8777637-Analisis-Sosial-Budaya-Timor-BaratAkhir-5122008

Page 1

I.

PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Timor Barat mempunyai sejarah panjang sebelum dipisahkan oleh Portugis dan Belanda sebagai wilayah jajahannya. Dalam tutur adat Orang Tetun dan Bunak misalnya, disebutkan bahwa konon leluhur mereka datang dari daerah yang sama melalui Malaka (sina mutin malaka). Mereka memerangi penduduk asli yang dilukiskan sebagai orang kerdil berambut keriting dan telanjang, dan setelah mengalahkannya, penduduk asli melarikan diri ke arah barat sedangkan mereka menyebar ke berbagai derah di pulau Timor. Meskipun belum dilakukan penelitian mendalam akan tetapi dilihat dari beberapa anasir budaya, baik artefak maupun sistem sosialnya tampak bahwa kelompok etnis yang mendiami wilayah Timor Barat memiliki banyak kesamaan sehingga ada kemungkinan tutur adat yang hidup dalam masyarakat benar. Pada kenyataannya, dalam banyak hal, mereka yang mendiami wilayah timur dan barat pulau Timor memiliki banyak kesamaan dan kesamaankesamaan itu dapat berfungsi sebagai perekat di antara mereka. Dalam tutur adat di kalangan etnis Bunak (bei gua tuir, bai to’an), etnis Tetun (hakserak), etnis Kemak dan etnis Atoin Meto disebutkan bahwa leluhur mereka datang dari arah matahari terbit dan memiliki “rumah induk� di wilayah Timor Timur. Tutur yang sama menyebutkan bahwa sebelum kedatangan Portugis hanya terdapat 2 kerajaan besar di daratan kerajaan Likusaen di bagian timur dan Wehali-Wesei di bagian barat Timor. Kemudian beberapa penelitian dan penulisan (Pareira, Berthe, Hicks, Seran) memperkuat apa yang dikatakan dalam tutur adat dimaksud. Kehadiran Portugis (sekitar 1520) dan Belanda (sekitar 1640) telah membawa perubahan besar dan berdampak luas di Timor. Perubahan tersebut tidak saja menyangkut perubahan peta politik dikarenakan oleh perjanjian kesepakatan batas wilayah jajahan antara Portugis dan Belanda tetapi juga menimbulkan jarak sosial yang cukup nyata antara berbagai kelompok etnis yang dalam tutur adatnya disebutkan memiliki hubungan genealogis. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perpecahan, bahkan di antara mereka yang mendiami wilayah perbatasan. Perpecahan dalam kurun waktu yang lama (ratusan tahun) disertai peraturan larangan penyeberangan perbatasan yang dikeluarkan oleh Portugis dan Belanda serta kejadian1


kejadian dan tindak kekerasan di antara mereka yang mendiami perbatasan di satu sisi telah melemahkan ikatan sosial budaya dan ikatan genealogis di antara mereka, sementara di sisi lain telah menumbuhkan permusuhan di antara mereka. Syair lagu ‘toni mau� di kalangan etnis Bunak misalnya, menggambarkan betapa kejamnya mereka yang mendiami wilayah Timor Portugis yang tega menghancurkan seseorang yang bernama Toni dari Timor Belanda di perbatasan ketika korban sedang menggembala ternaknya di delta sungai di perbatasan . Sementara itu, perkembangan di wilayah barat yang dikuasai Belanda juga memperlihatkan perubahan yang besar. Dari dokumen dan penelitian beberapa orang disebutkan bahwa peran kelompok etnis Tionghoa, dan pedagang Islam sangat besar dalam perubahan sosial, budaya dan ekonomi di wilayah barat Timor. Sumber-sumber dimaksud menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa lebih menguasai alur perdagangan dari pelosok sampai pelayaran antarpulau sehingga suatu ketika Belanda melarang kapal milik orang Cina berlayar di perairan antara Sumba-Flores-Timor, dan mereka dilarang memperdagangkan bahan makanan sampai ke pelosok. Larangan-larangan ini tampaknya membuka ruang bagi pedagang dan pelaut dari etnis Rote dan Sabu untuk menjelajahi wilayah pelayaran yang sebelumnya dikuasai orang Cina dan melancarkan perdagangan sampai ke pelosok-pelosok di Timor Barat. Di satu sisi mereka mengisi kekosongan karena kelompok etnis Cina tidak lagi berdagang dan berlayar, di sisi lain karena ada tutur adat yang menyebutkan bahwa ada hubungan darah antara orang Belu, Sabu dan Rote (Ti) sehingga kehadiran kedua etnis ini di perairan pulau Timor bagian barat disambut baik. Walaupun ada perbedaan penafsiran tutur adat ini di antara beberapa orang karena mereka melihat hubungan Belu Mau, Sabu Mau dan Ti Mau tidak sebagai ikatan persaudaraan melainkan sebagai satu aliansi ekonomi-politik untuk melindungi diri dari kebijakan Belanda yang merugikan kepentingan ekonominya. Perubahan sosial, budaya dan ekonomi terus berjalan dengan kahadiran kelompok etnis lain. Salah satu etnis yang membawa banyak perubahan adalah etnis Jawa. Menurut para pelaku sejara yang masih hidup, mereka hadir bersama sanak keluarga sekitar tahun 1945 ketika suami mereka yang menjadi anggota tentara Belanda (KNIL) dilucuti oleh tentara pendudukan Jepang. Mereka menuturkan bahwa mereka membawa serta budayanya (tatacara sejak lahir sampai setelah mati, pemberian nama kepada anak dan harta milik, serta bahasa).

2


Gelombang pembawa perubahan berikutnya datang setelah tahun 1958, ketika sejumlah pejabat dari etnis Bali, Jawa dan Sunda datang untuk mengisi lowongan kerja dalam pemerintahan Provinsi NTT yang baru memisahkan diri dari Provinsi Sunda Kecil. Kebijakan pemerintah Provinsi NTT menyekolahkan sejumlah orang ke pulau Jawa menambah mempercepat dan memperluas pertemuan antarbudaya yang membawa perubahan sosial, budaya dan ekonomi di daerah ini. Akhinrya kebijakan pemerintah RI yang menyatakan Provinsi Timor Timur sebagai daerah terbuka setelah integrasi dengan RI tahun 1976 membuka peluang yang lebih besar kepada berbagai kelompok etnis di Indonesia untuk datang, bahkan menguasai beberapa sektor perekonomian tertentu seperti kenelayanan dan pelayaran, perdagangan kayu (Bugis, Makassar), perdagangan retail, makanan kecil, meubel (Jawa), nelayan (Buton), dan sebagainya. Sebagai satu entitas, NTT pada umunya dan Timor Barat pada khususnya dihadapkan pada keharusan untuk terus membangun, dan untuk itu berbagai kelompok etnik yang ada diharapkan akan membangun kerjasama dan hidup berdampingan secara damai. Hidup berdampingan secara damai dan bekerjasama dalam masyarakat majemuk seperti di Timor Barat bukanlah hal yang mudah, dan oleh karena itu diperlukan satu langkah awal mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa yang membuat orang hidup berdampingan secara damai dan keberjasama dan sebaliknya.

2. Lingkup Analisis

Analisis ini dibatasi pada beberapa hal yakni: 1. Gambaran sejarah dan persebaran beberapa kelompok etnis asli yang mendiami Timor Barat. 2. Hubungan sosial antara penduduk Timor Timur dan Timor Barat sebelum kedatangan Portugis sampai setelah berdirinya RDTL. 3. Kapital sosial yang berpotensi mengintegrasikan masyarakat di Timor Barat dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat.

3


4. Evaluasi singkat tentang potensi dan perubahan sosial, budaya dan ekonomi di NTT selama beberapa tahun setelah berdirinya RDTL. 5. Jalinan komunikasi dan peran serta kontribusi media dalam kejadian yang bersifat kerjasama dan konflik di antara kelompok-kelompok etnik di Timor Barat. 6. Gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

3. Tujuan

Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Mencari dan menyediakan data dan informasi mengenai kehidupan dan persebaran kelompok etnis yang mediami Timor Barat 2. Mendeskripsikan hubungan sosial di antara kelompok etnis yang mendiami Timor Barat

berbagai

3. Menggali dan mengidentifikan kapital sosial yang dimiliki oleh berbagai kelompok etnis yang mendiami Timor Barat yang berpotensi mempersatukan atau menimbulkan konflik sosial. 4. Menganalisis potensi dan perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di Timor Barat setelah berdirinya RDTL. 5. Menganalisis peran dan kontribusi media dalam kerjasama dan konflik di antara kelompok etnik yang mendiami wilayah Timor Barat. 6. Gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi dalam masyarakat.

4. Metode

1. Lokasi Penelitian

4


Penelitian ini akan dilakukan di Kuang, SoE, Kefamenanu dan Atambua sebagai ibukota Kabupaten/Kota yang terdapat di Timor Barat. 2. Sumber data Data akan diambil dari kantor pemerintah, swasta (asyarakat sipil) di semua ibukota kabupaten/kota di Timor Barat yang berkaitan dengan persoalan yang diteliti. 3. Teknik Pengumpulan data dan Analisis Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan agar dapat memperoleh data dan informasi yang akurat dan memadai. Tahapan dimaksud sebagai berikut: a. Melakukan telaah dokumen baik buku, laporan penelitian, laporan kerja serta dokumen lainnya di Kupang dan beberapa perpustakaan di Maumere dan Atambua. Hasilnya yang diharapkan adalah gambaran mengenai sejarah, persebaran, hubungan sosial, kapital sosial yang dimiliki oleh kelompok etnis yang mendiami Timor Barat serta perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang dialami Timor Barat dalam beberapa tahun terakhir. b. Mengidentifikasi dan mengembangkan/mempertajam beberapa variable dominan yang diduga berpengaruh terhadap integrasi sosial dan konflik kelompok etnis yang mendiami Timor Barat serta perubahan sosial, budaya dan ekonomi di NTT. c. Melakukan

in-depth interview dengan sejumlah tokoh kunci dari setiap etnik yang mendiami wilayah Timor Barat yaitu: Atoin Meto/Dawan, Bunak, Cina, Helong, Kemak dan Tetun untuk memperoleh informasi/ penegasan/ pengingkaran terhadap berbagai variable yang diduga sebagai penyebab integrasi sosial, konflik dan perubahan sosial, budaya, dan ekonomi di Timor Barat.

d. Melakukan pengujian hasil interview dengan tokoh kunci melalui pendapat ahli/pakar sosial, budaya dan ekonomi lokal dan melakukan pengecekan kembali literatur (teori) untuk menegaskan hasil yang sudah diperoleh dalam tahap sebelumnya sebelum membuat satu konsep laporan akhir.

5


II.

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 6


Timor Barat terbagi ke dalam 4 (empat) kabupaten dan satu kota yakni Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara TTTU) dan Belu serta Kota Kupang. Kelima daerah ini menjadi Daerah Otonom menurut dengan luas wilayah, penduduk dan sektor-sektor pembangunannya sendiri seperti diuraikan berikut.

1. GAMBARAN UMUM KOTA KUPANG 1.1

Sejarah Singkat

Kupang adalah nama untuk Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur, sekaligus nama untuk ibukota dari Kota Kupang dan ibukota dari Kabupaten Kupang. Maka Kota Kupang sering disebut sebagai “kampung kota” yang sangat terkenal dengan kota di atas batu karang atau Kota Karang. Nama Kupang sesungguhnya berasal dari nama seorang Raja, yaitu Nai Kopan atau Lai Kopan yang memerintah Kota Kupang sebelum datangnya bangsa Portugis di Nusa Tenggara Timur. pada abad ke-15 daerah Nusa Tenggara Timur pada umunnya dan pulau Timor pada khususnya telah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari wilayah Indonesia bagian Barat dengan maksud untuk berdagang kayu cendana. Salah satu dari kota bandar tersebut terletak di pesisir pantai yang strategis, di sebelah barat pulau Timor. Diduga kota tersebut adalah kota yang dikenal saat ini dengan nama “Kupang”. Wajah Kota Kupang telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, yang perlu kita ketahui dari sejarah terbentuknya. Kota Kupang terbentuk berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1996 dan dituangkan dalam lembar negara nomor 3632 Tahun 1996. Peresmiannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Yogi S.M pada tanggal 25 April 1996. Pada acara peresmian tersebut, Menteri Dalam Negeri Yogi S.M. sekalihus melantik Letkol.Inf. S.K. Lerik menjadi Walikota Kupang. Kota Kupang saat ini terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Alak, Maulafa, Oebobo dan Kelapa Lima serta 49 Kelurahan. Kondisi umum Kota Kupang saat ini relatif kondusif sehingga warga kota dapat menikmati kehidupan relatif aman, tertib dan damai. Para pemimpin kota kupang dari masa ke masa: Walikota Wakil Walikota Drs. Messakh Amalo (1978- 1986) Letkol.Inf. S.K. Lerik (1986- 1996) Letkol.Inf. S.K. Lerik (1996- 2002) Letkol.Inf. S.K. Lerik (2002- Drs. Daniel Adoe (2002-2007) 2007) Drs. Daniel Adoe (2007- Drs. Daniel Hurek (2007Sekarang) Sekarang) 1.2

Geografi

7


Kota Kupang terletak di antara 10” 36” 14” – 10” 39” 58” Lintang Selatan dan 123” 32” 23” Bujur Timur dengan luas wilayah 180,27 Km 2 atau 18027 Ha. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Kupang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah dan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Kota Kupang yang sering dijuluki Kota Karang memang merupakan daerah yang kering dan pada musim kemarau (+ Mei-November) mengalami krisis air bersih. Kota Kupang hanya dilalui oleh beberapa aliran sungai yang pada musim hujan baru tampak aliran airnya yaitu antara lain: Kali Dendeng yang bermuara di Pantai LLBK (Teddys Bar); Kali Liliba yang bermuara di Pantai Oesapa dan Kali Merdeka yang bermuara di Pantai Oeba. 1.3 Iklim Di Kota Kupang sebagaimana daerah lainnya di NTT khususnya daratan Timor Barat dikenal hanya dua musim saja yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin yang datang dari benua Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan Mei-Juni dan November-Desember. Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Pada tahun 2007 rata-rata suhu udara di Kota Kupang berkisar antara 22.90°C – 32.17 °C. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan November (34.8°C) dan suhu udara minimum terjadi pada bulan September (21°C). Saat laporan ini ditulis, suhu udara di Kota Kupang mencapai 36°C-38°C. 1.4 Penduduk Menurut Laporan BPS Kota Kupang Tahun 2008. Jumlah penduduk Kota Kupang Tahun 2007 sebanyak 282.035 jiwa. Jumlah ini terdiri dari 143.164 jiwa penduduk laki-laki dan 138.871 jiwa penduduk perempuan. Dari data tersebut, maka didapatkan Rasio Jenis Kelamin sebesar 103. Dengan luas wilayah 180.27 Km2 didapatkan angka kepadatan penduduk sebesar 1.564 jiwa per Km2. Jika dilihat dari golongan pengeluaran perbulan maka sebagian besar penduduk Kota Kupang berada pada kelompok 200.000-299.999 rupiah yaitu sebanyak 68.666 penduduk (23,46%) dan golongan pengeluaran terbesar (500.000 rupiah ke atas) dimiliki oleh 21,89% penduduk Kota Kupang. Bila dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapita maka pengeluaran untuk makanan yaitu 166.028 rupiah (43,33%) sedangkan pengeluaran bukan untuk makanan sebesar 217.106 rupiah (56,67%). 1.5 Pendidikan Jumlah fasilitas pendidikan yang ada di Kota Kupang adalah 94 Taman Kanak-Kanak (TK), 121 Sekolah Dasar (SD), 39 Sekolah Menengah 8


Pertama (SMP), 22 Sekolah Menengah Umum (SMU), 17 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) serta 18 Perguruan Tinggi. Dari jumlah tersebut Kecamatan Oebobo memiliki jumlah fasilitas pendidikan terbanyak yaitu, 32 TK, 41 SD, 13 SMP, 12 SMU dan 11 SMK. Jika dilihat dari jumlah tenaga pengajar, Kota Kupang memiliki 355 guru TK, 1793 guru SD, 1059 guru SMP, 964 guru SMA, 491 guru SMK serta 2072 Dosen Perguruan Tinggi (1398 Dosen Tetap dan 674 Dosen Tidak Tetap). 1.6 Kesehatan Jika dilihat dari fasilitas kesehatan, Kota Kupang memiliki 1 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit TNI, 1 rumah sakit Polri, 7 Puskesmas, 31 Puskesmas Pembantu, 9 Balai Pengobatan. Untuk dokter praktek dan bidan praktek, Kota Kupang memiliki 179 dokter praktek dan 43 bidan praktek. Untuk tempat penjualan obat-obatan atau barang farmasi, Kota Kupang memiliki 45 Apotik dan 29 Toko Obat Berijin. 1.7 Kriminalitas Secara umum tingkat kejahatan/pelanggaran yang tertinggi di Kota Kupang selama Tahun 2007 adalah pencurian sebanyak 60 kasus, disusul penganiayaan sebanyak 59 Kasus, ketertiban umum sebanyak 38 kasus, perampokan 20 kasus, penggelapan sebanyak 19 kasus, kesusilaan sebanyak 18 kasus, pembunuhan sebanyak 10 kasus. 1.8 Agama Mayoritas penduduk Kota Kupang adalah pemeluk agama Protestan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabek di bawah ini: Tabel 1 Pemeluk Agama menurut Kecamatan di Kota Kupang Tahun 2007 A gama

Kecamatan Alak

Islam

6.252

Katoli k Kriste n Hindu Budh a Jumla h

2.405

Maul afa 2.662

30.12 3 578 7

14.74 6 29.38 9 1.178 188

39.36 5

48.16 2

Kristen

Kota Kupang

Oebo bo 11.50 9 8.975

Kelapa Lima 12.599

33.021

33.175

59.302

73.94 2 2.277 104

50.525

183.978

1.291 112

5.324 410

96.80 7

97.701

282.035

Sumber: Kota Kupang Dalam Angka 2008. 1.9

Peta Kota Kupang

9


10


2.

GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUPANG

2.1

Kupang Pada Masa Kedatangan Bangsa Portugis

Sejak Malaka jatuh kedalam kekuasaan Portugis pada tahun 1511. Timor (Kupang) telah disinggahi secara rutin oleh para pedagang Portugis antara tahun 1518 sampai tahun 1550-an. Sebab sekitar tahun 1556 seorang Ordinis

Praedicatorum

yang

bernama

Pater

Taveirea

konon

telah

membaptiskan lebih kurang 5.000 orang di Timor. Pada tahun 1522 sisa armada Ferdinand Magellan menyinggahi Alor dan Timor (Kupang). Hubungan dan karya Portugis yang paling menonjol di Kupang terjadi pada tahun 1640-an, ketika Pater Antonio de Sau Jacinto mengemban misinya di daerah ini, Jacinto berhasil menjalin kerjasama yang baik dengan raja Kupang (raja Helong), yang telah dibaptiskan dengan nama Don Duarte, sedangkan permasurinya dibaptiskan dengan nama Dona Maria. Jalinan kerjasama yang baik tersebut melahirkan kontrak tertanggal 29 Desember 1645 yang isinya antara lain: Jacinto diperbolehkan mendirikan sebuah gereja dan sebuah benteng, dan kapal-kapal bangsa lain tidak diperbolehkan memasuki pelabuhan Kupang. 2.2

Kupang pada masa VOC

Setelah Belanda menduduki Kupang pada tahun 1653, maka Kupang mulai dijadikan sebagai pangkalan/ basis perdagangan dan kegiatan mengenai sistem pemerintahan VOC/Belanda. Tidak terdapat petunjuk yang jelas mengenai sistem pemerintahan VOC/Belanda pada waktu itu. Yang

dapat

diketahui

dari

berbagai

referensi

hanyalah

pangkat,

kedudukan, atau jabatan para pegawai VOC/Belanda. Pejabat tinggi yang berkedudukan di Kupang untuk melaksanakan misi VOC dibidang perdagangan dan politik pemerintahan wilayah disebut Opperhoofd. Pada tahun 1653 sampai dengan tahun 1756 Belanda banyak melakukan pemerasan dan perbudakan dari setiap kerajaan yang ditundukkannya. Dari kerajaan-kerajaan sekitar Kupang (Kerajaan Kupang atau Helong,

11


Ambai, Sonbai-Kecil, dan Amarasi). Belanda lebih banyak melakukan pemaksaan

pengambilan

rakyat

yang

dijadikan

budak

untuk

diperdagangkan dan dijadikan tenaga kerja bagi kepentingan para penguasa Belanda. 2.3

Kupang pada masa Pemerintahan Belanda 1800-1942

Pada waktu VOC dibubarkan pada tahun 1799 , segala hak dan kewajibannya di Indonesia diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Peralihan ini tidak membawa perbaikan apa-apa, karena pada waktu itu Belanda menghapi perang yang dilancarkan oleh negara-negara tetangganya. Pada waktu itu Belanda dikuasai oleh pemerintah boneka dari kekaisaran Perancis di bawah kaisar Napoleon. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Inggris untuk memperluas daerah jajahannya dan merebut jajahan Belanda. Akibatnya sejak tahun 1811 sampai dengan tahun 1816 Kupang berada pada pemerintah peralihan Inggris. Kemudian setelah tercapai konvensi London pada tahun 1814 dan pemerintahan Belanda di Kupang dipulihkan tahun 1816, maka sejak itu belanda berkuasa sampai dengan tahun 1942. 2.4

Kupang pada masa Pendudukan Jepang 1942-1945

Pecahnya “Perang Asia Timur Raya� membuat serangan Jepang ke Indonesia tidak saja diarahkan ke tempat-tempat di wilayah Indonesia bagian Barat, tetapi juga ke daerah – daerah tertentu di wilayah Indonesia bagian Timur, yang dipandang strategis dalam peta peperangan melawan tentara sekutu pada waktu itu. Berdasarkan perhitungan strategis itulah, Ambon dan Kupang diserang dan diduduki. Ambon jatuh ketangan Jepang pada akhir Januari 1942, sedangkan Kupang mengalami serangan gencar pada tanggal 20 sampai 24 Februari 1942. Setelah Jepang mengalahkan Belanda yang didukung pasukan sekutu pada tanggal 24 Februari 1942, maka berakhirlah pendudukan Belanda di Kupang. Ketika menduduki Kupang, setiap hari tentara Jepang memasuki rumah penduduk secara paksa untuk melakukan penggeledahan mencari orang Belanda dan anggota pasukan sekutu yang diduga bersembunyi di rumah penduduk. Selama pendudukan Jepang di Kupang, penduduk selalu diliputi 12


kecemasan, karena sepak terjang tentara Jepang yang kejam, bahkan pada tahun 1944 Jepang menghen-tikan sama sekali penyaluran bahan makanan kepada penduduk. Akibatnya rakyat mulai melarat dan bencana kelaparan mulai terjadi. Setelah Jepang menyerah pada tentara sekutu pada tanggal 11 Agustus 1945 yang diikuti dengan kehadiran tentara sekutu di Kupang pada tanggal 11 september 1945 di bawah komando Sir Thomas Blamey untuk melucuti senjata dan menawan tentara Jepang, maka berakhirlah masa pendudukan Jepang di Kupang. 2.5

Kupang antara Tahun 1945-1958

Sebelum pasukan sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Kupang pada tanggal 11 September 1945 untuk melucuti tentara Jepang. Penguasa Jepang di Kupang telah mengangkat dokter Gabeler (seorang Indo Belanda) untuk menjadi Walikota Kupang. Kemudian setelah pasukan sekutu yang diboncengi NICA mengambil alih kekuasaan Jepang di Kupang, maka yang menjadi residen untuk daerah Timor adalah C.W. Schuller, dan yang menjadi asisten residen atau Controleur di Kupang adalah J. J. Spijker. Pada

tanggal

18–24

Desember

1946

Belanda

menyelenggarakan

“Konferensi Denpasar“. Utusan Timor yang terpilih untuk mengikuti konferensi tersebut yakni : I.H. Doko, A. Rotti dan G. Manek. Namun A. Rotti kemudian digantikan dengan J.S. Amalo. Dalam konferensi tersebut Belanda memaksakan terwujudnya Negara Indonesia Timur (NIT). Dengan terbentuknya NIT, maka secara berangsur-angsur kekuasaan Belanda dihapuskan.

Pemerintah

NIT

mengeluarkan

instruksi

membebaskan

pegawai Belanda dari semua jabatannya di NIT. Residen dan Asisten Residen masih dijadikan sebagai penasehat, namun kedudukan Controleur diganti dengan Kepala Pemerintah setempat (KPS). Kemudian pada Desember 1947 dalam kabinet Anak Agung, I.H. Doko duduk sebagai menteri muda penerangan NIT. Dalam tahun 1949 terjadi reorganisasi gabungan kerajaan-kerajaan afdeeing

Timor

dan

pulau-pulaunya

menjadi

Daerah

Timor

dan

kepulauannya dan terhitung tanggal 1 Oktober 1949 H.A. Koroh menjabat 13


sebagai Kepala Daerah Timor dan Kepulauannya, kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Timor dan Kepulauannya tanggal 29 April 1949 maka dalam bulan Oktober dan Nopember 1949 dilakukan pemilihan DPRD Timor dan Kepulauannya yang terdiri atas 28 orang dengan Ketuanya adalah E.R. Here Wila dan Th. Messakh sebagai Wakil Ketua. Pada tanggal 29 Maret 1951 sementara DPRD bersidang, H.A. Koroh meninggal di rumahnya di Baun. Sehubungan dengan wafatnya H.A. Koroh, maka DRPD memilih calon Kepala Daerah yang Baru. Dari tiga nama yang diajukan kepada Menteri Dalam Negeri NIT yakni J.S. Amalo, I.H. Doko, E.D. Johannes, maka oleh Menteri Dalam Negeri NIT pada bulan Mei 1951 menetapkan J.S. Amalo sebagai Kepala Daerah Timor dan Kepulauannya terhitung awal Agustus 1951. Dalam tahun 1954 terjadi pergantian Kepala Daerah dari J.S. Amalo kepada St.Ndun setelah sebelumnya tahun 1951 J.S. Amalo mengajukan permohonan berhenti yang tidak dikabulkan oleh Gubernur Sunda Kecil. Kemudian St.Ndun pun mengajukan permohonan berhenti karena adanya pertentangan dengan DPRD, dan pada tahun 1958 permohonan St.Ndun dikabulkan dan diganti oleh W.C.H. Oematan yang mulai bertugas sejak Maret 1958 sampai Desember 1958. l 2.6

Kupang sejak Tahun 1958-Sekarang

Sejak diundangkannya Undang-Undang No 69 tahun 1958 pada tanggal 9 Agustus 1958 maka secara de jure Daerah Tingkat II Kabupaten Kupang telah terbentuk. Namun secara de facto baru dimulai pada tanggal pelantikan pejabat sementara Kepala Daerah Tingkat II. Sejak Kabupaten Kupang terbentuk, daerah ini telah dipimpin oleh 5 Kepala Daerah, yakni: Bupati W.C.H. Oematan (1958-1972) Drs. A.A. Adi (1973-1983) Kol.Inf. Yopi K. Moningka (1984-

Wakil Bupati

1989) Kol.CZI. Paul Lawa Rihi (19891999) Drs. Ibrahim A. Medah (1999-

Ir. D.A.Fritz Djubida (2001-

2004) Drs. Ibrahim A. Medah (2004-

2004) Drs. Ruben Funay (2004-

14


2009)

2009)

Saat laporan penelitian ini di tulis, seluruh masyarakat Kabupaten Kupang sementara mempersiapkan diri untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) putara kedua untuk memilih Bupati Kupang dan Wakil Bupati Kupang masa bakti 2008-2013 antara pasangan Drs. Ruben Funay-Ir. Dominggus Fritz Djubida dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) dan Drs. Ayub Titu Eki, M.S.,Ph.D dan Ir. Jhony Tiran dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Saat ini Kabupaten Kupang terbagi atas 32 kecamatan, 218 desa dan 22 kelurahan.

Jumlah

desa terbanyak di Kecamatan Sabu Barat (18

desa/kelurahan), sedangkan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya adalah Kecamatan Amarasi Timur, Fatuleu Tengah dan Amfoang Barat Daya (4 desa/kelurahan). 2.6

Geografi

Kabupaten Kupang terletak antara 90” 19”-100” 57” Lintang Selatan dan antara 12” 10” 30” – 12” 40” 11” Bujur Timur dengan luas wilayah 5.898,22 Km2. Kabupaten Kupang di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Laut Sawu, sementara sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Negara Timor Leste. Wilayah Kabupaten Kupang mencakup 27 pulau, di mana diantaranya terdapat 8 pulau yang belum memiliki nama. Dari kedua puluh tujuh pulau tersebut yang telah dihuni hingga saat ini hanya sebanyak lima pulau yaitu Pulau Timor, Pulau Sabu, Pulau Raijua, Pulau Semau, dan Pulau Kera. Hampir sebagian besar flora di Kabupaten Kupang terdiri dari padang rumput, pohon lontar, pohon pinus, cendana, dan gewang. Sedangkan fauna terdiri dari hewan-hewan menyusui besar misalnya, kerbau, sapi, kuda.

Hewan

domba.Binatang

menyusui

kecil,

menjalar

misalnya

misalnya ular.

kambing,

Unggas

babi

misalnya,

dan

burung

Kakatua, Nuri dan sebagainya. 2.7

Iklim

15


Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Kabupaten Kupang hanya dikenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni September mengandung

arus uap

angin

berasal

air

sehingga

dari

Australia

mengakibatkan

dan

tidak

musim

banyak kemarau.

Sebaliknya pada bulan Desember - Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Mengingat Kab. Kupang dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai di wilayah Kab. Kupang kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di Kab. Kupang lebih sedikit dibanding wilayah yang dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Kab. Kupang sebagai wilayah yang tergolong kering di mana hanya 5 bulan (Januari s.d April dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 7 bulan sisanya relatif kering. Jumlah curah hujan setahun bervariasi tiap bulan. Pada tahun 2006 jumlah curah hujan setahun tertinggi pada bulan Januari, dan terendah pada bulan Juni. Rata-rata kelembaban udara di Kabupaten Kupang tahun 2006 sebesar 78,83 %, arah kecepatan angin E/13 knot, tekanan udara 1.011,95 milibar, dan rata-rata suhu udara di atas 27,15°C. 2.8

Penduduk

Laporan BPS Kabupaten Kupang Tahun 2007 melaporkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Kupang pada tahun 2006 sebanyak 362.790 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 62 jiwa/km2. Secara keseluruhan penduduk laki-laki (185.379 jiwa) lebih banyak dari penduduk perempuan (177.411 jiwa). Laju pertumbuhan penduduk suatu wilayah pada hakekatnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kupang dari tahun 2005 ke tahun 2006 sebesar 5,46%. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kupang

16


lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian, namun saat ini faktor perpindahan penduduk juga mempunyai pengaruh yang cukup besar. Pada tahun 2000-2005, rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Kupang jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Kupang lebih banyak daripada jumlah

penduduk

perempuan.

Pada

tahun

2006

sebagian

besar

kecamatan memiliki rasio jenis kelamin diatas 100, kecuali 5 kecamatan yaitu Sabu Timur, Amarasi, Amabi Oefeto, Fatuleu Barat dan Fatuleu Tengah. Pada tahun 2005 jumlah rumah tangga di Kabupaten Kupang adalah 80.150 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4 orang. Sementara banyaknya rumah tangga pada tahun 2006 adalah 81.873, dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4 orang. Dibandingkan dengan tahun 2005, rata-rata besarnya anggota rumah tangga pada tahun 2006 ini tidak mengalami perubahan. 2.9

Pendidikan

Jumlah fasilitas pendidikan yang ada di Kabupaten Kupang adalah 320 Sekolah Dasar (SD) dengan 3.461 guru SD, 73 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan 1.122 guru SMP, 26 Sekolah Menengah Umum/Kejujuran dengan 518 guru SMU/SMK. 2.10 Kesehatan Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Kupang terdiri dari 23 Puskesmas, 116 Puskesmas Pembantu, 3 Balai Pengobatan, 25 Dokter Umum, 7 Dokter Gigi, 133 Perawat Umum, 20 Perawat Gigi, 112 Bidan Desa, 76 Bidan Puskesmas, 2 Juru Kesehatan, 8 Juru Vaksinasi, 1 Penjenang kesehatan. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah jenis penyakit tertinggi di Kabupaten Kupang, disusul Penyakit Kulit Alergi, dan Bronchitis. 2.11 Agama Mayoritas penduduk Kabupaten Kupang adalah pemeluk agama Kristen Protestan. Dari total 362.790 jiwa, 35.637 diantaranya adalah pemeluk 17


agama Kristen Katolik, 310.213 adalah pemeluk agama Kristen Protestan, 7.465 adalah pemeluk agama Islam, 235 pemeluk agama Hindu, dan 38 pemeluk agama Budha. Jumlah tempat beribadah untuk pemeluk agama Katolik sebanyak 95 rumah ibadah, Kristen Protestan sebanyak 837 rumah ibadah, Islam sebanyak 23 rumah ibadah dan Hindu 1 rumah ibadah.

2.12 Peta Kabupaten Kupang

18


3. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN (TTS) 3.1

Sejarah Singkat

Sejarah Kab. Timor Tengah Selatan hanya terdiri dari urutan pemimpin Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dari waktu ke waktu adalah: Bupati H.R. Kana Djara (1958-1960) Kusa Nope (1960-1973) Drs. Cornelis Tapatab (1973-

Wakil Bupati

1983) Piet A. Tallo, S.H (1983-1993) Drs. Piet Sabuna (1993-1998) Willem Nope, S.H (1998-2003) Drs. J.E. Tahun (1998-2003) Drs. D.A. Banunaek, M.A (2003- Drs. Pieter R. Lobo, M.Si (20032008)

2008)

Sampai dengan laporan ini ditulis, masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan sementara menanti acara pelantikan Ir. Paul Ch. Mella, M.Si dan Drs. Bobby Litelnoni, M.Si masing-masing sebagai Bupati Timor Tengah Selatan dan Wakil Bupati Timor Tengah Selatan.

3.2 Luas dan Letak Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) secara geografis terletak antara 1240 3’ 13’’-1240 49’ 56’’ Bujur Timur dan 90 25’ 9’’-100 10’ 0’’ Lintang Selatan.

Wilayah

ini

dilalui

oleh

jaringan

jalan

negara

yang

menghubungkan Kota Kupang dengan Kota Kefamenanu (Kabupaten Timor Tengah Utara) dan Atambua (Kabupaten Belu). Secara administrasi Kabupaten TTS berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu, di sebelah Selatan dengan Laut Timor, di sebelah Barat dengan Kabupaten Kupang, dan sebelah Timur dengan Kabupaten Belu. Luas wilayahnya sekitar 3.947 km2 yang pada tahun 2004 terbagi atas 21 kecamatan. Rincian luas wilayah Kabupaten TTS, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.2

19


Luas Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Banyaknya Kelurahan dirinci Menurut Kecamatan Tahun 2004 No

Kecamatan

Luas (ha)

1.

Mollo Utara

32.200

13

8,16

2.

Fatumnasi

32.000

8

8,11

3.

Mollo Selatan

42.950

16

10,88

4.

Pollen

26.400

9

6,69

5.

Kota SoE

2.090

11

0,53

6.

Amanuban Barat

22.930

14

5,81

7.

Batu Putih

10.210

7

2,59

8.

Amanuban Selatan

29.200

14

7,40

9.

Kuanfatu

26.700

8

6,76

1 0. 1 1.

Kualin

23.700

7

6,00

Amanuban Tengah

12.500

10

3,17

1 2. 1 3. 1 4.

Oenino

11.400

5

2,89

Kolbano

21.600

11

5,47

Amanuban Timur

22.400

15

5,68

1 5. 1 6. 1 7.

Kie

14.500

11

3,67

6.000

5

1,52

Amanatun Selatan

12.700

12

3,22

1 Nunkolo 8. 1 Boking 9. 2 Amanatun Utara 0. 2 Toianas 1. KABUPATEN TTS

10.600

13

2,69

10.800

9

2,74

14.120

10

3,58

9.700

7

2,46

394.7

215

100,00

Kot’olin

Jumlah Kelurahan/Desa

Persentase Luas

20


00

Sumber: BPS Kabupaten TTS, 2004 Tabel 4.1 di atas memperlihatkan bahwa Kecamatan Mollo Selatan memiliki wilayah yang paling luas (10,88%) dari luas Kabupaten TTS. Sedangkan Kecamatan SoE yang merupakan ibu kota Kabupaten TTS memiliki wilayah yang paling sempit (0.58%). 3.3Topografi Wilayah Kabupaten TTS memiliki topografi berbukit-bukit di antaranya 49% wilayahnya berada pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut (dpl) dan 51% berada di ketinggian > 500 m dpl. Kemiringan lahan di Kabupaten TTS ini didominasi oleh lahan dengan kelerengan antara 410% yang meliputi sekitar 42% luas wilayah. Lainnya, laha dengan kelerengan antara 10-20% meliputi 29% luas wilayah dan lahan dengan kelerengan antara 0-4% yang meliputi 22% luas wilayah. 3.4Iklim Kabupaten TTS beriklim tropis dengan curah hujan bervariasi antara 1000-1250 mm per tahun, 1250-1500 mm per tahun, dan 1500-2000 mm per tahun. Sebaran volumen curah hujan tersebut tidak merata antar wilayah, yaitu di wilayah bagian Barat dan Utara curah hujannya relatif tinggi. Sedangkan di wilayah Tengah relatif sedang dan makin ke wilayah Timur. Musim hujan di wilayah Kabupaten TTS pada umumnya dimulai pada Bulan November dan berakhir pada Bulan Februari. Sedangkan musim kemarau umumnnya berlangsung antara Bulan Maret-Oktober. 3.5Demografi Penduduk Kabupaten TTS pada Tahun 2004 berjumlah 411.294 jiwa dengan wilayah seluas 3.947 km2, maka rerata kepadatan penduduk di Kabupaten TTS adalah 104 jiwa/km2. Wilayah yang paling padat penduduknya ada di Kecamatan SoE (1.559 jiwa/km2). Sedangkan wilayah yang penduduknya paling jarang ada di Kecamatan Fatumnasi (51 jiwa/m2).

21


Angka pertumbuhan penduduk dari Tahun1980-1990) adalah 1,85% dan dari Tahun 1990-2000 angka pertumbuhan penduduknya menurun menjadi 1,12%. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Kabupaten TTS secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 1.3 Luas Wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Banyaknya Kelurahan dirinci Menurut Kecamatan No

Kecamatan

Jumlah

Luas (Km2)

Jumlah Rumah Tangga

Kepadatan Geografis (Orang/Km2)

Kepadatan Per RT

1.

Mollo Utara

27.919

322,0

5.818

85

5

2.

Fatumnasi

16.279

320,0

3.458

51

5

3.

Mollo Selatan

27.043

429,5

5.578

63

5

4.

Pollen

13.158

264,0

2.931

50

4

5.

Kota SoE

32.586

209,0

6.204

1.559

5

6.

Amanuban Barat

30.450

229,3

6.904

133

4

7.

Batu Putih

11.040

102.1

2.695

108

4

8.

Amanuban Selatan

30.660

292,0

7.122

105

4

9.

Kuanfatu

19.895

267,0

4.635

75

4

10.

Kualin

18.639

237,0

4.336

79

4

11.

Amanuban Tengah

14.091

125,0

3.281

113

4

12.

Oenino

10.638

114,0

2.506

93

4

13.

Kolbano

18.129

216,0

4.644

84

4

14.

Amanuban Timur

27.671

224,0

6.596

124

4

15.

Kie

19.381

145,0

4.866

134

4

16.

Kot’olin

10.152

60,0

2.408

169

4

22


17.

Amanatun Selatan

17.830

127,0

4.251

140

4

18.

Nunkolo

21.577

106,0

5.177

204

4

19.

Boking

13.803

108,0

3.351

128

4

20.

Amanatun Utara

19.284

141.2

4.570

137

4

21.

Toianas

11.669

97,0

2.848

120

4

411.29 4

3.947, 0

94.179

104

4

KABUPATEN TTS

Sumber: BPS Kabupaten TTS, 2004

Struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, memperlihatkan bahwa semakin tinggi jenjang tingkat pendidikan semakin sedikit persentase penduduk yang dapat mengenyam pendidikan tersebut, seperti tampak pada Gambar 1. Penduduk Kabupaten TTS yang berumur 10 tahun ke atas yang dapat menamatkan pendidikan SD mencapai 35,78% atau sekitar 108.178 jiwa, dan dapat menamatkan SMP hanya mencapai 10,67% atau 32.269 jiwa. Selanjutnya penduduk yang dapat menamatkan pendidikan di tingkat SMU (umum dan kejuruan), Diploma, Sarjana, pasca sarjana berturutturut 8,36%, 0,73%, 0,95%, dan 0,07%. Bahkan sebanyak 43,45% dari total penduduk Kabupaten TTS yang berumur 10 tahun ke atas belum dan/atau tidak pernah bersekolah. Kondisi ini, dapat mencerminkan bahwa minat atau kesadaran penduduk untuk bersekolah masih kurang, atau mungkin hal tersebut dapat juga mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten TTS masih rendah. Jika dilihat dari kemampuan membaca dan menulis penduduk Kabupaten TTS, ternyata sebagian besar (83,02%) penduduk Kabupaten TTS yang berusia 10 tahun ke atas dapat membaca dan menulis.

23


140.000

131.366

120.000

108.178

100.000

60.000 32.269

40.000

18.584 6.671

2.206

2.886 Sarjana (S1)

Diploma I, II, III

SMKejuruan

SMA (Umum)

SMP Umum

Sekolah Dasar

0

203 Pascasarjana

20.000 Tidak punya

Jumlah Penduduk

80.000

Jenis Pendidikan

Gambar 4.1. Struktur Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan piramida penduduk tahun 2004 (Garmbar 4.2), penduduk Kabupaten TTS yang beusia belum produktif (0-9 tahun) dan usia yang sudah tidak produktif lagi (>65 tahun) tercatat sebanyak berturut-turut 100.774 orang dan 5419 orang atau 15,5% dan 2,8% penduduk. Dengan kata lain, proporsi penduduk Kabupaten TTS yang tidak produktif tercatat hanya sebesar 18,3%. Oleh karena itu proporsi penduduk TTS yang produktif (usia 10-65 tahun) adalah sebanyak 305.101 orang atau 81,7% jumlah penduduk. Dapat dilihat pula dari piramida penduduk tersebut bahwa sebagian besar penduduk produktif berusia antara 20 sampai 44 tahun

yaitu

sebanyak

147.894

orang

atau

35,96%

penduduk.

Pengamatan lebih mendalam dari data penduduk Kabupaten TTS, diperoleh angka ketergantungan sebesar

48% (Badan Pusat Statistik,

2004). Sampai dengan tahun 2004 (Pemerintah kabupaten Timor Tengah selatan, 2004) mayoritas penduduk TTS (90,62%) masih bekerja di sektor primer (pertanian) dan < 10% yang bekerja di sektor sekunder, teriser, dan sektor lainnya dengan proporsi berturut-turut 1,01%, 8,27%, dan 0,1%.

24


Gambar‌.. Penduduk TTS Menurut Kelompok Umur, 2003 3.808

75+

2.767

70-74

Jumlah

4.930

65-69

12.997

60-64

Perempuan

10.288

55-59

Laki-laki

16.505

50-54

22.900

45-49

30.218

40-44 Kelompok Umur

29.002

35-39

30.318

30-34

28.766

25-29

29.590

20-24

39.959

15-19

48.472

10-14

56.968

5-9 43.806

0-4 0

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

Jumlah

Sumberdaya Alam Kabupaten TTS memiliki sejumlah sumber daya alam yang dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat dan pemerintah di satu sisi,tetapi di sisi lain dapat menimbulkan ketegangan, konflik, dan krisis, dikarenakan oleh perbedaan kepentingan di antara warga masyarakat, dan antara warga masyarakat dan pemerintah yang bertindak untuk dan atas nama Negara. Pertikaian antara warga masyarakat menimbulkankonflik horizontal dan pertikaian warga masyarakat dan pemerintah melahirkan konflik vertikal. Berikut: Tabe 1.4 Sumberdaya Alam Menurut Kecamatan, 2008 No

Kecamatan

Marmer

Pasir/sirtu

Pasir

Sirtu

Sirtu gunung

25


sungai

4,294,961

2,500,000

14,962,50 0

4,279,999

-

-

-

-

158,462,755

-

26,444,02 5

132,018,750

1

Mollo Utara

2

Fatumnasi

3

Mollo Selatan

4

Pollen

-

-

-

-

-

5

Kota SoE

-

-

-

-

-

6

Amanuban Barat

781,250

4,750,002

-

4,750,002

-

7

Batu Putih

781,250

659,374,933

-

659,374,9 33

-

8

Amanuban Selatan

1,500,000

57,706,875

-

57,706,87 5

-

9

Kuanfatu

-

129,577,500

-

129,577,5 00

-

10

Kualin

-

-

-

-

-

11

Amanuban Tengah

-

114,480

-

-

-

12

Kolbano

-

-

-

-

-

13

Oenino

-

-

-

-

-

14

Amanuban Timur

-

146,507,592

-

12,096,33 7

91,125,000

15

KiE

-

42,399,900

-

3,857,400

10,867,500

16

Kot'olin

-

0

-

0

0

17

Amanuban Selatan

2,884,857,7 50

1,531,379,545

-

7,955,530

1,518,271,8 75

18

Nunkolo

-

-

-

-

--

19

Boking

-

-

-

-

--

20

Amanuban Utara

734,858,730

5,246,830

-

2,793,300

--

21

Toianas

-

-

-

-

--

5,240,486,5

2,739,815,373

2,500,000

919,518,4

1,756,563,1

Kab upaten

1,594,745,1 34

ornament

22,962,413

26


27

02

24

Produksi rerata

249546977

120467423

119048

43786591

83645863

o

Kecamatan

Lempungan

Gamping pasiran

Gamping koral

Batu warna

Tufan

1

Mollo Utara

0

0

50,000

0

0

2

Fatumnasi

0

0

0

0

0

3

Mollo Selatan

556,785

7,357,500

904,320

0

19,057,500

4

Pollen

0

5

Kota SoE

0

1,480,208,31 6

6

Amanuban Barat

0

5,272,134,378

6,620,833,83 7

0

0

7

Batu Putih

0

0

705,208,393

0

8

Amanuban Selatan

0

1,324,718,438

38,902,500

1,500,000

9

Kuanfatu

0

2,974,082,850

670,927,500

0

10

Kualin

0

0

0

0

0

11

Amanuban Tengah

0

303,750,000

440,550,000

9,450

0

12

Kolbano

0

0

0

0

0

13

Oenino

0

0

0

0

0

14

Amanuban Timur

0

0

65,081,250

0

43,171,875

15

KiE

945,000

0

0

1,197,000

27,675,000

16

Kot'olin

0

0

0

0

0

17

Amanuban Selatan

0

0

0

6,750

0

No

Kecamatan

lempungan

gamping pasiran

gamping koral

batu warna

tufan

18

Nunkolo

0

0

0

0

0

19

Boking

0

0

0

0

0

20

Amanuban

0

0

53,550,000

0

0

0

27


Utara 21

Toianas

0

0

0

0

151,977,750

Kabupaten

1,501,875

9,882,043,166

10,076,216,1 16

2,713,200

241,882,125

Produksi rerata

71518

470573448

479819815

129200

11519149

Sumber: BPS Kabupaten TTS, 2004 dan Bappeda Kabupaten TTS, 2006 3.6Kriminalitas Kabupaten TTS merupakan salah satu Kabupaten diwilayah Provinsi NTT yang angka kriminalitasnya cukup tinggi. Selama Tahun 2006, tingkat kriminalitas tertinggi yang tercatat di Kantor Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan adalah kasus pencabulan (14 kasus), disusul KDRT (9 Kasus), pemerkosaan (5 kasus), perzinahan (5 kasus), pelecehan seksual (1 kasus), lain-lain (2 kasus). 3.7Agama Penduduk wilayah Kabupaten TTS mulai mengenal dan mennganut agama Katolik dan Protestan sejak kedatangan Portugis dan Belanda. Dalam

perkembangan

selanjutnya

ketika

Belanda

dan

Portugis

menyetujui Traktat tahun 1893 wilayah TTS menjadi jajahan Belanda sehingga jumah penganut agama Protestan lebih banyak. Data terakhir ketika penelitian lapangan ini dilakukan tercatat penganut agama di wilayah Kabupaten TTS tampak seperti dalam table berikut: Tabel 1.5 Jumlah Pemeluk Agama di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006 N

Agama

Jumla

o 1

Kristen

h 358.44

2

Protestan Kristen

7 55.092

3 4

Katholik Islam Hindu

11.509 410

28


5 Budha 0 Sumber: TTS Dalam Angka 2006/2007.

3.8PETA KABUPATEN TTS

4.

GAMBARAN UMUM KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

4.1

Masa Pembentukan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 tahun 1958 (lembaran Negara No 115 tahun 1958) Provinsi Sunda kecil dipecah menjadi daerah Swatantra tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 69/1958 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II, maka daerah swantara tingkat I NTT dibagi menjadi 12 daerah swantara tingkat II termasuk daerah tingkat II TTU. Kabupaten Dati II TTU meliputi tiga wilayah bekas kerajaan/swapraja, 18 kefetoran dan 176 ketemungkungan. Secara de jure Kabupaten TTU ada

29


semenjak diundangkannya UU No 69 tahun 1958 tanggal 9 Agustus 1958, namun secara de facto baru dimulai pada bulan Nopember 1958 bersamaan dengan pelantikan pejabat sementara Kepala Daerah Tingkat II TTU yang dijabat oleh D.C. Saudale. Setahun kemudian (1 Maret 1959) dilantik pula pejabat sementara sekretaris daerah yang dijabat oleh G.M. Parera. Antara tahun 1958-1960 anggaran belanja dari ketiga swapraja tersebut belum dicabut, dan baru pada 1 Januari 1961 disatukan dalam Anggaran Belanja Daerah Tk. II TTU berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT nomor 81/Des.65/2/23 tanggal 15 Desember 1960. Dengan diberlakukannya keputusan Gubernur tersebut, maka secara diam-diam penghapusan daerah swapraja Miomaffo, Insana, dan Biboki telah dilakukan secara de facto, sedangkan de jure baru pada saat diundangkannya Undang-Undang no 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965. 4.2

Masa 1962-1971

Setelah daerah swapraja dibubarkan secara de facto, maka dengan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT Nomor Pem.66/1962 tanggal 28 Pebruari 1962 jo surat keputusan tanggal 5 juni 1962 Nomor Pem.66/1./33 terbentuk empat kecamatan administratif dalam wilayah dati II TTU yakni, kecamatan Miomaffo Timur dengan ibu kotanya Kefamenanu, Kecamatan Miomaffo Barat dengan ibu kotanya Noeltoko, Kecamatan Biboki dengan ibu kotanya Manufui dan Kecamatan Insana dengan ibu kotanya Oelolok. Dengan pertimbangan luas wilayah dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, maka berdasarkan surat keputusan Gubernur KDH Tk.I NTT tanggal 20 Juli 1963 nomor Pem 66/1/32 Kecamatan Biboki dimekarkan menjadi dua buah kecamatan yaitu Biboki Selatan dengan ibu kota Manufui dan Biboki Utara dengan Ibu kotanya Manumean yang kemudian

dipindahkan

ke

Lurasik.

Kemudian

berdasarkan

surat

keputusan Gubernur KDH Tk.I NTT nomor 66 tahun 1969 tanggal 10 Desember 1969 dibentuk satu buah koordinator pemerintahan kota (Kopeta) yakni Kopeta Kefamenanu yang terdiri dari tiga desa yaitu Kefamenanu Utara, Kefamenanu Tengah dan Kefamenanu Selatan. Baru 30


pada tahun 1971 melalui surat keputusan Gubernur KDH Tk.I NTT nomor 8 tahun 1971 dibentuk lagi tiga buah perwakilan kecamatan yakni perwakilan kecamatan Miomaffo Timur dengan ibu kotanya Noemuti, perwakilan kecamatan Insana dengan ibukotanya Wini serta perwakilan kecamatan Biboki Utara dengan ibu kotanya Ponu. Menindaklanjuti instruksi Gubernur KDH Tk.I NTT tanggal 4 Nopember 1964 nomor Und.2/1/27/1964 tentang pembentukan desa gaya baru maka sesuai keputusan Bupati KDH Tk.II TTU tanggal 7 Mei 1969 nomor DD.12/II/I/1969 terbentuklah desa – desa gaya baru dari kabupaten TTU untuk

menggantikan

sistem

pemerintahan

lama

yang

disebut

ketemukungan. Jumlah desa yang dibentuk antara tahun 1969 – 1971 sebanyak 112 desa yang berada di lima wilayah kecamatan. 4.3

Masa 1972-Sekarang

Sesuai Keputusan Gubernur KDH Tk. I NTT tanggal 1 Nopember 1971 nomor 41 tahun 1971 maka Bupati KDH Tk. II TTU mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 26 Oktober 1972 tentang pengangkatan para kepala desa, panitera desa, pamong desa dan pesuruh desa se Kabupaten TTU yang masa jabatannya baru berakhir pada tahun 1977. Pada tahun 1978 jumlah desa 112 buah sama seperti periode 1969-1971 namun tersebar dalam 5 wilayah kecamatan, 3 perwakilan kecamatan dan 1 Kopeta Kota Kefamenanu. Kemudian menindaklanjuti surat edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 8 September 1976 nomor Pem.2/3/35 tentang pembentukan dan pemekaran desa maka berturut-turut tahun 1993 jumlah desa kelurahan menjadi 115 buah dan tahun 1997 telah menjadi 118 buah desa/kelurahan. Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan kinerja pelayanan publik yang prima dari institusi pemerintah, maka sesuai surat Keputusan Gubernur NTT nomor 20/1999 tanggal 29 Mei 1999, jumlah desa kelurahan sebanyak 127 pada tahun 1998 dimekarkan lagi menjadi 159 buah pada tahun 1999. Selanjutnya sesuai peraturan daerah Kabupaten TTU nomor 11 tahun 2000 dilakukan peningkatan status tiga kecamatan perwakilan menjadi kecamatan definitif yakni perwakilan kecamatan Miomaffo Timur menjadi kecamatan Noemuti, perwakilan 31


kecamatan Insana menjadi kecamatan Insana Utara dan perwakilan kecamatan Biboki Utara menjadi Kecamatan Biboki Anleu. Dengan demikian sampai dengan tahun 2003 terdapat 9 kecamatan serta 126 desa dan 33 kelurahan atau 159 desa/kelurahan. Pada penghujung tahun 2004 terjadi lagi pemekaran desa sesuai amanat Surat Keputusan Bupati TTU no 44 tahun 2004 dibentuklah tiga desa di kecamatan Insana dan satu desa lainnya di Kecamatan Insana Utara. Dengan demikian sampai dengan akhir tahun 2004 secara administratif Kabupaten TTU terdiri dari 9 wilayah kecamatan dan 163 desa/kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten TTU Nomor 08 Tahun 2007, maka jumlah kecamatan di wilayah Kabupaten TTU sampai dengan saat ini adalah 24 kecamatan atau bertambah sebanyak 15 kecamatan baru yang dimekarkan dari 9 kecamatan sebelumnya, dengan desa/ kelurahan sebanyak 174 buah atau bertambah sebanyak 11 desa/ kelurahan. Dari Kecamatan Miomaffo Barat mekar 3 kecamatan baru, yaitu:

Kecamatan

Kecamatan

Miomaffo

Miomaffo

Timur

Miomaffo bertambah

Tengah, 5

Musi,

kecamatan

dan

Mutis;

baru

yaitu:

Kecamatan Bikomi Selatan, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Bikomi Utara, dan Naibenu; Kecamatan Noemuti bertambah 1 kecamatan baru yaitu Kcamatan Noemuti Timur; Kecamatan Insana mekar 2 kecamatan baru, yaitu: Kecamatan Insana Barat dan Insana Tengah; Kecamatan Insana utara bertambah 1 kecamatan baru yaitu Kecamatan Insana Fafinesu; Kecamatan Biboki Selatan bertambah 2 kecamatan yaitu Kecamatan Biboki Tanpah dan Biboki Moenleu; dan Kecamatan Biboki Utara bertambah 1 kecamatan baru yaitu Kecamatan Biboki Feotleu. (Disarikan dari buku Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Dati II TTU memasuki abad 21 dan sumber-sumber lainnya). 4.3

Geografi Secara astronomis, posisi Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)

terletak antara 90 02' 48" LS - 90 37' 36" LS dan antara 12’40’ 04' 02" BT-12’40’ 46' 00" BT. Batas-batas wilayah administratif adalah sebelah Selatan dengan wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, sebelah Utara 32


dengan wilayah Ambenu (Timor Leste) dan Laut Sawu, sebelah Barat dengan wilayah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan, serta sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Belu. Wilayah Kabupaten TTU merupakan daerah daratan dengan luas 2 669,70 km2 atau hanya sekitar 5,6 % dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan sebagian wilayah TTU yang berbatasan dengan laut sawu atau lazim dikenal dengan sebutan wilayah pantura memiliki luas lautan + 950 km2 dengan panjang garis pantai 50 km. Dilihat dari aspek rona fisik tanah, wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 % meliputi areal seluas 2 065,19 km2 atau 77,4 % dari luas wilayah TTU; sedangkan sisanya 604,51 km2 atau 22,6 % mempunyai kemiringan lebih dari 40 %. Wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 % sebagian besar berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut yakni seluas 1676,51 km2 atau 62,8 %. Data dari Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor, memperlihatkan bahwa di Kabupaten TTU dapat ditemukan tiga jenis tanah yaitu litosal, tanah kompleks dan grumosal. Tanah litosal meliputi areal seluas 1 666,96 km2 atau 62,4 %; tanah kompleks seluas 479,48 km2 atau 18,0 % dan tanah grumosal 522,26 km2 atau 19,6 % dari luas wilayah TTU. Dipandang dari aspek topografis, sebanyak 177,60 km2 (6,63 %) memiliki ketinggian kurang dari 100 m dari atas permukaan laut; sementara 1.499,45 km2 (56,17 %) berketinggian 100-500 m dan sisanya 993,19 km2 (37,20 %) adalah daerah dengan ketinggian diatas 500 m. Dari 163 desa/kelurahan yang ada pada tahun 2004, hanya 9 desa diantaranya yang secara geografis letak wilayahnya dikategorikan sebagai desa/daerah pantai yakni desa Oepuah (Biboki Selatan), Humusu C dan Oesoko (Insana Utara) serta Nonotbatan, Maukabatan, Tuamese, Oemanu, Motadik, dan Ponu (Biboki Anleu), sedangkan sisa 154 desa lainnya yang tersebar di 9 wilayah kecamatan yang ada merupakan desa/daerah bukan pantai. 4.4

Iklim

33


Berdasarkan

klasifikasi

iklim

oleh

Schmidt

dan

Ferguson,

Kabupaten TTU termasuk wilayah tipe D dengan koefisien 2 sebesar 71,4 %. Berdasarkan klasifikasi Koppen, tipe iklim di Kabupaten TTU tergolong tipe A atau termasuk iklim equator dengan temperatur bulan terpanas lebih dari 220 C. Seperti halnya pada tempat lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di Kabupaten TTU dikenal adanya dua musim yakni musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Desember-April biasanya curah hujan relatif cukup memadai, sedangkan bulan Mei-Nopember sangat jarang terjadi hujan, dan kalaupun ada biasanya curah hujan di bawah 50 mm. Pada tahun 2006, berdasarkan hasil rekaman stasiun pencatat yang masih berfungsi, rata-rata jumlah hari hujan di Kabupaten TTU sebanyak 50 hari dengan curah hujan 1 276 mm. Sedangkan Pada tahun 2007, rata-rata jumlah hari hujan di Kabupaten TTU sebanyak 58 hari dengan curah hujan sebesar 11 876 mm. Hasil survei penyusunan rencana umum tata ruang Kabupaten TTU memperlihatkan bahwa dari aspek kedalaman efektif tanah komposisi arealnya sebagai berikut: tanah dengan kedalaman efektif kurang dari 30 cm seluas 35 316 ha (13,2%); kedalaman 30-60 cm seluas 73 201 ha (27,4%); 60-90 cm seluas 16.354 ha (6,1%) dan kedalaman efektif diatas 90 cm dengan luas 142 099 ha (53,2 %). Kemampuan dan daya tahan tanah yang rawan erosi seluas 105 226 hektar (39,4%), dan sisanya 161 744 hektar (60,6%) merupakan tanah dengan stuktur yang relatif stabil. Secara parsial tanah labil yang rawan erosi terdapat pada tiga wilayah kecamatan yakni Miomaffo Barat 37 921 hektar, Biboki Selatan 28 538 hektar, dan Biboki Utara 28 538 hektar. 4.5

Penduduk Tema kependudukan selalu muncul menjadi suatu permasalahan

yang menarik dan hangat diperdebatkan karena mempunyai kaitan erat dengan kesejahteraan hidup manusia. Perkembangan penduduk yang pesat tanpa diimbangi dengan persediaan sumber daya alam dan sumber dana yang memadai, maka hanya akan menjadi beban bagi 34


pembangunan. Sebaliknya, bila percepatan pertumbuhan penduduk jauh lebih lamban dari percepatan pertambahan sumber daya alam dan sumber dana yang ada, maka penduduk yang banyak dengan kualitas yang

memadai

akan

menjadi

modal

pembangunan

yang

sangat

berharga. Berdasarkan hal tersebut pemerintah dalam berbagai format perencanaan selalu menempatkan masalah kependudukan sebagai kerangka acuannya, karena penduduk dengan aspek kualitas dan kuantitasnya merupakan pelaku sentral sekaligus sebagai obyek yang menikmati

hasil-hasil

pembangunan

secara

lebih

adil

dan

berprikemanusiaan. Jumlah penduduk Kabupaten TTU sampai akhir tahun 2007 sesuai hasil registrasi sebanyak 222.824 jiwa dengan tingkat kepadatan rumah tangga 4 orang dan kepadatan penduduk 83 orang per Km 2. Penduduk terbanyak di Kabupaten TTU terdapat di Kecamatan Miomaffo Timur yaitu sebesar 18,41%, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan Insana Utara yaitu sebesar

5,88%. Kota Kefamenanu

merupakan

kepadatan

kecamatan

dengan

tingkat

penduduk

dan

kepadatan rumah tangga tertinggi yaitu masing-masing sebesar 467 orang/km2 dan 5 orang/rumah tangga. Penduduk dengan status Warga Negara Asing (WNA) di kabupaten TTU hanya berjumlah 33 orang atau sekitar 0,02 % dari jumlah penduduk di Kabupaten TTU. Dari 33 orang yang berstatus WNA seluruhnya berstatus warga negara Cina. Sebagian besar dari penduduk yang berstatus WNA bertempat tinggal di Kecamatan Kota Kefamenanu sedangkan sisanya bertempat tinggal di Kecamatan Noemuti, Insana, dan Insana Utara. 4.6

Pendidikan Keberhasilan pembangunan suatu bangsa tidak terlepas dari

kemajuan dunia pendidikan yang pada gilirannya membawa dampak positif bagi masa depan bangsa. Demikian pentingnya peran pendidikan, maka tidaklah mengherankan apabila pendidikan senantiasa mendapat perhatian dari pemerintah maupun kalangan swasta. Sejalan dengan hal tersebut,

peningkatan

partisipasi

sekolah

dari

berbagai

lapisan 35


masyarakat tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik pendidikan maupun tenaga pendidik baik guru maupun dosen yang memadai. Di Kabupaten TTU pada tahun 2007, jumlah Taman Kanak-Kanak 23 unit, Sekolah Dasar 240 unit, SLTP 55 unit, SLTA umum 12 unit, dan kejuruan 5 unit. Jumlah murid TK sebanyak 855 murid, SD sebanyak 37.551 murid, SLTP sebanyak 12.351 murid, dan untuk jumlah murid SLTA dan SMK masing-masing berjumlah 5.242 dan 1.185 murid Pada tahun 2007, terdapat 2 unit akademi/perguruan tinggi yaitu IPI Malang dan Universitas Timor (UNIMOR). Jumlah dosen pengajar pada kedua akademi/perguruan tinggi tersebut sebanyak 90 orang dengan mahasiswa sebanyak 975 orang. Sebagian besar penduduk usia 10 tahun ke atas di kabupaten Timor Tengah Utara berstatus pendidikan tidak bersekolah lagi (66,64%) dan yang berstatus pendidikan Perguruan Tinggi memiliki %tase paling kecil (1,51%), sedangkan sisanya adalah penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pendidikan tidak/belum pernah sekolah, SD, SLTP, dan SMA dimana masing-masing memiliki %tase 13,09%, 10,57%, 5,64%dan 2,55%. Untuk melihat kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis di suatu daerah dapat dilihat dari angka melek huruf yang ditunjukkan dalam Tabel 4.1.20. %tase penduduk umur 10 tahun ke atas yang buta huruf pada tahun 2007 sebesar 11,28% (17.487 jiwa), dimana lebih

dari

separuhnya

memperlihatkan perempuan

adanya

masih

adalah

kaum

perempuan

kemungkinan

dianggap

kurang

bahwa

perlu

oleh

(60,81%).

pendidikan sebagian

Ini bagi

besar

masyarakat di Kabupaten TTU. 4.7

Kesehatan Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan

masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, merata, dan murah. Dengan tujuan yang demikian, diharapkan seluruh program dan kegiatan di bidang kesehatan diarahkan untuk tercapainya

36


derajat kesehatan masyarakat yang baik dan pada gilirannya tercipta kehidupan yang sehat dan produktif. Sampai tahun 2007, ketersediaan sarana kesehatan secara umum jumlahnya masih didominasi Pos Persalinan Desa (Polindes) yang sebanyak 126 buah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat peran polindes ditujukan untuk melayani masalah kesehatan masyarakat sampai tingkat desa. Jumlah puskesmas pembantu sebanyak 52 buah juga diharapkan dapat mengoptimalkan peran pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan bidang kesehatan. Peranan pihak swasta nyata terlihat dimana dari 11 toko obat/apotik, seluruhnya dikelola swasta. Demikian pula dari 13 Balai Pengobatan/BKIA, 11 buah dikelola swasta. Jumlah tenaga pelayanan kesehatan (medis dan para medis) seperti tenaga dokter umum sebanyak 25 orang terbanyak di kecamatan kota, dokter gigi sebanyak 6 orang, perawat dan mantri kesehatan 260 orang serta tenaga kebidanan (PNS+PTT+Honor) sebanyak 199 orang. Jumlah penderita rawat jalan pada RSUD Kefamenanu selama 2007 sebanyak 17 739 kali kunjungan (pasien) atau turun 31,94 % dibanding dengan keadaan tahun lalu (17248). Dari jumlah kunjungan tersebut, komposisi jenis penyakit yang dominan masing-masing Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 56,71 %, penyakit lainnya 25,92 %. Khusus pada penderita rawat inap selama tahun 2007 pada RSUD Kefamenanu sebanyak 1.625 kunjungan (pasien) atau turun 28,32 % dari keadaan tahun sebelumnya. Sebagian besar pasien di RSUD Kefamenanu yang rawat inap didominasi oleh pasien yang sedang mengalami persalinan normal yaitu sebesar 24,36 %, pasien penderita penyakit lain 19,32 dan pasien penderita diare 17,66 %. Sedangkan pasien rawat inap yang menderita gangguan haid memilki pesentase paling kecil yaitu sebesar 0,3 %. Dari jenis penyakit yang diderita kebanyakan pasien baik yang rawat inap maupun rawat jalan terlihat bahwa masalah sanitasi lingkungan maupun pola hidup bersih masih perlu menjadi perhatian semua pihak. Hampir setengah dari jumlah ibu hamil di kabupaten Timor Tengah Utara mengalami status gizi Kekurangan Energi Kronik (KEK) dan Anemia 37


Gizi Besi (AGB). Kecamatan Insana merupakan kecamatan dengan persentase ibu hamil dengan status gizi KEK dan AGB terbanyak (18,46 %), sedangkan persentase ibu hamil dengan satus gizi KEK dan AGB paling kecil terdapat di Kecamatan Biboki Anleu sebesar 1,26%. Sebagian

besar

penduduk

Kabupaten

Timor

Tengah

Utara

menderita keluhan kesehatan panas dan batuk masing-masing sebesar 49,81% dan 48,22%. Sedangkan asma memiliki persentase yang paling kecil yaitu sebesar 4,63%. Jumlah pasangan usia subur (PUS) pada tahun 2007 sebanyak 31.577 pasang, dimana 57,53% diantaranya adalah pasangan peserta KB aktif. Dari metode kontrasepsi yang digunakan oleh pasangan KB aktif paling banyak memilih KB suntik sebesar 74,09%, sedangkan sisanya adalah metode pil 11,62%, Implant 8,93%, IUD 3,5 persen, MOW dan MOP masing-masing 1,3%, dan 0,2% dan yang menggunakan kondom hanya 0,4%. 4.8

Kriminalitas Jumlah tindakan kejahatan/pelanggaran tertinggi di Kabupaten

Timor Tengah Utara adalah pencurian sebanyak 67 kasus, penganiayaan 44 kasus, pelanggaran terhadap ketertiban umum 37 kasus, perjudian 31 kasus dan lain-lain. 4.9

Agama Sesuai

dengan

falsafah

negara,

kehidupan

beragama

dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dikembangkan dan ditingkatkan penghayatannya sehingga dapat tercipta kondisi kehidupan

yang

rukun

dan

damai.

Dewasa

ini

sebagian

besar

masyarakat kita mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap masalahmasalah yang berkaitan dengan agama. Karena itu apabila terjadi pemaksaan kehendak pemeluk agama tertentu terhadap pemeluk agama lainnya maka akan menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. Dalam hal ini pemerintah dituntut untuk memfasilitasi kehidupan beragama bagi masyarakatnya, sehingga setiap pemeluknya memiliki hak yang sama untuk menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya. 38


Dilihat dari komposisi penduduk, maka dari 222.824 jiwa pada tahun 2007, sebanyak 93,3% diantaranya beragama Katholik, sedangkan selebihnya

masing-masing

Kristen

Protestan

5,78%,

Islam

0,89%,

Hindu/Budha dan lainnya 0,03%. Dari ketersediaan sarana peribadatan yang ada pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa perbandingan tempat ibadat terhadap jumlah jemaat/pemeluk agama adalah Katholik 1.066 jiwa (tiap gereja/kapela rata-rata menampung 1.066 umat), Kristen Protestan 243 jiwa, Islam 330 jiwa dan Hindu/Budha 74 jiwa. Rasio rohaniwan/rohaniwati terhadap jumlah jemaat yang ada untuk masing-masing pemeluknya adalah Katholik 2.390 (tiap rohaniwan/rohaniwati melayani 2.390 umat), Kristen Protestan 218 dan Islam 22. 4.10 Peta Kabupaten Timor Tengah Utara

39


PETA Kab. TTU

5.

GAMBARAN UMUM KABUPATEN BELU

5.1

Sejarah Singkat Manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku

Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data. Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing – masing daerah berlainan. Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma 40


menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah ; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik. Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan. Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan” Liurai Nain di Belu bagianh Selatan. Bahakan menurut para peneliti

asing

sebahagian

Maromak

daerah

Oan

kekuasaaannya

Dawan (insana

dan

juga

Biboki).

merambah

Dalam

sampai

melaksanakan

tugasnya di belu, maromak Oan memiliki perpanjangantangan yaitu WewikuWehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para pendatang di belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan adapt tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja – raja dengan apa yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai. Tercatat nama – nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, 41


Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti

Dafala,

manleten,

Umaklaran

Sorbau.

Dalam

perkembangan

pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon. Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, BesikamaLasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal – usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah. 5.2

Geografi Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Nusa

Tenggara Timur yang wilayahnya terletak di sebelah timur. Kabupaten Belu terletak pada koordinat 124°-126° lintang selatan. Posisinya sangat strategis karena berada pada persimpangan Negara Timor Leste dengan bagian lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur serta pada titik silang antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Adapun batas wilayah Kabupaten Belu adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Selat Ombai, sebelah selatan dengan Laut Timor, sebelah utara dengan Negara Timor Leste serta sebelah barat dengan Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kabupaten Belu memiliki wilayah seluas 2.445.57 Km2 atau 5,16% dari luas wilayah NTT yang keseluruhannya berupa daratan, Kabupaten Belu terbagi dalam 24 Kecamatan dan 181 Desa/Kelurahan. 5.3

Iklim

42


Daerah Kabupaten Belu dengan temperatur rata-rata 24-34째C beriklim tropis, umumnya berubah-ubah tiap setengah tahun berganti dari musim kemarau dan musim penghujan dengan musim kemarau yang lebih dominan. Musim hujan yang sangat singkat dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei. Curah hujan tertinggi yaitu 1375 mm terdapat di Kecamatan Malaka Tengah. Letak geografis yang lebih dekat dengna Australia di banding Asia, membuat Kabupaten Belu memiliki curah hujan yang rendah. 5.4

Penduduk Jumlah Penduduk Kabupaten Belu sampai dengan Tahun 2007 sebanyak

378.0821 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 88.550 dengan tingkat kepadatan penduduk 155 jiwa/Km2 dan tingkat kepadatan penduduk per rumah tangga sebanyak 4 penduduk/rumah tangga. Dari 378.882 penduduk Kabupaten Belu, 189.304 adalah penduduk laki-laki dan 189.578 adalah penduduk perempuan. 5.5

Pendidikan Jumlah fasilitas pendidikan di Kabupaten Belu terdiri dari 23 unit Taman

Kanak-Kanak (TK), 332 Unit Sekolah Dasar (SD), 42 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP), 20 unit Sekolah Menengah Umum (SMU) dan 7 unit Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, 73,10% penduduk umur 10 Tahun ke atas berpendidikan paling tinggi cuma tamat SD. Sedangkan sisanya tamat SMP 11,47%, tamat SMU/SMK 11,61% serta tamat akademi dan perguruan tinggi cuma 3.82%. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan formal dari sebagian besar penduduk Belu akan sangat mempengaruhi akselerasi pembangunan dan kecepatan transformasi tenaga kerja dari sektor ekonomi tradisional ke sektor-sektor ekonomi modern. 5.6

Kesehatan Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Belu terdiri dari 5 unit Rumah

Sakit, 19 unit Puskesmas, 48 unit Puskesmas Pembantu dan 13 Balai Pengobatan. Dengan jumlah tenaga kesehatan yang terdiri dari 3 Dokter Ahli, 39 Dokter Umum, 20 Sarjana Kesehatan, 122 Ahli Madya Kesehatan, 146 43


Perawat, 133 Bidan, 101 Bidan Desa, dan 26 Perawat Gigi. Malaria adalah jenis penyakit terbanyak di Kabupaten Belu, disusul Gastroenteritis, TBC, dispepsia, pneumonia, appendiks dan ISPA. 5.7

Kriminalitas Tingkat kriminalitas di Kabupaten Belu masih cukup memprihatinkan

karena dibandingkan dengan Tahun 2006 ternyata masalah sosial meningkat dari 628 kasus menjadi 680 kasus dengan tetap pada kasus penganiayaan yang tertinggi. Berikut, jumlah tindak kejahatan/pelanggaran tertinggi di Kabupaten Belu adalah penganiayaan berat 150 kasus, pengroyokan 115 kasus, pencurian 54 kasus, penganiayaan ringan 50 kasus, dan lain-lain. 5.8

Agama Mayoritas penduduk Kabupaten Belu adalah pemeluk agama Katolik.

Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel ... berikut ini: Tabel ... Jumlah Pemeluk Agama di Kabupaten Belu Tahun 2007 N o 1 2

Agama

Jumlah Pemeluk 345.528 23.643

Katolik Protesta n 3 Islam 6.429 4 Hindu 380 5 Budha 93 Sumber: Belu Dalam Angka 2008 5.9

Peta Kabupaten Belu

44


4.HASIL ANALISIS Sesuai dengan rencana penelitian yang sudah disetujui oleh ASFC, penelitian ini hanya dibatasi untuk menganalisis beberapa hal sebagai berikut: 1. Gambaran sejarah dan persebaran beberapa kelompok etnis asli yang mendiami Timor Barat. 2. Hubungan sosial antara penduduk Timor Timur dan Timor Barat sebelum kedatangan Portugis sampai setelah berdirinya RDTL. 3. Kapital sosial yang berpotensi mengintegrasikan masyarakat di Timor Barat dan potensi konflik yang ada dalam masyarakat. 4. Evaluasi singkat tentang potensi dan perubahan sosial, budaya

dan ekonomi di NTT selama beberapa tahun setelah berdirinya RDTL. 5. Jalinan komunikasi dan peran serta kontribusi media dalam kejadian yang bersifat kerjasama dan konflik di antara kelompok-kelompok etnik di Timor Barat. 6. Gender dan kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

1. GAMBARAN DAN PERSEBARAN KELOMPOK ETNIK DI TIMOR

BARAT

Wilayah Timor Barat yang terdiri dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu sejak awal dihui oleh setidaknya 6 (enam) kelompok etnis, yakni Helong, Atoin Meto, Tetun, Bunak, Kemak dan Cina. Dalam perkembangan selanjutnya berdatangan berbagai kelompok etnik lain dan membentuk entitas politik kabupaten, kota dan provinsi. Kelompok-kelompok etnik tersebut berikut persebarannya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel....

45


Kelompok Etnik dan Persebarannya di Timor Barat

NO 1

KAB/KOTA KOTA KUPANG

2 3

KAB.KUPAN G KAB.TTS

4 5

KAB TTU KAB BELU

6

TIMOR

7

Pendatang

ETNIK ETNIK DOMINAN Atoin Meto, Helong, Tetun, Bunak, Kemak, Rote, Sabu, Sumba (6-8etnik)*, Flores (15)*, Alor (ada sekitar 57bhsa)*, China IDEM Atoin Meto, Helong Atoin Meto, Rote, Atoin Meto Sabu, Alor, Flores, Sumba, Tetun, Bunak, China idem Atoin Meto,Tetun AtoinMeto, Bunak, Tetun, Bunak Kemak, Tetun, Sabu, Rote, Flores, Alor, Sumba, China, 13 etnik dari Timor Leste MELUS (sudah punah, tidak ada tulisan tetapi ada tutur adat) Bugis, Buton, Makassar, Jawa, Bali, dll

*) terdiri dari sejumlah kelompok etnik

Menurut tutur adat yang berkembang di kalangan orang Atoin Meto, Helon, Tetun, Kemak dan Bunak, leluhur mereka datang dari tempat yang jauh, melalui Malaka, Larantuka, dan mendarat di pesisir utara pulau Timor, dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste. Selanjutnya dikisahkan bahwa dari muara sungai di pantai utara inilah mereka menyebar ke berbagai tempatdi pedalaman Pulau Timor. Patut diduga bahwa mereka menyebar ke berbagai wilayah melalui jalur sungai, sebab mereka sangat menguasai pelayaran. Salah satu bukti kepiawaian mereka menempuh perjalanan melalui jalur air adalah atap rumah mereka yang menyerupai perahu, sebagai kenangan pelayaran mereka. 46


Catatan para peneliti terdahulu (Parera, 1986) menyebutkan bahwa migrasi ke Pulau Timor terjadi selama beberapa kali dan dari beberapa arah. Sebagian dari mereka diduga berasal dari daerah Yunan dan Hindia belakang, dan sebagiannya dari daerah Seram. Meskipun penelitin untuk tulisan ini berjalan sangat singkat dan tidak melakukan review mendasar atas berbagai sumber tertulis, tampaknya apa yang dikatakan oleh para penulis dan peneliti terdahulu dapat menjadi masukan yang baik untuk memahami persebaran kelompok etnik di pulau Timor. Dalam kurun waktu ratusan tahun, para migran ini hidup mengelompok membentuk kelompok-kelompok etnik dan menyebar di berbagai wilayah di pulau Timor. Data lapangan yang ada memperlihatkan, setidaknya terdapat 5 (lima) kelompok etnik yang dianggap lebih dahulu menghuni pulau Timor, yakni: Atoni Meto atau Dawan, Bunak, Helong, Kemak dan Tetun, serta Melus yang dikisahkan sebagai penghuni tertua pulau Timor tetapi sudah punah. Selanjutnya berdatangan berbagai etnik lain baik yang datang dari jauh di luar Timor seperti Cina, dan dari sekitar pulau Timor seperti Rote dan Sabu. Dalam perkembangan selanjutnya ketika pemerintah penjajah Belanda merekrut anggota militer, banyak orang dari pulau Timor dan pulau lainnya terlibat dan mereka ditugaskan ke pulau Jawa sampai dengan saat Belanda menyerah kepada Jepang. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang, bangak di antara tentara Belanda asal dari Timor pulang/dipulangkan ke kampung halamannya bersama keluarganya. Mereka inilah yang pertamakalinya membawa migran dari pulau Jawa. Kehadiran migran bar ini juga disertai anggota keluarganya danmereka memperkenalkan banyak hal baru, terutama kebudayaan Jawa (dan Sunda) kepada masyarakat lokal, dan masyarakat lokal menerimanya sebaai hal baru yang positif. Migran berikutnya datang ketika banyak dari orang dari pulau Timor menempuh pendidikan di Pulau Jawa dan mereka membawaserta isteri dan keluarga isterinya ke pulau Timor. Migran ini meneruskan pembauran kebudayaan yang sudah dilakukan oleh pendahulu mereka. Pembauran oleh kelompok yangmenempuh pendidikan di pulau Jawa ini terus menerus terjadi sampai dengan datangnya gelombang besar migran dari Jawa saat integrasi Timor Portugis dengan RI dan provinsi itu dinyatakan sebagai daerah terbuka. Sejak kedatangan banyak pedagagang dan pekerja untuk memenuhi kebutuhan militer sampai dengan kehadiran pelaku ekonomi dan pejabat pemerintah asal Pulau Jawa membawa perubahan yang lebih dashyat dalam semua segi kehidupan, termasuk yang bersifat negatif seperti prostitusi dan kriminalitas

47


lintas provinsi. Para migran ini umumnya bermukim di daerah perkotaan tetapi aktifitas dan interaksi mereka meluas sampai ke perdesaan sehingga pengaruh mereka dalam kebudayan lokal terasa sangat luas. Berbeda dengan kehadiran migran dari Jawa yang datang pada gelombang pertama dan kedua, ada pula migran dari Madura, Bugis, Makassar, Buton, serta etnik lain dengan kebudayaannya sendiri yang datang dengan tujuan melakukan kegiatan ekonomi. Mereka ini sering mengalami konflik dengan kelompok etnik lainnya dikarenakan oleh kepentingan ekonomi. Antara tahun 19861996 misalnya telah terjadi 42 konflik terbuka berskala sedang dan kecil di natara berbagai kelompok etnik di seluruh Kota Kupang disebabkan oleh perbedaan kepentingan ekonomi, termasuk perebutan ruang untuk melakukan kegitan ekonomi (Koli Bau, 1997). Menurut seorang narasumber dalam penelitian ini diketahui bahwa sekitar tahun 1956 pernah terjadi konflik etnik antara etnik Jawa dan etnik lain di NTT (terjadi semacam solidaritas lintas etnik di NTT) dikarenakan oleh urusan kepangkatan dinas militer, sebab mereka yang berasal dari etnik Jawa dianggap lebih cepat karir kepangkatannya sedangkan mereka yang berasal dari NTT sebaliknya. Namun dengan pendekatan kekeluargaan konflik itu dapat terselesaikan dengan baik. Apabila beberapa kasus yang menyangkut etnik dan agama dicermati secara seksama, tampaknya agama dapat menjadi perekat yang baik, yang mempersatukan orang berbeda etnik dan golongan sepanjang agama tidak dipandang sebagai agama suku, atau atribut suku tertentu. Secara tidak kasat mata masyarakat mengkonstruksikan atau setidaknya mengidentikkan berbagai kelompok etnik yang berasal dari NTT, khususnya Timor dengan atribut kekristenan, sedangkan mereka yangberasal dari luar NTT, khususnya Bugis, Makassar, Madura dan sebagain Jawa dengan atribut keislaman sehingga terbangun sentimen “in-group� dan “out-group�. Apabila perbedaan ini tidak dapat dikelola dengan baik, dan perasaan in group dan out group yang sempit tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi konflik seperti yang terjadi pada tanggal 30 November tahun 1998.

2. HUBUNGAN SOSIAL TIMOR TIMUR DAN TIMOR BARAT.

48


Wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber di Kabupaten Belu dan TTU baik mereka yangberasal dari Timor Barat (warga lama) maupun yang berasal dari Timor Timur (warga baru) diketahui bahwa penghuni Timor Timur dan Barat memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Keeratan hubungan ini dikarenakan oleh adanya hubungan darah maupun ikatan-ikatan sosial dan organisasi sosial yang dengan sengaja dibentuk, antara lain: suku rumah (uma manaran=tetun; deu hoto=bunak), ikatan pemberi perempuan-penerima perempuan (feto sawa-uma mane=tetun; malu-ai=bunak), serta adanya aliansi sosial tradisional (moruk metan=tetun; por-molok = bunak). Kondisi yang harmonis dan kekerabatan ini terusik dan diretakkan oleh kebijakan Portugis dan Belanda yang membagi pulauTimor atas bagian timur dan barat dengan enclave Ambeno (Oekusi) menjadi wilayah jajahan keduanya. Kebijakan lanjutan berupa penentuan batas geografis secara tegas dan perjanjian pembagian wilayah pada tahun 1893 semakin memisahkan ketiga wilayah tidak saja secara territorial melainkan juga mempengaruhi hubungan sosial di antara ketiga belahan pulau Timor ini. Dalam buku yang ditulis oleh Heyman misalnya disebutkan bahwa (Heyman, 1859 – 1893) bahwa tahun 1854dan tahun 1893 pernah dibuat trakta antara Portugis dan Belanda setelah sebelumnya Portugis menguasai daerah Lifao sejak sekitar tahun 1520. Kedatangan Belanda pada tahun 1613, menurut Apollonius Schot menimbulkan beberapa kali pertikaian di antara keduanya untuk memperebutkan pulau Timor. Kedatangan Belanda (Schot) di Timor juga membuat perjanjian dengan raja-raja di Timor untuk melindungi diri dari Portugis, meskipun kemudian perjanjian itu ggal sebab raja-raja di Timor lebih setia kepada Portugis. Dalam cacatan sejarah juga disebutkan bahwa pertikaian untuk mencari pengaruh anara Belanda dan Portugis selalu terjadi sampai 1847 di pulau Ombay dan Pantar sehingga pada tahun 1851 untuk membicarakan bersama batas wilayah jajahan mereka. Dalam traktat yang dibuat antara Belanda dan Portugis dalam tahun 1854 disebutkan bahwa pulau Timor dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur yang dikuasai oleh Portugis dan bagian barat yang dikuasai oleh Belanda, pertukaran harta benda, ganti rugi sebesar 200.000 gulden dari Belanda kepada Portugis dan mengenai ketentuan kebebasan beribadah. Dalam sejarah

49


penjajahan di Timor dikisahkan bagaimana rakyat pada akhirnya mengusir Portugis dari Kupang, yang kemudian melarikan diri ke Oekusi dan Dilli. Pada tanggal 14 Juni 1613 diserahkanlah beberapa daerah kepada Belanda melalui sebuah kontrak dan mengijinkan pembangunan benteng di Kupang. Namun demikian pengaruh Portugis tetap mengakar dalam kehidupan masyarakat. Dalam tulisan lain disebut juga mengenai Portugis Hitam, yaitu ras yang berasal dari perkawinan antara orang Portugis dengan penduduk setempat. Keluarga d`Hornay dan da Costa merupakan bagian dari ras tersebut yang memusuhi Belanda. Masyarakat Amarasi merupakan sahabat dari kedua keluarga tersebut. Sampai dengan tahun 1769 telah beberapa kali terjaid perlawanan Portugis Hitam terhadap kekuasaan resmi. Beberapa kali Kupang terancam oleh Portugis Hitam dan orang-orang Amarasi. Pengakuan sejumlah narasumber mengatakan bahwa Portugis dan Belanda juga menanamkan benih permusuhan di antara penghuni ketiga belahan pulau Timor ini, terutama di antara mereka yang menghuni daerah tapal batas sehingga relasi sosial secara perlahan-lahan menjadi rusak, bahkan sering ketegangan dan konflik. Wawancara dengan informasn danbeberapa catatan sejarah juga membuktikan bahwa menjnelang tahun 1900-an telah terjadi ketegangan karena sengketa batas untuk berladang dan berburu serta meramu madu/lilin, dan tindak kriminal lintas batas, ada perang Balibo, perang Henes-Lakmaras (tas tal).

3. KAPITAL SOSIAL POTENSI KONFIK

PENGINTEGRASI

MASYARAKAT

DAN

Setiap etnik mempunyai sejarah pertalian dengan etnik lain melalui hubungan darah/perkawinan dan perjanjian (aliansi politik dan ekonomi tradisional). Ada filosofi dan kosmologi dan nilai-nilai dasar setiap kelompok etnik yang menjadi norma pengendali perilaku warganya sehingga dapat mencegah konflik, memperkuat kerjasama dan damai meskipun pada kenyataannya sudah mulai memudar. Nilai-nilai dasar tersebut bersama dengan jaringan sosial dan organisasi sosial telah membangun “sesuatu� yang menjadi modal sosial yang biasanya diistilahkan kapital sosial. Asal usul

50


penggunaan terminologi Kapital Sosial tidak jelas (Wettenberg, 2004) akan tetapi Bordieau, Coleman dan Putnam disebut dalam banyak sumber sebagai orang-orang yang memakai istilah ini sejak tahun 1986. Mereka memberikan batasan atau definisi yang relatif sama dengan penekanan yang berbeda sesuai tujuan dan situasi ketika menggunakan terminologi itu. Bordieau misalnya, mengidentifikasi tiga jenis Kapital yakni kapital ekonomi, budaya/kultur, dan sosial. Kapital sosial bagi Bordieau adalah “the aggregate of the actual or potential resources which are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance or recognition” (Bordieau,1986). Sementara itu Putnam mengartikannya sebagai “features of social organizations, such as trust, norms, and networks that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions… spontaneous cooperation is facilitated by social capital….” (Putnam,1993). Seperti dikatakan oleh banyak kalangan, kapital sosial sangat penting dalam kehidupan komunitas, dan kenyataan itu tidak teringkari akan tetapi tidak mudah mendefinisikannya, tergantung dari siapa mendefisikan dan kapan mendefinisikannya. Secara garis besar kapital sosial dapat dilihat dalam hubungan internal komunitas atau ekternal komunitas Berangkat dari pemahaman kapital sosial seperti itu, tampaknya warga masyarakat di pulau Timor memiliki cukup banyak kapital sosial yang merekatkan mereka satu dengan lainnya baik secara individual maupun secara kelompok. Berangkat dari tiga nilai dasar yang dihayati oleh masyarakat, dalam bahasa Tetun dikenal dengan istilah berikut: Taek no Kneter (etika dan moral), Ukon no Badu (larangan dan sanksi), Makerek no Badaen (pengetahuan dan seni) ketiga nilai dasar tersebut juga dihayati oleh etnik-etnik lainnya (tiga belas etnik) yang menghuni Pulau Timor meski dengan istilah yang sedikit berbeda antar etnik. Dari ketiga nilai dasar itu diturunkan berbagai nilai dan norma yang berfungsi memelihara kerukunan hidup sejak dari lingkungan keluarga sampai lintas etnis. Pemeliharaan kerukunan dan penyelesaian konflik itu diwariskan secara turun menurun antara lain melalui pantun, puisi dan pepatah. Di antara ungkapan Tetun terdapat beberapa yang menganjurkan persatuan, seperti: “ho ema at malu, ita rua keta; ita rua at malu, rai at ona” (dengan orang lain 51


cekcok kita berdua jangan; kita berdua cekcok masyarakat kacau), “Leki doko ai dikin keta tau tuir, tau tuir leki doko emi leki ona” (jangan kamu ikuti hasutan monyet, sebab jika kamu ikuti kamu seperti dia)“, atau dalam bahasa Bunak, “tai tolek giol bu hani piar, ege eka on o uku on” (jangan percaya pembohong/penghasut, sebentar tertelantang, sebentar tertelungkup). Disamping ungkapan-ungkapan itu, terdapat pula nilai yang mencerminkan pemeliharaan nilai damai dari masyarakat melalui adagium tertentu. Dalam budaya Atoin Meto misalnya, terdapat adagium yang berbunyi “naleok, metlomi, tamlilek”, yang artinya hidup rukun, makmur, damai. Adagium yang berupa pepatah ini merupakan simbol dari cita-cita masyarakat untuk saling mendoakan dan mengusahakan sebuah keadaan sejahtera, keamanan, kemakmuran bersama-sama melalui persahabatan yang didasari oleh kejujuran dan rasa sayang satu dengan lainnya. Terciptanya kesejahteraan hidup masyarakat serta jaminan keamanan adalah cita-cita bersama yang menjadi satu peluang bagi masyarakat dalam mengusakan sebuah suasana damai. Sebaliknya, ketika rasa kebersamaan dan keamanan mulai terkikis di dalam kehidupan masyarakat Timor Barat (yang lekat dengan semangat komunal) tergantikan dengan cara pandang individualistis, maka suasana ketegangan dan peluang terjadinya konflik akan terbuka lebar. Adalah ikatan persaudaraan saen matoto-len matoto (Tanah yang sama, air yang sama) yang tidak saja menghubungankan persaudaraaan karena kawin-mawin, tetapi sebuah rasa bahwa semua masyarakat berasal dari “ari-ari” (placenta) ibu yang sama merupakan salah satu pengikat solidaritas masyarakat untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan komunal. Dalam sebuah diskusi grup terbatas didapati pembicaraan mengenai menipisnya modal sosial masyarakat yang menimbulkan pertentangan antara aparat dengan masyarakat. Problem ini muncul di wilayah perbatasan RI-TL, yakni di kecamatan Miomaffo Kabupaten TTU, tepatnya di desa Manumean A B. Adalah 2 orang temukung dan 2 orang raja yang mempertahankan tanah ulayat mereka karena tanah tersebut diperoleh melalui pertumpahan darah antara Belu dengan Insana, dan di masa Belanda tanah tersebut menjadi upeti. Selanjutnya di zaman penjajahan Jepang, mereka dipaksa untuk keluar dari tanah tersebut, karena tanah 52


dialihkan kepemilikannya menjadi milik pemerintah. Mereka pun memberontak karena tanah tersebut adalah pusat kehidupan bagi masyarakat, dimana terdapat kuburan dan rumah adat yang disakralkan. Ternyata kebijakan tidak berubah meski Indonesia telah merdeka. Pada taun 1984 pemerintah menetapkan tanah di Desa Manumean (A&B) sebagai hutan lindung yang dimiliki oleh pemerintah tanpa ada proses sosialisasi ataupun negosiasi dengan masyarakat. Tentu saja tindakan ini sangat menyakitkan masyarakat yang berkeinginan untuk mempertahankan tanah. Pemerintah masih pula membutakan diri atas perjuangan masyarakat Manumean, justru para pembela tanah tersebut dijebloskan ke penjara. Represi pemerintah berlanjut sebab setahun sebelum penelitian lapangan ini dilakukan wilayah tersebut dimekarkan menjadi 3 kelurahan dan 1 desa. Tetapi masyarakat masih mengalami ancaman saat mereka kembali ke tanah ulayat mereka. Satu tahun yang lalu, tepatnya 13 Desember 2007 polisi menangkap mereka karena dianggap membangkang kebijakan negara. Selanjutnya pada tanggal 24 Oktober 2008 masyarakat terpaksa menjadi korban yang sama, meski mereka akhirnya dibebaskan. Sebagai gambaran keadaan masyarakat Manumean, dari 4 kampung yang ditinggali masyarakat, terdapat 14 tempat pekuburan juga memiliki kekayaan 47 ritus adat di antaranya rumah dalam gua dengan perabot masih lengkap. Saat ini mereka hidup dalam keadaan seadanya, masih sering mengalami wabah kelaparan karena menyempitnya lahan garapan dan kebun milik mereka.

4. PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI.

4.1Perubahan Sosial Budaya

Wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber diketahui bahwa perkembangan teknologi informasi dewasa ini telah membawa banyak perubahan baik fisik dan bukan fisik. Salah satu perubahan bukan fisik yang paling dirasakan adalah yang menyangkut urusan perkawinan, khususnya mas kawin atau Belis. Konon belis merupakan simbol yang mencirikan klan tertentu dan staratanya dalam masyarakat, dan semua ritual yang berkaitan

53


dengan itu dilakukan di rumah adat atau yang dalam bahasa Tetun disebut �uma manaran� atau �deu hoto� dalam bahasa Bunak. Dalam perkembanan selanjutnya belis mengalami pergeseran nilai dari yang simbolik menjadi ekonomis dan tidak lagi menjadi urusan komunal melainkan menjadi urusan keluarga sehingga semua urusan yang berkaitan dengan pernikahan tidak lagi dilaksanakan di rumah adat melainkan dilaksanakan di rumah keluarga. Sementara itu besaran belis juga mengalami perubahan dan terkadang menyalahi ketentuan menurut strata sosial dalam masyarakat. Tingkat pendidikan, dan atribut sosial lainnya dijadikan sebagai alasan atau dasar menetukan besar dan macamnya mas kawin atau belis. Perubahan ini terkadang menimbulkan ketegangan dan konflik baik di antara keluarga bahkan sampai lintas klan. Sejalan dengan pergeseran mas kawin dan urusan perkawinan dari tingkat klan ke keluarga, urusan kepemilikan dan penguasaan tanah juga mengalami perubahan yang sama. Tanah yang pada mulanya menjadi milik klan kemudian berubah menjadi milik keluarga dan individu. Perubahan ini membawa implikasi pada pemecahan bidang tanah, penentuan batas serta hak dan kewajiban menyangkut pertanahan. Sejumlah tokoh masyarakat yang diwawancara menuturkan bahwa perubahan ini sering menimbulkan konflik bahkan sampai menelan korban jiwa sebab tanah menjadi modal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Temuan sejalan dengan data dari Kepolisin daerah (Polda) NTT bahwa salah satu penyebab terbesar tindak kriminal adalah sengketa tanah (Wawancara dengan Wakapolda NTT dan statistik Polda NTT, 2008) Observasi lapangan yang didukung dengan wawancara mendalam juga menemukan bahwa sebagian kaum muda sudah mengembangkan budaya populer dalam kehidupan keseharian mereka, seperti perilaku konsumtif baik dalam hal mode pakaian, pola makan, kesenian, maupun praktek hidup terkait lainnya. Budaya populer ini tidak saja terdapat di perkotaan tetapi sudah merambah wilayah perdesaan. Salah satu contoh yang paling spektakuler adalah berubahnya fungsi lopo yakni pendopo tempat Atoin Meto melakukan pembicaraan adat dan/atau menerima tamu menjadi arena permainan billiard yang sering disertai perjudian baik di wilayah Kabupaten Kupang, TTS, maupun TTU. 54


Sementara itu perkembangan dunia teknologi dan pendidikan telah membawa pula perubahan sosial yang pesat. Jenjang pendidikan formal yang ada telah menempatkan warga masyarakat dalam strata sosial yang baru, melahirkan elite baru (neo feodalisme) dengan gaya dan kepentingan yang baru pula. Perubahan ini pada gilirannya menimbulkan ketegangan dan konflik sebab sebagian mereka yang menduduki strata atas dalam struktur masyarakat tradisional kehilangan hak istimewa mereka karena direbut oleh mereka yang menduduki strata atas menurut atribut sosial yang baru yakni pendidikan formal yang disimbolkan oleh gelar yang dimilikinya. Menurut para narasumber sebagian besar kaum muda juga mengalami perubahan sosial yang nyata. Mereka enggan melaksanakan nilai dan norma tradisional dalam keseharian mereka karena menganggapnya ’kuno, dan ketinggalan zaman’ sementara nilai dan norma hidup yang baru belum mereka fahami dengan baik. Oleh karena itu sering terjadi ketegangan dan konflik baik di antara kelompok muda maupun lintas generasi. Melemahnya aturan tradisional dala ikatan-ikatan tradisional di perdesaan telah mendorong terjadinya berbagai perubahan sosial dikarenakan oleh berubahnya nilai yang dianut warga perdesaan, terutama kaum mudanya. Dalam kasus tertentu, seperti menyangkut penganiayaan, ada kesan seolah telah terjadi situasi ke arah �anomi� dan mendorong munculnya konflik sosial yang terkadang sulit diselesaikan. Sementara itu dalam sektor hukum, tampak pemerintah lebih cenderung memakai hukum posisitf dan tidak memberi ruang untuk hukum lokal atau hukum kebiasaan, terutama dalam mengelola sumber daya tanah, hutan dan air. Warga masyarakat yang menggunakan hukum tradisi dikalahkan dan dihukum menurut hukum positif yang berlaku meskipun secara kultural mereka tidak bersalah sebagaimana yang terjadi dengan dua orang tobe (elite menengah penguasa tanah) di wilayah Insana, Kabupaten TTU. Sementara itu di sisi lain perubahan sosial juga membawa pengaruh positif bagi kehidupan bersama masyarakat. Dari wawancara dengan sejumlah narasumber disebutkan bahwa

55


dengan pengaruh perkotaan dan teknologi modern masyarakat mengalami perubahan nilai dan cara pandang sehingga bertindak lebih efisien dalam pemakaian waktu, pemakaian peralatan kerja dan mengubah pola konsumsi ke arah lebih hemat. Penghematan ini juga telah membawa peghematan biaya-biaya sosial antara lain untuk belis (bride price), biaya pesta serta biaya lain untuk melakukan ritual dalam siklus hidup seseorang sejak lahir hingga setelah meninggal dunia. Mereka juga menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, lebih rasional dalam bertindak dan lugas dalam bersikap. Dalam kehidupan bersama di lembaga-lembaga politik lokal seperti Dusun dan Desa/Kelurahan, dikatakan oleh para narasumber bahwa perubahan sosial dengan sendirinya telah memungkinkan mereka memgembangkan sikap yang lebih egaliter, meninggalkan model dan tatacara feodal yang menghambat kemajuan dan perubahan. Sikap demikian dengan sendirinya melemahkan stratifikasi sosial lama yang tidak produktif dan cenderung diskriminatif. Ketegangan dan konflik sosial sangat sering terjadi ketika mereka yang menganut faham lama berhadapan dengan mereka yang menganut faham baru, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam (tanah, hutan dan air).

4.2

Kondisi dan Perkembangan Perekonomian

4.2.1 Fenomena Kemiskinan Kemiskinan di NTT secara umum dan di Timor Barat secara khusus merupakan permasalahan kompleks karena penghidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang berat dan sumber daya alam yang sangat terbatas. Kondisi geografis wilayah dan topografi daratan yang berbukit-bukit menyebabkan sulitnya transportasi antarwilayah. Di samping itu, iklim yang kering dan kondisi lahan yang sebagian besar kurang subur mengakibatkan Timor Barat rentan terhadap bencana kekeringan dan kerawanan pangan. Ketertinggalan masyarakat tercermin pada rendahnya tingkat pendapatan, tingginya angka kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap kondisi kehidupan yang layak. kemiskinan adalah objek perhatian yang mewarnai banyak penelitian sosial, ekonomi, dan budaya yang dilakukan di Timor Barat maupun di

56


NTT selama ini. Penelitian-penelitian itu bahkan menengarai persoalan kemiskinan ini sudah begitu lama mewarnai kehidupan masyarakat NTT umumnya

dan

Timor

Barat

khususnya.

Data-data

statistik

resmi

menunjukkan bahwa NTT termasuk 13 propinsi berpendapatan dan dengan laju pertumbuhan rendah antara tahun 1975 – 1984 (Manuwoto, 1991), maupun masa 1983 – 1989 (Kaunang, 1991, seperti dikutip Sayogyo

(1994).

Meski,

di

lain

pihak,

dengan

memakai

ukuran

pengeluaran rumah tangga, ekonomi rumah tangga di pedesaan NTT dalam masa 1980–1990, menunjukkan laju peningkatan 14% per tahun (Sayogyo, 1994: xiv). Walaupun menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, jumlah penduduk yang dikategorikan miskin pada tahun 1996 lalu masih terhitung besar, yakni 20,57% dari jumlah keseluruhan penduduk ketika itu. Ini tentu relatif lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yakni 32,5% (1984), 24% (1987), serta 24,2% (1990). Dimensi Kemiskinan di NTT dan di Timor Barat secara umum dapat dilihat pada bagan berikut ini:

DIMENSI KEMISKINAN DI NTT

Ekonomi • Pendapatan Perkapita rendah • Tingkat pengangguran tinggi • Ketergantungan pada sektor pertanian yang tinggi sehingga produktivitas tenaga kerja rendah • Persentase penduduk miskin tinggi

Struktural • Topografi wilayah • Kondisi geografis • Kurangnya sarana & prasarana

Situasional • Curah hujan yang rendah • SDA yang belum dapat digunakan secara optimal

Politik • Jauh dan sulitnya akses dari sumber kekuasaan • Kurangnya Partisipasi & budaya politik

Sosial • Tingkat Pendidikan & Kesehatan masih Rendah • Rasio Beban Tanggungan yang tinggi • Adat kebiasaan • Berpikir & cara pandang miskin Kepercayaan tradisional 27

57


4.2.2 Pengembangan Modal Sosial Meskipun para ekonom aliran klasik tidak sepenuhnya menerima konsep modal sosial (social capital), sekarang ini istilah modal sosial semakin populer. Bahkan lembaga-lembaga internasional, misalnya Bank Dunia, juga telah mengakui pentingnya modal sosial dalam upaya global menuju pembangunan berkelanjutan. Modal sosial adalah konsep yang dinamik dan belum memiliki definisi yang diterima luas. Tetapi beberapa

dimensi

penting

dari

modal

sosial

sangat

relevan

dikemukakan dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, antara lain: (i) norma-norma sosial dan agama yang secara turun-temurun telah membentuk pandangan, prilaku (moral) dan tindakan masyarakat; (ii) jaringan kerja (networks) yang dibentuk dan dipelihara oleh masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi dengan prinsip tolong menolong, dan saling menghargai; (iii) kesalingpercayaan (trust) anggota masyarakat yang terbentuk dalam proses interaksi sosial. Dimensi-dimensi modal sosial tersebut bersifat dinamis, ada yang telah luntur akibat pengaruh modernisasi ataupun mengalami evolusi sesuai perkembangan kondisi masyarakat; jadi, dapat berubah dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi, belum tentu semua norma atau nilai-nilai yang dianut masyarakat menunjang atau koheren dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pemerintah daerah tentunya lebih memahami tantangan dan peluang membangun dinamisme modal sosial ke arah yang koheren dengan tujuan pembangunan ekonomi yang lebih merata dan berketahanan. Pemerintah daerah perlu mendukung inisiatif-inisiatif lokal untuk “reinventing� dan “pengayaan modal sosial� melalui: 1. Mengintensifkan dukungan untuk penelitian dan berbagi pengalaman tentang organisasi sosial yang mendorong swadaya masyarakat; 2. Menstimulasi dan memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat untuk

mengembangkan

wadah

atau

platform

untuk

berbagi

pengalaman dan berbagi tanggungjawab dalam pembangunan.

58


3. Menunjang inisiatif (program) pendidikan informal di pedesaan.

5.

KOMUNIKASI DAN KONTRIBUSI MEDIA.

Media yang dimaksud disini adalah penyiaran berupa surat kabar atau majalah. Keberadaan media di propinsi dengan 1.192 pulau ini tentu sangat berarti, berfungsi sebagai mediator dari proses komunikasi berbagai pihak; pemerintah, pelaku bisnis, antar kelompok masyarakat, dan sebagainya. Menurut narasumber dari salah satu perkumpulan jurnalis media cetak, fungsi media cetak sebagai agen, yakni pemberitaan informatif yang memungkinkan media cetak untuk merekam dan menampilkan apa yang terjadi di lapangan. Misalkan saja pemberitaan kriminal dan moment tertentu. Kedua, media cetak juga merupakan agen pemberi pesan untuk mentransmisikan pesan-pesan tertentu di dalam tulisannya. Pesan bisa dilakukan oleh para jurnalis atau juga dari tokoh-tokoh seperti pemuka agama atau akademisi. Penyampaian kekayaan budaya dan masyarakat di Timor adalah bagia dari transformasi modal sosial bagi terciptanya kerjasama dan perdamaian. Peran ketiga yakni menghadirkan kritik sosial. Kritik ini tentu tidak selamanya hadir dalam tulisan tersendiri, tetapi lebih tepat jika dihadirkan dalam pemberitaan yang informatif atau pemberi pesan sekaligus berpandangan kritis terhadap suatu hal. Berita tentang kinerja pemerintah (Kursor, 10/10/08) adalah salah satu kritik pedas atas korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan daerah. Keberadaan media cetak mulai marak sejak kran reformasi terbuka lebar. Saat itu, terdapat berbagai jenis koran terbit baik harian ataupun berkala seperti Surya Timor, Cendana Pos, NTT Ekspress, dan sebagainya, dimana pemberitaan yang mementingkan keinginan pembaca (bonupublicum) menjadi trend. Koran komunitas dan terbit berkala juga terbit, seperti Udik milik salah satu lembaga swadaya masyarakat juga Spirit turut menyuarakan demokratisasi demi kepentingan masyarakat. Tetapi memang harus disadari, terbukanya kran demokrasi pers hanyalah salah satu faktor pendukung kehadiran puluhan media cetak di Timor Barat. Selain itu, keberadaan modal usaha suatu (perusahaan) media menjadi faktor penentu bagi hidup dan mati sebuah media. Masalah yang pada akhirnya justru meruntuhkan ketahanan media cetak hingga banyak dari mereka yang mengalami kebangkrutan.

59


Paska sepuluh tahun reformasi berselang, media cetak kini mengalami dilemma antara pergeseran kebutuhan modal perusahaan dengan kepentingan menyuarakan keberpihakan kepada rakyat. Beberapa koran harian yang ada mengalami dilema tersebut; ada Timor Express, Pos Kupang, Kursor, Rote Ndao Pos, Vista Nusa juga Madika yang keberadaannya cukup dikenal masyarakat secara luas. Ada juga koran yang terbit berkala semisal Lentira, Expo (Milik Metro Kupang Press), juga majalah komunitas seperti Lorosa’e Lian yang beredar untuk publikasi kepentingan eks-pengungsi, juga Flores Pos terbit buletin khusus milik gereja Katholik, selain kantor berita milik negara Antara. Koran ini masing-masing memiliki modal yang mampu mendukung kelancaran publikasi mereka, selain dari minimnya penghasilan dari tiras. Timor Express dan Pos Kupang adalah dua media cetak yang cukup kuat karena mereka adalah bagian dari agency group perusahaan media cetak nasional Jawa Pos (untuk Timor Express) dan Kompas MG (untuk Pos Kupang). Dengan oplah penjualan rata-rata 20.000/hari kedua korankoran ini merajai peredaran media cetak di Kupang. Sementara itu beberapa koran lokal seperti Kursor selain hidup dari yayasan pembentuknya, ia sangat bergantung pada penjualan tiras-nya. Seperti itu pula Rote Ndao Pos dimana keduanya berada pada oplah rata-rata 2000/hari hanya mampu mencakup kurang lebih 1% dari jumlah penduduk Kota Kupang. Dengan distribusi sedemikian terbatas, korankoran tersebut pada umumnya tidak dapat mengampu kebutuhan daerah lain di wilayah Timor Barat. Hal ini terbukti dari keterlambatan distribusi ke daerah lain (ini mayoritas hanya berkisar di Kota Kupang saja, sementara di kabupaten, Koran seringkali datang terlambat sehingga informasipun terlambat didapat oleh mesyarakat) Berbeda dengan koran harian, koran berkala yang diterbitkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan lembaga agama memiliki kesempatan lebih luas pada fungsi pemberi pesan juga kontrol sosial. Udik, misalnya mereka memiliki kesempatan luas untuk melakukan investigasi mendalam mengenai korupsi yang dilakukan oleh instansi tertentu (eg.Pengelolaan atas Proyek Peayaran Perintis di NTT, edisi th VII/Minggu II/November 2007). Karena kesempatan tersebut pula, Udik dapat mengupasnya dengan perspektif dari pelaku, masyarakat, para ahli/akademisi, dan sebagainya. Sedangkan Lorosa’e Lian lebih dapat menghadirkan informasi ”what people want ” atau berita yang dibutuhkan masyarakat seperti rasa damai, harmoni, teladan dan sebagainya melalui kabar-kabar dari eks-pengungsi (eg. ”Tamu Kehormatan di Jati Laran” menceritakan kisah hidup warga pemukiman Jati Laran yang keseluruhannya adalah eks-pengungsi dan usaha mereka mendapatkan air bersih di desa Lakekan Barat, Belu). Berkenaan denga berita yang berpotensi memunculkan konflik, keberadaan media cetak

60


alternatif memiliki ruang untuk mengeksplorasi baik konflik yang ada ataupun sebaliknya mengeliminir konflik tersebut. Sayangnya, media ini dihadapkan pada keinginan untuk menunjukkan citra terbaik bagi lembaganya, melalui liputan yang lebih banyak berupa laporan atas kegiatan yang mereka lakukan. Pemberitaan Lorosa’e Lian dengan judul ”Tamu Kehormatan” di Jati Laran (Edisi LXXXVI/Juni-2008) selain bercerita tentang kawasan hunian yang berusaha mendapatkan air bersih, tetapi juga bagian dari upaya sosialisasi pembangunan rumah huni bagi expengungsi Timor-Timur yang telah didampingi oleh LSM terkait (dengan program Shelter proyek ATUP II). Selain itu, dalam hal permodalan ketergantungan penerbitan seringkali menyebabkan media ini mengalami kondisi pasif dan ketergantungan pada dana/modal yang disediakan oleh yayasan atau lembaga donor.

7.1

Media dan Persoalan Capacity Building

Dilansir oleh banyak pihak, tingkat iklim investasi di Timor Barat dan khususnya Kupang yang tergolong rendah berimbas pada minimnya bisnis iklan di media cetak. Pada ahirnya tidak sedikit media cetak yang melakukan kebijakan perpaduan antara peran pemberitaan dan peran lembaga ekonomi. Secara profesional mereka memiliki dua kepentingan, yakni memuat berita yang telah dipesan oleh kalangan tertentu, walaupun mereka juga tidak meninggalkan sisi pemberitaan. Meski ide ini cukup bagus, tetapi pada praktiknya seringkali berimplikasi pada independensi suatu berita. Persoalan demikian ini lebih parah dialami oleh penerbitan koran lokal. Persoalan lain yang cukup krusial adalah ketiadaan penguatan kemampuan bagi tenaga jurnalis baik dalam hal kesejahteraan (berupa upah) juga ketrampilan jurnalisme. Para pencari berita yang pada umumnya tidak memiliki latar belakang studi memadai dianggap sebagai mesin pencetak berita yang bertugas menghasilkan berita (baca=keuntungan). Darinya dapat diketahui hasil berita yang disampaikan oleh mayoritas berfungsi secara informatif tanpa ada usaha analisa ataupun menghadirkan bentuk solusi terhadap persoalan sosial, seperti pada banyak kasus diberitakan menyangkut kekerasan. Rendahnya upah para jurnalis juga menjadi kendala klasik yang sulit dikompromikan dengan kebutuhan penunjang kehidupan. Maka fenomena ”wartawan amplop” juga slogan ”no money no news” seakan menjadi permakluman tidak saja bagi para jurnalis bahkan juga pihak yang berkepentingan terhadap pemberitaan.

61


7.2

Media dan Bias Kekerasan

Sehubungan dengan munculnya kasus kekerasan atau konflik, efek bias media cetak dapat dipahami dari berbagai aspek. Untuk melihat seberapa jauh pemberitaan dilakukan oleh para jurnalis, antara lain dapat diketahui dari segi pola liputan. Misalnya, berkenaan dengan kasus rencana pembangunan Markas Brigif oleh TNI AD di Timor Tengah Selatan (TTS). Kasus ini muncul ketika terjadi penjualan tanah yang dilakukan oleh Messa Mella kepada pihak TNI AD. Pemerintah daerah terkesan cuci tangan dan mengembalikan wewenang kepda pemerintah pusat seta TNI AD. Di sisi lain, masyarakat yang tergabung dalam FMP2D (Forum Masyarakat Peduli Pembangaunan Masyarakat Daerah) serta keluarga Mella dan organisasi mahasiswa LMND tidak menyepakati rencana tersebut dengan alasan keberadaan asrama Brigif bukanlah kebutuhan masyarakat, dan justru berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat. Meski memberitakan terus-menerus selama 2 bulan, Koran (TimEx) memberitakan secara umum. Aspek informatif sangat mengemuka, contohnya: ” Forum Pimpinan Umat Gereja Masehi injili di Timor (FPU-GMIT) se-Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Rabu (25/04) menemui DPRP TTS dan menyampaikan pernyataan sikap, menolak rencana pembangunan maskas Brigif TNI-AD di Kab. TTS. Penyataan sikap dibacakan sekretaris FPU-GMIT, Pendeta Samuel Pandie. Isi dari pernyataan sikap tersebut diantaranya......” (TimEx, 26/04/07)

Sedangkan dari Kursor, yang lebih banyak memberitakan dari sudut pandang masyarakat setempat memasukkan berita tentang markas Brigif ini ke dalam rubrik editorial (Tajuk) mereka, antara lain berbunyi berikut: ”.....Penolakan masyarakat dibuktikan dengan melakukan demo ke Kantor Bupati TTS dan dewan, dengan alasan, kondisi dan situasi di TTS selama ini kondusif, sehingga tidak perlu dibangun maskas tersebut. Disamping itu, dengan adanya Markas Brigadir Infantri TNI-AD, justru akan membuat rasa takut pad masyarakat. Terlebih ada oknum TNI yang justru bertingkah laku diluar jalur, hanya ingin menunjukan ‘kehebatannya’ sebagai anggota TNI, sehingga dapat berbuat semena-mena terhadp masyarakat. Sebenarnya, perasan kekhawatiran dan kecemasan sekaligus tanda tanya yang dirasakan masyarakat tersebut, dapat dilakukan pencerahan berupa sosialisasi seputar keberadaan pembangunan tersebut.” (Kr, 26/04/07)

Dengan pemberitaan seperti ini, dapat dilihat bagaimana pola peliputan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat. Jika masyarakat hanya membaca satu dari media cetak tersebut, maka dapat di pahami bagaimana pemahaman mereka tentang kasus ini tentu sangatlah

62


sepihak. Pada sisi yang lain, terbukti bahwa media dalam hal ini berpengaruh kuat sebagai stimulan bagi pembentukan pola pikir dan pola sikap masyarakat terhadap suatu fakta. Reaksi apa yang dilakukan oleh masyarakat, sangat dipengaruhi oleh bacaan mereka terhadap pemberitaan koran tersebut di atas.

Gambar menunjukkan kekerasan yang dihadirkan kembali oleh media cetak. Dapat memicu terjadinya kembali kekerasan. Sumber (TimEx dan PK) Selanjutnya aspek ideologi atau perspektif suatu media cetak juga berpengaruh terhadap pemberitaan yang dilakukan. Misalnya saja kasus kekerasan di jalan yang banyak terjadi di Kupang. Salah satu kasus adalah pencabulan terhadap anak dibawah umur yang terjadi pada tanggal 9 Februari 2007. Keesokan harinya, (Kr) yang memiliki kepentingan untuk mengeliminir kekerasan terhadap perempuan dan anak memberitakannya pada lembar kriminal. Berita yang disampaikan adalah pencabulan yang terjadi di Kelurahan Alak, Kecamatan Alak Kota Kupang dilakukan oleh tukang ojek terhadap seorang anak usia balita. Tidak disebutkan secara rinci bagaimana kejadian dilakukan, tetapi pemberitaan lebih kuat pada pelaporan orang tua kepada polisi atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Sementara itu dalam perspektif yang lain, harian (TimEx) memuat berita ini pada tanggal 13 Februari 2007. Dengan pemberitaan yang juga singkat, (TimEx) menunjukkan secara rinci bagaimana pencabulan dilakukan. Bias lain yang muncul dari pemberitaan di koran harian juga bisa dibaca melalui kedekatan pihak perusahaan penerbit koran dengan pemerintah atau pihak tertentu. Faktor yang terakhir biasanya merupakan konsekuensi dari jurnalisme sebagai lembaga ekonomi. Sehingga sangat jelas keberpihakan korankoran tersebut terhadap salah satu calon pemimpin daerah. Bahkan dalam tataran tertentu diketahui pula unsur kedekatan yang sifatnya paternalistik masih kuat terjadi pada beberapa media cetak. Dalam relasi media dengan konflik, hubungan yang demikian ini tentu sangat rawan menimbulkan kerusuhan yang muncul sebagai akibat tidak langsung dari

63


kebijakan perusahaan media cetak. Potensi konflik yang demikian ini termanifestasi salah satunya melalui peliputan yang dilakukan, seperti munculnya prasangka (prejudice) dari sebuah peliputan, atau melalui pencampuradukan antara opini dan fakta. Dengan demikian keberadaan media cetak di Kupang; pertama, memiliki peran penting, terutama berkenaan dengan informasi lokal maupun nasional. Kedua fungsi informasi dilakukan oleh baik media cetak yang tgergabung dalam agency group ataupun media cetak lokal sedangkan keberadaan media alternatif memberi cukup ruang sebagai penyampai pesan dan media kontrol sosial. Ketiga, persoalan penguatan kapasitas jurnalisme merupakan problem yang dialami semua perusahaan media cetak, juga problema kesejahteraan yang memicu terjadinya praktik jual beli berita. Keempat, sehubungan dengan potensi kekerasan dan konflik, media berfungsi ganda; di satu sisi, ia bisa mengeliminir potensi tersebut dengan cara memberitakan �what people want� seperti nuansa perdamaian, harmoni, dan kerjasama; tetapi pada kenyataannya hal tersebut masih merupakan bagian kecil saja dari pemberitaan yang justru memperuncing potensi pemicu konflik, yang dibuktikan melalui kebijakan-kebijakan perusahaan yang notabene lebih lekat dengan nuansa paternalistik (afiliasi etnis dan agama)

6.

GENDER DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (KTP)

Dalam bidang politik, keterlibatan kaum perempuan pada sektor ini terlihat pada hasil pemilu tahun 2004, jumlah anggota DPRD Provinsi NTT yang perempuan sebanyak 6 orang (10,9% dari 55 anggota DPRD Provinsi NTT) yakni dari partai Golkar sebanyak 3 orang, PDIP sebanyak 1 orang, PDS sebanyak 1 orang dan PPDI sebanyak 1 orang. Keterlibatan kaum perempuan pada birokrasi pemerintah menunjukkan bahwa sampai dengan Maret 2007, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon di lingkup pemerintah Provinsi NTT sebanyak 246 orang (25,67% dari 958 PNS yang menduduki jabatan eselon) yang terdiri dari eselon IV sebanyak 205 orang, eselon III sebanyak 35 orang dan eselon II sebanyak 6 orang. Menurut lapangan pekerjaan utama, jumlah perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2005 sebanyak 903.247 orang (44,31% dari 2.038.575 orang). Perempuan yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan sebanyak 705.976 orang, yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian sebanyak 14.138 orang, yang bekerja di sektor industri pengolahan sebanyak 93.270 orang, yang bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran serta rumah makan

64


sebanyak 41.803, yang bekerja pada sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi sebanyak 3.149 orang, yang bekerja di sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan dan bangunan sebanyak 5.053 orang dan yang bekerja di sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 39.876 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan perempuan yang berumur 15 tahun ke atas yang sedang bekerja dapat diketahui bahwa dari 903.247 tenaga kerja perempuan yang ada pada tahun 2005, yang tidak/belum pernah sekolah sebanyak 79.583 orang (8,81%), yang tidak/belum tamat SD sebanyak 182.043 orang (20,15%), tamat SD sebanyak 473.408 orang (52,41%), tamat SLTP/MTs/Sederajad sebanyak 91.138 orang (10,09%), tamat SMA sebanyak 38.417 orang (4,25%), tamat SMK/Kejuruan sebanyak 19.823 orang (2,19%) dan tamat Diploma/Universitas sebanyak 18.835 orang (2,08%). Jumlah pencari kerja perempuan sesuai klasifikasi pendidikan yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT sampai dengan bulan Maret 2008 tercatat terbesar pada jenjang pendidikan SD sebesar 8,25 % dibandingkan dengan laki-laki sebesar 7,62 %. Ini berarti bahwa 0,65 % lebih besar dari laki-laki. Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan SLTP tercatat perempuan sebesar 4,86 % sedangkan laki-laki sebesar 4,64 % atau 0,22 % lebih besar dari laki-laki. Selain itu, pada jenjang pendidikan D1 / D2 tercatat perempuan sebesar 86,64 % sedangkan laki-laki hanya mencapai 46,42 % atau selisih 40,42 % lebih besar dari laki-laki serta jenjang pendidikan D3/AK/SM tercatat perempuan sebesar 18,93 % sedangkan laki-laki hanya mencapai 15,92 % atau selisih 3,01 % lebih besar dari laki-laki. 6.1Perempuan Rentan Terhadap Kekerasan Keadaan kritis yang dialami masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok menimbulkan fenomena gunung es persoalan sosial. Dalam keadaan terpaksa keberadaan aset utama pemenuhan kebutuhan pokok justru tergadaikan. Dalam keadaan seperti ini, kekerasan biasa terjadi, dan perempuan seringkali menjadi korbannya. Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi kerentanan perempuan menjadi korban kekerasan. Pertama, asumsi tentang perempuan yang sangat lekat dengan stereotipe dan subordinasi dimata masyarakat dan adat budaya. Asumsi bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, second class yang tidak berdaya menjadi pemicu terciptanya kekerasan sehingga penghargaan kepada perempuan dan anak menjadi terabaikan. Sistem politik, organisasi dan religi masyarakat adat membagi wilayah kerja menurut peran gender dengan tegas. istilah Feto-mone (laki lakiperempuan) merujuk pada klasifikasi dualis yang mengacu pada kesatuan hubungan kosmos. Istilah mone (laki-laki) disamping bermakna jenis kelamin juga dipandang sebagai bagian luar yang bertanggung jawab atas pertahanan, sedangkan perempuan adalah penguasa bagian dalam yang mengatur urusan ritual dan mempunyai kedudukan lebih pasif. Keberadaan perempuan di dalam feto-mone sebenarnya sangat dihargai, karena kedekatan perempuan terhadap alam serta kemiripan 65


peran yang dimiliki perempuan ataupun alam. Tetapi sayangnya, saat ini perempuan tidak memiliki ruang yang setara untuk mengaktualisasikan kerberadaan mereka. Pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah salah satu contoh dimana perempuan ditempatkan sebagai makhluk kelas kedua. Kedua, kekayaan adat budaya dan ajaran agama yang disalahartikan turut melegitimasi dan mereproduksi pandangan stereotipe terhadap perempuan. Tradisi seperti belis atau mas kawin, misalnya, nilainya bergeser pada sekedar pemenuhan nilai materiil yang menjerumuskan perempuan pada private property. Padahal belis memiliki nilai sosial dan komunal, penghormatan kepada peran ibu yang merepresentasikan fungsi reproduksi dan regenerasi. Minimnya proses reaktualisasi dan reinternalisasi pandangan tersebut juga menyebabkan tidak sedikit dari banyak perempuan Timor yang menganggap bahwa apa yang menjadi garis hidupnya tidak lain adalah bagian dari takdir. Faktor ini berpengaruh luas terhadap tingginya angka kekerasan yang menyangkup ruang privat (KDRT, ingkar janji menikah, kekerasan dalam pacaran, incest, dll) Ketiga, tidak sedikit kekerasan yang menimpa anak bukan disebabkan oleh stereotipe tersebut diatas. Kompleksitas persoalan; kemiskinan, pengangguran, kesulitan pemenuhan kebutuhan pokok menyebabkan manusia menggadaikan aset terbesar dari mekanisme bertahan di dalam pemenuhan kebutuhan pokok (coping). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat menjual aset mereka, seperti tanah (lahan pertanian), juga manusia sebagai aset terbesar dari pemenuhan kebutuhan pokok turut tergadaikan. Kegagalan ini kemudian termanifestasi pada merebaknya prostitusi dan penjualan perempuan/anak (trafficking in woman/children). Keempat, Faktor keamanan di lingkup publik juga turut berpengaruh terhadap tingginya angka kekerasan yang menimpa perempuan. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan juga tidak terlepas dari adanya penguasaan militer di daerah perbatasan. Konflik di daerah perbatasan bukan hanya disebabkan oleh kedua belah pihak dari masyarakat, lebih tepatnya tentara juga turut andil menyebabkan konflik ini terjadi. Mulai dari penganiyaan, pemerkosaan, hingga menghianati janji kawin, juga pembunuhan.

6.2Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Angka Data Kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang terkumpul menyebutkan hingga periode 2003 – 2005 angka kekerasan masih tinggi, 1.307 kasus. Berdasarkan jenis kekerasannya, penganiayaan menempati urutan pertama (341 kasus). Menyusul kasus perkosaan (291 kasus), lalu kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) (274 kasus), dan kasus percabulan (186 kasus). Pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan ini semakin meningkat yakni sebanyak 1.613 kasus. Selain

66


itu, kasus kekerasan terhadap perempuan dapat diketahui dari data kejahatan konvensional (kejahatan kriminalitas biasa, yang dibedakan dengan kejahatan nasional/internasional, dan kontigensi) Kepolisian Daerah NTT. Di wilayah Polresta Kota Kupang, kejahatan jenis ini cenderung meningkat dalam lima tahun terahir. Dari data yang ada, kasus yang menunujkkan kerentanan perempuan juga mengalami peningkatan. Berikut adalah kasus pencabulan, perkosaan dan perzinahan yang terjadi dalam lima tahun terakhir: Tabel .... Data Gangguan Kamtibmas yang Melibatkan Perempuan 2004-2008 N o

Uraian

2 004

2 005

2 006

2 007

2 008

T otal

1

Pencabul an

24

20

64

59

37

204

2

Perkosaa n

16

8

8

8

7

47

3

Perzinaha n

13

12

23

23

11

82

Total

53

40

95

90

55

333

Sumber: Data Gangguan Kamtibmas, POLDA NTT 2008 Data diatas merupakan parameter yang sangat general. Karena tidak disertai keterangan yang jelas bagaimana perempuan terlibat di dalam kekerasan, baik sebagai korban atau bahkan menjadi pelaku dari kekerasan itu sendiri. Karenanya belum dapat diketahui dengan pasti bagaimana kekerasan dapat terjadi kepada perempuan. Sementara itu, Ruang Penanganan Khusus (RPK) Polres Kab. TTS menunjukkan kasus perempuan seringkali menjadi korban tindak kriminal. Kasus pencabulan dan KDRT adalah dua kasus yang paling sering terjadi. Selengkapnya adalah berikut: Tabel: ...... Jumlah Perempuan Korban tindak Kriminal menurut Jenis Kasus yang ditangani Kepolisian N o

Jenis Kasus

Jumla h

Presenta se

(1 )

(2)

(3)

(4)

1

Ingkar Nikah

0

0

Janji

67


2

Pelecehan Seksual

1

3

3

Pemerkosaan

5

14

4

Percabulan

14

39

5

KDRT

9

25

6

Perzinahan

5

14

7

Lainnya

2

6

8

Jumlah

36

100

Sumber: TTS Dalam Angka 2007 Selain itu, terdapat pula angka kasus kekerasan terhadap anak tahun 2003 – 2005 yang menunjukkan lebih rentannya anak perempuan terhadap kekerasan dibandingkan dengan anak laki-laki. Menurut jenisnya anak korban kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2003 – 2005 tercatat sebanyak 37 kasus. Dari kasus tersebut yang dialami oleh anak perempuan sebanyak 26 kasus (70,3%) dan anak laki-laki sebanyak 11 kasus (29,7%). Kasus perkosaan terhadap anak perempuan selama 2003 – 2005 sebanyak 203 kasus. Kasus penganiayaan terhadap anak perempuan sebanyak 44 kasus (55,7%) dan anak laki-laki sebanyak 35 kasus (44,3%). Kasus percabulan terhadap anak perempuan sebanyak 188 kasus (93,5%) dan anak laki-laki sebanyak 13 kasus (6,5%). Kasus kekerasan lainnya tercatat sebanyak 83 kasus, perempuan sebanyak 52 kasus (62,7%) dan laki-laki sebanyak 31 kasus (37,3%). Pada tahun tahun 2006, kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yakni 624 kasus.

6.3Trafficking in Women/Children Kompleksitas problema kemiskinan juga menyebabkan terjadinya migrasi perempuan ke daerah yang dianggap memiliki peluang ekonomi lebih besar. Migrasi ini dilakukan melalui traffciking. Meskipun belum terdapat bank data secara terpusat, akan tetapi beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menangani kasus tersebut menyebutkan data penjualan perempuan (trafficking in woman) merupakan angka kejadian penjualan dan penggagalan yang dilakukan oleh lembaga terkait. Angka tersebut belum termasuk kasus terlapor di kepolisian serta kasus lain yang tidak tertangani. Selengkapnya, sumber menyebutkan: Tabel: ..... Jumlah Penjualan Perempuan/Anak (Traffcking) Tahun 2004 - 2007 N

Uraian

2

2

2

2

Juml

68


o

004

005

006

007

ah

1

Kasus Trafficking NTT

72

63

12

566

713

3

Kasus Trafficking yang ditangani LSM LAKMAS, Kab. TTU

*

*

*

3

3

4

Kasus Trafficking yang ditangani Forum Peduli Perempuan Atambua (FPPA) Kab. Belu

72

228

152

12

464

5

Kasus Trafficking yang ditangani Rumah Perempuan, Kota/Kab Kupang

3

13

19

10

55

(*Data tidak terdeteksi) Disarikan dari berbagai sumber Kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam jumlah yang cukup tinggi tidak terkecuali praktik penelantaran anak yang masih banyak terjadi, yang sebenarnya sangatlah rawan akan praktik trafficking. Penjualan anak merupakan salah satu mekanisme kegagalan coping mechanism dimana anak (terutama perempuan) sebagai salah satu aset kehidupan masyarakat terancam. Seperti tersebut dalam tabel, beberapa instansi yang menangani penjualan perempuan dan/anak memperlihatkan jumlah kasus yang masih sangat sering terjadi. Malangnya pula, kasus-kasus tersebut jarang dilaporkan kepada pihak berwajib sementara ada diantara kasus tersebut yang diselesaikan secara kekeluargaan, dengan cara memanggil pihak-pihak yang menjadi agen penjualan anak tanpa disertai hukuman atau sangsi yang membuatnya jera. Akibatnya, praktik yang sama masih sering terulangi kembali meskipun konsekuensi kerugian baik materiil terutama psikis anak tidak dapat dikembalikan lagi. Kerawanan anak korban trafficking juga tinggi, seperti penganiyaan, pencabulan, pemerkosaan, bahkan juga pembunuhan; merupakan keadaan yang sangat menghawatirkan perkembangan maupun keberlangsungan hidup masyarakat.

6.4Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan terbesar yang dialami oleh perempuan justru datang dari dalam keluarga (KDRT). Dapat dikatakan bahwa rasa aman seorang perempuan masihlah mahal bahkan di dalam keluarga dan rumahnya sendiri. Kerentanan istri ataupun anak akan potensi mendapatkan kekerasan, pertama didasarkan pada anggapan bahwa istri tidak lebih adalah property atau hak milik suami. Anggapan ini terlegitimasi dalam tradisi perkawinan, dimana saat akan menikah peminangan dilakukan oleh pihak laki- laki. Saat menikahpun istri mengikuti marga suami dan diboyong oleh keluarga laki-laki. Pandangan diatas diikuti dengan pemahaman bahwa istri yang baik adalah mereka yang menurut dan taat pada suami. Dalam beberapa kesempatan, pandangan ini dikuatkan dengan menjustifikasi tafsir yang keliru terhadap kitab suci. Anggapan ini memberikan peluang bagi suami melakukan tindak kekerasan terhadap istri. Kesulitan untuk keluar dari problem ini juga didasari oleh larangan agama untuk melakukan perceraian, karenanya pada umumnya

69


perempuan (istri) cenderung untuk memendam peristiwa yang ada dan memilih untuk menyelamatkan kebahagiaan keluarga. Selain faktor budaya, kerentanan lainnya terjadi melalui kebutuhan ekonomi seorang istri yang pada umumnya sangat tergantung pada suami. Maka tidaklah heran jika dalam keadaan seperti ini istri tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan cenderung pasrah menerima perlakuan apapun dari suami termasuk tindak kekerasan. Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan juga tidak memandang status pendidikan ataupun kemampuan secara ekonomi. Kasus yang tertangani oleh salah satu lembaga swadaya di Kupang misalnya, menunjukkan bahwa mereka yang termasuk golongan pendidikan tinggi juga tidak luput dari kerentanan menerima kekerasan di lingkungan keluarganya. Dari 95 korban KDRT, 54 di antara mereka berpendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas serta 14 dari mereka mengenyam pendidikan tinggi. dari segi ekonomi, mayoritas mereka yang mengalami kekerasan merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Sangat kuat alasan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan bagian dari ketergantungan para korban terhadap suami. Rendahnya penghasilan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keluarga ini dikeluhkan para korban yang saat mendatangi konseling mengeluhkan tingginya beban keluarga yang harus mereka tanggung, sedangkan pendapatan yang diterima sangatlah tidak sebanding. Salah satu korban KDRT yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan tingkat pendapatan ekonomi menengah adalah Ny. SK (38 tahun) adalah alumni dari perguruan tinggi (S1) ternama di Kota Kupang saat ini berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (guru). Ny. SK harus menerima perlakuan tidak bijak dari suaminya Bp. HB (42th) seorang kepala sekolah. HB sering memukuli istrinya dan sering membenturkan kepala SK ke tembok. Kejadian ini seringkali terjadi saat perkawinan mereka berusia 3 tahun. Selain suami, saudara suami (ipar) juga sering menganiaya ibu SK. Ternyata kekerasan ini dipicu oleh ulah sang suami yang telah memiliki WIL (wanita idaman lain). Gaji Ny. SK diambil oleh suami, sedangkan suami tidak lagi menafkahi Ny. SK. Akibat kekerasan yang terjadi dalam jangka waktu panjang Ny.SK mengalami gangguan psikis dan sempat dirawat 1 bulan di Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSUD.

Berbeda dengan kasus KDRT di kota, di wilayah perbatasan kekerasan jenis ini terjadi di bawah praktik intimidasi dan ancaman. Para perempuan di daerah yang rawan konflik berada pada posisi sulit karena kemungkinan keterlibatan pendekatan militer lebih sering. Misalnya, dari kasus ingkar janji perkawinan yang ditangani lembaga swadaya yang berkantor di Kota Kefamenanu), 2 dari 4 kasus KDRT terjadi di daerah perbatasan (Desa Napan) dan dilakukan oleh aparat militer. Motif seperti ini sering terjadi karena oknum militer telah memiliki hubungan dekat dengan perempuan (warga setempat) dan berakhir pada kehamilan, tetapi mangkir saat dimintai pertanggungjawaban. Pada kasus sejenis (inkar janji kawin, perzinahan) para pelapor berada pada situasi dilematis. Meskipun mereka melaporkan para pelaku tetapi pada saat

70


yang sama, para korban masih berharap akan pertanggungjawaban pelaku. Sehingga urung-urung menjerat pelaku dengan hukuman sepadan, yang terjadi pada beberapa kasus justru diselesaikan secara damai. Penyelesaian kasus KDRT sangatlah beragam. Beberapa dari mereka tidak saja meminta advokasi dari lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga meminta pertimbangan dari pihak ahli agama (pastor/pendeta) dan penyelesaian menurut adat. Motivasi untuk berdamai dilakukan untuk mempertahankan keluarga juga karena larangan bercerai oleh salah satu agama. Selain itu, ada juga alasan penarikan kembali laporan kepolisian karena tujuan laporan semata-mata memberikan efek jera kepada pelaku dan tidak jarang disertai dengan diadakannya perjanjian damai. Tabel...... Kasus KDRT di Timor Barat Menurut Lembaga Swadaya di tahun 2004-2007 N o

Lembaga

2 004

2 005

2 006

2 007

Juml ah

1

Kasus KDRT yang ditangani Rumah Perempuan Kota/Kab. Kupang

33

103

98

95

329

2

Kasus KDRT yang ditangani LSM FPPA Kab. Belu

-

65*

17

53

135

3

Kasus Trafficking yang ditangani LSM LAKMAS, Kab. TTU

-

-

6

6

33

168

121

154

4

JUMLAH

12 476

* Angka adalah gabungan antara tahun 2004 dan 2005 Sumber: Disarikan dari berbagai data 6.5Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kendalanya Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sudah semakin membaik, terbukti dengan mulai terbukanya kesadaran masyarakat mengenai permasalahan ini. Istilah KDRT, misalnya sudah dikenal luas di tengah-tengah masyarakat juga di berbagai lembaga seperti perkumpulan desa dan juga lembaga agama (gereja). Meskipun pada tataran tertentu kesadaran tersebut belum disertai kesadaran dalam tindakan masyarakat. Pendampingan terhadap KTP juga sudah dilakukan beberapa pihak, seperti pihak kepolisian dan juga keberadaan lembaga swadaya masyarakat. Hanya saja, political will pemerintah dalam mengeliminir KTP masihlah rendah, terbukti dari tidak adanya fasilitas shelter terpadu kecuali (RPK) di setiap Polres/ta. Beberapa kendala yang dialami para pendamping KTP, antara lain:

71


1. Kebutuhan pendekatan lintas sektoral yang mendesak, baik pihak pemerintah terkait, kepolisian, rumah sakit juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini aktif mendampingi masyarakat untuk bekerja sama menangani KTP. Faktor ini juga meniscayakan kebutuhan shelter yang mendesak terutama di wilayah pedesaan, seperti di daerah perbatasan. 2. Kurangnya tenaga psikolog. Melalui observasi dan wawancara, hingga saat ini belum ada tenaga psikolog yang mengkhususkan diri pada pendampingan perempuan. Hanya tenaga pendamping dari LSM mereka dilengkapi dengan pelatihan tentang pendampingan berperspektif kejiwaan. Kesulitan ini terutama muncul dalam menangani anak-anak (L/P) korban kekerasan seksual dan para korban kekerasan di perbatasan yang mengalami tekanan mental. 3. Kurangnya informasi mengenai kekerasan terhadap perempuan (KTP) serta kurang maksimalnya penegakan hukum melalui elemen yang tersedia [Misalnya, UUPA th. 2002, UU KDRT th 2004, juga UU Trafficking th. 2007]. Hal ini mengakibatkan hukuman bagi para pelaku kekerasan hanyalah bersifat sementara, bahkan tidak jarang justru menimbulkan penderitaan kekerasan kedua kali oleh korban. Pendekatan hukum di Timor barat, selayaknya, juga melibatkan beberapa pihak yang selama ini menanganinya, seperti penegak hukum adat dan juga para teolog (pendeta/pastor). 4. Perlunya penyadaran kepada masyarakat mengenai kesehatan reproduksi (Kesrepro) dan kekerasan terhadap perempuan (KTP) secara komprehensif. Selama ini di wilayah perbatasan, pendampingan hanya dilakukan dalam bentuk sosialisasi materi tentang perempuan di wilayah konflik, padahal kesadaran akan kesehatan reproduksi merupakan dasar bagi masyarakat untuk memahami fungsi dan kerja reproduksi. Selain itu, di tahun 20052006 terdapat kenaikan angka kekerasan terhadap anak di kota Kupang. Realitas yang terjadi membuktikan bahwa kekerasan tersebut tidak linier dengan pandangan stereotipe tentang perempuan (keluar malam, memakai baju seksi, penggoda laki-laki). Tetapi kekerasan terhadap anak justru muncul karena hubungan dekat dan karib antara korban dengan pelaku yang sebenarnya juga dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang fungsi dan perilaku reproduksi sehat. 5. Kasus KDRT terus mencuat hingga tahun 2007, dimana fenomena KDRT tidak saja dilakukan oleh orang-orang urban di perkotaan, tetapi juga oleh masyarakat desa. Karena itu diperlukan adanya kerjasama dan sosialisasi kepada para tetua adat ataupun pemuka agama agar mereka mendukung penanganan kekerasan yang menimpa perempuan, anak atau siapapun di dalam kehidupan keluarga.

7.

ISU-ISU UTAMA TIMOR BARAT

PEMBANGUNAN

DI

72


a. Kemiskinan dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar.

Provinsi NTT secara keseluruhan dan pulau Timor secara khusus mengalami persoalan kemiskinan yang tidak pernah teratasi sejak berdirinya provinsi ini. Kemiskinan di Timor Barat dapat dilihat secara normatif dari beberapa indikator baku seperti pendapatan per kapita, produk domestik regional bruto, dan sejumlah ukuran kesejahteraan menurut beberapa instansi seperti Badan Statistik dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Menurut BPS, dari pengadaan Sensus Ekonomi pada tahu 2005, jumlah keluarga miskin di Timor Barat pada tahun tersebut tercatat dari 911.171 Kepala Keluarga di empat kabupaten dan satu kota daerah di Timor Barat, sebanyak 213.902 (24,2%) adalah keluarga miskin. Disamping ukuran-ukuran normatif tersebut, kondisi riil (empirik) menampakkan hal-hal yang memperkuat apa yang dikatakan oleh data menurut ukuran normatif tersebut. Kondisi rumah yang tidak layak huni, terabaikannya mandi 窶田uci-kakus (MCK), kondisi anak-anak yang kurang gizi dan busung lapar dan sebagainya semakin memperkuat sinyalemen dan data mengenai kemiskinan yang ada. Beberapa gambar berikut dapat memperlihatkan keadaan dimaksud. Gambar dua balita berikut membuktikan kondisi kemiskinan tersebut.

Dua balita di Kota Kefamenanu

Dalam kondisi kemiskinan demikian sudah dapat dipastikan bahwa warga masyarakat di Timor Barat mengalami hambatan untuk 73


memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan akan pangan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan sebagai kebutuhan dasar masih memerlukan penangan serius di masa mendatang. Dalam kondisi kemiskinan demikian sudah data dipastikan bahwa warga masyarakat di NTT pada umumnya dan di Timor pada khususnya mengalami hambatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan akan pangan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan sebagai kebutuhan dasar masih memerlukan penanganan serius di masa mendatang.

b. Kelembagaan Pemerintahan dan Tata Pemerintahan

Kelembagaan pemerintahan di NTT secara keseluruhan dan kabupaten/kota di Timor Barat didasarkan pada peraturan perundangan Otonomi daerah yang ada. Menurut ketentuan terakhir, yakni UU No. 32 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah no 41 Tahun 2005, kelembagaan pemerintaah diharuskan menganut prinsip miskin struktur, kaya fungsi. Pada kenyataannya ketentuan yang terdapat dalam kedua peraturan itu belum dapat dilaksanakan secara optimal karena terdapat banyak kendala, antara lain kualifikasi pendidikan formal, pendidikan fungsional dan pendidikan penjenjangan sebagian pejabat dan PNS pada umumnya yang belum memenuhi persyaratan. Tatapemerintahan yang baik juga belum dapat diwujudkan sepenuhnya sebab masih terdapat kelemahan-kelemahan menyangkut transparansi, akuntabilitas, demokrasi, penegakan hukuman dan HAM dan sebagainya Indikator pembangunan sektoral yang ada yang secara keseluruhan masih jauh di bawah target juga memperlihatkan bahwa pelaksanaan tatapemerintahan yang baik masih harus ditingkatkan (Laporan EKPD NTT 2007). 1. Kelembagaan Berdasarkan konstelasi perubahan organisasi pemerintahan daerah, keadaan organisasi pemerintahan daerah Provinsi NTT dapat dikatakan berada dalam �tahap transisional�, dimana keberadaan pola organisasi masih bersumber pada kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Padahal perkembangan terakhir pola organisasi perlu menyesuaikan dengan postur organisasi perangkat daerah

74


sesuai Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Karena itu, bentuk dan susunan organisasi perangkat daerah pemerintah Provinsi NTT saat ini belum mengikuti perkembangan terakhir dan masih didasarkan pada kewenangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 versi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yaitu: kewenangan bersifat lintas kabupaten; kewenangan bidang tertentu yang berjumlah delapan (8) kewenangan dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Dari kewenangan yang diturunkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, kemudian dijabarkan 108 sub-kewenangan dan 667 jenis urusan. Masing- masing SKPD kemudian dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) dengan organisasinya antara lain dua sekretariat, 4 asisten, 13 Biro, 17 Dinas, 13 Badan, 2 kantor, 38 UPTD dan RSUD Prof. DR. W. Z. Yohanes Kupang. Jumlah Jabatan seluruh Perangkat Daerah, sebagai berikut Eselon I-b sebanyak 1 jabatan, Eselon II-a sebanyak 34 jabatan, Eselon II-b sebanyak 14 jabatan, Eselon III-a sebanyak 259 jabatan, Eselon III-b 5 jabatan, Eselon IV-a sebanyak 884 jabatan dan Eselon IV-b sebanyak 15 jabatan. Kelembagaan organisasi pemerintahan yang baik sebetulnya tergambar dari struktur organisasinya yang �miskin struktur namun kaya fungsi�. Struktur organisasi sebagaimana tersebut, jika dibandingkan dengan kondisi jumlah PNS pada level Provinsi NTT sebanyak 6.226 orang dan jumlah jabatan struktural sebanyak 1.212, menunjukan bahwa struktur organisasi pemerintah Provinsi NTT masih mempunyai struktur yang cukup. Untuk meningkatkan kinerja organisasi pemerintah provinsi NTT, maka sedang dilakukan penataan berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintah Daerah. Pembangunan pemerintahan berkaitan dengan upaya konsolidasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang paling menonjol sepanjang 2004-2008 adalah penataan daerah otonom baru (desentralisasi politik) dan peningkatan kemampuan fiskal daerah (desentralisasi fiskal). Sepanjang 2000 -2008 di NTT terjadi dua gelombang pemekaran daerah, yaitu Gelombang Pertama (Kabupaten Lembata dan Rote Ndao); Gelombang Kedua terjadi penetapan (Kabupaten Sumba Barat Daya melalui UU No. 16 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya di Provinsi NTT; Kabupaten Sumba Tengah melalui UU No.36 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengah di Provinsi NTT; Kabupaten Nagekeo melalui UU No. 2 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Timur melalui UU

75


No. 36 Tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi NTT). Menyusul beberapa usulan pemekaran yang telah diajukan, antara lain pemekaran Kabupaten Sabu yang telah sampai pembahasannya di Depdagri dan DPR serta pemekaran Kabupaten Belu dan Sikka menjadi Kota Madya. 2. Aparatur Tuntutan reformasi administrasi publik telah membawa pemikiran terhadap mereformasi birokratisasi dalam rangka mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi birokrasi. Kebijakan yang paling menonjol yaitu mencakup kebijakan penataan aparatur birokrasi, kelembagaan dan standardisasi pelayanan publik. Jumlah PNS provinsi pada birokrasi pemerintahan daerah sampai dengan Tahun 2007 berjumlah 6.226 yang terdistribusi pada jenjang jabatan struktural, jabatan fungsional dan unsur pelaksana. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah PNS yang berpendidikan SD sebanyak 2,68%, berpendidikan SMP sebanyak 3,23%, berpendidikan SMA sebanyak 47,32%, berpendidikan Diploma sebanyak 10,31%, berpendidikan sarjana sebanyak 32,44%, berpendidikan Magister sebanyak 3,97% dan berpendidikan doktoral sebanyak 0,086 %. Berhadapan dengan kondisi kapasitas aparatur dengan tingkat pendidikan yang lebih besar berpendidikan SMA ke bawah dan sejalan dengan tuntutan akuntabilitas birokratisasi maka pengembangan kapasitas aparatur daerah menjadi perhatian serius. Sampai dengan Tahun 200 pemerintah telah mengadakan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur melalui peningkatan pendidikan lanjutan. Jumlah PNS yang mengikuti pendidikan lanjut sebanyak 439 orang yang terdiri dari D. III sebanyak 90 orang, D.IV sebanyak 12 orang, S1 sebanyak 208 orang, S2 sebanyak 121 orang dan S3 sebanyak 8 orang. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme birokrasi, selama Tahun 2004 – 2007 pemerintah telah melakukan pendidikan dan pelatihan baik struktural, fungsional maupun manajemen umum sebanyak 2.896 PNS. Pendidikan dan Pelatihan Struktural sebanyak 1.630 PNS, Fungsional sebanyak 768 PNS dan Manajemen sebanyak 49 PNS. c. Batas Wilayah Antar kabupaten/Kota Di beberapa lokasi batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota se Provinsi NTT belum jelas dan tegas, sehingga menjadi kendala dalam upaya mengimplementasikan otonomi daerah. Pemekaran yang tertahan oleh ketidakjelasan batas wilayah dalam beberapa kasus menimbulkan konflik antar warga. Dari observasi dan 76


wawancara yang dilakukan, setidaknya terdapat beberapa persoalan mendasar yang melatarbelakangi konflik dan persengketaan atas batas tanah/wilayah, antara lain: 1.

Pluralisme hukum dalam mengatur batas wilayah. Pemerintah berpatokan pada hukum positif yang mensyaratkan adanya bukti-bukti secara tertulis akan batas tanah/wilayah. Padahal masyarakat masih berpegang teguh pada mekanise adat yang bertumpu pada kesepakatan bersama dan dengan bukti-bukti berdasar kesepakatan tersebut. Perbedaan pendekatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat seringkali memicu konflik.

2.

Kurangnya pendekatan melalui adat dan bukti-bukti budaya, menjadikan penetapan batas wilayah tumpang tindih sekaligus menimbulkan konflik sosial.

3.

Ikatan genealogis keluarga dan hak tanah milik warga (menurut adat) merupakan situasi sosial budaya yang terkadang diabaikan oleh pihak penentu batas wilayah antar kabupaten/kota sehingga menimbulkan konflik horizontal dan vertikal. (Marmer di Fatumnasi lebih karena problem kultural)

Permasalahan batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota dan sengketa batas desa di wilayah Provinsi NTT dari tahun 2004 hingga akhir Tahun 2007 sebagai berikut: i. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang;

Sengketa batas wilayah antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang terdapat pada 3 (tiga) lokasi yaitu: Nasipanaf, Hutan Loti dan Usapi Sonbai. Pemerintah provinsi telah berusaha menjembatani sengketa batas wilayah melalui beberapa kegiatan antara lain, memfasilitasi pelacakan kembali batas wilayah administrasi antar kedua pemerintahan yang dimulai pada bulan Februari Tahun 2004 sampai dengan Mei 2004, pemasangan pilar pada segmen-segmen yang tidak bermasalah sebanyak 455 buah pilar batas wilayah administrasi pemerintahan. Hasilnya perkembangan hingga akhir Tahun 2007, menunjukkan bahwa penyelesaian batas daerah antara Kabupaten Kupang dan Kota Kupang menunjukkan kemajuan yang berarti yakni memasuki tahapan persiapan penandatanganan kesepakatan batas antara Bupati Kupang dan Walikota Kupang pada peta batas daerah dan Berita Acara penentuan titik-titik batas.

77


ii. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan antara Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan Kabupaten Belu.

Salah satu titik batas antara Kabupaten Belu dan TTS yang masih menyisakan persoalan adalah di Lotas. Persoalan perbatasan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni persoalan batas teritorial dan ritual budaya. Secara teritorial tapal batas sudah diselesaikan sejak tahun 1987, namun pengembalian warga Amanatun (TTS) yang mencari perlindungan ke wilayah budaya Wewiku-Wehali (Belu) belum terselesaikan. Secara kronologis para saksi sejarah menuturkan bahwa ketika tentara Jepang menganiaya dan membunuh beberapa orang warga Amanatun karena tidak bersedia menyerahkan anak gadisnya sebagai penghibur, raja Amanatun tidak bersedia memberikan perlindungan sehingga mereka melarikan diri ke wilayah Wewiku-Wehali. Selanjutnya mereka juga membayar pajak ke Pemerintah Kabupaten Belu sejak tahun 1954 dan menggarap lahan pertanian mereka yang berada di wilayah Kabupaten TTS. Ketika terjadi penertiban perbatasan Daerah Otonom menurut UU No. 5 Tahun 74 dan UU No.5 tahun 1979, penggarapan lahan pertanian di wilayah Kabupaten TTS menjadi persoalan karena warga Kabupaten Belu memilki lahan pertanian di wilayah Kabupaten TTS. Untuk menyelesaiannya Pemerintah Provinsi NTT telah memediasi dan menentukan batas dengan menempatkan 10 (sepuluh) pilar sepanjang perbatasan melalui ritual adat. Dalam perkembangan selanjutnya dua di antara kesepuluh pilar itu hilang, yakni pilar nomor 6 dan 7, akan tetapi warga kedua kabupaten masih dapat hidup berdampingan, meski dalam kondisi konflik tertutup. Letupan-letupan kecil yang berkaitan dengan lahan garapan dan pdang penggembalaan ternak sering terjadi, sampai dengan konflik besar pada tahun 2008 yang menghanguskan belasan rumah penduduk. Rumor yang berkembang mengatakan bahwa konflik akan memanas menjelang peristiwa-peristiwa politik tertentu, seperti pemilihan Kepala desa, Bupati, Gubernur maupun Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden. Meskipun konflik yang terakhir dianggap cukup merisaukan akan tetapi warga masyarakat di kedua wlayah kabupaten masih tetaphidup berdampingan sebab mereka masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Perbatasan Kabupaten TTS dan Kabupaten Belu di Lotas merupakan salah satu contoh konflik sosial yang bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, sulit diselesaikan secara tuntas tetapi tidak berkembang menjadi konflik sosial berskala luas, dan dapat dikatakan sebagai contoh ketidakmampuan Pemerintah Daerah menyelesaikan konflik sosial secara efektif dan efisien.

78


iii. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Kabupaten Belu.

antara

Batas wilayah Kab. Belu dan Kab. TTU di daerah Oenopu sempat menjadi perselisihan karena daerah ini dianggap masuk wilayah Kab. TTU, tetapi para penghuni dan penggarap tanahnya mayoritas adalah warga Kab. Belu. Pada tahun 1990 persoalan mulai diselesaikan oleh kedua pemerintah daerah juga dengan peran dari gubernur NTT yang kala itu dijabat oleh Hendrikus Fernandez. Kedekatan ikatan keluarga di antara masyarakat kedua kabupaten memudahkan cara adat untuk menyelesaikan persoalan batas wilayah. Batas TTU dan Belu merupakan salah satu contoh penentuan batas wilayah administrasi pemerintahan yang dilakukan secara damai melalui pendekatan mekanisme adat. Hanya saja, sebenanya persoalan batas Oenopu belumlah selesai, terutama warga di desa Rantete yang sekarang masuk lingkup Kab. Belu, padahal sebelumnya mereka adalah warga TTU yang menggarap tanah di wilayah Kab. Belu. Meski persoalan Rantete belum selesai, tetapi tidak juga terjadi konflik di antara warga masyarakat sebab mereka masih berkerabat dekat. Di sisi lain masih terdapat kesulitan secara administratif sebab warga Kabupaten Belu bermukim di wilayah territorial Kabupaten TTU. Bagaimanapun juga, Oenopu adalah salah satu contoh keberhasilan pemerintah bersama masyarakat menyelesaikan konflik menurut tatacara adat yang positif.

d. Perbatasan Negara i. Posisi

Perbatasan

Letak Provinsi NTT ditinjau dari aspek pertahanan negara memerlukan perhatian khusus karena letaknya di bagian selatan wilayah Indonesia sebagai Kawasan Perbatasan Negara, yakni Perbatasan daratan pada Sektor Barat dan Sektor Timur sepanjang 268,8 Km dengan Negara Republik Demokratic Timor Leste (RDTL), perbatasan perairan laut meliputi Laut Timor dengan Negara Australia, di perairan Selat Ombai berbatasan dengan RDTL dan di Selatan Sumba dengan Samudera Hindia. Ada beberapa Kabupaten yang berbatasan langsung secara daratan dengan negara Timor Leste yakni Kabupaten Kupang ( Pos Lintas Batas Oepoli), Kabupaten Timor Tengah Utara (Pos Lintas Batas Wini dan Pos Imigrasi Napan) dan Kabupaten Belu (Pos Imigrasi Mota’ain dan Metamauk, Pos Lintas Batas Builaiu, Turiskain dan Lakmaras).

79


Data lapangan yang ada membuktikan bahwa garis batas darat Kabupaten TTU dengan RDTL sepanjang 47,5 km menyimpan potensi konflik yang tinggi dikarenakan berbagai hal. Beberapa di antara penyebab itu adalah: ketidakjelasan titik batas di sejumlah tempat, setidaknya di wilayah 6 desa dari 5 kecamatan perbatasan, kecenderungan warga di perbatasan kedua negara untuk melintasi perbatasan secara ilegal untuk kepentingan transaksi ekonomi dan urusan ritual adat-istiadat, tidak tersedianya pelayanan perlintasbatasan secara memadai di beberapa pos seperti Napan, Wini (TTU) dan Turiskain, Builalu, Lakmaran dan Alas (Belu), serta adanya tekanan dan tindak kekerasan aparat penjaga keamanan di perbatasan kedua negara terhadap warga masyarakat yang mendiami daerah perbatasan. ii. Pembangunan Wilayah

Perbatasan

Berbagai pembangunan sarana dan prasarana serta pertahanan dan keamanan di wilayah di perbatasan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : a. Aspek Hukum Internasional: • Pembangunan pos perbatasan - 3 unit, di Motaain, Metamauk, dan Napan. • Pembangunan pos imigrasi di 7 pintu masuk • Pembangunan Pos Karantina • Pembangunan Pos Bea Cukai • Pemasangan Pilar batas sebagai titik koordinat ikat • Pengkajian intensif Batas Wilayah • Pemasangan lampu suar & Rumah jaga di Pulau Batek b. Aspek Pertahanan dan Keamanan, penempatan pasukan pada pulau terluar c. Aspek Pengembangan Wilayah: • Permukiman dan Prasarana Wilayah: mencakup pembangunan permukiman di desa wilayah perbatasan di Kabupaten Belu • Peningkatan mutu jalan kawasan di batas Kabupaten Kupang-Citrana, TTU ke Batas Distrik Ambenu dan Batas Belu Ke arah Distrik Bobonaro • Pembangunanan Prasarana Irigasi perbatasan • Perekonomian ,berupa pembangunan pasar di daerah perbatasan yaitu di Kabupaten Belu (Mota’ain, Motamasin & Turiskain); dalam rencana TTU (Napan) & Kupang (Naikliu) 80


d. Sarana layanan Sosial kemasyarakatan Sosial: • Pembangunan Rumah Sakit perbatasan di Betun • Penanganan warga baru dari Timor Timur dalam bentuk : Bantuan sosial berupa bantuan jaminan hidup/ bekal hidup, yang diberikan langsung kepada warga, Penanganan Korban bencana sosial atau bantuan keserasian sosial pada 8 Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT untuk 4.550 kepala keluarga. • Program Bantuan Pembangunan Rumah di Daratan Timor , sebanyak 5.000 unit, tersebar di 45 Desa di Timor Barat • Pembangunan daerah transmigrasi untuk warga eks pengungsi Timor Timur e. Aspek Koordinasi dan Regulasi pengelolaan Perbatasan Negara sebagai kerjasama dua Negara RI dan RDTL meliputi : • Kerjasama transportasi lintas Oekusi– Napan –Mota’ain – Batugade. • Kerjasama layanan Pos. • Kerjasama Pelintas barang dan orang menurut kebiasaan atau lintas tradisional yang menetapkan 9 pintu masuk. • Kerjasama perdagangan perbatasan dengan penetapan lokasi pasar perbatasan • Kerjasama Kepolisian • Penetapan Titik batas bersama Batas Negara • Perjanjian Pelintas Barang dan orang di pintu utama Motaain, Napan dan Metamauk .

5.KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian dan analisis situasi sosial, budaya dan ekonomi di NTT pada umumnya dan Timor Barat pada khususnya cukup kompleks dan sulit. Kompleksitas dan kesulitan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: jumlah etnik yang mendiami wilayah NTT sangat beragam, mereka memiliki budayanya sendiri. Meskipun ada unsur perekat seperti organisasi keagamaan dan organisasi sosial kemasyarakatan, tetapi ciri

81


budaya setiap anggota kelompok etnik tidak pernah luntur dan selanjutnya menjadi faktor pembeda dari kelompok etnik lain. Namun demikian warga masyarakat juga memiliki kearifan lokal yang telah terbukti dapat menjadi alat pemersatu, pencegah krisis, ketegangan dan konflik serta alat penyelesaian konflik dalam kurun waktu yang cukup lama. Berdasarkan data sekunder dan data lapangan yang dipaparkan di atas dapat dibuat kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan 1. Berbagai kelompok etnis yang ada di NTT, khusunya Timor Barat datang dari berbagai daerah. Meskipun mereka memiliki berbagai pebedaan dan terlibat dalam konflik, terpolarisasi ke dalam agama tertentu menurut kelompok suku dan wilayah, tetapi mereka memiliki mekanisme lokal/tradisi untuk meyelesaikannya.

2. Hubungan sosial antara penduduk Timor Timur dan Timor Barat sebelum kedatangan Portugis sampai setelah berdirinya RDTL. Hubungan antara penghuni Timor Barat dan Timor Timur yang semula tanpa batas teritorial (len-matoto) kemudian menjadi persoalan ketika penjajah Portugis dan Belanda membagi wilayah pulau ini sebagai bagian jajahan mereka. Pembagian wilayah ini diikuti dengan berbagai perjanjian/traktat, akan tetapi tidak dapat mencegah konflik dan tidak bisa menyelesaikan konflik lintas batas yang terjadi. Setelah RDTL berdiri potensi konflik lintas batas lebih besar dan konflik lintas batas sendiri sering terjadi dikarenakan oleh belum tegasnya titik perbatasan di beberapa wilayah, tingginya aktifitas lintas batas untuk transaksi ekonomi dan urusan adat istiadat, serta tekanan dan tindak kekerasan yang dilakukan anggota penjaga keamanan di perbatasan. Diatas semua ketegangan dan konflik itu warga masyarakat masih dapat menjaga harmoni dalam batas tertentu melalui mekanisme penjagaan keamanan yang dilakukan pemerintah (melalui pos lintas batas) kedua Negara serta dengan menggunakan modal sosial (social capital) yang mereka miliki.

3. Kapital sosial yang berpotensi mengintegrasikan masyarakat di Timor Barat dan berpotensi menimbulkan konflik. Warga masyarakat di Timor Barat dan warga Timor Timur mempunyai sejumlah modal sosial atau kapital sosial yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan 82


berbagai persoalan yang mereka hadapi sepanjang tidak ada intervensi yang kuat dari Negara/pemerintah dan modal sosial terpelihara dengan baik. Nilai hidup damai yang diwariskan leluhur (naleok, dll), sejarah masa lalu yang penuh harmoni, ikatan kekerabatan, perasaan saling percaya, saling tenggangrasa dan kepentingan bersama merupakan sebagian dari modal sosial yang dapat mencegah ketegangan, konflik dan krisis yang terjadi di antar mereka. Selain itu, modal sosial juga tergali dari hubungan antar kelompok agama yang cukup kuat, terutama di wilayah Keusukupan Atambua (Meliputi Kab. Belu dan Kab. TTU) terdapat sebuah perkumpulan para pemimpin agama (Forum Komunikasi Pemimpin Agama, FKPA) yang memiliki peran efektif di dalam menekan potensi konflik antar kelompok agama dan sebaliknya meningkatkan hubungan dan komunikasi antar kelompok agama di wilayah tersebut.

4. Evaluasi singkat tentang potensi dan perubahan sosial, budaya dan ekonomi di NTT selama beberapa tahun setelah berdirinya RDTL. Setelah sepuluh tahun RDTL berdiri, terjadi berbagai perubahan sosial dan ekonomi yang cukup baik, antara lain: terjadinya saling pengertian di antara warga baru yang berasal dari Timor Timur dan warga lokal, baik yang disebabkan oleh ikatan kekerabatan, kesamaan agama yang dianut, maupun kesamaan kebutuhan (saling membutuhkan) serta aturan yang mengatur hubungan sosial di antara mereka. Selama itu pula tampak kelompok-kelompok sosial yang pada masa sebelumnya relatif tertutup menjadi lebih terbuka dan memahami kelompok lain. Proses sosial ini membawa pengaruh pada perkembangan kebudayaan, dalam pengertian telah terjadi asimilasi unsur kebudayaan lain ke dalam kebudayaan setiap kelompok etnik yang ada, baik dalam nilai maupun simbol seperti yang terjadi dalam penentuan ritual adat perkawinan antara warga baru dan warga lama. Sementara itu, sebagian warga baru yang sudah mendapat permukiman melalui pemerintah dan NGO juga sudah melakukan kegiatan ekonomi produktif dengan baik.

5. Jalinan komunikasi dan peran serta kontribusi media dalam kejadian

yang bersifat kerjasama dan konflik di antara kelompok-kelompok etnik di Timor Barat. Keberadaan media cetak di Kupang memilki sejumlah peran yang sangat penting bagi masyarakat, yakni: pertama, memiliki peran penting, terutama berkenaan dengan informasi lokal maupun nasional; kedua, media memegang peran penting dalam fungsi

83


informasi dan transformasi. Proses transformasi media cetak ditemukan melalui penyampaian kekayaan budaya masyarakat di Timor yang dapat menjadi modal sosial bagi terciptanya kerjasama dan perdamaian. Sedangkan keberadaan media alternatif seperti memberi cukup ruang sebagai penyampai pesan dan media kontrol sosial. Sayang keberadaan mereka sangat tergantung lembaga donor yang ada; Ketiga, media berperan aktif dalam penguatan kapasitas pendidikan para jurnalis sebab kemampuan dan keterampilan jurnalis masih merupakan problem yang dialami semua perusahaan media cetak di Kupang, sebab rendahnya kesejahteraan jurnalis turut memicu maraknya praktik jual beli berita; Keempat, sehubungan dengan potensi kekerasan dan konflik, media berfungsi ganda, Ia bisa mengeliminir potensi tersebut dengan cara memberitakan �what people want� apa yang secara hakiki dibutuhkan masyarakat, seperti nuansa perdamaian, harmoni, dan kerjasama, atau sebaliknya, justru memperuncing potensi pemicu konflik. Seperti keterlibatan media dalam menuliskan tindak kriminalitas yang cenderung meningkatkan intesitas dan frekwensi tindak kriminal; kelima, media juga selain melalui pemberitaan, juga berpotensi menimbulkan suasana konflik melalui kebijakan-kebijakan perusahaan yang masih lekat dengan nuansa paternalistik (afiliasi etnis dan agama).

6. Gender dan KDRT, KTP dan KTA. Kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA), perdagangan perempuan dan anak (trafficking) semakin meningkat; tampaknya peningkatan kasus-kasus ini membuktikan kegagalan coping mechanism (mekanisme mengatasi) persoalanpersoalan tersebut. Dalam kasus KDRT, kerentanan istri didasarkan pada pertama, anggapan bahwa istri adalah property atau hak milik suami dan kedua karena seringkali dilegitimasi oleh lembaga sosial (agama/adat) dengan cara pandang yang bias gender. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa mayoritas korban kekerasan adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga kuat alasan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan bagian dari ketergantungan para korban secara ekonomi kepada suami dan dalam beberapa kejadian. Pendampingan terhadap Kekerasan terhadap perempuan (KTP) juga sudah dilakukan beberapa pihak, seperti pihak kepolisian dan juga keberadaan lembaga

84


swadaya masyarakat. Hanya saja, payung hukum untuk mengeliminir KTP belum banyak dipraktikkan oleh para pelaksana [Seperti UUPA th. 2002, UU KDRT th. 2004, juga PERDA PPTO th. 2007].

1. Saran

1. Mencari dan menyediakan data dan informasi mengenai kehidupan

dan persebaran kelompok etnis yang mendiami Timor Barat dan NTT secara umum. Perlu meningkatkan komunikasi dan “ke-saling pengertian� dan solidaritas di antara berbagai kelompok etnik secara kreatif sehingga tidak terjadi kesan “agama suku� yang berpotensi menimbulkan ketegangan dan konflik. 2. Mendeskripsikan hubungan sosial di antara berbagai kelompok etnis

yang mendiami Timor Barat. Hendaknya ikatan-ikatan tradisional yang merekatkan orang baik secara individu, secara kelompok dalam Negara maupun lintas Negara dipertahankan dan ditingkatkan fungsinya agar menghindari perasaan curiga (prejudice) satu dengan lainnya untuk kemudian membangun hidup damai. 3. Menggali dan mengidentifikan kapital sosial yang dimiliki oleh

berbagai kelompok etnis yang mendiami Timor Barat yang berpotensi mempersatukan atau menimbulkan konflik sosial. (a) Perlu mendokumentasikan kembali berbagai kekayaan sosial (plural social capital), serta memulai proses pembelajaran kembali agar menjadi kekayaan bersama yang berfungsi menciptakan hidup damai. (b) Dalam membuat kebijakan, pemerintah hendaknya memperhatikan modal sosial masyarakat yang berguna untuk memelihara kerukunan hidup bersama. 4. Menganalisis potensi dan perubahan sosial, budaya, dan ekonomi

yang terjadi di Timor Barat setelah berdirinya RDTL. (a). perlu mempercepat dan memperkuat perubahan sosial yang positif seperti nilai demokrasi, perdamaian, dan melakukan rekayasa sosial dalam batas tertentu agar mengarahkan perubahan sosial ke arah yang mendukung hidup berdampingan secara damai, serta menghindari perubahan sosial yang bersifat merusak keharmonisan. (b). perlu tindakan nyata yangberkaitan langsung dengan kehidupan ekonomi warga baru agar mereka dapat mendiri dan tidak menimbulkan gejolak sosial dan tindakan kriminal. (Wilson) 5. Menganalisis peran dan kontribusi media dalam kerjasama dan konflik di antara kelompok etnik yang mendiami wilayah Timor Barat. (a). Perlu menumbuhkembangkan sikap keberpihakan dan mempraktikan “jurnalisme

85


damai�. (b). Perlu peningkatan profesionalitas jurnalis dan kesejahteraan jurnalis agar terhindar dari “berita pesanan� yang sering memicu konflik atau mempertegas konflik. 6. Gender dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi dalam masyarakat. (a) Hendaknya kampanye kesetaraan jender terus ditingkatkan sebab masih banyak warga masyarakat yang memerlukan informasi tentang hal itu. (b) Perlu ada penanganan khusus mengenai KDRT dan tindakan kekerasan di perbatasan negara yang dilakukan oleh TNI dan Polri, misalnya dengan melibatkan persatuan isteri TNI dan Polri. (c). Hendaknya penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) berupa pertama, kebutuhan pendekatan lintas sektoral yang mendesak seperti kebutuhan mendesak penyediaan fasilitas shelter terpadu seperti Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di setiap Polres/ta. Kedua, kurangnya tenaga psikolog dalam menangani anak-anak (L/P) korban kekerasan seksual dan para korban kekerasan yang mengalami tekanan mental. Ketiga, kebutuhan informasi mengenai kekerasan terhadap perempuan (KTP) serta kurang maksimalnya penegakan hukum melalui institusi/lembaga yang tersedia. Keempat, perlunya penyadaran kepada masyarakat mengenai kesehatan reproduksi (Kesrepro) yang berhubungan dengan posisi rentan perempuan terhadap kekerasan (KTP) secara komprehensif. Kelima, kasus KDRT yang terus mencuat hingga tahun 2007, sebaiknya diantisipasi dengan cara penyadaran terhadap relasi suami istri yang dilakukan oleh para stakeholder. 7. Data. Hendaknya setiap instansi pemerintah dan swasta dibantu

membangun sistem pendataan yang baik agar setiap orang atau lembaga yang akan membuat kebijakan selalu berdasarkan data yang akurat dan lengkap.

SUMBER BACAAN

Jata, Albertus, Pamuji Slamet (edt.). 2005. Memahami dengan Hati dalam Membangun NTT; Abstraksi Pemikiran Piet A. Tallo, Jakarta: Tabloid Bentara Widiyatmika, Munandjar. 2007. Lintasan Sejarah Bumi Cendana, Kupang: Pusat Pengembangan Madrasah. Sawu, Andreas Tefa. 2004. Di Bawah Naungan Gunung Mutis, Flores: Penerbit Nusa Indah.

86


Nordholt, Schulte. 1971. The Political System of The Atoni of Timor, The Hague–Martinus Nijhoff NTT dalam Angka 2007, Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. Profil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Nusa Tenggara Timur, 2008 Ormeling, Jan, 1954. The Timor Problems. The Hague –Martinus Nijhoff.

87


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.