1
Panggilan Alam Barzakh Sudah siapkah kita ? Pada suatu hari Rasul saw. bersabda : “Sesungguhnya kubur senantiasa memanggil kalian dengan lima panggilan, “Wahai anak-anak Adam : 1. Engkau kini boleh berjalan diatas punggungku tapi ketahuilah bahwa engkau akan berakhir dalam perutku 2. Engkau kini boleh bersenang-senang diatas perutku tapi ketahuilah bahwa engkau akan bersedih dalam perutku 3. Engkau boleh tertawa-tawa diatas punggungku tapi ketahuilah bahwa engkau akan menangis dalam perutku 4. Engkau boleh berbuat dosa diatas punggungku tapi ketahuilah bahwa engkau akan disiksa dalam perutku 5. Engkau boleh makan makanan haram diatas punggungku tapi ketahuilah bahwa engkau yang akan dimakan oleh ulat-ulat dalam perutku “ Ketika nabi Yusuf as. dimasukkan kedalam penjara, didalamnya ia bertemu dengan dua orang yang juga berada di tempat itu karena dituduh berbuat kesalahan, salah satunya tukang membuat makanan untuk raja dan yang lainnya pembuat minuman. Salah satu dari keduanya disyaki telah meracuni anggota kerajaan, belum jelas siapakah yang meletakkan racun sama ada si pembuat makanan atau pembuat minuman. Keduanya bermimpi pada malam yang sama. Melalui takwil yang dilakukan atas mimpi keduanya, nabi Yusuf as. mengatakan
bahwa pembuat makanan akan dihukum mati dan
pembuat minuman akan dibebaskan. Esok harinya, keduanya sama-sama dikeluarkan dari penjara itu tapi dengan perasaan yang sangat jauh berbeda, si pembuat minuman keluar dengan perasaan yang bergembira karena ia keluar menuju kebebasannya sedangkan pembuat makanan keluar dengan rasa takut yang amat dalam kerana ia keluar hanya untok dihukum mati. Jika kita mau mengambil iktibar maka contoh diatas juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa kitapun akan mengalami salah satu dari dua perasaan itu ketika kita hendak menemui Allah. Mungkin dengan tersenyum bahagia dan mungkin dengan menangis. Ada yang memanggil-manggil Allah tapi Allah tidak menoleh kepadanya, ada yang panggilannya didengar Allah dan ada pula yang ianya yang dipanggil oleh Allah.
2
Bagaimanakah usaha kita agar kita menjadi orang yang tersenyum menghadapi kematian itu?, bagaimanakah caranya agar kita bertemu dengan Allah dengan penuh sukacita?. Dalam pembahasan ini kita bersama akan mencari jalan agar kita menghadapi kematian dengan kebahagiaan dan kita siap untuk menemui Allah bilamana Allah menghendaki. Al-Quran sebenarnya telah banyak menyebutkan banyak ayat tentang itu demikian juga hadits Rasul saw. dan para Imam Ahlul Bait as. yang secara umum menerangkan bahwa cara satu-satunya untuk menciptakan kebahagian menghadapi kematian adalah menghias kematian itu sebagai sesuatu yang indah dengan meningkatkan kecintaan kita kepada Allah. Kecintaan ini bukan sekedar ucapan lisan semata, tapi merupakan sesuatu yang harus diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan keyakinan. Imam Shadiq as. berkata : “Engkau melakukan maksiat kepada Allah tapi engkau menampakkan diri sebagai orang yang mencinta-Nya. Bagiku ini adalah sikap yang aneh karena jika cinta kamu ikhlas maka engkau akan mentaati perintah-Nya, karena orang yang mencintai akan senantiasa taat kepada kekasihnya�. Terkadang kita masih takut mati sementara kita mengaku sebagai kekasih-kekasih Allah, sudah murnikah cinta kita kepada Allah ataukah kita menghias maksiat kita dengan baju kecintaan ilahi ?. Bagaimanakah tanda-tanda orang yang mencintai Allah? Kita ingin mengetahuinya agar kita mampu menciptakan cinta itu dalam diri kita. Dari apa yang kita dapatkan dari Al Quran, hadits dan riwayat kita menemukan beberapa tanda orang yang mencintai Allah : 1. Kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, setiap pecinta pastilah selalu menginginkan pertemuan dengan kekasihnya. Bahkan perpisahan dengan orang yang ia kasihi merupakan sesuatu yang menyiksa. Sehari rasa seminggu, seminggu rasa setahun dan seterusnya. Kecintaan ini ada mukadimahnya yang juga harus dicintai dan itu sangatlah logic. Jika anda mencintai sholat maka anda pasti mencintai wudhu sebagai mukadimahnya, bagaimana mungkin anda mencinta sholat akan tetapi tidak mencinta wudhu. Anda cinta masjid akan tetapi anda tidak menyukai perjalanan menuju masjid itu. Yang seperti itu bukanlah cinta sejati. Demikian juga dengan cinta Allah, jika anda mengaku mencintai Allah maka anda harus merindukan pertemuan dengan-Nya dan tidak ada cara lain bertemu dengannya kecuali mati maka andapun harus merindukan kematian. Bagaimana pula kita merindukan kematian?, yaitu dengan menghias kematian kita dan menjadikan pertemuan dengan Allah itu sebagai satu perjalanan yang indah. Dengan membawa bekal yang disukai Allah maka pertemuan kita dengan Allah akan menyenangkan karena kita tahu bahwa Allah akan suka dengan apa yang kita bawa dalam bentuk amal sholih, ibadah dan sebagainya. “Carilah bekal maka sesungguhnya bekal yang 3
paling baik adalah taqwa�, demikian kata Allah. Jika kekasih kita suka bunga berikanlah ia bunga. Allah berfirman kepada orang-orang Yahudi dalam Al Quran : “Wahi Yahudi dan Nasrani, jika kalian mengaku bahwa hanya kalian sajalah
kekasih Allah maka jadikanlah
kematian sebagai harapan jika dakwaan kalian memang benar. Mereka tidak akan pernah mengharapkan mati itu karena perbuatan yang telah mereka lakukan�. Bagi kekasih-kekasih Allah, kehidupan dunia merupakan penjara yang memisahkan ia dengan kekasihnya. 2. Mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya. Pada suatu hari si Majnun menciumi dinding sebuah rumah. Orang-orang merasa heran dan menanyakan mengapa ia melakukan hal itu. Majnun menjawab dengan syairnya :
Aku melalui rumah Laila Aku segera menciumi dinding rumahnya itu Bukan kecintaan kepada dinding yang memenuhi hatiku Tapi cintaku kepada orang yang disebalik dinding Dalam kaidah filsafat disebutkan : hubusy syai-i yastalzim hubba lawaazimihi yang artinya mencintai satu dzat berarti mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan dzat itu. Jika kita mencintai Allah maka kita harus mencintai masjid-masjid Allah, hamba-hamba Allah, ibadah-ibadah kepada Allah dan semua tanda-tanda kekuasaan Allah termasuk pertemuan itu sendiri. Kita mengaku mencintai Allah tapi kita tidak mencintai tempat-tempat yang dicintai Allah, kita menganiaya hamba-hamba Allah, baik manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan kita juga senantiasa benci kepada ibadah-ibadah kepada Allah dan menganggapnya sebagai beban yang menyakitkan. 3. Bersedia berkorban untuk yang dicintai, seseorang yang dipenuhi rasa cinta kepada kekasihnya akan merasa ringan dalam berkorban demi orang yang ia kasihi. Gunung kan ia daki dan lautpun akan ia seberangi demi kekasihnya. Gaji satu bulan dengan ringan ia habiskan untuk membelanjakan untok kekasihnya. Ia rela menderita demi kekasihnya itu. Ia merasakan kebahagian dalam penderitaan yang timbul karena kekasihnya. Demikian juga dengan kecintaan kepada Allah. Jika cinta kita tulus maka kita akan dengan sukarela dan senang hati mengorbankan segala yang kita cinta. Apa yang dilakukan oleh Imam Husein merupakan satu bukti yang sangat nyata dari manusia yang sedemikian cinta kepada Allah sehingga dengan sukarela ia mengorbankan segala milik untuk-Nya.
4
4. Melihat segala sesuatu yang datang dari kekasihnya adalah keindahan, pada suatu hari seorang laki-laki berjalan dengan seorang kekasihnya. Kekasihnya ini pincang salah satu kakinya. Orang-orang yang mereka temui senantiasa memperhatikan kekurangan kekasihnya itu. Melihat hal ini si laki-laki berkata : “Ketahuilah wahai orang-orang, bukan kaki kekasihku yang pincang tapi buminya yang miring (tidak rata)”. Kecintaan laki-laki ini menjadikannya melihat sesuatu yang ada pada kekasihnya -bahkan cacatnya- sebagai sesuatu yang indah. Kecintaan kepada Allah pun demikian pula adanya. Jika cinta kita kepada Allah tulus, maka kita akan melihat segala sesuatu yang diberikan Allah adalah indah. Kata Fatimah Az Zahra as : “Aku tidak melihat daripada-Nya kecuali keindahan”. Cinta yang semacam ini tidak akan lapuk oleh hujan ataupun lekang oleh panas. Cinta semacam ini akan tetap kekal baik dalam keadaan senang ataupun susah. Kematian baginya adalah satu keindahan yang tiada tara karena pertemuan inilah yang ia tunggu. Ali bin Abi Thalib sendiri setelah dipukul dengan pedang oleh musuh Allah itu, ia berkata : “Wahai Tuhan pemilik ka’bah, aku telah menang”. 5. Menuruti kata-kata kekasihnya, jika seorang laki-laki mencintai kekasihnya maka setiap permintaan merupakan kehormatan baginya. Ia merasa kebingungan ketika kekasihnya tidak meminta sesuatu. Ia akan senantiasa merasa kurang melayani kekasihnya. Cinta Allah pun sama adanya. Jika kita mencintai Allah maka kita akan senantiasa menuruti apa yang diperintahkan apalagi jika hal itu untuk kepentingan kita. Kita seringkali mengaku mencintai Allah, tapi perintahnya kita tinggalkan, larangannya kita lakukan. 6. Berusaha memahami isyarat kekasihnya, jika kita mencintai seseorang maka kita akan berusaha mencari tahu makna isyarat-isyarat yang diberikan oleh kekasinya. Jika kekasihnya berkeringat tanpa disuruhpun ia akan menyediakan tisu atau sapu tangan. Allah pun sudah banyak memberikan isyarat tentang kematian, Kita melihat orang-orang di sekitar kita – bahkan keluarga kita- menghadap Allah akan tetapi kita tidak pernah menangkap isyarat itu sebagai peringatan bahwa kita akan sama seperti mereka. Peristiwa-peristiwa itu tidak memberikan motivasi untuk menjadikan kematian kita lebih baik dari pendahulu-pendahulu kita. Kita takut kepada kematian karena kecintaan kita masih belum maksimal lagi. Kita masih mencintai Allah dengan lisan kita belum dengan perbuatan apalagi dengan hati kita sementara kecintaan kita kepada dunia senantiasa dibina dan dikembangkan. Kenikmatan dunia menjadikan kita takut meninggalkannya. Tanpa kita sadari, kita telah sering diberikan peringatan tentang apa yang disebut dengan kematian, hanya saja kita tidak menyadari dan tidak mau mengambil pelajaran. Karena kita senantiasa bergelimang dengan mahligai duniawi sehingga seringkali panggilan-panggilan itu selalu kita abaikan. 5
Pada suatu hari, Abu Dzar didatangi oleh beberapa orang sahabat dan terjadilah dialog dibawah ini : Sahabat
: “Wahai Abu Dzar, mengapa kami takut mati ?”
Abu Dzar
: “Karena kalian membangun dunia dengan merusak bangunan akhirat karena itu kalian
takut berpindah dari tempat yang sudah terbina menuju sesuatu yang rusak” Sahabat
: “Apa yang harus kami lakukan ?”
Abu Dzar
: “(membacakan ayat Al Quran)…adapun orang-orang muhsin maka balasannya adalah
Na’im sedangkan musi (ahli kejahatan) balasan mereka adalah Jahim” Sahabat
: “Bagaimana engkau melihat kedatangan kami di akhirat nanti ?”
Abu Dzar
: “Orang yang jahat akan datang dengan ketakutan seperti hamba yang melarikan diri
dan tertangkap sedangkan orang yang baik akan datang seperti perantau yang hilang kemudian pulang ke rumah keluarganya” Marilah kita tentukan jalan kita menuju kepada Allah. Ingatlah bahwa perjalanan ini merupakan perjalanan yang tidak mungkin kita tunda jika telah sampai waktu keberangkatannya. Kumpulkanlah bekal taqwa yang sebanyak-banyaknya karena perjalanan ini tidak dengan pemberitahuan tentang jam atau pun waktu keberangkatan. Perjalanan ini menuju kepada tujuan yang kita belum pernah menjumpainya. Yang harus kita lakukan bukanlah memikirkan bila ajal akan menjemput kita tapi yang perlu kita pikirkan adalah mulai saat ini marilah kita menghindari maksiat dan bertekad melaksanakan setiap perintah-Nya.
6