Kreasi Penerang Guru Seberang

Page 1




Sekolah Guru Indonesia


iv

ISBN 978-602-7807-65-5 Penulis: Sekolah Guru Indonesia Penyunting: Yusuf Maulana Pemeriksa Aksara: A. Rihab Penata Letak: Aryamuslim Perwajahan Sampul: Romadhon Hanafi Foto-foto dalam buku ini merupakan dokumentasi kegiatan Sekolah Guru Indonesia. Hak Cipta seluruh materi dalam buku ini dilindungi undang-undang.

Cetakan I, Oktober 2016 Diterbitkan oleh DD Publishing (milik Yayasan Dompet Dhuafa) Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok C 28- 29 Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Indonesia Kode pos : 15419 Telepon : +62 21 7416040 (Hunting) Faksimili : +62 21 7416070 Call Center : +62 21 7416050 Kreasi Penerang Guru Seberang


v

Sambutan

Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan

D

ua belas unit PC computer hanya terpajang lusuh di sebuah laboratorium di salah satu sekolah negeri ujung barat Indonesia. Bukan karena siswanya tidak tertarik belajar tentang komputer. Alasan yang disampaikan oleh pihak sekolah adalah karena tidak ada setrum (baca: listrik) di siang hari. Karena keterbatasan pasokan solar, sekolah dan penduduk sekitarnya hanya bisa menikmati listrik di malam hari. Tentunya kondisi di atas menjadi tantangan bagi sekolah agar komputer yang telah disediakan tetap optimal menjadi sarana belajar siswa. Bersyukurlah, salah satu gurunya memiliki ide untuk tetap mengajarkan komputer kepada siswanya. Pada jam pembelajaran komputer, siswa-siswa tersebut diajak ke ruang laboratorium Dimulailah jam pembelajaran komputer. Hari itu, siswa diajak untuk menjelajah perangkat kerasnya komputer. Mulai dari casing hingga diperlihatkan isi dalam CPU. Mengawali pembelajaran komSambutan Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan


vi puter dengan mengenal lebih dalam perangkat tersebut. Jika suatu hari nanti memiliki komputer, mereka mulai paham bagaimana merawatnya. Situasi di atas tentu saja bisa dialami oleh sekolah-sekolah lainnya yang ada di Indonesia. Kondisi yang serba terbatas ini terkadang menjadi alasan bagi guru atas tidak optimalnya proses pengajaran dan pembelajaran di kelas. Padahal, sarana belajar ditempatkan sebagai penunjang proses pembelajaran. Ada atau tidak ada sarana penunjang, proses pembelajaran harus tetap dijalankan. Di sinilah tantangan seorang guru untuk kreatif. Kreatif dalam melahirkan ide-ide pengajaran dan pembelajaran agar materi yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta didiknya. Menyadari generasi terbaik senantiasa dilahirkan dari pengajaran guru terbaik, Sekolah Guru Indonesia pun menginisiasi lahirnya guru 3P: Pendidik, Pengajar dan Pemimpin. Untuk melahirkan guru terbaik, SGI merancang program pembinaan calon guru selama tiga bulan. Setelah melewati masa pembinaan, calon guru tersebut akan ditempatkan di wilayah 3T (terpencil, terluar dan terasing). Sudah barang tentu, penempatan guru di wilayah 3T dilingkupi dengan keterbatasan sarana belajar—sama atau bahkan jauh lebih “mengenaskan� kondisinya ketimbang cerita di sekolah pada awal tulisan ini. Di sinilah guru-guru SGI diasah kreativitasnya, atau istilah “the power of kepepet�-nya terpakai. Kreativitas guru-guru SGI selama penempatan dituangkan tersebut dalam buku Kreasi Penerang Guru Seberang. Membaca buku ini, menyiratkan pesan bahwa keterbatasan bukan berarti menjadi penghalang. Keterbatasan adalah sebuah tantangan, dan mendorong untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Selamat membaca. Bogor, September 2016 Rina Fatimah

Kreasi Penerang Guru Seberang


vii

Pengantar

Pembina Sekolah Guru Indonesia

S

ejak berdiri tahun 2009, Sekolah Guru Indonesia (SGI) dari awal telah berkomitmen untuk menyelenggarakan model pendidikan di bidang kepemimpinan guru. Para guru yang terlahir dari rahim SGI dididik untuk tidak sekadar menjadi pengajar dan pendidik, namun juga sebagai pemimpin. Guru pemimpin adalah konsep guru paripurna yang harus mampu mentransformasi peserta didik sesuai dengan kondisi lokal masyarakat dan kebutuhan dunia pada masa depan. Artinya, kepemimpinan seorang guru bertujuan agar setiap peserta didiknya mampu menghadapi tantangan perubahan sosial pada masa dewasanya kelak, bahkan semestinya bisa menciptakan perubahan itu sendiri. Maka dari itu, sosok ideal dari guru pemimpin atau guru transformatif akan mengemban tiga amanah utama, yakni amanah intelektual, amanah moral, dan amanah sosial secara integratif.

Pengantar Pembina Sekolah Guru Indonesia


viii Dalam amanah moral yang diembannya, guru harus membangun integritas diri agar mampu berperan sebagai figur teladan di sekolah dan di lingkungan masyarakat. Keteladanan adalah nilai pertama yang mesti melekat abadi pada jati diri setiap pendidik di zaman kapan pun. Inilah prasyarat awal agar misi suci pendidikan akan tetap mendapatkan kepercayaan di tengah pengaruh negatif demoralisasi yang kian menguat nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita. Bila keteladanan itu hilang dari jiwa seorang guru, pendidikan terancam tak bisa mencapai tujuannya untuk membangun karakter manusia seutuhnya, serta masyarakat yang seutuhnya. Kepercayaan yang tumbuh atas keteladanan para guru itu akan menjadi kunci bagi kesuksesan guru tersebut sebagai mandataris amanah sosial. Hanya sayangnya, banyak guru yang masih kurang menyadari kewajiban melaksanakan amanah sosialnya ini. Padahal, bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, amanah sosial merupakan salah satu dari empat kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Ranah kerja guru bukan sekadar di sekolah, tapi juga di lingkungan kehidupannya. Guru bukan hanya anggota masyarakat biasa, guru sejatinya adalah pemimpin dan pelopor perubahan masyarakat. Inilah hakikat dasar konsep guru pemimpin yang diusung SGI sejak awal. Terdapat dua dimensi kepemimpinan guru yang terus menerus dikembangkan oleh SGI, yakni kepemimpinan pendidikan (Educational Leadership) dan kepemimpinan pembelajaran (Instructional Leadership). Kepemimpinan pendidikan yang harus diperankan oleh seorang guru pemimpin adalah menciptakan pengaruh bagi terciptanya perubahan pada iklim atau budaya sekolah agar semakin kondusif dalam menanamkan karakter peserta didik. Sedangkan kepemimpinan pembelajaran bertujuan untuk membangun budaya belajar agar setiap siswa menguasai kecakapan akademik, rasa ingin tahu yang tinggi, serta cara belajar yang efektif.

Kreasi Penerang Guru Seberang


ix Keberanian untuk berinovasi dan menampilkan performa yang berbeda dari kebiasaan lama, merupakan langkah pertama untuk memunculkan dua dimensi kepemimpinan guru di sekolah. Guru harus kaya dengan segala kreativitas. Ini yang selalu ditanamkan dalam sistem pendidikan di SGI. Sehingga, model pendidikan di SGI bukan hanya berbentuk perkuliahan, namun juga menerapkan aktivitas pemodelan, pembiasaan, coaching, workshop, dan praktik lapangan. Semua metode ini diterapkan agar guru lulusan SGI memiliki kemampuan untuk menciptakan kreativitas dalam perubahan, baik dalam hal pembelajaran ataupun pengembangan budaya sekolah. Hadirnya buku ini adalah sebagian kecil dari bukti sumbangsih para guru SGI dalam memainkannya perannya sebagai guru pemimpin di daerah-daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau terluar Indonesia. Segala keterbatasan yang ada di sekolah justru malah membangkitkan semangat para guru-guru muda SGI angkatan VII untuk berinovasi dan mencoba hal-hal baru. Pesan moralnya adalah bahwa segala keterbatasan bukanlah batas terhambatnya kualitas, tapi justru sebaliknya. Keterbatasan adalah jalan menuju kemajuan, jika kita mau belajar, dan terus belajar! Bogor, September 2016 Agung Pardini

Pengantar Pembina Sekolah Guru Indonesia


x

Kreasi Penerang Guru Seberang


xi

Prakata

Pengelola Sekolah Guru Indonesia

B

uku Sekolah Guru Indonesia angkatan VII ini mengambil tema pengembangan media pembelajaran dan pendekatan pembelajaran. Sama seperti dua buku sebelumnya, yakni Murid Pasif Pangkal Guru Kreatif (karya gabungan angkatan SGI) dan Temani Aku Meniup Mimpi (karya SGI angkatan VI). Pendekatan dan penggunaan media peraga yang dilakukan para guru SGI sangat penting selama proses pembelajaran. Aktivitas yang mereka lakukan di kelas memfasilitasi gaya belajar siswa. Dengan memfasilitasi gaya belajar siswa, guru sedang mengoptimalkan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam menyerap pembelajaran. Dalam buku ini pembaca bisa mempelajari strategi pendekatan belajar guru menghadapi beragam gaya belajar siswa. Praktik pendekatan pembelajaran dan penggunaan media belajar yang dilakukan oleh guru SGI dengan beragam bentuk dan caranya tidak lain untuk mencapai kompetensi peserta didik. Prakata Pengelola Sekolah Guru Indonesia


xii Dalam buku ini juga pembaca disuguhi potret pendidikan Indonesia. Pembaca akan mendapatkan gambaran kondisi pendidikan yang sesungguhnya, antara lain kehidupan guru, bangunan sekolah, lokasi geografis sekolah, karakter guru, karakter siswa, kondisi orangtua siswa, kehidupan masyarakat dan budaya masyarakat yang mewakili daerah Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Hemat kami, karya ini sumbangan berharga bagi dunia pendidikan Indonesia. Dalam buku ini para guru SGI menggunakan beragam pendekatan dan media belajar agar siswa paham dan mengerti pembelajaran bahasa, matematika dan sains. Pembelajaran yang dilakukan selama ini acap kali dianggap membosankan dan tidak memantik keingintahuan siswa. Tak heran apabila dalam Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012, peringkat Indonesia ada di urutan 64 dari 65 negara yang diteliti—meliputi literasi, matematika dan sains siswa sekolah dasar dan menengah. Bogor, September 2016 Ahmad Abdul Wasiudin Koordinator SGI Daerah

Kreasi Penerang Guru Seberang


xiii

Daftar Isi Sambutan Direktur ktur Dompet Dhuafa Pendidikan ― v bina Sekolah Guru Indonesia ― vii Pengantar Pembina ola Sekolah Guru Indonesia ― xi Prakata Pengelola n ― xvii Daftar Singkatan a―1 Mahir Berbahasa ta Alfian (Dena Fadillah) ― 2 Guntingan Kata Aksara untuk Rafi (Restgha Noriega) ― 9 ‘Time Sprint’ buat Denis (Heriyanto) ― 15 Cara Belajar Membaca Aktif (Fitri Setyo Ningrum) ― 22 Buku Harian Siswa (Suko Sri Anggono) ― 28 karan Deskripsi (Novi Aulia Hikmawati) ― 35 Aku, dan Lingkaran tak Huruf (Ricky Irwandi) ― 41 Kartu dan Kotak li Yuliani) li i) ― 46 Puisi di Ponsell ((Elis Wayang Sakti (Dedi Hadiarto) ― 52 Papan Hijaiyah (Januarita Sasni) ― 55 Kartu Hijaiyah (Asyanti Nurmuawwanah) ― 59 Daftar Isi


xiv

Puzzle Mufradat (Januarita Sasni) ― 64 Origami Bahasa Inggris (Risty Ani) ― 68 Gara-gara Dangdut Koplo (Frima Rahmulia) ― 74 Engklek Pengeja Angka (Januarita Sasni) ― 81 Kartu Baca Anak Wakatobi (Maria Ulfah) ― 85 ‘Cikgu’ Berkelompok (Ulfa Wardani) ― 93 Kenali Sekitar ― 99 Menemukan Harta Karun (Riyanti) ― 100 Kunjungan ke Pembeliangan (Peni Yanda) ― 104 Puzzle Dunia (Andi Pahman Harahap) ― 109 Sumber Alam Daerahku (Riyanti) ― 113 IPS Pintar (Andi Pahman Harahap) ― 118 Hafalan Shalat Filial Kalas (Peni Yanda) ― 121 Bintang Prestasi (Riyanti) ― 127 Keep Smile (Ulfa Wardani) ― 133 Latihan Fisik Anak Didik (Dena Fadillah) ― 138 Kelas Lampu Lalu Lintas (Nurhasanah) ― 141 Sahabati Lingkungan ― 147 Pembalap Kecil Kelanir (Fitriani Wahyu Setyaningrum) ― 148 Pos Pengamatan Cuaca(Ahmad Rizal Khadapi) ― 153 Botol Air Mancur (Sudendi Retno Efendi) ― 158 Detektif Tumbuhan (Siti Fatonah) ― 163 Mengamati Tumbuhan di Sekolah (Ahmad Rizal Khadapi) ― 168 Tangan Ajaib ‘Pop Up Card’ (Ilfa Yuni Arta) ― 173 ‘Pop Up’ dan ‘Lift The Flap’ IPA (Siti Fatonah) ― 178 Belajar Asyik dengan ‘Role Playing’(Risty Ani) ― 184 Diorama Ekosistem, dan Jelajah Kelompok (Siti Fatonah) ― 189 Meneliti Cara Bertahan Hidup Hewan (Ahmad Rizal Khadapi) ― 195 Menggenggam Angka ― 201 Lidi Pintar (Ricky Irwandi) ― 202 Kotak-Kotak Cerdas (Abdi Husni Dermawan) ― 208

Kreasi Penerang Guru Seberang


xv

Corong Berhitung (Fitrianti) ― 216 Eat Bulaga Matematika (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo) ― 220 Domino Matematika (Fitrianti) ― 227 Adu Dadu Perkalian (Suko Sri Anggono) ― 231 Kartu Domino Perkalian (Nurhasanah) ― 239 Kartu Pasang Berwarna (Septiyani Aziz) ― 243 Bidak-bidak Diagram Koordinat (Asyanti Nurmuawwanah) ― 250 Pasangan Kuadratku (Peni Yanda) ― 256 Napier Penakluk Perkalian (Fitrianti) ― 260 Batang Napier Perkalian (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo) ― 265 Guru Cabe Rawit (Harini) ― 271 Lima Guru Muda (Budi Iskandar) ― 279 Ular Tangga Perkalian (Nurhasanah) ― 284 Monopoli Matematika (Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo) ― 287 Profil SGI & Penulis ― 293 Profil SGI ― 294 Profil Penulis ― 296

Daftar Isi


xvi

Kreasi Penerang Guru Seberang


xvii

Daftar Singkatan • •

ABK BMKG

• • • • • • • • • • • • • • • •

CPNS IPA IPS KKM LKS MA MI MIS MTs Monev PAUD Penjaskes PKn Ponsel PR RPP

: Anak berkebutuhan khusus : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) : Calon pegawai negeri sipil : Ilmu Pengetahuan Alam : Ilmu Pengetahuan Sosial : Kriteria ketuntasan minimal : Lembar kerja siswa : Madrasah Aliyah : Madrasah Ibtidaiyah : Madrasah Ibtidaiyah Swasta : Madrasah Tsanawiyah : Monitoring dan evaluasi : Pendidikan Anak Usia Dini : Pendidikan Jasmani dan Kesehatan : Pendidikan Kewarganegaraan : Telepon seluler (handphone) : Pekerjaan rumah : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Daftar Singkatan


xviii • • • • • • • •

SDN SBK SGI SMA SMP STAD TK TPA

: Sekolah dasar negeri. : Seni Budaya dan Keterampilan : Sekolah Guru Indonesia : Sekolah Menengan Atas : Sekolah Menengah Pertama : Student Team Achievement Division : Taman kanak-kanak : Taman Pendidikan Al-Quran

Kreasi Penerang Guru Seberang


1

Mahir

Berbahasa

Mahir Ma ahi hir Berbahas Berbahasa sa


2

Guntingan Kata Alfian Dena Fadillah

R

intik air hujan terdengar gar dari pukul 12 malam. Udara yang k tajam ke dalam kulit tubuhku. Hadingin seakan menusuk unglah l h yang membantu b t menghangath t nya selembar kain sarunglah adi alas tidur seakan berubah menjakan tubuh. Matras yang menjadi di balok-balok es yang kapan saja bisa membekukanku. Kutengok jendela kamar. Gonggongan anjing terdengar jauh di tengah hutan, menandakan sepinya perkampungan ini. Azan Subuh berkumandang, hujan tak juga berhenti. Aku bergegas mengambil ponco yang dulu dibawa dari Jawa. Berjalan menghadapi tanah yang seakan terus menarikku. Itulah tanah Nunukan, Kalimantan Utara, yang sebagian besar berwarna merah. Matahari mulai menampakkan diri, tapi hujan tak kunjung berhenti. Kulihat awan sudah mulai membuka sebagian jalannya cahaya matahari.

Kreasi Penerang Guru Seberang


3 “Hmm... Kalau begini keadaannya, gak akan ada anak yang sekolah,” pikirku. Dari kamar kupandangi terus gunung sawit yang menjulang cukup tinggi, tetapi awan hitam itu masih berada di atasnya. Ya, di sanalah tempat tinggal murid-muridku. Murid-murid yang sebagian anak pekerja perusahaan kelapa sawit. Bus yang selalu mengantarkan mereka ke sekolah sepertinya sudah trauma dengan kondisi seperti ini. Beberapa bulan sebelumnya mereka mempunyai pengalaman pahit yang selalu membayangbayangi. Bus yang seharusnya memberikan keamanan, justru memberikan bahaya terhadap diri mereka. AWAN HITAM SUDAH MULAI menghilang. Cahaya matahari perlahan-lahan menerangi dan menghangatkan tubuh setiap makhluk-Nya. Burung-burung berkicau seakan hendak bercerita bahagianya hari itu. “Bu, anak-anak gak turun ya?” tanyaku. “Gak tahulah, Mas. Biasanya kalau hujan gini mereka gak akan turun. Coba lihat saja ke sekolah,” jawab Bu Darni. “Gak tahulah, Mas. Biasanya kalau hujan gini mereka gak akan turun. Coba lihat saja ke sekolah,” jawab Bu Darni. Kulihat sekolah masih sepi, sepertinya anak-anak tidak ada yang pergi ke sekolah. Tapi, dari kejauhan terlihat seorang anak dengan tas gendong berwarna hitam berlari mendekatiku. “Sepertinya Alfian,” aku menerka. Ternyata betul. Alfian namanya. Siswaku yang masih duduk di kelas 3 SDN 001 Sei Menggaris. Anaknya rajin ke sekolah. Hanya karena kurangnya bimbingan orangtua, kemampuan Alfian jauh tertinggal dari teman-temannya. Rumahnya berada di depan sekolah. Alfian sering menjadi buah bibir guru-guru di sekolah. Keluarganya terbilang temperamental hingga membuat guru-guru segan.

Mahir Berbahasa


4 Ketika ada masalah dengan Alfian, guru-guru enggan mengurus masalahnya. Ketika ada masalah dengan Alfian, akulah yang pertama kali dipanggil. “Asssalamu’alaikum, Pak Dena.” “Wa’alaikumssalam. Eh, Alfian kenapa masuk sekolah? Bukannya kalau hujan sekolah libur?” “Rumah saya kan dekat, Pak, jadi pengen main-main saja.” “Alfian, daripada kamu main-main ayo ikut Bapak pergi ke perpustakaan,” ajakku. “Mau ngapain, Pak?” “Ya, baca-baca bukulah.” “Pak, sebenarnya aku… belum bisa baca buku.” Ucapannya tersebut membuatku kaget. Anak yang sudah duduk di kelas 3 masih belum bisa membaca buku? Sesampainya di perpustakaan, aku mengambil buku yang berada di rak terdepan. “Coba baca ini, Alfian.” “S... A... Y... A....” Baca Alfian dengan terbata-bata. “Hmm, rupanya kamu belum bisa membaca ya. Suka membaca di rumah gak?” “Gak pernah, Pak.” “Besok setiap sore kamu ke perpustakaan ya, kita belajar membaca sama-sama.” Mendengar ajakan tersebut Alfian hanya mengangguk, entah itu mau atau rasa terpaksa karena malu menolak permintaanku. MALAM HARI PENUH DENGAN bintang yang bersinar menghiasi langit Kalimantan. “Sepertinya besok tidak akan turun hujan,” pikirku.

Kreasi Penerang Guru Seberang


5 Selepas Shalat Subuh, matahari berangsur menampakkan diri. Aku, bersama salah seorang guru, sengaja tetap berada di masjid sampai matahari mulai terbit. Brrrmmm... Brrmmm…. “Sepertinya bus sekolah sudah datang, Pak Amir,” kataku. “Iya, Pak, bus sekolah di sini cukup awal datangnya. Kurang dari pukul tujuh pagi sudah sampai di sekolah.” Terlihat dari kejauhan, dengan pakaian yang kusut, rambut yang berantakan, seorang anak menyapaku dari jauh. “Assalamu’alaikum, Pak.” “Wa’alaikumsalam. Eh, Alfian, sudah mau ke sekolah?” “Iya, Pak.” “Heh, rapikan dulu baju sama rambutmu. Masak ke sekolah gak rapi kayak gitu?” JAM SUDAH MENUNJUKKAN PUKUL 07.15. Aku bergegas menuju ke sekolah. Teng... Teng... Teng... Bel sekolah sudah berbunyi. Anak-anak sudah mulai berbaris di depan kelas. Hari itu jadwal mengajarku kosong. Aku tetap berada di perpustakaan, tempat ternyamanku. “Pak Dena, sekarang mengajar di kelas 3 dulu ya. Pak Andi Haerum lagi di Nunukan,” pinta kepala sekolahku. “Iya, Bu,” jawabku. RPP memang belum kubuat sebelumnya, tetapi daripada anakanak hanya main, lebih baik aku masuk ke kelas. “Hei, ada Pak Dena. Ayo masuk!” teriak Nil. Anak-anak pun masuk ke dalam kelas. Setelah disiapkan, aku menugaskan untuk membuka buku dan membacanya. Alfian

Mahir Berbahasa


6 yang duduk paling belakang terlihat malu dan menundukkan pandangannya ke bawah. “Alfian, kenapa kamu gak membaca buku?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya. “Aku kan belum bisa membaca buku, Pak” jawabnya dengan berbisik kepadaku. Aku memikirkan lagi cara supaya Alfian bisa membaca. Terlintas sebuah gagasan. Mengapa tidak kusuruh Alfian mengguntinggunting sambil membantuku menyelesaikan pembuatan display? Aku pun membuat sebuah tulisan yang sengaja diacak hurufnya di kertas karton yang kubawa sebelumnya. “Eh, Alfian. Bapak minta tolong guntingkan huruf-huruf ini dong,” pintaku seraya memberikan gunting dan kertas yang telah kutulis sebelumnya. “Iya, Pak.” Selagi teman-temannya membaca dan dites satu per satu, rupanya Alfian masih asyik menggunting huruf-huruf yang kuberikan tadi. Semua temannya sudah dites. Tinggal tersisa, yakni Alfian yang belum dites. “Alfian, sudah selesai menggunting hurufnya?” “Sebentar, Pak, sedikit lagi.” “Oke, Bapak tunggu di perpustakaan ya.” Tak lama kemudian anak tersebut datang dan menyerahkan semua guntingannya kepadaku. “Ini, Pak sudah selesai.” Aku sudah menyiapkan segala sesuatu untuk ditempel di mading sekaligus mengajari Alfian membaca. “Alfian, coba hitung huruf A ada berapa?” “Hmm... enam, Pak.”

Kreasi Penerang Guru Seberang


7 “Coba kamu pisahkan huruf A.Yang hurufnya sama juga dipisahkan ya.” “Oke, Pak.” Berkali-kali aku memang sengaja mempermainkannya untuk membawakan huruf-huruf yang berbeda.Hatiku rasanya senang melihat Alfian bisa membedakan huruf. “Alfian, coba bawakan huruf K?” “Ini, Pak.” “Eh salah, coba yang huruf N.” “Ini, Pak.” Berkali-kali aku terus mempermainkannya seperti itu, ditambah dengan canda tawa kami berdua. Selagi menempelkan tulisan, aku menyuruh Alfian membuatkan sebuah kata. “Alfian, Bapak lagi nempel nih, bisa gak kamu membuat kata MEMBACA?” “Sebentar ya, Pak.” Rupanya tugas tersebut membuatnya kesulitan. Dia tidak tahu menggabungkan beberapa huruf. Aku terus membimbingnya, tetapi tidak seperti mengajarinya. Sambil berpura-pura menempel, aku melirik Alfian. “Huruf pertamanya M, Alfian.” “Oh, M. Sudah aku ambil, Pak.” “Nah, kalau huruf kedua kira-kira apa?” Alfian pun mengambil huruf A dan menyimpannya di samping huruf M. “Kalau huruf A yang disimpan berarti MA.” “Oh, berarti ini MA ya, Pak?” “Iya, sekarang coba kamu pasangkan dengan huruf yang lain.”

Mahir Berbahasa


8 Alfian pun mengambil huruf E dan menyimpannya di samping huruf M. “Aku tahu, Pak, berarti kalau ini dibaca ME ya, Pak?” “Nah, pintar kamu. Coba kalau kata MEM ditambah huruf apa?” Alfian pun membawa huruf M lagi dan menyimpannya di samping huruf E. “M... E... M... MEM. Ini bacanya MEM ya, Pak?” “Iya benar. Sekarang coba kamu buat kata MEMBACA.” Akhirnya Alfian pun membawa satu per satu huruf dan menyusunnya sehingga terbuatlah kata MEMBACA. Aku pun menyuruhnya untuk menempelkan satu per satu kata tersebut ke dalam mading yang sudah kupersiapkan. Alfian terlihat senang ketika aku tugaskan seperti itu. Dia kira aku hanya menyuruh saja, padahal aku mengajarinya membaca dengan cara bermain. Meskipun hanya bisa membaca beberapa kata, setidaknya aku bersyukur Alfian sudah mempunyai keinginan membaca. Alfian hanya satu dari sekian banyak siswa SDN 001 Sei Menggaris yang membutuhkan bimbingan khusus dalam belajar. Apabila hal sederhana tersebut dilakukan rutin kepada Alfian, bukan hal yang mustahil beberapa bulan kemudian Alfian sudah lancar dalam membaca. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


9

Aksara untuk Rafi Restgha Noriega

W

aktu menunjukkan pukul ul 08.00. Upacara bendera di SDN 12 aya, Kalimantan Barat pun selesai. Kuala Mandor, Kubu Raya, Siswa berlarian masuk ke dalam kelas. Di semester II ini irkan sehingga aku diminta meng mengguru kelas 1 sedang cuti melahirkan gantikannya. Jumlah siswa kelas 1 sebanyak 34 anak, salah satunya Rafi. Rafi dikenal sebagai anak paling beda. Kepala sekolah dan guruguru menyebutnya sebagai anak berkebutuhan khusus. Sebabnya adalah cara belajar Rafi berbeda. Tidak mendengarkan guru bahkan tidak menulis, dia hanya sibuk dengan kegiatan sendiri ditambah sering duduk di sudut belakang pula. Tentu saja ciri ini tidak bisa dijadikan indikator untuk mencap Rafi sebagai ABK. Mahir Berbahasa


10 Sambil berbincang dengan warga, aku pun menanyakan tempat tinggal Rafi. Warga bilang, rumahnya sangat jauh, yakni sekitar empat kilometer. Memang, siswa di sekolah penempatanku ini harus berjalan kaki kiloan meter untuk sampai di sekolah. Bahkan, ada yang setelah berjalan kiloan meter mereka harus mengayuh sampan selama setengah hingga satu jam. Selain bertanya soal rumah Rafi, aku pun menanyakan mengenai keluarga Rafi. Rupanya ayah dan ibu Rafi sudah berpisah ketika dia masih balita. Rafi tinggal bersama sang ibu dan kakaknya, Diana, yang sekarang duduk di kelas 5. Ketika ibu dan ayahnya pergi, Diana diasuh oleh sepupu dari keluarga ibunya, sedangkan Rafi dirawat oleh nenek dan kakek dari keluarga jauh ibunya. SEMINGGU KEMUDIAN, AKU MENGAJAK beberapa siswa untuk berkunjung ke rumah nenek Rafi. Sesampainya di rumah Rafi, aku banyak berbincang dengan sang nenek. Pola asuh neneknya bersahaj saja: yang penting Rafi bisa makan, sekolah, dan bermain. Aku meminta izin kepada sang nenek supaya Rafi bisa diperbolehkan pergi ke rumah dinasku dua kali dalam seminggu. Tujuannya agar Rafi mau bergabung dengan siswa yang lain, selain tentunya aku ingin mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung di luar jam sekolah. Kegiatan tersebut tidak hanya untuk Rafi, seluruh siswa setiap sore datang untuk mendapat belajar tambahan disesuaikan dengan jadwal yang ditentukan. Aku meminta Rafi datang lebih awal karena ia yang memang paling sulit menerima pelajaran. AKU MENGAJARI RAFI MEMBACA dengan menggunakan kertas huruf. Kertas huruf sebenarnya jamak digunakan oleh para guru, tinggal pengemasan yang dibuat berbeda, misalnya membentuk kertas dan memilih warna unik atau bisa juga diawali dengan pertanyaan dalam bentuk cerita. Intinya supaya siswa tidak mudah bosan.

Kreasi Penerang Guru Seberang


11 Dua-tiga bulan bahkan semester II pun habis. Aku merasa belum maksimal mengajar Rafi. Jarak rumah yang jauh, ditambah nyaris setiap sore selalu hujan, menjadi kendala. Rapat kenaikan kelas pun tiba. Kepala sekolah membuka rapat. Beberapa saat mengatakan, “Cem mane budak kelas 1 ni? Oh, Rafi, tadak ade ragu lagi bah budak ini, tak bise ape-ape dan pasti dan tak naek kelas,” sambil tertawa. Semua guru sepakat, tanpa ada yang membela satu pun. Tapi aku merasa bersalah bila hanya mengikuti mereka. “Pak, beberapa bulan ini saya sudah mencoba mengajarkan Rafi membaca, menulis, dan berhitung,” kataku memecah tawa. “Memang belum ada peningkatan yang drastis, tetapi untuk berhitung Rafi sudah bisa. Sedangkan membaca, Rafi masih perlu waktu lebih lama untuk membaca. Saya rasa Rafi masih bisa naik kelas dan di kelas 2 nanti saya janji akan membimbingnya lebih giat lagi.” Semua guru hanya diam, tanda tidak sepakat denganku. Kepala sekolah pun tetap tidak meyakini Rafi mampu. Akhirnya aku hanya diam. Tiga hari kemudian pembagian rapor. Pagi itu aku tidak bersemangat karena tidak tega melihat Rafi tinggal kelas. Tiba-tiba Rafi datang mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum. Bu, kami dah gosok gigi dah, pakai sepatu dan baju yang rapi macem Ibu bilang semalam.” Aku pun menjawab salam dan mengiyakan Rafi sambil tersenyum dan memberinya nasihat. “Nak, nanti kita belajar membaca lagi ya.” Rafi mengangguk sambil tersenyum.

Mahir Berbahasa


12 TAHUN AJARAN BARU MULAI. Awalnya jadwalku tetap seperti tahun ajaran sebelumnya. Satu bulan kemudian jadwalku berubah. Entah mengapa aku tidak mendapat jam mengajar dengan alasan sebentar lagi tugas selesai. Padahal, aku masih enam bulan lagi di sini. Karena setiap hari selalu ada guru yang tidak datang, aku tetap mengajar di kelas yang gurunya absen. Aku kembali membuat jadwal istana anak dan pengayaan untuk anak-anak setiap sore. Aku masih ingin membuktikan bahwa Rafi bukan anak yang berkebutuhan khusus. Metode kertas dengan setiap kertas satu huruf memang sudah cukup efektif mengajarkan anak-anak membaca, terutama kelas 1. Sayangnya, metode ini memperlambat anak-anak untuk lebih cepat membaca. Di kelas 1 aku mulai mengajarkan anak-anak membaca per suku kata. Aku tuliskan dan ajarkan cara membacanya. Begitu pun Rafi yang masih kesulitan dalam membaca karena selalu asyik dengan kegiatannya sendiri seperti bermain tempat pensil. Karena siswa kelas 1 banyak dan senang berlarian, berteriak, dan bercanda, satu-satunya metode yang paling tepat agar mereka fokus adalah mengajak semuanya bersuara. Kalau tidak, sudah dipastikan kelas sangat gaduh. Semua siswa diminta bersiap untuk bermain denganku. Syaratnya duduk rapi. “Anak-anak, Ibu nanti akan menyebutkan dua huruf. Kalian yang baca ya? Contohnya begini: BA. Dibacanya apa?” “Baaa...Bok, Baaa….” Beberapa dari siswa menjawab. “Nah, kali ini semua harus menjawab, siapa yang cepat dia yang hebat. Nanti akan dapat ice cream dari Ibu. Mau?” Semua menjawab. “Mauuu...Bookk, horeeee mauuuu….” Begitu pun Rafi. Karena semua temannya berteriak, fokusnya mulai berganti ke arahku. “Oke, sekarang siap ya. Ibu mulai. CA dibaca?” “Caaaaa...” hampir semua berteriak. Kreasi Penerang Guru Seberang


13 “CU dibaca?” “Cuuu….” Tinggal satu-dua anak saja yang belum menjawab. Selalu kuulang pembelajaran seperti ini, dan menjadi pembiasaan pada awal pembelajaran. Rafi yang awalnya hanya diam pun mulai tertarik untuk berlomba membaca cepat. SATU BULAN SUDAH PEMBIASAAN tersebut dilakukan, aku pun pelan-pelan mulai mengajak anak-anak kelas 1 membaca kata. Melihat anak-anak sedang hobi-hobinya bermain tepuk gambar, aku gemas. Betapa tidak, mereka bermain gambar di jam belajar denganku. Dari awal datang sampai pulang sekolah selalu bermain tepuk gambar. Terutama kelas 1, begitu pun Rafi. Tapi, keadaan ini mendatangkan inspirasi tersendiri buatku. Aku memutuskan untuk membuat kartu suku kata. Kartu ini bentuknya persegi panjang, kertas karton yang dipotong dengan panjang kira-kira empat sentimeter dan lebar tiga sentimeter. Kaya yang dipilih hurufnya tidak panjang, cukup empat sampai lima huruf. Lalu aku menuliskan satu kata yang hurufnya ditulis acak. Tujuannya agar anak-anak penasaran dengan kata tersebut sehingga mereka menebak dan menuliskannya dengan benar. Ini bukan hanya membantu mereka belajar membaca, tetapi juga dalam menulis. Cara mainnya adalah setiap anak diberi lima kartu suku kata yang diacak. Jadi, setiap anak mendapat lima kata yang harus mereka susun. Kemudian mereka bermain dengan teman sebangkunya dengan cara ditepuk. Kartu yang terbuka adalah kartu pertama yang harus mereka tebak. Selesai ditebak, mereka harus menuliskan kembali susunan yang tepat di buku tulisnya. Untuk memudahkan mereka menebak, aku memberi tema di setiap permainan—binatang, anggota tubuh, atau kata kerja. Cukup efektif karena tidak ada satu pun siswa yang sibuk dengan kegiatan sendiri. Semua siswa berlomba menebak, menuliskan, dan membacanya kembali dengan tepat. Apalagi bila tebakan, tulisan,

Mahir Berbahasa


14 dan membacanya benar, mereka akan kuhadiahi ice cream. Sekalipun kelas menjadi ramai, cara ini cukup efektif untuk mengalihkan permainan gambar mereka. Pada waktu istirahat pun mereka kembali memainkannya. Awalnya Rafi selalu tidak acuh dan sibuk dengan kegiatannya. Belakangan dia pun amat menikmati permainan tersebut. Lewat permainan kartu, dia mulai senang belajar membaca dan menulis. Bahkan pada Oktober 2015 lalu Rafi sudah bisa membaca dan menulis rapi! Senang rasanya melihat perkembangan Rafi sekarang. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


15

‘Time Sprint’ buat Denis Heriyanto

A

wal Februari 2015 aku u memulai peran sebagai guru di hadapg, Desa Sorongan, Kecamatan Cibaliung, an siswa MI Ciherang, ng, Banten. Aku dipercaya untuk memeKabupaten Pandeglang, ggris dan mengajar enam kelas. Posisiku gang pelajaran bahasa Inggris adalah guru bahasa Inggris yang mengajar dua jam setiap hari. Posisikutersebut sewaktu-waktu bisa saja berubah menjadi guru kelas bahkan kepala sekolah. Betapa tidak, terkadang aku hanya mengajar sendiri dan harus mengontrol sebanyak 128 siswa dalam waktu bersamaan. Bukan sekali dua kali, melainkan sering kali kejadian semacam ini. Terlebih ketika musim hujan tiba karena guru-guru di sekolah penempatanku jarang masuk. Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, di samping juga kondisi jalan yang saMahir Berbahasa


16 ngat parah untuk dilalui kendaraan roda dua. Keadaan ini tetap aku syukuri karena inilah kesempatan bagiku untuk lebih dekat dengan anak-anak sekaligus menggali potensi mereka. Di pertengahan tahun masa pengabdian, tepatnya pada semester I, aku diminta untuk menjadi guru kelas 5. Pasalnya, guru di sekolah penempatanku terus berkurang. Tinggal lima tenaga pengajar yang sebelumnya ada delapan guru. SEMESTER I AKU RESMI mengajar siswa kelas 5. Sebelum duduk di kelas 5, aku sebenarnya sering mengajari mereka ketika duduk di bangku kelas 4. Jadi, aku sedikit tahu tentang mereka. Aku ingat betul betapa mereka masih banyak yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan yang lebih parah adalah masih ada siswa yang belum mengenal huruf! Jangan tanya untuk masalah yang lain jika membaca saja belum tuntas. Ternyata kondisi ini belum berubah. Inilah masalah di hadapanku kini, tidak ada pilihan lain selain aku harus berupaya menyelesaikannya. Berbagai cara sudah dicoba dengan hasil nihil. Aku mulai merasakan makna penting kesabaran bagi seorang guru. Ya, kesabaran untuk bisa mengantarkan siswanya kepada tujuan yang diharapkan. Memasuki hari ketujuh di semester ganjil, aku mencoba satu metode yang berbeda. Menurutku, metode tersebut cukup efektif untuk bisa memacu semangat siswa. Minimal dengan cara baru tersebut siswa punya semangat untuk terus membaca. Lima belas menit sebelum memulai pelajaran, aku meminta siswa mengeluarkan buku paket yang telah dibagikan. Buku tersebut merupakan hasil sumbangan dari para donatur. Buku-buku dipinjamkan kepada siswa selama satu tahun agar bisa dipakai belajar di rumah. Untuk memastikan siswa tetap belajar di rumah, aku bersama pihak sekolah membuat buku penghubung yang selanjutnya dibagikan kepada masing-masing siswa. Setiap hari buku tersebut harus mendapat tanda tangan dari orangtua siswa. Selain pembiasaan 15 menit sebelum memulai jam pelajaran, cara lain yang aku lakukan untuk membangkitkan semangat sisKreasi Penerang Guru Seberang


17 wa adalah dengan metode “Time Sprint”. Cara ini mampu menarik perhatian siswa untuk mencintai buku. walaupun awalnya perlu sedikit pemaksaan. Tidak lama kemudian mereka menjadi terbiasa, dan mencintai kebiasaan tersebut. Metode ini cukup sederhana namun sangat efektif.

Time Sprint adalah salah satu metode baca cepat yang dilakukan dengan menggunakan waktu. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah siswa diberi kesempatan membaca bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuannya. Selama siswa tersebut membaca, waktu terus berjalan hingga selesai. Dengan metode ini aku bisa menentukan siap siswa yang sudah cukup lancar, masih terbata-bata, ataupun yang belum bisa membaca sama sekali. Setiap siswa diberikan catatan waktu, mulai dari yang membacanya paling cepat hingga yang belum bisa membaca sama sekali. Cara ini ternyata sangat disenangi oleh siswaku. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan waktu tercepat. Dengan demikian, di rumah mereka terus mengasah kemampuan membaca. Catatan waktu tersebut aku jadikan sebagai modal untuk mengetahui perkembangan siswa setiap hari. Sebelum memulai jam belajar, aku mulai menyimak mereka untuk membaca satu per satu lalu membandingkan catatan waktu hari itu dengan hari sebelumnya. Cara ini sangat cocok untuk membangkitkan motivasi siswa. Semangat kompetisi mereka yang tinggi kumanfaatkan untuk mengarahkan kepada hal positif. Hasilnya cukup menggembirakan bahkan terkadang mengharukan. HARI ITU KAMI BELAJAR IPA. Satu per satu aku memerhatikan siswa sambil memberikan instruksi. “Silakan buka halaman 27,” perintahku. Tak lama kemudian mereka mulai membuka halaman dimaksud lalu mulai membaca. Sementara siswa yang lain membaca, aku meminta Denis maju ke depan kelas membacakan halaman 27. “Pak, abdi teu bisa baca,” katanya. Mahir Berbahasa


18 “Dicoba heula, Denis,” pintaku. “Iya, Pak,” jawabnya dengan mimik ragu. “Oke, ayo mulai.” Denis mulai membaca perlahan-lahan, dengan ujung telunjuk mengarah ke huruf yang dibaca. Aku mulai menekan stopwatch dari detik 0. “Aem, a, ka, aeh,el, u, ak...makhluk….” Begitulah cara Denis mengeja huruf satu per satu. Setelah mengeja, baru disambung. Setelah beberapa detik, baru dia dapati satu kata. Begitu seterusnya. Dia berhasil menyelesaikan satu paragraf dengan durasi waktu lima menit lebih. Prestasi yang luar bisa bagi Denis karena aku yakin di rumah belum tentu bukunya dibuka. Sambil menyimak dia membaca, tak terasa siswa yang lain sudah selesai membaca beberapa lembar. Setelah berhasil menyelesaikan satu paragraf, aku mengajak siswa memberikan tepuk keren. “Ayo, kita berikan tepuk keren buat Denis. Tepuk keren…” kataku mengomandoi. Setelah memberikan tepuk keren, ruang kelas menjadi gaduh. Ternyata siswa mengetahui bahwa aku menggunakan stopwatch saat mengetes Denis membaca. “Saya lagi, Pak! Saya lagi, Pak!” ucap beberapa siswa sambil mendatangi mejaku. Aku berusaha membuat suasana menjadi tenang. “Baik, nanti Bapak akan panggil satu per satu ya. Sekarang kalian duduk dulu di bangku masing-masing.” Setelah itu aku mulai menjelaskan kepada siswa. “Kali ini Pak Guru akan tes teman kalian yang belum bisa membaca dulu ya. Nanti akan ada saatnya Pak Guru mengetes kalian semua.”

Kreasi Penerang Guru Seberang


19 Sebagian siswa menerima penjelasanku. Aku kemudian melanjutkan dengan memanggil siswa lain yang tergolong belum bisa membaca. Di kelas 5 ini ada sekitar 4-5 anak yang belum bisa membaca, salah satunya adalah Denis. Sepulang sekolah aku memberikan tantangan kepada semua siswa kelas 5, baik yang belum bisa membaca maupun yang sudah bisa membaca. “Pak Guru punya tantangan buat kalian.” “Naon tantangan na, Pak?” celetuk seorang siswa. “Saha anu bisa habiskeun satu judul buku, anu tebal na kurang lebih 100 halaman, beunang hadiah ti Pak Guru,” tantangku. “Horeee…. abdi mau, abdi mau, Pak.” “Yang mau terima tantangan, ikut Pak Guru ke rumah setelah pulang sekolah.” SETELAH PULANG SEKOLAH MEREKA berbondong-bondong datang ke rumah untuk mengambil beberapa buku cerita yang sudah kusiapkan. Kegiatan ini aku lakukan untuk memberikan tanggung jawab kepada mereka, menambah motivasi belajar mereka di rumah, terutama bagi siswa yang belum bisa membaca. Setiap hari aku selalu mengecek perkembangan siswa, sudah sejauh mana perkembangannya. Buku penghubung antara guru dan orangtua yang dibagikan kepada siswa sangat membantu. Satu minggu berikutnya aku kembali mencoba Denis. Ternyata sudah terlihat ada perubahan. Cara membacanya sedikit berubah. Perubahan ini menyalakan harapanku lagi bahwa dia pasti bisa membaca. Maka, di samping menerapkan Time Sprint, setelah jam istirahat aku melakukan pendampingan dan bimbingan membaca bagi Denis. Aku tepikan kesalku padanya yang kerap berulah sehingga teman-temannya di kelas merasa terganggu. Denis bukan tidak mengenal huruf sama sekali. Kesulitan dia adalah belum bisa menyambungkan huruf-huruf menjadi sebuah

Mahir Berbahasa


20 kata yang memiliki makna. Semakin hari semakin jelas masalah padanya sehingga aku coba membuat beberapa potongan kertas origami berwarna. Setiap potongan kertas tersebut ditulisi satu huruf yang ketika disusun secara benar akan menjadi sebuah kalimat. Dari kalimat “Aku Pasti Bisa Membaca”, ada 19 potongan kertas yang kusodorkan ke Denis. “Denis, potongan kertas ini coba disusun menjadi kalimat ‘Aku Pasti Bisa Membaca’. Paham?” Dia pun menyusun huruf-huruf itu hingga membentuk kalimat yang kumaksudkan. Selanjunya aku mencoba membuat susunan kalimat yang berbeda dan lebih panjang. Ternyata tantangan tersebut mampu dipecahkannya juga. Lama bermain dengan potongan kertas yang aku beri nama “Paper Smart” tersebut, Denis kuizinkan untuk istirahat. “Belajar terus, Nak, insya Allah kamu pasti bisa,” kataku menyemangati. “Iya, Pak,” jawabnya sambil berlalu di hadapanku. ENAM HARI AKU BERAKTIVITAS di luar sekolah. Untuk sementara waktu kelas pun harus dipegang guru lain. Sepekan kemudian barulah aku bisa bertemu dengan siswa-siswaku di kelas 5. Kemampuan membaca siswa selama aku tinggal tentu saja yang paling mengusik penasaranku. Aku panggil Ciah ke depan untuk membacakan teks yang kupilihkan. Hasilnya mengejutkan, dia tidak lagi terbata-bata. “Ciah di rumah sering belajar ya?” tanyaku. “Muhun, Pak, sering,” jawabnya. “Di rumah siapa yang ajarin, Nak?” tanyaku lagi. “Ibu,” katanya. Setelah Ciah, aku memanggil Denis. Ia maju dengan sedikit malu-malu.

Kreasi Penerang Guru Seberang


21 “Ayo, baca yang ini...� kataku. Denis mulai mengangkat bibirnya dan mengeluarkan suara. Sungguh, di luar dugaanku, Denis sudah mulai bisa! Memang masih terbatah-bata, tapi sekarang dia sudah tidak lagi mengeja. Dia membaca per kata. Ini terbilang kemajuan yang sangat membanggakan. Aku terharu melihat perkembangan Denis. Demikian juga dengan capaian Ciah, Rodi, dan Sarti, yang tidak lagi terbata-bata. []

Mahir Berbahasa


22 22

Cara Belajar Membaca Aktif Fitri Setyo Ningrum

H

iruk-pikuk keramaian kota menjadi tempatku bersandar selama satu tahun masa pengabdian di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Layaknya sebuah kota, tempat ini terbilang sudah nyaman; sinyal aman, transportasi lancar, dan kebutuhan sehari-hari pun terjangkau. Memang dalam segi hidup terbilang baik, namun dalam urusan pendidikan tak jauh berbeda dengan daerah penempatan teman-temanku di pedalaman. “Bu Riri, ngaru eneng tulung sia ajar tode anu nopoka to maca ning kelas sai dua telu!� pinta salah satu guru kelas 1 yang mulai lelah terhadap kelakuan anak-anak yang belum bisa membaca. Saat itu kantor mulai panas dengan berita masih banyaknya anak yang belum lancar membaca. Aku agak kaget sebab di daerah perkotaan masih saja terdapat anak yang belum bisa membaca.

Kreasi Penerang Guru Seberang


23 “Ibu, memang benar banyak anak di sekolah ini yang tidak bisa membaca?” tanyaku pada guru lain untuk memastikan. “Memang benar, Bu, bahkan di kelas 5 pun masih ada anak yang belum lancar membaca dan menulis,” jawabnya. Mendengar cerita tersebut, aku semakin paham bahwa dunia pendidikan tidak mengenal tempat, daerah, dan kelas. Sembari menunggu waktu istirahat, aku mulai mencari tahu siapa saja anakanak di MI NW Temempang, Taliwang, Sumbawa Barat yang perlu mendapatkan bimbingan membaca. Disebutlah beberapa nama di kelas 1, 2, dan 3. “Teeeet... Teeeet... Teeeeeeet!” Dering bel istirahat pun berbunyi, menandakan waktu istirahat pertama dimulai. Bergegas aku melewati hamparan lapangan menuju ke ruangan kelas. “Assalamu’alaikum, halo semuanya?” sapaku di kelas 3. “Hari ini Ibu mau bertemu dengan teman kalian, ada enggak yang namanya Fatimah, Halil, dan Alfariza?” “Paaat...” teriak semua anak-anak kelas 3 memanggil Fatimah. “Fatimah, mau enggak kalao nanti sore Fatimah, Halil, sama Alfariza main ke rumah Ibu? Itu dia rumah Ibu kelihatan dari sini,” sambil kutunjuk sebuah ruang kecil di sudut sekolah. Dengan malu-malu, Fatimah mengiyakan permintaanku. Tak sabar rasanya ingin cepat mengakhiri kegiatan sekolah hari itu untuk mengenal anak-anak kelas 3 bermain di rumah dinasku. Berharap aku dapat mengetahui rumah dan latar belakang mereka. SORE ITU AKU MERASA sedikit sedih sebab hujan membasahi tanah Temempang. Kemungkinan kecil mereka datang untuk menghampiri rumah dinasku. Tapi, tak disangka-sangka, dari kejauhan aku mendengar suara teriakan yang memanggil namaku. Wajah sedih kini kuubah menjadi senyuman lebar. Mahir Berbahasa


24 “Assalamu’alaikum, semuanya? Ayo masuk ke dalam, pasti kalian kedinginan kan?” tawarku sembari mengakrabkan diri. “Pat, di mana teman-teman yang lain? Terus siapa saja namanama kamu ini?” Penempatanku yang menginjak tiga bulan awal membuatku harus banyak menghafal dan mengenal nama anak-anak di sekolah. Dikenalkanlah aku dengan dua teman Pat yang datang bersamanya. Namanya Riyanti kelas 3, dan Reza kelas 1. Mereka datang bersama karena menemani Pat, sekaligus ingin ikut belajar bersama. “Oke, sekarang Ibu mau tanya, siapa yang belum lancar membaca?” Dua di antara mereka mengangkat tangan. “Reza sama Pat? Mau belajar sama Ibu membaca? Mereka pun menganggukkan kepala. Mulanya aku ingin tahu kemampuan baca mereka. Mulailah aku tes dengan meminta mereka membaca cerita. Tapi, tak ada satu pun yang bisa membacanya. Lalu kuminta mereka menuliskan salah satu huruf secara acak. Dengan ragu-ragu mereka menulisnya di kertas kosong yang aku letakkan di dekat mereka. Lagi-lagi tak ada satu pun yang bisa menuliskan dengan benar. Perjuanganku belum berakhir, langsung kubuat kartu pintar bertuliskan masingmasing abjad. “Nah, sekarang kita bermain ya. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan Ibu, lalu tunjuk hurufnya.” Kujajar secara acak abjad A hingga Z di hadapan mereka. Kartu ini terbuat dari kardus bekas yang dipotong kecil-kecil berukuran 5×5 sentimeter. Sebelum memulai, terlebih dahulu aku menjelaskan aturan permainan kartu. “Siapa yang bisa mengumpulkan huruf sebanyak-banyaknya, dia adalah pemenangnya.” Permainan pun dimulai, dengan semangat mereka mempersiapkan jari telunjuk di atas kepala.

Kreasi Penerang Guru Seberang


25 “Sekarang Ibu minta tunjuk huruf R.” “Iniiii, Ibu…” teriak Pat dengan wajah yakin. “Ya betul.” Tak terasa permainan ini sudah kami habiskan selama satu jam. Langit mendung kini mulai berubah menjadi gelap. “Ibu, maras main ini, besok kita main lagi ya!” sahut mereka berdua. Dengan senang hati aku pun menjawab dengan senyuman terbaik. Langkah awal untuk membuat mereka senang sudah berada di tangan. Teringat semasa perkuliahan SGI di Bogor, kami diajarkan asas Quantum Teaching, yaitu “Bawa dunia anak ke dalam dunia kita, antarkan dunia kita ke dalam dunia mereka.” Sejatinya, dunia anak adalah dunia bermain, tak perlu dikekang, ikuti permainan mereka, dan masuki dunia mereka. SUDAH SATU BULAN KAMI melakukan bimbingan menggunakan kartu pintar sebagai media belajar anak membaca. Mula-mula memperkenalkan masing-masing huruf. Mengamati huruf mana yang disukai anak-anak. Berikutnya mengajak mereka menyusun huruf menjadi sebuah kalimat. Memang, untuk langkah terakhir ini masih banyak anak yang belum paham, terutama susunan kata pada huruf mati. Di sisi lain, guru perlu mengantisipasi kemungkinan anakanak mengalami kejenuhan akibat kegiatan yang tampak monoton. Untuk itulah pentingnya inovasi, misalnya membuat kartu bergambar. Kartu bergambar ini berupa kartu berisikan gambar dan nama dari gambar tersebut. Ukuran kartu dapat dibuat dengan ukuran 10×10 sentimeter dengan menggunakan kardus bekas dan ditempelkan gambar benda. Kelompokkan kartu bergambar menjadi tiga, misalnya nama buah, hewan, dan anggota keluarga, atau apa saja yang mudah dimengerti siswa. Masing-masing kelompok kartu ini dibuat menjadi lima sehingga total tiga kelompok kartu berjumlah 15. Mahir Berbahasa


26

Kartu bergambar tersebut digunakan dengan cara sebagai berikut: 1. Bimbing anak dalam sehari maksimal 15 kali pengulangan untuk membaca satu set kartu bergambar. 2. Amati, dari lima kartu bergambar pada set satu tersebut, mana gambar yang anak sukai, mulailah melakukan pengulangan pada kartu bergambar tersebut. 3. Ajak anak untuk mengenal kata-kata pada kartu bergambar tersebut, sertakan dengan cara membaca untuk huruf mati. 4. Lakukan hal yang sama pada hari kedua dengan menggunakan kartu bergambar pada set kedua. 5. Lakukanlah hal yang sama pada nomor 2 dan 3. 6. Pada hari ketiga, bimbinglah anak membaca untuk set kartu bergambar ketiga. 7. Lakukan hal yang sama pada nomor 2 dan 3. 8. Hari keempat, bimbinglah anak untuk membaca semua set, dari set satu, set dua, dan set tiga. 9. Lakukan hal yang sama maksimal 45 kali dalam sehari. 10. Hari berikutnya, bimbinglah anak hingga anak mampu menguasai huruf apa saja yang terkandung dalam kartu bergambar tersebut. 11. Setelah anak mampu menguasai, berikan contoh lain penggunaan huruf mati yang sama pada kartu bergambar. 12. Lanjutkan pada langkah yang paling tinggi, yakni ajak anak untuk menulis kalimat singkat dengan bimbingan guru. Kartu bergambar ini sangat cocok sekali bagi siswa sekolah dasar. Sebab, cara berpikir mereka masihlah sangat konkret. Mereka membutuhkan hal yang nyata. Sama halnya dengan penggunaan

Kreasi Penerang Guru Seberang


27 kata mati. Alangkah baiknya jika siswa diberikan contoh kalimatnya secara langsung. KINI SUDAH TIGA BULAN lamanya Eja (sapaan akrab Reza) dan Pat bersama-sama belajar membaca. Tak terasa yang dahulu mereka berdua tak mengenal huruf, kini mereka mampu membaca. Sejatinya setiap anak memiliki kemampuan yang sama. Tidak ada anak yang bodoh, tidak ada anak yang tidak pintar. Semua anak dilahirkan hebat atas izin Yang Mahakuasa. Hanya saja, bagaimana kita dapat memahami anak dan mampu masuk ke dalam dunia mereka untuk membagikan ilmu yang kita miliki. []

Mahir Berbahasa


28 28

Buku Harian Siswa Suko Sri Anggono

K

opi di hadapanku bersisa separuh cawan. Tinggal bertiga di ruangan guruSDN 18 Batu Ampar, Tanjung Harapan, Kubu Raya, Kalimantan Barat ini karena rekan pengajar yang lain sudah beranjak ke kelas masing-masing. Aku melihat jam, sudah pukul 09.30,saatnya masuk kelas. Sebelum seruputan terakhir kopi dan kembali ke kelas, aku sempatkan menyapa Pak Hanafi. “Macam mana rasanya ngajarr kelas 4, Pak?” tanyaku. “Alhamdulillah, Pak, agak sakit mang. Hmm… sakiiit, mbace pun tak bise. Bace buku bise, tapi bace tulisan sorang bah, tadak bise,” jelas Pak Hanafi. “Wah, macam mana itu, Pak?” “Betul, Pak, dikasih soal, pandai budak-budak itu jawab, tapi begitu disuruh nulis, tak bise. Salah teros jawabnye.”

Kreasi Penerang Guru Seberang


29 “Macem mane itu, Pak, kalau nak kelas 5 belum pandai bace?” “Itulah, Pak, sakitnya, siang ini nak saya cek matematikanya, jangan sampe sama tak pandai gak.” Jawab Pak Hanafi sembari mengambil kapur di meja dan beranjak menuju kelas 4, tempatnya mengajar. Kelas yang sewajarnya telah lancar membaca, masih banyak yang tersendat malah beberapa masih mengeja. Aku khawatir, selama ini anak-anakku memiliki kesulitan yang sama dengan yang dialami kelas Pak Hanafi. “Kelas 5 masuuuuuk… kelas 5 masuuuuk…!” seru Kamal berulang-ulang. Ada lonceng di sekolah, tapi tidak pernah digunakan. Melihat debu yang telah membungkus lonceng sekolah, mungkin sudah hitungan tahun lonceng itu bersemayam di sudut sekolah. Menjadi barang yang tak terjamah. Walau tanpa lonceng, anak-anak sudah hafal kapan pelajaran dimulai. Guru mendekati ruang kelas artinya waktunya masuk. Tak perlu ditelusuri kapan itu diartikan. Faktanya, ketika aku mendekat ruang kelas 5, Kamal segera menyeru yang lain untuk masuk. Inilah lonceng dalam arti sesungguhnya. Dan tak perlu menunggu lama untuk anak-anak berkumpul. Berhambur mereka mendahuluiku masuk. Kupasang wajah serius di hadapan mereka. Wajah yang segera mengundang tanya. “Ada ape, Pak?” tanya Devi. Aku tak menjawab. Ruangan ini tidak perlu banyak gerak, cukup dengan suara biasa saja akan menjangkau seisi kelas. Kelasnya sempit dimuati tujuh meja, susah berjalan di antaranya. “Pak Guru nak tanya ni.” “Tanya ape?” sahut salah satu murid. “Siapa yang belum pandai bace?” “Saya pandai, Pak, pandai...” jawab anak-anak sahut menyahut. Mahir Berbahasa


30 “Nah, tepuk satu!” “Prok….” “Tadi yang Pak Guru tanya apa?” “Yang belum pandai bace, Pak,” jawab Ivan. “Siapa yang jawab?” Tidak ada yang menyahut lagi. “Dengar lok, besok bawa buku satu ja, buat Pak Guru.Paham?” “Paham, Pak!” serentak mereka menjawab. Pesan itu aku ulang lagi ketika hendak pulang, sekadar memastikan mereka akan membawa buku. Sebab, sering kali yang diberi pesan membawa buku malah lupa, demikian pula yang tidak masuk. Tadi ketika menulis, mereka seperti mampu membaca dengan baik. KUPANDANGI PUNGGUNG MEREKA MENJAUHI sekolah. Hari itu kelasku tidak juga penuh, tidak pernah penuh malah. Selalu ada saja yang tidak masuk. Ada dua yang tidak hadir hari dari jumlah 14 siswa yang terdaftar. Musim hasil laut kadang menjadi alasan bagi anak-anak untuk tidak masuk sekolah, membantu orangtua. Mau bagaimana lagi, sekolah tidak bisa memaksakan anak untuk terus sekolah, sementara orangtua juga perlu bantuan anaknya ketika hasil laut melimpah—setidak-tidaknya menjaga adik yang ditinggal melaut oleh bapaknya, dan ditinggal ke ladang oleh ibunya. Pagi hari, begitu masuk dalam kelas selesai berdoa, langsung kutagih mereka. “Hayok keluarkan buku yang Pak Guru pesan.” Serentak semua anak mengeluarkan buku. Alhamdulillah, jumlah yang masuk sama dengan kemarin, hanya berkurang satu. Tinggal sebelas anak muridku. “Buat ape ni, Pak?” kali ini Maya yang bertanya.

Kreasi Penerang Guru Seberang


31 “Buat Pak Gurulah. Nah, sekarang tulis kegiatan kalian semalam.” “Macem mana, Pak?” kembali Maya mengeluh. “Heeeeh... kalian tuh apa dibuat semalam? Nah, itu ditulis di buku tuh.” “Oooo... lok gitu nyaman, coba Bapak kabarkan dari semalam,” Kamal mulai mengolok. “Hmm... coba Pak Suko nak lihat siape selese dolok ni?” Kutuliskan tanggal dan hari kemarin di papan tulis yang mesti mereka tuliskan. Anak-anak akan membuat diari mereka sendiri, belajar beberapa hal sekaligus, yaitu belajar menulis kegiatan mereka, yang itu artinya mereka akan membaca tulisan mereka sendiri berulang kali. Tapi, aku sadar ini juga yang pertama, tidak mudah bagi anakanak kelasku menuliskan walau itu kegiatan sendiri. Beberapa anak menutup bukunya ketika aku menengok tulisannya. “Bapak ni, belum selesai, Pak.” “Iyelah.” Beberapa malah belum menuliskan apa pun. “Nape Gung?” “Bingung, Pak e nak nulis apa.” “Semalam apa yang Agung buat?” “Main guli sama mancing, Pak.” “Nah, itu bisa, tulislah, Gung.” Kembali mereka asyik dengan tulisan masing-masing. Aku hanya mengamati. Dan di awal pembelajaran ini, kukumpulkan buku mereka. Aku dapati corat-coret di sana-sini. Punya Noni jumlah coretannya malah lebih banyak dibanding jumlah tulisannya. Dari sebelas buku,

Mahir Berbahasa


32 lima buku kesulitan kubaca. Dari kelima itu, Agung yang mendapat perhatianku. Aku tidak bisa membaca tulisannya sama sekali. Pagi berikutnya aku bagikan buku harian itu dan meminta mereka menuliskan lagi kegiatan kemarin. “Maaak... Pak Guru ni, letih kame nulisnye!” seru Maya. “Belum gak nulisdah bilang letih,” sergahku sambil tersenyum. Mau tak mau semua siswa menunduk dengan buku masingmasing di hadapannya. Kali ini berkurang lagi siswaku satu orang. Agung jadi prioritas dalam penulisan. Agung menuliskan huruf a seperti huruf d, huruf s seperti huruf z. Dan huruf e menjadi huruf p. “Gung, usah buru-buru selesai, coba tulis huruf a dan s macam ini,” aku coretkan di bukunya, dan Agung hanya mengangguk. Berulang kali aku cek, dan memang Agung mulai perlahan menulisnya. Jika lupa aku kembali tunjukkan lambang huruf yang aku coretkan di bukunya. “Yang sudah selesai maju ke depan untuk bacakan kegiatannya,” pintaku. Sulit meminta mereka untuk setiap hari menuliskan kegiatannya. Lebih sulit lagi meminta mereka untuk maju. Saat tiba giliran Agung, dia masih mengeja tulisan sendiri dan malah tidak bisa membaca beberapa bagian tulisannya. Untuk menutupi kesalahan dalam membaca, sengaja Agung menyamarkan suara. “Kuat sikit, Gung,” perintahku. Jika Agung berhenti membaca, karena memang tulisannya sendiri susah dibaca, maka aku memintanya untuk mengeja huruf. Mengetahui harus maju ke depan untuk membacakan kegiatannya, anak-anak tidak sempat mengolok Agung. Masing-masing mengoreksi tulisan sendiri, takut-takut kalau tidak terbaca ketika maju.

Kreasi Penerang Guru Seberang


33 INI HANYA PERMULAAN DAN sejak itu setiap pagi anak-anak kelas 5 mulai terbiasa menulis. Alokasi waktu setengah jam di awal pelajaran digunakan untuk menulis diari. Satu hari satu lembar. “Tambah lembar sebaliknya boleh, Pak?” “Katanya letih lok nulis, Maya?” “Tadak gak, Pak, nyaman dah.” Anak-anak mulai terbiasa dengan menulis, kosakata dalam diari pun mulai bertambah. Agung malah sudah memasukkan percakapan sederhana dalam buku diarinya. Dan banyak anak menulis lebih dari ketentuan minimal, yakni selembar. Di bulan ketiga dari program ini, tanpa dikomando pun mereka akan menanyakan jika tidak disuruh mengisi buku diari. Aku mulai memberikan koreksi cerita pada mereka di ruang guru saat jam istirahat. Mereka senang ceritanya aku baca, tidak hanya ditumpuk begitu saja. “Tugas ape itu, Pak? Tiap hari kok bawa buku banyak?” tanya Pak Hanafi suatu hari mendapatiku berkutat dengan buku. “Tadak, Pak, cuma bace buku anak-anak ja.” Pak Hanafi menghampiri dan turut membaca buku diari anakanak. Aku sungkan menegurnya, maka kubiarkan beliau turut melihat-lihat tulisan anak-anak. “Cantik gak tulisan budak-budak ni?” tanyanya meyakinkan. “Iye, Pak, ini buku harian mereka, tiap hari mereka latihan menulis sendiri, Pak, inilah die hasilnya.” “Macem mana lok kita tukeran kelas, Pak? Saye ngajar kelas 5 ja.” “Hmm… Pak Nafi ni, nyaman ya?” kataku mencandainya. Serentak kami tertawa bersama, aku tahu Pak Hanafi hanya bergurau.

Mahir Berbahasa


34 “Coba diminta nulis diari juga, Pak. Barang kali akan cantik gak tulisan budak-budak tu. Coba tengok, Agung jak mulai rapi tulisannya ni, tapi ya itu musti sabar.� Pak Hanafi mengangguk-angguk. Beliau guru terlama yang mengajar di sekolah ini. Tentu Pak Hanafi punya trik sendiri menghadapi murid-muridnya. Khawatir menyinggung pengalaman beliau yang sudah puluhan tahun mengajar, pandanganku beralih membaca baris demi baris tulisan siswa. Sembari menunggu respons beliau yang turut membaca buku anak-anak, terasa jantungku berdebar, makin cemas jika menyinggung perasaan beliau. “Boleh, coba besok saya minta anak-anak nulis gak, macem mana nanti hasilnya tu.� Alhamdulillah, kataku dalam hati. Aku menghela napas dalamdalam. Tak sanggup berkata apa-apa, hanya tersenyum. Semoga berhasil juga program menulis diari di kelas beliau. Jika kelas 5 yang awalnya susah menulis kini berubah menjadi ketagihan menulis, semoga demikian juga dengan kelas 4. Aku tahu ini semua butuh waktu, tapi setidaknya kami telah berusaha. Untuk menjadikan anak didik tercinta lebih baik dari waktu ke waktu. Tidak berdiam diri menerima keadaan lingkungan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


35 5

Aku, dan Lingkaran Deskripsi Novi Aulia Hikmawati

A

wall 2015, 2015 dengan d niat i td dan ttekad k d untuk t k mengabdikan bdik di dirii d dalam dunia pendidikan, akhirnya kakiku menginjak Pulau Binongko. Pulau Binongko merupakan salah satu pulau yang erada di ujung Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Kabupaberada n Wakatobi terdiri dari gugusan pulau kecil ten kecil, yaitu Wanci Wanci, Kaedu Kaedupa, Tomia, dan Binongko. Sebanyak 80% daerah Wakatobi berupa lautan; sisanya daratan. Segitiga Karang Dunia, sebutan bagi pesona indahnya Laut Wakatobi. Di dasar laut Wakatobi banyak gugusan terumbu karang yang terdiri dari jutaan jenis. Pesona lautnya memang tak bisa dimungkiri, namun ada yang lebih indah dari itu, yaitu anak-anak Wakatobi.

Mahir Berbahasa


36 Jika Laut Wakatobi dipenuhi dengan keindahan terumbu karang yang mencapai berjuta jenis spesies, maka anak-anak Wakatobi bak terumbu karang pula yang memiliki berbagai macam kecerdasan. Jika di dasar Laut Wakatobi tersimpan kekayaan berharga berupa mutiara, maka anak-anak Wakatobi bak kilauan mutiara di daratan. Kekayaan yang dimiliki Wakatobi sesungguhnya adalah anak-anak. Anak-anak Wakatobi lebih berharga dari kilauan mutiara di dasar laut. Mutiara di pulau yang sering terlupakan, mutiara sesungguhnya berupa anak-anak Wakatobi. Senyum pagi khas anak pulau selalu menghiasi hari-hariku. Senyum mereka membuatku bergairah untuk mengajar. Menjadi wali kelas 3 di SDN 01 Bante bersama 10 mutiara Binongko menjadi awal pengabdianku. Sepuluh mutiara yang selalu berkilau senyum, ceria, dan riang perangai. Bersama mereka inilah hari-hariku di pulau terpencil selalu indah. Berbagai keterbatasan di pulau terpencil seolah sirna dengan senyum semangat mereka yang selalu menghiasi hariku. SETELAH MEMBACA DOA BERSAMA dan dibuka dengan salam, pembelajaran di dalam kelas mungil siap kami mulai. Tatapan mereka setiap hari selalu mengisyaratkan padaku, seolah-olah pada sorot matanya selalu bertanya padaku, “Ibu Guru, hari ini kita akan belajar apa�, “Ibu Guru, hari ini kita akan membuat apa�. Hari itu kami belajar bahasa Indonesia, pelajaran yang cukup memiliki tantangan dalam menyampaikan ke siswa. Sebab, banyak kosakata bahasa Indonesia yang tidak mereka ketahui. Anak-anak di sini jarang sekali yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari mereka terbiasa menggunakan bahasa Binongko. Bahasa Indonesia yang mereka gunakan malah lebih mengarah pada bahasa televisi. Ya, mereka mengenal dan mengetahui bahasa Indonesia dari televisi. Sayangnya, penggunaan bahasa Indonesia di televisi banyak yang tidak baik dan benar. Bahasa yang digunakan dalam bahasa televisi dikenal dengan bahasa gaul, trendi, atau alay. Alhasil, bahasa Indonesia anak Binongko pun setali dengan di televisi. Kreasi Penerang Guru Seberang


37 Misalnya dalam penggunaan kata subjek, di Binongko kata subjek “kita” diartikan “saya” (sebagai subjek tunggal). Padahal, seharusnya “kita” adalah jamak (saya dan kamu). Contoh lainya kata subjek “kalian” yang diartikan “dia”. Semestinya makna “kalian” adalah subjek untuk dua orang atau lebih. Ini baru contoh kecil. Ringkasnya, perbedaan makna bahasa awalnya membuatku cukup kesulitan berinteraksi dengan masyarakat dan anak-anak. Namun, lambat laun aku mulai memahami penggunaan bahasa Indonesia di Binongko yang memang sedikit berbeda dengan makna bahasa Indonesia di tempat lain. “Baiklah, anak-anak, hari ini kita akan belajar bahasa Indonesia, siapa yang suka dengan pelajaran bahasa Indonesia?” tanyaku. “Iyaku, Ibu Guru,” jawab mereka. “Wah, coba jawab sekali lagi dengan bahasa Indonesia ya, Nak,” pintaku kembali. “Siapa yang suka pelajaran bahasa Indonesia?” “Saya, Ibu Guru!” jawab sepuluh mutiara kelas 3 yang suaranya memekikkan lautan. “Kali ini kita akan belajar bahasa Indonesia mengenai deskripsi benda,” jelasku. “Haira gara deskripsi iso, Ibu Guru?” tanya Marlena dengan wajah penuh tanya. “Hmm... kan Ibu Guru tadi sudah bilang. Ayo gunakan bahasa Indonesia di dalam kelas,” jawabku. “Iya, Ibu Guru...” jawab Marlena. Sejenak kupandangi wajah Marlena. “Maaf ya, Ibu Guru, iyaku mbeaho biasano bahasa Indonesia,” kata Marlena. Ia meminta maaf lantaran tidak terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.

Mahir Berbahasa


38 “Iya tidak apa, Nak,” balasku. “Mari kita biasakan berbahasa Indonesia sedikit demi sedikit. Salah tidak apa, kan kita sekarang sedang belajar.” Karena di dalam kelas anak-anak acap menggunakan bahasa Binongko, aku teringat permainan yang mereka mainkan saat sore hari. Permainan sembunyi batu yang dimainkan dengan cara sekelompok anak bernyanyi bersama-sama, dan satu orang menjadi penjaga. Si penjaga ini harus mencari batu yang disembunyikan oleh teman-temannya usai nyanyian berakhir. “Tae-tae timara, dua mi ganto, ganto simata-mata. Mata Tolure, mambari mi ganda, ganda tomia. Laiye.. e laiya... e laiye... e laiye... e laiye....” Permainan ini tak begitu asing bagiku karena pada masa kecil aku pun pernah melakukannya. Hanya berbeda lagunya karena yang dinyanyikan berupa lagu Jawa: “Cublak-cublak Suweng.” Sering mendapati anak-anak memainkan permainan ini, kuputuskan untuk memakai Tae-tae Timara dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai deskripsi. Anak-anak kuajak membentuk lingkaran di depan kelas dan bergandengan tangan. Mereka menyanyikan lagu Tae-tae Timara secara bersama-sama dengan tepukan berantai. Anak yang kedapatan pada tepukan di akhir lagu harus ke tengah lingkaran dan mendeskripsikan suatu benda. Anak lainnya menebak benda yang dideskripsikan itu. Kami pun bernyanyi Tae-tae Timara bersama-sama dengan iringan tepukan berantai dalam sebuah lingkaran. Dan untuk pertama kalinya tepukan itu berakhir di Ezhar. Ezhar pun menuju ke tengah lingkaran dan mulai mendeskripsikan salah satu benda yang ia ketahui. “Teman-teman siap ya, coba tebak.Bentuknya bulat, berawarna merah, panas, jika sore hari kita sering melihatnya di ujung laut,” ucap Ezhar sambil memperagakan dengan tubuhnya.

Kreasi Penerang Guru Seberang


39 Teman-temannya menjawab cepat, “Matahari.” “Benarkah, Ezhar, yang engkau maksudkan matahari?” “Iya, Ibu Guru,” jawab Ezhar. Permainan kami lanjutkan kembali. Dalam lingkaran, kami menyanyikan lagu Tae-tae Timara kembali, dan kini tepuk berantai berakhir pada Manto, ketua kelas 3. Manto pun ke tengah lingkaran, lalu mendeskripsikan suatu benda. “Ayo coba tebak, bentuknya bulat, besar, sebesar kepala kita, kulitnya berwarna hijau, isi di dalamnya merah, ada bijinya berwarna hitam kecil-kecil,” ucap Manto dengan penuh semangat. Teman-teman Manto mulai berpikir. Ada yang menjawab kelapa, ada yang menjawab mangga. “Semangka, Manto!” teriak Tina, salah satu siswa perempuan yang suaranya lantang. “Sudah benar, Ibu Guru, dijawab Tina,” Manto berkata padaku. Mantokembali ke lingkaran dan kami melanjutkan permainan. Kali ini tepukan terakhir mendarat di tanganku. Giliranku mendeskripsikan benda, aku berdiri ke tengah lingkaran. “Ayo, coba tebak ya...” pintaku. “Bentuknya kecil, berwarna merah, berbintik-bintik, rasanya asam, sering digunakan untuk perasa makanan, hidup dan tumbuh subur di daerah dingin,” aku mendiskripsikan dengan semangat dan dengan berbagai gaya tubuh. Namun, mereka semua hanya menatapku tajam dan larut dalam keheningan. Mereka mengernyitkan dahi, berpikir keras. Tak satu yang menjawab. “Ayo, siapa yang tahu?” tanyaku pada mereka. “Haira gara iso, Ibu Guru?” tanya Marlena dengan wajah penuh tanya.

Mahir Berbahasa


40 Karena mereka semua menyerah, dan tak ada yang menjawab, aku pun memberi tahu jawabannya. “Stroberi, ada yang pernah dengar dan lihat buahnya?” tanyaku. “Oooh....” Mereka serempak menjawab. “Yang di tivi itu kan, Ibu Guru?” cetus Putri. “Yang di gambar botol sirup itu ya, Ibu Guru?” teriak Ezhar. “Yang ada di Jas Jus itu kan, Ibu Guru?” jawab Rosita. “Yang di Slai O’lai itu, Wa,” timpal Indah ke Rosita. Lingkaran pun semakin ramai dengan pendapat mereka. “Oooh, iyo, Ibu Guru, kita sudah tahu,” jawab Manto, Ezhar dan kawan-kawan. Wajar memang jika mereka tak dapat menjawab apa yang kudeskripsikan. Di pulau berbatu ini hanya ada pohon singkong sebagai makanan pokok, dan daun kelor sebagai sayur sehari-hari. Kami pun melanjutkan kembali permainan hingga semua anak mendapatkan giliran untuk mendeskripsikan benda yang mereka ketahui. Di dalam lingkaran yang menyenangkan, tampak antusias siswa untuk belajar. Mungkin mereka menganggapnya sedang bermain, padahal sesungguhnya ada banyak proses pembelajaran. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


411

Kartu dan Kotak Huruf Ricky Irwandi

W

aktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa satu semester telah berlalu di perkampungan Bajo. Banyak cerita telah dilalui, baik suka maupun duka, bersama siswa MIS Hubbul Wathan Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Selama satu semester banyak sekali permasalahan yang ditemui di sekolah. Untuk semester berikutnya, aku meminta kepada kepala sekolah untuk mengajar siswa kelas 1 karena guru sebelumnya selalu mengeluh. Pasalnya, setiap hari ada saja siswa yang berantem; belum lagi siswa yang menangis. Permasalahan siswa di kelas rendah tidak kunjung teratasi, dan ini terus-menerus terba-

Mahir Berbahasa


42 wa sampai ke kelas tinggi. Banyak sekali siswa yang duduk di kelas tinggi belum bisa baca, tulis, dan berhitung. Tak sabar rasanya menunggu tahun ajaran baru, melihat siswa baru yang lucu-lucu dan lugu-lugu. Pendaftaran siswa baru di sini terlihat unik sekali karena bukan orangtua yang menyerahkan anak-anaknya ke sekolah, melainkan harus guru yang mencari siswa ke rumah-rumah. Guru juga menanyakan umur anak dan menentukan apakah anak tersebut sudah bisa diterima di sekolah dasar. Waktu yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Siswa baru itu datang ke sekolah tanpa menggunakan seragam sekolah, alat tulis, dan alas kaki. Kebiasaan selama ini, anak-anak yang sekolah itu semua kebutuhannya ditanggung sekolah. Orangtua tidak mau tahu, titik. Sebanyak 20 siswa baru yang diterima, semuanya anak Bajo. Pada hari pertama masuk sekolah, masih ada beberapa anak yang tidak datang. Masih berada di luar perkampungan Bajo, mengikuti orangtua atau pergi ke rumah saudara. PEMBELAJARAN HARI ITU DIMULAI. Siswa tertawa lepas pada saat diberikan ice breaking lucu. Aku mulai mengecek pengetahuan awal siswa, berhitung dan menyebutkan huruf. Semua siswa ternyata bisa berhitung dan hafal huruf, tetapi mereka tidak tahu bentuk huruf. Aku menempelkan poster huruf di depan kelas. Aku menunjuk huruf pertama, siswa membacanya bersama-sama dengan nyanyian. “A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z, mari kita belajar, belajar mengeja ABC.” Setelah mengulang beberapa kali, aku mulai bertanya kepada siswa satu per satu dengan menyebutkan huruf secara acak. “Aril, ini huruf apa?” “Gek katonanku, Pak Guru Ricky.” “Yasmin, ini huruf apa?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


43 Siswa yang satu ini hanya menengok kiri-kanan, ternyata dia tidak tahu namanya sendiri karena sering dipanggil ‘Baloo’ dari dulu sampai sekarang. Teman Baloo, Winda, menyahut, “Baloo kamu dipalau Pak Guru Ricky.” Mendengar Winda memanggil Baloo, kuulang lagi pertanyaan, “Baloo, ini huruf apa?” “Huruf A, Pak Guru,” jawab Baloo. Sudah semua siswa kutanya. Hasilnya, tidak ada satu pun yang bisa menyebutkan huruf-huruf dengan benar, siswa hanya asal menebak. Aku mulai berpikir cara lain supaya mereka hafal dan tahu bentuk huruf. SEPULANG SEKOLAH, AKU TERPIKIR untuk membuat kartu dan kotak huruf dari kardus bekas. Untuk membuat media pembelajaran ini aku dibantu siswa SMA di perkampungan Bajo. Begitu melihat kesibukanku, mereka langsung menawarkan diri untuk ikut membantu. Esok harinya aku membawa kartu dan kotak huruf dengan menggunakan kardus. “Ai iru, Pak Guru Ricky?” tegur Sabir. “Ada deh.” Semua siswa menghampiriku. Kemudian aku meminta siswa untuk duduk di bangku masing-masing. Berikutnya, membimbing siswa berdoa bersama, dan dilanjutkan dengan nyanyian huruf. “Kalian mau tahu isi kardus ini?” tanyaku. “Iya, Pak Guru!” jawab siswa serentak. “Kalau mau tahu, ayo duduk yang rapi.” “Iya, Pak Guru,” ujar siswa sambil merapikan posisi duduknya.

Mahir Berbahasa


44 Aku membagikan kartu kepada siswa, satu paket kartu untuk satu meja. Kemudian menjelaskan cara permainan kartu dengan mencontohkan langsung. “Jika Pak Guru angkat sebuah kartu huruf, kalian juga cari kartu yang sama dan diangkat serta sebutkan hurufnya.” “Iya, Pak Guru.” “Huruf A, ayo cepat cari dan angkat.” “Ini, Pak Guru....” Siswa mengangkat kartunya, ternyata masih ada juga yang salah. Permainan kartu terus berlanjut walau masih banyak yang salah. Permainan dilanjutkan dengan cara berbeda. Semula aku ikut mengangkat kartu, sekarang aku hanya menyebutkan huruf sementara siswa mencari huruf dan mengangkat kartunya. Aku pun mulai menyebutkan huruf secara acak. “Huruf C!” kataku dengan suara lantang. “Ini, Pak Guru... ini, Pak Guru...” jawab siswa. Hanya dua anak yang menjawab benar, yaitu Sabir dan Winda. Aku pun menyuruh siswa melihat huruf yang diangkat Sabir dan Winda. “Oke, ini, Pak Guru Ricky....” Siswa semua memperbaikinya. Permainan kartu berlanjut sampai jam pelajaran berakhir. Walaupun hanya beberapa anak yang bisa menyebutkan huruf dan tahu bentuk huruf, mereka tampak menikmati pembelajaran kali ini. PERTEMUAN BERIKUTNYA MASIH MEMPERKENALKAN huruf-huruf. Medianya berbeda. Tujuannya agar siswa tidak sekadar hafal huruf, tetapi juga tahu bentuk huruf-huruf yang sering mereka ucapkan. “Pagi, anak-anak,” sapaku kepada semua siswa.

Kreasi Penerang Guru Seberang


45 “Pagi, Pak Guru Ricky!” sahut semua siswa serentak. “Pak Guru... Pak Guru, itu apa?” tanya salah seorang siswa, dan dia pun langsung maju ke depan. “Anak-anak manis, duduk dulu ya.” “Lihat dulu, Pak Guru Ricky.” “Sebentar Pak Guru kasih tahu ya.” Setelah membimbing siswa berdoa dan bermain-main dengan menggunakan ice breaking nyanyian huruf, aku pun memberitahukan benda yang kubawa: kotak huruf. Aku mulai menjelaskan aturan dan cara memainkan alat peraga tersebut. “Anak-anak, ayo perhatikan ke depan! Jika kotak ini Pak Guru lemparkan, kalian tebak huruf yang muncul. Oke?” “Oke, Pak Guru.” Aku pun melemparkan kotak yang tiap sisinya berisi hurufhuruf dan siswa bersiap-siap menebak huruf yang muncul. Siswa berebutan menjawab walaupun belum semuanya benar. Berikutnya, aku mengajak mereka bermain berpasangpasangan. Siswa bergantian melemparkan dan menyebutkan huruf yang muncul. Setiap huruf yang muncul ditulis olah masingmasing siswa. Seperti hari sebelumnya, anak-anak Bajo ini juga begitu riang bermain sembari belajar. Walaupun belum mendapatkan hasil maksimal, aku yakin siswa-siswaku itu akan lebih mudah mengenal huruf. Lebih-lebih dengan menggunakan media pembelajaran yang bervariasi. Bagaimanapun juga, siswa kelas 1 masih suka bermain-main. Melalui permainan-permainan ini terbukti mereka lebih mudah mengenal huruf. []

Mahir Berbahasa


6 46

Puisi di Ponsel Elis Yuliani

S

abtu itu guru kelas 6 MI Al Furqon Tongo, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat berhalangan hadir. Beliau mengirimkan pesan singkat permohonan kepadaku untuk mengisi kelasnya di jam akhir, berupa pelajaran bahasa Indonesia. Aku pun menyanggupi. Setelah menanyakan materi terakhir yang dipelajari, cepat-cepat aku mencari kompetensi dasar dan indikator yang harus tercapai pada pertemuan. “Akhirnya ditemukan juga,� gumamku dalam hati. Kompetensi Dasar: Membacakan puisi karya sendiri dengan ekspresi yang tepat. Indikator: 1. Memahami puisi dengan kalimat yang runtut. 2. Menyampaikan puisi karya sendiri dengan kalimat yang runtut serta ekspresi yang tepat. Kreasi Penerang Guru Seberang


47 “Hmm... sepertinya seru,” ujarku masih dalam hati. LONCENG BERBUNYI TIGA KALI, menandakan sudah saatnya anak-anak masuk kelas. “Apa ya media yang bisa digunakan? Aduh, gak punya koleksi puisi pula.” Sambil berjalan menuju kelas, otakku terus berputar. Satu ide melintas. “Aha!” “Assalamu’alaikum,” sapaku saat masuk kelas. “Wa’alaikumsalam, Bu...” jawab siswa serempak. “Teman-teman, sebelum kita belajar marilah kita berdoa. Berdoa dimulai!” teriak ketua kelas. Sambil menunggu mereka menyelesaikan doa dan Asmaul Husna, mulailah kujalankan ide yang muncul tadi. Kukeluarkan ponsel yang sedari tadi bersembunyi di balik tas. “Yeay beraksi...” gumamku dengan semangat dalam hati. Secepat kilat kugenggam ponsel berukuran sedang bermerek familiar. Tidak terlalu canggih namun cukuplah untuk berselancar internet. Kugerakkan jempol jari, geser sana-sini mencari yang dicari. Sebenarnya dengan jaringan sinyal EDGE butuh kesabaran. Asmaul Husna sudah hampir selesai mereka bacakan, tapi ponsel masih belum bersahabat. Sambil menunggu laman yang dituju terbuka, seperti biasa aku mengawali pelajaran dengan ice breaking. Kugunakanlah permainan Gajah-Semut untuk melatih konsentrasi. “Gajaaah!” teriakku. “Besaaaar...” jawab anak-anak sambil menyentikkan jempol dan telunjuk menandakan ukuran gajah yang besar namun diperagakan dengan ukuran kecil. “Semuuut!”

Mahir Berbahasa


48 “Keciiil...” sambil menggerakkan kedua tangan mereka membentuk lingkaran yang besar menandakan kebalikan dari ukuran semut. Meskipun mereka sudah kelas 5, masih saja ada beberapa anak yang keliru memperagakan gajah-semut. Namun di situlah letak serunya. Beberapa kali percobaan, tetap saja mengundang gelak tawa hingga akhirnya mulailah aku beraksi. “Ga-jah….” Bak seorang pembaca puisi yang andal kumulai apersepsi dengan menyebut kata ‘gajah’, tak lupa ekspresi dan intonasi ala penyair betulan. “Besss….”Anak-anak dengan sigap menjawab, namun terpotong oleh pembacaan puisiku yang tanpa jeda. “Kau ciptaan Tuhan yang luar biasa….” Masih dengan ekspresi lebay. “Besar, namun tetap mempesona….” Sekejap anak-anak tertawa melihat role model yang kulakukan. Namun, sebagian lain nyeletuk mempertanyakan. “Appaa Ibu ini...” seraya menampilkan wajah keheranan. Seolah sedang show di atas panggung, tak kuhiraukan celoteh penonton saat itu. “Se-mut…. Badanmu kecil, tapi kau kuat seperti Power Ranger.” Kukepalkan kedua tangan memperagakan kekuatan sang semut. “Hahaha… yeeea….” Anak-anak sontak tertawa dan bertepuk tangan. “Itu puisi, Bu?” teriak Ojan. “Betuul, Ojaan. Barusan Ibu baca puisi karangan Ibu sendiri.” Sejenak kuulas sedikit tentang puisi lalu dilanjutkan dengan cara membuat dan memahami isi puisi. “Nah, sekarang Ibu punya puisi. Ibu mau kalian pahami isi puisi ini, siaap?” Kreasi Penerang Guru Seberang


49 “Siaap….” Setelah kusampaikan indikator yang harus dicapai, aku menggapai kembali ponsel yang hampir terlupakan keberadaannya. Setelah kunci ponsel dibuka dengan pola, terpampanglah puisi Chairil Anwar dengan judul “Siapa Pahlawanku?”. “Siapa yang berani maju membacakan puisi ini?” tanyaku sambil mengangkat ponsel. “Mana puisinya, Bu?” “Ini, di dalam sini.” Kutunjuk ponsel. “Saya, Bu.” Ada anak yang mengangkat tangannya. Ternyata Jauhari, salah satu anak yang kalem di kelas 5. Selain kalem, dia juga sopan dan suaranya terbilang merdu. Tak heran bila dia sering menyabet gelar juara perlombaan tilawah Quran. Dengan gagah Jauhari maju. “Mana, Bu?” “Ini.” “Siapa Pahlawanku? Chairil Anwar

Pahlawanku tidak memiliki kekuatan tempur Karena pahlawanku tidak berkelahi Pahlawanku tidak bisa terbang Karena pahlawanku tidak punya saya Pahlawanku Mati.” “Lho kok mati?” Sontak aku kaget dan protes. “Hape-nyamati, Ibu,” katanya dengan gaya cool seolah masih berekspresi bak penyair. Kelas yang tadinya serius memerhatikan Jauhari, sekejap langsung ramai. Mereka menertawakan kelucuan sikap temannya itu.

Mahir Berbahasa


50 “Aduuuh, Jauhariii… Jauhari….” Aku pun tak bisa menahan tawa.“ Nih sudah Ibu buka lagi kuncinya, nanti terus saja gesergeser ya, biar gak mati.” “Iya, Bu.” Akhirnya Jauhari mengulang kembali membaca puisi. “Siapa Pahlawanku? Chairil Anwar

Pahlawanku tidak memiliki kekuatan tempur Karena pahlawanku tidak berkelahi Pahlawanku tidak bisa terbang Karena pahlawanku tidak punya saya Pahlawanku tidak memiliki kostum khusus Karena pahlawanku hanya manusia biasa Pahlawanku berbeda dari setiap jenis superhero Pahlawanku membuatku pintar Pahlawanku mengubah masa depanku Pahlawanku membuatku tahu sesuatu Karena pahlawanku adalah guruku Allah memberkatimu, guru. “Yeeeaa…” anak-anak bertepuk tangan. “Oke, tepuk keren untuk Jauhari!” Aku mengapresiasi keberanian dan kemampuannya. “Tepuk keren… (prok prok prok).. dua jempol.. (prok prok prok).. untuk Jauhari (prok prok prok)… keren keren kereeen...” seru anak-anak kompak. Keceriaan di dalam kelas sebenarnya perlu juga kita munculkan agar pembelajaran tidak monoton dan membangkitkan semangat.

Kreasi Penerang Guru Seberang


51 Berbagai cara bisa kita lakukan, baik itu dengan menggunakan alat peraga maupun media pembelajaran lain yang sesuai. Pada era sekarang ini sudah sewajarnyalah kita menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi, mengenalkan anak pada teknologi (laptop, komputer, ponsel). Ketika kondisi di sekolah memang tidak memungkinkan, saatnyalah seorang guru dituntut lebih kreatif dan mencari alternatif lain yang bisa dijangkau. []

Mahir Berbahasa


52 52

Wayang Sakti Dedi Hadiarto

“Teng teng teng teng teng….” Lonceng SDN 003 Sei Menggaris, Nunukan, Kalimantan Utara dibunyikan, tanda jam masuk kelas. Anak-anak langsung berbaris dengan tertib di depan kelas masing-masing. Aku melihat siswa-siswa berbaris dengan rapi. Aku langsung menuju kelas 2 untuk mengajar Pendidikan Agama Islam. Mereka senang sekali jika belajar bersamaku. Aku memang selalu membawa hal baru di kelas agar siswa selalu bersemangat dan tak pernah bosan belajar. Seperti yang akan kulakukan saat mengajar huruf hijaiyah. Aku menggunakan kartu-kartu yang berisi huruf-huruf hijaiyah yang mudah dibawa ke mana-mana sehingga mudah untuk dihafalkan. Media pembelajaran ini kuberi nama ”Wayang Sakti”. SEPEKAN LALU AKU MELAKUKAN pretest pengetahuan siswa tentang huruf hijaiyah. Kahfi salah satu siswa cerdas di kelas. Ke-

Kreasi Penerang Guru Seberang


53 tika kutanyakan tentang huruf hijiyah, dengan sigap ia menyebutkannya dengan hafal. Dia pun menyebutkan alif, ba, ta, tsa, jim, ha, dan seterusnya sampai ya. “Kahfi, bisa enggak kamu tuliskan huruf syin?” tanyaku menguji. Dengan muka kebingungan dia menjawab, “Ndak bisa, Pak.” Tidak hanya Kahfi, rata-rata siswa tidak mengetahui bentuk huruf-huruf hijaiyah meski mereka sudah banyak yang hafal. Sebagian lagi bahkan belum hafal huruf hijaiyah. Sejak saat itu aku berpikir untuk mencari cara pembelajaran yang memudahkan siswa-siswaku hafal dan paham bentuk huruf hijaiyah. Selain itu, aku berharap mereka mampu melafalkan huruf-huruf tersebut sesuai makhraj. Inspirasi media pembelajaran ini adalah ketika pulang sekolah. Kala itu aku melihat anak-anak di samping rumahku gemar sekali bermain wayang, istilah anak-anak di Sei Menggaris. Wayang tidak lain kartu-kartu yang berisi gambar karakter kartun atau bintang film anak-anak. Saking suka dengan kartu itu, mereka hafal semua tokohnya. Nah, dari situlah muncul ide membuat Wayang Sakti yang diharapkan bisa membuat anak-anak hafal huruf hijaiyah. SELESAI BERDOA AKU PUN mengawali pembelajaran. “Anak-anak, hari ini Pak Guru punya sesuatu buat kalian...” kataku. “Apa, Pak Guru?” tanya siswaku diiringi teriak penasaran. “Tapi, ada syaratnya.” “Apa, Pak Guru?” “Kalian harus bisa menghafal huruf hijaiyah beserta bentuknya. Bisa?” aku menantang siswa-siswaku

Mahir Berbahasa


54 “Bisa... Pak Guruuu!” jawab mereka kompak. “Pak Guru punya… wayang buat kalian semua!”

“Yeee…!” Teriak siswa bergembira. Mereka semakin senang ketika kubagikan satu per satu wayang tersebut. Kegiatan belajar pun berlangsung santai. Anak-anak memainkan wayangnya sambil menghafal. Pada pertemuan berikutnya, aku mengevaluasi hasil permainan wayang ini. Masing-masing siswa mengisi lembar evaluasi. Hasilnya menggembirakan. Alhamdulillah, mereka sudah tahu nama dan bentuk huruf-huruf hijaiyah. Mereka juga senang karena belajar menghafal dilakukan sembari bermain menyenangkan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


5 55

Papan Hijaiyah Januarita Sasni

Ee…Be... Te… Se… Je… He…. Suara itu kedengaran sahut-menyahut saat aku menyuruh siswaku mengeja huruf hijaiyah. Begitulah kebiasaan siswa MI Nurul Hikmah Cibaliung, Pandeglang, Banten. Cara mereka mengeja huruf hijaiyah berbeda dengan anak-anak di kampungku di Solok, Sumatera Barat. Biasanya yang sering kudengar adalah alif, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di sini lain,mereka mengeja huruf Arab seperti huruf Latin. Sulit untuk mengubahnya karena semua ini telah menjadi kebiasaan turun-temurun. Aku mulai berpikir cara menghentikan kebiasaan tersebut. Aku memilih mengajarkan huruf hijaiyah di kelas 1, 2, dan 3 yang menjadi satu dalam kelas rangkap. “Papan Hijaiyah” menjadi media peraga pilihanku karena mudah dan sederhana. Papan Hijaiyah merupakan display sederhana yang hanya berisi huruf-huruf hijaiyah dari alif sampai ya. Sebenarnya papan ini bisa saja berupa tulisan di papan tulis namun

Mahir Berbahasa


56 kurang begitu menarik bagi siswa. Lain halnya saat huruf hijaiyah yang dikenalkan berwarna. Pembuatan Papan Hijaiyah sangatlah sederhana, hanya membutuhkan kertas origami, kardus bekas, spidol, lem Fox, kertas HVS, serta klep. Sedangkan untuk latar belakang aku pun memanfaatkan papan bekas yang terpajang tanpa isi di kelas 4, 5, dan 6. Papan ini dulunya digunakan sebagai tempat menempelkan gambargambar yang membantu pengetahuan siswa. Selain papan, karton juga bisa menjadi latar. Kardus bekas dipotong segiempat dengan rusuk kira-kira lima sentimeter. Kardus yang telah dipotong dibungkus dengan kertas origami warna-warni. Kardus yang sudah berwarna itu ditulisi huruf hijaiyah. Latar disiapkan dari kertas HVS, sementara tepiannya menggunakan kertas Asturo berwarna hijau. Di sisi kiri dan kanan atas ditambahkan bunga-bunga kecil dari kertas origami agar lebih menarik. Papan Hijaiyah pun siap dipergunakan. “Alif…!” teriak mereka setelahku. “Ba. Bukan Be, ya Nak,” ujarku. Berkali-kali kubimbing mereka untuk mengeja huruf hijaiyah dengan benar. Aku ingin semua kebiasaan mereka mengeja bisa berubah. Pilihanku ke kelas rendah bukan tanpa alasan. Jika di kelas tinggi, lebih sukar mengubahnya. Asumsinya, mereka sudah terbiasa dari lama mengeja secara keliru. Sementara kelas rendah masih tahap pengenalan. Semoga ilmu yang mereka dapat sekarang menjadi bekal ke depan sehingga ejaan mereka benar saat di kelas tinggi. Setelah cara membaca semua huruf hijaiyah dikenalkan, masuklah pada tahap selanjutnya. Kami mulai melafazkan huruf hijaiyah menggunakan nyanyian. Berulang kali aku menyenandungkan huruf hijaiyah dengan irama yang mudah diingat anak-anak. Mereka pun mulai mengikuti nada-nadaku. Menyanyi menjadi pilihan karena siswa selalu bersemangat ketika aku mengajar di kelas sambil bernyanyi. Ada beberapa siswa kelas 1 yang memang tidak bisa Kreasi Penerang Guru Seberang


57 diam saat disuruh membaca dan menulis. Ketika diajak menyanyi bersama, mereka bisa duduk manis sambil mengikuti lirik yang kulantunkan. Alif, ba, ta, tsa, jim, ha… Kha, dal, dzal, ra, zai, sin, syin… Shad, dhad, tha, dzha, ‘ain, ghain, fa… Qaf, kaf, lam, mim, nun, waw, ha… Lam alif, hamzah, ya…. Berulang kali kuulangi satu per satu huruf hijaiyah yang telah dirangkai dalam lirik lagu. Tujuannya agar siswa lebih mudah mengingat 30 huruf hijaiyah itu. Menghafal sambil bernyanyi merupakan reaksi berantai. Nyanyian yang hari ini mereka lantunkan tidak hanya terhenti hingga di kelas. Ketika di luar, saat istirahat, atau saat bermain dan pulang sekolah bersama teman-temannya, mereka terus menyanyi. Lama-kelamaan teman-temannya akan tertular ikut menyanyikan lirik yang sama. SISWA SENANG, IBU GURU pun senang. Kini Papan Hijaiyah menggantung cantik di kelas. Sayangnya, bukan di kelas 1, 2, dan 3, melainkan di kelas 4, 5, dan 6. Bukan tak percaya siswa kelas rendah tak bisa menjaganya, hanya saja lebih baik mencegah daripada harus memperbaiki. Lagi pula antar-ruangan itu juga tidak disekat sepenuhnya. Jadi, siswa bisa mondar-mandir di kedua ruangan itu walau pada saat jam pelajaran. Proses mengubah kebiasaan mereka mengeja yang kurang tepat lambat laun bisa diperbaiki. Di samping itu, aku pun berharap semoga dengan adanya pengenalan huruf hijaiyah sejak dini ini menjadikan siswaku tak lagi kesulitan belajar bahasa Arab. Papan Hijaiyah juga digunakan oleh guru lain yang mengajarkan Baca Tulis Quran. Sederhana sebenarnya namun makna yang tersirat di sebaliknya jauh lebih berharga.

Mahir Berbahasa


58 Malu adalah satu kata yang selalu menjadi alasan mereka agar tidak jadi kuuji dalam segi apa pun. Ketika belajar huruf hijaiyah pun begitu. “Agus… coba, Nak,” pintaku setengah membujuk. Jawabannya ternyata hanya gelengan kepala. “Juhdi… coba yang baca sekarang.” Lagi-lagi sebatas gelengan kepala, bahkan lebih kencang dari siswa sebelumnya. Aku pun tak putus asa. Kupanggil lagi yang berikutnya. “Yuli, coba Yuli yang baca.” Alhamdulillah, kecewaku terbayarkan. Dengan senandung merdu, huruf hijaiyah berhasil didendangkan Yuli. “Itu Yuli bisa, kenapa Agus sama Juhdi gak mau?” tanyaku. “Mereka malu, Bu,” jawab Yuli. “Ya Allah, Nak, malu ke siapa juga? Bagi Ibu mah salah gak apaapa yang penting kalian mau mencoba,” jelasku. Juhdi dan Agus hanya tertunduk di bangkunya. “Ya sudah, sekarang kita bacanya sama-sama aja ya,” segera kutawarkan usulan agar memecah kebisuan di kelas. Papan Hijaiyah membantu menyentuh hati siswaku. Mulailah kami menikmati kembali setiap lirik lagu huruf hijaiyah yang terus kami pandangi hingga selesai belajar. Papan Hijaiyah mungkin hanya akan menyimpan kenangan yang indah saat aku tak lagi di sini. Papan Hijaiyah, semoga setelah ditinggalkan, tidak hanya menjadi penghuni madrasah, tetapi digunakan dalam proses pembelajaran agar lebih berkah. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


59

S

udah hampir satu musim kulalui di tanah rantau, tepatnya di Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kuburaya, Kalimantan Barat. Setiap sore berbagai kegiatan sore hari mulai kuagendakan, mulai dari les tambahan, pramuka, hingga membuat display. Anak-anak pun ramai datang mengunjungi perpustakaan SDN 06 Batu Ampar. Beberapa waktu aku melihat bahwa ada beberapa anak yang mulai jarang mengunjungi perpustakaan. Tidak biasanya! Ke mana larinya anak-anakku yang biasanya rajin bertandang itu? “Assalamu’alaikum….” Aku menyapa anak-anakku yang tengah berdiri di depan kelas. “Wa’alaikumsalam, Bu...” jawab mereka serentak dengan aksen Melayu kental.

Kartu Hijaiyah Asyanti Nurmuawwanah

Mahir Mahi Ma hirr Be Berbahasa erb rbah a as ah asaa


60 Lonceng pertama berbunyi. Mereka yang tengah berdiri serempak lari membentuk barisan untuk melakukan apel pagi. Setelah itu, anak-anak melanjutkan dengan memungut sampah yang ada di sekitar lingkungan sekolah. Aku tak lupa ikut mendampingi mereka memungut sampah. Aku mendapati Angga lewat bersama Hairul memegangi tong besar berkeliling mengambil sampah yang sudah dipegang temantemannya. “Angga, sini lok, Nak.” “Nape, Bu?” tanyanya sembari mendekatiku. “Nape Angga tak pernah agek datang ke perpustakaan?” “Tadak, Bu e, kame biase tidur,” ucapnya sambil menundukkan kepala. “Apa ade tidur, Bu e? Angga tu maen gasing,” Herni tiba-tiba menimpali percakapan kami. Gasing memang sangat digandrungi di lingkungan tempat tinggalku. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa tergila-gila memainkannya. Desa sebelah bahkan menggelar turnamen mengadu gasing. “Itulah ternyata penyebab anak-anakku tidak datang. Pantaslah,” gumamku dalam hati. Tibawaktu istirahat sekolah. Aku berdiri tepat di bawah lonceng yang terletak di teras kantor untuk menemukan sinyal ponsel. “Eh, budak, adeke yang nak ikut Ibu belajar ngaji?” Aku mengajak anak-anak yang aku temui ketika mereka duduk di teras kantor saat jam istirahat. “Mau, Bu. Mau…. Bile, Bu?” tanya mereka. “Siang karang ye, di masjid. Ibu ke masjid jam 3 ye. Jangan lupa kabarkan kawan ye.” “He-e lah, Bu,” jawab mereka diikuti anggukan mantap.

Kreasi Penerang Guru Seberang


61 Aku istirahat sebentar sepulang sekolah. Dari kamar terdengar suara anak-anak memanggil-manggil namaku. “Bu… Bu... Assalamu’alaikum….” Aku melihat jam di layar ponsel. Ternyata baru pukul 13.29. Ya, seperti inilah kebiasaan anak-anakku. Mereka datang bergerombol sedari dua jam sebelum waktu yang disepakati. Aku yang masih lengkap dengan mukenah sehabis shalat menghadapi mereka. Kubiarkan mereka masuk ke perpustakaan untuk membaca. Letih memang, namun melihat antusiasme mereka ternyata ampuh mengurangi kantuk yang kurasakan. “Ayolah, Nak, kite ke mesjid, hamper jam 3 dah.” Aku kemudian berangkat bersama Tiara, Helmi, Ma’nye, dan Amir menuju masjid menggunakan sepeda. Aku membonceng Tiara siang itu. Di sepanjang jalan menuju masjid, riuh anak-anak hingga remaja bermain gasing.

“Rajinnye maen gasing,” sapaku kepada segerombolan remaja yang tengah sibuk melempar gasingnya. Aku memulai istana anak sore itu mengenai tata cara wudhu. Sebelumnya aku mengajari mereka tepuk anak saleh dan cara berdoa yangkumodifikasi agar anak-anak makin semangat. Aku mempraktikkan urutan cara berwudhu yang disertai bacaannya. Aku sangat terharu menyaksikan pertunjukan barisan anak-anak yang rapi menunggu giliran mereka mempraktikkan cara berwudhu seperti yang telah kucontohkan. Istana anak sore itu kulanjutkan dengan bacaan niat dan doa setelah berwudhu. Aku menuliskannya pada papan tulis bekas berukuran kecil yang sengaja kupinjam dari sekolah. Anak-anakku kebingungan melihat tulisan Arab itu. “Bu ape bacanye tu, Bu e?” Bungsu bertanya. Aku menyadari bahwa metode yang kugunakan salah. Anakanak yang mengikuti TPA bersamaku ternyata belum semuanya mengenal huruf hijaiyah. Jangankan mampu membaca, mengeja Mahir Berbahasa


62 huruf hijaiyah pun belum bisa. Aku kemudian mengubah pembelajaran tentang niat dan doa setelah wudhu dengan meminta mereka melafalkan berkali-kali. “Baca hamdalah...” kataku menutup istana anak sore itu.

“Anak-anak, besok kita akan membuat kartu hijaiyah ye,” pesanku. “Kita semua bawa gunting sama kardus bekas mi ye.” “Horeee… ape-ape nak dibawa Bu e?” tanya Baim. Aku menjelaskan setiap bahan yang harus anak-anak bawa. Membuat kartu hijaiyah sangatlah mudah.

Alat-alat dan bahan yang digunakan: 1. Kardus bekas 2. Kertas origami 3. Pulpen 4. Lem Langkah-langkah pembuatan: 1. Gunting kardus bekas menjadi persegi dengan ukuran 5 x 5 sentimeter. 2. Gunting kertas origami membentuk persegi dengan ukuran 5 x 5 sentimeter. 3. Rekatkan kertas origami pada kardus bekas menggunakan lem. 4. Tuliskan tiap huruf pada setiap kartu hijaiyah. HARI BERIKUTNYA AKU DAN anak-anak bertemu di masjid. Anak-anak yang datang bertambah jumlahnya. Aku nyaris kewalahan saat mereka bersahut-sahutan mengajukan pertanyaan. “Bu, ini kame gunting dah ke?” “Bu, ini nak diapekan ageklah, Bu?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


63 “Bu, punya kame jelek bah, Bu?� Dan seabrek pertanyaan lainnya. Aku meladeni pertanyaan mereka satu per satu. Lebih dari satu jam lamanya akhirnya aku bisa bernapas lega. Kartu hijaiyah mereka jadi. Mereka menulisi kartu buatan mereka melalui contoh huruf yang kutunjukkan. Aku membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang. Anak-anak bergantian mendengarkan ucapan huruf hijaiyah teman sekelompoknya, dan mengacak kartu agar temannya semakin lancar. Langkah ini terbukti ampuh menarik minat siswaku untuk datang ke masjid dibandingkan bermain gasing. Aku bahagia melihat senyum tawa mereka mengangkat huruf hijaiyah masing-masing. []

Mahir Berbahasa


64

S

eorang sarjana sains diamanahi untuk mengajarkan bahasa Arab, tentulah punya suka dan duka tersendiri. Jika dipikirpikir lagi, amanah yang diberikan tersebut merupakan kesempatan belajar dan bukan sekadar mengajar. Mendapati segala keterbatasan sarana prasarana dan referensi belajar, bisa jadi hanya menambah panjang deretan duka. Masih syukur jika hanya sebatas itu. Bagaimanakah lagi jika kondisi siswa yang awam dengan huruf Arab meskipun mereka murid madrasah? Aku tak dapat salahkan siapa-siapa. Demikian pula, lebih baik aku mensyukuri keadaan yang telanjur ada di sini, MI Nurul Hikmah Cibaliung, Pandeglang, Banten. “Nak, sebelumnya belajar bahasa Arab sama siapa?� “Gak ada, Bu Guru,� jawab mereka.

Puzzle Mufradat Januarita Sasni

Kreasi Kr rea easi a Pene Penerang eran er ng Gu Guru G rru u SSeberang e eran eb erran ang


65 Ini menjadi sebuah PR besar bagiku. Pengetahuan bahasa Arabku hanya dulu sewaktu di MTs dan SMA Terpadu. Aku coba meneguhkan hati, setidaknya aku masih punya bekal walaupun secuil. Seiring mengajar bukankah masih ada kesempatan untuk belajar? AWAL MENGAJAR AKU LEBIH terfokus melihat kemampuan siswa dalam bahasa Arab. Tidak hanya ketika pagi di sekolah, sepulang sekolah pun aku mengajak anak-anak belajar mengaji. Dari sini semakin jelaslah bahwa ternyata siswaku pada umumnya hanya belajar mengaji dengan modal hafalan. Jika disuruh membacakan surat al-Ikhlas misalnya, maka mereka akan sangat lancar mengucapkan. Namun kala disuruh membaca surat yang sama di mushaf Al-Quran, mereka tak dapat membacanya sedikit pun. Aku berpikir bahwa modal mereka belajar hafalan sebenarnya akan memudahkanku memperkaya kosakata bahasa Arab (mufradat) mereka. Aku pun seakan mendapat semangat baru untuk mengajar. Dengan senyum yang tak pernah hilang, aku merasa punya gambaran indah untuk kemajuan satu tahun ke depan. “Ah, kau terlalu optimis!” bisik sebuah suara di hati. “Memang, tapi tak ada salahnya kan?” suara lain melontarkan pembelaan. Hafalan. Ya, dengan hafalan aku akan mengajak mereka akrab dengan bahasa Arab, setidaknya untuk tahap awal. Risikonya adalah tidak dapat kuikuti silabus sepenuhnya. Bukan “membangkang” sebab jika dipaksakan hanya akan menyulitkan siswaku. Silabus yang ada dibanding pengetahuan mereka terlalu tinggi. Pengenalan mufradat dengan modal mendengar dan menghafal mulai dilakukan. Seiring berjalannya waktu, semua itu tak memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Memang siswa bisa menghafal, tapi saat ditanya lagi, mereka sudah lupa. Hafalan mereka hanya agar mereka bisa dapat reward secepatnya, baik itu berupa kesempatan istirahat ataupun pulang lebih dulu.

Mahir Berbahasa


66 Optimisme yang dulu muncul seakan hilang entah ke mana. Semuanya hampir tergantikan oleh pesimis yang kian subur. Setiap habis mengajar, aku hanya mampu merenungi apa yang salah di diriku. Hingga apa yang kuajarkan seolah sulit dipahami siswa. Seakan sia-sia aku di sini. Tak jarang airmata mengalir deras kala aku memandangi deretan bangku siswa yang telah kosong itu. Aku ingin menyerah saja. Memang aku yang tidak bisa mengajari mereka. Di tengah kekalutan yang tak tentu arah, tebersitlah di pikiranku. Bagaimana kalau mufradat itu disajikan dalam bentuk puzzle? Mengapa tidak dicoba dulu? Ya, aku akan mencobanya esok hari! KUSIAPKAN MUFRADAT DALAM KERTAS Asturo berwarnawarni, dengan tema “Jismi� atau tubuhku. Asturo itu dipotong serupa bunga, daun, apel, dan kupu-kupu. Pada setiap Asturo itu kutuliskan satu mufradat. Setelah itu, Asturo yang sudah bertuliskan mufaradat dipotong menjadi beberapa bagian. Lalu potonganpotongan kertas itu dikumpulkan dan diklep agar tidak berserakan. Pagi itu, dengan semangat baru, kususuri jalanan bekas hujan semalam menuju sekolah dengan bawaan lumayan banyak. Masing-masing siswa akan mendapatkan satu paket puzzle mufradat yang terdiri dari satu lem kertas, satu tumpuk kecil potongan puzzle, serta kertas HVS. Siswa pun tak akan mendapatkan semua itu secara langsung, tapi mereka harus berjuang dulu menjawab pertanyaanku. Siswa yang paling dulu menjawab, maka dia juga yang lebih dulu dapat memilih paket sesuai selera. Penyusunan puzzle menjadikan suasana belajar kami lebih seru pagi itu. Apalagi kami hanya belajar di teras karena ruangan tidak cukup. Sekolah kami hanya punya dua ruangan untuk enam rombongan kelas. Sudah pasti kami harus belajar dalam kelas rangkap tiga. Ruangan pertama untuk kelas 1, 2, dan 3, sedangkan ruangan kedua untuk kelas 4, 5, dan 6. Agar lebih fokus, kami yang kelas 5 Kreasi Penerang Guru Seberang


67 memilih mengalah belajar di luar. Aku hanya mengawasi sambil tersenyum melihat tingkah mereka. “Abdi mah teu bisa, Bu,” keluh beberapa di antara mereka. “Kunaon teu bisa, Nak?” tanyaku balik. Saat pertanyaan itu belum terjawab, ada lagi siswa yang berteriak, “Yes… yes… saetik deui!” Akhirnya kusampaikan pada anak yang mengeluh tadi, “Bisa kok, eta batur na pan bisa.” Senyampang itu, aku terus membimbing mereka menyelesaikan puzzle. Setiap siswa yang selesai menyusun dan bersiap menempelkan puzzle di kelas, aku membantu merapikan. “Abdi deui, Bu…!” teriak mereka saling bersahutan ketika menyelesaikan puzzle. Setelah pelajaran bahasa Arab berlalu, ada anak yang membisikiku diam-diam, “Bu, besok kita belajar kayak gini lagi ya.” Senyum cerah langsung menghiasi wajahku. Betapa tidak, siswa-siswaku mulai tertarik belajar bahasa Arab. Ketika ada tebaktebakan tentang mufradat, mereka dapat dengan mudah menyelesaikannya. Satu cara dengan banyak makna telah kudapat. Puzzle mufradat tidak hanya menjadikan mereka senang belajar bahasa Arab, tapi juga membantu mereka menghafalnya. Jika dengan mendengarkan saja mereka bisa menghafal, apalagi saat tangannya juga ikut berkarya. []

Mahir Berbahasa


68

T

idak seperti biasanya sore itu.Halaman SDN 30 Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat terlihat sepi. Belum ada anak bermain lompat tali (masyarakat di sini menyebutnya ‘bermain getah’) maupun berkejaran bermain benteng. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, sudah terlambat setengah jam dari kesepakatan yang ditentukan, namun mereka belum muncul juga. “Mungkin karena hari mendung, mereka takut kehujanan,” gumamku dalam hati. Seberang hatiku pun menjawab, “Ah, mane ade budak sini takut hujan? Mereka kan memang suka berjalan di bawah guyuran hujan. Sebentar lagi ada juga budak-budak yang datang.” Sore hari memang menjadi waktu yang asyik bagi kami untuk belajar dan bermain bersama. Kami sering menyebutnya kegiatan istana anak, beberapa anak ada yang menyebutnya les. Bolehlah apa saja sebutannya, yang penting kegiatannya berguna. Istana anak merupakan kegiatan produktif bagi siswa dan masyarakat sekitar di daerah penempatan. Mengisi kegiatan istana anak di sore hari bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa berupa kegiatan TPA, membaca, bercerita, menulis, wisata kampung sam-

Origami Bahasa Inggris Risty Ani

KKreasi Krea Kr rea e si si PPenerang ene en erran angg Gu Guru Guru u SSeberang eber berran ng


69 bil mengenal daerah sekitar, membuat kerajinan, belajar mengulang materi pelajaran yang sudah didapat di sekolah, les privat, bahkan menonton film dan bermain. Kegiatan inilah yang sering aku lakukan bersama anak-anak. Supaya tidak monoton, biasanya kegiatan ini dilakukan secara bergantian, tidak melulu les pelajaran berbekal alat tulis dan dilakukan di dalam ruangan. Inti dari kegiatan istana anak adalah pemanfaatan waktu luang dengan kegiatan produktif yang dikemas dengan menyenangkan. Tentunya penting bagi anak-anak setelah mengikuti kegiatan istana anak ini mereka punya nilai lebih, berupa tambahan ilmu, wawasan maupun keterampilan. Setelah lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya…. “Bu Risty, Bu Risty…. “ Suara anak-anak bergantian memanggilmanggil. Sebagian lagi memanggil, “Kak Risty… Kak Risty….” Begitulah gaya mereka memanggilku. Kalau sudah di luar jam sekolah, mereka bisa memanggilku dengan sebutan “kak” sebagai sapaan kawan main. Mereka berlarian kecil dari halaman sekolah menuju rumah dinas tempatku tinggal. “Bu, kita nak belajar apa hari ini?” tanya mereka masih dengan napas terengah-engah. Dengan senyum ringan aku menjawab, “Cobalah nak e... bicara pelan-pelan tak perlu pakai mekik-mekik.” Tampaknya anak-anak di daerah ini terbiasa bicara dengan suara keras. Kebiasaan bicara keras ketika di luar ruangan bersama kawan sepermainan ini terkadang terbawa ketika di kelas. Sampaisampai aku pun harus mengingatkan mereka beberapa kali ketika pembelajaran berlangsung. “Ini sudah jam berapa ya? Kok baru datang?” tanyaku. “Iye, Kak, kamek terlambat, tadi kamek main getah dulu.” Anak-anak di daerah penempatanku memang tergolong aktif dan memiliki kemampuan kinestesis yang lebih dari kemampuan lainnya. Tidak heran, permainan di daerah ini pun didominasi oleh Mahir Berbahasa


70 permainan yang melibatkan gerakan atau fisik. Mulai dari main benteng, lompat tali, adu berenang, juga cap cip cup, semuanya melibatkan kecepatan dan kelincahan dalam bergerak. “Okelah... kalau begitu kita nak belajar bahasa Inggris sore ini?” “Wah...yes… yes…yes!” seru mereka. Bak semangat di pagi hari ketika menjawab pertanyaan, “Apa kabar?” sebelum memulai pembelajaran, mereka pun serempak menjawab, “Alhamdulillaah, luar biasa, yes… yes… yes!” Meskipun sudah sore hari dan jumlah anak yang datang kurang dari sepuluh, energi mereka tetap luar biasa. Anak-anak yang giat belajar di sore hari inilah yang menjadi penyemangatku. “Sudah pernah belajar bahasa Inggris sebelumnya?” “Tadak sua, Bu...” Melati menyahut cepat. “Masuk dulu ye di ruang kelas 1, Ibu ambil sesuatu sebentar,” pintaku pada anak-anak. Dengan kalem mereka menjawab, “Iye, Kak.” Satu anak menjawab, “Iye, Bu.” Tidak perlu waktu lama, aku segera mengambil kertas origami di dalam tas yang sengaja sudah disiapkan. Sudah sore, langkahku pun semakin dipercepat. Supaya mereka bisa pulang sebelum mendung kian gelap. Sambil mengipas-kipaskan origami, aku berucap salam. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh...” balas mereka menimpali. “Wah, kertas warna-warni, boleh minta, Bu?” celetuk Gita. “Ow… ow… nanti dulu… ini nak kita pakai buat belajar lok. Hari ini kita nak belajar tentang warna,” sahutku sambil menyipitkan mata.

Kreasi Penerang Guru Seberang


71 “Ada yang tahu apa bahasa Inggrisnya ‘warna’?” Mayapun mengetukkan jari telunjuknya di pelipis sebagai tanda berpikir. “Tadak tau, Bu.” Mulutnya pun digerak-gerakkan meniru orang bule berucap bahasa Inggris sambil mengeluarkan suara tak jelas. Melihatnya aku tertawa kecil, diikuti tawa anak-anak. “Warna, dalam bahasa Inggris itu colour, ayo ucapkan samasama,” pintaku pada mereka. “Kaler...” ucap mereka dengan bunyi “r” ala Melayu. Belajar tidak melulu berkutat dengan ballpoint dan buku. Apalagi belajar Bahasa Inggris, tentunya bisa dilakukan dengan cara yang seru. Belajar bahasa Inggris tentang warna untuk anak SD kelas bawah tidak perlu begitu serius. Cukup siapkan kertas origami and lets play. Masing-masing anak dibekali beberapa potong kertas origami berbagai warna. Setelah anak-anak dirangsang dengan warna-warna, berikan mereka kesempatan untuk menyebutkannya dalam bahasa Indonesia. Kalau mereka sudah bisa menyebutkannya dalam bahasa Inggris sekaligus, berarti kita tinggal mendukung dan mengulang. Awalnya anak-anak diminta untuk menyebutkan satu per satu warna kertas. Ada dua anak yang mempermasalahkan warna merah muda dan pink. “Pink, Bu….” “Merah muda, Kak….” Akhirnya teriakan-teriakan mereka pun berhenti setelah diberi pengertian merah muda dan pink adalah warna yang sama. Sekarang giliran guru. Aku membimbing mereka dengan jalan “ucap dengan keras dan ulangi” sambil mengangkat kertas origami yang sesuai dengan dua bahasa, Indonesia-Inggris. Merah-red, repeat please…. Maka, anak-anak akan serempak menirukan “merahMahir Berbahasa


72

red” dengan suara lantang. Tentunya suara mereka memberikan nuansa semangat, memecah sepi ruangan. Dalam praktik fun learning, guru tinggal sebut satu per satu warna, dan anak-anak akan beradu tepat dan cepat dalam menjawab. Ketika guru menyebut hijau, anak-anak akan mencari origami warna hijau yang sudah disusun dengan kreativitas mereka, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sambil menyebut green. Bisa juga dilakukan sebaliknya, guru menyebut green, dan anak-anak yang sudah menemukan warna origami yang dimaksud akan mengangkatnya dan berucap “hijau”. Ini belajar dengan cara sederhana, anak-anak bisa saja merasakannya sebagai permainan. Begitu semangatnya anak-anak bahkan sampai mengangkat origami sambil meloncat! Saking grogi, mereka pun terkadang hanya bisa terkekeh karena panik diburu waktu ketika ingin segera menemukan warna yang kusebut. Mereka sudah terlihat mengeluarkan semua energi, sampaisampai keringat membasahi dahi dan tawa mereka pun makin melemah karena tertawanya sudah kepanjangan. Melihat hari semakin sore, sudah pukul 16.30, permainan ini pun aku sudahi. Mereka istirahat sebentar, barang waktu sepuluh menit. Namun, apa yang terjadi? Ternyata mereka masih punya tenaga ekstra. Mereka main getah lagi. Waktu istirahat pun habis. Bersama-sama membaca doa, bersama pula pulang ke rumah karena rumah mereka searah. Tak jauh dari pintu kelas 1, aku pun berucap, “See you!” Mereka hanya memamerkan giginya dan menarik dua ujung bibir lebar-lebar, “Apa tu, Bu, artinya?” “Pertanyaan bagus, Maya. See you artinya sampai jumpa.” “Hehehe… hehehe… see you, Bu,” langkah kakinya sambil berlari kecil. “Assalamu’alaikum,” sahutku.

Kreasi Penerang Guru Seberang


73 “Wa’alaikumsalam...” jawabnya sambil menoleh ke belakang. Sore itu lumayan menyenangkan dan hmm… tidak membosankan. Pagi harinya, aku bertemu lagi dengan anak-anak di sekolah. Saat melintas di antara mereka sebelum jam masuk kelas, ternyata mereka sedang bermain tebak-tebakan warna. Melati yang sore lalu datang istana anak mencoba pamer kosakata bahasa Inggris pada kawan yang tak ikut serta. “Kak Ela, apa bahasa Inggrisnya hijau? Tak tahu kan? Kamek semalam belajar bahasa Inggris ya, Bu? Yaa… sedaaap rase. Hijau itu green.” Melati mengajarkan pada Ela. “Mah, Bu… Coba sore ini belajar itu lagi, kamek semalam tak masuk, Bu...” rengek Ela. “Tenang jak… kapan-kapan kita nak belajar lagi,” jawabku singkat. Dalam pembelajaran menggunakan strategi ini, terjadi perpaduan kemampuan kognitif dan psikomotorik. Daya tangkap anakanak menyebutkan warna dalam dua bahasa, itulah kemampuan kognitif. Gerak anak mulai dari angkat tangan hingga meloncat merupakan sisi psikomotorik. Keduanya bisa dipadukan sehingga kemampuan kognitif dan psikomotorik terasah bersamaan. Bagaimana? Seru, bukan? Tertarik untuk mencoba dan berbagi keceriaan bersama mereka? Selamat mencoba! []

Mahir Berbahasa


74

Gara-gara Dangdut Koplo Frima Rahmulia

M

enjadi guru di tapal batas menuntut kita berkreativitas tanpa batas. Selain harus eksis bertahan di daerah serba terbatas, aku harus memastikan semangatku tak kandas. Setahun mengabdi g di tepi p negeri g terus membuatku menggenggam gg gg erat mimpi. Mimpi yang bagi orang lain mungkin tidak terlalu melambung tinggi. Namun cukuplah buatku: menginspirasi anak-anak batas negeri ini. Sebatik. Satu pulau dua negara. Berada di beranda Indonesia, garda terdepan sebelum gerbang Malaysia. Di pulau ini aku menjadi seorang guru muda di sebuah sekolah dasar. SDN 002 Sebatik, nama sekolahnya. Awalnya aku mengira lingkunganku adalah Kreasi Penerang Guru Seberang


75 orang-orang berdarah Melayu, yang logat bicaranya macam kartun Upin-Ipin. Tapi aku keliru. Mayoritas penduduk di kampung penempatanku berdarah Bugis. Ada juga warga Jawa namun tak banyak. Jadilah Pulau Sebatik ini Kalimantan rasa Sulawesi. Aku ditempatkan di sekolah yang tidak terlampau memprihatinkan dari segi fisik bangunan. Pada awal kedatanganku, sempat aku bergumam, mengapa aku tidak ditempatkan di sekolah reyot? Mengapa bukan di sekolah yang hidup segan mati tak mau? Yang dinding biliknya harus disangga kayu sedemikian rupa semacam di Laskar Pelangi? Seolah aku sudah dapat menerka menjadi guru SDN 002 Sebatik itu akan minim tantangan. Ragu aku dibuatnya. Kuduga, aku tak harus kalang kabut menghadapi siswa yang lebih tertarik untuk ribut dengan kawan kelasnya daripada duduk sopan menyimak pelajaran. Nyatanya, segera setelah itu keragu-raguanku terjawab. Kala itu aku hanya belum tahu bahwa akan ada tantangan yang musti dirampungkan. “SELAMAT DATANG DI SEBATIK, Bu. Alhamdulillah sekolah kami ini sudah cukup baik kondisinya. Hanya saja, siswa di sini masih perlu banyak bimbingan,� ucap kepala sekolah dengan aksen Jawa, Bapak Suwito, yang memang berasal dari Pacitan. SDN 002 Sebatik sudah berlantai keramik. Dengan dinding kokoh di tiap ruang kelas yang berjumlah enam ruangan membuat sekolah ini dapat dikatakan cukup layak. Ternyata pemerintah sudah cukup memerhatikan kondisi sekolah di perbatasan (belakangan aku tahu, hanya sebagian kecil saja sekolah yang memperoleh keberuntungan semacam ini). Aku diminta mengajar mata pelajaran bahasa Inggris untuk kelas 4, 5, dan 6. Sejenak aku merasa hal itu tidak sulit untuk dilakukan. Terlebih semasa kuliah aku memilih konsentrasi pada jurusanku sebagai guru bahasa Inggris untuk SD. Nyatanya, kelak pada mata pelajaran inilah aku harus memaksa neuron-neuron di otakku bekerja keras menemukan metode yang tepat untuk memahamkan siswa-siswaku mengenai bahasa negeri Ratu Elizabeth. Bagi Mahir Berbahasa


76 mereka, bahasa Inggris semacam bintang yang berkerlap-kerlip di langit terik siang hari. Aneh, mengejutkan, dan nyaris tidak mungkin. Tapi antusias mereka tak pernah minim. “Miss Frima, kita belajar bahasa Inggriskah? Ayolah pale, Miss! Kita belajar bahasa Inggris. Cepat saja tu, Miss, aku belajar bahasa Inggris!” tukas Roslan, siswa cerewet dari kelas 5. “Wah, iyakah? Cepat kau belajar bahasa Inggris? Ayolah pale kita belajar.” Bagi siswaku, bahasa Inggris macam makhluk dari antah berantah. Mereka belum pernah mempelajarinya. Maka, meski telah duduk di kelas tinggi, siswaku tak kuajari mengisi kalimat rumpang, menyusun paragraf, mendeskripsikan sebuah peristiwa, atau bercakap-cakap selayaknya tuntutan kurikulum. Selarik kalimat yang kurikulum menyebutnya sebagai standar kompetensi dan kompetensi dasar hanya berperan sebagai referensi dalam panggung mengajarku. Sang indikator—selaku “putra-putri” dari pasangan standar kompetensi dan kompetensi dasar—kubentuk sendiri menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Sebab, bagaimana mungkin siswaku pandai bercakap-cakap atau menyusun kalimat jika vocabulary pun belum mereka kenal sama sekali? Maka, aku persiapkan materi ajar yang sederhana. Memperkenalkan banyak kosakata menjadi fokus utama, dan aku masih menganggap mudah mengajarkan ini pada siswa. TERNYATA, MEMBUAT SISWA PAHAM dan hafal kosakata tak seringan mengajarkan yel-yel semangat. Saat yel-yel diajarkan, mereka bercucuran keringat karena semangat. Suasana kelas menjadi riuh rendah. Namun, ketika diajarkan kosakata, mereka tak kalah berpeluh, peluh akibat sulit memahami bahasa Inggris. “Aih, Miss. Susah betul bah belajar Inggris. Pusing bah kita, Miss,” keluh siswa-siswaku di tengah jam pelajaran. “Sebelah mana yang sulit, Nak? Sudah diajarkan oleh Miss tadi. Perhatikankah juga?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


77 “Perhatikan, Miss. Betul. Tapi sulit memang ini,� masih saja siswaku memprotes. Acap kali mereka mengeluh kesulitan. Inilah saat mulai kusangsikan dugaanku dulu. Inilah tantanganku sebagai guru bahasa Inggris. Padahal, aku telah mengemas pembelajaranku semenarik mungkin. Kuputar otakku ke berbagai arah, menikung tajam, berbelok zig-zag, tak jarang kulepas terjun bebas. Dan akhirnya perjalanan mencari ide itu mengerem mendadak ketika kulihat beberapa siswaku sangat menggemari lagu dangdut koplo. Ya, dangdut koplo! Virus yang menurutku membahayakan itu mulai menjangkiti siswa-siswaku. Rupanya virus yang ditebar dari Ibu Kota dengan cepat mewabah di perbatasan. Tentu ini ulah televisi yang tanpa segan menularkan dangdut koplo. Sejujurnya aku miris, lagu dangdut yang tak sepatutnya dinyanyikan dengan mudah disukai anakanak. Herannya, tiap larik dari lirik lagu amat mudah ditiru.

Prak, buk, dung, prak, bung, dung, prak. Terdengar kegaduhan dari sudut raung kelas 5 saat jam istirahat. Sakitnya tuh disini, didalam hatiku, sakitnya tuh disini didalam hatiku. Sakit! Sakit! Sakitnya tuh disini! Masya Allah, aku terkejut saat siswa-siswaku bersamaan menyanyikan lagu dangdut koplo. Hei, bagaimana bisa mereka amat hafal lagu dangdut itu? Itu kurang baik untuk anak-anak. Perlahan nasihat kusampaikan pada mereka tapi apalah daya kalau rumah dan lingkungan pergaulan mereka jauh lebih gencar memutar lagu-lagu itu. Aku harus memutar otak. Aha! Mengapa tidak kusulap fenomena ini? “Sakitnya Tuh Disini� amat difavoritkan oleh siswa-siswaku, dan sekaligus menarik perhatianku. Saat itu bertepatan dengan pekan aku akan mengajarkan kosakata nama buah dalam bahasa Inggris. Sesuai rencana, aku ubah lirik lagu tersebut menjadi ma-

Mahir Berbahasa


78 teri pelajaran. Mulanya kuambil nama buah-buahan yang biasa ditemui siswa. Aku berusaha mengemas pembelajaran yang tetap kontekstual agar lebih mudah mereka serap. Lagu ini akan mudah mereka nyanyikan, semudah saat mereka menyanyikan versi aslinya. Lagu ini akan tetap menjadi lagu favorit mereka meski liriknya telah berbeda jauh. Kali aku mantap yakin. “Aih, Miss. Belajar yang lainlah, Miss. Jangan bahasa Inggris terus bah, Miss”, protes Roslan sembari membenamkan wajahnya di buku yang terbuka di meja. “Roslan, kenapa juga kau, ni? Biasanya Miss tengok kaulah yang paling semangat. Mana ceriamu, Roslan?” sahutku. “Susah betul bah, Miss, bahasa Inggris tu. Maulah kami belajar bahasa Inggris. Tapi yang mudah saja bah, Miss, kan temanteman?” bela Roslan sambil meminta persetujuan yang lain. “Betul, Miss. Bukan kami tak mau belajar bahasa Inggris, Miss. Kami mau yang mudah saja, Miss.” Serentak seisi kelas 5 berunjuk rasa mengenai pelajaran yang seolah membebani hidup mereka. “Waaaah, tenang anak-anakku yang cantik ganteng nan wangi, Miss Frima punya kejutan hari ini untuk kalian. Ting!”Jawabku sambil mengerlingkan juga mataku. “Aih, apa Miss? Apa itu, Miss?” sergah siswa-siswaku tak sabaran. “Betulkah kalian mau tahu? Kalau iya, simaklah baik-baik ya!” Sejurus kemudian aku menyanyikan Buahnya Tuh Disini, alihalih mengajarkan kosakata bahasa Inggris, dengan irama dangdut Sakitnya Tuh Disini.

Semangka Watermelon Pisang Banana (Sakitnya tuh disini, didalam hatiku) Jambu Biji Guava Stroberi Strawberry (Sakitnya tuh disini, melihatmu selingkuh)

Kreasi Penerang Guru Seberang


79

Sirsak Soursop Anggur Grape (Sakitnya tuh disini, didalam hatiku) Mangga Mango Jeruk Orange (Sakitnya tuh disini, kau menduakan aku) Apel Apple (Sakit!) Durian Durian (Sakit!) Kelapa itu Coconut (Sakitnya tuh disini!) “Aih, Miss? Kenapa jadi begitu lagunya? Hahahaha‌.â€? Tawa siswa menjadi applause dalam bentuk lain bagiku. Awalnya mereka terkejut lagu kesukaannya diubah liriknya. Dugaanku tak meleset barang sejengkal. Pagi itu kuajarkan pada siswa kelas 5, dan semua siswa dengan antusias menyanyikannya. Terlebih dulu aku mencontohkan sembari mengajarkan pronouncation yang tepat. Tak luput dari pembelajaran, aku sajikan pula gambar-gambar berukuran besar buah-buahan yang menjadi bagian lirik lagu. Dan sihir dalam sulapku bekerja! Dalam sekejap seluruh siswa kelas 5 mahir menyanyikan lagu, sekaligus memahami kosakata nama buah dalam bahasa Inggris. Bahkan mereka tak hentinya menyanyikan, biarpun pelajaran usai. Kini giliranku menyaingi Cita Citata dalam menyebar virus lagu dangdut yang sukses diubah liriknya itu. SAAT PAGI BERANJAK DAN langit menjadi siang, aku rutin membimbing anak-anak mengaji di TPA yang cukup jauh dari rumah dinasku. Santri di TPA Nurwahidah diramaikan juga oleh siswa-siswaku di sekolah. Di sana aku terkekeh geli, pasalnya anakanak itu tak henti-hentinya menyanyikan Buahnya Tuh Disini biar-

Mahir Berbahasa


80 pun mereka tengah berwudhu, berkejaran dengan temannya, atau sedang menunggu giliran mengaji. Buahnya Tuh Disini dengan segera menjadi lagu favorit mereka—maaf ya, Cita, khusus di sini kepopuleranmu tersaingi. “Miss, bisa sudah aku nama-nama buah bahasa Inggris,” Roslan memamerkan nyanyiannya sambil bergoyang. “Aku pun pandai, Miss.” “Iya, aku pun juga,” sergah kawan-kawan Roslan tak mau kalah. “Cieee… alhamdulillaah. Pandai sudah rupanya kalian, ajarkan pada kawan yang di!” tukasku. LAGU DANGDUT YANG SEMULA merajalela kini berubah menjadi sebuah metode yang disukai. Dan tak hanya disukai, menggubah lagu tersebut juga terbukti menjadikan pembelajaran lebih efektif. Inilah sebuah alasan riil yang kutemui di lapangan, bukan sekadar di bangku perkuliahan, bahwa telah menjadi sebuah keharusan seorang guru memiliki pemikiran yang cermat, kritis, dan kreatif menghadapi suatu masalah pembelajaran di kelas. Selain itu, dibutuhkan jiwa peka ketika menemui fenomena yang tak biasa, ganjil, bahkan yang kurang baik sekalipun yang terjadi di siswa. Seseorang yang menjatidirikan sebagai guru seyogianya membimbing siswanya. Membangun diri menjadi sosok yang solutif nan kreatif dalam kiprahnya sebagai pribadi yang digugu dan ditiru. Guru yang seperti itu kelakkehadirannya kan selalu dirindu.

Ku eja rindu ini dalam lamunan Lalu kugantungkan pada awan Saat mendung datang padamu, adakah ia menghujanimu dengan rinduku?

Kreasi Penerang Guru Seberang


811

Engklek Pengeja Angka Januarita Sasni

M

enjadi pengajar di daerah marginal dengan segala keterbatasan sarana prasarana membuatku harus berpikir keras. Aku dituntut dapat mengenali pribadi setiap siswa, seka sekaligus menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan buat me mereka reka. Aku bukanlah sarjana pendidikan yang paham seluk-beluk dunia pendidikan. Aku hanya lulusan Kimia Murni yang dulu dituntut tidak banyak bicara, apalagi ketika praktik di laboratorium. Umumnya yang kuhadapi hanyalah deretan benda mati bernama zat kimia. Jika pun harus bertemu makhluk hidup, paling juga mikroorganisme. Sementara kini, aku harus berhadapan dengan makhluk hidup yang tidak mudah dikendalikan. Mahir Berbahasa


82 Walau demikian, aku merasa “tersesat� di jalan yang benar karena menjadi guru merupakan keinginan lamaku. Kini aku harus belajar dari nol tentang dunia pendidikan. Apalagi ketika mengajarkan mata pelajaran yang jauh melenceng dari ilmu yang dipelajari di bangku perkuliahan: bahasa Arab. Harusnya ini tugas sarjana pendidikan Islam, bukan sarjana sains, jika kita hanya berpikir sekilas. Tapi jika semuanya dikaji lagi, maka siapa pun bisa mengajarkan mata pelajaran apa pun selagi mau belajar. Kuterima semuanya dengan senang. Kondisi masyarakat di penempatan tentulah menjadi ujian berikutnya. Pro dan kontra atas kehadiran orang baru merupakan hal biasa. Aku pun tak terlalu mempermasalahkan. Pengetahuan siswa adalah masalah yang harus aku pikirkan. Betapa tidak, aku harus memberikan pelajaran sesuai dengan tuntutan silabus, sementara pengetahuan dasar saja mereka tak punya. Untuk mengatasi itu semua kucoba mencari cara-cara sederhana yang mungkin bisa membantu dalam pembelajaran. Alhasil, permainan engklek dipakai menjadi inovasi pembelajaran menghafal angka Arab untuk siswa kelas 5 MI Nurul Hikmah Cibaliung, Pandeglang, Banten. ENGKLEK MERUPAKAN PERMAINAN TRADISIONAL yang populer di tanah air. Dalam permainan ini pemain meloncat mengikuti pola garis yang dibuat di tanah. Biasanya batu pipih atau pecahan keramik menjadi alat permainan tersebut. Batu atau keramik yang ketika dilempar jatuh tepat di dalam pola menandakan bahwa si empu batu boleh terus melanjutkan permainan hingga ke tingkat berikutnya. Namun, dalam media pembelajaran ini, siswa tidak butuh batu pipih atau pecahan keramik. Mereka hanya butuh menjejakkan kaki di setiap segiempat tanpa menginjak garis. Teman-temannya yang lain akan meneriakkan nomor kolom tersebut menggunakan bahasa Arab berdasarkan pola yang sudah ada di papan tulis. Masing-masing segiempat yang bertuliskan angka tersebut akan dilewati oleh masing-masing siswa. Setelah sampai di ang-

Kreasi Penerang Guru Seberang


83

Mahir Berbahasa


84 ka sepuluh, mereka harus kembali melewatinya hingga turun ke angka satu kembali. Mereka harus melewatinya berkali-kali hingga mampu menyebutkan angka tanpa melihat ke papan tulis lagi. Seperti inilah desain engklek yang biasa kumainkan di kampungku, yang kini telah dimodifikasi menjadi engklek bahasa Arab. “Siapa yang mau duluan?” tantangku setelah kuperagakan cara bermain. “Parwati, Bu!” teriak salah satu siswa. “Ranah, Bu!” teriak yang lain. “Ruslan, Bu!” teriak yang lain lagi. “Abdi… abdi mah teu bisa, Bu,”jawab Ruslan saat ditunjuk temannya. “Piraku teu bisa,Rus?”tanggapku. Ruslan hanya senyum-senyum sambil gigit bibir. Inilah kebiasaan siswaku, yakni selalu saling tunjuk ketika ada giliran dalam belajar. Parwati memang siswa paling cepat memahami apa pun yang kusampaikan. Parwati selalu menjadi “korban” teman-temannya dalam belajar. Mau tak mau dia pun mulai meloncat setahap demi setahap engklek sambil mulai berhitung. “Waahidun, satu….” “Itsnaani, dua….” “Tsalatsatun, tiga….” Hingga angka sepuluh. Saat kembali ke angka satu, Parwati hanya loncat sementara teman-temannyalah yang meneriakkan angka dalam bahasa Arab. Begitulah hingga semua siswa kelas 5 mendapat giliran. Aku belum tahu seberapa efektif permainan ini dalam membantu siswa menghafal. Yang pasti, siswa bisa belajar sambil bermain. Siswaku tampak sangat menikmati pelajaran kali ini. Mereka bisa belajar tanpa merasa tertekan. [] Kreasi Penerang Guru Seberang


85 85

Kartu Baca Anak Wakatobi Maria Ulfah

M

enjad enjadi enja di guru bahasa Inggris Ing nggrris untuk k murid mur u id d dii daer daerah rah pelos pelosok o ok o timu mur Indonesia bu buka kanl nlah ah perkara mudah h. Me Men nggunaka kan timur bukanlah mudah. Menggunakan baha ba hassa Indonesia a ya y ang g baik saja j ma asih susa ah da dan n te erbat a a,, bahasa yang masih susah terbata, apal ap alag a i bahasa Inggris Ing ggris yang yan ng terdengar t rd te rden e gar sa ang ngat a asing d dii te teli linga me meapalagi sangat telinga reka ka a. Aku masi s h ingat saat h arii pe ar pertamaku me pertamaku m ngajar d dii kelas 4 MIS reka. masih hari mengajar Nur Nu rull Falah Wa W etuno Wakatobi T nggara Nurul Waetuno, Wakatobi, Sulawesi Te Tenggara. Aku menyapa mereka dengan hangat. “Good Morning everybody.” “Morning…” mereka menjawab dengan suara lantang dan serentak. Aku melanjutkan pertanyaan, “How are you today?” Seisi kelas menjadi hening seketika. Mereka saling pandang dan melempar senyum. Senyum itu aku tahu maksudnya. Kini senyum itu berubah menjadi tawa-tawa kecil tanda mereka tak mengerti apa yang kuucapkan. Mahir Berbahasa


86 Tiba-tiba ada siswa yang menyeletuk, “Yes… no… yes… no….” Sontak kelas menjadi ramai karena menertawakan temannya. Aku pun ikut tertawa. “Oke, baiklah, Ibu tahu kalian pasti belum tahu apa arti dari kalimat yang Ibu tanyakan tadi.” Mereka mengangguk semangat. “Ibu Guru o, tekami mbeya’e dahani bahasa Inggris,” ucap Asrul. “Kami tidak tahu, Ibu Guru.” “Dia sulit, Ibu Guru.” “Boleh orang pintar itu, Bu Guru, baru dia tahu.” Begitulah suara-suara lain siswa mengikuti keluhan yang Asrul sampaikan. Hari itu aku masuk ke beberapa kelas. Di observasi awal, aku menyimpulkan bahwa mereka masih minim kosakata karena memang sudah lama sekali pelajaran bahasa Inggris di sekolah ini hanya berjalan di tempat. SEPULANG KE RUMAH, AKU merebahkan diri istirahat sambil memikirkan apa yang harus dilakukan di pertemuan selanjutnya. Aku tak ingin anak-anakku menganggap pelajaran bahasa Inggris itu sulit. Dan aku tidak mau mereka berpikiran bahwa bahasa Inggris itu hanya bisa dikuasai oleh anak yang pintar. Aku yakin masalah utama mereka ada pada rendahnya penguasaan kosakata sehingga itu menyulitkan mereka dalam mempelajari listening, reading, dan speaking. Aku tahu persis mengajar bahasa Inggris dengan metode menghafal bukanlah pilihan tepat. Aku melihat sebagian besar anak di sini suka menyanyi. Aku pun pernah membuatkan mereka lagu dengan tema warna menggunakan irama “Potong Bebek Angsa”.

Kreasi Penerang Guru Seberang


87

Yellow itu kuning, red itu merah Green itu hijau, blue itu biru Gray abu-abu, purple itu ungu White itu putih and black itu hitam Pink merah muda, brown itu coklat Orange itu jingga atau oranye Itulah kawan, nama-nama warna Belajar bahasa Inggris itu menyenangkan Meski pembelajaran bahasa Inggris menggunakan metode parodi lagu cukup berhasil, aku masih belum puas. Kenapa? Karena aku masih melihat ada beberapa anak yang malas bernyanyi, entah karena dia sedang tidak mood menyanyi ataupun dia sedang mengantuk. Tapi aku menduga keras bahwa mereka yang tak semangat adalah anak-anak yang tak hobi menyanyi. Mungkin saja mereka minder dengan suaranya. Dan ini terbukti saat aku menanyai mereka satu per satu. “Saya malu, Ibu Guru, suara saya jelek, jadi saya malas sekali menyanyi,� ucap salah satu siswa. Aku sadar, meskipun metode ini sangat menyenangkan bagi sebagian siswa, aku tak boleh egois membiarkan beberapa anak tak menikmati pelajaran bahasa Inggris. Aku berpikir keras untuk menemukan formula pembelajaran yang bisa memuaskan semua siswa. Terdengar sangat idealis memang. Sungguh orientasiku bukanlah masalah hasil ataupun nilai akhir. Di antara siswa yang tak suka menyanyi tadi ada dua anak yang sebenarnya nilainya baikbaik saja meski di kelas dia terlihat sangat tak suka saat belajar bahasa Inggris. Bagiku, proses itu yang utama; seharusnya proses pembelajaran itu kegiatan yang menyenangkan, bukan sebaliknya. Aku pun cukup merasa bersalah saat menemukan ada anak yang uringuringan di kelas saat pelajaran berlangsung. Ini cukup mengingat-

Mahir Berbahasa


88 kanku bahwa aku sebagai seorang guru belum sepenuhnya berhasil. Kucoba untuk berkonsultasi mengenai hal ini pada salah satu guru senior di sekolah, yang pernah menjadi guru bahasa Inggris. “Pak Guru o, itu bagaimanakah ya supaya mereka senang saat belajar dan cepat hafal vocabulary. Saya sudah coba ajak mereka nyanyi-nyanyi tapi ada beberapa anak yang tidak suka, Pak.” “Wa ina e, Bu Guru ini, begitu saja sudah bagus. Kalau kita dulu itu hanya kasih menghafal saja,” terang Pak Guru. Penjelasan beliau kurang memuaskan hatiku. SUATU HARI AKU MELIHAT anak-anak sibuk bermain. Permainan ini sedang booming di sekolah. Bagaimana tidak, saat jam istirahat kita dengan mudah mendapati sepanjang koridor kelas sekelompok anak yang berkumpul antara 4-8 anak duduk asyik memegang beberapa potongan kartu di tangan. Permainan mereka ini cukup membuatku penasaran. Aku berjalan dari kantor menuju depan ruang kelas 6. Aku mendekati mereka. “Oi Fa, ikomiu main paira natu?” tanyaku dalam bahasa Wanci. Menyadari ada aku yang bertanya dengan bahasa Wanci, anakanak ini tersenyum lebar dan segera menjawab, “Kami bermain kartu baca, Ibu Guru.” Dalam hati aku bertanya, apa itu “kartu baca”? Entah bagaimana masa kecilku dulu, yang jelas rasa-rasanya aku tidak pernah memainkannya. Kuperhatikan kartu mereka baik-baik. Tak ada memori masa kecilku di Sampit yang bisa diingat. Sambil terus memaksa memori itu muncul, aku justru mendapat ide cemerlang. Media untuk mengajar vocabulary! Ya, tepat sekali. Tanpa membuang kesempatan aku langsung meminjamnya dari anak-anak untuk panduanku membuat media pembelajaran bahasa Inggris.

Kreasi Penerang Guru Seberang


89 Sesampainya di rumah aku langsung bekerja. Untuk referensi aku mencari contoh dari internet. Dan aku baru tahu, ternyata namanya adalah kartu kuarted. Ia disebut kartu kuarted karena memiliki empat kartu untuk tiap kategorinya. Media ini sangat mudah dibuat asalkan guru sudah familiar dengan Microsoft Word. Alat dan bahan yang digunakan pun sangat sederhana.

Alat dan bahan: 1. Komputer/laptop 2. Kertas Bufalo 3. Gunting/cutter Adapun cara pembuatan media kartu kuarted adalah sebagai berikut: 1. Tentukan tema kosakata yang akan dibuat. Contoh: stationary, occupation, family, vegetable. 2. Tentukan turunan tema sebanyak empat turunan. Contoh: stationary turunannya adalah book, pencil, ruler, dan eraser. 3. Buka Microsoft Word, kemudian bagi kertas menjadi beberapa bagian. Tuliskan tema pada bagian atas. Kemudian di bawahnya tuliskan empat kata turunan dari tema. Kemudian tambahkan gambar yang sesuai. Lihat gambar berikut.

Mahir Berbahasa


90

4. Berikan tanda warna merah pada tulisan yang menandakan kata yang sesuai dengan gambar.

5. Buat sebanyak 8 tema sehingga ada 32 jenis turunan atau jumlahnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 6. Setelah semua desain siap, print desain itu pada kertas Buffalo. 7. Potong tiap jenis kartu menggunakan gunting ataupun cutter hingga kartu siap digunakan.

Pada pertemuan selanjutnya aku mengenalkan kartu kuarted tersebut kepada siswa. Kreasi Penerang Guru Seberang


91 “Anak-anak, Ibu Guru punya kartu baca baru untuk kalian semua,” ucapku sambil mengeluarkan kartu kuarted dari saku baju. Aku sengaja tetap menyebutnya kartu baca agar tetap terdengar familiar di telinga mereka. “Wah, Ibu Guru buat sendiri ya? Atau beli? Ibu Guru tahu mainkannya?” Mereka mengejarku dengan berbagi pertanyaan. Mungkin mereka heran mengapa tiba-tiba gurunya punya mainan anak-anak. Aku menjawab pertanyaan mereka satu per satu dan mempersilakan mereka mengambilnya dari tanganku, dan segera membagi kelompok untuk bermain. PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN METODE BERMAIN dengan bantuan media kartu kuarted cukup memuaskan. Ada rasa puas yang tak bisa digambarkan saat melihat mereka tersenyum dalam belajar. Semua anak senang bermain kartu baca. “Ibu Guru, kapan kita belajar?”

Yes! Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Aku bersorak dalam hati. Ini indikasi bahwa mereka menikmati pembelajaran bahkan sampai lupa bahwa mereka sebenarnya sedang belajar. Aku segera menjawab mereka dengan senyum kecil dan berkata, “Ini kita sedang belajar.” Anak-anak masih heran. Aku maklumi pertanyaan itu karena memang bagi anak-anak di sini belajar adalah mencatat. Titik. Aku lalu menjelaskan kepada mereka bahwa belajar itu tak selalu identik dengan menulis dan menghafal. Ada banyak cara untuk belajar, salah satunya dengan bermain kartu baca. Tanpa disadari mereka terus mengulangi beberapa vocabulary yang tertulis di kartu baca, dan secara otomatis mereka akan mengingatnya tanpa harus menghafalkannya bersusah payah. “Oh….” kata itulah yang keluar dari mulut mereka seraya mengangguk-angguk kecil tanda mengerti.

Mahir Berbahasa


92 “Ibu Guru, boleh kita pinjam ini kartu untuk dibawa pulang?� Aku mengangguk sembari tersenyum. Akhirnya kerja keras membuat media kartu kuarted terbayar dengan melihat antusias mereka yang tinggi. Aku tersenyum kecil melihat mereka senang belajar bahasa Inggris. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


93 93

‘Cikgu’ Berkelompok Ulfa Wardani

S

ebagaimana penghuni Desa Tagelan lainnya, warga Kampung Cijaralang bersuku Sunda. Tidak heran bila mayoritas penduduknya berbahasa Sunda. Amat sangat jarang ditemukan warga di kampung ini yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Di tempat yang masuk dalam Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten inilah aku ditempatkan. Tepatnya aku ditugaskan sebagai pengajar siswa kelas 5 dan 6 MI Miftahul Huda Tagela untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris. Banyak warga yang malu mengajakku berbicara karena mereka tidak terbiasa berbahasa Indonesia. Bulan-bulan pertama aku mengajar di sekolah ini aku merasa sedikit kerepotan menerjemahkan bahasa anak-anak didikku. Contohnya ketika aku bertanya pada mereka, “Lima belas dikurang delapan berapa hasilnya?� Murid-muridku hanya bengong mendengar pertanyaanku. Sepertinya mereka tidak memahami apa yang aku tanyakan.

Mahir Berbahasa


94 Untungnya ada satu siswa yang bertanya, “Dikurangi itu dipiceun ya, Bu?” Sekarang giliran aku yang bengong mendengar kata “piceun”. Aku mencoba mengiyakan, mungkin saja dalam bahasa Sunda pengurangan itu disebut “piceun”. “Iya. Coba berapa hasilnya lima belas dipiceun delapan?” tanyaku pada mereka. “Tujuh, Bu...” jawab beberapa siswa serentak. Hari itu aku belajar dari mereka satu kata baru: dipiceun. Aku belajar juga untuk mencari solusi metode yang akan digunakan untuk menutupi kekuranganku, yaitu belum memahami bahasa mereka. Dengan demikian, mereka tetap bisa memahami pelajaran yang telah kusampaikan. Keesokan harinya, pada jam istirahat, aku dan beberapa pendidik sedang duduk-duduk di ruang guru. Terjadilah percakapan di antara kami. “Bagaimana ya, Bu, membuat anak-anak mudah memahami pelajaran yang kita sampaikan?” tanya salah satu guru. “Anak-anak di sini mah susah, Bu. Hari ini dijelaskan, besok udah lupa,” keluh seorang guru lagi. Aku jawab pertanyaan mereka dengan balik bertanya, “Sudah pakai metode apa aja, Bu, dalam menyampaikan pelajaran?” “Kita mah belum layak dikatakan guru, Bu. Masih kurang ilmu.” Dari pembicaraan barusan, dan fakta yang sering dilihat, aku menyimpulkan bahwa guru-guru di sini pada umumnya masih menggunakan metode ceramah dan CBSA (catat buku sampai abis) dalam menyampaikan pembelajaran. Sebagai guru SGI, aku dituntut untuk membuat inovasi pembelajaran. Berbagai buku tentang metode dan inovasi pembelajaran sudah dipersiapkan sebelum berangkat menuju lokasi penempatan Kreasi Penerang Guru Seberang


95 masing-masing. Kekuranganku saat ini adalah memahami bahasa Sunda. Terkadang ada beberapa kosakataku yang tidak dimengerti siswa karena aku juga belum tahu padanannya dalam bahasa Sunda. Aku mencari-cari metode yang bisa diterapkan untuk mengatasi kekuranganku ini. Sampai akhirnya aku mantap menerapkan metode kooperatif dengan tipe Student Team Achievement Division (STAD), metode yang hampir-hampir mirip dengan tutor sebaya. Mengutip dari beberapa sumber (antara lain sariniwesty.blogspot.co.id), STAD adalah metode pembelajaran kooperatif berkelompok yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD mengacu pada belajar-kelompok siswa; menyajikan informasi akademik baru menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam satu kelas dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 anak. Setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Sebelum dibentuk dalam kelompok, guru memberikan tes untuk mendapatkan informasi kemampuan siswa. Siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dipercayakan untuk menjadi cikgu (guru) di kelompoknya. Tugas cikgu adalah membantu temannya memahami pelajaran yang telah disampaikan dengan cara tutorial, atau saling berdiskusi menemukan jawaban dari latihan yang diberikan guru. Awalnya aku mengira, ketika siswa-siswa dibuat berkelompok, aku akan sedikit terbantu. Sebelum bekerja kelompok, aku memberikan penjelasan tentang materi pelajaran. Setelah itu, aku memberikan tes kepada mereka untuk menentukan siapa yang akan menjadi cikgu di kelompoknya. Ada tiga orang siswa yang memahami pelajaran yang kusampaikan dengan cepat. Ini terlihat dari hasil tes yang diberikan. Maka, kubentuk tiga kelompok dengan tiga orang siswaku tersebut menjadi cikgu. Tugas cikgu adalah membantu teman-teman di kelompoknya untuk memahami pelajaran. Ternyata oh ternyata, apa yang diharapkan dan dibayangkan sebelumnya malah gagal total! Bukan terbantu untuk menyampaikan pelajaran, malah aku menemukan masalah baru pada siswaMahir Berbahasa


96 siswaku. Beberapa siswa menangis karena tidak menginginkan sekelompok dengan si A atau si B karena dia agak lamban memahami pelajaran. Aku melihat telah terjadi perundungan (bullying) di kelas ini. Beberapa siswa juga tidak senang bekerja kelompok. Aku melihatnya sebagai ketidakpercayaan mereka terhadap temannya yang ditugaskan sebagai cikgu. Karena mereka tidak percaya pada temannya, bukan kerja kelompok yang terjadi, melainkan tugas individu. Malah hampir semua siswa mendatangi ke mana aku sedang berdiri untuk mendapatkan penjelasan. “Kalau begini jadinya, ini bukan kerja kelompok namanya,” kataku dalam hati. Bagi murid-muridku ini memang pertama kalinya belajar berkelompok. Ini pertama kalinya juga mereka ada yang ditugaskan mengajari temannya. Rusli adalah siswaku yang paling enggan jika diajak bekerja kelompok. Dia termasuk siswa yang cukup cepat memahami apa yang kusampaikan, terutama dalam pelajaran matematika. Namun, ketika aku memintanya menjadi cikgu di kelompoknya, dia sangat tidak senang. “Isin abdi mah, Bu, ngajari barudak,” begitu ucapnya. Terkadang aku juga mendengar dia mengucapkan, “Barudak mah bodoh, Bu, susah diajari.” Keesokan harinya aku membuat mereka bekerja kelompok lagi. Sebelum bekerja kelompok, aku bertanya pada mereka. “Kemarin siapa yang senang kerja kelompok?” Beberapa siswa mengacungkan jari meski lebih banyak yang tidak mengangkatnya. Hari ini, sebelum meminta mereka bekerja kelompok, aku memberikan penjelasan kepada mereka tentang manfaat bekerja kelompok. “Kenapa Ibu minta kalian bekerja kelompok?” Hening tidak ada jawaban dari mereka.

Kreasi Penerang Guru Seberang


97 Aku melanjutkan, “Karena mungkin saja ketika Ibu menjelaskan ada bahasa yang tidak kalian mengerti, dan Ibu belum tahu juga bahasa Sundanya. Jadi, dengan bekerja kelompok, kalian bisa saling bertanya pada teman-teman yang sudah paham, bisa saling membantu. Begitu pun buat anak-anak Ibu yang sudah paham. Kalau ilmu yang sudah kita paham diajarkan ke orang lain, ilmunya bukan berkurang, tapi membuat kita semakin mengingatnya. Paham teu?” “Paham, Cikgu!” jawab mereka serentak. Setelah mendapat penjelasan itu, akhirnya pembelajaran berkelompok kali ini sedikit lebih membaik dari sebelumnya. Tidak ada yang menangis lagi karena sekelompok dengan teman yang mereka anggap “bodoh”. Selain itu, mulai ada diskusi kecil di kelompok mereka walau masih banyak siswa yang lebih sering bertanya padaku daripada ke cikgu di kelompok masing-masing. Aku tutup pembelajaran dengan berkata pada mereka, “Ibu senang kalian sudah bisa bekerja kelompok. Besok-besok kalau ada kerja kelompok lagi, Ibu maunya yang belum pernah jadi cikgu harus mau. Bisa?” “Bisa, Cikgu...” jawab mereka. Aku melanjutkan, “Rajin belajar di rumah biar yang belum jadi cikgu bisa jadi cikgu.” SEKARANG SUDAH HAMPIR SEPULUH bulan aku mengajari mereka. Perubahan yang terjadi dari bekerja kelompok adalah mereka sudah saling menghargai. Siswa yang masih lamban dalam memahami pelajaran tidak lagi merasa minder hanya karena tidak ada teman yang mau sekelompok dengannya. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dari temannya sudah tumbuh rasa percaya diri karena dihargai kemampuannya oleh guru dan teman sekelompok.

Mahir Berbahasa


98 Di sisi lain, semakin pula sering aku mendengar mereka bertanya, “Ibu, kapan kerja kelompok lagi? Saya belum pernah lagi menjadi cikgu?� Senang rasanya dengan metode sederhana ini. Masalah yang cukup serius bisa dapat diatasi. Perundungan terhadap siswa-siswa yang lamban dalam memahami pelajaran kini sudah tidak berdengung lagi di kelas ajarku. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


99 9

Kenali

Sekitar

Kenali Sekitar kiitar


100

J

ika engkau seorang guru, pastilah akan merasakan frustrasi besar-besaran saat masuk kelas siang hari usai istirahat. Apalagi jika anak-anak di kelasmu adalah anak-anak kreatif. Sudah pasti, kelas berbau keringat, gaduh, sulit dikendalikan, dan berceceran kelelahan. Untuk kelas-kelas dengan tipikal siswa aktif, jangan coba-coba mendikte mereka untuk diam mendengarkan ceramah atau nasihat basi. Jika ini dilakukan, kemungkinannya ada dua. Pertama, kelas tambah gaduh, atau yang kedua siswa tertidur pulas mendengar dongeng yang kita tuturkan. Nah, aku sering mendapati anak-anak model seperti ini di SDN 06 Rasau Jaya, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Awalnya aku benar-benar frustrasi. Merutuki nasib mengajar di siang hari yang sensasinya nano-nano. Apalagi untuk pelajaran model IPS. Wow, its make me crazy!

Menemukan Harta Karun Riyanti

Kreasi Krea Kr eaasi e si PPenerang Pen en e neran erang ng Gu Guru G Gur uru SSeberang eber eb eran ang


101 “Anak-anak!” “Siap!” “Hari ini kita akan belajar tentang kebutuhan manusia. Coba, Endang, sebutkan kebutuhan kamu?” Endang yang ditanya masih menyeruput minuman. Buru-buru menyelesaikan seruputannya dan menjawab, “Alah, Bu, capek kami. Tadi kami lari-lari.” Aku tak mau kalah, dengan sabar berkata, “Baiklah, Endang masih capek berlari-lari. Berarti kebutuhan Endang saat ini adalah beristirahat. Hmm, coba Spenser, apa kebutuhanmu, Nak?” Spenser menyembunyikan kepala. Napasnya terengah-engah. “Kami capek juga, Bu.” Belum sempat aku mengucapkan kalimat berikutnya, anak yang lain sudah berteriak. “Bu, Rudi buang sampah sembarangan!” “Bu...! Tiara makan di kelas!” “Bu...! Riki ngejek saya!” “Bu...!” Dan, akhirnya aku meminta mereka menjawab soal-soal dengan berbagai posisi. Ada yang sambil berbaring, ada yang sambil menyanyi, sambil minum. Apa pun, yang penting anak mau belajar. Hari-hari berikutnya, aku mencari cara untuk mengakali mereka. Yup, jadi guru memang harus banyak akal untuk menyesatkan anak-anak ke jalan yang benar. Tercetuslah ide mengemas pelajaran dalam bentuk permainan. Salah satu permainan yang kulakukan adalah mencari harta karun. Sampai larut malam aku menyiapkan beberapa keperluan. Soal-soal, ulasan materi, juga hadiah kecilkecilan.

Kenali Sekitar


102 USAI ISTIRAHAT, AKU MENYIAPKAN diri. Anak-anak kelas 3 yang terkenal aktif tak terkendali ini sangat antusias untuk urusan bermain meski lelah mendera. Usai bla-bla-bla menanyai aktivitas mereka saat istirahat, aku mengajak mereka ke lapangan dan bernyanyi “Disini Senang - Disana Senang” sambil berjalan membentuk lingkaran. Ketika aku berteriak “LIMA” misalnya, anak-anak berkumpul lima-lima anak.Begitu seterusnya, dan inilah yang dijadikan kelompok. Aku akhirnya mendesain satu kelompok terdiri dari tiga anak. Setelah anak-anak mendapat kelompok, aku membariskan mereka dan menyampaikan aturan main. Pertama, aku menegaskan bahwa kita akan bermain mencari harta karun. Kedua, aku menjelaskan bahwa aku telah menyebar beberapa soal di sekeliling sekolah (batasan wilayah penyebaran soal juga disampaikan). Soal tersebut adalah “harta karun” yang harus mereka cari. Setiap kelompok harus mencari sebanyak enam soal. Ketiga, setelah mendapatkan harta karun, mereka wajib mencatat soalnya, kembali ke kelas mengambil uraian materi, dan menjawab soal-soal tersebut. Keempat, mereka harus membaca karena aku akan bertanya tentang apa yang telah mereka jawab. Kelima, kelompok terbaik akan mendapat hadiah. Setelah siswa paham dengan petunjuk yang kusampaikan, dalam hitungan ketiga anak-anak berhamburan mencari “harta karun”. Mereka begitu antusias, semangat mencari soal-soal. Siang itu lapangan penuh dengan teriakan-teriakan. Aku sengaja meletakkan soal-soal di tempat yang mudah dijangkau siswa. Ini kulakukan agar setiap kelompok siswa dapat menemukan enam soal yang berbeda. Setelah siswa berhasil menemukan soal-soal, mereka dengan sendirinya termotivasi untuk membaca karena tuntutan permainan. Kompetisi antar-kelompok terlihat begitu kental. Saling melemahkan dengan pamer keberhasilan. “Kelompok kami sudah jawab lima soal!” kata Bandi penuh kesombongan. Kreasi Penerang Guru Seberang


103 “Kami tinggal periksa, sudah enam soal. Sekejap lagi kami kumpul ke Ibu,” jawab Spenser dengan bangga. Setelah semua siswa mengumpulkan hasil kerja, selanjutnya aku melakukan tanya jawab model cerdas cermat. Soal-soalnya berkaitan dengan materi yang dibahas, tidak jauh dari soal-soal yang mereka jawab di permainan harta karun. Luar biasa antusias mereka. Tidak ada yang berteriak capek, mengantuk, lemah dan aduan ini-itu. Terdengar kecewa mereka saat kalah cepat dengan kelompok lain. “Yaah, kami tau, Bu.” “Hore, seratus!” Atas permainan yang gaduh itu, kini mereka bisa membedakan mana kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. “Apa kebutuhanmu, Spenser?” tanyaku di akhir pembelajaran. Spenser tak lagi menyembunyikan kepala. Sambil cengarcengir dia menjawab “Makan, baju, rumah, jajan, nonton TV….” Belum selesai Spenser menjawab, anak-anak mulai berteriak lagi. “Mobil, Bu!

“Hape, Bu!” “Kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, Bu.” Dan pembelajaran berakhir dengan ceria. Kelompok Jaka dalam pembelajaran ini berhasil mendapat hadiah atas kemenangan di permainan harta karun. Saat bersalaman pulang, Jaka berbisik, “Terima kasih hadiahnya, Bu.” Aku mengangguk, bahagia. []

Kenali Sekitar


104

Kunjungan ke Pembeliangan Peni Yanda “Pak, mengapa eng gapa kantor desa letaknya tidak di Kilo Empat?� Pertanyaan aan n polos dan kritis Aitun kepada Pak Subandi membuatku tersenyum nyum menahan tawa saat mendampingi siswa-siswa kelas 4 dan 5 belajar di kantor Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Tak menyesal aku mengajak mereka belajar jauh-jauh ke Pembeliangan, pusat desa tempat setahun aku ditempatkan. Satu semester lewat membersamai anak-anak di kampung Kilo Empat membuat hatiku semakin jleb saat kusadari bahwa wawasan ilmu sosial mereka masihlah amat kurang. Wajar saja, pikirku. Di sekolah yang bernama SDN 001 Filial Kalas ini mereka tidak pernah menemukan bangunan perpustakaan. Sudah tergambar jelas betapa mereka jauh dari bahan bacaan. Televisi pun jarang ditonton. Bukan karena tidak suka, melainkan karena pasokan listrik di sini hanya menyala lima jam per hari, itu pun hanya saat malam tiba. Namun, di situlah aku justru bersyuKreasi Penerang Guru Seberang


105 kur. Sebab, anak-anak kampung ini tidak terbawa pengaruh negatif televisi. BELAJAR DARİ PENGALAMAN SEMESTER lalu, materi Pendidikan Kewarganegaraan tentang sistem pemerintahan pusat sangatlah abstrak. Sulit bagi siswa kelas 4 di sekolahku mengenali lembaga-lembaga terkait karena mereka belum pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Kini tiba semester baru, kudapati materi PKn kali ini setipe dengan semester lalu, yaitu sistem pemerintahan desa. Aku mulai berpikir cara agar materi mudah dipahami siswa. Terlintas ide, mengapa tidak kuajak langsung anak-anak belajar di kantor desa? Namun, bagaimana dengan siswa kelas 5? Sebagai guru kelas rangkap, aku harus bisa menyiasati agar kedua kelas terfasilitasi belajarnya dalam satu waktu. Kubuka kembali silabus pembelajaran kelas 5. Adakah yang bisa dipadukan dengan materi kelas 4? Ini dia! Mata pelajaran bahasa Indonesia kelas 5 dengan indikator berupa siswa dapat menceritakan hasil pengamatan atau kunjungan dengan bahasa yang benar. Ini sudah cukup, pikirku. Membawa anak-anak berkunjung tentu tidaklah sederhana dalam bayangan. Letak kantor desa cukup jauh dari sekolah kami. Esok hari, kusampaikan kepada Bu Harmawati maksud membawa anak-anak berkunjung. Bu Harmawati adalah penanggung jawab sekolah filial ini. Meskipun agak khawatir, akhirnya Bu Harma setuju. Segera aku mengabari Pak Muhtarom, kepala SDN 001 Sebuku. Alhamdulillah beliau pun menyambut baik gagasan ini. Setelah berkoordinasi dengan pihak Desa Pembeliangan, akhirnya aku bisa membawa anak-anak belajar pada pekan berikutnya. RABU YANG DITUNGGU-TUNGGU tiba. Siswa-siswa kelas 4 dan 5 datang lebih awal. “Bu Guru, kapan kita jalan?� Beberapa anak berlari menghampiriku yang baru datang. Terlihat mereka tak sabar menanti instruksiku. Di depan sekolah beKenali Sekitar


106 berapa orangtua siswa sudah menunggu di atas motornya karena ingin langsung mengantar anak-anaknya ke log pond Kalas, tempat kami menanti perahu. “Siapa guru yang ke Pembeliangan, Bu?” tanya salah satu wali siswa. “Saya, Bu.” “Pak Amrino ikut?” “Tidak, Ibu, ini khusus anak kelas 4 dan 5 saja. Ada pelajaran tentang pemerintahan desa. Insya Allah nanti yang bawa anakanak, Bu,” jelasku. Ya Allah, aku membuat orangtua mereka khawatir. Hanya padaMu kami berserah diri. Setelah memberi aba-aba, aturan, dan doa, kami pun berangkat menuju logpon Kalas. Sekitar sepuluh menit menunggu, perahu Acil tiba. Acil adalah sapaan untuk Bu Hamidah, rekan guru di sini juga. Perahu menepi ke kayu balak di tepi sungai. Siswaku Aidil sigap berlari menyambut tali perahu dan menariknya. “Pelan-pelan, Nak!” sahutku. Satu per satu siswa masuk perahu. Inilah pertama kalinya kami naik perahu bersama. “Mana semangaaatmu?!” teriakku lantang. “Ini semangaaatku!” jawab mereka tak kalah lantang. Subhanallah, terlihat senyum keceriaan di wajah-wajah mereka. Kendati berisiko, tapi kami menikmati sekali perjalanan sungai ini. “Bu Guru... Bu Guruuu, lihat itu! Ada monyet,” teriak Saidi sembari menunjuk ke tepi sungai. Tampak beberapa ekor bekantan tengah menari di dahan pohon di pinggir sungai. “Waaah...bekantaaaan... itu bekantaan!”

Kreasi Penerang Guru Seberang


107 Tidak terlalu lama. Hanya lebih kurang sepuluh menit kami pun tiba di Pembeliangan. Sebenarnya jarak Kalas-Pembeliangan tidak begitu jauh, hanya bukit dan sungailah yang memisahkannya. Segera kuinstruksikan anak-anak untuk menuju ke sekolah induk yang tidak jauh dari tempat kami menepi. Sembari menunggu aku menjumpai Pak Muhtarom di ruang kepala sekolah, anak-anak kuminta membaca buku di perpustakaan SDN 001 Sebuku. Di kantor Desa Pembeliangan, kami sudah ditunggu oleh Pak Subandi, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Pembeliangan. Sayang sekali, anak-anak tidak bisa bertemu langsung dengan Pak Amboce, Pejabat Sementara Kepala Desa, karena sedang sakit. Namun, kami bersyukur karena Pak Subandi sangat membantu. Kedatangan kami disambut baik oleh beliau. Pak Subandi menjelaskan tentang struktur pemerintahan, tugas-tugas, pemilihan kepala desa, hingga berbagai prestasi yang pernah diraih oleh Desa Pembeliangan. Pak Subandi juga dengan sabar menjawab berbagai pertanyaan dari 14 siswa aktif ini. Mulai dari pertanyaan bagus, pertanyaan berulang, hingga pertanyaan aneh, semua dilayani beliau. Terima kasih, Pak Subandi. Terima kasih para staf kantor desa. Terima kasih pula buat kepala sekolah kami, Pak Muhtarom, yang sudah repot-repot membawakan snack dan minuman buat anak-anak. Usai belajar di kantor desa, kami bertandang ke gedung di sebelahnya, yaitu Perpustakaan Desa Pembeliangan. Ada banyak buku bacaan dan permainan anak di dalamnya. “BEST LAH, BU, TADI kami bisa nampak buku, bisa main-main di perpustakaan,� ungkap Ana sepulang sekolah. Mengakhiri pembelajaran hari itu, aku mengingatkan siswa kelas 4 dan 5 untuk membuat laporan hasil kunjungan menurut poinpoin yang kuminta. Aku juga meminta siswa kelas 5 untuk menuliskan cerita kunjungan mereka untuk diceritakan pada pertemuan berikutnya.

Kenali Sekitar


108

“Pada hari Rabu ku pergi ke Pembeliangan Naik perahu sederhana, ku naik di Kalas Bersama teman-teman dan Bu Guru Peni Ku blajar di kantor desa, oh senang rasanya Yuk, kawan-kawan Yuk kita berbagi crita... Yuk, kawan-kawan Yuk kita berbagi crita...” Sebait lagu mengawali pembelajaran kami pada pertemuan berikutnya. “Bu Guru, kapan kita ke Pembeliangan lagi?” seru Aidil. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


109

K

elas pasif. Itulah suasana yang pertama kali terlihat saat aku tiba di SDN Rarak Ronges, sekolah penempatanku di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Sebuah sekolah yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, dan termasuk desa paling tinggi di kabupaten tempatku berada. Desa penempatanku ini belum merasakan listrik sepenuhnya selama 24 jam. Listrik menyala hanya enam jam, dari pukul 18.00 sampai 24.00 waktu setempat. Karena ketiadaan listrik inilah guruguru di sekolahku tidak pernah melakukan pembelajaran dengan menggunakan media ataupun alat peraga. Oleh pihak sekolah, aku dipercaya mengampu mata pelajaran IPS. Di benakku terlintas masa sekolah dasar dulu tentang materi negara-negara. Aku berpikir, apa inovasi yang bakal kulakukan un-

Puzzle Dunia Andi Pahman Harahap

Kenali Ke ena nalii SSekitar ekkit itar ar


110 tuk memudahkan pembelajaran IPS? Aku mengajarkan IPS di siswa kelas tinggi, kelas 4 sampai kelas 6. Bulan pertama penempatan, materi tentang peta dunia di kelas 6. Sebelum tiba waktu mengajar di kelas, aku berpikir tentang media atau alat peraga yang harus dipergunakan untuk memudahkan pemahaman siswa. Di tengah kebingungan dan keheningan rumah, muncul ide. Peta merupakan permukaan Bumi yang bisa dilihat gambarnya. Mengapa tidak berupa puzzle? Bukankah potongan peta dalam puzzle memicu semangat anak dalam mempelajari IPS? Berangkat dari ide tersebut, aku pun mempersiapkan bahan dan alat yang harus dibutuhkan dalam membuat alat peraga. Keesokan harinya aku sudah mendata keperluan alat dan bahan untuk menghasilkan peta dunia yang bagus. Perlu printer untuk mencetak gambar peta. Perlu mengunduh peta yang diinginkan dari internet. Yang sudah tersedia antara lain kertas HVS, kardus bekas, lem kertas, dan gunting.

UNTUK MENCIPTAKAN PUZZLE YANG berkualitas dan tahan lama, berikut cara pembuatannya. 1. Print gambar yang sudah diunduh. Gambar harus jelas dan memuat unsur kompetensi dasar yang akan diajarkan. 2. Gambar yang sudah dicetak tadi ditempel di kardus bekas agar kuat atau keras. 3. Hasil langkah kedua didiamkan selama satu malam supaya lem di kertas mengering, dan tempelan tidak mudah lepas. 4. Esoknya, gambar digunting menjadi beberapa bagian yang kita inginkan sesuai dengan kemampuan siswa. Alat peraga puzzle dunia ini pun siap dipraktikkan anak-anak di dalam kelas. Sejak dari awal pembuatan alat peraga ini, aku sudah berpikir anak-anak pasti merasakan senang dan bahagia dalam pelaksanaan pembelajaran. Kreasi Penerang Guru Seberang


111 JADWALKU MENGAJAR DI KELAS 6 tiba. Pagi-pagi dengan semangat aku mandi ke sungai. Masih pagi buta sekali sebenarnya. Aku pertama sekali yang datang ke tempat mandi sebelum anakanak berdatangan. Tiba di rumah, aku langsung memakai pakaian yang paling bagus menurut penilaianku sendiri. Berjalan ke sekolah bersama sebagian anak-anak, hingga tiba di kelas untuk masuk mengajar. Kuawali pelajaran hari itu dengan menanyakan kabar mereka. Setelah ice breaking, saatnya memberikan materi pelajaran. Puzzle alat peraga yang sudah kubuat terbungkus rapi di dalam kertas hitam. Kukeluarkan dan kuperlihatkan kepada anak-anak. “Anak-anak, apa yang ada dalam kertas plastik ini? Siapa yang bisa jawab akan Bapak kasih hadiah,” kataku mengawali. Sebagian anak menjawab secara bergantian dengan mengacungkan tangan terlebih dahulu. “Tepung, Pak!” “Makanan, Pak!” “Kertas, Pak!” “Batu, Pak!” Begitulah beberapa respons anak-anak begitu melihat plastik yang ada di tanganku. Awal yang bagus karena respons anak-anak untuk mengetahui isi tersebut sangat antusias. “Oke, ini oleh-oleh dari Bapak. Di sini ada potongan harta karun, nanti tiap-tiap kelompok mendapatkannya. Untuk bisa memakan oleh-oleh tersebut harus disusun dulu supaya membentuk gambar harta karun yang sempurna. Bagaimana anak-anak? Siap?” Anak-anak serentak menjawab, “Siap, Pak!” Oleh-oleh harta karun itu pun dibagikan ke setiap kelompok. Ikatan plastik pun dibuka, langsung isinya dikeluarkan, dan anakanak bekerja sama menyusun alat peraga tersebut. Anak-anak

Kenali Sekitar


112 berlomba-lomba menyusun karena siapa yang cepat selesai akan diberikan hadiah. Dengan teriak “yes yes yes� akhirnya satu kelompok selesai menyusun puzzle. Kelompok yang lain menyusul. Tiap-tiap kelompok berdiskusi tentang gambar tersebut kemudian kuminta menjelaskan di depan kelas. Respons anak-anak sangat senang, bahkan sebagian lagi meminta diulang. Begitulah, hari-hari berikutnya setiap ada mata pelajaran IPS tentang gambar negara, mereka sangat antusias karena adanya alat peraga sederhana ini. Mata pelajaran IPS pun selalu mereka nantikan. Dan dampak lanjutannya adalah hasil belajar anak-anak bertambah baik. Pengalaman ini memberikan kesan mendalam buatku. Pembelajaran yang menyenangkan akan mendapatkan hasil belajar yang baik, anak-anak senang dalam belajar. Sebagai guru, aku harus sigap menyediakan alat peraga agar hasil pembelajaran selalu dikenang. Materi yang pernah diberikan pun—tanpa disadari—insya Allah bakal terus melekat dalam pikiran anak. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


113

P

agi ini cuaca masih berkabut. Tapi semangat anak-anak tak pernah surut. Mereka mungkin belum sadar tentang apa yang sedang mereka tuntut. Yang pasti kebahagiaan dan harapan mereka tak boleh direnggut. Pukul 06.30. SDN 06 Rasau Jaya, Kubu Raya, Kalimantan Baratmasih terhitung sepi. Di halaman sekolah beberapa anak bermain lompat tali, yang lain bermain tabak, dan sebagian besar anak lakilaki bermain stik. Seperti biasa, berjalan kaki menerobos aktivitas mereka selalu menjadi kesenangan tersendiri. Tawa-tawa riuh, senyum malu-malu, dan sapaan-sapaan hangat. “Pagi, Bu!” “Pagi….” Jawabku ramah.

Sumber Alam Daerahku Riyanti

KKenali Ke naali SSekitar ekkit ekit itar ar


114 Kantor telah kubuka. Beberapa anak berebut masuk kantor mengambil kunci kelas, ada pula yang mulai membersihkan piringpiring kotor di kantor. Pukul 07.30. Guru-guru yang lain berdatangan. Pagi selalu menyuguhkan cerita soal petualangan mereka menyeberangi sungai dan melewati jalan becek dan bergelombang. “Duuh, Bu Yanti, aku hampir tibo. Dalan lunyu pol!� Bu Asih, guru asal Jawa, menyapa pagi dengan petualangan serunya. Iya, guru-guru tinggal jauh dari sekolah. Untuk sampai ke sekolah, mereka harus menyeberang sungai dan melanjutkan jalan darat dengan motor. Total jaraknya sekitar 6 kilometer. Sayangnya, jalan tak seindah kisah cinta Habibie-Ainun. Apalagi musim hujan, 6 kilometer serasa jadi 60 kilometer. Pukul 08.00. Kantor mulai ramai. Aku dan guru-guru siap masuk ke kelas. Aku bersyukur, meski masuk pukul delapan, guruguru masih setia hadir setiap hari. Aku tak dapat membayangkan jika kondisi sekolah seperti sekolah lain di daerahku, guru-guru malas sekali hadir. Berbeda dengan guru-guru di sekolahku ini, yang aku yakini bahwa suatu saat mereka akan hadir lebih awal dari pukul delapan. Pagi itu aku akan mengajarkan IPA untuk siswa kelas 3. Sering dalam pembelajaran anak-anak tidak mengerti apa yang sebenarnya dipelajari. Misalnya saja saat belajar energi. Mereka kurang memahami bahwa energi sangat dekat dengan kehidupan mereka. Ini menjadi salah satu sebab anak-anak mudah melupakan pelajaran. Baru saja dijelaskan tentang manfaat air, mereka akan kembali lupa saat ditanya beberapa saat setelahnya. Saat berbicara energi, mereka berpikir seakan rumit. Suatu kali aku bertanya, adakah sumber energi yang ada di sekitar kalian? Mereka kebingungan meski aku telah menjelaskan berkali-kali. Menghindari hal tersebut terulang kembali, aku merancang pelajaran pagi itu dengan wisata alam. Kami akan belajar tentang sumber daya alam. Aku menamai wisata alam ini dengan “alam taKreasi Penerang Guru Seberang


115 kambang jadi guru�—sebuah ungkapan yang berasal dari pepatah Minangkabau. Selain memudahkan siswa memahami pelajaran, meningkatkan daya ingat siswa tentang pelajaran, kegiatan pagi ini juga kumaksudkan untuk menyalurkan kebutuhan siswa aktif, yakni berjalan dan bermain. Selesai berdoa, aku menyapa anak-anak dengan ramah. Lalu, aku mengumumkan tentang pembelajaran hari itu, dan menjelaskan tata tertib belajar. Tata tertib yang kami sepakati adalah siswa tidak boleh merusak tanaman, berjalan di sebelah kiri, tidak boleh bergerombol, dan mengikuti pembelajaran sesuai dengan instruksi yang kuberikan. Melewati jalan dan jembatan, anak-anak berjalan sambil bernyanyi riang menuju ladang warga. Berderetan dan berpasangan selama di jalan adalah peraturan yang harus mereka pegang. Hal ini bertujuan agar siswa tidak mengganggu pengguna jalan. Sesampainya di tempat yang telah ditetapkan, anak-anak duduk melingkar. Aku membagi mereka ke dalam beberapa kelompok. Memberikan ice breaking dan petunjuk tugas. Dalam materi kali ini, aku berharap paling tidak siswa paham bahwa di sekeliling mereka banyak sekali sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Jadi, tugas mereka adalah mendata sumber daya alam apa saja yang dapat diamati di sekitar mereka. Selanjutnya mereka mengelompokkan jenisnya, apakah termasuk dalam tumbuhan atau hewan, dapat diperbaharui atau tidak, dan seterusnya. Selain mengamati dan mengelompokkan, setiap kelompok harus dapat menemukan manfaat masing-masing sumber daya alam yang ditemukan. Misalnya, ayam dimanfaatkan telur dan dagingnya sebagai bahan makanan. Setelah mendengarkan penjelasan, siswa berpencar dengan kelompoknya untuk menemukan berbagai sumber daya alam. Mereka sangat antusias, dan bersaing menjadi kelompok terbaik. Secara bergantian anak-anak bertanya tentang manfaat sumber daya alam.

Kenali Sekitar


116 “Bu, kalau biawak manfaatnya apa?” Jaka bertanya dengan semangat. “Biasanya, Jaka memanfaatkan biawak untuk apa, Nak?” “Untuk dimakan, Bu,” jawabnya polos. Aku terbelalak, anak-anak riuh menertawakan Jaka. “Ssttt, anak-anak tolong jangan ditertawakan. Lebih baik dengarkan Ibu ya. Dalam agama Kristen, biawak itu tidak diharamkan sehingga wajar jika orangtua Jaka memasaknya. Kita yang Muslim, tidak boleh mengolok. Siap?” “Siap, Bu!” jawab anak-anak sambil menahan senyum. “Tetapi, bagi orang Muslim, biawak haram hukumnya untuk dimakan sehingga kita tidak boleh memakannya. Lalu bagi Muslim apa dong manfaatnya?” tanyaku mencairkan suasana. Anak-anak terlihat bingung. “Biawak punya kulit tidak?” tanyaku lagi. “Punya, Bu.” “Kulit biawak bisa dimanfaatkan untuk membuat tas tidak?” “Iya Bu, same kayak buaya kan?” Karliyan berusaha memahami. “Betul, Karliyan. Jadi, biawak bisa dimanfaatkan untuk apa?” “Kulitnya untuk tas, Bu.” “Pintar! Ayo, sekarang lanjutkan lagi ya.” Anak-anak kembali beraktivitas. Banyak pertanyaan dan pernyataan lucu yang mereka tuturkan. Namun, semua semakin membuatku sadar tentang cara mengajarkan menghargai perbedaan dan mencintai lingkungan. Usai melakukan kegiatan di ladang, anak-anak kembali ke sekolah. Kelelahan terlihat di wajah-wajah mereka, namun tak dapat mencuri keceriaan mereka.

Kreasi Penerang Guru Seberang


117 Sampai di sekolah, kami memulai diskusi. Masing-masing kelompok membacakan sumber daya alam yang mereka amati serta menjelaskan manfaatnya. Aku melakukan tanya jawab ringan tentang kegiatan dan hasil kerja anak-anak. Menjelaskan ulang adalah kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan. Pembelajaran ditutup dengan tes tanya jawab. Siswa akan istirahat jika berhasil menjawab pertanyaan. Semangat anak-anak untuk mendapat nilai tertinggi dan cepat istirahat membuat mereka berebutan menjawab. Meski jam istirahatnya tersita banyak, mereka tak menyadari. Berjalan menuju ladang, bermain cepat tepat, membuat mereka tidak merasa sedang belajar. Meski gaduh, sebagian besar anak mampu menjawab pertanyaan seputar sumber daya alam yang kuajukan. Ini menyenangkan. Anak-anak tak lagi putar kepala kanan-kiri. Soal lupa, mudahmudahan ini tak terulang lagi. Membuat pembelajaran dekat dengan kehidupan mereka, semoga bisa membantu anak-anak memahami pelajaran dengan baik dan mengingat lebih lama. []

Kenali Sekitar


118

K

etika sekolah dasar dulu, IPS merupakan mata pelajaran yang sangat kusukai. IPS menjadi keunggulanku di dalam kelas. Itu dulu, sekitar 13 tahun yang lalu. Tanpa kusadari, Allah berkehendak yang lebih luar biasa lagi. Sekarang aku menjadi guru di SDN Rarak Ronges, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, selama setahun mengampu IPS. “Ya, mata pelajaran IPS selama setahun ini harus memberikan yang terbaik bagi sekolah ini, terkhusus kepada anak didikku nantinya,� begitulah kata-kata yang terlintas dalam pikiranku saat diamanahi pihak sekolah. Sebulan pertama mengajarkan IPS ini, kendala dan masalah dalam pembelajaran sangat sering terjadi, terutama nilai hasil belajar anak. Dari KKM 70, hanya beberapa siswa yang mendapatkannya. Di tengah permasalahan nilai belajar anak yang masih rendah inilah aku mendapatkan ide. Bagaimana aku membuat anak-anak ini

IPS Pintar Andi Pahman Harahap

KKreasi Krea Kr reaasi si PPenerang en ner era raan ng Gu Guru ru u SSeberang eber eran angg an


119 semangat dalam belajar, dan pelajaran pun terus melekat dalam pikiran mereka? Beradu ketangkasan dan beradu kekuatan memori otak. Cocok untuk mata pelajaran ini karena IPS banyak memuat fakta sejarah. Untuk melekatkan dan menguatkan memori otak sejarah anak, aku melakukan inovasi pembelajaran dengan nama “IPS Pintar�. IPS Pintar bisa dilaksanakan ketika pembelajaran berlangsung ataupun sebelum pelajaran berakhir. Pelaksanaan IPS Pintar ini hampir sama dengan cerdas cermat, yakni beradu kecepatan ingatan. Dalam pelaksanaan IPS Pintar ini ada tujuh langkah yang harus dilakukan. Pertama, pengelompokan. Dalam pengelompokan ini tidak asal pengelompokan saja. Perlu ada yang dipersiapkan, yaitu siswa harus heterogen secara kepintaran. Misalnya ada 30 orang anak dengan 6 kelompok. Tiap-tiap kelompok harus diisi oleh peringkat 1-5 terbaik dari mata pelajaran IPS. Jangan lupa juga menamai kelompok, sebisa mungkin masih berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari. Kedua, perebutan soal. Tiap-tiap kelompok mengutus satu orang untuk dijadikan sebagai wakil perebutan soal. Dalam perebutan ini, siapa yang cepat mengangkat tangan maka kelompoknyalah yang akan menjawab. Ketiga, pemberian soal. Yang memberikan soal adalah guru. Soal yang diberikan menjadi rebutan utusan tiap kelompok. Keempat, kelompok jawaban. Soal yang sudah diberikan oleh guru dan diperebutkan utusan tiap-tiap kelompok. Kelompok yang pertama kali mengangkat tangan akan dijawab oleh anggotanya yang tertinggal dalam pelajaran IPS. Kelima, penskoran. Dalam penskoran ini nilai yang diberikan tergantung oleh guru yang memandu acara. Misalnya, seperti yang sering kulakukan, nilai ketika menjawab benar adalah 200, sedangkan apabila salah atau waktu habis akan dikurangi nilai 100.

Kenali Sekitar


120 Keenam, penjumlahan skor. Setelah dirasakan cukup waktu dan materi sudah habis ditanyakan, saatnya menjumlahkan skor tiap-tiap kelompok. Ketujuh, pemberian hadiah (reward). Hadiah diberikan kepada kelompok yang paling tinggi nilainya berupa bintang prestasi. Demikianlah langkah-langkah dalam pelaksanaan IPS Pintar ini. Inovasi pembelajaran ini memang sederhana namun sangat berpengaruh dalam menguatkan memori pikiran anak, selain tentunya menjadikan pembelajaran IPS pun menyenangkan. Terbukti selama setahun dalam pengabdianku sebagai guru di sekolah ini, setiap masuk ke dalam kelas anak-anak selalu memintaku mengadakan IPS Pintar. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


121

S

udah sembilan bulan masa penempatanku di SDN 001 Sebuku Filial Kalas, Nunukan, Kalimantan Utara. Aku mendapati anak-anak di kampung penempatanku masih banyak yang belum bisa shalat. Kegelisahan ini mulai hadir sejak Ramadhan. Kini penyesalan semakin menggumpal di hati. Mengapa aku terlambat menyadari persoalan ini? Mengapa baru sekarang aku berpikir untuk lebih serius menggembleng amalan wajib ini? Selama ini aku terlalu fokus memperkenalkan dan membiasakan amalan sunnahkepada anak-anak. Mulai dari kegiatan tahsin ceria hingga menghafal 1-2 ayat Al-Quran setiap hari. Aku justru lupa memerhatikan amalan wajib mereka. Astagfirullah. Selama ini, aku biasa mengajak anak-anak shalat bersama, terutama sebelum kegiatan istana anak pada sore hari. Tidak kusangka banyak hal yang luput dari perhatianku. Secara tampak lahir, mereka sudah bisa shalat. Terlihat mereka sudah paham gerakan shalat dan rakaatnya. Di luar sangkaanku, sebagian besar mereka

Hafalan Shalat Filial Kalas Peni Yanda

KKenali Kena Ke enaali SSekitar ekit ek itar it aarr


122 belum hafal bacaan shalat. Nak, maafkan Ibu Gurumu ini, batinku penuh sesal. SYAWAL TIBA DISAMBUT DENGAN kedatangan semester baru. Inilah peluang untuk kembali memotivasi anak-anak supaya mau menghafalkan bacaan shalat. Aku menggarap lomba hafalan shalat untuk mereka. Hasilnya? Tetap harus disyukuri setidaknya delapan anak patut memperoleh reward atas usahanya sehari menghafal bacaan shalat. Puas? Belum sebab sebagian besar anak masih belum hafal bacaan shalat. Sepertinya aku belum berhasil mendorong mereka untuk mau belajar shalat. Bagaimana mungkin aku bisa mengubah atau memperbaiki akhlak anak-anak tumpuan hati di kampung ini sementara diri mereka sendiri belum termotivasi? “Bagaimana kita mau menyuruh anak-anak belajar shalat, Bu, di rumah saja orangtua mereka tidak shalat,” ujar Bu Harmawati, penanggung jawab sekolah, dalam suatu perbincangan. Aku mengangguk setuju. Sepulang sekolah, aku merancang buku aktivitas anak saleh. Buku ini pernah diterapkan untuk anak-anak PAUD Al Furqon Kalas, yang merupakan PAUD binaan kami, yang dirintis SGI angkatan V. Pada buku tersebut orangtua dan guru bisa memantau akhlak anak, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hasilnya, alhamdulillah. Menurut Bunda Nia dan Bunda Murni, buku tersebut cukup efektif dalam mengurangi perilaku negatif anak-anak PAUD Al Furqon. “Kini saatnya menggunakan senjata ini untuk anak SD,” gumamku. Dengan sedikit mengubah format aktivitas sesuai dengan perkembangan anak SD, kuselipkan pembiasaan shalat wajib dan hafalan Al-Quran pada buku aktivitas anak saleh ini.

Kreasi Penerang Guru Seberang


123 Usai monev di Nunukan pada September 2015, buku aktivitas anak saleh pun selesai dicetak. Segera kulaksanakan parenting yang mengundang wali murid PAUD dan SD. Pada parenting kali ini aku mencoba untuk menyamakan frekuensi, mengajak orangtua bersama-sama membangun karakter anak. Aku juga mensosialisasikan buku aktivitas anak saleh. Pada kesempatan tersebut aku mengajak orangtua bekerja sama mengajarkan shalat pada anak. BERUNTUNG AKU MEMILIKI PARTNER guru yang juga peduli dengan pendidikan karakter, seperti Bu Harmawati. “Bu, bagaimana kalau kita buat kegiatan khusus belajar shalat anak-anak? Tapi Ibu yang ajar anak-anak,” usul Bu Harma suatu hari. “Boleh juga, Bu.” Tentu saja aku merasa senang dengan usulan tersebut. “Biar jadwal Ibu tidak terlalu padat, kelas tahfiz diganti saja dulu dengan belajar shalat. Bukan saya tidak pentingkan hafalan. Hafalan itu bagus, tapi belajar shalat itu lebih penting dan wajib,” tambah Bu Harma menyarankan.

Jlebbanget! Bukan tersinggung dengan kata-kata beliau, melainkan rasa sesal di hatilah yang kian dalam. “Mengapa dulu tak kumulai dari shalat? Tapiiii... sudahlah! Aku memang terlambat mengetahui persoalan ini. Semoga belum terlambat untuk membuat mereka bisa shalat, sebelum aku selesai bertugas di tempat ini,” pikirku. Untuk awalan tentu tak semudah itu, membuat mereka tertarik mengikuti program bina belajar shalat. Ada kerisauan yang terlintas jika nanti aku membuka kelas belajar shalat ini. “Baik, Bu. Namun, jujur saya khawatir jika nanti yang hadir belajar shalat hanya beberapa orang saja atau mungkin berkurang,” ungkapku.

Kenali Sekitar


124 “Tenang aja, Bu, kalau soal itu. Biar saya yang bilang ke anakanak. Kalau ada yang enggak datang, kasih tahu saya. Biar nanti saya panggil.” “Hahaha...siaaap, Bu,” sambutku penuh semangat. Di sekolah ini, Bu Harma merupakan sosok yang paling disegani. Selaku penanggung jawab sekolah, beliau terkenal dengan kedisiplinan dan ketegasannya. Bahkan sosoknya paling ditakuti oleh anak-anak di sekolahku. Terbukti memang. Ucapannya waktu itu selaras dengan tindakan. Hari pertama kegiatan istana anak saleh, peserta kelas belajar shalat ada enam orang anak yang tidak hadir. Akibatnya? Tentu keenamnya dipanggil dan diberi peringatan oleh Bu Harma. Kelas belajar shalat yang kami sebut dengan istana anak saleh ini kami laksanakan setiap Rabu sore. Kuawali dengan materi motivasi belajar shalat, menonton bareng video anak saleh, gerakan shalat yang benar, baru kemudian dilanjutkan dengan bacaan shalat seperti doa iftitah dan tasyahud—bacaan yang kerap menjadi masalah anak-anak di penempatanku. Pada pertemuan kedua, aku mulai mengajak anak-anak menghafal doa iftitah. Beratkah? Ya! Tentu tak mudah bagi mereka. Bagi kebanyakan mereka, iftitah bukanlah bacaan yang biasa mereka dengar. Bahkan mungkin belum pernah belajar sebelumnya. Kali ini, meminta setiap anak berpasangan kemudian menghafal bersama-sama. Mereka satu sama lain saling membantu dan menyetorkan hafalan shalat. Mereka belum boleh pulang sebelum menyetorkan hafalannya walau hanya sebaris. Sebelum pulang, aku meminta mereka menargetkan dirinya hafal doa iftitah. “Besok, Bu!” seru Ilham. “Jumat, Bu!” “Aku Sabtu bah, Bu!” ujar Aris.

Kreasi Penerang Guru Seberang


125 “Boleh. Sesuaikan dengan kesanggupan kalian! Ibu sudah catat semua target kalian dan teman setorannya. Jadi, mulai besok sudah bisa setor dengan temannya masing-masing. Siaap?” “Siaap, Bu.” TAK INGIN MEMBUAT MEREKA terpaksa beneran, malam hari aku membuat papan reward senyumku di istana anak saleh. Tujuannya untuk memberikan penghargaan atas usaha mereka menghafalkan bacaan shalat. Esok harinya papan reward ini dibawa dan dipajang di sekolah. Senyum ini akan mereka peroleh jika mereka hadir di kegiatan istana anak saleh, dan senyum terbalik (cemberut) jika mereka tidak hadir. Senyum spesial adalah senyum dengan tambahan mahkota. Senyum spesial hanya bisa diperoleh jika si anak sudah memenuhi target hafalannya. Alhasil, setiap jam istirahat aku hampir tak putus mendengar anak-anak menghafalkan bacaan shalat. “Bu Guruu... aku hafal sudah.” “Bu Guruuuu... setoooor!” “Susah bah, Bu!” “Aku sedikit lagi, Bu!” Subhanallah! Aku benar-benar terharu melihat usaha anakanak yang saleh-salehah ini. Dalam sepekan, sebagian besar sudah memenuhi target hafalannya. Akan kuceritakan tentang muridku Riya. Dari awal Riya tidak tahu sama sekali bacaan shalat. Ketika menghafal, tidak jarang keluhan keluar dari bibir mungilnya. Namun, aku dan teman-temannya terus mendorong dan meyakinkan Riya bahwa dia pasti bisa. Alhamdulillah, dengan karunia Allah, kegigihan Riya berbuah manis. Dia pun berhasil menghafal bacaan iftitah dalam sepekan. Pada pekan pertama tinggal Pairul, Aidil, dan Udin yang belum hafal. Aku tetap haru sebab Udin dan Pairul tidak menyerah. Sepe-

Kenali Sekitar


126 kan kemudian mereka berdua berhasil menghafal dengan lancar. “Aku mau belajar bah, Bu. Masak aku mau cemberut terus,” kata Udin seraya tersenyum. Alhamdulillah, cara klasik setengah memaksa dan tutor sebaya ini sangat efektif membantu mereka cepat menghafal. Bahkan, anak yang sudah hafal pun termotivasi membantu temannya yang belum hafal. “Bu Guru, dua sudah muridku. Si Aidil sama Edo, tinggal dikit lagi, Bu,” ungkap Azwan yang sudah lebih dulu lancar bacaan shalatnya. “Hebat, Azwan! Teman yang hebat adalah yang bisa menghebatkan temannya,” sahutku bangga. “Iya, Bu. Aku ajar terus, Bu.” Belajarlah terus, anak-anakku! Semoga engkau tidak bosan dan letih mengumpulkan amal saleh. Jujur, Ibu Guru sedih ketika waktu itu melihat kalian belum bisa shalat. Kini kalian sudah bisa. Ibu bangga dan senang sekali! Allah pasti akan sayang padamu, Nak, jika kamu terus menjaga shalat di lima waktumu! Semoga kalian semua menjadi anak yang saleh dan salehah. Aamiin. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


127

Bintang Prestasi Riyanti

H

ari itu, 19 Januari 2015, pertama kali aku berkenalan dengan siswa SDN 06 Rasau Jaya, J y , Kubu Raya, y , Kalimantan Barat. Aku mendapat jatah mengajar siswa kelas 3. Menurut keterangan b beberapa siswa, kelas 3 adalah kelas warisan kakak SGI angkatan V Aku bahagia mendengar kabar itu, embusan angin segar memV. buatku yakin bahwa aku tidak memulai langkah dari nol nol. Minimal

Kenali Sekitar


128 sebagian nilai-nilai baik dari kakak SGI sudah menghunjam di diri anak-anak kelas 3. “Tepuk satu!” “Prok….” Aku mengenalkan diri dengan antusias. Ditingkahi senyum canda anak-anak yang sesekali terdengar nyaring di telinga. Usai aku berkenalan, giliran mereka yang maju. Mereka, anak-anak yang memiliki keberanian paket dobel. Meski tidak tahu harus berbuat apa di depan kelas, atraksi rebutan maju ke depan aku temukan pada hari pertama. “Aku dulu woiii!” seru mereka saling berebut. Meski berulang kali diperingatkan untuk sabar dan bergiliran, tetap saja ada anak yang memulai kericuhan. Entah pura-pura menghadang teman yang hendak maju ataukah ikut maju bersebelahan. Dengan keberanian yang dobel, rupanya mereka belum punya kemampuan dobelyang baikuntuk berkenalan. Setelah maju, mereka hanya ingah-ingih, senyum-senyum sendiri lalu berlari duduk lagi. Aku tersenyum geli. Satu-satu kubimbing untuk menyebutkan nama dan cita-cita. Beberapa anak mulai mahir berkenalan, bahkan tanpa kuminta ada yang menyebutkan tempat tinggal dan usia dengan fasih. Hari itu, hari pertama. Cukup kuisi dengan perkenalan, mainmain dan aturan belajar bersama guru barunya, aku. Mereka tampak bahagia. Tampak cerdas dan bisa diajak bekerja sama. Maka, hari itu kututup dengan doa dan harapan terbaik, belajar bersama mereka. HARI KEDUA, AKU MULAI memberi tugas. Semacam latihan atau PR. Kupikir ini sudah biasa. Iming-iming nilai cukup menjadi obat mujarab yang mengaktifkan kemauan mereka untuk mengerjakan. Tapi, aku salah. Anak-anak dengan gen rajin, tentu semangat sekali mengerjakan tugas di sekolah. Entah salah entah benar,

Kreasi Penerang Guru Seberang


129 anak-anak gen rajin selesai mengerjakan tugas ataupun latihan tepat waktu. Lalu, sudah tentu kalau yang tidak rajin akan asal-asalan mengerjakan. Bahkan, butuh waktu berlama-lama untuk mengerjakan satu soal. Menulis satu kata, berteriak. Satu kata lagi, menjawil teman. Waktu dua jam pelajaran tidak cukup untuk menjawab lima soal uraian. Untuk urusan tugas di sekolah, hukum yang rajin yang selesai itu berlaku mutlak. Tapi urusan PR, bahkan yang rajin pun sering lupa mengerjakan. Aku memutar otak. Memasuki hari keenam mengajar, aku mulai menerapkan sistem hukuman. Bagi anak-anak yang tidak mengerjakan PR, mereka mendapat bonus memungut sampah atau mengangkut air. Dan, tarrra! Ini tak membuat mereka jera. Ringan-ringan saja bagi mereka memungut sampah dan mengisi bak di WC ketimbang mengerjakan PR. “Ayo, siapa yang tidak mengerjakan PR?” “Saya, Bu!” Endang, Riki, Rudi, Yusuf, Ipan, Tiara, dan temantemannya serentak menjawab. Dan menyedihkan lagi, mereka menjawab dengan riang sambil terus mengungkit, “Bu, ngangkut airnya kapan?”, “Pungut sampah kan, Bu?”. Hukuman memungut sampah dan mengangkut air tidak mempan. Dari 19 anak, hanya 6 anak yang mengerjakan PR. Kadang malah hanya 3 anak. Urusan menyelesaikan tugas harian tepat waktu, ini juga membuatku galau. Bisa dibayangkan, waktu 2 jam pelajaran habis hanya menunggui anak mengerjakan 5 soal uraian, atau mencatat 5 larik catatan penting. Ini terjadi bukan karena mereka tidak pandai menulis, atau lelet superajib. Mereka begini sebab mereka memilih bermain-main sambil menulis. Biasanya, setelah anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran seperti mengamati atau membaca, aku menugaskan mereka menjawab soal untuk menguji sejauh apa mereka memahami pelajaran. Nah, di sesi ini sebagian besar anakanak akan bertingkah aneh-aneh. Mengobrol, bernyanyi, melamun, Kenali Sekitar


130 mengganggu teman. Padahal, aku selalu berkeliling mendampingi mereka. Saat membantu satu anak menyelesaikan permasalahan, anak yang lain melancarkan aksi mengobrol, melamun, atau berteriak menyanyi. Akhirnya, sering sekali tugas tidak selesai hingga pembelajaran usai. Selalu saja ada yang bermasalah. Ada 5 sampai 10 anak dari 19 anak, selalu tidak selesai mengerjakan tugas. Entah itu mencatat ataukah menjawab soal-soal. Saat aku menerapkan sistem hukuman ketika tugas tidak diselesaikan, mereka memilih dihukum ketimbang menyelesaikan tugas tepat waktu. “Seadanya jaklah, Bu! Capek kami!” Bantah mereka suatu kali aku bertanya, “Mengapa tidak selesai?”. Kadang dengan santai mereka juga menjawab, “Tak apa lah, Bu, pungut sampah jak kami.” Aku bersedih. Hukuman tidak memberikan efek jera. Entah hukumannya kurang nendang, atau memang cara menghukum bukan cara terbaik? TERHITUNG DUA MINGGU AKU menemani anak-anak kelas 3 belajar. Di dua minggu ini aku menghabiskan banyak waktu untuk menyiasati anak-anak agar mau mengerjakan PR dan menyelesaikan tugas dengan tepat waktu. Tidak asal-asalan, tapi penuh motivasi dan kesadaran. Aku membuka-buka target yang dibekalkan manajemen SGI selama di penempatan. Satu tugas menarik yang harus aku pantengi adalah token ekonomi. “Barangkali ini bisa menjadi obat,” gumamku dalam hati. Minggu pagi di pekan kedua, aku memilih meninggalkan aktivitas lain-lain, selain membuat papan token ekonomi. Mataku tertuju di tumpukan kalender bekas milik orangtua semangku. Proses menggunting, menggaris, dan menempel dimulai. Kalender bekas, memanfaatkan bagian belakangnya yang masih kosong. Tinggal menambah kertas origami, lem, gunting, spidol dan penggaris, Anda sudah bisa menyulapnya menjadi papan token ekonomi. Kreasi Penerang Guru Seberang


131 Senin yang dinanti tiba juga. Anak-anak penasaran dengan benda yang kubawa. “Bintang Prestasi,” Karliyan membacanya dengan keras. “Kok ada nama kami, Bu?” Jaka bertanya tidak kalah penasaran. Aku tersenyum ramah. Kupandangi satu-satu wajah imut dan penuh masa depan cerah ini. “Anak-anak, ini namanya papan Senyum Prestasi. Nah, apa gunanya?” Aku bertanya yang tak memerlukan jawaban. Anak-anak begitu tenang menanti kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari mulutku. “Jika kalian selesai mengerjakan tugas dan nilainya di atas 80, kalian berhak mendapat satu bintang dan menempelkannya di nama kalian pada papan Bintang Prestasi.” Aku menunjukkan sticker bintang pada mereka. Anak-anak berdecak bahagia, “Waah….” “Jika kalian mengerjakan PR dan nilainya 100, kalian juga akan mendapatkan satu Bintang prestasi.” Anak-anak semakin riang. Bahkan Aulia terlihat bertepuk tangan pelan-pelan. “Tapi, kalau kalian tidak mengerjakan PR, atau tidak menyelesaikan tugas tepat waktu, bintang kalian akan Ibu copot, atau kalian dihitung punya utang bintang dengan Ibu.” “Yaah….” Anak-anak mendengus dengan kecewa. “Bagaimana?” tanyaku meminta persetujuan. “Siap, Bu!” Anak-anak menjawab dengan serentak. Alhasil, sejak token itu dipajang, anak-anak mulai unjuk taring. Mereka berlomba-lomba mendapat nilai terbaik, mengerjakan PR dengan antusias. Setiap waktu mereka menghitung jumlah bintang yang mereka miliki. Saling bersaing dan menunjukkan kemampuan. Sesekali lupa mengerjakan PR, mereka akan grusa-grusu me-

Kenali Sekitar


132 manfaatkan waktu sebelum masuk kelas untuk mengerjakannya. Melihat bintang yang terpasang dicabut guru adalah kesedihan mendalam bagi mereka. Dan aku melihat bintang lain dalam usaha mereka mendapatkan bintang terbaik. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


13 33 133

Keep Smile Ulfa Wardani

A

genda hari pertamaku di sekolah penempatan antara lain berkenalan dengan siswa-siswa. Aku ditempatkan di MI Miftahul Huda Tagelan, Kabupaten Pandeglang, Banten.

“Nama Ibu Ibu, Ulfa Wardani, Wardani asalnya dari Medan Medan. Ada yang tahu Medan di provinsi apa?” tanyaku kepada mereka. Bukan jawaban yang kuterima, melainkan pertanyaan yang membuat hatiku miris. miris “Ibu, Medan masih Indonesiakah?”

Kenali Sekitar


134 Berkata aku di dalam hati, “Sebegitu tertinggalnyakah mereka ini, bahkan kota Medan pun asing di telinga mereka?� Bulan pertama penempatan, aku mulai memahami kondisi siswa-siswaku. Mereka malu bertemu dengan orang-orang yang baru dikenalinya. Mereka masih malu-malu diminta untuk maju ke depan kelas. Mereka masih malu untuk bertanya. Kondisi kelas? Sangat sulit menemukan kelas-kelas yang bersih dari sampahsampah, kesadaran mereka untuk membuang sampah di tempat sampah masihlah rendah. Kesadaran mereka dalam berpakaian rapi juga masih rendah. Bulan pertama mengajar di sini aku masih susah menemukan siswa berpakaian rapi. Rata-rata pakaian siswa dikeluarkan, dan siswa tidak memakai sepatu meski mereka memiliki sepatu. Tugas berat, batinku. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru SGI di penempatan adalah mengelola kelas. Mengatur sedemikian rupa kelas agar proses pembelajaran berjalan kondusif sesuai harapan. Salah satu atribut dalam mengelola kelas adalah adanya peraturan kelas yang disepakati bersama antara siswa dan guru. Namanya juga peraturan bersama, itu artinya bukan hanya murid yang harus menjalankan peraturan tersebut. Dalam peraturan kelas tersebut aku membuat Keep Smile.

Keep Smile adalah alat yang aku namai sebagai reward juga punishment untuk siswa-siswaku. Keep Smile bisa menjadi reward jika siswa mematuhi peraturan kelas yang telah disepakati bersama-sama. Di antara peraturan kelas itu adalah berpakaian rapi di lingkungan sekolah dan menjaga kebersihan kelas. Keep Smile juga menjadi reward ketika hasil ulangan siswa di atas KKM. Demikian juga ketika siswa aktif dalam proses pembelajaran, artinya siswa mampu menjawab pertanyaan guru, dan tidak malu lagi maju ke depan kelas serta tidak malu lagi bertanya. Sebaliknya, Keep Smile bisa menjadi punishment ketika siswa tidak mengerjakan PR, ketika pakaian siswa tidak rapi sebelum masuk kelas hingga bel pulang berbunyi, dan ketika siswa melanggar

Kreasi Penerang Guru Seberang


135 peraturan kelas yang telah disepakati bersama-sama. Di akhir setiap bulan kami akan menghitung siapa siswa yang memiliki Keep Smile terbanyak dan akan diberikan hadiah. Biasaya aku memberikan pulpen, buku tulis, penggaris, buku gambar, sesekali juga jajanan. Membuat Keep Smile ini sangat mudah. Cukup print gambar smile dan buat wadahnya sesuai kreativitas guru. Pada semester I, aku mengajak siswa-siswa membuat wadah Keep Smile dari kertas HVS yang kami bentuk menjadi sebuah amplop bertuliskan nama mereka. Untuk wadah Keep Smile, aku ajak masing-masing siswa untuk membuatnya agar rasa memiliki dan menjaga tumbuh dalam diri mereka. Lalu wadah-wadah tersebut kami tempel di dinding kelas. Satu semester berlalu, sekarang siswa-siswa sudah menunjukkan perubahan yang baik. Beberapa siswa mulai berpakaian rapi memakai sepatu dan tali pinggang. Beberapa di antara mereka bahkan selalu melapor padaku, “Ibu, abdi mah sudah dimasukkan bajunya, sudah pakai sepatu juga, dapat Keep Smileya, Bu.” Kebersihan kelas juga sudah jauh lebih baik. Perkembangan individu dalam diri mereka sudah aku rasakan. Sekarang ketika aku bertanya, “Siapa yang mau jadi pemimpin kelas hari ini?”, beberapa siswa berani mengacungkan jari sambil berkata, “Abdi, Bu… Abdi, Bu… Abdi, Bu….” Ketika aku bertanya, “Ntos terang pelajarannya?” Beberapa siswa yang belum paham tidak lagi malu bertanya alias tumbuh rasa percaya diri. Akhir Oktober 2015, ada peristiwa unik terjadi di kelasku. Hari itu aku memeriksa kerapian berpakaian siswa-siswaku karena sudah beberapa minggu aku tidak memeriksa. Tujuannya sekadar melihat siapa saja siswa yang tetap rapi walau sudah lama aku tidak memeriksanya. Alhasil, didapatlah tiga siswa yang tidak rapi bajunya dan tidak memakai sabuk. Salah satu dari tiga siswa tersebut datang mendekati mejaku sambil bertanya, “Ibu, abdi kunaon teu meunang Keep Smile?”

Kenali Sekitar


136 Aku jawab dengan balik bertanya padanya, “Bajunya rapi teu?” Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu dapat senyum Ibu Ulfa aja boleh?” tanyanya. Aku tersenyum padanya, aku usap kepalanya. “Bajunya harus rapi setiap hari biar menang Keep Smile ya.” Dia pun berlari ke arah teman-temannya sambil berteriak, “Woi… abdi menang Keep Smile dari Ibu Ulfa!” Beberapa siswa lain dengan cepat mengajukan protes padaku. Lalu aku katakan pada mereka, “Ini Keep Smile yang Ibu berikan untuk Amel,” sambil menunjukkan senyumku. Mereka pun paham lalu tertawa.

Keep Smile namanya, berhasil membuat kelasku ramai dengan ocehan-ocehan siswa. “Horeeee… meunang Keep Smile, abdi, Bu… abdi, Bu… abdi, Bu….”

Keep Smile namanya, memudahkanku untuk mengelola kelas. Keep Smile namanya, dapat mengubah gaya belajar siswaku yang semula pasif menjadi aktif, yang dulunya pemalu menjadi berani. Keep Smile namanya, membuat aku berkali-kali menjelaskan, “Siapa yang belajar dan berbuat baik hanya mengharapkan Keep Smile dari Ibu Ulfa, maka nanti yang didapatnya cuma Keep Smile. Bukan paham tentang pelajaran apalagi dapat pahala dari Allah.” Sederhana memang alat ini namun besar manfaatnya. Semua guru pasti bisa menerapkannya. Dan yang perlu setiap guru pahami adalah bahwa semua siswa perlu penghargaan, perlu diapresiasi sekecil apa pun perubahan positif yang mereka lakukan selama pembelajaran. Perubahan positif yang dihargai akan menimbulkan rasa percaya diri agar lama-kelamaan perubahan itu menjadi kebiasaan.

Kreasi Penerang Guru Seberang


137 Begitu pun dengan hukuman, sudah tidak masanya lagi menghukum dengan kekerasan. Keep Smile mengajarkan siswa-siswaku bertanggung jawab karena ketika mereka salah mereka bersedia Keep-Smile-nya diambil. Inilah balada Keep Smile kami. []

Kenali Sekitar


138 138

Latihan Fisik Anak Didik Dena Fadillah

M

engajarkan Penjaskes bagi siswaSDN 001 Sei Menggaris memang sangat menyenangkan. Selain untuk kesehatan, aku bisa menjadikannya sebagai sarana rekreasi bersama siswa. Dengan fasilitas olahraga yang kurang memadai, ternyata ada hal yang lebih di daerah perbatasan ini. Alam yang masih alami menjadi penarik hati untuk mengunjungi setiap wisata yang berada di daerah penempatanku ini. Sei Menggaris merupakan salah satu daerah di Nunukan, Kalimantan Utara, yang masih tergolong terpencil. Di sini masih terdapat banyak hutan yang belum terjamah warga. Salah satunya adalah air terjun Sei Menggaris, air terjun yang sangat indah pemandangannya. Tekstur aliran air yang berundak-undak merupakan salah satu ciri dari air terjun Kalimantan. Meskipun warnanya kecokelatan, air ini bersih. Entah dari mana warna kecokelatan ter-

Kreasi Penerang Guru Seberang


139 sebut. Menurut warga sekitar, air tersebut sudah bereaksi dengan akar-akar daun yang berada di hutan. Air terjun ini terletak di ujung blok 17 perkebunan sawit milik Nunukan Jaya Lestari. Oleh karena itu, warga lebih sering menamai air terjun ini dengan air terjun blok 17. Jaraknya pun tidak cukup jauh dari tempat kami bersekolah. Apalagi dengan adanya bus sekolah dari perusahaan, memudahkan kami untuk menuju ke tempat air terjun tersebut. Dengan memanfaatkan keberadaan air terjun ini, aku mengajak beberapa murid untuk menikmati alam di sekitar mereka sendiri. Tidak hanya untuk rekreasi, pengetahuan anak-anak didikku tentang alam juga diharapkan bertambah. Tentu saja, sesuai mata pelajaran Penjaskes, kami belajar berenang. Sungguh belajar sambil berekreasi yang membuat anak senang dan lebih semangat lagi dalam belajar. ANAK-ANAK SEKOLAH DASAR memang berada dalam kelompok usia labil. Mereka belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Ketika mereka bercanda terkadang dianggap serius oleh temannya. Dari sinilah kadang timbul perkelahian. Nyaris setiap hari ada laporan kepadaku soal perkelahian siswa di sekolah. Di sekolahku ini, beberapa anak berasal dari keluarga “disegani� atau tepatnya ditakuti. Orangtua yang ditakuti semua warga menjadi kebanggaan mereka. Celakanya, perasaan ini menulari anaknya. Ketika di sekolah, si anak tidak pernah takut terhadap gurunya karena merasa punya beking, yakni orangtuanya. Meskipun melanggar peraturan sebanyak apa pun, dia tidak akan pernah peduli apalagi merasa bersalah. Menyikapi permasalahan tersebut, aku pun mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk memfasilitasi sifat mereka yang tidak pernah diam. Bela dirilah yang menjadi fokusku. Berbekal sebagai atlet taekwondo, aku putuskan untuk menyalurkan hobi berkelahi mereka ke arah positif. Yang menjadi soroton utama dalam pe-

Kenali Sekitar


140 latihan taekwondo ini adalah oknum-oknum di setiap kelas yang sering membuat onar, atau siswa yang terang-terangan membangkang perintah guru. Di luar jam pelajaran, aku mendidik dan membangun karakter mereka. Penampilanku yang terlihat gagah dalam balutan pakaian taekwondo, ditambah sabuk merah ber-strip dua terikat erat di pinggang, menjadikan anak-anak itu tampak segan. Apalagi ketika aku melakukan latihan tendangan cukup keras di hadapan mereka. Setiap Selasa, selesai Shalat Ashar, kami selalu berkumpul di depan kelas. Latihannya di dalam kelas. Alat-alat latihan yang dipinjam dari Pengurus Cabang Taekwondo Nunukan langsung seketika mereka senangi. Sebelum itu, jangankan mempergunakannya, sekadar melihat alat-alat seperti itu pun belum pernah. Alat untuk melatih tendangan itulah yang sering mereka gunakan. Semua alat pengaman tidak lupa mereka kenakan. Ketika latihan aku selalu menyampaikan bahwa bela diri digunakan untuk membela diri dan melindungi teman yang lemah. Bukan digunakan untuk menganiaya teman. Wejanganku ini lumayan berbuah. Dalam beberapa kali latihan sudah terlihat perbedaan. Tidak sekadar tenaga aktif mereka tersalurkan, tapi juga makin jarangnya aku mendengar laporan perkelahian siswa di sekolah. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


141

S

enin itu jadwal mengajarku di kelas 6 SDN Sindangresmi 2, Kecamatan Sindangresmi, Kabupaten Pandeglang, Banten dengan mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Salah satu pelajaran yang menantang karena aku sebenarnya bukanlah orang yang kreatif. Hanya saja, aku masih mau belajar dan terus belajar untuk bisa lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar. Setelah sampai di ruangan guru, aku duduk sejenak dan seperti biasa tilawah Quran. Usai itu, aku mengambil kertas-kertas yang sudah lama menumpuk di meja kerjaku—kertas yang berisikan gambar anak-anak. Aku lupa mau menempelkannya bersama anakanak. Langsung saja aku memanggil beberapa siswa kelas 4 untuk membantuku menempelkan hasil karya adik-adik kelas mereka. “Sarah... Nur... kadieu geh!” “Ka... Bu.”

Kelas Lampu Lalu Lintas Nurhasanah

Kenali Ke ena n li SSek Sekitar ekkittaarr ekit


142 “Tolong bantuin Ibu menempelkan semua gambar ini di kelas 1 dan 2 ya.” “Ya, Bu.” “Ini ada lagi, tempelkan di kelas 3 ya. Ini lemnya, ulah lobaloba nya,” ujarku sambil memberikan lem kepada mereka. “Muhun, Bu.” Dengan sigap mereka langsung melaksanakan apa yang kuperintahkan. Selanjutnya aku akan ke kelas 6 untuk meminta mereka menempelkan hasil karyanya di dinding kreativitas. Senin pagi biasanya aku dan seluruh siswa mengadakan apel pagi. Karena hujan semalaman melanda kampung, lapangan sekolah kami becek. Ada genangan air yang tak memungkinkan siswa untuk melangkahkan kakinya. Akhirnya aku menyuruh mereka untuk segera masuk ke ruangan kelas masing-masing. Aku masuk ke ruangan guru lagi untuk mengambil buku SBK dan RPP yang sudah disiapkan untuk mengajar. Kali ini aku sudah menyiapkan materi tentang Pola Lantai. Awalnya aku bingung menyampaikan materi ini, namun entah dapat ilham dari mana akhirnya aku ingin membuat “Kelas Lampu Lalu Lintas”. KELAS LAMPU LALU LINTAS merupakan inovasi pembelajaran sederhana menggunakan media berupa kertas yang dibentuk menyerupai lampu lalu lintas. Kertas HVS dibentuk dan diberi warna sesuai dengan warna lampu kemudian dipakaikan tongkat berbahankan bambu. Tentu saja lampu lalu lintas ini tidak persis sama dengan yang biasa ditemui di jalan-jalan raya.

Cara membuatnya sangat mudah dan murah. Cukup menyediakan bahannya berupa: • Kertas HVS yang dibentuk bulat • Bambu

Kreasi Penerang Guru Seberang


143

• Krayon • Double tip Sedangkan alat yang harus digunakan berupa: • Pensil atau pulpen • Gunting • Pisau atau cutter Langkah pertama adalah menggambar lingkaran besar (dengan pulpen) di kertas HVS menggunakan cetakan berupa piring. Kemudian warnai dengan krayon (warna merah, kuning, dan hijau). Setelah proses mewarnai ini selesai, saatnya menggunting kertas tersebut sesuai dengan garisnya. Lalu tempelkan pada sebilah bambu yang sudah dipotong tidak terlalu panjang dengan menggunakan double tip. Kini lampu lalu lintas siap untuk dipakai. Lampu lalu lintas ini terdiri dari lampu merah, kuning, dan hijau. Fungsi dari lampu merah adalah untuk meminta siswa memberikan informasi kepada siswa yang lainnya. Lampu kuning untuk memperingatkan siswa agar tidak keluar jalur atau mendahului temannya. Adapun lampu hijau untuk memberikan aba-aba boleh berjalan dan memberikan reward kepada siswa yang memberikan informasi dengan tepat dan sempurna. USAI MEMBERIKAN SALAM KEPADA siswa kelas 6, aku menanyakan kabar mereka, meminta mereka membaca doa, dan memotivasi mereka sebelum belajar. Sebelum masuk ke materi, terlebih dahulu aku mengawali pembelajaran dengan tepuk-tepukan agar menarik perhatian siswa. Dengan begitu mereka siap menerima materi yang akan disampaikan. “Pola lantai itu adalah gambaran gerak penari di atas pentas,” jelasku seraya mempraktikkan. “Contohnya seperti ini. Ini adalah pola lurus.”

Kenali Sekitar


144 Aku meminta Amin untuk memeragakan pola lurus di depan kelas. Seusai Amin memeragakan, aku kembali berkata kepada para siswa, “Kita akan membuat sebuah permainan yang membuat kalian santai.” “Main game, Bu? Hore…” teriak Dede membuat riuh suasana di ruangan. “Ya, Dede.” Inilah saatnya memulai permainan kelas. “Baiklah, anak-anak, hari ini kita akan bermain kelas lampu lalu lintas,” aku membuka. “Seperti yang sudah kalian lihat saat ini, Ibu sedang memegang beberapa tongkat dari bambu yang ada warna-warninya.” “Ieu warna naon, Adi?” tanyaku kepada Adi. “Beureum eta, Bu Guru,” dengan cepat Adi menjawab.

“Ieu warna naon, Juheni?” “Koneng, Bu Guru.” “Ieu warna naon?” tanyaku pada seluruh siswa kelas 6. “Hejo, Bu!” Semua menjawab serempak. Usai bertanya kepada siswa, aku pun meminta mereka untuk berbaris di depan kelas. Aku menyuruh mereka untuk membuat dua baris berbanjar. Lalu kumulai menjelaskan aturan bermainnya. “Sekarang kita akan bermain Kelas Lampu Lalu Lintas. Ketika Ibu memberikan lampu merah kepada salah seorang kalian, dia harus memberikan informasi kepada pasangannya. Informasinya berupa apa yang sudah Ibu jelaskan tadi,” terangku. “Baik, Bu Guru.”

Kreasi Penerang Guru Seberang


145 “Anak-anak, Ibu di sini jadi mobil, semua nanti bunyikan suara mobil ya,” kataku. “Bagaimana bunyi mobil?” “Bbbrrrmmm….” siswa menjawab bersama. “Ini jalurnya, mulai dari sini, sampai sini. Paham?” “Paham, Bu.” “Amin, paham?” aku bertanya kepada Amin. “Paham dong, Bu, Amin kan pengen punya mobil,” dengan percaya dirinya Amin menjawab pertanyaanku. Aku tersenyum. “Oke, 1… 2… 3… Go!” Bunyi seperti mobil pun memecahkan suasana kelas 6. Membuat siswa dari kelas sebelah tertarik menonton di depan pintu. Aku berjalan mengikuti siswa agar bisa mengawasi untuk tidak keluar jalur yang sudah disepakati. Aku berhenti di sebuah posisi di dekat jalur, kemudian mengarahkan tongkat lampu merah ke Dede. Dedelah yang aku tunjuk untuk memberikan informasi. Selepas Dede memberikan informasi, aku mengarahkan lampu merah itu kepada Amin. Amin kemudian berhenti dan memberikan informasi kepada pasangannya. Informasi yang Amin sampaikan tepat seperti yang sudah kujelaskan tadi. Aku juga memberikan lampu hijau kepada Amin karena informasi darinya lebih bagus dibandingkan teman-temannya. Aku pun memberikan reward berupa Doraemon. Lalu dia menerima pemberianku dengan senang dan senyuman yang lebar. Dia menempelkan sticker Doraemon tersebut di papan motivasinya. Walaupun belum mendapatkan banyak sticker, Amin tampaknya akan terus berusaha untuk menambahnya. []

Kenali Sekitar


146

Kreasi Penerang Guru Seberang


147

Sahabati

Lingkungan

Sahabati Lingkungan


148

P

agi itu hari begitu cerah. Memang sedang musim kemarau di desaku, Desa Kelanir, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Di sinilah tempatku mengabdi selama satu tahun, tepatnya di SDN Kelanir. Sudah lima bulan aku ditempatkan di sini. Anak-anak yang tadinya malu-malu bertemu denganku, kini sudah tidak ada lagi rasa itu. Kini mereka sudah berani meminta sesuatu dariku, begitu pun saat pembelajaran di kelas berlangsung. Pagi itu jam kedua aku masuk di kelas 5 dengan mata pelajaran IPA. Selama setahun di sini aku dipercaya memegang mata pelajaran IPA kelas 4 sampai 6.

“Ibu Pipit tamaaa kelas kamii… Ibuuu…”, sorak anak-anak kelas 5 dari kejauhan. “Iya, anak, Ibu tama kelas 5, betari peng kelas nah,” jawabku kepada anak-anak.

Pembalap Kecil Kelanir Fitriani Wahyu Setyaningrum

KKreasi Kr eaasii PPenerang e en e nerran ang Guru Gu G uru r SSeberang eb eber be erran ng


149 “Assalamu’alaikuuuuum warahmatullahi wabarakaatuuh,” sapaku kepada anak-anak. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuuh… Ibuuuuu… Sugiroo masih keyang sepatuuuu, Ibuuu,” jawab anak-anak sembari protes, sebab masih ada anak yang mengenakan sepatu di dalam kelas. Memang sudah kebiasaanku untuk meminta anak-anak melepas sepatu jika sudah di dalam kelas. Hal ini kulakukan sebab alas kaki anak-anak sering kali kotor. Ini karena mereka bermain di tempat yang banyak tanahnya. Kelas menjadi kotor jika mereka masih mengenakan sepatu. “Hanah, masih ingat keh peraturan kita? Kalau sudah di kelas, liss sepatuuu…. Ibu hitung sampai tiga ya, 1... 2... 3... lemaa liss sepatu peng angkang kelas,” pintaku kepada anak-anak yang masih memakai sepatu supaya lekas melepaskannya di depan kelas. “Kam sudah aku liss sepatu, Ibu,” jawab salah satu anak. Di sini aku mengajar kelas 5, dengan jumlah siswa sebanyak 11 anak. Memang jumlah siswa di sekolah ini tidak terlalu banyak. Sekolah kami ini terdapat di balik bukit, dengan jalanan menuju desa masih rusak. “Baik, anak-anak, apa kabarnya hari ini?” tanyaku mengawali pelajaran. “Alhamdulillah, luar biasa, penuh cinta, istimewa…” jawab anak-anak dengan semangat sambil menggerakkan tangan. Sebelum kita mulai coba ibu mau dengar, “Tepuk Kelanir!” Dengan semangat anak-anak segera menyambut seruanku, “Proook... proook... proook... naik gunung Proook ... proook... proook... turun gunung Proook ... proook...proook... gak ada sinyal

Sahabati Lingkungan


150 Proook... proook… proook... sabaaaar...” tepuk anak-anak dengan semangat dengan tangan sambil menirukan gaya naik-turun gunung. “Baik, anak-anak, hari ini tama selebe’ naah?” tanyaku mengabsen siswa. “Tama selebe’, Ibu. Ibu, hari ini kita main-main, Ibuuu….” pinta anak-anak. Begitulah anak-anakku, yang sudah tidak malu-malu lagi meminta sesuatu dariku. Di kelas 5 ini semua materi sudah kuberikan, kini tinggal saatnya meninjau materi. Namun, seperti biasa, ada satu anak yang kurang semangat jika pelajaran dimulai. Sugiro, namanya. Kemampuan membacanya masih kurang, dan tulisannya pun masih berantakan. Dia juga sering menjadi pembicaraan di kalangan guru sebab beberapa kali didapati mengambil uang temannya. Jika pelajaranku datang, anak ini sudah berani manja-manjaan, minta diperhatikan selalu. Ketika anak-anak minta bermain, aku jadi teringat suatu games. Raider, namanya. “Baik, anak-anak, hari ini kita main games. Mauuu?” “Mauu… Ibuuu...” jawab serentak anak-anak. “Oke, pada pertemuan sebelumnya kalian sudah menghabiskan materi terakhir. Nah, sekarang Ibu mau cek masih ingat ndak kalian dengan materi-materi itu. Siap?” “Siaaap… Ibuuu!” “Karena kalian suka balap-balapan, maka sekarang kita akan menjadi pembalap, tapi menjadi pembalap di dalam kelas. Oke? Namun, ada syaratnya. Kasih dekat dulu bangku dan meja dengan dinding ya, dan semuanya ayo berdiri!” Anak-anak segera berdiri, kemudian memindahkan meja dan kursi ke dekat dinding. Aku bergegas mengambil spidol untuk memberikan nomor di lantai.

Kreasi Penerang Guru Seberang


151 “Anak-anak, Ibu kasih nomor dulu ya di lantai. Ibu beri nomor 1 sampai 10, nanti masing-masing kalian berdiri di nomor 1 ya,” jelasku kepada anak-anak. “Baik, Ibuuu, kam sudah kita nonang peng nomor sai, Ibu,” jawab anak-anak menyebutkan bahwa mereka sudah berdiri di nomor 1. “Nah, sekarang Ibu jelaskan ya, nanti Ibu akan bacakan soal. Kalian yang bisa menjawab dengan benar, bisa maju satu langkah. Siapa saja yang sudah mencapai angka 10, maka dialah pembalap yang menang. Siaaap?!” kataku. “Siaaap… Ibuuu!” jawab anak-anak dengan semangat. “Oke, nomor satu, pertanyaan untuk Rinat. Siaaap? Sebutkan secara teratur organ-organ pada sistem pencernaan?” Tanyaku. “Hmm… anuuu… apa singin, mulut – kerongkongan – lambung – usus halus – usus besar – terakhir… anus, Ibu. Iya keeh?” jawab Rinat. “Yaaaaap… betul sekali! Rinat boleh melangkah maju ke depan satu langkah. Ayo, yang lain jangan mau kalah ya!” teriakku memberi semangat. Soal kedua aku berikan kepada seorang anak, begitu seterusnya hingga sebelas kali, sesuai dengan jumlah mereka. Berikutnya kusambung dengan pertanyaan rebutan agar timbul semangat berkompetisi. Di antara mereka ada yang bisa menjawab dan ada yang tidak. Ada yang kesal karena tersalip dengan temannya, ada juga yang senang karena sudah berada paling depan. Ya, begitulah rasa yang ingin kusampaikan sebab ketika menjadi pembalap kadang di depan kadang tersalip oleh temannya. Hingga pertanyaan terakhir, hanya satu anak yang berada di paling depan. Lisa, namanya. “Ooo… Ibu, aku paling depan,” gumamnya. Lisa tampak begitu senang setelah jauh meninggalkan teman-temannya. “Yee, aku pasang ke pembalap yang ada di tivi sooo….” Sahabati Lingkungan


152 “Iya, kalian semua sudah seperti pembalap. Saling balapan satu sama lain namun kalian harus pintar menjawab soal ketika mau maju. Begitu pula pembalap itu di televisi. Ketika mereka menjadi pembalap, mereka harus mempunyai ilmu, tidak sembarang mengendarai motor. Kalian jika ingin menjadi pembalap, maka syaratnya harus rajin belajar ya...” kataku memberi pesan kepada anak-anak. “Iya, Ibu, Ibu pembalap deso, lamin nonya ilmu nu bau jadi pembalap nah?” tanya salah seorang anak laki-laki di kelas. “Saya, anak nu bau jadi pembalap lamin nonya ilmu, yang ada nanti hanya jatuh saja di lapangan, iya kan?” tanyaku tegas. “Iya, Bu,” jawab siswa. “Sekarang, yang paling depan akan Ibu kasih hadiah. Hadiahnya berupa bintang kelas. Ini bintang kelas untuk Lisa karena sudah menjadi juara di balapan ini,” kataku memberikan semangat. “Asyiiik, aku dua nompo Ibu,” timpal Lisa. SEPERTI BIASA, KALAU SAMPAI mereka sudah mengerjakan sesuatu pasti meminta lebih. Beginilah ciri khas anak-anak. Pintar bernegosiasi! Tak lama bel pun berbunyi, setelah Lisa memasang bintangnya, aku memberikan semangat kepada anak-anak yang belum mendapatkannya. “Anak-anak, yang belum dapat bintang, besok-besok kita main lagi ya. Tapi, kalian belajar yang rajin agar bisa menjadi pembalap yang di depan, dan tentunya mendapat bintang dari Ibu Pipit,” kataku memberikan semangat. “Iya, Ibu, besok kita main lagi ya,” pinta anak-anak. Akhirnya aku akhiri pertemuan hari itu dengan memberikan kesimpulan dan salam. Senang rasanya setelah bermain sambil belajar dengan anak-anak. Anak-anak yang awalnya kurang semangat kini menjadi giat belajar lantaran hobinya dimunculkan di kelas. [] Kreasi Penerang Guru Seberang


153

D

inding kelas begitu terasa gersang. Tak ada warna-warna cerah dan menyenangkan yang bisa dilihat siswa. Bangku bangku masih berjejer rapi dari depan ke belakang, berbaris seperti serdadu yang sedang apel menjelang perang. Lantai kayu menjadi ciri khas tersendiri di sekolah tempatku mengajar. Hampir sebulan lamanya guru kelas 3 SDN 12 Kubu tidak masuk kelas. Berdasarkan keterangan dari guru-guru yang lain, beliau sedang dalam proses pemindahan tempat tugas, dari guru SD menjadi pegawai UPT Dinas Pendidikan Kubu. Sejak diangkat menjadi CPNS, Pak Bahtiar sudah tidak lagi bertugas di sekolah kami. Beliau pindah tugas, kelas 3 pun tidak memiliki wali kelas. Sedari awal kedatangan, aku diminta untuk mengajar siswa kelas 3 menggantikan Pak Bahtiar.

Pos Pengamatan Cuaca Ahmad Rizal Khadapi

Sahabati Saha Sa h ba ha b ti t LLingkungan ingk in g unga gk gan n


154 “Pak... kite nak belajar ape?� tanya Nabil, siswa kelas 3 yang hari itu kulihat datang penuh semangat membawa buku dan jajanan pisang goreng. Nabil memang siswa yang memiliki mental wirausaha,sejak kecil sudah membantu ekonomi keluarga. Nabil layak bertanya begitu karena dia melihat aku mempersiapkan beberapa benda berikut: kertas HVS, krayon, kertasposter, gunting, lem Fox, spidol, dan berbagai peralatan display lainnya. “Pagi ini kite nak belajar tentang cita-cita,� kataku sambil menghadap Nabil. Di ruangan ukuran 5 x 7 meter ini aku berkutat dengan berbagai macam peralatan display. Inilah ruang guru SDN 12 Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ruang kreativitas untuk menjadi guru yang lebih baik sering kali kami siapkan dan diskusikan di sini. Aku sebetulnya sedang mempersiapkan materi pelajaran IPA tentang cuaca. Aku merencanakan akan membuatkan pos pengamatan cuaca. Pos ini digunakan untuk mengamati cuaca hingga satu minggu ke depan. Fungsinya seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Anak-anak akan diberikan tugas sebagai pegawai BMKG yang mencatat dan mengamati kondisi cuaca dan menyimpulkannya pada pelajaran berikutnya.

Adapun proses pembuatan dan cara penggunaannya sebagai berikut: 1. Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan. 2. Buat ukuran kertas menjadi 1,5 meter x 75 sentimeter. 3. Tempelkan koran bekas sebagai alas kertas. 4. Tempelkan kertas HVS di atas koran yang sudah direkatkan menggunakan lem Fox. Tunggu lima menit hingga tempelan melekat. 5. Setelah kering, gambarlah latar belakang pola tersebut dengan gambar bentang alam.

Kreasi Penerang Guru Seberang


155

6. Buatlah kolom dengan rincian nomor dan waktu—pagi, siang sore, dan malam. 7. Jangan lupa buat kondisi cuaca—hujan, panas, cerah, atau berawan. 8. Setiap hari, sesuai dengan hari yang telah berlalu, anakanak harus ditanya tentang kondisi cuaca pada hari itu. Misalnya hari ini Selasa, maka anak-anak akan ditanyakan tentang kondisi cuaca hari Senin (pagi bagaimana, siang bagaimana, sore bagaimana, dan malam bagaimana). Pilihan kondisinya ada empat: cerah, hujan, berawan, panas. 9. Anak-anak diminta untuk mengingat dan menyebutkan secara bersama kondisi cuaca pada hari tersebut. 10. Setelah menyebutkan kondisi cuaca yang sesuai dan benar, anak-anak ditanya; siapa yang mau maju menempelkan jenis cuaca yang telah disebutkan tadi ke pos pengamatan cuaca. 11. Setelah siswa (yang maju) itu menempelkan, selanjutnya tanyakan ke seluruh siswa tentang kondisi masyarakat jika cuaca cerah, hujan, cerah ataupun berawan. 12. Siswa yang berhasil menjawab pertanyaan dengan benar diberikan reward berupa bintang prestasi. PELAJARAN IPA ADA DI JAM pertama. Pos pengamatan sudah selesai dipersiapkan. Kubawa ke dalam kelas dengan kain tertutup. Semua siswa penasaran. “Ape tu, Pak?”tanya salah satu siswa. Teman-temannya juga semakin penasaran. Mereka meliriklirik benda itu. “Rahasia,” jawabku singkat.

Sahabati Lingkungan


156 Pembelajaran IPA pun dimulai. Aku membuka pelajaran hari ini dengan salam dan penuh semangat. Setelah melakukan absensi siswa, aku menanyakan kabar mereka. “Apa kabar, anak-anak?” “Alhamdulillah… luar biasa… penuh cinta... Semmmmmangaat…!” jawab mereka. “Selamat pagi!” “Pagi… pagi... pagi….” “Kelas 3…!” “Ceria…!” “Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang cuaca. Siapa yang tahu cuaca itu seperti apa?” “Saya, Pak Guru. Cuaca itu seperti hujan,” jawab Nabil. “Betul, ada lagi yang lain?” “Saya, Pak Guru, cuaca itu seperti panas,” jawab Susanti. “Jawaban-jawaban tadi betul semua. Sekarang Pak Guru akan membagi kelompok. Setiap kelompok anggotanya lima siswa atau lebih.” Setelah membagi kelompok mereka, kegiatan pembelajaran IPA dimulai. Aku meminta anak-anak keluar kelas untuk mengamati kondisi cuaca lalu menuliskannya di buku tugas. Setelah itu, mereka mendiskusikan kaitan antara kondisi cuaca dengan aktivitas masyarakat di Desa Mengkalang, Kubu ini. Berikutnya, aku meminta perwakilan tiap kelompok untuk maju ke depan kelas membacakan dan menyampaikan hasil pengamatan mereka. Pembelajaran seperti ini sengaja kugunakan untuk membiasakan anak-anak memiliki karakter berani dan bermental peneliti. Setelah pembelajaran berakhir, aku memberikan tugas kepada mereka untuk mencatat kondisi cuaca pada saat siang, sore, maKreasi Penerang Guru Seberang


157 lam, dan pagi hari ketika berada di rumah. Hari-hari selanjutnya, setiap pagi aku bertanya kepada mereka tentang kondisi cuaca. Ada perubahan menarik yang kemudian terjadi pada anak-anak didikku setelah pelajaran IPA tentang cuaca ini. Mereka terbiasa mengamati setiap hal yang lazim terjadi dalam masyarakat, dan bertanya tentang keadaan di lingkungan mereka. Hal ini tentu membahagiakan karena mereka tidak lagi takut untuk bertanya. Mereka menjadi penuh semangat datang ke sekolah. Mengaitkan pembelajaran di buku dengan kehidupan seharihari memang harus dilakukan seorang guru supaya pembelajaran di kelas tidak menjadi dongeng belaka. Dengan demikian, tugas guru adalah menjadikan setiap kondisi menjadi media pembelajaran yang baik bagi anak didik, mengajak mereka untuk berpikir dan berwawasan luas. []

Sahabati Lingkungan


15 58 158

Botol Air Mancur Sudendi Retno Efendi

T

iga setengah bulan masa sa penempatanku p di SDN Waitii Barat, aka atobi, Sulawesi Tenggara atobi Tenggara, menjadi Kecamatan Tomia, Wakatobi, akna. Saat pagi hari berjalan dari ruhari yang bersyarat makna. ah yang jaraknya sekitar 200 meter. mah penempatanku ke sekolah Jalanan yang dipenuhi bebatuan karena di sini hampir tak ada tanah sampai kedalaman semeter. Pulau Tomia merupakan pulau ketiga dari Wakatobi (lainnya adalah Wangi-Wangi, Kaledupa, dan Binongko), masih merupakan pulau-pulau yang dipenuhi dengan batu-batuan terumbu karang. Menurut cerita warga di sini, dahulu kala kepulauan Wakatobi merupakan sekumpulan terumbu karang yang naik ke permukaan karena pergeseran lempeng Bumi. Esok hari waktuku mengajarkan IPA di kelas 6. Tersirat di kepalaku sosok La Andika yang sangat susah dikendalikan saat belajar. Belum sampai tiba di muka sekolah, teriakan La Andika menggema dan akrab di telinga. Kreasi Penerang Guru Seberang


159 “Guru... Guru…maimo!” ucap La Andika dalam bahasa Tomia yang artinya “guru ke sini”. Tak tahu apa maksud dari ajakannya, sering ia begitu namun kurasa hanyalah candaan belaka. Dia merupakan siswa yang perlu perlakuan khusus akibat pengaruh pergaulan teman-temandi rumah yang jauh di atas usianya. Sikapnya terhadap guru sering membuat kesal. Ayahnya merantau ke Papua, ibunya sibuk berjualan pakaian sambil mengasuh satu anaknya lagi. Sontak La Andika tak pernah terperhatikan sehingga sikapnya dianggap—maaf— “liar” seakan tak punya orangtua. Sebenarnya soal perhatian orangtua, La Andika tidak satusatunya yang mengalami. Hampir seluruh anak di Waitii Barat, desa penempatanku, senasib dengan La Andika, yakni tidak diperhatikan perkembangannya di sekolah oleh orangtua mereka. Untuk itu, aku pernah menggelar kegiatan parenting yang bertujuan mengarahkan para orangtua untuk peduli dan turut memerhatikan pendidikan anak-anaknya. MATERI IPA YANG BAKAL kusampaikan kepada anak-anak esok adalah tentang sifat-sifat air. Aku harus bisa menyampaikan materi ini. Bukan dengan ceramah semata. Harus ada hal yang bisa dikaryakan oleh siswaku nanti, dan sepulangnya di rumah mampu diceritakan kepada orangtua mereka. Dalam hatiku, anak-anak kelas 6 haruslah diberikan sesuatu yang berbeda. Di ruang guru, aku bertemu Pak Iyu. Beliau rekan guru di sini yang gemar berkelakar. “Pak Iyu, kalau mau mengajarkan tentang air, kira-kira media apa kita sampaikan ke anak-anak?” tanyaku dengan nada serius, menggali inspirasi. Sambil memegang botol air mineral yang ada di hadapannya, beliau berkata, “Ini air toh, kasih saja mereka air yang ada dalam botol, terus kita minum….” Mulai lagi canda Pak Iyu keluar. Mungkin itu cara beliau mengakrabkan diri dengan para guru. Dan aku termasuk yang menikmaSahabati Lingkungan


160 ti perbincangan dengannya. Apalagi… botol air minum… bukankah ini… aha! Aku segera berpikir dan mengonsep rancangan alat peraga. Jika hanya satu botol terkesan biasa, namun jika tiga botol yang disusun dan direkatkan dengan selang-selang plastik pasti akan menarik. Yes! Di secarik kertas, aku menggambar beberapa model. Kurang lebih selama sepuluh menit didapatkan titik terang apa yang harus kubuat esok. Sampai pada akhirnya aku masuk ke kelas 6 untuk memberitahukan siswa bahwa esok hari mereka harus membawa tiga botol air mineral bekas dengan ukuran sama, satu gunting yang tajam, lem Alteco, dan satu sedotan/pipet besar bekas. Semua anak heran dan penasaran.“Guru, mau bikin apa kita mih?” ujar anak-anak kelas 6. “Pokoknya bawa saja yang Pak Guru minta. Pak Guru akan ajari cara membuat air mancur,” sahutku dengan nada meninggi. Perasaan hampir empat bulan di sini, gaya bicaraku sudah mirip warga di sini, nada yang semakin meninggi. “Pak Guru ini e ada-ada saja. Kami mau kalau begitu,” ungkap Linda. “Buat kelompok atau satu-satu orang ini?” tanya Widi. “Setiap anak membawa masing-masing apa yang Pak Guru minta. Jangan lupa catat baik-baik.” Perintahku semakin menegaskan. Jam pelajaran pun selesai. Aku langsung mengarahkan anakanak kelas 6 untuk pergi Shalat Zuhur berjamaah di masjid kampung. Untuk membuat mereka ke masjid juga tidak mudah, perlu paksaan. Seusai istirahat siang, aku pergi ke rumah Bu Guru Harisna. Rekan guru di sekolah ini pemilik kios alat bangunan. Aku membeli selang sepanjang dua meter, lem Alteco, dan meminta botol air mineral yang tak terpakai sebanyak lima buah. Malam harinya,

Kreasi Penerang Guru Seberang


161 bahan-bahan ini kupersiapkan untuk esok pagi. Selain juga mengantisipasi kemungkinan yang tidak terduga. PAGI PUN TIBA. TEPAT pukul 07.00 aku berjalan dengan terburu-buru ke sekolah. Ternyata di sekolah telah ada Pak Iyu yang sudah mengisi apel pagi dengan menggunakan pengeras suara. Jam pertama dimulai. Aku mengajar siswa kelas 6. Sebelum belajar, aku mengajak siswa-siswa berdoa dan menghafal surat alFatihah sampai al-Ikhlas. Agar anak-anak setiap akan belajar dapat mengingat pentingnya beribadah kepada Allah. Praktik pun dimulai. Aku memberikan langkah-langkah pembuatan dengan menuliskannya di papan tulis. Berikutnya mengecek bahan praktik yang dibawa siswa, dan menyiapkan bahan tambahan, yakni selang dua buah dengan panjang masing-masing 60 sentimeter. Proses pembuatannya sendiri tidak sulit. Langkah pertama, potong satu botol menjadi dua bagian dengan menggunakan gunting. Bagian bawah saja yang diambil. Kedua, rekatkan dua tutup botol dengan lem Alteco, tunggu hingga merekat betul, kemudian lubangi dengan ujung gunting dengan ukuran sebesar sedotan/pipet. Ketiga, masukkan pipet ke dalam lubang tutup botol tersebut dengan posisi lebih panjang sebelah atas, oleskan lem agar menutupi sela-sela sedotan. Keempat, lubangi ujung bawah botol yang telah terbagi dua, lubangi ujung bawah botol kedua dan lubangi ujung atas botol ketiga. Kelima, masukkan selang pada ujung bawah botol pertama dan hubungkan ke ujung bawah botol kedua, masukkan selang kedua di ujung atas botol ketiga dan kaitkan dengan ujung atas botol pertama, jangan lupa oleskan lem di sela-sela kaitan selang agar air masuk tidak bocor.

Sahabati Lingkungan


162 Botol air mancur pun jadi. Siswa satu per satu membuatnya walau memakan waktu lumayan lama. Perjuangan mereka tak siasia; siswa tampak riang, dan mendapatkan pelajaran banyak. Saat jam istirahat, kami memulai praktik dengan menyiramkan air di ujung botol pertama. Alhasil, air mengalir ke botol kedua. Siswa belajar tentang sifat air yang selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Setelah itu, botol kubalikkan. Air pun kembali mengalir ke botol ketiga. Memang belum terjadi adanya air mancur. Setelah aku tambahkan lagi air di botol pertama, air di botol ketiga langsung mengalir ke atas karena tekanan udara dari botol kedua. Di sini anak-anak belajar bahwa air menekan ke segala arah. Semua siswa mulai mencoba dengan botol air mancur miliknya sendiri. Semua bisa didapatkan dengan pembelajaran hari itu. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


1 3 16 163

Detektif Tumbuhan Siti Fatonah

M

engajar di kelas 4 SDN One ne e Melangka Desa Lia One MelangW Wangi Selatan, Kabupaten Wakatokah, Kecamatan Wangi-Wangi bi, Sulawesi Tenggara inii benar-benar menguji kesabaranku. Ada anak yang teriak-teriak, bernyanyi-bernyanyi, atau berlaritemui di kelas ini. ini Anak-anak Anak anak yang larian, semua ini menu yang kutemui superaktif, tidak betah untuk berlama-lama duduk, membuatku harus pintar dan bijak menghadapinya. Menariknya, pembelajaran IPA menjadi salah satu pelajaran yang mereka nantikan. Mereka senang karena pada saat belajar IPA banyak praktikum dan belajar di alam bebas. Materi tentang tumbuhan misalnya, akan lebih konkret jika dilakukan langsung di alam bebas berhadapan langsung dengan objeknya. Apalagi di belakang sekolah terdapat kebun. Beberapa kali pembelajaran IPA dengan konsep detektif tumbuhan dilakukan.

Sahabati Lingkungan


164 HARI ITU AKU AKAN mengajarkan anak-anak berbagai jenis tulang daun tumbuhan. Usai masuk kelas, seperti biasa kami meneriakkan kalimat-kalimat motivasi khas SGI. “Siapa kalian?” “Kami anak kelas baik!” “Siap kalian?” “Kami anak kelas baik!” Kelas 4 memang menamai diri mereka dengan “kelas baik”, artinya kelas yang berisi anak-anak baik. Pemberian nama ini dilakukan sejak aku mengajar mereka di kelas 3. Aku melakukannnya di seluruh kelas yang kuajar. Setiap kelas harus menyepakati nama kelas mereka. Ada yang menamai diri mereka dengan kelas pemberani, kelas juara, dan ada juga yang menyebut diri kelas cerdas. Tujuan penerapan identitas ini adalah sebagai doa dan penyemangat, serta menumbuhkan sikap percaya diri dari diri anak-anak, serta memiliki kebanggaan dengan kelas mereka. Aku menyampaikan tujuan pembelajaran hari itu, yaitu mempelajari struktur daun pada tumbuhan. “Kita akan belajar di luar kelas,” kataku. “Namun sebelumnya Ibu Guru akan menjelaskan terlebih dahulu sehingga nanti ketika kalian ke kebun dan Ibu beri tugas, sudah mengerti. Sekarang kalian duduk berkelompok dengan teman-teman kalian yang telah Ibu bentuk pada pertemuan sebelumnya,” terangku sampai mereka jelas. Sorak-sorai siswaku bergemuruh. BERGEGAS ANAK-ANAK DUDUK di kelompoknya masingmasing. Aku pun menjelaskan mengenai materi pelajaran. Di sekolahku hampir semua mata pelajaran tidak memiliki buku panduan. Hanya guru yang mempunyai sehingga anak-anak sering diberi tugas di rumah untuk mencatat. Hal yang dilakukan untuk memberikan informasi awal kepada siswa adalah dengan metode ceramah.

Kreasi Penerang Guru Seberang


165 Tentu saja bukan sekadar ceramah. Aku sudah menyiapkan beberapa daun sesuai dengan bentuk tulangnya. Penjelasan kuberikan di dalam kelas karena berdasarkan pengalaman sebelumnya kelas ini cukup susah dikondisikan. Jika penjelasan langsung di kebun, hanya akan ada separuh anak yang memerhatikan; sisanya sibuk bermain. “Yayi!” “Iya, Ibu Guru.” “Kalau bernyanyi nanti di luar kelas, ketika jam istirahat.” Bukan malah berhenti, malah semakin keras, dan diikuti yang lain! Aku pun diam memandangi satu per satu anak yang sedang mencari perhatianku itu. Mereka pun perlahan menghentikan nyanyiannya, kemudian diam. Sebelum keluar kelas, aku mengajak anak melakukan ice breaking untuk mengecek konsentrasi mereka. “Bagaimana? Sudah semangat kembali? Sebelum kalian ke kebun untuk melakukan pengamatan, Ibu Guru akan bagikan lembar pengamatan kelompok. Hari ini kalian akan menjadi detektif tumbuhan. Mengerti?” “Mengerti, Bu,” jawab anak-anak. “Oela keren sekali, kita jadi detektif tumbuhan,” celetuk salah seorang anak. Bergegas anak-anak menuju ke kebun sekolah. Di kebun sekolah, aku memberikan pengarahan. Tidak lama mereka pun menyebar secara berkelompok. “Jika tadi di kelas kalian hanya sebatas tahu, sekarang kalian harus mencari tahu dan saling bekerja bersama kelompok kalian,” jelasku. “Ingat, waktu yang diberikan Ibu Guru terbatas, hanya 20

Sahabati Lingkungan


166 menit! Ketika ada aba-aba, berkumpul kembali di sini. Semua kelompok harus dalam keadaan lengkap jumlah anggotanya. Oke, sekarang silakan menyebar. Go!” Anak-anak berpencar bersama kelompoknya untuk menemukan daun-daun yang memiliki beberapa struktur tulang daun. Sementara aku bertandang ke kelompok-kelompok itu secara bergantian sebagai fasilitator saat mereka mengalami kesulitan. “Ian, ini bentuk tulang daunnya sejajar, bukan?” tanyaku pada Ian. Temannya menjawab, “Bukan, Bu Guru, daun ini menjari seperti jari tangan.” “Iya benar yang dikatakan Ati, daun singkong ini tulang daunnya menjari,” Ian menimpali. “Ayo segera tulis di lembar pengamatan kita,” Suci mengingatkan. Waktu terus berjalan, aku memberi aba-aba. “Hah? Lima menit lagi?” anak-anak kembali riuh. “Oela cepat fa, kita masih belum lengkap ini!” Anak-anak semakin sibuk. Setelah waktu habis, anak-anak berkumpul. Aku lalu meminta mereka mempresentasikan temuannya untuk dibahas bersamasama. Anak-anak memang dibiasakan berani berbicara, baik saat presentasi di depan maupun saat mengemukakan tanggapan. Jika sewaktu-waktu mereka ada kekeliruan, toh aku membetulkannya. Tanpa terasa, pembelajaran berakhir. Mereka bersiap kembali ke rumah masing-masing. Aku dan anak-anak pulang bersama-sama dengan berjalan kaki menyusuri jalan tepian pantai dan melewati hutan. Sepanjang perjalanan ini, anak-anak saling tebak-tabakan memberi pertanyaan kepada temannya.

Kreasi Penerang Guru Seberang


167 “Coba daun ini tulang daunnya berbentuk apa?” “Itu melengkung.” “Benar.” “Kalau yang ini?” “Itu menyirip.” Aku senang anak-anak paham materi yang diberikan hari itu. []

Sahabati Lingkungan


168 168

Mengamati Tumbuhan di Sekolah Ahmad Rizal Khadapi

S

eperti biasa, pukul 06.30 0 aku sudah siap di sekolah. Sekolah sudah menjadi rumah sendiri buatku. Aku bertugas sebagai guru di SDN 12 Kubu, Desa Mengkalang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Tiga bulan bertugas di sekolah, aku belum melihat guru mengajar dengan cara kreatif. Semua masih mengajar dengan cara konvensional: ceramah. Ruang kelas masih menjadi satu-satunya tempat kegiatan belajar mengajar. Padahal, potensi sekitar sekolah sebagai media pembelajaran sangatlah bagus. Inilah yang menjadi dasar aku berpikir reflektif, bagaimana cara mengajar yang lebih baik dan menjadikan siswa bagian dari proses pembelajaran aktif? Dari buku yang dibaca, aku mengenal metode belajar kontekstual. Metode inilah yang kugunakan dalam mempelajari tumbuhan. Siswa harus tahu bentuk kulit, daun, dan batang tumbuhan.

Kreasi Penerang Guru Seberang


169 Siswa juga harus memahami bagaimana tumbuhan bisa tumbuh, memiliki ukuran daun yang berbeda pada tiap cabang pohonnya. Seperti rencana sepekan sebelumnya, kelas 3 akan belajar tentang tumbuhan di luar kelas,tepatnya mengamati tumbuhan sekitar yang ada di lingkungan sekolah. “Semangat pagi!” teriakku ketika sudah masuk di ruang kelas 3. Mereka pun menjawab, “Pagi! Pagi! Pagi!” “Apa kabar hari ini?” tanyaku lagi. Dan para siswa pun kompak menjawab, “Alhamdulillah… luar biasa... penuh cinta… selalu semangat… Allahu Akbar!” “Baik, anak-anak. Pak Guru nak tanye luq ye. Siape yang tadi malam sudah belajar?” “Saye, Pak Guru!” jawab mereka kompak sambil mengangkat tangan. “Oooh... rupenye banyak anak Pak Guru yang sudah belajar tadi malam. Belajar apa tadi malam?” tanyaku lagi. “Belajar IPA, Pak,” jawab Nabil. “Saye belajar ngaji, Pak,” jawab Mutia. “Saye belajar matematika, Pak,” jawab Ribi. “Oke... oke... oke...” jawabku. “Baik kita kasih tepuk salut untuk teman-teman kita yang sudah belajar tadi malam…”. “Tepuk salut….!” “Sa...!(pok pok pok)... Lut…! (Pok pok pok)... Saluuuuttttt…!” Selesai aktivitas mereka malam hari, aku lanjut bertanya. “Siapa yang salam (pamit) kepada ibu bapaknya tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah?” tanyaku lagi. Dan masing-masing siswa menjawab dengan antusias. “Saye tak bise salam (pamit) sama bapak saye, Pak Guru. Karene bapak saye ade di Pontianak,” jawab Padli dengan nada sedih. Sahabati Lingkungan


170 “Saye salam same ibu bapak saya tadi, Pak Guru...” kata Nabila. “Saye salam sama ibu saya saja, Pak Guru karene bapak saya sudah pergi mukat di laut sebelum subuh dan sebelum saye bangun...” kata Nabil. “Saye tak salam sama ibu bapak saye, Pak Guru...” ujar Wisnu. “Kenapa Wisnu tak salam ke ibu dan bapaknye tadi pagi?” tanyaku. “Ibu bapak sudah pergi kerja pagi-pagi sebelum saye bangun, Pak Guru,” jawabnya. “Ibu bapak kerje di mane?” tanyaku lagi. “Kerje sawit, Pak Guru. Ibu bapak berangkatnye pagi-pagi sekali sehabis Shalat Subuh,” jelas Wisnu.. Siswaku di kelas 3 berjumlah 33, mereka semua mayoritas bersuku Melayu, kebanyakan anak petani dan nelayan. Setiap pagi, sebelum memulai pelajaran, aku selalu bertanya tentang aktivitas mereka malam hari dan pagi sebelum berangkat sekolah. Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itu, aku tahu bahwa anak-anak ini minim perhatian. Jarang ada orangtua yang mengawasi anaknya ketika berada di rumah, apakah mereka sudah belajar dengan baik atau sama sekali tidak belajar. Tidak terasa 30 menit telah berlalu, aku melanjutkan dengan mengabsen siswa, melakukan apersespi pembelajaran, dan membagi anak-anak ke dalam lima kelompok. Sesuai rencana, pembelajaran IPA dilakukan di luar kelas karena yang akan dipelajari adalah tumbuhan hijau. “Anak-anak, hari ini kita akan belajar apa?” “Tumbuhan, Pak Guru...” jawab mereka kompak. “Kita akan belajar tentang tumbuhan. Ada yang sudah tahu tumbuhan itu apa? Ya, tumbuhan itu ada di sekitar kita. Ada daun, ada batang, dan ada akar,” jelasku membuka materi. Kreasi Penerang Guru Seberang


171 Selesai penjelasan materi, anak-anak melakukan pengamat bersama teman sekelompok. Tugas kelompok 1 dan kelompok 2 adalah membandingkan dua jenis tumbuhan berakal tunggal dan berakar serabut. Sementara kelompok 3 dan kelompok 4 tugasnya mengamati perbedaan batang pohon mangga dan pohon bambu. Adapun kelompok 5 tugasnya adalah menuliskan perbedaan jenis daun pada tumbuhan bunga kertas dan daun pada tumbuhan pohon pepaya. Tugas mereka terbagi dalam tiga jenis materi, yaitu akar, batang, dan daun. “Di mana kita cari tumbuhan itu, Pak Guru?” tanya Arya. “Nah, kalian semua cari tumbuhan yang Pak Guru sebutkan itu di halaman sekolah ya,” jawabku. “Semua tumbuhan itu ada di lingkungan sekolah kita kok. Pak Guru kasih waktu 40 menit. Kalian tidak boleh berpisah dengan kelompok kalian. Bawa buku dan pulpen.” “Setelah kalian amati, lihat perbedaannya, dan lihat persamaannya kemudian tulis di buku,” jelasku kemudian. “Pak Guru… seorang-seorang kenulisnya?” tanya Susan. “Betul, jadi kalian tulis di buku kalian seorang,” jawabku. “Setelah selesai mengamati, langsung masuk di kelas. Dan nanti setiap kelompok akan menjelaskan hasil pengamatannya di depan kelas. Sekarang kalian bisa keluar kelas.” “Baik, Pak Guru,” jawab mereka. Dengan antusias mereka pun keluar kelas. Berlari mencari tumbuhan yang menjadi objek pengamatan mereka masing masing. Pembelajaran seperti ini sangat membantu siswa memahami perbedaan-perbedaan pada tumbuhan. Siswa juga senang dalam belajar, dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak ada dalam buku maupun yang tidak dijelaskan oleh guru. Pembelajaran seperti ini juga dapat memadukan tiga aktivitas sekaligus, yaitu afektif, kognitif, dan psikomotorik. Dampaknya, daya Sahabati Lingkungan


172 rangsang dalam proses pembelajaran lebih kuat sehingga lebih sering diingat. Setelah selesai mengamati tumbuhan-tumbuhan itu, mereka pun masuk kelas. Sampai di dalam kelas, keadaan masih gaduh. Penuh dengan suara panggil-memanggil, atau asyik bercerita tentang pengalaman baru mengamati langsung tumbuhan yang mereka pelajari. “Anak-anak!” “Siap…!” “Tepuk duduk siap!” “Prok prok prok druk!” Mereka pun duduk dengan tertib dan tenang. “Baik, Pak Guru mau nanya; siapa yang sudah mengamati tumbuhan hari ini?” Semua siswa mengangkat tangan. “Oke. Kita tepuk tangan dulu. Nah, sekarang kita lanjutkan dengan masing-masing kelompok untuk maju ke depan kelas membacakan hasil pengamatannya. Dimulai dari kelompok 1 terlebih dahulu. Oke?” “Oke, Pak!” Dengan cara pembelajaran seperti ini, aku berharap karakter pemberani, percaya diri, dan tekun anak-anak didikku terlatih. Pembelajaran kontekstual akan memudahkan mereka memahami materi. Setidaknya dari hasil presentasi mereka di depan kelas, gaya belajar yang selama ini hanya menulis dan duduk di bangku telah berubah menjadi gaya belajar aktif dan kontekstual. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


173 173

Tangan Ajaib ‘Pop Up Card’ Ilfa Yuni Arta

A

ku mengabdi di MI Al-Manar Seloto, terletak di ujung Kota Taliwang, g, Kabupaten p gg Sumbawa Barat,, Nusa Tenggara Barat. Hari itu kali pertama aku berkenalan dengan semua siswa dan guru. Selepas upacara di kantor, aku diajak mengobrol untuk menentukan jam mengajarku oleh Pak Syahrullah. Selain wakil kepala sekolah, beliau juga wali kelas 6. “Ibu Ilfa lulusan sarjana apa?” tanya Pak Syahrullah. “Fisika, Pak,” jawabku. “Wah bisa ngajar matematika dan IPA kan ya?” Beliau bertanya kembali. “Insya Allah bisa, Pak.”

Sahabati Lingkungan


174 Setelah berdiskusi banyak akhirnya aku mendapat tugas mengajar matematika di kelas 1, 2, 3 dan SBK di kelas 5 dan 6. “Oh ya, Bu Ilfa, saya bisa minta tolong? Hari ini Bu Ilfa mengajar IPA di kelas 6. Bagaimana, Bu?”

Jleb! Masya Allah, belum juga dapat pegangan buku sudah diminta mengajar, gumanku. Bukan guru SGI namanya kalau bilang tidak siap. Akhirnya aku sanggupi permintaan beliau. “Iya, Pak, insya Allah.” SAATNYA TIBA MENGAJAR SISWA kelas 6. “Assalamu’alaikum…” ucapku ketika memasuki ruang kelas 6. Ruangan yang sangat sepi dari pajangan dinding. Ruangan yang luas dan dihuni oleh 23 Siswa, terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan. “Wa’alaikumsalam,” jawab anak-anak serentak dan bersemangat. Saat itu aku sebenarnya bingung hendak melakukan apa. Kuputuskan saja untuk memberikan ice breaking. “Apa kabar, anak-anakku?” “Baik, Bu,” jawab mereka. Karena kurang gereget, kuajari mereka menjawab kabar dengan kalimat semangat. “Jika Ibu bilang ‘Apa kabar?’, anak-anakku menjawab ‘Alhamdulillah, luar biasa, penuh cinta ea… ea… ea….’ Bisa?” “Bisa, Bu….” Akhirnya kuulangi kembali menanyakan kabar mereka. Kali ini dijawab penuh semangat oleh anak-anak. Mereka sangat antusias dan senang. Berikutnya kuberikan tepuk semangat untuk anakanak dengan gaya berbeda. Setelah itu, barulah aku berkenalan dengan siswa kelas 6.

Kreasi Penerang Guru Seberang


175 Saat ice breaking, aku melakukan sambil berpikir, kira-kira apa yang akan kuberikan di kelas pertama tanpa RPP? Sambil mengamati aku melihat di meja anak-anak terdapat buku mereka yang digambar-gambar. Aha! Aku menduga, anak-anak kelas 6 ini rata-rata suka menggambar. Mereka tetap membawa peralatan mewarnainya meskipun tak ada pelajaran SBK. Sesuai permintaan Pak Syahrullah, aku mengajarkan IPA dipadukan dengan dunia mereka. Aku teringat saat bimbingan oleh Mas Shirli (dari manajemen SGI) kami membuat sebuah pop up. Aku mengaplikasikan pengetahuan pop up ini di sini. Namun, bukan aku yang membuatnya, melainkan siswa-siswaku. Modalku hanya menunjukkan contoh karena saat itu aku membawanya di tas. Kuawali dengan membagi mereka berkelompok; satu kelompok terdiri empat anak. Setelah itu aku membagi materi pada setiap kelompok. Saat itu materi yang aku berikan berupa tata surya, pancaindra, simbiosis, dan rantai makanan. “Ibu, kita mau belajar apa?” salah satu siswa bertanya. “Iya, siapa namamu, Nak?” tanyaku. “Alfan, Bu.” “Oh, nama yang bagus,” pujiku. “Ibu akan membuat tangan kalian menjadi ajaib!” “Ajaib, Bu?” tanya siswa yang lain menyambung. “Bagaimana caranya, Bu?” Ruang kelas mulai berisik dengan celoteh anak-anak, saling bertanya pada temannya tanda rasa penasaran. “Tepuk satu!” kataku. Anak-anak refleks langsung bertepuk tangan, dan suasana mulai hening.

Sahabati Lingkungan


176 “Oke, anak-anak, kita akan membuat tangan kalian ajaib membuat… pop up card. Seperti ini!” Aku langsung menunjukkan pada mereka. “Oh… kita akan menggambar ya, Bu?” Alfan lagi-lagi bertanya. “Iya,” jawabku. “Horeeee…” mereka semua bersorak riang. “Kita akan belajar IPA sambil menggambar,” aku memberi penjelasan awal. “Baiklah, anak-anak, kalian siapkan peralatannya; kertas, gunting, pensil warna, lem, pensil gambar, penghapus, kardus, penggaris, dan buku IPA.” “Nonya gunting, Bu!” “Nonya lem, Bu!” “Nonya kardus, Bu!” Suara anak-anak menyerbu. “Apa itu nonya?” tanyaku. “Ndak ada, Bu,” jawab mereka berbarengan. Aduh hatiku mulai gelisah. Bagaimana ini? Alat yang penting tidak ada. Akhirnya aku langsung bertindak. Mungkin sekolah ada. “Tunggu Ibu ke kantor dulu, kalian siapkan alat yang ada saja dulu,” perintahku. Alhamdulillah di kantor aku dapati alat-alatnya, kecuali kardus. Tak mengapa toh aku akan menggantinya dengan karton. Setelah semua alat dibagikan, aku memberikan arahan cara mengerjakannya. “Nah, anak-anak, perhatikan Ibu. Nanti kalian berbagi tugas ya, ada yang membuat gambar isi materi, buat latar sesuai materi, buat fondasi dan buat garis tepi. Ketika semuanya sudah kalian buat, usahakan fondasi untuk meletakkan konten jangan terlalu panjang diguntingnya. Ini agar bisa berdiri bagus. Paham?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


177 “Paham, Bu,� jawab anak-anak. “Kalau semuanya sudah dibuat, baru kalian tempelkan gambar isinya pada fondasi. Beri judul materinya. Kalau semua sudah paham, boleh langsung dikerjakan.� Anak-anak pun mengerjakannya dengan sangat semangat. Alhamdulillah, mereka bisa bekerja sama dengan baik bersama teman sekelompok. Kejadian ini membuatku belajar banyak bahwa sejatinya guru harus dituntut belajar. Ketika keadaan mendesak sekalipun, guru sudah memiliki ilmunya. Dan guru harus bisa mengajak seisi ruang kelas berbicara. Kali ini aku tersenyum puas melihat hasil pop up card yang dibuat anak-anak. Sangat luar biasa dari tangan-tangan ajaib mereka telah tercipta karya yang indah, dan hasilnya pun bisa kugunakan sebagai media belajar mendongeng ataupun pelajaran lainnya. Sejatinya anak-anak itu memiliki potensi, tinggal bagaimana kemauan guru untuk telaten menggali dan membimbing mereka. []

Sahabati Lingkungan


178 178

‘Pop Up’ dan ‘Lift The Flap’ IPA Siti Fatonah

M

etamorfosis merupakan tahapan proses pertumbuhan pada hewan. Sedangkan pop up adalah buku yang memiliki lembaran-lembaran dengan dilengkapi gambar yang menjelaskan urutan tahapan dalam metamorfosis. Aku membuat berbagai macam pop up metamorfisis hewan, di antaranya adalah kupu-kupu, capung, lebah dan kunang-kunang. Anak-anak terus memerhatikan pop up yang kubawa. Mereka sangat penasaran dengan tahapan metamofosis melalui alat peraga ini. Setiap kali lembar pop up dibuka, berbagai respons keluar dari mulut kecil mereka. “Cantiknya kupu-kupunya!” “Bajinga la....” Begitulah beberapa komentar siswaku. Pembelajaran hari itu seperti membius anak-anak dengan pop up metamorfosis. Mata mereka bisa benar-benar tertuju pada alat peraga ini. Kreasi Penerang Guru Seberang


179 KALI ITU AKU MASUK ke kelas 5 SDN One Melangka Desa Lia One Melangkah, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.Sesuai jadwal, aku menyampaikan materi Sistem Pencernaan Manusia. Beberapa minggu sebelumnya aku sudah mempersiapkan alat peraga untuk mengajar materi ini. Aku membuat alat peraga berupa lift the flap dan apron. Lift the flap hampir sejenis dengan pop up. Lift the flap dibuat dari material kertas untuk menjelaskan susunan anatomi tubuh manusia. Alat peraga ini sesuatu yang baru bagi siswaku. Adapun apron kusiapkan dalam menerangkan urutan sistem pencernaan. “Anak-anak, kita hari ini akan belajar sistem pencernaan manusia. Kali ini kita akan belajar dengan cara yang tidak biasa.” “Aku tahu, Ibu Guru bawa gambar-gambar bagus sistem pencernaan,” tebak Ayin. Aku tersenyum. “Sebelum kita belajar, Ibu akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok. Ibu juga mengajak kalian bermain peran dengan menggunakan papan apron sistem pencernaan.” Selesai berkata, aku membuka lift the flap sistem pencernaan manusia. Seperti yang kuduga sebelumnya, anak-anak takjub dan heran karena kertas-kertasnya bisa dibuka, dan setiap kertas yang terbuka memiliki gambar dan keterangan yang berbeda. Dan yang paling heboh adalah pada gambar anus manusia yang jika kertas gambar anusnya dibuka maka ada gambar feses—yang merupakan sisa pencernaan. “Nah, kalian sudah tahu kan urutan sistem pencernaan dari alat peraga yang Ibu bawa ini? Sudah tahu kerja sistem pencernaan manusia dalam memproses makanan yang kalian makan sehingga berakhir di WC? Sekarang Ibu akan meminta masing-masing kelompok menunjuk temannya sebagai duta untuk bermain peran.” Setelah setiap kelompok memilih dutanya, aku membagikan papan apron dan selembar kertas bertuliskan tugas dari bagian sistem pencernaan. Sahabati Lingkungan


180 “Ibu akan memberi waktu kalian lima menit untuk menghafal,” sambungku, “namun kertas boleh kalian bawa. Jika sewaktu-waktu lupa, kalian boleh membuka untuk mengingat kembali.” Lima menit berlalu, anak-anak yang menjadi duta kelompok kuminta maju ke depan kelas. “Sekarang kalian bersusun sesuai dengan tahapan proses sistem pencernaan manusia. Setelah itu, kalian jelaskan fungsi dari gambar organ dan enzim pada sistem pencernaan seperti yang kalian hafalkan tadi. Yap... silakan bersusun!” Anak-anak kemudian bersusun sesuai dengan urutan. “Oe fa kerongkongan dulu baru lambung, kamu segera tukar tempat e sama si Juni!” ucap seorang anak. Mereka aktif berdiskusi untuk menemukan susunan tahap sistem pencernaan manusia. Kemudian mereka menjelaskan fungsi organ dan enzim dari apron yang mereka gunakan. Di luar dugaan 90% anak yang maju sudah hafal tugas dari bagian organ dan enzim dalam urutan sistem pencernaan! Siswa lain yang tidak menjadi duta memerhatikan temannya yang ada di depan. Setelah itu, aku bagikan soal Lembar Kerja Kelompok kepada masing-masing kelompok. Mereka mengerjakannya dengan baik, serta saling bekerja sama dan aktif berdiskusi. Pembelajaran hari itu, menurutku, sangat bermakna karena materinya tersampaikan dengan baik, sementara anak-anak juga belajar dengan senang.

Kreasi Penerang Guru Seberang


181

POP UP METAMORFOSÄ°S Alat dan bahan: 1. Kertas Bufallo 5. Penggaris 2. Lem Fox

6. Pensil warna

3. Pensil

7. Gunting

4. Penghapus

8. Spidol

Cara pembuatan: 1. Siapkan kertas Bufallo, lipat menjadi dua kemudian potong menjadi dua bagian. 2. Kertas Buffalo yang telah dibagi dua ini masing-masing dilipat menjadi dua bagian kembali, dan ukurlah 10 x 5 sentimeter (bisa menyesuaikan) lipatan yang digunakan untuk tatakan menempelkan gambar (dibuat sejumlah urutan tahapan metamorfosis). 3. Gunting pada tatakan yang telah diukur 10 sentimeter tersebut pada bagian sisi kanan dan sisi kiri saja. 4. Gambar berbagai tahapan metamorfosis hewan, kemudian warnai dan gunting. 5. Tempel tahapan metamorfosis yang telah digunting pada kertas Bufallo yang telah dipersiapkan (langkah nomor 1). 6. Tempelkan gambar-gambar tahapan metamorfosis di atas tatakan. 7. Sambung beberapa lembar tahapan proses metamofosis. 8. Rapikan dengan kertas Buffalo ukuran penuh, tempelkan pada rangkaian lembar metamorfosis, kemudian dihias dan diberi judul.

Sahabati Lingkungan


182

LÄ°FT THE FLAP Alat dan bahan: 1. Kertas karton 6. Tali rafia

11. Pensil Warna

2. Lem

7. Paku kecil

12. Kertas HVS

3. Pensil

8. Gunting

13. Potongan bambu

4. Penghapus

9. Spidol warna

14. Tali penggantung

5. Penggaris

10. Spidol hitam

Cara pembuatan: 1. Siapkan kertas karton, buat garis tepi 2 sentimeter. 2. Gambar manusia dan sistem pencernaan manusia pada kertas karton. 3. Gambar potongan untuk lift the flap pada kertas HVS, kemudian gunting dan tempelkan pada bagian yang nanti bisa dibuka (bagian yang menjadi lift the flap). 4. Setelah tertempel semua, beri keterangan dengan menggunakan spidol warna pada gmbar dan pada bagian lift the flap. 5. Beri warna pada gambar dengan menggunakan pensil warna. 6. Rapikan gambar dengan spidol warna. 7. Beri judul dengan spidol hitam. 8. Bingkai dengan menggunakan potongan bambu kemudian rapikan dengan paku kecil agar rapat. 9. Beri tali rafia untuk membaut tali penggantung. Cara penggunaan: Penggunaan alat peraga ini sangat mudah, yaitu dengan menjelaskan detail materi sesuai dengan yang tertera pada lift the flap.

Kreasi Penerang Guru Seberang


183

APRON SÄ°STEM PENCERNAAN MAKANAN Alat dan bahan: 1. Kertas Buffalo 5. Spidol 2. Pensil

6. Gunting

3. Penghapus

7. Rafia

4. Pensil warna Cara pembuatan: 1. Siapkan kertas Buffalo. 2. Potong menjadi dua bagian. 3. Gambar organ-organ sistem pencernaan pada masingmasing kertas. 4. Beri warna dan keterangan. 5. Lubangi bagian atas 6. Beri tali rafia membentuk kalung. Cara penggunaan: Menggunakan apron dengan memasukkan ke leher seperti memakai kalung sesuai dengan urutan sistem pencernaan manusia.

Sahabati Lingkungan


1184 18 84 4

Belajar Asyik dengan ‘Role Playing’ Risty Ani

S

etiap i Selasa, S l aku k mengajar j siswa i kelas k l 3SDN S 30 S Sungaii Kakap, k Kubu Raya, Kalimantan Barat. Awal pagi yang indah disambut senyum hangat mereka. Mereka kini sudah terbiasa dengan hal-hal menyenangkan di sekolah. Belajar tak melulu mendengarkan pelajaran yang disampaikan guru, dari sejak masuk kelas hingsekolah Melalui tanya tan a kabar ga akhir jam pulang sekolah. kabar, tepuk semangat semangat, lagu, cek konsentrasi, siswa-siswa ini mampu mengawali hari untuk belajar dengan penuh kebahagiaan. Memang proses pendidikan hendaknya memberikan kegembiraan pada hati setiap siswa dan pendidiknya. Dengan kata lain, tidak ada yang merasa terbebani selama proses pembelajaran berlangsung. Kondisi bahagia merupakan jalan bagi siswa untuk mampu menyerap materi pelajaran dengan baik karena saat itulah otak reptil terbuka. IPA menjadi salah satu mata pelajaran yang aku ajarkan di kelas 3. Mata pelajaran yang selalu bisa dikemas menarik meskipun di sekolah ini minim sarana pendukung. Tidak ada buku paket, beKreasi Penerang Guru Seberang


185 gitu pula dengan buku lembar kerja siswa. Dalam satu kelas hanya ada satu buku LKS saja padahal siswanya berjumlah sebelas! Mestikah keterbatasan jadi penghalang untuk terus belajar? Tidak. Satu buku bisa dimanfaatkan untuk semua anggota keluarga satu kelas melalui satu pintu utama: guru. Cuaca dan Pengaruhnya bagi Manusia, materi pelajaran ini harus aku transfer ke siswa. Saatnya belajar dari dan dengan alam. “Ramal, mengapa kamu kipas-kipas?” “Kepanasan, Bu,” jawab cepat Ramal. Pertanyaan sengaja kulontarkan untuk mengawali pembelajaran. “Kepanasan karena udara panas atau kamu habis berlarilari?” “Dua-duanya, Bu. Udara panas dan kita habis main lari-larian.” Melalui pertanyaan sederhana ini, guru bisa langsung masuk ke materi pelajaran. Guru dapat menjelaskan bahwa udara panas merupakan salah satu jenis cuaca. Selanjutnya, melalui jendela kaca, siswa diminta untuk mengamati langit. “Silakan lihat, apa warna langit hari ini?” “Biru!” seru anak-anak. “Warna awannya?” “Putih, Bu!” mereka berseru lagi. Melalui pengamatan langit dan awan, kita dapat mempelajari macam-macam cuaca. Selesai pengamatan kecil, saatnya siswa konsentrasi menyimak materi yang disampaikan guru. “Tolong dengarkan apa yang Bu Guru jelaskan. Nanti kalian harus bisa mengulang dengan bermain peran. Kalian bisa merangkum atau membuat coret-coret di kertas apa yang Ibu sampaikan, siap?” “Siap, Bu!” jawaban dengan teriakan khas mereka.

Sahabati Lingkungan


186 Melalui pertanyaan, “Bagaimana ya, kok tiba-tiba ada awan di langit? Bagaimana sih bisa terbentuk awan?”, beberapa siswa tampak berpikir. Mereka mulai berceloteh, “Ada udara, Bu”, “Asap, Bu”, tebakan mereka saling bergantian. Guru menampung jawaban mereka satu per satu. Saatnya guru menjelaskan kepada siswa proses terbentuknya awan, dan siswa menyimak dengan saksama. Ada juga yang membuat tulisan-tulisan. Beberapa di antara mereka tampak mendengarkan, tapi masih ada juga yang asyik dengan dunia mereka sendiri. Semua sengaja aku diamkan terlebih dulu, dan mereka akan tersadar sendiri ketika guru menatap dan perlahan berjalan mendekatinya. “Kalian sudah pernah membuat display cita-citaku. Banyak sekali siswa di kelas 3 yang bercita-cita menjadi guru. Nah, sekarang saatnya kalian berlatih menjadi guru.” “Hah?” teriak mereka disertai ekspresi keheranan. Aku memang sering membiasakan siswa untuk tampil di depan, apa pun bentuknya. Selain untuk mengukur seberapa materi yang sudah diserap siswa, melalui cara ini seorang guru bisa mengasah keterampilan siswa sambil memupuk rasa percaya diri. “Ya, beberapa orang dari kalian silakan maju, memperagakan sebagai seorang guru. Mengulang apa yang sudah Bu Guru sampaikan tadi. Jelaskan pada teman-teman bagaimana proses terbentuknya awan. Kamu jadi gurunya, dan teman-temanmu adalah muridmu.” Mereka tertawa cekikikan. Sampai hitungan ketiga tak ada siswa yang berani maju untuk memperagakan. Terpaksa aku menunjuk satu siswa agar dia berani menjadi model. Siswa itu kuberi kesempatan untuk belajar sebentar, sekaligus memikirkan bagaimana dia akan memerankan sesosok guru. “Ayo, tak perlu takut, kalian kan sudah sering melihat guruguru mengajar. Kalau kalian kesulitan memikirkan bagaimana nanti maju di depan memperagakan menjadi guru, ingat-ingat saja Kreasi Penerang Guru Seberang


187 beberapa guru di sini saat mengajar kalian. Bisa kan?” bujukku. “Anak-anak Bu Risty kan hebat semua, mau coba ya?” kataku lagi menyemangati mereka. Apa yang terjadi? Tentu saja siswa yang kusuruh itu maju. Dia, Naimah, mampu menaklukkan rasa takutnya setelah diberi motivasi dan dipastikan tak perlu malu, tak perlu takut salah karena nanti akan dibantu guru apabila kesulitan (tentu saja membantunya setelah dia berperan). Peran guru pun selesai dilakukan diiringi dengan peran siswa yang mencoba bertanya pada gurunya. “Tepuk tangan yang meriah untuk, Bu Guru Naimah….” Prok… prok… prok… Suara tepukan riuh dari kawan-kawan ditujukan pada Naimah. Begitulah siswa, terkadang mereka butuh dorongan dari luar untuk berani tampil. Tentu ini tugas guru yang selanjutnya. Seorang guru harus mampu membangkitkan motivasi siswanya. Satu siswa selesai memperagakan guru menyampaikan materi terbentuknya awan. Selanjutnya tak perlu ada penunjukan dari guru. Siswa sudah mulai percaya diri tampaknya. “Siapa mau maju jadi guru?” pancingku. “Saya, Bu!” Ramal mengangkat tangan cepat. “Ramal, sudah coba kamu pikirkan dan bayangkan apa yang akan kamu peragakan di depan kelas? Sudah siap?” “Siap, Bu.” Langkah kaki Ramal mantap menuju depan kelas tanpa aku komandoi. Bergaya seorang guru, Ramal menjelaskan terbentuknya awan kepada teman-temannya. Masih sama, kawan-kawannya pun berperan sebagai murid yang mengajukan pertanyaan pada guru. Suasana kelas semakin riuh dengan tepukan sebagai penanda kalau tugas Ramal memperagakan sebagai seorang guru telah usai. Sahabati Lingkungan


188 Peserta ketiga, Desi. Penuh percaya diri Desi menjelaskan materi pada teman-teman, lancar disertai senyuman. Memang kesannya agak berbeda kalau pembelajaran ini disebut sebagai role playing. Biasanya, untuk belajar role playing, guru yang menyiapkan skenario terlebih dulu, tapi berbeda untuk kali ini. Semuanya memang aku bebaskan supaya mereka berekspresi sendiri. Sungguh aku bangga mempunyai siswa-siswa seperti mereka. “Tepuk tangan yang meriah untuk guru-guru kita, kalian luar biasa. Terima kasih, Bu Guru Naimah, Pak Guru Ramal, dan Bu Guru Desi,” ucapku mengapresiasi mereka. Tepukan tangan siswa lainnya pun mengikuti. Sebagai guru tentunya aku senang. Semoga ilmu yang diperoleh bakal terus diingat dan bermanfaat. Di akhir pembelajaran, setelah mengulas materi lagi, aku bertanya, “Bagaimana perasaan kalian setelah belajar guru-guruan?” “Sedap, Bu...” ucap mereka dengan bahasa Melayu. “Besok saya ya, Bu, yang maju jadi guru,” Jaim antusias. Belajar apa saja bisa menyenangkan, dan memang harus menyenangkan. Masuki dunia anak, transferkan ilmu yang kita punya. Pastikan mereka menuju dan pulang sekolah dengan suasana hati yang ceria. Apabila ada kata motivasi untuk siswa “Datang untuk belajar, pulang bawa ilmu”, maka sebagai jalan menuju guru transformatif, ada tambahan penting yang harus diusahakan untuk siswanya. Siswa pulang tak hanya membawa ilmu, tapi juga guratan kebahagiaan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


18 1189 89

Diorama Ekosistem, dan Jelajah Kelompok Siti Fatonah

H

ari itu jadwalku mengajarkan IPA di siswa kelas 6 SDN One Melangka. Materinya adalah memahami pengaruh kegiatan manusia terhadap keseimbangan lingkungan alam. Aku mengombinasikan strategi belajar “watching the video� dilengkapi dengan alat peraga diorama ekosistem. Agar membuat anak lebih mengingat macam-macam ekosistem, alat peraga berupa diorama ini dibuat semenarik mungkin. Harapanku, anak sekali melihat langsung paham dan ingat. Aku memanggil salah satu siswa untuk membawa sebagian perlengkapan mengajarku. Membawa sendiri semuanya cukup merepotkan sebab jarak antara kantor dan ruang kelas 6 cukup jauh. Aku membawa proyektor dan tas ransel, sedangkan siswa membawakan alat peragaku. Sahabati Lingkungan


190 Memasuki ruangan kelas, mata anak-anak langsung tertuju pada diorama yang dibawa teman mereka.Mereka berlarian maju untuk melihat lebih dekat. “Oela ... bajinga atu,” cetus seorang anak memuji. “Ibu Guru yang buat sendiri?” tanya temannya. Kujawab sembari tersenyum, “Tentu.” “Pande-pandenya Ibu Guru ini!” kelakar siswaku yang lain. “Tentu, mo memang Ibu Guru pande menggambar,” timpal temannya. Terdengar pula sorak-sorai anak-anak melihatku membawa proyektor. Mereka paham, pelajaran kali ini akan melihat tayangan video. “Asyik hari ini kita belajar sambil nonton.” Dan kumulailah pembelajaran dengan langkah pertama: menayangkan video animasi tentang perbuatan-perbuatan manusia yang mengakibatkan kerusakan alam beserta dampak-dampaknya. Video ini sebelumnya kuunduh dari YouTube. Setelah pemutaran, aku meminta mereka menuliskan informasi yang diperoleh dari melihat video barusan. Setelah itu, barulah kami membahas bersama-sama. Berikutnya, aku menjelaskan materi tambahan mengenai ekosistem dengan menggunakan alat peraga diorama ekosistem.

Alat dan bahan: 1. Kardus bekas

7. Gunting

2. Lem Fox

8. Ketas karton warna

3. Pensil

9. Plastik bening

4. Penghapus

10. Bubuk gergaji

5. Penggaris

11. Krayon

6. Tali rafia

12. Spidol

Kreasi Penerang Guru Seberang


191

Cara pembuatan: 1. Siapkan kardus bekas, gunting sesuai konsep diorama. 2. Lapisi bagian atas kardus dengan kertas karton yang diolesi lem Fox. 3. Gambar latar diorama dan berikan warna dengan krayon. 4. Buat berbagai macam properti (hewan dan tumbuhan di masing-masing jenis ekosistem) dengan menggunakan karton warna (disesuaikan dengan hewan dan tumbuhan), atau menggunakan kertas HVS yang diwarnai dengan krayon. 5. Untuk membuat akuarium, tempelkan plastik bening pada kardus bekas yang sudah dibuat menyerupai wadah akuarium dengan diukur menggunakan penggaris. 6. Untuk membuat kolam, tempelkan tali rafia yang dibuat melingkar membentuk kolam ikan dengan menggunakan lem Fox. 7. Tempelkan pola akuarium yang telah dibuat di atas dasar diorama. 8. Jika sudah, tempel berbagai properti (hewan dan tumbuhan) yang telah dibuat berdasarkan tempatnya. 9. Taburkan serbuk gergaji kayu (sebagai tanah-tanahan) ke atas diorama. 10. Beri keterangan dengan menggunakan spidol. 11. Rapikan tampilan diorama. Cara penggunaan: Penggunaan alat peraga ini sangat mudah, yaitu dengan menjelaskan detail materi sesuai dengan diorama tersebut. Siswa diminta mengamati dengan saksama.

Sahabati Lingkungan


192 YANG MEMBUAT HATI SEORANG guru senang adalah jika pelajaran yang disampaikan kepada siswanya bisa dipahami dengan baik, di samping mereka belajar dengan cara menyenangkan. Pada pembelajaran IPA kali ini aku tetap ingin memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan untuk siswaku. Jika pada pertemuan sebelumnya mereka sudah menjalani pembelajaran mengasyikkan, begitu pula pada pembelajaran materi kali ini. “Anak-anak, hari ini kita tidak belajar....” “Yeiii...!”Sorak beberapa anak. “Yah... kenapa tidak belajar,Bu?” gerutu sebagian siswa lain. “Jadi maunya belajar atau tidak?” candaku pada mereka. “Belajar,Bu!” sorak mereka berbarengan. Sebagian kecil berkata, “Bermain saja,Bu!” “Nah, karena ada yang minta belajar, namun ada juga yang minta bermain, maka siang ini kita akan bermain... sambil belajar!” “Yeiii...!” Sorak riuh kelas di siang itu. “Ya, setelah Ibu bagi kelompok nanti kita akan keluar kelas.” “Yeiii...!” Sorak-sorai anak-anak terdengar kembali. Kami pun kemudian bergegas keluar kelas. “Sekarang Ibu Guru minta kalian berbaris sesuai kelompok yang telah ditentukan tadi.” Aku mengatur jarak antar-anggota kelompok, lalu meminta kelompok lain mengikutinya. “Sebelum mulai bermain, Ibu minta kalian berunding kemudian menunjuk teman kalian, siapa yang berada di baris depan dan seterusnya. Karena Ibu Guru akan membagi pesan rahasia yang akan disampaikan berantai pada teman sekelompoknya. Urutan yang menerima pesan akan sangat berpengaruh pada pesan yang sampai di anggota paling ujung, yang nanti akan menyampaikan pesan rahasia kepada Ibu,” terangku. Kreasi Penerang Guru Seberang


193 “Nah,” lanjutku, “Ibu Guru akan memberikan lima bintang kepada setiap anggota kelompok yang kelompoknya mampu bekerja sama dengan baik dan menyampaikan pesan sesuai dengan yang tertera di kertas.” “Yeiii... dapat bintang!” sorak anak-anak berbarengan. “Mengerti semua?” “Mengerti, Bu!” “Kalau mengerti, segera berdiri pada urutan yang telah disepakati. Anak yang bersiap menerima pesan semuanya harap balik kanan, dan sisanya berdiri membelakangi teman kalian,” perintahku mengawali permainan. Setelah anak-anak siap, aku memberi lembar kertas pesan rahasia yang telah ditulis di rumah. Aku memberikan pesan tersebut kepada anak yang berada di paling belakang. Aku memberikan waktu masing-masing tiga menit untuk menghafal materi di kertas. Setelah waktu habis, dan kuberi aba-aba lanjutan, siswa pertama tersebut berlari menuju ke teman yang ada di belakangnya, lalu membisikkan pesan rahasia yang telah dihafal. Dua orang anggota ini kemudian menghafal bersama dengan waktu yangs sama, yaitu tiga menit. Begitu seterusnya hingga tiba giliran anggota paling ujung, yang siap menyampaikan pesan berantai kepadaku. Setelah tiba giliran anggota paling ujung, mereka menyampaikan kepadaku. Aku mengecek apakah pesan itu sesuai dengan yang tertera di kertas. Aku meminta siswa yang menerima pesan terakhir secara bergiliran mengulang pesan rahasia. Setelah mengecek per individu, aku juga mengecek secara berkelompok. Di sini akan terlihat tim yang bekerja sama dengan kompak. Siswa yang berhasil mengulang pesan rahasia dengan sempurna akan mendapat bintang. Pesan rahasia yang aku berikan pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Jadi, aku bisa melanjutkanpermainan dengan meminta masing-masing anggota kelompoknya untuk menyebar

Sahabati Lingkungan


194 ke kelompok-kelompok lain, dan saling bertukar informasi yang telah mereka terima pada permainan sebelumnya. Setelah itu, berkumpul lagi dengan kelompoknya untuk mendiskusikan. Terakhir, menuliskan hasil perolehan informasi dari jelajah kelompok ini. Proses ini melatih anak-anak bertanggung jawab atas apa yang mereka dapatkan, dan harus membaginya ke teman di kelompok lain. Selain itu, dia juga bertanggung jawab membawa informasi baru dari temannya di kelompok lain. Hal ini melatih anak-anak menjadi tutor antar-teman sehingga masing-masing kelompok akan mendapatkan berbagai informasi yang beragam. Setelah batas waktu yang diberikan berakhir, masing-masing kelompok diminta mempresentasikan informasi yang diperoleh dari kegiatan jelajah kelompok. Guru bersama siswa menanggapi dan mengklarifikasi informasi yang disampaikan siswa dari masing-masing kelompok. Usai melangsungkan pembelajaran ini, aku mengondisikan anak-anak kembali ke kelas. Kubagikan soal untuk mengetahui sampai mana daya serap anak-anak dalam materi ini. Hasilya cukup memuaskan, lebih dari 60% anak-anak mendapatkan nilai di atas 60. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


195 19 95

Meneliti Cara Bertahan Hidup Hewan Ahmad Rizal Khadapi

G

erhana, h nama siswa i k kelas l 5 di SDN 12 K Kubu b Desa D MengkaM k lang, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Semester II ini aku mengajar Gerhana dan temanteman sekelasnya. Gerhana dikenal sebagai siswa superaktif dan senang bikin keributan di sekolah. Ada saja ulah yang diperbuatnya di sekolah, mulai dari berkelahi, memukul meja, menyembunyikan sepatu kawannya, hingga aksi-aksi mengesalkan lainnya. Sebenarnya ia siswa rajin, biasanya pagi hari sekali ia sudah berada di sekolah. Aku tahu, Gerhana minim diperhatikan keluarganya. Ia anak yatim dan bungsu dari delapan bersaudara. Dengan kondisi seperti itu, aku maklumi dia kadang bertingkah aneh di kelas. Ibunya seorang petani dan guru mengaji di Kampung Seruat Kanan.

Sahabati Lingkungan


196 Laporan dari teman-temannya memang sering menyudutkannya. Agar adil, aku mencoba mencari tahu dari Gerhana langsung.

“Ger, nape kau suka gile di kelas?” tanyaku tentang seringnya ia bikin keributan. “Tadak, Pak. Ger tadak gile. Budak tu, buang sampah sembarangan padahal kite sudah capek ngepel lantai. Karena tu, saya marah, Pak e…” jawabnya membela. “Iya, tapi kamu juga tadak boleh gile, dan marah ke temantemanmu, kamu kan anak yang paling besar di kelas 5.” “Iye lah, Pak e... saya tadak akan gile lagi.” Setelah selesai mengobrol banyak, kupersilakan dia untuk kembali bermain bersama teman-temannya. Hatiku sudah merasa lega menasihatinya. Seperti dugaanku, dia anak baik yang hanya butuh perhatian lebih. Selain itu, dia anak kinestesis, selalu saja ada tingkah aktifnya di kelas saat guru mengajar. SISWA KELAS 5 BERJUMLAH 21 anak. Aku mengajar hampir semua mata pelajaran. Namun, secara khusus, aku bertanggung jawab atas mata pelajaran IPA dan matematika. Hari itu Pak Abdullah tidak masuk. Wali kelas 5 ini mitra selama aku di sini. Beliau guru senior yang sudah lama mengajar di sekolah ini. Kadang kala tugas dinas membuat beliau harus ke Pontianak untuk beberapa hari. Maklum, beliau baru saja diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Beliau juga masih harus mengurus berkas CPNS ke Pontianak. Selesai upacara, beberapa saat aku terdiam di ruang guru. Memikirkan teknik mengajar yang tepat untuk Gerhana dan temantemannya. Kelas ini penuh dengan tantangan. Jumlah siswanya memang ideal, tapi kapasitas penerimaan materi oleh siswa belum terlalu bagus. Hari itu jadwalku mengajar IPA, bahasa Indonesia, dan PKn. Sebenarnya hanya IPA, tapi karena Pak Abdullah tidak masuk,

Kreasi Penerang Guru Seberang


197 maka aku mengajar semua mata pelajaran tersebut. Sekitar sepuluh menit berpikir tentang metode yang tepat, aha… tiba tiba muncul ide. RPP untuk pelajaran IPA sudah kusediakan. Tapi RPP untuk bahasa Indonesia dan PKn, aku tidak membuat mengingat keadaan ini di luar dugaan. Aku memilih metode Contextual Teaching and Learning. Metode ini memungkinkan siswa untuk terlibat aktif di kegiatan pembelajaran. Selain Gerhana, beberapa siswa kelas 5 termasuk siswa kinestesis. “Assalamu’alaikum...” sapaku sebelum masuk ke kelas 5. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh….” “Sudah berdoa, anak-anak?” “Belum, Pak….” “Kalau begitu berdoa dulu ya. Kita berdoa pake tepuk jari satu.” Berdoa dengan menggunakan tepuk jari satu adalah salah satu cara membuat siswa senang dan tertib dalam berdoa. 1, 2, 3... Tepuk jari satu... Tepuk jari dua... Tepuk jari tiga... Tepuk jari empat... Tepuk jari lima... Berbunyi semua... Ayolah kawan kita semua berdoa... “Berdoa mulai...” ucap Indra Setiawan menginstruksikan teman-temannya. Seisi kelas kemudian hening dengan bacaan surat al-Fatihah.

Sahabati Lingkungan


198 Selesai berdoa, aku menyapa mereka dengan sapaan khas guru SGI, “Selamat pagi…!” Mereka menjawab dengan kompak, “Pagi…! Pagi…! Pagi…!” “Apak kabar hari ini?” Masih dengan kompak mereka menjawab, “Alhamdulillah… luar biasa… penuh cinta… semangat…!” “Kelas 5?” “Saleh dan salehah…!” Berikutnya kubagi siswa menjadi lima kelompok dengan teknik berhitung mandiri. Kuminta siswa-siswa menyebutkan satu angka dari satu sampai lima. Berulang sampai semuanya menyebutkan angka. “Baik, anak-anak, siapa yang mendapatkan angka 1? Semuanya maju di samping kanan Pak Guru. Yang mendapatkan angka 2, di samping kiri Pak Guru. Angka 3 di depan Pak Guru. Angka 4 di belakang angka 3, dan angka 5 di belakang angka 4.” Sontak saja kelas menjadi seperti kapal pecah. Suara gaduh dan riuh mengiringi saat mereka berusaha maju menemukan teman satu kelompok. Sesudah mereka berkumpul bersama teman satu kelompok, aku meminta mereka menunjuk satu temannya sebagai ketua. Mereka masih terlihat bingung. Aku memang belum menjelaskan, hari itu mereka akan belajar apa. Sengaja kelas kubuat agak ribut. Daripada mereka ribut bermain lebih baik mereka ribut belajar. “Nah, anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang penyesuaian diri makhluk hidup dengan lingkungannya,” jelasku. “Masih ingat kan tentang pelajaran minggu lalu?” “Masih, Pak Guru...” jawab mereka.

Kreasi Penerang Guru Seberang


199 “Pak Guru sengaja membuat kalian berkelompok karena akan ada proyek buat kalian.” “Hah? Proyek? Proyek ape, Pak?” tanya Dimas. “Tugas setiap kelompok adalah mencari satu jenis hewan di luar kelas. Oke? Tugasnya mudah….” Aku pun memerinci tugas tersebut. Kelompok 1: mencari 1 ekor belalang; amati dan catat bentuk tubuhnya, lalu cari di buku cara belalang bertahan hidup. Kelompok 2: mencari 1 ekor cicak; amati dan catat bentuk tubuhnya, lalu cari di buku cara cicak bertahan hidup. Kelompok 3: mencari 1 ekor cacing tanah; amati dan catat bentuk tubuhnya, lalu cari di buku cara cacing tanah bertahan hidup. Kelompok 4: mencari 1 ekor ayam; amati dan catat bentuk tubuhnya, lalu cari di buku cara ayam bertahan hidup. Kelompok 5: mencari 1 ekor kupu-kupu; amati dan catat bentuk tubuhnya, lalu cari di buku cara kupu-kupu bertahan hidup. Setelah tugas terbagi, sejenak kualihkan perhatian khusus kepada Gerhana. Ia tampak bersemangat ingin segera keluar kelas. “Baik, ada pertanyaan sebelum kalian keluar?” “Tidak, Pak,” jawab mereka. Gerhana kemudian bertanya, “Pak, kalau kame tidak dapat ayamnya cem mane?” “Cari saja dulu, pasti dapat,” jawabku meyakinkan Gerhana dan kelompoknya. Diam-diam aku senang dengan pertanyaannya. Ketika bertanya, ini menunjukkan minat dalam pembelajaran. Aku berpikir, metode Contextual Teaching and Learning tepat bagi siswa seperti Gerhana dalam mempelajari IPA. Sebab, pembelajaran ini mengaitkan antara materi ajar dari buku dengan kenyataan dalam kehidupan. Sahabati Lingkungan


200 Satu jam pembelajaran telah berlalu, anak-anak begitu aktif. Mereka menemukan hal-hal baru dari binatang yang dicarinya. Lalu mengaitkan dengan materi yang ada di buku dan mencatatkan temuannya. Akhir pembelajaran, aku meminta setiap kelompok maju ke depan, mempresentasikan tugas mereka. Wakil kelima kelompok yang tampil ternyata begitu bersemangat menjelaskan. Tidak lupa tepuk tangan dari teman-temannya menyertai, baik sebelum maupun sesudah tampil presentasi. “Jadi, anak-anak, cara bertahan hidup ayam di lingkungannya bagaimana?” tanyaku menutup pembelajaran. Tidak kusangka-sangka, Gerhana langsung mengangkat tangan, “Dengan mencari makanan di tanah menggunakan ceker kakinya, Pak Guru.” “Tepat sekali! Ayo kasih tepuk apresiasi untuk Gerhana….” “Tepuk Apresiasi…!” Alhamdulillah, keaktifan Gerhana di kelas hari itu tidak lagi menjadi kegaduhan untuk teman-temannya. Sesungguhnya setiap anak itu cerdas, dan mempunyai karakter tersendiri atas kecerdasannya. Keberadaan mereka menjadi tantangan tersendiri buatku—juga guru-guru di sini—agar lebih kreatif dalam mengajar. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


201

Menggenggam

Angka

Menggenggam Meng Me nggge eng ngga gam m Angka An ngkka


2022 20

Lidi Pintar Ricky Irwandi

P

ertama kali menginjakkan kaki di perkampungan Bajo Sampela, sepanjang jalan aku melayangkan pandangan melihat pela rumah-rumah penduduk dan penghuninya, baik orang tua maupun anak-anak. Sepanjang jalan, hati ini berkata-kata, apakah aku bisa dengan cepat berinteraksi dengan masyarakat Bajo? Melihat anak-anak berlari-larian dengan penampilan seperti anak-anak yang tidak id k diurus di l h orangtuanya membuat b pilu il hati. h i oleh Hari pertama melihat MIS Hubbul Wathan, aku terheran sekali. Di kelas, meja dan kursi tidak layak dipakai lagi, itu pun jumlahnya terbatas. “Pak, berapa jumlah siswa di sini?� tanyaku kepada kepala sekolah.

Kreasi Penerang Guru Seberang


203 Kepala sekolah menyebutkan jumlah siswa. Aku pun berpikir, kenapa jumlah kursi dan meja tidak sampai separuh dari jumlah siswa? Siswa sudah banyak berdatangan. Ada yang memakai seragam lengkap, ada juga yang memakai seragam sehari-hari tanpa alas kaki. Ada yang membawa alat tulis, ada juga yang tidak membawa apa pun! “BEGITULAH, PAK KONDISI SISWA di sini,” jelas Pak Ajis saat menjawab soal siswa yang berhamburan keluar kelas. “Belum apaapa mereka sudah minta pulang. Tidak bisa ditahan lagi. Sebenarnya kita, guru-guru, mau mengajar mereka seperti di sekolahsekolah yang lain tetapi anak-anak itu tetap tidak mau.” Rasa penasaran menggelayut di hati, “Apakah benar yang dikatakan oleh Pak Guru ini?” Ternyata hari pertama di sekolah aku mengalami langsung. “Pak Guru, kita cerita-cerita nabi saja,” usul siswa. Aku balik bertanya, “Kalian mau cerita nabi siapa?” Siswa menyebutkan nama-nama nabi yang diketahuinya, dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. “Bagaimana kita cerita nabi kita saja?” tanyaku. Siswa menjawab, “ Oke, Pak Guru.” “Ayo, siapa nabi kita?” Tak satu pun siswa yang menjawab. Aku pun langsung bercerita. Hanya bertahan beberapa menit, selepas itu siswa tampak gelisah. Apalagi beberapa siswa dari kelas lain sudah berhamburan pulang. Seorang siswa pun berkata, “Molek, Pak Guru!” Aku mengerutkan kening. “Molek itu apa sih?”

Menggenggam Angka


204 Semua siswa langsung tertawa. “Pak Guru, molek itu artinya pulang.” Sambil mengangguk, aku berkata, “Belum ada yang pulang! Ini baru satu jam di kelas.” Tapi, siswa tidak mau mendengarkan kata-kataku. Mereka mencari jalan keluar dari kelas. Aku berusaha menahan mereka, tetapi kelas banyak sekali jalan keluarnya. Alhasil, siswa satu per satu meloloskan diri. Apa boleh buat, aku terpaksa merelakan mereka pulang. BEBERAPA MINGGU MENGAJAR SISWA kelas 6 ternyata perubahan tak kunjung ada. Siswa selalu beralasan tidak membawa alat tulis. Setiap ditanya alasan tidak membawa alat tulis, mereka selalu menjawab tidak ada uang serta belum diberikan bantuan oleh sekolah. Aku pun berinisiatif membelikan alat tulis masing-masing siswa yang setiap selesai pelajaran alat-alat tulis ini dikumpulkan kembali. Aku juga teringat kata-kata dari salah satu guru bahwa alat-alat tulis tersebut tidak boleh disimpan di rumah masingmasing siswa karena dalam waktu satu hari saja bisa dipastikan semuanya tidak berjejak. Setelah alat tulis disediakan, siswa tidak punya alasan lagi untuk tidak mengikuti proses pembelajaran. Kondisi siswa yang tertinggal membuat aku tidak bisa menjalankan proses pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum. Karena itu, yang diprioritaskan di sini hanya siswa bisa membaca, menulis, dan berhitung walaupun para siswa itu berada di kelas 6. Satu kali pertemuan, salah satu siswa mengusulkan, “Pak Guru, kita belajar tambah-tambah dan kali-kali saja.” Aku pun mengikuti keinginan siswa, “Oke, kita belajar tambahtambah.” Kemudian aku mulai menjelaskan pelajaran tentang tambahtambah yang diminta siswa, dan berujung pada pemberian latihan. Hasilnya, tidak ada satu pun siswa yang benar menjawab soal! KeKreasi Penerang Guru Seberang


205 napa tidak ada satu pun siswa yang menjawab benar padahal hanya lima soal? Tanyaku dalam hati. Sebelum pulang sekolah, aku berpesan kepada siswa supaya esok harinya membawa objek benda sebagai alat bantu berhitung. Masing-masing membawa seratus buah. Hari esoknya aku tagih. Sayangnya, tak ada satu pun siswa yang membawa alat bantu untuk berhitung. Lagi-lagi siswa beralasan mereka lupa mencari bendabenda tersebut. Setiap ada keperluan seperti ini, aku terus-menerus mengingatkan mereka. Apa yang aku harapkan akhirnya terwujud juga. Setelah memulai pelajaran dengan ceria, menggunkan ice breaking yang membuat siswa tertawa terbahak-bahak Aku pun bertanya lagi kepada siswa, “Siapa yang hari ini membawah alat bantu berhitung?” Satu orang siswa mengangkat tangan dan berkata. “Saya, Pak Guru!” Ternyata itu adalah Indar. Aku pun bertanya, “Apa yang kamu bawa, Indar?” Indar menjawab sambil mengangkat alat bantu yang dibawanya, “Lidi, Pak Guru.” “Ayo kita beri tepuk apresiasi untuk Indar!” AKU MENJELASKAN PENAMBAHAN MENGUNAKAN lidi yang dibawa Indar. Mengajari siswa cara menghitung dengan menggunakan lidi. Indar, yang satu-satunya membawa lidi, dengan mudah melakukan penjumlahan. “Pak Guru, ternyata tambah-tambah itu mudah,” kata Indar penuh percaya diri. Aku hanya bisa tersenyum, kemudian teman-temannya berebutan mengambil lidi Indar untuk melakukan penjumlahan. Akhirnya semua siswa mengakui bahwa tambah-tambah itu mudah.

Menggenggam Angka


206 Sebelum pelajaran berakhir, salah seorang siswa berkata, “Pak Guru, besok kita belajar kali-kali ya?” “Iya, tapi jangan lupa bawah alat bantu berhitungnya,” sindirku. Tito menyahut, “Iya, Pak Guru, saya pulang dulu ya.” Jihang tidak mau ketinggalan, “Pak Guru, nanti sore kita memancing di jembatan utara ya.” Aku menganggukan kepala, “Insya Allah.” HARI BERIKUTNYA TERNYATA TETAP: hanya Indar yang membawa alat hitung berupa lidi. Siswa yang lain tidak menghiraukan perintahku. Aku berpikir, mencari-cari jalan alternatif lain agar semua siswa membawa alat hitung. Kujanjikan buat mereka bahwa siswa yang membawa alat bantu berhitung akan mendapatkan hadiah. Tapi sangat disayangkan, masih ada siswa yang tidak membawa alat bantu hitung. Pertemuan berikutnya aku pun memulai pembelajaran. “Anakanak, ayo keluarkan alat bantu hitungnya masing-masing!” “Oke, Pak Guru,” jawab seorang siswa. Aku mulai menjelaskan cara menggunakan alat bantu hitung pada materi perkalian, dimulai dari perkalian yang termudah dengan menggunakan nyanyian. “Satu kali satu sama dengan berapa?” “Dua kali satu sama dengan berapa?” “Tiga kali satu sama dengan berapa?” “Empat kali satu sama dengan berapa?” “Lima kali satu sama dengan berapa?” “Enam kali satu sama dengan berapa?” “Tujuh kali satu sama dengan berapa?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


207 “Delapan kali satu sama dengan berapa?” “Sembilan kali satu sama dengan berapa?” “Sepuluh kali satu sama dengan berapa?” Indar memang anak pintar, dengan mudah dia bisa melakukan perkalian dengan baik. Dengan menggunakan lidi, Indar bisa menyelesaikan perkalian satu sampai sepuluh. Keberhasilan Indar ditularkan juga pada teman-temannya. Alhasil, akhirnya ada beberapa anak yang mampu menyelesaikan perkalian satu sampai sepuluh dengan menggunakan alat bantu berhitung. []

Menggenggam Angka


20 208

Kotak-Kotak Cerdas Abdi Husni Dermawan

S

udah sembilan bulan lamanya langkah pengabdianku tertunai di SDN 003 Sebatik Tengah, sekolah yang berada di perbatasan negeri ini dengan Malaysia. Hiruk-pikuk perkotaan yang dulu kulalui, kini tertepi oleh keadaan sunyi desa. Bukit Harapan nama desanya, terletak di Pulau Sebatik di Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pulau ini memiliki dua tuan; sebagian menjadi milik Indonesia, sebagian lagi milik negeri jiran Malaysia. Jangan berharap ada fasilitas pendidikan yang memadai. Desa ini begitu terisolasi dari perkembangan pembangunan walaupun itu pembangunan di tingkat Pulau Sebatik sekalipun. Listrik yang digunakan masih berasal dari pembangkit listrik tenaga surya. Air penghidupan warga semua bersumber dari tadah (penampungan) hujan. Jika hujan turun, maka banjir menjadi pemandangan biasa. Hal ini dikarenakan Bukit Harapan terletak di perlintasan aliran sungai tepat di lembah

Kreasi Penerang Guru Seberang


209 di antara bukit-bukit. Dengan kecilnya diameter daerah aliran sungai, sudah tentu luapan air selalu menggenangi desa ini. Mereka tetap sang juara, itu hasil pengamatanku melihat anakanak ini bersekolah. Jarak yang mereka tempuh untuk sampai di sekolah berkisar hingga delapan kilometer dengan rute perbukitan. Walau panas terik, jalan berlumpur, hujan mengguyur dan sekalipun itu banjir, mereka selalu bersemangat untuk sampai ke sekolah. Anak-anak perbatasan mengajariku banyak hal; mengenai kehidupan, perjuangan, dan keikhlasan. Mereka juga menyampaikan pesan tak langsung kepadaku bahwa sejatinya mereka hanya ingin belajar. Sebagaimana di daerah lain, matematika juga menjadi pelajaran menakutkan bagi siswa SDN 003 Sebatik Tengah. “Susah betullah, Kak”. Itulah ungkapan yang paling sering aku dengar dari siswa saat mengerjakan soal matematika. Aku mendapatkan amanah menangani siswa kelas 4 dan 5, namun tak jarang aku memegang semua kelas untuk mengisi jam yang ditinggal oleh wali kelasnya. Bagiku, mengajar adalah sebuah anugerah nikmat yang diberikan Allah Swt yang datang kepada orang-orang pilihan. Orang-orang yang memilih mengisi kalbunya dengan kebahagiaan, maka dia akan memilih jalan menjadi seorang pengajar. HARI ITU DIMULAI DENGAN jam pertama di kelas 4. Seperti biasa, kumulai kelasku dengan tiga pekikan: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….’’ “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” lantang mereka menjawab. “Selamat pagi!” “Pagi… pagi… pagi...” suara mereka seperti energi semangat merasuk dalam jiwa. “Apa kabar semuanya?”

Menggenggam Angka


210 “Alhamdulillah, luar biasa, penuh cinta, Allahu akbar.” Auranya seolah berkata, “Kami siap belajar, wahai Bapak Guru.” Selesai tiga pekikan, aturan komando kelasku berlaku. “Posisi satu!” Secara langsung siswa melipat kedua tangannya, menegakkan cara duduknya, dan bertatapan denganku. Hari itu materi yang disampaikan tentang operasi hitung bilangan. Kompetensi yang akan dicapai adalah siswa mampu melakukan operasi perkalian dua angka. Tetapi, materi kali ini sudah tentu menjadi beban pikiran untukku. Bukan karena aku tidak mengusai materi ajar, melainkan karena para bocah hebat kelas ini belum bisa menghafal perkalian. Sebagai seorang guru, aku selalu memaksakan mereka untuk secepatnya bisa menghafal perkalian satu sampai sembilan. Tetapi, masih juga hanya beberapa siswa yang bisa mengingat hasil perkalian. Tak apalah buatku, mereka dipersilakan untuk melihat perkalian sembari membantu mereka menghafalnya. Setelah menjelaskan aturan perkalian dua angka, aku bertanya, “Adik sudah mengerti?” “Sudah, Kak.” Oh iya, aku sengaja menyuruh mereka memanggilku ‘kakak’. Hal ini sengaja kulakukan agar mudah mengakrabkan diri dengan mereka. “Ada yang mau bertanya?” tanyaku lagi. Semua hanya tersenyum. “Okelah kalau begitu, Kakak beri soal ya.” Aku pun memberikan tes sebanyak lima soal untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memahami cara melakukan operasi perkalian dua angka. Sembari berjalannya waktu, terlihat wajah murung mereka. Aku mulai bertanya kepada berapa anak.

Kreasi Penerang Guru Seberang


211 “Azmil, bagaimana? Bisakah?” “He… he....” Hanya senyum dan tawa kecil dan keluar dari mulut yang ditanya. “Satriani bisakah?” “Bisa, Kak.” “Khairul bisa?” “Bisa, Kak.” “Oh, syukurlah.” Waktu pun habis. “Semua dikumpulkan ya? Ingat, secara tertib,” perintahku. Mereka mulai maju satu per satu. Setelah semuanya terkumpul, aku memeriksa langsung pekerjaan mereka. Betapa terkejutnya aku, hasil tes mereka sangat rendah. Hanya ada beberapa orang yang mendapatkan nilai 40—empat dari lima soal berhasil dijawab benar. Selebihnya hanya angka nol yang mungkin bisa dituliskan. Untuk membangun motivasi siswa belajar, biasanya aku tidak menuliskan nilainya jika sangat rendah. Hanya kata-kata afirmasi yang dibubuhkan dalam buku mereka, “Nak, terus rajin belajar ya, hasilnya masih belum benar, semangat.” Yang menjadi pusat perhatianku adalah kesalahan mereka ratarata sama. Kesalahan tersebut dimulai dari salahnya menyimpan angka. Jika hasil perkalian 3 x 6 = 18, maka ada anak yang menuliskan 1 dan menyimpan 8, meletakkan hasil perkalian yang kedua sejajar dengan yang pertama, dan tidak mengetahui tata cara alur perkalian secara runtut sampai selesai dengan benar. Sejatinya, murid adalah pembelajar, maka yang harus kulakukan adalah berbuat lebih untuk membuat sesuatunya lebih sederhana dan mudah dimengerti.

Menggenggam Angka


212 SEPULANG SEKOLAH, AKU MELIHAT tumpukan kardus dan kertas bekasdi dapur rumah dinasku. Kardus dan kertas bekas itu sengaja aku kumpulkan guna membantu membuat pajanganpajangan sederhana di dalam kelas. Mungkin aku bisa berbuat sesuatu dengan kardus bekas itu. Hanya ada satu keinginan kali ini: membuat alat peraga yang bisa dijadikan media visual operasi perkalian. Setelah tiga jam bergelut dengan kardus, kertas, dan karton, akhirnya selesai sudah semuanya. Aku berikan nama “Kotak-kotak Cerdas�. Cara membuatnya cukup mudah.

Alat dan bahannya terdiri dari: 1. Kardus bekas

5. Gunting/cutter

2. Kertas bekas

6. Lem kertas

3. Karton berwarna

7. Penggaris

4. Kertas kado/kertas vanilla Tahap-tahap pembuatannya sangat sederhana, yakni sebagai berikut: 1. Gunting kardus ukuran 52 x 75 sentimeter (ukuran bisa diperlebar dan diperluas). 2. Lapisi kardus dengan lem, dan tutup bagian atas seluruhnya menggunakan kertas putih. 3. Buat garis persegi dengan panjang sisinya 8 x 8 sentimeter (ukuran juga bisa diperluas), dan batasi setiap garis persegi dengan tepian satu sentimeter. 4. Gunting kertas kado memanjang dengan diameter satu sentimeter, yang digunakan untuk mengisi tepi persegi yang telah dibuat. 5. Gunting karton berbentuk persegi dengan ukuran 8 x 8 sentimeter (ukuran disesuaikan dengan kotak persegi yang telah dibuat di permukaan karton) sebanyak 45 buah (semakin banyak semakin baik). Ini digunakan sebagai kartu angka.

Kreasi Penerang Guru Seberang


213

6. Nomori tiap kotak karton yang telah dibuat dengan angka 0 sampai 9, gunakan lima buah guntingan karton untuk membuat lambang (x), (:), (+), (-), dan (=). PAGI ITU TERASA BEGITU bersemangat. Kado spesial yang telah kubawa ini semoga dapat memberikan sedikit kenangan buat mereka. Aku tidak sabar segera menemui mereka, anak-anak juara. Ketika bel berbunyi, senyum mereka menghiasi depan ruang kelas dengan berbaris rapi. Kutangkap senyum itu dengan segera berdiri siap di hadapan mereka. Setelah bersalaman dan membaca doa, kumulai kembali kelas ini dengan tiga pekikan. Setelah itu, “Ayo tebak, Kakak bawa apa ini?” “Bawa kotak bekas, Kak,” celetuk Reza sambil tertawa. Kardus dinamakan kotak di desa ini. “Betul, siapa lagi?” “Hiasan, Kak,” Juma berdiri sambil berteriak sekuatnya. “Betul, cerdas. Kalau menurut Azrin apa?” “Sama, Kak,” jawab Azrin sambil tersenyum. “Adik-adik, ini adalah Kotak-kotak Cerdas.” “Apa? Kotak-kotak Cerdas, Kak?!” “Mantap. Mari kita mainkan!” Aku pun mendemonstrasikan penggunaan alat peraga ini. “Nah, perhatikan ya, Nak. Misalkan perkalian yang dilakukan adalah 23 x 45. Maka, kalian letakkan angka perkalian menggunakan kartu angka pada kotak yang ada secara vertikal.” “Masukkan simbol operasi perkaliannya ya, Nak,” jelasku lagi. “Selanjutnya ingat, kalikan satu angka terlebih dahulu dengan bilangan yang dikalikan. Maka yang pertama dikalikan adalah 2 diMenggenggam Angka


214 kali 4 lalu 5. Perlu diingat, kalau misalkan hasilnya adalah puluhan maka satuannya yang dituliskan, dan bilangan puluhan diletakkan di bagian atas Kotak-kotak Cerdas.” “Setelah selesai angka pertama, lanjutkan ke angka yang kedua, yaitu 3 dikali 4 dan 5. Jangan lupa ya, Nak, peletakan hasil perkaliannya, yakni di bawah angka kedua; bukan angka yang pertama. Atau lebih mudahnya maju satu langkah ke kiri. Setelah ini selesai, yang dilakukan selanjutnya adalah menjumlahkan. Maka hasilnya adalah 1035.” “Paham, Adik-adik?” tanyaku mengakhiri penjelasan panjang. “Oh, begitu ya, Kak.” “Ada yang mau coba?” tantangku. “Aku, Kak! Aku, Kak! Aku, Kak!” Serentak semua anak mengacungkan tangan dan menawarkan diri. Aku memberikan kesempatan kepada siswa secara satu per satu untuk mencoba operasi perkalian menggunakan Kotak-kotak Cerdas. Aku dan para bocah juara akhirnya belajar dan bermain bersama. Kami melakukan operasi perkalian bersama-sama. Pembelajaran begitu luar biasa, semua kami lakukan dengan perasaan senang. SEBAGAI SEORANG GURU, RASA senang saja tidak cukup. Harus ada ilmu yang mereka bawa pulang. Saatnya untuk mengetahui hasilnya. Aku kembali memberikan lima soal sebagai tes konfirmasi, apakah mereka memahami konsep operasi perkalian dua angka. Alhamdulillah, hasil tes kali ini membuatku senang. Walau mereka belum mendapatkan predikat sangat baik, ada peningkatan berarti dalam tes kali ini. Bel pun berbunyi pertanda habisnya jadwal mengajarku. Kali ini berbeda, mereka memberiku perkataan yang membuatku bertambah senang. “Kak, berilah kami PR!” pinta seorang siswa.

Kreasi Penerang Guru Seberang


215 “PR, Kak!” sambut temannya yang lain, diikuti seluruh siswa. Aku tersenyum. “Ok, Kakak tuliskan soalnya ya. Dua soal saja.” Segera kutuliskan dua soal operasi perkalian dua angka. Setelah selesai, kulangkahkan kakiku meninggalkan kelas sembari membawa Kotak-kotak Cerdas. Seorang anak berlari dan memegang tanganku kali ini. “Ada apa, Juma?” “Kak, bolehkan pinjam Kotak-kotak Cerdasnya? Sebentar saja bah, Kak?” “Bolehlah, tapi ingat ya, setelah selesai, susun kartu angkanya dan kembalikan ke Kakak,” kataku. “Ada lagi, Juma?” “Ada, Kak?” “Apa itu?” aku penasaran kali ini. “Seken, Kak!” Aku hanya tersenyum sembari bersalaman dengannya. Kembali aku belajar bahwa menjadi seorang guru juga berarti menjadi seorang penyemangat buat anak didik. Pada saat seorang guru berusaha agar pembelajarannya dimengerti dan dipahami, saat itu pula anak akan membayarnya dengan menjadi pembelajar sejati. []

Menggenggam Angka


216 21 6

Corong Berhitung Fitrianti

M

atematika merupakan salah alah satu dari dua mata pelajaran le eh siswaku. siswaku Satunya lagi bahasa yang sangat dihindari oleh a, kedua pelajaran ini sangat susah Inggris. Menurut mereka, untuk dipahami. MI Muhammadiyah Bojongmanik manik merupakan sekolah penem penempatanku di Sindangresmi, Pandeglang, Banten. Aku diberi tugas untuk mengajarkan kedua pelajaran tersebut walaupun sebenarnya matematika bukan keahlianku. Di sinilah profesionalisme keguruanku ditantang. Terlebih lagi sebelum diberangkatkan ke daerah penempatan, aku membekali diri dengan mengunduh dan membeli buku yang akan memudahkanku mengajar. Seorang guru yang dituntut untuk menghadirkan banyak metode di dalam kelasnya, tentu dengan kemasan cantik. Suatu pagi, dengan suasana sangat cerah, kulangkahkan kaki menuju sekolah. Hanya dengan sebuah harapan, semoga apa yang aku sampaikan kepada anak-anak bisa dipahami dengan baik.

Sebelum memasuki gerbang sekolah, ada beberapa anak yang datang untuk menyalami tanganku. Bahkan, ada yang berlari dari

Kreasi Penerang Guru Seberang


217 kelas untuk menyalamiku. Ketika mereka melakukan itu, sungguh hatiku sangat tersentuh. Setelah bel jam pertama berbunyi, aku menuju ke ruangan kelas 5. Aku masuk dengan menggendong alat peraga yang telah dibuat di rumah dinas. Siswa kelas 5 memerhatikan barang bawaanku. “Itu apa, Bu?” tanya mereka “Ini corong berhitung,” jawabku. Masih banyak pertanyaan yang mereka lontarkan padaku akibat dari rasa penasaran mereka terhadap corong berhitung. Tapi, aku memotongnya dengan mulai menyapa siswa-siswaku. Para siswaku berteriak menyambut salamku dengan wajah segar pagi. Setelah itu, mereka diarahkan untuk berdoa secara khusyuk. Tepuk konsentrasi dilakukan berikutnya. Yang tidak fokus bakal kena hukuman menjawab soal perkalian dariku. Hukuman ini sengaja diadakan agar anak-anak terlatih mengingat perkalian. “Tepuk satu!” lontarku. Plok! “Dua…” Plok…plok! Rupanya ada anak yang menepuk. Tanpa dikomando, anakanak yang lain langsung melirik siswa yang salah tersebut sambil tertawa meledek. Perkalian merupakan hal yang tidak mudah dilakukan siswasiswaku ini. “Anak-anak, Ibu membawa corong berhitung untuk kalian, yang akan membantu kalian menguasai perkalian,” kataku sambil menyodorkan alat peraga buatanku. Alat peraga yang dibuat dari hasil pengamatanku terhadap beberapa kelas yang tidak menguasai perkalian. Aku tentunya berharap alat peraga ini mampu membantu mereka belajar.

Menggenggam Angka


218 Sejenak mereka tertarik dengan alat peraga buatanku, mungkin karena full colour. “Cantik pisan eta mah, Bu. Kumaha cara makena?” tanya siswa dalam bahasa Sunda. Aku pun menjelaskan tata cara penggunaannya dengan benar, sedangkan siswa fokus mendengarkan. “Siapa yang ingin mencoba terlebih dahulu?” tantangku. Semua angkat tangan berharap mereka mendapat giliran pertama untuk memainkannya. Alat peraga tersebut diletakkan di atas meja tengah dengan posisi duduk siswaku berbentuk huruf U. Aku menunjuk beberapa orang anak yang membuat siswa lainnya memperlihatkan wajah memelas karena ingin pula ditunjuk. Siswa yang kutunjuk pun maju ke meja yang telah tersedia. Sebelumnya mereka mendengar soal perkalian yang kuberikan. Mereka mengeluarkan kelereng, lalu memasukkannya satu per satu ke dalam corong. Setelah semua kelereng dimasukkan, mereka membuka laci dan menghitung jumlah kelereng yang ada di dalamnya. Wajah mereka memperlihatkan tanda senang karena berhasil melakukannya. Dan siswa yang lain segera mengangkat tangan berharap mereka mendapat giliran selanjutnya. “Saya, Bu! Saya, Bu! Saya, Bu!” teriak siswa-siswa. Untuk mengenal perkalian sebagai penjumlahan berulang dengan menggunakan corong dan kelereng, mari kita ikuti proses pembuatannya. Alat dan bahan terdiri dari gunting, mistar, cutter, pensil, paku, kardus, kertas kado, lem kertas, tali, plester, kelereng atau biji-bijian, plester, 10 botol bekas air mineral ukuran sedang, gantungan gorden sebanyak 10 buah, kartu angka/bilangan dari map bekas yang digunting.

Kreasi Penerang Guru Seberang


219

Adapun cara pembuatannya adalah sebagai berikut: 1. Potong botol air mineral menggunakan cutter; ambil bagian atasnya saja. 2. Susun mendatar kelima bagian atas botol tersebut di atas permukaan kardus. Atur jaraknya, kemudian buat lubang sebesar mulut botol. Setelah itu masukkan mulut botol ke lubang yang telah dibuat pada kardus sehingga botol tersusun rapi dan tidak bergeser. 3. Potong kardus menggunakan cutter sehingga membentuk sebuah balok dengan panjang disesuaikan lebar botol yang tersusun. 4. Buat laci di salah satu bagian panjang kardus tempat botol terletak di bagian bawah atasnya. Buatkan pegangan laci dari tali. 5. Setelah laci jadi, buatlah latar dengan bentuk bebas. Pada latar pasanglah gantungan gorden secara mendatar sejajar dengan jarak botol. 6. Tempel latar tersebut pada salah satu sisi kardus yang bertolak belakang dengan sisi laci berbentuk balok. Berikut ini cara menggunakannya: 1. Gantung angka pada gantungan gorden sehingga membentuk penjumlahan berulang. 2. Masukkan biji-bijian/kelereng ke dalam tiap botol sesuai jumlah angka yang tergantung. 3. Tarik laci untuk mengetahui hasil dari perkalian dengan menghitung jumlah biji-bijian. Bagaimana? Mudahkan? []

Menggenggam Angka


220 220

Eat Bulaga Matematika Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo

K

ebiasaan yang aku dapati di daerah pengabdianku adalah kegemaran warga menonton televisi. Walaupun ekonomi warga terbilang mayoritas menengah ke bawah bawah, hampir di setiap rumah memiliki televisi. Bisa jadi, ini satu-satunya sarana hiburan buat mereka yang daerahnya jauh dari keramaian. Sayangnya, tayangan televisi banyak yang tidak sehat, termasuk bagi anak-anak. Mereka sering mempraktikkan tingkah laku Kreasi Penerang Guru Seberang


221 tokoh yang ada dalam tayangan televisi. Tidak terkecuali dalam hal ucapan. Di sinilah pentingnya pendampingan orangtua dalam menemani anak menonton televisi. Hari itu aku tengah berada di ruang guru SDN Kutakarang 1, Cibitung, Pandeglang, Banten. Beberapa anak asyik bermain di samping ruangan. Ada kata yang berulang-ulang mereka ucapkan. Hingga aku pun dibuat penasaran. “Pak guru dengar ada yang bilang zonk, naon eta zonk?” “Zonk itu, Pak, kalau tidak dapat main atau tidak menang,” jawab Hilda siswa perempuan kelas 3. “Terus dari mana kalian pernah dengar kata zonk?” “Di tipi, Pak,” jawab Hilda lagi. “Emangnya kalian sering nonton itu di tipi?” “Iya, Pak Guru, bagus soalnya,” kembali Hilda menjawab. “Kalau yang games Indonesia Pintar kalian pernah nonton gak?” tanyaku memastikan. “Yang bagaimana itu, Pak Sapto?” tanya Ai, teman Hilda. Aku menjelaskan selintas tayangan Indonesia Pintar. Tiba-tiba tebersit ide di kepalaku. Ingin menerapkan acara tersebut dalam sebuah pembelajaran di kelas dengan memadukan acara variety show dengan materi pelajaran di kelas. Ya, metode pembelajaran untuk Hilda dan teman-temannya. Sayangnya, aku tidak mengajar siswa kelas 3 ini. Rupanya keinginanku terwujudkan juga. Ini bermula dari permintaan guru kelas 3 untuk menggantikan posisinya di kelas. “Pak Sapto, besok bisa gak menggantikan saya masuk di kelas 3 dulu? Soalnya saya mau ke balai desa untuk mengurus data siswa, nanti saya akan datang lagi sebelum istirahat,” kata guru kelas 3 kepadaku.

Menggenggam Angka


222 Aku mengiyakan karena memang saat jam tersebut jadwal mengajarku kosong. Ditambah lagi ada hal baru yang ingin kuterapkan di kelas 3. SIANGNYA AKU PERSIAPKAN APA saja yang akan dilakukan pada keesokan hari bersama siswa kelas 3. Persiapanku berakhir menjelang maghrib, dan aku jadi tak sabar untuk menunggu hari esok. Seperti biasa, di akhir pekan, pelaksanaan apel tetap berlangsung. Setelah apel selesai, seluruh siswa membersihkan lingkungan sekolah selama sepuluh menit agar sekolah selalu bersih dan sehat. Bel masuk pun berbunyi setelah pembersihan lingkungan sekolah. Aku pun mempersiapkan barang-barang yang akan digunakan saat mengajar siswa kelas 3. Tanganku penuh oleh kertas, lem, buku, dan alat tulis. Ketika aku keluar dari ruang guru, bersiap menuju kelas 3, dari kejauhan Umar dan Egi melihatku. Mereka berlari menuju arahku. “Pak, sini aku bantu,” kata Umar. “Iya siswaku yang baik,” kataku kepadanya sambil memberikan beberapa barang yang ada di tangan. “Abdi, Pak Guru, mau juga,” kata Egi tak mau kalah. Aku hanya tersenyum bahagia dan memberikan sedikit barang kepadanya. Di depan kelas 3, banyak siswa yang keluar hingga di depan pintu untuk sekadar melihat siapa yang akan datang mengajar. Setibanya di depan kelas, para siswa tersebut langsung menyalamiku satu per satu. Ya, satu per satu, kebiasaan baik yang mereka lakukan ketika bertemu seorang guru. Sebuah kebiasaan yang sudah amat jarang kita temukan oleh siswa-siswa di perkotaan. Selepas semuanya bersalaman, aku memulai pelajaran. Kreasi Penerang Guru Seberang


223 “Assalamu’alaikum, anak hebat, apa kabar kalian hari ini?” sapaku membuka pelajaran dengan semangat. Mereka pun serempak menjawab, “Alhamdulillah, luar biasa, fantastik, Allahu Akbar…!” dengan gaya dan gerakan yang sudah kuajarkan kepada mereka beberapa waktu sebelumnya. “Hari ini kita akan belajar matematika lain daripada biasanya,” ucapku membuat mereka penasaran. “Apa itu, Pak Guru?” kata Hilda menimpali perkataanku. “Iya, beda dari biasanya, jadi hari ini kita akan menirukan salah satu tayangan yang ada di tivi, kayak ini nih,” kataku sambil mengangkat kertas yang telah dipersiapkan dengan bertuliskan angka ratusan. “Nanti kertas ini akan dipasang di kepala salah satu teman kalian, di masing-masing kelompok, dan nanti teman kelompoknya yang lain yang akan mengangguk, menggeleng sembari bilang ‘ya ya’, ‘tidak tidak’, kayak di Indonesia Pintar itu,” lanjutku sambil menyebut nama stasiun televisi yang menayangkan acara tersebut. “Nah, sekarang Pak Guru mau bagi kelompok, silakan berhitung dari angka satu hingga angka empat, kemudian kembali lagi ke angka satu. Begitu seterusnya. Oke? Mulai dari Egi,” kataku memberikan arahan selanjutnya. Mereka pun berhitung. Setelah itu aku kumpulkan siswa yang menyebut angka yang sama menjadi satu kelompok. Terbentuklah empat kelompok yang terdiri dari tujuh anak. Aku mulai memberikan materi matematika mengenai pengurutan bilangan dari yang terkecil hingga yang terbesar menggunakan metode “Eat Bulaga”, yang aku jelaskan di awal tadi. Materi matematika kali ini sangat sederhana. Siswa dikenalkan dengan angka nilai tempat dahulu, mulai dari satuan, puluhan, dan ratusan. Sehingga, dalam permainan Eat Bulaga Matematika menggunakan angka ratusan, akan mudah ditebak oleh siswa yang bertugas.

Menggenggam Angka


224 Awal permainan ini membuat siswa agak bingung. Barulah ketika aku mempraktikkannya, mereka bisa memainkannya. “Nanti salah satu teman kalian dari masing-masing kelompok akan duduk di kursi ini, dan anggota kelompok yang lain mencoba membantu anggota kelompoknya yang menebak angka yang ditempel di kepalanya,” kataku sambil mempraktikkan. “Susah eta, Pak Sapto,” ujar siswaku dari arah belakang. “Moal susah atuh, Jang,” kataku menimpali. “Gini ya, Pak Sapto praktikkan lagi. Misalnya Hilda duduk di sini (sambil menunjuk kursi yang telah kusediakan), lalu Pak Sapto menempelkan kertas ini di kepala Hilda. Kemudian Pak Sapto akan memberikan arahan. Nanti Hilda yang menebak angkanya. Nah tugas teman kelompok Hilda akan menentukan benar atau salahnya menggunakan istilah ‘ya ya’, ‘tidak tidak’ atau ‘bukan bukan’. Gitu, ngerti teu?” tanyaku lanjut kepada mereka. Mereka serempak menjawab, “Muhun, ngerti, Pak.” “Ayo, sekarang yang ke depan dahulu perwakilan kelompok 1,” kataku kepada mereka. Dari arah kelompok 1 datanglah Suhena sebagai perwakilan. Lalu aku menempelkan kertas di kepalanya yang telah berisi tiga angka. “Nah, Suhena udah duduk di sini, sekarang kelompok lain tak boleh membantu kelompok 1 ya, nanti bisa-bisa yang menang kelompok 1 lho,” ancamku dengan bercanda. “Iya, Pak,” jawab mereka serempak. “Untuk kelompok 1, kalian hanya bisa menjawab: ‘ya’ atau ‘tidak’, atau ‘dikit lagi dikit lagi’. Dan untuk Suhena, Pak Sapto akan berikan arahannya. Bagaimana Suhena dan kelompok 1? Siap?” “Siap, Pak,” dengan semangat mereka menjawab. “Baik, dengarkan baik-baik ya, Suhena. Arahannya adalah angkanya terdiri dari tiga angka, lebih dari 500 tapi tidak lebih dari 550. Kreasi Penerang Guru Seberang


225 Nah, silakan ditebak,” kataku memberikan arahan untuk memulai permainan. Kelompok yang lain, seperti yang kukatakan tadi, diam seribu bahasa, tak bersuara. Dan kelompok 1 terlihat berdebar-debar menunggu angka yang akan diucapkan oleh Suhena. “527,” terdengar angka yang terucap dari mulut Suhena. Lalu teman-teman kelompoknya tanpa dikomando langsung menjawab, “Bukan bukan,” sambil menggelengkan kepalanya. Suhena pun menebak lagi, “517….” “Dikit lagi dikit lagi,” kata teman kelompoknya yang lain. “Hmm...” Suhena sambil berpikir lagi, “519.” “Yup... benar!” kataku pada mereka Lalu teman-temannya bersorak gembira dan berjingkrakan menyalami Suhena di depan. Bagiku Suhena memang murid istimewa, memiliki daya nalar yang tinggi. Permainan pun aku lanjutkan hingga di kelompok 4 usai. Permainan Eat Bulaga Matematika ini tidak berakhir sampai di sini. Aku melanjutkan materi dengan cara membuat gerbong kereta api. Mereka diminta untuk mengurutkan kertas dari angka yang terkecil hingga angka yang terbesar seperti sebuah kereta api lengkap dengan gerbongnya. PADA AKHIR PELAJARAN AKU menanyakan kepada mereka tentang materi barusan. Mereka sangat senang bisa belajar sambil bermain. “Tidak terasa waktunya udah habis, Pak, sekarang istirahat. Tidak usah istirahat ya, Pak, kita belajar aja lagi?” kata Ai. “Nanti lain waktu lagi ya kita lanjutkan, bisa main-main lagi kayak tadi,” kataku kepada mereka.

Menggenggam Angka


226 Aku senang dengan kelas 3 ini, mereka sangat antusias dalam belajar. Aku rasa mereka haus dengan gaya mengajar guru yang penuh inovasi. Mungkin mereka bosan dengan kondisi belajar yang begitu-begitu saja tanpa adanya perubahan. “Pak, janji ya nanti belajar lagi sambil main-main,� kata Suhena kepadaku. “Iya, Neng, nanti kita main lagi ya,� kataku kepada mereka sambil melangkahkan kaki menuju ruang guru. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


227

K

ini aku memasuki semester kedua mengajar siswa MI Muhammadiyah Bojongmanik, Kecamatan Sindangresmi, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pagi itu aku memasuki ruangan kelas 5, kelas yang dijadikan sebagai kelas modelku. Mereka ada pelajaran matematika dengan operasi hitung bilangan bulat. Seperti biasa, sebelum memulai pembelajaran, aku menanyakan kabar mereka. “Hai, apa kabar hari ini?” sapaku. “Alhamdulilah, luar biasa, penuh cinta, eeeyyyaa eyyyaaa...” timpal mereka.

Domino Matematika Fitrianti

Menggenggam M Me ngge ng engga nggga g m Angka Angk An gkka


228 Sebelum memulai pembelajaran, aku berusaha membawa anak-anak ke zona alfa, dengan mengajak mereka bermain game atau sekadar tepuk-tepukan. “Nah, Ibu punya tepuk-tepukan.” “Tepukan apa, Bu?” “Namanya tepuk konsentrasi. Pada saat Ibu mengatakan tepuk dua, maka kalian harus menepuk sejumlah angka yang Ibu sebutkan. Jangan sampai kalian terlambat untuk menepuk atau berlebih tepukan. Kalau Ibu bilang tepuk, silakan kalian tepuk. Tapi, jika Ibu hanya menyebutkan angkanya, tanpa kata ‘tepuk’, maka kalian jangan tepuk. Paham?” “Pahaaammm…!” teriak mereka Aku mulai menyiapkan konsentrasi mereka dengan menundanunda penyebutan angkanya. “Tepuuukkkkk… tujuh!” teriakku. Lalu anak-anak menepuk sebanyak tujuh kali. Di putaran pertama mereka semua lolos tanpa ada satu pun yang terlambat atau berlebih tepukannya. Di putaran kedua, aku mencoba apakah mereka masih di zona konsentrasi. Setelah putaran pertama selesai, aku langsung ke putaran kedua secara cepat. “Delapan…!” teriakku. Setelah kulontarkan angka tersebut, hanya ada satu anak yang tepuk. “Naaaaahhhh… itu siapa ya?” tanyaku. “Agung, Bu!” jawab anak yang lainnya kompak. “Ayo, Agung ke depan kelas,” pintaku. Setelah Agung berdiri di depan kelas, aku bertanya kepada siswa yang lainnya. “Agung mau dihukum apa ini?”

Kreasi Penerang Guru Seberang


229 “Nyanyi, Bu!” “Perlihatkan muka jelek, Bu.” Dan beragam usulan mereka. Aku hanya mengambil pilihan terbanyak di antara banyaknya usulan itu. Setelah itu kututup dengan tepuk semangat. “Tepuk semangat!” teriakku Siswaku langsung berdiri tanpa komando, melakukan gerakan tepuk semangat. “Dang dang dang dang, ding ding ding ding, dung dung dung dung, jlep ahaa ahaa…!” teriak mereka. Wajah penuh keceriaan terpancar di wajah mereka. Setelah itu kumulai pelajaran dengan menggali pengetahuan dasar mereka mengenai bilangan bulat. Caranya dengan mengambil contoh cerita dari nama mereka. Setelah menjelaskan materi dan memberi contoh mengenai operasi hitung bilangan bulat, aku mengajak mereka bermain game. “Nah, Ibu punya game. Kalian pernah enggak main gaplek?” tanyaku. “Pernah, Buuuuu!” teriak mereka. “Hari ini kita akan main gaplek!” “Horeeeeee!” jawab mereka hampir bersamaan. “Gaplek alias domino ini bukan sembarang domino,” pujiku dengan rasa bangga. “Ini merupakan ‘Domino Matematika’!” “Cara memainkannya gimana, Bu?” tanya siswaku. “Caranya sama seperti ketika kalian main gaplek. Mencari bulatan yang sama,” jelasku. “Domino ini cara memainkannya seperti itu juga. Tugas kalian hanya mencari jawabannya di tiap ruas dengan memasangkannya dengan jawaban yang sama pula.”

Menggenggam Angka


230 Aku pun memberikan mereka contoh kartu domino yang kutuliskan di papan tulis, bagaimana cara mengerjakannya sampai cara memasangkannya. “Kalian sudah ngerti?� tanyaku beberapa menit kemudian. “Ngerti, Bu!� Aku menyiapkan tujuh set kartu Domino Matematika berupa soal dan jawaban. Pada tiap-tiap kartu dibuat sisi soal yang jawabannya ada di kartu lain, demikian seterusnya. Jadi, jika kartu domino ini dimainkan, masing-masing kartu akan berpasangan antara soal dan jawabannya dan saling berangkaian. Siswa dibagi menjadi empat kelompok. Setelah aku menjelaskan aturan main Domino Matematika, siswa berkumpul menuju meja yang sudah dipersiapkan. Seperti halnya bermain kartu domino biasa. Siswa menunjukkan keingintahuan cara memainkan Domino Matematika. Akhirnya keempat kelompok tersebut bermain secara kelompok, setiap kelompok mendapatkan tujuh kartu domino yang berisi materi-materi sekitar operasi bilangan. Satu kartu berisi dua soal yang harus dijawab oleh tiap kelompok. Dengan demikian, tiap kelompok mendapat 14 soal yang bervariasi. Sama halnya dengan bermain domino biasa, alat peraga plus permainan domino ini dapat dilakukan oleh 2-4 anak. Setelah kartu pertama dilempar, kartu berikutnya akan mengikuti. Domino biasa berisikan sekumpulan atau urutan angka-angka yang diwakili lingkaran berwarna merah. Lain dengan Domino Matematika, kartu berisi berbagai soal dan jawaban. Kartu dibagi menjadi dua bagian yang sama; satu bagian merupakan soal, dan bagian lainnya merupakan jawaban untuk soal dari kartu lain. Untuk bahan pembuatannya dari karton domino asli yang bagian atasnya ditutup dengan karton ataupun kertas warna. Bisa juga memanfaatkan kalender bekas atau kertas yang sudah tidak dipakai. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


2231 23 31

Adu Dadu Perkalian Suko Sri Anggono

S

emester ini satu guru mengundurkan un ndurkan diri karena telah seleh SDN 18 Batu Ampar h. Ampar, Tanjung sai program dari pemerintah. an ntan Barat akhirnya hanya meHarapan, Kubu Raya, Kalimantan h ini sudah ditambah denganku. miliki enam guru. Tentu saja jumlah Kelas 5, jika dibilang ruangan kelass bukan juga mengingat luasnya hanya 2 x 4 meter. Ruangan sempit memanjang yang sebenarnya adalah ruang tambahan penghubung di antara ruang kelas di sebelah kanan dan kiri. Karena memang ada jeda antara kantor dan juga kelas 1, maka daripada kosong sekalian dibangunlah ruangan. Dengan membangun kelas 5 di lokasi terjepit ini saja kelas 6 masih belajar di perpustakaan. Sekolah ini memang betul-betul kekurangan ruangan tempat belajar. Kondisi bagaimanapun aku tetap antusias mengajar. Kupandang satu per satu muridku. Seharusnya ada 14 murid, tapi di hadapanku hanya ada 9 anak. Aku panggil satu per satu. Fisik mereka jauh besar di atas teman sebaya kelas di daerah lain. “Maini, berapa usiamu?� tanyaku. Tak ada jawaban hanya suara sahutan ham-hem saja.

Menggenggam Angka


232 “Maini, umurmu berapa?” Sengaja aku ganti sebutan usia dengan umur barang kali Maini paham. Namun yang bersuara justru kawannya. “Umur Maini, umurmu berape?” kata Devi, teman duduknya. “Oooh, 14 tahun, Pak,” jawab Maini. “Iyalah, siapa lagi yang berumur 14?” tanyaku lebih lanjut. Dan di luar perkiraan, dua anak mengangkat tangan. Tentu saja aku tidak bermaksud mengolok mereka dengan usia yang seharusnya sudah memasuki tingkat pendidikan lebih tinggi, tapi sebagai pengantar pelajaran matematika. “Nah, berapa Maini, 14 dikali 3?” Lama aku menunggu, Maini mulai corat-coret bukunya. Aku mendekat padanya ingin tahu dengan apa Maini menghitung. Sekilas dapat kulihat barisan gambar lidi di lembaran kertasnya. “Empat dua, Pak Syukur,” serunya kemudian. Anak-anak memang terbiasa memanggilku “Syukur”, sebutan keliru dari namaku. Mereka, dan juga sebagian besar warga Melayu yang menempati Pulau Padang Tikar, menyebut R dengan samar sehingga ketika aku memperkenalkan diri maka mereka beranggapan kalau aku menyamarkan bunyi R juga sebagaimana mereka. Jadilah aku menjadi bernama Syukur. Pernah berulang kali aku luruskan, tapi kata mereka lebih nyaman menyebutku dengan nama itu. “Yup… tepat sekali!” seruku memotivasi. Pandanganku mengitari seisi kelas, mereka masih siaga siapa tahu akan ditimpa pertanyaan selanjutnya. “Nah, hari ini kita belajar apa, anak-anak?” “Matematika, Pak!” seru mereka serempak. Tanpa diinstruksi mereka mengeluarkan buku yang masih baru dengan perlengkapannya. Kreasi Penerang Guru Seberang


233 “Tapi… sebelum mulai belajar, Pak Guru mau tes lok ini,” kataku. “Ipan, 6 x 7 berapa?” Segera Ipan mencoret-coret dengan lidi sebanyak enam dan tujuh baris kemudian menghitungnya “Empat tige, Pak Syukur,” jawab Ivan kemudian. “Ayo berapa coba dihitung ulang?” Kawan-kawannya mulai kasak-kusuk turut menghitung. Hingga waktu berlalu, aku belum mendapati ada yang berani menjawab. Hanya kasak-kusuk yang ada. Beberapa memiliki jawaban benar namun ragu mengungkapkan. Hingga Ivan juga yang menjawab setelah memastikan gambar lidinya tepat. “Empat dua, Pak!” “Hmm… sudah kelas 5 ngitungnya masih pakai lidi? Tak patut, tak patut!” gurauku pada mereka, menirukan adegan salah satu film anak dari negeri jiran. “Pak Guru nak ajarkan perkalian pakai jari nih,” sambungku kemudian. “Angkat tangan dua-duanye ye.” Mereka mengikuti gerakanku, memutar tangan di atas kepala, menirukan senam jari yang aku peragakan. Tangan kanan mengacungkan jempol, sedangkan yang kiri mengacungkan kelingking dan ditukar bergantian. Pecahlah suara tawa mereka ketika sadar jemari mereka tidak bisa saling tukar antara kanan dan kiri. Malah dua-duanya menjadi jempol semua atau kelingking semua. “Eh macam mana itu, Pak?!” seru Kamal penasaran. “Macam inilah, Mal, tengok baik-baik ye.” Beberapa saat ice breaking ini membuat mereka rileks dan tidak tertekan. “Nah, sudah… sudah. Sekarang Pak Guru ajarkan perkalian, ikuti ye, satu jari menunjukkan enam, dua itu tujuh, setelah itu berape?” “Delapan, sembilan, se...” seru mereka bersama sama.

Menggenggam Angka


234 “Nah untuk perkalian di atas enam dan di bawah sepuluh, nyaman hitung pake jari. Caranya yang berdiri dijumlahkan, yang dilipat dikalikan.” Mereka antusias mencoba perkalian dengan menggunakan jari. Aku mengulang hingga tiga contoh, dan selanjutnya dengan teman semeja untuk mencoba melakukan perkalian. Anak-anak malah ada yang tertawa kegirangan mendapati tidak perlu menggunakan lidi lagi untuk menghitung. Namun, tidak demikian dengan Rodiah. Dia tidak ada kawan untuk bermain perkalian, sedangkan yang lain asyik dengan teman sebangku. “Kenapa, Rodiah?” “Payah, Pak e.” “Nape pula payah? Coba mana jarimu, coba 8 x 8?” Diperagakan dengan jari berulang kali, meskipun kikuk dia lakukan juga. Butuh waktu lama untuk menentukan jumlah dan hasil kali jemarinya. “Payah, Pak e.” “Ini, Rodiah, pakai jari Bapak ye.” Aku acungkan dua tangan dengan jemari telah pada posisi. Dihitung jemariku dengan menunjuk satu per satu. “Berape?” “Empat enam, Pak?” “Kebalik….” “Enam empat, Pak.” “Nah, gampang, kan?” Begitu aku tinggal, Rodiah kembali sendiri. Sewaktu istirahat di kantor sempat kutanyakan pada guru lain tentang Rodiah.

Kreasi Penerang Guru Seberang


235 “Susah budak itu, Pak e, sebelum Bapak datang ja, sering budak tu ‘kemasukan’, lemah semangat budak tuh,” kata salah seorang guru. Sulit untuk mendefinisikan “lemah semangat” dalam bahasa Indonesia. Sebelum kedatanganku, Rodiah beberapa kali kesurupan. Terakhir ketika bulan pertama aku datang, dua orang langsung kesurupan. Rodiah dan Sinta, dua duanya sekarang kelas 5, kelasku. Anehnya, ketika diberi minum dari rumahku sembuh seketika. Barulah sekarang aku sadar bahwa sakit yang “lemah semangat” itu menjadikan Rodiah lebih lemah semangat lagi menjalani pelajaran di kelas. Aku masih ingat, hasil latihan perkalian sederhana membuktikannya, Rodiah bukan hanya mendapat nilai kurang, tapi tidak satu pun dikerjakan! “Kenapa tidak dikerjakan, Rodiah?” “Macet pulpennya, Pak.” “Pakai pulpen Pak Guru. Nanti setelah istirahat Pak Guru nilai.” Hasilnya, pulpennya berfungsi dengan baik. Tetapi ketika selesai istirahat, dan aku melihat pekerjaannya, justru hasilnya tidak satu pun goresan ada di kertasnya! Tidak berubah sama sekali. “Udahlah, Pak e, payah kamenak ngerjekennye.” Berat hati aku coret kertasnya hanya dengan tanda tangan. Sekadar untuk menghindari memberikan angka nol pada buku kerja Rodiah. Tepat menjelang pulang, aku umumkan bagi yang bersedia hadir untuk les tambahan sepulang sekolah. “Dan Pak Guru harap, yang dekat sekolah datang ye. Rodiah datang gak ye.” “Iye, Pak,” jawab Rodiah lemah. SEKALIPUN DILABELI LEMAH SEMANGAT, dan sering dibilang tidak masuk saat duduk di kelas 4, hari ini Rodiah datang juga di les tambahan. Sejatinya les ini memang ditujukan padanya. MaMenggenggam Angka


236 terinya tidak lain dan tidak bukan tentang perkalian. Selagi yang lain dengan mandiri mengerjakan soal di papan tulis, Rodiah menyita perhatianku. Privat. “Ayo, Rodiah mana jarinya?” “Gini, Pak?” jawab Rodiah sembari mengacungkan tangannya. “Yup, 8 x 9?” “Tujuh dua, Pak.” “Nah, mantap!” Entah berapa kali aku mengulang ulang adegan itu. Seingatku sudah semua perkalian antara enam dan sepuluh aku ulang dua kali. Baru setelahnya Rodiah mulai bersemangat mengikuti, bisa menjawab walaupun beberapa kali terbalik juga. Belum cukup puas dengan hasil yang aku dapat dengan Rodiah. Les telah selesai, tapi masalah belum selesai. Senja hari aku kembali ke rumah dinasku, di samping sekolah. Bingung, cara apa yang bisa digunakan untuk meyakinkan Rodiah bahwa dia tidak menderita sakit apa pun. Tidak juga lemah semangat. Nyatanya, selama bersama di kelas 5, dia baik baik saja, tidak pernah terjadi apa pun, apalagi “kemasukan”. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Aku bergegas ke kamar belakang untuk mandi. Saat hendak menggosok gigi, kotak tempat pasta gigi memberiku ide. Kotak dipotong menjadi dadu, dengan sisi yang berkebalikan aku sisipkan. Dengan begitu dadu ini tidak akan mudah hancur, bahannya cukup kuat. Aku tambahkan padanya kertas warna dan diberi angka enam sampai sembilan pada sisi-sisinya. Jadilah dadu angka. PAGI ITU BERKURANG DUA orang guru karena mereka menuju kota untuk menyelesaikan kuliah dan mengurus keperluan sekolah. Kelas dibagi, hari itu aku mengajar dua kelas, kelas 5 dan kelas 6. Tapi aku tetap bertekad mengadakan main dadu. “Anak-anak, hari ini Pak Guru nak nantang kalian.”

Kreasi Penerang Guru Seberang


237 “Nantang apa, Pak?” tanya salah seorang murid. “Nantang adu perkalian pakai dadu ini dengan kelas 6. Berani?” “Mak... Pak Syukur ni, benar sikit,” jawab Muslimat sang ketua kelas 5. “Eh benar ni, berani tadak?” tantangku lagi. Anak-anak terdiam, jelas mereka masih ragu melawan kakak kelas mereka. “Gini ja, kalian latihan dulu, Pak Guru nak kabarkan kelas 6, pas balik kalian harus dah siap. Macem mane?” Akhirnya mereka semua sepakat. Dan pertandingan pun dimulai. Jumlah murid yang sama antara kelas 5 dan kelas 6 memudahkan pertandingan, masing masing sepuluh anak. Aku lirik Rodiah berhadapan dengan Mirna, anak yang mendapat peringkat satu tahun lalu. “Rodiah, tenang ja, inget caranya kan?” “Inget, Pak,” jawab Rodiah yakin. Pertandingan dimulai, dan semua berbaris rapi menurut antrean pertandingan. Begitu dadu diletakkan, siapa cepat menjawab benar dia menang, dan harus segera antre lagi di belakang. Kelas mulai riuh dengan saling menyemangati, tak luput juga saling sindir. “Pemirsa, kita akan segera saksikan, pertandingan perkalian paling bergengsi tahun ini, olimpiade matematika tingkat SD di Batuuuu Ampaaaaar…!” seruku bersemangat layaknya MC pertandingan tinju. Tak pelak, semua riuh tepuk tangan menggema, dan dimulailah pertandingannya. Babak pertama seri, lima anak berhasil menjawab dan lima anak salah. Masih imbang. Aku perhatikan Rodiah, dia beruntung di babak pertama karena Mirna salah jawab, dan karena gugup Rodiah pun salah jawab juga. Sesi kedua, Rodiah berhaMenggenggam Angka


238 dapan lagi dengan Mirna. Mirna mengeluarkan dadu dengan angka sembilan sedangkan Rodiah angka tujuh. “Enam puluh empat!” seru Mirna cepat-cepat. “Deng dooong!” bunyi alarm yang sebenarnya bunyi suaraku. Rodiah mulai menghitung, dan waktu terus berjalan, anak-anak di dalam kelas mulai menghitung mundur dari sepuluh. Anak-anak kelas lain pun melihat dari jendela, turut bersorak-sorai. “Limaaa... empaaat… tigaaaa...” seru seluruh penonton. “Enam tige!” jawab Rodiah yakin “Ya, tepat sekali, Rodiah!” sahutku. “Yees…!” sorak Rodiah disambut dengan sorak kelas 5 dan penonton. Saking senangnya Rodiah melonjak kegirangan dan berlari ke belakang, tak sabar menanti giliran. Hingga sesi ketiga, kelas 5 tidak bisa mengalahkan kelas 6. Skor berakhir seri satu kali dan dua dimenangkan kelas 6. Meski begitu, tak ada wajah kecewa dari kelas 5. “Kapan kita tanding lagi ni, Pak?” tanya Rodiah yang menyusul ke sampingku. “Tenang ja, Rodiah, kita latihan lagi, nanti kita kalahkan kelas 6 itu. Rodiah ja dah kalahkan Mirna tadi kan?” “Hihihi… Benar ni, Pak?” jawab Rodiah memastikan, terukir senyum bangga padanya. “Iyeee benaaar….” Rodiah menghambur menuju kawan-kawannya, tak henti membicarakan pertandingan barusan. Pertandingan yang terselenggara karena keterbatasan guru. Pertandingan karena sudah kelas 5 tapi masih sulit melakukan perkalian di bawah angka sepuluh. Dan lebih dari itu, pertandingan yang sengaja khusus aku adakan untuk meyakinkan Rodiah. Rodiah bukan anak lemah! [] Kreasi Penerang Guru Seberang


239

P

urnama kesepuluh. Berlalu begitu cepat penempatanku di SDN Sindang Resmi 2, Pandeglang, Banten. Aku merasa belum ingin pulang ke Bogor. Bahkan siswaku pun tak rela jika aku harus pulang ke Medan. Beberapa bulan terakhir ini aku mengadakan penelitian untuk melengkapi tugas akhir penempatanku. Aku mendapati masalah bahwa siswa kelas 4 masih kesulitan untuk menghitung perkalian. Terlebih lagi mereka sulit menggunakan konsep perkalian ini dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lamban dalam menyelesaikan soal yang tergolong amat mudah. Maka, aku berkonsentrasi pada penelitian tentang perkalian dengan media kartu. Media tersebut akunamai“Kartu Domino Perkalian�.

Kartu Domino Perkalian Nurhasanah

Menggenggam Meng Me nggge engggam gam Angka ga A gkka An


240 Kartu domino umumnya berjumlah 28 kartu dengan ukuran 5 x 3 sentimeter, masing-masing kartunya terdiri dari balak/palang 1 sampai 6 dan diikuti oleh batu-batu lainnya. Biasanya dimainkan oleh empat orang saling berhadapan. Kartu tersebut berwarna dasar kuning terdapat endol-endol yang berfungsi atau pengganti angka. Domino bisa pula merujuk kotak-kotak kecil yang bisa ditata dan jatuh bersamaan. Kali ini aku memodifikasi kartu dominonya. Aku membuatnya dari kertas karton yang aku gunting berukuran 8 x 6 sentimeter. Di sini, endol-endol merah tersebut diubah dengan beberapa operasi perkalian sederhana agar siswa mudah memainkannya sambil menjawab perkalian dalam kartu tersebut. Sebelum memulai pembelajaran, aku bersama siswa berdoa bersama dan melanjutkan dengan berbagai ice breaking andalan. Untuk memecahkan suasana, aku meminta siswa bernyanyi bersama. Selepas itu, saatnya kelas matematika dimulai. “Class... class... hari ini kita akan belajar matematika sama Ibu. Siap untuk belajar matematika bersama Ibu?” tanyaku. “Siap, Bu!” jawab mereka serempak. “Oke, Ibu mau bertanya dulu nih, naon eta perkalian mah? Yang bisa jawab acungkan tangannya, dan akan ada hadiah dari Ibu.” “Saya, Bu, perkalian itu penjumlahan berulang-ulang,” jawab Irpan sambil mengacungkan tangannya. “Ya, Irpan benar. Kita kasih tepuk keren untuk Irpan.” Aku mengajak siswaku untuk memberikan pujian pada siswa yang bisa menjawab. “Tepuk keren….” Prok... prok... prok... “Dua jempol….” Prok... Prok... Prok... Kreasi Penerang Guru Seberang


241 “Hadap Irpan….” Prok... Prok... Prok... keren... kern... keren…! Kami pun bersama-sama memberikan tepuk keren untuk Irpan. Kemudian aku pun memberikan reward berupa sticker Doraemon kepadanya. Setelah itu, aku memberikan penjelasan mengenai materi perkalian dan membagi siswa ke dalam tiga kelompok yang masingmasing terdiri dari empat siswa. Sebelum membagikan kartu domino tersebut, aku meminta siswa untuk hompimpa terlebih dahulu agar bisa menentukan siapa yang akan mengocok kartu domino. Kemudian aku pun menjelaskan alur permainan ini. “Bagi siapa yang mendapatkan kepala, maka dia yang akan memainkan kartu domino terlebih dahulu dan menjawab soal yang ada di kartu tersebut. Bagi siapa yang habis kartu dominonya terlebih dahulu, maka akan mendapatkan sticker Hello Kitty atau Doraemon,” jelasku. “Segera lapor ke Ibu jika sudah habis kartunya ya. Bagi yang tidak habis kartunya, maka dianggap kalah dan harus mengocok serta membagikan kartu pada setiap pemain. Nah, permainan ini hanya akan berjalan dua ronde saja. Paham?” tambahku lagi. “Paham, Bu,” jawab mereka serempak. Permainan pun dimulai. Siswa yang kalah dalam hompimpa tadi bertugas mengocok dan membagikan kartu pada ronde pertama. Ronde pertama berjalan tidak seperti yang kuharapkan. Ternyata ada beberapa siswa dalam sebagian kelompok yang masih kebingungan. Segera aku pun langsung membimbing dan mengarahkan mereka hingga akhirnya memahami alur permainan. Siswa yang sudah habis kartunya terlebih dahulu dengan sigap melapor kepadaku. Aku pun dengan cekatan menuliskan nama siswa yang berhak mendapatkan reward itu nantinya. Mereka sangat senang. Raut semringah mereka terpancar. Bahkan mereka berteriak hore sambil melompat.

Menggenggam Angka


242 Sekarang, kami pun melanjutkan permainan pada ronde kedua. Pada ronde ini, siswaku sudah tidak memerlukan bimbingan karena mereka sudah lihai memainkan kartu domino. Hanya 5 menit saja dari waktu yang sebelumnya 12 menit mereka sudah mengakhiri permainan dengan kelompoknya. Siswa yang terlebih dulu habis kartunya segera melapor kepadaku. Tibalah waktunya untuk mengumumkan pemenang dan memberikan reward kepadanya. Aku senang bisa melihat siswa-siswaku merasa senang dan bahagia memainkan kartu domino tersebut. Mereka bahkan memintaku lagi keesokan harinya untuk bermain kartu domino bersama mereka. Dan beberapa perubahan pun terjadi dari siswaku. Mereka akhirnya bisa menjawab soal perkalian dengan mudah, dan nilainya juga terbilang tinggi.[]

Kreasi Penerang Guru Seberang


243 24 243

Kartu Pasang Berwarna Septiyani Aziz

M

enjadi wali kelas as untuk yang y g kedua kalinya y di kelas 5 SDN Wakarumende,, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara ma anat bagiku. Awalnya untuk semester ganjil merupakan amanat da kepala sekolah untuk menjadi guru mata ini aku meminta kepada n terakhir di penempatan ini ingin kumaksipelajaran. Enam bulan hd k t dengan d i malkan mengenal lebih dekat semua siswa. “Tidak apa-apa, Ibu Guru jadi wali kelas 5 lagi saja. Sayang kalau Ibu Guru di sini hanya mengajar mata pelajaran karena sebentar lagi meninggalkan Binongko,� saran Pak La Sa, rekanku di sekolah. “Kalau Ibu Guru jadi guru mata pelajaran, nanti siapa yang jadi wali kelas 5? Sebentar lagi dua guru kita melahirkan.� Setelah kurenungkan, memang benar perkataan beliau. Jadi wali kelas ataupun bukan, tidak menjadi alasan buatku untuk bisa lebih dekat dengan siswa. Justru nanti di sela-sela mengajar di kelas 5 aku bisa sekaligus masuk di kelas lain.

Menggenggam Angka


244 MATAHARI PAGI TERSENYUM LEBIH awal padaku, membuatku lebih bersemangat pergi sekolah. Seperti biasa anak-anak sudah duduk di bawah lonceng berebutan untuk memukulnya, tinggal menunggu perintah untuk dipukul. Di sekolahku siswa sangat disiplin datang, pukul 06.30 mereka sudah hadir. Biasanya pagi sebelum masuk kelas, dan siang sebelum pulang, kami mengadakan apel yang secara bergantian dipimpin oleh guru di sekolah, dilanjutkan dengan membersihkan lingkungan sekolah bersama-sama. Aku masuk ke kelas 5. “Siapa yang pimpin doa hari ini?” “Anjani, Bu Guru,” jawab anak-anak serentak. Si gadis kecil yang imut ini kemudian langsung memimpin teman-temannya berdoa. “Class... class?” “Siap-siap semangat!” jawab siswaku serentak dengan gaya masing-masing. “Siapa yang ingat, kemarin matematika kita belajar apa?” “Operasi hitung, Bu.” “Tambah-tambah, Bu.” “Garis bilangan.” Sahut anak-anak bergantian, terkadang mereka berbicara menggunakan bahasa Cia-cia yang terkadang aku pun belum mengerti artinya. Biasanya aku membuat perjanjian dengan mereka, jika pelajaran bahasa Indonesia berlangsung maka tidak ada yang berbicara bahasa Cia-cia. Hal ini agar mereka lancar berbicara bahasa Indonesia. “Oke, kemarin kita belajar operasi hitung bilangan bulat,” jawabku. “Benar tadi apa yang disampaikan teman kalian, kemarin sore kita menggunakan garis bilangan di pasir untuk melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan positif dan negatif. Kali ini, Ibu Guru punya sesuatu untuk kalian!” Kreasi Penerang Guru Seberang


245 “Apa, Bu Guru?” sahut Sunardin. Anak-anak semakin penasaran apa yang akan kutunjukkan. Aku memperlihatkan dua kartu ukuran kecil berwarna hijau tua dan hijau muda. “Nah, ini namanya Kartu Pasang Berwarna. Jika kartu ini yang warna hijau tua dan hijau muda disatukan ini adalah 1 pasang, atau nilainya 0 atau netral,” jelasku. “Kira-kira siapa yang tahu bagaimana cara menggunakan kartu ini untuk mengerjakan soal ini?” Aku menuliskan soal 2 + -3 = di papan tulis. “Sebelumnya, kita tentukan dulu bersama-sama, kartu mana yang akan dijadikan tanda sebagai bilangan positif dan negatif,” terangku lagi. Suasana kelas semakin riuh dengan suara khas anak-anak pesisir, yang sampai terkadang membuat telingaku panas. Mereka dengan nada dan suara yang tinggi saling menentukan sendiri pilihannya. Apalagi siswaku yang bernama Resdin dan Mardoni ini, keduanya senang sekali berjalan-jalan dan melompat-lompat sambil berteriak atau bernyanyi. Akhirnya, sesuai kesepakatan, diputuskan bahwa kartu yang berwarna hijau tua untuk menandakan bilangan positif, dan warna hijau muda untuk bilangan negatif. “Hai?!” Biasanya kata-kata ini aku keluarkan jika suasana kelas sedang ramai agar anak-anak kembali fokus dan memerhatikan. “Halo...!” Jawab siswaku. “Jadi, cara mengerjakannya seperti ini....” Aku segera mengambil kartu yang sudah disediakan dengan jumlah yang banyak agar siswa dapat langsung menggunakannya sehingga tidak memakan waktu lama. “Jika ada soal 2 + -3 = cara mengerjakannya seperti ini. Ambil kartu yang berwarna hijau muda 2 buah dan ambil 3 buah kartu yang berwarna hijau muda, kemudian pasangkan kartu tersebut,” Menggenggam Angka


246 terangku bersemangat. “Tadi jika kartu ini dipasangkan itu disebut apa?” “Netral!” “Nol!” “Satu pasang, Bu Guru!” Jawab anak-anak secara bergantian. “Iya, benar sekali. Jadi, kalian tinggal lihat ada berapa sisa kartu yang tidak memiliki pasangan, berarti itu jawabannya.” “Ooohh... begitu,” jawab anak-anak sambil menganggukanggukkan kepala. “Coba Anzal, ada berapa yang tersisa?” “Ada satu, Bu Guru.” “Benar,” jawabku. “Sekarang Arfin, kartu sisa ini berwarna apa?” “Warna hijau muda, Bu.” “Karena ada satu kartu yang tidak memiliki pasangan, dan berwarna hijau muda yang menandakan bilangan negatif, maka berapa jawabannya? Siapa yang bisa?” Dengan cepat Resdin menjawab dengan suara lantang, “Negatif satu (-1), Bu Guru.” “Iya benar, mudah kan?” “Iya, Bu Guru.” “Indau cia mengerti,” tiba-tiba terdengar suara bisik-bisik dari belakang. Ternyata Lutvia, siswa yang paling tinggi di kelas, masih belum paham. Aku mengulang kembali dengan memberikan contoh soal lain dan memintanya maju.

Kreasi Penerang Guru Seberang


247 Setelah itu, aku berikan mereka soal latihan.Seperti biasa gaya anak-anak: langsung lari berebutan mengambil kartu di meja. “Hei kolipolah, pelan-pelan, ambil sedikit saja, masing-masing sepuluh pasang supaya temanmu dapat semua, kalau kurang nanti Ibu membuat lagi atau potong lagi kartu yang kalian dapat agar lebih banyak.” Sepuluh bulan aku di sini, bahasa Indonesiaku sepertinya lebih baik walaupun logatnya menjadi seperti orang timur. “Iya, Bu Guru,” jawab anak-anak sambil kembali ke tempat duduk masing-masing. Anak-anak memang mempunyai gaya belajar yang unik. Aku tetap senang melihat mereka menjadi dirinya sendiri, tidak dipaksa harus seperti apa mereka belajar. Walaupun begitu, aku tetap memberikan batasan untuk mereka, yaitu selama yang mereka lakukan itu tidak mengganggu teman dan tidak membahayakan bagi diri dan temannya. “Sudah selesai?” “Belum,” jawab Enti. “Sudah!” Voni menyahut. “Nazril sudah?” “Lagi dua, Bu Guru,” tukas Nazril, menatapku sebentar kemudian melanjutkan asyiknya bermain dengan kartu. “Oke, Ibu tunggu lima menit lagi ya.” “Gorie, Nazril!” Resdin mendekati sambil melompat dengan gaya rocker. “Kolipo, sebentar lagi ini!” Lima menit berlalu, seperti biasa aku meminta siswa bergantian mengerjakan di papan tulis. “Siapa yang mau maju mengisi?”

Menggenggam Angka


248 “Saya, Bu Guru.” Ah, anak-anak ini membuatku semangat. Jika aku meminta siswa mengerjakan, mereka selalu ingin maju, bahkan sampai ada yang langsung maju ambil spidol dan mengerjakan walaupun aku belum memintanya maju! Biasanya, kalau seperti ini yang terjadi, aku meminta siswa yang belum paham agar mengisi ke depan, atau menggunakan cara lempar bola untuk menentukan siapa yang maju. Terkadang jika ada soal yang sulit, aku meminta satu siswa mengerjakan soal. Kemudian jika siswa tersebut selesai mengerjakan maka dia harus memilih temannya yang lain untuk mengerjakan soal berikutnya. Cara seperti ini sengaja kubuat agar pembelajaran lebih bervariasi dan menyenangkan. SETELAH MEMERIKSA HASIL LATIHAN siswa, aku menjelaskan kembali materi pelajaran untuk memberi penguatan. “Menurut kalian lebih mudah menggunakan kartu atau garis bilangan?” Jawaban mereka bervariasi, sesuai dengan gayanya. “Silakan kalian mau menggunakan cara yang mana, pilih cara yang menurut kalian mudah dan menyenangkan, oke?” “Siap, Bu Guru!” jawab siswa. “Siapa tadi yang dapat 90-100?” “Saya, Ibu Guru!” Ada beberapa siswa yang sudah mengerti, dan masih ada siswa yang belum paham. Mereka ternyata kadang salah menentukan kartu bilangan positif dan kartu bilangan negatif. “Yang mendapat nilai 90 sampai 100, silakan tuliskan bintang kalian,” kataku. “Yeeeee... horeeee!” Anak-anak langsung berlari dan menuliskan bintang di papan. Mereka senang jika yang mereka lakukan diberi penghargaan. Kreasi Penerang Guru Seberang


249 “Bagi yang belum dapat bintang, belajar lagi ya, Ibu kasih PR. Ingat, harus dikerjakan di rumah. Jika belum mengerti, boleh kerjakan bersama teman-teman, minta bantuan orangtua, kakak ataupun saudara.” “Iya, Bu Guru!” jawab siswa serentak. “Silakan bawa kartunya, setelah ini silakan istirahat. Sebelumnya, tepuk semangat!” “Se... se...(prok 3x)!” “Se... se...(prok 3x)!” “Seee...mangat!” Sambil melompat girang mereka langsung berhamburan, berlari keluar kelas. []

Menggenggam Angka


25 50 250

Bidak-bidak Diagram Koordinat Asyanti Nurmuawwanah “Kelas Kelas Ceria!” “Rajin Rajin tersenyum, selalu ceria!” tu aku!” “Itu elas 4 SDN 06 Batu Ampar, Kuburaya, Kalimantan Barat berKelas gemuruh dengan yel-yel. Aku selalu membiasakan mereka untukmengucapkan yel-yel kelas setelah berdoa. Kali ini aku menggantikan guru matematika yang tidak hadir. “Bu, ada PR...” Uul berseru kepadaku. “Ok, sekarang kite perikse same-same ye,” jawabku. Aku meraih buku Hairul yang duduk di barisan terdepan. PR mereka tentang operasi hitung bilangan bulat perkalian. Soalnya mengenai perkalian bilangan satu angka dengan bilangan dua angka.

Kreasi Penerang Guru Seberang


251 Aku meminta siswa yang kusebutkan namanya untuk secara bergantian mengerjakan PR di papan tulis. Setelah semua soal selesai mereka kerjakan, aku memerhatikan dengan saksama hasilnya. Aku terkaget ketika dari sepuluh soal yang dikerjakan hanya dua soal yang langkah kerjanya benar. “Anak-anak, perhatikan Ibu. Tengok care Ibu ngerjaken soal ye,” kataku. “9 x 8 berape?” Anak-anak terlihat bingung menghitung. Mereka bahkan menuliskan “9+9+9+9+9+9+9+9” di buku mereka kemudian menjumlahkannya. Aku bingung karena ternyata hafalan perkalian siswaku di kelas 4 belum lancar sama sekali. Bagaimana mungkin mereka mampu menjawab soal perkalian jika mereka tidak memiliki hafalan perkalian? AKU MENUJU RUANG KANTOR yang berada di ujung lorong sekolah. Menyantap kudapan yang rutin ada di atas mejaku. Aku masih memikirkan cara untuk menarik keinginan siswa menghafal perkalian. Kuajak semua murid untuk ke perpustakaan tempat tinggalku untuk membuat buku perkalian. Aku minta mereka untuk menyetorkan hafalannya setiap pagi kepadaku. Alhasil, setiap hari anak-anak mulai berangsur antusias memanggilku untuk menyetor hafalan perkalian mereka. Di sela waktu istirahat di perpustakaan, aku tengah menikmati permainan sudoku. Tiba-tiba terlintas gagasan. “Ayye, ini dia!” Aku masuk ke ruang tidurku. Aku melihat seisi kotak display yang terbuat dari kardus bekas. Aku masih mendapati sisa-sisa bahan yang dapat digunakan. Hingga aku sedikit demi sedikit menghasilkan sebuah permainan yang kunamai “Diagram Koordinat”. Diagram Koordinat ini menggunakan bahan yang sederhana.

Menggenggam Angka


252

Alat dan bahan: 1. Kertas origami

4. Spidol

6. Pulpen

2. Kertas karton

5. Kardus bekas

7. Lem kertas

3. Kertas Asturo Cara membuatnya: 1. Buat kolom pada kertas Asturo dengan jumlah 17 kolom ke bawah dan 17 kolom ke samping. 2. Beri nama pada setiap kolom dengan angka 1 sampai dengan 15. 3. Ambil kardus bekas dan bentuk menjadi 18 buah lingkaran kecil. 4. Ambil kertas origami dan tempelkan menggunakan lem pada lingkaran kemudian gunting. 5. Buat kartu soal dengan menggunting karton membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 4 sentimeter. 6. Tulis nomor soal dengan menggabungkan nomor pada kolom koordinat X dan Y (misalnya: 0.0 1.1, 2.3, 2.15)

7. Di sisi lain, tulis soal sesuai sesuai kebutuhan. 8. Permainan Diagram Koordinat siap dimainkan.

Kreasi Penerang Guru Seberang


253 “BU, OH BU ASYANTİ, jadike kame les sama Ibu?” “Jadi, tunggu Ibu di kelas ye.” Aku kemudian memberikan les tambahan kepada siswaku dengan tujuan mereka bisa mendapatkan tambahan latihan untuk meningkatkan kemampuan berhitung. Aku memperlihatkan permainan kepada mereka. “Enam orang lok ye.” “Bu, macam mane carenye, Bu?” Aku menjelaskan cara bermainnya. Mereka awalnya bingung, namun lama-kelamaan mereka terbiasa. Awalnya anak-anakku masih menghitung perkalian pada buku tulis mereka. Aku memaklumi, toh yang penting kemampuannya diasah. Tidak mesti cepat namun yang penting adalah keberhasilan mereka memaknai usahanya. Mereka mulai berebut untuk bermain. Mengandalkan buku perkalian yang kami buat bersama kemarin, sangat membantu siswa yang menjadi pemerhati kawannya yang bermain untuk menentukan jawaban temannya betul atau salah. Bidak-bidak berbentuk lingkaran penyatu titik koordinat mulai diletakkan pada titik menurut soal. Aku mulai optimis bahwa anak-anakku akan senang dan terpacu dalam berhitung. “Besok agek ye, Nak,” kataku menutup les. Tak terasa dua jam telah berlalu. Mereka hanya dua tim yang bermain karena keterbatasan jumlah permainan yang kubuat. “Hamma’ Ibu bah, kame belum gak,” mereka yang belum bermain menyerukan kekecewaan. “Tenang jak, besok kite nak maen agek balek sekolah ye.” Aku senyum bahagia menyambut langkah awal ini. Mereka senang dan terutama akan berusaha untuk bisa berhitung agar menjadi pemenangnya. Mereka belum terbiasa, tapi aku yakin mereka akan membiasakan diri.

Menggenggam Angka


254 LONCENG SEKOLAH BERBUNYI, GENANGAN air di lapangan tak menyurutkan mereka untuk bermain hingga hujan turun kembali. Mereka berhamburan lari berteduh, dan masih ada pula yang berlari dari kantin. “Ibu… Ibu… Ibu Asyanti!” Empat orang anak berlari menuju tempatku berdiri. “Bu, ayolah maen macam semalam agek,” pinta Fauzi padaku. “Sabar lok….” “Karang ja lah mainnya, Bu,” mereka seperti memaksaku. Aku tersenyum. “Ibu nak dengar lok kite tuh hafal kali, macam mane nak main kalo hitung tak pandai.” Mulailah mereka menyetorkan hafalannya. Mereka menghafal dengan terbata-bata. Aku terus-menerus meminta mereka mengulangi. Memang sedikit memaksa, tapi aku berharap penuh bahwa mengulang membuat mereka lebih mantap mengingat deretan angka yang dihitungnya. “Horeeeee… Ibu Asyanti masuk!” Duduklah mereka dengan tenang pada bangku masing-masing. Sekolah mulai lengang ditinggalkan para bocah cilik. Ya, aku sengaja mengambil waktu di luar sekolah agar tidak mengganggu mereka. Aku menyiapkan permainannya. Mereka menatapku penuh harap untuk dipilih bermain terlebih dahulu. Kubagikan bidak-bidak pada masing-masing anak. Tak lupa untuk menentukan juri-juri cilik untuk melihat jawaban temannya. Kujelaskan kembali prosedur permainannya agar mereka tak lupa. “Ini ade enam warna bidak, Ibu nak bage ke yang main. Satu orang tiga bidak ye. Di situ (sembari menunjuk kartu soal) ade soalnye. Nanti Ezi sama Bella jadi juri betul salah. Kite yang maen nih ambe bergiliran. Abis tu jawab. Kalo betul dah kate jurinye boleh simpan bidaknya di kotak yang nomornya betul ye. Siapa yang

Kreasi Penerang Guru Seberang


255 paling dulu ator tiga bidak mau ke kanan, ke kiri, ke bawah, ato miring itulah die pemenangnye.� Anak-anak mengangguk cepat tanda memahami instruksiku. Mereka bersiap mengambil kartu soal sesuai giliran. Fadli, Yaya, Yanto, Irgi, Pusilah, dan Nono bersaing dengan baik. Ezi dan Bella juga jadi juri yang adil. Memukul meja, tertawa, hingga memegangi kepala adalah ekspresi yang diperlihatkan pemain yang menjawab salah maupun benar. Anak-anak yang tidak ikut bermain bahkan ikut menghitung pula soal yang pemain pilih. Sungguh pemandangan yang mengasyikkan. Tak terasa kelas itu mendadak ramai karena siswa-siswa SMP sebelah turut tertarik melihat tontonan itu. Aku senang, aku senang karena permainan ini disenangi siswaku. Memacu mereka berhitung, meskipun melalui keterbatasan yang kami miliki di sini. []

Menggenggam Angka


256 “Tepuk matematika!” “Matematika... mudah! Matematika... sangat mudah! Matematika... pasti bisaa!” Teriakan ini mengawali pembelajaran kelas 4 dan 5 SDN 001 Sebuku Filial Kalas hari itu. Selama ini pelajaran matematika menjadi musuh bagi kebanyakan anak-anak di sekolah penempatanku. “Sengsara bah, Bu,” keluh Aidil, salah seorang siswaku, suatu hari saat kutantang mengerjakan soal perkalian dua angka.

Pasangan Kuadratku Peni Yanda

Kreasi Kr rea easi easi si PPenerang ener eran an ng Gu Guru G uru u SSeb Seberang eber eb be erran a g


257 Celetukan Aidil membuatku semakin berpikir. Apa yang bisa kulakukan agar siswaku bisa menyenangi dan memahami matematika? Tak hanya Aidil yang kesulitan, tapi juga siswa kelas 4 lainnya. Wajar saja mereka merasa sulit karena ternyata mereka belum hafal perkalian. Jangankan dua angka, satu angka saja masih sering keliru. Hari itu seperti biasa aku kembali mengajar kelas 4 dan 5 (kelas rangkap) yang kuberi nama “kelas hebat”. Kuawali dengan menyapa siswa kelas 5. “Kelas 5....” “Siaaap!” “Baik, nanti kalian akan Ibu ajar tentang akar kuadrat. Tapi, sebelumnya Ibu harus pastikan kalian sudah paham tentang bilangan kuadrat dulu.” “Oke, Bu,” sahut Saidi lantang. “Ini Ibu Guru bawa lagi mainan kuadratnya. Pastikan kalian semua bisa memasangkan dengan benar ya.” “Yeeeeeee. Siaaaap, Bu Guruuu....” Teriak Ida dan Saidi menyaingi suara teman-temannya. Tidak terlalu sulit bagiku mengajar siswa kelas 5. Apalagi jumlah mereka hanya lima orang. Alat peraga pasangan kuadrat yang telah kubuat pun tepat sekali berjumlah lima dengan pasangan bilangan yang berbeda-beda. Sehingga, mereka bisa bermain sambil belajar secara bergantian. Hari sebelumnya, mereka sudah belajar tentang konsep perkalian kembar pada bilangan kuadrat, juga menggunakan alat peraga yang sama. Hasilnya? Mereka sangat antusias. Mereka memainkannya di setiap jam istirahat. Siswa kelas 4 ternyata tidak mau ketinggalan mencoba. Bahkan, ada yang bisa menyelesaikan soal kuadrat 11-20 meski belum pernah kuajarkan! Ternyata alat peraga ini bisa membantu mereka

Menggenggam Angka


258 mengenali pola bilangan kuadrat dengan cepat. Hafal nilai kuadrat tanpa menghafalkannya. “Bu Guru, aku hafal sudah sampai kuadrat 20,” kata Ammang di sela-sela pembelajaran. “Wah, Ammang, hebat! Benar! Kalau biasa main ini, tak lama kalian bisa hafal sendiri.” “Iya, Bu. Aku hafal sudah!” kata Ida tak mau ketinggalan. Sementara siswa kelas 5 bermain pasangan kuadrat, saatnya siswa kelas 4 memahami materi penaksiran. Setelah memberi paparan singkat tentang penaksiran, siswa kelas 4 mengerjakan soal latihan yang kutulis di papan. Aku kembali menghampiri kelas 5. Memastikan mereka semua sudah bisa memasangkan bilangan kuadrat 1-30. “Kami juga mau main bah, Bu,” ujar Aidil. “Boleh. Tapi, syaratnya kamu harus selesaikan dulu latihannya.” Aidil pun tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya. Menyaksikan antusias mereka di hari sebelumnya, muncullah ide untuk membuat duplikat permainan pasangan kuadrat yang telah kubuat, lalu menggantinya dengan papan yang lebih kokoh. Sepulang sekolah, Azwan, Riya, Saidi, Ammang, dan Aitun membantuku membuat papan permainan ini dari tripleks yang menganggur di kelas. Tak hanya papan pasangan kuadrat yang kami buat, tapi juga pasangan perkalian. Mereka membantuku membuat papan pasangan perkalian 4, 6, 7, dan 8. Kebanyakan siswaku memang masih sering keliru pada empat perkalian ini. Esoknya harinya siswa-siswa di sekolahku dapat memainkannya setiap jam istirahat. Ketika diajak menghafal perkalian dengan cara klasik, banyak siswa yang mengeluh. Namun, mempelajarinya dengan permainan, siswa mana yang mengeluh? Justru senyum cerahlah yang tersuguh.

Kreasi Penerang Guru Seberang


259

Bagaimana membuatnya? Siapkan alat dan bahan berikut: 1. Kertas karton 2. Papan tripleks bekas 3. Benang kasur 4. Pisau/cutter 5. Gunting 6. Spidol warna 7. Penggaris 8. Origami Caranya? Sangat gampang! 1. Gunting kertas karton berbentuk persegi panjang. Dan siapkan papan tripleks dengan ukuran yang sama. 2. Tuliskan judul “KUADRAT� pada bagian atas kertas karton. 3. Tuliskan secara urut bilangan kuadrat (12-102 atau 112-202 atau 222-302 ) di lajur kiri dan hasilnya pada lajur kanan yang dibuat secara acak. 4. Tempelkan kertas karton pada papan tripleks. Tempelkan bagian belakang tripleks dengan kertas warna-warni agar lebih menarik. 5. Buat lekukan kecil di setiap sisi bilangan. 6. Buat lubang pada bagian atas papan untuk meletakkan benang kasur. Lalu hubungkan bilangan kuadrat sesuai pasangannya dengan benang kasur. Lalu gunting sesuai ukuran. 7. Anda dapat membuat variasi papan dengan cara di atas. Misalnya, papan pasangan perkalian.

Menggenggam Angka


260 26 260

Napier Penakluk Perkalian Fitrianti

D

esa Bojongmanik merupakan tempat pengabdianku. Desa ini terletak di Kecamatan Sindangresmi Kabupaten Pandeglang, Banten. Berbeda dengan teman-temanku, aku ditempatkan di lokasi yang cukup dekat ke kota. Tak heran, warga dan anak didikku sudah terkontaminasi gadgett dan PlayStation. PlayStation Awal penempenem

Kreasi Penerang Guru Seberang


261 patan di daerah ini tidak membuatku kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan penduduk berbahasa Sunda. Sebelum ditempatkan di Bojongmanik, aku ditempatkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang juga berbahasa Sunda. Sekolah penempatanku adalah MI Muhammadiyah Bojongmanik. Di sekolah ini semua jenjang pendidikan terdapat dalam satu lokasi, mulai dari TK, MI, MTs dan MA. Gedung MI memiliki lima ruang kelas untuk menampung enam rombongan belajar. Jika ditotalkan, jumlah siswanya mencapai 176 anak. Di sekolah ini terdapat dua toilet (toilet guru dan siswa), tempat wudhu, mushala, dan lapangan sekolah yang luas. Walaupun sarana sekolah terbilang memadai, sayangnya tak ada perpustakaan sama sekali. Padahal, selain dari guru di sekolah, perpustakaan merupakan sumber siswa mendapatkan ilmu. Di sekolah ini aku diamanahi mengajar matematika dan bahasa Inggris untuk siswa kelas 3 hingga kelas 6. Total waktu mengajarku per pekan adalah 24 jam pelajaran. AWAL MENGAJAR PELAJARAN MATEMATIKA di kelas 5, aku mencoba mengetes perkalian mereka. Aku memberikan permainan tepuk perkalian. “Tepuk dua,” ucapku. Lalu para siswa menepuk sebanyak jumlah angka yang telah kusebutkan. “Tiga...” ucapku lagi. Lalu anak-anak tidak menepuk tangannya disebabkan karena tak ada perintah untuk ‘tepuk’. Ada tiga anak yang sepertinya tidak konsentrasi dan tetap bertepuk tangan. “Aaahhhhh... itu siapa?” tanyaku. Teman-temannya menyebutkan siapa saja yang melakukan kesalahan.

Menggenggam Angka


262 Ketika ditanya mengenai perkalian dasar, alangkah kagetnya aku karena mereka ternyata belum hafal perkalian dasar. Mereka selama ini mengerjakan matematika dengan melihat catatan perkalian yang telah mereka catat. Sungguh memprihatinkan lantaran mereka sudah kelas 5. Hampir semua kelas yang kumasuki mengalami masalah sama, belum lancar perkalian dasar. Padahal, perkalian merupakan materi sangat mendasar untuk siswa. Melihat kondisi ini, aku tidak boleh membiarkan keadaan ini terus terjadi. Bagaimana caranya agar mereka bisa perkalian tanpa merasakan kesulitan? Sepulang sekolah aku memikirkan cara agar para siswaku bisa perkalian dengan cepat. Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan panjang. Teringat sebuah media yang bisa kugunakan untuk membantu mereka: batang napier. Itulah salah satu upaya agar siswa-siswaku tertarik untuk mengasah keterampilan berhitungnya. Batang napier terdiri dari 10 kotak, dengan kotak terbatas menunjukkan sebuah bilangan dasar, dan kotak selanjutnya berturut-turut merupakan hasil perkalian bilangan dasar tersebut dengan 1 hingga 9. Satuan diletakkan di bagian bawah diagonal, sedangkan bagian puluhan diletakkan di bagian atas diagonal. Perkalian bilangan dengan menggunakan batang napier tidak lain menerjemahkan persoalan perkalian menjadi persoalan penjumlahan. Keesokan harinya aku memerintahkan siswa kelas 5 untuk membawa kardus bekas, penggaris, dan pisau atau cutter. “Bu, kardus itu untuk apa?� tanya mereka. “Ada deh, lihat besok kita akan membuat apa,� jawabku. PUKUL 07.00 AKU BERSIAP BERANGKAT untuk menunaikan kewajibanku mencerdaskan anak bangsa. Mereka membawa peralatan yang kuperintahkan untuk dibawa. Sebelum pelajaran dimulai, terlebih dahulu siswa-siswaku melantungkan Asmaul Husna yang memiliki syair yang begitu indah dan menyejukkan hati

Kreasi Penerang Guru Seberang


263 sehingga suasana hati pun lebih semangat belajar. Setelah itu, membaca doa sebelum belajar. “Bu, kita mau buat apa sebenarnya?” tanya salah satu siswaku. “Anak-anak, sebenarnya Ibu ingin kalian yang sudah kelas 5 mampu menguasai perkalian dasar. Hari ini kita akan membuat batang napier untuk membantu kalian untuk bisa menguasai perkalian dasar maupun perkalian berapa saja yang kalian inginkan,” jelasku. “Yesssss...caranya gimana, Bu?” tanya siswa mulai penasaran. Kemudian aku pun menjelaskan cara membuat batang napier. Pertama-tama, buat tabel di kardus yang jumlah kolom dan barisnya masing-masing sepuluh. Kemudian, tuliskan bilangan yang dikalikan masing-masing pada baris pertama dan kolom pertama. Isi setiap petak lainnya dengan hasil kali angka-angka dari bilangan yang dikalikan sesuai dengan baris dan kolom petak tersebut berada. Setelah semua petak terisi semua, tabel tersebut digunting secara vertikal mengikuti garis. Setelah semua siswaku menyelesaikan tabelnya, mereka mengguntingnya sesuai instruksi yang kuberikan. “Sudah selesai, Bu!” teriak mereka. “Kumaha ngagunakeunna ieu, Bu?” seorang siswa tak tahan untuk tidak bertanya. “Kita ambil satu contoh perkalian ya, supaya kalian langsung paham,” jawabku. “Iyaaaaaaaaa... Bu!” timpal mereka. “Misalnya kita ingin mengalikan 58 x 47. Gimana caranya? Lihat! Silakan kalian ambil kartu 5 dan kartu 8, kemudian tuliskan baris ke-4 dan ke-7.

Menggenggam Angka


264

Kemudian jumlahkan menurut arah diagonal panah dimulai dari kotak kanan ke kotak paling kiri.

Kolom paling kanan 6, kolom berikutnya: 2+5+5 = 12, maka ditulis 2 dan 1 dituliskan ke kolom berikutnya. Kolom berikutnya: 1+3+0+3=7 dan kolom terakhir 2. Jadi, hasil perkalian dari 58 x 47 = 2726. Nah, gimana kalian ngerti enggak?” “Mengertiiiiiiiiiiii…. Wuuuuuuuuuiiih mudah ya, Bu?” ujar mereka dengan wajah semringah. “Sekarang silakan kalian coba sendiri. Silakan kalian buat soal sendiri dengan memilih perkalian puluhan dengan puluhan!” perintahku. “Siiiiiaaaaaaaaap, Bu!” Sementara mereka bekerja sendiri, aku tetap membimbing dan mengarahkan mereka agar semakin mengerti. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


265 265

Batang Napier Perkalian Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo

S

DN Kutakarang n 1 merupakan sekolah pertama yang dibangun ng u pendidikan di Desa Kutakarang, Kecamatan uan untuk keperluan bupaten p paten Pandeglang g g Banten. Banten Jika tak ada sekoseko Cibitung, Kabupaten Pandeglang, yarakat akan memiliki dua pilihan sulit. Pertama, lah ini, maka masyarakat ena tidak adanya sarana pendidikan yang layak. tidak sekolah karena Kedua, sekolah tetapi mesti berjalan kaki hingga ke pusat kecaMenggenggam Angka


266 matan yang jaraknya cukup jauh. Konsekuensinya, warga yang ingin mengenyam pendidikan mesti menunggu agak ‘gede’ untuk dibebaskan berjalan kaki menuju sekolah. Ironi sekolah seperti di daerah penempatanku ini boleh dikatakan terjadi di berbagai pelosok di tengah negeri kita. Pemerintah dengan program Wajib Belajar 9 Tahun sebenarnya banyak membangun sarana pendidikan hingga di perdesaan. Ini sejalan dengan cita-cita bangsa, yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,yakni ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ironis sekali ketika sarana pendidikan disediakan dan didirikan tiap tahun, tanpa ada pantauan ataupun pengawasan yang dilakukan pemerintah, baik dari segi sarana penunjang pembelajaran ataupun dari segi kemampuan tenaga pengajar. Sekolah penempatanku merupakan satu dari sekian banyak sekolah yang berada di pelosok yang mengalami hal seperti ini. Sekolah penempatanku kurang memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai. Namun, kurangnya fasilitas di sekolah tetap tak menyurutkan semangatku untuk berbuat sesuatu di sekolah ini. Selaku guru model SGI, seharusnya aku berinisiatif untuk berbuat lebih terhadap proses pembelajaran di kelas. Tahun ajaran baru, aku masih mengajar mata pelajaran matematika untuk kelas tinggi. Siswa-siswaku masih mengalami kesulitan dalam memahami perkalian. Aku berupaya mencari cara untuk menumbuhkan minat belajar mereka. Semester awal berada di sekolah ini, aku melakukan pembelajaran intensif sebelum pulang sekolah. Aku menyuruh tiap siswa menghafal perkalian. Setiap pelajaran matematika, dua kali seminggu, sama seperti metode yang aku dapatkan dulu ketika sekolah dasar. Dan kini aku mencobanya untuk siswaku di sekolah. Metode ini belum maksimal terlaksana. Aku pun mencari metode lain agar siswaku paham perkalian. Bagaimanapun juga perkalian merupakan salah satu operasi aritmatika yang akan menjadi dasar dalam pemahaman materi matematika selanjutnya.

Kreasi Penerang Guru Seberang


267 Aku mencari informasi di dunia maya ketika menuju ke pasar sebab di sana sinyal atau jaringan internet cukup baik. Kuluangkan waktu untuk mencari metode yang tepat untuk perkalian. Sebelum mendapatkan, aku justru teringat dengan metode yang digunakan oleh teman SGI di penempatan kecamatan lain. Akhirnya kuputuskan untuk mencari informasi mengenai batang napier. Setelah browsing sana-sini, akhirnya aku memahami cara kerja batang napier. Segera aku pun mencobanya di rumah. Sibuk untuk persiapan pembuatannya, aku mengajak beberapa siswa terlibat. “Kita mau buat apa, Pak Sapto?” tanya Agis. “Ini, Gis, kita mau buat alat peraga untuk lebih memahami perkalian matematika,” jawabku pada Agis, siswa kelas 6. Kusiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ada kardus bekas dari warung depan sekolah, lem kertas, kertas berwarna, gunting, spidol, dan penggaris. “Semua alat dan bahan sudah tersedia. Tinggal kujelaskan langkah-langkah yang mesti dilakukan oleh siswa,” pikirku dalam hati. “Oke, Agis, Rohim dan Iis, tolong kalian garis kertas berwarna ini berukuran 10 sentimeter lebarnya dan 70 sentimeter panjangnya, dan jika sudah digaris, nanti bilang sama Pak Sapto ya.” “Semua warnanya digaris, Pak?” tanya Rohim, “Ya, semua warna ini. Ada lima warna, nanti kalian bagi saja, siapa yang menggaris warna biru dan siapa yang menggaris warna merah dan seterusnya,” jelasku lagi. “Jika sudah digaris, tolong berikan sama Putri ya, untuk ditempel di kardus bekas ini. Jika sudah ditempel, Pak Sapto yang gunting,” jabarku menjelaskan. Dengan cekatan mereka memulai pekerjaan masing-masing. Pembuatan batang napier ini cukup lama, kurang lebih sekitar satu jam, karena yang dibuat ada sepuluh batang.

Menggenggam Angka


268 KEESOKAN HARINYA, KETIKA DI ruang guru, banyak yang bermuka heran melihat apa yang kubawa. “Naon eta, Pak Sapto?” kata Pak Asmada, guru senior yang baru saja dipindahkan di sekolah penempatanku. “Oh, ini alat peraga, Pak. Mau dipake di kelas 4 untuk ngajar,” terangku sambil bersiap menuju kelas. “Maaf, Pak, saya sudah waktu masuk kelas, nanti saya jelaskan pada Bapak. Hapunten nya, Pak,” kataku. Wajah Pak Asmada masih tampak kebingungan. Beliau tersenyum saat aku pamit hendak mengajar. “Assalamu’alaikum...” salamku ketika masuk ke dalam kelas. “Wa’alaikumsalam, Pak...” anak-anak serempak menjawab. Seketika pula Usep, sebagai ketua kelas, langsung memberi aba-aba untuk menyiapkan kelas agar siap belajar. Setelah disiapkan, aku pun tanyakan kabar mereka. Aku selalu merasa senang dan bahagia begitu melihat siswaku bersemangat dalam belajar. Berasa merinding kuduk ini mendengar semangat yang bergelora dari mutiara pelosok yang penuh semangat itu menyebut kabar mereka. “Hari ini kita akan melanjutkan materi kemarin. Tapi tidak seperti kemarin ya, hari ini kita akan pakai ini,” jelasku sambil menunjukkan batang napier yang telah kusiapkan. “Apa itu, Pak?” tanya Aep. “Nah, ini yang akan kita pakai nanti dalam belajar, namanya batang napier. Dengan ini kalian semua bisa mengerjakan soal perkalian matematika dengan cepat. Tapi nanti, Pak Guru akan menjelaskan cara menggunakannya, sabar ya,” tambahku pada mereka. Setelah melakukan apersepsi seperti biasa, aku pun mengulas kembali materi pada pertemuan sebelumnya. Waktu itu aku membawa mereka ke luar sekolah sekadar untuk belajar di bawah pohon rindang nan sejuk. Kreasi Penerang Guru Seberang


269 “Oke, kalau yang sebelumnya kita melakukan perhitungan perkalian dengan menggunakan cara bersusun pendek, sekarang memakai alat peraga ini. Contoh sederhana untuk menggunakan alat ini seperti ini.Berapa hasil 32 x 28? Kita mengambil batang napier bernomor 3, bernomor 2, dan batang bertuliskan indeks ini.” “Setelah itu,” lanjutku menerangkan, “kita urutkan dari kiri ke kanan seperti ini. Mulai dari batang bertuliskan indeks, lalu yang nomor 3 dan terakhir yang bernomor 2. Kotak yang perlu diperhatikan adalah kotak nomor 2 dan kotak bernomor 8, seperti ini. Lalu silakan buat kotaknya di sebelah sini. Kita gambar ya? Setelah gambar seperti ini, silakan kalian menjumlahkan setiap kotaknya dan hasilnya adalah 896 sesuai dengan jumlah ini kan?” “Iya, Pak.” “Pak Sapto ulangi lagi ya biar semua paham,” kataku pada mereka yang masih terlihat bingung. Setelah mengulanginya lagi, akhirnya ada yang berkata. “Pak Sapto, saya mau nyoba pakai batang napiernya?” minta Usep penasaran. “Oke, Usep, silakan.” Usep pun memulai menggunakan batang napier, tentunya dibantu bimbinganku. Setelah Usep selesai memperagakan, aku memberikan batang napier yang berukuran kecil pada tiap siswa agar mereka bisa paham dan mengerti dengan penggunaan alat peraga ini. “Saya tahu…saya tahu…saya bisa!” Terdengar suara anak-anak berkata diiringi tertawa girang. Setelah selesai jam belajar, rupanya banyak siswa kelas 4 yang menginginkan untuk pertemuan selanjutnya menggunakan batang napier lagi. Mereka merasa lebih mudah dalam memahami perkalian.

Menggenggam Angka


270 “Pak Sapto, nanti Senin kita belajar pakai batang napier lagi ya. Bagus, Pak, gampang cara pakainya dan mudah mempelajari perkalian,” ujar salah satu siswa. “Insya Allah kita pakai lagi karena masih ada lanjutan materi perkalian. Oke?” “Oke, Pak.” Alhamdulillah, siswaku senang dengan menggunakan batang napier ini. Semoga mereka menyenangi semua pelajaran, baik ada ataupun tidak alat peraga, doaku dalam hati. Sesampainya di ruang guru, ketika bertemu dengan Pak Asmada, aku pun menjelaskan cara penggunaan batang napier. Kepala sekolah turut menyaksikan dari dekat. “Wah, bagus itu, Pak Sapto, bisa dikembangkan ini, bagus untuk siswa,” kata kepala sekolah dan diamini Pak Asmada. “Iya, Pak, memang tadi saya gunakan untuk mengajar siswa di kelas 4 menggunakan alat peraga ini. Mereka antusias dan mau lagi belajar walaupun bunyi bel sudah selesai,” kataku pada kepala sekolah seraya tersenyum. Alhamdulillah, kepala sekolah dan guru-guru di sini selalu mendukung kegiatan yang kulakukan. Tentu saja selama itu baik dan untuk kemajuan siswa di sekolah. Semoga mereka bisa meneruskan perjuangan ini saat aku selesai penempatan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


271

S

iang itu begitu terik. Matahari serasa menyengat langsung ke kulit. Pulau Sebatik yang masuk wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, ini benar-benar menjadi sangat tidak bersahabat ketika musim kemarau tiba. Debu beterbangan di mana-mana, membuat udara menjadi sangat tidak enak untuk dihirup dan tenggorokan menjadi sakit seperti ada butiran-butiran debu yang mengendap di dalamnya. Sudah dua bulan pulau kecil ini tidak hujan. Aku kemasi barang-barangku di kantor dan bersiap pulang ke rumah, tapi langkah terhenti di depan pintu kantor. Aku berdiri termangu menatap halaman sekolah yang begitu silau karena

Guru Cabe Rawit Harini

Menggenggam Me engge g nggga ge gam m Angka An ngk gkaa


272 panas yang sangat menyengat. Rasa malas untuk keluar langsung menyergap. Aku berdiri di depan pintu sambil menyandarkan kepala ke dinding sekolah yang masih terbuat dari papan. Terik di luar membuat mata begitu sakit ketika berjalan di bawahnya. Padahal, rumahku hanya berjarak beberapa meter saja dari sekolah, tapi kaki ini begitu berat untuk melawan teriknya siang. Cukup lama aku termangu melihat anak-anak yang berhamburan di halaman sekolah. “Apakah mereka tidak merasakan panas? Ah, mungkin mereka sudah terbiasa,” begitu pikirku. Tiba-tiba suara seorang anak membuyarkan lamunanku. “Ayooo... Ibu berkhayal ya? Pasti Ibu sudah kangen Jawa?” Goda gadis kecil bernama Rasni. Dia muridku di kelas 5. “Hahaha... enggak. Kamu enggak pulang?” tanyaku padanya. “Nanti dulu. Ibu, nanti kita istana anak kan?” tanyanya kemudian. Sepertinya ini yang menjadi tujuannya menghampiriku. Sayangnya, aku harus memberikan jawaban yang mengecewakan karena hari itu aku harus memberikan les matematika untuk anak kelas 6. “Hari ini enggak ada istana anak, Sayang. Kan tadi sudah Ibu suruh ketua kelas buat umumkan kalau hari ini tidak ada istana anak,” jawabku. Tapi rupanya jawabanku tidak membuatnya puas. “Tapi kan sekarang hari Senin, Bu.” “Iya, Nak, tapi Ibu harus memberikan les matematika ke anak kelas 6. Nanti istana anaknya kita ganti di hari lain ya,” jelasku. Akhirnya dia mau menerimanya. “Ohh... ya sudah deh, Bu, kalau gitu. Aku pulang ya, Bu,” ucapnya sambil menjabat tanganku. “Iya, hati-hati ya,” jawabku mengakhiri.

Kreasi Penerang Guru Seberang


273 Aku kembali terngiang dengan pernyataan Rasni, “Pasti Ibu sudah kangen Jawa.� Ya, aku memang sudah mulai merindukan Jawa. Rupanya sudah hampir tiga bulan aku di sini. Sudah tiga bulan sejak aku beserta 29 teman SGI yang lain dikumpulkan di ruang kuliah pada suatu sore yang cerah awal Januari 2015. Sore itu diumumkan masing-masing dari kami akan ditempatkan di mana dan bersama siapa. Masih tergambar jelas di ingatanku ketika profil Nunukan terpampang di slide PowerPoint yang diputar oleh pengelola, muncullah namaku sebagai guru yang akan ditempatkan, kemudian disusul nama lima temanku yang lain: Abdi, Frima, Peni, Dena, dan Dedi. Ya, kami berenam ditempatkan di Kabupaten Nunukan, mewakafkan diri kami di sana selama satu tahun. Kami menamakan tim kami sebagai Tim Garuda Perbatasan yang merupakan kepanjangan dari Garda Guru Muda Perbatasan. Waktu itu aku masih belum tahu seperti apa Nunukan. Yang kutahu, Nunukan adalah wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Aku sangat bersemangat ingin segera berangkat dan melihat tempat yang akan menjadi tantanganku nanti, orang-orang yang akan kutemui, dan anak-anak yang akan menjadi muridku nanti. Sekarang aku berdiri di sini, di SDN 004 Sebatik Tengah, sekolah penempatanku. Sekolahku merupakan salah satu SD negeri di Kabupaten Nunukan yang berada di Pulau Sebatik; sebuah pulau kecil yang menjadi milik dua negara, Indonesia dan Malaysia. Sekolahku terletak di Desa Sungai Limau, salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di belakang sekolahku terdapat sebuah lapangan yang menjadi lapangan milik dua negara sehingga dinamakan lapangan buangan. Tidak jauh dari lapangan tersebut terdapat patok perbatasan RI-Malaysia, yaitu patok 7. Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. Daripada bengong di depan pintu, mendingan aku melihat-lihat materi yang akan diajarkan untuk les kelas 6 nanti dan mencari metode apa yang paling tepat digunakan. Aku masuk kembali ke dalam kantor. Sambil menunggu matahari sedikit bergeser, kubuka buku paket matematika kelas 6. Rupanya siang nanti aku harus mengajarkan perkalian pecahan Menggenggam Angka


274 campuran. Materi ini tergolong cukup berat untuk anak-anak kelas 6 di sini, yang notabene penjumlahan pecahan biasa saja mereka kesulitan. Beberapa jenak berpikir akhirnya aku menemukan cara yang dirasa tepat. Dengan semangat tanpa memedulikan panas, aku berlari pulang ke rumah untuk shalat, makan, istirahat, dan kemudian bersiap memberikan les. JAM DUA SIANG, SEMUA anak kelas 6 berada di dalam kelas. Masuk di kelas ini berasa masuk di kelas anak SMP kelas 3. Anakanaknya besar-besar, badannya bongsor-bongsor, dan memang dari segi usia, mereka memang lebih tua dari usia anak-anak SD pada umumnya. Hal ini karena banyak dari mereka yang terlambat masuk sekolah, terlalu sering tinggal kelas, ataupun bermasalah sekolahnya karena hal-hal lain. Di awal pelajaran, setelah berdoa aku mengajak anak-anak mengobrol santai dulu. Kemudian aku mengajak mereka tertawatawa dengan ice breaking. Setelah itu, aku memberikan aturan kelas dan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan. “Hari ini Ibu akan mencari bapak-ibu guru cabe rawit dari perbatasan. Siapa mereka?” tanyaku dengan sangat ekspresif. Anak-anak langsung antusias bertanya, “Siapa, Ibu? Siapa?” “Mereka adalah anak-anak kelas 6 SDN 004 Sebatik Tengah!” Jawabanku membuat mereka heran. “Haaaah? Maksudnya gimana, Bu?” tanya anak-anak serentak. Dengan semangat aku menjelaskan bahwa nanti setelah materi dan latihan-latihan soal, aku akan mencari anak-anak yang sudah paham. Anak-anak yang sudah paham inilah yang akan dinobatkan menjadi guru cabe rawit karena mereka yang akan mengajari teman-temannya sampai bisa. Semua orang di dalam kelas harus memanggil mereka Pak Guru dan Bu Guru.

Kreasi Penerang Guru Seberang


275 Anak-anak terlihat antusias. Apalagi setelah diterangkan juga bahwa nanti akan dibentuk kelompok dan akan ada perlombaan. Benar saja, sewaktu aku menjelaskan cara mengerjakan perkalian campuran ada beberapa anak yang antusias bertanya. Begitu pula ketika diberikan latihan soal, mereka berebut untuk maju mengerjakan. Hingga akhirnya aku memberikan tes sebanyak dua soal untuk dikerjakan. Siapa pun yang bisa mengerjakan dua soal itu dengan benar atau benar semua, dia akan dinobatkan menjadi guru cabe rawit. Anak-anak terlihat sangat bersemangat mengerjakan dan bersemangat menyelamatkan garapan mereka dari temannya yang berusaha lirak-lirik. Hasil tes kemudian dicocokkan bersama, dan hasilnya... dari 40 siswa kelas 6, ada 15 anak yang bisa mengerjakan dan betul semua. Akhirnya 15 anak ini dinobatkan menjadi guru cabe rawit. Mereka maju ke depan kelas dan kupasangkan kertas bertuliskan “Guru Cabe Rawit� di baju mereka. Tepuk tangan yang meriah pun diberikan oleh teman-temannya saat kupasangkan tulisan di baju, membuat muka mereka tampak senyum malu-malu. Setelah itu, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. “Nah, sekarang saatnya bapak dan ibu guru cabe rawit beraksi.� Aku arahkan anak-anak untuk membentuk kelompok menjadi 15 kelompok yang di setiap kelompok terdapat satu guru cabe rawit. Tugas guru cabe rawit adalah mengajari teman-teman satu timnya tentang perkalian pecahan campuran sampai mereka bisa. Guru cabe rawit bertanggung jawab terhadap keberhasilan anggota timnya dalam mengerjakan soal perkalian pecahan campuran. Pada akhir pelajaran setiap anggota kelompok akan diberikan tes. Jika semua anggota kelompoknya bisa mengerjakan dengan benar, maka guru cabe rawit beserta kelompoknya tersebut akan mendapat hadiah berupa bintang prestasi. Jika ternyata salah satu anggota tim masih ada yang salah dalam mengerjakan, berarti guru cabe rawit beserta timnya akan mendapat hukuman.

Menggenggam Angka


276 “Bapak Ibu Guru cabe rawit sudah siap?” tanyaku dengan keras. Mereka pun tak kalah keras menjawab, “Siapp, Buuuuuu!” Saking semangatnya anak-anak, mereka langsung berhamburan mencari kelompoknya masing-masing. Setiap satu guru cabe rawit ada yang mempunyai dua murid, ada juga yang hanya satu. Tidak cuma guru cabe rawit yang terlihat semangat mengajari, yang menjadi muridnya pun terlihat antusias belajar dengan guru barunya. Walaupun ada juga satu guru cabe rawit yang mengeluh, “Ibu, ini si Sony bodoh kali, Bu, susah sekali diajari,” ucap Ricky dengan lantang dari belakang kelas. Anak-anak di sini mempunyai kebiasaan buruk dengan kata “bodoh”. Kata bodoh seperti sudah menjadi kata yang wajar diucapkan. “Eeehhh... Pak Ricky enggak boleh ngatain temannya bodoh, Sayang, apalagi Pak Ricky kan sekarang sedang menjadi guru. Pak guru tidak boleh ngatain muridnya bodoh,” aku coba meluruskan. “Lagian si Sony itu tidak bodoh, Pak Ricky hanya perlu menjelaskan lebih pelan lagi sama Sony. Ayo coba dijelaskan pelan-pelan nanti pasti Sony bisa. Pak Guru Ricky kan hebat.” Ricky malah tertawa-tawa mendengar perkataanku, mungkin dia sedikit geli dipanggil Pak Guru Ricky. Yang jelas, dia segera bersemangat mengajak Sony. “Ayolah pale kita latihan lagi sampe bisa ki.” Di akhir pelajaran saatnya perlombaan dimulai. Para guru cabe rawit kusuruh maju ke depan, duduk di bawah papan tulis menghadap ke depan. Sedangkan murid-muridnya duduk di belakang. Lalu kubagikan tes yang berisi dua soal, baik untuk guru maupun muridnya. Setelah selesai mengerjakan, jawaban dikumpulkan, semua kembali ke tempat masing-masing. Kertas jawaban kembali kubagikan secara acak untuk dikoreksi bersama. Hasilnya sungguh

Kreasi Penerang Guru Seberang


277 membuatku ternganga karena jauh melebihi target yang diharapkan. Dari seluruh siswa, hanya ada dua anak yang masih salah mengerjakan. Dua anak ini berasal dari dua kelompok yang berbeda sehingga ada dua kelompok yang dianggap gugur dan mendapat hukuman. Anak-anak yang menang bersuka ria ketika kububuhkan tanda bintang di papan bintang kelas mereka. Sedangkan yang kalah melakukan penawaran terhadap hukuman mereka, “Ibu, kita yang kalah dihukum apa?” “Hmm... apa ya?” kataku sambil tersenyum. Teman-temannya yang lain menimpali, “Suruh mereka joget sambil nyanyi di depan kelas aja, Bu.” “Suruh mereka pasang muka jelek, Bu.” “Suruh aja mereka gendong temannya dari ujung lapangan dari ujung sampe ke ujung, Bu.” Aku tertawa mendengar celotehan anak-anak. Kemudian Nurhan, salah satu guru cabe rawit yang kalah pun menawar, “Bu, Ibu kan belum ambil air sore ini. Gimana kalau hukumannya kami semua lima orang yang kalah bareng-bareng ambilkan Ibu air ke sungai? Jadi Ibu enggak perlu ambil air sore ini.” Aha, ide yang cerdas. Kulihat mereka juga laki-laki semua dan badan mereka besar-besar. Langsung kusetujui penawaran mereka. Setelah selesai berdoa, anak-anak yang menang langsung pulang dengan sukacita. Sementara anak-anak yang kalah mengambil dua dirigen air dan gerobak dorong dari rumahku. Mereka bersiap mengambilkan air. Di Sebatik sedang musim kemarau. Sumber air utama adalah air tadah hujan. Jika lama tidak hujan begini, mau tidak mau penduduk harus mengambil air ke sungai yang jaraknya lumayan jauh dari desa, sekitar satu kilometer dari rumahku. Biasanya setiap sore seusai istana anak, aku bersama beberapa orang anak yang rumahnya dekat sekolah pergi ke sungai. Anak-anak se-

Menggenggam Angka


278 kalian mandi di sungai dan pulangnya mereka membantuku mendorong air. Aku tidak perlu mendorong sendiri karena mereka sudah berebut ingin mendorongkannya untukku. Bahkan, kalau sedang ingin bermain-main, aku naik ke atas gerobak dan mereka ramai-ramai mendorongnya! Begitulah Sebatik, ada suka, ada duka. Ada sesuatu yang mudah, ada pula yang susah. Semuanya saling beriringan, menjadi sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tapi keikhlasan akan menjadikan yang susah dan tidak enak itu menjadi indah, apalagi jika sudah menjadi sebuah kenangan. Salam Perbatasan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


279 279

Lima Guru Muda Budi Iskandar

B

elajar matematika itu butuh pikiran yang tenang, jernih, dan santai. Agar pikiran siswa dapat rileks, di setiap awal pembel pembelajaran aku terbiasa memberikan apersepsi awal untuk siswa siswa. Senam otak menjadi andalanku untuk menyeimbangkan kemampuan berpikir siswa, antara otak kanan dan otak kiri. Otak siswa harus digiring menuju zona alfa agar mereka dapat menyerap materi pelajaran dengan baik. Terlebih untuk materi matematika yang bagi kebanyakan mereka dianggap sulit. Aku sebenarnya guru IPA, namun diminta mengajarkan matematika untuk kelas 4. Guru mata pelajaran ini terpaksa izin karena sedang prajabatan di Mataram. Aku pun ditugaskan menjadi guru kelas sementara. Sampai akhirnya berkesempatan mengajarkan siswaku sendiri materi matematika.

Menggenggam Angka


280 Kemampuan siswa kami dalam berhitung bisa dikatakan rendah. Siswa di sini tidak terbiasa berpikir keras. Lain halnya dalam masalah pekerjaan, mereka adalah sosok pekerja keras. Aku pun harus pintar mengemas pelajaran agar siswa benar-benar paham. Sering kujumpai siswa mengatakan “noktoh” apabila aku meminta mereka mengerjakan soal yang diberikan. Noktoh berarti tidak bisa, dan aku merasa ini adalah masalah mental; bukan tentang bisa atau tidak bisa. Mayoritas siswa yang pemalu dan tidak terbiasa mengemukakan pendapat itu sangat menghambat pembelajaran. Aku merasa sulit mengidentifikasi siswa mana yang sudah paham, dan mana yang masih belum mengerti. Sayangnya, mereka tidak setiap hari masuk sekolah. “Raju, Biru dan yang lainnya di mana mereka?” tanyaku. “Lalu ke garu, Pak,” jawab semua siswa serentak. Ya, namanama tadi pergi ke sawah. Beginilah kondisi di SDN Mantar, Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Anak seusia mereka harus bekerja keras, ikut membantu orangtua menggarap ladang jagung di kebun. Tidak jarang aku hanya menjumpai kelas berisi 50% dari total siswa, atau bahkan kurang. Yang lainnya pergi ke kebun tanpa sepucuk surat pun yang datang menghampiri meja guru mereka. Menurut kepala sekolah, ini sudah menjadi seperti adat. Pada hari berikutnya, aku terkejut. Semua anak hadir! Ini suatu prestasi tersendiri. Di tengah-tengah musim panen, mereka mau hadir mengikuti pembelajaran. Terdapat 22 siswa di kelas 4, dengan kemajemukan tersendiri. Beberapa kali aku mengamati siswa tercinta. Ternyata hanya beberapa anak yang bisa berkonsentrasi saat belajar. Dalam pembelajaran matematika kali ini, aku memilih lima siswa inti yang akan difokuskan untuk belajar matematika. Mereka adalah siswa yang paling fokus saat belajar jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Alasan kenapa aku hanya berfoKreasi Penerang Guru Seberang


281 kus pada lima siswa, ini merupakan salah satu strategi pembelajaran matematika kali ini. Terlebih di antara teman-temannya yang lain, biasanya merekalah yang paling aktif saat belajar. Aku berpikir bahwa sudah saatnya mengangkat guru muda dari kelas 4 untuk membantuku menerangkan materi yang sulit dipahami oleh siswa lainnya. Mereka memiliki bahasa sendiri yang mudah dipahami jika sesama temannya yang menyampaikan. Materi pelajaran yang kusampaikan adalah operasi perkalian. Seperti biasa, ketika menuliskan materi pelajaran di depan, semua siswa serentak bertanya, “Pak, tulis, Pak?” “Sekarang tidak perlu ditulis ya, anak-anak. Kalian cukup perhatikan Bapak saat menjelaskan. Nanti Bapak beri waktu kalian untuk menulis, oke?” jawabku. “Au, Pak,” timpal mereka. Selesai menuliskan beberapa contoh soal operasi perkalian dengan cara susun pendek, tibalah saatnya aku menjelaskan. Lima siswa yang sudah digadang-gadangkan menjadi guru muda di kelas itu rupanya sangat antusias mendengarkan penjelasanku. Memang inilah yang aku harapkan. Kata kunci pertama adalah antusias; pelajaran sesulit apa pun, jika siswa sudah antusias untuk mempelajarinya, insya Allah mereka akan dengan mudah untuk menyerap materi pelajaran tersebut. Aku jelaskan angka demi angka yang sudah ditulis di papan tulis. 21 4 × 84 “Empat kali satu, berapa anak?” “Empat, Pak.” “Empat kali dua, berapa anak?”

Menggenggam Angka


282 “Delapan, Pak.” “Ya, kalian memang pintar. Ayo tepuk keren semuanya,” pintaku. Semua mengangkat tangan, lalu menunjukkan jempol kanan dan kirinya sambil melagukan lirik lagu tepuk keren. Tepukan yang sudah mendarah daging untuk siswaku di kelas 4. Sekarang saatnya mengerjakan soal. Aku memberikan lima soal untuk dikerjakan, dengan menggunakan operasi perkalian susun pendek. Setelah berkeliling melihat satu per satu buku siswa, ternyata belum satu pun yang selesai mengerjakan soal. Strategi awal diluncurkan. Aku mendekati satu per satu calon guru muda di kelas 4. Pertama, aku mendatangi Kinanjar, anak lakilaki yang biasa dapat ranking di kelas. Aku menjelaskan satu soal dengan pendekatan people to people sampai Kinanjar paham. “Bagaimana, Kinanjar, mengerti ?” tanyaku selepas memberikan penjelasan. “Oh, ya, mengerti, Pak,” Kinanjar menjawab, sambil tersenyum dan matanya menghilang tertelan kelopak mata. Selanjutnya ada empat kawannya, yaitu Sahari, Toni, Dewi, dan Susanti, yang mendapatkan penjelasan secara pribadi dariku. Kelima calon guru muda dari kelas 4 ini memiliki tugas tambahan dariku. Selain mengerjakan empat soal berikutnya, mereka juga memiliki tugas mengajari teman-temannya yang lain. “Kamu ajari caranya pada teman-teman yang lain ya,” begitu pintaku pada kelimanya. Mereka pun semangat mengiyakan. Didatangilah satu per satu teman-temannya yang belum mengerti cara penyelesaian soal. Namun, tetap saja ada anak yang tidak mau diajari oleh temannya. Bagian yang ini aku penuntasnya. Biasanya hanya sebagian kecil anak hiperaktif yang tidak mau diajari.

Kreasi Penerang Guru Seberang


283 Melihat aktivitas kelima guru muda saat menjelaskan cara mengerjakan soal, aku merasa bahwa pembelajaran dengan mengangkat guru muda dari kelas sendiri ternyata cukup efektif untuk pengajaran matematika. Raju, salah satu siswa yang paling sulit diatur, dapat ditaklukkan oleh teman sekelasnya. Aku mendekati dia yang sedang ditemani Kinanjar dalam mengerjakan soal. “Gimana, Raju, kamu sudah bisa?” tanyaku. Jika biasanya dia menjawab dengan kata “sakit” alias sulit, sekarang tidak lagi. Pengajaran dari Kinanjar dapat dia pahami. Hasilnya, 90 siswa yang awalnya kesulitan dalam mengerjakan soal perkalian susun pendek, kini dapat dengan mudah menyelesaikannya. Di akhir pertemuan, kami merayakan keberhasilan pembelajaran dengan tepuk keren. “Tepuk keren!” “Dua jempol, hadap kita, keren, keren, keren….” Sambil semua anak mengacungkan jempolnya sesekali di hadapan diri masingmasing, dan sesekali jempol-jempol mungil itu teracung ke depan— tepat menunjukku. Semuanya tersenyum dan senang karena pelajaran hari itu sukses dilahap bersama. []

Menggenggam Angka


284 284

Ular Tangga Perkalian Nurhasanah

U

dara kampung yang sejuk membuatku merasa tak ingin beranjak dari pulau kapuk. Tapi hari itu aku ingat, aku akan ke sekolah. Rasa rinduku pada semua siswa spesial tak terbensekolah terben dung lagi di hati walau sehari sajatak bertemu. Hampir i sebelas b l purnama b berlalu l l di penempatanku k di S SDN Sindangresmi 2, yang terletak di Kampung Lebak Gedong, Desa Sindangresmi, Kecamatan Sindangresmi, Kabupaten Pandeglang, Banten. Tapi, sepertinya aku merasa baru saja bertemu mereka kali pertama. Sebenarnya hati ini sudah terpaut dengan anak-anak, tak ingin berpisah dengan mereka. Namun, apalah daya, penempatan akan berakhir sebentar lagi. Aku harus bisa memaksimalkan waktu yang tinggal menghitung hari. Kreasi Penerang Guru Seberang


285 Semua siswaku sudah mengikuti Ujian Akhir Sekolah, yang dimulai sejak 30 November hingga 3 Desember 2015. Tetapi, mereka masih setia untuk datang ke sekolah dengan berbagai alasan. Ada yang ingin bermain bersama temannya, ada yang bosan di rumah bahkan ada yang ke sekolah hanya ingin bertemu denganku. Tepat saat Senin lalu, aku mulai mempersiapkan senjata untuk dimainkan di “medan tempur”. Mulai dari kertas, alat tulis, bahkan karton yang sudah disulap menjadi permainan yang sedang populer di kampung ini, yaitu ular tangga. Namun ular tangga yang satu ini berbeda, aku menamainya dengan “Ular Tangga Perkalian”. Alat peraga ini terbuat dari karton yang dimodifikasi atau diberikan garis vertikal dan horizontal yang kemudian membentuk seperti kotak-kotak. Ada seratus kotak dengan beberapa di antaranya dituliskan soal perkalian. Lalu digambarlah pada sebuah kotak, ular yang memanjang dan tangga. Ular tersebut memanjangkan dirinya hingga ke kotak lainnya. Ular tersebut berfungsi untuk menurunkan pemain yang mendapatkan ekornya. Adapun tangga, apabila ada pemain mendapatkannya, maka dia berhak naik ke kotak lainnya sehingga akan lebih cepat mendekati kotak terakhir. Aku berjalan penuh semangat ke kelas 4. Kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum,” aku mengucapkan salam. “Wa’alaikumsalam,” jawab siswaku. Berikutnya kubuka pembelajaran dengan doa, dilanjutkan ice breaking. “Siapa yang mau bermain Ular Tangga Perkalian?” tanyaku. “Saya, Bu…!” teriak semua siswa kelas 4. “Tapi, sebelumnya kalian harus menjawab soal yang Ibu berikan. Siapa yang bisa menjawab berarti dia akan bermain ular tangga. Karena hanya ada empat pion. Jadi, hanya akan ada empat pemain,” ujarku.

Menggenggam Angka


286 Semua siswa kelas 4 tampak terlihat begitu antusias untuk menjawab soal yang aku berikan sebelum bermain ular tangga. “Baiklah, Ibu akan bacakan soal yang pertama. Yang bisa menjawab silakan mengacungkan tangannya.” “Soal nomor satu, 4 x 6 = ....” “Saya, Bu, 24!” jawab Irpan. “Oke, Irpan, jawabannya benar. Dan Irpan akan menjadi salah satu pemain ular tangga ini,” ujarku. “Soal nomor dua, 7 x 5 =....” “35, Bu!” jawab Eti. Eti mengacungkan tangan setelah itu dia menjawab pertanyaanku dengan benar. “Jawaban Eti benar, dan berhak menjadi pemain ular tangga,” tukasku. “Soal nomor tiga, 8 x 8 =....” “Saya, Bu, 64!” Mupid dengan sigap menjawab pertanyaanku. “Oke, Mupid benar. Selanjutnya, soal yang terakhir, 4 x 9 =….” “Bu, 36 ya,” jawab Terawati. “Tera benar sekali,” jawabku. Aku pun kemudian meminta keempat siswa tadi maju ke depan kelas kemudian memberikan ular tangga kepada mereka. Sebelum memainkannya, mereka melakukan hompimpa terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang berhak melempar dadu pertama. Dalam permainan ular tangga ini diperlukan dadu untuk menentukan berapa langkah para pemain harus menjalankan pionnya. Jika pemain sudah sampai pada kotak terakhir yang diberi nomor 100, maka mereka berhak mendapatkan reward berupa Hello Kitty atau Doraemon yang sudah kusediakan. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


287 “Kanggo naon eta, Pak Sapto,” Ulip datang menghampiriku. “Kunaon, Ulip?” “Bapak lagi ngapain?” “Oh, ini Pak Sapto mau buat permainan matematika yang Bapak sebut sebagai ‘Monopoli Matematika’. Nanti bisa dipakai untuk belajar juga,” terangku kepada Ulip. Siswa kelas 6 ini sering bertanya berbagai hal, dan tipikal anak yang penasaran. Begitulah ketika aku membuat sesuatu yang baru, bagi siswa di tempat penempatanku ini merupakan hal istimewa. Tak sedikit yang bertanya apa yang kulakukan, seperti Ulip tadi.

Monopoli Matematika Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo

Menggenggam M Meng Me enggge eng ngggaam am Angka Angk An gkaa gk


288 Sekolah penempatanku di SDN Kutakarang 1. Letaknya di Kampung Sodong Gantung, Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten. Jika ingin menuju ke pusat kecamatan, butuh waktu hingga satu setengah jam dengan menggunakan kendaraan roda dua, dan bisa lebih lama lagi jika hujan mengguyur karena tekstur tanahnya yang lengket dan licin. Dengan letak yang jauh dari pusat keramaian, warga kampung praktis mendapatkan informasi hanya dari sekolah dan televisi. Inspirasi Monopoli Matematika kudapat dari permainan yang ada di ponselku. Permainan ini juga dulu aku akrabi saat kecil. Sekarang aku memodifikasinya menjadi alat peraga dalam proses pembelajaran di kelas. Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan Monopoli Matematika terbilang sangat sederhana. Cara pembuatannya tidak begitu sulit. Pada monopoli sebenarnya ada beberapa kotak yang bertindak sebagai negara di sebuah kompleks. Untuk Monopoli Matematika ini, aku mendesain kotak-kotak yang akan menjadi kawasan kompleks dengan gambar-gambar anak kecil yang aku tambahkan perintah atau arahan di dalamnya. Hal ini kulakukan agar pada saat nanti bermain, siswa bisa bergerak atau memainkannya sendiri tanpa bantuan guru. Arahan yang kucantumkan pada kotak kawasan tersebut adalah arahan yang mengarah untuk mengerjakan soal latihan. Sebab, tujuan awal dari Monopoli Matematika ini adalah penggunaan alat peraga agar siswa termotivasi dalam proses pembelajaran, dan tidak bosan dalam belajar matematika yang kadung dianggap menakutkan. Contoh sederhana dari arahan-arahan tersebut adalah ‘Hanya Lewat’, Mundur 3 Langkah’, ‘Maju 5 Langkah’, ‘Area Aman’, ‘Membantu Teman’, ‘Materi yang Belum Dikuasai’, ‘Area Soal’ dan ‘Materi yang Dikuasai’. Arahan-arahan tersebut aku desain terlebih dahulu, dengan ukuran 10 x 10 sentimeter. Setelah itu, di-print dan ditempelkan pada kertas karton. Ketika arahan ini telah dicetak, aku pun me-

Kreasi Penerang Guru Seberang


289 nyiapkan alat dan bahan yang akan dipergunakan, seperti gunting, lem, kertas, dan karton hitam. Dalam pembuatannya, aku melibatkan siswa kelas 5. Setelah semua siap, aku mulai menempelkan di atas karton hitam, dibentuk dengan metode mengelilingi kertas karton layaknya permainan monopoli sesungguhnya. Ketika semua beres, setelah jam istirahat, aku akan bermain bersama siswa kelas 5, berhubung ada jadwal matematika. Setelah bel tanda masuk kelas berbunyi, aku pun segera masuk ke dalam kelas dengan membawa Monopoli Matematika dan perangkatnya yang lain, yaitu sepasang dadu yang telah kubuat sebelumnya. “Assalamu’alaikum, anak-anak….” “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Pak Sapto,” jawab mereka serempak. “Oke, hari ini kita akan menggunakan alat peraga ini, yang Pak Sapto sebut sebagai Monopoli Matematika. Mau memainkannya dengan Pak Sapto?” tanyaku dengan semangat pada mereka. “Mau, Paaakkk…!” dengan semangat yang membara mereka menjawab. “Oke, tapi sebelum kita main ini, silakan Selma disiapkan dahulu,” kataku pada sang ketua kelas. “Teman-teman sebelum kita belajar, marilah kita berdoa dengan tepuk jari. Tepuk jari mulai,” arahan Selma kepada temanteman di kelasnya. “Nah, hari ini kita lanjutkan materi yang kemarin ya,” kataku setelah berdoa. “Tapi, Pak Sapto mau nanya dulu, siapa yang masih ingat pelajaran kemarin?” “Saya, Pak, tentang bangun datar, persegi panjang,” jawab Agis. “Iya, benar sekali, beri tepuk jempol yuk buat Agis. Tepuk jempol!” Menggenggam Angka


290 “Prookkk prookkk prookkk jempol, prookkk prookkk prookkk jempol, Baguuss….” “Hari ini kita akan melanjutkan materinya mengenai bangun datar segitiga. Kita akan memahami sifat-sifat segitiga dan gambarnya, serta kita akan bermain menggunakan Monopoli Matematika tentang materi hari ini dan materi sebelumnya. Sudah siap belum?” terangku. “Siaaap… Pak!” jawab mereka bersemangat. “Untuk memainkan Monopoli Matematika ini, Pak Guru mau kalian duduk berkelompok seperti kelompok yang sebelumnya. Nanti siapa yang memiliki poin menjawab paling banyak akan mendapatkan bintang prestasi,” jelasku. Siswaku segera berkumpul duduk dengan kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk saat pertemuan sebelumnya. Setelah itu, aku pun menjelaskan materi yang akan mereka pelajari. Aku pun menjelaskan cara memakai permainan Monopoli Matematika. “Sekarang perwakilan di masing-masing kelompok akan secara bergiliran maju ke depan untuk membuang dadu dan menjalankan bidak kelompoknya ya. Dimulai dari kelompok 1.” Begitulah permainan ini dimulai, dan aku telah membuatkan soal latihan untuk diberikan kepada mereka ketika bidak mereka tepat berdiri di kawasan ‘Area Soal’. Mereka, mau tidak mau, suka tidak suka, mesti menjawab soalnya. “Dua dan enam, delapan, Pak,” kata Iroh perwakilan kelompok 1. “Silakan Iroh jalankan bidaknya menuju delapan kotak di depan.” “Satu, dua, tiga... delapan,” dia mulai menjalankan bidaknya hingga di kotak terakhir kotak delapan, sesuai yang ditunjukkan oleh dadu yang telah ia lemparkan. Bidak kelompok 1 berdiri dengan kokohnya di kotak Area Soal.

Kreasi Penerang Guru Seberang


291 “Yahh….” Tampak di wajah mereka kekhawatiran tak mampu menjawab soal yang kuberikan. “Tenang, soalnya tak susah kok, silakan tulis di bukunya, tapi ingat jangan lihat buku,” kataku kepada kelompok 1. “Oke, Pak, siap,” jawab Iroh dan teman-teman kelompoknya. Aku pun membacakan soal kepada kelompok 1 tentang sifat bangun datar. Permainan dilanjutkan pada kelompok 2 sembari menunggu kelompok 1 menyelesaikan soal pertama. Banyak kejadian yang terjadi saat bermain Monopoli Matematika ini. Mulai dari siswa yang menghindari ‘Materi yang Dikuasai’, yang bagi mereka mesti dihindari. Ya, kotak kawasan ini menakutkan bagi mereka karena guru memiliki hak prerogatif bertanya kepada siswa sesuai dengan apa yang mereka kuasai. Jika mereka salah dalam menjawab soal, maka poin kelompok akan dikurangi. Inilah alasan mereka ingin menghindari kotak tersebut. Sebaliknya, mereka paling senang jika mendapatkan kotak kawasan ‘Area Aman’ atau kotak ‘Membantu Teman’ karena kotak ini akan membantu mereka untuk mendapatkan poin tambahan dari membantu teman kelompok lain yang sedang mengerjakan soal. Siswaku kelihatan girang dan senang dengan alat peraga ini. Dengan permainan ini, mereka tanpa sadar kuajarkan untuk tetap percaya diri dengan apa yang dilakukan. Demikian juga, siswaku dilatih untuk berusaha dan terus mencoba. Di akhir permainan, kelompok Iroh tampil sebagai pemenang sehingga mendapatkan bintang prestasi. Selesai bermain bersama siswa kelas 5, beberapa siswa kelas 6 yang sedari tadi memerhatikan, memintaku untuk memainkannya di kelas mereka. Guru-guru—termasuk kepala sekolah—pun sama, memintaku menjelaskan cara permainan tersebut. Kujelaskan kepada mereka hakikat dari permainan ini. Termasuk pengembangan permainan ini untuk mata pelajaran selain matematika. Ting-

Menggenggam Angka


292 gal kreativitas guru mengganti nama alat peraga, dan tentunya menyiapkan soal yang relevan dengan materi yang tengah diajarkan di kelas. []

Kreasi Penerang Guru Seberang


293

Profil SGI & Penulis

Profil SGI & Penulis


294

Sekolah Guru Indonesia

S

ekolah Guru Indonesia adalah kampus kepemimpinan guru di bawah naungan Dompet Dhuafa University yang berkontribusi dalam perbaikan pendidikan di Indonesia dengan cara-cara donesia-an. SGI pada awalnya bernama Sekolah Guru Ekseke-Indonesia-an. a Indonesia (SGEI) yang diresmikan pada tanggal 24 Oktober lensia 2009 oleh Bupati Bogor, dan pada tahun 2012 berubah nama menjadi Sekolah Guru Indonesia (SGI). SGI berkomitmen melahirkan guru pemimpin yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik, dan berjiwa kepemimpinan sosial. Sekolah Guru Indonesia didedikasikan bagi para pendidik di Indonesia yang siap melakukan perubahan diri serta siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru Nusantara. Sehingga kemudian SGI dikenal juga sebagai Kampus Guru Pemimpin.

Kreasi Penerang Guru Seberang


295 Hingga tahun 2016 ini, SGI telah memberi kebermanfaatan program di 30 provinsi, dengan jumlah alumnus lebih dari 600 guru yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Selain memiliki kampus pusat yang berada di Kabupaten Bogor Jawa Barat, saat ini SGI juga telah memiliki cabang program di 6 provinsi, yakni: Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Banten. Berdasarkan pengalaman membina banyak guru di berbagai penjuru Nusantara, SGI terus berupaya menghadirkan program-program pengembangan bidang kompetensi dan kapasitas keguruan.

Informasi lebih lengkap dapat menghubungi: Cicih Kurniasih

Head of Teachers Leadership Development Program Sekolah Guru Indonesia JL. Raya Parung – Bogor KM 42 Jampang, Kemang - Bogor. 16310 Telp. +62251 8610817 Fax. +62251 8615016 Mobile

: +62857 819 42038

Email

: cicikurnia18@gmail.com

Profil SGI & Penulis


296 296

Profil Penulis •

ABDİ HUSNİ DERMAWAN. Alumnus Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Medan. Lokasi penempatan di SDN 003 Sebatik Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara.

AHMAD RİZAL KHADAPİ. Alumnus Ilmu Hukum, Universitas Mataram. Lokasi penempatan di SDN 12 Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

ANDİ PAHMAN HARAHAP. Alumnus Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara. Lokasi penempatan di SDN Rarak Ronges, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

ASYANTİ NURMUAWWANAH. Alumnus Pendidikan Fisika, Universitas Muhammadiyah Makassar. Lokasi penempatan di SDN 06 Batu Ampar, Kuburaya, Kalimantan Barat.

Kreasi Penerang Guru Seberang


297 •

BUDİ ISKANDAR. Kimia, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Lokasi penempatan di SDN Mantar, Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

DEDİ HADİARTO. Alumnus Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Halu Oleo. Lokasi penempatan di SDN 003 Sei Menggaris, Nunukan, Kalimantan Utara.

DENA FADİLLAH. Alumnus Pendidikan Matematika, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Lokasi penempatan di SDN 001 Sei Menggaris, Nunukan, Kalimantan Utara.

ELİS YULİANİ. Alumnus Pendidikan Matematika, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Lokasi penempatan di MI Al Furqon Tongo, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

FİTRİ SETYO NİNGRUM. Alumnus Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Semarang. Lokasi penempatan di MI NW Temempang, Taliwang, Sumbawa Barat.

FİTRİANİ WAHYU SETYANİNGRUM. Alumnus Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Jakarta. Lokasi penempatan di SDN Kelanir, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

FİTRİANTİ. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Parepare. Lokasi penempatan di MI Muhammadiyah Bojongmanik, Pandeglang, Banten.

FRİMA RAHMULİA. Alumnus Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Indonesia. Lokasi penempatan di SDN 002 Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara.

HARİNİ. Alumnus Pendidikan Bahasa Daerah, Universitas Negeri Yogyakarta. Lokasi penempatan di SDN 004 Sebatik Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara.

HERİYANTO. Alumnus Teknik Informatika, STMIK Syaikh Zainuddin NW Anjani. Lokasi penempatan di MI Ciherang, Desa Sorongan, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten

Profil SGI & Penulis


298

ILFA YUNİ ARTA. Alumnus Fisika, Universitas Lampung. Lokasi penempatan di MI Al-Manar Seloto, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

JANUARİTA SASNİ. Alumnus Kimia, Universitas Negeri Padang. Lokasi penempatan di MI Nurul Hikmah Cibaliung, Pandeglang, Banten.

MARİA ULFAH. Alumnus Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lokasi penempatan di MIS Nurul Falah Waetuno, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

NOVİ AULİA HİKMAWATİ. Alumnus Ilmu Pangan, Universitas Andalas. Lokasi penempatan di SDN 01 Bante, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

NURHASANAH. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, UMN Al Washliyah Medan. Lokasi penempatan di SDN Sindangresmi 2, Pandeglang, Banten.

PENİ YANDA. Alumnus Pendidikan Fisika, Universitas Riau. Lokasi penempatan di SDN 001 Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara. Kreasi Penerang Guru Seberang


299 •

RESTGHA NORİEGA. Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Lokasi penempatan di SDN 12 Kuala Mandor, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

RİCKY IRWANDİ. Alumnus Tadris Fisika, Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Lokasi penempatan di MIS Hubbul Wathan Sama Bahari, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

RİSTY ANİ. Alumnus Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lokasi penempatan di SDN 30 Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

RİYANTİ. Alumnus Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia. Lokasi penempatan di SDN 06 Rasau Jaya, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

SAPTO PRİO Wawan Hadi Wibowo. Alumnus Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Halu Oleo. Lokasi penempatan di SDN Kutakarang 1, Pandeglang, Banten.

SEPTİYANİ AZİZ. Alumnus Pendidikan IPS, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Lokasi penempatan di SDN Wakarumende, Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

SİTİ FATONAH. Alumnus Sistem Informasi, STMIK Duta Bangsa Surakarta. Lokasi penempatan SDN One Melangka, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

SUDENDİ RETNO EFENDİ. Alumnus Pendidikan Guru Sekolah Dasar, STKIP Islam Bumiayu. Lokasi penempatan di SDN Waitii Barat, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

SUKO SRİ ANGGONO. Alumnus Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Lokasi penempatan di SDN 18 Batu Ampar, Kubu Raya, Kalimantan Barat.

ULFA WARDANİ. Alumnus Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Lokasi penempatan di MI Miftahul Huda Tagelan, Pandeglang, Banten.

Profil SGI & Penulis


300

Kreasi Penerang Guru Seberang



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.