TEKNOLOGI BERWAJAH GANDA "Studi Kasus Implementasi Program PLIK-MPLIK di Lombok Tengah�
Muhammad Afandi Ferdhi F Putra Devy Cahyati
resource institution
TEKNOLOGI BERWAJAH GANDA “Studi Kasus Implementasi Program PLIK-MPLIK di Lombok Tengah� Tim Peneliti Muhammad Afandi Ferdhi F Putra Devy Cahyati
Tata letak sampul dan isi buku Dani Yuniarto Olvenion
Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan mencantumkan jenis lisensi yang sama pada karya publikasi, kecuali untuk kepentingan komersial.
DAFTAR ISI
BAB I. SEMANGAT PEMERATAAN AKSES INFORMASI DAN KOMUNIKASI Latar Belakang..................................................................................................................................
4
Rumusan Permasalahan..................................................................................................................
7
Tujuan Penelitian..............................................................................................................................
7
Metode Penelitian.............................................................................................................................
8
BAB II. LOMBOK TENGAH MASA KINI Letak, Luas dan Batas Wilayah.........................................................................................................
10
Demografi, Dinamika Sosial Ekonomi dan Desain Tata Ruang yang Bermasalah..............................
10
Teknologi dan Posisi Lombok dalam Kepentingan Arus Modal..........................................................
14
BAB III. WAJAH PLIK DAN MPLIK DI LOMBOK TENGAH Aroma Korupsi Proyek Teknologi......................................................................................................
20
Kordinasi Tanpa Perencanaan yang Berakhir Ricuh.........................................................................
22
Subsidi Listrik PLIK Hilang, Warga Patungan...................................................................................
24
Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Praya.....................................................................
25
Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Praya Tengah........................................................
28
Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Janapria................................................................
29
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan.....................................................................................................................................
32
Rekomendasi..................................................................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................
34
3
BAB I SEMANGAT PEMERATAAN AKSES INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Latar Belakang Komunikasi dan informasi menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang untuk dapat saling berinteraksi dengan orang lain, khususnya di era yang serba digital saat ini. Ketika teknologi belum berkembang seperti sekarang, kita berkomunikasi dengan orang lain melalui alat yang sederhana seperti gambar, isyarat, maupun tulisan. Dengan adanya kemajuan teknologi, kita mulai menggunakan surat, telepon, telepon genggam hingga internet. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memegang peranan penting dalam segala bidang, baik bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, politik, geografi, dll. Berbagai pihak seperti pemerintah, swasta, instansi pendidikan dan masyarakat telah menggunakan TIK untuk menunjang pemenuhan kebutuhan akan informasi dengan cepat dan mudah. Namun, pemenuhan kebutuhan akan informasi terkadang tidak diimbangi dengan pemerataan infrastruktur komunikasi dan informatika. Selama ini banyak dari warga Indonesia, terutama yang tinggal di wilayah-wilayah tertentu mengalami kesulitan dalam mengakses informasi karena adanya keterbatasan teknologi. Hal ini karena pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi hanya berpusat di kotakota, terutama di wilayah Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah berusaha mewujudkan pemerataan komunikasi dan informatika melalui program yang dibiayai oleh USO (Universal Service Obligation) atau Kewajiban Pelayanan Universal. USO merupakan bentuk kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan pelayanan publik bagi setiap warga negara, khususnya pelayanan telekomunikasi dan informatika. Dana USO didapatkan dari royalti perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia sebesar 1,25% dari penyelenggaraan telekomunikasi (pendapatan kotor) yang selanjutnya dialokasikan dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai implementasi program USO, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memberikan mandat kepada Badan Penyedia dan Pengelolaan Pembiayaan Telekomunikasi dan Informasi (BP3TI) untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan informasi di Indonesia. Diantaranya yaitu melalui program Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan program Mobile Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Program PLIK/MPLIK dilaksanakan Kemkominfo berdasarkan landasan hukum yaitu : 1.
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Pasal 2 dan Pasal 6) ;
2.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 32/PER/M. Kominfo/10/2008 tentang Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8) ; PP No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
3.
Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika (Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 13 beserta Lampirannya); Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 48 tahun 2009 tentang Penyediaan Jasa Akses
4.
4
Internet Pada Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi Intenet Kecamatan ; 5.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kominfo No. 48/Per/M.Kominfo/11/2009 tentang Penyediaan Jasa Akses Internet Pada Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi Intenet Kecamatan 1.
Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 20/PER/M.KOMINFO/ 12/2010 tentang Sistem Informasi Manajemen dan Monitoring Layanan Internet Kecamatan ; 2.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 ;
3.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 1 Tahun 2013 tentang Penyediaan Jasa Akses Internet pada Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi Internet Kecamatan (Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13) ;
Tujuan dari program PLIK adalah menyediakan akses layanan internet yang sehat, murah, dan aman di ibukota kecamatan. Untuk mendukung pelaksanaan program, disediakan sarana dan prasarana PLIK seperti akses internet, komputer, printer dan scanner, periperal jaringan, hingga keamanan jaringan. Selain melalui PLIK, kebutuhan internet kecamatan juga didukung MPLIK. Program ini merupakan layanan internet kecamatan yang bersifat bergerak sehingga bisa memenuhi kebutuhan informasi bagi kecamatan yang belum terjangkau. Implementasi program ini menggunakan model kontrak Nett Contract, yakni pemerintah membeli layanan dengan harga sebagian biaya produksi sesuai dengan estimasi besaran defisit. Melalui skema itu, risiko defisit dari penyelenggaraan menjadi tanggungan operator. Untuk kompensasinya, pendapatan operasi menjadi hak operator.1 Sejak mulai diluncurkan, perkembangan PLIK/MPLIK tidak terlalu menggembirakan. Banyak permasalahan yang muncul didalam pelaksanaannya, baik secara teknis maupun subtansial. Di Nusa Tenggara Barat, dari 125 PLIK hanya ada 28 persen yang berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukan dan syarat yang ditetapkan. Sebanyak 28 persen lainnya berfungsi setengah hati. Sementara sisanya 44 persen sama sekali tidak aktif.2 Beberapa persoalan yang muncul diantaranya yaitu kerusakan
peralatan setelah 2 minggu diserahkan, lambatnya operator dalam memperbaiki kerusakan, kehadiran MPLIK yang jarang muncul ke desa hingga komersialisasi PLIK/MPLIK. Tidak berbeda jauh dengan di Nusa Tenggara Barat, Komisi I DPR RI juga menemukan adanya persoalan dalam penyelenggaraan program PLIK/MPLIK. Pertama, pengelolaan PLIK/MPLIK 1. 2.
Lihat Ahmad Budiman “Pengawasan Program Internet Kecamatan�, Info Singkat ; Vol.V, No.13/I/P3DI/Juli/2013 http://programunggulan.ntbprov.go.id/kampungmedia/menu/cl/s
5
masih banyak masalah seperti terjadi kerusakan alat sejak alat tersebut diterima, pendistribusian MPLIK tidak sesuai target dan penempatan lokasi PLIK tidak sesuai dengan ketentuan. Kedua, kurangnya koordinasi dan sosialisasi program PLIK/MPLIK antara Kemkominfo, penyedia jasa, dan pemerintah daerah. Ketiga, model bisnis pengelolaan PLIK yang tidak jelas dan belum ada SOP pengawasan yang jelas sehingga pengawasan tidak bisa maksimal. Selain persoalan diatas, pengelolaan program PLIK/MPLIK bermasalah karena dari awal dianggap tidak memperhatikan pelibatan masyarakat lokal dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya. Masalah seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada PLIK/MPLIK, tetapi juga pada proyek-proyek sosial pemerintah lainnya. Rendahnya partisipasi masyarakat menyebabkan kegagalan proyek pemerintah sehingga tujuan untuk menyejahterakan masyarakat tidak tercapai. Hal inilah yang menyebabkan proyek-proyek tersebut terkesan menghambur-hamburkan anggaran negara hingga ditemukan adanya korupsi di dalamnya. Sebenarnya upaya untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi masyarakat tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh beberapa LSM. Salah satunya yaitu Combine Resources Insititution (COMBINE), yang berusaha membangun keterbukaan informasi sejak di tingkat desa melalui Sistem Informasi Desa (SID) dan radio komunitas di beberapa wilayah Indonesia. SID merupakan rangkaian dari beragam perangkat teknologi informasi dan aplikasi perangkat lunak yang dapat dioperasikan oleh perangkat desa untuk mendukung percepatan dan kualitas kerja pelayanan publik oleh perangkat desa kepada masyarakat desa setempat. Dengan adanya program PLIK/MPLIK, Sistem Informasi Desa, dan Radio Komunitas, persoalan pemerataan informasi dan komunikasi semestinya mendapatkan titik terang. Namun, selama ini program yang dijalankan oleh pemerintah, LSM maupun swasta masih berjalan sendirisendiri dan belum terintegrasi. Sehingga tujuan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan informasi untuk kesejahteraan masyarakat belum tercapai dengan maksimal. Di pihak lain, jika melihat perkembangan saat ini, TIK juga bukan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi tiap-tiap individu, komunitas warga dan kemajuan ilmu pengetahuan, melainkan juga berperan sebagai instrumen yang mempermudah sirkulasi dunia industri. Dalam studi kritis disebut sebagai “ alat� yang sering diboncengi untuk kepentingan pemilik modal. Dari pemikiran yang demikian, terkadang kita perlu meninjau ulang apakah maraknya wacana pemerataan insfrastruktur TIK yang didorong oleh negara saat ini 6
ditujukan untuk kepentingan yang demikian. Hal inilah yang mendasari perlunya suatu riset untuk mengkaji secara mendalam terhadap persoalan-persoalan tersebut, khususnya membaca bagaimana paradigma TIK ditempatkan, dipraktikkan dan diimplementasikan.
Rumusan Permasalahan Ketimpangan akses informasi di berbagai wilayah di Indonesia menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan sarana dan prasarana TIK. Upaya pemerintah menjawab ketimpangan akses informasi dengan menjalankan program PLIK/MPLIK belum menunjukkan hasil yang optimal. Bahkan ada kejanggalan dalam pelaksanaan program ini yaitu indikasi terjadinya korupsi program PLIK/MPLIK. Selain itu, hadirnya wacana pemerataan infrastruktur TIK yang ramai saat ini diperbincangkan dan dihadirkan oleh negara juga patut dipertanyakan. Apakah benar-benar ditujukan untuk mencapai kesejahteraan, atau ditempatkan dalam kepentingan yang lain. Oleh karena itu, untuk memecahkan persoalan-persoalan diatas, penting menjawab pertanyaan berikut : 1.
Bagaimana dinamika sosial ekonomi dan posisi teknologi dalam kontek ekspansi kapital di Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat?
2.
Bagaimana implementasi dari program PLIK/MPLIK di Kabupaten Lombok Tengah ?
3.
Bagaimana koordinasi antara stakeholder/pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyedia jasa masyarakat) dalam penerapan program PLIK/MPLIK ?
4.
Bagaimana strategi mengembangkan informasi dan komunikasi yang efektif untuk desadesa ?
Tujuan Penelitian Berangkat dari persoalan masih belum optimalnya implementasi dari program PLIK/MPLIK dan permasalahan-permasalahan di beberapa wilayah terkait maraknya wacana pemerataan infrastruktur TIK, maka penting
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai program
PLIK/MPLIK yang diselenggarakan oleh Kemkominfo. Maksud dan tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.
Mendapatkan gambaran bagaimana peran teknologi dalam dinamika sosial dan ekonomi, khususnya di Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
7
2.
Mendapatkan gambaran utuh mengenai implementasi dan kebermanfaatan program PLIK/MPLIK yang dijalankan Kemenkominfo sejak 2010, serta mendapatkan gambaran mengenai sebab mendasar kegagalan program tersebut.
3.
Mencari model pengembangan komunikasi dan informasi yang efektif untuk desa-desa yang belum terjangkau akses informasi sehingga program berjalan secara berkelanjutan.
4.
Menjadi bahan kajian dan masukan bagi institusi-institusi Pemerintahan Daerah dalam merancang suatu kebijakan.
Metode Penelitian Dalam memahami kelebihan dan kekurangan dari program PLIK/MPLIK yang telah dijalankan oleh Kemkominfo serta mencari model pengembangan komunikasi dan informasi yang lebih efektif, penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan ditempuh dengan penelitian literatur (desk study) dan penelitian lapangan (field study). Penelitian lapangan akan dilakukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Praya, Praya Tengah dan Janapria. Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu sebagai berikut : 1.
Observasi partisipatif. Metode ini sering disebut dengan pengamatan terlibat. Disini peneliti terlibat secara langsung dengan kegiatan sehari-hari masyarakat yang menjadi lokasi penelitian. Pengamatan terlibat bagi peneliti akan berguna untuk memahami keterkaitan persoalan-persoalan umum dan khusus yang ada di lingkungan desa penelitian. Pengamatan (observasi) ini akan berfokus pada kebutuhan informasi bagi masyarakat desa, pelaksanaan program PLIK/MPLIK di desa dan pelibatan masyarakat desa di dalamnya.
2.
Pengumpulan data dalam bentuk dokumen. Selanjutnya dalam tahap penelitian lapangan lanjutan, peneliti kembali melakukan pengumpulan dokumen-dokumen yang terkait dengan data kegiatan produksi, kesejarahan dan laporan berbagai institusi (Universitas, NGO, Pemerintah).
3.
Wawancara dan diskusi. Dalam rangka untuk mendapatkan perspektif yang mendalam dari sudut pandang masyarakat maka wawancara mendalam merupakan salah satu metode penting dalam penelitian ini. Wawancara secara mendalam akan dilakukan
8
dengan beberapa informan terpilih. Setiap desa, peneliti akan membagi informan menjadi tiga. Pertama, masyarakat pedesaan. Kedua, perangkat pemerintah. Ketiga yaitu pihak operator PLIK/MPLIK. 4.
FGD (Forum Group Discussion) ; Diskusi Kelompok. Peneliti akan melakukan diskusi dengan pemerintah daerah, pemerintah kecamatan, pemerintah desa dan masyarakat.
5.
Browsing dan clipping print. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kliping koran secara lengkap dengan penelusuran di internet. Cara ini bertujuan untuk menganalisa sejauh mana media mempublikasi persoalan-persoalan dan isu pokok di lokasi penelitian dilakukan. Sekaligus untuk melakukan pemetaan bagaimana posisi media dalam persoalan-persoalan tersebut.
Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, proses analisa data menggunakan teknik analisa data kualitatif yang terdiri dari beberapa tahapan. Pertama, data dikumpul dan diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang diteliti. Kedua, data dianalisis sesuai dengan gejalagejala atau obyek yang diteliti. Ketiga, data yang telah diamati kemudian diinterpretasikan sesuai dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian.
9
BAB II LOMBOK TENGAH MASA KINI Letak, Luas dan Batas Wilayah Terbentuknya kabupaten Lombok Tengah pada mulanya dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang mengatur tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini, Lombok Tengah adalah satu dari 10 Kabupaten/Kota yang terletak di wilayah administratif pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten ini secara geografis terletak pada posisi 116°05′ sampai 116°24′ Bujur Timur dan 8°24′ sampai 8°57′ Lintang Selatan. Adapun secara administrasi, Kabupaten Lombok Tengah memiliki batas-batas wilayah yang meliputi ; Pertama, di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Utara dan Gunung Rinjani. Kedua, di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Ketiga, di sebelah timur berbatasan dengan Lombok Timur dan Keempat, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat.3 Kabupaten yang beribukota Praya ini memiliki luas 1.208,39 km (120.839 ha) dan terbagi dalam 12 kecamatan, 139 desa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2013 berjumlah 875.231 jiwa. Secara tofografis, Lombok Tengah tidak jauh berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain yang berada di pulau Lombok. Wilayah, ketinggian dan karakteristiknya sangat beragam, mulai dari dataran rendah pesisir yang membentang di Selatan hingga dataran tinggi pegunungan di bagian Utara. Ketinggian rata-rata di wilayah ini dimulai dari 0 hingga 2000 meter diatas permukaan laut. Letaknya yang tepat di pinggiran cincin api dan gunung api menjadikan Lombok Tengah memiliki kelimpahan jenis tanah aluvial, regusol kelabu, kompleks gromusol kelabu tua, regusol coklat, brown forest soil dan mediteran coklat. Lombok Tengah menurut klasifikasi Schmid dan Ferguson memiliki iklim D dan E, berupa hujan tropis dan musim kemarau kering.4 Demografi, Dinamika Sosial Ekonomi dan Desain Tata Ruang yang Bermasalah Kabupaten Lombok Tengah merupakan wilayah yang areal lahannya dikategorikan sebagai wilayah pertanian, maka tidak heran jika jumlah penduduknya yang memilih berprofesi sebagai petani mencapai 72 persen. Sementara sisa lainnya meliputi jasa, industri, konstruksi, perdagangan dan lain-lain. Bagi sebagian petani berlahan sedang-besar, profesi yang mereka pilih memang menjanjikan kesejahteraan, namun hal itu tidak terjadi pada sebagian lainnya, terutama bagi petani berlahan sempit (gurem). Minimnya infrastruktur irigasi pertanian, lemahnya dukungan dari pemerintahan kabupaten-propinsi serta keterbatasan dan ketimpangan akses 3. 4.
Regionalinvestment.bkpm.go.id Tataruangntb.net
10
terhadap alat produksi (tanah) mendorong sebagian petani gurem meninggalkan pekerjaannya. Situasi ini terus mendorong meningkatnya jumlah penduduk miskin, bahkan pada tahun 2012 mencapai angka 146.031 jiwa.
5
Angka di wilayah ini juga tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain dalam lingkungan admisnistrasi Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan angka Rumah Tangga Pertanian (RTP) secara keseluruhan di NTB dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2003-2013) atau lebih tepatnya dimulai dari awal abad 21 mengalami penurunan yang cukup tajam. Jumlah RTP semula yang mencapai angka 719.875, berkurang menjadi 600.613 RTP dalam rentang waktu 1 dekade.
6
Sementara dalam jumlah angka 600.613 yang tersisa tersebut, 59,58 persennya (350.130 RTP) dikategorikan sebagai petani berlahan kecil (gurem ; dibawah 0,5 Ha). Di akhir tahun 2013, RTP gurem kembali menurun hingga 95.910 (21,50 persen). Sebaran petani gurem ini terdapat di 2 wilayah, pulau Sumbawa dan Lombok. Namun angka terbesarnya terdapat di Pulau Lombok, mencapai 278.931 RTP. Lombok Tengah dan Lombok Timur menempati peringkat teratas sebagai wilayah yang memiliki petani gurem terbesar, angkanya mencapai 111.590 RTP di Lombok Tengah dan 77.814 RTP di Lombok Timur. Situasi ironis ini terus memicu sebagian besar penduduk (keluarga petani gurem) Lombok Tengah, Lombok Timur dan daerah-daerah sekitarnya melakukan migrasi ke negeri seberang untuk menjadi buruh migran.7 Sehingga tidak kaget jika NTB masuk dalam 3 besar sebagai daerah pengirim buruh migran.
8
Di tengah badai angka kemiskinan yang tinggi tersebut, pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat mencoba mencari jalan keluar dengan cara mengubah wilayah-wilayah di pulau Sumbawa dan Lombok menjadi basis industri pertambangan dan pariwisata. Data Dinas
5. 6.
7.
8.
Data BPS 2012 menunjukkan angka jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lombok Tengah mencapai 16,71 persen. Artinya ada 119.262 RTP yang beralih profesi di luar pertanian. Hal ini belum ditambah dengan jumlah penurunan petani gurem yang mencapai angka 95.910 RTP. Jika ditotal maka jumlahnya : 119.262 + 95.910 = 215.172 RTP. BPS juga mencatat pada 2003-2013 terdapat penyusutan 5,04 juta keluarga tani di Indonesia. Yakni dari total 31,27 juta keluarga (sensus pertanian 2003), berkurang menjadi 26,13 juta keluarga. Artinya jumlah keluarga tani susut rata-rat 500.000 rumah tangga per tahun. Namun sebaliknya, di periode yang sama, perusahaan pertanian justru bertambah yakni sebanyak 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Pada umumnya penduduk Lombok Tengah yang menjadi buruh migran sebagian besarnya adalah perempuan. Jumlah penduduk perempuan Lombok Tengah menurut data BPS 2012 adalah 460.629 jiwa. Data Disnakertrans NTB menyebutkan pada Oktober tahun 2013 kembali memberangkatkan 38.441 Buruh Migran ke luar negeri. Namun di sisi lain, menurut Yayasan TIFA kondisi tersebut juga dihadapkan dengan realita banyaknya buruh migran asal NTB yang dideportasi, angkanya mencapai 1.792 orang pada Oktober tahun 2013 (38,5 % berasal dari Lombok Timur, 30,4 % Lombok Tengah, 16 % persen Lombok Barat dan sisanya 8,7 % berasal dari Sumbawa) ; Lihat Lombok Post, 4 Desember 2013.
11
Pertambangan dan Energi Propinsi NTB menyebutkan bahwa 56 persen dari luas daratan Pulau Sumbawa dan 10,8 persen pulau Lombok mengandung potensi mineral pertambangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Adapun jenis komoditas pertambangan tersebut adalah emas (Au), tembaga (Cu), perak (Ag), mangan (Mn), pasir besi dan bijih besi (Fe), timah hitam (Pb). Di tahun 2013 sedikitnya ada 241 izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan oleh Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati ataupun Walikota di wilayah Propinsi NTB. Wilayah operasinya paling besar berada di pulau Sumbawa, yaitu 223 IUP dan 18 sisanya berada di pulau Lombok. Hal itu belum termasuk 2 izin pertambangan skala besar dalam bentuk Kontrak Karya (KK) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk penambangan emas dan mineral lainnya di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa serta PT Sumbawa Timur Mining (STM) di Kabupaten Dompu dan Bima. Rencana tersebut sebenarnya sudah terlihat jelas saat Pemerintahan Propinsi NTB pada tahun 2011 mengajukan usul penetapan Wilayah Pertambangan (WP) kepada Kementerian ESDM dengan mengacu pada PP Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan. Pemerintahan Propinsi NTB mengajukan perencanaan luas WP seluas 891.590 Hektare, atau 44,24 persen dari luas total daratan NTB. Angka fantastis pengalihan lahan inilah yang pada akhirnya memicu konflik agraria dan berujung pada konflik sosial di hampir seluruh wilayah NTB, khususnya di daerah-daerah yang masuk dalam kawasan IUP.9 Grafik Dinamika Agraria di NTB
Sumber : Diolah Dari Hasil Penelitian
9.
Dari hasil pengumpulan data oleh penulis, menunjukkan bahwa selama era berlakunya otonomi daerah telah memicu meningkatnya konflik agraria di hampir seluruh wilayah Indonesia, salah satunya adalah NTB. Jumlah IUP terlihat meningkat secara drastis pasca pemilihan kepala-kepala daerah di wilayah NTB. Dan tidak kurang 1 dekade pasca berlakunya otonomi daerah, konflik-konflik agraria marak terjadi di wilayah NTB, khususnya pulau Sumbawa. Lihat Insiden Bima Berdarah ; Desember 2011, KLU, Lombok Timur, Dompu, dll.
12
Selain industri pertambangan, sektor industri pariwisata juga membawa pengaruh yang cukup besar terhadap penyingkiran komunitas-komunitas warga. Walaupun tidak sebesar dampak yang ditimbulkan oleh konflik agraria yang berbasis pertambangan namun juga tidak sedikit komunitas warga ikut menjadi korban dari kejahatan industri-korporasi pariwisata. Seperti yang terjadi dalam kasus Mandalika Resort di Lombok Tengah. Kawasan ini merupakan wilayah yang dianggap cukup strategis dalam pengembangan industri pariwisata dan luas lahannya mencapai 1.250 ha, mencakup 4 desa. Sejak pendiriannya, kawasan ini beberapa kali menuai protes dari warga, mulai dari tahun 1998-1999 saat dikuasai PT. LTDC (Lombok Tourism Development Corporation) hingga tahun 2012 saat dikuasai PT. Emmar. Karena diterjang konflik berulang kali, akhirnya Pemerintah Daerah mengalihkan hak penggunaan lahannya kepada PT. BTDC (Bali Tourism Development Corporation), sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pariwisata. Tidak tanggung-tanggung PT. BTDC bahkan ditunjuk langsung oleh SBY untuk mengelola kawasan tersebut.
10
Sejauh ini telah ada 7 (tujuh) perusahaan yang telah
menandatangani MoU dengan PT. BTDC, adapun ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Gobel Internasional, PT. MNC Land (MNC Group), Club Mediteranee, PT. Canvas Development (Rajawali Group), Australia Cube's Hotel, PT. Wahana Karaya Suplaindo, dan PT. Yonashindo Intra Pratama.11 Walaupun demikian, hingga kini rencana pengembangan wisata di kawasan tersebut terus mendapatkan perlawanan dari warga. Bahkan menurut Lukman Hakim, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) NTB, PT. BTDC telah berulang kali melakukan provokasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak proyek pengembangan wisata Mandalika Resort. Ia menambahkan PT BTDC juga dengan sengaja mendorong konflik yang terjadi menjadi konflik horizontal, warga dihadapkan dengan milisi sipil yang diorganisir untuk kepentingan Mandalika Resort.12
10. 4 Desa tersebut adalah Desa Kute (dusun Kute, Bunut, Ujung), Sengkol (dusun Grupuk dan Aan), Mertak (dusun Kliuh, Sekembang, Sereneng), Sukedane (dusun Patiwong). 11. Lihat Artikel Lukmanul Hakim, Ketua SPI NTB “Perampasan dan Monopoli Tanah, Problem Pokok Rakyat Indonesia, Tidak Terkecuali Bagi Rakyat Nusa Tenggara Barat”, 2013. 12. Warga yang tergabung dalam “Bersama untuk Keadilan Agraria” melakukan aksi demontrasi pada tanggal 5 Februari 2014 di depan kantor Gubernur NTB. Mereka menuntut agar pemerintah menghentikan proyek pembangunan Mandalika Resort.
13
Peta Masterplan Mandalika Resort
Sumber : www.mandalikaresortlombok.com
Sebagai kabupaten dengan Pandapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak lebih dari Rp 95 miliar pada tahun 2013, pemerintah Lombok Tengah dituntut harus semakin bekerja keras untuk meningkatkan pendapatannya. Diantaranya adalah harus memilih untuk mengembangkan industri pariwisata atau pertambangan. Hal ini didasari oleh begitu besarnya potensi pariwisata dan pertambangan yang terdapat di Lombok Tengah. Di sektor pariwisata misalnya, Lombok Tengah memiliki lokasi-lokasi yang dianggap cukup strategis sebagai ladang komoditas baru, khususnya hamparan pantai pasir putih yang membentang di bagian selatan. Begitu juga dengan sektor pertambangan, setidaknya di kabupaten ini terdapat kandungan mineral emas dan timah hitam yang sebagian telah ditambang dalam skala kecil-sedang. Namun tidaklah mungkin, dua sektor tersebut dipilih sekaligus di satu tempat yang sama. Karena industri pertambangan tidaklah pernah akan bisa sejajar dikembangkan dengan industri pariwisata, yang keduanya memiliki sifat saling berlawanan. Melihat hal ini, pemerintah Lombok Tengah dihadapkan pada suatu kondisi yang dilematis, harus memilih salah satunya. Memilih yang keduanya sama-sama memiliki ongkos konflik sosial yang tinggi, dimana hal ini akan berbeda jika diawal lebih memilih mengembangkan sektor pertanian. Desain tata ruang dan wilayah Lombok Tengah diuji untuk mampu atau tidak menghadirkan suatu konsep yang berazaskan pada desain ekonomi yang berkelanjutan, tentunya dengan nilai-nilai yang berbasis pada prinsip-prinsip ekologis dan pro terhadap ekonomi rakyat. Teknologi dan Posisi Lombok dalam Kepentingan Arus Modal Pada tanggal 20 Mei 2011 lalu, Pemerintah Republik Indonesia, menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32. Perpres ini merupakan suatu dokumen besar terkait dengan rencana dan arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun 2025. Dokumen ini disebut sebagai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Di dalam dokumen MP3EI tersebut, Pemerintah RI meyakini akan mampu meningkatkan pendapatan perkapita antara USD 14.250-USD 15.500 dan menghantarkan Indonesia sebagai
14
negara maju pada tahun 2025.13 Angka yang fantastis ini akan diwujudkan oleh pemerintah RI dengan 3 misi yang menjadi fokus utamanya, yaitu : Pertama, Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar- kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua, Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. Ketiga, Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.14 Di dalam praktiknya, MP3EI akan berfokus pada 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika dan pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut selanjutnya dibagi menjadi 22 kegiatan ekonomi utama. Pemerintah menggunakan strategi dan istilah “koridor ekonomi� dalam percepatan dan perluasan ekonomi yang dimaksud dalam MP3EI ini, tujuannya adalah tidak lain untuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang telah ada maupun baru. Setiap wilayah yang ada di Indonesia dikategorisasi sesuai dengan potensi dan keunggulan masing-masing daerah, baik lewat klaster industri ataupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sumber gambar : Lampiran Perpres Nomor 32 Tahun 2011
Jika merujuk pada dokumen lampiran PerPres 32 Tahun 2011, maka dapat ditemukan di dalam Bab III tentang pembagian wilayah Indonesia yang dibagi menjadi 6 koridor ekonomi dan tiap-tiap koridor memiliki skema orientasi pembangunan berupa : Pertama, Koridor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi 13. Lihat Hal. 2 Lampiran PerPres 32 tahun 2011 14. Lihat Hal.2 Lampiran Perpres 32 tahun 2011
15
dan Lumbung Energi Nasional”. Kedua, Koridor Ekonomi Jawa memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”. Ketiga, Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”. Keempat, Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai „‟ Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional. Kelima, Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai „‟Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional‟‟. Keenam, Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”. Peta Kegiatan-kegiatan ekonomi utama dari masing-masing koridor
Sumber : Bab III Lampiran PerPres No 32 Tahun 2011
Nusa Tenggara Barat, yang di dalam koridor V ini satu wilayah dengan Bali dan Nusa Tenggara Timur disebut sebagai wilayah yang akan difokuskan pada pengembangan pariwisata, pangan dan perikanan. Walaupun di dalam kenyataannya industri pertambangan juga cukup besar beroperasi di wilayah ini. Dalam rangka pengembangan dan percepatan kegiatan-kegiatan ekonomi utama di koridor ini, pembangunan infrastruktur pendukung menjadi bagian yang tak terelakkan. Setidaknya ada beberapa pembangunan infrastruktur yang ditargetkan harus selesai pada tahun 2019, diantaranya adalah : Penyelenggaran perkeretaapian di Bali untuk pariwisata, pembangunan jalan Nasional Ende-Maumere, jalan strategis Nasional Mapaganda-Maumere, pengembangan bandara Ngurah Rai, pembangunan PLTU NTT Kupang, PLTU NTT Ende, penambahan armada kapal ferry Ketapang-Gilimanuk, penambahan armada kapal ferry LembarPadang Bay dan pengoperasian Bandara Internasional Lombok.15 15.
16
Lihat Bab V Lampiran PerPres 32 Tahun 2011. Pasca beroperasinya Bandara Internasional Lombok (BIL), jumlah maskapai yang melayani rute Lombok bertambah dari 8 menjadi 11 maskapai. Dan yang semula hanya 26 penerbangan, kini menjadi 38 kali penerbangan perhari.
Desain pembangunan yang termaktub di dalam MP3EI tentunya tidak dapat dikatakan sebagai proyek ekonomi skala ukuran sedang, melainkan merupakan suatu mega proyek raksasa yang akan menyedot nilai investasi dalam skala besar dan mendorong keterlibatan korporasikorporasi nasional dan internasional. Pada tahun 2014, proyek investasinya diperkirakan telah mencapai Rp 2.000 triliun rupiah. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yang pada tahun 2011 dan 2012 hanya sebesar Rp 500 triliun rupiah.16 Melihat situasi ini, jelas bahwa Lombok ke depan akan difokuskan pada pengembangan kegiatan ekonomi di bidang pariwisata, berbeda dengan Sumbawa yang lebih didorong pada kegiatan ekonomi pertambangan. Seiring dengan hal tersebut, proses pembangunan di tiap-tiap koridor yang telah disebutkan di atas pastinya akan dihadapkan dengan beberapa tantangan serius berupa (i) meluasnya konflik agraria akibat dari kebutuhan lahan yang dibutuhkan di dalam pembangunan infrastruktur (ii) menurunnya jumlah rumah tangga pertanian karena semakin menyempitnya luas lahan (iii) meningkatnya krisis ekologis, serta (iv) meningkatnya perilaku konsumeristik akibat tercerabut dari wilayah tradisionalnya. Di lain pihak, suksesnya Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang dimaksud dalam semangat MP3EI ini juga sangat tergantung pada kekuatan konektivitas nasional. Konektivitas yang dimaksud adalah Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan Wilayah (RPJMN/RTRWN), dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Keempatnya merupakan pendukung utama untuk merealisasikan konektivitas ekonomi nasional dan internasional sekaligus mendorong efektivitas modal dari setiap transaksi ekonomi yang berada di setiap koridor. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa posisi teknologi di dalam skema ekonomi ini berada dalam peran yang ikut dan turut serta membantu kelancaran sirkuit arus kapital. Tidak mengherankan jika negara, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang juga merupakan salah satu anggota Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) mendesain program yang di dalamnya berbau kepentingan MP3EI.17
16. Lihat Pernyataan Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa saat Rapat Kordinasi MP3EI di Manado, infonya lihat di website sekretariat kabinet : www.setkab.go.id. 17. Lihat juga Laporan Tahunan Kemkominfo 2011. Pada halaman 24 dijelaskan bahwa tujuan utama Penguatan Konektivitas Nasional dalam kepentingan MP3EI adalah : memastikan tersedianya dukungan konektivitas yang dibutuhkan bagi investasi kegiatan usaha di berbagai koridor, tercapainya mobilisasi, dan terwujudnya Indonesia yang “locally integrated, globally connected�.
17
Sumber gambar : Indonesia “Bridging Digital Creativity Potentials and Connectivity Challenges”, Prof. Dr. Ing. Kalamullah Ramli, Senior Advisor to the Minister Ministry of Communiction and Information Technology
Program dan proyek tersebut dapat terlihat di Kominfo dengan berbagai nama, seperti : Desa Berdering, Desa Pinter, Radio Komunitas, PLIK dan MPLIK. Pembiayaan dari programprogram ini berasal dari USO (Universal Service Obligation), suatu program penyediaan jasa akses telekomunikasi dan informatika pedesaan yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor. 32 tahun 2008. Dana program USO dipungut oleh BP3TI dari operator telekomunikasi sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Istilah USO ini tidak bisa dilepaskan dari redefinisi atas konsep “universal service” yang pada mulanya berlaku di negara-negara maju yang diartikan tiap-tiap rumah tangga memiliki saluran telekomunikasi (telepon) tetap. Selanjutnya di negara-negara berkembang disesuaikan menjadi “universal access”, dimana diartikan menjadi setiap komunitas berhak mendapatkankan akses terhadap telepon publik. Namun konsep keduanya, bukanlah hanya bertujuan untuk memberikan pelayanan telekomunikasi semata, namun juga diperuntukkan meningkatkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara dimana konsep itu berada. Bila melihat sejarah perkembangannya, hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari komitmen Deklarasi Tokyo (2000), Geneva (2003), Tunisia (2005) yang sering disebut dengan “World Summit on Information Society”. Pertemuan-pertemuan tersebut yang menjadi dasar lahirnya USO di Indonesia lewat “National Summit 2009” yang oleh Presiden SBY dicita-citakan menjadi “Indonesia Connected”.
18
Sumber gambar : Indonesia “Bridging Digital Creativity Potentials and Connectivity Challenges�, Prof. Dr. Ing. Kalamullah Ramli, Senior Advisor to the Minister Ministry of Communiction and Information Technology
Dari paparan diatas, didapatkan suatu gambaran bagaimana teknologi memiliki kepentingan tertentu untuk mendorong percepatan modal dalam sirkuit ekonomi neoliberal. Walaupun demikian, bukan berarti proyek-proyek yang mereka jalankan lewat berbagai agen negara (Kominfo) ataupun LSM berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Bahkan terkadang syarat dengan nilai-nilai korupsi. Hal ini dapat kita lihat pada bab selanjutnya yang akan mengulas bagaimana salah satu program mereka dipraktikkan di lapangan.
19
BAB III WAJAH PLIK DAN MPLIK DI LOMBOK TENGAH
Aroma Korupsi Proyek Teknologi Tahun 2013 adalah tahun yang sebelumnya mungkin tidak pernah diduga oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo). Pasalnya, di tahun ini, salah satu pejabat tinggi di Kementerian tersebut diseret menjadi tersangka kasus korupsi salah satu proyek yang bersumber dari dana USO. Pejabat yang dimaksud adalah Santoso, bertugas sebagai Kepala Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI).18 Santoso terseret dalam pusaran kasus proyek Pusat Layanan Informasi Kecamatan (PLIK) dan MobilePusat Pelayanan Informasi Kecamatan (MPLIK) yang total anggarannya mencapai Rp 2,9 triliun. Anggaran ini awalnya akan digunakan untuk membiayai program PLIK dan MPLIK selama kurun waktu 2010-2014.19 Mencuatnya kasus ini bermula saat Komisi I DPR RI pada April 2013 meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif terhadap proyek PLIK dan MPLIK. Sebelum melakukan permintaan kepada BPK, Komisi I telah membentuk Panja PLIK dan MPLIK berdasarkan Keputusan Rapat Intern 7 Januari 2013, yang kemudian diberikan tugas spesifik untuk membahas dugaan penyimpangan yang terjadi. Tim Panja ini selanjutnya menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemkominfo, Kepala BP3TI, Dewas BP3TI dan para perusahaan pemenang lelang proyek PLIK dan MPLIK. Tidak berhenti di situ, Tim Panja juga bergerak melakukan pemeriksaan lapangan di 6 propinsi yang berbeda. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Panja, ditemukan beberapa temuan yang cukup mengagetkan, di antaranya adalah : 1) program PLIK/MPLIK tidak mengacu pada perencanaan yang dijalankan, 2) penggunaan model kerja sama Nett Contract tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, 3) lokasi PLIK tidak ditempatkan di daerah yang ditentukan, 4) sebagian kondisi peralatan tidak berjalan dengan baik, 5) tidak jelasnya pola hubungan dan kerja sama dengan pemerintah setempat.
20
Dengan temuan tersebut, Komisi I DPR RI mengundang Kemkominfo untuk mengadakan rapat kerja pada tanggal 18 Maret 2013, dan selanjutnya hasil temuan yang ada diserahkan kepada BPK untuk ditindaklanjuti. 18. Pada 26 Juli 2013, Kejagung selain telah menetapkan Santoso (Kepala BP3TI) sebagai tersangka juga menetapkan tersangka lainnya, yaitu Dodi N Achmad (Dirut PT Multidana Rencana Prima). Di hari yang sama, Kejagung juga memanggil saksi lainnya yang berasal dari BP3TI, yaitu Bendahara BP3TI dan Kasi Operasi dan Monitoring BP3TI. Lihat beritanya di Republika (www.republika.co.id), Selasa 27 Agustus 2013. 19. Total nilai Kontrak Multi Years PLIK dan MPLIK selama 4 tahun, adalah PLIK sebesar Rp. 1.409.890.575.748,- dan MPLIK sebesar Rp. 1.592.276.923.878,-. 20. Lihat Ahmad Budiman “Pengawasan Program Internet Kecamatan�, Info Singkat ; Vol.V, No.13/I/P3DI/Juli/2013
20
Hasil audit BPK direspon oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan menetapkan beberapa orang menjadi tersangka, termasuk Ketua BP3TI dan salah satu pimpinan perusahaan yang memenangkan tender. Di pihak lain, Komisi I juga melakukan moratorium terhadap proyek ini, dampaknya adalah pembayaran kepada perusahaan pengelola PLIK dan MPLIK menjadi tertunda dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Akibatnya, banyak perusahaan pengelola proyek yang bekerja keras untuk menutupi biaya operasional lapangan, bahkan tidak malu-malu untuk mengubah fungsi MPLIK menjadi tempat pembayaran listrik. Peristiwa tersebut dapat ditemui di salah satu sudut kota Praya, ibukota Kabupaten Lombok Tengah pada 25 Februari 2014. PLIK dan MPLIK merupakan salah satu bagian dari beberapa program Desa Informasi yang ditujukan sebagai infrastruktur Jaring Pengaman Informasi. Program ini dikelola oleh Kemkominfo dengan prioritas desa-desa terluar dan perbatasan. Lokasi programnya meliputi hampir di seluruh wilayah kecamatan Indonesia. Jumlah keseluruhan PLIK adalah 5.748 titik, sementara MPLIK sebanyak 1.907 unit. Perusahaan pemenang tender proyek ini adalah : PT. Telkom, PT. Jastrindo Dinamika, PT. Sarana Insan Muda Selaras, PT. Aplikanusa Lintasarta, PT. Radnet, PT. Multidata Rancana Prima dan PT. Jogja Digital.21 Di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), jumlah keseluruhan fasilitas PLIK yang terpasang di berbagai kecamatan adalah 125 titik. Sementara untuk MPLIK terdapat 40 unit. Keduanya ini dimenangi oleh perusahaan yang berbeda. Proyek PLIK di NTB dimenangkan oleh PT. Aplikanusa Lintasarta dan MPLIK oleh PT. Jogja Digital.22 Adapun insfrastruktur serta sarana dan prasarana pendukung PLIK adalah : 1) Akses internet, uplink 128 kbps dan downlink 256 kbps, 2) Perangkat dan Sarana pendukung berupa : 1 komputer server dan 5 personal komputer sebagai Client, printer dan scanner, periperal jaringan, mebel untuk komputer, rambu penunjuk lokasi, catudaya, back up catudaya, operating system untuk PC sebagai client dan server, keamanan jaringan dan daftar tarif. Sedangkan infrastruktur dan sarana pendukung MPLIK adalah : 1) Kendaraan Moda Transportasi Darat, 2) Komputer yang terdiri dari : 1 kompuer server, 6 personal komputer berupa laptop sebagai client, system operasi berlisensi untuk server dan client minimal dua berbasis open sources, billing system, 3) Satu perangkat yang berfungsi routing, 4) Satu switch hub 8 port dan satu wireless access point, 5) Satu perangkat media transmisi, 6) Catudaya, 7) Satu Generator Listrik, 8) Satu UPS 1500 KVA, 9) Satu layar LCD TV 32 Inchi, 10) Satu DVD Player dan home theatre system, 11) Satu pengeras suara, 12) Satu GPS, 13) Satu rambu penunjuk lokasi fasilitas MPLIK, 14) Meubeler yang berupa meja dan kursi untuk server dan client.
23
21. Lihat Beriantho Herlambang “Implementation of USO Program in Indonesia�, BP3TI dan ADB, 2011. 22. PT. Aplikanusa Lintasarta selain memenangkan proyek PLIK di paket 7 (Bali, NTB, NTT) juga memenangkan di paket 8 (Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim) dan paket 9 (Maluku, Malut, Papua Barat, Papua). PT. Jogja Digital juga memenangkan 3 paket proyek MPLIK yang tersebar di (Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB). 23. Lihat Annual Report, Kemkominfo, 2011.
21
Kordinasi Tanpa Perencanaan yang Berakhir Ricuh Lombok Tengah adalah kabupaten yang sangat cukup sakral dalam pengembangan infrastruktur Jaring Pengaman Informasi yang dikembangkan oleh Kemkominfo. Di tempat inilah, tepatnya di Desa Janapria, Kecamatan Janapria, pada tanggal 12 Desember 2011 diresmikan program “Desa Informasi” yang langsung dihadiri oleh Tifatul Sembiring selaku Menkominfo. Paket program ini termasuk PLIK, MPLIK dan pengembangan radio komunitas. Dari sebaran 125 titik PLIK di NTB, Kabupaten Lombok Tengah mendapatkan 16 perangkat PLIK dan 4 unit MPLIK. Tiap-tiap kecamatan mendapatkan satu perangkat PLIK, namun ada juga yang mendapatkan 2 perangkat karena jumlah kecamatan di kabupaten ini hanyalah 12. Sementara MPLIK, setiap unitnya melayani 3 kecamatan secara bergantian. Di dalam praktiknya penempatan PLIK di Lombok Tengah telah menuai banyak kritik, hal ini saat 13 titik PLIK ditempatkan di sekolah, dan 3 sisanya berada di tempat umum. Penempatan ini kerap berakhir tidak efektif dikarenakan hampir tiap sekolah memiliki laboratorium komputer dan internet yang lebih memadai dan memiliki koneksi di atas 256 Kbpps. Tidak menjadi pemandangan aneh, jika melihat banyak lokasi PLIK tidak banyak dikunjungi oleh para siswa ataupun warga. Koneksi lambat menjadi alasan utama bagi mereka untuk tidak mengunjungi fasilitas PLIK, apalagi jika kecamatan tersebut memiliki warung internet. Selain itu bagi warga, lokasi PLIK yang berada di sekolah juga menjadi faktor penting memberikan kesan bahwa fasilitas PLIK tidaklah untuk umum. Fakta pelik ini juga dibenarkan oleh Dinas Perhubungan dan Infokom Kabupaten Lombok Tengah. Rachman, selaku Kasi Frekuensi Dinas Infokom Lombok Tengah berkomentar bahwa ia banyak menemukan kejanggalan di lapangan. Di antaranya ia menemukan banyak perangkat PLIK yang telah rusak, dan saat diajukan untuk dilakukan perbaikan kepada pihak pengelola, membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum lagi penempatan PLIK yang menurutnya juga tidak tepat sasaran. Ia menambahkan bahwa idealnya PLIK ditempatkan tidak di ibukota kecamatan, melainkan di wilayah pedesaan yang belum terjangkau oleh internet, sehingga pemerataan infrastruktur TIK yang dicita-citakan menjadi tercapai. Namun situasi tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Lombok Tengah, 16 PLIK yang ada ditempatkan di ibukota Kecamatan. Di sisi manajemen yang buruk juga membawa akibat-akibat disfungsi bagi program ini, seperti apa yang dicontohkan oleh Rahman tentang PLIK di Kecamatan Praya “PLIK di Praya pada mulanya memang ditempatkan di tempat umum, namun itu hanya bertahan beberapa bulan, selanjutnya sudah tidak berfungsi dan dipindahkan ke Madrasah yang mau merawatnya”. Saat ditanya mengapa tidak berfungsi, tidak lain adalah disebabkan oleh lemahnya koneksi yang 24
dimiliki PLIK.
24. Wawancara, 24 Pebruari 2014
22
Bagi Dinas Infokom Kabupaten Lombok Tengah, situasi ini akan berbeda jika dari awal penempatan lokasi PLIK dan MPLIK direncanakan secara matang dan melibatkan unsur Pemerintah Daerah serta perwakilan masyarakat secara luas. Namun sepertinya hal ini tidak seperti apa yang diharapkan oleh Dinas Infokom Loteng, faktanya adalah di dalam program ini posisi Dinas Infokom Kabupaten tidak lain hanyalah ditempatkan sebagai penonton pasif, dan tidak memiliki wewenang penuh untuk melakukan kontrol atapun memberikan masukan. Posisi ini dapat kita temui dalam dokumen “Hubungan Penyedia Jasa, Mitra Penyedia Jasa dan Pemerintah Daerah�. Di dalam dokumen tersebut disebutkan dalam bagian 1 bahwa peran Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak karya hanya sebatas pada saat menyaksikan penyerahan layanan MPLIK kepada mitra dari Penyedia Jasa yang dibuktikan pembubuhan tanda tangan aparat yang menjadi saksi pada saat serah terima. Dalam point selanjutnya di bagian “Penentuan Utama Lokasi MPLIK� juga disebutkan bahwa penentuan penempatan lokasi MPLIK menjadi kewenangan dari Penyedia Jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak. Akibat yang ditimbulkan dari point-point tersebut pastinya tidak memberikan ruang apapun bagi Pemda untuk dapat memberikan masukan ataupun peran-peran strategis. Bahkan sama sekali tidak memiliki hak untuk mendapatkan laporan rutin tahunan. Sehingga dalam situasi ini tidak berlebihan jika Rahman sekali lagi memberikan kesimpulan bahwa di dalam program PLIK dan MPLIK, Dinas Infokom Daerah sengaja diamputasi agar menutupi kelemahan dan kecurangan yang terjadi.25 Pendapat yang sama juga muncul dari Pusat Data Elektronik (PDE) Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Tengah. Institusi yang memiliki wewenang dan Tupoksi di bidang IT ini berkomentar bahwa selama adanya program PLIK dan MPLIK, pihak pengelola sama sekali tidak pernah berkordinasi dengan PDE, padahal pemerintah kabupaten sudah membangun jaringan internet di beberapa kecamatan. Menurut PDE, bila sejak awal kordinasi dilakukan dengan baik, setidaknya bisa dilakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan PLIK dan MPLIK di lokasi yang telah ditentukan. Senada dengan pernyataan tersebut, ketidakjelasan kordinasi dalam tata kelola program ini juga dirasakan oleh Camat Praya. Ia mengatakan bahwa selama adanya program PLIK, dirinya hanya mengetahui saat launching perdana PLIK. Selebihnya ia tidak pernah tahu lagi bagaimana kelanjutan PLIK di kecamatan Praya. Penyebabnya tidak lain adalah tidak adanya laporan ataupun mekanisme-prosedur yang mengatur pertemuan rutin antara pihak perusahaan pengelola dengan pihak kecamatan untuk membahas bagaimana tata kelola terkait program tersebut. Bahkan ironisnya, pihak kecamatan tidak mengetahui dimana posisi PLIK berada. Ia berharap agar untuk kedepan, Kemkominfo memiliki skema pelibatan dan kerjasama yang jelas kepada pihak kecamatan agar program yang ditujukan menjadi lebih tepat sasaran.26 25. Lihat Dokumen yang dicetak oleh PT. Jogja Digital selaku pemenang tender MPLIK di NTB. 26. Wawancara 3 Maret 2014
23
Hal itu juga diamini oleh Camat Praya Tengah, Sahri. Ia mengaku tidak tahu banyak tentang program PLIK/MPLIK yang ada di wilayahnya. Menurutnya, hal itu karena tidak adanya kewajiban koordinasi, baik Kemenkominfo atau pun penyedia jasa, dengan pihak kecamatan. Bahkan, sejak pertama kali PLIK masuk di kecamatan tersebut pada 2011, operator MPLIK hanya sekali memberikan laporan kegiatan kepada camat.27 Subsidi Listrik PLIK Hilang, Warga Patungan Selain dihadapkan dengan persoalan lemahnya koneksi yang ada, perangkat PLIK juga memiliki persoalan lain yang tidak kalah penting, yaitu akses listrik. Di dalam perencanaan awal, para pihak penerima perangkat PLIK ini mengaku akan diberikan hak berupa subsidi listrik berkisar 350 ribu rupiah tiap bulannya. Subsisi ini untuk menjamin keberlangsungan perangkat PLIK agar tetap dapat beroperasi. Namun dalam temuan lapangan selama riset ini dilakukan, telah ditemukan di empat tempat PLIK berada, para pengelolanya sama sekali tidak pernah mendapatkan subsidi listrik yang telah dijanjkan. Keempat tempat tersebut adalah SMA Negeri 1 Praya, Yayasan Perguruan Hannaniyah Praya, Bagek Rende Praya Tengah dan SMP Negeri 1 Janapria. Ketut, Ka. Bagian Pengadaan Sarana dan Prasarana SMA 1 Praya, mengatakan bahwa ia sama sekali tidak pernah mendapatkan subsidi listrik yang telah dijanjikan. Prasyarat untuk mengirimkan nomor rekening sudah ia lakukan, namun subsidi yang dijanjikan tidak pernah kunjung datang. Begitu juga dengan pengakuan Herman dan Hayun, guru di Yayasan Hannaniyah Praya yang mengelola PLIK. Pihak Hannaniyah tiap bulannya harus mengeluarkan 300-350 ribu rupiah untuk kebutuhan pembayaran listrik PLIK. Walaupun merasa terbebani tapi di sisi lain mereka mengaku sangat membutuhkan internet, dan itupun kadang tidak sebanding dengan koneksi yang dihasilkan oleh PLIK.28 Situasi ironis ini juga tidak jauh berbeda dengan keberadaan PLIK di Kecamatan Praya Tengah yang dikelola oleh Topan dirumahnya. Pembiayaan listrik PLIK di tempatnya ia dapatkan secara sukarela dari pengunjung yang datang. Ia tidak mengharuskan pengunjung untuk membayar, namun terkadang ada saja yang secara sukarela memberikan uang dengan jumlah yang variatif untuk membantunya dalam pembayaran listrik. Ahmad Junaidi, guru yang diberikan tugas untuk mengelola PLIK di SMPN 1 Kecamatan Janapria berkomentar serupa. Hingga tahun 2014, pihaknya sama sekali tidak pernah mendapatkan subsidi yang dijanjikan. Situasi ini tentunya dapat memberikan gambaran bahwa ada indikasi korupsi dalam jumlah yang tidak kecil di sektor subsidi listrik PLIK, sekaligus memperlihatkan buruknya tata kelola program 27. Wawancara dengan Sahri (Camat Praya Tengah), 3 Maret 2014 28. Wawancara 25 Februari 2014
24
yang diklaim Kemkominfo telah berhasil mendorong pemerataan dan kesenjangan infrastruktur TIK di Indonesia. Contoh lain dari buruknya tata kelola program Desa Informasi yang dikelola oleh Kemkominfo di Lombok Tengah adalah program Desa Berdering, program layanan telepon dasar dan SMS yang ditujukan untuk membuka aksesbilitas komunikasi dan informasi didaerah terpencil dengan harga yang terjangkau. Dalam praktiknya, banyak telepon yang diberikan kepada tiap-tiap kepala desa dalam kondisi yang sudah rusak. Peristiwa ini dapat kita temui dari pengalaman Suharman Ka. Desa Darmaji, Kecamatan Kopang. Sementara Ka. Desa Peresak, Kecamatan Batukliang juga mengalami pengalaman buruk yang sama, yaitu subsidi pulsa untuk telepon Desa Berdering yang dipegangnya sudah 6 bulan tidak pernah masuk. Anehnya untuk mendapatkan pengisian pulsa tersebut ia dianjurkan untuk memancingnya dengan mengisi pulsa 5 ribu rupiah. Terkait dengan kasus ini, Rahman selaku Kasi Frekuensi Infokom Lombok Tengah membenarkan peristiwa tersebut, dan berkomentar bahwa hampir semua program dari Kemkominfo memang banyak yang tidak layak. Kasus telepon Desa Berdering misalnya ia memberikan tanggapan “setiap desa memang diberikan satu telepon dengan subsidi pulsa tiap bulan dari Kemkominfo, tapi pada bulan ketiga pulsa yang dijanjikan tidak pernah masuk lagi dan selanjutnya yang terjadi adalah telepon tersebut menjadi barang rongsokan�. Meski berbagai permasalahan itu boleh dikatakan terjadi di level elit, masyarakat yang sejatinya menjadi penerima manfaat, pun terkena imbasnya. Misalnya, seperti yang sudah sedikit disinggung, ketika korupsi melanda jajaran elit, warga mau tidak mau harus bertahan dengan berbagai cara, patungan biaya listrik salah satunya. Pada sub-bab berikutnya akan dipaparkan temuan-temuan di 3 kecamatan yang menjadi sasaran penelitian, yakni: Kecamatan Praya Tengah, Kecamatan Praya, dan Kecamatan Janapria. Lokasi-lokasi ini menjadi penting untuk ditinjau karena Janapria merupakan lokasi launching program PLIK/MPLIK nasional, sementara Praya dan Praya Tengah adalah adalah lokasi yang berdekatan dengan 'pusat' peluncuran program, sehingga diasumsikan juga merasakan imbas dari peluncuran perdana. Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Praya29 Lokasi PLIK di Kecamatan Praya terletak di dua tempat, yaitu di SMAN 1 Praya dan Yayasan Hannaniyah. PLIK di SMAN 1 Praya ditempatkan di sebuah ruangan berukuran 3 x 2,5 meter yang terletak di sebelah koperasi sekolah. Saat ini di dalamnya terdapat 4 komputer dan 1 komputer untuk server, serta di luarnya terdapat sebuah menara yang bertuliskan Lintasarta. Di dalam praktiknya, PLIK di SMAN 1 dikelola oleh seorang operator yang ditunjuk oleh pihak 29. Diolah dari FGD yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 2014. FGD ini melibatkan 15 orang peserta dari berbagai latar belakang profesi dan umur. Peserta yang dipilih merupakan siswa, guru dan warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi PLIK berada. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran khusus bagaimana eksistensi dan pemanfaatan PLIK di lingkungan sekitarnya
25
sekolah. Namun, operator tersebut kini sudah 1 bulan tidak bekerja di SMAN 1 Praya karena lolos dalam seleksi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Agama Kabupaten Lombok Tengah. Meskipun demikian tiap sabtu ia akan datang ke sekolah untuk menjaga PLIK. Sedangkan pada hari kerja Senin hingga Jumat, PLIK dijaga oleh siswa yang dipercaya untuk mengelola. SMAN 1 Praya adalah salah satu sekolah favorit di Lombok Tengah dan keberadaanya didukung oleh fasilitas memadai sebagai penunjang pendidikan. Keberadaan PLIK di sekolah ini sering disebut sebagai “warnet� dan terlihat kurang diminati oleh siswa. Penyebabnya yaitu, pertama, koneksi internet yang lambat. Kedua, adanya fasilitas laboratorium sekolah yang lebih memadai. Ketiga, sudah banyaknya siswa yang mengakses internet dengan wi-fi, modem, maupun smartphone. Keempat, pengguna jasa PLIK harus membayar biaya sebesar Rp 2000/jam. Menurut keterangan Ketut, PLIK hanya dibuka ketika sore hari hingga malam. Namun saat penelitian ini dilakukan ditemukan beberapa kali PLIK di tempat tersebut tidak buka pada waktu yang telah ditentukan. Dari sini dapat dilihat bahwa keberadaan PLIK di SMA N 1 Praya tidak memberikan manfaat secara maksimal. Foto PLIK di SMAN 1 Praya
Sumber : Tim Penelitian Combine Resource Institution
Situasi ini sedikit berbeda dengan kondisi yang terjadi di Yayasan Hannaniyah. Yayasan ini merupakan penyelengara pendidikan setingkat TK, SMP, SMA yang dipelopori oleh TGH M. Syatibi. Dari infrastruktur sekolah, tampak terlihat adanya ketimpangan jika dibandingkan dengan SMA N 1 Praya. Di dalam tata kelola administrasi dan pembangunan sekolah yang diprakarsai oleh TGH M. Syatibi ini, pengelolannya menggunakan konsep yang tidak biasanya, yaitu konsep sedekah. Setiap orang dapat menyumbangkan sebagian hartanya untuk kegiatan sekolah. Dari pengumpulan dana yang dilakukan dan didukung dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
26
siswa tidak perlu membayar biaya sekolah bahkan mendapatkan buku dan seragam secara gratis. Namun, orang tua murid biasanya memberikan sumbangan berupa gabah hasil panen kepada pihak sekolah. Sedangkan guru di sekolah ini, digaji sekedarnya dan lebih bersifat sukarela. Laboratorium komputer di Hannaniyah terbilang kurang memadai, dimana hanya ada 4 buah komputer PLIK dan buku-buku yang kurang terawat. PLIK di Hannaniyah belum genap setahun karena merupakan pindahan dari rumah warga di Leneng Praya. Menurut keterangan Herman dan Hayun (Guru TIK), keberadaan PLIK sangat berguna bagi kegiatan pendidikan di Hannaniyah. Sebelum ada PLIK, sekolah ini tidak memiliki komputer untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Sekarang ini, siswa SMP dan SMA bergantian menggunakan internet untuk menunjang pembelajaran di sekolah. Bahkan terkadang 1 komputer digunakan oleh 5 siswa karena keterbatasan kuantitas. Sedangkan guru TK, SMP dan SMA menggunakan fasilitas PLIK untuk mencari bahan pengajaran. Menurut M. Syatibi, PLIK di Hannaniyah masih kurang maksimal karena belum ada pelatihan penggunaan internet dan masih lambatnya akses internet. Walaupun dengan koneksi lambat, ia menambahkan bahwa PLIK masih bisa digunakan untuk browsing materi pembelajaran. Semangat belajar dari siswa dan guru menjadi pokok bagi perkembangan pendidikan di yayasan yang ia kelola. Saat ini, Hannaniyah hendak membangun sebuah universitas yang diprakarsai oleh alumni-alumni dari yayasan tersebut. Foto PLIK di Yayasan Hannaniyah
Sumber : Tim Penelitian Combine Resource Institution
Penempatan PLIK di Hannaniyah bukan tanpa kendala. Pertama, koneksi yang sangat lambat. Seorang guru menjelaskan bahwa koneksi yang lambat menyebabkan listrik menjadi
27
boros. Padahal selama ini subsidi listrik yang dijanjikan pun tidak pernah diterima. Kedua, tidak ada biaya yang diberikan untuk pemeliharaan PLIK. Herman, selaku operator PLIK sekaligus guru TIK, mengungkapkan bahwa pengoperasian PLIK membutuhkan meteran listrik sendiri yang dipisahkan dari meteran listrik sekolah. Terlebih server dari PLIK harus selalu dihidupkan selama 8 jam setiap harinya. Ketiga, terbatasnya jumlah komputer sehingga siswa yang berjumlah lebih dari 100 orang harus mengantri ketika akan menggunakan komputer. Padahal guru dan masyarakat setempat, terutama mahasiswa, juga membutuhkan akses internet untuk menunjang kebutuhan kerja dan pengetahuan. Kebutuhan internet tidak bisa dihindari oleh siswa-siswa Hannaniyah untuk menunjang pembelajaran. Meskipun internet juga dianggap memiliki sisi negatif bagi siswa. Misalnya, internet hanya dipakai untuk bermain facebook atau membuka situs yang mengandung pornografi. Namun, efek buruk dari internet dapat dihindari dengan cara mengontrol dan mengawasi siswa ketika sedang mengakses internet, serta memberi pemahaman tentang penggunaan internet. Menyadari kebutuhan akan internet, seorang pengguna PLIK di Hannaniyah berharap pelayanan PLIK di tingkat kecamatan dan di madrasah dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, dia juga berharap unit internet diperbanyak karena sangat bermanfaat untuk menunjang kegiatan belajar, bekerja dan memperluas pengetahuan. Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Praya Tengah30 PLIK hadir di Kecamatan Praya Tengah sejak tahun 2010. Kecamatan ini mendapatkan 2 fasilitas PLIK. Satu PLIK ditempatkan di sekolah yaitu SMAN 1 Praya Tengah, sedangkan yang satunya ditempatkan di rumah seorang warga bernama Topan yang beralamat di Bagek Rende, Desa Jontlak. PLIK yang ditempatkan di rumah Topan belum lama keberadaannya, kurang lebih 1 tahun dan hasil pindahan dari PLIK yang gagal dikelola warga di Desa Batu Nyala. Menurut Rahman, Kasi Frekuensi Dishub Kominfo, kegagalan PLIK di Desa Batu Nyala karena warga pengelola PLIK tidak sanggup mengeluarkan biaya listrik untuk pengoperasian PLIK. Perangkat PLIK yang dikelola di rumah Topan terdiri dari 5 komputer client, dan satu komputer server. Masyarakat sekitar dapat menggunakan PLIK setiap hari tanpa dikenakan biaya seperti di warnet komersil. Meskipun tidak dikenakan biaya, beberapa pengguna berinisiatif memberikan sejumlah uang setelah menggunakan internet. Jumlah uang yang diberikan oleh pengguna internet yang tidak seberapa ini dapat sedikit membantu beban yang ditanggung Topan. Hal ini karena Topan harus mengeluarkan uang setiap bulan untuk membayar listrik, sebab 30. Diolah dari FGD yang dilakukan pada tanggal 27 Februari 2014. FGD ini melibatkan 15 orang peserta dari berbagai latar belakang profesi dan umur. Peserta yang dipilih merupakan warga yang tinggal tidak jauh dari Lokasi PLIK berada. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran khusus bagaimana eksistensi dan pemanfaatan PLIK di lingkungan sekitarnya
28
janji subsidi listrik yang dijanjikan tidak pernah diberikan. Ketika Topan tidak memiliki uang untuk membayar listrik, seringkali listrik mati sehingga menyebabkan komputer harus di-setting ulang. Pengguna internet yang dikelola oleh Topan merupakan warga yang tinggal di sekitar lokasi, baik pelajar maupun warga yang sudah bekerja. Dari kalangan pelajar, pengguna PLIK sebagian besar adalah anak-anak SD yang sedang giat belajar internet. Hanya sedikit anak SMA yang mau menggunakan fasilitas PLIK karena koneksi lemah. Mereka lebih memilih menggunakan fasilitas wi-fi maupun smartphone untuk mengakses internet. Pengguna PLIK yang masih duduk di bangku sekolah memanfaatkan internet untuk menunjang kebutuhan sekolah dan menambah jejaring sosial melalui e-mail, facebook, twitter maupun blog. Sedangkan pengguna PLIK yang sudah bekerja lebih banyak menggunakan internet untuk menunjang kebutuhan kerja dan meningkatkan perekonomian. Sementara pengguna PLIK yang berstatus mahasiswa memanfaatkan internet untuk mencari informasi lowongan pekerjaan BUMN dan perusahaan lain. Foto FGD PLIK-MPLIK di Praya Tengah
Sumber : Tim Penelitian Combine Resource Institution
Potret dan Harapan PLIK-MPLIK di Kecamatan Janapria31 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kecamatan Janapria adalah lokasi yang cukup sakral dan layak untuk dijadikan bahan refleksi program PLIK/MPLIK. Karena di kecamatan inilah, untuk pertama kalinya, program PLIK/MPLIK diluncurkan. Meski demikian, tidak menjadi jaminan bahwa Janapria akan menjadi wilayah yang sukses menjalankan program yang dimotori oleh Kemenkominfo ini. Karena pada kenyataannya, program PLIK di sana pun menyimpan sejumlah masalah, selain kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat di Jakarta. 31. Diolah dari FGD yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2014. FGD ini melibatkan 15 orang yang terdiri dari warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi PLIK, siswa dan guru dari sekolah di mana PLIK ditempatkan. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran khusus bagaimana eksistensi dan pemanfaatan PLIK di lingkungan sekitarnya.
29
Janapria adalah salah satu lokasi yang merasakan ekses dari persoalan-persoalan di atas; misalnya, kewenangan pengelolaan yang tidak dikoordinasikan dengan Diskominfo daerah, dan subsidi listrik yang tak kunjung dibayarkan. Sehingga untuk biaya operasionalnya, PLIK di Janapria mengandalkan fasilitas, khususnya listrik, dari pihak sekolah. Persoalan umum lainnya adalah yang bersifat teknis. Misal, kapasitas bandwith yang sangat kecil dan komputer klien yang minim, padahal kebutuhan masyarakat akan akses internet cepat cukup besar. Dalam diskusi dengan pengelola PLIK dan warga yang diadakan di SMP N 1 Janapria, hampir semua responden setuju bahwa kebutuhan akan internet semakin meningkat, dan keberadaan PLIK di kecamatan tersebut sangat bermanfaat, terutama bagi para pelajar. Kebutuhan yang semakin tinggi ini, menurut mereka, harus dibarengi dengan infrastruktur yang memadai. M.Fauzi, salah satu guru yang mengajar di SMP N 1 Janapria berpendapat bahwa pengembangan sarana PLIK harus disesuaikan dengan perbandingan jumlah penduduk. Karena dengan demikian, kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas internet makin lebih besar.32 Meskipun diakui keberadaan fasilitas PLIK di sekolah cukup strategis, penempatan itu bukan tanpa masalah. Para siswa mengaku terbantu dengan adanya PLIK di sekolah. Fasilitas tersebut lebih sering dimanfaatkan untuk pelajaran TIK bagi para siswa, dan boleh digunakan di luar jam belajar hingga pukul 17.30. Guru komputer di sekolah tersebut, Ahmad Junaidi, menegaskan bahwa sejauh ini, keberadaan PLIK sangat membantu siswa dalam proses belajar 33
mengajar komputer. Padahal, PLIK adalah layanan yang disediakan untuk masyarakat umum, sehingga penempatannya sebisa mungkin di ruang publik yang bebas dari asosiasi lembaga apapun, termasuk pendidikan. Inilah yang menjadi permasalahan PLIK di beberapa titik di Lombok Tengah. Seorang warga bernama Nanang Noor Evansyah menilai bahwa sebaiknya PLIK tidak ditempatkan di sekolah. Selain karena tidak sesuai peruntukannya, Nanang berpendapat jika PLIK ditempatkan di sekolah bisa mengganggu kegiatan belajar apabila masyarakat ingin menggunakan fasilitas tersebut.34 Fakta yang terjadi memang demikian. Masyarakat di sekitar SMP N 1 Janapria tetap merasa sungkan untuk menggunakan fasilitas PLIK, meskipun pihak sekolah tidak melarangnya. Mereka memilih mengalah karena banyak siswa yang menggunakan fasilitas tersebut. Ini pula yang akhirnya menjadi dilema; jika tidak ditempatkan di sekolah, masyarakat tidak ada yang sanggup menanggung biaya operasional yang tidak sedikit. Hal itu tidak lain akibat dari kacaunya pengelolaan subsidi listrik.
32. Kuesioner SMP N 1 Janapria, 10 Maret 2014 33. Wawancara dengan Ahmad Junaidi, 10 Maret 2014 34. Kuesioner SMP N 1 Janapria, 10 Maret 2014
30
Foto FGD PLIK-MPLIK di Janapria
Sumber Foto : Tim Peneliti Combine Resource Institution
Bercermin dari kasus di Lombok Tengah, pemilihan lokasi bisa menjadi salah satu faktor yang menentukan PLIK berhasil tepat guna atau tidak. Dengan penempatan di sekolah, secara langsung, PLIK telah terbatasi ruang yang membuat masyarakat enggan untuk datang dan menggunakan fasilitas tersebut. Komputer klien pun pada akhirnya lebih sering digunakan para siswa untuk belajar komputer. Padahal idealnya, sebuah sekolah harus memiliki laboratorium komputernya sendiri dengan tidak menumpang pada fasilitas yang diperuntukan kepada publik luas. Namun, jika tidak demikian, PLIK bisa jadi tidak akan beroperasi sama sekali karena tidak adanya tenaga sukarelawan yang mau mengoperasikannya, terutama terkait beban biaya operasional yang cukup besar. Seperti yang terjadi di Praya Tengah, misalnya. Topan, seorang warga biasa, harus mengeluarkan kocek pribadinya untuk biaya listrik demi menghidupi 5 komputer klien dan 1 server PLIK. Hal itu ia lakukan sesuai dengan instruksi PT Aplikanusa Lintasarta yang menuntut setiap PLIK harus beroperasi minimal 8 jam dalam sehari, dengan janji akan diberikan subsidi listrik yang nyatanya tak kunjung direalisasikan. Kesemrawutan yang menimbulkan dilema.
31
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan 1.
Studi tentang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti, khususnya mulai menjamur di era awal abad 21 saat ini. Penelitian tersebut biasanya berasal dari lingkungan akademik, LSM ataupun perseorangan. Dari sekian banyak tumpukan hasil penelitian yang dihasilkan, umumnya masih hanya mengupas tentang segi manfaat dan kegunaannya ataupun bagaimana persoalan teknis membangun infrastrukturnya secara baik. Jarang sekali ditemukan pernyataan ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa semangat TIK yang marak diwacanakan negara saat ini ternyata tidaklah “bebas nilai”. Lewat studi penelitian yang dilakukan di Lombok Tengah ini, tim peneliti menemukan bahwa ternyata posisi teknologi dan semangat “pemerataan infrastruktur” TIK bukanlah sebuah semangat yang dari awal ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar TIK setiap warga negara, melainkan ditempatkan sebagai instrumen yang akan mendukung mega proyek infratruktur kapitalisme, yaitu MP3EI. Di lain pihak, seandainya pemerataan infrastruktur TIK yang marak diwacanakan negara benar-benar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara bukan berarti semangat tersebut tidak akan menghadapi beberapa persoalan, khususnya dalam menjawab akar kemiskinan. Pernyataan ini dimaksudkan sebagai “program pemerataan infrastruktur TIK” tidaklah akan menjamin sepenuhnya persoalan kemiskinan akan berkurang, karena persoalan sesungguhnya adalah bagaimana mempersempit ketimpangan akses terhadap sumber daya alam yang ada. Secara ringkas, penulis ingin menyatakan bahwa persolan kemiskinan akan berkurang jika tiap-tiap penduduk di dalamnya diberikan kemudahan untuk mendapatkan akses alat produksi secara nyata, dalam hal ini adalah Sumber Daya Alam yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik dan corak produksi masyarakat setempat.
2.
Dari penjelasan yang telah disebutkan dalam poin 1, jelas didapatkan suatu keterangan bahwa infrastrukur TIK yang dibangun ditujukan untuk kepentingan akumulasi kapital. Dalam hal ini adalah kepentingan mega proyek kapitalisme MP3EI. Namun bukan berarti di dalam praktiknya program dan proyek tersebut berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, bahkan syarat dengan praktik yang manipulatif dan korup. Hal ini dapat ditemui di dalam program PLIK-MPLIK di Lombok Tengah. Temuan yang dimaksud salah satunya adalah menghilangnya subsidi listrik PLIK di 4 lokasi penelitian ini dilakukan. Padahal seyogyanya, hal ini merupakan suatu tindakan yang mengandung nilai kontradiktif di dalam akumulasi kapital, karena praktik korupsi justru akan memperbesar ongkos produksi.
32
3.
Selain ditemukannya praktik-praktik korupsi dan manajemen yang manipulatif, penelitian ini juga menemukan tata kelola PLIK-MPLIK yang patut dicermati, yaitu : tidak dilibatkannya masyarakat dan pemerintah daerah dalam penentuan lokasi, minimnya perawatan peralatan, rendahnya kwalitas pelayanan serta tidak terdapatnya pola pengelolaan dan kordinasi yang dikelola secara kolektif. Hal ini tentunya berdampak pada keberlanjutan program yang sudah direncanakan sebelumnya.
Rekomendasi 1.
Terkait dengan point-point kesimpulan yang telah dijelaskan diatas, penelitian ini akan merekomendasikan beberapa hal penting. Pertama, perlu ada kajian kritis lanjutan terhadap instalasi-instalasi TIK yang marak diwacanakan saat ini. Kajian ini ditujukan sebagai pembedah secara mendalam terhadap kepentingan rezim kapitalisme “Sumber Daya Alam� yang pada saat ini semakin marak berelasi dengan infrastruktur TIK. Kedua, perlu pemahaman bersama bahwa TIK bukanlah sebuah instrumen utama dalam menjawab persoalan kemiskinan yang tiap-tiap daerahnya memiliki karakteristik berbeda.
2.
Terkait dengan temuan menghilangnya subsidi listrik PLIK di wilayah lokasi penelitian, maka tim peneliti merekomendasikan agar pemerintah melakukan pengusutan dan upaya hukum terhadap kasus tersebut.
3.
Terkait dengan ditemukannya tata kelola dan manajemen program PLIK-MPLIK yang buruk, tim peneliti merekomendasikan agar Kemkominfo melakukan beberapa hal. Pertama, melakukan perencanaan kolektif dengan melibatkan pemerintah daerah, NGO dan masyarakat lokal dalam setiap programnya. Kedua, memberikan informasi dokumen yang bersifat terbuka dalam setiap pengelolaan programnya kepada publik. Daftar Pustaka
33
Artikel dan Peraturan : 1.
Ahmad Budiman “Pengawasan Program Internet Kecamatan”, Info Singkat ; Vol.V, No.13/I/P3DI/Juli/2013
2.
Annual Report, Kemkominfo, 2011.
3.
Beriantho Herlambang “Implementation of USO Program in Indonesia”, BP3TI dan ADB, 2011.
4.
Kalamullah Ramli, Indonesia “Bridging Digital Creativity Potentials and Connectivity Challenges”, Kominfo, 2013.
5.
Jogja Digital, “Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan”, 2013
6.
Lukmanul Hakim, “Perampasan dan Monopoli Tanah, Problem Pokok Rakyat Indonesia, Tidak Terkecuali Bagi Rakyat Nusa Tenggara Barat”, 2013.
7.
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 dan Lampiran.
Website : 1.
www.mandalikaresortlombok.com
2.
www.regionalinvestment.bkpm.go.id
3.
www.republika.co.id
4.
www.tataruangntb.net
5.
www.setkab.go.id
34 31
35 31
36 31