Muktamar nu ok

Page 1



HIKAYAT MUKTAMAR NU

Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

Penulis: Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, KH. Yahya C. Staquf, H. Choirul Anam, Drs. H. A. Halim Iskandar, M.Pd, Prof. Akh. Muzakki, KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Dr (Hc). Helmy Faishal Zaini, ST, M.Si, Khoiron, SAP, M.IP, Muhammadun, Mahrus el-Mawa, M. Fajar Marta, Muhammad Ikhsan Mahar, Drs. H. Saifullah Yusuf.

Editor: Zainal Ibad



Muktamar NU

Momentum Indah Kembali ke Rumah Alhamdulillah limpahan puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk, rahmad dan hidayah-Nya, akhirnya buku kumpulan hasil tulisan pemikiran, ide dan gagasan dari para intelektual NU yang membahas seputar Muktamar NU ke-33 ini bisa terwujud. Tak lupa sholawat serta salam juga kami panjatkan ke Baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah mengangkat kita kepada derajat keluhuran yang lebih tinggi. Buku kumpulan tulisan seputar Muktamar NU ke-33 ini sengaja kami buat dengan harapan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para muktamirin. Sebab tanpa dipungkiri, berkat pikiran-pikiran itulah akhirnya muncul dinamika yang berwarna dan membawa keindahan jelang pelaksanaan Muktamar NU ke-33 yang digelar di Jombang 1-5 Agustus 2015. Dalam artikel yang telah ditulis para intelektual NU itu banyak yang membahas seputar konsep pemilihan Rais Aam PBNU yaitu ahlul halli wal aqdi atau yang juga sering disingkat AHWA. Sebuah pemilihan rais aam yang pernah dilakukan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984 silam. Sebenarnya, dalam sejarah Islam konsep ini pernah dilaksanakan pada era Khalifah Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Umar memilih beberapa orang tepercaya untuk menjadi wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar setelah meninggalnya sang khalifah. Kemudian, yang terpilih melakukan musyawarah, berdiskusi, dan memutuskan kebijakan yang wajib ditaati seluruh anggota ahlul halli wal aqdi dan kaum muslimin. Keputusan tersebut adalah memilih sahabat Ustman bin Affan sebagai pengganti Umar dalam melanjutkan perjuangan dakwah Islam. Ide penerapan konsep ahlul halli wal aqdi pada Muktamar ke-33 ini tidak lain adalah akibat keprihatinan dan kegelisahan warga nahdliyin, khususnya para kiai setelah terselenggaranya Muktamar ke-33 di Makassar. Yakni pemilihan rais aam dan tanfidziyah layaknya pemilu kepala daerah (pilkada). Di arena muktamar, banyak spanduk, baliho, banner, bendera, dan stiker yang

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

5


mendukung salah seorang calon. Karena itu, muncul sebuah pertanyaan apakah konsep wasyaawirhum fil amri (bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan kalian) telah hilang di organisasi keagamaan sebesar NU?. Sebuah tradisi yang mulia dan bijak dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat yang jauh melampaui konsep demokrasi. Tak hanya soal ahlul halli wal aqdi, gagasan baru soal Islam Nusantara yang kini tengah hangat dibahas dunia Islam di Indonesia bahkan internasional juga tak luput dari perhatian para penulis. Banyak yang menilai, gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu hingga kini. Keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat. NU sebagai organisasi yang lahir sejak 1926 telah memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam menjalankan tradisi dan ritual keagamaan hingga kini. NU juga telah merumuskan beberapa prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawasut (moderat), ta’adul (keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar. Buku ini hadir merangkai tulisan dari para intelektual NU yang dengan ikhlas rela meluangkan waktunya membuat tulisan yang telah dimuat diberbagai media massa nasional. Berkat tulisannya itulah akhirnya menggerakkan kami untuk mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut, yang akhirnya diterbitkan oleh Panitia Daerah Muktamar NU ke-33 di Jombang. Dalam pelaksanaan muktamar di Jombang ini adalah untuk yang pertama kalinya. Untuk itu, pelaksanaan muktamar ini menjadi momentum paling indah kembali ke rumah bagi warga nahdliyin khususnya para muktamirin. Sebab, di Jombang ada tokoh-tokoh penting NU yang dimakamkan disana mulai Hadratussyaih KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim hingga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan begitu, pelaksanaan muktamar ini sekaligus menjadi momentum mengajak seluruh warga NU untuk berziarah di Jombang. Akhir kata, buku ini disusun selain bertujuan untuk penambah wawasan

6

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


dan pengetahuan juga sebagai kenang-kenangan untuk para muktamarin. Kami ucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah menuangkan pemikiran, ide dan gagasan dalam tulisan yang telah dimuat di beberapa media massa nasional. Mudah-mudahan apa yang telah diberikan untuk NU dan Indonesia ini menginspirasi seluruh umat di Nusantara. Kami juga minta maaf jika tidak bisa memuat seluruh tulisan karena keterbatasan sarana, ngapunten. Wallahu’alam bissawab.

Surabaya, Juli 2015 Editor,

Zainal ibad

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

7


Sebuah Pengantar

NU Klarifikasi Istilah Islam Nusantara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menjelaskan istilah “Islam Nusantara” yang menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus mendatang. Hal ini dilakukan guna menepis tudingan negatif belakangan ini yang menyebut Islam Nusantara sebagai bentuk aliran baru yang memadukan Islam dan “agama Jawa”. Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj, di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/7), menegaskan, Islam Nusantara bukan merupakan sinkretisme agama yang mencampuradukkan berbagai keyakinan. Islam Nusantara, katanya, merupakan ajaran Islam yang menyadari bumi tempatnya berpijak. Artinya, ajaran Islam tidak menyingkirkan tradisi yang sudah ada di Nusantara sepanjang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Islam melebur dengan budaya tersebut karena pendekatan dakwah di Nusantara ini pendekatan budaya, bukan senjata seperti di Timur Tengah. Di Nusantara, (pendekatannya) dilandasi oleh pergaulan baik, akhlak mulia, dan budaya,” tutur Said Aqil. Menurut dia, pemahaman Islam yang ramah, sejuk, dan peduli pada kebenaran dan keadilan sangat kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini. Terlebih di tengah menyebarnya paham radikal yang menganggap ajaran yang mereka pegang yang paling benar sehingga menganggap pemahaman Islam di luar pandangan mereka salah. Said Aqil khawatir, jika tidak dicegah, pemahaman radikal akan terus berkembang di Indonesia. Salah satu indikasinya, katanya, cukup banyak pemuda Indonesia yang terprovokasi untuk berperang bersama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Mengekspor imam Wajah ramah Islam di Indonesia yang disebarluaskan oleh NU sudah

8

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


mendapat pengakuan dari negara-negara di Eropa yang meminta PBNU mengirimkan 100 imam untuk memimpin masjid di sana. Menurut Koordinator Biro Beasiswa Luar Negeri PBNU Achmad Sudrajat, permintaan perwakilan Uni Eropa itu didasari pemahaman mereka bahwa Islam di Indonesia ramah. Selain itu, mereka juga melihat sejumlah kasus, beberapa imam dari sejumlah negara di Timur Tengah memberi kesan yang “keras” sehingga dikhawatirkan menjadi “bom waktu”. “Kami belum sempat mengirim karena masih terkendala kemampuan berbahasa Jerman dan Perancis. Sebagian besar pendaftar hanya memiliki kapasitas berbahasa Inggris dan Arab. Namun, tahun depan kami akan usahakan,” kata Achmad. Dia juga menawarkan kesempatan tersebut kepada masyarakat luas yang tertarik untuk menjadi imam sekaligus melanjutkan pendidikan ke negaranegara di Eropa. “Untuk yang tertarik dan memiliki kapasitas itu nanti bisa kami upgrade di sini sebelum dikirim ke Eropa,” ujar Achmad. [GAL] Sumber: Kompas, 4 Juli 2015

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

9


Daftar Isi Muktamar NU, Momentum Indah Kembali ke Rumah ......................... 5 Sebuah Pengantar .............................................................................. 8 Daftar Isi ............................................................................................ 10 Seputar Pilihan Rais Aam Nahdlatul Ulama ........................................ 11 Menjaga Marwah Ulama .................................................................... 14 Kiai dan Jabatan ................................................................................ 18 Sejarah Ahlul Halli Wal Aqdi (1-Bersambung) ..................................... 23 Sejarah Ahlul Halli Wal Aqdi (2-Habis) ................................................ 27 Ngurusi atau Ngerusuhi NU ? ............................................................. 32 Menanti Lahirnya “Kiai Langit� ........................................................... 36 NU, JIN dan Tarkam ........................................................................... 40 Islam Nusantara ................................................................................. 43 Membumikan Islam Nusantara ........................................................... 46 Pancasila dan Perspektif Islam Nusantara .......................................... 50 Menjaga Pilar Kebangsaan ................................................................. 54 Islam, Demokrasi dan Jalan Tengah .................................................... 57 Islam Nusantara untuk Dunia ............................................................. 60 Muktamar NU dan Revitalisasi Nahdlatulogi ...................................... 63 KH Ali Maksum, NU dan Muktamar ke-33 ........................................... 68 Meneguhkan Supremasi Kiai ............................................................. 71 Teks Karakter Islam Nusantara ........................................................... 74 Sekilas Sejarah Lambang NU ............................................................. 81

10

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Seputar Pilihan Rais Aam Nahdlatul Ulama Oleh: Dr s. H. Saifullah YYusuf usuf Drs. Ketua PBNU/Wakil Gubernur Jawa Timur

Tahun lalu, ketika menjelang konferensi NU Jawa Timur, banyak dibicarakan seputar wacana mekanisme penetapan pimpinan para ulama –ahli waris para nabi– ini. Sesuai dengan namanya, NU memang “semata” tempat berkumpulnya para ulama. Mereka ber-jam’iyyah untuk menjaga keberlanjutan risalah di tengah jamaah. Agar jam’iyyah berjalan baik, dibuatlah beberapa alat kelengkapannya, antara lain jabatan rais aam di level syuriah. Menurut catatan, mereka yang duduk di majelis syuriah adalah “murni” para ulama. Para pemangku ilmu keagamaan yang mumpuni, pengamal hikmah, dan terbiasa hidup penuh wara’ dan zuhud. Mereka lebih berorientasi pada kehidupan akhirat meski sama sekali tidak melupakan dunia. Karena, antara lain, perspektifnya berbeda dari orang kebanyakan dalam memandang hidup, bagi mereka berbicara, mengangankan, apalagi memperebutkan jabatan duniawi adalah tabu. Termasuk jabatan rais aam. Mengangankan dan memperebutkan jabatan, terlebih amanah sebagai rais aam, bukanlah akhlak para ulama, seperti di NU. Sebagai kumpulan para ahli waris nabi, pantang bagi mereka terlibat atau dipaksa terlibat dalam urusan beginian. Mereka adalah tiang-tiang pancang Tuhan yang bertugas menyangga kehidupan di atas bumi. Demikian mulia tugas itu sehingga tidak sembarang orang bisa disebut ulama. Jabatan ulama adalah warisan dari para manusia terpilih, yaitu para nabi. Bermula dari Muktamar ke-30 NU di Lirboyo, Kediri, hingga ke-32 di Makassar, rais aam dipilih secara langsung, persis pemilihan ketua umum PBNU. Pada muktamar ke-32 di Makassar, persaingan cukup mengeras.

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

11


Nama KH. M.A. Sahal Mahfudz, KH. Mustofa Bisri, KH. Maimoen Zubair, KH. Ma’ruf Amien, KH. Habib Luthie, dan KH. A. Hasyim Muzadi disebut muktamirin layak menjadi kandidat untuk bertarung memperebutkan kursi rais aam. Diam-diam, banyak yang terhenyak. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Sebab, di NU hal-hal demikian termasuk tindakan khaariqul ’aadah alias tidak biasa, khususnya di kalangan ulama sepuh. Jamaknya sebuah organisasi, NU juga mengalami pasang surut dan silih bergantinya para pimpinan. Tetapi, sepanjang catatan sejarahnya, organisasi ini tak pernah mengalami keriuhan selain dua kali muktamar pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, dan 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tapi, dari Situbondo, lahirlah duet maut KH. Achmad Shiddiq-KH. Abdurrahman Wahid dan dari Cipasung muncul pasangan Ajengan Ilyas Ruhiyat-Gus Dur. Jauh sebelum itu, para kiai sepuh sudah memberikan teladan yang mesti kita pegang dan kita ta’dzimi. Lihatlah bagaimana Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah menolak menjadi rais akbar karena masih ada KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan, sepeninggal hadratussyaikh, dua ulama sepuh itu tetap menolak jabatan tersebut, lebih-lebih kiai lainnya. Saat Kiai Wahab Chasbullah akhirnya bersedia, itu pun dengan konsensus agar nomenklatur rais akbar diganti dengan istilah rais aam. Saat Kiai Wahab sakit sepuh, muktamirin menginginkan Kiai Bisri Syansuri siap-siap menggantikan. Tapi, Kiai Bisri menolak. Alasannya, Kiai Wahab masih ada. Bahkan meski Mbah Wahab sudah gering dan hanya bisa sarean (rebahan), Kiai Bisri tetap menolak. Sepeninggal Kiai Bisri menjadi rais aam untuk menggantikan Mbah Wahab, para kiai sepuh berembuk memilih pengganti. Seperti Mbah Wahab dan Mbah Bisri, saat diminta jadi rais aam, Raden KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo) juga menolak. Beliau merasa belum “pangkatnya”. Ketika dipaksa para kiai, Kiai As’ad dengan tegas menjawab, “Meski Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa, saya pasti akan menolak. Yang pantas itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo,”. Kiai Machrus menukas saat namanya disebut Kiai As’ad. “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!,”. Akhirnya, musyawarah ulama memutuskan memilih Kiai Ali

12

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Maksum dari Krapyak, Jogjakarta, yang saat itu tidak hadir. Nah, mekanisme musyawarah itu lazim disebut dengan ahlul halli wal ’aqdi. Ya, semacam pemilihan pimpinan dengan menggunakan mekanisme formatur. Menjelang Muktamar NU Ke-33 mendatang, ada baiknya kaum nahdliyin kembali merenungkan teladan yang diajarkan oleh para pendiri NU tersebut. Agar mereka yang benar-benar ulama sajalah yang akan memangku amanah syuriah. Penerapan mekanisme itu dilandasi prinsip saddudz-dzari’ah. Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang berakhir pada 2 November lalu di Jakarta telah menetapkan rancangan ahlul halli wal ’aqdi sebagai mekanisme untuk memilih rais aam pada muktamar 2015. Itulah salah satu cara paling bijak untuk menghindarkan perselisihan dan perpecahan serta praktik pemilihan yang tidak bersih. Sebenarnya konsep tersebut telah diterapkan dalam sejarah perkembangan NU, dalam penetapan kepemimpinan sejak NU berdiri pada 1926 sampai 1952, ketika NU menjadi partai politik. Juga diterapkan lagi dalam Muktamar Ke27 NU di Situbondo pada 1984, saat jam’iyyah ini kembali ke khitah 1926. Lazimnya dalam tradisi NU, ahlul halli memiliki kualifikasi tertentu seperti berkepribadian adil, jujur, dan tepercaya. Memiliki pengetahuan untuk memilih orang yang berkemampuan memimpin dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Memiliki pandangan yang cermat dan arif sebagai ahli hikmah dalam memilih calon pemimpin terbaik yang akan membawa lebih banyak kemaslahatan. Jika ada pertanyaan siapa yang berhak menjadi ahlul halli wal ’aqdi, tentu jawabnya yang paling tahu adalah peserta muktamar. Tetapi, PBNU bisa menyusun rancangan tata cara penjaringan dan kriteria calon serta menjaring calon anggota ahlul halli yang berjumlah sembilan orang. Mereka berasal dari unsur jam’iyyah-struktural dan jamaah-nonstruktural. Ahlul halli bertugas membuat garis-garis besar kepemimpinan NU, menetapkan haluan dasar, dan memilih rais aam. Tugas mereka berakhir setelah terpilihnya rais aam dan wakil rais aam serta terbentuknya pengurus harian PBNU. Sementara pemilihan Ketum PBNU tetap melalui pemilihan langsung oleh muktamirin. Sumber: Ja wa Pos, 4 N ovember 20 14 Jaw No 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

13


Menjaga Marwah Ulama Oleh: qil Sir oj Pr of. Dr Prof. Dr.. KH. Said A Aqil Siroj Ketua Umum PBNU

Nahdlatul Ulama merupakan representasi paripurna dari Islam Nusantara, dalam kultur, jam’iyyah maupun harakah (gerakan). Gerak langkah Nahdlatul Ulama (NU), pada level jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi) menjadi referensi utuh bagaimana menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa kebangsaan. Dalam NU, ukhuwah basyariyyah, islamiyyah, dan wathaniyyah berjalan harmonis untuk membentuk konfigurasi yang selaras dengan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Persaudaraan antar manusia, sesama kaum muslim maupun persaudaraan dalam konteks kebangsaan memiliki porsinya masing-masing yang seimbang. Akan tetapi, ulama NU sadar betapa ukhuwah wathaniyyah perlu didahulukan untuk membina kebinekaan bangsa agar tetap kokoh dalam persatuan. Untuk itu, dalam historiografi pesantren, para kiai berpedoman jelas tentang Islam dan nasionalisme. Seperti yang ditegaskan para kiai dalam pertemuan tahun 1936 di Banjarmasin, tentang model darusalam (negeri kedamaian) sebagai format Indonesia pasca kemerdekaan. Jembatan harmonis antara nilai-nilai agama dan nasionalisme inilah, yang menjadi fondasi tegaknya Indonesia. Inilah wajah Islam Nusantara yang dipraktikkan para ulama yang menjadi pilar NU. Ini berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, yang belum menemukan titik pertemuan antara keislaman dan kebangsaan. Islam Nusantara, jelas memberi ruang dialog antara format keagamaan dan strategi kebangsaan yang saling mendukung. Sebagai benteng kokoh Islam Nusantara, para ulama NU bergerak secara istiqomah untuk mengembangkan pengetahuan, menguatkan jaringan ser-

14

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


ta membentuk strategi kebangsaan yang sesuai dengan model kebinekaan negeri ini. Pengembangan pengetahuan ulama Nusantara jelas dilakukan sejak masa Walisongo, yang mewariskan tradisi, konsep politik, dan artefak pengetahuan yang dapat bermakna hingga kini. Selanjutnya, ulama-ulama Nusantara, semisal Syekh Shamad al-Palimbani, Syekh Mahfudh at-Termasi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Ahmad al-Mutamakkin, dan jaringan ulama Nusantara memberi teladan tentang pentingnya konstruksi pengetahuan Islam Nusantara. Identitas kultural, isnad, silsilah, genealogi pengetahuan dan jaringan luas dalam spektrum pengetahuan Islam memberi bukti bahwa Islam Nusantara jelas menjadi referensi bagi dunia internasional. Inilah yang seharusnya diteruskan oleh para ulama NU, dengan pengetahuan keislaman yang kuat, kemampuan menulis kitab dalam bahasa Arab, mampu berdialog dengan ulama-ulama Timur Tengah yang selama ini menjadi referensi pengetahuan. Dengan demikian, marwah ulama NU terjaga dan menjadi referensi pengetahuan Islam di level internasional. Pengetahuan luas dalam kajian keislaman dan strategi politik kebangsaan, menjadi ciri khas ulama-ulama NU, yang dalam rentang sejarahnya dipraktikkan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan penerusnya hingga kini. Posisi Rais Aam bukan jabatan politis, tetapi merupakan penghormatan pengetahuan, kezuhudan, dan kemampuan bergerak dalam level politik kebangsaan, bukan sekadar politik kekuasaan. Politik kkebangsaan ebangsaan Almarhum KH. M Sahal Mahfudh merupakan seorang kiai yang penulis kagumi. Beliau tidak sekadar hadir sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap nasib pesantren, namun juga mampu menakhodai NU sebagai jam’iyyah yang konsisten, mandiri, dan berdiri tegak di tengah silang sengkarut kepentingan politik. Kiai Sahal merupakan guru sekaligus mentor penulis dalam mengabdi di NU. Kiranya, kisah di balik muktamar ke-32 di Makassar memberi bukti bahwa Kiai Sahal tidak ingin mengejar jabatan. Beliau mau menjadi Rais Aam,

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

15


dalam rangka menyelamatkan organisasi ini dari terpaan badai politik dan kepentingan-kepentingan sesaat yang menjebak warga nahdliyin. Kiai Sahal sadar, betapa berat menjaga marwah Rais Aam Syuriah, yang merupakan cermin dan referensi bagi struktur mental, cara berpikir, dan sikap politik maupun strategi organisasi bagi seluruh kiai dan alim ulama di negeri ini. Ibaratnya, Rais Aam dan para kiai yang berada di jajaran syuriah merupakan “begawan waskita”, yang bijaksana dan menjaga jarak dari kepentingankepentingan struktural maupun politik sektarian, apalagi syahwat pribadi untuk mengakses kekuasaan. Ini dibuktikan Kiai Sahal dengan konsistensi dan kemandirian dalam ekonomi, politik, dan pemikiran kebangsaan. Di akhir hayatnya, Kiai Sahal memberikan pesan penting terhadap NU, baik dalam konteks jama’ah maupun jam’iyyah. Kiai Sahal menekankan pentingnya strategi politik tingkat tinggi, untuk menunjukkan bahwa NU bukan organisasi remeh yang dapat dijadikan bemper kekuasaan. Politik ala NU adalah politik kebangsaan dan kerakyatan. Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan yang biasa disebut politik tingkat rendah (low politic) merupakan porsi partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara pribadi. Di sisi lain, NU secara kelembagaan harus bersih dari model politik tingkat rendah. Wilayah NU sebagai jam’iyyah dalam ranah politik tingkat tinggi (high politic, siyasah ‘aliyah samiyah) dalam wujud politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik. Kiai Sahal merenungkan tentang hakikat dan strategi politik, bagi warga nahdliyin maupun dalam konteks NU secara organisasi. Dalam pandangan Kiai Sahal, strategi politik kebangsaan NU berarti harus fokus, istiqomah, dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final dalam berbangsa dan bernegara. Politik kerakyatan, diwujudkan NU dalam konteks memberikan pendampingan dan penyadaran terhadap hak-hak rakyat, serta melindunginya dari marjinalisasi politik maupun kekuasaan. Politik kebangsaan juga dihadirkan Hadratus Syekh Hasyim Asyari yang menjadi tonggak sejarah pada masa revolusi kemerdekaan. Fatwa jihad Kiai Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945, mampu menggerakkan ribuan santri dan pemuda untuk bertempur demi tegaknya NKRI, pada 10 November 1945.

16

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Rekaman sejarah inilah yang tidak pernah muncul dalam narasi besar pengetahuan warga negeri ini. Untuk itu, momentum resolusi jihad Kiai Hasyim Asyari perlu dijadikan sebagai penanda sejarah untuk kebangkitan santri. Peristiwa Oktober-November 1945 inilah yang mempertemukan simpulsimpul jejaring ulama, sebagai tulang punggung NU pada masa kemerdekaan. Pahlawan-pahlawan revolusi, semisal Kiai Hasyim Asyari bersama Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Masjkur, Kiai Bisri Musthofa (ayahanda Gus Mus), Kiai Abbas Cirebon, Kiai Subchi Parakan, dan beberapa kiai lainnya di tanah Jawa, memberikan andil besar dalam sejarah negeri ini, dengan niatan ikhlas dan berpedoman menggerakkan politik kebangsaan. Tentu saja, gerak langkah kiai pesantren yang bergerak di level politik kebangsaan, jangan sampai ternoda dengan kepentingan-kepentingan politik kekuasaan yang menggerus marwah ulama. [#] Sumber: K om pas, 1 6 Juni 20 15 Kom ompas, 16 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

17


Kiai dan Jabatan Oleh: uf ah ahyya C. Staq Staquf KH. YYah Katib Syuriah PBNU

Menurut catatan sejarah, Islam sudah hadir di Nusantara beberapa ratus tahun sebelum era Wali Songo. Selama ratusan tahun itu, tidak terjadi kemajuan berarti dalam penyebarannya. Hanya koloni-koloni kecil orang Arab dan Tionghoa muslim yang terpencar-pencar tidak merata di sekitar wilayah pantai. Tapi, begitu dakwah Wali Songo bangkit, Islamisasi Nusantara berhasil meratai kepulauan surga ini dalam waktu tidak lebih dari 50 tahun saja. Apa kunci suksesnya? Emha Ainun Nadjib, Cak Nun, membuat penjelasan yang menarik. Berdasar pemeriksaannya, orang-orang Islam yang datang ke Nusantara pra-Wali Songo adalah kaum pedagang. Dalam alam pikiran Hindu yang waktu itu mendominasi peradaban Nusantara, pedagang itu berkasta sudra, bukan golongan orang yang secara normatif perlu diperhatikan dan dipegang omongannya karena dianggap berkubang pamrih. Wali Songo adalah orang-orang alim-sufi yang sudah tidak punya gairah apa pun selain kepada Tuhan dan akhirat. Bersih dari segala pamrih duniawi. Di mata masyarakat Hindu, mereka adalah para “brahmana”, golongan yang malati. Barang siapa tidak mau mendengar dan mengikuti petuah kaum mulia itu akan menghadapi risiko celaka. Karena itu, orang banyak pun serta-merta menyambut seruan Wali Songo kepada agama yang memang indah ini. Tradisi ulama sebagai “brahmana” pembimbing umat itu pun selanjutnya dilestarikan. Hierarki kepemimpinan masyarakat pesantren terbangun mengikuti ukuran kealiman dan kezuhudan: siapa paling alim dan paling zuhud, itulah pemimpin tertinggi. Dan ketika “hierarki cultural” tersebut ditransformasikan ke dalam struktur kepengurusan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, nilai-nilai itu dibawa serta pula, walaupun dibiarkan tetap menjadi atu-

18

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


ran tidak tertulis. Kepemimpinan dibagi, syuriah dan tanfidziyah, untuk memagari marwah para ulama di lingkungan syuriah agar tidak “tercemari” dinamika “politik internal” yang lazim terjadi di segala organisasi. Maka, rais aam adalah maqom alim dan zahid dalam semesta kiai. Demikianlah yang berlaku sejak generasi para pendiri sebelum zaman menjadi terlalu tua dan pikun untuk mengingat-ingat warisan berharga dari masa lalunya. Hari-hari menjelang Muktamar Ke-25 Tahun 1969, Kiai Wahab Hasbullah jatuh sakit menuju naza’. Suasana mengkristal ke arah pemilihan rais aam baru dan tak seorang pun berpikir orang lain selain Kiai Bisyri Syansuri. Tapi, sebelum sidang pemilihan digelar, Kiai Bisyri menyerobot podium dan membuat pernyataan tegas, “Selama masih ada Kiai Wahab Hasbullah, saya hanya bersedia menerima jabatan di bawah beliau!”. Kiai Wahab wafat beberapa hari setelah muktamar dan barulah Kiai Bisyri bersedia menerima jabatan rais aam menggantikan pendahulunya. Kiai Bisyri Syansuri wafat sebelum menyelesaikan periode kepemimpinan beliau hasil Muktamar Ke-26. Dalam Munas Alim-Ulama 1981 di Kaliurang, Jogja, tidak seorang pun kiai berani menggantikan beliau sebagai rais aam. Kiai As’ad Syamsul Arifin yang pertama-tama ditawari menolak sekeras-kerasnya, “Walaupun Jibril turun menyuruh saya jadi rais aam, saya tidak mau!”. Orang-orang pun beralih kepada Kiai Mahrus Ali. “Jangankan Jibril,” kata Kiai Mahrus, “Walaupun Izrail yang turun menodong saya jadi rais aam, saya tidak mau!”. Musyawarah akhirnya beraklamasi menyetujui usul Kiai Ahmad Shiddiq untuk mengangkat Kiai Ali Ma’shum. Kebetulan, Kiai Ali Ma’shum tidak hadir di forum sehingga tidak dapat menyampaikan tanggapan langsung. Para kiai mengutus Gus Mus ke Krapyak untuk menyampaikan kesepakatan itu dan membujuk gurunya agar bersedia menerima. Tapi, walaupun sehari suntuk merengek-rengek, Gus Mus gagal meluluhkan hati Sang Guru. Para kiai pun harus berombong-rombong turun dari tempat berkumpul mereka di Kaliurang menuju Krapyak untuk menggeruduk, kemudian membopong Kiai Ali Ma’shum yang tidak henti-hentinya menangis

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

19


tersedu-sedu memikirkan beban tanggung jawab yang akan diembannya. Jabatan rais aam bukan privilege. Itu bukan jabatan duniawi. Bukan sekadar kepemimpinan manajerial. Rais aam adalah tanggung jawab dunia-akhirat seutuhnya. Sedemikian dalam hingga mencakup tanggung jawab syar’iyyah dan ruhaniyyah sekaligus. Apakah ini berarti kiai sama sekali tabu bersentuhan dengan pergulatan politik dan laga kekuatan? Di belakang hari, menjawab pertanyaan seorang santri akan alasan beliau menerima jabatan rais aam, Kiai Ali berkata, “Aku membenci jabatan. Tapi, aku lebih takut lagi lari dari tanggung jawab”. Menjelang Muktamar Ke-27 pada 1984, suasana kontroversial merebak di lingkungan Nahdlatul Ulama. Sebab, para dedengkot politik NU belum cukup rela melepas jam’iyyah itu kembali ke khitahnya. Dalam sebuah rapat Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, tiba-tiba muncul desakan untuk menunda konferensi wilayah (konferwil) yang sudah dijadwalkan. Adalah para politikus yang punya agenda itu. Sebab, mereka khawatir dalam konferwil tersebut akan terjadi pergantian pengurus sehingga utusan yang dikirim ke muktamar nanti bukan dari kalangan mereka. Mereka mendesak sedemikian keras sehingga para kiai di jajaran syuriah menjadi risi dan cenderung diam. Kecuali Gus Mus. Beliau waktu itu menjabat katib syuriah dan telah ditunjuk untuk menjadi ketua panitia pengarah konferwil. Setelah mengajukan argumentasi yang tandas, Gus Mus menancapkan ultimatum, “Kalau mau menunda konferwil, silakan saja. Tapi, saya berhenti dari pengurus!”. Semua yang hadir terkejut. Tapi, raut muka para kiai justru terlihat bersemangat. Bahasa tubuh mereka pun mengisyaratkan siap pergi bersama Gus Mus!. Rapat akhirnya tidak berani membuat keputusan selain meneruskan rencana penyelenggaraan konferwil seperti semula. Sepanjang prosesi konferwil itu, Gus Mus laksana Lone Ranger mengerahkan dayanya habis-habisan untuk memastikan segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Beliau bahkan bersikeras meminta menjadi pembawa acara –yang seharusnya sudah bukan maqom katib syuriah– dalam upa-

20

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


cara pembukaan untuk memastikan agar yang memberikan pidato sambutan atas nama PBNU adalah Rais Aam Kiai Ali Ma’shum karena Gus Mus mencium gejala sabotase. Matori Abdul Djalil (almarhum), salah seorang wakil ketua tanfidziyah dan jagoan kelompok politisi yang sudah diplot untuk menjalankan peran destroyer dalam skenario mereka, ‘dikempit’ Gus Mus habis tanpa bisa lepas sama sekali. “Kamu jangan jauh-jauh dari saya supaya kamu terlihat dekat dengan kiai. Jangan sampai kamu ikut dianggap memusuhi kiai,” ujar Gus Mus. Matori tidak punya kata-kata untuk membantah ataupun mengelak. Setelah konferwil yang sukses, Matori menghampiri Gus Mus dan berujar sambil garuk-garuk kepala, “Saya salah sangka... Saya pikir Panjenengan itu nggak ngerti politik…”. Muktamar Ke-32 di Makassar, Rais Aam Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh rahimahullah hampir melewati pertengahan dari usia 70-annya. Beliau terlihat –dan kenyataannya memang– teramat sepuh dan lelah. Semua orang tahu betapa beliau amat mendambakan istirahat setelah mencurahkan dua pertiga umur beliau untuk NU. Kepada orang-orang terdekat, tidak sekali dua kali beliau mengungkapkan keinginan istirahat itu. Tapi, kian dekat menuju muktamar, aroma hubbur riyaasah (ngebet jabatan) merebak. Kian terasa bahwa orang tidak sungkan mengincar jabatan tanpa memedulikan maqom. Bahkan, haibah (keangkeran) lembaga rais aam terancam jatuh dijadikan sekadar portofolio politik. Sudah sepuluh tahun marwah lembaga rais aam berada di bawah pemeliharaan Kiai Sahal. Beliau tidak tega menyerahkan begitu saja marwah itu kepada terkaman bahaya. Di hadapan tatapan mata penuh permohonan dari santri-santri NU-nya, Kiai Sahal menghela napas mengerahkan seluruh energi rohaninya. “Baik. Saya bersedia maju lagi sebagai calon rais aam,”. Dengan itu, Kiai Sahal mendermakan seluruh sisa daya hidupnya. Beliau pun wafat sebelum selesai masa bakti jabatannya. Beliau memperoleh lebih baik dari sekadar istirahat. Beliau memperoleh syahaadah di tengah tugas. Hari ini, entah masih ada berapa orang yang ingat bahwa NU bukan organisasi biasa. NU tidak seperti perkumpulan pedagang atau petani, tidak

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

21


pula semacam karang taruna. NU terlebih dahulu dan pada dasarnya adalah jamiyyah diiniyyah (perkumpulan keagamaan) sebelum ijtimaa’iyyah (kemasyarakatan). Seharusnya tidak boleh ada sejumput pun urusan dalam NU yang tidak membawa roh agama dan mengikuti panduan agama. “Djasmerah!” kata Bung Karno. Djangan sekali-kali melupakan sedjarah!. [#] Sumber: Ja wa Pos, 20 Desember 20 14 Jaw 201

22

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Sejarah Ahlul Halli wal Aqdi (1-Bersambung)

Oleh: H. Choirul Anam Dewan Korator Museum NU

Diskusi mendalam di Pondok Pesantren Al-Mansyuriyah, Lombok Tengah, NTB telah berlangsung beberapa waktu lalu guna menerima dan mencari masukan untuk melengkapi rumusan PBNU mengenai sistim baru pemilihan Rais Aam (Syuriyah) PBNU yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi (sering disingkat AHWA). Sistim pemilihan zaman Nabi dan sahabat ini mulai akan diuji-coba di Muktamar Jombang. Dalam kata sambutan pembukaan diskusi, Ketua Umum PBNU KH. Prof. Dr. Said Aqil Siroj mendukung penuh sistim pemilihan rais aam dengan model ahlul halli wal aqdi. Sebab kalau pilihan langsung, dikesankan mengadu kekuatan antar kiai, dan karena itu dicarikan jalan musyawarah yang lebih tepat seperti ahlul halli wal aqdi. Lagi pula kalau sistim pemilihan langsung, masih kata Kang Said, akan lahir kubu-kubuan, lalu kampanye hitam (black campaign) antar pendukung, saling menjelekkan dan menjatuhkan. Terus lagi, ditakutkan muncul politik uang yang merusak moral. Ada juga pandangan lain dari peserta diskusi bahwa kalau NU tetap mempertahankan sistim pemilihan langsung, maka kesan NU sama saja dengan partai politik akan terus terbangun selamanya. Bahwa orang akan terus menganggap suksesi di lingkungan NU sama saja dengan di parpol, tergantung mana yang kuat uangnya. Maka dari itu beberapa pengurus PCNU maupun PWNU yang masih mau berpikir, mengharuskan ada perubahan, dan untuk sementara ini yang dipandang cocok adalah model ahlul halli wal aqdi. Saya ingin memberi masukan dari perspektif historis NU mengenai AHWA ini. Bahwa yang perlu dipahami, AHWA tidak ada sangkut pautnya dengan

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

23


politik uang (money politics), dengan kubu-kubuan, kampanye hitam (black campaign), saling jatuh menjatuhkan antar kelompok pendukung kiai atau ulama yang dijagokan, dan seterusnya. AHWA adalah sebuah sistim pemilihan pemimpin yang diajarkan atau dicontohkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW yang bergelar “al-Khulafa’ar-Rasyidun”, yang tak lain adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibnu Khottab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sedang NU sebagai salah satu pewaris AHWA ini hanya ingin mencoba menerapkannya di Muktamar Jombang nanti. Jadi, jangan mengait-kaitkan AHWA dengan politik uang, kampanye hitam, kubu-kubuan dst. Apakah dengan AHWA dijamin tidak akan terjadi politik uang? Tidak akan terjadi konflik dan kubu-kubuan? Belum tentu!. Buktinya NU sejak berdiri hingga saat ini menggunakan sistem pemilihan langsung tidak ada masalah, baik-baik saja!. Hanya saja belakangan ini (di era reformasi) NU tergerus oleh dampak negatif sistem politik makro yang dibangun pemerintah, yakni pilihan langsung anggota DPR, DPD dan presiden/ wakil sampai bupati dan wakil. Warga NU yang hidup di zaman sebelum reformasi tidak pernah tahu dan merasakan politik uang. Pertanyaan besarnya adalah buat apa sistem AHWA ini diterapkan? Untuk apa AHWA disodor-sodorkan agar dipraktikkan di muktamar ke33?. Kenapa tidak pada zaman Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Abdul Wahab Hasbullah tempo dulu diberlakukan?. Apa beliau-beliau kurang AHWA?. Dalam perjalanan sejarah NU belum pernah menggunakan model AHWA dalam pemilihan Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, kecuali pada muktamar ke 27 di Situbondo (3-12 Desember 1984). Penggunaan sistim AHWA ini pun didasarkan beberapa pertimbangan, antara lain, karena kondisi NU sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyah (Organsasi Keagamaan Islam) waktu itu, memang sudah rapuh sehingga memerlukan pemikiran dan upaya baru untuk menyelamatkannya. Terutama sepeninggal Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (wafat Jum’at 25 April 1980). Tubuh NU terbelah menjadi dua kubu: kubu politik yang bermuara kepada Ketua Umum PBNU KH. DR. Idham Cholid (Cipete) dan kubu khitthah yang dijaga ketat KH.R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang

24

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


didukung kelompok muda pembaharu di NU seperti Gus Dur. Bisa dipahami, karena KH. Idham Cholid kala itu benar-benar sebagai figur sentral, yaitu selain menjabat Ketua Umum PBNU, juga Presiden Partai (PPP). Hampir setiap hari kubu politik berteriak-teriak agar jabatan Rais Aam dibiarkan kosong, sehingga mereka bisa leluasa memainkan jurus-jurus politiknya guna memperoleh kekuasaan politik di parlemen atau eksekutif di pemerintahan. Sementara kubu khitthah terus berupaya agar segera diisi. Kalau tidak, maka nasib NU ke depan semakin sulit untuk ditolong. Pertengkaran dua kubu tersebut, jika digambarkan, memang hampir mirip seperti cicak dan buaya. Masing-masing kubu beradu argumentasi di media massa. Kelompok Cipete ngotot meminta jabatan Rais Aam dibiarkan lowong, dan kalau toh mau diisi mesti diambil dari salah satu wakil untuk naik menjadi Rais Aam. Pendapat itu ditolak mentah oleh kubu khittah atau kelompok Situbondo karena tidak sesuai dengan konstitusi NU. Menurut AD/ ART NU, jabatan Rais Aam dipilih langsung oleh ulama NU seluruh Indonesia melalui muktamar (atau forum ulama yang setingkat dengan itu), yaitu Munas atau Konbes. Kubu Situbondo yang secara diam-diam berupaya keras mengembalikan NU ke khittah aslinya, akhirnya berhasil mengonsolidasikan pikiran-pikirannya ke hampir seluruh ulama senior di Indonesia. Puncaknya kelompok ini sukses menggelar munas alim ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta (September 1981). Dan berhasil memilih KH. Ali Ma’shum sebagai Rais Aam PBNU menggantikan KH. Bisri Syansuri. Mestinya persoalan sudah selesai, ternyata belum juga. Hasil Munas yang menggemparkan jagat politik nasional dan mendapat banyak pujian serta sanjungan dari berbagai kelompok tersebut, terutama menyangkut soal isu politik dukung-mendukung pemberian gelar Bapak Pembangunan dan pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden RI pada Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1982, justru dimentahkan oleh kubu Cipete dengan menggunakan sayap Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) untuk menandinginya. Sehari setelah Munas Alim Ulama NU ditutup, kubu Cipete menggelar Konferensi Besar (Konbes) GP Ansor (3-6 September 1981) di Semarang. Drs.

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

25


HA. Cholid Mawardi selaku Ketua Umum PP GP Ansor sekaligus mereprentasikan diri sebagai pimpinan kelompok Cipete menyatakan: “Pemberian gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto adalah gagasan wajar dan penting bagi integrasi bangsa. Dan Konbes menyarankan kepada DPR RI membuat memorandum kepada MPR untuk mempercayakan kepemimpinan nasional kepada Jenderal Soeharto.� Dari sini pertentangan semakin tajam. Lalu bagaimana upaya para kiai sepuh NU menyelamatkan organisasi? Inilah episode sejarah yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan. [bersambung] Sumber: www .nu.or .id, 1 6 April 20 15 www.nu.or .nu.or.id, 16 201

26

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Sejarah Ahlul Halli wal Aqdi (2-Habis)

Oleh: H. Choirul Anam Dewan Kurator Museum NU

Sabar pun ada batasnya. Para kiai sepuh merasa dilecehkan. Putusan Munas Ulama NU yang menggemparkan itu, dianggap menyesatkan dan membahayakan NU oleh kubu Cipete. Perlawanan ini akhirnya melahirkan sikap keras para ulama terhadap Idham Cholid. Pada 2 Mei 1982 sejumlah ulama kharismatik: KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Masjkur, dan KH. Mahrus Aly didampingi tokoh muda NU Dr. Muhammad Thohir (kala itu) berangkat ke Jakarta untuk menemui Pak Idham Cholid. Para kiai ini lantas menasehatinya agar mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU. Alasannya, NU perlu dibangun kembali seperti dulu lagi dengan menampilkan kepemimpinan baru yang lebih kompak. Lagi pula, kesehatan Pak Idham waktu itu dinilai semakin memburuk. Bagaimana sikap Pak Idham Cholid? Taslim, setuju, menerima dan langsung membuat surat pengunduran diri di atas kertas kosong yang dibawa Dr. Muhammad. Setelah ditandatangani, Pak Idham minta agar surat tersebut dipublikasikan empat hari setelah diteken, yakni pada 6 Mei. Apa yang terjadi? Setelah dipublikasikan, ternyata Idham malah membantah dan mencabut kembali suratnya karena tidak sesuai AD/ART NU. Karuan saja perasaan kiai semakin jengkel, karena merasa dipermainkan. Bisa dimengerti jika kemudian muncul keragu-raguan terhadap niat baik Pak Idham Cholid dalam memimpin NU. Pertanyaannya adalah bagaimana cara menghentikannya? Para ulama sepuh yang mendapat dukungan penuh kelompok muda NU

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

27


berpikiran progresif, seperti Gus Dur, Fahmi Saifuddin, Achmad Bagja, Slamet Effendi Yusuf, dll tetap berupaya keras untuk menghentikan gerakan kubu Cipete secara cepat dan tepat. Salah satunya adalah dengan menggelar Munas Alim Ulama NU. Tokohtokoh muda NU ini bergerak cepat, akhirnya Munas Ulama dijadwalkan (1821 Desember 1983) di Pesantren Salafiyah Safi’iyah, Asembagus, Situbondo, pimpinan KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Agenda Munas hanya tiga: 1) merumuskan konsep NU kembali ke khittah, 2) merumuskan sikap NU terhadap isu asas tunggal Pancasila (yang waktu itu sempat mengegerkan umat Islam Indonesia), dan 3) menetapkan panitia Muktamar ke-27 NU (waktu itu muktamar direncanakan Desember 1984) juga di Situbondo. KH. Achmad Siddiq, konseptor khittah dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, memberikan penjelasan secara gamblang kepada peserta Munas tentang perlunya NU kembali ke khittah, kembali rel asalnya atau jati dirinya. Khittah Nahdliyah, kata Kiai Achmad, adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak bagi warga maupun pemimpin NU. Landasan dimaksud mengandung banyak unsur, antara lain: keagamaan, kemasyarakatan, kepemimpinan ulama, mazhab, sistem pembinaan umat dan pembangunan karakter moderat atau toleran. Jadi tidak berurusan dengan politik atau partai politik. NU kembali ke khittah, berarti NU bukan lagi wadah politik dan tidak ada kaitan apa pun dengan partai politik yang mana pun juga. Apa yang dituturkan Kiai Achmad merupakan kondisi riil NU kala itu yang memang rapuh. Sehingga, seluruh peserta Munas setuju dengan pemikiran Kiai Achmad dan meminta agar muktamar ke-27 menetapkan NU kembali ke khittah. Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, Kiai Achmad juga menjelaskannya dengan sangat piawai, sehingga peserta yang semula raguragu akhirnya setuju dan mendukung. Walhasil, Munas memutuskan menerima Pancasila sebagai asas NU. Dengan demikian di mata NU sudah tidak ada lagi kata “alternatif” untuk dasar maupun bentuk negara. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI adalah FINAL. Bahkan sikap seperti itu, sesungguhnya, sudah dinyatakan sejak Proklamasi

28

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dengan turut sertanya wakil NU, KH. Wahid Hasyim, dalam merumuskan dan menandatangani Pembukaan UUD 1945. Selain memutuskan dua hal penting tersebut, Munas juga menunjuk KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur} sebagai Ketua Panitia Muktamar ke-27. Dua bulan setelah Munas, KH. R. As’ad Syamsul Arifin menemui Presiden Soeharto di Istana Negara (19 Februari 1984), untuk menyerahkan hasil Munas, terutama yang menyangkut penerimaan Pancasila sebagai asas jam’iyah NU. Beberapa hari kemudian diteruskan pertemuan lanjutan dengan Mendagri Soepardjo Rustam dan Menteri Agama Munawir Sjadzali, di kediaman Mendagri (26 Februari 1984). Dari pihak NU yang hadir adalah KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Masjkur, dan KH. Achmad Siddiq. Pertemuan ini lebih bersifat presentasi mengenai latar belakang pemikiran dan sikap yang diambil peserta Munas. Kiai Achmad lantas menjelaskan maksud dan tujuan serta sasaran yang diinginkan Munas, sampai kemudian bisa menerima Pancasila sebagai asas jam’iyah NU dari sudut pandang agama, bukan politik. Dari pertemuan inilah kemudian lahir isyarat bahwa pemerintah berada di belakang kubu Situbondo. Tetapi, pemerintah juga berharap agar Pak Idham Cholid diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya sesuai prosedur organisasi, walaupun akhirnya harus mundur. Kubu Cipete memang terus mengimbangi (menyaingi) apa yang dilakukan dan dibuat kubu khittah. Kubu khittah menggelar Munas, kubu Cipete juga membuat Munas. Kubu khittah menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27, kubu Cipete juga menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia. Jadi, waktu itu, NU menjadi tontonan paling menarik. Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas, Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas, dan bahkan sudah lebih dulu diserahkan kepada pemerintah. Tetapi, pemerintah rupanya lebih menghargai hasil Munas Situbondo karena lebih konseptual, ketimbang Cipete yang cenderung sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah. Nah, setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu khittah, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, akhirnya kedua kubu dikumpulkan dalam sebuah acara “tahlilan” di kediaman KH. Hasyim

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

29


Latief, Ketua PWNU Jawa Timur di Sepanjang, Sidoarjo (10 September 1984). Di sini lahir sebuah maklumat bersejarah bernama ‘MAKLUMAT KEAKRABAN’ yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka: KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’shum, KH. Idham Cholid, KH. Machrus Aly, KH. Masjkur, KH. Saifuddun Zuhri, dan KH. Achmad Siddiq. Isi maklumat pada intinya adalah mengakhiri konflik, saling memaafkan, dan bersepakat untuk menyukseskan muktamar ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Maka, berakhir sudah pertikaian antarndua kubu yang berlangsung 3 tahun lebih itu. Itulah sepenggal gambaran kondisi NU waktu itu yang memang memerlukan pertolongan secepat mungkin. Jika tidak, nasib NU ke depan tidak bisa dibayangkan. Oleh karena itu, kemudian muncul pikiran tentang sistem pemilihan. Sebab kalau tidak ada perubahan sistem maka (bisa jadi) muktamar ke-27 akan tetap menggunakan sistem lama, pilihan langsung. Jika ini yang terjadi, maka dapat dipastikan Pak Idham Cholid akan terpilih kembali, karena hampir seluruh cabang di Indonesia ‘dikuasai’ oleh orang-orangnya Pak Idham. Karena itu, kemudian lahirlah sistem pemilihan baru bernama ahlul halli wal aqdi (AHWA) untuk rais ‘aam syuriah PBNU. Sedangkan ketua umum PBNU ditunjuk oleh rais ‘aam syuriah. Nah, sistem AHWA yang digunakan di Muktamar ke-27 adalah seperti yang dikemukakan oleh KH. Achmad Siddiq sebagai berikut: Bahwa ketika Nabi Muhammad SAW wafat, jenazahnya sempat tertahan dua hari, belum bisa dimakamkan, karena belum ada penggantinya. Untunglah waktu itu ada sahabat Umar Ibnu Khatthab yang menunjuk sahabat Abu Bakar As-Shiddiq sebagai pengganti nabi. Dengan tindakan Umar tersebut, kemudian satu persatu yang hadir bertindak serupa ikut membaiatnya. Lain lagi cara yang ditempuh Umar Ibnu Khatthab, jauh sebelum beliau wafat sudah menunjuk enam orang sebagai penggantinya. Terserah kepada mereka berenam siapa yang akan dipilih untuk menggantikannya. Karena keenamnya tidak bisa memutuskan, maka ditunjuklah Abdullah putra Umar yang berfungsi sebagai pemilih, tapi tidak boleh dipilih. Jadi bisa disimpulkan bahwa pada masa Umar, suksesi dilakukan

30

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


dengan menunjuk enam orang dan satu orang sebagai AHWA. Inilah yang dipraktikkan di muktamar Situbondo. Dan ingat, bahwa AHWA diterapkan di Situbondo itu bukan untuk menyelamatkan seseorang atau kelompok, tetapi untuk mengobati NU yang sudah sakit parah. Karena itu dipilih satu orang kiai sepuh yang kharismatik (KH. As’ad Syamsul Arifin) sebagai AHWA, kemudian KH. As’ad menunjuk enam orang ulama (KH. Ali Ma’shum, KH. Machrus Ali, KH. Masjkur, KH. Achmad Siddiq, KH. Saifuddin Zuhri, dan KH. Moenasir Ali) sebagai pendamping untuk memilih rais ‘aam syuriah. Terpilihlah kemudian KH. Achmad Shiddiq, “pendekar” muktamar dan Munas kala itu, sebagai rais ‘aam syuriah, lalu menunjuk Gus Dur sebagai ketua umum. Apakah muktamar ke-33 di Jombang nanti, akan meniru sistem AHWA itu? Kalau hanya itu yang ditempuh, maka AHWA tersebut bukan sistem baru. Oleh karena itu, diharapkan jika harus menggunakan sistem AHWA yang baru, maka (AHWA dimaksud) harus terkait dengan kondisi NU ke depan, misalnya NU 50 tahun yang akan datang seperti apa? Dan ingat, perubahan sistem tanpa perbaikan SDM-nya adalah sia-sia. Selamat bermuktamar!. [#] Sumber: www .nu.or .id, 22 April 20 15 www.nu.or .nu.or.id, 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

31


Ngurusi atau Ngerusuhi NU? Oleh: andar Dr s. H. A Drs. A.. Halim Isk Iskandar andar,, M.Pd Ketua DPRD Jatim/Ketua DPW PKB Jatim

Melihat situasi dan dinamika di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, saya jadi teringat wasiat Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari ketika beliau masih menjadi rais akbar NU. Kakek Gus Dur tersebut pernah dawuh (menyampaikan pesan), “Siapa yang bersedia ngurus NU (mengelola NU dengan ikhlas) saya anggap santriku. Barangsiapa menjadi santriku, aku doakan khusnul khotimah”. Dawuh tersebut relevan direfleksikan kembali, mengingat akhir-akhir ini muncul gejala yang cukup memprihatinkan di kalangan nahdliyin, bahkan pengurus NU, yang mengarah pada keengganan ngurusi NU. Kesimpulan tersebut diambil karena secara implementatif batas ngurusi NU dan ngerusuhi NU (membuat rusuh atau kekacauan di NU) itu sangat tipis. Muncul fenomena, banyak orang yang seolah-olah aktif NU, namun tidak dilandasi semangat berbakti dan mengabdikan diri pada kepentingan agama dan bangsa. Melainkan, sekadar mendahulukan kepentingan diri sendiri dan kelompok (firqoh) masing-masing. Jadi, sejatinya kelompok itu bukan ngurusi NU, tetapi ngerusuhi NU. Secara gradual, hal tersebut menimbulkan dampak yang sangat negatif sekaligus menjadi antitesis dari progresivitas dakwah dan amaliah NU sebagai jam’iyyah diniyah yang mengemban misi memberdayakan umat dan menyejahterahkan rakyat. Dek adensi Dekadensi Virus pragmatisme yang menjangkiti dunia ekonomi dan politik Indonesia belakangan ini, rupanya, juga berpengaruh terhadap perilaku sebagian pengurus, kader, serta aktivis NU. Mereka sudah tidak berpikir untuk men-

32

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


jadikan NU sebagai rumah tempat menempa dan menggembleng diri sebagai kader-kader militan yang berjihad memerangi kebodohan serta kemiskinan umat. Namun, mereka justru hanya berpikir bahwa NU adalah lembaga strategis yang bisa dimanfaatkan sebagai ’’kuda troya’’ untuk memuaskan hasrat ekonomi-politik mereka. Pragmatisme tersebut terepresentasi dalam sikap oportunistis sebagian pengurus, kader, dan aktivis NU ketika mendefinisikan NU bagi diri dan kelompoknya. Seperti pepatah klasik “ada semut ada gula”, sebagian pengurus, kader, dan aktivis NU juga mengikuti prinsip dalam pepatah tersebut. Yakni, antusiasme terhadap NU akan muncul jika dapat mendatangkan keuntungan pribadi dan kelompok. Sebagai contoh, ketika ada hajatan seperti muktamar, munas, atau harlah, sekelompok pengurus/kader oportunistis yang sebelumnya tidak pernah ngurusi NU tiba-tiba muncul dan menampakkan diri terlibat dengan tujuan mengambil manfaat dari kegiatan tersebut. Namun, ketika muncul panggilan untuk mengurus dan merawat NU secara ikhlas, tanpa pamrih, banyak yang memilih mundur teratur. Gejala tersebut kian tampak belakangan ini saat event Muktamar ke-33 NU di Jombang hendak digelar. Berbondong-bondong sekelompok pengurus, kader, dan aktivis NU yang sebelumnya jarang, bahkan tidak pernah ngurusi NU, tiba-tiba unjuk muka dan ’’sok peduli’’ terhadap NU. Bahkan, beberapa kelompok yang tidak terakomodasi dalam kepanitiaan muktamar sampai membuat manuver untuk menghambat jalannya muktamar. Semua itu berpangkal dari ambisi untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok dalam setiap hajatan NU. Baik untuk menjadikan NU sebagai alat bargaining kekuasaan maupun mengambil manfaat ekonomi semata. Itulah yang didefinisikan penulis bukan ngurusi NU, tetapi ngerusuhi NU. Fenomena lain juga mewabah. Yakni, pengurus NU sudah tidak ngurusi NU, tidak lagi menjalankan tanggung jawab dan kewajiban sebagai pengurus. Hal tersebut sudah banyak terjadi di semua level kepengurusan NU, mulai tingkat ranting sampai pengurus besar (PB). Sebaliknya, tidak sedikit pengurus NU yang hanya ngerusuhi NU.

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

33


Karena itu, tidak salah, dalam buku Nahdlatul Ulama; Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010), terutama di sub-bab yang berjudul Nahdlatulogi ala Mbah Muchith, KH. Muchith Muzadi pernah memberikan tamsil: ibarat kendaraan, NU terlalu banyak punya sopir, tetapi minim montir. Analogi tersebut ingin mengisahkan, ketika ada mobil yang mogok di tengah jalan, hal yang paling didambakan adalah kehadiran seorang montir yang mampu memperbaiki mobil tersebut maupun seseorang yang bersedia mendorong mobil itu agar bisa berjalan lagi. Namun, yang menyesakkan, pemilik mobil itu meninggalkan begitu saja orang-orang yang membantu memperbaiki mobil mogok tersebut tanpa ucapan terima kasih. Ulah sebagian “oknum� NU yang ingin mencari keuntungan pribadi/kelompok dalam NU kompatibel dengan analogi Mbah Muchith tersebut. Artinya, tantangan bagi NU sekarang tidak hanya berasal dari aspek eksternal, melainkan juga dari kalangan internal. Ngurusi NU NU,, Ngurusi Indonesia Tentu tidak sedikit yang bertanya, mengapa persoalan ngurusi NU dengan ikhlas dan sungguh-sungguh harus dipikirkan dengan serius? Sebab, perkara itu tidak hanya terkait dengan eksistensi NU, melainkan juga ada relevansinya dengan eksistensi Indonesia sebagai darussalam (negara kesejahteraan), bukannya darul Islam (negara Islam). Sebab, sejak sebelum republik ini diproklamasikan, NU berkomitmen terhadap keutuhan kepulauan dalam wadah NKRI melalui rekomendasi alim ulama dalam Muktamar Banjarmasin 1926. NU pula yang secara independen meyakini Pancasila sebagai asas organisasi sebelum Soeharto melakukan langkah kohersif untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Selain itu, hingga kini NU masih istiqamah menjalankan perannya sebagai perisai dan benteng kedaulatan bagi republik ini dari ancaman gerakan-gerakan liberalisme Islam maupun transnasionalisme Islam yang kontradiktif dengan semangat Islam ahlussunnah wal jama’ah. Dengan kata lain, NU sudah bertransformasi menjadi salah satu pilar penting bagi keutuhan dan kedaulatan NKRI.

34

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Mengutip analogi Alexis de Tocqueville (1805–1859) sebagaimana dikutip Dawam Rahardjo (1995), kontribusi sebuah perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association) yang terepresentasi dalam format non-governmental organization (NGO) adalah sakaguru civil society, berperan layaknya seorang “ibu” yang melahirkan negara sekaligus “mengasuh” negara. Karena merupakan bagian dari NGO dan civil society, NU harus benar-benar diurus secara serius, tidak malah dirusuhi secara serius. Berangkat dari dawuh Rais Akbar NU Mbah Hasyim, yang perlu dicatat di sini, ngurusi NU tidak terbatas pada mencatatkan nama diri dalam struktur kepengurusan NU. Ngurusi NU sudah menjadi pilihan setiap nahdliyin yang ingin menjadi santri Mbah Hasyim. Dengan demikian, ngurusi NU tidak perlu menjadi pengurus NU, tetapi cukup menjadi pelayan yang ikhlas untuk membesarkan NU, melakukan dakwah Islam ahlussunnah wal jama’ah, serta mempertahankan NKRI. Sebaliknya, dapat didefinisikan khianat ketika berstatus pengurus, tetapi justru tidak ngurusi NU, bahkan sering ngerusuhi NU dengan hanya menjadikan NU sebagai alat kekuasaan, alat pemenuhan ekonomi, serta alat kepentingan duniawi lainnya. Karena itu, Muktamar ke-33 NU mendatang harus benar-benar dimanfaatkan untuk mendetoksifikasi anasir-anasir yang selama ini gemar merusuhi NU. Marilah kembali ngurusi NU, bukan ngerusuhi NU. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa ngurusi NU, tidak hanya menjadi ekslusivitas dan prerogasi pengurus yang namanya tercantum dalam surat keputusan dan papan struktur. Tetapi, ngurusi NU menjadi pilihan setiap nahdliyin yang menginginkan berkah menjadi santri Mbah Hasyim, bahkan ketika beliau sudah tidak bersama kita. Tentu, pilihan ngurusi NU dengan ikhlas akan menjadikan kita sebagai santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari yang didoakan khusnul khotimah. Amin. Demikian pula sebaliknya, bagi nahdliyin, bahkan pengurus NU sekalipun yang tidak bersedia ngurusi NU, namun justru ngerusuhi NU, mereka bukanlah santri Rais Akbar NU yang didoakan khusnul khotimah. Nauzdubillah mindzalik. [#] Sumber: Ja wa Pos, 1 3 Juni 20 15 Jaw 13 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

35


Menanti Lahirnya “Kiai Langit� Menyongsong Muktamar Ke-33 NU Oleh: T, M.Si Dr (Hc). Helm aishal Zaini, S Helmyy FFaishal ST Ketua LPPNU/Anggota Komisi X DPR RI

Salah satu yang menjadi ciri dan landasan dalam setiap pengambilan keputusan bagi NU adalah kaidah al muhafadzatu alal qadimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi). Dengan landasan itu NU kini telah berhasil bertaransformasi tanpa tercerabut dari akar tradisionalitasnya sama sekali. Kemajuan NU dibuktikan dengan misalnya telah diresmikannya universitas-universitas NU yang kelahirannya dibidani PBNU. Lebih jauh mengenai tradisinonalitas NU, Mitsuo Nakamura (1996) memiliki tesis menarik. Ia mengatakan bahwa NU adalah organisasi masyarakat yang tradisonalis radikal. Dalam artian, justru karena memegang teguh pada tradisinya, NU mempunyai paham serta tindakan mendasar dalam menjalani kehidupan termasuk dalam hal berpolitik. Apa yang dikatakan Nakamura tersebut sungguh benar belaka. NU sejak lahir sampai di usianya yang ke-92 ini mendasarkan semua langkah dan perjuangannya untuk keutuhan bangsa dan negara. Hal itu adalah bukti nyata bahwa NU memegang teguh terhadap prinsip-prinsip radikal dan mendasar yang telah diyakininya. Kita bisa mericek sejarah bahwa riak-riak pemberontakan pada masa penjajahan dimotori oleh pemuka agama tardisonalis. Peter Carey (2012) juga mencatat bahwa di banyak perlawanan melawan kolonial, baik skala lokal maupun regional, selalu dimotori oleh pemuka agama tradisionalis. Pemuka agama tradisonalis itulah yang kemudian hari kita sebut dengan Kiai. Tranformasi perjuangan kiai dalam mempertahan keutuhan bangsa dan

36

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


negara dewasa ini juga bisa dibuktikan melalui sikap-sikap penolakan terhadap paham NIIS. Bahkan, Said Aqil Siroj selaku ketum PBNU mengatakan bahwa ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) harus didahulukan di atas ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Ont ologi Kiai Ontologi Sesungguhnya terma Kiai adalah terma yang tidak secara spesifik ditujukan kepada sosok orang yang alim di bidang agama. Namun lebih dari itu sejatinya terma Kiai adalah terma yang digunakan untuk menyebut suatu benda yang mempunyai tuah, nyoni, dan juga taji. Kiai, bisa saja melekat bukan pada seseorang saja, namun juga pada benda-benda yang dianggap keramat dan bertaji. Dalam tradisi jawa kita mengenal nama Kiai Sengkelat untuk keris buatan Empu Supo, Kiai Slamet untuk kebo bule keraton Solo, serta Kiai Janadaru dan Kiai Wanadaru untuk nama pohon beringin yang ada di Alun-Alun Keraton Jogja. Demikianlah, Kiai bukanlah monopoli manusia, ia adalah gelar universal bagi apa saja dan siapa saja yang dipercaya memiliki tuah. Terkait kiprah Kiai dalam masyarakat, Greetz (1980) mengatakan bahwa Kiai adalah seorang makelar budaya (cultural broker). Makelar budaya dalam bahasa yang lebih akomodatif bisa diterjemahkan ke dalam bingkai “kaidah� eklektis populer orang Jawa: Jowo digowo, Barat diruwat, Arab digarap (nilai-nilai Jawa dipertahankan, nilai-nilai barat dibebasakan dari nilai-nilai buruk, dan nilai-nilai Timur-tengah diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan budaya Nusantara). Dengan kapasitas yang demikian tinggi itulah, adalah langkah yang sangat arif bahwa sejak sediakala kepemimpinan NU dibagi menjadi syuriah dan tanfidziah. Syuriah pada konteks kepemimpinan dan nahkoda oraginisasi ini dipimpin oleh rais am figur Kiai yang kharismatik yang tidak hanya memiliki laku-lampah zuhud namun lebih dari itu ia juga memiliki marwah yang tinggi. Dalam tradisi NU kita menyebut figur kiai seperti itu sebagai Kiai Sepuh atau “Kiai Langit�. Jabatan rais aam bukanlah jabatan main-main. Ia juga bukanlah jabatan

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

37


duniawi. Ia merupakan jabatan yang wingit dan bukan hanya sekadar kepemimpinan yang bersifat sebatas manajerial saja. Rais am memikul tanggung jawab dunia-akhirat sepenuhnya. Nama-nama besar seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Ma’shum, KH. Achmad Siddiq, KH. Ilyas Ruhiyat, KH. Sahal Mahfudh, dah juga KH. A Mustofa Bisri adalah figur-figur Kiai sepuh nan kharismatik yang selama ini telah dipercaya sebagai nahkoda NU. Dalam jagad NU, syuriah adalah supremasi tertinggi. Ia adalah “simbol” organisasi. Pasang-surut, riuh-rendah organisasi ada di pundak syuriah atau rais am. Adapun tanfidziah lebih kepada fungsi manajerial perdana menteri yang bertugas untuk mengurus nahdliyyin. Ahlul halli w alAqdi walal-A Dalam posisi syuriah yang demikian tinggi tersebut, pada hemat saya, rais aam harus benar-benar dipegang oleh orang yang wara’i dan brahmana. Kiai yang sudah mampu melepaskan diri dari hiruk-pikuk duniawi. Oleh sebab kita sekarang hidup di masa “shadaqah li ajli siyasah” maka dalam hemat saya penerapan mekanisme pemilihan rais am menggunakan piranti ahlul halli wal aqdi (AHWA) harus kita realisasikan pada Muktamar Ke-33 NU mendatang. Sistem Ahwa sesungguhnya pernah diterapkan pada Muktamar NU sebelum-sebelumnya, termasuk yang paling monumental terjadi pada Muktmar Ke-27 tahun 1984 di Sitobondo. Ketika itu sistem ahwa dilakukan dengan cara mendaulat KH. As’ad Syamsul Arifin seorang Kiai sepuh kharismatik sebagai ahwa. Kiai As’ad kamudian menunjuk enam orang Kiai sebagai anggotanya yakni KH. Ali Ma’shum, KH. Mahrus Aly, KH. Ahmad Siddiq, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhrin dan KH. Moenasir Ali. Katujuh Kiai tersebut sebagai ahwa akhirnya memutuskan KH. Ahmad Siddiq sebagai rais am. Lalu sesuai dengan mekanisme yang berlaku KH. Ahmad Siddiq selaku rais am menunjuk KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum (tanfidziah) PBNU kala itu. Penting untuk dicatat bahwa tradisi mencalonkan diri di NU adalah hal

38

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


yang sangat tabu. Rais aam, meminjam bahasa Hiroko Horikoshi (1987) adalah perpaduan kepemimpinan moral dan spiritual, maka tindakan mencalonkan diri adalah aneh dan menyalahi tradisi. Jika rais am dipilih langsung oleh muktamirin, maka sebagaimana kita khawatirkan, aroma politik kian merebak dan itu sama sekali tidak laik dan tidak kita inginkan menggerogoti marwah rais am sebagai simbol supremasi dan marwah organisasi. Walhasil NU sebagai jamiyah para ulama yang berkhidmat untuk menjaga moral umat, bukan hanya harus dijaga sebagai sebuah perkumpulan yang baik, namun juga harus tetap dijadikan sebagai perkumpulan orang-orang baik yang akan menjadi mata air dan sumber inspirasi moral bagi bangsa dan negara. [#] Sumber: http://www .helm yfaishal.com. http://www.helm .helmyfaishal.com. wa Pos Sabtu, 30 Mei 20 15 Jaw 201 Dimuat di Ja

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

39


NU, JIN, dan Tarkam Oleh: of. Akh. Muzakki Prof. Pr Sekretaris PWNU Jawa Timur/ Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak semua muslim di negeri ini memiliki visi yang sama tentang keislaman dan keindonesiaan. Kalau sekadar berbeda sih tidak terlalu menjadi masalah. Itu mah biasa dalam dunia pergerakan pemikiran dan ekspresi atas pemikiran itu dalam realitas yang dihadapi muslim di negeri yang berbeda-beda. Namun, kalau perbedaan tersebut telah menjauhkan publik dari prinsipprinsip rasionalitas akademik, tentu itu tidak mencerdaskan. Ya, publik muslim tidak tercerahkan oleh dinamika intelektual. Apalagi jika telah terjadi pembusukan (defaming) atas substansi intelektual tersebut, tentu hal itu justru merugikan marwah muslim di ruang publik. Tengoklah kasus agenda perhelatan lima tahunan kaum nahdliyin: Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU). Tema yang diusung: ‘’Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’’. Dalam berbagai kesempatan, Gus Ipul (Saifullah Yusuf) selaku ketua panitia daerah menjelaskan maksud tema itu: ‘’Kita semua tahu, negara-negara Islam seperti di Yaman, Iraq, dan Syria saat ini mengalami gejolak. Mudahmudahan model Islam seperti Islam Nusantara yang sejuk ini mampu menjadi inspirasi bagi mereka untuk hidup damai. Itulah yang kami harapkan dari diselenggarakannya muktamar ini.’’ Semangat Islam Nusantara tersebut lalu mendapat penguatan. Bahkan, dalam pembukaan acara istighotsah menyambut Ramadan dan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal, Jakarta (14/6/2015), Ketua Umum PB NU Prof KH Said Agil Siradj menegaskan bahwa NU akan terus memperjuangkan dan mengawal model Islam Nusantara.

40

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Gayung pun bersambut. Dalam pidatonya saat istighotsah dan pembukaan Munas Alim Ulama NU itu, Presiden Jokowi pun mengapresiasi. Ini pernyataannya: ‘’Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama. Itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.’’ Visi itu tidak diamini seluruh publik muslim di negeri ini. Bahkan cenderung disalahpahami. Intinya, tidak semua happy. Hal itu ditunjukkan oleh posisi dan ekspresi mereka. Buktinya, eramuslim.com (19/06/2015), sebagaimana biasanya, melansir laporan reaksi beberapa kelompok terhadap konsep Islam Nusantara tersebut. Judulnya pun bombastis dengan mengutip sebuah pernyataan: ‘’Inilah Kesesatan Jemaat Islam Nusantara (JIN)’’. Tampak, posisi dan ekspresi mereka yang tidak happy atas konsep Islam Nusantara jauh dari prinsip akademik. Mengapa begitu? Mereka telah melupakan prinsip let the data speak out (biarkan data berbicara) dalam dunia akademik. Pasalnya, membaca gagasan dari substansinya (reading from below) lebih valid daripada berdasar persepsi (reading from above). Caranya, membiarkan gagasan -mulai penggunaan diksi hingga konsepsi yang diusung‘’berbicara’’ sendiri, bukan dibaca dengan persepsi pembacanya. Konsekuensinya, kita diajari untuk tidak menggunakan berbagai bentuk narasi dan penyifatan (labeling) yang justru tidak dibunyikan oleh data itu. NU dan siapa pun yang mengusung konsep Islam Nusantara tidak pernah sama sekali melabeli diri dengan ‘’Jemaat Islam Nusantara’’ yang lalu disingkat JIN. Pengenaan istilah ‘’jemaat’’ pada NU dan siapa pun yang mengusung konsep Islam Nusantara tentu jauh dari prinsip let the data speak out. Di situ telah muncul unsur ‘’kesengajaan’’ untuk melakukan praktik pembusukan. Apalagi singkatan itu memiliki konotasi negatif dalam basis kognitif dan praktik sosiologis masyarakat muslim. Sebab, JIN terucap dan terbunyikan sama dengan nama makhluk Allah yang dimusuhi, sebagaimana tecermin pada Surah An-Nas dalam Alquran. Substansi argumen mereka yang tidak happy dengan konsep Islam

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

41


Nusantara sudah jauh dari konteks dimunculkannya konsep itu. Mereka cenderung memelintir logika (twisting the logic) Islam Nusantara dengan memunculkan beberapa poin gagasan yang justru bukan konsep Islam Nusantara seperti ‘’Islam pendatang’’, ‘’ambil Islam buang Arab’’, ‘’ambil Islam buang salam’’, ‘’ambil tilawah Quran buang langgam Arabnya’’, atau ‘’ambil Alquran buang bahasa Arabnya’’. Praktik twisting the logic tersebut tentu menjauhkan publik muslim dari prinsip kecerdasan di ruang akademik. Kalau hal tersebut terjadi secara terus-menerus di internal sekelompok muslim di negeri ini, itu tentu bukan pembelajaran yang baik kepada publik muslim. Perbedaan intelektual merupakan sesuatu yang wajar. Asalkan, dinamika yang mengiringinya tetap menyentuh substansi dasar pemikiran dan praktik atas pemikiran itu. Melihat realitas tersebut, saya lalu teringat dengan ilustrasi Jati Diri harian Jawa Pos (27/6/2015) atas fenomena pertandingan sepak bola antarkampung (tarkam) saat tidak ada kompetisi setelah pembekuan PSSI oleh Kemenpora. Ini uraiannya: risiko [tarkam]... sangat besar. Namanya saja tarkam. Tidak ada standar pertandingan yang jelas. Pertandingan bisa digelar di lapangan mana saja. Tidak harus di stadion yang kondisi lapangannya bagus dan memenuhi aspek keamanan bagi pemain. Kita tidak ingin Islam tampil di ruang publik bak tarkam. Standar tidak jelas. Digelar di mana saja tanpa aturan yang jelas dan kalau ada justru dilanggar. Kondisinya juga tidak bagus karena banyak pembusukan akademik. Apalagi dampaknya bisa menimbulkan ketidakamanan bersama. Kita ingin Islam justru tampil dengan berbagai peradaban maju yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan publik. [#] Sumber: Ja wa Pos, 1 Juli 20 15 Jaw 201

42

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Islam Nusantara Oleh: o Wira wan Sar wono Pr of. Dr Prof. Dr.. Sarlit Sarlito Wiraw Sarw Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Saya punya kebiasaan jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal saya dan kampung sekitarnya. Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015) ini, saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu. Tetapi, berbeda dari biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima (PKL) penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa, cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi bersama saya (ada yang jogging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada yang mengajak dua anjingnya, ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini serius, loh), tiba-tiba sebagian besar menghilang. Digantikan oleh beberapa kelompok anak-anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk tidak tidur lagi sesudah sahur, melainkan berjalan-jalan bersama teman-teman. Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di Arab Saudi yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang membalikkan hari. Siang jadi malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur pun berpahala selama Ramadan) dan malam jadi siang (kantor-kantor, perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari). Tetapi, yang terjadi di lingkungan rumah saya bukan Arabisasi. Warung makan dan PKL tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada yang beli), bukan karena larangan menutup tempat makan selama Ramadan. Bapakbapak pada umumnya melanjutkan tidur dulu sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke kantor. Setelah lelah berjalan kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan istri saya. Kebetulan tayangan infotainment pagi itu adalah

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

43


tentang artis bernama LCB yang membuka butik baju muslimah. Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia berpacaran dengan pria non-Indonesia dan nonmuslim pula, tetapi dalam tayangan infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan cara memakai jilbab (atau sering disebut juga “hijab�) cantik dengan menggunakan sedikit saja jarum pentol. Ini pekerjaan yang menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau pinjam jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas sedang menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, “Enggak ada�, padahal ada (indahnya tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...). Tetapi, jujur saja pada 1980-an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya cemaskan sebagai ancaman Arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan keras misalnya dengan melarang siswi-siswi sekolah-sekolah negeri untuk berhijab di sekolah-sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira pemerintah juga adalah terancamnya budaya Indonesia, termasuk merosotnya harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita-wanita di Arab Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi kendaraan, dan harus memakai gamis serba hitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia memakai tank top atau bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer kepada sesama wanita atau suami). Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang, makin marak perempuan Indonesia berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih memungkinkan kita melihat kecantikan wanita Indonesia. Wajah tidak ditutup cadar dan full make up (termasuk bulu mata palsu) masih dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian ataupun pemilihan warna-warninya agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya. Kalau belum puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana semuanya ada dan serba cantik. Wanita-wanita Indonesia pemakai hijab pun tidak serta merta terdegradasi harkatnya. Anak saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan masih berenang dengan baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke ujung. Bahkan sekarang

44

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan dengan cerdik tekanan Arabisasi dalam tradisi berbusana. Beberapa hari yang lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi melontarkan istilah “Islam Nusantara�. Maksudnya adalah Islam di Indonesia punya model sendiri yang tidak usah meniru-niru Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai, inklusif, dan membaur dengan budaya lokal. Istilah ini langsung menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata Islam Nusantara. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak perlu dikasih embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya sekarang, adakah Islam universal itu? Walaupun agama datang dari langit, dari Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di bumi, mau atau tidak mesti berangkulan dengan budaya. Karena itulah, di Sumatera Barat ada Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada Nyai Roro Kidul, menara Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran tempat umat berwudu berornamen kepala arca (dan tidak satu pun umat yang kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi, Islam Nusantara memang tidak bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi sendiri. Tetapi juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia. Indonesia mengenal Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal universalisasi atau Arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror, dan sebagainya). Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan langgam Jawa) secara refleks menolak universalisasi Islam melalui caranya artis LCB mempromosikan teknik berhijab-minimum jarum pentol. [#] Sumber: K oran SINDO, 2 1 Juni 20 15 Koran 21 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

45


Membumikan Islam Nusantara Oleh: wakkil Alallah Mutaw KH. M. Hasan Muta Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur

Derita rakyat di kawasan Timur Tengah yang tak kunjung berakhir akibat perang saudara menjadi keprihatinan umat Islam di seluruh dunia. Tragedi kemanusiaan di wilayah tumbuh dan berkembangnya muasal Islam tersebut memicu pertanyaan penting: Di manakah nilai ukhuwah watoniyah, islamiyah, dan basyariyah yang telah diteladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika membangun Madinah? Juga, di manakah aktualisasi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mengajarkan cinta kasih dan kedamaian?. Realitas yang terjadi di kawasan Timur Tengah itulah yang melatarbelakangi keberadaan Islam Nusantara dipandang sebagai teladan ideal bagi aktualisasi Islam rahmatan lil alamin. Genealogi Islam N usantara Nusantara Terdapat beberapa asumsi dan teori yang berbeda terkait dengan datangnya Islam di Nusantara, baik mengenai tempat asal kedatangan Islam, para mubalig/pembawa ajaran Islam, dan waktu kedatangannya. Dalam catatan Pijnappel, Snouck Hurgronje, dan Moquette, Islam masuk ke Nusantara dari anak benua India atau tepatnya dari wilayah Gujarat dan Malabar. Mereka tidak menjelaskan waktu kedatangan Islam dari wilayah itu. Hanya, Hurgronje berasumsi bahwa abad ke-12 merupakan periode paling mungkin dari permulaan masuknya Islam di Nusantara. Pendapat yang berbeda dikemukakan Arnold. Menurut dia, walaupun Islam masuk ke Nusantara dari Coromandel dan Malabar, perlu dipahami bahwa para pedagang Arab dan Timur Tengah umumnya juga membawa misi penyebaran agama Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-

46

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Timur sejak awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi (Azra, 1994:26). Ajaran Islam tersebar secara masif ke Nusantara. Khususnya di kawasan Jawa dan Sumatera, penyebaran itu terjadi setelah masa akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit, ketika para mubalig yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Wali Sanga berdakwah dan membagi tugas berdakwah di kawasan yang berbeda sehingga memungkinkan Islam secara cepat tersebar ke berbagai wilayah. Misalnya, Maulana Malik Ibrahim mengislamkan pesisir utara Pulau Jawa dan pernah berusaha mengislamkan raja Majapahit yang bernama Wikramawardhana, yang berkuasa pada 788–833 H/1386–1429 M. Tetapi, upaya penyebaran Islam oleh Maulana Malik Ibrahim tersebut tidak maksimal hingga kedatangan Raden Rahmatullah, yang diriwayatkan masih memiliki hubungan kekerabatan dari istri raja Majapahit yang berasal dari negeri Campa. Dengan hubungan tersebut, Raden Rahmatullah mendapat fasilitas untuk mengenalkan dan mengajarkan agama Islam. Dia, diantaranya, diberi sebidang tanah di kawasan Ampel Denta untuk kegiatan dakwah sehingga masyhur dengan sebutan Sunan Ampel. Pada masa yang sama, juga dikenal seorang mubalig yang bernama Syekh Nur Al Din Ibrahim bin Maulana Izra’il yang tinggal di kawasan Cirebon, Jawa Barat. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Seorang sayid terkenal lain adalah Maulana Ishaq. Dia dikirim oleh sultan Pasai untuk mengislamkan raja Blambangan, Jawa Timur, yang pada akhirnya dikawinkan dengan putri raja Blambangan. Dari perkawinan itu, lahir keturunan yang kemudian dikenal sebagai Raden Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Dari generasi Wali Sanga itu, kemudian berkembang keturunan dan kader cemerlang yang menjadi penerus perjuangan Islam pada abad-abad selanjutnya seperti Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfud Al Turmusi dari Termas. Dari didikan dua ulama itulah muncul generasi ulama seperti KH. Kholil, Bangkalan; KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng, Jombang; KH. Wahab Hasbullah; KH. Bisri Samsuri; serta banyak tokoh pesantren yang berkontribusi signifikan untuk tersebarnya Islam di Nusantara. Para ulama tersebut merupakan jejaring intelektual yang meneruskan ajaran Wali Sanga dengan mendirikan pondok pesantren dan melestarikan risalah yang dibawa

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

47


Rasulullah Muhammad SAW dalam bingkai ahlussunnah wal jamaah. Ajaran Islam N usantara Nusantara Islam yang datang ke Nusantara merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagai peradaban besar dunia seperti Turki, India, Tiongkok, Siam, dan lainnya. Akibatnya, ketika sampai di Nusantara, Islam telah tampil dalam kondisi matang. Islam itulah yang diajarkan di pesantren-pesantren di seluruh Nusantara, yang terbingkai dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah yang memiliki karakteristik tasamuh (toleransi/fleksibilitas), tawassuth (moderasi), serta tawazun dan i’tidal (menjaga keseimbangan). Karakteristik tersebut menjadi roh Islam Nusantara. Karena itu, dalam aktualisasinya, Islam Nusantara memunculkan wajah yang ramah, damai, santun, dan menyejukkan. Sebab, misi dan ajarannya dapat selaras dan senapas dengan lingkungan sehingga terjadi akulturasi dengan kultur sosial masyarakat di sekitarnya. Lenturnya ajaran Islam Nusantara dengan lingkungan masyarakat menjadikan Islam Nusantara dinamis dan sumber inspirasi umat karena responsif terhadap segala permasalahan umat, misalnya dalam menyelesaikan kasus aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari mainstream. Islam Nusantara mengedepankan tabayun dan dialog untuk menyelesaikan kasus sebelum penyelesaian ditempuh lewat jalur hukum atau lainnya. Begitu pula dalam menyikapi masalah kebangsaan, Islam Nusantara mengajarkan kecintaan kepada negara secara utuh dengan landasan hubbul wathan minal iman. Acuannya adalah ajaran Rasulullah SAW dan Al Khulafa’ Al Rasyidun dalam berpolitik dan bernegara. Dengan praktik seperti itu, Islam Nusantara sangat responsif terhadap transformasi sosial dengan memberikan solusi secara persuasif dan moderat dalam upaya terciptanya baldatun thoyyibatun warabbun ghaf?. Spirit ajaran Islam Nusantara tersebut terlembagakan ke dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi penerus ajaran dan dakwah Wali Sanga. Atas dasar itu, suatu keharusan bagi NU senantiasa mengukuhkan Islam

48

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Nusantara untuk menjadi sumber inspirasi peradaban dunia. NU layak mendorong diri melalui praktik utama terbaik agar Islam bisa memberikan manfaat besar bagi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia serta kemanusiaan dan kesemestaan luas. Apa yang belakangan ini menimpa Timur Tengah harus memberikan kesadaran kepada kita bersama atas pentingnya Islam Nusantara. [#] Sumber: Ja wa Pos, 2 4 April 20 15 Jaw 24 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

49


Pancasila dan Perspektif Islam Nusantara Oleh: Dr s. H. Saifullah YYusuf usuf Drs. Ketua PBNU/Wakil Gubernur Jawa Timur

Dalam diskusi kecil bersuasana akrab akhir pekan lalu, Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa Internasional Al Azhar Kairo, Mesir, Prof. Dr. Abdel Moneem Fouad mengeja Bansyasila tanpa kesulitan. Yang dia maksudkan adalah Pancasila. Moneem menyebut Pancasila sebagai benang utama yang menyulam kehidupan Islam di Indonesia. Islam Nusantara, menurut dia, tak akan terwujud tanpa deretan kata-kata magis itu. Melalui pandangan objektif Moneem itu, agaknya kita bisa makin menyadari betapa istimewanya Pancasila bagi keindonesiaan kita. Dan merenungkan Pancasila hari ini, 70 tahun setelah hari lahirnya, mau tak mau ingatan kita akan dipaksa untuk kembali ke momen penting pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, hari penutupan sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang menjadi tumpuan bagi para bapak bangsa kita untuk menyepakatinya sebagai hari kelahiran Pancasila. Bagi Bung Karno, Pancasila soal hidup mati. Bahkan, dia tidak sertamerta menjadikannya wacana resmi dalam proses membentuk republik. Dia bersabar untuk sesuatu yang mulia. Berpuluh-puluh tahun lamanya, untaian filosofis itu menyita waktu-waktu perjuangannya. Bung Karno merenung tiada henti sampai akhirnya angka-angka kalender Masehi menunjukkan 1 Juni 1945. Jumat pagi, pada hari yang mulia itu, matahari belum jauh mengedar. Para anggota BPUPKI mengambil tempat masing-masing. Sidang dibuka! Agendanya membahas Pancasila. Bung Karno berusaha menghin-

50

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


dari celah terjadinya debat semantik. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong,” kata Bung Karno saat itu. “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua,” sambung Bung Karno. Banyak hal yang bisa dipelajari dari Bung Karno. Keterbukaan sikapnya, kegigihan memperjuangkan filosofi hidup, ketulusan menerima masukan, kepekaan menyelami gemuruh perbedaan perspektif, hatta hal-hal kecil seperti beda semantik. Bung Karno menggali, merenungkan, dan memperkaya pandangannya tentang negara dari beragam perspektif hingga mengadu wawasan dengan the founding fathers lainnya. Yang membuat kita kian kagum adalah sense of belonging-nya yang tinggi terhadap kata Indonesia tulen: gotong royong. Dalam keseharian, amaliah gotong royong diyakini Bung Karno akan berujung pada tegaknya keadilan. Keadilan akan bermuara pada kebahagiaan bersama. Kalau keringat diperas, ujungnya harus kebahagiaan bersama. Sikap saling bantu diamalkan hanya untuk kebahagiaan bersama. Inilah Pancasila, yang lalu menjadi Trisila dan berujung Ekasila. Gotong royong dan berkeadilan dalam tradisi NU termasuk qath’iyyat, yang pamali dibatalkan dengan nalar apa pun. Ia berkedudukan sejajar dengan sikap tawassuth (moderat), tawaazun (berimbang), i’tidaal (tegak lurus dalam prinsip), dan tasaamuh (toleransi). Karena qath’iyyat, sikap berlaku gotong royong dan hidup berkeadilan bersifat universal, borderless, dan mesti shalih likulli zamaanin wa makaan (sesuai pada setiap waktu dan di semua tempat). Gotong royong dan hidup berkeadilan harus diamalkan oleh semua orang kapan saja dan di mana saja. Meminjam istilah Abd. Moqsith Ghazali, prinsipprinsip ajaran inti itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

51


keyakinan agama. Pada faktor transideologi dan trans keyakinan agama itu, cendekiawan muslim Azyumardi Azra menemukan, sikap gotong royong telah menjadi amalan harian pada kehidupan umat Islam Indonesia. Di hampir semua daerah rural yang menjadi tempat tinggal umat Islam (istilah lain Islam moderat), sikap dermawan dan saling bantu selalu dijaga. Jangan heran, papar Azra, jika umat Islam Indonesia dikenal sebagai umat Islam yang paling dermawan. Hal itu dapat dilihat dari rentetan upacara keagamaan yang selalu beriringan dengan upacara tradisi. Seorang yang akan meminang calon istri/ suami dikukuhkan dengan acara walimahan –membaca wirid, zikir, dan ibadah lain, lalu diakhiri dengan acara makan-makan. Selain karena memang gemar bersilaturahmi, para undangan akan pulang dengan membawa berkat (makanan yang bisa dibawa pulang). Itulah berkah kebersamaan. Kegiatan keagamaan berbaju tradisi akan mengiringi semua tahap kehidupan setiap orang Islam Indonesia, sejak dia dikandung, dilahirkan, dikhitankan, dinikahkan, pindah rumah, naik haji, hingga masuk ke kubur. Belum lagi acara-acara yang murni keagamaan seperti mauludan, muharaman, Isra Mikraj, khataman, rajaban, syakbanan, hingga kegiatan ibadah sepanjang Ramadan seperti takjilan. Nyaris semuanya dengan makan. Semua kegiatan itu merupakan amaliah dari Ekasila, yang tak lain adalah gotong royong ajaran Bung Karno. Karena banyak pikirannya yang berkesesuaian dengan amaliah keseharian umat Islam, ada yang menyebut Bung Karno sebagai seorang mujadid (pembaru kehidupan keagamaan). Karakter Islam Nusantara yang guyub akan menjadi penyangga utama tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Giora Eliraz (2004) dalam Islam in Indonesia: Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension menyebut, â€œâ€Śwatak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan gagasan dasar tentang pluralitas keagamaan. Berbeda dengan Timur Tengah yang ditandai dengan peningkatan konservatisme berbare-

52

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


ngan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis – dan bahkan militansi dan radikalisme.� Sikap toleran dan penuh penerimaan umat Islam terhadap gagasan kebinekaan sudah muncul sejak awal-awal proses mendirikan republik. Figur seperti KH. A. Wahid Hasyim, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Masjkoer, KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansoer, dan Ki Bagus Hadikusumo mengambil peran penting menjaga keutuhan untaian mutu manikam Nusantara. Dengan gotong royong demi keadilan, keutuhan bangsa jadi taruhan. Dirgahayu Pancasila!. [#] Sumber: Ja wa Pos, 2 Juni 20 15 Jaw 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

53


Dikusi Kompas-NU (1-Bersambung)

Menjaga Pilar Kebangsaan Pengantar Redaksi: Harian “Kompas” bersama Panitia Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama menggelar diskusi bertema “Meneguhkan Islam Nusantara” di Redaksi “Kompas”, Jakarta, Rabu (27/5). Hadir sebagai pembicara Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; peneliti studi keislaman Universitas Vienna, Austria, Rudiger Lohlker; dan Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa Internasional Al-Azhar, Mesir, Abdel-Moneem Fouad. Katib Syuriyah PBNU KH. Yahya C Staquf bertindak sebagai moderator. Laporan disajikan mulai hari ini. Lahirnya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 tak lepas dari napas untuk menciptakan sebuah negara yang memadukan nasionalisme dengan semangat keagamaan. Hingga kini, NU terus aktif mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, sikap NU amat jelas dalam mendukung pemerintahan Soekarno. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari Muktamar ke-20 NU di Surabaya, 8-13 September 1954, yang memutuskan Presiden Soekarwo sebagai waliy al-amri al-dlaruri bi al-syawkah atau pemegang pemerintahan dengan kekuasaan penuh. Dalam buku Soekarno dan NU: Titik Temu Nasionalisme dijelaskan bahwa keputusan itu diambil sebagai antisipasi terhadap ancaman pemberontakan yang ingin menggulingkan Soekarno dan mengganti Pancasila sebagai dasa negara. Keputusan itu juga dilakukan untuk menyatukan para nahdliyin terkait sikap NU dalam mendukung pemerintahan Indonesia. Di sisi lain, dalam penutupan Muktamar ke-23 NU di Solo, Jawa Tengah, pada 1962, Soekarno menyampaikan pidato beka Cinta Sekali pada NU”. Dalam pidato itu, Soekarno menegaskan, NU punya kontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda. Pernyataan Soekarno itu tak berlebihan. Pasalnya, Rais Aam PBNU saat

54

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


itu, KH. Wahab Hasbullah, pernah menyarankan perebutan Irian Barat dilakukan dengan Diplomasi Cancut Tali Wondo. Saran itu diterjemahkan oleh Presiden Soekarno dengan Operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora. Saat itu, KH. Wahab juga pernah berujar, Soekarno tanpa NU akan kesulitan menjalankan program-program pemerintahannya. NU memandang pemimpin negara juga menjalankan kepentingan umat Islam sehingga para ulama memberikan keabsahan atas kepemimpinan Soekarno. Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Soekarno, pengaruh NU secara langsung dalam pemerintahan juga cenderung turun. Apabila pada dekade 1950-an Partai NU sempat menyumbangkan sejumlah ulama di jabatan strategis kabinet, seperti wakil perdana menteri, menteri pertanian dan menteri agama, pada masa Orde Baru, Partai NU diharuskan melebur dengan partai lain dengan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meski pengaruh NU secara langsung dalam kekuasaan terlihat menurun saat Orde Baru, peran ormas keagamaan itu dalam menegaskan nilai kebangsaan tak pernah berkurang. Dalam Muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan kembali ke khitah (semangat) yang didengungkan pada 1926 dengan keluar dari keterlibatan politik praktis dan menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara. NU menyatakan, Islam dan Pancasila saling menguatkan dan mendukung. Dalam pengakuan terhadap Pancasila, NU menjadikan pengamalan nilai-nilai yang benar dalam Pancasila sebagai salah satu cara menjalankan syariat agama. Keputusan NU ini merupakan langkah monumental bagi kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. NU yang menjadi ormas keagamaan terbesar di Indonesia menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang menginspirasi pihak lain untuk menjalankannya, terutama dalam pengakuan terhadap Pancasila. Radik alisme Radikalisme Saat ini, Indonesia tidak lagi menghadapi masalah penanaman nilai-nilai kebangsaan. Tantangan lain juga muncul, antara laian radikalisme. Terkait ancaman radikalisme, ulama NU juga mengambil peranan pen-

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

55


ting untuk menangkalnya. Muktamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2010, bahkan bertema “Khidmah Nahdliyah Untuk Indonesia Bermartabat�. Tema itu disusun berdasarkan keprihatinan merebaknya pahampaham radikal sehingga dikhawatirkan meredupkan sikap moderat yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia. Namun, tekad kuat NU untuk menangkal paham radikal ditengarai belum didukung atau dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Hal itu, antara lain, ditandai dengan keterlibatan NU dalam program kontraterorisme umumnya hanya pada penyelenggaraan sebuah acara. Ruang yang lebih lebar perlu diberikan pemerintah kepada NU dalam mendukung upaya melawan radikalisme. Pemerintah perlu makin menyadari bahwa wajah Islam yang ditawarkan NU adalah Islam yang diharapkan dan cocok untuk Indonesia. Dlam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, Agustus mendatang. NU akan kembali menggoreskan langkah penting membawa paham Islam di Indonesia menjadi mendunia, Islam yang moderat dan menanggalkan kekeraasan. Tiga upaya akan terus dilakukan NU untuk mengantisipasi paham radikal, yaitu memperkuat dakwah, meningkatkan pelayanan sosial, dan memberdayakan ekonomi umat. Zaman berubah, tantangan bangsa pun berganti. Namun NU tetap mengambil peran penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. [Muhammad Ikhsan Mahar] Sumber: K om pas, 1 5 Juni 20 15 Kom ompas, 15 201

56

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Dikusi Kompas-NU (2-Bersambung)

Islam, Demokrasi dan Jalan Tengah

Islam berkembang pesat di Indonesia karena pengaruh para ulama sufi yang tidak memiliki kepentingan duniawi seperti politik, kekuasaan, dan kedudukan. Kehadiran kaum sufi yang menyebarkan Islam secara damai ini menjadi cikal bakal lahirnya ummatan washatan sebagai kelompok mayoritas Islam di Indonesia. Dalam pemikiran Islam kontemporer, konsep ummatan washatan sering disejajarkan atau diidentikkan dengan Islam washatiyyah, atau Islam yang berada di tengah, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya. Aktualisasi ummatan washatan yang sudah dimulai sejak penyebaran Islam di Indonesia pada akhir abad ke-12 ini menemukan aspek pentingnya, antara lain, dalam bentuk negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Para pendiri bangsa yang berasal dari kalangan nasionalis dan Islam bersepakat menjadikan Indonesia bukan negara sekuler, sekaligus juga bukan negara agama. Di tingkat hidup kemasyarakatan, ummatan washatan terwujud dalam berbagai organisasi massa (ormas) Islam, yang umumnya berdiri sejak sebelum kemerdekaan RI, misalnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ormas ini mengambil jalan tengah, bukan hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaannya, melainkan juga dalam sikap sosial, budaya, dan politik. Pilar Kehadiran ormas seperti NU makin berperan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia karena ormas itu tak hanya bergerak di bidang dakwah atau pendidikan pesantren, tetapi juga menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil. Sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil, dalam kehidupan sehariHIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

57


hari, ormas-ormas itu berperan penting sebagai jembatan mediasi antara negara dan rakyat. Ormas tersebut juga berperan penting dalam menjaga kohesi sosial, terutama saat terjadi kekacauan politik. Sejumlah penelitian menunjukkan, pemikiran-pemikiran yang disebarluaskan oleh ormas-ormas tersebut mampu mencegah umat mengalami disorientasi dan bertindak anarkistis. Ormas ini juga berperan dalam memberikan kepemimpinan alternatif saat terjadi kekacauan politik. Hal ini, misalnya, terlihat dalam kemunculan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI pada tahun 1999. Saat itu, tak ada yang berani melawan Gus Dur ketika dia, misalnya, memerintahkan militer kembali ke barak. Ini karena di belakang Gus Dur ada puluhan juta nahdliyin. Fenomena ini tak terjadi di negara lain seperti Mesir. Tiadanya kekuatan penengah atau penyeimbang membuat konflik rawan muncul di negara itu. Di Mesir memang ada gerakan masyarakat sipil, tetapi dalam bentuk asosiasi profesional seperti asosiasi guru dan dokter yang tak terlibat dalam urusan sosial politik. Mereka hanya tertarik kepada masalah seperti kenaikan upah. Hal yang lebih istimewa, ormas seperti NU dan Muhammadiyah memiliki komitmen yang penuh kepada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Rais Aam Syuriah PBNU tahun 1984-1991 (alm) KH. Achmad Shiddiq bahkan pernah menyatakan, Pancasila merupakan bentuk final perjuangan Islam di Indonesia. Penguatan Sejarah menunjukkan, Islam di Indonesia juga berperan aktif dalam penegakan demokrasi. Suksesnya penyelenggaraan Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014 menjadi bukti kompatibilitas Islam dan demokrasi. Hal ini karena kaum Muslim menjadi partisipan aktif dalam proses politik demokrasi tersebut. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia tak bermusuhan dengan agama karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, pada saat yang sama, Indonesia bukan negara agama. Kondisi ini membuat Vali Nasr, Guru Besar Program Pasca Sarjana Pergu-

58

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


ruan Tinggi Angkatan Laut Amerika, menuturkan, Islam RI menjadi model yang sangat baik untuk melihat hubungan Islam dan demokrasi. Tantangan umat Islam Indonesia saat ini adalah memberikan kontribusi kepada penguatan demokrasi secara global. Di tengah menjawab tantangan tersebut, saat ini, memang ada sekelompok orang yang mencoba menularkan paham radikal atau ekstrem di Indonesia, yang berbeda dengan wajah Islam di Indonesia saat ini yang dikenal damai, toleran, dan moderat. Ada keyakinan bahwa Indonesia bukan tanah subur bagi radikalisme. Hal ini disebabkan mayoritas masyarakat Indonesia menyukai Islam yang “berbunga-bunga�. Ini terlihat dari kebiasaan masyarakat yang kerap menggelar syukuran dengan mengundang kerabat dan warga sekitar untuk berdoa dan makan bersama untuk acara-acara seperti sunatan anak, perkawinan, kelulusan sekolah anak, serta berdoa saat peringatan kematian anggota keluarga. Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan. Penguatan wajah Islam Indonesia perlu terus dilakukan. Kehadiran dan peran serta ormas seperti NU tetap dinanti dan dibutuhkan. [NWO] Sumber: K om pas, 1 6 Juni 20 15 Kom ompas, 16 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

59


Dikusi Kompas-NU (3-Habis)

Islam Nusantara untuk Dunia Islam Nusantara yang berwajah toleran dan moderat dapat menjadi model yang bisa mengubah pandangan negatif negara-negara Barat terhadap Islam selama ini. Oleh karena itu, Islam Nusantara yang lentur dengan budaya lokal perlu lebih dikenalkan ke dunia internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa sering mengundang cendekiawan Muslim Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang Islam yang berkembang di Indonesia atau Islam Nusantara yang wajahnya sama dengan Islam washatiyyah, yaitu Islam yang ada di tengah, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya. Mereka kagum bagaimana Islam di Indonesia dapat hidup rukun dengan agama lain dan berakulturasi dengan budaya lokal. Terlebih, bagaimana Islam di Indonesia bisa berdampingan dengan demokrasi. Selama ini agak sulit menemukan model demokrasi di dunia Muslim. “Arab Spring� yang dimulai 2011 sempat memberikan harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab. Namun, yang kemudian terjadi adalah kekacauan dan kembalinya rezim militer ke pusat kekuasaan. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi. Indonesia telah memberikan contoh bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi. Kehadiran Islam Nusantara sebagai model makin dibutuhkan menyusul berkembangnya paham radikal dan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam seperti yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Boko Haram di Nigeria. Namun, karena pengaruh peradaban dan geopolitik dunia Islam masih didominasi Timur Tengah, yang terjadi di Timur Tengah masih sering dianggap sebagai representasi dari Islam. Sebagian besar masyarakat Barat belum mengetahui Islam Nusantara.

60

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Di benak mayoritas masyarakat Barat, Islam adalah apa yang selama ini terefleksi di Timur Tengah. Kehadiran kelompok seperti NIIS makin memperburuk citra Islam. Namun, masyarakat Barat tetap meyakini, wajah Islam yang sering diperlihatkan para teroris dan gerakan radikal bukanlah Islam yang sebenarnya. Mereka hanya menggunakan Islam untuk kepentingan politik sesaat sehingga dilihat sebagai Islam politik yang tidak didasarkan pada asas-asas agama. Hegemoni Islam politik harus diganti dengan Islam yang ditopang oleh nilainilai agama, yang berwajah toleran dan menciptakan perdamaian. Dengan pertimbangan ini, Islam Nusantara ini harus lebih dikenalkan ke masyarakat Eropa sehingga mereka bisa memahami wajah Islam yang sebenarnya. Por os oros Selama ini, ada sejumlah penyebab Islam Nusantara belum banyak dikenal masyarakat Barat. Hal itu antara lain karena selama Orde Baru, pemerintah cenderung menutup diri dalam hal keagamaan. Rezim Orde Baru juga cenderung kurang memberikan kesempatan kepada ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan pilar dari Islam Nusantara. Padahal, Indonesia sejatinya memiliki modal yang cukup untuk menyebarluaskan Islam Nusantara sekaligus menjadi poros utama dunia Islam. Hal itu karena di Indonesia terdapat hampir 200 juta orang yang beragama Islam. Jauh lebih besar dibandingkan dengan Mesir yang memiliki sekitar 80 juta penduduk atau Arab Saudi yang dihuni sekitar 26,5 juta orang. Indonesia merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Secara psikologis, Islam Indonesia juga tidak terbebani oleh ironi dan tragedi sejarah seperti yang dialami masyarakat Muslim di Timur Tengah. Kini, Indonesia harus lebih proaktif menyebarkan Islam Nusantara ke dunia internasional agar pengaruhnya bisa semakin cepat. Guna melakukan hal itu, perlu penguatan jaringan Islam washatiyyah, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Penguatan jaringan ini berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

61


Islam Nusantara dapat memiliki jaringan yang padu secara internal dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi masyarakat sipil di dunia Muslim ataupun lingkungan internasional yang lebih luas. Dengan demikian, Islam washatiyyah di Indonesia dapat menjadi gerakan yang memiliki dimensi internasional. Kementerian Luar Negeri dapat bekerja sama dengan Kementerian Agama dan ormas Islam untuk memperluas ekspose Islam Nusantara ke dunia internasional. Ini karena ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak bisa sendirian mengenalkan Islam Nusantara ke dunia internasional. Sepanjang 2005-2009, Indonesia dengan Islam Nusantaranya pernah sangat aktif memainkan peran sebagai penengah dan pendamai konflik-konflik yang terjadi di negara lain. Saat itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia bekerja sama dengan ormas Islam dan sejumlah tokoh Islam Indonesia mengambil inisiatif dalam sejumlah pertemuan antar-agama dan antar-peradaban yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia. Pada periode itu, Indonesia juga pernah mengundang pimpinan Hamas dan Fatah serta pimpinan Muslim Thailand selatan (Patani) dalam usaha menyelesaikan konflik di antara pihak-pihak yang bertikai. Ini selaras dengan amanat konstitusional dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan Indonesia harus berperan aktif dalam turut membangun perdamaian dunia. Tugas mulia ini terletak di pundak pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia. [M Fajar Marta] Sumber: K om pas, 1 7 Juni 20 15 Kom ompas, 17 201

62

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Muktamar NU dan Revitalisasi Nahdlatulogi Oleh: andar Dr s. H. A Drs. A.. Halim Isk Iskandar andar,, M.Pd Ketua DRPD Jatim/Ketua DPW PKB Jatim

Dalam buku Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan (2010), Mohammad Afifuddin memunculkan kembali pemikiran otentik KH. A. Muchith Muzadi (Mbah Muchith), salah seorang kiai sepuh yang dihormati kaum Nahdliyin. Dalam buku tersebut, dikisahkan Mbah Muchith sering berpesan kepada para santrinya untuk tetap tekun mempelajari dan menjalankan prinsip-prinsip Nahdlatulogi. Nahdlatulogi adalah manifestasi dari postulat intelektual Mbah Muchith sekaligus keyakinan ideologisnya: mempelajari sejarah dan sepak terjang NU tidak cukup hanya meneropong dengan kacamata ilmu pengetahuan konvensional (umum). Pengalaman Mbah Muchith puluhan tahun berkiprah di NU, baik sebagai aktivis ansor, pengurus PBNU, anggota legislatif, dan salah satu deklarator PKB, mengantarkan pada sikap bahwa NU adalah organisasi unik yang tidak tuntas dikaji hanya berdasar referensi para sarjana asing (orientalis). Karena itu, jika ingin “menguliti” NU, ilmunya juga harus “unik”, metodologinya pun mesti “antic” (non-mainstreaming). Mbah Muchith menyebutnya Nahdlatulogi (ilmu tentang Nahdlatul Ulama): perpaduan antara pendekatan ilmu pengetahuan umum, metodologi ala pesantren, plus skill membaca kekhasan dunia kiai dan santri dalam dialektikanya menghadapi kompleksitas persoalan sosial-keagamaan. Dalam substansi pemikiran Mbah Muchith tersebut, terkandung makna bahwa Nahdlatulogi adalah independensi NU untuk merumuskan paradigma (kerangka berpikir) yang dibangun dari konstruksi intelektual, kultural, maupun teologis yang selama ini diyakini NU. Sikap semacam itu sangat pen-

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

63


ting mengingat ilmu pengetahuan tidak pernah netral (bebas nilai). Selalu ada bias-bias tertentu (bias kekuasaan) dalam sebuah konstruksi ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikatakan Ahmad Baso dalam buku NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neoliberal (2006), posisi NU selama ini masih sering dijadikan objek (maf’ul) bagi para penulis dan peneliti asing (orientalis). Akibatnya, di era poskolonial seperti sekarang ini, NU masih susah menempatkan dirinya menjadi subjek (fa’il) dan punya daya untuk menyusun narasi tentang dirinya sendiri. Maka, dalam konteks ini, Nahdlatulogi merupakan salah satu ikhtiar untuk menjadikan NU sebagai fa’il (subjek bagi diri sendiri). Pertanyaannya kemudian, apa relevansi Nahdlatulogi dengan Muktamar Ke-33 NU yang insya Allah diselenggarakan pada Agustus mendatang di Jombang, Jawa Timur? Demokrasi ala Nahdlatulogi Sebagaimana disampaikan Khoiron dalam tulisannya, Meneguhkan Supremasi Kiai (Jawa Pos, 3/4), muktamar NU telah bermetamorforsis menjadi “dekaden” dan terseret euforia sistem perpolitikan nasional yang sangat liberal pasca reformasi. Muktamar ke-31 di Boyolali dan muktamar ke-32 di Makassar menjadi contoh bagaimana muktamar berjalan seperti arena pilkada. Spanduk, baliho, pamflet, dan bendera kandidat bertebaran di sekitar arena muktamar. Celakanya, praktik money politics juga ditengarai terjadi di arena muktamar. Salah seorang pengurus Fatayat NU Jawa Timur Maimunah Saroh dalam tulisannya, Kontroversi Pemilihan Rais Am (Jawa Pos, 13/4), justru meragukan dan cenderung menolak penerapan AHWA (ahlul halli wal aqdi) dalam Muktamar Ke-33 NU. Alasannya, selain AHWA belum menjadi kesepakatan Munas-Konbes NU 2014, Maimunah meragukan keilmuan, wawasan, kezuhudan, kearifan, ketokohan, serta kemampuan menyerap informasi secara adil dan berimbang yang sekaliber dengan KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Ali, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Ali Maksum, dan kiai

64

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


lain yang menurutnya layak memimpin NU melalui sistem AHWA. Selain itu, Maimunah membantah Khoiron yang menyatakan penerapan AHWA dalam 30 kali muktamar NU, kecuali pada muktamar ke-31 dan 32. Di mana, menurut Maimunah, hanya muktamar ke-27 Situbondo, AHWA digunakan. Terkait perbedaan tersebut, mari kita telusuri secara konseptual. Konsep AHWA terinspirasi pada satu konsep pemilihan pemimpin di era kekhalifahan Umar bin Khattab, di mana pemilihan pemimpin tidak dilakukan dengan mekanisme voting, tetapi dipilih secara sengaja dengan model penunjukan oleh forum para ulama-ulama sepuh kepada salah seorang yang dianggap memenuhi kualifikasi secara moral (integritas) dan keilmuan (keikhlasan-kealimannya). Konsep tersebut telah menjadi tradisi suksesi kepemimpinan NU selama kurang lebih 30 kali muktamar. Sebagai contoh, KH. Wahab Hasbullah hanya bersedia menggantikan KH. Hasyim Asy’ari setelah wafatnya beliau, dan penggantian posisi, dari rais akbar menjadi rais aam. Begitu pula dengan KH. Bisri Syansuri yang tidak berkenan menerima jabatan rais aam karena masih ada KH. Wahab Hasbullah. Pun demikian dengan KH. Sahal Mahfudh yang baru bersedia menggantikan KH. Ilyas Ruhiyat setelah dipaksa para kiai lainnya. Artinya, sejarah transisi kepemimpinan di NU menunjukkan kekhasan yang dilatarbelakangi tradisi pesantren, sama sekali jauh dari intrik politik yang diinspirasi demokrasi liberian. Transisi kepemimpinan NU tidak didasari prinsip one man one vote. Tradisi kepemimpinan NU selalu didasarkan pada derajat keilmuan dan kezuhudan, didasari pengabdian, keikhlasan, dan totalitas kepatuhan (keta’dhiman) untuk menerima amanah. Dengan demikian, sejatinya AHWA selalu menjadi roh dalam tradisi kepemimpinan NU dan menjadi spirit dalam mayoritas sejarah muktamar NU. Karena itu, sebagai respons terhadap gejala liberalisasi politik yang melampaui batas seperti saat ini, para ulama NU dan Nahdliyin merasa yakin bahwa konsep AHWA sebagai satu-satunya konsep kepemimpinan paripurna yang dalam historiografi NU terbukti mampu menjaga kewibawaan NU dan kewibawaan ulama di mata umat. Namun, menjelang pelaksanaan muktamar ke-33 yang dipusatkan di

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

65


empat pesantren di Jombang beberapa bulan mendatang, tiba-tiba muncul manuver dari sebagian kalangan di NU yang menolak rekomendasi para kiai-ulama untuk kembali ke konsep AHWA. Mereka berdalih bahwa NU harus berani menerima konsep demokrasi untuk dijadikan mekanisme dalam muktamar. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan ukuran legitimasi yang digunakan Maimunah. Menurut dia, rais aam yang dipilih AHWA –yang hanya beranggota beberapa kiai– akan lebih rendah legitimasinya dibandingkan dengan ketua umum yang dipilih semua muktamirin. Tentu, konsep tersebut merupakan konsep yang diadopsi dari demokrasi liberal, sebagaimana juga diterapkan dalam pelaksanaan pemilu, pilkada, maupun pemilihan ketua umum parpol. Dengan demikian, jelaslah bahwa argumen utama beberapa kalangan yang menolak penerapan AHWA dibangun di atas fondasi modernisasi liberal yang berkiblat pada peradaban Barat. Menurut kalangan ini, apabila tidak ingin tertinggal dari arus sejarah peradaban kontemporer yang berporos pada peradaban (demokrasi) Barat, NU harus mulai memodernisasi dirinya. Salah satunya dengan penerapan one man one vote dalam kepemimpinan NU, kemudian mengabaikan variabel kealiman, kezuhudan, serta keta’dhiman yang menjadi dasar kepemimpinan dalam NU. Dalam konteks inilah muncul relevansi untuk menghadirkan kembali wacana tentang Nahdlatulogi dalam muktamar 2015. Pertimbangannya, tidak semua wacana dari peradaban Barat (termasuk demokrasi liberal) harus ditelan mentah-mentah oleh NU. Jangan sampai hanya atas dasar ingin disebut “modern� dan tidak ingin dituduh organisasi kolot, NU ikut arus mainstream yang justru kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar ke-NU-an. Sebab, jika mengikuti kerangka berpikir Nahdlatulogi, sesungguhnya konsep AHWA merupakan mekanisme yang juga sesuai dengan kaidah demokrasi. Sebab, pada dasarnya, substansi AHWA sama dengan hakikat musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut prinsipil, mengingat parameter demokrasi tidak selamanya harus mengacu pada rujukan peradaban Barat. Para ulama NU yang meyakini substansi demokrasi Pancasila sejak muktamar pada 1936 di Banjarmasin jelas punya kompetensi untuk merumuskan sendiri parameter

66

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


demokrasi sesuai dengan nilai-nilai ke-NU-an. Maka, muktamar Jombang adalah momentum untuk merevitalisasi prinsip Nahdlatulogi. Caranya, mari kita kawal ahlul halli wal aqdi sebagai formulasi demokrasi ala NU di muktamar ke-33. Dengan demikian, muktamar 2015 yang mengambil tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia� benar-benar menghadirkan NU masa depan yang mbarakahi (memberkati), serta meneguhkan NU di mata dunia sebagai salah satu jamiah pengusung Islam rahmatan lil alamin. [#] Sumber: Ja wa Pos, 22 April 20 15 Jaw 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

67


KH Ali Maksum, NU dan Muktamar Ke-33 Oleh: Muhammadun Peneliti Lajnah Ta’lif wan Nasyr PWNU di Jogjakarta

Pada 28 Februari ini, semua warga nahdliyin memperingati Haul Ke-26 KH. Ali Maksum, rais aam PBNU 1981–1984. Peringatan haul tahun ini mempunyai signifikansi tersendiri karena tidak lama lagi Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar Ke-33 di Jombang, 1–5 Agustus mendatang. Kiai Ali Maksum merupakan rais aam, pemimpin tertinggi NU, setelah NU kehilangan tokoh karismatik Rais Aam KH. Bisri Syansuri pada 1980. Saat itu terjadi konflik dan ketegangan meruncing antara Situbondo dan Cipete. Kiai Ali Maksum yang dikenal sebagai “kamus berjalan” mampu menjadi “penengah”. Dia juga dikenal berpikir moderat dan bisa merangkul semua kalangan. Karena hidup di kota pelajar, Jogjakarta, Kiai Ali bukan hanya menjalin silaturahmi dengan para kiai, tetapi juga akademisi. Bahkan, beliau pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga. Dari sini, Kiai Ali mempunyai ketegasan dan kecermatan sekaligus keluwesan dalam membangun jaringan antarulama dan intelektual. Kalau akhirnya menjadi rais aam, itu memang kemampuan dia yang diakui semua pihak. Apalagi, dia lahir dari rahim salah seorang pendiri NU, Mbah Maksum Lasem. Inspirasi Seorang Rais Aam “Sesungguhnya aku diberikan kepercayaan atas kalian. Padahal, aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika kalian melihatku melenceng, luruskanlah aku, hindarkanlah aku dari kesalahan, dan tegurlah aku sampai ke tempat yang baik….” Kalimat itu diucapkan Kiai Ali Maksum sambil meneteskan air mata keti-

68

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


ka mendapat amanah sebagai rais aam dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang Jogjakarta, 1981. Sebelumnya, Kiai Ali tidak mau menempati jabatan yang ditinggalkan KH. Bisri Syansuri karena sikap tawaduk yang sangat tinggi. Tetapi, para kiai sepuh menghendaki Kiai Ali bersedia sehingga Gus Dur dan Gus Mus harus rela menanti di kediaman beliau untuk mengetahui kesediaannya menjadi rais aam. Kiai Ali tidak mau memburu jabatan, apalagi sekelas rais aam. Tetapi, beliau tidak diperbolehkan oleh ajaran Islam untuk menghindari tanggung jawab. Makanya, kalau ada yang menyeleweng dalam kepemimpinannya, Kiai Ali siap ditegur dan diluruskan. Jabatan rais aam itu dijalankan hingga Muktamar Situbondo pada 1984. Beliau tidak mau dicalonkan lagi karena menginginkan regenerasi tumbuh berkembang di dalam NU. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq menggantikan dia sebagai rais aam PB NU. Walaupun sudah tidak menjabat rais aam, Kiai Ali tetap setia mengawal perjalanan NU. Bagi Kiai Ali, NU adalah jalan hidup yang hak (benar). Ada lima pesan yang ditegaskan Kiai Ali untuk warga NU. Pertama, al-‘alimu wat ta’alum bi nahdlatil ulama. Warga nahdliyyin mesti mempelajari apa dan bagaimana NU. Kedua, setelah mempelajari juga perlu untuk diamalkan dan diajarkan (al-amalu bi nahdlatil ulama). Ketiga, jihad bi nahdlatil ulama (jihad dengan jalan NU). Keempat, ash-shabru bi nahdlatil ulama (sabar dalam berjuang bersama NU). Kelima, ats-tsiqotu bi nahdlatil ulama (memiliki keyakinan terhadap perjuangan NU). “Kita mesti yakin bahwa NU merupakan sebuah ormas yang mendapat rida Allah. Berjuang bersama NU dapat membawa kita masuk ke surga,” tegas Kiai Ali dalam buku Ajakan Suci (1995). Muktamar K e-33 NU Ke-33 Keteladanan dan semangat perjuangan Kiai Ali harus menjadi catatan serius dalam Muktamar ke-33 NU. Jangan sampai jabatan rais aam dan ketua umum PBNU menjadi komoditas politik. Padahal, Kiai Ali malah menangis saat menerima jabatan itu. Kiai Bisri Syansuri juga tidak mau menerima jabatan rais aam selama masih ada Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Wahab tidak

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

69


mau menerima jabatan rais akbar setelah KH. Hasyim Asy’ari wafat, tetapi diubah menjadi rais aam. Demikian juga yang dijalankan Kiai Sahal Mahfudh dalam Muktamar Cipasung pada 1994 ketika Kiai Ilyas Ruhiyat bersedia. Bagi Kiai Ali Maksum, ulama dalam NU selalu berada pada posisi yang menentukan. Ulama bukan sekadar staf ahli yang dipakai jika perlu. Ulama adalah pemimpin tertinggi, pemutus kata, dan penentu arah organisasi. Kalau kita mau dalam NU, berarti telah mau menerima kepemimpinan ulama dalam artian tersebut. Kiai Ali juga menegaskan bahwa yang dimaksud suara ulama dalam kepemimpinan NU adalah bukan suara seorang ulama atau kiai. Yang dimaksud suara ulama adalah suara syuriah sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU. Mekanisasi kepemimpinan seperti itu bagi Kiai Ali sesungguhnya telah disadari bersama karena tidak ada satu pun pemimpin NU, bahkan pemimpin terendah pun belum memahami maksud ayat, “sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama”. “Karena itu, jika ada langkah-langkah yang tidak sesuai dengan petunjuk syuriah, apalagi bertentangan, adalah tidak benar dan itu langkah sesat, walaupun kelihatannya mengatasnamakan NU. Dan langkah inilah menggusur kesucian NU, mengotori citra NU dan mencemarkan nama harum para leluhur NU yang sudah almarhum. Naudzubillah,” ujar Kiai Ali memperingatkan warga NU dengan sangat tegas. [#] Sumber: Ja wa Pos 2 7 FFebruari ebruari 20 15 Jaw 27 201

70

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Meneguhkan Supremasi Kiai Oleh: Khoir on, SAP Khoiron, SAP,, M.IP Pengajar FIA Universitas Islam Malang

Meski masih empat bulan lagi, suasana Muktamar Ke33 Nahdlatul Ulama (NU) sudah terasa. Terutama di Jawa Timur. Sebab, muktamar yang dilaksanakan pada 1–5 Agustus mendatang itu berlangsung di Jawa Timur, tepatnya Jombang. Ada empat pondok pesantren (ponpes) legendaris yang menjadi tuan rumah. Yakni, Tebuireng, Mambaul Ma’arif (Denanyar), Bahrul Ulum (Tambak Beras), dan Darul Ulum (Peterongan). Muktamar ke-33 pun terasa istimewa. Sebab, dalam Munas-Konbes NU 2014, disepakati penggunaan konsep ahlul halli wal-aqdi (AHWA) dalam pemilihan rais aam seperti pada muktamar ke-27 (1984) di Situbondo. Secara bahasa, ahlul halli wal aqdi berarti ‘’orang yang berwenang melepaskan dan mengikat’’. Disebut mengikat karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli. Juga, disebut melepaskan karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati yang didasarkan pada musyawarah. Dalam sejarah Islam, konsep tersebut pernah dijalankan pada zaman khalifah Umar bin Khattab ketika akan meninggal. Umar memilih beberapa orang tepercaya untuk menjadi wakil dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar setelah meninggalnya sang khalifah. Kemudian, yang terpilih melakukan musyawarah, berdiskusi, dan memutuskan kebijakan yang wajib ditaati seluruh anggota ahlul halli wal-aqdi dan kaum muslimin. Keputusan tersebut adalah memilih sahabat Ustman bin Affan sebagai pengganti Umar dalam melanjutkan perjuangan dakwah Islam. Ide awal kembali dimunculkannya konsep ahwa dalam muktamar ke-33

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

71


kali ini tidak lain adalah kegelisahan warga nahdliyin, terutama para kiai, setelah muktamar ke-32 di Makassar. Kegelisahan para kiai tersebut cukup beralasan jika melihat perhelatan muktamar NU mulai Solo sampai Makassar, yakni pemilihan rais aam dan tanfidziyah layaknya pemilu kepala daerah (pilkada). Di arena muktamar, banyak spanduk, baliho, banner, bendera, dan stiker yang mendukung salah seorang calon. Karena itu, muncul sebuah pertanyaan apakah konsep wasyaawirhum fil amri telah hilang di organisasi keagamaan sebesar NU? Sebuah tradisi yang mulia dan bijak dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat yang jauh melampaui konsep demokrasi. Celakanya, praktik money politics yang biasa dilakukan politisi ditengarai terjadi di arena muktamar yang seharusnya penuh nilai keikhlasan. Fenomena adu kekuatan antara calon bukan lagi rahasia pribadi, melainkan rahasia bersama warga nahdliyin. Karena itu, setidaknya ada empat alasan sehingga konsep AHWA tersebut penting dan urgen diputuskan sebagaimana yang telah dijelaskan Abu Hapsin, ketua PWNU Jawa Tengah. Pertama, mengoptimalkan peran dan fungsi syuriah sebagai kontrol atas tanfidziyah. Perlu diketahui, selama ini jajaran syuriah, terutama di tingkat ranting atau cabang, kurang diperhitungkan, bahkan tidak jarang ditinggalkan dewan tanfidziyah dalam berbagai kesempatan. Kedua, mewadahi aspirasi bawah, tetapi juga memberikan otoritas yang besar kepada syuriah. Anggota ahwa yang berjumlah sembilan kiai khos, yang merupakan representasi kiai berpengaruh se-Indonesia, akan mempunyai kewajiban mengarahkan perjalanan organisasi untuk dilaksanakan dewan tanfidziyah. Ketiga, menghindari kemungkinan praktik money politics dan intervensi orang-orang di luar NU. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU tentu menjadi magnet bagi politisi yang haus kekuasaan. Mereka berusaha menanamkan investasi politik atau modal sosial kepada para calon dan warga nahdliyin untuk kemudian bisa mendukung kepentingan politiknya suatu saat. Keempat, meminimalkan kesan mengadu para kiai secara head-to-head (berhadap-hadapan) dalam kontes di arena muktamar. Sudah menjadi rahasia publik, selama ini setiap muktamar seolah-olah

72

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


menjadi arena atau ajang perebutan pengaruh antar kiai. Bahkan tidak jarang menimbulkan semacam sentimen antar calon. Contohnya, kejadian dalam Muktamar Ke-31 di Boyolali (2004) antara KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan (alm) KH. A. Sahal Mahfudz. Yang terakhir adalah Muktamar Ke-32 di Makassar yang seolah mengonfirmasi adanya head-to-head antara KH. A. Sahal Mahfudz dan KH. Hasyim Muzadi dalam perebutan rais aam. Suasana muktamar pun bagaikan pilkada dengan sistem one man one vote. Hasil akhirnya, (alm) Mbah Sahal keluar sebagai pemenang. Padahal, selama 30 kali muktamar, selama itu pula sistem AHWA digunakan yang menempatkan konsep musyawarah dalam pemilihan rais aam PBNU. Menurut saya, konsep ahlul halli wal-abdi (AHWA) jauh lebih arif dan bijaksana untuk diterapkan, baik dalam pemilihan rais am maupun tanfidziyah, mulai pusat hingga pemilihan tingkat ranting. Itu penting dilakukan untuk menjaga marwah organisasi keagamaan sebesar NU dan mengembalikan supremasi atau peran serta fungsi dewan syuriah dalam membentengi umat untuk tidak terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis. Dengan konsep ahwa pula, kita yakin suasana muktamar akan jauh dari intrik-intrik politis dan menjauhkan riswah yang santer muncul dalam setiap perhelatan muktamar NU akhir-akhir ini. [#] Sumber: Ja wa Pos, 3 April 20 15 Jaw 201

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

73


Jelang Muktamar ke-33 NU

Teks dan Karakter Islam Nusantara Oleh: wa -Ma eL-Ma -Maw Mahrus eL Teman Belajar Mahasiswa Pasca Sarjana STAINU Jakarta IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Fenomena kekerasan atas nama agama, baik secara personal maupun institusional, hingga saat ini tidak dapat diterima umat manusia, terutama umat yang beragama dengan cinta, damai, dan kearifan (love, peace and wisdom). Islam sebagai agama yang mengedepankan rahmatan lil alamin dimanapun, sudah pasti menolak kekerasan tersebut. Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dilahirkan sejak 1926 untuk memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam menjalankan tradisi dan ritual keagamaan, hingga saat ini. NU telah merumuskan beberapa prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawasut (moderat), ta’adul (keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar. Seiring dengan fenomena kekerasan atas nama agama oleh kelompok Islam tertentu tersebut, dan merasa dirinya yang paling benar pemahaman keislamannya, dimanapun, menjadikan NU yang akan melaksanakan Muktamarnya ke-33 perlu menegaskan kembali jati diri Islam Nusantara. Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan datadata filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteks-

74

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


nya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat. Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat, makanya terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak, dst. Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa. Hal serupa juga dalam hal sosialisasi ajaran Islam yang disampaikan secara praktis di masyarakat, terdapat adaptasi seni dan budaya lokal. Wacana Islam Nusantara untuk saat ini acapkali diadaptasikan sebagai Islam Asia Tenggara (rumpun Melayu), dan belakangan menjadi Islam Indonesia. Beberapa buku menunjukkan hal itu, Azyumardi Azra (Edisi Revisi, 2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII [The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama in the Seventeeth and Eighteenth Centuries (KITLV, 2004)], L.W.C. van den Berg (1989), Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara [terjemahan dari Le Hadhramaut Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien], Ahmad Ibrahim, dkk. (1989), Islam di Asia Tenggara [Readings on Islam in Southeast Asia], Slamet Muljana (2005), Runtu-

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

75


hnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara; Kedua buku terakhir tersebut merupakan beberapa bukti bahwa Islam Asia Tenggara itu Islam Nusantara dengan rumpun Melayu, dan Islam Nusantara itu Islam Indonesia. Baru belakangan muncul beberapa karya dengan Islam Indonesia, seperti Michael Laffan (2011), The Makings of Indonesian Islam (Orientalism and the Narraration of a Sufi Past). Membicarakan Islam Nusantara bukan sekadar mengungkap kesejarahan Islam sebelum kaum asing menjajah (mempengaruhi) sejumlah wilayah di Nusantara, tetapi juga mengungkap kaitan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang berbeda dengan tradisi Islam mainstream dari asalnya, Arab, terutama di Indonesia. Berkaitan dengan itu, jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 Tahun 2008 tentang Islam Nusantara barangkali dapat menjadi bacaan awalnya. Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam Sufistiknya, hal itu bisa dilihat dalam karya Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (2009) dan buku Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran Tasawuf (2013). Tentu saja, Islam Nusantara bukan hanya tasawuf, tetapi semua aspek ajaran Islam, seperti fiqh, tauhid, al-Qur’an, al-Hadis, dst. Para ulama Nusantara dan karya-karyanya juga sudah dibuat daftarnya secara ringkas oleh Nicholas Heer (2008) dengan judul A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. Diantara ulama Nusantara yang dikenal dengan Ahlussunah wal jamaah itu Syekh Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri dengan judul kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkam Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan, dan Siraj al-Talibin fi Syarh Minhaj al-Abidin; Muhammad As’ad ibn Hafid al-Jawi, an-Nubzah al-Saniyah fi al-Qawaid al-Nahwiyah (1304/ 1886); Muhammad Sa’id ibn Muhammad Tahir Riau, Kitab ‘Iqd alJawhar fi Mawlid al-Nabi al-Azhar (1327/1909); Muhammad ibn (?) Salih ibn ‘Umar al-Samarani, Hadis al-Mi’raj, dst. Adapun ulama-ulama yang sudah masyhur lainnya juga tercatat dengan baik, seperti Hamzah al-Fansuri al-Jawi, Syekh an-Nawawi al-Ban-

76

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


tani al-Jawi, Syekh Abd ar-Rauf al-Singkili al-Jawi, Abd al-Samad al-Falimbani al-Jawi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Pegon, al-Ibriz, dst. Islam Nusantara, diakui atau tidak, masih dianggap sebagai Islam pinggiran (periferal) oleh para orientalis. Sekalipun bantahan terhadap anggapan seperti itu sudah dilakukan juga oleh islamolog, seperti A.H. Johns. Bahkan Johns (1965) pernah meneliti karya ulama tasawuf Nusantara Tuhfatul Mursalah ila ruh al-nabi dalam salinan bahasa dan aksara Jawa, dengan judul The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet. Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam Nusantara, selain dari pemahaman moderatnya. Moderasi itu dengan cara akomodasi tradisi lokal dalam pemahaman keislamannya, seperti tahlilan, muludan, sedekah laut, mitoni, dst. yang selama ini hanya milik Islam tradisional Indonesia. Tradisi Islam Nusantara yang sudah berkembang tersebut ternyata juga berkembang di negara Timur Tengah, seperti Maroko, Yaman dan sekitarnya. Moderasi Islam Nusantara ternyata dapat dilihat bukan hanya pada pengembangannya melalui akulturasi budaya semata, tetapi juga ketika Islam awal masuk ke Nusantara melalui suatu proses kooptasi damai yang berlangsung selama berabad-abad. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri (Ahmad Ibrahim, dkk: 2). Dengan demikian, melalui Islam Nusantara tidak perlu dengan gerakan paramiliter, kekerasan, penindasan, atau bentuk radikalisme lainnya, seperti yang dikembangkan organisasi Islam tertentu yang sedang marak belakangan ini. Dengan demikian pribumisasi Islam Gus Dur sungguh sangat tepat untuk Islam Nusantara. Salah satu warisan Islam Nusantara, selain pesantren adalah naskah kuno (manuskrip). Naskah kuno ini dapat menjadi ciri khas lain dari Islam Nusantara, terutam pada aspek bahasa dan aksaranya. Pegon dan

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

77


Jawi tidak pernah digunakan oleh orang Islam dimanapun, kecuali bangsa kepulauan Nusantara. Karena itu, apabila terdapat naskah kuno berbahasa Jawa dengan aksara Arab di perpustakaan Jerman, Belanda, Perancis, Italia, dst, dapat dipastikan naskah itu berasal dari Nusantara (lihat, Henri ChamberlLoir dan Oman Fathurrahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Adapun di dalam negeri, berbagai katalog naskah dari daerah-daerah seperti Buton, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, dst. Secara khusus, terdapat sebuah buku tentang Direktori Edisi Naskah Nusantara (1999). Kajian terhadap naskah kuno tersebut saat ini sedang berkembang pesat, tidak hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, UNPAD, dst) tetapi juga lembaga kementerian agama RI (Litbang, UIN, IAIN, dst.). Bahkan, beberapa pesantren dan keluarga keraton sebagai pemilik naskah kuno tersebut sudah dilibatkan menjadi peneliti, pengkaji, dan pemelihara naskah secara professional. Pengkaji naskah Nusantara ini bahkan menyebut studinya dengan nama filologi Nusantara. Studi naskah di Nusantara memang tidak dapat disamakan dengan filologi di Eropa, Barat, atau latin dimana asal usul filologi berkembang. Begitupun kajian naskah Nusantara tidak dapat disamakan dengan studi filologi di Arab (ilmu tahqiq). Karena itu, Nusantara mempunyai kekhasannya sendiri, termasuk naskah-naskah di daerah. Kajian naskah di wilayah yang besar cakupannya, seperti Jawa, Melayu atau Batak, ternyata juga memunculkan filologi tersendiri, maka lahirlah filologi Jawa, filologi Melayu, dan filologi Batak. Kajian naskah semacam itu, terutama naskah keagamaan Islam, mengingatkan penulis pada gagasan Gus Dur tentang pesantren sebagai sub-kultur dan pribumisasi Islam. Pesantren sebagai warisan Islam Nusantara hari ini juga mempunyai kontribusi besar terhadap dinamika filologi Nusantara, karena di pesantren juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan filologi Jawa dst. Karena itu, penulis juga pernah mengusulkan perlunya kajian filologi pesantren. Terlebih lagi, apa-

78

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


bila dikaitkan dengan pribumisasi Islam dari Gus Dur, maka semakin lengkaplah kajian Islam Nusantara itu. Berangkat dari catatan-catatan tersebut, kiranya, “Mengapa Islam Nusantara�, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini, dapat disingkat sebagai berikut: 1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapa kitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri. 2. Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan. 3. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut perlu dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya. 4. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di komunitas pesantren. 5. Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga trdapat keserupaan dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global.

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

79


6. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam. 7. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal tradisi para ulama Nusantara, terutama saat keemasannya, Walisongo, penting kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, yang senantiasa mengedapkan toleran, moderat, kedamaian dan memanusiakan manusia. Selamat dan Sukses Muktamar NU ke-33, semoga benar-benar dapat merumuskan secara teoritis dan praktis tentang Islam Nusantara, sehingga dapat diaktualisasikan secara nyata di tengah masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia. Catatan pendek ini sebagai pengantar diskusi Halaqah pra-Muktamar NU ke-33 di PBNU, “Mengapa Islam Nusantara?�, diselenggarakan kerja sama Gus Durian, Panitia Muktamar dan Pasca Sarjana STAINU Jakarta, 10 April 2015. [#] Sumber: www .nu.or .id, 1 3 April 20 15 www.nu.or .nu.or.id, 13 201

80

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Sekilas Sejarah Lambang NU Setiap organisasi pasti memiliki lambang kebanggaan sendiri. Termasuk Nahdlatul Ulama yang mempunyai lambang legendaris nan kharismatik dan mistis. Seperti; simbol jagat yang dilingkari tali tersimpul, dikitari 9 bintang, 5 bintang terletak melingkari di atas garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4 bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang disebarkan juga melampaui zaman. Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut kongres, walaupun dalam dokumen resmi Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke-2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

81


Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencana akan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya, tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera dan yang terdapat simbol atau lambang. Pada saat itu Muktamar kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Muktamar KH. Wahab Hasbullah, cemas, maka diadakan pembicaraan empat mata dengan KH. Ridwan Abdullah di rumah Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres NU, yang ketika dipegang oleh KH. Ridwan Abdullah. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU, sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang KH. Ridwan Abdullah telah dikenal sebagai ulama, yang punya bakat melukis, makanya KH. Wahab Hasbullah meminta agar dibuatkan lambang NU yang bagus buat Jam’iyah agar lebih mudah mengenalinya. Tentu saja permintaan KH. Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi kehebatan NU, maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati, maka gambar dasar tersebut diganti lagi sampai beberapa kali. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran hingga memakan waktu satu bulan setengah. Itu artinya Kongres sudah diambang pintu dan semestinya sudah diselesaikan. Sampai tiba waktunya KH. Wahab pun datang menagih pesanan lambang tersebut. “Mana Kiai, lambang NU-nya ?,” tanya Kiai Wahab. Lalu dijawab oleh KH. Ridwan, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai untuk lambang NU, karena itu belum bisa kami selesaikan,”. Mendengar jawaban itu KH. Wahab mendesak dengan mengatakan, “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho”. Melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab, “Insya Allah”.

82

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara


Bagaimanapun waktu untuk membuat gambar yang sempurna, sudah demikian sempitnya. Maka jalan yang ditempuh oleh KH. Ridwan adalah melakukan shalat istikharoh. Minta petunjuk kepada Allah SWT. Pada suatu ketika Sholat malam pun dilakukan. Seusai sholat KH. Ridwan tidur lagi. Dalam tidurnya KH. Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, ia tiba-tiba melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang. Pada waktu itu, jam dinding sekitar pukul 2 pagi. Setelah terbangun dari tidur KH. Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba mengingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mipimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan mirip betul dengan gambar dalam mimpinya. Pada pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan NU huruf latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna. Maklum Kiai Ridwan adalah seorang pelukis yang berbakat. Dengan selesainya sketsa, belum berarti semua tugas telah tuntas. Kesulitan yang kedua dihadapi oleh KH. Ridwan adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Beberapa toko di Surabaya dimasuki tak ada yang cocok karena warna warna yang terlihat didalam mimpi tak ada yang cocok dengan warna kain yang ada di toko-toko Surabaya. Akhirnya KH. Ridwan mencoba carinya ke Malang. Dan kebetulan kain yang dicari-cari ditemukan sayang hanya sisa 4 X 6 meter. Walaupun jumlahnya hanya sedikit tapi tetap dibeli dan di bawa pulang ke Surabaya dan langsung dipotong sesuai dengan ukuran gambar yang sudah dirancang. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah. Lebar 4 meter Panjang 6 meter, ini merupakan bentuk asli lambang NU. Menjelang pembukaan Muktamar, simbol NU telah dipasang di arena Muktamar yang megah, simbol baru itu menambah keindahan suasana. Ketika Muktamar dibuka dan pada Muktamirin diperkenalkan simbol baru tersebut, maka semua hadirin yang berjumlah 18 ribu orang itu berdecak kagum

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara

83


melihat gambar yang indah dan sakral tersebut. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke-19. Karena itu pada perjalanan berikutnya mengalami penyederhanaan sebagai pendinamisasian, sesuai dengan semangat zaman yang mulai bergerak menuju kemajuan, dan didorong oleh semangat perjuangan. [#] Sumber: www .nu.or .id, 2 7 Sep www.nu.or .nu.or.id, 27 Septtember 2004

84

HIKAYAT MUKTAMAR NU Ahlul Halli Wal Aqdi dan Islam Nusantara




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.