Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya

Page 1

SERI INTERNET & HAM

PROBLEM PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK DI RANAH MAYA

Supriyadi Widodo Eddyono


Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya

Supriyadi Widodo Eddyono

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 2014


Problem Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya

Penulis: Supriyadi Widodo Eddyono

Pertama kali dipublikasikan oleh: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [ELSAM] Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Tel. +62 21 7972662, 79192564, Fax. +62 21 79192519 Surel: office@elsam.or.id laman: www.elsam.or.id twitter: @elsamnews

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia selain sebagai bagian dari upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia Except where otherwise noted, content on this report is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License Some rights reserved


Daftar Isi

A. Pengantar : Tujuan dan Cakupan Penulisan ............................................................................. 1 B. Penyalahgunaan Defamasi dalam Hukum HAM Internasional ................................................ 3 C. Pengaturan Defamasi dalam Hukum Indonesia ............................................................................... 7 D. Perumusan Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam RUU ITE ................... 13 a. Rumusan Pasal 27 ayat (3)............................................................................................................................ 14 1. Unsur setiap orang .................................................................................................................................... 15 2. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak ................................................................................................ 15 3. Unsur mendistribusikan atau mentransmisikan........................................................................... 16 4. Unsur “muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”danhubungannya dengan Pasal 310 dan 311 KUHP.......................................................................................................................... 18 b. Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai Delik Aduan...................................................................................... 22 c. Ketiadaan Penggolongan Jenis Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik................................ 23 d. Ketiadaan Doktrin-Doktrin “Membela Diri dan Alasan Pembenar”............................................. 24 e. Tingginya Ancaman Pidana dan Potensi Memudahkan Penahanan............................................ 25 E. Kasus-kasus Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE................................................................................... 26 F. Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Peradilan................................................................ 28 a. Praktik Pelaporan, Mediasi dan Permintaan Maaf Pasal 27 ayat (3) UU ITE.......................... 29 b. Praktik Penahanan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE....................................................................... 30 c. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ................................................................................................................ 32 d. Praktik Tuntutan JPU........................................................................................................................................ 33 G. Penafsiran Unsur-Unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE..................................................... 34 a. Unsur dengan Sengaja...................................................................................................................................... 34 b. Unsur Tanpa Hak................................................................................................................................................ 36 c. Unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau Membuat Dapat Diak sesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik......................................................... 37 d. Unsur Memiliki Muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik ........................

40

H. Penjatuhan Hukuman Pasal 27 ayat (3) UU ITE....................................................................... 41 I.

Penggunaan KUHP dalam Penghinaan di Ranah Maya.......................................................... 45

J.

Minimnya Pengakuan atas Doktrin “Membela Diri”................................................................ 46

K. Penutup : Dampak Buruk UU ITE Terhadap Berkurangnya Kebebasan Berekspresi.......... 47 Proϐil ELSAM ............................................................................................................................................... 51


Seri Internet dan HAM

A.

Pengantar : Tujuan dan Cakupan Penulisan

Perdebatan mengenai validitas Pasal 27 (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dari awal sudah mengemuka,

terutama berkaitan dengan

munculnya delik–delik yang pada dasarnya sudah diatur di dalam KUHP. Karena alasan prinsip “lex specialis” tindak pidana tersebut kembali diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pemerintah dalam berbagai kesempatan resmi selalu mengemukakan bahwa UU ITE diciptakan untuk melindugi para pengguna teknologi informasi, dan pemerintah selalu berargumen bahwa KUHP sudah tidak lagi mampu untuk menanggulangi kejahatan–kejahatan yang sesungguhnya telah diatur dalam KUHP namun dilakukan dengan menggunakan medium teknologi informasi.1 Alasan pemerintah ini lalu diamini oleh Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa tindak pidana penghinaan yang ada di KUHP tidak dapat menjangkau ranah internet, untuk itu diperlukan pengaturan khusus dalam UU ITE.2 Dasar pemikiran ini tentu masih layak untuk digugat saat ini, begitu juga dengan dasar pemikiran ancaman pidana 6 (enam) tahun penjara tersebut. 3 Namun dalam perkara pidana kasus Prita Mulyasari, seluruh argumen dari pemerintah dan Mahkamah Konstitusi seakan luruh. Bagir Manan mantan ketua Mahkamah Agung sendiri menilai, kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada Prita Mulyasari menunjukkan ketidakadilan hukum. Hak berkomunikasi yang dimiliki Prita berbenturan dengan hak menjaga nama baik RS Omni Internasional. Harusnya hak asasi yang diutamakan karena keluhan pelayanan yang dirasakan Prita Mulyasari saat berobat di RS Omni itu termasuk Hak Asasi Manusia (HAM) yang bersifat dasar. Dengan demikian, UU ITE baik dalam proses pengambilan kebijakan maupun dalam implementasiannya tidak didasarkan pada perkembangan politik kriminal modern. Disamping itu pasal UU ITE masih bertumpu pada sanksi pidana tinggi di mana efektivitas penggunaan hukum pidana dalam politik diragukan oleh para ahli hukum .SetelahPrita, muncul tren baru berupa maraknya penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE oleh aparat penegak hukum. Akibatnya kasus-kasus yang diadukan dan diproses hingga tahap penyidikan meningkat secara drastis. Di lingkungan masyarakat sendiri, media dan saluran elektronik yang digunakan untuk 1

>ŝŚĂƚ ŬĞƚĞƌĂŶŐĂŶ ƉĞŵĞƌŝŶƚĂŚ Ěŝ DĂŚŬĂŵĂŚ <ŽŶƐƚŝƚƵƐŝ ƉĂĚĂ ƉĞƌŬĂƌĂ EŽ͘ ϱϬͬWhhͲs/ͬϮϬϬϴ ĚĂŶ EŽ͘ ϮͬWhhs//ͬ ϮϬϬϵ͘ >ŝŚĂƚ ƉĞƌƚŝŵďĂŶŐĂŶ DĂŚŬĂŵĂŚ <ŽŶƐƚŝƚƵƐŝ ƉĂĚĂ ƉĞƌŬĂƌĂ EŽ͘ ϱϬͬWhhͲs/ͬ2ϬϬϴ ĚĂŶ EŽ͘ 2ͬWhhͲs//ͬ2ϬϬϵ͘ D< ŵĞŶLJĂƚĂŬĂŶ bahwa secara harfiah unsur di muka umum, diketahui umum, atau disiarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya. 3 Satu-satunya alasan menempatkan ancaman 6 tahun penjara adalah supaya dapat ditahan, lihat Rapat Dengar Pendapat Umum antara Kejaksaan Agung RI dengan DPR di http͗//blŽgs.depkŽminfŽ. gŽ.id/artikel/ 2006/11/1ϱ/ resume- rdpupansus-ruu-ite. 2

1


2

Seri Internet dan HAM

mengekspresikan diri berkembang pesat. Para pengguna internet mulai merambah email, Facebook, Twiter dan Blackberry Messenger di samping penggunaan media SMS yang masih terhitung tinggi. Melihat perkembangan yang demikian,Pemerintah akhirnya berencana meninjau sebagian rumusan Pasal 27 ayat (3) ITE. Dengan merevisi ancaman pidana UU ITE dari ancaman 6 (enam) tahun penjara jadi 3 (tiga) tahun sehingga tidak ada orang yanglangsung ditahan saat disangka melakukan pencemaran nama baik.4 Revisi ini dilakukan sebagai respon pemerintah atas gaduhnya penerapan ketentuan pemidanaan tersebut di lapangan. Namun revisi yang sudah dilakukan sejak tahun 2011 ini baru sampai di Kemenkumhamdan belum menunjukkan tanda-tanda akan dibahas di DPR. Hal ini disebabkan karena DPR belum menjadikannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga revisi ini belum dianggap sebagai prioritas pembahasan. Apa yang direncanakan oleh Pemerintah yang hanya melakukan revisi pada UU ITE khususnya hanya Pasal 45 tentang ancaman sanksi, sementara aturan normatif tentang perbuatan materialnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 27 ayat (3)dibiarkan saja, menunjukkan tidak adanya niat untuk mengubah paradigma terkait kriminalisasi atas tindakan pencemaran nama baik.Pemerintah berpendapat bahwa mengubahpasal pencemaran nama baik sama dengan memperbolehkan orang untuk memalsukan fakta.Apalagi, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE merujuk pada KUHP, sehingga tidak mungkin dihilangkan. Koheren dengan hal tersebut, Pemerintah beranggapan bahwa Pasal 27 ayat (3) itu tidak membuat definisi baru. Jadi menghilangkan Pasal 27 ayat (3) sama artinya dengan menghilangkan pasal di KUHP.5 Dasar pemikirian pemerintah tersebut tidak tepat dan harus ditolak, justru ketentuan Pasal 27 ayat (3) harus segera dihilangkan karena rumusannya yang karet dan berpotensi melawan kebebasan berekpresi di dunia maya, di samping keberadaan KUHP yang masih layak untuk digunakan. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan menguraikan kemudaratan dari penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dengan tujuan untuk merumuskan justifikasidihilangkannya Pasal 27 ayat (3)ini dari sistem hukum pidana defamasi di Indonesia. Untuk keperluan tersebut maka tulisan ini akan memeriksa satu demi satu putusan pengadilan yang menggunakan perkaranya di dasarkan pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

4 5

Lihat:http://www.tempo.co/read/news/2013/10/23/072524142/Pemerintah-Revisi-Ancaman-Sanksi-UU-ITE. Ibid.


Seri Internet dan HAM

B.

Penyalahgunaan Defamasi dalam Hukum HAM Internasional

Secara internasional, kriminalisasi penghinaan telah menjadi sorotan khusus karena keberadaannya sering dijadikan benteng pertahanan oleh Pemerintah dari kritik dan protes warga negaranya, sekaligus sebagai senjata yang efektif untuk membungkam pendapatpendapat tajam terhadap para penguasa. UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression telah secara tegas menegaskan bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah hukuman yang sah untuk penghinaan. Dalam laporannya, UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression telah berulang kali mendesak negara-negara yang masih menjadikan penghinaan sebagai delik kejahatan dalam hukum pidananya untuk meniadakanpengaturan tersebut Jaminan kebebasan berekspresi diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol), serta kemudian dibatasi oleh ketentuan Pasal 19 ayat (3) yang memperbolehkan pembatasan dalam hal-hal tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan ini pembatasan yang diperkenankan dalam hukum Internasional harus diuji dalam metode yang disebut uji tiga rangkai yaitu:6 1.

Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang;

2.

Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol;

3.

Pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut.

Pembahasan lebih detail mengenai pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dapat dijumpai dalam Komentar Umum No.34 tentang kebebasan berekspresi. Secara umum disampaikan bahwa pembatasan tersebut harus dilakukan berdasarkan undang-undang, berdasarkan kebutuhan yang telah dibatasai yaitu untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak pribadi dan hak atas reputasi orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Komentar Umum No. 34 juga menyebutkan bahwa pembatasan tidak hanya harus sesuai dengan ketentuan ketat berdasarkan pasal 19 Ayat (3) namun juga harus sesuai dengan 6

Uji Tiga Rangkai ini telah diakui oleh UN Human Rights Committee dalam Mukong vs Cameroon, yang diadopsi pada 21 Juli 1994.

3


4

Seri Internet dan HAM

ketentuan dan tujuan Kovenan Hak Sipol itu sendiri. Undang-undang tersebut tidak boleh melanggar ketentuan non-diskriminatif dari kovenan, dan salah satu yang paling penting adalah jangan sampai undang-undang tersebut memberikan hukuman-hukuman yang tidak sesuai dengan Kovenan sepertihukuman fisik; “Laws must not violate the non-discrimination provisions of the Covenant. Laws must not provide for penalties that are incompatible with the Covenant, such as corporal punishment�. Masuk pada syarat yang diamanatkan dalam Pasal 19 ayat (3) KovenanSipol, bahwa salah satu alasan untuk dapat dilakukannya pembatasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan hak atas reputasi orang lain, berdasarkan Komentar Umum No. 34, pada paragraf 28 terjadi penekanan yang menjelaskan posisi “rights (hak-hak)� dalam pembatasan tersebut. Istilah hak-hak tersebut tentu saja harus merujuk pada HAM sebagaimana diakui dalam Kovenan dan lebih umum dalam hukum HAMInternasional. Komentar Umum No. 34 memberikan contoh pembatasan yang tepat dalam kategori ini, yaitu pembatasan pada kebebasan berekspresi dalam rangka untuk menjamin hak untuk memilih dalam politik misalnya, dimana diperbolehkan melakukan pembatasan bagi bentuk ekspresi yang melakukan intimidasi atau paksaan namun pembatasan tersebut tidak dapat dilakukan dalam menghambat kebebasan berekspresi pada contoh-contoh seperti debat politik, atau misalnya ajakan untuk tidak memilih dalam pemilihan suara yang tidak wajib. Pada dasarnya pembatasan ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan kembali merujuk pada aturan awal pengaturan hukumnya. Pembatasan kedua berhubungan dengan perlindungan terkait keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum. Sangat menarik ketika Komentar Umum No. 34 juga memberikan penekanan khusus bahwa undang-undang harus sangat hati-hati untuk memastikan bahwa aturan terkait keamanan nasional dibuat dan ditetapkan dengan cara-cara yang sesuai dengan persyaratan yang ketat dari ayat (3). Komentar Umum No. 34 memberikan contoh penerapan hukum yang tidak sesuai terkait keamanan nasional, misalnya menahan atau membatasi informasi publik atau suatu informasi yang menjadi perhatian publik yang tidak membahayakan keamanan nasional atau dengan menuntut dan/atau menindak jurnalis, peneliti, aktivis, pembela HAM atau orang lain karena telah menyebarkan informasi tersebut. Pembatasan sebagaimana dimaksudkan sebelumnya juga tidak dapat dimasukkan dalam kewenangan hukum untuk pembatasan terhadap informasi yang berkaitan dengan sektor komersial, perbankan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa pengamatan, Komite Hak Asasi Manusia PBB menemukan kasus pembatasan pada penerbitan pernyataan dalam mendukung perselisihan perburuhan, termasuk untuk mengadakan mogok nasional yang mana hal ini bukanlah pembatasan dengan alasan keamanan nasional. 7 7

Lihat Communication No. 518/1992, Sohn v. Republic of Korea, Views adopted on 18 March 1994.


Seri Internet dan HAM

Selanjutnya pembatasan atas dasar ketertiban umum hanya diperbolehkan dalam keadaan tertentu, misalnya mengatur pidato ditempat tertentu. Prosespersidangan terkait bentukbentuk ekspresi dapat diuji terhadap ketertiban umum. Dalam rangka memenuhi ayat (3), proses persidangan dan hukuman yang dijatuhkan harus terbukti dapat dibenarkan dalam pelaksanaan kekuasaan peradilan untuk mempertahankan proses yang teratur,8 proses tersebut tidak dapat digunakan untuk membatasi hak dalam pembelaan. Pembatasan atas dasar pelaksanaan hak yang bertentangan dengan moral juga menjadi sorotan utama dari Komentar Umum No.34.Penjelasan lain dalam Komentar Umum No. 22 disebutkan bahwa konsep moral berasal dari banyak tradisi sosial, filsafat dan agama, akibatnya pembatasan dalam hal ini untuk tujuan melindungi moral harus didasarkan pada prinsipprinsip yang tidak berasal dari pemahaman ekslusif suatu tradisi saja; “the concept of morals derives from many social, philosophical and religious traditions; consequently, limitations... for the purpose of protecting morals must be based on principles No.t deriving exclusively from a single tradition�,pembatasan tersebut harus dipahami dalam bingkai hak asasi manusia secara universal dan prinsip non-diskriminasi. Pada prinsipnya, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi tidak boleh terlalu luas. Merujuk pada Komentar Umum No. 27, tindakan pembatasan harus sesuai dengan prinsip proporsionalitas serta sejalan dengan tujuan dan pencapaian fungsi perlindungan.Prinsip proporsionalitas ini harus dihormati dan diakui juga oleh pejabat yang berwenang dalam penerapan hukumnya. Pembatasan juga harus memperhatikan bentuk ekspresi serta sarana penyebarannya, misalnya dalam situasi debat publik dalam suatu masyarakat demokrasi, khususnya terkait angka dalam domain publik dan politik. Ketika suatu negara yang menundukkan diri pada Kovenan Hak Sipol membuat suatu aturan yang sah mengenai pembatasan kebebasan berekspresi, maka negara tersebut harus menunjukkan secara tepat dan spesifik sifat dari ancaman, kebutuhan dan proporsionalitas dari tindakan yang diambil, disertaipenyeimbangan ekspresi atau pendapat dengan ancaman yang timbul.9 Hukum internasional dan pada umumnya konstitusi negara-negara modern hanya memperbolehkan pembatasan terhadap kemerdekaan berekspresi melalui undang-undang. Implikasi dari ketentuan ini adalah pembatasan kemerdekaan berekspresi tidak hanya sekedar diatur begitu saja oleh undang-undang yang mengatur tentang pembatasan tersebut melainkan harus mempunyai standar tinggi, kejelasan, aksesibilitas dan menghindari ketidakjelasan rumusan.10

8

Lihat Communication No. 1373/2005, Dissanayake v. Sri Lanka. Lihat Communication No. 926/2000, Shin v. Republic of Korea. 10 Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, Amicus Curiae: Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia, (Jakarta: ELSAM, 2010), hal. 16. 9

5


6

Seri Internet dan HAM

Siracusa Principles menjelaskan bahwa pembatasan harus dirumuskan secara ketat untuk kepentingan hak yang dilindungi tersebut11 dan konsisten dengan tujuan ketentuan Kovenan Hak Sipol,12 sehingga pembatasan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang dan tanpa alasan yang sah.13 Pembatasan tersebut harus dirumuskan dengan jelas dan dapat diakses oleh setiap orang14 dan menyediakan pengaman serta ganti rugi terhadap dampak dan penerapan dari pembatasan yang ilegal dan cenderung disalahgunakan. 15 Terhadap permasalahan inilah maka hampir setiap tahun Komisi HAM PBB dalam resolusinya tentang

kemerdekaan

berekspresi,

selalu

menyerukan

keprihatinannya

terhadap

berlangsungnya “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel�. Di samping itu,UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media, dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression, pada Desember 2002, telah pula diterbitkan pernyataan penting bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.�16 Pertanyaan yang timbul adalah apakah kemudian dengan tidak melindungi hak atas kehormatan dan reputasi dengan memanfaatkan instrumen pidana dapat mengakibatkan ketidak teraturan dan ketidak tertiban di masyarakat? Berdasarkan data Article 19,17diketahui bahwa beberapa negara seperti Timor Leste (2000), Ghana (2001), Ukraine (2001) and Sri Lanka (2002), telah menghapus delik reputasi (tindak pidana penghinaan dan sejenisnya) dalam WvS-nya masing-masing. Semenjak mereka menghapus delik reputasi dalam Hukum Pidananya, pernyataan yang bersifat menyerang kehormatan justru tidak mengalami kenaikan yang signifikan, baik secara kuantitaf maupun kualitatif.18 Harus dicatat bahwa dengan semua kritik yang ditujukan terhadap pidana penjara dan potensinya dalam memberangus kebebasan berekspresi, pidana penjara telah menimbulkan ketakutan yang mendalam pada masyarakat terutama untuk mendapatkan hak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan haknya sebagaimana dilindungi oleh Konstitusi negara Indonesia. Meningkatnya semua ancaman pidana bagi delik-delik penghinaan dalam Rancangan KUHP tanpa dasar filosofis dan empiris yang relevan telah berkontribusi pada maraknyaphobia kebebasan berekspresi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena delik pencemaran nama baik tersebut menetapkan bahwa tersangka kejahatan dapat ditahan untuk 11

UN Doc E/CN.4/1984/4 para 3. UN Doc E/CN.4/1984/4 para 15. 13 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 16. 14 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 17. 15 UN Doc E/CN.4/1984/4 para 18. 16 Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae, Op. Cit. hal. 46 17 Lihathttp://www.article19.org/. 18 Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae... Op. Cit. 12


Seri Internet dan HAM

keperluan pemeriksaan. Situasi ini dapat menimbulkan dehumanisasi, berisiko terjadi prisonisasi, dan menimbulkan stigma yang buruk di masyarakat.19 Dalam Prinsip Camden20 terutama dalam Prinsip 11 tentang Pembatasan, dinyatakan secara tegas bahwa negara sebaiknya tidak memberlakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi yang tidak sejalan dengan standar yang tercantum dalam Prinsip 3.2. 21 Di samping itu, pembatasan yang berlaku sebaiknya diatur dalam undang-undang, dengan tujuan untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, kesehatan dan/atau moral masyarakat, dan dibutuhkan oleh masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Hal ini berarti pembatasan-pembatasan tersebut antara lain haruslah:(1) Didefinisikan secara jelas dan sempit serta merespon kebutuhan sosial yang mendesak; (2) Merupakan langkah yang paling sedikit menyebabkan gangguan, dalam arti, tidak ada lagi langkah yang lebih efektif daripada pembatasan tersebut, serta tak ada lagi langkah yang memberikan ruang pada kebebasan berekspresi daripada pembatasan tersebut; (3) Tidak bersifat melebar, dalam arti, pembatasan tersebut tidak membatasi ekspresi dengan cara yang luas dan tanpa sasaran yang jelas, atau pembatasan tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya membatasi ekspresi yang merugikan tetapi juga membatasi ekspresi yang sah; (4) Bersifat proporsional, dalam arti, terdapat keuntungan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan akibat kebebasan berekspresi tersebut, termasuk dalam hal sanksi yang terkait. Prinsip ini menekankan bahwa negara sebaiknya mengkaji kerangka kerja hukum yang ada untuk memastikan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi mengikuti hal-hal di atas.22 C.

Pengaturan Defamasi dalam Hukum Indonesia

Pengaturan tentang penghinaan telah dikenal sejak 500 Sebelum Masehi, ditandaidengan adanya rumusan “twelve tables�, di era Romawi Kuno. Ketentuan ini sering kali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukumanyang sangat kejam. Hingga pada era kekaisaran Agustinus (63 SM), peradilan kasuspenghinaan terus meningkat secara signifikan. Kemudian, secara turun temurunpengaturan itu diwariskan kepada beberapa sistem hukum di negara lain.

19

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. 235. Prinsip-prinsip ini disusun oleh Article 19 berdasarkan diskusi dengan sejumlah pejabat tinggi PBB dan organisasi internasional lain, para pakar dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi di bidang hukum hak asasi manusia, yang berlangsung di London, pada 11 Desember 2008 dan 23-24 Februari 2009. Prinsip-prinsip ini merupakan sebuah upaya untuk melakukan interpretasi progresif terhadap hukum dan standar internasional, praktik yang berlaku di berbagai negara (yang muncul, antara lain, dalam hukum-hukum nasional dan keputusan pengadilan nasional), dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh berbagai bangsa. 21 Prinsip 3.2. Legislasi nasional sebaiknya menjamin bahwa: i. Setiap orang memiliki kedudukan yang setara di muka hukum dan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. ii. Setiap orang memiliki hak untuk terbebas dari diskriminasi atas dasar ras, gender, etnis, agama atau keyakinan, kemampuan yang berbeda, usia, orientasi seksual, bahasa, pendapat politik dan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kewarganegaraan, kepemilikan, kelahiran atau status-status lainnya. 22 Lihat The Camden Principles on Freedom of Expressionand Equality (Prinsip-Prinsip Camden tentang Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan, Article 19 dan AJI, 2009. 20

7


8

Seri Internet dan HAM

Penggunaan hukum penghinaan pada awalnya dapat dilacak saat munculnya “10 Perintah Tuhan” yang menyatakan “Janganlah mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”. Dari titik inilah sebenarnya hukum penghinaan dimulai.23 Setelah itu pada masa Imperium Romawi, Tiberius I melahirkan hukum tertulis pertama untuk menghukum pelaku penghinaan. Penguasa Imperium ini mengkriminalkan penghinaan dengan tujuan pertama melindungi pemerintah dan para bangsawan, dia mengancam para pelaku penghinaan terhadap pemerintah dengan ancaman hukuman mati. Kaisar Augustus adalah Kaisar pertama yang menggunakan hukum tersebut dengan mendeportasi Cassius Severus karena menghina bangsawan Roma dalam tulisannya.24 Dalam sejarah hukum penghinaan modern, Inggris adalah negara tempat diperkenalkannya pertama kali hukum penghinaan tersebut. Masa pemerintahan Edward I (1272 – 1307) dikenal sebagai saat hukum penghinaan diberlakukan, meskipun saat itu belum ada pemisahan yang cukup tajam antara penghinaan lisan dan tulisan. Scandalum Magnatum (spreading false report about the magnates of the realm) adalah undang-undang pertama yang dibuat melalui Statute of Westminster 1275 yang menyatakan bahwa penghinaan dapat dihukum. Scandalum Magnatum ini disahkan karena pada saat itu di Inggris terdapat cukup banyak korban dan kegaduhan yang diakibatkan oleh pembalasan akibat saling menghina. “. . . . from henceforth none be so hardy to tell or publish any false news or tales, whereby discord or occasion of discord or slander may grow between the king and his people or the great men of the realm.” Scandalum Magnatum bertujuan menciptakan proses pemulihan nama baik secara damai. Karena terlalu banyak pertarungan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Justru ada anggapan bahwa perasaan dendam akibat penghinaan justru mengambil posisi lebih penting ketimbang perlindungan reputasi semata. Jaman itu informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar atau pedang maupun pistol didepan umum. Kadangkala kegaduhan bahkan sedemikian meluas sampai menyerupai pemberontakan. Menurut Mahkamah Agung Kanada, tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mencegah beredarnya rumor palsu. Dalam masyarakat yang didominasi tuan-tuan tanah yang kekuasaannya begitu besar, amarah dari pembesar lokal bahkan bisa mengancam keamanan negara.25 23

Lihat http://jesse.kline.ca/news/45-features/70-defamation-for-dummies?start=1 Ibid. 25 Lihat Toby Mendel, “Presentation on International Defamation Standards for the Jakarta Conference”, Law Colloquium 2004, From Insult to Slander: Defamation and the Freedom of the Press, Jakarta 28-29 Juli 2004. 24


Seri Internet dan HAM

Hukum penghinaan yang diperkenalkan di Inggris ini kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Amerika Serikat kemudian mengikuti jejak Inggris dengan mengesahkan Alien and Sedition Act pada 1798. Alien and Sedition Act ini mengesahkan tindakan untuk mengusir orang asing yang mengritik Presiden, Kongres ataupun pemerintah lokal. Sementara warga Amerika Serikat yang melakukan hal yang sama akan menghadapi sanksi penjara ataupun denda.26 Pada permulaan 1733, John Peter Zenger mempublikasikan serial artikel yang sangat kritis terhadap Gubernur New York William Cosby. Gubernur New York tersebut kemudian membawa perkara ini ke Pengadilan. Saat itu, UU menyatakan bahwa mengatakan kebenaran tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar dalam perkara penghinaan. Zenger memenangkan perkara tersebut, setelah pengacaranya Alexander Hamilton berhasil meyakinkan Juri untuk mengabaikan UU tersebut, dan kasus ini lalu menjadi dasar dari kemerdekaan pers dan membuka jalan bagi munculnya “menyatakan kebenaran� sebagai alasan pembenar bagi pembelaan perkara – perkara penghinaan.27 Sebuah kasus yang muncul di Amerika Serikat pada 1964 kemudian menjadi milestone terhadap hukum penghinaan secara global. Dalam kasus yang terkenal dengan nama New York Times Co V. Sullivan, Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat menyatakan bahwa bila pejabat publik akan membawa perkara penghinaan ke pengadilan, maka mereka harus menunjukkan bukti bahwa pelaku penghinaan telah memiliki pengetahuan bahwa informasi tersebut salah dan memiliki niat yang dengan sengaja untuk menyebarluaskan informasi yang salah tersebut.28 Hukum penghinaan sendiri pada awalnya digunakan untuk melindungi reputasi dari para bangsawan, namun dalam perkembangannya hukum penghinaan kemudian digunakan untuk melindungi reputasi orang atau individu. Selain itu hukum penghinaan sendiri telah jauh berkembang tidak hanya melindungi reputasi individu namun juga kelompok individu dan reputasi perusahaan. Dengan berkembangnya internet dan pesatnya penggunaan media sosial, hukum penghinaan juga berkembang pula. Saat ini salah satu yang menjadi perhatian terbesar adalah berkembangnya libel tourism. Libel tourist sendiri diartikan sebagai penggugat yang merasa bahwa reputasinya terganggu oleh sebuah publikasi, mengajukan gugatan di pengadilan lain di luar yurisdiksi nasionalnya, dimana ia merasa di pengadilan tersebut ia akan dapat memenangkan perkaranya.29

26

Lihat http://tree.com/legal/the-history-of-defamation-law.aspx Ibid. 28 Lihat Rober C. Post, The Social Foundation of Defamation Law: Reputation and the Constitution, hal. 722, diunduh di http://digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers/217 29 Lihat Avi Bell, Libel Tourism: International Forum Shopping for Defamation Claims, hal. 3. 27

9


10

Seri Internet dan HAM

Terhadap perkembangan tersebut, kita bisa melihat pula perkembangan alasan pembenar (defense) yang dapat digunakan dalam perkara–perkara penghinaan. Secara umum, sejak perkara New York Times Co v. Sullivan mengemuka, alasan pembenar yang mendasar yang umum digunakan yaitu: (i) Kebenaran pernyataan (truth); dan (ii) Hak–hak istimewa dan kesengajaan berbuat salah (privilege and malice) Selain dua alasan pembenar pokok ini, terdapat juga beberapa alasan pembenar yang umum digunakan secara internasional yaitu: x

x x x x x x x x x

Pernyataan dibuat dengan niat baik dan terdapat dasar yang cukup bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya (statements made in a good faith and reasonable belief that they were true) Pendapat (opinion) Kesalahan yang dibuat tidak dengan kesengajaan (mere vulgar abuse) Pendapat yang wajar dalam konteks kepentingan umum (fair comment on a matter of public interest) Persetujuan (consent) Penyebarluasan tanpa niat dan pengetahuan (innocent dissemination) Penggugat tidak akan medapat kerugian yang berlanjut (claimant is incapable of further defamation) Telah memasuki daluarsa (statute of limitations) Tidak ada komunikasi dengan pihak lain (no third-party communication) Tidak ada kerugian yang nyata (noactual injury)

Umumnya, semua negara telah memiliki peraturan mengenai pencemaran nama baik meskipun memiliki istilah beragam yang digunakan untuk menggambarkan penghinaan misalnya : pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan atau 'Desacato' dan lain sebagainya. Bentuk dan isi dari aturan hukum penghinaan berbeda dari satu negara dengan negara lainnya.Di beberapa tempat, ketentuan tersebut secara khusus dimuat dalam undang-undang yang spesifik misalnya undang-undang pencemaran nama baik, tapi di sebagian besar negara pasal-pasal penghinaan dapat ditemukan dalam undang-undang yang lebih umum misalnya ada dalam KUHPidana maupun KUHperdata. Di Indonesia, penghinaan sudah lama menjadi bagian dari hukum pidana dan hukum perdata Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia mewarisi sistem hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda. KUHP30 dan juga KUHPerdata,31 yang memuat aturan-aturan dasar mengenai Penghinaan, saat ini masih digunakan dengan berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan 30 31

Staatsblad 1915 No. 732 tertanggal 15 Oktober 1915. Staatsblad 1847 No. 23, tertanggal 30 April 1847.


Seri Internet dan HAM

UUD 1945. Hukum Penghinaan di Indonesia pada dasarnya diatur dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu kelompok hukum pidana dan kelompok hukum perdata. Dalam KUHP, secara umum penghinaan diatur dalam Bab XVI dan dikelompokkan menjadi 7 bagian yaitu menista,32 fitnah, 33 penghinaan ringan, 34 penghinaan terhadap pegawai negeri, 35 pengaduan fitnah, 36 persangkaan palsu,37 dan penistaan terhadap orang mati.38Selain itu, di dalam KUHP juga terdapat

bentuk-bentuk

khusus

terhadap

Penghinaan

yaitu

Penghinaan

terhadap

Presiden/Wakil Presiden,39 Penghinaan terhadap Kepala Negara Sahabat atau yang mewakili Negara Asing di Indonesia, 40 Penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, 41 Penghinaan terhadap Golongan,42 Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum/Badan Umum.43 Namun begitu, KUHP sendiri tidak memberikan rumusan atau definisi apa yang dimaksud dengan penghinaan. Secara khusus yang ditentukan dalam KUHP mengenai penghinaan adalah elemen-elemen tindak pidana menista dan fitnah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Tak hanya cukup dengan ketentuan Penghinaan dalam KUHP, sejak 1998 pemerintah dan DPR juga memperkenalkan berbagai UU baru yang memuat ketentuan Penghinaan yang pada dasarnya serupa dengan yang telah ada dalam KUHP. Dalam hukum pidana, penghinaan tidak hanya diatur dalam KUHP namun juga diatur kembali dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,44 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 45 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,46 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,47 dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum.48 Dalam KUHPerdata, ketentuan Penghinaan dikelompokkan dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab III tentang Perikatan yang dilahirkan demi undang-undang. Secara umum, Penghinaan dalam KUHPerdata dianggap dikelompokkan dalam genus Perbuatan Melawan

32

Lihat Pasal 310 KUHP, Pasal 310 ayat (1) merupakan penistaan lisan, sementara Pasal 310 ayat (2) merupakan penistaan tertulis. 33 Lihat Pasal 311 KUHP. 34 Lihat Pasal 315 KUHP. 35 Lihat Pasal 316 KUHP. 36 Lihat Pasal 317 KUHP. 37 Lihat Pasal 318 KUHP. 38 Lihat Pasal 320 dan Pasal 321 KUHP. 39 Ketentuan ini sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006. 40 Lihat Pasal 142 – 144 KUHP. 41 Lihat Pasal 154 KUHP. 42 Lihat Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP. 43 Lihat Pasal 207 dan 208 KUHP. 44 Lihat Pasal 36 ayat (5) huruf a jo. Pasal 57. 45 Lihat Pasal 78 hurub b jo. Pasal 116. 46 Lihat Pasal 27 ayat (3) jo . Pasal 45. 47 Lihat Pasal 41 ayat (1) huruf c jo. Pasal 214. 48 Lihat Pasal 86 ayat (1) huruf c jo. Pasal 299.

11


12

Seri Internet dan HAM

Hukum sebagai diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sementara ketentuan Penghinaan secara khusus diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Ketentuan Penghinaan di dalam KUHPerdata secara umum ditujukan untuk meminta ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 1372 KUHPerdata ataupun berdasarkan ketentuan Pasal 1373 KUHPerdata. Jika dipetakan, ketentuan tentang penghinaan yang termaktub dalam KUHPerdata tidak mengalami duplikasi seperti ketentuan penghinaan dalam KUHP yang normanya juga dapat ditemukan dalam undang-undang sektoral. Sama seperti KUHP, KUHPerdata juga tidak memberikan pengertian khusus mengenai penghinaan. Akan tetapi, berdasar pada pendapat umum dalam doktrin, pengertian penghinaan dalam KUHPerdata diberikan arti yang sama dengan penghinaan dalam KUHP. Konsekuensinya, penghinaan secara perdata harus memenuhi semua unsur penghinaan dalam ketentuan pidana.49 Dalam praktiknya, seseorang yang merasa terhina dapat melakukan penuntutan secara pidana dan melakukan penggabungan perkara untuk meminta ganti kerugian secara perdata, atau secara terpisah melakukan penuntutan pidana dan melakukan gugatan perdata, atau memilih salah satunya. Terkait hal ini, terdapat problem mendasar apabila tuntutan secara pidana dan gugatan secara perdata dilakukan secara terpisah, yakni adanya kemungkinan disparitas terhadap hasil yang dicapai dalam perkara pidana dan perkara perdata. Disparitas putusan ini telah terjadi dalam perkara yang dialami Prita Mulyasari. Dalam perkara perdata, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Prita Mulyasari tidak terbukti melakukan penghinaan.50 Sementara dalam perkara pidana, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Prita Mulyasari telah bersalah melakukan penghinaan.51 Khusus untuk pengguna internet, ancaman pidana yang dirumuskan melalui Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 UU ITE telah menjadi detterent effect yang ampuh bagi para pengguna internet, karena untuk pertama kalinya dalam perkara penghinaan seseorang bisa ditahan karena melakukan tindak pidana penghinaan di Internet. Dr. Mudzakkir, SH., MH. menyatakan bahwa, “ancaman pidana 5 (lima) tahun atau ancaman pidana di dalam tindak pidana di dalam peraturan perundang-undangan itu menjadi rancu ketika orang mempertimbangkan supaya bisa ditahan dan beberapa pasal-pasal tertentu naiknya menjadi 5 tahun. Alasannya bukan

49

Lihat J. Satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 19. 50 Lihat Putusan MA No. 300 K/PDT/2010 di http://bit.ly/Lje50T. 51 Lihat Putusan MA No. 822 K/PID.SUS/2010 di http://bit.ly/LsY9xy.


Seri Internet dan HAM

alasan justice-nya maksimum 5 tahun, tapi lebih pada alasan agar supaya yang bersangkutan bisa ditahan”.52 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, hukum pidana penghinaan di Indonesia pada dasarnya diatur di Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Telah dijelaskan pula bahwa Bab ini memuat beberapa jenis tindak pidana penghinaan. Tindak pidana penghinaan sebagaimana diatur dalam Bab XVI KUHP, diancam dengan pidana paling lama 4 bulan 2 minggu hingga 4 tahun dan denda paling banyak Rp 4.500.000,0053 Ketentuan ini pada dasarnya dapat menjadi rujukan bagi UU sektoral yang juga memuat tentang pidana penghinaan. Hanya saja, hal ini tampaknya tidak terjadi. Kelahiran UU sektoral lainnya jauh dari kata mempedomani ketentuan dalam KUHP ini, sehingga lahirnya berbagai UU sektoral tersebut justru telah menimbulkan masalah baru dalam hukum pidana penghinaan di Indonesia. Masalah yang paling mendasar adalah tidak sinkronnya pemidanaan dari satu ketentuan undang-undang ke ketentuan undang-undang lainnya. D. Perumusan Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam RUU ITE Pada saat pembentukannya, UU ITE telah menuai banyak sekali kontroversi. Kritik tersebut khususnya ditujukan terhadap perumusan pasal-pasal tentang larangan penyebaran informasi elektronik yang bermuatan; (i) kesusilaan, (ii) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan materi yang mengandung materi SARA, serta tingginya ancaman hukuman terhadap larangan tersebut, baik berupa pidana penjara maupun denda. Perumusan pasal-pasal yang sangat longgar, multitafsir dan tidak jelas membuat begitu mudahnya setiap pendapat dan ekspresi dilaporkan ke polisi akibat dianggap menghina, mencemarkan nama baik, menodai agama atau ungkapan SARA lainnya. Ancaman hukuman yang tinggi ternyata mempunyai konsekuensi lain, yakni mudahnya penegak hukum melakukan penahanan. Khusus Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, terdapat beberapa kekaburan definisi dari unsur-unsur deliknya sebagai berikut: (i) unsur dengan ‘sengaja dan tanpa hak’; (ii) unsur ‘mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya’. Tidak semua istilah tersebut dijabarkan dalam UU ITE, di samping adanya kebingungan dalam memahami konteks aturan tersebut mengingat sejumlah istilah seperti ‘mendistribusikan’ dan ‘mentransmisikan’ adalah istilah teknis umum yang tidak bisa serta merta diterapkan secara praktis di dunia Teknologi Informasi (TI). 54 52

Keterangan Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-IX/2011 hal 28 di http://bit.ly/Hzos5r. Ketentuan KUHP denda masih tercatat sebanyak Rp.4500,00 namun dengan Perma No. 12 Tahun 2012 ketentuan denda ini diubah dengan dikali 1000. Lihat Perma No. 2 Tahun 2012 di http://bit.ly/Q0VWd1. 54 Lihat Risalah Pembahasan RUU ITE. 53

13


14

Seri Internet dan HAM

MK dalam pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, menyatakan pasal tersebut konstitusional dengan argumentasi bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP (offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia maya (online). Oleh karena itu menurut MK tidaklah mungkin unsur-unsur tindak pidana penghinaan dalam ketentuan KUHP mampu mengakomodasi penghinaan secara online.55 Centang perenang implementasi UU ITE, khususnya terkait pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, makin membuktikan adanya masalah besar dalam perumusannya, yang tidak memenuhi kaidah-kaidah dan prinsip dasar hukum pidana. Rumusan Pasal 27 ayat (3) juga tidak sejalan dengan prinsip lex certa (jelas dan tegas), juga bertentangan dengan prinsip lex scripta (tidak mengadakan sesuatu yang baru selain yang ditulis). a. Rumusan Pasal 27 ayat (3) Dalam UU ITE pada Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang pada Pasal 27 ayat (3) disebutkan bahwa: “Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik�. Dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa secara umum elemen-elemen kejahatan dalam pasal ini meliputi: 1. Setiap orang 2. Dengan sengaja dan tanpa hak - mendistribusikan - dan/atau mentransmisikan - dan/atau membuat dapat diaksesnya 3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik 4. Yang memiliki muatan - penghinaan dan/atau - pencemaran nama baik Rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindak pidana formal yang tidak memerlukan implikasi atau akibat, jadi walaupun tidak jelas ada kerugian yang diderita atau mengakibatkan hal-hal tertentu maka akan dapat dikenakan oleh pasal ini. Struktur aturan dalam pasal ini juga menunjukkan bahwa tidak perlu semua unsur cara dibuktikan (mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya) sehingga walaupun jika salah satu cara saja (alternatif) dilakukan untuk Informasi Elektronik dan/atau

55

Lihat Elsam, Laporan Penelitian Dua Kebebasan Dasar di Indonesia dalam Putusan MK: Studi Putusan MK Terkait Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Kebebasan Berekspresi, 2010, tidak diterbitkan.


Seri Internet dan HAM

Dokumen Elektronik yang memiliki salah satu muatan tersebut maka telah dianggap sempurnalah dan terpenuhinya kejahatan yang dilarang oleh Pasal 27 ayat (3) ini.56 Jika dibandingkan kontruksi penghinaan dalam KUHP dengan UU ITE maka hanya dapat diketemukan kesamaan didua unsur yaitu unsur kesengajaan dan juga unsur menyerang kehormatan/nama baik. Sementara Pasal 310 KUHP menuntut bahwa tindakan tersebut harus dilakukan dimuka umum, yang mana unsur ini tidak ditemukan dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) karena pasal tersebut sebenarnya hanya menekankan pada terpenuhinya unsur ”mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik”. Pasal 27 ayat (3) sebenarnya membentuk konstruksi tentang dua golongan pelaku

yang

berpotensi menjadi pelanggar. Pertama, golongan “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ... “; kedua, golongan orang yang menciptakan “informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Berdasarkan rumusan Pasal 27 ayat (3), beberapa unsur penting dapat dielaborasikan sebagai berikut: 1. Unsur setiap orang Setiap orang bukanlah merupakan unsur tindak pidana, melainkan merupakan unsur Pasal yang merujuk kepada siapa saja orang perorangan sebagai pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu tindak pidana.Setiap orang tersebut akan selalu melekat pada setiap perumusan tindak pidana, sehingga ia akan terbukti apabila semua unsur tindak pidana tersebut telah terpenuhi dan pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Setiap orang yang dimaksud dalam pasal ini adalah seseorang, individu, bukan kelompok orang, organisasi, badan hukum atau korporasi. 2. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak Kesengajaan adalah unsur kesalahan yang dapat berupa kesengajaan (dolus)atau kelalaian (culpa). Undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan mengenai arti dari kesengajaan. Dalam MvT ada sedikit keterangan tentang opzettelijk, yaitu sebagai weillens en wetens yang dalam arti harfiah dapat disebut sebagai menghendaki dan mengetahui. Kesengajaan ini 56

Ibid.

15


16

Seri Internet dan HAM

dimaknai sebagai orang yang melakukan kejahatan memang menghendaki perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatan serta sadar akan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Menurut, keterangan dari MvT yang menyatakan bahwa setiap unsur kesengajaan dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan pada semua unsur yang ada di belakang perkataan unsur sengaja selalu diliputi unsur kesengajaan itu. Maka kesengajaan dalam Pasal 27 ayat (3) harus dibuktikan pada unsur-unsur sebagai berikut: tanpa hak; mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya; Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Kesengajaan sebagaimana Pasal 27 ayat (3) berarti: seseorang mengetahui dan sadar bahwa perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai perbuatan yang dilakukan "tanpa hak", suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau bertentangan dengan hak orang lain. Muncul permasalahan terkait bertolak belakangnya rumusan frasa“dengan sengaja”sebelum kata-kata “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”dengan doktrin yang berlaku. Seorang pelaku yang menyatakan bahwa ia tidak sengaja dan tidak berniat untuk melukai harkat dan martabat orang lain, tetap dapat dihukum. Hal ini disebabkan karena berlakunya doktrin dan yurisprudensi yang mengajarkan bahwa bukan “animus injuriandi” atau kesengajaan untuk melukai orang lain yang disyaratkan oleh Pasal 310 KUHPidana, melainkan cukup adanya kesadaran, pengetahuan, ataupun pengertian padapelaku bahwa pernyataannya obyektif yang akan berakibat dan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. 3. Unsur mendistribusikan atau mentransmisikan Sebelumnya telah disbutkan bahwa salah satu masalah yang terdapat dalam UU ITE adalah minimnya penjabaran atas masing-masing unsur delik. Beberapa elemen penting dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini justru tidak dijelaskan dalam UU ITE yakni pengertian “mendistribusikan”, pengertian ”mentransmisikan” dan juga pengertian “membuat dapat diaksesnya”.57

57

Ibid.


Seri Internet dan HAM

x

Pengertian “mendistribusikan” tidak dijelaskan dalam UU, mungkin maksud perumusnya adalah membuat sesuatu dapat sehingga dapat terdistribusi. Mengenai terminologi distribusi sendiri kemungkinan juga dipersamakan dengan menyebarkan. 58

x

Pengertian ”Mentranmisikan” juga tidak dijelaskan dalam UU mungkin ini akan dijelaskan berkaitan dengan istilah teknis.59

x

Sedangkan pengertian ”Akses” adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri ataudalam jaringan.

Istilah tersebut bersifat teknis dan tidak baku, sehingga dengan tidak adanya penjelasan yang memadai

akan

elemen

tersebut

tentunya

akan

menimbulkan

banyaknya

tafsiran.

Mendistribusikan dalam dunia IT tidak sama dengan distribusi benda dalam dunia nyata yang biasanya dapat dipersamakan dengan menyalin. Dalam IT, pembagian salinan ini dari berpotensi menyebabkan implikasi yang berbeda dilihat dari segi waktu. Mungkin saja yang dibagikan itu dapat langsung diterima atau juga diterima setelah tenggat waktu yang cukup lama. Artinya Waktu antara mulai dibagikan dengan diterima itu bisa dilakukan sekejap, bisa lama. Hal yang ke dua, dalam IT arah distribusi bisa dilakukan dengan dua cara yakni bisa dikirim atau bisa ditarik, pull and push dari pendistribusi yang mengirim atau penerima yang mengambil. Dalam kegiatan mendistribusikan terdapat dua pihak yang terlibat, baik secara aktif ataupun pasif, yaitu pengirim dan penerima. Kemudian dalam IT, jalur yang dipakai untuk melakukan distribusi atau mendistribusikannya itu banyak cara, bisa melalui web, milis, peer to peer, dan melalui server lain.”60 Sedangkan “Mentransmisikan”dalam IT hanyalah bagian dari distribusi yang melibatkan dua pihak dengan alat yang sama. Definisi tersebut yang tidak dipahami aparat penegak hukum sehingga menyebabkan multitafsir yang berujung padaterlalu luasnya penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Masalah terkait kekaburan definisi ini mencakup pula perbedaan penafsiran mengenai apakah kata mendistribusikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyangkut offline atau offline dan online.61 Pengertian sesuatu “dapat diakses” itu, mencakup ada yang membuatnya dan ada yang menerbitkan. Misalnya,seseorang menuliskan sebuah dokumen, namun belum tentu yang menulis itu sendiri yang memasang di tempat distribusi. Jadi harus ada pihak yang dapat menerbitkan; ada pembuat, ada penerbit, dan kemudian ada perantara menerbitkan hal itu seperti server. 58

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia distribusi adalah penyaluran (pembagian atau pengiriman) kepada beberapa orang atau beberapa tempat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990, cet. Ke 3, hal. 209. 59 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia transmisi adalah pengiriman (penerusan) pesan dan sebagainya dari seseorang kepada orang (benda) lain: --berita atau jaringan. 60 Ahli Pemohon, Andika Triwidada, pada 12 Februari 2009 Perkara No. 2/PUU – VII/2009. 61 Ibid.

17


18

Seri Internet dan HAM

Frasa “membuat dapat diaksesnya” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan pengertian “akses” dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE. Pertentangan ini menimbulkan ambiguitas yang mengakibatkan ketidak pastian hukum. Pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE, frasa “membuat dapat diaksesnya” menunjuk pada pengaksesan informasi elektronik. Sementara, ”akses” dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE menunjuk pada pengaksesan sistem elektronik. Berikut kutipan Pasal 1 angka 15 UU ITE: “Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan”. Dalam pengetahuan tentang Teknologi Informasi, pengertian yang benar tentang “akses” seperti dinyatakan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE yaitu mengakses sistem elektronik. Dengan demikian, frasa ”membuat dapat diaksesnya” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas salah/keliru karenafrasa “membuat dapat diaksesnya” memiliki maksud “memberi kemampuan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik”. 4. Unsur “muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”danhubungannya denganPasal 310 dan 311 KUHP Nama baik adalah kehormatan yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang karena perbuatannya atau karena kedudukannya. Melukai nama baik dapat dilakukan melalui penistaan dan fitnah (defamation). Penistaan dibagi menjadi penistaan lisan dan penistaan tulisan. Dalam hal penistaan tulisan, bentuknya dilakukan dengan tulisan atau gambar yang dapat dibaca atau dilihat orang lain. Sementara definisi fitnah dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai tindakan menjelek-jelekkan orang. Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah penistaan dengan surat atau tulisan yang tidak mampu dibuktikan kebenarannya sebagaimana Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Untuk melihat penghinaan sebagai kejahatan terhadap reputasi patut dilihat doktrin dan yurisprudensi yang berkembang seputar kejahatan terhadap reputasi ini. Tindak pidana penghinaan pada dasarnya merupakan suatu tindakan, pernyataan, atau sikap yang secara sengaja dilakukan untuk menyerang reputasi atau kehormatan orang lain. Kehormatan itu sendiri terdapat beberapa tafsir misalnya kehormatan ditafsirkan sebagai harga atau martabat manusia yang disandarkan kepada tata susila, maka tidak dapat dikatakan kehormatan seseorang itu tidak dapat dilanggar oleh orang lain, karena di dalam hal itu orang itu sendirilah yang dapat merendahkan kehormatannya, yaitu apabila ia melakukan sesuatu perbuatan yang tidak patut atau yang tidak senonoh. Hal paling penting terkait dengan unsur ini adalah, rumusan muatan penghinaan atau pengertiannya dalam pasal ini justru tidak dirumuskan sama sekali. Akibatnya maka akan


Seri Internet dan HAM

cenderung bersifat kabur dan subyektif, karena kata kerja menghina tergolong kata yang pemaknanya dapat bersifat subyektif. Sesuatu perbuatan yang dibahas akan menghina oleh suatu penutur dapat saja tidak disebut menghina oleh penutur yang lain atau oleh petutur yang diajak berbicara atau yang menjadi obyek dari apa yang dikatakan menghina itu. Apalagi dalam Pasal 27 ayat (3) ini digunakan frase yang berlapis, yakni memiliki muatan penghinaan, jadi, kalau penghinaan ada muatan, maka masih memiliki muatan yang permaknanya juga berlapislapis dan amat subyektif.62 Pemaknaan kata benda penghinaan sendiri itu saja sudah berkemungkinan subyektif, lalu masih lagi disandingkan dengan kata muatan, jadi potensi interpretasi yang kabur itu bertambah juga.63 Jika dalam Pasal 310 KUHP frase yang digunakan adalah menyerang kehormatan atau nama baik, itu biasanya memang pelakunya adalah orang pertama. Tapi dapat dibayangkan, jika informasi bahwa ini kemudian disebarkan, maka apakah orang yang ke dua, ke tiga itu juga menyerang kehormatan atau nama baik seseorang misalnya. Hal yang sama berpotensi berlaku juga untuk Penerapan Pasal 27 ayat (3) yang menyebarkan, dokumen atau informasi yang memiliki muatan penghinaan itu, karena orang ke dua, ke tiga, dan ke empat itu maksudnya harusnya berbeda dengan kualifikasi yang pertama”. Oleh karena pengertian yang sumir dalam frase “Muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”maka untuk menghindari subyektifitas maka akhirnya frase itu kemudian mau tidak mau harus menginduk atau merujuk ke norma awal dari pasal pidana yang terkait yakni yang diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan Pasal 315 KUHP, yang kerap disebut sebagai “genus crime” pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Jadi pengertian dasarnya penghinaan dan pencemaran nama baik haruslah diuji dengan pengertian yang sama dengan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 311, mencakup pula ketentuan-ketentuan khusus pasal tersebut seperti: unsur kejahatannya, alasan pembenarnya, maupun doktrin doktrin umum dalam penggunaannya. Dari rumusan pasal dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, dan Pasal 315 KUHP maka pengertian umum atau dasar perbuatan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik adalah “dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik, lihat di bawah ini:

62 63

Ahli Pemohon, Lihat putusan Perkara No. 2/PUU – VII/2009. Ahli Pemohon, Lihat putusan Perkara No. 2/PUU – VII/2009.

19


20

Seri Internet dan HAM

x

Pasal 310: merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan itu.

x

Pasal 311: kejahatan pencemaran dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya benar jika tidak maka diancam melakukan fitnah.

x

Pasal 315: tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis.

Syarat demokratis menjadi dasar legalitas untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pencemaran

nama

baik

ataupun

penghinaan.

Syarat

demokratis

yang

tidak

membolehkan/membenarkan adanya pemidanaan terhadap pernyataan pernyataan yang tidak diucapkan atau ditulis di muka umum, sehingga karenanya “private correspondence” maupun “private coversation” tidak boleh atau tidak dibenarkan dijadikan subyek maupun obyek pemidanaan. Selain syarat demokratis, perlu dipahami adanya syarat publisitas, bahwa delik yang berkaitan dengan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam kaitan dengan hukum pidana haruslah memenuhi syarat, yaitu : Ia haruslah dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dengan mempergunakan sarana media cetak maupun elektronik ataupun dilakukan secara lisan; Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan fikiran atau perasaan (seseorang). Dari perumusan delik, maka unsur publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kejahatan itu dilakukan dengan suatu tulisan dengan demikian dalam kasus kasus yang berkaitan dengan delik pencemaran nama dan atau penghinaan, karena itulah maka syarat demokratis dan syarat publikasi sebagai syarat yang absolut sifatnya. Hal ini dikarenakan terhadap delik penghinaan/pencemaran nama baik akan selalu didasari adanya unsur “dengan maksud untuk diketahui oleh umum”, dan syarat publikasi dalam kaitan dengan unsur “dengan maksud untuk diketahui oleh umum” inilah yang dapat menentukan suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik ataukah tidak. Secara eksplisit dalam Pasal 311 KUHP (fitnah) tidak dapat diartikan mengikuti persyaratan substansif dari unsur Pasal 310 KUHPidana (“penghinaan”) karenanya terdapat keterkaitan normatif antara kedua ketentuan tersebut, artinya perbuatan fitnah pada Pasal 311 KUHP harus menunggu putusan pidana tentang “penghinaan” (Pasal 310 KUHPidana); namun apabila suatu tuntutan adanya perbuatan fitnah, maka keterkaitan ini hanya tertuju pada Pasal 311 KUHPidana tentang “beban pembalikan pembuktian” atau “The Reversal Burden of Proof”(Omkering van de Bewijslast), artinya apabila hakim menghendaki, maka terdakwa wajib membuktikan apa yang dituduhkan (kepada pelapor) adalah benar. Jika dalam hal terdakwa tidak berkehendak membuktikan tuduhan tersebut meskipun hakim menghendakinya, maka ia (terdakwa) melakukan perbuatan “fitnah” menurut hukum pidana. Jadi sebenarnya yang harus


Seri Internet dan HAM

dipertimbangkan adalah : apakah substansi yang diberitakan itu mengandung kebenaran atau tidak, dan bukan mengenai artian gramatikal dari substansi tulisan dan gambar yang tidak ada relevansinya” Selain itu terdapat soal kaitan antara Pasal 311 KUHP dengan Pasal 310 KUHPidana mengenai pembuktiannya yang akan menentukan struktur dakwaannya, yaitu delik penistaan/ pencemaran sebagai bagian umum dari kelompok delik “penghinaan” yang dalam sistem anglo saxon dikenal sebagai kelompok “libel” yang tertuang dalam bentuk pernyataan tertulis, tercetak atau dalam bentuk pencemaran lainnya, selain itu terdapat bentuk “slander” yang tertuang dalam bentuk ucapan ucapan lisan, maka struktur yang tepat adalah dalam bentuk sangkaan awal Pasal 310 KUHP dan baru kemudian Pasal 311 KUHP, karena apabila terdakwa diminta oleh hakim untuk membuktikan bahwa perbuatannya bukan sebagai penghinaan, tetapi ia tidak berkehendak membuktikannya, maka ia (terdakwa) barulah dikenakan Pasal 311 KUHP(fitnah). Baik “libel” maupun “slander” merupakan “defamatory statement”, yaitu suatu bentuk pernyataan-pernyataan mengenai suatu (orang) dan yang membawa orang tersebut dalam apa yang kemudian disebut sebagai kebencian(“hatred”), ejekan/cemoohan (“ridicule”) ataupun penghinaan (“contempt”);“Contempt” atau “Minachting” yang diterjemahkan sekarang ini sebagai “penghinaan” semula diartikan secara limitatif dalam bentuk formil saja, karena jelas paham Belanda selama beberapa dekade silam ini telah memperluas bentuk penghinaan sebagai dua macam penghinaan, yaitu yang dinamakan sebagai “materiale belediging” (penghinaan material) dan “formeele belediging” (penghinaan formil); Penghinaan formil adalah bentuk penghinaan yang menurut caranya yang ditempuh sehingga suatu pernyataan yang tegas dan jelas jalannya kasar dan seterusnya. Misalnya adanya perseteruan antara A dan B (sama sama pegawai negeri yang kaya raya), sehingga A mengeluarkan kata-kata “dasar kamu koruptor kakap! ”; sedangkan penghinaan materiil adalah suatu penghinaan yang menurut isinya dan dilihat dari keadaan-keadaan yang melatar belakangi adalah suatu penghinaan yang dilakukan secara halus. Misalnya A (pimpinan) menanyakan kepada B (bawahan) tentang adanya korupsi berupa kebocoran uang anggaran bagi penyelenggaraan seminar, dengan menanyakan: “baik juga pertanggung jawaban anda (B) berikan kepada saya!”. Pernyataan itu jelas mengandung suatu tuduhan bahwa (B) telah melakukan korupsi dalam menyelenggarakan seminar tersebut, itulah yang dinamakan materielebelediging. Di negara-negara dengan sistem anglo saxon dikenal sebagai “Libelper Quod”, dan di Belanda telah

dikembangkan,

yaitu

melalui

Arrest

CohenLindenbaum

mengenai

ajaran

Onrechtmatigedaad atau yang dalam bidang hukum pidana dikenal sebagai ajaran materiele wederechtelijkheid. Konsep ini telah memperluas Onwetmatigedaad sehingga mencakup segala

21


22

Seri Internet dan HAM

perbuatan yang dianggap melanggar asas kepatutan yang berlaku dalam masyarakat. Namun demikian perkembangan soal materiele wederrechtelijk dengan libel yangmemiliki makna “materiele beleidiging” inilah yang berpotensi meniadakan kebebasan berpendapat, suatu kritikan yang zakelijk, konstruktif dan obyektif, dan karenanya persoalan materiele beledeging berpolemik untuk ditempatkan sebagai norma hukum secara legislasi; KUHPidana Indonesia sebagai hasil konkordansi dari WvS Belanda mengikuti pola dan dinamika yang ada dalam delik penghinaan yang tidak hanya mencakup artian “formil” saja, tetapi mencakup penghinaan “materiel” yang dipandang sebagai suatu hal yang komprehensif. Seperti halnya Indonesia, perkara-perkara di Inggris atas dasar “libel” (penistaan tertulis) dipandang sebagai suatu tindak pidana yang serius sifatnya daripada sekedar “slander”, yang karena sifatnya yang universal itulah maka ancaman pidana yang tercantum dalam Pasal 310 ayat (2) KUHPidana lebih tinggi dibandingkan Pasal 310 ayat (1) KUHPidana. b. Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai Delik Aduan Rumusan Pasal 27 ayat (3) tidak jelas mengatur mengenai apakah ini delik aduan atau bukan. Ini adalah masalah yang sangat penting, yang menunjukkan cacat bawaan dalam perumusannya. Namun karena genus crime dari Pasal 27 ayat (3) adalah Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan pasal 315 KUHP maka mengenai statusnya sebagai delik aduan atau tidak harus disesuaikan pula dengan ketentuan Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan Pasal 315 KUHP yang merupakan delik aduan. Jadi tidak mungkin penyidik melakukan penyidikan tanpa menerima pengaduan. Sebagai delik aduan maka aparat penegak hukum baru dapat memproses pelaku apabila ada pengaduan dari korban atau pihak yang dirugikan. M. Yahya Harahap,64 menyatakan bahwa Undang-Undang telah membagi dua kelompok pelapor yaitu: Orang yang diberi "hak" melapor atau mengadu. Orang tertentu, yakni orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau orang yang menjadi korban tindak pidana terjadi ,“berhak” menyampaikan laporan kepada penyelidik atau penyidik. Hak menyampaikan laporan atau pengaduan, tidak diberikan kepada orang yang “mendengar”. Menurut M. Yahya Harahap pendengar tidak dimasukkan dalam kategori orang yang berhak untuk melapor adalah realistis dan rasional, karena sangat sulit menjamin kebenaran dan keobyektifan pendengar, bisa merupakan berita palsu atau bohong atau tidak sesuai dengan 64

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan),(Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 118- 119.


Seri Internet dan HAM

yang sebenarnya. Kelompok pelapor atas dasar “kewajiban” hukum, yaitu orang yang mengetahui permufakatan untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman umum, atau terhadap jiwa atau hak milik atau setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugas, mengetahui tentang terjadinya tindak pidana. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hakikatdari pelaporan dan pengaduan adalah merupakan “pemberitahuan” oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidana. Perbedaannya, pada pengaduan oleh karena sifatnya terikat pada jenis - jenis delik aduan, maka orang yang menyampaikan pemberitahuan harus orang “tertentu” seperti yang disebut dalam rumusan Pasal Pidana yang bersangkutan. Jadi, pada pengaduan, pemberitahuannya dapat dilakukan oleh orang tertentu yang menjadi korban peristiwa pidana, barulah pihak yang berwenang dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Pasal 72 ayat (1) KUHP menyatakan: “Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang di bawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata”. c. Ketiadaan Penggolongan Jenis Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik Rumusan Pasal 27 ayat (3)UU ITE bersifat kabur karena di dalamnya tidak ditemukan perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan. Harusnya pengertian dan penggolongan penghinaan dapat saja menunjuk pada ketentuan Bab XVI buku II KUHP tentang penghinaan, bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dapat digolongkan atas: pencemaran, pencemaran tertulis, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu.” Karena genus crime dari Pasal 27 ayat (3) adalah Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan Pasal 315 KUHP maka mengenai penggolonganya maka harus disesuaikan pula dengan ketentuan tersebut. Jika menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE tanpa menunjuk/merujuk pada KUHP untuk penggolongan penghinaan, maka akan menimbulkan kebingungan tentang berapa batas maksimum sanksi pidana penjara atau denda untuk tiap golongan penghinaan (pencemaran, pencemaran tertulis, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu). UU ITE sendiri tidak memuat penggolongan penghinaan. Yang dapat terjadi adalah kemungkinan aparat penegak hukum menentukan atau mengestimasi sendiri batas maksimum sanksi pidana penjara dan/atau denda untuk tiap golongan penghinaan, tentunya tidak melampaui batas maksimum sanksi pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

23


24

Seri Internet dan HAM

d. Ketiadaan Doktrin-Doktrin “Membela Diri dan Alasan Pembenar� Dalam perkara penghinaan, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, menurut hukum nasional hanya ada satu alasan yang dapat digunakan untuk membela diri. Alasan tersebut diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan Pasal 1376 KUHPerdata. Walaupun secara internasional, terdapat perkembangan terhadap alasan pembenar (defense) yang dapat digunakan dalam perkara-perkara penghinaan. Secara umum, terutama sejak perkara New York Times Co v. Sullivan mengemuka, alasan pembenar yang mendasar yang umum digunakan yaitu: kebenaran pernyataan (truth); dan hak-hak istimewa dan kesengajaan berbuat salah (privilege and malice). Pentingnya alasan pembenar ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol yang telah meletakkan syarat-syarat dasar tentang hal tersebut. Oleh karena itu penting dilihat bagaimana pandangan dari sisi hak asasi manusia untuk alasan-alasan pembenar dalam perkara-perkara penghinaan sebagaimana tercermin dalam Komentar Umum No. 34 yang menegaskan: “Defamation laws must be craft ed with care to ensure that they comply with paragraph 3, and that they do No.t serve, in practice, to stifle freedom of expression. All such laws, in particular penal defamation laws, should include such defences as the defence of truth and they should No.t be applied with regard to those forms of expressions that are No.t, of their nature, subject to verification. At least with regard to comments about public figures, consideration should be given to avoiding penalising or otherwise rendering unlawful untrue statements that have been published in error but without malice. In any event, a public interest in the subject matt er of the criticism should be recognised as a defence. Care should be taken by States parties to avoid excessively punitive measures and penalties (...). Berdasarkan hasil penelitian ICJR, dari perkembangan penanganan perkara penghinaan dalam persidangan, sebenarnya beberapa pengadilan telah memperluas alasan-alasan pembenar tersebut yaitu: (i) di muka umum; (ii) kepentingan umum; (iii) good fatih statement; (iv) kebenaran pernyataan (truth); (v) mere vulgar abuse; dan (vi) priviladge and malice (laporan ke penegak hukum, profesi dan kode etik serta pemegang hak berdasarkan undang-undang). Namun dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE seakan-akan tidak ada kaitan dengan Pasal 310 maka seakan-akan tidak diperlukan alasan pembenar dalam pasal tersebut. Inilah yang menjadi akar masalahnya sehingga seakan-akan doktrin membela diri dan alasan pembenar tidak ada dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) ITE.


Seri Internet dan HAM

e. Tingginya Ancaman Pidana dan Potensi Memudahkan Penahanan Dalam UU ITE berbagai tindakan yang dilarang mendapatkan ancaman yang lebih tinggi dibandingkan pengaturan di KUHP atau regulasi lainnya. Berbagai tindakan yang dianggap dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)), penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)), dan pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4)), diancam dengan hukuman paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah (Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Satu-satunya alasan menempatkan ancaman 6 tahun penjara adalah supaya dapat ditahan. Ancaman 6 tahun penjara ini menjadi keanehan tersendiri, karena kebalikannya untuk tindak pidana judi yang diatur di dalam Pasal 303 dan 303 bis KUHP justru diancam dengan pidana 10 tahun penjara namun untuk tindak pidana yang sama, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik “hanya� memberikan ancaman 6 tahun penjara. 65 UU ITE dalam penegakannya, meski mengatur secara khusus hukum acaranya, namun prosedur umumnya masih bersandar pada KUHAP, termasuk dalam prosedur penahanan. Ancaman pidana paling lama 6 tahun dalam perbuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, memudahkan penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa), maupun pengadilan (hakim) melakukan tindakan penahanan, karena secara objektif memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP. Pasal 21 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan dua syarat dilakukannya penahanan: syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektifnya atau biasa disebut unsur yuridis, yakni terhadap tindak pidana yang ancamannya di atas lima tahun penjara. Artinya, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan syarat subjektif yang merupakan kekhawatiran dari pejabat yang berwenang (penyidik/penuntut) diantaranya: (i) tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarakan bukti yang cukup; (ii) dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatannya. Syarat subjektif penahanan ini merupakan wewenang mutlak penegak hukum, yang sama sekali tidak dapat diganggu gugat oleh pihak 65

lihat Rapat Dengar Pendapat Umum antara Kejaksaan Agung RI http://blogs.depkominfo.go.id/artikel/2006/11/15/resume-rdpu-pansus-ruu-ite.

dengan

DPR,

dapat

diakses

di

25


26

Seri Internet dan HAM

manapun. Syarat ini sangat sulit diukur, karena seringkali penahanan dilakukan padahal tidak ada kondisi yang membuat ada dugaan terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta mengulangi tindak pidana. Merujuk pada ketentuan di atas, pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan dihubungkan pada ancaman pidana sesuai ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE, tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut mempunyai syarat objektif untuk dilakukan penahanan. Bandingkan ketentuan ini dengan pasal-pasal tentang penghinaan di KUHP, yang ancaman pidana tidak mencapai 5 tahun, sehingga tersangka/terdakwa yang dituduh melakukan penghinaan sebagaimana diatur dalam KUHP, tidak ada landasan hukum yang cukup bagi penegak hukum untuk melakukan penahanan. Prosedur penahan ITE berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Seharusnya Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri menjadi pintu untuk menguji penting atau tidaknya suatu penahanan, namun kerap justru polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, karena praktik selama ini banyak kasus polisi langsung melakukan penahanan tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk kasus-kasus yang dijerat UU ITE. E.

Kasus-kasus Terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE

Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, termasuk medium internet telah memunculkan berbagai masalah hukum bagi para penggunanya, baik jeratan hukuman penjara maupun konsekuensi sanksi lainnya. Penyampaian pandangan, pendapat, opini, maupun tulisan dengan menggunakan sarana dan sistem elektronik, atau melalui internet, pada satu sisi merupakan bagian dari manifestasi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang membantu penyebaran informasi, gagasan, ide-ide, termasuk membangun gerakan sosial. Namun, pada sisi lain, penggunaannya kerap bersinggungan dengan jeratan hukum dan pengenaan sanksi pidana. Berbagai kasus yang muncul terkait dengan penyampaian pandangan dan ekspresi sejak tahun 2008, berdasarkan pencatatan kasus yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menunjukan terdapat 32 kasus terkait dengan tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, melingkupi kasus yang dilaporkan ke polisi, diproses hukum sampai ke pengadilan, diselesaikan melalui jalur mediasi, maupun pengenaan sanksi


Seri Internet dan HAM

lainnya.66Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan bahwa; (i) semua medium dan segala jenis informasi yang menggunakan sarana elektronika menjadi subjek yang dapat dikenai saksi, baik hukum maupun sanksi lainnya, (ii) kritik dan pendapat atas suatu kebijakan, termasuk tindakan advokasi seringkali berujung pada pelaporan ke polisi sebagai pencemaran nama baik, (iii) penggunaan sarana hukum pidana seringkali menjadi pilihan utama daripada penggunaan alternatif penyelesaian sengketa lainnya, dan (iv) menyasar hampir semua kalangan. 67 Terbentuknya UU ITE ini justru memperburuk situasi perlindungan kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, yang diakibatkan karena kelemahan dalam perumusan dan penerapannya. Tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dengan mudah dilaporkan ke kepolisian, dilakukan penahanan, dan hukuman pemenjaraan. Hal ini diperparah dengan pemahaman penegak hukum dalam penerapan UU ITE yang kurang memadai. Sebagai contoh kasus yang dialami oleh Prita Mulyasari menunjukkan buruknya situasi perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kasus ini menunjukkan dimensi yang cukup lengkap: (i) penggunaan sarana elektronika (email) untuk menyampaikan pandangan berbalik dengan tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, (ii) dilaporkan ke polisi dan diancam pidana, sekaligus digugat secara perdata, (iii) mengalami penahanan dan merasakan penjara tanpa dasar yang kuat, (iv) penghukuman oleh pengadilan yang menunjukkan ‘kegagapan’ penegak hukum dalam menilai kasus yang terkait dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Prita Mulyasari akhirnya dibebaskan dalam Peninjuan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) atas dasar bahwa yang dilakukan oleh Prita adalah penyampaian kebebasan berpendapat dan berekspresi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, setelah sebelumnya pengadilan ‘sempat’ menyatakan Prita bersalah melakukan pencemaran nama baik dan dalam gugatan perdata diharuskan membayar uang senilai ratusan juta. Prita juga harus berkutat dengan kasus ini selama lebih dari 4 tahun. Keberhasilan Prita dibebaskan, tidak terlepas dari sorotan publik yang luas, menjadikan institusi yudisial bertindak secara benar.68 Namun, banyak kasus lainnya, penegak hukum dengan mudah menahan dan memenjarakan orang, mengabaikan upaya perdamaian atau alternatif penyelesaian lainnya. Laporan pihak yang dianggap dicemarkan nama baiknya, atau desakan publik yang merasa keyakinannya terhina atau ternodai, merupakan faktor utama penegak hukum menjerat berbagai jenis ekspresi dengan menggunakan sistem elektronik. 66

Lihat Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, Membelenggu Ekspresi, (Jakarta: ELSAM, 2014), hal. 21. Ibid. 68 Ibid. 67

27


28

Seri Internet dan HAM

Hasil Riset ICJR 2011, menunjukkan pula fakta, dalam kasus Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan kasus kasus penghinaan lainnya, bahwa

dalam banyak kasus status orang-orang yang memiliki

kepentingan kuat seperti penguasa dan tentu saja pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik yang menduduki posisi pertama sebagai korban penghinaan. Aktoraktor inilah yang menggunakan dan menyalahgunakan ketentuan pidana penghinaan untuk melindungi diri dari kritik atau dari pengungkapan fakta-fakta atas penyimpangan perilaku untuk kepentingan pribadi. F.

Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dalam Peradilan

Berbagai kasus yang muncul sejak adanya UU ITE, telah menyasar pada penggunaan berbagai medium dalam sistem informasi dan perangkat elektronik, yang tidak terbatas pada media yang kemungkinan bisa diakses publik atau ‘di muka umum’, tetapi melalui medium lainnya yang lebih personal. Hampir keseluruhan medium tersebut dapat dijerat dengan UU ITE, diantaranya: (i) pemberitaan di media online, (ii) forum diskusi online, (iii) Facebook, (iv) Twitter, (v) blog, (vii) surat elektronik (email), (viii) Pesan Pendek/SMS, (ix) menggunakan compact disk/CD, (x) status di BBM, (xi) medium untuk melakukan advokasi, dan lain sebagainya.Segala pendapat, opini, ekspresi, yang dilakukan dengan sengaja atau tidak, ditujukan untuk menghina dan mencemarkan atau bukan, baik yang dilakukan secara privat atau publik, dapat dengan gampang menjadi sasaran tuduhan penahanan dan pemenjaraan. Akibatnya ada situasi yang membuat orang-orang semakin takut berbicara, mengemukakan pendapat, melakukan kritik, baik kepada pemerintah dan aparatnya, termasuk komplain kepada buruknya pelayanan badan-badan pemerintah dan swata melalui medium internet dan sarana elektronik lainnya, atau kepada orang–orang secara individu. Sebetulnya inilah efek yang paling buruk dari penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE, dan khusus Pasal 27 ayat (3) cenderung lebih menjadi sarana kontrol dan pembalasan dendam daripada instrumen perlindungan hak atas kebebasan berekspresi. Dari hasil penelaahan terhadap beberapa kasus, baik dalam pelaporan ke polisi, penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang ancamannya menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, nampak bahwa aparat penegak hukum merespon kasus dengan penggunaan pasal tersebut dengan cara yang beragam, baik dalam dakwaan, prosedur penahanan, prosedur cabut laporan dan mediasi, maupun dalam menafsirkan pasal itu sendiri.

Khusus dalam hal

mempertimbangkan putusan, para hakim umumnya terlihat mengalami kebingungan dalam menguji unsur-unsur pidana, akhirnya timbul beragam penafsiran mengenai maksuddan


Seri Internet dan HAM

elemen-elemen yang terkandung di dalam pasal tersebut. Oleh karena itu, dalam penafsirannya ketentuan Pasal 27 ayat (3), juga berpotensi melanggar dengan prinsip lex stricta, dimana suatu aturan hukum harus ditafsirkan secara ketat. a. Praktik Pelaporan, Mediasi dan Permintaan Maaf Pasal 27 ayat (3) UU ITE Dalam sejumlah kasus, terjadinya pelaporan atas tindakan yang dianggap menghina dan atau melakukan pencemaran nama baik, pelaku berupaya untuk meminta maaf kepada pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.69 Namun banyak di antaranya juga, pelapor yang nama baiknya merasa dicemarkan menginginkan adanya proses hukum. Pada tahun 2009, Arif Rohmana, warga Kampung Lebak Purut, Desa Kupahandak, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang, Banten, yang mengirimkan SMS teror ke istri Presiden SBY, Ani Yudoyono, diproses hukum dengan didakwa melanggar Pasal 45 ayat (1) dan (3), Pasal 310 ayat (1) dan 311 ayat (1) KUHP tentang Penghinaan. Arif ditangkap oleh polisi dari Polda Banten dan kemudian dinyatakan sebagai tersangka. Arif melakukan permohan maaf kepada Presiden SBY dan Ani Yudhoyono dengan tanda tangan dan materai. Dengan permohonan maaf tersebut, penangguhan penahanan Arif dikabulkan dan dilepaskan dari penahanan.70 Tahun 2012, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dilaporkan ke polisi atas komentarnya melalui Twitter tentang advokat. Denny dilaporkan OC Kaligis ke polisi atas tuduhan pelanggaran asas praduga tak bersalah dan Pasal 310, 311 dan 315 KUHP serta UU ITE. Denny telah menyatakan meminta maaf kepada advokat bersih yang tidak nyaman dan mengatakan telah terjadi kesalahpahaman terkait pernyataannya di jejaring sosial.71 Johan Yan, seorang motivator dari Sidoarjo, telah menuliskan komentar di Facebook atas link suatu pemberitaan media online, diminta oleh pelapor untuk menghapuskan pernyataannya di Facebook tersebut. Johan kemudian menghapus dan meminta maaf kepada pihak yang dirugikan, tetapi tetap dilaporkan ke polisi. Yohan akhirnya menjadi tersangka dan dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Penetapan Johan sebagai tersangka ini tentu mengagetkan, karena sebelumnya dia telah menemui mereka yang berkepentingan, serta mengajukan permintaan maaf.72 69

Ibid. Lihat “Pelaku Teror SMS diancam 12 Tahun”, dalam http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/ news/2009/09/ 02/35567/Pelaku-Teror-SMS-Diancam-12-Tahun. 71 Lihat “Polda Metro Jaya Periksa Kaligis atas Pernyataan Wamenkumham”, dalam http://www.antaranews.com/berita/ 329826/polda-metro-periksa-oc-kaligis-soal-pernyataan-wamenkumham. 72 Lihat “Gara-Gara Komentar di Facebook, Johan Jadi tersangka”, dalam http://regional.kompas.com/read/2013/ 08/14/ 0922570/Gara.gara.Komentar.di.Facebook.Johan.Jadi.Tersangka. 70

29


30

Seri Internet dan HAM

Namun, terdapat juga kasus dimana kedua belah pihak mencoba untuk ‘mengklarifikasi’ masing-masing pendapat. Misalnya, salah satu pihak, meminta adanya permohonan maaf, sedangkan pihak lainnya memilih untuk mengklariifkasi. Dalam kasus Benny Handoko misalnya, terjadi perbedaan pada saat mana dan dalam konteks apa pendapat Benny Handoko di Twitter harus diklarifikasi. Kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan dan kasus hukum tetap dilanjutkan. b. Praktik Penahanan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE Penerapan Pasal 27 ayat (3) dengan jucto Pasal 45 ayat (1) UU ITE, telah memakan korban dengan dipenjaranya pihak-pihak yang ditetapkan sebagai sebagai tersangka/terdakwa karena dianggap menghina atau mencemarkan nama baik. Sebagai contoh, Prita Mulyasari, yang sebelumnya tidak ditahan selama proses di kepolisian, justru dikenai penahanan oleh JPU dan mendekam di penjara selama 22 hari di Rumah Tahanan dalam LP Wanita Tangerang. Kejaksaan beralasan, penahanan dilakukan karena ada kekhawatiran melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.73Dalam soal penahanan ini tampak perbedaan sikap antara kepolisian dan kejaksaan, terkait dengan sikap kooperatif Prita Mulyasari selama menjalani proses hukum. Kepolisian tidak melakukan penahanan karena melihat beberapa aspek, diantaranya Prita dianggap kooperatif dan mempunyai anak kecil sehingga tidak perlu penahanan.74 Selengkapnya, terkait dengan penahanan terhadap terdakwa dapat dilihat dalam tabel berikut ini: No.

Kasus

Penyidikan

Penuntutan

Pengadilan Tidak ditahan Hakim PN sejak 12 Juli sampai dengan 10 Agustus 2010. Perpanjangan Penahanan sejak 11 Agustus sampai dengan 9 Oktober 2010 Tidak ditahan Ditahan sejak 25 Januari sampai dengan 23 Februari 2011. Perpanjangan sejak 24 Februari sampai dengan 25

1 2

Prabowo Diki Chandra

Tidak ditahan Tidak ditahan

Tidak ditahan Tahanan kota. Ditahan sejak 17 Juni 2010 sampai dengan 6 Juli 2010. Perpanjangan sejak 7 Juli sampai dengan 5 Agustus 2010

3 4

Ira Simatupang Hamidy Arsa

Tidak ditahan Ditahan dari 15 Oktober sampai dengan 3 November 2010. Perpanjangan dari 4 November sampai dengan 12

Tidak ditahan Ditahan sejak 13 Desember 2010 sampai dengan 1 Januari 2011. Perpanjangan sejak 2 Januari 2011 sampai

73

Lihat “Tahan Prita, Jaksa Cuek Dibilang Tak Manusiawi”, dalam http://www.tempo.co/ read/ news/2009/ 06/03/ 064179683/Tahan-Prita-Jaksa-Cuek-Dibilang-TakManusiawi. 74 Lihat “Polisi: Jaksa Yang Menahan Prita”, dalam http://news.detik.com/read/2009/06/03/ 135013/ 1142034/ 10/ polisikejaksaan-yang-menahan-prita.


Seri Internet dan HAM

5 6

Herrybertus Julius Calame Benny Handoko

Desember 2010 tidak ditahan

dilimpahkan ke Pengadilan tidak ditahan

April2011 tidak ditahan

Tidak ditahan

Ditahan namun ditangguhkan Tidak ditahan Tidak ditahan

Tidak ditahan Tidak ditahan

7 8

Leco Maba Yenika Venta Resi

Tidak ditahan Ditahan sejak 3 April sampai dengan 22 April 2012, namun ditangguhkanpada 21 April 2012

9

Sophan Harwanto M. Arsyad

Tidak ditahan

Tidak ditahan

Tidak ditahan

Ditahan sejak 9 september sampa dengan 28 September 2013, kemudian ditangguhkan Ditahan sejak 14 Desember 2013 sampai dengan 2 Januari 2014. Perpanjangan penahanan dari 3 Januari sampai dengan 11 Februari 2014 Tidak ditahan Tidak ditahan

Penangguhan

Penangguhan

Ditahan sejak 12 Februari sampai dengan 03 Maret 2014

Ditahan sejak 24 Februari sampai dengan 25 Maret 2014. Perpanjangan sejak 26 Maret sampai dengan 24 Mei 2014

Tidak ditahan Tidak ditahan

Tidak ditahan Tidak ditahan

ditahan

ditahan

ditahan

10

11

Abraham Sujoko Als. M. Faluid Muka Safa

12 13

M Fajrika Mirza Nunung Setyaningrum Muh Arsyad

14

Dalam kasus M. Arsyad,

yang ditetapkan menjadi tersangka karena tuduhan penghinaan

melalui status BBM, juga ditahan oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat selama seminggu, sebelum ditangguhkan penahanannya.75 Kepolisian menyatakan penahanan terhadap Arsyad, telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku, sudah memenuhi unsur pidana dan tersangka dikhawatirkan mengulangi perbuatannya. 76 Problem krusial dalam penahanan ini adalah penyidik atau penuntutut umum terkadang melupakan prosedur yang termaktub dalam Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dimana dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu 1x24 jam. Permohonan penetapan ini menjadi pintu untuk menguji penting atau tidaknya suatu penahanan. Dalam banyak kasus, polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana diatur Pasal 43 ayat (6) UU ITE ini.

75

Lihat “Polisi Bebaskan Penghina Nurdin Halid”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/09/16/ 063513795/ PolisiBebaskan-Penghina-Nurdin-Halid. 76 Lihat “Kasus Status BBM, Polisi Pertimbangkan Tangguhkan Penahanan Arsyad’, dalam http://news.detik.com/read/ 2013/09/12/160715/2357137/10/kasus-status-bbm-polisi-pertimbangkan-tangguhkan-penahanan-arsyad?nd771104bcj.

31


32

Seri Internet dan HAM

c. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam melakukan dakwaan, JPU selalau bersifat pragmatis, yakni berupaya tidak hanya menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, namun juga pasal-pasal KUHP. Dakwaan yang ada juga menunjukkan kreatifitas JPU yang pada intinya menginginkan agar terdakwa dihukum. Banyak diantara para tersangka/terdakwa dalam kasus penghinan dan pencemaran nama baik, didakwa dengan berbagai model dakwaan (tunggal, alternatif, subsider dan campuran). Dalam dakwaan model alternatif, dakwaan pertama adalah pelanggaran Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE kemudian diikuti dengan berbagai dakwaan yang merupakan pelanggaran pasal-pasal penghinaan sebagaimana diatur dalam KUHP (diantaranya Pasal 310 ayat (2) dan (3), Pasal 311 ayat (1), dan Pasal 335 ayat (1) ke 2). No.

Kasus

Model Dakwaan Alternatif

Keterangan

1

Prabowo

2

Diki Chandra

Alternatif Subsidieritas

3

Ira Simatupang

Alternatif

4

Prita Mulyasari

alternatif

5

Herrybertus Julius Calame

Alternatif

6 7

Benny Handoko Leco Maba

Tunggal Alternatif

8

Yenika Venta Resi

Kumulatif

9

Sophan Harwanto

Alternatif

10

Hamidy Arsa

Alternatif

11

M Arsyad

Alternatif

12

Nunung Setyaningrum

Alternatif Subsidieritas

13

Abraham Sujoko Als. M. Faluid Muka Safa Muhammad Fajrika Mirza

Alternatif

Dakwaan PertamaPasal 156a KUHP atau dakwaan kedua Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Kumulatif subsidiaritas (campuran)

Kesatu primair diancam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE.Subsidair diancam Pasal 317 ayat (1) KUHP, lebih subsidair Pasal 311 ayat (1) KUHP, lebih subsidiari diancam Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Kedua primair diancam Pasal 263 ayat (1) KUHP, subsidair diancam Pasal 263 ayat (2) KUHP.

14

Didakwa Pasal 27ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, atau ii)Pasal 311 ayat (1) KUHP, atau Pasal 335 ayat (1) ke 2 KUHP. Didakwa Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, atau ii) primair: Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Subsidair: Pasal 311 ayat (1) KUHP. Didakwa Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, atau kedua Pasal 310 ayat (2) KUHP atau ketiga Pasal 311 ayat (1) KUHP. Didakwa Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE; atau ii) Pasal 310 ayat (2) KUHP, atau iii) Pasal 311 ayat (1) KUHP. Didakwa Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE; atau ii) Pasal 310 ayat (2) KUHP, atau iii) Pasal 311 ayat (1) KUHP. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Didakwa Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE, atau kedua Pasal 311 ayat (1) KUHP. Dakwaan kesatu Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE,kedua Pasal 335 ayat 1 KUHP, ketiga Pasal 310 ayat 2 KUHP. Dakwaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau kedua Pasal 310 ayat (1) KUHP. Dakwaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau kedua Pasal 45ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Dakwaan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE atau kedua Pasal 310 ayat (1) KUHP atau ketiga Pasal 315 KUHP. Dakwaan (i)Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE, atau ii) primair: Pasal 311 ayat (1) KUHP dan Subsidair: Pasal 310 ayat (1) KUHP.


Seri Internet dan HAM

Dakwaan JPU yang demikian, menunjukkan pasal-pasal dalam KUHP terkait dengan kasus-kasus penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tetap dapat digunakan oleh penegak hukum untuk memproses secara hukum perbuatan tersebut. Sifat dakwaan yang alternatif berarti bahwa penegak hukum akan membuktikan dakwaan pertama, misalnya menggunakan UU ITE, danjika tidak terbukti kemudian membuktikan dakwaan kedua, dan seterusnya, yang hanya mendasarkan pada penggunaan pasal-pasal KUHP. Artinya, penegak hukum, baik polisi maupun jaksa mempunyai keyakinan bahwa pasal-pasal KUHP dapat digunakan untuk menjerat orangorang yang dituduh melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan penodaan agama. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pengaturan berbagai macam pelarangan terkait dengan penghinaan, pencemaran nama baik, di dalam UU ITE merupakan suatu bentuk kriminalisasi berlebihan. d. Praktik Tuntutan JPU Fakta memang menunjukkan bahwa Jaksa lebih senang dengan tuntutan pidana pemenjaraan, ketimbang denda maupun pidana percobaan. Umumnya JPU berpendapat berdasarkan pemeriksaan saksi dan ahli, bahwa dakwaan pertama telah terbukti. Tuntutan JPU lebih banyak meminta pidana penjara yang lamanya bulanan, hanya ada 4 kasus JPU menuntut pidana diatas 1 tahun. Rata-rata tuntutan JPU juga menginginkan agar terdakwa segera masuk penjara atau ditahan. Disamping itu JPU juga menggunakan pidana denda terhadap terdakwa yang rata-rata sebesar Rp 1.000.000,00 s.d Rp 5.000.000,00. No. 1

Kasus Benny Handoko

2

Prabowo

3

Herrybertus Julius Calame

4

Diki Chandra

5

Ira Simatupang

6

Prita Mulyasari

7

Sophan Harwanto

Tuntutan JPU Pidana penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun Pidana penjara 3 bulan dikurangi selama masa penahanan, dan pidana denda sebesar Rp1.000.000,00, subsidair 2 bulan kurungan. Pidana penjara selama2 bulan ppidana penjara selama 10bulan, dikurangi masa penahanan, dengan perintah supaya terdakwa segera ditahan Pidana penjara selama 6 bulan, dengan perintah supaya terdakwa ditahan Pidana penjara selama 6 bulan dikurang masa penahanan, dengan perintah supaya terdakwa segera ditahan Pidana penjara selama 3 bulan

Keterangan Terbukti bersalah sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertamaPasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dalam dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti

bersalah

sesuai

33


34

Seri Internet dan HAM

8

A.Hamidy Arsa

9

Leco Maba

10

Yenika Venta Resi

11

Nunung Setyaningrum

12

Abraham Sujoko Als. M. Faluid Muka Safa

13

Muhammad Fajrika Mirza

Pidana penjara selama 3 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan Pidana penjara selama 8 bulan. Pidana denda sebesar Rp 2.500.000,00 subsidair 1 (satu) bulan kurungan Pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp 5.000.000. Pidana penjara selama 4 bulan dengan masa percobaan 8bulan

Pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan, dan denda sebesar Rp 3.000.000,00 subsidiair 3 bulan kurungan Pidana penjara selama 1 tahun, dengan perintah agar terdakwa segera ditahan

dakwaan pertamaPasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertamaPasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan kesatu Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah sesuai dakwaan pertama Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE Terbukti bersalah atas dakwaan kedua Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE77

Terbukti bersalah atas dakwaan pertama primair Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) UU ITE

G. Penafsiran Unsur-Unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE Penguraian atas unsur-unsur tindak pidana Pasal 27 (3) UU ITE, sebagai berikut: (i) setiap orang, (ii) dengan segaja dan tanpa hak, (iii) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan (iv) memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. a. Unsur dengan Sengaja Secara umum, pengertian unsur ‘dengan sengaja’ merujuk pada adanya kesengajaan dalam perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, yang mensyaratkan adanya sikap batin si pelaku yang mendorong ada atau setidaknya menyertai si pelaku saat melakukan tindak pidana. Tolak ukur untuk menilai ‘sengaja’ adalah perbuatan yang nampak dari si pelaku, sehingga sengaja haruslah mempunyai batasan-batasan. Pelaku harus mengetahui/menyadari dan menghendaki atau bermaksud. Kesengajaan ada 3 macamnya: i) kesengajaan sebagai maksud, ii) kesengajaan sebagai kepastian keharusan, iii) kesengajaan sebagai kemungkinan. 77

Surat Tuntutan No. Reg. Perkara: PDM-267/07/2012.


Seri Internet dan HAM

Tidak ada permasalahan dengan penafsiran unsur dengan segaja dalam hampir semua putusan. Perbedaannya terletak pada penafsiran perbuatan terdakwa, apakah memang dimaksudkan untuk melakukan tindakan yang dituduhkan atau tidak. Dalam sejumlah kasus, terdakwa mengaku tidak bermaksud untuk melakukan penghinaan, namun tindakan tersebut dilaporkan oleh korban sebagai tindak penghinaan. Kasus Prita Mulyasari merupakan salah satu contoh dari permasalahan tersebut. Dalam putusan kasasi, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari majelis hakim, di antaranya terkait dengan tujuan dibuatnya pernyataan yang berkorelasi dengan unsur ‘sengaja’ dan ‘tanpa hak’. Dua hakim menyatakan bahwa perbuatan Prita Mulyasari bukan ditujukan untuk alasan kepentingan umum, dan satu orang hakim lainnya menyatakan bahwa hal itu merupakan kritik demi kepentingan umum. “Jika melihat dari tujuannya, maka pernyataan terdakwa ...., tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik karena tujuannya memberikan peringatan kepada masyarakat agar tidak mengalami pelayanan kesehatan seperti dirinya”.78 Unsur sengaja, ternyata bukan hanya sebatas pada kesengajaan untuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau dapat diaksesnya, tetapi lebih jauh harus dikorelasikan dengan tujuan dari suatu pernyataan atau perbuatan dan materinya. Konteks inilah yang sebetulnya hilang dari pengaturan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, karena UU itu tidak mengenal kategorisasi delik sebagaimana yang dianut oleh KUHP. Dampaknya, tuduhan atas adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hakim akan terpaksa merujuk pada kategorisasi delik-delik penghinaan dalam KUHP, yang memunculkan persoalan tentang pembuktian soal ‘kepentingan umum’. Johan Yan, motivator yang dilaporkan telah melakukan tindakan pencemaran nama baik, mengaku apa yang dituliskannya di Facebook tidak mempunyai maksud apa-apa,karena ia sekadar berkomentar atas sesuatu yang sedang ramai dibahas di media. Setelah ada protes dari pihak yang dirugikan dan keberatan, Yohan kemudian menghapus status tersebut dan meminta maaf. Namun Yohan tetap dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka. Kasus Johan tersebut, sebetulnya telah menunjukkan ketiadaan niat atau kesengajaan untuk melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik, yang dilakukan dengan segera menghapus begitu ada keberatan dari pihak lain dan kemudian meminta maaf.

78

Putusan Nomor 822 K/Pid.Sus/2010.

35


36

Seri Internet dan HAM

b. Unsur Tanpa Hak Unsur ‘tanpa hak’ yang diterjemahkan sebagai perbuatan yang dilakukan di luar hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jabatan, kewenangan, atau kekuasaan yang ada padanya secara melawan hukum. Unsur tanpa hak ini dalam beberapa putusan pengadilan ditafsirkan secara beragam

sehingga mempunyai implikasi yang berbahaya khususnya terhadap

perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam kasus dengan tuduhan penghinaan, yang langsung ditujukan kepada pihak yang dirugikan atas pernyataan tertentu, masih mungkin adanya perbuatan ‘tanpa hak’. Dalam banyak kasus, ketika pandangan, opini atau ekspresi dinyatakan melalui blog pribadi atau Facebook, maka unsur tanpa hak ini secara terbalik akan dengan mudah menjadi target sebagai perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.Hal ini dapat terjadi karena UU ITE sendiri tidak menjelaskan secara persis elaborasi dari unsur tanpa hak. Bahkan rumusan dalam UU ITE cenderung membingungkan, rumusan UU tersebut justru mengindikasikan adanya hak yang diberikan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan penghinaan. Dalam kasus Diki Chandra, majelis hakim menyatakan pada unsur tanpa hak melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan dan serta membuat dapat diaksesnya informasi elektronik sehingga perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan dan serta membuat dapat diaksesnya informasi elektronik jadi terlarang. 79 Dengan pemahaman tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa pada Pasal 27 (3) UU ITE tercantum unsur tanpa hak

yang

ditujukan

agar

orang

berhak

melakukan

perbuatan

mendistribusikan,

mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik tidak boleh dipidana karena sifat melawan hukumnya tidak ada. Kondisi tersebut dapat tercapai apabila tindakan yang dianggap pencemaran itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Sementara Dalam kasus Leco Maba, majelis hakim hanya menjelaskan bahwa unsur ‘tanpa hak’ adalah ‘terdakwa tidak mempunyai hak atau tidak mempunyai ijin dari pihak yang berwenang’.80 Kata ‘tidak mempunyai hak’ atau ‘tidak mempunyai ijin dari pihak berwenang’ adalah penjelasan yang sumir, karena dalam konteks perbuatan dengan tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seringkali berkorelasi dengan pelaksanaan dari hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Muncul pertanyaan: pada situasi apa seseorang yang menyampaikan pandangannya dikatakan tidak berhak dan harus mendapatkan ijin dari pihak 79 80

Lihat Putusan No.mor : 1190 / PID.B / 2010 / PN.TNG. Putusan No. 45/Pid.B/2012/PN.MSH.


Seri Internet dan HAM

berwenang? Pandangan ini mirip dalam kasus Prabowo, dikatakan dalam putusan bahwa unsur ‘tanpa hak’ adalah melakukan sesuatu perbuatan yang dilakukan di luar hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan jabatan, kewenangan, atau kekuasaan yang ada padanya secara melawan hukum. Sifat melawan hukum ada dua: (i) formal, yaitu semua bagian yang tertulis dari rumusan tindak pidana telah dipenuhi, (ii) materiil, yaitu melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk UU dalam rumusan delik tertentu.81 Demikian pula pertimbangan hakim dalam kasus Abraham, hakim justru menyatakan bahwa, “Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan tanpa hak adalah tidak dilengkapi dengan surat – surat yang sah baik terhadap surat ijin maupun surat-surat lain terhadap suatu barang...”.82 Sedangkan dalam Kasus Nunung, hakim juga terlihat bingung menjelaskan apa yang dimaksud dengan tanpa hak. Majelis menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Tanpa Hak” adalah sesuatu yang dilakukan yang bertentangan dengan kepatutan didalam pergaulan bermasyarakat.83 Putusan pengadilan di atas menunjukkan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 27 (3) UU ITE, merupakan delik yang masih menyebabkan banyak penafsiran. Majelis hakim masih memerlukan rujukan yang benar dari berbagai sumber untuk menafsirkan unsur tersebut. c. Unsur Mendistribusikan dan/atau Mentransmisikan dan/atau Membuat Dapat Diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Bahwa unsur ‘mendistribusikan dan /atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik’ adalah unsur-unsur yang secara bahasa baru dalam hukum pidana, sehingga dalam sejumlah kasus, hakim merasa perlu menjelaskan unsur tersebut dengan merujuk pada referensi tertentu dan merujuk pada keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan, 84 di samping merujuk pada pengertian yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi ketiga terbitan Balai Pustaka 2003). Sementara pengertian ‘informasi elektronik’ dan ‘dokumen elektronik’, merujuk pada pengertian dalam UU ITE. Dalam putusan pengadilan dengan terdakwa Prabowo, majelis hakim menjelaskan sebagai berikut:

81

Putusan No. 232/Pid.B/2010/PN.Kdl. Putusan No.mor:33/PID.B/2014/PN.DPU. 83 Putusan No.mor : 45/Pid.Sus/2013/PN.Pt. 84 Lihat Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, dalam ... Op.Cit., hal. 25. 82

37


38

Seri Internet dan HAM

“Mendistribusikan: perbuatan menyebarkan secara luas informasi dan/atau dokumen elektronik melalui media elektronik. Penyebaran secara luas ini juga mengandung pengertian bahwa informasi tersebut berpindah dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Mendistribusikan informasi artinya menyebarkan informasi yang dimiliki baik kepada orang perorangan, golongan atau kelompok ke banyak orang;Mentransmisikan: memasukkan informasi kedalam jaringan media elektronik yang bisa diakses publik oleh siapa saja yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu (kapan saja dan dimana saja).

Mentransmisikan

adalah

kegiatan

mengirimkan,

memanjangkan,

atau

meneruskan informasi melalui media elektronik dan/atau perangkat elektronik. Mentransmisikan informasi artinya menyebarkan atau memberikan informasi dari satu orang ke orang lain;Akses: kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri dalam jaringan (merujuk pada Pasal 1 angka 15 UU ITE). Membuat dapat diaksesnya berarti kegiatan untuk membuat agar informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diakses orang lain. Bahwa diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik artinya sama dengan yang didistribusikan hanya targetnya adalah keseluruhan orang atau banyak orang.� Dalam kasus Benny Handoko, hakim dan JPU kelihatannya terlalu menyederhanakan pengertian-pengertian kunci dari elemen tindak pidana ini sehingga seakan-akan hanya mengutip bulat-bulat dari beberapa ahli tanpa melihat lebih teliti maksud dan tujuan pasal tersebut dan melihat bagaimana pendefinisian berdasarkan putusan lainnya. Dalam kasus tersebut Jaksa dalam tuntutan mendefinisikan yakni : x

Mendistribusikan adalah kegiatan menyebarkan informasi/dokumen elektronik kepada banyak orang dan atau mengumumkan suatu informasi/dokumen elektronik sehingga dapat diakses oleh publik.

x

Mentransmisikan adalah kegiatan memancarkan suatu gelombang berisi informasi/ dokumen elektronik agar diketahui oleh publik.

x

Membuat dapat diakses adalah tindakan untuk membuat suatu informasi/dokumen elektronik dapat dibuka atau diresepsi oleh publik dengan mudah pada suatu tempat tertentu.

JPU dalam tuntutannya menyatakan berdasarkan fakta hukum tersebut telah cukup bukti bahwa terdakwa telah menyebarkan informasi elektronik kepada banyak orang, 85 dengan menuliskan kicauan yang telah menyerang kehormatan dan nama baik saksi di jejaring sosial Twitter, sehingga unsur ini telah terpenuhi. Hal ini sesuai dengan pengertian yang diusung oleh 85

JPU mendasarkan kepada fakta hukum bahwa bahwa benar apa yang dituliskan oleh terdakwa dapat dibaca oleh sedikitnya para follower/pengikut aku twitter milik terdakwa Lihat putusan No. 1333/Pid Sus/2013/PN/Jktsel.


Seri Internet dan HAM

JPU tentang mendistribusikan, yakni kegiatan menyebarkan informasi/dokumen elektronik kepada banyak orang dan atau mengumumkan suatu informasi/dokumen elektronik sehingga dapat diakses oleh publik. JPU mendasarkan kepada fakta hukum “bahwa benar apa yang dituliskan oleh terdakwa dapat dibaca oleh sedikitnya para follower/pengikut aku twitter milik terdakwa. sehingga unsur mendistribusikan dianggap telah terpenuhi”.86 Sedangkan dalam putusan, hakim hanya mendasarkan kepada pendapat ahli bahasa Asisda Wahyu Asri Putradi dan ahli IT Muhammad Salahuddien Mangganny, bahwa yang dimaksud mendistribusikan dan/atau mentransmisikan adalah tindakan yang ditujukan untuk menyebarluaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. 87 Hakim kemudian menyatakan: “… berdasarkan uraian pertimbangan di atas perbuatan terdakwa menerima dan mengomentari tweet dan menulis (mendistribusikan dan/atau mentransmisikan) tentang Misbakhun pada akun twitternya yang memiliki pengikut aku twitter sebanyak 46.000 orang dan apa yang telah dituliskan oleh terdakwa dapat diakses dan dibaca oleh para pengikut akun twitter milik terdakwa tersebut adalah memenuhi unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnyanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik ..” Jadi dalam pertimbangannya hakim menyimpulkan bahwa terdakwa tidak hanya memenuhi unsur

mendistribusikan

namun

juga

telah

memenuhi

semua

unsur

yakni

unsur

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnyanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Ketidakcukupan referensi sehingga majelis hakim tidak menguraikan unsur dengan memadai juga terjadi dalam kasus A. Hamidy Arsa. Majelis hakim dalam menjelaskan tentang mendistribusikan

dan/atau

mentransmisikan

dan/atau

membuat

dapat

diaksesnya,

menyatakan, “Menimbang bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah mengirimkan atau menyebarkan”.88Hakim tidak menjelaskan lebih rinci tentang apa maksud ‘mendistribusikan’, ‘mentransmisikan’ dan ‘membuat dapat diaksesnya’. Sementara untuk pengertian tentang ‘informasi elektronik’ dan ‘dokumen elektronik’ hanya diberikan penjelasan berdasakan pengertian sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam UU ITE.

86

Lihat, Supriyadi Widodo Eddyono, “Catatan atas Putusan Pengadilan Perkara Beni Handoko (Benhan), ICJR, 2014. Katerangan tersebut secara sederhana menyatakan bahwa mendistribusikan adalah sama dengan menyebarkan. 87 Lihat putusan No. 1333/Pid Sus/2013/PN/Jktsel. 88 Putusan No. 23/Pid.B/2011/PN-JTH.

39


40

Seri Internet dan HAM

Berdasarkan pada pengertian-pengertian di atas, maka semua perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan semua sistem elektronik dapat dijerat. Dalam berbagai kasus, Pasal 27 (3) UU ITE telahditerapkan pada hampir semua bentuk pendistribusian atau transmisi elektronik dan menggunakan medium apapun sepanjang sesuai dengan pengertian infomasi atau dokumen elektronik. Oleh karenanya, tidak heran jika penerapan pasal-pasal tersebut menyasar pada tindakan yang dilakukan menggunakan media sosial (misalnya Facebook atau Twitter), blog pribadi, SMS, bahkan status Blackberry seseorang. d. Unsur Memiliki Muatan Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Ada dua model yang ditemukan terkait dengan penafsiran hakim atas unsur ini, dimana sebagian hakim mengaitkan unsur ini dengan Pasal 310 dan 311 KUHP, dan sebagian lain membuat penfsiran sendiri tanpa merujuk KUHP.

Walaupun secara umum, dari semua

dokumen putusan pengadilan yang ditemukan hakim masih merujuk penjabaran unsur lewat Pasal 310 dan 311 KUHP (kecuali dalam kasus Benny Handoko). Dalam kasus Diki Chandra, bahwa unsur ‘yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ adalah unsur-unsur sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal tentang penghinaan di KUHP. “Menimbang, bahwa unsur ini dalam rumusan tindak pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah unsur keadaan yang menyertai dan melekat pada obyek informasi dan atau dokumen elektronik, melekat sifat melawan hukum perbuatan mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, sekaligus sebagai pemberi perlindungan hukum, harga diri, martabat, mengenai nama baik dan kehormatan orang dan tindak pidana ini merupakan lex specialis dari bentukbentuk penghinaan umum, utamanya pencemaran dalam KUHP;” “Menimbang, bahwa .... frasa yang memiliki muatan penghinaan dalam rumusan pasal 27 ayat (3) UU ITE, mengandung makna yuridis adalah semua bentuk-bentuk penghinaan dalam Bab XVI KUHP mulai pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, menimbulkan prasangka palsu sampai penghinaan pada orang mati, sedang dalam frasa pencemaran nama baik maksudnya adalah pencemaran (bentuk standar) dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP;”89 Sementara berdasarkan pertimbangan hukum dalam kasus Prabowo, majelis hakim menjelaskan bahwa unsur memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, hakim menyatakan bahwa penghinaan dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang merendahkan harga diri dan martabat seseorang, baik yang dilakukan secara lisan maupun 89

Putusan No. 1190/PID.B/2010/PN.TNG.


Seri Internet dan HAM

tertulis. Penghinaan (defamation), secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. 90Hakim merujuk pendapat bahwa ‘menghina’ adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, dan yang diserang biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksual.91 Terdapat pula penjabaran unsur ‘memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik’ dengan penjelasan yang sumir,92 misalnya dalam Kasus A. Hamid Arsya. Majelis hakim menjelaskan maksud menyerang nama baik adalah merusak penilaian yang baik dari masyarakat kepada seseorang. Dinyatakan “Menimbang bahwa yang dimaksud dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang sedangkan yang dimaksud dengan menyerang nama baik adalah merusak penilaian yang baik dari masyarakat kepada seseorang”.93 G. Penjatuhan Hukuman Pasal 27 ayat (3) UU ITE Tak ada alasan yang sahih mengapa ancaman 6 tahun penjara dikenakan pada tindak pidana yang diatur dalam Pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hasil yang dicapai dari pencantuman ancaman 6 tahun penjara adalah kekacauan pemidanaan. Satu-satunya alasan yang dapat ditemukan adalah ancaman 6 tahun hanyalah sekedar untuk dapat menahan tersangka.94Hasil penelitian yang dilakukan oleh ICJR pada tahun 2012 terhadap putusan-putusan pengadilan dalam kasus penghinaan telah menunjukkan bahwa pada umumnya Jaksa Penuntut Umum seringkali menuntut hukuman penjara dengan Pasal 27 ayat (3), sehingga tak heran apabila ancaman pidana 6 tahun juga dijatuhkan agar tersangka dapat ditahan. Namun hasil penelitian ICJR juga menunjukkan bahwa meskipun Jaksa Penuntut Umum seringkali menuntut hukuman penjara, namun tuntutan hukuman penjara dari Jaksa Penuntut Umum rata-rata hanya 5,1 bulan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa rata–rata hukuman penjara ataupun rata-rata hukuman percobaan yang dijatuhkan oleh pengadilan juga tidak 90

Putusan No.mor: 232/Pid.B/2010/PN.Kdl. Menurut Hakim selanjutnya dalam Kasus tersebut Penghinaan dalam KUHP ada enam macam: (i) menista secara lisan, (ii) menista dengan surat/tertulis, (iii) memfitnah, (iv) penghinaan ringan, (v) mengadu secara memfitnah, dan (vi) tuduhan secara memfitnah. Menista diartikan sebagai perbuatan menuduh seseorang telah melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan itu adalah perbuatan melawan hukum maupun bukan perbuatan yang melawan hukum, padahal berdasarkan faktanya seseorang yang dituduh tersebut tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Hakim juga menambahkan, bahwa pasal penghinaan membutuhkan adanya kesengajaan dalam perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, disyaratkan adanya suatu sikap batin si pelaku yang mendorong atau setidaknya menyertai si pelaku saat melakukan tindak pidana. Tolok ukur untuk menilai ‘sengaja’ adalah dari perbuatan-perbuatan yang nampak dari si pelaku, sehingga ‘sengaja’ tersebut haruslah mempunyai batasan-batasan. Kesengajaan, atau dikenal sebagai ‘willens en wetens’, berarti si pelaku mengetahui/menyadari dan menghendaki/bermaksud. 92 Lihat Wahyudi Djafar dan Zainal Abidin, dalam Op.Cit., hal. 28. 93 Putusan No. 23/Pid.B/2011/PN-JTH. 94 Lihat http://blogs.depkominfo.go.id/artikel/2006/11/15/resume-rdpu-pansus-ruu-ite. 91

41


42

Seri Internet dan HAM

mencapai 1 tahun. Hukuman penjara rata–rata 3 bulan sampai 7 bulan, sementara hukuman percobaan yang dijatuhkan rata–rata 4 bulan hingga 8 bulan. No. 1

Kasus Prabowo

Putusan PN Pidana penjara selama 3 bulan dan denda sebesar Rp 1.000.000, -, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan Pidana penjara selama 1 bulan

2

Herrybertus Julius Calame

3

Diki Chandra

Pidana penjara selama 10 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah supaya terdakwa segera ditahan

4

Ira Simatupang

5

Prita Mulyasari

Pidana penjara selama 5 bulan, menyatakan pidana tersebut tidak usah dijalani oleh terdakwa kecuali apabila kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 10 bulan berakhir Mengabulkan keberatan/eksepsi penasehat hukum terdakwa. Menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum

6

Sophan Harwanto

7

A Hamidy Arsya

Pidana penjara selama 2 bulan dengan masa percobaan 4 bulan, dengan perintah pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana atau pelanggaran disiplin sesuai Pasal 5 UU No. 26 Tahun 1997 sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis Pidana penjara selama 10 bulan, menetapkan lamanya penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

Putusan PT/MA -

Membatalkan Putusan PN, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan JPU. Membebaskan terdakwa dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya

Pidana penjara selama 8 bulan, menyatakan pidana tersebut tidak usah dijalani oleh terdakwa kecuali apabila kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 tahun MA mengadili sendiri perkara tersebut, membatalkan putusan PN, menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah di jalankan kecuali dalam waktu masa percobaan selama 1 tahun, terdakwa melakukan tindak pidana yang dapat dihukum


Seri Internet dan HAM

8

Leco Maba

9

Benny Handoko

10

Yenika Venta Resi

11

Nunung Setyaningrum

12

Abraham Sujoko Als. M. Faluid Muka Safa

12

M. Arsyad

13

Muhammad Fajrika Mirza, Sh Alias Boy Bin A. Ganie Mustafa

dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan Pidana penjaraselama 6bulan, menyatakan pidana tersebut tidak usah dijalankan, kecuali jika dikemudian hari dalam putusan hakim diperintahkan lain, yaitu karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 1 tahun Pidana penjara selama 6 bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 1 tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana Pidana penjara selama 3 bulan dan pidana denda sebesar Rp 2.000.000,00 dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan Pidana penjara selama 3 bulan, menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika dikemudian hari dengan suatu putusan hakim ditentukan lain atas dasar terpidana sebelum berakhirnya masa percobaan selama 6 bulan berakhir telah bersalah melakukan tindak pidana Pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp. 3.000.00000, apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan Tidak terbukti dan membebaskan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair dan Dakwaan Kedua baik dakwaan Kedua Primair maupun Dakwaan Kedua Subsidair, namun terbukti bersalah melakukan tindak pidana “pengaduan palsu kepada penguasa, sebagaimana dakwaan kesatu subsidair

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 bulan

Dalam berbagai kasus terkait dengan pencemaran nama baik di atas, putusan pengadilan yang menghukum terdakwa umumnya justru menyatakan bahwa terdakwa tidak perlu menjalani hukuman,contohnya

dalam kasus Ira Simatupang, Prita Mulyasari, Leco Maba, Sophan

43


44

Seri Internet dan HAM

Harwanto, Benny Handoko, dan Yenika.Pola ini secara tegas menjawab bahwa kebijakan tingginya ancaman hukuman dalam beberapa undang-undang terkait defamasi menjadi kurang berdasar. Selain pola dan tren dari putusan pengadilan yang menunjukkan ukuran minim dari penjatuhan pidana, data lain yang tidak kalah menarik adalah alur koreksi putusan dari Pengadilan Negeri (PN) ke Mahkamah Agung (MA) yang menunjukkan fakta bahwa penggunaan pidana penjara mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2012 dengan 205 kasus yang dituntut penjara, rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan oleh PN adalah 154 hari penjara, angka ini kemudian dikoreksi menjadi 112 hari penjara di MA. Namun, yang menjadi catatan penting adalah dari 205 tuntutan pidana penjara yang dilakukan di Pengadilan, PN memutus bersalah 126 tuntutan diantaranya, alur tersebut kemudian berubah menjadi hanya 75 tuntutan yang dikabulkan di tingkat MA.95 Berbeda dengan tren pidana penjara bagi kasus penghinaan, penggunaan pidana percobaan justru meningkat. Pada tahun 2012, berdasarkan riset ICJR, rata-rata lama percobaan yang dituntut adalah 272 hari penjara. Koreksi yang dilakukan oleh MA hanya menurun diangka 252 hari penjara saja. Fakta lain yang lebih menarik adalah dari 63 jumlah tuntutan percobaan, Putusan PN menjatuhkan justru

lebih dari yang dimintakan yaitu 73 Putusan, dan yang

dikoreksi oleh MA hanya turun di angka 37 putusan yang dikenakan masa percobaan. Secara perbandingan, MA mengabulkan pidana penjara hanya 37% dari tuntutan yang diajukan, sedangkan menjatuhkan pidana percobaan mencapai 59% dari jumlah tuntutan. Peningkatan penggunaan hukum percobaan tersebut sejalan dengan karekteristik dari kasuskasus penghinaan yang terjadi di Indonesia. ICJR mencatat bahwa dalam tahap tuntutan, penggunaan hukuman percobaan jauh meningkat ketimbang dalam tahap dakwaan jaksa. Ini menunjukkan, bahwa hampir separuh bukti-bukti yang diperiksa dalam tahap pemeriksaan pengadilan menunjukkan kualitas penghinaan yang rendah. Dengan kata lain, banyak unsurunsur penghinaan dalam dakwaan kurang terpenuhi. Akibatnya, dalam banyak dakwaan Jaksa yang menuntut hukuman penjara bagi pelaku penghinaan, tapi diturunkan menjadi hukuman percobaan oleh putusan pengadilan.96

95 96

Ibid. Ibid.


Seri Internet dan HAM

Faktanya menunjukkan bahwa Jaksa lebih senang dengan tuntutan pemenjaraan pada terdakwa tindak pidana penghinaan, daripada penggunaan pidana denda. 97 Minimnya tuntutan pidana denda sendiri lebih diakibatkan karena jumlah nominal yang di atur dalam KUHP sangat minim (Rp 4.500), sehingga JPU terkesan enggan untuk menggunakan jenis hukuman ini. Walaupun dalam perkembangannya pada 2012 ada kenaikan nilai denda berdasarkan Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, namun cara menghitung besaran dendanya dan prakteknya belum ditemukan untuk kasus pidana penghinaan. H. Penggunaan KUHP dalam Penghinaan di Ranah Maya. Terdapat fakta dalam berbagai kasus penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang terjadi setelah terbentuknya UU ITE, masih ada beberapa kasus yang dituntut hanya dengan pasalpasal di KUHP, tidak menggunakan UU ITE. Padahal, perbuatan dilakukan melalui sistem informasi elektronik. Nyatanya pengadilan mampu menjatuhkan hukuman atas perbuatan tersebut meski dakwaan menggunakan KUHP. Kasus-kasus yang hanya menggunakan pasal-pasal KUHP misalnya dalam kasus Ajimuddin, yang dituduh melakukan penghinaan melalui SMS, didakwa melanggar Pasal 315 KUHP. Ajimuddin akhirnya dijatuhi pidana 6 bulan penjara oleh PN Kendari dan menjadi 2 bulan penjara dengan percobaan 4 bulan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara.98 Demikian pula dengan kasus Riza Yanti, yang dituduh melakukan fitnah melalui SMS. Riza Yanti didakwa melanggarPasal 311 ayat (1), dan Pasal 310 (1) KUHP dan diadili di PN Bireun.99 Kedua kasus tersebut juga menunjukkan, bahwa perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik serta fitnah, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik dalam hal ini SMS, dapat dituntut menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Perkara Beni Rahal adalah suatu perkara penghinaan dengan menggunakan medium surat elektronik yang dibuat oleh lebih dari 1 orang dan disebarluaskan tidak hanya kepada satu atau dua orang namun disebarluaskan kepada banyak orang. Beni Rahal dikenakan tuduhan melanggar Pasal 311 (1) KUHP dan Pasal 310 ayat (1) KUHP. Tidak cukup jelas kenapa Jaksa Penuntut Umum menggunakan Pasal 310 ayat (1) dan bukannya Pasal 310 ayat (2) KUHP. 97

ICJR, Analisis Situasi ...Op.Cit.,hal. 43. Perbandingan tuntutan PU terhadap terdakwa penghinaan menunjukkan bahwa 205 Perkara dituntut dengan Hukuman Penjara, 70 perkara dituntut dengan Hukuman Percobaan dan hanya 1 Perkara saja yang dituntut dengan Pidana Denda. 98 Putusan PN Kendari No. 30/Pid.R/2010/PN.Kdi tanggal 30 September 2010, Putusan PT Sulawesi Tenggara No. 1/Pid/2011/PT.Sultra. 99 Putusan PN No. 87/Pid.B/2009/PN-BIR.

45


46

Seri Internet dan HAM

Namun pesan yang dapat disampaikan dalam perkara ini adalah adanya kemiripan antara perkara Beni Rahal dengan perkara yang menimpa Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia. Kedua–duanya dituduh melakukan penghinaan dengan menggunakan sarana surat elektronik. Namun Prita Mulyasari tidak hanya didakwa dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP dan Pasal 310 ayat (2) KUHP namun juga didakwa melanggar Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sementara dalam perkara Ajimuddin, Riza Yanti, Lilik Supriyadi, Hasbi Idris, Josua Purba, dan Prabowo memiliki kemiripan yaitu penghinaan tersebut dilakukan melalui pesan singkat dari telepon seluler. Keenam perkara ini terjadi paska disahkannya UU ITE. Kelima perkara selain perkara Prabowo diadili dengan menggunakan instrument KUHP. Hanya dalam perkara Prabowo Vs. Negara Republik Indonesia, ketentuan pidana Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE dicantumkan, namun demikian dakwaan lainnya yang dikenakan kepada Prabowo juga masih menggunakan KUHP. Dari kasus–kasus pidana penghinaan dengan menggunakan alat–alat canggih yang terkait dengan teknologi informasi, setelah disahkannya UU ITE justru dihadapkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan dengan menggunakan KUHP. Maka dengan argumen pemerintah dan MK yang menyatakan bahwa KUHP tidak lagi mampu menjangkau kejahatan penghinaan yang dilakukan melalui sarana teknologi informasi, mestinya dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima oleh pengadilan. Namun pada kenyataannya dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut tetap digunakan sebagai landasan pemeriksaan bagi para terdakwa dalam perkara– perkara tersebut di pengadilan.100 I. Minimnya Pengakuan atas Doktrin “Membela Diri” Dalam

banyak kasus,tidak terlihat alasan-alasan pembenar yang coba dilekatkan dalam

pertimbangan hakim. Jika dilihat dari berbagai doktrin yang di paparkan diatas. Seharusnya majelis hakim dapat mengukur perbuatan para terdakwa tersebut melalui pengujian dengan doktrin alasan pembenaran yang tersedia. Doktrin pembelaan diri atau “demi kepentingan publik” yang kerap tersedia dalam unsur Pasal 311 KUHP sepertinya sangat jarang ada dalam pembahasan unsur-unsur Pasal 27 ayat (3) di pengadilan. Hanya dalam kasus Prita ada dissenting opinion yang menyebutkan bahwa tindakan Prita tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik, karena 100

Lihat Pasal 140 - 143 ayat (1) KUHAP.


Seri Internet dan HAM

tujuan dari tindakan Prita adalah memberikan peringatan kepada masyarakat agar tidak mengalami pelayanan kesehatan seperti dirinya. Pertimbangan ini merupakan hal penting karena salah satu hakim telah menggunakan doktrin “membela diri�. J. Penutup : Dampak Buruk UU ITE Terhadap Berkurangnya Kebebasan Berekspresi Sebagaimana diuraikan di atas, berbagai kasus yang terkait penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah menimbulkan ketakutan luar biasa bagi orang-orang yang menyampaikan ekspresi karena potensinya gampang dijerat oleh hukum. Permintaan maaf yang diajukan oleh pelaku juga tidak menyelesaikan masalah karena mereka masih dibayangi oleh ketakutan akan ancaman fisik, psikologis, dan ancaman pidana itu sendiri. Dampak lain dari pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi adalah semakin terancamnya suara-suara kritis kepada pejabat publik yang digunakan sebagai sarana kontrol. Penyampaian pandangan melalui media elektronik, yang ditujukan untuk membuka ruang perdebatan juga sering berujung pada jeratan pidana, misalnya dalam sejumlah kasus terkait dengan tuduhan penghinaan. Publik semakin menghindari memberikan opini atau pandangan kepada pejabat publik, serta membuka ruang diskusi terhadap isu-isu tertentu yang merupakan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Oleh karena itu, memperhatikan berbagai temuan dalam penerapan UU ITE, sebagaimana dipaparkan dalam uraian di atas, disusun rekomendasi sebagai berikut : Pertama, pentingnya melakukan penelaahan ulang dari revisi terhadap UU Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya untuk memberikan ruang yang memadai pengaturan mengenai konten dan pengawasannya. Selain itu, perlu dipastikan adanya harmonisasi berbagai instrumentasi internasional hak asasi manusia yang telah diadopsi Indonesia sebagai kerangka utama dalam revisi UU ITE. Kedua, pentingnya mendorong aparat penegak hukum untuk memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai berbagai jaminan perlindungan hak asasi manusia, khususnya yang terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi, sehingga mampu terimplementasikan di dalam setiap aktivitas penegakan hukum. Selain itu, kaitannya dengan penggunaan sarana teknologi informasi, penting untuk memastikan aparat penegak hukum mendapatkan cukup masukan informasi dan pengetahuan, perihal seluk-beluk perangkat

47


48

Seri Internet dan HAM

tersebut, sehingga ada ketepatan dalam setiap tindakan yang terkait dengan penegakan hukum yang melibatkan sarana teknologi informasi. Ketiga, pentingnya pembentuk undang-undang segera melakukan dekriminalisasi penghinaan dan pencemaran nama baik. Pidana pencemaran nama baik, merupakan penggunaan sewenangwenang hukum pidana terhadap ekspresi yang sah, dan merupakan salah satu bentuk paling parah dari pembatasan hak asasi. Penerapan hukuman terhadap pencemaran nama baik seharusnya hanya dikenakan pada tindakan yang sangat serius, dan pemenjaraan bukanlah hukuman yang tepat bagi tindakan pencemaran nama baik. Keempat, sebelum dicanangkan dekriminalisasi terhadap pasal-pasal penghinaan/ pencemaran nama baik, penting bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan edaran resmi mengenai depenalisasi terhadap pasal-pasal tersebut, dalam penerapannya di lapangan. Aparat penegak hukum termasuk penyidik, penuntut dan hakim, semestinya dapat berperan aktif dalam upaya meninggalkan penggunaan pasal-pasal ini dengan mendorong pihak yang bertikai untuk memilih jalur mediasi. Kelima, pentingnya memastikan reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang sejalan dengan arah dan maksud perlindungan hak atas kebebasan berpendapat, berekspresi, maupun hak atas informasi. Hal ini penting untuk menghidari situasi ketidak pastian hukum seperti hari ini, ketika ada kesenjangan yang kentara antara UU ITE dengan KUHP. Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada satu sisi ditujukan untuk melindungi hak-hak dan reputasi orang lain. Namun pada sisi yang lain dapat dipahami sebagai upaya kontrol yang kuat terhadap pandangan dan ekspresi publik. Pelapor Khusus PBB untuk Pemajuan dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi, dalam Laporan tahun 2001 kepada Komisi HAM PBB, telah menyampaikan kecemasannya atas upaya kontrol dari pemerintah terhadap internet. Karena dalam tahun tersebut, sejumlah negara mulai menerapkan hukuman pidana terhadap warganya karena mengunggah suatu informasi di internet. Bahkan mereka yang mengunggah tulisan atau bentuk-bentuk ekspresi lainnya yang materinya dianggap subversif, selain ditutup lamannya, juga diancam hukuman penjara.101 Tindakan yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik, menjadi masalah yang kontroversial, akibat ‘rentannya’ tindakan tersebut menjadi tuduhan yang sewenang-wenang dan melanggar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di tengah belum 101

Lihat Wahyudi Djafar dan Indriaswati D. S,Tata Kelola Internet yang Berbasis Hak, Studi tentang Permasalahan Umum Tata Kelola Internet dan Dampaknya Terhadap Perlindungan HAM,(Jakarta: ELSAM, 2013), hal. 8.


Seri Internet dan HAM

direformasinya KUHP, dengan perumusan yang buruk dan penerapan yang diskriminatif, menjadikan jaminan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat seringkali terlanggar. Praktik pengadilan di Indonesia juga belum banyak yang menggunakan standar pembuktian untuk menguraikan tindakan yang dianggap merendahkan reputasi orang lain, dengan merujuk pada standar pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam kasus-kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di atas, terdapat potensi ketidakpahaman penegak hukum dalam menyeimbangkan antara ‘melindungi reputasi seseorang’ sebagai dasar pembatasan hak, dengan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi itu sendiri.

49


Seri Internet dan HAM

Profil ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuh kembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya–sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI : Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI : Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA - Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia - Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya - Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia - Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia

STRUKTUR ORGANISASI Badan Pengurus : Ketua

: Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M.

Wakil Ketua

: Kamala Chandrakirana, M.A.

Sekretaris

: Dra. Roichatul Aswidah, M.A.

Bendahara I

: Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A.

Bendahara II

: Sentot Setyosiswanto, S.Sos.

51


Seri Internet dan HAM

Anggota Perkumpulan : Abdul Hakim G. Nusantara, S.H., LL.M.; Ifdhal Kasim, S.H.; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, M.A.; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Drs. Hadimulyo.; Lies Marcoes, M.A.; Johni Simanjuntak, S.H.; Sandrayati Moniaga, S.H.; Maria Hartiningsih.; E. Rini Pratsnawati.; Ir. Yosep Adi Prasetyo.; Francisia Saveria Sika Ery Seda, Ph.D.; Raharja Waluya Jati.; Tugiran S.Pd.; Abdul Haris Semendawai S.H., LL.M. Badan Pelaksana : Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan : Wahyu Wagiman Deputi Direktur Pengembangan Sumberdaya HAM : Zainal Abidin Staf : Ahmad Muzani; Andi Muttaqien; Ari Yurino; Elisabet Maria Sagala; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Prasnawati; Ikhana Indah Barnasaputri; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena; Otto Adi Yulianto, Paijo; Rina Erayanti; Siti Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohana Kuncup; Adiani Viviana; Kania Mezariani.

Alamat : Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat Pasar Minggu , Jakarta - Selatan INDONESIA – 12510 Tel : +62 21 7972662, 79192564 Fax : +62 21 79192519 E-mail : office@elsam.or.id Website : www.elsam.or.id Linimasa : @elsamnews

52


Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik pada satu sisi ditujukan untuk melindungi hak-hak dan reputasi orang lain. Namun pada sisi yang lain dapat

SERI INTERNET & HAM

PROBLEM PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK DI RANAH MAYA

dipahami sebagai upaya kontrol yang kuat terhadap pandangan dan ekspresi publik. Berbagai kasus mencuat dalam setidaknya lima tahun penerapan undang-undang tersebut. Situasi tersebut telah menimbulkan ketakutan luar

Supriyadi Widodo Eddyono

biasa bagi orang-orang yang menyampaikan ekspresi karena potensinya gampang dijerat oleh hukum. Permintaan maaf yang diajukan oleh pelaku juga tidak menyelesaikan masalah karena mereka masih dibayangi oleh ketakutan ƒÂ?ƒÂ? ƒÂ?…ƒÂ?ƒÂ? Ď?‹•‹Â?ÇĄ ’•‹Â?‘Ž‘‰‹•ǥ †ƒÂ? ƒÂ?…ƒÂ?ƒÂ? ’‹†ƒÂ?ƒ ‹–— •‡Â?†‹”‹Ǥ ƒÂ?’ƒÂ? Žƒ‹Â? †ƒ”‹ pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi adalah semakin terancamnya suara-suara kritis kepada pejabat publik yang digunakan sebagai sarana kontrol. ‡Â?›ƒÂ?’ƒ‹ƒÂ? ’ƒÂ?†ƒÂ?‰ƒÂ? Â?‡ŽƒŽ—‹ Â?‡†‹ƒ ‡Ž‡Â?–”‘Â?‹Â?ÇĄ ›ƒÂ?‰ †‹–—Œ—Â?ƒÂ? —Â?–—Â? Â?‡Â?„—Â?ƒ ”—ƒÂ?‰ ’‡”†‡„ƒ–ƒÂ? Œ—‰ƒ •‡”‹Â?‰ „‡”—Œ—Â?‰ ’ƒ†ƒ Œ‡”ƒ–ƒÂ? ’‹†ƒÂ?ÂƒÇĄ Â?‹•ƒŽÂ?›ƒ †ƒŽƒÂ? sejumlah kasus terkait dengan tuduhan penghinaan. Publik semakin menghindari Â?‡Â?„‡”‹Â?ƒÂ? ‘’‹Â?‹ ƒ–ƒ— ’ƒÂ?†ƒÂ?‰ƒÂ? Â?‡’ƒ†ƒ ’‡Œƒ„ƒ– ’—„Ž‹Â?ÇĄ •‡”–ƒ Â?‡Â?„—Â?ƒ ”—ƒÂ?‰ diskusi terhadap isu-isu tertentu yang merupakan hak atas kebebasan berekspresi †ƒÂ? „‡”’‡Â?†ƒ’ƒ–Ǥ ‹ –‡Â?‰ƒŠ „‡Ž—Â? †‹”‡ˆ‘”Â?ƒ•‹Â?›ƒ ÇĄ †‡Â?‰ƒÂ? ’‡”—Â?—•ƒÂ? ›ƒÂ?‰ „—”—Â? †ƒÂ? ’‡Â?‡”ƒ’ƒÂ? ›ƒÂ?‰ †‹•Â?”‹Â?‹Â?ÂƒÂ–Â‹ÂˆÇĄ Â?‡Â?Œƒ†‹Â?ƒÂ? ŒƒÂ?‹Â?ƒÂ? ŠƒÂ? ƒ–ƒ• Â?‡„‡„ƒ•ƒÂ? berekspresi dan berpendapat seringkali terlanggar. Praktik pengadilan di Indonesia juga belum banyak yang menggunakan standar pembuktian untuk menguraikan –‹Â?†ƒÂ?ƒÂ? ›ƒÂ?‰ †‹ƒÂ?‰‰ƒ’ Â?‡”‡Â?†ƒŠÂ?ƒÂ? ”‡’—–ƒ•‹ ‘”ƒÂ?‰ Žƒ‹Â?ÇĄ †‡Â?‰ƒÂ? Â?‡”—Œ—Â? ’ƒ†ƒ standar pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [ELSAM] ÂŽǤ ‹ƒ‰ƒ

‘Ǥ ;ͳǥ ‡Œƒ–‡Â? ÂƒÂ”ÂƒÂ–ÇĄ ƒ•ƒ” ‹Â?‰‰—ǥ Jakarta Selatan –Indonesia 12510 ‡Žǣ Ϊ͸ʹ Í´Íł ͚͚͝ʹ͸͸ʹǥ ͚͝ͳ͝ʹ͡͸͜ Č ÂƒÂšÇŁ Ϊ͸ʹ Í´Íł ͚͝ͳ͝ʹ͡ͳ͝ —”‡Žǣ ‘ˆĎ?‹…‡̡‡Ž•ƒÂ?Ǥ‘”Ǥܠ Č ÂƒÂ?ƒÂ?ÇŁ ™™™Ǥ‡Ž•ƒÂ?Ǥ‘”Ǥܠ ‹Â?‹Â?ÂƒÂ•ÂƒÇŁ ̡‡Ž•ƒÂ?Â?થ


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.