![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/8ad9f551150d54a4d1673f90f4f0ecd2.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
4 minute read
Pojok Kontemplasi | Alex Cheung
from ELORA #5 KISAH
by elora.zine
Kisah
S E B A G A I J E J A K H I D U P
Advertisement
Oleh Alex Cheung
Setiap dari kita pasti punya kisah. Ada kisah gembira, sedih, seru, lucu, sedih, haru, sampai kisah unik. Meski tak semuanya berakhir indah, kisah menjadi jejak hidup kita.
Dalam dunia literasi, kisah tak melulu menyangkut manusia. Kisah bisa tentang budaya, tradisi, ruang, bangunan, benda, impian, makanan, sains, sampai hewan peliharaan kesayangan. Mulai dari yang serius, inspiratif, sampai yang receh menghibur belaka.
Jika demikian, lalu apa tujuan kita menulis kisah?
Kisah adalah narasi yang relatif sederhana, baik fiktif atau fakta, yang ditulis atau diceritakan secara lisan dalam bentuk prosa atau puisi. Sebuah kisah dapat menceritakan ragam peristiwa, mengekspresikan berjuta rasa, atau hanya berfokus pada sesuatu atau seseorang dengan sudut pandang yang diinginkan.
Kisah terutama ditujukan untuk menyampaikan pesan moral dan inspirasi. Ada pula yang dimaksudkan untuk menghibur, meski seringkali terdapat pelajaran hidup yang bisa dipetik darinya.
Mengapa Menulis Kisah?
Kita semua memang punya kisah. Namun, tak semua dari kita ingin menyampaikannya, baik lewat tulisan maupun lisan. Ada juga yang ingin menyampaikan kisahnya tapi tak tahu caranya, atau tak mampu, atau hanya sekadar enggan, malas belaka.
Dalam sebuah esainya yang berjudul "Why I Write", George Orwell menulis bahwa menyampaikan kisah sangat kontekstual dengan kebutuhan kita sebagai manusia untuk terhubung dengan dunia, jika bukan melalui hubungan fisik, maka melalui seni dan proses ekspresi kreatif, literatif.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/10f8e93cb97eed4e6ad087716d92fb6f.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Ketika saya menulis buku kisah dan silsilah keluarga beberapa tahun lalu, orang-orang pernah bertanya, “Untuk apa menulis kisah semacam itu? Siapa yang mau baca? Apa ada gunanya?”
Beberapa lainnya bahkan langsung menghakimi tanpa bertanya, “Nggak ada yang bakalan baca buku kayak gini...! Buat apa cape-cape nulis...!”
Namun, saya memilih tetap menulis.
Pada akhirnya setelah buku itu terbit, siapa sangka kalau buku silsilah keluarga tersebut malah menjadi bahan penelitian beberapa profesor dari Amerika dan kalangan akademis mancanegara. Walaupun sama sekali bukan itu tujuan saya menuliskannya, namun jelas menjadi suatu apresiasi yang membuat saya semakin sadar betapa pentingnya menulis kisah.
Dalam buku otobiografi H. Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), yang berjudul Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa - Sahabat Karib Bung Karno (Gunung Agung, Juni 1982), beliau menuliskan riwayat dan perjuangan hidupnya yang "menantang arus" sebagaimana disaksikan langsung dan dicatat oleh para tokoh besar di zamannya, termasuk kedua proklamator bangsa, Soekarno-Hatta.
Dari rangkaian kisah yang ditulis oleh beliau kita dapat membuktikan dengan jelas bahwa cita-cita dan proses pembauran yang menjadi isu sampai saat ini ternyata bisa terlaksana dan sudah berjalan di Indonesia jauh sebelum NKRI berdiri. Perihal bagaimana generasi penerus menjaga dan melanjutkannya, itu sudah menjadi tanggung jawab kita semua.
Dalam buku tersebut, H. Abdul Karim banyak menuturkan kisah-kisah unik dan mengagumkan. Salah satunya adalah ketika beliau menyatakan bahwa pemerintah dan negara Indonesia masih ada meskipun waktu itu Soekarno-Hatta sudah ditangkap dan dibuang ke Parapat, Sumatera Utara. Pernyataan tersebut membuat H. Abdul Karim harus mendekam di penjara selama 8 bulan sampai menjelang pengakuan kedaulatan RI.
Peran Oey Tjeng Hien dalam “menjodohkan” Bung Karno dengan Fatmawati juga menjadi kisah romansa tersendiri yang mewarnai perjalanan hidup sang Proklamator. Jika waktu itu tidak dituturkan dalam buku, maka bukan mustahil kisah itu akan hilang dalam batas kenangan.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/216dd32cf59bbe8cf1a8b107965e36c3.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Dalam buku otobiografi yang berjudul Memoar Ang Yan Goan - Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia (Terbitan Yayasan Nabil - Hasta Mitra, Mei 2009), Ang Yan Goan menuturkan kisah yang bagi banyak kalangan sejarawan sangat menambah wawasan terkait masa lalu Indonesia, serta membuka mata tentang peran aktif komunitas dan tokoh etnis Tionghoa dalam berintegrasi dan menjadikan Indonesia sebagai tanah tumpah-darahnya.
Beliau tidak menonjolkan kisah dirinya, melainkan justru tentang porsi sumbangsih etnis Tionghoa serta proses suka duka mereka saat berkontribusi dalam pembentukan karakter bangsa.
Uniknya, melalui kisah yang dituturkannya sebagai pimpinan Sin Po (surat kabar yang pertama kali mewartakan lagu "Indonesia Raya"), siapa sangka puluhan tahun kemudian kisah tersebut menjadi catatan sejarah yang luar biasa penting sekaligus menginspirasi!
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/4739281db064d3e8d077b3fa0354f3b3.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
Coba tengok salah satu kutipannya yang berkesan dalam buku ini:
"W.R. Supratman ingin menyebarkan lagunya tersebut, namun tiada seorang pun yang bersedia menerbitkannya.
.... lagu itu akhirnya dimuat di Mingguan Sin Po.
.... Aku selalu ingat waktu Supratman memainkan biola menyanyikan lagu tersebut untuk pertama kali di kantorku…"
Bayangkan jika Ang Yan Goan memilih untuk tidak menuturkan kisah tentang pemuatan lagu W.R. Supratman tersebut dalam memoarnya, mungkin kita semua takkan pernah tahu noktah penting tentang lagu kebangsaan Indonesia ini!
The point is ....
Setiap dari kita pasti memiliki kisah yang berbeda. Unik.
Mungkin kisah tersebut kita anggap sebagai hal yang biasa saja, tak bermakna bagi orang lain selain diri kita sendiri. Namun, di balik kisah yang “biasa” tersebut, bukan berarti kisah kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain.
Intinya adalah...
Kita tak pernah tahu apakah kelak yang kita tulis bisa membawa manfaat atau memberi inspirasi bagi orang lain, yang mungkin saja berada di belahan dunia lainnya, atau di waktu yang tidak sezaman dengan kita, bahkan mungkin jauh setelah kita menutup mata.
Salam Literasi!
In that case, why don ’t we share our stories?
Kawan-kawan coba tengok akun instagram dari Penerbit 78 dan Tiong Gie Publisher, atau kunjungi websitenya di sini dan juga di sini.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/84e25e20ec71a9e3cf239c7c76c15e1d.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/fd52f46071df9403a512cb68f699e2c4.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/95374b918461e0be19112c2e0c434a9e.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
![](https://assets.isu.pub/document-structure/221203084921-e9dc4ca47ddcf5ce5bd0798aa5fb1cea/v1/0c924c03e6929a3c43de222746929c99.jpeg?width=720&quality=85%2C50)