EDISI 17 | Agustus 2016
S U R AT K A B A R Refleksi Kritis dan Kreatif
Penelitian atau Cuma Ikut-Ikutan www.bpmfpijar.com
4 8
Sorot
PKM dan Iming-Iming yang Tak Pernah Tuntas
Riset
Minim Antusias, PKM Tetap Digalakkan
12 22
Dialektika
Antara Prestasi dan Oposisi
Opini
PKM-P : Demi Penelitian atau Pelesiran?
Daftar Isi
Susunan pengurus BPMF Pijar Ketua Umum: Endang Dermawan Sekretaris Umum: Puspita Sari Dewi Bendahara Umum: Nabila Assysarifah
Divisi Redaksi Pemimpin Redaksi: Jofie D. Bakti Redaktur Senior: Pascal Caboet, Ajeng, Rebbiyah, Imanudin, Khoiril Maqin Reporter: Islami Nahdiyin, Mokhsa, Zulfikar Yahya, Ari Kamajaya, Oktaria Asmarani, M. Nur Alam Tejo, Jonathan Adolf Divisi Perusahaan dan Bagian Umum Pemimpin: Fajar Nugraha Staff: Ilham Azmil Putra, Winnie Sutanto Divisi Penelitian dan Pengembangan Pemimpin: Bian Nugroho Staff: Aldo Muhes, Aulia Luthfi, Surya Aditya, Elvara N., Yolbi Djesvi, Rani Divisi Artistik Pemimpin: Mahdiani Bukamo Staff: M. K. Putra, Antonius Anton, Listian Adam, Shalfia Fala Pratikaa, Lulut Annisa, Randy Fachri Alamat Redaksi, Iklan dan Promosi BPMF Pijar: Jl. Sosio Humaniora No. 1, Bulaksumur, Sleman, Yogyakarta Website: bpmfpijar.com ISSUU: bpmfpijar Twitter: @bpmfpijar E-mail: Pijarpijar@yahoo.com Telp: +628812715148
2 | Surat Kabar Pijar
Editorial | 3 Sorot | 4 PKM dan Iming-Iming yang Tak Pernah Tuntas Riset | 8 Minim Antusias, PKM tetap digalakan Peristiwa | 10 Pra-rilis Buku Allepo Peristiwa | 11 Selamat Menunaikan Ibadah Puisi Dialektika|12 Antara Prestasi dan Oposisi Dialektika | 14 Batas Suci Sains Resensi | 16 Setan Kredit: Musibah di Balik Musibah Resensi | 18 Menanyakan Kembali Optimisme saat Dunia Tidak Baik-Baik Saja Piksel | 19 Estetika | 20 Pita Merah Dari Meksiko Opini | 22 PKM-P : Demi Penelitian atau Pelesiran? Cover: M. K. Putra| Pijar
Editorial
P
eningkatan peserta PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) di UGM mendapat momennya ketika mahasiswa penerima Bidikmisi diwajibkan mengikuti program tersebut. Semua mahasiswa yang tergolong kurang mampu (miskin) itu mesti “berkreativitas” lewat PKM. Meski—entah kenapa—alasannya sampai saat ini masih terkesan tedeng aling-aling, mau tak mau mereka ikut serta. Alhasil, rumor terarah ke indikasi mendongkrak rating universitas lewat kompetisi tahunan itu. Namun, berbeda cerita di Fakultas Filsafat. Momen kemenangan pribumi filsafat di PIMNAS (Pekan Ilmiah Nasional) 2 tahun berturut-turut (2014, 2015) disangka-sangka jadi pemicu utamanya. Sejak itu, latah ikut PKM jadi hal yang trendy. Mahasiswa yang bukan penerima Bidikmisi pun akhirnya, dengan tanpa paksaan dari kebijakan ini-itu, ikut berpartisipasi. Mereka ini yang bersukarela. Dari situ, kita bisa berspekulasi positif. Di gema semaraknya PKM di filsafat, ada yang coba dijawab: tantangan menghadirkan lingkungan kampus yang kompetitif dalam hal akademik. Jika ini benar, tentu jadi enlightenment. Tapi kita tahu, beberapa jawaban lain samar-samar hadir di permukaan, yang tidak bisa tidak dihiraukan. Kita tidak dapat pura-pura tidak dengar. Isu yang berkembang, motif keikutsertaan didasari pada iming-iming keuntungan yang bukan akademis: tamasya gratis, insentif, hingga biaya operasional yang bisa dicatut. Jika yang ini yang benar, rasa-rasanya tidak jadi enlightenment. Jadinya, mungkin dilematik. Dalam edisi kali ini, BPMF Pijar tidak bermaksud berkutat pada masalah yang enlightenment dan yang bukan. Kiranya, itu bukan domain kami. Kami lebih bermaksud membicarakan “yang masih elok dalam taraf bisik-bisik.” Mungkin ranah tentang yang enlightenment dan yang bukan adalah ranah doa. Maka dari itu, selagi pembaca menjelajahi Surat Kabar BPMF Pijar edisi kali ini, berdoalah! Berdoalah agar lingkungan kampus filsafat memang kompetitif dalam hal akademik, bukan kompetitif dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan.
Selamat membaca!
Kami menerima tulisan opini dengan tema bebas, maksimal 6000 karakter. Kirimkan tulisan Anda ke e-mail BPMF Pijar <pijarpijar@yahoo.com> dengan subjek Opini, diteruskan kepada redaksi Pijar cc: <dbjofie@gmail.com> Contact Person; 081283658216 (Jofie)
Foto: Dok.Istimewa
Surat Kabar Pijar | 3
S o r o t
PKM dan Iming-Iming yang Tak Pernah Tuntas
T
Dok. Istimewa
ahun ini, 285 tim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) asal “Kampus Kerakyatan” berhasil lolos tahap seleksi pendanaan. Tidak tanggung-tanggung, menurut taksiran, UGM menerima dana PKM sebesar 2 miliar rupiah. Tentunya bukan kisaran uang yang sedikit. Malah, itu menjadikan UGM sebagai penerima dana PKM terbesar tahun 2016. Di sisi lain, pelaksanaan PKM setiap tahunnya tidak lepas dari desas-desus. Di kampus filsafat, isu insentif PKM masih hangat dibicarakan dari tahun ke tahun, apalagi akhirakhir ini, ketika peserta PKM dari Fakultas Filsafat mengalami peningkatan. Iming-iming keuntungan biaya yang didapat disinyalir jadi alasan utama kebanyakan mahasiswa mengikuti PKM. Isu tersebut dibenarkan oleh narasumber kami dari pihak PKM Centre. Saat BPMF Pijar menanyai soal rumor tersebut, ia mengatakan hal itu sering terjadi. “Wah, itu mah banyak,” sahutnya. Keuntungan biaya yang didapat tiap kelompok pun terhitung cukup banyak, menurutnya. “Setidaknya, paling gampang setiap kelompok bisa dapat keuntungan (uang, red.)
4 | Surat Kabar Pijar
dari anggaran konsumsi,” jawab narasumber kami saat ditanyai perihal cara mendapat keuntungan tersebut. “Karena paling logis, ya, dari uang konsumsi,” lanjutnya. Para kelompok PKM memang biasanya dengan sengaja mengambil keuntungan dengan cara memanipulasi nota dan sebagainya. Kejadian seperti itu, menurutnya, bisa dibilang selalu terulang setiap tahunnya. Namun, menurut narasumber kami, tahun 2016 ini mungkin ada sedikit perbedaan. “Tahun 2016 ini dana APBN untuk PKM dipangkas. Jadi, semua kelompok pendanaan akan dibagi rata, disetujui 7,5 juta.” Setiap kelompok PKM yang lolos seleksi pendanaan akan didanai 7,5 juta rupiah, meski proposal biayanya kurang atau lebih dari angka tersebut. Narasumber kami menambahkan, hal itu bisa merugikan bagi kelompok-kelompok PKM yang biaya operasionalnya rata-rata di atas 7,5 juta rupiah. “Seperti untuk mereka yang penelitian di luar pulau Jawa, PKM penelitian eksakta, apalagi PKM-T (Teknologi), kisaran operasionalnya di atas 7,5 juta,” katanya. Bagi kelompok-kelompok PKM yang mengajukan dana kurang dari 7,5 jua rupiah, hal di atas bisa jadi keuntungan. Narasumber
S o r o t kami menjelaskan, mereka mendapat kelebihan biaya dari pendanaan, bisa dibilang secara jelasnya insentif penelitian. “Kelebihannya itu dihitung hibah, dan masuk dalam anggaran,” katanya. “Biasanya dana hibah itu lumayan masuknya, meskipun cuma uang konsumsi.” PKM-P (Penelitian) Sosio-Humaniora, yang diikuti kelompok-kelompok PKM dari Fakultas Filsafat, menurut narasumber kami, kebutuhan biaya operasionalnya sekitar 7,5 juta rupiah. “Ya, biasanya kisaran segitu (7,5 juta, red.), bahkan ada yang kurang,” tambahnya. Abdul Rokhmat Sairah, dosen matakuliah Metode Penilitian Sosial Humaniora (MPSH), menanggapi hal tersebut secara santai. “Menurut saya, soal insentif itu cuma penyemangat saja,” jawabnya saat diwawancarai BPMF Pijar via telepon. “Jika murni penelitian, pusing juga mikirinnya. Jadi itu bonus saja, dan juga untuk sekadar relaksasi dan refreshing. Jikalau tidak ada embel-embelnya, ya, ngapain juga mahasiswa mengerjakan,” katanya. Sairah mengatakan, yang terpenting para peserta PKM (khususnya dari filsafat) punya tanggung jawab ilmiah atas hasil mereka. ”Jikalau benar ada yang mengedepankan insentif, biasanya itu terlihat dari kualitas hasil karyanya, dan itu berarti tidak bertanggung jawab,” tandas Sairah. Ketika BPMF Pijar menanyai perihal PKM kepada beberapa mahasiswa filsafat yang tidak ikut serta dalam program itu, kami mendapat jawaban yang beragam. Salah satunya dari Azhar Zein. Mahasiswa filsafat angkatan 2014 itu mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah Fakultas Filsafat punya program khusus bagi mahasiswanya untuk mengikuti PKM, kecuali bagi mahasiswa penerima Bidikmisi. “Cuma baru-baru ini banyak yang ikut, karena di filsafat kan beberapa ada yang juara.” Azhar juga menceritakan bahwa di beberapa kelas, dosen pengampu bersemangat
menyarankan mahasiswanya untuk mengikuti PKM. Hal tersebut membingungkan Azhar, karena sepengetahuannya, PKM adalah program yang berada di luar ruang kelas. “Jadi PKM itu nonformal, tapi sudah masuk kelas,” katanya dengan nada menyindir. “Juga di ospek filsafat tahun ini (2016) dan tahun kemarin (2015) materi PKM jadi materi yang wajib. Itu kalau tidak salah titipan dari kemahasiswaan,” kata mahasiswa yang juga Panitia PPSMB Fakultas Filsafat 2016 itu. Jawaban yang berbeda diutarakan oleh Awie Nuhaiz, mahasiswa angkatan 2011. “Sepengetahuan saya, tidak ada keharusan bagi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan PKM (kecuali Bidikmisi, red.), namun beberapa dosen tampak antusias sehingga dosen tersebut mewajibkan untuk mengikuti PKM, apalagi dosen-dosen yang mengampu matakuliah yang berkaitan,” jawabnya. Awie bahkan menegaskan, tidak sepantasnya mahasiswa dipaksa untuk mengikuti kegiatan tersebut. Sairah, sebagai dosen, mengakui dirinya menyarankan secara langsung mahasiswa di kelasnya untuk mengikuti PKM, khususnya PKM-P Sosio-Humaniora. “Ya, saya menyarankan mahasiswa. Alasannya karena kegiatan PKM, khususnya PKM-P, itu berhubungan dengan MPSH,” katanya. Sairah juga menjelaskan, hubungan keduanya bisa dibilang sebuah hubungan timbal balik. Akan tetapi, Sairah tidak menjadikan keikutsertaan mahasiswanya dalam PKM salah satu ukuran penilaian akademik. “Saya pribadi tidak. Itu benar-benar di luar tolak ukur penilaian. Hanya beberapa dapat dibantu konsultasi lewat matakuliah MPSH saja,” sanggahnya. Yang lebih menjadi kendala, menurut Sairah, adalah keikutsertaan para mahasiswa baru dalam PKM. “Ya, hal itu cukup menyulitkan. Saya pikir itu jadi kendala, karena
Surat Kabar Pijar | 5
S o r o t memang mereka harus dapat pembekalan dulu,” jelasnya. Sedangkan, menurut Sairah, idealnya baru tahun kedua mahasiswa dibekali matakulah yang metodis. Meski begitu, Sairah berpendapat ada jalan keluar yang bisa ditempuh para mahasiswa baru yang ingin ikut PKM. “Mahasiswa baru yang ikut PKM tetap harus ada guidance, bisa gabung ke kelompok kakak angkatan, biar mereka dibimbing. Atau juga, kan ada dosen pembimbing setiap kelompok,” jelasnya. Bertentangan dengan Sairah, Azhar mengeluh soal kendala yang dihadapi mahasiswa filsafat mengikuti PKM, apalagi mahasiswa baru. “Mesti melihat matakuliah yang berhubungan, seperti MPSH, MMF (Metode-Metode Filsafat), MPF (Metode Penelitian Filsafat), Hermeunetika, yang kebanyakan ada di tahun kedua dan ketiga. Dan idealnya peserta PKM mesti mengerti teori filsafat dengan baik, biar bisa dijadikan objek formal juga. Kalau nggak ngerti teorinya, ada yang cuma numpang nama. Jadinya juga tamasya dan nanya-nanya doang,” keluh Azhar. Belum lagi, tambah Azhar, beban perkuliahan di filsafat yang terlalu banyak. Ia juga menyayangkan kegiatan PPSMB Fakultas Filsafat, yang wajib bermuatan materi PKM. Menurutnya, hal itu terlalu prematur untuk dilaksanakan. Menanggapi hal tersebut, Rodinal Khair, mahasiswa filsafat yang memenangi medali perak PIMNAS (Pekan Ilmiah Nasional) 2015, menyarankan agar pihak Fakultas Filsafat membudayakan esensi dari PKM terlebih dahulu. “Ketika esensi PKM sudah menyatu dengan kultur masyarakat kampus, tujuannya bisa dengan mudah dicapai,” tambah mahasiswa angkatan 2014 itu. Menurut Rodinal, yang berbau penelitian memang harus dibumikan di Fakultas Filsafat, karena mahasiswa filsafat “disuapi” matakuliahmatakuliah bermuatan penelitian. “Mungkin
6 | Surat Kabar Pijar
kulturnya yang masih perlu dikuatkan lagi. Bagi mahasiswa filsafat, tentu bisa memandang PKM bukan hanya sebagai ajang ‘pendanaan’ sehingga bisa mempertebal dompet, melainkan yang utama adalah untuk menyalurkan potensi yang dimiliki.” Rodinal meyakini, selain PKM, BKM (Badan Kegiatan Mahasiswa) di setiap fakultas juga merupakan penampung kreativitas mahasiswa. “Kreativitas itu bukan dalam bentuk penelitian saja,” kata Rodinal. “Yang terpenting adalah bagaimana lembaga-lembaga tersebut dapat mengoptimalisasikan peran mereka sebagai penampung dan perangsang kreativitas mahasiswa,” pungkasnya. Sebagai anggota aktif di salah satu BKM Fakultas Filsafat, Awie juga sependapat. “BKM yang ada di lingkungan kampus adalah sarana bagi pengembangan kreativitas mahasiswa. Itu jadi wadah lain selain PKM,” menurut mahasiswa yang hingga kini masih aktif bermusik tersebut. Meski, menurutnya, kegiatan PKM dan kegiatan BKM pasti pernah bersinggungan, keduanya tidak boleh saling membatasi. “Toh, mahasiswa yang aktif di BKM—dengan segala stereotipnya—juga bisa menunjukan kemampuan di ranah PKM, dan membawa nama fakultas ke dunia luar,” tegasnya. “Kreativitas jangan dibatasi oleh apapun, namun dikembangkan melalui apapun,” jawab Awie ketika ditanyai harapannya bagi kegiatan BKM juga PKM di filsafat. Di ajang PIMNAS ke-29 tahun ini, sebanyak 29 tim asal UGM berhasil lolos dan melaju ke kompetisi yang digelar di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut. Dengan itu, berarti UGM menjadi universitas penyumbang peserta terbanyak di gelaran kompetisi tahunan tersebut. Tentu sebuah prestasi membanggakan, meski kendala-kendala di tahap terkecil, seperti fakultas, belum juga tuntas. [Jofi]
Selamat dan
Sukses Kepada :
Maulana Zakariyya
(PKM-PSI: Pemenang medali perunggu poster, Fakultas Filsafat UGM)
Noor Suhartono
(PKM-PSI: Pemenang medali perak presentasi, Fakultas Filsafat UGM)
Muhammad Zidny Kafa (PKM-PSI: Pemenang medali perunggu presentasi, dan medali perak poster, Fakultas Filsafat UGM)
dan
Universitas Brawijaya (Juara Umum PIMNAS ke-29)
Surat Kabar Pijar | 7
R i s e t
Minim Antusias, PKM Tetap Digalakkan
P
KM (Program Kreativitas Mahasiswa) adalah suatu agenda yang disiapkan Direktorat Peneletian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), guna menyalurkan kreativitas mahasiswa Indonesia. PKM digelar pada setiap tahunnya, dan UGM salah satu langganan peserta. Pada tahun ini, UGM berhasil meloloskan sebanyak 29 proposal PKM yang lolos ke PIMNAS (Pekan Ilmiah Nasional), dan 4 diantaranya dari Fakultas Filsafat. Tiga tahun terakhir ini, Fakultas Filsafat memang rutin sekali mengirim kontingennya untuk mewakili UGM di ajang PIMNAS. Bahkan kontingen dari Fakultas Filsafat sempat mempersembahkan 1 medali perak, 1 medali perunggu, dan 1 medali emas pada PIMNAS tahun lalu. Dan pada tahun ini, Fakultas Filsafat lagi-lagi turut menyumbangkan medali guna mengantar UGM menjadi runner-up di ajang PIMNAS ke-29. Berkat prestasi Fakultas Filsafat yang cemerlang di kancah PIMNAS, Fakultas Filsafat kini sangat getol mempropagandakan PKM dalam berbagai kegiatan akademik, salah satunya adalah PPSMB tingkat fakultas. Namun, di balik kesuksesan Fakultas Filsafat menyabet beberapa medali di ajang PIMNAS, ternyata masih ada beberapa polemik dari mahasiswa tentang pemahamanan mereka mengenai PKM. Apakah sesungguhnya mahasiswa filsafat paham dengan PKM? Dan apa tujuan sebenarnya? Guna merayakan keberhasilan kontingen Filsafat di ajang PIMNAS tahun ini, tim riset BPMF Pijar telah melakukan riset kepada 20
8 | Surat Kabar Pijar
orang mahasiswa filsafat, dari angkatan 2012, hingga angkatan 2015. Riset ini ditujukan guna menelaah tentang sejauh mana pengetahuan mahasiswa filsafat tentang PKM. Metode yang digunakan berupa survei Purposive kepada mahasiswa dengan menggunakan kuesioner, yaitu responden dipilih bedasarkan kriteria yang telah ditentukan. Untuk menyelami pengetahuan mahasiswa filsafat tentang PKM, kami membuka pertanyan tentang daya tahu mahasiswa filsafat tentang PKM. Terdapat 17 orang mengetahui tentang PKM, 3 orang tidak peduli, dan tidak ada yang menjawab tidak tahu. Dari data ini bisa kita melihat, bahwa pada dasarnya mahasiswa filsafat tahu tentang adanya PKM.
Dan pertanyaan selanjutnya disusul dengan tingkat antusias mahasiswa filsafat terhadap PKM. Berbeda dengan data sebelumnya, pada data ini terdapat 10 mahasiswa yang tidak peduli dengan adanya PKM, 5 mahasiswa yang tidak antusias, dan 5 orang lagi mengaku
R i s e t antusias. Data ini menggabarkan bahwa 50% mahasiswa filsafat tidak terlalu peduli dengan adanya PKM, 25% tidak antusias, dan 25% lagi antusias.
Pada kedua data diatas, kita bisa melihat masih banyaknya mahasiswa filsafat yang tahu dengan adanya PKM. Namun sangat disayangkan, mereka hanya sekedar tahu tetapi tidak banyak mahasiswa yang tertarik dengan adanya PKM. Pada data terakhir ini, kita bisa melihat salah satu alasan dari banyaknya mahasiswa filsafat yang tidak terlalu tertarik dengan adanya PKM. Dari 20 responden, terdapat 10 mahasiswa yang beranggapan bahwa PKM tidak cukup relevan dengan kegiatan akademik di kampus. Dan 10 orang lainnya menjawab bahwa PKM cukup relevan dengan kegiatan akademik di Fakultas Filsafat. Presentase data ini imbang, 50% berbanding 50%.
Apabila kita merujuk dari beberapa data di atas, kita bisa melihat mahasiswa belum sepenuhnya merasakan pentingnya PKM atau mengerti tentang PKM. Setidaknya kita bisa sedikit menarik kesimpulan kecil dalam riset ini. terdapat 85% mahasiswa tahu apa itu PKM, tetapi sangat berbanding terbalik sekali dengan daya minatnya, hanya ada 25% mahasiswa yang tertarik dengan PKM. Data ini menggambarkan masih minimnya antusias PKM di Fakultas Filsafat UGM. Namun, mengapa Fakultas Filsafat tetap saja menggalakan PKM? Menggingat antusias mahasiswanya hanya 25%. Dalam hal ini kampus terkesan memaksakan, padahal mahasiswa belum sepenuhnya mengerti tentang manfaat adanya PKM. Walaupun PKM di Fakultas Filsafat minim antusias, hal ini berbanding terbalik dengan Prestasi yang diraihnya. Pada tahun ini saja, kontingen dari Fakultas Filsafat berhasil menyabet empat medali sekaligus di ajang PIMNAS yang diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Hal seperti ini sangat dilematis bukan! Dimana prestasi sedang meningkat, tetapi antusias belum terlihat. Apa yang salah? Apakah ada kesalahan dalam sosialisasi dari pihak akademik? Atau memang mahasiswa tidak sepenunhnya butuh dengan PKM? Namun, hasil riset BPMF Pijar kali ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan komperhensif dan otentik, mengingat hanya 20 responden saja yang ditarik. Akan tetapi, dari hasil riset kecil ini kita setidaknya bisa melihat gambaran kecil tentang antusias mahasiswa filsafat pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Betapa getolnya pihak kampus mempropagandakan PKM, dan betapa minimnya tingkat antusias mahasiswa filsafat. [Daeng]
Surat Kabar Pijar | 9
Peristiwa
Foto: Tejo| Pijar
Pra-rilis Buku Aleppo
S
elasa, 26 Juni 2016 penerbit EA Book me-launching buku baru yang berjudul Aleppo. Bertempat di Angkringan Mojok, acara launching buku ini dihadiri oleh puluhan orang yang penasaran akan karya dari Rusdi Mathari atau Cak Rusdi, sapaan akrabnya. Buku Aleppo ini juga ikut dijual di sana dengan harga Rp 50.000,00 sedangkan harga aslinya Rp 69.000,00. Acara ini dimulai pukul 19.30 dan pembukaan dari moderator, Prima Sulistya yang juga seorang pengurus di media Pindai. Pada acara kali ini turut diundang pula Tomi Wibisono selaku pendiri dari majalah Warning untuk mengomentari buku tersebut. Mula-mula Tomi Wibisono dipersilahkan untuk mengomentari Cak Rusdi. Bagi Tomi, Cak Rusdi terkenal dengan citranya yang terbiasa menulis tema kajian yang berat semacam politik, agama, atau pun ideologi. Akan tetapi, di dalam buku tersebut Cak Rusdi menuliskan tafsiran atas lirik band Godbless. Tomi juga menambahkan bahwa Cak Rusdi seringkali dijadikan role model beberapa anak muda dalam menulis. Selepas itu moderator pun ikut menanyakan mengapa Cak Rusdi memakai nama Mathari untuk dijadikan nama pena. Menanggapi hal tersebut Cak Rusdi membeberkan bahwa, ia ingin mengangkat nama ayahnya yang dulu juga seorang wartawan miskin, dan bapaknya berpesan agar Cak Rusdi tidak mengikuti jejaknya menjadi wartawan. “Nama Mathari adalah bentuk pertanggung jawaban saya kepada Bapak,” jawabnya santai. Cak Rusdi menjelaskan bahwa buku Aleppo ini merupakan kumpulan “status-status” di Facebook-nya. Ia menerangkan alasannya banyak menulis di Facebook adalah kesempatan menulis untuk apa yang ingin ia tulis dan wadah yang cocok adalah di Facebook. Ada satu tips yang disarankan olehnya, “Tulisan yang datang dari dalam hati akan sampai pula ke dalam hati.” Cak Rusdi juga terkenal dengan gaya tulisan yang kerap kali mengkritik keras pemerintah, “saya terinspirasi tulisan besar di kantor Kompas yang bertuliskan, tugas wartawan adalah mengkritik pemerintah sekeras-kerasnya, bukan malah menjilat-jilatinya.” Acara pra-rilis buku ini berjalan dengan santai dan beberapa kali terdengar gelak tawa dari para tamu yang hadir karena guyonan lucu khas Cak Rusdi. Cak Rusdi juga kerap kali memberikan pandangan-pandangan wartawannya yang kurang populis di khalayak umum. Ia kerap kali menyerang kegiatan jurnalistik. “Jurnalistik bukanlah monopoli para wartawan,” tegasnya. Setiap orang berhak menggali informasi yang benar dan presisi oleh karena itu ia membuat blog pribadi yang menyuarakan pandangan-pandangannya pada masyarakat banyak. Sebagai penutup ia sekali lagi memberikan wejangan untuk menulis atas apa yang kita ketahui, “jika kita menulis apa yang kita ketahui kita tidak mungkin akan mengarang,” pungkasnya mantap. [Tejo]
10 | Surat Kabar Pijar
Peristiwa Selamat Menunaikan Ibadah Puisi Foto: Tejo| Pijar
S
abtu siang (30/07), bertempat di Gramedia Sudirman Yogyakarta diadakan launching buku terbaru Joko Pinurbo. Penyair yang berasal dari Yogyakarta ini merilis buku yang berjudul Mari Menunaikan Ibadah Puisi. Acara yang dimulai pukul 13.00 WIB. Jokpin, sapaan akrab Joko Pinurbo menjelaskan, ketika ditanya mengapa namanya Menunaikan Ibadah Puisi menjawab, bahwa baginya ibadah puasa tidak akan lengkap tanpa adanya sebuah puisi. Baginya juga di dalam puisi mengandung imajinasi yang lebih penting daripada sekadar kecerdasan. Jokpin mengakui bahwa setelah meluncurkan buku ini ia masih ingin membuat sebuah karya master piece, ketika ditanya kapan diterbitkannya ia menjawab, “tunggu saja kira-kira 2-3 tahun,” ungkapnya pendek. Joko Pinurbo terkenal dengan puisi-puisinya yang khas, lucu, dan nakal. Jokpin mengakui bahwa gaya berpuisinya ditemukan selama hampir 17 tahun frustasi puisi yang ia buat nyaris tidak berkembang. Kemudian ia melakukan riset tertulis tentang kata-kata yang sering digunakan para penyair populer misalnya, Sapardi, Chairil Anwar. Jokpin mengakui bahwa gaya berpuisinya hadir lewat lingkungan masyarakat Jogja yang senang sekali guyon. “Puisi saya bergaya lokal dan cenderung sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa asing,” terangnya. Kredo puisi Jokpin adalah istilah “Hidup ini asu, namun hidup ini indah dan patut dirayakan,” akunya. Baginya asu bisa berarti ambigu, kadang asu bisa dipakai ketika senang atau pun ketika bersedih. Jokpin juga biasa membuat puisi ketika dini hari, “saya harus bisa mengambil jarak dengan peristiwa,” lanjutnya. Pada acara ini Joko Pinurbo dan para pengunjung membacakan beberapa puisi yang tertulis di dalam buku tersebut. Puisi pertama yang dibacakan oleh Jokpin berjudul Kunang-Kunang. “Puisi ini mengenai hubungan anak-bapak,” papar Jokpin. Puisi kedua yang dibacakan oleh seorang pengunjung yang berjudul Mei, puisi tentang peristiwa 1 Mei 1998. Menurut Jokpin Mei merupakan kata yang ambigu antara nama dan tragedi, Mei mengingatkan Jokpin atas etnis Tionghoa yang dijarah dan tragedi kelam 1 Mei 1998. Puisi ketiga dibacakan oleh moderator, ia membacakan puisi yang berjudul Kebun Hujan, dan terkahir Jokpin membacakan puisi Celana dan Seni Ibadah Puisi untuk menutup rangkaian acara. Mamat, mahasiwa UIN Sunan Kalijaga ketika ditanya apa yang spesial dari Joko Pinurbo, ia menjawab, “Jokpin salah satu sastrawan yang populer dan mempunyai gaya bahasa khas. Proses kreatif yang panjang menandakan ia seorang yang gigih,” ungkap penggemar sosok Widji Tukul itu. Pihak Gramedia, bernama Yoga, ketika ditanya alasan mengadakan peluncuran buku ini menjawab, “Pertama, mengenalkan masyarakat Jogja produk baru, kedua menggali lebih dalam para pecinta puisi di Jogja.” Yoga menjelaskan acara yang diadakan Gramedia Sudirman seringkali diadakan spontan. “Kadang bisa setahun tiga kali atau kadang dua kali setahun,” tutupnya ramah. [Tejo]
Surat Kabar Pijar | 11
Dialektika
D
Antara Prestasi dan Oposisi
engan banyak variasi kegiatannya, PKM bertujuan untuk meningkatkan mutu mahasiswa agar dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesionalitas yang dapat menerapkan, mengembangkan dan meyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian kepada masyarakat luas. Dengan diselenggarakannya PKM, pemerintah juga berharap dapat memfasilitasi bakat dan minat mahasiswa. Di Fakultas Filsafat, antusiasme mahasiswa pada PKM meningkat pada akhir-akhir ini. Tahun 2015, dua kelompok mahasiswa filsafat melaju sampai PIMNAS, dan menyumbang medali emas untuk UGM. Lolosnya perwakilan dari Fakultas Filsafat di PIMNAS membuat semakin gencarnya promosi PKM terhadap mahasiswa filsafat. Hal ini terlihat pada saat diselenggarakannya kegiatan PPSMB Filsafat pada tahun 2015. Fakultas memberikan waktu khusus untuk memperkenalkan program PKM, khususnya PKM-P (Penelitian) dan PKM-GT (Gagasan Tertulis). Harapannya adalah agar semakin banyak mahasiswa filsafat yang ikut serta memeriahkan PKM. Dan hasilnya, dari keseluruhan peserta PKM pada klaster sosiohumaniora, didominasi oleh peserta dari Fakultas Filsafat. Akan tetapi, walaupun secara kuantitas peserta dari filsafat adalah yang terbanyak di klaster sosio-humaniora, hal itu tidak dapat dijadikan sebuah oposisi yang menjadi acuan atau pusat untuk kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa filsafat mempunyai minat untuk menjadi yang berprestasi di PKM. Kita harus melihat kemungkinan-kemungkinan oposisi yang akan
12 | Surat Kabar Pijar
muncul ketika secara kuantitas peserta dari filsafat lebih unggul dari pada fakultas lain di klaster sosio-humaniora. Oleh karena itu, dalam kasus ini, kemungkinan untuk munculnya oposisi-oposisi yang lain juga dimungkinkan. Dengan pribadi peserta yang plural setiap kelompoknya, kita harus curiga dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin akan muncul. Jika kita menggunakan istilah Derrida, kita harus memberikan Saus Rature (Tanda Silang) dalam kata kuantitas, jika banyak yang beranggapan bahwa kuantitas menggambarkan kualitas. Kata tersebut diberi tanda silang karena dianggap kurang memadai, namun juga dimungkinkan kehadirannya. Jadi lebih baik kata tersebut tetap hadir dengan Saus Rature. Kata kuantitas akan dimungkinkan untuk diganti posisinya, juga dapat tetap pada tempatnya tanpa dihilangkannya tanda silang, atau kemungkinan yang terakhir: jika kata tersebut sudah dianggap memadai, maka tanda silang dapat dihapus. Namun, opsi yang terakhir sulit untuk terjadi. Seperti yang sudah disampaikan di atas, dengan kepribadian dari para peserta yang beragam, sulit untuk megetahui modus personal mereka untuk ikut serta dalam PKM. Meminjam pendapat Derrida dalam mengambarkan realitas: â&#x20AC;?Kehadiran teks dalam akan sepenuhnya hadir secara total.â&#x20AC;? Derrida menggunakan kata teks untuk menggambarkan realitas. Lalu kenapa Derrida menggap bahwa tidak setuju dengan kehadiran yang secara penuh? Derrida melalui Spivak dalam kata pengantar buku Of Grammatology, Spivak menganggap Derrida akan meletakan kata tersebut di bawah tanda silang sehingga akan membiarkan realitas-realitas yang lain untuk mengalir. Inilah fungsi sederhaha dari Saus
Dialektika Rature: untuk membiarkan kemungkinankemungkinan lain muncul. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperkuat argumen sebelumnya menjadi dua opsi, yaitu dengan mengganti kata kuantitas dengan kata lain yang dianggap lebih mempuni untuk memperkuat oposisi tadi, atau tetap meletakkan kata tersebut berada di bawah tanda silang. Yang harus dicari lebih lanjut adalah apa saja kemungkinan yang akan muncul untuk menggantikan kata kuantitas. Di sini kita bisa menggunakan metode yang sering digunakan oleh Derrida, yaitu Differance. Differance adalah proses penundaan untuk menghindari finalitas dalam sebuah teks. Dengan kata lain ini adalah metode untuk menghindari apa yang disebut dengan oposisi biner (atau Derrida sering menyebutnya logosentrisme), di mana oposisi pertama adalah yang utama atau Ilu str unggul dan oposisi selanjutnya as i: adalah yang marjinal atau Fa la terpinggirkan. | Pi ja Oleh karena itu, alangkah arogannya r jika terlalu cepat menyimpulkan jika dengan banyaknya peserta PKM dari filsafat juga menggambarkan kualitas mahasiswa filsafat lebih baik dari pada yang lain. Walaupun jika kata kuantitas dapat tergantikan dengan kata lain. Namun, kata baru tersebut tidak akan mendapatkan posisi yang lebih istimewa dari kata sebelumnya. Karena kata tersebut juga tidak memiliki posisi yang absolut, karena bisa saja dalam beberapa waktu kemudian kata baru tersebut dianggap sudah tidak memadai untuk menggambarkan sebuah teks. Dan bukan
tidak mungkin kata tersebut akan diberikan tanda silang, dan juga akan digantikan oleh kata lain yang dianggap memadai. Lalu, sampai di situ, yang tersisa hanyalah jejak (trace) yang pernah muncul dalam teks. Mungkin dalam menjawab persoalan ini adalah menggunakan memberikan Saus Rature di atas kata kuantitas maupun kata-kata yang akan menggantikannya. Karena dengan melihat kondisi dan beragamnya modus dari para peserta akan sulit untuk mencari sebuah kata untuk mewakili modus-mosus yang amat beragam. Sama seperti Derrida yang menggunakan Saus Rature terhadap persoalan yang bersangkutan dengan metafisika kehadiran. Alasan Derrida mengapa memberikan Saus Rature terhadap metafisika adalah untuk membiarkan kemungkinankemungkinan lain untuk hadir. Dengan memberikan Saus Rature terhadap kata kuantitas tanpa menghapus atau menggantinya adalah cara terbaik untuk saat ini. Dengan demikian tidak akan menutup kemungkinan untuk membiarkan kata-kata lain untuk hadir dan menggantikan kata yang sudah ada di dalam teks. Walaupun jejak dari bekas teks tersebut juga tidak dapat untuk hilang begitu saja, karena mungkin saja kata yang dihapus itu akan datang kembali jika dianggap memadai dalam menggambarkan tanda-tanda yang ada di dalam teks. [Bian]
Surat Kabar Pijar | 13
Dialektika
A
Batas Suci Sains
ndaikan jika kita ingin meneliti, peralatan apa yang seharusnya kita bawa nanti? Tentu saja, tidak lain dan tidak bukan, itu adalah pisau bedah. Pisau bedah memainkan peranan penting ketika kita akan meneliti. Alat itu berbentuk teori ilmu tertentu (atau juga bisa berbentuk pisau bedah dalam artinya yang harfiah) yang nantinya menjadi kacamata kita dalam melihat suatu fenomena. Teori ilmiah tertentu nantinya akan menghasilkan hasil penelitian yang tertentu pula. Pisau bedah memiliki keberagamannya tersendiri. Ada yang sangat tajam yang dapat membedah suatu fenomena sedemikian rupa sehingga sangat jelas menerangkan suatu fenomena tersebut. Ada juga yang tumpul hingga hasil penelitiannya tidak cukup â&#x20AC;&#x153;rapiâ&#x20AC;? untuk dikonsumsi masyarakat ilmiah. Dengan begitu, kita setidaknya memiliki rambu-rambu dalam memilih teori ilmiah mana yang akan kita gunakan tatkala kita ingin meneliti, bukan? Namun, bagaimana caranya kita membedakan teori mana yang ilmiah atau bukan? Jawaban atas pertanyaan ini membuat kita menarik suatu demarkasi antara sains dan pseudosains. Suatu teori akan dianggap ilmiah jika memenuhi kaidah tertentu. Pada abad pertengahan, misalnya, suatu teori dikatakan ilmiah jika teori itu diyakini secara kuat oleh kebanyakan orang. Sebaliknya, jika sedikit atau tidak ada orang yang meyakininya teori tersebut, sebagaimanapun ilmiahnya di zaman sekarang, akan dianggap tidak ilmiah. Apabila demikian, para ilmuan akan dihadapi dilema. Para ilmuan seharusnya bersikap skeptis terhadap suatu teori ilmiah. Sedangkan di lain pihak apabila ia meyakininya secara buta,
14 | Surat Kabar Pijar
maka ilmuan tersebut telah melakukan sebuah intellectual crime yang tidak bisa dimaafkan. Lain zaman lain aturannya. Pada abad pencerahan-modern, masyarakat memandang dengan cara yang berbeda terhadap teori yang dapat dikonsumsi secara umum. Pada zaman ini, segala bentuk teori akan dianggap ilmiah jika teori tersebut dapat diverifikasi kebenarannya. Teori bercorak positivisme inilah yang layak dikonsumsi. Walaupun begitu, prinsip verifikasi ini bukan tanpa masalah. Prinsip verifikasi mensyaratkan adanya eksperimen terus menerus untuk menjaga suatu teori tetap ilmiah. Dengan begini kita tak mungkin leluasa mengembangkan suatu teori. Seorang ilmuan yang bekerja dalam program penelitian Newton tidak seharusnya mengecek jatuhnya apel secara terus menerus. Inilah yang membuat Karl Popper mencari jalan lain guna mendefinisikan mana yang sains. Popper menawarkan prinsip falsifikasi. Dalam prinsip ini, kadar keilmiahan suatu teori ditentukan dari dimungkinkan adanya fakta yang bertentangan dengan teori tersebut. Artinya, suatu teori tidak harus mutlak benar di segala fakta yang ingin dibuktikannya. Apabila ditemukan suatu fakta yang bertentangan dengan suatu teori, maka teori tersebut dinyatakan gugur. Kemudian seorang ilmuan dapat menyangkal teori itu dan beranjak ke teori ilmiah lainnya. Lakatos, seorang filsuf abad 20-an, menyadari bahwa prinsip yang ditawarkan Popper tidak begitu proporsional dalam mendefinisikan mana teori ilmiah dan mana yang bukan. Masalahnya adalah seorang ilmuwan tidak akan begitu saja meninggalkan suatu teori ilmiah hanya karena ada fakta
Dialektika yang bertentangan dengan teorinya. Ilmuwan, menurut Lakatos, memiliki “kulit tipis”. Mereka pada umumnya akan menyelamatkan hipotesisnya untuk menjelaskan suatu anomali, apabila mereka tidak bisa menjelaskannya, maka mereka akan pindah ke problem yang lain. Lakatos menekankan bahwa ilmuwan menerangkan akan adanya anomali dan bukan penyangkalan. Seorang ilmuwan akan memeriksa kembali eksperimennya apabila menemukan fakta yang tidak sesuai dengan teorinya. Ia akan memeriksa apakah ada faktor-faktor lain yang memengaruhi fakta yang ditelitinya. Lalu bagaimana membedakan mana teori ilmiah mana yang bukan? Lakatos membuat demarkasi antara sains dan pseudosains berdasarkan kemampuannya memprediksi, apa yang disebut Lakatos sebagai “fakta novel”. Sebagai contoh, pada tahun 1686, setelah terbitnya teori gravitasi Newton, ada dua teori yang meneliti juga memprediksi komet. Salah satunya menjelaskan bahwa komet merupakan peringatan Tuhan dan diprediksi bahwa akan mendatangkan bencana. Sedangkan yang lainya lagi, Halley, seorang Newtonian, mengkalkulasi jangkauan jalur komet tersebut dan memprediksikan bahwa 72 tahun mendatang komet itu akan muncul; dia bahkan memberi detail di menit keberapa dan terlihat di titik mana. Kita paham bahwa teori ini bertentangan. Tapi setelah 72 tahun berselang, setelah Newton dan Halley meninggal, komet tersebut muncul tepat seperti yang diprediksikan Halley. Dengan ini, para ilmuwan tidak hanya bertugas untuk menjelaskan fakta tetapi juga memprediksi. Apabila kita menemukan dua rival teori ilmiah, yang satu dapat dengan cermat memprediksi atau progresif, sedangkan yang lainnya regresif, seorang ilmuan mesti ikut dengan teori yang progresif tersebut. Inilah, yang menurut Lakatos, membuat revolusi sains
lebih rasional. Lepas dari pergulatan teoretis di atas, pendemarkasian antara sains dan pseudosains memiliki dampak politis. Sebagai contoh, pada abad pertengahan, teori Kopernikus tentang tatasurya dianggap bidah karena teorinya bertentangan dengan keyakinan yang lazim di zamannya. Akhirnya kita tahu, Kopernikus modyar. Contoh lainnya lagi yang menarik adalah pada abad modern akhir, sekitar 1900an awal di Austria. Pada saat itu, konsensus atas program positivis-sosialis diterapkan dalam Lingkaran Wina oleh Otto Neurath. Akibatnya, segala bentuk proposisi metafisis maupun supranatural akan mental dengan sendirinya karena tidak memiliki dasar pengalaman empiris apapun yang terverifikasi. Bentuk konsekuensi yang nyata adalah penerapan program ini berhasil menahan masuknya doktrin fasisme yang kala itu sedang naik daun: doktrin “Ras Arya sebagai ras yang superior” merupakan omong kosong belaka. Apabila yang terjadi demikian berpengaruh, pembedaan antara sains dan pseudosains bukanlah suatu pseudo-problem. [Fajar]
Dok. Istimewa
Surat Kabar Pijar | 15
R e s e n s i Setan Kredit: Musibah dalam Musibah Setan Kredit | 1982 | Durasi: 90 menit | Sutradara: Ikhsan Lahardi | Negara: Indonesia | Pemain: Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), Minati Atmanegara, Alicia Djohar, Dian Ariestya, Mustafa, Lisa Dona, Nasir, Suhaimi Said, Ardi H.S. Dok. Istimewa
“Kredit suatu gagasan baik yang enak didengar, sulit dicicipi karena prosedur. Sekarang berkembang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kita. Dimana-mana ada sistem kredit, kredit mata pelajaran di perguruan tinggi, sampai kredit rumah, mobil, sepeda motor, alat elektronika, kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.“ -Dono
L
ayaknya urip yang tak bisa ditebak jalan ceritanya, film ini pun begitu. Scene awal dibuka dengan siaran khas berita televisi, dimana Dono dan Kasino menjadi pembawa beritanya. Berita yang disampaikan tak ada yang bisa dipercaya, hanya berisi guyonan semata. Meski begitu, berita terakhir yang disampaikan Dono dan Kasino sangat layak untuk dipertimbangkan. Pada scene yang sama, Indro berperan sebagai pembawa berita ramalan cuaca. Menurutnya, “cuaca di Indonesia lebih sering dipengaruhi oleh angin, angin di Indonesia berubah-ubah arah, sesuai dengan siapa yang mengatur dan berapa besar honornya.” Dengan begitu, jikalau tidak ada yang “mengatur dan memberi honor” Indro akan mempasrahkan ramalan cuaca kepada para “Pawang”. Selepas scene pertama, peran Dono, Kasino, Indro berubah seketika. Mereka berubah peran menjadi tiga orang mahasiswa Universitas Indonesia. Ketiganya bersahabat. Dalam film ini Indro adalah yang paling bejo, dikarenakan perannya yang menjadi mahasiswa dari keluarga kaya. Indro juga memiliki hobi
16 | Surat Kabar Pijar
memainkan radio. Sedang Dono dan Kasino tidak diketahui dari mana asalnya, hanya saja mereka berdua tidak seberuntung Indro. Dono dan Kasino mendapat peran sebagai mahasiswa yang lebih kere. Hari demi hari mereka lewati dengan berbagai peristiwa apes. Mulai dari niat baik untuk menolong orang yang kecopetan (eh, malah kecopetan), berkunjung ke rumah teman perempuan (eh, malah dikerjain teman perempuannya), mencari anak yang hilang (eh, malah ditakut-takuti setan), sampai dikerjai oleh “alam” cuaca yang mendadak hujan dan mendadak panas. Setan-setan Ada satu scene dimana ketiga sahabat ini mencoba untuk mencari seorang anak yang hilang. Dalam hal ini, Dono yang kebetulan berperan sebagai mahasiswa kriminologi, menyarankan pertama-tama untuk mencari anak yang hilang di dalam hutan. Pencarian pun dimulai! Berjam-jam pencarian tak membuahkan petunjuk ataupun hasil. Kelelahan mencari, mereka bertiga memutuskan tidur sejenak. Usai tidur
R e s e n s i yang sedemikian nyenyak, mereka bertiga mulai dihantui oleh berbagai macam setan. Setannya cukup beragam: Ada yang berwujud perempuan berkain putih (kuntilanak), pocong lepas tangan, alien berjubah, mbah-mbah, sampai pohon yang bergoyang-goyang. Jangan dilupakan begitu saja, peran setan dalam film ini merupakan simbolisasi dari “kredit”. Kredit menjadi isu utama yang coba diangkat dalam film ini. Dapat dilihat dari pemilihan judul film, yang mempersandingkan kata setan dengan kata kredit, menjadi Setan Kredit. Oleh karena itu, kemunculan setan yang sangat beragam, bisa jadi merupakan simbolisasi dari beragamnya “barang” yang dapat dikredit. Pemilihan setan sebagai simbolisasi dari kredit, dapat juga saya tafsirkan sebagai pikiran atau hasrat yang menghantui orang-orang untuk mengkredit, dapat juga ditafsirkan sebagai oknum-oknum (setan) yang mengambil/mematok bunga yang besar dari barang kreditan. Lepas dari pemaknaan atas setan, saya pribadi cukup puas dengan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam scene setan-setanan ini. Lihat saja scene ketika Dono sedang tidur di atas tanah, tiba-tiba tanah tersebut terbalik, sontak tubuh Dono terkubur ke bawah tanah, sedang tubuh pocong menggantikan posisi tidur Dono. Peristiwa ini sungguh hal yang sangat menarik jika diperbincangkan lebih lanjut. Ada lagi, scene ketika Indro dikagetkan oleh pocong dari belakang. Bukannya segera berlari, Indro malah melangkah maju-mundur, lalu diakhiri dengan menari salsa dengan sang pocong, absurd memang. Belum selesai sampai di situ, tiba-tiba Indro dikerubungi oleh pasukan pocong yang bangkit dari dalam tanah. Selepas itu, terjadi perkelahian sengit antara Indro dan pasukan pocong lepas tangan, dan anehnya sang pocong bisa menggunakan tangannya. Dalam peristiwa ini, saya bisa menafsirkan
bahwa (sistem) kredit dapat dilawan, meski kredit berwujud setan yang menghantui pikiran/hasrat. Perempuan Sudah menjadi ciri khas, bahwa film-film Warkop DKI selalu menampilkan perempuanperempuan cantik nan seksi, sebut saja Eva Arnaz, Marissa Haque, sampai Kiki Fatmala. Peran perempuan dalam film-film Warkop DKI biasanya sih menjadi pacar para personil Warkop, atau teman satu indekos, sampai perempuan-perempuan pantai dengan bikini longgarnya. Berbeda dengan perempuan-perempuan Warkop biasanya, dalam film ini peran perempuan justru lebih sopan dan anggun, bahkan berani melawan. Ada satu scene dimana Dono, Kasino, Indro berkunjung ke rumah pacar Indro. Sesampainya di rumah sang pacar, ketiga sahabat tersebut dipersilahkan duduk terlebih dahulu. Mereka bertiga disediakan coklat panas dan kue coklat. Di dapur, pacar Indro dan kedua teman perempuannya tertawa terbahak-bahak. Mereka bertiga telah meracuni kue dan coklat panas tersebut dengan obat pencuci perut. Bukan tanpa alasan, itu semua akibat Dono, Kasino, Indro yang datang sangat terlambat. Alhasil Dono, Kasino, Indro dilanda kemulesan. Menarik melihat pergeseran peran perempuan dalam film-film Warkop DKI, dari yang “nakal” menjadi anggun “melawan”. Sayangnya perlawanan yang dilakukan ketiga perempuan ini masih cenderung reaksioner dan terperangkap dalam “ruang dapur”. Dalam film ini setidaknya kita bisa melihat beberapa nilai, dimana niat baik dan turba seringkali memang tak membuahkan hasil, bahkan mendapati fitnah. Tetapi yang terpenting adalah datangnya peristiwaperistiwa tak terduga bagi yang melakukannya. [Mokhsa]
Surat Kabar Pijar | 17
R e s e n s i Menanyakan Kembali Optimisme Saat Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja Judul
alam dunia jurnalis, wawancara memiliki peran yang paling krusial dalam mencari informasi. Ibarat memasak, wawancara adalah bahan makanan yang hendak dimasak. Wawancara sangat tidak bisa dipisahkan dalam jurnalisme. Jika wawancara tidak dilakukan, maka informasi yang disampaikan menjadi tidak orisinal dan diragukan kebenarannya. Dengan tajuk Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja, menandakan ada suatu optimisme berupa kreativitas yang dicoba dibangun oleh penulis. Optimisme yang berangkat dari pesimisme terhadap dunia yang sedang sedang tidak baik-baik saja. Penulis memberi salah satu contoh pernyataan mengenai optimisme pada saat menyusun buku ini. â&#x20AC;&#x153;Ada seorang pria yang telah menunaikan ibadah haji (umroh) sebanyak empat kali, sedangkan di daerah tempat ia tinggal masih ada orang yang menderita kelaparan, kemiskinan. Suatu kenyataan yang mengafirmasi bahwa keadaan dunia sekarang yang sedang tidak baik-baik saja. Selalu ada yang salah, namun senantiasa ada asa dan cara untuk melakukan suatu yang kreatif untuk melakukan perbaikan, salah satunya mungkin dengan membuat buku ini sebagai tanggapan atas kenyataan yang terjadi.â&#x20AC;? Dalam buku ini terdapat teks wawancara pilihan bersama para musisi, seniman, penulis, sastrawan hingga band-band dalam dan luar negeri yang berjumlah dua puluh tujuh. Jumlah yang terhitung banyak untuk sebuah buku kumpulan wawancara. Jumlah yang terdengar keramat mengingat banyak musisi hebat yang tutup usia di angka 27. Angka yang spontan mengingatkan pada tragedi yang banyak disebut dengan tragedi The Forever 27 atau The Curse 27. Tragedi yang berisikan daftar musisi dunia yang meninggal di umur 27 tahun. Nama-nama besar seperti penyanyi Janis Joplin, Kurt Cobain, Amy Winehouse, hingga gitaris gila Jimi Hendrix, juga mengisi daftar urutan dalam The Forever 27. Tampaknya dalam menulis buku yang berbasis musik ini, penulis terinspirasi dari The Forever 27. Semua isi wawancara merupakan artikel yang dimuat di majalah Warning Magz, nanum wawancara dalam buku ini disajikan lebih rinci. Seluruh wawancara diseleksi dari artikel majalah edisi pertama (Desember 2012) sampai edisi ketujuh (Agustus 2015). Beberapa artikel juga telah dipublikasikan di warningmagz.com. Buku ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah wawancara secara personal dengan tokoh yang berasal dari berbagai macam bidang, berjumlah 14 naskah. Bagian kedua adalah wawancara dengan grup musik, yang berjumlah 13 naskah. Wawancara secara personal antara lain dengan dengan Joshua Oppenheimer, Seno Gumira Ajidharma, Nia Dinata, Wendy Putranto, Bumblefoot, dan Soko. Bagian kedua berisi wawancara secara kolektif dengan grup musik, diantaranya Sheila On 7, Death Vomit, (((Auman))), Banda Neira, Anti Flag, dan Doom. [Ari]
18 | Surat Kabar Pijar
Dok. Istimewa
D
: Questioning Everything: Kreativitas di Dunia yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja Penulis : Tomi Wibisono & Soni Triantoro Penerbit : Warning Books Tahun terbit : 2016 Tebal : xx + 358 halaman Dimensi : 13 x 19 cm
Foto & Teks : Okta | Pijar
P i k s e l
Pesta Rakyat UGM! Meriahnya Pesta Rakyat UGM 2 Mei 2016 lalu memang layak dikenang. Aksi yang bukan simulasi ini menuntut tiga hal terkait Kantin Humaniora (Bonbin), Tunjangan Kinerja Tenaga Pendidik, dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Surat Kabar Pijar | 19
Est et ik a
S
Pita Merah dari Meksiko
iapa yang tidak mengenal Frida Kahlo? Tidak hanya dikenal sebagai seorang pelukis, ia merupakan seorang aktivis kiri dan juga seorang feminis. Dengan berani ia mengangkat tema-tema yang pada masanya dianggap tabu dalam setiap karyanya, seperti kehidupan seksual, ketidaksetaraan gender, maupun kehidupan pribadi yang sangat kontroversial. Saya masih ingat bagaimana saya terkagum-kagum dengan Frida Kahlo untuk pertama kalinya. Lukisan-lukisannya selalu membuat saya merasa aneh, tetapi juga seperti menangkap sedikit rahasia tentang kehidupan dan pikirannya. Lukisannya yang kebanyakan potret diri itu membuktikan bahwa ia memang jenius, ia melukiskan begitu banyak cerita dengan cara yang berbeda dengan yang satu subjek yang sama, yaitu dirinya sendiri. Yang juga menarik dari lukisan-lukisannya adalah tatapan matanya yang selalu menatap saya. Karena memang saat melukis dia sedang berkaca sehingga bisa menatap matanya sendiri. Self-potrait With Monkey (1938) adalah lukisan pertama yang saya lihat. Sampai sekarang saya masih terkagumkagum oleh yang ia tampilkan bisa tampak sederhana namun cantik. Tersusun dari potret diri memakai kalung yang terbuat dari tulang, dedaunan di belakangnya dan seekor monyet. Dalam lukisan ini, Frida dan monyet itu, keduanya menatap saya, namun tatapan monyet terlihat lebih ramah, sementara tatapan Frida dingin, seakan-akan memperlihatkan bahwa dia sedang tidak baikbaik saja. Frida hidup di kalangan masyarakat yang masih meremehkan perempuan. Hal itu
20 | Surat Kabar Pijar
membuat ibunya tidak menemukan alasan untuk memberikan pendidikan formal buat Frida. Dia berpikir perempuan hanya akan berakhir dengan menikah dan mengabdikan hidupnya untuk suami dan anak-anaknya. Namun beruntung, ayah Frida cukup progresif untuk mendorong putrinya mendapatkan pendidikan dan mengikuti mimpinya. Berkat pendidikan formal itulah ia bergabung dengan sebuah kelompok mahasiswa sosialis di Meksiko, yang pada akhirnya membuat Frida berdedikasi seumur hidup untuk gerakan politik sayap kiri. Namun sayang, ambisi Frida secara brutal hancur pada tahun 1925, ketika dia berusia 18 tahun. Kecelakaan bus yang menimpanya membuat tulang belakang, tulang selangka, panggul, kaki kanan, dan beberapa tulang rusuknya patah. Bahkan dokter pun tidak yakin dia akan hidup, apalagi bisa berjalan lagi. Tapi ia mampu, tentu saja, meskipun ia menghabiskan berbulan-bulan di-gips seluruh tubuh, 30 operasi sepanjang hidupnya (tidak begitu sukses), dan divonis tidak dapat melahirkan anak. Frida pernah berkata kepada seorang teman, “Saya telah mengalami dua kecelakaan serius dalam hidup saya, di mana trem menghancurkan saya ... kecelakaan lainnya adalah Diego.” Setelah kecelakaan pertamanya, ia telah melukis selama beberapa tahun, lantas ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan beberapa karyanya untuk Diego Rivera. Diego mengatakan bahwa Frida berbakat, oleh karena itulah muralis terkenal Meksiko itu menikahinya. André Breton, “Bapak Surealisme”, menggambarkan karya Frida sebagai “Pita di Sekitar Bom,” yang merupakan gambaran
Es te ti ka sempurna dari perempuan Meksiko beralis tebal tersebut. Breton memberi Frida acara pertamanya di Paris, yang membuat Louvre membeli salah satu lukisannya, The Frame (1938). Kali itu adalah pertama kalinya karya seniman Meksiko abad ke-20 ditampilkan di sana. Karya Frida sangat sederhana, cukup selfpotrait pada aluminium dihiasi dengan bungabunga. Pembelian itu merupakan tonggak penting bagi Frida, dan menjadi bukti bahwa dia lebih dari sekedar istri Diego. Dalam Henry Ford Hospital (1932), Frida melukis dirinya di tempat tidur rumah sakit setelah mengalami keguguran kedua. Dia dikelilingi oleh bayi yang belum lahir, panggul retak yang membuatnya tidak bisa melakukan persalinan, alat reproduksi perempuan, dan beberapa hal lain yang dihubungkan dengan tali pusar. Di belakangnya terdapat menara penuh kabut dan cerobong asap dari Ford Motor Company. Karya itu merupakan salah satu yang menggambarkan ambivalensi terhadap industrialisasi dan kapitalisme. Sebagai seorang aktivis kiri, seringkali Frida mengangkat tema komunisme dalam karyanya. Dalam Marxism Will Give Health to the Sick, dia berdiri di tengah kanvas dalam balutan korset ortopedi sambil memegang buku merah yang sepertinya buku karangan Karl Marx, dan dua tangan raksasa, dengan wajah Karl Marx melihat dari atas bahunya. Pada tahun 1936, ketika Leon Trotsky diasingkan dari Uni Soviet, Diego dan Frida mengundang dia dan istrinya untuk tinggal bersama mereka di rumah mereka, yang merupakan tempat perselingkuhan antara Frida dan Trotsky dimulai. Diego tidak terganggu oleh hubungan asmara Frida denga wanita lain, tapi bagi Diego, laki-laki adalah cerita lain. Pasangan ini akhirnya bercerai pada tahun 1939, di mana ia melukis The Two Fridas. Di dalam The Two Fridas, dua Frida duduk berdampingan, bergandengan dan menatap
ke depan dengan tenang dengan background langit yang gelap. Frida salah satunya mengenakan pakaian Meksiko asli yang ia pakai setiap hari, di satu tangan dia memegang liontin kecil yang berisi potret Diego. Satunya lagi Frida sedang mengunakan gaun bergaya Eropa berwarna putih, dan memegang gunting medis. Gunting medis tersebut ia pakai untuk mencoba menghentikan aliran pembuluh darah vena terbuka yang berasal dari hatinya, tapi dia tidak bisa. Hatinya mengalami pendarahan hingga mengotori gaun putih tersebut. Melalui lukisannya, Frida Kahlo berbicara tentang cinta, putus asa, kesepian dan sakit yang ia alami. Namun ketika saya melihat lukisannya, hal utama yang saya lihat adalah kekuatan. Kekuatan seorang perempuan yang berani keluar dari zona amannya meskipun berulang kali jatuh. Dan tatapannya di setiap lukisan seperti menolak untuk dikalahkan. Bagaimana saya tidak jatuh hati padanya? [Fala]
Ilustrasi: Fala | Pijar
Surat Kabar Pijar | 21
O p i n i Ilustrasi: Fala|Pijar
PKM-P: Demi Penelitian atau Pelesiran?
D
unia penelitian adalah salah satu dunia yang saya geluti semasa duduk di bangku sekolah menengah atas dulu. Berkat terjun di dunia itu, saya dapat mengikuti, dan untungnya, memenangi beberapa lomba penelitian. Baik dari penelitian ilmu alam maupun humaniora. Baik skala regional, nasional, sampai internasional. Baik di Denpasar, Surabaya, Jakarta, sampai jauhjauh ke Pittsburgh. Dunia penelitian benarbenar dunia yang memang meletihkan tetapi menantang sekaligus menyenangkan. Itu sebabnya ketika saya duduk di Auditorium Notonagoro di hari pertama PPSMB Filsafat 2015, ada rasa senang menghinggapi saya. Salah satu materi yang diberikan saat itu adalah tentang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Pekan Ilmiah Mahasiswa (PIMNAS). Dua nama itu memang sudah tak begitu asing di telinga saya. Saat itu, pemateri dengan bangga menerangkan bahwa di tahun 2014, fakultas ini mendapatkan dua medali perak PKM-P (PKM jenis penelitian) di ajang PIMNAS di Semarang. Kemudian, beberapa waktu berselang sejak PPSMB itu, fakultas ini kembali mendulang dua medali perak dan satu medali emas berjenis sama dengan tahun sebelumnya di PIMNAS di Kendari. Betapa kemudian filsafat menjadi bangga bukan kepalang. Bertahun-
22 | Surat Kabar Pijar
tahun dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan, kini filsafat mulai menjadi buah bibir bagi UGM yang memang mempunyai prestise tersendiri di PIMNAS. Sampai-sampai ada spanduk besar ucapan selamat yang terpasang di salah satu dinding gedung B fakultas ini. Semangat yang sama membara juga saya lihat di mata teman-teman yang saat itu hendak mengajukan proposal PKM. Rata-rata dari mereka bergabung bersama tim yang dibentuk oleh kakak tingkat. Bersama-sama mereka mulai menggarap ini-itu. Sekian waktu berlalu, beberapa (bahkan sebagian besar) proposal yang mereka ajukan lolos seleksi. Itu berarti akan ada sejumlah dana yang turun dari pihak Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, untuk menggarap penelitian yang sudah mereka gadang. Tibalah pekan itu, di mana ruang kelas tak seramai biasanya. Pekan saat dosen memanggil satu per satu mahasiswanya dan akan ada banyak jawaban â&#x20AC;&#x153;Lagi PKM, bu, pak,â&#x20AC;? dari kami yang tersisa di ruang kelas. Lembar presensi akan diselipkan belasan surat izin tidak dapat mengikuti perkuliahan bagi mereka yang sedang berada nun jauh di sana. Linimasa di media sosial satu per satu mulai diisi oleh check-in dan foto-foto beragam aktivitas mereka di sana. Ada yang ke pantai menikmati matahari tenggelam, ada yang menyelam dangkal di laut. Tampaknya, penelitian mereka terasa sangat menyenangkan. Kemudian saya mengingat kembali motif mereka yang mengikuti PKM ini. Ada yang memang benar-benar ingin dan tertarik untuk meneliti, dan ada juga yang bersemangat untuk liburan dan menikmati dana yang dicairkan pihak Menristekdikti. Namun, sayang sekali karena mereka yang memang berniat untuk meneliti kalah jumlah dengan mereka yang ingin mengambil â&#x20AC;&#x153;keuntunganâ&#x20AC;? dari
O p i n i dana PKM saja. Cukup miris bagi saya untuk mengetahuinya. Ah, semua orang pasti senang jika mendapat kesempatan jalan-jalan selama beberapa hari dan menikmati liburan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Jikalau saya mendapatkan kesempatan itu, saya akui kesenangan yang saya rasakan. Namun, bagi saya, tetaplah aneh dan kurang pas rasanya jika menggunakan penelitian sebagai dalih untuk liburan. Sebenarnya, apakah mereka memang ingin untuk meneliti dan bergerak lebih dalam di ranah keilmuan, atau hanya sekedar ingin jalan-jalan gratis saja? Menurut hemat saya, ketika tiba di urusan PKM-P, kepentingan untuk penelitian seharusnya diletakkan di urutan pertama. Bukan bagian berpelesir dan belanja cinderamata. Meneliti memang tidak semudah yang dibayangkan, dan itulah alasan mengapa saya tidak berniat untuk mengikuti PKM-P tahun lalu. Penelitian bukan hanya sebatas wawancara dan menuliskannya di bab empat penelitian. Lebih dari itu, sesuai namanya, meneliti adalah kegiatan untuk menilik sesuatu lebih dalam. Ada tanggung jawab yang bukan main besarnya, ada hasil yang ingin dicapai di sana. Apa ini berarti ketika mengikuti PKM kita tidak boleh menikmati keindahan alam, bersantai, dan menggunakan uang untuk cinderamata? Bukan begitu. Ini hanya masalah motif utama dan prioritas dalam mengikuti ajang ini. Apa sih yang memang terlintas di benak kita pertama kali ketika ingin mengajukan proposal PKM? Apa untuk meneliti dan sebisa mungkin sampai di PIMNAS? Atau untuk berlibur dan mempercantik linimasa media sosial? Tujuan PKM-P, sesuai dengan pedoman PKM yang dapat diunduh di laman Kemenristekdikti, adalah menumbuhkembangkan minat, kemampuan meneliti, pemahaman metode dan analisis data
mahasiswa sehingga menghasilkan penelitian yang berkualitas dan memililiki potensi untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah serta mempunyai peluang untuk menghasilkan paten. Sudahkah kita memikirkan tujuan tersebut dari awal? PKM bukan semata-mata masalah hasil yang ditelurkan, tetapi juga masalah proses. Jika memang pada akhirnya mereka yang lebih mengutamakan liburan tetap dapat menyelesaikan penelitiannya, bagus sekali. Namun, alangkah lebih bagusnya ketika kita menyelaraskan sejak awal apa tujuan kita mengikuti PKM ini. Satu tahun kemarin sudah cukup bagi saya untuk mengetes riak dan kedalaman air tentang PKM dan PIMNAS. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tahun ini saya akan ikut mengajukan proposal PKM-P. Semoga saja keinginan untuk meneliti dengan sungguh-sungguh akan terus tumbuh. Semoga saja kuantitas jumlah penelitian bukan hal yang diutamakan pihak kampus, tapi juga kualitas proses dan hasil penelitiannya. PKM merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu mahasiswa di perguruan tinggi agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan meyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta memperkaya budaya nasional. Setidaknya itu yang tertulis di pedoman PKM bagian penjelasan umum. Adakah PKM adalah upaya agar mahasiswa bisa check-in dan berswafoto ria di tepi pantai dengan uang negara? Sepertinya tidak. Atau memang kalimat itu saya lewatkan untuk baca? Semoga juga tidak. Kalau memang ingin berlibur, lebih baik tunggu libur semester saja. Tinggal pesan tiket promo dari jauh-jauh hari ke Bali, kemudian pelesiran dengan tenang tanpa ada laporan hasil penelitian yang menjadi beban. [Okta]
Surat Kabar Pijar | 23
Bergabunglah bersama kami!!! Mari menjadi sebuah kehampaan. www.bpmfpijar.com