kombinasi55-2014

Page 1

Edisi ke-55 April 2014 ď Ź kombinasi.net


D

Ari rEdAKsi

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Idha Saraswati Kontributor Anna Mariana, Yoseph Kelik Prirahayanto, Ferdy S Putra, Aris Setyawan Ilustrasi Dani Yuniarto Sampul Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis

A

nda tahu Siti Roehana? Ba­ gaimana dengan Soerastri? Kalau belum tahu, barangka­ li lebih familiar dengan na­ ma Roehana Koeddoes atau Soeras­ tri Karma? Bila Anda masih juga me­ ngerutkan kening, bisa dibayangkan bagaimana dengan anak­anak usia SD dan SMP bila ditanya hal serupa. Roehana Koeddoes, atau kerap di­ tulis Rohana Kudus, adalah perempu­ an yang merintis surat kabar pertama yang dipimpin dan isinya ditulis oleh perempuan, yaitu Soenting Melajoe pada sekitar 1912. Setahun sebelum­ nya, bertepatan saat Abendanon me­ nerbitkan kumpulan surat­surat Kar­ tini yang kelak diterjemahkan seba­ gai Habis Gelap Terbitlah Terang, pe­ rempuan asal Minang ini sudah men­ dirikan Sekolah Kerajinan Amai Se­ tia. Sekolah ini khusus untuk perem­ puan yang mengajarkan keterampil­ an, baca tulis, dan Bahasa Belanda. Anda mungkin akan mengenali bi­ la Soerastri dituliskan dengan nama S.K. Trimurti. Karma Trimurti yang mengikuti nama Soerastri sesungguh­ nya adalah nama samaran yang ke­ rap digunakannya saat menulis. Na­ mun banyak juga yang lebih menge­ nalnya semata sebagai sosok istri Sa­ yuti Melik, pengetik naskah prokla­ masi yang selalu disebut di buku se­ jarah. Padahal selain jurnalis andal dan militan di jamannya, sampai per­ nah terpaksa melahirkan di penjara, Soerastri adalah Menteri Perburuhan pertama. Dialah yang merintis mun­ 2

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

culnya aturan ketenagakerjaan yang berpihak pada perempuan, seperti cu­ ti haid dan persamaan upah. Kedua tokoh perempuan itu seke­ dar contoh banyaknya tokoh perem­ puan yang berperan besar bagi bang­ sa ini namun jarang tercatat utuh da­ lam buku­buku sejarah. Sebagian pe­ rempuan itu, termasuk Roehana dan Soerastri, sudah sejak dulu meyakini pentingnya media bagi kemajuan pe­ rempuan dan bangsa. Mereka melihat kesetaraan perem­ puan dan laki­laki dalam kerangka ak­ ses atas pengetahuan dan kemudian membaginya. Keterlibatan perempu­ an tak dimaknai secara simbolis ang­ ka dalam bentuk persentase keterwa­ kilan, namun lebih riil dalam bentuk gerakan, perlawanan serta perjuang­ an, antara lain melalui tulisan di me­ dia. Lewat sudut pandang inilah, pen­ tingnya media bagi perempuan me­ nemukan konteksnya. Bukan sekadar banyaknya perempuan yang menja­ di jurnalis atau pegiat media, tapi isu yang mereka perjuangkan dan ingin diamini oleh pembaca­pendengar­pe­ mirsalah yang penting. Temu Perempuan Pegiat Media Ko­ munitas yang digelar di Desa Candi­ rejo, Borobudur April 2014 menjadi salah satu rintisan. Sebuah awal upa­ ya saling berbagi dan harapannya bi­ sa berujung pada saling dukung isu yang diperjuangkan setiap komunitas di tengah dua dominasi, media arus utama dan budaya patriarki. Jangan sekali­sekali melupakan sejarah. 

Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan mencantumkan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyunting tulisan yang masuk ke majalah Kombinasi. Penulis yang karyanya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I

nfo sEKilAs

suKAbumi

Menghadirkan Bidan di Dusun Ciroyom mencari alternatif solusi untuk me­ nyediakan layanan kesehatan bagi ibu dan anak di Dusun Ciroyom. Akhir­ nya, diputuskan bahwa perlu ada se­ orang bidan untuk melayani warga dusun tersebut. Dinas kesehatan ke­ mudian mencari dan menyeleksi bi­ dan, lalu bersama dengan pelaku prog­ ram menentukan gaji bidan (disesu­ aikan dengan gaji tenaga kesehatan di lokasi sulit). Respons positif pun muncul dari Satker PNPM Kabupaten Sukabumi yang berjanji akan menyediakan tiga unit perahu yang bisa digunakan se­ bagai moda transportasi dari dan ke Ciroyom. Perahu itu nanti akan men­ jadi aset dusun. Empat bulan sejak seorang bidan ditempatkan di dusun Ciroyom, tidak ada satu pun kelahiran yang tak dita­ ngani tenaga kesehatan. Bahkan hing­ ga berita ini ditulis, belum ada kasus kematian bayi balita di dusun terse­ but. Tidak hanya dalam hal kelahiran saja, tingkat partisipasi masyarakat dalam pelayanan penimbangan serta pengukuran bayi balita di posyandu juga turut mengalami peningkatan.

Peran Bidan tak hanya pelayanan kelahiran, bersama para kader yang ada di dusun, bidan rajin memberi pe­ nyuluhan kesehatan dan pola hidup bersih, bahkan mendatangi ibu ha­ mil dan balita yang tak hadir di Pos­ yandu. Sebagai satu­satunya ‘ahli ke­ sehatan’ yang ada, bidan juga men­ jadi andalan masyarakat yang sakit. Hal menarik lainnya, program PNPM GSC juga memungkinkan terjadinya kemitraan dengan paraji (dukun ber­ anak) yang ada di daerah tersebut. Dalam program kemitraan ini, du­ kun tidak hanya mendampingi seba­ gai asisten bidan, melainkan juga ber­ peran untuk memberikan dukungan moril sebagai ‘orang tua’ bagi ibu te­ ngah yang melahirkan. Dari tiga orang paraji di Ciroyom, dua di antaranya sudah tergabung dalam program ke­ mitraan. Pendek kata, cerita keber­ hasilan ini bukan semata­mata cerita keberhasilan milik seorang bidan, ta­ pi merupakan cerita sukses sebuah kerja sama yang baik dari pemerintah daerah, dinas terkait, fasilitator dan satuan kerja program serta masyara­ kat.  www.suarakomunitas.net suArA KomunitAs

B

agi penduduk Dusun Ciro­ yom, Desa Cibitung, Kecama­ tan Cibitung Kabupaten Su­ kabumi, Jawa Barat, pelayan­ an kesehatan menjadi kemewahan tersendiri. Tidak semua penduduk di dusun itu bisa mengakses pelayanan kesehatan dari seorang bidan. Berjarak sekitar delapan jam per­ jalanan dari Jakarta, dusun ini dapat dicapai lewat jalur darat maupun air. Perjalanan darat hanya dapat dilaku­ kan menggunakan motor dengan ban radial atau mobil 4 wheel drive akibat kondisi jalan yang rusak parah. Itu pun dengan catatan cuaca tak sedang hujan. Sedangkan jalur air bisa ditem­ puh memakai perahu menyusuri su­ ngai, yang tergantung pasang surut air laut. Ditambah tidak adanya lis­ trik dan sinyal telepon seluler, meng­ hadirkan bidan di dusun ini menjadi sangat mahal dan tidak mudah. Tak heran apabila kematian balita dan ibu melahirkan dianggap hal lumrah ba­ gi warga dusun. Kondisi itu menjadi tantangan ba­ gi pemerintah setempat, khususnya Camat Cibitung, dinas kesehatan se­ tempat, dan bagi Fasilitator Kecamat­ an Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi Sehat dan Cerdas (GSC). Sampai akhirnya, dinas kesehatan setempat dan fasili­ tator GSC bekerja sama mencari cara untuk menghadirkan pelayanan bidan di Dusun Ciroyom. Konsentrasi program GSC adalah memberdayakan masyarakat untuk menikmati pelayanan kesehatan mau­ pun pendidikan bagi ibu hamil serta anak. Walaupun program tidak ber­ konsentrasi dalam penyediaan pela­ yanan ataupun peningkatan kualitas pelayanan, namun sudah menjadi ra­ nah program untuk memastikan ma­ syarakat menikmati layanan. Dalam rangka itu, bersama dengan Dinas Kesehatan setempat, Fasilita­ tor Kecamatan GSC mulai membuat kajian kondisi dan kebutuhan, serta

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

3


I

nfo sEKilAs

mAgElAng

Penambang Merapi Berunjuk Rasa di Kantor Bupati PAGuYuBAN Penambang Merapi Magelang (PPMM) berunjuk rasa di halaman kantor Bupati Magelang, Ja­ wa Tengah, Jumat (11/4). unjuk rasa ini diikuti sekitar seribu orang yang terdiri dari perwakilan sopir truk golongan C, coker, penjual batu, pembuat kerajinan ba­ tu, dan Depo Pasir. Mereka hadir dengan menggunakan 100 unit truk dan 150­an sepeda motor. Di depan pendopo Kabu­ paten Magelang, mereka melakukan orasi menyuara­ kan berbagai tuntutan, antara lain supaya Pemerintah Kabupaten Magelang tidak menutup kegiatan penam­ bangan dan memperbolehkan mereka menggunakan alat berat (back hoe); Pemkab Magelang harus bertang­

gung jawab memperbaiki jalan kawasan Merapi kare­ na mereka telah membayar retribusi; Pemkab Mage­ lang agar meninjau kembali surat edaran Bupati Ma­ gelang No. 4 tahun 2014 tentang pembatasan tonase muatan truk golongan C; Pemkab Magelang juga di­ minta segera mengaudit hasil retribusi penambangan galian golongan C truk dumm. Setelah berorasi di luar, perwakilan pengunjuk ra­ sa akhirnya diterima di ruangan asisten Sekretaris Da­ erah Magelang. Akan tetapi, karena perwakilan Bupa­ ti tidak ada, mereka hanya bisa menyuarakan aspira­ sinya ke Asisten Sekda dan wakil dari Kepolisian Re­ sor Magelang.  www.suarakomunitas.net

bAntAEng

Yapensa Sosialisasikan Kualitas Kopi Bawakaraeng

Y

foto-foto: suArA KomunitAs

ayasan Pensa Agro Mandiri (Yapensa) Makassar bekerja sama dengan Ford Founda­ tion menyosialisasikan kua­ litas dan tata cara pembelian kopi ba­ wakaraeng, Sabtu (12/4). Sosialisasi yang diadakan di kantor Desa Labbo dan Pattaneteang Kabupaten Banta­ eng, Sulawesi Selatan, itu mengundang kelompok tani dari Desa Labbo, Bon­ to Tappalang, dan Pattaneteang dari Kabupaten Bantaeng, serta Kelurahan Borong Rappoa dari Kecamatan Kin­ dang Kabupaten Bulukumba.

4

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

Sosialisasi itu diadakan mulai pa­ gi hingga sore, dengan diselingi kun­ jungan ke kebun milik petani binaan Yapensa. Selain kelompok tani, sosia­ lisasi juga dihadiri oleh perangkat de­ sa terutama kepala desa dan perwa­ kilan Coffindo selaku eksportir yang akan bekerja sama pada program pem­ belian kopi tersebut. Para petani kopi tampak amat an­ tusias untuk bertanya maupun mem­ berikan saran. Haji Mansyur, petani sekaligus pedagang lokal dari Desa Bonto Tappalang menyarankan agar

ke depan semua jenis kopi difasilitasi pembeliannya, bukan hanya kopi ara­ bika seperti sekarang. Menanggapi hal itu, Dedy dari Coffindo menjelaskan bahwa selain membeli kopi beras, pi­ haknya juga membeli kopi arabika ga­ bah. Jenis gabah diekspor, sedangkan bentuk beras di jual di pasar lokal. Dalam kegiatan ini, Yapensa dan Coffindo menjelaskan cara pembeli­ an kopi antara petani, koperasi, dan eksportir tanpa melupakan peran pe­ dagang lokal. Yapensa akan menghu­ bungkan mereka, sekaligus meman­ tau harga kopi dunia sebagai acuan harga dalam pembelian. Project Leader Yapensa Zainuddin Toyib mengingatkan para petani agar terus memertahankan semangat un­ tuk dapat meningkatkan kesejahtera­ an mereka. Ia juga mengingatkan bah­ wa pada tahap awal, Yapensa dan eks­ portir belum membutuhkan kopi de­ ngan jumlah besar. “Yang dibutuhkan adalah kopi yang berkualitas, untuk apa banyak kalau tidak berkualitas,” katanya. Ia juga menjelaskan cara menge­ mas kopi yang benar, serta ketentuan umum dalam pembelian, khususnya pembelian kopi gabah sesuai standar mutu.  www.suarakomunitas.net


gunungKidul

PEKAlongAn

Lawan Politik Uang dengan Titir

Masyarakat Belum Paham Makna Pemilu

FoRuM Lintas Iman (FLI) Gunung­ kidul, Daerah Istimewa Yogyakar­ ta, bersama elemen masyarakat Ga­ poktan, LSM, Pelajar SLTA dan Ikat­ an Mahasiswa Gunungkidul meng­ gelar aksi tolak politik uang di Bun­ deran PLN Wonosari, Jumat (4/4). Aksi ini sebagai bentuk keprihatin­ an terhadap maraknya praktik kotor yang dilakukan politisi untuk men­ dulang suara dalam pemilu yang di­ gelar pada 9 April. Aksi dimulai pukul 14.00 dengan membagi selebaran Petisi Gunung­ kidul Siaga I "Gerakan Menolak Po­ litik uang" kepada pengguna jalan. Aminudin Aziz selaku koordinator aksi dalam orasinya menyebutkan bahwa dua bulan sebelum mengge­ lar aksi mereka telah menyebar re­ lawan untuk mencari informasi ter­ kait praktik politik uang. Hasilnya, 90 persen relawan menyatakan te­ lah terjadi praktik politik uang di wilayah Gunungkidul. Salah satu orator yang mewakili pelajar SLTA mengajak para pemi­ lih pemula agar jeli dalam menen­ tukan pilihan. Sebab para politisi jus­

tru sudah mendidik dan memberi contoh buruk kepada para pelajar dengan memberi uang jajan serta mengarahkan pilihan politiknya. Aksi ditutup dengan pembacaan doa bersama, dilanjutkan memukul kentongan titir selama satu menit. “Kentongan adalah cara berkomu­ nikasi masyarakat Jawa untuk me­ ngabarkan keadaan. Memukul ken­ tongan titir adalah bentuk meka­ nisme komunal untuk memberita­ kan keadaan bahaya. Bahaya politik uang harus dikabarkan dan dilawan secara bersama­sama,” kata koor­ dinator aksi sebelum menutup ora­ sinya.  www.suarakomunitas.net

CirEbon

Caleg Perempuan Cuma Pelengkap KETETAPAN Komisi Pemilihan umum (KPu) tentang adanya kuota 30 persen bagi perempuan dalam setiap daerah pemilihan (Dapil) ternyata tak sepenuhnya mendorong keterwakilan perempuan da­ lam Pemilu. Mereka umumnya hanya dianggap pelengkap. Dea (20), mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Cire­ bon, pernah ditawari salah satu partai politik untuk menjadi caleg. Namun pencalonan dirinya diketahui hanya untuk memenuhi kuota perempuan yang harus berjumlah 30 persen dari semua caleg yang terdaftar. “Tujuannya karena kalau perempuannya tidak memenuhi kuota, caleg yang lain juga tidak bisa maju,” ujar Dea. Mengetahui alasan tersebut, Dea dengan tegas menolak penca­ lonannya. Dan dari pengamatannya selama ini, caleg perempuan ja­ rang menempati nomor strategis dalam daftar caleg. “Jarang caleg perempuan mendapatkan nomor urut 1. Keterlibatan perempuan hanya dimanfaatkan saja,” beber Dea.  www.suarakomunitas.net

PEMAHAMAN masyarakat mengenai pemilihan umum perlu dibenahi agar mengerti makna pemilu sesungguh­ nya. “Saat ini pengertian masyarakat masih angin­anginan sehingga terpe­ ngaruh sesuatu yang bersifat ekster­ nal,” kata Bupati Pekalongan Amat An­ tono usai mencoblos di Tempat Pe­ munguan Suara (TPS) 02 Desa Tegal­ dowo Kecamatan Tirto, Kabupaten Pe­ kalongan, Jawa Tengah, Rabu (9/4). Dia berharap dalam Pemilu kelak, masyarakat semakin cerdas memilih pemimpin dan wakilnya dengan me­ ngerti hakekat pemilihan umum. “De­ ngan semakin pahamnya masyarakat akan arti pemilihan umum maka pe­ ningkatan jumlah partisipasi politik akan tinggi,” imbuhnya. Terkait dengan pelaksanaan pemi­ lu legislatif di Kabupaten Pekalongan, Bupati mengapresiasi kinerja Komi­ si Pemilihan umum (KPu). usai men­ coblos, Bupati bersama Kepala Kepo­ lisian Resor Pekalongan dan Kepala Kejaksaan Negeri Pekalongan meman­ tau pelaksanaan Pileg secara lang­ sung ke beberapa wilayah. TPS pertama yang dipantau ada­ lah TPS 03 Kelurahan Gumawang Ke­ camatan Wiradesa. TPS ini unik ka­ rena para anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) menggu­ nakan kostum profesi masing­masing. Sementara di Kecamatan Siwalan, te­ patnya di TPS 9, KPPS memberikan doorprize berupa pakaian serta alat rumah tangga. Setiap pemilih yang te­ lah memberikan suara akan menda­ pat kupon undian. Nomor tersebut bi­ sa ditukar dengan jenis doorprize se­ suai nomor yang tertera. Sementara itu, Widi (39), warga yang menggunakan hak pilihnya di TPS 3 Tirto, berharap agar ke depan sosialiasi teknis pencoblosan diper­ luas jangkauannya. Ia menilai masih banyak warga yang tidak mengeta­ hui secara teknis pencoblosan dengan baik.  www.suarakomunitas.net Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

5


U

tAmA

KATA ADALAH SENJATA! media dan Para Pelopor gerakan Perempuan indonesia Oleh ANNA MARIANA

Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara keras-keras, karena hanya publikasi saja dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu.... Memang itu lebih baik, jadi segera pasang senapan buka peperangan, jadi sudah sejak awalnya kepada masyarakat pribumi kami katakan padanya, dari golongan apa kami ini. (Surat R.A Kartini kepada Njonja Nelly van Kol, 21 Juli 1902 via, Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009) hlm.217)

KARTINI adalah seorang pelopor pergerak­ an perempuan Indonesia mula­mula. Ia di­ kenal sebagai pejuang hak­hak perempuan dari surat­surat yang ia kirim kepada teman­ temannya di negeri Belanda. Tetapi, jarang yang mengetahui bahwa selain menulis su­ rat­surat tentang kegelisahannya tersebut, ia pun seringkali mengirim tulisan­tulisan­ nya ke berbagai media, bahkan ia lakukan se­ jak umurnya masih belia: 16 tahun. Sebagaimana dalam biografi Kartini yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, tulisan yang dimuat dalam Bij­ dragen tot de Taal­Land­en Volkenkunde van Nederlands Indie itu berisi tentang adat per­ kawinan golongan Koja di Jawa. Tulisan yang bersifat antropologis tersebut menarik ba­ nyak media lainnya. Bahkan terkadang para pengelola media tersebut memaksa Kartini untuk menjadi kontributor tetap. Hal ini me­ nunjukkan bahwa sejak awal Kartini sadar

6

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

betul pentingnya media sebagai wadah un­ tuk menuangkan segala gagasan pemikiran­ nya supaya dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Kutipan pembuka tulisan di atas menun­ jukkan secara jelas pandangan Kartini soal pentingnya peran media untuk pergerakan. Kartini menyatakan pandangannya soal me­ dia yang berpihak ini melalui surat yang ia tujukan pada Nelly van Kol. Ia memberi pan­ dangan semacam ini karena merasa senang mendengar berita soal terbitnya media da­ lam bahasa Melayu yang dikelola oleh Ab­ dullah Rivai bernama Bintang Hindia. Dalam surat itu, Kartini memperlihatkan pentingnya sebuah publikasi berkala untuk menyemai gagasan­gagasan para kaum ter­ pelajar pribumi yang berpihak pada kepen­ tingan rakyat. Para kaum terpelajar, menu­ rut Kartini, haruslah berada di garda paling depan dalam hal mengritisi pemerintah, men­


Ilustrasi RA Kartini rEPro fototoKoh.Com

didik masyarakat, juga mengangkat perso­ alan mendasar masyarakat ke wilayah pub­ lik. Dan untuk menyebarkan gagasan itu, me­ dia adalah wadah perjuangannya. Maka ti­ dak heran bahwa kemudian ketika berbica­ ra soal sejarah pers/media di Indonesia sa­ ngat erat dengan kebangkitan kesadaran ke­ indonesiaan (Ahmat Adam: 2003). Hal ini di­ karenakan penggerak utama pers awal di In­ donesia merupakan para aktivis pergerak­ an. Pers menjadi penopang dari gerakan na­ sionalisme di Indonesia. Kartini memang bukan seorang jurnalis apalagi pengelola sebuah media. Tapi, Kar­ tini memiliki kekuatan yang menjadi unsur penting bagi media, yakni tulisan! Bagi Kar­ tini menulis adalah sebuah panggilan tugas sosial, sebuah tanggung jawab untuk meme­ nuhi perjuangan bagi rakyatnya. Pekerjaan­ nya sebagai penulis telah menggugah banyak pihak dari pikiran­pikirannya yang ia tulis

dan sebarkan melalui media. Kartini menu­ lis dengan penuh dedikasi, ketekunan dan ketelitian serta pancaran kehangatan kepe­ dulian terhadap nasib kaumnya. Ya, Kartini menjadi begitu kuat sebagai pejuang perge­ rakan perempuan dikarenakan ia menulis. Tulisan yang berkarakter dan menembus ke dalam relung­relung hati pembaca­nya. Ia berprinsip bahwa menulis adalah be­ kerja untuk keabadian. Tulisan ini akan fo­ kus kepada mengapa serta bagaimana latar belakang munculnya media di Indonesia khu­ susnya media perempuan yang menjadi me­ dia pergerakan perempuan dan yang kedua menggali berbagai inspirasi dari para pelo­ por pergerakan perempuan generasi awal yang memakai media sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi perjuangan mereka. Munculnya Media Perempuan di Indonesia Pada akhir abad ke­19 dan awal abad ke­

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

7


tAmA

20 Indonesia, pada waktu itu masih Hindia Belanda, mengalami perubahan struktural sekaligus kultural yang besar­besaran. Hal ini disebabkan oleh dua periode penting yak­ ni dengan keluarnya undang­undang (uu) Agraria tahun 1870 (agrarische wet) berco­ rak liberal yang mengeksploitasi Indonesia dengan sistem tanam paksa­nya, dan kedua adalah saat digulirkannya politik etis pada tahun 1901. Kedua kebijakan ini saling ber­ kaitan dalam mengubah beragam relasi mau­ pun struktur sosial di Indonesia. Kemiskin­ an yang merajalela di sekitar perkebunan­ perkebunan maupun di berbagai tempat in­ dustri lainnya pada masa itu menjadi pe­ mandangan yang lazim sebagai dampak da­ ri kebijakan tanam paksa. Masyarakat hanya menjadi buruh atau koeli bagi tuan­tuan pe­ milik perkebunan. Berbeda dengan dampak agrarische wet, di lain pihak, setelah dikeluarkan kebijakan politik etis pada tahun 1901 adalah muncul­ nya kelas menengah pribumi yang terdidik terpelajar ala pendidikan modern (pendidik­ an Eropa). Pemerintah kolonial banyak mem­ berikan kesempatan penduduk pribumi un­ tuk bersekolah, termasuk para perempuan. Namun pada hakekatnya kalangan terdidik ini hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Karenanya, jelas sekali upaya memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidik­ an bagi pribumi ini hanyalah untuk menu­ tupi kerakusan mereka atas perilaku eksploi­ tatif yang diwujudkan melalui kebijakan ta­ nam paksa pada periode sebelumnya. Na­ mun tujuan dari politik “balas budi” pihak kolonial ini tak berbuah manis. Pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolo­ nial yang bertujuan untuk memenuhi ke­ butuhan pasar industri—pendidikan untuk menjadi ambtenar (pegawai pemerintah ko­ lonial)—ternyata tak berbanding lurus de­ ngan para lulusannya yang memilih tak be­ kerja di gupernemen. Mereka memilih men­ jadi partikelir, swasta. Salah satu pekerjaan para golongan terpelajar ini adalah dengan mendirikan media. Media pertama yang didirikan dengan mo­ dal, produksi serta distribusi semua berasal dari orang Indonesia adalah Soenda Berita yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Seba­ gai anak keturunan bangsawan, Tirto lebih memilih tak menyelesaikan pendidikan for­ malnya dan memilih menulis di media. Sete­ lah Soenda Berita, ia mendirikan Medan Pri­ jaji (1907), dan Poetri Hindia (1909). 8

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

milAfEbriwAhyuni.blogsPot.Com

U

Roehana Koedoes, aktivis dan pelopor jurnalis yang lahir di Bukittinggi. Pada 10 Juli 1912, ia mendirikan media khusus perempuan Soenting Melajoe.

Poetri Hindia adalah pers pertama yang mengkhususkan membahas soal perempu­ an. Kedua pers tersebut memberi ruang pa­ ra pembacanya untuk mengadukan hal­hal yang mengganjal, terutama soal ketidakadil­ an. Sebagai pers perempuan pertama, Poet­ ri Hindia dengan fokus menyuarakan para pembaca untuk memperoleh keadilan sudah menunjukkan karakternya sebagai corong pergerakan. Demikianlah corak kemuncul­ an media di Indonesia, termasuk media yang mengkhususkan diri membahas persoalan perempuan. Srikandi Media: Belajar dari Roehana Koedoes, Salawati Daud dan S.K. Trimurti Para pelopor pergerakan perempuan ge­ nerasi awal yang menggunakan media da­ lam wadah perjuangannya adalah Siti Roe­ hana Koedoes. Ia adalah seorang aktivis dan pelopor jurnalis yang lahir di kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada 20 Desem­ ber 1884.1 Kecintaannya menulis didasari atas kesenangannya membaca dari usia di­


riKAdAniEl.blogsPot.Com

ni. Ia mendapat penghargaan sebagai pahla­ wan wartawati pertama karena ia mendiri­ kan media khusus perempuan yang berna­ ma Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912. Meskipun Soenting Melajoe lahir setelah Poetri Hindia, tapi karena didirikan dan di­ kelola oleh seorang perempuan, yakni Roe­ hana Koedoes, maka kedudukannya menja­ di istimewa. Isi Soenting Melajoe banyak ber­ bicara soal pentingnya pendidikan bagi pe­ rempuan. Pendidikan itu nantinya berguna agar bisa mendidik diri sendiri, anak­anak­ nya, keluarga dan masyarakat. Roehana Koedoes juga mendirikan orga­ nisasi perempuan yang bernama Kerajinan Amai Setia. organisasi perempuan ini mem­ berikan keterampilan membuat berbagai ke­ rajianan, dan masih berdiri hingga kini. Selain Roehana Koedoes yang sudah se­ bagian orang mafhum dengan kiprahnya di dunia media, satu tokoh berikut adalah ak­ tivis pergerakan kebangsaan perempuan da­ ri Makassar yang sangat rajin menulis ber­ bagai pandangan politiknya di media. Nama

aktivis itu adalah Salawati Daud, dilahirkan di Tahuna, Sangir Talaud, 20 Maret 1909. Ia berjuang sebagai aktivis pergerakan segera setelah keluar dari pekerjaan meng­ ajar di sekolah pemerintah kolonial. Ia ber­ pendapat bahwa ia harus turun langsung ke dalam medan perjuangan, dan bukan men­ jadi pegawai dari pemerintah kolonial. Ada­ pun ide­ide yang menjadi sorotannya dalam pergerakan adalah soal bagaimana keterhu­ bungan orang Indonesia dengan mengusung integrasi sebagai negara kesatuan. Aktivitas menggagas ide kesatuan ini sudah ia mulai sejak tahun 1930an dengan menyebarkan tu­ lisan di berbagai media. Berikut ini salah satu dari cuplikan gagasan mengenai kesetaraan yang ditulis Salawati Daud: “Soenggoehpoen saja seorang perempoe­ an sahadja akan tetapi hatikoe penoeh de­ ngan kasih dan tjinta bekerdja oentoek bang­ sa dan tanah air; apakah goenanja kekajaan kelimpaan djikalau rakjat berkeloeh kesah. Saja merasa bahwa adalah kewadjiban kita kaoem perempoean membantoe pekerdja­

Kerajinan Amai Setia, organisasi bentukan Roehana Koedoes yang bertujuan untuk memberi keterampilan membuat berbagai macam kerajinan. Amai Setia masih berdiri sampai sekarang.

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

9


U

tAmA

PintErEst.Com

Soerastri Karma Trimurti, pendiri media Bedoeg, Terompet, Marhaeni, Penjebar Semangat, dan media yang cukup populer Pesat.

an lelaki baik dalam hidoep hari hari mao­ poen didalam perdjuangan pergerakan ka­ rena bangsa dan tanah toempah darah (Ba­ risan Kita, no. 2, April 1931, hlm. 4).”2 Selain Salawati Daud dan Roehana Koe­ does yang menggunakan media dalam per­ gerakan, tokoh yang menonjol di bidang me­ dia adalah S.K Trimurti. Lahir di Boyolali pa­ da 11 Mei 1912, orang tuanya memberi na­ ma Soerastri. Ia kemudian lebih terkenal de­ ngan nama Soerastri Karma Trimurti kare­ na sebagai penulis dan juga pengelola media yang kritis, ia harus menyamarkan namanya. Trimurti terinspirasi Soekarno dalam me­ nulis, karena ia adalah salah satu kader ang­ gota Partindo (Partai Nasionalis Indonesia) yang didirikan Soekarno usai PNI dilarang keberadaanya oleh pemerintah kolonial. S.K. Trimurti memiliki kesadaran tinggi akan media sebagai alat perjuangannya. Ia mendirikan media setelah mencoba menu­ lis di beberapa media pergerakan seperti Fi­ kiran rakyat dan Berdjoeang. Dari tangan dinginnya lahir beberapa me­ dia seperti Bedoeg, Terompet, dan Marhaeni. Aktivismeny S.K. Trimurti bukannya tanpa

risiko. Ia bahkan menanggung risiko paling berat: ditahan karena tulisan­tulisan kritis. Banyak para pelopor kemerdekaan Indo­ nesia yang tak hanya berjuang secara fisik, namun juga menggoreskan pena mereka di berbagai media. Mereka kemudian ditahan, bahkan ada yang diasingkan seperti Soekar­ no, Hatta, KI Hadjar, dan lain­lain. S.K Trimur­ ti menyadari risiko tersebut saat ia meng­ kritik pemerintah dalam media Marhaeni. Ia lalu diganjar sembilan bulan dipenjara. Tapi selepas dari tahanan, sikapnya tak surut. Ia pun mendirikan Penjebar Semangat. Setelah pernikahannya dengan Sayuti Me­ lik—pengetik naskah proklamasi kemerde­ kaan—ia kemudian mendirikan Pesat. Ter­ bitan mingguan dengan berfokus pada poli­ tik populer, ia mengasuh rubrik tanya jawab persoalan rumah tangga. Mingguan Pesat sa­ ngat diminati lantaran ia mengasuh rubrik tanya jawab persoalan rumah tangga yang berfungsi sebagai advokasi. Terobosan yang sangat maju untuk ukuran zaman itu. Kiprah S.K Trimurti dalam mengelola ma­ jalahnya semacam ini memberikan indikasi bahwa selain menyuarakan gagasan­gagas­ an, media pada waktu itu menjadi alat untuk advokasi persoalan yang dihadapi oleh ma­ syarakat. Pada periode ini pula ia bersama Sayuti Melik saling bahu membahu memba­ ngun perjuangan, hingga suatu saat akibat goresan penanya yang tajam kembali ia ha­ rus masuk penjara dan bahkan harus mela­ hirkan anak pertamanya di penjara. Para pelopor pergerakan awal perempu­ an yang amat dekat dengan media ini mem­ beri satu inspirasi bahwa mereka tidak per­ nah duduk diam dalam melihat kesengsara­ an rakyatnya. Mereka berjuang melalui go­ resan pena, berorganisasi dan juga tidak ta­ kut­takut pasang badan saat mereka harus berhadapan langsung dengan para pengu­ asa lalim. Sebuah kisah yang patut menja­ di renungan kita bersama yang hidup di za­ man kebebasan berpendapat.  Anna Mariana Anggota Tim Redaksi etnohistori.org

1. Hermansyah Nasirun, “Pelopor Kemajuan Bangsa yang Terlupakan” dalam Suara Muhammadiyah, no. 24. Th.61, 1981, hlm 29-30, dan 42. 2. Sitti Maryam “Salawati Daud dan gagasan tentang persatuan nasional Indoensia”, Tesis Pascasarjana UGM, Tidak diterbitkan, hlm. 80.

10

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


sEhAtnEgEriKu.Com

TEMU PEREMPUAN PEGIAT MEDIA KOMUNITAS

Mengadvokasi Kebijakan Adil Gender Banyak kebijakan yang seakan-akan bermanfaat bagi masyarakat, namun tidak adil bagi perempuan. Contoh-contoh kebijakan yang tidak adil gender itu dikupas dalam acara Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas, yang diadakan 11-13 April lalu, di Desa Wisata Candirejo, Magelang, Jawa Tengah. Oleh IDHA SARASWATI

Foto atas (ilustrasi): wacana "kewajiban" pemberian air susu ibu eksklusif bisa saja bermasalah. Wacana itu abai mempertimbangkan latar belakang dan kondisi kesehatan si ibu.

ACARA itu dihadiri 19 perempuan dari 10 provinsi di Indonesia yang aktif mengelola media komunitas di komunitas masing­ma­ sing. Mereka mengangkat beragam isu da­ lam beragam jenis media, dari media cetak, radio, media online, film, hingga seni. Deshinta Dwi Asriani, dosen sosiologi uni­ versitas Gadjah Mada yang menjadi peman­ tik diskusi mengajak peserta mengidentifi­ kasi kebijakan publik yang tidak adil pada perempun. Itu bisa dilakukan dengan mem­ bandingkan isi kebijakan dengan sejumlah konvensi yang memuat hak­hak perempuan, antara lain konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi ter­ hadap perempuan (CEDAW), konvensi ke­ pendudukan dan pembangunan (ICPD), dan konvenan internasional tentang hak ekono­ mi sosial dan budaya (Ecosob). Tujuan Pem­ bangunan Milenium (MDGs) juga mencan­ tumkan pentingnya pemberdayaan serta per­ lindungan terhadap perempuan dan anak.

Salah satu yang bisa dilihat adalah kebi­ jakan dalam kesehatan reproduksi. Kebijak­ an ini memuat isu yang amat dekat dengan perempuan. Hal itu antara lain bisa dilihat di wacana pemberian air susu ibu (ASI) eks­ klusif guna menjamin asupan gizi anak. De­ ngan adanya wacana tersebut, para perem­ puan (ibu) seperti diwajibkan untuk mem­ berikan ASI bagi anaknya tanpa melihat la­ tar belakang dan kondisi kesehatannya. Maka ketika seorang ibu tidak memberi­ kan ASI, yang muncul adalah anggapan bah­ wa si ibu tak bertanggung jawab. “Yang di­ harapkan dari kebijakan semacam ini adal­ ah adanya hak bagi perempuan untuk men­ jadi subjek dalam mengadvokasi dirinya sen­ diri, bahwa mereka memiliki hak untuk me­ nyusui ataupun tidak,” kata Deshinta. Hal itu dibenarkan oleh Shernylia Mala­ devi, pegiat radio komunitas Jaringmas dari Bantaeng, Sulawesi Selatan yang jadi peser­ ta acara. Ibu dua anak ini mengaku tak bisa Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

11


tAmA

Deshinta Dwi Asriani, staf pengajar sosiologi Universitas Gadjah Mada yang menjadi pemateri dalam acara Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas.

12

memberi ASI karena cadangan ASI­nya se­ dikit. Seperti dirinya, tidak sedikit perem­ puan yang ingin menyusui, namun tak bisa karena kondisinya tidak memungkinkan. Nurhayati Kahar, pegiat radio komunitas Suara Perempuan di Kota Pariaman Suma­ tera Barat menilai wacana ASI ekslusif men­ jadi politis karena ada pemaksaan terhadap para ibu untuk memberi ASI ekslusif, tanpa disertai kebijakan yang mendukung seorang ibu untuk memberikan ASI. Menurut dia, ada masalah kesehatan yang perlu diperhatikan, termasuk menyangkut asupan gizi bagi si ibu agar bisa memberikan anaknya ASI. “Ja­ di advokasinya adalah jika ibu­ibu dituntut memberikan ASI eksklusif, kebutuhan gizi bagi ibu perlu disuarakan agar pemerintah sadar bahwa wacana ASI ekslusif yang tidak dibarengi dengan asupan gizi ibu menyusui tidak akan berjalan lancar,” ujarnya. Terkait wacana serupa, Dian Septi Tris­ nanti dari rakom Marsinah FM yang setiap hari bersentuhan dengan isu buruh perem­ puan di kawasan Cakung, Jakarta utara, meng­ ungkapkan fakta mencengangkan. Meski pe­ rempuan dituntut untuk menyusui, di pab­ rik­pabrik sampai saat ini belum ada ruang­ an khusus untuk menyusui. Jam kerja seorang buruh perempuan di pabrik juga sangat ketat, sehingga mereka bahkan tak sempat memeras ASI bagi anak­

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

nya. Karena tak ada waktu memeras semen­ tara produksi ASI terus berlangsung, mere­ ka harus menahan ASI agar tak merembes keluar selama bekerja. “Menahan ASI agar tak keluar atau menetes merupakan sesua­ tu yang menyakitkan, dan pada jangka pan­ jang berdampak pada kanker payudara. Ti­ dak banyak buruh perempuan mengetahui hal ini,” terangnya. Persoalan lain yang mengemuka adalah program keluarga berencana. Sugiyanti, pen­ damping perempuan dan anak Magelang Ja­ wa Tengah menilai program itu tak adil bagi perempuan karena hanya perempuan yang dituntut untuk memasang alat kontrasepsi di tubuhnya. Padahal ada banyak risiko yang muncul akibat pemasangan alat kontrasep­ si di tubuh perempuan. Kritis Menurut Deshinta, dalam anjuran Depar­ temen Kesehatan tahun 1990­an, ASI cukup diberikan selama empat bulan. Namun be­ lakangan anjuran itu berubah menjadi enam bulan. Perubahan anjuran ini konon dida­ sarkan pada hasil riset. Pemerintah kemu­ dian mengikuti hasil riset itu tanpa meng­ kritisi siapa yang melakukannya. Di sisi lain, anjuran tersebut tidak diim­ bangi dengan kebijakan lain yang mendu­ kung. Aturan cuti untuk ibu melahirkan, mi­ salnya, hanya diberikan selama tiga bulan. “Hasil riset seperti itu perlu dikritisi, siapa yang meriset, apa kepentingannya, dan ba­ gaimana mereka melakukannya,” ujarnya. Terkait dengan kondisi yang dialami bu­ ruh perempuan, persoalan ASI menurut dia memang menjadi isu yang penting. Buruh perempuan dituntut untuk menyusui, se­ mentara kondisi di dalam pabrik tidak me­ mungkinkan mereka untuk leluasa menyu­ sui dan memeras ASI. Entah itu berupa ke­ tersediaan ruang menyusui maupun termos untuk ASI yang sudah diperas. Selain itu, para buruh perempuan juga ti­ dak memiliki akses untuk mengadukan per­ soalannya. Memang sudah ada serikat bu­ ruh, namun isu utama serikat buruh saat ini masih berkisar pada persoalan upah dan ke­ miskinan sehingga persoalan gender dan isu perempuan belum mendapat perhatian. “Ini karena gender adalah isu yang melampaui wacana tentang kelas dan kepentingan eko­ nomi. Maka kenaikan upah buruh perempu­ an tidak bisa menjamin terpenuhinya hak­ hak buruh perempuan,” tambahnya.

foto-foto: doKumEn KombinAsi

U


Terkait dengan kebijakan KB bagi perem­ puan, Deshinta sepakat bahwa ada risiko. KB hormonal, misalnya, diketahui telah menim­ bulkan dampak berupa sesak napas hingga penurunan gairah seksual. Jenis KB lainnya diketahui membuat tubuh perempuan lebih cepat gemuk dan munculnya jerawat. Ini ada­ lah persoalan baru bagi perempuan yang tak bisa diabaikan. Kebijakan seperti itu dinilai bias laki­laki, serta menimbulkan masalah baru bagi perempuan karena dibuat untuk mengatur perilaku perempuan. Advokasi Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak adil, para perempuan perlu lebih kritis dan berani menyampaikan pendapat. Advokasi menjadi keharusan. Menurut Deshinta, da­ lam upaya mengadvokasi kebijakan agar adil gender, ada beberapa elemen yang perlu di­ perhatikan. Pertama, mengidentifikasi aktor pemerintah. Di beberapa daerah saat ini su­ dah ada aktor pemerintah yang berpihak pa­ da perempuan, sehingga bisa diajak meru­ muskan kebijakan yang adil gender. Namun masih ada banyak daerah yang pejabat pub­ liknya mengabaikan perempuan. Selain itu, sistem yang berlaku di suatu institusi juga perlu diperhatikan. Acapkali sosok yang su­ dah sadar gender di sebuah institusi terha­ lang melakukan perubahan karena sistem yang berlaku di situ tidak mendukung. Berikutnya, partisipasi laki­laki dalam ad­ vokasi kebijakan yang adil gender amat pen­ ting, karena ketidaksetaraan gender bukan hanya persoalan perempuan. Ketika seorang perempuan dirugikan, pada saat yang sama laki­laki juga dirugikan. Kesetaraan gender berarti tidak ada pihak yang mendominasi, sebab dominasi gender itu dapat dilakukan baik oleh laki­laki maupun perempuan. Hal lainnya adalah pengetahuan perem­ puan tentang gender. Perempuan membu­ tuhkan rujukan agar bisa memahami hak­ haknya. Namun berbagai peraturan yang di­ buat untuk melindungi perempuan saat ini hanya menginduk pada aturan lain yang le­ bih besar, sehingga sulit disosialisasikan ke­ pada perempuan. “Tak ada kebijakan yang utuh membicarakan serta melindungi pe­ rempuan. Tidak ada kitab yang menjadi in­ duk untuk menggugat kebijakan yang tidak adil bagi perempuan,” ujar Deshinta. Sejumlah peserta juga ikut membagikan pengalamannya dalam upaya mengadvoka­ si perempuan di daerahnya masing­masing.

Atas: Dian Septi Trisnanti, pegiat Radio Komunitas Marsinah FM. Bawah: Nurhayati Kahar, pegiat radio komunitas Suara Perempuan.

Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak adil, para perempuan perlu lebih kritis dan berani menyampaikan pendapat. Advokasi menjadi keharusan.

Ada yang memilih bekerja sama dengan pe­ merintah, ada juga yang memilih berhadap­ an secara frontal dengan pemerintah selaku pengambil kebijakan. untuk mengadvokasi buruh perempuan di Jakarta, Marsinah FM rutin menyiarkan informasi seputar hak­hak buruh perempu­ an. Selain itu, untuk menuntut perubahan kebijakan, Dian mengaku kerap memilih ja­ lur frontal saat berhadapan dengan peme­ rintah. Mulai dari demonstrasi hingga mo­ gok kerja. Aksi demonstrasi umumnya di­ awali dengan grebek rumah (menjemput bu­ ruh perempuan dari rumahnya masing­ma­ sing) dan grebek pabrik (menjemput buruh perempuan di pabrik­pabrik). “Lewat upaya­upaya itu, buruh perempu­ an yang tadinya tak berani ngomong, pelan­ pelan mulai berani dan akhirnya ikut disku­ si dan jadi pembicara. Meski jumlahnya se­ dikit itu amat berarti bagi kami,” katanya. Radiyem dari Asosiasi Pendamping Pe­ rempuan usaha Kecil (Asppuk) di Kota Sura­ karta, Jawa Tengah, berupaya melakukan ad­ vokasi dengan mengawal perencanaan dan realiasi anggaran daerah agar ada alokasi un­ tuk pemberdayaan perempuan. Asppuk yang mendampingi para perempuan pelaku usa­ ha kecil fokus kepada upaya pemberdayaan ekonomi sebagai salah satu cara untuk mem­ berdayakan perempuan. Sedangkan Masyitoh yang bergerak di bi­ dang pendidikan kesehatan di pesantren­pe­ santren di Cirebon, Jawa Barat, mengambil strategi halus. untuk mendidik para siswa pesantren tentang kesehatan reproduksi tan­ pa harus secara frontal menyinggung atur­ an para guru dan pimpinan pondok, ia me­ milih jalur diskusi dan penerbitan yang isi­ nya digali dari kitab suci agama Islam. Nurhayati Kahar yang telah puluhan ta­ hun mengadvokasi anak dan perempuan kor­ ban kekerasan menyimpulkan bahwa yang dibutuhkan dalam upaya advokasi adalah pe­ rempuan­perempuan yang mau turun ke ba­ wah, ke level akar rumput. Ini karena keti­ dakadilan terhadap perempuan lebih banyak terjadi di tingkat bawah. Di samping itu, ia juga mengingatkan bah­ wa dalam upaya advokasi semua pihak yang dipandang dapat mendukung perlu diiden­ tifikasi, termasuk pihak pemerintah karena masih ada aktor­aktor di institusi pemerin­ tahan yang sebenarnya memiliki kesadaran. Semua pihak perlu dilibatkan. “Kata kunci­ nya adalah berjaringan,” katanya.  Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

13


U

tAmA TEMU PEREMPUAN PEGIAT MEDIA KOMUNITAS

Bersuara untuk Perempuan

Media massa arus utama yang ada saat ini dinilai belum adil gender dalam pemberitaannya. Isu-isu perempuan belum mendapat ruang yang layak di media. Oleh karena itu, perempuan perlu aktif menggunakan media untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Oleh IDHA SARASWATI

budisusilo85.blogsPot.Com

DEWI Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan yang menjadi pemateri di sesi “Media dan Perempuan” pada Temu Pe­ rempuan Pegiat Media Komunitas, Minggu (13/4), menuturkan, sampai saat ini media massa arus utama (koran, televisi, radio, me­ dia online) masih belum adil gender. Itu ter­ jadi tak hanya di Indonesia, namun juga me­ dia­media ternama di seluruh dunia. Ketidakadilan gender di media itu antara lain terjadi karena masih minimnya keterli­ batan perempuan dalam proses pengambil­ an keputusan redaksional. Akibatnya, pers­ pektif perempuan yang mampu mendorong munculnya berita yang adil gender tak mun­ cul di media. “Media seperti internet pun ti­ dak adil gender karena internet adalah ref­ leksi kehidupan nyata. Kini 80 persen selera media ada di tangan laki­laki,” tuturnya. Contoh paling anyar untuk menunjukkan selera laki­laki di media bisa dilihat dalam pemberitaan tentang calon anggota legisla­ tif (caleg) yang bertarung pada pemilihan umum 9 April lalu. Dari ribuan caleg perem­ puan yang akan bertarung, media lebih su­ ka mengangkat profil caleg perempuan dari kalangan artis, terutama artis­artis yang se­ lama ini dilekati citra 'seksi'. Yang diangkat pun lebih ke sensasi yang melingkupi kehi­ dupan sang artis selama ini. Profil caleg pe­ rempuan non artis yang mempunyai prog­ ram mengangkat isu­isu perempuan sepi da­ ri pemberitaan. Contoh lainnya bisa dilihat dari cara me­ dia televisi menampilkan para pembaca be­ rita. Di Indonesia, para perempuan yang men­ jadi pembaca berita umumnya harus meme­ nuhi syarat berpenampilan menarik, muda, dan cerdas. Namun usia dan penampilan pe­ rempuan pembaca berita agaknya dianggap lebih penting, sehingga saat usianya diang­ gap sudah 'tua' dia tidak lagi tampil di tele­ 14

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


doKumEn KombinAsi

Para peserta tengah berdiskusi dalam salah satu sesi pada acara Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas.

visi. Hal ini tidak berlaku bagi laki­laki pem­ baca berita yang terus bisa tampil di televisi meski usianya sudah di atas 40 tahun. “usia 30­40 tahun adalah usia yang ma­ tang bagi perempuan dalam menguasai ilmu pengetahuan. Jadi harusnya bukan dandan­ an, bukan jarik, bukan cara berjalan yang di­ gunakan untuk menilai kualitas kualitas pe­ rempuan. Seksisme tidak hanya ada dalam fakta berita, tapi juga dalam proses repre­ sentasi terhadap perempuan,” ujar Dewi. Perspektif Perempuan Menurut Dewi kehadiran perspektif pe­ rempuan dalam kerja redaksi media sangat penting karena perempuan memiliki aneka isu yang selama ini jarang dibicarakan, bah­ kan oleh perempuan sendiri. Karena itu, pe­ rempuan perlu lebih aktif mengisi media de­ ngan memakai perspektif perempuan. Ada banyak contoh yang menunjukkan perbedaan cara pandang perempuan dalam memberitakan suatu kasus di media. Keti­ ka isu tentang kesetaraan perempuan belum marak, hanya sedikit perempuan yang ter­ libat dalam kerja­kerja media. Akan tetapi, perempuan tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam meliput suatu kasus. Liput­

an perang, misalnya, selalu dikerjakan oleh wartawan laki­laki. Berita yang lebih sering muncul kemudian adalah berita seputar je­ nis dan persediaan senjata yang digunakan dalam perang. Belakangan ketika perempu­ an mendapat kesempatan yang sama untuk meliput perang, berita yang muncul meng­ ungkapkan sudut pandang para korban yang menderita akibat perang. Dewi mencontohkan surat kabar Inggris, The Guardian, yang kini termasuk paling ma­ ju dalam mengangkat perspektif perempu­ an dalam kebijakan redaksional. Selera, pe­ mikiran, dan ide perempuan masuk ke da­ lam ranah subjek, bahasan, penulis, dan hal­ hal yang diberitakan. Ia menambahkan, perspektif perempuan tidak hanya berguna dalam membedah ber­ bagai persoalan perempuan. Perspektif pe­ rempuan juga bisa digunakan untuk meng­ angkat berbagai persoalan penting masya­ rakat yang selama ini luput dari pemberi­ taan. Isu­isu seputar kesehatan reproduksi misalnya, marak diangkat ketika perspektif perempuan mulai mewarnai media. Dan isu kesehatan reproduksi bukan isu milik pe­ rempuan saja, karena setiap manusia mem­ punyai persoalan reproduksi. Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

15


U

tAmA Perspektif perempuan ini juga dapat di­ gunakan untuk menimbang berbagai kasus. Misalnya ketika dihadapkan pada pilihan ca­ lon presiden laki­laki dan perempuan, ma­ ka yang perlu dilihat pertama­tama adalah perspektif mereka. Jika calon presiden laki­ laki itu ternyata menganut perspektif yang adil gender, itu berarti ia layak dipilih. Agar isu dan perspektif perempuan lebih banyak menghiasi media, Dewi mengajak pa­ ra peserta untuk lebih aktif mengangkat ki­ sah perempuan di wilayahnya masing­ma­ sing. “Itu bisa dimulai dengan menulis kata 'perempuan' di bagian judul. Misalnya dalam kasus pertambangan, dengan perspektif pe­ rempuan kita bisa menulis dampak tambang terhadap perempuan,” terangnya.

foto-foto: doKumEn KombinAsi

Dari kiri: Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan, Shernylia Maladevi dari Radio Komunitas Jaringmas, Feronika Huby dari Tiki Papuan Women Voices, dan DS Nugraheni dari Festival Film Dokumenter

Pengalaman Komunitas Ketika media massa arus utama ternyata belum adil gender dalam pemberitaannya, para perempuan yang ingin mengangkat isu­ isu perempuan bisa berpaling ke media ko­ munitas. Ada beragam jenis media yang bi­ sa dimanfaatkan oleh perempuan untuk ber­ suara, mulai dari media cetak, elektonik, in­ ternet, hingga seni. Sejumlah perempuan pe­ giat media komunitas yang berasal dari ber­ bagai daerah sudah memulainya. Radio Komunitas Marsinah FM di Jakar­ ta, misalnya, telah merintis siaran radio yang materinya fokus pada aneka persoalan bu­ ruh perempuan. Melalui siarannya, radio ini mengajak para buruh perempuan terutama di kawasan berikat Cakung Jakarta utara un­ tuk memahami hak­haknya. Radio ini juga

memberikan inspirasi kepada pendengarnya dengan rutin menyiarkan profil­profil perem­ puan yang berani memperjuangkan sesuatu yang mereka yakini. Shernylia Maladevi dari Radio Komunitas Jaringmas di Bantaeng Sulawesi Selatan me­ makai beragam jenis media dalam mengang­ kat isu perempuan di daerahnya. Selain si­ aran radio, ia juga memilih media seni mu­ lai dari puisi, lagu, tari, hingga pentas mo­ nolog. Salah satu di antaranya adalah pentas mo­ nolog berjudul Mahar dan Perempuan. Me­ lalui pentas ini, Shernylia mengritik tradisi pemberian mahar perkawinan saat seorang lelaki hendak meminang calon istrinya. Ni­ lai mahar ditentukan dengan melihat latar belakang perempuan yang akan dijadikan istri, sehingga perempuan sekadar menjadi obyek dalam perkawinan. Seolah­olah pe­ rempuan adalah barang yang diperjualbeli­ kan, “Kami mendapat apresiasi yang bagus dan bebas berekspresi dengan seni sebagai media. Kami mendapat posisi cukup bagus untuk menyusup secara halus, berkarya un­ tuk perempuan,” katanya. Nurhayati Kahar dari Sumatera Barat ju­ ga menggunakan seni, terutama seni tradi­ si di daerahnya dalam mengangkat isu­isu mengenai perempuan. Salah satunya adalah dengan menggunakan lawakan Minang ali­ as Ciloteh Minang. Dengan gaya humor, be­ ragam isu perempuan bisa disampaikan de­ ngan lebih mudah ke masyarakat. Lawakan tersebut juga dapat digunakan untuk meng­ ritisi berbagai kebijakan pemerintah.

16

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


harus dilakukan dengan amat hati­hati ka­ rena nyawa menjadi taruhannya. oleh kare­ na itu butuh trik­trik khusus agar pesan bi­ sa sampai tanpa terlihat frontal. “Pernah ada yang mengangkat seni tradisi untuk meng­ kritik kondisi Papua, namun senimannya di­ ancam akan dibunuh sehingga harus lari ke luar negeri. Yang seni saja sudah didesak se­ perti itu, apalagi yang frontal dan yang be­ rani,” tambahnya. DS Nugraheni dari Festival Film Doku­ menter (FFD) mengatakan, film tidak meng­ ubah orang, tapi orang yang menonton film itu bisa melakukan perubahan. Film memi­ liki jangkauan distribusi yang luas, sehing­ ga bisa menjadi media untuk mengabarkan suatu kasus ke seluruh dunia. Selain inter­ net, festival­festival film dokumenter berke­ las internasional yang digelar di berbagai negara bisa dimanfaatkan untuk menyebar­ kan karya. Apalagi festival­festival semacam itu acapkali dihadiri sosok­sosok yang bisa mempengaruhi kebijakan baik di tingkat lo­ kal maupun internasional. Ia menambahkan, film kini menjadi me­ dia yang mudah dan murah. Tiap orang bisa membuat film mengandalkan kamera tele­ pon genggam maupun kamera berharga mu­ rah. Di samping itu, ada beragam fasilitas di internet yang bisa dimanfaatkan untuk me­ nyebarkan karya. “Jika ingin membuat film mengenai suatu kasus, mulailah mengambil gambar sekarang dengan alat yang ada, ja­ ngan menunggu sampai ada kejadian besar. Gambar­gambar tersebut akan sangat ber­ guna nantinya,” ujarnya. 

Film tidak mengubah orang, namun orang yang menonton film itu bisa melakukan perubahan.

Film kini dapat dibuat dengan mudah dan murah. Dan beragam fasilitas di internet bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan karya.

lintAsgAyo.Com

Adapun Feronika Huby dari Papua Barat bersama komunitasnya, yakni Tiki Papuan Women Voices memilih film dokumenter un­ tuk mengabarkan nasib perempuan Papua saat ini. Menurut Fero, Papua memiliki bera­ gam persoalan yang kompleks. Dengan ak­ ses yang sulit di segenap bidang, mulai dari akses transportasi hingga akses ke pendidik­ an, ditambah dengan tingginya angka keke­ rasan, perempuan Papua menanggung beban terberat. Mereka rata­rata menikah di usia muda, lalu menanggung perekonomian ke­ luarga dengan bergantung pada alam. Di sisi lain, kini tengah terjadi perampok­ an besar­besaran di Papua. Papua sudah di­ petak­petak bagi kepentingan investor di bi­ dang pertambangan dan perkebunan sawit. Padahal masyarakat Papua masih bergantung pada alam, yakni dengan menjadi pemburu dan peramu di hutan, atau nelayan. Mereka dipaksa berhadapan dengan kepentingan in­ vestasi tanpa persiapan apa pun. Fero dan rekan­rekannya mengangat ki­ sah itu dalam film dokumenter. Salah satu­ nya film yang menceritakan peran perem­ puan dalam menjaga kelestarian hutan. Ada seorang perempuan yang mengandalkan hi­ dupnya dari hasil hutan, sementara perusa­ haan mematok lahan tersebut secara sepi­ hak. Film itu kemudian diputar di hadapan komunitas lokal, serta di hadapan para pe­ merhati Papua di Jakarta. “Ibu itu dan per­ usahaan bersaing menjaga dan mematok la­ han yang jadi hak ulayat dia,” kata Fero. Di Papua, seni bisa menjadi media yang dianggap berbahaya. Proses pembuatan film

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

17


C

EtAK

AJAKAN TRIO APONG, KOPONG, DAN PAIJAN

PEduliKEndEng.blogsPot.Com

Melestarikan Pegunungan Kendeng

Apong adalah remaja pria yang selalu berpeci dan menyampirkan sarung di badannya. Sahabatnya yang bernama Kopong gemar berkaus jersey klub sepakbola AC Milan, doyan menudungi kepala dengan topi bisbol yang dipakai terbalik. Keduanya berkawan dengan Paijan, pemuda berpotongan rambut belah tengah, yang biarpun namanya terkesan ndeso, tetapi cerdas otak dan bicaranya. Tiga anak muda ini tinggal di sebuah desa di sekitar Pegunungan Kendeng, Pati Selatan, Jawa Tengah. Oleh YOSEPH KELIK

H

ari­hari Apong, Kopong, dan Paijan kerap terisi petua­ langan. Mereka pernah me­ nemani sepasang mahasis­ wa dari Yogyakarta blusukan ke da­ lam hutan di lereng Pegunungan Ken­ deng dan memotret aneka flora­fau­ na di sana. Ketiganya tak segan nyem­ plung ke genangan air ketika ikut me­ nolong warga desanya yang menjadi korban banjir bandang. Mereka pun pernah meluangkan waktu menyam­ bangi sejumlah peternakan di sepu­ taran desa, belajar langsung ilmu bu­ didaya hewan dari para peternak. 18

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

Mereka pernah mengingatkan pa­ ra petani di sekitar Pegunungan Ken­ deng untuk tak berlebihan memakai herbisida alias obat kimia pembasmi rumput. Suatu waktu, trio dari kaki Pegunungan Kendeng ini sempat men­ datangi lokasi penambangan batu ka­ pur untuk mengingatkan para buruh penambang tentang efek buruk kegi­ atan kerja semacam itu terhadap ling­ kungan, termasuk membujuk para pe­ nambang agar berpindah ke pekerja­ an lain. Bahkan Apong, Kopong, dan Paijan pernah memberanikan diri gu­ na berdebat dengan sekumpulan pre­

man yang coba menekan para petani untuk menjual tanah mereka kepada pihak perusahaan semen. Ketiganya juga contoh anak muda yang mencintai lingkungan, selalu gi­ at dan berani menyebarkan pengeta­ huan mengenai hidup yang selaras dengan alam. Mereka sebenarnya ha­ nyalah tiga karakter utama rekaan da­ lam serial komik Petualangan Apong dan Kopong atau Komik Kendeng. Ke­ tiganya memang cuma tokoh rekaan, tetapi aneka masalah lingkungan dan sosial yang diceritakan di dalamnya menjadi problem nyata yang terjadi


di daerah Pati Selatan, terutama se­ kitar enam tahun terakhir. Pegunungan Kendeng yang tegak di sisi selatan daerah Pati Selatan, ju­ ga lahan pertanian luas di sana, di Ke­ camatan Sukolilo, Kayen, serta Tam­ bakromo, memang sedang menjadi incaran raksasa­raksasa perusahaan­ perusahaan semen seperti Semen Gre­ sik hingga Indocement karena kan­ dungan kapur dan lempung, yang me­ rupakan bahan baku pembuatan se­ men, berkualitas tinggi di dalamnya. Jika pabrik jadi berdiri dan berope­ rasi, banyak sawah ladang di Pati Se­ latan akan berhenti menumbuhkan padi, jagung, kedelai, kacang dan sing­ kong. Mereka akan berganti menjadi pabrik, lahan galian tambang dan pe­ nimbunan stoknya, permukiman bu­ ruh, jalan, dan sebagainya. Meminjam apa yang disebut koran KOMPAS pa­ da 2011, lahan pertanian di Pati Sela­ tan sungguh tengah terancam men­ jadi bagian dari 200 ribu hektare la­ han pertanian yang setiap tahunnya beralih fungsi menjadi lahan nonper­ tanian. Bahkan lahan pertanian yang tidak langsung tercaplok pendirian pabrik semen, produktivitasnya ke­ mungkinan bakal turun karena pegu­ nungan kapur semacam Kendeng me­ rupakan kawasan karst yang sebetul­ nya menjadi cadangan raksasa air ta­ nah. Ketika karst rusak oleh penam­ bangan, pasokan air untuk pertanian akan terancam. Nah, Komik Kendeng yang berkisah tentang Apong, Kopong, serta Paijan adalah satu cara bersuara dari ma­ syarakat Pati Selatan yang menolak rencana pendirian pabrik semen dan penambangan bahan mentah produk­ si semen di daerah mereka. Mereka berhimpun dan menamakan diri se­ bagai Jaringan Masyarakat Peduli Pe­ gunungan Kendeng (JMPPK). JMPPK inilah yang memroduksi Komik Ken­ deng. Sejak kelahirannya pada perte­ ngahan 2012, Komik Kendeng terca­ tat telah terbit sebanyak 8 edisi. Pe­ nerbitan delapan edisi itu pada 10 Ju­ li 2012, 18 oktober 2012, 13 Febru­ ari 2013, 21 Februari 2013, 18 Ap­ ril 2013, 3 Januari 2014, 13 Februari 2014, serta 7 Maret 2014.

Menurut Sobirin (31), satu di anta­ ra anggota tim produksi Komik Ken­ deng, JMPPK menerbitkan serial ko­ mik tersebut sebagai cara mengha­ dapi kuatnya pemberitaan propendi­ rian pabrik semen di media massa. Se­ lama ini berita­berita yang propendi­ rian pabrik semen kerap digandakan secara fotokopi oleh orang­orang yang

Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo. Di samping itu, Komik Kendeng bisa juga dibaca atau diunduh di laman www. omahkendeng.org. Secara umum, Komik Kendeng ber­ isi penyebaran gagasan bahwa per­ tanian sesungguhnya mampu meng­ hidupi warga dan menggerakkan per­ ekonomian Sukolilo dan sekitarnya

Jaringan Masyarakat Peduli Pegungan Kendeng menerbitkan serial komik Kendeng sebagai cara menghadapi kuatnya pemberitaan propendirian pabrik semen di media massa.

propendirian pabrik semen, lalu di­ bagikan ke orang­orang di desa un­ tuk menggiring opini publik di Pati Selatan. Propaganda semacam itulah yang coba dibendung oleh JMPPK. “Tapi kalau kami lihat, masyarakat desa itu kebanyakan tak familiar de­ ngan berita­berita mendalam ataupun berita­berita tekstual lainnya, maka muncullah ide tentang bikin komik. Kebetulan ada teman di JMPPK yang memang punya kemampuan bikin ko­ mik,” kata Sobirin mengenai proses awal penerbitan Komik Kendeng yang berlangsung pada akhir 2011 hing­ ga awal 2012 lalu. Komikus yang me­ ngerjakan Komik Kendeng bernama Anton (25), yang memakai Ahnco se­ bagai pseudonim­nya. Selain itu, da­ lam tim produksi terlibat juga Dayu sebagai editor, juga Wahono dan Pur­ nomo untuk urusan distribusi Pengerjaan setiap edisi Komik Ken­ deng biasanya 1­2 minggu, mulai da­ ri digambar secara manual, di­scan ke komputer, diedit, kemudian dan dice­ tak sekitar 200 eksemplar. Komik ini disebarkan di tiga kecamatan, yakni

bahkan untuk jangka panjang. Con­ tohnya dengan menggabungkan per­ tanian dengan peternakan, atau men­ jalankan pertanian organik yang ha­ sil produksinya dihargai lebih mahal di pasaran, ataupun mengembangkan wisata mengenai kehidupan pedesa­ an. Disebarkan pula kesadaran bah­ wa pendirian pabrik pabrik semen dan kegiatan penambangannya tentu­ lah akan lebih banyak menguntung­ kan kalangan pemilik modal. Masya­ rakat lokal hanya akan menempati keuntungan sesaat dari penjualan la­ han, selebihnya bakal menjadi buruh bahkan penonton. Semua itu diceritakan dengan run­ tutan panel­panel gambar berdialog yang meminjam kisah­kisah keseha­ rian masyarakat desa di seputaran Pe­ gunungan Kendeng, diselipi sejum­ lah bumbu humor. Istilah dan konsep ilmiah seperti karst, sungai bawah ta­ nah, ekosistem, hingga pembatasan obat kimia disampaikan dalam baha­ sa awam. Itu merupakan usaha agar lebih mudah dicerna warga desa yang memang menjadi sasarannya.  Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

19


V

idEo

Children of A Nation: Demokrasi untuk Siapa? Presiden pertama Indonesia Soekarno tampak tengah berpidato dengan berapi-api. Menceritakan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu indah dengan segala kelebihannya berupa kekayaan alam, dan kondisi damai tentram sejahtera yang melingkupinya. Oleh ARIS SETYAWAN

I

tulah adegan pembuka dari film dokumenter berjudul “Children of a Nation”. Namun, pembukaan yang menggambarkan keindah­ an zamrud khatulistiwa dan kemun­ culan Soekarno di awal film yang di­ sutradarai Sakti Parantean ini adalah ironi. Setelah itu, film sepanjang le­ bih kurang 90 menit ini menghadir­ kan gambaran Indonesia yang lain. In­ donesia yang tidak lagi indah dan da­ mai seperti penuturan sang prokla­ mator. Indonesia yang karut marut dan riuh dengan kebencian, terutama saat diselenggarakannya sebuah mo­ men lima tahunan yang sering dise­ but sebagai “pesta demokrasi.” Itulah pemilihan umum (pemilu), momen sa­ at semua orang seperti menjadi mu­ suh bagi orang lain. Children of a Nation (CoaN) adalah film dokumenter yang mengisahkan tentang apa saja yang terjadi di Indo­ nesia selama masa pemilu. Film ini menceritakan rentetan pemilu di In­ donesia mulai dari pemilu pertama ta­ hun 1955 hingga 2009, dengan fokus utama pada pemilu 2009 karena pe­ milu itulah yang menentukan nasib Indonesia lima tahun berikutnya hing­ ga datangnya masa pemilu 2014. CoaN menyuguhkan bagaimana se­ pak terjang para politisi serta partai politik (parpol) selama pemilu 2009. Ada rekaman saat gunung sampah di Bantar Gebang, Kota Bekasi, menda­ dak meriah dan berwarna­warni ke­ tika Megawati Soekarno Putri dan Pra­ 20

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

bowo Subianto mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dan wakil pre­ siden. Lalu ada Stadion Gelora Bung Karno yang membiru oleh warna par­ tai yang diusung Susilo Bambang Yu­ dhoyono­Boediono saat mereka me­ mutuskan ikut kompetisi jadi pemim­ pin negeri. Ada pula adegan deklara­ si pasangan Jusuf Kalla­Wiranto. Meski menyajikan rekaman dekla­ rasi kampanye damai, di mana selu­ ruh politisi dan parpol peserta pemi­ lu 2009 menyatakan akan berkompe­ tisi dengan damai, CoaN dapat meng­ hadirkan sesuatu yang tersembunyi di balik selimut semu damai itu: ada persaingan sengit yang nyata untuk memperebutkan kuasa tertinggi di In­ donesia. Semua yang berkompetisi da­ lam pemilu bakal melakukan segala cara untuk menjadi pemenang. Sakti Parantean menampilkan ca­ ra­cara yang digunakan para politisi untuk menjadi pemenang. Cara­cara tersebut menegaskan tentang adanya begitu banyak kecurangan yang ter­ jadi selama pemilu 2009. Mulai dari parpol yang menyalahi aturan kam­ panye dengan iklan­iklan di televisi yang dirancang sedemikian rupa se­ hingga tampak bukan seperti sedang berkampanye, kejanggalan dalam Daf­ tar Pemilih Tetap (DPT) yang memu­ at banyak nama ganda, hingga parpol yang mengakali tenggat waktu kam­ panye publik dari Komisi Pemilihan umum (KPu) dengan menjajah ranah internet seperti facebook. Demi keme­

foto-foto: istimEwA

nangan mutlak, segala cara dianggap halal dalam politik. CoaN juga menyoroti fenomena la­ ma dalam pemilu, yakni fakta bahwa sebagian besar calon anggota legisla­ tif yang berkompetisi memang sudah berkecimpung lama dalam dunia po­ litik. Ini mengkhawatirkan karena re­ generasi calon pengurus negara mam­ pet. Jabatan­jabatan penting selalu di­ pegang orang lama yang lantas akan menunjuk kroni atau keluarga untuk menjadi penggantinya. Kaderisasi yang buruk ini terlihat dari perekrutan petinggi sebuah par­ pol yang ternyata adalah anak dari pendiri parpol itu. Praktis kekuasaan hanya akan berputar di situ, tak per­ nah ada kesempatan bagi orang lain yang berkualitas untuk ikut masuk. Muka­muka lama dalam pemilu ini ju­ ga disinyalir memiliki rekam jejak bu­ ruk. Di antaranya berupa pelanggar­ an hak asasi manusia dan korupsi se­ masa orde Baru. Mereka sukses me­ ngubur rekam jejak buruknya di ma­ sa lalu lalu ikut berpolitik.


info FILM CHILDREN OF A NATION Sutradara: Sakti Parantean Produksi: Fictionary Film Tahun Produksi: 2013 Durasi: 90 menit

opini masyarakat saat menyikapi pemilu digambarkan dengan menyo­ roti dua sosok sepanjang film. Perta­ ma adalah seorang sekretaris perusa­ haan swasta bernama Neni Triyani. Neni mewakili kelas menengah atas dalam masyarakat Indonesia yang be­ kerja di kantor dan memiliki pengha­ silan di atas rata­rata. Ketika ditanya seperti apa calon pemimpin yang ba­ ik untuknya, Neni menyebutkan sosok yang ganteng dan berwibawa seperti SBY. Ia tak mau punya presiden yang mempunyai kekurangan fisik seperti Gus Dur. Melalui sosok Neni, film ini menyuguhkan opini masyarakat kelas menengah ke atas mengenai politik: pencitraan fisik yang rupawan ada­ lah segalanya. Berseberangan dengan Neni, sosok kedua adalah seorang pemilik warung makan kecil sekaligus simpatisan par­ tai banteng merah bernama Sunarti. Ia menyatakan setia pada partai me­ rah lantaran kecintaannya pada Soe­ karno. Ia menganggap partai itu de­ kat dengan wong cilik dan sampai mati

akan membelanya. Inilah politik bagi kelas menengah ke bawah: pencitra­ an merakyat adalah segalanya. CoaN mempertanyakan sebuah wa­ cana dalam fenomena pesta demo­ krasi ini: sebenarnya demokrasi itu untuk siapa? Benar­benar untuk rak­ yat atau elit politik yang punya akses untuk berkompetisi dalam pemilu? Pertanyan ini muncul karena da­ lam setiap pemilu, mereka yang ber­ tarung sebenarnya adalah para elit yang tampak begitu tinggi tak terga­ pai rakyat jelata. Rakyat hanya punya kekuatan lima menit dalam bilik su­ ara, kemudian pasrah pada apa pun kebijakan pemimpin yang dipilihnya selama lima tahun ke depan. Pesta de­ mokrasi (politik) bagi mereka hanya tontonan mewah dalam media terpo­ puler di Indonesia: televisi. Apakah de­ mokrasi ini juga untuk mereka? CoaN adalah film dokumenter yang bagus guna memberikan pemahaman tentang pemilu dan politik, terlebih di tahun pemilu 2014. Pemilu kali ini pun menjadi bukti nyata tentang apa

yang coba disampaikan CoaN: orang­ orang lama dalam dunia politik kem­ bali menguasai pesta demokrasi ini. Tak ada calon pemimpin baru. Namun, ada kekurangan yang sa­ ngat disayangkan dari CoaN, yakni ke­ sulitan untuk mengakses film ini ka­ rena sementara hanya diputar di fes­ tival film. Dan entah untuk tujuan apa, CoaN dibuat dengan narasi berbaha­ sa inggris. Sekalipun isi film ini amat bagus, akan lebih baik jika distribu­ sinya bisa menyentuh rakyat (kelas menengah ke bawah) dan dibuat de­ ngan narasi bahasa Indonesia. Atau patutkah kita bertanya: film (tentang demokrasi) ini dibuat untuk siapa? Kelas menengah ke atas yang mam­ pu hadir di festival film, atau rakyat (kelas menengah ke bawah) Indone­ sia yang konon dibela hak politiknya dalam film ini? 

Aris Setyawan Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta, Penulis Lepas di Beberapa Media

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

21


P

ustAKA

Kampuz Jalanan: Ruang Belajar Alternatif di Bantul Rumah itu tidak terlalu besar, terletak di pinggir sebuah jalan kampung kecil. Di depannya terbentang sebuah lapangan desa. Namanya adalah Kampuz Jalanan. Oleh ARIS SETYAWAN

22

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

J

angan bayangkan rumah ini se­ perti kampus kebanyakan yang besar dan megah. Kampuz Ja­ lanan berupa sebuah rumah ke­ cil namun dengan kegiatan bercita­ cita besar: mencerdaskan anak bang­ sa. Kampuz Jalanan adalah sebuah ru­ ang belajar alternatif yang bertempat di Kweni, Panggungharjo, Bantul, DI Yogyakarta. Ruang belajar alternatif tempat semua orang bisa saling bela­ jar bersama. Sore itu, ada sekitar sepuluh anak yang datang. Mereka duduk bersila de­ ngan manis di atas tikar lalu belajar bersama seorang kakak pengajar ber­ nama Aroh. Masing­masing anak me­ megang sebuah buku cerita dan mem­ bacanya. Rupanya sore itu ada jadwal membaca buku cerita, lalu menceri­ takan lagi isi dari buku yang dibaca­ nya. Setelah selesai membaca dan ber­ cerita, anak­anak lalu dibimbing un­ tuk bernyanyi bersama, dan bermain tebak­tebakan. Inilah suasana belajar di Kampuz Jalanan, sangat jauh dari kesan kaku kampus kebanyakan. Ini sesuai dengan motto Kampuz Jalan­ an untuk belajar dan bermain, berma­ in dan belajar. Aroh adalah satu dari sedikit rela­ wan yang mengajar serta mengurus kegiatan di Kampuz Jalanan. Ada ju­ ga Eko Prasetyo atau akrab dipanggil mas Pras. Mas Pras adalah salah satu penggagas ruang belajar alternatif ini. Kampuz Jalanan berdiri sekitar ta­ hun 2010 dengan sebuah niat mulia: memberikan ruang belajar alternatif yang menyenangkan bagi anak­anak di daerah pinggiran. Karena itu, dipi­ lihlah sebuah lokasi di kawasan Pang­ gungharjo, Bantul, DI Yogyakarta. Ter­ inspirasi dari sebuah film lama ber­ judul “Ali Topan Anak Jalanan” jadilah nama Kampuz Jalanan ditahbiskan ke ruang belajar alternatif ini. Konsep ru­

ang belajar alternatif ini menarik ka­ rena mengedepankan kesetaraan di mana semua orang adalah guru dan murid. Mereka berusaha menghindari kesan seram guru­murid yang selama ini ada di sekolah formal. Seperti sore itu, sepuluh anak usia SD yang tengah bermain itu tidak di­ anggap sebagai murid oleh Aroh sang relawan pengajar. Mereka menggang­ gap diri mereka setara, sama­sama belajar. Selain belajar menulis mem­ baca dan berhitung seperti di seko­ lah formal, anak­anak di Kampuz Ja­ lanan juga belajar hal­hal menarik la­ innya seperti musik, film, menggam­ bar, dan fotografi. Pengajarnya adalah orang­orang yang memiliki keahlian di bidang tersebut dan kebetulan ber­ kunjung ke Kampuz Jalanan. Konsep kerelawanan yang memba­ wa para mahasiswa atau orang umum yang memiliki keahlian khusus bisa datang ke Kampuz Jalanan dan men­ transfer ilmu mereka ke anak­anak atau semua orang yang belajar di sa­ na. Dengan konsep kerelawanan ini, Kampuz Jalanan otomatis tak pernah kehabisan staf pengajar, dan tak ke­ habisan bahan untuk dipelajari. Relawan yang mengajar di Kampuz Jalanan tak dibayar sepeser pun. Me­ reka mengajar dengan keikhlasan ser­ ta niat mulia memberikan pendidikan alternatif pada generasi muda. Kam­ puz Jalanan memang sebuah ruang belajar non­profit yang didirikan bu­ kan untuk mencari keuntungan. Se­ mentara untuk biaya operasional se­ perti pengadaan materi belajar, Kam­ puz Jalanan memiliki sebuah program bernama Sedekah Kreatif + Edukatif dimana setiap orang bisa bersedekah sesuai kemampuannya untuk men­ dukung keberlangsungan Kampuz Ja­ lanan. Bisa sedekah berupa uang, atau sekadar sedekah barang dan jasa, atau


foto-foto: istimEwA

sedekah dukungan dengan menyukai laman facebook Kampuz Jalanan. Da­ ri program sedekah inilah Kampuz Ja­ lanan bisa memiliki sebuah perpus­ takaan kecil dengan koleksi buku yang lumayan. Menurut Pras, buku­buku yang ada di perpustakaan Kampuz Jalanan ber­ asal dari sedekah atau sumbangan pa­ ra donatur. Ada buku­buku bekas na­ mun masih layak baca, ada pula buku baru. Koleksinya pun beragam mulai dari cerita bergambar untuk anak­ anak, buku­buku teori serius hingga novel sastra untuk kalangan pembaca dewasa. Para pengunjung bisa mem­ baca sesuka hati di perpustakaan mi­ ni ini tanpa harus membayar. Sepan­ jang pintu gerbang Kampuz Jalanan masih terbuka, maka setiap pengun­ jung bebas masuk dan membaca. Na­ mun biasanya perpustakaan ini ramai dikunjungi oleh anak­anak pada so­ re hari antara jam 04.00 sampai jam 06.00. Sambil belajar biasanya anak­ anak akan memilih sebuah buku yang bagus lalu membacanya. Terkadang koleksi buku yang ada di perpustakaan mini Kampuz Jalan­

an juga tidak pernah tersimpan lama di rak buku. Bukan karena hilang, ta­ pi karena disumbangkan ke sekolah atau komunitas lain yang membutuh­ kan. Ternyata selain menjadi sebuah ruang belajar alternatif, Kampuz Ja­ lanan juga menjadi semacam penyup­ lai barang­barang pendidikan untuk yang membutuhkan. Pras menyebutkan, ada begitu ba­ nyak sedekah atau sumbangan barang pendidikan berupa buku, alat tulis, dan lain­lain yang jika hanya didiam­ kan di Kampuz Jalanan terasa kurang bermanfaat. Karena itu, para relawan di Kampuz Jalanan akan melakukan semacam survei untuk mencari seko­ lah atau ruang komunitas lain untuk melihat apa kebutuhan mereka, lalu menyalurkan buku dan keperluan pen­ didikan yang ada di Kampuz Jalanan tadi agar bisa dimanfaatkan. Semen­ tara Kampuz Jalanan sendiri tak per­ lu takut kehabisan buku karena bia­ sanya tidak berselang lama akan ada sumbangan buku baru yang mengisi rak. Dengan demikian judul buku yang menjadi koleksi juga sering berganti dan anak­anak atau pengunjung se­

lalu mendapatkan variasi buku baru untuk dibaca. Kampuz Jalanan adalah bukti bah­ wa pendidikan tak melulu harus ma­ hal seperti kampus kebanyakan de­ ngan uang besar yang harus dibayar­ kan. Ruang belajar alternatif di sebu­ ah desa di Bantul ini dapat bertahan sejak 2010 hingga sekarang dengan konsep kerelawanan dari staf peng­ ajar serta pengelolanya. Bisa menja­ di sebuah ruang belajar yang menye­ nangkan bagi masyarakat sekitarnya, serta memiliki sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang tentu amat berguna bagi pengembangan wawa­ san masyarakat. untuk menjadi pintar tidak harus mahal, cukup memanfaatkan niat dan tekad yang tinggi dan modal jaringan pertemanan. Niscaya keinginan me­ miliki sebuah ruang belajar dan per­ pustakaan dengan koleksi buku yang banyak pun pasti tercapai.  Aris Setyawan Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta, Penulis Lepas di Beberapa Media Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

23


R

Adio

PRIMADONA FM:

Perjalanan Sebuah Radio ‘Gelap’

Pagi itu saya terbangun oleh sebuah alunan lagu. Nada yang familiar mengingatkan pada suasana upacara bendera. Saya segera tersadar bahwa itu adalah lagu ciptaan W.R. Supratman: Indonesia Raya. Dengan aransemen a la orkestra, lagu itu terdengar megah memenuhi hampir setiap ruang pada rumah yang tidak begitu besar. Rumah yang menjadi jantung informasi bagi masyarakat yang tinggal di sebuah daerah di ujung utara Pulau Lombok. Primadona FM memulai rutinitasnya pagi itu. Oleh FERDHI S PUTRA 24

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

P

rimadona FM adalah sebu­ ah radio komunitas (rakom) yang berdiri pada awal mile­ nium kedua, tepatnya pada tahun 2002. Rakom ini tumbuh di te­ ngah masyarakat yang plural di Nu­ sa Tenggara Barat, dengan komposisi yang hampir seimbang antara masya­ rakat tradisional (Sasak/Bayan) dan masyarakat modern yang didominasi pendatang. Konon, di wilayah inilah dahulu Kerajaan Bayan memancang­ kan tonggak kekuasaannya.


istimEwA PrimAdonAlomboK.blogsPot.Com

Foto Kiri: Penyiar perempuan bersiaran di studio sederhana milik Radio Komunitas Primadona FM di Desa Karang Bajo, Lombok Utara. Foto bawah: Muhammad Syairi, pemimpin Radio Primadona FM.

Studio Primadona FM terletak se­ kitar dua kilometer dari Masjid Adat Bayan, bangunan yang dipercaya se­ bagai simbol kekuasaan kerajaan ter­ sebut, tepatnya di Dusun Ancak Ba­ rat, Desa Karangbajo, Kecamatan Ba­ yan, Kabupaten Lombok utara. Sebu­ ah kabupaten yang baru mandiri pa­ da 2009 lalu. Boleh dibilang, lahirnya Primado­ na sebagai rakom adalah buah dari ketidaksengajaan. Awalnya, Muham­ mad Syairi, yang kini berperan seba­ gai pimpinan rakom, sukses menyu­ lap peralatan radio yang hampir men­ jadi rongsok. Barang­barang itu ada­ lah titipan seorang rekannya, Raden Sawinggih, yang memang mengira ba­ rang­barang itu sudah tidak bergu­ na. Namun, setelah Syairi berhasil me­ manfaatkannya, Sawinggih pun me­ nyambut. Kedua orang inilah yang ke­ mudian menjadi pendiri rakom Prima­ dona FM. Dibantu oleh seorang pe­ rempuan bernama Sahuni yang ber­ peran sebagai manajer program, Pri­ madona pun mengudara secara kon­ sisten dan dikerjakan secara semi­ profesional sejak saat itu. Sesudah berhasil mengudara, Pri­ madona pun dengan singkat menjadi primadona. Tidak heran sebab di era itu, di tempat itu, tak ada saluran hi­ buran lain. Belum banyak warga yang memiliki pesawat televisi, terlebih ja­ ringan internet. Kondisi ini yang mem­ buat Primadona menjadi satu­satu­ nya saluran hiburan dan informasi ba­ gi warga di Bayan. Di tengah dahaga akan saluran informasi dan hiburan, rakom yang dulu dikenal sebagai 'ra­ dio bambu'—karena dulu antena ra­ dio disanggah dengan menggunakan sebatang bambu—ini hadir sebagai pelepasnya. Meskipun tak berorientasi profit, pada masa kejayaannya sekitar tahun 2005, Primadona mampu menghasil­

kan keuntungan hingga Rp 3 juta per bulan. Itu didapat dari penjualan ker­ tas atensi yang dibanderol Rp 500 per lembar. Kertas atensi tersebut bergu­ na sebagai media komunikasi bagi pa­ ra pendengar dengan memanfaatkan rakom sebagai perantaranya. Walaupun sebagian besar kertas atensi berisi salam­salam dan request lagu dari para pendengar, namun ter­ nyata mampu memberikan efek yang signifikan terhadap para pendengar dan partisipan. “Saya akan matikan hape kalau radio sedang tidak meng­ udara. Karena kalau tidak, saya akan 'terteror' oleh SMS dan telepon pen­ dengar yang bertanya 'mengapa ra­ dio tidak nyala?” kenang Syairi saat ditemui akhir Februari lalu di studio Primadona. Era rakom muncul setelah undang­ undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran disahkan. Rakom bermun­ culan rakom bak jamur di musim hu­ jan yang tumbuh subur dan tersebar. Ini karena peraturan tersebut menja­ di landasan bagi pegiat rakom untuk melenyapkan stigma radio gelap (ile­ gal) dan menggesernya menjadi radio alternatif. Namun dalam perjalanan­ nya, banyak dari rakom­rakom terse­ but yang perlahan redup dan akhir­ nya menghilang. Ada beberapa faktor penyebab, antara lain karena hilang­ nya partisipasi komunitas dalam pe­ ngelolaan radio, baik secara teknis maupun finansial. Selain itu, arus me­ dia informasi dan hiburan di era glo­ bal semakin deras, sehingga banyak dari anggota komunitas yang beralih ke media yang lebih populer, seperti televisi dan internet. Tetapi untungnya hal itu tidak ter­ jadi pada Primadona. Syairi mengaku pernah memiliki kehawatiran serupa ketika penggunaan telepon genggam marak di daerahnya. Ia menduga bah­ wa telepon seluler akan mengalihkan para pendengar ke hiburan lain. Na­ mun ternyata dugaannya salah. Ma­ lah, dengan maraknya pemakaian pon­ sel, pendengar Primadona bertambah cukup pesat. Anggota komunitas yang semula tak memiliki radio justru bi­ sa mendengarkan radio lewat ponsel (yang dilengkapi fitur radio). Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

25


R

Adio

Meski begitu, fenomena ponsel ini berimbas negatif pada pemasukan ra­ kom. Banyak orang mulai meninggal­ kan kertas atensi dan beralih meng­ gunakan SMS atau telepon untuk ber­ kirim salam atau sekadar request la­ gu. “Tidak masalah. Karena rakom ini berdiri bukan demi profit. Selama ma­ sih memiliki pendengar, Primadona akan tetap hidup,” yakin Syairi. Mendorong Perubahan Para penyiar Primadona berasal da­ ri berbagai kalangan. Salah satunya adalah Kepala Desa Karangbajo, Ker­ tamalip. Dulu, sebelum alat relay ru­ sak, setiap pukul delapan hingga se­ puluh pagi, Kades kerap bersiaran da­ ri kantor desa. Pada kesempatan itu, dia membuka keran­keran komuni­ kasi antara pejabat desa dengan ma­ syarakat, dengan selingan­selingan la­ gu­lagu favorit warga. Praktik ini memperlihatkan ben­ tuk transparansi, atau bahkan demo­ krasi di level terbawah. Apa yang di­ lakukan oleh Kades Kertamalip diba­

Selain sebagai sarana hiburan, Primadona FM juga mendorong perubahan sosial lewat sajian informasi kritis. Tidak sekali mereka dituding sebagai provokator. nyangkut kepentingan khalayak. Hing­ ga kini, sudah banyak fasilitas publik, seperti sekolah dan klinik kesehatan yang merupakan buah dari perjuang­ an kru Primadona, yang berdiri di Ke­ camatan Bayan dan sekitarnya. 

Hari masih panjang. Syairi memu­ lai siaran pagi itu dengan lagu­lagu populer berbahasa lokal. Tidak lama kemudian, siaran diambil alih sang is­ tri yang mengawali hari dengan ber­ bagi resep masakan. Sementara Sya­ iri berkeliling kampung untuk men­ cari berita, dan tentu saja berinterak­ si dengan komunitas di mana ia dan Primadona FM berdiri.  Ferdhi S Putra Pegiat Komunitas, Saat Ini Aktif di Combine Resource Institution

PrimAdonAlomboK.blogsPot.Com

Kunjungan Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara, Kawit Sasmita, SH, berkunjung ke Primadona FM.

yangkan seperti yang dilakukan man­ tan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang membuka keran komunikasi pe­ jabat­masyarakat lewat sebuah tele­ visi nasional Venezuela. Bisa jadi ana­ logi ini terlalu dramatis, tetapi fakta­ nya, hingga sekarang Kades Kertama­ lip menjadi pejabat desa yang paling dipercaya oleh warga. Seperti jargon awam rakom “dari, oleh, untuk dan tentang komunitas”, Primadona juga memainkan fungsi tersebut. Di samping sebagai sarana hiburan, rakom ini juga terus mendo­ rong perubahan­perubahan sosial di level komunitas atau desa lewat in­ formasi­informasi kritis yang disaji­ kan. Tidak sekali kru Primadona di­ tuding sebagai provokator oleh pihak yang merasa terganggu dengan pem­ beritaan yang diangkat, terutama oleh penyelenggara pemerintahan yang se­ lama ini menjadi sasaran kritik. un­ tuk aktivitas advokasinya ini, Prima­ dona tidak hanya menggunakan me­ dia radio, namun juga memanfaatkan situs bersama jurnalis warga, www. suarakomunitas.net. Menurut Syairi, ini menjadi senja­ ta yang cukup ampuh untuk menekan penyelenggara pemerintahan supaya tidak sewenang­wenang, khususnya dalam mengambil kebijakan yang me­

26

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan ilm dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan  Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar.  Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces).  Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel).  Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis  Mencantumkan nomor rekening penulis.  Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi.  Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan.  Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.