HAHAHAHA... Citra Humor Dalam Lukisan
Rommy Setiawan
HAHAHAHA... Bentara Budaya Yogyakarta, 14 - 18 Juli 2011 Kurator Hendra Himawan Penulis Romy Setiawan Dadang Ari Murtono Desain Grafis Bagus Anggoro Fotografi Dewi Bukit copyright @2011 All Rights reserved. No part of this catalogue may be reproduced in any forms or means without written permission from the publisher
Program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta
“HA HA HA HA…” CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
Naluri manusia untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan dan hiburan, sudah dimiliki sejak manusia masih bayi. Sejak seorang bayi dilahirkan, ibu segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan. Hampir setiap saat ibu mengusahakan dengan giat agar sang anak dapat tertawa, ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneh-aneh, memperagakan hal-ha1 yang tidak masuk akal dan selalu merangsang agar anaknya suka tertawa. Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan “kegembiraan” sudah melekat erat dalam dirinya. Manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan akan selalu mengembangkan akalnya untuk mencapai dan mencari kualitas hidup yang lebih baik, sehingga untuk mencerminkan aktivitas tersebut, saya mengangkat tema “HA HA HA HA… CITRA HUMOR DALAM LUKISAN”. Peluang-peluang kreatif penciptaan karya lukis saya secara garis besar bisa dikatakan sederhana yaitu humorik atau apapun bisa tercitrakan untuk menjadi lucu, bisa saja mentertawakan diri sendiri, orang lain, ataupun lingkungan sekitar. Sebab dalam hal ini saya mengambil spirit seorang anak kecil ketika menyikapi segala sesuatu yang ada disekitarnya, semuanya begitu riang dan menyenangkan. Melalui pengalaman dan pengamatan yang saya lakukan terhadap pengaruh tertawa terhadap kecerdasan humor, vitalitas hidup, dan kodrat manusia sebagai mahluk sosial, semuanya termanifestasikan pada karya-karya saya kali ini. Proses kreatif juga melibatkan imajinasi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan improvisasi-improvisasi dalam bentuk, komposisi dan pewarnaan sesuai suasana batin saat itu. Setelah melakukan dan mencoba bereksplorasi dengan berbagai media, akhirnya saya memilih pensil sebagai medium utama kekaryaan saya. Pensil adalah medium utama yang saya gunakan untuk mentransfer dan mendokumentasikan bentuk dan gambar, dalam hal ini pensil sangat berperan besar sebagai penghubung fisik antara mata, pikiran, dan tangan. Romy Setiawan
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Jula-Juli Romy: Kidung Visual dan Spiritual
Hendra Himawan S.Sn*
(satu) Latar Ludruk dan Satire
“Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro” (Cak Durasim , Loedroek Organizatie (LO), 1933)
“PURNAMA JAYA” adalah grup ludruk asal Desa Kemiri, Pacet, Mojokerto. Di era 90-an, grup ini sempat berjaya yang ditandai dengan tingginya tawaran pentas keliling. Para pemainnya juga berasal dari penduduk desa sendiri. Dari Kediri, Tuban hingga Banyuwangi, grup ini melantunkan jula-juli. Ludruk ini dipimpin oleh Purhadi, seorang guru di SMK Negeri Pungging, Mojosari, yang tak lain adalah ayahanda Romy. Dalam irama gending dan geliat Ngremo, Romy dibesarkan. Masih segar diingatannya saat ikut rombongan ludruk pentas dari dusun ke dusun, maupun menyimak latihan di balai dusun. Memori tentang ludruk dan jula-juli inilah yang terinternalisasi dalam proses kreatif Romy. Entah disadari atau tidak, gaya humor ‘sampakan’ (parikeno) menjadi spirit dalam goresan pensil maupun pokok perupaannya. Humor ludruk yang terkesan ‘saru’ dan ‘kasar’, mlipir dari pinggir, disuarakan rakyat ‘pinggiran’, adalah strategi yang digunakannya untuk mengungkapkan gagasan. Kita akan salah jika mengharapkan dapat tertawa tergelak-gelak saat melihat lukisan Romy, dan akan bertambah kesalahan kita kalau kita menganggap bahwa lukisannya tidak ada yang lucu! Baginya, humor itu suatu keseriusan!
Humor dalam pandangan Romy, sangat berbeda dengan banyak pandangan awam. Melihat kedalam lukisannya, seakan tersirat sebuah alasan persaksian bahwa humor yang terselip dalam karikatural objek adalah sebuah sketsa vibrasi keluhan dan potret sosial dari lingkungan sekitar. Baginya, tertawa bukan penjelmaan dari ekspresi membuka mulut lebar-lebar lalu terbahak-
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
bahak, melainkan sebuah kegetiran untuk menumpahkan fantasi senyum. Dimensi inilah yang menguatkan aspek-aspek humor menjadi medan penumpahan dan emphasis keseriusan untuk menjadi ‘satire’. Inilah yang kemudian menjadi dalih penciptaan Romy. Wacana yang diusungnya berpijak dari kenyataan sehari-hari, -meski hadir dalam bingkai imajinasi. Hal yang sama terjadi dalam ludruk di mana parikan-parikan ludruk selalu menyentil ketajaman nurani sekaligus mengoyak kesadaran manusia. Meski dihadirkan dengan bahasa metafora, sasaran parikan tetap dikenali penontonnya. Spirit yang sama dengan adegan ‘Goro-Goro’ yang menempati petak marjinal dalam dunia pewayangan. Adegan ini selalu dinantikan oleh penontonnya meski ditempatkan pada dini hari menjelang fajar. Pada adegan itulah para Punakawan hadir menciptakan ke-jenial-an humor satire. Dalam skenario dalang, Ki Semar akan ngejowantah, merefleksikan kekinian yang dilindapkan dalam bahasa ‘pasemon’.
Dibutuhkan sensibilitas diri dalam memahami humor satire à la Romy. Tidak saja figur imajinasi yang hadir mendominasi, tebaran tanda yang riuh, mengajak kita untuk menyelami pelan-pelan untuk bertemu dengan ‘sang humor’.
Humor Romy adalah antiklimak. Saat realita kepedihan ditertawakan, dan setiap tawa seakan hanya berujung pada kucuran air mata. Sense of humour menjadi jalan untuk mengungkap kesialan hidup dan pupusnya kepekaan dari indera kita. Baginya, di tengah dentuman modernism, humor telah meruang dan mengaklamasikan diri menjadi arena katarsis yang meletup dari kemajemukan dan kegelisahan psikis manusia dalam menyikapi hidup.
‘Panggung Humor Romy’ ini memang tidak bisa dilihat sekilas. Ia adalah humor yang berfikir. Kata ‘lucu’, mungkin hanya akan kita lihat dari bentuk figure dan beberapa adegan yang dihadirkannya. Namun lebih jauh dari itu, senyatanya humor Romy harus dilihat dalam pengamatan yang lebih mendalam. ‘Kelucuan’ itu diletakkannya dalam dimensi konotasi fase kedua, ketiga dan selanjutnya. Butuh pemikiran lebih dan pemahaman yang luas untuk ‘berjabat tangan’ dengan humor-nya. Tapi inilah jula-juli humor Romy. Ia hadir dalam belitan tanda, dalam figure yang riuh dalam bentuk objek yang karikatural. Gambar-gambar karikatur dalam lukisan Romy adalah lindapan potret permasalahan masyarakat yang menyentuh sublimasi kemanusiaan. Ia berbicara banyak hal. Mulai dari piknik à la kaum kecil, hingga persoalan nuklir. Dari mimpi ingin terbang hingga group musik spiritual. Ia menyentuh sisi liar dalam diri manusia hingga eksistensi Tuhan yang kadang terlupa. Pameran ini seakan menegaskan bahwa humor adalah hal yang esensial dari hidup manusia, dan ia mampu menjadi jalan untuk menuju ‘kesadaran diri’. Mengajak manusia untuk membangkang sejenak dari kejumudan hidup, mengintip realitas sebenarnya dari balik jendela. Merasakan kepekaan diri, membangkitkan kesadaran
HA HA HA HA...
untuk berfikir santun tanpa kehilangan kata senyum. Humor Romy kadang menampar tepat di muka kita, walaupun satire humor itu tidak dalam kapasitas pukulan ‘hook’ yang mematikan. Kadang ia mengajak kita untuk menertawakan sesuatu dibalik jendela yang dibuatnya, yang sekaligus menertawakan diri kita sendiri. Keampuhan humor Romy terletak di kesanggupannya untuk merogoh pikiran kita sedalam-dalamnya, hingga menyentuh vibrasi emosional kita. Humor dalam lukisan Romy adalah humor yang hadir dalam kematangan berfikir. Tidak hanya joke-joke ringan, kelugasan wajah, ataupun gerak verbalistik yang memancing tawa. Humor dihadirkan sebagai citra dari perenungan yang dalam, meregum kecerdasan dan ke-jenial-an. Melihat gaya berfikir dan strategi narasi Romy dalam lukisannya, kita akan diingatkan dengan siasat ludruk Cak Durasim. Bagaimana ia melakukan kritik satire lewat secara gencar terhadap pemerintah Jepang dalam parikan “Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro” (Pagupon rumah burung dara, ikut Nippon tambah sengsara). Parikan satire yang hadir dalam ludruk senyatanya mampu menumbuhkan kekuatan dan akumulasi energi psikis rakyat Surabaya atas pendudukan Jepang. Coligo in sole, ungkapan latin yang berarti ‘melek tetapi tidak melihat’, adalah gambaran yang mungkin tepat dengan kondisi kita saat ini. Sebuah analogi atas masyarakat yang membutuhkan humor agar tetap ‘melek’, terjaga dan tersadar sisi lahir maupun batinnya. Humor menyelinap dalam sisi keangkuhan manusia, ketulian pendengaran, kebutaan penglihatan dan ketumpulan nurani, yang entah disengaja ataupun tidak. Dalam lukisan Romy, humor hadir mentahbiskan diri sebagai ‘institusi’ yang mampu memicu lahirnya kritik diri. Layaknya anak kecil yang melantunkan kepolosan, ia memprioritaskan pada pelepasan nilai-nilai kebenaran. Humornya, bukan sekedar ampas pelepas penat, apalagi “kentut emosi” yang lekas menguap. Keampuhan humor Romy terletak di kesanggupannya untuk merogoh pikiran kita sedalam-dalamnya, hingga menyentuh vibrasi emosional kita.
(dua) Drawing dan Jelajah Estetik Teknik drawing adalah salah satu kekuatan Romy dalam berkarya. Bagaimana craftmanship yang dimilikinya, tergurat dalam detail-detail arsiran (hatching) dengan intensitas yang mampu menciptakan ‘kedalaman’ tersendiri. Drawing, pada tingkat pengertian yang paling sederhana adalah dasar bagi segala hal dalam seni rupa. Ia menjadi bagian yang paling fundamental sekaligus populer sebagai media ekspresi publik sepanjang sejarah. Drawing atau gambar mampu berdiri sendiri sebagai fakta kasat mata yang mampu memperlihatkan pikiran dan dan perencanaan seniman dalam jelajah kreativitasnya.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
Pada tingkat pertama, drawing dapat diidentikkan dengan sketsa, yakni sebuah catatan atau rekaman atas objek dan peristiwa yang digambar dengan cepat, yang dianggap menarik oleh penggambar. Bagi seniman, gambar kasar ini biasanya akan diteruskan untuk membuat karya berikutnya. Kedua, gambar hadir sebagai sebuah karya yang utuh dan berdiri sendiri. Ia mampu mewakili segenap pernyataan seniman, tanpa perlu dilanjutkan lagi untuk menghadirkan karya yang baru. Pada tahap ini, drawing seringkali dianggap hanya sebatas teknik perupaan, padahal senyatanya tidaklah demikian. Käthe Kollwitz, Max Beckmann, Jean Dubuffet, Egon Schiele, Paul Klee, Oscar Kokoschka, Alphonse Mucha, M. C. Escher, André Masson, Jules Pascin, dan Pablo Picasso adalah beberapa seniman yang banyak menggunakan drawing sebagai media perupaan karya. Drawing secara tradisional selalu monokromatik, meskipun terkadang menggunakan beberapa warna sebagai elemen pendukung. Dalam Gerald F. Brommer, Exploring Drawing. Worcester, Massachusetts: Davis Publications. 1988, dan Betty Edwards, The New Drawing on the Right Side of the Brain, Harper Collins Publishers Ltd; 3Rev Ed edition, 2001, diungkapkan bahwa di era modern ini kehadiran drawing dengan menggunakan pensil warna, telah mendekati bahkan melintasi batas antara ‘drawing’ dan ‘painting’. Namun, senyatanya dalam terminologi Barat, ‘drawing’ dan ‘painting’ jelas berbeda meskipun menggunakan media dan alat yang sama. Penggunaan media kering juga sering diasosikan dengan ‘drawing’, sebagaimana penggunaan kapur pada lukisan pastel. ‘Drawing’ akan lebih diidentikkan dengan media untuk melakukan eksplorasi, observasi ataupun strategi dalam mengatur komposisi visual. Namun terlepas dari permasalahan ini, drawing merupakan satu hal penting yang digunakan dalam persiapan melukis. Dalam karya Romy, drawing hadir sebagai media dan teknik yang berdiri sendiri. Pensil di gunakan Romy untuk mendokumentasikan seluruh gagasannya. Menurutnya, drawing dipilih karena ia mampu melakukan kontrol yang lebih saat membuat sebuah karya. Berbeda dengan cat minyak yang lama kering dan butuh kepiawaian khusus atau cat akrilik yang lebih cepat kering, dengan pensil, Romy mampu menaklukkan kanvasnya. Lebih lanjut, diakuinya pensil memang mempunyai berbagai kelemahan dalam mengejar intensitas dan kepekatan warna, untuk itu ia meng-combine dengan beberapa media. Dalam prosesnya, ia menggunakan beragam jenis pensil, mulai dari pensil tipe B untuk membuat sketsa hingga pensil tipe H untuk membuat beragam ornamen dan ‘konstruksi’ dalam lukisannya. Pensil tipe B ia gunakan untuk mengejar kepekatan warna sekaligus lebih lunak dipakai. Penggunaan beberapa jenis pensil ini diupayakan untuk menetukan value dan tekstur arsir yang diinginkan sekaligus mampu menghasilkan efek visual yang beragam. Ragam teknik arsiran juga digunakan Romy untuk mengkontrol tampilan visual yang hendak dibuat. Pada beberapa bagian ia menggunakan garis paralel, diagonal dari kanan ke kiri. Konsep utama dari arsiran (hatching) adalah bahwa kepadatan, jumlah,
HA HA HA HA...
dan ketebalan garis akan sangat memengaruhi efek bayangan yang dihasilkan. Dengan meningkatkan kepadatan, jumlah, dan jarak antar garis, maka bayangan yang dihasilkan semakin gelap, begitu pula sebaliknya. Beberapa diantaranya ia menggunakan arsiran melintang (cross-hatching) untuk mengejar blok dan pewarnaan yang lebih gelap. Kontras bayangan dicapai dengan mendekatkan dua jenis hatching yang berbeda sudut garisnya. Sebagai hasilnya, variasi garis ini mampu memberikan ilusi warna dan menghasilkan imaji yang realistis. Broken hatching (intermitten line) atau arsiran patah-patah digunakan Romy untuk membentuk kesan cahaya dan volume pada sebuah bidang. Dengan mengkontrol intensitas patahan arsiran, maka gradasi warna akan mudah dicapai. Untuk membuat arsiran yang halus dan memperlihatkan tekstur yang kuat, ia menggunakan pensil mekanik dengan jenis 2B. Huruf B menginformasikan ketebalan (boldness), yang berarti kandungan grafitnya lebih banyak dibandingkan dengan tipe H. Pensil mekanik 2B yang digunakan mempunyai ketebalan garis 0.5 mm dengan panjang batang 7,5 cm. Untuk sebuah lukisan, Romy akan menghabiskan 100 hingga 200 batang pensil mekanik, tergantung dari kerumitan visual dan intensitas warna yang diinginkan. Peenggunaan pensil jenis mekanik ini diakuinya lebih mempermudah pengerjaan karya karena mempunyai kandungan graphite yang lebih padat, sehingga tidak terlalu boros dan lebih praktis karena tidak perlu menggunakan rautan. Dalam karya Romy, akan kita temui arsiran yang cenderung lembut hingga terkesan ia menggunakan teknik dusel dalam drawingnya. Padahal senyatanya tidak, arsiran lembut yang dibuatnya adalah salah satu bentuk teknik shading, adalah tehnik memvariasikan intensitas warna pada bidang gambar, semisal untuk mempresentasikan bentuk bayangan. Teknik ini juga digunakan untuk menghasilkan efek refleksi sinar, bayangan hingga pencahayaan gambar secara realistik. Efek dari teknik shading ini didapatkan dengan membuat arsiran yang lembut dan intens. Teknik ini ia hadirkan dalam beberapa karyanya, seperti Jangan Takut Bermimpi ( 2011), Play and Pray (2011) dan Yin Yang (2011). Selain menggunakan pensil, Romy juga menggunakan media seperti graphit dan akrilik untuk menghasilkan beberapa efek visual seperti berasap, kesan basah dan kering dan beberapa efek lainnya. Pensil mekanik 2B yang digunakan mempunyai ketebalan garis 0.5 mm dengan panjang batang 7,5 cm. Untuk sebuah lukisan, Romy akan menghabiskan 100 hingga 200 batang pensil mekanik.
Pengukuran dimensi gambar dan keruangan juga menjadi beberapa hal penting dalam proses penciptaan karya Romy. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan keberadaan subjek yang akan dihadirkan. Alat seperti penggaris dan jangka digunakannya untuk membuat layout dan pembagian keruangan. Adapun perspektif ruang yang dibangun, ia menerobos kaidah perspektif linear Ă la Renaissance, yang membagi menjadi beberapa titik poin perspektif (2,3 atau
lebih). Ia mencampur adukkan titik-titik perspektif itu sesuai dengan keinginannya. Ada beberapa karya yang dihadirkannya dalam titik pandang atmospherik dimana objek
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
digambarkan secara foreground, dicampurkannya dengan perspektif yang ‘juktapose’, sebagaimana perspektif yang berlaku pada relief candi ataupun wayang beber. Objek yang dekat diletakkan di bawah, dan yang terlihat jauh di letakkan di atas, berurut secara vertikal. Ketidakberaturan perspektif adalah hal yang ingin dicapainya. Dalam pokok perupaan, bentuk objek yang diciptakan oleh Romy banyak terinspirasi oleh figur-figur kartun dalam film animasi, mainan anak-anak, berikut figur imajiner yang diciptakannya sendiri. Beberapa bentuk yang diciptakannya banyak pula yang berawal dari deformasi dari binatang-binatang yang ada disekitar kita. Beberapa figur juga diinspirasi dari tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan. Kemampuannya untuk menjelajahi setiap aspek artistik diwujudkannya mulai dari motif kayu, bebatuan, kain batik, tumbuhan hingga kerak-kerak konstruksi bangunan. Luasnya penjelajahan artistik ini pula yang menghantarkan Romy memasuki ruang-ruang wacana yang tidak berbatas dan sengaja untuk tidak ia batasi, sekaligus menunjukkan luasnya keinginan dan gagasannya. Kesan cerewet serta merta memang menjadi prasangka saat melihat karyakarya ini, namun sejatinya ia mampu membingkai semua permasalahan dalam wacana yang kuat, reflektif sekaligus mewadahi apresiasi publik secara lapang tanpa kehilangan ruang kritisnya.
(tiga) Dari balik ‘jendela’ Dalam pameran ini, Romy menghadirkan jendela sebagai elemen artistik untuk membingkai setiap gagasannya. Menggunakan kayu jati yang dipolitur dengan gurat tekstur yang masih dibiarkan kentara, bentuk masif diperlihatkannya dengan kuat. Sebagai pendukung narasi dalam karya-karya ini, ia menambahkan pegangan jendela dengan engsel berwarna perak untuk menghadirkan kesan yang lebih familiar dengan keseharian kita. Sebuah daun jendela yang kita buka setiap hari, dan menutupnya saat senja menjelang. Sebagai elemen sekunder dalam sebuah rumah, keberadaan jendela seringkali abai untuk dimaknai keberadaannya sebagai bagian dari sebuah rumah. Padahal kenyataannya jendela itu adalah elemen yang penting. Dibandingkan dengan pintu, jendela menjadi ruang bagi pemilik rumah untuk berinteraksi dengan dunia luar tanpa kehilangan ruang privasinya. Melalui jendela, seseorang mengerti apa yang sedang terjadi di dunia luar. Merasakannya, meski hanya sekedar mengintip atau mengintai. Melalui jendela ini pula ia mengajak audiens untuk merefleksikan diri. Ibarat kaca jendela yang acapkali dikenakan untuk bercermin, realitas yang ada di luar jendela adalah cermin hidup kita.
Menarik konsep tentang jendela dan menautkannya dengan proses kreatif
HA HA HA HA...
Romy, sungguh kita akan menemukan benang merah yang terajut erat. Bagaimana ia menggunakan drawing sebagai bahasa primer dalam mengungkapkan gagasannya, disaat orang lain begitu mengunggulkan cat minyak, akrilik bahkan digital printing sebagai bahasa ungkap. Drawing adalah teknik yang selama ini di-sekunder-kan dalam seni lukis, meskipun ia menjadi elemen paling mendasar dalam sebuah proses penciptaan karya. Membaca lebih lanjut proses kreatif yang dilakukannya, jarang ia membidik sesuatu permasalahan mainstream secara lugas dan frontal. Ia hanya mengintip apa yang sedang terjadi di luar tanpa mau ikut campur dan berbicara banyak. Karya-karya yang dihasilkannya selalu menghadirkan sisi paling lumrah dari realitas yang ada, namun senyatanya mengancang permasalahan yang besar. Layaknya mengintai dibalik tirai, ia menjaga privasi maksudnya. Setiap gagasannya hadir melalui jeratan simbol yang memicu ribuan makna. Ia selalu membidik persoalan dengan berjalan di pinggir (jawa: mlipir), dan dari pinggiran itulah ia bersuara. Melalui jendela ini pula ia mengajak audiens untuk merefleksikan diri. Ibarat kaca jendela yang acapkali dikenakan untuk bercermin, realitas yang ada di luar jendela adalah cermin hidup kita. Sekilas melihat ‘jendela-jendela’ yang membingkai karya Romy ini, kesan seragam memang sengaja dihadirkannya. Baik dari bentuk, warna hingga penempatan elemen komplemennya, pegangan jendela dan engsel. Penyeragaman bingkai visual ini diupayakan untuk memberikan sebuah penegasan di mana seluruh karya mempunyai bingkai permasalahan yang sama, mengusung wacana yang sama, meskipun di hadirkan visualitas yang beragam. Melalui jendela-jendela ini, ia mengajak kita untuk melihat realitas yang ada. Menyindir setiap polahnya, menertawakan setiap pongahnya.
(empat) Hitam dan Putih : Warna-warna Spiritualitas Lukisan Romy, menghadirkan warna-warna monokromatik. Dominasi warna hitam hadir sebagai efek dari material pensil yang digunakan. Warna hitam dalam definisi ideal adalah representasi ketidakhadiran sedikit pun warna atau cahaya di dalam sebuah ruang gelap. Dalam seni rupa, hitam sering digunakan dalam penyajian karya, mengingat hitam yang didampingkan dengan warna lain mampu memperkuat kesan warna tersebut. Hitam juga bersifat kuat, sehingga tidak mudah dikotori warna lain. Cahaya yang mengenai bidang hitam pun cenderung terserap maksimal. Equilibrium akan mengakibatkan stagnasi, dan saat terjadi stagnasi maka tidak akan ada kegairahan, dan saat ini terjadi maka waktu tinggal menunggu ajal atau kematian.
Dalam banyak kebudayaan, hitam sering diasosiasikan sebagai hal buruk seperti ilmu hitam, gelap mata dan duka cita. Namun ditemukan pula pengaruh positif dari penggunaan hitam, seperti memperlihatkan ketegasan. Warna putih kanvas, dimaksimalkan oleh Romy untuk menunjukkan volume, ruang dan kebentukan objek. Seakan tanpa disadari,
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
dwiwarna dominan ini mendorongnya lahirnya lambang-lambang ‘suci’ yang tersemat dalam karya-karyanya. Beberapa lambang Yin Yang hadir membingkai makna warna. Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam pemaknaan yang harafiah, lambang warna ini menandakan mekanisme dunia yang tidak pernah memiliki kebenaran mutlak dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Prinsip Yin Yang (negatif positif ) memiliki sifat dualism . Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan musim panas, utara dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan maskulin, hitam dan putih, bumi dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi. Prinsip ini pun bukan hanya dimonopoli masyarakat China, karena masyarakat Bali pun menghadirkannya dalam kain poleng (bermotif kotak-kotak hitam putih), perlambang harmonisasi tenaga negatif dan positif semesta. Prinsip Yin Yang menekankan bahwa tidak ada Yin atau Yang yang mutlak. Setiap Yin akan memiliki sedikit Yang dan sebaliknya, sebagaimana lambang Tai chi di mana bagian hitam memiliki titik putih, dan putih dengan titik hitam. Gambar Tai chi dalam karya-karya Romy ini mengilustrasikan prinsip Yin Yang secara sempurna. Andaikan Yin mutlak sampai terjadi, maka bahayanya akan sama bila Yang mencapai titik mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin, ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya. Sebaliknya, prinsip Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium akan mengakibatkan stagnasi, dan saat terjadi stagnasi maka tidak akan ada kegairahan, dan saat ini terjadi maka waktu tinggal menunggu ajal atau kematian. Menyandarkan paparan tersebut ke dalam karya Romy, warna hitam dan putih yang dituangkan dalam arsiran yang lembut, bersitekun seraya berdzikir, telah menjadikan Romy menggayuh batas-batas kesadaran spiritual, intuitif dan meretas linearitas (lateral). Kedua warna itu telah menghantarkannya dalam pehaman atas keseimbangan yang tidak boleh melebihi batas kemutlakannya. ‘Hitam’ tidak boleh menjadi legam, ‘putih’ tidak boleh mengaburkan, hal inilah yang mesti berlaku baik dalam pemikiran ataupun realitas manusia. Spirit keseimbangan inilah yang bersenyawa dalam setiap karya yang dipamerkan.
HA HA HA HA...
(lima) Antiklimak! Sekali lagi, lukisan Romy adalah sebuah antiklimak! Dimensi humor yang terbahak dan dipenuhi gelak, sudah dilewatinya. Refleksi diri dalam rentang keseimbangan antara hal yang remeh dalam keseharian dan sesuatu yang berat dipertemukan dalam bahasa visual yang agitatif. Setiap karyanya hadir sebagai antiklimak dari peradaban unggul manusia, dicirikannya dengan bangunan-bangunan tinggi dengan konstruksi yang berjalin pidan, penuh sesak dengan populasi massa yang banyak. Riuhnya peristiwa dan orientasi akan materi telah membuat sebagian orang atau entitas mulai mempertanyakan nilai-nilai spiritualitas dan religi. Di tengah kebimbangan dan akar kultural yang hilang, mereka menciptakan lambang-lambang spiritual yang dekat dengan kehidupan mereka sendiri, dalam pandangan mereka, Tuhan tidak lagi berada dalam satu tahta, Dia bisa hadir dimana saja dalam bentuk apa saja.
Tuku ketan campure gulali, pameran niki Jula-Juli ne Romy Yu Painten klĂŠlĂŠkĂŠn timbo, cekap semanten atur kawulo Yogyakarta, 4 Juni 2011
*kurator adalah sahabat dekat Romy dan pecinta musik dangdut!
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Alone 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati, 2011
Kesendirian adalah sebuah ironi hidup yang ingin digambarkan oleh Romi. Satu-satunya figur mahkluk hidup hanya seekor binatang, yang khas dan imajinatif. Audiens bebas menafsirkan apakah binatang itu anjing, atau sapi, atau bahkan mutan. Tidak ada batasan tafsir di sini. Tatapan sayu yang dimunculkan oleh si figur, dengan senyum yang masih terkembang menandakan sebuah optimisme harapan bahwa ia tidak sendirian di sana. Karya ini mengingatkan kita pada film “I Am Legend� (2009) yang dibintangi oleh Will Smith. Di mana si tokoh utama menjadi seorang manusia satu-satunya yang tinggal di New York setelah kota tersebut terkena virus mematikan. Setelah semua orang diungsikan ke luar kota, hanya ada si tokoh utama beserta anjingnya, Samantha yang menjaga kota. Kesetiaan anjing menemani sang tuan adalah sisi paling esensi dalam film ini. Berjalan mengelilingi rimba bangunan besi yang sudah tak bertuan, memerangi para zombie yang berkeliaran, bahkan bercengkrama dengan tuannya sendiri. Kemudian kita akan disadarkan, bahwa fitrah hidup manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain justru kadang memicu munculnya ego agar ia selalu ditemani. Dari titik inilah karya Romi kemudian menjadi sangat berarti. Ia menyampaikan satire atas keegoisan sifat manusia, di mana mereka hanya memanfaatkan binatang-binatang untuk kepentingan mereka. Jika sudah tidak dibutuhkan, maka binatang-binatang itu akan dibuang dan atau ditinggalkan. Meskipun demikian, binatang tersebut tidak sekalipun menaruh prasangkan atas diri majikannya. Alih-alih bersedih, mereka justru tetap diam, menanti, dengan senyum setianya, sebagaimana kisah kesetiaan anjing dengan tuannya dalam film Hachiko (2010).
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Ars Longa Vita Brevis 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
“Ars longa, vita brevis, occasio praeceps, experimentum periculosum, iudicium difficile. Life is short, [the] art long, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult.” Hippocrates
Hadirnya zebra mungkin dilihat sebagai center of interest karena ia menyita sepertiga ruang dalam lukisan ini, namun sebenarnya bukan itu yang ingin disampaikan oleh Romy. Pohon bambu yang terjalin dengan batang yang bengkok-bengkok adalah objek primer dalam gagasannya. Filosofi bambu yang tumbuh terus ke atas, berakar kuat, dan bahkan menjadi salah satu tanaman yang memiliki tinggi lebih dari 30 meter serta berumur panjang menjalin makna yang lebih. Bahkan bambu di sana juga melindungi si tengkorak yang sedang duduk bersila sambil membaca buku mengenai ART. Entah apakah itu merupakan sindiran atau tidak terhadap dunia seni yang begitu rumit? Bahkan sampai sosok manusia berubah sampai menjadi tengkorak pun belum bisa memahami apa itu seni? Ars Longa Vita Brevis, slogan reflektif inilah yang disuarakannya. Keseimbangan dalam setiap proses hidup. Modernitas hadir untuk memaknai tradisi yang humanis, kekacauan hadir untuk mengingatkan perdamaian, dan ‘art’ hadir untuk memaknai proses hidup. Semuanya akan dilewati dalam kilasan kesempatan, proses kreatif yang bertubi-tubi dan pilihan yang sangat berat. Inilah tesis yang terkadang ‘terlupakan’ dan ‘dilupakan’.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Balancing 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
Inilah sekumpulan makhluk yang mirip dengan moster kanak-kanak yang bertemu dan berkesan canda. Inilah fantasi dan imaji Ă la dunia komik. Romy menyelami bentuk-bentuk animatic dan menyematkan karakter yang antagonis, jauh dari persepsi protagonis yang selalu hidup dalam sedih dan tangis. Anatomi tubuh yang dibuatnya pun tidak menunjukkan kesan yang ‘baik-baik’ saja. Ada prasangka akan sifat tidak menyenangkan yang dibawa seiring penampakan tersebut. Dalam pandangan normatif, segala sesuatu yang baik dan menyenangkan adalah hal-hal yang berpenampakan normal. Seperti apa adanya. Tidak menyalahi aturan atau sistem yang berlaku. Sedangkan mereka yang tidak baik, jahat, dan kejam adalah mereka yang berpenampilan buruk, dengan penampilan yang abnormal. Tapi, apakah anggapan tersebut selamanya benar, hanya karena pendapat seperti itu telah menjadi semacam konvensi bersama? Senyatanya Romy tidak bermaksud demikian. Makhluk-makhluk yang dipersepsikan jahat justru sedang tertawa, lepas dan polos, alihalih licik. Mata mereka pun tidak menyiratkan keburukan maksud. Mulut yang terbuka lebar dengan gigi bertaring di dalamnya malah menambah kesan lucu dan menyenangkan dibanding kesan aneh maupun menyeramkan. Figure imajinatif ini sesungguhnya adalah deformasi dari binatang-binatang yang ada disekeliling kita. Gajah, anjing, kumbang, bunglon, buaya hingga sulur-sulur gurita diolahnya dalam imajinasi bentuk yang lucu meski terkesan menyeramkan. Lambang ta’ichi yang tersemat kecil di antara sulur-sulur adalah objek kunci dalam lukisan ini. Bagaimana ia memaknai kesembangan dalam ranah yang proporsional. Didalamnya tersemat pula kesan bahwa figur-figur ini menekankan keseimbangan pikir. Anggaplah bahwa tidak selamanya yang berpenampilan buruk itu juga memiliki hati yang jahat. Namun juga sebaliknya, tidak juga mereka yang berpenampilan manis serta baik akan memiliki hati sebaik penampilannya. Disini Yin Yang menemukan pengejawantahannya.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Bersyukur 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
Instead of drinking Coca Cola, turn on the tap and drink what the good Lord gave us. Edwina Currie (1946)Â
Ibarat di tengah kota, dimana ada air disitu akan berkumpul umat manusia. Dalam catatan sejarah, semua peradaban manusia, dibangun di dekat pusat atau aliran air. Mulai dari peradaban sungai Indus, kota Mekkah dengan sumur zamzam, hingga Majapahit dengan aliran sungai Brantas nya. Dari aquaduct di era Romawi Kuno hingga sumur timba di desa-desa Jawa, seakan menjadi penanda betapa air tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan peradaban manusia. Melihat ke dalam lukisan ini, objek sumur dengan katrol (timba) berikut ember kecil yang tergantung seutas tali, menjadi pusat dari gagasan penciptaan karya ini. Sumur itu menjadi totem atau pengingat, bahwa manusia harus bersyukur atas limpahan air dan segenap kemudahan yang diberikan oleh Ibu Bumi kepada mereka.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Harmoni 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu jati 2011
“Beauty is in the ideal of perfect harmony which is in the universal being; truth the perfect comprehension of the universal mind. We individuals approach it through our own mistakes and blunders, through our accumulated experience, through our illumi” Rabindranath Tagore
Sebuah musik yang baik akan lahir dari harmonisasi nada dari alat yang dimainkan. Dalam format band, musik akan lahir dari sinergi para pemaninnya. Tidak ada yang mendominasi, membuang ego pribadi hingga lahir nada-nada yang mampu menciptakan energy yang baik bagi pendengarnya. Sinergi yang harmoni inilah yang ingin diungkapkan Romi. Empat subjek yang dihadirkan, merupakan perlambang dari berbagai agama yang ada di bumi. Sosok bersorban dengan bulan sabit sebagai lambang kekhalifahan Islam, sosok pria dengan salib di dadanya, figur Budhist diatas teratai dan sosok Ganesha dengan keempat tangannya. Mereka sedang bermain band. Menciptakan nada dan irama yang mampu menghadirkan harmony bagi kehidupan manusia. Disini, sindiran terucap, atas konflik antar umat beragama yang semakin marak. Agama senantiasa mengajarkan kebajikan yang sempurna, namun pemahaman dan pemikiran yang sempit telah meruntuhkan harmonisasi yang terjadi. Kalau ‘mereka’ saja bisa bermain band bersama, mengapa umat beragama harus saling berkonflik satu dengan lainnya? Inilah ungkapan satire yang diajukan Romy.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Jangan Takut Bermimpi 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
“Setiap kali ia mengamati kepakan sayap burung, dia menjadi begitu berhasrat untuk menirunya. Untuk naik keatas langit, melihat dunia dari atas. Sebuah obsesi yang dimulainya sejak masa kecil”. (Profanity: The Secret Of Monalisa, The Davinci Files. The Darkest Side of Brightest Man ) Keinginan manusia untuk melawan gravitasi, selalu hadir dari keinginan untuk bergerak layaknya burung. Keinginan ini tertuang dalam banyak imajinasi maupun eksperiment yang terkadang mengundang cemooh banyak orang. Terbang layaknya burung, adalah mimpi terbesar Leonardo Da Vinci. Dalam film Profanity: The Secret Of Monalisa, diungkapkan bahwa senyum rahasia Monalisa adalah ungkapan yang merefleksikan ambisi dalam kehidupan Da Vinci. Suatu kehidupan yang mencari kesempurnaan, yang tidak tercapai. Sebuah kehidupan di tahun 1503, yang dipenuhi ambisi yang paling menakjubkan pada diri seorang manusia, untuk terbang melintasi langit seperti burung. Hingga pada 1909 Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka di Eropa dan Amerika. Sebuah prestasi yang mengubah peradaban dunia, sesuatu yang diimpikan oleh Da Vinci, Otto Lilienthal (seorang German yang menginspirasi Wright Bersaudara), dan ribuan orang di muka bumi. Mimpi terbang pun di ungkapkan Fujiko Fujio dengan baling-baling bambu dalam kartun Doraemon. Sesuatu yang besar dimulai dari bermimpi, dan berimajinasi. Bukankah demikian yang diisyaratkan Einstein bahwa, “imagination is more important than knowledge ?”
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Piknik 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
Nikmat kau hisap asap tembakau, Di bangku rumah kontrakan Sore selesai kerja sehari, Tunggu istri berdandan, Janji pergi berkencan Tak kalah dengan orang gedean, Dalam rasakan senang Walau lembaran gaji sebulan, Hanya cukup untuk kakus Soal rekreasi sih harus Berilah tawa yang terkeras, Untuk obati tangis lalu Limpahkan senang paling indah, Agar luka tak nyeri, Agar duka tak menari (Libur Kecil Kaum Kusam, Iwan Fals dalam album Wakil Rakyat, 1987)
Dalam karya ini Romy mengambil potret tokoh Punakawan yang sedang menikmati rekreasi. Sebatang lisong mengepulkan asap nikmat, terhisap, melepaskan rasa penat. Petruk berkelakar dengan Rama Semar, seakan menertawakan hidup. Semar pun tersenyum bertutur nasehat pekerti, sementara Kakang Bagong duduk mendengar dan mengamini. Figur Nala Gareng yang serba kekurangan (fisik) menjadi pusat perhatian, berdiri mengumbar senyum, mengapit lisong tanda penuh canda. Punakawan selalu identik dengan potret kearifan rakyat kecil. Kisah Petruk menjadi Ratu Welgeduwelbeh ataupun Nala Gareng menjadi Pandu Bergola adalah cerminan bagaimana mereka menggambarkan para pemimpinnya. Karya ini merupakan sebuah potret bagaimana rakyat kecil menikmati remahremah kebahagiaan hidup. Keluguan yang hadir dengan sedikit bergaya, adalah sekian dari realita yang coba di tawarkan Romy dalam karya ini. Potret yang mengajak kita tersenyum satir dan mengerlingkan canda kita. Bagaimana rakyat kecil tetap berusaha menikmati hidup dengan cara dan kemampuan yang mereka miliki, tak ingin kalah dengan mereka yang mampu, tetap bergaya layaknya orang berpunya. Inilah realitas yang nyata hadir dalam keseharian kita, sebuah cermin hidup yang keras dimana kesempatan seringkali terampas dan kandas.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Monster Energi 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
“kita semua adalah monster energi yang tak kan pernah habis dari waktu kewaktu. semua kemajuan yang kita dapatkan akan sia-sia jika kita mengorbankan semangat kemanusiaan hanya untuk mengejar efisiensi belaka� (Romy Setiawan, 2011)
Antitesis terhadap peradaban dan modernitas yang pada akhirnya membuat manusia menjadi budak dari teknologi adalah sindiran yang ingin disampaikan lewat karya ini. Segerombolan monster dalam berbagai rupa dan bentuk, menyeramkan, tidak ada yang berpenampilan jenaka, adalah apa yang kemudian disebut oleh Romi sebagai para monster pemakan energi. Modernitas yang semakin memanjakan manusia dengan berbagai kemudahan, mulai dari mereka bangun tidur, beraktivitas, hingga akan tidur kembali. Jaringan sosial yang dulunya ditandai dengan komunikasi langsung dengan tatap muka sekarang pun berganti dengan jaringan sosial media, menciptakan ruang-ruang virtual kosong yang nantinya menciptakan ‘para monster pemakan energi’. Bahkan manusia tidak lagi punya energi untuk bergerak, karena terlalu dimanjakan dengan teknologi. Inilah potret realita kita hari ini, saat teknologi makin menjadi, hilanglah nurani. Kemanusiaan hanya slogan yang akan kita ingat saat petaka teknologi menyerang sisi riil dalam kehidupan kita.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Play & Pray 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
Bukan tanpa alasan kiranya jika Spongebob dan Patrick, dua sahabat yang hidup di Bikini Bottom, sebuah dunia khayalan di Samudra Pasifik dihadirkan duduk bersila, menangkupkan kedua tangan didepan dada. Siput Gary tampak sayu seakan mengikuti irama ‘lelaku’. Diatas mereka duduk seorang badut laksana Sang Guru, bertangan empat menyirat makna. Kepalanya menyangga bangunan, dikelilingi oleh para malaikat yang berpakaian putih lengkap dengan sayap serta ekspresi muka yang jenaka. Dua sosok karya khayal Stephen Hilenburg yang khas dengan United Plankton Pictures Inc. ini, kerap diasosiasikan dengan dunia anak yang tanpa tendensi serta keceriaan bermain. Mereka dihadirkan untuk menghantarkan sebuah sindiran atas dunia yang penuh dengan senyum kepalsuan, penuh tendensi. Setelah bermain, mereka berdoa, bersyukur atas hal-hal baik yang didapat dari Sang Maha Hidup. Bermain dan berdoa, adalah dua hal yang mulai hilang dari benak kita. Individualisme yang ditingkah untuk mencari materi telah mencari nilai-nilai tertinggi dalam masalah duniawi, telah merubah manusia menjadi sosok yang tidak lagi mengindahkan keceriaan dan tawa. Melalui dua kata ini, Romy menyemayamkan keseimbangan, bahwa dunia adalah sebuah permainan yang mesti diikuti dan memaknai jalan Tuhan adalah bingkai yang harus selalu di sadari.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Yin Yang 120 x 80 cm Pensil, Cat akrilik pada kanvas dan Jendela kayu Jati 2011
Semar dan Togog, dua tokoh dunia wayang sedang duduk saling berhadapan diantara tiang-tiang berujung tajam yang dipegang oleh mahkluk berhidung panjang dengan wajah yang menyeramkan. Makhluk-mahkluk itu memegang botol minuman sembari tertawa licik. Diantara Togog dan Semar terhampar banyak mata yang nir-pemilik namun seakan ada untuk mengawasi pembicaraan mereka berdua. Konon, Semar adalah dewa tertinggi di jagat kayangan, namun ia justru ditugaskan untuk menjadi kepala keluarga Punakawan yang akan menemani Pandawa. Sosoknya pun berubah menjadi tua, tidak tampan, berperut besar, dengan ciri khas kucir kepala yang selalu tersemat di kepala. Tidak ada seorang pun yang menafikkan kebijaksanaan Semar. Nasihatnya selalu ditunggu oleh majikannya, pikirannya yang waskita juga menjadi sandaran para dewa di kayangan. Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, ia justru semakin arif dan bijak. Dalam lakon wayang, ia hanya dimunculkan dalam Goro-Goro. Sebuah fragmen yang dimainkan di tengah malam, sebagai bagian khusus yang menyajikan lelucon dan humor. Fragmen yang paling banyak dinanti itulah yang juga sekaligus menjadi bagian untuk menyisipkan nasihat-nasihan dan petuah. Wajar adanya jika momen tersebut yang dipilih, karena manusia akan lebih mudah menerima nasihat dan petuah saat mereka gembira. Semar yang lebih memilih duduk di bawah menghadap majikannya, senyatanya adalah satu bentuk ajakan dari Romi kepada audiens agar melihat hidup dengan sederhana, bijaksana, dan tetap menyisipkan humor agar orang lain tidak merasa digurui. Memiliki ilmu yang linuwih diantara yang lain tidak lantas harus membuat seseorang menjadi sok. Kalaupun ada godaan, sebagaimana yan ditunjukkan pada gambar di atas lewat sosok-sosok yang bergantungan di atas Semar, maka harus tetap disikapi dengan bijaksana, dan tak lupa dengan senyum tetap mengembang.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Playboy Tua 150 x 150 cm Pensil pada kanvas 2010
There are no old men any more. Playboy and Penthouse have between them made an ideal of eternal adolescence, sunburnt and saunaed, with the grey drained out of it.
Peter Ustinov (1921 - 2004)
Menjadi tua adalah hal ditakuti oleh semua manusia. Begitu pula yang dialami oleh sosok kelinci yang mewakili lelaki playboy dalam lukisan ini. Kelinci dirasa mewakili karakter lelaki playboy sebagaimana majalah pria dewasa, Playboy, menggunakan kepala kelinci sebagai ikonnya. Lukisan Romy ini adalah sebuah sindiran, di mana seorang playboy pun mempunyai ketakutan-ketakutan tersendiri. Ketakutan akan ketidakmampuan mengejar gaya hidup yang berkembang, misalnya. Saat wajah yang mulai dimakan usia, tubuh yang tidak atletis lagi, ketidak mampuan diri mengejar materi, tipu daya yang tak lagi mampu menaklukkan wanita, yang diikuti dengan kegagalan cinta yang bertubi-tubi. Saat identitas playboy tak lagi tersemat, sementara hasrat muda tak lagi terwadahi, maka muncullah keputusasaan diri. Untuk apalagi hidup didunia ini?
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...
Kisah Sederhana dari Balik Jendela
Gerimis mulai turun. Kau duduk-duduk di balik jendela mengamati butir-butir air yang mulai banyak menempel di kaca jendela. Lalu kau tersenyum. Teringat sebuah tebaktebakan lama yang berulang diucap orang di warung-warung. Tebak-tebakan yang jawabannya barangkali telah diketahui semua orang, namun tetap saja diucapkan. Terutama pada waktu gerimis seperti ini. “Kenapa kita mesti berteduh bila gerimis datang?” bunyi tebakan itu. Dulu, ketika pertama kali kau mendengar tebakan ini, kau berpikir lama sekali mencari jawabannya sebelum pada akhirnya kau menyerah. “Karena gerimis selalu datang keroyokan. Coba kalau dia datang sendirian, pasti kita tidak perlu takut basah dan berteduh,” jawab si pemberi tebakan. Dan kau tertawa. “Alangkah lucunya,” ucapmu. Kau tertawa terpingkal-pingkal. Sejak itu, kau selalu tertawa tiap kali melihat gerimis. *** Di seberang jalan, seorang anak kecil meringkuk di bawah rindang pohon mahoni. Jendelamu menghadap persis pohon mahoni itu. Dan kau benar-benar tahu bagaimana anak lelaki itu bisa sampai meringkuk di bawah pohon mahoni itu sendirian, berlindung dari gerimis yang kian deras Anak lelaki itu tidak sendirian mulanya. Ada beberapa kawan sebayanya. Mereka bermain petak umpet kemudian. Setelah beberapa kali permainan dan ia selalu tertangkap, ia memutuskan untuk memanjat pohon mahoni itu agar kawannya si penjaga tidak bisa mencari dan menangkapnya. Dan harapannya terkabul. Kawannya si penjaga itu tidak tahu di mana ia bersembunyi. Sampai berjam-jam kawannya terus mencarinya dan tak ketemu. Namun gerimis itu datang cepat sekali. Kawan-kawannya berlarian pulang. Ia ingin turun dari pohon mahoni itu. Ia juga ingin cepat-cepat pulang. Namun ia kesulitan turun dari pohon mahoni itu. Gerimis sudah semakin deras. Akhirnya anak lelaki itu berhasil turun juga. Lengan dan kakinya lecet bergesekan dengan kulit pohon mahoni yang keras dan kasar. Namun gerimis telah sempurna menjadi hujan sewaktu ia berhasil menginjakkan kaki di tanah. Deras sekali. Ia tidak berani berlari menembus hujan itu. Ia takut bajunya bakal basah bila ia nekat berlari. Ia takut ibunya bakal marah bila bajunya basah sebab baju-bajunya yang lain belum kering di jemuran. Musim hujan yang berlama-lama ini memang tak disukai ibu-ibu yang kesulitan menjemur pakaian. Maka ia putuskan menunggu hujan reda. Ia berteduh meringkuk di bawah pohon mahoni itu. Kau tertawa melihat anak lelaki itu nyengir menunggu hujan yang tak reda-reda. Lucu sekali melihatnya. Namun sebenarnya, bagimu, yang paling lucu adalah ketika anak itu tahu teman-temannya berlari pulang dan ia tergopoh-gopoh turun dari pohon mahoni namun tak bisa-bisa. ***
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
Kau masih duduk-duduk di balik jendela. Kau menyalakan rokok dan menuang kopi ke piringannya. “Ini kopi luwak, kopi paling enak,” kata kawanmu yang menghadiahkan kopi itu kepadamu beberapa hari yang lalu. Kau ingat cerita kawanmu tentang kopi luwak itu. “Luwak-luwak itu tahu mana bijibiji kopi terbaik yang telah matang sempurna. Mereka memakannya namun tak dapat mencernanya. Biji-biji kopi itu kemudian keluar bersama kotoran luwak-luwak itu. Biji-biji bercampur kotoran itulah yang kemudian diolah menjadi kopi luwak ini,” kata kawanmu. “Selain itu, tentu saja ada enzim-enzim khusus dalam perut luwak-luwak itu yang membuat biji-biji itu semakin sedap dan nikmat,” lanjut kawanmu. Kau nyengir saja mendengarnya. Esoknya, kau menelepon kawanmu itu. Kau bilang, “aku ingin memberimu kopi yang lebih enak dari kopi luwak yang kau hadiahkan kepadaku. Aku telah makan banyak biji kopi kemarin dan sekarang perutku mulas. Bisakah kau ke rumahku dan membantuku mengumpulkan biji-biji kopi itu sebelum aku menyiram toiletku?” Di seberang telepon, kawanmu mengumpat. Dan kau tertawa. Keras sekali. *** Hari sudah sore. Hujan sudah pula reda. Anak lelaki di bawah pohon mahoni itu juga sudah dari tadi berlari pulang. Namun kau masih duduk-duduk di balik jendela. Kau hapal benar, pada jam-jam seperti ini, tukang topeng monyet akan lewat di jalan yang berhadapan dengan jendelamu itu. Kau suka melihat topeng monyet itu. Kau selalu tertawa tiap kali melihatnya. Bukan, bukan karena monyet kecil itu naik sepeda atau berpayung dan mencangklong tas lalu berpura-pura pergi berbelanja ke pasar yang membuat kau tertawa. Kau tertawa karena bulu monyet itu menutupi seluruh tubuhnya, termasuk sekujur wajahnya. Dan kau membayangkan monyet itu pergi ke salon, bercukur dan cuci muka. Kau menerka-nerka, siapa yang akan lebih tampan, monyet itu atau si tukang topeng monyet yang senantiasa mecucut mulutnya itu. Beberapa waktu yang lalu, kau menceritakan hal itu kepada seorang kawanmu. Dan kawanmu menjawab, “yang jelas, monyet itu akan jadi lebih tampan darimu.” Dan kau bergegas ke muka cermin. Memeriksa tiap detail wajahmu. “Masak sih?” tanyamu. Dan kawanmu tertawa. *** Kau masih saja duduk-duduk di balik jendela. Sebuah motor melaju kencang di jalan itu. Kau kaget dengan suaranya yang sungguh bising. Kau menggerutu, “kalau memang tergesa-gesa, kenapa tidak berangkat tadi pagi saja daripada naik motor ugal-ugalan seperti itu?” Dan tentu saja tidak ada yang menyauti gerutuanmu itu. Kau sendirian saja di kamarmu itu. Namun selalu saja ada yang ketawa bila kau menggerutu seperti itu di warung atau duduk-duduk di pinggir jalan bersama kawan-kawanmu.
HA HA HA HA...
Dan selalu saja ada salah satu dari kawanmu itu yang menjawab, “baguslah kalau kau punya pikiran semacam itu. Jadi kalau nanti aku menikah, kau bisa mulai berangkat seminggu sebelum hari pernikahanku agar kau tak tergesa-gesa.” Dan mereka semua tertawa. Kau juga. *** Kau masih duduk-duduk di balik jendela. Dan kau masih akan terus duduk-duduk di sana sampai tiba waktu memadamkan lampu dan memejamkan mata. Terus menertawai semua yang kau lihat di luar jendela itu. Kau pernah berkata, “ah, alangkah lucu segala yang ada di dunia ini.” Kau tertawa juga melihat bulan yang perlahan muncul. Bulan, senantiasa mengingatkanmu pada Nasrudin. Bapakmu yang dulu menceritakannya sewaktu kau susah tidur. “Ketika sedang berjalan-jalan,” demikian bapakmu memulai ceritanya, “Nasrudin melewati sebuah sumur yang membuatnya ingin melihat ke dalamnya. Ketika itu hari mulai malam. Waktu Nasrudin menatap air dalam sumur itu, ia melihat bulan di sana. ‘Aku harus menyelamatkan bulan!’ pikir Nasrudin. ‘Jika tidak, ia tidak akan pernah beranjak, dan bulan puasa tidak akan pernah berakhir.’. Akhirnya, ia mendapatkan seutas tali, dan kemudian ia pun berteriak, ‘Pegang kuat-kuat, ya, terus bersinar.’ Tali itu ternyata terjerat pada sebuah batu besar di dalam sumur, dan Nasrudin menghela tali itu sekuat tenaga. Ketika ujung tali sudah hampir mendekatinya, ia jatuh terpelanting. Sambil terkapar, matanya memandangi langit, dan tiba-tiba saja, ia melihat sang bulan sudah ada di sana. ‘Bisa juga engkau kuselamatkan,’ kata Nasrudin. ‘Betulkan, untung saja saya aku lewat,’lanjutnya.” Kau tertawa seusai bapakmu bercerita. Bapakmu juga tertawa sebelum kemudian mengecup keningmu dan berkata, “sekarang tidurlah.” *** Kau tertawa. Tertawa bahak sekali. Kau sudah ingin tidur sebenarnya. Kau sudah ingin beranjak dari jendela itu. Tapi sesuatu memanggil-manggilmu. Sesuatu seperti badut. Sesuatu itu berada di luar sana, di seberang jendelamu. Sesuatu itu berteriak-teriak, “aku punya banyak lelucon untukmu. Kemarilah.” Kau penasaran dengan lelucon-lelucon itu. Kau selalu penasaran dengan lelucon. Kau melompat dari jendela itu. Dari jendela kamarmu yang terletak di lantai tiga rumahmu yang megah itu. Kau hendak menemui badut yang memanggil-manggil dan mengimingimingi kau dengan lelucon-lelucon itu. Kau tertawa keras sekali beberapa saat setelah melompat keluar dari jendela itu. Tak pernah kau tertawa sekeras itu. Tak pernah kau melihat lelucon seperti itu. Kau bisa melihat dirimu
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
sendiri. Terkapar dengan kepala penuh darah. Darah yang berlepotan itu serupa make up untuk badut. Kau melihat dirimu seperti badut. Seumur hidupmu, kau senantiasa ingin menjadi badut. “Aku ingin bisa tertawa setiap saat. Aku ingin menjadi badut agar aku bisa tertawa setiap saat. Menertawai diriku sendiri dan semua hal yang kutemui,” katamu. Lalu kau merasa ringan. Ringan dan bisa terbang. “Hei badut, bagaimana kau bisa membuat sesuatu seperti ini?” teriakmu pada badut yang memanggil-manggilmu tadi. Tapi badut itu diam saja. Ia hanya melambai. Kau merasa ini begitu lucu. Lebih lucu dari apa pun yang pernah kau tahu. Kau tertawa terus. “Hore... aku sudah menjadi badut,” teriakmu. Sedang di bawah, bapak ibumu menangis menggerung-gerung merubung tubuh badutmu. Dadang Ari Murtono (teman SMU Romy)
HA HA HA HA...
Romy Setiawan TTL No. HP E-mail
: Mojokerto, 16 Agustus 1985 : 0856 4912 9796 : romybelajar@yahoo.com
Aktivitas Pameran: 2011 2010
: : : : : : : :
“ PRA 7650 DETIK ” di Galeri Surabaya (DKS), “ 7650 DETIK ” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, “ DIES NATALIS KE-27 ”, di UPT Galeri, ISI Yogyakarta ” AMAZING GRACE ” di galeri Orasis, Surabaya, “ HARMONY ” pameran instalasi, di Kampus Pasca ISI Yogyakarta, “ RE MIXED ” di Dimensi Galeri, Surabaya, “ TANAH JAWA #2 ” di Taman Budaya Yogyakarta, “ FREE MOVEMENT (Sehari Boleh Gila) ” di Kampus Pasca ISI Yogyakarta, : “ FESTIVAL BULAN PURNAMA MAJAPAHIT” di Museum Trowulan, Mojokerto, : “ JOGJA ART SHARE” di Jogja Nasional Museum, Yogyakarta, : “ SCRATCHES OF IMAGINATION” di Bledog Art Studio, Peliatan, Ubud, Bali,
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
2009 2008 2007 2006 2005 2004
: : : :
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
“ OF NO VALUE ” di galeri Orasis, Surabaya, “ THE MINIMANIZ ”, di gedung utama Balai Pemuda, Surabaya, “ UNDERDOC ” di Hanna art space, Ubud, Bali, “ FKY 21, HOW ART LIVES ” di museum benteng Vredeburg, Yogyakarta, “ MOJOKERTO ART ACTION ” di lapangan Trawas, Mojokerto, “ IN BLOSSOM ” di Sozo art space, Surabaya, “ BIENNALE JATIM IV” di Seni Galeri, Surabaya, “ KEBERSAMAAN ” di Galeri Biasa, Yogyakarta. “ AMAZING GRACE ” di galeri Orasis, Surabaya, “ TAHU CAMPUR ” di Galeri Surabaya (DKS), “ SELEKDA PEKSIMINAS VIII ” di Royal Plaza, Surabaya, “ HIDDEN GENERATION ” di gedung utama, Balai Pemuda, Surabaya. “ PEKSIMINAS VIII ” mewakili BPMSI Jawa Timur, di Jambi. “ ke BANGETAN “ di Galeri Surabaya (DKS) “ ROCK’S N ROLL ” di café Brawn, Surabaya. “ MATA HATI “ di Gedung Wanita, Banyuwangi, Pameran seni lukis bersama Komunitas Dlanggu, di Mojokerto, “ POTRET GLOBALISME ” di Royal Plaza, Surabaya, “ CURHAT ” di Galeri Surabaya (DKS), “ HERO FINE ART SPIRIT ” di hotel Grand Surya, Kediri, “ PSD UNESA 2007 ” di galeri Raos Batu, Malang dan Gresik “ REALITAS ” di Gedung Merah Putih, Dewan Kesenian Surabaya, “ PIMNAS XIX ” di kampus Universitas Muhamadiyah Malang, “ VALIDITY EXPIRED ” di museum Tantular Surabaya, “ PEKSIMINAS VII ” mewakili BPMSI Jawa Timur, di Makasar, “ POST cART ” di galeri House la Paste, Surabaya, “ PIMNAS XVIII ” di Padang, “ REALITAS “ di Gedung Seni Rupa UNESA, “ EREKSI PERTAMA “ di Gedung Seni Rupa UNESA “ PSD UNESA 2004 ” UNESA di Balai Pemuda Surabaya,
Penghargaan : 3 terbaik selekda JATIM kompetisi lukis “PEKSIMINAS VII”, 2006, : 3 terbaik selekda JATIM kompetisi lukis “PEKSIMINAS VIII”, 2008, : 4 terbaik kopetisi lukis PEKSIMINAS VIII di Jambi 2008,
HA HA HA HA...
Terima Kasih
Puji syukur ke hadirat Tuhan Maha Pemberi Inspirasi, sehingga pameran ini bisa hadir dan terlaksana. Usaha dan kerja keras dalam merampungkan karya-karya ini, tak lupa adanya banyak tangan, sumbangan pemikiran dan tenaga yang ikut ambil bagian di dalamnya. Oleh karena itu apresiasi dan ucapan terima kasih wajib saya ucapkan kepada mereka adalah: Kedua orang tua saya Purhadi dan Sukilah yang telah penuh harap dan keringat dalam membesarkan saya, Adikku Rine Novianti dengan canda-candanya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada guru-guru saya: Prof. Drs. M. Dwi Marianto, MFA, PhD, Drs. Edi Sunaryo, M.Sn, Drs. Soebroto SM, M.Hum, Drs. Sudarisman, dan seluruh pengajar dan staf karyawan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Juga kepada Bentara Budaya Yogyakarta dan para stafnya: Bapak Hermanu, Bapak Hari Budiono, Romo Sindhunata, Mbak Wuryanti, dan Mas Harmanto. Hendra Himawan S.Sn selaku kurator pameran, Dadang dengan cerpennya, Bung Bagus Anggoro untuk desain katalog. Teman-teman seperjuangan di kampus: Theresia, Acil, Pipo, Dedy, Dewi (samgong gank), Coky, Pak.Titus, Pak Budi, Pak Gunawan, Pak Firman, Pak Mertana, Pak Efendi, Mas Nanang, Pak Bing, Kang Rachmat, Pak Agung, Pak Arif, Nano, Simbah kost dan Mas Heri, Bung Kenyut, Mas Qusta, Betara, Ujang, Tamam, Mas Hengky, Mas Tenk (Kecil Art Studio Gank). Adik-adik kelas: Ibrahim, Diaz, Rio, Mufi, Ipong dan semuanya yang tak bisa saya sebutkan satupersatu. Semoga menginspirasi. Berkah Dalem.
CITRA HUMOR DALAM LUKISAN
HA HA HA HA...