27
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
BAB III Praktik Terbaik Negara Peratifikasi dan Ruang Lingkup Konvensi Migran 1990 A. Ruang lingkup perlindungan Buruh Migran dalam Konvensi 83. Pada 18 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerima Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya melalui Resolusi No. 45/158. Konvensi ini membuka suatu babak baru dalam sejarah perjuangan/usaha dalam menetapkan hak dari pekerja migran dan menjamin agar hak tersebut dilindungi dan dihormati. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang lengkap, terinspirasi oleh perjanjian berkekuatan hukum mengikat yang ada, kajian hak asasi manusia PBB, kesimpulan dan rekomendasi dari pertemuan pakar, dan oleh perdebatan serta resolusi tentang masalah pekerja migran di badan-badan PBB selama lebih dari dua dasawarsa.60 Seperti perjanjian hak asasi manusia internasional lainnya, Konvensi ini menetapkan standar-standar yang menciptakan suatu model hukum dan prosedur administrasi masing-masing Negara yang telah meratifikasi. 84. Istilah buruh migran yang tercantum di dalam Konvensi mengacu pada seseorang yang akan, tengah atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara di mana ia bukan menjadi warga negara. Termasuk pula dalam konvensi ini adalah buruh frontir, buruh musiman, pelaut, buruh pada instalasi lepas pantai, buruh keliling, buruh proyek, buruh dengan pekerjaan tertentu, dan buruh mandiri.61 Kemudian konvensi tidak hanya melindungi para buruh migran, tetapi juga anggota keluarga, yang dimaksudkan orangorang yang kawin dengan buruh migran atau mempunyai hubungan dengannya, yang menurut hukum yang berlaku berakibat sama dengan perkawinan, dan juga anak-anak mereka yang di bawah umur dan orang-orang lain yang menjadi tanggungan mereka yang dianggap sebagai anggota keluarga.62 85. Dengan mengacu kepada instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, Konvensi menekankan bahwa semua buruh migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau yang tunduk pada yuridiksinya, untuk memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukkan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status lainnya. Dengan demikian, Pasal 7 Bagian II ini Kovenan menekankan adanya azas non-diskriminasi bagi semua buruh migran dan keluarganya. 86. Di samping menetapkan beberapa kriteria buruh migran, Konvensi mengecualikan orang-orang yang berada di luar negeri, tetapi tidak sebagai pekerja atau buruh, di http://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-13&chapter= 4&lang= en Lihat lebih lanjut dalam Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya. 62 Pasal 4 Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. 60 61
Page | 28
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
antaranya adalah orang yang dipekerjakan oleh organisasi dan badan-badan internasional, atau oleh suatu negara, yang prosedurnya diatur di dalam hukum internasional atau berdasarkan perjanjian negara masing-masing. Istilah buruh migran juga tidak berlaku pada seorang penanam modal yang berada di suatu negara tertentu, pengungsi atau orang yang tanpa kewarganegaraan (stateless), pelajar, dan Pelaut dan buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar di Negara tempatnya bekerja.63 B. Hak-hak buruh migran dan keluarganya di dalam Konvensi 87. Hak buruh migran yang diatur di dalam Konvensi dapat diketegorikan menjadi dua, yaitu 1) hak asasi untuk buruh migran dan keluarganya secara umum; dan 2) hak para buruh migran yang didokumentasikan, yaitu memiliki surat-surat lengkap, atau yang berada dalam situasi normal. Di dalam Konvensi terdapat beberapa hak yang dijamin bagi semua buruh migran dan keluarganya, di antara hak-hak tersebut adalah: 1) Bebas keluar masuk dari negara asal. Hak ini tidak boleh dibatasi kecuali pada kasuskasus yang: a) Ditentukan oleh UU; b) Dipandang perlu untuk melindungi keselamatan bangsa, keteraturan masyarakat, kesehatan masayarakat atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain; c) Konsisten dengan hak-hak lain yang diakui dalam bagian Konvensi yang masih berlaku. (Pasal 8) 2) Hak atas kehidupan yang dilindungi oleh hukum (Pasal 9); 3) Hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan atau bentuk-bentuk tindakan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan (Pasal 10); 4) Bebas dari perbudakan atau memberikan pelayanan, kerja paksa, termasuk kerja dalam tahanan (Pasal 11) ; 5) Hak untuk bebas berpikir, memiliki keyakinan, dan berpendapat (Pasal 12); 6) Hak untuk memiliki pendapat yang bebas dari intervensi, bebas berekspresi termasuk bebas untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi (Pasal 13); 7) Bebas dari bentuk intervensi sewenang-wenang maupun di luar hukum terhadap privasi yang bersangkutan (Pasal 14); 8) Hak untuk memiliki properti/barang-barang dan bebas dari perampasan harta yang sewenang-wenang (Pasal 15); 9) Hak kebebasan atau keselamatan individu (Pasal 16); 10) Hak atas proses hukum yang sesuai dengan UU dalam kasus-kasus terjadinya tindakan kejahatan (Pasal 17 dan 18); 11) Tidak ada penyitaan atau penghancuran terhadap dokumen identitas, atau dokumen izin masuk atau izin tinggal, atau izin kerja ();
63
Pasal 3 Konvensi
Page | 29
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
12) Tidak ada pemecatan/dipulangkan secara kolektif. Setiap kasus pemecatan akan dikaji dan diputuskan secara individual, kecuali diputuskan oleh pejabat yang kompeten, sesuai dengan UU (Pasal 21) dan pembiayaan pemulangan (Pasal 22); 13) Hak untuk meminta perlindungan dan bantuan dari konsuler atau perwakilan diplomatik Negara yang bersangkutan (Pasal 23); 14) Hak untuk memperoleh pengakuan sebagai individu di depan hukum (Pasal 24); 15) Hak untuk memperoleh perlakuan yang adil sesuai kewarganegaraan terkait dengan penghasilan (Pasal 25); 16) Bebas berasosiasi atau memiliki hak untuk bergabung dengan serikat pekerja (Pasal 26); 17) Hak untuk memperoleh jaminan sosial; sesuai dengan kewarganegraannya jika memenuhi persyaratan (Pasal 27); 18) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28); 19) Penghormatan atas identitas budaya pekerja migran dan anggota keluarga mereka (Pasal 29); 20) Hak untuk memindahkan pendapatan atau simpanan mereka, barang-barang miliki pribadi, saat berakhirnya izin tinggal, sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam Negara terkait (Pasal 30 sampai 32); 21) Hak untuk diberitahukan mengenai hak-hak mereka berdasarkan Perjanjian, persyaratan izin masuk, serta hak-hak dan kewajiban mereka berdasarkan UU dari Negara Penerima (Pasal 33). 88. Ada beberapa hak yang diatur oleh Konvensi terkait dengan buruh migran yang berdokumentasi lengkap, seperti surat-surat migrasi, atau dalam kondisi yang normal, yaitu: a. Hak atas informasi terhadap semua persyaratan yang berlaku saat mereka masuk ke dalam negara, terutama terkait dengan izin tinggal dan kerja, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi di Negara tempat mereka bekerja dan pejabat yang harus mereka beritahu jika ada perubahan terhadap persyaratan dimaksud, baik sebelum keberangkatan maupun ketika mereka memasuki negara tujuan (Pasal 37); b. hak untuk keluar sementara (berlibur atau cuti) dari negara pemberi kerja dan juga hak untuk diberitahu syarat-syaratnya, serta hak untuk berpindah tempat di wilayah negaranya, kecuali jika diperbolehkan oleh UU; (Pasal 38 dan 39); c. Kebebasan untuk berkumpul dan bergabung dengan serikat pekerja (Pasal 40); d. Bebas untuk berpartisipasi di bidang kemasyarakatan/pemerintahan negara asal dan memilih serta dipilih dalam berbagai pemilihan di Negara terkait, sesuai dengan UU yang berlaku (Pasal 41); e. Pembentukan prosedur atau institusi yang dapat dipertimbangkan baik oleh Negara asal, maupun Negara tempat bekerja, mengenai kebutuhan khusus, aspirasi, dan kewajiban dari pekerja migran dan anggota keluarga mereka (Pasal 42); f. Hak memperoleh perlakuan yang sama dengan warga negara tempat bekerja terkait dengan:
Page | 30
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
g. h.
i. j.
k.
l.
1) Akses ke institusi pendidikan dan pelayanan pendidikan sesuai dengan pesyaratan masuk dan peraturan lain dari institusi dan pelayanan terkait; 2) Akses ke pelatihan keahlian dan pelayanan penempatan; 3) Akses ke pelatihan keahlian dan fasilitas serta institusi pelatihan selanjutnya; 4) Akses ke perumahan, termasuk skema perumahan sosial, dan perlindungan terhadap eksploitasi dalam harga sewa rumah; 5) Akses pelayanan sosial dan kesehatan dengan syarat persyaratan untuk dapat berpartisipasi dalam skema terkait dapat dipenuhi; 6) Akses untuk kerjasama dan perusahaan yang dikelola sendiri, yang tidak mengubah status migrasi mereka dan sesuai dengan peraturan dan ketentuan dari berbagai badan terkait; dan 7) Akses ke dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 43). Hak atas kesatuan dan keutuhan keluarga (pasal 44). Hak untuk bebas pajak ekspor dan impor terkait dengan barang-barang milik pribadi dan rumah tangga serta perlengkapan yang diperlukan untuk terlibat dalam kegiatan berpenghasilan yang memungkinkan mereka untuk memasuki negara tempat mereka bekerja, berdasarkan UU yang berlaku dari Negara terkait: 1) Saat berangkat dari negara asal atau negara tempat tinggal; 2) Saat masuk pertama kali di Negara tempat bekerja; 3) Saat pulang dari Negara tempat bekerja; dan 4) Saat pulang ke Negara Asal atau Negara tempat tinggal (Pasal 46). 1) Hak untuk memindahkan pendapatan atau simpanan mereka (Pasal 47); 2) Hak pekerja migran untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal perpajakan seperti warga negara di tempat pekerja migran bekerja (Pasal 48). Hak-hak untuk situasi-situasi khusus dalam kaitannya dengan proses pengupahan (Pasal 49) Jika terjadi kematian atau perceraian pada pekerja migran, Negara tempat bekerja akan mempertimbangkan untuk memberikan izin tinggal kepada anggota keluarga yang bersangkutan (Pasal 50); Negara tempat bekerja akan mempertimbangkan durasi lamanya mereka telah tinggal di negara dimaksud. Jika izin tersebut tidak diberikan, mereka akan diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan segala permasalahan di negara tempat mereka bekerja. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia terkait dengan pekerjaan, termasuk: 1) Perlindungan terhadap pemecatan; 2) Tunjangan pengangguran; 3) Akses ke skema pekerjaan publik yang ditujuakan untuk memberantas pengangguran; dan 4) Akses ke pekerjaan alternatif saat terjadinya pemberhentian kerja atau pengakhiran kegiatan berpenghasilan mereka sesuai pasal 52 dalam Perjanjian dimaksud (Pasal 54).
Page | 31
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
C. Praktik Terbaik Negara Peratifikasi: Belajar dari Meksiko Profil Negara dan Migrasi di Meksiko 89. Hak-hak pekerja Meksiko dijamin secara konstitusional oleh pemerintah. Landasan mengenai hukum ketenagakerjaan tercantum dalam artikel 123 dari Konstitusi Meksiko, dan diimplementasikan melalui beberapa hukum federal, seperti: -
Federal Labor Law (Ley Federal del Trabajo): diadopsi tahun 1931 dan diamandemen tahun 1970, hukum ini mengatur private employment relationships; Hukum yang mengatur “National Housing Fund for Workers” (Ley del Instituto del Fondo Nacional de la Vivienda para los Trabajadores); the Social Security Law (Ley del Seguro Social).64
90. Terdapat beberapa badan yang bertanggung jawab dan berhubungan dengan penanganan dan perlindungan buruh migran, di antaranya adalah: a. Sesuai dengan ketentuan (article 7 dari General Population Act) Ministry of Interior Meksiko bertanggung jawab dalam mengorganisir dan mengkoordinasikkan berbagai pelayanan migrasi, memonitor masuk dan keluarnya warga negara dan WNA dan memeriksa dokumentasi. Hal ini dilakukan oleh National Institute for Migration(NIM). b. BETA Group, kelompok perlindungan migran yang dimiliki oleh NIM, berdiri tahun 1990. Terdapat 16 Beta Groups, 12 di perbatasan utara, dan 4 didekat perbatasan selatan, dengan prinsip untuk membela hak-hak migrant apapun status migrasi dan nasionalitas. c. National Institute for Women(INMUJERES) d. Ministry of Foreign Affairs e. Ministry of Labour and Social Security f. Federal Procurator’s Office for the Defence of Workers PROFEDET, dari Ministry of Labour and Social Security – berfungsi ketika terjadi pelanggaran prinsip-prinsip keadilan hukum atau hak-hak buruh (diatur dalam Federation Labour Act). Politik Ratifikasi dan Kebijakan Perlindungan Buruh Migran 91. Meksiko meratifikasi Konvensi Migran 1990 pada tahun 1999. Negara ini cukup kuat berkepentingan dengan isu migran, mengingat suatu negara tidak hanya harus menangani isu pengiriman dan perlindungan buruh migran ke luar negeri, namun juga menerima migran dari luar baik yang melakukan transit ataupun yang berkeinginan untuk menetap dan mencari lahan pekerjaan. Meksiko dan Filipina adalah dua negara PATRICK J. KELLY, Mexico: Basic Labor Law Concepts, Non-Competes, Non-Disclosures And Employee Inventions, (Minneapolis, Fredrikson & Byron, P.A., tth), hlm. 3 64
Page | 32
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
yang dianggap telah melibatkan diri dengan baik dalam upaya diplomasi untuk memperluas ratifikasi Konvensi, demikian disebutkan dalam Panduan Ratifikasi Konvensi Migran 1990 yang diterbitkan oleh Komite.65 92. Di bawah pasal 133 Konstitusi, perjanjian internasional yang telah disetujui oleh Senat akan menjadi “supreme law� bersama dengan Konstitusi dan Hukum Kongres. Di dalam Initial Report, Pemerintah Meksiko mengatakan bahwa ratifikasi yang dilakukan adalah sebagai bentuk penegasan akan kemauan politik mereka untuk memastikan perlindungan internasional terhadap seluruh pekerja migrant, sesuai dengan instrument internasional CMW. Provisi-provisi yang terdapat dalam Konvensi akan diaplikasikan bersesuaian dengan peraturan hukum nasional. Dalam meratifikasi CMW, Meksiko melakukan reservasi terhadap artikel 22 paragraf 4 dari Konvensi karena dalam batas tertentu merujuk pada aplikasi artikel 33 dari Konstitusi dan artikel 125 dari General Population Act. 93. Secara singkat, Meksiko melakukan usaha yang ekstensif menjalin kerjasama melalui perjanjian-perjanjian bilateral dengan Negara-negara tetangga yang memang berhubungan dengan isu migran atau para imigran dari daerah Amerika Tengah. Kerjasama berbentuk MoU yang dibuat Meksiko dengan Negara seperti Amerika, Guatemala dan Kanada, membahas isu spesifik tentang ketentuan-ketentuan repatriasi migran, baik buruh migran yang berdokumen atau tidak. Jika diperhatikan, semangat perlindungan yang dilakukan oleh Meksiko tergambar dari MoU yang dibuat dengan negara penerima.66 Meskipun negara penerima tidak meratifikasi Konvensi Migran 1990, seperti Kanada dan AS, Meksiko menggunakan ICMW sebagai dasar argumen dalam memasukkan pasal-pasal yang dapat melindungi buruh migran mereka. 94. Sebagaimana MoU yang dibuat antara Meksiko dan Kanada, ditetapkan bahwa para pekerja migran Meksiko yang dikirim ke Kanada harus minimal berumur 18 tahun dan memiliki pengalaman melakukan pekerjaan pertanian. Meksiko menerapkan ketentuan ini dengan mewajibkan kepada buruh migran untuk menyerahkan surat-surat resmi yang menyatakan bahwa mereka adalah petani, menjalani pemeriksaan medis, dan berada di minimal 25 tahun. Para pekerja yang direkrut diproses pada kedutaan Kanada di Meksiko, menerima surat pengantar yang memungkinkan mereka untuk masuk ke Kanada.67 95. Upaya pemerintah Meksiko untuk melindungi hak-hak fundamental buruh migran dengan status apapun (regular dan irregular) adalah salah satu inti dari Konvensi yang dapat membantu pemerintah Meksiko untuk melindungi warga negaranya, mengingat The International Steering Committee for the Campaign for Ratification of the Migrants Rights Convention, Guide on Ratification of the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW), hlm. 28. Dokumen diakses dari www.ohchr.org/Documents/Press/HandbookFINAL.PDF 66 Pada 8 Mei 1996, Meksiko menandatangani 11 nota kesepahaman dengan Amerika Serikat, empat di antaranya adalah kesepahaman tentang Perlindungan Konsuler, yang menekankan pada perlindungan buruh migran legal dan illegal yang ada di Amerika. Lihat, “Mexico-US Agree on Migrant Rights�, Migration News, June 1996 Volume 3 Number 6. http:/ /migration.ucdavis.edu/ mn/ more. php?id= 965_ 0_ 2_0 67 IOM, Best Practices Concerning Migrant Workers and their Families: International Workshop, Santiago de Chile, 19-20 June, 2000 , hlm. 11 65
Page | 33
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
angka di lapangan menunjukkan bahwa jumlah buruh migran Meksiko tanpa dokumen di Amerika Serikat adalah tertinggi dibandingkan buruh migran dari negara lain.68 96. Terdapat beberapa MoU yang telah dibuat oleh Meksiko terkait perlindungan buruh migran di negara penerima, di antaranya adalah: a. Memorandum of Understanding for the Protection of Women and Minors from Trafficking in Persons on the Border. Meksiko-Guatemala, ditandatangani 23 April 2004; berlaku efektif 22 Februari 2005. b. Mexico-El Salvador Memorandum of Understanding for the Protection of Persons, Especially Women and Minors, Victims of Illicit Trafficking,17 May 2005. c. Juni 2002, diperbaharui 2 Juli 2004, Departemen Migrasi Guatemala dan NIM menandatangani Agreement for the Safe and Orderly Repatriation of Central Americans on the Borders of Mexico and Guatemala. Perjanjian ini mengatur prosedur, tempat, dan waktu yang telah ditentukan untuk repatriasi Guatemala dan kebangsaan Amerika Tengah lainnya. d. 17 Mei 2005, El Salvador dan Meksiko, Agreement for the Orderly, Swift and Safe Repatriation of Salvadoran Nationals by Land from Mexico. Perjanjian ini mengatur prosedur, tempat, dan waktu yang telah ditentukan untuk repatriasi bagi kelompokkelompok yang paling terancam seperti perempuan, anak dibawah umur, orang tua, dan orang cacar. e. 3 Augustus 2004, Ministry of the Interior dan International Organization for Migration menandatangani Memorandum of Understanding on the Voluntary and Assisted Return of Extraregional Migrants, membantu Meksiko menghemat biaya tiket pesawat hingga 50% untuk repatriasi dan mendapatkan dokumen migrant yang negaranya tidak mempunyai perwakilan diplomatik di Meksiko. f. North American Agreement on Labor Cooperation (NAALC): effective enforcement and promotion of our labor laws and regulations. g. Mexico state and Canadian union-Migrant worker protection pact: memastikan hak pekerja dan hak asasi pekerja pertanian Meksiko di Kanada terjamin. 97. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tim HRWG terhadap perlindungan buruh migran di Meksiko, MOU yang dilakukan Meksiko selama kurun waktu 2002 – 2005 dominannya adalah mengenai upaya untuk membuat kerjasama repatriasi yang lebih aman dan terhormat untuk buruh migran. Dengan begitu, dapat pula disimpulkan, bahwa tidak hanya memperioritaskan buruh migran sebagai kepentingan ekonomi semata, namun Meksiko juga memberikan perlindungan ekstra terhadap buruh migran. Pandangan holistik ini merupakan yang esensial dari buruh migran yang tidak bisa dilihat sebagai entitas ekonomi belaka.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS memperkirakan bahwa per 1 Januari 2006, ada sebanyak 11.500.000 orang imigran gelap di Amerika Serikat, dan sebanyak 6.570.000 orang dari mereka yang tidak berdokumen adalah imigran Meksiko. “Migration Data and Labor Rights: Mexico�, Global Workers Require Global Justice , diakses dari http://www.globalworkers.org/migrationdata_MX.html 68
Page | 34
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
Meksiko sebagai Negara Pengirim Amerika Serikat 98. Amerika Serikat adalah destinasi utama bagi migran dari Meksiko dan negara Amerika Tengah lainnya. Motif utamanya adalah untuk mencari kesempatan kerja. Sejak pertengahan tahun 1800, warga negara Meksiko telah datang ke Amerika dan menjadi tenaga kerja. Pada tahun 1940-an diciptakan program “pekerja tamu� di Amerika, yang kemudian dikenal sebagai program "Bracero". Pada tahun 1980-an program pekerja tamu diubah sampai diciptakan program H2, yaitu program pekerja tamu di Amerika untuk pekerja non-profesional, yang merupakan bentuk migrasi berdokumen dengan pemberian visa pekerja sementara.69 99. Suatu permasalahan yang muncul di Amerika adalah ketika banyaknya imigran tidak berdokumen asal Meksiko yang datang ke Amerika Serikat. Isu imigrasi di AS menjadi bagian dari masalah keamanan nasional, sehingga aspek militerisasi begitu ditekankan. Patroli perbatasan sering pula melakukan pelanggaran HAM terhadap imigran gelap yang berusaha masuk dari daerah-daerah yang dilarang. a) Prosedur resmi penerimaan tenaga kerja dari Meksiko Sistem di Amerika yang menerima tenaga kerja Meksiko disebut sebagai sistem GuestWorker atau dikenal dengan H-2, yang diciptakan tahun 1943. Proyek ini awalnya untuk melegalisasi industri gula yang memperkerjakan pekerja temporer. Tahun 1986, H-2 direvisi oleh Kongres dengan memasukkan pekerja non-agrikultur. Program Agrikultur disebut dengan H-2A, dan non-agrikultur disebut H-2B. Tahun 2005, disebutkan bahwa pengusaha A.S mengimpor lebih dari 121.000 pekerja temporer; 32.000 adalah pekerja H-2A, dan 89.000 adalah H-2B seperti perhutanan, pengepakan makanan laut, tourism, konstruksi, dan industry non agrikultur lainnya. 75 % dari pekerja ini berasal dari Meksiko dan sisanya dari Jamaica dan Guatemala. b) Data Pekerja Menurut pemerintah Meksiko sendiri, Tingkat migrasi per tahun dr Meksiko ke Amerika mencapai 390.000 jiwa. o Tercatat sekitar 26,7 juta orang Meksiko di A.S o Para migrant bekerja di sektor sekunder dan tertier o Data tahun 2001-2003 menunjukkan bahwa mayoritas migran tidak mempunyai dokumen, baik itu ijin untuk menyebrangi perbatasan ataupun ijin untuk bekerja di A.S. o Migran perempuan juga menjadi permasalahan di A.S.
“Migration Data and Labor Rights: Mexico�, Global Workers Require Global Justice , diakses dari http://www.globalworkers.org/migrationdata_MX.html 69
Page | 35
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
Mexican guest workers to the United States under H-2 visas from 1998-200670 1998
1999
2000
2001
2002
2003
H-2A 21,594 26,069 27,172 21,569 12,846 9,924
2004
2005
17,218 1,282
2006 40,283
H-2B 10,727 18,927 27,755 41,852 52,972 65,878 56,280 89,184 89,184 Total
32,321 44,996 54,927 63,421 65,818 75,802 73,498 90,466 129,467
Sumber: US Department of Homeland Security
c) Beberapa pelanggaran yang terjadi Laporan yang berjudul “Close to Slavery: Guestworker Programs in the United States� yang dilakukan oleh Southern Poverty Law Center, menyebutkan beberapa pelanggaran yang sering dialami oleh buruh migran di Amerika adalah: o tidak dibayar upahnya atau tidak sesuai dengan perjanjian kerja; o mendapatkan upah rendah, sementara pekerjaannya sementara; o tertahan kekebebasannya oleh employers yang menahan dokumen-dokumen yang dimiliki; o terpaksa hidup dalam kondisi yang tidak bersih/pantas; o ditolak untuk mendapatkan bantuan kesehatan ketika terjadi cedera pada saat kerja.71 Kanada 100. Untuk pekerja migran Meksiko di Kanada, prosesnya diatur dalam Seasonal Agricultural Workers Program (SAWP) dan Foreign Worker Program (FWP). a) SAWP adalah Program yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 1970. SAWP ditujukan untuk mendatangkan pekerja Meksiko dalam sektor pertanian. Selama masa 3-8 bulan pekerja dari Meksiko akan didatangkan untuk membantu proses penanaman dan panen pertanian. Program ini berada dalam pengawasan/administrasi Human Resources and Social Development Canada (HRSDC) dan Citizenship and Immigration Canada (CIC. Pekerja agrikultur ini diperkerjakan melalui Kementerian Tenaga Kerja Meksiko, namun mereka menerima upah dari orang Kanada, biasanya dengan aturan upah minimum, penyediaan tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Pada intinya, pemerintah Kanada telah mengatur dengan jelas ketentuan maksimum masa kerja para migran dari Meksiko, para pencari tenaga kerja (employers) juga telah
Diakses dari http://www.dhs.gov/files/statistics/publications/yearbook.shtm Southern Poverty Law Center, Close To Slavery: Guestworker Programs in the United States, hlm. 2. Laporan dapat diakses dan dilihat di http://www.splcenter.org/get-informed/publications/close-to-slaveryguestworker-programs-in-the-united-states 70 71
Page | 36
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
diberikan kewajiban-kewajiban. mereka secara jelas (Ketentuan dari pemerintah Kanada).72 Employer dari Kanada akan mengajukan permohonan untuk memperkerjakan tenaga kerja dari Meksiko, kemudian pemerintah Meksiko diberikan waktu 20 hari untuk memilih pekerja yang telah diminta. Passport dan bukti kesehatan seluruhnya juga disediakan oleh pemerintah Meksiko. Namun demikian, pekerja Meksiko wajib untuk membayar sendiri biaya pemeriksaan kesehatan mereka dan transportasi menuju kota Meksiko untuk beberapa pemeriksaan, pendaftaran, dan mendapatkan persetujuan yang dibutuhkan dalam program. b) FWP; program ini ditujukan untuk pekerja non-pertanian, pekerja dengan keahlian sedang dan rendah. Program ini baru dimulai pada tahun 2002 oleh HRSDC. Meskipun aturan bahwa employers harus membayar upah terhadap pekerja, aturan lain berlaku, dimana mereka tidak diharuskan untuk menyediakan tempat tinggal. Pengawasan dari pemerintah pun tidak seketat yang dilakukan dalam program SAWP. Jika SAWP, pekerja boleh tinggal sampai waktu 8 bulan, dalam program ini, pekerja bisa mencapai 12 bulan dan boleh pindah ke pekerjaan lain meskipun pekerjaan asal yang ditugaskan belum selesai. 101. Data Pekerja Meksiko : Dalam 10 tahun terakhir, angka pekerja Meksiko terus meningkat di Kanada. Berikut adalah table dan grafik yang menggambarkan peningkatan tersebut. Arus Buruh Migran asal Meksiko ke Kanada (1997-2005)73 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Mexican 6,127 6,990 8,139 10,073 11,306 11,629 11,301 11,494 12,610 Workers
Workers are allowed to work on Canadian farms for a period of up to 8 months There are Memorandums of Understanding (MOUs) which cover: Operational Guidelines describing each country's responsibilities, and specifically includes the Employment Agreement (EA). The Employment Agreement outlines obligations of each party; the employers' responsibility is to: a) pay for transportation; b) provide housing; c) pay the prevailing wage; d) set the contracted terms of the job, according to the labor laws of the specific providence. The employee agrees to work for the contracted season, with a minimum of 240 hours within a 6-week period, for a specific employer. And the EA must be signed by the employer, worker and sending-country-consular representative. 73 http://www.globalworkers.org/migrationdata_MX.html 72
Page | 37
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
Pelanggaran dan Perlindungan HAM 102. Kontribusi petani Meksiko ini sangat berarti bagi kebutuhan tenaga kerja di Kanada, namun perlakuan terhadap mereka jauh dari pemenuhan hak asasi sebagai pekerja. Masih terdapat larangan untuk berasosiasi, bekerja mencapai 12-15 jam kerja, upah yang tidak memadai, dan sebagainya. 103. Di bawah aturan perjanjian Employment Agreement, tanggung jawab ketika terjadi keluhan mengenai kondisi kerja ataupun kewajiban untuk membantu buruh migran diserahkan sepenuhnya kepada perwakilan pemerintah dari negara pengirim. Kemajuan dalam beberapa hal telah dilakukan dimana aturan untuk tidak boleh berorganisasi, seperti yang diberlakukan di daerah Alberta dan Ontario telah dicabut (dibawah Agricultural Employees Protection Act (AEPA). Aturan yang terus berlaku seperti ini tentunya mempersulit pekerja ketika ingin mengajukan keluhan mereka dan mencari perwakilan. Pada Juni 2007, Mahkamah Agung Kanada memutuskan bahwa pekerja petani migran mempunyai hak konstitusional untuk melakukan bargaining secara kolektif. Meksiko sebagai Negara Transit Buruh Migran 104. Meksiko terus menerima penduduk dari daerah Amerika Tengah yang melakukan transit penyebrangan sebelum menuju Amerika Serikat. 90% dari migrasi transit ke AS terjadi di perbatasan selatan yaitu antara Meksiko dengan negara Amerika Tengah seperti Guatemala dan Belize. Permasalahan ini menyebabkan dibutuhkannya kebijakan migrasi nasional yang baik dari Pemerintah Meksiko. 105. Pemerintah Meksiko menyatakan bahwa untuk menghindari pendekatan yang memperlakukan migran transit tanpa dokumen sebagai sebuah kejahatan, maka istilah yang digunakan Meksiko adalah melakukan “pengamanan� dibandingkan “penahanan� dalam permasalahan migrasi. 106. Di bawah hukum General Population Act, orang asing yang masuk dan tidak mempunyai dokumen atau status yang yang jelas akan diamankan di dalam migrant holding centre, ditunda klarifikasi mengenai statusnya, atau diputuskan untuk kembali ke negara asal jika memang orang asing tersebut telah melanggar hukum migrasi.74 Meksiko Sebagai Negara Penerima 107. Jumlah pekerja migran di Meksiko terbilang sedikit atau tidak terlalu signifikan dalam jumlah, yaitu hanya 493.000 jiwa (0,5% dari total populasi)(data sensus 2000). Mayoritas hampir 70% berasal dari Amerika Serikat lalu diikuti negara-negara dari Amerika Tengah, dengan mayoritas dari Guatemala. Menurut Initial Report, mayoritas dari pekerja migran ini bekerja dalam sektor jasa (68,8%), lalu 21,1 % dalam sektor processing, dan 10,1% dalam sektor primer.
74
article 209 of the General Population Act regulations.
Page | 38
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
108. Migran dari Guatemala ini adalah mereka yang bekerja dalam bidang pertanian seperti kopi, pisang, mangga, gula, dll. Seperti pada industri kopi di Chiapas, 90% output tergantung pada pekerja Guatemala. Menurut The International Catholic Migration Commission, tantangan terbesar Meksiko adalah mengenai kebutuhan undang-undang Imigrasi, karena General Population Law dianggap tidak memadai lagi untuk mengatasi situasi migrasi yang terjadi di Meksiko. Persetujuan Senat pada 4 April 2006 mengenai RUU untuk UU Imigrasi baru dianggap sebagai langkah yang baik. Upaya Meksiko dalam Hubungan Internasional Lainnya 109. Di dalam Initial Report ke Komite Perlindungan Buruh Migran, Meksiko menyatakan bahwa pemerintah telah menjalin kerjasama dengan negara-negara lain dalam mekanisme bilateral untuk mengatasi masalah imigrasi, di antaranya adalah: 1) Mexico-United States Binational Commission. Forum dialog untuk isu migrant, khususnya perlindungan kebangsaan Meksiko dalam level Menteri Luar Negeri. 2) Liaison mechanisms for border matters (MEF), dalam isu perbatasan. 3) Internal consultation mechanisms (MCI). Mengatasi permasalahan penduduk Meksiko yang ditahan oleh otoritas imigrasi US. 4) Pilot voluntary programme for interior repatriation. Berdasarkan dari Memorandum of Understanding on the Safe, Orderly, Dignified and Humane. Repatriation of Mexican Nationals (Februari 2004, Ministries of the Interior and Foreign Affairs of Mexico dan the United States Department of Homeland Affairs). 110. Jaringan Konsular Meksiko di Amerika juga melakukan beberapa program di Amerika untuk melindungi kebangsaan Meksiko, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
External legal assistance programme. Legal aid programme for Mexicans sentenced to the death penalty. Inter-agency programme for border-area children. Preventive protection programme. Mobile consulate programme.
111. Di samping itu, dilakukan pula upaya kesepakatan antara Meksiko dan negara penerima buruh migran, di antaranya adalah: 1) Consular Convention between the United Mexican States and the United States of America, 1942;75 2) Memorandum of Understanding on Consular Protection of United States and Mexican Nationals, 1996;76 3) Memorandum of Understanding on Consultation Mechanisms on Immigration and Naturalization Service Functions and Consular Protection, 1998;77 Lihat, Consular Convention Between the United Mexican States and the United States of America, http://migracioninternacional.com/docum/index.html?buttonbot=convbi_i.html 76Lihat dokumen MoU di http://www.americanpatrol.com/MEXICO/MOU.html 77 Lihat dokumen MoU di http:/ /migracioninternacional.com/ docum/ index.html? buttonbot= memora1998 _i.html 75
Page | 39
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
4) 2004 US Mexico Action Plan for Cooperation and Border Safety.78 5) Memorandum of Understanding between the Ministry of the Interior and the Ministry of Foreign Affairs of the United Mexican States and the Department of Homeland Security of the United States of America on the Safe, Orderly, Dignified and Humane Repatriation of Mexican Nationals, 2004.79 112. Kesepakatan ini didasarkan pada keinginan dua negara untuk mengemban tanggung jawab bersama dalam mengatasi migrant tanpa dokumen dengan melihat kebutuhan untuk melakukan administrasi bersama dalam hal perbatasan dan kewajiban untuk menghormati hak asasi. Melalui MoU ini, kedua negara mencoba menjalankan repatriasi dengan tetap meghormati hak-hak migrant, menghindari aksi unilateral. 113. Selanjutnya, MoU dengan negara-negara lainnya dalam hal perlindungan buruh migran juga dilakukan, di antaranya adalah: 1) Memorandum of Understanding for the Protection of Women and Minors from Trafficking in Persons on the Border. Meksiko-Guatemala, ditandatangani 23 April 2004; berlaku efektif 22 Februari 2005. 2) Mexico-El Salvador Memorandum of Understanding for the Protection of Persons, Especially Women and Minors, Victims of Illicit Trafficking, 17 May 2005. 3) Juni 2002, diperbaharui 2 Juli 2004, Departemen Migrasi Guatemala dan NIM menandatangani Agreement for the Safe and Orderly Repatriation of Central Americans on the Borders of Mexico and Guatemala. Perjanjian ini mengatur prosedur, tempat, dan waktu yang telah ditentukan untuk repatriasi Guatemala dan kebangsaan Amerika Tengah lainnya. 4) 17 Mei 2005, El Salvador dan Meksiko, Agreement for the Orderly, Swift and Safe Repatriation of Salvadoran Nationals by Land from Mexico. Perjanjian ini mengatur prosedur, tempat, dan waktu yang telah ditentukan untuk repatriasi bagi kelompokkelompok yang paling terancam seperti perempuan, anak dibawah umur, orang tua, dan orang cacar. 5) 3 Augustus 2004, Ministry of the Interior dan International Organization for Migration menandatangani Memorandum of Understanding on the Voluntary and Assisted Return of Extraregional Migrants, membantu Meksiko menghemat biaya tiket pesawat hingga 50% untuk repatriasi dan mendapatkan dokumen migrant yang negaranya tidak mempunyai perwakilan diplomatik di Meksiko. 6) North American Agreement on Labor Cooperation (NAALC) : effective enforcement and promotion of our labor laws and regulations. 7) Mexico state and Canadian union--Migrant worker protection pact : memastikan hak pekerja dan hak asasi pekerja pertanian Meksiko di Kanada terjamin.
Lihat dokumen lengkap di http:/ /migracioninternacional.com/ docum/ indice. html? mundo= usmexplanseg2004. html 79 Lihat dokumen lengkap di, http:/ /migracioninternacional.com/ docum/ index.html? buttonbot= memora2004_i.html 78
Page | 40
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
8) Mexico-Guatemala Binational Meeting, Mei 2006: orang asing dapat “regularize� status mereka. 1 Sept.2005, lebih dari 2800 migran telah melakukannya, mayoritas Guatemala. Mekanisme Perlindungan Buruh Migran Pekerja Migran Tidak Berdokumen 114. Salah satu prosedur untuk melindungi HAM para undocumented migrant Meksiko dalam sistem pemulangan adalah melalui program Interior Repatriation Program (12 Juli dan 30 September 2004). Program ini dirancang untuk mengembalikan sekitar 300 migran meksiko tanpa dokumen kembali ke negara mereka dengan selamat. Interior Repatriation Programme juga bertujuan untuk mengurangi angka kematian migran di daerah SonoraArizona. 115. Program ini adalah bagian dari implementasi MoU Safe, Orderly, Dignified and Humane Repatriation of Mexican Nationals. Kandidat mengikuti program ini secara sukarela dan tidak akan dipisahkan dengan anggota keluarga mereka. Jika seluruh anggota keluarga tidak menyetujui untuk mengikuti program, maka tidak satupun dari anggota keluarga dapat mengikuti program. 116. Proses pemulangan akan dilakukan dengan menggunakan pesawat sewaan di daerah Tucson, Arizona hingga sampai ke Meksiko. Sesampainya di Meksiko, peserta program akan disediakan kendaraan bus untuk mencapai daerah terdekat lokasi tempat tinggal. Program yang dilakukan dari hasil kerja sama 2 negara ini dilakukan untuk mencoba menghentikan organisasi penyelundupan manusia yang aktif di daerah sekitar perbatasan. 117. Program-program ini memiliki implikasi bagi perbaikan dan perlindungan buruh migran Meksiko, di antaranya adalah angka repatriasi yang dilakukan oleh AS menurun sebanyak 8% di tahun 2004 dibandingkan 2003, dari 559,949 menjadi 514,944 orang. Selanjutnya, 14.087 buruh migran Meksiko berhasil dikembalikan ke daerah asal mereka, termasuk 2086 anak bawah umur yang kembali ke keluarga mereka. 118. Dari 20 juni-30 September 2005, Interior Repatriation Programme kembali dilaksanakan, dan sekitar 15.051 pria, 2522 perempuan, dan 3017 anak-anak bawah umur dikembalikan menuju Kota Meksiko melalui penerbangan yang beroperasi dua kali dalam sehari. 119. Di tahun 2005, dilaporkan dalam Initial Report, bahwa angka repatriasi per harinya meningkat, dengan rata-rata 182 migran dikirim dari Tucson, Arizona menuju Mexico City International Airport (tahun 2004 sebanyak 173). Melindungi pekerja berdokumen (as sending country): Perjanjian Perlindungan Pekerja Migran antara Meksiko-Kanada pada Februari 2009 120. Perjanjian ini akan meningkatkan perlindungan pekerja Meksiko yang akan bekerja di Kanada dibawah program SAWP. Perjanjian ini melibatkan pemerintahan dari Meksiko yaitu dari negara bagian Michoacan dengan UFCW Canada (United Food Commercial Workers Canada) berasosiasi dengan Agriculture Workers Alliance (AWA).( UFCW Page | 41
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
Canada is Canada's largest private-sector union. The AWA operates nine agriculture workers support centres across Canada.) 121. Dengan perjanjian ini, para pekerja migrant Meksiko akan mampu memperjuangkan hakhak mereka sebagai pekerja karena mereka akan memiliki informasi dan jasa yang jelas mengenai hukum ketenagakerjaan Kanada dan mengetahui mengenai hak mereka sebagai pekerja. SAWP selama ini dianggap telah mengabaikan saran dari para pekerja mengenai tingkat upah dan kondisi tempat tinggal. SAWP juga dinilai tidak mempunyai proses independen, dimana bebas dari ancaman employers, ketika melakukan mediasi dalam pengajuan complain pekerja. Melindungi pekerja migran dari luar (sebagai Negara Penerima) 122. Artikel 123 dari Konstitusi menjamin hak pekerja sebagai hak konstitusional, termasuk untuk berorganisasi, bekerja dengan aman, hak untuk upah yang adil, dll. 123. Jika pekerja migran di Meksiko merasa hak-haknya telah dilanggar seperti upah yang tidak dibayar ataupun diperlakukan secara tidak adil berdasarkan jenis kelamin dan ras, maka dapat mengajukan keluhan kepada PROFEDET (Public Labor Defender) (Procuradur铆a de la Defensa del Trabajo). 124. Di Meksiko, terdapat satu pengadilan di setiap negara bagian yang akan mengurusi hampir seluruh perselisihan antara tenaga kerja dan pengusaha. Setiap pengadilan disebut dengan Conciliation and Arbitration Board (Junta de Conciliaci贸n yArbitraje, JCA). Klaim dari pekerja yang haknya merasa terlanggar dapat mengajukan klaim ke dalam pengadilan ini.
Page | 42
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi 125. Dari paparan-pararan yang diuraikan di atas, baik yang merupakan mandat nasional, internasional, serta melihat posisi Indonesia sebagai negara aktif di tingkat regional, maupun argumentasi-argumentasi pendukung lainnya dapat dilihat bahwa ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarga sudah harus dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 126. Pada tataran internasional, terdapat mandat yang – secara langsung dan tidak langsung – di sampaikan beberapa Komite kepada Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi, seperti Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial mengeluarkan Pertimbangan atas Laporan-laporan yang disampaikan oleh Pihak-pihak Negara Berdasarkan Konvensi Pasal 9 pada 30 Juli – 8 Agustus 2007. Salah satu point pertimbangan yang terkait dengan perlindungan buruh migran adalah merekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. 127. Kemudian Komite Anti Penyiksaan juga menyampaikan Pertimbangan atas Laporan yang telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Konvensi Pasal 19 Konvensi Anti Penyiksaan. Pada point ke-20, Komite memberikan perhatian terhadap perlakukan buruk yang sering terjadi pada pekerja migran, terutama perempuan. Untuk mengantisipasi tindakan yang mengarah pada keadaan dehumanisasi, maka Komite mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. 128. Hal yang sama juga disampaikan oleh Komite Cedaw dalam catatan untuk Pemerintah Indonesia terkait dengan perlindungan buruh migran dan keluarganya, yaitu; Pertama, adalah hubungan diplomasi antar negara melalui perjanjian bilateral; dan Kedua, dengan cata memantau perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor atau pengirim buruh migran ke luar negeri; Ketiga, melalui ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarga. 129. Terakhir, mandat internasional yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia adalah hasil laporan kondisi hak-hak buruh migran di Indonesia oleh Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Burh Migran, Mr Jorge Bustamante. Menurut laporan Pelapor Khusus tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi pada buruh migran asal Indonesia saat ini dan aspek perlindungan yang menaungi buruh migran dan keluarganya -meskipun pula dengan beberapa alasan yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia – laporan khusus ini tetap meminta agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya, karena konvensi ini akan meningkatkan perlindungan pekerja migran dan mencegah terjadinya praktik-praktik ilegal dan masalah buruh migran akan menjadi masalah publik. Di samping itu, ratifikasi justru akan mengatasi tingkat penyalahgunaan sistem pengiriman pekerja migran ke luar Page | 43
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
negeri, baik yang dilakukan oleh oknum negara atau swasta, karena semua proses itu akan tunduk pada aturan yang ketat dan akan terjadinya reformasi sistem secara kompehensif. 130. Perhatian internasional ini seiring pula dengan hukum Indonesia, baik di dalam Konstitusi UUD 1945 ataupun peraturan perundang-undangan lain, seperti Undangundang Hak Asasi Manusia, yang secara eksplisit melindungi hak asasi manusia setiap orang dan secara implisit hak-hak para buruh migran. Dalam hal ini, ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya patut untuk menjadi prioritas Pemerintah. Menjadikan agenda ratifikasi sebagai prioritas ini semakin kuat ketika melihat fakta di lapangan dan kondisi tragis dialami oleh para buruh migran yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, sementara kerangka hukum nasional yang mengatur perlindungan buruh migran sampai saat ini tidak cukup efektif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan buruh migran. 131. Ratifikasi Konvensi ini akan berkaitan dengan 3 (tig) kepentingan langsung Pemerintah Indonesia di tingkat nasional, regional dan internasional. Secara nasional, kepentingannya berhubungan dengan perlindungan Indonesia terhadap kepentingan dan hak-hak buruh/pekerja migran. Di tingkat regional, peran aktif Indonesia di tingkat Asean untuk melindungi hak-hak buruh migran akan semakin kuat sebagai Negara Pengirim sekaligus negara yang meratifikasi konvensi seperti yang dilakukan oleh Philipina. Secara internasional, ratifikasi Konvensi ini akan berpengaruh kepada Indonesia, di antaranya: (a) Meningkatkan citra positif Indonesia sebagai bangsa yang selalu berada di baris terdepan dalam kerja sama internasional bagi pembangunan, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia; (b) Menguatkan pengaruh Indonesia dalam pemecahan permasalahan HAM umumnya dan permasalahan pekerja migran pada khususnya, antara lain dalam hubungannya dengan negara-negara tempat bekerjanya pekerja migran asal Indonesia; (c) kedua hal di atas, pada akhirnya, akan menunjang pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia yang didasarkan pada politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.80 132. Di samping itu, ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran ini tidak akan memberikan beban dan tanggungjawab lebih atas pekerja migran yang ada di Indonesia, karena pada dasarnya Konvensi masih memberikan pengecualian-pengecualian yang boleh dilakukukan, dengan syarat-syarat yang dapat dipertimbangkan. Dengan perkataan lain, Konvensi masih memberikan hak kepada negara pihak untuk menetapkan pengaturan atau pembatasan tertentu berdasarkan undang-undang. Misalnya dalam kontek hak membentuk atau bergabung dengan serikat buruh sebagaimana dijamin dalam Pasal 26 (1) Konvensi tidak boleh dibatasi oleh negara kecuali menurut ketentuan hukum demi kepentingan keamanan nasional, ketertiban umum, atau perlindungan dan kebebasan-kebebasan orang lain. Hal ini jelas-jelas ditegaskan dalam Pasal 26 (2) Konvensi.
Enny Soeprapto, Pentingnya Menjadi Pihak Pada Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya: Beberapa Catatan Kecil, 17 Juni 2009, hlm. 10. 80
Page | 44
Kertas Kerja Ratifikasi Konvensi Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya: Belajar Dari Meksiko
133. Dengan demikian, mengacu kepada Pasal 79, 26 ayat (2), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2), Konvensi Buruh Migran 1990 masih memberikan celah untuk pembatasan dan pengaturan kepada Negara Pihak, selama memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, yaitu: a. Dilaksanakan dengan Undang-undang; b. Berdasarkan alasan: 1) keamanan nasional; 2) ketertiban umum; dan 3) perlindungan hak dan kebebasan orang lain. 134. Dengan demikian, ratifikasi konvensi ini juga akan berdampak pada perbaikan proses migrasi sejak calon buruh migran Indonesia berada di dalam negeri. Karena prinsipprinsip perlindungan di dalam konvensi tersebut bisa menjadi pedoman dalam penyusunan undang-undang nasional.
Page | 45
DAFTAR BACAAN A. Buku dan Makalah Departemen Perdagangan RI, Menuju Asean Economic Community 2015. Enny Soeprapto, Pentingnya Indonesia Menjadi Pihak pada Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Keluarganya. Jakarta, 2009. Human Rights Watch (HRW), “Indonesia/Malaysia: End Wage Exploitation of Domestic Workers”, 10 Mei 2010. I Wayan Pageh, Permasalahan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, (BNP2TKI), 2008 ILO, Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan Pekerja Migran Indonesia: Beberapa Pelajaran dari Filipina. Jakarta, 2006. IOM, Best Practices Concerning Migrant Workers and their Families: International Workshop, Santiago de Chile, 19-20 June, 2000. Komnas Perempuan, Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: Komnas Perempuan, Desember 2003. Migran Care, Sikap Migran Care terhadap Problematika Buruh Migran Indonesia. Jakarta, 2009. Patrick J. Kelly, Mexico: Basic Labor Law Concepts, Non-Competes, Non-Disclosures And Employee Inventions. Minneapolis, Fredrikson & Byron, P.A. Tim Peneliti Ecosoc dan TURC, Menangani Perbudakan Modern dari Desa. Jakarta, 2008. B. Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan Departemen 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 3. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 4. UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agararia 5. Keputusan Presiden No 40/2004 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 20042009 6. Surat Kepala Biro Hukum Depnakertrans nomor B. 359/sj/Hk/ 2005 perihal Analisis Kajian Konvensi Buruh Migran 1990 (12 September 2005). C. Instrumen Asean 1. Asean Economic Community Blueprint 2. Asean Political-Security Community Blueprint. 3. Asean Socio-Cultural Community Blueprint
D. Instrumen Internasional
-
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICMW)
-
CEDAW, “Concluding comments of the Committee on the Elimination of Discrimination against Women: Indonesia”. 2007.
E. Report Human Rights Council, “Implementation Of General Assembly Resolution 60/251 of 15 March 2006”. A/HRC/4/24/Add.3. Human Rights Council, Implementation of General Assembly Resolution 60/251, Report of the Special Repporteur on the human rights of migrants, Jorge Bustamante: Mission to Indonensia. 2 Maret 2007. Jorge Bustamante, Implementation of General Assembly Resolution 60/251 of 15 March 2006 Entitled: Report of the Special Repporteur on the human rights of migrants. Didistribusikan melalui A/ HRC/ 4/ 24/ Add.3, pada 2 Maret 2007. Mejelis Umum PBB, “Note verbale dated 12 April 2007 from the Permanent Mission of Indonesia to the United Nations addressed to the President of the General Assembly”. 13 April 2007. Menakertrans, Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Menurut Kawasan dan Jenis Kelamin Tahun 2008. Michele Ford, Migrant Labour in Southeast Asia, Country Study: Indonesia. Friedrich Ebert Stiftung (FES). Republik Indonesia “Consideration of Reports Submitted by States Parties Under Article 19 of the Convention Concluding Observations of the Committee against Torture”. 2008. Republik Indonesia, “Consideration of Reports Submitted by States Parties Under Article 9 of the Convention: Concluding observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination”. 2007. Sumber Website www.treaties.un.org www.dunia.vivanews.com www.peduliburuhmigran.blogspot.com www.asianfarmers.org www.aseansec.org www.ohchr.org www.migration.ucdavis.edu www.globalworkers.org www.dhs.gov www.splcenter.org www.americanpatrol.com www.migracioninternacional.com