Jagongan Media Rakyat
ACARA Literasi Televisi untuk Ibu Rumah Tangga Jumat siang (23/7) tampak banyak ibu berkumpul di ruang 5 Jogja National Museum. Mereka tersebut adalah peserta workshop ”Pertama Mengaburkan!: Menjadi Penonton TV yang Cerdas!” yang digelar oleh Masyarakat Peduli Media (MPM). Workshop ini bertujuan untuk membekali ibu rumah tangga agar lebih bijak dan cerdas dalam mendampingi anak menonton tayangan televisi. Difasilitatori oleh A. Darmanto, peneliti dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI), acara berlangsung seru dan menarik. Terbukti meskipun workshop telah dimulai sejak jarum jam menunjuk angka dua, peserta terus berdatangan hingga panitia harus menyediakan kursi tambahan. Setelah beberapa perwakilan ibu rumah tangga yang mayoritas merupakan guru TK memperkenalkan diri, moderator mulai menggulirkan pertanyaan tentang seberapa sering para ibu menonton televisi setiap harinya. Rata-rata para ibu menghabiskan waktu tiga jam, biasanya pada malam hari untuk menonton sinetron.Para ibu juga diajak berdiskusi mengenai dampak positif dan negatif dari siaran televisi, serta tindakan yang dilakukan saat menonton televisi bersama anak. Berdasarkan hasil diskusi,
sebagian besar menonton televisi untuk mendapat hiburan. “Memang salah satu fungsi menonton TV adalah hiburan, namun tujuan TV sebenarnya adalah sebagai sarana informasi,” tutur Darmanto. Kecenderungan para ibu untuk sekadar mencari hiburan dalam menonton TV dapat menyebabkan mereka kurang jeli dalam memilih tontonan yang sehat, terutama bagi anak mereka. “Jangan sampai karena terlalu asyik menonton sinetron, kemudian lupa bahwa anak kita ikut menonton sinetron yang sering kali menampilkan adegan yang tidak patut ditonton oleh anak seusia mereka,” lanjutnya. Sementara itu, dampak negatif televisi yang diungkap para ibu pun beraneka ragam, antara lain mengajarkan kekerasan, pornografi, tidak hormat pada orang tua dan guru, perselingkuhan, perebutan harta, dan hal-hal berbau mistis. Penayangan tersebut akan berdampak buruk bagi perkembangan anak karena anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru hal-hal yang dilihatnya. Untuk menanggulangi kemungkinan buruk itu, Darmanto menghimbau para ibu untuk mendampingi dan memberikan pengarahan pada anaknya saat menyaksikan tayangan televisi. Orang tua juga selayaknya menyeleksi acara mana yang pantas ditonton oleh anak. Ia pun menganjurkan para ibu untuk membatasi waktu menonton tidak lebih dari dua jam per hari. “Selain itu, ada baiknya menulis surat kepada komisi penyiaran atau surat pembaca sebagai bukti kepedulian terhadap masa depan anak-anak,” pungkasnya di penghujung acara. Bellisa Tim Media JMR 2010
4 | Jagongan Media Rakyat | 23 Juli 2010
23Juli 2010
Mimpi Adalah Kunci Untuk Kita Menaklukkan Dunia Judul di ataslah yang menjadi benang merah diskusi bertema “Jelajah Desa yang Mendunia” di Jagongan Media Rakyat, Jumat 23 Juli 2010 – mengajak kita untuk berpikir bahwa desa adalah “mutiara” yang mampu menghadirkan keunikan entah lewat artefaknya maupun nilai-nilai yang masih terjaga baik. Njajah Kuto Mbangun Deso mungkin ungkapan yang tepat diberikan pada paparan mas Towil dari Paguyuban Onthel Jogja-Podjok ( Kulon Progo ). Dari keluarga “alit,” beliau mampu menjadi sosok yang membesarkan keluarga dan daerahnya bahkan di tingkat internasional hanya dengan modal mimpi dan tekad kuat. Sementara, Pak M. Natsier dari Kanthil Kotagede menegaskan hal sepele yang bisa “diwahkan” lebih baik daripada hal mewah yang didiamkan saja. Konsep beliau mempopulerkan daerahnya berawal dari pemikiran tentang perlunya menjaga “nilai,” keramahan dan kesopanan. Hal itu dapat menarik orang lain datang ke daerah kita, tanpa perlu menonjolkan kemewahan.
“Rezeki bukan hanya materi tetapi juga sebuah penghargaan,” tegas beliau. Pujian, seduluran, orisinalitas adalah bentuk penghargaan itu, yang tentunya tidak dapat diukur dengan uang berapapun nominalnya. Pak Thomas, salah satu peserta diskusi dari Barramus, mendukung bahwa Kotagede sampai sekarang bukan hanya terkenal dengan kerajinan perak saja, tetapi sudah menjadi “living museum”–pijakan awal menuju “ekomuseum” yaitu sebuah daerah yang lebih menekankan pada orisinalitas kehidupan. Di sini mas Towil dan Pak Natsier bukan bermaksud ingin melepaskan diri dari campur tangan pemerintah. Mereka hanya ingin menegaskan bahwa anggota masyarakat lebih tahu tentang apa yang mereka butuhkan dibandingkan dengan pemerintah. Di akhir, sekaligus menjawab pertanyaan dari pemuda Karang Taruna Desa Nganggran, Gunung Kidul, Pak Natsier berpesan, “Tidak perlu berjuang sendirian karena orang di luar akan mendukung perjuangan kita.” Ikke TIm Media JMR 2010 23 Juli 2010 | Jagongan Media Rakyat | 1
ACARA
ACARA Membangun Media Komunitas yang Ramah Setelah era reformasi, media komunitas dianggap cukup efektif untuk memperjuangkan isu dan kebutuhan komunitas yang selama ini terpinggirkan. Ibu Yayuk – Koordinator PPS (Perempuan Pekerja Seks) dari komunitas Badran atau Bong Suwung, mengungkapkan dari tahun 1999 sering terjadi penangkapan dengan kekerasan dan pelecehan seksual oleh satpol PP termasuk pengenaan denda yang memberatkan. Ia berharap pada teman-teman untuk mendukung komunitasnya, Selama ini yang sudah dilakukan adalah menulis buku, aksi damai menyuarakan isu teman-teman komunitas, dan pertemuan rutin Kamisan komunitas PPS berlangsung sebulan sekali. Sinta dari Youth Forum – kumpulan remaja terutama anak-anak SMA di Yogyakarta yang peduli isu Kesehatan Reproduksi mengungkapakan bahwa pemberitaan di media seringkali memosisikan remaja sebagai pihak yang bersalah. REmaja selalu di-
2 | Jagongan Media Rakyat | 23 Juli 2010
anggap nakal, tidak mempunyai orientasi ke depan. y Terkait itu Youth Forum mempunyai media cetak “Mampir” dan “Mak Erot” yang mengemas isu-isu tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta informasi lainnya yang disampaikan dengan gaya bahasa remaja. Mart Widarto dari COMBINE Resource Institution mengungkapkan adanya pengekangan dalam berekspresi di era order baru.. Lalu pascareformasi ada dominasi pemilik modal. Pemberitaan media sangat dipengaruhi oleh kepentingan modal. JAdi posisi media tidak lagi untuk melayani kepentingan rakyat. Akibatnya ketika ada kelompok tertentu ingin menyuarakan hakhaknya banyak media tidak tertarik, karena takut tidak laku. Hingga kini, meskipun cita-cita advokasi isu komunitas belum optimal melalui media komunitas, tetapi tetap perlu didukung. Auny Vidiyan I Tim Media JMR 2010
Komunitas PinHole Indonesia: Memotret Dunia dari Lubang Jarum Teknologi fotografi sudah sedemikian pesatnya, namun PinHole Indonesia justru ingin mengembalikan prinsip fotografi ke masa lalu. Hal ini disebabkan kepesatan teknologi seringkali menghilangkan jejak filosofi fotografi. Secara khusus, Pinhole Indonesia menggelar workshop bertajuk “Memotret Dunia dari Lubang Jarum” di Jagongan Media Rakyat 2010 di ruang 4 Jogja National Museum (Eks ASRI) Jl. Amri Yahya No. 1 Wirobrajan. Kegiatan ini akan membekali warga dalam proses memotret kehidupannya dengan alat yang murah dan sederhana. Workshop ini akan menjelaskan tentang cara merakit dan menggunakan kamera foto dari kaleng dan kardus bekas. PinHole adalah teknologi kamera yang berkembang di Persia sekitar tahun 1.000 masehi. Berawal dari pengalaman seseorang yang berada di dalam tenda yang memiliki lubang sangat kecil. kemudian di dalam tenda tersebut ia bisa melihat obyek yang masuk ke dalam tenda. Ia lalu berpikir untuk mengambil gambar dengan menggunakan kamera PinHole tersebut. Inilah pemaparan Mas Rofi’i dari komunitas Pinhole di Bandung mengenai asal usul pengambilan foto dengan menggunakan lubang jarum atau disebut kamera obscura. Kenapa menggunakan lubang jarum, karena kamera menggunakan lubang yang sangat kecil di banding dengan ruang kamera sendiri. Kameranya menggunakan semua benda sederhana seperti kardus, kaleng, dan lainlain. Pada prinsipnya ketika belajar di sekolah dulu ada pelajaran mengenai tentang optik yang artinya masuk ke dalam. Pada saat workshop berlangsung ada pemutaran film tentang pengambilan gambar
yang menggunakan media ruangan kamar hotel. Untuk mengambil obyek di luar, jendela kamar hotel dilubangi dengan ukuran 4 cm sampai sekecil lubang jarum sebagai lensanya. Komunitas Pinhole di Indonesia sudah ada sejak tahun 2002, di pelopori oleh Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) yang digagas Ray Bachtiar. Dalam perkembangannya komunitas pinhole semakin banyak seperti ada Komunitas Semut Ireng di Bali, Komunitas Kamera Pinjaman, Pinhole di Kota Malang dan Kota Yogyakarta. Metode PinHole memungkinkan obyek diambil pada siang atau malam hari, tergantung dari pencahayaannya. Pada kamera PinHole obyek yang diambil harus diam atau tidak bergerak karena membutuhkan proses waktu beberapa detik atau menit bahkan sampai beberapa jam. Kalau siang waktunya bisa lebih pendek dan untuk malam membutuhkan waktu yang panjang tergantung pada pencahayaanya. Tujuan dari adanya kamera PinHole adalah belajar dasar-dasar fotografi. Kita bisa mengenal teori diafragma, melatih sensifitas pengolahan gambar,belajar bagaimana sinar mengenai obyek. Dasar-dasar fotografi ini semakin jarang diperoleh di sekolah formal fotografi. Harapan dari komunitas PinHole, pe ngetahuan tentang kamera PinHole semakin tersebar luas. Melalui kamera PinHole, seorang fotografer diajak kembali untuk menggunakan rasa serta kembali dekat dengan cahaya yang tak tergantikan yaitu cahaya yang berasal dari alam. Auny Tim Media JMR 2010 23 Juli 2010 | Jagongan Media Rakyat | 3