Jurnal Inovasi Desember 2015

Page 1

ISSN 1829-8079

INOVASI JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN Vol. 12 No. 4, Desember 2015

Pr ofesionalisme Gur u di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumater a Utar a (Jonni Sitorus, Dumora Jenny) Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajar an dan Kiner ja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Gur u SMA di Medan (Martua Manullang) Flypaper Effect Menur ut Kategor i Pengeluar an di Pr ovinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar) Dampak Pasar Moder n Ter hadap Keber adaan Pasar Tr adisional di Sumater a Utar a (Sahat Christian Simanjuntak) Masalah Pember dayaan Kor ban Pencemar an di Sungai Deli dan Kawasan Industr i Medan (Zahari Zen) Ruang Ter buka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni, Anton Parlindungan Sinaga) Per kembangan Kebun Rakyat di Sumater a Utar a (Silvia Darina) Str ategi Pemer intah Pr ovinsi Sumater a Utar a Sumber daya Alam Miner al Dan Batubar a (Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni)

Dalam

Mengelola

Pemetaan Imbal J asa Lingkungan (IJ L) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konser vasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto, Kodrat Wibowo)

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Inovasi Vol. 12 No. 4

Hal. Medan ISSN 219 - 298 Desember 2015 1829 - 8079

Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013


Volume 12, Nomor 4

Desember 2015

ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor : 377/E/2013 tanggal 16 April 2013 Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik yangterbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

Penanggung Jawab Redaktur

KepalaBadan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Marlon Sihombing MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Nurhayati, MP (Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara) Ir. Hendarman, M.Sc., PhD (Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara) Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Penyunting

Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Nobrya Husni, ST Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST Silvia Darina, SP Sahat C. Simanjuntak, ST Anton Parlindungan Sinaga, ST

Sekretariat

Ir. Hj. Ritha Lisda Lubis, M.Hum Drs. Darwin Lubis, MM Irwan Purnama Putra, SE

Mitra Bestari Volume 12 12, Nomor 4, Desember201 Desember2015 2015 Warjiyo (Kesejahteraan Sosial, Universitas Medan Area) Julaga Situmorang (Pendidikan, Universitas Negeri Medan) Sabam Malau (Pertanian, Universitas Nommensen Medan) Suzanna Eddyono (Sosiologi, Universitas Gajah Mada) Said Muzambiq (Teknik, Institut Teknologi Medan) Zahari Zen (Lingkungan, Universitas Sumatera Utara)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id Email : inovasibpp@gmail.com


PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat, Pada edisi Desember yang merupakan edisi terakhir pada tahun 2015 ini, jurnal Inovasi kembali hadir dengan sembilan artikel yang menjadi tulisan terpilih untuk terbit pada akhir tahun ini. Sebagai artikel pembuka, para pembaca akan disuguhkan tulisan-tulisan yang bernuansa pendidikandengan judul Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara, dilanjutkan dengan tulisan yang berjudul Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja Dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru Sma Di Medan. Pada lembaran berikutnya para pembaca akan mendapati tulisan-tulisan dari bidang perekonomian dan lingkungan hidup dengan judul-judul tulisan sepertiFlypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010, Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional Di Sumatera Utara, Masalah Pemberdayan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya, serta tulisan yang berjudul Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara. Sedangkan sebagai artikel penutup adalah tulisan yang berjudul Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara, serta tinjauan kepustakaan berjudul Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan Sebagai Mekanisme Pendanaan Konservasi Lingkungan Di Indonesia. Kembali kami mengharapkan semoga tulisan-tulisan ini menjadi media bagi kita untuk mengetahui perkembangan dan mengevaluasi penelitian yang sudah pernah dilakukan. Terima kasih dan selamat membaca.

-Dewan Redaksi-


Volume 12, Nomor 4

Desember 2015

ISSN 1829-8079

Kata kunci yang di dicantumkan adalah istilah bebas. bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy tanpa ijin dan biaya. DDC 371.12 Jonni sitorus, Dumora Jenny Profesionalisme Guru Di Tingkat Pendidikan Dasar Di Sumatera Utara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 219-229 Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan kompetensi guru di tingkat pendidikan dasar di Sumatera Utara serta faktor-faktor penghambatnya. Hasil menunjukkan bahwa profesionalisme guru pada tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara memiliki nilai kompetensi di bawah nilai kompetensi rata-rata secara nasional sebesar 50,0, dengan kategori sangat rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru diantaranya: minimnya regulasi sebagai kebijakan daerah terkait peningkatan profesionalisme guru; kurangnya pengawasan terhadap kompetensi guru; program pendidikan dan pelatihan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan secara sinergitas antar lining sector terkait; pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru belum berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan; adanya sikap apatis guru untuk melakukan perubahan yang lebih baik akibat ku rangya apresiasi dalam bentuk reward. Direkomendasikan kepada dinas pendidikan: (1) membuat regulasi terkait peningkatan profesionaslisme guru sebagai kebijakan daerah, diantaranya regulasi pengawas yang sifatnya mengikat serta reward kepada guru; (2) mengevaluasi pengawas terkait efektivitas kinerja sebagai faktor pendukung untuk meningkatkan profesionalisme guru; dan (3) melakukan pemetaan terhadap keempat kompetensi guru, sehingga diperoleh tingkat dan jenis kompetensi guru yang dianggap kurang sebagai dasar memberikan pelatihan guru berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan.. Kata kunci: profesionalisme, kompetensi pendidik, regulasi, pelatihan guru DDC 371.12 Martua Manullang Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran Dan Kinerja Dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA Di Medan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 230-237 Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) apakah terdapat hubungan pengetahuan manajemen pembelajaran dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; 2) apakah terdapat hubungan kinerja dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; dan, 3) apakah terdapat hubungan antara pengetahuan manajemen

Pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahan manajemen pembelajaran tergolong tinggi, kinerja tergolong ke dalam kategori cukup sedangkan kompetensi pedagogik guru tergolong ke dalam cukup. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dengan kompetensi pedagogik, koefisien korelasi 0,246. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kinerja dengan kompetensi pedagogik, koefiisien korelasi 0,596. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan kompetensi pedagogik guru, koefisien korelasi 0,629. Pengujian dilakukan pada Îą = 0,05 dk=64. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru dibutuhkan pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja yang baik.Dengan demikian disarankan kepada: Guru, agar selalu meningkatkan pemahamannya terhadap manajemen pembelajaran, karena didalam manajemen pembelajaran tersebut sudah terencana hal-hal yang akan diajarkan. Pengawas dan Kepala Sekolah, perlu melakukan supervisi, membina keakraban, membangun komunikasi yang baik, meningkatkan keterbukaan dan mengadakan diskusi tentang manajemen pembelajaran, guna meningkatkan kompetensi pedagogik guru. Untuk Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, agar memberi kesempatan mengadakan pelatihan tentang manajemen pembelajaran atau melakukan studi banding ke sekolah percontohan baik dalam maupun luar negeri.. Kata Kunci: manajemen pembelajaran, kinerja, kompetensi pedagogik, sub rayon SMA Negeri 8 DDC 330.9598 Irham Iskandar Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 238-245 Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis flypaper effect yaitu: a) pengaruh bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah, terhadap pengeluaran bidang kesehatan; dan, b) pengaruh bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah, terhadap pengeluaran bidang infrastruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran kesehatan di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer; dan, b) flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran infrastruktur di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer. Ini mengindikasikan flypaper effect lebih kuat di kota dibanding kabupaten. Temuan ini juga mendukung riset sebelumnya di berbagai kabupaten dan kotapraja (kota). Rekomendasi untuk


Pemerintah daerah yaitu perlu upaya nyata dalam meningkatkan peningkatan pendapatan asli daerah melalui: a) intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk retribusi atau pajak; b) eksplorasi sumber daya alam dengan melihat sisi lingkungannnya; dan, c) skema pembentukan kapital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor. Selain itu perlu dikembangkan konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerah lebih spesifik dengan memanfaatkan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai nilai tambah bagi penerimaan daerah. Kata kunci: flypaper effect, bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah. DC 381.1 Sahat C. Simanjuntak Dampak Pasar Modern Terhadap Tradisional di Sumatera Utara

Keberadaan

Pasar

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 246-255 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak keberadaan pasar modren terhadap pasar tradisional di Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan bahwa dengan keberadaan pasar modern menyebabkan pendapatan pedagang di pasar tradisional menjadi semakin berkurang. Penurunan pendapatan ini terjadi antara lain disebabkan semakin banyaknya pasar modern yang ada, sementara itu pasar tradisional tidak banyak mengalami perkembangan dalam hal lokasi pasar dan kualitas fasilitas berjualan berupa tempat berjualan, kebersihan, kenyamanan, ketertiban dan keamanan serta kualitas barang yang diperjualbelikan.

Nobrya Husni, Anton Parlindungan Sinaga Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 264-274 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi RTH di Kota Medan, serta memberikan masukan terhadap langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan per sentase RTH dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RTH Kota Medan belum memenuhi ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu: a) mengembangkan pemukiman penduduk yang padat dengan merevetigasi pekarangan rumah dengan menanam tanaman hias jika pekarangan rumah warga relatif kecil dan menanam tanaman budidaya jika pekarangan rumah warga relatif luas; b) mengembangkan areal sekolah serta kampus yang ada di Kota Medan sebagai lahan tambahan yang ditanami dengan tanaman budidaya agar dapat membatu memenuhi kekurangan luas lahan RTH; c) mengembangkan pekarangan areal kantor instansi pemerintah menjadi tamantaman mini yang membantu mengurangi polusi udara; d) menanami setiap bahu jalan yang ada di Kota Medan dengan tanaman budi daya; e) menanami bantaran sungai yang ada di Kota Medan dengan tanaman budidaya; f) menanami mangrove di daerah pesisir pantai; g) menambah taman kota; dan, h) Merevegetasi taman pemakaman. Kata kunci :RTH, Kota Medan, penghijauan DDC 630.7 Silvia Darina Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara

Kata Kunci : pasar, pedagang, omset, pendapatan DDC363.73 Zahari Zen Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 256-263 Penelitian ini memetakan persoalan korban pencemaran karena adanya ketidak seimbangan antar kekuatan masyarakat dan LSM dengan kekuatan kolusi industri pencemar dengan pemerintah. Sejauh ini kekuasaan pemerintah untuk memberikan keadilan bagi korban pencemaran dan keadilan bagi lingkungan hidup belum terwujud secara nyata. Hal ini disebabkan karena industri pencemar secara ekonomi mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti penyerapan tenaga kerja, pajak daerah dan pendapatan asli daerah. Itulah alasan pemerintah daerah untuk lebih berpihak kepada kepentingan pelaku industri. Kelompok industri juga mampu mempengaruhi kekuatan politik daerah seperti DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten, agar masalah pencemaran tidak menjadi agenda atau prioritas yang harus ditangani dengan baik. Alasan pemerintah dan DPRD tidak berbuat secara adil bagi korban pencemaran bukan karena rendahnya pengetahuan tentang hukum lingkungan, tetapi lebih banyak dipengaruhi politik ekonomi mendapatkan benefit ekonomi. Pada kenyataannya untuk Kawasan Industri Medan (KIM), Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah pemegang saham kawasan KIM. Hal tersebut bisa dipahami walau mereka bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah cair maupun limbah padat agar tidak memberikan dampak negatif pada masyarakat miskin.. Kata Kunci:pencemaran, lingkungan, sungai Deli, KIM. DDC 363.7

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 289-298 Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan luas lahan perkebunan rakyat. Adapun hasil yang didapat adalah Luas areal kelapa sawit dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 392.721,00 ha menjadi 417.838,00 ha. Luas areal karet dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 385.879,31 ha menjadi 392.884,00 ha hal ini dikarenakan Pertumbuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan kegiatan yang dinyatakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut masyarakat banyak mengubah fungsi lahan dan meningkatkan luas areal penanaman. Luas areal kakao dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 59.370.90 ha menjadi 64.934.00 ha. Luas areal kopi robusta dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 20.988.50 ha menjadi 20.854.00 ha. Begitu juga Luas areal kopi arabika dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 57.721,06 ha menjadi 1.159.00 ha. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang menanam tanaman tersebut karena tanaman kakao dan kopi memiliki prospek agribisnis yang bagus dan mengalami peningkatan harga. Luas areal tebu dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 734.10.00 ha menjadi 61.231 ha karena lahan tebu banyak dialih fungsikan ke tanaman kelapa sawit. Luas areal tembakau dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 385.25.00 ha menjadi 1.305.00 ha. Dikarenakan jumlah petani tembakau tidak ada pengembangan dan masih usaha yang bersifat turun temurun. Luas lahan perkebunan rakyat mengalami peningkatan dikarenakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil perkebunan, dan merupakan Salah satu model pengembangan perkebunan adalah Perkebunan Inti Rakyat (PIR).


Kata kunci:pengembangan, perkebunan, rakyat, Sumatera Utara. DDC 354.4 Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 283-288 Kajian ini bertujuan untuk merekomendasikan strategi pengelolaan SDAMB kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pasca berlakunya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kajian ini menyimpulkan bahwa pra UU No. 23 Tahun 2014, terdapat lima permasalahan utama pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara, yaitu 1). Rentannya izin pertambangan berbenturan dengan dengan hukum lainnya; 2). Konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi maupun yang illegal; 3). kurangnya kesadaran wajib pajak; 4). Maraknya Penambangan Tanpa Izin (PETI); dan 5). Pelaporan produksi pertambangan mineral belum tertib. Alternatif strategi yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam mengimplementasikan amanat UU No. 23 Tahun 2014 dalam perannya untuk mengelola SDAMB yang menjadi wewenangnya, Yaitu 1). Membentuk tim pengelola SDAMB di Sumatera Utara ; dan 2). Menyusun pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada Kata kunci:UU No. 23 Tahun 2014, pertambangan, sumberdaya alam, mineral, batubara. DDC333.7 Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Desember 2015, Vol 12, No.4, halaman 275-282 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan pemetaan berbagai kebijakan terkait dengan mekanisme pembentukan EPS di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa berbagai bentuk penyelenggaraan EPS baik yang berbasis masyarakat maupun pemerintah dengan berbagai potensi, peluang dan permasalahan masing-masing. Kata kunci : instrumen ekonomi lingkungan, IJL, eksternalitas


Volume 12, No. 4

DECEMBER 2015

ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or charge DDC 371.12 Jonni sitorus, Dumora Jenny Teacher Professionalism At Primary Education Level In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p.219 - 229 The research aim is to describe the competence of teachers at the basic education level in North Sumatra as well as factors inhibiting. Results shows that the professionalism of teachers at the basic education level in North Sumatra have competence value below the average competence nationally, namely 50.0, with a very low category. Factors that lead to low competence of teachers including: the lack of regulation as regional policies related to improving the professionalism of teachers; lack of supervision of the teacher's competence; education and training programs, starting from planning, implementation, and evaluation have not been done lining synergy between related sectors; implementation of education and training of teachers is not based on the level and type of teacher competence required; the apathy of teachers to make change for the better due to a lack of appreciation in the form of reward. Recommended to the department of education: (1) making regulations related to improvement of teacher profesionaslisme as regional policy, including supervisory regulations that are binding and rewards to teachers; (2) evaluate the effectiveness of the relevant supervisory performance as a contributing factor to increase the professionalism of teachers; and (3) mapping the fourth competency of teachers, in order to obtain the level and type of competency of teachers who are considered less as a basis for providing teacher training based on the level and type of teacher competence required.. Keywords: professionalism, competence educators, regulation, teacher training DDC 371.12 Martua Manullang Relationship Between Knowledge Of Learning Management And Performance With Pedagogic Competence Improvement Of High School Teacher In Medan Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 230-237 This study aims to answer the 3 (three) issues in this study, namely: 1) Is there any knowledge of management leraning with teacher’s pedagogic competence?; 2) Is there any correlation performance with teacher’s pedagogic competence?; and, (3) Is there any positif between knowledge of management learning and performance with teacher’s pedagogic competence?.. The result showed that Performance with Teacher’s Pedagogic Competence were high categories, performance were in the medium categories, but teacher’s pedagogic competence were in

the medium categories. There are significant correlation between Performance with Teacher’s Pedagogic Competence and Teacher’s pedagogic competence with a correlation coefficient was 0,246. There are significant correlation between performing with teacher’s pedagogic competence with a correlation coefficient was 0,596. There are significant correlation between knowledge of management learning with Teacher’s Pedagogic Competence and performance with teacher’s pedagogic competence, with a correlation coefficient was 0,629. The test is done by using α = 0,05, dk = 64. It means that increase teacher’s pedagogic competence helping of a good perception on handmaster’s supervision and achievement motivation.It is strongly advised to: Teacher, in order to always improve the understanding of the learning management, learning management because in the already planned things that will be taught. Supervisors and Principals, need supervision, fostering familiarity, establish good communication, increase transparency and hold discussions on the management of learning, in order to improve teachers' pedagogical competence. For the Head of Education Office of Medan, in order to allow training on the management of learning or study visits to pilot schools both within and outside the country. Keywords: Learning Management, Performance, Pedagogic Competence

DDC 330.9598 Irham Iskandar Flypaper Effect Expenditure By Category In Aceh Province In 2006-2010 Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 238-245 The main objective of this study is to analyze the flypaper, namely: a) the effect of unconditional grant, local revenues, on health spending; and, b) the effect of unconditional grant, local revenue, for infrastructure spending.The results showed that: a) flypaper effect impact on increasing health spending in the city compared to districts with a higher increase than the increase in local revenues in response to the transfer; and, b) flypaper effect impact on increasing infrastructure spending in the city compared to districts with a higher increase than the increase in local revenues in response to the transfer. This indicates a stronger flypaper effect in the city compared to the district. These findings also support previous research in various district and city. Recommendations for local governments that need a real effort to improve the increase in local revenues through: a) the intensification and extension of local taxes in the form of levies or taxes; b) exploration of natural resources based on enviroment consideration; and, c) a scheme of capital formation (capital formation) or local investment through fundraising or attract investors. In addition it is necessary to develop the


concept of governance and the development of more specific regional capacity to exploit the potential of the area that can be developed as an added value to local revenue. Keywords: flypaper effect, unconditional grant, local revenue. DC 381.1 Sahat C. Simanjuntak Modern Market Impact Of Existence Traditional Markets In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 246-255 The purpose of this study to determine the impact of market presence modern on traditional markets in North Sumatra. Type of research is quantitative research with survey approach. The results showed significantly that with the existence of a modern market caused income traders in traditional markets become less and less. The decline in income is partly due to the increasing number of modern market there, while the traditional market did not experience the development of the market in terms of location and quality facilities in the form of a place to sell, cleanliness, comfort, order and security and quality of traded goods. Keywords : market, merchants, turnover, earnings DDC 363.73 Zahari Zen Empowerment Issues Of Pollution Victims In The Deli River And The Medan Industrial Estate Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 256-263 This study is mapping the issues of pollution victims as an imbalance power between communities with the polluters which has made collusion with the government. The government has not be able to provide justice for pollution victims and the environment. As the polluter are economically able to influence government policies either at the level of central, provincial or at the district government level. The industry group is also able to influence the local political figures (DPRD) such as provincial and district parliament, so that pollution problems do not become major agenda that they must be controlled properly. The main motive why the government and the parliament does not enforce the law not is because lack of environmental law knowledge, but more on the political economy motive to gain economic benefits. The environmental management system is difficult to implement due to that the governments hold shareholder at KIM. It is also the reason that waste water treatment has not been operating effectively, although by law they are responsible for the management of wastewater and solid waste produced by industries..

Law No. 26 of 2007. The steps to do aret: a) develop a dense residential population by revegetation by planting ornamental plants if the yard is relatively small houses and plant crops if relatively spacious yard citizens; b) develop an area school and college in the city of Medan as additional land is planted with crops in order to meet the shortage of land area petrified RTH; c) develop the yard area of government offices into tiny gardens that help reduce air pollution; d) cultivating each side of the road in the city of Medan with crop; e) planted along the river in the city of Medan with cultivated plants; f) planting mangroves in the coastal areas; g) adding a city park; and, h) Undertake revegetation in the cemetery. Keywords: green open space, Medan City, greening DDC 630.7 Silvia Darina Development Of People Plantation In North Sumatra Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 289-298 This paper aims to describe the development of people's plantation area. The results obtained are oil palm acreage from 2010 to 2014 continued to increase from 392,721.00 417,838.00 ha become. The area of rubber from 2010 to 2014 continued to increase from 385,879.31 392,884.00 ha, this is due to the growth in the activities of oil palm and rubber is an activity that otherwise would increase regional economic growth and incomes. Based on that many people change the land use and an increase acreage of cultivation. The area of cacao from 2010 to 2014 continued to increase over into 64.934.00 59.370.90 ha ha. Robusta coffee acreage from 2010 to 2014 continued to increase over into 20.854.00 20.988.50 ha ha. Likewise arabica coffee acreage from 2010 to 2014 continues to experience an increase of 57721.06 ha to 1.159.00 ha. This is due to the m any people who grow these plants because plants cocoa and coffee have good prospects for agribusiness and increased prices. The area of sugarcane from 2010 to 2014 continued to decline from 734.10.00 ha to 61231.00 ha because many transforme d to enable sugar cane land to plant oil palm. The area of tobacco from 2010 to 2014 continued to decline from 385.25.00 ha to 1.305.00 ha. Due to the number of tobacco farmers and still no development effort that is hereditary. People's plantation area has increased due to an effort to increase the plantation, and is one of plantation development model is NES (PIR). Recommendations from this paper is that the North Sumatra Provincial Government should pay attention to all kinds of plantation commodities of high economic value and broad market opportunities not only in favor of a single commodity.. Keywords: development, agriculture, people, north sumatra.

DDC 354.4 Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni

Keywords: contamination, environment, The Deli river, KIM

Government Strategy of North Sumatera Province Of Mineral Resources And Coal Management

DDC 363.7 Nobrya Husni, Anton Parlindungan Sinaga

Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 283-288

Open Green Spaces In Medan City And Solutions For increasing quality and quantity

This study aims to recommend management strategies SDAMB to the North Sumatra Provincial Government after the enactment of Law 23 of 2014 on Regional Government. This study concluded that prior implementation of Law No. 23 Year 2014, there are 5 (five) main problems of coal and mineral resources management in North Sumatra, namely: a) the vulnerability of mining permits to collide with the other laws; b) conflicts between communities and concessionaires or illegal; c) lack of awareness of the taxpayer; d) the rise of Mining Without Permission (illegal); and, e) reporting mineral mining

Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 264-274 This study aims to describe the condition of green space in the city of Medan, as well as providing input to the steps could take to increase the percentage of green open space. The results showed that the RTH Medan not comply with the provisions of


production has not been orderly. Alternative strategies to do the North Sumatra Provincial Government in implementing the mandate of Law No. 23/ 2014 in its role to manage SDAMB under its control, ie a) establish a SDAMB management team in North Sumatra; and, b) develop guidelines for the management of working procedures SDAMB in North Sumatra in accordance with existing rules and regulations. Keywords: Law No. 23 Year 2014, mining, natural resources, mineral, coal.

DDC 333.7 Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo Payment For Environmental Services (Pes) MappingAs A Funding Mechanism Of Environmental Conservation In Indonesia Inovasi, Journal of Politics and Policy, December 2015, Vol 12, No.4, p. 275-282 This research conducted with the aim of mapping the various policies related to the mechanism of formation of PES in Indonesia. By using descriptive analysis approach, it can be concluded various forms of organization of EPS both communitybased and government with various potentials, opportunities and problems respectively. Keywords: environmental economic instrument, PES, externality


Volume 12, Nomor 4

Desember 2015

ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI Halaman Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara

219-229

(Jonni Sitorus, Dumora Jenny) Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan

230-237

(Martua Manullang) Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 200620062010

238-245

(Irham Iskandar) Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara

246-255

(Sahat Christian Simanjuntak) Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan

256-263

(Zahari Zen) Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya

264-274

(Nobrya Husni, Anton Parlindungan Sinaga) Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara

275-284

(Silvia Darina) Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara

285-290

(Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni) Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia

(Joko Tri Haryanto, Kodrat Wibowo)

291-298


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

Hasil Penelitian PROFESIONALISME GURU DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DI SUMATERA UTARA

(TEACHER PROFESSIONALISM AT PRIMARY EDUCATION LEVEL SUMATRA)) IN NORTH SUMATRA Jonni Sitorus, itorus, Dumora Jenny Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sitorus_jonni@yahoo.co.id

Diterima: 21 Oktober 2015; Direvisi: 10 November 2015; Disetujui: 20 November 2015

ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan kompetensi guru di tingkat pendidikan dasar di Sumatera Utara serta faktor-faktor penghambatnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dilakukan di Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Dairi dan Batubara. Pemilihan lokasi berdasarkan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Sumatera Utara (tinggi, sedang, kurang, sangat kurang). Jenis data meliputi data primer melalui wawancara, Focus Group Discusion (FGD), dan observasi partisipan. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Informan penelitian adalah Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, kepala sekolah, dan guru. Jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Teknik analisis data pada FGD dilakukan melalui dua tahap yakni: (1) tahap diskusi, (2) tahap analisis FGD. Hasil menunjukkan bahwa profesionalisme guru pada tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara memiliki nilai kompetensi di bawah nilai kompetensi rata-rata secara nasional sebesar 50,0, dengan kategori sangat rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru diantaranya: minimnya regulasi sebagai kebijakan daerah terkait peningkatan profesionalisme guru; kurangnya pengawasan terhadap kompetensi guru; program pendidikan dan pelatihan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan secara sinergitas antar lining sector terkait; pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru belum berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan; adanya sikap apatis guru untuk melakukan perubahan yang lebih baik akibat kurangya apresiasi dalam bentuk reward. Direkomendasikan kepada dinas pendidikan: (1) membuat regulasi terkait peningkatan profesionaslisme guru sebagai kebijakan daerah, diantaranya regulasi pengawas yang sifatnya mengikat serta reward kepada guru; (2) mengevaluasi pengawas terkait efektivitas kinerja sebagai faktor pendukung untuk meningkatkan profesionalisme guru; dan (3) melakukan pemetaan terhadap keempat kompetensi guru, sehingga diperoleh tingkat dan jenis kompetensi guru yang dianggap kurang sebagai dasar memberikan pelatihan guru berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan. Kata kunci: profesionalisme, kompetensi pendidik, regulasi, pelatihan guru

ABSTRACT The research aim is to describe the competence of teachers at the basic education level in North Sumatra as well as factors inhibiting. This research is a descriptive approach, held in: Pematangsiantar, North Tapanuli, Dairi and Batubara. The location selection is based on the level of Human Development Index (HDI) districts/cities in North Sumatra (high, medium, less, much less). Data types include primary data through interviews, Focus Group Discussion (FGD), and participant observation. Secondary data are obtained through the study documentation. The informants are Department of Education, Regional Personnel Board, Planning and Regional Development, principal, and teacher. The number of informants tailore to the needs of research. Data analysis techniques in the FGD is conducted in two stages: (1) the discussion stage, (2) the analysis phase FGD. Results shows that the professionalism of teachers at the basic education level in North Sumatra have competence value below the average competence nationally, namely 50.0, with a very low category. Factors that lead to low competence of teachers including: the lack of regulation as regional policies related to improving the professionalism of teachers; lack of

219


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 219-229

supervision of the teacher's competence; education and training programs, starting from planning, implementation, and evaluation have not been done lining synergy between related sectors; implementation of education and training of teachers is not based on the level and type of teacher competence required; the apathy of teachers to make change for the better due to a lack of appreciation in the form of reward. Recommended to the department of education: (1) making regulations related to improvement of teacher profesionaslisme as regional policy, including supervisory regulations that are binding and rewards to teachers; (2) evaluate the effectiveness of the relevant supervisory performance as a contributing factor to increase the professionalism of teachers; and (3) mapping the fourth competency of teachers, in order to obtain the level and type of competency of teachers who are considered less as a basis for providing teacher training based on the level and type of teacher competence required. Keywords: professionalism, competence educators, regulation, teacher training

pemanfaatan teknologi pembelajaran; evaluasi hasil belajar (EHB); dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan diri, (Sudjana, 2011; Mulyasa, 2009). Harapan kondisional pembelajaran di atas, nampaknya masih jauh dari tuntutan. Data dari Kementerian Pendidikan Nasional (2011), terungkap fakta bahwa dari 285 ribu guru yang ikut uji kompetensi, ternyata 42,25% masih di bawah nilai rata-rata. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih ada guru yang memiliki kompetensi rendah, khususnya mengenai kompetensi profesionalnya sebagai guru. Rendahnya kompetensi guru, khususnya di Indonesia karena belum adanya perubahan pola mengajar dan sistem konvensional ke sistem kompetensi (Mason, 1998; Lin, dkk, 2001; Silver, dkk, 2005; Spilkova´,2001; Sandt, 2007; Skot, 2009; Susan, 2009; Mulyasa, 2009). Data hasil uji kompetensi awal (UKA), bahwa guru sebelum mendapatkan sertifikat profesional diperoleh gambaran nilai rata-rata nasionalnya adalah 42,25 untuk skala nilai 0100. Artinya, nilai rata-rata nasional tingkat kompetensi guru masih cukup jauh di bawah angka 50, atau angka separuhnya dari nilai ideal. Nilai tertinggi adalah 97,0 dan nilai terendah adalah 1,0. Jumlah guru terbanyak, sekitar 80-90 ribu orang terdapat pada interval nilai 35-40. Jika dilihat dari daerah sebaran berdasarkan wilayah provinsi di Indonesia, maka dari jumlah 33 provinsi hanya terdapat 8 (delapan) provinsi saja yang nilainya berada di atas rata-rata nasional. Kedelapan provinsi itu adalah DIY (50,1), DKI (49,2), Bali (48,8), Jatim (47,1), Jateng (45,2), Jabar (44,0), Kepri (43,8), dan Sumbar (42,7). Sedangkan 25 provinsi lainnya memiliki nilai di bawah 42,25, dimana tiga nilai terendah dimiliki oleh provinsi Maluku (34,5), Maluku Utara (34,8) dan Kalimantan Barat (35,4). Apabila dilihat dari jenjang sekolah, maka nilai tertinggi rata-rata nasional diperoleh guru TK (58,9), kemudian diikuti guru SMA (51,3), guru SMK (50,0), guru SLB (49,1), guru SMP (46,1), dan nilai terendah diperoleh guru SD (36,9), (Kemendikbud, 2012). Sementara itu, berdasarkan nilai hasil uji kompetensi guru (UKG) secara online yang

PENDAHULUAN Kompetensi bagi guru menjadi persyaratan penting dalam menjalankan tugas dan profesinya secara profesional. Masalah kompetensi menjadi penting, karena kompetensi menawarkan suatu kerangka kerja organisasi yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumberdaya yang terbatas. Guru tentu harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Seorang guru yang memiliki kompetensi dalam profesinya akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik serta efisien, efektif, tepat waktu, dan sesuai dengan sasaran. Kompetensi guru adalah perpaduan kemampuan seorang guru dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak dengan penuh tanggung jawab dalam menjalankan profesinya (Syah, 2001; Mulyasa, 2009; Kepmendiknas No. 045/U/2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam ayat 1, lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi yang dimaksud yaitu meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Sagala, 2009). Sebagai unsur yang pokok dalam lembaga pendidikan, guru sebagai pengajar memiliki kompetensi sesuai dengan bidang ajarnya. Hal ini setidaknya berimplikasi pada kemudahan dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik yang berindikasi pada adanya kesenangan dan sikap penasaran dalam belajar. Kompetensi dapat mempengaruhi kinerja guru dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai pengajar, pembimbing, maupun sebagai administrator kelas, misalnya kompetensi guru terkait: pemahaman wawasan dan landasan kependidikan; pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum/silabus; perancangan pembelajaran; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;

220


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

dilakukan terhadap guru setelah memperoleh sertifikat profesional, maka diperoleh nilai ratarata nasional sebesar 45,82 untuk skala nilai 0100. Artinya, nilai rata-rata nasional masih di bawah angka 50, atau kurang dari separuh angka ideal. Nilai tertinggi adalah 96,25 dan nilai terendah adalah 0,0. Jumlah guru terbanyak, sekitar 60-70 ribu orang terdapat pada interval nilai 42-43. Jika dilihat dari daerah sebaran berdasarkan wilayah provinsi di Indonesia, maka dari jumlah 33 provinsi hanya terdapat 7 (tujuh) provinsi saja yang nilainya berada di atas rata-rata nasional. Ketujuh provinsi itu adalah DIY (53,60), Jateng (50,41), Babel (48,25), DKI (47,93), Jatim (47,89), Sumbar (47,21), dan Jabar (46,81). Adapun 26 provinsi lainnya, memperoleh di bawah rata-rata nasional, 45,82, di mana tiga nilai terendah dipegang oleh provinsi Maluku Utara (38,02), Aceh (38,88), dan Maluku (40,00). Apabila dilihat dari jenjang sekolah, maka nilai tertinggi rata-rata nasional diperoleh guru SMP (51,23), kemudian diikuti guru SMK (49,75), guru SMA (47,7), guru TK (45,84), dan nilai terendah diperoleh guru SD (42,05), (Kemendikbud, 2012). Data hasil UKA dan UKG di atas, menunjukkan nilai rata-rata nasional terendah selalu dimiliki oleh guru SD, yakni 36,9 (UKA) dan 42,05 (UKG). Pada hal saat ini, jumlah guru SD merupakan bagian terbesar dari jumlah guru nasional, yakni sekitar 1,6 juta (55 %) dari jumlah guru secara keseluruhan di Indonesia. Walaupun guru bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi sebagai cermin kualitas, dimana guru memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses dan inovasi dalam pembelajaran. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai ditengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk. Kalau hal ini terjadi, maka guru akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat.

Menghadapi tantangan tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Guru merupakan ujung tombak keberhasilan dalam pembentukan generasi penerus bangsa yang berkualitas, nampaknya harus benar-benar memiliki kompetensi dan sikap profesional yang tinggi, sehingga dapat bekerja dengan sungguh-sungguh dalam mendidik siswanya secara berkualitas. Oleh karena itu, guru di bidang kependidikan harus mampu meningkatkan prestasi kerja kependidikannya secara profesional, yakni pembentukan kualitas peserta didik secara komprehensif, baik dari segi intelektual, keterampilan, maupun dari segi psikis dan mental spiritual. Paparan di atas, menunjukkan pentingnya kompetensi guru terutama pada lingkup pendidikan dasar sebagai fondasi awal pembentukan kecerdasan anak bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dipandang perlu melakukan kajian lebih lanjut mengenai kompetensi guru pada tingkat pendidikan dasar di Sumatera Utara. Hasil kajian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak terkait dalam pengambilan kebijakan yang kondusif dalam meningkatkan profesionalisme guru. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kompetensi guru di tingkat pendidikan dasar di Sumatera Utara serta permasalahan yang dihadapi. METODE Penelitian adalah penelitian deskriptif, dilaksanakan di Pematangsiantar, Tapanuli Utara, Dairi dan Batubara sebagai perwakilan dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Pemilihan lokasi berdasarkan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Sumatera Utara (tinggi, sedang, kurang, sangat kurang), sehingga diasumsikan bahwa nilai kompetensi guru keempat kabupaten/kota dapat mewakili Sumatera Utara. Jenis data meliputi data primer melalui wawancara, Focus Group Discusion (FGD), dan observasi partisipan. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Informan penelitian adalah Dinas Pendidikan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, kepala sekolah, dan guru. Jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Teknik analisis data pada FGD dilakukan melalui dua tahap yakni: (1) tahap diskusi, (2) tahap analisis FGD HASIL DAN PEMBAHASAN

221


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 219-229

Gambaran kompetensi guru pada tingkat Pendidikan Dasar (SD dan SMP) di 4 (empat) kabupaten/kota berdasarkan hasil uji

kompetensi guru (UKG) tahun 2013, dipaparkan dalam bentuk matrik pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Nilai UKG pada Tingkat Pendidikan Dasar Nilai UKG SD Nilai UKG SMP No.

Kabupaten/Kota

Rata-rata

1. Pematangsiantar 42,19 2. Dairi 39,61 3. Batubara 36,74 4. Tapanuli Utara 36,74 Sumber: Balitbang Kemdikbud (2013)

Nilai Max.

Nilai Min.

Rata-rata

Nilai Max.

68 66,25 70 65

21 11 10 0

49,03 48,25 46,86 43,13

88,25 80 88,75 82,5

Mencermati Tabel 1 di atas, jelas bahwa secara nasional guru-guru pada tingkat Pendidikan Dasar di 4 kabupaten/kota di Sumatera Utara memiliki nilai kompetensi yang sangat rendah. Hal ini terbukti dari rata-rata nilai kompetensi guru SD maupun SMP di masing-masing daerah masih berada di bawah nilai rata-rata secara nasional sebasar 50,0. Rentang nilai UKG di 4 (empat) kabupaten/kota di Sumatera Utara sangat tinggi. Misalnya: di Kota Pematangsiantar, nilai tertinggi UKG SD sebesar 68 dan terendah 21, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 47, sementara hasil UKG SMP memiliki nilai tertinggi sebesar 88,25 dan terendah sebesar 21, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 60,25. Di Kabupaten Dairi, nilai tertinggi UKG SD sebesar 66,25 dan terendah 11, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 55.25, sementara hasil UKG SMP memiliki nilai tertinggi sebesar 80 dan terendah sebesar 21, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 59. Di Kabupaten Batubara, nilai tertinggi UKG SD sebesar 70 dan terendah 10, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 60, sementara hasil UKG SMP memiliki nilai tertinggi sebesar 88,75 dan terendah sebesar 1, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 87,75. Di Kabupaten Tapanuli Utara, nilai tertinggi UKG SD sebesar 65 dan terendah 0, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 65, sementara hasil UKG SMP memiliki nilai tertinggi sebesar 82,5 dan terendah sebesar 0, sehingga diperoleh rentang nilai sebesar 82,5. Gambaran rentang nilai kompetensi guru SD maupun SMP (pedagogik dan profesional) memiliki sebaran yang sangat beragam, mulai dari tingkat kategori tinggi sampai sangat rendah, bahkan masih ada guru yang mendapat nilai 0 (nol) ketika dilakukan uji kompetensi.Guru yang memiliki kompetensi rendah diragukan kinerjanya dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional sebagaimana yang diamanatkan pada UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP Nomor 74 tahun 2008.

Nilai Min. 21 21 1 0

Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kompetensi guru dengan kinerja guru dalam hal pembelajaran di kelas. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya kompetensi guru dalam miningkatkan kinerja guru, (Barinto, 2012; Balqis, dkk, 2014; Sa’adah, 2014). Berdasarkan nilai kompetensi guru dan sebarannya yang tidak merata, maka langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan identifikasi tingkat kompetensi guru. Hasil identifikasi tingkat kompetensi guru tersebut akan dijadikan sebagai dasar kebijakan pemerintah untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan guru berdasarkan tingkat kompetensi guru yang dimiliki. Artinya, ketika guru tersebut memiliki kompetensi tingkat rendah, maka pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pendidikan dan pelatihan tingkat dasar, atau sebaliknya ketika guru tersebut memiliki kompetensi tingkat sedang atau tinggi, maka guru tersebut mendapat pendidikan dan pelatihan tingkat lanjutan. Perlakuan pendidikan dan pelatihan guru harus disesuaikan dengan tingkat kompetensi guru yang bersangkutan. Selama ini, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan dan pelatihan guru untuk meningkatkan kompetensinya diberikan dengan perlakuan yang sama. Pemerintah Pusat menyatakan bahwa tujuan diadakan PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) adalah selain untuk meningkatkan kesejahteraan guru, juga untuk meningkatkan profesionalisme guru, sehingga para guru yang memiliki sertifikat pendidik akan dijadikan sebagai salah satu syarat guru menjadi guru yang profesional dan mendapatkan tunjuangan sertifikasi atas konsekuensi kebijakan yang diterapkan. Namun kenyataan diperoleh bahwa nilai kompetensi guru yang ikut sertifkasi inipun masih jauh dari apa yang diharapkan. Pertanyaannya adalah apakah guru yang ikut sertifikasi dan memilki nilai UKG yang rendah

222


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

masih disebut seorang guru yang profesional?. Artinya bahwa pelaksanaan kebijakan profesionalisme guru, baik pemerintah pusat dan daerah harus dibenahi. Kompetensi menjadi syarat yang harus melekat pada setiap profesi, tak terkecuali bagi profesi guru. Rujukan kompetensi guru pada PP No 74 tahun 2008 tentang Guru, dijelaskan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Selain kualifikasi pendidikan minimal S1 (sarjana lengkap) yang harus dimilki, seorang guru juga harus memilki kompetensi yang baik, bahkan guru yang berijazah S1 kependidikan belum tentu memperlihatkan kompetensi yang baik, seperti bisa mengajar dengan terampil. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan guru profesional selain memiliki kualifikasi akademik minimal S1, juga harus memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi kepribadian. Hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan guru adalah memberikan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan jenis kompetensi guru. Ketika kompetensi guru rendah di kepribadian dan sosial, maka jenis pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan guru tersebut adalah pendidikan dan pelatihan ESQ atau pelatihan kepemimpinan, atau pelatihan yang sejenisnya, atau sebaliknya ketika kompetensi guru rendah di pedagogik atau profesional, maka jenis pendidikan dan pelatihan guru adalah terkait kurikulum, penyusunan RPP, LAS, atau workshop strategi, model, dan metode pembelajaran. Artinya, jenis pendidikan dan pelatihan guru disesuaikan dengan kebutuhan jenis kompetensi guru dimaksud. Hasil wawancara terkait rendahnya kompetensi guru di tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara ditinjau dari 4 (empat) faktor, yaitu: minimnya regulasi terkait guru sebagai kebijakan daerah; pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru yang kurang efektif; pelaksanaan pengawasan guru yang kurang efektif; dan kurangnya apresiasi dalam bentuk reward terhadap guru. Regulasi tugas dan fungsi masing-masing SKPD telah diatur dalam Peraturan Daerah, termasuk Dinas Pendidikan sebagai fokus penelitian ini. Secara operasional, Peraturan Daerah tentunya harus ditindaklanjuti oleh Dinas pendidikan sebagai SKPD terkait, misalnya dalam bentuk Peraturan Kepala Dinas

Pendidikan, surat edaran, ataupun kebijakan lainnya. Regulasi peningkatan profesionalisme guru, salah satunya kompetensi guru, baik dari Dinas Pendidikan maupun dari pihak sekolah diatur berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Namun kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa regulasi peningkatan profesionalisme guru belum sepenuhnya diatur dalam sebuah aturan yang mengikat. Artinya, ketika peraturan itu tidak dijalankan, maka harusnya ada sanksi yang harus diterima oleh orang yang melanggar aturan tersebut. Sebagai contoh, aturan pengawas guru mata pelajaran atau satuan pendidikan. Temuan yang diperoleh ketika dilakukan kunjungan ke sekolah dan juga dilakukan wawancara kepada sejumlah guru dan kepala sekolah bahwa beberapa pengawas belum melakukan tugas secara profesional. Beberapa pengawas sangat jarang melakukan kunjungan pengawasan ke sekolah dengan berbagai alasan, khususnya sekolah-sekolah yang jauh dari perkotaan. Beberapa pengawas lainnya juga hanya mengawasi perlengkapan administasi guru, dan jarang melakukan observasi langsung ke dalam kelas ketika pembelajaran berlangsung. Pengawas yang belum melakukan tugas dan fungsinya secara benar tentunya menyalahi aturan-aturan yang dibuat, sehingga seharusnya ada konsekuensi yang harus diterima, namun aturan itu belum diatur secara jelas oleh Dinas Pendidikan. Pengawasan sangat diperlukan untuk menjaga kualitas SDM guru (kompetensi guru). Seorang pengawas yang diangkat langsung oleh kepala daerah (bupati/walikota) dalam bentuk SK Kepala Daerah memiliki tugas dan fungsi yang tidak hanya mengawasi perlengkapan administrasi guru dan kepala sekolah. Selanjutnya, kebijakan pendidikan dan pelatihan guru belum diatur secara terencana. Adanya temuan ketidakmerataan kesempatan bagi para guru untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan, yang tidak hanya disebabkan oleh anggaran pendidikan dan pelatihan yang sangat minim, namun lebih kepada ketidaktransparanan oleh Dinas Pendidikan dalam memilih dan menentukan guru-guru yang berhak untuk ikut pendidikan dan pelatihan. Disisi lain, dampak pendidikan dan pelatihan guru terhadap mutu pendidikan harus dievaluasi, yang tidak hanya dilakukan kepada oknum gurunya, namun lebih kepada program dan kegiatan pendidikan dan pelatihan itu sendiri. Regulasi terkait pendidikan dan pelatihan bagi guru-guru, baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan

223


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 219-229

tentunya juga harus menerima konsekuensi atas tindakan yang dilakukan. Peraturan terhadap reward guru ini perlu diterapkan untuk meningkatkan motivasi diri guru itu sendiri. Kebijakan pendistribusian guru di daerah juga belum bisa dibilang tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Dari hasil FGD yang dilakukan, para peserta menyatakan bahwa hal tersebut diakibatkan data yang tidak akurat di Dinas Pendidikan dan BKD. Namun, guru–guru yang menjadi peserta FGD mengatakan bahwa sekolah selalu membuat laporan mengenai kondisi pendidikan, siswa–siswi dan tenaga pendidiknya di sekolahnya masing–masing, namun sering kali tidak dibaca dan dipergunakan oleh yang berkepentingan untuk mengambil kebijakan, seperti dalam pendistribusian guru. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi dan sinergitas antara instansi terkait belum berjalan sebagaimana mestinya. Pada tingkat mikro, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh kepala sekolah untuk menindaklanjuti kebijakan pusat maupun daerah terkait profesionalisme guru lebih kepada kebijakan teknis terkait proses belajar dan mengajar. Kebijakan tersebut berupa aturan tertulis yang dituangkan dalam aturan kepala sekolah atau tata tertib sekolah ataupun aturan yang tidak tertulis dalam bentuk himbauan. Mencermati apa yang telah dipaparkan sebagai hasil dan sekaligus beberapa temuan dalam penelitian ini terkait pelaksanaan kebijakan dalam bentuk regulasi peningkatan profesionalitas guru, secara ilmiah dirujuk kepada beberapa pendapat atau teori kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi (Tilaar & Nugroho, 2008). Demikian juga dengan sebutan professional untuk tenaga pendidik (guru), menuntut harus dipenuhinya berbagai persyaratan professional oleh guru, termasuk dibuatnya regulasi oleh pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru tersebut, serta mengatur hak dan kewajiban guru. Kebijakan dalam bentuk regulasi yang dibuat akan menjadi pedoman yang lebih rinci bagi pejabat yang berkepentingan agar ada kesamaan dan kesatuan visi dan pengertian dalam melaksanaan jabatan fungsional guru yang meliputi tugas pokok dan pembagian tugas guru, pengangkatan, penilaian dan penetapan angka kredit, kenaikan pengkat, pembebasan

evaluasi belum diatur dalam sebuah aturan yang jelas. Sebagai contoh, anggaran untuk pendidikan dan pelatihan guru belum direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan urgensinya, akibatnya masih banyak para guru belum pernah ikut kegiatan dimaksud. Dalam memberikan pelayanan kepada guru, oleh Dinas Pendidikan sebagai SKPD yang menaunginya belum optimal. Sebagai misal: untuk kenaikan pangkat dan golongan, salah satu syarat yang sulit dilengkapi guru adalah melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai salah satu syarat kompetensi yang harus dipenuhi guru. Hampir setiap guru mengeluhkan syarat dimaksud. Dinas Pendidikan seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi para guru, misalnya melakukan pendampingan untuk melakukan penelitian dimaksud, sehingga para guru dapat terbantu, namun kenyataan di lapangan hal tersebut belum terwujud. Disisi lain, beberapa guru lainnya dengan mudah untuk kenaikan pangkat dan golongan walaupun belum melakukan PTK. Artinya, ada kesan bahwa untuk kenaikan pangkat dan golongan bisa diurus hanya dengan pertemanan, uang, dan kolega-kolega ataupun sejenisnya kepada Badan Kepegawaian Daerah sebagai SKPD yang menaungi kepegawaian. Temuan-temuan semacam ini tentunya harus diatur secara jelas dan mengikat melalui Peraturan Kepala Dinas Pendidikan bekerjasama dengan BKD, guna untuk menjaga dan mewujudkan profesionalisme guru. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, bahwa Dinas Pendidikan belum dapat meyakinkan pihak Bappeda sebagai SKPD yang melakukan perencanaan pembangunan di daerah untuk menjadikan program dan kegiatan peningkatan kompetensi guru sebagai program dan kegiatan prioritas. Bappeda meminta kepada pihak Dinas pendidikan untuk mengusulkan program dan kegiatan terkait peningkatan profesionalisme guru secara terperinci yang dituangkan dalam usulan program dan kegiatan dinas. Disisi lain, bahwa program dan kegiatan Dinas Pendidikan lebih difokuskan pada pembangunan sarana prasarana pendidikan. Memang, sarana prasarana pendidikan juga dapat mempengaruhi profesionalisme guru, akan tetapi juga harus mempersiapkan peningkatan SDM guru melalui pendidikan dan pelatihan. Kebijakan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan terkait reward terhadap guruguru SD dan SMP di Sumatera Utara belum diatur secara jelas dalam sebuah regulasi. Bagi guru-guru yang berprestasi tentunya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, atau sebaliknya bagi guru yang melanggar aturan

224


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

sementara, pengangkatan kembali, dan pemberhentian dari jabatan guru. Hal yang harus dilaksanakan dalam rangka mereposisi jabatan guru menjadi jabatan professional sebagai berikut (Surya, 2005): a) pemerintah harus ada kemauan dan komitmen politik untuk menempatkan posisi guru dalam keseluruhan pendidikan nasional dan memberikan penghargaan sesuai dengan hak dan martabatnya; b) mewujudkan suatu sistem manajemen guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam satu institusi yang memiliki kewenangan nasional secara terpadu yang sistematik, sinergik, dan simbiotik. Seluruh aspek manajemen guru yang mencakup antara lain rekrutmen, pendidikan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan berada dalam satu sistem pengelolaan tunggal yang professional dan proporsional. Pengelolaan yang lebih bersifat birokratis harus digeser menjadi pengelolaan yang lebih bersifat “pemberdayaan� dengan suatu mobilitas yang terbuka baik secara vertical maupun horizontal sesuai dengan kesempatan dan kompetensinya serta memperhitungkan berbagai variable individual; c) pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan guru yang lebih fungsional untuk lebih menjamin dihasilkan kualitas professional guru dan tenaga kependidikan lainnya; dan, d) pengembangan satu sistem remunerasi (gaji dan tunjangan lainnya) bagi para guru secara adil, bernilai ekonomis, serta memiliki daya tarik sedemikian rupa sehingga merangsang para guru melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi dan memberikan kepuasan lahir batin. Sejalan dengan rekomendasi UNESCO/ILO, dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan guru Indonesia, sistem penggajian guru harus dibangun sebagai satu kulminasi kesatuan berbagai variable yang saling terkait yaitu: (1) jenjang pendidikan tempat guru bertugas, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman/masa kerja, (4) beban kerja, (5) kreativitas, (6) lokasi atau lingkungan kerja, (7) kepangkatan. Hasil temuan yang diperoleh bahwa penjabaran visi misi Dinas Pendidikan belum sesuai dengan implementasi kebijakan yang dilakukan. Contohnya, regulasi terhadap pengawas belum diatur secara mengikat; regulasi terhadap pendidikan dan pelatihan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi juga belum dituangkan dalam suatu rencana kerja; serta regulasi pemberian reward guru menjadi perhatian bagi Pemerintah Daerah yang belum terwujud. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD, beberapa guru menyadari bahwa dengan adanya kelonggaran peraturan dan kurang disiplinnya di sekolah, menyebabkan guru memanfaatkan

waktu luang tersebut dengan mencari tambahan penghasilan di luar sekolah. Sebagai guru yang professional, sudah sepatutnya guru meningkatkan kemampuan dan kompetensinya pada waktu–waktu luang. Namun saat ini banyak guru yang fokus pada materi saja, sehingga tetap mencari tambahan penghasilan, bukannya menambah pengetahuan. Hal ini harus disikapi oleh sekolah dengan ketegasan pada penerapan disiplin guru di sekolah. Seperti yang telah dilakukan oleh salah satu SMP di Kabupaten Batubara yang melakukan absensi menggunakan finger print. Setelah penggunaan alat tersebut, persentase kehadiran guru pun meningkat. Kepala sekolah menyatakan bahwa penggunaan finger print tersebut cukup efektif dalam menegakkan disiplin para guru. Sekarang ini, di sekolah tersebut, para guru yang tidak bisa sembarang keluar sekolah, kecuali ada ijin dari kepala sekolah, menjadi memiliki banyak waktu luang di sekolah. Waktu tersebut dipergunakan para guru untuk berdiskusi dan menambah pengetahuan dan kompetensinya dengan membaca. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pelaksanaan peningkatan kompetensi guru ditingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara dilakukan melalui berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lanjut merupakan kebijakan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan untuk beberapa guru sebagai alternatif untuk meningkatkan kompetensi akademik. Pelaksanaan pendidikan lanjut bagi guru merupakan bentuk pelaksanaan kebijakan peningkatan profesionalisme guru dalam upaya pengembangan profesi. Dinas Pendidikan dalam melaksanakan program dan kegiatannya selalu terfokus, tidak hanya pada sarana prasarana saja, namun juga pengembangan sumber daya manusianya, baik itu guru, siswa maupun komponen - komponen dalam dunia pendidikan lainnya. Sebagai salah satu prioritas pembangunan, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendidikan, baik penyediaan dan pendistribusian tenaga pendidik maupun tenaga staf Dinas Pendidikan, perbaikan mutu kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi tenaga pendidik, serta peningkatan kuallitas metode pembelajaran. Dalam peningkatan kompetensi tenaga pendidik, pemerintah melalui Dinas Pendidikan telah mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas sumber daya manusianya, yakni melalui pendidikan dan pelatihan bagi tenaga pendidik. Permasalahannya adalah bahwa bantuan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan bagi guru ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kuotanya sangat terbatas sehingga beberapa

225


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 219-229

ke seluruh guru-guru, setidaknya Dinas Pendidikan telah bertindak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen tahun 2005 seperti penjelasan di atas. Pengembangan kinerja guru yang berkaitan pengembangan profesi guru dikenal adanya tiga program yakni (Sahertian, 2000): a) program pre-service education; b) program in-service education; dan, c) program in-service trainning. Program pre-service education adalah program pendidikan yang dilakukan pada pendidikan sekolah sebelum peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga penyelenggaraan program pre-service education adalah suatu pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu pendidikan program pre-service education diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) baik non gelar maupun yang bergelar. Program in-service education adalah program pendidikan yang mengacu pada kemampuan akademik maupun profesional sesudah peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Bagi mereka yang sudah memiliki jabatan guru dapat berusaha meningkatkan kinerjanya melalui pendidikan lanjut yang berijazah D-2 dapat melanjutkan ke D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari S-1 ke S-2 dan S-3. Program in-service trainning adalah suatu usaha pelatihan yang memberi kesempatan kepada orang yang mendapat tugas jabatan tertentu, dalam hal ini adalah guru, untuk mendapat pengembangan kinerja. Pada umumnya yang paling banyak dilakukan dalam program in-service training adalah melalui penataran yaitu: 1) penataran penyegaran yaitu usaha pengembangan kinerja guru agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menetapkan kinerja guru agar dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik. Sifat penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat agar tidak ketinggalan jaman; 2) penataran peningkatan kualifikasi adalah usaha peningkatan kemampuan guru sehingga mereka memperoleh kualifikasi formal tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan; dan, 3) penataran penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan kemampuan guru dalam bidang jenjang struktural sehingga memenuhi persyaratan suatu pangkat atau jabatan tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan. Selain pendidikan lanjut, beberapa sekolah telah melakukan beberapa bentuk pelatihan. InHouse training (IHT) merupakan pelatihan yang dilaksanakan secara internal di Kelompok Kerja Guru (KKG)/Musyawarah Guru Mata Pelajaran

guru lainnya yang tidak/belum memiliki kesempatan mendapat beasiswa, harus membiayai pendidikannya sendiri (swadana). Disisi lain, bahwa anggaran daerah yang sangat terbatas belum mampu mengalokasikan dana pendidikan sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh, pada saat pengambilan data ke Kabupaten Tapanuli Utara, ditemukan suatu realita, yakni guru SMP di Kabupaten Tapanuli Utara yang memilki kualifikasi pendidikan minimal S1 (sarjana), secara keseluruhan masih 85.83 %. Artinya, bahwa 14,17% guru SMP masih didominasi tamatan Diploma. Persentase kualifikasi pendidikan minimal ini belum sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yaitu minimal 90% kualifikasi pendidikan minimum guru SMP harus Sarjana S1. Berdasarkan visi misi Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli, salah satu prioritas pembangunan pendidikan diarahkan pada kualitas SDM pendidik. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa apa yang telah diamanatkan pada visi misi Dinas pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara tersebut belum terwujud bila ditinjau dari SPM. Artinya untuk memenuhi pelayanan minimum sajapun, pemerintah belum mampu mewujudkannya. Sementara, ketika berbicara tentang peningkatan profesionalitas guru, itu artinya bahwa pemerintah daerah harus mampu berada pada kondisi di atas SPM. Kualifikasi pendidikan pendidik merupakan salah satu tolak ukur profesionalitas guru. Permasalahan lain terkait pelaksanaan pendidikan lanjut bagi guru yang dibiayai (beasiswa) oleh Dinas Pendidikan adalah ketidaktransparanan oleh Dinas Pendidikan dalam merekrut/memilih ataupun menentukan guru-guru yang layak untuk mendapatkan beasiswa dimaksud. Dalam wawancara kepada beberapa guru diperoleh informasi bahwa mereka (guru-guru) tidak pernah mendapat informasi terkait beasiswa dimaksud. Selain itu, para guru juga tidak tahu apa yang menjadi indikator penilaian oleh Dinas Pendidikan untuk memilih guru-guru yang layak mendapat beasiswa dimaksud. Melihat realita ini tentunya Dinas Pendidikan tidak memberi informasi yang merata kepada seluruh guru untuk ikut berkompetisi dalam merebut kesempatan beasiswa dimaksud, salah satunya penyampaian informasi melalui surat Kepala Dinas pendidikan kepada seluruh sekolah. Terlepas kebijakan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan dalam hal keterbatasan anggaran pendidikan lanjutan guru serta ketidak-transparanan informasi terkait adanya program beasiswa di Dinas Pendidikan

226


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

(MGMP). Pembinaan melalui IHT dilaksanakan berdasarkan pemikiran bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus dilakukan secara eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang dinilai layak memiliki kompetensi untuk memberikan pelatihan kepada guru lain yangbelum memiliki kompetensi. Pada saat pengumpulan data di lapangan, dan juga dari data wawancara dan FGD yang dilakukan, pendidikan dan pelatihan bagi guru di daerah–daerah tersebut telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan sekolah yang bersangkutan. Namun permasalahannnya, setiap pelatihan yang diberikan sering kali tidak ada tindak lanjutnya, pelaksanaannya hanya formalitas saja. Selain itu beberapa guru peserta FGD mengatakan bahwa pelatihan yang ada saat ini masih kurang profesional dan seringkali tidak ada pelatihan lanjutan yang seharusnya sangat berguna dalam mengembangkan kompetensi akademik guru. Dengan hanya dilakukan pelatihan sekali saja tanpa lanjutan, para guru peserta pelatihan masih mengalami kesulitan mengimplementasikan hasil pelatihan pada anak didiknya. Selain pendidikan dan pelatihan, untuk meningkatkan kemampuan pedagogik dan profesional guru, pihak sekolah juga melaksanakan kegiatan pendidikan lain yang dapat menunjang kompetensi guru. Diskusi masalah pendidikan diselenggarakan secara berkala dengan topik berkaitan pada proses pembelajaran di sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi pedagogik guru dan pengembangan karirnya. Mengikutsertakan guru dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah untuk meningkatkan kompetensi. Kegiatan ini memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Temuan lain bahwa seringkali pertemuan rutinitas yang menjadi ajang diskusi para guru tersebut tidak menghasilkan apa–apa. Setiap permasalahan yang didiskusikan tidak menemukan solusi untuk perbaikannya. Setiap pertemuan guru yang dilaksanakan secara berkala, seharusnya mendatangkan narasumber yang ahli di bidangnya. Dengan adanya narasumber, kemungkinan untuk menemukan solusi dari setiap permasalahan guru–guru tersebut lebih besar peluangnya. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa tidak semua guru yang bisa ikut pertemuan, seperti MGMP. Hal tersebut karena anggaran yang terbatas dari sekolah–sekolah di daerah penelitian mengakibatkan hanya

beberapa guru yang bisa dikirimkan. Saat ini, kegiatan MGMP seringkali harus memakai dana sendiri (mandiri). MGMP merupakan pertemuan berkala yang dilakukan untuk berdiskusi tentang materi dan perkembangan mutu mata pelajaran yang bersangkutan. Kegiatan ini penting untuk mensinergikan dan menyelaraskan pembelajaran di tiap sekolah untuk mendukung pemerataan kualitas dan mutu pendidikan di tiap sekolah. Kegiatan ini juga dapat menjadi pelatihan bagi guru–guru dalam meningkatkan kompetensinya. Workshop juga dilakukan oleh pihak sekolah untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karir guru. Workshop dilakukan dalam menyusun dan analisis kurikulum, pengembangansilabus, dan penulisan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pembuatan media pembelajaran berbentuk alat peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik animasi pembelajaran; pembuatan karya teknologi/karya seni berupa karya teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat dan pendidikan dan karya seni yang memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat juga bagian kegiatan sekolah dalam rangka peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru. Pendidikan dan pelatihan guru untuk meningkatkan profesionalitas merupakan tanjungjawab Dinas Pendidikan. Kegiatankegiatan sekolah untuk meningkatkan profesionalisme guru di atas, mulai workshop, mengikuti seminar, diskusi ilmiah, in-house training melalui KKG/MGMP, ataupun kegiatan lainnya didukung oleh Dinas Pendidikan. Permasalahannya adalah bahwa kegiatankegiatan dimaksud belum tersistem ataupun terprogram pada program dan kegiatan di Dinas Pendidikan. Sebagai contoh: diskusi ilmiah dan workshop bagi para guru untuk meningkatkan kompetensinya hanya dilakukan pada momenmomen tertentu saja. Artinya tidak dilakukan secara kontinu atau berkelanjutan yang seharusnya telah disusun dan dirancang dalam perencanaan sebagai program dan kegiatan tahunan yang dapat dilakukan setiap bulan atau mingguan. Selain itu. kesempatan guru-guru untuk mengikuti seminar pendidikan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan terbatas jumlahnya, sehingga beberapa guru yang lain tidak memilki kesempatan untuk ikut berpartisipasi. Selanjutnya, Moralitas yang dibangun oleh guru merupakan kompetensi kepribadian yang mempengaruhi output (keluaran) berupa pelayanan terhadap masyarakat. Berdasarkan

227


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 219-229

hasil wawancara dengan sejumlah kepala sekolah dan guru dinyatakan bahwa kompetensi kepribadian guru dirasa masih kurang. Beberapa guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar belum disiplin terhadap waktu. Sebagai misal: beberapa guru masih banyak yang terlambat pada jam kerja pagi. Disisi lain, guru juga harus bertanggung jawab secara moral kepada masyarakat, khususnya masyarakat peserta didik. Kurangnya sense of belonging (rasa memiliki) terhadap profesi sebagai seorang guru merupakan cerminan rendah kompetensi kepribadian dan profesionalitas kerja guru tersebut. Menurut salah seorang kepala sekolah, guru yang professional hendaknya merupakan guru 24 jam. Maksudnya, guru tersebut bukan hanya bertugas mengajar dan mendidik di jam– jam sekolah saja, setelah itu merasa tidak punya tanggung jawab sebagai guru lagi diluar sekolah. Namun sebenarnya guru tetaplah guru, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Guru tetap harus memiliki jiwa mengajar dan mendidik serta jadi panutan selama 24 jam. Hal ini sesuai dengan 2 dari 4 kompetensi yang harus dimiliki guru, yakni kepribadian dan sosial, sehingga seorang guru harus bisa juga hidup bermasyarakat dan perilakunya sebagai guru harus tercermin di kelas maupun di luar kelas. Jika hal ini tidak dimiliki seorang guru, maka artinya guru tersebut kurang profesional. Peningkatan kompetensi kepribadian guru juga dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan seperti halnya peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru. Pelatihan penyusunan RPP, pengembangan media pembelajaran, sosialisasi kurikulum, sosialisasai SPM, yang kesemua kegiatan tersebut merupakan usaha pemerintah hanya untuk meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional guru, namun untuk kompetensi kepribadian guru, Dinas Pendidikan kabupaten/kota di Sumatera Utara belum pernah melakukan pendidikan dan pelatihan. Padahal, semua keempat kompetensi guru yang diamanatkan pada UU Guru dan Dosen tahun 2005 sama pentingnya dalam rangka peningkatan profesionalitas guru. Hal serupa juga dapat dilihat pada pelaksanaan PLPG. Para guru hanya dilatih untuk peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru, sementara untuk peningkatan kompetensi kepribadian dan sosial guru masih diabaikan. Model pendidikan dan pelatihan kompetensi kepribadian dan sosial guru yang dapat dilakukan adalah pembinaan kompetensi kepribadian guru melalui Training ESQ dan Outbond. Selain itu, Pihak sekolah juga dapat melakukan pelatihan dengan mengundang

trainer; pembinaan melalui kepramukaan; dan pendidikan leadership (kepemimpinan) ataupun kaderisasi. Dengan adanya persyaratan profesionalitas guru ini, khususnya keempat kompetensi guru, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru yang profesional, yaitu: memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, penguasaan ilmu yang kuat, keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi, dan pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional. KESIMPULAN Profesionalisme guru pada tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara memiliki nilai kompetensi di bawah nilai kompetensi ratarata secara nasional sebesar 50,0, dengan kategori sangat rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru diantaranya: minimnya regulasi sebagai kebijakan daerah terkait peningkatan profesionalisme guru; kurangnya pengawasan terhadap kompetensi guru; program pendidikan dan pelatihan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan secara sinergitas antar lining sector terkait; pelaksanaan pendidikan dan pelatihan guru belum berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan; adanya sikap apatis guru untuk melakukan perubahan yang lebih baik akibat kurangnya apresiasi dalam bentuk penghargaan (reward). REKOMENDASI Kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota direkomendasikan untuk: 1. Membuat regulasi terkait peningkatan profesionaslisme guru sebagai kebijakan daerah, diantaranya regulasi pengawas yang sifatnya mengikat serta reward kepada guru; 2. Mengevaluasi pengawas terkait efektivitas kinerja sebagai faktor pendukung untuk meningkatkan profesionalisme guru; 3. Melakukan pemetaan terhadap keempat kompetensi guru, sehingga diperoleh tingkat dan jenis kompetensi guru yang dianggap kurang; dan, 4. Memberikan pelatihan guru berdasarkan tingkat dan jenis kompetensi guru yang dibutuhkan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi

228


Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

Skot, J. 2009. Contextualising The Notion of ‘Belief Enactment’. Journal Math Teacher Educ 12 hal: 27–46.

Sumatera Utara yang mendanai penelitian ini. Para responden dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan penelitian.

Spilkova, V. 2001. Professional Development of Teachers And Student Teacher Through Reflection of Practice. The New Hampshire Journal of Education 4 hal: 9–14.

DAFTAR PUSTAKA Balqis, Putri. Nasir Usman. Sakdiah Ibrahim. 2014. Kompetensi Pedagogik Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa pada SMPN 3 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Administrasi Pendidikan 2 hal: 25- 38.

Sudjana, N. 2011. Dasar-Dasar Proses Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Surya, Muhammad. 2005. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Barinto. 2012. Hubungan Kompetensi Guru dan Supervisi Akademik dengan Kinerja Guru SMP Negeri Se-Kecamatan Percut Sei Tuan. Jurnal Tabularasa PPs Unimed 9 (2) hal:, 201-214.

Susan, Swars. 2009. A Longitudinal Study of Effects of a Developmental Teacher Preparation Program on Elementary Prospective Teacher’s Mathematics Beliefs. Journal Math Teacher Educ 12 hal: 47–66.

Kemdikbud. 2012. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Jakarta: Balitbang kemdikbud.

Syah, Muhibbin. 2001. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.

Tilaar, H.A.R. dan Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.

Lin, F. L. dan T. J Cooney. 2001. Making Sense of Mathematics Teacher Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Mason, J. 1998. Enabling Teachers to be Real Teacher: Necessary Levels of Awareness and Structure of Attention. Journal of Mathematics Teacher Education 1 hal: 243–267. Mulyasa, E. 2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Sa’adah. 2014. Peningkatan Kompetensi Guru Melakukan Penilaian Proses Pembelajaran melalui Supervisi Akademik. Jurnal Penelitian Tindakan Sekolah dan Kepengawasan 1 (1) Juni 2014 Edisi Khusus, ISSN 2355-9683. Sagala, Syaiful. 2009. Administrasi Kontemporer. Bandung: Alfabeta.

Belajar

Pendidikan

Sahertian, Piet A. 2000. Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Mengembangkan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Sandt, S. 2007. Research Framework on Mathematics Teacher Behaviour: Koehler And Grouws’ Framework Revisited. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education 3(4) hal: 343-350. Silver, E., Mills, V., Castro, A., Ghousseini, H., & Stylianides, G. 2005. Complementary Approaches to Mathematics Teacher Professional Development: Integrating Case Analysis and Lesson Study in The BI:FOCAL Project. In: ICMI Study 15: The Professional Education And Development of Teachers of Mathematics.

229


Inovasi Vol. 12 No. 4, Desember 2015: 230-237

Hasil Penelitian HUBUNGAN PENGETAHUAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN DAN KINERJA DENGAN PENINGKATAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SMA DI MEDAN

(RELATIONSHIP BETWEEN KNOWLEDGE OF LEARNING LEARNIN G MANAGEMENT AND PERFORMANCE WITH PEDAGOGIC COMPETENCE IMPROVEMENT OF HIGH SCHOOL TEACHER IN MEDAN) MEDAN) Martua Manul Manullang FMIPA Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Medan e-mail: m.manulang@yahoo.com

Diterima: 15 Oktober 2015; Direvisi: 04 November 2015; Disetujui: 20 November 2015

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) apakah terdapat hubungan pengetahuan manajemen pembelajaran dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; 2) apakah terdapat hubungan kinerja dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; dan, 3) apakah terdapat hubungan antara pengetahuan manajemen Pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan analisis korelasional. Populasi penelitian ini adalah seluruh guru Sub Rayon SMA Negeri 8 Medan yang berjumlah 424 guru dan sampel penelitian sebanyak 66 guru, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu angket, dengan ujicoba lebih dahulu. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistic deskriptif dan inferensial yang meliputi analisi korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahan manajemen pembelajaran tergolong tinggi, kinerja tergolong ke dalam kategori cukup sedangkan kompetensi pedagogik guru tergolong ke dalam cukup. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dengan kompetensi pedagogik, koefisien korelasi 0,246. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kinerja dengan kompetensi pedagogik, koefiisien korelasi 0,596. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan kompetensi pedagogik guru, koefisien korelasi 0,629. Pengujian dilakukan pada α = 0,05 dk=64. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru dibutuhkan pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja yang baik.Dengan demikian disarankan kepada: Guru, agar selalu meningkatkan pemahamannya terhadap manajemen pembelajaran, karena didalam manajemen pembelajaran tersebut sudah terencana hal-hal yang akan diajarkan. Pengawas dan Kepala Sekolah, perlu melakukan supervisi, membina keakraban, membangun komunikasi yang baik, meningkatkan keterbukaan dan mengadakan diskusi tentang manajemen pembelajaran, guna meningkatkan kompetensi pedagogik guru. Untuk Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, agar memberi kesempatan mengadakan pelatihan tentang manajemen pembelajaran atau melakukan studi banding ke sekolah percontohan baik dalam maupun luar negeri. Kata kunci: manajemen pembelajaran, kinerja, kompetensi pedagogik, sub rayon SMA Negeri 8

ABSTRACT This study aims to answer the 3 (three) issues in this study, namely: 1) Is there any knowledge of management leraning with teacher’s pedagogic competence?; 2) Is there any correlation performance with teacher’s pedagogic competence?; and, (3) Is there any positif between knowledge of management learning and performance with teacher’s pedagogic competence?. This study used a descriptive approach to the analysis of correlation. The research population was all teachers of The State Senior High School 8 in the city of Medan with total of 424 teachers and 66

230


Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan (Martua Manullang) of them, data collection technique used were questionnaires and the instrument were first tried. The data analysis technique used were description and inferential statistic analysis correlation and regression analysis. The result showed that Performance with Teacher’s Pedagogic Competence were high categories, performance were in the medium categories, but teacher’s pedagogic competence were in the medium categories. There are significant correlation between Performance with Teacher’s Pedagogic Competence and Teacher’s pedagogic competence with a correlation coefficient was 0,246. There are significant correlation between performing with teacher’s pedagogic competence with a correlation coefficient was 0,596. There are significant correlation between knowledge of management learning with Teacher’s Pedagogic Competence and performance with teacher’s pedagogic competence, with a correlation coefficient was 0,629. The test is done by using α = 0,05, dk = 64. It means that increase teacher’s pedagogic competence helping of a good perception on handmaster’s supervision and achievement motivation.It is strongly advised to: Teacher, in order to always improve the understanding of the learning management, learning management because in the already planned things that will be taught. Supervisors and Principals, need supervision, fostering familiarity, establish good communication, increase transparency and hold discussions on the management of learning, in order to improve teachers' pedagogical competence. For the Head of Education Office of Medan, in order to allow training on the management of learning or study visits to pilot schools both within and outside the country. Keywords: Learning Management, Performance, Pedagogic Competence

dilaksanakan mengacu pada kurikulum tiap mata pelajaran. Proses belajar yang baik diperoleh dari layanan belajar oleh tenaga pengajar di sekolah. Guru adalah salah satu penggerak utama dalam menjalankan fungsi sekolah. Guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan proses pembelajaran sesuai dengan prinsipprinsip profesionalitas untuk memenuhi tugas yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan pendidikan terutama disekolah menengah pada pembelajaran disekolah guru harus mampu merencanakan proses pembelajaran disekolah guru harus mampu merencanakan proses pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran serta menilau kemajuan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, mutu pendidikan perlu diperbaiki dengan meningkatkan kompetensi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Tugas guru tidak akan berjalan dengan baik tanpa memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas. Guru mempunyai tugas dalam memilih media pembelajaran yang sesuai untuk siswa sehingga kesulitan belajar dapat diatasi oleh siswa. Guru harus memiliki kompetensi mengajar serta mampu mendesain pembelajaran yang menjadi tanggung jawab dalam kemajuan hasil belajar. Perbaikan nilai hasil belajar tidak terlepas dari peranan guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru yang memiliki kompetensi pedagogik yang baik, ia mampu memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan siswa dalam proses pembelajaran. Guru mengetahui seluas dan

PENDAHULUAN Rendahnya kualitas pendidikan pada suatu bangsa mencerminkan rendahnya kinerja guru dan buruknya sistem pengelolaan pendidikan pada suatu bagsa. keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung pada kinerja sumber daya manusia (SDM) yang terlibat didalam organisasi tersebut. Untuk itu dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing di era globalisasi dan otonomi daerah ini perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kinerja dalam mencapai tujuan pendidikan (Manullang, 2015). Salah satu faktor yang menentukan baik buruknya kualitas pendidikan tersebut sangat ditentukan oleh guru dalam proses pendidikan. Untuk menjadi seorang guru harus memiliki kualitas khusus karena guru merupakan jabatan profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru tidak hanya dituntut menguasai bahan ajar, tetapi harus memiliki kepribadian dan integritas pribadi yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi peserta didik, keluarga, maupun masyarakat. Dengan kompetensi yang dimiliki guru, idealnya guru menunjukkan kinerja yang optimal dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik di sekolah maupun tugas pengabdiannya dimasyarakat. Pada dasarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum. Tugas utama sekolah adalah menjalankan proses belajar-mengajar,evaluasi kemajuan peserta didik, dan meluluskan peserta didik yang berkualitas memenuhi standar yang dipersyaratkan(Sagala, 2007). Inti kegiatan penyelenggaraan sekolah adalah pembelajaran, kegiatan pembelajaran

231


Inovasi Vol. 12 No. 4, Desember 2015: 230-237

mengajar, untuk itu diperlukan sistem supervisi yang efektif dengan berbagai pendekatan supervisi pembelajaran yang sesuai dengan iklim sekolah. Salah satu kompetensi wajib yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar, karena telah menyentuh kegiatan pengelolaan pembelajaran peserta didik yaitu kompetensi pedagogik yang berisikan kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya (Mulyasa, 2007). Berdasarkan pengamatan pihak sub rayon SMA Negeri 8 Medan ,merasakan bahwa peningkatan kompetensi pedagogik guru yang tinggi akan mendorong kepala sekolah mengembangkan professional dan mengaktualkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi yang maksimal. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa guru yang memiliki kompetensi pedagogik yang tinggi akan selalu memberi masukan kepada kepala sekolah, guna meningkatkan mutu sekolah. Dengan demikian Kepala Sekolah selalu tertantang dalam mengaktualisasikan saran tersebut. Motivasi dan pelatihan sangat efektif dalam meningkatkan semangat kerja guru (Sudirman, 2002; Dermawan, 2007; Suryanita, 2005), selanjutnya kompetensi pedagogik guru sangat ditentukan kinerja (Yulianti, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) apakah terdapat hubungan pengetahuan manajemen pembelajaran dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; 2) apakah terdapat hubungan kinerja dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?; dan, 3) apakah terdapat hubungan antara pengetahuan manajemen Pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru?

sedalam apa materi yang akan diberikan pada siswanya. Sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Guru mempunyai pengetahuan, tetapi mengetahui juga bagaimana cara menyampaikan kepada siswanya. Selain itu, ia memiliki banyak variasi mengajar dan mengharapkan masukan dari siswanya. Seorang guru yang ahli dibidang ilmu tertentu belum tentu ia ahli dalam mengajarkan kepada orang lain (Suprihatiningrum, 2013). Oleh karena itulah dalam rangka sertifikasi guru, kompetensi pedagogik diuji. Salah satu bentuk operasional kompetensi pedagogik guru adalah dalam kemampuannya mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran yang mana guru yang memiliki kompetensi pedagogik yang memadai akan selalu berupaya memperbaiki proses pembelajarannya melalui rancangan rencana pembelajaran yang mereka buat. Sebagaimana hasil uji kompetensi awal (UKA) guru tahun 2012 yang diumumkan kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) yang telah dilaksanakan pada bulan Februari 2012 Mendikbud Mohamad Nuh menyampaikan, setelah DIY, posisi 10 besar provinsi dengan nilai rata-rata tertinggi disusul oleh DKI jakarta (49,2), Bali (48,9), Jawa Timur (47,1), Jawa tengah (45,2), Jawa Barat (44,0), Kepulauan Riau (43,8), Sumatera Barat (42,7), Papua (41,1) dan Banten (41,1). Sementara kota Medan/provinsi Sumatera Utara tidak masuk dalam posisi 10 besar (Waspada, 2012). Mendikbud juga menyampaikan pentingnya pelatihan dan pendidikan yang berkesinambungan bagi guru. Pendidikan dan pelatihan perlu berjalan terus tidak berhenti dan diharapkan pemetaan juga bukan sekedar kelulusan uji kompetensi tapi juga ukuran dari kinerja guru pada masa mendatang. Guru harus memiliki keterampilan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik sehingga siswa mampu memahami konsep maupun makna yang disampaikan guru dan menimbulkan rasa keingintahuan peserta didik agar tercipta suasana belajar menyenangkan yang akan menghasilkan tercapainya kompetensi siswa. Peningkatan kualitas belajar siswa banyak tergantung pada kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran. Sementara untuk mengevaluasi kemampuan guru dapat dilihat dari presentasi siswa dikelas, motivasi siswa untuk mengikuti pelajaran dikelas serta kemampuan memecahkan soal-soal latihan dan mampu menjawab pertanyaan baik berbentuk lisan maupun tulisan. Kompetensi guru harus dikuasai guru adalah keterampilan dalam

METODE Berdasarkan tujuan penelitian maka diajukan Paradigma Penelitian sebagaimana diajukan pada Gambar 1:

232


Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan (Martua Manullang)

Pengetahuan Manajemen Pembelajaran X1 r11

ry1 Kompetensi Padagogik Y

ry12

Kinerja X2

ry2

Gambar 1. Gambar Paradigma Penelitian Keterangan gambar : ry1 : Koefisien korelasi antara variabel pengetahuan manajemen pembelajaran (x1) dengan peningkatan kompetensi pedagogik ( y ) ry2 : Koefisien korelasi antara variabel kinerja ( x2 ) dengan peningkatan kompetensi pedagogik ( y ) ry12 : Koefisien korelasi ganda variabel pengetahuan manajemen pembelajaran ( x1 ) dan kinerja ( x2 ) dengan peningkatan kompetensi pedagogik r11 : Koefisien korelasi antara variabel pengetahuan manajemen pembelajaran ( x1 ) dengan variabel kinerja ( x2 ). Berdasarkan kajian teori dan paradigma berjumlah 424 orang guru. Sampel dari maka diajukan hipotesis sebagai berikut : penelitian ini adalah sebanyak 66 orang yang 1. Ada hubungan yang positip dan signifikan ditarikdengan menggunakan teknik sampel antara Pengetahuan manajemen stratified proporsional random sampling dengan pembelajaran dengan peningkatan penentuan besar sampel berdasarkan formula Cochran akan diperoleh proporsi status guru kompetensi Pedagogik. dan jenjang pendidikan. Berdasarkan formula 2. Ada hubungan yang positf dan signifikan Cochran tersebut diperoleh bahwa sampel dapat antara kinerja guru dengan peningkatan diambil sebanyak 15 % dari populasi. Dengan kompetensi Pedagogik. demikian sampel sebanyak 66 Orang, Sebaran 3. Ada hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dan populasi dan sampel dapat diamati pada Tabel 1. kinerja guru secara bersama dengan Penelitian ini dilakukan dengan metode survei peningkatan kompetensi Pedagogik. dengan menggunakan angket, sebagai Penelitian dilakukan di sub rayon SMA instrumen. Sedangkan untuk menguji hipotesis Negeri 8 kota Medan pada bulan Juli sampai digunakan analisis korelasi ganda dan parsial. Sepetember 2012, yang memiliki populasi Tabel 1. Sebaran Populasi dan Sampel Guru Sub Rayon SMA Negeri 8 Medan No, Nama Sekolah Populasi Sampel 1 SMA Negeri 8 Medan 92 14 2 SMA Budi Utomo 35 5 3 SMA Methodist 7 45 7 4 SMA HKBP Sudorame 25 4 5 SMA Letjen S. Parman 30 5 6 SMA Jendral Sudirman 38 6 7 SMA Josua 37 6 8 SMA Gajah Mada 2 30 5 9 SMA Samuel 25 4 10 SMA Bodhicitta 35 5 11 SMA Methodist 3 32 5 JUMLAH 426 66 Sumber: Data Penelitian (2012)

233


Inovasi Vol. 12 No. 4, Desember 2015: 230-237

pembelajaran, kinerja dan peningkatan kompetensi pedagogik guru yang ditampilkan pada Tabel 2.:

HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka deskripsi datanya adalah data pengetahuan manajemen

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Manajemen Pembelajaran Interval Kelas

Frekuensi

Pesentase relatif (%)

60 – 66 3 67 – 73 3 74 – 80 5 81 – 87 8 88 – 94 20 95 – 101 18 102 – 108 9 Jumlah 66 Sumber: Data Penelitian (2012)

Persentas kumulatif (%) 4,55 9,09 16,67 28,79 59,09 86,36 100

4,55 4,55 7,85 12,12 30,30 27,27 13,64 100

Berdasarkan butir-butir pertanyaan pengetahuan manajemen pembelajaran yang diproleh melalui angket, diperoleh rata-rata 90,68 modus 93, 50 median 98,40 dan standar deviasi 10,87 Skor maksimum 104 dan minimum 100. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa 20 orang guru ( 30,30 %) berada pada kelompok rata-rata, 27 orang guru (31,45%) berada diatas kelompok rata-rata dan 19 orang (28,79%) berada dibawah kelompok rata-rata. Berdasarkan indikator pengetahuan manajemen pembelajaran ini yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan skor yang paling rendah adalah dalam pengorganisasian dan pengawasan, dimana para guru belum terbiasa mengorganisasikan materi, mereka selalu terpaku pada buku ajar yang mereka gunakan

dan dalam masalah indikator pengawasan mereka masih terbiasa dalam menyusun alat evaluasi yang konfensional terlalu jarang menggunakan soal-soal non rutin sehingga tidak menuntut siswa untuk berfikir maksimal. Terkait dengan pengetahuan manajemen pembelajaran, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Bahrumsyah (2009) menyatakan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Sumatera Utara adalah masalah menajemen. Dalam hal ini bahwa sekitar 28,8% guru matematika masih berada dibawah rata-rata. Dalam peningkatan pengetahuan guru tentang manajemen pembelajaran, perlu diperhatikan kedua indikator tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan manajemen pembelajaran guru masih perlu ditingkatkan.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kinerja Interval Kelas Frekuensi Pesentase relatif (%) 53 – 59 4 6, 06 60 – 66 9 13,64 67 – 73 14 21,21 74 – 80 23 34,85 81 – 87 8 12,12 88 – 94 7 10,61 95 – 101 1 1,52 Jumlah 66 100 Sumber: Data Penelitian (2012) Berdasarkan butir-butir pertanyaan kinerja guru yang dijaring melalui 26 butir pertanyaan, skor terendah 53 dan yang tertinggi 100. Ratarata 74,98, modus = 76,12, median = 75,32 dan simpangan baku 9,72. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa sebanyak 23 orang guru (34,85%) responden berada diatas kelompok rata-rata dan sebanyak 27 orang (24,24%) respon

Persentas kumulatif (%) 6,06 19,70 40,91 75,76 87,88 98,48 100,00

dibawah rata-rata. Hasil ini jika ditelusuri dari indikator kinerja, ternyata skor pelaksanaan pembelajaran masih dominan kurang, dalam perencanaan pembelajaran mereka dapat memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan, akan tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran, mereka selalu

234


Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan (Martua Manullang)

terbiasa dengan cara mengajar yang sudah menahun. Para guru merasa bahwa merekalah yang menjadi sumber informasi/pengetahuan sehingga para siswa masih terbiasa duduk, dengar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Hasil ini jika dikaitkan dengan hasil penelitian Pakpahan (2009) yang menemukan bahwa, perkiraan Departemen Pendidikan Nasional bahwa 70% dari 250.000 Kepala Sekolah di Indonesia tidak Kompeten. Ketidak kompetenan Kepala Sekolah tersebut diukur berdasarkan kinerja. Bertolak dari hasil ini dapat dilihat bahwa kinerja guru matematika

masih berada diatas kinerja Kepala Sekolah. Karena berdasarkan diskripsi kinerja guru matematika hanya sekitar 27% guru matematika di bawah rata-rata. Hasil ini menunjukkan bahwa 27% guru sub rayon SMA Negeri 8 Medan, kinerjanya masih memprihatinkan dan masih perlu ditingkatkan melalui pelatihan maupun studi banding. Berdasarkan butir-butir pernyataan variabel kompetensi pedagogik guru (Y) yang berjumlah 33 butir, maka skor terendah adalah 79 dan tertinggi adalah 123. Rata-rata = 100.66, modus = 105,10 , median = 100,43 dan standar deviasi = 23, 92.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Peningkatan Pedagogik Interval Kelas Frekuensi 79 – 85 10 86 – 92 10 93 – 99 11 100 – 106 15 107 – 113 14 114 – 120 3 121 - 127 3 Jumlah 66 Sumber: Data Penelitian (2012)

Pesentase relatif (%) 15,15 15,15 16,67 22, 73 21,21 4,55 4,55 100

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebanyak 15 orang guru ( 22,73% ) berada pada kelompok rata-rata, 20 orang guru (30,30%) berada diatas kelompok rata-rata dan sebanyak 34 orang guru (46,97%) berada dibawah ratarata. Dari analisis terhadap indikator ubahan kompetensi pedagogik ini, skor yang paling rendah adalah pemahaman terhadap peserta didik dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya. Untuk kedua indikator ini, para guru mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sekolah tidak memiliki dua atau lebih kurikulum. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas adalah sama. Disisi lain indikator pengembangan peserta untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya, menurut para guru mereka hanya dapat

Persentas kumulatif (%) 15,15 30,30 46,97 69,70 90,91 95,45 100

menyajikan beberapa permasalahan sebagai alat untuk mengembangkan daya imajinasi dan penalaran siswa yang selalu terkait dengan materi pelajaran yang dibina oleh guru. Hasil ini menunjukkan bahwa sekitar 46,97% guru masih berada dibawah rata-rata. Kondisi ini menunjukkan bahwa para guru masih memiliki pedagogik yang rendah. Sementara menurut para ahli pendidikan Alma (2008) dan Farida (2008) menyatakan bahwa kompetensi pedagogik adalah syarat mutlak untuk menjadi seorang guru yang profesional. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru masih perlu ditingkatkan. Setelah persayaratan data hasil penelitian terpenuhi, maka dilanjutkan kepengujian hipotesis 1, 2 dan 3 dengan menggunakan analisis regresi ganda dan parsial, yang hasilnya ada pada tabel 5 berikut :

Tabel 5. Ringkasan Hasil analisis Korelasi, X1, X2, dengan Y Koefisien Koefisien determinan Korelasi (r) (r2) ry1 0,246 0,060 ry2 0,596 0,355 ry12 0,629 0,396 Sumber: Data Penelitian (2012) Korelasi

235

t Hitung 2,05 6,03 20,66

t tabel ∝= 0,05 1,67 1,67 3,15


Inovasi Vol. 12 No. 4, Desember 2015: 230-237

Berdasarkan tabel 5 diatas, maka hipotesis yang diajukan dapat diterima yakni : 1. Hipotesis 1: Ada hubungan yang positip dan signifikan pengetahuan manajemen pembelajaran dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru sub rayon SMA Negeri 8 Medan dengan r = 0,246; 2. Hipotesis 2: Ada hubungan yang positip dan signifikan kinerja dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru sub rayon SMA Negeri 8 Medan dengan r = 0,596; dan, 3. Hipotesis 3: Ada hubungan yang positip dan signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja guru dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru sub rayon SMA Negeri 8 Medan dengan r = 0,629.

secara berturut-turut adalah sebesar: 0,246; 0,596 dan 0,629. Sementara koefisien determinasinya (r2) secara berturut-turut adalah 0,06; 0,355 dan 0,396. Hasil ini menunjukkan bahwa secara bersama variabel pengetahuan manajemen pembelajaran dengan kinerja guru dapat menentukan 39% kompetensi pedagogik, sementara hanya kinerja dapat menentukan 35% kompetensi pedagogik dan pengetahuan manajemen pembelajaran memberi pengaruh sebesar 6% terhadap peningkatan kompetensi pedagogik guru. REKOMENDASI Kesimpulan penelitian ini merupakan suatu model teoritis kompetensi pedagogik guru yang ditemukan berdasarkan teori dan dukungan data empirik. Sehingga hasil penelitian ini merekomendasikan: 1. Kepada Guru Sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, maka untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru SMA secara efektif dan efisien ada beberapa hal yang mereka lakukan yaitu: a) meningkatkan pemahaman terhadap manajemen pembelajaran karena dalam manajemen tersebut sudah terencana hal-hal yang akan diajarkan, baik mencakup keluaran dan kedalaman materi yang sesuai dengan pemahaman peserta didik/siswa; dan b) meningkatkan kualitas kinerja, melalui membaca jurnal-jurnal kependidikan atau mengikuti pelatihan-pelatihan manajemen pembelajaran atau pelatihan/studi banding ke sekolah-sekolah percontohan. 2. Kepada Pengawas dan Kepala Sekolah Sehubungan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi peningkatan kompetensi pedagogik guru sebagaimana ditemukan di atas, maka pengawas dan kepala sekolah perlu memperhatikan kekuatan dan kelemahan dalam pengetahuan manajemen pembelajaran dan proses peningkatan kualitas kinerja guru. Oleh karena itu kepala sekolah perlu melakukan supervisi klinis membina keakraban, membangun komunikasi yang baik, meningkatkan keterbukaan dan kerja sama yang baik, melakukan diskusi tentang manajemen pembelajaran guna meningkatkan kompetensi pedagogik guru. 3. Kepada Kepala Dinas Pendidikan Kepala dinas pendidikan kota Medan, sangat berkepentingan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru. Untuk itu ada beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu: a) memberikan pembelajaran dan pelatihan

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan perhitungan secara Inferensial korelatif dan regresi maka hubungan antara variabel bebas dan terikat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Ada hubungan yang positip dan signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru di sub rayon SMA Negeri 8 Medan; 2) Ada hubungan yang positip dan signifikan variabel kinerja dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru di sub rayon SMA Negeri 8 Medan; dan, 3) Ada hubungan yang positip dan signifikan antara pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja secara bersama-sama dengan peningkatan kompetensi pedagogik guru di sub rayon SMA Negeri 8 Medan. Berdasarkan temuan diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin tingggi penguasaan menajemen pembelajaran guru akan semakin tinggi pula kompetensi pedagogik guru. Artinya untuk meningkatkan kompetensi pedagogik dapat dilakukan melalui peningkatan penguasaan manajemen pembelajaran guru. Dengan temuan ke 2 (dua) diperoleh bahwa peningkatan kompetensi pedagogik dapat dilakukan melalui peningkatan kinerja guru. Semakin baik kinerja guru maka akan semakin baik pula kompetensi pedagogik guru atau untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru dapat dilakukan melalui Supervisi klinis, yang mendorong kinerja guru semakin meningkat yang pada akhirnya meningkatkan kompetensi pedagogik. Berdasarkan temuan ketiga dapat dsimpulkan bahwa untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru dapat dilakukan secara bersama-sama meningkatkan pengetahuan manajemen pembelajaran dan kinerja guru tersebut. Dimana hasil korelasi r

236


Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan (Martua Manullang)

Pakpahan Wannen. 2009. Pengaruh Pengetahuan Manajerial, Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Kepala Sekolah SMK Negeri di Provinsi DKI Jakarta. Disertasi, Universitas Negeri Jakarta.

kepada guru-guru, mengenai manajemen pembelajaran yang membentuk program perencanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran; dan, b) memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk melakukan studi banding ke sekolah percontohan baik dalam negeri maupun luar negeri. Sekembali dari kesempatan studi banding tersebut, mereka diberi kesempatan mengadakan sosialisasi pada rekan-rekan guru sekolah asal mereka.

Sagala, Syaiful. 2009. Manajemen Strategik dalam peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfa Beta. Sudirman. 2002. Pengaruh Pelatihan dan Kemampuan Manajemen terhadap Kinerja Karyawan PT. Telkom Divre I Sumatera. Suprihatiningrum. 2013. Manajemen Pembelajaran. Bandung: Pustaka Jaya.

DAFTAR PUSTAKA Alma, B. 2008. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Alfabeta.

Suryanita. 2005. Pengaruh Motivasi Ekstrinsik dengan Semangat Kerja Guru di SMA Negeri Padang Sidempuan.

Bahrumsyah. 2009. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dalam meningkatkan kompetensi Guru Bermuatan Soft Skill. Medan: Universitas Negeri Medan

Waspada.co.id [online] Dari: http://www.notpend.com/2012/12. Mutupendidikan di Medan-Mengenaskan. 2012 [diakses 20 November 2015]

Dermawan. 2007. Hubungan Motivasi dan Pelatihan dengan Kinerja Guru SMP Al-Washliyah di Kota Brandan.

Yulianti, Fitri. 2011. Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru PAI dengan Prestasi Belajar PAI, Jurnal Tarbawi 1 (2).

Farida. 2008. Sertifikasi Guru. Bandung: Yrama Widya. Manullang, Martua. 2015. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika. Jurnal Inovasi 12 (2) hal: 129 – 137. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

237


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 238-245

Hasil Penelitian FLYPAPER EFFECT MENURUT KATEGORI PENGELUARAN DI PROVINSI ACEH TAHUN 20062006-2010

(FLYPAPER EFFECT EXPENDITURE BY CATEGORY 2006--2010) IN ACEH PROVINCE IN 2006 2010) Irham Iskandar Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Aceh, Banda Aceh e-mail: irhamis@yahoo.com

Diterima: 18 Agustus 2015; Direvisi: 14 September 2015; Disetujui: 23 Oktober 2015

ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis flypaper effect yaitu: a) pengaruh bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah, terhadap pengeluaran bidang kesehatan; dan, b) pengaruh bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah, terhadap pengeluaran bidang infrastruktur. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengembangkan temuan penelitian atau teori-teori sebelumnya, baik untuk keperluan ilmu murni maupun ilmu terapan. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan APBD seperti realisasi pengeluaran kesehatan, realisasi pengeluaran infrastruktur, realisasi dana alokasi umum, realisasi dana bagi hasil, realisasi pendapatan asli daerah. Data diperoleh melalui dinas atau instansi yang terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, dan melalui situs Departemen Keuangan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran kesehatan di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer; dan, b) flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran infrastruktur di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer. Ini mengindikasikan flypaper effect lebih kuat di kota dibanding kabupaten. Temuan ini juga mendukung riset sebelumnya di berbagai kabupaten dan kotapraja (kota). Rekomendasi untuk Pemerintah daerah yaitu perlu upaya nyata dalam meningkatkan peningkatan pendapatan asli daerah melalui: a) intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk retribusi atau pajak; b) eksplorasi sumber daya alam dengan melihat sisi lingkungannnya; dan, c) skema pembentukan kapital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor. Selain itu perlu dikembangkan konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerah lebih spesifik dengan memanfaatkan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai nilai tambah bagi penerimaan daerah. Kata kunci: flypaper effect, bantuan tak bersyarat, pendapatan asli daerah

ABSTRACT The main objective of this study is to analyze the flypaper, namely: a) the effect of unconditional grant, local revenues, on health spending; and, b) the effect of unconditional grant, local revenue, for infrastructure spending.Research method is the development of research, the research is intended to develop research findings or previous theory, both for pure science and applied science. The data used in this research is secondary data in the form of quantitative data include financial data such as actual budget spending, expenditures of infrastructure, the realization of general allocation funds, the realization of the revenue-sharing, the realization of revenue. Data in this study were obtained through the agency or agencies concerned, namely the Central Statistics Agency of Aceh Province, and through the website of the Ministry of Finance Director General for Central and Regional Fiscal Balance. The results showed that: a) flypaper effect impact on increasing health spending in the city compared to districts with a higher increase than the increase in local revenues in response to the transfer; and, b) flypaper effect impact on increasing infrastructure spending in the city compared to districts with a higher increase than the increase in local revenues in response to the transfer. This indicates a stronger flypaper effect in the city compared to the district. These findings also support previous research

238


Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar) in various district and city. Recommendations for local governments that need a real effort to improve the increase in local revenues through: a) the intensification and extension of local taxes in the form of levies or taxes; b) exploration of natural resources based on enviroment consideration; and, c) a scheme of capital formation (capital formation) or local investment through fundraising or attract investors. In addition it is necessary to develop the concept of governance and the development of more specific regional capacity to exploit the potential of the area that can be developed as an added value to local revenue. Keywords: flypaper effect, unconditional grant, local revenue

yang jauh lebih besar pada belanja daerah dibanding kenaikan-kenaikan yang setara dalam pendapatan masyarakat. Fenomena ini dikenal dalam literatur sebagai flypaper effect, untuk menunjukkan bahwa “money sticks where it hits”. Implikasinya pelaku daerah berusaha memperluas pembelanjaan untuk tujuan-tujuan mereka sendiri di luar level yang diinginkan oleh komunitas. “Itu menunjukkan bahwa persaingan politik tidak cukup untuk memberi disiplin fiskal yang dibutuhkan” (Melo, 2002). Beberapa literatur memberi penjelasan yang berbeda-beda untuk flypaper effect. Berdasarkan kasus khusus negara-negara berkembang, telah dikemukakan bahwa responrespon dalam pajak daerah dan belanja publik pada perubahan dalam transfer telah dipengaruhi bukan saja oleh faktor-faktor ekonomi tetapi juga oleh faktor-faktor institusional dan politik. Karena itu, dalam analisis flypaper effect, penting untuk mempertimbangkan konteks institusional tertentu yang mengkarakterisasi proses desentralisasi dan sasaran-sasaran yang diupayakan oleh pemerintah ketika program transfer dibentuk. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penelitian ini mencoba melihat dari sisi institusi (pemerintah kabupaten/kota) pada bidang kesehatan dan infrastruktur. Dasar teori yang akan menjadi konsep pada penelitian adalah konsep flypaper effect. Secara teori, peningkatan $1 dalam pendapatan penduduk lokal seharusnya memiliki dampak yang sama dalam pengeluaran publik sebagaimana menerima $1 sebagai bentuk general-purpose transfer: keduanya mengubah garis anggaran keluar secara identik. Faktanya, seluruh studi empiris memperlihatkan bahwa $1 yang diterima oleh komunitas dalam bentuk general-purpose transfer cenderung digunakan untuk meningkatkan pembelanjan lokal dengan peningkatan pendapatan penduduk lokal lebih dari $1 (Rosen 2005, dan Oates 1999). Uang anggaran cenderung menempel di tempat dimana uang tersebut pertama kali dikeluarkan, menyebabkan bagian yang tersisa untuk keringanan pajak lebih sedikit daripada yang diharapkan, suatu fenomena yang disebut sebagai “flypaper effect”. Ada dua penjelasan untuk flypaper effect yang mengandalkan pada penalaran pilihan

PENDAHULUAN Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas Undang Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. PAD terdiri dari komponen pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara umum DBH dan DAU digolongkan ke dalam bentuk unconditional transfer atau biasa disebut dengan transfer tak bersyarat, sedangkan DAK digolongkan ke dalam bentuk conditional transfer atau biasa disebut dengan transfer bersyarat (Brodjonegoro dan Vazquez, 2002). Klasifikasi institusional pada sektor publik di Aceh mempunyai struktur di tingkat daerah yang terdiri dari Kabupaten dan Kota. Pembelanjaan publik, baik Kabupaten maupun Kota, bergantung pada dua komponen. Komponen pertama adalah sumber daya sendiri daerah seperti pajak daerah dan retribusi daerah. Komponen kedua dari pendapatan pemerintah daerah adalah transfer antar pemerintah yang mencakup transfer tak bersyarat, transfer bersyarat, dan transfer lain yang diberi berdasarkan prinsip pemerataan fiskal horizontal. Menurut teori voter median, lumpsum grant pada pemerintah daerah mempunyai dampak distributif dan alokasi yang tidak berbeda dibanding jika sumber daya ini didistribusikan dalam sebuah pola lumpsum tertentu pada warga komunitas itu. Singkatnya, respon belanja lokal pada grant seperti itu mesti pada dasarnya seperti respon dari suatu kenaikan yang setara dalam pendapatan private (masyarakat) (Romer, 1979). Tetapi sekumpulan besar riset empiris telah menolak keras prediksi ini. Literatur ini telah menemukan bahwa bantuan tak bersyarat pada sebuah komunitas mempunyai efek stimulasi

239


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 238-245

Schwallie (1989) berpendapat bahwa flypaper effect dalam model birokratis karena pengetahuan birokrat yang lebih baik mengenai grants dan anggaran. Informasi birokrat memungkinkan dia untuk memperoleh anggaran yang melebihi apa yang diinginkan oleh voter median (Romer dan Rosenthal, 1979 dan Strumpf, 1998). Birokrat bertindak secara strategik, merilis informasi yang terdistorsi, dan kemungkinan menggelembungkan semua permintaan anggaran. Beda halnya dengan aliran pemikiran ilusi fiskal diawali oleh Wagner (1976). Ia berpendapat, fenomena ilusi fiskal dapat diilustrasikan dengan menggunakan diagram sederhana yang disajikan dalam Gambar 1.

publik, yaitu model birokratik (bureaucratic model) dan ilusi fiskal (fiscal illusion model). Aliran pemikiran birokratik diawali oleh Niskanen (1968), birokrat diasumsikan berperilaku memaksimisasi anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Berdasarkan asumsi ini, kuantitas barang publik disediakan pada posisi biaya rata-rata sama dengan harganya. Pada posisi biaya marginal lebih tinggi daripada harganya, kuantitas barang publik menjadi tersedia terlalu banyak. Akhirnya, transfer akan menurunkan harga barang publik sehingga memicu birokrat untuk membelanjakan lebih banyak anggaran (Kuncoro, 2004).

P/X

a

P2

b

P1

d

MC=AC c D

0

X2

X1 X/t

Gambar 1. Konsep Ilusi Fiskal Sumber: Wagner (1976) Gambar 1 diasumsikan persaingan sempurna, X2 dan P2 merepresentasikan output yang diinginkan dan harga pajak (tax price) barang publik tanpa kehadiran ilusi fiskal, sedangkan total anggaran diberi oleh area OP2aX2. Pada teori keuangan publik, ilusi fiskal kemungkinan menyebabkan kelebihan suplai suatu barang publik, di mana kelebihan suplai bisa dikaitkan pada taksiran terlalu rendah harga barang itu oleh warga dan karakteristik-karakteristik yang terkait dengan barang itu. Bila ada ilusi fiskal, harga persepsian (perceived price) barang publik itu menurun ke P1, yang menyebabkan kenaikan output yang diinginkan naik ke X 1. Hal ini menyebabkan anggaran (persepsian) yang koresponden akan ekivalen dengan area OP1cX1. Tetapi, mengingat bahwa harga aktual barang masih P2, anggaran aktual akan koresponden dengan area OP2dX1. Teori flypaper effect digunakan untuk membentuk model-model empiris untuk mengevaluasi area X2adX1, sebuah area yang merefleksikan

kelebihan anggaran yang dihasilkan oleh ilusi fiskal. Beberapa studi empiris mengenai institusi ditemukan juga di Indonesia (Widarjono, 2006; Rokhaniyah dan Nugroho, 2011). Widarjono (2006) menemukan adanya flypaper effect pada wilayah barat dan timur di Indonesia. flypaper effect yang terjadi di wilayah timur (Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Pulau Irian) lebih besar daripada wilayah barat (Sumatera dan Jawa). Hal tersebut tersebut sejalan dengan Rokhaniyah dan Nugroho (2011) yang menemukan flypaper effect pada wilayah di Jawa, sedangkan untuk wilayah di luar jawa tidak terjadi flypaper effect. Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar 1 dan penelitian sebelumnya maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut, bahwa terdapat perbedaan antara flypaper effect yang terjadi antara pemerintah kabupaten dan kota pada bidang kesehatan dan infrastruktur.

240


Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar)

Flypaper effect

Bantuan tak bersyarat (BTB) Pengeluaran kesehatan dan Pengeluaran infrastruktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Gambar 2. Kerangka pikir penelitian dispesifikasikan dalam bentuk model dalam persamaan 2:

METODE Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan APBD seperti pengeluaran langsung, DAU, DBH dan PAD. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui dinas atau instansi yang terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) Provinsi Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh daerah Kabupaten/Kota (17 Kabupaten dan 4 Kota) di Provinsi Aceh. Penelitian ini dilakukan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time series dari tahun 2006 sampai dengan 2010. Untuk daerah yang mengalami pemekaran wilayah, data mengacu pada daerah induk agar diperoleh seri data yang berkelanjutan. Data cross section terdiri atas 21 kabupaten/kota, sehingga merupakan pooled the data yaitu gabungan antara data time series (tahun 20062010) dengan data cross section 21 kabupaten/kota. Indikasi melihat pengeluaran bidang kesehatan dan infrastruktur dalam rangka mendukung flypaper effect, merujuk kepada Maimunah dan Akbar (2008) dengan menggunakan metodologi data panel Widarjono (2006). Untuk menemukan flypaper effect pada Pemerintah Daerah untuk bidang kesehatan dan infrastruktur merujuk pada Sagbas dan Saruc (2004). Fungsi pengeluaran bidang kesehatan yang digunakan dalam persamaan 1:

Log HEit = β0 + β1 log BTBit + β2 log PAD it + eit(2) Dimana HE adalah pengeluaran bidang kesehatan, BTB adalah bantuan tak bersyarat (dana alokasi umum dan dana bagi hasil) dan PAD adalah pendapatan asli daerah. Fungsi pengeluaran bidang infrastruktur yang digunakan dalam persamaan 3: IEit = f (BTBit , PADit) ……………………………………(3) Studi ini juga dibuat berdasarkan model data panel untuk meneliti flypaper effect pada pengeluaran bidang infrastruktur. Dalam mengatasi masalah tersebut, studi ini menggunakan spesifikasi log linear dan model ini kemudian dispesifikasikan dalam bentuk model persamaan 4: Log IEit = λ0 + λ1 log BTBit + λ2 log PAD it + eit (4) Dimana IE adalah pengeluaran bidang infrastruktur, BTB adalah bantuan tak bersyarat (dana alokasi umum dan dana bagi hasil) dan PAD adalah pendapatan asli daerah. Dalam literatur mengenai flypaper effect, spesifikasi log-linier telah digunakan dalam kasus perubahan dalam bentuk fungsional. Spesifikasi log-linier digunakan agar flypaper effect terlihat jika elastisitas grant lebih tinggi dibanding elastisitas pendapatannya ( β1 > β 2 ); dan ( λ1 > λ 2 ). (1.1) Selain itu deteksi terhadap flypaper effect dapat juga diperoleh melalui: 1) nilai koefisien transfer lebih besar dari nilai koefisien pendapatan dan keduanya signifikan; atau, 2) pendapatan tidak signifikan (Widarjono, 2006; Sagbas dan Saruc, 2004; dan Melo, 2002).

HEit = f (BTBit , PADit)………………………………...….(1) Studi ini juga dibuat berdasarkan model data panel untuk meneliti flypaper effect pada pengeluaran bidang kesehatan. Dalam mengatasi masalah tersebut, studi ini menggunakan spesifikasi log linear dan model ini kemudian

241


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 238-245

ECM, dimana adalah komponen random crosssection dan pada FEM, ditetapkan dan tidak acak. Jika kita sangat yakin dan percaya bahwa individu, ataupun unit cross-section sampel kita adalah tidak acak, maka FEM lebih cocok digunakan. Jika unit cross-section sampel adalah random/acak, maka ECM lebih cocok digunakan; c) Komponen error individu dan satu atau lebih regresor berkorelasi, estimator yang berasal dari ECM adalah bias, sedangkan yang berasal dari FEM adalah unbiased; dan, d) Jika N besar dan T kecil, serta jika asumsi untuk ECM terpenuhi, maka estimator ECM lebih efisien dibanding estimator FEM. Identifikasi Flypaper Effect pada Pengeluaran Kesehatan dan Infrastruktur. Asumsi penentuan terjadinya flypaper effect pada penelitian ini fokus pada perbandingan pengaruh PAD dan BTB terhadap pengeluaran kesehatan dan infrastruktur. Flypaper effect terjadi apabila (Melo, 2002; Sagbas dan Saruc ,2004): a) Pengaruh/ nilai koefisien BTB terhadap pengeluaran langsung lebih besar dari pada pengaruh PAD terhadap terhadap pengeluaran langsung, dan nilai keduanya signifikan; dan, b) Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh/respon PAD terhadap pengeluaran langsung tidak signifikan, maka dapat disimpulkan terjadi flypaper effect. Penelitian dilakukan studi empiris dengan analisis data yang diperoleh dari sumber data (Tabel 1 dan 2). Analisis yang akan dilakukan adalah pengaruh variabel-variabel yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran langsung pada 21 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan flypaper effect pada pemerintah kabupaten dan kota menurut bidang kesehatan. Berkenaan dengan respon pada pengeluaran untuk perubahan dalam BTB, ada beberapa perbedaan penting antara pemerintah kabupaten dan kota menurut bidang kesehatan. Walaupun dalam kedua kasus itu pengeluaran langsung merespon secara positif dan secara signifikan, elastisitas lebih tinggi untuk pemerintah kota. Nyatanya dapat dilihat dari Tabel 1 bahwa dalam kasus pemerintah kota kenaikan 1% BTB meningkatkan pengeluaran langsung sebesar 0,5166 %, sementara dalam kasus pemerintah kabupaten kenaikan ini adalah 0,0405 %. Lebih lanjut, dalam kasus pemerintah kota koefisien BTB lebih tinggi dibanding koefisien pendapatan asli daerah, sedangkan dalam kasus pemerintah kabupaten justru kebalikannya yang ditemukan. Hasil-hasil ini menunjukkan kehadiran flypaper effect dalam kasus pemerintah kota tetapi tidak dalam

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Model. Penggunaan data panel dalam penelitian ini, setidaknya ada tiga tehnik analisis yang dapat digunakan, yaitu: a) Metode OLS atau dikenal juga sebagai metode common effect atau koefisien tetap antar waktu dan individu. Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu. Diasumsikan bahwa perilaku data antar perusahaan sama dalam berbagai kurun waktu; b) Metode fixed effect atau slope konstan tetapi intersep berbeda antara individu. Teknik model fixed effect adalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan intersep. Tujuannya untuk mewakili ketidaktahuan kita tentang model yang sebenarnya. Pengertian fixed effect ini didasarkan adanya perbedaan intersep antara perusahaan namun intersepnya sama antar waktu (time variant). Model ini juga mengasumsikan bahwa koefesien regresi (slope) tetap antar perusahaan dan antar waktu; dan, c) Metode random effect atau dikenal variabel gangguan (error terms) digunakan bila terjadi berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya mengurangi efisiensi parameter. Model ini akan mengestimasikan data panel dimana variabel gangguan mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Selanjutnya bila ada korelasi antara variabel gangguan, maka teknik metode OLS tidak bisa digunakan untuk mendapatkan estimator yang efisien. Metode yang tepat digunakan untuk mengestimasi model random effect adalah Generalized Least Squares (GLS). Berdasarkan ketiga model yang telah dibahas diatas, kemudian dipilih yang mana model yang paling tepat digunakan dalam penelitian. Secara formal penelitian ini menggunakan model FEM (Fixed Effects Model) karena sampel yang digunakan tidak acak. Pemilihan model dilakukan secara formal dengan mempertimbangkan beberapa hal tertentu. Ada perbedaan mendasar untuk menentukan pilihan antara FEM (Fixed Effects Model) dan ECM (Error Component Model) antara lain sebagai berikut (Gujarati, 2004): a) Jika T (jumlah data time series) besar dan N (jumlah unit cross-section) kecil, perbedaan antara FEM dan ECM adalah sangat tipis. Oleh karena itu, dapat dilakukan penghitungan secara konvensional. Pada keadaan ini, FEM mungkin lebih disukai; b) Ketika N besar dan T kecil, estimasi diperoleh dengan dua metode dapat berbeda secara signifikan. Pada

242


Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar)

kasus pemerintah kabupaten. Jadi respon pengeluaran pada perubahan dalam BTB antar pemerintah tampak bergantung pada karakter penerima, disamping karena derajat otonomi

yang berbeda-beda dalam manajemen transfer, pengeluaran publik dan pajak (Melo, 2002).

Tabel 1. Estimasi Fixed Effect: Model Flypaper Effect pada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota Menurut Bidang Kesehatan Pemerintah Kabupaten Pemerintah Kota Model Panel EGLS EGLS (Cross-section weights) (Cross-section SUR) 1978,222 Intercept 2441,759 (7,7821) (3,5139) Log (BTB) 0,0405 0,5166 (0,4825)* (5,1934)* -0,1302 Log (PAD) 0,3940 (4,3632)* (-3,0841)* R2 0,6636 0,9908 F-Statistik 7,2349 303,3123 Probabilitas (F0,0000 0,0000 Stat) Sumber: Data penelitian diolah (2015) (*) masing-masing signifikan pada critical value 5%

Temuan ini juga menunjukkan bahwa flypaper effect lebih tinggi/kuat di Pemerintah Kota. Ditunjukkan dengan perbedaan yang lebih besar antara elastisitas transfer dan

elastisitas pendapatan asli daerah. Fenomena ini sejalan dengan hasil studi Widarjono (2006) di Indonesia dan Sagbas dan Saruc (2004) di Turki.

Tabel 2. Hasil Estimasi Fixed Effect: Model Flypaper Effect pada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota Menurut Bidang Infrastruktur Pemerintah Kabupaten Pemerintah Kota Model Panel EGLS EGLS (Cross-section weights) (Cross-section SUR) Intercept 3170,049 -9523,472 (12,9813) (-3,4628) Log (BTB) -0,0082 2,3183 (-0,1819) (4,1727)* Log (PAD) 0,4041 0,3564 (11,2788)* (1,5646) R2 0,7057 0,7061 F-Statistik 8,7963 6,7295 Probabilitas (F0,0000 0,0021 Stat) Sumber: Data penelitian diolah (2015) (*) masing-masing signifikan pada critical value 5%

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa terdapat perbedaan flypaper effect pada pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota menurut bidang infrastruktur. Berkenaan dengan respon pada pengeluaran untuk perubahan dalam BTB, ada beberapa perbedaan penting antara Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota menurut bidang infrastruktur. Walaupun dalam kedua kasus itu pengeluaran langsung merespon secara positif dan secara signifikan, elastisitas lebih tinggi untuk Pemerintah Kota. Tabel 2 menunjukkan bahwa dalam kasus Pemerintah Kota kenaikan 1% BTB

meningkatkan pengeluaran langsung sebesar 2,3183 %, sementara dalam kasus pemerintah kabupaten kenaikan ini adalah -0,0082 %. Lebih lanjut, dalam kasus pemerintah kota koefisien BTB lebih tinggi dibanding koefisien pendapatan asli daerah, sedangkan dalam kasus pemerintah kabupaten justru kebalikannya yang ditemukan. Hasil-hasil ini menunjukkan kehadiran flypaper effect dalam kasus Pemerintah Kota tetapi tidak dalam kasus Pemerintah Kabupaten. Sehingga respon pengeluaran pada perubahan dalam BTB antar Pemerintah tampak bergantung pada karakter

243


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 238-245

penerima, disamping karena derajat otonomi yang berbeda-beda dalam manajemen transfer, pengeluaran publik dan pajak (Melo, 2002). Temuan ini juga menunjukkan bahwa flypaper effect kuat pada Pemerintah Kota, bukan di Pemerintah Kabupaten. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan lebih besar antara elastisitas transfer dan elastisitas pendapatan asli daerah. Fenomena ini sejalan dengan hasil studi Widarjono (2006) di Indonesia dan Sagbas dan Saruc (2004) di Turki. Berdasarkan kajian diatas, dapat dijelaskan juga bahwa faktor-faktor yang menjadikan perbedaan flypaper effect adalah perbedaan potensi pendapatan daerah. Selain itu flypaper effect bisa dijelaskan dengan menggunakan model birokrat. Flypaper effect terjadi akibat perilaku pemaksimalan anggaran oleh birokrat (atau politisi) lokal. Sebagaimana kita ketahui, jumlah anggaran pemerintah daerah ditetapkan berdasarkan pendekatan belanja, bukan pendekatan pendapatan. Dampak dan pengaruhnya, akan terjadi pengeluaran secara berlebihan. Transfer tak bersyarat (grant) juga memberi diskresi signifikan karena hampir setengah pendapatan daerah berasal dari transfer antar pemerintah. Jika flypaper effect terjadi di suatu daerah, maka perlu dilakukan skenario untuk mengurangi flypaper effect yaitu melalui pengurangan grant atau peningkatan pajak daerah (Widarjono, 2006). Namun dari kedua skenario tersebut, kebijakan pengurangan lebih efektif karena transfer lebih meningkatkan belanja dibanding kenaikan pendapatan daerah.

kepentingan praktis dan penelitiaan selanjutnya, yaitu: 1. Pemerintah Daerah perlu upaya nyata dalam meningkatkan peningkatan pendapatan asli daerah meliputi: a) intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk retribusi atau pajak; b) eksplorasi sumber daya alam dengan melihat sisi lingkungannnya; dan, c) skema pembentukan kapital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor. 2. Pemerintah daerah perlu mengembangkan konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerah lebih spesifik untuk penguatan ekonomi daerah dengan empat sasaran, seperti produktivitas, pemerataan (equality), kesinambungan dan pemberdayaan. 3. Memanfaatkan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai nilai tambah bagi penerimaan daerah. DAFTAR PUSTAKA ________. 1994. The Reform of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies. Washington, D.C.: World Bank. Boadway, Robin dan Anwar Shah. 2007. Intergovernmental fiscal transfers: principles and practice. Public sector governance and accountability series. Washington, D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Brodjonegoro, Bambang dan Jorge MartinezVazquez. 2002. An Analysis of Indonesia’s transfer system: Recent Performance and Future Prospects. Working Paper 02-13, May. Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University.

KESIMPULAN Berdasarkan analisis hasil studi dan pembahasan diatas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: a) Flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran kesehatan di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer; dan, b) Flypaper effect berdampak pada peningkatan pengeluaran infrastruktur di kota dibandingkan kabupaten dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada peningkatan pendapatan asli daerah dalam merespon transfer. Kesimpulan ini mendukung hipotesis penelitian bahwa terdapat perbedaan antara flypaper effect yang terjadi diantara pemerintah kabupaten dan pemerintah Kota pada bidang kesehatan dan infrastruktur.

Gujarati, N. Damodar. 2004. Basic Econometrics fourth edition. United States: McGraw-Hill. Companies Inc. Kitchen, H. M. 2003. Municipal Revenue and Expenditures. Canadian Tax Paper No. 107. Toronto: Canadian Tax Foundation. Niskanen, W. 1968. Nonmarket Decision Making: The Peculiar Economics of Bureaucracy, Applied Economic Review (Supplement) Vol. 58 hal: 293305. Oates, Wallace, E. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature (37) hal: 1120–1149.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan dalam studi ini, maka disampaikan beberapa saran yang diharapkan berguna untuk

Rokhaniyah, Siti dan Nugroho, Rudi M. 2011. Analisis Flypaper Effect pada Belanja Pemerintah Kota dan Kabupaten di Indonesia Tahun 20062008. Fokus Ekonomi 10 (2) hal:100 – 113.

244


Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar)

Romer, T. and Rosenthal, H. 1979. The elusive median voter. Journal of Public Economics. 12 hal: 143–170. Rosen, Harvey S. 2005. Public Finance. 7th ed. Boston: McGraw-Hill/Irwin. Schwallie, DP. 1989. The Impact of Intergovernmental Grants on the Aggregate Public Sector. New York: Quarum Books Greewood Press. Strumpf, Koleman S. 1998. A predictive index for the flypaper effect. Journal of Public Economics 69 hal: 389–412. Wagner, R. E. 1976. Revenue structure, fiscal illusion and budgetary choice. Public Choice, 5 hal: 45-61. Widarjono, Agus. 2006. Does Intergovernmental Transfers Cause Flypaper Effect on Local Spending?. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Kajian Ekonomi Negara Berkembang hal: 115 – 123.

245


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 246-255

Hasil Penelitian DAMPAK PASAR MODERN TERHADAP KEBERADAAN PASAR TRADISIONAL DI SUMATERA UTARA

(MODERN MARKET IMPACT OF EXISTENCE TRADITIONAL MARKETS IN NORTH SUMATRA) SUMATRA) Sahat Christian Simanjuntak Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: sahat.christian76@gmail.com

Diterima: 1 Oktober 2015; Direvisi: 12 Oktober 2015; Disetujui: 20 November 2015

ABSTRAK Keberadaan pasar modern seperti mall, plaza, supermarket, minimarket dewasa ini tidak dapat dibendung seiring dengan perubahan dinamika perilaku dan kebutuhan masyarakat yang semakin konsumtif. Keberadaan pasar modren ini dikuatirkan dapat mengeleminir peran pasar tradisional dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah yang hidupnya masih sangat tergantung pada keberadaan pasar tradisional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional di Sumatera Utara. Jenis Penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yang berlokasi di tujuh Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara, yaitu: Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Medan, Binjai, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Sampel penelitian adalah para pedagang yang berjualan di pasar tradisional dan di sekitarnya sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Metode penentuan sampel adalah metode convenience sampling yaitu penarikan sampel dengan teknik kemudahan, dimana jumlah sampel yang diambil dari tiap-tiap pasar tradisional adalah sebanyak 10 pedagang (mewakili masing-masing pasar tradisional pada tiap-tiap kabupaten/kota). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di pasar-pasar tradisional dan pasar modern serta wawancara kepada pedagang dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas/Perusahaan Daerah Pasar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis uji t berpasangan (paired t–test). Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan bahwa dengan keberadaan pasar modern menyebabkan pendapatan pedagang di pasar tradisional menjadi semakin berkurang. Penurunan pendapatan ini terjadi antara lain disebabkan semakin banyaknya pasar modern yang ada, sementara itu pasar tradisional tidak banyak mengalami perkembangan dalam hal lokasi pasar dan kualitas fasilitas berjualan berupa tempat berjualan, kebersihan, kenyamanan, ketertiban dan keamanan serta kualitas barang yang diperjualbelikan. Kata kunci: pasar, pedagang, omset, pendapatan

ABSTRACT The existence of modern markets such as malls, plazas, supermarkets, mini market today can not be dammed in line with changes in the dynamics of behavior and the needs of an increasingly consumerist society. Modern market presence is feared to be dismissed the role of the traditional markets in the economic empowerment of the people, especially the lower middle class whose life is still very dependent on the existence of traditional markets. The purpose of this study to determine the impact of market presence modern on traditional markets in North Sumatra. Type of research is quantitative research with survey approach. This study was conducted over four months which took place in District/City of North Sumatra province, namely: Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Medan, Binjai, Tebing Tinggi, and Pematang Siantar. Samples are traders who sell in traditional markets and in the surrounding areas before and after the founding of the modern market. The sampling method was convenience sampling method is the ease of sampling technique, where the number of samples taken from each of the traditional markets is as much as 10 traders (representing each of the traditional markets in each district/city). The

246


Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak) data collected in this study consisted of primary data and secondary data. Primary data were obtained from observations in traditional markets and modern markets and interviews to traders using questionnaires/questionnaire has been prepared in advance. Secondary data were obtained from the Central Bureau of Statistics, Department/Regional Corporate Markets, Department of Industry and Trade. Data analysis method used is paired t test analysis method (paired t-test). The results showed significantly that with the existence of a modern market caused income traders in traditional markets become less and less. The decline in income is partly due to the increasing number of modern market there, while the traditional market did not experience the development of the market in terms of location and quality facilities in the form of a place to sell, cleanliness, comfort, order and security and quality of traded goods. Keywords: market, merchants, turnover, earnings

tradisional tidak seluruhnya benar. Hampir seluruh pasar tradisional masih bergelut dengan masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima yang mengurangi pelanggan pedagang pasar dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional. Kehadiran pasar modern (hypermarket, supermarket dan minimarket) pada sekitar awal tahun 1980-an pada awalnya tidak mengancam pasar tradisional. Kehadiran pasar modern yang menyasar konsumen dari kalangan menengah ke atas, saat itu lebih menjadi alternatif dari pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh dengan tampilan dan kualitas barang yang buruk serta harga jual rendah dan sistim tawar-menawar konvensional. Namun, sekarang ini kondisinya telah banyak berubah yang ditandai dengan hypermarket dan supermarket tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi dari berbagai perubahan di masyarakat sejalan dengan kemajuan pembangunan perekonomian. Sebagai konsumen, masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktifitas berbelanja. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan semakin meningkatnya tingkat pengetahuan, pendapatan, dan jumlah keluarga berpendapatan ganda (suami-istri bekerja) dengan waktu berbelanja yang terbatas. Konsumen menuntut pasar modern untuk kemudahan dengan memberikan nilai lebih dari setiap sen uang yang dibelanjakannya. Pasar modern harus mampu mengakomodasi tuntutan tersebut jika tidak ingin ditinggalkan para pelanggannya (Ekapribadi, 2007). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota-kota kecil di tanah air. Saat ini sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hypermarket di

PENDAHULUAN Pasar tradisional merupakan pasar yang berperan penting dalam memajukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan memiliki keunggulan bersaing secara alamiah. Keunggulan pasar tradisional adalah dimana para pembeli dan penjual bertemu langsung untuk melakukan suatu transaksi jual beli. Sedangkan pada pasar modern tidak ditemukan pembeli dan penjual yang melakukan transaksi jual beli secara langsung, yang ada hanyalah para pembeli melakukan pembelian suatu barang dengan hanya memperhatikan harga yang telah tertempel dalam kemasan atau label yang ada dari jenis barang yang telah ditentukan dan membawanya langsung ke tempat pembayaran dan membayar harga seperti yang telah tertera pada kemasan, serta tidak ditemukan adanya proses tawar menawar dalam transaksi jual beli sebagaimana yang terjadi pada pasar tradisional. Menurut Geertz, di dalam pasar tradisional tekanan terpenting dalam persaingan bukanlah antara kegigihan penjual dengan penjual lainnya, tetapi persaingan antara kegigihan penjual dengan calon pembeli dalam melakukan proses transaksi tawar menawar (Narwoko dan Bagong, 2004). Salah satu bentuk pasar modern adalah department store (Suryandari, 2003). Pesatnya perkembangan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern dikelola secara profesional dengan fasilitas yang serba lengkap, di sisi lain pasar tradisional masih berkutat dengan permasalahan klasik seputar pengelolaan yang kurang profesional dan ketidaknyamanan berbelanja. Pasar modern dan tradisional bersaing dalam pasar yang sama yaitu pasar ritel. Hampir semua produk yang dijual di pasar tradisional seluruhnya dapat ditemui di pasar modern khususnya hipermarket. Sejak kehadiran hypermarket, pasar tradisional di kota-kota besar disinyalir merasakan penurunan pendapatan dan keuntungan yang drastis. Meskipun demikian, argumen yang mengatakan bahwa kehadiran pasar modern merupakan penyebab utama tersingkirnya pasar

247


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 246-255

sebagian besar masyarakat yang ada di Sumatera Utara masih termasuk golongan menengah ke bawah. Dalam transformasi sistem ekonomi pasar, dikenal adanya dualisme sistem ekonomi pasar yaitu “pasar tradisional� dan “pasar modern�. Pasar tradisional dicirikan oleh organisasi pasar yang sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang rendah, volume barang relatif kecil, bentuk bangunan yang apa adanya, terkesan sempit, kotor, berlakunya sistem harga luncur, dan interaksi berlangsung secara real (Slamet, 2003). Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa pasar tradisional masih cenderung kearah kegiatan ekonomi yang subsistensi. Sedangkan pasar modern yang dicirikan oleh organisasi pasar yang lebih kompleks, volume barang yang tinggi, kepastian harga, dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti lokasi yang mahal, penyejuk udara, iringan musik, transaksi elektronik (ATM dan kartu kredit), dan tersedianya tempat parkir yang luas (Effendy, 1999). Pasar merupakan sekumpulan orang yang ingin memuaskan keinginan yang ada uang untuk belanja dan kemauan untuk membelanjakannya. Jadi disini dapat dilihat bagaimana individu berinteraksi melakukan aktifitas yang berhubungan dengan uang. Para pembeli dapat memuaskan keinginannya dengan membuat nilai uang menjadi berarti/bernilai, dalam hubungannya dengan nilai uang memberikan basis bagi perkembangan pasar (Umar, 2003). Keberadaan pasar tradisional pada era modern sekarang ini tidak saja masih dibutuhkan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena pada sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami manfaat dari perkembangan ilmu dan teknologi. Sampai saat ini, pasar tradisional masih dominan perannya di Indonesia dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, terutama bagi kelas menengah ke bawah (Sulistyowati, 1999). Pasar tradisional dan pasar modern memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai tempat pembelanjaan yang menyediakan dan menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat, namun antara keduanya memiliki perbedaan dalam kelas mutu pelayanan. Pasar merupakan salah satu yang menggerakkan dinamika kehidupan ekonomi. Berfungsinya lembaga pasar sebagai institusi ekonomi yang menggerakkan kehidupan ekonomi tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh pembeli dan pedagang. Pasar tradisional merupakan institusi ekonomi yang

sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut, ternyata telah membuat para peritel kelas menengah dan bawah mengeluh (Esther dan Dikdik, 2003). Pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional di Indonesia selama periode 20002004 terus mengalami penurunan, sementara pada saat yang sama pasar modern mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi pasar tradisional pada tahun 2000 mencapai sebesar 78,1% dan turun menjadi sebesar 69,9% pada tahun 2004, kondisi sebaliknya terjadi pada modren dengan kontribusi pada tahun 2000 mencapai sebesar 21,9% dan meningkat menjadi sebesar 30,1% pada tahun 2004 (Anonimous, 2007). Kehadiran pasar modern di Sumatera Utara dewasa ini mencerminkan struktur sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang telah mengalami pergeseran. Seiring dengan gerak perkembangan pemikiran masyarakat yang secara perlahan-lahan menjadi modern, maka segala aktivitas kehidupannya juga selalu diwarnai dengan kemoderenan, termasuk dalam perilaku ekonomi dalam memilih pasar. Masyarakat menengah ke atas diasumsikan lebih cenderung menyukai berbelanja di pasar modern ketimbang di pasar tradisional. Keberadaan pasar-pasar modern ini tentu saja berdampak pada denyut nadi kehidupan pasarpasar tradisional. Kendati persaingan antar pasar modern secara teoritis menguntungkan konsumen dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, namun relatif sedikit yang diketahui mengenai dampak keberadaaannya terhadap pasar tradisional. Mengukur dampak amat penting mengingat supermarket saat ini secara langsung bersaing dengan pasar tradisional, tidak hanya melayani segmen pasar tertentu. Hal ini dapat terbukti dengan mudahnya kita dapat menemukan pasar modern seperti minimarket, supermarket bahkan hypermarket di sekitar tempat tinggal kita. Kondisi demikian terjadi karena gaya hidup modern yang sudah mulai melekat pada masyarakat perkotaan di Sumatera Utara. Permasalahan keberadaan pasar modren ini sudah seharusnya menjadi perhatian baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Sumatera Utara karena dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap pasar tradisional yang ada. Keberadaan pasar tradisional sampai saat ini masih sangat diperlukan dalam upaya menghidupkan perekonomian masyarakat, hal ini dikarenakan

248


Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

memiliki unsur dan peran sentral dalam berbagai kegiatan ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya (Damsar, 2002). Pasar berperan sebagai tempat pengumpulan hasil usaha tani, dan sebagai tempat pembagian barang konsumsi lokal. Agar pasar dapat menjadi dinamis maka harus ada pelaku (aktor) pasar dimana masingmasing aktor pasar tersebut menjalankan fungsi dalam rangka bekerjanya sistem pasar secara keseluruhan (Linda, 2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional di Sumatera Utara.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di pasar-pasar tradisional dan pasar modern serta wawancara kepada pedagang dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait dengan penelitian ini, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas/Perusahaan Daerah Pasar, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan berbagai literatur pendukung lainnya. Definisi operasional penelitian merupakan pengubahan konsep yang masih berupa abstrak dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain berdasarkan variabel yang digunakan (Hadi,1996). Untuk menguji penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, maka peneliti menggunakan variabel-variabel seperti diuraikan pada Tabel 2.

METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Lokasi penelitian meliputi 7 (tujuh) Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara, yaitu: Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi dan Kota Pematang Siantar. Sedangkan pelaksanaan kegiatan penelitian berlangsung selama 4 (empat) bulan terhitung mulai Agustus s/d Nopember 2013. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasar tradisional yang tersebar di 7 (tujuh) Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Hal ini mengingat pesatnya perkembangan pasarpasar modern terutama berada di sekitar perkotaan Sumatera Utara yang meliputi Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi dan Kota Pematang Siantar. Adapun sebaran populasi ditampilkan pada Tabel 1. Sampel penelitian ini adalah para pedagang yang berjualan di pasar-pasar tradisional yang meliputi: pedagang buah-buahan, pedagang sayur-sayuran serta pedagang beras, telur dan minyak goreng yang masih aktif berdagang sebelum dan sesudah berdirinya pasar-pasar modern di sekitarnya. Sedangkan unit analisis penelitian adalah individu dari masing-masing pedagang tersebut. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode convenience sampling yaitu penarikan sampel dengan teknik kemudahan. Metode ini tepat digunakan dalam penelitian ini karena jumlah sampel penelitian tidak diketahui secara pasti, maka jumlah sampel yang akan diambil dari tiap-tiap pasar tradisional adalah sebanyak 10 orang pedagang (mewakili masing-masing pasar tradisional pada tiap-tiap kabupaten/kota). Oleh karena itu, jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 170 sampel (10 orang x 17 pasar tradisional).

Tabel 1. Distribusi Lokasi Penelitian Kota/Kabupaten Nama Pasar Kota Medan Pasar Sei Sikambing Pasar Halat Pusat Pasar Pasar Simpang Limun Pasar Simalingkar 2 Kota Binjai Pusat Pasar Pusat Pasar Tavip Pasar Rambung 3 Kabupaten Deli Pasar Tanjung Serdang Morawa Pasar Tembung 4 Kabupaten Serdang Pasar Bengkel Bedagai Pasar Dolok Masihul 5 Kota Tebing Tinggi Pasar Gambir Pasar Ulu 6 Kota Pematang Pasar Horas Siantar Pasar Dwikora 7 Kabupaten Langkat Pasar Stabat Pasar Trans Sumber: Data penelitian (2013)

No 1

Dalam menganalisis data-data penelitian yang telah terkumpul dari berbagai sumber dan informasi. Peneliti melakukan teknik analisis data dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah metode analisis uji t berpasangan (paired t–test).

249


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 246-255

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian No 1

Definisi Operasional Variabel Penelitian Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

2

Pasar modern adalah pasar dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. 3 Jumlah omset adalah total penjualan yang diterima oleh pedagang setiap bulannya. 4 Jumlah jam buka adalah jam dimulainya pasar dibuka sampai pasar ditutup dalam satu hari atau dalam 24 jam. 5 Sirkulasi barang adalah aktifitas pasokan barang dari pemasok ke pedagang sampai barang tersebut habis terjual sampai aktifitas pasokan barang berulang kembali. 6 Margin laba adalah selisih antara harga beli pedagang dari pemasoknya dengan harga jual yang ditetapkannya ke konsumen. 7 Jumlah pedagang adalah jumlah dari pedagang yang ada di pasar tradisional tersebut dalam kurun waktu penelitian. Sumber : Data penelitian (2013) Uji-t berpasangan adalah salah satu metode pengujian dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah

satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda. Menurut Djalal dan Usman (2002), rumus Uji beda rata-rata (thitung) ditunjukkan pada persamaan 1.

X1 – X2 th =

S12

S22

S1

S2

...........................(1)

n1

n2

-2 r n1

n2

Keterangan: X1 : rata-rata dari omset, perputaran barang dagangan, jumlah pedagang, jumlah jam buka, margin laba pedagang tradisional, sebelum berdirinya pasar modern di dekat pasar tradisional tersebut. n1 : jumlah sampel variabel 1 n2 : jumlah sampel variabel 2

X2

S1 S2

: rata-rata dari omset, perputaran barang dagangan, jumlah pedagang, jumlah jam buka, margin laba pedagang tradisional, sesudah berdirinya pasar modern di dekat pasar tradisional tersebut. : simpangan baku variabel 1 : simpangan baku variabel 2

pasar tradisional tidak terdapat perbedaan jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adanya pasar modern yang ditandai dengan rata-rata sirkulasi barang dalam satu bulan adalah 19.95 kali. Jam operasional pedagang sayur-sayuran di pasar tradisional yaitu jam buka dan tutup sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern adalah sama. Rata-rata jam buka pedagang sayur-sayuran di pasar tradisional adalah pukul 05.44 WIB dan jam tutup adalah 14.11 WIB atau

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Jam Buka, Jam Tutup dan Sirkulasi Barang. Hasil analisis terhadap pedagang buah-buahan di pasar tradisional di Sumatera Utara bahwa tidak terdapat perbedaan jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah adanya pasar modern yang ditandai dengan rata-rata buka jam 5.90 WIB dan rata-rata jam tutup 19.95 WIB atau rata-rata jam operasional satu hari adalah 14.05 jam. Begitu pula dengan sirkulasi barang pada pedagang buah-buahan di

250


Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

dengan rata-rata jumlah jam buka dalam satu hari adalah 9.33 jam dan rata-rata jumlah sirkulasi barang dalam satu bulan adalah 30 kali. Begitu pula halnya dengan pedagang komoditi beras, telur dan minyak goreng di pasar tradisional, dimana jam buka dan jam tutup sebelum dan sesudah berdirinya pasar

modern adalah sama. Rata-rata jam buka pedagang komoditi beras, telur dan minyak goreng di pasar tradisional adalah pukul 05.48 WIB dan jam tutup adalah 17.14 WIB atau ratarata jumlah jam buka dalam satu hari adalah 12.34 jam dengan rata-rata jumlah sirkulasi barang setiap bulannya sebanyak 30 kali.

Tabel 3. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Pendapatan Bersih Pedagang Buah-Buahan di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata tdf Sig Pendapatan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Pendapatan bersih pedagang buah-buahan 85 7.104.565 84 sebelum ada pasar modern 11.619 .000 2 Pendapatan bersih pedagang buah-buahan 85 4.461.447 setelah ada pasar modern Sumber: Analisis Data Primer (2013) Pendapatan Bersih Pedagang. Nilai signifikansi pendapatan bersih pedagang buahbuahan sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern seperti ditampilkan pada Tabel 3 diperoleh sebesar 0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara pendapatan bersih pedagang buah-buahan sebelum ada pasar modern dengan pendapatan bersih pedagang buah-buahan setelah ada pasar modern karena nilai signifikansinya < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung, dimana diperoleh nilai t-hitung sebesar 11.619 dan t tabel sebesar = 11.078, berarti bahwa terdapat perbedaan antara pendapatan bersih pedagang buah-buahan sebelum setelah ada pasar modern

yang ditandai dengan t hitung > t-tabel (11.619 > 11.078). Adapun nilai signifikansi pendapatan bersih pedagang sayur-sayuran sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern seperti ditampilkan pada Tabel 4, diperoleh sebesar 0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara pendapatan bersih pedagang sayur-sayuran sebelum dan setelah ada pasar modern yang ditandai dengan nilai signifikansinya < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian thitung, dimana diperoleh nilai t-hitung (27.308) > t tabel (26.115) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara pendapatan bersih pedagang buah-buahan sebelum dan setelah adanya pasar modern.

Tabel 4. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Pendapatan Bersih Pedagang Sayur-sayuran di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata tdf Sig Pendapatan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Pendapatan bersih 51 4.069.565 pedagang sayuran sebelum ada pasar modern 27.308 50 .000 2 Pendapatan bersih 51 2.989.804 pedagang sayuran setelah ada pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) Hasil uji nilai signifikansi pendapatan bersih pedagang beras, telur dan minyak goreng sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern ditampilkan pada Tabel 5, diperoleh sebesar 0.000, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara

pendapatan bersih pedagang beras, telur dan minyak goreng sebelum ada pasar modern dengan pendapatan bersih pedagang beras, telur dan minyak goreng setelah ada pasar modern yang ditandai dengan nilai signifikansi < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian

251


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 246-255

t-hitung, dimana berdasarkan analisa yang dilakukan diperoleh nilai t-hitung (27.308) > t tabel (25.122), artinya bahwa terdapat perbedaan antara pendapatan bersih pedagang

beras, telur dan minyak goreng tradisional di Sumatera Utara sebelum dan setelah ada pasar modern.

Tabel 5. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Pendapatan Bersih Pedagang Beras, Telur dan Minyak Goreng di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata tdf Sig Pendapatan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Pendapatan bersih pedagang beras, telur dan minyak 7.007.353 34 goreng sebelum 27.308 ada pasar modern .000 33 2 Pendapatan bersih pedagang beras, telur dan minyak 34 5.366.618 goreng setelah ada pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) sebelum dan setelah ada pasar modern dengan nilai signifikansinya < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung, dimana diperoleh nilai t-hitung (15.902) > t tabel (26.115) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara omset penjualan pedagang buah-buahan sebelum dan setelah adanya pasar modern.

Omset Penjualan Pedagang. Berdasarkan analisa dengan uji beda rata-rata berpasangan terhadap omset penjualan pedagang buahbuahan sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern ditampilkan pada Tabel 6 diperoleh sebesar 0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara omset penjualan pedagang buah-buahan

Tabel 6. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Omset Penjualan Pedagang Buah-Buahan di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Omset tdf Sig Penjualan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Omset penjualan pedagang 6.184.471 buah-buahan sebelum ada 85 pasar modern 15.902 84 .000 2 Omset penjualan pedagang buah-buahan setelah ada 85 5.096.471 pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) Hasil analisa dengan uji beda rata-rata berpasangan terhadap omset penjualan pedagang sayur-sayuran sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 7 diperoleh sebesar 0.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara omset penjualan pedagang sayur-sayuran sebelum dan setelah ada pasar modern dengan nilai signifikansinya < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung, dimana diperoleh nilai t-hitung (17.527) > t tabel (26.115) yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara omset penjualan pedagang sayur-sayuran sebelum dan setelah adanya pasar modern.

Hasil uji beda rata-rata berpasangan terhadap omset penjualan pedagang beras, telur dan minyak goreng pasar tradisional di Sumatera Utara yang terjadi sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern seperti diperlihatkan pada Tabel 8 diperoleh sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara omset penjualan pedagang beras, telur dan minyak goreng sebelum ada pasar modern sebelum dengan sesudah adanya pasar modern yang ditandai dengan nilai signifikansi < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian thitung, dimana berdasarkan analisa yang dilakukan diperoleh nilai t-hitung (7.023) > t tabel (6.223), artinya bahwa terdapat perbedaan

252


Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

antara omset penjualan pedagang beras, telur dan minyak goreng tradisional di Sumatera

Utara sebelum dan setelah ada pasar modern.

Tabel 7. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Omset Penjualan Pedagang Sayur-sayuran di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Omset tDf Sig Penjualan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Omset penjualan pedagang sayur-sayuran sebelum ada 51 5.417.745 pasar modern 7.023 50 .000 2 Omset penjualan pedagang 4.432.549 sayur-sayuran setelah ada 51 pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) Tabel 8. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Omset Penjualan Pedagang Beras, Telur dan Minyak Goreng di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Omset tdf Sig Penjualan (Rp) hitung (2-tailed) 1 Omset penjualan pedagang beras, telur dan minyak 5.417.745 34 goreng sebelum ada pasar 33 .000 7.023 modern 2 Omset penjualan pedagang beras, telur dan minyak 34 4.432.549 goreng setelah ada pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) Margin Laba Pedagang. Nilai signifikansi margin laba pedagang buah-buahan sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern diperoleh sebesar 0,267 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara margin laba pedagang buah-buahan sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern karena diperoleh nilai signifikansinya > 0,05. Hal ini dapat juga

dibuktikan dengan pengujian t-hitung dengan diperoleh nilai t-hitung sebesar 11,982 dan dari tabel distribusi t didapat t tabel sebesar = 12.110, artinya bahwa tidak terdapat perbedaan antara margin laba pedagang buah-buahan sebelum ada pasar modern dengan margin laba pedagang setelah ada pasar modern dikarenakan t-hitung < t–tabel (11.982 < 12.110), sebagaimana terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Margin Laba Pedagang Buah-buahan di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Marjin tdf Sig Laba (Rp) hitung (2-tailed) 1 Margin laba pedagang buah357.510 buahan sebelum ada pasar 35 modern 11.892 34 .267 2 Margin laba pedagang buahbuahan setelah ada pasar 475.806 35 modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) dikarenakan nilai signifikansinya > 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian thitung, dimana diperoleh nilai t-hitung sebesar 11.002 dan dari tabel distribusi t didapat t tabel sebesar = -12.991, sehingga dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan antara margin laba pedagang sayur-sayuran sebelum ada pasar

Nilai signifikansi margin laba pedagang sayur-sayuran sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern diperoleh sebesar 0.478, artinya bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara margin laba pedagang sayur-sayuran sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern

253


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 246-255

modern dengan margin laba pedagang setelah ada pasar modern yang ditandai dengan t-

hitung < t –tabel, (11.002 < 12.991), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Margin Laba Pedagang Sayur-sayuran di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Omset t-hitung df Sig Penjualan (Rp) (2-tailed) 1 Margin laba pedagang sayur-sayuran sebelum ada 25 174.182 pasar modern 24 .478 2 Margin laba pedagang 11.002 166.430 sayur-sayuran setelah ada 25 pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) hitung, dimana berdasarkan analisa yang dilakukan diperoleh nilai t-hitung sebesar 9.021 dan dari tabel distribusi t didapat dari t tabel sebesar = 11.678, arinya bahwa tidak terdapat perbedaan antara margin laba beras, telur dan minyak goreng sebelum ada pasar modern dengan margin laba pedagang setelah ada pasar modern yang ditandai dengan t-hitung < t –tabel (9.021 < 11.678), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 11.

Nilai signifikansi margin laba pedagang beras, telur dan minyak goreng sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern diperoleh sebesar 0.332, hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara margin laba pedagang beras, telur dan minyak goreng sebelum ada pasar modern dan setelah ada pasar modern yang ditandai dengan nilai signifikansinya < 0.05. Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-

Tabel 11. Hasil Uji Beda Rata-Rata Berpasangan Margin Laba Pedagang Beras, Telur dan Minyak Goreng di Pasar Tradisional No Uraian N Rata-rata Omset t-hitung df Sig Penjualan (Rp) (2-tailed) 1 Margin laba pedagang beras, 1.412.525 telur dan minyak goreng 20 sebelum ada pasar modern 19 .332 2 Margin laba pedagang beras, 9.021 telur dan minyak goreng 20 1.554.705 setelah ada pasar modern Sumber : Analisis Data Primer (2013) sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern di Sumatera Utara.

KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah jam buka, rata-rata sirkulasi barang, rata-rata margin laba pedagang buah-buahan, dan rata-rata margin laba pedagang sayursayuran di pasar tradisional Sumatera Utara sebelum dan setelah berdirinya pasar modern; b) terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan bersih pedagang buah-buahan, pedagang sayur-sayuran dan pedagang (beras, telur dan minyak goreng) di pasar-pasar tradisional sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern di Sumatera Utara; dan, c) terdapat perbedaan yang nyata antara omzet penjualan pedagang buah-buahan, pedagang sayur-sayuran dan pedagang (beras, telur dan minyak goreng) di pasar-pasar tradisional

REKOMENDASI Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan, yaitu sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara perlu melakukan perbaikan sarana dan prasarana pasar berupa: tempat jualan yang rapi, kebersihan pasar, penerangan yang cukup dan lingkungan pasar serta tempat parkir kenderaan yang nyaman. 2. Untuk meningkatkan pengelolaan dan pelayanan pasar tradisional di Sumatera Utara, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu secara berkala melakukan pembinaan kepada pengelola pasar dan pedagang melalui pelatihan,

254


Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

3.

koordinasi dan evaluasi serta melaksanakan aturan hukum yang tegas kepada pedagang yang melanggar ketentuan agar pasar tradisional menjadi lebih baik. Pemerintah Pusat bersama-sama dengan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, perlu membuat regulasi dalam hal pengaturan zonasi keberadaan pasar, pembinaan, mekanisme kontrol dan sistem pemantauan untuk menjamin terciptanya persaingan yang sehat antara pengusaha ritel modern dan pengusaha ritel tradisional di daerah.

DAFTAR PUSTAKA Anonimous. Keberadaan Tradisional.

2007. Kajian Dampak Ekonomi Hypermarket Terhadap Pasar

Djalal, Nachrowi dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Tehnik Ekonometrik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Grafindo Persada. Effendy, Onong Uchjana. 1999. Hubungan Masyarakat (Suatu Komunikologis). Bandung: Remaja Rosdakarya. Ekapribadi,Wildan. 2007. Persaingan Tradisional dan Pasar Modern. Jakarta.

Pasar

Ester dan Didik, 2003. Membuat Pasar Tradisional Tetap Eksis. Jakarta: Sinar Harapan. Iswari, Riana dan Suryandari, Retno Tanding. 2003. Analisis Pengaruh Citra Supermarket terhadap Loyalitas Konsumen. Jurnal Bisnis dan Manajemen 3 (2). Linda dan Fazli Syam. 2005. Hubungan Laba Akuntansi, Nilai Buku, dan Total Arus Kas dengan Market Value: Studi Akuntansi Relevansi Nilai. ,Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 8 (3). Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Sulistyowati, Dwi Yulita. 1999. Kajian Persaingan Pasar Tradisional dan Pasar Swalayan Berdasarkan Pengamatan Perilaku Berbelanja di Kota Bandung. Tugas Akhir, ITB Bandung. Sutrisno, Hadi. 1996. Yogyakarta: Andi Offset.

Metodologi

Penelitian

I.

Umar, Husein. 2003. Metodologi Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

255


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 256-263

Hasil Penelitian MASALAH PEMBERDAYAN KORB KORBAN PENCEMARAN DI SUNGAI DELI DAN KAWASAN INDUSTRI MEDAN

(EMPOWERMENT ISSUES OF POLLUTION VICTIMS IN THE DELI RIVER AND THE MEDAN INDUSTRIAL ESTATE) ESTATE) Zahari Zen Dewan Riset Daerah Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan e-mail: zahari.zen@gmail.com

Diterima: 14 September 2015; Direvisi: 2 November 2015; Disetujui: 23 November 2015

ABSTRAK Sebagai negara hukum, Sumatera Utara belum sepenuhnya berkomitmen untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup. Dua kawasan industri di Kawasan Industri Medan dan Industri sepanjang Sungei Deli menjadi fokus penelitian ini. Pencemaran di kedua kawasan ini sangat sulit dikendalikan untuk berbagai alasan sosial ekonomi dan politik-ekonomi. Sehingga penderitaan korban pencemaran terus berlanjut dan konflik antar masyarakat dan industri pencemaran sering terjadi secara pasang surut. Tanpa bantuan pihak luar, maka situasi korban pencemaran tidak akan meningkat lebih baik dan berkelanjutan. Keadaan kemiskinan korban pencemaran memperburuk kemampuan mereka untuk mengorganisasidirisecara bersama-sama melawan ketidakadilan yang mereka alami. Penelitian ini memetakan persoalan korban pencemaran karena adanya ketidak seimbangan antar kekuatan masyarakat dan LSM dengan kekuatan kolusi industri pencemar dengan pemerintah. Sejauh ini kekuasaan pemerintah untuk memberikan keadilan bagi korbanpencemaran dan keadilan bagi lingkungan hidup belum terwujud secara nyata. Hal ini disebabkan karena industri pencemar secara ekonomi mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti penyerapan tenaga kerja, pajak daerah dan pendapatan asli daerah. Itulah alasan pemerintah daerah untuk lebih berpihak kepada kepentingan pelaku industri. Kelompok industri juga mampu mempengaruhi kekuatan politik daerah seperti DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten, agar masalah pencemaran tidak menjadi agendaatauprioritas yang harus ditangani dengan baik. Alasan pemerintah dan DPRD tidak berbuat secaraadil bagikorbanpencemaranbukan karena rendahnya pengetahuan tentang hukum lingkungan, tetapi lebih banyak dipengaruhi politik ekonomi mendapatkan benefit ekonomi. Pada kenyataannya untuk Kawasan Industri Medan (KIM), Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah pemegang saham kawasan KIM. Hal tersebutbisa dipahami walau mereka bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah cair maupun limbah padat agar tidak memberikan dampak negatif pada masyarakat miskin. Kata kunci: pencemaran, lingkungan, sungai Deli, KIM

ABSTRACT As the law states, North Sumatra Province has not been fully committed to prevent and control environmental pollution created by industries. Two industrial areas in Medan Industrial Estate (KIM) and Industry along Sungei Deli became the focus of this study. Pollution in the region is very difficult to regulate for a variety of reasons such as socio-economic of the poor people and the political-economy. So that the suffering of pollution victims continues from time to time and conflicts often occurs unexpectedly. Socio-economic dilemma of pollution victims aggravates their ability to jointly fight the injustices they experience. Without outside help, the situation will not improve sustainably.This study has been mapped about the issues of pollution victims as an imbalance powerbetween communities with the polluters which has made collusion with the government. The government has not be able to provide justice for pollution victims and the environment. As the polluter are economically able to influence government policies either at the level of central, provincial or at the district government level. The industry group is also able to influence the local political figures(DPRD) such as provincial and district parliament, so that pollution problems do not become major agenda that they must be controlled properly. The main

256


Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan (Zahari Zen) motive why the government and the parliament does not enforce the law not is because lack ofenvironmental law knowledge, but more on the political economy motiveto gain economic benefits. The environmental management system is difficult to implement due to that the governments hold shareholder at KIM. It is also the reason that waste water treatment has not been operating effectively, although by law they are responsiblefor the management of wastewater and solid waste produced by industries. Keywords: contamination, environment, The Deli river, KIM

telah pindah dari pinggiran Sungai Deli ke lokasi kawasan Kawasan Industri Medan (KIM). Ketika berbicara mengenai pembangunan, Pemerintah maupun industri terkesan mengaburkan dampak negatif pencemaran yang semakin besar sekitar pabrik. Argumenargumen klasik dan normatif selalu di lontarkan pemerintah, bahwa pembangunan sektor industri mendongkrak kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sehingga dengan meningkatkannya PDRB dari sektor indutri telah berdampak positif terhadap kondisi ekonomi masyarakat Sumatera Utara. Pada kenyataannya selama 14 tahun terakhir kontribusi sektor hanya meningkat kurang dari 2% (Bappeda, 2013). Berdasarkan data tersebut memang terjadi peningkatan namun sangat kecil terhadap PDRB dan sama sekali tidak memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan indutri. Artinya pertumbuhan industri yang pesat tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan perkataan lain tidak terjadi distribusi pendapatan yang merata di kawasan-kawasan yang yang tercemar berat tersebut. Implementasi UU lingkungan hidup mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah mendorong percepatan pembangunan sektor agro industri justru meningkatkan kemiskinan dan meningkatnya ancaman pencemaran yang lebih serius pada masyarakat lokal. Pencemaran berkaitan dengan buruknya tatakelola lingkungan hidup. Tidak ada transparansi dan akuntabilitas untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat korban pencemaran(McCarthy dan Zen, 2009). Penelitian tersebut juga mengidentifikasi lebih jauh tentang ketidakadilan terhadap korban pencemaran, menganalisis kondisi kemiskinan dan ketidak berdayaan menghadapi pencemar dan kekuasaan. Selanjutnya juga menganalisis efektifitas gerakan organisasi atau LSM dalam memperjuangkan hak korban pencemaran untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, serta kendala-kendala yang dihadapi. Dengan studi ini diharapkan dapat diketahui kemana arah penyelesaian konflik dan langkah-langkah terbaik apa yang dapat dilakukan para pemangku kepentingan, utamanya dalam usaha pemberdayakan masyarakat miskin sebagai korban pencemaran.

PENDAHULUAN Persoalan pemberdayaan masyarakat korban pencemaran belum banyak dibahas secara luas dan mendalam di Indonesia. Walaupun undang-undang lingkungan hidup sudah dua kali dilakukan amandemen. Pasalpasal yang dianggap lemah telah diperkuat dengan pasal-pasal yang lebih powerful. Perubahan-perubahan pasal-pasal pada UndangUndang (UU) tersebut merupakan upaya Negara untuk meningkatkan dan memperbaiki sistem manajemen lingkungan dan melindungi masyarakat dari kerusakan lingkungan hidup. Namun UU lingkungan hidup dan peraturan terkait sejauh ini belum nampak berpengaruh positif terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Meningkatnya pencemaran khususnya pencemaran air berkorelasi erat dengan berkembangnya sektor industri. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seperti bermain di dua muka. Pada satu pihak, Pemerintah seakan berfihak kepada lingkungan dan masyarakat dengan program kali bersih dan proper dan sebagainya. Dilain pihak, pemerintah lebih kuat mendorong meningkatkan investasi tanpa menekankan secara serius persyaratanpersyaratan yang harus dipenuhi oleh industi dalam rangka perlindungan lingkungan dan masyarakat yang akan terkena dampak pencemaran. Persoalan gerakan masyarakat yang tidak efektif juga terjadi di China (Van Rooij dan Furst ,2010).

Berbagai laporan pencemaran dan pelanggaran oleh industri karena perusahaan pencemar tidak memenuhi baku mutu standar lingkungan tetap dilaporkan pemerintah daerah setiap tahun. Namun sejauh ini belum satupun pencemar berat yang telah ditutup karena telah melanggar hukum, mereka tetap beroperasi sebagaimana biasa. Tidak ada tindakan nyata terhadap industri walaupun mereka telah mencemari lingkungan bertahun-tahun lamanya mereka melanggar peraturan-peraturan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap peraturan tata ruang kota. Contoh klasik misalnya peraturan tata ruang kota bahwa industri yang berada di bantaran sungai harus pindah dan tidak adanya perpanjangan izin. Namun sejak peraturan dikeluarkan 2011 sampai sekarang tidak satupun industri yang

257


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 256-263

Penelitian ini mengidentifikasi hak-hak apa saja yang sedang diperjuangkan masyarakat, mengapa masing-masing pihak melakukan suatu gerakandan seberapa jauh efektivitas gerakangerakan korban pencemaran dan LSM dalam menentang industri pencemar.

Tujuannya adalah untuk memahami sejauhmana peranan mereka dalam memberdayakan korban pencemaran. Wawancara terhadap LSM dilakukan untuk memahami peranan mereka dalam mendampingi masyarakat dalam penegakan atau legal standing dan penegakan hukum administratif, aksi-aksi politis seperti membuat petisi, publikasi melalui media dan unjuk rasa. Dari semua wawancara dengan pemangku kepentingan tersebut akan dipahami kendala-kendala dalam keseimbangan kekuatan korban pencemaran, industri pencemar dan institusi-institusi terkait. Bervariasinya kasus pencemaran membutuhkan metode penentuan lokasi yang tepat agar dapat menggambarkan situasi dan kondisi pencemar dan korban pencemaran, dalam hal ini ada dua tipe pencemaran seperti pada Gambar 1. Tipe pencemaran dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe, yaitu: a) Tipe Sungai Deli, pencemaran yang bersumber dari satu-satu industri yang menyebar ditengah pemukiman sepanjang Sungai Deli. Limbahnya menyebar, ujung pipa kasat mata dan berhadapan langsung dengan masyarakat; dan, b) Tipe KIM dimana pencemaran dilakukan oleh kelompok indusri dalam satu kawasan terhadap desa-desa sekitar. Limbahnya terakumulasi, masyarakat sulit mengidentifikasi industri yang nakal dan sengaja membuang limbahnya tanpa diolah.

METODE Penelitian ini dilakukan secara ekstensif terhadap komunitas sepanjang sungai Deli dan desa-desa sekitar KIM selama tahun 2010-2014. Aktivitas pertama memetakan masyarakat yang tinggal disekitar industri sepanjang Sungai Deli dan sekitar KIM, kemudian dilakukan wawancara terhadap komunitas yang tinggal di kelurahan dan desa-desa terpilih. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi terhadap pencemaran dan kerusakan sumber kehidupan mereka dan aksi-aksi yang pernah mereka lakukan dan pengalaman mereka dalam mendapatkan bantuan dan pemberdayaan dari institusi pemerintah dan LSM. Wawancara juga dilakukan terhadap pengelola KIM, dan beberapa pabrik baik di sekitar sungai Deli maupun pabrik yang berada didalam kawasan KIM. Wawancara mendalam menggunakan semi terstuktur kuesioner juga dilakukan terhadap pemerintah daerah seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sumatera Utara, BLH Kota Medan, dan BLH Kabupaten Deli Serdang.

Gambar 1. Perbandingan pola pemukiman dan lokasi industri pencemar Sei.Deli dengan KIM Sumber: Data penelitian (2014)

258


Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan (Zahari Zen)

kegiatan pengendalian pencemaran dan kerusakan dipanjang kawasan Sungai Deli dan Sungai Belawan. Hingga tulisan ini dilaporkan sejak dibentuknya UPT Sungai Deli dan Belawan belum terjadi peningkatan Sungai Deli. Gambaran UmumKIM. PT. (Persero) Kawasan Industri Medan, adalah perusahaan milik Negara yang memberikan pelayanan kepada pembangunan dalam satu kawasan industri. Kawasan KIM dibangun sejak 1988 dengan komposisi saham Pemerintah Pusat 60%; Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 30% dan Pemerintah Kota Medan 10%. Lokasi KIM berjarak 15 km dari pelabuhan utama Belawan, dan 10 km dari pusat kota Medan yang dihubungkan menuju pusat kota Medan dan Belawan melalui jalan bebas hambatan (jalan tol). Sejak KIM dibangun, berbagai jenis industri telah berkembang, sebagian besar adalah industri berbasis agro processing industries, selain itu juga terdapat industry pengolahan semen kontruksi dan logam. Industri-industri tersebut memanfaatkan lahan seluas 780 ha yang sudah ditata sedemikian rupa dan masih akan dikembangkan selanjutnya sesuai dengan perkembangan industri di Sumatera Utara. Pada fase pembangunan pertama telah berhasil dibangun berbagai industry pada areal seluas 200 ha (KIM-1), kemudian pada fase kedua seluas 325 ha (KIM-2) dan pada fase ke tiga yang sedang dikembangkan adalah seluas ha (KIM-3). Pembangunan KIM-1 masih menyisakan masalah yaitu pengelolaan limbah yang kurang baik. Fasilitas pengolahan limbah industri tidak dibangun dengan desain yang baik dan kapasitas yang cukup untuk menampung limbah. Selanjutnya fasilitas pengolahan limbah tidak dipersiapkan untuk menampung perkembangan jumlah industri sehingga tidak dapat dioperasikan secara optimal. Meskipun pembangunan KIM 2 lebih baik dengan fasilitas lebih baik, seperti jalan dalam komplek menggunakan kontruksi beton, pipa, air, hydrant, pipa gas, listrik, kabel telepon semua kabel bahwa tanah, juga kolam pengolahan limbah lebih besar kapasitasnya. Namun fasilitas pengolahan limbah tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh industri yang berada di dalam kawasan KIM, masih banyak pabrik yang membuang limbah cair langsung ke anak sungai yang melintasi perkampungan dan lahan pertanian masyarakat. Pemerintah, baik pusat maupun daerah telah mengeluarkan kebijakan yang proinvestasi, izin bagi investor sangat dipermudah dalam pengembangan sektor industri manufaktur, khususnya di KIM. Pada website KIM penjelasan mengenai peluang investasi dan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Sungai Deli. Pencemaran air Sungai Deli diakibatkan oleh kegiatan industri, pemukiman, pasar traditional, rumah sakit dan berbagai kegiatan lain disepanjang sungai Deli. Selain limbah padat, limbah cair adalah penyumbang pencemaran terbesar ke Sungai Deli, pencemaran oleh limbah cair berasal dari 24 jenis industri dengan skala menengah, 40 industri skala kecil, 4 hotel dan 1 rumah sakit. Dari hasil pengamatan tingkat pencemaran Sungai Deli, hampir semua parameter pencemaran yang diukur di laboratorium BLH menunjukkan nilai melewati baku mutu berdasarkan PeraturanPemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2001. Terdapat unsur bahan berbahaya dan beracun didalam Sungai Deli seperti NH3N, Cd, Pb, Cu, Mn, dan Zn (Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara, 2012). Kondisi tingkat pencemaran sungai Deli ini tidak berubah sejak 2002 ketika project DEM dilakukan selama 5 tahun. Masyarakat yang menjadi korban pencemaran adalah masyarakat miskin dengan sumber mata pencaharian bervariasi mulai dari penambang pasir, buruh pabrik, pegawai negeri, petani kecil, pelayan toko, serta pada hilir sungai banyak dihuni oleh nelayan kecil. Kehidupan mereka sangat tergantung pada sungai terutama untuk kebutuhan cuci, mandi bahkan juga digunakan untuk toilet. Desa yang diamati yaitu berada di kelurahan TanjungMulia, Belawan dan Martubung. Tingkat ekonomi masyarakat termasuk dalam kategori sangat miskin atau berada dibawah garis kemiskinan bahkan jika dibandingkan dengan desa disekitar Sungai Deli lainnya. Selama tahun 2010 tercatat sebanyak 16 kali laporan masyarakat kepada BLH Sumatera Utara (BLH-SU) terhadap pencemaran oleh industri, laporan semacam itu terus meningkat pada tahun 2012. Semua laporan itu tercatat dengan baik dengan status penenganan yang telah dilakukan untuk membantu masyarakat korban pencemaran. Namun seperti dijelaskan dimuka tidak ada satu aksi tuntutan hukum yang telah diambil oleh BLH-SU kecuali memberikan surat peringatan kepada pelaku pencemaran. Sebagian besar penduduk sekitar bantaran Sungai Deli memiliki tingkat pendidikan rendah dan berpenghasilan rendah. Sebagian besar dari masyarakat tidak menyadari bahwa pemanfaatan sungai yang sudah tercemar menjadi derita bagi kesehatan mereka. Besarnya tekanan kepada BLH-SU untuk mengatasi pencemaran Sungai Deli mendorong pemerintah provinsi Sumatera Utara membantu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) yang merupakan badan koordinator pelaksana program dan

259


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 256-263

bisnis dan penjelasan mengenai fasilitas yang disediakan sangat lengkap namun penjelasan mengenai pengelolan dan fasilitas pengeloaan limbah cair dan kewajiban yang perlu ditaati investor tidak ditemukan. Untuk meyakinkan calon investor bahwa KIM telah mendapat beberapa izin yang tidak perlu dikhuatirkan calon investor. Setelah industri-industri pengolahan beroperasi, tingkat kepatuhan investor di wilayah KIM dalam mengelola lingkungan hidup sangatlah rendah, semakin banyak jumlah industri di KIM yang berdampak pada semakin banyak limbah cair yang dibuang langsung ke anak sungai tanpa melalui proses pengolahan di pusat pengolahan limbah terpadu KIM. Protes dari masyarakat desa yang terkena dampak negatif sudah bertahun-tahun dilakukan, namun perbaikan manajemen pengelolaan limbah belum efektif. Limbah cair KIM berdampak negatif terhadap mata pencarian penduduk seperti nelayan dan pertanian dan memburuknya kualitas air sumur penduduk yang berada di sekitar KIM. Kelompok-kelompok industri dalam meminimisasi biaya pengelolaan limbah tidak melakukan pengolahan limbah dengan sempurna, meskipun industri tersebut sebagian besar telah membuat studi RKL/RPL sebagai persyaratan untuk mendapatkan izin operasi dan pemerintah sebagai pengelola limbah terpadu telah memiliki studi AMDAL kawasan. Pemukiman masyarakat dan usaha pertanian telah ada sebelum PT. KIM dibangun. Pemerintah sebagai pengelola PT. KIM, sulit menerapkan peraturan dan persyaratan lingkungan hidup terhadap industri yang berada dalam kawasan yang menjadi tanggung jawabnya. Pelanggaran KIM misalnya kenapa izin pembuangan limbah cair baru didapat pada tahun 2007 setelah lama terjadi konflik dengan masyarakat terjadi. Hingga saat dilakukan penelitian, sebagian industri masih membuang limbah secara langsung ke dalam parit umum, tanpa melalui integrated waste water treatment yang telah selesai dibangun oleh pengelola KIM. Dibandingkan tipe pencemaran Sungai Deli, tipe KIM memiliki bobot ekonomi politis lebih tinggi, karena berkaitan dengan peran pemerintah daerah dan DPRD yang saat ini masih saling tuding. 30 (tiga puluh) titik sampel air sumur disekitar KIM yang di uji dilaboratorium BLH-SU menunjukan bahwa kualitas air sumur pada masing-masing lokasi sampling menunjukkan tercemar berat dan tidak layak untuk diminum, hampir semua parameter, pencemaran yang diamati menunjukkan bahwa nilai kualitas air tanah masih dibawah baku mutu sesuai dengan

standar yang ditetapkan dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 (BLH-SU, 2012). Beberapa kali masyarakat Tangkahan mengajukan tuntutan perbaikan kepada pengelola KIM agar tidak terjadi pencemaran air sumur penduduk, namun bantuan hidran air bersih untuk masyarakat sangatlah minim. Akibat pencemaran berat tersebut banyak warga yang terjangkit penyakit gatal-gatal dan sangat menderita karena bau busuk diperkampungan. Sebagian korban pencemaran telah pindah untuk menghindari kawasan KIM, tetapi sebagian besar karena tidak mampu mereka tetap bertahan didesa mereka. Dari gambaran diatas dapat dideskripsikan bahwa secara umum masyarakat di sekitar KIM yang berada di pinggir anak sungai masih memanfaatkan air yang telah tercemar berat, karena belum ada alternatif yang terjangkau dengan keadaan ekonomi mereka. Sedangkan untuk kebutuhan air minum mereka masih menggunakan sumur dangkal yang juga telah tercemar karena keterbatasan akses terhadap air bersih. Rumah/tempat tinggal merupakan rumah yang tidak layak huni, hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar KIM berpenghasilan rendah sehingga, mereka memilih untuk tetap bertahan. Melihat fenomena kehidupan korban pencemaran tersebut yang sangat memprihatinkan dan masalah ketidakpedulian pemerintah serta buruknya perilaku dunia industri terhadap masyarakat miskin, menyebabkan ketidak puasaan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di Kelurahan Tangkahan. Pada awalnya perlawanan dan unjuk rasa korban pencemaran tidak ditanggapi dengan serius. Protes berlanjut dengan kekerasan yaitu aksi penutupan (penyumbatan) saluran pembuangan limbah KIM yang mengakibatkan banjir limbah di dalam areal KIM pada tahun 2006. Sejak saat itu strategi KIM berubah bahkan dapat merangkul tokoh masyarakat dan aktivitas LSM, demo anti KIM terjadi pasangan surut karena masalah pencemaran masih belum dapat terselesaikan. Konflik yang belum terpecahkan itu disebabkan oleh beberapa perusahaan yang masih tetap membuang limbah cair langsung ke anak sungai yang telah menjadi saluran parit drainase KIM. Hal tersebut diperkuat lagi dengan data KIM yang menyebutkan bahwa 29 (dua puluh sembilan) perusahaan menghasilkan limbah cair, 17 (tujuh belas) perusahaan mengalirkan limbah cair ke IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terpadu KIM, sedangkan 12 (dua belas) perusahaan lainnya tidak mematuhi mengalirkan limbah cair ke IPAL terpadu melainkan membuang langsung ke parit yang berada di Kelurahan Tangkahan

260


Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan (Zahari Zen)

Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan (Arief, 2008). Diskusi Komparatif: Kesadaran dan Perlawanan (Awareness and Activism). Kawasan Industri Medan (KIM) adalah lokasi bermacam jenis industri yang mengelompok dalam satu kawasan, sedangkan Industri disepanjang Sungai Deli tersebar dan berada disekitar pemukiman masyarakat yang kehidupan mereka tergantung pada Sungai Deli. Pencemaran berat oleh kelompok industri KIM terakumulasi dan alirannya langsung melewati beberapa kelurahan di desa Tangkahan, sedangkan pencemaran oleh industri disepanjang sungai Deli semakin ke hilir semakin buruk kualitasnya, sehingga desa-desa dihilir lebih menderita terkena dampak dari pada desa-desa yang berada dihulu sungai. Sampai seberapa jauh kedasaran kedua kelompok korban pencemaran ini sangat tergantung pada pengalaman perjuangan yang telah dilalui dan tingkat kesadaran mereka dalam mencari keadilan. Kewaspadaan (awareness) Terhadap Eksistensi Industri. Pada umumnya persepsi mereka terhadap pencemaran jelas sangat bahwa pencemaran dirasakan merugikan kehidupan masyarakat, tetapi bagaimana kesadaran untuk mendapatkan hak melalui proses penegakan hukum masih rendah. Secara umum masyarakat mengetahui bahwa proses penegakan hukum sering gagal. Beberapa dari mereka mengetahui kasus besar seperti Indorayon, kasus pencemaran limbah B3 oleh pabrik baterai ABC.Meskipun sebagian besar masyarakat di kedua lokasi penelitian merasakan bahwa keberadaan industri adalah buruk bagi kehidupan keluarga, namun sedikit warga merasa ada manfaatnya (2%) khususnya yang berprofesi sebagai buruh di perusahaan pencemar. Dampak keberadaan industri terhadap nilai properti dirasakan sangat berbeda antara kedua lokasi ini. Sebagian besar masyarakat di sekitar KIM merasa nilai propertinya meningkat, sebaliknya mereka yang tinggal disungai Deli justru merasa nilai properti mereka menjadi turun nilainya. Hal ini dapat dipahami karena perkembangan perluasan kawasan mulai KIM 1, KIM 2 dan sekarang KIM 3 yang membutuhkan perluasan lahan lahan sedangkan di Sungai Deli tidak terjadi pengembangan industri baru. Ketentuan yang ditetapkan dalam UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membebankan kepada perusahaan untuk membagi kemakmurannya dengan masyarakat sekitarnya dengan cara menyisihkan sedikit dari laba perusahaan untuk membangun masyarakat sekitar kegiatan industrinya.

Kewajiban perusahaan ini sangat dikenal dengan istilah CSR (Corporate Social Responsibility). Namun sayangnya CSR yang diberikan bermotif ‘politik keamanan’ perusahaan yang bahkan diberikan pada orang-orang tertentu yang dianggap “kuat� oleh perusahaan. Sebagian kecil diberikan ke panti sosial, masjid, anak yatim dan kegiatan peringatan-peringatan keagamaan. Belum ditemukan baik sekitar KIM maupun desa sekitar Sungai Deli, bahwa CSR diberikan untuk membantu pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan bantuan CSR dari industri untuk menggiatkan ekonomi mereka. Hanya kepala lingkungan dan kepala desa yang mengetahui dan sebagian menikmati menikmati CSR. Sebagian besar korban sekitar Sungai Deli tidak ada yang mengatakan bahwa bahwa keberadaan industri disekitar pemukiman mereka telah membantu pendidikan anak-anak mereka, demikian pula tidak ada perbaikan jalan kampung dan fasilitas pabrik lainnya bahkan tidak ada sama sekali perbaikan lingkungan sesuai semangat UU Nomor 4. Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat merasa terganggu dan terusik kenyamanannya selama berdampingan dengan industri. Dampak Aktivitas Industri. Seperti telah dianalisis diatas bahwa penurunan kualitas kehidupan masyarakat sekitar Sungai Deli dan Kawasan KIM telah terjadi bertahun-tahun. Tidak hanya gangguan pencemaran air, tetapi bersamaan dengan itu masyarakat merasa terganggu dengan kebisingan pabrik dan kenderaan yang lalu lalang disekitar pemukiman mereka. Masyarakat sekitar KIM merasa lebih terganggu daripada masyarakat sepanjang sungai Deli, tingginya gangguan di KIM karena KIM mengelompok dalam satu lokasi sehingga intensitas kegiatan sangat tinggi suara pabrik dan truk-truk yang melintas. Persepsi korban pencemaran terhadap gangguan industri agak berbeda antara Sungai Deli dan KIM. Pada KIM korban pencemaran sama sekali tidak merasa terganggu oleh asap dari pabrik, bisa dimaklumi karena lokasi pemukiman relatif jauh dari pabrik bila dibandingkan dengan Sungai Deli. Keberadaan pabrik di pinggiran sungai Deli dikelilingi pemukiman masyarakat. Kedua lokasi samasama menderita karena gangguan kebisingan tidak saja dari pabrik tapi dari lalu lintas kendaraan. Khususnya sungai Deli, persepsi korban pencemaran terhadap dampak pencemaran sangatlah merugikan secara ekonomi dan hanya 2% yang mengatakan tidak ada kerugian akibat pencemaran, sebaliknya

261


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 256-263

tidak berdampak ekonomi pada kawasan KIM. Kedua lokasi kegiatan industri tidak berdampak pada kenaikan pendapatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan dampak industri terhadap penurunan nilai properti, dimana nilai properti di kawasan Sungai Deli mengalami penurunan, sedangkan di sekitar KIM mengalami peningkatan. Namun persepsi masyarakat di kedua lokasi penelitian terhadap peningkatan pendapatan sebagian besar tidak ada, karena tidak ditemukan kegiatan ekonomi masyarakat yang terkait dengan kegiatan industri, kecuali dalam porsi yang sangat kecil yaitu pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik. Masyarakat juga tidak mendapat bantuan pembangunan dari dana CSR perusahaan sekitar tempat tinggal mereka. Gerakan Perlawanan (Activism). Pada saat ini hampir semua responden mengatakan tidak mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan keadilan lingkungan, karena melihat peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sangat lemah bahkan sebagian LSM bekerja untuk KIM. Sedangkan LSM yang berkaitan dengan sungai Deli lebih cenderung mencari uang dari proyek pembersihan Sungai Deli pemerintah kota. Baik pada masyarakat disekitar KIM maupun disekitar Sungai Deli umumnya menyadari bahwa mereka telah dirugikan (claiming) oleh kehadiran industri dan menyalahkan pihak industri sebagai penyebab ketidakberdayaan mereka (blaming). Sebagian besar korban pencemaran telah mengajukan tuntutan ganti rugi kepada perusahaan, tetapi masyarakat tidak merasakan adanya pengurangan pencemaran ataupun mendapatkan kompensasi kerugian. Hanya 2% saja responden yang menjawab bahwa mereka mendapat kompensasi kerugian, namun hanya dalam bentuk pemberian berupa sedekah ketika hari raya. Kondisi ini berpengaruh terhadap kebencian korban pencemaran kepada keberadaan industri yang bila ada penggerak dari luar berpotensi untuk melakukan kekerasan fisik terhadap pabrik. Sebagian besar korban pernah melakukan protes langsung kepada pabrik pencemar dan kepada pemerintah daerah khususnya kepada BLH Provinsi dan BLH Kota Medan. Namun BLH hanya memberi surat peringatan kepada industri pencemar, dan terkadang melakukan peninjauan lapangan. Semua pelapor dicatat secara administrasi oleh BLH tetapi tindakan nyata pada pabrik pencemar tidak dilanjutkan dengan proses pidana. Pelanggaran industri pencemar berat di Kawasan Sungai Deli telah mendapat peringatan terakhir dan satu diantaranya telah direkomendasikan Kementerian Lingkungan Hidup untuk sanksi

administrasi secara paksa, namun hingga sekarang tetap berproses. Sebagai contoh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 34/2012 tentang upaya paksa terhadap PT. Belawan Deli Chemical Industry. Fenomena dilokasi penelitian menggambarkan bahwa usaha dari sebagian masyarakat korban sekitar Sungai Deli yang telah mencoba memblokade industri pencemaran, namun tidak berdampak pada perbaikan tingkat pencemaran, maupun adanya kompensasi dari perusahaan pencemar. Mereka selalu berhadapan dengan petugas keamanan pabrik. Pada saat aksi protes melibatkan massa dalam jumlah yang besar, pihak keamanan dalam hal ini Kepolisian Resor Belawan akan datang untuk mengamankan dan dengan bantuan kepala kelurahan demonstrasi biasanya usai setelah pabrik berjanji untuk mengatasi pencemaran. Hal ini terjadi berkali-kali dengan pabrik baja PT. Growth Sumatera. Sebaliknya kejadian pada desa sekitar KIM sebagian besar masyarakat pernah memblokade saluran limbah KIM yang mengalir melintasi desa mereka. Namun hasilnya sama dengan kejadian di Sungai Deli tidak membawa efek dan kompensasi dari gerakan mereka. Dari keadaan ini dapat disimpulkan bahwa tanpa ada kekuatan luar yang memberdayakan mereka, usaha-usaha blockade tidak dapat menghentikan pencemaran, sebagaimana pengalaman mereka selama ini. Sebagian besar korban pernah melakukan protes langsung kepada BLH Provinsi dan BLH Kota Medan. Seperti biasa hanya ditanggapi dengan memberikan surat peringatan kepada industri pencemar, dan terkadang dilakukan peninjauan lapangan. Semua pelapor dicatat secara administrasi tapi tindakan nyata pada pabrik pencemar tidaklah ada yang di proses secara pidana. Bila dilihat lebih jauh peranan LSM ada beberapa kali LSM telah melakukan usaha penyadaran masyarakat sekitar Sungai Deli mengenai bahaya pencemaran, namun pada kawasan KIM akhir-akhir ini tidak lagi ada aktivitas LSM. Dari beberapa LSM bahkan bekerja dengan sama dengan KIM untuk penghijauan di kompleks KIM. Demikian pula pemerintah daerah minta kepada KIM untuk mengurangi polusi dan minta merealisasikan bantuan air bersih untuk masyarakat yang terkena dampak pencemaran. Hanya 4 hidran air bersih yang terealisasi dan sangat tidak cukup untuk 4 kelurahan yang sangat parah terkena dampak pencemaran. KESIMPULAN Dampak pencemaran terhadap kehidupan masyarakat miskin pada kedua lokasi tersebut

262


Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan (Zahari Zen)

hampir sama, namun dinamika konflik di dua lokasi penelitian ini berbeda. Protes kadangkadang muncul ketika ada kegiatan penyadaran oleh LSM, namun protes akan reda kembali, ketika musim hujan datang, ketika beban polusi tidak terlalu tinggi. Pada kawasan sungai Deli sasarannya satu industri yang paling mencemar walau banyak industri lain dihulu sungai juga berkontribusi membuat turunnya kualitas air sungai Deli. Sedangkan pada kawasan KIM sasaran protes masyarakat adalah pengelola kawasan (Perusahan Negara) dan kelompok industri, walaupun mereka tidak mengetahui secara persis industri yang nakal, sehingga terjadi perbedaan konfigurasi kekuatan dimasing-masing pihak. Secara umum mereka adalah korban yang tidak berdaya. Masalah kemiskinan korban pencemaran menjadi isu klasik kemanusiaan yang lebih mendasar daripada mencari hak-hak untuk mendapatkan keadilan lingkungan yang sehat, sehingga dari studi ini terlihat bahwa gerakangerakan aksi individual dalam menentang ketidakadilan tidak efektif. Mereka lebih memilih untuk mencari nafkah sehari-hari daripada mengorganisasikan diri untuk menentang ketidakadilan. Oleh sebab itu program pengentasan kemiskinan menjadi prasyarat untuk mencerdaskan korban pencemaran. Ketidakberdayaan korban pencemaran dalam mendapatkan hak berdasarkan konstitusi dan UU lingkungan hidup sangat terhalang oleh rendahnya dukungan dan peranan stakeholders khususnya dukungan pemerintah dan LSM dalam memberdayakan masyarakat dinilai sangat lemah.

terhadap implentasi program pembangunan dan pemberdayaan hukum. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kepada Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO) dan Van Vollenhoven Institute, Leiden University yang telah membiayai penelitian ini mulai tahun 2010-2014. DAFTAR PUSTAKA Arief, A. 2008. Resolusi konflik lingkungan PT. Kawasan Industri Medan (PT.KIM) dengan masyarakat kelurahan Tangkahan, Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan. Thesis, Universitas Sumatera Utara. Bedner, A. 2007. Towards Meaningful Rule of Law Research: An Elementary Approach, in: Rule of Law inventory report Hague Institute for Internationalization of Law. Paper for expert meeting in The Hague, 20 April 2007, hal: 31-33. Badan Lingkungan Hidup SumateraUtara. 2012. Pemantauan kualitas dan penanggulangan pencemaran Sungai Deli, DEMP-Project, Laporan Kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dan JICA. Medan: Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara. McCarthy dan Zen, Z. 2009. Regulating the oil palm boom: Assessing the effectiveness of environmental governance approaches to Agro-Industrial pollution in Indonesia, Law and Policy Journal 32(1) hal: 153179. Panjaitan, B. 2001.Pengaruh Eksploitasi Air Bawah Tanah Terhadap Intrusi Air Laut di Kawasan Industri Medan dan Sekitarnya Propinsi Sumatra Utara. Thesis, Universitas Sumatera Utara. Badan Perencanaan Pembangungan Daerah. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: BAPPEDA Sumatera Utara.

REKOMENDASI Beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan dari penelitian ini adalah: 1. Pemberdayaan ekonomi yang diiringi dengan program penyadaran hak-hak hukum mereka haruslah dilakukan dan difasilitasi oleh pemerintah dan LSM. Perusahaan yang selama ini memberikan dana CSR pada tokoh-tokoh masyarakat kurang menguntungkan posisi tawar korban pencemaran, dana bantuan CSR hendaklah melalui koordinasi pemerintah dan LSM. 2. Misi utama program pemberdayaan masyarakat korban pencemaran haruslah dimulai dari tahapan: Penyadaran kepada stakeholder, terutama kepada korban pencemaran; kemudian pengorganisasian korban; pendampingan oleh LSM, dukungan teknis dari pusat studi lingkungan dan LSM;dan dari sistem yang diterapkan haruslah ada monitoring dan evaluasi

Van Rooij, B. 2010. Greening Industry without Enforcement?. Journal Law &Policy 32( 1). Van Rooij, B. dan Furst, K. 2010. Right based empowerment: A concept note on right mobilization and power (tidak dipublikasikan). Van Rooij, B. Wainwright dan Yu Yunmei, 2010. The compensation trap Chinese lessons about the limits of community based regulation (tidak dipublikasikan). Zen, McCarthy and Barlow. 2005. Environmental issues in age of regional autonomy: the case of pollution in the plantation sector of North Sumatra. Oil palm Industry Economic Journal 5(2)hal: 23-34.

263


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

Hasil Penelitian RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA MEDAN DAN SOLUSI PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITASNYA

(OPEN GREEN SPACES IN MEDAN CITY AND SOLUTIONS FOR INCREASING QUALITY AND QUANTITY) QUANTITY) Husni,, Anton Parlindungan Sinaga Nobrya Husni Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email : nobrya@gmail.com

Diterima: 22 Juni 2013; Direvisi: 1Juli 2013; Disetujui: 21 Agustus 2015

ABSTRAK RTH merupakan salah satu lokasi tempat masyarakat kota berinteraksi sehingga kehidupan sosial masyarakat dapat berjalan dengan seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi RTH di Kota Medan, serta memberikan masukan terhadap langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persentase RTH dari segi kualitas dan kuantitasnya.Penelitian dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif, dan dilakukan selama 4 (empat) bulan berlokasi di Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara.Sumber data primer yaitu hasil wawancara dengan responden yang berasal dari DinasTata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, dan pengamat tata kota. Data skunder terdiri dari: Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2010-2030; distribusi RTH dan populasi tanamannya: luas tutupan lahan; dan, luas areal pertanian. Data skunder diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pertamanan, Badan Pusat Statistik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa RTH Kota Medan belum memenuhi ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu: a) mengembangkan pemukiman penduduk yang padat dengan merevetigasi pekarangan rumah dengan menanam tanaman hias jika pekarangan rumah warga relatif kecil dan menanam tanaman budidaya jika pekarangan rumah warga relatif luas; b) mengembangkan areal sekolah serta kampus yang ada di Kota Medan sebagai lahan tambahan yang ditanami dengan tanaman budidaya agar dapat membatu memenuhi kekurangan luas lahan RTH; c) mengembangkan pekarangan areal kantor instansi pemerintah menjadi taman-taman mini yang membantu mengurangi polusi udara; d) menanami setiap bahu jalan yang ada di Kota Medan dengan tanaman budi daya; e) menanami bantaran sungai yang ada di Kota Medan dengan tanaman budidaya; f) menanami mangrove di daerah pesisir pantai; g) menambah taman kota; dan, h) Merevegetasi taman pemakaman. Kata kunci : RTH, Kota Medan, penghijauan

ABSTRACT Green open space is one of the locations where the urban community interact so that social life can be in balance. This study aims to describe the condition of green space in the city of Medan, as well as providing input to the steps could take to increase the percentage of green open space. The study was conducted with a qualitative descriptive approach, and conducted over four (4) months is located in Medan city as the capital of North Sumatra province. The primary data source is interviews with respondents from institutions of Spatial Planning and Building Management Government, Public Works Department, the Parks Department, and observers of urban planning. Secondary data consists of: Spatial Plan of Medan Year 2010-2030; RTH distribution and populations of plants: broad land cover; and, the area of agriculture. Secondary data obtained from the Regional Development Planning Agency, the Parks Department, the Central Bureau of Statistics. The results showed that the RTH Medan not comply with the provisions of Law No. 26 of 2007. The steps to do aret: a) develop a dense residential population byrevegetation by planting ornamental plants if the yard is relatively small houses and plant crops if relatively spacious yard citizens; b) develop an area school and college in the city of Medan as additional land is planted with crops in order to meet the shortage of land area petrified RTH; c) develop the yard area of government offices into tiny gardens that help reduce air pollution; d) cultivating each side of the road in the city of Medan with crop; e) planted along the

264


Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga) river in the city of Medan with cultivated plants; f) planting mangroves in the coastal areas; g) adding a city park; and, h) Undertake revegetation in the cemetery. Keyword : green open space, Medan City, greening

kualitas lansekap kota. Keberadaan RTH sejak dulu dipercaya mempengaruhi kesehatan dan kehidupan yang lebih baik pada masyarakat perkotaan dan meningkatkan kualitas hidup (Groenwegen, 2006). Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedunggedung yang cenderung berpola container (container development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dan lain-lain, yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri� untuk datang ke tempat-tempat semacam itu. Infrastruktur yang ramah lingkungan mempunyai nilai lebih secara fisik, emosional dan sosial serta mendorong masyarakat perkotaan untuk hidup sehat dengan berinteraksi di ruang terbuka (Mansor, dkk.,2010). Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan RTH. RTH ini mempunyai fungsi “hidro-orologis�, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Sebagai kota terbesar ketiga dan juga salah satu kota metropolitan di Indonesia, kota Medan sudah seharusnya memiliki RTH yang cukup serta memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. RTH Kota Medan masih jauh dari harapan dan perlu banyak pembenahan serta upaya agar syarat 30% RTH dapat dipenuhi kota Medan. Sebagai bahan refleksi Pemerintah Kota Medan dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 1995 telah mencanangkan Medan Selatan sebagai RTH kota Medan. Namun seiring berjalannya pembangunan kota, nyatanya Kecamatan Medan Selatan juga mengalami pengembangan seperti menjamurnya perumahan di kawasan tersebut. Kecamatan Medan Selatan sejak 1995 telah direncanakan menjadi RTHkota Medan, namun saat ini beralih fungsi menjadikomplek perumahan dibangun disana. Banyak RTH, lanjutnya, yang telah beralih fungsi saat ini. Sebagai contoh Lapangan Merdeka Medan yang

PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang (UU) Nomor26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 1 ayat 5 disebutkan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka (open space) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat. UU Nomor 26 tahun 2007 telah mengamatkan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat. Ruang terbukamenciptakan karakter masyarakat kota. RTH dapat meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik dan bervariasi serta meningkatkan interaksi antar manusia. Untuk menciptakan RTH yang mencukupi untuk masyarakat, kesiapan dari segi dana dan pengelolaan mutlak diperlukan (Nasution & Zahrah, 2015) Tanpa ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggotaanggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Secara definitif, RTH (green open spaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, RTH di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan

265


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

sebelumnya memiliki banyak ruang terbuka, kini beralih fungsi menjadi pusat jajanan. Belum lagi, banyaknya bangunan-bangunan baru yang tidak mempedulikan aspek-aspek kelestarian lingkungan dengan menyediakan RTH dari lahan yang dimilikinya. Pengembangan RTH (RTH) di Kota Medan masih dirasakan sangat minim. Itu terjadi karena masalah RTH masih dianggap sebagai kewajiban pemerintah dan belum menjadi gerakan kesadaran seluruh warga kota. Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dan juga pintu gerbang Indonesia bagian Barat, namun tidak mampu menerapkan RTH (RTH). Sebelumnya Pemko Medan mewacanakan akan membuat RTH di setiap kecamatan untuk mendukung program "go green" yang bersamaan dengan dilakukannya sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011-2031 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2012). Saat ini RTH di Medan tinggal lima persen dari lahan yang seharusnya tersedia tiga puluh persen dari luas wilayah. Namun tidak sama terealisasikan oleh Pemerintah Kota Medan dengan berbagai alasan. Kota Medan sekarang ini yang bergerak ke arah industri sudah berkembang begitu pesatnya dan menjadi Kota Metropolitan, sehingga dikhawatirkan jika tidak memiliki RTH (RTH), Kota Medan akan mendapatkan ancaman kesehatan akibat polusi udara, di tambah lagi jumlah kendaraan bermotor di Kota Medan yang setiap tahunnya bertambah banyak turut menyumbang kenaikan tingkat polusi di Kota Medan. Sebagai kota yang banyak kegiatan industrinya, seharusnya Kota Medan harus berpikir bagaimana untuk mengatasi persoalan itu, dan salah satu solusi yang sedikit dianggap bisa mengurangi tingkat polusi udara di Kota Medan yakni menyediakan RTH atau taman-taman kota, sebagai paru-paru kota. Pemko Medan akan mengembangkan RTH di Kota Medan menjadi 30,58 % dari luas wilayah Kota Medan, Saat ini perkembangan pembangunan di Kota Medan telah "memakan" lahan-lahan di Kota Medan yang diperuntukkan bagi RTH, sehingga tidak ada lagi lahan-lahan yang bisa diperuntukkan bagi RTH. Pemko Medan harus membuat aturan kepada pihak yang ingin mendirikan bangunan, apapun itu jenis bangunannya, baik rumah sakit, pusat perbelanjaan, perumahan, tempat hiburan dan lain sebagainya harus terlebih dahulu memiliki RTH sebagai syarat untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan ini. "Kalau perlu dibuat payung hukumnya, baik itu Peraturan Walikota (Perwal) atau Peraturan Daerah (Perda) agar

ada tindakan tegas bagi pengembang atau investor yang tidak menyediakan RTH dalam pembangunan usaha. Luas RTH menjadi ruang terbangun di Kota Medan sejak tahun 2006-2011 mengalami perubahan menjadi 5.573 Ha, diantaranya mengalami perubahan fungsi menjadi bangunan, sawah, hutan rawa dan tegalan (Harahap, 2013). Hingga saat ini pengelolaan infrastruktur yang ramah lingkungan selama ini lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta atau masyarakat. Seharusnya pemerintah dapat memberikan insentif kepada pihak-pihak yang turut menjaga lingkungan guna mencegah terjadinya konversi lahan terbuka menjadi kawasan terbangun, seperti: pengelola sarana olahraga dan wisata di kawasan terbuka, serta petani. Pemerintah daerah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi lingkungan kota dan harus dapat mengelolanya terutama pengelolaan kawasan yang bersifat publik. Peranan sebagai daerah konservasi tanah dan air yang telah ditetapkan harus dapat diwujudkan dan diterapkan dalam perencanaan kota yang dibuat. Penataan lingkungan Kota Medan juga terintegrasi dengan wilayah-wilayah di sekitar kota Medan. Kota Medan akan terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu diperlukan antisipasi terhadap kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Kecenderungan pertambahan jumlah penduduk akan mendorong terkonversinya lahan-lahan terbuka menjadi kawasan terbangun. Diharapkan dengan terbentuknya network infrastruktur hijau tersebut, dimasa yang akan datang masih terdapat RTH yang berkualitas dan berfungsi secara optimal sebagaiinfrastruktur hijau yang melayani kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil analisis kecendrungan kawasan terbangun, diprediksikan tahun 2040 Kota Medan hampir seluruhnya menjadi ruang terbangun. Rencana infrastruktur hijau tersebut diharapkan menjadi bagian dari perencanaan tata ruang kota dan saling melengkapi dengan perencanaan infrastruktur fisik. Kedua infrastruktur tersebut diharapkan mampu berperan untuk mendukung kehidupan masyarakat kota untuk mencapai kemajuan ekonomi yang baik dan secara sosial dapat diterima oleh semua pihak serta lingkungan kota yang semakin baik (Smart Growth). Hal ini untuk mewujudkan sebuah kota yang nyaman dan berkelanjutan. Kualitas dan kuantitas RTH yang mengalami penurunan akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, meningkatnya kriminalitas dan krisis sosial,

266


Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga)

serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang public yang tersedia untuk interaksi sosial (Dwiyanto, 2009). Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi RTH di Kota Medan, serta memberikan masukan terhadap langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan persentase RTHdari segi kualitas dan kuantitasnya.

Luas RTH Publik. Kategori RTH publikadalah tempat-tempat terbuka milik Pemerintah Kota Medan atau instansi mendukung penyediaan RTH di Kota Medan. Termasuk jenis RTH Publik ini adalah taman kota, taman segi tiga, jalur hijau di berm jalan, pinggiran sungai, pinggiran rel kereta api, sempadan sungai, saliran udara tegangan tinggi dan areal pemakaman yang dikelola oleh Pemerintah Kota Medan. RTH di Kota Medan berupa kawasan ditumbuhi rumput, pohon hias dan pohon besar. kawasan RTH dengan vegetasi rumput berupa lapangan, taman kota dan taman segitiga, vegetasi tanaman hias (palem, bonsai, bungabungaan). Di Kota Medan terdapat taman kota dan taman segitiga dengan luas areal 302.326 m2. Yang menyebar di 21 kecamatan. Taman kota dan taman segitiga kota dilengkapi dengan aksesori taman (komponen abiotik) seperti lampu, air mancur, bangku-bangku, patung, tugu dan pagar. RTH di Kota Medan telah dirancang sejak zaman kolonial Belanda, dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kota. Hal ini terlihat dari jumlah vegetasi yang berukuran besar seperti mahoni (Switenia mahogani), trembesi (Samaena saman), asam jawa (Tamarindus indica) baik taman kota maupun di berm jalan utama saat itu seperti jalan Putri Hijau, Balai Kotan, Jalan Pattimura, Glugur by Pass, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro. Saat ini Pemko Medan mengelola ruang terbuka publik berupa tanam kota, taman segita, berm jalan dan planting box. Kondisi tanaman besar seperti banyaknya cabang tidak produktif batang mulai keropos akibat lingkungan yang kurang mendukung. Distribusi RTH di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 1. Tidak dapat dipungkiri RTH publik juga berperan sebagai tempat interkasi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Kualitas lingkungan yang rendah dan penyediaan RTH publik yang minim, secara psikologis dapat menyebabakan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan (Dwiyanto, 2009). Populasi Pohon Pelindung RTH Publik. Jenis tanaman yang digunakan sebagai pohon pelindung adalah Sena (50.049 pohon), disusul pohon Mahoni (55,934) dan Glodogan biasa (10.562 pohon). Kesesuaian jenis tanaman penyusun RTH ini masih perlu menjadi kajian, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada tanaman yang tidak cocok ditanam disuatu kawasan, misalnya sengon di daerah dengan debit tanah rendah sehingga menyebabkan intrusi air laut dan akasia dengan

METODE Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini akan dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kota Medan yang merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, alasan menjadikan Kota Medan menjadi lokasi penelitian dikarenakan Kota Medan memiliki jumlah penduduk yang paling banyak di Provinsi Sumatera Utara dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya, tentunya jika penduduk di suatu wilayah semakin banyak akan membutuhkan RTH yang semakin banyak dan baik pula. Penelitian dilakukan pada tahun 2012 selama 4 (empat) bulan. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer yaitu hasil wawancara dengan responden yang berasal dari Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertamanan, dan pengamat tata kota. Data skunder terdiri dari: Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2010-2030; distribusi RTH dan populasi tanamannya: luas tutupan lahan; dan, luas areal pertanian. Data skunder diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pertamanan, Badan Pusat Statistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemerintah Kota Medan terus berupaya untuk menciptakan lingkungan yang asri, bersih, juga nyaman guna mewujudkan Medan Go Green. Salah satunya dengan membangun taman kota yang berfungsi sebagai paru-paru kota,menunjang keindahan, dan menjadi lokasi rekreasi untuk masyarakat. Selama ini keberadaan taman di Medan masih minim. Berdasarkan data Dinas Pertamanan Pemko Medan, hanya ada 19 (Sembilan belas) taman di kota ini dengan luas keseluruhan sekitar 124.664 meter persegi dari luas Kota Medan yang mencapai 26.510 Ha. Selain itu, Medan hanya memiliki enam taman air mancur yang berada di Taman Beringin, Taman Soedirman, Taman Teladan, Tugu Sister City, Tugu Adipura, Taman Kantor Pos, Taman Guru Patimpus, Taman Juanda, dan Taman Majestik.

267


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

serbuk sari dapat mengganggu pernafasan manusia (Danisworo, 1998). Jumlah populasi pohon pelindung di RTH Publik saat ini sebanyak 171.395 yang terdiri dari tanaman tua dan tanaman muda. Tanaman tua terdiri dari pohon pelindung yang berusia diatas 20 tahun (trembesi di lapangan merdeka, mahoni di Taman Ahmad Yani, Taman Beringin sepanjang Jl. Putri Hijau, Glugur By Pass, klumpang disekitar taman beringin, jalan perjuangan dan lainnya. Dan tanaman muda dengan usia 1-20 tahun baik di areal yang baru ataupun sebagai tanaman sisipan. Selain taman-taman kota, pohon pelindung ditanam di kawasan jalan raya baik di median jalan ataupun berm jalan. Jenis tanaman pelindung dikawasan pinggir jalan yang paling banyak adalah sena (Cassia Angustifolia). Tanaman ini cukup cepat pertumbuhannya sehingga dalam jangka pendek baik ditanam di wilayah yang baru dibuka. Selain pohon sena, tanaman pelindung lainnya dikawasan jalan. Dari 21 Kecamatan di Kota Medan terdapat 5 Kecamatan yang tidak mendapat penghijauan dari Pemko Medan yakni Kecamatan Medan Labuhan Medan Marelan, Medan Belawan, Medan Deli dan Medan Amplas. Tanaman yang ada dijalan-jalan di kelima Kecamatan ini merupakan partisipasi warga setempat atau perusahan-perusahaan. Selain taman kota dan RTH di kawasan jalan raya wilayah Ruang terbuka lainnya adalah jalur hijau dibantaran sungai saluran udara tegangan tinggi. Di Kota Medan terdapat 5 sungai yaitu: Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Seikambing, Sei Percut/Sei Denai dan Sei Putih. Hasil penelitian di 5 titik sampel kawasan sungai di Kota Medan menunjukkan bahwa hanya 35% bagian bantaran sungai yang dijadikan RTH selebihnya digunakan untuk pemukiman, buangan limbah industri dan pembuangan sampah. Untuk pengamanan sungai dari resiko banjir, tanah longsor dan pencemaran maka batas kawasan yang dapat dibangun adalah 8 meter dari sisi sungai. Kawasan bantaran sungai tersebut diisi dengan tanaman pelindung yang dapat menjaga sungai dari resiko tanah longsor dan sebagai RTH (Danoedjo, 1990). Daerah sepanjang rel kereta api di Kota Medan dibangun menjadi pemukiman penduduk, aktivitas ekonomi (pedagang makanan, warung kopi) dan arena bermain anak. Di titik sampel lintasan kereta api ini tidak dijumpai RTH, hanya sebagian kecil saja areal dengan vegetasi rumput. Saluran udara tegangan tinggi (SUTET) milik PLN yang melintasi wilayah kota Medan berjumlah 4 unit, yakni di Glugur, Mabar, Titi

Kuning dan KIM. Luas alas (tapak) gardu SUTT ini seluas 400 m2. Namun dari hasil penelitian di lapangan, perihal PLN membebaskan areal SUTT dari tanaman dan rumput. Meskipun dalam Peraturan Menteri Pertambangan & Energi Nomor 01. P/47/MPE/1992 dinyatakan bahwa pada ketinggian 4,5 meter dari menara tidak membahayakan untuk ditanami pohon perdu atau rumput hias. Jadi daerah SUTT secara fisik tidak memberikan kontribusi dalam penyediaan RTH di Kota Medan. Pemakaman di Kota Medan sebanyak 115 kawasan dengan luas areal 1.084.565,80 M2 (108,46 Ha) yang menyebar di seluruh Kecamatan di Kota Medan. Berdasarkan pengelolanya, areal pemakaman di Kota Medan dibagi menjadi 2 yakni: 1) Pemakaman umum yakni areal pemakaman untuk umum yang pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan. Jumlah pemakaman yang dikelola oleh Pemerinta Kota Medan sebanyak 8 unit dengan luas keseluruhan sebanyak 45,5 Ha hektar diantaranya adalah pemakaman di Jl. Sei Batugingging, Jl. Gajah Mada dan Jl. Abdullah Lubis; dan, 2) Pemakaman bukan umum yakni areal pemakan yang disediakan untuk anggota golongan berdasarkan etnis agama, yang dikelola oleh badan sosial, yayasan dan kelompok lainnya. Jumlah pemakaman bukan umum ini sebanyak 107 unit dengan luas 629.565 m2 (62,96 Ha) diantaranya Pekuburan Islam Jl. SM Raja/Mesjid Raya, Pekuburan Jl. Sei Deli dan Pekuburan Islam Jl. Guru Patimpus. Areal pemakaman sangat potensial dalam menyediakan RTH bila tanaman yang ada dipertahankan keberadaanya. Dari5 pemakaman yang ada di Kota Medan sebanyak 42,53 % dari total wilayah merupakan areal kanopi pohon pelindung. Pohon pelindung utama di pemakaman tersebut adalah kamboja, walisanga, beringin, petai cina, kapung, pisang dan waru, selebihnya adalah tanaman perdu seperti lili paris, anggrek tanak, asoka dan lidah mertua. Pemakaman penganut agama Kristen di Kota Medan per unit secara umum memerlukan areal yang luas dibanding pemakaman lainnya. Hal ini disebabkan rata-rata tanah yang dipakai untuk pemakaman per individu antara 1,5 m2-4 m2. Hal yang berbeda dengan luas tanah yang terpakai untuk pemakaman Islam yakni antara 0,75 m2-2 m2. RTH Privat. RTH privat sifatnya tidak tetap, karena pemilik dapat mengalihkan fungsinya menjadi fungsi lain, yakni pembangunan sarana dan prasarana fisik. Ruang terbuka privat ini dibagi menjadi beberapa kawasan yakni kawasan perkantoran, industri, pendidikan, rumah sakit, plaza/pusat perbelanjaan, hotel, real estate, pertokoan,

268


Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga)

jarang penduduknya, seperti Kecamatan Medan Selayang, Medan Tuntungan, Medan Johor dan lainnya. Luas areal pertanian yang ada di masing-masing Kecamatan mengalami fluktuasi. Terjadinya peningkatan areal pertanian adalah karena pengintensifan kembali lahan tidur (lahan bero) dan pengurangan lahan pertanian disebabkan oleh alih fungsi lahan. Data tutupan lahan kota Medan menunjukkan sebaran penggunaan lahan di Kota Medan yaitu daerah yang tertutup jalan, badan air, industri, pemukiman serta mangrove dan RTH/lahan budidaya yang dalam hal ini diklasifikasikan sebagai RTH.

instansi pemerintah dan pemukiman(Rustam, 2000).

Dari hasil penelitian RTH privat di Kota Medan untuk masing-masing kawasan adalah: 1) Kawasan yang memenuhi persyaratan dalam penyediaan RTH adalah kawasan pendidikan, rumah sakit dan pemukiman; dan, 2) Kawasan yang tidak memenuhi persyaratan plaza/mall, hotel, pusat pertokoan, rumah ibadah dan real astate. Secara keseluruhan bahwa RTH privat di kawasan sampel belum memiliki RTH sesuai dengan standar dalam RUTRK Kota Medan 1993. Potensi RTH lain yang sifatnya tidak permanen adalah areal pertanian (lahan kering dan persawahan) khususnya didaerah yang Tabel 1. Distribusi RTH di Kota Medan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

Jenis RTH Taman Ahmad Yani dan 10 taman satelit Taman Kantor Darmawanita dan 17 taman satelit Rumah Dinas Walikota dan 8 taman satelit Taman Lili Suheri dan 2 taman satelit Kantor DPRD Tkt II dan 8 taman satelit Taman Beringin dan 14 taman satelit Taman Balai Kota dan 3 taman satelit

8.

Lapangan Merdeka dan 7 taman satelit 9. Taman Boulevard Jl. SM Raja, Brigjen Katamso dan Planting Box 10. Taman Walikotamadya Medan 11. Lap, Olah raga dan rekreasi Koni dan 2 taman satelit 12. Taman Walikotamadya 13. Taman Istana Maimun dan 4 taman satelit 14. Gerbang Tol Tanjung Selamat

Kecamatan Medan Maimun dan Medan Polonia Medan Petisah dan Medan Sunggal Medan Maimun dan Medan Polonia Medan Polonia dan Medan Timur Medan Polonia, Medan Barat dan Medan Petisah Medan Timur, Medan Tembung, Medan Baru & Medan Kota Medan Baru, Medan Timur, Medan tembung dan Medan Kota Medan Kota, Medan Timur dan Medan Barat Medan Maimun, Medan Amplas dan Medan Area

Luas (Meter2) 21.893 73.667 16.281 1.952 15.620 20.770

20.770

34.646 113.694

Medan Maimun, MedanAmplas Medan Baru

113.694

Medan Baru Medan Maimun

10.000 25.721

Medan Tembung, Medan Perjuangan % Medan Barat 15. Medan Belawan, Medan Medan Belawan Medan Labuhan Labuhan 16. Taman Medan Amplas Medan Amplas Sumber: Dinas Pertamanan Kota Medan (2012)

269

2.168

3.329 6.050 302.326


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

menandakan bahwa Kota Medan diakui sebagai pilot project program yang bertujuan untuk mencanangkan penghijauan di kota-kota di Indonesia. Dengan begitu, Pemko Medan diharapkan dapat membangun kesadaran warga akan pentingnya suasana hijau di kotanya. Karena itu,meskipun lahan kota Medan tidak terlalu banyak yang dapat ditanami, masih banyak cara penghijauan yang dapat dilakukan mulai dari membangun kebun di atas atap atau kebun gantung. Pemko Medan akan terus berupaya agar program dan kegiatan yang berkaitan dengan Kota Hijau dapat menjadi isu mainstream yang diperlihatkan pada alokasi pendanaan dalam APBD Kota Medan sebesar 7% dari nilai APBD Kota Medan Tahun 2011 sebesar Rp3,2 triliun. Selain itu, Pemko Medan juga akan mengembangkan potensi keberadaan hutan mangrove di Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan seluas 1.029 ha. Begitu juga dengan mengoptimalkan fungsi RTH pemakaman. Sebab RTH Pemakaman memiliki fungsi ekologis sebagai daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, dan pencipta iklim mikro. “Saat ini, kami berupaya untuk terus mendorong penghijauan, termasuk di tempat-tempat pemakaman umum. Selama tahun 2012- 2013 ini, kami akan melakukan penataan. Minimal semua makam yang ada di Medan nanti akan dipagar dan ditanami pepohonan sehingga ke depan tidak ada lagi makam yang angker karena suasananya sudah menjadi nyaman, Untuk menambah taman bermain anak yang ada di Medan, Pemko Medan juga berencana untuk membangun tempat wisata permainan anak terbesar di Indonesia. Saat ini, investor asal Surabaya juga sudah menyatakan kesediaannya untuk berinvestasi dan membangun tempat permainan terlengkap serta memiliki 45 jenis permainan anak. Rencananya, lokasi pusat permainan akan dibangun pada lahan dengan luas 50 ha di Kecamatan Medan Labuhan. Kalau tidak ada kendala, tempat permainan tersebut akan dibangun di kawasan Medan Labuhan. Jika pembangunan tempat permainan itu benar-benar terealisasi, maka besarnya diperkirakan tiga kali tempat permainan Trans Studio di Bandung. Luas wahana permainan di Kota Kembang yang sangat terkenal di seluruh nusantara itu hanya sekitar 10 ha sedangkan yang akan dibangun di kawasan Kecamatan Medan Labuhan diperkirakan seluas lebih kurang 50 ha. Kota Medan sudah memiliki RTH dan taman namun dengan jumlah yang masih minim, keberadaan RTH dan taman juga masih kurang terawat. Hal ini bisa dibuktikan dengan

Tutupan lahan paling besar adalah pemukiman dengan luas sebesar 11.741,279 Ha (44,28%), sedangkan yang paling kecil adalah industri seluas 820,13 Ha (3,09%). RTH adalah tutupan lahan terbesar kedua yaitu seluas 9.657,742 Ha atau sebesar 36,42 %. RTH terbagi kedalam dua bentuk yaitu mangrove dan RTH/lahan budidaya. Distribusi RTH disajikan pada Tabel 1. Pada tutupan lahan, keberadaan mangrove hanya ada disebelah utara kota Medan, yaitu kawasan yang dekat dengan pesisir pantai. Penyebaran RTH/lahan budidaya tidak merata, terlihat dibagian tengah kota Medan keberadaan RTH sangat sedikit sekali. RTH/lahan budidaya pada umumnya berupa lapangan rumput, kebun campuran, belukar, pekarangan dan taman kota. Berdasarkan pengamatan, kondisi RTH real Kota Medan saat ini terdiri atas RTH privat dan RTH Publik dengan jumlah lebih kurang 20 % dari keseluruhan luas total wilayah Kota Medan. Ketersediaan RTH tersebut dirasakan masih kurang dari total keseluruhan 30 % RTH yang diamanatkan oleh UU No. 26 Tahun 2007 mengenai RTH. Dari 20 % RTH tersebut yang telah ada tentunya memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkan lagi untuk memenuhi kekurangan 10 % luas RTH yang diamanatkan oleh UU No. 26 Tahun 2007. Potensi-potensi yang bisa dikembangkan dapat berupa memaksimalkan fungsi RTH dengan cara menanam pohon (revegetasi) atau dengan menambah taman-taman kota. Luas wilayah Kota Medan adalah sebesar26.510 Ha atau 265, 10 Km2 dan RTH real Kota Medan sebesar 5.302 Ha. (20 % dari total luas wilayah Kota Medan. RTH tersebut terdiri atas RTH publik yang tersebar di 21 kecamatan yang ada di Kota Medan. Alternatif solusi untuk menambah luasan RTH dapat dilakukan dengan: a) arahan revegetasi dan pembangunan RTH. Terutama dengan menanam lebih banyak tanaman yang mampu menyerap karbondioksida yang tinggi; b) membuat atap hijau pada bangunan, bisa merupakan atap keseluruhan atau sebahagian; dan, c) pengurangan penggunaan jumlah kendaraan di pusat kota (Baharuddin, 2011). Komitmen Pemko Medan untuk mewujudkan RTH di Medan ini juga dilakukan dengan menandatangani fakta integritas bersama 60 Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia untuk menyediakan RTH 30% sesuai dengan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, Pemko Medan sudah berkomitmen untuk mewujudkan RTH 30% dalam Perda RTRW Kota Medan. Peluncuran Green City untuk 10 kota di Indonesia yang justru dilakukan di Medan juga

270


Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga)

kebiasaan masyarakat yang lebih banyak memanfaatkan taman-taman yang ada di Medan di sore hari. Dari hasil pemantauan dilapangan terdapat kecamatan-kecamatan yang belum maksimal pengembangan potensi dan pemanfaatannya dalam RTH yang tersebar di Kecamatan Medan Labuhan, Kecamatan Medan Marelan, Kecamatan Medan Belawan, Kecamatan Medan Deli, dan Kecamatan Medan Amplas. Kemudian untuk Bantaran Sungai terdapat 5 sungai di Kota Medan yag hanya 35 % penggunaan dan pemanfaatannya yang digunakan untuk RTH selainnya digunakan sebagai pemukiman dan belum dimaksimalkan secara utuh. Bantaran sungai tersebut dapat dioptimalkan dengan melakukan revegetasi secara keseluruhan di Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Sikambing, Sungai Sei Percut/Sei Denai, dan Sungai Sei Putih. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) terdapat di daerah Glugur, Mabar, Titi Kuning, dan Kawasan Industri Medan (KIM) yang selama ini tidak digunakan secara maksimal untuk penggunaan dan pemanfaatan RTH, sampai saat ini SUTT dan SUTET hanya dibiarkan begitu saja dan ditumbuhi semak belukar. Areal pemakanam yang ada di Kota Medan terdiri atas 2 kepemilikan yaitu yang dimiliki Pemko Medan dan Swasta/masyarakat. Untuk areal pemakaman yang dimiliki Pemko Medan terdapat di 115 kawasan dengan luas (108,46 Ha) dan areal pemakaman swasta terdapat 107 unit dengan luas (62,96 Ha) yang tersebar di 21 kecamatan yang ada di Kota Medan, apabila areal pemakaman tersebut ditanami dengan tumbuhan-tumbuhan budidaya maka akan menyumbang banyak untuk menutupi kekurangan RTH yang ada saat ini. RTH privat yang memenuhi persyaratan untuk bisa dijadikan RTH yaitu kawasan Pendidikan, Kawasan Rumah Sakit, dan Kawasan Pemukiman. RTH privat tersebut bisa dioptimalkan penggunaan dan pemanfaatannya dalam menutupi kekurangan 30 % dengan cara melakukan revetigasi menanam tanaman budidaya dan tanaman hias, jika pendidikan (Sekolah SD, SLTP, SLTA dan Universitas) yang ada di Kota Medan diharuskan menanam tanaman budidaya dan tanaman hias akan membantu menutupi kekurangan RTH tersebut, kemudian Rumah Sakit yang ada di Kota Medan baik Rumah Sakit yang dimiliki Pemko/Pemprov dan Swasta dilakukan penanaman secara menyeluruh akan membantu mengoptimalkan RTH yang ada saat ini. Pemukiman warga adalah lahan yang paling banyak digunakan di wilayah Kota Medan

dengan pengoptimalan lahan pemukiman dapat dilakukan dengan cara menanam pohon budidaya dan tanaman hias, bagi masyarakat yang memiliki rumah dengan pekarangan kurang dari 5x5 M2 menanami pekarangan rumah dengan tanaman hias, dan masyarakat yang memiliki pekarangan lebih 5x5 M2 dengan menanan tanaman budidaya. Kantor-kantor instansi pemerintah juga dapat dikembangkan potensi RTH nya dengan mengharuskan setiap instansi yang ada di Pemko Medan dengan menanam tanaman budidaya disekitar areal perkantoran. Untuk RTH privat yang tidak memenuhi persyaratan dijadikan RTH seperti mall/plaza, hotel, pusat pertokoan, rumah ibadah, kawasan real estate dapat dikembangkan pemanfaatan RTH dengan menanami pohon diatap bangunan (jika memungkinkan) ditanam dengan tanaman budidaya selain mengurangi polusi udara juga dapat menyejukkan ruangan sehingga dapat mengurangi pemakaian AC (air conditioner) pada bangunan tersebut. Perkotaan yang berkonsep hijau mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kenaikan harga properti menjadi lebih bernilai 5 % - 20% (Zhang, dkk., 2012). Sehingga dengan menggalakkan kegiatan penghijauan di area privat seperti pemukiman tentunya akan mempengaruhi nilai jual properti yang berada di lingkungan tersebut. Untuk RTH areal pertaniaan yang belum dimanfaatkan (lahan tidur) terdapat di Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, dapat dimanfaatkan dengan menanami lahan tidur tersebut dengan pohon-pohon, atau tanaman budidaya yang menghasilkan dan dapat menambah fungsi ekonomisnya. Dengan demikian lahan kosong tersebut dapat dimanfaatkan untuk penambahan kawasan RTH dan dapat berfungsi sebagai penambah pendapatan masyarakat jika lahan kosong tersebut digunakan sebagai lahan pertanian. Analisis pengembangan RTH. Berdasarkan wawancara dengan ahli tata kota, usaha yang dapat dilakukan dalam memenuhi luasan RTH sesuai amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 mengenai RTH adalah sebagai berikut: 1) Membeli lahan 300-400 meter/tahun dikawasan yang dianggap bisa menutupi kekurangan lahan RTH di Kota Medan; 2) Membangun Green City di Kota Medan; 3) Membuat hutan kota CBD Polonia dengan luas 40 Ha; 4) Membuat taman Kota Cidika Ramka seluas 25 Ha; 5) Mengopimalkan penanaman pohon di sempadan sungai di Kota Medan; 6) Membuat hutan mangrove di Kecamatan Medan Belawan dengan luas (1.029 Ha); 7) Membangun RTH

271


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

kawasan pemukiman dengan luas 15 M2 per jiwa; 8) Melakukan vegetasi disetiap pemakaman umum yang ada di Kota Medan; dan, 9) Membangun tempat wisata bagi anak di Kecamatan Medan Labuhan dengan luas 50 Ha. Beberapa tindakan konkrit yang dapat dilakukan antara lain: 1) menjadikan lahan Pekan Flora-Flori Nasional (PF2N) seluas 77,028 Ha untuk menjadi taman kota di Kota Medan; dan 2) Menjadikan lahan eks lahan Taman Ria menjadi RTH di Kota Medan. Selain Taman Hutan Kota Sudirman, Kota Medan memiliki beberapa buah taman kota yang cukup besar, yang pertama adalah Taman Ahmad Yani di Kecamatan Medan Baru seluas 14,453 m², dan Taman depan Stadion Teladan 1,950 Ha di Kecamatan Medan Kota. Kedua obyek tersebut dimasukkan ke dalam taman kota karena keduanya didominasi oleh elemen-elemen vegetasi berupa pohon, semak dan tanaman hias serta danau/kolam yang ditata secara baik. Keduanya kawasan tersebut juga memiliki multi fungsi, yaitu: edukatif, rekreatif dan ekologis. RTH juga mempunyai peranan penting dalam menyebarluaskan gaya hidup aktif bagi masyarakat perkotaan, sehingga menurunkan resiko kesehatan seperti kelebihan berat badan dan kegemukan (Zhang, dkk., 2015). Lapangan olahraga di tempat terbuka merupakan salah satu ekosistem yang khas dan merupakan pengembangan potensi alam yang asli menjadi bentuk-bentuk yang lebih tertata. Lapangan sepak bola khususnya memberikan pengaruh yang baik terhadap lingkungan selain fungsi utamanya sebagai sarana berolah raga masyarakat kota. Lapangan sepak bola memiliki luasan yang cukup signifikan dan kompak, sehingga dimasukkan sebagai salah satu komponen infrastruktur hijau. Hasil identifikasi dari peta citra landsat menunjukkan bahwa terdapat beberapa lapangan bola di Kota Medan dengan luas totalnya adalah 8,92 Ha dan lapangan golf seluas 28,82 Ha. Terletak di lokasi yang strategis karena terletak di tengah-tengah pemukiman padat di Kecamatan Medan Johor. Selain itu lokasi tersebut dimiliki oleh pemerintah, sehingga diharapkan tidak dialih fungsikan dan telah dibatasi dengan pagar tembok untuk mengantisipasi okupasi oleh masyarakat sekitar. Jaringan jalan merupakan fasilitas publik yang merupakan urat nadi pendukung kehidupan masyarakat. Sempadan jalan merupakan daerah di kanan kiri jalan, yang dapat dimanfaatkan untuk jalur hijau dan sarana untuk pejalan kaki. Potensi sempadan jalan untuk dijadikan infrastruktur hijau

cukup tinggi, karena banyaknya jaringan jalan di Kota Medan. Penyusunan rencana infrastruktur hijau menggunakan data-data dan informasi hasil analisis di atas. Lanskap wilayah kota Medan yang memiliki kekhasan tersendiri, baik yang berupa area ataupun jalur memanjang disatukan dalam suatu sistem sebagai daerah yang alami sebagai penyeimbang lingkungan kota. Proses penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada standard dan kriteria yang dijelaskan pada metodologi. Lokasi yang berpotensi untuk dijadikan RTH adalah:1) Areal konservasi yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura; 2) Areal ramah lingkungan yaitu lapangan golf, taman kota, lokasi penelitian pertanian di Kecamatan Medan Johor dan danau Limboto; dan, 3) Kawasan baru yang berpotensi untuk menjadi areal ramah lingkungan yaitukawasan konservasi air dan kawasan yang merupakan fungsi khusus seperti Perkemahan Pramuka di Kecamatan Medan Johor, Paskhas Angkatan Udara di Kecamatan Medan Polonia yang saat ini dalam kondisi terlantar menjadi tanah kosong. Perubahan Kota Medan menjadi Kota Metropolitan harus diimbangi dengan ketersediaan RTH yang memadai sehingga kehidupan masyarakat perkotaan tetap akan berjalan seimbang. Kota Medan metropolitan dalam menyediakan RTH memiliki potensipotensi yang dapat dikembangkan antara lain sebagai berikut: a) Mengembangkan pemukiman penduduk yang padat dengan merevetigasi pekarangan rumah dengan menanam tanaman hias jika pekarangan rumah warga relatif kecil dan menanam tanaman budidaya jika pekarangan rumah warga relatif luas; b) Mengembangkan areal sekolah serta kampus yang ada di Kota Medan sebagai lahan tambahan yang ditanami dengan tanaman budidaya agar dapat membatu memenuhi kekurangan luas lahan RTH; c) Mengembangkan pekarangan areal kantor instansi pemerintah menjadi taman-taman mini yang membantu mengurangi polusi udara; d) Menanami setiap bahu jalan yang ada di Kota Medan dengan tanaman budi daya; e) Menanami bantaran sungai yang ada di Kota Medan dengan tanaman budidaya; f) Menanami mangrove di daerah pesisir pantai; g) Menambah taman kota; dan, h) Merevetigasi taman pemakaman. Terdapat hubungan yang nyata antara kualitas RTH dengan fungsi dan kepuasan pengguna RTH. Masyarakat biasanya mengunjungi taman tidak hanya untuk berolahraga, namun juga sebagai sarana rekreasi bersama keluarga dan teman (Malek,

272


Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga)

dkk., 2015). Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan RTH dari segi kualitas dan kuantitas dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya di perkotaan.

(2) hal: 297-305.

KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa RTH Kota Medan belum memenuhi ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007 sehingga perlu dilakukan langkah-langkah stratergis untuk menambah luasan RTH. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu: a) mengembangkan pemukiman penduduk yang padat dengan merevegetasi pekarangan rumah dengan menanam tanaman hias jika pekarangan rumah warga relatif kecil dan menanam tanaman budidaya jika pekarangan rumah warga relatif luas; b) mengembangkan areal sekolah serta kampus yang ada di Kota Medan sebagai lahan tambahan yang ditanami dengan tanaman budidaya agar dapat membatu memenuhi kekurangan luas lahan RTH; c) mengembangkan pekarangan areal kantor instansi pemerintah menjadi taman-taman mini yang membantu mengurangi polusi udara; d) menanami setiap bahu jalan yang ada di Kota Medan dengan tanaman budi daya; e) menanami bantaran sungai yang ada di Kota Medan dengan tanaman budidaya; f) menanami mangrove di daerah pesisir pantai; g) menambah taman kota; dan, h) Merevetigasi taman pemakaman.

Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.

Branch, M. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif. Pengantar dan Penjelasan. Terjemahan Achmad Djunaidi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar RTH Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Dwiyanto, A., 2009. Kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di permukiman perkotaan. Teknik 30 (2) hal: 88-93. Groenewegen PP, van den Berg AE, de Vries, S and Verheij RA. (2006) Vitamin G: Effects of Green Space on Health, Well-being. And Social Safety. BMC Public Health, 6(14)hal: 1-9 Harahap, Khairina. 2013. Analisis Perubahan Lahan RTH (RTH) Menjadi Ruang Terbangun (RTB) di Kota Medan Tahun 2006-2011. Skripsi, Universitas Negeri Medan. Kementerian Dalam Negeri, 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tentang Penataan RTH Di Wilayah Perkotaan. Kementerian Hukum dan HAM. 2007. UndangUndang No. 26 tentang Penataan Ruang, tanggal 26April2007. Departemen Perhubungan. Jakarta.

REKOMENDASI Berdasarkan kesimpulan di atas beberapa Rekomendasi kebijakan yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Kota Medan menggalakkan program penghijauan kembali yang dapat mencontoh program “satu pohon satu orang”. 2. Kebijakan terhadap pengelolaan RTH yang telah ada harus ditindaklanjuti dengan pemeliharaan yang memadai sehingga tetap terjaga kelestariannya. 3. Pemerintah Kota agar menghimbau Kantor instansi pemerintah yang ada di Kota Medan untuk turut aktif melakukan penghijauan dengan menanam pohon, membersihkan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar kantor.

Malek, N.A., Mariapan, M. & Rahman, N.I.A.A., 2015. Community Participation in Quality Assessment for Green Open Spaces in Malaysia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 168, hal: 219–228. Malek, N.A., Mariapan, M. & Rahman, N.I.A.A., 2015. Community Participation in Quality Assessment for Green Open Spaces in Malaysia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 168 hal: 219–228. Mansor, M., Said, I.danMohamad, I. 2010. Experiental Contacts with Green Infrastructure's Diversity and Well-being of Urban Community, Asian Journal of Environment-Behaviour Studies hal: 33-47. Menteri Pertambangan dan Energi, 1992. Peraturan Menteri No. 01.P/47/MPE/1992 tentang Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Untuk Penyaluran Tenaga Listrik.

DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Laporan Kajian Potensi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan Sumatera Utara (Studi Kasus RTH Kota Medan Kota Metropolitan. Medan: Balitbang Provsu.

Miraza, B.H. 2005. Peran Kebijakan Publik dalam Perencanaan Wilayah. Jakarta: Wahana. Nasution, A.D. dan Zahrah, W. 2015. The Space is Not Ours, the Life of Public Open Space in Gated Community in Medan, Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 202, hal: 144–151.

Baharuddin, A. 2011. Kebutuhan ruang terbuka hijau pada kawasan pusat Kota Jayapura. Bumi Lestari 11

273


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 264-274

Pemerintah Kota Medan, 2011. Peraturan Daerah Kota Medan No. 13 tentang Rencana Tata Ruang wilayah kota medan tahun 2011-2031. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. Rustam, Hakim. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan RTH Kota DKI Jakarta. Thesis,Institut Teknologi Bandung. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1995, Metode Penelitian Survei, Edisi Revisi.Jakarta:PT. Pustaka LP3ES. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Zhang B., Xie G., Xia B, dan Zhang C. 2012. The effects of public green spaces on residential property value in Beijing. Journal of Resource and Ecology 2(3) hal: 243252. Zhang, W. dkk. 2015. Factors affecting the use of urban green spaces for physical activities: Views of young urban residents in Beijing. Urban Forestry & Urban Greening, 14(4) hal: 851–857

274


Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

HASIL PENELITIAN PERKEMBANGAN KEBUN RAKYAT DI SUMATERA UTARA

(DEVELOPMENT OF PEOPLE PLANTATION IN NORTH SUMATRA) Silvia Darina Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jln. Sisingamangaraja No. 198 Medan email: silvia.darina@gmail.com

Diterima: 8 Oktober 2015; Direvisi: 3 November 2015; Disetujui: 20 November 2015

ABSTRAK Sumatera Utara merupakan salah satu produsen utama komoditi perkebunan di Indonesia. Komoditi hasil perkebunan yang paling dominan dari Sumatera Utara saat ini adalah kelapa sawit, karet, coklat, dan kopi. Dilihat dari produksi, perkebunan rakyat dengan areal 50,20% dari luas areal perkebunan di Sumatera Utara dengan memberikan kontribusi produksi sebesar Âą 23,77%. Perkebunan Rakyat adalah usaha tanaman perkebunan yang dimiliki dan atau diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan/tidak berbadan hukum, dengan luasan maksimal 25 hektar atau pengelola tanaman perkebunan yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari Batas Minimum Usaha (BMU). Program pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui kebijakan yang dapat mendorong petani untuk mampu mengembangkan diri dan kelompoknya ke dalam bentuk kelembagaan ekonomi atau koperasi serta yang dapat memanfaatkan potensi ekonomi secara efisien dan berdaya saing tinggi melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan luas lahan perkebunan rakyat. Adapun hasil yang didapat adalah Luas areal kelapa sawit dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 392.721,00 ha menjadi 417.838,00 ha. Luas areal karet dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 385.879,31 ha menjadi 392.884,00 ha hal ini dikarenakan Pertumbuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan kegiatan yang dinyatakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut masyarakat banyak mengubah fungsi lahan dan meningkatkan luas areal penanaman. Luas areal kakao dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 59.370.90 ha menjadi 64.934.00 ha. Luas areal kopi robusta dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 20.988.50 ha menjadi 20.854.00 ha. Begitu juga Luas areal kopi arabika dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 57.721,06 ha menjadi 1.159.00 ha. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang menanam tanaman tersebut karena tanaman kakao dan kopi memiliki prospek agribisnis yang bagus dan mengalami peningkatan harga. Luas areal tebu dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 734.10.00 ha menjadi 61.231 ha karena lahan tebu banyak dialih fungsikan ke tanaman kelapa sawit. Luas areal tembakau dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 385.25.00 ha menjadi 1.305.00 ha. Dikarenakan jumlah petani tembakau tidak ada pengembangan dan masih usaha yang bersifat turun temurun. Luas lahan perkebunan rakyat mengalami peningkatan dikarenakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil perkebunan, dan merupakan Salah satu model pengembangan perkebunan adalah Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Rekomendasi dari tulisan ini adalah agar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebaiknya memperhatikan semua jenis komoditi perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi dan peluang pasar yang luas jangan hanya berpihak pada satu komoditi. Kata kunci: pengembangan, perkebunan, rakyat, Sumatera Utara

ABSTRACT North Sumatra is one of the main producer of plantations crops in Indonesia. Commodity crop that most dominant of North Sumatra today is oil palm, rubber, cocoa, and coffee. Judging from the production, smallholders with the area of 50.20% of the total area of plantations in North Sumatra to contribute to the production of Âą 23.77%. Small holder plantation crop is a business owned or held or managed by individuals/non-legal, with a maximum area of 25 hectares or managers who have large numbers of plantations of trees saved more than the minimum of effort

275


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 275-284

(BMU). plantation development program implemented through policies that can encourage farmers to be able to develop himself and his group in the form of economic or cooperative institutions and which can efficiently utilize the economic potential and high competitiveness through the development of systems and agribusiness. This paper aims to describe the development of people's plantation area. The results obtained are oil palm acreage from 2010 to 2014 continued to increase from 392,721.00 417,838.00 ha become. The area of rubber from 2010 to 2014 continued to increase from 385,879.31 392,884.00 ha, this is due to the growth in the activities of oil palm and rubber is an activity that otherwise would increase regional economic growth and incomes. Based on that many people change the land use and an increase acreage of cultivation. The area of cacao from 2010 to 2014 continued to increase over into 64.934.00 59.370.90 ha ha. Robusta coffee acreage from 2010 to 2014 continued to increase over into 20.854.00 20.988.50 ha ha. Likewise arabica coffee acreage from 2010 to 2014 continues to experience an increase of 57721.06 ha to 1.159.00 ha. This is due to the many people who grow these plants because plants cocoa and coffee have good prospects for agribusiness and increased prices. The area of sugarcane from 2010 to 2014 continued to decline from 734.10.00 ha to 61231.00 ha because many transformed to enable sugar cane land to plant oil palm. The area of tobacco from 2010 to 2014 continued to decline from 385.25.00 ha to 1.305.00 ha. Due to the number of tobacco farmers and still no development effort that is hereditary. People's plantation area has increased due to an effort to increase the plantation, and is one of plantation development model is NES (PIR). Recommendations from this paper is that the North Sumatra Provincial Government should pay attention to all kinds of plantation commodities of high economic value and broad market opportunities not only in favor of a single commodity. Keywords: development, agriculture, people, north sumatra

karet, coklat, dan kopi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara tahun 2006-2013, perkembangan luas tanam dan produksi perkebunan tanaman kelapa sawit rakyat dari 363.095,36 ha menjadi 393.990,00 ha dan peningkatan produksi dari 4.486.478,73 ton menjadi 5.388.636,36 ton; tanaman karet dari 349.768,52 ha menjadi 391.430,10 ha dan penurunan produksi dari 220.634 ton menjadi 31.363,70 ton; tanaman coklat dari 49.171,94 ha menjadi 67.193 ha dan penurunan produksi dari 32.781,38 ton menjadi 20.564 ton. Tanaman kopi arabika 59.578ha dan robusta 21.085 ha dan produksi kopi arabika 49.052 ton dan robusta 86,20 ton (Badan Pusat Statistik, 2013). Berdasarkan pengusahaannya perkebunan di Sumatera Utara terdiri dari 3 jenis yaitu perkebunan rakyat (50,20%), PTPN (23,96%) dan PBSA (7,57%) dengan komoditi utama kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao. Dilihat dari produksi, perkebunan rakyat dengan areal 50,20% dari luas areal perkebunan di Sumatera Utara dengan memberikan kontribusi produksi sebesar Âą 23,77%. Perkebunan Rakyat adalah usaha tanaman perkebunan yang dimiliki dan atau diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan/tidak berbadan hukum, dengan luasan maksimal 25 hektar atau pengelola tanaman perkebunan yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari Batas Minimum Usaha (BMU). Berdasarkan besar kecilnya, usaha perkebunan rakyat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengelola tanaman perkebunan dan pemelihara tanaman perkebunan. Produksi perkebunan rakyat masih rendah, terutama

PENDAHULUAN Terdapat 127 jenis Komoditas tanaman binaan seperti yang tercantum dalam dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Adapun luas areal perkebunan di Sumatera Utara untuk perkebunan rakyat yaitu 1.127.913,99 hektare, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) 375.404,07 hektare, Perkebunan Besar Swasta Negeri (PBSN) 435.518,90 hektar, Perkebunan Besar Swasta Asing (PBSA) seluas 202.403,60 hektare. Sehingga memiliki total luas 2.141.240,58 hektare, dengan komoditas utama berupa karet, kelapa sawit, kopi, kakao, kelapa. Komoditas Potensialnya nilam, aren, tembakau, cengkeh, gambir, tebu. Hingga kini, luas perkebunan karet seluas 591.262,92 hektare dengan jumlah produksi 541.236,45 ton. (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002). Lahan perkebunan adalah lahan usaha pertanian yang luas, biasanya terletak di daerah tropis atau subtropis, yang digunakan untuk menghasilkan komoditi perdagangan (pertanian) dalam skala besar dan dipasarkan ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal. Ukuran luas perkebunan sangat relatif dan tergantung ukuran volume komoditi yang dipasarkannya. Namun demikian, suatu perkebunan memerlukan suatu Luas minimum untuk menjaga keuntungan melalui sistem produksi yang diterapkannya. Sumatera Utara merupakan salah satu produksi utama perkebunan di Indonesia. Komoditi hasil perkebunan yang paling dominan dari Sumatera Utara saat ini adalah kelapa sawit,

276


Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

disebabkan berbagai masalah baik menyangkut teknologi, kemampuan SDM, keterbatasan modal, rendahnya pemanfaatan Iptek yang pada gilirannya menyebabkan terbatasnya kegiatan intensifikasi, peremajaan maupun rehabilitasi tanaman (Hasibuan, 2014) Berbagai kegiatan pembangunan perkebunan pada masa lalu baik melalui Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Pola Unit Pelayanan Pembangunan (UPP), Pola Swadaya maupun Pola Perkebunan Besar telah menunjukkan hasil yang signifikan dan berdampak nyata dalam peningkatan luas areal dan produksi perkebunan, akan tetapi belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah secara berkeadilan. Pelaku sektor hulu (on farm) yaitu para petani yang banyak menghadapi resiko dan mendapat nilai tambah yang relatif kecil melalui penjualan produksi primer dibanding nilai tambah yang diperoleh pelaku di sektor hilir (pengolahan/pemasaran). Hal ini terutama disebabkan pola pembangunan yang dilaksanakan selama ini seperti Pola PIR, Pola UPP, Pola Swadaya dan Pola Perkebunan Besar belum mampu mengembangkan keseimbangan penyediaan sarana produksi, pengolahan, pemasaran serta kurangnya dukungan infrastruktur seperti kondisi jalan yang belum memadai dalam mendukung usaha taninya (Djafar dan Daswir, 1992). Sub sektor perkebunan di Indonesia masih cukup luas bila akan dikembangkan karena perkebunan memiliki biodiversity yang merupakan potensi sumberdaya genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan. Selain itu Indonesia juga memiliki lahan yang potensial untuk perkebunan serta agroekosistem yang sesuai seperti geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan dan keanekaragaman jenis tanah yang sangat mendukung untuk pengembangan perkebunan. Dari sisi tenaga kerja, 114 juta orang angkatan kerja Indonesia, sekitar 38%-nya (43 juta orang) bekerja di sektor pertanian dan 17%-nya (19,7 juta orang) di antaranya menggantungkan hidupnya pada sub sektor perkebunan (Rahayu S, 2014). Potensi lainnya adalah tersedia teknologi budidaya terapan, baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan serta masih luasnya pasar komoditas perkebunan semakin tinggi mengingat pangsa pasar di dalam negeri masih cukup besar dan permintaan internasional terhadap produk perkebunan terutama karet, kelapa sawit, kakao dan kopi yang semakin meningkat (Rahayu S, 2014).

Namun demikian tidak sedikit permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan perkebunan seperti: a) terdapatnya kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk peraturan yang kurang selaras dengan kebijakan nasional, sehingga terjadi kompetisi pemanfaatan sumberdaya alam dan membebani pelaku perdagangan dengan berbagai pungutan atau retribusi; b) pemanfaatan lahan dan peningkatan jumlah penduduk yang pesat serta distribusinya yang tidak merata telah melampaui daya dukung lahan, sehingga lahan menjadi sumberdaya yang langka dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik sosial; dan, c) Budaya kerja baik pekebun maupun petugas sebagai pembina masih berorientasi kepada anggaran pemerintah, sehingga pembinaan dan bimbingan kurang berkesinambungan. Masalah lain adalah, jumlah petugas yang kurang memadai serta ketidak sesuaian penempatan petugas khususnya yang menangani perkebunan, kelembagaan/ organisasi pekebun belum menunjukkan kontribusinya sebagai kelembagaan yang profesional, produktif dan mandiri, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan masih di bawah potensi (72,5%), efisiensi agribisnis perkebunan belum memenuhi skala ekonomi usaha agribisnis perkebunan khususnya perkebunan rakyat; Belum terintegrasinya usaha agribisnis perkebunan dalam suatu kawasan pengembangan; Liberalisasi perdagangan menimbulkan persaingan dalam produk dan mutu produk perkebunan dan akses pekebun terhadap sumber permodalan untuk memulai atau mengembangkan usaha perkebunannya masih sulit (Rahayu L, 2014). Prospek industri kelapa sawit Indonesia secara umum diharapkan akan semakin cerah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator utama yang mengalami kenaikan setiap tahun, misalnya pada tahun 2012 luas lahan perkebunan sudah mencapai 9 juta hectare, angka produksi sekitar 25 juta ton, ekspor lebih dari US$ 21 milyar, serta penyerapan tenaga kerja disemua lini industry kelapa sawit mencapai sekitar 4.5 juta jiwa. Peluang pengembangan minyak sawit juga didukung oleh produktivitas yang lebih tinggi dan harga produk yang relater lebih rendah apabila dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2014). Devisa dari karet tercatat kedua terbesar setelah produk sawit atau sebesar US$ 814,544 juta hingga semester I (Antara, 2014). Usaha untuk meningkatkan produktivitas karet

277


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 275-284

nasional dapat dilakukan melalui percepatan peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon-klon unggul baru yang lebih produktif dan tahan penyakit daun dan juga dengan meluaskan lahan pertanaman karet (Anwar, 2006) Budidaya kakao di Indonesia meskipun produksinya tinggi, namun mutunya kurang baik terutama kakao rakyat. Sedangkan kakao dari perkebunan besar baik negara maupun swasta umumnya sudah baik. Biji kakao Indonesia merupakan komoditi ekspor dan sebagian kecil untuk kebutuhan dalam negeri. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan memegang peranan cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US$ 701 juta. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para pekebun rakyat untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao. Sektor perkebunan menjadi salah satu andalan investasi Sumatera Utara, bahan komoditi seperti sawit, karet, kelapa, kopi dan kakao sangat berlimpah, namun secara mengejutkan pada tahun 2013 Dinas Perkebunan Provinsi Sumut menutup peluang masuknya investasi perluasan lahan perkebunan dan lebih memprioritaskan pengembangan industri hilir (Purnomo, 2014) Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Aspan Sofian Batubara "Kalaupun ada yang melakukan perluasan lahan, itu bukan program dinas perkebunan”. Sumatera Utara telah memiliki lahan perkebunan yang cukup luas, yakni 1.999.574 hektare sehingga dinilai tidak perlu dilakukan perluasan lagi. Jumlah lahan perkebunan tersebut bukan hanya milik sejumlah PTPN, melainkan perkebunan masyarakat, perusahaan swasta nasional dan perusahaan swasta asing. Dengan jumlah lahan perkebunan yang cukup luas tersebut, ia mengemukakan, pihaknya tidak mungkin mengambil kebijakan perluasan lahan, melainkan pengembangan kualitas dan produktivitas. Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Aspan Sofian Batubara "Jumlah lahan perkebunan kita hampir

mencapai dua juta hektare sehingga tidak diperluas lagi. Perkebunan yang ada hanya diremajakan” (Purnomo, 2014). Berdasarkan data perkembangan total luas areal perkebunan di Sumatera Utara tahun 2009 adalah 1.956.331,02 Ha, bila dibandingkan dengan tahun 2008 (1.913.224,25 ha) terdapat peningkatan 2,25% per tahun, sedangkan total produksi 4.411.536,56 ton meningkat 0,50% per tahun bila dibandingkan tahun 2008 sebesar 4.389.526,67 ton. “Melihat kondisi saat ini, luas perkebunan Sumut ± 1,9 jt ha atau ± 23% dari luas Sumut yang sebagian besar areal perkebunan rakyat 55%, namun dari aspek produksi, perkebunan rakyat masih rendah dibanding dengan perkebunan besar lainnya hal ini akibat dari rendahnya produktivitas perkebunan rakyat yang diakibatkan akses kemampuan SDM, modal dan penguasaan iptek pada perkebunan rakyat masih rendah, maka melalui program pembangunan perkebunan di Provinsi Sumatera Utara kedepan diharapkan adanya peningkatan luas, produksi, produktivitas dan kualitas tanaman perkebunan, meningkatnya ekspor hasil perkebunan, meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk perkebunan (Medan Bisnis, 2014) Tujuan pembangunan perkebunan di Provinsi Sumatera Utara adalah meningkatkan ekonomi rakyat, membuka daerah terisolir, pemanfaatan tenaga kerja, dan menjaga keseimbangan lingkungan. Program pembangunan perkebunan meliputi : Program Peningkatan Kesejahteraan Petani, Porgram Peningkatan Produksi Pertanian, Program Pengembangan Agribisnis, Program Peningkatan Produksi Perkebunan, Program Peningkatan Pemasaran Hasil Produksi, Program Peningkatan Penerapan Teknologi, dan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Pada pelaksanaan pembangunan perkebunan, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa, masih ditemukan kendala dan permasalahan yang dihadapi yaitu: a) keterbatasan modal dan SDM serta jaminan harga, rendahnya produktivitas perkebunan rakyat; b) sebagian besar kewenangan telah diserahkan ke Kabupaten sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007; c) ketatnya persyaratan Program Revitalisasi Perkebunan belum sama pada seluruh kabupaten/kota pada bank yang sama; d) status kepemilikan lahan belum sepenuhnya didukung oleh BPN; e) sulitnya mengakses sarana produksi; dan, f) belum ada kejelasan atas Kontribusi Bagi Hasil Perkebunan/PPh

278


Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

BUMN kepada Pemprov (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Kegiatan usaha perkebunan merupakan primadona perekonomian provinsi Sumatera Utara. Sejalan dengan kondisi tersebut, program pembangunan perkebunan dilaksanakan melalui kebijakan yang dapat mendorong petani untuk mampu mengembangkan diri dan kelompoknya ke dalam bentuk kelembagaan ekonomi atau koperasi serta yang dapat memanfaatkan potensi ekonomi secara efisien dan berdaya saing tinggi melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Hal ini sejalan dengan visi Departemen Pertanian yaitu membangun sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, dimana pembangunan pertanian tidak hanya membangun pertanian dalan arti on farm saja, namun secara simultan perlu membangun industri yang menghasilkan barang modal bagi usaha pertanian, industri yang mengolah hasil pertanian, dan industri yang menghasilkan jasa bagi pertanian. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan luas lahan perkebunan rakyat.

Pendekatan yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah dengan pendekatan deskriptif. Sumber data berasal dari sensus pertanian 2013 yang diterbitkan BPS Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Utara Dalam Angka (SUDA) tahun 2014 dan 2015 sebagai studi dokumen. Selanjutnya data perkembangan kondisi pertanian diperoleh dari Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara. serta data primer diperoleh melalui wawancara, data dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang dilakukan BPS Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan di 33 (tiga puluh tiga) Kabupaten/Kota, usaha perkebunan dapat dikategorikan pengelolaannya atas: a) rumah tangga; b) perusahaan perkebunan berbadan hukum; dan, c) usaha perkebunan lainnya. Tulisan ini akan membatasi pada perkebunan rakyat. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari: kelapa sawit, karet, kakao, kopi, tebu, dan tembakau. Adapun jenis komoditi perkebunan di sumatera utara ditampilkan pada Tabel 1.

METODE

No. 1.

Tabel 1. Komoditi perkebunan di Sumatera Utara Komoditi Perkebunan Lokasi (Kabupaten/Kota) Kelapa Sawit Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Labuhanbatu, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Batu Bara, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Labuhanbatu Selatan

2.

Karet

Tapanuli Selatan, Labuhanbatu, Asahan, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Batu Bara, Padang Lawas, Labuhanbatu Selatan.

3.

Kakao

Mandailing Natal, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai.

4.

Teh

Simalungun, Dairi

5.

Kopi

Tapanuli Selatan, Dairi

6.

Tebu

Deli Serdang, Langkat

7.

Tembakau

Deli Serdang

Sumber: Badan Pusat Statistik (2013) Apabila dibandingkan dengan data luas perkebunan Indonesia 17.181.000 ha pada tahun 2002, maka luas perkebunan yang dimiliki Sumatera Utara Âą 9,44% dari luas perkebunan Indonesia. Areal perkebunan tersebut meliputi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Swasta

dan Perkebunan Negara dengan komoditinya adalah karet, kelapa sawit, kakao, kopi dan kelapa. Perkembangan luas areal perkebunan selama periode 1998-2002 secara totalitas mengalami pertumbuhan besar 0,61% per tahun dan perkebunan rakyat 0,54% pertahun,

279


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 275-284

terutama pada areal tanaman kelapa sawit, kakao dan kopi. Hal ini disebabkan animo petani untuk mengembangkan komoditi tersebut relatif cukup tinggi karena prospek pasar sangat mendukung. Khusus untuk komoditi perkebunan spesifik daerah Sumatera Utara secara mengembirakan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan luas areal perkebunan Sumatera Utara sampai dengan tahun 2005 rata-rata mencapai 0,25% per tahun dan sampai dengan akhir tahun 2010 diprediksi meningkat rata-rata

0,36% pertahun terutama pertumbuhan luas areal untuk komoditi perkebunan spesifik daerah Sumatera Utara. Laju pertumbuhan luas areal pengembangan tanaman perkebunan juga mengalami kenaikan sedikit 0,02%. Peningkatan kompetensi kelembagaan/kelompok petani perkebunan sebesar 5 % dari total jumlah petani pekebun sebanyak 863.089 orang. Sebagian hal ini dapat digambarkan pada tabel 2 mengenai perbandingan luas lahan perkebunan rakyat berdasarkan komoditi tahun 2010-2014.

Tabel 2. Perbandingan luas lahan perkebunan rakyat berdasarkan komoditi tahun 2010-2014 Luas Lahan (ha) No. Jenis Komoditi 2010 2014 1.

Kelapa Sawit

392.721,00

417.838,00

2.

Karet

385.879,31

392.884,00

3.

Kakao

59.370,90

64.934,00

4.

Kopi Robusta

20.988.50

20.854,00

5.

Kopi Arabika

57.721,06

61.231,00

6.

Tebu

734.10,00

1.159,00

7.

Tembakau

385.25,00

1.305,00

Sumber: SUDA 2014 dan 2015 Berdasarkan sebaran jenis tanah di Sumatera Utara, maka potensi terbaik penggunaan tanah di Sumatera Utara adalah untuk tanaman perkebunan. Pada tahun 2011 usaha perkebunan yang dilakukan oleh perusahaan besar dan juga perkebunan rakyat mencakup luas 2,376,287 Ha. Berdasarkan jenis tanahnya, maka potensi lahan yang cocok untuk perkebunan dan belum dimanfaatkan hanya tinggal 3% di seluruh Sumatera Utara. Luas areal kelapa sawit dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 392.721,00 ha menjadi 417.838,00 ha yang terdiri dari komposisi (Tanaman Belum Menghasilkan), TM (Tanaman Menghasilkan) dan TTM (Tanaman Tua Menghasilkan). (Arjuna, 2015). Tingginya tingkat permintaan terhadap produksi tanaman perkebunan seperti kelapa sawit menyebabkan sebagian tanah organosol di daerah pantai sudah dijadikan lahan perkebunan sawit. Bahkan saat ini sebagian tanah yang sudah dikelola untuk tanaman padi dialihfungsikan menjadi tanaman sawit (Arjuna, 2015). Perkebunan kelapa sawit masih menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja lapangan, maka perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 seluas 9 juta hektar akan mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3, 6 juta tenaga

kerja dan ditambah lagi dibagian transportasi, pengolahan dan laboratorium dapat menyerap 500 ribu orang tenaga kerja. Terkait dengan penyerapan tenaga kerja baru, sub sektor perkebunan tahun 2005 – 2012 telah mampu menciptakan lapangan kerja baru rata- rata 450 ribu orang per tahun terutama pada komoditi kelapa sawit (Balitbang, 2013). Hal ini juga yang mempengaruhi pertambahan lahan sehingga banyak lahan yang dialihfungsikan ke komoditi kelapa sawit. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Luas areal karet dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 385.879,31 ha menjadi 392.884,00 ha yang terdiri dari komposisi (Tanaman Belum Menghasilkan), TM (Tanaman Menghasilkan) dan TTM (Tanaman Tua Menghasilkan). Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal

280


Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

Luas areal tebu dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 734.10.00 ha menjadi 61.231,00 ha karena lahan tebu banyak dialih fungsikan ke tanaman kelapa sawit. Penyebab tanaman tebu dialihkan disebabkan karena tanaman tebu memiliki sifat karakteristik yang menjadi penghambat yaitu pada pengelolaan yang lebih sulit dan biaya tebang, muat dan angkut yang lebih besar (Hasibuan, 2014). Disamping itu perbandingan bobot tebu dengan nilai per-unit bobotnya lebih rendah. Tebu bersifat cepat mudah rusak. Rendemen yang telah mencapai kemasakan optimal akan cepat menurun, sehingga jika ada hambatan pada saat penebangan maupun pengolahan mengakibatkan terjadi pengurangan kadar gula yang dihasilkan. Kawasan Sumatera Utara yang intens memproduksi tembakau walaupun jumlahnya cukup banyak dan tersebar, tetapi luas lahannya jauh lebih minim dibandingkan dengan komoditas perkebunan lain. Hal ini sesuai dengan data luas areal tembakau dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 385.25.00 ha menjadi 1.305.00 ha. Pengembangan tembakau rakyat berada di Kabupaten Simalungun, Taput, Humbahas, Karo, Dairi, Palas, Tapsel, dan Madina. Namun hanya tembakau Deli saja yang diekspor ke luar negeri. Menurut Dinas pertanian sumatera utara Untuk kawasan Simalungun, Taput, Humbahas, Karo, dan Dairi bermitra dengan pabrik Sumatera Tobaco Trading Company (STTC). Tetapi, itupun hanya mampu memenuhi 35% dari total kebutuhan pasokan pabrik, sehingga sisanya harus didatangkan dari luar seperti Jawa. Sementara untuk tembakau Deli produksinya masih di sekitaran Sungai ular saja yang masih tersisa. Petani tembakau juga jumlahnya tidak pernah ada pengembangan. Para petani tembakau yang berproduksi saat ini notabene merupakan usaha turun temurun dari keluarganya. Jadi para petani tembakau yang ada saat ini hanya meneruskan tradisi turun temurun saja. Pada Gambar 1 ditampilkan perbandingan luas lahan perkebunan rakyat berdasarkan komoditi tahun 2010-2014. Berdasarkan data grafik tersebut dapat dilihat bahwa tanaman kelapa sawit, karet, kakao dan kopi mengalami peningkatan, sedangkan tebu dan tembakau mengalami penurunan hal ini dikarenakan Pertumbuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan kegiatan yang dinyatakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan masyarakat.

kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang memerlukan peremajaan (Antara, 2014) Kakao merupakan salah satu komoditas internasional yang memiliki jumlah permintaan tinggi. Saat ini, konsumen terbesar kakao adalah Eropa (49%), kemudian disusul dengan Amerika Utara (25%) dari seluruh suplai kakao yang ada di dunia. Luas areal kakao dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 59.370.90 ha menjadi 64.934.00 ha yang terdiri dari komposisi (Tanaman Belum Menghasilkan), TM (Tanaman Menghasilkan) dan TTM (Tanaman Tua Menghasilkan). Hal ini dikarenakan Di dalam negeri sendiri, kakao terus mengalami peningkatan harga. Hal ini memperlihatkan potensi perkebunan kakao dalam menyerap tenaga kerja sangat tinggi yang mana dapat menngkatkan perekonomian daerah. Hal inilah yang membuat petani tertarik menanam kakao hingga mengalami peningkatan luas areal lahan kakao. Setiap pelaku yang terlibat dalam subsistem agribisnis kakao masih dapat meningkatkan pendapatan karena pasar kako masih terbuka untuk produk kakao yang hendak dipasarkan, hanya saja bagi petani perlu dengan teliti mengetahui dan memperhatikan standart mutu kakao yang ada dipasaran termasuk memperhatikan bibit unggul yang digunakan sehingga dalam subsistem hulu perlu adanya pemerataan (Harahap, dkk., 2014). Luas areal kopi robusta dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 20.988.50 hektar menjadi 20.854.00 hektar. Begitu juga Luas areal kopi arabika dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 57.721,06 hektar menjadi 1.159.00 hektar. Hal ini dikarenakan Komoditi kopi di Sumatera Utara memiliki prospek agribisnis yang sangat bagus baik dari segi kualitas produk, produktifitas dan kontuinitas, serta areal pertanaman yang luas membuat komoditi ini semakin banyak dibudidayakan di berbagai Kabupaten/Kota yang juga merupakan sumber penghasilan utama provinsi Sumatera Utara (Tumanggor, 2012). Komoditi kopi dari Sumatera Utara memiliki pangsa pasar yang sangat luas baik skala nasional maupun Internasional karena kualitas/cita rasa dan aroma yang khas diikuti dengan negara tujuan ekspor terbesar adalah perusahaan Starbuck di Amerika Serikat. Bentuk hasil olahan kopi dari provinsi Sumatera Utara yang terkenal adalah kopi tubruk instan, kopi bubuk, kopi luwak Sidikalang, dan permen kopi (Tumanggor, 2012).

281


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 275-284

Tanaman kakao dan kopi memiliki prospek agribisnis yang bagus dan mengalami peningkatan harga. Maka banyak yang tertarik dengan komoditi kakao dan kopi. Sedangkan tanaman tebu biaya pengelolaan yang lebih sulit dan biaya yang tinggi, sehingga sedikit sekali masyarakat yang bercocok tanam tebu, dan

tembakau hanya dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai usaha turun menurun maka karena hal inilah rakyat banyak beralihfungsi lahan ke tanaman perkebunan yang secara ekonomis sangat menghasilkan dan memiliki peluang pasar yang tinggi baik secara nasional maupun internasional.

Gambar 1. Grafik perbandingan luas lahan perkebunan rakyat berdasarkan komoditi tahun 2010-2014 Sumber: SUDA 2014 dan 2015 Program pengembangan tanaman perkebunan rakyat bertujuan untuk mempercepat pertambahan sektor riil khususnya meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan daya saing melalui pengembangan industri hilir berbasis perkebunan dan meningkatkan penguasaan ekonomi nasional dan pengembangan wilayah (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2008). Luas lahan perkebunan rakyat mengalami peningkatan dikarenakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil perkebunan. Adapun usaha untuk meningkatkan hasil perkebunan dilakukan dengan cara pembukaan perkebunan baru, pemeliharaan tanaman perkebunan, pemberian modal, kegiatan penyuluhan lapangan tentang perkebunan atau tanaman tertentu. Dan juga merupakan Salah satu model pengembangan perkebunan adalah Perkebunan Inti Rakyat (PIR) (Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2008). Pola yang dilakukan masyarakat dan pemerintah dalam mengembangkan tanaman perkebunan rakyat Berdasarkan UndangUndang Nomor 18 tahun 2004, mengenai konsep kemitraan yaitu perusahaan perkebunan sebagai inti melakukan kemitraan yang saling

menguntungkan, saling menghargai, memperkuat, bertanggung jawab dan saling ketergantungan dengan masyarakat disekitar perkebunan sebagai plasma. Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. Perusahaan dan petani peserta plasma sebaiknya harus bermitra. Pasalnya adanya kemitraan akan membantu memperbesar skala usaha petani dan meningkatkan efisiensi produksi perusahaan. Prinsip kemitraan adalah saling terbuka dan percaya sehingga kedua pihak saling menguntungkan dan membutuhkan. Dari rasa saling percaya dan bergantung antara perusahaan dan petani, maka terbentuk hubungan win-win solution berorientasi jangka panjang. Ini juga disebut pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR). KESIMPULAN Luas areal kelapa sawit dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 392.721,00 ha menjadi 417.838,00 ha. Luas areal karet dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 385.879,31 ha

282


Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

wit_di_sumatera_utara_Jaya_Arjuna Agustus 2015].

menjadi 392.884,00 ha. Hal ini dikarenakan Pertumbuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan kegiatan yang dinyatakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan masyarakat. Berdasarkan hal tersebutlah masyarakat banyak mengalihfungsikan lahan dan meningkatkan luas areal penanaman. Luas areal kakao dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 59.370.90 ha menjadi 64.934.00 ha. Luas areal kopi robusta dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 20.988.50 ha menjadi 20.854.00 ha. Begitu juga Luas areal kopi arabika dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami peningkatan dari 57.721,06 ha menjadi 1.159.00 ha. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang menanam tanaman tersebut karena tanaman kakao dan kopi memiliki prospek agribisnis yang bagus dan mengalami peningkatan harga. Luas areal tebu dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 734.10.00 ha menjadi 61.231,00 ha karena lahan tebu banyak dialih fungsikan ke tanaman kelapa sawit. Luas areal tembakau dari tahun 2010 hingga 2014 terus mengalami penurunan dari 385.25.00 ha menjadi 1.305.00 ha. Dikarenakan jumlah petani tembakau tidak ada pengembangan dan masih usaha yang bersifat turun temurun. Luas lahan perkebunan rakyat mengalami peningkatan dikarenakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil perkebunan, dan merupakan Salah satu model pengembangan perkebunan adalah Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

[Diakses:

18

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2002. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2013. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Medan. [Online] Dari:http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid /commodityarea.php.com [Diakses: 18 Agustus 2015]. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2015. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, 2008. Laporan Hasil Penelitian Sistem Perkembangan Perkebunan Rakyat. Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2013. Laporan Hasil Penelitian Kajian Pengembangan SIDa Tentang Sosial dan Ekonomi Terhadap Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit. Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Dinas Perkebunan Sumatera Perkembangan Tanaman Tebu. Perkebunan Sumatera Utara.

Utara. Medan:

2008. Dinas

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2004-2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.

REKOMENDASI Pemerintah Provinsi Sumatera Utara disarankan untuk berfokus pada perluasan lahan untuk semua jenis komoditi perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi dan memiliki peluang pasar.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2002. Perkembangan Perkelapasawitan. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Menjaga Semangat Masyarakat Perkebunan Dalam Setiap Pembangunan Bangsa. [Online] Dari: http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-217-menjagasemangat-masyarakat-perkebunan-dalam-setiappembangunan-bangsa.html [Diakses: 18 Agustus 2015].

DAFTAR PUSTAKA Antara. 2014. Gapkindo minta pemerintah pro petani. [Online] Dari: http://ekonomi.metrotvnews.com/ [Diakses: 02 Oktober 2014] Anwar, C. 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia. Pros. Lok. Nas. Budidaya Tanaman Karet 2006.

Harahap, J. A., dkk. 2014. Kakao. [Online] Dari: http://www.academia.edu/6339028/Paper_kakao_ds bis [Diakses 18 September 2015].

Arjuna, J. 2015. Penurunan Kualitas Lingkungan Akibat Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Di Sumatera Utara [Online] Dari: http://www.academia.edu/11061713/penurunan_ku alitas_lingungan_akibat_usaha_perkebunan_kelapa_sa

Hasibuan, RA. 2014. [Online] Dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26 211/5/Chapter%20I.pdf [Diakses: 18 September 2015].

283


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 275-284

Medan Bisnis. 2014. Produksi Perkebunan Sumut Tumbuh. [Online] Dari: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014 /12/30/138224/produksi-perkebunan-sumuttumbuh-257persen/#.VnH-DPlTLIU [Diakses: 17 September 2015]. Purnomo, S. 2014. Menghitung Pola Investasi. [Online] Dari: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014 /03/28/87058/menghitung-peluang-investasisumut/#.VnNSDflTLIU [Diakses 18 September 2015]. Rahayu, S. P. 2014. Pengembangan Tanaman Perkebunan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. [Online] Dari: http://m.tabloidsinartani.com/index.php?id=148&tx_ ttnews%5Btt_news%5D=1163&cHash=d3439fac03a1 f3c6d62b097195e392c7 [Diakses: 18 September 2015]. Tumanggor, J. 2012. Prospek Pengembangan Komoditi Kopi. [Online] Dari: http://jopianustumanggor.blogspot.co.id/2012/01/p rospek-pengembangan-komoditi-kopi-di.html [Diakses 18 September 2015].

284


Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

Hasil Penelitian STRATEGI PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM MINERAL DAN BATUBARA

(GOVERNMENT STRATEGY OF NORTH SUMATERA PROVINCE OF MINERAL RESOURCES AND COAL MANAGEMENT) MANAGEMENT) Husni ni Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Hus Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 email: pormanj@yahoo.co.id

Diterima: 28 Oktober 2015; Direvisi: 13 November 2015; Disetujui: 20 November 2015

ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk merekomendasikan strategi pengelolaan SDAMB kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pasca berlakunya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kajian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara pada periode bulan Mei sampai dengan Juli 2015. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder yang diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu observasi, Focus Grup Discussion (FGD), wawancara mendalam (indepth interview) dan studi pustaka. Responden atau informan dalam penelitian ini berasal dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi serta perwakilan dari sembilan Kabupaten yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Pak pak Bharat, Dairi, Karo dan Labuhanbatu Utara. Pemilihan informan disetiap instansi ditentukan secara search sampling terhadap pegawai instansi yang merupakan informan kunci yang secara kelembagaan dan tupoksi (tugas dan kewenangan) memahami tentang pengelolaan pertambangan SDAMB di wilayahnya. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan teknik komparatif tetap (the constant comparative technique). Kajian ini menyimpulkan bahwa pra UU No. 23 Tahun 2014, terdapat lima permasalahan utama pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara, yaitu 1). Rentannya izin pertambangan berbenturan dengan dengan hukum lainnya; 2). Konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi maupun yang illegal; 3). kurangnya kesadaran wajib pajak; 4). Maraknya Penambangan Tanpa Izin (PETI); dan 5). Pelaporan produksi pertambangan mineral belum tertib. Alternatif strategi yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam mengimplementasikan amanat UU No. 23 Tahun 2014 dalam perannya untuk mengelola SDAMB yang menjadi wewenangnya, Yaitu 1). Membentuk tim pengelola SDAMB di Sumatera Utara ; dan 2). Menyusun pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada. Kata kunci: UU No. 23 Tahun 2014, pertambangan, sumberdaya alam, mineral, batubara

ABSTRACT This study aims to recommend management strategies SDAMB to the North Sumatra Provincial Government after the enactment of Law 23 of 2014 on Regional Government. This study was conducted in North Sumatra province in the period May to July 2015. The data used include the primary and secondary data obtained using multiple data collection techniques, ie observation, Focus Group Discussion (FGD), indepth interview and literature review. Respondents or informants in this study are from the Department of Mines and Energy of the Province as well as representatives from 9 (nine) districts, Mandailing Natal, South Tapanuli, Central Tapanuli, Toba Samosir, North Tapanuli pak Pak Bharat, Dairi, Karo and Labuhanbatu Utara. Selection of informants at each institution is determined by search sampling of employees who are key informants were institutionally and duties (duties and authorities) understand about SDAMB mining management in the region. The analytical method used is the qualitative analysis method with comparative technique remains (the constant comparative technique). This study concluded that prior implementation of Law No. 23 Year 2014, there are 5 (five) main problems of coal and mineral resources management in North Sumatra, namely: a) the vulnerability of mining permits to collide with the other laws; b) conflicts between communities and concessionaires or illegal; c) lack of awareness of the taxpayer; d) the rise of Mining Without Permission (illegal); and, e)

285


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 285-290

reporting mineral mining production has not been orderly. Alternative strategies to do the North Sumatra Provincial Government in implementing the mandate of Law No. 23/ 2014 in its role to manage SDAMB under its control, ie a) establish a SDAMB management team in North Sumatra; and, b) develop guidelines for the management of working procedures SDAMB in North Sumatra in accordance with existing rules and regulations. Keywords: Law No. 23 Year 2014, mining, natural resources, mineral, coal

pasca berlakunya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

PENDAHULUAN Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 sebagai revisi dari UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) telah memberikan perubahan besar dan mendasar mengenai kewenangan yang diberikan kepada Daerah, yang salah satunya adalah mengenai kewenangan untuk mengelola Sumberdaya Alam (SDA). Kebijakan pengelolaan SDA yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan rehabilitasi SDA berupa izin Pengelolaan SDA, yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, beberapa telah menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. Seperti SDA Mineral dan Batubara (SDAMB), penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pertambangan mineral dan batubara telah dibagi antara Pemerintah Pusat dan Provinsi, sejak 2 Oktober 2014 yang diperjelas dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No.120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 dan Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 04.E/30/DJB/2015 tanggal 30 April 2015. Perubahan kewenangan ini tentunya memberikan dampak terhadap tatanan pengelolaan SDAMB terutama bagi Pemda Kabupaten dan Kota selaku pihak yang haknya dicabut, dan tentunya Pemda Provinsi selaku pihak yang diberikan hak lebih luas dalam pengelolaan SDA tersebut. Pemda Provinsi yang selama ini hanya menangani izin pengelolaan SDAMB yang berada pada lintas Kabupaten dan Kota, sekarang diberi kewenangan untuk menangani perizinan pengelolaan SDA mineral batubara dalam 1 (satu) Daerah Provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 mil (UU No. 23 tahun 2014), yang selama ini lebih banyak ditangani oleh Pemda Kabupaten dan Kota. Untuk itu, Pemda Provinsi harus segera berbenah dan mempersiapkan diri dalam menjalankan kewenangan tersebut, sebab kewenangan tersebut bukan hanya memberikan izin, namun yang paling penting penekanannya adalah terhadap pengelolaan (eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan rehabilitasi) SDA tersebut agar dapat digunakan untuk memperkuat perekonomian daerahnya secara optimal. Kajian ini bertujuan untuk merekomendasikan strategi pengelolaan SDAMB kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

METODE Kajian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara pada periode bulan Mei sampai dengan Juli 2015. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder yang diperoleh dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu observasi, Focus Grup Discussion (FGD), wawancara mendalam (indepth interview) dan studi pustaka. Responden atau informan dalam penelitian ini berasal dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara serta perwakilan dari Sembilan Kabupaten yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Pak pak Bharat, Dairi, Karo dan Labuhanbatu Utara. Pemilihan informan disetiap instansi ditentukan secara search sampling terhadap pegawainya yang merupakan informan kunci yang secara kelembagaan dan tupoksi (tugas dan kewenangan) memahami tentang pengelolaan pertambangan SDAMB di wilayahnya. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan teknik komparatif tetap (the constant comparative technique) sesuai yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Morissan (2014). Secara umum teknik komparatif tetap ini terdiri dari empat tahapan, yaitu 1) kategorisasi kejadian; 2) perbaikan kategori; 3) mencari hubungan tema diantara kategori; dan 4) menyederhanakan dan mengintegrasikan data berdasarkan struktur teorinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan usaha pertambangan SDAMB yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dengan desentralisasi, Pemda sebagai pemegang kewenangan pengelolaan SDAMB yang ada diwilayahnya diharapkan dapat menerapkan dan mewujudkan pengelolaan yang lebih baik karena berada lebih dekat lokasi SDA tersebut dan masyarakat disekitarnya (Nurkin, 2005). Pemda dianggap lebih mengetahui persoalan di

286


Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

daerahnya sendiri dibandingkan dengan Pemerintah Pusat. Dengan demikian desentralisasi dalam hal pengelolaan SDAMB akan mewujudkan pembangunan yang lebih partisipatif, peningkatan pemerataan pendapatan masyarakat lokal dari hasil pemanfaatan SDA tersebut melalui pengelolaan yang bertanggung jawab dengan memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Dilimpahkannya kewenangan pengelolaan SDAMB yang lebih banyak diberikan kepada Pemda Kabupaten dan Kota sejak bergulirnya era desentralisasi atau lebih dikenal dengan otonomi daerah, ternyata menghasilkan keadaan ketidak adilan antar daerah serta berakibat pada kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun, karena cenderung melakukan eksploitasi SDA tersebut secara berlebihan serta kurang mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Munculnya istilah “raja-raja kecil” yang menjadi penguasa tunggal serta meningkatnya egoisme daerah menambah semakin meningkatnya intensitas “kesembrawutan” pengelolaan SDAMB di Indonesia (Solechah, 2012; widodo, 2004 ; Nurkin, 2005 ; solihin dkk, 2007 ; Jauchar, 2011; DPD RI, 2013). Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Pengelolaan Pertambangan SDAMB di banyak daerah khususnya mengenai Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) banyak ditemukan penyimpangan. Pada tahun 2012 terdapat 4.485 izin pertambangan yang bermasalah secara administrasi dan tumpang tindih. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, menyatakan bahwa terdapat 8.263 lahan pertambangan di seluruh Indonesia. Namun yang telah CnC (Clean and Clear) hanya sebanyak 3.778. "Sementara sisanya masih bermasalah atau tumpang tindih" (DPD RI, 2013). Keadaan tersebut yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata terjadi juga di Sumatera Utara, ditandai sulitnya Pemerintah Provinsi melakukan pengumpulan dokumen perizinan IUP SDAMB yang ada di Kabupaten/Kota atas dasar SE Mendagri No.120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 dan Edaran Menteri ESDM No. 04.E/30/DJB/2015 tanggal 30 April 2015, sebagai penegasan dari UU No. 23 Tahun 2014. Sampai dengan periode bulan Juni 2015, masih banyak dokumen IUP baik dalam bentuk pertambangan mineral logam serta non logam dan batuan yang belum di serah terimakan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Disamping

adanya rasa ketidak “rela”an pihak Kabupaten/Kota untuk menyerahkan kewenangan yang dimiliki sebelumnya kepada Pemerintah Provinsi, masih banyak kegiatan usaha pertambangan yang beroperasi tanpa disertai izin yang sah menurut undang-undang. Mengakibatkan keengganan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyerahkan dokumendokumen tersebut kepada pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Terdapat 5 (lima) isu penting dalam kategori permasalahan yang selama ini terjadi dalam proses pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara. Ditentukannya kelima isu ini menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sebelum berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, adalah berdasarkan pernyataan dari setiap informan dalam kajian ini. Permasalahan ini dinyatakan berulang-ulang oleh para informan secara terbuka dalam proses wawancara dan FGD. Permasalahan tersebut juga selaras dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh Nurkin (2005), Solihin dkk (2007), Jauchar, 2011 dan Sari, 2015 pada daerah lain di Indonesia, yaitu: rentannya izin pertambangan berbenturan dengan dengan hukum lainnya; konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi maupun yang illegal; kurangnya kesadaran wajib pajak; maraknya penambangan tanpa izin (PETI); dan, pelaporan produksi pertambangan mineral belum tertib. Rentannya izin pertambangan berbenturan dengan dengan hukum lainnya. Hambatan yang dihadapi berkaitan dengan pengelolaan izin usaha pertambangan sangat berkaitan erat dengan hukum kehutanan, hukum agraria, perpajakan dan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Amdal. Seringnya izin yang terbit masih melanggar atau tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Masalah ini sering terjadi akibat tidak diikut sertakannya instansi-instansi terkait dalam proses pemberian izin terhadap permohonan izin pertambangan, kurangnya koordinasi antar instansi terkait adalah awal dari masalah ini. Konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi maupun yang illegal. Dalam banyak kasus, persoalan yang berawal pada konflik kepemilikan dan atau pengelolaan lahan akan berujung pada persoalan pidana berupa perlawanan dan pengrusakan fasilitas perusahaan oleh masyarakat. Sebagai gambaran dapat dilihat dari sejumlah kasus pertambangan yang muncul di Sumatera Utara diantaranya kasus penolakan masyarakat di Kecamatan Batang Toru Tapanuli Selatan terhadap operasi pertambangan PT. Agincourt Resources.

287


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 285-290

Kurangnya Kesadaran Wajib Pajak. Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam pemungutan pajak bahan galian di Provinsi Sumatera Utara adalah kurangnya kesadaran para wajib pajak yang merupakan para pengusaha yang menjalankan usaha pertambangan SDAMB untuk membayar pajak bahan galian, karena wajib pajak belum begitu mengetahui serta memahami akan fungsi dan peranan dari pada pemungutan pajak bahan galian bagi daerah. Hal ini dibuktikan dari data yang menyatakan jarang sekali terealisasinya capaian target PAD dari sektor pertambangan di daerah Kabupaten/Kota maupun di tingkat Provinsi di Sumatera Utara. Maraknya Penambangan Tanpa Izin (PETI). Maraknya kegiatan penambangan secara liar di di Daerah Provinsi Sumatera Utara disebabkan karena lemahnya penegakan hukum terhadap para penambang liar tersebut, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai peraturan-peraturan tentang pertambangan, kegiatan penambangan liar tersebut tidak mempunyai izin dan tidak di lengkapi dengan dokumen AMDAL. Karena bagi sebagian kalangan masyarakat yang melakukan penambangan secara liar dapat meningkatkan perekonomiannya dengan cepat tanpa memperhatikan dampak yang terjadi terhadap lingkungan. Maraknya PETI ini tentu juga berdampak terhadap Pendapatan Daerah. Penambangan SDAMB yang merupakan kekayaan alam yang dimiliki daerah dan seharusnya dapat dimanfaatkan untuk membantu perekonomian daerah tidak dapat dimanfaatkan dengan seharusnya. Pelaporan Produksi Pertambangan Mineral Belum Tertib. Tolok ukur pemungutan kontribusi pemanfaatan bahan galian adalah jumlah produksi. Pemerintah daerah tidak dapat memungut kontribusi bahan galian dengan maksimal jika tidak dilengkapi dengan data produksi yang baik. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, ternyata masih didapati pelaporan produksi yang belum tertib di Sumatera Utara. Berdasarkan pengakuan para kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota yang menjadi lokus penelitian, Dinas Pertambangan dan energi sebagai dinas teknis yang menangani perhitungan produksi sering kewalahan dikarenakan ketidak jujuran para pengusaha dalam melaporkan jumlah produksi yang didapat. Sering sekali terjadi ketidak samaan data produksi antara Pemda dan Pengusaha dalam perhitungan pajak produksi, sehingga berdampak terhadap berkurangnya pendapat daerah yang seharusnya didapat. Disamping faktor ketidak jujuran pengusaha, keterbatasan tenaga teknis dan infrastruktur

daerah dalam melaksanakan pembinaan, pengawasan dan monitoring menjadi salah satu penyebab terjadinya permasalahan ini. Dari kelima permasalahan yang telah disampaikan, dapat terlihat bahwa yang menjadi akar permasalahan (root cause) penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan tersebut adalah lemahnya koordinasi antara instansi yang berwenang dan tidak terlibatnya masyarakat terkait izin pengusahaan pertambangan SDAMB, lemahnya penegakan hukum, dan lemahnya pembinaan, pengawasan dan monitoring terhadap pengusahaan pertambangan SDAMB yang diakibatkan terbatasnya tenaga teknis dan infrastruktur yang dimiliki daerah. Penentuan sebuah kebijakan terkait izin dengan mendengarkan pendapat masyarakat dan mempertimbangkan aspek keterkaitan hukum yang lain dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan infrastruktur yang dimiliki, memang bukan pekerjaan yang mudah.Ditambah lagi belum dilahirkannya peraturan perundang-undangan berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan turunan lainnya dari UU No. 23 2014 yang akan mengatur pelaksanaan Undang-undang tersebut. Sebagai dasar pengelolaan SDAMB, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara konsisten menerapkan otonomi daerah dibandingkan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, khususnya dalam wewenang pemberian ijin pertambangan. Dalam UU No 4 Tahun 2010 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini, Pasal 10 menyatakan: Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari; instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan memperhatikan aspirasi daerah. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam bahwa dalam penerbitan izin pengusahaan pertambangan SDAMB yang diawali dengan proses penetapan WP harus memperhatikan pendapat masyarakat dan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelestarian lingkungan. Namun dalam UU ini tidak terdapat mekanisme yang konkrit dan jelas mengenai bagaimana mendengarkan atau melibatkan masyarakat dan mempertimbangkan aspek-aspek yang telah dijelaskan sebelumnya. Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan bahkan tidak

288


Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

membahas lebih lanjut ketentuan-ketentuan ini. Akibatnya, banyak masyarakat menilai pemerintah menjadikan ruang hidup mereka sebagai Wilayah Pertambangan secara sepihak. Peningkatan koordinasi antar instansi yang berwenang dan masyarakat, disertai perbaikan kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia maupun infrastruktur yang dimiliki daerah dalam mengelola SDAMB adalah solusi awal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menjalankan kewenangan yang dimilkinya. Koordinasi yang baik dapat dilakukan melaui (Sutarto, 2006): a) mengangkat koordinator; b) mengadakan pertemuan formal maupun informal antar pejabat; c) membuat buku pedoman organisasi, buku pedoman tata kerja dan buku pedoman kumpulan peraturan; d) berhubungan melalui alat perhubungan; e) membuat edaran berantai kepada para pejabat yang diperlukan; dan, f). membuat tanda-tanda, simbol dan kode. Kemudian dijelaskan bahwa mekanisme pelaksanaannya harus mempertimbangkan: a) peningkatan kualitas aparat pelaksana; b). koordinasi dimulai dari tingkat perencanaan sampai tahap evaluasi; c) mekanisme dan penyelenggaraan koordinasi harus jelas; dan, d) perlu dikembangkan komunikasi timbal balik. Sejalan dengan hal yang telah dibahas sebelumnya, berdasarkan hasil wawancara dan FGD yang dilakukan, selain memperbaiki kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia dan infrastruktur yang dimiliki, alternatif strategi yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam mengimplementasikan amanat UU No. 23 Tahun 2014 dalam perannya untuk mengelola SDAMB yang menjadi wewenangnya, yaitu: a) membentuk tim pengelola SDAMB di Sumatera Utara; dan, b) menyusun pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada. Yang kemudian melalui pendalaman data dijelaskan bahwa atas pertimbangan Gubernur agar tim pengelola tersebut dikoordinatori oleh Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara dan beranggotakan instansi bidang Lingkungan, Kehutanan, Agraria, Perpajakan, Kepolisian, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Masyarakat. Adapun pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada adalah sebuah buku pedoman yang berisikan prosedur operasional standar yang disusun untuk dapat dipedomani oleh setiap pihak, baik dari pihak pengusul maupun penerbit izin. Pembentukan tim Pengelola SDAMB dan penyusunan pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB tentunya memerlukan mekanisme yang diperkuat dengan Peraturan Gubernur atau

dalam bentuk Surat Keputusan Gubernur. Tim pengelola bisa melibatkan instansi/organisasi lintas skala dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menciptakan kondisi yang stabil dalam memfasilitasi kelembagaan lintas skal merupakan tantangan yang akan dihadapi Tim Pengelola. Karenanya, dukungan masyarakat, akses pendanaan, akses informasi, dan pengambilan keputusan yang tepat, merupakan faktor yang harus dicermati dan dipersiapkan sebelum pembentukan Tim Pengelola (Cundill dan Fabricius, 2010). Pengelolaan SDAMB sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Semakin baik pengelolaan terhadap SDAMB yang ada maka akan semakin berpengaruh terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang , baik secara sosial maupun ekonomi. Kebijakan terhadap pengelolaan SDAMB hendaknya berdampak pada: peningkatan investasi dan teknologi; penyerapan tenaga kerja; peningkatan industri; menjadikan daerah penghasil lebih mandiri; dan, kepastian hukum dan peraturan yang jelas (Lei, dkk., 2013). Kehadiran industri pengolahan SDAMB akan menjadi peluang bagi terciptanya nilai tambah komoditi tambang. Masyarakat dapat berperan menjadi pengusaha dalam skala secil. Keberlanjutan industri pertambangan skala kecil, dapat disikapi oleh Tim Pengelola dengan: a) melegalkan pertambangan skala kecil dan menerapkan legislasi sektor tertentu; b) memberikan kontribusi untuk pengembangan masyarakat dan memberikan peningkatan dukungan ekonomi; dan, c) memberikan pelatihan dan bantuan pendidikan, dan memainkan peran diperluas dalam penyebaran dan transfer teknologi penting (Hilson, 2002). KESIMPULAN Sebelum terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014, terdapat lima permasalahan utama pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara, yaitu: 1). Rentannya izin pertambangan berbenturan dengan dengan hukum lainnya; 2). Konflik antara masyarakat dengan pemegang ijin konsesi maupun yang illegal; 3). Kurangnya Kesadaran Wajib Pajak; 4). Maraknya Penambangan Tanpa Izin (PETI); dan 5). Pelaporan Produksi Pertambangan Mineral Belum Tertib. Alternatif strategi yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam mengimplementasikan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 dalam perannya untuk mengelola SDAMB yang menjadi wewenangnya, yaitu: 1) Membentuk tim pengelola SDAMB di Sumatera Utara ; dan 2) Menyusun pedoman

289


Inovasi Vol. 12 No. 4 Desember 2015: 285-290

tata kerja pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada. REKOMENDASI Pemerintah Provinsi Sumatera Utara disarankan untuk membentuk tim pengelola SDAMB dan Pedoman tata kerja pengelolaan SDAMB di Sumatera Utara sesuai dengan aturan dan peraturan yang ada, sebelum diterbitkannya peraturan turunan sebagai petunjuk teknis pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Cundill, Georgina dan Christo Fabricius. 2010. Monitoring The Governance Dimension of Natural Resource Co-management. Ecology and Society 15(1). DPD RI. 2013. Evaluasi Penyimpangan Dalam Penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kertas Rekomendasi DPD RI. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Hilson, Gavin. 2002. Small-scale Mining and Its Socioeconomics Impact in Developing Countries. Natural Resources Forum 26 (1) hal: 3-13. Lei, Yalin. Na Cui. Dongyang Pan. 2013. Economic and Social Effect Analysis of Mineral Development in China and Policy Implications. Resources Policy 38 (4) hal: 448-457. Morissan, 2014. Metode Penelitian Survei (cetakan kedua). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Nurkin, Baharuddin. 2005. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam : Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan. Artikel. Jurnal Perennial 2(1) hal: 25-30. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Sari. Ida Ayu Eling Purnama, 2015. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Minahasa Utara. Lex Administratum III (4). Solihin. Muhammad Amir dan Rija Sudirjam. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Terpadu Untuk Memperkuat Perekonomian Lokal. Jurnal SoilREns 8 (15). Solechah, S. N. (2012). Realisasi Desentralisasi Sektor Pertambangan. Info Singkat pemerintahan Dalam Negeri, IV(12). Sutarto. 2006. Dasar-Dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

290


Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo)

Tinjauan Kepustakaan PEMETAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN (IJL) SEBAGAI MEKANISME PENDANAAN KONSERVASI KONSERVASI LINGKUNGAN DI INDONESIA

(PAYMENT FOR ENVIRONMENTAL SERVICES (PES) MAPPING AS A FUNDING MECHANISM OF ENVIRONMENTAL CONSERVATION CONSERVATION IN INDONESIA ) Haryanto ryanto* Joko Tri Ha ryanto*, Kodrat Wibowo** Wibowo** *Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. email: djohar78@gmail.com **Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Pajajaran Jl.Dipati Ukur, Bandung

Diterima: 20 Oktober 2015; Direvisi: 1 November 2015; Disetujui: 18 Desember 2015

ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan dikelola dengan bijaksana, selain menghasilkan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih tinggi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan. Namun hingga kini faktanya pengelolaan lingkungan di Indonesia dirasakan masih sangat lemah. Selain permasalahan kurangnya keperdulian masyarakat, kurangnya pendanaan merupakan permasalahan utama lainnya. Hal ini tentu wajib diatasi oleh pemerintah. Selain dukungan dari sisi pendanaan publik melalui APBN dan APBD, pemerintah kemudian mencoba untuk meningkatkan dan memperkuat upaya pendanaan tersebut melalui penetapan berbagai instrumen ekonomi lingkungan berbasis mekanisme pasar yang dirancang bukan hanya sebagai sumber pendapatan semata namun juga bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi melalui mekanisme insentif dan dis-insentif keuangan. Payment for Environmental Services (PES) kemudian dipandang sebagai salah satu instrumen yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Permasalahannya, studi tentang PES masih terlalu sedikit disamping aspek regulasi yang belum terpetakan. Untuk itulah penelitian ini kemudian dilakukan dengan tujuan melakukan pemetaan berbagai kebijakan terkait dengan mekanisme pembentukan EPS di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa berbagai bentuk penyelenggaraan EPS baik yang berbasis masyarakat maupun pemerintah dengan berbagai potensi, peluang dan permasalahan masing-masing. Kata kunci: instrumen ekonomi lingkungan, IJL, eksternalitas

ABSTRACT Inclusive growth and managed wisely, in addition to produce a level of higher social welfare will also increase the quality of the environment at the same time. This is the underlying essence of the development of sustainable development issues. Unfortunately, until now the environmental management in Indonesia it is still very low. In addition to problems of public awareness is still lacking, funding has also become one of the main issues, especially in terms of public funding through the state budget or the budget. Whereas the future, the challenge will actually increased significantly. For that the government is trying to improve and strengthen these funding efforts through the establishment of various environmental economic instruments based on market mechanisms, which is designed not only as a source of income alone, but also aims to change the behavior of economic actors through incentives and dis-financial incentives. The market-oriented policies that aim to equalize the marginal social benefits and marginal social costs. The government can internalize externalities by applying taxes on activities that generate negative

291


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 291-298

externalities and subsidizing activities that generate positive externalities. Taxes are used to improve the effects of negative externalities are called Pigovian taxes (pigovian tax) while subsidies are called Pigovian subsidy. Payment for Environmental Services (EPS) become as one of the instruments that is very potential to be developed further. The problem, the study of PES itself it is still too little in addition to the regulatory aspects that have not been mapped. For that research is then conducted with the aim of mapping the various policies related to the mechanism of formation of PES in Indonesia. By using descriptive analysis approach, it can be concluded various forms of organization of EPS both community-based and government with various potentials, opportunities and problems respectively. Keywords: environmental economic instrument, PES, externality

benda mati yang bisa dieksploitasi oleh manusia sebagai sumber makanan, bahan mentah dan energi (Yakin, 2004). Ilmu ekonomi sumberdaya alam didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan, hutan (Fauzi, 2004). Sebagai akibat aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi yang tidak dapat terhindarkan karena memang setiap aspek kegiatan aktivitas ekonomi selalu mengandung unsur eksternalitas (Field, 2002). Eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap produsen dan atau konsumen lain. Eksternalitas bisa positif atau negatif. Eksternalitas positif terjadi saat kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok memberikan manfaat pada individu atau kelompok lainnya. Perbaikan pengetahuan diberbagai bidang melalui Reseach and Development (R&D), misalnya ekonomi, kesehatan, kimia, fisika juga memberikan eksternalitas positif bagi masyarakat (Waage,2005). Eksternalitas positif ini terjadi ketika hasil R&D tersebut tidak hanya memberikan manfaat pada mereka, tapi juga terhadap ilmu pengetahuan dan lingkungan secara keseluruhan. Adapun eksternalitas negatif terjadi saat kegiatan ekonomi oleh entitas individu atau kelompok menghasilkan dampak yang membahayakan bagi orang lain di luar transaksi kegitan ekonomi tersebut; polusi adalah contoh eskternalitas negatif. Terjadinya proses pabrikan di sebuah lokasi akan memberikan eksternalitas negatif pada saat perusahaan tersebut membuang limbahnya ke sungai yang berada di sekitar perusahaan. Penduduk sekitar sungai akan menanggung biaya eksternal dari kegiatan ekonomi tersebut berupa masalah kesehatan dan berkurangnya ketersediaan air bersih. Polusi air tidak saja ditimbulkan oleh pembuangan limbah pabrik, tapi juga bisa berasal dari penggunaan pestisida dan pupuk non organik dalam proses produksi pertanian. Untuk mengatasi permasalahan eksternalitas ini, pemerintah dapat menanggapi dengan dua cara, yaitu dengan kebijakan

PENDAHULUAN Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan dikelola dengan baik, selain menghasilkan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih tinggi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan. Namun hingga kini faktanya pengelolaan lingkungan di Indonesia dirasa masih lemah. Dalam upaya untuk mengatasi kelemahan ini, pemerintah Indonesia mencoba untuk meningkatkan dan memperkuat pengelolaan lingkungan melalui penetapan berbagai instrumen ekonomi lingkungan yang dirancang bukan hanya sebagai sumber pendapatan semata namun juga bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi melalui mekanisme insentif dan di-sinsentif keuangan (Baumol dan Oates, 1975). Lingkungan hidup adalah sesuatu yang mutlak dari kehidupan manusia (Darsono, 1994). Dari dalam aspek sejarah, lingkungan dibagi dalam dua yaitu lingkungan sebelum manusia berada di bumi dan sesudah manusia. Lingkungan sebelum manusia berada di bumi dijelaskan bahwa awalnya bumi merupakan bola pijar yang panas yang kemudian mendingin. Setelah mengalami berbagai proses di atmosfer maka terbentuklah air sehingga di bumi ada kehidupan yang sederhana dalam bentuk molekul organik, antara lain mengandung zat hijau daun. Kehidupan berklorofil menyebabkan terjadinya proses fotosintesis di bumi. Di dalam aspek lingkungan hidup kemudian terkandung kekayaan sumber daya baik alam maupun buatan. Secara umum sumberdaya diartikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi atau kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu. Sumberdaya alam adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi (Rekonvensi, 2004). Sumberdaya alam didefinisikan sebagai suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan ruang, mineral, bentang alam, panas bumi dan gas bumi, angin, pasang/surut arus laut (Soerjani, dkk., 1982). Sumberdaya alam adalah sumbangan bumi berupa benda hidup maupun 292


Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo)

kontrol–kendalikan (command-and-control policy) yang mengatur perilaku secara langsung (Munasinghe, 1993). Kebijakan kedua adalah kebijakan yang berorientasi pasar (marketbased policy) yang menyediakan insentif sehingga para pembuat kebijakan swasta akan memilih untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri (Mankiw, 2004). Kebijakan command and control dapat dilakukan dengan cara melarang atau mengharuskan perilaku tertentu, misalnya membuang bahan kimia beracun ke persediaan air adalah tindakan kriminal. Namun untuk sebagian besar kasus polusi situasinya tidaklah sederhana. Untuk penggunaan kendaraan bermotor yang mengasilkan polusi udara, pemerintah tidak dapat melarang semua jenis kendaraan untuk mengatasi eksternalitas. Untuk itu pembuat kebijakan harus mempunyai informasi mengenai kegiatan-kegiatan usaha serta teknologi yang dipakai untuk menyusun kebijakan (Rosen, 2010). Sementara, kebijakan yang berorientasi pasar bertujuan untuk menyamakan manfaat sosial marginal dan biaya sosial marginal (Owen, 2004). Pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan cara menerapkan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menghasilkan eksternalitas negatif dan memberikan subsidi bagi kegiatan-kegiatan yang menghasilkan eksternalitas positif. Pajak yang digunakan untuk memperbaiki efek-efek dari eksternalitas negatif tersebut disebut pajak Pigovian (pigovian tax) (Sankar, 2008). Instrumen ekonomi adalah instrumen yang digunakan untuk mendorong perubahan perilaku pihak yang mencemari lingkungan untuk mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan melalui mekanisme penetapan biaya. Sifat dari instrumen ekonomi bisa memberikan kebebasan kepada para pelaku ekonomi untuk memberi tanggapan terhadap stimulus tertentu sesuai dengan manfaat yang diperkirakan (WertzKanounnikoff, 2008). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai kewajiban mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi dalam undang-undang ini meliputi: a. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang meliputi: neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;

penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup; mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan, internalisasi biaya lingkungan hidup. b. Pendanaan lingkungan hidup yang meliputi: dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan, dana amanah/bantuan untuk konservasi. c. Insentif dan/atau disinsentif, yang terdiri dari: pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; pengembangan asuransi lingkungan hidup; pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan, sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dari berbagai instrument ekonomi lingkungan tersebut, penelitian ini akan memfokuskan pada instrumen Payment for Environmental Services (PES) atau Imbal Jasa Lingkungan (IJL). IJL didefinisikan sebagai pembayaran oleh minimum satu orang pengguna atas jasa lingkungan yang sudah terdefinisikan dengan jelas kepada minimum satu orang penyedia yang berperan dalam penyediaan jasa lingkungan tersebut (Wunder, 2005). Pembayaran dapat berbentuk pembayaran, reward, charge, fee dan kompensasi. Adapun esensi utama IJL diantaranya sebagai salah satu instrumen ekonomi berbasis pasar yang dapat diimplementasikan dalam mengatasi persoalan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sebagai alternatif atas kebijakan kontrolkendalikan yang sudah sejak lama diimplementasikan di beberapa Negara (Cassola, 2010). Keunggulan utama dari IJL adalah didasarkan pada nilai jasa lingkungan (sehingga perlu ada upaya penilaian yang benar atas jasa lingkungan), berbasis pada hak kepemilikan atas jasa lingkungan serta membangun kesadaran yang tinggi atas jasa lingkungan (LandellMills,2002). IJL sendiri memiliki beberapa manfaat, misalnya: dapat digunakan untuk membangun kepedulian masyarakat agar

293


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 291-298

berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih baik, memfasilitasi penyelesaian konflik dan membangun kesepakatan di antara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan, meningkatkan rasionalisasi dalam pemanfaatan barang dan jasa lingkungan melalui penciptaan nilai atas barang dan jasa tersebut yang menurut karakteristiknya sebagian besar di antaranya merupakan non marketable goods and services (Malavasi, 2002 dan Grieg-Gran, 2004). Selain itu, IJL juga dapat dijadikan sumber pendanaan alternatif bagi upaya-upaya konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan SDA, sebagai peluang untuk mentransfer sumberdaya dari penerima manfaat kepada penyedia jasa yang secara sosioekonomi umumnya termarjinalkan dari mekanisme pasar sekaligus menghasilkan multiplier effect terhadap ekonomi masyarakat (Pagiola, 2005). Permasalahnnya, secara teori model-model dari pengembangan IJL itu sendiri sangat bervariasi, baik yang berbasis masyarakat, swasta/privat maupun pemerintah. Masingmasing pilihan tersebut tentu membawa konsekuensi dan dampak yang berbeda-beda, sehingga perlu didefiniskan secara menyeluruh. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar khususnya yang terkait dengan permasalahan good governance, bisnis proses, sharing manfaat maupun aspek regulasi yang mendasarinya. Karenanya, kajian ini kemudian dilakukan dengan tujuan melakukan pemetaan berbagai kebijakan terkait dengan mekanisme pembentukan IJL di Indonesia.

ada diterapkan di Indonesia; dan, d) mengembangkan kemungkinan penerapan instrumen ekonomi lingkungan yang lebih baik dan tepat. HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme IJL sudah diperkenalkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup. UU ini menjelaskan bahwa prinsip dari siapa yang harus membayar atas jasa lingkungan adalah siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan tersebut. Cara ini dilakukan untuk menjamin keberlanjutan dari jasa lingkungan dimana pembayaran jasa tersebut akan menjamin jasa yang diberikan oleh lingkungan akan terkompensasi berdasarkan mekanisme pasar. Pemberlakukan atas instrumen ekonomi akan menjamin efisiensi dari penggunaan jasa lingkungan, sehingga tercipta ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang berkelanjutan. Jasa lingkungan itu sendiri selama ini masih tidak mendapat nilai secara proporsional terhadap pandangan moneter dari masyarakat. Hal ini karena jasa lingkungan masih dianggap gratis perolehannya tanpa memerlukan pengorbanan dari pihak yang mendapatkan jasa lingkungan. Pandangan ini sangat tergantung pada paradigma dari pemanfaatan jasa lingkungan yang diyakini oleh masyarakat dengan pandangan pada jasa-jasa tidak langsung yang diterima oleh masyarakat dari lingkungan seperti jasa dari hutan di hulu sungai yang bisa mencegah banjir di wilayah hilir atau pemanfaatan hutan bakau untuk tempat pembiakan ikan (Kishor,1993). Mekanisme permintaan dan penawaran yang memunculkan harga akan terjadi bila barang atau jasa tersebut mempunyai harga pasar, sedangkan banyak jasa lingkungan mempunyai karakteristik tidak mempunyai harga pasar. Oleh karena itu, penilaian atas nilai dari jasa lingkungan perlu dilakukan untuk membentuk harga yang bisa ditawarkan kepada pembeli jasa lingkungan. Teknis dari penilaian ini dibuat dengan melakukan Total Economic Valuation (TEV) atas berbagai jasa lingkungan. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan beberapa kebijakan dari sisi fiskal atas pemanfaat lingkungan. Beberapa jenis pajak dan retribusi daerah yang bisa ditinjau dari sisi pajak misalnya: pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah, pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet, retribusi limbah cair serta perijinan yang bertujuan untuk melindungi

METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dan verifikatif dimana berbagai dokumen yang terkumpul akan dilakukan sinkronisasi dengan fakta di lapangan, sehingga bisa dirumuskan sebuah rekomendasi untuk kebijakan yang memungkinkan untuk implementasi Instrumen Ekonomi Lingkungan di Indonesia. Tahapan dalam melakukan kajian ini akan dimulai dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a) review dari regulasi dan kajian akademis dan studi pendahuluan yang terkait dengan instrumen ekonomi lingkungan di Indonesia dengan fokus pada pembayaran jasa lingkungan; b) review dari instrumen ekonomi lingkungan saat ini dan yang ada di Indonesia serta perbandingan dengan pengembangan instrumen ekonomi lingkungan yang dialami oleh banyak Negara; c) ulasan pembayaran jasa lingkungan saat ini dan yang 294


Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo)

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan sintesis analisis dari dua dokumen UU tersebut, prosedur berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan masih belum spesifik tentang bagaimana mekanismenya di lapangan. Belum ada peraturan yang rinci dan tegas atas berbagai jasa lingkungan yang dapat diajukan untuk mendapatkan imbal jasa serta masih belum ada penentuan atas nilai dari pembayaran jasa lingkungan yang bisa ditawarkan. Pada sisi permintaan untuk jasa lingkungan, belum ada pula mekanisme bagaimana pemanfaatan atas jasa lingkungan boleh dilakukan, terutama halhal yang terkait dengan keharusan penerima manfaat membayar manfaat dari jasa lingkungan yang diperolehnya. Secara Implementasi, mekanisme PES dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)jenis, yaitu: IJL berbasis masyarakat; dan, IJL berbasis pemerintah. IJL Berbasis Masyarakat. Terdiri atas IJL Community to Community (“C to C”) berupa pengguna dan penyedia jasa lingkungan (JASLING) masyarakat maupun IJL Private to Community (“P to C”) berupa pengguna JASLING pihak swasta dan penyedianya masyarakat. Bentuk “C to C” dan “P to C” ini memiliki beberapa karakteristik utama yaitu: a) diinisiasi atau dimediasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan bersifat sukarela volunteer; b) mekanisme relatif sederhana, berbasis pada kelembagaan lokal dan minim keterlibatan pemerintah; c) nilai jasa lingkungan yang ditransaksikan berbasis kesepakatan; dan, d) dana IJL dihimpun oleh mediator dan digunakan untuk keperluan konservasi dengan pengawasan mediator. Adapun peran pemerintah terhadap IJL berbasis masyarakat ini fasilitasi agar IJL berbasis masyarakat ini dapat berjalan dengan baik, dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi dalam IJL sekaligus mengakui keberadaan IJL berbasis masyarakat dan melindungi secara hukum keberadaan IJL tersebut misalkan melalui penerbitan Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah. IJL Berbasis Pemerintah. Terdapat dua jenis IJL Berbasis Pemerintah, yaitu: Community to Government (“C to G”) dimana pengguna JASLING adalah masyarakat dan penyedianya adalah pemerintah serta Government to Government (“G to G”) dimana pengguna dan penyedia JASLING keduanya adalah pemerintah. Jenis IJL yang berbasis pemerintah ini memiliki karakteristik: a) diinisiasi oleh pemerintah dan biasanya tanpa melibatkan mediator, dengan

pelaku salah satunya adalah lembaga pemerintah baik sebagai pengguna maupun penyedia JASLING; b) berbasis perjanjian kerjasama tertulis (MoU); c) adanya semangat untuk memperoleh pendapatan atau penerimaan pemerintah yang dapat berbentuk Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atau Penerimaan Asli Daerah (PAD); d) nilai jasa lingkungan yang ditransaksikan biasanya berbasis studi valuasi ekonomi; dan, e) pengelolaan dana IJL menyatu dengan dana dari sumber lain dalam neraca keuangan negara menjadi APBN/APBD. Di dalam mekanisme IJL berbentuk G to G, pemerintah bertindak sebagai pengguna sekaligus penyedia jasa lingkungan. Kasus yang sering ditemukan adalah dalam pengelolaan Sumberdaya air bersih yang melibatkan dua wilayah administrasi, dimana satu pihak bertindak sebagai penyedia, sedangkan yang lain berperan sebagai pengguna. Pengguna dituntut untuk membayar atau memberi kompensasi kepada penyedia jasa lingkungan. Agar proses transaksi dapat terjadi biasanya didahului dengan pembentukan kesepakatan untuk melakukan kerjasama pengelolaan sumberdaya tersebut. Contoh kasusnya adalah Pengelolaan sumber daya air di Kabupaten Kuningan yang melibatkan Kota dan Kabupaten Cirebon (Kabupaten Kuningan sebagai penyedia jasa/air; kota dan Kabupaten Cirebon sebagai pengguna). Hal yang perlu dipikirkan di dalam mekanisme IJL berbentuk G to G diantaranya: lemahnya dasar hukum yang mendasarinya karena model IJL G to G yang ada saat ini berlangsung umumnya hanya berdasarkan pada MoU. Beberapa regulasi sektoral seperti UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dapat menjadi dasar mekanisme transaksi jasa sumberdaya air. Namun aturan turunan dan peralihan UU tersebut berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan operasional masih belum tersedia. Karena dana IJL dihimpun melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) sehingga menyatu dengan dana lain menjadi APBD. Dengan demikian kegiatan konservasi atau rehabilitasi sumber daya alam dan lingkungan dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). IJL juga menemui kesulitan dalam pengawasan penggunaan dana karena belum ada mekanisme penandaan (earmarking) terhadap dana IJL agar digunakan sesuai dengan tujuannya. Titik lemah mekanisme IJL ini terletak pada pengelolaan keuangan, dimulai

295


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 291-298

sejak tahap perencanaan, penggunaan hingga ke tahap pengawasannya. Di dalam mekanisme IJL berbentuk C to G, masyarakat berperan sebagai pengguna jasa lingkungan sementara pemerintah bertindak sebagai penyedia jasa lingkungan. Masyarakat dalam konteks ini merupakan individu/anggota masyarakat. Untuk dapat menggunakan/menikmati jasa lingkungan, masyarakat/individu membayar kepada pemerintah melalui mekanisme transaksi tertentu. Pemerintah melakukan pengelolaan keuangan dan sumberdaya alam agar jasa lingkungan tetap tersedia. Aplikasi mekanisme “C to G� yang ada saat ini contohnya adalah pengelolaan Taman Nasional. Pemerintah melalui Balai Taman Nasional/Badan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melakukan pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat/individu menikmati keindahan alam yang disediakan oleh Taman Nasional tersebut, dan untuk itu masyarakat/individu membayar melalui pembelian tiket masuk taman nasional. Sama halnya mekanisme IJL berbentuk G to G, pengelolaan IJL berbentuk C to G mengandung beberapa kelemahan misalnya dalam kasus pengelolaan Taman Nasional Gunung Pangrango ini adalah UU Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan PP Nomor 22 tahun 1997. Dalam lampiran PP ini tercantum sejumlah item PNBP yang berasal dari lingkungan Kemenhut, diantaranya adalah penerimaan dari pengusahaan pariwisata alam dan penerimaan dari pungutan masuk hutan wisata, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata laut. PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menyebutkan bahwa Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada Hutan Lindung diantaranya adalah melalui pemanfaatan wisata alam. Dana yang terkumpul dari penjualan jasa lingkungan/wisata alam dilaporkan oleh Balai/Unit Pengelola ke Kementerian Keuangan sebagai PNBP dan otomatis menjadi bagian dari dana APBN (tidak ada earmarking). Sebagai kesimpulan, secara umum IJL berbasis pemerintah, baik yang berbentuk G to G maupun C to G, mengandung beberapa kelemahan, yaitu: a. Permasalahan Hukum: berkenaan dengan dasar hukum/aturan pelaksanaan transaksi jasa lingkungan, kepemilikan jasa lingkungan yang ditransaksikan. Terdapat potensi masalah karena sangat memungkinkan sumber daya lingkungan serta berkenaan dengan mekanisme pengelolaan keuangan agar IJL dapat

b.

c.

berjalan sesuai dengan prinsip IJL itu sendiri; Permasalahan Kelembagaan: melibatkan ragam lembaga pemerintah, kementerian sektoral, Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD), lembaga teknis, antar tingkat pemerintahan: secara horisontal maupun vertikal; Permasalahan Kapasitas Teknis Pelaksanaan IJL: pemahaman dan kemampuan teknis SDM terhadap IJL terutama yang terkait dengan penetapan harga, monitoring dan evaluasi serta pengelolaan keuangan.

KESIMPULAN Banyak dari layanan IJL merupakan eksternalitas yaitu kegiatan-kegiatan yang merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan dari produksi yang menggunakan jasa lingkungan. yang biasanya tidak dikompensasi. Oleh karena itu penyedia layanan tidak memiliki insentif untuk memasok layanan dalam jumlah yang diinginkan. Ketiga jenis jasa lingkungan yang telah memperlihatkan perkembangan yang paling signifikan dalam program IJL adalah: mitigasi perubahan iklim, pasokan air yang lebih baik dan berkualitas, serta konservasi keanekaragaman hayati dalam bentuk wisata. Nilai riil dari semua layanan ekosistem biasanya tidak tercermin dalam insentif yang diterima oleh penyedia layanan. Akibatnya, banyak jasa lingkungan yang underprovided. Berbagai jenis program IJL disesuaikan mekanismenya dengan konteks sosio-ekonomi dan faktor-faktor mendasar yang berbeda. Proses perancangan program pembayaran yang efektif melibatkan empat langkah penting: a) mengidentifikasi layanan apa yang harus dibayar; b) untuk siapa pembayaran tersebut; c) berapa nilai jasa yang harus dibayar; dan, d) bagaimana mekanisme pembayaran harus digunakan. Peran masing-masing pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi sangat urgent untuk dipetakan demi mengundari adanya tumpang tindih tanggungjawab dan kepentingan yang ujung-ujungnya justru berakhir dengan ketiadaan kepemilikan/ownerships. REKOMENDASI 1. Secara ideal, pembayaran IJL harus terkait langsung dengan tingkat layanan jasa lingkungan yang disediakan. Bagaimanapun, mereka terkait dengan beberapa proksi yang terkait dengan membayar pihak penyedia jasa untuk 296


Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo)

2.

3.

Health. London, UK: International Institute for Environment and Development (IIED): Chapter 4.

perubahan lingkungan (shadow cost) terkait kemudahan dalam mengurangi biaya transaksi dan cara penghitungan. Pembayaran yang paling umum adalah penyedia jasa diarahkan untuk melakukan pelestarian atau perbaikan lingkungan dengan dibayar langsung atau melalui perantara. Untuk memaksimalkan efektivitas biaya, pembayaran IJL harus ditargetkan untuk kepentingan pelestarian lingkungan dengan lokasi-lokasi dan penyedia serta pengguna potensial yang sudah terpetakan, tentunya dengan manfaat terbesar dalam penyediaan jasa lingkungan dapat diperoleh dengan biaya terendah. Meminimalkan biaya transaksi terkait dalam pelaksanaan program IJL adalah keharusan, termasuk didalamnya biaya monitoring dan penegakan hukum. Biaya ini dipengaruhi oleh ketersediaan informasi dan kapasitas kelembagaan untuk mengelola transaksi. Transaksi program IJL tidak dapat diimpelementasikan tanpa dukungan dan kerjasama antara berbagai kementrian, Badan, dan lembaga-lembaga pendukung, baik informal atau formal. Mekanisme earmarking IJL juga harus disiapkan dari sisi implementasi, bukan hanya dari sisi penciptaan semata. Earmarking ini tidak harus digunakan untuk mengurangi dampak secara direct, melainkan juga digunakan demi aktivitas yang bernilai positif lainnya.

Ishihara, H. dan U. Pascual. 2009. Social capital in community level environmental governance: a critique. Ecological Economics 68 (5) hal: 1549–1562. Kishor, NM. Constantino LF. 1993. Forest management and competing land uses: An economic analysis for Costa Rica. LATEN Dissemination Note # 7. Washintgton: The World Bank Latin America Technical Department, Environment Division. Landell-Mills, Natasha dan Ina T. Porras. 2002. Silver Bullet or Fools’ Gold?. A Global Review of Markets for Forest Environmental Services and Their Impact on the Poor. The International Institute for Envirinment and Development (IIED). Harvard University Press. Munasinghe, M. dan A. Schwab. 1993. Environmental economics and natural resource management in developing countries. Washington DC: World Bank. Malavasi, E. O. dan J. Kalenberg. 2002. Program of Payments for Ecological Services in Costa Rica. Costa Rica: Heredia. Mankiw, N. G. 2004. Principles of economics (4th ed.). USA: Cengage Learning. Pagiola, Stefano & Arcenas, Agustin & Platais, Gunars. 2005. Can Payments for Environmental Services Help Reduce Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America," World Development. Elsevier 33(2) hal: 237-253. Rekonvensi, Bhumi. 2004. Payments for Environmental Services, Forest Conservation and Climate Change. Livelihood in REDD. UK: edited by Luca Tacconi, Sango Mahanty, Helen Suich, Edward Elgar Publication.

DAFTAR PUSTAKA Baumol, W. J. dan W.E Oates. 1975. The Theory of Environmental Policy. NJ: Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Rosen, Harvey S. 2010. Public Finance, 8th edition, New York. New York: McGraw- Hill/Irwin.

Cassola, R.TEEB case. 2010. Financing conservation through ecological fiscal transfers Brazil. [Online] Dari: http://www.teebweb.org/wpcontent/uploads/2013/01/Financing-conservationthrough-ecological-fiscal-transfers-in-Brazil.pdf [Diakses: 14 Oktober 2014].

Sankar, U. 2008. Environmental Externalities. [Online] Dari: http://coe.mse.ac.in/dp/envt-ext sankar.pdf [Diakses: 10 Oktober 2014]. Soerjani, M. dkk. 1982. Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press.

Darsono, V. 1994. Pengantar Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Wunder, S. 2005. Payments For Environmental Services: Some Nuts And Bolts. CIFOR Occasional Paper No. 42. Center For International Forestry Research, Jakarta, Indonesia.

Fauzi, Akhmad, 2004. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Field, B.C dan M. K Field. 2002. Environmental Economics an Introduction. New York: Mc. Graw-Hill.

Waage, S. 2005. A Guide To Conducting Country-Level Inventories Of Current Ecosystem Service Payments, Markets, And Capacity Building, Framework For Country-Level. Washington D.C.: Forrest Trend.

Grieg-Gran, M. dan J, Bishop. 2004. How Can Markets for Ecosystem Services Benefit the Poor? In: Roe, D. (ed.). The Millennium Development Goals and Conservation: Managing Nature’s Wealth for Society’s

297


Inovasi Vol. 12 No.4, Desember 2015: 291-298

Wertz-Kanounnikoff, S. 2008. Methods to estimate the costs of REDD. Background paper 7, Norwegian Ministry of Foreign Affairs, Oslo. Yakin, A. 2004. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademika Presindo.

298


Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Vol 12: 1-298

Indeks Penulis A Abadi, Totok Wahyu, “Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis EGovernment Di Sidoarjo”, 12(1): 21-33

B Bachruddin, D.T., lihat Oktaviana, O Budiarto, Moh. Sofyan, “Identifikasi Berbagai Permasalahan Dan Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal”, 12(3): 170-177 Budi Guntoro, lihat Abadi, Totok Wahyu

D Darina, Silvia, “Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara”, 12(4): 275-284

H Haryanto, Joko Tri, “Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi”, 12(2): 77-85 Haryanto, Joko Tri, “Penilaian Petani Terhadap Kebijakan Subsidi Benih”, 12(3): 186-193 Haryanto, Joko Tri, “Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia”, 12(4): 291-298 Husni, Nobrya, lihat Mahulae, Porman Juanda Marpomari Husni, Nobrya, “Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya”, 12(4): 264-274 Husni, Nobrya, lihat Mahulae, Porman Juanda Marpomari

I Iskandar, Irham, “Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010”, 12(4): 238-245

K Kuswanda, Wanda, “Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan”, 12(1): 920 Kuswanda, Wanda, “Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis”, 12(2): 120-128

M Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Strategi Pemenuhan Kebutuhan Listrik di daerah Terpencil Sumatera Utara”, 12(3): 204-210 Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara”, 12(3): 285-290 Manullang, Martua, “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika”, 12(2): 129-137 Manullang, Martua, “Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan”, 12(4): 230-237 Mulatsih, Sri, “Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong Inovasi UKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM”, 12(1): 68-76

N Nasution, Beti, “Penguatan Institusi Lokal Dalam Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Pesisir”, 12(3): 211-218 Nasution, Zainal Abidin, “Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012”, 12(2): 96-107


O Oktaviana, O, “Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Provinsi Banten”, 12(1): 58-67

P Prajarto, Nunung, lihat Abadi, Totok Wahyu Pulungan, Muhammad Soleh, ” Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur”, 12(1): 46-57 Pulungan, Muhammad Soleh,” Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik”, 12(2): 86-95 Purwanti, Dwi Endah, lihat Yustina, Ida

S Sagala, H. Syaiful, “Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Di Amerika Serikat”, 12(3): 146-159 Siagian, Dumora Jenny Margaretha, lihat Yustina, Ida Siagian, Dumora Jenny Margaretha, “Strategi Pengembangan Potensi Kerajinan Masyarakat di Sumatera Utara”, 12(3): 160-169 Siagian, Dumora Jenny Margaretha, lihat Sitorus, Jonni Sihombing, Lisbet Novianti, “Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015”, 12(1): 34-45 Silalahi, Johansen, “Analisis Kebutuhan Hutan Kota di Kota Medan, Sumatera Utara”, 12(1): 1-8 Simanjuntak, Sahat Christian, “Evaluasi Sistem Irigasi Untuk Mendukung Pembangunan Irigasi Di Sumatera Utara”, 12(3): 178-185 Simanjuntak, Sahat Christian, Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara”, 12(4): 246-255 Sinaga, Anton Parlindungan, “Faktor Penyebab Kerusakan Jalan di Sumatera Utara”, 12(3): 194-203 Sinaga, Anton Parlindungan, lihat Husni, Nobrya Sitorus, Jonni, “Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS“,12(2): 138-145 Sitorus, Jonni, lihat Siagian, Dumora Jenny Margaretha Sitorus, Jonni, “Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara”, 12(4): 219-229 Subarudi, lihat Silalahi, Johansen

Y Yustina, Ida, “Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara”, 12(2): 108-119

Z Zen, Zahari, “Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan”, 12(4): 256-263


DAFTAR ISI VOLUME 12 Analisis Kebutuhan Hutan Kota Di Kota Medan, Sumatera Utara (Johansen Silalahi, Subarudi)

Halaman 1-8

Potensi Tumbuhan, Aktivitas Masyarakat Dan Kebijakan Pengelolaan Habitat Siamang (Hylobates Syndactylus Raffles) Pada Hutan Produksi Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Wanda Kuswanda)

9-20

Kapasitas Dan Budaya Birokrasi Dalam Aksesibilitas Informasi Publik Berbasis EGovernment Di Sidoarjo (Totok Wahyu Abadi, Nunung Prajarto, Budi Guntoro)

21-33

Perbandingan Hasil Belajar Akuntansi Dengan Menggunakan Pembelajaran Aktif (Active Learning) Tipe Quiz Team Dan Konvensional Pada Siswa Kelas X Ak SMK Negeri 1 Pematangsiantar Tahun Pelajaran 2014/2015 (Lisbet Novianti Sihombing)

34-45

Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Investasi Di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur (Muhammad Soleh Pulungan)

46-57

Strategi Pengembangan Pusat Inovasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Provinsi Banten (O. Oktaviana, D.T. Bachruddin)

58-67

Kebijakan Pemerintah Dalam Mendorong InovasiUKM: Kajian Pembiayaan Modal Ventura Bagi UKM (Sri Mulatsih)

68-76

Evaluasi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) dan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) dari Sisi Ketepatan Bidang dan Fungsi (Joko Tri Haryanto)

77-85

Analisis Yuridis Pola Rekrutmen Camat dan Kewenangan Camat Sebagai Parameter Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik (Muhammad Soleh Pulungan)

86-95

Identifikasi Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2012 (Zainal Abidin Nasution)

96-107

Pemenuhan Hak Kesehatan Anak di Wilayah Pesisir Sumatera Utara (Ida Yustina, Dumora Jenny Margaretha Siagian, Dwi Endah Purwanti)

108-119

Faktor Internal dan Strategi Kebijakan Untuk Pengembangan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Studi Kasus: Taman Nasional Batang Gadis (Wanda Kuswanda)

120-128

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Guru Matematika (Martua Manullang)

129-137

Peran Pemerintah Daerah dalam Implementasi Peraturan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS (Jonni Sitorus)

138-145

Peran dan Fungsi Dewan Pendidikan Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Di Amerika Serikat (H. Syaiful Sagala)

146-159

Strategi Pengembangan Potensi Kerajinan Masyarakat di Sumatera Utara (Dumora Jenny Margaretha Siagian, Jonni Sitorus)

160-169

Identifikasi Berbagai Permasalahan Dan Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal (Moh. Sofyan Budiarto)

170-177

Evaluasi Sistem Irigasi Untuk Mendukung Pembangunan Irigasi Di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

178-185


Penilaian Petani Terhadap Kebijakan Subsidi Benih (Joko Tri Haryanto)

186-193

Faktor Penyebab Kerusakan Jalan di Sumatera Utara (Anton Parlindungan Sinaga)

194-203

Strategi Pemenuhan Kebutuhan Listrik di Daerah Terpencil Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni)

204-210

Penguatan Institusi Lokal Dalam Mewujudkan Pembangunan Masyarakat Pesisir (Beti Nasution)

211-218

Profesionalisme Guru di Tingkat Pendidikan Dasar di Sumatera Utara (Jonni Sitorus dan Dumora Jenny)

229-229

Hubungan Pengetahuan Manajemen Pembelajaran dan Kinerja dengan Peningkatan Kompetensi Pedagogik Guru SMA di Medan (Martua Manullang)

230-237

Flypaper Effect Menurut Kategori Pengeluaran di Provinsi Aceh Tahun 2006-2010 (Irham Iskandar)

238-245

Dampak Pasar Modern Terhadap Keberadaan Pasar Tradisional di Sumatera Utara (Sahat Christian Simanjuntak)

246-255

Masalah Pemberdayaan Korban Pencemaran di Sungai Deli dan Kawasan Industri Medan (Zahari Zen)

256-263

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan dan Solusi Peningkatan Kualitas dan Kuantitasnya (Nobrya Husni dan Anton Parlindungan Sinaga)

264-274

Perkembangan Kebun Rakyat di Sumatera Utara (Silvia Darina)

275-284

Strategi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Dalam Mengelola Sumberdaya Alam Mineral Dan Batubara (Porman Juanda Marpomari Mahulae dan Nobrya Husni)

285-290

Pemetaan Imbal Jasa Lingkungan (IJL) Sebagai Mekanisme Pendaanaan Konservasi Lingkungan di Indonesia (Joko Tri Haryanto dan Kodrat Wibowo)

291-298


Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah Jurnal INOVASI Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik. Jurnal INOVASI terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember.

g.

h.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara, harus memenuhi ketentuan berikut : Bentuk Naskah 1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang diajukan ke tempat lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan kaidah masingmasing bahasa yang digunakan. Komponen Naskah Komponen utama naskah wajib mencantumkan dan memuat hal-hal berikut: a. Judul, dalam bahasa Indonesia disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris, ditulis dengan jelas menggambarkan isi tulisan. b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul tulisan, memuat nama, alamat korespondensi dan e-mail. c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris beserta kata kunci sebanyak 37. Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, hasil, dan rekomendasi. Panjang abstrak dibatasi 200450 kata. d. Pendahuluan, tidak menggunakan subjudul, berisi penjelasan padat dan ringkas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, studi pustaka yang mendukung dan relevan, serta tujuan penelitian. e. Metode berisikan disain penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, populasi, sampel, sumber data, instrumen, pendekatan terhadap analisis data serta teknik analisis/ uji statistik yang digunakan. Bagian metode ditulis tanpa subjudul. f. Hasil dan Pembahasan, adalah temuan penelitian yang disajikan apa adanya tanpa pendapat penulis, kemudian dilanjutkan dengan bahasan argumentatif-interpretatif tentang jawaban terhadap hasil penelitian yang ditulis secara sistematis sesuai tujuan penelitian dan relevan dengan penelitian

i.

j.

terdahulu. Bagian Hasil dan Pembahasan ditulis tanpa subjudul. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian tanpa melampauinya. Sedapat mungkin bagian kesimpulan ditulis dalam bentuk narasi. Rekomendasi berisi usulan-usulan kebijakan yang memungkinkan dihasilkan, berisi bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan relevan. Jika tidak memungkinkan dalam bentuk narasi, rekomendasi dapat dibuat dalam bentuk butir-butir rekomendasi. Daftar Pustaka menuliskan sesuai dengan acuan model Harvard (lihat contoh), berurutan sesuai abjad. Jumlah kepustakaan untuk tulisan hasil penelitian minimum 10 rujukan sementara untuk Tinjauan Kepustakaan minimum 20 rujukan. Ucapan Terima Kasih, jika ada, merupakan wujud penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian atau penulisan naskah.

Tabel dan Gambar Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca dengan jelas serta diberi penjelasan yang memadai, mudah dipahami dan proporsional. Judul tabel diletakkan di atas tabel dan judul gambar di bawah gambar. Tabel dan atau gambar yang diacu dari sumber lain harus disebutkan, kecuali merupakan hasil penelitian penulisnya sendiri. Peta yang dicantumkan dalam tulisan harus dibuat dalam resolusi yang tinggi sehingga memudahkan pencetakkan dan menampilkan hasil yang baik. Penulis yang mencantumkan peta diminta untuk membayar tambahan biaya pencetakan peta dimaksud. Contoh Penulisan Daftar Pustaka Buku Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington Book Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92. Artikel dari Jurnal Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal 298-304 Bagian di dalam buku Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.


editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua. London: Greenwich Medical, hal 225-239 Laporan Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006. Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa. Konferensi Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20 Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37. Tesis Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD, Universitas Indonesia. Jurnal Artikel Elektronik (yang diunduh) Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada AnakAnak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari: http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-28916.1.pdf [Diakses: 10 Mei 2007]. Web Page (yang dibaca) Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online]. Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10 Mei 2007]. Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari: http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345 [Diakses: 19 Februari 2011].

Penulisan Naskah dituliskan dengan menggunakan Times New Roman 12, maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word. Prosedur Naskah Naskah yang masuk hendaknya diterima 2 (dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk di-review oleh anggota dewan redaksi dan reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh Dewan Redaksi. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah yang dianggap tidak layak muat di Jurnal Inovasi. Naskah diserahkan dalam 2 (dua) media yaitu hardcopy dan softcopy yang keduanya harus memuat isi yang sama. Nama file, judul dan nama penulis naskah dituliskan pada label CD. Pengiriman naskah ke alamat redaksi melalui surat elektronik ke : inovasibpp@gmail.com atau melalui pos ke : Dewan Redaksi Jurnal INOVASI Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut. Setiap penerimaan atau penolakan naskah akan disertai dengan surat resmi yang ditandatangani oleh Dewan Redaksi dan dikirimkan kepada penulis. Setiap penulis yang karya tulisnya telah diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak lepas dan satu buah full print. Hak Cipta Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya diterima untuk diterbitkan.


INOVASI – Vol. 12, No. 4, Desember 2015, halaman 219 - 298

Alamat Redaksi : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248 Email : inovasibpp@gmail.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.