Kelas kreatif

Page 1


Education Development Project 2008-2018 Tim Penulis: Afiani Astuti Aji Jehan Fellani Amalia Rahisa Dewi Anis Widiyanti Atin Supartini Cicin Kuraesin Corry Caromawati Dadan Dewi Supardini Erna Hamidah Hendra Sanjaya Iin Karyati Kartika Arum Mardiya Kamilah Mini Sumiarti Muhamad Umar Harahan Rani Nurhayati R.R. Purnomowulan Sulistiyani Dyah Purwaningsih Sunarti Tintin Sri Suprihatin Titin Rostika Winy Mustikasari Wiwin Winarti Š Penerbit Kelas Kreatif Press Editor: Grandis Putri Ogustina Jasmine Azizah Mar’atushshalihah Nurjani Khamal Desainer Sampul: Dikri Fadilah Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Kelas Kreatif Press, Bandung, 2018. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta/penerbit. Kelas Kreatif Press, Bandung Isi diluar tanggung jawab penerbit


Note from EDP Coordinator With the understanding that individual teacher work significantly affects student achievement, we started the Education Development Project in 2008. Six workshops with various themes were delivered to teachers of local schools, providing new perspectives on interactive teaching and learning. One objective of the project is that teachers will apply what they have learnt in their own classrooms - the way in which they deliver lessons will become more interactive and this will in turn increase student motivation and achievement. We also expect the teachers to become the change agent and to be able to inspire other teachers in their institution. The success of EDP 1 in 2008 was indicated by the enthusiasm of the participants. Their positive feedback has encouraged us to continue the project. In 2011, we conducted EDP 2. We developed more activities to facilitate teachers’ learning. We had 6 workshops, a book drive for 3 local schools (SMPN 36 Bandung, SMPN 1 Padalarang and SMPN 3 Margahayu), and the opportunity for participants to participate in classroom visits to Bandung International School. The participants of EDP 2 not only came from the Bandung region but also from Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Administratif Cimahi, Kabupaten Sumedang, and Kabupaten Purwakarta. EDP 3 is our program to continue our dream to make a contribution to the development of education in Indonesia, especially in West Java. Our vision is to develop and enhance the professionalism and teaching skills of Indonesian teachers and build a concept of high-quality education. Some of the ways to reach this vision are through delivering programs that will generate awareness of the needs of high-quality education, promote professional development systems that recognize the increasing demands for creativity and innovation, and prepare teachers to develop skillsets needed for innovative models and strategies for interactive teaching and learning. At the end of EDP 3, the participants have opportunity to write an article about creative and interactive teaching that they have done in their classes. We collect those articles and put into a book entitled Kelas Kreatif. We aim to inspire other teachers to explore creative and interactive teaching practices- and applied the strategies in their classrooms and within the existing curriculum. Dadan www.kelaskreatif.org


Note from FoBIS Friends of Bandung Independent School (FoBIS) offers parents opportunity to become involved in the school life.Through parents’ active participation, we are developing a real sense of engaged community between parents, teachers and students. Active participation by parents in fundraising in all the roles helps financing the school community events and special purpose funds which support students' project. FoBIS would like to express our good wishes in supporting the local community in all ways, especially knowledge and skills. FoBIS (2016-2017) Mathana, Sally, Jermaine


DAFTAR ISI 36-39 01-08

PENERAPAN GALLERY WALK UNTUK MEWADAHI PEER-ASSESSMENT DALAM EXPLANATION TEXT BAGI SISWA KELAS X [AFIANI ASTUTI]

09-11

TOTAL PHYSICAL RESPONSE (TPR) UNTUK PEMBELAJARAN ADJECTIVE [AJI JEHAN FELLANI]

12-14

PENGGUNAAN MATCHING CARDS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENULIS KALIMAT PAST TENSE [AMALIA RAHISA DEWI]

15-18

RAISING AWARENESS OF BULLYING THROUGH GAME “CRUMPLING IJAH” [ANIS WIDIYANTI]

19-24

25-28

PENERAPAN MODIFIKASI METODE “RUNNING DICTATION” UNTUK KETERAMPILAN WRITING DALAM PEMBELAJARAN TEKS NARATIF DI KELAS XII SMA NEGERI 2 MAJALAYA [ATIN SUPARTINI] FEEL GOOD EXERCISE, UPAYA PENINGKATAN KUALITAS KARAKTER SISWA MELALUI PERSONAL BRANDING [CICIN KURAESIN]

29-32

PEMANFAATAN “POWTOON” UNTUK PENGAJARAN COMPARISON [CORRY CAROMAWATI]

33-35

TINGKATKAN MOTIVASI SISWA MELALUI GAME DAY [DADAN]

PENGGUNAAN MEDIA VIDEO UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DALAM PEMAHAMAN UNGKAPAN “COMPLIMENTING” [DEWI SUPARDINI]

A LESSON 40-42 REVIEWING CAN BE FUN [ERNA HAMIDAH] MENINGKATKAN 43-46 UPAYA KEMAMPUAN BERBICARA SISWA DALAM MEMPELAJARI TEKS DESKRIPTIF MELALUI TEKNIK PERMAINAN ESTAFET STICK DI KELAS VIII E SMP NEGERI 4 LEMBANG [HENDRA SANJAYA]

47-50 PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA SISWA MELALUI DIALOG BERPASANGAN BERBANTUAN MEDIA BONEKA PADA MATERI PEMBELAJARAN GREETING [IIN KARYATI] CHARACTERS IN 51-55 GOOD WARM UP ACTIVITY [KARTIKA ARUM]

56-59 PEMBELAJARAN KOSAKATA TENTANG DAY AND NIGHT ACTIVITIES MELALUI PERMAINAN BINGO [MARDIYA KAMILAH]

60-62

PEMANFAATAN FLASHCARD SEBAGAI STRATEGI PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS [MINI SUMIARTI]


EDMODO 63-69 PENERAPAN DALAM PENILAIAN PEMAHAMAN TATA BAHASA DASAR [MUHAMAD UMAR HARAHAP]

70-73 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS SISWA MELALUI MUSIKALISASI TEKS NARATIF SECARA BERKELOMPOK [RANI NURHAYATI]

74-76 INDONESIA-ENGLISH COMPABILITY IN WRITING DESCRIPTIVE TEXT FOR EARLY GRADE (R.R. PURNOMOWULAN) KONSEP DALAM 77-79 PETA MERANGSANG FUNGSI OTAK ANAK [SULISTIYANI DYAH PURWANINGSIH]

80-81

82-84

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA SISWA KELAS 7 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK CHORAL DRILLING [SUNARTI]

PROSEDUR PESERTA DIDIK KELAS IX C SMP NEGERI 1 LEMBANG [TITIN ROSTIKA] ADJEKTIVA 88-91 KARTU SEBAGAI ALAT BANTU UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PESERTA DIDIK DALAM MENYUSUN TEKS DESKRIPTIF DI KELAS VII B SMP NEGERI 1 LEMBANG [TITIN ROSTIKA] MENINGKATKAN 92-95 UPAYA MINAT SISWA DALAM MEMAHAMI GENERIK STRUKTUR TEKS NARATIF MELALUI PERMAINAN MEMBURU HARTA KARUN (PERMAINAN YANG DIADOPSI DARI “POKEMON GO” GAME) [WINY MUSTIKASARI]

96-99 EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI POSTER [WIWIN WINARTI]

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS NARATIF MELALUI MEDIA FILM ANIMASI PENDEK BERJUDUL “THE BIG BUCK BUNNY” [TINTIN SRI SUPRIHATIN]

WORDS 85-87 PENGGUNAAN WALLS DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI TEKS

8


Penerapan Gallery Walk untuk Mewadahi Peer-Assessment dalam Explanation Text bagi Siswa Kelas X Afiani Astuti Al-Irsyad Satya Islamic School

Pendahuluan Peer-assessment dalam pembelajaran writing belum banyak dilakukan di tingkat sekolah menengah, misalnya di tingkat perguruan tinggi yang pembelajarnya dianggap sudah bertanggungjawab dan memiliki learners autonomy. Namun demikian, peer-assessment di tingkat sekolah bisa saja diupayakan karena dapat memperdalam pemahaman siswa dengan cara mengevaluasi hasil tulisan teman dan diri siswa itu sendiri, mengubah pembelajaran pasif menjadi aktif, melibatkan siswa untuk membuat refleksi kritis dari tulisannya, serta dapat membuat kerja kelompok antarsiswa lebih berhasil (Hanrahan & Isaacs, 2016). Peer-assessment ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan evaluasi atau penilaian sekaligus sebagai metode mengajar dalam upaya peningkatan kemampuan siswa pada keterampilan menulis, khususnya dalam menulis teks eksplanasi (explanation text). Dengan menggunakan peer-assessment diharapkan siswa dapat memenuhi standar kriteria yang diharapkan berdasarkan kurikulum yang digunakan di sekolah tempatnya berada. Alasan lain adalah karena tuntutan kurikulum, yakni Kurikulum Cambridge bagi siswa kelas 11 di sekolah swasta di Kabupaten Bandung Barat. Peer-assessment ini dapat dijadikan salah satu kegiatan yang mendukung siswa memahami kriteria penulisan teks untuk mempersiapkan ujian Cambridge IGCSE English yang didalamnya terdapat dua tugas menulis. Menulis untuk tes ini merujuk kepada rubrik atau standar kriteria khusus yang diberikan oleh Cambridge. Siswa yang terlibat berjumlah 12 orang yang merupakan siswa pilihan dari 24 siswa. Keduabelas siswa ini dipilih berdasarkan kriteria sekolah sebagai kelas “high achievers�. Tujuan tulisan ini adalah melihat refleksi dari kegiatan gallery walk activity dalam menerapkan peer-assessment. Keberhasilan peer-assessment untuk pembelajar bahasa cukup menjanjikan namun bergantung pada sikap siswa, level kemampuan berbahasa, pengetahuan tentang rubrik dan kriteria, serta keterampilan yang sedang diasah dan jenis keterampilan yang berbeda (Sebba, et. al. 2008). Yang terpenting dari semuanya adalah seberapa dalam pengetahuan siswa terhadap rubrik. Memperkenalkan rubrik dan kriteria sangat penting untuk peerassessment, terlebih untuk rubrik standar ujian IGCSE seperti isi tulisan, gaya penulisan, dan teknik penulisan. Dalam tulisan ini rubrik yang diterapkan diunduh dari laman https://www.teachervision.com/. Rubrik dalam 1


ujian internasional harus dikuasai siswa sehingga siswa memahami apa yang diharapkan oleh pemeriksa ujian yang notabenenya adalah native speaker of English. Ujian tersebut adalah ujian internasional bagi para pembelajar ESL (English as a second language) di seluruh dunia sehingga kemampuan menulis siswa diharapkan setara dengan negara-negara yang mengikuti tes ini, misalnya seperti Singapura, Malaysia dan berbagai negara lainnya. Rubrik yang disediakan oleh Cambridge memuat acuan-acuan khusus yang harus dipenuhi siswa. Untuk mempraktikkan acuan-acuan ini, peerassessment dengan menggunakan gallery walk activity dapat membantu siswa melihat poin-poin apa saja yang memenuhi kriteria. Gallery walk activity biasanya digunakan untuk melihat hasil karya seni/tulisan siswa seperti poster/esai yang dinilai oleh teman-temannya, misalnya teman-teman sekelas akan memberi komentar tentang apa yang mereka lihat berdasarkan kriteria T.A.G (T= tell the writer what you like, A= ask the writer a question dan G= give a writer a positive suggestion). Menurut Centre of Teaching and Learning dari Brigham Young University, gallery walk adalah sarana untuk melihat kemampuan “metakognisi� (berpikir mengenai cara berpikir) secara transparan. Maksudnya adalah secara umum, siswa yang menggunakan strategi metakognisi (seperti menyusun rencana belajar atau merancang strategi bagaimana memahami sebuah konsep dan tahu bagaimana cara mengetahui konsep tersebut) cenderung memiliki tingkat kemampuan belajar lebih tinggi (Ertmer & Newby, 1996; Lovett, 2008; Nett, Goetz, Hall, & Frenzel, 2012). Jadi salah satu keuntungan gallery walk activity adalah melihat bagaimana siswa menilai kekurangan diri sendiri dan temannya serta dapat mengetahui apa yang akan dilakukan untuk menutupi kekurangan tersebut. Kemudian, beberapa keuntungan lain dalam menerapkan gallery walk activity, yaitu: (1) sebagai cognitive awareness untuk menyadarkan para siswa bagaimana mereka belajar, (2) sebagai self-regulation ketika mereka memantau cara belajarnya sendiri dan mengevaluasi seberapa berhasil strategi yang dijalankannya, dan (3) untuk menyesuaikan strategi belajar sesuai dengan kebutuhan mereka (Flavell, 1979).

Implementasi di Kelas Hal yang paling penting dan utama yang dilakukan dalam implementasi peer-assessment dan gallery walk activity di kelas adalah menjelaskan prosedur dan mengingatkan pentingnya kemampuan siswa untuk bekerja sama. Biasanya kegiatan ini menggunakan sistem rotasi atau berputar misalnya akan ada minimal tiga kali putaran dan bisa ditambah putaran bila diperlukan. Kegiatan peer-assessment dan gallery walk activity ini berlangsung dalam satu minggu atau 6 jam pelajaran (2 jam hari Senin, 2 jam hari Selasa dan 2 jam hari Jum’at). Empat jam pertama adalah untuk membahas kriteria dan cara kerja peer-assessment dan gallery walk activity. 2


Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa menjadi petunjuk penerapan di dalam kelas: Langkah 1 – Pembagian kelompok Keduabelas siswa yang dibagi menjadi 6 kelompok, satu kelompok terdiri dari 2 orang (berpasangan). Kemudian mereka diberi tugas untuk membuat teks eksplanasi (text explanation). Setelah mereka menulis teks, kemudian teks diprint dan difotokopi dengan menggunakan kertas A3 agar lebih jelas terlihat pada saat melakukan gallery walk. Dari keenam kelompok ini, siswa memilih topik tulisannya sendiri yaitu tentang tornado, flooding, chernobyl, the green house effects, human respiration system dan tsunami. Proses penulisan teks eksplanasi ini dilakukan sebelum melakukan kegiatan peer-assessment dan gallery walk. Kemudian, setiap kelompok diberikan lembar tugas yang akan dibawa oleh siswa ketika melakukan kegiatan gallery walk. Kriteria yang akan diperhatikan siswa untuk setiap teks teman-temannya antara lain: organization, elements of process, grammar, mechanic and spelling (rubrik terlampir), serta komentar mengenai kelebihan dan kekurangan tulisan teman-temannya. Langkah 2 – Memasang hasil karya dan menjelaskan prosedur Siswa diminta menempelkan hasil tulisannya pada dinding dengan gaya penyuguhan seperti di galeri seni. Hal ini dilakukan agar siswa nantinya dapat mengeksplor seluruh sudut ruangan untuk melihat semua tulisan teman-temannya, misalnya dengan formasi seperti ini dibawah ini. Hal yang paling penting adalah menghindari kepadatan satu teks dikerumini banyak siswa. Lihat gambar 1 yang menunjukan beberapa stand/station gallery yang masing-masing stationnya diperlukan sekitar 5 sampai 10 menit untuk diamati. Langkah 3 – membagikan rubrik dan menjelaskan cara mengisinya Siswa diberikan rubrik dan kriteria untuk diisi oleh siswa sebagai lembar kerja ketika melakukan gallery walk dan peer-assessment.

3


Langkah 4 – Memulai kegiatan Setiap kelompok akan memilih hasil tulisan kelompok lain yang ditempel pada dinding. Kemudian, mereka diminta untuk mengamati serta menilai tulisan tersebut dengan waktu 5 sampai 10 menit. Langkah 5 – putaran pertama Di putaran pertama, siswa hanya diminta untuk menilai tulisan dan belum diperbolehkan untuk bertanya kepada penulis. Jika siswa belum berkeliling dan melihat tulisan kelompok lain, guru sebaiknya mengingatkan siswa untuk berkeliling. Langkah 6 – putaran kedua Pada putaran kedua, siswa diperbolehkan melakukan TAG, seperti disebutkan pada bagian pendahuluan. Siswa memberitahukan apa yang mereka suka dari tulisan temannya (T), bertanya tentang apa yang kurang jelas dari tulisan temannya (A), dan siswa memberi saran atas apa yang seharusnya mereka lakukan dengan tulisannya (G). Langkah 7 – Memonitor kegiatan siswa Setelah selesai mengelilingi galeri, siswa mulai menjawab pertanyaanpertanyaan dari teman-temannya mengernai tulisan mereka. Setiap kelompok diperkenankan untuk berdiskusi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kegiatan ini merupakan kegiatan penting sebagai bahan refleksi bagi siswa. Pada langkah ini, pastikan semua siswa selesai mengisi lembar kerja berdasarkan rubrik. Langkah 8 – Refleksi Setelah semua kegiatan gallery walk selesai, siswa kembali ke tempat semula untuk mendiskusikan dan merefleksikan apa yang mereka dapatkan dari kegiatan tersebut, membuat kesimpulan, dan membandingkan tulisan sendiri dengan temannya. 4


Variasi Kegiatan Kegiatan gallery walk pada tulisan ini merupakan kegiatan yang memerlukan persiapan dan usaha yang lebih karena kegiatan ini merupakan kombinasi dari peer-assessment dan gallery walk. Namun, apabila kegiatan gallery walk tidak dikombinasikan dengan peer-assessment, kegiatannya dapat dibuat menjadi sederhana seperti varasi-variasi berikut ini: Variasi 1 Langkah-langkah variasi 1: 1. Tulis Tulislah 6 pertanyaan atau teks, gambar, kutipan (quotation) yang berkenaan dengan topik yang akan dibahas pada kertas besar dengan ukuran tulisan yang besar. Kemudian tempel tulisan tersebut pada tempat berbeda di sekeliling kelas.

2. Kelompokkan Buatlah 6 kelompok sekitar 3 sampai 5 orang per kelompok (bergantung pada jumlah siswa). Setiap kelompok memulai dari station yang berbeda sebelum mengelilingi galeri (teknik rotasi). Setiap kelompok membawa spidol yang berbeda warna untuk membedakan pendapat atau komentar yang berbeda dari yang lainnya. 3. Mulai Setelah station pertama, kelompok siswa membacakan apa yang mereka tulis di kertas yang dipasang pada dinding. Kemudian ada siswa yang bertugas mencatat untuk memberikan tanggapan dan komentar untuk setiap kelompok. Catatan ditulis di lembar yang ditempel pada setiap station. Sebaiknya siswa pada masing-masing kelompok juga menulis apa yang mereka komentari dan diskusikan. 5


4. Rotasi Setelah diberikan waktu 3 sampai 5 menit untuk mengamati setiap station, guru memberi instruksi untuk pindah dari ke station berikutnya. Siswa membaca tulisan atau gambar dan juga membaca tanggapan yang telah diberikan oleh teman-temannya pada tulisan tersebut. Ulangi sampai semua kelompok mendatangi setiap station. Siswa sebaiknya mencatat setiap tanggapan dan komentar pada setiap station.

5. Monitor Memonitor siswa sangat penting dilakukan dalam kegiatan ini karena siswa bergerak dari satu station ke station lainnya berdasarkan instruksi guru. Guru juga bisa membantu dan memberi petunjuk jika siswa kurang mengerti tentang apa yang harus ditanggapi.

6


6. Refleksi Siswa kembali ke tempat duduk semula. Kemudian siswa membahas apa yang mereka pelajari dari kegiatan tadi. Garis bawahi apa yang menjadi tujuan pembelajaran dari kegiatan tersebut. Variasi 2 Gallery Run Gallery run merupakan gallery walk versi yang lebih cepat. Tulisan atau poster yang dipasang pada galeri biasanya lebih sederhana karena siswa harus berpikir cepat dan bergerak cepat untuk mengumpulkan informasi yang akan ditulis pada station khusus. Variasi 3 Computer Tour Computer Tour hampir serupa dengan gallery walk tetapi yang dilihat bukan kertas yang dipasang seperti di galeri, melainkan laptop atau komputer yang di simpan di sekeliling kelas. Biasanya yang disajikan dalam komputer dapat berupa permainan interaktif atau video yang merangsang daya analisis siswa. Untuk siswa yang sudah mahir dalam menggunakan IT dapat membuat komentar seperti pada variasi 3 dengan posting di media yang sudah disiapkan seperti twitter. Variasi ini akan lebih efektif bila jumlah siswa tidak terlalu banyak.

Daftar Pustaka Cullingford, C. (1995). The effective teacher. New York: Cassell. Azarnoosh, Maryam. (2013). Language testing in Asia. Diunduh pada tanggal 2 Oktober 2016. [Online]. https://languagetestingasia.springeropen.com/articles/10.1186/2229-0443-311 Heyman, James and Sailors, John. (2010). Peer assessment of class participation: applying peer nomination to overcome rating inflation. Diunduh pada tanggal 12 Oktober 2016. [Online]. https://sydney.edu.au/education_social_work/groupwork/docs/SelfPeerAsses sment.pdf Ertmer, P.A. & Newby, T.J., (1996). The Expert Learner: strategic, selfregulated, and reflective. Instructional Science, 24, 1–24. Flavell, J. H. (1979). Metacognition and Cognitive Monitoring: a new area of cognitive-developmental inquiry. American Psychologist, 34, 906-911. Lovett, M.C. (2008). Teaching Metacognition. Paper presented at the annual EDUCAUSE meeting, Orlando, FL. Nett, U. E., Goetz, T., Hall, N. C., & Frenzel, A. C. (2012). Metacognition and Test Performance: an experience sampling analysis of students' learning behavior. Education Research International, 1-16. Brigham Young University. The ‘Gallery Walk’ as a means to making metacognition transparent. [Online]. http://ctl.byu.edu/tip/%E2%80%98gallery-walk%E2%80%99-means-making7


metacognition-transparent. [Online]. Tersedia https://www.teachervision.com/tv/printables/07AAAM22.pdf (rubriks). Hanrahan, Stephanie J. & Isaacs, Geoff. (2001). Assessing Self- and Peerassessment: the students' views. Higher Education Research & Development. Vol. 20 , Iss. 1. Sebba J, Crick RD, Yu, G, Lawson H, Harlen W, Durant K. (2008). Systematic Review of Research Evidence of the Impact on Students in Secondary Schools of Self and Peer Assessment. Technical report in: Research Evidence in Education Library. London: EPPI-Centre, Social Science Research Unit, Institute of Education, University of London. Diunduh pada tanggal 2 Oktober 2016. [Online]. http://serc.carleton.edu/introgeo/gallerywalk/student_instructions.html

Biodata Penulis Afiani Astuti adalah seorang guru bahasa, baik bahasa Inggris (EFL) maupun bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Saat ini penulis mengajar bahasa Indonesia di Bandung Independent School dan mengajar bahasa Inggris di UPT Bahasa ITB. Hasil penelitiannya dimuat dalam beberapa prosiding dan dalam beberapa presentasi konferensi seperti Asia TEFL, Conaplin, Symposium SFL (System Functional Linguistics) dan Pertemuan Ilmiah BIPA. Tempat kegiatan mengajar dalam tulisan ini adalah Al-Irsyad Satya Islamic School, tempat penulis mengajar sebelumnya. Hobi penulis adalah travelling. Email: afianiastuti@gmail.com

8


Total Physical Response (TPR) untuk Pembelajaran Adjective Aji Jehan Fellani SMP Negeri 1 Saguling

Pendahuluan TPR atau Total Physical Response adalah metode yang memiliki prinsip menggerakan anggota tubuh. TPR seringkali digunakan untuk mengajarkan kata kerja (verb). Siswa diminta mendengarkan beberapa kalimat perintah yang kemudian diikuti dengan respon fisik. Pada kesempatan ini, penulis mencoba menggunakan TPR untuk mengajarkan kata sifat (adjective). Tujuannya adalah agar siswa mampu menguasai kata sifat, misalnya agar dapat ‘mendeskripsikan hewan’ dengan cara yang tidak membosankan. Selain itu, diharapkan dengan metode TPR ini, siswa mampu menyimpan kosakata yang berbentuk kata sifat lebih lama dalam ingatan mereka, karena dengan metode ini mereka akan mendapatkan pengalaman berbeda untuk mempelajari kosakata. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas 8A, 8B, dan 8C di SMP Negeri 1 Saguling Kabupaten Bandung Barat.

Implementasi di Kelas 

  

Pada pertemuan pertama, guru membawa gambar seekor kucing. Kemudian, guru memperlihatkan gambar kucing tersebut pada siswa. “look at the picture! This is a cat. It has soft fur. It has small eyes. It has sharp claws. It has a long tail”. Setelah itu, guru memperlihatkan gambar lainnya dan mendeskripsikan gambar tersebut seperti yang dilakukan pada gambar kucing. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 7-8 siswa. Mereka diminta untuk mencari dua jenis hewan yang berbeda dari ensiklopedia yang tersedia di perpustakaan. Setiap kelompok harus memilih jenis hewan yang berbeda dengan hewan yang sudah dideskripsikan pada pertemuan sebelumnya. Apabila ada kelompok yang memilih jenis hewan yang sama, maka ketua kelompok harus mengundinya dengan koin. Yang kalah harus mencari jenis hewan yang lain. Setelah mereka memilih jenis hewan dari ensiklopedia, mereka diminta membuat deskripsi dari hewan tersebut. Mereka lalu mendeskripsikan hewan yang mereka pilih dengan gerakan tubuh. Sebelum mereka menampilkan deskripsi mereka, guru terlebih dahulu mengoreksi tulisan siswa dan mengajarkan pengucapan/pelafalan yang akan mereka sampaikan pada setiap kelompok. Saat menampilkan hasil deskripsi, para siswa memperlihatkan gambar hewan yang akan dideskripsikan disertai dengan gerakan. Misalnya: “an eagle has broad wings”. Maka siswa yang mengucapkan itu haruslah memperagakan seperti apa broad wings tersebut. 9


Siswa saat memperagakan “an eagle has broad wings”.

Siswa saat memperagakan “an arowana has small fins”.

Siswa saat memperagakan “a buffalo has long horns”.

Siswa saat memperagakan “a buffalo has big eyes”.

Siswa saat memperagakan “a cenderawasih has a beautiful tail”.

10


Variasi Kegiatan 1. Dalam kegiatan ini guru berperan sebagai “sutradara” dan para siswa menjadi “aktor dan aktris”. 2. Para siswa menuliskan apa yang mereka deskripsikan di bawah gambar hewan yang mereka deskripsikan. Setelah itu ditempelkan pada setiap sudut ruangan. Para siswa lalu berkeliling melihat gambar serta deksripsi hewan tersebut. Salah satu anggota kelompok (secara bergantian) menjelaskan isi dari gambar dan deskripsi tersebut. Saat menjelaskan, misalnya tentang kalimat “It has broad wings” maka menjelaskannya harus dengan gerakan tubuh. 3. Setelah selesai kegiatan tersebut, guru dapat memberikan lembar kerja (LK) yang berisi gambar-gambar hewan yang telah dideskripsikan oleh para siswa.

Daftar Pustaka Brown, H. Douglas. (2001). Teaching by Principles: an interactive approach to language pedagogy. New York : Longman. Rima Putri. (2014). Metode pembelajaran TPR. Diunduh pada 12 Oktober 2016. [Online]. di http://rima-putri13.blogspot.com/2014/10/metodepembelajaran-bing-tpr-total.html

Biodata Penulis Aji Jehan Fellani adalah seorang guru bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Saguling. Penulis mendapatkan gelar sarjana pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2005. Penulis pernah menjadi juara pertama dalam Youth Community Service Competition yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 2009. Diklat terakhir yang diikuti penulis adalah pembekalan Instruktur Nasional Guru Pembelajar yang diselenggarakan oleh P4TK Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Agustus 2016. Alamat surel penulis: ajifellani@gmail.com

11


Penggunaan Matching Cards untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Menulis Kalimat Past Tense Amalia Rahisa Dewi SMP Negeri 45 Bandung

Pendahuluan Kemampuan menulis adalah keterampilan yang paling sulit diantara ketiga keterampilan berbahasa lainnya. Kemampuan menulis erat kaitannya dengan penggunaan tata bahasa (grammar). Siswa tidak akan mampu menulis dengan baik bila siswa tidak menguasai tata bahasa dengan benar. Menurut Hornby (dalam Uswatun, 2012), “grammar is the rules in a language for changing the form of words and combining them into sentences”. Lebih lanjut menurut Bright (dalam Uswatun, 2012) menjelaskan, “grammar is about form and one way to teach form is to give students rules; however, grammar is about much more than form, and its teaching is ill served if students are simply given rules”. Pada umumnya pembelajaran grammar kurang diminati siswa karena dalam pembelajarannya guru lebih sering menggunakan metode ceramah (teacher centered), guru memberikan rumus pola kalimat past tense, diberikan daftar perubahan kata kerja, siswa menyimak menulis dan setelah itu mengerjakan latihan yang guru berikan. Metode seperti ini membuat siswa bosan, karena siswa hanya menghafal aturan-aturan dalam menulis kalimat past tense. Berdasarkan hal di atas, maka perlu bagi guru memberikan metode yang lebih menarik kepada siswa dalam pembelajaran grammar, yang mampu membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaranya. Biasanya yang menarik untuk siswa pembelajaran melalui permainan (game), karena game dapat membuat mereka bergerak, berkompetisi dalam suasana santai dan menyenangkan. Seperti diungkapkan Anggra ( dalam Harahap, 2015) “game atau permainan adalah sesuatu yang dapat dimainkan dengan aturan tertentu sehingga ada yang menang dan ada yang kalah, biasanya dalam konteks tidak serius dengan tujuan refreshing”. Sedangkan menurut Salen & Zimmerman (dalam Prasetyo, 2012), “game merupakan suatu sistem yang memiliki aturan-aturan tertentu dimana pemain akan terlibat di dalam suatu permasalahan sehingga dapat menghasilkan suatu hasil yang dapat diukur yaitu menang atau kalah”. Pada umumnya permainan menggunakan media, berupa flashcard, game board, puppet, dan lain-lain, walaupun ada beberapa yang tidak mengunakannya. Ibrahim dan Syaodih (dalam Hector, 2012) mendefinisikan media pengajaran sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk 12


menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar. Sementara itu Briggs (Arif S. Sadiman, 2003: 6) dalam Hector berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Berdasarkan hal-hal di atas maka pengajaran grammar melalui permainan perlu untuk diterapkan sebagai upaya agar siswa tertarik mempelajarinya karena disajikan dalam suasana yang menyenangkan. Dalam pengajaran grammar penulis menggunakan metode “matching cards�. Penulis menggunakan metode ini dalam pengajaran past tense, dengan menggunakan 2 set flashcards kata kerja bergambar; kata kerja I dan II baik kata kerja beraturan ataupun tidak beratuan. Penelitian ini dilakukan dikelas VIII-D SMPN 45 Kota Bandung dalam waktu 2 x 40 menit. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menambah wawasan untuk guru dalam membuat pembelajaran grammar menjadi lebih menarik dan berbagi pengalaman dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis kalimat past tense.

Implementasi di Kelas Permainan ini dimainkan dengan cara siswa mencari pasangan kata kerja I dengan kata kerja II. Siswa yang paling cepat menemukan pasangan mereka dengan benar berhak mendapat poin terbesar. Melalui metode ini siswa mempelajari perubahan kata kerja dari kata kerja I menjadi kata kerja II yang digunakan didalam menulis kalimat past tense. Terlebih dahulu siapkan dua set flashcards yang terdiri dari kata kerja I dan II, dilanjutkan langkah-langkah selanjutnya antara lain : 1. Langkah pertama, siswa dan guru melakukan tanya jawab tentang kegiatan yang dilakukan kemarin. 2. Langkah kedua, guru menyiapkan dua kolom pada papan tulis untuk kegiatan yang setiap hari dilakukan dan kegiatan yang kemarin telah dilakukan. 3. Langkah ketiga, guru memberikan contoh kalimat tentang kegiatan yang setiap hari dilakukan dan kegiatan yang kemarin telah dilakukan 4. Langkah keempat, guru memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan dengan flashcard yang mereka miliki, sampai mereka benarbenar paham sebelum kemudian guru membagikannya. 5. Langkah kelima, flashcards dibagikan secara acak, masing-masing siswa mendapat satu flashcard. Kemudian guru memberi aba-aba dengan menghitung 1‌2‌3‌go. Gunakan penghitung waktu (stopwatch) untuk menghitung waktu tercepat bagi siswa yg berhasil menemukan pasangannya dengan benar. Setelah selesai semua mendapat pasangan, kemudian siswa diberi waktu 5 menit untuk menuliskan kalimat dengan menggunakan kata kerja yang mereka 13


miliki dan menuliskannya pada kolom yang telah disediakan. Pasangan yang berhasil membuat kalimat dengan benar dalam waktu 5 menit atau kurang dari 5 menit, mendapat tambahan poin. Jika waktu yang disediakan telah berakhir maka siswa tidak diperkenankan lagi untuk menuliskan kalimatnya, dan mereka kehilangan poin tambahan. 6. Langkah terakhir, setelah semua kelompok selesai, guru mengumumkan pasangan mana yang selesai tercepat dan juga yang selesai paling akhir. Setelah itu, guru mengumumkan pasangan mana yang berhasil mendapatkan poin terbanyak dan berhasil membuat kalimat dengan benar, (jumlah poin dilihat dari tingkat kebenaran kalimatnya). Guru memberikan penghargaan (reward) kepada pasangan yang tercepat dan yang paling banyak memperoleh poin.

Variasi Kegiatan Permainan matching cards ini tidak hanya bisa digunakan dalam pengajaran grammar saja, tetapi bisa juga digunakan untuk reading comprehension, speaking (teks transaksional dan interpersonal), dan writing (descriptive, narrative and recount text).

Daftar Pustaka Sumber dari internet: Diunduh pada 13 Agustus 2016 eprints.uny.ac.id/8205/3/BAB%20207203244042.pdf Diunduh pada 13 Agustus 2016. [Online]. di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34493/3/Chapter%20II.pdf Diunduh pada 20 Agustus 2016 repository.usu.ac.id/bitstream/.../4/Chapter%20II.pdf Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2016 eprints.uny.ac.id/.../COVER%20-%2005208244044.p...

Biodata Penulis Amalia Rahisa Dewi adalah seorang guru bahasa Inggris di SMP Negeri 45 Bandung. Pendidikan S1 jurusan bahasa Inggris. Hobi menyayi dan membaca novel. Surel: dewirahisa@gmail.com

14


Raising Awareness of Bullying Through Game “Crumpling Ijah” Anis Widjiyanti SMK Negeri 1 Kota Sukabumi

Introduction One day when I entered a class, I found a student sit under a table rocking back and forth. His face was all but cheerful. When I asked what had happened, he said that he did not want to sit on table because his classmates would call him names and bully him. The reality hit me. Bullying was real and troubling my students. In SMK, where most students come from underprivileged families, long hour learning and repeated practices, resembling working situation in factories and production houses, bear stress to the students. Therefore, according to some students, teasing their friends is an easy way to release stress. But, what the students are not aware of is the impact of the teasing to their friend’s feeling and emotion. Many people believe that teasing, calling names, putdowns and cruel criticisms are parts of growing up. Those verbal humiliation, as well as physical assault, are allegedly said to build strong personal quality. Nevertheless, researches steadily reports that negative impact of bullying last longer than school time. The hatred, anger and desperation are hidden by the victims only to be exploded on another day. According to Cambridge Online Dictionary, bullying is an act “to hurt or frighten someone who is smaller or less powerful than you, often forcing that person to do something they do not want to do”. The person who conduct bullying is called “a bully”. US Departement of Health and Human Services defines bullying as an aggressive behavior implying imbalance of power of a perpetrator to a victim or victims. The behavior is repeated or potentially repeated. Bullying is not just another agressive behavior. Besides being agressive, bullying is charaterized by the use of power, be it physical, information or popularity power, in an effort to control or harm others. To be called a bullying, an action must be repeated or having potential to repeat. Bullying takes form in several types, physical, verbal and social. Bullying takes place in many places. However, schools have been the breeding ground of bullying for long time. It is understandable because most students spend significant amount of their time at schools. It is at schools that most teenagers sosialize with their peers. Some students direct their frutrasion of their life at home or class by bullying other weaker students at school. The lack of attention from school, teachers and parents let some agressive students behave badly in order to gain power and popularity. SMK students in particular are more prone to bullying caused by life adversity they experience. Astiyanti (2016) on her research shows that many students enroling to SMK came from underprivileged families. They face some adversity such as poverty, abuse, child working, disfunctional family 15


and losing family members. Long hour trainings add stress to the students. Some students try to reduce the effect of the stress by joining extra curricullar activities. Many others use teasing each other as an outlet to relese the stress. Some use it over the limit and bully other students. Teenagers tease each other. But there are times when teasing turns in to the dangerous bullying. Bisbing (2012) elaborates that to be called a bullying, an imbalance of power must exist in an action. The victims have the hard time defending themselves. The power can be physical, social status or popularity. The intention of the harsh behavior is to put down and humiliate the victims. The action is also done again and again. Mutual conflict and single act aggressiveness are not classified as bullying. This article will elaborate a strategy which has been applied in SMK N 1 Kota Sukabumi Grade 12 Surveying Program. The students of this class are mostly from low income families and average to low academic achievement.

Classroom Implementation Meri Wallace (2012) suggests several steps schools and teachers can do to prevent bullying, even before it happens. One of them is conducting classroom discussion and activities designed to sensitize and promote selfawareness to the students of the damage of bullying. This education aims at helping students make better, more responsible and positive choices. The game “crumpling Ijah� is a game to show how damaging bullying can be. It shows bullying effect is irreversible. The expected result is students acknowledge bullying as a dangerous behavior. Acknowledging the harm of bullying is the first step to eradicate bullying altogether. This technique has been repeated several times and consistently gives significant impact to the students. It raise awareness of how their actions, as mere as calling names, has tremendous irreversible damage. After having English lesson with this technique, students expressed their acknowledgement of bullying and some even apologized to their friends.

The classroom activities are as follow: 1. Students in groups are given pictures of a girl/a boy. Teacher puts the same picture on the board. 2. The class give names to the picture. Teacher give the picture name 16


“Ijah”; an acronym of “Ih Jahat”. The groups then bully the picture by writing cruel words to bully the character. 3. After bullying the pictures to their heart content, the pictures are then crumpled to make a small paper ball. The students do the crumpling by pouring all anger and hatred they feel towards the charact er on the picture. 4. Then, teacher asks the group to refine the crumpled paper. They can even bring it home to iron it or whatever method to make it as it is before the crumpling. 5. Students reflect the game relating it to what could happen to a bully victim. The expected outcome is that the students relies that bullying has permanent, irreversible effects on the victim. 6. The groups then elicit one word to describe bullying. Teacher guide students to express their opinion dealing with bullying.

Variation This activity can be followed by making anti bullying posters, writing poem, investigating bullying and other activities. Instead of Ijah, teachers can also change the name of the picture.

References Astiyanti, Nurjanni. 2016. Compensatory model of resilience process among poor adolescents in vocational high schools of Kota Sukabumi. Thesis. Padjajaran University Bauman, Sheri & Yoon, Jina . 2014. Editorial:This Issue: Theories of Bullying and Cyberbullying. Theory into Practice, vol 53, 2014. the College of Education and Human Ecology, Ohio State University Kenzi Bisbing, Teasing, Fighting, Bullying….What’s the difference? Accessed on October 10, 2016 at 10.13 in www.mediation-omc.org/YouthTraining.aspx. Butkus, Michael . 2012. Understanding The Consequences Of Bullying. Accessed on October 10 2016 at 10.34 in http://www.howtolearn.com/2012/07/understanding-the-consequences-ofbullying/. 17


http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/bully Accessed on October 10, 2016, at 10.10 http://eschooltoday.com/bullying/Why-do-people-bully.html Accessed on October 10, 2016, at 10.45 http://preventingbullying.promoteprevent.org/4-bullies-victims-and-bystanders Accessed on October 10, 2016, at 10.55 https://www.stopbullying.gov/what-is-bullying/definition/index.html#types Accessed on October 10, 2016, at 10.30 Rudolph, Karen D. Abaied, Jamie L. Flynn, Megan, Sugimura, Niwako and Agoston, Anna Monica. 2011. Developing Relationships, Being Cool, and Not Looking Like a Loser: Social Goal Orientation Predicts Children’s Responses to Peer Aggression. Child Development, 29 AUG 2011 Wallace, Meri. 2012. 7 Ways School can Prevent Bullying. Accessed on October 10, 2016, at 23.00 in www.psychologytoday.com.

Biodata Penulis Anis Widjiyanti is a teacher in SMK Negeri 1 Sukabumi. She graduated from Universitas Pendidikan Indonesia in 2002 and have been teaching since her 3rd semester of her teacher training. She is interested in developing teaching methodology which connect English to real issues in teenage life. She can be contacted through email anis.widjiyanti.sobandi@gmail.com

18


Penerapan Modifikasi Metode “Running Dictation” untuk Keterampilan Writing dalam Pembelajaran Teks Naratif di Kelas XII SMA Negeri 2 Majalaya Atin Supartini SMA Negeri 2 Majalaya

Pendahuluan Bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang diajarkan di sekolah Indonesia, sebagai bahasa asing, kesulitan dalam menerapkan pembelajarannya terkait berbagai hambatan, diantaranya yaitu kosakata, srtuktur kalimat, grammar dan lainnya. Bahasa Inggris juga termasuk dalam enam mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada tingkat SMA. Pembelajaran Bahasa Inggris dalam Kurikulum KTSP 2006, mengharuskan siswa untuk menguasai 4 keterampilan, yaitu keterampilan listening, speaking, reading, dan writing. Penulis berpendapat bahwa banyak metode yang bisa diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris ini. Penerapan model pembelajaran juga didasarkan pada kreatifitas guru, dan kondisi lingkungan. Atas dasar hal tersebut, penulis tertarik untuk menerapkan metode ”running dictation” dengan sedikit modifikasi. Pelaksanaan pembelajaran yang merupakan modifikasi dari metode running dictation ini diselenggarakan di SMAN 2 Majalaya kelas XII di tempat penulis mengajar pada anak tingkat tersebut. Populasinya adalah siswa-siswi kelas XII IPA sebanyak 5 kelas, yaitu sejumlah 202 orang siswa. Metode ini diterapkan karena pada kurikulum KTSP 2006, narrative text diajarkan dalam tiga tingkatan yaitu kelas X, XI dan untuk kelas XII diselenggarakan dalam dua semester, hal ini bisa mengakibatkan siswa merasa jenuh dengan model pembelajaran yang didapatkan di kelas sebelumnya. Selain itu, pengajar pun akan merasa jenuh. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba untuk menerapkan modifikasi metode running dictation di kelas penulis sendiri. Menulis Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa. Banyak ahli telah mengemukakan pengertian menulis, diantaranya menurut pendapat Saleh Abbas (2006: 125), “keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain dengan melalui bahasa tulis. Ketepatan pengungkapan gagasan harus didukung dengan ketepatan bahasa yang digunakan, kosakata dan gramatikal dan penggunaan ejaan”.

19


Running Dictation Running dictation adalah sebuah model dimana guru memilih sebuah teks atau dialog pendek dan membuat sejumlah salinan yang kemudian diletakkan pada dinding kelas. Siswa baik secara berpasangan maupun dalam kelompok kecil berjalan (atau berlari) untuk membaca teks yang tertempel pada dinding. Mereka mengingat sejumlah teks kemudian kembali ke kelompok masing-masing. Secara perlahan mereka mendiktekan apa yang mereka ingat kepada rekan di kelompoknya, rekannya tersebut menuliskan apa yang mereka dengar. Kemudian mereka bertukar peran. Setelah beberapa kali bertukar peran, mereka diminta membangun seluruh teks yang sesuai dengan yang ditempel pada dinding. Artinya bahwa mereka harus mengulangi tahap tersebut berkali-kali (bolak-balik) karena siswa hanya bisa mengingat 3 atau 4 kata yang mereka baca. Narrative Text Definisi teks narasi adalah cerita imajinatif yang bertujuan untuk menghibur pembaca.    

Generic Structure Orientation : bagian pembuka yang berisi pengenalan tokoh, tempat, dan waktu terjadinya cerita (siapa atau apa, kapan dan dimana) Complication : permasalahan muncul/mulai terjadi dan berkembang Resolution : masalah selesai (secara baik "happy ending" ataupun buruk "bad ending�) Coda : Tidak semua teks naratif memiliki coda. Coda adalah bagian terakhir yang berisi perubahan yang terjadi pada tokoh dan pelajaran yang dapat dipetik dari cerita tersebut.

Grammar Grammar atau tata bahasa yang sering muncul dalam teks naratif adalah bentuk kalimat lampau (past), baik simple, past perfect, past continuous, past perfect continuous, atau past future continuous. Selain itu sering juga ditemukan action verb dalam bentuk past tense. Jenis-jenis Tipe Belajar Individu Sejalan dengan hal tersebut, DePetter dan Hearchi mendeskripsikan ciri-ciri tipe belajar seseorang sebagai berikut:

(2003),

1. Tipe Visual: orang visual akan lebih memahami melalui apa yang mereka lihat. Warna, hubungan ruang, potret mental dan gambar menonjol dalam modalitas ini. 2. Tipe Auditori: orang dengan tipe ini akan lebih memahami sesuatu melalui apa yang mereka dengar. Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata. Musik, irama, dialog internal dan suara. 3. Tipe Kinestetik: orang dengan tipe kinestetik belajar malalui gerak, emosi dan sentuhan. Modalitas ini mengakses pada gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik. 20


Implementasi di kelas Sebuah metode dari cara belajar bahasa Inggris yang menyenangkan yaitu melalui running dictation. Selain kognitif, psikomotor siswa juga terlatih melalui kegiatan ini. Kegiatan ini bertujuan selain untuk membuat siswa fun, juga bertujuan antara lain untuk: 1. Melatih siswa mengingat kosakata maupun kalimat; 2. Menuliskan kembali kosakata maupun kalimat tersebut dengan benar; 3. Menyusun kata/kalimat acak menjadi kalimat/paragraf yang padu. Tahap implementasi running dictation yang penulis laksanakan yaitu sebagai berikut: 1. Penulis menyiapkan delapan teks naratif yang berbeda (tidak masalah jika panjang teks berbeda). Toleransi diberikan pada masing-masing kelompok nantinya. Kegiatan ini bisa dilaksanakan untuk 2 jam pelajaran dengan durasi 1x45 menit per jam pelajaran. 2. Penulis membagi siswa (disesuaikan dengan jumlah siswa). Penulis membagi siswa dengan berhitung, yang pertama berhitung adalah siswa satu sampai delapan, sehubungan ada 40 siswa di kelas yang penulis ajar. Selanjutnya siswa bergabung dengan kelompoknya sesuai dengan hitungan. Dan diperoleh delapan kelompok, kemudian kita persilahkan tiap kelompok untuk duduk sesuai dengan keinginan mereka. Lalu tempelkan teks dengan memperhatikan jarak kelompok dengan teks yang ditempel. Hindari penempelan yang terlalu dekat.

3. Penulis meminta setiap kelompok untuk menyediakan selembar kertas yang bertuliskan nama kelompok dan anggotanya, selanjutnya membacakan aturan bermain sebagai berikut:  Siswa secara bergantian menuju teks yang ditempel di dinding dan menuliskan apa yang diingatnya ke dalam selembar kertas yang telah disediakan.  Siswa tidak mencatat atau membawa kertas mendekat ke teks.

21






Hanya satu orang siswa yang berada di depan teks, dan bisa diganti secara bergiliran sampai seluruh teks selesai dicatat oleh masing-masing siswa. Siswa di persilahkan untuk bolak-balik baik secara bergantian dengan berjalan ataupun berlari.

4. Selanjutnya siswa langsung melakukan kegiatan mengucap kata “mulai�.

saat

penulis

Beberapa dokumentasi kegiatan pelaksanaan running dictation:

22


5. Kelompok yang telah selesai, teks kemudian dicabut oleh penulis dan memberikannya kepada kelompok yang sudah selesai tersebut. Kemudian, secara bersama-sama dalam kelompok tersebut memeriksa sejumlah kata yang terlewat ataupun yang salah dalam penulisan. Setiap kesalahan ditandai dengan memberi tanda bulat pada kata tersebut.

6. Siswa dalam kelompok menghitung jumlah kesalahannya. 7. Selanjutnya siswa menganalisis teks yang diperolehnya, mulai dari generik structure sampai dengan ciri kebahasaan teks. Demikian kegiatan pelaksanaan running dictation yang penulis modifikasi, untuk memberikan pembelajaran yang menyenangkan.

Kesimpulan Meskipun para pengajar kelas XII dituntut untuk menjadikan siswanya mendapat nilai 5,5 dari rata-rata Ujian Nasional, namun tidak ada salahnya bagi guru kelas XII untuk memberikan pembelajaran yang menyenangkan yang bisa dikenang oleh para siswa sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Melalui kreatifitas, masing-masing pengajar dapat memodifikasi model-model yang sudah ada menjadi model yang nyaman baik itu untuk pengajar itu sendiri maupun bagi para siswa. Maka dari itu, penerapan modifikasi model running dictation perlu untuk diterapkan di kelas-kelas pembelajaran bahasa Inggris, dan jangan pernah ragu untuk mencobanya.

23


Daftar Pustaka Alimudin, Yulia. (2009). Pembelajaran Menulis. Diunduh pada 28 Agustus 2016. [Online]. http://pembelajaranmenulis.blogspot.com/. K, Indra. (tanpa tahun). Running Dictation Strategy. Diunduh pada 28 Agustus 2016. [Online]. http://www.proenglishteacher.com/2015/04/strategirunning-dictation-untuk.html. Solikhah, Ani. (2013). Keterampilan Menulis. Diunduh pada 28 Agustus 2016. [Online]. http://anisolikhah.blogspot.co.id/2013/11/keterampilan-menulis.html. Sunarti & Anggraini, D. (2009). Keterampilan Berbahasa Indonesia: Bahan Ajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia 3. Yogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta. Diunduh pada 28 Agustus 2016. Syandres. (2013). Mengenal Tipe Belajarmu; Visual, Auditori atau Kinestetik. Diunduh pada 28 Agustus 2016.[Online]. https://sandurezu.wordpress.com/2013/02/05/mengenal-tipe-belajarmuvisual-auditori-atau-kinestetik/. Tanpa nama. (2010). Pembelajaran Menulis Bab II. Diunduh pada 28 Agustus2016. [Online]. http://senandungpena.blogspot.com/2010/07/pembelajaran-menulis-partii.html#.UsKCsoXMfIU. Tanpa nama. (2018). Narrative Text - Full Materi & Contoh 2018. Diunduh pada 28 Agustus 2016. [Online] http://www.englishindo.com/2015/09/narrative-text-materi-contohterlengkap.html#ixzz4IQSi9Wa1

Biodata Penulis

Penulis merupakan pengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri 2 Majalaya. Pengalaman yang mengesankan yang pernah penulis alami adalah saat bergabung dalam Teacher Development Program yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung bekerja sama dengan KEA (Knowledge Exchange Australia) yaitu study banding pendidikan di Adelaide ibu kota South Australia selama 3 minggu. Membaca merupakan hal yang menjadi prioritas penulis. Alamat korespondensi penulis bisa dilakukan melalui atinsupartini75@yahoo.com

24


Feel Good Exercise, Upaya Peningkatan Kualitas Karakter Siswa melalui Personal Branding. Cicin Kuraesin SMAN Tanjungsari, Sumedang

Pendahuluan Mampu menghadapi segala kemungkinan, terbuka akan perubahan, mampu bekerja sama, jujur, bertanggung jawab, dan saling menghormati adalah karakter-karakter yang diharapkan dapat dimiliki siswa melalui penerapan Kurikulum Nasional. Hal ini tercantum dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar tingkat SMA yang tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan kognitif yang ditandai dengan ketuntasan belajar, tetapi juga adanya penilaian karakter selama proses pembelajaran sehingga ungkapan proses tidak akan mengkhianati hasil adalah sebuah kemutlakan. Maka, seorang siswa tidak serta-merta mendapatkan hasil penilaian di akhir yang baik tanpa disertai hasil evaluasi dan refleksi selama proses pembelajaran yang baik pula. Penilaian proses dan kinerja akan memberikan sketsa sederhana terkait dengan kegiatan yang dilakukan, tidak hanya kepada siswa, guru, dan pihak sekolah yang terlibat saat proses pembelajaran berlangsung, tetapi juga kepada orang tua sebagai bagian dari pemamngku kepentingan yang secara tidak langsung bersinggungan dengan kegiatan pembelajaran dan mengharapkan hasil yang terbaik. Orang tua tentunya menginginkan gambaran yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam keseharian anaknya selama proses pembelajaran berlangsung. Metode dan teknik pembelajaran sebagai gambaran spesifik atas cara yang akan dilakukan selama proses pembelajaran di kelas perlu dipilih secara selektif agar siswa, guru, sekolah, orang tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara luas dapat merasakan dampak positif yang dihasilkan. Salah satu metode yang cukup berhasil diterapkan di sekolah kami adalah metode Feels Good Exercise yang merupakan penyederhanaan dari konsep personal branding yang diterapkan di dunia pemasaran untuk meningkatkan kinerja dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Hal ini dapat terjadi karena setiap individu merasa dirinya istimewa dan dihargai oleh sesama yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada individu yang bersangkutan, serta rasa hormat dan jujur dari rekan kerja, dalam hal ini adalah antara siswa dan temannya.

Implementasi di Kelas 1. Positive Personal Branding Personal Branding yang dimaksudkan di pembelajaran ini adalah positive personal branding, jadi siswa tidak diperbolehkan mencela atau menghina tampilan fisik, sikap, prestasi, dan barang yang dimiliki temannya. 25


2. Skema Feels Good Exercise Metode ini disebut feels good exercise karena siswa yang bersangkutan dan teman-teman di sekitarnya dapat mendapatkan efek feel better about themselves and also others around them. Dengan peralatan yang sangat sederhana, yakni pulpen, selotip, dan kertas, siswa dapat mengenali kelebihan temannya, baik secara fisik, sikap, emosional, maupun dari segi kepemilikan barang yang mereka miliki. Penulis menerapkan metode ini pada pembelajaran complimenting and congratulating di kelas X semester I tahun ajaran 2017/2018 yang berjumlah 35 orang siswa dan dilakukan dalam satu siklus. Sebelum melakukan aktivitas yang dimaksud, siswa terlebih dahulu diberi penjelasan singkat tentang fungsi ungkapan complimenting and congratulating, yaitu untuk memuji physical apprearance, behavior, achievement, dan things, serta struktur ungkapan yang lazim digunakan, seperti a. What a great haircut! b. You are so kind and helpful. c. I heard you’ve won the story telling competition, congratulations! d. I like your watch. It looks cool on you. Hal yang ditekankan pada kegiatan ini, selain akurasi ungkapan, adalah kejujuran, di mana siswa dianjurkan untuk memuji atau memberi selamat terkait hal yang mereka rasakan terhadap temannya. Sebagai ilustrasi, jika ia tidak menyukai tampilan fisik temannya, ia masih bisa memuji temannya dari sikap, prestasi, atau benda dan barang yang dimiliki temannya. 3. Langkah-langkah Kegiatan a. Setiap siswa ditempeli kertas yang berisi nama di punggungnya. b. Siswa diminta untuk menuliskan pujian atau ucapan selamat kepada 10 teman menggunakan pulpen selama 15 s.d. 20 menit.

c. Guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu siswa yang merasa kesulitan menemukan kata yang dimaksud untuk memuji atau memberi selamat. d. Di akhir pembelajaran, satu per satu siswa membacakan salah satu pujian yang sangat ia sukai dan berterima kasih kepada temantemannya atas pujian yang ia terima. e. Kertas pujian yang telah diterima siswa boleh dibawa pulang oleh siswa, tetapi siswa harus memfotokopinya untuk guru sehingga siswa dapat menyimpan dokumen asli dan guru mendapatkan duplikatnya. Sebagai catatan, siswa tidak diperbolehkan meminta pujian dari temannya agar pujian diberikan secara jujur dan sukarela. Siswa yang 26


mendapat pujian pada kertas di punggungnya tidak diperbolehkan melihat siapa yang memuji dan isi pujian yang diberikan temannya sampai aktivitas tersebut selesai dilaksanakan. Guru harus jeli melihat siswa sehingga jika ada siswa yang belum mendapatkan pujian, guru harus bertindak dengan cara mengingatkan temannya untuk memberikan pujian secara jujur dan objektif. Hasil kegiatan menunjukkan 40,2% siswa memuji tampilan fisik temannya, 39,4% memuji sikap temannya, 15,4% memuji prestasi yang diraih temannya, dan 5% memuji barang yang dimiliki temannya. Kemudian, terkait pujian yang dipilih siswa untuk dibacakan, 40% siswa membaca pujian tampilan fisik, 34% siswa membaca pujian sikap, dan 26% siswa membaca pujian prestasi yang diraih. Dari segi jumlah pujian, 1 siswa mendapatkan 3 pujian, 1 siswa mendapatkan 4 pujian, 6 siswa mendapatkan 5 pujian, 3 siswa mendapatkan 6 pujian, 11 siswa mendapatkan 7 pujian, 9 siswa mendapatkan 8 pujian, 3 siswa mendapatkan 9 pujian, dan 1 siswa mendapatkan 10 pujian. Dari data tersebut, kita dapat menarik simpulan bahwa siswa di kelas X umumnya lebih nyaman memuji dan dipuji tampilan fisik, serta rata- rata siswa mendapatkan 7 pujian. Kemudian, untuk memastikan apakah target pembentukan positive personal branding pada siswa tercapai atau tidak, guru bertanya kepada siswa secara umum tentang kualitas peningkatan citra yang mereka miliki terhadap diri sendiri dibandingkan dengan sebelum aktivitas dilakukan. Hasilnya, 34 siswa atau sekitar 97% mengatakan lebih meningkat citra dirinya dan 1 siswa atau 3% mengatakan biasa saja. Sebagai penutup pembelajaran, guru menekankan pentingnya keistimewaan yang dimiliki oleh setiap siswa yang menjadikan mereka sehingga mereka patut percaya diri dengan segala kekurangan dan kelebihannya, because everybody is special. Begitupun teman-temannya yang diharapkan selalu mampu memfokuskan interaksi positif dengan cara saling menghargai. Berdasarkan kesaksian siswa, mereka bangga menyimpan kertas pujiannya di bukunya, bahkan ada yang memajangnya di kamar sebagai penyemangat setiap kali mereka bangun di pagi hari atau ketika sedang mengalami bad mood. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini telah memberikan kontribusi positif kepada siswa dalam mengenali dan membentuk personal branding yang mereka miliki. Secara umum kegiatan ini tidak hanya berdampak pada pencapaian siswa, tetapi juga memberikan bukti fisik perihal kinerja siswa di kelas kepada pihak luar (orang tua dan anggota keluarga yang lain) yang tidak terlibat secara langsung saat proses pembelajaran berlangsung.

Variasi Kegiatan Kegiatan ini dapat divariasikan terkait jumlah teman yang diberikan pujian, alat tulis yang dipakai, misalnya memakai spidol, atau jumlah pujian yang akan dibacakan.

27


Daftar Pustaka DeMers, J. (2014). 5 Steps to Building a Personal Branding (and Why You Need One). [Online]. Diakses dari https://www.inc.com/jaysondemers/5-steps-to-building-a-personal-brand-and-why-you-needone.html Peace Corps. (2013). Feels Good Exercise.

Biodata Penulis Cicin Kuraesin adalah seorang ibu dari 2 orang putra dan 2 putri. Ia juga seorang guru bahasa Inggris di SMAN Tanjungsari, Sumedang (2009-sekarang). Sebelumnya pernah mengajar di SDN Lembang VII, AlAzhar Parahyangan Satya International School, SMA Nusantara Bandung, UIN Sunan Gunung Djati, STMIK PKN LPKIA, serta beberapa lembaga kursus bahasa Inggris di Bandung dan sekitarnya. Selama bertugas sebagai Peace Corps USA Volunteer CounterPart Teacher, ia pernah menyelenggarakan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan guru-guru bahasa Inggris di daerah sekitar, seperti mengadakan workshop bahasa Inggris dan English Camp IGlow untuk siswa-siswa SMA di Sumedang. Travelling adalah hobi penulis. Penulis dapat dihubungi melalui surel Cin_tea@yahoo.com

28


Pemanfaatan “Powtoon� untuk Pengajaran Comparison Corry Caromawati Institut Teknologi Nasional

Pendahuluan Tata bahasa atau grammar selalu menjadi momok bagi mahasiswa yang mengambil kelas bahasa Inggris. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri bahwa pengajaran grammar sangat penting disamping kosakata (vocabulary), karena apabila vocabulary diibaratkan batu bata, maka grammar adalah semen yang merekatkannya (Chapelle &Jamieson, 2008). Sayangnya, pengajaran grammar sering kali ditekankan pada strukturnya saja sehingga mahasiswa tidak dapat melihat pentingnya fitur-fitur grammar tersebut bagi mereka. Alhasil, pengajaran grammar hanya identik dengan peningkatan explicit knowledge mahasiswa, bukan implicit knowledge (Hulstijn & Graaff, 1994). Oleh karena itu, pengajaran grammar perlu dilakukan secara terintegrasi dengan keterampilan bahasa (skills) yang salah satunya adalah aspek berbicara (speaking). Selain pentingnya integrasi grammar dan skills, konten adalah hal penting lain yang sering dilupakan dosen bahasa Inggris. Padahal, konten berfungsi untuk membantu pengajaran grammar menjadi lebih meaning-focus (Batstone & Ellis, 2009). Karena tidak terkaitnya form dan meaning ini, maka pengajaran bahasa Inggris seolah-olah jauh dari sasaran Language Use Domain (TLU) mahasiswa. Mengaitkan language feature, dalam hal ini grammar, dengan konten yang familiar bagi mahasiswa akan membuat level authenticity pembelajaran bahasa Inggris tinggi sehingga mereka akan mampu mempersonalkan (personalize) grammar point yang kita ajarkan. Dengan demikian, kita sebagai pengajar akan membuat situasi dimana anak didik kita memiliki instrumental motivation, yakni motivasi belajar bahasa Inggris untuk kebutuhan profesional mereka kelak. Seperti yang kita ketahui, motivasi adalah salah satu faktor pendukung language acquisition (Ellis, 2008). Project ini dilakukan di jurusan arsitektur di Institut Teknologi Nasional, Bandung. Di kampus kami, mahasiswa yang mengambil kelas bahasa Inggris 1 adalah mereka yang berada di level pemula. Itulah sebabnya, pengajaran grammar dirasa perlu, namun pada saat bersamaan, mereka juga perlu meningkatkan language skills mereka. Kelas yang saya pillih ini dihadiri oleh 45 mahasiswa. Melihat jumlah mahasiswa yang ada, masalah yang kami hadapi selanjutnya adalah kesulitan untuk meminta mereka melatih speaking mereka, menilainya, kemudian memberikan constructive feedback, sangat sulit dilakukan. Itulah sebabnya, pemanfaatan teknologi (ICT) perlu dilakukan demi meningkatkan practicality (Chapelle, 2001). Pemilihan Powtoon berdasar pada akses yang tidak berbayar dan fitur yang memungkinkan mahasiswa untuk berkreasi dengan menggunakan 29


animasi-animasi yang tersedia di Powtoon, merekam suara mereka, kemudian mengunggahnya ke media sosial lain seperti Facebook dan Youtube. Akan tetapi, di project ini, Youtube dipilih karena dosen dan mahasiswa lain dapat mengakses dengan mudah dan meninggalkan komen sebagai masukan pada karya yang diunggah tersebut. Di project ini, Grammar point yang sedang dibahas adalah comparative dan superlative. Kemampuan membandingkan dan mengkontraskan dua hal atau lebih merupakan salah satu kemampuan penting yang perlu dimiliki mahasiswa sesuai dengan knowledge framework (Mohan, 2007).

Implementasi di Kelas Dosen menjelaskan mengenai form dan function dari comparative dan superlative form untuk membandingkan (comparing) and membedakan (contrasting). Contoh: She is taller than her sister. The yellow bag is more expensive than the red one. The food in this restaurant is better than that of in that restaurant. She is the tallest person in class. That is the most expensive bag I have ever known. The food in this restaurant is the best in town. Mahasiswa diminta untuk membuat kalimat sederhana kontennya membandingkan dan membedakan dua hal atau lebih. Beberapa dari mahasiswa diminta untuk menuliskan kalimat yang mereka buat di papan tulis untuk selanjutnya dibahas keakuratannya. Mahasiswa dibagi dalam kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang. Tiap kelompok diminta untuk menentukan satu topik yang berhubungan dengan bidang arsitektur termasuk bangunan, bahan bangunan, atau desain interior. Di topik yang mereka pilih, mereka harus membicarakan tiga hal atau lebih untuk dibandingkan. Informasikan kepada mahasiswa bahwa di dalam Powtoon mereka nanti harus terdiri dari susunan sisi sebagai berikut: - Memperkenalkan diri dan memperkenalkan topik. - Mendeskripsikan hal-hal yang mereka pilih dengan didukung faktafakta. - Membandingkan dan membedakan hal-hal yang mereka pilih. Selain itu, dosen juga menyampaikan bahwa hasil karya mereka akan dinilai dengan beberapa kriteria, yaitu keakuratan grammar (terutama comparative dan superlative), susunan penyampaian konten (sesuai yang dijelaskan di atas), dan cara pengucapan mereka. Dosen membagikan tautan untuk mengakses file pada Google sheet guna diisi mahasiswa mengenai topik yang mereka pilih (lihat gambar 1).

30


Gambar 1.penampilan file pada Google Sheet

Dosen meminta mahasiswa untuk menjelaskan konten dari topik yang mereka pilih untuk memastikan adanya pembandingan dan pembedaan pada Powtoon yang akan mereka sampaikan nantinya. Setelah semua topik sudah dianggap on-track, dosen memberikan waktu tiga hari untuk mengumpulkan fakta yang akan digunakan pada Powtoon mereka. Setelah mereka melaporkan hasil riset mereka menyangkut fakta-fakta tersebut, dosen memberikan waktu empat hari untuk mahasiswa menyelesaikan proyek Powtoon mereka. (note: Dalam kurun waktu ini, dosen senantiasa dapat dihubungi untuk mengonsultasikan masalah-masalah yang mahasiswa hadapi). Setelah mahasiswa menyelesaikan proyek mereka, mereka menyertakan tautan proyek mereka di Google sheet yang berisikan topik mereka. Dosen memainkan Powtoon hasil karya mahasiswa di kelas sambil menilai apa yang dijelaskan pada butir 4.

Gambar 2 Contoh Powtoon hasil karya mahasiswa Arsitektur https://www.youtube.com/watch?v=jIrsHiV6R1Y&feature=youtu.be

Sebagai contoh (lihat Gambar 2), dua mahasiswa memilih topik “the biggest stadium�. Di dalam Powtoon mereka, mereka memperkenalkan tiga stadium, memberikan informasi kapasitas setiap stadium, kemudian membandingkan dan membedakannya. 31


Setelah penilaian, dosen memberikan feedback pada mahasiswa mengenai performa mereka yang meliputi apa yang disebutkan pada butir 4. Contoh, penggunaan the bigger stadium yang seharusnya the biggest stadium, etc.

Variasi Kegiatan -

Topik dapat diganti disesuaikan bidang mahasiswa. Penggunaan Powtoon dapat diganti dengan Movie Maker atau Voice Thread. Feedback dapat digunakan untuk merevisi Powtoon mereka.

Daftar Pustaka Batstone, R., & Ellis, R. (2009). Principled grammar teaching. System,37(2), 194-204. Chapelle, C. (2001). Computer applications in second language acquisition. Cambridge University Press. Chapelle, C. A., & Jamieson, J. (2008). Tips for teaching with CALL. White Plains, NY: Pearson Education. Ellis, R. (2008). The study of second language acquisition. Oxford University. Hulstijn, J. H., & Graaff, R. D. (1994). Under what conditions does explicit knowledge of a second language facilitate the acquisition of implicit knowledge? A research proposal. Aila Review, 11, 97-112. Mohan, B. A. (2007). Knowledge structures in social practices. In International handbook of English language teaching (pp. 303-315). Springer US.

Biodata Penulis Corry Caromawati adalah seorang dosen bahasa Inggris di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Bandung. Selain sebagai dosen, saat ini penulis juga menduduki posisi sebagai kepala bagian Kantor Urusan International (KUI). Penulis meraih gelar master of arts di bidang applied linguistics dengan spesialisasi Computer-Assisted Language Learning (CALL) di Iowa State University, Iowa, USA. Beberapa tulisan ilmiah yang diterbitkan berjudul “An Online Teacher Development in CALL Material Evaluation (Teachers’ Knowledge and Attitudes towards Technology)”; Vowel Contrast Production of Indonesian Learners of English, Corpus of Misunderstandings from the Asian Corpus of English (Website Review). Beberapa CALL projects yang telah dihasilkan adalah New Media Teaching Plans, Speaking Test for Architecture Students, dan CALL Projects for Architecture Students. Penulis dapat dihubungi melalui email : corrycaromawati@gmail.com 32


Tingkatkan Motivasi Siswa Melalui Game Day Dadan Bandung Independent School

Pendahuluan Kata motivasi dalam KBBI daring didefinisikan sebagai 1. dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2. usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Motivasi merupakan sebuah hal yang penting dalam pembelajaran bahasa, karena bagi sebagian siswa, belajar bahasa asing memberikan tantangan tersendiri sehingga dibutuhkan kreativitas dari guru untuk menumbuhkan motivasi di dalam diri mereka. Selain membutuhkan kreativitas dari guru, beberapa kondisi yang ditemukan di dalam kelas bahasa asing pun ikut berperan terhadap rendahnya motivasi siswa. Seperti kita ketahui, pembelajaran bahasa asing kebanyakan masih terbatas pada bagaimana bahasa digunakan dalam konteks kelas dan tidak dihubungkan dengan kehidupan atau kebutuhan siswa. Penekanan kegiatan pembelajaran pun hanya mencakup memahami bacaan dan menjawab pertanyaan atau tata bahasa saja. Hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan adanya persepsi bahwa bahasa asing adalah mata pelajaran yang sukar dipelajari dan lain-lain. Language learning is hard work ... Effort is required at every moment and must be maintained over a long period of time. Games help and encourage many learners to sustain their interest and work.' (Wright, Betteridge and Buckby: 1984). Senada dengan yang diungkapkan oleh Wringt dkk, permainan menjadi salah satu media yang dapat digunakan oleh guru dalam meningkatkan motivasi siswa mempelajari bahasa asing. Permainan tidak hanya memberikan nuansa fun, interaktif, dan kompetitif tetapi juga mengandung unsur pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berbahasa yaitu berbicara, menulis, membaca, dan menyimak. Dapat dikatakan bahwa permainan bisa dijadikan sebagai media yang merangsang motivasi siswa dalam belajar bahasa. Berikut adalah keuntungan penggunaan metode permainan dalam kelas bahasa yang dirangkum dari berbagai sumber, yaitu: menarik perhatian siswa, belajar tetapi dengan cara yang menyenangkan, melibatkan siswa secara aktif, dapat digunakan untuk mengulang pelajaran sebelumnya, meningkatkan jumlah kosakata siswa, kegiatan yang menantang sekaligus menyenangkan, permainan menjadi sarana ‘istirahat’ dari kegiatan rutin pembelajaran bahasa, implementasi penggunaan bahasa yang meliputi berbicara, menulis, menyimak dan membaca; adanya kesempatan siswa berinteraksi dengan siswa lainnya, semua siswa bisa ikut terlibat bahkan termasuk siswa yang 33


pemalu, melibatkan partisipasi yang setara antara siswa yang cepat dan lambat belajar bahasa asing. Berdasarkan latar belakang di atas penulis akan mencoba untuk berbagi pengalaman tentang penggunaan permainan di kelas Bahasa Indonesia di tempat penulis mengajar. Di kelas Bahasa Indonesia Bandung Independent School, Game Day merupakan hal yang dinantikan oleh siswa setiap minggunya. Hari Jumat didedikasikan sebagai Game Day (untuk siswa kelas 9/10), sedangkan untuk siswa kelas 11/12, dilakukan setiap hari Senin. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut dibutuhkan usaha dari guru dalam menyajikan permainan yang menarik sehingga sesi permainan menjadi saat yang ditunggu oleh siswa setiap minggunya. Hal tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi guru untuk selalu mencari permainan yang diharapkan dapat menjaga motivasi siswa dalam belajar bahasa, interaktif dan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya variasi permainan, diharapkan mampu mengakomodasi kemampuan dan kebutuhan siswa yang beragam. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai penerapan permainan di kelas Bahasa Indonesia Bandung Independent School.

Implementasi di Kelas 1. Pemilihan permainan Dalam memilih permainan, diperlukan beberapa pertimbangan yang mencakup jumlah siswa yang ada di kelas, tingkat keragaman kemampuan siswa, waktu yang tersedia, materi dan peralatan yang diperlukan, dan lainlain. Perlu dicatat bahwa permainan tidak hanya sekadar kegiatan yang menyenangkan, tetapi juga merupakan sebuah kompetisi. Permainan yang dipilih harus bisa melibatkan seluruh siswa secara aktif, tidak hanya siswa yang sudah mahir berbahasa, tetapi juga siswa yang berada di tingkat pemula. Sebagai contoh: Permainan menebak kata berdasarkan gambar tidak memerlukan persiapan yang lama. Semua siswa bisa mengikuti permainan ini. Guru hanya perlu menyusun daftar kosakata yang dipelajari sebelumnya, membagi siswa secara berpasangan atau berkelompok, papan tulis kecil, board marker dan penghapus (bisa menggunakan tisu). 2. Durasi Durasi Game Day biasanya berkisar antara 10-15 menit, namun tergantung pula pada jenis permainan yang dipilih. 3.’Hukuman’ Sebagai hukuman bagi siswa atau kelompok siswa yang kalah mereka harus membawa makanan yang nominalnya dibatasi maksimal Rp10.000,00. Makanan tersebut harus dibawa pada hari Jumat berikutnya dan dinikmati bersama oleh seluruh siswa di kelas. 4. Individu/ kelompok Permainan bisa dilakukan secara individu atau kelompok tergantung pada jenis permainan dan keragaman kemampuan siswa. Contoh permainan yang dilakukan secara individu adalah First Letter- Last Letter (permainan kata: siswa menyebutkan kata dari huruf terakhir- kata yang disebutkan sebelumnya. Misal: Ikan - Nanas - Sepatu - Uang dan selanjutnya. (http://www.eslcafe.com/idea/index.cgi?display:913501734-8336.txt). Contoh 34


permainan yang bisa dilakukan secara berkelompok adalah Charades. Satu siswa dari satu kelompok akan memperagakan kata yang diberikan oleh guru. (https://www.thegamegal.com/2011/10/19/charades-word-list/). 5. Ide Permainan Materi untuk permainan bisa didapatkan secara mudah di internet. Namun, guru perlu menyesuaikannya dengan materi yang sedang dipelajari siswa. Salah satu situs yang banyak menyajikan permainan bagi kelas bahasa adalah http://www.eslcafe.com. Beragam ide permainan disajikan secara berkelompok sesuai target keahlian contohnya berbicara, menulis, menyimak dan membaca. Guru diharapkan memiliki media yang digunakan untuk permainan seperti koin, dadu, kartu bergambar, dan lain-lain. Media tersebut nantinya dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.

Berdasarkan uraian di atas menggunakan permainan di dalam kegiatan pembelajaran bahasa tidaklah sesulit seperti yang dibayangkan. Apalagi di era digital seperti saat ini, ide, metode, dan lain-lain, semuanya dapat diakses dengan mudah. Selamat mencoba!

Daftar Pustaka Wright, Betteridge and Buckby (1984). From 'Games for Language Learning'. Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2017. [Daring]. di http://www.teflgames.com/why.html https://kbbi.web.id/motivasi

Biodata Penulis Dadan adalah seorang pengajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Beberapa kali membawakan workshop yang berkaitan dengan metode mengajar di Education Development Project Bandung, Tidal Waves project (Banda Aceh), Dunia Conference Jakarta, Konferensi BIPA Bali dan lain-lain. Penulis dapat dihubungi melalui alamat surel bisadadan@gmail.com. 35


Penggunaan Media Video untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dalam Pemahaman Ungkapan “Complimenting� Dewi Supardini SMA Negeri 7 Bandung

Pendahuluan Pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SMA berdasarkan silabus Kurikulum 2013 (2016:1) masih berfokus pada peningkatan kompetensi peserta didik untuk mampu menggunakan bahasa tersebut untuk mencapai tujuan komunikasi dalam berbagai konteks, baik lisan maupun tulis dengan pendekatan berbasis teks. Sehingga pembelajarannya mengacu pada fungsi bahasa dan penggunaannya, yang merupakan satu kesatuan makna baik lisan maupun tulis. Teks yang digunakan adalah interpersonal dan teks transacsional, short functional text dan text type(genre). Teks interpersonal adalah ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk kenyamanan psikologis (misalnya ungkapan terimakasih, meminta dan memberi maaf, meminta dan memberi persetujuan, memuji dan memberi selamat dll.), teks transacsional adalah ungkapan yang digunakan agar tujuan/hal yang diinginkan dapat terlaksana (misalnya ungkapan meminta dan memberi pendapat, menyatakan suka dan tidak suka, dll.). Terkait dengan teks interpersonal dan transacsional, dalam proses pembelajarannya siswa biasanya hanya membaca contoh ungkapan dan penggunaannya dari daftar ungkapan dan transkrip dialog di buku sumber sehingga konteks atau situasi yang terdapat di dalam dialog tidak mudah dipahami karena berbentuk tulisan narasi. Kemudian siswa mencoba melafalkan ungkapan-ungkapannya sesuai yang dicontohkan guru, dan menyimak penjelasan guru (metode ceramah) tentang fungsi, struktur dan unsur kebahasaan dari ungkapan tersebut. Proses pembelajaran seperti ini membuat siswa bosan dan motivasi untuk mempelajarinya menjadi rendah, akibatnya pemahaman terhadap teks pun menjadi rendah. Berdasarkan hal tersebut, penting kiranya untuk menggunakan metode dan media pembelajaran yang lain yang dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu teks interpersonal atau transacsional dengan motivasi belajar yang lebih baik. Karena peneliti pun menjumpai masalah yang sama ketika mengajarkan teks interpersonal atau transacsional seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka peneliti mencoba menggunakan metode diskusi dan media video ketika mengajarkan ungkapan “complimenting� (ungkapan memuji), yang merupakan salah satu materi pembelajaran yang terdapat di dalam silabus pembelajaran kelas X. Dengan digunakannya metode diskusi dan media video, maka pembelajaran ini menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL). 36


Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) adalah suatu pembelajaran yang berhubungan dengan konteks (suasana) tertentu. Dengan model pembelajaran ini, seperti yang dinyatakan oleh John Dewey (1916), siswa akan belajar dengan baik karena apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran CTL juga meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar dan partisipasi aktif mereka secara keseluruhan. Pembelajaran CTL melibatkan tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif (Depdiknas, 2003:5) yaitu: 1. Konstruktivisme (constructivism): setiap individu dapat membuat struktur kognitif/mental berdasarkan pengalaman mereka, maka setiap individu dapat membentuk konsep/ide baru (Ateec, 2000), dalam hal ini guru berfungsi membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiry dsb, sehingga siswa berpartisipasi aktif dalam membentuk ide baru. 2. Bertanya (questioning): suatu strategi untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. 3. Menemukan (inquiry): adalah proses berpikir yang sistematis (Merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan membuat kesimpulan) sehingga siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa. 4. Masyarakat belajar (learning community): hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain (antar siswa/ antar kelompok) (Depdiknas, 2003). 5. Pemodelan (modelling): sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dengan menggunakan model yang bisa ditiru. Menurut Bandura dan Walters model yang bisa ditiru : Kehidupan yang nyata (real life) misalnya orang tua, guru atau orang lain; simbolik (symbolic) misalnya model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau lisan; representasi (representation) adalah model yang dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual (video, tv, radio, dll) 6. Refleksi (reflection) 7. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessmen). Ketujuh komponen utama pembelajaran produktif tersebut dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran ungkapan “complimenting”’ (memuji) di kelas X IPS 2 di SMA Negeri 7 Bandung dalam dua kali pertemuan (4 jam pelajaran) dengan tujuan untuk mengetahui apakah metode diskusi (learning community) dan media video (modelling) dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap penggunaan ungkapan “complimenting” dalam kehidupan sehari-hari dan juga dapat meningkat motivasi siswa untuk mempelajari ungkapan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Dalam kegiatan mengamati ketika digunakan media video (video dengan terjemahan/subtitle yang berisi ungkapan “complimenting”) siswa dapat mengidentifikasi ungkapan-ungkapan “complimenting” dan responnya di dalam video tersebut dan menuliskannya di dalam sebuah tabel daftar ungkapan dan respon dengan baik (kerja 37


kelompok). Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang ungkapan tersebut meningkat karena melalui media video siswa dapat mengamati dialog dengan konteks/situasi tertentu, mengamati ekspresi/gesture dari pelaku dialog/aktor dalam video tersebut dengan lebih mudah dibandingkan dengan yang terdapat dalam transkrip dialog. Kemudian melalui metode diskusi siswa dapat memahami fungsi, struktur dan unsur kabahasaan dari ungkapan-ungkapan “complimenting” dan responnya tersebut. 2. Dengan menggunakan media video, siswa merasa lebih termotivasi untuk mempelajari ungkapan “complimenting” karena melalui video mereka dapat meniru, mengikuti, mencontoh dan memahami urutan kejadian atau tindakan, yang akan memudahkan mereka dalam bermain peran (role play) ketika mempraktikkan ungkapan tersebut dalam percakapan. Selain itu media video juga lebih disukai karena terdapat unsur hiburan didalamnya (Canning-Wilson, 2000) dan perbedaan kebudayaan penutur asli bahasa Inggris juga dapat dipelajari dalam video tersebut.

Implementasi di Kelas Media video digunakan dalam kegiatan inti pembelajaran pada saat siswa (in pair/in group) mengamati (observasi): 1. Sebuah video yang berisi ungkapan-ungkapan “complimenting” dan responnya. Kemudian siswa meniru pelafalan/pengucapan ungkapanungkapan tersebut. Setelah itu siswa mengidentifikasi ungkapanungkapan tersebut dan responnya serta menuliskannya di dalam sebuah tabel daftar ungkapan dan respon dengan baik. Setelah itu siswa mendiskusikan hasil pengamatannya dan diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab kemudian mencari informasi lebih lanjut tentang penggunaan ungkapan tersebut dari buku sumber atau yang lainnya.

3. Sebuah video percakapan (conversation) yang berisi ungkapanungkapan “complimenting” dan responnya. Siswa mengidentifikasi ungkapan-ungkapan “complimenting” dan responnya yang telah dipelajari sebelumnya pada video pertama. Setelah itu siswa menuliskannya di dalam sebuah tabel daftar ungkapan dan respon dengan baik. Kegiatan tersebut dikerjakan berkelompok (in pair) agar 38


siswa dapat mengidentifikasi ungkapan tersebut dengan lebih mudah. Kemudian siswa mendiskusikan hasil pengamatannya dan diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab dan mencari informasi lebih lanjut tentang penggunaan/fungsi, struktur dan unsur kebahasaan dari ungkapan-ungkapan tersebut dari buku sumber atau yang lainnya. Selanjutnya siswa menyusun teks percakapan (conversation) yang berisi ungkapan “complimenting� dan responnya untuk dipraktikkan dalam role play.

Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Silabus mata pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK) mata pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Herdian. (2010). Model pembelajaran contextual learning. Diunduh 23 Oktober 2016. [Online]. di http://herdy07.wordpress.com.

Biodata Penulis Dewi Supardini adalah seorang guru bahasa Inggris di SMA Negeri 7 Bandung. Pendidikan terakhir S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Bandung. Alamat korespondensi (surel): dewisupardini@gmail.com 39


Reviewing A Lesson Can Be Fun Erna Hamidah SMP Negeri 51 Bandung

Introduction Szafir and Mutlu (2013) describe reviewing material or lesson as an effective teaching strategy that can augment learning. Pesce (n.d.) mention that review lessons are very important and often a wonderful opportunity to consolidate everything your students have learned. But as a matter of fact, we often find that they are usually very monotonous and teacher dominated whereas good review are not teacher dominated. Rather, they allow students to demonstrate what they learned and what they remember (Henrichsen, Smith, & Baker, 1997). Hence, a review lesson should be students dominated where every students get opportunity to show their learning. I assume that in most Indonesian typical English classroom, including my own seventh grade classroom, we often saw there were only a small number of students who were willing to engage themselves during English learning and even sometimes teacher had to force or even begged them to do our planned activity while the rest of students pulled themselves from the crowd. Seventh grader student whose age are 11 to 12 years old which can be categorized as preadolescence or early adolescence tend to have passionate commitment to things which interest them (Harmer, 2007) and the writer believes that game is one of thing that may become their interest. The game that the writer intended is not a time filler or fun game but it is a game which aimed on learning. Based on that notion, the writer decide to make an attempt to use game based reviewing lesson strategy for class VII-2 of SMPN 51 on asking and giving information material to find out whether it can enhance students' participation and motivation on English learning. Because the desired game on that particular topic is not available, then the writer decide to create it by adapting or modifying it from other game.

Implementation Reviewing lesson may take place as starter or closure of the lesson. Here, the writer apply it as the starter. Therefore, it means that students have learned the material on previous meeting and going to be reviewed on the following meeting. The sequences are as follow: 1. State the objective of the activity clearly. Tell students that they are going to have a lesson review on asking and giving information in two term

40


2. Explain

the

rule

of

the

game

(how

it

will

be

done).

Students play individually, each of them will get a card containing asking for information and giving information. A student who get "start" card will begin the game (S1). S1 read the questions then student who get answer template relate to the question (S2) should answer it then S2 pass next question to S3. S3 answer then pass question to S4 continue by S5, S6, S7 until Sn and it will end when the "end" word card is found. 3. The tension may increase for student try to figure out "whose turn is it?" and how to give complete answer. 4. Reflect on the activity. 5. Ask them whether the activity work well for them and they do like it. Whenever students want to restart the activity, let them do it with a condition the card should be shuffled so on following round each student get another different card. Next round usually come with better time.

Variation The activity may begin with this activity as warm up before reviewing lesson activity. Divide the classroom into two division, boys and girls. Boys choose their two representatives and girls do similar activity to choose their representatives.

Teacher explains the rule of the game, check rule comprehension and then set the time. For example in 2 minutes each team should collect and match asking for information card with its answer on giving information card, each matched cards earn one point. 41


References Harmer, J. (2007). How to teach English. England: Pearson Education Henrichsen, L., Smith, M.T., & Baker, D.S. (1997). Planning effective lessons for language teaching and learning. Retrieved at October 2016. [Online] from http://linguistics.byu.edu/faculty/henrichsenl/lessonplanning/lp_11 Pesce, C. (n.d.). 8 Top Tips for Giving Your ESL Class a Review Lesson They'll Love. Retrieved at October 2016. [Online] from https://busyteacher.org/14406-how-to-teach-review-lesson-esl-class-8-toptips.html Szafir, D., & Mutlu, B. (2013). “ARTful: Adaptive Review Technology for Flipped Classroom�. Proceedings of the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems (pp. 1001-1010). New York: ACM.

Personal Data of Writer Erna Hamidah is an English teacher at SMP Negeri 51 Bandung. She graduated from IAIN Sunan Gunung Djati Bandung in 2002.

42


Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa dalam Mempelajari Teks Deskriptif melalui Teknik Permainan Estafet Stick di Kelas VIII E SMP Negeri 4 Lembang Hendra Sanjaya SMP Negeri 4 Lembang

Pendahuluan Saat ini, mata pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada pencapaian kompetensi yang tecermin dalam kemampuan siswa untuk melakukan langkah-langkah komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Salah satu contohnya, pembelajaran berbicara sebaiknya diarahkan pada keterampilan dalam melakukan tindak tutur, fungsi tuturan, dan fungsi bahasa. Hal ini dimaksudkan agar siswa mampu membuka percakapan, mempertahankan percakapan, menutup percakapan, dan sebagainya, yang tentunya didukung oleh struktur dan pola kalimat yang baik. Kita ketahui bersama bahwa dalam pembelajaran bahasa Inggris yang produktif, khususnya pembelajaran berbicara, siswa sulit untuk mengungkapkan dan berekspresi. Kedua hal ini sering menjadi kendala dan membuat siswa menjadi lebih pasif saat berbicara menggunakan bahasa Inggris. Kasus seperti itu pun terjadi pada siswa-siswa kelas VIII E SMP Negeri 4 Lembang yang sebagian besar memilih untuk diam ketika pembelajaran berlangsung. Alasan-alasan yang umum ditemukan di antaranya adalah siswa merasa 1) takut untuk berbicara karena penguasaan kosakata yang kurang, 2) malu apabila berbuat kesalahan, dan 3) tegang karena suasana kelas yang menyebabkan ia tidak mampu mengeluarkan pendapat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu teknik yang bisa membangkitkan keberanian siswa untuk berbicara, bertanya, dan mengungkapkan idenya sehingga mereka mampu melakukan komunikasi yang benar dan tepat. Estafet Stick merupakan suatu teknik yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbicara. Teknik ini memerlukan sebuah stick atau tongkat sebagai media untuk meminta seorang siswa berbicara, menjawab, atau mengeluarkan pendapat. Saat seorang siswa memegang tongkat, guru menunjuk gambar dan memberikan pertanyaan seputar gambar tersebut. Setelah siswa tersebut selesai mendeskripsikan atau menjawab, tongkat akan diberikan kepada siswa lain agar semua siswa mendapatkan giliran berbicara. Van Els (1984) berpendapat bahwa penggunaan media dalam proses pembelajaran umumnya memiliki dua fungsi, yaitu sebagai alat untuk membuat pembelajaran bahasa asing lebih hidup dan sebagai bagian integral 43


dalam proses belajar mengajar. Brown (1983) mengungkapkan bahwa media berfungsi untuk menghemat waktu, menstimulasi minat, mendorong partisipasi siswa, menjadi sarana untuk mengulas, menolong siswa untuk belajar mengomunikasikan idenya, serta membuat kelas menjadi dinamis, relevan, dan menarik. Berdasarkan teori-teori di atas, Estafet Stick dapat membantu mengatasi permasalahan yang sering terjadi di kelas selama proses pembelajaran. Oleh karena ini, teknik ini memungkinkan untuk diterapkan pada pembelajaran berbicara yang menggunakan bahasa Inggris dan membantu siswa untuk bisa berbicara karena pada intinya, siswa dipaksa untuk berbicara.

Implementasi di Kelas Persiapan: 1. Siswa diminta untuk membawa tongkat atau benda yang dapat berfungsi menjadi tongkat sebagai media pembelajaran dan kertas warna sebagai kartu.

2. Siswa berdiskusi untuk menentukan nama kelompok sesuai dengan tema deskripsi.

3. Perwakilan dari setiap kelompok maju ke depan kelas untuk mengambil nomor urut dan menuliskan nomor urut tersebut di papan tulis.

44


4. Siswa memperhatikan instruksi dan contoh yang diperagakan terlebih dahulu oleh guru.

5. Siswa mulai mencobanya.

6. Siswa diberikan catatan waktu yang telah ditempuh untuk menjawab pertanyaan dari anggota kelompoknya yang kemudian ditulis di papan tulis.

7. Pemegang rekor tercepat akan diberikan hadiah berupa penghargaan dalam bentuk apapun. Namun, yang tidak menang pun akan tetap diberikan apresiasi.

Variasi Kegiatan Estafet Stick merupakan sebuah permainan yang menggunakan sebuah tongkat (stick) dan kartu yang pertanyaannya akan diacak. Saat kegiatan pembelajaran berlangsung, ada dua variasi kegiatan yang dapat dilakukan terkait tongkat sebagai medianya, yaitu: 1. Tongkat dapat digunakan secara estafet. 2. Tongkat dapat dilempar sehingga siswa yang menerimanya harus mendeskripsikan ciri-ciri benda yang ditampilkan atau ditulis di papan tulis atau kartu permainan.

45


Daftar Pustaka Bima, B.M, & Kurniawati, C. (2005). Let’s talk. Bandung: Pakar Raya Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi. Jakarta: Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Permendiknas nomor 23 tentang standar kompetensi lulusan. Jakarta: Depdiknas Freeman, L.D. (1986). Techniques and principles in language teaching. England: Oxford University Press Hadfield, J. (1995). Intermediate communication games. London: Nelson ELT Isaeni, N. (2009). Penelitian tindakan kelas bagi guru: Tentang talking stick. Kristono, Andayani, E.T., & Ismukoco. et al. (2004). The bridge english competence for SMP grade VIII. Bandung: Yudhistira Purwanto. (1992). Prinsip dan evaluasi pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Richards, J., & Rodgers, T. (1986). Approaches and methods in language teaching. London: Cambridge University Press. Van Els, T., Bongaerts, T., & Extra, G. at al. (1984). Applied lingustics and the learning and teaching of foreign languages. New York: Chapman and Hall Inc.

Biodata Penulis Hendra Sanjaya adalah seorang guru Bahasa Inggris di SMPN 4 Lembang. Beliau bersekolah di STBA Akademi Bahasa Asing Bandung. Karya yang pernah diterbitkan adalah Climate Change yang diterbitkan oleh QITEP dan ASN. Hobi penulis adalah travelling, games, dan menonton bersama keluarga. Surel: Ndra.san@live.com.

46


Peningkatan Kompetensi Berbicara Siswa melalui Dialog Berpasangan Berbantuan Media Boneka pada Materi Pembelajaran Greeting Iin Karyati SMP Negeri 31 Bandung

Pendahuluan Pada materi greeting dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, siswa diharuskan responsif. Namun, pada kenyataannya, tidak semua siswa memiliki inisiatif untuk memulai komunikasi secara lisan dengan berbagai alasan, di antaranya ialah tidak percaya diri atau takut ditertawakan karena belum benar-benar menguasai tata bahasa. Oleh karena itu, pelaku komunikasi dalam pembelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) cenderung mengambil “jalan aman�, yakni bersikap pasif untuk menghindari risiko. Hal ini tentunya memiliki berbagai dampak, salah satunya adalah terhambat atau terhentinya komunikasi karena mitra tutur saat latihan tidak memiliki tingkat kemampuan berbahasa yang seimbang atau memilih bersikap pasif. Tentu idealnya masing-masing bersikap aktif sehingga komunikasi berjalan secara seimbang dan lancar. Namun, sering kali hal ini menyebabkan munculnya beberapa pasangan yang sama-sama bersikap pasif sehingga pembelajaran tidak berlangsung secara kondusif dan tidak sesuai dengan rencana pembelajaran. Fenomena tersebut akan mengakibatkan tidak tercapainya kompetensi inti dan kompetensi dasar. Oleh karena itu, dirasa perlu adanya suatu tindakan untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya adalah dengan menerapkan dialog berpasangan dengan menggunakan media boneka pada pembelajaran greeting. Dialog dilakukan dengan metode monolog, yakni siswa mengungkapkan maksud dengan cara mengawali percakapan dari dirinya sendiri dan menuntut penyelesaian oleh dirinya sendiri, yang disesuaikan dengan tema yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Dialog berpasangan ini memanfaatkan ekspresi retorika tubuh siswa, warna suara, dan kegiatan aksi-reaksi. Idealnya, siswa kelas 7 sudah harus merealisasikan komunikasinya, tetapi karena kepercayaan diri dan keberanian untuk memulai pembicaraan tidak dimiliki oleh semua siswa, guru mengalihkan subjek komunikasi pada media boneka atau gerakan tangan yang pada tahap awal bisa menggunakan sarung tangan atau kaus kaki berwarna yang diberi mata, hidung, dan mulut.

47


Implementasi di Kelas

A. Siklus I Siswa duduk di kursinya masing masing dan memfokuskan perhatian pada kedua tangannya. Kemudian, siswa diminta mengangkat tangan kirinya ke atas dahi dan menggerakkan kelima jarinya menyerupai pergerakkan mulut yang sedang berbicara. Siswa yang bersangkutan berperan sebagai pengisi suaranya dan membuka obrolan dengan sapaan. Siswa diberi arahan untuk menggerakkan tangan kanannya sebagai reaksi atas sapaan yang diberikan oleh tangan kiri sebelumnya. Arahannya tersebut kira-kira seperti ini, “Masa tangan kanan diam? Tangan kanan harus bagaimana? Kira-kira sambil mengisi suara apa?” sehingga siswa otomatis mengisi suara tangan kanan dengan balasan sapaan. Berikut ini adalah percakapan yang muncul: Tangan Kiri: “Hello, good morning!” Tangan Kanan: “Hello, good morning!” Tangan Kiri: Ïs it a seven grade?” Tangan Kanan: “Yes, it is.” Tangan Kiri: “Can I sit beside you?” Tangan Kanan: “Yes certainly!” Tangan Kiri: “Thank you very much.” Tangan Kanan: “You are welcome!” Setelah itu, siswa diminta untuk menukar peran antara tangan kanan dan tangan kiri. Jadi, tangan kanan yang berbicara terlebih dahulu (aksi) dan tangan kiri merespons (reaksi). Selanjutnya, siswa diminta untuk memainkan salah satu perannya saja, yaitu tangan kiri yang berperan sebagai aksi kepada teman sebangkunya yang merespons menggunakan tangan kanannya sebagai reaksi. 48


B. Siklus II Siswa diminta mengulang kegiatan sebelumnya, tetapi dengan beberapa perubahan, yaitu kata hello diganti dengan hi dan good morning diganti dengan good day, lalu melanjutkan percakapan tersebut. Siswa pun diarahkan untuk mengeksplorasi situasi, misalnya dengan memperkenalkan diri atau mengajukan permintaan sehingga tangan kiri pun beraksi, “Are you a new student here?”. Kemudian, guru memancing reaksi siswa dengan bertanya, “Kalau ada pertanyaan seperti itu, kira-kira perlu jawaban apa tidak? Apa kira-kira jawaban tangan kanan?” sehingga siswa merespons dengan mengiyakan bahwa si tangan kanan adalah siswa baru. Karena mayoritas siswa bereaksi dengan menggunakan bahasa Indonesia, guru meluruskannya dengan ungkapan bahasa Inggris, yaitu “Yes, I am” dan meminta siswa melanjutkan pembicaraan setelah ungkapan tersebut dengan berkata, “Mungkin ada yang mau melanjutkan obrolan?”. Setelah itu, ada siswa yang berteriak, “Nama!”, lalu guru menyahut, “Yes, you right! Telling or asking each name”. Lima siswa menggerakkan tangan kiri dan menanyakan nama tangan kanan, sedangkan enam orang lainnya langsung memperkenalkan diri. Di antara keenam orang itu, ada yang menyebutkan namanya sendiri dan ada yang menyebutkan nama yang dianggap jelek sambil tertawa sebagai candaan. Kegiatan pun berlangsung hingga sesi tanya jawab, seperti “Where do you come from?”, “How old are you?”, “Do you have telephone number?”, dan “Hobby and the aim of my life”. Dampaknya, suasana kelas menjadi agak gaduh. Namun, tidak ada siswa yang tidak terlibat dalam kegiatan aksi-reaksi tersebut. Dengan kata lain, semua siswa menjadi aktif dan yang terpenting adalah para siswa tidak merasa asing dengan dialog berbahasa Inggris. C. Siklus III Siswa diminta untuk menggunakan sepasang kaus kaki berwarna yang telah dibawa dari rumah pada kedua tangganya. Kaus kaki tersebut diberi gambar mata, hidung, dan bibir dengan menggunakan spidol. Pada siklus ketiga ini, volume suara siswa semakin keras sebagai pertanda bahwa rasa percaya dirinya mulai tumbuh dan tingkat keakrabannya meningkat dengan mengomunikasikan masing-masing tangannya kepada temannya. Buku paket pun digunakan sebagai sumber untuk mengembangkan pengetahuan kosakata terkait aksi-reaksi menyapa dalam bahasa Inggris. Siswa-siswa yang sudah mulai terbiasa, diminta memainkan dialog berpasangan dengan empat peran komunikatif dan tematik. Kegiatan ini bermanfaat untuk menghindari kekakuan berkomunikasi karena dengan cara memerankan lebih dari dua peran, siswa dituntut untuk semakin kreatif dalam membuka obrolan dan semakin tertantang untuk bereaksi dalam kurun waktu yang cepat.

49


Daftar Pustaka (Tidak ada daftar pustaka)

Biodata Penulis Iin Karyati adalah seorang guru Kesenian sejak tahun 1981. Dia menyelesaikan pendidikan Bachelor of Arts-nya di ASTI Bandung pada tahun 1987. Pada tahun 1996, dia menjadi guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 31 Bandung karena saat itu sekolah kekurangan guru mata pelajaran bahasa Inggris. Ia pun menyelesaikan studinya di STKIP Siliwangi dengan indeks prestasi kelulusan cukup pada tahun 1999. Karena tetap merasa dirinya adalah guru Kesenian, dia melanjutkan studi pasca sarjana ke Prodi Seni dan lulus menjadi seorang Magister Pendidikan pada tahun 2009. Namun, ia tetap tidak diperbolehkan mengampu mata pelajaran Kesenian oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung karena menjadi dua orang guru yang lulus dari puluhan guru yang diuji sebagai guru professional Bahasa Inggris pada tahun 2007. Iin Karyati aktif di MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Inggris Kota Bandung sebagai Humas, menjabat sebagai bendahara untuk wilayah Bandung Tenggara, dan ketua MGMP di tingkat sekolah, serta membantu Kepala Sekolah dalam bidang kehumasan di sekolah.

50


Good Characters in Warm Up Activity Kartika Arum SMP Negeri 1 Padalarang

Pendahuluan Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 65 Tahun 2013, pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), yang meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan pendahuluan (warm up activity) bertujuan untuk menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik, serta memberi motivasi belajar kepada peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran dengan baik, sebab perhatian dan motivasi peserta didik merupakan dua hal penentu keberhasilan pembelajaran. Namun, pada kenyataannya, masih banyak guru yang kurang menaruh perhatian pada kegiatan pendahuluan ini. Mereka biasanya terlalu menaruh fokus pada persiapan materi dan latihan. Pernyataan ini didasarkan pada hasil pengamatan penulis selama mengikuti kegiatan Lesson Study di Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) bahasa Inggris Gugus Dua Kabupaten Bandung Barat. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengajukan suatu model kegiatan pendahuluan yang membuat peserta didik dapat menaruh perhatian dan memiliki motivasi selama proses pembelajaran. Dalam penelitian ini, penulis melibatkan SMP Negeri 1 Padalarang sebagai lokasi pengambilan data dengan beberapa pertimbangan, yakni 1) penulis adalah guru Bahasa Inggris yang sudah mengajar di sekolah ini selama 13 tahun sehingga upaya peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah ini adalah bagian dari tanggung jawab penulis dan 2) SMP Negeri 1 Padalarang adalah salah satu dari empat sekolah percontohan di Kabupaten Bandung Barat yang mengimplementasikan Kurikulum Nasional, yakni kurikulum terbaru yang mengembangkan tiga aspek dalam penilaian, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sejak tahun 2013. Selaras dengan hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya, penulis memilih kegiatan pendahuluan yang berkaitan dengan sikap. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat menyebutkan beberapa karakter baik dan menyimpannya dalam ingatan mereka sehingga pada akhirnya bisa menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kegiatan pendahuluan adalah suatu upaya untuk mencapai suasana atau kondisi siap belajar sebelum memasuki tahap kegiatan inti pembelajaran. Kegiatan ini termasuk ke dalam kategori persiapan awal (praintructional) menuju pada kegiatan inti. Eragamreddy (2013) menyatakan bahwa “using warm up activities can be one way to bring variation in class activity and to make the students curious, focus their attention, provide them purpose and motivation�. Dari kutipan tersebut, kita dapat menarik simpulan bahwa kegiatan pendahuluan dapat menarik perhatian peserta didik sekaligus memotivasi mereka. DePorter mengklasifikasikan langkah pembelajaran ke dalam enam aspek yaitu: 1) tumbuhkan, 2) alami, 3) namai, 4) demonstrasikan, 5) ulangi, 51


dan 6) rayakan. Dari keenam aspek tersebut, aspek tumbuhkan yang bermakna “tumbuhkan minat, perhatian, dan motivasi peserta didik ketika memulai pembelajaran� merupakan aspek yang berkaitan erat dengan kegiatan pembukaan. Adapun jenis-jenis kegiatan yang harus dilakukan untuk menciptakan kondisi siap pada diri peserta didik selama pembelajaran adalah sebagai berikut: 1. Mengondisikan pembelajaran (conditioning) a. Menumbuhkan perhatian dan motivasi. b. Menciptakan peserta didik. c. Menciptakan kesiapan belajar peserta didik. d. Menciptakan suasana pembelajaran yang demokratis. 2. Melaksanakan kegiatan apersepsi a. Mengecek kehadiran peserta didik. b. Mengecek pemahaman peserta didik terhadap materi yang lalu dan mengaitkannya dengan materi yang akan dipelajari. c. Menyampaikan tujuan/kompetensi yang harus dicapai dari materi yang akan dipelajari. d. Menjelaskan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan oleh peserta didik pada saat pembelajaran berlangsung. e. Menjelaskan manfaat apa yang akan didapat setelah peserta didik mempelajari materi atau bahan ajar yang akan disampaikan. Kemudian, terkait sumber data, dari enam kelas yang menjadi tanggung jawab penulis sebagai guru, dengan rata-rata berjumlah antara 40 sampai dengan 44 peserta didik di tiap kelasnya, penulis mengambil kelas VII D semester 1 tahun ajaran 2016/2017 sebagai sumber data. Kelas ini terdiri atas 20 peserta didik laki-laki dan 20 peserta didik perempuan. Tidak ada alasan khusus saat pemilihan sumber data karena kelima kelas lainnya pun melaksanakan kegiatan ini.

Implementasi di Kelas Tahun ajaran 2016/2017 merupakan tahun keempat penulis melakukan kegiatan ini. Dalam kurun waktu tiga tahun yang sudah berjalan, terdapat beberapa perubahan yang dilakukan. Di awal tahun implementasi Kurikulum Nasional, di mana aspek sikap menjadi aspek pertama yang dinilai, menjadi inspirasi bagi penulis untuk melakukan kegiatan pendahuluan yang berkaitan dengan sikap. Pada tahun 2013, penulis tertarik untuk mengolaborasikannya dengan kegiatan “call the role� atau mengecek kehadiran peserta didik. Penulis menyiapkan kartu nama dan nomor urut untuk setiap peserta didik, lalu ada peserta didik yang menjadi “petugas� untuk mengecek kehadiran dari kartu nama yang disusun secara acak di setiap pertemuan secara bergiliran. Sebanyak delapan karakter baik seperti jujur (honest), rendah hati (humble), berani (brave), menghargai (respect), penyayang (loving), peduli (caring), disiplin (discipline), dan kooperatif (cooperative), harus disebutkan salah satunya setiap nama peserta didik disebutkan. Contohnya, peserta didik yang menjadi petugas menyebutkan salah satu nama temannya dengan lantang, maka peserta didik yang disebut namanya harus merespons dengan mengatakan, “I am honest�. 52


Pada kegiatan pendahuluan ini, peserta didik terlihat antusias, terutama apabila ada yang menyebutkan “I am loving, kegembiraan pun terjadi di kelas. Bahkan ada satu peristiwa yang menyentuh hati penulis, yakni ketika seorang peserta didik tidak mau melakukan kecurangan dengan mengatakan, “Kan saya honest!”. Pada tahun ketiga, yaitu tahun ajaran 2015/2016 ada perubahan format karena penulis menginginkan adanya kebersamaan dan keriangan. Penyebutan karakter tidak lagi dikolaborasikan dengan pengecekan kehadiran peserta didik, tetapi ada pemimpin (leader) secara bergiliran di setiap pertemuan yang memandu dengan mengatakan, “say our personalities!”, lalu seluruh peserta didik merespons dengan mengatakan, “we are honest”. Kemudian, secara bergantian, setiap baris mengatakan salah satu karakter, yakni baris 1 “respect”, baris 2 “loving”, baris 3 “caring”, baris 4 “discipline”, baris 1 ”confident”, baris 2 “responsible”, baris 3 “team work”, baris 4 “communicative”, dan terakhir seluruh peserta didik mengatakan “we are peace”. Tidak perlu waktu lama untuk melihat keriangan para peserta didik karena tanpa dikomando pun mereka membuat variasi dalam kegiatan ini. Salah satunya adalah mereka membuat perjanjian terkait volume suara, misalnya baris 1 lantang, baris 2 agak pelan, dan baris 3 kembali lantang. Tentu saja keriangan di awal pembelajaran ini berdampak positif pada motivasi mereka ketika proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, karena kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama tanpa beban dan diulang-ulang, muncullah dampak positif pada kepercayaan diri mereka ketika berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris sehingga aspek keterampilan ikut tercapai padahal pada awalnya hanya penanaman nilai-nilai terkait aspek sikap yang menjadi tujuan utama. Selanjutnya, pada tahun keempat, formatnya tidak berubah banyak, hanya penambahan karakter rendah hati (humble), gerakan jari tangan membentuk huruf “V” saat peserta didik mengatakan “peace”, dan pergiliran urutan baris sehingga langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut. 1. Peserta didik mendengarkan penjelasan tentang sikap. 2. Peserta didik menulis “expressing personalities”. 3. Peserta didik mencari dan mendiskusikan makna dari semua karakter. 4. Peserta didik menirukan ucapan guru. 5. Peserta didik melakukan simulasi. Pada tahap awal yang menjadi pemimpin adalah guru, tetapi pada simulasi berikutnya adalah peserta didik, yakni ketua murid. Kegiatan ini menjadi rutinitas dan otomatis dilakukan di setiap pertemuan karena merupakan rangkaian yang urutannya yaitu 1) greeting (salam), 2) express grateful (ungkapan rasa syukur), 3) express personality (ungkapan kepribadian), 4) express the rule (ungkapan peraturan), dan 5) English cheers (yel-yel bahasa Inggris). Kegiatan ini memerlukan waktu kurang lebih 1 x 2 jam pelajaran untuk mengenalkan, melatih, dan mengadakan simulasi untuk kegiatan ini, tetapi untuk pertemuan selanjutnya hanya memerlukan waktu kurang lebih 2 menit.

53


Sumber gambar: http://youtube.com

Variasi Kegiatan Format kegiatan pendahuluan (warm up activity) ini bisa juga disebut call and response activity (CnR) karena ada pemimpin yang memanggil (call) dan peserta didik yang menanggapi (response). Kegiatan tersebut pun bisa divariasikan dalam materi pembelajaran atau bahkan untuk meminta perhatian peserta didik, misalnya: 4. CnR tentang Pronoun a. Guru (calling) : pronoun b. Peserta didik (response) : i-me-my-mine you-you-your-yours he-him-his-his she-her-her-hers we-us-our-ours they-them-their-theirs 5. CnR tentang simple present a. Guru (calling) : simple present b. Peserta didik (response) : subject-verb1 subject-do/does-not-verb1 do/does-subject-verb1-? 6. CnR untuk meminta perhatian a. Guru (calling) : VII C ( untuk kelas C) b. Peserta didik (response) : clever-cheerful-curious 54


Daftar Pustaka Akther, A. (2014). Role of warm-up activity in language classroom: A tertiary scenario. Thesis. Bangladesh: BRAC University ArifRif. (2014). Fungsi dan tujuan serta langkah kegiatan awal pembelajaran. Diunduh pada 25 Juli 2016. [Online]. http://www.madrasahmedia.web.id/2014/10/fungsi-tujuan-dan-langkahkegiatan-awal-pembelajaran.html Cotter, C. (n.d). Warming-up-students. Diunduh pada 25 Juli 2016. [Online]. di http://www.headsupenglish.com/index.php/esl-articles/esl-lesson-structure Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2016). Permendikbud nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Permendikbud nomor 103 Tahun 2014 tentang pembelajaran pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jakarta Kementerian Pendidikan Nasional. (2013). Peraturan menteri nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Jakarta

Biodata Penulis Kartika Arum adalah seorang guru bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Padalarang. Pendidikannya S1 Bahasa Inggris STKIP Pasundan. Pernah menjadi presenter pada Konferensi Bahasa CONAPLIN 8 2015. Temui dia di surel arumkass@gmail.com

55


Pembelajaran Kosakata tentang Day and Night Activities melalui Permainan Bingo Mardiya Kamilah Pendahuluan Penguasan kosakata sangatlah penting dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris, sebab tanpa memiliki kosakata yang cukup, siswa tidak akan mampu mengerti apa yang diungkapkan oleh orang lain maupun mengekspresikan pendapatnya sendiri. Wilkins (1972) mengungkapkan bahwa tanpa penguasaan struktur bahasa (grammar), sangat sedikit sekali yang dapat disampaikan; tanpa penguasaan kosakata bahasa, tidak ada yang dapat diungkapkan. Pengajar tentu harus kreatif membuat materi pelajaran menjadi lebih berkesan untuk menarik perhatian siswa, serta memicu motivasi dan semangat belajar siswa. Di samping kemampuan intelektual siswa, saat pembelajaran berlangsung, pengajar sebaiknya melibatkan kemampuan emosional siswanya seperti yang diungkapkan Jensen (2005) bahwa sisi emosional seseorang dapat memancing atensi yang menjadikan sesuatu menjadi lebih bermakna dan berkesan. Agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik dan berkesan, saat ini telah banyak metode dengan media pembelajaran instruksional menarik yang dapat digunakan, salah satunya adalah permainan (games). Pada dasarnya, sebagian besar orang senang bermain. Tidak hanya anak kecil, orang dewasa pun senang bermain games. Dengan metode ini, pembelajaran akan berlangsung lebih santai dan riang sehingga otak siswa dapat menyerap lebih banyak hal dibandingkan dengan pembelajaran yang serius dan kaku. Krashen (1982) menyatakan pendapat bahwa siswa akan belajar lebih baik dan lebih banyak berpartisipasi dalam situasi pembelajaran yang nyaman dengan tingkat stres yang rendah. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa motivasi belajar dan kepercayaan diri siswa dapat membantu mengurangi kebingungan. Salah satu media permainan adalah BINGO game yang merupakan permainan interaktif yang menarik bagi siswa dan mudah diterapkan oleh pengajar. Permainan ini sangat fleksibel dan improvisable sehingga dapat digunakan pada berbagai materi pelajaran

56


Implementasi di Kelas Berikut ini adalah proses pengaplikasian BINGO game di kelas. 1. Tentukan materi pembelajaran terlebih dahulu. 2. Buat papan permainan (game board) yang berisi beberapa kosakata inti sebagai indikator kosakata yang wajib diketahui siswa, misalnya sleep, breakfast, jogging, watching TV, dinner, go to school, morning, night, afternoon, etc. Papan permainan ini bisa dibuat sendiri dan disesuaikan dengan kebutuhan materi pembelajaran. Untuk menambah tingkat kesulitan, kita dapat menginstruksikan siswa untuk membuat kosakata sendiri dengan meminta mereka menuliskan kegiatan yang mereka lakukan di pagi, siang, dan malam hari, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. 3. Membuat flashcards yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Kita bisa menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran dengan cara menginstruksikan siswa untuk menggambar kosakata yang telah mereka buat sendiri sebelumnya di selembar kertas kecil untuk dijadikan flashcards. 4. Membuat beberapa quiz board yang berisi beberapa kosakata pilihan dari kosakata inti yang tersedia. Quiz board ini disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar (minimal 2 buah).

5. Membuat kertas undian yang berisi semua kosakata yang diperlukan dan penanda (marker) untuk kata yang telah disebutkan.

57


6. Setelah persiapan selesai, pengajar membagikan quiz board kepada seluruh siswa, satu siswa mendapat satu quiz board atau satu kelompok mendapat satu quiz board. Kemudian, kita taruh kertas undian pada satu wadah.

7.

Siswa secara bergiliran mengambil satu kertas yang berisi kosakata tertentu secara acak, lalu menyebutkannya dengan lantang sehingga teman-temannya dapat mendengar dengan jelas. Apabila terdapat kesalahan pelafalan (pronounciation), pengajar dapat langsung mengoreksi. Siswa atau kelompok yang memiliki kosakata yang disebutkan tadi dapat menandai kata yang ada di quiz board dengan penanda.

8. Siswa atau kelompok yang paling cepat menandai semua kosakatanya adalah pemenang. Apabila siswa atau kelompok tersebut telah mendapatkan semua kosakata dalam quiz board-nya, dia atau mereka berteriak “BINGO!� dengan lantang.

Variasi Kegiatan Permainan BINGO ini sangat mudah untuk diadaptasi dan diterapkan pada beragam materi pembelajaran. Pengajar pun bisa melakukan berbagai improvisasi dan mengembangkan ide pribadi ke dalamnya. Selain untuk kosakata, permainan ini dapat diterapkan pada materi: 1. Angka (Learning Number) 2. Kelas kata (Classify words class), seperti noun, adjective, dan verb, dan sebagainya. 58


Daftar Pustaka Alqahtani, M. (2015). The importance of vocabulary in language learning and how to be taught. International Journal of Teaching and Education, 3 (3), 2134 Cremin, T., Reedy, D., & Bearne, E. et al. (2009). Teaching English creatively. New York: Routledge Hiebert, E.F., & Kamil , M.L. (2005). Teaching and learning vocabulary: Bringing research to practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Vocabulary and its importance in language learning. (n.d). [Online]. di http://www.tesol.org/docs/books/bk_ELTD_Vocabulary_974

Biodata Penulis Mardiya Kamilah adalah sarjana Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Pernah mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yayasan Pasundan, mengajar siswa usia dini di dua preschool di Bandung, dan sekarang menjadi seorang asisstant teacher di Bandung Independent School (BIS).

59


Pemanfaatan Flashcard sebagai Strategi Pembelajaran Bahasa Inggris Mini Sumiarti SMP Negeri 26 Bandung

Pendahuluan Mengajarkan bahasa Inggris di kelas terkadang menjadi tantangan tersendiri untuk para guru. Dalam prosesnya, diperlukan waktu pemahaman yang relatif lebih lama karena bahasa yang diajarkan adalah bahasa asing yang tidak digunakan dalam keseharian siswa. Kemudian, terkadang para guru dihadapkan pada situasi rendahnya kepercayaan diri dalam berbahasa Inggris, baik monolog, dialog, maupun yang lainnya. Banyak siswa yang cenderung sungkan dan malu-malu, meski sebenarnya seperti yang kita sadari, kepercayaan diri mungkin merupakan modal utama bagi kita untuk bisa fasih berbahasa asing. Oleh karena itu, diperlukan suatu suasana yang mendukung pembelajaran di kelas, terutama upaya agar pembelajaran menjadi lebih menarik, tidak monoton, tidak membosankan, dan tidak mengenangkan bagi para siswa. Suasana yang menyenangkan dan bersahabat, tanpa mengurangi kedisiplinan dan rasa saling menghormati, sangatlah berpengaruh bagi kejiwaan seseorang yang pada kelanjutannya berpengaruh pada seberapa cepat seorang individu dapat menangkap apa yang diajarkan kepadanya. Salah satu cara pengajaran yang dapat dilakukan adalah dengan mengaplikasikan penggunaan flashcard, yakni media sederhana dalam bentuk kartu yang berguna, terutama dalam proses pengenalan kosakata. Flashcard dapat dengan mudah dibuat dengan memanfaatkan bahan-bahan khusus maupun daur ulang yang berbentuk kartu. Guru dapat membuat flaschcard sederhana hanya pada saat dibutuhkan dengan cepat, atau bisa juga membuatnya lebih awet lagi dengan cara melaminating dan disimpan di tempat yang kering untuk keperluan kelas di masa berikutnya.

Implementasi di Kelas Pemanfaatan media flashcard dapat membuat suasana pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan. Media ini memungkinkan para guru untuk mencoba beragam kombinasi strategi pembelajaran, misalnya mengombinasikannya dengan permainan atau media lain seperti musik. Suasana yang santai tersebut diharapkan akan membuat siswa tidak merasa terbebani sehingga kepercayaan diri siswa akan terangsang karena perasaan terbuka terhadap pelajaran yang dihadapinya. Media flashcard yang hanya memuat beberapa kata saja di setiap kartunya dan dapat dilihat berulang kali juga sangat memudahkan para siswa untuk mengingat kosakata. Ada beberapa anjuran yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan flashcard, antara lain sebagai berikut. 60


1. Flashcard sebaiknya disusun dan dikelompokkan berdasarkan subjek yang sama. 2. Flashcard yang bergambar harus memuat gambar yang berukuran cukup besar dan jelas. 3. Flashcard gambar hanya berisi 1 gambar untuk setiap kartu, tanpa latar belakang apapun. Sebagai contoh kegiatan yang sudah pernah dilakukan, dengan menggunakan metode permainan, guru dapat membuat beberapa kartu dalam 2 jenis flashcard, yakni jenis pertama berisi gambar-gambar binatang, sedangkan jenis yang kedua berisi nama-nama binatang tersebut dalam bahasa Inggris. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, lalu membagikan flashcard yang sudah dibuat tadi secara acak dan merata kepada setiap kelompok. Secara bergiliran, para siswa diminta mendatangi kelompok lain untuk saling mencari kartu yang sesuai antara gambar binatang dan namanya. Semua komunikasi antarkelompok diharuskan berbahasa Inggris karena jika tidak, mereka tidak akan diperkenankan melihat kartu dari kelompok lain. Kombinasi antara gambar dan kata-kata membuat siswa lebih mudah mencerna kosakata karena disajikan dalam kata-kata sederhana yang memiliki rujukannya secara visual dalam rupa gambar-gambar. Para siswa diminta untuk mencocokkan gambar-gambar tersebut dengan namanya dalam bahasa Inggris, yang sudah disebar sebelumnya ke masing-masing kelompok yang berbeda. Hal tersebut dimaksudkan agar para siswa dapat lebih aktif dan tentu saja sebagai “paksaan� agar mereka berlatih berbicara dalam bahasa Inggris.

61


Variasi Kegiatan Banyak hal yang dapat diterapkan dalam pemanfaatan flashcard. Karena media ini dimaksudkan menjadi penunjang strategi pembelajaran, kreativitas guru memang sangat diperlukan. Beberapa contoh variasinya, yakni 1) membuat karpet huruf, 2) mencari missing letter, dan 3) merangkai kalimat-kalimat.

Daftar Pustaka Media pembelajaran bahasa inggris SD menggunakan flash card dan cara mengajarnya.(2014)[Online]. http://www.belajarbahasainggrisku.com/2014/12/media-pembelajaranbahasa-inggris-sd-menggunakan-flash-card-dan-cara-mengajarnya.html Supono, I., & Cahya, W. (2007). Panduan menguasai 16 tenses dilengkapi dengan daftar kata kerja beraturan & tak beraturan. Ciganjur: Jakarta Selatan.

Biodata Penulis Mini Sumiarti adalah seorang guru bahasa Inggris di SMP Negeri 26 Bandung sejak tahun 2013. Pada tahun ajaran 2016/2017, dia mengajar kelas 7. Temui dia di surel sumiarti.mini@gmail.com

62


Penerapan Edmodo dalam Penilaian Pemahaman Tata Bahasa Dasar Muhamad Umar Harahap SMA Negeri 1 Wanayasa

Pendahuluan Teknologi telah semakin maju dan berkembang sehingga membuat dunia kita menjadi seperti tak terbatas, ruangan menjadi tak berdinding, serta produk-produk teknologi ada di sekitar kehidupan kita dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Kemudian, apa yang terjadi pada teknologi di dunia pendidikan kini telah berada di jalur yang sama dengan perkembangan pendidikan di seluruh dunia. Sementara itu, untuk sistem pendidikan kita di Indonesia, penggunaan teknologi pun telah berkembang, setidaknya selama sepuluh tahun terakhir. Di sisi lain, perkembangan bahasa memang tidak secepat perkembangan teknologi. Namun, pengajaran bahasa telah berkembang pesat, ditandai dengan beragamnya penggunaan dan perkembangan media pembelajaran berbasis teknologi, salah satunya adalah Edmodo yang dikembangkan oleh Nicolas Borg dan Jeff O’Hara. Edmodo merupakan situs pembelajaran dalam jaringan (daring) yang memungkinkan pengajar, peserta didik, dan orang tua untuk berkomunikasi, berbagi konten pendidikan, serta mendistribusikan proyek, tugas, dan ulangan. Edmodo dapat membantu pengajar membangun sebuah kelas virtual sesuai dengan kondisi pembelajaran di dalam kelas, berdasarkan pembagian kelas nyata di sekolah. Pada kelas tersebut, terdapat penugasan, pelaksanaan kuis atau ulangan, dan pemberian nilai secara otomatis maupun manual pada setiap akhir pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran daring semacam ini akan mendukung terjadinya proses pembelajaran yang semakin efektif dan efisien, serta memberikan pengalaman dan pelayanan yang lebih memuaskan kepada peserta didik. Oleh karena itu, penulis mencoba menerapkan penilaian (assessment) menggunakan Edmodo di tiga kelas XI SMA Negeri 1 Wanayasa, dengan total kurang lebih 120 peserta didik, selama bulan Agustus sampai dengan Oktober 2016, yang bertujuan untuk memudahkan pengajar memetakan pengetahuan dasar peserta didik, khususnya dalam tata bahasa dasar di kalangan sekolah menengah atas, di mana pengajar tidak perlu memeriksa hasil jawaban secara manual karena skor akan muncul secara otomatis, sesuai dengan pengaturan yang telah dibuat sehingga pengajar dapat menentukan panduan langkah selanjutnya dalam mengajarkan bahasa, terutama bahasa Inggris, dikaitkan dengan pemahaman tata bahasa dasar peserta didik. Hal ini berlandaskan pada Brown (2003) yang berpendapat bahwa penilaian adalah metode yang digunakan untuk untuk mengukur kemampuan seseorang.

63


Implementasi di Kelas Gambar 1

Gambar 1 merupakan laman situs Edmodo. Apabila pengguna belum memiliki akun, akun dapat dibuat dengan mengeklik kategori yang sesuai dengan penggunanya, yaitu peserta didik, guru, atau orang tua. Kemudian, pengguna diminta untuk memasukkan nama, nama pengguna (username), surel (email), dan kata sandi (password). Gambar 2

Setelah akun selesai dibuat, klik masuk (login) sehingga akan muncul tampilan seperti pada gambar 2. Kemudian, isi nama pengguna dan kata sandi. Kita juga dapat masuk menggunakan akun Microsoft Office atau akun Google yang kita miliki. Gambar 3

Apabila tidak ada kendala saat memasukkan nama pengguna dan kata sandi, kita akan diarahkan pada beranda seperti pada gambar 3.

Gambar 4

Untuk membuat penilaian, kita dapat mengeklik kuis atau ulangan (quiz), lalu klik create quiz seperti pada gambar 4.

64


Gambar 5

Selanjutnya, kita dapat mulai membuat soal. Pada bagian ini, kita pun dapat menuliskan tujuan kuis, mengatur durasi pengisian soal dan nama berkas (file), memilih bentuk soal, menentukan jumlah soal dan opsi jawaban, dan sebagainya. Apabila kita telah selesai membuat soal, klik pratinjau (preview) untuk menguji soal yang telah dibuat, lalu klik selesai (done). Gambar 6

Kemudian, kita dapat menentukan batas waktu pengisian kuis dan pilihan untuk dimasukkan ke buku nilai. Soal ulangan pun siap untuk dikirimkan ke satu kelas atau seluruh kelas untuk selanjutnya dikerjakan oleh peserta didik.

Variasi Kegiatan Pertemuan 1 Menyiapkan keadaan psikis dan fisik peserta didik serta pemberian motivasi, tujuan, dan apersepsi perlunya pembelajaran tata bahasa.

Gambar 7

Gambar 8

Peserta didik mempelajari bahan yang telah diberikan dan mengerjakan latihan, yakni menuliskan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan tata bahasa yang sudah ditentukan. Buku paket, kamus, dan sumber pendukung lainnya disediakan apabila diperlukan. 65


Pertemuan 2 Peserta didik menyediakan laptop, baik milik pribadi maupun pinjaman. Jika hanya tersedia satu laptop, masingmasing peserta didik diberi waktu 2 menit dengan asumsi satu kelas berjumlah 40 orang dengan jam pelajaran efektif 80 menit. Oleh karena itu, diusahakan minimal lima laptop yang tersedia sehingga peserta didik memiliki waktu sekitar 10 menit untuk mengerjakan soal.

Gambar 9

Gambar 10

Setelah peserta didik berhasil mengakses laman situs Edmodo, peserta didik mengeklik take quiz, lalu start quiz untuk mulai mengerjakan soal.

Gambar 11

Setelah mengeklik start quiz, muncul soal yang berjumlah lebih dari 10 dengan tiga opsi jawaban pilihan ganda, yaitu A, B, dan C yang dapat dikerjakan dengan mengeklik salah satu opsi jawaban yang dianggap paling tepat. Gambar 12

Pertemuan 3 Setelah seluruh peserta didik selesai mengerjakan soal, pada beranda, pengajar dapat mengeklik result untuk melihat hasilnya. Kemudian, peserta didik yang mendapatkan skor terbesar akan muncul.

66


Gambar 13

Pengajar dapat melihat analisis otomatis jawaban peserta didik. Pada tahap ini, pengajar dapat memetakan jawaban peserta didik untuk dijadikan acuan dan bahan penilaian, serta evaluasi pemahaman peserta didik terhadap tata bahasa dasar. Pada bagian kiri layar, pengajar dapat melihat daftar nama peserta didik, sedangkan pada bagian tengah layar pengajar dapat melihat sejumlah grafik lingkaran yang mewakili masing-masing soal. Arsiran yang berwarna merah menandakan persentase peserta didik yang menjawab salah, sedangkan arsiran yang berwarna hijau adalah persentase peserta didik yang menjawab benar. Pengajar dapat mengeklik masing-masing lingkaran grafik untuk melihat detail peserta didik yang mana yang menjawab salah atau benar. Kemudian, peserta didik diminta untuk membuka kembali hasil jawabannya dan mendiskusikan temuan tersebut bersama temannya. Setelah itu, pengajar menjelaskan kembali materi-materi yang dianggap sulit dan membingungkan peserta didik. Gambar 14

Pertemuan 5 Peserta didik yang telah mendapat nilai lebih baik diminta untuk mendiskusikan dan membahas soal bersama dengan teman-temannya (peer teaching) yang memiliki skor yang beragam.

Pertemuan 4 Peserta didik kembali menyiapkan laptop dan mengerjakan soal lainnya.

Gambar 15

67


Gambar 16

Masing-masing peserta didik diharapkan menyalin atau memfotokopi materi yang diberikan dan menggunakan sumber bahan ajar yang dapat membantu pemahaman tata bahasa bahasa Inggris.

Pertemuan 6 Peserta didik yang masih mendapatkan skor rendah atau di bawah harapan diminta untuk mengerjakan soal kembali sebagai latihan.

Gambar 18

Gambar 17

Pertemuan 7 Peserta didik diminta untuk berdiskusi dan membahas kembali hasil pengerjaan soal.

Daftar Pustaka Brown, H.D. (2003). Language assessment: Principles and classroom activities. San Fransisco: Longman Ilahiyyah, H.R. (2016). Langkah-langkah membuat Edmodo. Diunduh pada 17 September 2016. [Online]. http://hibbijewels.blogspot.co.id/2013/11/langkah-langkah-membuatedmodo.html No name. (2016). Edmodo: the Edmodo teacher’s guide. Diunduh pada 10 Agustus 2016. [Online]. http://susd.edmodo.com

68


Biodata Penulis Muhamad Umar Harahap adalah seorang pengajar Bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Wanayasa, Purwakarta sejak ditempatkan dan diangkat menjadi pengajar sejak tahun 2009. Dia menamatkan pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2008. Pernah berkesempatan tinggal Adelaide, South Australia pada bulan Agustus tahun 2014 selama 21 hari. Pernah menjabat sebagai Kepala Perpustakaan SMA Negeri 1 Wanayasa tahun 2013-2014, IN Kurikulum 2013 pada tahun 2015, dan ketua MGMP Bahasa Inggris SMA/MA Kab. Purwakarta periode 2013-2015. Dia dapat dihubungi melalui surel hamura1983@gmail.com.

69


Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa melalui Musikalisasi Teks Naratif secara Berkelompok Rani Nurhayati SMA Negeri 2 Majalaya

Pendahuluan Bahasa Inggris adalah bahasa asing bagi siswa di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Lauder (2008); Musthafa (2002), “the Indonesian government has long decided that English is learned and taught as a foreign language”. Walaupun siswa sudah mempelajari bahasa Inggris bertahuntahun dari SD, tetapi kemampuan mereka untuk berbicara bahasa Inggris masih sangat kurang, padahal berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa, sehingga siswa dapat merespons perkataan guru atau teman-temannya yang menggunakan bahasa Inggris dengan bahasa yang sama. Hal tersebut pun terjadi pada siswa kelas XII IPS di SMAN 2 Majalaya di mana kemampuan mereka masih kurang bagus dalam aspek berbicara menggunakan bahasa Inggris. Mereka kelihatan masih bingung dan sungkan ketika guru menugaskan mereka untuk berbicara, terutama ketika guru memberikan latihan, praktik, dan ujian lisan. Terkadang guru sampai harus “memaksa” mereka untuk berbicara, tetapi suasana atau keadaan pembelajaran menjadi membosankan. Guru tidak hanya menekankan pada apa yang dapat siswa ketahui atau pahami mengenai suatu bahasa, tetapi juga apa yang mereka bisa lakukan dengan bahasa itu. Dengan kata lain, kebutuhan untuk menunjukkan atau mendemonstrasikan kemampuan bahasa Inggris sangat diperlukan. Siswa harus diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan kemampuan mereka dalam berbicara bahasa Inggris. Selaras dengan hal tersebut, Mattarima & Hamdan (2011) mengungkapkan bahwa This curriculum changes its emphasis from what the students can know or understand about language to what they can do with it or can use it (p. 288). In other words, looking at the demand of this curriculum for English subject, Indonesian English learners are required to demonstrate some functional level of English usage. Agar siswa tidak sungkan untuk berbicara, metode pembelajaran secara berkelompok (cooperative learning) menjadi alternatif pilihan yang patut untuk dicoba. Roger & Johnson (dalam Wirza, 2004, hlm. 13-14) mengatakan bahwa “in a cooperative learning situation, interaction is characterized by positive goal interdependence which requires acceptance by a group that they ‘sink or swim together’”. Dalam hal ini, guru akan lebih memfokuskan proses pembelajaran siswa secara berkelompok saat mempresentasikan sebuah teks naratif. Guru memperbolehkan siswa untuk menggabungkan penampilan mereka dengan musik dan tarian sebagai upaya untuk menarik 70


perhatian dan minat siswa. Gunara (dalam Yuliandra, 2011) mengungkapkan bahwa musik sebagai media pembelajaran dapat 1) membuat pembelajaran menjadi menyenangkan dan tidak membosankan, 2) menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan emosional sehingga memberikan hasil yang baik bagi siswa, dan 3) membuat pikiran selalu siap dan mampu untuk lebih berkonsentrasi untuk menerima pelajaran. Kemudian, pembentukan kelompok dapat disesuaikan dengan pilihan siswa. Jumlah anggota setiap kelompok bisa berbeda-beda, tergantung jumlah karakter atau tokoh dalam teks naratif yang akan dipresentasikan siswa. Setelah rata-rata 6 kelompok terbentuk di kelas XII IPS, siswa harus segera menentukan teks naratif yang akan mereka presentasikan. Dari hasil pemantauan, mayoritas siswa memilih cerita legenda atau cerita terkenal seperti “Snow White”, “Cinderella”, “Lutung Kasarung”, “Rapunzel”, “Bawang Merah Bawang Putih”, “Timun Mas”, “Golden Snail”, dan lain-lain. Setiap kelompok diberi durasi waktu sekitar 20 menit. Mereka pun diberikan waktu sekitar dua minggu untuk mempersiapkan presentasi mereka. Siswa dapat melakukan empat atau lima kali latihan sebelum mereka tampil, hal ini tidak termasuk proses menghafal (memorizing) yang biasanya mereka lakukan di rumah masing-masing. Selama proses persiapan, saya memantau persiapan siswa dengan memberikan bimbingan dan konsultasi bagi kelompok atau siswa yang menghadapi suatu kesulitan, seperti pelafalan kata atau ungkapan yang siswa temukan dalam teks naratifnya, penggunaan musik, kostum serta properti seperti apa yang sesuai, dan sebagainya. Dalam hal pemilihan musik, siswa bisa mulai memilih musik atau lagu favorit mereka terlebih dahulu. Mereka dihimbau untuk menyusun musik yang akan mereka pilih dalam presentasi nanti, sesuai dengan adegan yang mereka lakukan agar presentasi mereka menjadi menarik dan bagus untuk dinikmati.

Implementasi di Kelas Untuk menciptakan suasana yang dapat meningkatkan ketertarikan siswa agar mau mengungkapkan ragam ungkapan dalam teks naratif secara lancar dan berterima, saya memperbolehkan siswa untuk menggabungkan presentasi dengan iringan musik atau lagu favorit mereka. Pemanfaatan musik sebagai media pembelajaran ini diharapkan dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Musik juga dapat menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan emosional sehingga akan memberikan hasil yang baik bagi siswa. Pemilihan musik harus disesuaikan dengan cerita dan adegan yang akan dilakukan oleh siswa, misalnya pengucapan kalimat “will you marry me?” diiringi dengan musik atau lagu yang romantis. Lirik lagunya juga harus sesuai dengan ungkapan dalam cerita. Begitu pun dengan adegan menyeramkan, misalnya adegan beberapa hantu berjalan diiringi dengan musik yang agak sedikit menegangkan. Pemilihan musik yang sesuai akan mendukung suasana yang ingin ditampilkan dalam sebuah presentasi. Karena siswa diberi kebebasan untuk memilih kelompoknya dan teks naratif sendiri, menyusun musik dan lagu, serta merancang adegan dan tariannya, penampilan presentasi mereka di depan kelas sangat bagus. 71


Siswa tidak terlihat sungkan untuk mengekspresikan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris. Mereka terlihat lebih santai, tidak begitu tegang. Mereka tidak merasa seperti sedang dinilai oleh guru. Siswa bisa tertawa lepas ketika ada kesalahan pengucapan (mispronounciation) yang dilakukan oleh dirinya sendiri atau yang dilakukan oleh temannya yang sedang tampil di depan kelas.

Variasi Kegiatan 1. 2. 3.

Siswa bisa melakukan musikalisasi teks naratif dengan menggunakan boneka (puppets). Musik tidak harus direkam dan disusun terlebih dulu. Siswa bisa melakukan iringan musik secara langsung. Kegiatan musikalisasi teks naratif ini dapat digabung dengan reciting poem yang terintegrasi dengan teks naratif yang ditampilkan.

72


Daftar Pustaka Mattarima, K., & Hamdan, A.R. (2011). The teaching constraints of English as a foreign language in Indonesia: The context of school based curriculum. Sosiohumanika, 4 (2), 287-300. Musthafa, B. (2001). Communicative language teaching in Indonesia: Issues of theoretical assumptions and challenges in the classroom practice. Teflin Journal, 12 (2), 184-193 Wikipedia. Cooperative learning. [Online]. https://en.wikipedia.org/wiki/Cooperative_learning Wirza, Y. (2004) Social interaction in EFL classrooms: A case study at three senior high schools in Bandung. Thesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Yuliandra, I. (2011). Fungsi musik untuk pendidikan. [Online]. Di http://ittoyuliandra.blogspot.com/2011/08/fungsi-musik-untuk-pendidikan.html

Biodata Penulis Rani Nurhayati adalah seorang guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Majalaya. Dia menyelesaikan pendidikan sebagai sarjana di Pendidikan Bahasa Inggris UPI pada tahun 2000. Saat ini, selain sebagai guru, dia juga menjadi instruktur Kurikulum Nasional tingkat kabupaten dan instruktur nasional untuk Program Guru Pembelajar. Dia pernah menyusun modul pembelajaran untuk digunakan sendiri secara lokal di tempat ia mengajar, yakni English-zone-forx.com for Class X, Let’s Have a Fun English! For Class XI, dan Compact English for Class XII. Hobinya adalah hiking dan travelling bersama keluarga tercinta, yaitu Yanyan, S.T. (suami) dan ketiga anaknya, Naufal Makin Tawakkal, Kafa Billahi Syahida, dan Archimedes Insan Langit. Temui dia di surel r4n1nur@ymail.com

73


Indonesia-English Compability in Writing Descriptive Text for Early Grade R.R. Purnomowulan SMP Negeri 19 Bandung

Introduction Early grade in studying English as a foreign language is basically a foundation to achieve good learners. In Indonesia, some primary schools have provided their curricula with English as one of their target language. How far English lesson provided by primary school influence the next grade i.e. Junior High School is the main topic to be discussed here. Furthermore, this essay accommodates how students with their early acquisition support their capability in writing descriptive text. Descriptive text is a text which describes people, animals, things, or places. The language features applied in this text are specific and detailed noun or noun phrase; simple present tense; describing, numbering and classifying adjective; employing verbs as relational process; and using figurative language such as simile and metaphors (Thai, 2009; Droga & Humphrey, 2011; and Humphrey et al, 2012). Some of the above features have correlation with junior high school student acquisition. Most students in grade VII of SMPN 19 Bandung with three categories of achievement (poor, fair, and good) in English acquisition have been excellent in introducing themselves; reminding family’s member, identifying explicit labels, list, matches, and names, jobs; recalling numbers, dates, months, etc. Bloom as cited in Clark (2013) remarked that this domain of knowledge stated above is ”recalling data or information”. It is prominent fundamentals for teaching preparation. Let’s see that English as a foreign language in Indonesia is supposed to be a communicative competence after students mastering their mother tongue (local language) and Bahasa Indonesia as their national language. Thus, these all languages aforementioned are able to be applied in appropriate conditions. Emilia (2012) supports that Indonesian students when learning English as a foreign language can be provided with IndonesianEnglish interchangeably. Based on the theories and the considerations above, the writer attempted to write the topic “Indonesian-English compatibility in writing descriptive text for Grade VII of SMPN 19 Bandung.

Classroom Implementation How Indonesian-English can be compatible in writing descriptive text for junior high school students in grade VII? Curriculum 2013 applies the scientific process. The objective of scientific approach, in line with Aclufi, et al (2005) is to help students understand the basic aspects of scientific inquiry, to provide students with an opportunity to practice and refine their criticalthinking skills, and to convey to students the purpose of scientific research. This scientific process triggers students to participate in investingation that 74


gives them experience with the major aspects of scientific inquiry, to think about the relationships among knowledge, choice, behavior, and human health and to encourage students to think in terms of these relationships now and as they grow older. The processes of this scientific approach in writing descriptive text are: 1. Observing and asking question. 2. Collecting information 3. Associating, and 4. Reflecting All of the processes are explained below 1. Observing and asking question

(When English Rings a Bell,2014;141)

First of all, students listen carefully to their teachers read some text both Indonesian and English. Teacher can read the text differently both Indonesian and English or the similar text by translating the text compatibly. Second, students can work in group and study the example carefully as soon as they receive a copy of descriptive text. After that, they are supposed to discuss the text and develop the questions which have correlation with this descriptive text. Here students can receive the right translation from their teacher. Here the role of teacher is very important In the correlation with how the right choice of translation be. . For example: we use “Mr. White as Pak White in Indonesia not “Pak Putih” 2. Collecting information Students work in group. Each of them decides the ten objects to be described (room or the things surrounding the classroom). After that, students handwrite the sentences on a piece of paper, as provided by example, and read their result before the class. Here the students are allowed to use dictionary, asked the teachers, and received the correction from their teachers.

75


3. Associating Associating in this process has a close relationship with stimulus and response. Here after students mastering the previous steps and learning materials, they are supposed to arranged their own descriptive text. Indonesian-English compatibility in writing descriptive text is very crucial matter here. Most students of junior high school in Indonesia have difficulties in impromptu writing descriptive text. At least, the text in Indonesian is allowed to be written before undertaking descriptive text in English. 4. Reflecting This is the final process in writing descriptive text. After students gaining all the process, material, and their own texts, they are supposed to reflect what they have undertaken before: the teacher’s guidance of the previous learning on how the descriptive text is presented, and the summary of the students‘ discussion.

Refference Aclufi, A., et al. (2005). Doing science: the process of scientific inquiry. Colorado Springs: BSCS Clark, D. (2013). A big dog, little dog and knowledge jump. Retrieved June19, 2014:4.40 am from http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/bloom.html. Droga, L., & Humphrey, S. (2011). Grammar and meaning: An introduction for primary teachers. Australia: Target Text. Emilia, E. (2012). Pendekatan Genre Based dalam Pengajaran Bahasa Inggris: Petunjuk untuk Guru. Bandung: Rizqi Press. Humphrey, S., Droga, L., & Feez, S. (2012). Grammar and meaning. NSW: PETAA Thai, M.D. (2009). Text based language teaching. New South Wales: Mazmania Press. Wachidah, S., et al. (201). : When English Rings a Bell. Jakarta: Kemendikbud

About Writer The writer is an English teacher in SMPN 19 Bandung, has been graduated from UPI Bandung (Magister in English Education) and magister of University of Indonesia (UI) in communication Science. Her recently writing “ The content analysis of the English textbooks for young learners: “My First Vocabeelary” has been published by Atma Jaya Catholic University of Indonesia 2013 in the tenth International Conference on English Studies (CONEST 10). Her hobbies are reading, and travelling. E-mail: dearwulanhas@gmail.com 76


Peta Konsep dalam Merangsang Fungsi Otak Anak Sulistiyani Dyah Purwaningsih

Pendahuluan Seorang gadis kecil duduk termenung di sudut ruang perpustakaan. Matanya menatap buku yang ada di tangannya, tapi pikirannya tidak tertuju pada apa yang ada dalam buku tersebut. Siswa kelas empat ini gelisah, bingung bagaimana mengerjakan tugas yang esok hari harus dikumpulkan. Tugas menulis tentang ayah dan ibu tercinta. "Pilih salah satu !", dia melanjutkan ceritanya pada sang guru. Selanjutnya, guru yang duduk dihadapan siswa itu mengambil sebuah kertas. Digambarnya seorang ibu di tengah-tengah kertas tersebut. Meski hanya kepalanya saja, yang penting menggambarkan sosok ibu. Dari tengah gambar itulah, sang guru menarik garis ke atas. Lalu ditulisnya, siapa nama ibu, nama suaminya, nama anak-anaknya. Kemudian, dari gambar ibu tadi, ditarik kembali garis yang lain, merujuk pada alamat tempat tinggal, dan sedikit mendeskripsikan keadaan rumah. Pada tarikan garis berikutnya, dituliskan secara singkat poin-poin yang akan dijabarkan tentang gambaran fisik ibunya seperti tinggi badan, warna kulit, hidung, mata dan bibir. Tarikan garis berikutnya memberikan poin-poin tentang kegiatan sang ibu. Apakah bekerja di luar, atau sebagai ibu professional yang berjuang di rumah. Apa yang dilakukan ibunya setiap hari di rumah. Apakah ada yang membantu?. Selanjutnya, garis keluar yang lain menunjukkan bagaimana perasaan/pendapat siswa tersebut pada ibunya. Seperti sayang, rindu, suka membantu dan sebagainya. Dari penjelasan sang guru, siswa tadi tersenyum gembira. "Sekarang saya sudah tahu bagaimana cara mengerjakan tugas ini Bu" Ungkapnya sambil tersenyum. "Bolehkah saya membawa gambar ini pulang Bu?" lanjutnya riang. Peta konsep yang juga dikenal sebagai mind mapping sebenarnya bukanlah ilmu baru. Konsep ini bisa diaplikasikan di berbagai bidang termasuk dalam dunia pendidikan. Peta konsep dapat digunakan untuk menghubungkan bagian-bagian informasi yang masih terpisah, meningkatkan konsentrasi, serta memfokuskan penyelesaian masalah dengan cara menghubungkan informasi/pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah itu sendiri. Keuntungan dari menuliskan poin-poin penting ini, siswa akan lebih mudah menyimpan informasi tersebut ke dalam otaknya, siswa juga akan lebih mudah dalam mengakses kembali ingatannya, serta memperjelas hubungkan antara informasi-informasi yang terpisah ke dalam satu titik pembahasan yang pada ilustrasi tadi digambarkan di tengah, yaitu "Ibu".

77


Implementasi di Kelas Pengenalan peta konsep pada siswa sebaiknya menggunakan teknik khusus sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima secara lugas juga sarat makna. Awali bagian tengah dengan gambar yang mencolok dan mudah diingat, karena ini merupakan pusat kajian yang membebaskan siswa untuk mengeksplorasi pikiran mereka dengan poin awal tersebut. Pemakaian gambar yang menarik ternyata menyimpan banyak kata yang bisa diungkapkan. Di sisi lain, gambar juga bermanfaat untuk mendongkrak imajinasi siswa. Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pemakaian warna yang berbeda. Secara visual, warna berfungsi untuk menghidupkan semangat, menambah energi untuk berfikir kreatif, dan membuat informasi yang didapat mudah untuk diingat. Sebaiknya pemilihan warna dilakukan sendiri oleh siswa. Cabang-cabang (Branches) pada peta konsep merupakan bagian penjabaran dari poin pusat. Gunakan garis lengkung atau berkelok yang alami, bukan garis lurus. Hal tersebut dilakukan untuk membuat peta konsep menarik dan tidak membosankan.. Masingmasing cabang selanjutnya dikembangkan lagi menjadi sub-cabang. Lantas mengapa penggunaan cabang dikatakan sangat membantu dalam proses pembelajaran?. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, ternyata cara kerja otak untuk perpikir saling berhubungan (association). Otak mengakses dan menghubungkan berbagai informasi, pengalaman, dan ide terpisah untuk dikaitkan satu sama lain sebagai unit yang saling berhubungan. Pastikan menulis kata inti saja dalam setiap cabang agar mudah diingat. Masing-masing cabang dapat juga diberikan tanda penghubung khusus yang mengidentifikasikan adanya hubungan khusus. Teori ini dipopulerkan oleh Tony Buzan. Teori ini tentu tidak langsung mencetak hasil secara cepat. Dengan banyak melatih pikiran untuk mengoordinasikan bagian-bagian kecil informasi/pengetahuan, lama kelamaan otak akan terlatih untuk membuat akar tambahan mengenai informasi/pengetahuan yang masih berhubungan dengan pokok pembahasan.

78


Daftar Pustakan Davis, G., & Scott, J. 1971. Traiming Creative Thinking. New York: Holt Rinehart, and Winston. Nuttall, Cristine. 1996. Teaching Reading Skills: in a Foreign Language. Great Britain: The Bath Press. Smith, M and G.1990. A Study Skills Handbook. Melbourne: OUP. Wallace, C. 1986. Learning to Read in a Multicultural Society. Oxford: Pergamon. Wright, A. and Haleem, S. 1991. Visuals for the Language Classroom. Harlow: Longman Buzan, Tony. 2002. How to Mind Map. Harper Collins.

Biodata Penulis Sulistiyani Dyah Purwaningsih dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah pada 12 Desember 1978. Berhasil menyelesaikan program Pasca Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis memiliki pengalaman mengajar di beberapa SD Negeri Colomadu, Karanganyar, dan Surakarta pada tahun 2001-2010. Penulis juga sempat mengajar di SD Muhammadiyah Program Unggulan Colomadu (2005-2010), mengajar di beberapa lembaga kursus bahasa Inggris di Colomadu, Surakarta, dan di Universitas Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Papua tahun 2010-2013. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Yayasan PAUD dan TK Kartika di Makassar tahun 2015-2017, dan menekuni dunia penerjemah freelance pada tahun 2014- sekarang.

79


Meningkatkan Kemampuan Berbicara Siswa Kelas 7 dengan Menggunakan Teknik Choral Drilling Sunarti SMP Negeri 35 Bandung

Pendahuluan Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa asing yang ada di Indonesia. Pada tingkat SMP, bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib. Siswa diajarkan empat keterampilan dalam berbahasa Inggris, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari keempat keahlian tersebut, kemampuan berbicara secara aktif diperlukan sebagai salah satu cara berkomunikasi dengan orang lain. Berbicara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berkata, bercakap, berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dan sebagainya) atau berunding. Mengajarkan kemampuan berbicara di kelas dengan jumlah siswa mencapai 40 orang terkadang menjadi kendala. Siswa menjadi kurang mampu berkomunikasi secara aktif, karena kurangnya waktu untuk berlatih, dan belum adanya teknik yang tepat dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Speaking is an interactive process of constructing meaning that involves producing and receiving and processing information (Brown, 1994, Burns & Joyce, 1997). Untuk dapat berbicara dengan baik tentunya dibutuhkan proses berupa latihan terus menerus supaya siswa mampu meningkatkan kemampuan berbicaranya. Salah satu teknik latihan yang dapat diterapkan di kelas dengan jumlah siswa yang banyak adalah teknik “choral drilling� Drill berarti latihan yang berulang-ulang, baik bersifat “trial and error� ataupun melalui prosedur rutin tertentu (Sardiman, 2006:23). Sementara itu, menurut Richards and Platt (1993: 117) teknik drilling biasa digunakan dalam pembelajaran bahasa untuk melatih bunyi bahasa (sound) atau pola-pola kalimat dalam bahasa yang berdasarkan latihan dan pengulangan yang dipandu. Atas dasar tersebut, penulis menggunakan teknik choral drilling. Latihan yang melibatkan semua siswa di kelas, dalam pembelajaran berbicara siswa kelas 7 SMPN 35 Bandung, selama satu kali pertemuan.

Implementasi di Kelas Choral drilling merupakan latihan yang melibatkan semua siswa di kelas. Drilling merupakan langkah yang penting ketika mempelajari materi baru. Guru bertugas untuk membuat latihan ini lebih bisa dinikmati dan bias mendorong semangat siswa untuk lebih berpartisipasi. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam menerapkan teknik choral drilling di kelas : 80


   

Perkenalkan materi yang akan dilatih bersama (misalnya, ungkapan meminta tolong dan responnya). Guru sebagai model harus benarbenar memperhatikan intonasi, ekspresi, dan pelafalan. (Memutar rekaman suara atau gambar penutur asli bisa dijadikan alternatif.) Latih setiap ungkapan dan responnya secara bergantian dengan siswa sebanyak dua kali. (guru : “can you help me open the door?” Siswa : “sure/ of course / no problem”) Bagi siswa menjadi dua kelompok besar, A dan B. Kelompok A meminta tolong, kelompok B merespon dan sebaliknya. Lakukan sebanyak 2 kali. Bagi siswa menjadi kelompok kecil beranggotakan 2 atau 4 orang. Berikan waktu untuk berlatih. Untuk menghindarkan kejenuhan, dorong siswa untuk berani berekspresi (guru bisa memberi contoh). Guru berkeliling sambil menyimak latihan siswa. Berikan dukungan atau pujian karena mereka telah melakukan kemajuan dalam berbicara. Minta beberapa siswa untuk tampil ke depan. (Guru bisa memilih ketika semua siswa ingin ke depan kelas.)

Variasi Kegiatan Drilling with flashcards. Pada kesempatan pertama guru memperlihatkan sebuah kosakata baru bahasa Inggris supaya siswa bisa berlatih membaca dan melafalkannya dengan benar, latih dua kali. Kemudian tunjukkan gambar untuk mengecek pemahaman tentang materi yang diajarkan. Latih sebanyak dua kali dan berikan tantangan dengan membalik kartu-kartu tersebut dengan lebih cepat. Drilling in pairs. Guru memberikan daftar kosakata yang telah diajarkan kepada siswa (A) membaca terjemahan dari tiap kata secara acak sementara siswa lainnya (B) mengucapkan kata tersebut dalam bahasa Inggris. Siswa A menulis tanda (v) di samping kata yang benar, dan mereka bisa bertukar posisi.

Daftar Pustaka Cullingford, C. (1995). The Effective Teacher. New York: Cassell. (Brown, 1994, Burns & Joyce, 1997) https://www.teachingenglish.org.uk/article/drill (source : British Council) http://busyteacher.org/3812-how-to-drill-drilling-activities-for-your-english.html http://semumf.tripod.com/ http://iteslj.org/Techniques/Mumford-Drilling.html

Biodata Penulis Penulis adalah guru Bahasa Inggris di SMPN 35 Bandung. Pendidikan terakhir IKIP Bandung. Alamat email: isunsp@gmail.com.

81


Meningkatkan Kemampuan Menulis Teks Naratif melalui Media Film Animasi Pendek Berjudul “The Big Buck Bunny� Tintin Sri Suprihatin SMP Negeri 9 Bandung

Pendahuluan Bagi seorang guru bahasa Inggris, bukanlah hal yang mudah untuk mengajarkan Bahasa Inggris pada siswa SMP. Setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda, mereka cenderung memiliki tingkat konsentrasi yang pendek serta membutuhkan lebih banyak latihan dan gerakan tubuh untuk memahami kosakata bahasa Inggris yang diajarkan (learning by accompanying actions) sehingga diperlukan adanya media dan metode pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk aktif dalam kelas (Scott dan Ytreberg, 1996:22). Untuk itu media pembelajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa manfaat media pembelajaran yaitu, (1) memperjelas konsep pengetahuan siswa, (2) menambah ketertarikan siswa terhadap pembelajaran, dan (3) bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat dipahami oleh para siswa. Media film, dalam tulisan ini film yang digunakan adalah film animasi pendek yang dapat mengomunikasikan informasi-informasi lewat lambang, visual dan gerak. Informasi yang dikomunikasikan dengan cara itu akan lebih konkret sehingga lebih mudah terserap oleh penerima informasi. Sebagai media pembelajaran bahasa, media film sangat sesuai untuk melatih keterampilan menulis. Dalam silabus pembelajaran bahasa Inggris kelas 8 semester genap, tercantum bahwa siswa mampu mengungkapkan makna dan langkah retorika dalam essai pendek sederhana dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar, dan berterima untuk berintekasi dengan lingkungan sekitar berbentuk recount dan narrative (Standar Kompetensi Menulis, Kompetensi Dasar 12.2). Namun, siswa masih menemukan kesulitan saat diberikan tugas untuk meningkatkan kompetensi menulis. Penulis menggunakan film animasi pendek berjudul “The Big Buck Bunny" dalam pelaksanaan pembelajaran menulis teks naratif. Film animasi pendek tersebut dapat di akses pada laman https://youtu.be/YE7VzlLtp-4. Pemilihan film animasi pendek “The Big Buck Bunny" memperhatikan beberapa hal seperti, (1) komunikasi yang dilakukan karakter tidak verbal melainkan secara gerak, sehingga cerita mudah dipahami siswa, (2) alur cerita jelas dan sederhana, (3) isi cerita menarik, dan (4) mempunyai pesan moral yang baik.

82


Implementasi di Kelas

Gambar 1. Siswa menonton film pendek Pada awal kegiatan, siswa diberi penjelasan mengenai teks naratif seperti fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan. Selanjutnya siswa diminta untuk melihat film animasi pendek berjudul “Big Buck Bunny� selama kurang lebih tujuh menit. Film diputar kembali, dan guru memandu siswa untuk menganalisa film tersebut. Pada akhir kegiatan siswa diminta untuk menceritakan kembali film animasi pendek yang dilihatnya. Kriteria penilaian akan meliputi; ide/konten, skema/struktur, unsur-unsur kebahasaan, dan fungsi tatabahasanya. Kegitan ini bisa dilakukan dalam kelompok kecil seperti berdiskusi dengan teman sebangku. Kegiatan ketika menganalisa film animasi pendek Dari film animasi pendek yang ditampilkan, siswa dipandu guru untuk membagi alur cerita kedalam struktur teks orientasi, komplikasi, dan resolusi.

Gambar 2. Siswa selesai saling mengkritisi tulisan teman

Untuk evaluasi, siswa bisa saling memeriksa antar kelompok, yang kemudian merangsang siswa untuk berdiskusi sehingga siswa dapat menggali potensi masing-masing dengan mengritisi hasil tulisan temannya yang berbeda kelompok. Setelah revisi, guru bisa menilai hasil tulisan siswa dengan rubrik penilaian untuk teks naratif.

83


Contoh rubrik penilaian: Aspek penilaian No.

Nama Siswa

Idea/ Content

Schematic Structure

Linguistic Features

Punctuation and Grammar

Jumlah Nilai

1. 2. 3. 4. 5. Tabel 1. Rubrik Penilaian Kriteria penilaian: 10 = kurang bagus 15 = cukup 20 = bagus 25 = sangat bagus

Variasi Kegiatan Menulis teks bisa juga menggunakan teks rumpang agar siswa lebih mudah belajar, kemudian guru memberikan film pendek lainnya untuk diceritakan kembali oleh siswa. Sehingga minimal guru harus menyiapkan dua buah film pendek. Tidak hanya teks naratif yang bisa menggunakan media film seperti ini. Teks-teks dengan genre lain juga bisa di eksplorasi menggunakan media film. Bila film pendek yang dicontohkan di artikel ini dirasa kurang sesuai untuk diimplementasikan di kelas, guru bisa mencari film pendek lain sebagai bahan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa di kelas masing-masing. Film-film tersebut bisa diakses dengan mudah lewat laman Youtube.

Daftar Pustaka Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta. Gerlach, V.S., & Ely, D.P. 1998. Teaching and Media: A System Approach. New Jersey: Prentice Hall.Inc. Scott, A Wendy., & Lisbeth, H.Y. 1993. Teaching English to Children. New York: Longman.

Biodata Penulis Tintin Sri Suprihatin (Tina), adalah guru Bahasa Inggris di SMPN 9 Bandung. Sebelumnya pernah menjadi guru di SMP Al Azhar Cilegon dan SMPN 51 Bandung. Memperoleh gelar sarjana pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2004. Saat ini berperan sebagai ‘instruktur nasional guru pembelajar’ dan diberi tugas tambahan sebagai mentor kota Bandung. Hobi membaca, melancong dan wisata kuliner. (tina.dhiel@gmail.com) 84


Penggunaan Words Walls dalam Meningkatkan Kemampuan Memahami Teks Prosedur Peserta Didik Kelas IX C SMP Negeri 1 Lembang Titin Rostika SMP Negeri 1 Lembang

Pendahuluan Dalam pembelajaran bahasa Inggris, khususnya di sekolah menengah lanjutan pertama, permasalahan yang sering terjadi adalah rendahnya pemahaman siswa dalam membaca. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kosakata yang dikuasai oleh siswa. Oleh karena itu, penulis berusaha mencari solusi untuk mengatasinya. Salah satu alternatif solusi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penggunaan alat peraga “Words Wall�’. Words wall adalah kumpulan kata-kata yang dipajang di dinding dalam ukuran yang besar sehingga mudah dibaca. Tulisan atau kata-kata tersebut bisa juga dipajang di papan buletin dan di tempat pajangan lainnya di ruang kelas. Kata-kata diatur sedemikian rupa agar bisa menjadi suatu alat peraga interaktif bagi para peserta didik. Words Wall biasa digunakan selama pembelajaran, pada waktu menulis atau membaca. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah kesulitan siswa dalam memahami teks prosedur akan terbantu dengan penggunaan Words Walls. Penelitian ini dilaksanakan di kelas IX C SMP Negeri 1 Lembang selama dua minggu.

Implementasi di Kelas

Sumber gambar: http://www.readingrockets.org/strategies/word_walls Implementasi Kurikulum 2013 harus diikuti dengan sikap profesional para pendidik. Salah satunya adalah dengan mengupayakan berbagai solusi ketika menemukan kesulitan di kelas. 85


Masalah terasa ketika penulis harus mengajarkan siswa pada materi teks prosedur pada buku “Think Globally Act Locally” chapter V dengan tema “This is How You Do It“. Pada bab tersebut, terdapat teks prosedur sebagai berikut: NOVEL APPLE PUDDING

Ingredients Method 4 green apples, peeled, cored and thickly sliced ¼ cup/45g self-rising flour, sifted 60g butter or margarine, cubed ½ cup/100g caster sugar 1¼ cups/300ml water 1. Place apple in a heat-proof dish. Place flour in a bowl. Rub in margarine using fingertips. 2. Stir in sugar and water (mixture should be lumpy). Pour over apples. 3. Bake at 180oC for 1 hour or until syrupy and golden. Serve warm with cream or ice cream. Serves 6 Preparation time 15 minutes Cooking time 60 to 70 minutes Pengalaman kelas IX tahun sebelumnya, kesulitan peserta didik dalam memahami teks tersebut dikarenakan mereka belum menguasai beberapa kosakata, diantaranya: cored apple, peeled apple, thickly sliced, self-raising flour, sifted flour, heat proof dish, fingertips, dll.

Variasi Kegiatan 1. Kegiatan yang dilakukan oleh guru sebelum membaca teks adalah menempelkan kosakata yang sudah dibuat dalam kertas karton ke dinding, seperti gambar di bawah ini. Penggunaan Word Wall yang disertai gambar biasanya lebih disukai oleh peserta didik.

86


Word Wall ditempelkan pada dinding kelas beberapa hari sebelum pembelajaran. Dengan demikian peserta didik akan mengenal kosakata tersebut sebelum pembelajaran dimulai. 2. Selanjutnya ketika pembelajaran dimulai, sebagai waktu rehat, guru mengecek pengucapan dan pengertian kosakata yang ada pada dinding. 3. Peserta didik berlatih membuat kalimat dengan menggunakan kosakata tersebut. 4. Setelah itu, kegiatan inti dilakukan. Peserta didik dengan arahan guru membaca teks prosedur tentang resep ‘Novel Apple Pudding’. Guru tidak langsung mencontohkan cara membaca teks tersebut, tetapi memberi kesempatan kepada salah seorang peserta didik yang sudah mampu membaca untuk membaca terlebih dahulu. Setelah itu guru beserta seluruh peserta didik melakukan kegiatanan membaca nyaring (reading aloud). Guru memastikan mereka untuk membaca teks dengan menggunakan pengucapan dan intonasi yang baik. 5. Setelah kegiatan membaca nyaring/reading aloud, peserta didik diminta menjawab pertanyaan terkait isi teks, untuk memastikan bahwa mereka sudah cukup memahami teks tersebut dengan baik.

Daftar Pustaka Cullingford, C. (1995). The effective teacher. New York: Cassell. Morris, D. (1981). Concept of word: A developmental phenomenon in the beginning reading and writing process. Language Arts, 58, 659-668. WORD WALLS IN MIDDLE SCHOOL. Diunduh pada tanggal 15 April 2015 di http://www.educationworld.com/a_curr/profdev/profdev086.shtml.

Biodata Penulis Titin Rostika adalah guru bahasa Inggris di SMP NEGERI 1 Lembang. Menyelesaikan program Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris di IKIP Bandung. Posisi yang dipegang adalah sebagai Ketua MGMP Kabupaten Bandung Barat. Prestasi yang pernah diraih adalah sebagai ‘The Best Teacher’ dalam lomba Digital Storytelling Contest pada tahun 2015. Karya yang pernah diterbitkan adalah buku Simple English. Alamat e-mail: titin.rostika@yahoo.com

87


Kartu Adjektiva sebagai Alat Bantu untuk Meningkatkan Kemampuan Peserta Didik dalam Menyusun Teks Deskriptif di Kelas VII B SMP Negeri 1 Lembang Titin Rostika SMP Negeri 1 Lembang

Pendahuluan Seperti yang kita ketahui, ada beberapa masalah yang sering kita hadapi dalam pembelajaran bahasa Inggris. Oleh karena itu, penulis ingin mengajak rekan guru bahasa Inggris, khususnya di sekolah menengah lanjutan pertama untuk mencoba mengatasi masalah tersebut. Salah satu masalah yang sering kita hadapi adalah rendahnya kemampuan peserta didik untuk mendeskripsikan seseorang, baik secara lisan maupun tulisan juga terkendala oleh kurangnya penguasaan kosakata. Salah satu solusi alternatif yang dipakai dalam penelitian ini adalah penggunaan alat peraga kartu adjektif atau adjective cards. Kartu adjektif adalah kumpulan kartu yang dibuat sendiri, ukuran kartu seperti kartu permainan UNO atau semacamnya. Kartu dibuat dengan menggunakan bahan–bahan limbah, seperti kartu yang sudah tidak dipakai dan kumpulan gambar tentang orang beserta kata sifatnya. Kartu dibuat secara berpasangan dan merupakan lawan katanya. Misalnya, gambar orang yang tinggi diberi tulisan tinggi. Kartu adjektif bisa menjadi suatu alat peraga interaktif bagi para peserta didik. Kartu adjektif ini bisa digunakan selama pembelajaran, dalam tahap pembekalan atau BKoF (Building Knowledge of the Text). Cara pembuatan kartu bisa beragam, salah satunya adalah: - siapkan gambar-gambar yang menunjukkan kata sifat dan lawan katanya; - tuliskan penjelasan dari masing –masing gambar tersebut, misalnya tinggi, pendek, tua, muda, cantik, jelek, dll; - gunting gambar dan penjelasannya, kemudian tempelkan di kartu bekas.

(g.1) (g.2) Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa kesulitan siswa dalam penyusunan teks deskriptif akan terbantu dengan penggunaan kartu 88


adjektif. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII B SMP Negeri 1 Lembang selama dua minggu.

Implementasi di Kelas Implementasi Kurikulum 2013 menuntut sikap profesional disertai dengan kreativitas para pendidik. Salah satunya adalah dengan mengupayakan berbagai alat peraga atau teaching aids sebagai solusi untuk menghadapi kesulitan dalam pembelajaran. Pada silabus Kurikulum 2013 kelas VII terdapat KD tentang teks deskripsi sebagai berikut; 4.7.2 Menyusun teks deskriptif lisan dan tulis, sangat pendek dan sederhana, terkait orang, binatang, dan benda, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan, secara benar dan sesuai konteks. Kesulitan yang ditemukan ketika menuntun para peserta didik dalam penyusunan teks deskriptif pada KD tersebut adalah tata bahasa dan kurangnya perbendaharaan kosakata tentang kata sifat. Oleh karena itu penulis berupaya mengatasinya dengan kartu adjektif seperti pada gambar diatas. Alat peraga tersebut digunakan ketika penulis harus mengajarkan siswa materi teks deskripsi pada buku “When English Rings a Bell” chapter VII dengan tema “I’m Proud of Indonesia!“ Khususnya pada kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik pada bagian “mendeskripsikan tokoh”.

Variasi Kegiatan Kegiatan yang dilakukan pertama kali sebelum menyusun teks adalah membentuk kelompok peserta didik yang terdiri dari 3 atau 4 orang. Kemudian masing-masing kelompok menerima sebuah amplop berisi kartu tentang kata sifat yang sudah dibuat dalam kartu bekas atau kertas karton seperti pada gambar (g.1 dan g.2). Peserta didik berusaha untuk memasangkan kartu dengan lawan katanya masing-masing, misalnya tua dengan muda, tinggi dengan pendek, dan seterusnya. Kemudian, guru berkeliling mengecek pekerjaan semua kelompok. Guru membaca masing-masing kata, lalu siswa diminta mengucap ulang kata-kata tersebut dengan pengucapan dan penekanan kata yang benar. Setelah itu, mereka berlatih dalam kelompoknya untuk menebak lawan kata dari kartu yang mereka miliki. Seorang memegang semua kartu kemudian membuka kartu satu persatu, dan anggota kelompok yang lainnya berusaha menebak lawan katanya. Kegiatan selanjutnya adalah mengisi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) sebagai berikut:

89


Task 1 Please answer the questions based on the picture!

1. Who is she? 2. Is she your teacher? 3. Is she your idol teacher? 4. What does she teach? 5. Does she has brown eyes? 6. Is she young or old? 7. Is she beautiful? 8. Does she always help the students? Task 2 Please describe your idol teacher! My Idol Teacher ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………

90


(Sumber gambar: pribadi)

Daftar Pustaka Johnson., & Elaine, B. 2002. Contextual Teaching & Learning: What is it and why it’s here to stay. California: Corwin Press. Emilia, E. 2011. Pendekatan Genre-Based dalam Pengajaran Bahasa Inggris: Petunjuk untuk Guru. Bandung: Rizki Press.

Biodata Penulis Titin Rostika adalah seorang guru Bahasa Inggris di SMP NEGERI 1 Lembang. Menyelesaikan program Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris di IKIP Bandung. Menjabat sebagai Ketua MGMP Kabupaten Bandung Barat. Prestasi yang pernah diraih adalah ‘The Best Teacher’ dalam lomba Digital Storytelling Contest pada tahun 2015. Karya yang pernah diterbitkan adalah buku Simple English. Alamat email: titin.rostika@yahoo.com

91


Upaya Meningkatkan Minat Siswa dalam Memahami Struktur Generik Teks Naratif melalui Permainan Memburu Harta Karun (Permainan yang Diadopsi dari “Pokemon Go” Game) Winy Mustikasari SMA Negeri 1 Parongpong

Pendahuluan Teks naratif (narrative text) adalah materi yang sering dibahas dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Siswa mulai mendapatkan topik mengenai naratif teks dari tingkat SMP hingga SMA kelas 3. Oleh karena itu, banyak siswa yang merasa jenuh dengan materi tersebut, hal ini menyebabkan kurangnya antusias siswa dalam proses belajar di kelas yang berpengaruh terhadap hasil belajar. Minat merupakan salah satu faktor pokok untuk meraih sukses dalam studi. Penelitian penelitian di Amerika Serikat mengenai salah satu sebab utama dari kegagalan studi para pelajar menunjukan bahwa penyebabnya adalah kekurangan minat.” (Gie, 1998). Untuk meningkatkan minat dan antusiasme siswa dalam mempelajari materi teks naratif, guru harus menciptakan metode pembelajaran yang kreatif, salah satunya dengan menggunakan metode permainan. “the emotions arouse when playing games ad variety to the sometimes dry, serious process of language instruction “ (Bransford, Brown, & Cocking, 2000), Ersoz, 2000 ; Lee, 1995). Selain untuk meningkatkan minat dan antusiasme siswa, permainan juga harus dibuat sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam bahasa Inggris khususnya, permainan harus mencakup kompetensi bahasa. “games can involve all the basic language skills, i.e. listening, speaking, reading and writing, and a number of skills are often involved in the same game” (Lee, 1995) Berdasarkan teori tersebut, penulis mencoba untuk menerapkan permainan Pemburu Harta Karun (Treasure Hunter) yang diadaptasi dari permainan “Pokemon Go” untuk meningkatkan minat siswa dalam memahami generik struktur teks naratif. Memahami generik struktur di sini bukan hanya siswa dapat menyebutkan generik struktur dari teks naratif, tetapi juga mampu menempatkan setiap paragraf dari teks naratif sesuai dengan generik strukturnya. Siswa mampu memahami paragraf mana yang termasuk kedalam orientai, komplikasi ataupun resolusi dari teks yang diberikan. Alasan kenapa penulis mengadaptasi permainan “Pokemon Go”, dikarenakan permainan tersebut sedang populer dan banyak dimainkan oleh remaja Indonesia sehingga akan sangat menarik jika digunakan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Diharapkan dengan menggunakan 92


permainan ini, proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, siswa aktif berperan serta dalam tercapainya tujuan pembelajaran.

Implementasi di kelas Persiapan : - Guru mempersiapkan sebuah teks naratif yang tidak terlalu panjang, maksimal terdiri dari 4 paragraf yang kemudian digunting perparagraf. -

Guru mempersiapkan petunjuk tempat di mana setiap paragraf tadi akan ditempelkan. Misalnya di perpustakaan, di kantin sekolah, atau di tempat tempat strategis sekolah yang tidak terlalu jauh dengan kelas yang akan dipakai untuk pelaksanaan kegiatan ini. Kertas petunjuk ditempelkan berurutan di papan tulis.

-

Guru menempelkan kertas paragraf tadi di tempat yang telah ditentukan .

-

Guru mempersiapkan kertas memo, selotip dan kertas HVS.

Pelaksanaan : 1. Siswa membentuk kelompok yang terdiri dari 4 siswa per kelompok. Tiap siswa mempunyai tugas masing-masing, dua orang menjadi pemburu, satu orang adalah penulis dan satu orang lagi berperan sebagai pengatur. 2. Siswa yang bertugas sebagai pemburu harus memegang kamera. 3. Setelah semuanya siap, guru memberikan petunjuk cara bermain “Pemburu Harta Karun�. Pemburu pertama membaca petunjuk tempat dimana kertas paragraf berada setalh itu mencarinya di tempat yang sesuai dengan petunjuk. Setelah menemukan kertas paragraf 93


tersebut, pemburu harus memotret kertas paragraf yang dia temukan dan secepatnya kembali ke kelas. 4. Setelah kembali ke kelas, pemburu pertama memberikan hasil potretnya kepada siswa yang bertugas sebagai penulis. Kemudian penulis menulis kembali paragraf di kertas memo sesuai dengan yang ada di foto. 5. Setelah pemburu pertama memberikan hasil fotonya ke penulis, pemburu kedua membaca petunjuk selanjutnya dan mencari paragraf yang telah ditentukan di petunjuk tersebut. Pemburu kedua melakukan hal yang sama seperti hunter pertama. Para pemburu bergiliran mencari kertas paragraf sesuai dengan petunjuk sampai semua kertas paragraf ditemukan. 6. Kelompok yang sudah menemukan semua paragraf kemudian melakukan diskusi untuk menyusun paragraf acak tersebut menjadi sebuah teks naratif yang benar sesuai dengan generik strukturnya.

7. Setelah selesai berdiskusi, siswa yang bertugas sebagai pengatur, menyusun kertas memo yang berisi paragraf di atas kertas HVS dan menempelkan di dinding kelas yang ditentukan oleh guru.

8. Semua hasil kelompok ditempelkan di dinding kelas untuk mempermudah guru menilai hasil kerja kelompok.

9. Guru memeriksa hasil kerja kelompok. 94


Untuk mengapresiasi kerja siswa, guru memberikan hadiah kepada kelompok yang telah menyusun paragraf acak menjadi sebuah teks naratif yang benar dan paling cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kelompok yang belum menang tetap diberikan apresiasi dan motivasi.

Variasi Kegiatan Pemburu Harta Karun adalah permainan yang diadaptasi dari permainan “Pokemon Go� yang menggunakan telepon genggam berkamera, dimana target nya adalah kertas berisi paragraf sebagai pengganti dari pokemon yang merupakan target di permainan Pokemon Go. Pemburu Harta Karun bisa dipakai untuk teks atau materi lain selain teks naratif, bisa untuk pembentukan kosakata, ekspresi, dan lain lain.

Daftar Pustaka Agustin Setyo Wardani. (2016). Panduan lengkap cara bermain Pokemon Go. (daring). di http://tekno.liputan6.com/read/2550994/panduan-lengkapcara-bermain-pokemon-go Anis Apriliawati. (2009). Comprehending text types. Exact Ganeca Depdiknas. (2006). Permendiknas no 22 tentang Standar Isi. Jakarta. Depdiknas. (2006). Permendiknas no 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta. Jacobs, George. Using Games in Language Teaching article from. (daring). di http://www.georgejacobs.net/MIArticles/Games for Language teaching.doc Richards, Jack and Rodgers, Theodore. (1986). Approaches and Methods in Language Teaching.London : Cambridge University Press.

Biodata Penulis Winy Mustikasari adalah seorang guru bahasa Inggris di SMAN 1 Parongpong, Kabupaten Bandung Barat dan telah menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2004. Pada tahun 2004 pernah bekerja di beberapa bank asing dan bank nasional sebagai kredit analis dan costumer service sampai akhirnya pada tahun 2009 lulus seleksi menjadi guru di wilayah KBB. Menikah di tahun 2006 dan dikaruniai dua orang anak. Pada tahun 2014 mengikuti West Java Teacher Training-Adelaide Program, dimana program tersebut memberikan banyak ilmu yang bermanfaat dalam melaksanakan profesi sebagai guru. Kegiatan terakhir di tahun 2016 adalah ikut serta dalam pembuatan video pembelajaran bahasa Inggris bersama Direktorat PSMA dan Pustekom.

95


Efektivitas Pembelajaran Bahasa Inggris Melalui Poster Wiwin Winarti SMPN 11 Bandung

Pendahuluan Saat ini, proses pembelajaran tidak sekadar transfer of knowledge, dimana seorang guru hanya menyampaikan pengetahuan yang ia miliki kepada peserta didiknya. Proses pembelajaran juga harus menuntut guru untuk transfer of value, yaitu menyampaikan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter, tingkah laku, ataupun akhlak peserta didik agar menjadi lebih baik. Dalam pelaksanaan transfer of value, seorang guru tidak hanya mengajar dan mementingkan perkembangan kognitif peserta didik saja. Guru juga perlu memperhatikan perkembangan siswa dari segi afektif dan psikomotorik. Seorang guru harus kreatif dan inovatif, hal tersebut dibutuhkan untuk menjadikan suasana dan kondisi pembelajaran menjadi nyaman dan menarik bagi siswa. Guru harus dapat memilih dan memahami media pembelajaran, sehingga media yang digunakan tepat dan sesuai dengan apa yang siswa butuhkan. Salah satu media pembelajaran yang menarik dan mudah digunakan yaitu poster. Menurut Sabri (dalam Musfiqon, 2012:85) poster merupakan penggambaran yang ditunjukkan sebagai pemberitahuan, peringatan, maupun penggugah selera yang biasanya berisi gambar-gambar. Sedangkan Sri Anitah berpendapat bahwa poster merupakan suatu gambar yang mengombinasikan unsur-unsur visual seperti garis, gambar dan kata-kata yang bermaksud menarik perhatian serta mengkomunikasikan pesan secara singkat (2008:12). Poster adalah sebagai kombinasi visual dari rancangan yang kuat, dengan warna, dan pesan dengan maksud untuk menangkap perhatian orang yang lewat tetapi cukup lama menanamkan perhatian orang yang lewat , cukup lama menanamkan gagasan yang berarti di dalam ingatannya (Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2010: 51). Rudi susilana dan Cepi Riana (2009: 14) menjelaskan bahwa poster yaitu sajian kombinasi visual yang jelas, menyolok, dan menarik dengan maksud untuk menarik perhatian orang yang lewat. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa media poster secara umum adalah suatu pesan tertulis. Baik itu berupa gambar maupun tulisan yang ditujukan untuk menarik perhatian banyak orang sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima orang lain dengan mudah. Dengan demikian poster dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang menarik bagi peserta didik. Lebih spesifik dalam pembelajaran bahasa Inggris, poster merupakan salah satu functional text yang mudah didapat, dibuat dan disukai siswa. Melalui poster, siswa menggali informasi dengan bahasa gambar yang ditransfer ke dalam bahasa lisan juga bahasa tulisan. Hal ini efektif dalam melatih keterampilan berbahasa Inggris siswa. 96


Efektivitas Poster dalam pembelajaran Bahasa Inggris yaitu: Poster memiliki kekuatan dramatis begitu tinggi yang dapat memukau pengamatnya. Poster dapat menarik perhatian karena uraiannya yang memadai secara kejiwaan dan merangsang untuk dihayati. Dari apa yang diutarakan tentang poster, hendaknya guru menggunakan poster di dalam kelas atas dasar beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1. Untuk memotivasi Penggunaan poster dalam pembelajaran sebagai pendorong atau motivasi kegiatan peserta didik. Diskusi dapat dilakukan setelah diperlihatkan sebuah poster mengenai bahan pembelajaran; Dipihak lain, poster dapat membuat peserta didik lebih tertarik untuk mempelajari lebih jauh mengenai informasi, hakikat, dan pesan yang disampaikan melalui poster tersebut. Peserta didik tampak lebih tertarik menggali keterampilan berbahasa Inggris dalam bentuk memahami bahasa tulisan pada poster. 2. Sebagai Peringatan Poster dapat memengaruhi prilaku siswa. Pesan melalui poster yang tepat, akan membantu menyadarkan siswa, sehingga diharapkan akan mengubah perilaku siswa dalam praktek sehari-hari yang nantinya akan menjadi kebiasaan siswa tersebut. Melaui poster, siswa lebih mudah dalam menerapkan teks “prohibition”, “ warning” atau “functional teks” lainnya.

97


3.

Pengalaman yang kreatif Poster memberikan pengalaman baru sehingga menumbuhkan kreatifitas siswa dalam cara belajarnya. Dengan adanya poster siswa dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, karena siswa diberikan kesempatan untuk melukis tentang apa yang telah mereka pelajari. Pada saat membaca Poster, ketertarikan dari gambar visual biasanya membuat peserta didik menjadi kreatif untuk membuat poster sendiri. Pembuatan Poster yang melibatkan aktivitas otak kanan menjadi pengalaman tersendiri bagi peserta didik. Kemampuan berbahasa lisan tergali pada saat proses pembuatan poster, juga bahasa tulisan yang menjadi pesan inti poster tersebut. Sri Anitah (2008: 13-14) mengatakan manfaat poster adalah sebagai berikut: 1. sebagai penggerak perhatian; 2. sebagai petunjuk; 3. sebagai peringatan, pengalaman kreatif; 4. untuk kampanye. Secara umum poster memiliki kegunaan, yaitu sebagai berikut: 1. memotivasi siswa, poster dalam pembelajaran sebagai pendorong atau memotivasi belajar siswa; 2. peringatan, berisi tentang peringatan-peringatan terhadap suatu pelaksanaan aturan hukum, sekolah, sosial, kesehatan bahkan keagamaan; 3. pengalaman kreatif, melalui poster kegiatan menjadi lebih kreatif untuk membuat ide, cerita, karangan dari sebuah poster yang dipajang (Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, 2010: 56-57).

Kelebihan Media Poster adalah sebagai berikut: 1. Dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan. 2. Dapat dilengkapi dengan warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa. 3. Bentuknya sederhana tanpa memerlukan peralatan khusus dan mudah penempatannya, sedikit memerlukan informasi tambahan. 4. Pembuatannya mudah dan harganya murah. Kelemahan media Poster adalah sebagai berikut: 1. Membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya. 2. Penyajian pesan hanya berupa unsur visual.

98


Daftar Pustaka Musfiqon. (2012). Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: PT.Prestasi Pustakarya. Sudjana, N. & Ahmad Rivai. (2010). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Susilana, R. & Cepi Riyana. (2009). Media Pembelajaran Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan dan Penilaian. Bandung: CV Wacana Prima. Anitah, S. (2008). Media Pembelajaran. Surakarta: LPP UNS dan UNS Pers.

Biodata Penulis Wiwin Winarti adalah seorang guru bahasa Inggris yang pernah mengikuti program Indonesia-Korea teacher exchange pada tahun 2017. Seorang pengajar di SMP Negeri 11 sejak tahun 2007- sekarang. Penulis sebelumnya pernah menjadi Instruktur Lab Bahasa dan TOEFL di SMAT Krida Nusantara pada tahun 2005 – 2006. Penulis juga merupakan Peserta Tunja International Conference United Nation Environment Project 2016. UNESCO dan APCEIU.

99


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.