D i g i t a l
N e w s
B o o k
KOMPAS Foto: Kompas/Agus Susanto
KOMPAS
Pusat Informasi KOMPAS I
Daerah perbatasan di sekeliling wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ibarat halaman rumah yang harus dijaga dan mendapat perhatian demi tetap tegaknya kedaulatan bangsa.
T
ak kalah penting, apresiasi sekaligus harapan besar selayaknya kita sandarkan pada warga Indonesia yang berada atau bertempat tinggal di daerah perbatasan, pada garis terluar dari wilayah teritorial Republik Indonesia. Bentuk-bentuk nasionalisme dan kecintaan me reka pada tanah air, tercermin dalam suatu kondisi, tindakan, gerakan, kegiatan atau seremonial. Setidak nya, segala keterbatasan yang mereka hadapi tidak memudarkan warna kain bendera, dan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” pun tetap memiliki makna.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
2
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
NASIONALISME DI TAPAL TAPAL BATAS
Copyright Š 2013, Pusat Informasi Kompas Diterbitkan dalam edisi digital oleh Penerbit Buku Kompas, Agustus 2013 PT Kompas Media Nusantara Jl. Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270 email: buku@kompas.com Tim Penyusun: Teguh Nurhadi (Editor) Bernadeta Firstiana Putu Agus Adi Suara Perancang Grafis: Tim Penerbit Buku Kompas
PUSAT INFORMASI KOMPAS
Jalan Palmerah Selatan 26 Jakarta 10270 Telp. (021) 5347710 ext. 220 Email: pik@kompas.com Website: pik.kompas.co.id twitter @Info_Kompas
PENERBIT BUKU
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Jalan Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270 Telp. (021) 5347710 ext. 5601-5615 email: buku@kompas.com facebook: Penerbit Buku Kompas twitter @bukuKOMPAS
ISBN: 978-979-709-735-6 KMN 20205130052
KOMPAS
Daftar Isi NASIONALISME DI TAPAL BATAS
Tak Indonesia Hilang di Hati... 7 “SATU NUSA SATU BANGSA”
Di Pedalaman Siberut 18 MASYARAKAT PERBATASAN
Sejak Kecil Kami Dipelihara Malaysia 30 MIANGAS-MARORE
Nasionalisme Itu Mahal 41 PULAU TERLUAR
Mempertanyakan Kemerdekaan dari Beranda Nusantara 56 PERBATASAN RI-TIMOR LESTE
Hidup Kami Ini Keras, Mama... 65 D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
5
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
NASIONALISME DI TAPAL BATAS
Lilin Selalu Menyala di Ufuk Timur 79 KALFIN SAYA
Nasionalisme di Tapal Batas 89 Sumber Naskah 97
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
6
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
NASIONALISME DI TAPAL BATAS
Tak Indonesia Hilang di Hati...
KOMPAS Prajurit Marinir TNI Angkatan Laut di Dermaga Pos Satuan Tugas Pengamanan Korps Marinir TNI Angkatan Laut di Pulau Nipah, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Infrastruktur dan unsur penunjang untuk prajurit TNI yang bertugas di pulau terluar Indonesia di Selat Malaka dekat Singapura itu belum memadai. KOMPAS/Laksana Agung Saputra
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
7
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Senandung lagu “Sri Mersing� terdengar sayup dan sendu. Di Nongsa, Batam, pada malam berawan cerah di akhir Juli 2009, seberkas cahaya keperakan timbul-tenggelam di laut lepas, bagai dipermainkan ombak Selat Melaka yang terlihat hitam.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
8
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS FOTO SELAT BATAM DAN SINGAPURA
RSS SOVEREIGNTY—Kapal perang Singapura, RSS Sovereignty, bersandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Kapal yang dilengkapi senjata anti-udara ringan dan sedang itu datang ke Batam untuk melakukan patroli rutin di perairan perbatasan Indonesia-Singapura.
Kompas/Ferry Santoso
L
eman, lelaki paruh baya itu duduk termangu dengan segelas kopi di tangan. Pandang matanya lekat menatap gemerlap cahaya yang berpendar di seberang lautan. “Itu Singapura. Kalau langit cerah seperti sekarang, memandang gemerlap cahaya dari ‘Negeri Pulau’ di tanah seberang itu kadang-kadang bisa jadi semacam pengobat kegelisahan hidup sehari-hari yang kian berat dan melelahkan,” kata Leman, pekerja di satu industri manufaktur di Pulau Batam, saat ditemui di kawasan pantai Nongsa. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
9
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PENARIKAN KAPAL ASING—Komandan Gugus Keamanan Laut (Guskamla) Armada RI TNI AL Kawasan Barat Laksamana Pertama Pranyoto mengawasi pengawalan dan penarikan tiga kapal asing di perairan Bintan, Kepulauan Riau, Kamis (29/3). Kapal-kapal itu diduga melanggar batas dan membuang limbah di perairan Indonesia. Kapal Republik Indonesia (KRI) Pulau Rangsang dan KRI Pulau Rusa berperan mengawasi penarikan kapal-kapal asing itu ke Batam, Kepulauan Riau.
Kompas/Kris Razianto Mada
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
10
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Sejurus Leman terdiam. Ia terbuai akan masa kecilnya. Gemerlap cahaya lampu itu tiba-tiba mengingatkan Leman pada ribuan cahaya kunang-kunang di rerimbunan bakau tak jauh dari kampung halamannya, desa nelayan di Pulau Lingga. “Kunang-kunang paling suka bertengger dipohon teruntum,” kata Leman. Celakanya, kini pohon teruntum sudah kian menipis. “Kata orang, habis diangkut ke seberang selat, bersama pasir-pasir yang dikeruk untuk menambah luas negeri mereka.” Tentu saja kunang-kunang dari masa kecil Leman (nama sebenarnya Sulaiman) tidak bermetamorfosa menjadi gerlap cahaya di Negeri Pulau itu, mengikuti pohon-pohon teruntum yang diangkuti ke sana. Juga bukan jelmaan jutaan kubik pasir yang dikeruk dari pulau-pulau di kawasan ini untuk pembangunan di negara tetangga itu. Bukan! Cahaya keperakan yang terpancar dari gedung-gedung bertingkat di Negeri Pulau itu menyiratkan kemajuan sebuah peradaban. Singapura adalah kota paling atraktif di Asia Tenggara. Sementara di kampung Leman di Pulau Lingga, juga di ratusan pulau berpenghuni lainnya di Kepulauan Riau-di luar Batam dan kawasan eksklusif di bagian utara Bintan-waktu seperti berhenti. Jangankan di kampung-kampung nelayan, infrastruktur pembangunan di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, saja masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan kota-kota kecamatan di Pulau Jawa. Satu-satu D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
11
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
nya bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati. Itu pun sangat sederhana. Memasuki kota Daik, mereka yang tahu bahwa di sinilah dulu pernah berdiri pusat kekuasaan Kerajaan Melayu Riau-Lingga-Bintan-Johor-Pahang niscaya akan terperangah. Kecuali bekas reruntuhan Istana Damnah, serta Masjid Sultan yang masih berdiri, jejak kejayaan masa silam itu sudah hilang ditelan waktu. Kota Daik tak ubahnya seperti pedukuhan di Jawa. Hanya berupa kumpulan rumah panggung di atas rawa. Tak ada kendaraan angkutan umum kecuali ojek sepeda motor. Tak ada tempat belanja kecuali warung- warung kecil di pinggir jalan. Rumah makan hanya kedai kecil. Penginapan pun amat bersahaja dengan bonus penerangan listrik yang kerap mati tiba-tiba. Tidak seperti di Kalimantan, Papua, dan NTT, garis perbatasan Indonesia di wilayah Kepulauan Riau dengan empat negara tetangga (Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand) hanya berupa laut dan selat. Tak ada patok-patok di tapal batas antarnegara sehingga apa yang disebut perbatasan tak ubahnya garis imajiner. Akan tetapi, karakteristik realitas sosial kemasyarakatan berikut penanganan daerah perbatasan oleh pemerintah relatif sama. Tertinggal dan seperti ditinggalkan! Untuk kasus Kepulauan Riau, perasaan diting足galkan dalam proses pembangunan itu kerap D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
12
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
jadi isu yang bisa melemahkan sendi-sendi nasionalisme.
Satu-satunya bangunan baru yang relatif bisa dikedepankan hanya kantor bupati. Itu pun sangat sederhana
Lihatlah kehidupan masyarakat di Pulau Singkep yang kehilangan darah se gar nya setelah keka yaan perut bumi me reka (baca: timah) disedot habis, lalu ditinggalkan. Perekonomian Singkep pun runtuh. Masyarakat di sana juga yang tinggal di pulau-pulau sekitar Singkep, termasuk Lingga yang semula menjadikan Singkep sebagai tumpuan, ikut terpukul. Migrasi ke Batam dan Bintan akhirnya jadi pilihan. Data yang diperoleh Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menunjukkan bahwa setelah PT Timah “hengkang” dari pulau ini, jumlah penduduk Singkep terus berkurang. “Sejak 1993, rata-rata penduduk Pulau Singkep yang semula tercatat 37.686 jiwa ber kurang 1.000 jiwa tiap tahun karena pindah ke Pulau Batam.” D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
13
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Di Batam, mereka berharap mendapat pekerjaan di sektor industri. Namun, di tempat baru ini mereka kalah bersaing. Kebanyakan di antara mereka justru jadi penganggur, sebagian jadi buruh bangunan. Sementara Pulau Lingga yang dulu pernah jadi pusat Kesultanan Melayu, yang wilayah kekuasaannya hingga ke Johor, Negeri Sembilan, dan Pahang di Tanah Semenanjung (Malaysia) serta Tumasik (Singapura), setelah hampir 65 tahun Indonesia merdeka terlihat kian miskin dan dilupakan. Apatah lagi Natuna dan Anambas yang berada jauh di Laut China Selatan. Kalau saja kawasan perairan bawah laut wilayah ini tidak mengandung cadangan minyak yang begitu kaya, barangkali tak ada yang mau menolehnya. Akan halnya Batam dan Bintan, bagi masyarakat lokal, keberadaan kawasan industri tak memberi banyak peluang sejahtera. Bahkan, pada era otonomi seperti sekarang, skenario besar yang terlihat justru terkesan sebagai proyek pemerintah pusat di daerah yang menempatkan Kepulauan Riau sebagai bagian dari sistem kapitalisme global. Di dua pulau ini, perubahan besar memang terjadi. Lebih-lebih sejak pemerintah pusat menetapkan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan akhir 1970-an dikelola secara khusus. Akan tetapi, posisi masyarakat lokal selalu di pinggiran: sekadar jadi penonton! D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
14
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS
Pulau Nipah, Batam, Kepulauan Riau merupakan pulau terluar Indonesia yang berhadapan langsung dengan D i g i t a l N e w s B o o k negara Singapura. Kompas/Ferry Santoso
NA S I O NA L I S M E
DI
15
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Prajurit Marinir TNI Angkatan Laut sedang berjaga di Pulau Nipah, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (6/11). Pulau tersebut merupakan pulau terdepan Indonesia yang berbatasan dengan Singapura.
Kompas/Ferry Santoso
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
16
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Meski diperlakukan pemerintah pusat tak ubah nya sekadar “properti”, di luar urusan ekonomi yang terkait langsung dengan persoalan hidup sehari-hari, rasa kebangsaan masyarakat di daerah ini sesungguhnya tak pernah surut. Walau kehidupan mereka sehari-hari bersinggungan dengan warga-bangsa yang berdiam di seberang Selat Melaka, dalam urusan nasionalisme, Jakarta tetap jadi acuan. Ini sebuah karunia. Kualitas keindonesiaan me reka tak pantas diragukan. Kendati setiap malam menyaksikan tayangan televisi Singapura dan Malaysia tanpa harus pakai parabola, mereka tetaplah “penjaga” nilai-nilai kebangsaan di tapal batas. Meminjam gaya ungkap Hang Tuah ketika me ngobarkan semangat “tak Melayu hilang di Bumi” pada masa silam, masyarakat Kepulauan Riau sekarang pun masih bisa berkata lantang: tak Indonesia hilang di hati! Tapi, sampai kapan? |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
17
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
“SATU NUSA SATU BANGSA�
Di Pedalaman Siberut Satu nusa / satu bangsa / satu bahasa kita / tanah air / pasti jaya / untuk selama-lamanya /Indonesia pusaka / Indonesia tercinta / Nusa bangsa / dan bahasa / kita bela bersama
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
18
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Dengan bersemangat, 25 siswa sekolah hutan itu menyanyikan “Satu Nusa Satu Bangsa�. Kepuasan segera terlihat di wajah siswa di Sangong, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu saat berhasil menyanyikan lagu karya Liberty Manik tersebut hingga selesai....
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
19
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
B
“
aru satu bulan ini mereka bisa menyanyikan lagu tersebut. Sementara baru sebatas mampu menghafal syair dan belum mengerti maknanya,” ucap Suendi, pemuda Dusun Salappak, Siberut Selatan, yang mengajarkan lagu itu. Suendi memakai lagu “Satu Nusa Satu Bangsa” sebagai salah satu media mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah hutan. Semua murid di sekolah yang menempati salah satu ruangan rumah panggung Mentawai milik Aman Sabba itu dikumpulkan di satu ruangan meski umur mereka amat beragam, dari tujuh hingga belasan tahun. Meski dari sisi umur sebagian siswa sekolah itu sudah layak lulus sekolah dasar (SD), mereka umumnya masih sulit berbahasa Indonesia, juga menulis dan berhitung. Dengan demikian, materi harus diajarkan dalam bahasa Mentawai. Kesulitan memahami bahasa Indonesia membuat anak-anak tidak mudah bercakap dengan pendatang atau membaca buku sehingga pengetahuan dari luar sedikit sekali terserap. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
20
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Kondisi ini terjadi karena bahasa Mentawai menjadi satu-satunya bahasa di lingkungan mereka. Sementara pendidikan formal, meski hanya setingkat SD, menjadi hal mahal. SD terdekat dari Sangong ada di Dusun Saliguma yang berjarak sekitar 12 kilometer atau tiga jam perjalanan kaki dengan menembus hutan dan bukit. Ketiadaan sekolah formal membuat sekolah hutan yang didirikan lembaga swadaya masyarakat Yayasan Citra Mandiri sejak setahun lalu itu langsung disambut gembira warga Sangong. Begitu haus akan pendidikan, kini ada dua kelompok masyarakat tetangga Sangong yang berebut agar sekolah hutan diadakan di dekat daerah mereka.
Baru satu bulan ini mereka bisa menyanyikan lagu tersebut. Sementara baru sebatas mampu menghafal syair dan belum mengerti maknanya Keterbatasan fasilitas pendidikan bukanlah satusatunya persoalan di pelosok Siberut itu. Pelayanan kesehatan juga tidak ada di Sangong. Sejak tahun 2007 memang telah ada sebuah puskesmas di Siberut Selatan dengan 2 dokter, 21 perawat, dan 5 bidan. Namun, sampai sekarang tidak satu pun tenaga medis itu yang ada di Sangong. Akibatnya, pengetahuan D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
21
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
dan kualitas kesehatan warga dusun tersebut sangat minim. “Ini kehamilan saya ke-11. Sebenarnya saya sudah capek hamil. Tapi, bagaimana caranya agar tidak hamil?� tanya Bai Seggeilolo, warga Sangong, yang tengah mengandung delapan bulan. Sementara Bai Jetti, tetangga Bai Seggeilolo, hamil ke-10 kalinya lantaran sang suami masih mengharapkan tambahan anak laki-laki yang akan menjadi pewaris harta keluarga Mentawai. Dari sembilan kehamilannya terdahulu, Bai Jetti mendapatkan dua anak laki-laki, tiga perempuan, dua meninggal semasa balita, dan dua kali keguguran. Minimnya fasilitas di Sangong seiring dengan sulitnya mencapai daerah itu. Sangong hanya dapat dicapai dengan naik pompong-perahu yang dibuat dari batang pohon meranti utuh dan digerakkan mesin berkekuatan 5 PK-menyusuri sungai sekitar enam jam perjalanan dari Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Bila mencarter pompong, tarifnya sekitar Rp 400.000 sekali jalan.
Hidup berat Muara Siberut terletak 146 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Perjalanan ke Muara Siberut bisa dicapai dengan kapal motor selama 10-12 jam perjalanan melintasi Selat Mentawai.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
22
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PERKAMPUNGAN SUKU MENTAWAI—Perkampungan suku Mentawai di Dusun Katurai, Pulau Siberut. Untuk mencapai dusun itu hanya bisa menggunakan perahu. Penduduk belum menikmati listrik dan mereka masih hidup secara subsisten.
Kompas/Fransisca Romana Ninik
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
23
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Perjalanan menuju kampung-kampung di pedalaman Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, sebagian besar dapat ditempuh dengan perahu motor (pompong). Transportasi ini relatif mahal karena melewati medan yang sulit.
Kompas/Agnes Rita Sulistyawaty
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
24
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Perjalanan menuju pedalaman hutan Siberut harus menggunakan perahu bermesin tunggal 40 PK. Lebih ke dalam lagi, sungai-sungai kecil hanya dapat disusuri menggunakan perahu pompong, perahu kecil bermesin 5 PK. Kompas/Gesit Ariyanto
KOMPAS
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
25
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Kapal hanya berlayar dua kali seminggu dari Padang dengan tarif Rp 65.000-Rp 125.000 per orang. Mahalnya biaya transportasi membuat fasilitas umum di Siberut- apalagi di pelosok-semakin tertinggal. Harga barang kebutuhan pun melambung tinggi. Jika di Padang harga gula pasir berkisar Rp 8.000 per kilogram, di Desa Mentawai harganya Rp 9.000 per kilogram. Sementara jika harga premium di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum Rp 4.500 per liter, di Desa Madobag-sekitar empat jam perjalanan dengan pompong dari Muara Siberut-harganya menjadi Rp 9.000 per liter. Sebaliknya, hasil bumi di desa seperti Madobag sulit dijual di daerah lain. “Jika sedang panen durian, banyak buah yang kami biarkan jatuh lalu dimakan babi. Sebab, jika dibawa ke Muara Siberut, ongkos angkutnya tidak dapat ditutup dengan harga jual,� kata Kepala SD Madobag, Marinus Arosokhi. Bila biaya hidup tinggi, hasil alam yang dikelola masyarakat harganya cenderung rendah. Harga minyak nilam, misalnya, berfluktuasi dari Rp 260.000 hingga Rp 1,2 juta per kilogram. Masyarakat di pedalaman Siberut harus menjual minyak nilam ini ke pengepul di Muara Siberut. Untuk membawanya dibutuhkan biaya transpor mahal karena harus membeli bensin hingga 20 liter untuk pergi pulang. Dengan harga bensin sampai Rp 9.000 per liter, biaya transpor mahal dari hulu ke muara membuat nilai tukar minyak nilam rendah. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
26
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PULANG SEKOLAH—Anak-anak pulang sekolah bersama dengan berjalan tanpa alas kaki di Dusun Taikako, Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Demi mendapatkan pendidikan yang layak, mereka harus menempuh selama sekitar satu sete ngah jam dengan berjalan kaki menyusuri hutan Pagai Utara saat berangkat ke sekolah.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
27
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Setiap keluarga membawa sendiri hasil pertanian yang akan mereka jual. Uang hasil penjualan segera dibelikan aneka kebutuhan yang tidak bisa dihasilkan oleh alam, seperti gula, teh, minyak tanah untuk bahan bakar lampu petromaks, sampai bensin.
Ekonomi Siberut yang asimetris, yaitu membeli mahal dan menjual murah, masih diperparah oleh minimnya prasarana publik. Aliran listrik belum ada. Jika ingin menikmati cahaya listrik dan siaran teleÂvisi, warga harus punya diesel. Sinyal telepon seluler juga belum menjangkau semua desa. “Kalau ingin telepon, perlu naik dahulu di bukit atau naik pompong, turun hingga mendekati Muara Siberut,â€? ujar Marinus. Begitu pula dengan akses jalan yang umumnya masih berupa jalan setapak yang licin dan berlumpur bila hujan. Jembatan-jembatan masih banyak yang dibuat dari batang pohon. Kerap kali anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah kalau hujan lebat karena jalan terlampau becek dan batang pohon yang menjadi jembatan sudah hanyut terbawa air.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
28
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Kondisi ini, lanjut Marinus, membuat berkarya di daerah seperti Madobag tidaklah ringan. Tiga dari 11 guru di SD Madobag yang didatangkan dari Padang terpaksa berpisah dari keluarga dan menumpang tidur di rumah Marinus. Beban kerja pun tak ringan karena mendidik 226 murid. “Namun, kami tidak boleh mengeluhkan kondisi (yang berat) ini. Sebagai pegawai, kami telah berjanji kepada negara, bersedia ditempatkan di mana saja di Indonesia, termasuk di Siberut,� kata Marinus. Beban yang harus ditanggung Marinus dan warga Siberut pada umumnya adalah risiko yang harus mereka tanggung sebagai warga negara Indonesia. Namun, jika kehadiran pemerintah-apa benar hadir-sama sekali tidak memperbaiki kesejahteraan rakyat nya, sudah saatnya mereka mempertanyakan makna kemerdekaan dan seluruh usaha berbangsa tadi. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
29
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
MASYARAKAT PERBATASAN
Sejak Kecil Kami Dipelihara Malaysia
KOMPAS Warga Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, mendatangkan berbagai barang kebutuhan pokok dari Tawau, Malaysia, termasuk bahan bakar minyak yang diisi ke dalam jeriken, seperti yang tampak saat bongkar muat barang di Sungai Lalesalo, Desa Seberang. Kompas/Harry Susilo
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
30
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Wajah Talang, wanita
lanjut usia warga Long Bawan, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, tak terlihat mengeluh ketika kami mengobrol mengenai nasib daerah perbatasan yang terisolasi. �Ah, sejak kecil kami dipelihara Malaysia,� kata Talang tersenyum.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
31
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
S
eperti umumnya daerah perbatasan di Kalimantan sepanjang 2.004 kilometer, penduduk Long Bawan sangat bergantung pada negeri tetangga itu. Namun, di balik senyuman Talang, se sungguhnya tersimpan setumpuk ironi. Betapa ti dak, Indonesia telah merdeka 67 tahun pada 2012, tetapi penduduk Long Bawan tetap saja terisolasi dari negerinya sendiri.
Akses darat ke ibu kota kabupaten saja belum ada, apalagi ke kota-kota lain. Jalan darat yang dijanjikan antara Malinau dan Long Bawan rasanya tak mudah, mengingat harus memotong taman nasional di kelebatan hutan tropis Kalimantan. Satu-satunya akses darat bagi penduduk Long Bawan adalah menuju Kampung Ba’kelalan di Sa rawak, Malaysia. Meski berlumpur, terutama pada musim hujan, jalur Long Bawan-Ba’kelalan itu cukup ramai karena merupakan urat nadi perekonomian. Penduduk Long Bawan membeli barang-barang kebutuhan pokok, bahan bakar minyak, semen, dan alat berat di Ba’kelalan. Setiap hari, puluhan hingga ratusan ojek hilir mudik di jalur itu sebagai moda transportasi pengangkut bahan pokok. Maka, sudah lumrah aneka makanan kemasan dan minuman kaleng di warung-warung di Long Bawan merupakan produk Malaysia. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
32
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Di Simanggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Departemen Pekerjaan Umum mulai membangun jalan menuju perbatasan Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Kompas/Haryo Damardono
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
33
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS MENEMBUS MALAYSIA—Jalan trans-Kalimantan kini sudah menembus Malaysia di Simang garis, perbatasan Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, dan Sabah, Malaysia. Dibutuhkan waktu sekitar empat hari perjalanan darat dari Balikpapan menuju perbatasan Malaysia karena sejumlah ruas jalan masih berupa tanah.
Kompas/ Try Harijono
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
34
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS RUSAK PARAH—Parahnya kerusakan jalan di daerah perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak membuat warga setempat lebih banyak membeli keperluan sehari-hari ke negara jiran tersebut seperti warga di perbatasan Kabupaten Sambas. Jalan-jalan tanah yang berlumpur juga banyak ditemui di daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang.
Kompas/ M Syaifullah
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
35
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
”Harga bensin di sini Rp 10.000 per liter. Itu dibeli dari Ba’kelalan. Kalau bensin dibawa dari Tarakan, dijual dengan harga Rp 20.000 pun masih rugi,” kata Benyamin Musa, warga Long Bawan lain yang berprofesi sebagai guru SMAN 1 Krayan. ”Harga gula dari Malaysia Rp 12.000 per kilogram. Kalau ambil dari Tarakan, dijual di sini Rp 20.000 juga pasti rugi,” timpal Talang. Contoh lain harga semen. Apabila didatangkan dari Tarakan, harga semen di Long Bawan setidaknya Rp 750.000 per zak. ”Kalau harganya Rp 600.000, ya, masih rugi,” kata Talang. Bandingkan dengan semen yang diimpor dari Malaysia, harganya hanya Rp 250.000 per zak. Bagi penduduk Krayan, Ba’kelalan juga menjadi pasar bagi komoditas pertanian mereka, semisal beras adan yang khas dan garam gunung. Menjual hasil bumi ke Malaysia lebih menguntungkan ketimbang menjual ke pasar di negeri sendiri. Misalnya, harga beras adan dijual Rp 100.000 per 15 kilogram di Ba’kelalan. Kalau dipasarkan ke Nunukan, untuk ongkos angkut saja Rp 15.000 per kilogram. Ini disebabkan akses ke Krayan yang sangat sulit. Satu-satunya akses dari negeri sendiri melewati udara. Namun, itu pun terbatas karena daya angkut pesawat sejenis Cessna Grand Caravan cuma 12-14 penumpang. Tak mengherankan, penduduk Krayan pun harus antre untuk menggunakan pesawat. ”Pesan
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
36
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
hari ini, biasanya untuk keberangkatan bulan depan,� kata Talang. �Kami kalau ke luar negeri naik ojek, tetapi ke negeri sendiri malah naik pesawat,� ujar Talang yang disambut gelak tawa dua teman ngobrolnya, Marten Yusak dan Benyamin Musa. Tawa getir penduduk Long Bawan itu semestinya yang terakhir. Apalagi, telah dicanangkan Operasi Kartika Jaya yang merupakan bagian dari percepatan pembangunan di perbatasan. Kunjungan pejabat setingkat menteri ke Long Bawan untuk pertama kali dilakukan oleh Ketua Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang juga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo.
Kami kalau ke luar negeri naik ojek, tetapi ke negeri sendiri malah naik pesawat
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
37
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS GOSONG MAKASSAR—Pulau Gosong Makassar, yang merupakan salah satu dari empat pulau terluar Indonesia di wilayah Kalimantan Timur tidak terlihat karena tergenang air pasang. Yang menandai pulau berupa gosong pasir itu hanya rambu suar atau navigasi lampu laut yang berdiri di pulau tersebut. Pulau ini terletak hanya sekitar lima mil dari Karang Unarang yang berada di blok ambalat.
Kompas/M Syaifullah
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
38
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Anggaran Rp 780 miliar Pemerintah memang telah menyadari bahwa daerah perbatasan bukan lagi halaman belakang negeri ini yang tak pernah dilirik. �Jangan lagi perbatasan menjadi belakang rumah kita, tetapi menjadi beranda depan rumah kita,� kata Gamawan. Pemerintah pun menyiapkan dana hampir Rp 780 miliar pada 2012 untuk mempercepat pembangunan di perbatasan Kaltim. Ada 17 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam proyek tersebut. Porsi terbesar adalah proyek Pemprov Kaltim sekitar Rp 400 miliar, terutama untuk meningkatkan tiga bandara, yaitu Bandara Long Bawan, Bandara Long Ampung (Kabupaten Malinau), dan Bandara Datah Dawai (Kabupaten Kutai Barat), yang dikerjakan Zeni TNI AD. Porsi besar lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang ditangani Kementerian PU sebesar Rp 181,9 miliar. Sebelumnya, Gamawan mengunjungi Pulau Sebatik bersama Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Hermanto Dardak, dan Awang Faroek. Di depan masyarakat, mereka memberi janji manis, termasuk peluang untuk meningkatkan Pulau Sebatik menjadi kota agar bisa menyaingi gemerlap Kota Tawau di Malaysia.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
39
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Gubernur Awang Faroek pun berjanji, kegiatan di perbatasan dilakukan berimbang antara kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment). Mengutip pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gamawan mengingatkan tiga hal yang mesti dimaksimalkan, yaitu pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan energi. Janji telah diumbar, tetapi realitas di perbatasan selalu menyisakan kisah pilu. Misalnya, di pos polisi Lembudud, sekitar sejam menggunakan sepeda motor dari Long Bawan, Briptu Rudy SE Baru menjaga �pintu depan� negeri ini sendirian, persis di garis batas dengan Malaysia. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
40
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
MIANGAS-MARORE
Nasionalisme Itu Mahal
KOMPAS Awak KM Meliku Nusa mengibarkan bendera Merah Putih saat memasuki Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau Miangas adalah pulau paling utara dari Republik Indonesia yang luasnya 3,15 kilometer persegi. Kompas/Agus Susanto D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
41
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Tak ada kata
yang keluar dari penumpang Kapal Motor Perintis Meliku Nusa ketika nakhoda Teguh Prayitno memutuskan kapal tidak sandar di dermaga Miangas. Sekitar 30 penumpang termasuk Kompas pun hanya terdiam.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
42
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
S
etelah perjalanan tiga malam dua hari dari Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, sepanjang 196,3 kilometer, kapal memang telah mencapai Miangas. Melonguane sendiri dapat dicapai dari Manado melalui perjalanan 15 jam dengan kapal umum. Dari kejauhan terlihat dermaga Miangas yang dipenuhi masyarakat. Dari atas kapal Meliku Nusa terbuat dari besi berbobot 150 ton, tampak ombak setinggi 1 hingga 2 meter terus bergulung-gulung menuju pantai. Alunan gelombang itu diikuti angin selatan bertiup kencang di sekitar dermaga cukup berisiko bagi kapal perintis untuk sandar.
Jangankan sandar mencari posisi berlabuh, KM Meliku harus manuver selama dua jam mengelilingi Pulau Miangas. Kondisi perairan di perbatasan Indonesia dan Filipina cukup terbuka, berada di bibir Samudra Pasifik yang memiriskan siapa saja ke sana. Tak hanya Miangas, beberapa pulau dalam lingkaran perbatasan, seperti Marore, Kawio, dan Kawaluso, di Kabupaten Sangihe, tak luput dari terpaan angin kencang diikuti gelombang tinggi.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
43
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Kapal Penumpang Tilongkabila milik PT Pelni (Persero) merapat di Pelabuhan Miangas, satu dari 92 pulau terluar di Indonesia. Sejak Mei 2006, Kapal Sangiang milik Pelni selalu menyinggahi pelabuhan tersebut.
Kompas/Janes Eudes Wawa
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
44
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS
BERUSAHA MENDEKAT—Kapal Perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) - KD Pari - salah satu kapal perang Malaysia yang kerap melakukan pelanggaran perairan Indonesia tampak tengah berusaha mendekat ke Kapal Tunda DC-2 dan Kapal Tongkang Lius Indah yang tengah melakukan pekerjaan pembangunan mercu suar di perairan dangkal yang diberi nama Karang Unarang, di Laut Sulawesi. Karang Unarang yang terletak sekira 20 nautikal mile di tenggara Kota Nunukan letaknya jauh di luar garis batas laut 12 nautikal mile perairan Malaysia yang ditarik dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kedua pulau tersebut sebelumnya juga milik Indonesia.
Kompas/ Korano Nicolash LMS
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
45
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Camat Miangas Sepno Lantaa bercerita dekade tahun 1980-an kapal rombongan Gubernur Sulut GH Mantik terdampar di Davao Filipina karena terseret angin kencang. Kota Davao, ibu kota Mindanao, hanya berada 83,6 kilometer dari Miangas. “Nahkoda kapal tak melihat Pulau Miangas yang tertutup gelombang,� katanya. Dalam kondisi bergelombang itu rakyat Miangas dan Marore tak berdaya. Tak ada kapal yang berani masuk ke dua pulau itu. Sedangkan tiga kapal perintis yang disubsidi pemerintah untuk melayari pulaupulau di kawasan perbatasan enggan masuk. Karakteristik kedua pulau perbatasan itu hampir sama, dan luasnya sekitar 3 kilometer persegi. Suatu waktu penduduk kekurangan pangan karena tak ada kapal yang berani masuk. Terpaksa warga mengonsumsi galuga, kelapa yang dikeringkan dimakan dengan daun ubi talas. Situasi Miangas dan Marore mulai menunjukkan perubahan pada pertengahan 2009. Pemerintah Provinsi Sulut membangun sejumlah prasarana di kedua pulau perbatasan tersebut, antara lain gudang penyimpanan beras. Selama ini beras dipasok dari Manado dua bulan sekali sehingga warga tidak kelaparan. Di samping gudang pangan, juga dibangun puskesmas, sekolah, jaringan komunikasi, serta listrik.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
46
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS UPACARA PERINGATAN HARI KEMERDEKAAN RI—Puluhan ibu rumah tangga di Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, tidak ketinggalan mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-64 Republik Indonesia.
Kompas/Agus Mulyadi
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
47
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Indahnya Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Memiliki pantai berpasir putih, Pulau Miangas yang dijuluki Bumi Porodisa ini letaknya berbatasan dengan Filipina. Air bersih dan bahan pangan, seperti beras, sulit diperoleh. Pulau yang kurang tersentuh pembangunan ini kerap tertutup dari pandangan pelaut bila laut bergelombang tinggi.
Kompas/Jean Rizal Layuck
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
48
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Pulau Miangas, Sulawesi Utara, luasnya hanya 3,15 kilometer persegi atau dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama tiga jam.
Kompas/Agus Susanto
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
49
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Hal sama terlihat di Marore, Kawio, dan Kawaluso, gugusan pulau di perbatasan Kabupaten Sangihe. Di Pulau Kawio dan Kawaluso bangunan dermaga dan terminal penumpang terlihat lapang dengan bangunan beton kokoh melebihi kantor pemerintahan kecamatan. Akan tetapi, postulat bahwa pembangunan untuk kesejahteraan rakyat nyaris terabaikan. Ketersediaan listrik dan bahan bakar minyak serta ekonomi yang hidup menjadi persoalan krusial. “Rasanya kami mau mati saja. Apa gunanya ada beras kalau tidak bisa masak,� kata Nico Tindi, Camat Karatung. Untuk mengambil kayu di hutan dilarang oleh pemerintah karena khawatir daerah itu tandus. Hibor Banerah, warga di sana, mengkritik sikap pemerintah yang melarang warga membawa bensin ataupun minyak tanah yang dibeli dari Manado dimuat di kapal-kapal perintis. Kebijakan itu dinilai tidak bijaksana. “Padahal kami membawa minyak tanah hanya 10 liter dipakai masak,� tambahnya. Hal sama juga disampaikan guru-guru di Kabupaten Talaud dan petugas keamanan yang tak mendapatkan uang lebih dari pemerintah. Seorang guru SMP negeri di Kakorotang mengatakan hanya menerima gaji tanpa ada insentif. Malahan, tunjangan dari kabupaten untuk tiap pegawai negeri sebesar Rp 250.000 per bulan telah terhenti sejak Agustus 2008.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
50
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Kantor Perwakilan Filipina di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Kompas/Jannes Eudes Wawa
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
51
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Monumen Santiago di Pulau Miangas, Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Kompas/Ferry Santoso
KOMPAS
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
52
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Masyarakat Miangas dan Marore juga sangat merasakan beban hidup menyusul merosotnya pendapatan perikanan yang menjadi sumber hidup sebagian masyarakat. Itu karena harga BBM sangat tinggi. Di Miangas dan Marore harga bensin Rp 15.000 per liter dan minyak tanah Rp 10.000 per liter. Harga bensin paling murah Rp 8.000 dan bisa dinikmati cuma seminggu setelah pasokan BBM datang saat perahu motor datang dari Melonguane. Di Melonguane sendiri harga bensin Rp 6.000 per liter. “Orang Jakarta yang uangnya banyak membeli bensin Rp 4.500, kami yang miskin justru membeli bensin Rp 15.000. Inikah keadilan pembangunan,� tambah Hibor.
Orang Jakarta yang uangnya banyak membeli bensin Rp 4.500, kami yang miskin justru membeli bensin Rp 15.000 D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
53
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Bupati Kabupaten Sangihe Winsulangi Salindeho mengatakan, saat berkunjung ke Kawio ia kaget melihat terminal penumpang yang luas dan kokoh. Tapi, apa arti terminal jika warga tak bisa memasarkan hasil perkebunan dan perikanan. Mereka butuh suplai rutin BBM, kapal penumpang rutin, serta pabrik es untuk mengawetkan produksi ikan mereka.
Jawaban Jawaban atas persoalan di Sangihe dan Talaud-kabupaten paling utara Indonesia dan berbatasan dengan Mindanao sebetulnya sudah diucapkan Presiden Megawati Soekarnoputri Maret 2003, saat membuka seminar nasional tentang Sangihe Talaud. Megawati mengatakan, faktor paling penting adalah meningkatkan peran manusianya dan paradigma bahwa perbatasan adalah halaman belakang dan wilayah pinggiran, harus diubah menjadi “halaman depan Indonesia”. Kekecewaan masyarakat Miangas dan Marore akan hadirnya “Indonesia” di sana agak emosional, sebab sampai Indonesia merayakan kemerdekaan ke-64 pada 2009, belum ada seorang pun presiden yang berkunjung ke sana. “Kami rindu kunjungan presiden. Biar lihat rakyat perbatasan,” kata Betoel Dalope, warga Miangas.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
54
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Karena itu, dengan dalih nasionalisme pula warga Miangas, kata Dalope, menuntut ganti rugi tanah mereka berlipat-lipat untuk dijadikan lapangan terbang di Miangas. Mereka menuntut Rp 150.000 untuk tiap meter persegi tanah, jauh di atas harga NJOP Kabupaten Talaud Rp 12.000 per meter persegi. Pernyataan Dalope boleh jadi merupakan kompensasi rakyat yang sudah lama menderita dan merasakan ketimpangan ekonomi. “Tak semata soal uang, tetapi rakyat sudah lama hidup susah,� kata Camat Miangas Sepno Lantaa menambahkan. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
55
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
PULAU TERLUAR
Mempertanyakan Kemerdekaan dari Beranda Nusantara Gebyar
upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-65 RI di Purpura, tepi Pantai Uhum, Pulau Kisar, me mukau warga setempat. Namun, decak kagum atas seremoni yang ditautkan dengan Sail Banda 2010 itu berban ding terbalik dengan realitas kehidup an umumnya penduduk di beranda Nusantara itu.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
56
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
S
ejenak, derap pasukan pengibar bendera dan orkes yang menggemakan lagu-lagu perjuang an menjadi tontonan langka warga di pulau terluar Indonesia di wilayah Maluku ini. Penancapan Sang Saka Merah Putih dari tembaga oleh pasukan marinir dan Gubernur Maluku Karel Albert Rala halu menambah semarak suasana. Akan tetapi, ingarbingar yang terjadi selama peringatan kemerdekaan terasa “senyap” di rumah keluarga Kamanasa di Desa Ohoirata di Pulau Kisar, sekitar 15 kilometer dari lokasi peringatan kemerdekaan. Sevnat Kamanasa bersama istrinya, Tenji Kamanasa, dan kelima anaknya yang masih kecil seakan tak hirau dengan acara yang langka terjadi di pulau seluas 117,59 kilometer persegi itu. “Musim tanam lalu kami tidak dapat apa-apa karena jagung gagal panen semuanya akibat kemarau panjang. Kami lebih baik bekerja di ladang karena kami sangat berharap pada hasil panen kali ini,” tutur Sevnat. Pekerjaan sebagai buruh angkut di pelabuhan menjadi pilihan Sevnat kala tanaman jagungnya semua rusak. Namun, upah yang diterima sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia beberapa kali terpaksa meminjam uang di kas koperasi buruh angkut.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
57
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PERAIRAN PULAU MOROTAI DI UJUNG UTARA MALUKU UTARA—Perairan Pulau Morotai di ujung utara Maluku Utara, persis di bibir Pasifik, merupakan lokasi penangkapan ikan yang berlimpah, terutama tuna dan cakalang. Tetapi sayangnya, di perairan itu, nelayan asing malah lebih berkuasa, sehingga pencurian ikan tidak terpantau sama sekali. Pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat pun tak berdaya, karena tidak memiliki sarana dan peralatan untuk menjaga perairan di kawasan perbatasan itu.
Kompas Sulawesi-Intim/ Subhan Safeii D
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
58
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS SEPERTI HALNYA WILAYAH PERBATASAN LAIN, KABUPATEN PULAU MOROTAI—Seperti halnya wilayah perbatasan lain, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, yang wilayahnya berada di perbatasan Indonesia-Filipina, hingga saat ini masih tergolong daerah tertinggal. Tampak perahu nelayan di tepian pantai Pulau Morotai.
Kompas/C Wahyu Haryo PS
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
59
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Di gubuk seluas
5 meter x 6 meter, keluarga besar Kamanasa tinggal. Gubuk itu beratapkan daun pohon koli, berdinding anyaman bambu yang fondasinya terbuat dari tanah liat, dengan lantai langsung tanah.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
60
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Nyaris tak ada perabot berharga di dalam rumah kecuali sebuah lemari yang tampak masih mulus. Selain itu, semuanya tampak usang. Pakaian yang mereka miliki juga terbatas sehingga tidak heran jika kelima anaknya terlihat memakai kaus yang sudah kusam.
Saat malam tiba, nyala pelita menjadi penerang satu-satunya. Di bawah sinar re dup pelita itu pula, empat dari lima anaknya yang sudah sekolah belajar. “Tiang-tiang listrik sebetulnya sudah dipasang lengkap dengan kabelnya tahun 1997. Namun, entah kenapa, kabelnya diambil lagi sehingga tiang listrik yang ada hanya pajangan karena 10 tahun lebih sejak dipancangkan, listrik belum juga masuk,” keluh Sevnat. Pemandangan serupa terlihat di Desa Nomaha. Kasur berukuran 1,5 meter x 1 meter, di kamar tidur yang pengap, menjadi satu-satunya tempat keluarga ini melepas lelah saat malam hari. “Ya, kami tidur berdempetan,” tutur Tenji Kamanasa.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
61
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Salah satu anggota keluarga miskin di Desa Ohoirata, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, membersihkan kamarnya. Kompas/A Ponco Anggoro
Bertahun-tahun hidup dalam impitan kemiskinan telah dijalani keluarga Kamanasa. Meski Sevnat dan istrinya bekerja dari pagi hingga sore hari di ladang jagung, bahkan sering kali dibantu anak-anaknya yang terpaksa bolos sekolah, kemiskinan masih juga menjerat. Apa yang dialami Sevnat juga dialami mayoritas warga Kisar, bahkan warga Maluku Barat Daya lainnya, yang memang menggantungkan hidup seharihari pada hasil ladang. Saat warga kesulitan bertani, bantuan pemerintah sering kali tidak cukup. Thomas Ratuhaurasa, keluarga miskin di Ohoirata, mengatakan bantuan beras D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
62
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
hanya datang sekali. Itu pun jumlahnya hanya satu kilogram, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu hari. Sementara mengandalkan distribusi beras untuk rakyat miskin sangat tidak mungkin karena tidak tentu datangnya. “Dalam satu tahun bisa hanya sekali. Setiap ada kiriman, jatahnya hanya 25 kilogram per keluarga,” lanjutnya. Tidak heran jika jumlah warga miskin di Kabupaten Maluku Barat Daya masih tinggi, mencapai 57 persen dari seluruh penduduk di kabupaten yang sebanyak 73.000 orang. Harga beras, misalnya, mencapai Rp 12.000 per kilogram atau dua kali lipat dibandingkan dengan harga di Jawa. “Satu-satunya maskapai penerbangan yang mendarat di Kisar hanya Merpati. Itu pun jadwalnya tidak tentu dari seharusnya seminggu dua kali,” kata Pejabat Sementara Bupati Maluku Barat Daya Angky Renkaan. Kepala Desa Nomaha di Pulau Kisar Weinan Reytu mengatakan, masalah kemiskinan, listrik, air bersih, bersama sejumlah masalah lain merupakan masalah klasik yang belum terpecahkan sejak Indonesia merdeka.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
63
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Bahkan, ketika 46 pulau di Maluku Barat Daya menjadi kabupaten sendiri, dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat sejak September 2008, masalah itu tak juga menemui titik terang penyelesaian. Setiap tahun, dana di APBD Kabupaten Maluku Barat Daya sekitar Rp 200 miliar, sekitar Rp 70 miliar di antaranya dipakai untuk belanja rutin. Angky mengeluhkan seringnya keamanan masyarakat terganggu oleh komplotan perampok dan nelayan ilegal dari Timor Leste yang mengambil paksa hasil kebun warga. Tidak keliru jika masalah-masalah ini membuat sebagian warga merasa peringatan kemerdekaan dan gebyar-gebyar yang menyertainya hanya simbolis belaka. Hanya hiburan sesaat. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
64
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
PERBATASAN RI-TIMOR LESTE
Hidup Kami Ini Keras, Mama... Anak-anak sekolah dasar berseragam pramuka terlihat ceria dalam perjalanan pulang dari sekolah. Pagi itu, mereka me足ngobrol, bersenda gurau, dan tertawa lepas di jalan aspal yang di sana-sini sudah terkelupas dan penuh lubang. Saat kamera dijepretkan ke arah mereka, me足reka lari pontang-panting, berbalik arah. Air yang diusung beberapa anak di antaranya bahkan tumpah.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
65
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
A “
dik, tak usah takut. Selamat... selamat...,” bujuk Kompas melalui kaca jendela mobil yang dibuka.
Anak-anak itu pun akhirnya menghentikan langkah. “Selamat pagi, Bapak...,” kata mereka. Anak usia sekolah yang menjinjing jeriken ukur an 5 liter berisi air bersih merupakan pemandangan umum di perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT)Timor Leste. Oleh karena itu, iklan layanan masyarakat di televisi, “Sekarang sumber air su dekat, beta tak perlu ambil air lagi”, bisa dibilang tak sesuai kenyataan. Setidaknya, di empat kawasan perbatasan Haumeniana dan Wini (di Kabupaten Timor Tengah Utara), Motaain, serta Turiskain (di Kabupaten Belu). Di daerah Turiskain dan sekitarnya, pada musim kemarau seperti sekarang, beberapa sungai memang masih mengalirkan air cukup banyak. Tapi, sebagian besar masyarakat tetap saja harus mengambil air ke sumber air yang jauh. “September sampai Desember, kami harus jalan ke mata air jaraknya sekitar 1 kilometer dari rumah. Air di sini (sekitar rumah mereka) sudah tipis. Sekarang saja kami harus antre tiga jam untuk mengisi 10 jeriken yang kami bawa,” kata beberapa warga Asumanu, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, yang sedang mengantre air. Desa itu letaknyasekitar 1 kilometer dari Turiskain.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
66
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS KOMPAS
Pasar Perbatasan yang Menyatukan Pasar Tradisional di Desa Haumeniana, Kampung Pasabe, Distrik Oekusi, Perbatasan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste.
KOMPAS
Kompas/Iwan Setiyawan
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
67
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Daerah-daerah perbatasan di NTT pada umum足 nya gersang. Pada musim kemarau ini tanah mengeras seperti batu. Karena itu, saat mengolah lahan atau ladang, umumnya warga menggunakan linggis, bukan cangkul seperti di Pulau Jawa. Itu sebabnya, mulai dari anak-anak hingga kaum ibu, mereka semua setiap hari disibukkan pekerjaan mencari air bersih sekadar untuk masak dan minum. Pengetahuan di bidang kesehatan pun sangat minim.
Air bersih dan pengetahuan kesehatan yang minim, juga kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan kurang, membuat sebagian besar penduduk perbatasan hanya bisa mengenakan pakaian berwarna kumal dan lusuh. Beras bagi mereka merupakan barang mewah. Seperti diceritakan Petrus Naif dan Tobias Bifel, da足 lam seminggu biasanya mereka hanya dua kali makan nasi. Selebihnya, makan apa saja pengganjal perut: ubi, kacang hutan (yang disebut koto), labu kuning, atau jagung.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
68
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS JALUR PERDAGANGAN—Jalur Perdagangan - Sebuah truk pengangkut barang memasuki gerbang perbatasan Indonesia di Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, seusai mengantar barang dagangan ke wilayah Timor Leste. Pos perbatasan ini selain menjadi pintu masuk warga kedua negara juga pasokan barang dari Indonesia ke Timor Leste.
Kompas/Iwan Setiyawan
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
69
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Sabtu pagi itu, Petrus dan Tobias sedang jongkok di dekat pasar “perbatasan” Haumeniana. Keduanya asyik mengunyah kacang hutan- bentuknya seperti kacang merah, tetapi pipih-yang dilengkapi cabe rawit bulat, garam kasar, serta bawangmerah mentah. Mereka bak membuat sambal kacang di dalam perut. “Kami lapar sekali. Dari tadi belum makan,” kata kedua lelaki tanpa alas kaki tersebut. Petani jeruk dan kemiri itu menambahkan, untuk mencapai Pasar Haumeniana, mereka harus berjalan kaki 10 kilometer dari Oetulu, kampung mereka. “Kami masing-masing bawa uang Rp 20.000 untuk belanja. Saya beli daun bawang, tomat, beras, dan sedikit bahan bangunan untuk rumah,” ujar Petrus, menunjukkan isi kantong keresek hitam yang dipegangnya. Bahan makanan yang mereka beli ternyata hanya untuk makan sehari. “Hari lain, ya makan apa yang ada saja. Ada ubi ya makan ubi, ada jagung ya makan jagung,” kata keduanya dengan tawa lemah. Dengan kondisi perekonomian keluarga minim, anak sulung Petrus ke Malaysia setelah lulus SMA di Kupang. Ia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Seorang lagi kini putus sekolah di tingkat SMA karena tak ada biaya, sedangkan tiga lainnya masih di SD dan SMP. “Keuangan kami sangat terbatas. Sekalipun dapat BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin, semua itu hanya cukup untuk makan dua minggu,” ujarnya. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
70
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Tak hanya Petrus dan Tobias yang mengeluh se perti itu. Sejumlah ibu yang ditemui di Desa Oelneke tak jauh dari Pasar Haumeniana juga mengungkapkan hal serupa. “Hidup kami ini keras, mama.... Tais (tenunan) yang kami buat tak cukup untuk memenuhi kebutuh an keluarga. Karena itu, kami juga harus mencari pekerjaan lain, seperti mencari kayu bakar untuk dijual atau membersihkan ladang orang lain agar mendapat upah dua,” kata mereka kompak. Di desa itu, demikian pula di sejumlah desa lain di kawasan perbatasan, kaum perempuan pada umum nya mengisi waktu dengan membuat tais (dalam bentuk selendang, hiasan dinding, atau sarung). Harga jualnya beragam, bergantung pada bahan dasar yang digunakan. Selendang sederhana yang dibuat dalam waktu satu minggu, misalnya, dijual seharga Rp 70.000. Kaum lelakinya sebagian besar adalah petani. Masyarakat perbatasan terkesan merupakan orangorang yang pasrah pada keadaan. Mereka perlu terus dimotivasi untuk bangkit dan maju.
Masyarakat perbatasan terkesan merupakan orang-orang yang pasrah pada keadaan. Mereka perlu terus dimotivasi untuk bangkit dan maju.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
71
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS
Kompas/Iwan Setiyawan D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
72
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PENUKARAN UANG DOLLAR AS DAN RUPIAH—Berebut anak-anak muda menawarkan jasa kepada pemudik yang baru saja tiba di pintu perbatasan Mota’ain di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di tangan mereka tergenggam lembaran uang Rp 50.000 bercampur dengan lembaran dollar AS.
Kompas/Agus Susanto
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
73
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Pos Satuan Pengamanan TNI di perbatasan Indonesia-Timor Leste, tepatnya di Motaain-Batugade, berfungsi antara lain, sebagai pengawas pelintas batas. Setiap hari 100-120 warga dari kedua negara melintas di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Pelintas batas terbanyak tercatat melalui Motaain, sedangkan di Wini dan lainnya tercatat 5-15 orang per hari. Kompas/Kornelis Kewa Ama
Di daerah itu memang ada SD, SMP, serta SMK yang dimanfaatkan penduduk. Tapi, pengelolaannya belum optimal. Beberapa anak SD berangkat ke sekolah pada jam pelajaran sudah dimulai. Beberapa lainnya sudah pulang pada pukul 09.30 Wita. Karena itu, tak perlu kaget jika Komandan Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Haumeniana Letnan Dua Ahmad Hady menceritakan, ada anak kelas II SD belum bisa membaca. “Kami di sini kadang-kadang membantu mengajar anak-anak SD dan SMP pada malam hari. Beberapa anak kelas II SD belum bisa baca,� ujarnya. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
74
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Lutfiah, pengawas di Dinas Pendidikan Kabupaten Kupang, mengatakan, mendidik anak-anak di daerah yang demikian memang butuh ketelatenan. “Saya pernah mencoba mengajar di salah satu desa yang gurunya mengaku sudah kewalahan. Pada hari pertama, saya undang orangtua murid. Apa yang mereka katakan? ‘Yang menyuruh anak saya sekolah kan pemerintah. Jadi, biar saja kalau mereka tidak mau pergi ke sekolah’,” cerita Lutfiah. Pemahaman tentang sekolah gratis juga sangat beragam. Sebagian besar mengartikannya dengan sekolah tanpa biaya sama sekali. “Jadi, mereka juga tidak mau membeli buku (pelajaran),” paparnya. “Tapi, setelah diberi pemahaman bahwa sekolah itu merupakan bekal hidup anak- anak mereka, orangtua murid dengan senang hati memenuhi kebutuhan sekolah anak-anak mereka,” ujar Lutfiah. Saat ini jalan utama menuju kawasan perbatasan Indonesia-Timor Leste di NTT pada umumnya sudah mulus. Perjalanan dari Kota Kupang menuju Kefamenanu berjarak 300-an kilometer, misalnya, cukup nyaman. Tak banyak hambatan. Tapi, jalan dari ibu kota kabupaten-seperti dari Kefamenanu atau Atambua, ibu kota Belu-menuju tapal batas, sebagian besar rusak. Ini merupakan kendala dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
75
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Menanggapi kondisi wilayah dan masyarakat perbatasan yang demikian, Yos Mamulak, Asisten Tata Praja Setda NTT, mengatakan, NTT bak orang yang memiliki nafsu besar tenaga kurang. “Bagaimana kami bisa cepat berkembang jika APBD kami sedikit, hanya sekitar Rp 1 triliun per tahun,” ujarnya. Menurut dia, perhatian pemerintah daerah selama ini sebenarnya sudah cukup baik. “Penyuluhan pertanian, kesehatan, pembangunan masyarakat desa, terus digalakkan. Tapi, hasilnya ya... seperti itu. Ada BLT (bantuan langsung tunai) dan raskin (beras untuk rakyat miskin), penduduk malah jadi malas bertani. Mereka menganggap sudah ada gaji dari pemerintah,” kata Yos dengan tawa prihatin. Soal keamanan tapal batas, menurut Yos dan Kepala Polda NTT Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi serta Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Kolonel Dody Usodo Hargo Suseno, relatif aman. Meski ada wilayah daratan yang diperdebatkan. “Katanya, ada sejumlah wilayah adat warga kita yang masuk Timor Leste,” kata Yos. Batas kedua negara yang begitu fleksibel-berupa sungai yang kering pada musim kemarau dan tanah tak berpagar-juga kerap membuat aparat keamanan repot. Penyebabnya, ternak peliharaan warga “bertamu” ke negara tetangga sehingga aparat harus berkunjung ke pos lintas batas Timor Leste meminta tolong mencarikan ternak yang “nyelonong” itu. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
76
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS LINTAS TIMUR BARAT —Kondisi alam perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Mota Ain, Atambua, Nusa Tenggara Timur yang berbukit-bukit membuat sebagian pos peng amanan perbatasan TNI didirikan di lereng-lereng bukit dan diatas perbukitan.
Kompas/ Danu Kusworo
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
77
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Masyarakat perbatasan bisa dibilang tidak pernah tahu permasalahan yang dihadapi pemerintah untuk memajukan bangsa dan bagaimana mengisi kemerdekaan ini. Sebut misalnya warga di Wini, Napan, dan Haumeniana (Kabupaten Timor Tengah Utara) dan Oepoli (Kabupaten Kupang), yang berbatasan dengan Distrik Oekusi di Timor Leste. Begitu juga warga di Motaain dan Turiskain (di Kabupaten Belu) yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, juga di Motamasin (di Kabupaten Belu), yang berbatasan dengan Distrik Sana. Mereka hanya tahu bagaimana mengisi waktu untuk bertahan hidup. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
78
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
NASIONALISME DI TAPAL BATAS
Lilin Selalu Menyala di Ufuk Timur Theresia Sado Gebze, siswa kelas VI menyambut kehadiran pak guru di depan kelas dengan mata berbinar. Dua rekan sebaya yang duduk di bangku kiri-kanannya, Hermina Ndiken dan Agatha Belagaize,antusias membolak-balik buku pe足la足足jaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
79
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
BERMAIN KOLE-KOLE—Anak-anak warga desa Rawa Biru, Merauke, Papua bermain kole-kole di rawa di desa tersebut. Daerah ini merupakan daerah perbatasan antara RI dengan Papua Niugini.
Kompas/Eddy Hasby
KOMPAS
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
80
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS PAPUA NIUGINI —Warga Papua Niugini (PNG) yang membawa barang-barang belanjaan tengah melintasi pos perbatasan di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura. Sejak dua bulan lalu sejumlah pedagang secara swadaya membangun pasar sekitar 200 meter dari pos itu. Sejak Agustus jumlah pedagang makin bertambah sehingga tiap hari makin banyak pula warga PNG yang memasuki wilayah Indonesia hanya untuk berbelanja kebutuhan pokok karena harga di pasar itu lebih murah dibanding di wilayah PNG.
Kompas/ Subhan Safeii D
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
81
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
H
ari itu, Senin, 3 Agustus 2009, siswa kelas VI SD Yos Sudarso, Kampung Kuper, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua, itu belajar materi pelajarantentang transaksi jual beli. Supardi tak ingin menjejali siswanya dengan bahan teks. Karena itu, ia mengajak muridnya ke pasar desa, tak jauh dari sekolah mereka. Di sana berlangsung transaksi jual beli hasil bumi dan bahan kebutuhan pokok yang melibatkan warga asli Merauke dan kaum pendatang. “Jangan lupa bikin laporan untuk didiskusikan di depan kelas,� ujar Supardi, pria asal keluarga transmigran dari Jawa Tengah. Sementara itu, murid-murid kelas V dengan riuh merubung sebuah sumur di halaman sekolah. Dari bibir tembok sumur, para siswa melongok mengamati timba yang ditarik ulur seorang murid. Di sekolah itu, timba, sumur, dan airnya adalah alat peraga untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, khususnya tentang gravitasi atau gaya tarik bumi. Adapun pasar tradi sional yang mempertemukan beragam komunitas suku Marindanim dan suku-suku pendatang adalah alat peraga Ilmu Pengetahuan Sosial. Lenda Tahapari, guru SD di Erambu, dekat pos perbatasan RI-Papua Niugini, menjadikan pembelajaran kontekstual sekaligus sebagai kiat untuk merangsang anak giat bersekolah. Kegandrungan akan alam bebas membuat anak-anak Papua suka membolos dari sekolah, terlebihjika diajak orangtua ikut berburu. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
82
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS TUGU KEMBAR DI PAPUA—Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri I Sota, Kabupaten Merauke, Papua, melewati Tugu Kembar yang berada di perbatasan Merauke dengan negara Papua Niugini. Tugu serupa juga ada di Sabang, DI Aceh, yang menandakan perbatasan paling barat Republik Indonesia.
Kompas/Aswin Rizal Harahap
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
83
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KOMPAS Pos perbatasan Indonesia-Papua Niugini di Wutung, sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Jayapura, merupakan salah satu pos yang relatif baik dan terpelihara. Di sini satu pasukan anggota TNI AD ditempatkan, sedangkan sebagian garis batas lainnya tak ada penjaga sehingga terkesan bolong-bolong. Kompas/Wisnu Nugroho
Untuk pelajaran Biologi, Yoseph Ngara, guru SMP di Erambu, mengarahkan siswanya bercocok tanam di halaman sekolah. Tanaman kacang-kacangan diharapkan membangun pemahaman siswa tentang perkecambahan, fotosintesis, dan pembuahan pada tumbuhan. Terletak di ujung timur wilayah republik ini, pelaku pendidikan di Merauke selalu ketinggalan menerima perkembangan informasi terbaru mengenai kebijakan pendidikan yang sentralistik. Contohnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diterapkan secara nasional, tetapi di Merauke baru gencar disosialisasikan, terutama di sekolah swasta. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
84
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Sekolah negeri pun tak luput dari kesenjangan. Kepala SD Inpres Mopah Baru, LL Salamun, menggerutu karena buku-buku pelajaran kiriman Departemen Pendidikan Nasional telat tiba di sekolah. Buku pelajaran Bahasa Indonesia, Sains, dan Matematika yang mestinya digunakan tahun 2008 baru tiba di sekolah itu awal Agustus 2009. “Kalau bukan karena ujian nasional, sebetulnya tidak perlu kita repot mengurusi KTSP,� kata Teodora Siti Raya Prapat, guru di SD itu. Bagi Hendrikus Kariwop, Ketua Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke, yang menaungi 163 SD-perguruan tinggi di Merauke dan sekitarnya, kisah di atas membuatnya gundah dan optimistis.
Buku pelajaran Bahasa Indonesia, Sains, dan Matematika yang mestinya digunakan tahun 2008 baru tiba di sekolah itu awal Agustus 2009
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
85
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Gundah karena pada era otonomi sekolah, sub stansi dan proses pendidikan masih saja harus berformat sentralistik, termasuk kurikulum. Optimistis karena di tengah keterbatasan fasilitas, guru tetap bersemangat untuk menjalankan tugas pembelajaran dengan segala daya upayanya. Hendrikus, yang akrab disapa Romo Hengky, memandang pembelajaran kontekstual adalah formula jitu bagi anak Merauke. Karakteristik tumbuh kembang anak-anak itu lekat dengan alam raya. Sonny Betaubun, Ketua Pengurus Satuan Wilayah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Merauke, pun menilai kreativitas muncul di tengah berbagai keterbatasan yang ada. Keterbatasan jumlah guru dan biaya penyelenggaraan pendidikan melilit 38 sekolah dalam naungan YPK Merauke. Misalnya, guru tetap yang mengasuh 29 SD hanya ada 146 orang. Dengan total 3.217 siswa SD, masih diperlukan tambahan 80 guru. Di dua SMP hanya tersedia 24 siswa. Masih diperlukan tambahan 11 guru untuk total 582 siswa. Keterbatasan dana juga tetap klasik. Bagi SD-SMP negeri, dana bantuan operasional sekolah (BOS) memang cukup menopang penyelenggaraan pendidikan. Namun, bagi sekolah swasta, dana BOS justru menjadi buah “simalakama”. Menerima dana BOS berarti sekolah tidak boleh lagi memungut biaya dari orangtua siswa. Menolak dana BOS berarti mencekik napas keberlangsungan sekolah. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
86
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Faktor historis dan ikatan emosional warga setempat membuat kondisi sekolah swasta di Papua berbeda dengan di daerah lain. Di daerah lain, sekolah swasta umumnya diminati anak-anak keluarga berada, sementara sekolah negeri banyak dihuni anak-anak kalangan menengah ke bawah. Sonny Betaubun mengungkapkan, di Merauke, anak-anak miskin di pelosok pun cenderung memilih sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Repotnya, jika sekolah swasta menerima dana BOS, pengelola tak boleh lagi memungut dana dari orangtua siswa. Sonny dan Hendrikus mengkritik iklan layanan sekolah gratis yang gencar ditayangkan televisi sebagai informasi menyesatkan. Gratis yang dimaksudkan pemerintah adalah gratis terbatas, hanya pada aspek tertentu. Pada masa lalu, untuk mengimbangi aktivitas kolonisasinya, Belanda melalui Politik Etis mulai mengurus tatar Melanesia ini awal tahun 1900-an dengan misi pencerahan berbasis gereja. Romantisme pendidikan ala Belanda, antara lain, diungkapkan Simon Resubun, pensiunan guru. Pria asal Kei, Maluku Tenggara, ini menghabiskan masa dinasnya di Mappi, pedalaman Merauke, sejak lulus sekolah guru berasrama zaman Belanda tahun 1961.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
87
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Dosen Universitas Musamus, Merauke, Frederikus Gebze, menggambarkan, kalau bukan karena semangat nasionalisme, manalah mungkin para guru pendatang bisa hidup tenang dan betah. Betapa mudahnya menemukan guru-guru pendatang dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku di hampir setiap sekolah di Merauke. Mereka adalah keluarga transmigran Jawa-Bali, serta perantau dari suku Bugis, Toraja, Manado, dan Kei. Semua bisa hidup rukun berdampingan dan mendinamisasi pendidikan Merauke. Mereka ibarat lilin tak kenal padam. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
88
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KALFIN SAYA
Nasionalisme di Tapal Batas
KOMPAS Kompas/Erwin Edhi Prasetya
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
89
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Lupakan sejenak kisah
buram seputar sertifikasi guru dan kehidupan guru-guru di daerah terpencil. Kiprah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, Papua, bisa jadi pelipur lara di tengah karutmarut pendidikan nasional yang sarat kebijakan akrobatik.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
90
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
K
epada para siswa yang mengenyam pendidikan di ujung timur Tanah Air itu, Kalfin Saya konsisten mengajarkan nasionalisme.
Kalfin boleh disebut visioner dalam mengatasi kerawanan keamanan di wilayah area perbatasan negara Republik Indonesia-Papua Niugini (PNG). Upayanya merangkul siswa dari negara tetangga PNG setidaknya meredam potensi konflik lintas batas RI dan PNG. Sejak Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, itu berdiri pada 2004, Kalfin selaku kepala sekolah tampil memotori perekrutan siswa warga negara PNG. Setiap tahun, 20-30 anak dari negara tetangga itu diajak mengenyam pendidikan sekaligus diajak bergaul dan membaur bersama anak-anak Indonesia. Kalfin menyebut sekolah tersebut sebagai ”istana damai”. Di situlah, di bawah ”satu atap” sekolah, anak-anak beragam suku bangsa ikut mengenyam pendidikan. Anak-anak PNG mengakrabi Indonesia melalui pergaulannya dengan siswa Indonesia yang terdiri dari beragam suku di Papua serta beragam suku dari Pulau Jawa-Bali. Untuk diketahui, kawasan Sota memang terletak tak jauh dari lokasi transmigrasi di Merauke.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
91
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
KALFIN SAYA LAHIR: • 26 November 1964, Halmahera, Maluku Utara. PENDIDIKAN: • SD Gereja Masehi Injili Halmahera. • SMPN 1 Galea, Halmahera. • SMAN 1 Galea, Halmahera. • Fakultas Matematika dan Ilmu Pe ngetahuan, Universitas Pattimura. PEKERJAAN: • Guru Honorer SMAN 2 Merauke (1995-1998). • Guru SMP Negeri 11 Merauke (1998-2004). • Kepala SMKN 1 Sota 2004-seka rang. PENGHARGAAN: • Kalfin memperoleh penghargaan dari pemerintah papua Niugini atas dedikasi bidang pendidikan terha dap siswa-siswi PNG di SMK 1 Sota.
Pendekatan kultural yang diwujudkan dalam tindakan nyata berupa pemberian bekal kecakapan hidup kepada anak-anak lintas negara di Tanah Papua itu dengan sendirinya meng angkat citra Indonesia di mata dunia internasional.
Kalfinlah yang berupaya mewujudkan hal tersebut. Atas berbagai upayanya itu, tak keliru jika tahun lalu Pemerintah PNG secara khusus memberikan penghargaan dedikasi pen-didikan kepada Kalfin. Pria berdarah Halmahera, Maluku Utara, ini dianggap mendorong kemajuan hubungan bilateral RI-PNG melalui bidang pendidikan. Dalam perbincangan dengan Kompas, beberapa waktu lalu, ayah dari dua anak itu mengaku miris setiap kali mendengar atau membaca berita seputar kehidupan masyarakat di area perbatasan RIMalaysia, khususnya di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Isi berita tersebut didominasi kisah yang melorotkan harkat bangsa di mata negara tetangga dan dunia internasional.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
92
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
�Bayangkan, warga RI berbondong-bondong mencari nafkah ke Malaysia karena ekonomi setempat berkiblat ke negeri jiran itu. Akibatnya, anak-anak lebih mengenal dan bangga pada Malaysia ketimbang Indonesia, negerinya sendiri. Di sini, anak-anak ne gara tetangga malah antusias belajar mengenai Indonesia,� ujarnya. Keprihatinan Kalfin tidak berhenti di wacana atau pembicaraan sesaat, tetapi dia mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Berlatar belakang pendidikan biologi dari Universitas Pattimura, Ambon, Kalfin menekankan pembekalan kompetensi dan kecakapan hidup yang berbasis pada alam sekitar terhadap siswanya.
Kekerabatan Perjalanan Kalfin dalam dunia pendidikan di Papua memang cukup panjang. Dia turut merancang dan membidani lahirnya SMKN 1 Sota Tapal Batas RI-PNG pada 2004. Pengalamannya mengajar selama enam tahun di SMPN 11 Merauke, yang juga berada di perbatasan Merauke-PNG, membuat Kalfin dipercaya menjadi Kepala SMKN 1 Sota sejak 2004 hingga sekarang. SMKN 1 Sota kini memiliki dua jurusan, yakni Agribisnis Ternak Unggas (ATU) dan Agribisnis Pembibitan dan Kultur Jaringan (APK). Sekolah yang berada di pinggir Taman Nasional Wasur Merauke ini memiliki siswa dari kelas I hingga III sebanyak 116 orang. Dari jumlah itu, 47 di antaranya merupakan siswa asal negara tetangga, PNG. D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
93
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Sebanyak 25 siswa PNG menempuh pendidikan di jurusan APK dan 22 siswa lain di jurusan ATU. ”Sejak menerima pelajar asal PNG pada 2006, SMKN 1 Sota telah meluluskan 20 siswa-siswi asal PNG,” kata Kalfin. Semua pelajar asal PNG tersebut kini tinggal di asrama sekolah bersama 30 siswa-siswi setempat. Hubungan mereka terjalin baik meski belum lancar berbahasa Indonesia. Selama menempuh studi di SMKN 1 Sota, mereka mendapat bantuan dana pendidikan dari Pemerintah PNG. ”Siswa asal PNG selalu kami ajarkan berbahasa Indonesia agar bisa menyesuaikan diri dengan baik,” kata Kalfin. Umumnya siswa-siswi PNG yang bersekolah di SMKN 1 Sota berasal dari kampung-kampung di Distrik Morehead yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Merauke. Secara tradisional, mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat suku Marind di Merauke yang tinggal di sekitar daerah perbatasan kedua negara. ”Sekolah di SMKN 1 Sota ini adalah pilihan paling dekat secara geografis dari tempat tinggal mereka,” katanya. Kalfin tak pernah lelah mengingatkan anak didiknya untuk tekun belajar dan menyelesaikan studi. Seperti saat Kompas berkunjung ke SMKN 1 Sota, ayah dua putri itu sedang mengumpulkan anak diD i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
94
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
diknya. Dia memberi nasihat agar mereka disiplin bersekolah, tidak putus sekolah, dan tidak tergoda untuk menikah sebelum lulus. Bagi Kalfin, tantangan terbesar di daerah perbatasan itu adalah meyakinkan orangtua dan siswa untuk sekolah. �Di kampung, mereka adalah tenaga produktif untuk berburu di hutan menangkap rusa atau mencari ikan arwana. Hasil berburu bisa dijual dan mereka mendapat uang tunai yang cukup besar. Itu godaan bagi anak-anak,� katanya. |H
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
95
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
DAFTAR PULAU TERLUAR INDONESIA NO.
PROVINSI
JUMLAH PULAU
NAMA PULAU
1
Kepulauan Riau
18
Sentut, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Senua, Subi Kecil, Kepala, Selatung, Karimun Kecil, Nipah, Pelampong, Batu Berhanti, Nongsa
2
Kalimantan Timur
4
Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit
3
Sulawesi Tengah
3
Lingian, Salando, Dolangan
4
Sulawesi Utara
11
Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batubawaikang, Miangas, Marampit, Intata
5
Maluku
17
Jiew, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyang, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela, Meatimarang, Leti, Kisar, Wetar, Liran
6
NTT
6
Alor, Batek, Dana (besar), Dana (kecil), Mangudu, Sophialouisa
7
Jawa Timur
3
Barung, Sekel, Panehan
8
Jawa Tengah
1
Nusakambangan
9
Jawa Barat
1
Manuk
10
Banten
1
Deli
11
Lampung
1
Batu Kecil
12
Bengkulu
2
Enggano, Mega
13
Sumatera Barat
2
Sibarubaru, Sinyaunyau
14
Sumatera Utara
3
Simuk, Wunga, Berhala
15
Nanggroe Aceh Darussalam
6
Simeulucut, Selaut Besar, Pulau Raya, Pulau Rusa, Benggala, Rondo
16
Riau
2
Batu Mandi, Iyu Kecil
17
Papua
11
Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Brass, Bepondi, Liki, Kolepon, Laag, Ararkula, Karaweira
TOTAL
92
Sumber: Dishidros TNI AL
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
96
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Sumber Naskah Tak Indonesia Hilang di Hati... KOMPAS, 12 Agustus 2009. Penulis: Kenedi Nurhan. Satu Nusa Satu Bangsa, Di Pedalaman Siberut. KOMPAS, 11 Agustus 2009. Penulis: Sulistyawaty, Agnes Rita, dan M Hernowo. Sejak Kecil Kami Dipelihara Malaysia. KOMPAS, 31 Mei 2012. Penulis: Subhan SD. Nasionalisme Itu Mahal. KOMPAS, 15 Agustus 2009. Penulis: Edna C Pattisina dan Jean Rizal Layuck. Mempertanyakan Kemerdekaan dari Beranda Nusantara. KOMPAS, 18 Agustus 2010. Penulis: A Ponco Anggoro. Hidup Kami Ini Keras, Mama... KOMPAS, 18 Agustus 2009. Penulis: Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti. Lilin Selalu Menyala di Ufuk Timur. KOMPAS, 19 Agustus 2009. Penulis: Nasrullah Nara dan Korano Nicholash LMS. Kalfin Saya, Nasionalisme di Tapal Batas. KOMPAS, 8 Januari 2013. Penulis: Erwin Edhi Prasetya dan Nasrullah Nara.
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
97
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Agar Data tak Berujung Tanya?
pik.kompas.co.id
PUSAT INFORMASI
KOMPAS
Jl. Palmerah Selatan No. 26 – 28 Jakarta 10270 Telp:021–5347710, ext. 220 SMS Centre: 0811.900.1312 Fax: 021–5347743 email: pik@kompas.com twitter: @info_kompas Buka: Senin – Jumat, Pk. 09.00–16.00 WIB, Sabtu Pk. 09.00-14.00 WIB Hari Minggu dan hari besar tutup.
KOMPAS KOMPAS BATA S
D i g i t a l N e w s B o o k | D i g i t a l N e w s B o o k | NA S I O NA L I S M E DI TA PA L
98 98
Buku Pintar Kompas 2011 & 2012 Buku pintar berbahan baku informasi kualitas A-1. Diolah berdasarkan rekapitulasi segala kejadian melalui kacamata enam koran nasional:
Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, dan Indopos. Berbagai fakta politik,
sosial, budaya, hingga olahraga, dari dalam dan luar negeri, disajikan secara kronologis berdasarkan waktu
kejadian. Inilah buku referensi terpercaya yang wajib dimiliki siapa saja yang memerlukan informasi akurat. Diperkaya berbagai foto, tabel, dan infografik yang menjadikannya semakin menarik.
ISBN: 978-979-709-637-3
Harga : Rp 100.000
ISBN: 978-979-709-
694-6
Harga : Rp 145.0
00
D i g i t a l
N e w s
B o o k
NA S I O NA L I S M E
DI
99
|
KOMPAS
TA PA L
BATA S
Tersingkirnya Presiden Hosni Mubarak lewat revolusi rakyat dukungan militer pada tahun 2011, ternyata tidak segera menciptakan Mesir yang aman, damai, dan tenteram. ...
”Buku ini membantu kita belajar cepat tentang Mesir, termasuk latar belakang revolusi yang menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak dan kericuhan yang mengguncang Presiden Mohammad Mursi. Dengan lihai penulis mengantar pembaca meniti satu persatu bagian dari Mesir. Bahasanya ringan, gayanya romantis, tapi diisi dengan rujukan pustaka yang kaya. Yang awam sekalipun pasti bisa menikmati buku ini.” Dinna Wisnu, Pemerhati bidang politik ekonomi internasional dari Universitas Paramadina. Secara saksama penulis menempatkan dirinya di antara cerita yang di kisahkannya kepada pembaca. Inilah yang membuat cerita-cerita tentang revolusi di Mesir hadir sebagai sebuah novel. Jelas ada struktur cerita, pergerakan alur, dan dialog-dialog yang secara perlahan menggiring kita untuk memahami apa sesungguhnya yang terjadi. Dalam bingkai seperti ini serta tuturan yang detail, kita seperti sedang mendapati diri bersama penulis berada di Alun-alun Tahrĭr, Kairo, di mana rakyat meneriakkan api revolusi. Selain mendapatkan pemahaman yang utuh tentang Revolusi Lotus di Mesir, kita juga mencernanya sebagai buku yang imajinatif, karena ia memberikan kita keleluasaan untuk turut membayangkan betapa berdarah-darahnya revolusi itu. Inilah buku yang memadukan ilmu pengetahuan, jurnalistik, dan sastra. Putu Fajar Arcana, Novelis dan Editor
Kebudayaan Kompas.
Rp 69.000 Ke arah mana Mesir kini melangkah? Akankah demokrasi pulih kembali? Apakah konflik sektarian akan terus berlanjut? Apakah permusuhan antara militer dan Ikhwanul Muslimin akan hidup lagi? Simak selengkapnya dalam buku ini... penerbit buku kompas
@bukukompas
PENERBIT BUKU
Jl. Palmerah Selatan 26-28 NA S I O NA L I S M E DI TA PA L BATA S DAPAT DIPEROLEH DI TB GRAMEDIA DAN TOKO BUKU LAINNYA DI INDONESIA Jakarta 10270 e-mail: buku@kompas.com email:pesanbuku@kompas.com, (021) 5347710 ext. 5601-5615 Telp. (021) 5347710 ext. 5601