10 minute read
Ringkasan Eksekutif
Ini adalah laporan ‘Status Perikanan’ tahunan yang ketiga (2021) yang mencakup tahun 2019-2021 dan didukung oleh David and Lucile Packard Foundation (Packard Foundation) dan Walton Family Foundation (WFF). Perikanan rajungan (blue swimming crab, BSC) adalah salah satu dari tiga pola dasar perikanan yang didukung oleh pendanaan dari Packard Foundation dan WFF melalui Konsorsium BSC, merupakan kelompok pelaksana perikanan BSC di empat provinsi (Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Jawa Barat) yang berbatasan dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Jawa (WPP 712). Kemajuan pekerjaan ini diukur dengan menggunakan 14 indikator berdasarkan Teori Perubahan (TOC) dan rencana kerja bersama yang disepakati bersama oleh anggota Konsorsium. Indikator-indikator tersebut berada di bawah empat kategori: Kondisi Kesehatan Perikanan, Status Ekonomi Perikanan,Tata Kelola Nasional, and Tata Kelola Daerah.
Kondisi Kesehatan Perikanan – Indikator A, B
Advertisement
Dua indikator digunakan untuk mengukur kesehatan perikanan. Hasil tahun 2021 adalah sebagai berikut:
Indikator A: Rasio potensi pemijahan (SPR) yang menunjukkan status stok. Data SPR tidak tersedia untuk Jawah Tengah dan Jawa Timor. Data dari Lampung masih dalam proses analisis dan finalisasi oleh Komite Pengelolaan Perikanan Rajungan Berkelanjutan (KPPRB). Data final akan diberikan oleh Environmental Defense Fund (EDF) dan secara resmi akan disahkan oleh KPPRB sebagai addendum dari laporan ini dalam beberapa bulan mendatang.
Indikator B: Catch per unit effort (CPUE) diperkirakan untuk subset alat tangkap prioritas di daerah penangkapan tertentu, yang menunjukkan variabilitas yang cukup besar di seluruh perikanan. Data untuk indikator ini tidak sebagus data Indikator A (SPR), sehingga tidak banyak yang dapat disimpulkan berdasarkan data yang tersedia sampai kita memiliki kumpulan data dalam beberapa tahun dan metodologi pengumpulan yang distandarisasi. Data yang tersedia paling baik hanya digunakan untuk memahami alat tangkap yang digunakan di setiap lokasi.
Status Ekonomi Perikanan – Indikator D, K, L, M, N
Ada lima indikator untuk kategori ini, dengan hasil tahun 2021 sebagai berikut:
Indikator D: Alokasi anggaran pemerintah untuk pengelolaan perikanan BSC. Perlu diperhatikan bahwa data baseline tahun 2019 telah ditinjau berdasarkan data dari pemerintah dan telah dikoreksi menjadi dana aktual yang dialokasikan untuk perikanan BSC dan bukan hanya “alokasi total untuk perikanan umum” yang digunakan pada tahun 2019. Namun, setiap provinsi memiliki cara yang berbeda dalam mengalokasikan anggarannya untuk perikanan, dan tidak ada alokasi khusus untuk BSC. Untuk Lampung, data dikumpulkan dari wawancara yang lebih subjektif dengan staf pemerintah oleh mitra Konsorsium.
Indikator K : Nilai ekspor BSC per provinsi. Sekitar 36 juta USD ekspor BSC berasal dari Provinsi Lampung pada tahun 2021, meningkat sebesar 58% dari tahun 2020 sebesar 22,9 juta USD. Peningkatan nilai per kilogram dan volume menjelaskan pertumbuhan signifikan ini. Data dari pemerintah (Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan atau BKIPM) untuk tiga provinsi lainnya tidak tersedia untuk tahun 2021.
Indikator L : Perubahan harga ekspor BSC. Indikator ini melacak perubahan harga ekspor BSC di masing-masing provinsi prioritas, seperti yang dilaporkan oleh statistik pemerintah. Harga ekspor yang rata-rata pada tahun 2021 adalah USD 22,96 per kg untuk Lampung, naik 55% dari harga tahun 2020 (USD 14,75).
Indikator M: Persentase daging BSC jumbo dalam total ekspor daging BSC. Oleh karena data SPR untuk tahun 2021 belum tersedia, data Indikator M tidak dapat diestimasi.
Indikator N: Variasi pendapatan nelayan dan pengepul dari perikanan BSC. Data baseline tentang variasi pendapatan nelayan dan pengepul dari perikanan dikumpulkan pada tahun 2019, tetapi tidak ada pengumpulan data yang dilakukan sejak saat itu. Pada tahun 2019, nelayan bubu memperoleh pendapatan antara 643 USD hingga 1.411 USD di tiga lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, nelayan jaring insang di Jawa Tengah memperoleh antara 972 USD hingga 1.973 USD, dan pengepul memperoleh dari 4.277 USD (Jawa Timur) hingga 7.709 USD (Jawa Tengah).
Tata Kelola Nasional – Indikator F, G, J
Ada empat indikator untuk kategori tersebut, dengan hasil tahun 2021 sebagai berikut:
Indikator F: Kemajuan menuju harmonisasi pengelolaan perikanan BSC di tingkat WPP dan provinsi. Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung semuanya tetap pada peringkat Kategori 1 di bawah indikator ini (rencana pengelolaan perikanan BSC tingkat provinsi yang diakui di tingkat WPP). Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi secara rutin mengikuti pertemuan WPP 712 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Perikanan-WPP (LPP-WPP). Untuk Lampung, DKP Provinsi Lampung dan KPPRB secara rutin berpartisipasi dalam pertemuan dengan KKP seperti penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP), Harvest Strategy, Aturan Pengendalian Penangkapan, dan Kuota Pengelolaan. Namun karena sistem LPP-WPP di Indonesia masih belum berjalan DKP Lampung masih belum memiliki peran formal sebagai penasehat/anggota LPP-WPP 712, dan peringkat untuk semua provinsi tetap pada Kategori 1.
Indikator G: Kemajuan menuju Keputusan Menteri tentang Harvest Strategy Rajungan. Dokumen Harvest Strategy yang mendefinisikan titik acuan batas dan titik acuan target tetap pada Tingkat 1. Pada tahun 2021, anggota Konsorsium aktif memberikan masukan dan umpan-balik terkait implementasi Harvest Strategy, namun, Harvest Strategy ini tidak memiliki mekanisme kontrol penangkapan dan tangkapan (belum ada peraturan kontrol penangkapan), sehingga tetap merupakan Harvest Strategy yang tidak lengkap.
Indikator J: Proyek Perbaikan Perikanan (FIP) mencapai kinerja positif. Perikanan Jaring Insang/Perangkap Ikan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) sedang dilacak berdasarkan tolok ukur Marine Stewardship Council (MSC) sebagaimana tercantum di FisheryProgress. org. Indikator ini masih melacak seluruh Laut Jawa sebagai unit penilaian, meskipun FIP sekarang berfokus pada lokasi-lokasi di Pulau Madura, di lepas pantai timur laut Jawa. Untuk tahun 2021, 32% skor kinerja FIP adalah hijau (lulus tanpa syarat), menurun dari 36% tahun 2020. Nilai 68% kuning (lulus dengan syarat), menunjukkan peningkatan dari 46% tahun lalu sedangkan 0% merah (gagal) lebih baik daripada penilaian tahun lalu, yaitu 18%.
Tata Kelola Dearah – Indikator C, E, H, I
Ada empat indikator untuk kategori ini, dengan hasil pada tahun 2021 sebagai berikut:
Indikator C: Komite Rajungan (didukung) menunjukkan kemajuan menuju pengelolaan adaptif. Indikator ini melihat setiap lokasi (provinsi, kabupaten, dan desa) dan membuat peringkat pada skala kemajuan dari 0 (komite tidak terbentuk) hingga 5 (komite yang mempraktikkan pengelolaan adaptif). Sebagai contoh, ada beberapa peningkatan peringkat di Jawa Tengah, di mana komite berkembang dari Tahap 0 ke Tahap 1 (terbentuk secara hukum). Pada tahun 2019, provinsi Jawa Tengah berada di peringkat tertinggi (Tahap 5) dan mempertahankan peringkat ini pada tahun 2021. Dua kabupaten di Jawa Tengah tetap di Tahap 0 dan 2, dan dua desa berada di Tahap 4. Di Lampung, yang berfokus hanya pada pengelolaan tingkat provinsi, berada pada Tahap 4 pada tahun 2019 dan Jawa Barat meningkat dari Tahap 0 ke Tahap 1, sementara Jawa Timur meningkat dari Tahap 0 ke Tahap 3.
Indikator E: Keterlibatan dan pemberdayaan kelompok pemangku kepentingan lokal untuk pengelolaan perikanan BSC. Indikator ini membuat peringkat lembaga tingkat desa dan asosiasi pengepul/miniplant pada skala kemajuan dari 0 (terorganisir secara longgar) hingga 4 (membuat rekomendasi pengelolaan perikanan). Di Jawa Barat, 11 organisasi baru berdiri dengan dukungan Starling Resources (SR). Lampung memiliki 17 kelompok, di mana pada tahun lalu ada 18 kelompok. Satu kelompok tidak ada lagi karena mengalami konflik internal. Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak dapat memberikan data terbaru.
Indikator H: Desa yang melaksanakan praktik pengelolaan BSC. Laporan baseline menyoroti dua lokasi di Jawa Tengah (Betahwalang dan Gedongmulyo) dengan beberapa bentuk pengumpulan data stok dan pendaftaran nelayan, di mana tidak ada informasi yang diperbarui untuk tahun 2021. Di Jawa Timur, tidak ada data terbaru untuk tahun 2021. Sementara itu, lima desa di Lampung terus menerapkan praktik pengelolaan terhadap BSC yang dimulai pada tahun 2019 dan juga telah memprakarsai area tertutup juvenil dan deteksi alat tangkap yang merusak sebagai bagian dari rencana provinsi. Di Jawa Barat, ada sepuluh desa baru yang teridentifikasi pada tahun 2021.
Indikator I: Mini-plant sesuai dengan dokumen kontrol industri. Indikator ini memantau kepatuhan terhadap ukuran minimum pendaratan, dokumentasi tangkapan yang benar, dan tidak adanya tangkapan ilegal (kepiting dengan telur dan berukuran kecil < 10 cm). Inisiatif ini diarahkan dan didanai oleh APRI dengan dukungan dari Dewan Rajungan National Fisheries Institute (NFI) untuk memastikan para nelayan dapat menyimpan pernyataan publik tentang legalitas dan ketertelurusan produk mereka. 75% dari mini-plant yang berbasis di Jawa menyelesaikan audit pada tahun 2019, dan audit pada tahun 2020 tidak selesai. Pada tahun 2021, SFP memberikan dukungan pendanaan ke APRI untuk melakukan audit terhadap 49 mini-plant di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Data kepatuhan tahun 2021 menunjukkan bahwa 60% hingga 65% dari pasokan APRI dan NFI-CC mengikuti peraturan penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated, IUU). Sebaliknya, ini berarti bahwa 35% hingga 39% tangkapan yang dipasok ke APRI dari 18% mini-plant adalah tangkapan IUU. Persentase pasokan ini lebih tinggi secara signifikan dari temuan yang diperkirakan oleh Kongres Perdagangan Internasional (International Trade Congress, ITC) AS sebesar 22,8%.
Keterbatasan laporan ini adalah bahwa beberapa kumpulan data tahun 2021 tetap tidak lengkap, dan data tersebut memerlukan validasi yang sesuai dari KPPRB dan pemerintah. Sayangnya, masalah ini mempengaruhi Indikator A (SPR), M (daging BSC), dan B (pelacakan CPUE). Statistik pemerintah untuk harga ekspor pada tahun 2021 juga belum dirilis pada penerbitan laporan ini. Hanya Lampung yang menunjukkan kenaikan harga yang kemungkinan mewakili kenaikan harga BSC di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, kemajuan di seluruh indikator selama pandemi global tetap mengesankan. Laporan tahunan mendatang harus ditunda hingga pertengahan tahun untuk memungkinkan semua kumpulan data dari tahun sebelumnya dikonsolidasikan dan disetujui oleh KPPRB dan pemerintah.
Bekerja dengan LSM lokal, enumerator berbasis desa, organisasi berbasis masyarakat, dan universitas setempat telah memungkinkan sebagian besar anggota Konsorsium melanjutkan pengumpulan data dan bekerja selama pandemi. Secara seluruh, hasil indikatif menunjukkan bahwa kesehatan stok BSC masih mengarah ke bawah secara pelan-pelan di Laut Jawa dan akan terus seperti itu hingga ada pengelolaan yang sistematis membatasi upaya penangkapan. Tampaknya upaya penangkapan telah meningkat dari tingkat 2020 selaras dengan peningkatan volume ekspor.
Secara keseluruhan, ada kemajuan dalam pengembangan lembaga untuk mendukung kondisi yang memungkinkan bagi tata kelola perikanan BSC. Perpaduan organisasi tingkat desa, kabupaten, dan provinsi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung bertahan dan, dalam beberapa kasus, meningkat. Pada tahun 2022, Jawa Barat mulai mengejar ketertinggalan dari provinsi lain. Namun, satu kelemahannya adalah alokasi pemerintah untuk mendukung pekerjaan di setiap provinsi tetap kecil, kemungkinan karena dialokasikan untuk penanganan COVID19. Semoga di tahun 2022, penerimaan (buy-in) mitra dan masyarakat lokal akan meningkat.
Pada bulan Maret 2020, Harvest Strategy Rajungan Nasional telah disetujui, dan ini memperjelas titik acuan target dan titik acuan batas perikanan BSC. Strategi ini mengadopsi SPR sebagai metode utama untuk mengkaji stok, sehingga ada sistematisasi pengumpulan dan pemantauan data. Harvest Strategy belum efektif tanpa menguraikan intervensi pengelolaan penting yang telah ditentukan sebelumnya yang dipicu pada saat terjadi kesehatan stok menurun titik referensi yang lebih rendah (LRP). Blue swimming crab adalah spesies yang menghabiskan seluruh hidupnya di perairan provinsi, sehingga model terbaik untuk mengelolanya adalah memungkinkan pemerintah provinsi untuk merencanakan dan memberikan dukungan untuk pengelolaan tingkat kabupaten dan desa. Kementerian mengusulkan serangkaian lokasi uji pengendalian penangkapan pada tahun 2022, dan Lampung akan menjadi lokasi unggulan untuk uji coba dan kolaborasi.
Mitra konsorsium telah mengintegrasikan pengumpulan data kesehatan stok dan sistem enumerator mereka untuk memberikan data reguler yang terstandarisasi langsung ke Tim Pengkaji Stok KKP. Mudah-mudahan APRI dapat mengikuti contoh ini dan berbagi kumpulan data mereka dengan pemerintah untuk memungkinkan pemeriksaan yang tepat dan analisis ilmiah independen untuk mendukung analisis data mereka yang telah disebarkan di berbagai forum.
Sayangnya, pada tahun 2021, APRI memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan mereka di Konsorsium. Tetapi, anggota tetap membuka pintu selebar-lebarnya jika APRI dan Dewan Rajungan National Fisheries Institute terlibat kembali. Prosesor BSC non-APRI tetap terlibat di lokasi lapangan. Di sisi lain, perkembangan yang menggemenarik pada tahun 2021 adalah dorongan menuju mengenali inklusifnya suara nelayan dan perempuan dalam pengelolaan, dari desa hingga provinsi, dan pembentukan Forkom Rajungan Nelangsa yang membawa pemangku kepentingan penting lainnya ke dalam pengelolaan perikanan BSC.