Majalah SUARA KPU RI Edisi XI

Page 1

URGENSI KODIFIKASI UNDANG-UNDANG PEMILU

ATURAN PILKADA IBU KOTA DAN TIGA DAERAH OTSUS

SISTEM PEMILU TENTUKAN WAJAH PEMERINTAHAN

EDISI XI

K O M I S I

P E M I L I H A N

SEPTEMBER - OKTOBER 2016

U M U M

M E NJAG A H A K R A K YAT B E R S UA R A DA L A M P E M I LU

MEWARISI TRANSPARANSI & INTEGRITAS KPU Masa jabatan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017 sebentar lagi akan berakhir. Besar harapan masyarakat agar anggota KPU periode 2017-2022 nanti dapat melanjutkan prestasi yang telah ditorehkan oleh komisioner sebelumnya.



DAFTAR ISI

SUARA KPU SEPTEMBER-OKTOBER 2016

13

5 Suara Utama MEWARISI TRANSPARANSI DAN INTEGRITAS KPU

10 Suara Pakar

URGENSI KODIFIKASI UNDANG-UNDANG PEMILU

22 Suara Imam Bonjol

LIMA KPU PROVINSI DAPAT PENGHARGAAN

34 Suara Regulasi

Hasyim Asy’ari Komisioner KPU RI

ATURAN PILKADA IBU KOTA DAN TIGA DAERAH OTSUS

28

38 Kamus Pemilu

40 Suara Galeri

52 Suara Daerah

LAPORAN DANA KAMPANYE PILKADA HARUS DIAUDIT

54 Suara Sosok

Pemilihan Partisipatif Tidak Hanya Milik KPU

GAGAS METODE COACHING DAN BILIK PENGAKUAN

60 Suara Pilkada

153 PASLON TERDAFTAR DI PILKADA 2017

66 Pemilu On Twitter

49

69 KPU Menjawab

70 Serba Serbi

CARA SEHAT HINDARI GANGGUAN LAMBUNG

72 Suara Selebriti KEZIA ROSLIN CIKITA WAROUW 75 Suara Pustaka

PEMILU SERENTAK LIMA KOTAK DAN SISTEM PRESIDENSIALISME

76 Suara Publik

78 Refleksi

RUMAH PINTAR PEMILU NTB Bale Pemilu untuk Kualitas Demokrasi

72

Kezia Roslin Cikita Warouw Gencar Sosialisasikan Bahaya Narkoba September-Oktober 2016 SUARA KPU

3


SUARA REDAKSI

MENJAGA BUDAYA TRANSPARAN KPU PENGARAH Juri Ardiantoro Sigit Pamungkas Ida Budhianti Arief Budiman Ferry Kurnia Rizkiyansyah Hadar Nafis Gumay Hasyim Asy’ari PENANGGUNG JAWAB Arief Rahman Hakim PENASIHAT Sigit Joyowardono Supriatna PEMIMPIN REDAKSI Robby Leo Agust WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Wawan K. Setyawan REDAKTUR PELAKSANA Ajeng Ayu EDITOR Trio Jenifran Muhammad Faatihul H. REPORTER MS Wibowo Risky Adi Pamungkas Rikky Affandi KONTRIBUTOR Rita Purwati, Sumantri, Asmi Septanti, Intan Rizkika, FOTOGRAFER Dody Husein Ujang Sofyan DESAIN GRAFIS/ LAYOUT/ARTISTIK Chomar Satrio Mahadi Rudi Kristianto Arif Priyo Susanto DISTRIBUTOR Tunjung Yulianto ALAMAT REDAKSI Biro Teknis & Hupmas KPU Republik indonesia Jalan Imam Bonjol No.29, Menteng, Jakarta, Indonesia Telp: 021-31937223

4

www.kpu.go.id

@KPURI2016

KPU RI

KPU Republik Indonesia

SUARA KPU September-Oktober 2016

S

ikap transparansi dan selalu menjaga integritas seakan sudah menjadi budaya di ling­ kungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya hal tersebut telah berlangsung selama kurun waktu lima tahun terakhir. Imbasnya, para komisioner periode 2012-2017 mendapat apresiasi luar biasa, dan berhasil membawa KPU menjadi salah satu lembaga negara yang sangat dihormati. Tahun depan, masa tugas mereka akan berakhir. Juri Ardiantoro, Arief Budiman, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Hadar Nafis Gumay, Hasyim Asy’ari, Ida Budhiati dan Sigit Pamungkas, bakal digantikan orang-orang baru yang akan menakhodai lembaga penyelenggara pemilu ini, kecuali mereka berkenan lagi mencalonkan diri untuk ikut seleksi. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo telah membentuk tim seleksi pemilihan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang baru. Pembentukan timsel tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 98/P Tahun 2016 tertanggal 2 September 2016. Ada 11 orang yang ditunjuk menjadi anggota timsel. Mereka adalah Profesor Dr Saldi Isra, S.H, M.PA. (ketua), Profesor Ramlan Surbakti (wakil ketua), Soedarmo (sekretaris). Kemudian

sebagai anggota yakni Profesor Dr Widodo Ekatjahjana, S.H, M.Hum, Dr ValinaSingka Subekti, M.Si, Profesor Hamdi Muluk, M.Si, Nicholaus Teguh Budi Harjono, M.A, Ph.D, Dr Erwan Agus Purwanto, M.Si, Profesor Harjono, S.H, M.C.L, Ir Beeti Alisjahbana, dan Profesor Komarudin Hidayat. Saat ini, timsel tersebut sudah mulai bekerja. Pada 25 September lalu, mereka membuka pendaftaran bagi para calon yang ingin ikut seleksi. Timsel juga telah menetapkan standar calon yang mereka cari, yaitu orang yang tidak hanya paham halhal teknis kepemiluan, namun juga punya kemampuan merumuskan aturan-aturan kepemiluan. Masyarakat luas juga menaruh harapan yang tinggi terhadap seleksi komisioner ini. Mereka berharap, pimpinan KPU yang baru bisa melanjutkan prestasi pendahulu mereka, yang telah menorehkan banyak penghargaan dan mengukirkan nama mereka dalam sejarah kepemiluan Indonesia. Nakhoda boleh berganti, tapi haluan jangan sampai berubah. Kerja keras mewujudkan pemilu yang berkualitas harus tetap dilanjutkan, dengan semangat keterbukaan dan terus menjunjung tinggi integritas sebagai penyelenggara pesta demokrasi yang independen. (*)


SUARA UTAMA

MEWARISI TRANSPARANSI DAN INTEGRITAS KPU Masa jabatan para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017 sebentar lagi akan berakhir. Presiden pun telah membentuk tim seleksi yang akan memilih orang-orang terbaik, untuk meneruskan tugas besar yang telah diemban dengan baik oleh Juri Ardiantoro dan kawan-kawan. Besar harapan masyarakat agar anggota KPU periode 2017-2022 nanti dapat melanjutkan prestasi yang telah ditorehkan oleh komisioner sebelumnya.

September-Oktober 2016 SUARA KPU

5


S UA R A U TA M A

Rapat Perdana Anggota KPU Periode 2012-2017.

T

idak dipungkiri, komisioner KPU periode 2012-2017 telah banyak menuai apresiasi dan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Utamanya atas kesuksesan dalam menyelenggarakan Pemilihan Legislatif (Pileg) serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang berlangsung dengan aman dan damai. Begitu pula pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 secara serentak di sembilan provinsi dan 260 kabupaten/kota. Satu hal yang menjadi sorotan adalah sikap transparansi yang selalu dijunjung tinggi dalam pelaksanaan perhelatan demokrasi. Berkat hal itulah, kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu dan pilkada dapat terjaga. Selain itu, yang juga sangat penting adalah integritas dari penyelenggara sehingga netralitasnya tidak diragukan. Hal ini diakui oleh Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih. Ia meng­ ungkap­k an, integritas KPU bisa dilihat dari beberapa sisi, pertama secara fungsi,

6

SUARA KPU September-Oktober 2016

dibandingkan dengan beberapa lembaga yang lain, KPU periode 2012-2017 praktis tidak punya masalah dalam hal integritas. “Misalnya kedekatan dengan partai tertentu, itu tidak pernah ada atau menjadi polemik di publik dan sebagainya. Itu kalau dilihat secara umum, berbeda dengan periode-periode sebelumnya, apalagi masuk dalam masalah korupsi, tidak ada. Kemudian kita juga tahu hampir di semua tahapan pemilu, baik pileg, pilpres dan pilkada masyarakat melihat KPU bisa netral,” terang Alamsyah, Kamis (29/9). Kedua, dari sisi tata kelola juga me­nga­ lami perbaikan. Ini dibuktikan dengan KPU meraih peringkat kedua, setelah PPATK, dalam keterbukaan informasi pada Desember 2015 lalu. Selain itu, Alamsyah juga melihat keberhasilan KPU dalam mempublikasikan form C1. “Itu juga jadi salah satu contoh bahwa informasi yang selama ini dianggap orang susah dan bisa dimanipulasi ternyata bisa diatasi dengan cara dilempar ke publik, sehingga kepercayaan dan pengelolaan ke publik jadi lebih baik,” paparnya.

“Dari dua sisi itu KPU termasuk sangat baik. Kalau saya bilang, KPU masuk dalam lembaga negara yang cukup bagus dalam hal integritas,” imbuhnya. Di sisi lain, ia juga melihat adanya faktor eksternal yang mendukung kuatnya integritas KPU, yakni Dewan Kehormatan Penyelengga Pemilu (DKPP), yang men­ jadi semacam alat pembersih terhadap personel-personel yang dinilai melakukan disintegritas. “Karena gangguan integritas itu biasanya muncul dari personel-personel yang mengambil keputusan. Kita lihat DKPP lumayan banyak mereka mengeksekusi pelanggaran-pelanggaran dari KPU-KPU di daerah.” Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat, John Fresly. Menurutnya, dari sisi leadership, komitmen komisioner KPU untuk menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil) sudah cukup baik. Apalagi jika dikaitkan terhadap prinsip-prinsip transparansi. Ini dibuktikan dengan proses dan seluruh kegiatan dan tahapan pemilu/pilkada yang


selalu diupayakan secara cepat untuk bisa dapat diakses publik. Namun, ia berpendapat, dari sisi standar ada beberapa hal yang secara mendalam perlu untuk KI dan KPU duduk bersama. Keperluan tersebut ialah untuk menegaskan batasan-batasan informasi yang secara langsung boleh diakses publik dan mana yang memang memerlukan waktu untuk dibuka atau sama sekali tidak dibuka, apabila memang belum ada kepentingan publik yang dianggap lebih besar. “Itu yang paling penting dipahami bersama, supaya masyarakat tidak mengambil akses sendiri terhadap informasi yang istilahnya harus langsung ada dibuka. Kan pasti ada kepentingan yang dalam konteks kewenangan KPU, untuk memastikan adanya kepastian dari setiap informasi itu terverifikasi dulu sebagai informasi yang siap untuk diakses. Itu yang perlu ditingkatkan,” tegas John, Rabu (28/9). Tetapi kembali pada soal komitmen KPU atas keterbukaan informasi, menurut John, sudah sangat baik. “Komitmennya sudah jauh meningkat, namum komisioner mesti membuat peraturan untuk informasi yang dikecualikan,” katanya. Ia menerangkan perlunya ada pe­nge­ cualian ini karena informasi itu bersifat dinamis, sehingga perlu ruang dan wak­

tu untuk menilainya. “Contoh hasil tes kesehatan dari calon, pada titik mana yang boleh dibuatkan ringkasan untuk disampaikan. Pada titik mana pula yang betul-betul data pribadi dari calon itu sendiri. Meski dia dibilang sebagai pejabat publik tapi ada yang dikecualikan, nah yang begitu, yang detail dan teknis itu membutuhkan pendalaman,” paparnya. Tak hanya komitmennya, John juga menilai KPU berhasil memanfaatan teknologi sebagai alat untuk memberlakukan keterbukaan informasi. “Secara umum, terutama di pusat, karena saya belum melakukan pengamatan secara detail di daerah, komitmen dari KPU RI itu menurut

Karena gangguan integritas itu biasanya muncul dari personelpersonel yang mengambil keputusan. Kita lihat DKPP lumayan banyak mereka mengeksekusi pelanggaran-pelanggaran dari KPU-KPU di daerah.

saya sangat bagus. Baik secara penyampaian informasi serta pemanfaatan teknologi informasi jauh lebih baik,” kata dia.

SAAT PILKADA 2017 TENGAH BERJALAN Di masa-masa akhir periode anggota KPU 2012-2017, KPU dalam masa pe­lak­ sa­naan tahapan Pilkada Serentak 2017. Alamsyah Saragih melihat sampai saat ini belum ada yang menjadi sorotan publik. “Justru saya bilang tidak ada persoalan. Kalau dulu terjadi tarik menarik, seolaholah ada upaya memperlambat waktu dan sebagainya karena banyak kepentingan, saya lihat di Pilkada 2017 ini praktis tidak ada keluhan seperti itu. Jadi sistemnya sudah mulai jalan,” jabarnya. Pendapat serupa diutarakan John Fresly, yang menyatakan pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2017 sudah cukup bagus. Hal ini ditandai dengan selalu waspadanya KPU terhadap harapan publik yang ingin secepatnya mengetahui jalannya tiaptiap tahapan. “KPU selalu waspada bahwa publik itu ingin secepatnya mengetahui apa tahapan-tahapan maupun hasil-hasil dalam tahapan, serta memastikan uji pub­ liknya dilakukan. Sejauh ini mereka selalu waspada kalau ada hal-hal yang perlu menjadi perhatian atau perdebatan publik,” kata John. Ia menjelaskan, dilihat dari prinsip keterbukaan informasi, KPU selalu memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk mengikuti setiap kegiatan dan peraturan sejak awal. “Artinya memberi kesempatan yang sama kepada setiap orang yang ingin ikut dalam pesta demokrasi. Jangan sampai ada informasi yang hanya diberikan secara asimetris atau kepada kelompok orang, sehingga hanya sekelompok orang itu yang lebih dulu dapat memanfaatkan atau terlebih dahulu menyiapkan diri,” jelasnya. Berkaca dari Pilkada 2015, Alamsyah Saragih memandang pelaksanaan pesta demokrasi di daerah yang digelar secara serentak tersebut juga mampu meredam laju politik uang. “Mungkin karena serentak jadi para donatur-donatur politik uang ini juga kewalahan. Itu menyebabkan adanya September-Oktober 2016 SUARA KPU

7


S UA R A U TA M A

perbaikan,” kata Alamsyah. Ia berharap, Pilkada 2017 ini jauh lebih efektif dari pada sebelumnya, terutama penyediaan layanan oleh KPU kepada peserta pemilu, termasuk juga kepada publik.

DAMPAK KPU BAGI NEGARA Atas integritas serta keterbukaan yang dibangun komisioner KPU periode 20122017 ini banyak dampak positif yang dirasakan masyarakat. Di antaranya rasa aman karena mereka percaya kepada KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri dan mampu menjaga independensi serta integritasnya. “Terutama rasa aman dari masyarakat. Artinya ada satu lembaga yang independen menyelenggarakan pemilu, yang tentunya akan berdampak bagi nasib mereka selama lima tahun,” ujar Alamsyah. Integritas KPU ini juga pada akhirnya berimbas terhadap kepercayaan publik terhadap Negara. “Trust publik terhadap negara menjadi lebih meningkat kalau KPU berhasil menjaga integritas. Sebaliknya kalau integritasnya terganggu, efeknya bukan hanya ketidakpercayaan terhadap KPU saja, tapi juga ketidakpercayaan terhadap Negara. Paling mahal itu,” kata Alamsyah. Sedangkan bagi John Fresly, keterbukaan yang dilakukan oleh KPU yang dibarengi dengan pemanfaatan teknologi berdampak pada kemudahan masyarakat dalam mengakses informasi terkait dengan tahapan pemilu. Kemudian otomatisasi serta aplikasi-aplikasi yang dibangun KPU juga memberi ruang lebih luas kepada masyarakat untuk turut aktif terlibat dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Dengan integritas dan keterbukaan KPU ini, ia memandang output pemilu semakin baik karena mendapat kepercayaan masyarakat. “Kalau kita bilang puas ya pasti ada yang puas dan tidak. Tapi secara umum hasil pemilu/ pilkada selama ini mendapat kepercayaan masyarakat. Ditunjukan dengan tidak terlalu banyaknya demo-demo atau protes yang meragukan dari integritas penyelenggara. Itu saja indikatornya,” kata John.

8

SUARA KPU September-Oktober 2016

SETIAP LEMBAGA TERGANTUNG PEMIMPIN Mendekati masa pergantian anggota KPU, Alamsyah berharap capaiancapaian yang telah diraih selama ini dapat dipertahankan. Sikap yang transparan dan berintegritas hendaknya diwarisi komisioner periode selanjutnya. Karena menurutnya, peran dan kerja anggota atau komisioner KPU sangat berpengaruh terhadap kualitas lembaga. “Itu kan salah satu kelemahan suatu lembaga yang kepemimpinannya adhoc. Jadi naik turun

tergantung pada siapa yang memimpin saat itu. Beda dengan lembaga-lembaga lain yang kepemimpinannya cenderung pada karir, itu kultur institusinya bisa dijaga. Tapi kalau lembaga-lembaga seperti ini memang perubahan itu sangat berpengaruh pada aspek integritasnya,” terangnya. Ia memberi catatan supaya hasil yang telah dicapai ini bisa dipertahankan. Menurut Alamsyah, ada baiknya bagi DPR untuk mempertimbangkan kandidatkandidat anggota KPU yang dari bawah atau anggota-anggota KPU di daerah.


Juri Ardiantoro terpilih menjadi ketua KPU definitif, menggantikan Almarhum Husni Kamil Manik..

Artinya, porsi anggota KPU yang berasal atau berlatar belakang anggota KPU di daerah diberikan porsi lebih banyak. “Ya 70 banding 30 lah. Jadi tidak tiba-tiba muncul orang-orang baru, yang walaupun secara akademik bagus punya gelar dan lain sebagainya tapi belum tentu capable ketika dia harus mengelola sebuah institusi yang tarik-menarik kepentingannya luar biasa seperti KPU,” pesannya. Sementara John Fresly merasa masih ada semacam kerikil kecil yang kasusnya spesifik, yakni Pilkada Pematang Siantar. “Itu saja menurut saya yang sampai sekarang menjadi krikil. Sebuah hal kecil yang kasusnya spesifik dan boleh dikatakan terkatung-katung. Hal itu kan memang jarang terjadi bahwa ada satu mekanisme peradilan yang berkepanjangan,” kata John. Jika tidak segera diselesaikan dengan baik, ia takut kasus ini menjadi preseden buruk di kemudian hari. “Hanya satu ini yang menurut saya harus dievaluasi. Selebihnya, KPU saat ini jauh lebih baik, terutama dilihat dari perspektif integritas,” ujarnya.

KONSULTASI JADI UJIAN INTEGRITAS Ia juga menyinggung UU Nomor 10 Tahun 2016, khususnya berkaitan dengan konsultasi KPU kepada DPR yang hasilnya mengikat. Ia berpendapat, secara logika, hukum mengikat itu bertentangan dengan

Sikap yang transparan dan berintegritas hendaknya diwarisi komisioner periode selanjutnya. Karena peran dan kerja anggota atau komisioner KPU sangat berpengaruh terhadap kualitas lembaga.

norma yang diatur di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundangundangan. Ada ranah kewenangan dari badan organ-organ pembentuk UU yang memang secara lekspesialis mempunyai kewenangan menurunkan norma yang dimaksud dalam UU menjadi rujukannya. “Menurut saya agak berlebihan DPR. Kita dalam konteks check and balance systemkan sudah diatur batas-batas kewenanganan dari masing-masing organ lembaga negara atau lembaga lainnya,” tuturnya. Meski demikian, Alamsyah Saragih mengatakan, sampai saat ini hal itu belum

dapat dikatakan mengganggu integritas atau tidak. “Meskipun disebutkan hasilnya mengikat tapi namanya konsultasi, KPU berhak untuk tidak mengikuti. Jadi sampai saat ini saya belum melihat potensi mengganggu integritas atau tidak karena tergantung pada KPU-nya itu sendiri,” katanya. Justru menurutnya, banyak faktor lain yang dapat memicu timbulnya disintegritas. Konsultasi dengan DPR ini terbuka dan didapat diakses oleh publik. Karena itu, nantinya publiklah yang menilai. “Kalau toh tidak ada konsultasi dengan DPR bukan berarti tidak ada pengaruh dari eksternal. Justru pada konsultasi dengan DPR ini bisa kelihatan di publik. Nah di situ diuji integritasnya KPU. Kalau dia tetap berjalan sesuai dengan yang diatur oleh UU, apapun hasil konsultasi itu kan bisa menunjukan bahwa integritasnya. Karena kadang kita khawatir seolah-olah hal itu bisa jadi alat intervensi oleh DPR, ya namanya konsultasi ya tidak bisa diintervensi,” jabarnya. “Yang jelas, siapapun dalam konsultasi yang terbuka itu, baik DPR maupun KPU, kalau dia sudah ngomong A kemudian berubah, karena ini terbuka, maka ia akan dihakimi oleh publik itu sendiri. KPU juga tidak bisa mengakomodasi semuanya, namanya juga konsultasi,” tambahnya. (bow) September-Oktober 2016 SUARA KPU

9


S UA R A U TA M A

Kodifikasi UU Perbaiki Kualitas Pemilu Pemilihan umum (pemilu) secara serentak nasional memang masih akan dilangsungkan pada 2019 nanti. Namun, waktu tiga tahun tidaklah cukup lama untuk menyiapkan dasar hukum pemilu. Pasalnya, melaksanakan pemilu lima kotak atau menggabungkan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) pada waktu bersamaan, bukan perkara mudah. Karenanya, payung hukum yang dibentuk harus jelas dan bisa memperbaiki kualitas pemilu, sehingga bisa diterima semua kalangan.

P

elaksanaan pemilu serentak ini merupakan buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK)No. 14/PUU-XI/2013, atas uji materi UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.

10

SUARA KPU September-Oktober 2016

Konsekuensi dari keputusan MK ini, pemerintah dan DPR harus membuat undang-undang (UU) baru. UU tersebut akan menggabungkan (kodifikasi) UU Pileg dan UU Pilpres yang selama ini terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Meski begitu, UU Pemilu ini juga bukan sekedar penggabungan dari dua UU saja,

namun lebih ke arah membuat sebuah sistem baru tentang pemilu di Indonesia. Sebuah sistem yang mampu menghasilkan legislator yang berkualitas, sekaligus memilih presiden agar pemerintahan efektif sekaligus tidak koruptif. Banyak hal krusial yang harus mendapat perhatian dalam pembuatan UU Pemilu. Misalnya apakah sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif, akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau sistem proporsional setengah terbuka. Partai politik (parpol) punya kepentingan dalam sistem ini. Bila parpol masih ingin menguasai sepenuhnya penentuan calon legislatif terpilih, maka proporsional tertutup akan jadi pilihan.


Syamsuddin mengusulkan agar Pemilu 2019 menggunakan sistem campuran atau pararel. Sistem ini diharapkan mampu menutupi kelemahan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup.

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si

Soal pilpres paling krusial pada siapa yang berhak mengusung calon presiden? Apakah akan memakai presidential threshold/ambang batas pencalonan presiden ataukah tidak? Bila tidak berarti semua parpol peserta Pemilu 2014 bisa mengajukan capres/cawapres. Meski demikian, tetap menggunakan presidential threshold juga bukan pilihan buruk. Artinya parpol yang bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil adalah parpol yang telah mendapat dukungan pemilih dalam jumlah tertentu. Tinggal persentasenya yang ditentukan. Sebelumnya, presidential threshold akan mengikuti UU Pilpres lama yang 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tak cukup, parpol mesti berkoalisi untuk mengusung capres/cawapres. Atau diubah. Bisa lebih besar atau lebih kecil. Karena itulah, perlakuan yang setara terhadap seluruh parpol harus jadi semangat penyusunan UU Pemilu. Pemerintah dan DPR selaku pembuat UU hendaknya bisa mengayomi seluruh kepentingan partai. Pasalnya, pembahasan ini tentu akan menjadi perdebatan seru di DPR, mengingat saat ini kekuatan politik di Senayan sangat tidak berimbang. Parpol pendukung pemerintah ada tujuh partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar), dengan jumlah suara 386. Sedang di luar pemerintah tinggal Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), 73 suara, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 40 suara dan Partai Demokrat 61 suara.

AMBANG BATAS TAK ADIL Wacana Menteri Dalam Negeri (Men­ dagri) Tjahjo Kumolo yang menyebut pre­sidential threshold akan tetap berlaku da­lam Pemilu 2019 dinilai sebagai ben­t uk ketidakadilan. Sebelumnya, Tjahjo me­ ngatakan ambang batas untuk pencapresan tetap mengacu pada UU sebelumnya, yakni partai yang memiliki 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara di pemilu. Namun, aturan tersebut diakuinya bisa berubah, bergantung dinamika pembahasan UU Pemilu di DPR. Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si, mengatakan, untuk membahas UU Pe­m i­ lu, harus dikaitkan dengan tiga hal. Per­ tama sistem pemerintahan, kedua sistem kepartaian dan ketiga sistem perwakilan. Menurutnya, perdebatan dalam UU Pe­ mi­lu, terutama soal ambang batas parpol untuk mengajukan capres, merupakan ano­ mali di dalam sistem presidensial. Sebagai konsekuensi logis pemilu serentak, dengan sen­d irinya ambang batas pencalonan pre­ siden tidak berlaku lagi.

Mengenai sistem pemilu, Syamsuddin lebih condong pada sistem campuran. Ar­ tinya sistem proporsional terbuka, di­san­ ding­k an dengan sistem tertutup. “Yang ideal, ada aspek terbuka, ada tertutup. Ka­t akanlah terbuka maksimum 70 persen. Tertutup sekitar 30 persen,” ujarnya. Syamsuddin mengusulkan agar Pemilu 2019 menggunakan sistem campuran atau pararel. Sistem ini diharapkan mampu menutupi kelemahan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup. “Kita mesti akui sistem proporsional ter­ bu­k a yang lalu banyak kekurangannya. Di sisi lain, sistem proporsional tertutup juga memiliki kekurangan karena ditentukan oleh pimpinan partai, siapa di nomor satu, dua dan seterusnya,” katanya. Ia menjelaskan, sistem pemilu campuran me­­rupakan gabungan sistem pemilu pro­ por­sional dan sistem pemilu distrik atau mayoritarianisme. Praktisnya, nanti ada sebagian daerah pemilihan yang meng­ gunakan sistem proporsional dan dapil yang lain menggunakan sistem distrik. “Nanti, ada sebagian dapil yang meng­g u­ na­k an sistem proporsional, dapilnya besar, jum­­lah caleg relatif banyak, 3 sampai 6 ca­leg. Siapa yang menjadi anggota legislatif ditetapkan oleh partai atas dasar nomor urut. Di sisi lain, ada dapil yang kecil-kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah, ca­legnya dipilih berdasarkan sistem distrik sehingga setiap caleg memperebutkan satu September-Oktober 2016 SUARA KPU

11


S UA R A U TA M A

kur­si untuk masing-masing dapil,” jelas dia. Berdasarkan penelitian LIPI, kata Syamsuddin, nanti ada 60 persen daerah yang menggunakan sistem proporsional dan 40 persen dapil yang menggunakan sistem distrik. Sistem campuran ini, menurutnya, sudah diterapkan oleh beberapa negara lain seperti Filipina, Australia, dan Jepang. Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri memiliki tiga opsi sistem pemilu anggota DPR dan DPRD yang dituangkan pada draf kodifikasi rancangan UU Pemilu. Ketiga opsi itu adalah sistem pemilu proporsional terbuka, tertutup, dan kombinasi. Pada opsi sistem proporsional terbuka, pemungutan suara dirancang berjalan sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Pemegang hak suara dapat memilih partai

politik dan calon anggota legislatifnya secara bebas. Penentuan caleg yang meraih kur­si di lembaga legislatif ditentukan oleh besaran suara yang diperoleh saat pemungutan suara. Sementara, pada sistem proporsional tertutup pemegang hak suara hanya bisa memilih parpol. Penentuan calon legislatif yang menempati kursi perwakilan rakyat murni menjadi kewenangan partai, dengan memperhatikan besaran jatah kursi yang mereka peroleh dalam pemilu. Pada sistem proporsional campuran, pemegang hak suara dapat memilih parpol atau calon legisatif yang diajukan. Namun, parpol memiliki kewenangan memilih calon legislatif yang akan ditempatkan di lembaga perwakilan tanpa harus terpaku pada perolehan suara. Karena pembahasan UU Pemilu ini akan memiliki banyak implikasi, makanya banyak kalangan meminta DPR dan pemerintah segera membahasnya, agar dapat selesai tepat waktu. Sayangnya sampai hari ini pemerintah dan DPR belum pernah membahasnya, meski kodifikasi UU Pilpres dan Pileg sudah masuk prioritas prolegnas 2016. Keduanya masih sibuk menyelesaikan RUU Pemilihan Kepala Daerah. DPR baru berniat membahas RUU Pemilu 2019 setelah UU Pilkada selesai.

KEWENANGAN PENATAAN DAPIL Komisioner KPU Hadar Nafis Gu­ may mengatakan akan ada banyak tu­ gas bagi penyelenggara pemilu untuk mengoptimalkan perangkat aturan tersebut sebagai dasar penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. “Adalah kebutuhan kita untuk menyosialisasikan, mempersiapkan, tentu yang awal-awal misalnya penyusunan peraturan, membuat perencanaan,” kata Hadar.

Hadar Nafis Gu­may

12

SUARA KPU September-Oktober 2016

Menurut Hadar pemerintah dan DPR juga tentu punya tugas yang cukup banyak saat membahas UU Pemilu ini. Itu disebabkan oleh banyaknya isu penting yang harus dibahas mengingat pemilu nanti akan diselenggarakan dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. “Kalau pemilu adalah yang gabungan, semua peraturan itu harus dirombak, yang selama ini sudah ada kita jadikan dasar dibuat peraturan baru,” jelas Hadar. Meski begitu Hadar melihat ada sejumlah kelebihan dari pemilu yang akan digelar secara serentak nanti. Dia mengatakan dari segi proses pendaftaran pemilih, penyelenggara sebetulnya sedikit diringankan dengan sistem pemilu serentak. Sebabnya pendaftaran pemilih nantinya hanya dilakukan satu kali. Begitu juga dengan dengan proses pemungutan dan penghitungan suara. Menurut Hadar yang agak merepotkan mungkin adalah proses rekapitulasi suara dalam menentukan pemilihan mana yang terlebih dahulu diutamakan untuk dihitung. “Juga pertanyaan bagaimana dengan desain surat suara, apa memang betul dengan surat suara itu mau kita pertahankan dengan format lima terpisah, atau kita punya jalan keluar ada yang bisa disatukan,” tuturnya. Ia menambahkan, salah satu poin pembahasan yang perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah menurutnya adalah penentuan kewenangan menata daerah pemilihan (dapil), apakah tetap diserahkan ke DPR atau ke KPU. Selama ini menurut dia, KPU cukup berhasil menata dapil untuk pemilihan DPRD provinsi dan kab/kota. “Kalau ini mau diserahkan ke KPU, yang waktu itu tidak ada tugasnya untuk DPR, kami diberikan tugas untuk provinsi dan kabupaten/kota saja, dan itu lebih banyak, tapi kami berhasil selesaikan,” jelas Hadar. Hadar berharap pemerintah dan DPR segera menyelesaikan UU Pemilu, dengan kualitas yang sebaik-baiknya. Penyelesaian lebih cepat akan membuat penyelenggara pemilu, parpol dan masyarakat cukup waktu menyiapkan Pemilu 2019. (Rikky/DR/Rio)


WAWANCARA

Hasyim Asy’ari, S.H., M.Si., Ph.D. Komisioner KPU RI

Sistem Pemilu Tentukan Wajah Pemerintahan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materi UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pasal yang diajukan ialah Pasal (3) Ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112. Namun, MK menyatakan putusan pemilu serentak berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya.

A

tas putusan MK inilah, Pemerintah dan DPR RI akan merancang UU Pemilu yang sesuai dengan putusan MK. Rancangan UU Penyelenggaraan Pe­ milu yang nanti disahkan itu akan menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu 2019. RUU Penyelenggaran Pemilu ialah pe­nya­ tuan tiga UU yaitu UU No.8/2012 tentang Pemilihan Legislatif (Pileg), UU No.42/2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres), dan UU No.15/2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Hingga pertengahan Oktober, draf RUU Pemilu belum kunjung diserahkan pe­ merintah kepada DPR RI untuk dibahas. Hal ini membuat resah beberapa pihak, di­tambah lagi ada beberapa isu yang di dalam draf RUU Pemilu dinilai tidak sejalan de­ngan semangat atau arti keserentakan pesta de­mokrasi lima tahunan ini.

Hasyim Asy’ari September-Oktober 2016 SUARA KPU

13


WAWA N C A R A

“Sistem pemilu itu bergantung kepada sistem pemerintahan apa yang ingin dituju,” ujar Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari, S.H., M.Si., Ph.D. kepada Majalah Suara KPU belum lama ini. Pria kelahiran Pati ini mengatakan, RUU Pemilu yang saat ini sedang digodok, merupakan wajah pemerintahan Negara ini pada tahun 2019. Menurutnya, dapat dimaklumi, pe­ me­r intah butuh waktu untuk mem­ pertimbangkan semua aspek dalam mem­ buat draf RUU Pemilu ini. Tetapi, ia juga mengingatkan agar pemerintah, DPR RI, dan para pihak terkait agar sesegera mungkin untuk duduk bersama supaya memiliki kata sepakat dalam RUU Pemilu. Berikut petikan wawancara dengan Hasyim Asy’ari. Hingga kini pemerintah belum me­nye­ rahkan draf RUU Pemilu ke DPR. Ada ke­­khawatiran KPU berkaitan lambatnya urusan tersebut? Prinsipnya KPU hanya menyampaikan suatu pandangan mengenai persiapan Pemilu Serentak 2019. Salah satu pandangan KPU kepada pemerintah selama ini soal pentingnya untuk segera menyelesaikan draf RUU Pemilu hingga ditetapkan menjadi UU. Kalau terlalu lama dibahas dan ditetapkan, kami khawatirkan persiapan KPU nanti

akan tergesa-gesa. Sebab UU itu menjadi dasar bagi KPU untuk menyelenggarakan pemilu. Seberapa besar urgensinya dari RUU Pe­ milu itu? Kompleksitas Pemilu 2019 jauh lebih komplek dibandingkan pemilu sebelumnya, maka urusan persiapan harus berjalan ma­ tang dan panjang. Peristiwa politik luar biasa pada Pemilu 2019 meliputi pemilihan pre­siden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD yang berlangsung serentak. Salah satu yang harus dipersiapkan dalam menghadapi Pemilu 2019, sistem pemilu yang diatur dalam UU Pemilu. Ada isu RUU Pemilu itu akan dipecah men­­jadi tiga, yakni UU tentang Pileg, UU ten­tang Pilpres, dan UU tentang Pe­nye­ leng­garaan Pemilu. Menurut Anda? Saya lebih cenderung kepada kodifikasi atau penyatuan dari ketiga UU di atas dalam melaksanakan pilkada serentak. Bisa dijelaskan alasannya? Karena tujuannya untuk menjamin pemilu semakin demokratis dan ber­i n­ teg­r itas. Salah satu kategori pemilu berintegritas adalah tersedianya kepastian hukum. Kodifikasi hukum pemilu mem­ berikan jaminan awal kepastian hukum

pemilu tersebut. Indikator kepastian hukum adalah, pertama, tidak ada kekosongan hukum; kedua, tidak multitafsir; ketiga, tidak saling bertentangan; keempat, mudah dan dapat dilaksanakan. Kodifikasi hukum pemilu dapat mencegah dan menghindari kekosongan hukum, multitafsir, silang-sengkarut antar-aturan, sebagaimana yang lazim terjadi dalam regulasi pemilu Indonesia karena ketentuan yang berbeda-beda antara regulasi pileg, pilpres dan pilkada. Contoh paling nyata adalah dalam pengaturan daftar pemilih yang berbeda dalam tiga jenis pemilu tersebut. Kodifikasi hukum pemilu dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi regulasi pemilu.

Pemerintah, DPR RI, dan para pihak terkait agar sesegera mungkin untuk duduk bersama supaya memiliki kata sepakat dalam RUU Pemilu.

Dampak tidak dilakukan kodifikasi? Potensial terjadi komplikasi pemilu. Maksudnya konflik dan sengketa pemilu justru malah disebabkan oleh regulasi yang tidak sinkron. Contoh konkretnya pilkada serentak itu kemungkinan pilgub serentak dengan pilbup/pilwakot. Kategori pemilih berdasarkan kategori penduduk ada dua; penduduk provinsi dan penduduk kabupaten/kota. Maka, dengan begitu ada dua jenis daftar pemilih dengan kategori yang berbeda. Contoh lain istilah daftar pemilih dalam Pileg dan Pilpres 2014 berbeda. Akhirnya yang mengisi kekosongan hukum dan sinkronisasi adalah PKPU. Istilah DPKTb (daftar pemilih khusus tambahan) misalnya tidak ada di UU Pilpres, tapi ada di UU Pileg. Hal-hal seperti ini yang harus disinkronisasi dan diatur detail.

14

SUARA KPU September-Oktober 2016


Pelantikan Hasyim Asyari di Istana.

Jadi kodifikasi memang mendesak jelang pemilu serentak? Pent i ng da n mendesa k segera dilakukan. Kerangka pemikiran atau design yang ingin dicapai dalam pemilu itu apa? Maka kita akan bisa mem-breakdown sistem pemilu apa yang akan kita gunakan. Apa makna keserentakan dan akan diatur dalam UU apa? Jika masih terpisah-pisah, saya memiliki kekhawatiran akan menjadi tidak koheren, komprehensif dan tentu tidak mudah dalam menyelenggarakannya. Jika ini yang terjadi, maka peluang ke­t i­ dakpastian hukum akan berpotensi semakin tinggi. Apalagi jika pemilunya serentak, tetapi diatur dalam beberapa UU. Karena itu sangatlah penting keserentakan ini dapat diatur dalam satu UU kitab hukum pemilu. Nanti di dalamnya akan ada bab pemilu presiden, pilkada dan pileg.

Kapan waktu yang tepat untuk mem­ bahasnya? Segera, mumpung tersedia waktu cukup sebelum electoral period dimulai. Dan, saya sarankan agar naskah akademik dan RUU materi disiapkan oleh sebuah pokja bentukan DPR yang berisi para ahli pemilu, ahli hukum, sosiolog, antropolog, ekonom. Hasil kajian dibuat konsultasi publik. Bagaimana dengan peserta pemilu, parpol dan kandidat? Dibuat UU sendiri atau disatukan di UU Pemilu? Untuk peserta pemilu dan kandidat sudah menjadi bagian integral dalam kodifikasi UU Pemilu tersebut. Parpol itu bermakna bila dia jadi peserta pemilu dan punya kursi DPR/DPRD. Karena sistem pemerintahan adalah relasi politik antara eksekutif dan legislatif. Artinya hanya parpol yang punya kursi parlemen saja yang bermakna, karena parpol yang tidak punya kursi tidak ‘dihitung’ dalam sistem pemerintahan.

Jika alasannya efisiensi, kenapa tidak di­ga­ bungkan juga dengan pilkada? Sistem Pemilu itu adalah perangkat untuk mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Dalam konstitusi kita telah dinyatakan bahwa sistem pemerintahan kita adalah sistem presidensial. Sistem pemerintahan adalah relasi antara eksekutif dan legislatif. Untuk membuat pemerintahan yang efektif, maka pemilu presiden dengan pemilu legislatif dilakukan dengan serentak. Jika pemilu nasional dengan pemilu daerah dilaksanakan dengan serentak, maka beban parpol tentunya akan menjadi lebih berat. Belum lagi jika di saat bersamaan, di tingkat kabupaten/kota parpol berkoalisi, sementara di tingkat provinsi, menjadi lawan. Belum lagi akan menyulitkan masyarakat dalam memilih karena banyaknya surat suara serta calon yang akan dipilih. Karena itu, keserentakan di daerah dengan pemilu di pusat kita bedakan. (Rikky) September-Oktober 2016 SUARA KPU

15


WAWA N C A R A

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si Peneliti LIPI

Ambang Batas, Anomali di Sistem Presidensial Pemerintah telah mengajukan rancangan Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan digunakan untuk pemilu serentak nasional pada 2019 mendatang. UU tersebut merupakan sistem baru tentang pemilu di Indonesia dengan menggabungkan (kodifikasi) UU Pileg dan UU Pilpres yang selama ini terpisah dan berjalan sendiri-sendiri.

A

da sejumlah pembahasan menarik dalam RUU Pemilu tersebut, mulai dari sistem pemilu seperti apa yang akan dipakai, proporsional terbuka, tertutup, ataukah campuran keduanya, hingga penentuan presidential threshold, apakah masih akan tetap diberlakukan atau hanya jumlah persentasenya yang bakal diubah. Terkait persoalan ini, Suara KPU telah berbincang dengan Kepala Pusat Penelitian Po­litik (P2P) Lembaga Imu Pengetahuan In­donesia (LIPI), Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si, beberapa waktu yang lalu. Ba­gaimanakah pandangan doktor Ilmu Politik ini terhadap RUU Pemilu, berikut rangkuman hasil wawancaranya. Bagaimana menurut Anda dinamika RUU Pemilu? Saya belum bisa berkomentar jauh, ka­­re­na drafnya sendiri belum dapat kita lihat. Tidak sedikit yang mendesak agar pe­­­merintah dan DPR bersegera untuk mem­ bahasnya agar UU Pemilu ini bisa selesai tepat waktu. Karena bisa saja meng­ganggu pelaksanaan pemilu karena pengesahannya terlambat dari jadwal. Meski itu semua bergantung kepada KPU apa me­re­k a bisa menyesuaikan penyelenggaraan pemilu dengan waktu yang tersisa. Kita semua tahu, pemilu serentak na­ sio­nal ini baru pertama kali kita jalani, baik itu oleh peserta, parpol pengusung, penyelenggara pemilu dan masyarakat.

16

SUARA KPU September-Oktober 2016


Untuk itu sewajarnya memiliki persiapan dengan waktu yang cukup dalam melakukan sosialisasi. Menurut Anda pemerintah dan DPR lamban membahas RUU Pemilu? Seharusnya bisa lebih cepat. Sebab, UU Pemilu ini akan menjadi regulasi pemilu serentak yang pertama kali diadakan di pesta demokrasi Tanah Air. Karena itu perlu banyak dilakukan diskusi oleh pemerintah, DPR, akademisi, parpol, serta pihak yang terkait lainnya. Agar UU Pemilu itu nantinya jadi regulasi yang dapat merepresentasikan semangat keserentakan itu sendiri. UU Pemilu yang ideal itu seperti apa? Perlakuan yang setara terhadap se­lu­ ruh partai politik harus jadi semangat pe­ nyusunan UU Pemilu. Pemerintah dan DPR harus bisa mengayomi seluruh kepentingan partai politik. Untuk membahas UU Pemilu, harus dikaitkan dengan tiga hal.

Pertama sistem pemerintahan, kedua sistem kepartaian dan ketiga sistem perwakilan. Terkait ambang batas parpol untuk me­ nga­jukan capres? Ambang batas pencalonan presiden adalah anomali di dalam sistem presidensial. Sebagai konsekuensi logis pemilu se­rentak, dengan sendirinya ambang batas pen­calonan presiden tidak berlaku lagi. Me­nge­nai sistem pemilu, saya lebih condong pa­da sistem campuran. Artinya sistem pro­por­­sional terbuka, disandingkan dengan sis­tem tertutup.

Perlakuan yang setara terhadap se­lu­ruh partai politik harus jadi semangat pe­nyusunan UU Pemilu. Pemerintah dan DPR harus bisa mengayomi seluruh kepentingan partai politik.

Harapan Anda dengan UU Pemilu ini jika nanti disahkan? Dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efesien serta memiliki dam­ pak nyata terhadap masyarakat. Mampu menghasilkan presiden dan legislator yang berkualitas, sehingga menciptakan pemerintahan efektif sekaligus tidak koruptif. (Rikky) Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si

September-Oktober 2016 SUARA KPU

17


SUARA PAKAR

FADLI RAMADHANIL Peneliti Hukum Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Urgensi Kodifikasi Undang-Undang Pemilu Dalam perkiraan yang sangat awam, agaknya banyak pihak yang masih bertanya, kenapa Indonesia membutuhkan kodifikasi undang-undang pemilu. Dalam terminologi yang umum, kodifikasi diartikan aktivitas menghimpun peraturan perundang-undangan menjadi satu naskah atau kitab.

N

amun jika ingin diperluas, maka kodifikasi bisa dimaknai sebagai cara menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan untuk dijadikan satu dalam sebuah naskah undang-undang. Dalam arti yang jauh lebih ideal, kodifikasi tentu tidak hanya berhenti sampai pada tahapan menggabungkan beberapa peraturan perundang-undangan saja. Tetapi, kodifikasi menjadi salah satu cara untuk menjadikan beberapa peraturan perundang-undangan, digabungkan men­ jadi satu di dalam undang-undang pemilu. Tidak hanya menggabungkan, namun menjadikan seluruh regulasi terkait pemilu disusun secara sistematis, sehingga mudah untuk dipahami oleh seluruh stakeholder terkait pemilu. Karena kita tahu, setidaknya ada empat undang-undang terpisah yang mengatur terkait pemilu di Indonesia saat ini: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) kabupaten/kota, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

18

SUARA KPU September-Oktober 2016

DPD D PR

tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

LOGIKA PEMILU SERENTAK Ide besar terkait dengan peyelenggaraan pemilu serentak antara memilih pejabat legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dengan memilih pejabat eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota), sebetulnya su­d ah lama disuarakan. Setidaknya sejak per­siapan Pemilu Presiden dan Wakil Pre­si­


RD / DP ATEN UPTA B KA KO

EN D I E S AK I L R P W EN N DA ESID PR

D DPRINSI V PRO

den langsung pertama tahun 2004. Namun, karena pada saat itu masih “transisi” dari pemilihan tidak langsung, sehingga menata lebih dalam jadwal pelaksanaan pemilu belum begitu menjadi fokus yang mendalam. Tujuan utamanya tentu saja memperkuat sistem presidensial, dan membangun pe­ me­r intahan yang bisa bekerja maksimal, se­suai dengan desain hubungan kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam struktur sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam perjalanannya kemudian, penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden se­ ca­ra serentak menemukan jalannya ketika Mahkamah Konstitusi membacakan Pu­t us­ an Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam putusan pengujian undangun­d ang yang dimohonkan oleh Effendi Gazali tersebut, Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUXI/2013 juga memberikan kepastian waktu, bahwa pelaksanaan pemilu serentak yang disebut dengan pemilu lima kotak ini baru akan dilaksanakan pada Pemilu 2019.

Berangkat dari momentum itulah ke­mu­ dian ide untuk menyatukan ke­se­luruhan regulasi terkait dengan pe­nye­lenggaraan pemilu menjadi keniscayaan. Da­lam tesis yang sederhana, tidak mungkin jika suatu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif dilaksanakan secara serentak, namun diatur di dalam undangundang yang terpisah. Begitu juga dengan undang-undang tentang penyelenggara pemilu, serta undang-undang yang me­nga­ tur tentang pemilihan kepala daerah. Dalam putusannya, MK memerintahkan untuk meyerentakkan keseluruhan pe­lak­ sanaan pemilu legislatif bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 juga memberikan kepastian waktu, bahwa pelaksanaan pemilu serentak yang disebut dengan pemilu lima kotak ini baru akan dilaksanakan pada Pemilu 2019. Perkembangan terbaru, UndangUndang No. 10 Tahun 2016 sebagai regulasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah memerintahkan pemilihan kepala daerah serentak nasional dilaksanakan pada tahun 2024. Artinya, mulai tahun 2024, akan di­lak­ sanakan pemilihan presiden dan wakil pre­ si­den, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD ka­bupaten/kota, pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara bersamaan. Meskipun be­lum ada kepastian apakah pilkada juga akan diserentakkan dalam waktu yang sama, namun penyelenggaraan pemilu yang sangat padat di tahun yang sama, pastinya akan sangat memberatkan, untuk seluruh pihak.

SERENTAK NASIONAL DAN SERENTAK DAERAH menasbihkan, bahwa penyelenggaraan pemilu yang konstitusional sebagaimana dimaksud di dalam UUD NRI 1945 adalah me­laksanakan pemilu legislatif dan pemilu ek­sekutif secara serentak dalam waktu yang bersamaan. Putusan yang dibacakan pada 23 Januari 2014 tentu saja menjadi tonggak penting, sekaligus momentum untuk melakukan penataan jadwal pelaksanaan pemilu di Indonesia.

Dalam batas penalaran yang wajar, menyelenggarakan pemilu lima kotak, ditambah dengan melaksanakan pilkada, adalah pekerjaan maha berat. Pertama, akan sangat berat bagi penyelenggara menyiapkan seluruh perangkat dan teknis tahapan pemilu, karena terlalu banyak subjek yang akan dipilih dalam waktu yang bersamaan. Kedua, akan sangat memberatkan bagi pemilih, untuk memilih calon yang sangat banyak di waktu yang bersamaan. September-Oktober 2016 SUARA KPU

19


S UA R A PA K A R

Lebih dari itu, model pemilihan yang sangat banyak ini akan membuat pe­m i­ lih mustahil untuk rasional dan bisa me­ nge­nali calon lebih jauh sebagai dasar un­­tuk memilih. Ketiga, model pemilu se­­­ren­t ak borongan ini akan menyulitkan kon­solidasi partai politik peserta pemilu. Mustahil partai bisa berkonsolidasi dan menyediakan calon dengan baik, jika pemilu dilaksanakan secara borongan dalam waktu yang bersamaan. Oleh sebab itu, ide untuk melaksanakan pemilu serentak nasional dan pemilu se­ ren­t ak daerah dapat menjadi jalan keluar yang paling rasional untuk menata jadwal pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pemilu nasional diselenggarakan secara serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD secara serentak. Kemudian, pemilu serentak daerah dilaksanakan 2 atau 2,5 tahun setelahnya untuk memilih gubernur, DPRD provinsi, bupati/walikota, dan DPRD kabupaten/kota. Model pelaksanaan pemilu serentak dengan membaginya dalam skala nasional dan daerah ini tentu akan memberikan beban kerja yang lebih proporsional dan rasional kepada penyelenggara pemilu. Kemudian pada sisi pemilih, akan membuka kesempatan kepada pemilih untuk bisa lebih jauh mengenali calon, karena calon yang akan dipilih tidak langsung banyak dalam satu kesempatan pemilu. Begitu juga dari sudut pandang partai politik peserta pemilu. Konsolidasi partai akan jauh lebih baik, jika keserentakan pemilu dibagi dalam skala nasional dan daerah. Peserta pemilu akan mendapatkan ruang yang jauh lebih lapang untuk melakukan kaderisasi dan rekruitmen politik dengan jadwal pemilu yang ditata sedemikian rupa. Terakhir, model pelaksanaan pemilu nasional dan daerah diharapkan akan memunculkan efek menarik kerah (coattail effect) antara pilihan di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Artinya, model pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal, diharapkan akan menciptakan pilihan pemilih yang li­ner antara pilihan kepada pasangan calon presiden atau pasangan calon kepala daerah, akan diikuti dengan pilihan kelompok partai politik yang mendukung pasangan

20

SUARA KPU September-Oktober 2016

Ketika kekuatan eksekutif dan legislatif sejalan, maka kebijakan yang akan diambil akan mudah untuk direalisasikan. Pada sisi yang lain, kelompk penyeimbang (baca: yang kalah dalam pemilu) akan se­­nantiasa menjadi setia sebagai ke­lom­p ok yang akan mengawasi jalannya pemerintahan.

tersebut untuk pilihan di lembaga legislatif. Dengan begitu, siapapun pasangan calon presiden dan pasangan calon kepala daerah yang menang akan diikuti dengan kekuatan partai politik yang dominan di lembaga legislatifnya. Tujuan besarnya tentu saja menciptakan efektifitas dalam penyelenggaraan pe­me­r in­ tahan. Karena rumus sederhananya adalah, ketika kekuatan eksekutif dan legislatif sejalan, maka kebijakan yang akan diambil akan mudah untuk direalisasikan. Pada sisi yang lain, kelompk penyeimbang (baca: yang kalah dalam pemilu) akan se­­nantiasa menjadi setia sebagai ke­lom­pok yang akan mengawasi jalannya pemerintahan.



SUARA IMAM BONJOL

LIMA KPU PROVINSI DAPAT PENGHARGAAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memberikan penghargaan kepada KPU provinsi yang berprestasi dalam melaksanakan rekonsiliasi dan penyampaian laporan keuangan tingkat wilayah periode tahunan semester II tahun 2015.

22

SUARA KPU September-Oktober 2016


Lima KPU Provinsi yang mendapatkan penghargaan, yakni KPU Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali, Bangka Belitung, Jambi, dan Sumatera Barat.

P

enghargaan tersebut diberikan pada saat rapat kerja Konsolidasi Kuasa Penggunaan Anggaran (KPA) dan Peningkatan Akuntabilitas Kinerja di Lingkungan Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU RI dengan Sekretariat KPU provinsi di seluruh Indonesia yang digelar di Jakarta, Selasa (20/9). Terdapat lima KPU Provinsi yang mendapatkan penghargaan, yakni KPU Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali, Bangka Belitung, Jambi, dan Sumatera Barat.

Pada kesempatan itu, Komisioner KPU RI Arief Budiman mendorong Sekretaris KPU provinsi seluruh Indonesia untuk selalu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas lembaga. Selain itu, provinsi juga perlu mengontrol KPU kabupaten/kota yang ada di wilayah masing-masing. “Bapak dan ibu sekalian bukan hanya mengurusi kantor KPU provinsi saja, tetapi juga KPU kabupaten/kota yang di bawah. Harus sering dikontrol itu,” tegas Arief.

“Kalau mereka baik, maka prestasiprestasi semacam tadi, bisa didapatkan oleh KPU provinsi yang belum mendapatkan penghargaan,” sambungnya. Arif juga berpesan agar selalu menciptakan ide-ide yang dapat bermanfaat bagi lembaga, se­hingga, apa yang dikerjakan saat ini, bisa men­jadi warisan bagi perjalanan KPU RI ke­ de­pannya. “Saya percaya bapak dan ibu punya ide brilian. Kalau dikeluarkan, akan menjadi legacy kita untuk generasi yang akan datang. (ook/red. FOTO: OOK/HumasKPU) September-Oktober 2016 SUARA KPU

23


S UA R A I M A M B ON J O L

Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Rahman Hakim (Kiri) memamerkan program inovasi di Lembaga Akreditasi Nasional (LAN).

Sekjen KPU Pamerkan Inovasi E-katalog

24

SUARA KPU September-Oktober 2016

Sebagai salah seorang peserta pendidikan dan latihan kepemimpinan (diklatpim) tingkat 1 di Lembaga Akreditasi Nasional (LAN), Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Rahman Hakim memamerkan program inovasi di Aula Gedung Graha Bhakti Nagari Lantai 2, Kampus PPLPN LAN Pejompongan, Jakarta, Kamis (29/9).

P

ameran proyek perubahan Arif mengangkat tema,”Kebijakan Pe­ ngadaan Perlengkapan Pe­mu­ngutan Suara yang Efektif, Efisien, dan Akuntabel melalui Katalog Elektronik (E-Katalog).” Pada stan pameran inovasi tersebut, Arif menjelaskan secara langsung proyek perubahan E-katalog yang diaplikasikan di KPU RI kepada para pengunjung. Berbagai suvenir dan bahan so­sia­ lisasi turut dibagikan kepada pe­ngun­ jung stan yang telah disiapkan Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU RI. Selain Setjen KPU RI, Sekretariat KPU DKI Jakarta juga turut menyemarakkan dengan menghadirkan maskot Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, dan sekaligus menggelar sosialisasi. (arf/red. FOTO KPU/arf/Hupmas)


KPU Tingkatkan Efisiensi Pelayanan Pegawai Untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan serta akurasi pelayanan kepegawaian di Komisi Pemilihan Umum, KPU RI menggelar bimbingan teknis (bimtek) pemrosesan sistem terpadu kenaikan pangkat otomatis, Selasa (27/9).

K

epala Bagian Mutasi dan Disiplin Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Setjen KPU RI, Wahyu Yudhi Wijayanti mengatakan, untuk mewujudkan pelayanan kepegawaian yang cepat, akurat dan efektif, Setjen KPU RI membutuhkan peran dari sekretariat KPU provinsi guna melakukan verifikasi proses kenaikan pangkat PNS KPU di kabupaten/kota masingmasing. Ia mengatakan, tahun 2017, jumlah PNS KPU yang memasuki masa kenaikan pangkat berjumlah kurang lebih 1.700 pegawai. Untuk itu KPU RI melalui Biro SDM berinisiasi meningkatkan peran KPU provinsi terkait proses-proses kenaikan pangkat tersebut. “Sebagai gambaran, tahun 2017 kita akan memproses 1.700 PNS organik KPU yang su­ dah memasuki masa kenaikan pangkat. Sam­ pai dengan saat ini proses kenaikan pangkat sepenuhnya dilakukan oleh Biro SDM Sekretariat Jenderal KPU. Untuk itu kami berinisiasi meningkatkan peran provinsi terkait proses ini,” lanjut Wahyu. Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan pelayanan kepegawaian yang efektif, tepat sesuai dengan prosedur serta sesuai dengan masa kenaikan pangkat tiap pegawai di lingkungan KPU. “Hal ini berdasarkan pengalaman yang kita lalui bahwa banyak berkas yang masuk ke kami banyak yang syaratnya tidak lengkap, atau belum memenuhi syarat. Untuk itu kita

Bimbingan teknis pemprosesan sistem terpadu kenaikan pangkat otomatis.

Proses kenaikan pangkat yang cepat merupakan harapan kita semua. Kita ingin prosesnya cepat dan sesuai standar operasional prosedur yang sudah ada perlu menyamakan persepsi terkait kebijakan proses kenaikan pangkat, sehingga tujuan bersama kita bisa tercapai, yaitu ketepatan waktu dalam proses kenaikan pangkat,” tuturnya. Sementara itu, Kepala Biro SDM Set­ jen KPU RI, Lucky Firnandy Majanto me­­ ngatakan, KPU perlu memanfaatkan sis­ tem berbasis teknologi informasi untuk

meningkatkan pelayanan kepegawaian. Ia beranggapan penggunaan teknologi informasi bisa mewujudkan pelayanan kepegawaian yang cepat dan akurat. “Proses kenaikan pangkat yang cepat merupakan harapan kita semua. Kita ingin prosesnya cepat dan sesuai standar operasional prosedur yang sudah ada. Karena penggunaan teknologi informasi sudah semakin umum kita gunakan, maka sistem pemrosesan kenaikan pangkat secara otomatis ini merupakan upaya kita bersama dalam pemanfaatan teknologi informasi,” terang Lucky. Terkait sistem informasi kepegawaian yang akan digunakan, Wahyu mengatakan pada proses kenaikan pangkat pegawai, KPU akan memakai Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) online milik Badan Kepegawaian Negara (BKN). (rap/red. FOTO KPU/dosen/Hupmas) September-Oktober 2016 SUARA KPU

25


S UA R A I M A M B ON J O L

Rapat koordinasi pengelolaan logistik pemilihan 2017 tingkat nasional di Surabaya.

Operasi Logistik Pilkada Harus Komprehensif Penyelenggaraan pemilu dan pilkada merupakan operasi logistik yang komprehensif, sehingga bisa terlaksana dengan baik. Pengelolaan logistik harus memperhatikan tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat mutu. Kebijakan tahapan pencalonan, kampanye, audit dana kampanye, dan sengketa hasil pilkada juga berdampak pada proses pengadaan logistik Pilkada 2017.

H

al tersebut diungkapkan Ko­ misioner KPU RI Sigit Pamungkas pada rapat koordinasi pengelolaan logistik Pemilihan 2017 tingkat nasional, di Surabaya Jawa Timur, Rabu (14/9). Menurut Sigit, perubahan per­atur­an KPU berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI, salah satunya mengenai pe­­milahan sosialisasi ke masyarakat dan bim­bingan teknis (bimtek) kepada pe­nye­ lenggara pilkada. Untuk sosialisasi ke masyarakat, KPU ­ dibatasi sampai empat hari sebelum pe­ mungutan suara atau 11 Februari 2017. Se­la­ ma masa tenang, KPU tidak bisa sosialisasi ke masyarakat, kecuali iklan layanan mas­ yarakat (ILM) di media.

26

SUARA KPU September-Oktober 2016

Simulasi pengepakan distribusi logistik.

“Terkait pendaftaran pemilih, dilakukan kepada semua warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, baik yang punya e-KTP maupun yang belum. Khusus yang tidak ada e-KTP, perlu koordinasi dengan dinas dukcapil untuk mendapatkan surat keterangan bahwa mereka penduduk setempat yang mempunyai hak pilih,” ujarnya.

Sigit juga menjelaskan, calon tidak di­per­ bolehkan turun jabatan untuk daerah yang sama, misalnya gubernur mencalonkan men­ja­di wakil gubernur. Selain itu, juga tidak men­­jadi terpidana, hanya melakukan culpa levis atau pidana ringan, pidana politik, dan di­­­pidana tetapi tidak menjalani hukuman pen­­jara. Khusus incumbent, wajib cuti se­ la­ma kam­panye dan surat pernyataan cuti menjadi ba­gian syarat pencalonan. Apabila ti­dak me­nyer­takan, bisa gugur karena tidak me­menuhi syarat. Terkait pendaftaran pemantau yang semula paling lambat tanggal 14 Januari 2017, sekarang dibatasi paling lambat mendaftar 2 Januari 2017 atau 13 hari sebelum pemilihan. Kemudian soal alat peraga kampanye, pasangan calon maksimal diperbolehkan mencetak sendiri sebesar 150 persen dari jumlah yang dicetak KPU. Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPU RI Hasyim Asy’ari juga meminta penyelenggara pilkada untuk menjaga integritas, baik terhadap proses maupun hasil. Penyelenggara pilkada harus mulai mengidentifikasi permasalahan dan po­ tensi yang bisa saja muncul, sehingga tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. “Harus ada kepastian hukum, empat aspek yang mempengaruhi, yaitu tidak ada kekosongan hukum, tidak multitafsir, tidak ada norma yang bertentangan, dan norma tersebut dapat dilaksanakan. Kita juga harus sadar segala keputusan dan kebijakan yang diambil akan disorot semua pihak. Untuk itu hati-hati dalam berbicara, jangan sampai dibelok-belokkan, sehingga penting pers rilis dalam memberikan pernyataan,” tutur Hasyim yang dilantik menjadi anggota KPU RI tanggal 29 Agustus 2016 yang lalu. Sementara itu, Komisioner KPU RI Arief Budiman juga turut mengingatkan kepada penyelenggara pilkada, pengadaan logistik atau proses produksi akan terpengaruh dengan proses tahapan dan hasil sengketa, sehingga harus dituangkan dalam klausul kontrak. Misalnya apabila ada pasangan calon yang tidak bersedia ikut debat publik, maka pasangan calon tersebut terkena sanksi iklannya tidak akan ditayangkan. (Arf/red. FOTO KPU/dosen/Humas)


KPU Tata Jumlah PNS Seluruh Indonesia Demi terjaminnya jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang tepat dalam memberikan pelayanan publik, Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan program penataan. Tujuannya guna memperoleh kuantitas, kualitas, komposisi dan distribusi PNS yang tepat sesuai kebutuhan, sehingga dapat mewujudkan visi dan misi organisasi menjadi kinerja nyata.

S

Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim.

aat ini KPU sedang melakukan penataan PNS di satuan kerja provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP kabupaten/kota di seluruh Indonesia,” sebut Sekretaris Jenderal KPU, Arif Rahman Hakim, beberapa waktu lalu. Menurut Arif, penataan itu juga berguna untuk memperbaiki komposisi dan distribusi jumlah PNS, sehingga pegawai dapat didayagunakan secara optimal dalam rangka meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. “Selain itu, adanya kebutuhan akan kesesuaian antara jumlah dan komposisi pegawai dengan kebutuhan masing-masing unit kerja, serta distribusi pegawai secara proporsional di masing-masing unit kerja di suatu wilayah,” terangnya. Aturan penataan tersebut telah di­tuang­ kan dalam Surat Edaran Setjen KPU nomor 5 tahun 2016 tentang pemetaan pegawai. Da­ lam edaran tersebut telah ditetapkan jumlah maksimal PNS, termasuk pejabat struktural dan fungsional. “Untuk KPU provinsi, maksimal di­te­ tapkan sebanyak 35 orang PNS, sedangkan di KPU kabupaten/kota berjumlah 17 orang PNS,” kata dia. Arif mengatakan, penataan tersebut telah mempertimbangkan hasil analisis jabatan (AJB) dan analisis beban kerja (ABK) pada saat kondisi tidak sedang melaksanakan pemilu dan pilkada.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PNS Saat ini ada sekitar 9.404 orang PNS dari 549 satuan kerja di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Jumlah tersebut terdiri dari 4.992 orang PNS dengan status pegawai organik dan 4.412 orang PNS dengan status pegawai dipekerjakan (DPK).

“Dari jumlah itu, terdapat kelebihan sebanyak 943 orang PNS di 196 satuan kerja. Terbanyak di Provinsi Sulawesi Selatan dengan 92 orang PNS di 18 satuan kerja dan di Provinsi Jawa Timur dengan 77 orang PNS di 18 satuan kerja,” terang Arif. Sementara kekurangan pegawai berjumlah 1.467 orang PNS di 305 satuan kerja. Terbanyak di Provinsi Papua sebanyak 216 orang PNS pada 27 satuan kerja dan Provinsi Sumatera Utara sekitar 119 orang PNS di 22 satuan kerja. “Kita menargetkan awal 2017 pemetaan PNS selesai, sehingga memudahkan perencanaan pegawai, yang meliputi pengadaan, penempatan, pengembangan, pengendalian, dan pemberhentian. Di samping itu, juga akan memudahkan dalam merencanakan program dan kegiatan serta alokasi anggaran, terutama anggaran tunjangan kinerja tahun 2017,” paparnya. Pasalnya, berdasarkan Surat Edaran Setjen KPU nomor 1165 tanggal 23 September 2016 perihal alokasi anggaran tunjangan kinerja 2017, disebutkan, mulai Januari tahun depan, bagi satuan kerja yang belum melakukan penataan PNS, tunjangan kinerjanya tidak akan dibayarkan. September-Oktober 2016 SUARA KPU

27


S UA R A I M A M B ON J O L

Pemilihan Partisipatif Tidak Hanya Milik KPU Seluruh pemilihan yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepenuhnya milik semua stakeholder pemilihan. Karena itu, penyelenggara berupaya membuat setiap prosesnya menjadi separtisipatif mungkin.

Peserta Indonesia-African Countries Dialogue on Accountable Governance yang berasal dari negara Tunisia, Nigeria, Ethiopia, Kenya, serta Mozambik.

H

al itu diungkapkan Anggota Ko­ misi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hadar Nafis Gumay dalam per ­­temuannya dengan peserta IndonesiaAfrican Countries Dialogue on Accountable Governance yang berasal dari negara Tunisia, Nigeria, Ethiopia, Kenya, serta Mozambik, Rabu (28/9). “Kami percaya pemilihan bukan saja milik kami. Memang ini tanggungjawab KPU untuk menyelenggarakannya karena mandat konstitusi, tapi pada saat yang sama kami memiliki prinsip untuk membuat pemilihan ini menjadi partisipatif. Kami berpikir bahwa kami harus membuat proses pemilihan harus separtisipatif mungkin, jadi kami bekerja sama dengan berbagai lembaga,” kata Hadar. Hadar mencontohkan, pada pe­nye­leng­­ garaan pemilihan, KPU selalu me­ngun­

28

SUARA KPU September-Oktober 2016

dang lembaga pemantau untuk me­la­k u­ kan monitoring pelaksanaan pemilihan, baik yang dilakukan dari awal proses atau ditengah-tengah pelaksanaan pemilihan. KPU juga melibatkan civil society organization (CSO) dan stakeholder lain dalam proses pengambilan kebijakan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pe­ mi­l ihan serta sebagai penyempurnaan aturan yang telah disusun oleh KPU dari isu strategis yang disampaikan oleh lembaga terkait ataupun CSO kepemiluan. “Di Indonesia kami sangat terbuka ke­ pada organisasi masyarakat sipil, dan se­ mua stakeholder KPU. Ketika membuat peraturan, kami membuat banyak pertemuan secara nasional atau di daerah yang kita sebut focus group discussion (FGD), yang

dengan begitu masyarakat bisa berbagi ideide,” papar dia. Hadar melanjutkan, penyampaian isu strategis terkait penyempurnaan peraturan KPU dapat disampaikan publik melalui acara resmi KPU ataupun pertemuan-pertemuan yang digagas oleh lembaga/CSO lain. “Kami membuat draf peraturan, lalu kami sebarkan draf itu, jika publik mau memberi masukan bisa disampaikan kepada kami, baik melalui pertemuan yang kita gelar, atau yang dilakukan oleh organisasi lain,” tuturnya. Selain pelibatan masyarakat pada proses pemilihan dan proses pengambilan kebijakan, cara KPU untuk membuat pemilihan menjadi partisipatif adalah melalui pemanfaatan fasilitas yang dimiliki KPU. “Jadi pada prinsipnya kantor (KPU) ini terbuka, dan semua kantor KPU yang ada di Indonesia. Kami punya media center, tempat berkumpul CSO atau grup media mau melakukan konferensi pers yang terkait dengan isu-isu pemilihan, mereka bisa meng­ gunakan fasilitas itu,” lanjut Hadar. Diskusi antara KPU dengan pe­ser­ta In­ donesia-African Countries Dialogue on Accountable Governance tersebut merupakan sa­lah satu kegiatan hasil inisiasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Addis Ababa, Ethiopia, yang digelar dari 22 Sep­ tember hingga 1 Oktober mendatang. Beberapa topik yang dikaji dalam pertemuan tersebut antara lain mengenai akuntabilitas pemilihan umum, manajemen akuntabilitas keuangan, inovasi peningkatan akuntabilitas, serta pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebelum berkunjung ke KPU, para peserta telah mengunjungi Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (rap/red. FOTO KPU/ris/Hupmas)


Bimbingan teknis tahap kedua yang digelar Sekretariat Jenderal (Setjen) Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Peremajaan Data Syarat Utama Kenaikan Pangkat Peremajaan Data menjadi syarat utama pada pemrosesan kenaikan pangkat otomatis. Hal tersebut terungkap dalam bimbingan teknis tahap kedua yang digelar Sekretariat Jenderal (Setjen) Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan menghadirkan narasumber dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), Riski Firdianto, Rabu (28/9).

U

ntuk kelancaran proses usul kenaikan pangkat ini, hal yang paling utama sebelum kita input sebenarnya adalah peremajaan data,” jelas Riski. Peremajaan data tersebut, menurutnya, perlu dilakukan setiap ada mutasi pegawai negeri sipil (PNS) atau setiap ada perubahan data kepegawaian dari PNS yang bersangkutan.

“Jadi peremajaan data harus dilakukan setiap saat, setiap terjadi mutasi dari PNS tersebut dengan kondisi data terkini. Jadi setiap ada mutasi, setiap ada perubahan data, sebaiknya dilakukan peremajaan data,” lanjut dia. Riski menjelaskan, usul kenaikan pangkat pegawai saat ini sering terkendala karena perbedaan data usulan yang diserahkan dari instansi pengusul ke BKN dengan data yang tercantum dalam Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK) online. SAPK online merupakan aplikasi versi kedua dari sistem pelayanan kepegawaian dari BKN yang sebelumnya hanya ber­basis offline. “Karena itulah perlu peremajaan data, sehingga ketika usulan kenaikan pangkat, sudah tidak ada data-data yang kurang. Itu akan mempercepat proses penetapan persetujuan kenaikan pangkat,” terang dia. Dalam bimtek tahap pertama sebelumnya, Kepala Bagian (Kabag) Mutasi dan Disiplin

Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Setjen KPU RI, Wahyu Yudhi Wijayanti mengatakan, pada tahun 2017, jumlah PNS KPU yang akan memasuki masa kenaikan pangkat berjumlah kurang lebih 1.700 pegawai. Untuk itu, dengan adanya aplikasi SAPK online ini, Wahyu berharap setelah mengikuti bimtek, seluruh operator aplikasi di tingkat provinsi dapat melakukan peremajaan data pegawai KPU di tingkat kabupaten/kota masing-masing pada awal tahun depan. “Kami berharap pada bulan Januari (2017) itu kita sudah bisa mulai menginput data-data tersebut. Karena sebelum di print nota usul (kenaikan pangkat) ada proses peremajaan data melalui SAPK. Jadi nanti data-data kepegawaian kita input di situ, salah satunya untuk proses kenaikan pangkat,” tutur Wahyu. (rap/red. FOTO KPU/dosen/Hupmas)

September-Oktober 2016 SUARA KPU

29


S UA R A I M A M B ON J O L

Entry meeting Kemenpan RB dan Sekjen KPU.

Pelayanan Jadi Aspek Penting Penilaian Reformasi Birokrasi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arif Rahman Hakim, memberikan perhatian serius terhadap peningkatan pelayanan yang diberikan KPU di seluruh Indonesia kepada masyarakat. Pasalnya, hal tersebut merupakan salah satu faktor penilaian terhadap progres pelaksanaan reformasi birokrasi (RB) dan peningkatan akuntabilitas kinerja KPU.

T

erutama pemberian informasi di seluruh satker (satuan ker­ja­red) kita, apakah sudah mem­ berikan pelayanan yang maksimal kepada seluruh stakeholder? Baik itu kegiatan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) maupun pelayanan yang terkait pendidikan pemilih. Karena sebagian besar provinsi sudah dialokasikan anggaran untuk melaksanakan pendidikan pemilih,” jelas Arif, Senin (19/9). Hal tersebut disampaikan Arif saat rapat kerja konsolidasi kuasa penggunaan anggaran (KPA) dan peningkatan akuntabilitas kinerja

30

SUARA KPU September-Oktober 2016

di lingkungan Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU RI dengan sekretariat KPU provinsi di seluruh Indonesia. Selain peningkatan pelayanan tersebut, Arif juga menekankan, laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) KPU RI diharapkan meningkat nilainya, dari yang sebelumnya C menjadi B. “Harus dikawal apa yang menjadi catatan tim evaluator dari Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasired) dan perlu kita lanjuti bersama,” sam­ bungnya. Raker yang diikuti sekretaris, kepala

bagian program, organisasi dan SDM, kasubag program dan data, sertafungsional umum yang membidangi penyusunan laporan kinerja KPU/KIP provinsi, mem­ bahas sejumlah agenda penting. Di antaranya, realisasi dan pelaksanaan kegiatan tahun 2016, perencanaan kegiatan tahun 2017, serta menyelesaikan persoalan sumber daya manusia (SDM) KPU. Penataan distribusi pegawai antar satker KPU masih menemui kendala. Sampai saat ini, terdapat KPU kabupaten/kota yang hanya mempuyai 10 orang pegawai saja. Tentu hal ini membutuhkan perhatian dan membutukan kebijakan.“Persolan ini tentu tidak bisa diselesaikan oleh kabupaten/kota tersebut, melainkan membutuhkan kebijakan di level KPU provinsi dan pusat,” tegas Arif. Pada raker itu, KPU RI menganugerahkan peng­hargaan kepada KPU provinsi yang ber­­prestasi pada kategori pelaporan terbaik dalam bidang monitoring dan evaluasi. KPU Provinsi Sumatera Barat menempati pe­ring­ kat pertama dalam penghargaan tersebut. Di­i kuti KPU Provinsi D.I. Yogyakarta di po­ sisi kedua serta KPU Provinsi Bali di urutan ketiga. (ook/red. FOTO KPU ook/HumasKPU)


KPU Targetkan Opini WTP di 2016 Tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan dapat meraih peningkatan opini atas laporan keuangan. Pasalnya, sejak lima tahun terakhir, KPU selalu menyandang opini wajar dengan pengecualian (WDP).

K

ita berharap bisa mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atas laporan keuangan tahun 2016 ini. Soalnya, sejak 2011 hingga 2015 kita hanya meraih WDP,” kata Sekretaris Jenderal KPU, Arif Rahman Hakim, beberapa waktu lalu. Menurut Arif, upaya untuk mencapai target tersebut memang sebuah tugas yang berat. Namun tetap harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh jajaran KPU, baik di pusat maupun daerah. “Untuk itu kita telah melakukan se­jum­ lah langkah perbaikan, yang sejalan de­ ngan rencana strategis KPU 2015-2019. Di antaranya, melakukan tindak lanjut pe­nge­ cualian opini WDP terkait kas lainnya dan setara kas,” paparnya. Selain itu, KPU juga melakukan pem­ binaan kepada unit akutansi satuan kerja di 34 provinsi. Lalu, melaksanakan bimbingan teknis terhadap bendahara tingkat KPU provinsi, agar mereka bisa melakukan pembinaan berjenjang kepada KPU ka­ bupaten/kota. “Secara berkala kita menyelenggarakan rapat koordinasi penyusunan laporan keuangan dan mengembangkan aplikasi Simonika sebagai sarana pendukung. KPU juga tengah menyusun aturan tata cara penyelesaian kerugian Negara,” terang Arif. Kemudian, KPU secara rutin melakukan rekonsiliasi tingkat kementerian dan lembaga terkait masalah terkini dalam laporan keuangan, serta membahas sejumlah aturan yang baru diterbitkan.

Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim.

“Kita juga menerbitkan berbagai pedoman guna menghasilkan laporan keuangan yang akuntabel dan transparan dalam pengelolaan, pencatatan dan pelaporan barang, seperti kotak dan bilik suara, agar sejalan dengan tujuan standar akuntansi pemerintahan,” jelasnya. KPU telah pula membentuk tim/pengelola unit piutang. Tujuannya, agar melakukan klasifikasi jenis piutang yang terdapat di KPU, sehingga penentuan cadangan piutang tidak tertagih dapat ditetapkan secara akurat.

Di samping itu, KPU terus me­nin­dak­ lan­ju­t i temuan atau rekomendasi hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada KPU secara berkelanjutan dan berkesinambungan. “Selanjutnya, KPU akan membentuk tim gabungan lintas biro dan inspektorat untuk melakukan pembinaan secara komprehentif di tingkat wilayah, yang direncanakan akan mulai bekerja pada Desember 2016,” tutur Arif.

September-Oktober 2016 SUARA KPU

31


S UA R A I M A M B ON J O L

KPU Kembangkan e-Rekap di Pilkada 2017 Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Juri Ardiantoro, mengungkapkan KPU akan mengembangkan proses rekapitulasi secara elektronik (e-rekap) pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017.

T

idak hanya scan C1, tapi kami juga akan mencoba untuk melakukan rekapitulasi elektronik di 2017 men­datang,” sebut Juri pada rapat kerja KPU de­ngan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Ruang Sidang Komite 1 Gedung DPD RI, Senin (19/9). Raker yang juga dihadiri Menteri Da­ lam Negeri, Kepala Kepolisian Republik In­donesia, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Pimpinan Badan Intelegen Negara (BIN), Juri menjelaskan e-rekap tersebut dilakukan KPU sebagai upaya lebih lanjut dalam mengamankan suara pemilih sejak dari tingkat terbawah.

Selain mengembangkan rekapitulasi elektronik, Juri juga menjelaskan berbagai upaya yang dilakukan KPU untuk meng­ antisipasi berbagai kerawanan yang mungkin terjadi dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017. “KPU selain selalu berpedoman ke­ pada ketentuan peraturan perundangun­dangan dalam melaksanakan tiap ta­ hapan, juga senantiasa mengedepankan ke­terbukaan, transparansi, akuntabel dengan memperhatikan kondisi dan lingkup mas­ yarakat di berbagai wilayah,” kata Juri. Terhadap potensi kerawanan pada pihak penyelenggara, Juri menjelaskan berbagai

langkah yang telah KPU siapkan. Mulai dari langkah preventif hingga represif. “Untuk mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan di bawah, kami melakukan upgrade terhadap seluruh penyelenggara ad hoc, kemudian membangun keterbukaan dan penegakan hukum,” tegas Juri. Menurut Juri, penegakan hukum adalah langkah lanjutan yang akan ditempuh apabila masih tetap terjadi pelanggaran. “Sistem yang kita bangun adalah penegakan hukum. Kalau terpaksa ada penyalahgunaan maka harus ada penegakan hukum,“ lanjutnya. Selain itu Juri mengatakan, kerangka hukum yang dibangun saat ini me­mung­k in­ kan untuk dapat melakukan koreksi terhadap hasil rekapitulasi di tingkat bawah apabila memang terdapat cukup bukti terjadinya pelanggaran. (ftq/red. FOTO KPU/rap/Hupmas)

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Juri Ardiantoro pada rapat kerja KPU de­ngan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Ruang Sidang Komite 1 Gedung DPD RI.

32

SUARA KPU September-Oktober 2016


Cegah Sengketa Pilkada dengan Sosialisasi

Lokakarya (Persiapan penyelesaian sengketa tata usaha pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota).

Sengketa di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) sering terjadi pada proses pencalonan, baik pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun saat pemilihan legislatif (pileg). Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, bisa mencegah terjadinya sengketa tersebut dengan melakukan sosialisasi seluruh informasi tahapan pencalonan kepada para pasangan calon.

B

erkaca pada Pilkada Serentak 2015 lalu, Ketua KPU RI, Juri Ardiantoro, mengatakan, sengketa yang terjadi biasanya berawal dari ketidakpuasan peserta terhadap proses tahapan. Menurutnya, sumber dari tidak puasnya peserta kerap berasal dari penyelenggara itu sendiri, yang kurang rinci memberikan informasi. “Tidak sedikit sumber dari sengketa ini faktor internal kita, yang tidak cukup rinci memberikan informasi yang seharusnya disampaikan kepada para pasangan calon. Atau dapat dibilang kurang memadai dalam memberikan sosialisasi lanjutnya,” terang Juri. Hal tersebut disampaikannya saat memberikan pengarahan di depan peserta

rapat koordinasi persiapan penyelesaian sengketa tata usaha negara dalam Pilkada Serentak 2017 di Bogor, Selasa (27/9). Selain faktor sosialisasi, informasi terkait kepastian hukum yang diberikan KPU kepada pasangan calon juga dapat menghindari sengketa. Terkait hal tersebut, Juri memberikan contoh pencalonan yang dilakukan oleh partai politik dengan dua kepengurusan, yang dalam hal tersebut penyelenggara harus mengikuti kepengurusan yang disahkan menurut Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tersebut. Sementara itu, Anggota KPU Hadar Nafiz Gumay menekankan pentingnya komunikasi dan respon penyelenggara yang

cepat, sehingga permasalahan yang ada tidak perlu sampai di tingkat atas. “Kita telah membangun sebuah sistem untuk memberikan informasi secara cepat (sistem informasi pencalonan-red) tapi hingga H+4 proses pencalonan tersebut masih belum maksimal,” tegas Hadar. Sistem informasi yang telah dibangun tersebut dibuat agar publik dapat segera meng­a kses informasi pencalonan, apabila pe­nyelenggara tidak mempergunakannya de­ngan maksimal, sama artinya dengan menghentikan arus informasi yang dimiliki KPU. “Mohon respon cepatnya untuk dapat mengisi aplikasi Silon yang sekarang telah terhubung dengan Sistem Informasi Tahapan (SITAP) agar publik dapat segera mengakses informasi itu,” tekan Hadar. Selain itu Hadar mengharapkan, KPU provinsi dapat mengambil peran dalam penyelesaian masalah di tingkatannya, sehingga tidak perlu lagi masalah yang dapat diselesaikan di provinsi harus dibawa ke pusat. (dam/red. FOTO KPU/dam/Hupmas) September-Oktober 2016 SUARA KPU

33


SUARA REGULASI

ATURAN PILKADA IBU KOTA DAN TIGA DAERAH OTSUS Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menerbitkan sebuah regulasi sebagai pedoman penyelengggaraan pilkada untuk tiga provinsi otonomi khusus, yaitu Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat, dan satu provinsi yang berstatus daerah khusus, yakni Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Regulasi tersebut dituangkan dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2016 yang kemudian diubah menjadi PKPU Nomor 10 Tahun 2016.

34

SUARA KPU September-Oktober 2016

K

etentuan penyelenggaraan pilkada di DKI Jakarta yang berbeda dengan daerah lain terkait dengan penetapan pasangan calon terpilih. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka digelar putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Pemilihan putaran kedua untuk DKI Jakarta mencakup empat tahapan, yaitu pengadaan dan pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan pemilihan, kampanye dalam bentuk penajaman visi, misi dan program pasangan calon, pemungutan dan penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Pada putaran kedua, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

Untuk Aceh, kekhususan dalam pe­nye­ leng­garaan pilkada menyangkut banyak hal. Pada tahapan pencalonan terdapat lima unsur yang dapat mengusulkan pasangan calon, yaitu partai politik, partai politik lokal, gabungan partai politik dengan partai politik lokal, gabungan partai politik lokal dengan partai politik lokal. Selain dari jalur partai politik, pasangan calon juga dapat mengajukan diri melalui jalur perseorangan. Persyaratan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Aceh relatif lebih ringan dibanding daerah lain. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon dengan ke­ten­ tuan memperoleh paling sedikit 15% dari jumlah kursi Dewan perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) atau 15% akumulasi perolehan suara dalam pemilu terakhir. Berbeda dengan ketentuan yang berlaku secara umum, yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memperoleh paling sedikit


20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan untuk dapat mengajukan pasangan calon. Partai politik atau gabungan partai politik yang menggunakan syarat paling sedikit 15% suara, ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRA/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Partai politik atau gabungan partai politik tidak dapat menarik dukungannya sejak pendaftaran pasangan calon dilakukan ke Komisi Independen

Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP kabupaten/ kota. Untuk bakal pasangan calon yang maju dari jalur perseorangan berlaku ketentuan mendapat dukungan paling kurang 3% dari jumlah penduduk. Jumlah dukungan harus tersebar paling kurang di 50% jumlah kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Untuk pengaturan ketentuan jumlah kur­si atau suara sah partai politik atau ga­ bung­a n partai politik dalam pengajuan pa­ sang­a n calon, KIP Aceh telah menerbitkan Ke­putusan KIP Aceh Nomor 18/Kpts/KIP Aceh/Tahun 2016. Syarat perolehan kursi

minimal 15% dari 81 kursi berarti sekurangkurangnya 13 kursi. Sementara syarat perolehan suara minimal 15% dari 2.399.161 suara sah, yaitu sekurang-kurangnya 359.875 suara sah. Berdasarkan data perolehan suara partai po­l itik peserta Pemilu 2014, hanya Partai Aceh yang dapat mengajukan pasangan ca­ lon tanpa harus berkoalisi dengan partai po­ li­t ik lain. Partai Aceh memperoleh 29 kursi di DPRA, sementara partai politik lainnya mem­­peroleh kursi berkisar antara 1 sampai 9 kursi. September-Oktober 2016 SUARA KPU

35


S UA R A R E GU L A S I

Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2016 juga mengatur syarat calon dengan mengadopsi ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Otonomi Khusus dan Qanun yang mengatur pilkada. Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota harus orang Aceh dan menjalankan syariat agamanya. Ketentuan orang Aceh diadopsi dari Qanun Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota. Pasal 22 Qanun Nomor 5 Tahun 2012 me­ ngatur sejumlah persyaratan bakal pasangan calon kepala daerah yang spesifik, yaitu orang Aceh sebagaimana dimaksud dalam pasal 211 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, beragama Islam, taat menjalankan syariat Islam dan mampu membaca Alquran dengan baik serta mampu menjalankan butir-butir yang ada dalam MoU Helsinki. Pasal 211 yang menjadi rujukan pasal 22 huruf b Qa­nun Nomor 5 Tahun 2012 itu berbunyi, “Orang Aceh adalah setiap individu yang la­hir di Aceh atau memiliki garis keturunan Aceh baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui dirinya sebagai orang Aceh.” KIP Aceh juga telah menerbitkan Ke­ putusan Nomor 20/Kpts/KIP Aceh/Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Uji Mampu Baca Alqur’an Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2017. Keputusan ini terbit untuk mengimplementasikan pasal 22 huruf c Qanun Nomor 5 Tahun 2012. Keputusan KIP menyebutkan terdapat tiga aspek penilaian kemampuan membaca Alqur’an, yaitu tajwid dengan bobot 50, fashahah dengan bobot 30 dan adab dengan bobot 20. Bagi bakal pasangan calon yang sedang menjalankan ibadah haji/umrah atau melaksanakan tugas karena jabatannya dapat memanfaatkan teknologi informasi yang disesuaikan dengan aksesibilitas daerah dan kemampuan bakal calon, dengan ketentuan dilakukan secara online dan seketika dengan menggunakan panggilan video yang memungkinkan tim uji untuk saling bertatap muka, melihat dan berbicara secara langsung.

36

SUARA KPU September-Oktober 2016

PROVINSI ACEH

PROVINSI DKI JAKARTA

Partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon dengan ketentuan memperoleh paling sedikit 15% dari jumlah kursi Dewan perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) atau 15% akumulasi perolehan suara dalam pemilu terakhir.

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% otomatis ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Jika tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka digelar putaran kedua yang diikuti pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.


PROVINSI PAPUA & PAPUA BARAT

Setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang maju lewat jalur partai politik maupun jalur perseorangan harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.

Bagi bakal calon perempuan yang dalam keadaan berhalangan secara syar’i (haidh), uji mampu baca Al-Qur’an menggunakan metode Iqra’ Jilid 6 (enam). Sementara bagi bakal calon yang berstatus muallaf 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dibuktikan dengan surat keterangan dari lembaga/ instansi terkait, uji mampu baca Al-Qur’an dilakukan dengan menghafal 3 (tiga) surat pendek dalam Juz Amma dan mampu membaca metode Iqra’ Jilid 5 (lima) paling banyak 2 (dua) halaman. Setelah melalui beberapa kali rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR, sejumlah pengaturan dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2016 mengalami perbaikan.

Persyaratan calon gubernur dan wakil gubernur harus orang Aceh dan kewajiban menjalankan sya­ r iat agamanya yang dilengkapi dengan surat keterangan lulus kemampuan baca Al-Qur’an dihapus. Ketentuan tersebut dinilai ber­tentangan dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat perbedaan signifikan dalam hal syarat calon gubernur dan wakil gubernur. Merujuk pada Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 35 Tahun 2008 menyebutkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus orang asli Papua. Dalam ketentuan menimbang Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebutkan penduduk asli Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari sukusuku bangsa Indonesia. Karena itu selain orang asli Papua, maka tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur. Syarat pendidikan pasangan calon un­ tuk Provinsi Papua dan Papua Barat juga ber­beda dengan daerah lain. Meski tingkat pendidikan di dua provinsi tersebut tergolong rendah dibanding daerah lain di Indonesia, tetapi syarat pendidikan calon gubernur dan wakil gubernur minimal sar­jana. Berbeda dengan daerah lain, per­

syaratan pendidikan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) atau sederajat. Perbedaan lainnya, setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang maju lewat jalur partai politik maupun jalur perseorangan harus mendapat pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua. KPU Provinsi menyampaikan salinan dokumen persyaratan bakal calon kepada MRP melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). MRP dalam mem­ be­r i pertimbangan dan persetujuan wa­ jib memperhatikan dokumen yang di­se­ rahkan oleh KPU dan pertimbangan serta per­setujuan dari MPR terbatas mengenai proses penentuan orang asli Papua. Hasil pertimbangan dan persetujuan wajib di­ lengkapi dengan keterangan tertulis mengenai dasar pertimbangan dan per­ setujuan. Dalam hal MRP menyatakan bakal calon bukan orang asli Papua, maka KPU Provinsi Papua atau Papua Barat menyatakan tidak memenuhi syarat. Tetapi pernyataan MRP tersebut dapat dikesampingkan jika terdapat pengakuan dari suku asli Papua asal pasangan calon yang bersangkutan yang menyatakan bahwa pasangan calon tersebut benar-benar orang asli Papua. (geb) September-Oktober 2016 SUARA KPU

37


KAMUS PEMILU

1. SINGLE NON-TRANSFERABLE VOTE (SNTV) Adalah bentuk khusus pembatasan suara,sehingga masing-masing pemilih hanya mempunyai satu suara dalam suatu distrik yang umumnya tersedia tiga sampai lima wakil. Keuntungan sistem ini adalah partai-partai kecil lebih mungkin atau mudah untuk terpilih. Salah satu kelemahan dari sistem SNTV adalah adanya tingkat proporsionalitas yang tidak sama antara distrik pedesaan dengan distrik perkotaan. Berdasarkan pengalaman Jepang yang menggunakan sistem ini dari 1947-1993, di distrik pedesaan umumnya sangat tinggi tingkat proporsionalitasnya, sebaliknya di distrik perkotaan umumnya rendah tingkat proporsionalitasnya.

Disarikan dari buku Sistem Pemilu yang disusun Internasional IDEA, United Nation dan IFES 1998 dan sejumlah sumber lainnya.

4. MIXED MEMBER PROPORTIONAL (MMP)

7. THE FIRST PAST THE POST (FPTP)

Adalah formula yang memberikan

Adalah formula pluralitas yang biasa dipakai dalam pemilihan wakil tunggal (seperti pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali kota, dsb) atau pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemenang pemilihan adalah seorang kandidat yang mendapatkan suara paling banyak tanpa memperhatikan hasil mayoritas. Formula FPTP digunakan dalam single member district system.

kompensasi kursi dari suara yang hilang akibat penerapan sistem distrik. Misalnya, jika sebuah partai memperoleh suara 10% secara nasional, namun ia tidak memperoleh kursi dalam suatu distrik, maka partai tersebut akan memperoleh kompensasi kira-kira sampai 10% kursi di parlemen.

2. ALTERNATIVE VOTE (AV) Adalah sistem yang sama dengan sistem pemilu distrik. Setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melakukan ranking terhadap calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangking 1 bagi favoritnya, rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya. Karena itu, terdapat kemungkinan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada, daripada hanya memilih 1 saja seperti dalam sistem distrik. Untuk penghitungan suaranya, seorang caleg yang memenangkan mayoritas absolute (50%+1) otomatis terpilih. Jika pada putaran pertama tidak ada seorangpun kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas, jalan keluar yang ditawarkan melakukan pemilihan putaran kedua dengan menggunakan prinsip preferential ballot. Pada pemilihan putaran kedua ini, para pemilih diminta meranking kandidat sesuai dengan preferensinya. Misalnya, peringkat pertama diberikan kepada kandidat A, kemudian berikutnya secara berurutan kepada B, C, D, dst. Prinsip formula ini adalah mentransfer suara minoritas kemudian diberikan kepada kandidat suara yang memperoleh suara yang lebih kuat sampai tercapai satu pemenang.

5. SYSTEM PARALEL (SP) Adalah sistem pemilihan campuran antara sistem daftar proporsional (List PR) dengan sistem distrik.

8. BLOCK VOTE (BV)

Sebagian kursi parlemen dipilih

Adalah penggunaan First Past the Post dalam distrik wakil majemuk. Sistem menerapkan pluralitas suara, sehingga satu distrik memiliki lebih dari satu wakil. Pemilih bebas memilih sebanyak kursi yang akan diisi dan biasanya bebas memilih caleg tanpa mempertimbangkan afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih. Block Vote digunakan untuk multi member district.

berdasarkan sistem proporsional, dan sisanya dipilih berdasarkan sistem distrik. Caranya, pemilih mempunyai dua kertas suara, sa­tu untuk memilih kandidat ber­ dasarkan sistem distrik, dan satu kertas suara lagi untuk memilih partai berdasarkan sistem list PR.

6. SYSTEM LIST PROPORTIONAL REPRESENTATIVE (LIST PR) Sistem ini pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu sistem daftar tertutup (closed list system)

3. TWO ROUND SYSTEM (TRS)

dan sistem daftar terbuka

Adalah sistem yang terdiri dari dua formula. Pertama; formula campuran pluralitas dan mayoritas. Formula campuran mensyaratkan adanya suatu mayoritas suara untuk pemilihan atau pemberian suara pertama. Namun, jika tidak ada kandidat yang berhasil mengumpulkan suara mayoritas, maka digelar pemilihan suara kedua. Pada pemberian suara kedua ini diterapkan prinsip formula pluralitas, artinya penentuan pemenang pada pemberian suara kedua didasarkan pada kandidat yang berhasil memperoleh suara terbanyak (tidak harus 50% + 1). Kedua; formula run-off adalah pemilihan yang diikuti oleh hanya dua kandidat yang memperoleh suara terbesar pada putaran pertama. Artinya, jika pada putaran pertama tidak ada seorangpun yang mendapatkan suara mayoritas maka digelar pemilihan putaran kedua dengan hanya mengikuti dua kandidat yang pada putaran pertama memperoleh suara terbanyak. Formula iniakan menjamin terpilihnya pemenang bersuara mayoritas.

(open list system). Sistem daftar

38

SUARA KPU September-Oktober 2016

tertutup, para pemilih harus me­milih partai politik peserta pe­milu, dan tidak bisa memilih calon legislatif. Dalam sistem ini, pa­ra calon legislatif biasanya te­lah ditentukan dan diurutkan se­cara sepihak oleh partai po­litik yang mencalonkannya. Se­mentara sistem daftar ter­ bu­ka, para pemilih bukan hanya da­pat memilih partai politik yang diminati, namun juga ber­ke­ sempatan menentukan sendiri calon legislatif yang disukainya.

9. SINGLE TRANSFERABLE VOTE (STV) Model ini sedikit lebih rumit karena para pemilih memberikan suaranya berdasarkan preferensinya sesuai daftar partai. Dengan begitu, para pemilih dalam sistem STV memilih para kandidat yang disukainya bahkan kemudian merankingnya. Oleh karena itu, transfer suara pemilih ke kursi di parlemen juga harus memperhitungkan peringkat suara yang diberikan oleh para pemilih. (Geb)



S UA R A G A L E R I

Peresmian Rumah Pintar Pemilu (RPP), Web JDIH, e-training PPID, LPSE, SIMPAW dan Pencanangan Zona Integritas.

Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Kursus Kepemiluan

40

SUARA KPU September-Oktober 2016


Penerimaan calon Gubernur DKI jakarta

Penerimaan calon Bupati Bekasi

Penerimaan calon Gubernur Banten

Pameran KPU di LAN

Launching Lomba karya Tulis Pemilu Akses September-Oktober 2016 SUARA KPU

41


Bimtek Laporan Dana Kampanye

Rapat pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Teleconference Biro SDM

Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman, memaparkan saat Bimtek Pedoman Kampanye

KPU RI memberikan penghargaan kepada KPU Prov. DIY, Bali dan Sumbar

42

SUARA KPU September-Oktober 2016


MoU BNN dan KPU RI

Rapat koordinasi pengelolaan logistik pemilihan 2017 tingkat nasional di Surabaya

Exit Meeting (Biro SDM)

Launching Festival Film Pendek

Simulasi Pilkada dengan Pasangan Calon Tunggal Pilkada Serentak Tahun 2017 Kabupaten Pati Jawa Tengah

Simulasi Pilkada dengan Pasangan Calon Tunggal Pilkada Serentak Tahun 2017 Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi lampung September-Oktober 2016 SUARA KPU

43


SUARA DAERAH

RUMAH PINTAR P

DIHARAPKAN SEDOT PAR T Gubernur Sumatera Utara, Ir HT Erry Nuradi, MSi mengharapkan kehadiran Rumah Pintar Pemilu yang digagas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat menyedot partisipasi pemilih yang tinggi, terutama bagi pemilih pemula.

44

SUARA KPU September - Oktober 2016

“S

aya mengapresiasi KPU yang tidak bosan-bosannya melakukan terobosan dan menyosialisasikan kepada masyarakat agar dapat menggunakan hak suaranya pada setiap iven pemilu,’’ kata Erry saat peresmian Rumah Pintar Pemilu di kantor KPU Sumut di Jl. Perintis Kemerdekaan yang dihadiri Ketua KPU RI Juri Ardiantoro, Selasa (27/9). Erry mengatakan, Rumah Pintar Pemilu merupakan bukti nyata kepedulian KPU RI dalam memberikan pemahaman dan pendidikan politik serta nilai-nilai tentang pemilu yang bermanfaat bagi masyarakat. “Ini juga sebagai sarana demokrasi dalam meningkatkan partisipasi


R PEMILU SUMUT

R TISIPASI PEMILIH PEMULA pemilih. Karena itu kehadiran Rumah Pintar Pemilu akan memberikan pengaruh positif, karena di sini masyarakat dapat belajar berdemokrasi yang baik,” paparnya. Ketua KPU RI Juri Ardiantoro menyebutkan Rumah Pintar Pemilu merupakan program nasional untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi seluruh masyarakat tentang kepemiluan pada daerah masingmasing.

“KPU menggagas ini untuk mengisi “kekosongan” aktivitas akibat jeda waktu proses tahapan pemilu. Dengan demikian, jeda waktu tersebut dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang bersifat edukatif. Ini akan dapat menambah kepercayaan masyarakat pentingnya pemilu,’’ sebutnya. Sementara Ketua KPU Sumut Mulia Banurea mengatakan pihaknya juga telah menjalin kerjasama dengan beberapa

instansi pendidikan, seperti universitas negeri maupun swasta di Sumut. Kerjasama ini nantinya bertujuan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Sumut, sekaligus memotivasi pemilih pemula dengan memberikan sosialisasi. Salah satu caranya dengan mendatangi sekolah-sekolah pada hari Senin untuk menjadi inspektur upacara. (tdy/red. FOTO KPU/tdy/Hupmas)

September - Oktober 2016 SUARA KPU

45


S UA R A DA E R A H

KURSUS PEMILU DI JAMBI

DIIKUTI KOMUNITAS OJEK HINGGA AKADEMISI Ketua KPU RI Juri Ardiantoro memberikan kursus kepemiluan kepada 40 peserta yang berasal dari komunitas ojek, pelaku usaha, disabilitas, akademisi, mahasiswa dan pelajar di KPU Provinsi Jambi, Jumat (7/10). Menurut Juri, pemilu adalah urusan seluruh rakyat, karenanya setiap elemen masyarakat harus terlibat di dalamnya.

P

engembangan komunitas adalah salah satu paradigma KPU dalam menginisiasi partisipasi masyarakat secara aktif dalam berdemokrasi. Karenanya, kegiatan KPU tidak lagi hanya berkutat dengan persoalan teknis kepemiluan semata tetapi mulai beranjak pada pemberdayaan peran serta masyarakat,� . Selama ini paradigma mengenai

46

SUARA KPU September - Oktober 2016

kepemiluan adalah milik KPU, sehingga semuanya seolah menjadi urusan KPU semata. Padahal, kepemiluan dengan segala anekdotnya adalah tanggungjawab bersama seluruh anak bangsa. “Masalah terbesar kita saat adalah masyarakat sudah semakin tidak percaya pada politik dan pemilu. Jika terus dibiarkan, masyarakat akan semakin bersikap pragmatis terhadap demokrasi,� ujar Juri.

Ketua KPU RI Juri Andiantoro (empat dari kiri) saat memberikan kursus kepemilian di Rumah Pintar Pemilu KPU Provinsi Jambi.


Dengan menganggap pemilu tidak penting, kata dia, masyarakat hanya berpikir keuntungan apa yang mereka bisa dapat dalam pesta demokrasi tersebut. Pragmatisme dalam politik ini berbahaya, lantaran masyarakat hanya memikirkan keuntungan sesaat dan tidak berorientasi jangka panjang. “Tugas kita peserta kursus kepemiluan membangkitkan kepercayaan masyarakat bahwa pemilu itu sesuatu yang penting, karena sangat berpengaruh kepada kemajuan

daerah dan kesejahteraan masyarakat. Karena itulah masyarakat harus terlibat dalam pemilu,” tegasnya. Juri mengatakan, memilih kepala daerah atau wakil rakyat di tingkat daerah maupun pusat, artinya memberi mereka kekuasaan yang luar biasa untuk mengatur kita semua. “Sebagai contoh, Provisi Jambi punya anggaran Rp4 triliun. Bagaimana jika pemimpin terpilih tidak bijak dalam mengelola anggaran itu, maka kita tidak

bisa berharap banyak untuk perbaikan pembangunan, seperti pendidikan yang baik, kesehatan masyarakat yang terjamin dan infrastruktur daerah yang memadai,” terangnya. Usai pelaksanaan kursus kepemiluan, Juri dihadiahi sebuah karikatur yang bertema pemilu karya seniman Edi Dharma, yang merupakan salah seorang peserta kegiatan tersebut. (Asro/Hupmas KPU)

SeptemberMei - Oktober - Juni 2016 2016 SUARA KPU

47


S UA R A DA E R A H

Penyampaian Materi Kursus Kepemiluan oleh Kepala Biro Tekmas Sigit Joyowardono

KURSUS PEMILU DI KALTIM

Partisipasi Harus Didasari Pengetahuan Hak Politik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Timur (Kaltim) menyelenggarakan kursus kepemiluan (election course) Pengembangan Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi selama tiga hari, mulai 30 Agustus hingga 1 September 2016 di Gedung Aula KPU Kaltim.

K

epala Biro Teknis dan Hupmas KPU RI, Sigit Joyowardono, hadir sebagai narasumber, dengan didampingi ketua dan anggota KPU Kaltim. Sekitar 30 peserta mengikuti kursus tersebut. Mereka berasal dari yayasan/organisasi masyarakat/komunitas/ perguruan tinggi, sebagai representasi perwakilan lima segmen pemilih. Menurut Sigit, prinsip dasar pemilu yang jujur, adil dan tidak dikriminatif adalah satu hal penting dalam demokrasi. Karena itu, partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan pemilu sangat penting untuk menjaga nilai-nilai tersebut. “Pemilu merupakan bentuk kedaulatan rakyat. Karenanya, pemilu harus ber-

48

SUARA KPU September - Oktober 2016

dasarkan pada nila-nilai dan memiliki standar yang berlaku universal. Agar penyelenggara pemilu yang bebas dan adil dapat terjamin, karena tidak ada demokrasi tanpa partisipasi,� terangnya. Hal senada juga diungkapkan Ketua KPU Kaltim Mohammad Taufik. Menurutnya, partisipasi masyarakat juga harus didasarkan pada pengetahuan tentang sistem politik, hak-hak politik rakyat, dan kesadaran kritis dalam menggunakan hak politik dan menanggapi seluruh proses dan tahapan pemilu. “Untuk itu, perlu pendidikan politik dan kepemiluan yang baik kepada seluruh masyarakat. Berbekal pengetahuan dan kesadaran terhadap hak-hak politik itu,

rakyat akan dapat menggunakan hak pilihnya secara mandiri dan cerdas,� katanya. Sementara, Sekretaris KPU Kaltim H. Syarifudin Rusli, mengatakan, kursus kepemiluan merupakan wadah pembelajaran kepemiluan. Masyarakat harus mendapatkan informasi dan pengetahuan yang memadai, keterampilan cukup, serta kedasaran kritis saat memanfaatkan hak pilihnya. Pendidikan pemilih seharusnya tidak dilaksanakan untuk meningkatkan tingginya partisipasi pemilih semata, tetapi juga perlu menumbuhkan pemahaman bahwa proses politik merupakan kegiatan yang baik dan berguna bagi masyarakat. (er/red FOTO: HupmasKPU-Prov)


RUMAH PINTAR PEMILU NTB

Bale Pemilu untuk Kualitas Demokrasi Salah satu program pendidikan pemilih dan upaya peningkatan demokrasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) meluncurkan rumah pintar pemilu yang diberi nama Bale Pemilu.

P

eresmian Bale Pemilu ini ditandai penabuhan gendang belek dan pengguntingan pita oleh Anggota KPU RI Hasyim Asy’ari, Wakil Gubernur NTB, Moh. Amin dan Ketua KPU Provinsi NTB, Lalu Aksar Ansori, Jumat (16/9). Hasyim mengatakan Bale Pemilu ini merupakan pilot project KPU yang hanya didirikan di sembilan provinsi. Provinsi NTB terpilih sebagai salah satunya lantaran berprestasi sebagai KPU provinsi terbaik bidang inovasi dalam pendidikan pemilih. Pada Bale Pemilu itu terdapat sejumlah fasilitas pendukung pendidikan pemilih dan pelayanan informasi serta dokumentasi, seperti lorong sejarah pemilu, lorong pemilu

dan pilkada, perpustakaan mini, maket pemungutan dan pengitungan suara. Selain itu ada pula ruang simulasi pemungutan suara, ruang audio visual yang menyatu dengan media center, ruang diskusi, ruang data center serta didukung oleh PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) /e-PPID dan JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum). Menurut Hasyim, dukungan Pemerintah Provinsi NTB dalam pendidikan pemilih sangat baik. Terutama berkat bantuan dana hibah, sehingga berbagai program dapat berjalan. “Kami sangat berterima kasih atas dukungan dan fasilitasi Pemerintah Provinsi NTB. Harapan kami, dukungan dan kerjasama ini

terus berlanjut dalam upaya kita membangun iklim demokrasi yang makin berkualitas di masa depan,” ungkap Hasyim. Ketua KPU NTB, Lalu Aksar Ansori, mengatakan pihaknya berupaya melakukan pendidikan pemilih secara terus-menerus sejak dini. Dengan sasaran bidikan program mulai dari calon pemilih yang masih duduk di bangku SD, hingga pemilih berusia lanjut. “Kami juga membidik segmen-segmen pemilih potensial seperti pemilih pemula, pemilih perempuan, pemilih keagamaan, pemilih marginal, hingga pemilih disabilitas,” terangnya. Itu karena KPU NTB ingin mempertahankan dan meningkatkan angka partisipasi pemilih, yang pada Pemilihan Legislatif 2014 sebesar 77,32%, Pilpres 2014, 71,80%, dan Pilkada Serentak 2015, 71,98%. (tdy,rz/red. FOTO KPU rz/Hupmas)

Hasyim Asyari (kanan berdiri) meresmikan bale pemilu

September - Oktober 2016 SUARA KPU

49


S UA R A DA E R A H

KPU SUMATERA SELATAN

SDM KPU Sumsel Tidak Merata

Rapat Evaluasi Pemetaan Pegawai KPU Sumsel

Jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di KPU provinsi dan 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan tidak berimbang. Hal tersebut diketahui saat evaluasi yang dilakukan komisioner KPU Provinsi Sumsel, Jumat (21/10).

E

valuasi itu dilakukan guna pemerataan pegawai serta penguatan peran kerja menjelang Pemilihan Serentak 2018 di wilayah tersebut. Kegiatan itu dihadiri seluruh komisioner dan para sekretaris KPU seSumsel. Dari evaluasi itu terungkap, 10 kabupaten/ kota masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) PNS. Sedangkan di beberapa kabupaten/kota lainnya, termasuk KPU kota Palembang, mengalami kelebihan pegawai. “Kondisi ini terjadi karena mutasi pegawai selalu diproses tanpa mempertimbangkan kebutuhan di daerah. Ke depan, semua sekretaris KPU kabupaten/kota harus berkoordinasi dengan pemda setempat dan melaporkannya ke provinsi,” kata Sekretaris KPU Sumsel M.Daud. Ia meminta jajarannya mematuhi Su-

50

SUARA KPU September - Oktober 2016

Kondisi ini terjadi karena mutasi pegawai selalu diproses tanpa mempertimbangkan kebutuhan di daerah. Ke depan, semua sekretaris KPU kabupaten/kota harus berkoordinasi dengan pemda setempat dan melaporkannya ke provinsi.

rat Edaran (SE) Sekjen KPU RI untuk pemetaan pegawai agar SDM PNS merata. Serta mengadakan evaluasi untuk dicari solusi agar pemerataan berjalan dengan baik jangan sampai ada ketimpangan. “Kita patuhi saja SE Sekjen karena

komposisi sudah tidak berimbang, ini PR untuk dilaksanakan dengan profesional jangan sampai ada yang terlalu mempertimbangkan kemanusiaan dan lain-lain karena KPU daerah sangat membutuhkan SDM,” katanya. (rel naf/red)


KPU PAPUA

BNN Serahkan Hasil Tes Narkoba Peserta Pilkada Badan Narkotika Nasional (BNN) Perwakilan Papua menyerahkan hasil pemeriksaan kecanduan narkotika milik 82 orang bakal calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, kepada KPU Provinsi Papua, Kamis (6/10).

Suasana penetapan paslon di Pilkada Papua Barat

KPU PAPUA BARAT

KPU Tetapkan Tiga Paslon Pilkada Papua Barat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat menetapkan tiga pasangan calon (paslon) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Papua Barat 2017, Senin (24/10). Ketiga paslon tersebut, Drs Dominggus Mandacan – Mohamad Lakotani SH MSi, Irene Manibuy SH – Abdullah Manaray ST dan DR Drs Stepanus Malak MSi – Ali Hindom SPd.

M Kepala BNN menyerahkan Hasil Pemeriksaan Tes Narkoba kepada Ketua KPU Papua

H

asil pemeriksaan yang diserahkan secara simbolis oleh Kepala BNN Perwakilan Papua, Kombes Polisi Drs. Sukisto, diterima Ketua KPU Papua, Adam Arisoi, SE. Nantinya, BNN akan kembali menyerahkan hasil tes jaringan rambut yang telah diperiksa. Seperti yang telah diketahui amanah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, hasil pemeriksaan penggunaan narkoba merupakan salah satu syarat mutlak bagi calon kepala daerah untuk mengikuti pilkada. Hasil pemeriksaan tersebut akan diteruskan KPU Papua kepada KPU kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada 2017. Sedangkan hasil pemeriksaan urine diserahkan langsung BNN kepada KPU kabupaten/kota. (RED)

enurut Ketua KPU Papua Barat, Amus Atkana, ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu telah memenuhi syarat formil baik diatur dalam UU Pemilu maupun syarat orang asli Papua (OAP) sesuai amanat Undang-Undang nomor 35 tahun 2008. Amus mengatakan, pihaknya telah melakukan verifikasi administrasi khusus dan verifikasi faktual terkait keaslian OAP dari kandidat bakal calon kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat. KPU juga melakukan verifikasi faktual terhadap administrasi kandidat ke perguruan tinggi, karena syarat seorang calon harus sarjana. “Dengan ini, tiga paslon telah memenuhi syarat dan siap untuk bertarung dalam Pilkada Serentak 15 FebruarI 2017 mendatang. Tahapan selanjutnya adalah penetapan nomor urut paslon yang akan dilaksanakan pada Selasa (25/10),” kata dia. Pada Pilkada Papua Barat, paslon Drs Dominggus Mandacan – Mohammad Lakotani SH MSi (DoaMu) diusung Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Paslon Irene Manibuy SH – Abdullah Manaray ST (IMAN) diusung Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Paslon DR Drs Stepanus Malak MSi – Ali Hindom SPd (MADOM) diusung Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrat. September - Oktober 2016 SUARA KPU

51


S UA R A DA E R A H

KPU KALIMANTAN BARAT

Laporan Dana Kampanye Pilkada Harus Diaudit

Raker KPU Provinsi dalam persiapan pelayanan administrasi kepemilan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Barat menggelar rapat kerja (raker) persiapan pelayanan administrasi kepemiluan peserta pemilu dan fasilitasi pelaporan dana kampanye, Jumat (14/10).

T

ujuan kegiatan ini untuk membangun kesepahaman yang sama tentang Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan Bimbingan Teknis Pedoman Teknis Kampanye Pemilihan 2017. “Dana kampanye pasangan calon berasal

52

SUARA KPU September - Oktober 2016

dari partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon itu sendiri, dan sumbangan pihak lain. Untuk pelaporan penerimaan, dan penggunaan dana kampanye adalah bentuk transparansi dan akuntabilitas dari penggunaan dana kampanye tersebut,” ungkap Ketua KPU Kalbar, Umi Rifdiyawaty. Selain itu, KPU juga telah membuat alat bantu yang dapat membantu peserta

pemilihan dalam menyampaikan laporan dana kampanye. Pelaksanaan raker dana kampanye ini diikuti anggota yang membidangi divisi hukum dan kasubbag hukum dari empat belas KPU kabupaten/kota. Pada kegiatan itu, KPU mengundang narasumber dari Perwakilan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan (LKPP) Mulyanto. “Perlu dilakukan audit atas pelaporan dana kampanye peserta pemilihan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota pada pelaksanaan Pilkada Serentak 15 Februari 2017, karena dana yang digunakan merupakan dana publik”, ungkap Mulyanto. (RED)


KIP ACEH

Tiga Balon Perseorangan Aceh Kurang Dukungan Tiga pasangan bakal calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Aceh 2017 dari jalur perseorangan, tidak memenuhi jumlah minimal syarat dukungan. Hal tersebut diketahui saat rapat pleno Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh membahas rekapitulasi dukungan pasangan balon, Kamis (15/9).

P

ada rapat pleno yang dipimpin Ketua KIP Aceh Ridwan Hadi itu dihadiri seluruh komisioner KIP Aceh, komisioner KIP kabupaten/kota, Panwaslih, dan perwakilan pasangan balon perseorangan. Ridwan menyatakan, berdasarkan hasil verifikasi faktual pada ketiga balon, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, pasangan Zakaria Saman dan T. Alaidinsyah memperoleh 73.152 dukungan sah. Pasangan Abdullah Puteh-Sayed Mustafa 73.628 dukungan sah, dan pasangan Zaini Abdullah-Nasaruddin 138.594 dukungan sah.

Ketiga pasangan bakal calon jalur perseorangan dinyatakan tidak memenuhi jumlah minimal syarat dukungan, yaitu 153.045 dukungan.

“Ketiga pasangan bakal calon jalur perseorangan dinyatakan tidak memenuhi jumlah minimal syarat dukungan, yaitu 153.045 dukungan. Untuk memperbaiki kekurangan syarat dukungan, mereka harus menambah dua kali lipat dari jumlah kekurangan,” papar Ridwan. Menurutnya, pasangan balon bisa menyerahkan perbaikan dukungan kepada KIP Aceh pada 29 September hingga 1 Oktober 2016. “Kalau pasangan balon tidak mampu mencukupi batas minimal, mereka berarti tidak memenuhi syarat dan gugur,” kata dia. [Hadi | MC KIP Aceh]

September - Oktober 2016 SUARA KPU

53


S UA R A DA E R A H

KURSUS PEMILU DI GORONTALO

Pemilu Lebih Rumit dari Perang Pemilihan umum seperti perang, karena kegiatan ini sangat banyak melibatkan pengorganisasian orang, namun dengan tingkat kerumitan yang jauh lebih tinggi. Hal itu diungkapkan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Sigit Pamungkas, saat memberikan kursus kepemiluan di Gorontalo, pada 7-8 September lalu.

“D

alam perang pemenang bisa mengorbankan orang lain, sedangkan pemilu tidak boleh ada korban, ibarat pohon saja tidak boleh lecet. Perang boleh mundur waktu pelaksanaannya, sedangkan pemilu waktunya sudah ditentukan dan tidak boleh ditunda,” ujarnya. Karena begitu pentingnya pemilu, kata dia, maka sudah semestinya demokrasi sebagai hal yang mendasari pemilu

54

SUARA KPU September - Oktober 2016

harus diyakini keberadaannya. Demokrasi harus diyakini karena demokrasi akan memberikan titik yang sama pada setiap orang. “Demokrasi juga akan memberikan ruang sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Berbeda dengan sistem otoriter misalnya yang semua ruang sudah ditentukan dan hanya bisa diikuti,” kata Sigit. Ia mengatakan, demokrasi sebenarnya bukan sebagai sistem terbaik di antara yang buruk. Prinsip demokrasi yang setara namun dalam praktik tidak demikian, karena penguasa yang diusung oleh kelompok besar tertentu sering kurang memperhatikan semua rakyatnya dengan porsi yang sama

besar. Demokrasi tidak sepenuhnya sempurna, karena dalam praktik masih menghasilkan penyimpangan. “Namun demokrasi bisa diperbaiki melalui demokrasi sendiri, seperti pelaksanaan affirmative action atau pengecualian. Seperti keterwakilan perempuan dalam pemerintahan, harus dilakukan pengecualian. Demokrasi mengenalkan istilah inklusi, bahwa pembangunan yang dibuat harus memperhatikan kaum marginal yang tidak bisa berkompetisi seperti layaknya orang normal pada umumnya,” terangnya. Sigit berharap, kursus kepemiluan bisa melahirkan cikal bakal bagi komunitas-komunitas yang peduli terhadap pemilu dan demokrasi. Empat embrio komunitas yang sudah terbentuk berdasarkan peminatan, yaitu pengkajian peraturan kepemiluan (Institute of Election Studies), pendidikan pemilih (Jaringan Pendidikan Pemilih), kelompok pemantau (Komunitas Peduli Pemilu) dan kelompok yang peduli terhadap isu-isu tertentu. Komisioner KPU Provinsi Gorontalo, Masparatulangi menyatakan KPU Provinsi Gorontalo bersedia memfasilitasi peserta setelah kursus kepemiluan berakhir. Dia berharap ada keberlanjutan dari peserta kursus untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat, sehingga partisipasi pemilu akan meningkat. (Inna)


September - Oktober 2016 SUARA KPU

55


SUARA SOSOK

KETUA KPU PROVINSI RIAU, DR. NURHAMIN

Inisiasi Ruang Dialog dan Keterbukaan Dr. Nurhamin, ketua KPU Provinsi Riau periode 2013-2018, mengembangkan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan berbagai masalah yang muncul di lingkungan KPU provinsi dan kabupaten/kota di Riau. Bersama rekan komisioner yang lain, beliau menginisiasi adanya ruang dialog dan keterbukaan dalam forum terbatas untuk mengungkap dan mendalami setiap masalah yang melibatkan komisioner. Hal ini bertujuan untuk mencegah masalah menjadi sistemik dan merusak sistem integritas penyelenggara pemilu. 56

SUARA KPU September - Oktober 2016

“K

ami punya metode, namanya bilik pengakuan dan coaching untuk para komisioner kabupaten/kota yang bermasalah. Kami sediakan pula kertas kosong agar mereka menulis semua permasalahan yang terjadi baik menyangkut dirinya maupun lingkungan kerjanya. Dengan begitu kami tahu dan memahami apa sesungguhnya masalah yang mereka hadapi agar dapat dicarikan solusinya sebelum masalahnya membesar dan membahayakan,� ujar Nurhamin saat berbincang-bincang dengan Suara KPU di kawasan Menteng, Selasa (6/9). Mantan Ketua KPU Kabupaten Kampar periode 2003-2008 ini mengatakan pembinaan dilakukan kepada KPU kabupaten/kota yang terindentifikasi bermasalah maupun berpotensi akan bermasalah. Melalui bilik pengakuan yang hanya dihadiri komisioner KPU Provinsi Riau dan KPU kabupaten/ kota yang bermasalah, diharapkan mereka tidak merasa risih untuk mengungkap secara gamblang apa sesungguhnya yang terjadi di lingkungan kerjanya masing-masing. Setelah semuanya terungkap secara terang benderang di bilik pengakuan, sepanjang masalah yang terjadi masih dalam batasbatas toleransi, KPU provinsi memberikan pembinaan agar ke depan komisioner yang bermasalah kinerjanya menjadi lebih baik. Namun masa pembinaan ada batasnya. Jika tanda-tanda untuk berubah ke arah lebih baik tidak kelihatan dan malahan menambah ruwet masalah, maka KPU Provinsi Riau tak segan-segan mengamputasinya. “Itu pernah kejadian di KPU Kabupaten Rokan Hulu. Salah seorang komisionernya menggadaikan mobil dinas. Kami sudah lakukan upaya pembinaan tetapi yang bersangkutan tidak ada niat baik untuk menyelesaikan masalahnya. Akhirnya kami berhentikan sementara dan laporkan ke DKPP untuk diberhentikan secara permanen,� kata Nurhamin. Bagi Nurhamin integritas merupakan sesuatu yang sangat prinsipil dan mengikat setiap penyelenggara pemilu selama 24 jam. Sebagai pihak yang mengelola sirkulasi kekuasaan, anggota KPU perlu menjaga jarak dengan kelompok partisan. Ketika seseorang menjadi komisioner, pergaulannya menjadi terbatas. Kongko-kongko di luar jam kerja


“KPU dengan partai politik sama-sama punya kewajiban untuk membangun konsepsi bernegara, salah satunya melalui pelaksanaan pemilu yang Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). KPU dan partai harus sama-sama punya trust yang kuat agar proses dan hasil pemilu dipercaya,”

dengan kelompok partisan mau tidak mau harus dihindari. “Situasi ini terkadang membuat komisioner jenuh dengan rutinitasnya. Makanya perlu dipikirkan kelompok bermain komisioner. Komunitas itu ya kelompok nonpartai, yang netral seperti teman-teman media, pegiat pemilu dan perguruan tinggi,” ujarnya. Tapi pengertian menjaga jarak dengan kelompok politik bagi Nurhamin bukan berarti memutus hubungan komunikasi dan silaturrahmi. KPU perlu menjaga hubungan baik dengan unsur-unsur politik seperti partai politik. Partai merupakan mitra strategis KPU untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas. Menurutnya semua pihak harus ikut mendorong partai politik sebagai infrastruktur utama demokrasi agar mampu membangun kinerja dan citra yang baik di mata publik. Karena itu, dalam berbagai kesempatan, KPU Provinsi Riau mengundang partai politik untuk hadir dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengurai berbagai persoalan yang terjadi dalam

pemilu dan pilkada seperti kasus politik uang, serta kecurangan dalam pemungutan dan penghitungan suara. “Kita ajak mereka bersama-sama memikirkan solusinya. Karena masalah-masalah itu bisa muncul dari partai politik sebagai peserta pemilu maupun dari penyelenggara. Kita mesti bersinergi untuk menyelesaikannya sehingga demokrasi kita makin berintegritas,” ujarnya. Nurhamin menilai partai politik adalah infrastruktur demokrasi yang paling strategis untuk mewujudkan demokrasi yang mapan. Melalui partai politiklah penanaman ideologi kebangsaan dilakukan. Partai juga menjadi sumber kaderisasi dan rekrutmen politik untuk pengisian jabatan-jabatan publik. Karena itu, kepercayaan publik terhadap partai mesti dijaga dan diupayakan terus meningkat. “KPU dengan partai politik sama-sama punya kewajiban untuk membangun konsepsi bernegara, salah satunya melalui pelaksanaan pemilu yang Luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan Jurdil (jujur, adil). KPU dan partai harus sama-sama punya trust yang kuat agar proses dan hasil pemilu dipercaya,” ujarnya. Nurhamin dan rekannya sesama komisioner di KPU Provinsi Riau sejak dilantik menjadi komisioner pada tahun 2013 telah berkomitmen untuk membuka diri dengan semua elemen masyarakat di daerah itu, termasuk partai politik untuk bersama-sama membangun pemahaman yang baik tentang pemilu dan demokrasi di tengah-tengah masyarakat. “Kami selalu hadir jika diundang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang sistem pemilu dan demokrasi kepada teman-teman partai. Kami menilai partai politik strategis untuk mengedukasi pemilih. Mereka memiliki akar yang kuat di masyarakat. Tapi kalau diundang untuk hadir di acara-acara seremonial, kami tolak,” ujarnya. Di bawah kepemimpinan Nurhamin, KPU Riau juga melakukan pembinaan secara berkala kepada KPU kabupaten/kota melalui metode coaching secara reguler. Pembinaan dan sekaligus peningkatan kapasitas melalui metode coaching bertujuan untuk meningkatkan integritas tata kelola tahapan pemilu dan meminimalisir potensi sengketa. “Tetapi kita antisipasi juga kalaukalau terjadi sengketa. Makanya coaching

juga dilakukan untuk mempersiapkan kabupaten/kota menghadapi sengketa dengan peserta pemilu,” ujarnya. (Geb)

BIODATA

DR. H. NURHAMIN, M.H Tempat Tanggal Lahir : • Kampar, 14 Februari 1973 Riwayat Pendidikan : • Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro 1998 S1 • Hukum Tata Negara Universitas Islam Riau 2007 S2 • Ilmu Politik Fakulti Sain Sosial dan Kemanusian Universiti Kebangsaan Malaysia 2013 S3 Riwayat Pekerjaan : • Ketua KPU Kabupaten Kampar 2003-2008 • Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Kedutaan Besar Republik Indonesia-Kuala Lumpur Malaysia 2009 • Anggota KPU Kabupaten Kampar 2010-2013 • Ketua KPU Provinsi Riau Periode 2014-2019 Riwayat Organisasi : • Ketua Tingkat (komting) Proter 92 Fakultas Peternakan UNDIP Semarang 1998 • Wakil Ketua Rumpun Pelajar Mahasiswa Riau (RPMR) Semarang Universitas Diponegoro-Semarang 1994-1996 • Wakil Ketua BPD Desa KamparKecamatan Kampar 2000-2001 • Anggota Musyawarah Besar Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau utusan Kabupaten Kampar (MUBES-FKPMR) Pekanbaru 2003 September - Oktober 2016 SUARA KPU

57


S UA R A S O S O K

I DEWA KADE WIARSA RAKA SANDI, KETUA KPU PROVINSI BALI

Tugas Pemimpin itu Memberi Contoh KPU Provinsi Bali, di bawah kepemimpinan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, jauh dari isu-isu pelanggaran etik. Sejak memimpin KPU dari tahun 2013 hingga saat ini, tidak ada komisioner dan sekretariat yang diberhentikan karena pelanggaran etik. Justru KPU Bali meraih sejumlah prestasi tingkat nasional. Pada pemilu 2014 dinobatkan sebagai KPU terbaik dalam kreasi sosialisasi dan partisipasi pemilih, transparansi informasi pemilu dan runner up dalam pengelolaan daftar pemilih berkualitas. Bagaimana pola kepemimpinan yang beliau terapkan di lingkungan kerjanya?

M

emimpin sebuah organisasi bu-kan sesuatu yang baru ba-gi I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi. Ketika masih bergelut dengan dunia kemahasiswaan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dewa panggilan akrabnya telah berproses menjadi aktivis dan sekaligus pemimpin organisasi. Dewa pernah menjabat sebagai Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta 1994-1996. Karena itu, ketika Dewa diberi amanah sebagai Ketua KPU Provinsi Bali 2013-2018, beliau memahami betul pentingnya menyatukan

58

SUARA KPU September - Oktober 2016

visi dan misi antar sesama anggota organisasi untuk melahirkan organisasi yang profesional dan berintegritas. “Harus ada penyatuan visi dan misi dulu di antara sesama anggota organisasi. Kita harus sama-sama punya komitmen untuk menguatkan lembaga, melakukan transformasi organisasi menjadi profesional, berintegritas, transparan dan inovatif. Tugas pemimpin adalah memberikan contoh yang baik bagi jajarannya,� ujar Dewa ketika berbin-cang dengan Suara KPU di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (8/10).


“Tetapi jangan pernah melayani peserta pemilu di rumah. Itu yang selalu kita tekankan kepada teman-teman komisioner dan jajaran sekretariat di provinsi dan kabupaten/ kota. Itu bagian dari cara kita untuk menjaga profesionalitas dan integritas,” Dewa mengatakan menjaga integritas lembaga dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pencegahan dan penindakan. “Kami di KPU Bali mengutamakan pencegahan sehingga kasus-kasus pelanggaran kode etik relatif tidak banyak terjadi di Bali,” ujarnya. Metode pencegahan kata Dewa ditempuh melalui penguatan sistem komunikasi, koordinasi dan supervisi. “Pola komunikasi yang kami bangun dengan KPU kabupaten/ kota tidak saja bersifat institusional, tetapi juga personal. Ternyata itu lebih efektif,” ujarnya. Dewa mencontohkan pada Pilkada 2015 lalu di Kabupaten Jembrana terdapat dua SK Kepengurusan partai politik. KPU Provinsi Bali mendapat informasi potensi masalah tersebut lebih awal. Selanjutnya KPU Provinsi Bali menggelar rapat koordinasi di tingkat provinsi untuk menyikapi masalah itu. “Kami bertindak cepat untuk menyelesaikannya. KPU daerahnya kami supervisi. Kami minta mereka konsultasi dengan KPU RI dan melakukan klarifikasi kepengurusan yang sah kepada kepengurusan partai politik di atasnya,” kata Dewa. Di luar itu, sinergi dan hubungan baik antar komisioner dan sekretariat merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan dan target organisasi. Pemahaman dan kesadaran terhadap tugas dan fungsi masing-masing perlu terus dikembangkan. Komisioner harus tahu posisinya sebagai pimpinan yang menangani aspek kebijakan dan manajemen. Urusan kepegawaian, pengadaan barang dan jasa adalah domainnya sekretariat. “Wilayah itu tidak boleh kita campuri, tetapi sebagai pimpinan kita tetap harus mengetahui semua aktivitas kesekretariatan. Tidak boleh juga dibiarkan berjalan begitu saja tanpa ada pengawasan,” ujarnya.

Sebagai lembaga independen yang harus menjaga profesionalitas dan integritasnya, KPU juga tidak bisa melepaskan diri dari interaksi sosial dengan stakeholders lainnya. Komunikasi dan koordinasi dengan partai politik tidak mungkin dihindari. Sebagai peserta pemilu, partai memiliki kepentingan langsung dengan penyelenggaraan pemilu yang dikelola KPU. Agar hubungan komunikasi itu tetap pada track-nya maka KPU perlu mengembangkan interaksi sosial yang sejajar dengan semua stakeholders. Hubungan dengan partai politik dan para caleg tetap harus dijaga dengan baik. Karena itu, bagi Dewa menghadiri kegiatan-kegiatan partai dengan dasar undangan resmi tidak ada masalah. Sama halnya ketika peserta pemilu datang ke kantor KPU untuk mencari informasi dan konsultasi, KPU wajib memberikan pelayanan yang terbaik. “Tetapi jangan pernah melayani peserta pemilu di rumah. Itu yang selalu kita tekankan kepada teman-teman komisioner dan jajaran sekretariat di provinsi dan kabupaten/kota. Itu bagian dari cara kita untuk menjaga profesionalitas dan integritas,” ujarnya. Untuk menginternalisasikan nilai-nilai integritas di jajaran KPU Provinsi Bali, Dewa bersama jajarannya melakukan pendekatan kebudayaan dan keagamaan. Pemahaman terhadap konsep “satya wacana” dan “karmapala” dilakukan secara terus menerus. “Satya wacana” bermakna satunya kata dengan tindakan, sementara “karmapala” bermakna bahwa apa yang kita peroleh sesuai dengan apa yang kita perbuat. Penguatan integritas dengan pendekatan kebudayaan dan keagamaan itu diwujudkan melalui persembahyangan. “Setiap bulan purnama, kami melakukan persembahyangan di KPU provinsi. Pada hari-hari tertentu di KPU kabupaten/kota juga dilakukan persembahyangan di tempat ibadahnya masing-masing,” ujarnya. Selain persembahyangan pada bulan purnama, KPU Provinsi Bali juga menggelar “odalan” yaitu persembahyangan bersama setiap enam bulan sekali atau setahun sekali dengan mengundang KPU kabupaten/ kota. Dalam pelaksanaan tahapan pemilu, KPU Provinsi Bali juga berupaya agar setiap masalah diselesaikan sesuai tingkatannya. Koreksi dari partai politik dan pengawas pemilu dalam proses penghitungan dan rekap diakomodir sepanjang disertai bukti yang cukup. Dewa mengatakan pihaknya berupaya akomodatif sepanjang tidak melanggar aturan. Beliau mencontohkan ketika rekapitulasi penghitungan perolehan suara Pemilu Legislatif 2014 di tingkat provinsi sedang berlangsung, salah satu saksi partai politik merasa tidak puas dengan proses rekap di Kabupaten Jembrana. Saksi partai politik tersebut meminta penghitungan suara ulang di beberapa tempat pemungutan suara (TPS). Tahapan rekap di kabupaten sebetulnya sudah lewat. Bukti-bukti yang diajukan saksi peserta pemilu tersebut juga sebenarnya tidak begitu kuat, tetapi karena ada rekomendasi Panwas, penghitungan ulang tetap dilakukan. Hasilnya tidak ada perubahan dengan hasil penghitungan sebelumnya. “Ini bagian dari upaya kita membangun kepercayaan peserta pemilu terhadap hasil yang kita tetapkan. Tetapi kita ingatkan juga kepada teman-teman peserta agar berhati-hati sebelum mengajukan keberatan,” ujarnya. Media juga menjadi mitra kerja strategis untuk menopang pencapaian tujuan organisasi. KPU Bali senantiasa menjadikan pemberitaan di media massa sebagai sarana untuk mengevaluasi kinerja lembaga. Pemberitaan dan opini yang berkaitan dengan kelembagaan dan kinerja KPU dalam mengelola tahapan Pemilu dan pemilihan didokumentasikan dengan baik. “Pemberitaan dan opini publik di media massa merupakan cermin kepercayaan publik terhadap KPU. Kami menjadikan itu sebagai bahan evaluasi. Kami juga berupaya selalu terbuka kepada media sepanjang informasi itu bukan informasi yang dikecualikan,” ujarnya. (Geb) September - Oktober 2016 SUARA KPU

59


SUARA PILKADA

60

SUARA KPU Septenber - Oktober 2016


337 Paslon Terdaftar di Pilkada 2017 Pendaftaran pasangan calon yang akan maju pada Pilkada Serentak 2017 mendatang telah ditutup. Tercatat ada 337 pasangan calon (paslon) yang terdaftar di 101 daerah yang akan menggelar perhelatan demokrasi.

P

ada 21-23 September 2016 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pen­­­d aftaran pasangan ca­­lon peserta pilkada di tu­­juh provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten di In­do­nesia yang akan melaksanakan pilkada secara serentak pada Februari 2017. Pasangan calon yang mendaftar ada yang dari jalur partai politik, ada pula dari per­seorangan. Sebanyak 247 paslon melalui jalur parpol, dan 90 paslon sisanya melalui jalur perseorangan. Namun, juga September - Oktober 2016 SUARA KPU

61


S UA R A PI L K A DA

ada 6 daerah yang hanya memiliki satu pas­lon mendaftar. Keenam daerah itu adalah Kota Tebing­ tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Ka­ bupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Tambrauw. Data lainnya, di tengah dominasi ca­ lon laki-laki, ada 48 calon perempuan yang siap menarik perhatian pemilih. Rin­ ciannya, 25 orang sebagai calon kepala daerah dan 23 orang menjadi calon wakil kepala daerah. Sementara itu, tercatat ada 105 petahana yang kembali maju dalam pertarungan po­ litik di daerah mereka masing-masing. Dari jumlah itu delapan orang petahana maju se­ bagai calon gubernur, tiga orang wakil gu­ bernur, 55 orang bupati, 15 wakil bupati, 17 wali kota dan tujuh wakil walikota. Tim SuaraKPU berkesempatan me­man­ tau jalannya pendaftaran pasangan calon ini di tiga daerah, Provinsi DKI Jakarta, Pro­ v insi Ban­ ten, dan Kabupaten Bekasi. Berikut rang­ k uman laporan dari ketiga daerah tersebut.

PROVINSI DKI JAKARTA Sebagai ibukota Negara, pilkada di DKI Jakarta tentu saja akan sangat menarik

perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih, pada perhelatan demokrasi ini, pasangan petahana juga kembali ambil bagian sebagai calon kepala daerah yang ingin terus melanjutkan pengabdiannya. Karenanya, pada Rabu (21/9), Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat, mendatangi KPU DKI Jakarta untuk mendaftarkan diri. Keduanya didampingi Presiden RI kelima periode 2001 – 2004 Megawati Soekarnoputri dan empat partai politik pengusung, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sementara itu, pada hari terakhir masa pendaftaran ini, dua pasangan calon mendaftar di KPU DKI Jakarta. Mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni dan Anies Baswedan - Sandiaga Uno. Dengan begitu, di Pilkada DKI Jakarta resmi tercatat tiga pasangan calon yang mendaftar. Pasangan Agus dan Sylviana yang mempunyai latar belakang militer dan pegawai negeri sipil (PNS) di Pemda DKI Jakarta ini diusung Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai

SUMARNO, Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta

Ada dua dokumen yang harus diserahkan, yaitu syarat pencalonan dan syarat calon. Syarat pencalonan terdiri dari keputusan DPP parpol

PASANGAN CALON GUBERNUR DKI JAKARTA

Gubernur Basuki Tjahaja Purnama Wakil Gubernur Djarot Syaiful Hidayat Partai Pendukung

62

SUARA KPU Septenber - Oktober 2016

Gubernur Agus Harimurti Yudhoyono Wakil Gubernur Sylviana Murni Partai Pendukung

Gubernur Anies Rasyid Baswedan Wakil Gubernur Sandiaga Salahuddin Uno Partai Pendukung


Amanat nasional (PAN). Sedangkan pasangan calon yang mendaftar paling terakhir yaitu Anies dan Sandiaga yang merupakan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pengusaha tersebut diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menurut Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno, pihaknya telah membuka pendaftaran selama tiga hari yaitu tanggal 21 – 23 September 2016. Hal ini sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2016 dan Keputusan KPU DKI Jakarta Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017. “Ada dua dokumen yang harus diserahkan, yaitu syarat pencalonan dan syarat calon. Syarat pencalonan terdiri dari keputusan DPP parpol perihal persetujuan mengusung pasangan calon, surat pencalonan yang ditandatangani oleh parpol pengusung, surat kesepakatan antar parpol pengusung dan antara parpol pengusung dengan pasangan calon, dan dokumen kepengurusan parpol di DKI Jakarta,” tutur Sumarno. Setelah itu, KPU DKI Jakarta melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang diserahkan, apabila masih ada kekurangan pasangan calon dapat memperbaiki pada tanggal 4 Oktober 2016. Ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut kemudian melakukan pemeriksaan kesehatan pada tanggal 24 –

25 September 2016 di RSAL Mintohardjo. KPU DKI Jakarta lalu menetapkan pasangan calon pada tanggal 24 Oktober 2016 dan melakukan pengundian nomor urut tanggal 25 Oktober 2016.

PROVINSI BANTEN Di Provinsi Banten, ada dua pasangan calon yang mendaftar ke KPU setempat guna mengikuti kontestasi politik yang digelar Februari 2017. Keduanya adalah Wahidin Halim-Andika Hazrumy dan Rano KarnoEmbay Mulya Syarief. Pasangan WH – Andika menjambangi KPU Provinsi Banten pada hari kedua pendaftaran, Kamis (22/9). Keduanya diusung tujuh partai politik, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra),

Dokumen lainnya yang harus diperbaiki di antaranya tidak adanya soft copy foto, surat keterangan pailit dari pengadilan niaga, dan ijazah dari tingkat SD dan SMP yang harus dilegalisir.

Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan total kursi sebanyak 57 kursi di DPRD Banten. Sedangkan Rano - Embay yang datang ke KPU pada hari terakhir pendaftaran, Jumat (23/9), diantarkan tiga partai politik pengusung, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan total 28 kursi DPRD Banten. Ketua KPU Provinsi Banten, Agus Supriatna, mengatakan, pihaknya akan melakukan verifikasi terhadap berkas pendaftaran pasangan calon. Selain itu, KPU juga telah menunjuk rumah sakit yang akan digunakan untuk pemeriksaan kesehatan yakni RSUD Serang. Terkait dengan berkas syarat pencalonan, Komisioner KPU Provinsi Banten yang juga merangkap Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan, Saeful Bahri mengatakan, hal yang membedakan pasangan calon Rano – Embay dengan pasangan lainnya adalah adanya surat kesediaan cuti yang harus dipenuhi, karena ini merupakan pasangan dari petahana. Selain itu, ada beberapa dokumen yang harus diperbaiki, seperti susunan tim kampanye yang harus ada sampai level kecamatan. Pasangan yang salah satunya berasal dari petahana ini baru menyampaikan tim kampanyenya di tingkat provinsi.

Pendaftaran Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten

September - Oktober 2016 SUARA KPU

63


S UA R A PI L K A DA

Dokumen lainnya yang harus diperbaiki di antaranya tidak adanya soft copy foto, surat keterangan pailit dari pengadilan niaga, dan ijazah dari tingkat SD dan SMP yang harus dilegalisir. “Batas waktu perbaikan berkas sampai 5 Oktober 2016,” tegas Saeful Sementara untuk WH - Andika ada 15 dokumen yang harus diperbaiki, seperti surat keterangan pailit, surat keterangan tidak memiliki tanggungan hutang, dan laporan harta kekayaan dari KPK.

Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Demokrat. “Hari ini adalah batas terakhir pendaftaran pasangan bakal calon. Dengan telah

usainya pendaftaran dari Sa’duddin dan Dhani Ahmad Prasetyo (Ahmad Dhani), maka telah selesai pula pendaftaran pasangan bakal calon di Pilkada Kabupaten Bekasi,” kata Ketua KPU

KABUPATEN BEKASI Untuk Pilkada Kabupaten Bekasi, sebanyak lima pasangan bakal calon telah resmi mendaftar di KPU Kabupaten Bekasi, Jalan Raya Rengas Bandung, Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pendaftaran pasangan calon ini berlangsung selama 21-23 September 2016. Sa’duddin-Ahmad Dhani menjadi pasangan terakhir yang mendaftarkan diri ke kantor KPU Bekasi pada Jumat (23/9) pukul 14.00 WIB. Pasangan ini didukung oleh koalisi Partai

64

SUARA KPU Septenber - Oktober 2016

Pendaftaran Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi


Kabupaten Bekasi, Idham Kholik, Jumat (23/9). Sebelumnya, sudah ada empat pasangan calon lain yang mendaftar di KPU. Bahkan dua pasangan di antaranya maju melalui jalur perseorangan. Keduanya adalah Obon Tabroni-Bambang Sumaryono (Obama), serta Iin Farihin-KH Mahmudin (Imam). Menurut Idham, pasangan Obama mendapatkan dukungan sebanyak lebih dari 143 ribu yang telah terverifikasi secara faktual. Untuk pasangan Iin Farihin-KH Mahmudin juga terverifikasi sebanyak 140 ribu lebih dari syarat minimal 134.683 dukungan.

Sementara pasangan dari jalur parpol yang pertama mendaftar ke kantor KPU Bekasi adalah Meilina Kartika Kadir-Abdul Kholik (Menarik). Bakal pasangan calon Menarik diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Selanjutnya, KPU Bekasi juga menerima pendaftaran bakal pasangan calon dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), yang mengusung Pasangan

Petahana Neneng Hasanah Yasin-Eka Supria Atmaja (Neneng Yes). Idham menerangkan, tahapan selanjutnya pada 25-26 September 2016 KPU Kab Bekasi akan melaksanakan pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Subroto selama dua hari. Penetapan pasangan calon dilakukan tanggal 24 Oktober, sedangkan pengundian nomor urut pada 25 Oktober. Masa kampanye dilangsungkan mulai 28 Oktober 2016 sampai dengan 11 Februari 2017 selama 107 hari. “Nanti kita akan atur baik rapat terbuka, kampanye media, dan sebagainya,� kata dia. (RED)

Pengundian Nomer Urut Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi

September - Oktober 2016 SUARA KPU

65


PEMILU ON TWITTER

66

SUARA KPU September - Oktober 2016


September - Oktober 2016 SUARA KPU

67


SUARA PUSTAKA

Pemilu Serentak Lima Kotak dan Sistem Presidensial

M

endekati Pemilu 2019, diskusi tentang rancang bangun pemilu serentak di kalangan pegiat demokrasi makin intensif. Terbayang kerumitan penyelenggaraan pemilu yang akan dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilih. Jika pemilu legislatif sebelumnya dengan model empat kotak saja sudah ruwet (kotak suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), apalagi digabungkan dengan Pemilu Presiden jelas bertambah ruwet. Pemilu dengan model empat kotak saja yang digelar di negara kita sudah disebut teman-teman pegiat demokrasi sebagai pemilu paling rumit di dunia dan akhirat, apalagi ditambah satu kotak lagi untuk suara Presiden. Terlepas dari kerumitannya, pemilu serentak mulai tahun 2019 harus dilaksanakan. Itu sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat praktik ketatanegaraan pemilu Presiden setelah pemilu legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki dan juga tidak mampu memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dalam buku yang diterbitkan Electoral Research Institute (ERI), Pusat Penelitian Politik (P2Politik) LIPI dan The Australian Electoral Comission (AEC) memaparkan setidaknya terdapat enam varian pemilu serentak. Pertama; pemilu serentak sekaligus, satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi

78

SUARA KPU Juli - Agustus 2016

pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilu Presiden serta pemilukada. Ini disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan. Kedua; pemilu serentak hanya untuk jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Model ini disebut dengan clustered concurrent election. Pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya dan beberapa bulan kemudian diikuti pemilu Presiden, gubernur, bupati/wali kota. Ketiga; pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yang dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Pemilu ini disebut dengan concurrent election with mid-term election. Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Presiden. Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat; pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval atau concurrent election with regional based conccurrent election. Dalam model ini, pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta pemilihan gubernur, bupati/wali kota berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Kelima; pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local election maka pemilihan Presiden bersamaan waktunya

dengan pemilu legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadwal pemilu lokal yang disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota serta memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keenam; pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti dengan selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dari enam varian pemilu serentak tersebut, model ketiga dianggap paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia. Model ini diyakini menimbulkan hubungan eksekutif nasional dan lokal secara baik. Selain itu, model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilu pemilihan eksekutif dan legislatif dan adanya keserasian hubungan eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam sembilan isu utama, yaitu problematika sistem presidensial, pemilu serentak: pengertian dan varian, format ideal Pemilu Serentak 2019, konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu nasional serentak terpisah pemilu lokal serentak, konsekuensi pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal serentak, rancang bangun sistem pemilu nasional serentak, tata kelola pemilu serentak, sistem penegakan hukum pemilu serentak dan rekomendasi.

Judul Buku : Pemilu Nasional Serentak 2019 Editor Syamsudin Haris Penerbit ERI, P2Politik LIPI dan AEC 2015 Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 192 halaman


KPU MENJAWAB

Tanya Bersama ini saya mohon kepada Bapak/Ibu di KPU RI, bahwa saya ingin penjelasan tentang logo pemerintah daerah boleh atau tidaknya dipakai/ digunakan oleh pasangan calon, apalagi paslon ini istri dari walikota yang sekarang masih menjabat. Di PKPU, maupun peraturan lainnya saya melihat aparat sipil Negara harus netralitas dalam pilkada. Namun eloknya lambang/logo pemda tidak dimasukkan di dalam materi sosialisasi paslon, kecuali gambar partai pendukung maupun pengusungnya. Mohon pencerahan apakah logo pemda itu boleh digunakan atau tidak. Terima kasih. EFDI IBRAHIM

Jawab Selamat sore, menanggapi pertanyaan Saudara dapat kami jelaskan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan 29 Peraturan KPU No. 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan KPU No. 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota disebutkan bahwa desain dan materi bahan kampanye dan alat peraga kampanye memuat nama, nomor, visi misi, program, foto pasangan calon, tanda gambar partai politik, dan/atau foto pengurus partai politik atau gabungan partai politik. Masih merujuk pada Pasal 66 Ayat (1) huruf h peraturan yang sama disebutkan bahwa dalam kegiatan kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu, larangan apartur sipil Negara (ASN) untuk terlibat dalam kegiatan kampanye diatur pada Pasal 66 Ayat (2) huruf b. Perlu kami sampaikan pula bahwa kegiatan kampanye berdasarkan Peraturan KPU No. 7 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No. 3 Tahun 2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dilaksanakan mulai tanggal 28 Oktober 2016 sampai dengan 11 Februari 2017 dan khusus untuk kegiatan kampanye melalui media massa, media cetak, dan media elektronik dilaksanakan pada tanggal 29 Januari sampai dengan 11 Februari 2017. Apabila Saudara menemukan adanya pelanggaran dalam kegiatan kampanye, silahkan untuk menghubungi Bawaslu provinsi atau Panwas kabupaten/ kota untuk melaporkan pelanggaran dimaksud. Demikian penjelasan kami dan semoga bermanfaat. Terima kasih.

Tanya Siang KPU, saya Hengky warga Muara Karang, Penjaringan Jakarta Utara. Saya mau lapor istri saya Susan Carmelita belum terdaftar Pilkada 2017. Saya harus lapor ke mana? Terima kasih. Jawab Selamat sore, sesuai dengan Peraturan KPU No. 7 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2016, berkaitan dengan pemutakhiran daftar pemilih, sampai dengan saat ini telah memasuki tahap penyusunan daftar pemilih hasil pemutakhiran. Apabila merasa belum terdaftar dalam daftar pemilih, Saudara masih memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan atas Daftar Pemilih Sementara (DPS) pada tanggal 10 sampai dengan 19 November 2016. Untuk melihat DPS, Saudara dapat mengunjungi panitia pemungutan suara di masing-masing kelurahan setempat atau Saudara dapat pula mengunjungi laman data.kpu.go.id. Terima kasih dan semoga penjelasan kami dapat bermanfaat.

AYO, BERSUARA DALAM DEMOKRASI ! Rubrik “KPU Menjawab� disediakan untuk menampung segala bentuk pertanyaan tentang perkembangan demokrasi di Indonesia. Mohon disertai foto penulis dan biodata lengkap. Tulisan ditujukan ke email : info@kpu.go.id. Diutamakan materi pertanyaan yang berkaitan dengan pelayanan KPU di berbagai daerah

September - Oktober 2016 SUARA KPU

69


SERBA SERBI

Cara Sehat Hindari Gangguan Lambung DR. MAYA SETYAWATI, MKK, SPOK DOKTER FUNGSIONAL MADYA DI KLINIK PRATAMA KPU DAN PRAKTISI

L

ambung yang dalam bahasa Inggris disebut stomach dan maag dalam bahasa Belanda, atau ventrikulus merupakan salah satu organ pencernaan yang berbentuk seperti kantung, yang terletak di bawah sekat rongga badan, di perut bagian kiri atas. Fungsi lambung secara umum adalah tempat makanan dicerna dan sejumlah kecil sarisari makanan diserap. Pada bagian dalam lambung (lapisan mukosa) terdapat sel-sel yang menghasilkan berbagai jenis cairan seperti enzim, asam lambung (asam klorida/HCl) dan hormon. Asam lambung berguna untuk membantu proses pencernaan makanan serta membunuh kuman dan bakteri pada makanan. Namun apabila produksi asam di lambung terus meningkat lebih dari yang dibutuhkan, maka akan menimbulkan gejala gangguan lambung/ sakit maag (dalam istilah medis disebut dyspepsia atau gastritis), sehingga penderita pada umumnya akan merasakan rasa tidak nyaman di daerah ulu hati, rasa begah, kembung dan cepat kenyang, sering bersendawa, rasa nyeri dan perih di ulu hati, mual, hingga muntah-muntah. Selain karena produksi asam lambung yang meningkat, gangguan lambung ini juga dapat disebabkan oleh menurunnya daya tahan dinding lambung terhadap pengaruh luar.

70

SUARA KPU September - Oktober 2016


Beberapa kondisi yang menyebabkan peningkatan produksi asam lambung maupun menurunnya daya tahan dinding lambung terhadap pengaruh luar pada umumnya diakibatkan pola makan yang tidak teratur, pemilihan konsumsi menu makanan yang kurang tepat (makanan yang asam dan pedas), minum alkohol, kopi dan minuman bersoda, mengkonsumsi obatobatan tertentu, merokok, pola tidur yang tidak teratur serta stres. Gangguan lambung dapat mengenai siapa saja dan banyak diderita masyarakat. Walaupun gangguan lambung “tidak membahayakan“ untuk keselamatan jiwa, tapi akan menyebabkan aktifitas seharihari penderitanya terganggu. Apalagi jika penderita gangguan lambung merupakan kelompok umur produktif, yang berperan sebagai pencari nafkah baik untuk dirinya maupun keluarganya. Suatu penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan angka kejadian gangguan lambung (gastritis) di kota Medan mencapai 91,6%, Jakarta 50%, Denpasar 46%, Palembang 35,5%, Bandung 32,5%, Aceh 31,7%, Surabaya 31,2% dan Pontianak 31,1% (Sulastri, 2012). Agar dapat terus beraktivitas dan terhindar dari gangguan lambung, maka dianjurkan untuk memperhatikan hal-hal

sebagai berikut : Hindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang kurang baik untuk kesehatan lambung, seperti : 1. Minuman yang merangsang pengeluaran asam lambung antara lain: kopi, anggur putih, sari buah sitrus dan susu. 2. Makanan yang sangat asam atau pedas seperti cuka, cabai, dan merica (makanan yang merangsang perut dan dapat merusak dinding lambung). 3. Makanan yang sulit dicerna dan dapat memperlambat pengosongan lambung. Karena hal ini dapat menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat meningkatkan asam lambung antara lain makanan berlemak, kue, tar, coklat, dan keju. 4. Makanan yang melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan seperti alkohol, coklat, makanan tinggi lemak dan gorengan. 5. Makanan dan minuman yang banyak mengandung gas, antara lain: Sayursayuran tertentu seperti sawi dan kol. Buah-buahan tertentu seperti nangka dan pisang ambon. Makanan berserat tinggi tertentu seperti kedondong dan buah yang dikeringkan. Minuman yang mengandung banyak gas (seperti

A

Aceh

minuman bersoda). Aturlah pola makan dengan makan secara teratur setiap harinya, jangan membiarkan perut kosong/tidak terisi makanan dalam jangka waktu yang terlalu lama. Pilihlah jenis makanan yang tidak merangsang pengeluaran asam lambung secara berlebihan. Menjaga pola kerja dan istirahat yang seimbang, tidur cukup dan teratur setiap hari. Sedapat mungkin menghindari stres, baik akibat beban pekerjaan, masalah keluarga, maupun akibat berlalu lintas di jalan. Berkonsultasi dengan dokter sebelum mengkonsumsi obat untuk mengatasi keluhan tertentu seperti mengatasi nyeri. Beberapa obat pereda nyeri dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan dinding lambung, sehingga yang mengkonsumsi rentan mengalami gangguan lambung. Hindari aktivitas yang meningkatkan gas di dalam lambung, antara lain makan permen khususnya permen karet serta merokok. Selamat menerapkan langkahlangkah di atas, semoga kita terus dapat beraktivitas tanpa menderita gangguan lambung.

B C D E

F

RISET KEMENTERIAN KESEHATAN RI ANGKA KEJADIAN GANGGUAN LAMBUNG (GASTRITIS)

31,7% Kota Medan

91,6%

Pontianak

31,1%

Jakarta 50% Denpasar

Bandung 32,5%

46%

Sumber : 1.

Ari Fahrial Syam dalam Perspektif Baru, Edisi 731, 29 Maret 2010.

2.

Sulastri S, dkk. Gambaran Pola Makan Penderita Gastritis di Wilayah Kerja Puskesmas Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar Riau Tahun 2012. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.

Dyspepsia� at Dorland’s Medical Dictionary September Mei - Oktober - Juni 2016 SUARA KPU

71


SUARA SELEBRITY

Gencar Sosialisasikan Bahaya Narkoba

B

agi Kezia Roslin Cikita Warouw, bersentuhan langsung dengan barang haram narkoba adalah pengalaman baru untuknya. Namun tugas sebagai duta anti narkoba yang diembannya

72

SUARA KPU September - Oktober 2016

kini membuat dirinya harus terbiasa untuk menyosialisasikan bahayanya kepada masyarakat. Menurut Putri Indonesia 2016 tersebut dampak negatif narkoba bagi tubuh manusia sangat luar biasa. Karena itu masyarakat harus paham dan mengerti untuk tidak sekalipun mencoba atau menggunakannya. “Tadi dites laboratorium saja warnanya bisa berubah dan kalau itu perubahan warna tadi ada di diri kita bagaimana,” ucap Kezia beberapa waktu lalu. Kezia prihatin dengan peredaran narkoba saat ini di masyarakat. Terlebih sebagai perempuan, ia sedih dengan banyaknya keterlibatan kaum hawa dalam peredaran barang haram tersebut. “Sebagai perempuan setidaknya saya juga bisa merasakan bahwa dampaknya itu tidak hanya pada generasi muda, pada pria, tapi ternyata para ibu, wanita juga bisa dilibatkan,” kata Kezia. Menurut Kezia ada banyak sebab kenapa masyarakat bisa terlibat dalam peredaran narkoba. Kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan menurut gadis berusia 25 tahun itu sebagai salah satu sebab. “Meski itu tidak boleh menjadi pembenaran juga,” tuturnya. Kedua, posisi perempuan yang selalu tidak berdaya menjadi celah bagi bandar narkoba untuk memperdayanya. Kondisi ini hanya dapat diatasi dengan peran serta semua pihak menjaga perempuan dari jeratan narkoba. “Mereka (bandar) pintar menjebak para wanita dengan sisi keuangan sepertinya bisa diperdaya, ketulusan ternyata itu hanya diperdaya,” imbuhnya. Padahal perempuan menurut Kezia adalah benteng bagi keluarga. Apabila perempuan sudah dihancurkan, maka bahaya yang dapat timbul adalah masa depan generasi bangsa yang dikhawatirkan. “Ke depanya seperti apa, kalau sudah dipengaruhi seperti ini. Bangsa Indonesia akan jadi seperti apa nantinya,” kata Kezia. Oleh karenanya, perempuan kelahiran Jakarta 18 April 1991 itu bertekad tidak akan surut untuk terus menyosialisasikan bahaya narkoba ke masyarakat. Tidak hanya untuk kalangan pria, tapi juga perempuan. “Pastinya anak-anak juga. Sebagai duta, saya hanya bisa berbagi pengalaman yang saya peroleh dan saya ingin menyuarakan sesuatu, dampaknya yang sangat berbahaya bagi diri mereka sendiri,” lugasnya. (DR)


Kembangkan Diri di Dunia Seni Peran

A

rtis pendatang baru, Amanda Rawles, mengaku sangat menikmati kesibukannya saat ini sebagai pekerja seni. Dara kelahiran 25 Agustus 2000 tersebut kini tengah menekuni sejumlah judul sinetron dan film layar lebar. Ditemui beberapa waktu lalu, saudara kandung pesinetron Annisa Rawles tersebut, menilai seni peran sebagai sarana pengaplikasian diri dan bakat yang sudah digelutinya selama ini. “Aku pilih film karena suatu karya yang bisa dibilang i do it dengan maksimal. Sinetron seperti selewat-selewat,” kata Amanda. Meski demikian, ia juga mengaku tidak menerima peran di semua judul sinetron dan film begitu saja. Baginya, ada sejumlah kriteria yang harus dilihat sebelum memutuskan ikut memerankan tokoh yang ditawarkan. Beberapa di antaranya seperti jalan cerita, karakter, serta peran yang akan dimainkannya. “Untuk saat ini aku ingin lebih banyak main bareng pemain senior untuk menyesuaikan akting aku sama mereka,” tuturnya. Beberapa nama artis yang diidolakannya untuk main bersama adalah Reza Rahadian, Dian Sastro serta Chelsea Islan. Ketiganya menurut Amanda memang belum pernah satu frame dengannya baik di sinetron maupun film. Untuk saat ini, Amanda tengah merampungkan satu film berjudul Promise. Film bergenre drama percintaan ini adalah judul keenam yang diikutinya, sejak memutuskan untuk terjun di dunia seni peran. Di Promise, salah satu latarnya mengambil syuting di luar negeri. Amanda mengaku jika hal itu menjadi pengalaman baru untuknya. Selain juga berkesempatan beradu akting dengan Aktor Dimas Anggara. “Syuting di Italia Agustus kemarin. Dan akting di luar negeri itu adalah yang pertama kalinya,” ungkap Amanda. Melalui film ini, Amanda berharap kualitas aktingnya semakin terasah dan penonton yang akan menikmati filmnya akan terpuaskan. “Karena challenge banget aku meraninnya,” pungkasnya. (DR)

September - Oktober 2016 SUARA KPU

73


SUARA PUSTAKA

Pemilu Serentak Lima Kotak dan Sistem Presidensial

M

endekati Pemilu 2019, diskusi tentang rancang bangun pemilu serentak di kalangan pegiat demokrasi makin intensif. Terbayang kerumitan penyelenggaraan pemilu yang akan dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilih. Jika pemilu legislatif sebelumnya dengan model empat kotak saja sudah ruwet (kotak suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), apalagi digabungkan dengan Pemilu Presiden jelas bertambah ruwet. Pemilu dengan model empat kotak saja yang digelar di negara kita sudah disebut teman-teman pegiat demokrasi sebagai pemilu paling rumit di dunia dan akhirat, apalagi ditambah satu kotak lagi untuk suara Presiden. Terlepas dari kerumitannya, pemilu serentak mulai tahun 2019 harus dilaksanakan. Itu sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat praktik ketatanegaraan pemilu Presiden setelah pemilu legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki dan juga tidak mampu memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dalam buku yang diterbitkan Electoral Research Institute (ERI), Pusat Penelitian Politik (P2Politik) LIPI dan The Australian Electoral Comission (AEC) memaparkan setidaknya terdapat enam varian pemilu serentak. Pertama; pemilu serentak sekaligus, satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi

78

SUARA KPU Juli - Agustus 2016

pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilu Presiden serta pemilukada. Ini disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan. Kedua; pemilu serentak hanya untuk jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Model ini disebut dengan clustered concurrent election. Pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya dan beberapa bulan kemudian diikuti pemilu Presiden, gubernur, bupati/wali kota. Ketiga; pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yang dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Pemilu ini disebut dengan concurrent election with mid-term election. Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Presiden. Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat; pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval atau concurrent election with regional based conccurrent election. Dalam model ini, pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta pemilihan gubernur, bupati/wali kota berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Kelima; pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local election maka pemilihan Presiden bersamaan waktunya

dengan pemilu legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadwal pemilu lokal yang disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota serta memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keenam; pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti dengan selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dari enam varian pemilu serentak tersebut, model ketiga dianggap paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia. Model ini diyakini menimbulkan hubungan eksekutif nasional dan lokal secara baik. Selain itu, model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilu pemilihan eksekutif dan legislatif dan adanya keserasian hubungan eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam sembilan isu utama, yaitu problematika sistem presidensial, pemilu serentak: pengertian dan varian, format ideal Pemilu Serentak 2019, konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu nasional serentak terpisah pemilu lokal serentak, konsekuensi pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal serentak, rancang bangun sistem pemilu nasional serentak, tata kelola pemilu serentak, sistem penegakan hukum pemilu serentak dan rekomendasi.

Judul Buku : Pemilu Nasional Serentak 2019 Editor Syamsudin Haris Penerbit ERI, P2Politik LIPI dan AEC 2015 Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 192 halaman


SUARA PUSTAKA

Pemilu Serentak Lima Kotak dan Sistem Presidensial

M

endekati Pemilu 2019, diskusi tentang rancang bangun pemilu serentak di kalangan pegiat demokrasi makin intensif. Terbayang kerumitan penyelenggaraan pemilu yang akan dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilih. Jika pemilu legislatif sebelumnya dengan model empat kotak saja sudah ruwet (kotak suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), apalagi digabungkan dengan Pemilu Presiden jelas bertambah ruwet. Pemilu dengan model empat kotak saja yang digelar di negara kita sudah disebut teman-teman pegiat demokrasi sebagai pemilu paling rumit di dunia dan akhirat, apalagi ditambah satu kotak lagi untuk suara Presiden. Terlepas dari kerumitannya, pemilu serentak mulai tahun 2019 harus dilaksanakan. Itu sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat praktik ketatanegaraan pemilu Presiden setelah pemilu legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki dan juga tidak mampu memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dalam buku yang diterbitkan Electoral Research Institute (ERI), Pusat Penelitian Politik (P2Politik) LIPI dan The Australian Electoral Comission (AEC) memaparkan setidaknya terdapat enam varian pemilu serentak. Pertama; pemilu serentak sekaligus, satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi

pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilu Presiden serta pemilukada. Ini disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan. Kedua; pemilu serentak hanya untuk jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Model ini disebut dengan clustered concurrent election. Pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya dan beberapa bulan kemudian diikuti pemilu Presiden, gubernur, bupati/wali kota. Ketiga; pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yang dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Pemilu ini disebut dengan concurrent election with mid-term election. Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Presiden. Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat; pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval atau concurrent election with regional based conccurrent election. Dalam model ini, pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta pemilihan gubernur, bupati/wali kota berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Kelima; pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local election maka pemilihan Presiden bersamaan waktunya

dengan pemilu legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadwal pemilu lokal yang disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota serta memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keenam; pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti dengan selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dari enam varian pemilu serentak tersebut, model ketiga dianggap paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia. Model ini diyakini menimbulkan hubungan eksekutif nasional dan lokal secara baik. Selain itu, model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilu pemilihan eksekutif dan legislatif dan adanya keserasian hubungan eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam sembilan isu utama, yaitu problematika sistem presidensial, pemilu serentak: pengertian dan varian, format ideal Pemilu Serentak 2019, konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu nasional serentak terpisah pemilu lokal serentak, konsekuensi pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal serentak, rancang bangun sistem pemilu nasional serentak, tata kelola pemilu serentak, sistem penegakan hukum pemilu serentak dan rekomendasi.

Judul Buku : Pemilu Nasional Serentak 2019 Editor Syamsudin Haris Penerbit ERI, P2Politik LIPI dan AEC 2015 Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 192 halaman September - Oktober 2016 SUARA KPU

75


SUARA PUBLIK

Menilai Integritas KPU I ntegritas menjadi hal yang wajib dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, karena kinerja KPU sangat menentukan masa depan bangsa. Melalui pemilu, rakyat menentukan siapa sosok yang akan menjadi pemimpin maupun wakilnya di parlemen. Kepercayaan masyarakat terhadap proses dan pelaksanaan pemilu sangat bergantung pada integritas KPU. Sebab hasil pemilu yang berkualitas hanya akan tercapai dari pemilu yang digelar oleh penyelenggara berintegritas. Integritas penyelenggara pemilu akan memberikan rasa aman dan tentram bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam jalannya

76

SUARA KPU September - Oktober 2016

demokrasi. Masyarakat mendapat jaminan kebebasan menentukan pilihan melalui pemilu yang terselenggara dengan langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Jika itu terpenuhi, masyarakat akan menerima dan percaya atas hasil pemilu. Pada gilirannya, kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu ini berimbas pada kepercayaan terhadap negara. Hal ini menjadi modal utama bangsa mempererat tali persatuan dan kesatuan untuk maju sebagai bangsa yang besar, berdaulat, adil dan makmur. Semua itu, bermula dari integritas KPU dalam mengawal demokrasi melalui pelaksanaan pemilu. Bagaimana Anda melihat integritas KPU saat ini?


DIDHI MANAKARRA, Aktivis Media Sosial, Ciputat Setahu saya, integritas itu salah satunya terkait dengan konsistensi dan menjunjung tinggi komitmen serta nilai-nilai luhur. Sejauh ini, dari Pemilu 2014 sampai sekarang, tidak ada masalah besar yang meragukan integritas KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kalau ada orang yang berpandangan miring ya wajar karena pasti KPU tidak bisa memuaskan semua pihak. Kontestan yang kalah dalam pemilu atau pilkada pasti kecewa. Tapi kalau mereka (peserta pemilu/pilkada) itu merasa punya alasan yang kuat untuk mempermasalahkan KPU terkait netralitas, misalnya, kan sudah ada jalur hukumnya. Tinggal perkarakan saja. Buktikan. Kalau KPU memihak salah satu peserta pemilu misalnya, semua orang juga bakal menghakimi. Bisa lewat pengaduan ke pengadilan, bisa lewat bully di media sosial dan seterusnya. Jaman sekarang semua sudah terbuka. Secara umum dan keseluruhan, integritas KPU sudah oke.

MEITA SAGITA, Karyawan Swasta, Depok Pernah sih kecewa sama KPU karena calon yang saya dukung kalah. Ya wajar kan kecewa? Tapi paling tidak saat ini KPU sudah lebih mandiri, independen. Meski lembaga ini pakai uang negara, tapi keberadaannya dalam tugas dan kerjanya, lepas dari campur tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jadi masyarakat lebih percaya, dibanding jaman dulu KPU kayak menjadi bagian dari pemerintah. Maksudnya (saat ini) ada jarak antara KPU dengan penguasa maupun pihak lainnya. Kalau ada yang tidak netral itu oknum. Namanya oknum kan di lembaga manapun yang banyak orangnya pasti ada oknum itu. Tapi yang penting secara kelembagaan dan sistemnya sudah baik, terbuka atau transparan, kerjanya juga baik. Karena terbuka, semua orang tahu apa yang dilakukan KPU. Kalau ada masalah, semua pihak juga dapat memberikan penilaian. Kesimpulannya, KPU bisa menjaga integritasnya.

BUDI SUTIYONO, Biker Integritas itu antara perkataan dan perbuatan itu selaras. Tidak ada yang abai antara perkataanya dan tindakannya. Kalau hitam ya hitam, kalau putih ya putih. KPU Rl telah berhasil menjadi lembaga negara yang dihormati karena pilkada serentak pada tahun lalu dapat berjalan dengan lancar.

RISWANDI,

Dinas Pariwisata Natuna

Integritas adalah sebuah nilai yang selalu menjadi dasar untuk menjamin kejujuran nilai-nilai lainnya. Integritas KPU RI dalam menyelenggarakan Pemilu 2014 serta Pilkada Serentak 2015 perlu diapresiasi. Mudah-mudahan integritas KPU RI dapat tertular ke KPU-KPU di daerah.

FAHMI MUNANDAR,

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

KPU RI periode ini menurut saya KPU paling baik. Bisa dilihat dari lancarnya penyelenggaraan Pemilu 2014 dan Pilkada Serentak 2015.

September - Oktober 2016 SUARA KPU

77


REFLEKSI

GEBRIL DAULAI Tenaga Ahli Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

Memperkuat Jangkar Integritas KPU

I

ntegritas pemilu merupakan sesuatu yang

Begitu strategisnya integritas penyeleng-gara

fundamental dalam upaya mewujudkan

pemilu dalam menjaga tatanan de-mokrasi maka

demokrasi

Integritas

sudah semestinya Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Dalam pelembagaan etika itu, sosialisasi dan

pemilu menjadi pembeda antara rezim

dan jajarannya secara terus menerus memperkuat

internalisasi secara teratur dan kontinu kepada

pemerintahan

menggunakan

jangkar integritasnya. Jangkar integritas KPU

semua satuan kerja mutlak diperlukan. Sosialisasi

demokrasi sebagai kedok legitimasi kekuasaan saja

harus memiliki “massa jenis� yang lebih besar

dilakukan melalui instruksi dan motivasi dari

dengan peme-rintahan yang sungguh-sungguh

dan kuat dari gelombang dan eskalasi politik yang

unsur pimpinan, sementara internalisasi diperkuat

menjadikan demokrasi sebagai sumber legitimasi

terus mendidih di penghujung musim pancaroba

melalui kegiatan orientasi untuk meningkatkan

untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

demokrasi yang tengah kita alami saat ini, sehingga

kompetensi personal. Pengujian terhadap hasil

Salah satu aspek yang berhubungan de-

perahu demokrasi kita dapat melewati gelombang

orientasi

ngan integritas pemilu adalah integritas penye-

besar dan ganas menuju tahap konsolidasi dan

pemberian tugas dan tanggung jawab dalam

lenggaraan pemilu. Aspek ini terkait dengan dua

stabilisasi.

mengelola tahapan pemilu.

substantif. yang

secara konsekuen, dan tidak adanya konflik internal dalam jangka waktu yang panjang.

tersebut

dapat

dilakukan

melalui

hal, yaitu integritas proses pemilu dan integritas

Pelembagaan kode etik di internal KPU

hasil pemilu. Integ-ritas proses pemilu mencakup

merupakan salah satu jangkar yang dapat men-

dan

integritas

pencalonan,

jaga integritas. KPU bersama penyelenggara

pimpinan adalah hal yang utama. Etika akan

kampanye dan pemberian suara di tempat

pemilu lainnya, yaitu Bawaslu dan DKPP telah

menginspirasi dan berpengaruh besar pada orang

pemungutan suara. Sementara integritas hasil

merumuskan kode etik penyelenggara pemilu

lain jika perilaku pemimpinnya sesuai dengan

pemilu mencakup integritas penghitungan suara,

dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP

pesan etika organisasi. Maka tugas pimpinan

rekapitulasi suara dan penetapan calon terpilih.

Nomor 13, 11, 1 Tahun 2012. Regulasi etik tersebut

KPU di setiap jenjang untuk menjadi role model

pendaftaran

pemilih,

Namun dari keseluruhan aktivitas sosialisasi internalisasi

etik

tersebut,

keteladanan

Bekerjanya integritas penyelenggaraan pemilu

bukan sekadar untuk dibaca dan dipahami, tetapi

dan pusat gravitasi untuk menarik dan menggeser

erat kaitannya dengan integritas penyelenggara

diimplementasikan pada keseluruhan aktivitas

keadaan

pemilu. Ibarat aliran sungai, integritas penyele-

kelembagaan.

level kesadaran dan kepatuhan yuridis menuju

jajaran

penyelenggara

pemilu

dari

nggara adalah hulunya, sementara integritas

Pelembagaan etika tersebut dibutuhkan agar

kesadaran dan kepatuhan etis.

penyelenggaraan adalah muaranya. Hulu yang

pergantian kepemimpinan tidak memengaruhi

Tetapi seberapa kuat pun internal KPU

tercemar otomatis akan turut mengkontaminasi

jangkar integritas KPU. Piranti-piranti integritas

merawat jangkar integritasnya, upaya pihak luar

ekosistem sepanjang aliran sungai sampai ke

yang tengah dibangun seperti zona integritas

untuk menggerusnya tidak akan pernah berhenti

muara.

menuju wilayah bebas korupsi, sistem pengendalian

sepanjang pemilu ada. Pelanggaran dan kejahatan

Hal serupa berlaku dalam penyelenggaraan

internal dan unit pengendalian gratifikasi harus

pemilu seperti kejahatan pada umumnya akan

pemilu. Pengabaian aspek integritas dalam tata

terus disemai dan dipupuk agar berkembang dan

terus bermetamorfosis untuk melawan sistem

kelolanya akan menciderai kedaulatan rakyat.

berurat akar ke semua jenjang kelembagaan KPU.

imunitas yang dibangun oleh KPU sebagai

Suara yang mereka berikan secara rahasia di bilik

Dengan demikian, etika sebagai jangkar integritas

lembaga yang diberi mandat oleh konstitusi

suara menjadi tidak berharga karena terdistorsi

tidak saja menjadi ciri individual tetapi identitas

untuk menyelenggarakan pemilu yang luber dan

oleh kecurangan dan manipulasi. Pemimpin

kolektif.

jurdil. Karena itu, penting pula bagi KPU dan

politik dan pemerintahan yang terpilih lewat cara-

Pada akhirnya pelembagaan etika sebagai

jajarannya memahami anatomi pelanggaran dan

cara curang dan manipulatif dapat dipastikan

sebagai salah satu jangkar integritas akan terefleksi

kejahatan pemilu. Dengan demikian, KPU mampu

akan menghasilkan kebijakan yang manipulatif

pada pencapaian value and stability atau nilai dan

berinovasi secara terus menerus untuk membuat

dan menyengsarakan rakyat. Sejumlah studi

stabilitas kelembagaan KPU yang dicirikan oleh

sistem imunitas yang mampu menangkis semua

menunjukkan

memiliki

personal birokrasi yang kompeten secara teknis,

pengaruh buruk baik dari dalam maupun luar

hubungan yang erat dengan kebijakan ekonomi

yuridis dan etis, kepemimpinan yang tangguh,

KPU.

serta pemerintahan yang buruk.

aturan yang lengkap dan dapat dilaksanakan

78

kecurangan

pemilu

SUARA KPU September - Oktober 2016

(*)


SUARA PUSTAKA

Pemilu Serentak Lima Kotak dan Sistem Presidensial

M

endekati Pemilu 2019, diskusi tentang rancang bangun pemilu serentak di kalangan pegiat demokrasi makin intensif. Terbayang kerumitan penyelenggaraan pemilu yang akan dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilih. Jika pemilu legislatif sebelumnya dengan model empat kotak saja sudah ruwet (kotak suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), apalagi digabungkan dengan Pemilu Presiden jelas bertambah ruwet. Pemilu dengan model empat kotak saja yang digelar di negara kita sudah disebut teman-teman pegiat demokrasi sebagai pemilu paling rumit di dunia dan akhirat, apalagi ditambah satu kotak lagi untuk suara Presiden. Terlepas dari kerumitannya, pemilu serentak mulai tahun 2019 harus dilaksanakan. Itu sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat praktik ketatanegaraan pemilu Presiden setelah pemilu legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki dan juga tidak mampu memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dalam buku yang diterbitkan Electoral Research Institute (ERI), Pusat Penelitian Politik (P2Politik) LIPI dan The Australian Electoral Comission (AEC) memaparkan setidaknya terdapat enam varian pemilu serentak. Pertama; pemilu serentak sekaligus, satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi

78

SUARA KPU Juli - Agustus 2016

pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilu Presiden serta pemilukada. Ini disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan. Kedua; pemilu serentak hanya untuk jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Model ini disebut dengan clustered concurrent election. Pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya dan beberapa bulan kemudian diikuti pemilu Presiden, gubernur, bupati/wali kota. Ketiga; pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yang dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Pemilu ini disebut dengan concurrent election with mid-term election. Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Presiden. Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat; pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval atau concurrent election with regional based conccurrent election. Dalam model ini, pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta pemilihan gubernur, bupati/wali kota berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Kelima; pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local election maka pemilihan Presiden bersamaan waktunya

dengan pemilu legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadwal pemilu lokal yang disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota serta memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keenam; pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti dengan selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dari enam varian pemilu serentak tersebut, model ketiga dianggap paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia. Model ini diyakini menimbulkan hubungan eksekutif nasional dan lokal secara baik. Selain itu, model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilu pemilihan eksekutif dan legislatif dan adanya keserasian hubungan eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam sembilan isu utama, yaitu problematika sistem presidensial, pemilu serentak: pengertian dan varian, format ideal Pemilu Serentak 2019, konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu nasional serentak terpisah pemilu lokal serentak, konsekuensi pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal serentak, rancang bangun sistem pemilu nasional serentak, tata kelola pemilu serentak, sistem penegakan hukum pemilu serentak dan rekomendasi.

Judul Buku : Pemilu Nasional Serentak 2019 Editor Syamsudin Haris Penerbit ERI, P2Politik LIPI dan AEC 2015 Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 192 halaman


SUARA PUSTAKA

Pemilu Serentak Lima Kotak dan Sistem Presidensial

M

endekati Pemilu 2019, diskusi tentang rancang bangun pemilu serentak di kalangan pegiat demokrasi makin intensif. Terbayang kerumitan penyelenggaraan pemilu yang akan dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilih. Jika pemilu legislatif sebelumnya dengan model empat kotak saja sudah ruwet (kotak suara DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota), apalagi digabungkan dengan Pemilu Presiden jelas bertambah ruwet. Pemilu dengan model empat kotak saja yang digelar di negara kita sudah disebut teman-teman pegiat demokrasi sebagai pemilu paling rumit di dunia dan akhirat, apalagi ditambah satu kotak lagi untuk suara Presiden. Terlepas dari kerumitannya, pemilu serentak mulai tahun 2019 harus dilaksanakan. Itu sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditetapkan melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013. MK berpendapat praktik ketatanegaraan pemilu Presiden setelah pemilu legislatif tidak mampu menjadi alat transformasi sosial yang dikehendaki dan juga tidak mampu memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Dalam buku yang diterbitkan Electoral Research Institute (ERI), Pusat Penelitian Politik (P2Politik) LIPI dan The Australian Electoral Comission (AEC) memaparkan setidaknya terdapat enam varian pemilu serentak. Pertama; pemilu serentak sekaligus, satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi

78

SUARA KPU Juli - Agustus 2016

pemilu legislatif (DPR, DPD dan DPRD), pemilu Presiden serta pemilukada. Ini disebut dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu borongan. Kedua; pemilu serentak hanya untuk jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Model ini disebut dengan clustered concurrent election. Pemilu DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan seperti selama ini dilakukan bersamaan sesuai waktunya dan beberapa bulan kemudian diikuti pemilu Presiden, gubernur, bupati/wali kota. Ketiga; pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, yang dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Pemilu ini disebut dengan concurrent election with mid-term election. Dalam model ini pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Presiden. Sementara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat; pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval atau concurrent election with regional based conccurrent election. Dalam model ini, pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta pemilihan gubernur, bupati/wali kota berdasarkan pengelompokan wilayah kepulauan tertentu. Kelima; pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Dengan model concurrent election with flexible concurrent local election maka pemilihan Presiden bersamaan waktunya

dengan pemilu legislatif untuk DPR dan DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari siklus maupun jadwal pemilu lokal yang disepakati bersama diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota serta memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keenam; pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti dengan selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi. Dari enam varian pemilu serentak tersebut, model ketiga dianggap paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia. Model ini diyakini menimbulkan hubungan eksekutif nasional dan lokal secara baik. Selain itu, model ini memiliki kekuatan adanya kaitan hasil antara pemilu pemilihan eksekutif dan legislatif dan adanya keserasian hubungan eksekutif pada tingkatan pusat dan daerah. Buku ini secara garis besar dibagi ke dalam sembilan isu utama, yaitu problematika sistem presidensial, pemilu serentak: pengertian dan varian, format ideal Pemilu Serentak 2019, konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu nasional serentak terpisah pemilu lokal serentak, konsekuensi pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal serentak, rancang bangun sistem pemilu nasional serentak, tata kelola pemilu serentak, sistem penegakan hukum pemilu serentak dan rekomendasi.

Judul Buku : Pemilu Nasional Serentak 2019 Editor Syamsudin Haris Penerbit ERI, P2Politik LIPI dan AEC 2015 Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 192 halaman


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.