jurnal islam

Page 1

Vol. 2 N0. 1

ISSN: 2087-2178

Maret 2011

AL-INFAQ JURNAL EKONOMI ISLAM Peran Strategis Organisasi Zakat dalam Menguatkan Zakat di Dunia Didin Hafidhuddin

Globalisasi dan Tantangan bagi Sistem Keuangan Islam: Perspektif Filsafat Ekonomi Islam Bambang Wahyu

The Impact of US Monetary Policy and Stock Markets toward Indonesia Stock Markets Muhamad Abduh

Analisa Tingkat Pengembalian Pembiayaan Bank Syariah yang Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Bank Konvensional: Studi Kasus Malaysia Laily Dwi Arsyianti dan Irfan Syauqi Beik

Determinants of Banking Credit Default in Indonesia: A Comparative Analysis Muhammad Imaduddin

Musyarakah, Mudharabah dan Pertumbuhan Sektor Riil Hilman Hakiem dan Desi Silfiaratih Waluyo 1


Vol. 2 No. 1

ISSN: 2087-2178

Maret 2011

DEWAN REDAKSI JURNAL EKONOMI ISLAM AL-INFAQ Vol. 2 No. 2 Maret 2011 Penanggungjawab: H. Ahmad Sobari, Lc, M.Ag Dewan Pakar: Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, Dr. H. Ibdalsyah, M.A., Dr. H. Fahrudin Sukarno, Dr. H. Irfan Syauqi Beik, Dr. A Mulyadi Kosim, H. Hendri Tanjung, S.Si., M.M., M.Ag., M.Phil, Ph.D (ABD), Muhamad Abduh, MEc., Laily Dwi Arsyianti, S.E., M.Sc. Pemimpin Redaksi: Hilman Hakiem, S.P., M.E.I Anggota Dewan Redaksi: Hidayah Baisa, Dra., M.Pd.I, Suyud Arief, Drs., M.Ag, Maemunah Sa’diyah, S.Ag, M.Ag, H.M. Kholil Nawawi, Drs., M.Ag Editor: Hilman Hakiem, S.P., M.E.I Kesekretariatan: Meliani, S.Pd, Moch. Hobir, S.Ag, Hamidah, A.Md, Teddy Rahyanto, Sulaeman, Yeni Sugiarti, Asep Suryaman, Asep Sudur Periode Terbit: 2 kali setahun Terbit Pertama Kali: September 2010 Alamat Redaksi: Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. K.H. Sholeh Iskandar km2 Bogor 16164 Telp/Fax 0251-8349529 e-mail: jurnaleifai@yahoo.com

2


PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

3


PERAN STRATEGIS ORGANISASI ZAKAT DALAM MENGUATKAN ZAKAT DI DUNIA1

Didin Hafidhuddin Sekretaris Jenderal World Zakat Forum (WZF) Ketua Umum BAZNAS

Abstract One of the potentials which are still not utilized by the ummah is zakat fund. In Indonesia, this potential reaches 2 percent of GDP, which is not less than Rp 100 trillion per annum. As could be witnessed in the history, the use of zakat was able to alleviate poverty, especially during the glorious era of Caliph Umar bin Abdul Aziz. This paper attempts to discuss the strategies needed in order to realize the country's zakat potential. In addition, strengthening global zakat cooperation and network is highly needed as an effective way to overcome poverty which still exists in the Muslim world.

Keywords: zakat potential, zakat empowerment, zakat organization

I.

Pendahuluan

Jika diamati secara seksama, sesungguhnya umat Islam itu di samping memiliki berbagai persoalan yang berat dan kompleks, seperti persoalan pemahaman keagamaan yang belum lurus, persoalan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar umat, persoalan kebodohan, dan sebagainya, umat Islam pun memiliki banyak potensi yang belum digali dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, sekaligus untuk membangkitkan kembali peradaban Islam di era globalisasi ini. Potensi tersebut antara lain adalah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) yang tersebar merata di negaranegara mayoritas penduduknya muslim, seperti Indonesia. Zakat, di samping sebagai rukun Islam yang ketiga, bagian dari ibadah mahdah kepada Allah SWT, juga ibadah maliyah iztimaiyah yang memiliki berbagai fungsi sosial yang sangat strategis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Secara empirik, hal ini pernah terbukti dalam sejarah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis. Ketika itu, zakat dikelola oleh para petugas (amil zakat) yang amanah dan profesional, di bawah kendali pemerintah yang adil dan bertanggung jawab, ternyata telah mampu meningkatkan kesejahteraan umat dan meminimalisir hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan dalam waktu yang relatif tidak lama. 1

Disarikan dari Makalah yang disampaikan pada World Zakat Forum (WZF) di Yogyakarta, tanggal 28-30 September 2010. 4


II. Langkah-Langkah Menggali Potensi Zakat Untuk menggali potensi tersebut, paling tidak diperlukan empat langkah yang harus dilakukan secara simultan. Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek zakat sekaligus tata cara perhitungannya, dan kaitan zakat dengan pajak. Dalam kaitan dengan hikmah dan fungsi zakat misalnya, bahwa kesediaan berzakat akan membangun etos dan etika kerja (QS. Al-Mu’minun: 1-4), mengembangkan dan memberkahkan harta (QS. Al-Baqarah : 276 dan QS. Ar-Rum: 39), menjernihkan pikiran dan jiwa (QS. At-Taubah: 103), membantu dan menolong kaum dhuafa dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya (QS. At-Taubah: 60), sekaligus memperkuat kegiatan ekonomi masyarakat karena harta tidak hanya terakumulasi di tangan sekelompok orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7), dan masih banyak fungsi serta hikmah lainnya. Dalam hubungannya dengan pajak, diharapkan ada upaya sungguh-sungguh dari pihak legislatif dan eksekutif agar zakat bisa mengurangi pajak. Hal ini dipastikan akan meningkatkan perolehan pengumpulan zakat sekaligus pengumpulan pajak. Indonesia yang secara demografis merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar, yakni menurut Riset Habib Ahmed (IRTI-IDB/Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank) adalah 2 persen dari GDP Indonesia (Rp 5 ribu trilyun) atau sebesar Rp 100 triliun per tahun. Sejak beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat muslim Indonesia cukup tinggi untuk berzakat. Jika kesadaran masyarakat, baik perorangan maupun lingkungan perusahaan (korporasi) terus tumbuh untuk menunaikan zakat, maka insya Allah berbagai masalah kemiskinan dan problem umat lainnya akan dapat segera teratasi. Kedua, penguatan amil zakat sehingga menjadi amil yang amanah, terpercaya, dan profesional. Untuk mencapai hal ini, diperlukan SDM-SDM zakat yang memiliki akhlakul karimah, pengetahuan tentang fiqih zakat, dan manajemennya secara baik. Amil zakat pun diharapkan memiliki data base mustahik dan muzaki yang akurat dan up to date sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat dapat dipetakan dengan baik. Semua hikmah dan fungsi zakat di atas, hanya akan dapat diaktualisasikan melalui amil yang kuat. Oleh karena itu, pantaslah satu-satunya ibadah yang secara eksplisit dikemukakan dalam Al-Quran ada petugasnya, hanyalah zakat (QS At-Taubah: 60 dan QS At-Taubah: 103 serta beberapa hadis Nabi). Di zaman Nabi dan para sahabat, tidak pernah zakat disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahik tanpa melalui amil, kecuali infak dan sedekah. Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Misalnya, zakat di samping diberikan secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan primer secara langsung (QS AlBaqarah : 273), juga diberikan untuk meningkatkan kegiatan usaha dan kerja mustahik/zakat produktif (al-hadis). Dalam menyalurkan zakat kepada para mustahik, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai contoh membuat klasifikasi penyaluran melalui lima program, yang kesemuanya untuk para mustahik. Adapun kelima program tersebut adalah Indonesia Peduli (terutama mengatasi musibah), Indonesia Cerdas (bidang pendidikan mustahik), Indonesia Sehat (bidang kesehatan mustahik), Indonesia Takwa (bidang kehidupan beragama mustahik), dan Indonesia Makmur (bidang peningkatan kehidupan ekonomi mustahik). 5


Keempat, sinergi dan koordinasi atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi, media massa, dan lain-lain. Diharapkan aktualisasi potensi zakat merupakan sebuah gerakan bersama yang masif yang lintas etnis, organisasi, dan teritorial (perhatikan QS Al-Maidah: 2 dan QS At-Taubah: 71).

III.

Penguatan Organisasi Zakat Internasional

Keempat langkah tersebut di atas seyogyanya merupakan agenda utama dan agenda bersama dari organisasi zakat internasional. Persoalan kemiskinan adalah persoalan kemanusiaan yang bersifat universal, yang menurut data terakhir dari PBB jumlahnya hampir mendekati satu milyar jiwa. Tentu saja di samping tugas dari pemerintah masing-masing untuk mengatasinya, juga merupakan tugas dari organisasi zakat di masing-masing negara maupun secara internasional. Organisasi zakat internasional seyogyanya merumuskan keempat langkah tersebut secara konseptual maupun secara operasional. Misalnya sosialisasi dan edukasi dengan materi dan substansi yang sama agar masyarakat internasional memiliki pandangan yang sama tentang urgensi zakat dalam kehidupan sosial. Penguatan kelembagaan melalui pelatihan-pelatihan bersama dalam bidang SDM zakat, fiqih zakat, manajemen zakat, sistem teknologi dan informasi (IT) zakat, serta publikasi-publikasi (buku, majalah, hasil riset, jurnal, dan lain-lain). Kerja sama dalam bidang penyaluran zakat pun perlu dilakukan. Misalnya, dengan membuat pilot project bersama beberapa daerah miskin yang penanganannya di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, kesehatan, lingkungan, peningkatan ekonomi, dan sebagainya) melalui zakat. Jika langkah-langkah tersebut di atas dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka optimalisasi zakat di tingkat nasional maupun internasional, baik pengumpulan, pendayagunaan, dan pendistribusiannya akan memberikan kontribusi secara nyata dalam rangka penguatan zakat di dunia.

6


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardawi, Y. (1993). Fiqhuz Zakat. Jakarta: Litera AntarNusa.

Beik, I. S. (2010). Economic Role of Zakat in Reducing Poverty and Income Inequality in the Province of DKI Jakarta, Indonesia: Case Study of the Government Board of Zakat and Dompet Dhuafa Republika. PhD Dissertation, International Islamic University, Malaysia.

Hafidhuddin, D. (2002). Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press.

Hafidhuddin, D. (2006). �Analisis Efektifitas Promosi Lembaga Amil Zakat dalam Penghimpunan Zakat Bagi Peningkatan Kesejahteraan Keluarga Dhuafa: Studi Kasus Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Republika�. Jurnal Media Gizi dan Keluarga.

Hafidhuddin, D. and Juwaini, A. (2006). Membangun Peradaban Zakat: Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat.

7


GLOBALISASI DAN TANTANGAN BAGI SISTEM KEUANGAN ISLAM: PERSPEKTIF FILSAFAT EKONOMI ISLAM

Bambang Wahyu Dosen Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor

Abstract The challenge of Islamic financial system today faced on globalization which has numerous power to influence the character and development of Islamic financial system. The risksharing and profit-sharing as core of Islamic finance be improved in order to increase the final solution of modern financial problems. But such ways has discussed mainly related to lack of financial instruments and diversification of portfolio.

Keywords: Risk-spreading and sharing, risk-shifting via fixed price debt contract, assetbased securitization, loss and profit sharing, subprime mortgage, globalisasi, sistem keuangan Islam, intermediasi keuangan, manajemen risiko, sistem fiskal dan moneter, aset portofolio, sektor finansial dan sektor riil

I.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berakibat langsung pada struktur pasar dan institusi keuangan dunia. Derasnya arus teoritisasi sistem finansial, akselerasi inovasi teknologi keuangan, deregulasi dan reformasi institusi telah merubah wajah sistem dan mekanisme finansial sehingga mendorong munculnya perkembangan sistem keuangan global. Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti pemadatan (embedding) ruang dan waktu kerja manusia berdasarkan teknologi dalam sistem kapitalisme mengakibatkan semua ruang kehidupan (ruang keluarga, ruang tidur, ruang tamu, dll) menjadi wahana untuk menjual produk (TV Plasma, DVD, seperangkat sofa, AC, dll)2. Ruang kerja tidak lagi membutuhkan tempat khusus seperti ruang kantor. Semua transaksi bisnis dapat dilakukan di restoran, ruang hotel, atau rumah pribadi. Waktu kerja pun bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan produktivitas (jam lembur, sift malam, dll). Perkembangan ini de facto memacu individu berinvestasi dalam ragam bisnis, memperoleh tingkat suku bunga yang lebih murah dari sebelumnya, serta berbagi risiko dengan individu atau lembaga lain. Perkembangan dramatis dalam sektor finansial dunia semakin kuat karena keikutsertaan pihak luar, seperti pemerintah dan lembaga internasional. Struktur pasar global yang selama ini menjadi prerogatif individu dan perusahaan 2

Anthony Giddens. Contemporary Critic of Historical Materialism (London: MacMillan, 1981) hal. 69

8


multinasional mengalami perubahan signifikan karena selain masuknya pemerintah (nationstate) dan lembaga internasional juga mengakibatkan posisi individu dan perusahaan multinasional menjadi dominan3. George Soros dengan Quantum Fund-nya sanggup merekayasa dan mengguncang pasar dunia melalui spekulasi perdagangan valas. Maka keputusan individu sering memiliki implikasi global berkenaan dengan dinamika dan akselerasi struktur pasar finansial4.Tentu saja, teknologi informasi yang menjadi ikon globalisasi memungkinkan keterjaringan manusia modern dalam networking. Pelaku pasar dunia melakukan kolaborasi aktif dengan pihak-pihak lain dengan tujuan membakukan (fixing) globalisasi secara mondial di mana pemerintah tidak lagi merujuk pada posisi administratif dan supervisi melainkan telah menjadi penjual atau pembeli dalam konstelasi pasar kompetitif. Dalam konteks ini terlihat bahwa globalisasi merupakan proses pertumbuhan yang multidimensi dan multibentuk melalui keterhubungan antar negara dan antar individu di seluruh dunia. Dan proses pertumbuhannya menyangkut aspek ekonomi, budaya, dan sosialpolitik. Dalam dimensi ekonomi, proses ini mencakup pertumbuhan angka perdagangan, pergerakan mata uang, investasi global dan produksi yang melibatkan regulasi, standarisasi, dan eksistensi kelembagaan. Tenaga kerja murah, kemudahan investasi dan transportasi, liberalisi perdagangan, serta bebasnya aliran modal mampu memobilisir pertumbuhan ekonomi dunia secara global. Dalam pengelolaan risiko bisnis di atas, investor dan pelaku usaha cenderung memberlakukan “penyebaran dan pembagian risiko� (risk-spreading and sharing) dibandingkan “pemindahan risiko dengan kontrak harga tetap� (risk-shifting via fixed price debt contract)5. Jika sebelumnya sistem kedua mendominasi perdagangan global maka pemikiran dan analisis risiko bisnis global yang fluktuatif menyebabkan pelaku usaha memilih sistem pertama. Inovasi baru dalam bisnis mengharuskan analisis harga risiko yang dikaitkan dengan ketersediaan informasi serta mengadopsi standar internasional dalam prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik (good corporate governance). Maka lanskap sistem finansial internasional mendorong tumbuhnya sistem risk-sharing, sekuritas berbasis aset (asset-based securitization), dan transaksi bagi hasil (loss and profit sharing) dengan tujuan menjaga stabilitas perdagangan internasional.

II. Kontestasi Sistem Keuangan Global dan Sistem Keuangan Islam Sistem keuangan Islam pun tidak luput dari euphoria globalisasi di atas. Banyak negara Islam yang terlibat semenjak lama dengan perdagangan internasional. Hal ini disebabkan tidak ada negara yang mampu mengisolasi diri dalam ranah ekonomi global. Masyarakat dunia, dalam perspektif ekonomi, adalah masyarakat yang terintegrasi oleh satu

3

Dengan demikian, prediksi Kenichi Ohmae tentang memudarnya peran negara-bangsa dalam konstelasi perdagangan dunia tidak benar. Peran negara-bangsa bahkan semakin dominan dari masa sebelumnya karena perkembangan teknologi membuat masyarakat dunia terjaring dalam suatu networking bisnis tanpa batas geografis dan teritorial. Negara-bangsa bekerja sama dengan lembaga internasional, perusahaan multinasional, dan individu saling bahu membahu memfiksasikan wacana globalisasi secara sistematis. Anthony Giddens. The Constitution of Society (Cambridge: Polity Press, 1984) hal. 182-183. Lihat pula pembahasan Kenichi Ohmae. The End of Nation-State: The Rise of Regional Economies (New York: The Free Press, 1995) 4 Anthony Giddens. The Third Way: The Renewal of Social Democracy (Cambridge: Polity Press, 1998) hal. 35 5 Zamir Iqbal&Abbas Mirakhor. An Introduction To Islamic Finance (Singapore: John Wiley&Sons (Asia) Pte Ltd, 2007) hal. 296

9


sistem dunia untuk mencari bentuk tata baru perekonomian yang lebih adil6. Dalam konseptualisasi seperti ini, masing-masing pelaku usaha bebas memilih sistem transaksi yang menguntungkan dan menjaga stabilitas keuntungan itu. Berdirinya pusat keuangan syariah internasional (hub) di sejumlah negara Eropa tidak terlepas dari faktor ini. Negara Islam Timur Tengah yang kuat memegang prinsip transaksi syariah diakomodasi oleh sistem global dengan mendirikan pusat keuangan syariah. Inggris yang dulunya memegang teguh konservatisme pasar bebas pada akhirnya membuka diri untuk menjadi salah satu pusat keuangan syariah internasional. Kepentingan negara-negara Eropa adalah pengelolaan keuangan investasi Timur Tengah. Maka rasionalitas ekonomi melihat kondisi ini sebagai alternatif sistem finansial internasional yang menguntungkan. Hal ini berbeda dengan sistem keuangan konvensional yang tidak memberi jaminan stabilisasi sistem finansial dan tingkat keuntungan. Krisis ekonomi subprime mortgage pada akhir tahun 2007 dan awal 2008 menjadi contoh rapuhnya fondasi sistem finansial itu. Ceritanya seperti ini: Krisis bermula dari booming sektor properti di AS yang mengakibatkan harga rumah melambung tinggi. Pemilik rumah pun tertarik menjamin rumahnya ke bank untuk memperoleh pinjaman (home equity loan) untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Pihak bank kemudian mengemas kredit ini dalam berbagai instrumen keuangan termasuk obligasi yang dilempar ke pasar obligasi internasional (mortgage bond market) sehingga menarik minat banyak perusahaan keuangan internasional7. Perusahaan seperti Merril Lynch, JP Morgane Chase, Lehman Brothers, Bear Stearns, Morgan Stanley, Citigroup, Bruyette&Woods, Washington Mutual, Indymac, Countrywide Financial, Wells Fargo, HSBC, dan lain-lain berlomba membeli saham hipotek yang ditawarkan. Tahun 2007 pertumbuhan ekonomi AS mengalami perlambatan akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Sektor moneter terkena imbas karena angka inflasi membumbung tinggi. Fenomena ini mengakibatkan sektor properti ambruk. Banyak nasabah mengalami kesulitan membayar cicilan kredit sehingga harus menjual rumahnya kembali. Maka booming penjualan rumah menyebabkan harga properti hancur. Nasabah yang tidak mampu melunasi kredit akhirnya membiarkan bank menyita (foreclosure) rumah mereka, yang jumlahnya sekitar 30-40 persen dari total jumlah nasabah. Pihak bank dihadapkan pada menyusutnya nilai jaminan aset dan uang tidak kembali. Perusahaan keuangan internasional mengalami kondisi paling parah karena krisis ini ternyata menjadi “gunung es� krisis keuangan dunia sehingga mengguncang pasar uang AS dan Eropa. Citigroup pada kuartal IV tahun 2007 mengalami kerugian US$ 8,9 miliar ditambah kerugian saat tutup buku sebesar US$ 18 miliar. Menurut David Hiller, analis ekuitas Bear Stearns, total kerugian penghapusan buku mencapai US$ 15-250 miliar. Akhirnya pemerintah AS turun tangan mengatasi krisis keuangan tersebut. Gedung Putih 6

Permasalahan ini dapat dilihat pada sejumlah kritik terhadap konsep pembangunan ekonomi dunia yang tidak berpihak pada kesejahteraan umat manusia. Lihat Emitay Etzioni. The Moral Dimension: Toward A New Economics (New York: MacMillan, 1998) dan James Robertson. Future Wealth: A New Economic for 21st Century (London: Cassel Publication, 1990) 7 Sebenarnya mekanisme kredit hipotek ini sederhana. Bank hanya menyalurkan dana kepada nasabah untuk memiliki rumah. Ketika kredit sudah cair, nasabah memiliki rumah dan tinggal mencicil kredit pinjamannya setiap bulan. Masalahnya menjadi rumit ketika bank membuat kemasan baru yang berlapis untuk menarik minat perusahaan keuangan internasional di pasar obligasi seperti CDO (collateralized Debt Obligation), SIV (structural Investment Vehicle), dan lain-lain. Jumlah obligasi hipotek yang terkumpul senilai US$ 27 triliun (lebih besar dari treasury bond). Kondisi perekonomian AS yang baik jangka waktu 2002-2006 turut andil memperbesar margin keuntungan sektor properti sehingga bank di AS berani menawarkan kredit hipotek dengan bunga rendah pada 2 tahun pertama peminjaman. Baru pada tahun ketiga dan selanjutnya, sistem bunga dibuat naik tak pasti dan berubah-ubah (adjustable rate). Para broker properti pun membujuk rayu para pemilik rumah untuk memperoleh pinjaman dengan jaminan rumahnya selagi bunga rendah. Harian Republika edisi Senin, 28 Januari 2008.

10


memangkas 1 persen PDB (Gross Domestic Product) masyarakat AS dan The Fed (Federal Reserve) memotong suku bunga di bursa saham sebesar 75 poin untuk mempermudah nasabah mencicil kredit. Tapi kebijakan ini justru membuat panik para pelaku pasar di Wall Street. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, pemerintah AS mengeluarkan kebijakan bail-out yaitu tindakan penyelamatan sementara dalam bentuk jaminan finansial agar efek berantai krisis finansial itu tidak mengganggu laju pertumbuhan ekonomi dan tidak mempengaruhi sektor keuangan yang lain. Ada dua pelajaran menarik dari krisis subprime mortgage yaitu: (a) sistem keuangan global ternyata dibangun dengan dasar optimisme yang besar pada kinerja mekanisme pasar bebas walaupun de facto sering menimbulkan distorsi ekonomi dan (b) pada akhirnya membutuhkan “intervensi terbatas� pemerintah untuk menyelamatkan mekanisme pasar tersebut. Kegiatan ekonomi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar karena cara kerja pasar tidak selamanya berjalan efektif dan efisien. Market failure, penyediaan barang publik, keadilan, pemerataan distribusi pendapatan dan sirkulasi kekayaan tidak selamanya mampu dilakukan pasar. Kondisi ini disebabkan de facto realitas pasar tidak dapat beroperasi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pasar kompetitif (asimetri informasi, monopoli dan oligopoli, hambatan perdagangan, masalah eksternalitas, dan lain-lain). Pasar bekerja berdasarkan hukum demand-supply yang mensyaratkan suatu komoditas yang tradable. Komoditas itu harus memiliki harga sedangkan harga harus terukur (sizeable). Dalam kenyataannya banyak komoditas yang tak dapat diukur (unsizeable) sehingga tidak memiliki harga dan tak dapat diperdagangkan atau tak dapat disediakan oleh pasar. Penanganan terhadap komoditas seperti itu membutuhkan intervensi pemerintah agar komoditas dapat diperdagangkan kembali dalam mekanisme pasar kompetitif. Dengan demikian kerja sama strategis antara pemerintah, pasar, dan pelaku usaha untuk menjalankan aktivitas ekonomi mutlak diperlukan, sebagaimana yang ditawarkan sistem keuangan Islam.

III. Tantangan Baru, Kesempatan Baru Tantangan baru sistem keuangan Islam terdapat pada akumulasi teori, operasional, dan implementasinya8. Akumulasi teori keuangan Islam sebagaimana dikembangkan ilmuwan dan ekonom Islam harus menjadi landasan teoritis untuk membangun sistem keuangan berbasis profit sharing yang produktif dan menguntungkan. Pada ranah operasional, perkembangan dan inovasi teknologi, intermediasi keuangan, dan manajemen risiko dapat diejawantahkan secara komprehensif. Secara implementatif juga harus diupayakan langkah-langkah membumikan sistem keuangan Islam sebagai sub sistem ekonomi Islam. Dalam rasional ekonomi, perkembangan sistem keuangan didukung oleh kuatnya fondasi institusi. Dan institusi keuangan yang kuat berkaitan dengan upaya melindungi hak milik, hak investor, dan kontrak. Optimisme publik terhadap institusi keuangan sangat tergantung dari jaminan ini. Institusi keuangan Islam telah menunjukkan kinerja positif dalam menjamin hak dan kontrak tersebut sehingga sistem surplus sharing dapat diperluas dalam formulasi kebijakan. Sistem keuangan profit sharing didasarkan pada transaksi saling percaya (mutual trust) di mana tingkat kepercayaan publik merupakan fondasi utama untuk mengembangkan kegiatan bisnis dan investasi yang berpengaruh pada kinerja institusi, kesejahteraan masyarakat, dan perekonomian negara.

8

Zamir Iqbal& Abbas Mirakhor, op.cit. hal. 297

11


Di samping itu, semakin tinggi tingkat kepercayaan publik terhadap institusi keuangan maka makin seimbang tingkat investasi dan akselerasi pasar barang pun makin meningkat. Kondisi ini berbanding terbalik dengan institusi keuangan yang mengalami penurunan kepercayaan maka keseimbangan partisipasi publik tergantung dari aturan dan institusi hukum yang melindungi hak milik investor dan pihak lain yang diikat kontrak. Maka institusi keuangan yang memiliki tingkat pertumbuhan minimal tidak hanya disebabkan rendahnya tingkat kepercayaan tapi juga minimnya perlindungan hak dan kepemilikan investor. Dari sisi negara, hal ini dapat diantisipasi dengan memperkuat institusi hukum, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik melalui keterbukaan informasi dan edukasi dalam sistem profit sharing dan risk sharing. Kebijakan pemerintah dalam memperkuat institusi keuangan adalah: 1. Memperkuat basis transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola organisasi yang baik di sektor privat dan publik. 2. Meningkatkan jaminan hukum pada sistem fiskal dan pasar modal. 3. Meningkatkan supremasi hukum untuk melindungi hak dan kepemilikan investor, serta memperkuat kontrak. 4. Melakukan reformasi sektor finansial dengan partisipasi masyarakat dan pelaku pasar. 5. Melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi luar negeri (foreign direct investment). IV. Tawaran Sistem Keuangan Risk-Sharing Sistem risk-sharing telah lama hilang dari khazanah sistem keuangan modern. Salah satu penyebabnya adalah sistem perbankan modern melakukan intermediasi untuk menyediakan uang bagi pelaku usaha dengan tingkat bunga sesuai kontrak9. Pengalihan sistem perbankan pada suku bunga tetap dalam mengamankan kinerja operasional perbankan menjadi penyebab in-efisiensi dunia keuangan. Dengan kata lain, sistem suku bunga ternyata gagal melakukan stabilisasi keuangan baik di tingkat lokal ataupun global. Fungsi lembaga intermediasi pun sebatas menjalankan otoritas mereduksi angka transaksi, memonitor harga, dan menjalankan manajemen risiko tanpa menjelaskan struktur kredit yang tak seimbang. Pada akhirnya sistem suku bunga menjadikan bank sebagai “pemberi pinjaman terakhir� (the lender of last resort) untuk menyelesaikan berbagai persoalan keuangan. Sebagai lembaga intermediasi dan menjaga kepentingan institusi perbankan, informasi keuangan publik ditutup sehingga sisi pembiayaan dan sisi penghimpunan dana menjadi tidak seimbang. Maka ketidakseimbangan informasi ini menghasilkan spekulasi pelaku usaha dan mekanisme operasional perbankan, yang disebut moral hazzard. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan urgensi menerapkan sistem risk-sharing yang menegaskan sikap saling percaya antara mekanisme operasional dan pelaku usaha. Stabilitas yang ditunjukkan oleh kinerja operasional institusi keuangan dalam bidang perdagangan, investasi, bahkan produksi membuat sistem risk-sharing menjadi alternatif pilihan sistem keuangan global sehingga mampu mengambil hati banyak investor. V. Implementasi Secara Luas Tantangan utama pengembangan sistem keuangan risk-sharing adalah ketidakseimbangan keuangan secara fiskal, moneter, dan faktor eksternal yang

9

Ibid, hal. 302

12


mempengaruhinya10. Fenomena ini sering dialami negara-negara Islam sehingga sulit mengimplementasikan sistem keuangan Islam. Padahal kebutuhan utama sistem keuangan Islam atau risk-sharing terletak pada kebijakan struktural atas sistem fiskal dan moneter. Sistem fiskal11 memegang peran penting dalam institusi negara Islam karena berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk mengatur sistem pajak (pendapatan negara) dan belanja pemerintah (government expenditure). Kebijakan fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengantisipasi distorsi pertumbuhannya. Salah satu solusi Islam dalam kebijakan fiskal adalah membedakan antara pendapatan reguler dan pendapatan aksidental. Pendapatan reguler diperoleh dari zakat, sementara pendapatan aksidental dari pajak12. Selain pendapatan negara, Islam juga mengatur pembelanjaan pemerintah dengan menerapkan prinsip efektif-efisien demi kemaslahatan umum dan asas manfaat yang maksimal. Dengan demikian, titik keseimbangan sistem fiskal terdapat pada pilihan berbagai instrumen kebijakan pajak dan zakat serta pola pembelanjaan negara. Adapun sistem moneter Islam13 menerapkan variabel cadangan uang bukan suku bunga. Bank sentral mengimplementasikan kebijakan moneter dengan tujuan menghasilkan pertumbuhan sirkulasi uang untuk mencukupi pembiayaan pertumbuhan ekonomi potensial dalam output periode menengah panjang, stabilitas harga, dan tujuan sosial ekonomi lainnya. Dalam perspektif pelaku usaha, karena tidak ada aset berbasis bunga maka ia dihadapkan pada pilihan berinvestasi dengan profit-sharing dengan risiko tertentu atau mendiamkan uangnya menjadi tidak produktif (idle asset)14. Jika pilihan kedua maka nilai uangnya akan dikurangi zakat. Di samping itu akan tersedia berbagai peluang bisnis dengan tingkat risiko berbeda. Investor akan memilih peluang investasi sesuai perkiraan laju keuntungan yang diharapkan. Titik keseimbangan sistem moneter terletak pada eliminasi bunga (zero interest) sehingga tingkat keuntungan berdasarkan kegiatan investasi dan pembiayaan sektor riil yang dilakukan perbankan. Dengan demikian, sistem moneter Islam mengaitkan sektor finansial dan sektor riil di mana investasi dan produktivitas sektor riil berpengaruh pada return sektor finansial. Di sini terlihat sistem keuangan risk-sharing berbanding seimbang dengan kebijakan fiskal dan moneter di mana (a) bank sentral terlibat langsung dalam kepemilikan perusahaan dengan memberi pengaruh (leverage) pada bank sentral. Penyertaan modal bank sentral di bank komersial dan perusahaan akan menjamin kebijakan dan peraturan bank sentral dipatuhi. Dengan demikian, kebijakan moneter akan berlaku efektif. (b) sebagai konsekuensi dari (a) maka hubungan antara bank sentral dengan bank komersial mampu merekayasa situasi kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, titik keseimbangan belum sepenuhnya mampu diaplikasikan. Menurut Chapra15, ada beberapa kelemahan: (a) keterlibatan bank sentral dalam transaksi saham emiten swasta akan menimbulkan distorsi karena motifnya berbeda kecuali dalam saham-saham pemerintah. (b) instrumen ekuitas tidak 10

Ibid, hal. 305 Dalam konteks ini, sistem fiskal dipahami sebagai langkah pemerintah/negara untuk mengatur perubahan sistem pajak (pendapatan negara) dan government expenditure (pembelanjaan negara). 12 Pada masa Rasulullah, Khulafar Rasyidah dan kekhalifahan Islam setelahnya, pendapatan reguler diambil dari sejumlah komponen seperti zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak, dan shadaqah sedangkan pendapatan temporer/aksidental dari harta ghanimah, fa’i, dan harta temuan. 13 Sistem moneter adalah langkah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki dan mengatur kondisi perekonomian dengan mengendalikan jumlah peredaran uang. Jumlah ini akan mempengaruhi tingkat output perekonomian dan stabilitas harga. Instrumen yang biasa digunakan adalah open market operation, penentuan tingkat suku bunga, atau penentuan cadangan wajib sektor perbankan, dan moral suassion (himbauan moral). 14 Metwally. Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995) hal. 71 15 M. Umer Chapra. The Future of Economic: An Islamic Perspective (United Kingdom: The Islamic Foundation, 2000) hal. 115-117 11

13


efektif bagi kebijakan moneter karena tidak berpengaruh dominan pada pertumbuhan ekonomi. Pembelian saham perusahaan dengan sistem profit-sharing mempunyai dampak kecil dibandingkan obligasi pemerintah. (c) intervensi bank sentral pada bank komersial dan perusahaan bisa menimbulkan principle agency problem dan moral hazzard karena tujuan intervensi untuk menjaga target dan sasaran kebijakan moneter. Sistem fiskal bertujuan mengoptimalkan alokasi sumber daya ekonomi terutama dalam penyediaan kebutuhan pokok, stabilitas harga, dan sustainability of economic growth. Dalam hal ini, sistem transaksi Islam yang menekankan analisis risiko membutuhkan kebijakan fiskal dan moneter untuk memastikan tingkat investasi dan bisnis di masyarakat. Jika institusi negara tidak mampu menjamin kepastian itu maka investor dan pelaku usaha akan menolak sistem risk-sharing. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem keuangan Islam akan berjalan efisien manakala tidak terjadi paradox of growth atau angka keuntungan sektor finansial berkaitan erat dengan sektor riil. Kebijakan moneter bertujuan mengurangi defisit dengan cara mempertahankan batas harga dan mengeliminasi suku bunga. Kebijakan fiskal yang bertujuan meningkatkan pendapatan pemerintah dilakukan secara reguler dengan zakat dan mengefektifkan anggaran government expenditure. Di samping itu, operasi pasar keuangan domestik dapat dilakukan secara berkala serta memberi tekanan pada operasi keuangan untuk menaikkan tingkat keuntungan pemegang saham atau nasabah penabung. Permasalahan yang muncul adalah aset portofolio bank Islam tidak memiliki komponen yang kuat untuk melakukan transaksi profit-sharing karena (a) minimnya kerangka hukum dan institusi yang memfasilitasi kontrak dan persetujuan dalam aset portofolio sehingga yang menentukan tingkat keuntungan aset adalah sektor riil bukan sebaliknya. (b) kurangnya jumlah dan variasi instrumen keuangan yang diaplikasikan bank Islam. Kedua hal ini mengakibatkan sistem keuangan Islam memiliki risiko tinggi dan konsentrasi aset portofolio bersifat jangka pendek dan terbatas aset perdagangan. Pada sebab pertama, negara-negara Islam tidak memiliki pasar modal dan pasar uang potensial untuk menyediakan kebutuhan modal dan jaminan aset investor. Sebab kedua biasanya berhubungan dengan kurangnya instrumen yang mendukung formasi modal sehingga tidak ada instrumen finansial jangka pendek untuk menyediakan likuiditas. Sejumlah tantangan akan dihadapi sistem keuangan Islam dalam konteks globalisasi. Tantangan itu antara lain memperkenalkan produk baru yang disari dari hukum syariah dalam menjalankan likuiditas di pasar, menyusun perangkat manajemen risiko, serta memisahkan portofolio. Di samping itu, rekayasa finansial pada bank Islam memerlukan komitmen stakeholder dalam memahami karakter “pendapatan berisiko� (the risk return) pada sistem keuangan Islam serta menyusun instrumen baru yang berbeda dengan the risk return sesuai dengan permintaan investor, lembaga intermediasi keuangan, dan likuiditas serta keamanan investor. Situasi global dan integrasi sistem keuangan global akan mempengaruhi cara kerja pasar modal. Integrasi akan mencipta pasar uang yang lebih mudah dan transparan dengan susunan instrumen variatif, struktur yang establish, dan diversifikasi portofolio dan manajemen risiko serta permintaan pasar jangka pendek dan panjang. Selama ini terlihat bahwa pasar uang syariah belum mampu menaungi pasar antar bank sementara kebutuhan transaksi, penyimpanan dana, dan jumlah peminjaman sangat potensial.

14


DAFTAR PUSTAKA

Chapra, M. Umer. 2000. The Future of Economic: An Islamic Perspective. United Kingdom: The Islamic Foundation Etziony, Emitay. 1998. The Moral Dimension: Toward A New Economics. New York: MacMillan Giddens, Anthony. 1981. Contemporary Critic of Historical Materialism. London: MacMillan ___________. 1984. The Constitution of Society. Cambridge: Polity Press ___________. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity Press Iqbal, Zamir& Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance. Singapore: John Wiley& Sons (Asia) Pte Ltd Metwally, 1995. Teori dan Praktik Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana Ohmae, Kenichi, 1995. The End of Nation-State: The Rise of Regional Economies. New York: The Free Press Robertson, James. 1990. Future Wealth: A New Economic for 21st Century. London: Cassel Publication Harian Republika edisi Senin, 28 Januari 2008.

15


THE IMPACT OF US MONETARY POLICY AND STOCK MARKETS TOWARD INDONESIA STOCK MARKETS

Muhamad Abduh

Lecturer of Islamic Economics Program Bogor Ibn Khaldun University Alumni of Master of Economics of IIU Malaysia PhD student at Department of Business Administration of IIU Malaysia

Abstract The aim of this paper is to examine the interdependence revulsion of Indonesia Stock Markets (JCI) with the changes in US Monetary policy and Stock Markets (DJCI). The methodology used in this study is time series econometric techniques i.e. the unit root test, cointegration test, Granger’s causality and Vector Error Correction Model (VECM). The result reveals a short-term and long-term dynamic relationship between the US stock markets and the Indonesia one. A 1 percent increase in US stock markets contributes to Indonesia stock markets by 0.4 percent over the next 10 months. One of the policy implications is that the authority of Indonesia stock markets should strengthen and improve their regulations so that the susceptible of the stock markets can be minimized.

Keywords: Indonesia, United States, Error Correction Model, Granger Causality.

I. Introduction Understanding how monetary policy is transmitted to the economy by the way it affects the stock market and other macroeconomic magnitudes remains one of the most important challenges among economists. The significance of this issue is underscored by the following scenario. Assume a change in one of the monetary policy instruments, such as the money supply or the instrumental rate (i.e., the federal funds rate [FFR]). Such a change leads to changes in market interest rates which, in turn, forces investors to revalue their equity holdings. This happens because the value of their wealth, given by the sum of the discounted future cash flows (or dividends), is affected by an easing or tightening of monetary policy through either expected earnings or through the discount rate. Therefore, a shift in monetary policy stance will induce changes in the consumption patterns of individuals and in the investment plans of firms, causing changes in real economic 16


activity and ultimately affecting inflation. Simply put, the transmission of monetary policy via changes in the short-term interest rates influences asset prices which, in turn, affect borrowing costs, private wealth, and ultimately real economic activity (Laopodis, 2006). There are many views about how monetary policy might cause an asset price boom. For example, a traditional view focuses on the response of asset prices to a change in money supply. In this view, added liquidity increases the demand for assets, thereby causing their prices to rise, stimulating the economy as a whole. A second view (see Bordo and Wheelock, 2004), voiced by Austrian economists in the 1920s and more recently by economists of the Bank for International Settlements (BIS), argues that asset price booms are more likely to arise in an environment of low, stable inflation. In this view, monetary policy can encourage asset price booms simply by credibly stabilizing the price level. Still another view, coming from the dynamic general-equilibrium macroeconomics literature, argues that asset price bubbles can result from the failure of monetary policy to credibly stabilize the price level. Nowadays, Asian markets have felt the full force of the shock wave from the latest financial meltdown in the United States, with the collapse of the one of the most respected American investment banks, Lehman Brothers. Stock markets plunged throughout Asia, New Zealand and Australia, as authorities issued calming messages that had little effect.i As reported in MalaysiaSunii, Taiwan's stocks shed 4.09 percent on reports that US investment banker Lehman Brothers Holdings Inc would declare bankruptcy, and that Merrill Lynch would be bought out by Bank of America. The Weighted Price Index of Taiwan Stock Exchange opened sharply lower and continued its downward trend to close at 6052.45 points, down 258.23 points, or 4.09 percent. All eight major sectors dropped, with construction falling 6.8 percent to become the day's biggest loser, followed by cement's 6.1 percent and financials' 6 percent. Stocks on the Singapore Exchange slumped 3.29 percent, with the benchmark Straits Times Index dropping 84.4 points to 2,486.21. The Stock Exchange of Thailand (SET) index ended at 642.39, down 11.95 points, or 1.8 percent. Indonesia's stock market plunged by 4.7 per cent, as the Indonesia Composite Index closed at 1,719.254 points, or down 84.808 points. Very interesting to know and understand the relationship between the US monetary condition and other country’s stock market reaction. This paper, however, tries to examine only the linkage between the 1-month interest rate of the Federal Reserves of US as one of her monetary policy’s instrument and the movement of her stock market as revisit study toward Indonesia stock market. II. Literature Review Many journal articles have been written under the discussion about the association between stock market and monetary policy for both domestic monetary policy and international monetary policy. Chen (2007) focuses on domestic news in the USA and use modified versions of the Markov-switching model developed by Hamilton (1989) to present a strong and negative effect of a contractionary monetary policy on stock returns while Hamid et.al (2005) examine the impact of both domestic and foreign interest rate policy on stock returns across seven selected national equity markets using VAR model specifications and Johansen’s cointegration analysis. Besides Chen (2007), there are also Nissim and Penman (2003), Reilly et.al (2007), Gangopadhyay (2008), which examine the association between 1month Fed interest rate as US monetary policy and stock market return in the US. 17


Bredin et.al (2005) examine the association between Irish stock market volatility and the US monetary policy announcement that result in an asymmetric volatility of Irish stock return as US tightening her monetary policy. Ozun and Cifter (2007) employed the Wavelets analysis and Granger Causality tests to come to conclusion that the changes in the US interest rates affect the return on the Istanbul Stock Exchange National 100 Index. Laopodis (2006) examines the dynamic linkages between the federal funds rate and the S&P500 index for the 1970-2003 periods, decade by decade, using cointegration and error-correction methodologies. Cheung and Mak (1992) and Dunnis and Shannon (2005) find the evidence of cointegrating relationship between ASEAN and central Asia emerging markets with the US markets. By contrast, Daly (2003) that incorporates three developed markets-namely, Australia, Germany, and United States-find no evidence that those three developed markets share long-run relationship with the markets in ASEAN. Ibrahim (2005) also finds no evidence of long-run relationship between ASEAN markets and the US markets. After Asian financial crisis 1997, ASEAN markets have motivated some researchers to focus on financial integration among them and between them and some established markets (US and Japan). In the case of Indonesia, Ibrahim (2005) finds that the Indonesian market does not share a longrun relationship with other ASEAN and advanced markets pre-crisis and post-crisis, furthermore, it becomes more responsive to the advanced markets during the post-crisis period. Goh et al. (2005) examine long-run relations of five ASEAN stock indices during the financial crisis, i.e. Singapore, Malaysia, Indonesia, Thailand, and the Philippines. Applying Vector Autoregression model and pursued with Granger-causality test, Goh et al find that there is no long-run equilibrium exists during the crisis. In the causality test, they find that the causality runs one-way from Singapore, Malaysia, Indonesia and Thailand to the Philippines. However, since Indonesia being one of the worst affected economies in the region by the financial turmoil, leads the price movements of all other stock markets in the region during the crisis. III. Data and Methodology We used monthly data covering 134 months from July 1997 to August 2008 for all endogenous variables, Indonesian stock markets, Dow Jones stock markets, and 1-month fed interest rate. The measure of stock prices, Jakarta Composite Index (JCI), Dow Jones Composite Index and 1-month fed interest rate are taken from the econstats website (www.econstats.com). To study the relationship between the Indonesia stock markets and the US monetary policy and stock markets, the following model is derived:

S t   0   1 Fed   2 DJ  u t

(1)

Where, S

= Indonesia stock markets index (JCI)

Fed

= 1-month Federal funds market rate 18


DJ

= US stock markets index (DJCI)

Step 1: Stationary test A unit root is tested with Augmented Dickey-Fuller (ADF) and Phillip-Perron (PP) test. Do the variables observed have a tendency to return to the long-term trend following a shock or the variables follow a random walk? If the variables follow a random walk after a temporary or permanent shock, the regression between variables is spurious. Hence, the OLS will not produce consistent parameter estimates. All series should be stationary at the same level. ADF test is can be determined as in Equation (2).

m

Yt   1   2 t  Yt 1   i i Yt 1   t

(2)

The hypothesis tested: H0: δ = 0 (contains a unit root, the data are not stationary) H1: δ < 0 (does not contains a unit root, the data are stationary)

While PP test can be determined as in Equation (3). Yt   0  1t  Yt 1  vt

(3)

The hypothesis tested: H0: δ = 0 (contains a unit root, the data are not stationary) H1: δ < 0 (does not contains a unit root, the data are stationary)

The equations presented above include both drift term and deterministic trend. Step 2: Cointegration test Cointegration means that even though the variables are not stationary individually, the linear combination between two or more variables may be stationary. To test cointegration, Johansen cointegration test is used. Components in vector Yt is said to be cointegrated at d,b degree, presented by CI (d,b) if:

(i) All components of Yt is I(d) 19


(ii) There is a non-zero vector β = (β1, β2, …, βn) so that the linear combination of βYt = β1Y1t + β2Y2t + … + βnYnt will be cointegrated at (d – b) degree where b>0. Vector β is the cointegration vector. In the case of b=d=1, Yt is I(1) and their linear combination is I(0). Johansen (1991) and Johansen and Juselius (1990) produce the maximum likelihood approach using the VAR model to estimate the cointegration relationship amongst components in vector k variable Yt. Consider VAR model for yt: A( L) xi   t

(4)

The parameter can be presented in the form of Vector Autoregressive Error Correction Mechanism: p 1

Yt    i Yt i   Yt  p   t

(5)

i 1

Where vector β = (-1, β2, …, βn) that contain r cointegration vectors, and speed of adjustment parameter is given as α = (α1, α2, …, αn) when rank β=r<k, k is the number of endogenous variables. If the number of cointegration relations is known, hypothesis testing on α and β can be performed. Lag length specification for the model can be determined by VAR equation using the AIC and SBC criteria.

Step 3: Granger’s Causality test and Vector Error Correction Model (VECM) Cointegration techniques of Granger (1986), Engle and Granger (1987), and Johansen and Juselius (1990) have given a significant contribution to Granger’s Causality test. If cointegration is found from the variable series, error correction term (ECT) obtained from cointegration regression must be taken into consideration in the causality test to avoid the problem of miss-specification (Granger, 1981). When two or more variables are cointegrated, they will show the existence of long-term relationship if the variables contain mutual stochastic trend. If this is the case, there exists at least one Granger’s causality either in one or bi-directional (feedback effect). The result from the cointegration relationship between variables has set aside the probability of spurious estimation. Nevertheless, cointegration only shows the existence or non-existence of Granger’s causality, but does not indicate the direction of causality between variables. VECM is a restricted VAR designed and used for non-stationary variables known to be cointegrated. VECM specification restricts the long-run behavior of endogenous variables to converge to their cointegrating relationship whilst allowing for short-run adjustment dynamics. Engle and Granger show that if the variables, say Yt and Xt, are found to be cointegrated, there will be an error representative which is linked to the said equation, which gives an implication that changes in dependent variable are a function of the imbalance in cointegration relation; represented by the error correction term and by other explanatory variables. Intuitively, if Yt and Xt have the same stochastic trend and current variable of Yt 20


(dependent variable) is in part, the result of Yt moves in line with the trend value of Xt (independent variable). Through the ECT, VECM allows the discovery of Granger’s causality relation. The VAR constraint model may derive a VECM model as shown below: n

n

Yt   i   Ai Yt i    i  t i  vt i 1

(6)

i 1

where Yt

: in the form of (n x 1) vector

Ai and ξi : estimated parameters Δ vt

: different operator : reactional vector which explains unanticipated movements in Yt and Θ (error correction term)

In the Granger’s causality test, the degree of exogeneity can be identified through the ttest for the lagged error correction term, or through the F-test applied to the lags of the coefficients of each variable separately of the non-dependent variable. In addition, VECM method allows the differentiation of short-term and long-term relationships. Error term with lagged parameter (ECT(e1,t-1)) is an adaptive parameter measuring the short-term dispersal from long-term equilibrium. In short-run, the variables may disperse from one another which will cause system inequilibrium. Hence, the statistical significance of the coefficient associated with ECT provides us with evidence for an error correction mechanism that drives the variables back to their long-term relationship.

Step 4: Impulse Response Function (IRF) and Variance Decomposition (VDC) F- and t- tests in VECM can be classified as causality tests within sampling period. Those tests will only determine the degree of endogeneity or exogeneity of dependent variables in the estimated period. They do not provide indicators for the dynamic nature of the system. Furthermore, they do not indicate the degree of exogeneity between variables outside of the sampling period. Variance Decomposition (VDC) can be described as the causality test outside of the estimated period. VDC decomposes variation in an endogenous variable into component shocks to the endogenous variables in the VAR. the VDC gives information about the relative importance of each random shock to the variable in the VAR. in other words, VDC shows the percentage of forecast error variance for each variable that may be attributed to its own shocks and to fluctuations in the other variables in the system. Information gathered from VDC can also be presented with Impulse Response Function (IRF). Both are obtained from Moving Average (MA) model acquired from the original VAR model. IRF measures the predictable response to a one standard deviation shock to one of the 21


system’s variables on other variables in the system. Therefore, the IRF shows how the path of these variables changes in response to the shock. In fact, they can be viewed as dynamic multipliers giving about the size and the direction of the effect. The IRF is normalized to zero to represent the steady state of the variable reacted upon. As the VAR model used is underidentified, the Choleski’s clarification method is utilized to orthogonalize all innovations/shocks.

IV. Empirical Results Step 1: Stationary test The results of the ADF (Augmented Dickey Filler) and PP (Phillip Perron ) tests for the unit root test are presented in Table 1. The value of ADF t-statistic and PP z-statistic will be compared to the critical value given by Mackinnon (1991). From the results, it is found that the null hypothesis of non-stationarity at level for all the time series fails to be rejected. Nevertheless, all null hypotheses are rejected for every test at first difference. It indicates clearly that all variables are stationary at I(1).

Table 1. Stationary tests at level and first difference ADF Variables

PP

Level

1st Difference

Level

1st Difference

JCI

-2.1529

-10.7730

-2.9384

-10.9043

DJ

-2.4521

-11.9801

-2.3747

-12.1600

Fed

-1.5927

-4.3338

-1.4145

-7.9376

Notes: ADF and PP t-statistic with trend have -3.44 as their critical value at 5% significance level.

Step 2: Cointegration test After knowing that those three variables are non-stationary and they have the same order of integration. Then, we proceed to test whether the linear combination of the series is stationary. In other words, it is to test the cointegration among the variables in the model. The test to be employed is the cointegration test of Johansen and Juselius (1990). The results of analysis are reported in Table 2. After ensuring that there is no autocorrelation exist in the residuals, it is clearly indicate that, at lag interval equal to 2, at least one cointegration exists at 10 percent level of significance. Accordingly, the Indonesia stock markets seem has a long-run co-movement with the advanced Dow Jones markets in the US and or the 1-month Fed interest rate. Stated differently, Indonesia markets can drift arbitrarily closer to the advanced Dow Jones markets in the long run. These results conform well to those documented by Cheung and Mak (1992) and Dunnis and Shannon (2005). They 22


conformed that cointegrating relationship exist between ASEAN and central Asia emerging markets with the US markets, including Indonesia stock markets. Table 2. Johansen and Julesius’ Cointegration Test Lag Intervals Null Hypothesis 1

2

Trace

Max.

r=0

16.31

14.43

r=1

1.89

1.84

r=2

0.05

0.05

r=0

28.133b

24.80a

r=1

3.33

3.33

r=2

0.0012

0.0012

a)

Rejection of the hypothesis at the 0.05 level

b)

Rejection of the hypothesis at the 0.1 level

Step 3: Granger’s Causality test and Vector Error Correction Model (VECM) The long-run relationship exists between the fundamental variables, as the error correction term is significant. The general to specific technique is used to get the optimum lags, and the results are presented in Table 3. The statistical significance of the coefficients associated with the ECT provides evidence of an error correction mechanism driving the variables back to their long-run relationship. There is also short-term relationship between Indonesia stock markets and US stock markets. However, the feedback effect does not exist between the variables. In other words, the movements in US stock markets will Granger’s causes the movement in Indonesia stock market but not as reverse. Only US stock markets influences Indonesia stock markets, while the Fed’s policy for short-term interest is not statistically significant influencing the movement in Indonesia stock markets.

23


Table 3. Vector Error Correction Model Results for Variables S (JCI) Dependent Variable: ∆S Explanatory Variables

Coefficient

t-statistic

ECT

-0.022528

-2.552845**

∆S(-1)

-0.070279

-0.741820

∆S(-2)

-0.216792

-2.552144**

∆DJ(-1)

0.723411

4.086112*

∆DJ(-2)

0.459395

2.491750**

∆FED(-1)

0.068264

0.658242

∆FED(-2)

0.051794

0.507069

R2 = 0.24 F-Statistic = 5.53 Diagnostics

LM = 0.7 (0.5) RESET = 0.22 (0.64) ARCH = 0.57 (0.45)

Notes: (i) *indicates significance at less than 1%, **indicates significance at less than 5%; (ii) LM refers to the Lagrange Multiplier statistic for serial correlation, RESET refers to Ramsey’s test of misspecification of the functional form, and ARCH represents the test for Autoregressive Conditional Heteroscedasticity; (iii) the probability value of each diagnostic test is given in brackets and is within the acceptable norms (iv) The ECM term emanates from the cointegrating equation of the unique vector.

Step 4: Impulse Response Function (IRF) and Variance Decomposition (VDC) Dynamic simulations are used to compute VDC and visualize the IRF in order to strengthen the results obtained through VECM. An analysis of IRF is presented in Figure 1, and the accumulated response of Indonesia stock markets and US stock markets toward the independent variables’ shocks is presented in Table 4. A ten-period horizon is employed to allow the dynamics of the system to work out. A shock to variables in particular US stock markets has an impact on Indonesia stock markets, and there is relatively persistent effect on Indonesia stock markets. Therefore, the IRF appears to be broadly consistent with earlier VECM results. 24


Figure 1. Impulse Response Functions of One Standard Deviation Shocks/Innovations

As far as US stock markets (DJCI) shocks are concerned, it confirms that an increase in DJCI leads to an increase in Indonesia stock markets (JCI) in the short-run. At the same time, the accumulated response over 10 months is 0.4 percent which is almost seventh times the impact of 1-monthFed shock.

25


Table 4. Accumulated GIRFs for the VEC Model Accumulated Response of JCI:

Accumulated Response of DJCI:

Period DJCI shock

1-monthFed shock

JCI shock

1-monthFed shock

1

0.000000

0.000000

0.022032

0.000000

2

0.033891

0.002797

0.041221

0.000882

3

0.086618

0.008669

0.061212

0.002854

4

0.128522

0.015273

0.081575

0.006159

5

0.167637

0.022458

0.100577

0.010932

6

0.213212

0.030167

0.118660

0.017028

7

0.260762

0.038068

0.136546

0.024393

8

0.307172

0.045819

0.154083

0.032992

9

0.354333

0.053368

0.171123

0.042747

10

0.402970

0.060679

0.187824

0.053560

The results of VDCs are reported in Table 5. A ten-period horizon is employed to convey a sense of a system dynamics. Granger’s causal chain implied by the analysis of VDC tends to suggest that the FED variable is the leading variable, being the most exogenous of all. For instance, in the model, even after five and 10-month horizons, about 96 percent of the forecast error is explained by its own shocks compared to the other variables. Decomposition of variance in S, besides being explained by its own variable, can be explained also by DJ.

26


Table 5. Variance Decompositions (VDCs)

VD of S: Period

S.E.

S

FED

DJ

1

0.078690

100.0000

0.000000

0.000000

2

0.125264

92.62986

0.020721

7.349418

3

0.159447

84.38025

0.086418

15.53333

4

0.184571

83.06088

0.149272

16.78985

5

0.208052

83.01465

0.201674

16.78368

6

0.230567

82.15098

0.240559

17.60846

7

0.251112

81.26750

0.269925

18.46257

8

0.270092

80.77293

0.289265

18.93781

9

0.288200

80.36676

0.299820

19.33342

10

0.305503

79.93592

0.303911

19.76016

Period

S.E.

S

FED

DJ

1

0.063738

0.306810

99.69319

0.000000

2

0.103570

0.154061

99.72314

0.122803

3

0.150185

0.426214

99.03777

0.536017

4

0.194081

0.582823

98.42528

0.991898

5

0.237128

0.773520

97.88651

1.339968

6

0.277874

0.960047

97.39555

1.644398

7

0.316708

1.117239

96.91229

1.970471

8

0.353369

1.245773

96.49563

2.258597

9

0.388026

1.359445

96.13196

2.508596

10

0.420799

1.459979

95.80319

2.736832

VD of FED:

27


VD of DJ: Period

S.E.

S

FED

DJ

1

0.043260

25.93818

0.063488

73.99833

2

0.058936

24.57610

0.034820

75.38908

3

0.067980

27.11937

0.055894

72.82474

4

0.075782

29.04264

0.156527

70.80083

5

0.082641

29.70865

0.365249

69.92610

6

0.088191

30.29190

0.693750

69.01435

7

0.092951

30.97122

1.146422

67.88236

8

0.097314

31.50431

1.717591

66.77810

9

0.101319

31.89096

2.401455

65.70758

10

0.105008

32.21944

3.188141

64.59242

V. Conclusion In this study, using the VEC model we have empirically demonstrated the effects of US monetary policy and stock markets on the Indonesia stock markets covering 134 months from July 1997 to August 2008 for all endogenous variables. The analysis leads to the finding that a 1 percent increase in US stock markets contributes to Indonesia stock markets by 0.4 percent over the next 10 months. However, the results are not conformed on the immediate effect of US monetary policy through 1-monthFed interest rate to the fluctuations of Indonesia stock markets. Notwithstanding the sample size, this research may offer some insight into the relationship between US monetary policy and stock markets towards Indonesia stock markets. One of the policy implications is that the authority of Indonesia stock markets should strengthen and improve their regulations so that the susceptible of the stock markets can be minimized.

28


References

Bordo, M.D. and Wheelock, D.C. (2004) “Monetary policy and asset prices: A look back at past U.S. stock market booms.” Review, Federal Reserve Bank of St. Louis, issue Nov., 19– 44. Bredin, Don., Gavin, Caroline., and O’Reilly, Gerard. (2005) “US monetary policy announcements and Irish stock market volatility.” Applied Financial Economics, 15, 124350. Chen, Shiu-Sheng. (2007) “Does monetary policy has asymmetric effects on stock returns?” Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 39, No. 2-3 (March-April 2007), pp. 667-88. Cheung, Y.L., and Mak, S.C. (1992) “The international transmission of stock market fluctuation between the developed markets and the Asian-pacific markets.” Applied Financial Economics, 2, pp. 43-47. Daly, Kevin James. (2003) “Southeast Asian stock market linkages: Evidence from Pre- and Post-October 1997.” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 1, pp. 73-85. Dunis, C.L. and Shannon, G. (2005) “Emerging markets of south-east Asia and central Asia: Do they still offer a diversification benefit?” Journal of Asset Management, Vol. 6, No. 3, pp. 168-190. Gangopadhyay, Partha. (2008) “Monetary policy and pricing of cash-flow and discount-rate risk.” Quarterly Journal of Finance and Accounting, Vol. 47, No. 1, pp. 69-95. Goh, K.L., Wong, Y.C., and Kok, K.L. (2005) “Financial crisis and intertemporal linkages across the ASEAN-5 stock markets.” Review of Quantitative Finance and Accounting, 24, pp. 359-377. Granger, C. W. J. (1986) “Development in the study of cointegrated economic variables.” Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 48: 213-228. Engle, R. F., and Granger, C. W. J. (1987) “Cointegration and error correction: Representation, estimation, and testing.” Econometrica, 55: 251-276. Ibrahim, Mansor H. (2005) “International linkage of stock prices: The case of Indonesia.” Management Research News, Vol. 28, No. 4, pp. 93-115. Ito, Takatoshi and Hashimoto, Yuko. (2005) “High-frequency contagion of currency crises in Asia.” Asian Economic Journal, Vol. 19, No. 4, pp. 357-381. Ito, Katsuya. (2008) “Oil Price and The Russian Economy: A VEC Model Approach.” International Research Journal of Finance and Economics, 17, 68-74. Johansen, S., and Juselius, K. (1990) “Maximum likelihood estimation and inference on cointegration with application to the demand for money.” Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 52: 169-210.

29


Johansen, S. (1991) “Estimation and hypothesis of cointegrating vectors in Gaussian vector autoregressive models.” Econometrica, 59 (6): 1551-1580. Laopodis, Nikiforos T. (2006) “Dynamic interactions among the stock market, federal funds rate, inflation, and economic activity.” The Financial Review, 41, 513-545. MacKinnon, J.G. (1981) “Critical values for cointegration tests.” In R. F. Engle and C. Granger (eds). Long-run Economic Relationship. Oxford: Oxford University Press. Ng, Thiam Hee. (2002) “Stock market linkages in south-east asia.” Asian Economic Journal, Vol. 16, No. 4, pp. 353-377. Ozun, Alper. and Cifter, Atilla. (2007) “Time-scale effects of international risk factors on emerging equity markets: the case of Turkey.” Bulletin of Statistics and Economics, Vol. 1, No. A07, pp. 12-23. Reilly, F.K., Wright, D.J., and Johnson, R.R. (2007) “Analysis of the interest rate sensitivity of common stocks.” The Journal of Portfolio Management, Spring 2007.

30


ANALISA TINGKAT PENGEMBALIAN PEMBIAYAAN BANK SYARIAH YANG LEBIH TINGGI DIBANDINGKAN DENGAN BANK KONVENSIONAL: STUDI KASUS MALAYSIA

Laily Dwi Arsyianti Dosen Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor

Irfan Syauqi Beik Dosen Program Studi Ekonomi Islam FAI dan Pascasarjana UIKA Bogor Ketua Tim Implementasi Program Studi Ekonomi Syariah FEM IPB

Abstract Islamic banking industry has become financial-nerve centre in today’s world economy, particularly in the last three decades. It has attracted various entrepreneurs and enterprises to get its financing. However, Islamic banks tend to have a higher rate of financing compared to the conventional ones. This less competitiveness encourage the demand for Islamic products may fall leaving the Islamic banks. Good debtors opted for conventional loans since the interest rates paid were relatively lower and the rest (the bad debtors) successfully made their way to Islamic banks. Therefore, the non-performing financing of Islamic banks is high. This paper attempts to analyze factors that determine high rate of financing in Islamic banks, by taking the case of Malaysian Islamic banks. In this paper, the top three of Islamic banks and conventional banks are selected for comparison. It finds that high default premium contribute significantly to the high financing rate, while the overheads per capital is no more significantly contribute to it. Hence, the Islamic banks should diversify their assets and implement universal banking concept.

Keywords: Islamic bank, rate of financing, NPF (Non-Performing Financing), universal banking system

31


I. Pendahuluan Pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia yang kini telah menembus 100 trilyun pada sisi asetnya ternyata masih menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat bahwa mengapa harga pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibdaningkan pada bank konvensional. Demikian pula negara Muslim di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat lebih jauh faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bagi hasil dari perbankan syariah. Lebih jauh lagi, penelitian ini mengelaborasi mengenai masing-masing faktor tersebut sehingga dapat diketahui kedalaman faktor tersebut.

II. Tinjauan Pustaka Produk pembiayaan pada bank syariah dapat dikelompokkan ke dalam dua model: model bagi-hasil dan model pendapatan tetap. Model yang pertama terdiri dari jenis transaksi seperti musyarakah dan mudharabah. Sementara model yang kedua terdiri dari jenis transaksi seperti murabahah (jual beli). Hingga saat ini, bank-bank syariah lebih mendominasi jenis transaksi yang termasuk model kedua. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat resiko yang harus ditanggung bank jika menggunakan transaksi model pertama lebih tinggi dibdaning model kedua. Demikian pula di Malaysia, akad BBA mendominasi jenis transaksi pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah. Transaksi Pembiayaan

Des 2002

Bai Bithaman Ajil (BBA)

49.20

47.68

49.89

42.55

2.97

1.37

0.8

0.7

23.28

27.63

23.18

29.62

Murabahah

7.27

6.25

7.00

6.70

Musharakah

0.7

0.5

0.4

0.3

Mudarabah

0.04

0.07

0.06

0.02

Istisna

1.27

0.6

1.23

0.10

lainnya

15.30

15.87

17.40

19.16

Ijarah Ijarah tsumma al-bai

Des 2003

Des 2004

Sept 2005

Bahkan, dapat dilihat bahwa transaksi musyarakah dan mudharabah masih di bawah 1 persen. Sementara, BBA mendominasi sampai lebih dari separuh transaksi pembiayaan yang dilakukan bank-bank syariah di Malaysia.

32


BBA merupakan pembiayaan jual beli yang pembayarannya dilakukan secara berangsur dalam jangka panjang (Rosly, 2005:88). Bank Negara Malaysia (2006) mendefinisikan BBA sebagai transaksi jual beli dengan pembayaran tertunda pada harga tertentu, termasuk marjin keuntungan yang disepakati kedua pihak, nasabah dan bank syariah, yang terlibat. Marjin keuntungan di luar harga pokok pembelian yang termasuk dalam harga pembiayaan BBA dipengaruhi oleh beberapa faktor. Formulasi yang dirumuskan Prof. Syaiful Azhar Rosly (2005), seperti berikut ini:

BBA marjin keuntungan

= cost of Islamic deposits + biaya overheads + premi resiko inflasi + premi resiko kegagalan nasabah pembiayaan (spread)

Formulasi tersebut mirip dengan formula yang dipakai untuk menghitung bunga kredit yang diajukan bank konvensional di Malaysia. Formulasi konvensional tersebut adalah sebagai berikut:

Bunga kredit

= cost of deposits + biaya overheads + premi resiko inflasi + premi resiko kegagalan nasabah (spread)

Oleh karena itu, berdasarkan kedua formulasi di atas, kita hanya dapat membdaningkan tiga variabel saja, yaitu: cost of deposits, biaya overhead, dan premi resiko kegagalan (spread). Sementara variabel lainnya, yaitu premi resiko inflasi, diasumsikan kedua industri menghadapi premi resiko yang sama.

III. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif terhadap data sekunder. Data diperoleh dari laporan tahunan seluruh bank syariah di Malaysia dan sepuluh besar bank konvensional di Malaysia. Pemaparan hasil penelitian disajikan sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat suku bunga serta bagi hasil dalam industri perbankan syariah berdasarkan studi literatur.

IV. Sekilas Perbankan Syariah di Malaysia Industri perbankan Malaysia telah lebih dulu membuka dunia perbankan syariah. Jika kita mengambil tiga bank terbesar dari industri perbankan konvensional dan tiga bank 33


terbesar lainnya dari industri perbankan syariah (dilihat dari sisi aset) dan kita bdaningkan keduanya, maka dapat dilihat harga pembiayaan pada bank syariah ternyata tetap masih lebih tinggi dibdaningkan mereka di bank konvensional. Masuknya Maybank Islamic Berhad dan Public Islamic Bank Berhad dalam daftar bank syariah menggeser posisi Bank Muamalat Malaysia Berhad dan AmBank Islamic Berhad yang lima tahun lalu menduduki posisi kedua dan ketiga secara berturut. Meskipun sebelum menjadi bank syariah penuh, Maybank Islamic Berhad telah menunjukkan nilai aset yang lebih tinggi dari seluruh bank syariah yang telah berdiri penuh.

Effective Profit/Interest Rate Bank 2009

2008

2007

2006

Maybank Islamic Berhad

5.47

6.43

6.89

7.06

Bank Islam Malaysia Berhad

7.73

8.51

8.84

8.33

Public Islamic Bank Berhad

6.48

6.47

5.98

6.07

Malayan Banking Berhad

5.52

6.38

6.60

6.42

Public Bank Berhad

5.08

5.98

6.25

6.37

CIMB Bank Berhad

4.82

5.93

6.53

7.61

Average Islamic financing rate

6.56

7.14

7.24

7.15

Average conventional interest rate

5.14

6.10

6.46

6.80

Dari tabel di atas memberikan gambaran bahwa tingkat harga efektif pembiayaan bank syariah lebih tinggi secara rata-rata dibdaningkan pada bank konvensional dari tahun 2006 hingga 2009 di Malaysia.

V. Analisis dan Hasil Penelitian Cost of (Islamic) Deposits Cost of deposits adalah biaya yang dikeluarkan bank untuk dibagi kepada nasabah penabung. Komponen ini memengaruhi harga pembiayaan karena bank syariah memiliki tanggung jawab dalam mengelola dana nasabah penabung sehingga hasilnya kemudian dapat dibagi bersama.

34


Tabel di bawah ini menunjukkan cost of deposits tiga bank teratas dari kedua industri perbankan di Malaysia. Effective Profit/Interest Rate Bank 2009

2008

2007

2006

Maybank Islamic Berhad

1.57

1.99

3.04

3.64

Bank Islam Malaysia Berhad

2.12

2.19

2.55

2.49

Public Islamic bank Berhad

1.64

2.23

2.55

2.51

Malayan Banking Berhad

1.06

1.71

1.95

2.09

Public Bank Berhad

2.04

3.08

3.16

3.14

CIMB Bank Berhad

2.27

3.36

3.42

2.74

Average cost of Islamic deposits

1.78

2.14

2.71

2.88

Average cost of conventional deposits

1.79

2.72

2.84

2.66

Secara keseluruhan, bank syariah membayar tingkat pengembalian kepada nasabah penabung lebih kecil dibdaningkan dengan yang diberikan bank konvensional, kecuali pada tahun 2006. Namun, dapat dilihat pula perbedaan di antara kedua industri tidak terlalu mencolok melainkan dapat dikatakan keduanya saling bersaing dalam usaha menarik nasabah penabung. Biaya Overheads – Capital Ratio Biaya overheads adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank untuk membayar biaya operasional tidak langsung, seperti gaji atau upah, tagihan listrik, dan sejenisnya. Sementara itu, capital adalah modal dasar yang dimiliki bank untuk menjalankan usahanya.

35


Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan rasio biaya overheads yang dikeluarkan dengan total modal yang dimiliki masing-masing bank. Overheads/Capital Bank 2009

2008

2007

2006

Maybank Islamic Berhad

0.120

0.095

0.099

0.008

Bank Islam Malaysia Berhad

0.145

0.155

0.145

-0.692

Public Islamic bank Berhad

0.085

0.021

0.038

0.037

Malayan Banking Berhad

0.139

0.141

0.137

0.151

Public Bank Berhad

0.094

0.103

0.103

0.093

CIMB Bank Berhad

0.197

0.171

0.220

0.169

Average ratio of Islamic banks

0.117

0.090

0.094

-0.216

Average ratio of conventional banks

0.143

0.138

0.153

0.138

Lima tahun sebelumnya, yaitu ketika Maybank Islamic Berhad dan Public Islamic Bank Berhad masih berupa Unit Usaha Syariah (UUS – jika dilihat dari konteks Indonesia) dan belum menjadi Bank Umum Syariah (BUS), rasio overheads/capital pada industri perbankan syariah masih mencapai nilai yang lebih tinggi dibdaningkan dengan konvensional. Sehingga pada waktu itu terlihat bahwa bank syariah belum seefisien bank konvensional (Beik dan Arsyianti, 2006). Berbeda dengan lima tahun lalu, setelah kedua bank tersebut terlepas dari induknya secara utuh (namun masih satu grup perusahaan), peran kedua bank sangat berarti dalam meningkatkan keefisienan industri perbankan syariah. Hal ini sangat dimungkinkan karena kedua bank tersebut lahir dari dua bank terbesar se-Malaysia jika ditinjau dari sisi aset. Sementara itu, rasio overheads/capital dari bank syariah terus menunjukkan perbaikan. Rasio ini menunjukkan seberapa besar porsi modal yang dimiliki digunakan untuk pengeluaran biaya overheads bank. Dari sisi ini, bank syariah menunjukkan perbaikan dalam mengelola modalnya. Agar performanya terus berkembang, maka yang dapat kita lakukan adalah menambah modal bank. Sementara itu, pihak bank perlu mengelola pengeluarannya dengan bijak. Default Premium Tingkat premi resiko kegagalan dapat berbeda antara bank yang satu dengan lainnya. Penentuan komponen ini sangat ditentukan oleh karakter dan kemampuan nasabah pembiayaan. Jika nasabah tersebut dapat dipercaya, maka bank mungkin akan mengajukan tingkat premi resiko yang rendah terhadapnya.

36


Indikator yang biasa digunakan untuk melihat tingkat kegagalan nasabah pembiayaan suatu bank adalah dengan melihat NPL (Non-Performing Loan) atau NPF (Non-Performing Financing). NPL terkait dengan bank konvensional, sementara NPF terkait dengan bank syariah. Oleh karena bank syariah tidak mengenal pinjaman selain qard hasan (pinjaman tanpa bunga), penggunaan kata “pembiayaan” rasanya lebih tepat dipakai daripada “pinjaman”. NPL / NPF dapat menunjukkan pengalaman bank pada masa lalu, sehingga bank yang bersangkutan dapat menentukan tingkat premi resiko kegagalan dalam situasi tersebut. Berikut ini ditunjukkan tabel yang menggambarkan kondisi bank syariah dan bank konvensional dari segi pembiayaan. Rasio menunjukkan tingkat NPL/NPF terhadap total financing dan advances setiap tahunnya. NPL/NPF Bank 2009 Maybank Islamic Berhad

rasio

484,192

1.88 %

Bank Islam Malaysia Berhad

2008

rasio

556,758

2.62 %

482,154

4.90 %

Public Islamic bank Berhad

112,998

Malayan Banking Berhad

2007

rasio

2006

rasio

973,004

5.62 %

943,220

10.88 %

779,513

8.84 %

0.93 %

141,607

1.29%

150,343

1.64 %

2,516,06 6

1.86 %

4,358,31 5

3.11%

4,951,66 1

3.76 %

0.67 %

859,820

0.91 %

1,205,49 9

1.32%

1,264,75 1

1.64 %

1.16 %

2,201,98 4

2.55 %

3,176,31 2

4.28%

4,731,99 0

6.31 %

769,566

4.14%

721,773

7.82 %

0.78 %

115,858

2,189,28 2

1.66 %

Public Bank Berhad

732,002

CIMB Bank Berhad

996,697

Average ratio of Islamic banks

0.025

0.038

0.054

0.054

Average ratio of convention al banks

0,012

0,018

0,029

0.039

37


Meskipun performa kedua industri mengalami peningkatan dari segi penanganan kredit/pembiayaan macet, bank syariah nampaknya masih menghadapi nasabah yang kurang dapat dipercaya dibdaningkan bank konvensional. Secara keseluruhan, bank syariah dapat dikatakan menghadapi premi resiko kegagalan yang lebih tinggi dibdaningkan bank konvensional. Oleh karena itu, mereka sepertinya menghadapi nasabah yang tidak sebaik pada bank konvensional. Oleh karena itu, dari semua komponen yang memengaruhi marjin keuntungan pada harga pembiayaan yang diajukan kepada nasabah pembiayaan terutamanya dipengaruhi oleh premi resiko kegagalan nasabah penabung dan overheads/capital. Sementara itu, cost of deposits di kedua industri perbankan di Malaysia cukup bersaing. Dari segi NPL/NPF, bank syariah perlu lebih berhati-hati dalam memilih nasabah pembiayaannya. Bank perlu dengan lebih cermat memperhitungkan nasabah pembiayaannya agar tidak terjerumus dalam pembiayaan macet yang baru. VI. Kesimpulan Dua bank besar di Malaysia, Maybank dan Public Bank, yang telah bergabung dalam kelompok full-pledge bank syariah membuktikan bahwa skala menentukan keringanan biaya overhead bagi suatu bank. Oleh karena itu, saat ini di Malaysia, biaya overhead per capital tidak lagi dirasakan signifikan bagi industri secara keseluruhan. Namun demikian, setiap bank masih terus digalakkan untuk memperbesar skalanya. Salah satu cara adalah melalui pembentukan bank universal, yaitu menjalankan usaha bukan hanya dari tabungan dan pembiayaan, melainkan juga berinvestasi di pasar modal serta berperan dalam manajemen resiko dengan mengembangkan produk asuransi. Sementara itu, kita sebagai masyarakat dapat berperan langsung dengan membantu meningkatkan performa bank syariah melalui menambah jumlah saldo tabungan/deposito pada bank syariah. Dengan demikian, biaya overheads tidak dirasakan berat porsinya pada bank syariah.

38


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, D.A 1998. Money growth variability and stock returns: An Innovations accounting analysis. International Economic Journal.12 (4):89-104.

Ahmad, N H dan Ahmad, S, N (2004),” Key Factors influencing Credit Risk of Islamic Bank: A Malaysian Case” Proceedings the National Seminar in Islamic Banking Finance (iBAF) 2004: Global Challenges & Competitiveness of Malaysian Financial Institutions” 2-3 march 2004, Marriott Hotel, Putrajaya Malaysia.

Bank Negara Malaysia (2011) www.bnm.gov.my, [Accessed 15.02.2011]

Beik, I. S. dan Arsyianti, L. D. 2006. Why the Rate of Financing in Islamic Banks is high? An Analysis based on Malaysian Case. Proceeding of 2nd International Conference on Business, Management, and Economics, 15 – 18 Juni 2006, Turkey.

Haron, S., dan Noraffifah A, (2000),” The Effects of Conventional Interest Rates and rate of Profit on Funds Deposited with Islamic Banking System in Malaysia” International Journal of Islamic Financial Services, Vol 1, No.3.

______ Norafifah A, dan Planisek,L. (1994),” Bank patronage factors of Muslims and nonMuslim Customers”, International Journal of Bank Marketing, Vol 12 No.1, PP.32.

______dan Shanmugam,B. (1995),” The Effect of Rates of Profit on Islamic Bank’s Deposits: A note” Journal of Islamic Banking dan Finance,12, No 2, Pp. 18-28.

Kaleem,A., dan Isa, M.M.(2003),” Causal Relationship Between Islamic and Conventional Banking Instruments in Malaysia.” International Journal of Islamic Financial Services, Vol.4, No.4.

Rosly, Saiful Azhar (2005), “Adverse Selection and Bad Debts: Case for Islamic Banking in Malaysia”, Malaysian Institute of Economic Research, Kuala Lumpur: Malaysia.

______(2005), “Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets,” Danamas Publishing, Kuala Lumpur: Malaysia. 39


Obaidullah, Mohammed (2005), Rating of Islamic Financial Institutions: Some Methodological Suggestions, Islamic Economics Research Centre, King Abdul Aziz University, Jeddah: Saudi Arabia.

Bangladesh Bank (2005), Managing Core Risk of Financial Institutions: Internal Control and Compliance Framework.

40


DETERMINANTS OF BANKING CREDIT DEFAULT IN INDONESIA: A COMPARATIVE ANALYSIS

Muhammad Imaduddin

Alumni of Markfield Institute of Higher Education (Loughborough University) United Kingdom and currently is an Islamic banker.

Abstract Departing from the model developed by Jimẽnez and Saurina (2006), this study aims to analyse the determinants of Islamic banking credit default compared with conventional banking in Indonesia. This study utilised time-series analysis, by which ordinary least square method is adopted. 40 monthly data observations from January 2003 until April 2006 are used. The study is divided into two models, namely Islamic banking model and conventional banking model. The values of non-performing financing (NPF) in Islamic banking and nonperforming loan (NPL) in conventional banking are treated as the dependent variables. The results showed that two-month lagged of non-performing financing (NPF), total asset (ASSET), the amount of third-party-funds (TPF), one-month lagged of total financing (DFIN), and growth of gross-domestic product (GDPG) variables have significant impact to the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking. Meanwhile, the three-month lagged of non-performing loan (DDDNPL), total asset (CASSET), three-month as well as two-month period lagged of total loan (DDDCRED and DDCRED), inter-bank money market (PUAB), and growth of gross-domestic (GDPG) are significant to influence the ratio of nonperforming loan (NPL) in conventional banking. The result also implied that the general election in 2004 had a significant influence to the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking. Eventough from the outset, it seems Islamic banking has a better performance than conventional banking by having a relatively low NPF, this study, however, has found the opposite. Albeit, Islamic banking showing a good long-run as well as short-run dynamics among all variables in the beginning, after modifying the model into autoregressive in the main analysis, results showed that conventional banking has a better performance than Islamic banking with higher correlation of determination. In this regard, we cannot assume that Islamic banking is performing poorly in managing credit default problems. This is because the result implied that the level of Islamic banking’s R-squared, R-bar-squared and DW values are good. Therefore, although Islamic banking is relatively a new comer in the Indonesian banking industry, it has shown a good performance in the banking credit risk management and can compete head-on with conventional banking, respectively. 41


Keywords: Islamic Banking, Conventional Banking, Indonesia, Credit Default, and TimeSeries Analysis

I. INTRODUCTION 1.1.

Background of Study

Islamic banking has been performing a remarkable growth in Indonesia. The development of Islamic banking in terms of number of banks has shown a sound improvement. Since Bank Muamalat Indonesia (BMI) was established in 1992, another seventeen Islamic banks were also established from 1998-2005. During the period of 1998 to 2001, Islamic banking has grown rapidly in terms of assets size at about 74% annually, from 479 billion IDR to 2.718 trillion IDR. Currently, the total asset of Islamic banking is increasing to the level of 20.58 trillion IDR. In 2005, third party’s funds collection activity of Islamic banking increased from 3.7 trillion IDR (31.4%) to 15.6 trillion IDR. From the account type, wadiah current account increased by 0.4 trillion IDR (26.2%), mudharabah saving increased by 1.1 trillion IDR (33.9%), while mudharabah time deposit increased by 2.2 trillion IDR (31.4%). Likewise, the increasing trend raised the share of Islamic banking third party’s funds in the national banking industry for 1.38%. From profitability side, Islamic banking was able to record a profit level of 238.6 billion IDR in 2005, increased by 76.3 billion (47%) compared to 2004. The revenue of Islamic banking (79%) mostly resulted from the margin of murabahah and the profit sharing from musharakah and mudharabah financing16. Despite showing a good performance, Islamic banking has to bear with several challenges. One of which is the issue of risk management, particularly credit risk. Credit risk, or financing risk in Islamic banking term, is the risk that counterparty will fail to meet its obligations timely and fully in accordance with the agreed terms (Khan and Ahmed, 2001). This risk can occur in the banking and trading books of the bank. Credit risk arises when counter-party fails to meet its loan or financing obligations fully in the stipulated time. This risk is associated with the problem of credit default. Due to this risk, there is uncertainty of net-income and market value of equity arising from non-payment and delayed payment. This risk is often measured by a specific financial ratio, namely non-performing loan (NPL). When financial crisis took place in Indonesia during 1998-2001, the Indonesian banking sector has been badly hit by the depreciation of Indonesian rupiahs (IDR) against the US dollar. IDR fall has multiplied the value of the banks foreign debts as well as the value of their US dollar loans, which mostly fall under the non-performing category due to the real sectors bleak performance and their failure to make the necessary credit risk assessments. Interestingly, Islamic banking could still perform better to manage credit default problems compared to conventional banking as indicated by having a relatively low level of nonperforming loan (NPL) just after the economic crisis in Indonesia.

16

Data from Bank Indonesia (www.bi.go.id)

42


In 2005, the concentration risk from financing allocated to the three main sources (business service, trading and construction) was also relatively controllable as reflected in the non-performing loan ratio against the total financing per sector which was under 5%. Question now arises. How Indonesian Islamic banking cater the problem of credit risk as a result of credit default? What are the determinants of credit default in Indonesian Islamic banking compared to conventional banking? To answer these questions, this present study is conducted to model the determinants of credit default in Islamic banking. In order to know the position of Islamic banking, this study will utilise conventional banking as a benchmark analysis. It is expected that this study will give the latest picture of Islamic banking to manage the problem of credit default in Indonesia.

1.2.

Aim and Objectives

This study aims to model the determinants of banking credit default in Indonesia through comparative analysis between Islamic and conventional banking. The objectives of study are briefly explained as follows: 1. To measure the determinants problems of credit default in Islamic banking compared to the conventional banking. 2. To analyse on how Islamic banking manage its credit risk. 3. On the other place, to examine on how conventional banking solves the credit risk problems. Hence, to postulate these aim and objectives, the following hypothesis is used to give a proper direction in this study. H1: Islamic banking has a better performance in managing credit default problem than conventional banking. H2: Conventional banking has a better performance in managing credit default problem than Islamic banking.

II. PREVIOUS STUDIES: A SURVEY Recent empirical works have been attempted by several scholars in the area of credit risk management in banking context. Jimẽnez and Saurina (2006) had analysed a study of credit cycles, credit risks, and prudential regulation with Spain as a case study. The study utilised the ratio of non-performing loan (NPL) as a dependent variable, and on the other side, independent variables are represented by the lagged one year of NPL, the growth rate of gross domestic products (GDPG), the real interest rate as a proxied of interbank interest rate less the inflation of period, total collaterized loans, size of the banks, and two Herfindhal indexes (one for region and one for industry).

43


Using GMM estimator, the study found that the macroeconomic control variables, i.e. GDPG and real interest rates, are both significant and have the expected signs. The acceleration of GDP as well as decline in real interest rates brings about decline in problem loans. The parameter of collaterized loans, although positive, is not significant. The size of the bank does not have a significant to the problem loan ratio. Finally, the rate of loan growth lagged four years is positive and significant at the 1 percent level. The loan growth rate lagged three years is also positive, altough not significant. Therefore, rapid credit growth today results in lower credit standards that eventually bring about higher problem loans. On the other study, How, Karim, and Verhoeven (2005) had examined whether Islamic financing can explain three important bank risks in a country with a dual banking system: credit risk, interest-rate risk, and liquidity risk. Using Malaysian data, the study found that commercial banks with Islamic financing have significantly lower credit and liquidity risks but significantly higher interest-rate risk than banks without Islamic financing. There is also evidence that bank size is significantly related to credit risk; the proportion of loan sales to total liabilities and bank size are significant determinants of interest-rate risk; and off-balance-sheet financing, the extent of securitization, loan volatility, bank capital, and bank size are statistically significant related to liquidity risk. Kalotychou and Staikouras (2003) had measured a study of loan concentration risk in Latin America. A logit framework was employed based on macroeconomic and financial data to determine the causes of Latin American debt crises in the last two decades. The analysis used a modification of the default indicator to explicitly incorporate country arrear capacity. A number of domestic and international signals are found to be important in determining earlier as well as recent incidents. Domestic fundamentals, however, bear a much heavier weight than global conditions, implying that policy-makers still enjoy some freedom in preventing crises by monitoring country vulnerability. Furthermore, this study focuses on the out-of-sample classification accuracy of the proposed estimator using various criteria and provides one-, two- and three-year-ahead forecasts for country default probabilities. Predictive performance is satisfactory with a reasonable reduction in accuracy in the out-ofsample period. Nevertheless, the findings indicate an upward bias towards type II errors. Ranjan and Dahl (2003) had explored an empirical approach to the analysis of commercial banks' non-performing loans (NPLs) in the Indian context. The empirical analysis had evaluated on how banks’ non-performing loans are influenced by three major sets of economic and financial factors, i.e., terms of credit, bank size induced risk preferences and macroeconomic shocks. The empirical results from panel regression models suggest that terms of credit variables have significant effect on the banks' non-performing loans in the presence of bank size induced risk preferences and macroeconomic shocks. Moreover, alternative measures of bank size could give rise to differential impact on bank's nonperforming loans. In regard to terms of credit variables, changes in the cost of credit in terms of expectation of higher interest rate induce rise in NPLs. On the other hand, factors like horizon of maturity of credit, better credit culture, and favorable macroeconomic and business conditions lead to lowering of NPLs. Business cycle may have differential implications adducing to differential response of borrowers and lenders. Lastly, Dy Nora’ain Hj Awg Besar (2005) had employed the topic of credit risk management as for her MA dissertation. The study analysed Islamic Bank of Brunei Berhad (IBB) in terms of the performance of this bank profitability over the last ten years as well as its effectiveness in managing its credit risk. The main focus of the study was on the risk 44


management aspect whilst, the minor part is the performance measurement. In order to analyse the profitability and effectiveness of its risk management, ratio analysis will be employed to measure its profitability, whereas financing loss provision will be used to study its credit risk management. A comprehensive ratio analysis utilised to provide the descriptive or as a non-parametric approach then proceed with the parametric studies to facilitate a more rigorous and dynamic analytical approach. These several previous studies had concluded that the study of credit risk management in the banking sector is very important. Departing from these, this study aims to examine the performance of Islamic banking in credit risk management.

III. METHODOLOGY OF STUDY 3.1.

Research Method

Research method is divided into two categories, i.e. qualitative and quantitative (Umar, 2002). Considering the aims and objectives, quantitative method is applied in this research. It uses time series analysis by utilising Ordinary Least Square (OLS) method. OLS is a statistical technique that uses sample data to estimate the true population relationship between two variables, namely dependent and independent variables. OLS is a method to estimate and find the best fitting line which minimises the sum of squared residuals (SSR), (Koop, 2000:40). The reason why this study adopts this method is that under certain condition the OLS estimator can be shown to be more efficient than many competing estimators. One estimator is said to be more efficient than another if on average the former yields more accurate estimates than the latter. According to Pesaran and Pesaran (1997), the reason for this terminology is that an estimator which yields more accurate estimates can be thought of as utilising and defining the information available in the sample more efficiently.

3.2.

Data

Mainly, economic data can be divided into two types, i.e. time series data and crosssectional data (Koop, 2000:5-6). Time series data can be observed at many frequencies, such as: annually, quarterly, and monthly-basis. In contrast, the ordering of data in cross-sectional does not matter. This study adopts time series data, where it employs monthly secondary data of Islamic as well as conventional banking in Indonesia. Due to availability of data in Indonesia, this study focuses on 40 observations from January 2003 to April 2006. It is expected that by choosing this period, the latest capture of determinants of non-performing financings in Indonesia will be represented, since it covers the data for the last three years. Data are mainly collected from four sources, as follows: (1) Monthly Islamic Banking Statistics (Published by Bank Indonesia), (2) Monthly Indonesian Financial Statistics (Published by Bank Indonesia), 45


(3) Monthly Indonesian Economic and Banking Review, and (4) Monthly Data from Indonesian Statistic Centre Bureau.

3.3.

Model Specification and Defining Variables

Basically, the departure point of this study is based on assumption adopted from Jimẽnez and Saurina (2006), which have written a paper with the tittle: “Credit Cycle, Credit Risk, and Prudential Regulation”, Banco de Espaňa, published on the International Journal of Central Banking. The study presented the model of determinants of banking credit default, which emphasises on measuring problem loan ratios. In this regard, the credit risk is mostly resulted from the possibility of non-performing loan ratio occurred in the banking practice. There are, at least, five variables that have to be considered to measure the determinants of non-performing loan ratio that are as follows:  Size of the banks  Total loans  Real interest rates as a proxy of inter-bank money market  Growth of gross domestic product as a macroeconomic indicator; and  Industrial index that represent the real sector of business activities Hence, model specifications of determinants of banking financing defaults are explained from these following steps: A. Basic Model This study starts from this following basic regression model equation:

Y    X  

(1)

where: Y is referring to the dependent variable X the independent or explanatory variable α and β are the coefficients ε is the error term Since it applies a different case study, this study modifies the model with the variables that are available in the data sources. This study divides into main models, namely Islamic banking model and conventional banking model. Islamic banking model is the model of determinants credit default in Islamic banking, where the ratio of non-performing financing is treated as a dependent variable. Meanwhile, conventional banking model represents the determinants of loan credit default in conventional banking, by which the non-performing loan ratio is utilsed as a dependent variable. The models are estimated as follows:

46


For Islamic Banking Model NPFt     1 ASSET   2TPF   3 FIN   4 PUAS   5 GDPG   6 MANI  

(2)

where: NPF is the ratio of non-performing financing over total financings for Islamic banking in year t. ASSET is the total assets of Islamic banking which represent the size of the banks. TPF is total amount of third party’s funds in Islamic banking. FIN is the total financings to the customer in Islamic banking. PUAS is a proxy as the Islamic inter bank money market in each period. GDPG is the real growth rate of the gross domestic product in Indonesia. The availability of data is in quarterly basis; hence GDP growth is transformed via a Chow-Lin interpolation procedure into a monthly series data. MANI is a manufacturing industrial index that represents the real sector. For Conventional Banking Model NPLt     1CASSET   2 CTPF   3CRED   4 PUAB   5 GDPG   6 MANI   (3) where: NPL is a ratio of non-performing loan over total loans for Islamic banking in year t. CASSET is the total assets of conventional banking which represent the size of the banks. CTPF is the total amount of third party’s funds in conventional banking. CRED is the total financing to the customer in conventional banking. PUAB is a proxy as the inter bank money market in each period. GDPG is the real growth rate of the gross domestic product in Indonesia. Since the availability of data is in quarterly basis; hence GDP growth is transformed via a Chow-Lin interpolation procedure into a monthly series data. MANI is a manufacturing industrial index that represents the real sector. The dependent variable in both models is NPF/L. It is the ratio of non-performing financing/loans over total financing/loans. This study includes as a control variable the size of the banks, which is total asset in each period of time. In addition, the third party’s funds are used as a control variable for the effectiveness of banks. Total financings/loans are also applied to consider the relationship with the non-performing ratio. The more financing given the more possibility suffer from problem of financing default. Also, this study controls for the macroeconomic indicator of credit default through the real rate of growth of the grossdomestic product and the real interest rate, proxies as the inter-bank money market. Since Islamic inter-bank money market, which is interest-free rate, is established in Indonesia, this 47


study uses this variable for Islamic banking model. Furthermore, this study controls the riskdiversification strategies of banks through the inclusion of manufacturing industrial index.

B. Rectified Model The basic model usually presents a lot of persistence from the problem of autocorrelation and heteroscedasticity. Autocorrelation comes up when the error terms of a regression model are correlated among themselves. Durbin-Watson (DW) statistic is used to detect the presence of autocorrelation problem, whereby the model will not suffer from this problem if the value of DW is in between 1.8 and 2.2. Meanwhile, heteroscedasticity is the situation when the error terms on the regression model do not have the same variance (Davidson and Mackinnon, 2004:197). If the error terms do have a same variance and it is said to be homoscedasticity. Hence, in case of the possibility of these two problems might occurs in both models, Jimenez and Saurina (2006) suggested to modify the model into autoregressive (AR) model. It is a regression model where the independent variables are lags of the dependent variable (Koop, 2000:190). This study adds one, two, or three period lagged of variable nonperforming financing/loans and replaces total financings/loans with one lagged period of the total financing/loans to the right hand side of the equation.

3.4.

Steps of Empirical Analysis To measure Islamic and conventional banking models, econometric procedure of empirical analysis is utilised. The procedure steps in the analysis of empirical result chapter are as follows: 1. Preliminary Analysis of Data Before this study estimates the model, it will apply preliminary analysis of data. In this part, the study will explain the behaviour of all data by presenting descriptive statistic test. Plotting all the variables graphs will be utilised as well, in order to describe the data trend from January 2003 until April 2006. 2. Unit-Root Test For a number of reasons, it can be important to know whether or not an economic time series has a unit-root (Davidon and Mackinnon, 2004:613). The distributions of estimators and test statistics associated with first integration iteration regressors may well differ sharply from those associated with regressors that are at the level. Non-stationary data often has important economic implications. Therefore, it is very important to be able to detect the presence of unit roots in the time series. Hence, the unit root test is a necessary prelude to analyse the empirical result, where this study will adopt this test before estimating the model. 3. Co-Integration Test and Error Correction Model After testing for unit-root problems, economic theory often suggests that two or more economic variables should be linked more or less closely (Davidson and Mackinnon, 2004:624). Although deterministic relationships among the variables in any one of the sets of model are usually assumed to hold only in the long-run, economic forces are expected to act in the direction of eliminating short run deviations from these long term relationships. The 48


variables should have a long-run relationship and have to be co-integrated. Hence, the cointegration test will be employed in this study in order to detect whether there are a long run relationship in all variables or not. Moreover, Asutay (2005) said that after detecting the long-run relationship, short-run dynamics should be tested. After having confirmed of the co-integration test, this study then will detect the short-run relationship by applying error correction model (ECM). ECM is a tool to measure the relationship among all variables in the model for the short-run dynamics. 4. Model Estimation After utilising unit-root test, co-integration test, and error-correction model, this study will estimate the models by applying ordinary least square method (OLS). Estimation of the model is the procedure by which the study infers information about the true but unknown values of the population parameter from the sample observations (Azid, 2006). The analysis will emphasise on testing the significance of each individual coefficients using the t test and the overall model using the F test, comment on the R 2 and R 2 values as correlation determination between dependent and independent variables, and testing for the presence of autocorrelation and heteroscedasticity problems in both model.

IV. ANALYSIS OF EMPIRICAL RESULTS 4.1. Unit Root Test Unit-Root test is applied to consider the trend-cycle decomposition of a time series equation [yt] (James, 2005). The time series of dependent variable as well as independent variables are the examples of non-stationary time series. It is generated by random process and can be written as follow: Yt  Yt 1   t where  t is the stochastic error term that follows the classical assumptions, which has zero mean, constant variance and is non-autocorrelated and Y is the time series. Since this study needs to apply the stationary time series for the next cointegration test, error correction model, model estimation, and we also need to solve this unit root problem, hence the regression of unit root test based will be used on the following equation: Yt    Yt 1   1Yt 1   t where this study adds the lagged difference terms of dependent variable Y to the right-hand side of equation (4). This augmented specification is then used to test this following hypothesis: Ho:  = 0 H1:  < 0 The Augmented Dickey-Fuller (ADF) statistics is used to test the unit root problem. 49


Islamic Banking Table.1 Unit Root Test for Islamic Banking Model Variables

Statictical Test and Critical Value Levels

First Differences

Integration Levels

ADF

CV (5%)

ADF

CV (5%)

NPF

-1.9906 (7)

-3.5562

-3.8675 (2)

-3.5615

I (1)

ASSET

-2.3111 (0)

-3.5562

-4.6397 (2)

-3.5615

I (1)

TPF

-.37572 (4)

-3.5562

-5.4757 (2)

-3.5615

I (1)

FIN

-2.5768 (7)

-3.5562

-4.1165 (0)

-3.5615

I (1)

PUAS

-3.9066 (1)

-3.5562

-9.6208 (0)

-3.5615

I (0)

GDPG

-.40648 (0)

-2.9558

-3.1571 (0)

-2.9591

I (1)

MANI

-4.7921 (0)

-3.5562

-3.6492 (2)

-3.5615

I (0)

Source: Author’s Own Calculation Under the unit root test, the result shows that all variables of non-performing financing in Islamic banking are stationary at the first difference [I(1)], except the variable of Islamic inter-bank money market (PUAS) and manufacturing industrial index, by which both variables are stationary at the level [I(0)].

50


Conventional Banking Table.2 Unit Root Test for Conventional Banking Model Variables

Statictical Test and Critical Value Levels

First Differences

Integration Levels

ADF

CV (5%)

ADF

CV (5%)

NPL

-1.0906 (7)

-3.5562

-4.0838 (0)

-3.5615

I (1)

CASSET

-1.7845 (7)

-3.5562

-8.0997 (0)

-3.5615

I (1)

CTPF

-.75453 (7)

-3.5562

-4.5684 (0)

-3.5615

I (1)

CRED

-2.0666 (7)

-3.5562

-4.4368 (0)

-3.5615

I (1)

PUAB

-.32735 (7)

-3.5562

-5.4951 (1)

-3.5615

I (1)

GDPG

-.40648 (0)

-2.9558

-3.1571 (0)

-2.9591

I (1)

MANI

-4.7921 (0)

-3.5562

-3.6492 (2)

-3.5615

I (0)

Source: Author’s Own Calculation On conventional banking model, the result shows that only manufacturing industrial index (MANI) variable that is able to reject the null hypothesis (H0) at the levels. The rest variables are stationary at the first difference. It can be summarised that all of the variables in both Islamic and conventional banking models are stationary and the unit-root problem will not occur in both models.

4.2. Co-Integration Test Co-integration test is employed to obtain the existence of a long-run relationship between time-series variables (Asutay, 2005). When it happens, the variables are said to be co-integrated. When variables are cointegrated, they satisfy one or more long-run relationships (Davidson and Mackinnon, 2004:624). The Residual-based ADF Test for cointegration is used to analyse this co-integration relationship.

51


Islamic Banking

Table.3 Co-integration Test for Islamic Banking Model Co-integration Regression NPF = f (DDNPF, ASSET, TPF, DFIN, PUAS, GDPG, MANI)

Calculated ADF Residuals -5.9333

(0)

Critical Value – (5%) -5.1757

Source: Author’s Own Calculation Under the residual-based ADF test, the result shows that the calculated ADF residual is higher than the critical value; hence we reject the null hypothesis that said there is no cointegration in the model. It can be concluded that there are long run relationship among all variables in Islamic banking model.

Conventional Banking

Table.4 Co-integration Test for Conventional Banking Model Co-integration Regression

Calculated ADF Residuals

Critical Value – (5%)

NPL = f (DDDNPL, DDNPL, CASSET, DCTPF, DDDCRED, DDCRED, PUAB, GDPG, MANI)

-5.5264 (0)

-5.1757

Source: Author’s Own Calculation Similarly with Islamic banking model, all variables in conventional banking model have relationship in the long run, since the calculated ADF residual is higher than the critical value. Hence, this study needs to analyse the short-term relationship among all variables in the short-run.

52


4.3. Error Correction Model Islamic Banking Table.5 Error Correction Model Test for Islamic Banking Model Dependent Variable DNPF Constant

4.4462[0.000]

DDNPF

4.4691[0.000]

DASSET

-3.9878[0.000]

DTPF

0.78167[0.441]

DFIN

0.32511[0.747]

DPUAS

0.37054[0.714]

DGDPG

-2.2333[0.033]

DMANI

-3.5617[0.001]

RES1

0.98825[0.331]

RES2

11.3656[0.000]

R2

0.92627

Ĺ˜ bar 2

0.90593

DW

1.8568

Source: Author’s Own Calculation

Having confirmed the long run or cointegration relationship in the Islamic banking model, this study then will find the short-run relationship by constructing error correction model test. After taking the relevant variables in difference and residuals in one period lagged, then this study runs another regression. The result shows that residual in one period lagged (RES1) is not significant, which means that in one month period the variables do not have a short-run relationship. In order to know the relationship for every two month period, this research then adds variable RES2. The result finds that variable RES2 is statistically significant at 1% level. Hence, it can be concluded that there is a short-run relationship among all variables in every two month period.

53


Conventional Banking Table.6 Error Correction Model Test for Conventional Banking Model Dependent Variable DNPL Constant

1.0402[0.307]

DDNPL

5.0014[0.000]

DCASSET

-.42307[0.675]

DCTPF

-1.2343[0.227]

DCRED

-.22576[0.823]

DPUAB

-.17336[0.864]

DGDPG

.37140[0.713]

DMANI

-1.3917[0.175]

RES1

0.63906[0.528]

RES2

0.63906[0.528]

R2

0.70324

Ĺ˜ bar 2

0.62138

DW

2.2806

Source: Author’s Own Calculation

Contrary with Islamic banking model, the result implies that all variables in conventional banking model do not have short-run relationships for one month period as well as two month period. It is confirmed by the variables of RES1 and RES2 which are not significant at any level. Thus, Islamic banking model is more controllable than conventional banking model in terms of short-run relationship among all variables.

4.4. Empirical Results: Model Estimation The empirical results analysis will be divided into two main models, i.e. Islamic banking model and conventional banking model.

54


4.4.1. Islamic Banking Model The result on table.7 confirms that only variables ASSET, TPF, GDPG, and FIN have significant impact to the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking. It is supported by showing a significant t-ratio of these variables. The slope coefficient ASSET indicates that for every 1 unit change in total assets of Islamic banking, the ratio of NPF increases by 0.57293. In contrast, a negative relationship occurs between TPF and NPF. It means that for every change of third party funds in every 1 unit, the ratio of NPF will be decreased by 1.2838. Meanwhile, if total financings in Islamic banking increase for 1 unit, the ratio of NPF will increase for 0.366. The change in growth of gross domestic product for unit will affect the increasing of ratio of NPF for 0.1164. Table.7 Summary of Regression Result for Islamic Banking Basic Model Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

NPF

TPF

ASSET

Constant = 1.8515

Coef: -1.2838

Coef: 0.57293

R2 = 0.69737

T-Ratio 4.5855

T-Ratio 2.3053

Ĺ˜ bar 2 = 0.64234 F-stat. F(6,33) 12.6739[0.000] DW-statistic 1.4883

GDPG Coef: 0.11640

Significant at 0.1 -

Not Significant PUAS Coef: 0.0089445

FIN

T-Ratio 0.18938

Coef: 0.36600

MANI

T-Ratio 2.1524

Coef: 0.0085129

T-Ratio 3.0393

T-Ratio 0.70398

Heteroscedasticity *F(1,38)= 1.0159[0.320] Source: Author’s Own Calculation

The heteroscedasticity problem will not occur in the model and the value of F-statistic finds that this model is overall significant. The value of R-squared and R-bar-squared are relatively high. Unfortunately, this model might suffer from the autocorrelation problem since the value of DW-statistic less than 1.8. The problem of autocorrelation occurs when the error terms of a regression model are correlated among themselves. Hence, this study modifies the model into autoregressive in order to remove the problem of autocorrelation.

55


Rectified Model: Introducing the Lagged Variables of NPF and FIN Table.8 Summary of Regression Result for Islamic Banking Rectified Model Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

NPF

DNPF

MANI

Constant = 0.063783

Coef: 0.51163

Coef: 0.023983

T-Ratio 3.2904

2

R = 0.75950 Ř bar 2 = 0.70520 F-stat. F(7,31) 13.9857[0.000] DW-statistic 1.5060

ASSET

Significant at 0.1

T-Ratio 2.3451

-

Not Significant DFIN Coef: -0.32216 T-Ratio 1.1566 PUAS

Coef: 0.88546

Coef: 0.0053959

T-Ratio 4.6392 TPF

T-Ratio 0.12350

Coef: -1.3407

Heteroscedasticity T-Ratio 5.2076 *F(1,37)= 3.1688[0.083] GDPG Coef: 0.11452 T-Ratio 3.1588 Source: Author’s Own Calculation Since the problem of credit default presents a lot of persistence, this research adds the NPF variable in right-hand-side lagged one month, namely DNPF. Meanwhile, the ratio of NPF in one period is also affected by the total financings in the previous period, hence variable of DFIN is introduced to replace the variable FIN, where this variable is a proxy of lagged one month of variable FIN. From table.8, the result shows that although the variable DNPF is satistically significant, but the problem of autocorrelation cannot be removed since the value of DW statistic still less than 1.8. To solve this problem, this research adds variable DDNPF as a two month lagged of NPF to replace DNPF. Final Model Interestingly, after processing another regression analysis by adding the variable DDNPF and DFIN in the model, the value of DW statistic is 1.9763. Therefore, the problem of autocorrelation can be removed from the model. With a high value of R2 = 0.79047, Řbar2 = 0.74158, this model is overall statistically significant by showing a good F-statistic result. Heteroscedasticity problem will not occur in this model since the value of *F which is not significant at any level. Hence, this study uses this calculation as the final model of Islamic banking model. 56


Table.9 Summary of Regression Result for Islamic Banking Final Model Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

Significant at 0.1

NPF

DDNPF

DFIN

-

Constant = 0.97871

Coef: 0.48787

Coef: -0.60655

R2 = 0.79047 Ř bar 2 = 0.74158 F-stat. F(7,30) 16.1680[0.000] DW-statistic 1.9763

T-Ratio 4.1228 T-Ratio 2.3738 ASSET

Not Significant PUAS Coef: 0.024073 T-Ratio 0.55670

Coef: 0.76558

MANI

T-Ratio 4.1706

Coef: 0.016707

TPF

T-Ratio 1.6878

Coef: -1.1494

Heteroscedasticity T-Ratio -4.721 *F(1,36)= GDPG 2.4155[0.129] Coef: 0.10927 T-Ratio 2.8963 Source: Author’s Own Calculation

The regression model of determinants of financing default in Islamic banking is now as follows: NPFt  0.97871  0.48787 DDNPF  0.76558 ASSET  1.1494 TPF  0.60655 DFIN  0.10927 GDPG

It can be interpreted that the slope coefficient DDNPF indicates that for every change in 1 unit of ratio of NPF in two month behind, the ratio NPF will increase for 0.48787. The coefficient ASSET indicates that for every 1 unit change in total assets of Islamic banking, the ratio of NPF increases by 0.76558. In contrast, a negative relationship still occurs between TPF and NPF. For every change of third party funds in every 1 unit, the ratio of NPF will be decreased by 1.1494. The result also finds that if total financings in Islamic banking increase for 1 unit, the ratio of NPF in the next month will decrease for 0.60655. The more financings are given to the customer, the less possibility of Islamic banking might suffer from financing default. This result contradicts with the early hyphothesis used in this research, whereby the more financing should impact the more possibility suffers from problem of financing default.

57


From macro variable, the change in growth of gross domestic product for a unit will affect the increasing of ratio of NPF for 0.10927. The result also shows that variable PUAS and MANI are not significant, since the t-calculated values of both variables are less than t-table. Although both variables have a positive correlation, but from the model it can be concluded that Islamic inter-bank money market and manufacturing industrial index do not statistically give significant influence to the NPF ratio in Islamic banking.

4.4.2. Conventional Banking Model Table.10 Summary of Regression Result for Conventional Banking Basic Model Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

Significant at 0.1

-

-

Not Significant

NPL

PUAB

R2 = 0.80319

Coef: 0.48898

Ř bar 2 = 0.76741

T-Ratio 6.6570

F-stat. F(6,33) 22.4463[0.000]

GDPG

T-Ratio 0.20876

Coef: -0.23345

CTPF

T-Ratio 5.0103

Coef: 0.0040249

DW-statistic 1.4712

CASSET Coef: 0.0010200

Heteroscedasticity

T-Ratio 0.55932

*F(1,38)= 3.0907[0.087]

CRED Coef: 0.0097176 T-Ratio 1.5550 MANI Coef: 0.0029590 T-Ratio 0.23228

Source: Author’s Own Calculation This model is strong, since the value of R2 (0.80319) and Ř bar 2 (0.76741) are high. Fstatistic result also confirms that this model is overall significant. Only variable PUAB and GDPG have significant impact to the ratio of non-performing loan in conventional banking, 58


as it is shown by the result of both t-ratios. Unfortunately, the DW statistic result confirms model might suffer from the problem of autocorrelation. Similarly, heteroscedasticity problem also occurs in the model since the value *F is significant at 10% level. Thus, similarly with Islamic banking model, this study modifies the model by introducing oneperiod-lagged from the variables. Rectified Model 1: Introducing Lagged Variables of NPL and CRED Table.11 Summary of Regression Result for Conventional BankingRectified Model (1) Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

Significant at 0.1

NPL

DNPL

CTPF

Constant =

Coef: 0.63241

-4.5846

T-Ratio 3.6349

Coef: 0.013925

Coef: 0.0013676

R2 = 0.85597

PUAB

T-Ratio 2.7192

T-Ratio 0.31570

Ř bar 2 = 0.82345

Coef: 0.40383

DCRED

F-stat F(7,31) 26.3201[0.000] DW-statistic 1.0790

T-Ratio 10.0251

Coef: 0.0092865

GDPG

T-Ratio 0.92410

Heteroscedasticity Coef: -0.21413 *F(1,37)= 1.0447[0.313]

-

Not Significant CASSET

MANI

T-Ratio 5.7617

Coef: 0.0043268 T-Ratio 0.37251

Source: Author’s Own Calculation This study modifies the model by adding variable DNPL (one period lagged of NPL) and replacing CRED with its lagged variable, namely DCRED. Eventhough the values of R2 and Ř bar 2 increase and the variable DNPL is significant and the heteroscedasticity problem will not occurs in the model, but the result reports that the problem of autocorrelation still occurs since the value of DW statistic decreases from 1.4712 to 1.0790. Hence, like the previous model, this study adds DDNPL as the value of two-period-lagged of NPL to substitute DNPL variable.

59


Rectified Model 2 Table.12 Summary of Regression Result for Conventional Banking Rectified Model (2) Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

NPL

DDNPL

CTPF

Constant = -3.3897

Coef: 0.44050

Coef: 0.012071

Coef: 0.4198E-3

Ř bar 2 = 0.82532

T-Ratio 3.7003

T-Ratio 2.3113

T-Ratio 0.096417

F-stat F(7,30) 25.9743[0.000]

PUAB

DCRED

DW-statistic = 1.4430

Coef: 0.37130

Coef: 0.9390E-3

T-Ratio 8.6119

T-Ratio 0.088100

GDPG

MANI

Coef: 0.20565

Coef: 0.9495E-3

T-Ratio 5.3056

T-Ratio 0.081349

R2 = 0.85837

Heteroscedasticity *F(1,36)= 1.4038[0.244]

Significant at 0.1 -

Not Significant CASSET

Source: Author’s Own Calculation After running another regression, the value of DDNPL is significant at 1% level. Unfortunately, the result in table 5.12 still finds that the value of DW-statistics is 1.4430 which means that it still in the range of autocorrelation problem.

60


Final Model: Utilising Lagged Variables of NPL, CTPF, and CRED Table.13 Summary of Regression Result for Conventional Banking Final Model Equation

Significant at 0.01

Significant at 0.5

Significant at 0.1

NPL

DDDNPL

DDCRED

DDDCRED

DDNPL

Constant = -2.6869

Coef: 0.57187 T-Ratio 2.9903

Coef: 0.019508

Coef: -0.19772

R2 = 0.89072

Coef: 0.031205

Ř bar 2 = 0.85429

CASSET

F-stat F(9,27) 24.4522[0.000]

Coef: 0.0082605

DW-statistic 1.8641

T-Ratio 4.4799

Heteroscedasticity *F(1,35)= 0.74597[0.394]

T-Ratio 2.5476

Not Significant

T-Ratio T-Ratio 2.0467 0.86035 DCTPF Coef: 0.0088884 T-Ratio 1.2861

PUAB

MANI

Coef: 0.39127 T-Ratio 8.3290

Coef: 0.4829E-4

GDPG

T-Ratio

Coef: -0.21641

-0.0044692

T-Ratio 5.2006

Source: Author’s Own Calculation

This study then adds DDDNPL as a three-month-lagged of variable NPL and DCTPF as a one-month lagged of variable CTPF. This study also uses three-month lagged as well as two month lagged of variable CRED, namely DDDCRED and DDCRED. This study still utilises variable DDNPL in the model, in order to run another regression analysis. Interestingly, in this fourth process of regression, lots of variables are significant in the model. Variable DDDNPL as a three-month lagged variable of NPL is significant at 1% and has a positive relationship with the value of NPL. CASSET, PUAB, and GDPG are also significant at 1% level. CASSET and PUAB have a positive impact to the ratio of nonperforming loan; meanwhile growth of domestic product has a negative relationship with the value of NPL. Two-month and three-month lagged variable of variable CRED are significant at 5% and 10% level of significant. On the other side, DDNPL, DCTPF, and MANI are not significant at any level.

61


5. CONCLUSION AND RECOMMENDATION 5.1.Conclusion This study attempted to analyse the determinants of banking credit default in Indonesia. Departing from the model developed by Jimẽnez and Saurina (2006), this study aims to analyse the quality of Islamic banking in managing credit default problem compared with conventional banking in Indonesia. This study utilised time-series analysis, by which ordinary least square method is adopted. 40 monthly data observations from January 2003 until April 2006 are used.

The study is divided into two models, namely Islamic banking model and conventional banking model. The values of non-performing financing (NPF) in Islamic banking and non-performing loan (NPL) in conventional banking are treated as the dependent variable. Meanwhile, the independent variables are represented by total assets (ASSET), total amount of third-party-funds (TPF), total financing/loan (FIN/CRED), inter-bank money market (PUAS/PUAB), growth of gross domestic product (GDPG), and manufacturing industrial index (MANI).

Table.14 Significant Variables in Both Models Significant Variables Islamic Banking     

Conventional Banking

Two-month lagged of NPF (DDNPF) Total asset (ASSET) The amount of third-party-funds (TPF) One-month lagged of total financing (DFIN) Growth of gross domestic product (GDPG)

The three-month lagged of nonperforming loan (DDDNPL)  Total asset (CASSET)  Three-month lagged of total loan (DDDCRED)  Two-month lagged of total loan (DDCRED)  Inter-bank money market (PUAB)  Growth of gross domestic product (GDPG) Source: Author’s own calculation

In terms of significant variables, Table 6.1 shows that two-month lagged of non-performing financing (NPF), total asset (ASSET), the amount of third party’s funds (TPF), one-month lagged of total financing (DFIN), and growth of gross-domestic product (GDPG) variables have significant impact to the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking.

62


Meanwhile, the three-month lagged of non-performing loan (DDDNPL), total asset (CASSET), three-month as well as two-month period lagged of total loan (DDDCRED and DDCRED), inter-bank money market (PUAB), and growth of gross-domestic (GDPG) are significant to influence the ratio of non-performing loan (NPL) in conventional banking. The result also implied that the general election in 2004 had a significant influence to the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking.

Table.15 Summary of Regression Result of Final Model Final Model Islamic Banking

    

Conventional Banking

R2 = 0.79047 Ř bar 2 = 0.74158 F-stat. F(7,30) = 16.1680[0.000] DW-statistic = 1.9763 Heteroscedasticity *F(1,36)= 2.4155[0.129]

    

R2 = 0.89072 Ř bar 2 = 0.85429 F-stat F(9,27) = 24.4522[0.000] DW-statistic = 1.8641 Heteroscedasticity *F(1,35)= 0.74597[0.394]

Source: Author’s own calculation Even tough from the outset, it seems Islamic banking has a better performance than conventional banking by having a relatively low NPF, this study, however, has found the opposite. Albeit, Islamic banking showing a good long-run as well as short-run dynamics among all variables in the beginning, after modifying the model into autoregressive in the main analysis, results showed that conventional banking has a better performance than Islamic banking with higher correlation of determination. Despite attaining a value of correlation of determination not as strong as conventional banking, we cannot assume that Islamic banking is performing poorly in managing credit default problems. This is because the result shows that the level of Islamic banking’s Rsquared, R-bar-squared and DW values are good. Therefore, even though Islamic banking is relatively a new comer in the Indonesian banking industry, it has shown a good performance in the banking credit risk management and can compete head-on with conventional banking.

6.2. Implications for Islamic Banking in Indonesia

Islamic banking can consider the study findings as an essential input in formulating credit risk management strategy for its operations. There are five variables which have a significant impact on the ratio of non-performing financing (NPF) in Islamic banking. These variables can be used as important determinants to cater the financing default problems. These variables are as follows: 63


1. Two-period lagged of non-performing financing has a positive correlation with the ratio of non-performing financing itself. The determinants of credit default in future period are strongly influenced by credit default problems at the current as well as previous period. Hence, Islamic banking should analyse the behavior of the previous ratio trend in order to detect the trend movement in the future ratio. 2. Size of the bank, which is represented by the total assets, has a positive relationship with the ratio of non-performing financing. This finding contradicts with the previous study result conducted by Jimenez and Saurina (2006), which stated that size of the bank is not significant. Islamic banking, therefore, can control this ratio by synergising the total assets with the risk management policy. 3. The negative relationship between the ratio of non-performing financing and the amount of third party’s funds can be utilised to attract more investor to invest their funds in Islamic banking. 4. The previous total financing given to the demand side of customer gives a strong influence to the non-performing financing ratio. Thus, Islamic banking can control the financing given by allocating it to prospective and controllable businesses as well as to the growing industry sector. 5. Gross-domestic product as an external indicator is significant to the ratio. Hence, Islamic banking should consider the trend of the growth of gross-domestic product in formulating the credit risk management strategy as well as financing policy to the customer.

6.3. Suggestions for Further Studies

Further studies need to be conducted. In particular, this study examined the performance of Islamic banking to manage credit default problem in the context of aggregate or macro perspective. It would be interesting to focus attention on the analysis on individual banks or micro level. Comparison between Islamic banks will be beneficial as well, in terms of analysing the effectiveness performance of each individual bank in managing credit risk, particularly credit default problems. Furthermore, further studies might utilise inflation rate as the independent variable in the model. This is due to analyse whether inflation has a significant influence to the financing default in both Islamic banking as well as in conventional banking. The increasing trend of inflation in Indonesia, however, will result in increasing the interest rate. This can affect the problem of credit default as a result of high interest rate as well as total cost of production.

64


BIBLIOGRAPHY

Asutay, Mehmet. (2005). Lecture Handouts on Quantitative Methods. United Kingdom: The Markfield Institute of Higher Education. Azid, Toseef. (2006). Lecture Handouts on Quantitative Methods. United Kingdom: The Markfield Institute of Higher Education. Bank Indonesia, Monthly Indonesian Economic and Banking Review 2003-2006, Jakarta, Indonesia. Available at: www.bi.go.id, Access date: 31 July 2006. Bank Indonesia, Monthly Indonesian Financial Statistics 2003-2006, Jakarta, Indonesia. Available at: www.bi.go.id, Access date: 31 July 2006. Bank Indonesia, Monthly Islamic Banking Statistics 2003-2006, Jakarta, Indonesia. Available at: www.bi.go.id, Access date: 31 July 2006. Business Watch Indonesia, Report on the Financial Sector in Indonesia 2004, Edited by Somo. Available at: www.somo.nl. Access date: 6 March 2006. Davidson, R. D., and MacKinnon, James. G. (2004). Econometric Theory and Methods. New York, USA: Oxford University Press, Inc. Glantz, Morton. (2002). Managing Bank Risk: An Introduction to Broad-Base Credit Engineering. USA: Academic Press. Harun, Cicilia. (2003). Examining the Financial Crisis in Indonesia: The Effect of Financial Disintermediary. EC 721 Topics in Development Economics, Fall Semester 2003. Boston, USA: University of Boston. Hj Awg Besar, Dy Nora’ain. (2005). Measuring the Performance and the Credit Risk Management of the Islamic Bank of Brunei Berhad (IBB). The Markfield Institute of Higher Education: MA Dissertation. How, Karim, and Verhoeven. (2005). Islamic Financing and Bank Risks: The Case of Malaysia. Research Article. Available at: http://www3.interscience.wiley.com. Access date: 13 August 2006. Izhar, Hylmun. (2005). Modelling the Behavior of Money Demand in Interest-Free Financial System: A Case Study of Indonesia. The Markfield Institute of Higher Education: MA Dissertation. James, Gregory. (2005). Lecture Handout 10 on Quantitative Methods: Time-Series Analysis. United Kingdom: The Markfield Institute of Higher Education. Jimenez, Gabriel., and Saurina, Jesus. (2006). Credit Cycle, Credit Risk, and Prudential Regulation. Banco de Espana. International Journal of Central Banking. Kalotychou, Elena., and Staikouras, Sotiris. K. (2003). An Empirical Investigation of Loan Concentration Risk in Latin America. Available at: www.cass.city.ac.uk. Access date: 13 August 2003. 65


Khan, Tariqullah., and Ahmed, Habib. (2001). Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry. Occasional Paper no.5. Jeddah, Saudi Arabia: Islamic Research Training Institute, Islamic Development Bank. Koop, Gary. (2000). Analysis of Economic Data. United Kingdom: John Wiley And Sons, Ltd. Pesaran, M. Hashem, and Pesaran, Bahram. (1997). Working with Microfit 4.0: Interactive Econometric Analysis. New York, USA: Oxford University Press. Ranjan, Rajiv., and Dhal, Sharat. Chandra. (2003). Non-Performing Loans and Terms of Credit of Public Sector Banks in India: An Empirical Assessment. Reserve Bank of India Occasional Papers Vol. 24, No. 3, Winter 2003. Available at: www.rbi.org.in. Access date: 29 August 2006. Statistic Centre Beureau of Indonesia, Monthly Data 2003-2006, Jakarta, Indonesia. Available at: www.bps.go.id, Access date: 31 July 2006. Umar, Husein. (2002). Metode Riset Bisnis (Research Method for Business). Jakarta, Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama.

66


MUSYARAKAH, MUDARABAH DAN PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL 17

Hilman Hakiem Dosen Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor

Desi Silfiaratih Waluyo Alumni Departemen Manajemen FEM-IPB

Abstract

Indonesia's economic growth declined in the period 2004-2006. This is caused by too much focus on strengthening the monetary policy, otherwise the real sector less attention. As of May 2006, the bank funds are not channeled into the real sector reached Rp 393 trillion, which is then reinvested in the financial sector. The contradiction of real-monetary sector was due to the high interest rate policy of Bank Indonesia. On the one hand, this policy can reduce inflation, but on the other hand will result in the real sector become slow. This condition requires immediate implementation of an integral and gradual system of Islamic banks as a solution to solving the problem. This paper aims to describe how Islamic banks, through the scheme musyarakah and mudharabah, can improve the real sector growth in the context of overcoming the economic problems of Indonesia.

Keywords: economic growth, monetary policy, real sector, musyarakah, mudharabah

I. PENDAHULUAN Kondisi perekonomian Indonesia belum menunjukkan performa yang memuaskan. Staf Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI Yusuf Wibisono dalam tulisan di harian Republika, 2 Agustus 2006, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi semakin 17

Disarikan dari makalah yang disampaikan pada acara Kajian Rutin (Kantin) Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh Committee of Discussion of Islamic Economics (CDIE) UIKA Bogor, Kamis 24 Mei 2007.

67


menurun dari 7,1 persen pada kuartal IV 2004 saat pemerintahan baru dilantik, menjadi 4,6 persen pada kuartal I 2006. Target pertumbuhan ekonomi 2006 sebesar 5,9 persen diyakini sulit tercapai. Sektor riil masih berjalan tertatih-tatih di tengah prestasi stabilitas makroekonomi. Saat ekspor Mei 2006 mencatat rekor tertinggi sepanjang republik ini berdiri yaitu 8,34 miliar dolar AS, surplus perdagangan mencatat surplus 3 miliar dolar AS pada triwulan II 2006 juga nilai tukar semakin stabil dan menguat, sektor riil justru terpuruk. Kondisi sektor riil yang terutama diwakili oleh industri manufaktur kini sudah dalam tahap merisaukan. Anjloknya penjualan, tipisnya likuiditas, rendahnya kucuran kredit, lambatnya restitusi pajak, dan maraknya penyelundupan, membuat industri nasional harus menanggung beban yang sangat berat. Penurunan kinerja emiten-emiten industri manufaktur di BEJ pada semester I 2006 menjadi bukti nyata bahwa terpuruknya sektor riil nasional bukan lagi sekedar wacana belaka. Di saat sektor riil tertimpa beban luar biasa berat, sektor moneter ternyata tidak merasakan hal yang sama. Industri perbankan secara konsisten terus meningkat labanya dari Rp 1,5 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 15,8 triliun pada Mei 2006. Pada waktu yang sama, aset perbankan nasional bertambah Rp 49,3 triliun. IHSG juga booming dan sempat menyentuh level 1.500 pada awal Mei 2006 lalu. Sektor finansial dalam posisi yang kuat, namun terjadi fenomena decoupling. Lebih jauh Wibisono berpendapat, kontradiksi sektor riil-moneter tersebut bersumber dari kebijakan suku bunga tinggi dari Bank Indonesia (BI). Kebijakan suku bunga tinggi diyakini penentu kebijakan akan membuat tekanan inflasi mereda. Namun, tingginya BI rate, yang sejak diperkenalkan pertama kali pada 5 Juli 2005 telah mengalami lima kali kenaikan, membuat sektor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak. Tingginya BI rate justru membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja. Per Mei 2006, dana perbankan yang tersimpan dan tidak disalurkan ke sektor riil mencapai Rp 393 triliun, yang kemudian ditanam kembali di sektor finansial yaitu di SBI dan instrumen lain. Saat sektor finansial dengan konsep bungaberbunga terus menuntut imbalan yang meningkat menuju tak terbatas, sektor riil justru menuju titik nadir. Biaya operasi moneter menjadi sangat signifikan dan terus meningkat seiring kenaikan suku bunga. Biaya pengendalian moneter pada 2005 adalah Rp 18 triliun dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 20 triliun pada tahun 2006 ini. Dengan demikian, jumlah uang beredar semakin tinggi, yang kemudian ditransmisikan pada kenaikan harga aset, inflasi melambung, dan terciptalah bubble economy. Ketika senjang antara sektor riil dan moneter membesar, pada titik tertentu dipastikan akan meledak dan berakhir dengan krisis ekonomi. Tingginya suku bunga ditengarai merupakan salah satu strategi BI untuk menarik modal asing sehingga nilai tukar menjadi tampak stabil bahkan menguat. Dengan BI rate bertengger di atas 12 persen dan ekspektasi inflasi 8 persen, Indonesia menawarkan suku bunga riil lebih dari 4 persen, salah satu yang tertinggi di dunia. Amerika Serikat saja yang sejak Juni 2004 telah 17 kali menaikkan the fed fund rate yang kini bertengger di 5,25 persen, hanya mampu menawarkan suku bunga riil tidak lebih dari 1,75 persen. U. Saefudin Noer18 menyatakan bahwa pergerakan bunga akan berpengaruh pada financing dan funding. Untuk menarik nasabah, bank menjanjikan bunga tinggi. Imbasnya, bunga pinjaman pun harus dinaikkan jika tidak terjadi negative spread. Sementara bagi nasabah pembiayaan, naiknya suku bunga adalah tambahan beban. Ini berdampak pada potensi kredit macet yang meningkat. Dampaknya, sektor riil akan kesulitan. Sedangkan di bank syariah, nasabah pembiayaan tak perlu khawatir suku bunga naik karena mereka tidak 18

Direktur Bank Muamalat Indonesia (BMI)

68


terpengaruh. Begitu juga dengan deposan. Pendapatan mereka berdasar kinerja bank dan dibagi sesuai rasio yang ditetapkan. Jika hasil pembiayaan besar, maka akan dibagikan kepada deposan dalam jumlah besar, begitu juga sebaliknya (Republika, 14 Nopember 2005). Bunga adalah akar dari semua krisis finansial perekonomian modern. Penerapan bunga membuat output di sektor riil diharuskan tumbuh sesuai tingkat yang diinginkan sektor finansial. Dengan demikian, penerapan bunga secara sistemik akan membuat upaya-upaya mendapatkan laba jangka pendek semakin marak sehingga mendorong eksploitasi sumber daya manusia dan alam secara berlebihan. Dalam konteks inilah, menjadi penting bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk selalu mengarahkan kegiatan sektor keuangan sebagai pendukung sektor riil. Sektor riil-lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan, bukan sebaliknya. Di sinilah sistem ekonomi syariah yang selalu terkait dengan sektor riil, tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi model solutif masalah perekonomian Indonesia (Wibisono, 2006). Hanya saja, dalam praktiknya, meskipun ekonomi syariah dalam konteks perbankan syariah, secara bertahap mampu menunjukkan perkembangan positif, namun belum mencapai kondisi yang optimal. Meskipun masyarakat tidak setuju bunga sebanyak 51 % 19, namun ditemui banyak hambatan dalam implementasinya. Ini salah satunya disebabkan oleh belum komperehensifnya pemahaman tentang karakteristik bank syariah.

II. PERBANDINGAN EKONOMI SYARIAH DAN EKONOMI KONVENSIONAL Ekonomi syariah adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada Alquran yang bertujuan untuk mencapai keadilan sosial ekonomi masyarakat. Ekonomi syariah dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang berfungsi memenuhi kebutuhan hidup manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang berlandaskan nilai-nilai syariah, tanpa mengorbankan kebebasan individu maupun keseimbangan alam (Chapra, 2001). Sedangkan dalam sistem ekonomi konvensional, riba/bunga menjadi satu-satunya instrumen yang digunakan dalam setiap transaksi (Usmani, 2004). Riba artinya pertukaran dua barang/benda yang sejenis dengan adanya perbedaan/selisih nilai. Riba terbagi menjadi dua kategori yaitu riba al-fadl (yang berhubungan dengan materi / benda) dan riba an-nasi’ah (yang berhubungan dengan waktu). Contoh riba al-fadl adalah A dan B melakukan transaksi dengan pertukaran 10 kg beras dengan 12 kg beras. Disebut riba karena barang yang ditukarkan adalah sama yaitu beras dengan adanya selisih berat. Tidak disebut riba jika 10 kg beras ditukar dengan 12 kg gandum karena berlainan jenis meskipun ada selisih berat. Contoh riba an-nasi’ah adalah A dan B melakukan transaksi di mana A membeli barang milik B seharga Rp 100,000 dengan kesepakatan akan dibayar dalam tempo tiga bulan. Jika A tidak dapat membayar tepat waktu, maka harga barang tersebut akan bertambah menjadi Rp 120,000. Disebut riba karena harga berubah karena perubahan waktu. Dalam sistem ekonomi syariah dikenal dengan istilah jual beli, yaitu pertukaran dua barang/benda yang berlainan jenis, dengan adanya perbedaan/selisih nilai. Sebagai contoh, A 19

Hasil penelitian BNI Syariah 2005.

69


dan B melakukan transaksi dengan pertukaran 10 kg beras dengan 12 kg gandum. Contoh lain adalah A menjual buku miliknya senilai Rp 10,000 kepada B dengan harga Rp 12,000. Maka Rp 2,000 adalah keuntungan bagi A. Karakteristik lainnya, dalam sistem ekonomi konvensional tidak dibedakan antara uang dan barang. Seseorang dapat menjual barang senilai Rp 10,000 dengan harga Rp 12,000 sama halnya dengan menjual uang Rp 10,000 dengan harga Rp Rp 12,000. Lain halnya dengan sistem ekonomi syariah yang membedakan uang dengan barang. Berikut ini tiga perbedaan mendasar antara uang dan barang berdasarkan perspektif ekonomi syariah: Tabel 1. Perbedaan Uang dan Barang Menurut Perspektif Ekonomi Syariah Poin

Uang

Barang

Kegunaan intrinsik

Uang tidak memiliki kegunaan intrinsik, artinya uang tidak dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup. Uang hanya dapat digunakan untuk membeli barang / jasa.

Barang memiliki kegunaan intrinsik, artinya barang dapat digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai contoh : pena sebagai alat untuk menulis, sajadah untuk salat, dll.

Perbedaan kualitas

Uang tidak memiliki perbedaan kualitas. Lembaran uang baru Rp 1,000 keluaran 2006 sama nilainya dengan lembaran uang lama Rp 1,000 keluaran 2001. Fungsi uang hanyalah sebagai alat ukur dan alat tukar.

Barang dapat memiliki perbedaan kualitas. Mobil kijang tua keluaran 1990 harganya lebih murah dibandingkan mobil kijang baru keluaran 2006.

Spesifikasi

Transaksi yang menggunakan uang tidak dapat dikhususkan pada lembaran uang tertentu. Sebagai contoh : A membeli barang B senilai Rp 1,000 dengan menunjukkan lembaran uang Rp 1,000 nomor seri A11 pada saat transaksi. Akan tetapi A boleh membayar dengan lembaran uang bernomor seri A12 atau A13. Dan B tidak dapat memaksa bahwa dia harus mendapatkan lembaran uang bernomor seri A11.

Transaksi jual beli barang dikhususkan pada spesifikasi tertentu. Sebagai contoh : A membeli mobil kijang di showroom milik B. Saat transaksi A memesan kijang dengan spesifikasi tertentu dan B menunjukkan mobil yang diinginkan A. Kemudian terjadi transaki, dengan kesepakatan mobil akan diambil setelah 2 hari. Setelah 2 hari, B harus menyerahkan mobil kijang yang dipesan A.

Referensi: Usmani,M. Taqi, An Introduction to Islamic Finance,Maktaba Ma’ariful Qur’an,Karachi,2004 Jadi jelas bahwa uang dan barang memiliki karakteristik yang berbeda, yang karenanya harus diperlakukan secara berbeda pula. Uang hanyalah sebagai alat ukur dan alat tukar yang karenanya tidak boleh diperdagangkan. 70


Terkait dengan transaksi jual beli beli barang secara tunai dan kredit dalam saat yang bersamaan, hal ini diperbolehkan dalam ekonomi syariah, dengan syarat pada saat transaksi salah satu pilihan harus ditentukan (Usmani, 2004). Sebagai contoh, A melakukan jual beli dengan B. Pada saat transaksi A menawarkan pada B bahwa jika barangnya dibeli secara tunai, harganya Rp 10,000, tapi jika dibeli secara kredit selama 1 bulan harganya Rp 12,000. B harus menentukan dalam transaksi apakah akan membeli secara tunai ataukah secara kredit. Harus ada kepastian sejak awal. Contoh lain adalah A menawarkan 3 harga pada 1 barang kepada B dengan sistem kredit. A menawarkan kepada B jika barang dibeli dalam jangka 1 bulan harganya Rp 10,000 jangka 2 bulan harganya Rp 12,000 dan jangka 3 bulan harganya Rp 14,000. Jual beli semacam ini diperbolehkan dalam ekonomi syariah dengan syarat salah satu pilihan harus ditentukan pada saat transaksi. Jadi B harus menentukan apakah pilihan 1, 2 atau 3 yang akan dipilihnya sejak awal. Dan pada saat harga telah ditentukan, maka harga tidak boleh berubah. Sebagai contoh, B memilih pilihan 3 yaitu ia membeli barang A seharga Rp 14,000 selama 3 bulan. Jika dia terlambat membayar, maka tidak ada denda uang. Atau sebaliknya, jika B membayar lebih cepat, tidak ada pengurangan harga. Karena berubahnya harga disebabkan perubahan waktu termasuk kategori riba an-nasi’ah. Terkait dengan utang, ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan barang (Hafidhuddin, 2006). Utang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Utang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba. Dalam transaksi lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk utang pengadaan barang, bukan utang uang. Ekonomi syariah tidak mengenal istilah opportunity cost, karena uang tidak memiliki definite return. Uang yang kembali tidak dapat dipastikan, karena memiliki kemungkinan untung atau rugi. Dalam konteks jual beli saham, ekonomi syariah memperbolehkan dengan kondisi jika saham berupa liquid property (uang), maka harga yang dijual harus sama dengan nilai uang tersebut. Sebagai contoh, saham berupa uang senilai Rp 100,000/lembar harus dijual dengan harga Rp 100,000/lembar. Tidak boleh dijual dengan harga Rp 90,000/lembar atau Rp 110,000/lembar. Sedangkan jika saham berupa non-liquid property (komoditi/barang/benda), boleh dijual melebihi harga asli barang tersebut. Sebagai contoh, saham berupa bangunan senilai Rp 100,000/lembar boleh dijual dengan harga Rp 120,000/lembar atau Rp 140,000/lembar atau bahkan lebih rendah Rp 80,000/lembar. Pertukaran barang sejenis harus sama nilainya, sedangkan pertukaran barang yang berlainan jenis boleh berbeda nilainya. Konsep inilah yang tidak berlaku dalam sistem ekonomi konvensional di mana sistem ini memiliki prinsip bahwa saham berupa uang senilai Rp 100,000/lembar dapat dijual dengan harga Rp 120,000/lembar, sama halnya dengan menjual saham berupa komoditi senilai Rp 100,000/lembar boleh dijual dengan harga Rp 120,000/lembar.

71


Kesimpulannya adalah menjual uang dengan uang harus sama nilainya, begitu pula menjual barang dengan barang yang sejenis harus sama nilainya. Sedangkan sistem ekonomi konvensional menganggap uang sama seperti komoditi. Dihubungkan dengan sistem perbankan, ada perbedaan karakteristik antara bank syariah dan bank konvensional. Dalam bank syariah, penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi; besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh; bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan; bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak (bank dan depositor); serta jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Sedangkan dalam sistem bank konvensional, penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung; besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan; pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi; serta jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming. Ada beberapa dampak negatif dari sistem riba/bunga. Dampak tersebut di antaranya adalah bunga akan mencegah terjadinya kondisi full employment. Hal ini bisa ditinjau dari dua aspek (Beik, 2003) : Pertama, institusi bunga akan membentuk komponen biaya produksi tersendiri. Akibat dari hal ini adalah adanya peningkatan pada struktur harga, yang berimplikasi pada penurunan daya beli masyarakat. Turunnya daya beli ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat konsumsi masyarakat, investasi dan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, bunga akan memiskinkan masyarakat. Aspek selanjutnya, tidak tercapainya kondisi optimum untuk marjinal efisiensi permodalan. Kondisi ini mengakibatkan segala sumberdaya yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan secara maksimal, sehingga berdampak pada penurunan tingkat investasi. Untuk itu, sebagai solusinya adalah nilai bunga harus direduksi hingga nol persen (bebas bunga) agar efisiensi permodalan ini dapat mencapai level yang maksimal sehingga investasi dapat mencapai tingkat yang paling optimal. Kemudian dampak negatif lain dari sistem bunga adalah terkait dengan pemusatan kekayaan di tangan segelintir kaum kapitalis. Bunga adalah institusi yang menyebabkan tingginya konsentrasi ekonomi di kalangan golongan the have. Dalam kegiatan perekonomian kapitalis, bunga dibebankan kepada konsumen sebagai bagian dari harga barang yang dikonsumsi. Selanjutnya, pendapatan bunga ini akan mengalir kepada kaum kapitalis pemegang modal baik secara langsung maupun melalui institusi perbankan. Dalam sistem ekonomi seperti ini, terjadi aliran kekayaan dari masyarakat banyak kepada segelintir orang saja. Yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan semakin miskin. Dengan demikian jelaslah bahwa bunga merupakan institusi ekonomi yang memiskinkan masyarakat.

III. MUSYARAKAH, MUDHARABAH DAN PERTUMBUHAN SEKTOR RIIL Ekonomi syariah, dalam konteks bank syariah, sifatnya menguntungkan semua pihak. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang memobilisasi dana berdasarkan mekanisme profit and loss sharing, dan juga berfungsi sebagai media penyalur dana berdasarkan aturan syariah, yang dalam pelaksanaannya berada di bawah pengawasan dewan pengawas syariah (Tahir, 2006). Adapun produk bank syariah yang utama adalah musyarakah dan mudharabah. Musyarakah adalah jenis usaha bersama antara 2 pihak atau lebih dengan keuntungan dan 72


kerugian ditanggung bersama. Sedangkan mudharabah adalah jenis musyarakah di mana salah satu pihak sebagai rabbul-mal20 dan pihak lain sebagai mudharib21 (Usmani, 2004). Pada tabel 2 berikut akan ditampilkan perbandingan musyarakah dan mudharabah.

Tabel 2. Perbandingan Musyarakah/Mudharabah Poin

Musyarakah

Mudharabah

Investasi

Semua pihak

Rabbul-mal

Manajemen

Semua pihak

Mudharib

Kerugian

Ditanggung oleh semua pihak sesuai Ditanggung oleh rabbul-mal22. proporsi modal.

Utang

Ditanggung oleh semua pihak sesuai Terbatas pada proporsi masing-masing. rabbul-mal23.

Aset

Menjadi milik bersama, dengan Milik rabbul-mal. proporsi kepemilikan sesuai dengan investasi masing-masing.

investasi

dari

Sumber : Usmani,M. Taqi, An Introduction to Islamic Finance,Maktaba Ma’ariful Qur’an,Karachi,2004 Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa musyarakah dan mudharabah mempunyai karakteristik yang hampir sama. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam mudharabah terdapat pemisahan fungsi antara pemilik modal dengan pihak yang terlibat langsung dalam manajemen usaha/bisnis. Bank syariah tidak muncul dengan model yang formal dan baku. Dalam konteks kekininan, model bank syariah terus mengalami perkembangan dan inovasi, yang merupakan buah dari kerjasama empat komponen: individu berkualitas, bankir profesional, ekonom syariah dan ahli syariah. Musyarakah/mudharabah merupakan skema pembiayaan bank syariah yang memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan sektor riil. Model ini akan terus berkembang sesuai kondisi perekonomian. Berikut ini secara singkat digambarkan lima buah contoh terkait dengan skema pembiayaan musyarakah/mudharabah. Contoh pertama berhubungan dengan kegiatan ekspor kerajinan batik. A (klien) adalah pengusaha ekspor pengrajin batik yang telah beberapa kali sukses mengekspor produknya ke luar negeri. Pada satu waktu ia mendapatkan pesanan dari luar negeri dengan omzet sebesar Rp 800 juta. Total biaya produksi yang dibutuhkan termasuk biaya pengemasan dan pengiriman adalah Rp 400 juta, namun pada saat itu ia tidak 20

Pihak yang memiliki modal. Pihak yang bertanggungjawab dalam hal manajemen. 22 Dengan syarat mudharib telah melakukan usaha sesuai prosedur. 23 Kecuali rabbul-mal mengijinkan mudharib untuk mendatagkan utang. 21

73


memiliki uang. A kemudian mengajukan proposal kepada B (bank) agar diberikan modal usaha sejumlah yang diminta. Setelah dinilai layak, B memberikan modal usaha tersebut. Dalam L/C disepakati bahwa proporsi keuntungan dibagi rata. Dan ternyata dalam jangka waktu 3 bulan, produk batik tersebut dapat dijual sesuai perkiraan omzet. Maka keuntungan bersih yang didapat adalah sebesar Rp 400 juta yang kemudian dibagi rata, masing-masing mendapat Rp 200 juta. Contoh lainnya adalah berkaitan dengan usaha kerajinan rotan dalam negeri. A (klien) memiliki keahlian dalam kerajinan rotan dan memiliki keinginan untuk berusaha rotan, namun ia tidak memiliki modal. Kebutuhan modal untuk usaha ini adalah Rp 200 juta. A kemudian mengajukan permohonan kepada B (bank). Setelah dinilai layak, B memberikan modal usaha Rp 200 juta kepada A. Disepakati dalam transaksi24 bahwa proporsi keuntungan 40 % untuk A dan 60 % untuk B. Dalam tempo 3 bulan, hasil kerajinan dijual ke pasar dan mendapatken keuntungan bersih Rp 100 juta. Maka distribusi keuntungan adalah Rp 40 juta untuk A dan Rp 60 juta untuk B. Keuntungan yang didapat B kemudian didistribusikan kepada investor dan nasabah sesuai proporsi. Dan jika ada kelebihan likuiditas, dapat disalurkan kepada klien lain yang membutuhkan. Sehingga dana yang ada tidak mengendap, melainkan diputar dan digulirkan. Contoh selanjutnya bersinggungan dengan usaha produksi pakaian jadi di sebuah pabrik yang memasarkan produknya di dalam negeri. A (klien dan pemilik pabrik) melakukan usaha bersama dengan B (bank) untuk melakukan produksi pakaian dalam kurun waktu 1 tahun. Total biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 500 juta meliputi pembelian bahan mentah, gaji pegawai yang terkait langsung dengan proses produksi, biaya listrik, sewa bangunan dan mesin. Disepakati dalam perjanjian, keuntungan yang diperoleh dibagi sama, masing-masing 50 %. Setelah 1 tahun, didapatkan keuntungan bersih Rp 400 juta. Maka keuntungan dibagi rata, masing-masing pihak memperoleh Rp 200 juta. Contoh berikutnya adalah berkenaan dengan usaha taxi. A (klien) berkeinginan untuk memiliki sebuah mobil taxi, namun ia kekurangan modal. Harga taxi adalah Rp 100 juta namun ia hanya memiliki alokasi uang sebesar Rp 20 juta. A kemudian mengajukan proposal kepada B (bank) agar dapat melakukan usaha bersama. Sejak awal A menginginkan agar dalam jangka panjang taxi menjadi miliknya. Di sinilah berlaku mekanisme diminishing musyarakah25. Disepakati modal awal dari A sebesar Rp 20 juta dan dari B sebesar Rp 80 juta. Proporsi kepemilikian taxi adalah 20% milik A dan 80 % milik B. Kemudian kepemilikan B dibagi menjadi 8 unit yang masing-masing bernilai Rp 10 juta. Setiap hari A diperkirakan mampu mendapatkan keuntungan bersih Rp 1 juta. Maka setiap harinya A wajib menyetor Rp 800 ribu kepada B sesuai dengan proporsi kepemilikian B. Dalam tempo 3 bulan, disepakati bahwa B akan membeli 1 unit kepemilikan A, yaitu B membayar Rp 10 juta/3 bulan. Dengan demikian setelah 3 bulan kepemilikan A menjadi 30 % dan B menjadi 70 %. Uang setoran yang wajib dibayarkan A kepada B mengalami penyesuaian yaitu Rp 700 ribu sesuai proporsi kepemilikan B. Begitu seterusnya sampai akhir tahun kedua di mana A memiliki 100 % kepemilikan taxi. Contoh serupa dapat ditelaah dari proses KPR (Kredit Pemilikan Rumah). A (klien) ingin memiliki rumah seharga Rp 100 juta namun tidak memiliki uang cukup. A hanya 24

Dalam konteks musyarakah/mudharabah berlaku prinsip, setiap keuntungan yang didapat, didistribusikan sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Akan tetapi kerugian yang ditanggung harus sesuai proporsi modal investasi. 25 Diminishing musyarakah adalah skema musyarakah yang menunjukkan proses kepemilikan saham satu pihak tertentu oleh pihak lain secara bertahap sesuai kesepakatan, hingga satu titik di mana seluruh kepemilikan saham berpindah.

74


memiliki uang Rp 20 juta. Kemudian ia mengajukan proposal kepada B (bank) agar dapat memiliki rumah dengan skema diminishing musyarakah. Disepakati modal awal sebesar Rp 20 juta dari A dan Rp 80 juta dari B. Proporsi kepemilikan awal adalah 20 % milik A dan 80 % milik B. Kemudian kepemilikan B dibagi menjadi 8 unit yang masing-masing bernilai Rp 10 juta. Harga sewa rumah setiap bulannya adalah Rp 1 juta. Maka setiap bulannya A wajib membayar uang sewa sebesar Rp 800 ribu kepada B sesuai dengan proporsi kepemilikian B. Dalam tempo 3 bulan disepakati bahwa B akan membeli 1 unit kepemilikan A, yaitu B membayar Rp 10 juta/3 bulan. Dengan demikian setelah 3 bulan kepemilikan A menjadi 30 % dan B menjadi 70 %. Uang sewa yang wajib dibayarkan A kepada B mengalami penyesuaian yaitu Rp 700 ribu sesuai proporsi kepemilikan B. Begitu seterusnya sampai akhir tahun kedua di mana A memiliki 100 % kepemilikan rumah. Yang berbeda dari sistem bank konvensional adalah bahwa dalam bank syarah harga tidak akan berubah sesuai dengan berubahnya waktu, karena ini termasuk kategori riba. Harga tidak akan berkurang jika membayar lebih cepat atau harga tidak akan bertambah jika membayar lebih lambat. Kelima contoh inilah yang menjadikan bank syariah sebagai solusi dari keberadaan sistem bank konvensional. Contoh-contoh lain dapat dikembangkan sesuai prinsip yang berlaku. Namun di samping keuntungan yang bakal diperoleh, skema musyarakah/mudharabah ini mengandung resiko kerugian bagi klien dan bank, yaitu perolehan keuntungan yang tidak sesuai perkiraan. Hambatan lain, dalam praktiknya, bank syariah belum menjadikan skema ini sebagai produk utama pembiayaan. Bank syariah masih memprioritaskan pada skema pembiayaan lain seperti murabahah yang tidak berkaitan langsung dengan sektor riil (yang dalam tulisan ini tidak dibahas). Terlepas dari resiko kerugian yang kemungkinan terjadi, sesungguhnya skema musyarakah/mudharabah akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian Indonesia (Beik, 2006) : Pertama, akan menggairahkan sektor riil. Investasi akan meningkat yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru. Dampaknya, tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah. Yang kedua, ditinjau dari sisi nasabah. Nasabah akan memiliki 2 pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate of return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, dimana selama ini fakta telah membuktikan, ternyata rate of return bank syariah lebih tinggi bila dibandingkan dengan interest rate yang berlaku pada bank konvensional. Sehingga ini akan menjadi faktor pendorong meningkatnya jumlah nasabah. Dampak yang ketiga adalah akan mendorong tumbuhnya pengusaha / investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing bangsa ini. Inovasi adalah kata kunci di dalam memenangkan persaingan global. Dampak selanjutnya adalah dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan. Hal ini dikarenakan bank syariah adalah institusi keuangan yang berbasis aset (asset-based). Artinya, bank syariah adalah institusi yang berbasis produksi (production-based). Bank syariah bertransaksi berdasarkan aset riil dan bukan mengandalkan pada kertas kerja semata. Sementara di sisi lain, bank konvensional hanya bertransaksi berdasarkan paper work dan dokumen semata, kemudian membebankan bunga dengan prosentase tertentu kepada calon investor. Pola pembiayaan musyarakah/mudarabah adalah pola pembiayaan yang berbasis pada produksi. Krisis keuangan dapat diminamilisir karena balance sheet perusahaan relatif stabil. Hal ini dikarenakan posisinya sebagai mudharib, dimana perusahaan tidak 75


menanggung kerugian yang ada, apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kondisi luar biasa yang tidak diprediksikan sebelumnya, misalnya diakibatkan oleh bencana alam. Maksudnya, keadaan tersebut terjadi secara tidak disengaja dan diluar batas kemampuan. Dengan demikian, semua beban kerugian akan ditanggung oleh bank syariah sebagai rabbul-mal. Selanjutnya, pola musyarakah/mudarabah dapat menjadi solusi alternatif atas masalah over likuiditas yang saat ini terjadi. Kondisi over likuiditas ini dapat disiasati dengan menyalurkannya pada sektor riil. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bank syariah perlu menggarap sektor riil secara lebih optimal dan matang melalui pembiayaan berdasarkan skema musyarakah/mudharabah. Dengan demikian, bank syariah dapat berperan lebih signifikan di dalam upaya mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia.

IV. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil. 1. Musyarakah/mudharabah merupakan model bank syariah yang memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan sektor riil. 2. Hambatan yang dihadapi dalam pembiayaan musyarakah/mudharabah yaitu resiko kerugian dalam usaha/bisnis, dan bank syariah belum menjadikan skema ini sebagai produk utama. Hambatan ini dapat direduksi dengan cara inovasi. 3. Keuntungan yang akan didapat melalui mekanisme musyarakah/mudharabah: investasi akan meningkat, pembukaan lapangan kerja baru, tingkat pengangguran dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah. Keuntungan lain, secara profit depositor/investor akan menanamkan uangnya di bank syariah jika ternyata rate of return bank syariah lebih besar dibandingkan interest rate di bank konvensional.

76


DAFTAR PUSTAKA

Beik, Irfan S. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. www.pesantrenvirtual.com 28 Maret 2006. ............................ Resep Islam untuk Mengentaskan Kemiskinan. www.republika.co.id 10 Februari 2003. Chapra, Umar. What is Islamic Economics? IDB. IRTI. 2001. Hafidhuddin, Didin. Prinsip-prinsip Muamalah. Materi Kajian. 2006. …………………… Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia. Acara PPMI PakistanKBRI Islamabad, Aula KBRI Islamabad-Pakistan, 14 Februari 2006. Husni, Nawaz-ul. Lecture Course. Advance Usul-ul-Fiqh. IIIE. IIU-I. 2006. Naiknya Suku Bunga Picu Pergerakan ke Bank Syariah. www.republika.co.id 14 Nopember 2005. Tahir, Sayyid. Lecture Course of Islamic Banking Theory and Practice. International Islamic University Islamabad. 2006. ……………….. Islamic Financial Paradigm. Text of Lecture for IDB Prize in Islamic Banking awarded to Institute. 2000. Usmani, M. Taqi, An Introduction to Islamic Finance. Maktaba Ma’ariful Qur’an, Karaci, 2004. IIIE’s Blueprint of Islamic Financial System. IIIE. IIU-I. Wibisono, Yusuf. Suku Bunga dan Stagnasi Ekonomi. www.republika.co.id 2 Agustus 2006.

77


TENTANG PENULIS

ABDUH, Muhamad (abduh.iium@gmail.com), mendapatkan gelar Master of Economics dari International Islamic University Malaysia (IIUM) pada tahun 2009. Sebelumnya, meraih gelar sarjana statistik pada tahun 2004 dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan gelar magister dalam bidang Studi Islam pada tahun 2006 dari Universitas Ibn Khaldun Bogor. Saat ini adalah mahasiswa PhD di Departemen Administrasi Bisnis IIUM. Juga tercatat sebagai Direktur Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID) dari tahun 2007 sampai 2009. Telah menerbitkan sebuah buku dan artikel dalam banyak jurnal dan surat kabar.

ARSYIANTI, Laily Dwi (arsyianti@gmail.com), menyelesaikan Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor dan melanjutkan Master of Science in Finance di International Islamic University Malaysia sehingga lulus pada tahun 2007. Beberapa kali menjadi pembicara pada konferensi internasional di luar negeri. Saat ini aktif mengajar di Universitas Ibn Khaldun Bogor dan Institut Pertanian Bogor. Juga menjadi Konsultan Keuangan Syariah pada Majalah Bulanan AULIA.

BEIK, Irfan Syauqi (qibeiktop@yahoo.com), adalah ekonom syariah yang ikut berkontribusi dalam memajukan ekonomi Islam di Indonesia. Merupakan lulusan Agribisnis IPB tahun 2002. Master of Science in Economics diselesaikan pada tahun 2005 di International Islamic University of Islamabad. Meraih gelar Doctor in Islamic Economics di International Islamic University Malaysia pada tahun 2010. Telah menulis puluhan artikel popular di berbagai media nasional dan internasional, serta tulisan di berbagai jurnal nasional. Selain itu, telah memaparkan hasil beberapa penelitian di lebih dari 10 negara berbeda di seluruh dunia dalam konferensi tingkat internasional. Saat ini menjabat sebagai Ketua Tim Implementasi Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, serta diperbantukan sebagai Staf Khusus Bidang Research and Foreign Affairs pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Juga pengasuh Klinik Syariah pada Republika On Line serta Rubrik Iqtishodia pada Harian Republika.

HAFIDHUDDIN, Didin (hafidhuddin@yahoo.com), mendapat gelar sarjana dan doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta gelar magister dari Institut Pertanian Bogor. Saat ini aktif di berbagai lembaga ekonomi dan keuangan syariah, antara lain sebagai Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Wakil Ketua Pengurus Pleno Dewan Syariah Nasional MUI, serta Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) di beberapa lembaga keuangan syariah. Juga tercatat sebagai Guru Besar IPB dan Direktur Pascasarjana UIKA Bogor. Selain aktif menulis buku (ada 33 judul buku yang terpublikasi), juga menulis makalah untuk seminar dan konferensi dalam dan luar negeri, serta menulis di media massa nasional. Saat ini juga ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal World Zakat Forum (WZF). 78


HAKIEM, Hilman (hilman2106@yahoo.com), mendapatkan gelar Sarjana Pertanian dari Institut Pertanian Bogor tahun 2003 dan gelar Magister Ekonomi Islam dari Universitas Ibn Khaldun Bogor tahun 2007. Sejak tahun 2008 hingga saat ini tercatat sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Islam FAI-UIKA Bogor.

IMADUDDIN, Muhammad (imadudz@yahoo.com), mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Departmen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005. Kemudian melanjutkan studi S2 dan mendapatkan gelar Master of Arts (MA) in Islamic Banking, Finance, and Management dari Markfield Institute of Higher Education (validated by Loughborough University), Leicestershire United Kingdom dan lulus tahun 2006. Saat ini bekerja sebagai officer di sebuah bank syariah dengan posisi terakhir pada bidang pembiayaan sindikasi. Dosen Tidak Tetap Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Agama Islam Unversitas Ibn Khaldun Bogor ini sebelumnya pernah bekerja di sebuah perusahaan Asuransi Umum Syariah dan mendapatkan gelar profesi Ajun Ahli Asuransi Indonesia Kerugian (AAAIK) tahun 2008. Memiliki minat penelitian dalam bidang perbankan syariah, pembiayaan, manajemen risiko, dan asuransi syariah. Thesis S2 berjudul "Determinants of Banking Credit Default: A Comparative Analysis" dan pernah mempresentasikan sebuah paper di sebuah kolokium di Kuala Lumpur pada tahun 2006. WALUYO, Desi SIlfiaratih (deizie_silfia@yahoo.com), mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selama mengikuti perkuliahan aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai Ketua divisi Kajian dan Pelatihan Sharia Economics Student Club (SES-C) FEM periode 2003/2004, staf divisi Syiar dan Syariah Sharia Economics Student Club (SES-C) FEM periode 2004/2005. Juga aktif di berbagai kepanitiaan yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEM IPB, dan Centre Of M@nagement (COM@) Himpro Manajemen FEM IPB. WAHYU, Bambang (bambangwahyu_1972@yahoo.co.id), menyelesaikan D3 Sastra Prancis Universitas Padjajaran Bandung (1995), Sarjana Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1998), Magister of Philosophy Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2004), dan kandidat doktor filsafat pada Universitas Indonesia. Selain sebagai dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, juga aktif sebagai konsultan manajemen SDM pada Santana Consulting and Training Jakarta. Fokus pada pengembangan filsafat ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Islam.

79


INDEKS zakat potential zakat empowerment zakat organization Risk-spreading and sharing risk-shifting via fixed price debt contract asset-based securitization loss and profit sharing subprime mortgage globalisasi sistem keuangan Islam intermediasi keuangan manajemen risiko sistem fiskal dan moneter aset portofolio sektor finansial sektor riil Indonesia United States Error Correction Model Granger Causality Islamic bank rate of financing NPF (Non-Performing Financing) universal banking system Conventional Banking 80


Credit Default Time-Series Analysis economic growth monetary policy real sector musyarakah mudharabah

i

ABC (Australian Broadcasting Corporation) reported this story on Tuesday, September 16, 2008, entitled “Fallout from US financial crisis hits Asia hard”. ii MalaysiaSun.com. Monday, September 15, 2008, entitled “Asian markets fall as US financial crisis deepens”.

81


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.