Kombinasi 55 april 2014

Page 1

Edisi ke-55 April 2014 ď Ź kombinasi.net


D

a r i Re d ak s i

Pemimpin Redaksi Imung Yuniardi Redaktur Pelaksana Idha Saraswati Kontributor Anna Mariana, Yoseph Kelik Prirahayanto, Ferdy S Putra, Aris Setyawan Ilustrasi Dani Yuniarto Sampul Dani Yuniarto Tata Letak MS Lubis

A

nda tahu Siti Roehana? Ba­ gaimana dengan Soerastri? Kalau belum tahu, barang­ka­ li lebih familiar dengan na­ ma Roehana Koeddoes atau Soeras­ tri Kar­ma? Bila Anda masih ju­ga me­ ngerutkan kening, bisa dibayang­kan ba­gaimana dengan anak-anak usia SD dan SMP bila ditanya hal serupa. Roehana Koeddoes, atau kerap di­ tulis Rohana Kudus, adalah perempu­ an yang merintis surat kabar per­ta­ma yang dipimpin dan isinya ditulis oleh perempuan, yaitu Soenting Me­la­joe pada sekitar 1912. Setahun sebelum­ nya, bertepatan saat Abendanon me­ ner­bit­kan kumpulan surat-surat Kar­ ti­ni yang kelak diterjemahkan seba­ gai Habis Gelap Terbitlah Terang, pe­ rem­pu­an asal Minang ini sudah men­ di­ri­kan Sekolah Kerajinan Amai Se­ tia. Sekolah ini khusus untuk pe­rem­ pu­an yang mengajarkan ke­te­ram­pil­ an, baca tulis, dan Ba­ha­sa Belanda. Anda mungkin akan mengenali bi­ la Soerastri dituliskan dengan na­ma S.K. Trimurti. Karma Trimurti yang mengikuti nama Soerastri sesung­guh­ nya adalah nama samaran yang ke­ rap digunakannya saat menulis. Na­ mun banyak juga yang lebih me­nge­ nal­nya semata sebagai sosok is­tri Sa­ yuti Melik, pengetik naskah prokla­ ma­si yang selalu disebut di bu­ku se­ jarah. Padahal selain jurnalis andal dan militan di jamannya, sampai per­ nah terpaksa melahirkan di pen­jara, Soerastri adalah Menteri Perburuhan pertama. Dialah yang merintis mun­ 2

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

cul­nya aturan ketenagakerjaan yang berpihak pada perempuan, se­per­ti cu­ ti haid dan persamaan upah. Kedua tokoh perempuan itu se­ke­ dar contoh banyaknya tokoh pe­rem­ puan yang berperan besar bagi bang­ sa ini namun jarang tercatat utuh da­ lam buku-buku sejarah. Sebagian pe­ rempuan itu, termasuk Roehana dan Soerastri, sudah sejak dulu meyakini pentingnya media bagi kemajuan pe­ rempuan dan bangsa. Mereka melihat kesetaraan perem­ puan dan laki-laki dalam kerangka ak­ ses atas pengetahuan dan kemudian membaginya. Keterlibatan perempu­ an tak dimaknai secara sim­bolis ang­ ka dalam bentuk per­sen­ta­se keter­wa­ kilan, namun lebih riil da­lam bentuk gerakan, perlawanan serta perjuang­ an, antara lain melalui tu­lis­an di me­ dia. Lewat sudut pan­dang inilah, pen­ tingnya media ba­gi perempuan me­ ne­mukan kon­teks­nya. Bukan sekadar banyaknya pe­rem­pu­an yang men­ja­ di jurnalis atau pe­gi­at media, ta­pi isu yang mereka per­ju­ang­kan dan ingin diamini oleh pem­baca-pen­de­ngar-pe­ mirsalah yang penting. Temu Perempuan Pegiat Media Ko­ munitas yang digelar di Desa Can­di­ rejo, Borobudur Ap­ril 2014 menjadi salah satu rintisan. Sebuah awal upa­ ya saling ber­bagi dan harapannya bi­ sa berujung pa­da sa­ling du­kung isu yang diper­ju­ang­kan setiap komunitas di tengah dua do­mi­na­si, media arus utama dan bu­da­ya patriarki. Jangan sekali-se­ka­li me­lu­pa­kan sejarah. 

Alamat Redaksi Jalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188 Telp/Fax: 0274-411123 Email: redaksikombinasi@combine.or.id Website: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation. Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas. Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komuni­ tas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan men­ can­tum­kan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke redaksikombinasi@ combine.or.id. Redaksi berhak memilih dan menyun­ting tulisan yang masuk ke maja­lah Kombinasi. Penulis yang karya­nya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.


I

n f o Sek i l a s

Sukabumi

B

agi penduduk Dusun Ciro­ yom, Desa Cibitung, Kecama­ t­an Cibitung Kabupaten Su­ ka­bu­mi, Jawa Barat, pe­la­yan­ an kesehatan menjadi kemewahan ter­sen­di­ri. Tidak semua penduduk di du­sun itu bisa mengakses pelayanan ke­se­hat­an dari seorang bidan. Berjarak sekitar delapan jam per­ jalanan dari Jakarta, dusun ini dapat dicapai lewat jalur darat maupun air. Perjalanan darat hanya dapat dilaku­ kan menggunakan motor dengan ban radial atau mobil 4 wheel drive akibat kondisi jalan yang rusak parah. Itu pun dengan catatan cuaca tak sedang hujan. Sedangkan jalur air bisa ditem­ puh memakai pe­ra­hu me­nyu­suri su­ ngai, yang tergan­tung pa­sang su­rut air laut. Ditambah ti­dak adanya lis­ trik dan sinyal te­le­pon seluler, meng­ ha­dirkan bidan di du­sun ini menjadi sangat mahal dan ti­dak mu­dah. Tak heran apabila ke­ma­ti­an balita dan ibu me­lahirkan di­ang­gap hal lum­rah ba­ gi warga dusun. Kondisi itu menjadi tantangan ba­ gi pemerintah setempat, khusus­nya Camat Cibitung, dinas kesehatan se­ tem­pat, dan bagi Fasilitator Kecamat­ an Program Nasional Pember­da­yaan Masyarakat (PNPM) Generasi Sehat dan Cerdas (GSC). Sampai akhirnya, di­nas kesehatan setempat dan fasili­ ta­tor GSC bekerja sama men­ca­ri cara un­tuk menghadirkan pe­la­yan­an bidan di Dusun Ciroyom. Konsentrasi program GSC adalah memberdayakan masyarakat untuk menikmati pelayanan kesehatan mau­ pun pendidikan bagi ibu hamil serta anak. Walaupun program tidak ber­ kon­sentrasi dalam penyediaan pe­la­ yan­an ataupun peningkatan kua­li­tas pelayanan, namun sudah men­ja­di ra­ nah program untuk memastikan ma­ sya­rakat menikmati layanan. Dalam rangka itu, bersama dengan Dinas Kesehatan setempat, Fasilita­ tor Kecamatan GSC mulai membu­at kajian kondisi dan kebu­tuhan, serta

mencari alternatif so­lu­si untuk me­ nye­diakan layanan kesehatan bagi ibu dan anak di Dusun Ciro­yom. Akhir­ nya, diputuskan bahwa perlu ada se­ orang bidan untuk me­la­yani warga dusun tersebut. Dinas kese­hatan ke­ mudian mencari dan me­nyeleksi bi­ dan, lalu ber­sa­ma de­ngan pe­laku prog­ ram menentukan gaji bi­dan (dise­su­ aikan dengan gaji te­na­ga ke­se­hat­an di lokasi sulit). Respons positif pun muncul dari Satker PNPM Kabupaten Sukabumi yang berjanji akan menyediakan tiga unit perahu yang bisa digunakan se­ ba­gai moda transportasi dari dan ke Ciroyom. Perahu itu nanti akan men­ jadi aset dusun. Empat bulan sejak seorang bidan ditempatkan di dusun Ciroyom, tidak ada satu pun kelahiran yang tak dita­ ngani tenaga kesehatan. Bahkan hing­ ga berita ini ditulis, belum ada ka­sus kematian bayi balita di dusun ter­se­ but. Tidak hanya dalam hal ke­la­hir­an saja, tingkat partisipasi ma­sya­ra­kat dalam pelayanan penim­bang­an serta pengukuran bayi balita di pos­yandu juga turut mengalami peningkatan.

Peran Bidan tak hanya pelayanan kelahiran, bersama para kader yang ada di dusun, bidan rajin memberi pe­ nyuluhan kesehatan dan pola hidup bersih, bahkan mendatangi ibu ha­ mil dan balita yang tak hadir di Pos­ yandu. Sebagai satu-satunya ‘ahli ke­ sehatan’ yang ada, bidan juga men­ ja­di andalan masyarakat yang sakit. Hal menarik lainnya, program PNPM GSC juga memungkinkan terjadinya kemitraan dengan paraji (dukun ber­ anak) yang ada di daerah terse­but. Dalam program kemitraan ini, du­ kun tidak hanya mendampingi seba­ gai asisten bidan, melainkan juga ber­ peran untuk memberikan dukungan mo­ril sebagai ‘orang tua’ bagi ibu te­ ngah yang melahirkan. Dari tiga orang pa­ra­ji di Ciroyom, dua di antaranya su­dah tergabung dalam program ke­ mit­ra­an. Pendek kata, cerita ke­ber­ ha­sil­an ini bukan semata-mata cerita keberhasilan milik seorang bidan, ta­ pi merupakan cerita sukses se­bu­ah kerja sama yang baik dari pe­me­rin­tah daerah, dinas terkait, fasilitator dan satuan kerja program serta ma­sya­ra­ kat.  www.suarakomunitas.net

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

3

suara komunitas

Menghadirkan Bidan di Dusun Ciroyom


I

n f o Sek i l a s

Magelang

Penambang Merapi Berunjuk Rasa di Kantor Bupati PaguyuBan Penambang Merapi Magelang (PPMM) berunjuk rasa di halaman kantor Bupati Magelang, Ja­ wa Tengah, Jumat (11/4). Unjuk rasa ini diikuti sekitar seribu orang yang terdiri dari perwakilan sopir truk golongan C, coker, penjual batu, pembuat kerajinan ba­ tu, dan Depo Pasir. Mereka hadir dengan menggunakan 100 unit truk dan 150-an sepeda motor. Di depan pendopo Ka­bu­­ pa­ten Magelang, mereka melakukan orasi menyua­ra­ kan berbagai tuntutan, antara lain supaya Peme­rintah Kabupaten Magelang tidak menutup ke­gi­at­an pe­nam­ bangan dan memperbolehkan mereka meng­guna­kan alat berat (back hoe); Pemkab Magelang ha­rus ber­tang­

gung jawab memperbaiki jalan kawasan Me­rapi ka­re­ na mereka telah membayar retribusi; Pem­kab Ma­ge­ lang agar meninjau kembali surat edar­an Bu­pati Ma­ ge­lang No. 4 tahun 2014 tentang pem­ba­tas­an to­na­se muatan truk golongan C; Pemkab Magelang ju­ga di­ min­ta segera mengaudit hasil retribusi pe­nam­bang­an ga­li­an golongan C truk dumm. Setelah berorasi di luar, perwakilan pengunjuk ra­ sa akhirnya diterima di ruangan asisten Sekretaris Da­ erah Magelang. Akan tetapi, karena perwakilan Bupa­ ti tidak ada, mereka hanya bisa menyuarakan as­pi­ra­ sinya ke Asisten Sekda dan wakil dari Kepolisian Re­ sor Magelang.  www.suarakomunitas.net

Bantaeng

Yapensa Sosialisasikan Kualitas Kopi Bawakaraeng

foto-foto: suara komunitas

Y

ayasan Pensa Agro Mandiri (Yapensa) Makassar bekerja sama dengan Ford Founda­ tion menyosialisasikan kua­ litas dan tata cara pem­belian ko­pi ba­ wakaraeng, Sabtu (12/4). Sosia­li­sa­si yang diada­kan di kantor Desa Lab­bo dan Pat­ta­ne­te­ang Kabupaten Ban­ta­ eng, Su­la­wesi Selatan, itu meng­un­dang ke­lom­pok tani dari Desa Labbo, Bon­ to Tap­palang, dan Pattaneteang da­ri Ka­bu­pa­ten Bantaeng, serta Kelurahan Borong Rappoa dari Ke­ca­mat­an Kin­ dang Kabupaten Bulukumba.

4

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

Sosialisasi itu diadakan mulai pa­ gi hingga sore, dengan diselingi kun­ jungan ke kebun milik petani bina­an Yapensa. Selain kelompok tani, sosia­ lisasi juga dihadiri oleh perang­kat de­ sa terutama kepala desa dan per­wa­ kilan Coffindo selaku eksportir yang akan bekerja sama pada prog­ram pem­ belian kopi tersebut. Para petani kopi tampak amat an­ tusias untuk bertanya maupun mem­ berikan saran. Haji Mansyur, pe­ta­ni sekaligus pedagang lokal dari De­sa Bonto Tappalang menyarankan agar

ke depan semua jenis kopi difasilitasi pembeliannya, bukan ha­nya kopi ara­ bika seperti sekarang. Me­nang­gapi hal itu, Dedy dari Coffindo menjelaskan bahwa selain membeli kopi be­ras, pi­ haknya juga membeli kopi arabika ga­ bah. Jenis gabah dieks­por, se­dangkan bentuk beras di ju­al di pasar lokal. Dalam kegiatan ini, Yapensa dan Coffindo menjelaskan cara pem­beli­ an kopi antara petani, koperasi, dan eksportir tanpa melupakan pe­ran pe­ dagang lokal. Yapensa akan meng­hu­ bungkan mereka, sekaligus meman­ tau harga kopi dunia sebagai acu­an harga dalam pembelian. Project Leader Yapensa Zainuddin Toyib mengingatkan para petani agar terus memertahankan semangat un­ tuk dapat meningkatkan kesejahtera­ an mereka. Ia juga meng­ingatkan bah­ wa pada tahap awal, Ya­pensa dan eks­ portir belum mem­bu­tuhkan kopi de­ ngan jumlah besar. “Yang dibu­tuh­kan adalah kopi yang ber­kua­li­tas, un­tuk apa banyak kalau ti­dak ber­ku­a­li­tas,” katanya. Ia juga menjelaskan cara menge­ mas kopi yang benar, serta ketentuan umum dalam pembelian, khususnya pembelian kopi gabah sesuai standar mutu.  www.suarakomunitas.net


Gunungkidul

Pekalongan

Lawan Politik Uang dengan Titir

Masyarakat Belum Paham Makna Pemilu

Forum Lintas Iman (FLI) Gunung­ kidul, Daerah Istimewa Yogyakar­ ta, bersama elemen masyarakat Ga­ pok­tan, LSM, Pelajar SLTA dan Ikat­ an Mahasiswa Gunungkidul meng­ gelar aksi tolak politik uang di Bun­ deran PLN Wonosari, Jumat (4/4). Aksi ini sebagai bentuk keprihatin­ an terhadap ma­rak­nya prak­tik kotor yang di­la­ku­kan politisi untuk men­ du­lang su­a­ra dalam pemilu yang di­ gelar pa­da 9 Ap­ril. Aksi dimulai pukul 14.00 dengan membagi selebaran Petisi Gunung­ kidul Siaga I "Gerakan Menolak Po­ litik Uang" kepada pengguna ja­lan. Aminudin Aziz selaku koor­di­na­tor aksi dalam ora­si­nya me­nyebut­kan bahwa dua bu­lan sebelum mengge­ lar aksi me­re­ka telah me­nyebar re­ lawan un­tuk mencari in­formasi ter­ kait prak­tik politik uang. Hasilnya, 90 persen re­la­wan me­nya­takan te­ lah terjadi prak­tik po­li­tik uang di wilayah Gu­nung­kidul. Salah satu orator yang mewakili pelajar SLTA mengajak pa­ra pemi­ lih pemula agar jeli da­lam menen­ tukan pilihan. Sebab pa­ra po­li­tisi jus­

tru sudah mendidik dan mem­beri contoh buruk kepada pa­ra pelajar dengan memberi uang ja­jan serta mengarahkan pi­lih­an po­litik­nya. Aksi ditutup dengan pembacaan doa bersama, dilanjutkan memukul kentongan titir selama satu menit. “Kentongan adalah cara berkomu­ nikasi masyarakat Jawa un­tuk me­ ngabarkan keadaan. Memukul ken­ tongan titir adalah ben­tuk meka­ nis­me komunal un­tuk memberita­ kan keadaan ba­ha­ya. Baha­ya politik uang harus dika­bar­kan dan dila­wan secara bersa­ma-sa­ma,” kata ko­or­ di­nator aksi sebe­lum menutup ora­ si­nya.  www.suarakomunitas.net

Cirebon

Caleg Perempuan Cuma Pelengkap Ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang adanya kuota 30 persen bagi perempuan dalam setiap daerah pemilihan (Dapil) ternyata tak sepenuhnya mendorong keterwakilan perempuan da­ lam Pemilu. Mereka umumnya hanya dianggap pelengkap. Dea (20), mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Ci­re­ bon, pernah ditawari salah satu partai politik untuk menjadi caleg. Namun pencalonan dirinya diketahui hanya untuk memenuhi ku­ota perempuan yang harus berjumlah 30 persen dari semua caleg yang terdaftar. “Tujuannya karena kalau pe­rempuannya tidak memenuhi kuota, caleg yang lain juga tidak bisa maju,” ujar Dea. Mengetahui alasan tersebut, Dea dengan tegas menolak penca­ lonannya. Dan dari pengamatannya selama ini, caleg perempuan ja­ rang menempati nomor strategis dalam daftar caleg. “Jarang caleg perempuan mendapatkan nomor urut 1. Keterlibatan perempuan hanya dimanfaatkan saja,” beber Dea.  www.suarakomunitas.net

Pemahaman masyarakat mengenai pe­milihan umum perlu dibenahi agar me­ngerti makna pe­mi­lu sesungguh­ nya. “Saat ini pengertian masyarakat ma­sih angin-anginan sehingga terpe­ nga­ruh sesuatu yang bersifat eks­ter­ nal,” kata Bupati Pekalongan Amat An­ tono usai mencoblos di Tem­pat Pe­ mu­nguan Suara (TPS) 02 De­sa Tegal­ do­wo Kecamatan Tirto, Kabupaten Pe­ kalongan, Jawa Tengah, Ra­bu (9/4). Dia berharap dalam Pemilu ke­lak, masyarakat semakin cerdas memilih pemimpin dan wakilnya de­ngan me­ ngerti hakekat pemilihan umum. “De­ ngan semakin pahamnya masya­rakat akan arti pemilihan umum maka pe­ ningkatan jumlah partisipasi politik akan tinggi,” imbuhnya. Terkait dengan pelaksanaan pemi­ lu legislatif di Kabupaten Peka­longan, Bupati mengapresiasi kinerja Ko­mi­ si Pemilihan Umum (KPU). Usai men­ cob­los, Bupati bersama Kepala Ke­po­ li­sian Resor Pekalongan dan Kepala Kejaksaan Negeri Pekalongan me­man­ tau pelaksanaan Pileg secara lang­ sung ke beberapa wilayah. TPS pertama yang dipantau ada­ lah TPS 03 Kelurahan Gumawang Ke­ camatan Wiradesa. TPS ini unik ka­ rena para anggota Kelompok Panitia Pe­mu­ngutan Suara (KPPS) menggu­ na­kan kostum profesi masing-ma­sing. Se­men­tara di Keca­mat­an Siwalan, te­ pat­nya di TPS 9, KPPS mem­be­ri­kan doorprize be­ru­pa pa­kai­an serta alat ru­mah tang­ga. Se­tiap pemilih yang te­ lah mem­be­ri­kan suara akan men­da­ pat kupon undian. No­mor ter­se­but bi­ sa ditukar dengan je­nis door­prize se­ suai nomor yang ter­te­ra. Sementara itu, Widi (39), warga yang menggunakan hak pilihnya di TPS 3 Tirto, berharap agar ke depan sosialiasi teknis pencoblosan diper­ lu­as jangkauannya. Ia me­ni­lai masih banyak warga yang ti­dak me­nge­ta­ hui secara teknis pen­cob­los­an de­ngan baik.  www.suarakomunitas.net Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

5


U

tama

Kata adalah Senjata! Media dan Para Pelopor Gerakan Perempuan Indonesia Oleh Anna Mariana

Dan selalu menjadi maksudku, untuk mengangkat suara keras-keras, karena ha­nya publikasi saja dapat membawakan perbaikan yang kita harapkan atas ke­adaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu.... Memang itu lebih baik, ja­ di segera pasang senapan buka peperangan, jadi sudah sejak awalnya ke­pada ma­sya­rakat pribumi kami katakan padanya, dari golongan apa kami ini. (Surat R.A Kartini kepada Njonja Nelly van Kol, 21 Juli 1902 via, Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2009) hlm.217)

Kartini adalah seorang pelopor perge­rak­ an perempuan Indonesia mula-mula. Ia di­ ke­nal sebagai pejuang hak-hak pe­rem­puan dari surat-surat yang ia kirim kepada te­mantemannya di negeri Belanda. Tetapi, ja­rang yang mengetahui bahwa selain me­nu­lis su­ rat-surat tentang kegelisahannya ter­sebut, ia pun seringkali mengirim tulisan-tulis­an­ nya ke berbagai media, bah­kan ia lakukan se­ jak umur­nya masih be­lia: 16 tahun. Sebagaimana dalam biografi Kartini yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, tulisan yang dimuat dalam Bij­ dragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlands Indie itu berisi tentang adat per­­ kawinan golongan Koja di Jawa. Tulisan yang bersifat antropologis tersebut menarik ba­ nyak media lainnya. Bahkan terkadang para pengelola media tersebut memaksa Kartini untuk menjadi kontributor tetap. Hal ini me­ nunjukkan bahwa sejak awal Kartini sadar 6

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

betul pentingnya media sebagai wa­dah un­ tuk menuangkan segala gagasan pemikiran­ nya supaya dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas. Kutipan pembuka tulisan di atas menun­ jukkan secara jelas pandangan Kartini soal pentingnya peran media untuk pergerakan. Kar­tini menyatakan pandangannya soal me­ dia yang berpihak ini melalui surat yang ia tujukan pada Nelly van Kol. Ia memberi pan­ dangan semacam ini karena merasa senang mendengar berita soal terbitnya me­dia da­ lam bahasa Melayu yang dikelola oleh Ab­ dul­lah Rivai bernama Bintang Hindia. Dalam surat itu, Kartini memperlihatkan pen­tingnya sebuah publikasi berkala untuk menyemai gagasan-gagasan para kaum ter­ pelajar pribumi yang berpihak pada ke­pen­ tingan rakyat. Para kaum terpelajar, menu­ rut Kartini, haruslah berada di garda paling depan dalam hal mengritisi pemerintah, men­


Ilustrasi RA Kartini repro fototokoh.com

didik masyarakat, juga mengangkat per­so­ alan mendasar masyarakat ke wilayah pub­ lik. Dan untuk menyebarkan gagasan itu, me­ dia adalah wadah perjuangannya. Ma­ka ti­ dak heran bahwa kemudian ketika berbica­ ra soal sejarah pers/media di Indo­ne­sia sa­ ngat erat dengan kebangkitan ke­sa­dar­an ke­ indonesiaan (Ahmat Adam: 2003). Hal ini di­ karenakan penggerak utama pers awal di In­ donesia merupakan para aktivis per­ge­rak­­ an. Pers menjadi penopang dari gerakan na­ sio­nalisme di Indonesia. Kartini memang bukan seorang jurnalis apalagi pengelola sebuah media. Tapi, Kar­ tini memiliki kekuatan yang menjadi unsur penting bagi media, yakni tulisan! Bagi Kar­ tini menulis adalah sebuah panggilan tu­gas sosial, sebuah tanggung jawab untuk meme­ nuhi perjuangan bagi rakyatnya. Peker­ja­an­ nya sebagai penulis telah menggugah ba­nyak pihak dari pikiran-pikirannya yang ia tu­lis

dan sebarkan melalui media. Kartini me­nu­ lis dengan penuh dedikasi, ketekunan dan ke­telitian serta pancaran kehangatan ke­pe­ du­lian terhadap nasib kaumnya. Ya, Kar­ti­ni menjadi begitu kuat sebagai pejuang per­ge­ rak­an perempuan dikarenakan ia me­nu­lis. Tulisan yang berkarakter dan me­nem­bus ke dalam relung-relung hati pem­ba­ca-nya. Ia berprinsip bahwa menulis adalah be­ kerja untuk keabadian. Tulisan ini akan fo­ kus kepada mengapa serta bagaimana latar bela­kang munculnya media di Indonesia khu­ sus­nya media perempuan yang menjadi me­ dia pergerakan perempuan dan yang ke­dua menggali berbagai inspirasi dari para pe­lo­ por pergerakan perempuan ge­ne­rasi awal yang memakai media se­ba­gai ba­gi­an yang tak terpisahkan bagi per­ju­ang­an me­re­ka. Munculnya Media Perempuan di Indonesia Pada akhir abad ke-19 dan awal abad keKombinasi  Edisi ke-55  April 2014

7


tama

20 Indonesia, pada waktu itu masih Hindia Belanda, mengalami perubahan struktural sekaligus kultural yang besar-besaran. Hal ini disebabkan oleh dua periode penting yak­ ni dengan keluarnya Undang-undang (UU) Agraria tahun 1870 (agrarische wet) berco­ rak liberal yang mengeksploitasi Indonesia dengan sistem tanam paksa-nya, dan kedua adalah saat digulirkannya politik etis pada tahun 1901. Kedua kebijakan ini saling ber­ ka­itan dalam mengubah be­ra­gam relasi mau­ pun struktur sosial di In­do­ne­sia. Kemiskin­ an yang merajalela di se­ki­tar per­ke­bunan­ perkebunan maupun di ber­ba­gai tempat in­ dustri lainnya pada ma­sa itu men­ja­di pe­ man­dangan yang la­zim se­ba­gai dam­pak da­ ri kebijakan ta­nam pak­sa. Ma­sya­ra­kat ha­nya menjadi bu­ruh atau koeli ba­gi tu­an-tu­an pe­ milik per­ke­bun­an. Berbeda dengan dampak agrarische wet, di lain pihak, setelah dikeluarkan kebijakan politik etis pada tahun 1901 adalah muncul­ nya kelas menengah pribumi yang terdi­dik terpelajar ala pendidikan modern (pendi­dik­ an Eropa). Pemerintah kolonial banyak mem­ berikan kesempatan penduduk pri­bumi un­ tuk bersekolah, termasuk para perem­puan. Namun pada hakekatnya kalangan terdidik ini hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Karenanya, jelas sekali upa­ya mem­be­rikan ke­sem­patan untuk men­da­patkan pendidik­ an bagi pribumi ini ha­nya­lah un­tuk menu­ tupi kerakusan mereka atas pe­ri­la­ku eksplo­i­ ta­tif yang diwujudkan melalui kebijakan ta­ nam paksa pada pe­rio­de sebe­lumnya. Na­ mun tujuan dari po­li­tik “balas budi” pihak kolonial ini tak ber­bu­ah manis. Pendidikan yang di­kem­bang­kan oleh pemerintah kolo­ nial yang ber­tu­juan un­tuk me­me­nuhi ke­ butuhan pa­sar in­dus­tri—pen­di­dik­an untuk men­jadi amb­te­nar (pegawai pe­me­rin­tah ko­ lo­nial)—ter­nya­ta tak ber­ban­ding lu­rus de­ ngan para lu­lus­an­nya yang me­mi­lih tak be­ kerja di gu­per­nemen. Me­re­ka me­mi­lih men­ jadi par­ti­ke­lir, swas­ta. Sa­lah sa­tu pe­ker­ja­an para go­long­an ter­pel­a­jar ini ada­lah de­ngan men­di­ri­kan media. Media pertama yang didirikan dengan mo­ dal, produksi serta distribusi semua ber­asal dari orang Indonesia adalah Soenda Be­ri­ta yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Se­ba­ gai anak keturunan bangsawan, Tir­to lebih memilih tak menyelesaikan pen­di­dikan for­ malnya dan memilih me­nu­lis di me­dia. Se­te­ lah Soenda Berita, ia men­diri­kan Medan Pri­ jaji (1907), dan Poetri Hin­­dia (1909). 8

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

milafebriwahyuni.blogspot.com

U

Roehana Koedoes, aktivis dan pelopor jurnalis yang lahir di Bukittinggi. Pada 10 Juli 1912, ia mendirikan media khusus perempuan Soenting Melajoe.

Poetri Hindia adalah pers pertama yang mengkhususkan membahas soal perempu­ an. Kedua pers tersebut mem­beri ruang pa­ ra pembacanya untuk meng­adu­kan hal-hal yang mengganjal, terutama soal ketidak­adil­ an. Sebagai pers pe­rempuan pertama, Poet­ ri Hindia dengan fokus menyua­rakan para pembaca untuk memperoleh keadilan su­dah menunjukkan karakternya sebagai co­rong pergerakan. Demikianlah corak kemuncul­ an media di Indonesia, termasuk me­dia yang mengkhususkan diri membahas per­so­al­an pe­rempuan.

Srikandi Media: Belajar dari Roehana Koedoes, Salawati Daud dan S.K. Trimurti Para pelopor pergerakan perempuan ge­ nerasi awal yang menggunakan media da­ lam wadah perjuangannya adalah Siti Roe­ ha­na Koedoes. Ia adalah seorang aktivis dan pelopor jurnalis yang lahir di kota Ga­dang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada 20 De­sem­ ber 1884.1 Kecintaannya menulis di­da­sari atas kesenangannya membaca dari usia di­


rikadaniel.blogspot.com

ni. Ia mendapat penghargaan sebagai pahla­ wan wartawati pertama karena ia men­di­ri­ kan media khusus perempuan yang ber­na­ ma Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912. Meskipun Soenting Melajoe lahir setelah Poet­ri Hindia, tapi karena didirikan dan di­ ke­lola oleh seorang perempuan, yakni Roe­ ha­na Koedoes, maka kedudukannya menja­ di istimewa. Isi Soenting Melajoe banyak ber­ bi­cara soal pentingnya pen­di­dik­an bagi pe­ rem­puan. Pendidikan itu nan­ti­nya ber­guna agar bisa men­di­dik diri sendiri, anak-anak­ nya, ke­lu­arga dan ma­syarakat. Roehana Koedoes juga mendirikan orga­ ni­sasi perempuan yang bernama Kera­jinan Amai Setia. Organisasi perem­puan ini mem­ berikan keterampilan membuat ber­ba­gai ke­ rajianan, dan masih berdiri hingga kini. Selain Roehana Koedoes yang sudah se­ ba­gian orang mafhum dengan kiprahnya di du­nia media, satu tokoh berikut adalah ak­ tivis pergerakan kebangsaan perempuan da­ ri Makassar yang sangat rajin menulis ber­ ba­gai pandangan politiknya di media. Nama

aktivis itu adalah Salawati Daud, dilahir­kan di Tahuna, Sangir Talaud, 20 Maret 1909. Ia berjuang sebagai aktivis pergerakan se­gera setelah keluar dari pekerjaan meng­ ajar di sekolah pemerintah kolonial. Ia ber­ pen­dapat bahwa ia harus turun langsung ke dalam medan perjuangan, dan bukan men­ jadi pegawai dari pemerintah kolonial. Ada­ pun ide-ide yang menjadi sorotannya da­lam pergerakan adalah soal bagaimana keter­hu­ bungan orang Indonesia dengan meng­usung integrasi sebagai negara ke­sa­tu­an. Ak­ti­vitas menggagas ide kesatuan ini su­dah ia mu­lai sejak tahun 1930an dengan me­nye­barkan tu­ lisan di berbagai media. Be­ri­kut ini salah sa­tu dari cuplikan gagasan mengenai ke­se­ta­ra­an yang ditulis Salawati Daud: “Soenggoehpoen saja seorang perempoe­ an sahadja akan tetapi hatikoe penoeh de­ ngan kasih dan tjinta bekerdja oentoek bang­ sa dan tanah air; apakah goenanja ke­ka­ja­an kelimpaan djikalau rakjat ber­ke­loeh kesah. Saja merasa bahwa adalah ke­wa­djib­an kita kaoem perempoean membantoe pe­ker­dja­

Kera­jinan Amai Setia, organisasi bentukan Roehana Koedoes yang bertujuan untuk memberi keterampilan membuat ber­ba­gai ma­cam kerajinan. Amai Setia masih berdiri sam­pai sekarang.

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

9


U

tama

pinterest.com

Soerastri Karma Trimurti, pendiri media Bedoeg, Terom­pet, Marhaeni, Pe­nje­bar Se­ma­ngat, dan media yang cukup populer Pesat.

an lelaki baik dalam hidoep hari hari mao­ poen didalam perdjuangan pergerakan ka­ re­na bangsa dan tanah toempah darah (Ba­ ris­an Kita, no. 2, April 1931, hlm. 4).”2 Selain Salawati Daud dan Roehana Koe­ does yang menggunakan media dalam per­ gerakan, tokoh yang menonjol di bidang me­ dia adalah S.K Trimurti. Lahir di Boyolali pa­ da 11 Mei 1912, orang tuanya memberi na­ ma Soerastri. Ia kemudian lebih terkenal de­ ngan nama Soerastri Karma Trimurti kare­ na sebagai penulis dan juga pengelola media yang kritis, ia harus menyamarkan na­manya. Trimurti terinspirasi Soekarno da­lam me­ nulis, karena ia adalah sa­lah satu kader ang­ gota Partindo (Partai Nasionalis In­do­nesia) yang didirikan Soekarno usai PNI di­la­rang ke­ber­ada­an­ya oleh pe­merin­tah ko­lo­nial. S.K. Trimurti memiliki kesadaran tinggi akan media sebagai alat perjuangannya. Ia mendirikan media setelah mencoba me­nu­ lis di beberapa media pergerakan seperti Fi­ kir­an rakyat dan Berdjoeang. Dari tangan dinginnya lahir beberapa me­ dia seperti Bedoeg, Terompet, dan Marhaeni. Aktivismeny S.K. Trimurti bukannya tanpa

risiko. Ia bahkan menanggung risiko pa­ling berat: ditahan karena tulisan-tulisan kri­tis. Banyak para pelopor kemerdekaan Indo­ nesia yang tak hanya berjuang secara fisik, namun juga menggoreskan pena mereka di berbagai media. Mereka kemudian ditahan, bahkan ada yang diasingkan seperti Soekar­ no, Hatta, KI Hadjar, dan lain-lain. S.K Tri­mur­ ti menyadari risiko tersebut saat ia meng­ kritik pemerintah dalam media Mar­ha­e­ni. Ia lalu diganjar sembilan bulan di­pen­jara. Tapi selepas dari tahanan, sikapnya tak surut. Ia pun men­di­ri­kan Pe­nje­bar Se­ma­ngat. Setelah pernikahannya dengan Sayuti Me­ lik—pengetik naskah proklamasi kemerde­ ka­an—ia kemudian mendirikan Pesat. Ter­ bit­an mingguan dengan berfokus pada po­li­ tik populer, ia mengasuh rubrik tanya ja­wab persoalan rumah tangga. Mingguan Pe­sat sa­ ngat diminati lantaran ia mengasuh rub­rik ta­nya jawab persoalan rumah tangga yang berfungsi sebagai advokasi. Te­ro­bos­an yang sangat maju untuk ukur­an za­man itu. Kiprah S.K Trimurti dalam mengelola ma­ jalahnya semacam ini memberikan indikasi bah­wa selain menyuarakan gagasan-ga­gas­ an, media pada waktu itu menjadi alat untuk advokasi persoalan yang dihadapi oleh ma­ sya­rakat. Pada periode ini pula ia ber­sa­ma Sayuti Melik saling bahu membahu memba­ ngun perjuangan, hingga suatu saat akibat goresan penanya yang tajam kembali ia ha­ rus masuk penjara dan bahkan harus me­la­ hir­kan anak pertamanya di penjara. Para pelopor pergerakan awal perempu­ an yang amat dekat dengan media ini mem­ beri satu inspirasi bahwa mereka ti­dak per­ nah duduk diam dalam melihat ke­seng­sa­ra­ an rakyatnya. Mereka berjuang melalui go­ res­an pena, berorganisasi dan juga tidak ta­ kut-takut pasang badan saat mereka ha­rus berhadapan langsung dengan para pe­ngu­ a­sa lalim. Sebuah kisah yang patut men­ja­ di renungan kita bersama yang hidup di za­ man kebebasan berpendapat.  Anna Mariana Anggota Tim Redaksi etnohistori.org

1. Hermansyah Nasirun, “Pelopor Kemajuan Bangsa yang Terlupakan” dalam Suara Muhammadiyah, no. 24. Th.61, 1981, hlm 29-30, dan 42. 2. Sitti Maryam “Salawati Daud dan gagasan ten­ tang persatuan nasional Indoensia”, Tesis Pasca­ sar­jana UGM, Tidak diterbitkan, hlm. 80.

10

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


sehatnegeriku.com

Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas

Mengadvokasi Kebijakan Adil Gender Banyak kebijakan yang seakan-akan bermanfaat bagi masyarakat, namun tidak adil bagi perempuan. Contoh-contoh kebijakan yang tidak adil gender itu dikupas dalam acara Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas, yang diadakan 11-13 April lalu, di Desa Wisata Candirejo, Magelang, Jawa Tengah. Oleh Idha Saraswati

Foto atas (ilustrasi): wacana "kewajiban" pemberian air susu ibu eksklusif bisa saja bermasalah. Wacana itu abai mem­ pertimbangkan latar belakang dan kondisi kesehatan si ibu.

Acara itu dihadiri 19 perempuan dari 10 pro­vinsi di Indonesia yang aktif mengelola me­dia komunitas di komu­nitas masing-ma­ sing. Mereka mengang­kat beragam isu da­ lam beragam je­nis me­dia, dari me­dia cetak, radio, media on­line, film, hingga seni. Deshinta Dwi Asriani, dosen sosiologi Uni­ versitas Gadjah Mada yang menjadi peman­ tik diskusi mengajak peserta mengidentifi­ kasi kebijakan publik yang tidak adil pada perempun. Itu bisa dilakukan de­ngan mem­ bandingkan isi kebijakan de­ngan sejumlah konvensi yang memuat hak-hak pe­rempuan, antara lain konvensi internasional tentang penghapusan segala ben­tuk diskriminasi ter­ hadap perempuan (CE­DAW), konvensi ke­ pen­dudukan dan pem­ba­ngun­an (ICPD), dan konvenan internasional ten­tang hak ekono­ mi sosial dan budaya (Eco­sob). Tu­ju­an Pem­ bangunan Milenium (MDGs) juga men­can­ tum­kan pentingnya pem­ber­da­ya­an serta per­ lindungan terha­dap pe­rem­pu­an dan anak.

Salah satu yang bisa dilihat adalah ke­bi­ jakan dalam kesehatan reproduksi. Kebijak­ an ini memuat isu yang amat dekat dengan perempuan. Hal itu antara lain bisa dilihat di wacana pemberian air susu ibu (ASI) eks­ klusif guna menjamin asupan gizi anak. De­ ngan adanya wacana tersebut, pa­ra pe­rem­ puan (ibu) seperti diwajibkan un­tuk mem­ be­rikan ASI bagi anaknya tan­pa me­li­hat la­ tar belakang dan kondisi ke­se­hat­an­nya. Maka ketika seorang ibu tidak membe­ri­ kan ASI, yang muncul adalah anggapan bah­ wa si ibu tak bertanggung jawab. “Yang di­ harapkan dari kebijakan semacam ini adal­ ah adanya hak bagi perempuan un­tuk men­ ja­di subjek dalam mengadvokasi di­ri­nya sen­ diri, bahwa mereka memiliki hak untuk me­ nyusui ataupun tidak,” kata De­shin­ta. Hal itu dibenarkan oleh Shernylia Mala­ devi, pegiat radio komunitas Jaringmas dari Ban­taeng, Sulawesi Selatan yang jadi peser­ ta acara. Ibu dua anak ini mengaku tak bisa Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

11


tama

Deshinta Dwi Asriani, staf pengajar sosiologi Universitas Gadjah Mada yang menjadi pemateri dalam acara Temu Perempuan Pe­gi­ at Media Komu­nitas.

12

memberi ASI karena cadangan ASI-nya se­ di­kit. Seperti dirinya, tidak se­di­kit perem­ pu­an yang ingin menyusui, na­mun tak bisa karena kondisinya tidak me­mung­kinkan. Nurhayati Kahar, pegiat radio komunitas Suara Perempuan di Kota Pariaman Su­ma­ tera Barat menilai wacana ASI ekslusif men­ jadi politis karena ada pemaksaan terhadap para ibu untuk memberi ASI ekslusif, tanpa disertai kebijakan yang mendukung seorang ibu untuk memberikan ASI. Me­nu­rut dia, ada masalah kesehatan yang perlu diperhatikan, termasuk menyangkut asupan gi­zi bagi si ibu agar bisa memberikan anak­nya ASI. “Ja­ di advokasinya adalah ji­ka ibu-ibu dituntut memberikan ASI eks­klu­sif, ke­bu­tuh­an gizi bagi ibu perlu disuarakan agar pemerintah sadar bahwa wacana ASI ekslusif yang tidak dibarengi de­­ngan asup­an gizi ibu menyusui tidak akan ber­ja­lan lancar,” ujarnya. Terkait wacana serupa, Dian Septi Tris­ nan­ti dari rakom Marsinah FM yang setiap hari bersentuhan dengan isu bu­ruh pe­rem­ puan di kawasan Cakung, Ja­karta Utara, meng­ ungkapkan fakta men­ce­ngang­kan. Meski pe­ rempuan dituntut un­tuk menyusui, di pab­ rik-pabrik sampai sa­at ini belum ada ru­ang­ an khusus untuk me­nyu­sui. Jam kerja seorang buruh perempuan di pab­rik juga sangat ketat, sehingga mereka bah­kan tak sempat memeras ASI ba­gi anak­

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

nya. Karena tak ada waktu me­meras se­men­ tara produksi ASI terus ber­lang­sung, me­re­ ka harus menahan ASI agar tak merembes keluar selama be­ker­ja. “Me­na­han ASI agar tak keluar atau me­ne­tes me­ru­pa­kan sesua­­ tu yang me­nya­kit­kan, dan pada jang­ka pan­ jang berdampak pa­da kan­ker pa­yu­da­ra. Ti­ dak banyak buruh pe­rem­puan me­nge­ta­hui hal ini,” terangnya. Persoalan lain yang mengemuka adalah program keluarga berencana. Sugiyanti, pen­ damping perempuan dan anak Mage­lang Ja­ wa Tengah menilai program itu tak adil bagi perempuan karena hanya pe­rem­pu­an yang dituntut untuk memasang alat kon­tra­sepsi di tubuhnya. Padahal ada ba­nyak ri­siko yang muncul akibat pe­ma­sang­an alat kon­tra­sep­ si di tubuh perem­puan.

Kritis Menurut Deshinta, dalam anjuran Depar­ te­men Kesehatan tahun 1990-an, ASI cukup diberikan selama empat bulan. Namun be­ la­kangan anjuran itu berubah menjadi enam bulan. Perubahan anjuran ini konon di­da­ sarkan pada hasil riset. Pemerintah kemu­ di­an mengikuti hasil riset itu tanpa meng­ kri­tisi siapa yang melakukannya. Di sisi lain, anjuran tersebut tidak diim­ bangi dengan kebijakan lain yang mendu­ kung. Atur­an cuti untuk ibu mela­hirkan, mi­ salnya, hanya diberikan selama tiga bulan. “Hasil riset seperti itu perlu dikri­tisi, siapa yang meriset, apa kepen­ting­annya, dan ba­ gai­mana mereka melaku­kan­nya,” ujar­nya. Terkait dengan kondisi yang dialami bu­ ruh perempuan, persoalan ASI menurut dia memang menjadi isu yang penting. Buruh pe­rempuan dituntut untuk menyusui, se­ men­tara kondisi di dalam pabrik tidak me­ mung­kinkan mereka untuk leluasa me­nyu­ sui dan memeras ASI. Entah itu berupa ke­ ter­se­diaan ruang menyusui maupun termos un­tuk ASI yang sudah diperas. Selain itu, para buruh perempuan juga ti­ dak memiliki akses untuk mengadukan per­ so­al­annya. Memang sudah ada serikat bu­ ruh, namun isu utama serikat buruh saat ini masih berkisar pada persoalan upah dan ke­ mis­kinan sehingga persoalan gender dan isu perempuan belum mendapat perhatian. “Ini karena gender adalah isu yang melampaui wacana tentang kelas dan ke­pen­ting­an eko­ nomi. Maka kenaikan upah bu­ruh perempu­ an tidak bisa menjamin ter­pe­nuhi­nya hakhak buruh perempuan,” tam­bah­nya.

foto-foto: dokumen kombinasi

U


Terkait dengan kebijakan KB bagi perem­ puan, Deshinta sepakat bahwa ada risiko. KB hormonal, misalnya, diketahui telah me­nim­ bulkan dampak berupa sesak na­pas hingga penurunan gairah seksual. Je­nis KB lainnya diketahui membuat tubuh perempuan lebih cepat gemuk dan munculnya jerawat. Ini ada­ lah persoalan baru bagi perempuan yang tak bisa diabaikan. Kebijakan seperti itu dinilai bias laki-laki, serta menimbulkan masalah ba­ru bagi perempuan karena dibuat untuk mengatur perilaku perempuan.

Advokasi Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak adil, para perempuan perlu lebih kritis dan berani menyampaikan pendapat. Advokasi menjadi keharusan. Menurut Deshinta, da­ lam upaya mengadvokasi kebijakan agar adil gender, ada beberapa elemen yang perlu di­ perhatikan. Pertama, mengidentifikasi aktor pemerintah. Di beberapa daerah sa­at ini su­ dah ada aktor pemerintah yang berpihak pa­ da perempuan, sehingga bisa diajak meru­ muskan kebijakan yang adil gen­der. Namun masih ada banyak daerah yang pejabat pub­ liknya mengabaikan pe­rem­pu­an. Selain itu, sistem yang berlaku di suatu institusi juga perlu diperhatikan. Acapkali so­sok yang su­ dah sadar gender di sebuah institusi ter­ha­ lang melakukan perubahan ka­rena sistem yang berlaku di situ tidak men­dukung. Berikutnya, partisipasi laki-laki dalam ad­ vokasi kebijakan yang adil gender amat pen­ ting, karena ketidaksetaraan gender bukan hanya persoalan perempuan. Ketika se­orang perempuan dirugikan, pada saat yang sa­ma laki-laki juga di­ru­gikan. Kesetaraan gen­der berarti tidak ada pihak yang men­do­mi­na­si, sebab do­mi­nasi gender itu dapat di­la­ku­kan ba­ik oleh la­ki-laki maupun pe­rem­pu­an. Hal lainnya adalah pengetahuan perem­ puan tentang gender. Perempuan mem­bu­ tuhkan rujukan agar bisa memahami hakhaknya. Namun berbagai peraturan yang di­ buat untuk melindungi perempuan saat ini hanya menginduk pada aturan lain yang le­ bih besar, sehingga sulit di­so­si­a­lisa­si­kan ke­ pada perempuan. “Tak ada ke­bi­jak­an yang utuh membicarakan serta me­lin­dungi pe­ rem­puan. Tidak ada kitab yang men­jadi in­ duk untuk menggugat kebijakan yang ti­dak adil bagi perempuan,” ujar De­shin­ta. Sejumlah peserta juga ikut membagikan pengalamannya dalam upaya mengadvoka­ si perempuan di daerahnya masing-masing.

Atas: Dian Septi Trisnan­ti, pegiat Radio Komunitas Marsinah FM. Bawah: Nurhayati Kahar, pegiat radio komunitas Suara Perempuan.

Menyikapi berbagai kebi­ jakan yang tidak adil, para perempuan perlu lebih kritis dan berani menyampaikan pendapat. Ad­ vo­kasi menjadi keharusan.

Ada yang memilih bekerja sama dengan pe­ merintah, ada juga yang memilih berha­dap­ an secara frontal dengan pemerintah selaku pengambil kebijakan. Untuk mengadvokasi buruh perempuan di Jakarta, Marsinah FM rutin menyiarkan informasi seputar hak-hak buruh perem­pu­ an. Selain itu, untuk menuntut perubahan ke­bijakan, Dian mengaku kerap memilih ja­ lur frontal saat berhadapan dengan pe­me­ rin­tah. Mulai dari demonstrasi hingga mo­ gok kerja. Aksi demonstrasi umumnya di­ awali dengan grebek rumah (menjemput bu­ ruh perempuan dari rumahnya masing-ma­ sing) dan grebek pabrik (menjemput bu­ruh pe­rempuan di pabrik-pabrik). “Lewat upaya-upaya itu, buruh perempu­ an yang tadinya tak berani ngomong, pelanpelan mulai berani dan akhirnya ikut disku­ si dan jadi pembicara. Meski jum­lah­nya se­ dikit itu amat berarti bagi ka­mi,” ka­ta­nya. Radiyem dari Asosiasi Pendamping Pe­ rem­puan Usaha Kecil (Asppuk) di Kota Sura­ karta, Jawa Tengah, berupaya mela­kukan ad­ vo­kasi dengan mengawal perencanaan dan realiasi anggaran daerah agar ada alo­kasi un­ tuk pemberdayaan perempuan. Asp­puk yang mendampingi para pe­rempu­an pe­la­ku usa­ ha kecil fokus kepada upaya pemberdayaan eko­nomi sebagai salah satu ca­ra un­tuk mem­ ber­dayakan perempuan. Sedangkan Masyitoh yang bergerak di bi­ dang pendidikan kesehatan di pesan­tren-pe­ santren di Cirebon, Jawa Barat, meng­am­bil strategi halus. Untuk mendidik pa­ra siswa pesantren tentang kesehatan re­pro­duksi tan­ pa harus secara frontal me­nying­gung atur­ an para guru dan pimpinan pon­dok, ia me­ milih jalur diskusi dan pe­ner­bit­an yang isi­ nya digali dari kitab suci agama Islam. Nurhayati Kahar yang telah puluhan ta­ hun mengadvokasi anak dan perempuan kor­ ban kekerasan menyimpulkan bahwa yang dibutuhkan dalam upaya advokasi ada­lah pe­ rempuan-perempuan yang mau tu­run ke ba­ wah, ke level akar rumput. Ini ka­rena keti­ dakadilan terhadap perempuan le­bih ba­nyak terjadi di tingkat bawah. Di samping itu, ia juga mengingatkan bah­ wa dalam upaya advokasi semua pihak yang dipandang dapat mendukung perlu diiden­ ti­fi­kasi, termasuk pihak pemerintah ka­rena ma­sih ada aktor-aktor di institusi pemerin­ tahan yang sebenarnya memiliki ke­sadaran. Semua pihak perlu dilibatkan. “Kata kun­ci­ nya adalah berjaringan,” katanya.  Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

13


U

tama Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas

budisusilo85.blogspot.com

Bersuara untuk Perempuan

14

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

Media massa arus utama yang ada saat ini dinilai belum adil gender dalam pemberitaannya. Isu-isu perempuan belum mendapat ruang yang layak di media. Oleh karena itu, perempuan perlu aktif menggunakan media untuk menyuarakan kepen­ tingan perempuan. Oleh Idha Saraswati Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jur­nal Perempuan yang menjadi pemateri di sesi “Media dan Perempuan” pada Temu Pe­ rem­puan Pegiat Media Komunitas, Minggu (13/4), menuturkan, sampai saat ini media mas­sa arus utama (koran, televisi, radio, me­ dia online) masih belum adil gender. Itu ter­ jadi tak hanya di Indonesia, namun ju­ga me­ dia-media ternama di seluruh dunia. Ketidakadilan gender di media itu antara lain terjadi karena masih minimnya keter­li­ bat­an perempuan dalam proses pengam­bil­ an keputusan redaksional. Akibatnya, pers­ pek­tif perempuan yang mampu mendorong mun­cul­nya berita yang adil gender tak mun­ cul di media. “Media seperti internet pun ti­ dak adil gender karena internet ada­lah ref­ leksi kehidupan nyata. Kini 80 per­sen selera media ada di tangan laki-la­ki,” tu­turnya. Contoh paling anyar untuk menunjukkan selera laki-laki di media bisa dilihat dalam pemberitaan tentang calon anggota legisla­ tif (caleg) yang bertarung pada pemi­lihan umum 9 April lalu. Dari ribuan caleg pe­rem­ puan yang akan bertarung, media lebih su­ ka mengangkat profil caleg perem­pu­an dari kalangan artis, terutama artis-artis yang se­ lama ini dilekati citra 'seksi'. Yang di­angkat pun lebih ke sensasi yang meling­kupi kehi­ dup­an sang artis selama ini. Profil ca­leg pe­ rem­puan non artis yang mempunyai prog­ ram meng­angkat isu-isu perempuan se­pi da­ ri pem­beritaan. Contoh lainnya bisa dilihat dari cara me­ dia televisi menampilkan para pembaca be­ ri­ta. Di Indonesia, para perempuan yang men­ ja­di pembaca berita umumnya harus me­me­ nuhi syarat berpenampilan menarik, mu­da, dan cerdas. Namun usia dan penampilan pe­ rempuan pembaca berita agaknya dianggap lebih penting, sehingga saat usianya di­ang­ gap sudah 'tua' dia tidak lagi tam­pil di tele­


dokumen kombinasi

Para peserta tengah berdiskusi dalam salah satu sesi pada acara Temu Perem­ puan Pegiat Media Komunitas.

visi. Hal ini tidak berlaku bagi la­ki-la­ki pem­ baca berita yang terus bisa tam­pil di te­le­vi­si meski usianya sudah di atas 40 ta­hun. “Usia 30-40 tahun adalah usia yang ma­ tang bagi perempuan dalam menguasai ilmu pengetahuan. Jadi harusnya bukan dan­dan­ an, bukan jarik, bukan cara berjalan yang di­­ gunakan untuk menilai kualitas kua­li­tas pe­ rempuan. Seksisme tidak hanya ada da­lam fakta berita, tapi juga dalam proses rep­re­ sen­tasi terhadap perempuan,” ujar De­wi.

Perspektif Perempuan Menurut Dewi kehadiran perspektif pe­ rem­puan dalam kerja redaksi media sangat penting karena perempuan memiliki aneka isu yang selama ini jarang dibicarakan, bah­ kan oleh perempuan sendiri. Karena itu, pe­ rempuan perlu lebih aktif mengisi me­­dia de­ ngan memakai perspektif pe­rem­puan. Ada banyak contoh yang menunjukkan per­bedaan cara pandang perempuan dalam mem­beritakan suatu kasus di media. Keti­ ka isu tentang kesetaraan perempuan belum ma­rak, hanya sedikit perempuan yang ter­ li­bat dalam kerja-kerja media. Akan tetapi, pe­rem­puan tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam meliput suatu kasus. Li­put­

an pe­rang, misalnya, selalu dikerjakan oleh war­­ta­wan laki-laki. Berita yang lebih sering mun­cul kemudian adalah berita se­pu­tar je­ nis dan persediaan senjata yang di­gu­nakan dalam perang. Belakangan ketika pe­rem­pu­ an mendapat kesempatan yang sa­ma un­tuk me­li­put perang, berita yang mun­cul meng­ ung­kapkan sudut pandang para kor­ban yang menderita akibat perang. Dewi mencontohkan surat kabar Inggris, The Guardian, yang kini termasuk paling ma­ ju dalam mengangkat perspektif perempu­ an dalam kebijakan redaksional. Selera, pe­ mi­kir­an, dan ide perempuan masuk ke da­ lam ra­nah subjek, bahasan, penulis, dan halhal yang diberitakan. Ia menambahkan, perspektif perempuan tidak hanya berguna dalam membedah ber­ bagai persoalan perempuan. Perspektif pe­ rem­puan juga bisa digunakan untuk meng­ angkat berbagai persoalan penting masya­ ra­kat yang selama ini luput dari pem­be­ri­ taan. Isu-isu seputar kesehatan reproduksi misalnya, marak diangkat ketika perspektif perempuan mulai mewarnai media. Dan isu kesehatan reproduksi bukan isu milik pe­ rem­puan saja, karena setiap manusia mem­ pu­nyai persoalan reproduksi. Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

15


U

tama Perspektif perempuan ini juga dapat di­ gu­nakan untuk menimbang berbagai kasus. Mi­salnya ketika dihadapkan pada pilihan ca­ lon presiden laki-laki dan perempuan, ma­ ka yang perlu dilihat pertama-tama adalah perspektif mereka. Jika calon presiden lakilaki itu ternyata menganut perspektif yang adil gender, itu berarti ia layak dipilih. Agar isu dan perspektif perempuan lebih banyak menghiasi media, Dewi mengajak pa­ ra peserta untuk lebih aktif mengangkat ki­ sah perempuan di wilayahnya masing-ma­ sing. “Itu bisa dimulai dengan menulis kata 'perempuan' di bagian judul. Misalnya da­lam kasus pertambangan, dengan per­s­pek­tif pe­ rempuan kita bisa menulis dampak tam­bang terhadap perempuan,” terangnya.

foto-foto: dokumen kombinasi

Dari kiri: Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan, Shernylia Maladevi dari Radio Komunitas Jaringmas, Feronika Huby dari Tiki Papuan Women Voices, dan DS Nugraheni dari Festival Film Dokumen­ter

Pengalaman Komunitas Ketika media massa arus utama ternyata belum adil gender dalam pemberitaannya, pa­ra perempuan yang ingin mengangkat isuisu perempuan bisa berpaling ke media ko­ mu­nitas. Ada beragam jenis media yang bi­ sa dimanfaatkan oleh perempuan untuk ber­ sua­ra, mulai dari media cetak, elektonik, in­ ter­net, hingga seni. Sejumlah perempuan pe­ giat media komunitas yang berasal dari ber­ ba­gai daerah sudah memulainya. Radio Komunitas Marsinah FM di Jakar­ ta, misalnya, telah merintis siaran radio yang materinya fokus pada aneka persoalan bu­ ruh perempuan. Melalui si­a­ran­nya, radio ini mengajak para buruh pe­rem­pu­an terutama di kawasan berikat Ca­kung Jakarta Utara un­ tuk memahami hak-haknya. Radio ini juga

memberikan in­spi­rasi kepada pendengarnya dengan rutin me­nyi­ar­kan profil-profil pe­rem­ puan yang be­ra­ni memperjuangkan sesuatu yang mereka ya­kini. Shernylia Maladevi dari Radio Komunitas Jaringmas di Bantaeng Sulawesi Selatan me­ makai beragam jenis media dalam meng­ang­ kat isu perempuan di daerahnya. Selain si­ a­ran radio, ia juga memilih media seni mu­ lai dari puisi, lagu, tari, hingga pentas mo­ no­log. Salah satu di antaranya adalah pentas mo­ nolog berjudul Mahar dan Perempuan. Me­ la­lui pentas ini, Shernylia mengritik tradisi pemberian mahar perkawinan saat seorang lelaki hendak meminang calon is­tri­nya. Ni­ lai mahar ditentukan dengan me­li­hat la­tar belakang perempuan yang akan di­ja­di­kan is­tri, sehingga perempuan se­ka­dar menja­di obyek dalam perkawinan. Seolah-olah pe­ rem­puan adalah barang yang di­per­ju­al­be­li­ kan, “Kami mendapat apresiasi yang bagus dan bebas berekspresi dengan se­ni sebagai media. Kami mendapat posisi cu­kup bagus untuk menyusup secara halus, ber­kar­ya un­ tuk perempuan,” katanya. Nurhayati Kahar dari Sumatera Barat ju­ ga menggunakan seni, terutama seni tradi­ si di daerahnya dalam mengangkat isu-isu mengenai pe­rempuan. Salah satunya ada­lah dengan meng­gu­nakan lawakan Minang ali­ as Ciloteh Mi­nang. Dengan gaya humor, be­ ra­gam isu pe­rem­pu­an bisa disampaikan de­ ngan lebih mudah ke masyarakat. La­wakan tersebut juga dapat digunakan un­­tuk meng­ ritisi berbagai kebijakan peme­rintah.

16

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


harus dilakukan dengan amat hati-hati ka­ rena nyawa menjadi taruhannya. Oleh kare­ na itu butuh trik-trik khusus agar pe­san bi­ sa sampai tanpa terlihat fron­tal. “Per­nah ada yang mengangkat seni tra­disi un­tuk meng­ kritik kondisi Papua, na­mun senimannya di­ ancam akan dibunuh se­hing­ga ha­rus lari ke luar negeri. Yang seni saja su­dah didesak se­ perti itu, apalagi yang frontal dan yang be­ rani,” tam­bahnya. DS Nugraheni dari Festival Film Doku­ men­ter (FFD) mengatakan, film tidak meng­ ubah orang, tapi orang yang menonton film itu bisa melakukan perubahan. Film me­mi­ liki jangkauan distribusi yang luas, se­hing­ ga bisa menjadi media untuk me­nga­bar­kan suatu kasus ke seluruh dunia. Selain in­ter­ net, festival-festival film dokumenter berke­ las internasional yang digelar di ber­ba­gai negara bisa dimanfaatkan untuk me­nye­bar­ kan karya. Apalagi festival-festival sema­cam itu acapkali dihadiri sosok-sosok yang bisa mempengaruhi kebijakan baik di ting­kat lo­ kal maupun internasional. Ia menambahkan, film kini menjadi me­ dia yang mudah dan murah. Tiap orang bi­sa membuat film mengandalkan kamera te­le­ pon genggam maupun kamera berharga mu­ rah. Di samping itu, ada beragam fasilitas di in­ter­net yang bisa dimanfaatkan untuk me­ nye­bar­kan karya. “Jika ingin membuat film mengenai suatu kasus, mulailah mengambil gam­bar sekarang dengan alat yang ada, ja­ ngan menunggu sampai ada kejadian besar. Gam­bar-gambar tersebut akan sangat ber­ guna nan­tinya,” ujarnya. 

Film tidak mengubah orang, namun orang yang menonton film itu bisa me­ lakukan per­ ubahan.

Film kini dapat dibuat dengan mudah dan murah. Dan beragam fasilitas di in­ter­net bisa dimanfaatkan untuk menye­bar­kan karya.

lintasgayo.com

Adapun Feronika Huby dari Papua Barat bersama komunitasnya, yakni Tiki Papuan Women Voices memilih film dokumenter un­ tuk mengabarkan nasib perempuan Papua sa­at ini. Menurut Fero, Papua memiliki bera­ gam persoalan yang kompleks. Dengan ak­ ses yang sulit di segenap bidang, mulai dari akses transportasi hingga akses ke pendi­dik­ an, ditambah dengan tingginya angka keke­ rasan, perempuan Papua menanggung beban terberat. Mereka rata-rata menikah di usia muda, lalu menanggung per­eko­no­mi­an ke­ luarga dengan bergantung pa­da alam. Di sisi lain, kini tengah terjadi peram­pok­ an besar-besaran di Papua. Papua sudah di­ petak-petak bagi ke­pentingan investor di bi­ dang pertambangan dan perkebunan sawit. Pada­hal ma­syarakat Papua masih bergan­tung pa­da alam, yakni dengan men­ja­di pem­buru dan pera­mu di hutan, atau nela­yan. Mereka di­pak­sa berhadapan dengan ke­pen­tingan in­ ves­tasi tanpa persiapan apa pun. Fero dan rekan-rekannya mengangat ki­ sah itu dalam film dokumenter. Salah sa­tu­ nya film yang menceritakan peran pe­rem­ pu­an dalam menjaga kelestarian hutan. Ada seorang perempuan yang mengandalkan hi­ dupnya dari hasil hutan, sementara per­usa­ haan mematok lahan tersebut secara se­pi­ hak. Film itu kemudian diputar di hadapan komunitas lokal, serta di hadapan pa­ra pe­ merhati Papua di Jakarta. “Ibu itu dan per­ usa­haan bersaing menjaga dan me­ma­tok la­ han yang jadi hak ulayat dia,” kata Fe­ro. Di Papua, seni bisa menjadi media yang dianggap berbahaya. Proses pembuatan film

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

17


C

e t ak

Ajakan Trio Apong, Kopong, dan Paijan

pedulikendeng.blogspot.com

Melestarikan Pegunungan Kendeng

Apong adalah remaja pria yang selalu berpeci dan menyampirkan sarung di badannya. Sahabatnya yang bernama Kopong gemar berkaus jersey klub sepakbola AC Milan, doyan menudungi kepala dengan topi bisbol yang dipakai terbalik. Keduanya berkawan dengan Paijan, pemuda berpotongan rambut belah tengah, yang biarpun namanya terkesan ndeso, tetapi cerdas otak dan bicaranya. Tiga anak muda ini tinggal di sebuah desa di sekitar Pegunungan Kendeng, Pati Selatan, Jawa Tengah. Oleh Yoseph Kelik

H

ari-hari Apong, Kopong, dan Paijan kerap terisi petua­ lang­an. Mereka pernah me­ ne­mani sepasang mahasis­ wa da­ri Yogyakarta blusukan ke da­ lam hu­tan di lereng Pegunungan Ken­ deng dan memotret aneka flora-fau­ na di sana. Ketiganya tak segan nyem­ plung ke genangan air ketika ikut me­ nolong warga desanya yang menja­di korban banjir bandang. Me­re­ka pun pernah meluangkan waktu me­nyam­ bangi sejumlah peternakan di se­pu­ taran desa, belajar langsung il­mu bu­ didaya hewan dari para pe­ter­nak. 18

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

Mereka pernah mengingatkan pa­ ra petani di sekitar Pegunungan Ken­ deng untuk tak berlebihan memakai herbisida alias obat kimia pembasmi rumput. Suatu waktu, trio dari kaki Pe­gunungan Kendeng ini sempat men­ datangi lokasi penambangan batu ka­ pur untuk mengingatkan para buruh pe­nam­bang tentang efek bu­ruk kegi­ atan kerja semacam itu terhadap ling­ kung­an, termasuk mem­bu­juk para pe­ nambang agar ber­pin­dah ke pe­ker­ja­ an lain. Bahkan Apong, Ko­pong, dan Paijan pernah mem­be­ra­ni­kan diri gu­ na ber­debat de­ngan se­kum­pulan pre­

man yang co­ba me­ne­kan para pe­ta­ni un­tuk men­ju­al ta­nah mereka ke­pa­da pi­hak per­usa­ha­an semen. Ketiganya juga con­toh anak muda yang mencintai ling­kungan, se­lalu gi­ at dan berani me­nye­barkan penge­ta­ huan menge­nai hidup yang se­la­ras dengan alam. Me­re­ka sebenarnya ha­ nyalah ti­ga ka­rak­ter uta­ma re­kaan da­ lam se­ri­al komik Pe­tualangan Apong dan Ko­pong atau Ko­mik Kendeng. Ke­ ti­ganya me­mang cu­ma to­koh rekaan, tetapi ane­ka ma­sa­lah ling­kung­an dan so­si­al yang dicerita­kan di dalamnya men­ja­di prob­lem nya­ta yang terjadi


di dae­rah Pa­ti Se­la­tan, terutama se­ ki­tar enam ta­hun ter­akhir. Pegunungan Kendeng yang tegak di sisi selatan daerah Pati Sela­tan, ju­ ga lahan pertanian luas di sa­na, di Ke­ camatan Sukolilo, Ka­yen, serta Tam­ bak­romo, memang se­dang menjadi in­caran raksasa-raksasa perusaha­anperusahaan se­men se­per­ti Se­men Gre­ sik hingga In­do­ce­ment karena kan­ dungan kapur dan lem­pung, yang me­ ru­pakan bahan baku pem­bu­at­an se­ men, berkualitas tinggi di da­lam­nya. Jika pabrik jadi berdiri dan berope­ rasi, banyak sawah ladang di Pati Se­ latan akan berhenti menumbuhkan padi, jagung, kedelai, ka­cang dan sing­ kong. Mereka akan berganti menjadi pabrik, lahan ga­li­an tam­bang dan pe­ nimbunan stok­nya, permukim­an bu­ ruh, ja­lan, dan sebagai­nya. Me­min­jam apa yang di­sebut ko­ran KOMPAS pa­ da 2011, la­han per­ta­nian di Pati Se­la­ tan sung­guh te­ngah terancam men­ jadi ba­gian dari 200 ribu hektare la­ han perta­nian yang setiap ta­hun­nya beralih fung­si menjadi la­han non­per­ ta­ni­an. Bahkan lahan per­ta­­nian yang tidak langsung ter­cap­lok pen­di­ri­an pab­rik semen, produktivitasnya ke­ mung­kin­an bakal turun kare­na pegu­ nung­an kapur semacam Ken­deng me­ ru­pa­kan kawasan karst yang sebe­tul­ nya menjadi cadangan rak­sa­sa air ta­ nah. Ketika karst rusak oleh pe­nam­ bangan, pasokan air un­tuk per­ta­nian akan terancam. Nah, Komik Kendeng yang berkisah tentang Apong, Kopong, serta Paijan adalah satu cara bersuara da­ri ma­ syarakat Pati Selatan yang me­nolak rencana pendirian pabrik se­men dan penambangan bahan mentah pro­duk­ si semen di daerah me­re­ka. Mereka berhimpun dan me­namakan diri se­ ba­gai Jaringan Masya­ra­kat Peduli Pe­ gunungan Kendeng (JMPPK). JMPPK inilah yang mem­ro­duk­si Komik Ken­ deng. Sejak ke­lahir­an­nya pada per­te­ ngahan 2012, Komik Ken­deng terca­ tat telah ter­bit se­ba­nyak 8 edisi. Pe­ ner­bitan dela­pan edisi itu pada 10 Ju­ li 2012, 18 Ok­to­ber 2012, 13 Feb­ru­ a­ri 2013, 21 Februari 2013, 18 Ap­ ril 2013, 3 Ja­nu­a­ri 2014, 13 Feb­ruari 2014, serta 7 Ma­ret 2014.

Menurut Sobirin (31), satu di an­ta­ ra anggota tim produksi Komik Ken­ deng, JMPPK menerbitkan serial ko­ mik tersebut sebagai cara mengha­ dapi kuatnya pemberitaan pro­pendi­ rian pabrik semen di media mas­sa. Se­ lama ini berita-berita yang pro­pen­di­ rian pabrik semen kerap digandakan secara fotokopi oleh orang-orang yang

Sukolilo, Ka­yen, dan Tam­ba­kro­mo. Di samping itu, Ko­mik Ken­deng bisa juga dibaca atau di­un­duh di la­man www. omah­ken­deng.org. Secara umum, Komik Kendeng ber­ isi penyebaran gagasan bahwa per­ tanian sesungguhnya mampu meng­ hidupi warga dan mengge­rak­kan per­ ekonomian Sukolilo dan sekitarnya

Jaringan Masyarakat Peduli Pegungan Kendeng menerbitkan serial komik Kendeng sebagai cara mengha­dapi kuatnya pemberitaan pro­pendi­ rian pabrik semen di media mas­sa.

propendirian pab­rik semen, lalu di­ bagikan ke orang-orang di de­sa un­ tuk menggiring opi­ni pub­lik di Pa­ti Se­latan. Propaganda se­ma­cam itu­lah yang coba dibendung oleh JM­P­PK. “Tapi kalau kami lihat, masyarakat desa itu kebanyakan tak familiar de­ ngan berita-berita mendalam ataupun berita-berita tekstual lain­nya, maka muncullah ide tentang bi­kin komik. Kebetulan ada teman di JMPPK yang memang punya kemam­puan bikin ko­ mik,” kata Sobirin me­nge­nai proses awal penerbitan Ko­mik Ken­deng yang berlangsung pa­da akhir 2011 hing­ ga awal 2012 lalu. Ko­mi­kus yang me­ nger­jakan Komik Ken­deng ber­nama Anton (25), yang me­ma­kai Ahn­co se­ bagai pseudonim-nya. Se­la­in itu, da­ lam tim produksi ter­li­bat juga Da­yu se­bagai editor, juga Wa­ho­no dan Pur­ no­mo untuk urus­an dis­tri­busi Pengerjaan setiap edisi Komik Ken­ deng biasanya 1-2 minggu, mu­lai da­­ ri digam­bar secara manual, di-scan ke kom­pu­ter, diedit, kemudian dan dice­ tak se­ki­tar 200 eksemplar. Komik ini disebarkan di tiga ke­ca­matan, yakni

bahkan untuk jang­ka pan­jang. Con­ toh­nya dengan menggabungkan per­ ta­nian dengan peter­nak­an, atau men­ ja­lan­kan per­tani­an organik yang ha­ sil pro­duk­si­nya di­har­gai le­bih mahal di pasaran, atau­pun mengem­bangkan wisata mengenai ke­hi­dup­an pedesa­ an. Di­se­barkan pula ke­sadaran bah­ wa pen­di­rian pab­rik pab­rik semen dan ke­gi­at­an pe­nam­bang­an­nya ten­tu­ lah akan lebih ba­nyak meng­untung­ kan ka­lang­an pe­milik mo­dal. Masya­ rakat lo­kal ha­nya akan me­nem­pati ke­un­tung­an sesa­at dari pen­ju­alan la­ han, se­le­bih­nya bakal men­jadi bu­ruh bah­kan pe­non­ton. Semua itu diceritakan dengan run­ tutan panel-panel gambar berdialog yang meminjam kisah-ki­sah keseha­ rian masyarakat desa di se­pu­tar­an Pe­ gunungan Kendeng, diselipi sejum­ lah bumbu humor. Istilah dan konsep ilmiah seperti karst, sungai ba­wah ta­ nah, ekosistem, hingga pembatasan obat kimia disampaikan da­lam baha­ sa awam. Itu merupakan usa­ha agar lebih mudah dicerna warga de­sa yang memang menjadi sa­sar­an­nya.  Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

19


V

ideo

Children of A Nation: Demokrasi untuk Siapa? Presiden pertama Indonesia Soekarno tampak tengah berpidato dengan berapi-api. Menceritakan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu indah dengan segala kelebihannya berupa kekayaan alam, dan kondisi damai tentram sejahtera yang melingkupinya. Oleh Aris Setyawan

I

tulah adegan pembuka dari film dokumenter berjudul “Children of a Nation”. Namun, pembukaan yang menggambarkan keindah­ an zamrud khatulistiwa dan kemun­ culan Soekarno di awal film yang di­ sutradarai Sakti Parantean ini adalah ironi. Setelah itu, film sepan­jang le­ bih kurang 90 menit ini menghadir­ kan gambaran In­do­ne­sia yang lain. In­ donesia yang tidak lagi indah dan da­ mai seperti pe­nu­tur­an sang prokla­­ ma­tor. In­do­ne­sia yang karut marut dan riuh de­ngan kebencian, terutama sa­at di­se­leng­ga­ra­kan­nya sebuah mo­ men lima ta­hun­an yang sering di­se­ but sebagai “pes­ta demokrasi.” Itulah pe­mi­lih­an umum (pemilu), momen sa­ at se­mua orang seperti menjadi mu­ suh ba­gi orang lain. Children of a Nation (CoaN) adalah film dokumenter yang mengisahkan tentang apa saja yang terjadi di Indo­ nesia selama masa pemilu. Film ini menceritakan rentetan pemilu di In­ do­nesia mulai dari pemilu perta­ma ta­ hun 1955 hingga 2009, de­ngan fokus utama pada pemilu 2009 ka­re­na pe­ milu itulah yang me­nen­tu­kan na­sib Indonesia lima tahun be­ri­kutnya hing­ ga datangnya masa pe­mi­lu 2014. CoaN menyuguhkan bagaimana se­ pak terjang para politisi serta partai po­li­tik (parpol) selama pemilu 2009. Ada rekaman saat gunung sampah di Ban­tar Gebang, Kota Bekasi, menda­ dak meriah dan berwarna-warni ke­ tika Megawati Soekarno Putri dan Pra­ 20

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

bo­wo Subianto mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dan wakil pre­ siden. Lalu ada Stadion Gelora Bung Karno yang membiru oleh war­na par­ tai yang diusung Susilo Bam­bang Yu­ dho­yono-Boediono saat me­re­ka me­ mutuskan ikut kompetisi ­ja­di pe­mim­ pin negeri. Ada pula ade­gan dek­la­ra­ si pasangan Jusuf Kal­la-Wi­ran­to. Meski menyajikan rekaman dekla­ rasi kampanye damai, di mana se­lu­ ruh politisi dan parpol peserta pe­mi­ lu 2009 menyatakan akan berkompe­ tisi dengan damai, CoaN dapat meng­ hadirkan sesuatu yang tersembunyi di balik selimut semu da­mai itu: ada persaingan sengit yang nya­ta untuk memperebutkan kua­sa ter­ting­gi di In­ donesia. Semua yang ber­kom­­pe­tisi da­ lam pemilu bakal me­la­ku­kan se­ga­la cara untuk men­ja­di peme­nang. Sakti Parantean menampilkan ca­ ra-cara yang digunakan para politisi untuk menjadi pemenang. Cara-cara tersebut menegaskan tentang adanya begitu banyak kecurangan yang ter­ jadi selama pemilu 2009. Mu­lai dari parpol yang menyalahi aturan kam­ pa­nye dengan iklan-iklan di televisi yang dirancang sede­mi­ki­an rupa se­ hingga tampak bukan se­perti sedang berkampanye, kejanggalan da­lam Daf­ tar Pemilih Te­tap (DPT) yang memu­ at banyak na­ma ganda, hingga par­pol yang meng­akali teng­gat waktu kam­ panye pub­lik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan men­jajah ra­nah inter­net seperti face­book. De­mi ke­me­

Foto-foto: Istimewa

nangan mutlak, se­ga­la cara di­ang­gap halal dalam po­li­tik. CoaN juga menyoroti fenomena la­ ma dalam pemilu, yakni fakta bah­wa sebagian besar calon anggota le­gisla­ tif yang berkompetisi memang sudah berkecimpung lama dalam dunia po­ litik. Ini mengkhawatirkan karena re­ generasi calon pengurus ne­gara mam­ pet. Jabatan-jabatan pen­ting selalu di­ pegang orang lama yang lantas akan menunjuk kro­ni atau ke­lu­ar­ga untuk menjadi peng­gan­ti­nya. Kaderisasi yang buruk ini terlihat dari perekrutan petinggi sebuah par­ pol yang ternyata adalah anak dari pendiri parpol itu. Praktis kekuasaan hanya akan berputar di situ, tak per­ nah ada kesempatan bagi orang lain yang berkualitas untuk ikut masuk. Muka-muka lama dalam pemilu ini ju­ ga disinyalir memiliki rekam jejak bu­ ruk. Di antaranya berupa pelanggar­ an hak asasi manusia dan korupsi se­ masa Orde Baru. Mereka sukses me­ ngubur rekam jejak buruknya di ma­ sa lalu lalu ikut berpolitik.


Info Film Children of A Nation Sutradara: Sakti Parantean Produksi: Fictionary Film Tahun Produksi: 2013 Durasi: 90 menit

Opini masyarakat saat menyikapi pemilu digambarkan dengan me­nyo­ roti dua sosok sepanjang film. Perta­ ma adalah seorang sek­re­taris per­usa­ haan swasta bernama Neni Triyani. Neni mewakili kelas me­ne­ngah atas dalam masyarakat Indone­sia yang be­ kerja di kantor dan me­mi­liki peng­ha­ silan di atas ra­ta-rata. Ke­tika ditanya seperti apa calon pe­mim­pin yang ba­ ik un­tuk­nya, Neni me­nyebutkan sosok yang gan­teng dan ber­wi­bawa seperti SBY. Ia tak mau pu­nya presiden yang mem­pu­nyai ke­ku­rangan fisik seperti Gus Dur. Melalui sosok Neni, film ini me­nyu­guhkan opi­ni masyarakat ke­las me­ne­ngah ke atas mengenai po­li­tik: pen­cit­raan fi­sik yang rupawan ada­ lah segalanya. Berseberangan dengan Neni, sosok kedua adalah seorang pemilik wa­rung makan kecil sekaligus sim­pa­ti­­san par­ tai banteng merah bernama Sunar­ti. Ia menyatakan setia pada par­tai me­ rah lantaran kecintaannya pa­da Soe­ karno. Ia mengang­gap par­tai itu de­ kat dengan wong ci­lik dan sam­pai ma­ti

akan membelanya. Ini­lah poli­tik bagi kelas me­ne­ngah ke ba­wah: pen­cit­ra­ an merakyat adalah se­ga­la­nya. CoaN mempertanyakan sebuah wa­ cana dalam fenomena pesta de­mo­ krasi ini: sebenarnya demokrasi itu un­tuk siapa? Benar-benar untuk rak­ yat atau elit politik yang punya ak­ses untuk berkompetisi dalam pe­mi­lu? Pertanyan ini muncul karena da­ lam setiap pemilu, mereka yang ber­ tarung sebenarnya adalah para elit yang tampak begitu tinggi tak ter­ga­ pai rakyat jelata. Rakyat hanya punya kekuatan lima menit dalam bilik su­ a­ra, kemudian pasrah pada apa pun ke­bijakan pemimpin yang dipilihnya se­lama lima tahun ke depan. Pesta de­ mokrasi (politik) bagi mereka ha­nya tontonan mewah dalam media terpo­ puler di Indonesia: televisi. Apakah de­ mokrasi ini juga un­tuk me­­reka? CoaN adalah film dokumenter yang bagus guna memberikan pemahaman tentang pemilu dan politik, terlebih di tahun pemilu 2014. Pemilu kali ini pun menjadi bukti nyata tentang apa

yang coba disampaikan CoaN: orangorang lama dalam dunia politik kem­ bali menguasai pesta demokrasi ini. Tak ada calon pemimpin baru. Namun, ada kekurangan yang sa­ ngat disayangkan dari CoaN, yakni ke­ sulitan untuk mengakses film ini ka­ rena sementara hanya diputar di fes­ tival film. Dan entah untuk tujuan apa, CoaN dibuat dengan narasi berba­ha­ sa inggris. Sekalipun isi film ini amat bagus, akan le­bih baik ji­ka distribu­ sinya bisa me­nyen­tuh rakyat (kelas menengah ke ba­wah) dan di­buat de­ ngan narasi ba­ha­sa In­do­nesia. Atau patutkah kita ber­ta­nya: film (ten­tang demokrasi) ini di­buat un­tuk sia­pa? Kelas menengah ke atas yang mam­ pu hadir di festival film, atau rak­yat (kelas menengah ke ba­wah) Indo­ne­ sia yang konon dibela hak politik­nya dalam film ini? 

Aris Setyawan Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta, Penulis Lepas di Beberapa Media

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

21


P

u s t aka

Kampuz Jalanan: Ruang Belajar Alternatif di Bantul Rumah itu tidak terlalu besar, terletak di pinggir sebuah jalan kampung kecil. Di depannya terbentang sebuah lapangan desa. Namanya adalah Kampuz Jalanan. Oleh Aris Setyawan

22

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

J

angan bayangkan rumah ini se­ perti kampus kebanyakan yang besar dan megah. Kam­puz Ja­ lanan berupa sebuah ru­mah ke­ cil namun dengan kegiatan berci­tacita besar: mencerdaskan anak bang­ sa. Kampuz Jalanan adalah se­bu­ah ru­ ang belajar alternatif yang bertem­pat di Kweni, Panggungharjo, Ban­tul, DI Yogyakarta. Ruang belajar al­ter­na­tif tempat semua orang bisa sa­ling bela­ jar bersama. Sore itu, ada sekitar sepuluh anak yang datang. Mereka duduk bersila de­ ngan manis di atas tikar lalu belajar bersa­ma seorang kakak pengajar ber­ na­ma Aroh. Masing-masing anak me­ me­gang sebuah buku cerita dan mem­ ba­ca­nya. Rupanya sore itu ada jadwal membaca buku cerita, lalu menceri­ ta­kan lagi isi dari buku yang dibaca­ nya. Setelah selesai membaca dan ber­ cerita, anak-anak lalu di­bimbing un­ tuk bernyanyi bersama, dan bermain tebak-tebakan. Inilah sua­sa­na bel­ajar di Kampuz Jalanan, sa­ngat jauh dari kesan kaku kampus ke­ba­nyak­an. Ini sesuai dengan motto Kam­puz Jalan­ an untuk belajar dan ber­ma­in, ber­ma­ in dan belajar. Aroh adalah satu dari sedikit rela­ wan yang mengajar serta mengurus kegiatan di Kampuz Jalanan. Ada ju­ ga Eko Prasetyo atau akrab dipanggil mas Pras. Mas Pras adalah salah satu penggagas ruang belajar alternatif ini. Kampuz Jalanan berdiri sekitar ta­ hun 2010 dengan sebuah niat mulia: memberikan ruang belajar alternatif yang menyenangkan bagi anak-anak di daerah pinggiran. Karena itu, di­pi­ lihlah sebuah lokasi di ka­wa­san Pang­ gungharjo, Bantul, DI Yog­ya­kar­ta. Ter­ inspirasi dari sebuah film la­ma ber­ judul “Ali Topan Anak Ja­lan­an” jadilah nama Kampuz Ja­lan­an ditahbiskan ke ruang belajar al­ter­na­tif ini. Konsep ru­

ang belajar alternatif ini me­narik ka­ rena mengedepankan kesetara­an di mana semua orang ada­lah guru dan murid. Mereka ber­usa­ha meng­hin­dari kesan seram guru-mu­rid yang sela­ma ini ada di sekolah for­mal. Seperti sore itu, sepuluh anak usia SD yang tengah bermain itu tidak di­ anggap sebagai murid oleh Aroh sang relawan pengajar. Mereka meng­gang­ gap diri mereka setara, sa­ma-sa­ma belajar. Selain belajar me­nulis mem­ baca dan berhitung se­per­ti di seko­ lah formal, anak-anak di Kam­puz Ja­ lan­an juga belajar hal-hal me­na­rik la­ innya seperti musik, film, menggam­ bar, dan fotografi. Peng­ajar­nya ada­lah orang-orang yang me­mi­liki keahlian di bidang terse­but dan kebetulan ber­ kunjung ke Kam­puz Jalanan. Konsep kerelawanan yang memba­ wa para mahasiswa atau orang umum yang memiliki keah­li­an khu­sus bisa datang ke Kampuz Ja­lan­an dan men­ transfer ilmu mereka ke anak-anak atau semua orang yang belajar di sa­ na. Dengan konsep ke­re­la­wanan ini, Kam­puz Jalanan oto­ma­tis tak per­nah kehabisan staf peng­ajar, dan tak ke­ habisan ba­han untuk di­pel­ajari. Relawan yang mengajar di Kampuz Jalanan tak dibayar sepe­ser pun. Me­ reka mengajar dengan ke­ikh­­las­an ser­ ta niat mulia mem­berikan pendidikan alternatif pada generasi mu­da. Kam­ puz Jalanan memang se­bu­ah ruang belajar non-profit yang di­di­ri­kan bu­ kan untuk mencari keuntungan. Se­ mentara untuk biaya opera­sio­nal se­ per­ti pengadaan ma­te­ri belajar, Kam­ puz Jalanan memi­liki sebuah prog­ram bernama Se­de­kah Kreatif + Edukatif dimana se­ti­ap orang bisa berse­dekah sesuai kemam­pu­an­nya un­tuk men­ du­kung keber­lang­sung­an Kampuz Ja­ lan­an. Bisa se­de­kah berupa uang, atau sekadar sedekah ba­rang dan ja­sa, atau


Foto-foto: Istimewa

sedekah du­kung­an dengan menyu­kai laman face­book Kampuz Ja­lan­an. Da­ ri prog­ram se­de­kah ini­lah Kam­puz Ja­ lanan bisa me­mi­liki se­bu­ah per­pus­ ta­ka­an kecil de­ngan ko­lek­si bu­ku yang lu­ma­yan. Menurut Pras, buku-buku yang ada di perpustakaan Kampuz Jalanan ber­ asal dari sedekah atau sumbang­an pa­ ra donatur. Ada bu­ku-buku bekas na­ mun masih la­yak baca, ada pula bu­ku baru. Ko­lek­si­nya pun beragam mu­lai dari cerita bergambar untuk anakanak, buku-bu­ku teori se­­ri­us hingga novel sastra un­tuk kalangan pembaca dewasa. Para pengunjung bisa mem­ baca sesuka ha­ti di perpusta­kaan mi­ ni ini tanpa ha­rus mem­bayar. Se­pan­ jang pintu ger­bang Kam­puz Jalanan masih ter­bu­ka, ma­ka se­tiap pengun­ jung be­bas ma­suk dan mem­baca. Na­ mun bia­sa­nya per­pus­ta­ka­an ini ra­mai di­kun­jungi oleh anak-anak pada so­ re hari an­ta­ra jam 04.00 sampai jam 06.00. Sam­bil bel­ajar biasanya anakanak akan me­mi­lih sebuah bu­ku yang ba­gus lalu mem­ba­ca­nya. Terkadang koleksi buku yang ada di perpustakaan mini Kampuz Jalan­

an juga tidak pernah tersimpan lama di rak buku. Bukan karena hilang, ta­ pi karena disumbangkan ke se­kolah atau komunitas lain yang membu­tuh­ kan. Ternyata se­la­in men­jadi sebuah ruang belajar al­ter­na­tif, Kam­puz Ja­ lan­an juga menjadi se­ma­cam pe­nyup­ lai barang-barang pen­di­dik­an untuk yang membutuhkan. Pras menyebutkan, ada begitu ba­ nyak sedekah atau sumbangan ba­rang pendidikan berupa bu­ku, alat tu­lis, dan lain-lain yang jika ha­nya didiam­ kan di Kampuz Ja­lan­an te­ra­sa kurang bermanfaat. Karena itu, pa­ra rela­wan di Kam­puz Jalanan akan melaku­kan se­ma­cam survei un­tuk men­ca­ri seko­ lah atau ruang ko­mu­ni­tas lain untuk melihat apa kebutuhan me­re­ka, lalu me­nyalurkan buku dan keperluan pen­ didikan yang ada di Kam­puz Jalanan tadi agar bisa di­man­fa­at­kan. Semen­ tara Kampuz Ja­lan­an sendiri tak per­ lu takut ke­ha­bis­an buku ka­re­na bia­ sa­nya tidak ber­se­lang lama akan ada sumbangan bu­ku baru yang mengisi rak. Dengan de­mi­kian ju­dul buku yang menjadi ko­lek­si juga se­ring ber­gan­ti dan anak-anak atau pe­ngun­jung se­

la­lu men­da­pat­kan va­ria­si bu­ku baru un­tuk dibaca. Kampuz Jalanan adalah bukti bah­ wa pendidikan tak melulu harus ma­ hal seperti kampus kebanyakan de­ ngan uang besar yang ha­rus di­ba­yar­ kan. Ruang belajar alternatif di se­bu­ ah desa di Bantul ini dapat ber­ta­han sejak 2010 hingga sekarang de­ngan konsep ke­re­la­wan­an dari staf peng­ ajar serta pe­nge­lo­la­nya. Bisa men­ja­ di sebuah ru­ang belajar yang menye­ nang­kan ba­gi masyarakat sekitarnya, serta me­mi­liki sebuah perpustakaan de­ngan ko­lek­si buku yang ten­tu amat ber­gu­na bagi pe­ngem­bang­an wa­wa­ san ma­sya­ra­kat. Untuk menjadi pintar tidak harus mahal, cukup memanfaatkan niat dan tekad yang tinggi dan modal jaring­an pertemanan. Niscaya keinginan me­ miliki sebuah ruang belajar dan per­ pustakaan dengan koleksi buku yang banyak pun pasti tercapai.  Aris Setyawan Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta, Penulis Lepas di Beberapa Media

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

23


R

adio

Primadona FM:

Perjalanan Sebuah Radio ‘Gelap’

Pagi itu saya terbangun oleh sebuah alunan lagu. Nada yang familiar mengingatkan pada suasana upacara bendera. Saya segera tersadar bahwa itu adalah lagu ciptaan W.R. Supratman: Indonesia Raya. Dengan aransemen a la orkestra, lagu itu terdengar megah memenuhi hampir setiap ruang pada rumah yang tidak begitu besar. Rumah yang menjadi jantung informasi bagi masyarakat yang tinggal di sebuah daerah di ujung utara Pulau Lombok. Primadona FM memulai rutinitasnya pagi itu. Oleh Ferdhi S Putra 24

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

P

rimadona FM adalah sebu­ ah radio komunitas (rakom) yang berdiri pada awal mile­ nium kedua, te­pat­nya pada tahun 2002. Rakom ini tumbuh di te­ ngah masyarakat yang plural di Nu­ sa Teng­ga­ra Ba­rat, de­ngan komposisi yang ham­pir seim­bang antara ma­sya­ ra­kat tradisional (Sa­sak/Bayan) dan ma­sya­ra­kat mo­dern yang didomina­si pendatang. Ko­non, di wi­la­yah ini­lah da­hulu Ke­ra­ja­an Ba­yan memancang­ kan tong­gak ke­kua­sa­an­nya.


istimewa primadonalombok.blogspot.com

Foto Kiri: Penyiar perempuan bersiaran di studio sederhana milik Radio Komunitas Primadona FM di Desa Karang Bajo, Lombok Utara. Foto bawah: Muhammad Syairi, pemimpin Radio Primadona FM.

Studio Primadona FM terletak se­ kitar dua kilometer dari Masjid Adat Bayan, bangunan yang dipercaya se­ bagai simbol kekuasaan kerajaan ter­ sebut, tepatnya di Dusun Ancak Ba­ rat, Desa Karangbajo, Kecamatan Ba­ yan, Kabupaten Lombok Utara. Se­bu­ ah kabupaten yang baru mandiri pa­ da 2009 lalu. Boleh dibilang, lahirnya Primado­ na sebagai rakom adalah buah dari ke­tidaksengajaan. Awalnya, Muham­ mad Syairi, yang kini berperan seba­ gai pimpinan rakom, sukses me­nyu­ lap peralatan radio yang hampir men­ jadi rongsok. Barang-ba­rang itu ada­ lah titipan seorang rekannya, Raden Sawinggih, yang me­mang mengira ba­ rang-barang itu su­dah tidak bergu­ na. Namun, setelah Sya­iri berhasil me­ man­faatkannya, Sawinggih pun me­ nyam­but. Kedua orang inilah yang ke­ mudian menjadi pen­di­ri ra­kom Pri­ma­ dona FM. Dibantu oleh se­orang pe­ rempuan bernama Sahuni yang ber­ peran sebagai ma­na­jer prog­ram, Pri­ madona pun menguda­ra secara kon­ sisten dan di­ker­ja­kan se­ca­ra semiprofesional sejak sa­at itu. Sesudah berhasil mengudara, Pri­ ma­dona pun dengan singkat menjadi pri­madona. Tidak heran sebab di era itu, di tempat itu, tak ada saluran hi­ bur­an lain. Belum banyak warga yang memiliki pesawat televisi, ter­le­bih ja­ ring­an internet. Kondisi ini yang mem­ buat Primadona menjadi satu-satu­ nya saluran hiburan dan informa­si ba­ gi warga di Bayan. Di tengah da­haga akan saluran informasi dan hi­buran, rakom yang dulu dikenal se­ba­gai 'ra­ dio bambu'—karena dulu an­tena ra­ dio disanggah dengan meng­gu­nakan sebatang bambu—ini ha­dir sebagai pelepasnya. Meskipun tak berorientasi profit, pada ma­sa kejayaannya sekitar tahun 2005, Primadona mampu menghasil­

kan keuntungan hingga Rp 3 juta per bulan. Itu didapat dari penjualan ker­ tas atensi yang dibanderol Rp 500 per lembar. Kertas atensi ter­se­but bergu­ na sebagai media ko­mu­ni­ka­si bagi pa­ ra pen­dengar dengan me­man­fa­at­kan ra­kom sebagai perantaranya. Walaupun sebagian besar kertas atensi berisi salam-salam dan request lagu dari para pendengar, namun ter­ nyata mampu memberikan efek yang signifikan terhadap para pendengar dan partisipan. “Saya akan matikan ha­pe kalau radio sedang tidak meng­ uda­ra. Karena kalau tidak, saya akan 'ter­teror' oleh SMS dan telepon pen­ de­ngar yang bertanya 'mengapa ra­ dio tidak nyala?” kenang Syairi saat di­temui akhir Februari lalu di studio Pri­madona. Era rakom muncul setelah UndangUndang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran disahkan. Rakom bermun­ culan rakom bak ja­mur di musim hu­ jan yang tumbuh su­bur dan tersebar. Ini ka­re­na peraturan ter­se­but menja­ di lan­das­an ba­gi pegiat ra­kom untuk melenyap­kan stigma ra­dio gelap (ile­ gal) dan menggeser­nya menjadi radio al­ter­natif. Namun da­lam perjalanan­ nya, ba­nyak da­ri rakom-rakom ter­se­ but yang per­la­han redup dan akhir­ nya meng­hi­lang. Ada beberapa faktor pe­nye­bab, antara lain karena hi­lang­ nya parti­si­pasi komunitas dalam pe­ ngelolaan ra­dio, baik secara teknis mau­pun fi­nan­sial. Selain itu, arus me­­ dia in­for­masi dan hiburan di era glo­ bal se­ma­kin deras, sehingga ba­nyak dari ang­go­ta komunitas yang ber­alih ke me­dia yang lebih populer, se­per­ti te­le­visi dan internet. Tetapi untungnya hal itu tidak ter­ jadi pada Primadona. Syairi mengaku pernah memiliki kehawa­tir­an serupa ketika penggunaan telepon genggam marak di daerahnya. Ia menduga bah­ wa telepon seluler akan mengalihkan para pen­de­ngar ke hiburan lain. Na­ mun ter­nyata du­ga­an­nya salah. Ma­ lah, de­ngan ma­rak­nya pemakai­an pon­ sel, pendengar Pri­madona bertambah cu­kup pesat. Ang­gota ko­mu­ni­tas yang semula tak me­miliki ra­dio jus­tru bi­ sa men­de­ngar­kan ra­dio lewat pon­sel (yang di­leng­kapi fi­tur radio). Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014

25


R

adio

Meski begitu, fenomena ponsel ini berimbas negatif pada pemasukan ra­ kom. Banyak orang mulai mening­gal­ kan kertas atensi dan beralih meng­ gu­nakan SMS atau telepon un­tuk ber­ kirim salam atau sekadar re­quest la­ gu. “Tidak masalah. Karena rakom ini berdiri bukan demi profit. Sela­ma ma­ sih memiliki pendengar, Pri­ma­do­na akan tetap hidup,” yakin Sya­i­ri.

Mendorong Perubahan Para penyiar Primadona berasal da­ ri berbagai kalangan. Salah satunya ada­lah Kepala Desa Karangbajo, Ker­ ta­ma­lip. Dulu, sebelum alat relay ru­ sak, setiap pukul delapan hingga se­ pu­luh pagi, Kades kerap bersiaran da­ ri kantor desa. Pada kesempatan itu, dia membuka keran-keran komuni­ ka­si an­tara pejabat desa dengan ma­ sya­ra­kat, dengan selingan-selingan la­ gu-la­gu favorit warga. Praktik ini memperlihatkan ben­ tuk transparansi, atau bahkan demo­­ krasi di level terbawah. Apa yang di­ laku­kan oleh Kades Kerta­ma­lip diba­

Selain sebagai sa­ rana hiburan, Prima­ dona FM juga mendorong perubahan sosial lewat sa­ jian informasi kritis. Tidak sekali me­re­ka dituding sebagai provokator. nyangkut kepentingan khalayak. Hing­ ga kini, sudah banyak fasilitas pub­lik, seperti sekolah dan klinik ke­se­hatan yang merupakan buah dari perju­ang­ an kru Primadona, yang ber­di­ri di Ke­ camatan Bayan dan se­ki­tar­nya. 

Hari masih panjang. Syairi memu­ lai siaran pagi itu dengan lagu-lagu po­puler berbahasa lokal. Tidak lama kemudian, si­aran diambil alih sang is­ tri yang meng­awali hari dengan ber­ bagi re­sep masakan. Sementara Sya­ i­ri ber­ke­li­ling kampung untuk men­ cari be­ri­ta, dan tentu saja berinter­ak­ si de­ngan komunitas di mana ia dan Pri­ma­do­na FM berdiri.  Ferdhi S Putra Pegiat Komunitas, Saat Ini Aktif di Combine Resource Institution

primadonalombok.blogspot.com

Kunjungan Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Utara, Kawit Sasmita, SH, berkunjung ke Primadona FM.

yangkan seperti yang di­la­ku­kan man­ tan Presiden Venezuela, Hu­go Chavez, yang membuka keran komunikasi pe­ jabat-masyarakat lewat sebuah te­le­ visi nasional Venezuela. Bisa ja­di ana­ logi ini terlalu dramatis, teta­pi fakta­ nya, hingga sekarang Kades Kerta­ma­ lip men­ja­di pejabat desa yang pa­ling di­per­ca­ya oleh warga. Seperti jargon awam rakom “dari, oleh, untuk dan tentang komunitas”, Primadona juga memainkan fungsi ter­sebut. Di samping sebagai sarana hi­bur­an, rakom ini juga terus mendo­ rong perubahan-perubahan sosial di level komunitas atau desa lewat in­ for­masi-informasi kritis yang di­sa­ji­ kan. Tidak sekali kru Primadona di­ tu­ding sebagai provokator oleh pihak yang merasa terganggu de­ngan pem­ beritaan yang diangkat, ter­uta­ma oleh penyelenggara pe­me­rin­tah­an yang se­ lama ini menjadi sa­sar­an kri­tik. Un­ tuk aktivitas ad­vo­ka­si­nya ini, Prima­ do­na tidak ha­nya mengguna­kan me­ dia radio, na­mun ju­ga memanfaatkan situs ber­sa­ma jur­na­lis war­ga, www. suara­ko­mu­ni­tas.net. Menurut Syairi, ini menjadi senja­ ta yang cukup ampuh untuk mene­kan penyelenggara pemerintahan supaya ti­dak sewenang-wenang, khususnya dalam mengambil kebijakan yang me­

26

Kombinasi  Edisi ke-55  April 2014


Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi? Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan l Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar. l Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces). l Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel). l Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis l Mencantumkan nomor rekening penulis. l Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan Majalah Kombinasi. l Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah maksud tulisan. l Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di redaksikombinasi@combine.or.id



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.