8 minute read
Moelyono; Seniman Cum Aktivis Pergerakan
Oleh: Bagas Nugroho
“Karena pengalaman masa kecil itu (peristiwa di tahun 65') membuat saya melakukan ini (mengangkat tema-tema sosial politik dalam karyanya)”. Moelyono—
Advertisement
Moelyono merupakan salah satu seniman yang berpartisipasi di acara Biennale tahun ini. Dengan mengangkat isu yang sama 26 tahun yang lalu yaitu, Marsinah, Moelyono merepresentasikan kematian Marsinah sedikit berbeda. Dipamerkan di Jogja National Museum, karya yang dibuat saat ini punya makna lain yang menantang narasi usang Orde Baru. Instalasi yang sengaja dibuat seolaholah sedang dalam tahap pembangunan memiliki arti jika pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah masih belum tuntas. Selain itu perlawanan narasi Orde Baru lewat instalasi berbentuk monumen yang sedang dibangun juga jadi tanda mencolok jika karya yang dipamerkan saat ini punya makna perlawanan. Selain itu lewat seni rupa penyadaran juga Moelyono bergerak dalam menyuarakan isu-isu sosial dan politik. Sepak terjangnya dalam kesenian yang bergumul dengan masyarakat, membuat dirinya selalu terkesan menjadi seniman aktivis. Berbekal dari ingatan masa kecil dan realitas sosial yang dirasakan sendiri menjadi formula yang dipakai Moelyono untuk terus berkarya dan berjuang. Hingga kini aktivitasnya tidak jauh-jauh dari dunia seni rupa dan advokasi masyarakat.
Masa Kecil, Ingatan Tak Terlupakan.
Hidup dan tumbuh besar di masa terjadinya genosida massal pasca peristiwa 65', Moelyono kecil punya pengalaman yang terus membekas diingatannya. Lahir di Tulungagung pada 5 Agustus 1957, nampaknya menjadi periode yang sulit bagi Moelyono. Masa kanak-kanaknya berada pada masa pergantian dari Orde lama ke Orde Baru yang lebih represif, menjadikan ia memilki pengalaman buruk perlakukan rezim pada saat itu. Setiap berangkat sekolah Moelyono melihat mayat-mayat yang—diduga berpaham kiri atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)—mengapung di sungai. Moelyono menceritakan di tahun 1965, pada waktu itu ia masih kelas 3 Sekolah Dasar dan bersama temantemannya bermain mendorong tubuh-tubuh terapung dengan ranting yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai agar terseret banjir. Selain itu, pengalaman lain pun dialami Moelyono. Ketika maghrib menjelang bapaknya bersembunyi di bak tampungan air yang kosong, sedang ibunya memalangkan pintu dengan bambu, mengaji, meredupan lampu minyak dan Moelyono tidur disamping ibunya. Hal ini dilakukan keluarganya untuk menghindari sweping oleh sakerah yang memburu orang-orang dicap berpaham kiri. Padahal menurut Moelyono, bapaknya tidak pernah memakai tanda PKI. Namun, dari kantornya— ayah Moelyono sebagai pegawai pesuruh di kabupaten di Tulungagung—sering membawa majalah Soviet yang foto-fotonya disukai oleh Moelyono. Mungkin atas dasar ini, ketakutan dicap kiri meneror keluarga Moelyono. Pada saat itu lazim halnya sweping orangorang berpaham kiri. Hal ini atas dasar peristiwa yang terjadi di dini hari 1 Oktober 1965 itu. Buntutnya ideologi kiri ini dilarang pemerintah dan selama hampir dua tahun (1965 s.d. 1967) terjadi “perburuan” dan pembantaian orang-orang kiri oleh pemerintah lewat militer. Pengalamanpengalaman masa kecil inilah yang menjadikan Moelyono, punya tekad dan berniat untuk menerjunkan dirinya ke masyarakat.
Pengalaman dan Pemikiran membentuk “Seni Supa Penyadaran”
Ketika beranjak dewasa, Moelyono mulai menyukai menggambar. Lulus SMA dia mendaftar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Mendapat IPK yang tinggi Moelyono pernah mendapatkan beasiswa dari Affandi. Namun kehidupannya di kampus belum membawa Moelyono ke dunia aktivis. Pengenalan dengan dunia aktivis dia dapat justru dari luar. Menginjak semester 3 di universitas, Moelyono mulai mengenal lingkungan Kos Gampingan 23. Di lingkungan ini Moelyono kenal dengan Haris Purnomo, Gendut Ryanto, Ronald Manulang, Dede Ari Supria, Bonyong, dan banyak lagi. Kegiatan mereka disela-sela perkuliahan adalah diskusi, menulis dan membaca sebanyak yang bisa mereka capai. Dengan lingkungan seperti ini Moleyono seperti ditempa untuk menjadi progresif. Alhasil dengan proses tempaan itu Moleyono diajak untuk pameran Kepribadian Apa (Pipa) di tahun 1979 yang mampu menjadi perhatian dunia seni rupa Jogja waktu itu. Akan tetapi, lukisannya yang berisi tematema sosial menurut Moelyono tidak terlalu berdampak luas ke masyarakat dan tidak menyelesaikan permasalahan sosial. Akhirnya ketika Moelyono pulang ke Tulungagung dia berencana membuat kesenian yang punya pengaruh di masyarakat. Terbentuklah ide untuk memecahkan masalah sosial di desa Waung yang selalu jadi rawa. Moelyono Ikut-ikutan membantu membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik dan diberi tanah untuk ditanami bayam, jagung dan cabe.
Melihat kondisi ini tercetus ide membuat karya bernama “Kesenian Unit Desa”. Moelyono membuat karya berbentuk paparan 12 lembar tikar merah, setiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, dan satu gubuk pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mirophone untuk suara gelombang gemerisik diberi radio transistor. Di ujung paparan tikar diletakkan pengeras bersuara gemerisik gelombang radio. Karya yang dibuat ini rencananya untuk syarat ujian S1. Namun, karyanya tidak masuk syarat dalam seni lukis, ujiannya pun ditolak. Keadaan ini, tidak membuat semangatnya jadi kendur, justru sebaliknya. Hasil karyanya yang dibuat ujian itu pada tahun 1985 malah ikut dipamerkan bersama kelompok Proses' 85 dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pameran ini pun bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang didirekturi Erna Witoelar pada waktu itu. Ada salah satu pengalaman hidup Moelyono yang paling terlihat untuk kegiatan Turba (Turun ke Bawah) ke masyarakat yaitu ketika ia menjadi guru gambar di Teluk Brumbun, Tulungagung. Menjadi guru gambar adalah salah satu cara untuk bisa diterima di masyarakat. menurut Moelyono, embel-embel seniman malah membuat dirinya ditolak masyarakat. Pada saat pertama kali mengajar gambar kepada murid SD, Moelyono bingung karena muridnya tidak memiliki buku gambar. Akhirnya tercetuslah ide untuk menggambar di media pasir pantai. kegiatan menggambar pun menjadi rutin setiap sabtu dan minggu. Pada Maret 1987, 100 karya anak-anak ini dipamerkan di salah satu dinding rumah warga. Karya anak-anak inipun berdasarkan realitas
yang terjadi di Brumbun waktu itu, mulai dari masalah kesehatan, tidak adanya pembangunan, sulitnya mendapatkan ikan dan susahnya air bersih. Pada 1988, Moelyono diundang Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia (API) untuk menceritakan aktivitasnya di Brumbun. Pasca itu Moelyono berencana mengadakan pameran di Jakarta dan persiapannya didokumentari tim dari WALHI termasuk Harsono di dalamnya. Namun, belum pameran di Jakarta Moelyono sudah dipanggil dahulu oleh pihak keamanan. Dia ditanyai seputar kegiatannya di Brumbun dan dicurigai berkaitan dengan kegiatan partai kiri—katanya daerah Brumbun dahulu bekas pembataian orang-orang PKI. Kecurigaan pihak keamanan ini membuat Moelyono diancam tidak bisa mengajar lagi di Brumbun. Segala kegiatannya harus lewat izin Koramil. Namun, setelah surat izin dikeluarkan oleh Departemen kebudayaan kota (lewat Kepala Seksi Ema Kusmadi) saat itu, akhirnya Moelyono boleh mengajar kembali—tetapi harus dikawal dua prajurit. Pasca itu, Moelyono bisa kembali beraktivitas lagi. pamerannya pun dilakukan di beberapa kota dan keuntungannya dipakai untuk membantu warga Brumbun membeli selang air—membangun fasilitas air bersih. Selain itu juga ada banyak kegiatan kesenian yang dibangun Moelyono bersama masyarakat dengan kelokalitasannya. Contohnya pada tahun 1995 di desa Winong—tempat Moelyono tinggal—kelompok kesenian Jaran Jowo. Pada 1998 di desa Kebonsari, Pacitan dibuat kegiatan berlatih kesenian untuk anak-anak seperti kesenian Lesungan, Reog, Ketoprak dan Karawitan dengan pengajarnya tokoh seniman desa. Kegiatan yang dilakukan Moelyono selama inilah yang menjadikan dia menjadi seniman dengan sebutan seniman penyadaran. Seni rupa yang Moelyono buat nyatanya punya pengaruh buat masyarakat. Sebutan ini sebenarnya muncul dari ulasannya wartawan kompas dengan headline besar “Seni Rupa Penyadaran”. Selain itu pada Tahun 1989 s.d. 1991 pameran seni rupa bertajuk “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan di beberapa tempat antara lain Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Pameran yang merupakan karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono ini dibantu para aktivis LSKBHSurabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan GeniSalatiga. Pada tahun 1997 juga terbit buku berisi pengalaman Moelyono selama di dunia kesenian dengan judul yang sama yaitu “Seni Rupa Penyadaran”.
Karya Marsinah yang dibredel
Berkelindan dengan kehidupan buruh saat di Krukut (Surabaya), membuat Moelyono setidaknya tahu persis permasalahan yang dihadapi. Rumah kontrakannya satu lingkungan dengan para buruh. Keadaan buruh yang dirasa Moelyono sangat memprihatinkan membuat dia tergerak untuk melakukan sesuatu. Moelyono mengadakan pelatihan jahit untuk para buruh perempuan di lingkungannya, hal ini juga dilakukan sebagai cara untuk mendekati buruh secara diam-diam. Pasalnya pemerintah saat itu cukup represif terhadap gerak-gerik kaum buruh. kegiatan ini membawa Moelyono punya “kedekatan” dengan Marsinah. Marsinah merupakan salah satu buruh PT. Catur Putra Surya yang cukup vokal
melakukan aksi di tahun 1993. Namun, amat disayangkan Marsinah ditemukan tidak bernyawa di tengah hutan jati Desa Jegong, Nganjuk dan disinyalir akibat kegiatannya belakangan. Kejadian ini memicu kecaman dari banyak pihak tak terkecuali Moelyono. Bersama teman-teman buruhnya, Moelyono berencana membuat pameran untuk memperingati 100 hari kematian Marsinah. Menurut Moelyono karyanya ini sebagai penghormatan bagi Marsinah dan menyimbolkan Marsinah sebagai bara dalam menuntut keadilan kaum buruh. Inilah persinggungan antara Moelyono dan Marsinah walau keduanya belum pernah bertatap muka langsung. Pameran dilaksanakan di Gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS) di Jl. Pemuda, Surabaya yang rencananya dilakukan pada 12-16 Agustus 1993. Instalasi ini berisi diorama introgasi Marsinah yang digambarkan lewat patung jerami, ada juga patung muka Marsinah yang dipajang dan Hardboard cut yang dibuat teman-teman buruh. Pameran ini juga dibantu oleh Komite Solidaritas Untuk Marsinah, Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK). menjelang pembukaannya, pameran ini dibredel oleh kepolisian. Pembredelan pameran ini mendapat kecaman dari para aktivis dan lembaga bantuan hukum, salah satunya Munir. Namun, pameran itu pada akhirnya tetap tidak diizinkan.
Pejuang Tak Henti
Pasca Orde Baru tumbang dan masa Reformasi mulai berjalan kegiatan Moelyono tidak berhenti begitu saja. Moleyono malah aktif juga di luar kegiatan pameran seni, salah satunya mengadvokasi masyarakat. advokasi ini dilakukan lewat program Early Chilhood Care for Development (ECCD) dengan pengaplikasian “Seni Rupa Penyadaran” dibeberapa daerah. Daerah-daerah terpencil seperti Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang dan Maliana –Timor Leste (NTT); Jayapura dan Wamena (Papua); Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang dan Sambas (Kalimantan Barat); Tentena, Poso dan Luwu (Sulawesi); Ambon dan MasohiPulau Seram; Pulau Nias; Aceh, Meulaboh (Sumatera); Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ' Arrosyaad', Balong dan Kediri (Jawa). Salah satu kegiatannya adalah membuat model pendidikan anak usia emas yang dikelola oleh masyarakatnya sendiri dengan pelajaran budaya lokal. pendekatan yang dilakukan pun mulai dari melakukan pelatihan terhadap bapakbapak, ibu-ibu dan remaja sebagai pengajar lokal untuk usia 4 s.d. 6 tahun dengan menggunakan kesenian lokal seperti lagu, tari-tarian, permainan sebagai mata pelajarannya. Penulis: Bagas Nugroho (Volunteer Media Biennale Jogja XV)
Sumber:
Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.34 WIB
Moelyono, “Menyisir dari Desa ke Desa”, https://moelyonoart.blogspot.com/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.23 WIB
Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakseraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.34 WIB
Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 Pukul17.34 WIB