Catahu 2013 LBH Jakarta

Page 1

1

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


2

DAFTAR ISI versi ringkas Prolog : Pelanggaran Hak Asasi Yang di Legitimasi.................... 3

BAGIAN I Gambaran Umum Pengaduan ke LBH Jakarta A. Jumlah dan Profil Pencari Keadilan...................... 6 B. Kasus-kasus yang diadukan.................................. 6

BAGIAN II Advokasi Kasus LBH Jakarta 1. Perburuhan ...........................................................14 2. Perkotaan dan Masyarakat Urban ........................18 3. Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan..........................................................24 4. Peradilan yang Adil dan Jujur (Fair Trial)..............29 5. Mengawal Kebijakan Bantuan Hukum..................36

BAGIAN III Laporan Kelembagaan • Regenerasi Pekerja Bantuan Hukum.......................41 • Pengembangan Kapasitas Staf.................................43 • Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum.......................46 1. Perpustakaan LBH Jakarta....................................46 2. Revitalisasi Arsip: Menyelamatkan Memori Kolektif Organisasi ...................................................47 Penutup • Kesimpulan dan Rekomendasi..................................49 • Personil LBH Jakarta.................................................54

Laporan Keuangan .................................................56

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

EDITOR : Arif Maulana, SH.MH. Restaria F. Hutabarat, SH.MA. TIM PENYUSUN: Arif Maulana , SH.MH. Eny Rofiatul N., SH. Maruli Tua Rajagukguk, SH. Muhamad Isnur, SHI. Restaria F. Hutabarat, SH.MA. Alghiffari Aqsa, SH Pratiwi Febry, SH Ahmad Biky, SH Handika Febrian, SH Johanes Gea, SH Nelson N Simamora, SH Rachmawati Putri, SH AtikaYuanita Paraswati, SH, MH Tigor G Hutapea, SH Uni Illian Marcianti, SH Santi Sudarwati Yulia Delena R Siregar Wulan Purnama T. Sri Haryanti ASISTEN PENYUSUN: Akhmad Zaenuddin, SH Jane Aileen Tedjaseputra, SH M. Arifian Nugroho, SH Desain Grafis: Kurdi Ending Alamat Redaksi: Jl. Diponegoro No. 74, Menteng Jakarta Pusat Telpon: (021) 3145518 Fax: (021) 3912377 Website: www.bantuanhukum.or.id Email: lbhjakarta@bantuanhukum.or.id Facebook: masyarakat bantuan hukum Twitter: @lbh_jakarta


3 PROLOG:

Pelanggaran Hak Asasi yang Dilegitimasi (Febi Yonesta, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta)

S

epanjang tahun 2013, LBH Jakarta telah melakukan kerja-kerja bantuan hukum, sebagai respon dari berbagai permasalahan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tercatat, sebanyak 1001 Kasus ditangani oleh LBH Jakarta, mulai dari memberikan konsultasi hukum, sampai dengan pendampingan hukum secara penuh. Berbagai pelanggaran hak asasi ditemukan dalam kasus-kasus yang diterima. Pelanggaran hak tersebut meliputi hak atas pekerjaan Kasus, hak atas perumahan, hak atas kemerdekaan beragama, hak atas peradilan yang adil, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak anak, dan hak asasi lainnya. Dari penanganan berbagai kasus pelanggaran hak tersebut, LBH Jakarta menemukan adanya legitimasi atas pelanggaran hak yang terjadi. Baik legitimasi dari sisi hukum dan kebijakan, perilaku aparat pemerintahan dan penegak hukum, putusan pengadilan, maupun yang seolah-olah dilegitimasi oleh (publik).

Legitimasi Hukum dan Kebijakan Pelanggaran hak yang dilegitimasi oleh hukum dan kebijakan dapat ditemukan dalam kasus yang terkait dengan hak memiliki tempat ibadah. Meskipun telah mendapat jaminan Konstitusi dan peraturan perundang-undangan mengenai hak asasi manusia, Jemaat Ahmadiyah Kota Bekasi terpaksa kehilangan haknya untuk beribadah di Masjidnya sendiri. Melalui Surat Keputusannya, Walikota Bekasi memerintahkan untuk melakukan penggembokan Masjid Ahmadiyah, sehingga tidak dapat digunakan untuk melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya. Surat Keputusan tersebut memperoleh legitimasi dari Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Bersama tiga menteri, dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan legitimasi hukum pelanggaran hak berekspresi. Bukan hanya karena ketentuan tersebut menerapkan pidana bagi ekspresi yang dinilai mencemarkan nama baik, akan tetapi juga karena ketentuan tersebut tidak diformulasikan secara jelas (ambigu) dan berpotensi menjadi “pasal karet”. Kasus yang menimpa Benny Handoko alias @benhan, menunjukan bahwa ketentuan Undang-Undang ITE dimaksud dapat menjerat persepsinya atas keterlibatan Misbakhun di dalam skandal Bank Century, yang ia nyatakan melalui akun Twitter-nya. Praktik penyiksaan yang dilakukan selama proses penyelidikan/penyidikan kepada para Tersangka perbuatan pidana diberikan legitimasinya oleh KUHAP. Dalam kasus “Pembunuhan Cipulir”, meskipun para Terdakwa sudah mencabut keterangannya di dalam BAP, disebabkan keterangan tersebut diberikan dibawah tekanan dan penyiksaan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap memutus CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


4 bersalah para Terdakwa yang rata-rata masih di bawah umur, karena sampai saat ini KUHAP belum mengatur status alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum, termasuk melalui penyiksaan. Pemenuhan pendidikan yang berkualitas dan aksesibel di segala jenjang pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi hal penting untuk terus menerus ditingkatkan. Sesuai dengan amanah Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Dalam hal kebijakan Pendidikan Tinggi, Negara pun melepaskan tanggung jawabnya dengan membuat UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan Undang-undang ini, negara justru berupaya mengalihkan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak atas pendidikan kepada pihak lain, diantaranya ialah kepada mahasiswa/orang tua mahasiswa (Pasal 85) yang salah satunnya melalui soft loan (pinjaman lunak); kepada institusi pendidikan melalui otonomi pengelolaan yang membuka keran “bisnis” di lingkungan institusi pendidikan tinggi (swastanisasi pendidikan tinggi), yang diatur dalam Pasal 65 ayat (3). Hampir keseluruhan pengaturan yang dimuat pada UU Dikti memang berbicara tentang pengelolaan institusi pendidikan tinggi dan bukan mengenai pendidikan tinggi itu sendiri. Dalam hal kebijakan perkoperasian, negara pun melakukan pelanggaran dengan UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Kegagalan kebijakan perkoperasian ini ditandai dengan adanya modal penyertaan dari luar anggota yang akan dijadikan instrumen oleh Pemerintah dan atau pemilik modal besar masuk dalam koperasi. Secara umum, UU Perkoperasian yang baru ini merusak otonomi dan juga mengganggu berjalannya demokrasi koperasi yang merupakan jati diri dari koperasi Indonesia yang merupakan organisasi perkumpulan orang (people base association) dan bukan perkumpulan modal (capital base association). Begitu pula dalam kasus-kasus Pengungsi. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian memberikan legitimasi untuk mangabaikan hak asasi para pencari suaka dan pengungsi yang transit di Indonesia untuk mencari perlindungan atas persekusi yang dialami di Negaranya. Para Pengungsi Rohingya, yang terpaksa meninggalkan Myanmar, akibat adanya pemusnahan etnis di sana, akan tetap dipandang sebagai imigran gelap menurut Undang-Undang Keimigrasian, dan dapat ditahan di Rumah Detensi Imigrasi sampai dengan 10 tahun, tanpa proses hukum apapun.

Legitimasi Perilaku Aparat Pemerintah Pelanggaran hak asasi manusia, juga terlihat dilegitimasi oleh perilaku aparat pemerintahan, termasuk kepolisian. Legitimasi Pemerintah yang gamblang terhadap pelanggaran hak asasi, dapat ditemukan di dalam kasus Penangguhan Upah terhadap berbagai perusahaan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, melalui sebuah Surat Keputusan Gubernur. Tanpa melalui prosedur verifikasi lapangan dan komunikasi dengan pekerja, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Penangguhan Upah kepada perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat penangguhan. Meskipun pada akhirnya, Serikat Buruh dapat membatalkan kebijakan keliru tersebut. Legitimasi kasat mata lainnya, ditemukan dalam kasus penggusuran pedagang stasiun kereta api di wilayah Jabodetabek. PT. KAI atau PT. KAI Commuter Jabodetabek melakukan penggusuran terhadap kios-kios pedagang di 16 stasiun seCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

Legitimasi Pemerintah yang gamblang terhadap pelanggaran hak asasi, dapat ditemukan di dalam kasus Penangguhan Upah terhadap berbagai perusahaan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, melalui sebuah Surat Keputusan Gubernur.


5 Jabodetabek, dan mengakibatkan sebanyak 6532 orang harus kehilangan mata pencarian utamanya. Pelanggaran hak para pedagang ini dilegitimasi oleh aparat Kepolisian dan Tentara yang tampak melakukan pengamanan terhadap aksi penggusuran paksa. Tidak ada kompensasi dalam bentuk apapun terhadap para pedagang yang selama ini menggantungkan hidupnya dari berjualan di stasiun. Praktik penyiksaan di dalam proses pemeriksaan pidana, kerap terjadi dan menjadi tradisi yang seolah lazim dilakukan dalam upaya kepolisian mengungkap kejahatan. Kasus Pembunuhan Cipulir membuktikan bahwa praktek penyiksaan masih menjadi cara utama untuk memaksa pengakuan dari para Tersangka, meskipun para Tersangka bukan pelaku sesungguhnya. Praktik diskriminasi dan intoleransi pun masih kunjung terjadi terhadap kelompok keagamaan minoritas, termasuk Jemaat Ahmadiyah. Kasus pengembokan Masjid seperti yang dialami Jemaat Ahmadiyah di Jatibening Bekasi, menunjukan adanya legitimasi Pemerintah Kota Bekasi atas praktik diskriminasi dan intoleransi berbasiskan agama. Terlepas bahwa Konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah menjamin hak beragama, termasuk hak atas tempat ibadah, Pemerintah Kota Bekasi tetap mengabaikan jaminan tersebut dan lebih memilih mendukung praktik diskriminasi dan intoleransi yang semakin meluas di kalangan masyarakat Bekasi.

Legitimasi Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memidanakan empat orang terdakwa di bawah umur memberikan legitimasi terhadap praktik penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan peradilan yang tidak adil terhadap anak. Putusan ini bahkan mengesampingkan fakta bahwa para terdakwa bukanlah pelaku yang sesungguhnya. Hal yang serupa terjadi dalam kasus penggembokan Masjid Ahmadiyah di Jatibening Bekasi. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri di Bandung telah memberikan legitimasi kepada Walikota Bekasi untuk melakukan pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, Jemaah Ahmadiyah di Bekasi.

Legitimasi Publik Salah satu faktor terus terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, adalah minimnya dukungan publik terhadap para korban. Para pelaku, seolah memperoleh legitimasi untuk terus melakukan pelanggaran tersebut. Minimnya pemahaman tentang hak asasi manusia, ditambah informasi yang sesat mengenai peristiwa pelanggaran, mendorong antipati publik dan stigma terhadap para korban. Dalam diskusi bertemakan Guru, Keragaman, dan Pendidikan Agama Yang Lapang yang diselengarakan atas kerjasama antara LBH Jakarta, Yayasan Cahaya Guru (YCG), dan Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), di Bekasi, tampak bahwa guru-guru Agama di sekolah Negeri masih memiliki anggapan bahwa faktor penyebab berbagai peristiwa pelanggaran hak beragama dan beribadah, adalah adanya perbedaan atau dengan kata lain adalah bentuk kesalahan yang dilakukan korban sendiri.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


6 BAGIAN I

Gambaran Umum Pengaduan ke LBH Jakarta

A. JUMLAH DAN PROFIL PENCARI KEADILAN Data di atas memperliPERBAN NDINGA AN KASU US 5 TAH HUN TERAKHIR hatkan jumlah pengaduan masyarakat ke LBH Jakarta 201,604 0 250,000 selama lima tahun terakhir. 146,479 200,000 Jika ditotal, sejak 2009 hingga 150,00 00 2013 LBH Jakarta menerima 100,00 00 5.088 pengaduan. Pengad9,895 28,693 3 50,00 00 28,,528 1,060 uan terbanyak diterima pada 1 1,151 959 0 2010, dengan 1.151 pengad917 1 1,001 2009 9 uan. Sementara 2012 men201 10 2 2011 jadi tahun terendah, dengan 2012 2013 959 pengaduan. Untuk 2013, LBH Jakarta menerima 1.001 pengaduan, jika dibandingkan tahun sebelumnya jumlah pengaduan mengalami kenaikan sebanyak 84 pengaduan. Jika dirata-rata, selama lima tahun terakhir, pengaduan yang diterima LBH Jakarta adalah 1.018 pengaduan.

B. KASUS-KASUS YANG DIADUKAN Dalam mengelompokkan data-data pengaduan, LBH Jakarta melakukan pengelompokan kasus dalam beberapa klasifikasi, yaitu Perburuhan, Perkotaan dan Masyarakat Urban (PMU), Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), Perempuan dan Anak, Keluarga, dan Kasus Non Struktural. Deskripsi lengkap kasuskasus berikut ada dalam penjelasan di bawah ini: CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


7 1. Kasus Perburuhan Kasus Perburuhan yang masuk ke LBH Jakarta, permasalahan yang diadukan meliputi persoalan buruh migran sebanyak 8 (delapan) pengaduan, hak normatif sebanyak 80 (delapan puluh) pengaduan, hubungan kerja sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) pengaduan, kepegawaian sebanyak 7 (tujuh) pegawaian, kriminalisasi buruh sebanyak 5 (lima) pengaduan, dan serikat pekerja sebanyak 6 (enam) pengaduan. Dari seluruh pengaduan yang masuk, untuk sub-klasifikasi hak normatif, hubungan kerja, kepegawaian, dan kriminalisasi buruh, sebagian besar pencari keadilannya berjenis kelamin perempuan. Kasus Perburuhan yang diadukan ke LBH Jakarta, berasal dari wilayah Bekasi, Bogor, Depok, Jawa Barat, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogjakarta, Jawa Timur, Sumatera, Tangerang dan Banten, lain-lain dan tidak diisi. Angka pengaduan cukup tinggi berasal dari buruh yang berdomisili di Bekasi, sebanyak 20 (dua puluh) pengaduan, kemudian Jakarta Pusat sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, Jakarta Selatan sebanyak 26 (dua puluh enam) pengaduan, dan Jakarta Timur sebanyak 42 (empat puluh dua) pengaduan. Dari seluruh kasus buruh yang masuk ke LBH Jakarta, sebanyak 84 (delapan puluh empat) pengaduan dilakukan oleh pengadu yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian buruh yang berpendidikan Diploma sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, S1 sebanyak 30 (tiga puluh) pengaduan, S2 sebanyak 9 (sembilan) pengaduan, SD sebanyak 11 (sebelas) pengaduan, lain-lain sebanyak 29 (dua puluh sembilan) pengaduan, tidak diisi sebanyak 17 (tujuh belas) pengaduan, dan tidak sekolah sebanyak 1 pengaduan. Sebanyak 162 pengaduan kasus perburuhan dilakukan oleh pengadu berusia dewasa (18-50 tahun), 33 (tiga puluh tiga) pengaduan dilakukan oleh lansia (>50 tahun), dan 9 (sembilan) pengadu tidak menyebutkan usianya. LBH Jakarta juga mengklasifikasikan besaran penghasilan pengadu dalam kasus perburuhan. Sebanyak 41 (empat puluh satu) pengaduan buruh dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan 2.020.000-3.500.000. Selanjutnya pengaduan yang dilakukan buruh yang berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak 24 (dua puluh empat), lalu 18 (delapan belas) pengaduan dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan 3.510.000-5.000.000. Kemudian 10 (sepuluh) pengaduan dilakukan oleh buruh yang berpenghasilan 5.500.000-10.000.000. Selanjutnya 8 (delapan) pengaduan dilakukan oleh Buruh yang berpenghasilan 10.000.000 ke atas. Sebanyak 6 (enam) pengaduan dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan 501.000-1.000.000. Pengadu yang memilih isian penghasilan tidak jelas sebanyak 1 (satu) pengaduan, yang mengisi tidak tetap sebanyak 3 (tiga) orang, dan pengadu yang tidak mengisi isian penghasilan sebanyak 90 (sembilan puluh) pengadu.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


8 2. Kasus Sipil dan Politik LBH Jakarta menerima Jumlah Pencari SUB KLASIFIKASI JMLAK KASUS Keadilan 59 (lima puluh sembilan) Hak Bebas dari Siksaan & Perlakuan Tidak Manusiawi 5 5 pengaduan dengan 3.599 Hak Atas Pengadilan yang Jujur 35 37 pencari keadilan untuk Hak Atas Perlindungan Dari Kesewenangan Hukum 3 3 aksus Hak Atas Sipil dan Kriminal 2 401 Politik. Hak Sipil dan Poli- Hak Pengakuan yang Sama Dihadapan Hukum Atas Kebebasan Untuk Berpendapat dan tik terbagi dalam beberapa Hak Berekspresi 1 8 kategori, diantaranya Fair Hak Atas Kebebas Berpikir, Berkeyakinan & Beragama 2 101 Trial, Hak Atas Kebebasan Hak Atas Kebebasan untuk berpendapat & Berekspresi 2 11 Pribadi (Privasi), Hak Atas Hak untuk Berkumpul & Berserikat Kebebasan untuk Ber- Hak Atas Kepemilikan Yang Tidak Boleh Diambil Alih 1 1 pendapat dan Berekspresi, Secara Sewenang-Wenang Oleh Siapapun Hak Kebebasan Bagi WNA 5 30 Hak Atas Kebebasan Ber- Hak Untuk Berkumpul 1 3000 pikir Berkeyakinan, dan BeKesamaan Dimuka Umum Tanpa Diskriminasi 2 2 ragama; Hak Atas Kememi- TOTAL 59 3599 likan yang Tidak Boleh Diambil Alih Secara Sewenang-wenang oleh siapapun, Hak Bagi Kaum Minoritas, Hak Bebas dari Siksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi, Hak Kebebasan bagi Warga Negara Asing, Hak Untuk Berkumpul dan Berserikat, Hak untuk Menikah dan Berkeluarga, dan lain-lain. Dari 59 (lima puluh Sembilan) pengaduan yang diberitahukan ke LBH Jakarta, 38 (tiga puluh delapan) pengaduan dilakukan oleh pengadu yang berjenis kelamin perempuan, 12 (dua belas) pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 6 (enam) pengaduan yang tidak mengisikan jenis kelaminnya. Fair Trial yang merupakan subklasifikasi Hak Sipil dan Politik, diadukan ke LBH Jakarta sebanyak 35 (tiga puluh lima) kasus, 24 (dua puluh empat) diantaranya diadukan oleh pengadu berjenis kelamin perempuan, 10 pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 1 (satu) orang tidak mengisi informasi jenis kelaminnya. Persebaran wilayah klien terjadi di wilayah Bekasi, Bogor, Depok, Jawa Barat, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, Sumatera, dan Tangerang dan Banten. Profil pendidikan pengadu, sebanyak 21 (dua puluh satu) pengadu berpendidikan SMA, 5 (lima) pengadu berpendidikan S1, 2 (dua) pengadu tidak menuliskan informasi isian pendidikan, 9 (sembilan) pengadu berpendidikan SD, dan 2 (dua) pengadu berpendidikan SMP, sebanyak 8 (delapan) pengadu berpendidikan Diploma, dan 9 (sembilan) pengadu menuliskan lain-lain di informasi pendidikannya. Kemudian dari data usia, sebanyak 24 (dua puluh empat) pengadu berusia dewasa (18-50 tahun), pengadu berusian anak (< 18 tahun) sebanyak 14 (empat belas) tahun, pengadu berusia lansia (> 50 tahun) sebanyak 3 (tiga) pengaduan, dan 1 pengadu tidak memberikan informasi usianya. Dari data penghasilan, sebanyak 1 (satu) pengadu berpenghasilan 1000-100.000, 7 (tujuh) pengaduan diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 501.000-1 .000.000, kemudian 2 (dua) orang pengadu berpenghasilan 1.010.000-2.000.000, 4 (empat) orang pengadu berpenghasilan 2.020.000-3.500.000, 6 orang pengadu berpenghasilan 3.510.000-5.000.000, 1 (satu) orang pengadu berpenghasilan 5.500.0010.000.000, 1 (satu) pengadu berpenghasilan tidak tetap dan 34 (tiga puluh empat) pengadu tidak mengisi isian jumlah penghasilan.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


9 3. Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban

Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban

Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban yang diterima LBH Jakarta tahun 2013 sebanyak 90 (Sembilan puluh) pengaduan dengan pencari keadilan sebanyak 6.695 orang. Kategori PMU terdiri dari Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal, Hak Usaha dan Ekonomi, Hak Pendidikan, Hak Kesehatan, Hak Lingkungan, Hak Penanggulangan Bencana, Hak Atas Identitas, dan Hak Atas Pelayanan Publik. Pengadu yang datang ke LBH Jakarta berasal dari berbagai wilayah, diantaranya Bekasi 7 (tujuh) pengaduan, Bogor5 (lima) pengaduan, Depok 5 (lima) pengaduan, Jawa Barat 1 (satu) pengaduan, Jakarta Barat 14 (empat belas) pengaduan, Jakarta Pusat 12 (dua belas) pengaduan, Jakarta Selatan 11 (sebelas) pengaduan, Jakarta Timur 13 (tiga belas) pengaduan, Jakarta Utara 7 (tujuh) pengaduan), Jawa Tengah dan DIY 1 (satu) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan), Tangerang dan Banten 11 (sebelas) pengaduan, dan 2 (dua) pengadu tidak mengisikan informasi lokasinya. Dari 90 (Sembilan puluh)pengaduan yang datang ke LBH Jakarta, 34 (tiga puluh empat) diadukan oleh pengadu yang berjenis kelamin perempuan, 19 (sembilan belas) pengaduan dilakukan oleh pengadu laki-laki, dan sebanyak 37 orang tidak mengisi isian jenis kelamin. Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal yang merupakan bagian dari PMU diadukan sebanyak 39 (tiga puluh sembilan)kali, Hak Atas Kesehatan diadukan oleh 18 (delapan belas) pengadu, Hak Atas Usaha/ Ekonomi diadukan oleh 15 (lima belas) pengadu, Hak Atas Lingkungan diadukan oleh 6 (enam) pengadu, Hak Atas Identitas diadukan oleh 5 (lima)pengadu, Hak Atas Pendidikan diadukan oleh 4 (empat)pengadu, dan Pelayanan Publik diadukan oleh 3 (tiga) pengadu. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


10 Pendidikan pengadu PMU yang didata LBH Jakarta adalah SMA 31 (tiga puluh satu) pengadu, S1 13 (tiga belas) pengadu, S2 1 (satu) pengadu, lain-lain 12 (dua belas) pengadu, SD 9 (Sembilan) pengadu, SMP 8 (delapan) pengadu), Diploma 5 (lima) pengadu, dan 11 (sebelas) pengadu tidak mengisi isian jenis pendidikan yang telah disediakan. Berdasarkan usia pengadu, pengaduan yang datang ke LBH Jakarta untuk kasus PMU adalah dewasa (18-50 tahun) sebanyak 44 (empat publuh empat) pengaduan, lansia (>50 tahun) sebanyak 36 pengaduan, anak (dibawah 18 tahun) sebanyak 3 (tiga) orang, dan sebanyak 7 (tujuh) orang tidak mengisi isian usia yang disediakan di formulir. Dari data penghasilan, sebanyak 2 (dua) pengadu berpenghasilan 1000-100.000, 1 (satu) pengaduan diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 101.000-500.000, kemudian 7 (tujuh) orang pengadu berpenghasilan 501.000-1.000.000, 9 (sembilan) orang pengadu berpenghasilan 1.010.000-2.000.000, 7 (tujuh) orang pengadu berpenghasilan 2.020.000-3.500.000, 4 (empat) orang pengadu berpenghasilan 3.510.000-5.000.000, 2 (dua) orang pengadu berpenghasilan 5.500.00-10.000.000, berpenghasilan di atas 10.000.000 sebanyak 1 (satu) orang, 1 (satu) pengadu berpenghasilan tidak tetap dan 56 (lima puluh enam) pengadu tidak mengisi isian jumlah penghasilan.

4. Kasus Perempuan dan Anak

KASU US PEREMPUAN & ANAK K

Kasus Perempuan dan Anak yang ditangani LBH Jakarta berjumlah 42 42 (empat puluh dua) pengaduan dengan 49 (empat puluh sembilan) pen7 35 cari keadilan. Dari 35 (tiga puluh lima) 7 pengaduan kasus perlindungan anak, Perlindu ungan Anak Perlind dungan Perem mpuan 16 (enam belas) pengaduan diadukan oleh perempuan, 17 (tujuh belas) pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 2 (dua) pengaduan tidak menyebutkan jenis kelamin pengadunya. Untuk kasus perlindungan perempuan, 4 (empat) pengaduan dilakukan oleh perempuan dan 3 (tiga) pengaduan dilakukan oleh laki-laki. Pengadu untuk klasifikasi kasus ini berasal dari Bekasi (5 pengaduan), Depok 3 (tiga) pengaduan, Jakarta Barat 4 (empat) pengaduan, Jakarta Pusat 2 (dua) pengaduan, Jakarta Selatan 6 (enam) pengaduan, Jakarta Timur 9 (Sembilan) pengadOraang Terbantu Jml. Pengaduan

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


11

Kasus Keluarga yang ditangani LBH Jakarta berjumlah 172 pengaduan dengan 173 pencari keadilan

uan, Jakarta Utara 6 (enam) pengaduan, Jawa Timur 1 (satu) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan, Tangerang dan Banten 4 (empat) pengaduan, dan 1 (satu) pengadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan. Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 3 pengaduan, S2 sebanyak 3 (tiga) pengaduan, SD sebanyak 5 (lima) pengaduan, SMA sebanyak 17 (tujuh belas) pengaduan, SMP sebanyak 6 (enam) pengaduan, 2 (dua) pengadu tidak mengisi, dan 1 (satu) pengadu mengisi tidak sekolah. Usia pengadu kasus Perempuan dan Anak terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu yang berusia anak (<18 tahun) sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, kedua pengadu yang berusia dewasa (18-50 tahun) sebanyak 24 (dua puluh empat) pengaduan, dan ketiga adalah pengadu lansia (> 50 tahun) sebanyak 3 (tiga) pengaduan. Kasus Perempuan dan Anak diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000100.000 sebanyak 2 (dua) pengaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 1 (satu) pengaduan, berpenghasilan 505.000-1.000.000 sebanyak 4 (empat) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak 5 (lima) pengaduan, berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 4 (empat) pengaduan, berpenghasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 7 (tujuh) pengaduan, 1 (satu) orang pengadu berpenghasilan tidak tetap, dan 18 (delapan belas) pengadu tidak mengisi isian penghasilan yang disediakan.

5. Kasus Keluarga

Kasus Keluarga

Kasus Keluarga yang ditangani LBH Jakarta berjumlah 172 (seratus tujuh puluh dua) pengaduan dengan 173 (seratus tujuh puluh tiga) pencari keadilan. Dari 172 (seratus tujuh puluh dua) pengaduan kasus, terbagi atas kasus KDRT sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, perceraian sebanyak 69 (enam puluh sembilan) pengaduan, pernikahan sebanyak 11 ( sebelas) pengaduan, dan waris sebanyak 70 (tujuh puluh)pengaduan. Dari kasus KDRT, 19 (sembilan belas) diadukan oleh perempuan dan 3 (tiga) diadukan oleh laki-laki. Kasus perceraian diadukan oleh perempuan sejumlah 44 (empat puluh empat) pengaduan dan diadukan oleh laki-laki sebanyak 25 (dua puluh lima) pengadu. Kasus pernikahan diadukan oleh 6 (enam) pengadu laki-laki dan 5 (lima) pengadu perempuan. Sedangkan perkara waris diadukan oleh 36 (tiga puluh enam) pengadu laki-laki, 33 (tiga puluh tiga) pengadu perempuan dan satu kelompok. Pengadu untuk klasifikasi kasus ini berasal dari Bekasi 15 (lima belas) pengaduan, Bogor 5 (lima) pengaduan, Depok 7 (tujuh) pengaduan, Jakarta Barat 8 (delapan) pengaduan, Jakarta Barat 19 (sembilan belas) pengaduan, Jakarta Pusat 28 (dua puluh delapan) pengaduan, Jakarta Selatan 28 (dua puluh delapan) pengaduan, CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


12

Jakarta Timur 24 (dua puluh empat) pengaduan, Jakarta Utara 8 (delapan) pengaduan, Jawa Timur 5 (lima) pengaduan, Sumatera 1 (satu) pengaduan, Tangerang dan Banten 22 (dua puluh dua pengaduan, 1 (satu) pengadu mengisi lain-lain, dan dan 1 (satu) pengadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan. Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 30 (tiga puluh) pengaduan, S2 sebanyak 3 (tiga) pengaduan, SD sebanyak 8 (delapan) pengaduan, SMA sebanyak 36 (tiga puluh enam) pengaduan, SMP sebanyak 14 (empat belas) pengaduan, 9 (sembilan) pengadu tidak mengisi, 15 (lima belas ) pengadu mengisi pendidikan diploma, dan 17 (tujuh belas) pengadu mengisi lain-lain di kolom isian pendidikan. Usia pengadu kasus Keluarga terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu yang berusia anak (<18 tahun) sebanyak 1 (satu) pengaduan, kedua pengadu yang berusia dewasa (18-50 tahun) sebanyak 118 (seratus delapan belas) pengaduan, ketiga adalah pengadu lansia (> 50 tahun) sebanyak 47 (empat puluh tujuh) pengaduan, dan terakhir sebanyak 6 (enam) pengadu tidak menyebutkan berapa usianya. Kasus Perempuan dan Anak diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000100.000 sebanyak 1 (satu) pengaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 5 (lima) pengaduan, berpenghasilan 501.000-1.000.000 sebanyak 13 (tiga belas) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak 33 (tiga puluh tiga) pengaduan, berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 36 (tiga puluh enam) pengaduan, berpenghasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 13 (tiga belas) pengaduan, berpenghasilan 5.500.000-10.000.000 sebanyak 6 (enam) pengadu, berpenghasilan diatas 10.000.000 sebanyak 7 (tujuh) pengaduan, 1 (satu) pengadu tidak kelas penghasilannya, 3 (tiga) pengadu berpenghasilan tidak tetap, dan 54 (lima puluh empat) pengadu tidak mengisi isian penghasilan yang disediakan.

6. Kasus Nonstruktural Selain menangani permasalahan struktural, LBH Jakarta juga menerima konsultasi umum yang diadukan oleh masyarakat. Permasalahan-permasalahan tersebut dikategorikan dalam kategori khusus/ non-struktural. Kasus Non Struktural yang diterima LBH Jakarta terbagi dalam subklasifikasi Pidana Umum, Pidana Khusus, Perdata, Lain-lain/ Non, dan Khusus. Untuk subklasifikasi Pidana Umum, jumlah pengaduan 214 dengan pencari keadilan sebanyak 1831 orang; Pidana Khusus, jumlah pengaduan sebanyak 29 (dua CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


13

2500 2000 1500 1000

1831

500 0

214 Pidana P Umum U

puluh sembilan) dengan pencari keadilan sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) orang; Perdata, jumlah pengaduan sebanyak 187 dengan pencari keadilan sebanyak 409 (empat ratus sembilan) orang; Lain-lain/ Non Struktural, jumlah pengaduan 1 (satu) dengan pencari keadilan sebanyak 1 (satu) orang; dan klasifikasi Khusus, jumlah pengaduan sebanyak 2 (dua) dengan pencari keadilan sebanyak 2 (dua) orang. Dari keseluruhan kasus non-struktural yang diadukan ke LBH Jakarta, 261 pengaduan diadukan oleh perempuan, 159 pengaduan dilakukan oleh laki-laki, dan 13 (tiga belas) orang pengadu tidak mengisikan informasi jenis kelaminnya. Pengadu perempuan di kasus non-struktural lebih banyak dari pada pengadu laki-laki, di kasus perdata pengadu perempuan berjumlah 117 (seratus tujuh belas) dan pengadu laki-laki berjumlah 67 (enam puluh tujuh); di kasus pidana khusus jumlah pengadu perempuan 19 (sembilan belas) dan jumlah pengadu laki-laki 9 (sembilan); di kasus pidana umum jumlah pengadu perempuan berjumlah 123 dan jumlah pengadu laki-laki sebanyak 82 (delapan puluh dua). Pengadu untuk klasifikasi kasus non struktural ini berasal dari Bekasi 43 (empat puluh tiga) pengaduan, Bogor 16 (enam belas pengaduan, Depok 22 (dua puluh dua) pengaduan, Jawa Barat 9 (sembilan) pengaduan, Jakarta Barat 47 (empat puluh tujuh) pengaduan, Jakarta Barat 47 (empat puluh tujuh) pengaduan, Jakarta Pusat 72 (tujuh puluh dua) pengaduan, Jakarta Selatan 59 (lima puluh Sembilan) pengaduan, Jakarta Timur 80 (delapan puluh) pengaduan, Jakarta Utara 23 (dua puluh tiga) pengaduan, Jawa Tengah dan DIY 4 (empat) pengaduan, Sumatera 2 (dua) pengaduan, Tangerang dan Banten 49 (empat puluh sembilan) pengaduan dan 6 (enam) pengadu tidak mengisi isian wilayah di formulir pengaduan. Pendidikan pengadu berasal dari S1 sebanyak 70 (tujuh puluh) pengaduan, S2 sebanyak 13 (tiga belas) pengaduan, SD sebanyak 27 pengaduan, SMA sebanyak 181 pengaduan, SMP sebanyak 36 pengaduan, 16 (enam belas) pengadu tidak mengisi, 44 (empat puluh empat) pengadu mengisi pendidikan diploma, 43 (empat puluh tiga) pengadu mengisi lain-lain di kolom isian pendidikan, dan 3 (tiga) pengadu tidak bersekolah. Usia pengadu kasus Non struktural terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu pertama pengadu yang berusia anak (<18 tahun) sebanyak 5 (lima) pengaduan, kedua pengadu yang berusia dewasa (18-50 tahun) sebanyak 278 pengaduan, ketiga adalah pengadu lansia (>50 tahun) sebanyak 137 pengaduan, dan terakhir sebanyak 13 pengadu tidak menyebutkan berapa usianya. Kasus Non Struktural diadukan oleh pengadu yang berpenghasilan 1000-100.000 sebanyak 3 (tiga) pengaduan, berpenghasilan 101.000-500.000 sebanyak 15 (lima belas) pengaduan, berpenghasilan 501.000-1.000.000 sebanyak 33 (tiga puluh tiga) pengaduan, berpenghasilan 1.010.000-2.000.000 sebanyak 76 (tujuh puluh enam) pengaduan, K KASUS NO ON STRUKTTURAL berpenghasilan 2.020.000-3.500.000 sebanyak 62 (enam puluh dua) pengaduan, berpenghasilan 3.510.000-5.000.000 sebanyak 40 (empat puluh) pengaduan, berpenghasilan 5.500.00010.000.000 sebanyak 22 (dua puluh dua) pengaduan, berpenghasilan di atas 10.000.000 409 sebanyak 12 (dua belas) pengaduan, 1 (satu) 2 1 37 187 29 1 pengadu tidak jelas penghasilannya, 9 (sem2 Pidana Perdata Lain-lain / Khususs bilan) pengadu berpenghasilan tidak tetap, Khusus Non Kasus dan 160 (seratus enam puluh) pengadu tidak Jumlaah Pengaduan:: 433 Jumlah Pencari P Keadilaan: 2280 mengisi isian penghasilan yang disediakan. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


14

BAGIAN II

Advokasi Kasus LBH Jakarta

1. PERBURUHAN 1.1. Pelanggaran Hak Buruh yang Berulang LBH Jakarta di tahun 2013 menerima pengaduan pelanggaran hak atas pekerjaan sebanyak 23 (dua puluh tiga) pengaduan, dan kasus berjalan sebanyak 15 (lima belas) pengaduan yang masuk sebelum tahun 2013. Pelanggaran hak buruh masih berulang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu berkisar pada pelanggaran kebebasan berserikat, pelanggaran hak normatif dalam hubungan kerja dan PHK secara tidak sah. Secara khusus pada tahun 2013 kasus-kasus perburuhan yang terjadi adalah sebagai berikut. l Pemutusan hubungan kerja karena mogok kerja, alasan merugi, PHK tanpa penetapan dari pengadilan sebanyak 21 kasus, yang terjadi di PT. Mega Indotex Raya, PT. Panarub, PT. Surya Pasific Sejahtera dan di PT. Hotel Indonesia Notour (HIN). l Upah dibawah UMP/UMSK sebanyak 8 kasus yang terjadi di PT. Hansoll Indonesia, PT. Kaho Indah Citra Garmen, PT. Misung Indonesia, PT. Myungsung Indonesia, PT. Kyungseung Trading Indonesia, PT Star Camtex, PT. Good Guys Indonesia, PT. Yeon Heung Mega Sari. l Hak atas manfaat pensiun sebanyak 3 kasus yang terjadi di Perum Damri, Perum Peruri, The Sultan Hotel. l Pembangkangan putusan pengadilan yang sudah tetap sebanyak 2 kasus yang dilakukan oleh Perum Perumnas, Pull Taxi Prestasi. l Penipuan atas informasi pekerjaan sebanyak 2 kasus yang terjadi di PT. PT. Srikandi l Pelanggaran sistem kerja outsourcing sebanyak 2 kasus yang terjadi di PT. Pertamina, PT. Kalbe Farma. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


15 l Mutasi karena kritis dan mendirikan serikat pekerja sebanyak 2 kasus yang terjadi

di PT. ASDP, dan Metro Tv.

l Kriminalisasi yang berujung kepada PHK sebanyak 1 kasus yang terjadi PT HSJ

1.2. Advokasi Berbasiskan Riset Dalam tahap penyusunan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri. LBH Jakarta menyampaikan sejumlah kritik terhadap mekanisme, beberapa kritik tersebut secara khusus ditujukan terhadap ketentuan jangka waktu penyelesaian yang tidak sesuai dengan kondisi nyata, proses pengajuan yang kaku dan sangat formal, kanalisasi pelanggaran hak menjadi perselisihan hak, dan lain sebagainya. Kritik tersebut kemudian terbukti dalam beberapa kasus yang ditangani LBH Jakarta pada tahun sebelumnya menempuh upaya PPHI dengan pelanggaran jangka waktu dan putusan yang tidak dapat dilaksanaka. Namun inefektivitas PPHI tersebut memerlukan kajian yang lebih mendalam untuk menghasilkan analisa dan rekomendasi yang bermanfaat untuk perubahan kebijakan. Oleh karena itu, pada tahun 2013 LBH Jakarta melakukan penelitian putusan-putusan hubungan industrial yang berada di tahap Mahkamah Agung (kasasi maupun peninjauan kembali). Alur Penelitian ini dilakukan dengan melakukan indeksasi atas putusan MA yang berada di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Dalam melakukan penelitian putusan PHI tersebut, LBH Jakarta bekerja sama dengan Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI FHUI). Saat laporan ini dibuat, penelitian tersebut masih berjalan dalam tahap indeksasi putusan MA yang kurang lebih berjumlah 3.066 putusan. Tujuan dilakukanya penelitian putusan PHI tersebut yaitu: Pertama, menyediakan bahan referensi berupa analisa putusan yang dapat dimanfaatkan oleh advokat bantuan hukum atau lembaga-lembaga advokasi dalam melaksanakan advokasi. Kedua Menganalisa dan mengambil intisari dari kasus-kasus kunci guna mendapatkan pembelajaran yang dapat mendukung kerja advokasi perbaikan system peradilan di Indonesia. Ketiga, melakukan advokasi lanjutan terhadap hasil penelitian kepada pemangku kepentingan yang dapat mempengaruhi perbaikan system peradilan di Indonesia. Dampak yang diharapkan dari Program Penelitian Putusan Perselisihan Hubungan Industrial yaitu: Pertama, Meningkatnya kualitas relevansi advokasi melalui tersedianya data hasil penelitian yang menjadi landasan kegiatan advokasi. Kedua, menguatnya hubungan kerjasama advokasi antara Civil Society dengan Akademisi. Ketiga, terjadinya proses diskusi dan dialog antara para peneliti dan para pemangku kepentingan yang relevan, tentang hal-hal yang perlu diperbaiki dalam system peradilan di Indonesia. Khususnya yang berkenaan dengan isu-isu strategis yang merupakan fokus kerja-kerja bantuan hukum

1.3. Membangun Strategi Litigasi Melawan Upah Murah Kenaikan upah minimum tahun 2013 di wilayah propinsi DKI Jakarta dan sekitarnya cukup signifikan, melebihi angka 40% kenaikan. Keputusan Kepala Daerah untuk menaikan upah minimum tersebut disikapi oleh sejumlah perusahaan dengan mengajukan permohonan penangguhan upah minimum, namun permohonan tersebut disertai dengan kecurangan mengenai pemenuhan syarat penangguhan. Upaya pihak perusahaan mengajukan penangguhan dilawan oleh LBH Jakarta bersama Serikat Buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) membentuk Tim Advokasi Buruh untuk Upah Layak (TAB-UL) sedangkan Serikat Pekerja Nasional (SPN) diwakili oleh LBH Jakarta untuk CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


16 menggugat penangguhan upah yang penuh dengan kecurangan melalui pengadilan tata usaha negara yang menggugat 3 (tiga) Gubernur yakni; Satu gugatan pembatalan penangguhan upah minimum yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat, satu gugatan pembatalan penangguhan upah minimum yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Banten dan dua gugatan pembatalan penangguhan upah minimum yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk membatalkan Keputusan Gubernur Tentang Persetujuan Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Tahun 2013. Alhasil, Gugatan yang diajukan oleh para buruh melalui kuasa hukum di TABUL dan LBH Jakarta, dimana tiga gugatan yang diajukan oleh serikat buruh dikabulkan yaitu satu gugatan di Provinsi Jawa Barat dan dua gugatan di DKI Jakarta sedangkan satu gugatan lagi tidak dapat diterima oleh PTUN di Provinsi Banten.

1.4. Konsolidasi dan Penguatan Serikat Buruh Dilatarbelakangi oleh sejumlah pelanggaran hak tanpa penegakan hukum yang dialami oleh para buruh yang bekerja di Perusahaan BUMN, maka LBH Jakarta membentuk aliansi untuk para buruh yang dinamakan dengan Gerakan Bersama Buruh BUMN (Geber BUMN) pada tanggal 4 Maret 2013 untuk mengupayakan penghapusan penerapan outsourcing di BUMN. Pembentukan Geber BUMN merupakan bagian dari konsolidasi serikat buruh. Sepanjang tahun 2013, Geber BUMN melakukan perluasan dan konsolidasi lanjutan di berbagai wilayah Indonesia. Menyadari pentingnya peran media untuk mendukung gerakan buruh, Geber BUMN juga melakukan kampanye, meliputi konferensi pers, seminar dan workshop mengenai permasalahan ketenagakerjaan di BUMN. Geber BUMN juga berhasil mendesak Komisi IX DPR, Kemenakertrans dan Kemeneg BUMN untuk membentuk Panja Outsourcing dan Penyelesaian Ketenagakerjaan setelah rangkaian aktivitas mendatangi Komisi IX dan pendekatan kepada anggota DPR di Komisi IX. Panja Outsourcing akhirnya mengeluarkan rekomendasi yang pada pokoknya meminta Perusahaan BUMN dan Menteri Negara BUMN mengangkat seluruh buruh untuk diangkat sebagai karyawan tetap di perusahaan BUMN; mempekerjakan kembali buruh yang di PHK di perusahaan BUMN. Saat ini Geber BUMN terus menerus melakukan perluasan dan konsolidasi diseluruh provinsi di Indonesia dan memastikan seluruh perusahaan BUMN melaksanakan rekomendasi Panja Outsourcing. Selain membentuk aliansi LBH Jakarta juga melakukan pendidikan dan pelatihan hukum sebagai bentuk pemberdayaan hukum diantaranya mengangkat dan melantik buruh sebagai paralegal yang diadakan pada tanggal 07 September 2013. Pendidikan Paralegal buruh tersebut diharapkan dapat membantu kerja-kerja LBH Jakarta. Selain itu, LBH juga mengerjakan pengembangan kapasitas pengetahuan buruh dengan pendidikan hukum terhadap basis serikat buruh yang diadakan pada: a. Tanggal 24 Agustus 2013 Pendidikan Hukum Buruh Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI). b. Tanggal 05 Oktober 2013 Pendidikan Hukum Perburuhan II Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) c. Pelatihan Paralegal untuk Buruh SPN Serang pada tanggal 14-16 Juni 2013.

1.5. Mendorong Unit Pidana Perburuhan di Kepolisian Dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia diatur sejumlah ketentuan perlindungan bagi buruh. Bahkan beberapa pelanggaran merupakan perbuatan yang diacam dengan sanksi pidana bagi pelanggarnya. Aturan-aturan tersebut diantaranya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


17 No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan dengan jumlah 46 (empat puluh enam) pasal dengan ancaman pidana. Meskipun telah ada 46 (empat puluh enam) pasal dengan ancaman pidana, namun sejak tahun 2003 hanya satu kasus di mana pihak pengusaha dipidana karena melanggar hak buruh yaitu dalam kasus PT King Jim di Pasuruan, Jawa Timur. Sejumlah kasus pidana perburuhan lainnya tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Padahal tahap tersebut merupakan tahap krusial untuk proses selanjutnya dalam sistem peradilan pidana. LBH Jakarta menerima 26 (dua puluh enam) kasus pidana perburuhan sepanjang tahun 2012-2013. Dari laporan-laporan tersebut, tidak ada perkara yang berlanjut ke proses persidangan, sehingga tidak ada pengusaha yang benar-benar disidangkan karena melanggar hak buruh apalagi sampai dijatuhkan sanksi pidana. Tidak efektifinya penegakan hukum oleh pihak kepolisian disebabkan oleh tidak pahamnya penyidik mengenai hukum perburuhan sehingga pelanggaran hak buruh diselesaikan dengan cara mediasi ataupun dialihkan ke mekanisme PPHI. Oleh karena itu, penting untuk dibentuk Desk/Unit Perburuhan dalam Badan Reserse dan Kriminal di Kepolisian RI. Dengan adanya unit ini, diharapkan ada pendidikan khusus bagi kepolisian mengenai pidana perburuhan dan ke depan terdapat aparat kepolisian yang secara fokus menangani kasus pidana perburuhan secara profesional. Jika penegakan hukum perburuhan berjalan maka perusahaan jera melakukan pelanggaran hak buruh.

1.6. Pelanggaran hak Tunjangan Hari Raya (THR) : Pelanggaran yang Berulang Tanpa Penegakan Hukum Pelanggaran hak tunjangan hari raya (THR) buruh terjadi setiap tahun. Dalam lima tahun terakhir, LBH Jakarta membuka Posko pengaduan dan selalu menerima pengaduan pelanggaran baik berupa keterlambatan pembayaran maupun tidak dibayarkannya hak THR buruh oleh perusahan. Sayangnya, setiap tahun Kemenakertrans hanya mengeluarkan surat edaran yang menghimbau perusahaan untuk membayar THR namun tanpa ada penegakan hukum dan tindakan tegas terhadap pelaku pelanggarannya. LBH Jakarta bersama Serikat Buruh membuka Posko THR pada tanggal 24 Juli 2013 dan ditutup pada 15 Agustus 2013. Dimana 1.795 (seribu tujuh ratus sembilan puluh lima) buruh terancam tidak mendapatkan THR. Pengaduan yang masuk ditindaklanjuti LBH Jakarta dengan mendesak perusahaan untuk bayar THR pekerja/buruh melalui telpon dan surat. Upaya tersebut membuahkan hasil sebanyak 1.261 buruh mendapatkan haknya. Namun masih terdapat 524 (lima ratus dua puluh empat) buruh dari 15 (lima belas) perusahaan tidak kunjung memberikan THR para buruh. LBH Jakarta bersama serikat buruh mengadukan 15 perusahaan tersebut ke Pengawas Kemenakertrans. Namun hingga laporan ini dibuat tidak ada respon dari Kemenakertrans atas pengaduan THR tersebut.

1.7. Rekomendasi Dari uraian diatas, kami merekomendasikan beberapa hal yaitu (1) Segera membentuk Unit Khusus Perburuhan di Kepolisian untuk fokus membongkar tindak pidana perburuhan (2) Pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap pengusaha yang CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


18 melakukan PHK sebelum ada putusan dari pengadilan hubungan industrial, selama proses hukum seluruh pihak termasuk buruh dan pengusaha harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing (3) Pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh perusahaan (4) Pemerintah membangun adanya mekanisme komplain atas ketidakpuasan publik dan buruh terhadap kinerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta melakukan penindakan terhadap pegawai dinas tenaga kerja yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.

2. KASUS PERKOTAAN DAN MASYARAKAT URBAN 2.1. Meningkatnya Pengaduan Kasus Penggusuran

Diskusi yang diadakan LBH Jakarta bersama Komunitas Masyarakat Tolak Penggusuran

Tabel Kasus PMU yang Diadukan ke LBH Jakarta Tahun 2013 Jenis Kasus

Jumlah pengaduan

H.Tanah & Tempat Tinggal H. Usaha & Ekonomi H. Pendidikan H. Kesehatan H. Lingkungan H. Atas Iden tas Pelayanan Publik

39 15 4 18 6 5 3 90

Jumlah keadilan 2134 933 342 18 3251 14 3 6695

pencari

Terdapat 39 Pengaduan kasus hak atas tanah dan tempat tinggal, serta 15 pengaduan terkait hak atas usaha dan ekonomi. Dua kasus ini menempati urutan pertama dan ketiga pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta. Selain itu, hak atas kesehatan menjadi problem yang mengemuka, menempati urutan kedua penCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


19 gaduan kasus PMU yang masuk ke LBH Jakarta yakni 18 pengaduan disusul dengan kasus-kasus lain masing-masing 6 (enam) kasus untuk hak atas lingkungan, 5 (lima) kasus untuk hak atas identitas, 4 (empat) kasus pendidikan dan 3 (tiga) kasus untuk hak atas pelayanan publik. Penggusuran lahan dan tempat tinggal masyarakat dilakukan dengan alasan untuk kepentingan umum dan untuk tujuan investasi bisnis. Trend tersebut ditunjukkan dalam beberapa kasus diantaranya kasus Warga Tanah Merah, kasus Ibu H dan Ibu K, dan Kasus Warga Tanah Merdeka juga Warga Rawa Gabus dan Warga Jasinga Bogor. Kasus serupa di tahun 2012 juga terjadi dalam kasus Petukangan dan Kasus Warga Pangkalan Jati melawan Pemda Depok. Dalam kasus pelanggaran hak atas tanah dan tempat tinggal Pemerintah dan Perusahaan (Korporasi) menjadi aktor pelaku. Pola pelanggaran yang terjadi, masyarakat yang telah lama mendiami tanah sendiri atau lahan pemerintah yang terlantar digusur paksa dengan alasan tanah hak milik mereka diperlukan pemerintah untuk pembangunan sarana umum seperti tol. Alasan lain yang menjadi dasar penggusuran juga terkait dengan status hak atas tanah, di mana perusahaan memiliki HGU atas tanah yang ditempati warga. Saat tanah tersebut hendak dipergunakan maka warga digusur tanpa ada pertimbangan mengenai fakta bahwa warga telah menempati dan mengurus lahan tersebut dalam waktu yang lama. Kasus Tanah Merah dan Kasus Tanah Merdeka merupakan contoh kasus yang menggambarkan bahwa penggusuran paksa berdampak langsung terhadap pelanggaran Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal tahun 2013. Dalam Kasus Tanah Merah, warga telah menempati tanah dengan bertani dan membangun rumah selama 25 (dua puluh lima) tahun di atas tanah Negara yang ditelantarkan. Namun pada tahun 2013 digusur paksa karena tanah tersebut diklaim sebagai tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Astra Honda Motor (PT.AHM) yang baru akan berakhir di tahun 2016. Untuk menggusur warga, PT.AHM menggunakan caracara yang melawan hukum dengan mengerahkan sekitar tiga ratus preman untuk membongkar puluhan bangunan rumah tinggal warga. Penggusuran paksa warga bahkan melibatkan aparat dari Satpol PP, Kodim, dan Polisi. Warga yang digusur tersebut langsung kehilangan tempat tinggal dan tidak ada solusi dari Walikota Bekasi terkait hak atas perumahan mereka. Padahal dalam kasus tersebut sengketa lahan masih dalam proses persidangan dan BPN pun telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk tidak memperpanjang HGU PT. AHM. Sementara itu, Warga Tanah Merdeka yang terdiri dari ± 40 (empat puluh) Kepala Keluarga pada tahun 2011 kehilangan tanah tempat tinggal karena lahan milik mereka terkena proyek pembangunan jalan Tol Tanjung Priok. Dengan alasan kepentingan umum, para warga terpaksa menerima penggusuran terhadap tempat tinggalnya. Warga seharusnya berhak mendapat Uang Ganti Kerugian (UGK) dari Pemerintah Kota Jakarta Utara namun UGK tidak dapat diberikan karena adanya gugatan ke pengadilan dari pihak lain yang mengklaim tanah tersebut bukan milik warga.

2.2. Penggusuran Pedagang Kios Stasiun se-Jabodetabek Pelanggaran hak atas usaha dan ekonomi terjadi dalam kasus penggusuran yang terjadi sepanjang tahun 2013. Kasus penggusuran terjadi terhadap pedagang kaki lima di beberapa wilayah di Jakarta dan penggusuran paksa terhadap pedagang kios stasiun disepanjang Jakarta Bogor Depok, Tangerang, Bekasi oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


20

Situasi penggusuran pedagang kios di salah satu stasiun di Jabodetabek. Penggusuran paksa oleh PT. KAI terhadap pedagang kios stasiun se-Jabodetabek dilakukan atas dasar pembangunan fasilitas stasiun untuk meningkatkan layanan penumpang. Sterilisasi stasiun dari aktifitas perdagangan dan perluasan stasiun merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan pembangunan. Sayangnya, penggusuran paksa dilakukan tanpa mengindahkan prosedur hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebelum penggusuran dilakukan, tidak ada pemberitahuan dan pembicaraan yang patut dan tulus dengan para pedagang kios mengenai alasan penggusuran. Tidak ada pemberian kompensasi meskipun para pedagang memperoleh kios dengan cara menyewa dan membeli dari pengelola stasiun. Akibatnya, saat penggusuran para pedagang di berbagai wilayah melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut kemudian terhenti saat tentara diterjunkan untuk menggusur paksa para pedagang. Saat penggusuran dilakukan, Polisi datang hanya diam menyaksikan dan mengamankan penggusuran, bahkan PT.KAI pun melibatkan preman dalam proses penggusuran. Saat laporan ini dibuat, stasiun di Jabodetabek telah steril dari pedagang kios. Anehnya, geraigerai Indomaret, Alfamart, dan gerai makanan minuman cepat saji terkemuka masih bisa terus berdagang meraup keuntungan dari penumpang. Berdasarkan catatan LBH Jakarta akibat penggusuran tersebut dari 16 (enam belas) stasiun di Jabodetabek terdapat sebanyak 6.532 orang yang kehilangan hak ekonominya. Berbeda dengan penggusuran yang dilakukan oleh PT. KAI. Kasus pedangan kaki lima di kawasan Kota Tua menunjukkan bagaimana praktek penggusuran PKL dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan. Pemerintah Provinsi Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok mencoba untuk melakukan penertiban PKL di berbagai wilayah di DKI Jakarta dengan komunikasi dan solusi penataan. Langkah ini patut untuk diapresiasi, namun belum untuk implementasinya. Dalam Kasus penataan PKL Kota Tua, praktek dilapangan menunjukkan persoalan. Lain kebijakan dengan pelaksanaannya . Pendataan yang tidak partisipatif dan transparan membuat masalah penataan PKL berlarut.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


21 2.3. Buruknya Layanan Kesehatan dan Ancaman Malpraktek Situasi buruk terus terlanggarnya hak atas kesehatan warga Negara yang tergambar pada buruknya layanan kesehatan (masyarakat miskin) dan maraknya kasus malpraktek. Tahun ini, LBH Jakarta menerima 19 (sembilan belas) belas pengaduan terkait Hak atas Kesehatan. Dari 19 (sembilan belas) pengaduan di atas, 5 (lima) kasus terkait malpraktek, dan 14 (empat belas) sisanya terkait hak atas pelayanan kesehatan. Dari pengaduan kasus dugaan malpraktek terdapat tiga kasus, satu kasus disebabkan salah diagonsa yang dialami MA dan dua kasus operasi persalinan yang mengakibatkan pasien menderita kecacatan dan meninggal dunia yang dialami Bapak W dan Ibu W. Program layanan kesehatan untuk masyarakat tidak mampu pun masih belum optimal. Seperti yang dialami FD meskipun termasuk golongan keluarga tidak mampu dan telah mengikuti program KJS. FD terkejut karena ditagih biaya pengobatan pada saat FD sakit pada tahun 2007 yang tidak mampu ditanggungnya. Rumah sakit dan tenaga medis (dokter) menjadi aktor penting dalam kasus ini. Pelayanan kesehatan RS yang berorientasi pada pencarian keuntungan menjadikan rumah sakit diskriminatif terhadap masyarakat miskin dan tidak lagi berorientasi pada pelayanan terbaik untuk publik. Tidak adanya standard dan prosedur pelayanan kesehatan yang jelas sehingga membuat pasien beresiko mengalami mal praktek. Dalam kasus Bapak W, pasien meninggal pada saat operasi namun sebelumnya keluarga tidak diberikan informasi (informed concent) sehingga keluarga menganggap dokter melakukan malpraktek. Namun tuduhan itu sulit dibuktikan, karena tidak ada kemampuan korban untuk membuktikan. Dunia medik masih tertutup, tidak transparan dan akuntabel. Akibatnya, sejumlah kasus malpraktek berakhir dengan impunitas terhadap pelakunya.

2.4. Privatisasi dan Militerisasi dalam Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban Kasus PMU disepanjang tahun 2013 didominasi oleh aktor Negara. Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang menerbitkan kebijakan yang justru merugikan rakyat. Orientasi profit dari Lembaga Pelayanan publik seperti PT. KAI, Rumah Sakit mengakibatkan pelayanan kepada masyarakat terabaikan. Aparat Negara seperti Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia menjadi pelaku pelanggaran di lapangan dan masyarakat sebagai korban langsung. Karakter kasus PMU, masyarakat ditempatkan sebagai objek dan tersubordinasi dalam setiap kebijakan negara. Relasi yang tidak setara antara masyarakat dengan elemen suprastrukur politik Negara dan aparatusnya. Trend kasus PMU yang ditangani LBH memiliki modus serupa. Kepentingan investasi atau modal lebih diutamakan diutamakan daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Modus tersebut dilakukan dengan pola yang sama. Dalam kasus Pelanggaran Hak Atas Tanah dan Tempat TInggal dan Hak Atas Usaha dan Ekonomi dilakukan dengan tindakan yang sama, menggusur untuk kepentingan umum atau investasi dalam kasus penggusuran yang terjadi. Negara melakukan pembiaran bahkan mendukung perlawanan terhadap rakyat sendiri melalui aparatusnya. Dalam Kasus Hak Atas kesehatan, Orientasi keuntungan membuat rumah sakit, dokter kehilangan jiwa pelayanan. Akibatnya kualitas layanan tidak terjaga berdasarkan standar prosedur dan layanan yang transparan dan akuntabel. Negara tidak lagi menjadi organisasi kekuasaan yang melindungi masyarakat naCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


22 mun menjadi organisasi kekuasaan yang mendampingi korporasi untuk kepentingan memupuk modal dan keuntungan. Negara dikelola seperti perusahaan. Dalam kasus-kasus yang ditangani LBH Jakarta, Negara menunjukan prilaku yang lebih banyak dikendalikan untuk mengejar keuntungan bisnis dan bukan melin­dungi kepentingan dan kesejahteraan warga. Pelayanan publik seperti transportasi, kesehatan, pendidikan menjadi komoditas untuk diperdagangkan kepada rakyat sendiri. Alhasil rakyat selalu berhadapan dengan aktor kuat yang bernama modal tanpa adanya perlindungan dari Negara dan aparatnya. Rakyat yang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai berpotensi selamat dalam pasar baru yang dikelola Negara, namun tidak bagi rakyat miskin.

2.5. Proses Pendampingan: dari Aksi Massa sampai Gugatan ke Pengadilan Dalam mengadvokasi kasus-kasus PMU berbagai upaya ditempuh oleh Lembaga bantuan Hukum Jakarta baik melalui upaya hukum secara litigasi dan non litigasi maupun upaya non hukum. Bantuan Hukum Struktural menjadi pemandu dalam melakukan advokasi kasus-kasus yang dihadapi masyarakat. LBH Jakarta melakukan penguatan masyarakat melalui pendampingan, pengorganisiran dan pemberdayaan warga untuk mengadvokasi secara mandiri permasalahan yang dihadapi menjadi pilihan gerakan. Langkah ini ditempuh di berbagai komunitas dampingan seperti; Pedagang stasiun se-Jabodetebek, komunitas pelanggan kereta Api, warga Guji Baru, warga Petukangan dan warga Budidarma. Langkah ini ditempuh karena bantuan hukum struktural memfokuskan diri pada menciptakan kekuataan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Selain itu, dalam pendampingan LBH Jakarta juga menempuh upaya penyelesaian di luar pengadilan seperti mediasi ataupun negosiasi untuk menyelesaikan kasus hukum. Hal ini dilakukan karena melihat sejumlah upaya litigasi di pengadilan dalam kasus lain membutuhkan waktu yang lama dan proses pembuktian formal, yang dalam kasus PMU justru dapat melemahkan pembelaan. Langkah-langkah non litigasi dan upaya non hukum untuk mendukung upaya hukum juga dilakukan seperti audiensi dan pengaduan dengan pihak berwenang lainnya seperti Komnas HAM dan Pemerintah Daerah, serta menggalang dukungan masyarakat melalui penyebaran petisi,aksi massa, kampanyemelalui media massa dan media sosial juga dilakukan. Tak hanya itu, LBH Jakarta bersama masyarakat menggagas forum Rembuk Warga untuk mengawal kebijakan pemerintahan Jokowi yang mulai memimpin mewujudkan ‘mimpi’ Jakarta Baru. Bahkan dalam kasus tertentu, langkah extra seperti pertahanan fisik kadangkala diperlukan, LBH Jakarta mendukung warga untuk mempertahankan hak nya secara fisik seperti tindakan pemblokiran stasiun oleh para pedagang stasiun dan pelanggan kereta api ekonomi menjelang dihapuskannya kereta kelas ekonomi. Upaya litigasi merupakan langkah terakhir jika langkah-langkah non litigasi gagal untuk menyelesaikan permasalahan. Namun jika diperlukan, kedua langkah tersebut berjalan bersamaan secara sinergis. Langkah litigasi tersebut berorientasi pada perubahan kebijakan maupun pada penyelesaian kasus per kasus. Saat laporan ini dibuat, LBH Jakarta bersama Jaringan menggunakan mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) untuk menggugat kebijakan swastanisasi air di Jakarta yang mengakibatkan terlanggarnya hak atas air warga miskin. Selain itu, LBH Jakarta juga mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum pun dilakukan untuk menguji dasar kebijakan penggusuran yang mengatasnamakan kepentingan CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


23 umum. Substansi pembelaan disusun dengan menggunakan standar Internasional Hak Asasi Manusia seperti standar HAM untuk penganganan kasus-kasus penggusuran paksa (forced eviction) ataupun Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.6. Penanganan Kasus Berbasis Komunitas: Belajar dari Warga Budi Dharma dan Petukangan Kasus Petukangan adalah kasus penggusuran warga yang terkena proyek tol yang ditangani LBH dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan baru menemukan penyelesaian pada tahun 2013 ini. Kasus Petukangan memberikan pembelajaran mengenai kemampuan warga untuk bernegosiasi dengan negara dalam mempertahankan hak nya. Kemampuan ini bisa dimiliki setelah proses penguatan kapasitas hukum warga melalui pendidikan hukum di komunitas. Dalam kasus Petukangan, LBH Jakarta bersama warga mampu mendorong pemerintah untuk memberikan ganti rugi yang patut kepada warga yang terkena penggusuran lahan untuk kepentingan umum; Sementara itu dalam kasus penggusuran paksa terhadap warga Bhudi Darma, terbukti bahwa upaya gugatan pengadilan dapat dilakukan secara mandiri oleh warga. Gugatan pengadilan diajukan dan diproses tanpa pendampingan langsung oleh kuasa hukum dan berhasil dengan putusan Pengadilan yang memenangkan gugatan warga. Bahkan dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan pemerintah daerah untuk memberikan ganti kerugian kepada warga dengan pertimbangan sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Melalui kasus Budi Darma ini pula standar HAM Internasional terkait penggususran paksa digunakan warga sebagai dasar hukum dalam gugatan pengadilan.

2.7. Kesimpulan dan Rekomendasi Pemerintah dari struktur paling atas sampai paling bawah memahami dan mengimplementasikan Hak Asasi Manusia yang telah dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini diperlukan agar kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan hak asasi yang menimbulkan pelanggaran hak bagi masyarakat. Secara khusus pemerintah juga perlu membuat regulasi tentang larangan penggusuran paksa dan model penataan pemukiman atau pedagang kaki lima yang partisipatif dan solutif dengan mengadopsi standar internasional terkait penggusuran. Hal ini untuk mengantisipasi agar meskipun pimpinan daerah berganti, tidak akan terjadi lagi penggusuran paksa yang berakibat pada pelanggaran HAM. Perubahan paradigma pembangunan dan anggaran daerah juga diperlukan. Saat ini dalam APBD DKI Jakarta terdapat pos anggaran yang cukup besar yang ditujukan untuk Penggusuran dan Penertiban. Anggaran seharusnya digunakan untuk memecahkan permasalahan jaminan kepemilikan tanah antara masyarakat miskin perkotaan dan kurangnya infrastruktur dalam kota. Di kebijakan yang lebih makro, pemerintah harus menghentikan liberalisasi sektor kesehatan dan bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan masayarakat melalui alokasi anggaran kesehatan yang memadai baik melalui APBD maupun APBN. Sementara penyelenggara layanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, perlu merumuskan standar operasional tindakan medik serta transparansi dan akuntablitias dalam layanan kesehatan. Pemerintah dan organisasi profesi medis juga perlu lebih tegas melakukan penegakan kode etik dan penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran hak kesehatan pasien karena tindakan malpraktek oleh tenaga medis. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


24

3. KASUS PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat sebagai landasan pengakuan, perlindungan penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia, termasuk didalamnya Hak untuk beragama atau berkeyakinan1. Namun, perlindungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terjadi. Dokumentasi pendampingan dan kerja-kerja bantuan hukum yang dilakukan LBH Jakarta menunjukkan kasus-kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terus meningkat jumlah dan intensitas pelanggarannya dalam beberapa tahun terakhir.

3.1. Diskriminasi dan Ancaman terhadap Jemaat Ahmadiyah Potret yang cukup mendominasi kasus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan yang didampingi LBH Jakarta adalah kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah, pendampingan oleh LBH Jakarta terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia dilakukan terus menerus sejak tahun 2005. Catatan kekerasan merentang begitu banyak mulai dari Peristiwa Penutupan Kampus Mubarak di Parung; Penyerangan dan Perusakan Masjid dan Kampung di Cisalada dan Ciaruten, Bogor; Penyerangan, perusakan dan penutupan Masjid-masjid di Depok, Jakarta, dan Sukabumi; Hingga penyerbuan dan pembunuhan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten. Di Tahun 2013 ini, setidaknya ada 2 (dua) wilayah dimana terjadi intimidasi, ancaman kekerasan, dan diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah yaitu peristiwa Penggembokan dan Penutupan Masjid Al-Misbah di Jatibening Bekasi yang terjadi pada Bulan Maret tahun 2013, serta intimidasi dan ancaman terhadap Jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Masjid Al-Misbah, Jatibening yang sudah dipergunakan sejak tahun 1993 dan memiliki izin mendirikan bangunan yang sah ini pun di gembok oleh Pemerintah Kota Bekasi atas desakan sekelompok kecil masyarakat yang mengatasnamakan umat Islam, dengan mengunakan jubah FPI. Penggembokan dilakukan oleh Satpol PP Kota Bekasi tanpa dasar hukum yang kuat, ini jelas bertentangan dengan landasan yuridis yang dimiili oleh Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

(1) Pengakuan kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama atau keyakinannya Undang Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E. Selain itu, hak-hak yang dimiliki setiap orang dalam Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, diatur juga dalam UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 4, Pasal 22, dan Pasal 55. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.


25 pengantar, bukan hanya itu pelibatan TNI dalam penanganan kegiatan JAI jelas melanggar UU 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Penggembokan dan pengesengan pun dilakukan tanpa melalui musyawarah yang layak terlebih dahulu. Terlebih penggembokan dan penutupan seng dilakukan dengan masih adanya penghuni yang berdiam di masjid tersebut, setidaknya selama 2 bulan 14 anggota Jemaat memilih dan bertahan dan tidak bisa keluar. Atas dasar ini Jemaat Ahmadiyah bersama LBH Jakarta, YLBHI dan LBH Bandung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, dalam putusannya Majelis Hakim PTUN Bandung membuat putusan yang berbeda satu sama lain. Dalam putusannya, untuk sengketa pemagaran dengan seng Masjid AlMisbah melalui Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 yang ditandatangani oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari Penggugat yaitu Abdul Basit selaku Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk seluruhnya dengan pertimbangan bahwa Plh atau Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Kota Bekasi yaitu Asisten Pemerintahan Kota Bekasi tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/60-Kesbangpolinmas/IV/2013 untuk melakukan pemagaran dengan seng Masjid Al-Misbah Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jatibening Bekasi sehingga dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Surat Perintah Tugas yang dikeluarkan oleh Plh. Sekretaris Daerah Kota Bekasi tidak sah. Namun, Majelis Hakim yang sama dalam satu Pengadilan memutuskan hal yang sangat bertolak belakang pada perkara penggembokan, justru dalam Putusannya menolak gugatan Penggugat dengan pertimbangan bahwa Tergugat yaitu Walikota Bekasi dalam mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 800/422-Kesbangpolinmas/III/2013 untuk melakukan penggembokan pagar Masjd Al-Misbah Jatibening Bekasi sudah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun Majelis Hakim tidak mempertimbangkan lagi apakah keputusan yang dikeluarkan ini melanggar AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik) atau tidak serta tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh Penggugat baik ahli Hak Asasi Manusia maupun ahli Penanganan Konflik Sosial. Intimidasi juga dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Sekelompok massa mendesak Jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan seluruh kegiatan Jemaat dan mengusir jemaat agar dari bukit duri. LBH Jakarta berupaya mendampingi mediasi yang dilakukan oleh Kelurahan setempat, namun pihak Kelurahan justru melegitimasi intimidasi dan pengusiran tersebut.

3.2. Kasus Pelarangan Gereja HKBP Taman Sari, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi Setelah melalui proses yang panjang mengajukan izin kepada pemerintah untuk mendirikan rumah ibadah. Gereja HKBP Tamansari di Kecamatan Setu Kabupaten Bekasi pada Tanggal 21 Maret 2013 dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bekasi dengan dikawal aparat kepolisian dan TNI dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan pendirian bangunan dan mendapatkan penolakan dari warga. Protes yang dilayangkan oleh LBH Jakarta bersama elemen masyarakat lainnya tidak dihiraukan, hingga akhirnya gereja tersebut dibongkar dengan diiringi tangisan histeris dari jemaat gereja. Pada awalnya Jemaat memutuskan untuk menempuh upaya hukum bersama LBH Jakarta, namun, dalam perjalanan advokasi, jemaat membatalkan niat tersebut. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


26 3.3. Pendampingan Jemaat Gereja Santo Servatius, Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor dan HKBP FIladelfia Setelah melalui perjalanan panjang dalam memperoleh dukungan dan izin pembangunan gereja, serta mendapatkan penolakan dan tekanan dari FPI dan FUI Jatisampurna. Pembangunan Gereja Santo Servatius- Kampung Sawah pun mendapatkan Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) dari Walikota Bekasi tertanggal 17 Desember 2012, tetapi SIPMB tersebut dipermasalahkan oleh beberapa warga yang menolak pembangunan gereja. Sebanyak 13 (tiga belas) orang, di mana 4 (empat) di antaranya yang pernah menandatangani dukungan terhadap pembangunan gereja, dengan memberikan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum Muslim Indonesia (LBHMI) melakukan gugatan kepada Walikota Bekasi. Gugatan ini direspon oleh perwakilan gereja, Pastor Kepala dan Ketua DP / PGDP St. Servatius Kampung Sawah Bapak Yakobus Rudiyanto, SJ dengan memberikan kuasa kepada LBH Jakarta, bersama YLBHI dan LBH Bandung untuk menjadi Tergugat II Intervensi. Saat laporan ini dibuat, gugatan masih dalam proses pembuktian. Sementara itu, Pendampingan terhadap jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang dilarang beribadah di tempat ibadahnya, sampai saat ini mereka masih belum selesai. Pemerintah daerah dalam hal ini Walikota Bogor dan Bupati Bekasi belum menaati putusan pengadilan. Selain upaya-upaya hukum baik litigasi dan non litigasi dilakukan, sampai dengan menggunakan mekanisme Internasional, dan mendapatkan catatan dan rekomendasi dari Komite HAM PBB. Jemaat secara konsisten terus mempertahankan haknya untuk beribadah dengan melakukan ibadah di depan istana negara setiap dua minggu sekali. Kasus penyerangan HKBP Filadelfia terjadi pada Malam Natal 24 Desember 2012. Penyerangan dilakukan terhadap Pdt. Palti Panjaitan dan Jemaat HKBP Filadelfia yang dilakukan oleh sekitar 500 orang massa intoleran yang dipimpin Sdr. Abdul Azis. Penyerangan dilakukan saat pendeta dan jemaat berjalan menuju lokasi ibadah dengan melempar telur busuk, melempar kotoran hewan, melempar air jengkol yang sudah direndam, melempar batu, melempar tanah, menyiram air comberan kea rah jemaat. Aparat kepolisian yang ada di lokasi penyerangan membiarkan penyerangan terjadi. Terhadap hal tersebut, Polisi membiarkan terjadinya aksi kekerasan tersebut. Pendeta Palti yang ada saat itu melakukan pembelaan diri. Namun atas tindakan tersebut Pendekat Palti justru dijadikan Tersangka pada Laporan Polisi Nomor: LP/1395/K/XII/2012/SPK/ Restra Bekasi, tanggal 24 Desember 2012 atas nama Pelapor Sdr. Abdul Azis, dengan tuduhan tindak pidana penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 352 Jo 335 KUHP.) Setelah Pdt. Palti Panjaitan, STh. ditetapkan sebagai Tersangka oleh Penyidik Polres Kota Bekasi, kemudian Penyidik Polres Kota Bekasi melimpahkan berkas Pdt. Palti Panjaitan ke Kejaksaan Negeri Cikarang dan sudah memasuki tahap Pemenuhan Petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau dikenal dengan istilah P-19. Beberapa kali pihak Kejaksaan mengembalikan berkas perkara Pdt. Palti Panjaitan tersebut kepada pihak Penyidik Polres Kota Bekasi. Hingga akhirnya pada 26 juli 2013 berkas penuntutan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bekasi guna diproses sebagai Tindak Pidana Ringan dengan Acara Pemeriksaan Cepat sebagaimana diatur pada Pasal 205 – Pasal 210 KUHAP. Hingga tulisan ini dibuat, sidang belum dapat dilanjutkan karena Pdt. Palti mengalami gangguan kesehatan akibat tekanan psikologis. Sedangkan terhadap pelaku penyerangan, CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


27 dilakukan proses persidangan Perkara Nomor: 642/PID/B2013/PN.BKS di Pengadilan Negeri Bekasi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

3.4. Penyelesaian Gereja Damai Kristus, Kampung Duri ‘ala Jokowi’ Dalam advokasi Gereja Damai Kristus Paroki Kampung Duri - Jakarta Barat, LBH Jakarta aktif melakukan pemantauan dan memberikan dukungan kepada jemaat. Dalam kasus ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, langsung turun tangan mengatasi, melakukan resolusi konflik dan melakukan musyawarah dengan kedua belah pihak. Setelah upaya cepat ini, intimidasi dan ancaman secara terbuka berkurang . Bahkan Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Surat Izin Prinsip Ibadah. Kasus ini membuktikan bahwa tindakan aktif Pemerintah untuk menyelesaian masalah kebebasan beragama berdampak terhadap perlindungan langsung terhadap jemaat sebagai kelompok minoritas. Tindakan Pemprov DKI Jakarta merupakan wujud pelaksanaan kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi hak atas kebebasan beragama dan beribadah.

3.5. Pola Pelanggaran: Hate Speech, Mobilisasi Massa Intoleran dan Legitimasi Pelanggaran oleh Pemerintah

(2) Pernyataan kebencian terhadap kelompok lain, baik itu agama, kepercayaan, etnis, ras dan sebagainya oleh kelompok atau individu.

Adanya kesamaan pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dalam hal peristiwa, aktor maupun respon pemerintah, sehingga membentuk pola pelanggaran tertentu. Pelanggaran kebebasan beragama diawali dengan langkah-langkah pra kondisi seperti isu kristenisasi, fatwa sesat, larangan aktifitas dari pemerintah, isu pemalsuan tanda tangan dukungan rumah ibadah, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi pada Kasus Jemaat Ahmadiyah di Bekasi, dimana Penggembokan dan pengesengan didahului oleh fatwa sesat oleh MUI dan pelarangan kegiatan Ahmadiyah melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011, Tertanggal 4 Maret 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Di Jawa Barat; Surat Edaran Gubernur Jawa barat No. 188.3/15-Kesbangpol, tertanggal 14 Maret 2011, kepada Seluruh Walikota/ Bupati di Provinsi Jawa Barat, tentang Tindak Lanjut Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011; serta Peraturan Walikota Bekasi No. 40 Tahun 2011, Tentang Larangan Aktifitas Ahmadiyah di Kota Bekasi, tertanggal 13 Oktober 2011. Selain itu, pelanggaran juga menggunakan cara hate speech2 (pernyataan kebencian) dengan cara sosialisasi larangan, isu atau fatwa terhadap kegiatan jemaat minoritas dengan cara yang provokatf kepada masyarakat melalui ceramah, selebaran, dan lain-lain dengan disertai ajakan atau hasutan untuk melakukan penutupan rumah ibadah atau pembubaran kegiatan komunitas. Setelah penyebaran isu dan kebencian dilakukan, pelaku melakukan mobilisasi massa untuk mendesak pemerintah lokal untuk melakukan penutupan atau pelarangan. Ini disertai juga dengan intimidasi dan ancaman kepada komunitas korban untuk menghentikan kegiatan ibadah. Hal tersebut terjadi dalam semua kasus, dimana mobilisasi tekanan terhadap pemerintah lokal dan intimidasi atau ancaman terhadap korban. merupakan sebuah pola yang sama. Suara massa tersebut kemudian dijadikan dasar bagi pemerintah local untuk membuat kebijakan pelarangan kegiatan atau penutupan tempat ibadah, sebagaimana terCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


28 jadi dalam Kasus Penggembokan Masjid Al Misbah, dan Pembongkaran Gereja HKBP Taman Sari. Dalam beberapa kejadian kekerasan, nampak Kepolisian setempat kurang mengantisipasi terjadinya aksi kekerasan dan tidak melakukan perlindungan. Kepolisian justru terlibat dalam upaya Intimidasi dan Kriminalisasi Korban, sebagaimana terjadi dalam peristiwa penyerangan terhadap Jemaat Gereja HKBP Filadelfia pada tanggal 24 Desember 2012. Selain itu Aparat Hukum kurang melakukan tindakan yang serius terhadap pelaku kekerasan. Proses Peradilan hanya dilakuan terhadap pelaku lapangan tanpa menyasar pada aktor utama yang mengatur penyerangan. Terdapat kesamaan profil pelaku kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Biasanya pelaku merupakan tokoh atau pimpinan sebuah kelompok keagamaan, atau organisasi paramiliter yang mengatasnamakan agama dengan melibatkan masyarakat awam yang terprovokasi. Dalam aksinya, tindakan pelaku didukung oleh sikap diskriminatif aparat birokrasi dan aparat hukum. Dalam kasus Gereja Santo Stanislaus Kostka, Kranggan Bekasi pimpinan gereja justru dikriminalisasi melalui pelaporan ke kepolisian di Polres Bekasi Kota. Berbagai motif yang melatarbelakangi kekerasan tidak sepenuhnya berkaitan dengan ideologis atau religiusitas. Tindakan kekerasan lebih banyak dipengaruhi kombinasi antara motif ekonomi, kekuasaan, dan motif politik di tingkat lokal dan nasional Dari pola pelanggaran tersebut tergambar bahwa tindakan penyerangan tidak muncul tiba-tiba, namun melalui proses akselerasi kebencian yang tidak segera ditangani oleh negara. Dimulai dari pernyataan kebencian, kemudian meningkat menjadi mobilisasi massa dan legalisasi melalui kebijakan hingga akhirnya berujung pada penyerangan secara fisik terhadap kelompok minoritas. Situasi demikian terjadi karena sikap negara yang pasif dan bahkan cenderung memfasilitasi terjadinya kekerasan. Hate speech merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP dan termasuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum. Namun ketentuan pasal ini tidak ditegakan oleh aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, pihak pemerintah dalam hal ini Menteri Agama Suryadharma Ali justru mengeluarkan pernyataan yang melegitimasi perilaku kekerasan terhadap kelompok minoritas di dalam negara, dan sangat bertentangan dengan Konstitusi. Misalnya dalam pernyataannya saat ceramah di Pondok Pesantren Daarut Tauhid Sampang, Rabu 24 Juli 2013, Suryadharma Ali mengajak para ulama Madura untuk tetap bersabar merangkul dan mengajak dakwah pertaubatan kepada pengikut Syiah Sampang3. Selain itu, dalam sebuah dialog antar umat beragama di Jawa Tengah pada 11 November 2011 yang lalu, Suryadharma Ali mengeluarkan pernyataan inkonstitusional dengan mengatakan bahwa kerukunan antar-umat beragama di Indonesia kerap ternodai oleh kehadiran agama lain yang menyerupai agama yang sudah mapan di Indonesia. Menurutnya untuk mewujudkan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia dapat dilakukan dengan pemberangusan Jemaat Ahmadiyah atau deklarasi Ahmadiyah sebagai agama baru4. Bahkan pada tanggal 20 Mei 2013, bertempat di di Masjid Agung Kabupaten Tasikmalaya, Suryadharma Ali menyaksikan langsung Ikrar keluar dari Ahmadiyah oleh jemaat Ahmadiyah melalui proses pembacaan dua kalimat syahadat dan penandatanganan sumpah janji warga Ahmadiyah asal Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kehadiran SuryCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

(3) “Jadi jalan yang tetap harus dikedepankan adalah merangkul para pengungsi Syiah Sampang oleh para ulama agar mereka mau taubatan nashuha,” ujar Menag dalam Silaturahim bersama para Ulama Madura yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama se-Madura (Bassra) (http://www. islampos.com/ ulama-maduradiminta-rangkul-pengikutsyiah-agar-taubat-70707/)

(4) http://www. metrotvnews. com/ metronews/ read/2013/11/09/ 1/193450/ Suryadharma -Ali - Sebut - Pemberangusan Ahmadiyah-sebagai - Solusi - PalingEfektif


29 (5) koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasiatau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan. Lihat dalam http:// id.wikipedia. org/wiki/Paksaan.

adharma Ali menunjukkan intensi atau niat serius Suryadharma Ali untuk meminta Jemaat Ahmadiyah untuk berpindah atau mengubah keyakinan yang membahayakan dan mengancam disintegrasi bangsa. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dilakukan oleh Suryadharmai Ali sebagai menteri (pejabat negara) merupakan sebuah tindakan Koersi5. Apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan meluas. Maka dampaknya akan sangat berbahaya bagi kerukunan dan jaminan perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.

3.6. Advokasi Memperjuangkan Kebebasan Beragama: Pendampingan Korban, Pendidikan Paralegal, Perubahan Kebijakan dan Pendokumentasian Kasus Sejak tahun 2012 hingga 2013, LBH Jakarta memiliki program mempromosikan pluralisme dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan dan Pengembangan Paralegal serta Perluasan Dukungan Masyarakat. Program ini memiliki 4 (empat) agenda. Pertama, advokasi Rancangan Undang-Undang Kebebasan Beragama versi masyarakat sipil. Sebelumnya beredar draft Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beragama yang kami dapatkan dari DPR. Tapi justru draft tersebut secara substansi berbahaya bagi kerukunan umat beragama karena jelas berpotensi mengsegregasi dan semakin mengkotakkotakkan kelompok-kelompok agama. Kedua, memperluas jaringan advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan berbasis komunitas dan organisasi kemasyarakatan keagamaan di Jabodetabek, dengan mengadakan pelatihanpelatihan paralegal yang khusus memiliki pengetahuan, persfektif dan keterampilan advokasi Kebebasan beragama. Ketiga, pendampingan korban dalam kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang datang langsung ke LBH Jakarta, atau sebaliknya LBH Jakarta yang mendatangi korban bersama dengan Jaringan masyarakat sipil lainnya. Keempat, melakukan kampanye Kreatif dengan tema kebebasan beragama dan berkeyakinan di kalangan muda. Program ini dilaksanakan melalui lomba pembuatan kaos yang mengkampanyekan kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga mengadakan Panggung Kebebasan Beragama yang melibatkan komunitas-komunitas dan tokoh-tokoh yang peduli akan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

4. PERADILAN YANG ADIL DAN JUJUR (FAIR TRIAL) Sepanjang tahun 2013 LBH Jakarta menerima 40 pengaduan terkait hak atas peradilan yang adil dan jujur. Dari 40 kasus tersebut, delapan kasus ditangani secara langsung dan sembilan kasus berjalan sejak tahun sebelumnya hingga 2013. Pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan jujur (fair trial) masih berkisar kasus-kasus penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang serta pelanggaran hak atas bantuan hukum. Dalam kasus yang ditangani LBH Jakarta, pelaku pelanggaran fair trial adalah aparat penegak hukum di setiap tahap dalam proses peradilan. Secara berurutan, pelaku pelanggaran tersebut adalah kepolisian (enam kasus), penuntut umum (tiga kasus), dan hakim (satu kasus). Sebelumnya dalam Laporan Hukum dan Ham LBH Jakarta Tahun 2012 polisi menempati urutan pertama sebagai pelaku yang melanggar hak atas peradilan yang bersih, adil dan jujur. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


30

LBH Jakarta saat mendamp­ ingi konferensi pers terkait korban salah tangkap pembunuhan pengamen Cipulir

4.1. Penyiksaan yang Berulang dan Melembaga Pola pelanggaran hak atas peradilan adil dan jujur di tahun 2013 ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh LBH Jakarta yang mengungkapkan bahwa angka penyiksaan masih sangat tinggi yang dialami oleh tersangka, termasuk tersangka anak. Pada tahun 2008, terungkap bahwa sebanyak 76% tersangka mengalami penyiksaan selama proses interograsi yang dilakukan aparat kepolisian dan terjadi di institusi kepolisian di Jakarta (LBH Jakarta, 2008: hal. 43). Hal tersebut masih terjadi pada tahun 2011 dimana terungkap kebanyakan 65% tersangka mengalami penyiksaan saat interogasi di wilayah Jakarta, bahkan juga dialami tersangka di Surabaya 97%, Makassar 67%, Lhoksumawe 86% dan Banda Aceh 81,2%. Penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang juga terjadi terhadap tersangka anak. Dalam penelitian tahun 2012 terungkap dari responden sebanyak 100 orang yaitu anak yang menjalani proses hukum pada periode Januari 2010-Januari 2012 yang ditahan di Lapas Anak Pria Tangerang, Lapas Wanita Tangerang, dan Rutan Pondok Bambu. Para responden mengaku bahwa Polisi paling banyak melakukan penyiksaan untuk lima wilayah DKI Jakarta penyiksaan pada saat penangkapan sebanyak 82%, penyiksaan pada saat proses BAP sebanyak 84%, dan Penyiksaan pada saat penahanan sebanyak 48%. Pengalaman korban merupakan pertimbangan utama untuk menentukan apakah penyiksaan terjadi atau tidak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini sangat penting untuk menuliskan pengalaman para pengamen yang dituduh melakukan pembunuhan di Kawasan Cipulir Dalam kasus pembunuhan Cipulir, korban pembunuhan adalah seorang pengamen. Peristiwa ini terlanjur diliput media Ibu Kota dan membuat pihak kepolisian sangat berkepentingan untuk segera menangkap pelakunya. Mereka yang paling mudah dikaitkan dengan peristiwa ini adalah teman-teman korban yang kebanyakan juga berprofesi sebagai pengamen. Status sebagai CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


31 anak jalanan menempatkan para pengamen, yang identik dengan anak jalanan dengan prilaku yang nakal dan menyimpang, sebagai sasaran empuk dijadikan “kambing hitam” atas peristiwa pembunuhan tersebut. Terdapat enam orang tersangka, empat di antaranya masih anak-anak. Para tersangka mengalami penyiksaan sejak tahap penangkapan. Selama proses di kepolisian, para terdakwa dipukul, ditendang, bahkan disengat listrik oleh pihak kepolisian demi mendapatkan pengakuan para tersangka. Para pengamen dijadikan tersangka, ditangkap dan ditahan tanpa bukti permulaan yang cukup. Justru polisi menjadikan pengakuan para pengamen sebagai alat bukti utama. Para pengamen. terpaksa mengaku karena tidak sanggup menanggung penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Pengakuan tersebut kemudian dijadikan bukti utama untuk memperoses perkara dan menyidangkan para pengamen. Peristiwa tersebut diadukan oleh salah satu rekan pengamen ke LBH Jakarta. Pada saat LBH Jakarta mendampingi, proses penyidikan sudah berlangsung dan terungkap bahwa dalam proses BAP para tersangka tidak didampingi penasehat hukum. Bahkan tersangka anak pun tidak didampingi orang tua ataupun petugas Bapas. Dalam proses investigasi, Tim LBH Jakarta berhasil menemukan pelaku sebenarnya yang bersedia mengakui perbuatannya kepada penyidik. Namun penyidik Polres Jakarta Barat menolak memeriksa pelaku tanpa alasan yang jelas. Sayangnya, pengakuan yang diperoleh dengan cara menyiksa digunakan hakim di persidangan. Bahkan saat para tersangka sudah mencabut pengakuannya di muka sidang, hakim tetap bersandar pada BAP yang dibuat kepolisian dan menggunakan saksi testimonium de auditu (bukan saksi mata) dan saksi verbalisant (penyidik). Kabar baik di persidangan terjadi dalam kasus HB yang ditangani LBH Jakarta sejak 2012 hingga tahun ini, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Majelis Hakim Kasasi di MA menyatakan tuntutan terhadap HB tidak terbukti dan HB dibebaskan. Dalam proses pembelaan, tim LBH Jakarta mengungkapkan kepada majelis hakim mengenai penyiksaan yang dilakukan penyidik kepada HB. Fakta tersebut yang kemudian juga menjadi pertimbangan Majelis Hakim. Selain karena selama persidangan, tidak ada bukti yang cukup meyakinkan hakim bahwa HB adalah pelakunya. Penyiksaan terjadi saat tidak ada bukti yang memadai. Dalam situasi tersebut, peran hakim sangat penting untuk menilai kebenaran suatu alat bukti dan kesalahan pelaku. Hal serupa juga terjadi dalam kasus ADW, yang dituduh tindak pidana penipuan karena tidak membayar hutang. ADW juga mengalami penyiksaan saat proses interogasi di Polres Kota Tangerang dengan sehingga terpaksa mengakui tuduhan penipuan. Hakim PN Tangerang kemudian memutus ADW bersalah dengan vonis pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Namun dalam proses banding, Majelis Hakim membebaskan ADW. Sedangkan dalam kasus tersangka Anak yang ditangani sejak tahun 2012 dan masih berlangsung hingga tahun ini AT, dkk (empat orang) dituduh melakukan pencabulan dan dipaksa mengaku oleh penyidik. Dalam proses BAP, para tersangka anak tersebut tidak didampingi orangtua, penasehat hukum ataupun petugas Bapas. Bahkan orangtua baru kemudian dipanggila untuk menandatangani BAP yang sudah dibuat kepolisian. Pola serupa juga terjadi dalam kasus Sry, dkk (5 orang) tersangka anak yang CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


32 dituduh melakukan tawuran. Para tersangka disiksa dalam proses BAP agar mengaku. Selama proses BAP, para tersangka anak tersebut tidak didampingi orangtua, penasehat hukum atau petugas Bapas. Setelah LBH Jakarta masuk sebagai penasehat hukum, aparat kepolisian menolak memberikan salinan BAP yang diminta tim LBH Jakarta. Dari kelima kasus tersebut, terdapat kesamaan bahwa pelaku penyiksaan adalah aparat kepolisian, terjadi dalam proses interogasi, dan dilakukan untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Dalam keempat kasus tersebut, penyiksaan juga disertai dengan pelanggaran hak-hak tersangka termasuk hak untuk didampingi penasehat hukum dan hak mendapatkan salinan berkas perkara sejak awal untuk menyiapkan pembelaan. Dalam hal tersangkanya anak, pelanggaran hak juga mencakup pelanggaran hak atas pendidikan selama proses hukum.

4.2. Penahanan sewenang-wenang dalam Kasus Kriminalisasi Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terjadi dalam kasus-kasus kriminalisasi terhadap masyarakat korban dengan alat bukti yang tidak memadai (kasus warga cikini vs pengembang Cikini Gold centre, ketua serikat buruh vs manajemen PT. Afix Kogyo Sukabumi, Pensiunan Angkasa Pura vs PT Angkasa Pura, dan Ketua Serikat Pekerja Progresip Sultoni). Dalam kasus Warga Cikini vs Pengembang Cikini Gold centre (PT MagnaTerra) penangkapan dan penahanan dilakukan karena warga dianggap melakukan pengrusakan saat menggeser pagar gedung yang menghalangi akses jalan umum ke pemukiman warga. Meskipun warga menunjukan sikap kooperatif dengan memenuhi panggilan penyidik dan pembangunan pagar terus berlangsung, namun Polsek Menteng tetap menahan para warga berdasarkan laporan PT Magna Terra yang diajukan setahun sebelumnya. Warga kemudian dibebaskan setelah rangkaian konferensi pers yang dilakukan LBH Jakarta dan pihak Polsek Menteng dilaporkan ke Propam dan Komnas HAM atas tindakan kriminalisasi tersebut. hingga tulisan ini dibuat, perkara menggantung dan tidak berlanjut tanpa alasan yang jelas. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terjadi terhadap kasus-kasus dengan alat bukti yang tidak memadai dan dasar hukum yang lemah untuk menjerat masyarakat. Sehingga dalam proses penegakan hukum terjadi perdebatan mengenai aspek pidana dalam tindakan tersangka, seperti dalam kasus penempatan rumah dinas PT Angkasa Pura oleh para pensiunannya. Lemahnya alat bukti dan dasar hukum untuk mempidanakan para pensiunan, terlihat jelas dalam proses persidangan sehingga Majelis Hakim menyatakan para terdakwa bebas karena dasar hukum yang digunakan oleh penuntut umum merupakan undang-undang yang sudah tidak berlaku lagi. Terlihat jelas bahwa proses hukum dalam kasus tersebut dipaksanakan. Sedangkan dalam kasus warga cikini, setelah ditahan selama 10 (sepuluh) hari, warga kemudian dibebaskan dan kasus menggantung begitu saja di Polsek Menteng tanpa kelanjutan. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terjadi dengan cara tidak ada surat perintah penangkapan, penahanan tanpa memenuhi syarat, maupun pelanggaran hak-hak tersangka selama dalam masa penahanan seperti hak untuk dikunjungi, hak mengajukan penangguhan yang direspon dalam jangka waktu tertentu dan hak untuk mengajukan saksi-saksi yang meringankan. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


33 Sedangkan dalam kasus Stn, ketua SP Progresip, dilaporkan perusahaan ke Polres Kota Bekasi dengan perbuatan tidak menyenangkan karena memimpin aksi mogok buruh. hingga hari ini, Stn masih menjadi tersangka namun tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan perkara. Sedangkan persoalan pelanggaran hak buruh yang melatarbelakangi mogok tidak diselesaikan. Dari kasus-kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tersebut, terdapat kesamaan pola di mana pengadunya adalah pihak perusahaan yang kepentingannya terganggu, dasar hukum yang digunakan tidak kuat dan ditujukan untuk menghentikan aksi-aksi protes dari tersangka yang merupakan tokoh kunci di masyarakat ataupun serikat buruh.

4.3. Justice Delayed, Justice Denied: Undue Delay terhadap Laporan Korban Sementara di sisi lain, korban yang didampingi LBH Jakarta menghadapi persoalan undue delay (penundaan secara tidak sah) ketika melaporkan kasusnya. Bahkan sebagian kasus tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas. Dalam kasus SR, anak yang dituduh mencuri berdasarkan sumpah palsu saksi, mengadukan tindakan sumpah palsu tersebut kepada Polres Depok setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan SR tidak terbukti bersalah dan dibebaskan. Namun hingga setahun sejak laporan tersebut tidak ada kemajuan apapun terkait laporan SR. untuk proses remedy, SR kemudian menggugat Polsek Bojong ke PN Depok dan Kejari Cibinong atas tindakan penyiksaan dan penahanan yang tidak sah, namun Majelis Hakim menolak gugatan SR. Demikian juga dalam kasus RY dan ZS yang melaporkan penganiayaan terhadap diri mereka yang dilakukan oleh Security Lippo Supermall ke Polres…. Laporan tersebut tidak ditindaklanjuti. Situasi tersebut berbeda dengan laporan oleh pihak perusahaan terhadap buruh ataupun warga dampingan LBH Jakarta yang berujung pada penahanan dan persidangan perkara. Dalam kasus di mana laporan warga ditindaklanjuti, Dalam kasus tabrakan lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal (lihat kasus Purwari), keluarga korban merasa tidak puas karena pengaduannya ditindaklanjuti secara tidak transparan yang akhirnya berujung pada dakwaan dan vonis ringan terhadap pelaku yaitu berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Meskipun keluarga korban tidak puas dengan vonis tersebut, namun korban tidak memiliki akses untuk mengajukan banding terhadap putusan hakim karena penuntut umum menerima putusan vonis tersebut.

4.4. Advokasi Peradilan Pidana yang terintegrasi: Dari Penelitian, Pendidikan Masyarakat, Perubahan Kebijakan dan Gugatan Pengadilan Penelitian LBH Jakarta sepanjang 2005-2011 secara konsisten menunjukan bahwa tingginya angka penyiksaan terjadi saat tersangka tidak didampingi penasehat hukum saat proses BAP dan penahanan. Pada tahun 2006, LBH Jakarta bersama jaringan pernah mengajukan gugatan Citizen Law Suit terhadap Pemerintah RI karena gagal mencegah terjadinya Penyiksaan. Namun, gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Negeri karena lembaga non pemerintahan dianggap tidak memiliki legal standing sebagai penggugat. Menyikapi ketiadaan itikad baik Pemerintah menghapus penyiksaan, LBH Jakarta memutuskan untuk segera melalukan langkah mendesak untuk mengurangi penyiksaan yaitu dengan pendampingan langsung tersangka sejak awal pemeriksaan. Walaupun cakupan orang yang didampingi sangat terbatas, setidaknya hal tersebut dapat CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


34 mencegah penyiksaan terjadi terhadap tersangka yang didampingi. Pada tahun 2013, LBH Jakarta dengan didukung oleh AIPJ kemudian mendesain program pendampingan tersangka dalam kasus-kasus pidana umum yang tidak berdimensi struktural untuk mengurangi angka penyiksaan. LBH Jakarta merekrut empat pengacara pidana dan enam asisten pengacara pidana yang secara khusus mendampingi tersangka-terdakwa dalam proses hukum. Pendampingan kasus BH yang dituduh melakukan fitnah di media sosial merupakan entry point untuk mendorong kebebasan berpendapatan dan berekspresi. Strategi pembelaan bukan hanya fokus pada pemenuhan hak bantuan hukum sebagai tersangka tetapi juga mendorong penghapusan kriminalisasi terhadap masayrakat yg menggunakan hak atas kebebasan berserikat. Pendampingan yang dilakukan LBH Jakarta terhadap tersangka atau korban tindak pidana, tidak hanya berupa pendampingan hukum dalam proses hukum yang formal. LBH Jakarta juga aktif melakukan kampanye untuk mendorong pemantauan publik terhadap proses penegakan hukum. Pemantauan publik diharapkan dapat menjadi penyeimbang untuk mengantisipasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Bahkan LBH Jakarta juga melakukan konsolidasi korban unfair trial serta kampanye melalui media sosial. Sedangkan langkah hukum yang dilakukan diantaranya; melakukan serangkaian investigasi, mendampingi para saksi, mendorong LPSK memberikan perlindungan kepada saksi yang akan membongkar kasus salah tangkap dan rekayasa kasus, melakukan pembelaan di persidangan, melaporkan para aparat penegak hukum yang tidak profesional, dan melakukan penyalagunaan kekuasaan dengan menempuh pengawasan internal dan eksternal. Tidak heran jika penanganan sebuah kasus pidana di LBH Jakarta menguras energy yang sangat besar karena juga harus mengawal proses monitoring, penguatan korban dan pembelaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam pendekatan Bantuan Hukum Struktural, penanganan kasus merupakan pintu masuk bagi perubahan kebijakan. dalam kasus-kasus unfair trial, diperoleh sejumlah fakta sebagai dasar untuk mendorong perubahan KUHAP. LBH Jakarta bersama denan jaringan KuHAP aktif mendorong adanya RUU KUHAP yang membatasi kewenangan polisi untuk menahan seseorang dan agar RUU KUHAP mengatur majelis hakim untuk tidak menerima alat bukti yang diperoleh dari penyiksaan. Namun justru di persoalan yang krusial tersebut, kepolisian menunjukan resistensinya dan pembahasan di DPR cenderung alot dengan penyusunan DIM per fraksi yang lamban. Semangat untuk membatasi kewenangan kepolisian dalam RUU KUHAP mulai terlihat dengan mengatur hakim pemeriksa pendahuluan sebagai lembaga yang berwenang memberikan ijin penahanan setelah pemeriksaan persidangan. Namun dalam bagian lainnya, RUU KUHAP justru melemahkan posisi tersangka dengan memberikan pengaturan tentang pelepasan hak tersangka untuk memperoleh bantuan hukum dan mengajukan ganti kerugian atas upaya paksa yang tidak sah.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


35 4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan uraian mengenai penegakan hak atas peradilan yang jujur dan bersih diatas, maka diperlukan sejumlah rekomendasi sebagai berikut. l Mendorong advokat untuk melaksanakan kewajiban pro bono untuk mendampingi tersangka yang tidak mampu. l DPR perlu mempercepat proses pembahasan RUU KUHAP khususnya mengurangi kewenangan kepolisian untuk menahan seseorang tanpa ijin pengadilan. l Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi optional protocol konvensi anti penyiksaan; l MA perlu mengeluarkan peraturan kepada Hakim untuk tidak menggunakan alat bukti yang diperoleh dari penyiksaan l Kapolri segera membuat aturan internal terkait mekanisme penyelesaian dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggotanya termasuk proses hukum terhadap anggota Polri yang melakukan penyiksaan l Komisi Kejaksaan maupun Komisi Yudisial memberikan sanksi yang tegas terhadap Jaksa maupun Hakim yang melanggar kode etik; l Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan maupun Badan Pengawasan MA secara tegas memberikan sanksi terhadap Jaksa maupun hakim yang melakukan pelanggaran hak-hak tersangka dan melarang penggunaan dokumen yang diperoleh dari penyiksaan.

Media Briefing yang dilakukan LBH Jakarta terkait Advokasi revisi kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


36 Peluncuran buku dan diskusi hasil penelitian skema peng­ anggaran dan mekanisme penyaluran dana bantuan hukum di lima wilayah di Indonesia 5. MENGAWAL KEBIJAKAN BANTUAN HUKUM Hak Atas Bantuan hukum menjadi indikator penting dalam pemenuhan hak mendapatkan keadilan dan peradilan yang adil bagi setiap setiap warga negara.Untuk mendorong Negara memenuhi tanggung jawab pemenuhan hak atas bantuan hukum, sejak tahun 2006 LBH Jakarta bersama dengan jaringan masyarakat sipil mendorong pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Inisiatif masyarakat tersebut direspon pemerintah, 5 (lima) tahun berselang tepatnya tangggal 2 November 2011, UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disahkan menjadi payung hukum bagi berbagai kebijakan bantuan hukum. Apresiasi layak disampaikan, Namun, LBH Jakarta juga memberikan catatan kritis terhadap terhadap penerbitan dan langkah implementasi UU Bantuan Hukum yang mengandung berbagai kelemahan. Untuk mengoreksi kekurangan tersebut, beberapa langkah advokasi dilakukan LBH Jakarta agar Undang-Undang Bantuan Hukum dapat memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.

Ikuti Verifikasi dan Akreditasi: LBH Jakarta terakrediatasi A Meskipun telah berlaku sejak 2011. UU Bantuan Hukum baru efektif dilaksanakan pada tahun 2013. Undang-Undang memerintahkan adanya proses Verifikasi dan Akreditasi Organisasi Bantuan Hukum sebagai syarat wajib bagi organisasi bantuan hukum untuk dapat menjadi pemberi Layanan Bantuan Hukum. Sebagai inisiator kebijakan, LBH Jakarta berkomitmen untuk mengikuti proses verifikasi dan akreditasi Organisasi Bantuan Hukum. Lembaga Jakarta sendiri berharap mampu menjadi role model organisasi bantuan hukum di Indonesia. LBH Jakarta telah mengikuti proses verifikasi dan akreditasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Berdasarkan Keputusan Menkumham No. M.HH-02.HN.0303 Tahun 2013, LBH Jakarta bersama 9 (sembilan) OBH lainnya lolos dengan akreditasi A. Indikator hasil tersebut mengacu pada, jumlah kasus yang ditangani paling sedikit 1 (satu) tahun sebanyak 60 (enampuluh) kasus, jumlah program bantuan hukum nonlitigasi paling sedikit 7 (tujuh) program dan jumlah advokat paling sedikit 10 (sepuluh) orang dan paralegal yang dimiliki paling sedikit 10 (sepuluh) orang. Selama mengikuti dan mengamati proses verfiikasi dan akreditasi organisasi CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


37 bantuan hukum, LBH Jakarta menilai bahwa proses yang dilaksanakan pemerintah bermasalah. Masalah tersebut diantaranya menyangkut hal-hal berikut (1). Ketentuan verfikasi dan akreditasi yang disamaratakan bagi Organisasi Bantuan Hukum maupun Organisasi Bantuan Hukum di Kampus maupun di seluruh wilayah Indonesia, (3). Pelaksanaan Verifikasi dan Akreditasi dilakukan secara mendadak dan tidak sistematis; (4). Tidak menyediakan mekanisme komplain bagi peserta. Permasalahan yang muncul ditengarai akibat pelaksanaan verifikasi dilaksanakan dengan tidak partisipatif dan responsif terhadap situasi riil di lapangan.

FGD Advokasi UU Bantuan Hukum Untuk memetakan persoalan kebijakan bantuan hukum dan mendorong advokasi yang meluas di berbagai wilayah indonesia, LBH Jakarta bersama LBH Papua, LBH Makasar, LBH Surabaya, LBH Padang bersama Jaringan advokasi bantuan hukum (FOKUS) yang konsen di isu bantuan hukum seperti ILRC, PBHI, LKBH menyelenggarakan kegiatan FGD. Kegiatan ini menghasilkan beberapa pemetaan masalah mengenai kebijakan bantuan hukum dan pelaksanaannya, diantaranya: (1). Belum ada harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait anggaran, tata cara penyelenggaraan bantuan Hukum, (2) Meskipun terdapat UU Bantuan Hukum masih diperlukan kebijakan di daerah (Perda Bantuan Hukum) yang responsif mengatur perluasan definisi miskin, perbaikan pengaturan verifikasi dan akreditasi untuk perluasan OBH yang dapat memberikan layanan bantuan hukum, dan pendanaan dari APBD; (3) Diperlukannya monitoring dan Evaluasi pelaksanaan UU Bantuan Hukum melalui pengawasan eksternal dan kontrol masyarakat; (4). Diperlukan sosialisasi kritis UU Bantuan Hukum kepada masyarakat untuk mendorong partisipasi; (5). Reformasi peradilan (Menghapuskan pungli, tranparansi dan akuntabilitas biaya perkara di Pengadilan, memangkas jangka waktu proses hukum, mekanisme komplain yang efektif) (6) Diperlukan SPM (Standar Pelayanan Minimal) dan peningkatan kualitas dan kuantitas organisasi pemberian bantuan hukum berikut persebarannya. (7). Diperlukan otonomi dan Konsolidasi Organisasi Bantuan Hukum untuk menerbitkan Kode Etik Organisasi pemberi bantuan hukum (8) Diperlukan akuntabilitas Paralegal (8). Diperlukan penguatan perspektif hak asasi manusia bagi Aparat Penegak Hukum untuk mendorong efektifitas dan kualitas layanan bantuan hukum. FGD tersebut menghasilkan kesepahaman bahwa permasalahan tersebut harus diselesaikan secara kolektif untuk mendorong bantuan hukum yang efektif dan berkualitas bagi masyarakat miskin di Indonesia. Langkah-langkah advokasi di lingkup nasional pun di susun untuk menjawab permasalahan.

Penelitian Skema dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (Legal Aid Costing) LBH Jakarta sangat mengapresiasi dan menyambut baik komitmen Negara melalui sistem Bantuan Hukum yang ada dalam UU No 16 Tahun 2011. Namun demikian, sistim ini bukan tanpa kelemahan. Alokasi anggaran yang kurang responsif terhadap kebutuhan faktual bantuan hukum, merupakan salah satu bentuk kelemahan dari sistim ini. Kelemahan ini ditengarai akibat dari penyusunan kebijakan yang kurang partisipatif dan minimnya basis penelitian lapangan. Oleh karena itu, LBH Jakarta berusaha untuk melengkapi kelemahan sistim ini dengan melakukan penelitian tentang Skema Penganggaran dan Mekanisme Panyaluran Dana Bantuan Hukum di lima wilayah di Indonesia, meliputi Padang, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Jayapura. Penelitian dilakukan bekerjasama dengan LBH Jakarta, LBH Padang, LBH Surabaya, LBH Makassar, dan LBH Papua. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


38 Sejak Mei hingga September 2013 Tim LBH melakukan penelitian terhadap skema penggaran dana bantuan hukum dikaitkan dengan kondisi faktual yang terjadi. Hasil penelitian kemudian dituangkan dalam buku setebal 213 halaman yang diberi judul “Neraca Timpang Bagi Si Miskin, Penelitian Skema dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum di Lima Wilayah di Indonesia,” yang dipublikasikan pada 10 Oktober 2013. Dari penelitian ini, kami menemukan variasi jumlah biaya yang dibutuhkan dalam pemberian bantuan hukum, yang diantaranya dipengaruhi oleh waktu dan kondisi geografis wilayah dalam penanganan suatu perkara. Variasi jumlah pembiayaan ini tidak dapat serta merta dipukul rata sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang bantuan hukum. Penggunaan dana bantuan hukum di berbagai instansi Pemerintah secara tidak semestinya pun menjadi bagian dari temuan para peneliti yang menarik untuk dicermati dan dikontrol secara seksama. Dana bantuan hukum yang idealnya dialokasikan bagi masyarakat tidak mampu, pada faktanya justru dinikmati dan digunakan untuk pembelaan para pejabat pemerintahan atau untuk pengamanan asset. Di bagian akhir buku tersebut, tim peneliti memberi enam rekomendasi kepada para pembuat kebijakan, diantaranya; (1). Menyatukan konsep bantuan hukum sesuai dengan UU Bantuan Hukum sehingga program bantuan hukum terintegrasi sesuai dengan undang-undang bantuan hukum, termasuk dalam hal anggaran dan peruntukan program yaitu hanya untuk rakyat miskin. (2). Mengingat bantuan hukum juga merupakan pelayanan publik maka perlu ada standar pelayanan minimal pemberian bantuan hukum untuk meningkatkan kualitas layanan bantuan hukum, (3). termasuk kode etik bagi para pekerja bantuan hukum. Namun, hal tersebut dapat efektif jika OBH di seluruh Indonesia meningkat kapasitasnya sehingga penetapan standar pelayanan benar-benar berdampak pada peningkatan layanan bukan justru melemahkan OBH dan menghambat akses masyarakat terhadap keadilan. (4). Membangun mekanisme pengawasan terhadap anggaran dan pelaksanaan bantuan hukum. Sehingga ke depan bantuan hukum diselenggarakan secara akuntabel. (5). Mengingat kebijakan bantuan hukum masih dalam proses pengembangan, maka dalam penyusunannya harus responsif dengan mengakomodir situasi di lapangan sebagaimana disajikan dalam penelitian ini ataupun berdasarkan penelitian pada aspek lainnya. (6). Perlu juga dibangun inisiatif di wilayah-wilayah di Indonesia untuk membuat peraturan daerah bantuan hukum untuk melengkapi kebijakan nasional dan memperluas distribusi sumber daya untuk mendukung pemberian bantuan hukum.

Memperluas Akses Informasi Melalui Buku Saku dan Berita LBH Jakarta Salah satu persoalan kebijakan bantuan hukum adalah minimnya sosialisasi. Untuk mengikis hambatan akses informasi mengenai kebijakan bantuan hukum kepada masyarakat luas, LBH Jakarta berupaya untuk mensosialisasikan program Bantuan hukum untuk masyarakat miskin melalui penerbitan buku saku Bantuan Hukum dan Berita LBH edisi Agustus-November 2013 yang mengusung Tema Bantuan Hukum Bagi Si Miskin. Harapannya, melalui dua terbitan tersebut, masyarakat dapat mengetahui informasi penting terkait kebijakan bantuan hukum yang mulai berlaku tahun ini.

Advokasi Perda Bantuan Hukum di DKI Jakarta

Secara filosofis, bentuk bantuan hukum dalam UU No 16 Tahun 2011 merupakan perwujudan tanggung jawab dan kewajiban negara dalam pemenuhan, penghorCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


39 matan dan perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negaranya secara khusus hak bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law) yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Persamaan kedudukan di dalam hukum mensyaratkan kesamaan akses atas keadilan bagi seluruh masyarakat, oleh karenanya bagi mereka yang tidak mampu atau miskin negara menyediakan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma. Keseluruhannya ini tercantum dalam bagian menimbang UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dengan demikian menjadi jelas terdapat perbedaan antara bantuan hukum yang diberikan oleh negara (legal aid) dengan bantuan hukum yang menjadi konsekuensi logis profesi advokat (pro bono publico). Untuk melengkapi dan menopang penyelenggaraan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Bantuan Hukum memberikan ruang pada tiap daerah untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda), yang berupa: (1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah. Konstruksi dari ketentuan Pasal 19 di atas ternyata menimbulkan ketidakjelasan bagi Pemerintah Daerah. Apakah UU Bantuan Hukum memandatkan Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan daerah yang mengatur sebatas mengenai “alokasi anggaran Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah” ataukah “Pemerintah daerah dapat membentuk Peraturan Daerah yang mengatur mengenai “penyelenggaraan Bantuan Hukum” secara luas sesuai dengan keunikan kondisi daerah masing-masing? Apabila hanya mengatur terkait alokasi anggaran Bantuan Hukum dalam APBD, hal ini sungguh disayangkan. Bantuan Hukum dalam UU Bantuan Hukum saat ini masih sangat terbatas secara cakupan, dengan membatasi peraturan daerah hanya mengatur sebatas anggaran akan menutup peluang bagi perluasan cakupan akses bantuan hukum itu sendiri. Sangat dimungkinkan adanya sebuah pengaturan dalam bentuk peraturan daerah yang idealnya isinya melengkapi pengaturan terkait penyelenggaraan bantuan hukum yang ada pada UU Bantuan Hukum dan bukan malah saling bertentangan. Saat ini LBH Jakarta mendorong Pemda DKI Jakarta untuk segera membentuk Perda Bantuan Hukum agar akses masyarakat miskin terhadap bantuan hukum di wilayah DKI Jakarta kian terbuka lebar. Tentunya LBH Jakarta mendorong agar Pemda DKI Jakarta tidak hanya membentuk Perda yang mengatur terkait alokasi anggaran namun juga mengatur terkait perluasan penyelenggaraan bantuan hukum dari UU Bantuan Hukum. Setelah mendorong agar dibentuknya Perda Bantuan Hukum, kemudian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengundang LBH Jakarta untuk menjadi bagian dalam Tim Penyusunan Rancangan Perda Bantuan Hukum. Tim Penyusun terdiri dari berbagai unsur, diantaranya adalah Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Biro Hukum dari lima (5) wilayah kota di DKI Jakarta, Kemenkumham, dan lainnya Tetapi sayangnya sejak awal pertemuan sudah beredar draft yang dibuat oleh staf ahli biro hukum Pemda. LBH Jakarta memberikan catatan bahwa penyusunan Rancangan Perda Bantuan Hukum tidak boleh asal-asalan dalam artian harus sesuai dengan prosedur yang ada, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 112 Tahun 2012, CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


40 secara khusus yang mensyaratkan adanya sebuah Naskah Akademik. Dengan demikian dapat menjamin bahwa Perda tersebut dibentuk sesuai dengan memiliki: (a) latar belakang dan tujuan penyusunan; (b) sasaran yang akan diwujudkan; (c) pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan (d) jangkauan dan arah pengaturan. Selain itu naskah akademik pun akan memberikan kejelasan mengenai kajian teoritis dan praktik empiris serta landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari sebuah peraturan daerah. Selain itu pembentukan Perda yang baik juga harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah). Tidak dipenuhinya asas tersebut, akan berdampak pada ketidakberdayagunaan Perda itu sendiri pada akhirnya. Pembuatan Perda hanya akan menjadi bisnis di lingkungan Pemerintahan Daerah, karena akan menghabiskan anggaran belanja daerah. LBH Jakarta mendorong agar ada Naskah Akademik terlebih dahulu dan harus pula melalui uji konsultasi publik. Pelibatan seluruh dan seluas-luasnya pemangku kepentingan di Kota Jakarta seperti pegawai/pejabat daerah yang khusus mengerjakan bantuan hukum di tingkatan provinsi, Organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Masyarakat Sipil, para akademisi, dan lainnya juga merupakan hal penting untuk dijamin dalam proses pembentukan Perda Bantuan Hukum Provinsi DKI Jakarta. Kepatuhan dan ketaatan pembentukan Perda Bantuan Hukum Provinsi DKI Jakarta pada prosedur yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, niscaya merupakan langkah awal bagi pemenuhan hak warga kota Jakarta yang substansial yakni akses atas bantuan hukum. Hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tak lepas dari amanat konstitusi di atas. Hal ini dapat dilihat dari konsideran UndangUndang Bantuan Hukum yang menyatakan, bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Dapat diartikan pula, pemerintah berusaha memenuhi tanggungjawabnya terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Namun tidak bisa dipungkiri, undang-undang yang disahkan pada 31 Oktober 2011 tersebut masih ada kekurangan. Untuk mengoreksi kekurangan tersebut, berikut beberapa langkah yang dilakukan LBH Jakarta agar Undang-Undang Bantuan Hukum memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


41 BAGIAN III

Laporan Kelembagaan

1. REGENERASI PENGABDI BANTUAN HUKUM a. Karya Latihan Bantuan Hukum 34 (Kalabahu)

Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) Angkatan ke – 34 yang diselenggarakan pada 1 April 2013 s.d 10 mei 2013 telah selesai di helat. Sebanyak 45 (empat puluh lima) peserta Mahasiswa/i- Sarjana Hukum dan Non-Hukum dari berbagai kampus di seluruh Indonesia menjadi bagian dari proses pendidikan calon pengabdi bantuan hukum. Melalui pelatihan ini, LBH Jakarta membagi dan menyebarluaskan semangat Gerakan Bantuan Hukum Struktural kepada generasi selanjutnya.

b. Penerimaan Asisten Pengacara Publik 2013-2014

Selepas Karya Latihan Bantuan Hukum usai beberapa nama berhasil lulus dalam seleksi penerimaan Asisten pengacara Publik LBH Jakarta periode 20132014. Mereka adalah Agung Sugiarto, M Adzkar Arifian Nugroho (Univ. Sebelas Maret), Akhmad Zaenuddin (Univ. Bung Karno), Arsa Mufti, Hardiono Iskandar Setiawan, Ichsan Zikry (Univ.Indonesia), Azrina Darwis (Univ. Hasanudin Makasar), Eka Saputra (Univ.Trisakti), Jane Aileen Tedjaseputra (Univ. Atmajaya Jakarta), Rambo Cronika Tampubolon (Univ. Tamajagakarsa), Revan Timbul H Tambunan (Univ. Negeri Lampung), Verawati BR Tompul (Univ. Krisnadwipayana), Veronika Koman (Univ. Pelita Harapan), Wirdan Fauzi (Univ. Pancasila). Rekruitmen Asisten Pengacara publik adalah mekanisme regenerasi pengabdi bantuan hukum di LBH Jakarta yang rutin di laksanakan setiap tahunnya. SelanCATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


42 jutnya, Asisten Pengacara Publik baru akan menjalani proses pemagangan selama satu tahun. Masing-masing APP akan melaksanakan kerja-kerja bantuan hukum di bidang Penanganan Kasus, Penelitian, dan Pendidikan Sumber Daya Hukum Masyarakat yang merupakan divisi kerja LBH Jakarta.

c. Penerimaan Pengacara Publik

Pada tanggal 26 Juni 2013, LBH Jakarta juga melantik 4 (enam) orang Pengacara Publik baru yaitu Atika Yuanita Paraswaty, S.H., M.H. (Univ. Trisakti),, Eny Rofiatul, S.H., Johanes Gea, S.H. (Univ.Indonesia), dan Tigor Gempita Hutapea, S.H. disusul Kemudian pada tanggal 11 Juli 2013 dilantik pula Rahmawati Putri, S.H. (Univ.Indonesia) dan Nelson Nikodemus Simamora, S.H. (Univ. Sumatra Utara) sebagai Pengacara Publik LBH Jakarta. Seluruh PP baru ditempatkan di Bidang Penanganan Kasus, kecuali Eny dan Tigor yang ditempatkan di bidang Litbang dan PSDHM. Mereka semua adalah mantan asisten pengacara publik yang berhasil lolos dalam seleksi penerimaan pengacara publik LBH Jakarta tahun 2013. Enam pengacara publik baru tersebut menambah jumlah pengacara publik LBH Jakarta menjadi 17 orang. Harapannya dengan bertambahnya Pengacara Publik, kualitas dan performa pelayanan bantuan hukum LBH Jakarta kepada masyarakat meningkat.

d. Pengacara Publik Berdiaspora

LBH Jakarta juga melepaskan beberapa pengacara publik di tahun 2013 ini. Akhir Agustus, dua orang Pengacara Publik, Tommy Albert Tobing, S.H. dan Yunita Purnama, S.H., untuk sementara akan meninggalkan pengabdian mereka di LBH Jakarta. Tommy Albert Tobing harus menjalani proses magang (internship) di Pattani, Thailand selama 1 tahun dalam kerangka program Sasakawa. Sementara itu, Yunita Purnama melanjutkan studi ke Amerika Serikat untuk memperdalam pendidikan hokum klinis (Clinical Legal Education) di Washington University. Disamping melepas sementara dua pengacara public, LBH Jakarta juga harus melepaskan Sidik, S.H.I, dan Sudiyanti, S.H., yang mengundurkan diri. LBH Jakarta berharap perspektif HAM, ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan selama di LBH Jakarta dapat tetap menjadi prinsip pemandu dalam kelanjutan karir mereka di masa mendatang.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


43

2. PENGEMBANGAN KAPASITAS a. Pengacara Publik

aEny Rofiatul Ngazizah

Pengacara Publik LBH Jakarta yang bergabung sejak Agustus 2013 ini telah mengikuti beberapa kegiatan pengembangan kapasitas sepanjang tahun 2013, diantaranya: (1). Training on International Refugee Law and UNHCR’s Mandate for Civil Society Organization in Indonesia pada 13-14 September 2013. Training ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap isu pencari suaka dan pengungsi, serta prinsip perlindungan internasional kepada CSO agar mereka mempunyai kontribusi dalam mengadvokasi kasus pengungsi yang diselenggarakan oleh UNHCR, LBH Jakarta dan HRWG. (2) Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan PBHI pada 16-27 September 2013. (3). Workshop Nasional Jaringan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” diselenggarakan pada 11 September 2013. (4). Jakarta Conference on “Regional Cooperation on International Migration, Mobility and Best Practices on Migration and Development in South East Asia yang diselenggarakan pada 29 Agustus 2013. (5). Training Pembuatan Video Dokumenter untuk Kampanye Advokasi yang diselenggarakan pada tanggal 30,31 Agustus dan 2 September 2013 di Perpustakaan Daniel S. Lev.

aAhmad Biky

Selama tahun 2013 mengikuti satu kali kegiatan pengembangan kapasitas yakni SAKTI (Sekolah Anti Korupsi) yang diselenggarakan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tanggal 24 Juni–4 Juli 2013. SAKTI bertujuan agar para peserta mengetahui instrumen anti korupsi dan praktik korupsi diberbagai sektor, mampu menggunakan instrumen anti korupsi dan keahlian khusus dalam melakukan kegiatan pemberantasan korupsi, serta mampu melakukan investigasi dan advokasi pemberantasan korupsi. Singkatnya, para peserta SAKTI disiapkan agar menjadi agen-agen baru antikorupsi.

aArif Maulana

Pengacara Publik LBH Jakarta yang bergabung sejak Februari 2012 ini telah mengikuti beberapa kegiatan pengembangan kapasitas sepanjang tahun 2013, diantaranya: (1). Pelatihan Case Summary Training: Mengembangkan Analisis Kasus dan Ringkasan Advokasi Kasus HAM di Dalam dan Luar Pengadilan. Pelatihan yang dihelat oleh LBH Jakarta dengan dukungan ABA ROLI ini diselenggarakan di Wisma PGI pada tanggal 30 Oktober – 1 November 2013: (2). Pelatihan Pengungsi Internasional dan Mandat UNHCR untuk Komunitas Masyarakat Sipil di Indonesia. Pelatihan yang dihelat pada tanggal 13-14 September 2013 dan bertempat di Hotel Grand Cemara Menteng Jakarta Pusat ini diselenggarakan oleh LBH Jakarta dan HRWG bekerjasama dengan UNHCR. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman dasar kepada anggota komunitas/ organisasi masyarakat sipil pegiat hak asasi manusia mengenai perlindungan pengungsi serta mekanisme terkini dalam perlindungan pengungsi di Indonesia; (3) Menghadiri Mekong Legal CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


44 Networking (MLN) Meeting, Chiang Mai, Thailand, 8-10 November 2013. Kegiatan ini adalah pertemuan rutin pengacara di wilayah Negara yang dialiri sungai Mekong diantaranya Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan China, yang tergabung di dalam sebuah jaringan pengacara Mekong Legal Networking. Kegiatan yang diselenggarakan di Resort Chiang Mai Thailand pada tanggal 8-10 November 2013 dengan dukungan EartRight Internasional (ERI) (Lembaga Lingkungan Internasional) ini didesain sebagai sebuah pertemuan jaringan pengacara Mekong, sebagai sarana untuk sharing pengalaman dan pengetahuan dalam penangan kasus lingkungan, khususnya kasus lingkungan lintas negara yang berkaitan dengan pencemaran sungai mekong. LBH Jakarta diundang sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman mengenai advokasi mekanisme HAM ASEAN dan peluang penggunaan mekanisme tersebut untuk advokasi Hak Asasi Manusia di regional ASEAN.

aAtika Yuanita Paraswati

Pengacara Publik yang bergabung di LBH Jakarta awal tahun 2013 ini, dalam proses pengembangan kapasitas telah mengikuti training: Capacity Building Workshop: ATD Projects and Case Management Systems pada 29 – 30 Agustus 2013, yang diselenggarakan oleh The International Detention Coalition (IDC) and the Asia Pacific Refugee Rights Network (APRRN). Pelatihan ini membahas perlunya alternatif selain detensi imigrasi untuk menempatkan pencari suaka dan/ atau pengungsi, memberikan gambaran mengenai keadaan detensi di beberapa negara, seperti Australia, Indonesia, Malaysia, dan Penyampaian mengenai peran lawyer dalam menangani kasus refugee.

b. Staff Umum

aWulan Purnama Sari dan T Sri Haryanti

Wulan dan Yanti mengikuti Pelatihan Manajemen “Arsip program Kegiatan/ Proyek” bagi LSM yang diselenggarakan oleh Ruang Pustaka bekerjasama dengan Jurusan Manajemen Informasi dan Dokumentasi Vokasi UI. Pelatihan ini dikhususkan untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kegiatannya berdasarkan program. Arsip yang tercatat dan terdokumentasi tersebut digunakan sebagai memori kolektif dan sejarah organisasi.

c. Asisten Pengacara Publik

aRevan T. Hamonangan Tambunan

Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Revan mengikuti pelatihan Training on International Refugee Law and UNHCR’s Mandate for Civil Society Organization in Indonesia yang diselenggarakan oleh UNHCR, berkolaborasi dengan LBH Jakarta dan HRWG.

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


45 aHardiono Iskandar Setiawan

Pengembangan kapasitas yang telah dijalani oleh Hardi selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, diantaranya adalah: (1). Pendidikan Advokasi dan Hukum Perburuhan Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) pada 24 Agustus 2013. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman buruh atas hak-haknya. (2). Pelatihan HAM dan Resolusi Konflik Densus 88 pada 27-29 Agustus 2013. Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman anggota Detasemen Khusus 88 mengenai HAM agar tidak melanggar HAM dalam tugasnya.

aWirdan Fauzi

Selama menjadi Asisten Pengacara Publik, Wirdan berkesempatan mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PERADI-YLBHI-AIPJ pada 01-11 Oktober 2013.

aRambo Cronika Tampubolon

Selama menjadi Asisten Pengacara Publik, Rambo berkesempatan untuk mengikuti dua kegiatan pengembangan kapasitas diantaranya : (1). Training on International Refugee Law and UNHCR’s Mandate for Civil Society Organization in Indonesia pada 13-14 September 2013. Pelatihan ini terselenggaran atas kerja sama UNHCR, LBH Jakarta dan HRWG; (2) Diskusi Pengembangan Participatory Action Reseacrh (PAR) pada 7 Oktober 2013.

aVeronica Koman

Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Vero mengikuti dua kali kegiatan pengembangan kapasitas, diantaranya: (1). Training on International Refugee Law and UNHCR’s Mandate for Civil Society Organization in Indonesia yang diselenggarakan oleh UNHCR, berkolaborasi dengan LBH Jakarta dan HRWG. (2). Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PBHI yang dilaksanakan pada 16-27 September 2013.

aJane Aileen Tedjaseputra

Selama menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta, Vero mengikuti dua kali kegiatan pengembangan kapasitas, diantaranya: Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara pada 15-17 Juli 2013. Pelatihan ini membahas mengenai sistem HAM ASEAN, dan HAM internasional yang bertujuan untuk mengajak peserta aktif terlibat dalam advokasi HAM ASEAN dan juga membentuk jaringan pengacara di Asia Tenggara. (2). Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PBHI-PERADI yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan PERADI

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


46

3. PUSAT DOKUMENTASI BANTUAN HUKUM LBH JAKARTA:

Menyelamatkan Memori Kolektif, Memperkuat Gerakan Bantuan Hukum

I. Pendahuluan

Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum (PDBH) LBH Jakarta mempunyai fungsi sebagai supporting system organisasi dalam layanan bantuan hukum bagi masyarakat. Seiring dengan perkembangannya, PDBH kemudian membuka akses kepada publik untuk memanfaatkan sumber-sumber informasi yang ada, khususnya tentang bantuan hukum. Meningkatnya permintaan publik atas dokumen kasus hukum yang ditangani LBH Jakarta yang beberapa diantaranya kemudian menjadi sumber rujukan bagi perkembangan hukum di Indonesia, baik oleh lembaga lain, praktisi hukum, peneliti, akademisi, maupun masyarakat umum.

II. Perpustakaan Sebagai Sumber Pembelajaran Keberadaan perpustakaan yang melekat dalam organisasi induk menjadi sumber belajar bagi pengacara publik, asisten pengacara publik dan seluruh staf LBH Jakarta. Tidak hanya internal organisasi, masyarakat umum juga dapat memanfaatkan perpustakaan sebagai sumber belajar, sumber informasi dan pengetahuan khususnya masalah hukum sehingga mewujudkan masyarakat yang belajar (learning society).

a. Koleksi

Sejak tahun 2012, perpustakaan memfokuskan diri pada koleksi buku ber-

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


47

tema bantuan hukum. Koleksi yang dimiliki saat ini sebanyak 4420 koleksi terolah. Data ini mengalami pengurangan, karena ditahun sebelumnya jumlah koleksi lebih dari 5000 eksemplar. Pengurangan terjadi karena penyusutan koleksi yang tidak up to date untuk disimpan. Selain buku teks dan referensi, perpustakaan juga memiliki koleksi terbitan berseri/majalah dengan mengacu pada kebutuhan informasi LBH Jakarta ditingkat lokal dan nasional.

b. Pemanfaatan Teknologi

Sejak awal tahun 2008 perpustakaan telah menyediakan Online Public Access Catalog (OPAC). Selain terdapat di jaringan lokal juga dapat dibuka secara online dengan alamat http://perpustakaan.bantuanhukum.or.id/. Dengan demikian layanan pemanfaatan beberapa koleksi perpustakaan, khususnya terbitan LBH Jakarta yang sudah dialih media dalam bentuk elektronik file mampu dilakukan dari jarak jauh. Sedangkan untuk pengolahan koleksi dokumen foto, kliping, audio visual, dan beberapa dokumen kantor lainnya digunakan software Alfresco sebagai pangkalan data terpusat.

III. Revitalisasi Arsip: Menyelamatkan Memori Kolektif Organisasi Sebagai lembaga pemberi bantuan hukum pertama di Indonesia yang tiap tahun menghasilkan +1000 kasus, dan beberapa kasus seringkali menjadi kasus bersejarah dan digunakan sebagai rujukan, misal Penggusuran Taman Mini, penggusuran becak, Kasus PRD, peristiwa 27 juli 1997, Ujian Nasional, dll. Selain bernilai sejarah terhadap kota Jakarta, terdapat juga gugatan citizen lawsuit (CLS) Nunukan yang pertama kali dilakukan oleh LBH Jakarta. Gugatan ini kemudian CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


48 menjadi terobosan hukum mengingat mekanisme citizen Lawsuit belum ada dalam aturan hukum tertulis di Indonesia, sehingga menjadi tonggak diterimanya mekanisme gugatan CLS. Menyadari pentingnya dokumentasi kasus yang dimiliki oleh LBH Jakarta, maka Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum berusaha turut berperan serta dalam penyebaran gerakan bantuan hukum struktural dengan melakukan pembenahan pendokumentasian kasus yang dimiliki.

a. Re-organisasi Dokumen

Mulai bulan Agustus 2013, LBH Jakarta mulai membuat kebijakan tentang record management system (RMS) yaitu sistem manajemen pencatatan, khususnya untuk dokumen kasus. Sistem tersebut menjadi panduan dalam melakukan re-organisasi dokumen kasus, mulai dari proses pendataan/inventarisasi, seleksi kasus bersejarah dan penataan kembali berkas. Re-organisasi dokumen dilakukan dengan mengelompokan berkas kasus berdasarkan tahun tercipta dokumen, subyek kasus, dan nama klien. Pendataan dokumen kasus dilakukan dalam aplikasi Sistem Informasi Kasus (SIK) yang terintegrasi dari proses penerimaan pengaduan, konsultasi dan penanganan hukumnya. Saat ini proses re-organisasi dokumen masih berlangsung, diharapkan pada bulan ketiga tahun 2014 kegiatan ini telah selesai dilakukan.

b. Alih Media/Digitalisasi

Keterbatasan ruang penyimpanan menjadi permasalahan serius bagi LBH Jakarta untuk segera melakukan penyelamatan informasi yang terkandung dalam dokumen kasus, khususnya yang bernilai sejarah tinggi. Salah satu satu cara penyelamatan yaitu dengan melakukan alih media. Pada tahap awal alih media ini, Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum telah memiliki 143 ribu lembar dokumen kasus dalam bentuk digital, yang tersusun dalam 1437 forlder. Sebanyak 247 folder berisi dokumen yang masih harus disimpan (keep), dan 1190 folder adalah dokumen yang sudah memasuki masa retensi sesuai dengan Jadwal Retensi Arsip (JRA) dokumen hukum yaitu 30 tahun.

c. Sistem Informasi Kasus (SIK) Terintegrasi

Sejalan dengan kegiatan re-organisasi dan digitalisasi dokumen, tidak kalah pentingnya membangun pangkalan data yang mampu terintegrasi dalam setiap kegiatan. Manajemen dokumen terintegrasi ini dimaksudkan sebagai sebuah proses bersinambungan (continoum model) yang meliputi pembuatan arsip dinamis (records,) hingga menjadi arsip statis (archives). Berdasarkan keperluan diatas, dirasa penting membangun sebuah pangkalan data terintegrasi, dimulai dari kegiatan penerimaan pengaduan/pendaftaran, proses konsultasi, sampai penyimpanan, lengkap dengan dokumen pendukung yang di alih media/file digital. Harapannya tahun 2014 LBH Jakarta sudah menggunakan sistem Informasi Kasus (SIK) dalam kegiatan operasional penanganan kasus, dan menjawab kebutuhan manajemen dokumen kasus agar lebih optimal digunakan untuk mendukung gerakan bantuan hukum yang meluas. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


49 BAGIAN IV

Kesimpulan dan Rekomendasi KESIMPULAN Tahun 2013 kasus yang ditangani LBH cenderung mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012. Tahun 2012, LBH Jakarta menerima 917 pengaduan langsung dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 28.693 orang sementara tahun ini, LBH Jakarta menerima 1.001 pengaduan dengan 28.528 pencari keadilan. Besarnya angka pencari keadilan menunjukkan bahwa pelanggaran hak dalam satu kasus berdampak pada jumlah korban yang tidak sedikit. Kasus yang diadukan tahun 2013 ini, didominasi oleh kasus ketenagakerjaan disusul dengan kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban dan kasus hak sipol yang berkenaan dengan peradilan yang jujur dan adil. Disamping kasus diatas, LBH Jakarta menerima pengaduan Kasus Perempuan dan Anak, Kasus Keluarga juga konsultasi umum yang diadukan oleh masyarakat terkait Pidana Umum, Pidana Khusus, Perdata, Lain-lain/ Non, dan Khusus. Advokasi kasus yang ditangani LBH Jakarta selama 2013 menunjukkan gambaran umum memburuknya situasi penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Tak kunjung tegaknya hukum dan hak asasi manusia karena pembiaran dan gagalnya peran negara untuk aktif dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM semakin mengakibatkan pelanggaran hukum dan HAM terus saja berulang. Bahkan parahnya, dalam trend kasus tahun 2013 ini, negara melalui aparatusnya berperan aktif dalam menguatkan pelanggaran HAM melalui kebijakan dan putusan pengadilan. Hal ini tergambar jelas dalam berbagai pelanggaran hak yang terjadi dalam kasus-kasus yang ditangai LBH Jakarta. Pelanggaran hak buruh masih terus berulang seperti pada tahun-tahun sebelumnya yaitu berkisar pada pelanggaran kebebasan berserikat, pelanggaran hak normatif dalam hubungan kerja dan PHK secara tidak sah, pelanggaran hak tunjangan hari raya (THR) serta kasus yang menonjol tahun yakni kasus penangguhan upah yang melawan hukum dan berhasil dilawan oleh buruh. Pelanggaran tanpa Penegakan Hukum mengakibatkan Pengusaha seperti memiliki impunitas dan terus mengulangi pelanggaran. Sementara untuk kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban didominasi oleh kasus hak atas tanah dan tempat tinggal, hak atas usaha dan ekonomi serta kasus terkait pelanggaran hak atas kesehatan. Kasus Penggusuran dengan mengatasnamakan kepentingan umum dan kepentingan investasi serta buruknya pelayanan publik khususnya transportasi dan kesehatan menjadi kasus PMU yang mencuat. Maraknya Kasus diatas ditandai dengan menguatnya rezim privatisasi dan militerisme. Adapun untuk kasus pelanggaran Kebebasan beragama dan berkeyakinan ditandai dengan terus terjadinya pelanggaran dengan kecenderungan pola pelanggaran yang berulang. Intimidasi, Penyerangan, pernyataan CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


50 kebencian (hate speech), pelarangan beribadah, legalisasi diskiminasi penganut agama dan keyakinan minoritas masih mewarnai situasi keberagamaan di Indonesia. Situasi ini menunjukkan bahwa dalam kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, negara tidak hanya gagal untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi minoritas keagamaan di Indonesia namun juga terlibat aktif dalam pelanggaran terhadap hak-hak warga negara. Disisi lain, dalam Kasus Fair Trail yang diadukan ke LBH juga menunjukkan fakta situasi buruk pengulangan pelanggaran hak yang sistematis dan melembaga. Pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan jujur (fair trial) masih berkisar kasus-kasus penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, Undue Delay terhadap Laporan korban, serta pelanggaran hak atas bantuan hukum. Hak atas bantuan hukum meskipun telah memperoleh proteksi melalui UU bankum masih menyisakan persoalan. Kelemahan kebijakan dan implementasi kebijakan yang kurang partisipatif menjadi hambatan bagi terpenuhinya hak atas bantuan hukum untuk masyarakat rentan di indonesia. Fakta diatas menujukkan berulang dan meningkatnya kualitas pelanggaran hak asasi manusia dari tahun ke tahun, Hal ini ditunjukkan dengan pola pelanggaran masing-masing hak yang semakin sistematis dan memperoleh legitimasi hukum. Namun, Dibalik situasi pelik diatas terdapat beberapa pembelajaran yang dapat dipetik. Pendidikan dan pengorganisasian masyarakat sipil menunjukkan dampak postitif untuk mendorong masyarakat melakukan perubahan kebijakan, menyadari dan memperjuangkan hak-haknya. Hal ini tercermin dalam kasus gugatan buruh melawan penangguhan upah, penggusuran pedagang stasiun, penumpang kereta ekonomi dan dalam kasus penggusuran yang dialami warga Budidarma dan Petukangan. Harapan perbaikan layanan Publik pun lahir dari sosok pemimpin daerah yang pro rakyat, munculnya model penggusuran yang menggunakan pendekatan kemanusiaan dengan berbasis komunikasi dan solusi menjadi alternatif praktek kebijakan penggusuran yang berperspektif hak asasi manusia. Dalam pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan Pemprov DKI Jakarta memberikan satu contoh menarik bagaimana negara seharusnya menjadi aktor utama yang aktif dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dalam kasus tersebut, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, langsung turun tangan mengatasi, melakukan resolusi konflik dan melakukan musyawarah dengan pihak yang bertikai terkait Gereja Damai Kristus Paroki Kampung Duri - Jakarta Barat. Setelah upaya cepat ini, intimidasi dan ancaman kepada Gereja secara terbuka berkurang.

REKOMENDASI Berdasarkan situasi pelanggaran hukum dan HAM tahun 2013, LBH Jakarta merekomendasikan perlunya sejumlah perubahan sistematis dalam level kebijakan dan implementasinya yang kami susun berdasarkan pendekatan kasus sebagai berikut: CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


51 Kasus Perburuhan

(1). Segera dibentuk Unit Khusus Perburuhan di Kepolisian untuk fokus membongkar tindak pidana perburuhan; (2). Pemerintah (Aparat Penegak Hukum) harus melakukan penegakan hukum terhadap pengusaha yang melakukan PHK sebelum ada putusan dari pengadilan hubungan industrial. Selama proses hukum seluruh pihak termasuk buruh dan pengusaha harus melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing; (3). Pemerintah (Aparat Penegak Hukum) harus melakukan penegakan hukum dengan menindak tegas perusahaan yang melakukan pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh perusahaan; (4). Pemerintah Daerah seharusnya membangun mekanisme komplain atas ketidakpuasan publik dan buruh terhadap kinerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta melakukan penindakan terhadap pegawai dinas tenaga kerja yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.

Kasus Perkotaan dan Masyarakat Urban

(1). Aparat Birokrasi pemerintah dari struktur paling atas sampai paling bawah harus memahami dan mengimplementasikan Hak Asasi Manusia yang telah dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini diperlukan agar kebijakan dan tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang mengakibatkan masyarakat dikorbankan. (2). Pemerintah Pusat maupun Daerah secara khusus seharusnya membuat regulasi tentang larangan penggusuran paksa dan model penataan pemukiman atau pedagang kaki lima yang partisipatif dan solutif dengan mengadopsi standar internasional yang diatur dalam Komentar Umum Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya terkait penggusuran. Hal ini untuk mengantisipasi agar meskipun pimpinan daerah berganti, tidak akan terjadi lagi penggusuran paksa yang berakibat pada pelanggaran HAM; (3). Pemerintah Daerah harus mengubah paradigma pembangunan dan anggaran daerah. Saat ini dalam APBD DKI Jakarta terdapat pos anggaran yang cukup besar yang ditujukan untuk Penggusuran dan Penertiban. Anggaran seharusnya digunakan untuk memecahkan permasalahan jaminan kepemilikan tanah antara masyarakat miskin perkotaan dan kurangnya infrastruktur dalam kota; (4). Dalam level kebijakan makro, Pemerintah harus menghentikan liberalisasi sektor kesehatan dan bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan masayarakat melalui alokasi anggaran kesehatan yang memadai baik melalui APBD maupun APBN. (5). Bagi penyelenggara layanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, perlu merumuskan standar operasional tindakan medik serta membangun budaya transparansi dan akuntablitias dalam layanan kesehatan. (6). Organisasi profesi kesehatan harus lebih tegas melakukan penegakan kode etik; (7). Aparat penegak Hukum harus tegas dalam penegakan hukum kasuskasus pelanggaran hak kesehatan pasien karena tindakan malpraktek. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


52 Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

(1). Mendesak Pemerintah untuk aktif menjalankan kewajiban hukumnya dalam pemenuhan hak atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dengan mendorong penyelesaian kasus –kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan justru menjadi pelaku pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. (2). Mendesak Presiden RI untuk memecat Pejabat Publik seperti Menteri Agama Suryadharma Ali yang justru melakukan tindakan koersi untuk meminta Jemaat Ahmadiyah untuk berpindah atau mengubah keyakinan yang membahayakan jaminan hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan serta mengancam disintegrasi bangsa; (3). Mendesak Pemerintah daerah untuk menghormati hukum dan konstitusi , khususnya Walikota Bogor dan Bupati Bekasi untuk menghentikan pembangkangan terhadap putusan pengadilan dan selanjutnya menghormati dan menaati putusan pengadilan; (4). Meminta kepada Kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada korban tindakan intoleransi dan menghentikan segala upaya kriminalisasi terhadap korban-korban tindakan intoleransi atau kepada aktoraktor yang menjalankan hak kebebasan beragama dan berkeyakinannya secara sah dan konstitusional ; (5). Penegak Hukum harus berani tegas untuk menindak pelaku aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan kampanye kebencian (Hate speech) yang merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156 KUHP dan termasuk dalam kategori kejahatan terhadap ketertiban umum yang selama ini dibiarkan dan mengakibatkan akselerasi kebencian yang kemudian meningkat menjadi mobilisasi massa dan legalisasi melalui kebijakan hingga akhirnya berujung pada penyerangan secara fisik terhadap kelompok minoritas; (6). Meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya persekusi kepada Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan; (7). Meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk mereview dan membatalkan Perda-perda yang diskriminatif dan inkonstitusional; (8). Meminta Menteri Hukum dan HAM (bersama dengan DPR RI dalam hal Undang-Undang) untuk menyelaraskan peraturan-peraturan yang berlaku dengan mengadopsi prinsip-prinsip HAM dan Kostitusi. Memperbaharui perundang-undangan yang masih melanggar HAM (Diantaranya adalah UU No. 1 PNPS/1965 termasuk Pasal 156 KUHP);

Hak atas Peradilan yang Jujur dan Bersih (1). Mendorong advokat untuk melaksanakan kewajiban pro bono untuk mendampingi tersangka yang tidak mampu; (2). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mempercepat proses pembahasan RUU KUHAP khususnya mengurangi kewenangan kepolisian untuk menahan seseorang tanpa ijin pengadilan; (3). Pemerintah Republik Indonesia segera meratifikasi optional protocol CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


53 konvensi anti penyiksaan; (4). Mahkamah Agung (MA) perlu mengeluarkan peraturan kepada Hakim untuk tidak menggunakan alat bukti yang diperoleh dari penyiksaan; (5). Kapolri segera membuat aturan internal terkait mekanisme penyelesaian dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggotanya termasuk proses hukum terhadap anggota Polri yang melakukan penyiksaan; (6). Komisi Kejaksaan maupun Komisi Yudisial memberikan sanksi yang tegas terhadap Jaksa maupun Hakim yang melanggar kode etik; (7). Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan maupun Badan Pengawasan MA secara tegas memberikan sanksi terhadap Jaksa maupun hakim yang melakukan pelanggaran hak-hak tersangka dan melarang penggunaan dokumen yang diperoleh dari penyiksaan.

Hak Atas Bantuan Hukum

(1). Pemerintah harus melakukan harmonisasi kebijakan bantuan hukum di berbagai peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan UU Bantuan Hukum, sehingga program bantuan hukum terintegrasi sesuai dengan undang-undang bantuan hukum, termasuk dalam hal anggaran dan peruntukan program yaitu hanya untuk rakyat miskin. (2). Organisasi Bantuan Hukum seharusnya menyusun dan menerapkan standar pelayanan minimal pemberian bantuan hukum untuk meningkatkan kualitas layanan bantuan hukum, mengingat bantuan hukum juga merupakan pelayanan publik; (3). Organisasi bantuan hukum secara mandiri harus merumuskan kode etik bagi para pekerja bantuan hukum dan juga paralegal. (4). Pemerintah memberikan dukungan kepada Organisasi Bantuan Hukum di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kapasitas dan kualitasnya sehingga penetapan standar pelayanan benar-benar berdampak pada peningkatan layanan bukan justru melemahkan OBH dan menghambat akses masyarakat terhadap keadilan. (5). Mendorong masyarakat untuk membangun mekanisme pengawasan terhadap anggaran dan pelaksanaan bantuan hukum. Sehingga ke depan bantuan hukum diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. (6). Mendorong pemerintah untuk terus membenahi kelemahan kebijakan bantuan hukum yang masih dalam proses pengembangan, dengan responsif mengakomodir masukan dan situasi faktual masyarakat; (7). Mendorong masing-masing Pemerintah Daerah di berbagai wilayah di Indonesia untuk mengisiasi peraturan daerah bantuan hukum yang melengkapi kebijakan nasional dan memperluas distribusi sumber daya untuk mendukung pemberian bantuan hukum; (8). Diperlukan penguatan perspektif hak asasi manusia khususnya hak atas bantuan hukum bagi Aparat Penegak Hukum dan reformasi sistem peradilan (Menghapuskan pugli, transparansi dan akuntabilitas biaya perkara, memangkas jangka waktu proses hukum, mekanisme komplain yang efektif) untuk mendorong efektifitas dan kualitas layanan bantuan hukum untuk masyarakat. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


54

2. PERSONIL LBH JAKARTA SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA 2013

PENGACARA PUBLIK Febi Yonesta, S.H., (Direktur) Restaria F Hutabarat, S.H., M.A., (Wakil Direktur dan Kabid. Penelitian dan Pengembangan) Muhamad Isnur, S.H.I. (Kabid. Penanganan Kasus) Alghiffari Aqsa , S.H. (Kabid. Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat) Tommy A.M. Tobing, S.H. Maruli Tua Rajagukguk, S.H., Pratiwi Febry, S.H., Yunita, S.H., Arif Maulana, S.H.,M.H. Handika Febrian, S.H., Ahmad Biky, S.H., Atika Yuanita Paraswati, S.H., M.H. Eny Rofiatul Ngazizah, S.H. Tigor G Hutapea, S.H. Johanes Gea, S.H. Nelson N Simamora, S.H. Rachmawati Putri, S.H. CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


55 STAF UMUM Uni Illian Marcianty, S.H. Ratman Sagino Abdul Rosyid Tunggul Sri Haryanti Santi Sudarwanti Yulia Delena Raseuki Siregar Wulan Purnama Sari

: Kepala Kantor : Driver : Pekerja Umum : Resepsionis : Pustakawan : Kasir : Bendahara : Arsiparis

STAF PROGRAM Ade Wahyudin, S.H.I. Sayid Muh. Faldi, S.H. PENGACARA PEMBELA PIDANA 1. Romy Leo Rinaldo, S.H. 2. Hendra Supriatna, S.H. 3. Lana Teresa Siahaan, S.H. 4. Novalia Matondang, S.H. 5. Ahmad Hardi Firman, S.H. ASISTEN PENGACARA PEMBELA PIDANA 1. Annisa Rizky, S.H. 2. Beren Merary, S.H. 3. D.R. Golda Meir, S.H. 4. Eko Haridani Sembiring, S.H. 5. Muhammad Al Myzaan, S.H. 6. Ruhut Marlinang, S.H. 7. Ariyono, S.H. 8. Iwan Budi Arta, S.H.

“Donasi Bantuan Hukum bagi orang

1.000

Pencari Keadilan”

Setiap tahun, tercatat lebih dari 146.478 orang pencari keadilan mendapatkan pelayanan bantuan hukum cuma - cuma yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Para pencari keadilan adalah masyarakat yang pada umumnya tidak mampu secara ekonomi, buta hukum dan jauh dari akses keadilan. LBH Jakarta mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendukung penyelenggaraan dan keberlanjutan pemberian layanan bantuan hukum cuma-cuma bagi para pencari keadilan melalui program SIMPUL (Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan) LBH Jakarta.

Staf Kampanye & Fund rising 1. Kristian Feran, S.H. 2. Arfiana Arifin 3. Benny Malatua Hasibuan 4. Khaerul Anwar 5. M. Arif Maulana 6. Widya Rastika

Untuk informasi lebih lanjut, tentang SIMPUL klik di: http: //bantuanhukum.or.id

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


56 4. LAPORAN KEUANGAN PENERIMAAN PER OKTOBER 2013 LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

4% 3%

2%

0% 2% 0%

PEMASUKAN

0% 0% 0%

ADMINISTRASI KLIEN DONASI KLIEN DONASI PUBLIK PENJUALAN MERCHANDISE

5%

18%

LEMBAGA DONOR TAF (CORE FUNDING) LEMBAGA DONOR ABA ROLI

5%

LEMBAGA DONOR AIPJ CDL

7%

16%

12%

LEMBAGA DONOR AIPJ LAC LEMBAGA DONOR SASAKAWA LEMBAGA DONOR AIPJ DISABILITAS

12%

14%

APBD DKI JAKARTA TAF - E2J LEMBAGA DONOR FK

NO KETERANGAN 1 ADMINISTRASI KLIEN 2 DONASI KLIEN 3 DONASI PUBLIK 4 PENJUALAN MERCHANDISE 5 LEMBAGA DONOR TAF (CORE FUNDING) 6 LEMBAGA DONOR ABA ROLI 7 LEMBAGA DONOR AIPJ CDL 8 LEMBAGA DONOR AIPJ LAC 9 LEMBAGA DONOR SASAKAWA 10 LEMBAGA DONOR AIPJ DISABILITAS 11 APBD DKI JAKARTA 12 TAF - E2J 13 LEMBAGA DONOR FK 14 LEMBAGA DONOR TIFA 15 LEMBAGA DONOR LAINNYA 16 SUMBANGAN STAF 60 % HONOR 17 LAINNYA TOTAL

PENGELUARAN PER OKTOBER 2013 LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013

JUMLAH 16,360,000 15,723,000 26,236,090 4,149,000 1,068,410,000 944,646,500 809,600,000 693,816,750 688,000,000 423,300,000 300,000,000 277,463,200 199,109,700 146,145,000 222,551,930 11,800,300 99,210,680 5,946,522,150


57 PENGELUARAN PER OKTOBER 2013 LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA

PENGELUARAN BIAYA PROGRAM

BIAYA PENANGANAN KASUS

BIAYA OVERHEAD

BIAYA LAINNYA 0%

34% 58% 8%

NO KETERANGAN 1 BIAYA PROGRAM 2 BIAYA PENANGANAN KASUS 3 BIAYA OVERHEAD 4 BIAYA LAINNYA TOTAL

JUMLAH 2,107,808,750 300,000,000 1,215,723,450 6,579,360 3,630,111,560

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


58

LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA Laporan Posisi Keuangan Tanggal 31 Desember 2012 dan 2011

(Disajikan dalam Rupiah kecuali dinyatakan lain)

ASET

Catatan

2012

2011

2c, 3 4 5 6

1,543,438,920

1,065,086,280 5,698,570 15,456,200 59,770,330

ASET LANCAR Kas dan setara kas Piutang usaha Piutang lain Uang muka dan biaya dibayar dimuka Total Aset Lancar

22,326,330 1,565,765,250

1,146,011,380

83,241,887

129,831,015

ASET TIDAK LANCAR Aset tetap - bersih

2g, 7

Total aset tidak lancar

83,241,887

129,831,015

TOTAL ASET

1,649,007,137

1,275,842,395

542,976,830 -

133,944,940 13,973,180

LIABILITAS LIABILITAS JANGKA PENDEK Hutang lain Pendapatan diterima dimuka Hutang pajak Hutang sewa guna usaha Jatuh tempo dalam satu tahun Biaya masih harus dibayar

8 9 10 11 12

Total liabilitas lancar

1,955,200

41,281,824 -

544,932,030

189,199,944

LIABILITAS JANGKA PANJANG Hutang sewa guna usaha Jatuh tempo lebih dari satu tahun

11

-

11,083,031

Liabilitas pajak tangguhan

-

14,885,687

Total hutang jangka panjang

-

25,968,718

JUMLAH LIABILITAS

544,932,030

215,168,662

ASET BERSIH Tidak terikat Terikat temporer

13a 13b

1,088,639,357 15,435,750

(578,486,415) 1,639,160,148

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


59

Laporan Auditor Independen Nomor : 12/047/01/NR.02/13 Direksi dan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Kami telah mengaudit laporan posisi keuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tanggal 31 Desember 2012, serta laporan pendapatan, beban dan perubahan aset bersih tidak terikat, laporan perubahan aset bersih, dan laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut. Laporan Keuangan adalah tanggung jawab manajemen perusahaan. Tanggung jawab kami terletak pada pernyataan pendapat atas laporan keuangan berdasarkan audit kami. Laporan keuangan untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2011 diaudit oleh auditor independen lain yang laporannya tertanggal 23 Juli 2012 menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian. Kami melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Institut Akuntan Publik Indonesia. Standar tersebut mengharuskan kami merencanakan dan melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Suatu audit meliputi pemeriksaan atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan. Audit juga meliputi penilaian atas kebijakan akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang dibuat oleh manajemen, serta penilaian terhadap penyajian laporan keuangan secara keseluruhan. Kami yakin bahwa audit kami memberikan dasar memadai untuk menyatakan pendapat. Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang kami sebut diatas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tanggal 31 Desember 2012, pendapatan, beban dan perubahan aset bersih tidak terikat serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. Kantor Akuntan Publik

Nugroho & Rekan

Nomor : KEP - 364/KM I/2006

Drs. Dedy Saefudin, Ak., CPA NIAP : AP.0045 27 Nopember2013

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


60

LBH JAKARTA Jl. Diponegoro No. 74, Menteng Jakarta Pusat Telpon: (021) 3145518 Fax: (021) 3912377 Website: www.bantuanhukum.or.id Email: lbhjakarta@bantuanhukum.or.id : masyarakat bantuan hukum : @lbh_jakarta

CATATAN AKHIR TAHUN LBH JAKARTA 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.